Ekonomi Syariah Terbit Dari Timur
1
Ascarya dan Diana Yumanita Center for Central Banking Education and Studies, Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin 2, Radius Prawiro Tower, 18th fl., Jakarta 10110, Indonesia Email:
[email protected];
[email protected] Dibawah kepemimpinan Barat, selama 300 tahun terakhir, kita telah mengalami empat ideologi ekonomi utama yaitu, kapitalisme, sosialisme, nasionalisfascisme, dan kesejahteraan negara (the welfare state), yang kesemuanya telah gagal dalam ilmu ekonomi karena sistem ekonomi tersebut cenderung kearah sekularisasi. Semua sistem ekonomi tersebut berdasar pada premis barat bahwa agama dan moralitas tidak relevan untuk mengatasi masalahmasalah ekonomi. Namun, masalah-masalah ekonomi akan lebih baik diselesaikan dengan mengacu pada hukum perilaku ekonomi, dan tidak mengacu pada aturan agama dan moralitas. Sementara itu, ekonomi Syariah (ekonomi Islam) didefinisikan sebagai ilmu sosial yang mempelajari masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilainilai Islam (Mannan); atau suatu upaya yang sistematik untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku masyarakat, dalam perspektif Islam (Khurshid Ahmad); atau tanggapan para pemikir muslim atas berbagai tantangan ekonomi. Dalam hal ini didasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, disamping alasan dan pengalaman (N.Siddiqi); atau suatu ilmu dan penerapan hukum syariah yang melindungi ketidakadilan dalam kaitan dengan upaya pencapaian kesejahtaeraan manusia dan pelaksanaan ibadah kepada ALLAH (Hasanuz Zaman). Sehingga, dalam sistem ekonomi Islam, aspek moral dan material terintegrasi dalam keselarasan dan keseimbangan yang harmonis. Apabila aspek moral dipisahkan dari perkembangan ekonomi, maka ia akan kehilangan kontrol yang berfungsi menjaga kestabilan dan keseimbangan dalam sistem sosial (Afzalur Rahman). Kelemahan ekonomi barat juga terletak pada sistemnya yang berbasis pada fiat money (uang kertas yang tidak memiliki nilai intrinsik), fractional reserve banking (penciptaan uang giral yang meningkatkan jumlah uang beredar tanpa menggerakkan sektor riil), dan sistem bunga, yang rentan terhadap Inflasi. Sementara itu, sistem ekonomi Islam berbasis pada standar uang dinar dan dirham (dimana nilai ekstrinsik sama dengan nilai intrinsiknya) dan sistem perbankan syariah yang kegiatannya selalu dikaitkan dengan sektor riil dengan sistem bagi hasil, jual-beli, atau sistem lain yang sesuai syariah, tanpa menggunakan sistem bunga yang dianggap riba dalam Islam. Riba berarti 1
Research Note, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan – Bank Indonesia, 2004. Diterbitkan dalam Supadmo, Eddy S. dan Nugroho, Kelik M (ed) (2004). “Pemimpi Perubahan: PR untuk Presiden RI 2005–2009”, pp. 133–146, Kota Kita Press, Jakarta, Desember. 1
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil (Saeed, 1996). Dikatakan bathil karena pemilik dana mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari yang dipinjam tanpa memperhatikan apakah peminjam menghasilkan keuntungan atau mengalami kerugian. Riba tidak hanya dilarang dalam ajaran Islam (QS 30:39, 4:161, 3:130-132; 2:278-279), namun juga dilarang dalam ajaran Yahudi (Eksodus 22: 25, Deuteronomy 23: 19, Levicitus 35: 7, Lukas 6: 35), ajaran Kristen (pandangan pendeta awal/abad I-XII, pandangan sarjana Kristen/abad XII-XV, pandangan reformis Kristen/abad XVI-1836) , maupun ajaran Yunani seperti yang disampaikan oleh Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Dari sisi ekonomi moneter, pemenang nobel ekonomi tahun 2001, Joseph E. Stiglitz, bersama Bruce Greenwald dalam bukunya “Toward a New Paradigm in Monetary Economics” mengkritik teori ekonomi moneter konvensional dengan mengemukakan tiga konsep pendekatan moneter baru, yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter. Pertama, peran uang telah digantikan oleh kredit dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, sehingga kebijakan moneter konvensional dengan instrumen suku bunga untuk mempengaruhi jumlah uang beredar harus diganti dengan kebijakan kredit untuk mengatur ketersediaan kredit. Tujuan utama kebijakan moneter Islam juga untuk memperlancar aliran dana (kredit) dalam koridor syariah, bukan untuk mempengaruhi jumlah uang beredar. Kedua, bank seharusnya berperilaku netral dan tidak cenderung menghindari risiko dalam menyalurkan kredit karena adanya asymmetric information; tidak tergantung suku bunga deposito dan risiko harus didistribusikan secara efektif dalam seluruh perekonomian. Dalam konsep pembiayaan Islam, bank syariah menggunakan prinsip profit and loss sharing, dimana keuntungan tidak dapat dipastikan seperti bunga deposito, dan risiko terdistribusi pada semua pelaku ekonomi, sama seperti yang dikemukakan Stiglitz. Ketiga, penyesuaian suku bunga untuk menyeimbangkan permintaan dan penawaran dana sudah tidak berperan sentral dalam teori moneter terkini. Hal ini sesuai dengan ekonomi moneter Islam yang mengharamkan bunga, dan mekanisme pasar yang akan menyeimbangkan permintaan dan penawaran dana. Inflasi dan bunga bank muncul akibat penggunaan uang kertas. Dari sinilah timbul konsep ‘time value of money’ yang tidak dikenal dalam Islam, karena nilai dinar dan dirham dari dulu tidak pernah berubah. Harga seekor kambing dari dulu setara dengan 1-2 dinar, dan harga seekor ayam dari dulu juga hanya satu dirham. Perkembangan ekonomi syariah tidak bisa dipinggirkan. Fenomena yang terjadi saat ini membuktikan bahwa, ekonomi syariah yang selama ini berusaha ”dijauhi” mau tidak mau tetap menjadi tuntutan. Sejarah panjang yang mewarnai perkembangan ekonomi syariah yang kemudian diwujudkan dalam suatu perbankan Islam benar-benar dimulai pada era tahun 1970-an, semenjak Islamic Development Bank mulai didirikan pada tahun 1974. Meskipun sebenarnya sebelum era tersebut sudah ada negara yang memulai untuk
2
mendirikan suatu perbankan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti Bank Mit Ghamr di Mesir dan lembaga Tabung Haji di Malaysia. Sejarah di Indonesia juga membuktikan bahwa perbankan syariah lebih unggul dan lebih tahan terhadap terpaan badai krisis. Hal ini terbukti dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997, telah memukul sebagian besar perbankan konvensional di Indonesia. Di lain pihak perbankan syariah justru menunjukkan performance yang lebih baik. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, mencapai hingga 88% dari total penduduk Indonesia, sudah selayaknyalah bahwa ekonomi syariah (ekonomi Islam) itu muncul dari Indonesia. Jika kita bandingkan dengan negaranegara tetangga kita seperti Malaysia, yang sudah memulai membangun perbankan syariahnya sejak tahun 1983, dengan jumlah penduduk muslim hanya sebesar 58%. Sedangkan Sudan, dengan penduduk muslim hanya sebesar 70% mampu mensyariahkan seluruh ekonominya. Bagaimana dengan Indonesia? Tentu saja, sebagai negara yang demokratis, bukan tindakan ekstrim yang diambil bahwa seluruh ekonomi harus disyariahkan seperti Sudan dan Pakistan, tetapi lebih kepada memberikan pilihan kepada rakyat bahwa ada dua sistem ekonomi (dual economic system) yang dapat dianut, konvensional maupun syariah. Pilar utama ekonomi Islam adalah perbankan syariah, standar uang dinar dan dirham, yang didukung oleh lembaga keuangan dan institusi pendukung lainnya. Dalam rangka mewujudkan mimpi bahwa ekonomi syariah akan muncul dari negara dengan penduduk Muslim terbesar, maka kebijakan terhadap sektor ekonomi dan perbankan dapat diutamakan melalui 8 langkah sebagai berikut. 1. Komitmen dari Pimpinan Negara Tertinggi Komitmen dari pimpinan negara tertinggi merupakan kunci utama dalam keberhasilan suatu program atau kebijakan ekonomi syariah. Sejarah di negara-negara lain membuktikan bahwa tanpa komitmen dari pimpinan negara tertinggi maka, ekonomi syariah hanya akan menjadi “barang” yang terlupakan. Pakistan, merupakan salah satu contoh negara dimana jatuh bangun perbankan syariahnya sangat ditentukan oleh “willingness” dari pemimpin yang berkuasa. Semasa kepemimpinan Jendral Zia-Ul Haq, meskipun pada saat itu Pakistan dipimpin dengan menerapkan hukum militer, Islamic banking justru mendapat dorongan yang sangat kuat. Pada masa itu terjadi penggalian konsep ekonomi Islam yang mendalam di Pakistan. Namun, sejak Jendral Zia-Ul Haq wafat pada tahun 1985 dan digantikan oleh Pemerintahan Junejo, ekonomi Islam mulai terpinggirkan kembali. Pemerintah yang baru kembali menerapkan kebijakan ekonomi umum dengan sedikit antusiasme terhadap perbankan Islam. Begitu juga yang terjadi di Sudan, kebijakan yang diambil oleh pemimpin tertinggi pada saat itu (tahun 1984) berhasil menetapkan sistem perbankan secara syariah bahkan dengan semakin derasnya tuntutan dari masyarakat, pada tahun 1992 seluruh sistem keuangan Sudan dikonversi dengan didadasarkan kepada prinsip-prinsip Syariah. 3
Komitmen pimpinan tertinggi selanjutnya akan diikuti oleh perangkat pemerintahan lain. Komitmen seluruh jajaran pemerintah yang sungguhsungguh, menyeluruh dan konkrit akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi syariah. Sinyal yang jelas dari pemerintah akan menggerakkan pasar untuk tidak ragu-ragu masuk ke dalamnya dan secara tidak langsung ikut serta berpartisipasi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi Islam secara keseluruhan. 2. Mengembangkan Bank Syariah Baik dari Segi Kualitas Maupun Kuantitas Pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia. Oleh sebab itu, dengan jumlah penduduk muslim yang lebih besar seharusnya pangsa pasar perbankan syariah Indonesia lebih besar dari Malaysia. Pangsa perbankan syariah di Malaysia telah mencapai 11% dalam waktu 21 tahun, dan diharapkan mencapai 20% setelah 27 tahun pada 2010. Sementara Indonesia, setelah 12 tahun diterapkannya dual banking system, pangsa perbankan syariah dalam perbankan Indonesia baru mencapai 1%, dan diharapkan mencapai 5% setelah 19 tahun pada 2011. Untuk mengakselerasi pertumbuhan perbankan syariah diperlukan dukungan pemerintah yang sungguh-sungguh, menyeluruh, dan konkrit sehingga pasar mendapatkan sinyal yang jelas bahwa pemerintah benar-benar serius dalam mengembangkan dual economic system. Perkembangan perbankan syariah secara kuantitatif harus juga dibarengi dengan perkembangan secara kualitatif agar perkembangan perbankan syariah menuju kepada the real Islamic bank yang memenuhi syaria compliance dalam seluruh kegiatannya, baik dari pengerahan dananya, penyaluran pembiayaannya, sistem dan prosedurnya, dan praktek-praktek lainnya. Salah satu caranya adalah dengan membakukan (standarisasi) akadakadnya. Misalnya, dari sisi pengerahan dana, rekening simpanan berakad wadiah dapat ditarik sewaktu-waktu, termasuk dengan menggunakan kartu debit, sedangkan rekening simpanan berakad mudharabah tidak dapat ditarik sewaktu-waktu, dan juga tidak diberikan fasilitas kartu debit. Dari sisi kompensasi, rekening simpanan berakad wadiah hanya mendapatkan bonus yang tidak mengikat bagi bank untuk memberikannya, sedangkan rekening simpanan berakad mudharabah mendapat bagi hasil sesuai nisbah yang ditetapkan. Jangan sampai ada bank syariah yang menawarkan simpanan dengan kemudahan akad wadiah, tetapi dengan menjanjikan kompensasi akad mudharabah. Dari sisi penyaluran pembiayaan, bank syariah harus menerapkan akad pembiayaan secara benar, sesuai dengan yang dimaksud. Misalnya, akad murabahah hanya dapat digunakan untuk pembiayaan tangible assets, tidak dapat digunakan untuk membiayai modal kerja, work-in process, membayar gaji karyawan, membayar tagihan listrik, atau intangible assets yang lainnya. Selain itu, barang atau tangible assets yang akan di-murabahah-kan harus sudah dalam kepemilikan bank terlebih dahulu, sehingga bank perlu memiliki gudang untuk penyimpanan ‘barang dagangannya’. Sementara itu, akad bagi hasil (mudharabah dan 4
musyarakah) dapat digunakan lebih fleksibel, termasuk untuk pembiayaan intangible assets, dan memungkinkan keuntungan yang lebih tinggi, meskipun dalam praktek penyalurannya lebih rumit dan berisiko lebih tinggi dari penyaluran pembiayaan murabahah. Strategi pemurnian perbankan syariah dapat dilakukan dengan memberi batas waktu bagi unit usaha syariah bank konvensional untuk melepaskan diri dari ‘bapaknya’ dan menjadi bank umum syariah yang beroperasi secara penuh. Hal ini perlu dilakukan karena ada persepsi dalam masyarakat yang menyatakan bahwa sistem konvensional dan sistem syariah adalah sama saja. Keberadaan suatu unit syariah dari suatu bank konvensional sangat membingungkan masyarakat umum. Sistem syariah hanya dipandang sebagai suatu pilihan (opsi) bagi yang menyukainya, dan bukan dipandang sebagai suatu penyelesaian (solusi). Sebagaimana disampaikan oleh Sahala Parluhutan dalam artikelnya “Bank Separo Syariah” (Republika, 29 November 2004), tidak mungkin suatu unit syariah meng-klaim dirinya independen dan terpisah segala urusan keuangannya dari induk bank konvensionalnya, sebagaimana tidak mungkin terpisahnya fungsi tangan dari fungsi badan manusia. Suka atau tidak suka, persepsi masyarakat tetap mengatakan bahwa segala urusan keuangan unit syariah bisa bercampur dan dicampurkan dengan sistem bank konvensional induknya. Strategi pengembangan perbankan syariah melalui pembukaan unit usaha syariah semestinya hanya dipandang sebagai strategi adaptasi pada tahap awal yang bersifat sementara, bukan final, yang pada akhirnya menuju kepada bank syariah penuh yang terpisah dari induknya, untuk menjaga kemurnian secara syariah dari yang konvensional. Strategi ini, selain berorientasi pada kualitas juga berorientasi pada kuantitas sekaligus, seperti yang akan dikemukakan pada butir 5. Pengembangan perbankan syariah berikutnya adalah mengarah kepada target nasabah yang akan dibidik. Sektor usaha yang paling tahan terhadap krisis ekonomi, paling banyak menyerap tenaga kerja, dan paling tidak terjangkau oleh bank adalah sektor usaha mikro dan usaha kecil. Sektor inilah yang perlu digarap dan dikembangkan terlebih dahulu sebelum menggarap dan mengembangkan sektor menengah ke atas. Masalah utama di sektor ini adalah nasabah potensial dan feasible, namun tidak bankable. Berbagai usaha pernah dilakukan untuk membuat mereka menjadi bankable, tetapi tidak banyak yang berhasil. Pendekatan lain harus dilakukan agar bank dan nasabah dapat bertemu. Salah satunya adalah dengan cara bank yang berusaha mendekat kepada nasabah. Syarat-syarat yang sulit dipenuhi oleh nasabah harus dibuat lebih fleksibel, misalnya dalam hal agunan, laporan keuangan, atau dokumen-dokumen lainnya. Pelaporan dan pembayaran cicilan, misalnya, bisa dilakukan oleh petugas bank yang mendatangi tempat usaha mereka, bukan nasabah yang harus datang ke bank. Hal-hal inovatif baru perlu diciptakan untuk kelancaran dan kemudahan bagi kedua belah pihak dalam bertransaksi. Karena karakteristik sektor usaha mikro dan kecil yang memerlukan modal tidak terlalu besar
5
namun jumlahnya banyak, perbankan syariah yang perlu dikembangkan adalah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), Bank Syariah Unit Desa atau Kecamatan, cabang-cabang pembantu Bank Syariah yang beroperasi di pasar-pasar, dan BMT (Baitul Maal wa Tamwil) yang benar-benar dekat dengan nasabah mikro dan kecil ini. Sistem ekonomi Islam tidak dapat dijalankan hanya dengan menghilangkan unsur riba saja, tetapi dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial Islam, dengan menjalankan hukum, praktek, prosedur, dan instrumen yang membantu memelihara dan menyelenggarakan hukum, kesetaraan, dan keadilan. Oleh karena itu, pemerintah perlu mendirikan lembaga peradilan syariah berdampingan dengan lembaga peradilan konvensional yang sudah ada, untuk menyelesaikan masalah-masalah atau perselisihan yang harus dilakukan sesuai syariah. Sebagai contoh, perselisihan antara bank dan nasabah pembiayaan bagi hasil dalam menentukan apakah kerugian usaha disebabkan oleh kelalaian nasabah atau karena fluktuasi bisnis. Seperti telah disebutkan diatas bahwa pilar utama ekonomi Islam adalah perbankan syariah, standar uang dinar dan dirham, serta kelengkapan infrastruktur dan institusi pendukung lainnya, seperti peradilan syariah, asuransi syariah, pasar uang dan modal syariah beserta instrumeninstrumennya, dan lain-lain. Oleh karena itu, penerapan dual economic system dengan menerapkan ekonomi Islam untuk berdampingan dengan ekonomi kapitalistik (konvensional) yang telah ada dapat dimulai dengan penerapan dual banking system yang secara de facto telah dimulai sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Namun, pertumbuhan yang sehat dan cepat tidak akan terjadi apabila pilar-pilar utama dan pendukung lainnya tidak dikembangkan dengan baik. 3. Proyek-proyek Pemerintah Melalui Perbankan Syariah Sebanyak 20% dari anggaran pembangunan disalurkan melalui perbankan syariah. Sebagai wujud dari komitmen pemerintah terhadap pengembangan ekonomi syariah, dapat dilakukan melalui proyek-proyek pemerintah yang sudah direncanakan di dalam anggaran pembangunan. Dalam APBN tahun 2005 pemerintah mengalokasikan dana anggaran pembangunan sebesar Rp.99,737 triliun. Jika 20% dari anggaran pembangunan tersebut atau sama dengan Rp.19,9 triliun dialokasikan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah melalui perbankan syariah maka paling tidak asset perbankan syariah akan meningkat sebesar 229%. Beberapa negara seperti Malaysia juga sudah menerapkan kebijakan ini, sebagai contoh KLIA di Malaysia yang menggunakan skema pembiayaan syariah. Gerakan pemerintah ini, selanjutnya akan diikuti oleh para investor maupun pelaku bisnis bahwa ada keberpihakan dari pemerintah dalam mendukung perkembangan ekonomi syariah khususnya perbankan syariah. Sebagai contoh dalam rangka proyek infrastruktur jalan, maupun pendidikan dapat
6
dilaksanakan dengan menggunakan perbankan syariah dapat ditingkatkan.
skema
syariah.
Sehingga
peran
4. Penerapan SUN Syariah Sebanyak 20% Surat Utang Negara menggunakan skema syariah. Berdasarkan RAPBN tahun 2005 pemerintah, sebagian besar (kurang lebih 50%) anggaran pembiayaan pemerintah diperoleh melalui penjualan obligasi negara dengan menerbitkan surat utang negara. Jika 20% dari 50% SUN tersebut dijual kepada perbankan syariah atau dengan kata lain ada SUN khusus yang berdasarkan prinsip syariah, maka kontribusi perbankan syariah pun akan semakin besar. Penggunaan instrumen SUN syariah ini juga diterapkan di negara-negra lain. Sebagai contoh di Sudan, ada dua instrumen surat utang negara dan bank sentral yang berdasarkan prinsip syariah yaitu Central bank Musharaka Certificate’s (CMS’S) yang dikeluarkan oleh bank sentral dan Government Musharaka Certificate’s (GMC’S). Kedua surat utang ini pun diperdagangkan dengan underlying assets yang jelas. Asset yang dapat dijadikan sebagai underlying dalam surat utang ini merupakan asset negara yang profitable yang juga cenderung monopolistik seperti perusahaan telekomunikasi dan perusahaan milik pemerintah, sehingga rate of return yang dapat diberikan kepada investor bisa mencapai 22-27% pertahun. Dalam rangka mendukung pasar modalnya yaitu Kortoum Stock Exchange (KSE), dibentuk juga Financial Investment Bank yang difokuskan melakukan trading terhadap pasar saham syariah ini. Disamping itu juga dibentuk Sudan Financial Services, untuk memfasilitasi penjualan surat utang negara maupun bank sentral. Dengan adanya SUN syariah maka dapat dijadikan sebagai awal pengembangan institusi maupun instrumen syariah, yang seluruhnya merupakan perangkat ekonomi syariah. Jika perdagangan SUN syariah ini aktif, maka selanjutnya akan mendorong keberadaan instrumen moneter syariah, pasar modal syariah sehingga pengembangan ekonomi syariah dapat dilakukan secara terintegrasi. Sebagai negara yang memiliki kekayaan negara yang amat sangat besar, baik dari tambang emas maupun tambang minyak serta kekayaan negara lainnya, jika dikelola dengan baik maka akan memberikan keuntungan yang sangat besar kepada investor, sehingga investor akan tertarik untuk membeli Surat Utang Negara Syariah. Selanjutnya hal ini dapat dijadikan suatu sumber pembiayaan baru bagi pemerintah. Artinya ada insentif bagi pemerintah, jika sumber daya alam dikelola dengan baik dan tidak dijual maupun disewa gunakan kepada kepada investor asing, maka kuntungan yang diperoleh dapat digunakan sebagai iming-iming bagi investor baik asing maupun domestik untuk menanamkan dananya di Indonesia. 5. Lembaga Keuangan Milik Negara Disyariahkan Mengkonversi sebagian lembaga keuangan pemerintah menjadi syariah 7
Hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menggerakkan pasar antara lain mempermudah pendirian atau konversi bank syariah atau lembaga keuangan syariah lainnya, mendirikan atau mengkonversi bank konvensional milik pemerintah menjadi bank syariah, mendirikan atau mengkonversi lembaga keuangan lainnya menjadi lembaga syariah, seperti asuransi jiwa, asuransi umum, perusahaan pembiayaan, perusahaan leasing, pegadaian, dan sebagainya. Langkah konversi ini pernah dilakukan oleh satu bank umum yaitu Bank Susila Bakti yang dikonversi dari bank konvensional menjadi bank syariah sepenuhnya menjadi Bank Syariah Mandiri. Dan sampai dengan saat ini terbukti bahwa Bank Syariah Mandiri dalam tempo 5 tahun (sejak tahun 1999) berkembang amat pesat. Dengan melihat kenyataan ini, apakah sulit jika bank umum milik pemerintah pun dikonversi menjadi bank syariah? 6. Pendirian Lembaga Penelitian Khusus Lembaga penelitian khusus Ekonomi dan Perbankan Syariah sangat diperlukan, guna menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan perbankan syariah dari segi kuantitas dengan kualitas. Lembaga ini dirasakan amat perlu mengingat bahwa untuk meningkatkan suatu kebijakan yang berkualitas perlu didasari oleh suatu riset yang baik. Berbagai masalah ekonomi yang selama ini mendarah daging, tentu saja akan menjadi hambatan didalam perkembangan perbankan syariah. Sebagai contoh, kenyataan bahwa pembiayaan dengan skema bagi hasil yang sangat kecil dibandingkan pembiayaan non-bagi hasil, mengapa? Tentu saja hal itu perlu dijawab, melalui riset, sebenarnya apa saja faktor-faktor yang yang menjadi kendala didalam penerapan skema bagi hasil tersebut. Selanjutnya, hasil penelitian tersebut akan dijadikan dasar bagi suatu pengambilan kebijakan. Dalam suatu dual economic system maupun dual banking system kesalahan dalam pengambilan kebijakan akan ”berbahaya” karena akan ada risiko reputasi, dan pemulihan terhadap risiko tersebut akan sangat sulit. Oleh sebab itu peran riset di dalam kebijakan menjadi sangat penting. Disamping itu, dari lembaga think thank ini akan lahir konsep-konsep baru baik dari segi lembaga, produk-produk perbankan syariah yang up to date dan sesuai dengan syariah, dan tidak membonceng terus kepada perkembangan produk-produk yang ada di perbankan konvensional. 7. Pengembangan SDM Melalui Kurikulum Pendidikan Nasional Pemahaman terhadap dual economic system sudah semestinya diinformasikan kepada rakyat mulai sejak dini. Penerapan dual economic system memerlukan pemahaman yang memadai bagi semua pelaku ekonomi dan pemerintahan. Oleh karena itu, sosialisasi dan pembelajaran sistem ekonomi dan keuangan Islam harus sudah dimulai minimal semenjak pendidikan di tingkat sekolah menengah atas. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan pelajaran ekonomi dan hukum Islam berdampingan dengan pelajaran ekonomi dan hukum konvensional di SMA dan perguruan tinggi. Di tingkat perguruan tinggi, jurusan ekonomi Islam, dengan semua 8
cabangnya, harus ada di setiap fakultas ekonomi, dan jurusan hukum Islam, dengan semua cabangnya, harus ada di setiap fakultas hukum, minimal di satu universitas negeri di setiap propinsi. Dengan demikian, kebutuhan akan sumber daya insani (SDI) yang memahami bidang syariah di sektor keuangan, hukum, pemerintahan, maupun sektor lain dapat terpenuhi. Hal ini dimaksudkan guna mempersiapkan sumber daya insani yang matang, dan penanaman “ghirah” terhadap terwujudnya suatu ekonomi Islam semenjak dini. Karena SDI ini merupakan faktor yang paling penting dalam rangka peningkatan kualitas ekonomi dan perbankan syariah kedepan. Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa supply SDI tidak seimbang dengan demand yang dibutuhkan seiring dengan perkembangan perbankan syariah yang cukup pesat dari segi kuantitas. Pemenuhan SDI yang handal serta memiliki “ghirah” yang tinggi tidak bisa disediakan dalam tempo yang singkat. 8. Penggunaan Mata Uang Dinar Penggunaan mata uang dinar dalam transaksi perdagangan dengan negara-negara Islam melalui perbankan syariah. Kebijakan ini sejalan dengan usulan pemerintah Malaysia untuk menggunakan gold dinar di dalam transaksi perdagangannya dengan negara-negara Islam. Saat ini, sebagian besar perdagangan internasional Indonesia banyak dilakukan dengan Amerika dan Jepang, sedangkan dengan negara-negara timur tengah masih sangat sedikit. Dengan adanya berbagai macam hambatan yang ada terhadap ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut sebenarnya terbuka peluang bagi Indonesia untuk melirik pasar timur tengah. Sejalan dengan usaha mengembangkan ekspor ke pasar timur tengah, maka penggunaan gold dinar pun dapat mulai diterapkan baik secara bilateral maupun multilateral. Mekanisme selanjutnya, transaksi perdagangan dengan gold dinar dapat dilakukan melalui perbankan syariah. Penggunaan uang kertas hanya menguntungkan negara besar, seperti Amerika Serikat dengan US dollar-nya dan Uni Eropa dengan euro-nya, dimana mata uangnya dipergunakan secara luas diseluruh dunia. Mereka menyedot kekayaan negara lain, terutama negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang berlimpah, dan menukarkannya hanya dengan kertas. Sebagai contoh dengan hanya mengeluarkan uang untuk mencetak sebesar $ 1 untuk $ 100, dengan kenyataan demikian dapat dibayangkan berapa keuntungan atau seigniorage yang diperoleh oleh Amerika dari setiap lembar $ 1 lembar yang dicetak. Dengan dinar dan dirham, transaksi menjadi lebih adil, dan semua negara berkedudukan seimbang. Mahmud Abu Saud dalam bukunya “Interest Free Banking” (1976) menyatakan bahwa “kecuali kita menstandarisasi uang kita dan menstabilkan nilainya, dengan membiarkan nilai obyek yang kita ukur
9
berfluktuasi, perekonomian tidak akan dapat dipertahankan dalam keadaan baik dan sehat”. Hanya dengan standar uang emas (dinar) dan perak (dirham) nilai mata uang bisa stabil. Penggunaan dinar dan dirham tidak terlepas dari kebijakan politik pemerintah. Di Malaysia penggunaan dinar dan dirham jauh lebih baik karena kiprah mantan perdana menteri Malaysia, Datuk Mahathir Mohammad, dalam mempelopori dinar dan dirham sebagai alat bayar menggantikan mata uang kertas dolar AS.
Kesimpulan : Dengan kenyataan bahwa hampir 88% dari penduduk Indonesia merupakan penduduk Muslim, dan melihat kenyataan bahwa belum ada negara manapun yang menerapkan dual economic system secara menyeluruh (sampai saat ini baru ada dual banking system), maka jika semua usulan tersebut secara bertahap dapat diimplementasikan dengan baik dan terencana, maka impian bahwa ekonomi syariah terbit dari timur akan menjadi kenyataan.
10