Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
EFISIENSI BIAYA PENANGANAN FEEDSTOCK DALAM DISTRIBUSI SOLAR-INDUSTRI DENGAN METODE DISTRIBUTION REQUIREMENT PLANNING Dewi Shintya Pratiwi1 dan Yudha Prambudia2 Laboratorium Perancangan dan Optimasi Sistem Industri Jurusan Teknik Industri – Universitas Widyatama email:
[email protected] ;
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mencari pola pemompaan baru distribusi solar-industri dari Terminal Transit ke Depot Penerima yang dapat mengurangi biaya penanganan feedstock. Hal ini penting dilakukan karena sistem distribusi saat ini (product to product pumping) dengan pola pemompaan 4:8:4, yaitu dalam satu bulan dilakukan empat kali pemompaan premium, delapan kali pemompaan kerosene, dan empat kali pemompaan solar, mengakibatkan biaya feedstock yang cukup besar. Pendekatan yang dipilih untuk mengatasi masalah diatas adalah metode Distribution Requirement Planning (DRP). Keluaran dari metode ini adalah jumlah dan jadwal kebutuhan dari setiap tingkatan permintaan (depot penerima dan perusahaan industri), dengan mempertimbangkan fluktuasi permintaan, waktu ancang pemesanan, ukuran lot pemesanan, cadangan pengaman dan persediaan yang ada. Keluaran DRP ini menjadi dasar penentuan pola pemompaan usulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola pemompaan usulan, 3:6:3,dapat memberikan penghematan biaya feedstock yang signifikan Kata kunci : Solar Industri, Distribusi, Pola Pemompaan
PENDAHULUAN Efektifnya proses penyaluran produk merupakan salah satu hal yang cukup mempengaruhi pelayanan terhadap konsumen. Dapat dikatakan bahwa kesalahan dalam kebijakan penentuan perencanaan persediaan dan proses pendistribusian akan berakibat buruk bagi suatu perusahaan, karena menyangkut kepuasan konsumen dalam mendapatkan produk yang diharapkan dengan cepat dan tepat. Penempatan produk yang tidak tepat atau berlebihan pada salah satu distributor dapat menyebabkan kekurangan persediaan pada distributor lainnya. Masalah yang timbul bukan hanya penentuan besarnya persediaan , akan tetapi meliputi waktu ancang pemesanan, jumlah, dan waktu pemesanan produk. Penelitian ini membahas pola pemompaan (batching program) solar-industri pada sistem product to product pumping yang meliputi penentuan jadwal dan jumlah solar-industri yang dipesan dari setiap perusahaan industri ke setiap depot dan dari tiap depot ke pusat distribusi. Kriteria yang digunakan adalah pola pemompaan solarindustri untuk mengurangi biaya penanganan feedstock. Selama ini pihak produsen produk menggunakan suatu sistem pendistribusian solar-industri untuk pelanggannya berdasarkan pengalaman. Proses pengendalian solar-industri lebih diserahkan kepada mekanisme pasar berdasarkan permintaan dan penawaran. Apabila pemesanan oleh beberapa pelanggan dilakukan serentak dalam waktu yang sama, maka pemesanan akan
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
diproses berdasarkan urutan dari nomor pemesanan tersebut dan dipenuhi selama depot mempunyai persediaan yang cukup. METODE Menurut Martin (1995), Distribution Requirement Planning (DRP) adalah proses manajemen untuk menentukan kebutuhan pada suatu lokasi dan memastikan sumber atau lokasi tersebut dapat memenuhi permintaan. Sistem DRP yang baik akan mempunyai kemampuan pengelolaan dalam persediaan terutama pada bidang pengiriman. DRP akan selalu berusaha untuk dapat menyeimbangkan antara pasokan material dengan kebutuhan produksi, melakukan pengirman persediaan kepada pelanggan dengan efektif. Sebagai tambahan, DRP juga diharapkan dapat melakukan penghematan biaya logistik yang signifikan melalui perencanaan kapasitas transportasi secara agregat dan penugasan pengiriman yang efektif dan efisien. DRP timbul karena adanya keingianan untuk meningkatkan performance dari suatu jaringan distribusi. Tujuan utama DRP adalah untuk menyeimbangkan persediaan pada semua tingkatan didalam jaringan distribusi. HASIL DAN DISKUSI Struktur distribusi merupakan aliran distribusi mulai dari pusat distribusi sampai ke distributor paling dekat dengan konsumen. Pertamina UPMS III Cabang Bandnung mengkoordinasikan depot-depot yang ada di sebagian Jabar. Pusat distribusi TT (Terminal Transit) Cilacap selanjutnya menyalurkan BBM melalui pipa CB (CilacapBandung) ke depot Tasikmalaya, depot Ujung Berung dan depot Padalarang. Dari tiap depot inilah BBM (Premiun, Kerosene, Solar/PKS) akan didistribusikan ke masingmasing perusahaan dan SPBU yang tersebar di daerah cakupannya masing-masing melalui transportasi darat. Sistem transportasi BBM melalui pipanisasi CB saat ini digunakan untuk tiga jenis produk, yaitu premium, kerosene, dan solar untuk industri dengan sistem product to product pumping. Pada sistem ini, didalam satu pipa CB mengalir tiga jenis produk yang dipompakan langsung dari pusat distribusi TT Cilacap. Dimana kerosene sebagai produk penyekat antara premium dan solar. Dengan sistem product to product pumping, terjadi pertemuan antara satu jenis produk BBM dengan jenis produk BBM lainnya di dalam pipa. Pertemuan antara dua jenis produk BBM ini dinamakan interface.Interface (1990, Pertamina) selalu terjadi pada sistem product to product pumping, karena pada sistem ini terdapat beberapa batch (volume satu jenis produk BBM yang akan dipompakan dari TT Cilacap). Interface terjadi secara alamiah, bukan faktor disengaja. Pipa CB-I dan CB-II digunakan untuk penyaluran semua jenis BBM. Untuk penyaluran BBM dari TT Cilacap menuju depot Padalarang menggunakan pipa CB-I diameter 10 inchi dengan perbandingan prioritas solar untuk SPBU dengan solar industri 70:30. Begitu pula dengan pipa CB-II dapat digunakan untuk semua jenis BBM melalui depot Tasikmalaya dan Ujung Berung, tetapi produk solar depot Ujung Berung lebih diprioritaskan untuk perusahaan industri. Ilustrasi terjadinya interface pada sistem product to product pumping di pipa CB dapat dilihat pada Gambar 1.
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-7-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
KEROSENE
INTERFAC E
PREMIUM
INTERFAC E
INTERFAC E
KEROSENE
KEROSENE
PIPA CB-II INTERFAC E
KEROSENE
SOLAR
Gambar 1. Ilustrasi Terjadinya Interface
Sistem pipanisasi ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan satu lokasi saja, tetapi harus mampu memenuhi kebutuhan beberapa lokasi yang dilaluinya. Untuk jaringan pipanisasi CB-II harus bisa memenuhi kebutuhan depot Tasikmalaya, Ujung Berung, dan Padalarang. Interface pada transportasi BBM melalui pipa dengan menggunakan sistem product to product pumping tidak bisa dihindari. Pada jalur pipa CB terjadi interface yang terdiri dari: 1. Interface A, campuran antara premium dan kerosene yang kemudian disimpan ditangki feedstock A. 2. Interface B, campuran antara kerosene dan solar yang kemudian disimpan ditangki feedstock B. Dalam jalur pipa CB-II akan terjadi interface (terdiri dari interface A dan B) mulai dari TT Cilacap sampai Bandung. Saat ini pola pemompaan yang sedang berjalan di Pertamina, yaitu per bulan 16 kali yang terdiri dari: 4 kali pompa premium, 8 kali pompa kerosene dan 4 kali pompa solar dari TT Cilacap, sehingga interface rata-rata per bulan yang terjadi adalah 16 kali dengan rata-rata volume 45 Kl dan volume interface yang terjadi sebesar 16 x 45 = 720 Kl. Jika pola pemompaan per bulan dirubah menjadi berjumlah 12 kali yang terdiri dari: 3 kali pompa premium, 6 kali pompa kerosene dan 3 kali pompa solar dari TT Cilacap, sehingga feedstock rata-rata per bulan yang terjadi 12 kali dengan rata-rata volume 45 Kl. Pada kondisi ini, volume interface atau feedstock yang terjadi adalah 12 x 45 = 540 Kl. Pola pemompaan ini menyebabkan berkurangnya volume feedstock yang berarti berkurangnya pula biaya pengembalian feedstock ke Unit Pengolahan (UP) IV Cilacap dan biaya rework-nya (pengerjaan ulang feedstock menjadi produk yang diinginkan). Pola pemompaan dengan perbandingan premium:kerosene:solar = 4:8:4 dari hasil perhitungan Tabel DRP ditunjukkan sebagai berikut: Volume Premium rata-rata per batch: Tasikmalaya = 9814 : 4 = 2454 Kl Dibulatkan Ujung Berung = 45248 : 4 = 11312 Kl Dibulatkan Jumlah Volume Kerosene rata-rata per batch: Tasikmalaya = 59360 : 8 = 7420 Kl Dibulatkan Ujung Berung = 84432 : 8 = 10554 Kl Dibulatkan Jumlah
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-7-3
= 2500 Kl = 11350 Kl = 13850 Kl = 7450 Kl = 10600 Kl = 18050 Kl
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
Volume Solar rata-rata per batch: Tasikmalaya = 748 : 4 = Ujung Berung = 9008 : 4 =
196 2252
Kl Dibulatkan = Kl Dibulatkan = Jumlah =
200 2300 2500
Kl Kl Kl
Pola pemompaan dengan perbandingan premium:kerosene:solar = 3:6:3 dari hasil perhitungan Tabel DRP ditunjukkan sebagai berikut: Volume Premium rata-rata per batch: Tasikmalaya = 9814 : 3 = 3271,33 Kl dibulatkan UjungBerung = 45248 : 3 = 15082,67 Kl dibulatkan Jumlah Volume Kerosene rata-rata per batch: Tasikmalaya = 59360 : 6 = 9893,33 Kl dibulatkan UjungBerung = 84432 : 6 = 14072 Kl dibulatkan Jumlah Volume Solar rata-rata per batch: Tasikmalaya = 748 : 3 = UjungBerung = 9008 : 3 =
261,33 3002,67
= 3300 Kl = 15100 Kl = 18400 Kl = 9900 Kl = 14100 Kl = 24000 Kl
Kl dibulatkan = 270 Kl Kl dibulatkan = 3010 Kl Jumlah = 3280 Kl Jumlah volume produk diperoleh dari data object thruput depot penerima, kecuali jumlah volume solar diperoleh dari perhitungan DRP. Pembagi merupakan jumlah batch produk yang dipompakan dari pusat distribusi TT Cilacap. Dari perhitungan volume produk rata-rata tersebut dapat diperoleh pola pemompaan, dimana terdapat informasi mengenai jenis, jumlah dan waktu pengiriman masing-masing produk. Pada perhitungan pola pemompaan 4:8:4 terjadi jumlah susunan pola pemompaan sebanyak 16 kali, sedangkan pola pemompaan 3:6:3 jumlah susunan pola pemompaan, yaitu 12 kali. Apabila jumlah feedstock rata-rata yang terjadi sebesar 45 Kl, maka volume feedstock mengalami penurunan dari (16 x 45 Kl = 720 Kl) menjadi (12 x 45 = 540 Kl) atau berkurang 180 Kl. Volume feedstock yang 180 Kl ini jika dikirim kembali ke UP-IV Cilacap untuk dicampur dengan produk murni memerlukan mobil tangki sebanyak 11 kali pengiriman. Dari hasil perhitungan DRP diperoleh kebutuhan solar untuk depot Tasikmalaya dan depot Ujung Berung. Dalam proses penjadwalan BBM melalui pipa ini, kita dihadapkan pada kondisi pemompaan sistem product to product pumping, dimana interface tidak dapat dihindari. Interface tersebut harus dikembalikan ke UP-IV Cilacap untuk dikerjakan ulang yang tentunya memerlukan biaya tambahan yang cukup banyak. Untuk itu interface harus dapat ditangani secara optimal. Salah satu cara, yaitu dengan meminimasi biaya yang ditimbulkan dari sistem ini. Sistem product to product pumping di Pertamina saat ini menggunakan pola pemompaan P:K:S dengan 4:8:4. Pada sistem batch usulan 3:6:3 dapat mengurangi volume interface. Dari kedua alternatif ini dengan menggunakan perhitungan berdasarkan hasil DRP, maka diketahui pola pemompaan 3:6:3 telah menghasilkan penghematan biaya penanganan feedstock. Pola pemompaan P:K:S = 4:8:4 menyebabkan beberapa hal sebagai berikut: a. Feedstock yang terjadi sebanyak 16 x 45 = 720 Kl b. Biaya transportasi ke Cilacap dengan mobil tangki ukuran 16 Kl, yaitu sebanyak 45 kali, berarti diperlukan biaya pengembalian sebanyak:
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-7-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
45 x biaya transportasi (Rp. 2.590.000,-) = Rp. 116.550.000,c. Biaya pengerjaan ulang (rework) sebanyak: 720.000 liter x biaya rework (35% dari harga produk) Jadi diperlukan biaya sebesar: 720.000 liter x 35% x Rp. 13.254,29,-/liter, yaitu Rp.3.340.081.080,d. Biaya pesan, yaitu: 16 x biaya pesan = 16 x Rp. 200.000,- = Rp. 3.200.000,Jadi total biaya yang diperlukan dengan pola pemompaan P:K:S = 4:8:4, yaitu Rp. 3.459.831.080,Pola pemompaan P:K:S = 3:6:3 menyebabkan beberapa hal sebagai berikut: a. Feedstock yang terjadi sebanyak 12 x 45 = 540 Kl b. Biaya transportasi ke Cilacap dengan mobil tangki ukuran 16 Kl, yaitu sebanyak 34 kali, berarti diperlukan biaya pengembalian sebanyak: 34 x biaya transportasi (Rp. 2.590.000,-) = Rp. 88.060.000,c. Biaya pengerjaan ulang (rework) sebanyak: 540.000 liter x biaya rework (35% dari harga produk) Jadi diperlukan biaya sebesar: 540.000 liter x 35% x Rp. 13.254,29,-/liter, yaitu Rp. 2.505.060.810,d. Biaya pesan, yaitu: 12 x biaya pesan = 12 x Rp. 200.000,- = Rp. 2.400.000,Jadi total biaya yang diperlukan dengan pola pemompaan P:K:S = 4:8:4, yaitu Rp. 2.595.520.810,Jika dilihat dari proses perhitungan diatas, maka perubahan pola pemompaan untuk P:K:S dari 4:8:4 menjadi 3:6:3 akan diperoleh beberapa penghematan. Perbandingan biaya berdasarkan pola pemompaan ini ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan Biaya Berdasarkan Pola Pemompaan
No Keperluan 1 Biaya transportasi 2 Biaya rework 3 Biaya pesan Jumlah
Pola 4:8:4 Rp.116.550.000,Rp.3.340.081.080,Rp.3.200.000,Rp.3.459.831.080,-
Pola 3:6:3 Rp.88.060.000,Rp.2.505.060.810,Rp.2.400.000,Rp. 2.595.520.810,-
Perubahan pola pemompaan dari 4:8:4 menjadi 3:6:3 akan memberikan penghematan sebesar (Rp. 3.459.831.080 - Rp. 2.595.520.810) = Rp. 864.310.270,- per bulan. Nilai keekonomisan ini untuk satu bulan. Nilai ini cukup signifikan dan berarti bagi Pertamina. KESIMPULAN Dari penggunaan metode DRP dapat diketahui jumlah dan jadwal kebutuhan solar-industri dari berbagai tingkatan distributor. Mulai dari perusahaan industri sebagai konsumen terakhir sampai ke level distributor diatasnya, yaitu kebutuhan tiap depot. Dari hasil perhitungan penggunaan pola pemompaan 3:6:3 mengakibatkan bertambahnya volume BBM di depot penerima, tetapi hal ini dapat diantisipasi dengan melakukan realokasi tetap tangki timbun yang kelebihan ruangan. Realokasi tangki timbun dapat dilakukan dengan proses tank cleaning terlebih dahulu pada tangki timbun yang dialihfungsikan. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya investasi pembuatan tangki timbun baru juga dari segi waktu, karena proses tank cleaning hanya memerlukan waktu ± 2 bulan. Proses ini juga berfungsi untuk pemeliharaan dan
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-7-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi X Program Studi MMT-ITS, Surabaya 1 Agustus 2009
perbaikan tangki timbun, sehingga biaya yang ditimbulkan dari proses ini dimasukkan dalam biaya pemeliharaan tangki timbun yang sifatnya tetap (tidak dapat diminimasi karena alokasi biaya pemeliharaan tangki timbun tetap) Dari kedua pola pemompaan ini, diperoleh cara yang lebih baik dari segi biaya, yaitu penggunaan pola pemompaan 3:6:3 untuk premium:kerosene:solar. Pola pemompaan ini dapat meminimasi biaya pengananan feedstock yang ada. DAFTAR PUSTAKA Martin, A J., DRP: Distribution Requirement Planning, Revised Edition, John Willey & Sons. Inc, Newyork, 1995. Rangkuti, F., Manajemen Persediaan, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 1995. Richard J. Tarsine, Principles of Inventory and Material Management, Third Edition, Elsevier Science Publishing, USA, 1988. Pertamina, Panduan Suplai dan Distribusi BBM, Direktorat Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri, 1990. Pertamina, Pedoman Pengendalian Mutu BBM, Dit. PPDN, 1996. Imai, Masaaki, Kaizen, PPM, 1996. Vilale, J. David., Dasar-dasar Manajemen Sediaan: dari Gudang ke Pusat Distribusi, PPM, 1996. Indrajit, R. E., dan R. Djokopranoto, Konsep Manajemen Supply Chain: Cara Baru Memandang Mata Rantai Penyedia Barang, Grasindo, 2002.
ISBN : 978-979-99735-8-0 A-7-6