EL NIÑO MODOKI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU CURAH HUJAN MONSUNAL DI INDONESIA
ELA HASRI WINDARI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
ABSTRACT ELA HASRI WINDARI. El Niño Modoki and Its Influence to Monsoonal Rainfall Behavior over Indonesia. Supervised by Akhmad Faqih and Eddy Hermawan. This study aims to investigate El Niño Modoki phenomenon and its influence to the monsoonal rainfall behavior over Indonesia. The study is also intended to identify the differences between the El Nino Modoki and the well-known El Nino events, referred in this study as Conventional El Niño. By using correlation analysis, it is shown that the El Nino Modoki Index, known as EMI, is strongly correlated with SST anomaly index in Nino-4 region. The correlation coefficient value is 0.57, which is higher than the EMI’s correlations with other SST anomaly indices from different Nino regions, i.e. Nino-1.2, Nino-3 and Nino-4. Temporal analysis on both Nino-4 index and EMI by using Power Spectral Density shows a different strength in the temporal cycle of both indices, where Nino-4 data demonstrates a strong 4-5 year interannual cycles, while EMI is dominated by 6–8 years cycles. This is consistent with the result of Wavelet analysis that indicates four years interannual cycles of Nino-4 index and nearly decadal (~10 years) cycles of EMI data. The composite of seven El Nino Modoki events in 1986/87, 1990/91, 1992/93, 1994/95, 2002/2003, 2004/2005, and 2009/2010, generally shows that the El Nino Modoki events indicated by the raise of EMI exceeding its defined threshold usually occurred from July to March. It is shown by clear characteristics of growing phase starting from March or April until January, and continued by decreasing phase around February. Based on the results of regression analysis, the El Nino Modoki strongly influence monsoonal rainfall over Sumbawa Besar, Makassar, and Banjar Baru during both June-July-August (JJA) and September-October-November (SON) periods, over Lampung only during JJA, and Indramayu during SON. The use of EMI which includes information about the SST anomaly around Indonesia led to a significant cross-correlation values between monsoonal rainfall anomaly and EMI with only maximum of one month lag time. Keywords: El Niño Modoki, Conventional El Niño, monsoonal rainfall behavior.
RINGKASAN ELA HASRI WINDARI. El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia. Dibimbing oleh Akhmad Faqih dan Eddy Hermawan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kejadian El Nino Modoki dan pengaruhnya terhadap keragaman curah hujan bertipe monsunal di Indonesia. Selain itu, di dalam penelitian ini juga dikaji perbedaan antara El Nino Modoki dengan kejadian El Nino konvensional yang telah dikenal selama ini. Analisis korelasi digunakan untuk melihat hubungan El Niño Modoki , yang diwakili oleh nilai El Niño Modoki Index (EMI), dengan El Niño konvensional, yang diwakili oleh indeks anomali suhu muka laut (aSML) di empat wilayah Niño, yaitu masing-masing di wilayah Nino-1.2, Nino-3, Nino-3.4 dan Nino-4. Hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien korelasi EMI terhadap indeks Niño-4 sebesar 0.57 merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan indeks Niño lainnya. Analisis Power Spectral Density terhadap data indeks aSML periode 1979–2010 menghasilkan perbedaan karakteristik temporal antara keduanya, dimana El Niño Modoki memiliki siklus 6–8 tahunan, sedangkan El Niño konvensional memiliki siklus 4–5 tahunan. Hasil ini juga didukung oleh hasil analisis Analisis Wavelet yang menunjukkan pola osilasi dominan El Niño konvensional ~4 tahunan sedangkan El Niño Modoki hampir mendekati pola dekadal (~10 tahunan). Dari analisis tersebut juga terlihat kecenderungan pembentukan pola El Niño Modoki yang semakin meningkat setelah tahun 2000-an. Hasil analisis komposit dari tujuh kejadian El Niño Modoki, yaitu tahun 1986/87, 1990/91, 1992/93, 1994/95, 2002/2003, 2004/2005, dan 2009/2010 menunjukkan secara umum bahwa anomali hangat yang berkaitan dengan peristiwa El Nino biasanya konsisten melampaui nilai threshold sekitar periode Juli–Maret. Fase pertumbuhan mulai terlihat sekitar Maret atau April hingga Januari kemudian mulai turun sekitar bulan Februari. Puncak anomalinya terjadi pada bulan Agustus–Januari. Menurut hasil analisis regresi anomali curah hujan terhadap EMI periode 1971-2000, El Niño Modoki memberikan pengaruh yang jelas terhadap penurunan curah hujan di wilayah Sumbawa Besar, Makassar, dan Banjar Baru pada musim JJA dan semakin kuat pengaruhnya pada musim SON. Wilayah Lampung hanya merasakan pengaruh Modoki dengan jelas pada musim JJA saja sedangkan Indramayu pada musim SON. Penggunaan indeks EMI yang memasukkan informasi aSML di sekitar wilayah Indonesia menyebabkan nilai korelasi silang yang signifikan antara anomali curah hujan dengan EMI hanya menghasilkan jeda maksimum satu bulan. Kata kunci: El Niño Modoki, El Niño Konvensional, perilaku curah hujan monsunal.
EL NIÑO MODOKI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERILAKU CURAH HUJAN MONSUNAL DI INDONESIA
ELA HASRI WINDARI
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Judul Skripsi Nama NIM
: El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia : Ela Hasri Windari : G24070008
Menyetujui Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Akhmad Faqih) NIP: 19800823 200701 1 001
(Dr. Eddy Hermawan) NIP: 19620128 199003 1 003
Mengetahui : Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi,
(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS) NIP: 19600305 198703 2 002
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kenagarian V Koto – Tanjung Ampalu, Sumatera Barat, pada hari Senin, 15 Mei 1989 sebagai anak kandung dari pasangan Bapak Haslizar dan Ibu Oriza Sativa, S.Pd. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 09 Koto Panjang tahun 2000. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di sekolah asrama MTsN Padangpanjang, lulus pada tahun 2004. Kemudian melanjutkan ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Sijunjung dan lulus tahun 2007. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, penulis melanjutkan kuliah S1 di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI sebagai mahasiswa Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) dengan program Mayor Meteorologi Terapan. Selama menjalani masa studi, penulis menikmati peran sabagai mahasiswa Mayor Meteorologi Terapan dengan menjadi anggota Himpunan Profesi Mahasiswa Geofisika dan Meteorologi (HIMAGRETO) dan mengikuti berbagai kepanitiaan seperti Meteorologi Interaktif (METRIK) 2008 dan 2009, Earth Challenge 2010. Pada tahun 2010 penulis diberikan kesempatan magang untuk mengembangkan kemampuan di Bidang Pemodelan Iklim, Bagian Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN Bandung. Pada tahun 2011, Penulis mengikuti International Symposium on The 10th Annyversary of the Equatorial Atmosphere Radar (EAR) di Jakarta dan turut berperan sebagai panitia pelaksana peresmian IPCC Indonesia di Bogor. Pada tahun yang sama, penulis juga diberi kesempatan untuk melakukan presentasi terkait El Niño Modoki pada Workshop on Progress of Research and Prediction of Short–Term Climate Variation; MJO, ENSO and IOD di Neonet Ofice BPPT Jakarta atas rekomendasi pembimbing II, Dr. Eddy Hermawan. Untuk kegiatan di luar Departemen GFM, penulis pernah aktif dalam organisasi mahasiswa daerah seperti Himaswiss (Himpunan Mahasiswa Sawahlunto, Sijunjung, dan Dharmasraya) dan IPMM (Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul El Niño Modoki dan Pengaruhnya terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia, di bawah bimbingan Dr. Akhmad Faqih dan Dr. Eddy Hermawan.
vii
PRAKATA Segala puji dan syukur bagi Allah SWT, Tuhan Yang Maha Indah pemilik seruan sekalian alam. Atas rahmat dan hidayah–Nya, tugas akhir yang berjudul “El Niño Modoki dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia” dapat terselesaikan dengan baik. Berbagai pihak telah banyak membantu penulis dalam proses penelitian, penulisan, dan penyusunan tugas akhir ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih yang terdalam kepada Mamah, Papah, dan Haris, yang menjadi kausalitas utama inspirasi penulis. Big Uncle An, Midd Uncle Ali, Auntie Eti, Oom Epigon, dan seluruh keluarga besar Dt. Sampanhulu atas doa, kasih sayang, serta dukungannya, lalu kepada: 1. Dr. Akhmad Faqih sebagai pembimbing I dan Dr. Eddy Hermawan sebagai pembimbing II, yang telah memberikan ide, ilmu, pengarahan, masukan, nasehat, dan tentu saja bimbingan hingga tugas akhir ini terselesaikan. 2. Kepala Bidang Pemodelan Iklim, Ir. Hallimurrahman, MT. Staff LAPAN Bandung; Pak Teguh, Pak Terson, Pak Martono, dan Kak Mian. 3. Prof. Yamagata, Prof. Yeh, Prof. Yamanaka dan Bapak Rachmad Hariadi Asad atas korespondensi terkait penelitian penulis. 4. Prof. Hidayat Pawitan sebagai Pembimbing Akademik penulis dan jajaran majelis dosen Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. 5. Staff Tata Usaha Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB. 6. Teman-teman GFM44 Kabinet Lebay yang masing-masingnya memiliki kesan tersendiri di hati penulis, terima kasih atas kekompakannya. 7. Teman-teman GFM43, GFM45, dan GFM46 atas senyum dan semangatnya. 8. Teman-teman A1/76; Anya, Lika, Noni, dan Penghuni kost putri “TAZKIA Perwira”; Aisyah, Ateu, Uun Yani, Mba E. Lestari: atas kebersamaan, candaan, kekompakan dan dorongan semangatnya. 9. Andika GFM40, teristimewa atas cinta dan bijaksana. 10. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Maka dengan hati yang penuh rasa ikhlas dan tawadhu, penulis bersedia untuk menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun sehingga dapat mendekati kata sempurna. Semoga isi yang tertuang dalam tugas akhir ini tidak hanya bernilai guna, tapi juga bernilai manfaat bagi kalangan akademik khususnya. Amin.
Bogor, Februari 2012
Ela Hasri Windari
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR . ...............................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................
xi
I
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1.2 Tujuan ......................................................................................................................
1 1 1
II
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 2.1 Dinamika Atmosfer Indonesia .................................................................................. 2.2 Interaksi Lautan–Atmosfer di Samudera Pasifik ...................................................... 2.3 Keragaman Curah Hujan Indonesia .........................................................................
2 2 2 7
III METODOLOGI ................................................................................................................ 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................................. 3.2 Alat dan Data yang digunakan ................................................................................. 3.3 Metode Penelitian .....................................................................................................
8 8 8 9
IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................................... 4.1 El Niño Konvensional dan El Niño Modoki ............................................................ 4.2 Perbandingan Pengaruh El Niño Modoki dan El Niño Konvensional Terhadap Curah Hujan Monsunal di Indonesia ........................................................................ 4.3 Pengaruh El Niño Modoki Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia ..............................................................................................................
13 13
V
20 25
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................................ 5.1 Kesimpulan .............................................................................................................. 5.2 Saran .........................................................................................................................
28 28 28
DAFTAR PUSTAKA . ..............................................................................................................
29
LAMPIRAN ..............................................................................................................................
31
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1
Faktor-faktor yang mempengaruhi cuaca dan iklim Indonesia .......................................
8
2
Nilai Kritis Koefisien Korelasi Pearson ...........................................................................
12
3
Curah hujan normal wilayah kajian ................................................................................
20
4
Koefisien korelasi anomali curah hujan terhadap EMI (musiman: DJF, MAM, JJA, SON) 23
5
Koefisien korelasi anomali curah hujan terhadap EMI, Niño3.4, dan Niño4 (musiman:
6
JJA dan SON) ...................................................................................................................
24
Korelasi silang: Series Pair EMI with Banjar Baru ..........................................................
25
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Plot deret waktu Niño3 (atas) dan Niño3.4 (bawah); 1950–1979 ........................................
3
2 Wilayah Niño .......................................................................................................................
3
3 Skematik kondisi Normal dan El Niño Konvensional .........................................................
4
4 Pola penghangatan El Niño Konvensional dan El Niño Modoki di Pasifik tropis ..............
5
5 Komposit aSML (ºC) selama kejadian El Niño Modoki . ....................................................
5
6 Wilayah perhitungan El Niño Modoki Index .......................................................................
6
7 Skematik kondisi Normal dan El Niño Modoki ..................................................................
7
8 Pola curah hujan di Indonesia terbagi menjadi 3 wilayah A (Monsoonal) pada garis Tebal, wilayah B (Equatorial) pada garis samar pendek dan Wilayah C (Local) pada garis samar panjang . ............................................................................................................
7
9 Skema faktor pengendali curah hujan wilayah Indonesia ....................................................
8
10 Skema transformasi Fourier …………………………………………………. ....................
10
11 Skema transformasi Wavelet . ..............................................................................................
10
12 Diagram Hovmoller .............................................................................................................
11
13 Diagram metodologi penelitian . ..........................................................................................
13
14 Analisis regresi aSML EMI terhadap aSML 4 wilayah Niño ...............................................
14
15 Plot time series aSML 4 wilayah Niño dan EMI periode 1979 – 2010 ...............................
15
16 Periodisitas aSML Niño dan EMI 1979 – 2010 ...................................................................
16
17 Plot deret waktu aSML EMI dan Niño Periode 1979 – 2010 ..............................................
16
18 Analisis Wavelet El Niño Konvensional (Niño3.4) periode 1979 – 2010 ............................
17
19 Analisis Wavelet El Niño Modoki (EMI) periode 1979 – 2010 ...........................................
17
20 Plot deret waktu Box EMI periode1979 – 2010 ...................................................................
19
21 Fase pertumbuhan El Niño Modoki .....................................................................................
20
22 Peta wilayah kajian bertipe curah hujan monsunal ..............................................................
20
23 Pola osilasi dominan curah hujan monsunal wilayah kajian ................................................
21
24 Kondisi anomali curah hujan wilayah kajian pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 .....................................................................................................
22
25 Persentase penurunan total curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 terhadap kondisi normal .........................................................
22
26 Perbandingan analisis spasial terhadap curah hujan wilayah Indonesia tahun El Niño Modoki kuat, El Niño Konvensional, dan tahun normal .....................................................
23
27 Jeda waktu (lag time) curah hujan Banjar Baru terhadap El Niño Modoki 1994 ................
25
28 Analisis spasial Hovmoller dengan GrADS 2.0 terhadap wilayah kajian tahun El Niño Modoki kuat dibandingkan dengan tahun normal ...............................................................
26
xi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Data insitu curah hujan bulanan wilayah kajian periode 1971–2000 ..................................
32
2
Curah hujan normal wilayah kajian periode 1971–2010 ....................................................
40
3
Koefisien Korelasi musimam anomali curah hujan wilayah kajian terhadap El Niño Modoki Index (EMI) periode 1971–2010 ..........................................................................
41
4
Plot deret waktu 3 box EMI periode 1971–2010 ................................................................
41
5
Plot aSML EMI 7 kejadian Modoki kuat periode 1979–2010 ............................................
42
6
Script untuk pengolahan data menggunakan perangkat lunak Matlab R2008a ..................
42
7
Script untuk pengolahan data dengan menggunakan GrADS 2.0 .......................................
47
8
Distribusi spasial Hovmoller curah hujan wilayah kajian pada tahun kejadian El Niño Modoki 2002/03 dan 2009/10 ............................................................................................
49
Hasil korelasi silang El Niño Modoki Index (EMI) dengan anomali curah hujan wilayah kajian Periode 1994-1995 ...................................................................................................
50
9
1
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem cuaca/iklim di Indonesia sangat unik, kompleks, dan dinamis. Hal ini tidak terlepas dari letak geografis Indonesia yang diapit oleh dua benua, Asia – Australia, dan dua samudera, Samudera Pasifik – Samudera Hindia. Kondisi tidak normal cuaca/iklim terjadi karena pengaruh fenomena iklim global. Dalam mempelajari fenomena iklim global diperlukan pemahaman terkait sistem peredaran umum atmosfer Indonesia. Dua komponen peredaran umum yang ikut mempengaruhi sistem cuaca/iklim Indonesia yaitu peredaran utara–selatan (meridional) yang disebut sebagai sirkulasi Hadley dan peredaran timur–barat (zonal) yang disebut sirkulasi Walker. Keragaman iklim berkaitan dengan dinamika sirkulasi Walker, salah satunya berkaitan dengan adanya fenomena interaksi lautan-atmosfer yang dikenal dengan istilah El Niño and Southern Oscillation (ENSO) dengan dua kemungkinan kejadiannya yaitu El Niño atau La Niña. Siklus El Niño biasanya muncul antara 4-7 tahun sekali, namun dalam beberapa tahun terakhir muncul lebih awal dan semakin sering terjadi. Menurut Yeh et al. (2009), hal ini diperkirakan berkaitan dengan perubahan iklim yang terjadi sebagai akibat adanya pemanasan global. Data anomali suhu muka laut di wilayah Niño (sepanjang Samudera Pasifik ekuator bagian tengah dan timur) menunjukkan bahwa frekuensi kejadian El Niño semakin meningkat. Tercatat dalam tempo 12 tahun (1994–2006) terjadi enam kali El Niño; 1994, 1997, 2002, 2003, 2006. Ashok et al. (2007) telah melakukan kajian terhadap anomali suhu muka laut di Samudera Pasifik tropis yang terjadi pada tahun 2004 terutama terkait dengan pola penghangatan dan pola interaksinya. Hasil kajian tersebut memperkenalkan suatu istilah yang menggambarkan pola anomali penghangatan suhu muka laut yang berbeda dari biasanya, yang dikenal dengan istilah El Niño Modoki. Kemudian istilah ini menjadi semakin dikenal dan menarik perhatian kalangan komunitas peneliti iklim global. Sehingga mulai banyak yang mengkaji tentang El Niño Modoki, dampaknya, dan interaksinya di berbagai wilayah (contoh: Chang et al. (2008), Li et al. (2010a & 2010b), Yu & Kim (2010), Lee & McPhaden (2010)). Fenomena iklim ekstrim menjadi suatu kajian yang menarik perhatian para peneliti
iklim global. Seperti yang dilakukan Coughlan et al. (2004) terkait kekeringan yang berlangsung lama pada tahun 2002 dan tercatat sebagai kekeringan dengan peringkat ke-4 terparah sepanjang sejarah kekeringan di Australia. Weng et al. (2007) juga mengkaji fenomena iklim ekstrim yang terjadi pada tahun 2004. Pada tahun tersebut tercatat bahwa suhu udara di Jepang sangat tinggi dan ada 10 kejadian topan yang memecahkan rekor topan musim panas. Wilayah Amerika utara bagian barat mulai dari Alaska hingga California juga mengalami kekeringan yang parah. Tahun 2002 dan 2004 merupakan tahun yang menunjukkan pola penghangatan suhu muka laut yang terkonsentrasi hanya di Pasifik bagian tengah. Hasil analisis kajian Weng et al (2007) dan Ashok et al. (2007) menyatakan bahwa semua fenomena iklim ektrim tersebut di atas tidak bisa dijelaskan oleh pola interaksi El Niño dan La Niña biasa karena ada indikasi kecenderungan fenomena iklim ekstrim di atas sebagai dampak interaksi El Niño Modoki terhadap kondisi iklim global. Kejadian El Niño Modoki sendiri ditunjukkan oleh adanya ‘kolam panas’ yang terkonsentrasi hanya di bagian tengah Samudera Pasifik ekuator, sedangkan di bagian timur dan baratnya tetap dingin. Fenomena ini juga baru dipublikasikan tahun 2004 oleh peneliti JAMSTEC pada berbagai press release. Sejauh ini, dari kajian yang dilakukan peneliti Badan Riset Kelautan Jepang (Japan Agency for Marine–Earth Science and Technology, JAMSTEC), wilayah Indonesia belum banyak diteliti. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang jelas mengenai perbedaan El Niño Konvensional dengan El Niño Modoki, khususnya berkaitan dengan pengaruhnya terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian tentang El Niño Modoki dan pengaruhnya terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Mempelajari perbedaan antara El Niño Konvensional dan El Niño Modoki. b. Membandingkan pengaruh fenomena iklim global El Niño Modoki dan El Niño Konvensional terhadap curah hujan monsunal di wilayah Indonesia.
2
c. Mengetahui pola interaksi El Niño Modoki di Samudera Pasifik terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Dinamika Atmosfer Indonesia Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan wilayah perairan yang relatif cukup luas, memiliki karakteristik yang berbeda dengan atmosfer di wilayah khatulistiwa lainnya. Ramage (1968) menyebut kondisi ini sebagai Indonesia Maritime Continent (IMC) atau lebih dikenal dengan “Benua Maritim Indonesia” (BMI). Hal ini disebabkan diantaranya oleh letak geografis Indonesia yang unik, yakni diapit oleh dua benua besar (Asia dan Australia) dan dua samudera besar (Hindia dan Pasifik). Benua Maritim Indonesia merupakan wilayah dengan proses konveksi yang paling aktif (deep convection) di dunia (Hamada et al. 2002). Proses tersebut merupakan salah satu faktor yang mendominasi cuaca dan iklim di BMI. Selain karena pengaruh posisi geografisnya berada di khatulistiwa sehingga menerima energi radiasi matahari yang besar, kondisi Indonesia yang 2/3 bagian wilayahnya terdiri atas perairan ikut mempengaruhi status deep convection ini. Oleh karena itu, BMI merupakan daerah surplus energi dan uap air, yang keduanya merupakan bahan bakar utama dalam proses konveksi. Oleh karena adanya konveksi aktif dari lautan tersebut, maka menjadi pemicu terhadap pembentukan dan pertumbuhan awan hujan cumulonimbus. Selain itu, aliran panas dari daratan yang dikelilingi lautan, sirkulasi angin darat–laut, dan topografi pegunungan dapat mendorong terjadinya proses konveksi. Inilah yang membuat keragaman curah hujan BMI sangat tinggi. Menurut letak astronomisnya Indonesia berada pada 6⁰LU-11⁰LS dan 96⁰BT-141⁰BT. Kondisi ini memposisikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki 1/8 bagian keliling bumi. Keseluruhan karakteristik tersebut menjadikan Indonesia sebagai laboratorium atmosfer terbesar di dunia. Dinamika atmosfer Indonesia sangat kompleks. Wilayah Indonesia menjadi pertemuan antara sirkulasi zonal (timur–barat) dan sirkulasi meridional (utara–selatan). Kombinasi fenomena interaksi lautan atmosfer di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia yang membentuk sirkulasi zonal menjadi faktor penentu yang relatif mempengaruhi keragaman iklim Indonesia.
Keragaman iklim merupakan fluktuasi unsurunsur iklim yang terjadi pada rentang waktu tertentu seperti variasi musiman atau tahunan (pergeseran waktu dan durasi musim hujan dan kemarau) termasuk kejadian iklim ekstrim. Faktor monsun yang dihasilkan dari sirkulasi meridional dan faktor lokal juga berkaitan erat terhadap keragaman iklim Indonesia. 2.2
Interaksi Lautan dan Atmosfer di Samudera Pasifik Salah satu faktor pengendali keragaman iklim khususnya curah hujan antar tahunan di wilayah Indonesia adalah fenomena berskala global yang dikenal dengan istilah El Niño. Fenomena El Niño terjadi akibat adanya penyimpangan dari kondisi normal interaksi antara lautan dan atmosfer di sepanjang Samudera Pasifik ekuator. Secara umum, peristiwa El Niño berulang antara 2–7 tahun. Di Indonesia, peristiwa El Niño diidentikkan dengan musim kering yang melebihi kondisi normalnya. Hal ini berbanding terbalik dengan peristiwa La Niña yang mampu menghasilkan curah hujan melebihi batasan normalnya (Ropelweski & Halpert 1987). 2.2.1 El Niño Konvensional a. Definisi El Niño Istilah El Niño telah mengalami perkembangan definisi dari tahun ke tahun, sehingga dapat menimbulkan kebingungan dalam penggunaannya. Oleh karena fenomena ini semakin terlihat jelas dalam beberapa tahun terakhir sebagai mode dominan keragaman iklim antar tahunan di seluruh dunia, maka diperlukan definisi El Niño yang lebih baik dan definitif (Trenberth 1997). Pada awalnya terminologi El Niño digunakan untuk memberi nama arus air laut yang menghangat dari kondisi normal tahunan yang mengalir ke arah selatan sepanjang pesisir Peru dan Ekuador pada bulan desember. Hingga saat ini banyak ditemukan defini tentang El Niño, hal ini disebabkan perbedaan cara pandang para ahli dalam memahami El Niño. Quinn et al. (1978) membuat daftar kejadian El Niño mulai dari tahun 1726 dan ukuran intensitas El Niño pada skala 1 sampai 4 (kuat, sedang, lemah, dan sangat lemah). Ukuran yang digunakan untuk mendefinisikan El Niño dan intensitasnya terutama didasarkan pada fenomena di sepanjang pantai Amerika Selatan. Pada awal 1980–an, sebuah Komite Ilmiah untuk penelitian kelautan, kelompok kerja SCOR WG 55 (1983) dibentuk dan
3
mendefinisikan El Niño sebagai berikut: “El Niño adalah munculnya anomali air hangat di sepanjang pantai Ekuador dan Peru hingga sejauh bagian selatan Lima (12°S) dengan anomali suhu muka laut melebihi nilai standar deviasinya untuk setidaknya empat bulan berturut-turut. Anomali suhu muka laut (selanjutnya disingkat menjadi aSML) yang melebihi kondisi normal ini harus terjadi setidaknya pada tiga dari lima stasiun di pantai Peru”. Definisi ini ditolak banyak ilmuwan karena hanya memperhatikan kejadian di Pesisir Peru saja. Para praktisi ilmiah memiliki cara pandang berbeda-beda terhadap El Niño. Menurut Japan Meteorological Agency (JMA), definisi El Niño (La Niña) adalah normalisasi data anomali SML 5 bulanan area 4°N–4°S dan 150°W–90°W (dikenal dengan wilayah Niño3) melebihi standar deviasi anomali SML 0.5ºC (–0.5ºC) atau lebih tinggi (lebih rendah) selama enam bulan berturut–turut atau lebih (Trenberth 1997).
5°N. Sedangkan wilayah Niño3.4 dibatasi oleh 120°W–170°W dan 5°S –5°N. Aktivitas El Niño sepanjang tahun dapat diukur melaui indeks anomali suhu muka laut setiap bagian wilayah yang berbeda di sepanjang samudera Pasifik tropis (Trenberth dan Stepaniak 2001). Samudera Pasifik tropis terbagi menjadi 4 bagian wilayah Niño (Gambar 2), yaitu NIÑO3 (5⁰N–5⁰S, 150W– 90⁰W), NIÑO3.4 (5⁰N–5⁰S, 170⁰W–120⁰W), NIÑO1+2 (0⁰–10⁰S, 90⁰W–80⁰W), dan NIÑO4 (5⁰N–5⁰S, 160⁰E–150⁰W). Adapun N untuk Lintang Utara, S untuk Lintang Selatan, W untuk Bujur Barat, dan E untuk Bujur Timur. Keempat wilayah Niño tersebut memiliki indeksnya masing-masing sesuai dengan kondisi anomali suhu muka lautnya.
Gambar 2
Gambar 1
Plot deret waktu Niño 3 (atas) dan Niño 3.4 (bawah); 1950–1979. (NOAA 2011)
Gambar 1 menunjukkan aSML Niño3 dan Niño3.4, dengan normalisasi data lima bulanan menggunakan data dari NOAA pada periode dasar klimatologi 1950–1979. Normalisasi data aSML di wilayah Niño3 dan Niño3.4 dilakukan untuk mengurangi dampak variasi antar musiman di Pasifik tropis. Nilai ambang batas ±0.5°C untuk Niño3 dan ±0.4°C untuk Niño3.4 diberi warna untuk menunjukkan peristiwa El Niño. Wilayah Niño3 dibatasi oleh 170⁰–120⁰W dan 5°S–
Wilayah Niño. (IRI 2011)
NOAA menggunakan indeks Niño3.4 untuk menentukan kejadian El Niño. Indeks ini didefinisikan sebagai rata–rata 3 bulanan data SML wilayah kritis Pasifik ekuator (wilayah Niño3.4; 5°N–5°S, 120°W–170°W). Wilayah ini merupakan apa yang disebut oleh para ilmuwan sebagai “equatorial cold tongue”, kolam dingin yang terbentang di sepanjang ekuator dari pantai selatan Amerika hingga Samudera Pasifik tengah. Pergerakan rata–rata bulanan SML di wilayah ini sangat penting dalam menentukan penyebab utama tidak hanya pada pergeseran pola curah hujan tropis disana, tapi juga mempengaruhi jet streams dan pola suhu udara serta hujan di dunia. NOAA (2003) memberikan definisi terbaru untuk kejadian El Niño dan La Niña berdasarkan indeks Niño3.4, yaitu: El Niño, fenomena di Samudera Pasifik ekuator yang dicirikan oleh SML mulai beranjak positif di atas normal (periode klimatologis 1971–2000 sebagai acuan) di wilayah Niño3.4 yang melebihi atau sama dengan 0.5ºC, rata–rata 3 bulan berturut–turut atau lebih. Sedangkan La Niña, fenomena di Samudera Pasifik ekuator yang dicirikan oleh SML mulai beranjak
4
negatif di bawah normal (periode klimatologis 1971–2000 sebagai acuan) di wilayah Niño3.4 yang melebihi atau sama dengan 0.5ºC, ratarata tiga bulan berturut-turut atau lebih. b.
Mekanisme Fisik El Niño Pemahaman tentang mekanisme fisik fenomena iklim global El Niño (La Niña) terlebih dahulu memerlukan pemahaman terhadap sistem angin pasat normal di Lautan Pasifik tropis. Wilayah ekuator menerima radiasi matahari yang lebih banyak dan merata sepanjang tahun dibanding wilayah lainnya seperti subtropis dan kutub. Akibatnya udara di sekitar wilayah ekuator yang bertekanan rendah akan cenderung naik (akibat densitas/kerapatan udara yang kecil) dari permukaan. Udara yang naik ini digantikan oleh aliran udara dari wilayah subtropis. Gaya Coriolis membelokkan aliran ini ke kanan di belahan bumi utara (BBU) dan ke kiri di Belahan Bumi Selatan (BBS) sehingga terdapat sabuk angin pasat yang besar mengalir menuju ekuator dan ke arah barat dari Pasifik tropis. Kondisi tersebut menimbulkan sistem kopel dan interaksi lautan–atmosfer di Pasifik tropis. Angin menentukan suhu muka laut, tetapi suhu muka laut juga menentukan angin. Sifat angin mengalir dari wilayah bertekanan udara tinggi ke wilayah bertekanan udara rendah. Kondisi normal (Gambar 3a) ditandai dengan suhu muka laut yang lebih dingin di Pasifik timur dan lebih hangat di Pasifik barat. Angin mengalir menuju suhu air laut yang lebih hangat karena tekanan udara diatas muka lautnya lebih rendah. Suhu air laut yang hangat memanaskan udara di atasnya sehingga udara tersebut naik. Udara yang naik digantikan oleh udara di tempat lain. Karena tekanan angin pasat tersebut, muka air laut di Indonesia lebh tinggi sekitar 0.5 meter daripada di Peru. Angin yang bergerak ke barat sepanjang ekuator mendorong air panas ke barat sehingga termoklin naik dan air dingin di bawahnya muncul ke muka (upwelling) di wilayah Pasifik timur ekuator. Upwelling mendinginkan air permukaan di Pasfik timur (Wiratmo 1998). Pada saat El Niño terjadi (Gambar 3b), seluruh sistem yang dijelaskan di atas melemah. Angin pasat melemah, khususnya di batas barat Pasifik ekuator sehingga air yang menumpuk di barat akan berbalik ke timur dan membawa kolam hangat tersebut bersamanya. Wilayah udara yang terangkat ke atas bergeser pula ke timur seiring dengan bergesernya kolam hangat tersebut ke timur
sehingga udara hangat dan kelembaban yang dipompa ke atmosfer atas juga ikut bergeser. Pergeseran ini menyebabkan pola cuaca dunia juga turut berubah. Angin pasat melemah, sehingga upwelling juga turut melemah. Kolam panas yang bergeser ke timur menyebabkan air yang di–upwelling–kan juga tidak sedingin seperti pada kondisi normal. Bila suhu muka laut di Pasifik tropis bagian timur hangat, maka perbedaan suhu timur– barat menjadi lebih kecil sehingga angin pasat menjadi lemah. Upwelling merupakan peristiwa naiknya massa air di bawah permukaan laut menuju permukaan laut. Angin pasat mendorong air permukaan laut ke Pasifik tropis bagian barat dan menyebabkan upwelling di pantai barat Amerika Selatan (Wiratmo 1998). a. Kondisi Normal
b. El Niño Konvensional
Gambar 3
Skematik mekanisme fisik kondisi Normal dan El Niño Konvensional. (Ashok & Yamagata 2009)
2.2.2 El Niño Modoki a. El Niño Modoki sebagai Tipe Baru Fenomena El Niño El Niño Modoki yang juga merupakan fenomena couple atmosfer–lautan di kawasan Pasifik tropis berbeda dengan fenomena El Niño yang biasanya terjadi (selanjutnya disebut sebagai El Niño Konvensional) yang muncul di Pasifik tropis. El Niño Konvensional ditandai dengan anomali penghangatan yang kuat di bagian timur Pasifik ekuator (Gambar 4a). Sedangkan, El
5
Niño Modoki berkaitan dengan anomali penghangatan yang kuat di pasifik tropis bagian tengah disertai dengan pendinginan di wilayah bagian timur dan baratnya (Gambar 4b). Sehubungan dengan pola penghangatan dan pendinginan yang tidak biasa ini, telekoneksinya pun sangat berbeda dari pola telekoneksi El Niño Konvensional. Oleh karena itu, fenomena yang termasuk baru ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kajian komunitas peneliti iklim global dunia (JAMSTEC 2011). a. El Niño Konvensional
b. El Niño Modoki
Gambar 4
Pola Penghangatan El Konvensional dan El Modoki di Pasifik tropis. (Weng et al. 2007)
Istilah El Niño Modoki pertama kali diperkenalkan dan dipublikasikan oleh Toshio Yamagata dalam berbagai press release media informasi Jepang terkait penjelasannya dalam hal kemungkinan penyebab kondisi iklim musim panas yang tidak normal di Jepang pada tahun 2004 (seperti dikutip dalam Japan Times pada 24 Juli 2004 dibawah judul “Mock El Niño: culprit behind heat wave, floods”. Toshio Yamagata adalah seorang Profesor di Universitas Tokyo dengan spesialisasi bagian dinamika iklim global. Fenomena yang sepintas terlihat seperti El Niño di Pasifik bagian tengah pada tahun 2004 telah memicu terjadinya gelombang panas dan banjir di berbagai belahan wilayah Jepang. Yamagata (2004) mengatakan bahwa peningkatan aSML di wilayah ini mampu mengaktifkan arus konveksi dan memicu terbentuknya tekanan yang lebih tinggi di Pasifik tengah. Di Jepang berakibat musim panas yang lebih hangat dari kondisi musim panas normalnya. Sedangkan untuk dampak di Indonesia, masih belum dikaji secara mendalam.
Niño Niño
Menurut Ashok et al. (2007), keberadaan pola aSML yang tidak biasa ini (Gambar 4b) juga pernah ditemukan oleh para peneliti sebelumnya seperti Weare et al. (1976), Rasmusson dan Carpenter (1982), Donguy dan Dessier (1983), dan Meyers et al. (1999). Namun baru diteliti secara mendalam oleh Yamagata (2004) beserta timnya dari Japan Agency for Marine-Earth Science Technology (JAMSTEC), karena sifat khusus yang terlihat berbeda jelas dengan El Niño Konvensional, bahkan berbeda dari yang didefinisikan oleh NOAA (2003). Dengan mengacu kepada pola unik dan tidak biasa anomali suhu muka laut hasil observasi tahun 2004 di sepanjang Pasifik tropis, Ashok et al. (2007) menamakan pemanasan yang hanya terkonsentrasi di wilayah Pasifik tropis bagian tengah (mencakup wilayah Niño4) dan diapit oleh aSML yang lebih dingin di bagian timur dan baratnya sebagai El Niño Modoki (Pseudo El Niño).
Gambar 5 Komposit aSML (ºC) selama kejadian El Niño Modoki positif kuat (a) tujuh musim panas boreal, yaitu musim JJAS 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002, dan 2004 (b) delapan musim dingin boreal, yaitu musim DJF 1979–80, 1986– 87, 1990–91, 1991–92, 1992–93, 1994–95, 2002–03, dan 2004–05. Nilai Signifikan di atas selang kepercayaan 95% dari uji t–student dua arah. (Ashok et al. 2007) Gambar 5 dapat memperjelas gambaran bahwa pada musim panas boreal JJAS terlihat adanya dua kutub penghangatan di Pasifik
6
bagian tengah. Pola penghangatan yang unik ini semakin terlihat dengan jelas pada musim dingin boreal DJF. Istilah boreal mengacu pada kondisi iklim di belahan bumi utara. Istilah El Niño Modoki sekarang sudah populer di kalangan peneliti dan pengamat iklim global terutama di Jepang dan Asia. Ashok et al. (2007) menjelaskan bahwa kata Modoki berasal dari bahasa Jepang klasik yang berarti “serupa tapi tidak sama” (similar but different thing), mengacu kepada fenomena yang menyerupai El Niño Konvensional namun jelas berbeda secara spasial dan temporal serta bersifat independen dari fenomena El Niño Konvensional. Berawal dari tujuan untuk menjelaskan fenomena unik 2004 di Pasifik tengah dengan definisi yang tepat, Ashok et al. (2007) mengklasifikasikan kejadian 2004 dan kejadian lain yang serupa sebagai suatu entitas yang berbeda dengan El Niño Konvensional, sehingga menghasilkan pola telekoneksi yang juga berbeda. Pola unik ini semakin sering terjadi sejak akhir tahun 1970–an hingga sekarang. Tercatat beberapa kejadian unik El Niño Modoki sepanjang 1979–2004: 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002, dan 2004. Anomali suhu muka laut positif yang berlangsung lama dari tahun 1990–1994 disebut sebagai El Niño Modoki yang berlarut–larut. Ada juga yang menyebut bahwa kejadian ini merupakan El Niño yang berlangsung sangat lama. Yeh et al. (2009) menyatakan kejadian El Niño Pasifik tengah (istilah lain yang mengacu kepada El Niño Modoki) akan lebih sering ditemukan jika pemanasan global terus meningkat. Pola aSML El Niño Modoki yang tidak biasa bukan merupakan bagian dari evolusi El Niño Konvensional sebagaimana yang disebutkan oleh Trenberth dan Stepaniak (2002). Jika hipotesis tersebut berlaku, maka kondisi El Niño Modoki pada musim panas boreal 2004 sudah diikuti (didahului) oleh El Niño Konvensional setelahnya (sebelumnya) dengan perkiraan lag time 3–12 bulan. Tapi pada kenyataannya, berdasarkan data observasi aSML Niño3 dan Niño3.4 tidak satu pun dari hal yang disebutkan diatas terjadi. Hanya kejadian periode 1982–1983 yang sesuai dengan hipotesis tersebut. Tahun 1997 yang disebut sebagai El Niño Konvensional sangat kuat didahului oleh El Niño Modoki yang sangat lemah. Hipotesis ini juga tidak berlaku pada kejadian El Niño 1990–1994 yang berlarut–larut (Ashok et al. 2007).
Gambar 6
Wilayah Perhitungan El Niño Modoki Index. (Ashok et al. 2007)
Secara matematis, Ashok et al. (2007) mendefinisikan El Niño Modoki melalui suatu persamaan sebagai berikut: EMI = [SSTA]Central – (0.5[SSTA]East + 0.5[SSTA]West) Keterangan: [SSTA]Central = 165⁰E–140⁰W, 10⁰S–10⁰N = 110⁰W–70⁰W, 15⁰S–5⁰N [SSTA]East = 125⁰E–145⁰E, 10⁰S–20⁰N. [SSTA]West SSTA yang merupakan singkatan dari Sea Surface Temperature Anomalies merupakan istilah global yang merujuk pada anomali suhu muka laut (aSML). Persamaan diatas menghasilkan suatu indeks yang dikenal sebagai El Niño Modoki Index (EMI). EMI menjadi tolak ukur kejadian El Niño Modoki. Gambar 6 mendeskripsikan cakupan wilayah dalam perhitungan EMI. Menurut Ashok et al (2007), aSML dikategorikan termasuk ke dalam fase El Niño Modoki kuat ketika amplitudo indeksnya ≥ 0.7σ, dengan σ adalah standar deviasi musiman, sehingga berdasarkan ketentuan tersebut diperoleh 0.50⁰C dan 0.54⁰C sebagai threshold EMI untuk musim panas (boreal summer) dan musim dingin (boreal winter). b.
Mekanisme Fisik El Niño Modoki Pada kondisi normal, air permukaan laut dan udara yang lebih hangat didorong ke arah barat oleh angin dominan yang bertiup. Akibatnya terjadi upwelling air laut yang dingin di sisi timur dan pendangkalan termoklin (lapisan pembatas di bawah permukaan laut yang menunjukkan perbedaan tajam antara air lapisan atas yang lebih hangat dengan air permukaan bagian bawah yang lebih dingin). Kondisi Oseanografi yang berlawanan berlaku di bagian barat. Sehingga di atmosfer, sisi barat lebih hangat dan lebih basah. Berdasarkan Gambar 7a, warna kemerahan menunjukkan kondisi suhu muka laut yang lebih hangat, warna kebiruan
7
menunjukkan suhu muka laut yang lebih dingin. a. Kondisi Normal
secara spasial (keruangan). Keadaan ini disebabkan oleh posisi Indonesia yang dilewati oleh garis khatulistiwa dan keberadaannya diantara dua benua dan dua samudera. Selain itu keadaan Indonesia yang memiliki banyak pulau besar dan kecil dengan topografi yang beragam juga dapat mengakibatkan tingginya keragaman hujan di Indonesia. Karena memiliki tingkat keragaman yang tinggi, kondisi data curah hujan di Indonesia memerlukan observasi yang panjang dengan perwakilan sebaran data yang memadai (As-Syakur 2010).
b. El Niño Modoki
Gambar 7
Skematik Kondisi Normal dan El Niño Modoki. (Ashok & Yamagata 2009)
Kejadian El Niño Modoki (Gambar 7b) merupakan sejenis kondisi anomali yang perbedaannya sangat jelas dengan El Niño Konvensional. SML yang lebih hangat terbentuk di Pasifik bagian tengah, diapit dengan SML yang lebih dingin di kedua sisi barat dan timurnya. Sehingga pola khusus konveksi atmosfer yang terjadi adalah tekanan udara di sisi timur dan barat yang lebih tinggi akibat udaranya yang lebih dingin membuat angin yang bertiup berasal dari kedua kutub tersebut menuju ke bagian tengah Pasifik tropis ekuator. Angin tersebut mengakibatkan awan-awan konvektif yang bersumber dari sisi barat dan timur berpusat di bagian tengah. Sehingga wilayah Pasifik bagian tengah mengalami anomali yang tidak biasa menjadi lebih basah dan kedua sisi yang mengapitnya akan lebih kering akibat penarikan awan-awan konvektif itu sendiri. 2.3
Keragaman Curah Hujan Wilayah Indonesia 2.3.1 Karakteristik Curah Hujan Wilayah Indonesia Hujan merupakan salah satu unsur iklim yang paling sering dikaji di Indonesia karena memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi baik secara temporal (waktu) maupun
Gambar 8 Pola Curah Hujan di Indonesia; terbagi menjadi 3, wilayah A (Monsoonal) pada garis tebal, wilayah B (Equatorial) pada garis samar pendek dan Wilayah C (Local) pada garis samar panjang (Aldrian & Susanto 2003) Berdasarkan Gambar 8, pola curah hujan di Indonesia memiliki tiga tipe (Aldrian & Susanto 2003), yaitu: 1. Monsoonal; ciri khusus wilayah yang memiliki tipe monsunal adalah hujan berlangsung selama enam bulan dan enam bulan berikutnya berlangsung musim kemarau. 2. Equatorial; ciri khusus wilayah tipe curah hujan ekuatorial ditandai dengan sifat hujannya yang memiliki dua puncak maksimum dalam setahun, biasa berlangsung pada bulan Maret dan Oktober. 3. Local; ciri khusus wilayah tipe hujan lokal berbalikan dengan tipe monsunal. 2.3.2 Faktor Pengendali Curah Hujan Wilayah Indonesia Ditinjau dari pergeseran posisi matahari maka Indonesia yang terletak di sekitar ekuator mengalami dua kali pemanasan maksimum, yaitu ketika matahari bergerak ke selatan melintasi ekuator, dan pada waktu kembali ke utara melintasi ekuator. Keadaan ini menyebabkan puncak aktivitas konveksi
8
yang menghasilkan hujan terjadi dua kali, yang pada umumnya dapat dilihat pada pola curah hujan bulanan yang memiliki dua puncak. Dengan demikian maka iklim di daerah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor global, faktor regional, dan faktor lokal (Tabel 1). Menurut Aldrian dan Susanto (2003), efek kejadian El Niño pada curah hujan di Indonesia akan dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan Desember. Curah hujan wilayah bagian selatan Indonesia atau wilayah A merupakan daerah sensitif El Niño sementara curah hujan di wilayah C yang terletak di bagian timur Indonesia juga merupakan wilayah sensitif El Niño. Gambar 9 menjelaskan secara skematik mekanisme sirkulasi global seperti El Niño ikut mempengaruhi curah hujan Indonesia. Tabel 1 Faktor–faktor yang Mempengaruhi Cuaca dan Iklim Indonesia Faktor Faktor Faktor Global Regional Lokal Skala Skala Besar Skala Kecil Sedang Intra Interannual Seasonal Seasonal Monsoon Dingin Asia Monsoon Panas Asia Topografi Pemanasan dan Monsoon Global Geografi Dingin Daratan Australia Monsoon Panas Australia Seruak Laut Cina Selatan ENSO Orografi Seruak Pantai Barat Australia Angin Angin Pasat Sirkulasi Lokal (Trade Laut di (Angin wind) Indonesia Darat dan Laut) Interaksi Osilasi harian Madden ITCZ Daratan dan Julian Lautan Sirkulasi Global Siang dan ARLINDO (Walker– Malam Hadley) (Sumber: Purwandani et al. 1998)
Pada saat ini, kemungkinan memperoleh data curah hujan yang diperlukan dalam berbagai aplikasi ilmiah dapat diperoleh dari satelit meteorologi. Satelite meteorologi dapat menyediakan data hujan dengan sebaran yang lebih baik serta dengan penggabungan berbagai jenis satelite dan data dari pos pengamatan hujan dalam suatu model iklim akan lebih mampu meningkatkan keakuratan data yang dihasilkan oleh satelite meteorologi. Karena sebaran keberadaan pos penakar hujan tidak merata khususnya di daerah dengan topografi sulit, daerah tidak berpenghuni, dan di daerah sekitar lautan mengakibatkan berkurangnya tingkat keakuratannya dalam menampilkan sebaran pola spasial curah hujan (As–Syakur 2010).
Gambar 9
Skema faktor pengendali curah hujan wilayah Indonesia. (BMKG 2011)
III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Pemodelan Iklim (Moklim) Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung dan Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB selama bulan Maret–September 2011. 3.2 Alat dan Bahan Seperangkat Personal Computer dan perangkat lunak; Microsoft office, Matlab versi R2008a, SPSS versi 16, GrADS 2.0 adalah alat yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun data yang digunakan sebagai berikut: a. Data utama berupa data EMI dan curah hujan.
9
¾ Data El Niño Modoki Index (EMI), berupa data deret waktu anomali suhu muka laut bulanan (⁰C) hasil perhitungan tiga wilayah formulasi El Niño Modoki dengan periode waktu 1970–2010. Data EMI diperoleh dari website JAMSTEC Jepang: http://www.jamstec.go.jp/frcgc/researc h/d1/iod/DATA/emi.monthly.txt ¾ Data observasi curah hujan rata-rata bulanan (mm/bulan) beberapa wilayah bertipe hujan monsun di Indonesia, yaitu Lampung (Sumatera), Indramayu (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), Banjar Baru (Kalimantan Selatan), dan Sumbawa Besar (Nusa Tenggara Barat) periode 1970–2000. Data pengamatan tersebut merupakan data stasiun meteorologi/klimatologi setempat, bersumber dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). ¾ Data curah hujan bulanan satelit TRMM 3B43 tahun 1998 – 2010, dapat diperoleh di website: ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/TRM M/Gridded/3B43_V6/ Data satelit TRMM 3B43 memiliki resolusi temporal bulanan dan resolusi spasial 0.25°x0.25° (NASDA 2001). Cakupan pengamatan datanya adalah global, 50°N– 50°S dan 180°E–180°W, dan tersedia dari bulan Januari 1998 sampai sekarang. Namun dalam penelitian ini, data TRMM 3B43 yang digunakan dibatasi pada periode 1998–2010. Wilayah kajian yang dipilih adalah: ¾ Lampung (Sumatera), ¾ Indramayu (Jawa Barat), ¾ Makassar (Sulawesi Selatan), ¾ Banjar Baru (Kalimantan Selatan), ¾ Sumbawa Besar (Nusa Tenggara Barat), Kelima wilayah yang dipilih dianggap mewakili daerah di Benua Maritim Indonesia (BMI) yang bertipe curah hujan monsunal. b. Data pendukung, berupa data aSML empat wilayah Niño. ¾ Data anomaly SML wilayah Niño periode 1970–2010, merupakan data anomali suhu permukan laut bulanan di sepanjang Samudera Pasifik tropis bagian timur dan tengah yang terdiri atas Niño1+2, Niño3, Niño4, Niño3.4 dan dapat diperoleh di website: http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/ind ices/SSToi.indices
3.3 Metode Penelitian Pelaksanaan tugas akhir dibagi menjadi beberapa metode analisis, yaitu: 3.3.1 Metode Analisis Temporal Data deret waktu adalah data yang merupakan fungsi atas waktu dan antar pengamatannya terdapat suatu hubungan yang disebut dengan istilah berautokorelasi, sehingga untuk menyajikan bentuk hubungan fungsional antara data dengan waktunya tidak bisa menggunakan metode analisis regresi biasa. Mulyana (2004) menyatakan bahwa salah satu metode dalam analisis temporal data deret waktu yang jarang dibahas padahal peranannya sangat besar dalam melengkapi informasi mengenai ciri (characters) suatu data deret waktu adalah analisis spektral. Mulyana (2004) menyatakan bahwa analisis spektral membahas mengenai cara menelaah periodisitas data tersembunyi (hidden periodecities) yang sulit diperoleh pada saat kajian dilakukan pada kawasan (domain) waktu. Kajian periodisitas data perlu dilakukan untuk menambah informasi mengenai karakteristik dari data deret waktu tersebut, dan harus dilakukan pada kawasan frekuensi melalui analisis spektral. Analisis temporal data deret waktu dengan metode FFT/PSD (Fast Fourier Transform / Power Spectral Density) dan Wavelet digunakan untuk mengetahui pola osilasi dominan dan karakterisitik temporal dari masing-masing indeks fenomena iklim global yang dikaji. Indeks fenomena iklim global yang dimaksud adalah aSML EMI dan aSML Niño. Periode yang dipilih adalah deret 1979– 2010 dalam satuan ⁰C. Pola osilasi dominan diketahui dengan puncak tertinggi pada alur PSD yang menunjukkan energi spektral terbesar, sedangkan variasinya terhadap waktu dapat diketahui dengan metode Wavelet. a. Metode Spektral FFT/PSD Salah satu metode analisis spektral yang umum digunakan adalah metode FFT. Data deret waktu dapat dinyatakan sebagai deret fourier yang merupakan fungsi harmonis, sehingga dengan membangun fungsi spektrum kuasanya, periodisitas data dapat ditentukan. Transformasi Fourier biasa digunakan untuk interpretasi fisis sederhana dari suatu sinyal, untuk memperlihatkan frekuensi yang terdapat dalam sebuah sinyal. Tetapi untuk menentukannya tidak dapat dilakukan dalam domain waktu, melainkan harus dalam domain frekuensi sebab fungsi spektrum kuasa merupakan fungsi atas autokorelasi dengan frekuensi. Jika dilakukan pendugaan
10
terhadap fungsi spektrum kuasa dan nilai-nilai pendugaannya itu dipetakan terhadap frekuensinya, maka akan diperoleh sebuah garis spektrum. Periodisitas (osilasi dominan) data ditentukan dengan cara melihat frekuensi yang berpasangan dengan titik-titik puncak garis spektrumnya (Mulyana 2004).
Gambar 10 Skema Transformasi Fourier. Transformasi Fourier membawa sinyal dari domain waktu ke dalam domain frekuensi/periode. (Tang 2009) Definisi deret fourier adalah sebagai berikut (Hermawan 2003): ∞
/ / / / / /
cos
sin
….. (1)
…………… (3) ……………... (4)
…..……………... (5)
Persamaan ini merupakan analisis fourier dari f(t). Langkah berikutnya adalah melakukan invers transformasi Fourier sebagai berikut: ∞ ∞
b. Metode Wavelet Seperti halnya transformasi fourier, transformasi Wavelet digunakan juga untuk menganalisis sinyal ataupun data. Transformasi Wavelet (TW) adalah suatu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis mode keragaman dominan dan bagaimana variasinya terhadap waktu, dengan mendekomposisi deret waktu ke dalam domain waktu-frekuensi. Berbagai kajian di bidang oseanografi, meteorologi, dan geofisika menggunakan transformasi Wavelet, seperti ENSO dan monsun (Tang 2009).
…………………… (2)
Tranformasi Fourier (tranformasi Fourier kompleks atau Spektrum Fourier) dari suatu fungsi f(t) adalah F(ω): ∞ ∞
Analisis temporal yang pada kajian ini menggunakan teknik FFT/PSD bertujuan membandingkan karakteristik temporal. Karakteristik temporal ditunjukkan oleh pola periodisitas kejadian berulang fenomena iklim global yang dianalisis, yaitu El Niño Konvensional dan El Niño Modoki. El Niño Konvensional didefenisikan oleh aSML 4 wilayah Niño dan El Niño Modoki didefenisikan oleh EMI.
….....…………….. (6)
Persamaan di atas merupakan sintesis fourier dari f(t), yaitu sintesis dari berbagai komponen spektral F(ω) ke fungsi asalnya f(t). Fungsi f(t) dan F(ω) disebut pasangan fourier, dualisme pasangan fungsi tersebut dinyatakan dengan: f(t) ↔ F(ω). Dengan menggunakan sifat ortogonalitas dari fungsi trigonometri, faktor e–iωt berfungsi sebagai sebuah operator, yang hanya mempunyai komponen berfrekuensi ω dari f(t). F(ω) adalah rata–rata dari komponen f(t) tersebut yang mempunyai frekuensi ω. Apabila F(ω) berada dalam satuan interval frekuensi, kuantitas F(ω) disebut sebagai kerapatan spektral atau spectral density (Hermawan 2003).
Gambar 11 Skema Transformasi Wavelet. (Tang 2009) Metode Wavelet (Gambar 11) digunakan terutama untuk melihat spektrum kuasa global suatu deret waktu dalam satuan periode dan untuk melihat skala variansi rata-rata selama deret waktu tersebut sehingga dapat diketahui pola sinyal sinusoidal yang mengindikasikan karakteristik temporalnya. Pada kajian ini membandingkan antara El Niño Konvensional (Niño3.4) dan El Niño Modoki (EMI). Perangkat lunak yang dipakai pada analisis temporal ini adalah Matlab R2008a. Selain itu, juga dilakukan analisis deret waktu untuk melihat nilai ambang batas normal (threshold) sebagai sinyal terjadinya penyimpangan. Cara menentukan nilai threshold adalah dengan menghitung nilai standar deviasi suatu data deret waktu anomali SML. Para ahli iklim sepakat memilih periode ±30 tahun untuk menyatakan kondisi normal dan ambang batas normal. Untuk memenuhi persyaratan tersebut, periode 1979–2010 dianggap dapat mewakili kondisi umum untuk mendapatkan nilai threshold tersebut. Dengan diketahuinya nilai threshold, selanjutnya dapat ditentukan fase kuat dan fase lemah fenomena global El
11
Niño Konvensional (Niño3.4) dan El Niño Modoki (EMI). Berdasarkan nilai threshold yang diperoleh dan plot data aSML rata-rata bulanan periode 1979–2010 dari fenomena tersebut, maka dapat diklasifikasikan tahun kejadian El Niño Modoki dan El Niño Konvensional. Selain itu, kajian ini juga menyertakan analisis komposit. Analisis komposit merupakan suatu teknik penarikan contoh kemungkinan berdasarkan kondisi rata-rata beberapa kejadian tertentu yang sama, pada kajian ini yaitu terhadap tahun-tahun kejadian El Niño Modoki kuat. Sehingga hasilnya dapat mewakili secara umum perkiraan waktu yang menunjukkan fase mulai terbentuk dan berakhirnya El Niño Modoki. 3.3.2 Metode Analisis Spasial (Hovmoller) Analisis spasial adalah suatu metode yang menjadikan peta sebagai model yang mempersentasikan dunia nyata yang diwakilinya sebagai suatu media analisis. Analisis spasial berguna untuk mendapatkan hasil–hasil analisis yang memiliki atribut keruangan (lintang – bujur) dan waktu. Cara yang lebih baik untuk melihat data deret waktu sepanjang garis transek lintang atau bujur dikenal sebagai diagram Hovmoller (Gambar 12), yang dibangun oleh Ernest Hovmoller (1949).
Gambar 12 Diagram Hovmoller. (NASA 2011) Diagram Hovmoller mempermudah dalam menafsirkan dari plot transek lintang atau bujur suatu wilayah seperti yang dijelaskan oleh Persson (2005). Semua data diambil sepanjang garis dalam ruang (x–axis) di–plot terhadap waktu sepanjang (y–axis) untuk memberikan diagram atau Gambar berdasar ruang–waktu. Diagram hovmoller pada Gambar 12 merupakan cara terbaik untuk memahami bagaimana variasi suhu muka laut pada lintang-bujur tertentu berubah terhadap waktu. Nilai piksel numeriknya mewakili data
deret waktunya. Plot ini biasanya digunakan untuk mempelajari fenomena yang berubah terhadap waktu pada lintang tertentu atau bujur, tetapi belum ada alasan mengapa baris tidak bisa menjadi bentuk diagonal. Plot Hovmoller (Gambar 12) digunakan secara luas dalam oseanografi dan meteorologi, misalnya untuk mempelajari bagaimana fitur seperti curah hujan spasial, pusaran siklon atau gelombang planet bergerak terhadap waktu. Cara terbaik untuk mengamati plot ini adalah dalam bentuk irisan vertikal melalui bidang kubus dari atas ke bawah suatu data aSML atau data curah hujan bulanan rata-rata. Pada kajian ini, data yang dipakai untuk analisis spasial Hovmoller adalah data curah hujan bulanan rata–rata satelit TRMM 3B43 sehingga diperoleh pola interaksi El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan monsunal secara umum di Indonesia. Pola interaksi yang dimaksud adalah pola perubahan penurunan curah hujan spasial wilayah kajian terhadap waktu pada saat tahun normal dibandingkan dengan tahun El Niño Modoki. 3.3.3 Metode Analisis Regresi Istilah “regresi” diperkenalkan oleh Sir Francis Galton pertama kali pada tahun 1886. Menurut Ghozali (2005), analisis regresi mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih dan menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen (terikat) terhadap variabel independen (bebas). Hasil analisis regresi berupa koefisien untuk masing-masing variabel independen. Koefisien determinasi (R2) merupakan suatu ukuran seberapa jauh kemampuan variabel bebas dalam menerangkan variasi variabel terikat. Koefisien korelasi (R) merupakan indeks atau bilangan yang digunakan untuk mengukur keeratan (kuat, lemah, atau tidak ada) hubungan antar variabel (Hasan 2003). Analisis regresi pada kajian ini dilakukan untuk menganalisis kuat atau lemahnya hubungan antara aSML EMI berpengaruh terhadap anomali curah hujan monsunal di wilayah kajian. Selain itu, analisis regresi juga dilakukan pada data aSML Niño untuk melihat wilayah Niño bagian mana yang berhubungan kuat dengan aSML EMI. Hubungan tersebut ditentukan oleh nilai koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (R) dengan uji signifikansi pada selang kepercayaan 95%. Selang kepercayaan merupakan suatu pembatasan untuk menentukan batas minimum dan maksimum suatu estimator.
12
Metode ini memuat nilai-nilai estimator yang masih dianggap benar dalam tingkat kepercayaan tertentu (confidence interval). Misalnya estimasi dari θ berupa selang kepercayaan (1-α)100% dengan (1-α) adalah koefisien/taraf kepercayaan. α adalah taraf nyata atau tingkat signifikansi atau taraf kesalahan. Nilai α yang umum digunakan adalah 0.10; 0.05; 0.01. Dengan demikian, jika α = 0.10 maka akan menghasilkan 90% selang kepercayaan; jika α = 0.05 maka akan memiliki 95% selang kepercayaan; sedangkan α = 0.01 akan menghasilkan 99% selang kepercayaan (Gall 2001). Tabel 2 Nilai Kritis Koefisien Korelasi Pearson (Pearson dalam Nazir 1988) (= N-2) (N= number of pairs)
Level of significance for onetailed test 0.05 0.025 0.01 0.005 Level of significance for twotailed test 0.10 0.05 0.02 0.01
1
0.99
1.00
1.00
1.00
2
0.90
0.95
0.98
0.99
3
0.81
0.88
0.93
0.96
5
0.67
0.75
0.83
0.87
7
0.58
0.67
0.75
0.80
9
0.52
0.60
0.69
0.74
10
0.50
0.58
0.66
0.71
12
0.46
0.53
0.61
0.66
22
0.34
0.40
0.47
0.52
23
0.34
0.40
0.46
0.51
24
0.33
0.39
0.45
0.50
25
0.32
0.38
0.45
0.49
26
0.32
0.37
0.44
0.48
27
0.31
0.37
0.43
0.47
28
0.31
0.36
0.42
0.46
30
0.30
0.35
0.41
0.45
100
0.16
0.20
0.23
0.25
250
0.10
0.15
0.15
0.16
500
0.07
0.09
0.10
0.11
Nilai kritis pada Tabel 2 merupakan suatu perkiraan nilai minimum koefisien korelasi agar dapat dikategorikan signifikan secara statistik. Nilai kritis tersebut ditentukan berdasarkan jumlah pasangan data yang diuji dan batas selang kepercayaan yang digunakan. One-tailed digunakan pada koefisien korelasi
yang bernilai positif atau negatif. Sedangkan two-tailed digunakan pada koefisien korelasi yang bernilai absolut. 3.3.4 Analisis Korelasi Silang Menurut Juanda (2009), waktu yang diperlukan agar timbulnya respon (Y) terhadap suatu pengaruh (X) disebut lag (beda waktu). Spesifikasi dari struktur beda waktu (lag) merupakan suatu fungsi dari satuan yang periode–periode waktu mengenai data tersebut. Umumnya semakin jauh lag dari data peubah Xt–k, maka semakin berkurang pengaruhnya terhadap peubah respon Yt. Untuk menganalisis dan menentukan jeda waktu (time lag) suatu data deret waktu dapat menggunakan metode korelasi silang (cross– correlation) yang diuji pada selang kepercayaan 95% (a=0.05%). Formula perhitungan korelasi silang (Makridarkis & Wheelwright 1989): C
C C
C
S S
...….…… (7)
(merupakan korelasi silang antara deret x dan deret y pada lag ke–k), ∞ …..… (8) C (merupakan kovarian antara deret x dan y pada lag ke–k), C
0
∞
…….…..…… (9)
(merupakan variansi silang peubah x), C
0
∞
……….…… (10)
(merupakan variansi silang peubah y). Analisis korelasi silang (cross correlation) pada kajian ini menggunakan data aSML EMI dan anomali curah hujan monsunal wilayah kajian. Analisis ini dilakukan untuk melihat pengaruh dari fenomena El Niño Modoki terkait pola perubahan curah hujan monsunal di wilayah kajian terhadap waktu yang diistilahkan sebagai lag time atau jeda waktu. Lag time dilihat dari koefisien korelasi silang tertinggi terutama yang berada setelah lag 0 dan mencapai garis selang kepercayaan 95%. Karena asumsi yang dipakai adalah akan terjadi perubahan pola penurunan curah hujan monsunal terhadap kondisi normal pada selang waktu tertentu setelah pola penghangatan El Niño Modoki terbentuk. Sehingga analisis tersebut menghasilkan pola interaksi waktu terjadinya El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan monsunal wilayah kajian.
13
Gambar 13 Diagram metodologi penelitian.
IV. PEMBAHASAN Adanya perubahan karakteristik dan perilaku ENSO (El Niño–Southern Oscillation) di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah yang disebut sebagai El Niño Modoki (Ashok et al. 2007) semakin menambah kompleksitas dan dinamika kajian interaksi atmosfer dan lautan. Fenomena El Niño Modoki yang baru dipublikasikan oleh Badan Riset Kelautan Jepang, JAMSTEC, menarik perhatian para peneliti iklim dunia dan masih terus dikaji hingga sekarang. Karena El Niño (baik bertipe Konvensional maupun Modoki) masih menjadi faktor dominan yang mempengaruhi keragaman iklim global. Bahkan kondisi iklim di beberapa belahan dunia sangat dipengaruhi secara kuat oleh kedua fenomena iklim global tersebut. Indonesia yang diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia menjadi suatu kawasan yang tidak terlewati oleh pengaruh fenomena iklim global. Selain membahas tentang pengaruh El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan monsunal di Indonesia, kajian penelitian ini diawali dengan membandingkan antara El Niño Konvensional dan El Niño Modoki berdasarkan sudut pandang temporal.
Data yang digunakan adalah data anomali suhu muka laut (aSML). Data aSML 4 wilayah Niño di sepanjang Pasifik tropis, yaitu: Niño1+2, Niño3, Niño4, dan Niño3.4 digunakan untuk mendefinisikan kejadian El Niño Konvensional. Sedangkan data EMI (El Niño Modoki Index) mendefinisikan kejadian El Niño Modoki. Data anomali SML Niño3.4 dan EMI dipilih dalam membandingkan kejadian El Niño Konvensional dan El Niño Modoki. 4.1 El Niño Konvensional dan El Niño Modoki Data aSML Samudera Pasifik ekuator untuk setiap wilayah Niño yang dipilih sebagai periode kajian adalah data rata-rata bulanan deret waktu ±30 tahun periode 1979– 2010. Pemilihan deret waktu ini terkait dengan syarat klimatologis bahwa diperlukan data ±30 tahun untuk menyatakan kondisi normal. Periode 1979–2010 dipilih bukan disebabkan oleh data aSML yang dikaji mulai tersedia pada tahun tersebut, akan tetapi terkait dengan ketersediaan kualitas data yang lebih baik dan dapat diandalkan. Mengacu kepada Ashok et al (2007), hal lain yang menjadi pertimbangan adalah untuk menghindari adanya stratifikasi peristiwa sebelum dan setelah pergeseran rezim Pasifik
14
yang terjadi sepanjang pertengahan tahun 1970–an (Nitta dan Yamada 1989, Stephens et al. 2001; Deser et al. 2002, Hartman dan Wendler 2005; untuk referensi lebih lanjut dan terperinci). Sehingga periode ini dapat mewakili kondisi terkini dari perkembangan kajian interaksi atmosfer dan lautan terutama di Samudera Pasifik ekuator. 4.1.1 Analisis Regresi Empat Indeks Niño terhadap El Niño Modoki Index Analisis regresi antara indeks Niño terhadap EMI pada kajian ini dilakukan untuk menghasilkan koefisien determinasi (R2) antara 4 indeks Niño terhadap EMI. Untuk membandingkan fluktuasi sinyal anomali SML EMI terhadap anomali SML 4 wilayah Niño, dilakukan plot data deret waktu periode 1979–2010. Analisis regresi tersebut menghasilkan koefisien determinasi (R2) indeks Niño4 terhadap EMI 0.57, sedangkan dengan indeks Niño yang lain hanya 0.07, 0.03, dan 0.23 untuk Niño1+2, Niño3, dan Niño3.4 (Gambar 14). Nilai R2 diuji pada selang kepercayaan 95%. Nilai p-value 0.00 membuktikan bahwa hasil ini sangat signifikan pada selang
kepercayaan 95%. Artinya, ada hubungan yang erat antara EMI terutama terhadap Niño4. Pola deret waktu wilayah Niño yang mendekati pola anomali SML EMI adalah Niño4. Kemiripan pola antara anomali SML EMI dan Niño4 yang ditunjukkan oleh Gambar 15c berhubungan dengan letak Niño4 yang berada tepat di Samudera Pasifik ekuator bagian tengah dan termasuk dalam wilayah yang menjadi dasar perhitungan indeks EMI. Sehingga kejadian bertipe El Niño Modoki juga sering disebut oleh para peneliti iklim global sebagai El Niño Pasifik Tengah (Central Pacific El Niño). Berdasarkan hasil tersebut, maka ketika menggunakan anomali SML wilayah Niño4 untuk mendefinisikan El Niño Konvensional tidak hanya melihat indeks anomalinya saja tetapi juga perlu melihat pola penghangatan suhu muka lautnya karena berpeluang mengarah pada pola penghangatan bertipe El Niño Modoki terutama setelah tahun 1978. Hasil tersebut semakin mempertegas kajian Ashok dan Yamagata (2009) terkait penggunaan Niño4 tersebut, terutama setelah tahun 1978.
Gambar 14 Analisis regresi aSML EMI terhadap aSML 4 wilayah Niño.
15
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 15 Plot deret waktu aSML 4 wilayah Niño dan EMI periode 1979 – 2010. 4.1.2 Perbandingan Pola Osilasi Dominan El Niño Modoki dan El Niño Konvensional Menelaah periodisitas deret waktu tidak dapat dilakukan dalam kawasan (domain) waktu, tetapi harus dalam kawasan (domain) frekuensi melalui analisis spektral. Untuk itu dilakukan analisis spektral dengan metode Power Spectrum Density (PSD) pada perangkat lunak Matlab terhadap aSML EMI dan Niño periode 1979–2010. PSD sebagai suatu cara untuk menganalisis sinyal fluktuasi didasarkan pada asumsi bahwa suatu sinyal fluktuasi dibangun dari gelombang sinus dan cosinus dalam berbagai frekuensi. Analisis PSD menghasilkan pola osilasi dominan suatu data deret waktu. Gambar 16 menunjukkan hasil analisis PSD terhadap data aSML EMI dan Niño3.4 yang masing–masingnya mewakili kejadian El Niño Modoki dan El Niño Konvensional. Penentuan pola osilasi dominannya berdasarkan pada puncak energi spektral tertinggi masing–masing kejadian. Sehingga diperoleh hasil bahwa pola osilasi dominan paling kuat untuk Niño3.4 berada pada skala periodisitas 48–62 bulanan (Gambar 16,
perhatikan puncak energi spektral untuk warna coklat muda). Sedangkan energi spektral paling kuat aSML EMI berada pada skala periodisitas 62–94 bulanan (Gambar 16, perhatikan puncak energi spektral untuk warna biru tua). Pola osilasi dominan El Niño Modoki hampir mendekati pola dekadal sepuluh tahunan. Kata "osilasi" disini digunakan untuk menunjukkan adanya fluktuasi berulang data deret waktu, terlepas dari apakah fluktuasi tersebut berulang secara teratur atau tidak. Sehingga dapat ditandai bahwa periode ulang kejadian El Niño Konvensional adalah sekali dalam skala waktu 4–5 tahunan. Sedangkan kejadian El Niño Modoki dapat berulang dalam skala waktu 5–8 tahunan. Berdasarkan periode ulang kejadian El Niño Konvensional terjadi sekali dalam skala waktu 4–5 tahunan, maka kemungkinan kejadian berulangnya dalam satu dekade adalah dua kali. Dengan membagi deret waktu 1979–2010 menjadi tiga periode waktu 10 tahunan, maka data aSML Pasifik tropis periode 1979–1989, 1990–2000, 2001–2010 dapat menjelaskan perkembangan kejadian El Niño selama tiga dekade tersebut.
16
Gambar 17 menunjukkan bahwa periode 1979–1989 menunjukkan dua frekuensi sinyal yang kuat dan dominan dari kejadian El Niño Konvensional (warna coklat muda), ditandai dengan 2 kejadian El Niño Konvensional yang kuat pada tahun 1982 dan 1987. Pada periode berikutnya tahun 1990–2000, pola osilasi dominan El Niño Konvensional tidak dapat terlihat dengan jelas. Walaupun pada periode tersebut juga terdapat 2 kejadian El Niño Konvensional yang kuat yaitu pada tahun 1991/92 dan 1997, namun data deret waktunya menunjukkan pola yang tidak menentu. Sebagaimana terlihat pada tahun 1991–1994 yang disebut sebagai suatu
kejadian El Niño Konvensional yang berlarutlarut. Hal ini disebabkan selama tahun tersebut terjadi anomali penghangatan dari kondisi normal suhu muka laut di wilayah Samudera Pasifik Tropis bagian timur dan tengah. Status aSML pada 1991–1994 dapat dikatakan konsisten berada pada fase positif, terutama pada tahun 1994. Kejadian menghangatnya aSML Samudera Pasifik Tropis dari kondisi normal (terutama pada bagian tengah) pada tahun 1994 dapat dijelaskan oleh El Niño Modoki. Karena sinyal fase positif EMI pada tahun ini sangat kuat (Gambar 17 warna biru tua).
Gambar 16 Periodisitas aSML Niño dan EMI 1979 – 2010.
Gambar 17 Plot deret waktu aSML EMI dan Niño3.4 periode 1979 – 2010.
17
Berbeda dengan dua dekade sebelumnya didominasi oleh frekuensi kejadian El Niño Konvensional kuat dua kali per dekade, maka sinyal frekuensinya untuk periode 2001–2010 mulai berubah. Hal ini dibuktikan oleh plot deret waktu yang menunjukkan fluktuasi sinyal aSML El Niño Konvensional (Gambar 18a) yang semakin sering mengarah ke fase positif dalam waktu yang tidak menentu. Sehingga periodisitas kejadian El Niño Konvensional yang seharusnya terjadi setiap 4–5 tahunan cenderung berubah periode ulang kejadiannya. Bersamaan dengan itu, pola aSML El Niño Modoki yang tidak biasa semakin sering muncul dan bertahan pada fase positif (Gambar 19a).
Gambar 18b dan 19b, sumbu x merupakan waktu kejadian sedangkan sumbu y merupakan periode kejadian El Niño (Konvensional dan Modoki). Spektrum warna Wavelet yang semakin mengarah ke warna merah pekat menunjukkan anomali suhu muka laut yang semakin menghangat dan spektrum warna Wavelet yang semakin mengarah ke warna biru pekat menunjukkan anomali suhu muka laut yang semakin mendingin. Spektrum warna yang semakin merah tersebut mengartikan bahwa aSML berada pada fase positif di atas 0⁰C. Spektrum warna yang semakin mengarah ke warna biru mengartikan bahwa aSML berada pada fase negatif antara di bawah 0⁰C.
Gambar 18 Analisis Wavelet El Niño Konvensional (Niño3.4) periode 1979–2010 (a) plot deret waktu (b) spektrum kuasa Wavelet (c) spektrum Wavelet global (d) rata–rata varians.
Gambar 19 Analisis Wavelet El Niño Modoki (EMI) periode 1979–2010 (a) plot deret waktu (b) spektrum kuasa Wavelet (c) spektrum Wavelet global (d) rata–rata varians.
18
Analisis Wavelet pada Gambar 18b menunjukkan bahwa kejadian El Niño Konvensional tahun 1987 dan 1997 merupakan kejadian yang sangat kuat. Hal ini diketahui dengan melihat warna merah pekat pada spektrum kuasa Wavelet (Gambar 18b) yang menandakan anomali suhu muka laut berada pada skala positif kuat. Spektrum Wavelet global (Gambar 18c) semakin mempertegas bahwa osilasi dominan El Niño Konvensional berada pada periodisitas ~48 bulanan. Hal ini terlihat dari puncaknya yang berada di pertengahan skala 32–64 bulanan dengan 48 bulanan sebagai nilai tengahnya. Rata-rata varians merupakan suatu kisaran nilai rata-rata data menyimpang dari kondisi normalnya. Analisis variansi pada Gambar 18d dan 19d menunjukkan bahwa pada periode 2000–an penghangatan Pasifik tropis bertipe El Niño Modoki lebih berperan aktif dibandingkan tipe El Niño Konvensional. Hal ini dipertegas secara visualisasi dengan analisis Wavelet spektrum kuasa (Gambar 18b dan 19b) dimana pada periode tersebut spektrum warna El Niño Modoki lebih berwarna merah gelap. Ashok, Behera, dan Yamagata (2007); Yeh et al (2009) telah mengatakan bahwa kejadian El Niño Modoki akan semakin lebih sering ditemukan pada periode 2000–an seiring intensitas pemanasan global yang terus meningkat. Spektrum wavelet tersebut juga menegaskan bahwa kejadian El Niño Konvensional dan El Niño Modoki memiliki ukuran sebaran data anomali SML yang berbeda. Dengan melihat kondisi hangat yang ditunjukkan oleh spektrum warrna merah, anomali positif kuat SML Niño3.4 dapat mencapai +4⁰C. Sedangkan anomali positif kuat SML EMI hanya mencapai +1⁰C. Ukuran sebaran data aSML El Niño Modoki yang lebih rendah dibandingkan El Niño Konvensional disebabkan oleh EMI sebagai hasil formulasi tiga wilayah perhitungan yang mencakup pola penghangatannya di sepanjang Pasifik tropis. Nilai ambang batas (threshold) untuk menunjukkan fase kuat kedua kejadian tersebut diperoleh dengan menghitung nilai standar deviasi data deret waktu 1979–2010 dari masing–masing indeks. Untuk kejadian El Niño Konvensional diperoleh threshold aSML 0.93⁰C dan El Niño Modoki 0.53⁰C. Menurut Ashok et al (2007), aSML dikategorikan termasuk ke dalam fase El Niño Modoki kuat ketika amplitudo indeksnya ≥ 0.7σ, dengan σ adalah standar deviasi musiman, sehingga berdasarkan ketentuan
tersebut diperoleh 0.50⁰C dan 0.54⁰C sebagai threshold EMI untuk musim panas (boreal summer) dan musim dingin (boreal winter). Berdasarkan nilai ambang batas normal anomali EMI, dapat diklasifikasikan bahwa tahun–tahun 1982, 1987, 1991–1994, 1997, 2002, 2004, 2006, dan 2009 merupakan tahun El Niño Konvensional. Diantara tahun-tahun tersebut, fase terkuat terjadi pada 1982, 1987, dan 1997. Tahun kejadian El Niño Modoki adalah 1986, 1990,1991, 1992, 1994, 2002, 2004, dan 2009/2010 dengan fase kuat terjadi pada tahun 1994, 2002, 2004, dan 2009/2010. Periode tahun 2001–2010 menunjukkan ketidakteraturan masing–masing pola sinyal periodisitas, terutama El Niño Konvensional. Fluktuasi sinyal aSML EMI positif semakin meningkat hingga melampaui threshold kondisi normal (0.53⁰C) pada tahun 2002, 2004, dan 2009/2010 (Gambar 17 warna biru). Menurut Yeh et al. (2009), hal ini dipicu oleh suhu bumi yang semakin menghangat terkait pemanasan global. 4.1.3 Pola Penghangatan El Niño Modoki Ashok et al. (2007) telah mendefinisikan El Niño Modoki Index (EMI) sebagai suatu indeks anomali gabungan dari 3 wilayah perhitungan, yaitu wilayah Pasifik tropis bagian tengah, timur, dan barat. Sesuai dengan sifat aSML tripolarnya yang unik, maka secara matematis EMI diformulasikan dengan menggunakan istilah Box A, Box B, dan Box C. Box A mewakili wilayah Pasifik tropis bagian tengah (165⁰E–140⁰W, 10⁰S–10⁰N), Box B mewakili wilayah Pasifik tropis bagian timur (110⁰W–70⁰W, 15⁰S–5⁰N), dan Box C mewakili wilayah Pasifik tropis bagian barat (125⁰E–145⁰E, 10⁰S–20⁰N). Pada Gambar 20 terlihat bahwa pola sinyal penghangatan ketiga wilayah perhitungan tidak selalu sama pada setiap kejadian El Niño Modoki kuat. Walaupun secara umum dikatakan bahwa El Niño Modoki terjadi jika aSML wilayah Pasifik tropis bagian tengah lebih hangat dari kondisi normal dan diapit oleh kondisi yang lebih dingin di sisi barat dan timurnya (Ashok et al. 2007), bukan berarti bahwa aSML di Pasifik tropis bagian barat dan timur akan selalu berada pada fase negatif di setiap kejadian bertipe El Niño Modoki. Gambar 20 membuktikan bahwa setiap kejadian El Niño Modoki memiliki pola pendinginan di sisi barat dan timur Pasifik tropis yang berbeda. Adakalanya Pasifik tropis bagian tengah yang lebih hangat dari normal diapit oleh kondisi anomali negatif di sisi barat namun di sisi timur tetap positif
19
dengan anomali yang lebih rendah daripada di bagian tengah. Seperti tahun 1991 dan 1994, Pasifik tropis bagian tengah diapit oleh pasifik timur yang juga menghangat tapi jika keduanya dibandingkan maka kondisi bagian tengah (Box A) jauh lebih hangat daripada di bagian timur (Box B). Pada saat yang bersamaan, kondisi di sisi barat Pasifik tropis memang jauh lebih dingin bahkan mengarah kepada anomali negatif (Box C). Kekeringan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1994 dapat dijelaskan oleh kejadian El Niño Modoki yang berada pada status positif kuat, bahkan anomalinya mencapai > 0.7⁰C pada Juli–September 1994. Setelah kejadian tahun 1994, sinyal El Niño Modoki semakin sering muncul pada dekade 2000–an, yaitu 2002, 2004, 2006, dan 2009/2010. Pada tahun–tahun tersebut, aSML bulanan fase El Niño Modoki melebihi threshold 0.53⁰C. Berbeda dengan tahun 1991 dan 1994, El Niño Modoki tahun 2002 dan 2004 juga mempunyai pola tertentu. Suhu muka laut Pasifik tropis bagian tengah menunjukkan anomali positif (Gambar 19 box A) sedangkan bagian timur dan barat (Gambar 20 box B dan C) mengarah kepada anomali negatif. Secara fisis berarti bahwa pada tahun 2004 ini, kolam hangat benar–benar terpusat hanya di bagian tengah Pasifik tropis saja sedangkan bagian timur dan barat, keduanya cenderung lebih dingin. El Niño Modoki pada tahun 2002 berada pada fase positif dengan skala yang tidak terlalu tinggi namun durasi yang cukup panjang. Tahun 2004, El Niño Modoki
memiliki peranan tersendiri dalam kaitannya dengan keragaman iklim global. Kejadiannya berlangsung dalam durasi yang cukup lama yaitu mulai dari Juni 2004 hingga Maret 2005. Berbeda dengan tahun 2004, El Niño Modoki pada tahun 2009 terjadi relatif cukup singkat namun anomali lebih tinggi dari yang sebelumnya. Fase positif kuat pada tahun 2009 berlangsung dari bulan November hingga Januari dengan anomali hampir mencapai 1⁰C. Anomali mulai turun dan melemah pada bulan Februari. Mekanisme fisik yang terjadi ketika pola El Niño Modoki terjadi adalah ketika suhu muka laut Pasifik tengah menghangat, massa udara diatasnya memuai dan dapat dengan mudah cepat terangkat ke atas seiring dengan tekanan udara yang rendah. Udara yang membawa massa uap air mengalir dari tekanan tinggi ke tekanan yang lebih rendah. Wilayah Pasifik tropis bagian tengah yang lebih hangat dan bertekanan rendah menarik massa uap air dari Indonesia dan bagian timur Pasifik tropis yang bertekanan lebih tinggi. Dengan demikian, ada satu pusat konveksi dan dua sumber konveksi yang terbentuk, yaitu berasal dari massa uap air Indonesia dan dari bagian timur Pasifik tropis. Proses ini mengakibatkan awan-awan konvektif di Indonesia yang berpotensi untuk berkembang sebagai butir-butir hujan berpindah ke Pasifik bagian tengah. Akibat perpindahan tersebut, Indonesia kekurangan awan-awan hujan sehingga menyebabkan peristiwa kekeringan yang tidak bisa dihindari oleh Indonesia.
Gambar 20 Plot deret waktu Box EMI periode 1979 – 2010.
20
4.1.4 Fase Pertumbuhan El Niño Modoki Komposit analisis dilakukan dengan melihat kondisi rata-rata aSML EMI pada kejadian El Niño Modoki kuat 1986/87, 1990/91, 1992/93, 1994/95, 2002/2003, 2004/2005, dan 2009/2010. Berdasarkan hasil analisis komposit tujuh kejadian El Niño Modoki yang muncul sejak periode 1979 hingga 2010, pola penghangatan SML El Niño Modoki akan mulai terbentuk sekitar bulan Maret atau April.
basah dan musim kering. Puncak musim hujan umumnya terjadi pada Januari. Sementara itu, puncak musim kemarau terjadi pada Juli. Dengan demikian, musim basah dan musim kering dapat dibedakan dengan jelas dan pengaruh interaksi El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan musimannya dapat terlihat juga dengan jelas.
Gambar 22
Gambar 21 Fase pertumbuhan Modoki.
El
Niño
Secara umum dapat ditandai bahwa aSML Pasifik Tropis bagian tengah berada pada anomali hangat melebihi nilai threshold (0.53⁰C) pada bulan Agustus hingga Januari (Gambar 21). Artinya, fase pertumbuhan dimulai sekitar bulan Maret atau April hingga Januari dan dilanjutkan oleh fase penurunannya dimulai Februari. SML EMI akan mencapai puncak anomalinya pada kisaran waktu bulan Agustus–Januari. Anomali hangat biasanya konsisten berada diatas nilai threshold sekitar Juli–Maret. 4.2
Perbandingan Pengaruh El Niño Modoki dan El Niño Konvensional Terhadap Curah Hujan Monsunal di Indonesia 4.2.1 Curah Hujan Wilayah Kajian Secara umum, pola curah hujan di Indonesia terdiri dari tiga macam: monsunal, ekuatorial, dan local (Aldrian dan Susanto 2003). Kajian ini mengambil pola curah hujan monsunal untuk melihat pengaruh interaksi El Niño Modoki terhadap perilaku curah hujan di Indonesia. Karena sebagian besar wilayah Indonesia mengalami pola curah hujan monsunal. Jika curah hujan ini dibuat grafiknya, maka nilai puncak maksimum terjadi pada bulan Januari, dan nilai puncak minimum terdapat pada bulan Juli. Indonesia hanya mengenal dua musim yaitu musim
Peta wilayah kajian bertipe curah hujan monsunal.
Wilayah kajian yang dipilih (Gambar 22) adalah beberapa wilayah yang memiliki pola curah hujan monsunal di Indonesia, yaitu Lampung (Pulau Sumatera), Indramayu (Jawa Barat), Makassar (Sulawesi Selatan), dan Banjar Baru (Kalimantan Selatan). Data curah hujan yang digunakan adalah data rata-rata curah hujan wilayah masing-masing dengan resolusi temporal bulanan periode 1971–2000. Menurut ketentuan klimatologis (Wiratmo 1998), kondisi normal mengacu pada nilai rata-rata unsur klimatologi (seperti curah hujan, suhu, tekanan, dan angin) dalam periode tahunan. Dalam memilih panjang periode yang sesuai agar mengandung kecenderungan abad (secular trend), para ahli iklim sepakat memilih periode 30 tahun untuk menyatakan kondisi normal. Tabel 3 Curah hujan normal wilayah kajian Wilayah Kajian Lampung
Curah hujan normal Awal mm/tahun musim kering 1853 Mei
Indramayu
1816
April
Sumbawa Besar
1221
April
Makassar
3272
April
Banjar Baru
2541
Juni
Tabel 3 memperlihatkan hasil perhitungan rata-rata terhadap data curah hujan bulanan per wilayah selama 1971–2000. Hasil tersebut mewakili kondisi normal terhadap total curah
21
Gambar 23 Pola osilasi dominan curah hujan monsunal wilayah kajian. hujan tahunan dan waktu terjadinya penurunan curah hujan yang menandai awal musim kering. Pada kondisi normal, awal terjadinya musim kering bervariasi di setiap wilayah kajian. Namun secara umum terjadi antara antara bulan April–Juni. Adapun jumlah curah hujan normal per bulan setiap wilayah kajian dan simpangan baku rata-rata klimatologis 30 tahun dapat dilihat pada bagian lampiran (lampiran 2). Merujuk pada Irawan (2006), Irianto (2003) juga telah melakukan perhitungan kondisi normal curah hujan monsunal di Indonesia namun dengan memanfaatkan data curah hujan bulanan per provinsi selama 1970–1998. Setelah dibandingkan, kondisi normal yang ditunjukkan oleh Tabel 3 tidak menyimpang jauh dari hasil sebelumnya. Walaupun begitu, nilai normal tersebut berhubungan dengan ketidakpastian yang bergantung pada jumlah tahun pengamatan. Simpangan baku dari nilai rata-rata menurun dengan bertambahnya waktu pengamatan. Gambar 23 merupakan hasil analisis Power Spectral density (PSD) terhadap curah hujan wilayah kajian. Masing-masing wilayah menunjukkan puncak energi spektral yang berbeda-beda. Puncak energi spektral curah hujan wilayah Indramayu (plot spektral ungu) berada pada periode 15 bulanan (~1,5 tahunan). Sedangkan wilayah Makassar (plot spektral merah) dan Lampung (plot spektral biru gelap) berada pada periode yang sama, yaitu 20 bulanan (~2 tahunan). Wilayah Banjar Baru dan Sumbawa Besar juga
menunjukkan sinyal periodesitas yang berbeda. Puncak energi spektral Banjar Baru (plot spektral biru terang) pada periode 40 bulanan (~3,5 tahunan) dan Sumbawa Besar (plot spektral hijau) pada periode 60 bulanan (~5 tahunan). Namun, kelima curah hujan wilayah kajian menunjukkan puncak energi spektral tertinggi yang sama dan sinyal yang lebih teratur ketika berada tepat pada periode 60 bulanan, kecuali untuk wilayah Lampung. Artinya, selain wilayah Lampung, curah hujan monsunal wilayah kajian memiliki pola osilasi dominan yang kuat dan menunjukkan puncak energi spektral yang sama tepat pada periode ~5 tahunan. Sehingga hasil analisis PSD ini menunjukkan bahwa keragaman iklim global antar tahunan (inter-annual variability) ikut mempengaruhi curah hujan monsunal. 4.2.2 Perbandingan pengaruh El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 Terhadap curah hujan wilayah kajian Memanfaatkan data curah hujan bulanan per wilayah periode 1970-2000 untuk mengevaluasi penurunan persentase curah hujan bertipe monsunal dari kondisi normal, maka dilakukan perbandingan pada data curah hujan tahun 1994 terhadap 1997. Tahun tersebut dipilih karena kedua kasus anomali SML pada tahun tersebut merupakan kasus El Niño Modoki dan El Niño Konvensional. Gambar 24 merepresentasikan kondisi anomali curah hujan wilayah kajian pada saat anomali suhu muka laut Pasifik tropis berada
22
pada fase positif. Fase positif yang tergambar melalui plot garis berwarna biru tua menandai suhu muka laut Pasifik tropis yang menghangat, seperti yang terjadi pada 1994 dan 1997. Pada tahun tersebut, SML Pasifik tropis menghangat dari keadaan normal. Kondisi ini mempengaruhi curah hujan monsunal di Indonesia. Hal ini terlihat dari anomali curah hujan monsunal wilayah kajian berada pada anomali negatif baik pada kejadian bertipe El Niño Modoki 1994 (Gambar 24a) maupun El Niño Konvensional 1997 (Gambar 24b). Anomali negatif curah hujan menunjukkan terjadinya penurunan jumlah curah hujan. Akibat kedua tipe kejadian El Niño ini, curah hujan di wilayah Indonesia khususnya bertipe monsunal di wilayah kajian pada umumnya mengalami penurunan di bawah curah hujan normal. a. El Niño Modoki 1994
Banjar Baru tidak berbeda jauh antara tahun 1994 dan 1997. Perhitungan terhadap penurunan curah hujan wilayah Sumbawa Besar tidak karena adanya beberapa data kosong pada tahun 1994 terutama pada musim JJA. Sehingga walaupun dilakukan teknik analisis komposit untuk mengisi data yang kosong, maka tetap tidak akan mewakili kisaran persentase penurunan yang layak untuk diperbandingkan. Secara umum penurunan curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Konvensional 1997 adalah sebesar ~33% sedangkan pada kejadian El Niño Modoki 1994 hanya sebesar ~26%. Penurunan curah hujan tersebut lebih besar pada kasus El Niño Konvensional 1997 daripada kasus El Niño Modoki 1994. Irawan (2006) menyebutkan bahwa menurut hasil kajian Irianto (2003) yang mengevaluasi persentase penurunan curah hujan menurut musim hujan dan musim kemarau yang disebabkan oleh kejadian El Niño Konvensional tahun 1982/83 dan 1997/98, wilayah pulau Jawa dan Nusa Tenggara mengalami penurunan jumlah curah hujan yang mencapai 60% dari kondisi normalnya.
b. El Niño Konvensional 1997
Gambar 25 Persentase penurunan total curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997 terhadap kondisi normal. Gambar 24 Kondisi anomali curah hujan wilayah kajian pada kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997. Berdasarkan diagram pada Gambar 25, penurunan curah hujan terbesar terjadi di Lampung dan Indramayu yang mencapai ~43% dan ~34% pada kasus El Niño Konvensional 1997 lalu ~31% dan ~26% pada kasus El Niño Modoki 1994. Sedangkan persentase penurunan curah hujan tahunan dari kondisi normal di wilayah Makassar dan
Gambar 26 menunjukkan perbandingan distribusi spasial jumlah curah hujan tahunan pada kejadian El Niño Modoki kuat 2002 dan 2004, El Niño Konvensional 2006, sedangkan 2007 untuk tahun normal. Analisis spasial ini memperkuat hasil persentase di atas dimana El Niño Konvensional lebih tinggi tingkat penurunan terhadap curah hujan monsunal daripada El Niño Modoki. Berdasarkan penyebaran spektrum warnanya, curah hujan wilayah Indonesia pada saat terjadinya El Niño Modoki kuat menurun dari tahun normal 2007 namun tidak lebih besar daripada penurunan El Niño Konvensional 2006.
23
(a) Tahun Normal 2007
(b) Tahun El Niño Biasa 2006
(c) Tahun El Niño Modoki 2004
(d) Tahun El Niño Modoki 2002
Gambar 26 Perbandingan analisis spasial terhadap distribusi curah hujan tahunan wilayah Indonesia tahun El Niño Modoki kuat, El Niño Konvensional, dan tahun normal.
Penurunan curah hujan pada El Niño Konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan El Niño Modoki telihat dari spektrum warna yang lebih gelap mengarah ke hijau/kuning yang menunjukkan interval 2000-3000 mm/tahun (Gambar 26). Walaupun begitu, baik El Niño Modoki maupun El Niño Konvensioal memiliki karakteristik dan intensitas yang berbeda-beda pada setiap kejadiannya. Sehingga ada kemungkinan pada periode mendatang dampak El Niño Modoki dibandingkan El Niño Konvensional lebih kuat dalam hal penurunan curah hujan monsunal di Indonesia. 4.2.3 Analisis Regresi Anomali Curah Hujan Wilayah Kajian Terhadap Anomali SML EMI, Niño3.4, dan Niño4 Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi / hubungan (measures of association) mengenai ada dan tidaknya hubungan antara dua fenomena atau lebih (Hasan 2003). Keeratan hubungan ini dijelaskan melalui nilai koefisien korelasi (r). Dengan menggunakan periode data bulanan 1971–2000 dan memisahkan antara musim basah (DJF), musim kering (JJA) dan musim peralihan (MAM dan SON), diperoleh koefisien korelasi curah hujan per musim masingmasing wilayah kajian. Berdasarkan karakteristiknya, curah hujan monsunal dapat dibagi menjadi empat musim, yaitu: DJF, MAM, JJA, dan SON. DJF merupakan musim basah dan terjadi sekitar bulan Desember–Februari. JJA merupakan musim kering dan terjadi sekitar bulan Juni– Agustus. MAM merupakan musim peralihan dari musim basah ke musim kering dan terjadi sekitar bulan Maret–April. SON merupakan peralihan dari musim kering ke musim basah dan terjadi sekitar bulan September– November. Menurut Hendon (2003), korelasi curah hujan di Indonesia terhadap El Niño Konvensional lebih kuat pada musim kemarau sedangkan pada musim hujan menunjukkan korelasi yang lemah. Hasil pada Tabel 4 ternyata juga menunjukkan hal yang sama antara pengaruh El Niño Modoki terhadap curah hujan monsunal wilayah kajian. El Niño Modoki berpengaruh lebih kuat pada musim kering daripada musim basah. Sedangkan pada musim peralihan, pengaruhnya lebih kuat pada musim SON daripada musim MAM.
24
Tabel 4 Koefisien Korelasi anomali curah hujan terhadap EMI (musiman: DJF, MAM, JJA, SON) Curah Hujan
EMI DJF
P-value
MAM
P-value
0.03
0.87
-0.24
0.21
Sumbawa Besar
0.34
0.07
-0.26
0.16
Makassar
-0.15
0.44
0.03
0.88
Banjar Baru
-0.32
0.09
0.17
0.36
Indramayu
0.15
0.43
-0.29
0.12
Lampung
Curah Hujan
EMI JJA
P-value
SON
P-value
Lampung
-0.32
0.04
-0.24
0.20
Sumbawa Besar
-0.37
0.04
-0.50
0.01
Makassar
-0.40
0.03
-0.62
0.00
Banjar Baru
-0.47
0.01
-0.60
0.00
Indramayu
-0.08
0.69
-0.41
0.03
Oleh karena kajian ini menggunakan selang kepercayaan 95%, jika P-value < 0.05 maka hubungan dikatakan signifikan. Hasil regresi pada Tabel 4 menunjukkan bahwa koefisien korelasi masing-masing wilayah untuk musim kering JJA dan musim peralihan SON bernilai lebih tinggi dan signifikan dibandingkan musim basah DJF dan musim peralihan MAM. Nilai signifikansi (P-value) musim DJF dan MAM jauh melebihi batas 0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa El Niño Modoki tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada kedua musim tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa El Niño Modoki lebih memberikan pengaruh signifikan pada JJA dan SON daripada DJF dan MAM. Berdasarkan nilai kritis pada Tabel 2, hasil korelasi dikatakan signifikan jika koefisien korelasi Pearson (Pearson Coefficient Correlation) > 0.31 (one-tailed test) pada selang kepercayaan 95% dengan N = 30 atau df (N-2) = 28. N = 30 karena periode yang diuji adalah kondisi musiman data 30 tahun (1971–2000). Sehingga menurut ketentuan tersebut, El Niño Modoki memberikan pengaruh yang jelas terhadap penurunan curah hujan di wilayah Sumbawa Besar, Makassar, dan Banjar Baru pada musim JJA dan semakin kuat pengaruhnya pada musim SON. Wilayah Lampung hanya merasakan pengaruhnya dengan jelas pada musim JJA saja. Pengaruh El Niño Modoki juga terasa di Indramayu namun hanya pada musim SON. Nilai korelasi negatif pada Tabel 4 dan Tabel 5 mengindikasikan adanya hubungan
yang berbanding terbalik. Artinya, pada saat anomali SML El Niño Modoki meningkat, maka curah hujan wilayah Indonesia khususnya yang bertipe monsunal akan turun, hal sebaliknya juga berlaku. Secara fisis dapat diartikan bahwa ketika suhu muka laut di wilayah pasifik tropis mulai menghangat dari kondisi normalnya, maka wilayah Indonesia yang bertipe curah hujan monsunal akan mengalami penurunan curah hujan dari kondisi normal yang terlihat jelas pada musim JJA dan pengaruhnya semakin menguat pada musim SON ditandai dengan musim kering akan terasa sangat kering dan lebih lama daripada kondisi biasanya. Sebagaimana penjelasan di atas, El Niño Modoki memberikan pengaruh yang jelas terhadap penurunan curah hujan monsunal pada musim JJA dan SON. Oleh karena itu, Tabel 5 hanya membandingkan hubungan antara curah hujan monsunal di wilayah kajian terhadap anomali SML EMI, Niño3.4, dan Niño4 pada musim JJA dan SON saja. Koefisien korelasi pada musim DJF dan MAM dapat dilihat di bagian lampiran. Koefisien korelasi pada Tabel 5 dapat dijadikan acuan untuk menentukan anomali SML yang lebih baik (EMI, Niño3.4, atau Niño4) digunakan sebagai prediktor perilaku curah hujan monsunal masing-masing wilayah kajian. Anomali SML wilayah Niño3.4 masih sangat baik digunakan sebagai prediktor dalam menjelaskan perilaku curah hujan monsunal di wilayah Lampung, Indramayu, dan Banjar Baru. Hal tersebut berdasarkan pada hasil koefisien korelasi rata-rata dari kedua musim JJA dan SON antara anomali curah hujan terhadap aSML Niño3.4 yang lebih tinggi dan signifikan dibanding EMI dan Niño4. Nilai korelasi wilayah Lampung, Indramayu, dan Banjar Baru pada musim JJA: -0.50, -0.72, -0.60 dan -0.51, -0.72, -0.53 pada musim SON. Walaupun begitu, ketika pola penghangatan Pasifik tropis mengarah pada El Niño Modoki maka untuk wilayah Banjar Baru lebih baik menggunakan aSML EMI sebagai prediktor. Karena pada kejadian bertipe El Niño Modoki (seperti 1994), curah hujan Banjar Baru terpengaruh kuat dibanding wilayah kajian lainnya. Wilayah Sumbawa Besar lebih baik menggunakan anomali EMI sebagai prediktor curah hujannya karena anomali curah hujannya terhadap EMI lebih tinggi dan signifikan dibandingkan dengan Niño3.4 dan Niño4. Sedangkan wilayah Makassar lebih baik menggunakan Niño4 sebagai prediktor untuk menjelaskan perilaku curah hujannya.
25
Tabel 5 Koefisien Korelasi anomali curah hujan terhadap EMI, Niño3.4, dan Niño4 (musiman: JJA dan SON) Curah Hujan
JJA EMI
P-value
Niño3.4
P-value
Niño4
P-value
Lampung
-0.32
0.04
-0.50
0.01
-0.57
0.00
Sumbawa Besar
-0.37
0.04
-0.21
0.27
-0.23
0.22
Makassar
-0.40
0.03
-0.65
0.00
-0.61
0.00
Banjar Baru
-0.47
0.01
-0.72
0.00
-0.63
0.00
Indramayu
-0.08
0.69
-0.60
0.00
-0.49
0.01
Curah Hujan
SON EMI
P-value
Niño3.4
P-value
Niño4
P-value
Lampung
-0.24
0.20
-0.51
0.00
-0.47
0.01
Sumbawa Besar
-0.50
0.01
-0.21
0.26
-0.38
0.04
Makassar
-0.62
0.00
-0.76
0.00
-0.85
0.00
Banjar Baru
-0.60
0.00
-0.72
0.00
-0.74
0.00
Indramayu
-0.41
0.03
-0.53
0.00
-0.54
0.00
4.3 Pola Interaksi El Niño Modoki Terhadap Perilaku Curah Hujan Monsunal di Indonesia 4.3.1 Analisis Korelasi Silang El Niño Modoki Terhadap Anomali Curah Hujan Wilayah Kajian Analisis korelasi silang (cross correlation) pada Gambar 27 mengambil kejadian El Niño Modoki 1994 terhadap anomali curah hujan Banjar Baru. Karena pada kajian ini Banjar Baru memiliki koefisien korelasi yang tertinggi terhadap EMI diantara anomali curah hujan wilayah lainnya. Hal ini berdasar pada perhitungan nilai korelasi rata-rata kedua musim JJA dan SON dibanding empat wilayah kajian lainnya. Asumsi yang digunakan adalah terjadi penurunan curah hujan monsunal di wilayah kajian setelah pola penghangatan El Niño Modoki yang hanya terkonsentrasi di Pasifik tropis terbentuk. Kriteria pemilihan indikator jeda waktu tersebut adalah nilai korelasi yang tertinggi selama periode pengujian dan diutamakan yang berada di sekitar dan setelah lag nol. Hasil analisis korelasi silang pada Tabel 6 menunjukkan bahwa jeda waktu (lag time) antara fase hangat EMI dan perubahan curah hujan monsunal berkisar 0 hingga 1 bulanan. Hasil ini ditunjukkan oleh koefisien korelasi silang tertinggi berada pada lag 0 hingga 1 bulanan. Jeda waktu hingga satu bulanan berarti bahwa El Niño Modoki dapat mempengaruhi curah hujan monsunal hingga satu bulan berikutnya. Sehingga infromasi
EMI tersebut dapat digunakan sebagai prediktor untuk memperkirakan kondisi hujan monsunal satu bulan ke depan. Tabel 6 Korelasi Silang: Series Pair EMI with Banjar Baru Lag 0 1 2 3 4
Cross Correlation –.572 –.544 –.421 –259 –.153
Std. Errora .204 .209 .213 .218 .224
Gambar 27 Jeda waktu (lag time) curah hujan Banjar Baru terhadap EMI 1994. Hasil yang ditampilkan hanya korelasi silang EMI dengan indeks anomali curah hujan Banjar Baru (Gambar 27). Walaupun tidak semua ditampilkan, hasil yang sama juga ditunjukkan oleh anomali curah hujan wilayah kajian lainnya pada tahun kejadian El Niño Modoki.
26
4.3.2 Analisis Hovmoller Curah Hujan Wilayah Kajian Ernest Hovmoller (1949) telah menemukan diagram Hovmoller untuk mempermudah cara menafsirkan plot transek lintang atau bujur suatu wilayah terhadap data deret waktu. Plot Hovmoller digunakan secara luas dalam oseanografi dan meteorologi. Pada kajian ini digunakan untuk membandingkan bagaimana fitur seperti curah hujan spasial bergerak terhadap waktu pada tahun kejadian El Niño Modoki terhadap kondisi normal. Gambar 28 menunjukkan perbandingan secara spasial kejadian El Niño Modoki tahun 2004/05 terhadap tahun normal 2007/08 menggunakan analisis spasial Hovmoller. Awal musim kering ditandai dengan curah hujan bulanan < 150 mm. Batas 150 mm berasal berdasarkan kriteria BMKG dalam menentukan batas antara musim kemarau dan musim hujan yaitu jumlah curah hujan per dasarian (decad) adalah 50 mm. Jika jumlah curah hujan 1 dasarian dan dasarian berikutnya kurang dari 50 mm, musim kemarau tiba. Sedangkan jika jumlah curah hujan 1 dasarian dan dasarian berikutnya sama dengan atau lebih 50 mm, maka mulai musim hujan. Menurut Aldrian dan Susanto (2003), secara umum pengaruh El Niño terhadap wilayah Indonesia akan mulai terasa pada bulan April. a. Sumbawa Besar
b. Banjar Baru
Gambar 28 menunjukan distribusi spasial curah hujan wilayah kajian bervariasi terhadap waktu. Sumbu vertikal menunjukkan waktu (bulan) dan sumbu horizontal mewakili letak bujur wilayah kajian. Sedangkan letak lintang masing-masing wilayah kajian dapat dilihat pada bagian scripting language GrADS 2.0 (lampiran 7). Berdasarkan Gambar 28a, curah hujan wilayah Sumbawa Besar (117⁰–118⁰BT) biasanya akan mulai menurun sekitar bulan Mei atau Juni (awal musim kering) pada tahun normal 2007. Namun pada tahun El Niño Modoki 2004 mengalami kemajuan terhadap waktu penurunan curah hujan (awal musim kering) menjadi sekitar bulan Maret atau April. Wilayah Banjar Baru (114⁰–115⁰BT) dan Makassar (119⁰–120⁰BT) biasanya akan memasuki musim kering sekitar bulan Juni atau Juli (Gambar 28b dan 28c). Namun pada saat El Niño Modoki terjadi, penurunan curah hujan terjadi lebih awal yaitu dimulai sekitar April atau Mei. Sehingga berdasarkan pola tersebut, El Niño Modoki dapat menyebabkan kemajuan awal musim kering sekitar satu bulan dari kondisi normalnya. Hal ini diindikasikan dengan penurunan curah hujan melewati batas normalnya pada bulan tersebut.
27
c. Makassar
d. Lampung
e. Indramayu
Gambar 28 Analisis spasial Hovmoller dengan GrADS 2.0 terhadap wilayah kajian tahun El Niño Modoki kuat dibandingkan dengan tahun normal. Analisis spasial Hovmoller pada Gambar 28d dan 28e menunjukkan hasil yang berbeda antara kejadian El Niño Modoki tahun 2004 terhadap tahun normal 2007 untuk wilayah Lampung (104⁰–106⁰BT) dan Indramayu (107⁰–109⁰BT). Curah hujan kedua wilayah tersebut akan mulai menurun sekitar bulan Juni sebagai awal musim kering pada tahun normal. Pada tahun El Niño Modoki tidak terjadi perubahan pola terhadap waktu penurunan curah hujan wilayahnya. Sehingga hasil ini dapat memperkuat pernyataan bahwa kejadian bertipe El Niño Modoki tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan pola curah hujan di Lampung dan Indramayu terhadap waktu. Bahkan antara tahun El Niño Modoki dan
tahun normal tidak menunjukkan adanya pergeseran waktu penurunan curah hujan. Hasil analisis komposit terhadap tujuh kejadian El Niño Modoki menunjukkan fase hangat suhu muka lautnya akan mulai naik sekitar bulan Maret atau April. Menurut hasil analisis spasial Hovmoller, secara umum curah hujan monsunal di Indonesia akan mulai mengalami penurunan pada tahun normal sekitar bulan Mei atau Juni. Namun, pada tahun kejadian El Niño Modoki penurunan terjadi lebih awal yaitu sekitar bulan April atau Mei. Maka hal ini sesuai dengan hasil analisis korelasi silang yang mengindikasikan bahwa jeda waktu antara penurunan curah hujan terhadap fase hangat El Niño Modoki adalah pada kisaran waktu satu bulanan.
28
Arti fisisnya adalah pada saat SML Niño Modoki sudah mulai merangkak naik menuju fase positif, maka selang satu bulan setelahnya diikuti oleh penurunan curah hujan monsunal di Indonesia. Waktu yang bisa dikatakan tidak terlalu lama ini kemungkinan terkait dengan kolam hangat pada El Niño Modoki hanya terbentuk di Pasifik tropis bagian tengah. Jadi jarak perjalanan massa udara yang membawa awan konvektif dari Indonesia dan wilayah sekitar Pasifik timur ke Pasifik tropis bagian tengah lebih dekat dibandingkan terhadap kejadian El Niño Konvensional yang kolam hangatnya menjalar di sepanjang Pasifik tropis timur hingga tengah.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan El Niño Modoki berbeda dengan El Niño Konvensional, baik dari karakteristik spasial dan temporalnya. Karakteristik spasial dibedakan oleh formulasi indeks aSML yang berdasarkan pada pola penghangatan keduanya dan karakteristik temporal dibedakan oleh pola osilasi dominan keduanya. El Niño Modoki memiliki siklus 5– 8 tahunan, sedangkan El Niño Konvensional hanya 4–5 tahunan. Pola penghangatan Niño4 memiliki keterkaitan dan kemiripan dengan pola penghangatan EMI. Hasil analisis komposit tujuh kejadian bertipe El Niño Modoki periode 1979-2010 memperkirakan bahwa anomali hangat akan konsisten berada diatas nilai threshold sekitar Juli–Maret. Fase pertumbuhan mulai sekitar bulan Maret atau April hingga Januari kemudian mulai turun pada Februari. Puncak anomalinya terjadi pada bulan Agustus–Januari. Berdasarkan hasil analisis penurunan curah hujan tahunan rata-rata kelima wilayah kajian diperoleh persentase penurunan curah hujan dari kondisi normal yaitu ~26% dan ~33% terhadap kejadian El Niño Modoki 1994 dan El Niño Konvensional 1997. Menurut hasil analisis regresi periode 19712000, El Niño Modoki memberikan pengaruh yang jelas terhadap penurunan curah hujan di wilayah Sumbawa Besar, Makassar, dan Banjar Baru pada musim JJA dan semakin kuat pengaruhnya pada musim SON. Wilayah Lampung hanya merasakan pengaruhnya dengan jelas pada musim JJA saja. El Niño Modoki juga mempengaruhi curah hujan Indramayu namun hanya pada musim SON. Berdasarkan koefisien korelasi rata-rata dari kedua musim JJA dan SON, anomali
SML wilayah Niño3.4 masih sangat baik digunakan sebagai prediktor dalam menjelaskan perilaku curah hujan monsunal untuk wilayah Lampung, Indramayu, dan Banjar Baru. Walaupun begitu, ketika pola penghangatan Pasifik tropis mengarah pada El Niño Modoki maka untuk wilayah Banjar Baru lebih baik menggunakan anomali SML EMI sebagai prediktor. Wilayah Sumbawa Besar lebih baik menggunakan anomali EMI sebagai prediktor curah hujannya. Sedangkan wilayah Makassar lebih baik menggunakan Niño4 sebagai prediktor untuk menjelaskan perilaku curah hujannya. Pola interaksi digambarkan berdasarkan sudut pandang temporal dan spasial perilaku curah hujan monsunal wilayah kajian terhadap El Niño Modoki. Analisis temporal terhadap jeda waktu (lag time) penurunan curah hujan monsunal terhadap fase hangat EMI adalah pada kisaran waktu satu bulanan. Analisis spasial Hovmoller di wilayah kajian menunjukkan penurunan curah hujan untuk awal musim kering (JJA) pada tahun normal terjadi sekitar bulan Mei atau Juni, namun pada tahun El Niño Modoki terjadi lebih awal sekitar bulan April atau Mei. Hal ini terlihat jelas di wilayah Banjar Baru, Makassar, Sumbawa Besar. Sedangkan Lampung dan Indramayu memiliki pola yang sama, terjadi penurunan curah hujan dimulai sekitar bulan Juni baik pada tahun normal maupun El Niño Modoki. 5.2 Saran Saran untuk penelitian selanjutnya, untuk menjelaskan distribusi curah hujan wilayah dengan analisis spasial Hovmoller sebaiknya menggunakan interval lintang suatu wilayah karena pada penelitian ini hanya mengacu pada satu titik lintang saja yaitu dengan mengambil nilai tengah pada interval lintang wilayah kajian. Selain itu, dalam menentukan jeda waktu (lag time) antara penurunan curah hujan terhadap fase positif EMI sebaiknya dilakukan juga analisis terhadap berbagai karakteristik curah hujan, seperti perubahan awal musim hujan, panjang musim hujan dan frekuensi hari basah/kering. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memodelkan secara statistik antara curah hujan monsunal wilayah kajian terhadap anomali SML berdasarkan koefisien korelasi tertinggi dan signifikan yang telah dihasilkan pada penelitian ini.
29
DAFTAR PUSTAKA Aldrian E, Susanto RD. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. Int J Clim 2003; 23: 1435–1452. Ashok K, Behera SK, Rao SA, Weng H, dan Yamagata T. 2007. El Niño Modoki and Its Teleconnection. J Geophys Res 112: C11007. doi:10.1029/2006JC003798. Ashok K., Yamagata T. 2009. The El Niño with A Difference. Nature 461:481–484. As-syakur AR. 2010. Pola Spasial Pengaruh Kejadian La Nina terhadap Curah Hujan di Indonesia Tahun 1998/1999; Observasi Menggunakan Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43. Journal of Ocean Science: In Press. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2011. http://www.bmkg.go.id/Bmkg_Pusat/Dat aDokumen/Update_Niño_040411.pdf [6 April 2011]. Chang CWJ, Hsu HH, Wu CR, Sheu WJ. 2008. Interannual Mode of Sea Level in the South China Sea and the Roles of El Niño and El Niño Modoki. Geophysical Research Letters, 35(3): 1-5. Coughlan M, Jones DA, Plummer N, Watkins AB, Trewin BC, Dawkins SS. 2004. Impacts of the 2002–03 El Niño on Australian climate. In: Plummer N, Flannery M, Mullen C, Trewin B, Watkins A, Wright W, Powell T, Power S (eds) DroughtCom Workshop, Improving the Communication of Climate Information, Vol II, Extended Abstracts, 22–23 July 2003, Melbourne, Bureau of Meteorology, Commonwealth of Australia. Gall MD. 2001. Figuring out the Importance of Research Results: Statistical Significance versus Practical Significance. www.uoregon.edu/~mgall/statistical_sig nificance_v.htm. [20 April 2011] Ghozali I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS Ed ke-3. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hamada JI, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati T. 2002. Spatial and Temporal Variations of the Rainy Season over Indonesia and their Link to ENSO. Journal of the
Meteorological Society of Japan 80: 285-310. Hasan, MI. 2003. Pokok–Pokok Materi Statistik 2 (Statistik Iterensif). Ed Ke-2. Jakarta: Bumi Aksara. Hendon HH. 2003. Indonesian rainfall variability: impacts of ENSO and local air–sea interaction. Journal of Climate 16:1775–1790. Hermawan E. 2003. The Characteristics of Indian Ocean Dipole Mode Premiliminary Study of the Monsoon Variability in the Western Part of Indonesian Region. Jurnal Sains Dirgantara: Vol. 1 No. 1 Des 2003. Irawan B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Niño dan La Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya terhadap Produksi Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol.24 No.1:28–45. [IRI]. International Research for Climate and Society. 2011. Monitoring ENSO: The Niño Regions. http://iri.columbia.edu/climate/ENSO/ba ckground/monitoring.html [11 April 2011]. [JAMSTEC]. Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology. 2011. El Niño Modoki Index Monthly Data. http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/ d1/iod/DATA/emi.monthly.txt [11 Maret 2011] Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Lee T, McPhaden MJ. 2010. Increasing Intensity of El Niño in the CentralEquatorial Pacific. Geophysical Research Letters, 37(14):1-5. doi:10.1029/2010GL044007. Makridarkis S, and Wheelwright SC. 1989. Metode dan Aplikasi Peramalan Jilid Satu. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga. Mulyana. 2004. Analisis Spektral untuk Menelaah Periodisitas Tersembunyi dari Data Deret Waktu. Bandung: Statistika FMIPA Universitas Padjadjaran. Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. [NASA]. National Aeronautics and Space Administration. Data TRMM 3B43. ftp://disc2.nascom.nasa.gov/data/TRMM /Gridded/3B43_V6 [13 Maret 2011] [NASA]. National Aeronautics and Space Administration. Hovmoller Diagram. http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/oceancolor/a dditional/science-
30
focus/locus/Giovanni_NEO_cookbook_ Gulf_Stream.shtml#lat [18 Mei 2011] [NASDA]. National Space Development Agency. 2001. TRMM Data Users Handbook. Earth Observation Center Japan: NASDA. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. Gets U.S. Consensus for El Niño/La Niña Iindex Definitions. http://www.noaanews.noaa.gov/stories/s 2095.htm [14 Mei 2011] [NOAA]. National Oceanic and Atmospheric Administration. 2003. Plot time series Niño3 - Niño3.4 1950-1979. http://www.cgd.ucar.edu/cas/papers/cliv ar97/fig_1.html [14 Mei 2011]. [NOAA]. National Oceanic and Atmospheric Administration. 2011. Data SSTA Niño. http://www.cpc.noaa.gov/data/indices/SS Toi.indices. [11 Maret 2011] Persson A. 2005. Early Operational Numerical Weather Prediction Outside the USA Part I: Internationalism and Engineering NWP in Sweden 1952–69. Meteor Appl 12:135–159. Purwandani et al. 1998. Prediksi Curah Hujan dan Pengaruh ENSO dengan Model Numerik Probabilitas Distribusi Gamma. Jurnal IPTEK Iklim dan Cuaca 02:107– 117. Ramage CS. 1968. Role of A Tropical ‘‘Maritime Continent’’ in The Atmospheric Circulation. Mon Wea Rev 96: 365–369. Tang, YY. 2009. Wavelet Theory Approach to Pattern Recognition 2nd Edition. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Trenberth KE. 1997. The Definition of El Niño. Bull Amer Meteor Soc 78:2771– 2777. Trenberth KE, Stepaniak DP, Hurrell JW, Fiorino M. 2001. Indices of El Niño Evolution, J Climate 14:1697–1701. Trenberth KE, Caron JM, Stepaniak DP, Worley S. 2002. The Evolution of ENSO and Global Atmospheric Temperatures. Journal of Geophysics 107: 4065, doi:10.1029/2000JD000298. Weng HY, Ashok K, Behera SK, Rao AS, Yamagata T. 2007. Impacts of Recent El Niño Modoki on Dry/Wet Conditions in the Pacific Rim during Boreal Summer. J Climate Dynamics 29:113–129. Wiratmo J. Sudah Benarkah Pemahan Anda tentang La Niña dan El Niño?. 1998. Bandung: Penerbit ITB.
Yamagata T. 2004. Mock El Niño: Culprit behind Heat Wave, Floods. http://www.japantimes.co.jp/cgi– bin/getarticle.pl5?nn20040724f3.htm [22 April 2011]. Yeh SW, Kug JS, Dewitte B. 2009. El Niño in A Changing Climate. Nature 461: 511−514. Yu JY, Kim ST. 2010. Three Evolution Patterns of Central-Pacific El Niño. Geophysical Research Letters: 1-18. [In Press].
LAMPIRAN
32
Lampiran 1
Data insitu curah hujan bulanan wilayah kajian periode 1971–2000
Tahun
Bulan
EMI
Lampung
Sumbawa Besar
Makassar
1971
1
-0.658
271
181
550
Banjar Baru 371
2
-0.283
256
128
619
291
361
3
-0.488
181
3
728
294
115
4
-0.384
133
63
56
264
211
5
-0.109
67
117
121
186
97
6
-0.033
80
2
268
134
74
7
-0.174
53
3
63
107
65
8
-0.224
64
12
62
67
21
9
-0.543
74
36
77
82
3
10
-0.132
120
43
287
158
93
11
-0.142
171
17
221
231
277
12
-0.085
224
211
817
356
281
1
-0.336
253
62
874
371
471
2
-0.224
256
237
504
291
118
3
-0.132
215
119
390
294
408
4
0.102
167
42
183
264
112
5
0.208
122
16
34
186
124
6
-0.034
101
29
5
134
1
7
-0.213
83
20
0
107
0
8
-0.388
82
12
10
67
1
1972
1973
1974
Indramayu 420
9
-0.155
78
36
0
82
0
10
0.208
115
52
1
158
0
11
0.051
157
33
71
231
53
12
0.023
224
219
434
356
188
1
0.294
253
425
546
371
182
2
0.400
256
219
256
291
232
3
0.502
215
4
284
294
220
4
0.280
164
129
256
264
98
5
0.250
133
205
247
186
127
6
-0.113
112
27
101
134
93
7
-0.182
150
23
87
107
49
8
-0.418
225
3
22
67
28
9
-0.608
221
25
311
82
91
10
-0.740
204
62
114
158
61
11
-0.962
157
55
889
231
170
12
-1.191
189
139
739
356
248
1
-0.965
153
346
402
153
458
2
-0.648
115
255
806
320
259
3
-0.692
81
241
512
214
151
33
1975
1976
1977
4
-0.461
106
65
103
159
84
5
-0.566
102
40
104
110
88
6
-0.489
109
27
20
76
28
7
-0.591
104
3
140
136
50
8
-0.442
103
44
7
24
103
9
-0.475
87
42
142
123
80
10
-0.351
103
123
237
253
142
11
-0.367
145
125
411
370
197
12
-0.227
234
172
658
425
196
1
-0.065
269
177
511
442
211
2
0.104
314
438
368
218
205
3
-0.375
246
331
561
518
200
4
-0.545
262
214
372
254
165
5
-0.507
273
112
110
114
141
6
-0.362
373
6
54
139
72
7
-0.828
297
1
190
200
21
8
-1.026
198
12
47
129
9
9
-1.178
89
24
97
178
50
10
-1.105
115
182
338
190
167
11
-0.948
157
85
500
302
183
12
-0.833
224
32
580
431
141
1
-0.832
253
227
890
475
503
2
-0.586
256
66
696
306
203
3
-0.262
215
312
336
186
339
4
-0.321
167
59
25
139
85
5
-0.443
122
17
57
87
26
6
-0.504
101
8
67
160
6
7
-0.689
83
20
0
54
1
8
-0.654
82
12
0
66
0
9
-0.159
78
36
0
13
4
10
-0.079
115
4
166
400
40
11
0.001
157
282
198
372
137
12
-0.226
224
41
449
274
129
1
-0.162
253
185
1068
348
436
2
-0.063
256
192
1155
425
394
3
-0.006
215
239
355
348
419
4
0.048
166
13
442
334
125
5
-0.003
121
17
106
93
30
6
0.124
100
5
152
171
108
7
0.417
83
20
0
29
5
8
0.598
82
6
55
40
0
9
0.751
78
36
0
13
2
10
0.742
115
58
0
24
2
34
1978
1979
1980
1981
11
0.735
157
56
249
238
72
12
0.900
190
445
394
294
319
1
0.487
219
323
529
215
313
2
0.459
223
357
457
263
244
3
0.209
226
165
426
391
136
4
0.171
178
101
220
273
118
5
0.172
179
47
249
215
61
6
0.003
182
203
193
186
127
7
-0.091
174
6
208
207
59
8
0.063
141
12
36
104
161
9
-0.115
138
36
101
96
61
10
0.003
162
36
70
155
64
11
-0.031
223
256
277
131
135
12
-0.225
253
167
634
361
155
1
0.003
306
323
889
389
293
2
0.127
224
246
650
492
134
3
0.168
182
234
458
297
188
4
0.012
114
48
267
214
121
5
-0.262
102
160
182
186
154
6
-0.270
82
41
82
233
42
7
-0.137
64
20
4
35
2
8
-0.210
83
12
0
24
11
9
-0.431
78
36
26
96
66
10
-0.113
115
10
31
25
67
11
-0.018
149
161
201
236
103
12
0.345
216
186
583
240
183
1
0.484
251
494
654
431
369
2
0.616
262
244
557
270
187
3
0.389
221
266
323
135
116
4
0.320
167
84
227
191
98
5
0.230
122
53
96
160
32
6
0.222
101
27
19
114
15
7
0.311
83
1
0
62
21
8
-0.058
82
12
17
20
32
9
0.004
78
36
0
40
3
10
0.275
115
21
76
153
77
11
0.338
157
137
217
131
152
12
0.269
224
218
832
439
262
1
0.352
253
253
640
285
565
2
0.064
265
358
557
271
76
3
0.148
249
22
309
233
158
4
-0.144
201
94
140
447
103
5
-0.288
196
21
149
177
60
35
1982
1983
1984
6
-0.461
143
2
44
82
30
7
-0.516
125
87
140
230
46
8
-0.235
75
1
10
29
9
-0.114
78
43
23
84
58
10
-0.091
115
40
49
97
27
11
-0.048
167
161
378
250
205
12
0.036
252
13
682
359
200
1
-0.152
345
377
735
383
381
2
-0.087
394
12
475
360
180
3
0.295
344
19
498
392
163
4
0.480
240
43
156
204
102
5
0.422
128
53
72
206
8
6
0.584
72
13
6
62
40
7
0.328
23
20
0
11
1
8
0.158
11
12
0
40
1
9
-0.058
13
36
1
23
1
10
0.165
40
52
0
45
6
11
-0.304
131
17
46
103
37
12
-0.635
226
9
390
485
126
1
-0.477
293
348
295
348
284
2
-0.389
260
236
152
211
158
3
-0.563
226
218
118
172
155
4
-0.986
157
205
119
57
98
5
-1.076
106
146
67
354
91
6
-1.440
71
27
172
244
56
7
-1.529
54
20
4
116
19
8
-1.292
40
12
0
13
6
9
-1.181
43
36
2
32
17
10
-1.049
99
101
191
243
168
11
-0.902
218
423
641
452
166
12
-0.618
310
116
543
286
114
1
-0.505
435
29
547
455
274
2
-0.436
422
497
677
241
261
3
-0.559
418
147
522
271
194
4
-0.692
276
46
250
392
223
5
-0.424
200
24
195
318
145
6
-0.192
127
3
55
86
34
7
-0.142
90
9
56
204
31
8
-0.302
107
12
4
128
69
9
-0.197
109
62
178
110
59
10
-0.386
190
20
29
154
167
11
-0.679
246
17
305
218
156
12
-0.779
297
124
687
390
135
36
1985
1986
1987
1988
1
-0.218
225
63
456
453
225
2
-0.266
214
222
376
178
118
3
-0.562
199
139
517
212
127
4
-0.411
207
148
248
175
133
5
-0.179
167
2
151
190
95
6
-0.098
81
1
71
99
84
7
0.196
89
6
97
95
174
8
0.258
66
12
9
154
10
9
0.215
130
3
6
32
47
10
0.118
148
56
25
151
129
11
0.117
179
76
497
163
74
12
-0.009
202
195
335
182
281
1
-0.161
238
426
1075
357
206
2
-0.137
231
465
501
237
136
3
-0.051
225
264
525
374
110
4
0.040
156
105
212
317
186
5
-0.016
126
53
47
70
65
6
0.276
58
45
110
162
57
7
0.164
74
8
28
100
37
8
0.281
114
12
0
11
8
9
0.532
114
36
1
101
79
10
0.340
195
27
92
119
43
11
0.420
219
16
321
301
218
12
0.326
298
63
177
130
198
1
0.320
269
282
863
314
158
2
0.410
256
285
474
230
235
3
0.305
215
163
412
422
112
4
-0.088
207
19
111
207
88
5
-0.098
162
93
54
198
48
6
0.259
141
42
18
61
21
7
0.183
83
20
0
38
4
8
0.193
82
12
0
51
2
9
0.216
78
36
0
14
18
10
0.231
115
52
0
116
5
11
0.356
157
47
119
107
103
12
0.238
267
179
1160
414
233
1
0.315
280
233
526
457
211
2
0.248
249
148
1054
350
156
3
0.036
175
399
412
396
108
4
-0.180
117
95
185
321
34
5
-0.329
122
9
141
180
65
6
-0.114
69
2
27
65
94
7
-0.326
74
20
43
151
27
37
1989
1990
1991
1992
8
-0.418
43
18
44
221
8
9
-0.526
49
26
74
127
18
10
-1.039
66
18
103
262
115
11
-1.169
106
143
329
290
177
12
-0.940
209
43
721
433
349
1
-1.304
243
175
671
291
125
2
-1.289
257
197
668
478
346
3
-0.979
188
211
183
438
287
4
-0.813
140
253
504
307
156
5
-0.376
88
15
51
222
137
6
-0.524
50
95
78
199
119
7
-0.494
60
7
50
185
56
8
-0.487
57
11
30
90
13
9
-0.217
66
36
18
72
1
10
-0.235
80
21
66
189
37
11
-0.024
94
17
220
201
126
12
0.137
167
215
498
411
145
1
0.222
278
46
999
307
296
2
0.079
305
8
317
323
100
3
0.273
229
165
334
204
160
4
0.114
120
186
140
283
101
5
0.113
71
34
399
235
55
6
0.059
101
27
11
75
26
7
0.373
64
20
19
144
34
8
0.384
85
2
3
76
48
9
0.442
72
36
0
38
14
10
0.666
99
19
98
118
2
11
0.648
142
27
98
69
33
12
0.738
231
286
740
462
199
1
0.716
233
215
911
487
193
2
0.574
201
444
469
197
274
3
0.464
97
76
141
360
120
4
0.754
56
147
232
169
164
5
0.556
17
53
120
171
64
6
0.482
0
14
0
35
11
7
0.268
0
13
5
13
2
8
0.552
1
12
0
1
0
9
0.478
3
36
0
41
8
10
0.753
139
52
20
75
10
11
0.577
212
24
84
119
152
12
0.660
302
64
353
253
267
1
0.387
255
156
477
244
134
2
0.396
256
499
256
191
208
38
1993
1994
1995
3
0.253
215
37
489
362
152
4
-0.013
167
131
259
416
161
5
-0.058
122
53
98
270
113
6
0.162
101
27
95
140
74
7
0.537
83
1
20
84
15
8
0.288
82
1
1
31
16
9
0.359
77
17
52
142
60
10
0.213
114
53
87
68
112
11
0.327
156
36
191
160
132
12
0.403
230
8
304
440
296
1
0.458
231
188
604
316
321
2
0.254
239
227
466
241
310
3
0.100
220
151
185
210
134
4
0.158
179
49
335
229
135
5
0.091
101
17
155
302
111
6
0.118
32
22
67
120
58
7
0.283
20
20
6
84
3
8
0.295
31
12
0
14
8
9
0.414
29
36
2
0
4
10
0.381
51
17
35
227
17
11
0.369
80
42
157
168
109
12
0.394
193
276
844
213
169
1
0.189
255
199
680
350
327
2
0.098
297
182
501
232
103
3
0.336
203
377
516
213
220
4
0.450
118
25
74
252
143
5
0.391
35
2
102
177
4
6
0.494
10
27
10
165
55
7
0.782
1
20
0
83
27
8
1.086
0
12
0
14
4
9
0.769
6
36
0
0
18
10
0.610
11
52
12
52
4
11
0.642
92
64
170
162
85
12
0.514
178
391
261
314
132
1
0.454
241
243
932
443
380
2
0.518
281
318
703
248
286
3
0.708
237
89
546
260
214
4
0.685
199
154
352
385
120
5
0.567
118
38
271
188
92
6
0.418
162
8
169
228
130
7
0.196
142
1
115
72
55
8
0.150
131
12
0
99
0
9
0.066
68
36
4
254
17
39
1996
1997
1998
1999
10
-0.144
185
29
84
152
70
11
-0.265
203
151
398
388
292
12
-0.178
226
145
602
446
178
1
-0.203
154
156
632
384
365
2
-0.259
152
246
1305
413
171
3
-0.312
132
147
179
201
213
4
0.033
96
158
178
372
131
5
-0.158
61
1
91
152
27
6
0.114
39
27
15
111
41
7
-0.153
57
20
50
203
27
8
-0.325
117
4
8
125
38
9
-0.241
135
36
31
37
11
10
-0.109
153
91
279
300
160
11
0.063
126
151
2010
248
178
12
0.233
137
145
1269
345
107
1
0.262
166
257
588
437
536
2
0.129
170
342
820
261
157
3
-0.118
163
25
283
94
63
4
0.097
142
60
141
359
171
5
-0.125
99
73
39
162
25
6
-0.576
71
1
13
61
13
7
-0.495
11
20
14
20
4
8
-0.513
7
12
0
0
4
9
-0.461
3
36
0
0
18
10
-0.666
9
52
2
39
64
11
-0.566
73
29
57
94
24
12
-0.983
126
275
308
452
231
1
-0.504
255
18
103
290
45
2
-0.533
323
264
87
162
232
3
-0.758
315
195
187
172
110
4
-0.966
255
119
422
310
136
5
-1.022
169
54
240
242
128
6
-1.070
157
5
145
260
91
7
-1.186
142
127
316
162
81
8
-1.287
125
12
71
195
29
9
-1.075
119
80
70
265
36
10
-1.177
144
86
240
203
136
11
-1.178
173
13
542
370
359
12
-1.208
230
297
789
385
163
1
-1.308
213
263
1125
489
195
2
-1.469
241
298
916
362
129
3
-1.224
188
23
434
207
129
4
-0.711
183
149
412
195
167
40
5
-0.699
104
6
128
93
74
6
-0.566
102
18
73
96
43
7
-0.553
47
24
107
84
36
8
-0.586
65
16
4
51
11
9
-0.399
75
36
43
92
3
10
-0.492
98
82
318
310
109
11
-0.581
156
17
307
234
226
12
-0.798
211
182
927
350
187
1
-0.927
264
230
701
379
348
2
-1.246
256
263
841
282
59
3
-1.148
215
165
293
457
91
4
-1.171
167
104
235
175
155
5
-0.838
122
53
127
136
81
6
-0.303
101
27
210
175
73
7
-0.146
83
20
28
89
12
8
-0.218
82
12
0
76
4
2000
9
-0.267
78
36
17
27
5
10
-0.334
115
52
220
146
96
11
-0.350
157
92
405
350
200
12
-0.675
199
167
358
403
173
Lampiran 2 Bulan
Curah hujan normal wilayah kajian periode 1971–2000 Lampung
Sumbawa Besar Rata2 Std
Rata2
Std
Januari
274
66
230
Februari
268
107
Maret
227
April
150
Mei
124
Juni
92
Juli
87
Agustus
Makassar
Banjar Baru
Indramayu
Rata2
Std
Rata2
Std
Rata2
Std
120
682
241
371
89
307
130
263
127
589
281
291
88
201
85
81
165
111
382
148
294
113
177
87
69
104
62
229
120
264
96
131
41
68
53
51
133
82
186
71
79
43
82
27
38
78
71
134
64
57
37
84
20
26
60
77
107
67
32
35
71
53
12
7
14
21
67
60
22
35
September
89
70
36
12
43
70
82
68
28
29
Oktober
75
45
52
37
109
106
158
95
73
57
November
181
88
92
95
350
366
231
105
151
78
Desember
217
57
167
109
602
259
356
94
199
64
Persamaan Anomali:
41
Lampiran 3
Koefisien korelasi musimam anomali curah hujan wilayah kajian terhadap El Niño Modoki Index (EMI) periode 1971–2000 Rainfall
P-value
Niño3.4
P-value
Niño4
P-value
Lampung
0.03
0.87
0.12
0.54
0.10
0.62
Sumbawa Besar
0.34
0.07
0.12
0.53
0.24
0.20
Makassar
-0.15
0.44
0.08
0.68
-0.41
0.02
Banjar Baru
-0.32
0.09
0.14
0.47
-0.34
0.07
Indramayu
0.15
0.43
0.21
0.27
-0.09
0.62
EMI
P-value
Niño3.4
P-value
Niño4
P-value
Lampung
-0.24
0.21
0.09
0.63
-0.09
0.65
Sumbawa Besar
-0.26
0.16
0.01
0.98
-0.07
0.70
Makassar
0.03
0.88
-0.18
0.33
-0.20
0.28
Banjar Baru
0.17
0.36
0.22
0.24
0.17
0.38
Indramayu
-0.29
0.12
-0.15
0.45
-0.32
0.09
Rainfall
Rainfall
MAM
JJA EMI
P-value
Niño3.4
P-value
Niño4
P-value
Lampung
-0.32
0.09
-0.50
0.01
-0.57
0.00
Sumbawa Besar
-0.37
0.04
-0.21
0.27
-0.23
0.22
Makassar
-0.40
0.03
-0.65
0.00
-0.61
0.00
Banjar Baru
-0.47
0.01
-0.72
0.00
-0.63
0.00
Indramayu
-0.08
0.69
-0.60
0.00
-0.49
0.01
Rainfall
Lampiran 4
DJF EMI
SON EMI
P-value
Niño3.4
P-value
Niño4
P-value
Lampung
-0.24
0.20
-0.51
0.00
-0.47
0.01
Sumbawa Besar
-0.50
0.01
-0.21
0.26
-0.38
0.04
Makassar
-0.62
0.00
-0.76
0.00
-0.85
0.00
Banjar Baru
-0.60
0.00
-0.72
0.00
-0.74
0.00
Indramayu
-0.41
0.03
-0.53
0.00
-0.54
0.00
Plot deret waktu 3 box EMI periode 1971–2010
42
Lampiran 5 Plot aSML EMI 7 kejadian Modoki kuat periode 1979–2010
x = waktu (bulan) y = ASML EMI (degC) Lampiran 6 Script untuk pengolahan data menggunakan perangkat lunak Matlab R2008a %==================================================================== % Program membaca data ASML Niño dan EMI dengan metode PSD % Periode 1979-2010 % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor %==================================================================== % load data dari excel
43
%==================================================================== data=xlsread('Niño-emi',2,'L9:P381'); [m,n]=size(data); t=48:length(data); y=data; [spec,f]= fftrl(y,t); spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f; figure;semilogx(f,spec);grid on; h= legend('EMI','NIÑO1+2','NIÑO3','NIÑO4','NIÑO3.4',5); set (gca,'xtick',[0 1 6 7 8 9 11 14 18 22 28 34 46 62 94 124 190 300 400]); xlabel('Period (month)','fontweight','bold','fontsize',16); ylabel('Spectral Energy (degC/Hz)','fontweight','bold','fontsize',16); title('Power Spectral Density (PSD) ASML NIÑO Period 1979 2010','fontweight','bold','fontsize',16); % end of code %==================================================================== % Program membaca data bulanan anomali curah hujan dengan metode PSD % Periode 1971-2000 % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor %==================================================================== % load data dari excel %==================================================================== data=xlsread('curahujan',2,'F2:J361'); [m,n]=size(data); t=24:length(data); y=data; [spec,f]= fftrl(y,t); spec=real(spec).^2+imag(spec).^2; %rms frekuensi f=1./f; figure;semilogx(f,spec);grid on; h= legend('Lampung','Sumbawa Besar','Makassar','Banjar Baru','Indramayu',5); set (gca,'xtick',[ 6 7 8 9 10 12 14 16 20 24]); xlabel('Period (month)','fontweight','bold','fontsize',14); ylabel('Energy Spectral (mm/Hz)','fontweight','bold','fontsize',14); title('Power Spectral Density (PSD) CH Monsunal Periode 19712000','fontweight','bold','fontsize',14); % end of code %==================================================================== % Program membaca data bulanan deret waktu Niño3.4 dan EMI % Periode 1979-2010 % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor %==================================================================== % load data dari excel %==================================================================== y=xlsread('Niño-emi',1,'I9:J381'); x=1:length(y); plot(x,y); xlabel('Time (Month)','fontweight','bold','fontsize',16); ylabel('ASML (degC)','fontweight','bold','fontsize',16); h= legend('EMI','NIÑO3.4',10) set(gca,'xtick',[1 25 49 73 97 121 145 169 193 217 241 265 289 313 337 361 385]);
44
set(gca,'xticklabel',{'Augst-79' 'Augst-81' 'Augst-83' 'Augst-85' 'Augst-87' 'Augst-89' 'Augst-91' 'Augst-93' 'Augst-95' 'Augst-97' 'Augst-99' 'Augst-01' 'Augst-03' 'Augst-05' 'Augst-07' 'Augst-09' 'Augst-10'},'fontweight','bold','fontsize',7); title('El Niño Modoki Index (EMI) & NIÑO3.4 Augst 1979 - Augst 2010','fontweight','bold','fontsize',18) % end of code %==================================================================== % Program Membaca Data ASML Niño dan EMI dengan metode Wavelet % Periode 1979-2010 % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor %==================================================================== % load data dari excel %==================================================================== % WAVETEST Example Matlab script for WAVELET, using NIÑO3 SML dataset % See "http://paos.colorado.edu/research/Wavelets/" % Written January 1998 by C. Torrence % Modified Oct 1999, changed Global Wavelet Spectrum (GWS) to be sideways, % changed all "log" to "log2", changed logarithmic axis on GWS to a normal % axis. % normalize by standard deviation (not necessary, but makes it easier % to compare with plot on Interactive Wavelet page, at % "http://paos.colorado.edu/research/Wavelets/plot/" % Modified by Ela Hasri Windari on July 17, 2011 % ------------------------ loading data ------------------------ % load 'emi01790810.txt' ; % input SML time series emi = emi01790810; % computation -------------------------------------------------- % variance = std(emi)^2; emi = (emi-mean(emi))/sqrt(variance) ; n = length(emi); dt = 0.25 ; time = [0:length(emi)-1]*dt + 1972.0 ; % construct time array xlim = [1971,2000]; % plotting range pad = 1; % pad the time series with zeroes (recommended) dj = 0.25; % this will do 4 sub-octaves per octave s0 = 2*dt; % this says start at a scale of 6 months j1 = 7/dj; % this says do 7 powers-of-two with dj sub-octaves each lag1 = 0.72; % lag-1 autocorrelation for red noise background mother = 'Morlet'; % Wavelet transform: [wave,period,scale,coi] = Wavelet(emi,dt,pad,dj,s0,j1,mother); power = (abs(wave)).^2 ; % compute Wavelet power spectrum % Significance levels: (variance=1 for the normalized SML) [signif,fft_theor] = wave_signif(1.0,dt,scale,0,lag1,-1,-1,mother); sig95 = (signif')*(ones(1,n)); % expand signif --> (J+1)x(N) array sig95 = power ./ sig95 ; % where ratio > 1, power is significant % Global Wavelet spectrum & significance levels: global_ws = variance*(sum(power')/n); % time-average over all times dof = n - scale; % the -scale corrects for padding at edges global_signif = wave_signif(variance,dt,scale,1,lag1,-1,dof,mother);
45
% Scale-average between El Niño periods of 5--15 years avg = find((scale >= 4) & (scale < 15)); Cdelta = 0.776; % this is for the MORLET Wavelet scale_avg = (scale')*(ones(1,n)); % expand scale --> (J+1)x(N) array scale_avg = power ./ scale_avg; % [Eqn(24)] scale_avg = variance*dj*dt/Cdelta*sum(scale_avg(avg,:)); % [Eqn(24)] scaleavg_signif = wave_signif(variance,dt,scale,2,lag1,-1,[2,7.9],mother); whos %------------------------------------------------------ Plotting %--- Plot time series subplot('position',[0.1 0.75 0.65 0.20]) plot(time,emi) grid set(gca,'XLim',xlim(:)) %set(gca,'XTickLabel',a) xlabel('Time (year)','fontweight','bold','fontsize',12); ylabel('ASML (degC)','fontweight','bold','fontsize',12) title('a) Time Series El-Niño Modoki Index Period 1971 - 2000','fontweight','bold','fontsize',14) hold off %--- Contour plot Wavelet power spectrum subplot('position',[0.1 0.37 0.65 0.28]) levels = [0.0625,0.125,0.25,0.5,1,2,4,8,16] ; Yticks = 2.^(fix(log2(min(period))):fix(log2(max(period)))); % contour(time,log2(period),log2(power),log2(levels)); %*** or use 'contourfill' [C,h]=contourf(time,log2(period),log2(power),log2(levels)); %*** or use 'contourfill' colormap colorbar %imagesc(time,log2(period),log2(power)); %*** uncomment for 'image' plot xlabel('Time (year)','fontweight','bold','fontsize',12) ylabel('Period (year)','fontweight','bold','fontsize',12) title('b) EMI ASML Wavelet Power Spektrum','fontweight','bold','fontsize',14) set(gca,'XLim',xlim(:)) set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ... 'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',Yticks) % 95% significance contour, levels at -99 (fake) and 1 (95% signif) hold on contour(time,log2(period),sig95,[-99,1],'k'); hold on % cone-of-influence, anything "below" is dubious plot(time,log2(coi),'k') hold off %--- Plot global Wavelet spectrum subplot('position',[0.77 0.37 0.2 0.28]) plot(global_ws,log2(period)) grid hold on plot(global_signif,log2(period),'--') grid hold off xlabel('Power (degC^2)','fontweight','bold','fontsize',12) Yticks = 2.^(fix(log2(min(period))):fix(log2(max(period)))); title('c) Global Wavelet Spektrum','fontweight','bold','fontsize',14)
46
set(gca,'YLim',log2([min(period),max(period)]), ... 'YDir','reverse', ... 'YTick',log2(Yticks(:)), ... 'YTickLabel',Yticks) set(gca,'XLim',[0,1.25*max(global_ws)]) %--- Plot 30--60 days scale-average time series subplot('position',[0.08 0.07 0.56 0.18]) plot(time,scale_avg) grid set(gca,'XLim',xlim(:)) xlabel('Time (year)','fontweight','bold','fontsize',12) ylabel('Rata-rata varians','fontweight','bold','fontsize',12) title('d) 4-15 Scale-average Time Series','fontweight','bold','fontsize',14) hold on plot(xlim,scaleavg_signif+[0,0],'--') hold off % end of code %==================================================================== % Program Membaca Data bulanan deret waktu ASML 3 Box EMI dengan metode PSD % Periode 1971-2010 % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor %==================================================================== % load data dari excel %==================================================================== y=xlsread('dmi_emi',6,'L2:N477'); x=1:length(y); bar(x,y); xlabel('Time (month)','fontweight','bold','fontsize',12); ylabel('ASML (degC)','fontweight','bold','fontsize',12); h= legend('Box A','Box B','Box C',10) set(gca,'xtick',[1 49 97 145 193 241 289 337 385 433 469]); set(gca,'xticklabel',{'71' '75' '79' '83' '87' '91' '95' '99' '03' '07' '10'},'fontweight','bold','fontsize',8); title('El Niño Modoki Index in its 3 Boxes Formula','fontweight','bold','fontsize',12) % end of code %==================================================================== % Program Membaca Data aSML EMI komposit 7 kejadian Modoki kuat Periode 1979-2010 % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor %==================================================================== % load data dari excel %==================================================================== y=xlsread('dmi_emi',6,'I2:I25'); x=1:length(y); bar(x,y); xlabel('Time (month)','fontweight','bold','fontsize',12); ylabel('ASML (degC)','fontweight','bold','fontsize',12); h= legend('EMI',10) set(gca,'xtick',[1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24]); set(gca,'xticklabel',{'Jan' 'Feb' 'Mar' 'Apr' 'May' 'Jun' 'Jul' 'Agst' 'Sept' 'Oct' 'Nov' 'Dec' 'Jan' 'Feb' 'Mar' 'Apr' 'May' 'Jun' 'Jul' 'Agst' 'Sept' 'Oct' 'Nov' 'Dec'},'fontweight','bold','fontsize',8); title('Composites of ASML EMI for Strong El Niño Modoki','fontweight','bold','fontsize',12) % end of code
47
Lampiran 7
Script untuk pengolahan data menggunakan GrADS 2.0
%==================================================================== % Scripting Language untuk Curah Hujan Tahunan (Tahun 2002) % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor %set t 1 : Januari 1998 %set t 49 60 : Januari 2002 – Desember 2002 %==================================================================== 'reinit' 'open 3B43_accum.ctl' 'set grads off' 'set timelab off' 'set lat -10 10' 'set lon 90 145' 'set grads off' 'set timelab off' 'set gxout shaded' 'set csmooth on' 'set t 49 60' 'd r' 'cbarn' 'draw title TRMM3B43 Total CH (mm) Tahun 2002' 'printim C:\2002.gif gif white' 'c' %==================================================================== %Scripting Language untuk diagram Hovmoller (Tahun 2004/2005) % Oleh: Ela Hasri Windari % Departemen Geofisika dan Meteorologi % Institut Pertanian Bogor ¾ Lampung : 103°40''–105°50''BT, 3°45''–6°45''LS (http://www.lampung.go.id 2011) ¾ Indramayu : 107°52'' –108°36'' BT, 6°15'' –6°40''LS (http://www.indramayukab.go.id 2011) ¾ Makassar : 119°25''BT, 5°8''LS (http://www.makassarkota.go.id 2011) ¾ Banjar Baru : 03°27''–03°29''LS,114°45''–114°45''BT(http://www.banjarbarukota.go.id2011) ¾ Sumbawa Besar : 116° 42''–118° 22'' BT, 8°8''–9°7'' LS (http://sumbawakab.go.id 2011) %==================================================================== 'reinit' 'open 3B43_accum.ctl' 'set grads off' 'set timelab off' 'set lat -6.50' 'set lon 105.00 110.00' 'set grads off' 'set timelab off' 'set gxout shaded' 'set mpdset hires' 'set csmooth on' 'set t 73 96' 'd r' 'cbarn' 'draw title CH Bulanan TRMM3B43 Indramayu 2004-2005' 'draw ylab month' 'set font 0' 'set strsiz 0.15' 'draw string 10.2 0.30 mm/bulan' 'draw string 6 0.75 longitude'
48
'printim C:\gif\indramayu.gif white' 'c' 'set grads off' 'set timelab off' 'set lat -3.28' 'set lon 114.00 119.00' 'set t 73 96' 'd r' 'cbarn' 'draw title CH TRMM3B43 Bulanan Banjarbaru 2004-2005' 'draw ylab month' 'set font 0' 'set strsiz 0.15' 'draw string 10.2 0.30 mm/bulan' 'draw string 6 0.75 longitude' 'printim C:\gif\banjarmasin.gif white' 'c' 'set grads off' 'set timelab off' 'set lat -8.20' 'set lon 115.00 120.00' 'set t 73 96' 'd r' 'cbarn' 'draw title CH TRMM3B43 Bulanan Sumbawa Besar 2004-2005' 'draw ylab month' 'set font 0' 'set strsiz 0.15' 'draw string 10.2 0.30 mm/bulan' 'draw string 6 0.75 longitude' 'printim C:\gif\sumbawa.gif white' 'c' 'set grads off' 'set timelab off' 'set lat -5.00' 'set lon 102.00 107.00' 'set t 73 96' 'd r' 'cbarn' 'draw title CH TRMM3B43 Bulanan Lampung 2004-2005' 'draw ylab month' 'set font 0' 'set strsiz 0.15' 'draw string 10.2 0.30 mm/bulan' 'draw string 6 0.75 longitude' 'printim C:\gif\lampung.gif white' 'c' 'set grads off' 'set timelab off' 'set lat -5.06' 'set lon 115.00 120.00' 'set t 73 96' 'd r' 'cbarn' 'draw title CH TRMM3B43 Bulanan Makassar 2004-2005' 'draw ylab month' 'set font 0' 'set strsiz 0.15'
49
'draw string 10.2 0.30 mm/bulan' 'draw string 6 0.75 longitude' 'printim C:\gif\hasan.gif white' 'c' Lampiran 8
Distribusi spasial Hovmoller curah hujan wilayah kajian pada tahun kejadian El Niño Modoki 2002/03 dan 2009/10
50
Lampiran 9
Hasil korelasi silang El Niño Modoki Index (EMI) dengan anomali curah hujan wilayah kajian Periode 1994 -1995. -2
-.177
.213
-1
-.095
.209
0
-.038
.204
1
-.006
.209
2
.066
.213
3
.065
.218
a. Based on the assumption that the series are not cross correlated and that one of the series is white noise.
Cross Correlations Series Pair:Banjar_Baru with EMI Lag
Cross Correlation
Std. Errora
-3
-.259
.218
-2
-.421
.213
-1
-.544
.209
0
-.572
.204
1
-.519
.209
2
-.369
.213
3
-.368
.218
a. Based on the assumption that the series are not cross correlated and that one of the series is white noise.
Cross Correlations Series Pair:EMI with Sumbawa_Besar Lag
Cross Correlation
Std. Errora
-3
.029
.218
-2
.094
.213
-1
.106
.209
0
.075
.204
1
.011
.209
2
.039
.213
3
.148
.218
a. Based on the assumption that the series are not cross correlated and that one of the series is white noise. Cross Correlations Cross Correlations
Series Pair:EMI with Lampung
Series Pair:EMI with Makassar Lag
Cross Correlation
Std. Errora
-3
-.331
.218
Lag
Cross Correlation
Std. Errora
-3
-.561
.218
51
-2
-.665
.213
-1
-.646
.209
0
-.588
.204
1
-.440
.209
2
-.283
.213
3
-.110
.218
a. Based on the assumption that the series are not cross correlated and that one of the series is white noise.
Cross Correlations Series Pair:EMI with Indramayu Lag
Cross Correlation
Std. Errora
-3
-.058
.218
-2
-.250
.213
-1
-.357
.209
0
-.241
.204
1
-.195
.209
2
-.173
.213
3
-.165
.218
a. Based on the assumption that the series are not cross correlated and that one of the series is white noise.