EKSTRAK LIDAH BUAYA TOPIKAL MEMBERIKAN PENGARUH PADA KONSISTENSI SKAR HIPERTROFIK PASKA LUKA BAKAR
Laila Mainur*, Harmayetty**, Deni Yasmara** *Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ners, Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga **Staf Pengajar Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Luka bakar yang telah mengalami kesembuhan, sangat sering terjadi bahwa bekas luka dalam bentuk jaringan parut hypertrofic, keloid dan sering disertai dengan adanya kontraktur. Hypertrofic dan keloid adalah kelainan fibroproliperasi dalam dermis yang mungkin timbul sebagai akibat dari luka bakar. Sementara kontraktur terjadi karena pemendekan jaringan parut patologis yang menyebabkan depormitas dan gerakan gangguan seperti terbatas gerakan bagian tubuh. Kasus luka bakar menyebabkan 195.000 kematian / tahun di seluruh dunia, terutama di negara-negara miskin dan berkembang. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh ekstrak lidah buaya topikal tehadap konsistensi, ketinggian, dan pigmentasi skar hypertrofik paska luka bakar di Poli Bedah Plastik Dr. Soetomo. Penelitian ini menggunakan desain Pra-Eksperimental. Populasi adalah semua pasien dengan luka bakar dan 10 sampel pasien dan menggunakan purpossive sampling. Variabel bebas menggunakan lidah buaya topikal dan variabel dependen adalah kualitas bekas luka hypertrofic. Data dikumpulkan dengan Skala Scar Vancouver. Analisis menggunakan Wilcoxon Signed Ranks dan Paired T-Test. Hasil penelitian menunjukkan ada pengaruh yang signifikan sebelum dan sesudah pemberian lidah buaya topikal pada nilai konsistensi (p=0,005). Tidak ada pengaruh yang signifikan sebelum dan sesudah lidah buaya pada skor pigmentasi (p=0,317) dan ketinggian. Terjadi perbedaan konsistensi skar hipertrofik yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak lidah buaya. Tidak terjadi perbedaan ketinggian dan pigmentasi skar hipertrofik yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak lidah buaya Ekstrak lidah buaya topikal memberikan pengaruh pada konsistensi, namun tidak pada ketinggian dan pigmentasi pada skar hipertrofik paska luka bakar. Penelitian lebih lanjut dengan sampel lebih untuk menentukan zat yang terkandung dalam lidah buaya yang dapat mempercepat perubahan konsistensi, pigmentasi, dan tinggi. Kata kunci: skar hypertrofik, ekstrak, lidah buaya, konsistensi
ABSTRACT Introduction: Post-traumatic burns that already heal, very often happens that an ugly scar in the form of hypertrofic scarring, keloids and are often accompanied by the presence of contractures. Hypertrofic and keloid scar is fibroproliperasi abnormalities in the dermis that is unique to humans that may arise as a result of burns. While contractures occur because of the shortening of the pathological scarring that causes a depormitas and movement disorders such as limited movement of a body part. cases of burns caused 195,000 deaths / year worldwide, especially in poor and developing countries. This aimed of this study was to analyze the effect of topical aloe extract the effect of topical aloe extract against consistency, height, and pigmentation scarring after burns hypertrofik Poly Plastic Surgeon Dr. Soetomo. Methods: This research was used PreExperimental design. Population were all patients with burns and 10 patient samples. It used consecutive sampling. The independent variable was aloe vera topical and the dependent variable was the quality of the hypertrofic scar. Data were collected using Vancouver Scar Scale and then analyzed using Wilcoxon Signed Ranks and Paired T-Test. Result: The results showed that there 68
was significant effect before and after basting of topical aloe vera on the value of consistency (p=0.005). No significant effect before and after the aloe vera in the pigmentation scores (p=0.317) and height. There was a difference significant hypertrophic scar consistency before and after aloe vera extract. No differences height and pigmentation significant hypertrophic scars before and after extract of aloe vera aloe vera extract topical effect on the consistency, but not in height and pigmentation in hypertrophic scarring after burns. Conclusions: Further studies with more samples to determine the substances contained in aloe vera that can accelerate changes in consistency, pigmentation, and height. Keywords: hypertrofic scars, extract of aloe vera, consistency
PENDAHULUAN Pasca trauma luka bakar yang telah mengalami penyembuhan, sangat sering terjadi parut yang jelek berupa parut hipertropik, keloid dan sering pula disertai adanya kontraktur. Parut hipertropik dan keloid adalah kelainan fibroproliperasi pada dermis yang unik pada manusia yang dapat timbul akibat luka bakar. Kontraktur terjadi karena adanya pemendekan patologis dari parut yang menyebabkan suatu depformitas dan gangguan gerak berupa terbatasnya pergerakan suatu bagian tubuh (Perdanakusumah & Noer 2006) Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2012, kasus luka bakar menyebabkan 195.000 kematian/tahun di seluruh dunia terutama di negara miskin dan berkembang. Di Indonesia belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya, namun diperkirakan terdapat 11 juta kasus keloid dengan berbagai sebab dan 4 juta parut yang terjadi pasca luka bakar (Noer, Saputro & Perdanakusumah 2006). Luka bakar yg tidak menyebabkan kematian pun ternyata menimbulkan kecacatan. Komplikasi yang sering terjadi pada luka bakar fase lanjut adalah hypertropic scar atau keloid (WHO 2008) Penyembuhan luka dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu fase inflamasi, proliferasi dan maturasi. Adanya luka, menimbulkan aktivasi koagulasi dan setelah itu terbentuk klot fibrin di mana banyak trombosit terperangkap didalamnya. Trombosit kemudian mengeluarkan platelet derived growth factor (PDGF) yang menarik neutrofil. Neutrofil kemudian mencerna bakteri dan mengaktivasi fibroblas (menghasilkan kolagen) dan keratinosit (sel pada kulit yang akan berproliferasi
membentuk epitel baru). Limfosit dan monosit juga akan datang ke tempat luka dan berperan dalam fase proliferasi. Terbentuk berbagai sitokin yang mengontrol pembentukan kolagen dan pembuluh darah baru. Fase tersebut disebut fase granulasi sebab gambaran luka yangsedang menyembuh menunjukkan gambaran granular. Padafase tersebut, luka mulai berkontraksi, kemudian berlanjut dan luka tertutupi oleh jaringan regeneratif sehingga mulai tampak lapisan permukaan kulit (epitelisasi). Pada jaringan parut yang normal, fase maturasi meliputi perubahan pada jaringan parut semakin lama memudar dan mendatar. Fase maturasi tersebut biasanya berlangsung antara 12 hingga 18 bulan (Chaula, 2010) Keistimewaan lidah buaya ini terletak pada sifat gel lidah buaya yang mampu meresap kedalam kulit sehingga dapat menahan kehilangan cairan yang terlampau banyak dari dalam kulit (Widodo 1988). Kandungan saponin yang terdapat dalam gel lidah buaya dapat membersihkan kotoran dari kulit, melembutkan, melembabkan dan menambah kehalusan kulit. Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak lidah buaya topikal tehadap pigmentasi, ketinggian dan konsistensi hypertrofic scar paska luka bakar.
BAHAN DAN METODE Desain penelitian yang digunakan adalah Pra Eksperimen. Besar sampel yang diperoleh 10 responden. Teknik sampling menggunakan consecutive sampling dan diambil berdasarkan kriteria inklusi. Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah pemberian ekstrak lidah 69
buaya topikal. Variabel terikat (dependen) dalam penelitian ini adalah konsistensi, ketinggian dan pigmentasi. Pengambilan sampel dilakukan dengan lembar observasi konsistensi, ketinggian dan pigmentasi dari Vancouver Scar Scale. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Uji Wilcoxon Signed Ranks untuk konsistensi dan pigmentasi, sedangkan Uji Paired-T untuk ketinggian dengan nilai signifikansi 0,05.
Tabel 2. Tabulasi hasil penilaian ketinggian hypertrofic scar paska luka bakar No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Mean SD
HASIL Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-lakai, berusia anak (5-14 tahun, berpendidikan SMA dan menderita hypertrofic scar di area kedua ekstremitas bawah. Data pada konsistensi didapatkan sebagian besar responden hypertrofic scar mempunyai konsistensi lentur 2 orang (20%), lunak 6 orang (60%) dan keras 2 orang (20%) sebelum diberikan ekstrak lidah buaya menjadi lentur 8 orang (80%) dan lunak 2 orang (20%) setelah diberikan esktrak lidah buaya dan tidak ada satupun responden yang mempunyai konsistensi keras setelah diberikan ektrak lidah buaya. Analisis statistik dengan Wilcoxon Signed Ranks menunjukkan nilai p=0,005 (p<0,05) yang berarti ada pengaruh ekstrak lidah buaya topikal tehadap konsistensi skar hipertrofik paska luka bakar.
No. 1 2 3
Kategori Lentur Lunak Keras Total
Pre (%) Σ 2 20 6 60 2 20 10 100 p=0,005
Σ 8 2 10
Post (%) 80 20 100
Data pada ketinggian didapatkan tidak ada perbedaan satu respondenpun pada hipertrofik skar setelah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Hasil uji Paired-T tidak didapatkan nilai p karena tidak ada satupun responden yang mengalami perubahan. Hal ini berarti tidak ada pengaruh ekstrak lidah buaya topikal tehadap ketinggian skar hipertrofik paska luka bakar.
Post 3 mm 2 mm 3 mm 1 mm 1 mm 3 mm 4 mm 1 mm 1 mm 4 mm 2,3 1,252
Data pada pigmentasi didapatkan hanya satu responden yang mengalami perubahan pigmentasi dari pigmen hipopigmentasi 2 orang (20%), campuran 7 orang (70%) dan hiperpigmentasi 1 (10%) sebelum diberikan ekstrak lidah buaya topikal menjadi pigmentasi hipopigmentasi 3 (30%), campuran 6 orang (60%), dan hiperpigmentasi 1 orang (10%) setelah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Uji Wilcoxon Signed Ranks didapatkan nilai p=0,317 yang berarti tidak ada pengaruh ekstrak lidah buaya topikal tehadap pigmentasi skar hipertrofik paska luka bakar. Tabel 3. Tabulasi hasil penilaian pigmentasi hypertrofic scar paska luka bakar No.
Tabel 1. Analisis statistik penilaian konsistensi hypertrofic scar paska luka bakar
Pre 3 mm 2 mm 3 mm 1 mm 1 mm 3 mm 4 mm 1 mm 1 mm 4 mm 2,3 1,252
1 2 3
Kategori
Σ Hipopigmentasi 2 Campuran 7 Hiperpigmentasi 1 Total 10 p=0,317
Pre (%) 20 70 10 100
Post Σ (%) 3 30 6 60 1 10 10 100
PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh pada konsistensi hypertrofic scar paska luka bakar setelah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Parut adalah produk alami proses penyembuhan luka dimana luka yang terjadi lebih dalam dari seluruh ketebalan kulit. Pada proses penyembuhan luka parut akan melalui masa immatur yang kemudian menjadi matur. Akhir dari proses penyembuhan luka adalah akan menjadi parut yang normal atau bisa 70
juga menjadi parut yang abnormal yaitu parut hypertrofic atau keloid. Parut normal akan terbentuk bila terjadi keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen (Perdanakusumah & Noer 2006). Parut normal dan abnormal dapat dibeddakan dengan mudah secara klinis. Parut normal muncul dalam beberapa hari proses penyembuhan luka (7-10 hari) yang pada perjalanannya kemudian mengalami pematangan parut ditandai dengan lesi yang rata dengan permukaan kulit, nonvaskuler, terjadi kontraksi, mengecil secara spontan dan biasanya terjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi. Parut abnormal terjadi karena gangguan keseimbangan antara sintesis dan degradasi kolagen. Akibat luka akan terjadi proses penyembuhan luka yang merupakan respons untuk memperbaiki kerusakan. Pada penyembuhan luka terjadi sintesis kolagen yang melibatkan peran prolin hidrokilase, proses ini diimbangi dengan sistem kntrol berupa degradasi kolagen oleh enzim kolagenase supaya tidak terjadi penumpukan kolagen. Dalam keadaan seimbang antara sintesis dan degradasi kolagen akan terbentuk produk parut normal. Pada keadaan terganggu keseimbangan tersebut akan terbentuk parut abnormal berupa parut hypertrofic atau keloid. Ketidakseimbangan sintesis dan degradasi kolagen dapat terjadi tiga kemungkinan. Pertama, sintesis meningkat tidak disertai dengan peningkatan degradasi. Kedua, sintesis maupun degradasi kolagen keduanya meningkat, hanya peningkatan sintesis kolagen lebih tinggi daripada degradasinya. Ketiga, sintesis kolagen normal namun dengan degradasi yang menurn. Tiga kemungkinan tersebut dapat menyebabkan terjadinya akumulasi kolagen yang timbul keloid. Parut hypertrofik berhubungan dengan kekuatan regangan yang berlawanan dan menimbulkan tension. Paada parut hypertrofic lebih mencapai kesusksesan dibandingkan keloid. Parut hypertrofic umumnya mulai sekitar 4 sampai 6 minggu setelah cedera. Peningkatan akan terjadi dalam 3-7 bulan. Terjadi regresi perubahan warna dan ukuran stelah setahun (Perdanakusumah & Noer 2006). Pada fase penyembuhan luka setelah fase inflamasi adalah fase F fibroplasi karena pada masa ini
fibroplas sangat menonjol perannya. Fibroplas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka. TGF-β1 mempunyai peran yang paling utama dalam penyembuhan luka dan terjadinya fibrosis. Adanya TGF-β1 akan mengaktivasi fibroplas untuk mensintesis kolagen dan berperan pada pembentukan jaringan parut. Ditemukan bahwa TGF-β1 sangat berperan dalam meningkatkan sintesis kolagen pada keloid. Pada penelitian binatang, pemberian antibodi TGF-βakan mengurangi parut di kulit. TGF-β memiliki kemampuan mengurangi sintesis kolagenese dan kemampuan untuk merangsang sintesis TIMP. Peningkatan sitokin fibrogenik pada fase inflamasi akan lebih meningkatkan aktivitas fibroplasi di fase proliferasi. Keadaan ini menyebabkan resiko terjadinya parut yang abnormal seperti parut hipertrofilik atau keloid menjadi lebih tinggi. Fase maturasi adalah fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka terjadi pada masa ini. Fase ini merupakan proses yang dinamis berupa remodelling kolagen dan terbentuknya parut yang matang. Terjadi keseimbangan aktivitas sintesis dan degradasi kolagen. Proses sintesis kolagen memerlukan enzim prolin hidroksilase dan proses degradasi kolagen ditentukan oleh enzim kolagenase. Kolagen pada proses penyembuhan luka sudah tampak setelah lima hari. Sintesis kolagen pada parut normal dapat terjadi selama 6 bulan sampai 20 tahun setelah luka. Ada sekitar 20 tipe kolagen didalam tubuh. Kolagen tipe I adalah tipe kolagen yang terbanyak (90%) dalam tubuh. Di dalam kulit terdapat kolagen tipe I (80%) dan tipe III (20%). Pada proses penyembuhan luka, kolagen berperan sebagai bahan untuk kekuatan integritas jaringan yang luka. Keseimbangannya antara proteinase dan inhibitornya, Tissue Inhibitors of Metalloproteinases (TIPMP 1 dan TIMP II) memegang peran penting pada perbaikan jaringan. Fase remodelling berlangsung lebih dari 6-12 bulan dan selesai setelah lebih dari setahun pascacedera. Kekuatan parut mencapai 70-80% kekuatan pertautan (Tensile Strength) kulit normal (Perdanakusumah & Noer 2006). Tiga fase tersebut berjalan normal selama tidak ada gangguan baik faktor luar maupun dalam. 71
Parut hipertrofi dan keloid merupakan suatu bentuk parut yang tidak normal yang terjadi akibat adanya gangguan selama proses penyembuhan luka. Gangguan ini mempengaruhi aktivitas sintesis dan degradasi kolagen (Perdanakusumah & Noer 2006). Tanaman lidah buaya memiliki manfaat yang dapat membantu mendinginkan dan mempercepat penyembuhan luka, baik luka luar, luka bakar dan luka yang disebabkan sengatan cahaya matahari (Anand 2010). Lidah buaya mempunyai kemampuan penyerapan yang tinggi sehingga memudahkan peresapan gel ke dalam kulit atau mukosa, bersifat antiseptic,antibiotk, antibakteri, anti jamur, dapat menghancurkan sel tunor, dan efek imonomodulasi (Furnawati 2002). Tanaman lidah buaya ini mempunyai sifat penyembuhan: glukomanan, polisakarida kaya mannose dan giberelin, hormon pertumbuhan, berinteraksi dengan faktor pertumbuhan reseptor pada fibroblast, sehingga merangsang aktivitas dan proliferasi, yang pada gilirannya secara signifikan meningkatkan sintesis kolagen setelah topikal dan oral lidah buaya. Aloe gel tidak hanya meningkatkan kandungan kolagen dari luka tetapi juga mengubah komposisi kolagen (lebih tipe III) dan meningkatkan tingkat kolagen silang. Peningkatan sintesis asam hyaluronic dan dermatan sulfat dalam jaringan granulasi dari penyembuhan luka setelah pengobatan oral atau topikal telah dilaporkan (Surjushe & Vasani 2008). Dalam aloe vera ini ada kandungan Growth factor yang berkontribusi dalam penyembuhan luka dengan menstimulasi fibroblas (connective tissue cells) untuk memproduksi kolagen lebih banyak, dimana akan meningkatkan proses remodelling pada luka dan mengisi daerah luka. Bekerja secara sinergis, aloe mempertahankan suasana moist pada luka dan pada saat yang sama membawa oksigen untuk penetrasi ke dalam luka, menambah regenerasi sel. Ekstrak aloe juga menghambat produksi prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid, mengurangi inflamasi (Saeed, et al. 2003). Penetrasi ke dalam jaringan, gel aloe akan mengurangi inflamasi dan meningkatkan aliran darah dengan cara menghambat sintesa
vasokonstriktor tromboksan A2 yang kuat (Gallagher, et al. 2003). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ade (2010) menyatakan pemberian salep ekstrak lidah buaya (Aloe vera) dapat mempercepat penyembuhan luka bakar pada 10 tikus putih jantan (Rattusnorvegicus). Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2011) juga memperkuat penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pemberian gel lidah buaya dapat meningkatkan ketebalan reepitalisasi pada luka tikus dan diperkuat lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2013) yang menyatakan proses penyembuhan yang ditandai dengan pengurangan luka yang lebih cepat pada luka mencit dengan diameter ±1 cm. Pada penelitiannya, formula FIB lebih cepat menyembuhkan luka pada 8 hari dari pada formula FOB dalam waktu 9 hari, formula F1A 12 hari dan FOA sembuh pada hari ke 14. Formula F1B menandakan waktu tercepat dalam penyembuhan luka bakar dengan waktu 8 hari. Konsistensi skar hipertrofik paska luka bakar mengaalami perubahan setelah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ada pengaruh sebelum dan sesudah pemberian ekstrak lidah buaya topikal pada konsistensi hypertrofic scar pada pasien luka bakar. Proses fisiologi penyembuhan luka terutama luka bakar ada proses sintesis kolagen yang menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka dimana kolagen ini banyak terkandung dalam lidah buaya terutama ekstraknya. Ketinggian skar hipertrofik paska luka bakar tidak mengalami perubahan setelah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Hasil penenlitin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan bahwa ektrak lidah buaya topikal memberikan pengaruh pada ketinggian hypertrofic scar. Hal ini mungkin terjadi karena waktu penelitian kurang lama sehingga tidak terjadi perubahan pada pigmentasi. Hal ini didukung dalam teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa untuk peningkatan hypertrofic scar akan terjadi dalam 3-7 bulan dan regresi perubahan warna dan ukuran stelah setahun. Ada beberapa teori yang sudah dijelaskan diatas bahwa ketidakseimbangan kolagen juga mempengaruhi timbulnya keloid dima 72
ketinggian luka lebih tinggi dari kulit normal sekitarnya. Pigmentasi skar hipertrofik paska luka bakar tidak mengalami perubahan setelah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Hasil penenlitin tidak menunjukkan perubahan yang signifikan bahwa ektrak lidah buaya topikal memberikan pengaruh pada pigmentasi hypertrofic scar. Penelitian sebelumnya masih belum ada yang membahas tentang lidah buaya memberikan perubahan pigmentasi selain perubahan pigmen yang disebabkan oleh bakteri atau jamur karena didalam lidah buaya sendiri mengandung anifungi dan antibakteri. Satu dari sepuluh responden mengalami perubahan pigmen setelah diberikan ekstrak lidah buaya. Hal ini mungkin terjadi karena waktu penelitian kurang lama sehingga tidak terjadi perubahan pada pigmentasi. Hal ini didukung dalam teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa untuk peningkatan hypertrofic scar akan terjadi dalam 3-7 bulan dan regresi perubahan warna dan ukuran stelah setahun. Delapan dari 10 responden mengalami penurunan skor untuk konsistensi, 2 diantaranya tidak mengalami peubahan. Tidak ada satupun responden yang mengalami perubahan untuk ketinggian. Hanya 1 responden yang mengalami penurunan pigmentasi dari campuran ke hipopigmentasi. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ada pengaruh sbelum dan sesudah pemberian ekstrak lidah buaya topikal pada hipertrofik scar paska luka bakar. Dalam penelitian ini ekstrak lidah buaya hanya berpengaruh pada konsistensi skar hipertrofik saja. Hal ini mungkin terjadi karena waktu penelitian kurang lama sehingga tidak terjadi perubahan pada ketinggian dan pigmentasi. Hal ini didukung dalam teori sebelumnya yang menyebutkan bahwa untuk peningkatan hipertrofik scar akan terjadi dalam 3-7 bulan dan regresi perubahan warna dan ukuran stelah setahun. Proses fisiologis penyembuhan luka terutama luka bakar ada proses sintesis kolagen yang
menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka dimana kolagen ini banyak terkandung dalam lidah buaya terutama ekstraknya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Konsistensi pada skar hipertrofik paska luka bakar mengalami perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Ketinggian pada skar hipertrofik paska luka bakar tidak mengalami perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak lidah buaya topikal. Pigmentasi pada skar hipertrofik paska luka bakar tidak mengalami perubahan yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan ekstrak lidah buaya topikal Saran Perlu dilakukan pengembangan ilmu pada keperawatan medikal bedah dalam memberikan penatalaksanaan pada pasien hipertrofik scar pada pasien pasca luka bakar dengan ekstrak lidah buaya topikal. Perawat dan tenaga kesehatan lain diharapkan memberikan penatalaksanaan hipertrofik scar pada pasien pasca luka bakar dengan lidah buaya. Hasil penelitian ini bisa dilanjutkan dengan peneliti mendampingi pasien di rumah, memperhatikan nutrisi responden, dan meneliti untuk indikator vasuklarisasi juga pada skar hipertrofik paska luka bakar.
KEPUSTAKAAN Anand, S. 2010. Centre Of Biotechnology Noer, M.S., Saputro, I.D. & Perdanakusuma, D.S. 2006. Penanganan Luka Bakar, Airlangga University Press, Surabaya Perdanakusuma, DS & Noer, MS 2006, Penanganan Parut Hipertrofik dan Keloid, Airlangga University Press, Surabaya
73