Eksplorasi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Indigenus Pada Lahan Jagung Sampang Madura Desi Puspitasari*, Kristanti Indah P., S.Si, M.Si1, Dr.H.Anton M., S.P, M.P2 Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Gedung H Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111, Indonesia Abstrak Kondisi lahan pertanian jagung di Madura yang berbeda memungkinkan keberadaan mikrobia dalam lahan tersebut juga beranekaragam. Maka dari itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan komposisi Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) indigenous dari rhizosfer tanaman jagung (Zea mays) di Sampang Madura. Pengambilan sampel dilakukan secara acak (Random Sampling). Dari hasil isolasi sampel melalui proses penyaringan basah dan bertingkat dan dilanjutkan teknik sentrifugasi sukrosa telah ditemukan tiga genus yaitu Glomus, Acaulospora dan Gigaspora dengan bentuk, warna serta komposisi spora yang berbeda. Desa Banjar Talelah ditemukan jumlah spora jenis Glomus sp. sebanyak 154 spora/500 gr dan jenis Gigaspora sp. sebanyak 43 spora/500 gr. Desa Gunung Maddah ditemukan jumlah spora jenis Glomus sp. sebanyak 38 spora/500 gr, Acaulospora sp. sebanyak 38 spora/500 gr dan jenis Gigaspora sp. sebanyak 203 spora/500 gr. Sedangkan desa Torjun ditemukan jumlah spora jenis Glomus sp. sebanyak 482 spora/500 gr, Acaulospora sp. sebanyak 95 spora/500 gr dan jenis Gigaspora sp. sebanyak 281 spora/500 gr. Kata Kunci : Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM), jagung, Glomus, Gigaspora, Acaulospora Abstract Conditions of corn farmland as well as the types of plants that are naturally different, allowing the existence of mikrobia in such diverse fields as well. Therefore, this research aims to find out which types of Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) and composition of indigenous rhizosfer corn plants (Zea mays) in Sampang Madura. Sampling was done randomly (Random Sampling). From the results of the sample through a process of isolation wet filtration and multilevel technique and continued sentrifugasi sucrosehas been found in three genera namely, Acaulospora and Gigaspora Glomus with shapes, colors, and composition of the spores is different. At Banjar Talelah is found 154 spores/500 gr of Glomus and 43 spores/500 gr of Glomus. At Gunung Maddah is found 38 spores/500 gr of Glomus, 38 spores/500 gr of Acaulospora and 203 spores/500 gr of Gigaspora. While, at Torjun is found 482 spores /500 gr of Glomus, 95 spores/500 gr of Acaulospora and 281 spores/500 gr of Gigaspora. Key words : Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM), Corn,Glomus, Gigaspora, Acaulospora *Coresponding Author Phone: 085648461133 1 Alamat Sekarang : Jurusan Biologi FMIPA ITS 1. Pendahuluan Mikoriza merupakan simbiosis antara jamur dengan akar tanaman. Mikoriza berperan dalam peningkatan penyerapan unsur-unsur hara tanah yang dibutuhkan oleh tanaman seperti P, N, K, Zn, Mg, Cu, dan Ca (Bagyaraj et al., 1997). Sedangkan tanaman jagung agar menghasilkan mutu yang tinggi, dibutuhkan ketersediaan unsur hara N, P dan K yang tinggi (Hawks dan Collins, 1989). Jagung merupakan
contoh tanaman yang terinfeksi hebat oleh mikoriza. Jumlah mikoriza sangat melimpah di alam dan ditemukan hampir 80% dapat bersimbiosis dengan tumbuhan angiospermae (Harley&Smith 1983 dalam Charoenpakdee et al., 2010). Tanaman pertanian yang telah dilaporkan terinfeksi mikoriza vesikulararbuskular adalah kedelai, barley, bawang, kacang tunggak, nenas, padi gogo, pepaya, selada, singkong dan sorgum. Tanaman
perkebunan yang telah dilaporkan akarnya terinfeksi mikoriza adalah tebu, teh, tembakau, palem, kopi, karet, kapas, jeruk, kakao, apel dan anggur (Rahmawati, 2003). Pemanfaatan Mikoriza merupakan masukan teknologi mikrobia yang mungkin dapat dikembangkan untuk mengatasi masalah kekeringan pada budidaya jagung terutama di daerah Madura. Penelitian yang dilakukan oleh Nurhidayati (2010) telah ditemukan jenis mikoriza pada tanaman jagung antara lain Gigaspora, Scutellospora, Acaulospora, Entrophospora dan Glomus. Asosiasi mikoriza dengan tanaman inang memungkinkan tanaman memperoleh air dan hara dalam kondisi lahan kering marjinal seperti di daerah Madura. Selain itu senyawa glomalin yang dikeluarkan mikoriza serta hifa pada cendawan mikoriza terbukti mampu memperbaiki agregat tanah (Buscot dan Varma, 2005). Kendala dalam budidaya jagung yang menyebabkan rendahnya produktivitas jagung antara lain adalah serangan hama dan penyakit. Selain dari varietas tanaman jagung yang digunakan, faktor lingkungan seperti cuaca dan unsur hara dalam tanah juga dapat mempengaruhi kualitas. Salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan unsur hara terutama fosfat dalam tanah adalah dengan penggunaan mikoriza. Lingkungan dan faktor biotik diketahui memiliki pengaruh terhadap pembentukan mikoriza dan derajat infeksi dari sel korteks inang. Interaksi antar faktor-faktor biotik memiliki efek yang signifikan dalam merespon pertumbuhan tanaman yang diinokulasi. Faktor lingkungan berpengaruh terhadap pembentukan mikoriza dalam hal suplai dan keseimbangan hara, kelembaban dan pH tanah (Richards,1987). Menurut Widiastutik dan Karmadibrata, 1998 dalam Simangunsong 2006 kondisi geofisik alami serta jenis tanaman yang berbeda, memungkinkan keberadaan mikrobia dalam lahan tersebut juga beranekaragam. Tanah yang didominasi oleh fraksi lempung (clay) merupakan kondisi yang diduga sesuai untuk perkembangan spora Glomus, dan tanah berpasir genus Gigaspora ditemukan dalam jumlah tinggi. Pada tanah berpasir, pori-pori tanah terbentuk lebih besar dibanding tanah lempung dan keadaan ini diduga sesuai untuk
perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar daripada spora Glomus.. Menurut Laporan Tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Sampang 2009 mengungkapkan klasifikasi tanah Kabupaten Sampang berdasarkan jenis tanah terdiri dari ordo-ordo tanah Aluvial, Grumosol, Mediteran Merah Kuning dan Regosol. Berdasarkan hasil analisa tanah Desa Torjun tepatnya di Kecamatan Torjun memiliki 75% jenis tanah alluvial dengan tekstur lempung liat berpasir dan kadar air 16%, Desa Banjar Talelah yang merupakan daerah pesisir tepatnya di Kecamatan Camplong memiliki 60% jenis tanah grumusol dengan tekstur tanah liat dan kadar air 17% sedangkan Desa Gunung Maddah yang merupakan daerah pegunungan tepatnya di Kecamatan Sampang memiliki 60% jenis tanah Mediteran Merah Kuning dengan tekstur tanah lempung liat berpasir dan kadar air yang lebih tinggi yaitu 20%. Semua mikoriza tidak mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama, oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui identitasnya. Keanekaragaman dan penyebaran mikoriza sangat bervariasi, hal ini dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan yang bervariasi juga. Dengan alasan tersebut penelitian ini dilakukan eksplorasi untuk mengetahui jenis Vesicular Arbuscular Mycorrhiza Indigenus (VAM) pada Lahan Jagung di Sampang Madura yaitu di Desa Torjun, Banjar Talelah dan Gunung Maddah yang memiliki jenis tanah yang berbeda. Untuk mengetahui jenis mikoriza pada rhizosfer tanaman jagung tersebut perlu dilakukan identifikasi. Identifikasi merupakan suatu kegiatan yang sangat penting mengingat banyak jenis mikoriza yang belum diketahui jumlah dan jenisnya. 2. Metodologi Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Desember 2011 – Januari 2012 di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman dan Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Pengambilan sampel dilakukan di lahan pertanian di Kabupaten Sampang Madura tepatnya di Desa Torjun, Gunung Maddah dan Banjar Talelah
Pengambilan Sampel Tanah Metode pengambilan sampel tanah untuk isolasi mikoriza dilakukan secara acak (Random Sampling) yaitu mengambil sampel dari titik diagonalnya sebanyak 5 titik. Sampel tanah diambil dari daerah sekitar perakaran jagung (Zea mays) diambil sebanyak + 100 gram dengan batas setengah jarak tanam dan sedalam sistem perakaran tanaman (Nurhidayati, et al 2010). Sampel tanah dimasukkan dalam plastik yang telah ditandai. Sampel tanah dari perakaran tanaman jagung yang diperoleh, selanjutnya dilakukan analisa lebih lanjut di laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman. Kondisi fisik dan kimia tanah juga dilakukan analisa dengan cara mengambil sampel tanah secara komposit dari kelima titik tadi dengan menggunakan soil corer. Kondisi fisik tanah seperti suhu diukur dengan termometer, kelembaban dengan soil tester. Sedangkan kondisi kimia tanah seperti kandungan C-organik, N, P, KTK dan pH tanah diuji di Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang
dicuci dengan penyemprotan air bersih. Pada ayakan terakhir 0,038 mm dibersihkan dengan aquades dan dituangkan ke cawan petri, kemudian dilakukan perhitungan jumlah spora. Identifikasi Mikoriza Indigenous Pembuatan preparat spora mikoriza dimaksudkan untuk membantu dalam proses identifikasi. Dari preparat tersebut diharapkan informasi morfologi dan struktur sub-seluler spora dapat menentukan genus VAM. Identifikasi mikoriza indigenous dilakukan dengan menggunakan buku panduan Working with Mycorrhizas in Forestry and Agriculture (Brundrett et al. 1994) serta dipertegas dengan menggunakan website INVAM (2006) ([http://invam.caf.wvu.edu/Myc_Info/Taxono my/species.html]). Identifikasi dilakukan dengan menggunakan mikroskop stereo (Charoenpakdee et al., 2010). Dengan bantuan mikroskop dan pinset spora, kumpulkan spora yang didapatkan berdasarkan karakter morfologi spora mikoriza meliputi bentuk spora, ukuran spora, warna spora, ornamen spora serta kandungan spora.
Isolasi Mikoriza Indigenous 3. Hasil dan Pembahasan Isolasi mikoriza indigenous dilakukan Laboratorium Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. Setelah didapatkan sampel, tanah dari perakaran jagung disaring dengan prosedur Daniel dan Skiper (2010). Tanah yang diambil dari perakaran jagung sebanyak + 100 gr dimasukkan kedalam wadah berisi air sebanyak 500 ml, diaduk sampai homogen. Kemudian didiamkan selama 10 menit sampai partikel-partikel mengendap, suspensinya dituangkan ke saringan tingkat empat dengan diameter lubang berturut-turut dari atas ke bawah adalah 0,600; 0,180; 0,075; 0,063 dan 0,038 milimeter. Untuk mencegah penyumbatan lubang saringan, dilakukan penyemprotan dengan air bersih ke permukaan saringan. Bahan yang tertinggal disaringan 0,075; 0,063 dan 0,038 milimeter dicuci dengan air bersih dan dituangkan dalam tabung-tabung sentrifuge sebagai suspensi sampai volume masing-masing 20 ml ditambahkan larutan sukrosa 60%. Tabungtabung tersebut dimasukkan dalam kotak sentrifuge. Sentrifuge dilakukan selama 7 menit dengan putaran 2000 rpm. Setelah dilakukan sentrifuge, suspensinya diambil dan dituang ke dalam saringan 0,038 mm dan
Kandungan dan Kondisi Tanah Safir dan Duniway (1988) menyatakan bahwa sebaran mikoriza dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jenis dan struktur tanah, unsure hara P dan N dalam tanah, air, pH, dan suhu tanah.. Berikut hasil analisa kandungan dan kondisi tanah pada ketiga lokasi pengambilan sampel yang dapat dilihat pada Tabel 1. dibawah ini. Tabel 3. Kandungan dan kondisi tanah di desa Banjar Talelah, Gunung Maddah dan Torjun Lokasi Sampel
C-Organik(%) N-Total(%) P (mg/kg) KTK (me/100gr) pH Tekstur
Desa Banjar Talelah 1,04 0,11 6,28 49,57 6,7 Liat
Desa Gunung Maddah 3,77 0,53 54,15 41,57 6,8 Lempung Liat Berpasir
Desa Torjun 0,78 0,09 13,76 13,27 7,1 Lempung Liat Berpasir
Sifat kimia tanah yang di ukur antara lain C-organik, N, P, KTK dan bahan organik. Kandungan C-organik tertinggi di Desa Gunung Maddah 3,77 %. Begitu pula dengan
kandungan N-Total dan P tertinggi di desa Gunung Maddah yaitu 0,53% dan 54,15 mg/kg. Namun, untuk kandungan KTK tertinggi di desa Banjar Talelah sebesar 49,57 me/100gr. Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah (LPT,1983) nilai hara C-organik, N-Total dan P di desa Gunung Maddah tergolong kategori tinggi yaitu 3.01-5.00, 0.510.75 dan 41-60. Berbeda dengan kandungan KTK sangat tinggi yaitu di desa Banjar Talelah mencapai >40.
(Zea mays L.) melalui proses penyaringan basah dan bertingkat dan dapat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Bentuk spora mikoriza dapat digunakan sebagai ciri untuk menentukan jenis-jenisnya. Penelitian ini telah ditemukan tiga jenis genus yaitu Glomus, Gigaspora dan Acaulospora. Hasil identifikasi dan jumlah spora VAM (jumlah spora per 500 gr tanah) di ketiga lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada tabel 4. dibawah ini.:
Desa Torjun dan Gunung Maddah memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir, sedangkan desa Banjar Talelah memiliki tekstur tanah liat. Hal ini sesuai dengan Laporan akhir BAPPEDA Sampang Tahun 2009 bahwa daerah Sampang didominasi tekstur tanah pasir berlempung. Tekstur tanah mempengaruhi kerapatan tanah (Bulk Density) semakin kasar tekstur tanah maka semakin rendah kerapatan tanah. Kapasitas pengikatan air berhubungan baik dengan struktur maupun tekstur. Secara umum diketahui bahwa tanah yang bertekstur halus mampu menahan lebih banyak air yang dapat digunakan.
Tabel 2. Hasil Identifikasi dan Jumlah Spora Mikoriza Jumlah Lokasi Spora/500 Jenis Spora Pengambilan gr tanah
Hasil Isolasi dan Identifikasi Spora Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Mikoriza vesikular-arbuskular pada umumnya membentuk resting spore dalam tanah, baik secara tunggal ataupun dalam bentuk sporokarp sebelum berinteraksi dengan akar suatu inang. Spora mikoriza dapat terbentuk pada ujung hifa eksternal, ukuran spora bervariasi antara 40-800 μm tergantung pada jenisnya. Dengan ukuran ini, untuk mendapatkan spora mikoriza dapat dilakukan melalui penyaringan tanah (Anas, 1992). Mikoriza belum dapat ditumbuhkan sebagai biakan murni, sehingga identifikasinya didasarkan pada morfologi spora dan sporokarpnya. Pengetahuan tentang taksonomi maupun diversitas fungsional mikoriza masih sangat terbatas (Bougher, 1995). Di Australia hanya sekitar 10% mikoriza dapat diidentifikasi dan diperkirakan sekitar 80% belum diketahui jenisnya (Pascoe, 1991). Mikoriza yang telah teridentifikasi hingga saat ini sekitar 75 jenis, dengan jumlah terbanyak dari genus Glomus (Trappe, 1982). Isolasi tanah dari tiga lokasi pengambilan contoh menghasilkan beberapa jenis spora VAM pada rizosfer tanaman jagung
Desa Banjar Talelah Desa G.Maddah
Desa Torjun
Glomus Gigaspora Glomus Acaulospora Gigaspora Glomus Acaulospora Gigaspora
154 43 38 38 203 482 95 281
Harley (1972) menyatakan bahwa satu jenis mikoriza vesikular-arbuskular dapat menginfeksi lebih dari satu jenis akar tanaman, demikian pula sebaliknya satu jenis tanaman dapat mengalami infeksi akar oleh lebih dari satu jenis mikoriza. Tabel 2 menunjukkan jumlah spora mikoriza yang diperoleh dari daerah risosfer tanaman dan keterangan jenis spora yang ditemukan di Sampang Madura. Jumlah spora yang ditemukan pada masingmasing sampel tanah sangat bervariasi, yang menunjukkan tingkat sebaran dan dominansi mikoriza pada lokasi penelitian. Hal ini menunjukkan potensi mikoriza vesikulararbuskular untuk dapat diaplikasikan di lahan Madura. Apabila terdapat pertumbuhan akar tanaman di sekitar spora, maka spora akan berasosiasi dan berkembang di dalam akar. Pada kondisi ini mikoriza berfungsi membantu pertumbuhan tanaman. Berdasarkan Tabel 2. terlihat bahwa Glomus mendominasi di tiap lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa Glomus mempunyai tingkat adaptasi yang cukup tinggi terhadap berbagai kondisi lingkungan. Bentuk spora, jumlah, dan jenis yang ditemukan pada masing-masing sampel tanah yang berbeda juga bervariasi. Keadaan ini menunjukkan adanya keanekaragaman mikoriza yang terdapat pada masing-masing hamparan tanah. Di desa Banjar Talelah ditemukan 154/500gr
tanah jenis Glomus dan 43/500gr tanah jenis Gigaspora. Di desa Gunung Maddah ditemukan 38/500gr tanah jenis Glomus, 38/500gr tanah jenis Acaulospora dan 203/500gr tanah jenis Gigaspora. Sedangkan di desa Torjun 482/500gr tanah jenis Glomus, 95/500gr tanah jenis Acaulospora dan 281/500gr tanah jenis Gigaspora. Kelimpahan spora mikoriza terendah di desa Banjar Talelah sebesar 197 spora per 500 gr sampel tanah, hal ini disebabkan karena tanah di daerah tersebut memiliki struktur liat dimana semakin tinggi kerapatan tanah menyebabkan kepadatan tanah meningkat, aerasi dan drainase terganggu sehingga perkembangan akar menjadi tidak normal (Hakim, dkk, 1986). Pada tanah liat lempung mengandung air pada titik layu yang lebih banyak dari kandungan lempung berpasir pada kapasitas lapang (Foth, 1994 dalam Harahap, 2009). Rendahnya kepadatan spora VAM yang ditemukan bisa juga diduga disebabkan antara lain (pada saat pengambilan contoh tanah) VAM belum bersporulasi, faktor lingkungan, dan iklim (curah hujan, suhu, kelembapan tanah, pH tanah). Kelimpahan spora mikoriza tertinggi di desa Torjun sebanyak 712 spora per 500 gr sampel tanah dengan struktur tanah lempung liat berpasir dan kandungan C-organik, NTotal, P dan KTK terendah. Hal ini sesuai dengan teori yang ada yaitu ketersediaan hara yang rendah akan mengoptimalkan kerja mikoriza dengan memperluas daerah penyerapan sekaligus juga dapat menembus daerah penipisan nutrient (zone of nutrientdepletion). Populasi spora VAM yang tinggi juga diduga disebabkan kondisi lingkungan yang lebih sesuai, optimal, dan kompatibel dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan spora VAM serta kemungkinan tidak adanya jamur antagonis yang menghambat sporulasi VAM dibandingkan kondisi yang ada di desa tersebut. Hasil analisis beberapa faktor lingkungan spora menunjukkan adanya faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan spora jamur ialah N-total, C-organik, P, KTK dan pH (Gambar 1.). Diantara beberapa faktor tersebut, pH merupakan faktor yang paling besar berpengaruh terhadap perkembangan semua jenis spora VAM. Selanjutnya diikuti
oleh faktor N-total, C-organik, P dan KTK, dimana memberikan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan masing-masing jenis spora. Menurut Muhibuddin (2007), terdapat korelasi yang signifikan antara curah hujan, suhu tanah, kandungan N, P dan K tanah terhadap perkembangan spora jamur. Berikut grafik nilai korelasi antara jumlah spora dengan kandungan unsur hara lainnya dalam tanah.
Gambar 1. Hubungan Faktor-Faktor Terhadap Perkembangan Spora VAM
Lingkungan
Daerah desa Gunung Maddah merupakan derah berkapur dengan konsentrasi P yang tinggi. Mosse (1997) menyatakan bahwa kadar P yang tinggi dapat menyebabkan terhambatnya perkecambahan mikoriza pada tanaman inang. Berdasarkan Gambar 9. nilai korelasi antara unsur P dengan jumlah spora memberikan pengaruh terhadap jumlah spora, dimana adanya peningkatan unsur P dalam tanah, jumlah spora Acaulospora dan Gigaspora mengalami sedikit peningkatan, namun jumlah spora Glomus mengalami penurunan yang signifikan. Fosfor di dalam tanah terdapat dalam bentuk orthofosfat, P organik dan P anorganik yang berikatan dengan Fe, Al, Ca, dan mineral tanah lainnya. Sebagian besar unsur hara fosfor dalam bentuk tidak tersedia untuk tanaman (Tisdale,1990). Dalam kondisi fosfor tidak tersedia, kolonisasi mikoriza lebih cepat terbentuk. Hal ini disebabkan fungsi utama infeksi mikoriza adalah penyerapan fosfor dalam bentuk tidak tersedia atau fosfor yang terserap partikel lempung (Moose, 1981). Unsur C dan N di daerah desa Torjun lebih rendah daripada daerah lainnya. Ketersediaan hara yang rendah akanmengoptimalkan kerja mikoriza dengan memperluas daerah penyerapan sekaligus juga dapat menembus daerah penipisan nutrien (Zone of nutrient depletion) sehingga hara dari media yang tidak dapat diserap oleh akar dengan adanya pengaruh mikoriza, dapat mengoptimalkan fungsi akar dan hara terserap
lebih banyak dan dapat meningkatkan metabolisme tumbuhan (Smith & Read, 1997). Berdasarkan nilai korelasi (Gambar 9), peningkatan unsur C dan N berbanding terbalik dengan jumlah spora Glomus dan Acaulospora, dimana dengan adanya peningkatan unsur C dan N maka jumlah spora Glomus akan mengalami penurunan yang signifikan, sedangkan jumlah spora Acaulospora mengalami sedikit penurunan. Namun, jumlah spora jenis Gigaspora mengalami sedikit peningkatan. Selain tekstur tanah, kondisi fisik lainnya adalah KTK, dimana KTK sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi seperti di desa Banjar Talelah. Berdasarkan nilai korelasi (Gambar 1) terlihat bahwa peningkatan KTK dalam tanah berbanding terbalik dengan jumlah spora Glomus dan Acaulospora, dimana dengan adanya peningkatan KTK maka jumlah spora Glomus akan mengalami penurunan yang signifikan, sedangkan jumlah spora Acaulospora mengalami sedikit penurunan. Namun, jumlah spora jenis Gigaspora mengalami sedikit peningkatan. Jenis Glomus, Acaulospora dan Gigaspora lebih banyak ditemukan di desa Torjun yang memiliki struktur tanah lempung liat berpasir. Tanah yang didominasi oleh fraksi lempung (clay) merupakan kondisi yang diduga sesuai untuk perkembangan spora Glomus, sedangkan di tanah berpasir genus Gigaspora juga ditemukan dalam jumlah tinggi. Pada tanah berpasir, pori-pori tanah terbentuk lebih besar dibanding tanah lempung dan keadaan ini diduga sesuai untuk perkembangan spora Gigaspora yang berukuran lebih besar daripada spora Glomus. Seperti dinyatakan Rainiyati, 2007 dalam Hartoyo, 2011 bahwa perbedaan kepadatan spora kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan (jenis tanah, hara tanaman, ketinggian tempat, cahaya) dan musim pada saat pengambilan contoh tanah Perkembangan mikoriza diawali sejak berada di tanah dalam bentuk spora hingga dapat menginfeksi akar tanaman. Menurut Delvian (2003), terdapat kecenderungan peningkatan jumlah spora dengan berkurangnya jumlah curah hujan, fluktuasi kelembapan tanah juga dapat mempengaruhi pembentukan spora atau sporulasi. Feil et al, 1988 melaporkan bahwa kekeringan tidak
menghambat pertumbuhan mikoriza namun meningkatkan perkembangan akar lateral dan setelah pembasahan kembali laju pemanjangan akar dan jumlah mikoriza meningkat dengan cepat. Namun, Solaiman dan Hirata (1995) menyatakan bahwa mikoriza tidak hanya berkembang pada tanah yang berdrainase baik saja, pada lahan yang tergenang seperti pada padi sawah mikoriza juga mampu hidup. Aggangan, et al. (1998) menyatakan bahwa pada lingkungan yang miskin hara atau pun lingkungan yang telah tercemar limbah berbahaya sekalipun, mikoriza mampu memperlihatkan eksistensinya. Cekaman air juga akan merangsang pembentukan spora VAM, meskipun belum dapat disimpulkan bahwa kondisi kering akan selalu menghasilkan spora yang lebih banyak. Rainiyati, 2007 dalam Hartoyo, 2011 menambahkan bahwa pada musim kering VAM aktif untuk bersporulasi membentuk spora, sedangkan pada musim hujan terjadi kondisi sebaliknya. Sedangkan Lee et al. (2009) menyatakan bahwa kepadatan spora, keragaman, dan infeksi VAM berkorelasi negatif dengan pH tanah. Derajat keasaman (pH) optimum untuk perkecambahan spora tidak hanya tergantung pada spesies fungi tetapi kandungan nutrient didalam tanah. Derajat keasaman optimum untuk perkecambahan spora berbeda-beda untuk msing-masing spesies VAM dan untuk lingkungan yang berbeda pula. Misalnya, untuk Glomus mosseae biasanya pada tanah alkali dapat berkecambah baik pada pH 6-9. Sedangkan spora Gigaspora coralloide dan Gigaspora heterogama dari jenis yang lebih asam dapat berkecambah baik pada pH 4-6. Derajat keasaman (pH) optimum untuk perkecambahan spora tidak hanya tergantung pada spesies fungi tetapi juga kandungan nutrient didalam tanah yang berpengaruh langsung terhadap aktivitas enzim yang berperan dalam perkecambahan spora (Abbot dan Robson, 1984). Terbukti dengan nilai korelasi bahwa pH sangat mempengaruhi semua jenis VAM yang ada di Sampang Madura. Di daerah yang memiliki unsur hara yang lebih tinggi seperti di desa Gunung Maddah dan Banjar Talelah memiliki keragaman jenis dan jumlahnya relatif lebih rendah. Hal ini disebabkan pada saat unsur hara dalam keadaan cukup, akar tanaman dapat berperan sebagai organ penyerap hara sehingga
tanaman mengakumulasi unsur hara dalam jumlah yang tinggi. Kondisi tersebut akan menyebabkan respon yang negatif terhadap kolonisasi mikoriza (Smith & Read, 1997). Dari penelitian ini terlihat bahwa jenis Glomus mendominasi di tiap lokasi, namun jenis VAM ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Bahwa adanya peningkatan unsur hara memiliki korelasi positif dengan jumlah spora Glomus. Namun, faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi jumlah spora adalah pH, dimana peningkatan jumlah spora terjadi pada keadaan tanah netral yaitu antara 6,6-7,5. Karakteristik Spora Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) Glomus sp. Genus Glomus sp. proses perkembangan spora adalah dari ujung hifa yang membesar sampai ukuran maksimal dan terbentuk spora. Karena sporanya berasal dari perkembangan hifa maka disebut chlamydospora, kadang hifa bercabang-cabang dan tiap cabang terbentuk chlamydospora dan membentuk sporocarp (INVAM, 2009). Pada saat dewasa spora dipisahkan dari hifa pelekat oleh sebuah sekat, spora bentuk globos, subglobos, ovoid ataupun obovoid dengan dinding spora terdiri atas lebih dari satu lapis (Sen dan Hepper 1986 dalam Prihastutik 2007). Menurut Smith dan Read, 1997 dalam Hapsoh. 2003, spora genus Glomus dapat ditemukan dalam bentuk tunggal atau agregat lepas, sporokarp tidak seperti pada Sclerocystis dan sporokarp terdiri dari spora dengan dinding lateral yang saling melekat satu sama lainnya.
a
b
c
Gambar 10. Spora Glomus sp. (a) Hasil pengamatan, (b) Gambar literatur (Hartoyo,2011) dan (c) Perkembangan spora (Brundrett,1994).
Spora Glomus yang ditemukan rata-rata memiliki bentuk bulat sampai bulat lonjong, memiliki dinding spora mulai dari kuning bening sampai coklat kemerahan, permukaan dinding spora relatif halus, dan memiliki dinding spora yang tipis. Namun, masingmasing spesies memiliki ciri-ciri tersendiri mulai bentuk spora bulat dan berbentuk bulat lonjong. Spora ada yang tidak dtemukan hifa, namun ada spora lainnya ditemukan hifa yang
langsung menyatu dengan dinding spora dengan warna yang hampir sama dengan dinding spora. Acaulospora sp. Proses perkembangan spora Acaulospora berawal dari ujung hifa (subtending hyphae) yang membesar seperti spora yang disebut hyphal terminus. Di antara hyphal terminus dan subtending hypae akan muncul bulatan kecil yang semakin lama semakin membesar dan terbentuk spora. Dalam perkembangannya, hifa terminus akan rusak dan isinya akan masuk ke spora. Rusaknya hifa terminus akan meninggalkan bekas lubang kecil yang disebut Cycatric (INVAM, 2009). Berikut merupakan gambar spora Acaulospora.
a
b
c
Gambar 11. Spora Acaulospora sp. (a) Hasil pengamatan, (b) Gambar literatur (INVAM,2009) dan (c) Perkembangan spora (Brundrett,1994).
Menurut Hall 1984 dalam Prihastutik 2011, spora Acaulospora merupakan spora tunggal di dalam sporokarp, spora melekat secara lateral pada hifa yang ujungnya menggelembung dengan ukuran yang hampir sama dengan spora, bentuk spora globos, subglobos, ellips atau fusiform melebar. Spora Acaulospora yang ditemukan memiliki bentuk bulat lonjong dan memiliki dinding spora yang relatif tebal, dengan berwarna kuning kecoklatan sampai orange kemerahan. Gigaspora sp. Genus Gigaspora ditemukan disemua lokasi, namun kelimpahan tertinggi di Desa Gunung Maddah dan Banjar Talelah. Berdasarkan karakteristik morfologinya, spora jenis Gigaspora yang ditemukan memiliki bentuk bulat dan permukaan dinding spora relatif kasar. Spora yang ditemukan memiliki dinding spora berwarna hitam, namun tidak terdapat hifa yang menempel pada dinding spora sehingga bulbous suspensor tidak terlihat. Berikut merupakan gambar dari spora Gigaspora. Proses perkembangan spora Gigaspora tidak langsung dari hifa. Pertama-tama ujung hifa (subtending hyphae) membulat yang
dinamakan bulbous suspensor. Di atas bulbous suspensor ini timbul bulatan kecil yang semakin lama semakin besar dan mencapai ukuran maksimum yang akhirnya menjadi spora.
a
b
c
Gambar 12. Spora Gigaspora sp. (a) Hasil pengamatan, (b) Gambar literatur (Prihastutik,2007) dan (c) Perkembangan spora (Brundrett,1994).
Spora ini disebut azygospora. Karakteristik khasnya adalah mempunyai bulbus suspensor tanpa germination shield (INVAM,2009). Menurut Wilson, et al. (1983) dalam Prihastutik (2007) menyatakan bahwa spora Gigaspora dihasilkan secara tunggal di dalam tanah. Ukurannya besar, bentuk globos atau subglobos, spora tidak mempunyai lapisan dinding dalam, tabung kecambah dihasilkan secara langsung dari dinding spora, sel pelengkap berduri dan berdinding tipis. Gigaspora juga tidak memiliki dinding perkecambahan fleksibel yang dibentuk (inner wall), dan suspensor melekat pada permukaan terluar dinding spora (INVAM, 2008 dalam Yovita, 2008). Selain itu genus Gigaspora tidak membentuk struktur vesikula didalam akar melainkan hanya terdapat arbuskula dan hifa (Brundett et al, 1996). 4. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah : 1. Jenis spora mikoriza yang berhasil di isolasi dan di identifikasi dari rizosfer tanaman jagung (Zea mays L.) di desa Banjar Talelah, Gunung Maddah dan Torjun adalah jenis Glomus,Acaulospora dan Gigaspora dengan bentuk bulat dan bulat lonjong dengan warna yang berbedabeda. 2. Desa Banjar Talelah ditemukan jumlah spora jenis Glomus sp. sebanyak 154 dan jenis Gigaspora sp. sebanyak 43. Desa Gunung Maddah ditemukan jumlah spora jenis Glomus sp. sebanyak 38, Acaulospora sp. sebanyak 38 dan jenis Gigaspora sp. sebanyak 203. Sedangkan desa Torjun ditemukan jumlah spora jenis Glomus sp. sebanyak 482, Acaulospora sp. sebanyak 95 dan jenis Gigaspora sp. sebanyak 281.
5. Daftar Pustaka Abbott LK, Robson AD. 1982. The role of VAM fungi in agriculture and the selection of fungi for inoculation. Aust J Agric Res 33:389-395. Aggangan NS, Dell B dan Malakezuk N, 1998. Effect of chromium and nickel on growth of the ectomycorrhizal fungus Pisolithus dan formation of ectomycorrhizae on Eucalyptus urophylla. S. T. Blake Geoderma, 84: 33–39 Anas, I. 1997. Bioteknologi Laboratorium Biologi Tanah. Tanah. Fakultas Pertanian. IPB.
Tanah. Jurusan
Anonim. 2009. Laporan Tahunan 2009 Dinas Pertanian Kabupaten Sampang Madura. Sampang Anonim. 2009. Laporan Akhir Pembuatan Peta Tematik Sebagai Data Dasar Wilayah Menggunakan Citra Pengindraan Jauh Satelit Kabupaten Sampang. BAPPEDA Kabupaten Sampang Bagyaraj, D.J, E. Munyanziza, Kehri H.K. 1997. Agricultural Intensification, Soil Biodiversity And Agro-Ecosystem Function In The Tropics: The Role Of Mycorrhiza In Crops And Trees. Applied Soil Ecology 6 : 77-85 Bougher, 1995. Mycorrhizal Fungi in Australia. In. Introduction to mycorrhizas. http://mycorrhiza.ag.utk.edu/ Brundrett, M, et al. 1994. Working With Mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32. 374+ x p. Pirie Printer. Canberra, Australia. Buscot, F. dan Ajit V. 2005. Microorganisms in Soils : Roles in Genesis and Functions. Springer Berlin Heidelberg : New York Daniel dan Skiper. 1982. Methods For The Recovery and Quantitative Estimation Of Propagules From Soil. In Schenck N. C. Methods and Prinsiples of Mycorrhizal Research. American Phytopath. PP. 29-35 Delvian. 2003. Keanekaragaman Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) di Hutan Pantai dan Potensi Pemanfaatannya. Disertasi. Program Pascasarjana IPB Bogor.158p.
Hakim, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Unila. Lampung Hapsoh. 2003. Kompatibilas MVA dan Beberapa Genotipe Kedelai pada Berbagai Tingkat Cekaman Kekeringan Tanah Ultisol : Tanggap Morfosiologi dan Hasil. Thesis. Sekolah Pascasarjana. IPB Harahap, Fitra Syawal. 2009. Pengujian Pengolahan Tanah Konservasi Dan Inokulasi Mikoriza Terhadap Sifat Fisika Dan Kimia Tahan Serta Produksi Beberapa Varietas Kacang Tanah (Arachis hypogeal L.). Skripsi. USU. Medan Harley JL, 1972. The Biology of Mycorrhiza. Plant Science Monograps. Leonard Hill, London. 334
Prihastuti, 2007. Isolasi dan karakterisasi Mikoriza Vesikular-Arbuskular di Lahan Kering Masam, Lampung Tengah. Berk. Penel. Hayati. 12: 99–106. Safir, G. R. and J. M. Duniway. 1988. Evaluation of plant response to colonizayion by vesicular-arbuscular mychorrhizal fungi. Environmental variables. The American Phytopathological Simangunsong, Sari Artauli. 2006. Pengaruh Pemberian Berbagai MVA dan Pupuk Kandang Ayam Pada Tanaman Tembakau Deli Terhadap Serapan P dan Pertumbuhan di Tanah Inceptisol Sampali. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian. USU
Hartoyo, Budi et al. 2011. Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Pada Rizosfer Tanaman Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban. Jurnal Littri Vol. 17 No. 1 : 32 – 40
Smith SE and Read DJ, 1997. Mycorrhizal Symbiosis. Academic Press. Harcourt Brace And Company Publishers, San Diego: 96.
Hawks, S.N. dan Collins, W.K., 1989. Principles of Flue-cured Tobacco Production. N.C State University. 358 pp.
Solaiman MZ and Hirata H, 1995. Effect of indigenous arbuscular mycorrhizal fungus and root effect on soil aggregation. Soil Sci. Soc. Am. J. 57: 77–81.
Lee, K.J., K.H. Lee, E. Tamolang-Castillo, And S.W. Budi. 2009. Biodiversity, spore density and root colonization of arbuscular mycorrhizal fungi at expressway cutslopes in Korea. Jour Korean for Soc : 98(5):539-547. Mosse, B. 1981. Vesicular-Arbuscular Micorrhiza Research for Tropica. Agricultural Ress. Bull. Hawai. Inst. Tropica Agricultural and Human Resources. Muhibuddin Anton. dkk. 2007. Model Matematik Populasi Vesicular Arbuscular Mycorrhizae (VAM) pada Pergiliran Tanaman Jagung dan Kedelai di Jatikerto, Malang. Jurnal Agrivita Volume 29 No.2. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Nurhidayati. T, K.I Purwani, D. Ermavitalini. 2010. Isolasi Mikoriza VesikularArbuskular Pada Lahan Kering Di Jawa Timur. Berk.Penel. Hayati Edisi Khusus: 4F (43-46) Pascoe, 1991. Mycorrhizal http://mycorrhiza.ag.utk.edu/
Fungi.
Trappe, J. M. 1982. Synoptic keys to the genera and spesies of zygomycetous mycorrhizal fungi. Phytopathology 72.