EKSES PASAL 10 UU NO. 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA TERKAIT PEMANFAATAN MOTIF BATIK SURAKARTA Dyan Ratna Sari, Agus Sardjono (Pembimbing 1), dan Henny Marlyna (Pembimbing 2) Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia ABSTRAK Skripsi ini membahas mengenai kemungkinan perlindungan Surakarta batik motif yang termasuk ke dalam salah satu jenis folklore berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Selain itu, dibahas pula mengenai pemanfaatan motif batik Surakarta secara ekonomis oleh orang nonSurakarta yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing. Pembahasan perihal pemanfaatan motif batik Surakarta ini ditinjau dari ketentuan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Semua pembahasan ini dikaitkan pula dengan tindakan pendaftaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta atas lebih dari seratus motif batik tradisional Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah perlindungan motif batik Surakarta melalui UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah kurang dimungkinkan. Dalam hal pemanfaatannya, motif batik Surakarta dapat turut dimanfaatkan secara ekonomis oleh orang nonSurakarta, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun warga negara asing. Namun, pemanfaatan oleh warga negara asing memerlukan izin terlebih dahulu dari negara sebagai pemegang hak cipta. Hasil dari penelitian ini menyarankan agar perlindungan motif batik Surakarta yang merupakan salah satu jenis folklore dilakukan melalui suatu peraturan tersendiri (sui generis) yang terpisah dari ketentuan hukum hak cipta. Selain itu, peraturan yang terpisah tersebut juga harus dapat menjamin dan melindungi hak-hak ekonomi masyarakat lokal. Kata kunci: Ekses Pasal 10 Undang-Undang Hak Cipta 2002; pemanfaatan ekonomi; motif batik Surakarta. ABSTRACT This thesis discusses about possibility of Surakarta batik motif protection as one of type folklore base on Law No. 19 Year 2002 on Copyright. Besides, in this thesis is worked through too about the utilization of Surakarta batik motif economically by nonSurakarta’s person who gets Indonesian civics and also one gets strange civics. Study about this utilization matter of Surakarta batik motif is sighted of article 10 of Law No. 19 Year 2002 on Copyright. All this study is also concerned with registration action that had been done by Local Government of Surakarta toward more than a hundred Surakarta traditional batik motifs. This research is a juridical normative by qualitative analysis method. The results of this study are the protection of Surakarta batik motif with Law No. 19 Year 2002 on Copyright is insufficiently been enabled. In term its exploit, Surakarta batik motif can 1 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
terminological to utilize economically by nonSurakarta’s person that gets Indonesian civics and also strange citizen. But, exploit by strange citizen require beforehand permit of state as holding as copyright. The results of this study suggest that the protection of Surakarta batik motif as one of type folklore should be done with another regulation one (sui generis) that separates from copyright law rule. Besides, the regulation that separately shall also gets to secure and protect economic rights of local society. Keywords: Excess of article 10 copyright law 2002; economic exploit; Surakarta batik motif. PENDAHULUAN Pendaftaran hak cipta atas motif batik Surakarta yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta menemui jalan buntu berupa penolakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Alasan di balik penolakan tersebut adalah motif batik yang didaftarkan bukanlah suatu ciptaan yang baru dan original milik Pemerintah Daerah Surakarta melainkan milik kolektif masyarakat Surakarta. Oleh karena itu, menurut pernyataan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual inilah maka terhadap motif batik tersebut tidak dapat dilakukan pendaftaran hak ciptanya. Padahal tindakan pendaftaran ini merupakan upaya perlindungan yang diberikan terhadap motif batik Surakarta sebagai warisan budaya yang memang patut untuk dijaga dan dilindungi keberlangsungannya di era modern ini. Namun, dengan adanya penolakan ini patut dipertanyakan apakah terhadap motif batik Surakarta ini memang dimungkinkan untuk dilindungi dalam rezim hak cipta atau tidak? Pemerintah Daerah Surakarta sendiri telah mendaftarkan atas namanya sekitar lebih dari seratus motif batik tradisional milik kolektif masyarakat Surakarta. Berikut ini beberapa contoh nama motif batik yang telah didaftarkan oleh Pemerintah Daerah Surakarta: 1. Wahyu tumurun; 2. Rante bledak; 3. Pudak mekar; 4. Probosari; 5. Pucang rinenggo; 6. Parang daun; 7. Limaran; 8. Peksi merpati; 2 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
9. Jamur dipo klenteng; 10. Lengko; 11. Parang chantel; 12. Parang; 13. Lintangtrenggono; 14. Ceplok kawung seling gringsing; 15. Ceplok kopi pecah; 16. Ceplok madu laras; 17. Liris bledak; 18. Kawung ceplok; 19. Parang curigo; 20. Kawung kecil. 1 Terhadap semua motif batik inilah termasuk yang tidak disebutkan oleh penulis ditolak pendaftarannya oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pendaftaran atas semua motif batik tersebut pada dasarnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta sebagai upaya pelaksanaan ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam Undang-Undang Hak Cipta, ketentuan pasal ini memang dikhususkan untuk melindungi warisan budaya tradisional Indonesia. Salah satu warisan budaya yang dilindungi adalah folklore. Dalam penjelasan Pasal 10 tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan folklore adalah semua hasil ciptaan tradisional. Motif batik Surakarta yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah Surakarta sendiri merupakan seni batik tradisional yang mencerminkan bentuk motif, fungsi, dan teknik produksi yang bertolak dari budaya dan tradisi2 masyarakat Surakarta. Dengan demikian, motif batik tradisional Surakarta juga termasuk folklore yang dilindungi melalui ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
1
Hasil wawancara dengan Bapak Agung Damarsasongko, S.H., M.H selaku Kepala Seksi Pertimbangan Hukum Hak Cipta, Desain Industri, DTLST, dan Rahasia Dagang Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan HAM RI. Wawancara dilakukan pada tanggal 29 Oktober 2012. 2
Afrillyanna Purba, Gazalba Saleh, dan Andriana Krisnawati, TRIPs-WTO & HUKUM HKI INDONESIA: Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia, cet. 1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), 5.
3 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
Namun, ketentuan Pasal 10 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 yang memberikan perlindungan hak cipta atas folklore (dalam hal ini motif batik Surakarta) pada kenyataannya masih sangat lemah. Kelemahan yang terdapat dalam pasal ini adalah belum adanya peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut bentuk perlindungan hak cipta yang diberikan oleh negara. Selain itu, belum terbentuknya instansi yang ditunjuk oleh pasal ini sebagai pemegang hak cipta juga turut melemahkan kondisi perlindungan hak cipta atas folklore di Indonesia. Kelemahan berupa belum dibentuk atau ditunjuknya instansi pemegang hak cipta inilah yang telah memacu Pemerintah Daerah Surakarta untuk mendaftarkan hak cipta atas motif batik Surakarta. Akan tetapi dalam hal ini patut dipertanyakan apakah tindakan pendaftaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta tersebut dikatakan telah tepat untuk melindungi motif batik Surakarta? Perihal tepat tidaknya pendaftaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta telah dijawab melalui penolakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Penolakan tersebut mengindikasikan bahwa terhadap ciptaan yang bersifat kolektif, seperti motif batik Surakarta, tidak dapat dilakukan pendaftaran hak cipta selayaknya ciptaan yang bersifat individual. Terkait dengan alasan penolakan yang telah dijelaskan di awal, dapat dikatakan bahwa sebenarnya terdapat perbedaan konsep kepemilikan dalam rezim hak kekayaan intelektual (dalam hal ini hak cipta) dengan konsep kepemilikan yang telah melekat dalam jiwa masyarakat Indonesia. Konsep kepemilikan yang dikenal dalam rezim hak cipta adalah individual dalam arti bersifat original, sesuatu yang baru, dan bukan milik kolektif masyarakat. Sedangkan, konsep kepemilikan yang dikenal dalam masyarakat tradisional Indonesia adalah kolektif dalam arti kepemilikan secara bersama. Perbedaan konsep inilah yang mengindikasikan ketidaktepatan perlindungan atas motif batik Surakarta melalui rezim hak cipta. Sebenarnya tindakan penolakan yang dilatarbelakangi oleh konsep kepemilikan tersebut telah tepat. Hal ini dikaitkan pula dengan perlindungan akses masyarakat Surakarta terhadap motif-motif batik tersebut dalam kegiatan perekonomiannya. Dapat dikatakan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta dapat mengakibatkan perubahan konsep kepemilikan atas motif batik Surakarta. Dalam hal ini motif batik Surakarta tidak akan lagi dimiliki secara bersama melainkan menjadi milik pribadi Pemerintah Daerah Surakarta. Apabila pendaftaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah 4 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
Surakarta ini dikabulkan, maka sudah barang tentu akan berdampak pada terbatasnya hak-hak masyarakat Surakarta atas motif batik tersebut. Keterbatasan ini menyebabkan mereka tidak dapat lagi menggunakan semua motif batik tersebut tanpa terlebih dahulu mendapatkan ijin atau lisensi dari Pemerintah Daerah Surakarta. Padahal masyarakat Surakarta sendiri telah menggunakan motif batik tersebut untuk kegiatan perekonomiannya selama beberapa generasi yang bisa saja mencapai hitungan abad. Dengan demikian pendaftaran tersebut tentu akan merugikan perekonomian masyarakat Surakarta sendiri. Selain itu, tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan kerugian pula bagi masyarakat nonSurakarta yang telah turut menggunakan motif batik tersebut atas dasar kepemilikan bersama tadi. Dilakukannya penolakan berarti terlindunginya hak akses masyarakat terhadap ciptaan tradisional warisan nenek moyang tetapi sekaligus telah meninggalkan ciptaan tersebut tidak terlindungi sehingga membuka kesempatan penyalahgunaan (missapropriation) oleh pihak asing terutama oleh negara lain. Penyalahgunaan yang sangat mungkin terjadi adalah dalam bentuk klaim budaya oleh negara lain yang saat ini marak terjadi menimpa hasil kebudayaan bangsa kita. Misalnya saja seperti yang terjadi dalam kasus di Bali dimana motif fleur atau bunga yang merupakan milik masyarakat Bali kemudian didaftarkan hak ciptanya oleh pengusaha asal Kanada sebagai miliknya.3 Penyalahgunaan semacam ini sangat mungkin terjadi dengan adanya konsep kepemilikan bersama tanpa adanya perlindungan yang memadai bagi ciptaan tradisional itu sendiri. Oleh karena dimiliki secara bersama-sama tanpa adanya pihak yang secara khusus memiliki atau memegang hak cipta atas ciptaan tersebut, maka dipastikan siapa saja dapat mengakui ciptaan tersebut sebagai milik pribadi. Dengan demikian perlindungan terhadap ciptaan tradisional sangat mutlak diperlukan. Namun, pertanyaannya adalah perlindungan yang bagaimana yang dapat melindungi keduanya? Melindungi ciptaan tradisional supaya tidak terjadi penyalahgunaan oleh pihak asing tetapi sekaligus pula melindungi akses ekonomi masyarakat atas ciptaan tersebut. Dapat dikatakan bahwa perlindungan semacam itu telah tertuang dalam ketentuan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pasal 10 memang sangat mengusahakan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan oleh pihak asing dengan mengatur bahwa negara yang memegang hak cipta atas ciptaan tradisional atau folklore bangsa Indonesia. Ketentuan pasal ini memungkinkan negara untuk dapat melakukan suatu tindakan hukum apabila terjadi 3
M. Suprihadi, “Weleh... Perajin Bali Malah Dituding Menjiplak”, http://nasional.kompas.com/ read/2008/09/12/14474846/, diunduh tanggal 29 Juni 2012.
5 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
penyalahgunaan terutama oleh pihak asing. Dengan dicegahnya penyalahgunaan berupa klaim pribadi oleh pihak asing, maka sekaligus dapat melindungi hak ekonomi masyarakat lokal atas ciptaan tradisionalnya tersebut. Akan tetapi kembali lagi pada permasalahan semula yaitu belum jelasnya pelaksanaan pasal tersebut. Belum jelasnya perlindungan yang diberikan oleh Pasal 10 inilah yang memunculkan kondisi yang dialami oleh Pemerintah Daerah Surakarta dan juga kasus yang menimpa masyarakat Bali. Belum adanya instansi yang mewakili negara sebagai pemegang hak cipta atas folklore membuat Pemerintah Daerah Surakarta mengambil tindakan sendiri. Selain itu, perihal penyalahgunaan folklore secara ekonomi juga tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai siapa yang dimaksud sebagai “pihak asing”. Apakah dalam hal ini hanya ditujukan untuk warga negara asing (nonIndonesia) atau melibatkan pula WNI di luar masyarakat lokal yang bersangkutan. Selain masalah ketidakjelasan pengaturan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, terdapat masalah lain yang perlu dan terutama untuk diperhatikan. Masalah lain tersebut adalah adanya perbedaan konsep kepemilikan dalam rezim hak cipta dengan konsep kepemilikan yang telah melekat dalam jiwa masyarakat Indonesia sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan konsep yang sama sekali berbeda apakah memang dimungkinkan perlindungan atas folklore (dalam hal ini motif batik Surakarta) melalui rezim hak cipta? Lalu terkait masalah perlindungan yang belum jelas ini, baik dari segi konsep maupun undang-undang, bagaimana pula perihal pemanfaatannya secara ekonomis? Siapa yang berhak memanfaatkan motif batik Surakarta secara ekonomis? Apakah hanya masyarakat lokal Surakarta saja ataukah meliputi pula orang nonSurakarta? Apakah diperlukan suatu ijin atau lisensi terlebih dahulu dalam pemanfaatannya? Semua pertanyaan ini didasarkan pada ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa negaralah yang bertindak sebagai pemegang hak cipta melalui instansi terkait dan bukan Pemerintah Daerah Surakarta. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya dapat ditarik beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut: 1. Apakah dimungkinkan perlindungan terhadap motif batik tradisional Surakarta berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta? 2. Apakah pemanfaatan motif batik tradisional Surakarta secara ekonomis oleh orang nonSurakarta diperbolehkan? 6 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perihal kemungkinan perlindungan terhadap motif batik tradisional Surakarta berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta serta menjelaskan pelaksanaan hak ekonomi atas motif batik tradisional Surakarta oleh orang nonSurakarta. Hal ini mengingat motif batik Surakarta yang berupa folklore yang menjadi milik kolektif tersebut tidak dapat dilakukan pendaftaran hak ciptanya oleh Pemerintah Daerah Surakarta. Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif.4 Alasan penggunaan metode penelitian ini adalah penulisan skripsi ini didasarkan pada pelaksanaan ketentuan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terkait penerapan peraturan hukumnya dalam melindungi folklore yang dalam hal ini adalah motif batik Surakarta dan pelaksanaan hak ekonomi atas motif batik tersebut. Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis data sekunder.5 Untuk memperoleh data sekunder, penulis melakukan penelusuran kepustakaan yang memuat informasi terkait masalah perlindungan hak cipta atas pengetahuan tradisional serta konsep pemanfaatan suatu pengetahuan tradisional secara ekonomis. Bahan pustaka yang digunakan oleh penulis adalah seperti buku-buku, artikel, serta dokumentasi yang berupa data arsip dan data resmi pada instansi pemerintah terkait. Guna
membantu
menjawab
permasalahan
yang
ada,
penulis
turut
pula
mempergunakan bahan hukum terkait yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.6 Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis adalah peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta khususnya ketentuan Pasal 10 mengenai perlindungan atas folklore dan konvensi internasional di bidang hak cipta bernama TRIPs. Bahan hukum sekunder yang digunakan 4
Penulisan yuridis-normatif merupakan penulisan yang menekankan pada penggunaan norma hukum tertulis. Lihat: Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet.1, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), 9-10. 5
Dalam penulisan dibedakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Sedangkan, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Lihat: Soerjono Soekanto, Pengantar Penulisan Hukum, cet.3, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), 12. 6
Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis termasuk bahan hukum yang tidak dikodifikasikan. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Sedangkan, bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Lihat: Ibid., 52.
7 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
oleh penulis berupa hasil penulisan sebelumnya yang berasal dari kalangan hukum terkait masalah perlindungan hak cipta atas folklore. Selain itu, penulis juga akan turut mempergunakan buku-buku serta beberapa jurnal yang dapat membantu memperjelas masalah perlindungan atas folklore serta pemanfaatannya khususnya di Indonesia. Sedangkan, perihal bahan hukum tersier, penulis akan mempergunakan kamus untuk menunjang kedua bahan hukum tersebut. Alat pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah studi dokumen atau penelusuran literatur dan wawancara. Mengenai wawancara ini, penulis telah melakukan wawancara secara langsung dengan dua narasumber yang berkompeten di bidang hak kekayaan intelektual dan kesenian tradisional yang dalam hal ini adalah batik. Narasumber pertama adalah pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang mana fokus wawancaranya adalah pada tindakan pendaftaran motif batik oleh Pemerintah Daerah Surakarta. Narasumber kedua adalah pihak Yayasan Batik Indonesia yang mana wawancaranya terfokus pada pemahaman tentang batik itu sendiri. PEMBAHASAN 1. Kemungkinan Perlindungan Motif Batik Surakarta Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pada dasarnya hak cipta merupakan hubungan hukum antara pencipta dengan karya ciptaannya. Dalam konteks hukum, hak cipta adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang mana hukum akan bertindak dan menjamin pencipta dan/atau pemegang hak cipta tersebut untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif hasil karyanya berupa mengumumkan ciptaan kepada publik dan memperbanyak ciptaannya (reproduction right). Jaminan hak yang dimiliki pencipta oleh hukum ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum merupakan kepentingan pemilik hak cipta baik secara individu maupun kelompok sebagai subjek hak.7 Dengan kata lain hukum hak cipta tidak berfokus pada ciptaan melainkan kepada pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Hukum hak cipta melindungi pencipta dan/atau pemegang hak cipta untuk tetap memiliki hak atas 7
Materi kuliah Hukum Hak Kekayaan Intelektual yang disampaikan secara lisan oleh Prof. Agus Sardjono, S.H., M.H. dalam kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
8 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
ciptaannya, baik hak moral maupun hak ekonomi, yang mana hak ini dijamin oleh hukum untuk tidak diganggu gugat oleh siapapun. Hal ini mengindikasikan bahwa siapapun tidak dapat menggunakan suatu ciptaan orang lain tanpa terlebih dahulu meminta ijin dari pencipta terutama pemegang hak cipta yang bersangkutan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum hak cipta bersifat individual yang mana agar suatu ciptaan dapat dilindungi dengan hukum hak cipta, maka harus sudah tertentu perihal pencipta dan/atau pemegang hak ciptanya. Berbanding terbalik dengan konsep hukum hak cipta yang bersifat individual, motif batik Surakarta sebagai salah satu jenis folklore justru bersifat kolektif. Hal ini dikarenakan folklore yang merupakan bagian dari pengetahuan tradisional (traditional knowledge) merupakan pengetahuan yang tidak diketahui secara pasti perihal penciptanya sehingga selalu dianggap berasal dari suatu kelompok atau komunitas etnis tertentu.8 Pengetahuan tradisional atau folklore yang diciptakan, baik secara individu maupun berkelompok dalam suatu masyarakat lokal atau komunitas pada umumnya lebih dimaksudkan untuk meningkatkan cara pandang dan praktik hidup masyarakat.9 Penciptaan yang ditujukan untuk kepentingan hidup masyarakat ini dikarenakan gaya hidup masyarakat tradisional yang tidak mengenal konsep hak individu melainkan sangat mengutamakan kebersamaan dimana harta berfungsi sosial dan bersifat milik umum (kolektif). Kepemilikan kolektif yang dianut oleh folklore inilah yang menyebabkan terhadap motif batik Surakarta tidak diketahui perihal pencipta dan/atau pemegang hak ciptanya. Konsep individualisme yang dianut dalam rezim hak cipta ini tentu akan menjadi masalah bila diterapkan terhadap suatu produk pengetahuan tradisional yang mengenal konsep kepemilikan kolektif seperti halnya motif batik Surakarta. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa perlindungan hukum hak cipta hanya dapat diberikan kepada ciptaan yang diketahui pencipta dan/atau pemegang hak ciptanya. Sedangkan, terhadap suatu folklore yang dalam hal ini motif batik Surakarta tidak terdapat pihak yang secara khusus
8
A. O. Amegatcher, “Protection of Folklore by Copyright – A Contradiction In Terms,” (tulisan dipresentasikan sebagai suatu dokumen kerja yang didiskusikan oleh The Legal and Legislative Committee of The International Confederation of The Societies of Authors and Composers-CISAC yang diselenggarakan di Lausanne, Switzerland pada 17-18 Mei 2001), 37. 9
Dieter Dambiec, “Indigenous People’s Folklore and Copyright Law,” http://canada. mediamonitors.net/Headlines/Indigenous-‐People-‐s-‐Folklore-‐and-‐Copyright-‐Law, diunduh pada 3 Juni 2013.
9 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
menjadi pemegang hak ciptanya. Hal ini membuat motif batik Surakarta tidak dimungkinkan untuk dilindungi dengan hukum hak cipta yang mensyaratkan adanya pemegang hak cipta. Walaupun begitu, pada kenyataannya ketidakmungkinan perlindungan motif batik Surakarta berdasarkan konsep kepemilikan ini telah diatasi dengan ketentuan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Dalam Pasal 10 ayat (2) dikatakan bahwa negara bertindak sebagai pemegang hak cipta atas folklore yang berarti negara memegang hak cipta atas motif batik Surakarta. Namun, penentuan negara sebagai pemegang hak cipta ini lebih kepada perlindungan motif batik Surakarta dalam konteks ekonomi. Dikatakan bahwa apabila orang yang bukan warga negara Indonesia ingin turut memanfaatkan motif batik Surakarta secara ekonomis, maka ia diharuskan meminta ijin terlebih dahulu kepada negara sebagai pemegang hak cipta.10 Dalam hal ini adalah melalui suatu instansi terkait. Akan tetapi pengaturan inipun terbentur dengan masalah belum adanya instansi yang ditunjuk secara khusus oleh peraturan hukum nasional, baik dalam Undang-Undang Hak Cipta sendiri maupun suatu Peraturan Pemerintah, untuk bertindak mewakili negara sebagai pemegang hak cipta. Ketiadaan instansi yang bertindak untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ini dipastikan menimbulkan ketidakpastian dalam hal perlindungan atas motif batik Surakarta dari penyalahgunaan oleh pihak asing. Pertama, ketidakpastian perihal pihak yang dapat memberikan ijin pemanfaatan kepada pihak asing. Kedua, ketidakpastian mengenai pihak yang berhak mewakili masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Surakarta dalam hal penyelesaian sengketa perihal penyalahgunaan motif batik Surakarta oleh pihak asing. Demi menghilangkan ketidakpastian inilah yang kemudian memacu Pemerintah Daerah Surakarta untuk bertindak melakukan pendaftaran motif batik Surakarta atas namanya. Tindakan Pemerintah Daerah Surakarta ini merupakan tindakan yang sangat mengindividualisasikan motif batik Surakarta yang mana apabila pendaftaran tersebut diterima maka motif batik Surakarta hanya akan menjadi milik Pemerintah Daerah Surakarta saja. Namun, tindakan ini mungkin juga bermaksud untuk mewakili kepentingan masyarakat Surakarta sebagai pemilik motif batik klasik yang didaftarkan tersebut. Akan tetapi tetap saja tindakan tersebut tidaklah tepat. Hal ini dikarenakan menurut sejarahnya motif batik Surakarta tidak hanya milik masyarakat Surakarta saja melainkan juga milik masyarakat 10
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 4220, Ps. 10 ayat (3).
10 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
Yogyakarta yang keduanya sama-sama merupakan hasil perpecahan dari Kerajaan Mataram Islam yang menjadi masa lahirnya motif batik Surakarta. Bahkan sekarang ini dapat dikatakan bahwa motif batik tersebut tidak hanya milik kedua masyarakat daerah tersebut melainkan juga masyarakat di daerah lainnya di Indonesia, sehingga tindakan Pemerintah Daerah Surakarta hanya akan merugikan kepentingan seluruh masyarakat Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan tindakan ini juga dapat merugikan kepentingan masyarakat Surakarta sendiri dalam hal pemanfaatan motif batik Surakarta secara ekonomis. Akan tetapi dalam hal negara bertindak sebagai pemegang hak ciptapun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 tidak berarti kepentingan masyarakat Surakarta akan sangat terlindungi. Hal ini terutama dalam hal penerimaan keuntungan (benefit) atas pemanfaatan motif batik Surakarta oleh pihak asing. Negara yang bertindak sebagai pemegang hak cipta atas folklore mengindikasikan bahwa pemakaian folklore oleh pihak asing akan mendatangkan imbalan kepada negara yang mana bisa saja imbalan tersebut tidak dapat turut dinikmati oleh masyarakat lokal sebagai pemilik asal atas folklore tersebut. Selain didasarkan pada perbedaan konsep kepemilikan, perlu diperhatikan pula perihal syarat perlindungan hak cipta atas suatu ciptaan, yaitu berwujud (fixation) dan asli (original). Syarat pertama perihal ciptaan yang berwujud (fixation) pada dasarnya merupakan hasil perwujudan ide manusia yang bersifat abstrak. Dapat dikatakan bahwa konsep dasar hak cipta adalah kreatifitas manusia yang mana kreatifitas ini akan memunculkan suatu ide untuk menciptakan sesuatu. Hak cipta baru timbul apabila ide manusia dituangkan dalam suatu bentuk tertentu (misalnya dalam bentuk tulisan untuk ide di bidang sastra). Dengan demikian hak cipta tidak melindungi ide manusia melainkan wujud nyata dari ide tersebut. 11 Syarat kedua untuk dapat dilindungi dengan hak cipta yaitu ciptaan yang berwujud tersebut harus bersifat asli atau original. Keaslian (originality) di sini bukanlah asli dalam arti genuine yaitu sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya atau yang steril dari unsur-unsur pengaruh karya lainnya.12 Asli di sini berarti bahwa ciptaan tersebut merupakan karya yang diciptakan oleh pencipta sendiri walaupun dalam penciptaannya mendapat pengaruh dari unsur luar. Untuk disebut asli (original), suatu ciptaan harus merupakan produk hasil 11
Materi kuliah Hukum Hak Kekayaan Intelektual yang disampaikan secara lisan oleh Prof. Agus Sardjono, S.H., M.H. dalam kuliah umum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 12
Nur Agustin, “Perlindungan Hak Moral Bagi Widyaiswara Atas Karya Cipta Modul Elektronik (EModul) Beserta Permasalahannya,” (Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), 26.
11 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
pemikiran, keterampilan, atau hasil kerja dari si pencipta sendiri yang mengklaim ciptaan tersebut adalah karyanya.13 Untuk syarat pertama tentu tidak menjadi masalah bagi bagi motif batik Surakarta untuk dapat dilindungi dengan hukum hak cipta. Hal ini dikarenakan motif batik Surakarta itu sendiri sudah merupakan suatu bentuk perwujudan ide dan budaya masyarakat Surakarta yang dapat dilihat secara nyata. Permasalahannya adalah terletak pada syarat yang kedua, yaitu sifat asli atau original yang harus ada pada setiap ciptaan. Telah disebutkan sebelumnya bahwa motif batik Surakarta merupakan motif batik yang telah diciptakan sejak masa Kerajaan Mataram Islam sehingga antara masa penciptaan bentuk motif hingga masa sekarang terbentang waktu yang terlampau lama. Oleh karena itu tidak dapat dipastikan perihal keaslian motif batik Surakarta. Apakah asli milik bangsa Indonesia atau tidak? Walaupun telah dilakukan upaya dokumentasi atas motif-motif batik tersebut, namun upaya tersebut hanya sekedar mendokumentasikan motif batik itu sendiri yang telah dikenal di Indonesia dan tidak meliputi pendokumentasian perihal keasliannya yang menunjukkan bahwa semua motif batik tersebut adalah asli milik bangsa Indonesia.14 Hal ini menyebabkan sulitnya membuktikan kepada pihak asing bahwa motif batik Surakarta merupakan asli milik bangsa Indonesia. Di samping itu, hukum hak cipta turut mengenal pula jangka waktu perlindungan atas suatu ciptaan, yaitu selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia.15 Ketentuan jangka waktu ini tentu tidak dapat diterapkan terhadap folklore yang notabene tidak diketahui siapa penciptanya. Menjadi suatu masalah bila terhadap motif batik Surakarta yang tidak diketahui siapa penciptanya turut dibatasi perlindungannya. Hal ini dikarenakan bisa saja jangka waktu yang diberikan terhadap motif batik Surakarta pada kenyataannya telah melampaui masa perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta 2002. Namun, perihal sulitnya penentuan jangka waktu perlindungan ini, Undang-Undang Hak Cipta 2002 telah mengatasinya dengan tidak memberlakukan masa perlindungan ini terhadap motif batik Surakarta. Hal ini tercermin dari 13
Christine Haight Farley, “Protecting Folklore of Indigenous Peoples: Is Intellectual Property the Answer?”, Connecticut Law Review, vol. 30, no. 1, (Fall, 1997), 20. 14
Hasil wawancara dengan Ibu Tumbu Rahadi Ramelan selaku Ketua Bidang Pengembangan Budaya Yayasan Batik Indonesia. Wawancara dilakukan pada tanggal 3 Mei 2013. 15
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, Ps. 29 ayat (1).
12 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
ketentuan Pasal 31 ayat (1) huruf a UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa batik-batik tradisional diciptakan dan dihasilkan secara turun temurun oleh masyarakat Indonesia sehingga diperkirakan perhitungan jangka waktu perlindungan hak ciptanya telah melewati jangka waktu perlindungan yang ditetapkan dalam undang-undang hak cipta sendiri. 2. Pemanfaatan Motif Batik Surakarta Secara Ekonomis Oleh Orang NonSurakarta Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa folklore diciptakan untuk untuk kepentingan hidup masyarakat sehingga berfungsi sosial dan dapat dimiliki serta dimanfaatkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan. Bagi masyarakat lokal, hak eksklusif untuk memanfaatkan karya cipta mereka secara ekonomis sebagaimana yang dianut dalam rezim hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta tidaklah penting. Bagi masyarakat, pengetahuan tradisional adalah warisan budaya yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, terutama anggota masyarakat yang bersangkutan.16 Apabila ada orang lain yang memanfaatkan pengetahuan ataupun folklore mereka, hal itu tidak mereka pandang sebagai suatu tindakan yang tercela bahkan walaupun pemanfaatan tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan pribadi pihak luar yang bersangkutan.17 Berdasarkan pada konsep kepemilikan kolektif yang dianut oleh folklore tersebut dapat dikatakan bahwa pemanfaatan atas motif batik Surakarta tidak hanya dapat dilakukan oleh kalangan masyarakat Surakarta saja melainkan juga kelompok masyarakat lainnya. Hal ini dikarenakan budaya masyarakat Indonesia yang bersifat terbuka dan kekeluargaan sehingga mereka tidak akan berkeberatan untuk berbagi apapun yang mereka ketahui dan miliki kepada orang lain. Mengacu pada sifat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya motif batik yang dimiliki oleh masyarakat Surakarta ini dapat saja turut pula dimanfaatkan secara ekonomis oleh orang-orang di luar masyarakat Surakarta. Namun demikian kesempatan yang sama besar yang dimiliki oleh semua orang untuk memanfaatkan motif batik Surakarta ini pada kenyataannya telah dibatasi melalui ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yaitu perihal ditentukannya negara sebagai pemegang hak cipta atas folklore. Dengan ditentukannya 16
Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, cet. 1, (Bandung: Nuansa Aulia, 2009), 109.
17
Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional: Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-Obatan, cet.1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), 104105.
13 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
negara sebagai pemegang hak cipta, maka sudah dapat dipastikan pemanfaatan motif batik Surakarta tidak dapat dilakukan lagi secara bebas oleh semua orang seperti sebelumnya. Untuk selanjutnya pemanfaatan atas motif batik Surakarta ini pastilah dilakukan dengan berdasarkan kebijakan negara sebagai pemegang hak cipta. Akan tetapi ditentukannya negara sebagai pemegang hak cipta tidak berarti menghilangkan kesempatan bagi siapa saja untuk memanfaatkan hak ekonomi atas motif batik Surakarta. Dalam hal ini, masyarakat nonSurakarta masih memiliki kesempatan untuk turut memanfaatkan motif batik Surakarta secara ekonomis yang walaupun untuk pihak tertentu tidak dapat lagi memanfaatkannya secara bebas seperti pada waktu sebelum diatur oleh Pasal 10 tersebut. Pihak yang tidak dapat lagi secara bebas memanfaatkan motif batik Surakarta secara ekonomis adalah warga negara asing yang mana mereka harus terlebih dahulu meminta ijin dari negara sebagai pemegang hak cipta.18 Pembatasan ini tidak berlaku bagi masyarakat nonSurakarta yang berkewarganegaraan Indonesia dimana mereka masih dapat turut memanfaatkan motif batik Surakarta secara ekonomis tanpa perlu adanya izin terlebih dahulu dari negara selaku pemegang hak cipta. Tindakan pendaftaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta dapat dikatakan telah menyimpang dari maksud pengaturan Pasal 10 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang sebenarnya. Walaupun pasal tersebut mengatur bahwa negara melalui suatu instansi terkait menjadi pemegang hak cipta atas folklore, namun semua orang yang berkewarganegaraan Indonesia masih memiliki kesempatan yang sama dalam memanfaatkan suatu folklore. Sedangkan, tindakan Pemerintah Daerah Surakarta ini dapat saja
menyebabkan
hilangnya
kebebasan
bagi
orang-orang
nonSurakarta
yang
berkewarganegaraan Indonesia untuk dapat langsung memanfaatkan motif batik Surakarta secara ekonomis. Status mereka dapat saja menjadi seperti warga negara asing dari negara lain dalam kaitannya dengan pemanfaatan motif batik Surakarta. Apabila mereka ingin turut menggunakan motif batik Surakarta dalam kegiatan perekonomian mereka, maka mereka bisa saja harus meminta izin berupa lisensi terlebih dahulu dari Pemerintah Daerah Surakarta. Akan tetapi negara sebagai pemegang hak cipta tidak berarti telah sepenuhnya melindungi hak-hak ekonomi masyarakat Indonesia khususnya masyarakat lokal pemilik folklore yang dalam hal ini masyarakat Surakarta. Hal ini disebabkan adanya konsep lisensi yang dikenal dalam rezim hak cipta. Lisensi adalah suatu bentuk hak untuk melakukan satu 18
Indonesia, Undang-Undang Hak Cipta, Ps. 10 ayat (3).
14 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
atau serangkaian tindakan atau perbuatan, yang diberikan oleh mereka yang berwenang dalam bentuk izin. Menurut Prof. Mr. Roeslan Saleh dikatakan bahwa pemberian lisensi kepada seseorang berarti memberikan kebebasan atau izin kepada orang tersebut untuk menggunakan sesuatu yang sebelumnya dia tidak boleh gunakan.19 Tanpa adanya izin ini, maka dapat dikatakan bahwa tindakan atau perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang, yang tidak sah, yang merupakan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang dimaksud sebagai lisensi adalah: “Izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.” Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengertian lisensi yang dianut oleh Undang-Undang Hak Cipta 2002 merupakan izin pemanfaatan hak ekonomi oleh pencipta dan/atau pemegang hak cipta kepada pihak lain. Hak ekonomi yang diberikan berupa mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaan yang berarti bahwa hak untuk melakukan kedua tindakan ini untuk sementara waktu tidak hanya dimiliki oleh pencipta dan/atau pemegang hak cipta saja melainkan juga dimiliki oleh pihak yang telah menerima izin dari pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Terdapat dua macam lisensi yang dikenal dalam praktek pemberian lisensi, yaitu: 1. Lisensi umum Merupakan lisensi yang dikenal secara luas dalam praktek yang melibatkan suatu bentuk negosiasi antara pemberi lisensi dengan penerima lisensi. 2. Lisensi paksa atau lisensi wajib. Merupakan suatu bentuk lisensi yang diberikan tidak secara sukarela oleh pemilik atau pemegang suatu hak atas kekayaan intelektual yang dilisensikan secara paksa tersebut, melainkan diberikan oleh suatu badan nasional yang berwenang. 20 Undang-Undang Hak Cipta 2002 tidak menganut kedua macam lisensi tersebut, namun hanya salah satunya saja yaitu lisensi umum yang didasarkan pada konsep perjanjian
19
Roeslan Saleh, Seluk Beluk Praktis Lisensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), 11.
20
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, ed. 1, cet. 2, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 17-34.
15 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
antara pencipta dan/atau pemegang hak cipta dengan penerima lisensi yang dilakukan secara sukarela. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa lisensi atas suatu ciptaan hanya berhak diberikan oleh pencipta atau lebih tepatnya pemegang hak cipta. Oleh karena lisensi merupakan suatu bentuk perjanjian yang menganut pula asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dapat memperjanjikan hal apapun dalam suatu perjanjian lisensi, entah itu bersifat eksklusif maupun non-eksklusif. Lisensi eksklusif berarti bahwa lisensi tersebut diberikan dengan kewenangan penuh untuk melaksanakan, memanfaatkan atau mempergunakan suatu hak atas kekayaan intelektual yang diberikan perlindungan oleh negara.21 Sedangkan, lisensi non-eksklusif berarti bahwa lisensi tersebut tidak diberikan dengan kewenangan penuh sebagaimana lisensi yang bersifat eksklusif tadi. Sebagai pemegang hak cipta, negara pun memiliki kewenangan untuk memberikan suatu lisensi eksklusif kepada seorang individu atau suatu perusahaan, baik dalam ranah domestik maupun internasional, untuk secara eksklusif memanfaatkan motif batik Surakarta secara ekonomis. Pemberian lisensi semacam ini mengakibatkan pihak lain tidak dapat turut memanfaatkan motif batik Surakarta dalam kegiatan perekonomian mereka. Dalam kondisi seperti ini pihak yang dirugikan tidak hanya masyarakat Indonesia nonSurakarta saja yang tidak bisa turut memanfaatkan motif batik Surakarta, namun masyarakat Surakarta sendiripun dapat saja turut mengalami kerugian yang sama. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan perihal perlindungan dan pemanfaatan motif batik tradisional Surakarta sebagai berikut: 1. Perlindungan terhadap motif batik tradisional Surakarta melalui UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dikatakan masih sangat lemah dan kurang dimungkinkan. Dikatakan lemah karena pengaturan perihal perlindungan folklore yang ada dalam undang-undang ini, yaitu Pasal 10 masih belum jelas dalam hal pelaksanaannya. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya peraturan pelaksana bagi pasal tersebut 21
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Lisensi, 21.
16 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
terutama guna menunjuk suatu instansi yang bertindak mewakili negara sebagai pemegang hak cipta atas folklore. Ketiadaan instansi inilah yang pada akhirnya membuat Pemerintah Daerah Surakarta mengambil tindakan sendiri dengan mendaftarkan sekitar lebih dari seratus motif batik tradisional Surakarta. Tindakan Pemerintah Daerah Surakarta ini tentu dapat menimbulkan kekhawatiran hilangnya sifat kolektifitas dari semua motif batik tradisional Surakarta yang didaftarkan dan digantikan dengan monopolisasi oleh Pemerintah Daerah Surakarta apabila pendaftaran tersebut diterima oleh pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Selain itu, pada kenyataannya perlindungan folklore melalui UndangUndang Hak Cipta 2002 masih terbentur dengan prinsip keaslian. Prinsip keaslian yang menjadi syarat utama perlindungan suatu ciptaan melalui hukum hak cipta dikatakan masih belum dapat diimplementasikan terhadap suatu karya pengetahuan tradisional (dalam hal ini folklore). Hal ini dikarenakan masih belum adanya suatu dokumentasi yang dapat membuktikan bahwa motif batik tradisional Surakarta merupakan asli milik bangsa Indonesia. Hal ini tentu menyulitkan perlindungan terhadap motif batik tradisional Surakarta melalui rezim hak cipta terutama dalam hal pembuktian bila terjadi penyalahgunaan oleh warga negara asing. Dengan demikian sebenarnya perlindungan terhadap motif batik tradisional Surakarta melalui UndangUndang Hak Cipta 2002 masih lemah dan kurang dimungkinkan dari segi prinsip keaslian serta ketiadaan peraturan pelaksana bagi Pasal 10 undang-undang ini. 2. Perihal pemanfaatannya, motif batik tradisional Surakarta dapat dimanfaatkan secara ekonomis oleh seluruh warga negara Indonesia dan tidak terbatas hanya masyarakat Surakarta saja. Namun, pemanfaatan oleh pihak asing yaitu warga negara asing tidak diperbolehkan tanpa adanya izin atau lisensi terlebih dahulu dari negara sebagai pemegang hak cipta atas motif batik tradisional Surakarta. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Akan tetapi kembali lagi pada belum adanya peraturan pelaksana Pasal 10 yang memacu terjadinya tindakan pendaftaran oleh Pemerintah Daerah Surakarta. Tindakan pendaftaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Surakarta dikatakan juga telah melebihi maksud ketentuan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dari segi ekonomi. Tindakan tersebut tidak hanya akan membatasi warga negara asing dalam hal pemanfaatan motif batik tradisional Surakarta saja. Namun, tindakan tersebut juga dapat saja membatasi warga negara Indonesia nonSurakarta lainnya 17 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
untuk turut memanfaatkan motif batik Surakarta dalam kegiatan perekonomian mereka. Dengan kata lain tindakan Pemerintah Daerah Surakarta telah menghilangkan sifat nasional yang melekat pada motif batik tradisional Surakarta dan menjadikannya bersifat lokal milik masyarakat Surakarta saja atau bahkan milik Pemerintah Daerah Surakarta saja. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut, terdapat beberapa saran yang sekiranya dapat membantu memberikan solusi dalam hal perlindungan terhadap folklore sebagai berikut: 1. Sebaiknya perlindungan terhadap folklore seperti motif batik tradisional Surakarta dilakukan melalui suatu peraturan tersendiri yang terpisah dari Undang-Undang Hak Cipta. Hal ini mengingat hukum yang diatur dalam undang-undang tersebut kurang sesuai bila diterapkan pada ciptaan sejenis folklore. Terutama mengenai prinsip keaslian yang dianutnya yang menjadi salah satu syarat utama bagi suatu ciptaan untuk memperoleh perlindungan hukum hak cipta. Pengaturan yang paling memungkinkan untuk melindungi folklore Indonesia saat ini yaitu Rancangan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional. Pengaturan yang ada dalam rancangan undang-undang ini melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional Indonesia tanpa mempersyaratkan keaslian yang harus dimiliki oleh suatu ciptaan sebagaimana halnya yang disyaratkan dalam Undang-Undang Hak Cipta. Rancangan Undang-Undang tersebut tidak memperhatikan keaslian dari suatu folklore melainkan lebih menekankan pada folklore yang memang selama ini dipelihara, dikembangkan, dan diturunkan sebagai tradisi serta memiliki karakteristik khusus sebagai identitas budaya masyarakat yang melestarikannya. Sehingga walaupun suatu folklore masih disangsikan perihal keasliannya yaitu apakah asli milik bangsa Indonesia atau tidak, foklore tersebut masih tetap akan mendapat perlindungan oleh negara asalkan memang telah menjadi tradisi budaya masyarakat yang memiliki dan melestarikannya secara beberapa generasi. Namun, sayangnya peraturan ini sendiri masih berupa suatu rancangan undang-undang yang sampai sekarang masih belum disahkan menjadi suatu undang-undang. 2. Apabila perlindungan terhadap folklore ini sementara waktu masih ingin diatur dengan menggunakan Pasal 10 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka 18 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
sudah seharusnyalah Pemerintah lebih memberikan perhatian perihal pelaksanaannya yang tidak akan memberikan kesimpangsiuran dalam praktek. Dalam hal ini Pemerintah dapat mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah perihal pelaksanaan Pasal 10. Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian dalam hal pelaksanaan perlindungan terhadap folklore terutama mengenai siapa pihak yang berhak mewakili negara dalam hal pemberian izin pemanfaatan folklore kepada pihak asing (warga negara asing) serta dalam hal penyelesaian sengketa bila terjadi penyalahgunaan folklore Indonesia oleh pihak asing tersebut. 3. Berkaitan dengan pemanfaatan motif batik tradisional Surakarta secara ekonomis, UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta melalui ketentuan Pasal 10 mengatur bahwa masyarakat nonSurakarta, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan
asing
juga
dapat
memanfaatkannya
dalam
kegiatan
perekonomian mereka. Mengenai hal ini pada dasarnya masyarakat Surakarta sendiri mungkin memang tidak keberatan apabila melihat kembali pada sifat keterbukaan yang dimiliki oleh masyarakat lokal di Indonesia. Hal ini dikarenakan masyarakat lokal sendiri tidak terlalu memperhatikan nilai ekonomis yang terkandung dalam folklore yang mereka miliki. Namun, bukan berarti dalam hal ini hak-hak masyarakat lokal khususnya masyarakat Surakarta terabaikan dari segi ekonomis tersebut. Oleh karena itu, walaupun masyarakat nonSurakarta juga dapat memanfaatkan motif batik tradisional Surakarta secara ekonomis, namun tetap harus memperhatikan kepentingan masyarakat Surakarta sendiri misalnya melalui benefit sharing. Pasal 10 UndangUndang Hak Cipta 2002 sendiri belumlah mengatur mengenai masalah ini. Dengan demikian sebaiknya memang dibentuk suatu peraturan tersendiri yang dapat menjamin dan melindungi hak-hak ekonomi masyarakat lokal (khususnya dalam hal ini masyarakat Surakarta) sebagai pihak yang selama ini telah melestarikan folklore yang mereka miliki. Ataupun jika tidak dibentuk peraturan sendiri, maka sebaiknya Undang-Undang Hak Cipta 2002 direvisi ulang atau dibentuk peraturan pelaksana yang memadai sehingga diharapkan dapat benar-benar melindungi hak masyarakat lokal untuk turut mendapatkan keuntungan ekonomis atas pemanfaatan folklore mereka terlepas dari ada atau tidak adanya lisensi dalam hal pemanfaatannya oleh pihak luar atau asing.
19 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
DAFTAR REFERENSI Buku: Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Cet.1. (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005).
Purba, Afrillyanna, Gazalba Saleh dan Andriana Krisnawati. TRIPs-WTO & HUKUM HKI INDONESIA: Kajian Perlindungan Hak Cipta Seni Batik Tradisional Indonesia. Cet.1. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005). Saleh, Roeslan. Seluk Beluk Praktis Lisensi. (Jakarta: Sinar Grafika, 1987). Sardjono, Agus. Membumikan HKI di Indonesia. Cet.1. (Bandung: Nuansa Aulia, 2009). _______. Pengetahuan Tradisional: Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Atas Obat-Obatan. Cet.1. (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004).
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penulisan Hukum. Cet.3. (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986). Widjaja, Gunawan. Seri Hukum Bisnis Lisensi. Ed.1. Cet.2. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003). Jurnal: Amegatcher, A. O. “Protection of Folklore by Copyright – A Contradiction In Terms.” (Tulisan dipresentasikan sebagai suatu dokumen kerja yang didiskusikan oleh The Legal and Legislative Committee of The International Confederation of The Societies of Authors and Composers-CISAC yang diselenggarakan di Lausanne, Switzerland pada 17-18 Mei 2001). Farley, Christine Haight. “Protecting Folklore of Indigenous Peoples: Is Intellectual Property the Answer?” Connecticut Law Review. Vol. 30. No. 1. (Fall, 1997). Skripsi/Tesis/Disertasi: Agustin, Nur. “Perlindungan Hak Moral Bagi Widyaiswara Atas Karya Cipta Modul Elektronik (EModul) Beserta Permasalahannya.” (Tesis Magister Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011). Peraturan Perundang-undangan: Indonesia. Undang-Undang Hak Cipta. No. 19 Tahun 2002. LN No. 85 Tahun 2002. TLN No. 4220.
20 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
Internet: Dambiec,
Dieter.
“Indigenous
People’s
Folklore
and
Copyright
Law.”
http://canada.
mediamonitors.net/Headlines/Indigenous-People-s-Folklore-andCopyright-Law. Diunduh pada 3 Juni 2013. Suprihadi,
M.
“Weleh...
Perajin
Bali
Malah
Dituding
Menjiplak.”
kompas.com/read/2008/09/12/14474846/. Diunduh tanggal 29 Juni 2012. Wawancara Damarsasongko, Agung. Wawancara dilakukan secara langsung. 29 Oktober 2013. Ramelan, Tumbu Rahadi. Wawancara dilakukan secara langsung. 3 Mei 2013.
21 Ekses Pasal ..., Dyan Ratna Sari, FH UI, 2013
http://nasional.