EKSTERNALISASI BIAYA PRODUKSI INDUSTRI JASA KOMUNIKASI SELULER DI INDONESIA Hoklie1), Ary Syahriar2) 3) 1)
Program Studi Teknik Industri Universitas Al Azhar Indonesia 2) PTIK – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi 3) Program Studi Teknik Elektro Universitas Al Azhar Indonesia
[email protected] Abstraksi
Sejak masuk ke Indonesia selama lebih dari 10 tahun yang lalu, industri jasa telekomunikasi seluler mengalami perkembangan yang sangat pesat. Saat ini, perkembangan tersebut telah memunculkan fenomena yang anomali dengan perkembangan industri lainnya, yaitu semakin menurunnya harga atau tarif telepon seluler. Perubahan tersebut juga semakin lama semakin cepat penurunannya. Fenomena tersebut juga berbarengan dengan adanya ‘perang’ tarif antar operator telepon seluler disertai dengan iklan yang gencar. Kesemuanya memicu perilaku konsumsi masyarakat Indonesia pada industri jasa ini, yang cenderung mengalami peningkatan yang cukup besar. Data yang diperoleh dengan melakukan polling terhadap pengguna telepon seluler yang ada di Universitas Al Azhar Indonesia menunjukkan adanya peningkatan penggunaan telepon seluler sebagai dampak penurunan tarif telepon. Namun peningkatan ini memiliki berbagai dampak, salah satunya adalah peningkatan pemakaian energi listrik terutama di malam hari, yang akan berujung pada peningkatan beban puncak listrik. Bila ditinjau lebih jauh lagi berbagai dampak yang timbul tersebut akan menimbulkan biaya bagi pemerintah dan masyarakat. Biaya tersebut pada dasarnya adalah tanggung jawab operator telepon seluler, namun pada kasus ini terjadi eksternalisasi komponen biaya produksi tersebut dalam perhitungan biaya produksi para pelaku industri ini. Kata Kunci : tarif telepon seluler, perilaku konsumsi masyarakat, operator telepon seluler, eksternalisasi komponen biaya produksi
1. PENDAHULUAN
63.39%. Dimana pada tahun 1996 pelanggan seluler baru sekitar 560 ribu namun tahun 2006 telah mencapai 63.8 juta.
Penetrasi telepon seluler pada masyarakat di suatu wilayah dapat dinyatakan dengan teledensitas seluler, yang dinyatakan dengan perbandingan antara jumlah sambungan telepon seluler dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber oleh Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (PTIK-BPPT), teledensitas seluler Indonesia sejak tahun 1996 sampai dengan 2006 terus meningkat. Pada tahun 1996 teledensitas seluler Indonesia baru mencapai 0.26 per 100 penduduk, namun tahun 2006 teledensitas seluler Indonesia telah mencapai 28.72 per 100 penduduk. Dengan kata lain, dalam kurun waktu 10 tahun, teledensitas seluler telah meningkat sekitar 100 kali lipat. Dari data yang dihimpun dari Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI) serta data 6 operator seluler Indonesia, pertumbuhan teledensitas seluler tersebut, tercermin pada peningkatan jumlah pelanggan seluler dengan rata-rata peningkatan dalam kurun waktu 1996-2006 adalah sekitar
Bila jumlah pelanggan seluler Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun maka tidak demikian untuk ARPU (Average Revenue per User) atau rata-rata pendapatan dari
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
tiap pelanggan, khususnya bagi tiga operator seluler terbesar (Telkomsel, Indosat dan Excelcomindo) yang justru cenderung menurun. Dalam kurun waktu 2004-2006 penurunan tersebut cukup drastis yang terlihat pada Tabel 2.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan menurunnya tarif telepon seluler, terutama dalam kurun waktu 2004-2006. Fenomena ini bila dikaitkan dengan kondisi yang terjadi saat ini, dimana operator telepon seluler melakukan promosi dengan gencar dan terdapat kecenderungan untuk menjatuhkan saingannya dengan memberikan tarif yang ‘terlihat’ lebih murah, diyakini akan berdampak pada persepsi masyarakat terhadap perubahan tarif telepon seluler. Pada umumnya dengan adanya ‘perang tarif’ tersebut akan membentuk persepsi di masyarakat bahwa terjadi penurunan tarif telepon seluler secara drastis, sehingga muncul inisiatif di masyarakat untuk memanfaatkan hal tersebut dengan cara meningkatkan pemakaian telepon seluler.
2. PEMBAHASAN
responden, menelepon menggunakan telepon seluler serta pengaruhnya terhadap recharge telepon seluler responden. Hasil dari polling ini adalah sebanyak 160 responden (92.49%) berpendapat bahwa saat ini tarif telepon seluler menurun, 7 responden (4.05%) mengatakan naik dan sisanya (3.47%) tidak tahu, hasil dari polling ini dapat dilihat pada gambar 1. .
Dari hasil polling terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki persepsi bahwa saat ini terjadi penurunan tarif telepon seluler, dan sebagai dampaknya mereka meningkatkan durasi penggunaan telepon seluler dan recharge telepon selulernya. Pada polling ini juga diajukan pertanyaan mengenai kapan waktu responden paling sering melakukan recharge telepon seluler, dengan hasil 100% responden mengaku melakukan recharge di malam hari saat beban listrik untuk rumah tangga mencapai puncaknya. Untuk menggambarkan seberapa besar pengaruh penggunaan listrik rumah tangga terhadap penggunaan listrik secara kesluruhan dapat kita lihat komposisi penjualan listrik dan komposisi daya listrik PLN yang terpasang berikut ini.
Dalam makalah ini, dilakukan polling pada pengguna telepon seluler yang ada di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) untuk menguji apakah penurunan tarif telepon seluler memberikan pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan penggunaan telepon seluler dan konsumsi listrik. Polling ini bertujuan untuk mendeskriptifkan hasil pengujian polling, tanpa ada maksud untuk membuat generalisasi bagi populasi pengguna telepon seluler di Indonesia. Teknik pengambilan sample yang dilakukan dalam polling ini adalah incidental sampling, yaitu pengambilan sample yang semata-mata atas dasar kesediaan dan ketersediaan responden, untuk memudahkan polling (Guilford & Frutcher, 1991). Metode pengambilan data menggunakan kuesioner, sebanyak 250 kuesioner disebar, dengan hasil, 223 kuesioner yang kembali dan 173 yang dapat dianalisis. Profil dari responden polling dapat dilihat pada cross tab usia dan jenis kelamin berikut. Pada polling ini, diajukan pertanyaan mengenai persepsi responden terhadap tarif telepon seluler saat ini, lalu bagaimana persepsi tersebut mempengaruhi durasi e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
Gambar 1. Hasil Polling Pengguna Telepon Seluler
Hasil Polling Pengguna Telepon Seluler 160
152 146
Peningkatan Pemakaian & Recharge
140
120
Peningkatan Pemakaian Saja
100
80
Penurunan Pemakaian & Recharge
60
40
Penurunan Pemakaian Saja 20
13
12 2
1
0
0
4
2
5
6 1
0
0
2
0 Turun
Naik
Tidak Tahu
Total
Persepsi Terhadap Perubahan Tarif
Permasalahan listrik di Indonesia sebenarnya adalah akibat karakteristik beban listrik yang menumpuk di malam hari, serta karakteristik pembangkit listrik yang sebagian besar masih berbasis bahan bakar fosil dan sulit untuk mencapai beban yang tinggi dalam waktu singkat. Hal ini menyebabkan pembangkit berbasis bahan bakar fosil tersebut harus terus menyala sehingga menimbulkan biaya yang besar, namun tidak terpakai di siang hari. Gambar 2. Jenis dan Besar Kapasitas Pembangkit Listrik
Kapasitas Pembangkit Listrik Berdasarkan Jenis Energi Tahun 2006 Geo Thermal; 2.39%
Lain-lain; 0.28%
Bio Mass; 1.25%
Air; 11.79% Minyak; 45.49%
Batu Bara ; 20.95% Gas Alam; 17.86%
Sumber: Pertamina
masyarakat Indonesia pengguna listrik khususnya mereka yang sering mengalami pemadaman listrik, sementara bagi pemerintah merupakan suatu tanggung jawab dalam memenuhi kapasitas listrik bagi masyarakat. Karena itu, dengan terjadinya penurunan tarif telepon seluler yang dibarengi promosi besar-besaran serta ‘perang tarif’ yang bisa dikatakan cukup terbuka. Hal ini telah ikut memicu terjadinya peningkatan beban puncak listrik di malam hari yang selama ini telah menjadi masalah klasik negara kita. Sebenarnya ‘perang tarif’ yang terjadi saat ini adalah akibat beban biaya infrastruktur jaringan dan penyusutan (depresiasi) yang ditanggung operator telepon seluler memiliki porsi yang cukup besar terhadap beban usaha secara keseluruhan. Sementara itu, mereka dituntut untuk memperluas jaringannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan komunikasi di daerah-daerah terpencil. Perluasan jaringan tersebut membutuhkan biaya tidak sedikit dan tentunya ternasuk dalam komponen biaya tetap (fixed cost) artinya tidak berpengaruh pada pendapatan mereka. Sebagai gambaran berikut ini adalah data beban infrastruktur salah satu operator telepon seluler Indonesia.
Untuk mengatasinya maka terkadang terjadi pemadaman listrik akibat dimatikannya pembangkit listrik berbasis bahan bakar fosil tersebut. Hal ini merupakan kerugian bagi e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
seharusnya memberlakukan pajak kepada pihak yang menyebabkan eksternalitas tersebut (dalam hal ini operator telepon seluler) sebesar dampak yang disebabkan oleh eksternalitas tersebut. Secara umum, untuk melakukan internalisasi biaya eksternalitas tersebut digambarkan dalam kurva permintaan berikut ini.
Untuk mengatasi besarnya beban infrastruktur tersebut operator seluler harus meningkatkan utilitas jaringan mereka, agar penggunaan infrastruktur lebih bermanfaat. Peningkatan tersebut dicapai dengan cara melakukan promosi yang gencar, seperti yang kita lihat saat ini. Saat ini, banyak operator telepon seluler yang memberikan tarif telepon sepuasnya karena, berdasarkan KM No.12/Per/M.KOMINFO/02/2006 tentang struktur tarif teleponi dasar melalui jaringan seluler, tidak ada biaya yang terkait dengan durasi penggunaan jaringan telepon seluler. Artinya operator telepon seluler hanya menanggung biaya infrastruktur yang sebagian besar, besarnya tetap (tidak ada pajak yang proporsional terhadap utilitas jaringan), sehingga semakin besar utilisasi jaringan mereka semakin efisien usaha mereka. Hal inilah yang menjadi masalah, karena penggunaan telepon seluler yang meningkat juga akan meningkatkan beban puncak listrik, tetapi peningkatan penggunaan telepon seluler ini tidak memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.
3. PENUTUP Dari uraian pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa, aktivitas yang dilakukan oleh operator telepon seluler dalam meningkatkan utilitas jaringannya telah mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap penggunaan telepon seluler. Perubahan pola ini telah menimbulkan dampak bagi masyarakat berupa peningkatan beban puncak listrik dan bagi pemerintah menambah cepat tumbuhnya tuntutan akan peningkatan kapasitas pembangkit listrik. Karena itu, dapat dikatakan bahwa aktivitas bisnis operator telepon seluler tersebut merupakan eksternalitas komponen biaya produksi. Terdapat beberapa alternatif solusi untuk masalah eksternalitas biaya tersebut, solusi masalah ini bisa dilakukan dengan atau tanpa intervensi dari Pemerintah. Salah satunya adalah Pigouvian Taxes.
Kelemahan dari solusi ini adalah hanya membebankan biaya kepada operator telepon seluler serta menurunkan demand (utilisasi jaringan) sehingga akan membebani operator telepon seluler. Selanjutnya, akan membawa tarif telepon seluler naik. Karena itu, diperlukan peran pemerintah dalam mencari solusi yang menguntungkan semua pihak.
4. Daftar Pustaka [1].A. Schotter, “Microeconomics: A Modern Approach”, Addison-Wesley Educational Publishers, Inc., New York, 1997 [2].W. Nicholson, “Intermediate Microeconomics and its Applications”, Dryden Press., Florida, 1997 [3].“Indikator TIK: Edisi 2007”, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2007. http://www.tikometer.bppt.go.id/ [4].Zuhal, “Ketenagalistrikan Indonesia”, Ganeca Prima, Jakarta, 1995 [5].“PLN Annual Report 2006”, PT. PLN (persero) 2006 [6].“Annual Report PT. Excelcomindo Pratama Tbk. 2005, 2006, 2007”, PT. Excelcomindo Pratama Tbk. 20052007 [7].“Annual Report PT. Indosat Tbk. 2005, 2006, 2007”, PT. Indosat Tbk. 2005-2007 [8].B. Burhan, “Metodologi Penelitian Kuantitatif”, Kencana Prenada Media Group., Jakarta, 2006
Pigouvian Taxes Seorang ekonom asal Inggris bernama A.C. Pigou (18771959) berargumen, ketika terjadi eksternalitas, pemerintah e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta
e-Indonesia Initiative 2008 (eII2008) Konferensi dan Temu Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Indonesia 21-23 Mei 2008, Jakarta