Antara Banjir dan Kering KABUPATEN Bojonegoro bisa dibilang aneh. Sebab, hingga April 2015 atau bahkan awal Mei, hujan masih tampak mengguyur beberapa wilayah. Bumi tetap basah. Bengawan Solo mengalirkan debit air cukup besar dan bisa dipakai mencukupi area pertanian dari Kecamatan Margomulyo sampai dengan Baureno. Sedikitnya 15 kecamatan tercukupi air untuk sawah dan kebutuhan hidup sehari-hari. Sumur-sumur lancar dan warga tidak kebingungan air bersih. Bukan hanya air dari Bengawan Solo, Waduk Pacal yang kapasitasnya 23 juta meter kubik, dari standar awal 41 juta meter kubik, terus mengaliri belasan ribu hektare lahan. Tidak tanggung-tanggung, tujuh kecamatan mendapat suplai air dari Waduk Pacal. Lihat saja data di Dinas Pengairan Pemkab Bojonegoro, tujuh kecamatan yang irigasinya bergantung pada Waduk Pacal antara lain Kecamatan Sukosewu, Kapas, Balen, Sumberrejo, Kanor, Kepohbaru, dan Kecamatan Baureno. Dengan rincian luasan lahan diantaranya, Kecamatan Sukosewu terdapat 339 hektare (Ha), Kapas ada 1.218 Ha, Balen sebanyak 4.143 Ha, Sumberrejo terdata 7.086 Ha, Kanor seluas 3.079 Ha, Kepohbaru luasannya mencapai 2.092 hektare dan Kecamatan Boureno 1.058 Ha. Ketika penghujan, petani serba kecukupan air untuk segala aktivitas. Itu dulu. Tetapi, sekarang ini musim kemarau yang sudah mendera Kota Ledre, sebutan lain Bojonegoro, warga harus mulai berhemat air. Karena, tampungan melalui sumur-sumur lama telah ditutup dan diganti dengan sumur bor. Sehingga, air cepat lepas dan minim resapan di dalam tanah. Tidak hanya itu, air Bengawan Solo sebentar tertampung di Bendung Gerak yang ada di Desa Padang, Kecamatan Trucuk dan Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro. Setelah itu lepas lagi sampai di hilir, yakni laut yang ada di Kabupaten Gresik. Hampir sama, keberadaan air dari Waduk Pacal yang melintas di Sungai/Kali Pacal, turun begitu saja sampai di Bengawan Solo untuk terbawa ke timur. Walaupun ada cekdam, irigasi dan lain-lain, sifatnya untuk pengairan sementara dan untuk menahan dengan waktu tidak lama. Seratusan lebih
embung yang dibangun, sampai sekarang belum terkoneksi dengan jaringan irigasi Kali Pacal maupun bengawan solo. Sehingga, masih murni tangkapan hujan. Maka cukup wajar, jika selama Mei 2015, Dinas Pengairan sudah tiga kali perpanjangan permintaan air ke UPT PSDA Bengawan Solo. Dengan menipisnya stok air tersebut dibagi menjadi tiga wilayah, yakni UPTD Pengairan Wilayah Tengah II dengan luas baku sawah 1.965 hektare dengan mendapatkan jatah air sebanyak 900 liter/detik dan UPTD Pengairan Wailayah Tengah I dengan luas sawah 8.215 hektare untuk UPTD Pengairan Wilayah Timur sebanyak 6.424 hektare, dengan jatah masing-masing 4.100 liter/ detik. Karena masih tidak mencukupi, awal Juni 2015 dinas terkait meminta tambah dengan alokasi 4.000 liter/detik. Walaupun telah digelontor air, karena kekeringan telah menjalar ke ladang yang tertanami padi sebulan atau bahkan ada yang sudah dua bulan, membuat masyarakat cemas. Model antre atau bergiliran antar desa, ternyata tidak berjalan normal. Banyak desa saling “begal” jatah, dan bahkan sempat ada informasi bumbu-bumbu kekerasan mulai meletup. Aparat kepolisian, TNI dan Pemkab Bojonegoro bersiaga. Mereka mengantisipasi agar tidak ricuh pembagian air. Kondisi seperti itu akan berulang di tahun depan, karena sebelum-sebelumnya juga sama. Bukan menjadi pengalaman dan bisa dituangkan dalam kebijakan, tetapi faktor alam yang selalu jadi kambing hitam. Kontur tanah Bojonegoro yang menyerupai plastik membuat air cepat mengalir ke lokasi yang rendah, bermuara di Bengawan Solo yang akhirnya lari ke laut. Semoga saja, kekeringan yang tidak hanya terjadi di area pesawahan, tetapi juga kebutuhan air bersih keluarga, bisa dikurangi setiap tahun. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah mempunyai cara yang ditengarai mulai bisa menambah pasokan air di desa-desa kantong kekeringan, tetapi daya tahannya belum teruji juga. Semoga, di edisi Tabloid Juli ini, menjadi renungan bersama akan potensi bahaya kekeringan yang setiap tahun mengintai layaknya bencana. [*]
Buber Bareng Saka Bhayangkara
blokBojonegoro/M. Yazid
SUASANA ketika ngabuburit Saka Bhayangkara Bojonegoro di Mapolres diisi ceramah agama.
MASIH dalam rangkaian HUT Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli 2015, Sabtu di awal bulan Juli, Saka Bhayangkara menggelar buka bersama dengan Sat Lantas dan anggota Saka Bhayangkara jajaran Polres Bojonegoro. Acara yang dimulai pukul 15.00 WIB tersebut selain dihadiri anggota Saka
Bhayangkara, turut hadir pula Kasat Bimas Polres Bojonegoro AKP Sri Ismawati, Pamong Saka, Ketua Kwartir Ranting Kota Bojonegoro, dan Kanit Dikyasa Aiptu Suparnoto. Selain itu juga ada dukungan dari rekan-rekan Gudang Garam yang menampilkan musik religi sepanjang acara. Pembicara K.H Abdullah Nasihudin
dalam ceramahnya mengungkapkan kisah masa lalunya ketika menjadi seorang anggota pramuka, yang mana manfaat ia rasakan dalam mengikuti kegiatan. Sekilas tampak hal sepele, namun manfaat itu baru akan terasa ketika seorang memasuki usia dewasa. “Saka Bhayangkara harus bisa mengemban tugas yang diberikan, khususnya dari instansi kepolisian. Diantaranya turut mensukseskan OPS Ketupat Semeru yang akan datang ini” pesan kyai yang berkantor di Kementrian Agama (Kemenag) Bojonegoro tersebut. Oleh karena itu, berbahagialah ketika adik-adik bergabung di Saka Bhayangkara, sebab nanti manfaatnya. Terpisah, Kasat Bimas AKP Sri Ismawati mengucapkan terima kasih atas semangat dari adik-adik anggota Saka Bhayangkara. Sebagai mitra Polri yang setiap saat membantu tugas Polri, khususnya dalam sosialisasi dan Polmas, ia berharap ada kekuatan yang selalu menyertai langkah Saka Bhayangkara. “Mari melalui momentum HUT Bhayangkara ini kita tingkatkan kebersamaan dan kemitraan yang selama ini sudah berjalan sangat baik” pungkasnya. [*] Pengirim: Hendra Deni A *Email:
[email protected]
REDAKSI menerima tulisan berupa artikel, opini dan karya tulis lainnya dengan panjang tulisan minimal 2 setengah halaman kertas A 4, font Time New Roman ukuran 12 spasi/single. tulisan bisa dikirim via email yang telah disediakan di atas. Juga bisa datang langsung ke kantor redaksi blokBojonegoro yang beralamatkan di Ruko Permata Jetak Jl. MT. Haryono No. 5A. Redaksi berhak mengedit kalimat tanpa mengubah maksud dan tujuan tulisan. Bagi tulisan yang dimuat, akan mendapatkan imbalan sepantasnya.
MASIH teringat edisi pertama dan kedua Tabloid blokBojonegoro, terutama di halaman Fokus. Temuan-temuan yang ditengarai peninggalan zaman purba terserak begitu saja. Marak pencurian dimana-mana dan perusakan. Di Edisi Agustus ini, redaksi ingin memotret lebih dalam, terutama dari segi kebijakan di rubrik Investigasi mengenai pelestarian Jejak Purbakala agar masih tersisa untuk anak cucu. Peraturan ketat yang memberikan keamanan pada benda-benda itu, sangat diperlukan. Termasuk memperkenalkan ke anakanak kekayaan masa lalu di Bojonegoro, bukan hanya Minyak dan Gas Bumi (Migas). Untuk halaman Fokus masih tetap konsen mengupas desadesa pinggir yang luar biasa dengan segala seluk-beluknya. Potensi-potensi yang belum banyak digali, layak untuk diketahui. Sebab, Bojonegoro adalah kaya, sumber daya manusia maupun sumber daya alamnya. Redaksi Tabloid blokBojonegoro juga ingin selalu berbagi informasi yang terbaru dan mendalam, di rubrik. Antara lain di bB GtS, LifeStyle, MixNews dan lain sebagainya. Terus ikuti berita dengan berlangganan tahunan Tabloid blokBojonegoro dan update berita setiap hari dan waktu di www.blokBojonegoro.com. Semoga blokBojonegoro Media terus bisa singgah di hati pembaca setia. [*]
Awasi Air saat Musim Kering Sejak bulan Mei, keberadaan air di beberapa titik mulai menghilang. Terutama di wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro yang jauh dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Bukan tiba-tiba, tetapi hampir setiap tahun atau tepatnya musim kemarau tiba. Laporan: Tim Investigasi
S
iang itu, tepatnya akhir pekan di bulan Juni 2015, beberapa warga Dusun Mekalen, Desa Pacing, Kecamatan Sukosewu, Bojonegoro, tampak beraktivitas seperti sedia kala. Mereka ada yang ke sawah, pergi ke warung, atau sekadar melihat-lihat kondisi dusun. Panas begitu terik, membuat Agus, begitu ia minta dipanggil, sudah tampak terengah-engah. Setiap tahun, Desa Pacing melalui waktu cukup berat di musim kemarau, karena termasuk daerah yang rawan kekeringan. Sekadar untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Agus dan ratusan warga lainnya harus berpikir keras mendapatkan air. Sumber dari sumur bor maupun sungai telah menyusut tajam debit airnya. Sehingga, bisa dipastikan mereka mengandalkan kiriman dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab), dalam hal ini melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) maupun Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos). “Sejak Mei kemarin, kondisi air sudah menipis. Apalagi hampir dua bulan ini hujan sudah tidak turun lagi,” terangnya. Jika sudah memasuki bulan delapan, sudah dipastikan sumber telah habis. Artinya, penderitaan warga bertambah. Bahkan, agar tetap mendapatkan air untuk memasak, minum dan terkadang mencuci, mereka pergi ke sungai yang telah dilubangi bagian dasarnya, warga menyebut cublik. Jaraknya lumayan jauh, lebih dari satu kilometer dengan berjalan kaki menyusuri tepian dusun. “Cublik tersebut tidak selalu keluar airnya. Apalagi yang mengambil cukup banyak dan terkadang antre,” lanjut Agus. Jangankan untuk keperluan sawah atau ladang, kebutuhan sehari-hari agar bisa bertahan hidup, warga telah keberatan. Bahkan, ketika pergi ke sekolah, anak-anak desa diminta membawa air dari rumah. Air itu untuk mereka sendiri saat cuci tangan dan bersih-bersih setelah buang air. “Setiap tahun selalu sama. Tidak ada perubahan dan upaya lebih dari Pemkab Bojonegoro. Harusnya, kemarau yang bisa diantisipasi, bisa dibilang lebih banyak gagalnya,” tambahnya. Warga lain, Suyit (50) berkata senada. Jika setiap kemarau datang dan sumber kering, ia rutin ketika pagi dan sore pergi ke dasar sungai. Cublik sedalam dua meter digali agar tetap mendapatkan air. Kondisi itu hanya bertahan beberapa saat, karena saat kemarau panjang melanda, maka akan bertambah parah. “Kami yang berusia tua maupun muda sama saja, jika ingin mandi atau mencukupi kebutuhan hidup harus rela menuruni sungai sekitar lima meter dalamnya,” tegas Suyit. Dengan bibir sungai yang dibuat berundak-undak, warga memikul ember atau tanki dari bawah. Tidak jarang yang terpeleset, sehingga airnya tumpah dan harus kembali mengais mulai nol lagi. “Harapan selalu diberikan, tetapi
blokBojonegoro/M. Yazid
SEORANG warga tengah mengambil air di kubangan dasar sungai di salah satu desa yang terletak di wilayah selatan Kota Bojonegoro saat musim kemarau tiba.
kenyataannya selalu sama. Hanya bantuan air bersih melalui truk tanki yang terkadang tidak merata dari Pemkab, bisa sedikit menghibur warga,” lanjutnya. Bantuan Perlu Pengawasan Air kiriman dengan truk tanki yang didistribusikan ke warga, cukup bisa meminimalisir kebutuhan sehari-hari. Tetapi, terkadang warga saling sikut menyikut untuk mendapatkannya. Karena, jika tidak cepat, maka akan habis dan bisa dipastikan keperluan rumah tidak akan bisa tercukupi. Bukan hanya di Desa Pacing, Kecamatan Sukosewu, kondisi serupa berlangsung di Desa Bakulan, Kecamatan Temayang. Suyono dan Saiyid, warga setempat mengakui, ketika memasuki bulan Juni, air bertambah sulit diperoleh. Walaupun belum banyak menggantungkan kiriman dari Pemkab, tetapi beberapa sumber telah minim airnya. “Sumber yang masih bagus ada di tengah persawahan. Untuk bisa menjangkau, warga harus membawa jeriken dengan sepeda motor sebagai alat pengangkut,” kata Suyono. Jalan kecil dengan pembatas sawah yang cukup terjal, menjadi tantangan warga. Setiap pengambilan, mereka bisa dua sampai tiga kali mondar-mandir ke sawah. Jika tidak hati-hati, warga bisa tergelincir dan celaka. Jarak antara sumber dengan rumah warga sekitar 1.000 meter lebih, dan kebutuhan rumah tangga yang paling diutamakan.
“Sawah sudah tidak dipikirkan lagi, karena memang harapan dari waduk atau sungai sudah tidak bisa dipenuhi. Kalah dengan desa-desa lain yang lebih dekat dengan aliran air,” jelasnya. Bisa dipastikan, setiap pagi dan sore hari, masyarakat antre mengambil air. Sebab, rata-rata sumber yang dipunyai melalui sumur bor atau pompa, telah habis. Yang paling dikeluhkan untuk memenuhi minum hewan ternak yang juga cukup besar, membuat warga harus pandai-pandai membagi kebutuhan air keluarga dan peliharaan. “Ada saluran air bersih dari Dusun Kedungbeduk, tetapi tidak sampai dusun sebelah. Artinya, kebutuhan air bersih warga cukup besar dan tidak bisa tercukupi oleh satu atau dua sumber saja,” sambung warga lain, Saiyid. Di Desa Bakulan, Kecamatan Temayang terdapat sekitar 2.200 penduduk dengan 800 kepala keluarga (KK). Mereka semua menggantungkan air untuk bertahan hidup. Beberapa cara selalu dilakukan, termasuk mengalirkan air dari atas bukit, walaupun sejauh ini belum bisa optimal. “Perlu cara lain agar warga tidak sulit air ketika kemarau, apalagi ini masih bulan enam. Akan bertambah parah jika kemarau memanjang sampai bulan sebelas,” tambahnya. Pengawasan distribusi air bersih perlu terus ditingkatkan. Menurut beberapa sumber di lapangan, tak jarang air yang sudah akan terdistribusi ke lokasi tertentu, di tengah jalan bisa dialihkan. Terutama untuk pimpinan wilayah
yang dekat dengan aparat pemerintahan di tingkat kabupaten. Selain Kecamatan Sukosewu dan Temayang, beberapa kecamatan lain menjadi langganan kekeringan, diantaranya Kecamatan Sugihwaras, Balen, Kedungadem, Kepohbaru, Sumberrejo, Bubulan, Ngasem, Tambakrejo dan Kecamatan Gayam. Ratarata tiap tahun lebih dari 15 kecamatan meminta kiriman air bersih. [*]
PENAMPUNGAN air yang turut kering saat kemarau tiba
Air Terkontrol di Atas, Kering di Bawah Saat musim penghujan, Bengawan Solo yang melintasi Kabupaten Bojonegoro selalu dianggap sebagai sumber bencana melalui wujud banjir. Namun, ketika kemarau tiba, debet air yang sudah tidak seberapa itu sangat ditunggu warga untuk bisa menyambung kehidupan tanaman mereka.
blokBojonegoro/M. Yazid
SAAT kemarau melanda cukup lama di Kabupaten Bojonegoro, kondisi Bengawan Solo di wilayah timur Kota Ledre kondisinya mengering. Air hanya tampak di ceruk yang cukup dangkal, sehingga warga menyeberangi dengan jalan kaki.
Laporan: Tim Investigasi
M
undari duduk-duduk di sekitar pematang sawah di desanya, tepatnya Desa Pilang, Kecamatan Kanor, Kabupaten Bojonegoro. Sejak beberapa waktu belakangan ini, deber air di sungai Bengawan Solo semakin mengecil. Padahal, kemarau baru saja berlangsung dan kemungkinan masih cukup lama. Sebab, tahun kemarin hingga bulan 11. “Cuaca cukup panas juga mempengaruhi berkurangnya air. Apalagi, beberapa desa sebelum Pilang juga tengah memasuki masa mengairi sawahnya,” terangnya. Seperti di Desa Semambung, Kanor, Tambahrejo, Piyak, Kabalan, Cangaan dan Desa Sarangan. Kondisi tersebut juga berlangsung untuk desa lain di kecamatan Baureno, Balen, Kapas, Kota, Dander, Trucuk, Kalitidu, Malo, Purwosari, Kasiman, Padangan, Ngraho dan Margomulyo. Kebanyakan umur padi antara satu bulan sampai dua bulan setengah. “Saat banjir, kecamatan itulah yang terencam pertama kali. Namun, saat kemarau seperti ini, akan menjadi berkah tersendiri hidup di bantaran Bengawan Solo,” terangnya. Biasanya lanjut Mundari, air dari sungai terpanjang di Pulau Jawa itu hanya sampai bulan 9. Setelah itu telah mengering dan air hanya di ceruk-ceruk dasar bengawan. Apalagi, setelah adanya Bendung Gerak di Desa Padang, Kecamatan Trucuk dan Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu. Air cepat habis dan saat hujan tidak turun beberapa bulan, air sudah berhenti dan seakan-akan tidak mengalir. “Sebelum ada Bendung Gerak, air biasanya tahan sampai bulan 10 lebih. Namun, sekarang ini telah berhenti dan tinggal menunggu habis,” tambahnya. Bukan hanya untuk Kabupaten Bojo-
negoro saja aliran Bengawan Solo itu, Kecamatan Soko, Rengel, Pelumpang sampai Kecamatan Widang, Kabupaten Tuban juga mengandalkan sumber yang sama. Sehingga, ketika banyak pompa dengan kapasitas besar masuk ke sungai, maka bisa dipastikan air akan segera habis. “Bisa dilihat sendiri, saat kemaru panjang atau tiga bulan mendatang, jika tidak ada hujan, bisa dipastikan bengawan kering kerontang,” lanjut warga lain, Khudhori warga Desa Sumberarum, Kecamatan Kanor. Kondisi hampir serupa disampaikan Imam, warga Desa Mulyorejo, Kecamatan Balen. Menurutnya, petani yang masih tanam padi di musim kemarau juga turut serta mempengaruhi cepatnya deber air di Bengawan Solo. Karena, rata-rata bersama-sama menyedot dengan kapasitas pompa besar. “Di atas dikontrol dengan Bendung Gerak, tetapi di bawah yang hanya mendapatkan sisa. Kalau seperti ini sudah akan habis,” tambahnya. Kalau pertanian dan sumber di rumah untuk keberadaan air bersih, jelas enak yang di atas Bendung Gerak. Kondisi itu yang seharusnya dipikirkan Pemerintah, jangan Blok Migas Cepu saja yang dipikir airnya, kita dibiarkan merana. Sebab, keberadaan embung sejauh ini
belum seberapa fungsinya. “Bisa dilihat sendiri, rata-rata kering,” tegas petani asal Kecamatan Kapas, Mulyo. Aman dengan Bendung Gerak Sejak diresmikan 2 Mei 2012, Bendung Gerak di dua desa yang berada di Kecamatan Trucuk dan Kalitidu dengan sembilan pintu air radial yang dapat dinaikkan dan diturunkan secara elektrik, mulai bisa mengendalikan debit air. Terutama saat musim kemarau tiba. Dua pintu air lebarnya kurang lebih 7,5 meter dan enam pintu air lainnya mempunyai lebar 15 meter. Panjang pintu air itu masing-masing 7,3 meter. Dengan pintu air yang dapat digerakkan secara elektrik, maka debit air Sungai Bengawan Solo juga bisa diatur sesuai kebutuhan. Bendung Gerak itu dapat mengatur kondisi debit air saat musim hujan maupun musim kemarau. Sebab, jika air dilepas begitu saja saat kemarau, maka bisa jadi industri minyak dan gas bumi (Migas) juga akan kekeringan. Bendung Gerak itu dapat menampung cadangan air baku sebanyak 13 juta meter kubik dengan menjangkau luasan areal pertanian yang dapat dialiri mencapai 4.500 hektare atau bisa dimanfaatkan untuk persediaan air
blokBojonegoro/M. Yazid
BENDUNG Gerak di Desa Padang, Kecamatan Trucuk dan Desa Ngringinrejo, Kecama-
tan Kalitidu menjadi alat untuk mengontrol debet air di Bengawan Solo
baku bagi irigasi pertanian di wilayah Kecamatan Kalitidu, Trucuk, Purwosari, Padangan, Ngraho, hingga di Daerah Blora, Jawa Tengah. Bendungan dengan luas sekitar 1.841.752 meter itu juga bisa menjadi daerah tangkapan air seluas sekitar 12.467 kilometer. Debit air yang ada di bendungan itu diperkirakan mencapai 5.850 liter per detik untuk mencukupi kebutuhan irigasi pertanian di wilayah Bojonegoro seluas 4.949 hektare dan di Blora seluas 665 hektare. Namun, air baku untuk kebutuhan industri dan air minum butuh pengembangan lebih lanjut. Bendung Gerak juga dilengkapi jembatan sepanjang kurang lebih 504 meter dengan lebar 3,7 meter. Jembatan itu sekaligus menjadi penghubung warga di Desa Padang, Kecamatan Trucuk, dengan warga di Desa Ngringinrejo, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro. Seperti diketahui, jika pembangunan Bendung Gerak dimulai pada 5 Mei 2009 dan rampung pada Maret 2012. Proyeknya itu dikerjakan oleh PT Waskita Adhi Karya dan PT Barata. Sedangkan, konsultan dari Jepang dengan anggaran Rp351 miliar melalui sistem multiyears dengan dana APBN dan sharing lahan Pemkab Bojonegoro dan Pemprov Jawa Timur. “Bendung gerak bisa mengontrol air bengawan agar tidak cepat lari ke bawah. Petani juga lebih diuntungkan,” terang Suyitno, warga di Kecamatan Kalitidu. Jika dulu menjelang kemarau air sudah menipis, saat ini lumayan lebih banyak. Walaupun nanti jelang bulan 11 juga makin berkurang tajam. Intinya, keberadaan Bendung Gerak bisa menambah pengairan petani lebih bagus, di Kecamatan Kalitidu, Trucuk, Malo dan lebih ke barat lagi. Tetapi untuk di bawahnya akan terasa, karena air tersumbat dan jarang dilepaskan. [*]
Laporan: Tim Investigasi
T
engah malam sekitar pertengahan Juni 2015, wajah salah satu Kepala Desa (Kades) di Kecamatan Balen masam. Bahkan, bisa dibilang ia marah. Sebab, tanaman padi milik warganya menguning karena kekurangan air. Janji sesuai jadwal distribusi air, ternyata tidak ditepati. Dirinya banyak mendapatkan komplain dari warga, sebab air yang ditunggu tak terlihat di sungai. “Kondisi seperti ini cukup sering. Seharusnya jadwal desa ini, tetapi tidak diketahui keberadaan airnya. Mungkin kena begal di tengah jalan,” terang kades tersebut sambil mencak-mencak. Bahkan, ia berusaha melacak dengan beberapa pemuda desa ke desa tetangga atau bahkan di luar kecamatan. Jangan sampai ada pencurian air yang bukan haknya. Dengan alat pukul dan ada yang membawa parang, ia mulai berjalan mengecek. Apapun akan dilakukan, termasuk mengedepankan kekerasan. “Kita sudah sangat sabar, tetapi yang membagi air kurang bisa transparan. Desa dibuat menunggu, padahal sudah digilir,” lanjutnya. Menurutnya, jika aksi saling sikut juga berlangsung di Kecamatan Sumberrejo. Salah satu desa tidak terima karena jatah airnya mengalir ke desa lain. Padahal, desa tersebut sudah tuntas masanya. Kondisi itu memantik emosi beberapa petani yang hampir terjadi adu isik. Untung saja tidak sampai terjadi keributan yang meluas. “Karena ini berkaitan dengan hidup masyarakat. Hanya tanaman padi itu yang diandalkan, jika gagal tanam, apalagi gagal panen, pasti petani akan gulung tikar. Sebab, untuk operasional tanam yang begitu besar, belum lagi pupuk dan tenaganya,” tambah seorang warga di Kecamatan Sumberrejo, Arif. Sementara itu, Camat Sumberrejo, Ilham menegaskan, pihaknya terus berkoordinasi dengan pihak terkait, terutama Dinas Pengairan maupun UPT PSDA Bengawan Solo, agar tidak terjadi kegaduhan di lapangan. Sebab, jika komunikasi terputus, akan bisa memantik emosi warga. Karena, kebutuhan air itu cukup vital dan sekarang ini tengah bersama-sama mencari. “Sejauh ini masih bisa dikendalikan. Kalau ada informasi apapun, akan kita sharing secepatnya kepada petugas maupun pejabat terkait,” lanjut Ilham. Ke depan, keberadaan air bersih di beberapa desa yang terletak di selatan, jika telah membutuhkan akan dilaporkan ke BPBD dan Disnakertransos. Sejauh ini belum ada yang meminta droping air bersih. “Kalau butuh, Pemerintah Desa akan menghubungi kecamatan dan dinas terkait,” sambung-
Saling Sikut di Aliran Kali Pacal Volume air dari Waduk Pacal di Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, Kabupaten Bojonegoro, semakin menipis. Walaupun begitu belasan ribu hektare lahan pertanian masih menggantungkan irigasinya di waduk yang dibangun zaman Belanda tahun 1933 tersebut.
blokBojonegoro/M. Yazid
WADUK Pacal selalu kering saat kemarau panjang melanda Kabupaten Bojonegoro. Selain pendangkalan, faktor kebutuhan air petani juga cukup tinggi.
nya. Kondisi serupa juga disampaikan pejabat di Kecamatan Kedungadem. Sampai saat ini Muspika belum menerima laporan kekeringan dari dampak kemarau yang mulai melanda Kabupaten Bojonegoro.
“Sampai sekarang kelihatannya belum ada yang melapor terjadi kekeringan,” ungkap Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Kedungadem, Mahmudi. Mahmudi mengakui, pihaknya terus mengantisipasi untuk bisa mengurangi keker-
ingan yang melanda Kecamatan Kedungadem. “Berbagai upaya kita lakukan, seperti mengecek ketersediaan air yang ada di Pemerintahan Desa agar kekeringan yang kemungkinan akan terjadi tidak terlalu parah,” imbuhnya.
Terlihat dari pantauan blokBojonegoro, para petani yang berada di Kecamatan Kedungadem masih ada sebagian yang menanam padi. Sebab, mereka beranggapan menanam padi lebih menguntungkan dari pada menanam yang lain. “Ketersediaan air memang menjadi kendali untuk menanam padi, tapi kita tetap menanamnya daripada palawija,” ungkap salah satu petani asal Desa Tondomulo, Pasri. Selain di Kedungadem, Balen, Sumberrejo, Kepohbaru dan Sugihwaras, Kecamatan Kanor yang belasan desanya termasuk DAS Bengawan Solo juga terancam kering. Bahkan, sekitar 898 hektare tanaman padi berumur satu bulan di Desa Bungur, Samberan, Palembon, Pesen, Tejo, dan Simorejo, terancam gagal tanam jika aliran dari Sungai Pacal tersendat. Camat Kanor, Soebiyanto mengatakan, jika satu bulan ini sudah tidak turun hujan, bisa dipastikan kekeringan benarbenar akan melanda Kecamatan Kanor. Saat ini pertanian di Kecamatan Kanor masih bergantung dari aliran Waduk Pacal, selain juga irigasi dari Bengawan Solo. “Kami telah berupaya untuk mengatasi kekeringan, yaitu membagi air secara maksimal agar tidak terjadi konlik. Karena, benih-benih para petani rebutan air sempat muncul, walaupun bisa diredam pelan-pelan,” tegasnya. Awas, Gesekan Antar Petani Rapat Musyawaran Pimpinan Daerah (Muspida) kali ini berbeda. Salah satunya yang dibahas adalah kegaduhan antar petani yang saling rebut jatah air irigasi. Sumber utamanya karena debet Sungai Pacal sudah semakin menipis. Keberadaan tanaman padi milik warga yang masih luas, memaksa droping air melalui irigasi kecamatan tidak kuat menampung. Kapolres Bojonegoro, AKBP Hendri Fiuser mewanti-wanti warga tetap menjaga keamanan dan ketertiban. Sebab, memasuki musim kemarau, banyak petani mengeluhkan kekurangan air. Ia juga membenarkan jika setiap siang dan malam petani berebut air irigasi demi mengaliri sawahnya yang memulai kekeringan. “Sehingga potensi konlik di masyarakat sangat tinggi. Saya sudah koordinasi dengan Bupati Bojonegoro, agar ada peningkatan keamanan,” jelasnya. Selain itu untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Kapolres Hendri juga sudah meminta anggotanya di Polsek jajaran agar rutin berpatroli. Dengan begitu, tercipta situasi kondusif di masyarakat. “Selain Babinsa, setiap Polsek juga rutin berpatroli agar kejadian yang tidak diinginkan bisa ditanggulangi, termasuk rebutan air,” pungkasnya. [*]
Tergantung Sumber dari Wilayah Selatan
boleh menampung air secara penuh. Normalnya waduk pacal dapat menampung air sebanyak 41 juta meter kubik, namun setelah pelimpah jebol waduk hanya berisi air 23 juta meter kubik. “Stok airnya sudah menipis dan hanya mampu memberi suplai sampai musim tanam kedua saja,” terangnya. Jasmani menegaskan, sejauh ini pintu air waduk dibuka dengan skala waktu. Cara membukanya sesuai dengan permintaan anak sungai. Jika tidak begitu, maka air telah habis jauh-jauh hari. Ketinggian air yang tinggal sekitar 23 meter ini tidak akan mampu bertahan lama. “Di waduk air tidak boleh sampai kering, karena sisanya dipakai perawatan,” lanjut Jasmani. Dirinya juga mengimbau kepada petani agar benar-benar memanfaatkan air dari Waduk Pacal dengan baik. Sebab, keberadaan air bertambah minim karena faktor pendangkalan yang sudah sangat parah. Apabila menanam padi lagi saat musim kemarau, atau setelah tanam kedua, maka bisa dipastikan tidak bisa terairi dari waduk. Tepatnya sampai menunggu hujan kembali datang dan air mengisi penuh lagi. [*] LUAS AREA PERTANIAN TERAIRI DARI WADUK PACAL
blokBojonegoro/M. Yazid
WALAUPUN tinggal sedikit, tetapi air Waduk Pacal tetap dinanti oleh tujuh kecamatan yang ada di timur Kota Bojonegoro. Apalagi, musim kemarau mulai datang dan tanaman padi butuh air.
Keberadaan Waduk Pacal yang merupakan peninggalan Kolonial Belanda, tepatnya tahun 1933, benar-benar masih dirasakan manfaatnya sampai sekarang. Walaupun di sekitar waduk kondisinya mulai kering, tetapi aliran air masih sampai di 7 kecamatan di timur Kota Bojonegoro. Laporan: Tim Investigasi
T
ujuh kecamatan yang irigasinya bergantung pada Waduk Pacal antara lain Kecamatan Sukosewu, Kapas, Balen, Sumberrejo, Kanor, Kepohbaru, dan Kecamatan Baureno. Dengan rincian luasan lahan diantaranya, Kecamatan Sukosewu terdapat 339 hektare (Ha), Kapas ada 1.218 Ha, Balen sebanyak 4.143 Ha, Sumberrejo terdata 7.086 Ha, Kanor seluas 3.079 Ha, Kepohbaru luasannya mencapai 2.092 hektare dan Kecamatan Boureno 1.058 Ha. Setiap masa tanam, lahan tersebut selalu mendapat kiriman air secara bergiliran dari Waduk Pacal. Walaupun ketika penghujan, beberapa wilayah tersebut juga yang terancam kebanjiran karena luberan Kali Pacal. Tetapi, ketergantungan akan debit Waduk Pacal masih sangat tinggi. Bahkan, ketika air tidak datang, maka belasan ribu hektare tanaman terancam mati. “Kita upayakan untuk mengatasi kekeringan, khususnya untuk lahan pertanian dulu. Jadi kita gunakan sistem buka tutup pintu air secara berkala,” kata Kasi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumber Air, Dinas Pengairan Kabupaten Bojonegoro, Dodik Sigit Wijaya. Untuk itu, pihaknya meminta kepada UPT PSDA Wilayah Sungai Bengawan Solo agar bisa membuka pintu air secara berkala saat musim tanam kemarau ber-
langsung. Upaya tersebut dilakukan pada musim tanam kedua ini ketersediaan air untuk lahan pertanian sangat minim dan jika tidak segera diatasi, maka bisa mengalami gagal panen dengan kerugian miliaran rupiah. “Kewenangan pengaturan air dari Waduk Pacal ada di UPT PSDA Bengawan Solo. Kami yang meminta ketersediaan air untuk petani dan keselamatan Waduk Pacal,” ungkapnya. Ditambahkan, selama Mei 2015, Dinas Pengairan telah melakukan tiga kali perpanjangan permintaan air ke UPT PSDA Bengawan Solo. Dengan menipisnya stok air tersebut dibagi menjadi tiga wilayah, yakni UPTD Pengairan Wilayah Tengah II dengan luas baku sawah 1.965 hektare dengan mendapatkan jatah air sebanyak 900 liter/detik. “Sedang UPTD Pengairan Wilayah Tengah I dengan luas sawah 8.215 hektare untuk UPTD Pengairan Wilayah Timur sebanyak 6.424 hektare, dengan jatah masing-masing 4.100 liter/ detik,” imbuhnya. Sementara itu, pada permintaan tahap tiga Dinas Pengairan juga meminta perpanjangan waktu hingga tanggal awal Juni 2015 dengan alokasi 4.000 liter/ detik. Hanya Sampai Tanam Kedua Waduk Pacal yang berada di Desa Kedungsumber, Kecamtaan Temayang, Bojonegoro, merupakan salah satu penyuplai air untuk mencukupi kebutuhan lahan pertanian di Kota Ledre, sebutan akrab Bojonegoro, selain Bengawan Solo. Namun beberapa waktu terakhir telah memasuki musim kemarau dan stok air di waduk peninggalan Belanda itu mulai menipis. Penjaga pintu air Waduk Pacal, Jasmani mengatakan, selama dua tahun terakhir Waduk Pacal tidak bisa berfungsi dengan maksimal. Sebab, spillway atau pelimpah air yang sempat jebol. Artinya pada musim penghujan kemarin waduk tidak
NO KECAMATAN 1 Sukosewu 2 Kapas 3 Balen 4 Sumberrejo 5 Kanor 6 Kepohbaru 7 Baureno Sumber: Litbang blokBojonegoro
LUAS 339 Ha 1,218 Ha 4.143 Ha 7.086 Ha 3.079 Ha 2.092 Ha 1.058 Ha
mampu menampung setengah dari kapasitas semula. Seharusnya, saat musim kemarau, dasar waduk dikeruk agar bisa menampung cadangan air lebih banyak. “Tidak mungkin bisa mencapai swasembada pangan, kalau waduk saja tidak terurus dan rusak,” jelasnya mengeluh. Sekian lama sudah dilaporkan kepada pejabat terkait, tetapi belum ada tindakan riil. Hal itu yang membuat petani kelimpungan ketika kemarau datang. Bukan hanya waduk, tetapi sumur warga yang mencukupi kebutuhan sehari-hari juga turut kerontang.
Segala Penjuru Mulai Kering Kerontang Untuk urusan air, Kabupaten Bojonegoro termasuk aneh. Sebab, belum lama air masih menggenang, saat awal kemarau banyak tampungan air kering. Bahkan, saat kemarau memanjang, maka berbagai wilayah kesulitan air, baik untuk kebutuhan sawah maupun mencukupi hidup sehari-hari. Laporan: Tim Investigasi
Musim kemaru belum benar-benar terjadi. Namun debit air di sejumlah waduk yang ada di Kabupaten Bojonegoro mulai menyusut drastis. Seperti Waduk Blibis di Dusun Glagahsari, Desa/Kecamatan Purwosari dan Waduk Desa Sonorejo, Kecamatan Padangan. Keberadaan air kini tinggal di dasar dan bibir waduk mulai terdapat rekahan-rekahan. Supangat (53), warga Dusun Glagahsari mengatakan, air di Waduk Blibis mengalami penyusutan sejak beberapa Minggu yang lalu. Sebelumnya ketika penghujan masih sempat turun, waduk tersebut juga tidak berfungsi maksimal. Sebab, pendangkalan parah telah berlangsung beberapa tahun dan pelimpah air (spillway) mulai
keropos dan rusak. “Air yang tertampung terbuang sia-sia. Sehingga tidak sampai musim kemarau datang, sudah habis,” ujarnya kepada blokBojonegoro. Sebenarnya waduk itu sudah terbengkalai sekitar dua tahun. Padahal, Waduk Blibis menjadi harapan petani sekitar sebagai cadangan pengairan ketika musim kemarau. Sebab, dipastikan saat musim kering petani kebingungan mencari sumber air dan waduk itu termasuk salah satu solusi mengatasinya. “Ya dampaknya petani tak bisa menanam padi dan terancam paceklik pangan,” terangnya. Hal sama terjadi di Waduk Sonorejo, Kecamatan Padangan. Permukaan air ter-
blokBojonegoro/M. Yazid
PETANI tampak tengah menanam kedelai saat musim kemarau tiba di sawah yang dimiliki.
lihat ada penyusutan drastis. Ironisnya, bangunan waduk itu juga mengalami pendangkalan dan kerusakan, namun tak kunjung diperbaiki pihak terkait. “Kalau berfungsi normal, waduk ini dapat menampung dan menyuplai air untuk persawahan seluas 200 hektare lebih,” ujar pengurus Himpunan Petani Pengguna Air (HIPPA) Desa Sonorejo, Karmadi. Ditambahkan, Waduk Sonorejo hanya
Kembali ke Tumpang Sari Jika diambil hikmah dari kemarau untuk area sawah padi adalah “pemaksaan” kepada petani agar kembali ke sistem tumpang sari atau polyculture. Karena, lahan yang terletak di dekat sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo, akan terus ditanami selama tiga kali dalam setahun. Akibatnya, tanah menjadi basah dan seringkali hasil panen kurang memuaskan. Sulitnya air juga membuat petani Desa Dolokgede, Kecamatan Tambakrejo, Bojonegoro, mulai menanam tembakau. Sebab, jika tetap dipaksa padi, maka akan kering dan gagal tanam. Salah seorang petani, Parno menjelaskan, ia mempunyai lahan seluas satu hektare dan sebelumnya telah ditanami padi. Sekarang ini ia memilih tembakau Jawa agar tetap bisa bercocok tanam. “Kalau memaksa tanam padi, kebanyakan gagal panen. Karena sumber air telah kering,” terangnya. Tidak hanya itu, ketika kemarau tiba, pilihan menanam palawija seperti jagung dan kedelai, juga makin digemari. “Mayoritas tanah kering, lahan ini bisa ditanami padi hanya pada musim penghujan saja, Kami berharap tanaman tersebut bisa tumbuh dengan baik, serta harga jualnya mahal,” lanjut Parno.. Sementara itu, Camat Tambakrejo, Ngasiaji menegaskan, Muspika jauh-jauh hari sebelum kemarau datang telah mengimbau warga segera beralih menanam palawija. Karena, sebagian besar persawahan di wilayah Tambakrejo merupakan sawah tadah hujan. “Jika tetap mamaksa padi, maka petani akan kesulitan air. Oleh karena itu, telah diarahkan untuk menanam tembakau atau palawija,” tegas Ngasiaji. [*]
Wawancara Eksklusif dengan Kepala BPBD Andik Sudjarwo
Atasi dari Sumber Masalah Memasuki musim kemarau atau waktunya keringan di Kabupaten Bojonegoro, banyak desa yang merasakan dampaknya. Terutama kekurangan air bersih. Selama ini, ketika musim kemarau, masyarakat mendapat suplai air bersih, baik dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), maupun stakeholder terkait, salah satunya operator Minyak dan Gas Bumi (Migas). Namun sebenarnya itu tidak mengatasi masalah, atau sifatnya hanya sementara. Lantas, bagaimana mestinya menangani masalah kekeringan, terutama tersedianya air bersih? Dan bagaimana kondisi Bojonegoro pada saat kekeringan dan tahun kemarin sempat ditetapkan “Darurat Kekeringan”? Berikut wawancara eksklusif reporter blokBojonegoro (bB) Parto Sasmito bersama Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bojonegoro, Andik Sudjarwo (AS). bB: Pada bulan berapa Bojonegoro memasuki musim kemarau atau kekeringan? AS: Melihat dari kebutuhan masyarakat akan air bersih yang biasa kami dropping sesuai permintaan, musim kemarau atau kekeringan di Bojonegoro bisasanya mulai bulan Agustus, dan berlangsung sampai awal atau bulan November mulai turun hujan secara intens/terus menerus. Di bulan Juli ini, sementara belum ada permintaan dari masyarakat yang membutuhkan air bersih. Namun, di sejumlah daerah informasinya lahan sawah tadah hujan telah kering. bB: Adakah peta wilayah kekeringan di Bojonegoro? AS: Hampir semua wilayah di Bojonegoro walaupun tidak semua desa di kecamatan, tapi hampir merata mengalami kekeringan. Ada kategori kekeringan langka dan kekeringan kritis? Bahkan, wilayah yang dekat dengan Bengawan Solo juga terkadang kesulitan air bersih, karena sumber tidak mengeluarkan air. bB: Apa perbedaan kekeringan langka dan kekeringan kritis? AS: Dimaksud dengan
kekeringan langka itu suatu kondisi di mana masyarakat mencari air dalam radius tiga kilometer (Km) dari rumahnya. Sedangkan kekeringan kritis, mereka yang mencari air bersih lebih dari 3 Km dari kediamannya. bB: Apa penyebab kekeringan yang melanda hampir di seluruh wilayah Bojonegoro? AS: Yang pertama adalah karena dampak rusaknya lingkungan. Banyak hutan yang gundul, sehingga tidak bisa menyimpan cadangan air. Kedua, bisa jadi sasaran program dari SKPD belum tepat dan harus dievaluasi. Artinya, program sudah dilakukan di mana saja, tapi kerusakan lingkungan memiliki kecendrungan naik, jadi belum bisa untuk mengatasi masalah kekeringan. bB: Solusinya seharusnya bagaimana untuk mengatasi kekeringan di Bojonegoro? AS: Kami bersama SKPD, yakni Dinas Pengairan, Dinas Pekerjaan Umum (DPU), Badan Lingkungan Hidup, Dinas Perhutanan dan Pekebunan, ESDM, duduk bersama untuk mengkaji dan mengevaluai program yang sudah dijalankan. Hal itu agar lebih bisa sinkron program agar benarbenar bisa mengatasi kekeringan dari akar masalahny a .
bB: Apa yang sudah dilakukan oleh BPBD selama ini untuk mengatasi kekeringan? AS: Setiap musim kemarau atau kekeringan tiba, banyak masyarakat yang membutuhkan air bersih. Karena memang itu menjadi kebutuhan utama dalam hidup. BPBD Bojonegoro sudah ada empat pos, yakni di Kecamatan Kota, Baureno, Temayang dan Kecamatan Padangan. Di masing-masing pos, selain mobil pemadam kebakaran, kami menyiapkan 3 armada untuk melayani permintaan air bersih. Masyarakat yang butuh dropping air bersih bisa menghubungi pos yang paling dekat dengan wilayahnya. bB: Selain dropping air bersih, ke depan ada rencana atau strategi apa untuk mengatasi kekeringan? AS: Di Bojonegoro ada 30 titik kekeringan yang belum bisa diatasi oleh SKPD. Memang dropping air bersih sudah dilakukan. Selain BPBD, Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial (Disnakertransos) Pemkab Bojonegoro juga mempunyai armada, selain itu operator Migas di Bojonegoro juga banyak yang juga dropping air bersih. Upaya itu memang bisa mengatasi masalah kekeringan, tetapi air habis, warga kebingungan lain. Sifatnya tidak bisa permanen, hanya sekali saja. BPBD mempunyai strategi, yakni dengan sumur bor portable yang kami miliki untuk mengebor sumber air. Kami bekerjasama dengan Pemerintah Desa menggunakan dana sharing respon bencana, untuk membeli kebutuhan masyarakat seperti pompa listrik atau pompa tangan dan pipa. Dengan membuatkan sumber air menggunakan sumur bor portable, tidak perlu ada dropping air lagi di wilayah tertentu. Sementara ini sudah kami buatkan sumber dengan kedalaman sampai 50 meter itu di Desa Bobol dan Bareng, Kecamatan Sekar, serta di Desa Bakalan, Kecamatan Tambakrejo, dan hasilnya juga bisa untuk mencukupi kebutuhan masyarakat di sana. Target kami, di tahun ini 30 titik kekeringan di Bojonegoro itu bisa teratasi dengan sumber air. Sehingga tahun depan tidak lagi ada masalah kekurangan air bersih. bB: Kalau boleh tahu, seperti apakah sumur portabel itu? AS: Awalnya memang kebetulan saya mempunyai teman SMA yang saat ini ada di Pusdiklat Migas. Dia saya minta mem-
buatkan jenis alat portable drilling untuk mengebor sumber air, dan bisa dipakai dengan mudah oleh dua orang walaupun tidak kualiikasi di bidang pengeboran. Akhirnya dibuatkan alatnya yang berupa mesin yang dioperasikan seperti menggunakan gas dan kopling. Alat itu bisa dipakai dengan mudah untuk mengebor dari kedalaman 10 sampai 50 meter. bB: Memasuki musim kemarau atau kekeringan yang sebentar lagi atau sekarang sudah mulai terasa, adakah himbauan kepada masyarakat? AS: Memasuki musim kemarau, ada banyak potensi bahaya. Kekeringan itu pasti salah satunya. Karena kondisi alam yang rusak ini sudah semakin parah, mau tidak mau dan harga yang harus dibayar adalah memperbaiki atau setidaknya mencegah, agar tidak tambah parah dengan menyelamatkan sumber air melalui penghijauan. Selain kekeringan, bahaya kebakaran juga mengancam. Untuk itu, kami mengimbau kepada masyarakat Bojonegoro, yang pertama untuk mengecek kembali kabel-kabel. Sebab kebakaran juga bisa dikarenakan korsleting listrik. Untuk itu mintalah orang yang ahli lsitrik, agar tidak asal dan sembarangan memasang kabel. Yang kedua, periksa tabung LPG, regulator, selang dan kompornya, agar benar-benar aman dari kebocoran gas. Tidak hanya asal pakai saja. Terakhir, hati-hati membak a r sampah dan membuat perapian ternak atau diang. Sebab, dengan membakar sampah pada musim kemarau rumput juga kering bisa merambatkan api dan melahap rumah yang terbuat dari kayu. Sementara perapian jika tidak dijaga juga bisa mengakibatkan kebakaran. Jika terjadi kebakaran, sebaiknya langsung menghubungi 113, agar penangannya lebih tepat. Karena di musim kemarau persediaan air di masyarakat terbatas, jika digunakan untuk memadamkan api juga tidak mencukupi, belum lagi risiko bahaya lainnya karena ada aliran listrik di area kebakaran yang belum dipadamkan. Jadi tidak bisa sembarang, harus terlatih menangani. [*]
Andik Sudjarwo Kepala BPBD Pemkab Bojonegoro
Usaha Rumah Joglo
Klasik, Antara Seni dan Rupiah Di zaman serba modern seperti sekarang ini, rumah joglo yang dahulu kala menjadi rumah adat masyarakat Jawa, masih menjadi daya tarik sendiri. Meskipun gaya klasik, tapi ingat, harganya selangit. Di Kabupaten Bojonegoro, pengrajin pengolahan kayu jati maupun meubel berani menerima tawaran untuk mengerjakan rumah itu, meski susah mendapatkan bahan baku. Laporan: Parto Sasmito
D
i dalam Gang Suro, yang terletak di depan salah satu rumah sakit di Jalan Lisman, tampak sebuah rumah yang masih diperbaiki. Rumah itu beda dari bangunan-bangunan di sekitarnya. Tidak seperti rumah pada umumnya, rumah itu mempunyai pilar besar dari kayu jati “kuno”. Tak hanya tiang, hampir semua kerangka rumah itu menggunakan kayu jati. Yang menarik, di bagian tengah langit-langit rumah ada susunan kayu jati dengan berbagai ukuran dan ukiran. Rumah serba kayu jati itu, biasa dikenal masyarakat dengan rumah joglo, yakni rumah klasik masyarakat Jawa. Priyayi yang dulu banyak memiliki, dengan ciri khas empat soko atau tiang yang ukurannya begitu mencolok, besar. Sedikit menelisik, ternyata rumah itu merupakan pesanan dari orang luar Kabupaten Bojonegoro yang sedang dikerjakan oleh Sanggar Fiesta milik Sutrisno. Warga Mlaten, RT 7/RW 1 Desa Campurejo, Kecamatan Kota Bojonegoro itu mengatakan, awal mula usahanya bukanlah mengerjakan rumah joglo, tapi usaha yang dimulai dari tahun 2002 dengan souvenir dan relief ukir kayu jati. Kemudian terus berkembang hingga sekarang. “Untuk pembuatan rumah joglo baru mulai satu tahun yang lalu ada orang yang pesan. Yang paling utama sebena-
rnya adalah membuat relief ini, tapi ada kesempatan untuk membuat rumah joglo, saya berani menerimanya dan ini tantangan tersendiri. Sentuhannya yang utama tetap harus seni,” ungkapnya. Selama satu tahun ini, ia sudah membuat 3 rumah pesanan dari Solo, Jakarta dan Madura. Untuk pembuatannya ia menyesuaikan dengan dana yang disiapkan pemesan. Setelah itu baru merancang, termasuk desain rumah dengan menggambar sketsa. Lek Tris, panggilan akrabnya menambahkan, harga rumah yang sudah jadi, bisa mencapai miliaran rupiah. Harga itu tergantung dari ukuran soko atau tiang yang dipakai. Mulai dari ukuran 30cm x 30cm sampai Rp2miliar dan 34cm x 34cm mencapai Rp4,5 miliar. “Patokan harga tergantung ukuran tiang itu. Karena harga bahan bakunya mahal dan kadang susah dicari. Bahan itu juga dipakai untuk tumpang sari yang ada di langit-langit rumah. Untuk ukuran tiang 30x30, bentang 12 meter itu spesial Rp2 miliar sudah termasuk papan keliling, ukiran dan inishing,” kata pria 42 tahun ini. Lama pengerjaan rumah, membutuhkan waktu sampai 6 bulan. Setelah rumah jadi, untuk pengirimannya, rumah itu dibongkar dan diangkut dengan menggunakan truk. Kemudian sampai di tempat tujuan, rumah itu kembali diatat untuk didirikan. Membuat rumah blokBojonegoro/Parto Sasmito
SUTRISNO (baju hitam berdiri) saat mengawasi dari dekat pengerjaan joglo pesanan orang Jakarta di Dusun Mlaten, Campurrejo.
joglo, tingkat kesulitannya adalah saat mendirikan empat pilar utama terlebih dahulu. Karena selain ukurannya yang besar dan berat, tiang itu harus benarbenar berdiri sejajar agar presisi dan pemasangan rangkaian juga tepat. “Kita mengikuti selera dari pemesan,” lanjutnya.
blokBojonegoro/Parto Sasmito
UKIRAN di tengah atap yang menjadi khas joglo. Joglo Bojonegoro memiliki ciri yang unik dan berbeda dengan daerah lain.
Turut Lestarikan Warisan Budaya Dari usaha awal pembuatan souvenir dan relief, terutama Ayat Kursi, Asmaul Husan dan bahkan umat kristiani mengetahui relief perjamuan yang khas, sampai kini punya spesiikasi lain membuat rumah joglo. Rencana ke depan, Lek Tris ingin mengembangkan pembuatan seperti miniatur rumah joglo untuk melestarikan warisan budaya. “Sekaligus bisa untuk pengetahuan generasi mendatang. Kemarin waktu pertama mengerjakan rumah joglo sempat jadi tontonan, khususnya anak-anak, karena belum pernah melihat rumah dibuat sejak awal,” katanya. Lek Tris berharap, Kabupaten Bojonegoro yang mempunyai ciri khas joglo
dapat tetap dikenang oleh anak cucu ke depan. Bahkan, pemesan cukup mengagumi barang atau kayu dari Kota Ledre, selain berumur tua, juga kualitas nomor wakhid. “Untuk mendapatkan kayu berkelas, harus ke pelosok-pelosok. Sebab, masih banyak warga, terutama dulu keturunan priyayi, akan mempunyai simpanan “harta” berupa kayu yang begitu bagus. Dan pastinya mahal,” sambungnya. Belum lama ini, ada seorang pecinta seni dari Jakarta yang juga datang ke tempat usahanya. Bersamaan dengan kedatangan Tri Choesijanto, blokBojonegoro sempat berbincang-bincang mengenai joglo buatan Lek Tris. “Indah banget, padahal belum jadi sepenuhnya ini. Saya sudah berulang kali melihat joglo, tapi ini luar biasa. Pasti harganya juga selangit,” kata Bang Tri, begitu ia disapa. Bahkan, ia juga ingin memesan joglo, walaupun tidak semewah yang dikerjakan Lek Tris sekarang. Dirinya berharap bisa membawa joglo dari Bojonegoro ke tempat tinggalnya di Jakarta. [*]
Usaha Rumah Joglo
Dapat, Poles, Langsung Jual Saat Sutrisno warga Dusun Mlaten, Desa Campurrejo, Kecamatan Kota Bojonegoro menggarap pesanan dengan memulai penyusunan joglo dari awal, ada beberapa usaha rumah joglo lain di Bojonegoro yang memilih jalur pintas. Mereka tidak membutuhkan modal sampai miliaran, tetapi cukup melakukan nego dengan pemilik rumah, sepakat, memperbaiki dan dijual. Laporan: Parto Sasmito
blokBojonegoro/Parto Sasmito
RUMAH Joglo yang awalnya sudah kusam dan tidak menarik, diperbaiki di Jalan Pondok Pinang, Kota Bojonegoro untuk dijual.
U
D Jati Murni yang terletak di antara sawah, di barat Jalan Pondok Pinang, salah satunya. Dari jauh tampak sebuah rumah joglo yang masih dalam tahap penyelesaian. Yoshua Ginanjar, anak dari pemilik dan juga ikut mengelola usaha pengolahan kayu jati itu bercerita, awal usaha ayahnya itu berupa meubel sekitar tahun 1985 di Desa Kedaton, Kecamatan Kapas. Kemudian usahnya berpindah tempat ke Surabaya, Jakarta, dan akhirnya kembali ke Bojonegoro. Ia membuka usaha di Jalan Pemuda, lalu pindah dua kali di Desa Banjarsari, dan baru satu tahun
ini bertempat di Jalan Pondok Pinang, masuk Keluarahan Ngrowo, Kecamatan Kota Bojonegoro. “Awalnya memang usaha meubel. Baru sekitar tahun 2000-an mulai mengerjakan rumah joglo,” terang Yoshua. Berbeda dengan Sutrisno yang mengerjakan dari awal sesuai dengan pesanan, Yoshua lebih pada repro atau perbaikan rumah joglo yang sudah jadi. Rumah joglo biasa ia dapatkan dari desa-desa, seperti yang terakhir ia beli dari warga Siwalan, Kecamatan Sugihwaras, dan ada yang dibeli dari Jawa Tengah.
“Kondisinya waktu beli sudah rusak, di sini kami perbaiki dan jadikan lebih bagus, kemudian kami jual kembali. Kalau harus bikin dari awal, yang susah bahan bakunya, kami tidak mampu,” kata pria kelahiran Bojonegoro, 27 Juni 1986 itu. Untuk harga jual, rata-rata mulai 300 juta rupiah, tergantung harga beli dari desa dan perbaikan kerusakannya. Seperti rumah yang masih diperbaikinyasaat ini, sebenarnya sudah dikerjakan sejak tahun 2011, namun pengerjaannya dilakukan ketika longgar. Sebab rumah itu milik orang, selain minta diperbaiki juga minta dijualkan. Sejak tahun 2000 sampai sekarang, sudah banyak rumah yang diperbaiki dan
dijualnya. “Jumlah pastinya berapa saya lupa, yang jelas kalau ada yang pesan, kami kerjakan dengan waktu sampai 5 bulan, tergantung kondisinya,” kata putra dari pasangan Junaedi dan Sri Murni ini. Menurutnya, penggemar seni dan juga tempat tinggal yang unik, sekarang ini memilih ke joglo. Walaupun harganya mahal, tetapi jika melihat taksiran kayu, maka harga tersebut tidak sebanding. Apalagi jika pembeli sudah menyukai barang yang ingin diperoleh, maka akan langsung terbeli. “Klasik, itulah kesan pertama jika melihat rumah joglo. Saya mendapatkan awalnya sudah tak terawat, maka kami repro agar menarik,” sambungnya.[*]
Foto-foto: blokBojonegoro/Tim Infotorial
TIM Medical Disaster Community (MDC) STIKES ICSADA Bojonegoro tengah melakukan pemeriksaan dan juga pengobatan gratis bekerjasama dengan PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu dan dokter dari Puskesmas Ngroto, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora.
Pengobatan Massal untuk Dua Kelurahan Laporan: Tim Infotorial
PT PERTAMINA EP Asset 4 Field Cepu, bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Husada (STIKES ICSADA) Bojonegoro dan Puskesmas Ngroto, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora, memberikan pelayanan pemeriksaan gratis dan pengobatan massal untuk warga sekitar. Terutama di Kelurahan Ngelo dan Karangboyo, Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Kegiatan berlangsung pada Jumat akhir Mei 2015. Sejak pagi halaman kantor Kelurahan Ngelo yang berada di sekitar Pusat Penampungan Produksi (PPP) Menggung sudah dipenuhi warga yang ingin mendapatkan pemeriksaan dan pengeboatan. Ada pula warga yang baru datang, kemudian mendaftarkan diri dengan membawa kupon ke teras kantor kelurahan. Di sana, ada petugas yang mencatat data diri warga, mengarahkan untuk antre dan membawa ke dalam lokasi pemeriksaan. Di dalam kantor kelurahan sudah ditata sedemikan rupa, dengan deretan meja leter menyerupai huruf U, tampak siap untuk melakukan pemeriksaan. Di deretan meja pertama, ada petugas yang memeriksa tekanan darah, setelah itu dua dokter tampak memeriksa pasien dengan stetoskopnya dan mendengarkan keluhan pasien, kemudian memberikan selembar kertas resep obat. Di meja ketiga yang tampak antre adalah pemeriksaan gula darah, kolesterol dan asam urat. Juga di bagian pengambilan obat, sesuai dengan resep yang telah diberikan dokter kepada pasien. Warga yang keluar dari kantor kelurahan tampak puas dengan pelayanan yang telah mereka dapatkan. Salah satu warga, Sukis mengaku kegiatan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan massal yang dilaksanakan PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu bekerjasama dengan STIKES ICSADA Bojonegoro dan Puskesma Ngroto dinilai sangat membantu masyarakat.
“Bagi warga yang tidak mampu, kegiatan ini sangat membantu karena sehat itu mahal harganya. Di sini warga bisa berobat gratis, atau memeriksakan kesehatan, karena terkadang kita tidak tahu, badan kita kayaknya sehat tapi sebenarnya ada yang sakit. Jika kita periksakan bisa tahu sejak awal dan bisa mencegah agar sakit kita tidak semakin parah,” terang pria 49 tahun tersebut. Bapak dari dua anak yang mempunyai keluhan hipertensi atau tekanan darah tinggi tersebut, biasanya melakukan pemeriksaan pada dokter atau ikut dalam pemeriksaan rutin yang dilaksanakan di lingkungannya setiap sebulan sekali, pada pertengahan bulan. “Tekanan darah terkadang sampai 190, terakhir periksa 3 minggu yang lalu di pemeriksaan rutinan 170 dan barusan periksa sudah turun di 161. Kalau ikut pemeriksaan rutin di lingkungan, jika ada obatnya harus bayar Rp5.000. Tapi ikut di sini semuanya gratis,” tutur warga Kelurahan Ngelo tersebut. Hal senada diungkapkan warga Kelurahan Karangboyo yang mengikuti pemeriksaan dan pengobatan masal di kantor Kelurahan Ngelo, Sutinah yang juga menderita hipertensi ini memanfaatkan kesempatan tersebut untuk berobat. “Selain darah tinggi, saya juga ingin berobat karena batuk sudah seminggu tidak sembuh,” ungkapnya. Perempuan yang tinggal dekat dengan PPP Menggung tersebut berharap kegiatan pemeriksaan dan pengobatan massal bisa sering dilaksanakan, karena sangat membantu warga, khususnya yang tidak mampu. Selain itu, memudahkan warga tidak perlu pergi jauh kalau berobat. Kegiatan pengobatan masal untuk warga Ngelo dan Karangboyo, dilaksanakan dua kali bersama Puskesmas Ngroto, Kecamatan Cepu. Kepala Puskesmas Ngroto, Sugiharti mengatakan bahwa pengobatan yang berlangsung
mulai pukul 07.30 WIB hingga pukul 11.30 WIB tersebut merukapan kegiatan yang kedua. “Pengobatan pertama dulu dilaksanakan di dekat lokasi PPP Menggung. Perbedaannya kalau dulu hanya pengobatan saja dan yang ikut sedikit, untuk kali ini ada rangkaian kegiatan yang diawali dengan penyuluhan kesehatan,” papar wanita asal Desa Batokan, Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro tersebut. Wanita berusia 44 tahun itu menambahkan, selain penyuluhan dan pengobatan, pada kegiatan yang ke-2 ini, dari pihak PT. Pertamina EP Asset 4 juga menggandeng STIKES ICSADA Bojonegoro untuk memberikan pemeriksaan gula darah, kolesterol dan asam urat. Serta penyuluhan kesehatan. “Dari pengobatan ini, kami tahu, kebanyakan penyakit yang diderita 2 kelurahan ini selain faktor usia, adalah darah tinggi, diabetes dan saluran pernafasan pada usia 30 ke atas,” imbuhnya. Warga Antusias dan Senang Public Relations (PR), Government Relations (Govrel) dan Corporate Social Responsibility (CSR) Staff PT. Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, Aulia Arbiani menjelaskan, bahwa pemeriksaan dan pengobatan massal yang bekerjasama dengan Kampus Ungu STIKES ICSADA Bojonegoro dan Puskesmas Ngroto, merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial perusahaan. “Selain pemeriksaan dan pengobatan masal, yang menjadi paket dalam kegiatan ini, ada penyuluhan kesehatan dan tanggap darurat bencana. Harapannya agar masyarakat bisa tahu bagaiman hidup sehat dan aman dalam lingkungan atau di wilayah minyak dan gas bumi (Migas),” ujar Aulia. Ketika pemeriksaan dan pengobatan massal berlangsung, tak kurang dari 400 kupon untuk warga yang ingin berobat, dengan pembagiannya diserahkan pada
pihak kelurahan. “Ada 300 kupon untuk warga Kelurahan Ngelo dan 100 untuk warga Karangboyo yang rumahnya berdekatan dengan lokasi PPP Menggung. Tapi, pendaftar terus bertambah dan begitu banyak,” imbuhnya. Kepala Kelurahan Ngelo, Suparti menyambut baik kegiatan yang diberikan oleh PT. Pertamina EP Asset 4 Field Cepu. Melalui pengobatan massal, warga sangat terbantu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. “Ini kegiatan yang ke-2 setelah tahun 2013 kemarin. Kami berharap kegiatan seperti ini bisa berkelanjutan,” harapnya. Lurah yang mejabat sejak tahun 2013 tersebut berharap, selain pengobatan massal, ada fasilitas kesehatan bagi warga yang ada di sekitar lokasi kegiatan Migas, terutama PPP Menggung. Seperti kartu sehat untuk berobat kepada tim medis yang ada di Pertamina. “Sewaktu-waktu masyarakat butuh berobat, mereka bisa berobat ke sana,” pungkasnya. Terpisah, Kaprodi S1 Keperawatan STIKES ICSADA Bojonegoro, Ferawati, selaku penanggung jawab program menerangkan, bahwa kegiatan tersebut baru pertama kalinya dilaksanakan bersama pihak PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu. Sebab, pemeriksaan gratis dan penyuluhan kesehatan termasuk satu paket dengan program pengabdian masyarakat (abdimas) kampus, dengan nama Medical Disaster Community (MDC). “Dari hasil pemeriksaan kesehatan, ternyata masih ada temuan-temuan baru di lapangan. Kami berharap kerjasama untuk warga di Kelurahan Ngelo dan Karangboyo bisa berkelanjutan. Jadi tidak hanya berhenti sampai di sini saja, tapi ada MDC 1, MDC 2 dan seterusnya,” tegasnya. Pihaknya juga berterima kasih kepada PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu dan Puskesmas Ngroto atas kerjasamanya yang baik.[*]
Lagi, Bantu Korban Kebakaran Laporan: Tim Investigasi
KONTRAKTOR Engineering, Procurement and Constructions (EPC) 1 Lapangan Banyuurip, Blok Cepu, PT Tripatra, terus menebar kasih terhadap warga di sekitar lokasi proyek. Salah satunya dengan menggandeng Pemerintah Desa (Pemdes) Ngraho, Kecamatan Gayam. Akhir minggu kedua di Bulan Juli 2015, manajemen perusahaan nasional tersebut memberikan bantuan tali asih berupa uang tunai kepada korban kebakaran di desa setempat. Hubungan Masyarakat (Humas) PT Tripatra, Budi Karyawan mengatakan, bantuan tersebut sebagai bentuk tanggungjawab dan kepedulian perusahaan terhadap warga sekitar di wilayah operasi. Meski tidak seluruh biaya ditutupi oleh Tripatra, namun setidaknya bisa membantu mengurangi beban hidup korban, yakni Mbah Kasiyun. “Setidaknya bersama-sama dengan masyarakat Ngraho dan beberapa badan/perusahaan/lembaga lain, keluarga Mbah Kasiyun bisa kembali menempati rumah bersama keluarganya,” ujar Budi. Sejak beraktivitas di Kabupaten Bojonegoro, PT Tripatra selalu berbagi dengan warga, mulai meningkatkan skill perusahaan lokal, kapasitas tenaga kerja, sampai dengan tanggungjawab perusahaan. Pengobatan gratis yang masih rutin digelar kepada warga di 12 desa yang ada di Kecamatan Gayam cukup berdampak dan mendapat sambutan yang sangat antusias. “PT Tripatra cukup antusias dengan sambutan hangat warga. Kami akan terus berbagi selama masih ada pekerjaan di Blok Cepu,” lanjutnya. Sementara itu Kepala Desa (Kades) Ngraho, Samat mengatakan, setelah melalui rapat bersama perangkat desa, pihaknya memutuskan turut membantu Mbah Kasiyun. Menurut dia, ini merupakan kewajiban kepala desa sebagai orang tua bagi warganya, guna meringankan beban korban sekaligus rasa solidaritas dan kepedulian terhadap nasib sesama. “Kami berharap, bantuan tersebut bermanfaat. Insyaallah bantuan itu cukup kalau digunakan untuk mengganti papan dan kayu di bagian atap yang hangus terbakar,” ucap Kades yang akrab disapa Bang Shomad ini. Pihaknya juga berterima kasih atas kerjasama kontraktor EPC 1 PT Tripatra yang peduli akan warga di sekitar proyek. Sebab, hal itu bisa semakin mempererat hubungan antara perusahaan dengan masyarakat tempat mereka bekerja. “Semoga akan semakin dekat dan ke depan ditingkatkan lagi. Apalagi, PT Tripatra juga telah rutin menggelar pengobatan gratis,” sambungnya. Mbah Kasiyun Terharu Mbah Kasiyun yang ketika itu bersama istrinya, Karti, merasa terharu dan senang menerima bantuan tersebut. Dia juga mengucapkan terima kasih banyak kepada PT Tripatra dan Pemdes Ngraho. “Uang ini akan saya pakai untuk merenovasi rumah yang sebagian hangus terbakar. Setelah itu segera akan kami
blokBojonegoro/Muhammad Fatoni
MBAH Kasiyun tengah menerima tali asih dari Kontraktor EPC 1 Lapangan Banyuurip, Blok Cepu, PT Tripatra Engineers and Constructors untuk bisa membangun rumahnya yang terbakar.
tempati lagi,” ujar Kasiyun dengan mata berkaca-kaca. Seperti diketahui, rumah Kasiyun terletak di Desa Ngraho RT12/RW2, Kecamatan Gayam, Kabupaten Bojonegoro, hampir ludes dilalap si jago merah pada minggu kedua di Bulan Juni 2015. Saat itu api muncul pertama kali diduga berasal dari puntung rokok yang menyambar tumpukan jerami di sebelah barat depan rumah berdinding kayu itu. Menurut keterangan warga setempat, Jaswadi, peristiwa terjadi sekitar pukul 14.00 WIB. Api diketahui pertama kali oleh Narti, tetangga Kasiyun, yang ketika itu sedang di depan rumah. Melihat api membumbung tinggi ia pun berteriak meminta bantuan warga sekitar untuk memadamkan api dengan alat seadanya. Warga yang mendengar langsung bergegas mendatangi rumah Kasiyun dengan membawa ember, panci, dan bak berisi air dari sumur. Sebagian warga berusaha mematikan saklar listrik agar kobaran tidak makin membesar. Usaha warga tersebut tak sia-sia, sebab api bisa dipadamkan dalam waktu singkat. Si jago merah juga tidak sampai membakar seluruh bangunan rumah yang berdinding kayu mudah terbakar tersebut. “Tidak ada korban jiwa, hanya kerugian materiil. Sebagian papan rumah ludes dan genteng ambrol,” ujar Jaswadi, warga Desa Ngraho. Walaupun api berhasil dipadamkan, tetapi kondisi rumah Mbah Kasiyun tidak layak dihuni. Oleh karena itu, berkat bantuan dari PT Tripatra bersama Pemdes Ngraho, kini Mbah Kasiyun yang sudah berusia lanjut bisa kembali bersama keluarga menempati rumah yang awalnya setengah lebih hangus terbakar itu.[*]
blokBojonegoro Goes to School (bB-GtS)
Tanam 10.000 Pohon di Blora Laporan: Tim Investigasi
GERAKAN Menanam dan Menulis yang dirintis blokBojonegoro Media bersama PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu kembali digelar. Kali ini sebanyak 10.000 bibit untuk 10 lembaga pendidikan tingkat SMA/ SMK/MA di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kegiatan dimulai di SMA
ulis dilakukan di awal dan akhir tahun. Tingkatannya juga berbeda, dan program ini menyasar langsung siswa, sehingga bisa berkelanjutan. Sementara itu Kepala SMAN 2 Blora, Yuni Nikwati menyambut positif kegiatan penanaman pohon dan pelatihan menulis. “Sebagai sekolah Adiwiyata, kami sangat
ikut menanam di sekolah. Tidak hanya itu, saat pulang siswa juga diminta membawa bibit dan pupuk, serta menulis ceritanya. Kepala SMK Al-Ghozali, M. Muqorrobin dalam sambutannya menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang hadir, serta Tim bB-GtS dan PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu. “Ini adalah program pertama, yaitu pelatihan jurnalistik yang dipadukan dengan menanam bibit serta merawatnya hingga mengamatinya beberapa bulan ke depan. Luar biasa,” tambahnya. Salah satu s is wi, U lfa Alfiana sangat senang dengan adanya
k e -
Negeri 2 Blorapada Kamis awal Minggu pertama di Bulan Juni 2015. Kegiatan tersebut ditandai dengan penanaman pohon di halaman sekolah. Sedangkan setiap siswa juga diberi dua bibit untuk ditanam di rumah. Mereka mempunyai tugas merawat tanaman tersebut sampai besar. Selama beberapa bulan ke depan, setiap siswa diharapkan mengamati pertumbuhan tanaman dengan menulis. “Ketika nanti ada lomba menulis, mereka bisa membuat karya tulis. Mulai dari menanam sampai pertumbuhannya,” ujar Pemimpin Redaksi blokBojonegoro.com, Joel Joko saat memberikan sambutan. Dikatakan, kegiatan di Blora berlangsung setelah sebelumnya di Kabupaten Bojonegoro. Hampir setiap tahun, program Menanam dan Men-
mendukung kegiatan ini dan sekaligus bisa menimba ilmu,” ujar Kepala Sekolah berhijab ini. Senada, perwakilan Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Blora, Kardi mengakui, belakangan ini penghijauan harus semakin digalakkan. Terutama bagi kelangsungan hidup di masa yang akan datang. Sebab, cuaca semakin panas karena hutan mulai rusak. Setelah SMAN 2 Blora, giliran ratusan siswa SMK Al-Ghozali dan MA Miftahul Amal, Desa Jiworejo, Kecamatan Jiken, Blora, Jawa Tengah menerima program yang sama. Kegiatan yang dihadiri Sekretaris Kecamatan (Sekcam) Jiken, Kapolsek, Danramil dan Ketua Yayasan, serta seluruh guru. Acara sangat meriah, karena hampir semuanya
JADWAL PROGRAM MENANAM DAN MENULIS blokBojonegoro Media bekerjasama dengan PT Pertamina EP Asset 4 Field Cepu Hari/Tanggal Nama lembaga Alamat Kamis, 04 Juni 2015 SMAN 2 Blora Jl. Rembang Km. 4 Kota Blora. MA Miftahul Amal Jiworejo, Kecamatan Jiken Jum’at, 05 Juni 2015 SMK Al Ghozali Ds. Jiworejo Kec. Jiken Sabtu, 06 Juni 2015 SMA Muhammadiyah Jl. Ronggolawe No.6 Cepu Minggu, 07 Juni 2015 SMA Al Muhammad Cepu JL. Blora No 151, Cepu Senin, 08 Juni 2015 SMK Bhakti Mulia Jl. Raya Blora-Cepu Km4,Jepon Selasa, 09 Juni 2015 STM Muhammadiyah 2 Cepu Jl. Ronggolawe No. 99 Balun Kamis, 11 Juni 2015 SMKN 1 Blora Jl. Gatot Subroto KM.4.1 Blora Sabtu, 13 Juni 2015 SMAN 2 Cepu Randublatung Km. 5 Senin, 15 Juni 2015 SMK Santika Jiken Cabak-Bleboh, Jiken
giatan Menanam dan Menulis. Sebab, selama ini jarang media yang tu-
run langsung ke sekolah-sekolah untuk memberikan pelatihan gratis. Suasana cerita juga tampak di SMA Muhammadiyah Cepu, Kabupaten Blora. Sebab, acara menanam dan belajar menulis dilakukan bertepatan dengan berakhirnya Ujian Akhir Sekolah (UAS). Kegiatan yang dimulai pukul 11.00 tersebut diikuti kurang lebih 100 siswa dari kelas X dan XI dan dewan guru. Terbukti banyaknya siswa yang hadir meski kegiatan tersebut dilaksanakan usai ujian. “”Bibit pohon buah ini akan kita rawan dengan baik sampai bisa dipetik hasilnya. Dan tetap kami tekankan kepada siswa-siswi untuk mencintai lingkungan dan dunia tulis menulis (Jurnalistik),” lanjutnya. Tantangan Jelang Kemarau Karena ditanam tidak disembarang tempat atau yang bertanggungjawab, program Menanam dan Menulis lebih aman dibanding
cara lain. Danramil Jiken, Suyanto mengatakan, Program Menanam dan Menulis yang diselenggarakan blokBojonegoro Media bersama Pertamina EP Asset 4 Field Cepu merupakan program yang bagus, karena bisa mengenalkan cinta lingkungan sejak dini. Sekitar 1.000 bibit dan 2.000 k g p u p u k kompos diberikan kepada seluruh sekolah yang mengikuti program. Public Relations (PR), Government Relations (Govrel) dan Corporate Social Responsibility (CSR) Staff PT. Pertamina EP Asset 4 Field Cepu, Aulia Arbiani, menyambut gembira dengan berlangsungnya program di Blora. Karena, PT Pertamina ingin d e k a t dengan masyarakat. “Terutama lingkungan dan masyarakat,” tambah Aulia Arbiani. [*]
Pondok Jurnalis ala LPM Kampus Ungu
MAGiC:Faishal Dany/Aimatus
34 anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kampus Ungu, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Insan Cendekia Husada (STIKES ICSADA) Bojonegoro setelah menyelesaikan Pondok Jurnalis di
Mangrove Center Tuban (MCT), Desa/Kecamatan Jenu, Kabupaten Bojonegoro.
DISELA-SELA menjalani puasa Ramadan, anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kampus Ungu STIKES ICSADA Bojonegoro tetap semangat beraktivitas. Salah satunya dengan menggelar Pondok Jurnalis di Mangrove Center Tuban (MCT), Desa/Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jumat di awal pekan pertama Bulan Juli 2015. Kegiatan sebenarnya telah berlangsung sejak Kamis pagi dengan serangkaian jadwal materi, diantaranya analisis wacana media, manajemen media online dan cetak, serta teknik fotograi dan editing. Total peserta yang ikut ada 15 orang dari pengurus LPM Kampus Ungu, serta 19 crew magang dari semester II. Sementara itu pemateri yang dihadirkan oleh pelaksana antara lain General Manager (GM) blokBojonegoro Media, Muhammad A. Qohhar. Dan tampak juga Ketua STIKES ICSADA Bojonegoro, Hasan Bisri beserta Ketua Penjamin Mutu Kampus Ungu, Nurul Jariyatin. Pemimpin Umum LPM Kampus Ungu, Fatimatus Zahro mengatakan, jika kegiatan Pondok Jurnalis dimaksudkan sebagai penambah wawasan dan intelektualitas bagi anggota LPM Kampus Ungu. Bukan itu saja, selain materi-materi tersebut, juga dige-
lar salat tarawih berjamaah dan khotmil Quran secara serentak.
“Peserta begitu akrab, terutama pengurus dengan adik-adik kelas-
nya. Karena, pada saat kegiatan tersebut tidak ada pemisah antara senior dan junior,” terangnya. Dikatakan, jika kegiatan tersebut baru pertama dilakukan, karena memang LPM Kampus Ungu juga baru berulang tahun yang pertama. Tetapi, melihat semangat dan minat belajar pengurus dan crew magang, cukup memberikan harapan yang cerah akan masa depan LPM di kampus. “Materi yang dipilih juga sudah dijadwalkan untuk peningkatan kemampuan. Sebab, selama satu semester atau enam bulan, crew magang telah dibekali Sekolah Menulis ICSADA (SeMIc),” lanjut Iza, panggilan akrabnya. Salah satu peserta, Siti Soiana mengaku cukup senang karena ada kegiatan positif saat bulan Ramadan. Apalagi, materi-materi yang diberikan bisa menambah intelektualitas pengurus dan crew magang di LPM Kampus Ungu. “Kegiatan di LPM rata-rata bersinggungan dengan tulisan, wacana dan intelektualitas. Bisa dilihat kajian dan bedah buku setiap seminggu sekali, buletin yang terbit bulanan, majalah setiap semester dan meding seminggu sekali,” tambah Soi, mahasiswa cantik itu biasa disapa. Model keakraban antara pengurus dengan teman-teman magang patut diapresiasi. Awalnya komunikasi yang kaku antara kakak dan adik kelas, sekarang sudah cair.[*]
Pengirim: Sri Ernawati/Indah P Crew Magazine ICSADA (MAGiC)
Jelajah Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras
Berbatasan Hutan, Cukup Disenangi Offroader
blokBojonegoro/Parto Sasmito
JALUR menuju ke arah hutan yang ada di Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten Bojonegoro. Tidak sedikit warga dari luar kota yang melintasi jalanan tersebut, terutama offroader
Desa Drenges. Mungkin sebagian dari Anda ada belum pernah mendengar, apalagi berkunjung ke sana. Drenges adalah desa paling selatan di wilayah Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten Bojonegoro. Letaknya yang berada paling selatan membuat desa ini berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Kawasan hutan yang berbukitbukit menjadi idola bagi para pecinta mobil offroad. Offroader sering keluar masuk desa membawa mobil dengan suara meraung-raung. Laporan: Parto Sasmito
D
esa Drenges termasuk salah satu desa yang tergolong sulit dijangkau. Ia juga bisa dikategorikan desa terpencil, walaupun masih dekat dengan jantung kecamatan di pinggir hutan. Rute paling mudah menuju Desa Drenges, adalah melalui perempatan Kecamatan Balen menuju arah selatan dengan melewati beberapa desa di Kecamatan Balen dan Sukosewu. Dengan menempuh jarak sekitar 13 kilometer (Km), akan sampai di pertigaan Polsek Sugihwaras. Nah, dari pertigaan itu, belok kiri menuju Desa Bulu. Dari sini masih harus menempuh jarak 7 km melewati Desa Panunggalan dan Bareng. Masuk kawasan Desa Bareng hanya ditandai dengan adanya jembatan terbuat dari balok kayu dengan lebar sekitar 2,5 meter dan panjang 5 meter. Di dekat jembatan ada tugu desa berdiri kokoh. Kapala Desa Drenges,
Yaspingi menjelaskan, desa yang dipimpinnya memiliki tiga dusun dengan jumlah rukun tetangga (RT) ada 7 dan ada 2 rukun warga (RW). Sementara jumlah penduduk, jika dilihat dari jumlah pemilih tetap (DPT) dalam pemilihan umum ada 978 warga. Dari segi infrastruktur, terutama akses jalan, kades yang mejabat sejak 2007 itu mengakui di sepanjang desa sudah bagus dengan dipasang paving yang hampir merata. Namun rencana ke depan, masih ada penambaan paving, yakni untuk lingkungan atau jalan masuk gang dengan jumlah lima titik yang akan dipaving. ”Ada 50 meter, 100 sampai 200 meter yang rencana tahun ini akan dipaving,” ungkapnya kepada blokBojonegoro. Menurutnya, paving di jalan desa terbilang cukup bagus kualitasnya. Faktor lain adalah jarang ada mobil bermuatan berat yang masuk ke desa. Seperti jalan paving di jalan kampung
Dusun Nglantung yang pertama kali dipaving, sampai sekarang kondisinya masih bagus. Kecuali paving yang ada di ujung desa, tepatnya di pemakaman desa setempat yang menuju arah hutan. Di sana paving ambles dan belum diperbaiki. Jalan yang rusak tersebut, menurut kades adalah wajar. Lantaran sering dilewati mobil perhutani yang hendak mengirimkan pupuk ke hutan. Jika kondisi tidak hujan, biasanya mobil masuk ke hutan lewat jalan itu. Jalan tersebut juga sebagai alternatif jalur menuju Desa Bareng. Namun seringkali ada mobil yang hendak ke Bareng malah tersesat. ”Posisi sudah larut malam, bingung lokasinya di mana, malah tersesat sampai di ujung. Kondisi jalan becek, mau putar tidak bisa, mundur juga bahaya, karena posisi ada di tanjakan,. Akirnya jalannya jadi ambles,” sambungnya. Selain paving, rencana bulan Juli ini, juga ada renovasi jembatan kayu yang ada di desa tersebut. Seperti jembatan yang ada di perbatasan dengan Desa Sambeng, itu masuk Desa Drenges, kemudian jembatan menuju Dusun Krajan, dan satu lagi jembatan yang ada di RT 2. Pembangunan jembatan, sudah dibahas dalam musyarawah rencana pembangunan desa (Musren-
bangdesa) , dan didukung oleh pihak Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Jembatan dari kayu itu jika dilihat sekilas memang masih tampak kuat menerima beban mobil. Namun lantaran usia yang sudah tua, membuat pemerintah desa sangat berhati-hati. Jangan sampai ada kecelakaan akibat jembatan tersebut. Lalu Lalang Offroader Desa Drenges, biasa dilewati mobil offroad yang berasal dari dalam hutan, keluar dan lewat desa tersebut. Kondisi seperti itu menjadi pemandangan lumrah untuk warga Drenges. ”Hutan sekitar sering dipakai jalur offroad, dan keluarnya lewat desa sini. Kadang ada 50 sampai 70 mobil offroad sekali melintas,” terang bapak dari dua anak ini. Desa Drenges memang terletak paling ujung Kecamatan Sugihwaras. Namun ketika menyusuri jalan dari Dusun Drenges atau Krajan menuju hutan, medan jalan tanah di daerah perbukitan yang banyak ditanami jagung dan pohon jati, tampak tanah bekas dilalui oleh ban mobil sampai masuk ke dalam hutan. Tidak hanya satu tapak, kadang ada sampai empat jalur bekas ban berbeda yang dilewati dalam satu jalan menuju hutan. Salah satu warga Drenges. Basyir saat ditemui di hutan membawa seikat besar, rumput
dan semak di motornya mengatakan jalan di hutan itu bisa tembus sampai ke jalan utama. ”Kalau dari sini, belok kanan bisa sampai Dusun Malangbong, Desa Panjang Kedungadem, jika belok kiri, bisa sampai Babat, tapi medannya agak susah dan jauh. Kalau mau menelusuri hutan, juga bisa tembus sampai ke Temayang juga,” papar Basyir. Ditegaskan, keberadaan mobil-mobil jeep dengan modiikasi istimewa terkadang menjadi hiburan warga sekitar diselasela melakukan aktivitas. Termasuk belum lama ini ada puluhan mobil offroad yang melintas dengan kebanyakan penumpangnya orang Jakarta. “Kita tidak kaget ada mobilmobil jeep bagus melintas disini. Bukan hanya dari Bojonegoro atau Surabaya, tetapi kota-kota lain di Indonesia,” jelasnya. Sementara itu, seorang offroader asal Bojonegoro, Gatot Rian mengakui, kalau jalur melalui Desa Drenges memang sering menjadi tujuan pecinta offroad. Sebab, jalur tanjakan dan medannya cukup menantang serta digemari. “Sudah tidak terhitung lagi melintasi di Drenges hingga Tondomulo. Sebab jalurnya luar biasa dan ketika ada offroader ke Bojonegoro akan melalui Drenges,” tambah GeTe, panggilan akrab pria asal Kecamatan Gondang, Bojonegoro itu. [*]
Jelajah Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras
Perempuan Perkasa Gembala Sapi di Tengah Hutan Berada di wilayah hutan, membuat warga Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras banyak yang memelihara sapi. Hampir setiap rumah warga diisi beberapa ekor. Mereka yang mempunyai lebih dari tiga ekor, biasanya pada siang hari digembalakan ke tengah hutan. Maka, jangan heran jika ada gerombolan sapi berjalan di tengah hutan, itu bukan sapi liar, melainkan milik warga. Menariknya, sapi-sapi itu dilepas begitu saja tanpa ada tali yang mengikat kekang. Laporan: Parto Sasmito
P
agi menjelang siang. Jarum jam menunjuk pukul 09.00 WIB, warga Drenges sudah banyak yang menjalankan aktivitas masing-masing. Ada yang pergi ke sawah, atau kebun jagung yang berada di hutan, ibu-ibu rumah tangga ada yang mencuci baju, belanja atau beraktivitas di toko. Sementara itu, di jalan desa tampak rombongan sapi dengan lonceng di leher melintas. Di belakang sapi-sapi itu hanya ada satu orang yang menggembala, dengan memakai caping, kaos lengan panjang, celana training dan berselop. Sapi digiring menuju hutan. Beberapa saat setelah penggembala itu melintas, datang lagi rombongan sapi berikutnya menuju tempat yang sama. Begitu seterusnya. Hanya lokasi sapi diliarkan yang sedikit berjauhan. Salah satu warga Drenges yang menggembalakan sapinya ke hutan, Kiswan (40) mengatakan, setiap hari ia selalu membawa sapi-sapi yang berjumlah sekitar enam ekor itu untuk berbaur dengan sapi-sapi milik tetangga menuju ke hutan. ”Warga di sini yang punya tiga ekor sapi dikandangkan, tapi yang punya enam ekor atau lebih banyak digembala ke wana (hutan),” ungkapnya. Setiap hari, ia mulai membawa sapi-sapinya ke hutan sekitar pukul 09.00 WIB. Sapi itu dibiarkan makan semak-semak dan rumput yang ada di antara pepohan jati milik PT Perhutani. Sekitar pukul 15.00 WIB, sapi-sapi itu dibawa pulang dan dikemba-
blokBojonegoro/Parto Sasmito
KALAU di tempat lain perempuan menggembala kurang familier, hal itu sepertinya tidak berlaku di Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras, Kabupaten Bojonegoro. Sebab, setiap siang banyak dijumpai perem-
puan perkasa berada di tengah hutan. Tidak jauh dari lokasi mereka bersantai, ada belasan atau bahkan puluhan sapi dibiarkan mencari makanan sendiri.
likan ke kandang. Walaupun jumlah sapi yang digembala banyak dan tidak diberi tali, menurut warga Dusun Krajan, Desa Drenges itu, tidak begitu sulit menggiring sapi menuju kandang ketika pulang, karena sapisapi sudah terbiasa digembala. Mereka bisa tahu sendiri jalan pulang. Ia menambahkan, dibandingkan dengan memelihara sapi dengan dikandangkan, lebih mudah dengan digembala ke dalam hutan, karena tidak perlu susah-susah mencarikan pakan untuk sapi-sapinya. ”Tidak usah repot mencari rumput untuk makan malamnya, karena sapinya sudah kenyang makan sendiri. Untuk minumnya, biasanya minum air di sawah. Itupun kalau tidak kemarau panjang,” tutur Kiswan. Serba Perempuan Tak hanya di Dusun Drenges saja yang warganya mempunyai sapi yang dilepas di hutan untuk mencari pakan sendiri, tapi di Dusun Nglantung juga banyak warga yang mempunyai sapi dan digembalakan dengan cara yang sama. Bahkan, kebanyakan yang menggembala adalah
kaum perempuan sambil membawa bekal untuk makan siang. Salah satu penggembala dari kaum ibu ini malu-malu saat hendak diwawancarai dan enggan menyebut namanya. Tapi dia mengatakan bahwa setiap hari biasanya ibu-ibu dari Dusun Nglantung bersama-sama mengembala sapi ke dalam hutan mulai sekitar pukul 10.00 WIB. ”Kalau pagi, biasanya dikasih makan rumput dulu di kandang. Di sini banyak ibu-ibu yang angon sapi. Bapak garap sawah atau tegal dan mencari rumput untuk pakan malam atau pagi,” ungkap seorang ibu berusia sekitar 40-an tahun. Selain para ibu, di kawasan hutan yang dekat dengan sungai purba, Kedung Lantung ada juga pria paruh baya yang tampak menggiring sapinya agar tidak tertinggal terlalu jauh dari rombongan. Tamidi (45) mengaku setiap hari membawa sapisapinya yang berjumlah 10 ekor ke dalam hutan. ”Biasanya berangkat jam 10 atau 11, soalnya juga garap tegal yang ditanami jagung. Kadang juga mencari pakan untuk sapisapi ini sebelum berangkat,” ujar
warga RT 7, Dusun Nglantung tersebut. Jika warga memiliki banyak sapi selalu digembala ke dalam hutan, berbeda dengan warga yang mempunyai sapi hanya dikandangkan. Salah satu pria yang biasa disapa Pak Narti (51) mengaku memiliki empat ekor sapi yang dikandangkan. ”Saya punya sapi dulu dua, sekarang sudah punya anak dua. Semuanya saya kandangkan, tidak pernah saya bawa ke hutan,” katanya. Menurutnya, hampir semua warga Drenges punya sapi. Jika dibuat rata-rata, setiap rumah memiliki dua ekor sapi. Sudah menjadi kebiasaan warga di sana, jika hanya punya sapi kurang dari tiga ekor tidak pernah digembalakan, sedangkan yang punya lebih dari itu pasti dipelihara secara liar ke dalam hutan. ”Punya banyak sapi lebih mudah dipelihara bebas di hutan, sebaliknya jika punya sedikit lebih baik dicarikan rumput bisa disambi ke tegal atau sawah. Kalau saya mencari rumput untuk pakan bisa bolak balik 4 sampai 5 karung setiap hari,” tegasnya. Untuk menjual sapi, warga ti-
dak begitu menemui kesulitan. Karena jika ingin menjual, mereka akan menghubungi pembeli yang siap datang mengambil sapinya ke desa. Tidak ada waktu-waktu tertentu warga menjual sapinya, kecuali memang ada kebutuhan. Rata-rata, jenis sapi yang banyak dipelihara masyarakat Desa Drenges jenis sapi biasa, atau warga menyebutnya dengan sapi putih, karena memang banyak sapi berbulu putih daripada memelihara sapi jenis lain, karena dinilai lebih mudah untuk dipelihara. Harga jual sapi di sana berbeda-beda, tergantung dari umur dan berat maupun dihitung berdasarkan harga daging. Misal harga daging sapi adalah Rp100.000 per kilogramnya, jika berat sapi mencapai 100 kg, maka akan dihargai Rp10.000.000 per ekornya. Rata-rata sapi yang dijual warga di sana laku bisa sampai Rp12.000.000. Berbeda dengan sapi yang biasa disebut sapi jenis abrid atau merah, yakni berbulu cokelat. Untuk anak sapi jenis ini yang baru berusia hampir 1,5 tahun hingga 2 tahun, bisa laku sampai Rp7.000.000 per ekor. Bahkan, bisa lebih mahal lagi. [*]
S
iang sangat panas, seorang laki-laki berusia sekitar 40an tahun bertelanjang dada. Lokasinya di Dusun Krajan, Desa Drenges. Ia sibuk meratakan padi yang dijemur di pelataran rumahnya. Punggungnya yang kecoklatan karena sering terpapar sinar matahari, seakan sudah tak merasakan panas lagi. Dengan begitu telaten, ia meratakan padi di atas terpal dengan menggunakan kaki dan sapu lidi. Pak Kus, begitu ia biasa disapa mengatakan, padi yang dijemurnya itu hasil panen sekitar seminggu sebelumnya. Meski jumlahnya tak banyak, jika dijual tetap menguntungkan. ”Satu kilo kemarin harga gabah sekitar Rp3.500. Panen ini dijual untuk kebutuhan, sisanya untuk makan sendiri. Soalnya kalau untuk makan pasti lebih,” ungkapnya. Warga RT 3 itu menambahkan, kondisi tanah di Desa Drenges memang berbukit dan dikelilingi hutan. Untuk wilayah dengan tanah rendah, biasa ditanami padi. Sementara di lereng dan perbukitan atau di antara tanaman jati milik Perhutani, biasa ditanami jagung. Dalam satu tahun, petani di Desa Drenges, baik tanam padi maupun jagung, hanya bisa memanen dua kali saja. Sebab, pengairan lahan pertanian hanya mengandalkan air hujan atau biasa disebut pertanian sistem tadah hujan. ”Sumber air sebenarnya ada, namun perlu dibor dulu. Tapi air hanya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau untuk sawah jelas tidak mampu. Jadi kalau kemarau, biasanya nggak ditanami, karena tanahnya merekah,” jelas Pak Kus.
Kerjasama Warga-Perhutani Sementara itu, ketika menuju jalan ujung desa, akan sampai di daerah perbukitan dan hutan jati. Di sana, banyak terdapat tanaman jagung yang mendekati masa panen. Salah satu petani jagung, Saekun mengatakan, kebanyakan warga memanfaatkan lahan Perhutani untuk ditanami jagung. ”Biasanya Perhutani mengajak masyarakat untuk membuka lahan baru. Di antara pohon jati, petani menanam jagung. Tapi ketika jati sudah mulai besar, tidak bisa ditanami lagi, petani menunggu buka lahan lagi,” ujarnya. Simbiosis atau kerjasama antara Perhutani dan petani, diakuinya sama-sama menguntungkan. Satu sisi Perhutani bisa memakai tenaga petani untuk membuka lahan, seperti membersihkan sisa akar tunggak, kemudian juga ikut menjaga kelestarian hutan. Sementara petani mendapat keuntungan bisa menanam jagung, dan tidak ada bagi hasil dari panen jagung yang mereka tanam di lahan milik Perhutani. Warga memanen jagung, biasanya pertama pada sekitaran bulan Februari atau Maret. Sedang panen kedua pada Juni atau Juli. Biasanya petani menjual hasil panennya kepada tengkulak. Rata-rata harga jagung kering su-
blokBojonegoro/Parto Sasmito
SUNGAI purba yang berada di Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras, Bojonegoro, begitu cantik dengan batu khas berwarna putih dan cukup keras.
Jelajah Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras
Bertani Jagung di Sela Pohon Jati Hutan yang tepat di selatan desa, dimanfaatkan betul oleh warga Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras, Bojonegoro. Saat Perhutani membuka lahan hutan jati, warga diajak ikut serta. Kompensasinya, warga bisa menanam jagung di antara bibit jati yang ditanam. Hasilnya, lumayan besar. Untuk makan sehari-hari sudah lebih. Mereka juga menanam padi di ladang yang banyak mereka punya. Laporan: Parto Sasmito
dah butiran, per kilogramnya dihargai Rp2.500. Dia menuturkan, waktu menanam bibit, ia menghabiskan 1,5 kg bibit jagung. Ketika panen, hasilnya sekitar 400 kg atau 4 kwintal. Hasil itu terbilang besar, karena biaya pemupukan tak terlalu besar. ”Tergantung luas lahan dan tanamannya, kalau bagus dan sehat hasilnya juga banyak,” tuturnya. Kepala Desa Drenges, Yaspingi mengatakan, luas wilayah desa yang dipakai untuk rumah dan sawah ada 98,5 hektare. Sementara lahan yang ditanami jagung, sekitar 25 hektar. ”Lahan jagung, tergantung Perhutani mau buka lahan di mana,” katanya. Jenis bibit jagung yang ditanam, kebanyakan adalah jenis Pioner 32 dan Pertiwi. Menurut pengalamannya yang juga ikut menanam, dari 4 kg bibit, dibutuhkan waktu 100 sampai 105 hari untuk masuk masa panen. Dengan bibit sebesar itu menghasilkan 2 ton 2,5 kwintal. Jika dirata-rata, 1 kg bibit bisa menghasilkan sekitar 5,6 kwintal. Kades yang mejabat dua periode ini menambakan, pada masa menjelang panen, para petani jagung harus rela tidur di ladang jika ingin tetap bisa menikmati hasil panen. Sebab, babi hutan
atau celeng masih menjadi musuh utama petani. “Datangnya biasa malam hari, kalau tidak dijaga pasti sudah dirusak celeng. Kadang dijaga saja masih diserang bagian tengah ladang,” papar bapak dari dua anak itu. Meski banyak celeng, tidak ada warga yang berburu untuk dimakan atau dijual. Pemburu biasanya datang dari warga luar yang memang sengaja mencari celeng untuk dijual. Warga juga senang dengan adanya pemburu, karena bisa membantu mengusir atau menjaga ladang jagung mereka. Pemburu biasa diantar warga ke tempat yang sering diserang atau jalan lewat celeng menuju ladang jagung penduduk. Potensi jagung di Desa Drenges dengan memanfaatkan lahan milik Perhutani, berbanding lurus dengan potensi peternakan di desa tersebut, di mana rata-rata memiliki lebih dari 1 ekor sapi tiap rumahnya. Ketika musim panen tiba, warga yang mempunyai ternak juga gembira, karena tanaman atau tebon jagung bisa dijadikan pakan sapi mereka. Sumber Kedung Lantung Datang ke Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras, belum leng-
kap rasanya jika tak berkunjung ke sungai cantik yang dikenal dengan nama Kedung Lantung. Disebut begitu, karena berada di wilayah Dusun Nglantung. Akses menuju lokasi tersebut sudah melintasi jalan paving. Tapi jangan kaget, karena banyak kotoran sapi yang tercecer di sepanjang jalan, karena memang kebanyakan warga mempunyai ternak dan digembalakan di hutan. Jalan ke sungai purba, begitu masyarakat juga menyebutnya, sedikit susah, karena sepeda motor hanya bisa sampai di ladang jagung. Selebihnya harus jalan
kaki. Warga di dusun itu terkenal sederhana dan jujur, walaupun sepeda pengunjung ditinggal di pinggir jalan, tetap aman dan tak pernah ada kasus pencurian. Tapi kalau masih khawatir, motor bisa dikunci dobel. Jalan kaki lewat pematang di antara tanaman jagung dan melintasi semaksemak, dengan jalan naik turun, akan sampai di Kedung Lantung. Sungai ini mempunyai pemandangan yang indah, karena tebing dan batu-batu besar berwana putih dan bentuk unik, serta halus. Air yang mengalir di antara batu-batu besar itu jernih, dan banyak ikan-ikan kecil berenang di arus air dan di sela bebatuan. Namun sayangnya saat blokBojonegoro berkunjung ke sungai itu sore hari, ada anak-anak kecil yang sudah terlebih dahulu merusak keindahan dan ekosistem di sungai itu dengan cara meracuni ikan-ikan kecil memakai aputas. Akibatnya banyak ikan-ikan yang teler dan air menjadi keruh. ”Sudah sejak siang mencari ikan di sini, sengaja diobati pakai aputas biar dapat banyak ikan,” kata anak yang tidak mau ditanya namannya itu. Dengan tangan kosong, anakanak memunguti ikan wader dan gabus yang teler, serta merogoh celah di antara batu. Tampak anak-anak yang lain juga mulai berdatangan dengan membawa timba, kresek dan seser untuk mengambil ikan yang sudah teler. Di tempat lain, salah satu warga Nglantung, Yusuf (35) menjelaskan, nama lantung sendiri artinya adalah minyak, sedangkan dinamakan Kedung Lantung karena di cerukan batu di sungai itu ada sumber air yang keluar bersama minyak. ”Ketika yang keluar itu di atasnya ada seperti minyak. Dan ternyata itu memang minyak, namun tidak bisa dimanfaatkan, karena secara umur mungkin masih terlalu muda dan sumbernya kurang besar,” jelas Yusuf. Pada saat musim penghujan, biasanya kedung itu banjir dan arusnya juga lumayan deras. Sementara pada musim kemarau, airnya tetap ada, namun hanya mengalir kecil karena bagi petani yang mempunyai sawah di dekat kedung itu, biasanya dipakai untuk mengairi sawah. ”Jadi kalau kemarau ya airnya sedikit,” pungkasnya. [*]
blokBojonegoro/Parto Sasmito
IBU rumah tangga sedang membawa pulang pohon dari jagung untuk pakan hewan ternak.
Jelajah Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras
Pasar Jamur Tiram Tembus Luar Pulau Belum banyak yang tahu, bahwa di Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras, Bojonegoro, ada potensi agribisnis yang cukup besar. Yakni budi daya jamur tiram. Saat ini penjualan jamur dari Drenges sudah sampai ke berbagai pulau di Indonesia. Bahkan seringkali warga kewalahan melayani pesanan, karena kendala tempat dan tenaga.
blokBojonegoro/Parto Sasmito
PEMBUDIDAYA jamur tiram tengah mengecek kondisi jamur yang masih perlu beberapa hari untuk dipanen. Sedangkan lebih banyak yang masih belum berkuncup.
Laporan: Parto Sasmito
K
etika menuju ke Dusun Krajan, Desa Drenges, di kiri jalan ada sebuah rumah yang memiliki latar yang luas, dan di depan rumah terdapat musala. Di samping jalan itu, ada sebuah banner besar bertuliskan Drenges Tiram Center, Sentra Produksi Bibit Jamur Tiram Putih. Di rumah milik keluarga Muntawar itulah satu-satunya produksi jamur di desa tersebut. Tempat produksi bibit jamur, ada di samping dan belakang rumah. Saat blokBojonegoro berkunjung, Muntawar mempraktekkan bagaimana proses pembuatan bibit jamur tiram. Yakni diawali dengan pemilihan bahan yang tepat, seperti serbuk gergajian, kapur dan bibit jamur, agar hasilnya juga bagus. Untuk membuat baglog atau tempat jamur berkembang, dimulai dengan mengaduk bahan gergajian dan kapur, kemudian dipress ke dalam plastik dan diberi tutup menjadi seperti botol. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tong besar untuk dimasak. “Pembakaran atau proses masak butuh waktu sekitar 10 jam. Ukurannya adalah ketika bahan bakar gas LPG ukuran 3 kg ini habis habis dua tabung,” ungkapnya sambil membuka tutup tong tempat me-
masak yang masih hangat. Usai dimasak dan dibiarkan dingin, baru kemudian bibit jamur dimasukkan ke dalam baglog melalui lubang tutup botol dan kapas penutupnya. Kemudian ditempatkan khusus di tempat baglog selama satu sampai dua minggu hingga muncul warna putih dan jamur pada gergajian kayu warna cokelat itu. Dan baglog pun siap dikirim. Muntawar mengatakan, usaha produksi bibit jamur tiram adalah milik putranya yang ke-4, Prasetyo Handrianto yang dimulai sekitar empat tahun silam di daerah Kabuh, Kabupaten Jombang. “Dua tahun di sana, akhirnya dibawa pulang ke Drenges untuk dikembangkan,” jelas pria yang biasa disapa Pak Tris, nama panggilan anak pertamanya. Prasetyo Handrianto yang sibuk menjadi Dosen Akademi Farmasi Surabaya, saat dikonirmasi blokBojonegoro menceritakan awal mula usaha produksi bibit jamur itu ketika masih menjadi asisten dosen (asdos), membimbing skripsi mahasiswanya tentang budidaya jamur di daerah Kabuh, Jombang. “Awalnya sama-sama jalan, tapi berjalan dua tahun kurang kontrol, akhirnya saya bawa pulang e Drenges,” kata magister sains asal Universitas Negeri Air Lang-
ga (unair) Surabaya ini. Pria kelahiran Bojonegoro 21 April 1988 itu menjelaskan urutan proses pembuatan pembibitan jamur dimulai dengan pemilihan bahan, kemudian pengadukan, proses pengepakan, proses sterilisasi dengan pengukusan atau dimasak, selanjutnya pendinginan dan inokulasi atau penanaman bibt ke dalam baglog, dipindah ke tempat inkubasi, dan ditumpuk untuk penumbuhan selium, yakni warna putih di baglog, “Perawatannya disiram 3 kali sehari lewat tutup yang ada kapasnya itu, menggunakan air yang benar-benar bersih, artinya tidak asin atau berkapur, sampai muncul selium dan siap untuk dijual,” tuturnya. Jenis bibit jamur tiram yang dimilikinya ada empat, yakni F0, F1, F2 dan Baglog. Dari keempat jenis itu, rata-rata banyak diorder, bahkan penjualannya sudah ke berbagai pulau di Indonesia. mulai dari Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Makassar, Kalimantan, Pontianak Samarinda, Sumatra hingga Ujung Pandang. Kalau di Bojonegoro, jenis bibit paling banyak diminati adalah baglog, dengan pengiriman sudah ke berbagai kecamatan, seperti ke Sumberrejo, Ngasem, Kedungadem, serta ada salah satu pembeli dari
Solo yang memesan di Ngraho, langsung diarahkan ke Drenges. “Di sini bukan budidaya jamur tiram, tapi tempat produksi bibit jamur. Kemarin dari Solo yang pesan ke Ngraho langsung diarahkan kesini. Kalau jumlah penjualan ada sekitar 60.000 baglog dalam satu bulan,” papar bapak dari satu anak ini. Selama ini, penjualannya bisa ke berbagai wilayah karena dilakukan secara online. Alumni Mahasiswa Jurusan Biologi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu mengaku harus belajar secara otodidak untuk pemasaran secara online melalui blog, meskipun bukan bidangnya. Kendala yang ditemui selama menjalankan pembibitan adalah tenaga kerja. Memang usaha di desanya itu membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar, karena ada empat orang tenaga yang mempunyai tugas berbeda, dari proses produksi, tenaga angkut sampai sopir yang mengantarkan pesanan, namun kendala utama adalah tenaga produksi. “Biasanya baru bekerja itu sudah sesuai dengan standar operasional produksi (sop), tapi setelah satu bulan bekerja, biasanya mulai nggeleyor dan hasilnya juga tidak maksimal, padahal dibutuhkan ketelatanenan dalam usaha ini. Sementara ini solusinya setiap bekerja satu bulan, saya hentikan dulu atau ganti, bulan berikutnya baru membantu lagi,” terang alumni SMAN Sumberrejo tahun 2006 ini. Selain tenaga kerja, kendala lainnya adalah tempat produksi yang masih terbatas di rumah orang tuanya. Karena pesanan yang selalu datang dari berbagai wilayah, kadang membuatnya kewalahan untuk melayani, terkadang ia berhenti dulu untuk mempromosikan bibit jamur dan fokus pada produksi untuk memenuhi permintaan. Dari usaha pembibitan jamur tiram miliknya yang sudah banyak terjual ke berbagai wilayah di Indonesia, ia justru prihatin ketika melihat di Bojonegoro. Karena seakan pemkab kurang memberi perhatian untuk mengembangkan budidaya jamur tiram. Padahal, setiap kali ada mahasiswa dari UNAIR yang melakukan program kuliah kerja nyata (KKN) di masyarakat, selalu ia berikan program untuk pengembangan dan pengeolahan jamur tiram. Ia membandingkan dengan kebun belimbing di Kalitidu misalnya, jika di Bojonegoro ada tumbuhan bisa hidup dan jumlahnya banyak, harganya cenderung murah. Tapi berbeda dengan jamur tiram yang biasanya hidup di daerah lembab, tapi di Bojonegoro dengan bantuan alat dan teknologi juga bisa dikembangkan. “Misalnya di buat sentra budidaya dan pengolahan jamur tiram di tempat wisata. Selain pengunjung bisa rekreasi, juga bisa melihatproses atau menikmatai sajian makanan dari jamur, seperti crispi, sate hingga keripik jamur tiram,” harapnya. Adanya tempat produksi bibit jamur tiram di Desa Drenges, mendapat apresiasi dari Camat Sugihwaras, Harianto karena bisa membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Diakuinya, saat ini memang kendalanya adalah pengembangan dari usaha tersebut dan masih banyak dari masyarakat yang belum mengenal jamur tiram. “Semoga ke depan bisa dikembangkan, dan banyak masyarakat mengikuti jejak untuk membuat usaha pembibitan ataupun budidaya jamur tiram. Jika banyak yang mempunyai usaha itu, juga bisa membuka lapangan pekerjaan,” ujar Harianto. Harapannya mulai tumbuh saat beberapa warga tertarik dan semakin banyak yang belajar dengan tekun. [*]
Ramai-Ramai Berbagi Saat Di Bulan Suci Berbagai cara dilakukan oleh anggota masyarakat saat bulan suci Ramadan tiba. Diantaranya berderma ke yatim-piatu atau membagi takjil gratis sebelum berbuka puasa. Beberapa titik di Kota Bojonegoro selalu ramai oleh kegiatan tersebut. Laporan: Dita Afuzal Ulya
S
alah satunya yang sering melakukan kegiatan seperti itu adalah Komunitas Elly & Friend, serta belum lama ini bekerjasama dengan JCI Chapter Bojonegoro. Akhir Juni 2015, mereka menggelar kegiatan sosial, diantaranya menyumbangkan sembako dan buka bersama anak yatim-piatu di salah satu panti asuhan di Kota Bojonegoro. Yakni Panti Asuhan Darul Ma’arif. Ketua Komunitas, Ruben Kurniawan mengatakan, meskipun bulan puasa komunitasnya tetap giat melakukan kegiatan sosial. Sembako
yang di sumbangkan untuk anak yatim-piatu seperti mie instan, minyak goreng, beberapa bingkisan dan baju yang masih layak dipakai. “Tidak hanya hari biasa saja, ketika puasa berlangsung teman-teman tetap semangat untuk mengadakan kegiatan sosial,” ujarnya. Menurutnya jika momentumnya tepat, sebab di bulan Ramadan ini menjadi kesempatan untuk berlomba-lomba mendapatkan pahala, salah satunya dengan cara berbagi dan bersedekah kepada saudara yang membutuhkan. “Kegiatan sosial di bulan puasa Insya Allah berjalan seminggu
blokBojonegoro/Dita Afuzal Ulya
ELLY bersama dengan komunitas tengah berbagi di salah satu panti yatim dan piatu di Kota Bojonegoro.
sekali. Semoga bermanfaat untuk sesama,” tambah penggagas acara yang juga pendiri Elly & Friend, Mbak Elly. Seminggu sebelumnya, Elly & Friend- JCI Chapter Bojonegoro juga melakukan aksi serupa, tetapi kali ini dengan mengajak buka bersama anak jalanan dan sejumlah tukang becak di depan Terminal Rajekwesi, Kota Bojonegoro. Tepatnya di Jalan Veteran. Kegiatan rutin tahunan itu memba-
gi 150 takjil. “Kita berbagi bukan karena kaya, tapi karena kita pernah juga merasakan susah,” ungkap Ruben. Selain membagikan takjil, para pemuda itu juga menyosialisasikan bahaya narkoba untuk kehidupan. Terlebih sasaran pembagian takjil ini juga anak-anak kecil yang perlu mendapatkan edukasi lebih lanjut tentang bahaya narkoba. “Kita juga peringati Hari Narkoba,” katanya. [*]
Baca Al-Quran dengan Langgam Jawa, Boleh? Oleh: Shu’udin Azys *Penulis: adalah kader muda NU, tinggal di Kepohbaru, Kabupaten Bojonegoro
B
eberapa waktu lalu, pembacaan atau qiro’ah al-Quran dengan langgam Jawa di istana negara dalam rangka peringatan Isra dan Mikraj menjadi perbincangan panas. Ada yang membolehkan, namun ada yang mengharamkan. Bagaimana sebenarnya masalah qiroatul Quran tersebut? Apa membaca al-Quran harus dengan lagu Arab? Mari kita mendiskusikannya di sini. Yang dimaksud dengan ‘’lagu orang arab ialah bacaan yang alami dan suara yang asli, dan yang dimaksud dengan irama orang-orang fasiq ialah lagu-lagu yang dipelajari dari aturan-aturan musik. Dan bacaanbacaan dengan makna yang demikian ini (dengan tanpa menggunakan lagu orang arab) hukumnya makruh jika tetap menjaga tajwid per hurufnya, jiaka tidak maka dapat mengarah ke haram”. Jadi, hadits di atas mengarah ke hukum makruh, tidak haram sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa pihak. Kemudian hukum yang disampaikan ulama lainnya dalam kitab Raudlatul Atthalibin juz 11 hal. 227 yang artinya: Memperindah bacaan al-Quran itu disunnahkan, sedangkan jika membaca dengan memakai irama/lagu maka dalam kitab Almukhtashar dijawab tidak apa-apa, dan dari riwayat Arrabi’ bin Saliman Aljaizi, “Bahwasanya hal tersebut hukumnya makruh”. Pernyataan makruh ini dibantah oleh mayoritas ulama Syai’i dan mereka berpendapat bahwa tidak ada dua hukum (makruh dan sunnah) akan tetapi bisa makruh jika terlalu memanjangkan mad dan memanjangkan harakat (satu harakat dibaca 2 harakat atau lebih) dan seterusnya. Dan juga dari kitab Ihya’ juz 1 hal 280 yang artinya: Memperindah qiraah dan tartil dengan suara yang menggema (lagu) tanpa memanjang yang berlebihan yang dapat merubah aturan bacaan maka hal ini hukumnya sunnah. Nah, dengan melihat dalil-dalil di atas, maka hukum asli membaca alQuran dengan lagu-lagu (langgam)
ialah sunnah. Kecuali jika sampai mengubah kaidah tajwid dan makna, maka bisa makruh bahkan bisa haram. Menteri Agama dalam akun twitternya menjelaskan : “Pembacaan al-Quran dengan langgam Jawa pada Peringatan Isra Miraj di Istana Negara sepenuhnya ide saya, sama sekali bukan kehendak Presiden RI. Tujuan pembacaan al-Quran dengan langgam Jawa adalah menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di tanah air” ( Sumber : http://www. muslimedianews.com/2015/05/iniklariikasi-menteri-agama-soal-baca. html) Lebih lanjut, Rektor Institut Ilmu alQur’an, Dr. Muhammad Ahsin Sakho menegaskan: “Ini adalah perpaduan yang baik, seperti langit kallamullah yang menyatu dengan bumi, yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan. Cara membaca al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia sangat diperbolehkan dan tidak ada dalil sahih yang melarang hal demikian. Hanya saja, dia melanjutkan, dirinya belum pernah mendengar Jawabul Jawab di dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika hanya sekadar langgam Jawa, Sumatra, Sunda, melayu dan lainnya, itu sah saja selama memperhatikan hukum bacaan semestinya. Itu kreativitas budaya” ( Sumber : http://www. muslimedianews.com/2015/05/rektor-iiq-tak-ada-dalil-larangan-baca. html). Pendapat Ulama Al-Azhar Lalu apa tanggapan ulama AlAzhar, Mesir tentang pembacaan al-Quran dengan menggunakan langgam dari budaya Indonesia (Jawa)? Pertama, Syaikh Jamal Faruq ad-Daqqaq (Dekan Fakultas Dakwah Universitas al-Azhar dan anggota ulama pakar al-Azhar) Setelah para mahasiswa Indonesia memperlihatkan video bacaan al-Quran tersebut, ia berkata, “Bacaan ini unik sekali, menunjukan bahwa yang membaca adalah bukan orang Arab (natijatul-’ujmah) dan orang non-arab memiliki langgam (lahnun; dalam Bahasa Arab) dan cara mengejanya tidak sepenuhnya sama seperti lisan orang Arab. Maka dari itu harus diperhatikan Thariqoh al-Adaa` (cara eksekusi bacaan). Oleh sebab itu ada bab Qiroaat Sab’ah yang merupakan salah satu latar belakang adalah permasalah ini”. Bahkan ia tidak segan memuji sang qori dengan mengatakan, “Sang qori
memperhatikan betul kaidah tajwid dengan pengahayatan saat membacanya.” Kedua, Syekh Ahmad Hajin (Pengajar ilmu Hadis di al-Azhar). Setelah diperlihatkan video tersebut, awalnya Syekh Ahmad merasa aneh dan manggut-manggut karena baru pertama kali mendengarnya. Tanggapannya sama seperti Syekh Jamal yang mengatakan, bahwa yang terpenting adalah tajwidnya, pemakaman terhadap maknanya, karena irama mengikuti artikulasi teks yang dibacanya. Ketiga, Syaikh Toha Hubaisyi (Anggota pentashih al-Quran Mesir dan pengajar senior Ilmu Tasawuf dan hafal kitab Ihya Ulumuddin milik Imam al-Ghazali). Dalam hal ini Syaikh Toha juga memperbolehkan membaca al-Quran dengan langgam Jawa tersebut dengan syarat tetap memerhatikan tempat keluar huruf (makhraj) dan kaidah tajdwid. Sebab, seseorang yang membaca al-Quran dengan bahasa Arab, ketika yang membacanya mengerti atau tidak, tepat atau tidak hakikatnya, maknanya telah sampai kepada Allah. (Sumber : https://www.facebook.com/suara. alazhar/photos/ a211567925676091.1 073741828.211541432345407/4552976 14636453/?type=1 dan http://www. muslimedianews.com/2015/05/masyaallah-ulama-al-azhar-puji-bacaan. html). Jadi penekanan ‘ketidakbolehan’ dalam hal ini apabila keluar dari akidah tajwid dan pelafalan makhorijul hurufnya. Dan lahjah (logat) memang sebaiknya menggunakan logat Arab, namun disini Arab yang dimaksud itu Arab yang mana? Negeri Arab di masa Rasulullah SAW sangat sempit dan terbatas, seputar Mekkah, Madinah dan kisaran jaziarah Arabia saja. Di luar itu tidak pernah disebut Arab. Habasyah, Mesir, Yaman, Palestina, Suriah, Iraq dan Iran di masa itu masih bukan Arab. Agama yang dianut penduduknya bukan agama Islam, mereka dianggap sebagai bangsabangsa kair non Arab. Bahkan bahasa mereka pun juga bukan bahasa Arab. Jadi kalau pun hadits Rasulullah SAW yang dhaif itu masih mau dipaksa-paksa juga untuk dipakai, tetap saja tidak tepat. Seandainya hadits itu dibilang sahih, dan larangan Rasulullah SAW itu ‘terpaksa’ kita ikuti juga, maka nagham atau irama cara baca al-Quran yang kita kenal selama ini pun harusnya terlarang. Sebab nagham Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika, dan Jiharka
itu bukan dari Makkah atau Madinah, bahkan bukan dari Jaziarah Arab. Ketujuh jenis nagham itu malah berasal dari Iran. Dan Iran di masa Rasulullah SAW bukan negeri Arab. Bahkan sampai hari ini pun tidak pernah dianggap sebagai negara Arab. Pemerintah Iran sendiri pun tidak pernah mengaku-ngaku sebagai negara Arab. Bahasa resmi mereka pun juga bukan bahasa Arab, melainkan bahasa Persia. Jadi kalau mau melarang langgam Jawa misalnya, maka tujuh langgam yang sudah kita kenal sepanjang sejarah Islam itu pun harus dilarang juga, lantaran bukan langgam Arab sebagaimana yang dimaksud oleh Rasulullah SAW. ( Sumber :http://www.rumahfiqih.com/x. php?id=1431011215&=baca-Quranlanggam-Jawa-haramkah.htm dan https://www.facebook.com/PISS. KTB/posts/858328104220604). Apabila kita memaksa menggunakan logat Arab, kasihan untuk saudara-saudara kita yang misalnya dari daerah Banyumas dan sekitarnya, mereka melafalkan huruf Arab ‘Ain dengan Ngain, sehingga saat baca Alhamdulillahirobbil’alamiin dengan bacaan Alhamdulillahirobbil Ngalamiin. Mau dipaksa seperti apa ya ‘Ain tetep terbaca Ngain oleh mereka. Kalau kita mendengar orang Cina asli di Tiongkok sedang membaca al-Quran, pasti kita akan merasakan ada ‘nada-nada’ khas Cina. Begitu juga kalau kita dengar orang Melayu membaca al-Quran, kita akan merasakan nuansa khas nada-nada ke-Melayuan. Apakah ini dianggap melanggar ketentuan membaca AlQuran? Jawabnya tentu tidak sama sekali. Sejauh saya mengamati qiroah langgam yang dibawakan di istana negara dari awal sampai akhir, makhorijul huruf serta tajwidnya tidak ada masalah yang berarti . Mengenai panjang pendeknya mad dalam langgam tersebut seperti halnya qiroah sab’ah yang dibaca oleh qari dan qariah lainnya. Ada yang sangat panjang ada yang sangat pendek, tidak sesuai dengan panjang 1 alif, 2 alif, 3 alif, atau 4 alif. Seperti contoh qari terkenal Muammar ZA, dalam beberapa tilawahnya yang bersangkutan memanjangkan mad yang seharusnya 2 alif dibaca melebihi 4 alif, namun karena beliau memahami Qiroah Sab’ah mungkin tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah orang awam yang “kurang mengetahui” bagaimana cara membaca al-Quran yang tepat dan benar, menggunakan langgam Jawa untuk mainan atau niat lain. [*]
SEBAGIAN crew bB foto bersama (kiri), dan (kanan) pemotongan kue oleh GM blokBojonegoro Media bersama owner Gus Ris
4 Tahun bB Berkarya UNDANGAN tengah buka bersama di kantor bB
Tidak terasa, blokBojonegoro Media atau biasa disapa bB, genap 4 tahun berkarya bersama pembaca pada 26 Juni 2015. Tasyakuran dan buka bersama digelar 1 Juli 2015 di kantor Jl. MT Haryono, No 5A Kota Bojonegoro (barat SPBU Jetak). Sekitar 150 undangan hadir dengan acara inti siraman rohani bersama KH Saifur Rohman (Gus Sef) dari Kendal, Bojonegoro. Sejak seminggu sebelum buka bersama, ucapan telah mengalir dari rekanan, klien maupun pembaca setia dari penjuru Indonesia. Tidak sedikit yang hadir langsung ke kantor untuk bersama-sama bahagia di hari lahir bB Media. Ucapan terima kasih disampaikan manajemen kepada seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas sumbangsih untuk kemajuan media tercinta.
KETUA Kadin Bojonegoro, Budiono (baju putih), buka bersama
Foto-foto: M. Safwan/Parto Sasmito/M. Yazid/Muharrom/Muhammad Fatoni
PERWAKILAN Paguyuban Kange-Yune Bojonegoro (PKYB)
RADIO partner blokBojonegoro Media turut hadir mendukung
SEKITAR 150 undangan menghadiri tasyakuran dan buka bersama di kantor bB, Jl. MT. Haryono No.5 A Bojonegoro
MANAJEMEN EMCL dan PT Pertamina EP Cepu (PEPC)
CIVITAS Kampus Ungu STIKES ICSADA Bojonegoro
SOSIO Economic PT Tripatra membawa oleh-oleh
PERWAKILAN manajemen JOB P-PEJ dari Jakarta, PT Pertamina EP Asset 4 dan Portal Jatim Media (beritajatim.com)
ASTON Hotel Bojonegoro saat foto bersama