Ekonomi Politik dan Konstruksi Identitas Masyarakat Pekalongan Melalui Motif Buketan Oleh:Karina Rima Melati
Abstrak: Buketan yang berasal dari kata bahasa Perancis bouquet yang berarti rangkaian bunga, merupakan motif yang menjadi esensi dari batik Belanda yang dibuat oleh wanita Indo-Eropa pada akhir abad 19. Karena dibuat dengan menonjolkan keelokan dan kehalusan pada dekorasinya, motif ini cepat mendapatkan pasar. Kelompokkelompok non-Indo, seperti masyarakat Tionghoa dan pribumi, kemudian membuat dan memadukan motif buketan dengan berbagai elemen kebudayaan mereka masingmasing. Dengan kata lain motif buketan menunjukkan bentuk-bentuk dari hibrida kebudayaan. Lebih jauh, motif ini juga menjadi kekhasan batik Pekalongan karena dibuat dan dikembangkan secara masif oleh masyarakat di Pekalongan dengan berbagai bentuk dan varian sandangan. Pembuatan motif buketan dengan demikian menunjukkan kontestasi masyarakat di Pekalongan dalam mengapropriasi dan mengimajinasikan identitas sosialnya. Terjadi proses negosiasi antara konsumen atau pasar dalam pembentukan selera yang terdapat pada habitus masyarakat Pekalongan.. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menterjemahkan bekerjanya sistem ekonomi politik, serta untuk menunjukkan konstruksi identitas masyarakat di Pekalongan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode etnografi yang mengamati dengan terbuka pengalaman budaya membatik khususnya motif buketan pada komunitas yang beragam di Pekalongan. Kata Kunci : Batik Pekalongan, ekonomi politik, identitas sosial, hibriditas, sosiologi rasa. Batik merupakan wastra tradisional yang cukup lama berakar di bumi Indonesia, terutama di pulau Jawa. Keberadaannya menjadi simbol dari sebuah keluhuran, kompleksitas sikap adati, kreativitas, artistik, serta inovasi. Spektrum pengertian batik tidak hanya terbatas pada tekniknya namun dihubungkan dengan pengalaman estetis penciptanya dalam mengungkapkan kedalaman intuisi dan rasa untuk mewujudkan kreasi batik yang artistik. Pencipta sekaligus menyelami bentukbentuk pengalaman dan perjumpaannya dengan imajinasi tentang diri dan lingkungannya yang dapat diwujudkan dengan simbol-simbol atau bentuk naturalis yang mewujud pada motif atau desain batik. Dengan canting, yang merupakan indigenuine art orang Jawa, mampu menerjemahkan aura seni tradisi sehingga memenuhi kriteria kedalaman seni yang diinginkan. Batik sekaligus juga sebagai artefak hibrida kebudayaan yang dikembangkan tak hanya oleh masyarakat setempat, namun juga oleh pendatang terutama di daerah pesisir utara Jawa. Sifat masyarakat pesisir yang egaliter dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham budaya asing, memberi ruang bercampurnya berbagai
1
ekspresi budaya di sana. Interaksi dengan kaum pendatang membentuk paradigma masyarakatnya dalam menentukan identitasnya.
Motif Batik Buketan dalam kerangka batik Pekalongan Pekalongan masuk dalam kerangka batik pesisir yang melukiskan suatu dunia yang toleran terhadap perbedaan kebudayaan dan hidup dari pengaruh-pengaruh baru atau persinggungannya dengan kebudayaan pendatang. Keterlibatan pendatang dalam pembuatan batik bahkan kemudian turut melegitimasi motif yang menjadi ciri khas batik Pekalongan. Motif buketan hadir sebagai karya estetis bernuansa budaya Eropa yang kemudian dikenal sebagai intisari dari batik Pekalongan. Buketan berasal dari kata dalam bahasa Perancis dan Belanda ‘bouquet’ yang artinya karangan bunga. Penggunaan gaya dekoratif bunga-bungaan atau floral merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk naturalis terasosiasi dengan gerakan seni dekorasi Art Nouveau1 yang berkembang di Eropa sejak tahun 1890. Sebelum pada akhirnya membentuk motif batik, membuket atau merangkai bunga menjadi kegiatan yang digemari orang-orang Eropa di Hindia untuk pesta pernikahan, kebaktian gereja dan dekorasi acara di societet; termasuk untuk pembuatan ukir-ukiran dalam kerangka interior bangunan khas Eropa, lukisan, keramik ubin; aplikasi pada pakaian wanita, termasuk untuk kain penutup jendela (Mary Hunt Kahlenberg, 1980: 243). Motif batik buketan menjadi bagian dari Batik Belanda (1840 – 1940) dan dipakai di luar batasan pakem batik Jawa. Motif yang menggambarkan rangkaian bunga yang tumbuh subur di Belanda atau Eropa seperti mawar, lili, tulip, anggur dan krisan. Penggunaan warna juga memberi arti dan karakter yang berbeda-beda; seperti warna putih untuk komuni pertama pengantin perempuan, biru untuk wanita belum menikah, merah untuk cinta dan terutama bagi wanita yang sudah menikah (Rens Heringa, 1996: 66). Dekorasi ragam hias pada isian atau isen bentuk bunga juga dibuat sangat halus, detail dan rumit; dengan pewarnaan yang dibuat beragam, meriah bahkan mencolok sehingga menyita perhatian pecinta batik yang selama ini hanya berorientasi pada motif tradisional berwarna sogan. Motif buketan ini juga berbeda 1
Art Nouveau adalah gaya atau bentuk seni rupa revolusioner yang mengingatkan pada romantisme Eropa dan berkembang setelah era Renaisance yang membawa kesadaran akan teknologi dan fenomena eksotis bagi Eropa 2 Peraturan menyatakan bahwa anak atau keturunan Tionghoa yang lahir di Hindia masuk ke golongan kelas dua atau setingkat di bawah Eropa 3 Data ini dilakukan oleh Genevieve Duggan di Pekalongan dan kabupaten yang termasuk dalam wilayah Pekalongan, yaitu Kedungwuni dan Batang. Nama-nama tersebut adalah mereka yang pernah terlibat dalam usaha batik baik sebagai generasi pertama maupun penerusnya. 4 Encim merupakan panggilan wanita yang sudah berkeluarga atau wanita usia paruh baya dari suku 2
dengan batik-batik naturalis dari daerah pesisir lainnya yang bisa saja lebih ekspresif namun tidak terlalu detail dalam memberi isian motif.
Gambar 1: Rangkaian buketan kreasi rumah produksi batik milik Indo-Belanda. (Sumber: Herman Veldhuisen dalam buku Batik Belanda 1840-1940 Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya
Diprakarsai oleh pengusaha wanita Indo-Eropa yang tinggal di pesisir Jawa, khususnya di Pekalongan seperti Ny. Dunhuyzen, Ny. J.A. de Witt, Ny. A.J.F Jans, Nona A. Wollweber, Ny. Simonet, Ny. Jacqueline van Ardene, serta kakak-beradik Ny. Christina van Zuylen dan Elizabeth Charlotta van Zuylen atau Ny. Eliza van Zuylen (Harmen Veldhuisen, 1993). Para kreator motif batik buketan ini awalnya bertujuan untuk membangun romantisme-romantisme budaya negara induk bagi masyarakat Eropa di Hindia termasuk untuk melegalkan kehadiran Indo dan masuk dalam kelompok Eropa. Selain itu, para wanita Indo memilih batik sebagai usaha yang mereka dilakukan karena telah dikenal sebagai padanan kebaya dan menjadi kostum bagi semua kelas sosial pada abad ke 19, baik Jawa maupun Indo maupun wanita totok yang mulai banyak berimigrasi ke Hindia sesudah tahun 1870 (Jean Geman Taylor, 2005: 146). Saat itu batik telah menjadi komoditas unggulan dan bernilai materi cukup tinggi. Pada tahun 1910, atau setelah dikeluarkannya peraturan baru oleh pemerintah Belanda bernama Gelijkgesteld yang berarti “kesetaraan”2 bagi kelompok Tionghoa dan Peranakan dengan kelompok Eropa (Inger McCabe Elliott, 2004: 120) memberikan kepercayaan diri untuk menduplikasi dan merevolusi simbol-simbol batik Belanda terutama pada motif buketan. Bunga-bunga yang digambar menunjukkan kekhasan budaya Cina seperti lotus, teratai, krisan, atau tulip (dikenal dengan motif cempaka mulya). Di beberapa batik menggunakan ragam hias yang 2
Peraturan menyatakan bahwa anak atau keturunan Tionghoa yang lahir di Hindia masuk ke golongan kelas dua atau setingkat di bawah Eropa
3
sesuai dengan mitologi Cina seperti menggunakan burung Phoenik dan dekorasi banji. Lebih jauh motif buketan khas Peranakan Tionghoa juga menerapkan cocohan atau ragam hias berbentuk titik-titik seperti butiran padi yang dibuat memenuhi ruang atau area pada bagian latar, yang kemudian dikenal dengan tanahan.
Gambar 2a-b: Batik motif buketan buatan peranakan Tionghoa yang menerapkan warna-warna yang kontras dan isen-isen pada pola dan latar atau tanahan yang rumit. (Sumber: gambar 2a: koleksi Oey Soe Tjoen- foto dokumentasi penulis; gambar 2b: Santosa Doellah dalam buku Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan)
Setidaknya terdapat 753 nama pengusaha Peranakan di Pekalongan, termasuk kecamatan Kedungwuni dan Batang. Beberapa nama yang terkenal seperti Oey Soe Tjoen, Oei Khing Lim, Gan Kay Liem, The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Siok Hien, Oey Kok Sing, dan Liem Ping We (Genevieve Duggan, 2001: 97-105). Kedungwuni yang berjarak 12 km selatan kota Pekalongan dikenal sebagai penghasil batik terbaik dari kelompok Tionghoa dari generasi ke generasi. Hingga kini, meski jumlahnya sudah berkurang banyak, beberapa diantaranya masih dijalankan oleh generasi ke 3 maupun ke 2, terutama dengan pembuatan motif buketan dengan warna-warna terang. Motif buketan buatan Peranakan dikenal dengan sebutan sarung nyonya
dan biasa dipadukan dengan kebaya encim 4 . Lebih jauh motif buketan
menjadi identitas pakaian peranakan yang penyebarannya tidak hanya di Jawa, namun meluas hingga ke Semenanjung Melayu (Karina Rima Melati, 2011: 13). Pada masa pendudukan Jepang di Nusantara (1942-1945) dibentulah organisasi bernama ‘Hokokai’ yang salah satu aktifitasnya membuat batik yang kemudian dikenal dengan istilah ‘batik Hokokai’. Istilah ini bukan menunjukkan 3
Data ini dilakukan oleh Genevieve Duggan di Pekalongan dan kabupaten yang termasuk dalam wilayah Pekalongan, yaitu Kedungwuni dan Batang. Nama-nama tersebut adalah mereka yang pernah terlibat dalam usaha batik baik sebagai generasi pertama maupun penerusnya. 4 Encim merupakan panggilan wanita yang sudah berkeluarga atau wanita usia paruh baya dari suku Tionghoa; sekaligus terasosiasi dengan kebaya khas Tionghoa dengan bentuk kedua ujung depannya lancip ke bawah, berwarna pastel dan memiliki desain dengan dekorasi bunga-bungaan. Kebaya encim berbeda dengan kebaya yang dipakai wanita Indo dan Eropa yang memiliki dekorasi renda yang khas gaun Eropa. Ada juga renda yang berbentuk bunga-bunga namun kebanyakan tidak berwarna.
4
nama motifnya, tapi nama batik yang mendeformasi motif buketan yang berselerakan Jepang seperti penggambaran bunga sakura, krisan, dahlia dan anggrek; ragam hias kupu-kupu; serta penggunaan warna kuning, hijau, merah, dan merah muda. Buketan dalam pola batik Hokokai juga dirombak hingga membentuk ragam hias berupa rangkain bunga dengan ukuran diperkecil dan diatur dari pojok atas ke arah bawah, maupun pojok bawah ke samping. Pengaturan ini disebut dengan istilah susomoyo yang diadaptasi dari tata susunan pola di kimono (Santoso Doellah, 2005: 202). Munculnya perpaduan dengan motif tradisional keraton seperti kawung, ceplok, lereng dan parang pada bagian badan kemudian disebut dengan istilah batik ‘Djawa Hokokai’. Pembuatan batik Hokokai saat itu mengalami tantangan yang berat selain karena pasokan bahan baku batik terutama kain katun yang menipis selama Perang Dunia II; juga karena ketersediaan tenaga pembatik sangat banyak namun lapangan kerja sangat sedikit. Maka para pengusaha batik peranakan dan pribumi di Pekalongan mensiasatinya dengan mengarahkan pembatiknya untuk membuat pola isen latar dan isen pola yang halus, rumit dan dengan kerangka pola kain panjang pagi-sore yaitu penataan dua pola yang berlainan pada sehelai kain.
Gambar 3 : Batik Hokokai (Sumber: Santoso Doellah dalam buku Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan).
Pasca kemerdekaan RI motif buketan berkembang menjadi variasi atau padanan yang menarik ketika digabungkan dengan motif batik lainnya, baik dengan motif batik pesisir, motif geometri khas keraton, termasuk dengan desain-desain kontemporer. Momen 1950-an di mana Presiden Soekarno mencetuskan gerakan ‘Batik Indonesia’ turut berpengaruh pada bentuk-bentuk batik Indonesia termasuk
5
melibatkan motif buketan pada desain batik jenis ini. Pada tahun 1970-an diciptakan bentuk-bentuk fashion baru yang tidak lagi berbentuk sarung maupun kain panjang, tetapi diaplikasikan pada pakain siap pakai. Motif buketan yang aslinya rangkaian bunga utuh kemudian dibuat pada bentuk-bentuk yang lebih sederhana namun tetap terasa nuansa motif buketannya. Berbagai teknik batik, baik tulis; cap; maupun kombinasi tulis-cap, semakin mempermudah pengaplikasian motif buketan bahkan kemudian memberi inspirasi bentuk-bentuk motif floral yang lebih kontemporer.
Gambar 4: beberapa aplikasi motif buketan dalam berbagai bentuk tampilan fashion yang baru. (Sumber searah jarum jam: pasar batik.com; foto dokumentasi penulis; kapanlagi.com; iklanmaks.com/pakaian-alas-kakiblus-batik-cap-wanita; foto dokumentasi penulis).
Di masa-masa berikutnya, motif buketan diciptakan dan diaplikasikan oleh pengusaha batik yang berada tak hanya di Pekalongan, tapi juga terdapat di daerah sentra batik pesisir lainnya, seperti Semarang, Cirebon, Banyumas, Lasem, Indramayu, Tuban, bahkan hingga Madura. Namun Pekalongan lebih dikenal sebagai penghasil buketan terutama karena sejarah panjang masyarakatnya dalam mengapropriasi dan mengapresiasi ini. Lalu pertanyaannya kemudian: bagaimana buketan sebagai bentuk hibriditas budaya antara lokal dan pengaruh asing menciptakan kesepahaman pada masyarakat Pekalongan bahwa buketan merupakan ciri khas batik mereka? Bagaimana proses negosiasi antara industri dan selera konsumennya dalam memproduksi atau membentuk performa motif buketan? Bagaimana dinamika motif buketan mempengaruhi perubahan sosial di Pekalongan?
Batik Buketan dan Terbangunnya Sosiologi Rasa Masyarakat Pekalongan
6
Produksi dan reproduksi batik motif buketan oleh wanita Indo-Eropa bahkan kemudian diikuti oleh masyarakat Peranakan Tionghoa dan pribumi, menunjukkan eksistensi motif tersebut sebagai bagian dari bentuk hibriditas budaya antara lokal dan pengaruh asing. Pekalongan dalam hal ini menjadi ‘field’ atau ruang tempat bekerjanya sistem relasi subyektif yang memiliki posisi-posisi sosial yang saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Sistem relasi subyektif tersebut mengelola batik motif buketan sebagai sistem simbolik. Proses terbentuknya selera pada motif buketan tersebut dipahami sebagai bentuk konsumsi budaya. Batik motif buketan mewakili selera sebuah kelompok masyarakat yang memiliki asosiasi dengan produk budaya tertentu. Hal tersebut menurut Pierre Bourdieu (1977) dapat dijelaskan dengan masalah habitusnya, artinya orang-orang
dari
kelompok
masyarakat
tertentu,
dan
bersifat
kolektif,
mengekspresikan seleranya terhadap motif buketan dengan membuat atau memproduksi, memakai, bahkan mengoleksinya5. Pembentukan sosiologi rasa melalui produksi dan reproduksi batik motif buketan berjalan dinamis dan mengikuti perkembangan pasar. Meski awalnya masyarakat pribumi Pekalongan melihat buketan ‘berjarak’ dengan kebiasaan membatik mereka, namun ketika dipenetrasi sebagai bentuk simbol modernitas dengan cepat diinternalisasikan dan diterima oleh segala kelompok masyarakat. Motif buketan juga berfungsi kultis dengan modal budaya yang sifatnya eksklusif terutama terangkum dalam craftmanship pembuatannya yaitu melalui standarisasi teknik batik yang mencapai tingkat tinggi dalam warna dan detail motifnya (Robyn Maxwell, 2003: 385). Sofistikasi teknis dan nilai imajinatif dalam mengapropriasi motif buketan menjadi modal kapital yang melegitimasi pembentukan selera di kalangan masyarakat Pekalongan. Pertumbuhan kesenian batik kemudian menjadi populer dengan ditunjang oleh kemajuan teknologi dan organisasi ekonomi. Pada tingkat fungsional batik telah menjadi budaya pop namun sekaligus mengesampingkan nilai tradisi dan ritual-ritual produksi untuk kemudian membentuk standar pakaian batik sebagai sesuatu yang massal. Terjadi kultus fetisisasi batik serta pembentukan trendsetter dalam menentukan selera konsumen. 5
Oleh sebagian orang batik dikoleksi baik sebagai karya seni yang mempunyai daya jual tinggi maupun penanda status sosial tertentu
7
Reproduksi batik motif buketan telah menjadi industri yang memenuhi setiap permintaan pasar yang ada. Setelah ditinggalkan wanita Indo-Eropa, pengusaha peranakan Tionghoa melihat kemungkinan berkembangnya perdagangan motif tersebut dengan melakukan pembaruan motif dengan membuat cap motif buketan untuk mempercepat proses produksi. Penggunaan cap berimbas pada pudarnya nilai ritual (pembuatan) batik, penurunan gaya artistik, khususnya karena pembatasanpembatasan variasi dan ornamentasi motif yang ada sebelumnya. Meski demikian hal ini justru membentuk pola konsumen baru dari kalangan menengah bawah yang sebelumnya tidak mampu membeli batik tulis-canting motif buketan yang mahal, untuk kemudian bisa membeli batik cap yang lebih terjangkau. Pola ini juga menjadi bentuk negosiasi antara industri batik dengan pembentukan selera konsumen pecinta motif buketan. Terbentuknya standar-standar baru penciptaan motif buketan, baik secara teknis maupun inovasi motif dengan sistem produksi yang lebih modern. Prinsip kerja seni dengan demikian menunjukkan reproduksi mekanis yang oleh Walter Benjamin (1936) berarti merepresentasikan sesuatu yang secara historis melompati jarak waktu dengan intensitas yang dipercepat. Reproduksi mekanis menjadi penyebab perubahan besar pada pengaruh publik dan merebut wilayah yang seharusnya berada pada wilayah proses artistik. Hal ini juga diistilahkan oleh Max Horkheimer dan Theodore Adorno (1947) sebagai “culture industry” dengan penciptaan pergerakan massa kontemporer dan menempatkan karya seni tradisi pada tataran mekanisme reproduksi massal (John Storey, 1993: 148-153). Maka secara eksplisit dapat dijelaskan bahwa pembentukan sosiologi rasa melalui produksi dan reproduksi batik motif buketan oleh masyarakat Pekalongan dipahami sebagai konsumsi budaya. Terbentuknya pola produksi baru secara massal membuat motif buketan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat umum hingga semakin melegitimasi dengan menjadi ciri khas batik Pekalongan. Proses materialisasi disebut sebagai hibriditas budaya masyarakat pendukungnya, yaitu sebagai perpaduan berbagai elemen budaya yang menunjukkan dinamika proses bekerjanya ruang tempat dimana ia diproduksi, direproduksi dan diatur sebagai bentuk komunikasi aktif yang membentuk identitas sosialnya.
Motif Buketan dalam Konstruksi Identitas dan Ekonomi Politik Sejarah Pekalongan sebagai kota pesisir utara Jawa, memberikan banyak kemungkinan masuknya pendatang dengan berbagai simbol-simbol budaya dan latar
8
belakang untuk kemudian berasimilasi menghasilkan budaya baru termasuk di antaranya pada batik. Adalah batik motif buketan yang merupakan motif floral, hadir sebagai sebuah karya artistik bernuansa budaya Eropa oleh kelompok wanita IndoEropa. Indo masuk dalam golongan Eropa; yang termasuk dalam kelompok kolonialis di Hindia, membentuk motif buketan atau motif floral pada batik Jawa yang kemudian produksi dan reproduksinya meluas di hampir seluruh sentra batik pesisir Jawa. Motif buketan pada kenyataannya justru dibuat jauh dari kultur kebudayaan Jawa. Pembuatan motif ini pada awalnya mengungkap ambiguitas atas imajinasi-imajinasi berjarak tentang kebudayaan Eropa oleh wanita Indo, namun dengan cara atau memungut teknik batik yang telah dipahami terlebih dahulu oleh orang Jawa. Indis atau Indo atau mestizo, merupakan hasil dari pernikahan campuran maupun hubungan diluar ikatan nikah dengan para nyai atau gundik. Nyai digunakan untuk merujuk pada mistress atau concubine orang Eropa. Kelompok Indo terstratifikasi dalam struktur kelompok Eropa di lapis terbawah6. Ulbe Bosma dan Remco Raben dalam bukunya Being “Dutch” in the Indies, History of Creolization and Empire 1500-1920 (2008), mengungkapkan Mestizo tidak hanya bermaksud menunjukkan percampuran darah Eropa dengan penduduk lokal, tetapi juga berarti kelas rendahan. Meskipun ber-ayah Eropa, problematika menjadi Indo adalah pengakuan untuk masuk dalam lingkaran Eropa oleh kelompok Eropa itu sendiri. Masyarakat totok Eropa di Hindia menempatkan orang Indo sebagai kelompok ‘liyan’, dan pada tahapan-tahapan tertentu totok tidak dapat menerima golongan campuran dalam kehidupan sosial mereka. Dengan batik Belanda-nya kelompok Indo mengangkat semangat Eropa sekaligus menegaskan posisi Indo dalam identitas yang hibrid: motif beridiom Eropa; teknik batik meniru dan dengan proses pembuatan yang melibatkan orang Jawa. Maka batik buketan dibuat dengan model serta kerangka menurut eksklusivitas dan standar-standar baru dan menjadi sebuah agenda mendobrak rezim atau pakem batik tradisional Jawa saat itu. Batik Belanda membentuk simbol arogansi atau kepercayaan diri dengan menampilkan terobosan yang memposisikan diri 6
Komunitas Eropa sendiri merupakan komunitas yang terstratifikasi berdasarkan ras, usia dan pekerjaan: orang totok yang lebih tua seperti pegawai negeri yang berkedudukan tinggi, pejabat-pejabat ketentaraan, dan direktur-direktur perusahaan berada di tingkat paling atas. Totok muda dan segelintir Indo berada di strata tengah, sementara sebagian Indo mengisi tingkat terendah sebagai juru tulis yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan atau pemerintah kolonial. Baca Elsbeth Locher-Scholten : Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng Perempuan Eropa dan Gaya Hidup Barat di Hindia Tahun 1900-1942, dalam Outward Appearances: Tren, Identias, Kepentingan.
9
sebagai peradaban batik modern, yang dibuat oleh dan tersebar di golongan Eropa sendiri: pemegang tingkat strafikasi paling atas di Hindia. Ini membentuk gagasan bahwa ‘yang tradisional’ pada batik Jawa dengan motifnya yang menunjukkan kearifan lokal, berlawanan dengan ‘yang modern’ dalam konteks kolonial berbudaya kebaratan. Konstruksi kebudayaan Jawa dengan ‘kepemilikan’ batiknya selanjutnya dipertemukan dengan kultur baru yang dibentuk diatas pilar-pilar ekspresi Barat. Inilah yang kemudian membentuk dekonstruksi pada wilayah identitas kultural. Dengan ini anggapan adanya proses pembaratan oleh motif buketan terleburkan oleh bentuk dinamika interaksi. Proses tersebut dipahami sebagai culture translation yang senangtiasa menginteraksikan kebudayaan setempat dengan kebudayaan lain, di mana terjadi saling tukar dan menerjemahkan satu sama lain. Wanita Indo mematahkan hegemoni teknik batik yang telah lama dimiliki orang Jawa, sebaliknya masyarakat non-Eropa menerjemahkan motif buketan dengan bentukbentuk menurut taste yang dipahaminya. Motif buketan selanjutnya menjadi object of desire sehingga masyarakat Pekalongan dari berbagai golongan terlibat secara massif dalam produksinya sehingga menciptakan kesepahaman di antara masyarakat Pekalongan sebagai batik khas mereka. Pembuatan motif buketan tidak lagi dipandang sebagai bagian dari proses kolonialisasi yang menciptakan dikotomi antara penjajah dan yang terjajah; maupun antara budaya asli dan non asli, namun terciptanya ruang negosiasi antara teknik batik yang dikembangkan dan menjadi kebudayaan popular masyarakat Jawa dan dengan motif bernuansa kebudayaan pendatang, dalam hal ini Eropa dan China. Maka hierarki batik sebagai sesuatu yang melulu diasosiasikan dengan kebudayaan Jawa tidak lagi bisa dipertahankan; termasuk buketan yang tidak bisa lagi dianggap sebagai motif dari kebudayaan asing. Begitu juga apresiasi yang dilakukan oleh kelompok peranakan Tionghoa terhadap motif buketan terutama ketika motif tersebut mencapai tingkat kepopulerannya. Kelompok Tionghoa mengartikan ke-eksklusifan motif buketan untuk dipakai pada acara-acara formal atau perayaan dan peringatan dalam kebudayaan Tionghoa: pernikahan, kelahiran, kematian, tahun baru Cina dan sebagainya. Batik motif buketan juga diberikan keluarga calon pengantin lelaki kepada keluarga calon pengantin wanita sebagai salah satu pakaian yang dipakai pada
10
serangkaian seremoni pernikahan keduanya7. Sedangkan untuk tingkatan yang lebih sederhana dan dengan kualitas yang sedang batik buketan juga dipakai sebagai pakaian non-formal atau keseharian wanita Tionghoa. Peniruan batik motif buketan oleh Tionghoa yang diikuti kelompok masyarakat pribumi dapat dipahami sebagai proses mencairnya batas-batas ruang untuk kemudian mendorong terjadinya industrialisasi batik dengan teknik cap yang memudahkan produksi batik untuk memenuhi permintaan pasar. Teknik cap ini berimbas pada pudarnya nilai ritual pembuatanan batik, penurunan gaya artistik, khususnya karena pembatasan-pembatasan variasi dan ornamentasi motif yang ada sebelumnya. Batik motif buketan yang sebelumnya dibuat dengan rangkaian bunga utuh dengan mengutamakan sofistikasi ragam hias yang dibuat secara halus kemudian memudar dan diganti dengan cap bunga-bunga buketan dengan kontur dan gaya yang kaku. Perkembangan pasar yang semakin besar memberikan banyak pemikiran baru dalam penciptaannya, sehingga muncul alternatif teknik yang sebetulnya bukan atau tidak dapat dikatakan batik karena tidak mengaplikasikan lilin pada pembuatannya. Ini adalah teknik printing yang muncul pada awal 1980-an dan merupakan mekanisme industri tekstil yang diadopsi untuk menciptakan lembaran kain yang tidak menggunakan teknik batik atau menggunakan raster fotografis, namun dengan motif atau desain yang selama ini diaplikasikan pada batik. Teknologi tekstil printing ini memposisikan sebagai teknik yang memudahkan pembuatan ‘batik’ dengan motifmotif yang kaku dan tidak memiliki kedalaman aura kesenianya. Maka batik yang sedianya merupakan teknik merintang warna dengan aplikasi wax atau lilin malam, diabaikan oleh teknik printing ini. Printing merusak estetika dan budaya berkesenian batik. Desakan merombak motif batik yang menyesuaikan perubahan selera pasar membuat sistem fashion mengalami berbagai penyesuaian-penyesuaian. Setelah tahun 1970, tampilan pakaian masyarakat Indonesia berubah ke bentuk yang lebih universal. Sarung dan kain panjang diganti menjadi bentuk-bentuk fashion yang siap pakai
7
Salah satu display di Museum Peranakan, Singapura menunjukkan bahwa batik motif buketan menjadi salah satu item dalam set pakaian pemberian pengantin laki-laki. Item pakaian beberapa diantaranya masih dalam bentuk bahan seperti bahan kebaya maupun bahan baju wanita lainnya untuk kemudian dijahitkan menurut selera sang mempelai wanita.
11
seperti kemeja, blus dan sebagainya8. Selain itu batik yang dibuat menjadi lembaran kain baik batik tulis-canting; cap; maupun kombinasi, kemudian dijahitkan oleh konsumen sesuai dengan model dan keinginan masing-masing. Pun motif buketan mengalami redeformasi karena bentuk buketan yang seharusnya merupakan sebuah rangkaian utuh kemudian digambarkan lebih sederhana dengan menyesuaikan kerangka pakaian atau fashion yang sedang digemari. Floral bunga pada motif buketan dibuat lebih kecil dan tersebar dimana-mana serta warna-warna khasnya masih menciptakan asosiasi dengan motif buketan. Karakter motif buketan yang baru ini dibentuk atas dorongan pasar yang selalu bertendensi untuk mendapatkan hal baru dan berbeda dengan sebelumnya. Hingga akhir tahun 1980-an sebagian besar pengusaha Pekalongan masih memproduksi motif buketan dengan bentukan yang kian beragam serta pengembangan pada materi pengaplikasiannya. Meski sempat meredup di akhir tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an, kemudian dimunculkan pada pertengahan tahun 2007 atau ketika batik mengalami tren kembali9. Motif buketan tidak lagi berbentuk rangkaian utuh namun berubah menjadi bentuk yang lebih kontemporer seperti terpotong maupun terkolase, dan terutama diaplikasikan dalam bentuk pakaian siap pakai. Misalnya kini dapat kita temui motif buketan mengisi area pakaian wanita dengan berbagai aplikasi model seperti blus, minidress, longdress, hingga jacket. Atau dalam bentuk lain, isen-isen, terutama pada bagian latar atau tanahan sebelumnya berisi isen ukel cantel; isen kembang krokot; ukel; papahan; cecek; sisik; gringsin, kemudian diganti atau diisi dengan motif parang, kawung, truntum dan sebagainya. Dengan demikian motif buketan menjadi ide awal atau inspirasi untuk kemudian dibuat dengan bentuk lainnya yang lebih beragam. Dengan dikomodifikasikan secara massif oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, motif batik tidak lagi dibuat berdasarkan asumsi kedaerahan, namun dikreasikan sendiri oleh pengusaha batik. Maka jika sebelumnya penyebutan atau pengistilahan motif batik berdasarkan kekhasan daerah, kemudian berubah menjadi 8
Sarung dan kain panjang masih diproduksi sebagai bentuk pakaian formal yang dipakai untuk acara protokoler kenegaraan, pernikahan dan acara resmi lainnya. 9 Tren batik di nusantara pasca kemerdekaan RI sangat fluktuatif, hal ini terutama disebabkan oleh perubahan selera gaya berbusana cenderung berkiblat pada pakaian yang lebih universal atau pakaian Barat. Perkembangan tekstil printing bermotif batik yang semakin meluas juga melengkapi redupnya industri batik di Indonesia. Tren batik mucul kembali pada tahun 2007 yang salah satu penyebabnya adalah pengaruh sentimen masyarakat akan klaim batik oleh negara tetangga. Sejak itu, berbagai upaya menghadirkan batik sebagai ciri khas dan identitas masyarakat Indonesia terus dilakukan hingga menjadi tren dimana-mana.
12
berdasarkan nama desainer yang tak lain adalah pengusaha batik. Kini nama atau istilah motif batik menjadi seperti: ‘batik Failasuf’ yang menandakan desain motif yang dibuat oleh Failasuf yang juga pengusaha batik; ‘batik laskar pelangi’ berarti batik dengan teknik pewarnaan berwana-warni; ‘batik manohara’, yang dibuat dengan model menyesuaikan style sang artis atau public figure yang sedang disorot saat itu diharapkan mampu mendongkrak penjualan batik; ‘batik Garuda’ yang tidak lagi terasosiasi dengan motif dalam semen atau motif khas keraton yang memiliki simbolisasi kebudayaan Hindu-Budha, namun sebagai euphoria peningkatan prestasi tim nasional sepak bola Indonesia; dan sebagainya. Maka batik kini tidak lagi terdiri dari motif-motif yang telah mapan, melainkan membentuk desain baru seperti yang dikonstruksikan oleh perorangan atau peristiwa yang diwacanakan secara umum. Batik dan motif buketan telah menjadi konsumsi massa dan sofistkasinya berubah menjadi sebuah komoditas dalam masyarakat yang kapitalis. Lebih jauh terjadinya transkultural dengan penerapan division of labour yang semakin menegaskan kapitalisasi kultur batik. Para buruh tersebut telah terkooptasi pada sekat-sekat pembedaan kerja. Terutama para pembatiknya, memiliki skill batik yang telah terasah dari generasi sebelumnya untuk kemudian terhegemoni dengan aturan-aturan oleh kuasa pengusaha yang justru tidak mengalami sendiri ritual pembatikan. Hal sama juga terjadi pada divisi pewarnaan, dimana para buruh hanya mengikuti koordinasi pengusaha dalam menentukan warna-warna yang akan dicelup, bahkan merahasiakan komposisi atau rumusan warna tersebut pada buruhnya. Terlebih dengan warna sintetis yang memang perlu penyesuaian dan pengalaman tersendiri dalam penggunaan atau pemakaiannya. Pewarnaan kemudian menjadi ciri khas produksi batiknya termasuk juga pada motifnya. Maka komersialisasi batik di Pekalongan telah mengubah tatanan masyarakat secara fundamental dengan memonopoli pembagian kerja yang mereduksi kebahagiaan dalam pengalaman membuat batik. Hal ini juga menurunkan proses kreativitas karena memecah proses produksi menjadi serangkaian kerangka-kerangka kerja yang berbeda dan juga berimbas pada pemberian upah yang dibedakan menurut tingkat kemampuan buruh. Para pekerja batik mengalami keterasingan dengan hasil kerja mereka sendiri, karena selain tak dapat menikmati produk tersebut juga mendapatkan upah yang tidak sebanding dengan harga jual batik yang tinggi dan justru hanya menguntungkan pihak pengusaha.
13
Pengusaha dengan demikian tidak bisa menggantikan spektrum pengalaman yang muncul dari proses pembatikan tersebut karena tidak terlibat secara langsung proses pembatikan yang sebenarnya. Namun mereka ini justu menjadi pihak yang mendapatkan keuntungan materi atas monopoli yang dilakukannya, terutama dengan memberikan harga batik di atas harga wajar berkat suatu rahasia manufaktur maupun tanda tangan dan label-label produksi batik atas namanya. Masyarakat Pekalongan selanjutnya masuk ke dalam sebuah komunitas industri modern, yaitu masyarakat yang mengganggap pentingnya ekonomi dalam sistem nilai sosialnya. Ini juga sekaligus menunjukkan ambivalensi karena terjadi komodifikasi yang menurunkan otentisitas budaya membatik dan menyerahkannya pada logika pasar. Rangkaian kerja produksi batik bertolak-belakang dari keluhuran tradisi karena mengeksploitasi dan menafikkan pengalaman membatik itu sendiri. Meski
kemajuan produksi dan meningkatnya permintaan pasar bisa menjadi
pendorong dan merangsang terpeliharanya kebudayaan batik itu sendiri, namun sistem hirarki dan eksploitasi batik akan memberangus khazanah budaya itu sendiri. ‘Ironi’ ini semakin dipertegas karena pembatik yang sebelumnya membuat batik dengan menuntut kedalaman intuisi pada pembuatan motifnya, kemudian digantikan (untuk tidak menyebut dipaksakan) untuk membuat motif-motif yang sebetulnya berjarak dengan imaji hidupnya: motif yang ter-influence oleh idiom kebudayaan pendatang atau kebudayaan yang jauh dari imajinasi para pembatiknya. Motif buketan diabstraksikan oleh para pengusaha sebagai motif utama pada usaha batiknya, justru tidak memiliki kedalaman mitis dan ritmis karena hanya merepresentasikan objek bunga-bunga yang tidak menampilkan kedalaman simbolisasi untuk bisa diwujudkan dalam laku spiritual membatik. Bahkan pada awal pembuatannya, motif buketan ingin menunjukkan semangat obsesi keelokan Eropa sehingga pemilihan bunga-bunganya yang tidak dapat dikenali atau dijumpai di Jawa. Termasuk ketika peranakan Tionghoa mengitroduksikan bunga dan warna yang sesuai dengan cita rasa budaya Cina pada pembuatan batik motif buketan; maupun ketika invasi Jepang 1942-1945 nuansa batiknya menonjolkan bentuk-bentuk stilisasi bungabunga yang khas negeri matahari terbit tersebut. Dekorasi buketan dalam bentuk motif batik menjadi sub paradigma baru pengembangan batik Jawa. Performa motif buketan memang sangat elok dengan isenisen yang detail dan halus dalam pengerjaannya; namun sejatinya batik tidak hanya
14
dinilai berdasarkan tingkat presisi antara motif dengan objek yang dijadikan model, tetapi juga ditentukan oleh irama jiwa sang pembatik. Pembatik yang sejatinya menjadi kuasa bagi hasil kreasinya, kemudian terkonstruksi oleh koordinasi pengusaha yang melegalkan motif buketan sebagai motif yang laku dipasaran. Dalam pembuatan motif buketan, pembatik mengalami peristiwa spiritual batik yang berbeda karena tidak mengeluarkan gaung ritual pembatikan yang ada sebelumnya. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Karl Marx (1844) bahwa dengan adanya komersialisasi, buruh mendapati dirinya memiliki hubungan yang asing dengan objek kerjanya. Buruh kembali mengalami keterasingan ketika ia mengerahkan dirinya pada kerja dan berimbas semakin berkuasanya objek asing yang melampaui dunia internalnya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pembatik yang membuat batik motif buketan sesungguhnya termarjinalkan oleh produksi yang menjauhkan diri dari tradisi. Maka hingga kini, para pengusaha batik di Pekalongan sesungguhnya tidak sedang menyajikan bentuk kebudayaan dalam berkesenian, namun hanya berstrategi dengan kondisi materialistis dan menggunakan batik sebagai medianya. Mereka ini juga telah dibekali dengan modal ekonomi dan politik, untuk melanggengkan kuasa, termasuk didalamnya membangun kerangka identitas kolektif batik Pekalongan. Sedangkan pembatik meski terkooptasi, menguasai modal kultural pembatikan yang bahkan mampu menunjukkan sikap untuk menundukkan kesulitan-kesulitan dalam pembuatan motif buketan yang jauh dari konstruksi hidupnya. Pembatik dengan demikian melakukan atau membuat batik motif buketan sebagai bentuk berkesenian meski pada tataran kesadaran semu agar dapat survive atau untuk mencollect materi bagi kehidupannya. Adanya tarik menarik antara pengusaha dengan pembatik ini menunjukkan dinamika identifikasi yang berjalan terus-menerus. Untuk tetap menunjukkan otentitas batik, serta melanggengkan batik sebagai bentuk kebudayaan Indonesia, paradigma produksi kedepannya diharapkan bisa lebih humanis terutama terhadap pembatik. Hal tersebut bisa dilakukan misalnya dengan pemberian ruang bagi pembatik untuk mengalami sendiri bentuk-bentuk kreasinya dalam pembuatan motif batik; serta memberikan kelayakan upah agar mereka dapat mengandalkan batik sebagai ladang penghidupannya.
15
Kesimpulan Pembentukan selera atas motif buketan menunjukkan terjadinya perubahan pengalaman membatik baik dari penampilan maupun pengalaman pengerjaannya. Keterlibatan wanita Indo dalam membuat batik motif buketan hanya terbatas pada pembentukan ide motif saja atau tidak pada tataran imaji teknik pembuatannya atau terlibat membatik canting. Mereka membentuk kelompok pengusaha atau juragan yang memiliki modal untuk mendayakan masyarakat pribumi dalam industrialisasi batik dengan pengorganisasian lembaga perusahaan yang baik, eksploratif dan modern. Hal ini diikuti pengusaha dari kelompok Tionghoa yang juga menggunakan motif buketan sebagai strategi untuk melakukan pengembagan dalam kerangka bisnis karena adanya apresiasi pasar yang cukup tinggi. Selanjutnya motif buketan dilanggengkan berdasarkan atau menyesuaikan dengan proses produksi taste oleh masyarakat atau konsumennya yang sekaligus menegasikan dominasinya sebagai karakteristik batik Pekalongan Dinamika identifikasi masyarakat Pekalongan dalam menentukan diri dan lingkungannyat dibangun oleh kehadiran dan pertemuannya dengan berbagai bentuk selera yang selanjutnya dikomodifikasikan oleh kelompok masyarakatnya sendiri. Perubahan motif batik Pekalongan dengan sendirinya akan menjadi bukti bagaimana estetika terbentuk melalui ruang negosiasi sehingga merepresentasikan bentuk hibrida kebudayaan. Pekalongan menjadi field bekerjanya sistem relasi subjektif dari posisiposisi sosial yang saling berhubungan. Memalui motif buketan kita dapat melihat dinamika bekerjanya identitas: dibuat, dipakai, dieksplorasi, dan divisualisasikan untuk mengkomunikasikan tatanan sosial sehingga pada akhirnya akan menetapkan dan memperkuat bentuk identitas sosial di Pekalongan.
Daftar Pustaka: Elisbeth Locher-Scholten. 2005. Pakaian Musim Panas dan Makanan Kaleng Perempuan Eropa dan Gaya Hidup Barat di Hindia Tahun 1900-1942 dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan Henk Schulte Nordholt (Ed.). Yogyakrta: LKis. Genevieve Duggan. 2001. The Chinese Batik of Java, dalam Batik Drawn In Wax, 200 Years of Batik Art From Indonesia in The Tropenmuseum Collection, Itje van Hout (ed). Amsterdam: Royal Tropical Institute Harmen C. Veldhuisen. 1993. Batik Belanda 1830-1940, Dutch Influence in Batik from Java History dan Stories. Jakarta: Gaya Favorit. Inger McCabe Elliot. 2004. Batik Fabled Cloth of Java. Singapore: Periplus.
16
Jean Gelman Taylor. 2005. Kostum dan Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940 dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan Henk Schulte Nordholt (ed.). Yogyakrta: LKis John Storey. 1993. An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Theory. Hempstead: Harverster Wheatsheaf Campus. Karina Rima Melati. 2011 Membaca Dinamuka Identitas Sosial di Pekalongan Lewat Batik Motif Buketan (Floral Motif). Tesis Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (belum dipublikasikan) Mary Hunt Kahlenberg. 1980. “The Influence of the European Herbal on Indonesia Batik”. Indonesian Tekstil. Washington DC: The Textile Museum. Pierre Bourdieu. 1977. Outline of Theory of Practice. Cambrigde: Cambridge University Press Rens Heringa. 1996. Batik Pesisir as Mestizo Costume dalam Fabric of Enchantment: Batik from the North Coast of Java, from the the Inger McCabe Elliot Collection. Los Angeles: The Los Angeles County Museum of Art. Robyn Maxwell. 2003. Textile of Southeast Asia, Tradition, Trade and Transformation. Australia: Australian National Library Santosa Doellah. 2001. Batik Pengaruh Zaman dan Lingkungan. Surakarta: Batik Danar Hadi Ulbe Bosma dan Remco Raben. 2008. Being “Dutch” in The Indies,, A History of Creolisation and Empire 1500-1920. Singapore: NUS Press. Walter Benjamin. 1999. The Work of Art in the Age of Mecanical Reproduction dalam Visual Culture the Reader, Jecica Evans dan Stuart Hall (ed.) London: Sage Publication.
17