EFEKTIVITAS SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 9 DAN NO. 8 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT
Editor
Dra. Kustini, M.Si.
Penulis: Dr. Ir. Sumaryo Gs, M.Si. Dra. Kustini, M.Si. Dr. M.O. Royani, M.Si.
DEPARTEMEN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 2009
i
EFEKTIVITAS SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI NO. 9 DAN NO. 8 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT Editor
Dra. Kustini, M.Si.
Penulis: Dr. Ir. Sumaryo Gs, M.Si. Dra. Kustini, M.Si. Dr. M.O. Royani, M.Si. Tim Peneliti:
Ahmad Syafi’i M. ● Akmal Salim Ruhana ● Bashori A. Hakim● Haidlor Ali Ahmad ● Fakhrudin ● Ibnu Hasan Muchtar ● Imam Syukani ● Kustini ● Lastriyah ● Mulyadi ● Mursyid Ali ● Reslawati ● Reza Perwira ● Suhanah ● titik Suwariyati ● Zaenal Abidin ●
PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN BADAN LITBANG DAN DIKLAT DEPARTEMEN AGAMA REPUBLIK INDONESIA 2009
ii ii
iii iii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT DEPARTEMEN AGAMA RI
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Efektivitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat Cet. 1.— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2009 xix + 236 hlm; 15 x 21 cm. ISBN : 978-979-18628-9-9 Hak cipta pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit. Cetakan pertama, Oktober 2009 Editor : Dra. Hj. Kustini, M.Si. Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan layout oleh : Suka, SE Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal
Komplek Taman Mini Indonesia Indah Telp./Fax. (021) 87790189 Jakarta Dicetak oleh CV PRASASTI iv iv
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (sering disingkat dengan sebutan PBM) merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama. Salah satu faktor yang menjadi latar belakang terbitnya PBM tersebut adalah sebagai respon atas beberapa permasalahan yang timbul di masyarakat khususnya terkait dengan masalah pendirian rumah ibadat. Sesuai judulnya, PBM merupakan pedoman bagi para kepala daerah/wakil kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Hal ini penting ditegaskan karena dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, agama tidak termasuk yang diotonomikan. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah masalah kerukunan umat beragama bukan menjadi kewajiban kepala daerah? PBM ini menegaskan bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah juga kewajiban pemerintah daerah karena pemeliharaan kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional yang menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 22 adalah tugas daerah. Sebagai sebuah kebijakan pemerintah, maka PBM ini harus segera disosialisasikan agar dapat dipahami dan dijadikan pedoman khususnya oleh para kepala/wakil kepala daerah. Kami menyambut baik penerbitan buku ini yang vi
v v
diangkat dari hasil penelitian tentang sosialisasi Peraturan Bersama tersebut. Meskipun sosialisasi baru dilakukan di beberapa tempat dengan peserta terbatas, namun berdasarkan perhitungan statistik, sebagaimana dapat dilihat dari hasil penelitian, ternyata sosialisasi memberi pengaruh yang cukup signifikan bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu ke depan program-program terkait dengan sosialisasi harus terus dilakukan dengan meminimalisasi kekurangan yang ada pada sosialisasi sebelumnya. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT Tuhan Yang Maha Kuasa kami senantiasa memohon bimbingan dan petunjuk agar kehidupan bangsa ini semakin harmonis dan damai. Jakarta, Oktober 2009 Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama,
Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar NIP. 19481020 196612 1 001
vi
vii
PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Puji syukur kepada Allah SWT karena hanya dengan rakhmat dan karuniaNya maka penerbitan buku ini dapat diselesaikan. Kami menyambut baik penerbitan buku ini sebagai upaya sosialisasi hasil-hasil penelitian dan pengembangan. Sebagai sebuah lembaga penelitian di lingkungan instansi Departemen Agama, maka penerbitan hasil-hasil penelitian dalam bentuk buku merupakan salah satu kegiatan yang perlu terus dilakukan. Melalui penerbitan buku seperti ini, para peneliti telah memenuhi salah satu tanggung jawab akademiknya yaitu menyosialisasikan hasilhasil penelitiannya sehingga dapat bermanfaat secara lebih luas. Pada tahun 2006 Menteri Agama RI mengeluarkan beberapa kebijakan penting terkait dengan kehidupan keagamaan antara lain penerbitan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Jika dilihat dari proses sampai terbitnya kebijakan itu, maka peran Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, khususnya Puslitbang Kehidupan Keagamaan sangat signifikan. Kebijakan itu berawal dari hasil kajian yang dilakukan di Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Oleh karena itu, tindak lanjut pasca penerbitan kebijakan Menteri Agama tersebut merupakan program yang sama pentingnya dengan proses penyusunan sampai terbitnya peraturan tersebut. Kebijakan Menteri Agama yang didasari kajian atau hasil penelitian merupakan satu indikasi bahwa lembaga atau viii
vii
unit penelitian seperti Puslitbang Kehidupan Keagamaan memiliki peran strategis dalam menyiapkan data atau informasi bagi pimpinan di Departemen Agama. Oleh karena itu kami mengharapkan ke depan seluruh jajaran di Puslitbang Kehidupan Keagamaan merencanakan kegiatankegiatan strategis lainnya, baik berupa penelitian maupun kajian atau pengembangan, yang secara langsung dapat dijadikan bahan bagi penyusunan kebijakan pimpinan. Penelitian tentang Efektivitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri kami anggap merupakan satu tindaklanjut yang baik setelah dilakukan sosialisasi PBM. Melalui penelitian ini diketahui secara statistik bahwa sosialisasi memberi pengaruh yang cukup signifikan sebesar 17,4%. Oleh karena itu, sebagaimana yang direkomendasikan dari hasil penelitian, ke depan sosialisasi harus terus dilakukan dengan diversifikasi metode atau cara penyampaian materi sehingga lebih efektif. Kami berharap hasil penelitian itu dapat terus ditindaklanjuti dalam program-program yang lebih terarah. Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama atas segala arahannya. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi kontribusi bagi kelancaran penerbitan buku ini. Jakarta, Oktober 2009 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416198903 1 005
viii
ix
CATATAN EDITOR Buku yang ada di hadapan pembaca ini merupakan salah satu naskah yang berasal dari hasil penelitian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2006. Dilihat dari judulnya yaitu Efektivitas Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, maka bisa diketahui bahwa buku ini merupakan hasil penelitian evaluatif terhadap salah satu kebijakan pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, yang diwujudkan dalam Peraturan Bersama. Bagi Puslitbang Kehidupan Keagamaan, penelitian tentang Efektivitas Sosialisasi Peraturan Bersama ini memiliki makna penting setidaknya karena tiga hal. Pertama, Peraturan Bersama lahir sebagai tindak lanjut dari kajian yang dilaksanakan Puslitbang Kehidupan Keagamaan terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/mdn-mag/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. Simpulan hasil kajian yang menyatakan bahwa SKB Nomor 1 Tahun 1969 mengandung banyak kelemahan dan multi tafsir. Oleh karena itu perlu disusun peraturan penggantinya yang kemudian disepakati diterbitkan Peraturan Bersama. Kedua, Puslitbang Kehidupan Keagamaan merasa perlu untuk memantau perkembangan dan implementasi PBM di daerah yang akan menjadi bahan penyusunan kebijakan terkait dengan masalah PBM. Hasil pantauan itu akan menjadi bahan masukan untuk menyusun x
ix
strategi dan berbagai kebijakan agar PBM dapat menjadi acuan di daerah dalam hal pemeliharaan kerukunan umat beragama. Ketiga, dari segi metodologi, penelitian ini merupakan implementasi dari kebijakan teknis Kepala Badan Litbang dan Diklat dalam hal diversifikasi metode penelitian. Sebagaimana dapat dilihat dari naskah hasil-hasil penelitian sebelumnya, penelitian di Puslitbang Kehidupan Keagamaan didominasi oleh penelitian dengan pendekatan kualitatif yang bertumpu pada teori-teori antropologi. Oleh karena itu, penelitian tentan Efektivitas PBM yang menggunakan pendekatan kuantitatif memberi pengalaman tersendiri bagi para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang sedang menapak jalan menuju penguasaan metode kuantitatif dalam berbagai penelitian. Penelitian tentang Efektivitas PBM memberi pengalaman tersendiri bagi para peneliti dalam menyusun desain penelitian kuantitatif, menyusun instrument atau kuesioner yang kemudian dianalisis melalui statistik serta melakukan keseluruhan tahapan penelitian kuantitatif secara terstruktur. Meskipun hanya menggunakan statistik sederhana yaitu regresi tetapi cukup untuk menjadi alat uji sehingga pada akhir penulisan laporan disimpulkan bahwa sosialisasi PBM berpengaruh secara nyata terhadap kerukunan umat beragama sebesar 17,4%. Untuk sebuah fenomena sosial tentu angka tersebut cukup tinggi sebab sebagaimana kita ketahui bahwa setiap gejala atau fenomena sosial diperngaruhi oleh banyak faktor. Dalam kaitannya dengan fenomena kerukunan atau ketidakrukunan umat beragama, secara umum ada dua faktor yang mempengaruhi yaitu faktor keagamaan dan non keagamaan. Faktor keagamaan adalah doktrin-doktrin agama yang mengajarkan kepada umatnya untuk meyakini bahwa x
xi
agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling benar sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah agama lain. Di samping itu ada faktor keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat beragama yaitu masalah penyiaran agama, bantuan keagamaan dari luar negeri, perkawinan antar pemeluk agama berbeda, pengangkatan anak, pendidikan agama, perayaan hari besar keagamaan, perawatan dan pemakaman jenazah, penodaan agama, kegiatan kelompok sempalan, transparansi informasi keagamaan, dan masalah pendirian rumah ibadat (Muhammad M. Basyuni, Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama). Jika dikaitkan dengan manfaat sosialisasi PBM, yang isinya antara lain terkait dengan masalah pendirian rumah ibadat, maka pengaruh sebesar 17,4%, merupakan angka yang cukup signifikan untuk menciptakan kerukunan. Kegiatan penelitian sampai tersusunnya buku ini merupakan proses yang cukup panjang dan melibatkan banyak pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih khususnya kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama serta Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang telah memberi arahan terhadap kegiatan penelitian ini serta dalam berbagai kesempatan telah menyosialisasikan hasil penelitian ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Sumaryo Gs, M.Si. dan Dr. M. O. Royani, M.Si. yang telah membantu hampir keseluruhan proses penelitian ini sampai dengan proses penyusunan naskah buku ini. Terima kasih kepada seluruh tim peneliti lapangan yang telah mengumpulkan data dan memberikan masukan untuk penyusunan buku ini.
xii
xi
Akhirnya, kami memohon kepada Allah SWt semoga usaha penerbitan buku hasil penelitian ini dapat memberi makna bagi peningkatan kehidupan keagamaan yang lebih humanis dan dinamis serta berkeadaban.
DAFTAR ISI Halaman SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT DEPARTEMEN AGAMA RI .......................
Jakarta, Oktober 2009 Editor
v
PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KE-
Kustini
AGAMAAN ..........................................................................
vii
CATATAN EDITOR .....................................................
ix
DAFTAR ISI ...................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ............................................................
xvi
ABSTRAK ....................................................................... xvii BAB
BAB
xii
xiii
xiv
I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...................................... B. Masalah Penelitian ................................ C. Tujuan ....................................................
II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka .................................. 1. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perubahan Perilaku ........... 2. Aspek Perilaku dan Perubahannya 3. Teori Peran ...................................... 4. Diseminasi Informasi ..................... 5. Dinamika Kelompok/Organisasi ... 6. Kerukunan Umat Bergama ............ B. Kerangka Berpikir ................................. C. Hipotesis ................................................
1 3 5
7 7 17 19 20 21 25 26 28
xiii
BAB
BAB
xiv
III METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel ............................ B. Rancangan Penelitian .......................... C. Data dan Instrumentasi ........................ D. Validasi dan Reliabilitas Pengukuran . E. Pengumpulan Data ............................... F. Analisis Data ......................................... IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ..................... B. Persepsi Masyarakat terhadap Sosialisasi PBM ...................................... C. Tingkat Pengetahuan tentang PBM ..... D. Derajat Sikap terhadap PBM ................ E. Diseminasi Informasi ............................ F. Peraturan Gubernur terkait PBM ........ G. Peran Pemda dalam KUB ..................... H. Peran Majelis Agama dalam KUB ....... I. Dinamika FKUB .................................... J. Pemenuhan Syarat Pendirian Rumah Ibadat ..................................................... K. Tingkat Toleransi Antar Umat Beragama ............................................... L. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi tentang Sosialisasi PBM dan Perilaku Penerapan PBM ..... M. Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Persepsi tentang Sosialisasi PBM dan Perilaku Penerapan PBM ..... N. Pengaruh Persepsi terhadap Perilaku Penerapan PBM .....................................
O. Pengaruh Perilaku Penerapan PBM terhadap Manfaat Sosialisasi PBM ...... P. Pengaruh Manfaat Sosialisasi PBM terhadap Kerukunan Umat Beragama Q. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Tujuan Sosialisasi PBM ....
31 32 32 33 33 34
BAB
35 38 39 40 42 44 45 47 48
63 64 65
V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ........................................... B. Rekomendasi .........................................
70 71
DAFTAR PUSTAKA ......................................................
74
LAMPIRAN 1 PROPOSAL PENELITIAN ................
77
LAMPIRAN 2 CATATAN HASIL WAWANCARA DAN PENGAMATAN ...................... 107 LAMPIRAN 3 KUESIONER PENELITIAN ..............
211
49 50
52
57 59 xv
xvi
xv
ABSTRAK
DAFTAR TABEL No. Tabel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
xvi
Judul
Halaman
Populasi dan Sampel Rataan Karakteristik Responden Sebaran Persepsi Responden Terhadap Sosialisasi PBM Tingkat Pengetahuan Responden tentang PBM Derajat Sikap Responden terhadap PBM Diseminasi Informasi PBM Keberadaan Peraturan Gubernur tentang PBM Peranan Pemda dalam KUB Peran Majelis Agama dalam KUB Dinamika FKUB Pemenuhan Syarat Pendirian Rumah Ibadat Tingkat Toleransi Antar Umat Beragama Nilai Korelasi antar Variabel Penelitian Korelasi antar Karakteristik dengan Persepsi dan Perilaku Pengaruh antar Variabel
31 35 38 39-40 40-41 42 44-45 46 47 48 49-50 51-52
Salah satu isu penting dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah pendirian rumah ibadat. Memperhatikan hal tersebut, diterbitkan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat. PBM tersebut telah diperkenalkan kepada masyarakat melalui kegiatan sosialisasi. Sejak mulai disosialisasikan sekitar satu tahun yang lalu, belum pernah ada umpan balik yang dapat menjelaskan bagaimana pencapaian tujuan sosialisasi tersebut. Untuk itu dilakukan penelitian evaluatif yang bersifat dekriptif dan korelasional untuk (1) mendeskripsikan, menentukan hubungan dan pengaruh peubah karakteristik responden (X1), persepsi responden terhadap sosialisasi PBM (X2), perilaku penerapan PBM (Y1), manfaat sosialisasi (Y2), kerukunan umat beragama (Y3); (2) mengidentifikasi faktor-faktor penentu efektivitas sosialisasi PBM; (3) merumsukan strategi sosialisasi yang efektif. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli – Agustus 2007 di 13 kota pada 13 provinsi yaitu Medan, Pekanbaru, Padang, Pangkal Pinang, Semarang, Denpasar, Banjarmasin, Palangkaraya, Pontianak, Ambon, Gorontalo, Mataram, Makassar. Data primer diolah dari 259 orang responden yang pernah mengikuti sosialisasi PBM yang diselenggarakan oleh Departemen Agama bekerjasama dengan Departemen Dalam Negeri dan pemerintah daerah setempat. Analisis data kuantitatif yang dilengkapi oleh data kualitatif digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian.
53 55 7
xvii
xviii
xvii
Karakteristik responden; jenis kelamin laki-laki (81 %), rata-rata usia 45 tahun, berpendidikan tinggi, pekerjaan lebih banyak sebagai PNS, hampir setengahnya beragama Islam, rata-rata berpenghasilan menengah (1,7 juta rupiah). Persepsinya terhadap sosialisasi tergolong cukup; perilaku penerapan PBM untuk unsur pengetahuan tentang PBM ada dalam kategori kurang baik; sementara sikapnya lebih banyak berada pada taraf ragu untuk menerima atau menolak PBM; manfaat sosialisasi untuk unsur diseminasi informasi, keberadaan peraturan gubernur, peran pemda dan majelis agama, dinamika Forum Komunikasi Umat Beragama berada dalam kategori sedang; kondisi kerukunan umat beragama yang dilihat berdasarkan pemenuhan syarat pendidirian rumah ibadat dan toleransi antar umat beragama dapat digolongkan sedang mengarah ke kurang baik. Karakteristik responden tidak berhubungan nyata dengan persepsi tentang sosialisasi, dan berhubungan sangat nyata dengan perilaku penerapan responden. Persepsi berhubungan nyata dengan perilaku penerapan responden. Perilaku tersebut berpengaruh sangat nyata sebesar 4,7 % terhadap manfaat sosialisasi. Manfaat sosialisasi PBM berpengaruh sangat nyata sebesar 17,4% terhadap kerukunan umat beragama.
melakukan sosialisasi lanjutan kepada khalayak luas; belum semua provisni mempunyai peraturan gubernur tentang FKUB dan dewan penasehatnya. Strategi sosialisasi yang efektif bertumpu pada non segmentasi subyek sosialisasi; menggunakan pendekatan beragam melalui media massa, kelompok, keluarga dan sekolah; merancang kurikulum secara lengkap; memilah dan menyesuaikan materi dengan subyek sosialisasi, variasi metode dan media belajar; evaluasi formatif dan sumatif.
Kata Kunci: sosialisasi, perilaku, kerukunan umat beragama, pendirian rumah ibadat.
Faktor pendukung efektivitas sosialisasi adalah kerjasama antara Depag dengan Depdagri, dukungan majelis agama, ketersediaan program dan dukungan sumber daya pada pemerintah pusat, fasilitator menguasai materi dengan baik. Sedangkan penghambatnya antara lain subyek sosialisasi masih tersegmentasi untuk laki-laki, pegawai negeri sipil, tokoh agama, berpendidikan tinggi; kurang variasi metode; masih menggunakan pendekatan tunggal melalui kelompok; belum didisain untuk perubahan keterampilan; belum tersedia cukup sumber daya bagi eks peserta sosialisasi untuk xviii
xix
xx
xix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keragaman budaya dan agama dapat menjadi social glue dalam kehidupan bermasyarakat. Namun demikian, apabila keragaman tersebut tidak dikelola dengan arif dapat menjadi penyebab terganggunya kehidupan bermasyarakat dan beragama. Salah satu aspek yang dapat mengganggu terwujudnya kerukunan umat beragama adalah persoalan pendirian rumah ibadat. Masalah tersebut muncul antara lain karena belum adanya kejelasan mengenai persyaratan dan tata-cara pendirian rumah ibadat; proses perizinan pendirian rumah ibadat sering berlarut-larut; penyalahgunaan rumah tinggal atau bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibadat; pendirian atau keberadaan rumah ibadat yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat; pengaturan oleh masingmasing pemerintah daerah (pemda) sangat beragam, juga masih banyak pemda yang belum memiliki peraturan tentang pendirian rumah ibadat; serta kurangnya komunikasi antar pemuka agama di suatu wilayah. Dalam rangka mengatur masalah pendirian rumah ibadat, pada masa lalu Pemerintah telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintah dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. Namun demikian dalam pelaksanaan di lapangan masih tetap ditemui berbagai kendala. Hal itu terjadi karena beberapa faktor antara lain dalam SKB terdapat kalimat multitafsir sehingga tidak ada kejelasan siapa yang
xx
11
disebut pemerintah daerah, tidak adanya kejelasan siapa yang disebut “pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan untuk itu”, tidak adanya kejelasan siapa yang disebut organisasi keagamaan dan ulama/ rohaniawan setempat, serta apa yang dimaksud dengan kata-kata “planologi “ dan “kondisi & keadaan setempat”. Masalah pendirian rumah ibadat ini kembali mencuat khususnya pada akhir tahun 2004 dan awal tahun 2005. Pro dan kontra di masyarakatpun terkait keberadaan SKB Nomor 1 Tahun 1969 terlihat di berbagai media massa. Sebagian pemuka agama mengusulkan SKB Nomor 1 Tahun 1989 dicabut, sementara sebagian pemuka agama lainnya mengusulkan untuk tetap dipertahankan (lihat naskah Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006). Untuk merespon permasalahan ini, pemerintah (Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri) bersama majelis-majelis agama (MUI – PGI - KWI – PHDI - WALUBI) telah sepakat bahwa masalah pengaturan pendirian rumah ibadat yang sebelumnya berlaku, perlu ditata ulang. Melalui proses pembahasan dan dialog yang relatif intensif, serius, dan berulang-ulang, selama lebih kurang enam bulan, berhasil mencapai kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam “Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat” (PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006). Agar PBM ini diketahui, dipahami, dihayati, dan diterapkan oleh umat beragama, Pemerintah bersama dengan majelis-majelis agama, pada tahun 2006 telah melakukan 22
sosialisasi PBM baik di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Pencapaian tujuan sosialisasi tersebut perlu diketahui secara akurat sehingga dapat dinilai efektivitasnya dalam mengubah perilaku umat beragama untuk memelihara dan mewujudkan kerukunan dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan pengukuran melalui pengumpulan data sebagai bahan kajian untuk perbaikan kegiatan serupa pada masa mendatang. Berbagai informasi yang berhasil dihimpun melalui kajian ini, bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pembuat kebijakan pada instansi pemerintah dan lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di masyarakat, pemimpin organisasi keagamaan, dan pihakpihak lain yang berkepentingan, dalam rangka penyusunan kebijakan dan program untuk memelihara dan mewujudkan kerukunan umat beragama. B. Masalah Penelitian Pada tahun 2006, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama, telah melakukan sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 kepada aparat pemerintah daerah dan tokoh agama di beberapa provinsi. Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 pada dasarnya merupakan input berbentuk proses pendidikan nonformal yang berupaya mewujudkan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan pemenuhan syarat-syarat dalam pendirian rumah ibadat. Ketiga kondisi tersebut tidak dapat terwujud begitu saja, tetapi melalui serangkaian pencapaian tujuan secara bertahap yaitu output dan outcome. Output sosialisasi adalah tertanamnya nilai-nilai baru yang akan mendasari perubahan suatu perilaku umat beragama. Dengan demikian output sosialisasi PBM dapat 33
dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama, tertanamnya nilai-nilai baru dalam kerukunan umat beragama, FKUB, dan pendirian rumah ibadat. Kedua, kelompok tujuan ini dapat dirinci menjadi dua aspek perilaku: (1) terjadinya peningkatan pengetahuan tentang materi PBM yang telah disosialisasikan; dan (2) terwujudnya sikap menerima terhadap aturan PBM. Outcome sosialisasi merupakan jembatan antara output dan impact, sehingga merupakan kondisi yang harus ada agar impact dapat terwujud. Dengan demikian kategori outcome yang akan dicapai adalah: (1) terjadinya diseminasi informasi tentang PBM; (2) pembuatan dan ditetapkannya peraturanperaturan di tingkat provinsi/kabupaten/kota sebagai pendukung pelaksanaan PBM di daerah; (3) terwujudnya peran pemerintah daerah dalam penciptaan kerukunan umat beragama; (4) terwujudnya peran majelis agama dalam penciptaan kerukunan umat beragama; dan (5) terjadinya dinamika FKUB. Pascasosisalisasi PBM tersebut, belum diketahui secara jelas sejauhmana kegiatan tersebut telah mencapai tujuan (output, outcome, impact). Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang bersifat evaluatif untuk mengetahui sejauhmana pencapaian tujuan tersebut. Bila hasil kajian ternyata tujuan tercapai, berarti sosialisasi yang dilakukan sudah efektif, dan sebaliknya. Selain untuk mendapatkan informasi tentang pencapaian tujuan tersebut, dalam penelitian ini diperlukan juga informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi respon sasaran sosialisasi terhadap PBM. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor karakteristik dan persepsi terhadap sosialisasi PBM. Hal ini akan berguna untuk merumuskan strategi sosialisasi yang mampu mencapai tujuan secara optimal. 44
Selain itu diperlukan juga informasi kualitatif berupa faktor pendukung dan penghambat pencapaian tujuan sosialisasi. Dari paparan di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah pokok yang perlu dikaji: 1. Bagaimana karakteristik eks peserta sosialisasi PBM? 2. Bagaimana persepsi eks peserta terhadap sosialisasi PBM? 3. Sejauhmana pengetahuan dan sikap eks peserta sosialisasi PBM tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan persyaratan pendirian rumah ibadat? 4. Apa dan seberapa besar kontribusi sosialisasi PBM terhadap kerukunan umat beragama? 5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian tujuan sosialisasi PBM? C. Tujuan Selaras dengan permasalahan yang telah teridentifikasi di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan karakteristik responden, persepsi tentang sosialisasi, perilaku eks peserta sosialisasi dalam penerapan PBM, manfaat sosialisasi, dan kondisi kerukunan umat beragama. 2. Menetapkan hubungan dan atau pengaruh peubah– peubah karakteristik, persepsi, perilaku, manfaat sosialisasi PBM, dan kerukunan umat beragama. 3. Menetapkan kontribusi sosialisasi PBM terhadap kerukunan umat beragama. 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan sosialisasi PBM. 5. Merumuskan strategi sosialisasi PBM yang efektif.
55
D. Manfaat 1
2
3
4
Dari hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: Departemen Agama, khususnya Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan dalam rangka meningkatkan efektivitas sosialisasi PBM untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, serta pendirian rumah ibadat. Pemerintah daerah dalam meningkatkan perannya untuk mendukung keberhasilan sosialisasi dan implementasi PBM. Forum Kerukunan Umat Beragama dalam melaksanakan tugasnya yang meliputi dialog keagamaan, penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat, melakukan sosialisasi PBM, serta rekomendasi pendirian rumah ibadat. Masyarakat secara luas dalam meningkatkan partisipasinya untuk memelihara kerukunan umat beragama.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA BERFIKIR DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka/Kajian Teoritis Untuk mendapatkan gambaran teoritis tentang peubah (variabel) yang akan dikaji, diperlukan suatu dasar yang kuat untuk menentukan bahwa peubah-peubah tersebut saling terkait atau saling mempengaruhi. Dasar tersebut diperoleh melalui kajian teoritis atau tinjauan pustaka yang memaparkan pendapat atau hasil penelitian para pakar terkait dengan peubah-peubah yang akan diteliti. 1.
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perubahan Perilaku
Beberapa pakar mengemukakan beberapa faktor yang berhubungan dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Faktor-faktor tersebut atara lain umur, pendidikan, agama, status atau tingkat sosial ekonomi, derajat partisipasi, kekosmopolitanan, dan persepsinya terhadap sesuatu. Umur menurut kronologi dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan (Salkind 1985: 31). Menurut Soedijanto Padmowihardjo (1994: 36) umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Umur seseorang biasanya dibarengi dengan pertumbuhan secara fisiologis (fisik), sehingga sampai umur tertentu (± 30 tahun) fisik seseorang akan mengalami pertumbuhan berat dan tinggi. Pertumbuhan fisiologis juga diiringi perkembangan psikologis (tingkat kedewasaan). Secara umum, semakin tua
66
77
umur seseorang maka tingkat perkembangan psikologisnya juga semakin meningkat (semakin dewasa), namun demikian tingkat kedewasaan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan umurnya. Pendidikan adalah suatu proses terencana untuk mengubah perilaku seseorang yang dilandasi adanya perubahan pengetahuan, keterampilam, dan sikapnya (Lunandi 1993: 3). Senada dengan itu, Margono Slamet (2003: 20) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Menurut Soeitoe (1982: 31) pendidikan merupakan suatu proses yang diorganisir dengan tujuan mencapai sesuatu hasil yang tampak sebagai perubahan dalam tingkah laku. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Dengan demikian melalui pendidikan maka pengetahuan dan keterampilan seseorang akan bertambah. Definisi pendidikan juga dapat dirumuskan dengan merujuk kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I, Pasal 1, ayat 1). Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat dijelaskan sebagai berikut. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan 88
formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Lihat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI, Pasal 13 sampai dengan Pasal 19). Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan kegiatan pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Agama merupakan salah satu identitas penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam karyanya The Elementary Form of The Religious Life Emile Durkeim memberikan batasan atau definisi tentang agama. A religion is 99
a unified system of beliefs and practices relatives to sacred things, that is say, thinks set apart and forbidden- beliefs and practices wich unite in to one single moral community called Church, all those who adhere to them (Durkheim; 1965: 62). Dari definisi tersebut bisa dilihat bahwa bagi Durkhiem, dalam sebuah agama mengandung tiga unsur pokok yaitu: sistem kepercayaan, benda suci, dan praktek atau ritus keagamaan. Pemikiran Durkheim tentang agama juga dapat ditelusuri dari pembedaan apa yang disebut sacred dan profane. Semua keyakinan agama, baik sederhana maupun kompleks, mempunyai satu ciri yang sama, berisikan satu penggolongan mengenai sesuatu yang baik, yang nyata maupun yang ideal. Hal yang bersifat sakral adalah terkait dengan ritus-ritus terhadap benda-benda suci. Sedangkan profane lebih menunjuk kepada fakta sosial yang ada dalam kehidupan keseharian individu sebagai bagian dari suatu jemaat. Durkheim juga menjelaskan bahwa tinggi rendahnya ikatan sosial atau integrasi dalam setiap kelompok agama berpengaruh terhadap angka bunuh diri. Dalam Suicide (1897) Durkheim menunjukkan bahwa bunuh diri terjadi jika integrasi dalam kelompok sangat lemah, dan individu merasa tidak memiliki arti dalam kelompoknya. Durkheim memberikan contoh bahwa angka bunuh diri pada masyarakat Protestan jauh lebih tinggi dibandingkan angka bunuh diri pada masyarakat Katholik. Peningkatan angka kasus bunuh diri tersebut tidak berkaitan dengan pengetahuan. Bunuh diri terjadi karena kehilangan ikatan dengan kelompok (jemaatnya). Integrasi dalam jemaat yang beragama Protestan jauh lebih longgar dibandingkan dengan jemaat dalam agama Katholik. Secara umum Durkheim mengakui bahwa semua ajaran agama memiliki efek cegah terhadap bunuh diri. Dengan kata lain, agama memandang 10 10
negatif terhadap fakta sosial bunuh diri. Tingginya angka bunuh diri pada jemaat Protestan tidak terjadi karena alasan teologis, tetapi semata-mata karena organisasi gereja yang mengakibatkan integrasi antar jemaat menjadi longgar. Status sosial (social status) merujuk pada posisi yang diduduki seseorang. Posisi tersebut dapat mengandung prestise tinggi, atau mengandung prestise rendah. Kita semua menduduki berbagai status pada waktu yang bersamaan. Seseorang dapat secara bersamaan menjadi laki-laki (atau perempuan) sekaligus seorang pekerja, atau seorang mahasiswa. Para sosiolog menggunakan istilah perangkat status (status set) untuk merujuk semua status atau posisi yang diduduki seseorang. Status seseorang merupakan kerangka dasar untuk hidup dalam masyarakat (Henslin: 2006; 92). Kedudukan (status) seseorang dalam masyarakat terkait dengan posisi seseorang dalam struktur masyarakat. Mereka dapat berada pada lapisan atas, lapisan menengah atau lapisan bawah. Perilaku anggota masyarakat yang berada dalam lapisan atas biasanya menjadi panutan bagi anggota masyarakat dalam lapisan di bawahnya. Perilaku seseorang (terutama untuk mengadopsi suatu inovasi baru) yang bersifat fisik biasanya memerlukan biaya untuk mendapatkan inovasi (teknologi) dimaksud. Dengan demikian, tingkat pendapatan seseorang dapat memperlancar atau menghambat proses adopsi tersebut. Seseorang yang memiliki tingkat pendapatan tinggi akan lebih mudah menjangkau inovasi (teknologi) baru, sebaliknya mereka yang berpendapatan rendah untuk mengadopsi suatu teknologi harus menunggu sampai inovasi (teknologi) tersebut pada harga yang terjangkau.
11 11
Partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan, metode, dan evaluasi kegiatan (van den Ban & Hawkins, 1988). Lebih lanjut dikatakan bahwa partisipasi memungkinkan perubahan-perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir manusia. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini tidak akan bertahan lama jika mereka menuruti saransaran agen penyuluhan dengan patuh, dari pada bila mereka ikut bertanggungjawab. Mubyarto (Taliziduhu Ndraha, 1990) mengartikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri. Berbagai bentuk atau tahapan partisipasi seperti dikemukakan oleh Ndraha (1990) antara lain: a. Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial. b. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (menaati, memenuhi, melaksanakan), mengiyakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya. c. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana). Perasaan terlibat dalam perencanaan perlu ditumbuhkan sedini mungkin di dalam masyarakat. Partisipasi dalam arti ini termasuk juga dalam hal pengambilan keputusan, baik keputusan politik yang menyangkut nasib mereka, maupun partisipasi dalam hal yang bersifat teknis. d. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.
12 12
e. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan. f. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi adanya tiga faktor utama yang mendukungnya, yaitu: (a) kemauan, (b) kemampuan, dan (c) kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Masyarakat perlu mengalami proses belajar agar mampu mengetahui kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupan. Setelah mengetahui, kemampuan atau ketrampilan perlu ditingkatkan agar dapat memanfaatkan kesempatankesempatan itu. Akhirnya, diperlukan usaha khusus untuk membuat masyarakat mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki kehidupannya. Kemauan partisipasi bersumber pada faktor psikologis individu yang menyangkut emosi dan perasaan yang melekat pada diri manusia. Faktor-faktor yang menyangkut emosi dan perasaan ini sangat kompleks sifatnya, sulit diamati dan diketahui dengan pasti, dan tidak mudah dikomunikasikan, akan tetapi selalu ada pada setiap individu dan merupakan motor penggerak perilaku manusia. Faktor yang menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan apabila dengan berpartisipasi akan memberikan manfaat, dan dengan manfaat itu dapat memenuhi keperluan-keperluan masyarakat setempat (Goldsmith dan Blustain dalam Jahi, 1988). Selain itu 13 13
kebutuhan masyarakat timbulnya partisipasi pembangunan.
merupakan faktor pendorong masyarakat dalam proses
Tjokroamidjojo (1984) mengungkapkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam rangka partisipasi masyarakat, yaitu: (a) masalah kepemimpinan, (b) komunikasi, dan (c) pendidikan. Peranan kepemimpinan sangat menentukan karena pembangunan memerlukan pemimpin yang mempunyai atau menerima gagasan pembaharuan, mampu berkomunikasi dan menerjemahkan proses-proses yang berlangsung. Untuk menggerakkan partisipasi masyarakat diperlukan pemimpin-pemimpin formal yang mempunyai legalitas dan pemimpin-pemimpin informal yang mempunyai legitimitas. Komunikasi merupakan sarana yang memungkinkan gagasan, kebijakan, dan rencana mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Komunikasi dimaksudkan untuk menumbuhkan berbagai perubahan nilai dan sikap yang intern di dalam proses pembaharuan. Selain memberikan kesadaran, pendidikan memberikan prasyarat kemampuan serta pengembangan nilai-nilai dan sikap-sikap yang berguna untuk memperbaiki kualitas hidup seseorang. Perspektif sosiologi mengamati pengaruh-pengaruh sosial-ekonomi terhadap masyarakat, sedangkan perspektif ekonomi memusatkan perhatian pada pilihan-pilihan yang dibuat masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuannya. Bryant dan White (1982) mengemukakan model ekonomi partisipasi dengan rumus: P = [(B x Pr) – (DC + OC)] R
14 14
Partisipasi (P) adalah sebuah fungsi dari manfaat (Benefits – B) yang akan di-peroleh, dikalikan dengan probabilitas atau kemungkinan untuk benar-benar memetik manfaat itu (Probability – Pr), dikurangi dengan dua jenis biaya yakni biaya langsung (direct costs – DC) dan biaya oportunitas (opportunity costs – OC); semuanya itu dikalikan dengan besarnya resiko yang sanggup ditanggung (Risks – R). Tingkat kekosmopolitanan (cosmopoliteness) merupakan gambaran sampai sejauh mana tingkat keterbukaan seseorang terhadap dunia luar dan sejauh mana tingkat keterendahannya terhadap media (media exposure). Dengan demikian segala sesuatu yang memungkinkan seseorang lebih terbuka terhadap dunia luar akan meningkatkan kekosmopolitanan seseorang. Seseorang yang lebih sering berkunjung atau bepergian ke tempat lain akan meningkatkan kekosmopolitanannya, sebab mereka akan mendapatkan informasi dan relasi baru yang dapat memberi tambahan pengetahuan dan memperluas cakrawala berfikirnya. Demikian halnya dengan media yang mereka manfaatkan, semakin banyak mereka memanfaatkan atau tersentuh media massa akan menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala berfikirnya pula. Hasil penelitian Lies Fahimah (2001) tentang sikap pekerja sosial panti terhadap etika kerja menyatakan bahwa pada taraf kepercayaan 99%, kekosmopolitan berhubungan nyata secara positif dengan sikap. Dalam penelitian tersebut yang dimaksud dengan kekosmopolitan adalah frekuensi melakukan kontak dengan sumber informasi, frekuensi mengikuti pelatihan, frekuensi mengikuti pembinaan secara fungsional, dan frekuensi mencari informasi melalui media massa. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan dasar dalam 15 15
mencari informasi sejauhmana hubungan antara kekosmopolitan peserta sosialisasi PBM dengan aspek perilaku yang salah satunya adalah sikap. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Stimulus yang mengenai individu tersebut kemudian diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya (Bimo Walgito, 2003: 45). Proses penginderaan terjadi setiap saat individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera (penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan/perasaan). Stimulus dapat berupa obyek yang bersifat konkret maupun abstrak. Obyek konkret berupa benda dapat mengenai semua jenis indera manusia, sedangkan obyek yang abstrak dapat diindera setelah melalui proses audial dan atau visual. Selanjutnya dikatakan bahwa persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut. Secara rinci van den Bann & Hawkins (1996) menyatakan lima prinsip umum persepsi, yang mencakup relativitas, selektivitas, terorganisasi, arah, dan perbedaan kognitif. Dari lima prinsip tersebut dapat dipahami bahwa (1) persepsi seseorang terhadap sesuatu bersifat relatif, meskipun obyeknya sama, namun persepsinya dapat berbeda-beda, dapat melebihi atau kurang dari yang sebenarnya; (2) persepsi terhadap sesuatu bersifat selektif, hal ini disebabkan kapasitas memproses informasi yang dimiliki indera kita terbatas; (3) 16 16
persepsi kita terhadap sesuatu terorganisir yang didasari oleh pengalaman yang dimiliki; (4) persepsi dapat memilih dan mengatur serta menafsirkan pesan yang ditangkap melalui pengamatan; (5) karena perbedaan kognitif, persepsi seseorang dapat berlainan satu sama lain meskipun dalam situasi yang sama. Obyek yang diindera akan dipersepsi oleh seseorang dan menjadi dasar pemahaman seseorang terhadap sesuatu. Litterer (Asngari, 1982:16) menyatakan bahwa persepsi seseorang individu dipengaruhi oleh keberadaannya dalam melihat situasi, fakta atau suatu aksi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ketika seseorang menangkap informasi maka terjadilah pembentukan persepsi, kemudian diikuti pemilihan atau seleksi terhadap informasi, penutup, dan interpretasi terhadap obyek yang diindera. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa bila materi PBM disosialisasikan maka seseorang dapat menangkap materinya melalui indera penglihatan dan pendengaran, hal ini selanjutnya akan membentuk persepsi seseorang terhadap PBM tersebut. 2. Aspek Perilaku dan Perubahannya Dalam ilmu psikologi sosial dinyatakan bahwa perilaku seseorang dapat dibedakan menjadi tiga aspek penyusunnya, yakni pengetahuan (aspek cognitif), sikap (aspek persuasif), dan keterampilan (aspek psikomotorik). Pengetahuan adalah semua buah pikiran dan pemahaman kita tentang dunia, yang diperoleh tanpa melalui daur hipotetiko-dedukto-verifikatif (gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesa) atau tanpa metode ilmiah. Dengan asumsi bahwa PBM ditetapkan tanpa melalui metode ilmiah, maka substansi yang terkandung dalam PBM dan menjadi 17 17
materi dalam sosialisasi adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, dan pendirian rumah ibadat. Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu, namun demikian sikap mempunyai segi-segi perbedaan dengan pendorong-pendorong lain yang ada dalam diri manusia itu. Hubungan antara sikap dan perilaku seseorang, menurut Ajzen (1988) bahwa keyakinan tentang konsekuensi perilaku dan penilaian tentang keyakinan akan menumbuhkan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek. Sikap tersebut bersama-sama dengan norma subyektif yang mereka miliki selanjutnya melahirkan intensi untuk berperilaku. Dalam Taksonomi Bloom, keterampilan ini merupakan terjemahan dari psychomotor yaitu kompetensi yang berkaitan dengan tugas dalam suatu sistem dan perilaku sistematis yang relevan untuk mencapai tujuan. Lebih spesifik lagi keterampilan ini dapat bermakna kemampuan (ability) yang menggambarkan suatu sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental atau fisik. Perilaku sosial dapat dipandang dalam berbagai perspektif, seperti perspektif sosiologi, atau perspektif psikologi. Beberapa teori sosiologi menjelaskan keteraturan sosial mendasar yang berhubungan dengan proses-proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas. Solidaritas sosial dan integrasi merupakan permasalahan substantif yang diperhatikan Durkheim. Pandangan Durkeim didasarkan pada asumsi bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang 18 18
berbeda dari karakteristik psikologis, biologis, atau karakteristik individu lainnya. Dalam pandangannya, kenyataan atau fakta sosial bersifat eksternal, memaksa individu, dan harus dijelaskan dengan fakta sosial yang lain. Pandangan berbeda diungkapkan oleh Weber, bahwa kenyataan sosial sebagai sesuatu yang didasarkan pada motivasi individu dan tindakan-tindakan sosial (Johnson, 1994). 3. Teori Peran Para sosiolog melihat peran sebagai hal yang hakiki bagi kehidupan sosial. Pada saat seseorang dilahirkan, peran (role) yang mencakup perilaku, kewajiban, dan hak-hak yang melekat pada status, telah ditentukan bagi orang tersebut. Masyarakat menunggu dengan uluran tangan untuk mengajarkan kepada orang tersebut bagaimana masyarakat berharap agar berperilaku sebagai anak laki-laki atau anak perempuan. Peran laksana sebuah pagar. Peran memungkinkan kebebasan tertentu bagi kita, tetapi bagi sebagian besar di antara kita, kebebasan tersebut bersifat terbatas. Arti penting sosiologis dari peran ialah bahwa peran memaparkan apa yang diharapkan dari orang lain. Ketika individu di seluruh masyarakat menjalankan peran mereka, peran tersebut saling bertaut untuk membentuk sesuatu yang disebut masyarakat (Henslin; 2006: 95). Peran (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Bila seseorang atau lembaga melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia sudah menjalankan suatu peranan. Hal yang terpenting dari konsep peranan adalah bahwa hal tersebut dapat mengatur perilaku seseorang individu atau lembaga dalam kehidupan bermasyarakat. 19 19
4. Diseminasi informasi
5. Dinamika Kelompok/Organisasi
Diseminasi informasi merupakan upaya penyebarluasan informasi dari sumber kepada khalayak sasaran. Kegiatan diseminasi dapat dilakukan melalui pendekatan massa, kelompok, maupun perorangan. Menurut Rogers & Shoemaker (1987), penyebaran informasi dalam sistem sosial dapat dihambat atau dipercepat oleh struktur sosial yang formal ataupun informal. Kondisi demikian dikenal sebagai “efek sistem” atau “pengaruh sistem”, sebab norma-norma status sosial dan hirarkhi yang ada di masyarakat akan mempengaruhi perilaku anggota masyarakat.
Pengertian dinamika kelompok dapat diartikan melalui asal katanya, yaitu dinamika dan kelompok. Dinamika adalah sesuatu yang mengandung arti tenaga kekuatan, selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan saling ketergantungan antara anggota kelompok dengan kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini dapat terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (group spirit) terus-menerus ada dalam kelompok itu, oleh karena itu kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Slamet (2003) meyatakan bahwa dinamika kelompok merupakan aktivitas, sepak terjang anggota, kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam atau luar lingkungan yang menentukan perilaku anggota dalam mencapai tujuan bersama atau kelompok.
Dalam kegiatan sosialisasi PBM, proses diseminasi dilakukan oleh sumber (aparat Departemen Agama atau dinas instansi terkait) kepada khalayak sasaran (masyarakat luas). Namun karena keterbatasan tenaga, biaya, dan waktu khalayak sasaran terbatas pada tokoh-tokoh agama yang ada di berbagai kota terpilih, melalui pendekatan kelompok, sasaran sosialisasi dikumpulkan pada suatu tempat untuk mendapatkan informasi tentang PBM yang disampaikan melalui ceramah dan tanya jawab. Melalui pergaulan dan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat diharapkan terjadi proses lanjutan, yaitu proses difungsi artinya tokoh agama yang telah mengetahui informasi tentang PBM dapat menyebarluaskan kepada anggota kelompoknya, dan anggota kelompok yang sudah mengetahui informasi PBM tersebut juga menyebarluaskan kepada anggota masyarakat yang lain, begitu seterusnya sampai semua anggota masyarakat mengetahui materi PBM tersebut.
20 20
Kelompok adalah kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan sosial yang mengadakan interaksi yang intensif dan mempunyai tujuan bersama. Beberapa pakar mendefinisikan kelompok sebagai beberapa orang yang bergaul satu dengan yang lain. Kurt Lewin berpendapat ”the essence of a group is not the similarity or dissimilarity of its members but their interdependence.” Kelompok adalah suatu unit yang terdapat beberapa individu, yang mempunyai kemampuan untuk berbuat dengan kesatuannya dengan cara dan dasar kesatuan persepsi. Interaksi antar anggota kelompok dapat menimbulkan kerja sama apabila masingmasing anggota kelompok: (1) Mengerti akan tujuan yang dibebankan di dalam kelompok tersebut 21 21
(2) Adanya saling menghomati di antara anggotaanggotanya (3) Adanya saling menghargai pendapat anggota lain (4) Adanya saling keterbukaan, toleransi dan kejujuran di antara anggota kelompok Menurut Reitz (Santosa: 2004), kelompok mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) terdiri dari dua orang atau lebih, (2) berinteraksi satu sama lain, (3) saling membagi beberapa tujuan yang sama, dan (4) melihat dirinya sebagai suatu kelompok. Dari berbagai pendapat ahli pengertian kelompok tidak terlepas dari elemen keberadaan dua orang atau lebih yang melakukan interaksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Kelompok merupakan suatu kumpulan yang terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki hubungan psikologi secara jelas antara anggota satu dengan yang lain yang dapat berlangsung dalam situasi yang dialami secara bersama. Dinamika kelompok juga dapat didefinisikan sebagai konsep yang menggambarkan proses kelompok yang selalu bergerak, berkembang dan dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang selalu berubah-rubah. Dinamika kelompok mempunyai beberapa tujuan, antara lain: (1) Membangkitkan kepekaan diri seorang anggota kelompok terhadap anggota kelompok lain, sehingga dapat menimbulkan rasa saling menghargai (2) Menimbulkan rasa solidaritas anggota sehingga dapat saling menghormati dan saling menghargai pendapat orang lain (3) Menciptakan komunikasi terbuka terhadap sesama anggota kelompok
22 22
(4) Menimbulkan adanya itikad baik di antara sesama anggota kelompok. Dinamika kelompok telah menjadi bahan perbincangan dari para ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli psikologi sosial, maupun ahli yang menganggap dinamika kelompok sebagai eksperimen. Hal tersebut membawa pengaruh terhadap pendekatan-pendekatan yang ada dalam mempelajari dinamika kelompok: (1) Pendekatan oleh Bales dan Homans Pendekatan ini mendasarkan pada konsep adanya aksi, interaksi, dan situasi yang ada dalam kelompok. Homans menambahkan, dengan adanya interaksi dalam kelompok, maka kelompok yang bersangkutan merupakan sistem interdependensi, dengan sifat-sifat: 1) Adanya stratifikasi kedudukan warga. 2) Adanya diferensiasi dalam hubungan dan pengaruh antara anggota kelompok yang satu dengan yang lain. 3) Adanya perkembangan pada sistem intern kelompok yang diakibatkan adanya pengaruh faktor-faktor dari luar. (2) Pendekatan oleh Stogdill Pendekatan ini lebih menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dalam bentuk organisasi formal. Stogdill menambahkan bahwa yang dimaksud kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir sebagai usaha untuk mencapai tujuan kelompok. Kelompok terorganisir yang dimaksud disini adalah kelompok yang tiap-tiap anggotanya mendapat tanggungan dalam hubungannya dengan pembagian tugas untuk mencapai kerja sama dalam kelompok.
23 23
(3) Pendekatan dari ahli Psycho Analysis (Freud dan Scheidlinger) Scheidlinger berpendapat bahwa aspek-aspek motif dan emosional memegang peranan penting dalam kehidupan kelompok. Kelompok akan terbentuk apabila didasarkan pada kesamaan motif antar anggota kelompok, demikian pula emosional yang sama akan menjadi tenaga pemersatu, sehingga kelompok tersebut semakin kokoh. Freud berpendapat bahwa di dalam setiap kelompok perlu ada kesatuan kelompok, agar kelompok tersebut dapat berkembang dan bertahan lama. Kesatuan kelompok akan terbentuk apabila tiap-tiap anggota kelompok melaksanakan identifikasi bersama antara anggota yang satu dengan yang lain. (4) Pendekatan dari Yennings dan Moreno Yennings mengungkapkan konsepsinya tentang pilihan bebas, spontan, dan efektif dari anggota kelompok yang satu terhadap angota kelompok yang lain dalam rangka pembentukan ikatan kelompok. Moreno membedakan antara psikhe group dan sosio group sebagai berikut: (a) Psikhe group merupakan suatu kelompok yang terbentuk atas dasar suka/tidak suka, simpati, atau antipati antar anggota (b) Sosio group merupakan kelompok yang terbentuk atas dasar tekanan dari pihak luar. Yennings menambahkan bahwa pelaksanaan tugas akan lebih lancar apabila pembentukan Sosio group disesuaikan dengan Psikhe group, dengan memperhatikan faktor-faktor efisiensi kerja dan kepemimpinan dalam kelompok. Analisis terhadap dinamika kelompok pada hakikatnya dapat dilakukan melalui dua macam pendekatan, yakni 24 24
pendekatan sosiologis dan pendekatan psikososial (Totok Mardikanto, 1992: 195-196). Pendekatan sosiologis menganalisis bagian-bagian atau komponen kelompok dan analisis terhadap proses sistem sosial. Pendekatan psikososial menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika kelompok itu sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa ditinjau dari proses sosial, analisis terhadap suatu kelompok/ organisasi mencakup: komunikasi (communication), pemeliharaan batas (boundary maintenance), kaitan sistemik (systemic linkage), pelembagaan (institutionalization), sosialisasi (socialization), dan kontrol sosial (social control). 6. Kerukunan Umat Beragama Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 1 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006). Terminologi ‘kerukunan umat beragama’ pertama kali dikemukakan oleh K.H.Mohammad Dachlan pada acara pembukaan Musyawarah Antar Umat Beragama yang dilaksanakan tanggal 30 Nopember 1967. Beliau menyatakan: “adanya kerukunan antar golongan beragama adalah merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi program Kabinet Ampera. Oleh karena itu kami mengharapkan sungguh adanya kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat beragama untuk 25 25
menciptakan iklim kerukunan umat beragama ini, sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan cita-cita kita bersama ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu benar-benar dapat terwujud” (Sudjangi. 1992/1992,8-9). Penyelenggaraan musyawarah dilatarbelakangi oleh situasi yang kurang menguntungkan baik antara umat beragama, khususnya antara Islam dan Kristen, maupun antara umat beragama dengan Pemerintah. Pembubaran PKI dan penangkapan para pengikutnya telah menimbulkan kecenderungan retaknya hubungan antar pemeluk agama, bahkan tidak jarang berlanjut menjadi konflik yang menegangkan. (Kamal Muchtar. 1998. dalam Azyumardi Azra dan Syaiful Umum, 259). Dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, masalah kerukunan umat beragama menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan sebagai konsekuensi dari pluralitas masyarakat khususnya dilihat dari pemelukan agama. Oleh karena itu, Departemen Agama sebagai instansi yang bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan pembangunan bidang agama, memberi perhatian dan prioritas terhadap berbagai program yang dapat menciptakan kondisi ‘rukun’. Secara yuridis formal, pentingnya masalah kerukunan sebagai masalah nasional telah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 – 2009 sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 25 tahun 2005. B. Kerangka Berpikir Setelah ditetapkannya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, proses sosialisasi telah dilakukan oleh departemen maupun 26 26
dinas/instansi terkait. Sasaran utama sosialisasi PBM di tingkat provinsi/kabupaten/kota adalah aparat pemerintah dan tokoh-tokoh agama di daerah. Setelah kurang lebih satu tahun proses sosialisasi dilakukan, perlu diketahui keberhasilan atau efektivitas sosialisasi PBM yang telah dilakukan tersebut. Karakteristik seseorang (faktor internal) yang meliputi umur, agama, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, kekosmopolitan, partisipasi dalam sosialisasi mempengaruhi perubahan perilakunya, termasuk perubahan perilakunya setelah seseorang mendapatkan atau mengikuti sosialisasi materi PBM. Persepsi terhadap Sosialisasi PBM yang mencakup kemampuan fasilitator, metode, dan lain-lain, diharapkan mampu mengubah perilaku sasaran tentang substansi PBM. Perubahan perilaku sasaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua aspek, yakni pengetahuan tentang substansi PBM, dan sikap terhadap substansi PBM, serta kemampuan sasaran dalam mengimplementasikan substansi PBM dalam kehidupan bermasyarakat. Materi PBM sebagai suatu inovasi dalam kehidupan bermasyarakat hanya mengandung komponen ide (gagasan) dan tidak memiliki komponen obyek (fisik), serta dalam pelaksanaan sosialisasi hanya berupa aspek pengetahuan dan sikap, sehingga perubahan perilaku yang terkait dengan materi PBM hanya dapat kita ukur dari aspek pengetahuan dan sikap sasaran sosialisasi terhadap materi PBM. Meskipun perubahan aspek keterampilan tidak dapat diukur secara langsung namun dapat dilihat dalam kehidupan bermasyarakat dalam bentuk outcome [diseminasi informasi PBM, peraturan terkait PBM (prosedur), peran aparat Pemda 27 27
29
Gambar 1. Hubungan antar variabel penelitian
Pendukung
Penghambat
Kerukunan beragama (dampak) Pemenuhan syarat pendirian rumah ibadat Tingkat toleransi antar umat agama
Penghambat
Pendukung
(Y2) Manfaat sosialisasi (outcome) Tingkat diseminasi informasi PBM Peraturan terkait PBM Peran Pemda dalam KUB Peran majelis dan pemuka agama dalam KUB
Pendukung Penghambat
Derajad Sikap
Tingkat Pengetahuan
(X1) Karakteristik responden Usia Jenis kelamin Pekerjaan Lama sekolah Jumlah pendapatan Agama Kekosmopolitan Frekuensi ikut sosialisasi Partisipasi dalam sosialisasi
Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berfikir, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Karakteristik responden berhubungan dan berpengaruh nyata terhadap persepsi tentang sosialisasi PBM, serta terhadap perilaku penerapan PBM. 2. Persepsi tentang sosialisasi PBM berhubungan dan berpengaruh nyata terhadap perilaku penerapan PBM. 3. Perilaku penerapan PBM berpengaruh nyata terhadap manfaat sosialisasi PBM. 4. Manfaat sosialisasi PBM berpengaruh nyata terhadap kerukunan umat beragama.
(X2)Persepsi terhadap Sosialisasi PBM tujuan materi metode media kemampuan fasilitator alat bahan tempat sarana prasarana durasi
C. Hipotesis
Manfaat yang dapat dirasakan dengan adanya sosialisasi PBM diharapkan akan berdampak pada terciptanya kondisi kerukunan umat beragama. Sesuai substansi PBM, dampak tersebut dirasakan melalui adanya pemenuhan syarat-syarat pendirian rumah ibadat dan meningkatnya derajat toleransi beragama di daerah. Namun demikian, fakta di masyarakat dapat dijumpai adanya faktor pendukung dan faktor penghambat terjadinya dampak (impact) sosialisasi PBM tersebut. Secara skematis, hubungan antar perubah dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram atau Gambar 1.
(Y1) Perilaku penerapan PBM (output)
dalam KUB, peran majelis agama dalam KUB, dinamika FKUB].
28 28
29
BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah eks peserta sosialisasi PBM di 13 kota pada 13 provinsi yang seluruhnya berjumlah 650 orang. Dengan rumus Yamane (Jalaludin Rakhmat, 2002) pada tingkat presisi 95%, jumlah sampel yang diperlukan adalah sebanyak 248 orang yang kemudian digenapkan menjadi 260 orang. Sampel ditarik dengan teknik proportional random sampling, prosedurnya sebagai berikut: populasi dikelompokkan menurut lokasi kota; proporsi untuk tiap lokasi sebesar 40%; dari tiap lokasi sampel ditarik secara acak sederhana. Hasilnya tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Populasi dan Sampel No
Lokasi
Jumlah sampel
1
Banda Aceh
50
20
2
Medan
50
20
3
Padang
50
20
4
Tanjung Pinang
50
20
5
Semarang
50
20
6
Surabaya
50
20
7
Denpasar
50
20
8
Kupang
50
20
9
Pontianak
50
20
10
Palangkaraya
50
20
11
Banjarmasin
50
20
12
Kendari
50
20
13
Ambon
50
20
Jumlah
30
Jumlah populasi
650
260
31
B. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survei, artinya penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Masri Singarimbun, 1989: 3). Senada dengan pendapat tersebut Kerlinger (2004: 660) menyatakan bahwa penelitian survei mengkaji populasi yang besar maupun yang kecil dengan menyeleksi serta mengkaji sampel yang dipilih dari populasi tersebut untuk menemukan insidensi, distribusi, dan interrelasi relatif dari variabel-variabel sosiologis dan psikologis. Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, artinya penelitian ini berusaha menggambarkan secara deskriptif temuan data di lapangan, dan berusaha mencari hubungan antara data yang bersifat bebas (independent variable) dengan data yang bersifat terikat (dependent variable). Penelitian ini juga bersifat confirmatory, artinya data yang dikumpulkan dengan cara mengkonfirmasi data yang sudah ada kepada sampel atau responden dengan cara wawancara langsung (interview). C. Data dan Instrumentasi Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik responden, persepsi responden terhadap sosialisasi PBM, tingkat pengetahuan dan derajat sikap tentang PBM, tingkat diseminasi informasi PBM, peraturan daerah terkait PBM, peran pemerintah daerah dan majelis agama dalam kerukunan umat beragama, dinamika FKUB, pemenuhan syarat pendirian rumah ibadat, tingkat toleransi antar umat beragama. Data primer dikumpulkan dari responden dengan berpedoman pada instrumen kuesioner dan pedoman 32
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data primer juga dilengkapi dengan catatan hasil pengamatan oleh peneliti selama melaksanakan pengumpulan data. Data ini diharapkan dapat melengkapi data dan gambaran umum tentang sampel dan wilayah penelitian. Data sekunder dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang ada pada lembaga atau dinas instansi yang terkait dengan penelitian ini. D. Validitas dan Reliabilitas Pengukuran Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian ini menggunakan kuesioner, maka kuesioner yang digunakan harus mengukur apa yang ingin diukur. Validitas alat pengumpul data yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauhmana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Reliabilitas instrumen dihitung dengan teknik split half setelah pelaksanaan ujicoba kuesioner di DKI Jakarta. Dari perhitungan tersebut diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.857. Dengan demikian instrumen dianggap cukup reliabel. E. Pengumpulan Data Data dikumpulkan oleh tenaga peneliti dan litkayasa Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI pada akhir bulan Juli sampai dengan awal Agustus 2007. Petugas pengumpul data sebelumnya telah mengikuti pembekalan atau pelatihan pengumpulan data.
33
F. Analisis Data Deskripsi berbagai perubah dalam penelitian ini dilakukan melalui distribusi frekuensi. Hubungan variabel berskala nominal yaitu jenis kelamin, pekerjaan, sumber informasi, dan agama dianalisis dengan menggunakan uji Kontingensi (Siegel, 1985). Hubungan variabel berskala ordinal ke atas dianalisis dengan uji korelasi Rank Spearman dengan rumus sebagai berikut: N
6 d i2 rs = 1 Keterangan:
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini dilihat dari unsur usia, lama pendidikan dalam tahun, jenis kelamin, penghasilan perbulan, frekuensi ikut sosialisasi, dan penyebarluasan informasi. Secara kuantitatif karakteristik responden dapat dibaca pada tabel berikut. Tabel 2. Rataan Karakteristik Responden
i 1 3
N N N = jumlah sampel di = perbedaan antar kedua ranking
Penentuan pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat menggunakan analisis regresi linear dengan bantuan perangkat lunak Statistical Package for Social Sciences (SPSS). Sebelum dianalisis, data terlebih dahulu diolah melalui verifikasi, skoring dan tabulasi.
No.
Karakteristik
Satuan
1.
Rataan usia (th)
45
2.
Rataan lama pendidikan (th)
15
3.
Rataan jenis kelamin (%) Laki-laki
81
Perempuan
19
4.
Rataan penghasilan /bulan (rp)
5.
Rataan frekuensi ikut sosialisasi
2
6.
Rataan penyebarluasan informasi Seagama
3
Tidak seagama
1.789.000
2
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa: (1) Rata-rata umur responden adalah 45 tahun yang berarti responden masih termasuk dalam kategori umur produktif; namun mendekati umur yang memiliki retensi (daya serap) yang cukup terhadap materi pembelajaran. Dengan demikian sasaran sosialisasi PBM masih cukup 34
35
mampu menyerap dan memahami materi PBM. Pemahaman yang memadai diharapkan dapat disebarluaskan kepada anggota masyarakat secara benar, sehingga materi PBM akan tersebar meluas (terdifusi) dalam masyarakat dalam waktu yang relatif cepat. (2) Rata-rata tingkat pendidikan responden adalah 15 tahun, yang berarti mereka telah mengenyam pendidikan tinggi. Pendidikan sasaran sosialisasi PBM yang cukup tinggi memungkinkan pemahaman sasaran sosialisasi terhadap materi PBM cukup baik. Pemahaman yang cukup baik tersebut diharapkan menjadi modal baginya dalam menyebarluaskan pengetahuannya tentang PBM kepada anggota masyarakat di sekitarnya. (3) Responden sebagian besar (81%) adalah laki-laki. Hal ini menunjukkan keterlibatan kaum perempuan masih perlu ditingkatkan, mengingat populasi penduduk negara kita lebih dari 50% adalah perempuan. Keseimbangan responden berdasarkan jenis kelamin akan dapat meningkatkan efektivitas proses difusi informasi materi PBM di dalam masyarakat. (4) Rata-rata pendapatan responden sebesar Rp.1.789.000 per bulan; yang sebagian besar mereka adalah pegawai negeri. Hasil ini menunjukkan secara personal sasaran sosialisasi PBM termasuk dalam kelas ekonomi menengah. Kondisi tersebut memungkinkan mereka tidak menghadapi kendala ekonomis dalam keperluan penyebaran informasi materi PBM kepada masyarakat di lingkungannya. (5) Rata-rata responden telah mengikuti sosialisasi PBM sebanyak 2 kali. Pengulangan merupakan salah satu teknik meningkat-kan efektivitas komunikasi. Dengan 36
adanya pengulangan dalam menerima materi PBM diharapkan penguasaan mereka terhadap materi PBM akan semakin meningkat. Penguasaan materi PBM yang semakin baik menjadi modal berharga baginya dalam upaya menyebarluaskan materi PBM kepada anggota masyarakat di lingkungannya. (6) Responden telah melakukan penyebarluasan informasi kepada umat seagama sebanyak 3 kali, dan kepada umat berbeda agama sebanyak 2 kali. Hasil tersebut menunjukkan frekuensi penyebarluasan informasi kepada umat seagama lebih tinggi dibandingkan kepada umat berbeda agama. Namun demikian, penyebaran kepada umat berbeda agama sudah mencapai 2 kali atau 66,67 persen dari frekuensi penyebaran kepada umat seagama. Hal ini menunjukkan bahwa upaya saling pengertian antar umat beragama dalam memahami materi PBM sudah cukup baik. Dilihat dari agama yang dianut responden, secara berturut-turut 48%, 17%, 14%, 11%, 8%, dan 2% beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sementara itu, jika dilihat dari jenis pekerjaan responden, secara berturut-turut sebagai PNS, karyawan swasta, rohaniawan, wiraswasta, pensiunan, wartawan, LSM, dan pedagang sebesar 62%, 13%, 9,5%, 7%, 6%, 1%, 1%, dan 5%. Partisipasi responden dalam sosialisasi PBM menunjukkan bahwa mereka berperan sebagai penerima (43%) serta sebagai penerima dan pemberi (41%). Dengan kata lain, sebanyak 41 persen responden setelah mengikuti sosialisasi juga berperan sebagai pemateri sosialisasi kepada anggota kelompok masyarakat yang lain.
37
B. Persepsi Masyarakat terhadap Sosialisasi PBM
C. Tingkat Pengetahuan tentang PBM
Persepsi responden terhadap sosialisasi PBM, tersaji pada Tabel 3. Dari tabel tersebut dapat dipahami bahwa secara umum persepsi responden masih dalam kategori cukup, namun waktu penyelenggaraan sosialisasi dirasakan masih kurang mencukupi. Oleh karena itu, pelaksanaan sosialisasi seharusnya ditambah durasinya. Penambahan waktu tersebut dapat digunakan untuk berdiskusi, pemahaman lebih lanjut tentang materi, pemberian kesempatan kepada peserta untuk menanggapi atau bertanya, pembahasan kasus, pemberian materi melalui simulasi atau role play, dan sebagainya.
Empat unsur pengetahuan responden tentang PBM masih berada dalam rentang kategori kurang sampai cukup, sehingga perlu ditingkatkan menjadi baik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat lebih teliti dalam mengidentifikasi masalah yang menjadi penyebab menurunnya kerukunan beragama dalam masyarakat, serta solusinya. Hal ini disebabkan antara lain kurangnya waktu sosialisasi, materi PBM belum diketahui sebelumnya, dan setelah sosialisasi minat responden untuk mendalami PBM kurang. Pengetahuan tentang PBM merupakan salah satu indikator tingkat penguasaan materi PBM yang selanjutnya akan menjadi modal dalam proses penyebarluasan informasi kepada umat di sekelilingnya. Oleh karena itu perlu diupayakan peningkatan daya serap materi PBM selama atau setelah kegiatan sosialisasi. Peningkatan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui penambahan waktu sosialisasi, pelaksanaan diskusi terkait kasus-kasus kerukunan umat beragama, peningkatan kualitas narasumber, penggunaan media pembelajaran secara lebih efektif dan sebagainya.
Tabel 3. Sebaran Persepsi Responden Terhadap Sosialisasi PBM No
Obyek
Skor
Makna
1
Tujuan
3.7
Tujuan dijelaskan oleh narasumber, dan hampir tercapai
2
Materi
3.8
Agak mudah dipahami; hampir memadai untuk PBM
3
Metode
3.8
Cukup sesuai dengan materi; agak beragam
4
Narasumber
4.0
Menguasai dan materi dengan baik
5
Tempat
4.0
Nyaman
6
Alat bantu
3.6
Tersedia tetapi kurang lengkap
7
Waktu
3.2
Kurang cukup untuk memahami materi
8
Media
4.2
Membantu materi
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5
38
untuk
menjelaskan
memahami
Tabel 4. Tingkat Pengetahuan Responden tentang PBM No
Obyek
Skor
Makna
1
Kerukunan umat beragama
2.7
Mampu mengidentifikasi sebagian kecil ciri-ciri KUB
2
Tugas kepala daerah dalam pemeliharaan KUB
2.9
Mampu mengidentifikasi sebagian kecil tugas kepala daerah dalam pemeliharaan KUB
3
Pemberdayaan FKUB
2.9
Mampu menjelaskan sebagian kecil: makna FKUB; tugas FKUB; keanggotaan dan kepemimpinan FKUB; dewan penasehat FKUB
39
4
Pendirian rumah ibadat
2.8
Mampu mengidentifikasi sebagian kecil: penyebab masalah dalam pendirian rumah ibadat; prinsip dan syarat pendirian rumah ibadat, syarat penggunaan bangunan non rumah ibadat untuk rumah ibadat; upaya penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat
Keterangan: Skor dalam rentang 1-4 D. Derajat Sikap terhadap PBM Sikap peserta sosialisasi terhadap materi PBM secara rinci disajikan pada Tabel 5 berikut. Tabel 5. Derajat Sikap Responden terhadap PBM Obyek
No
Skor
Makna
1
Syarat ibadat
pendirian
rumah 4.2
Setuju/menerima
2
Pendirian rumah agama minoritas
ibadat 3.2
Ragu-ragu
3
Pendirian rumah agama lain
ibadat 3.6
Ragu-ragu
4
Penggunaan bangunan non 3.3 rumah ibadat untuk rumah ibadat
Ragu-ragu
5
Kewenangan 4.2 bupati/walikota dalam pemberian/penolakan ijin rumah ibadat
Setuju/menerima
6
Keberadaan FKUB
Setuju/menerima
40
4.4
7
Kepemimpinan agama 3.6 mayoritas dalam FKUB
Ragu-ragu
8
Keanggotaan agama 3.9 mayoritas dalam FKUB
Ragu-ragu
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5 Dari Tabel 5 dapat dimengerti bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu sikap ragu-ragu responden terhadap pendirian rumah ibadat agama minoritas dan terhadap penggunaan bangunan nonrumah ibadat untuk rumah ibadat. Sikap tersebut menunjukkan bahwa masyarakat belum sepenuhnya dapat menerima pendirian rumah ibadat di wilayahnya bila ada penganut agama yang minoritas. Hal ini dapat dipahami karena selama ini masyarakat menganggap bahwa rumah ibadat dianggap sebagai simbol keberadaan kelompok mayoritas agama di suatu wilayah. Keraguan masyarakat terhadap pemanfaatan bangunan nonrumah ibadat untuk rumah ibadat dilatarbelakangi oleh seringnya terjadi penyalahgunaan oleh kelompok agama tertentu, sementara sebagian masyarakat sekitar menghendaki peraturan dipatuhi. Masalah tersebut timbul karena beberapa faktor: masih relatif kuatnya fanatisme keagamaan kelompok, kurangnya wawasan multikultural, dan terbatasnya kegiatan kerjasama sosial lintas kelompok keagamaan. Sementara itu sikap ragu-ragu peserta juga ditunjukkan terhadap kepemimpinan agama mayoritas dalam FKUB dan keanggotaan agama mayoritas dalam FKUB. Kondisi seperti ini harus dicarikan solusi yang tepat untuk masing-masing daerah sebab kondisi dan komposisi umat beragama di setiap daerah beragam. Kepemimpinan agama mayoritas dalam FKUB seharusnya tidak menjadi mutlak, tetapi dapat 41
ditentukan secara demokratis dalam proses pemilihannya. Hal ini dapat digunakan sebagai pembelajaran dalam hidup bermasyarakat yang dimulai dari proses demokratisasi dalam FKUB. Keraguan terhadap keanggotaan agama mayoritas dalam FKUB menjadi salah satu penguatan tentang perlunya Peraturan Gubernur atau peraturan lainnya yang menjelaskan tata cara penentuan perwakilan masingmasing penganut agama dalam keanggotaan FKUB. E. Diseminasi Informasi Kegiatan diseminasi informasi oleh peserta sosialisasi kepada masyarakat tentang kewenangan kepala daerah dalam kerukunan umat beragama, FKUB, prosedur dan syarat pendirian rumah ibadat, prosedur dan syarat penggunaan bangunan nonrumah ibadat, serta penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat dilakukan secara tidak teratur/kadang-kadang (lihat Tabel 6). Tabel 6. Diseminasi Informasi PBM No
Obyek
Skor
Makna
1
Kewenangan kepala daerah
2.7
2
FKUB
2.8
Tidak teratur, kadangkadang Sda
3
Prosedur dan syarat pendirian rumah ibadat
2.9
Sda
4
Prosedur dan syarat penggunaan bangunan nonrumah ibadat untuk rumah ibadat
2.6
Sda
5
Penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat
2.6
Sda
Tabel tersebut menunjukkan bahwa pascasosialisasi, peserta belum memiliki kesadaran dalam arti belum secara proaktif menyebarkan informasi PBM kepada masyarakat sekitar. Faktor lain yang juga bisa mempengaruhi adalah pendeknya rentang waktu antara pelaksanaan sosialisasi PBM dengan pelaksanaan penelitian ini. Sementara itu untuk wilayah-wilayah tertentu, kurangnya diseminasi akibat wilayah geografis yang kurang mendukung dan kesibukan masing-masing pemuka agama dalam membina umatnya. Beberapa indikasi lain yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi adalah peserta sosialisasi lebih didominasi unsur pegawai Kanwil Departemen Agama setempat. Panitia sosialisasi PBM di daerah tidak mau dipusingkan dengan pertanggungjawaban administrasi penyelenggaraan yang dianggap kurang berhasil akibat beberapa peserta yang diundang tidak hadir. Untuk memenuhi kuota peserta maka dicari pengganti, yakni personil yang berasal dari pegawai kanwil setempat. Akibat ikutannya dari kejadian tersebut adalah proses diseminasi informasi PBM tidak berlangsung di kalangan umat, karena peserta pengganti (pegawai Kanwil Depag) tidak memiliki legitimasi dari masyarakat di sekitar tempat tinggalnya sebagai pemimpin umat. Untuk perbaikan ke depannya, undangan peserta sosialisasi ditambahkan jumlah persen rata-rata ketidakhadiran peserta pada pelaksanaan sosialisasi sebelumnya. Ketidakhadiran peserta dapat diantisipasi melalui: (a) penyebaran undangan dalam rentang waktu yang cukup dari waktu pelaksanaan sosialisasi, (b) penentuan lokasi harus mempertimbangkan aksesibilitas yang tinggi, jangkauan sarana transportasi yang cukup tinggi, terutama untuk daerah yang memiliki kondisi geografis cukup luas.
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5 42
43
F. Peraturan Gubernur terkait PBM Keberadaan peraturan, kesesuaian peraturan dengan materi PBM, dan kemampuan peraturan dalam memelihara kerukunan umar beragama disajikan pada Tabel 7. Tabel ini menjelaskan bahwa keberadaan Peraturan Gubernur terkait PBM di beberapa daerah sangat kurang, hal ini menunjukkan bahwa respon pemerintah daerah terhadap keberadaan PBM perlu ditingkatkan. Dari beberapa daerah yang sudah memiliki peraturan gubernur ternyata masih belum sesuai dengan PBM dan belum tersosialisasi dengan baik. Hal yang lebih memprihatinkan adalah Peraturan Gubernur yang sudah ada dirasakan belum mampu memelihara kerukunan umat beragama di daerah, karena peraturan tersebut tidak tersosialisasi dengan baik. Dengan demikian, pemerintah daerah tingkat provinsi harus lebih proaktif dalam mendukung terciptanya kerukunan umat beragama melalui peningkatan kuantitas dan kualitas sosialisasi peraturan gubernur yang sudah ada. Cukup disayangkan apabila peraturan gubernur sudah ada, namun tidak atau belum dipahami oleh sebagian besar warga umat beragama di wilayahnya. Tabel 7. Keberadaan Peraturan Gubernur tentang PBM No 1
Obyek Keberadaan peraturan gubernur
Skor 0.6
2
Kesesuaian peraturan gubernur dengan PBM
2.0
44
Makna Belum semua daerah memiliki pergub; daerah yang telah memiliki pergub belum menyosialisasikannya dengan baik Pergub dianggap tidak sesuai dengan PBM karena peraturan tersebut tidak tersosialisasi dengan baik
3
Kemampuan peraturan gubernur dalam memelihara KUB
2.1
Pergub dianggap tidak memelihara kerukunan karena tidak tersosialisasi dengan baik
Keterangan : Nomor 1, Skor dalam rentang 0-1 Nomor 2 dan 3, Skor dalam rentang 1-5
G. Peran Pemda dalam KUB Peran dan dukungan sumberdaya dari pemerintah daerah pada umumnya berada dalam kategori telah berperan tetapi belum cukup baik untuk memelihara KUB, kecuali Kanwil Depag yang masuk dalam kategori peran dan dukungannya telah cukup baik. Dengan demikian, maka Pemda (termasuk Kanwil Departemen Agama dan Kantor Departemen Agama sebagai aparat pusat yang ada di daerah) hendaknya lebih banyak mengalokasikan sumber daya (manusia, finansial, material, sosial, alamiah) untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan umat beragama. Terkait dengan program kerukunan, Kanwil Departemen Agama sejauh ini telah melaksanakan berbagai kegiatan musyawarah intern dan antar umat beragama serta program kerukunan lainnya. Dukungan yang masih perlu ditingkatkan terutama dukungan sumberdaya dari pemerintah kota/kabupaten dan pemerintah provinsi. Untuk itu, pemerintah kota/kabupaten dan provinsi seharusnya membekali aparatnya terkait materi PBM, sebab semua aparat pemerintah daerah (kabupaten/kota dan provinsi) juga pelayan masyarakat di daerah yang sewaktu-waktu berhubungan langsung dengan masyarakat di wilayahnya. Bila masyarakat setempat bertanya tentang materi PBM, 45
aparat pemerintah daerah seharusnya memberikan jawaban secara benar.
juga
dapat
Tabel 8. Peranan Pemda dalam KUB No 1
Obyek
Skor
Makna Mendukung tetapi masih belum cukup baik untuk KUB
mesti mengikuti peraturan gubernur. Dengan demikian semua staf atau aparat pemerintah daerah (kabupaten/ kota/provinsi) harus sejalan dalam memahami dan menyukseskan pelaksanaannya di masyarakat agar tercipta kerukunan umat di wilayahnya.
Dukungan sumber daya dari pemprov untuk KUB
3.8
2
Dukungan sumber daya dari pemkot untuk KUB
3.7
Sda
3
Dukungan sumber daya dari Kanwil Depag untuk KUB
4.0
Mendukung dan cukup baik untuk KUB
4
Dukungan sumber daya Kandepag untuk KUB
3.8
Mendukung tetapi belum cukup baik untuk KUB
5
Peran pemprov dalam pemeliharaan KUB
3.9
Berperan tetapi belum cukup baik untuk KUB
6
Peran pemkot dalam pemeliharaan KUB
3.9
Berperan tetapi belum cukup baik untuk KUB
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5
7
Peran Kanwil Depag dalam pemeliharaan KUB
4.1
Berperan dan cukup baik untuk KUB
8
Peran Kandepag dalam pemeliharaan KUB
3.9
Berperan tetapi belum cukup baik untuk KUB
Majelis agama sebagai lembaga yang menaungi umat beragama sudah menjalankan fungsi dan perannya dalam memelihara kerukunan umat beragama. Demikian halnya para pemuka agama telah berperan dan menjalankan fungsinya dalam upaya memelihara kerukunan umat beragama. Kondisi ini harus dipertahankan dan diusahakan meningkat lagi, agar kondisi kerukunan umat beragama dapat tetap terwujud dengan baik meskipun permasalahan masyarakat di masa datang akan semakin kompleks.
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5 Sebagaimana diketahui, PBM disyahkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Menteri Dalam Negeri adalah atasan langsung gubernur, dan setiap walikota/bupati 46
H. Peran Majelis Agama dalam KUB Majelis dan pemuka agama selama ini telah berperan positif dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. (lihat Tabel 9). Tabel 9. Peran Majelis Agama dalam KUB No
Obyek
Skor
Makna
1
Peran majelis agama dalam pemeliharaan KUB
4.1
Berperan dan cukup baik dalam memelihara KUB
2
Peran pemuka agama dalam pemeliharaan KUB
4.1
Berperan dan cukup baik dalam memelihara KUB
47
I. Dinamika FKUB Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai lembaga yang merepresentasikan seluruh umat beragama di suatu wilayah sudah seharusnya mampu mendorong umat beragama untuk berperilaku saling menghargai dan terbinanya toleransi antar umat beragama, sehingga keharmonisan kehidupan umat beragama dapat tercipta. Namun demikian, dinamika kehidupan masyarakat menuntut dinamika FKUB dalam menyikapi dan mengatasi semua kemungkinan permasalahan yang timbul sewaktuwaktu. Hasil penelitian terhadap dinamika FKUB tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Dinamika FKUB No
Obyek
Skor
Makna
1
Kerjasama FKUB provinsi
4
Dapat bekerjasama
2
Program kerja FKUB provinsi
4
Dapat memelihara kerukunan
3
Pelaksanaan tugas FKUB provinsi
2
Baru melaksanakan sebagian kecil tugas
4
Kerjasama FKUB kota
4
Dapat bekerjasama
5
Program kerja FKUB kota
4
Dapat memelihara kerukunan
Pelaksanaan tugas FKUB kota
2
6
J. Pemenuhan Syarat Pendirian Rumah Ibadat Dalam kehidupan beragama di Indonesia, pengalaman yang ada menunjukkan bahwa masalah pendirian rumah ibadat merupakan sesuatu yang sangat sensitif dan seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik. Oleh karenanya pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah terhadap syarat pendirian rumah ibadat menjadi sesuatu yang mutlak. Hasil penelitian terhadap pemenuhan syarat pendirian rumah ibadat disajikan pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Pemenuhan Syarat Pendirian Rumah Ibadat No
Obyek
Skor
Makna
1
Derajat kepahaman masyarakat tentang syarat
3,1
Masyarakat kurang memahami syarat
2
Derajat kepahaman aparat pemerintah tentang syarat
3,4
Aparat pemerintah kurang memahami syarat
3
Kemampuan pemenuhan syarat
2,9
Dapat memenuhi sebagian kecil syarat
Baru melaksanakan sebagian kecil tugas
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5 Forum Kerukunan Umat Beragama provinsi dan kota dinilai telah dapat bekerjasama dan mempunyai program 48
kerja yang dapat memelihara kerukunan, tetapi baru melaksanakan sebagian kecil tugasnya. Hal ini berarti dari sisi kekuatan internal dan perencanaan program telah cukup baik, yang harus ditingkatkan adalah proses eksekusi dari rencana program tersebut, sehingga FKUB dapat melaksanakan semua tugas-tugasnya secara baik sesuai dengan PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006. Belum maksimalnya peran FKUB antara lain disebabkan FKUB baru terbentuk sehingga anggaran belum tersedia, sarana termasuk gedung atau ruang kesekretariatan belum ada.
49
4
Kesesuaian pendirian rumah ibadat dengan PBM
1,3
Pendirian rumah ibadat belum sesuai dengan PBM
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5 Tabel 11 menunjukkan masih banyak ketidaksesuaian syarat pendirian rumah ibadat dengan PBM. Bila permasalahan ini tidak segera diantisipasi, dapat menjadi faktor penentu instabilitas kerukunan umat beragama di suatu wilayah. Rendahnya kemampuan pemenuhan syarat pendirian rumah ibadat harus disikapi secara arif, sebab seringkali pendirian rumah ibadat di suatu wilayah dijadikan sebagai simbol atau legitimasi umat terhadap eksistensi umat beragama tertentu meskipun secara kuantitas jumlah umat beragama di wilayah tersebut tidak memenuhi syarat pendirian rumah ibadat. Kondisi geografis dengan jumlah penduduk tertentu di setiap wilayah memungkinkan tidak terpenuhinya syarat jumlah umat bagi pendirian rumah ibadat di suatu desa/kecamatan. Rendahnya skor kesesuaian pendirian rumah ibadat dengan PBM disebabkan umumnya responden menilai syarat pembangunan rumah ibadat sebelum terbitnya PBM dengan syarat pendirian rumah ibadat setelah terbitnya PBM. Kondisi demikian menuntut sikap bijak dan ketegasan aparat pemerintah daerah dalam pemberian izin pendirian tempat ibadat. K. Tingkat Toleransi Antar Umat Beragama Tingkat toleransi antar umat beragama, secara umum responden tidak menolak pendirian rumah ibadat dan toleransi terhadap pemeluk agama lain dalam menjalankan ritual ibadatnya dalam lingkup yang relatif jauh (lingkup desa/kelurahan – kecamatan). Namun mereka bersedia hidup bertetangga dengan pemeluk agama lain dalam 50
lingkup yang lebih dekat (rukun warga – desa/kelurahan) (lihat Tabel 12). Dalam hal kerjasama antar umat beragama, mereka bersedia menghadiri undangan peringatan hari besar agama lain dan bersedia mengundang pemeluk agama lain dalam peringatan hari besarnya. Kondisi ini belum cukup memadai untuk mencapai tingkat kerukunan umat beragama secara optimal. Perlu dilakukan berbagai upaya komprehensif yang bertujuan untuk mendekatkan jarak sosial antar umat beragama, sehingga derajat penerimaan terhadap keberadaan pemeluk agama lain, kebebasan dalam menjalankan ibadat agama, serta kerjasama optimal yang diwujudkan dalam tindakan saling bantu (materi, tenaga, pikiran). Upaya-upaya yang dapat dilakukan antara lain: peningkatan kerjasama sosial antar umat beragama, peningkatan wawasan multikultural melalui pendidikan formal dan informal. Hal-hal tersebut dapat membantu dalam mewujudkan kondisi kerukunan antar umat beragama. Tabel 12. Tingkat Toleransi Antar Umat Beragama No
Obyek
Skor
Makna
1
Toleransi terhadap pendirian rumah ibadat agama lain
2.5
Tidak menolak pendirian rumah ibadat agama lain, asalkan dalam lingkungan yang relatif jauh (lingkup desa-kecamatan)
2
Toleransi terhadap pemeluk agama lain dalam menjalankan ritual ibadatnya
2.7
Menghargai kebebasan pemeluk agama lain untuk menjalankan ibadatnya, tetapi dalam lingkungan yang relatif jauh (lingkup desa-kecamatan) 51
3
Toleransi dalam jarak fisik antar umat beragama
3.7
Bersedia hidup bertetangga dengan pemeluk agama lain dalam lingkungan yang relatif dekat (lingkup rukun warga desa/kelurahan)
tujuan PBM untuk mewujudkan dan memelihara kerukunan umat beragama yang tentunya diperlukan oleh semua orang, baik itu laki-laki maupun perempuan; pekerja kasar atau kantoran; yang mendapat informasi dari tokoh agama, aparat pemerintah, media massa; serta semua pemeluk agama.
4
Tingkat kerjasama antar umat beragama dalam penyelenggaraan peringatan hari besar
2.7
Bersedia menghadiri undangan peringatan hari besar agama lain; bersedia mengundang pemeluk agama lain dalam penyelenggaraan hari besar agamanya.
Tabel 13. Nilai Korelasi antar Variabel Penelitian
Keterangan: Skor dalam rentang 1-5 L. Hubungan Karakteristik Responden dengan Persepsi tentang Sosialisasi PBM dan Perilaku Penerapan PBM Hasil analisis data penelitian seperti tersaji pada Tabel 13 menunjukkan bahwa antara karakteristik responden yang bersifat nominal (jenis kelamin, pekerjaan, sumber informasi, dan agama) tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam mempersepsi PBM maupun dalam berperilaku untuk penerapan PBM. Namun demikian, bila dilihat dari besarnya korelasi (nilai kontingensi), pekerjaan, sumber informasi, dan agama berhubungan cukup erat dengan perilaku seseorang dalam menerapkan PBM. Implikasi dari hasil uji ini terhadap pelaksanaan sosialisasi adalah tidak diperlukan segmentasi terhadap sasaran sosialisasi. Secara tegas dapat dinyatakan bahwa semua orang tanpa melihat karakteristik tersebut di atas, dapat dijadikan subyek sosialisasi PBM. Hal ini berkaitan erat dengan substansi 52
No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Hubungan antar Variabel
X2
db
Jenis Kelamin-Persepsi Pekerjaan-Persepsi Sumber info-Persepsi Agama-Persepsi Jenis kelamin-Perilaku Pekerjaan-Perilaku Sumber info-Perilaku Agama-Perilaku
23,14 135,80 136,07 117,59 71,74 379,24 441,96 321,74
23 161 161 115 61 427 427 305
Tabel X2 α= 0,05 35,17 191,61 191,61 141,00 80,23 476,18 476,18 346,73
Kontingensi 0,28 0,58 0,58 0,56 0,47 0,77* 0,79* 0,74*
Keterangan: * = signifikan pada α = 0,05 Hasil analisis karakteristik responden yang berskala rasio (pendidikan, pendapatan, frekuensi mengikuti sosialisasi, dan kekosmopolitan) serta berskala interval (partisipasi dalam sosialisasi) menunjukkan bahwa kelima jenis karakteristik tersebut tidak berhubungan dengan persepsi tentang sosialisasi PBM. (Tabel 14). Hal ini menambah informasi lagi bahwa semua orang (berpendidikan rendah, menengah maupun tinggi; kaya, miskin; tidak pernah, jarang atau sering ikut sosialisasi; sering atau jarang berhubungan dengan orang-orang dari komunitas berbeda atau agama berbeda; apapun bentuk 53
partisipasinya dalam sosialisasi) adalah subyek-subyek penting yang perlu dijadikan sasaran sosialisasi. Tentu saja dengan pertimbangan efisiensi, maka orang-orang yang belum pernah ikut sosialisasi merupakan prioritas sasaran kegiatan sosialisasi. Dengan perkataan lain, sebaiknya dihindari terjadinya pengulangan seseorang mengikuti sosialisasi lebih dari satu kali. Kejadian ini banyak ditemukan terutama para tokoh agama atau tokoh masyarakat level provinsi, sehingga pada saat kegiatan sosialisasi di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota diundang sebagai peserta. Temuan ini sangat penting apabila dikaitkan dengan fakta bahwa peserta sosialisasi yang selama ini sudah dilakukan, lebih terfokus kepada laki-laki, pegawai negeri sipil dan tokoh agama, serta berpendidikan tinggi. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa tidak perlu segmentasi sasaran sosialisasi berdasarkan karakteristiknya, karena semua orang mempunyai hak yang sama untuk memperoleh proses pendidikan non formal tentang kerukunan umat beragama melalui sosialisasi PBM. Berbeda halnya terhadap persepsi tentang sosialisasi PBM, hasil uji menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, frekuensi ikut sosialisasi, kekosmopolitan dan bentuk partisipasi dalam sosialisasi berhubungan positif secara sangat nyata dengan perilakunya dalam penerapan PBM (Lihat Tabel 14). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, pendapatan, frekuensi ikut sosialisasi, kekosmopolitan, dan bentuk partisipasi maka semakin baik perilakunya dalam menerapkan PBM, karena mereka mempunyai tingkat pengetahuan dan derajat sikap tentang PBM yang semakin baik juga. Implikasi dari hasil uji ini tidak mengarah kepada pemilihan subyek sasaran sosialisasi PBM berdasarkan kelima jenis karakteristik tersebut, tetapi sebaiknya mengarah kepada penggunaan metode sosialisasi 54
Tabel 14. Korelasi antara Karakteristik dengan Persepsi dan Perilaku Persepsi Sosialisasi PBM
Perilaku Penerapan PBM
No
Variabel Karakteristik
1
Pendidikan
-0.077
0.184**
2
Pendapatan
0.180
0.191**
3
Frekuensi ikut sosialisasi
0.056
0.277**
4
Kekosmopolitan
0.089
0.194**
5
Partisipasi dalam sosialisasi
-0.060
0.267**
Keterangan :
* = signifikan pada α = 0,05 ** = signifikan pada α = 0,01
yang mampu mengakselerasi peningkatan pengetahuan dan sikap tentang PBM pada subyek sasaran sosialisasi yang berpendidikan rendah, berpenghasilan kecil, tidak pernah atau jarang ikut sosialisasi, kurang kosmopolit, dan bentuk partisipasinya lebih bersifat sebagai penerima informasi, agar mereka mempunyai kemampuan berperilaku yang sama baiknya dengan subyek sasaran sosialisasi atau anggota masyarakat yang mempunyai karakteristik lebih tinggi. Metode yang meminimalkan komunikasi satu arah dan mengoptimalkan komunikasi konvergen, yaitu yang tidak didominasi oleh ceramah tetapi sebaiknya mengarah kepada diskusi, pembahasan kasus, role play, simulasi, benchmarking serta teknik-teknik lainnya yang mampu meningkatkan aktivitas belajar peserta sosialisasi, dapat membantu mereka yang berpendidikan rendah dan seterusnya agar memiliki tingkat pengetahuan dan derajat sikap yang lebih baik, sehingga berperilaku lebih baik pula dalam menerapkan PBM. Selain itu, penggunaan teknik-teknik tersebut, dapat 55
meningkatkan keterampilan peserta sosialisasi dalam memecahkan masalah (problem solving) yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat yang terkait dengan kerukunan umat beragama. Karakteristik peserta sosialisasi yang tidak diteliti antara lain bakat, kematangan mental, kematangan fisik, sikap mental, kesehatan, dan kemampuan evaluasi. Fasilitator sosialisasi seharusnya mengenali bakat, kesiapan mental, dan kondisi kesehatan peserta sosialisasi. Umur peserta pembelajaran yang ideal dalam menyerap materi pembelajaran adalah 26 tahun ke bawah, sementara hasil penelitian menunjukkan rata-rata umur peserta lebih dari 45 tahun pada hal memasuki usia 46 tahun sudah menurun kemapuan belajarnya (termasuk daya ingatnya), mereka sulit berubah dan sulit untuk menerima sesuatu yang baru (Soedijanto Padmowihardjo, 1994). Selama ini penentuan peserta sosialisasi belum atau tidak memperhatikan kebutuhan sosialisasi. Materi PBM seolah-oleh sudah harga mati, sehingga materi sosialisasi oleh semua fasilitator isinya sama. Minat peserta belajar (peserta sosialisasi) akan menentukan hasil proses pembelajaran, terutama materi yang terkait dengan kebutuhan peserta sosialisasi. Untuk itu, identifikasi kebutuhan materi sosialisasi yang diperlukan atau dibutuhkan peserta semestinya dilakukan sebelum penyampaian materi PBM dilakukan, misalnya fasilitator (penyelenggara sosialisasi) melakukan kontrak belajar di awal kegiatan. Melalui kontrak belajar, diharapkan peserta sosialisasi dapat memberikan informasi atau umpan balik terhadap isi atau materi sosialisasi, metode dan teknik pembelajaran, media dan alat bantu pembelajaran yang digunakan, waktu pelaksanaan dan sebagainya. 56
M. Pengaruh Karakteristik Responden terhadap Persepsi tentang Sosialisasi PBM dan Perilaku Penerapan PBM Analisis statistik lebih lanjut disajikan pada Tabel 15 berikut. Tabel 15. Pengaruh antar variabel No.
Model
R
R Square
Sig. F
1
Karakteristik – persepsi 0,289 0,084
0,015*
2
Karakteristik – perilaku 0,366 0,134
0,000**
3
Karakteristik – manfaat
0,272 0,074
0,037*
4
Karakteristik – dampak
0,276 0,076
0,029*
5
Persepsi – perilaku
0,138 0,019
0,026*
6
Persepsi – manfaat
0,230 0,053
0,000**
7
Persepsi – dampak
0,041 -0,002
0,506
8
Perilaku – manfaat
0,226 0,047
0,000**
9
Perilaku – dampak
0,006 0,000
0,922
10
Manfaat – dampak
0,417 0,174
0,000**
Keterangan:
* = signifikan pada α = 0,05 ** = signifikan pada α = 0,01
Secara lebih jelas besarnya pengaruh antar variabel dalam penelitian disajikan pada Gambar 2. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa karakteristik responden secara nyata berpengaruh terhadap persepsi tentang sosialisasi PBM, serta sangat nyata berpengaruh terhadap perilaku dalam penerapan PBM. Variabel karakteristik responden tersebut (umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, sumber informasi, pendidikan, pendapatan, frekuensi ikut sosialisasi, bentuk partisipasi 57
dalam sosialisasi, kekosmopolitan) berpengaruh sebesar 8,4% terhadap persepsi tentang sosialisasi PBM, dan berpengaruh sebesar 13,4% terhadap variabel perilaku penerapan PBM. Mengingat pentingnya perluasan sasaran sosialisasi, di mana setiap orang dapat dijadikan sasaran sosialisasi seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, maka pengaruh variabel karakteristik tersebut dapat diabaikan. Meskipun demikian, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati sehubungan dengan kecilnya pengaruh karakteristik responden tersebut. Pertama, usia; rata-rata usia responden adalah 45 tahun, di mana pada usia sekitar itulah kemampuan retensi telah menurun cukup drastis. Kedua, sikap mental; semakin bertambah usia semakin relatif sulit mengalami perubahan dan menerima sesuatu yang baru karena telah mempunyai keyakinan berdasarkan pengalaman hidupnya. Ketiga, motivasi; kebanyakan peserta terutama yang berasal dari unsur pegawai negeri sipil, mengikuti kegiatan sosialisasi karena menerima perintah dari atasan atau instansi tempat ia bekerja, bukan atas kesadaran sendiri yang dilandasi minat dan motivasi yang tinggi untuk melakukan proses belajar. Hal-hal tersebut berpengaruh terhadap curahan perhatian dan aktivitas belajar yang ia lakukan dalam sosialisasi yang selanjutnya akan menentukan hasil proses belajar serta implementasinya dalam kehidupan bermasyarakat. Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kanwil Depag dalam kehidupan bermasyarakat belum tentu ditokohkan oleh anggota masyarakat sekitarnya, sehingga hasil dari proses sosialisasi kurang membawa dampak dalam kehidupan umat beragama.
58
(X1) Karakteristik Responden
0,134** (Y1) Perilaku penerapan PBM (output) Pengetahuan Sikap
0,084* 0,019* 0,047* (X2) Persepsi terhadap Sosialisasi PBM
(Y3) Kerukunan beragama (dampak) Pendirian rumah ibadat Tingkat toleransi antar umat agama
0,174*
(Y2) Manfaat sosialisasi (outcome) Diseminasi informasi PBM Peraturan terkait PBM Peran pemda dalam KUB Peran majelis dan pemuka agama dalam KUB Dinamika FKUB
Gambar 2. Pengaruh antar Variabel penelitian N. Pengaruh Persepsi terhadap Perilaku Penerapan PBM Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa variabel persepsi tentang sosialisasi PBM berpengaruh secara sangat nyata terhadap perilaku (pengetahuan dan sikap) penerapan PBM. variabel tersebut berpengaruh sebesar 1,9 % terhadap perilaku penerapan PBM. Kecilnya pengaruh persepsi ini berkaitan dengan kondisi persepsi terhadap sosialisasi PBM yang rata-rata baru termasuk dalam kategori cukup baik, yang disebabkan terutama unsur durasi sosialisasi yang dinilai kurang dan tidak dapat mencukupi kebutuhan untuk memahami materi. Padahal untuk berpengaruh lebih baik terhadap pembentukan perilaku, persepsi tentang sosialisasi ini harus berada dalam kategori baik bahkan sangat baik. Sebagaimana diketahui, persepsi baru merupakan unsur 59
potensial, dalam arti persepsi tidak berbanding lurus (linear) dengan perilaku. Kecilnya pengaruh persepsi tersebut dapat dipahami dari variabel yang dapat mempengaruhi efisiensi belajar yakni: mata ajaran, fasilitas fisik, perilaku pengajar dan pelajar, lingkungan, sifat kelompok pelajar, sifat pengajar, dan sifat pelajar. Peningkatan persepsi tersebut dapat ditempuh melalui upaya-upaya antara lain sebagai berikut: 1. Pelibatan panca indera peserta sebanyak mungkin dalam proses sosialisasi. Hal ini berimplikasi pada penggunaan media dan metode belajar yang variatif dan memungkinkan peserta sosialisasi terdedah informasi atau materi belajar melalui penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Slide pembelajaran harus dibuat lebih menarik agar tidak ada kesan monoton, materi yang diberikan dalam bentuk buku saku PBM diubah dalam format lain, seperti hand out, CD pembelajaran (tanya jawab atau solusi terhadap kasus-kasus kerukunan umat beragama yang pernah ditemui di berbagai daerah di tanah air. Perasaan (afeksi) merupakan unsur tersulit untuk disentuh, oleh karena itu disarankan agar teknik pemeranan (role play), simulasi, benchmarking, curah pendapat (brainstorming), tayangan slide atau film dan yang sejenis penting untuk digunakan dalam sosialisasi PBM. Selain itu aktivitas belajar peserta sosialisasi juga jangan hanya berdiskusi, bertanya, atau sekedar menjadi pendengar suatu ceramah, karena itu penting sekali fasilitator menguasai teknik-teknik yang lebih variatif seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu. 2. Durasi (rentang atau lamanya) terdedah informasi atau materi dalam sosialisasi perlu ditambah. Hal ini dinyatakan oleh responden yang menilai durasi tersebut tidak cukup untuk memahami materi. Sosialisasi rata60
rata hanya berlangsung dalam sehari dengan waktu pembelajaran efektif tidak sampai empat jam. Sosialisasi selalu diawali seremonial yang sering membutuhkan waktu cukup panjang, peserta jadi bosan dan lelah menunggu inti materi, hal ini dapat mempengaruhi hasil sosialisasi tidak efektif. Penambahan waktu bisa ditempuh dengan menambah waktu di hari kedua, meskipun ini membawa konsekuensi waktu dan biaya. Perlu dipahami pula bahwa durasi ini memerlukan pengaturan yang tepat, karena dapat menyebabkan kebosanan dan rendahnya retensi. Di sini berlaku kiasan “enam kali satu jam belajar, akan lebih efektif daripada satu kali enam jam belajar” . 3. Pengaturan materi. Pada dasarnya pengaturan materi untuk sosialisasi PBM dapat menggunakan teori belajar kognitif yaitu materi diurutkan dari yang termudah kepada yang tersulit, informasi yang terkandung dalam materi belajar harus berhubungan dengan informasi yang telah ada pada diri peserta. Pelaksanaan sosialisasi selama ini cenderung memberikan materi yang sama dengan media (slide pembelajaran) yang sama pula, padahal kemampuan fasilitator atau narasumber serta peserta sosialisasi belum tentu sama. Implikasinya adalah (1) melakukan identifikasi kebutuhan latihan sebelum sosialisasi dilakukan, sehingga dapat dikenali informasi apa saja yang diperlukan dan tidak diperlukan, hal tersebut akan menjamin efektivitas dan efisiensi belajar; (2) mengelompokkan peserta sosialisasi dalam karakteristik yang relatif homogen, sehingga kecepatan belajar dapat diikuti oleh semua anggota kelompok belajar sehingga hasil belajarnya juga tidak jauh berbeda; (3) mengemas materi dalam bentuk yang menarik perhatian, dan minat belajar. Materi demikian adalah 61
yang secara bersamaan memunculkan bentuk audio dan visual, misalnya slide warna yang diiringi narasi, dan film dokumenter. 4. Sosialisasi dilakukan di tempat dan fasilitas yang nyaman. Makna nyaman disini harus menurut definisi peserta – bukan panitia atau fasilitator, dan tidak melulu merujuk pada ruangan luas, tertutup, terang, sejuk, akan tetapi lebih merujuk kepada apa lingkungan dan habit peserta sosialisasi, sehingga tidak aneh kalau banyak orang yang senang belajar dalam ruang terbuka dan alamiah. Dengan demikian tempat dan fasilitas yang nyaman menurut orang-orang yang berdomisili di kampung akan berbeda dengan yang tinggal di kota, dan seterusnya. Tidak jarang dijumpai orang-orang yang canggung ketika berada dalam ruangan megah, berpendingin ruangan (AC), dan fasilitas mewah sehingga mengganggu curahan perhatiannya terhadap aktivitas belajar. 5. Fasilitator memahami sensitivitas peserta terhadap materi, sebab masalah kerukunan umat beragama cukup peka apabila sudah bersinggungan dengan kelompok umat beragama yang berbeda. Fasilitator jangan memunculkan kesan bahwa PBM berpihak pada kelompok agama tertentu. Misalnya terhadap peserta yang ditengarai bersikap negatif dalam pemenuhan syarat pendirian rumah ibadat, adalah tidak bijaksana apabila kepada mereka dijelaskan bahwa aturan PBM harus diterapkan tanpa kecuali. Akan lebih bijaksana apabila terlebih dahulu dijelaskan kepada mereka reason atau alasan-alasan logis pentingnya pemenuhan syarat tersebut, apa konsekuensinya apabila dipenuhi atau tidak dipenuhi. 62
O. Pengaruh Perilaku Penerapan PBM terhadap Manfaat Sosialisasi PBM Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa perilaku berpengaruh secara sangat nyata terhadap manfaat sosialisasi PBM. Variabel tersebut berpengaruh sebesar 4,7 persen terhadap manfaat sosialisasi PBM. Kecilnya pengaruh perilaku penerapan PBM tersebut karena perilaku yang berunsur pengetahuan dan sikap, baru merupakan potensi tindakan, sehingga memerlukan adanya unsur lain yaitu keterampilan dan sumber daya (finansial, material, alamiah, sosial). Secara ringkas, perilaku seseorang sulit diaplikasikan secara baik tanpa dukungan sumber daya sehingga kurang membawa manfaat bagi dirinya dan orang lain, misalnya seorang petani yang pengetahuan, sikap dan keterampilan bertaninya baik, tetapi tidak didukung oleh ketersediaan lahan, modal, input usaha tani, alat dan bahan tani, maka ia akan menarik manfaat yang kecil dari perilakunya tersebut. Begitu pula pada eks peserta sosialisasi PBM, mereka telah memiliki pengetahuan dan sikap tentang PBM dalam kadar tertentu, tetapi belum didukung oleh ketersediaan anggaran, alat, bahan, sarana dan prasarana sehingga pengaruhnya terhadap manfaat sosialisasipun menjadi kurang. Agar diseminasi infromasi PBM berjalan di masyarakat, eks peserta sosialisasi harus melakukan diseminasi kepada anggota masyarakat di sekitarnya, kerabat, kawan dekat, dan warga masyarakat lainnya baik warga yang seagama maupun yang tidak seagama. Namun demikian, diseminasi tersebut akan terjadi bila eks peserta sosialisasi memiliki motivasi dan tanggungjawab dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, adanya dukungan sarana dan prasarana, serta memiliki pengaruh (ketokohan) di 63
lingkungan tempat tinggalnya. Diseminasi akan berjalan lebih cepat bila peserta sosialisasi benar-benar sebagai tokoh (tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh wanita). Diseminasi juga memerlukan dukungan dan peran pemerintah daerah terkait PBM maupun dalam kerukunan umat beragama. Pengetahuan dan sikap yang cukup terhadap PBM akan bermanfat dalam peningkatan peran majelis dan pemuka agama dalam KUB. Dengan penguasaan materi PBM, para tokoh agama yang tergabung dalam majlis agama memiliki wahana dan kesempatan untuk melakukan diseminasi. Pengetahuan dan sikap yang cukup terhadap PBM juga dapat meningkatkan dinamika FKUB, sebab penguasaan atau materi PBM dapat menjadi bahan diskusi anggota FKUB. P. Pengaruh Manfaat Sosialisasi PBM terhadap Kerukunan Umat Beragama Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa manfaat sosialisasi PBM berpengaruh secara sangat nyata terhadap kerukunan umat beragama. Variabel tersebut berpeng-aruh sebesar 17,4%. Persentase pengaruh tersebut meskipun masih relatif kecil tetapi menunjukkan bahwa diseminasi informasi tentang PBM, keberadaan peraturan terkait PBM (pergub), peran pemda dan majelis agama dalam KUB, serta FKUB yang dinamis dapat memberi kontribusi positif dalam menciptakan kondisi kerukunan umat beragama. Implikasi dari hasil analisis adalah perlu ditingkatkannya manfaat sosialiasasi PBM, karena fakta sebagaimana terungkap dalam deskripsi manfaat sosialisasi tersebut pada bagian terdahulu, menunjukkan bahwa 64
diseminasi informasi, peraturan gubernur, peran pemda dan majelis agama serta dinamika FKUB secara umum baru sampai pada taraf cukup bahkan cenderung kurang. Dapat diduga apabila berbagai indikator manfaat sosialisasi tersebut berada dalam taraf baik atau sangat baik, maka kondisi kerukunan umat beragamapun akan baik atau sangat baik. Dengan perkataan lain kerukunan umat beragama yang ditandai dengan pemenuhan syarat pendirian rumah ibadat dan meningkatnya toleransi umat beragama dapat ditingkatkan melalui peningkatan diseminasi informasi PBM, keberadaan peraturan gubernur, dan peningkatan peran pemerintah daerah dalam mendukung implementasi PBM dalam kehidupan umat beragama. Q. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Tujuan Sosialisasi PBM Sebagaimana dijelaskan pada kerangka berpikir penelitian, bahwa pencapaian tujuan sosialisasi PBM, selain dipengaruhi oleh variabel yang diteliti juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, baik yang bersifat mendukung atau sebaliknya bersifat menghambat. Hasil identifikasi terhadap beberapa faktor yang mendukung atau menghambat adalah sebagai berikut: Pendukung 1. Terdapat kerjasama antara Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri untuk melakukan sosialisasi PBM. Koordinasi antara dua departemen dari tingkat pusat sampai di tingkat desa/kelurahan memungkinkan implementasi PBM di tingkat lapangan (umat beragama) lebih terstruktur.
65
2. Terdapat dukungan dari majelis-majelis agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, WALUBI, dan MATAKIN) kepada pemerintah dalam melakukan sosialisasi PBM. Setelah pemerintah melakukan sosialisasi PBM, majelis-majelis agama tersebut juga bersifat proaktif dalam membantu tersebarluasnya materi PBM kepada umatnya. 3. Pada tingkat pusat telah tersedia program dan dukungan sumber daya untuk melakukan sosialisasi PBM. Akan lebih baik lagi, bila pemerintah pusat dan atau pemerintah daerah memberikan dukungan dan komitmen yang tinggi bagi terlaksananya proses sosialisasi PBM sampai di tingkat desa/kelurahan. 4. Fasilitator sosialisasi menguasai materi sosialisasi PBM dengan baik. Tujuan sosialisasi masih dapat ditingkatkan dengan penguasaan metode dan teknik pembelajaran oleh fasilitator. 5. Nilai-nilai budaya lokal yang mendukung kerukunan. Kearifan lokal yang mendukung nilai-nilai toleransi dan kerukunan umat beragama perlu digali, dilestarikan, dan disebarluaskan dalam kehidupan modern umat beragama. 6. Peran pemuka agama setempat sebagai pemersatu umat. Tujuan sosialisasi akan lebih baik lagi apabila didukung peran tokoh-tokoh lain seperti tokoh adat, tokoh budaya, tokoh pemuda, tokoh wanita dalam upaya mempersatukan umat beragama. 7. Kesediaan masyarakat di beberapa daerah yang telah memiliki forum sejenis FKUB untuk menyesuaikan keberadaan forum dengan PBM. Sebagaimana diketahui, sebelum PBM dikeluarkan, beberapa daerah sudah membentuk dan memiliki forum sejenis FKUB yang 66
memiliki peran dan fungsi sama dengan FKUB bersedia melebur atau mengganti nama menjadi FKUB. Dapat dibayangkan apabila mereka bertahan dengan keberadaan forum-forum yang sudah ada, sementara peraturan sifatnya harus dilaksanakan sampai di tingkat kabupaten/kota sehingga akan terjadi forum ganda yang memiliki peran dan fungsi sama yang selanjutnya dapat memicu munculnya konflik dalam kehidupan umat beragama. Penghambat 1. Kegiatan sosialisasi masih difokuskan pada kelompok masyarakat tertentu dengan karakteristik utama antara lain laki-laki, berpendidikan tinggi, pegawai negeri sipil, tokoh agama, sehingga proses difusi inovasi menjadi relatif lambat. Hal ini dapat dikurangi dengan penetapan peserta sosialisasi yang mengabaikan karakteristik tersebut, semua warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh informasi, termasuk dalam memperoleh informasi PBM. 2. Fasilitator sosialisasi kurang variatif dalam penggunaan metode belajar yaitu masih bertumpu pada model ceramah/kuliah, tanya jawab, dan diskusi, sehingga aktivitas belajar peserta sosialisasi terbatas pada mendengarkan, bertanya dan mengemukakan pendapat. Hal ini dapat diantisipasi dengan pembekalan fasilitator terutama dalam penguasaan metode dan teknik pembelajaran, serta penguasaan media dan alat bantu pembelajaran. 3. Durasi waktu sosialisasi kurang lama, sehingga tidak cukup waktu bagi peserta untuk mengetahui, memahami dan menghayati materi dengan baik. Penambahan waktu 67
kegiatan sosialisasi dengan memperhatikan efisiensi dan efektivitas pembelajaran. 4. Sosialisasi masih menggunakan pendekatan tunggal yaitu pertemuan tatap muka dengan suatu kelompok masyarakat untuk menyampaikan informasi atau materi PBM, sehingga daya jangkau terhadap sasarannya menjadi relatif terbatas. Hal ini dapat ditempuh melalui penerapan pendekatan lainnya, yakni pendekatan massal. Narasumber atau fasilitator dapat memanfaatkan media massa seperti radio, televisi, surat kabar, dan majalah yang memiliki jangkauan di tingkat daerah maupun nasional dalam penyampaian atau sosialisasi materi PBM. Pendekatan massal cukup efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya. 5. Sosialisasi baru didesain untuk melakukan perubahan pengetahuan dan sikap dalam penerapan PBM, tetapi belum didesain untuk melakukan perubahan unsur perilaku yaitu pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam penerapan PBM, sehingga unsur pembentuk perilaku dalam penerapan PBM untuk mewujudkan kerukunan umat beragama menjadi kurang lengkap. 6. Belum tersedia cukup sumber daya terutama modal finansial, material, dan sosial yang dapat digunakan eks peserta sosialisasi untuk melakukan aktivitas-aktivitas sosialisasi pada masyarakat yang lebih luas, sehingga manfaat sosialisasi berupa diseminasi informasi, peran pemda dan majelis agama dalam kerukunan umat beragama, dinamika FKUB hanya berada pada tataran cukup. Hambatan ini dapat dikurangi melalui penyediaan sumberdaya yang memadai atau memfasilitasi kebutuhan dukungan finansial eks peserta sosialisasi untuk 68
melakukan sosialisasi lingkungannya.
kepada
umat
beragama
di
7. Belum semua provinsi mempunyai peraturan gubernur sesuai PBM yang mengatur FKUB dan Dewan Penasehat FKUB provinsi dan kabupaten/kota, sehingga kedua institusi tersebut belum sepenuhnya terbentuk dan operasional dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama. Pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri dan Departemen Agama melakukan koordinasi dalam mengevaluasi provinsi mana saja yang belum memiliki peraturan gubernur, dan mendorong serta memfasilitasi penyusunan peraturan gubernur dimaksud. 8. Keberadaan forum sejenis FKUB di beberapa daerah yang selama ini telah berfungsi mendukung kerukunan, namun dari segi organisatoris belum sesuai dengan PBM. Ketidaksesuaian forum sejenis FKUB memerlukan penyesuaian agar dapat sejalan dan berganti nama menjadi FKUB. Proses penyesuaian tersebut ternyata tidak didukung oleh beberapa daerah yang sudah memiliki forum sejenis FKUB. Penyesuaian yang berlarut dapat menghabiskan waktu dan tenaga hanya untuk mengatasi hal-hal yang tidak prinsip.
69
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan dapat disarikan beberapa kesimpulan berikut: 1. Karakteristik peserta sosialisasi PBM: usia rata-rata 45 tahun, tingkat pendidikan tinggi, dominan laki-laki, pendapatan rata-rata Rp. 1,7 juta, pada umumnya pekerjaan PNS, pernah mengikuti sosialisasi sebanyak 2 kali, melakukan penyebaran informasi PBM 3 kali kepada umat seagama, dan 2 kali kepada umat berbeda agama. Persepsi tentang sosialisasi PBM, perilaku eks peserta sosialisasi dalam penerapan PBM dari aspek pengetahuan dan sikapnya, manfaat sosialisasi, dan kondisi kerukunan umat beragama belum optimal sehingga perlu ditingkatkan. 2. Karakteristik responden tidak berhubungan nyata dengan persepsi tentang sosialisasi PBM, tetapi berhubungan nyata dengan perilaku penerapan PBM. 3. Variabel karakteristik responden tersebut (umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, sumber informasi, pendidikan, pendapatan, frekuensi ikut sosialisasi, bentuk partisipasi dalam sosialisasi, kekosmopolitan) berpengaruh sebesar 8,4% terhadap persepsi tentang sosialisasi PBM, dan berpengaruh sebesar 13,4% terhadap variabel perilaku penerapan PBM. 4. Persepsi tentang sosialisasi PBM berpengaruh secara sangat nyata sebesar 1,9% terhadap perilaku (pengetahuan dan sikap) penerapan PBM.
70
70
71
5. Perilaku berpengaruh secara sangat nyata sebesar 4,7% terhadap manfaat sosialisasi PBM.
f.
Menggunakan variasi metode secara komprehensif yang antara lain terdiri atas ceramah, tanya jawab, diskusi, simulasi, role play, benchmarking. g. Menggunakan variasi media belajar yang antara lain terdiri dari bahan tulisan/cetakan, photo, slide naratif, film dokumenter. h. Melakukan evaluasi formatif dan sumatif untuk memantau perubahan perilaku dan perubahan kinerja eks peserta sosialisasi dalam menciptakan dan memelihara kerukunan umat beragama. i. Sosialisasi dengan pendekatan kelompok, selalu diawali dengan kontrak belajar untuk mengetahui dan menampung aspirasi peserta.
6. Manfaat sosialisasi PBM berpengaruh secara sangat nyata sebesar 17,4% terhadap kerukunan umat beragama. B. Rekomendasi 1. Strategi sosialisasi PBM yang efektif untuk menciptakan kerukunan umat beragama adalah: a. Tidak melakukan segmentasi dalam penetapan subyek sasaran, sehingga semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam mengikuti proses pendidikan nonformal untuk menciptakan dan memelihara kerukunan umat beragama melalui sosialisasi PBM. b. Sosialisasi dilakukan dengan pendekatan beragam, yaitu penggunaan media massa cetak (koran, majalah, leaflet, booklet dan sejenisnya), maupun elektronik (televisi, radio, internet), kelompok dalam masyarakat, keluarga, dan sekolah dari tingkatan dasar sampai perguruan tinggi. c. Menetapkan tujuan sosialisasi yang sesuai dengan subyek dan kelompok sasaran, serta dapat diukur pencapaiannya. d. Merancang kurikulum sosialisasi yang memuat unsur topik, episode, tujuan, materi, aktivitas belajar, sumber daya (manusia dan material), waktu, tempat, durasi, dan evaluasi. e. Memilah materi yang disesuaikan dengan subyek dan kelompok sasaran yang mengacu pada prinsip jumlah optimal, urutan (sequence), hubungan informasi baru dengan yang telah dimiliki subyek.
72
71
2. Pemerintah daerah dan instansi pemerintah pusat di daerah terutama Kanwil Depag dan Kadepag menyediakan atau meningkatkan dukungan sumber daya (manusia, finansial, material, sosial) kepada FKUB dan dewan penasehat FKUB provinsi, kabupaten/kota agar mereka mampu merancang dan melaksanakan program untuk memelihara kerukunan umat beragama yang antara lain melalui sosialisasi PBM. 3. Provinsi yang belum memiliki peraturan gubernur tentang FKUB dan dewan penasehat FKUB provinsi, kabupaten/kota, perlu segera didesak melalui advokasi untuk menerbitkannya. Bagi provinsi yang telah memiliki peraturan gubernur tersebut segera mensosialisasikannya kepada umat beragama melalui instansi terkait, pemuka dan majelis agama, agar FKUB dapat melaksanakan tugas-tugasnya secara optimal. 4. Forum sejenis kabupaten/kota 72
FKUB yang tetap dijaga
ada pada provinsi, keberadaannya, dan 73
DAFTAR PUSTAKA
dihimbau untuk berpartisipasi penuh dalam keanggotaan FKUB menurut PBM nomor 9 dan 8 tahun 2006.
Ajzen, I. 1988. Attitude, Personality and Behavior. Chicago: Dorsey. Asngari, Pang S. 1982. “Perceptions of District Extension Directors and County Extension Agent Chairmen Regarding The Roles and Functions of The Texas Agricultural Extensin Service.” Disertation. Texas: East Texas State University. Berlo, D.K. 1964. Process of Communication. New York: Holt Rhinehart. Bimo Walgito. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Durkheim, Emile. 1965. The Elementary Forms of The Religious Life, translated from the French by Joseph Ward Swain, New York: Free Press. Durkheim, Emile. 2002. Suicide, translated by John A. Spaulding and George Simpson, edited with and introduction by George Simpson, New York: Free Press. Henslin. James M. 2007. Essensials of Sociology: A Down to Earth Approach. Alih Bahasa: Kamanto Sunarto. “Sosiologi dengan Pendekatan Membumi”. Jakarta. Erlangga. Jahi, Amri. 1993. “Komunikasi dan Pembangunan” dalam Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Disunting oleh Amri Jahi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Jalaluddin Rakhmat. 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 74
73
74
75
Johnson, Doyle Paul. 1990. Teori Sosiologi: Klasik dan Modern Jilid II. Ter-jemahan oleh Robert M.Z. Lawang. Gramedia. Jakarta.
Puslitbang Kehidupan Keagamaan. 2006. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Jakarta.
Kerlinger, Fred N. 2004. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Roger, E.M. (ed). 1985. Komunikasi dan Pembangunan Perspektif Kritis (terjemahan Dasmar Nurdin) Jakarta: LP3ES.
Lies Fahimah. 2001. “Sikap Pekerja Sosial Panti terhadap Etika Kerja”. Thesis. Bogor: IPB. Margono Slamet. 2003. Membentuk Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press. _______________. 1992. “Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyong-song Era Tinggal Landas” dalam Penyuluhan Pembangunan di Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Diedit oleh Aida Vitayala Sjafri Hubeis, Prabowo Tjitropranoto, dan Wahyudi Ruwiyanto. PT Pustaka Pemba-ngunan Swadaya Nusantara. Jakarta. Masri Singarimbun, dan S. Effendi (Editor). 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Taliziduhu Ndraha. 1990. Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Rineka Cipta. Jakart Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat.
76
75
_________ dan F.F. Shoemaker. 1981. Memasyarakatkan Ideide Baru. Terjemahan Abdillah Hanafi. Surabaya: Usaha Nasional. Salkind,N.J. 1985. Theories of Human Development. Second Edition. New York: John Willey & Son, Inc. Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta: PT Bumi Aksara. Siegel, S. 1985. Statistika Non-Parametrik untuk ilmu-Ilmu Sosial (terjemahan Zanzawi Suyuti). Jakarta: PT. Gramedia. Soedijanto Padmowihardjo. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka. Soeitoe. 1982. Psikologi Pendidikan. Indonesia Press.
Jakarta:
Tjokroamidjojo, Bintoro. 1984. Pengantar Pembangunan. LP3ES. Jakarta.
Universitas Administrasi
Totok Mardikanto. 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Van den Ban, A.W. dan H.S. Hawkins. 1988. Agricultural Extension. New York: John & Son, Inc.
76
77
LAMPIRAN 1 PROPOSAL PENELITIAN EFEKTIVITAS SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 A. Latar Belakang Penelitian Salah satu aspek yang dapat mengganggu dan merugikan upaya menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi kerukunan umat beragama adalah persoalan pendirian atau keberadaan rumah ibadat. Beragam kasus yang seringkali muncul, sehubungan dengan pendirian dan keberadaan rumah ibadat di berbagai daerah selama ini, dipandang terkait dengan sejumlah faktor yang dapat menjadi latar belakang penyebabnya, antara lain: 1) Belum adanya Kejelasan mengenai persyaratan dan tata-cara Pendirian Rumah Ibadat, 2) Proses perinzinan pendirian rumah ibadat sering berlarut-larut , 3) Penyalahgunaan rumah tinggal atau bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibadat, 4) Pendirian atau keberadaan rumah ibadat yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku dan aspirasi masyarakat setempat, 5) Selain pengaturan oleh masingmasing Pemda sangat beragam, masih banyak Pemda yang belum memiliki peraturan tentang pendirian rumah ibadat , 6) Kurangnya komunikasi antar pemuka keagamaan di suatu wilayah. Adanya sejumlah kenyataan lapangan yang menyangkut rumah ibadat seperti di atas, acapkali mengundang munculnya kasus-kasus yang menimbulkan ketegangan dan keresahan sosial yang dapat mengganggu 78
77
dan sangat merugikan upaya mewujudkan bangunan kerukunan. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri, bersama-sama dengan perwakilan dari MajelisMajelis Agama (MUI, PGI, KWI, PHDI, dan WALUBI) bersepakat bahwa masalah pengaturan pendirian rumah ibadat yang sebelumnya berlaku, perlu ditata ulang. Melalui proses pembahasan dan dialog yang relatif intensif, serius, dan berulang-ulang, selama lebih kurang enam bulan, berhasil mencapai kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam “PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT” (PBM Nomor : 9 dan 8 Tahun 2006). Berikutnya, supaya PBM ini bisa dipahami, dihayati, dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial beragama dan berbangsa secara luas, tepat dan benar serta efektif, selama kurun waktu sekitar sepuluh bulan sepanjang tahun anggaran 2006, pemerintah bersama-sama dengan majelismajelis agama, telah melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi PBM, baik di tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten. Bagaimana dan sampai sejauhmana respon masyarakat diberbagai daerah, berkenaan dengan upaya sosialisasi ini, baik dari sisi pemahaman, maupun aktualisasinya dalam praktek di lapangan, sampai sejauh ini, setelah sosialisasi PBM selama setahun berlangsung, belum banyak diketahui secara jelas. Untuk mendapatkan kejelasan yang lebih lengkap, utuh dan bisa dipertanggungjawabkan, khususnya mengenai keberhasilan atau efektivitas sosialisasi 78
79
PBM ini, dipandang perlu dilakukan monitoring dan kajian tersendiri dari waktu ke waktu secara seksama, terprogram dan terarah. Berbagai informasi yang berhasil dihimpun melalui kajian ini, dipandang cukup bermakna, selain buat evaluasi, juga dapat dijadikan masukan tambahan buat para pejabat terkait, pemimpin keagamaan, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang kehidupan keagamaan, di bidang kerukunan dan pendirian rumah ibadat, khususnya terkait dengan upaya peningkatan efektivitas sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. B. Masalah Penelitian Dalam kurun waktu 2006 – 2007, Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Beragama Departemen Agama, telah melakukan sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 kepada aparat pemerintah daerah dan tokoh agama di beberapa provinsi. Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 pada dasarnya merupakan input berbentuk proses pendidikan nonformal yang berupaya mewujudkan dampak berupa terciptanya kondisi kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan pemenuhan syaratsyarat dalam pendirian rumah ibadat. Ketiga kondisi tersebut (impact) tidak dapat terwujud begitu saja, tetapi melalui serangkaian pencapaian tujuan secara bertahap yaitu output dan outcome. Output sosialisasi adalah tertanamnya nilai-nilai baru yang akan mendasari perubahan suatu perilaku. Dengan demikian output sosialisasi PBM dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama, tertanamnya nilai-nilai baru dalam kerukunan umat beragama, FKUB, dan pendirian rumah 80
79
ibadat. Sedangkan kelompok tujuan kedua dapat dirinci menjadi tiga aspek perilaku; (1) terjadinya peningkatan pengetahuan tentang materi PBM yang telah disosialisasikan; (2) terwujudnya sikap menerima terhadap aturan PBM; (3) terwujudnya kemampuan untuk menerapkan aturan yang tercantum dalam PBM. Outcome sosialisasi merupakan jembatan antara output dan impact, sehingga merupakan kondisi yang harus ada, agar impact dapat terwujud. Dengan demikian kategori outcome yang akan dicapai adalah (1) terjadinya diseminasi informasi tentang PBM, (2) pembuatan peraturan-peraturan di tingkat provinsi/kabupaten/kota sebagai pendukung pelaksanaan PBM di daerah, (3) peran pemerintah daerah dalam penciptaan kerukunan umat beragama, (4) peran majelis agama dalam penciptaan kerukunan umat beragama, (5) program dan kegiatan penciptaan kerukunan umat beragama. Pascasosialisasi PBM tersebut, belum diketahui secara jelas sejauhmana kegiatan tersebut telah mencapai tujuan (output, outcome, impact). Untuk itu perlu dilakukan penelitian yang cenderung bersifat evaluatif untuk mengetahui sejauhmana pencapaian tujuan tersebut. Bila hasil kajian ternyata tujuan tercapai, berarti sosialisasi yang dilakukan sudah efektif, dan sebaliknya. Disamping menemukan informasi tentang pencapaian tujuan tersebut, dalam penelitian ini diperlukan juga informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi respon sasaran sosialisasi terhadap PBM. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor karakteristik dan persepsi terhadap sosialisasi PBM. Hal ini akan berguna untuk merumuskan suatu model sosialisasi yang mampu mencapai tujuan secara optimal. Selain itu diperlukan juga informasi kualitatif 80
81
berupa faktor pendukung dan penghambat pencapaian tujuan sosialisasi. Dari paparan di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah pokok yang perlu dikaji: 1. Apakah terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam pemeliharaan kerukunan beragama? 2. Apakah terjadi pemberdayaan forum kerukunan beragama? 3. Apakah masyarakat mampu memenuhi syarat pendirian rumah ibadat sesuai PBM? C. Tujuan Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui tingkat pencapaian tujuan sosialisasi PBM. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pencapaian tujuan sosialisasi PBM 3. Merumuskan model sosialisasi PBM yang efektif. D. Manfaat Apabila tujuan penelitian dapat dicapai, maka hasilnya akan bermanfaat bagi: 1. Departemen Agama, khususnya Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan dalam rangka meningkatkan efektivitas sosialisasi PBM untuk mewujudkan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, serta pendirian rumah ibadat. 2. Pemerintah Daerah dalam meningkatkan perannya untuk mendukung keberhasilan sosialisasi dan implementasi PBM.
82
81
3. Forum Kerukunan Umat Beragama dalam melaksanakan tugasnya yang meliputi dialog keagamaan, penjaringan dan penyaluran aspirasi masyarakat, melakukan sosialisasi PBM, serta rekomendasi pendirian rumah ibadat. 4. Masyarakat secara luas dalam meningkatkan partisipasinya untuk memelihara kerukunan umat beragama. E. Definisi Istilah 1. Tingkat pendidikan adalah jumlah tahun sukses mengikuti pendidikan formal. 2. Jumlah pendapatan adalah jumlah uang yang diperoleh dari usaha atau pekerjaan dalam kurun waktu satu bulan. 3. Kedudukan dalam organisasi keagamaan adalah posisi yang diamanahkan oleh organisasi keagamaan dan atau pengikutnya. 4. Kekosmopolitan adalah frekuensi berinteraksi dengan pemeluk agama lain, mengikuti sosialisasi, mencari informasi dari berbagai sumber informasi tentang PBM. 5. Persepsi terhadap sosialisasi PBM adalah pengalaman dan pengetahuan tentang proses belajar yang meliputi tujuan, materi, metode, media, kemampuan fasilitator, alat, bahan, tempat, sarana, prasarana, dan durasi. 6. Partisipasi adalah intensitas keterlibatan dalam pengambilan keputusan tentang perencanaan, pelaksanaan, penilaian sosialisasi PBM. 7. Pengetahuan tentang PBM adalah jumlah skor test tentang materi sosialisasi PBM. 8. Sikap terhadap PBM adalah derajad penerimaan atau penolakan terhadap substansi PBM. 9. Diseminasi informasi PBM adalah penyampaian informasi tentang PBM kepada khalayak luas. 82
83
10. Peraturan terkait PBM adalah keberadaan nilai-nilai formal secara tertulis yang mendukung substansi PBM. 11. Peran pemerintah daerah adalah pelaksanaan tugas kepala daerah dan aparatnya dalam membina kerukunan umat beragama. 12. Peran majelis agama/pemuka agama adalah pelaksanaan keterlibatan mereka dalam membina kerukunan antar umat beragama. 13. Dinamika FKUB adalah proses-proses yang terjadi dalam organisasi FKUB yang meliputi hubungan antar peran, proses komunikasi, dan kerjasama antar mereka. 14. Pendirian rumah ibadat adalah pemenuhan syarat-syarat dan prosedur formal seperti yang tercantum dalam PBM untuk membangun sarana fisik peribadatan. 15. Tingkat toleransi antar umat beragama adalah adalah derajad penerimaan individu terhadap individu lain yang dilatarbelakangi perbedaan agama.
berkembang hingga usia 45 tahun dan akan terus menurun setelah mencapai usia 55 tahun. Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan umur. Faktor pertama ialah mekanisme belajar dan kematangan otak, organ-organ sensual, dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain. Berkenaan dengan umur, von Senden, et.al, (Havighurst 1974: 6) mengamati gejala yang menyatakan bahwa terdapat periode kritis dalam tahap perkembangan selama manusia secara maksimal menerima stimuli spesifik. Tahap seperti itu hadir dalam perkembangan proses sensor utama, seperti konsepsi tentang ukuran, bentuk, dan jarak, dan juga dalam pengembangan perilaku sosial. b. Pendidikan Pendidikan adalah suatu proses terencana untuk merubah perilaku seseorang yang dilandasi adanya perubahan pengetahuan, keterampilam, dan sikapnya (Lunandi 1993: 3). Senada dengan itu, Slamet (2003: 20) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Menurut Soeitoe (1982: 31) pendidikan adalah suatu proses yang diorganisir dengan tujuan mencapai sesuatu hasil yang nampak sebagai perubahan dalam tingkah laku. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru dan juga bagaimana cara berpikir secara ilmiah. Menurut Vaizey (1978: 34) tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kapasitas untuk dapat menikmati hidup yang biasa. Selanjutnya, Salam (1997: 12) berpendapat bahwa pendidikan pada hakekatnya
F. Tinjauan Pustaka 1. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perubahan Perilaku a. Usia Usia menurut kronologi dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu, sebab umur menurut kronologi relatif lebih mudah dan akurat untuk ditentukan (Salkind 1985: 31). Menurut Padmowihardjo (1994: 36) umur bukan merupakan faktor psikologis, tetapi apa yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis. Seseorang yang berumur 15-25 tahun akan belajar lebih cepat dan akan berhasil mempertahankan prestasi belajar jika diberi bimbingan belajar dengan baik. Kemampuan belajar 84
83
84
85
merupakan usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan seseorang dapat melalui atau di luar sekolah dan dapat dialami selama hidup. Dengan demikian melalui pendidikan, pengetahuan dan keterampilan seseorang akan bertambah.
kehidupan termasuk kehidupan beragama misalnya konflik antar agama yang tidak mungkin lagi dipecahkan dengan pengambilan keputusan perorangan. Lebih lanjut van den Ban & Hawkins (1988) menyatakan bahwa partisipasi memungkinkan perubahan-perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir manusia. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih sedikit terjadi dan perubahanperubahan ini tidak akan bertahan lama jika mereka menuruti saran-saran agen penyuluhan dengan patuh, dari pada bila mereka ikut bertanggungjawab. Pertanyaan penting yang menyusul setelah uraian tentang partisipasi adalah “siapa yang berpartisipasi?”. Dalam masyarakat yang ukurannya besar, misalnya pada lingkup provinsi, kabupaten/kota diperlukan wakil-wakilnya. Dengan demikian sangat penting untuk menetapkan bagaimana mereka dipilih dan bagaimana mempertanggungjawabkan keputusankeputusan mereka kepada yang mereka wakili. Dalam konteks kerukunan umat beragama, maka yang diwakili adalah seluruh umat beragama. Wakil-wakil tersebut dapat dipilih melalui (1) organisasi keagamaan, sekurang-kurangnya dengan sejumlah besar umat yang menjadi anggotanya. Wakil-wakil itu dapat dimintai pertanggungjawabannya dalam rapatrapat organisasi rutin. (2) warga setempat yang terpilih menjadi anggota DPRD, karena ia dapat meningkatkan pengaruh politik pada penyuluhan yang tidak selalu diinginkan. (3) agen penyuluhan mencoba memilih orang-orang yang dapat mewakili seluruh kelompok sasaran. (4) kepala daerah dan tokoh masyarakat.
c. Status sosial ekonomi Status sosial ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku. (Bordenave dalam Rogers, 1985: 52). Struktur sosial masyarakat diantaranya adalah kedudukan seseorang dalam kelompok atau organisasi kemasyarakatan, sementara itu struktur ekonomi masyarakat diantaranya adalah jumlah atau tingkat pendapatan setiap anggota masyarakat. d. Partisipasi Partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan, metode, dan evaluasi kegiatan (van den Ban & Hawkins, 1988). Beberapa alasan pentingnya partisipasi sasaran perubahan perilaku adalah (1) mereka memiliki informasi yang sangat penting untuk merencanakan program yang berhasil, termasuk tujuan, situasi, pengetahuan dan pengalaman mereka dengan tekonologi proses pendidikan, serta struktur sosial masyarakat mereka. (2) mereka akan lebih termotivasi untuk bekerjasama dalam proses pendidikan jika ikut bertanggungjawab di dalamnya. (3) masyarakat yang demokratis secara umum menerima bahwa rakyat yang terlibat, berhak berpartisipasi dalam keputusan mengenai tujuan yang ingin mereka capai. (4) banyak permasalahan dalam 86
85
86
87
e. Kekosmopolitan Hasil penelitian Lies Fahimah (2001) tentang sikap pekerja sosial panti terhadap etika kerja menyatakan bahwa pada taraf kepercayaan 99%, kekosmopolitan berhubungan nyata secara positif dengan sikap. Dalam penelitian tersebut yang dimaksud dengan kekosmopolitan adalah frekuensi melakukan kontak dengan sumber informasi, frekuensi mengikuti pelatihan, frekuensi mengikuti pembinaan secara fungsional, frekuensi mencari informasi melalui media massa. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan dasar dalam mencari informasi sejauhmana hubungan antara kekosmopolitan peserta sosialisasi PBM dengan aspek perilaku yang salah satunya adalah sikap.
2. Aspek Perilaku dan Perubahannya a. Pengetahuan Untuk memahami lebih luas tentang apa yang dimaksud dengan pengetahuan, terlebih dahulu harus diketahui secara jelas perbedaan dan persamaannya dengan ilmu. Pengetahuan adalah semua buah pikiran dan pemahaman kita tentang dunia, yang diperoleh tanpa melalui daur hipotetiko-dedukto-verifikatif (gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesa), atau tanpa metode ilmiah. Sedangkan ilmu adalah produk (buah pikiran, pemahaman atas dunia termasuk manusia) dari proses berpikir ilmiah atau metode ilmiah. Dengan demikian faktor pembedanya jelas, yaitu tata cara perolehan – metode ilmiah. Sedangkan faktor persamaannya adalah buah pikiran manusia atas dunianya termasuk atas manusia itu sendiri.
f. Persepsi Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera. Stimulus yang mengenai individu tersebut kemudia diorganisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang diinderanya (Walgito, 2003: 45). Selanjutnya dikatakan bahwa persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berfikir, kerangka acuan, dan aspek-aspek lain yang ada dalam individu akan ikut berperan dalam persepsi tersebut. Sementara itu van den Ban dan Hawkins (1999: 83) menyatakan bahwa persepsi adalah proses menerima informasi atau stimuli dari lingkungan dan mengubahnya ke dalam kesadaran psikologis. Persepsi bersifat relatif, selektif, dan terorganisir pada diri seseorang. 88
87
Dengan asumsi bahwa PBM ditetapkan tanpa melalui metode ilmiah, maka substansi yang terkandung dalam PBM dan menjadi materi dalam sosialisasi adalah pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, dan pendirian rumah ibadat. Untuk mengukur sejauhmana terjadi perubahan pengetahuan, dapat dilihat dari dimensinya. Menurut Bloom (dikutip dalam Soedijanto Padmowihardjo, 1994) dimensinya adalah: (1) Knowledge (pengetahuan) yang antara lain dapat diukur dengan kata kerja mendefinisikan, mendeskripsikan, mengidentifikasikan.
88
89
(2) Comprehension (pemahaman), dapat diukur antara lain dengan kata kerja membedakan, menerangkan, menyimpulkan, menuliskan, memberi contoh. (3) Aplication (penerapan), dapat diukur antara lain dengan kata kerja mengubah, mendemonstrasikan, menghubungkan, memecahkan. (4) Analysis (analisis), dapat diukur antara lain dengan kata kerja merinci, membedakan, memilih, memisahkan. (5) Synthesis (sintesis), dapat diukur antara lain dengan kata kerja menciptakan, mengarang, mengkategorisasi, membuat disain. (6) Evaluation (evaluasi), dapat diukur antara lain dengan kata kerja menilai, membandingkan, menyimpulkan, menafsirkan.
membedakan sikap dengan pendorong yang lain, perlu dipahami beberapa ciri atau sifat dari sikap. Adapun ciri-ciri sikap adalah: (a) sikap tidak dibawa sejak lahir, (b) sikap selalu berhubungan dengan obyek, (c) sikap tidak hanya dapat tertuju pada satu obyek saja, namun juga dapat tertuju pada sekumpulan obyek, (d) sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar, dan (e) sikap mengandung faktor perasaan dan motivasi. Hubungan antara sikap dan perilaku seseorang, menurut Ajzen (1988) bahwa keyakinan tentang konsekuensi perilaku dan penilaian tentang keyakinan akan menumbuhkan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek. Sikap tersebut bersama-sama dengan norma subyektif yang mereka miliki selanjutnya melahirkan intensi untuk berperilaku. Pengukuran sikap yang paling umum digunakan skala Likert. Teknik ini dilakukan dengan mengajukan pernyataan-pernyataan baik yang positif maupun negatif terhadap materi PBM untuk dinilai oleh seseorang, apakah dia sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat (netral), tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Skor atas pilihan terhadap pernyataan positif dan pernyataan negatif adalah kebalikannya.
b. Sikap Thurstone memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek-obyek psikologis (Edwards, 1957: 2). Selanjutnya Walgito (2003: 110) menegaskan bahwa sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada seseorang untuk membuat respon dalam cara tertentu yang dipilihnya.
c. Keterampilan Dalam Taksonomi Bloom, keterampilan ini merupakan terjemahan dari psychomotor yaitu kompetensi yang berkaitan dengan tugas dalam suatu sistem dan perilaku sistematis yang relevan untuk mencapai tujuan. Lebih spesifik lagi keterampilan ini dapat bermakna kemampuan (ability) yang
Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu, namun demikian sikap mempunyai segi-segi perbedaan dengan pendorong-pendorong lain yang ada dalam diri manusia itu. Oleh karenanya untuk 90
89
90
91
menggambarkan suatu sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental atau fisik. Untuk mengukur sejauhmana terjadi perubahan keterampilan, dapat menggunakan dimensinya. Menurut Bloom (dikutip dalam Soedijanto Padmowihardjo, 1994) dimensi keterampilan adalah: (1) Imitation (peniruan); meniru gerak yang telah diamati. (2) Manipulation (manipulasi); menggunakan konsep untuk melakukan gerak. (3) Precision (ketepatan); melakukan gerak dengan teliti dan benar. (4) Articulation (perangkaian); merangkaikan berbagai gerakan secara berkesinambungan. (5) Naturalization (naturalisasi); melakukan gerak secara wajar dan efisien. Untuk mengukur keterampilan sasaran sosialisasi PBM dalam memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan KUB, dan pendirian rumah ibadat, maka diukur sejauhmana kelima dimensi keterampilan tersebut bersesuaian dengan substansi PBM yang menjadi materi dalam sosialisasi PBM. Untuk mengurangi kerancuan tentang konsep “gerak”, kiranya bisa dimaknai sebagai segala upaya yang mungkin dilakukan untuk memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, dan pendirian rumah ibadat.
menjalankan suatu peranan (Soekanto, 1982: 237). Hal yang terpenting dari konsep peranan adalah bahwa hal tersebut dapat mengatur perilaku seseorang individu atau lembaga dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut Soekanto (1982:238-239) menyatakan pentingnya peranan paling sedikit mencakup tiga hal: (1) norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau kedudukan seseorang individu atau lembaga dalam masyarakat, dalam arti merupakan serangkaian peraturan yang membimbingnya dalam kehidupan bermasyarakat; (2) suatu konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (c) sebagai perikelakuan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Seseorang pada kedudukan atau status tertentu dapat dikatakan sudah melaksanakan perannya bila seseorang tersebut sudah melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai status yang disandangnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, Berlo (1964) membagi peran seseorang menjadi tiga, yakni: (1) role prescription; (2) role description; dan (3) role expectation. Role prescription merupakan peran yang dilakukan karena seseorang harus berperan sesuai kedudukan yang diberikan menurut kehendak penyusun skenario. Dengan kata lain peran tersebut layaknya peran yang dilakukan oleh seorang bintang dalam sebuah cerita film sesuai arahan sutradara. Role description merupakan peran aktual yang dilakukan sesuai dengan kedudukan atau status yang disandang dalam kehidupan bermasyarakat. Sementara itu, role expectation merupakan peran yang diharapkan oleh anggota kelompok atau masyarakat pada seseorang individu atau lembaga pada status atau kedudukan tertentu. Dengan demikian,
3. Teori Peran Peranan (role) merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). Bila seseorang atau lembaga melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia sudah 92
91
92
93
FKUB sebagai suatu lembaga keagamaan semestinya masyarakat berharap dapat melaksanakan peran dengan sebaik-baiknya.
masyarakat yang lain, begitu seterusnya sampai semua anggota masyarakat mengetahui materi PBM tersebut. 5. Dinamika Kelompok / Organisasi
4. Diseminasi Informasi
Analisis terhadap dinamika kelompok pada hakekatnya dapat dilakukan melalui dua macam pendekatan, yakni pendekatan sosiologis dan pendekatan psiko-sosial (Mardikanto, 1992: 195-196). Pendekatan sosiologis menganalisis bagian-bagian atau komponen kelompok dan analisis terhadap proses sistem sosial. Pendekatan psiko-sosial menganalisis faktorfaktor yang mempengaruhi dinamika kelompok itu sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa ditinjau dari proses sosial, analisis terhadap suatu kelompok/organisasi mencakup:
Diseminasi infromasi merupakan upaya penyebarluasan informasi dari sumber kepada khalayak sasaran. Kegiatan diseminasi dapat dilakukan melalui pendekatan massa, kelompok, maupun perorangan. Pendekatan massa dapat memanfaatkan media cetak dan elektronik seperti surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Diseminasi informasi bertujuan agar materi informasi dapat dipahami, disikapi, dan dilaksanakan oleh sasaran dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kegiatan sosialisasi PBM, proses diseminasi dilakukan oleh sumber (aparat Depag atau dinas instansi terkait) kepada khalayak sasaran (masyarakat luas). Namun karena keterbatasan tenaga, biaya, dan waktu khalayak sasaran terbatas pada tokohtokoh agama yang ada di berbagai kota terpilih, melalui pendekatan kelompok dimana sasaran dikumpulkan pada suatu tempat untuk mendapatkan informasi tentang PBM yang disampaikan melalui ceramah dan tanya jawab.
(1) Komunikasi (communication), yaitu interaksi antar sesama anggota dalam pelaksanaan kegiatan demi tercapainya tujuan kelompok. Komunikasi dalam kelompok diupayakan agar semua anggota dapat dan mau berinteraksi untuk mencapai tujuan kelompok yang sudah disepakati. (2) Pemeliharaan batas (boundary maintenance), yaitu pemeliharaan batas-batas sistem sosial (kelompok/organisasi) dengan lingkungannya agar ada perbedaan yang jelas antara sesama anggota (ingroup) dengan bukan anggota (out-group) sehingga terjalin rasa setia kawan dalam mewujudkan identitas kelompok maupun untuk mengahadapi tekanan dari luar. (3) Kaitan sistemik (systemic linkage), yaitu proses terjadinya jalinan atau keterkaitan antar sistem sosial atau antar kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Melalui pergaulan dan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat diharapkan terjadi proses lanjutan, yaitu proses difusi artinya tokoh agama yang telah mengetahui informasi tentang PBM dapat menyebarluaskan kepada anggota kelompoknya, dan anggota kelompok yang sudah mengetahui informasi PBM tersebut juga menyebarluaskan kepada anggota
94
93
94
95
(4) Pelembagaan (institutionalization), yaitu proses pengembangan fungsi-fungsi sosial atau hubunganhubungan sosial yang dapat memberikan arahan demi tercapainya tujuan-tujuan kelompok. (5) Sosialisasi (socialization), yaitu proses pembelajaran atau pewarisan nilai-nilai kelompok dalam rangka menyiapkan setiap anggota kelompok untuk dapat melaksanakan perannya sesuai dengan kedudukannya dalam kelompok sehingga mampu berperilaku dan dapat melaksanakan kegiatan demi pencapaian tujuan kelompok. (6) Kontrol sosial (social control) yaitu proses pengawasan terhadap perilaku atau kegiatan setiap anggota kelompok agar tidak menyimpang dari aturan-aturan yang telah disepakati, demi tercapainya tujuan seperti yang diharapkan. G. Kerangka Berpikir Setelah ditetapkannya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, proses sosialisasi telah dilakukan oleh departemen maupun dinas/instansi terkait. Sasaran utama sosialisasi PBM di tingkat provinsi/ kabupaten/kota adalah para tokoh agama yang ada di setiap daerah. Setelah kurang lebih satu tahun proses sosialisasi dilakukan, perlu diketahui keberhasilan atau efektivitas sosialisasi PBM yang telah dilakukan tersebut. Namun demikian, keberhasilan atau efektivitas sosialisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama karakteristik sasaran. Karakteristik seseorang (faktor internal) yang meliputi umur, agama, kedudukan dalam organisasi, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, kekosmopolitan, partisipasi dalam sosialisasi akan mempengaruhi perubahan 96
95
perilakunya, termasuk perubahan perilakunya setelah seseorang mendapatkan atau mengikuti sosialisasi materi PBM. Persepsi terhadap Sosialisasi PBM yang mencakup kemampuan fasilitator, metode, dan lain-lain, diharapkan mampu mengubah perilaku sasaran tentang substansi PBM. Perubahan perilaku sasaran tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek, yakni pengetahuan tentang substansi PBM, sikap terhadap substansi PBM, dan kemampuan sasaran dalam mengimplementasikan substansi PBM dalam kehidupan bermasyarakat. Materi PBM sebagai suatu inovasi dalam kehidupan bermasyarakat hanya mengandung komponen ide (gagasan) dan tidak memiliki komponen obyek (fisik), serta dalam pelaksanaan sosialisasi hanya berupa aspek pengetahuan dan sikap, sehingga perubahan perilaku yang terkait dengan materi PBM hanya dapat kita ukur dari aspek pengetahuan dan sikap sasaran sosialisasi terhadap materi PBM. Meskipun perubahan aspek keterampilan tidak dapat diukur secara langsung namun dapat dilihat dalam kehidupan bermasyarakat dalam bentuk outcome (diseminasi informasi PBM, peraturan terkait PBM (prosedur), peran aparat pemda dalam KUB, peran majelis agama dalam KUB, program KUB). Manfaat yang dapat dirasakan setelah sosialisasi PBM diharapkan akan berdampak pada terciptanya kondisi kerukunan umat beragama. Sesuai dengan substansi PBM, dampak tersebut dirasakan melalui adanya pemenuhan syarat-syarat pendirian rumah ibadat, peningkatan dinamika FKUB, dan meningkatnya derajad toleransi beragama di daerah. Namun demikian, fakta di masyarakat dapat dijumpai adanya faktor pendukung maupun faktor 96
97
penghambat terjadinya dampak (impact) sosialisasi PBM tersebut. Secara skematis, hubungan antar peubah dalam penelitian ini dapat dilihat pada diagram atau Gambar 1 berikut:
(X1) Karakteristik (faktor-faktor yg
Berpengaruh) Usia Lama sekolah Jumlah pendapatan Kedudukan dalam org. keagamaan Agama Kekosmopolitan Partisipasi dalam sosialisasi
(X2) Persepsi terhadap Sosialisasi PBM tujuan materi metode media kemampuan fasilitator alat bahan tempat sarana prasarana durasi
(Y3) Kerukunan beragama (dampak) Pendirian rumah ibadat Tingkat toleransi antar umat agama
(Y1) Variabelan aspek perilaku tentang substansi PBM (output) Pengetahuan Sikap
Penghambat
Pendukung
Penghambat
Penghambat
Pendukung
(Y2) Manfaat sosialisasi (outcome) Diseminasi informasi PBM Peraturan terkait PBM Peran pemda dalam KUB Peran majelis dan oemuka agama dalam KUB Dinamika FKUB
Gambar 1. Hubungan antar variabel penelitian
98
Pendukung
H. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, masalah, tinjauan pustaka, dan kerangka berfikir, hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik sasaran (usia, lama sekolah, jumlah pendapatan, kedudukan dalam organisasi keagamaan, agama, kekosmopolitan, dan partisipasi dalam sosialisasi dengan perubahan pengetahuan dan sikap terhadap PBM. (2) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik sasaran dengan persepsi terhadap sosialisasi PBM. (3) Terdapat hubungan nyata antara persepsi terhadap sosialisasi PBM dengan perubahan pengetahuan dan sikap terhadap PBM. (4) Karaktersistik individu berpengaruh nyata terhadap perubahan pengetahuan dan sikap tentang PBM. (5) Karaktersistik individu berpengaruh nyata terhadap persepsi sosialisasi PBM. (6) Persepsi sosialisasi PBM berpengaruh nyata terhadap perubahan pengetahuan dan sikap PBM. (7) Perubahan pengetahuan dan sikap tentang PBM berpengaruh nyata terhadap manfaat sosialisasi PBM. (8) Manfaat sosialisasi PBM berpengaruh nyata terhadap tingkat kerukunan beragama. I.
Lokasi
Penelitian ini dilakukan di 13 lokasi, masing-masing di Medan-Sumatera Utara; Padang-Sumatera Barat; Banda Aceh – Nangroe Aceh Darussalam; Semarang – Jawa Tengah; Surabaya – Jawa Timur; Denpasar-Bali; Pontianak – Kalimantan Barat; Banjarmasin – Kalimantan Selatan; Ambon – Maluku; Kupang - Nusa Tenggara Timur; Tanjung Pinang – 98
99
Kepulauan Riau; Kendari – Sulawesi Tenggara dan Palangkaraya-Kalimantan Tengah. Pemilihan 13 lokasi ini dengan pertimbangan, selain di daerah setempat sudah pernah dilakukan sosialisasi PBM, secara geografis wilayah sasaran tersebut terletak di kawasan berbeda yakni kawasan barat, tengah, dan timur. J.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah anggota masyarakat Indonesia yang telah mengikuti sosialisasi. Kegiatan sosialisasi ini telah di laksanakan di tiga belas kota (provinsi), yang dihadiri oleh perwakilan semua pemeluk agama di lokasi sosialisasi. Menurut Yamane (1967:99 dalam Rahmat, 2002:82), untuk menghitung ukuran sampel didasarkan pada pendugaan proporsi populasi. Rumus sederhana yang digunakan sebagai berikut:
n
N N 2 1
dimana : n = jumlah sampel N = populasi α = 1 - presisi (tingkat kepercayaan)
Penelitian ini merupakan penelitian survey, artinya penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun, 1989:3). Senada dengan pendapat tersebut Kerlinger (2004 : 660) menyatakan bahwa penelitian survey mengkaji populasi yang besar maupun yang kecil dengan menyeleksi serta mengkaji sampel yang dipilih dari populasi tersebut untuk menemukan insidensi, distribusi, dan interrelasi relatif dari variabel-variabel sosiologis dan psikologis. Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, artinya penelitian ini berusaha menggambarkan secara deskriptif dari temuan data di lapangan, dan berusaha mencari hubungan antara data yang bersifat bebas (independent variable) dengan data yang bersifat terikat (dependent variable). Penelitian ini juga bersifat confirmatory, artinya data yang dikumpulkan dengan cara mengkonfirmasi data yang sudah ada kepada sampel atau responden dengan cara wawancara langsung (interview) dengan berpedoman pada kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. L.
Dengan asumsi sasaran sosialisasi di setiap provinsi sebanyak 50 orang, berarti populasi sasaran dari 13 lokasi adalah sejumlah 650 orang. Berdasarkan rumus Yamane tersebut, dengan presisi 95% maka jumlah sampel sebesar 248 orang. Penentuan sampel penelitian ini dilakukan secara proporsional random sampling. Proporsi sampel didasarkan atas jumlah pemeluk agama peserta sosialisasi di masingmasing lokasi penelitian. 100
K. Rancangan Penelitian
99
Data dan Instrumentasi
Data penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari kepala keluarga sebagai sampel. Jenis data yang dikumpulkan beragam dari data nominal untuk: agama; data interval untuk: kedudukan dalam organisasi keagamaan, kekosmopolitan, partisipasi dalam sosialisasi, persepsi terhadap sosialisasi (fasilitator, media, metode, materi, dan akses terhadap informasi); data rasio untuk usia, lama 100
101
sekolah (tingkat pendidikan), dan jumlah pendapatan. Data primer juga dilengkapi dari pengamatan langsung yang diperoleh peneliti selama melaksanakan pengumpulan data primer, namun tidak tercantum dalam kuesioner. Data ini diharapkan dapat melengkapi data dan gambaran umum tentang sampel dan wilayah penelitian. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga atau dinas instansi yang terkait dengan penelitian ini. Instrumentasi merupakan upaya menyusun alat ukur atau menentukan parameter terhadap variabel yang diteliti. Instrumentasi yang berupa kuesioner dikembangkan melalui penentuan batasan operasional dari variabel, menetapkan indikator-indikator variabel, dan menentukan parameter dari setiap indikator variabel. Kuesioner yang telah disusun, sebelum digunakan untuk mengumpulkan data penelitian terlebih dulu diuji validitas dan reliabilitasnya. M. Validitas dan Reliabilitas
Reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menghitung nilai korelasi ”product moment” antara masing-masing pertanyaan dengan skor total, dengan rumus sebagai berikut: r =
N ( XY ) ( X Y )
N X
2
( X 2 ) N Y 2 ( Y ) 2
(Singarimbun, 1989: 137)
Validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian ini menggunakan kuesioner, maka kuesioner yang digunakan harus mengukur apa yang ingin diukur. Validitas alat pengumpul data yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam mengukur gejala yang sama. Setiap alat 102
pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk memberikan hasil pengukuran yang konsisten. Dalam pengukuran gejala sosial selalu diperhitungkan unsur kesalahan pengukuran (measurement error). Setiap hasil pengukuran sosial selalu merupakan kombinasi antara hasil pengukuran yang sesungguhnya (true score) ditambah dengan kesalahan pengukuran. Makin kecil kesalahan pengukuran, makin reliabel alat pengukur tersebut, sebaliknya semakin besar kesalahan pengukuran, alat pengukur tersebut makin tidak reliabel.
101
N.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data primer melalui wawancara dengan responden dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2007. Lokasi dalam kajian ini meliputi 13 wilayah sasaran, masingmasing di Banda Aceh-Nangroe Aceh Darussalam; MedanSumatera Utara; Padang-Sumatera Barat; TanjungpinangKepulauan Riau; Surabaya-Jawa Timur; Denpasar-Bali; Mataram-Nusa Tenggara Barat; Palangkaraya-Kalimantan Tengah; Banjarmasin-Kalimantan Selatan; PontianakKalimantan Barat; Kendari-Sulawesi Tenggara, AmbonMaluku; dan Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemilihan 13 lokasi ini dengan pertimbangan, selain di daerah setempat sudah pernah dilakukan sosialisasi PBM, 102
103
secara geografis wilayah sasaran tersebut terletak di kawasan berbeda yakni kawasan barat, tengah, dan timur. Sumber data primer penelitian ini adalah anggota masyarakat yang telah mengikuti sosialisasi di lokasi terpilih, yang diharapkan mewakili semua anggota masyarakat, semua pemeluk, semua agama yang ada di wilayah tersebut. Pengumpulan data akan dilakukan oleh enumerator. Untuk menyamakan pemahaman terhadap materi kuesioner, enumerator diberikan pembekalan (coaching) dilanjutkan dengan uji coba kuesioner (try out)di DKI Jakarta. O. Analisis Data Analisis data penelitian ini menggunakan uji korelasi Koefisien Kontingensi, uji korelasi Rank Spearman, dan dilanjutkan dengan regresi linear berganda, serta analisis jalur (path analysis). Uji korelasi Koefisien Kontingensi digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel jenis kelamin, agama, dan etnis responden dengan variabel lain. Uji Koefisien Kontingensi dipilih karena data tersebut termasuk data nominal. Uji Koefisien Kontingensi didapatkan setelah kita dapatkan nilai χ2 (Chi-Square). Besarnya Koefisien Kontingensi menurut Siegel (1986: 243) adalah sbagai berikut:
2 N
C r
dimana χ = 2
k
i 1 j 1
104
E ij
Eij = banyak kasus yang diharapkan di bawah Ho untuk dikategorikan dalam baris ke-i pada kolom ke-j. Uji Korelasi Rank Spearman (rs atau ρ) digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara data variabel yang termasuk data ordinal atau interval. Dalam penelitian ini data karakteristik responden kedudukan dalam organisasi keagamaan, kekosmopolitan, partisipasi dalam sosialisasi, persepsi terhadap kemampuan fasilitator, media, metode, materi, dan akses terhadap informasi; data rasio untuk usia, lama sekolah (tingkat pendidikan), dan jumlah pendapatan, serta frekuensi mendapat informasi. Besarnya Korelasi Rank Spearman (rs) menurut Siegel (1986: 253) adalah sebesar: N
6 d i2 rs = 1 -
i 1 3
N N
dimana: N = jumlah sampel di = perbedaan antar kedua ranking Untuk variabel yang memiliki hubungan nyata dengan variabel terikat (Y1 atau perubahan aspek perilaku, Y2 atau manfaat sosialisasi (outcome), dan Y3 atau kerukunan beragama (dampak) dilanjutkan dengan uji regresi linear berganda, dimana besarnya Y = f (a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ….+ ε) (Supranto, 2004:57)
2
(Oij Eij ) 2
dimana Oij = jumlah observasi untuk kasus-kasus yang dikategorikan dalam baris ke-I pada kolom ke-j,
,
103
104
105
Untuk memperkuat alasan kemana arah pengaruh berbagai variabel bebas (X1 dan X2) terhadap variabel terikat (Y), maka dilanjutkan dengan analisis jalur (path analysis). Langkah yang dilakukan terhadap hasil uji regresi adalah merumuskan fungsi (Y1) dengan koefisien X yang berpengaruh, dengan persamaan fungsi Z dengan koefsien X yang distandarisasi. Dari berbagai variabel yang berpengaruh kemudian kita rumuskan fungsi dari koefisien variabel bebas yang pengaruhnya nyata.
Tahap pengolahan data dimulai dari editing, tabulasi, kompilasi, dan data entry yang memanfaatkan software Exel 2003 dan selanjutnya dianalisis dengan bantuan software SPSS (Statistical Package for Social Sciences).
Selanjutnya kita lakukan pemeriksaan validitas model, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kesahihan suatu analisis yang kita lakukan, dengan menghitung besarnya koefisien determinasi. Koefisien determinasi total untuk mengetahui validitas model. Untuk itu harus dihitung besarnya ε1 dan ε2, dengan rumus (Solimun, 2002) ε=
1 R2
Besarnya koefisien determinasi total, Solimun (2002) dirumuskan sebagai berikut:
menurut
Rm2 1 Pe21 Pe22 ...Pep2 Uji ini untuk mengetahui keragaman data yang dapat dijelaskan oleh model tersebut. Dengan kata lain seberapa besar (persentase) informasi yang terkandung dalam data yang dapat dijelaskan oleh model tersebut, dan informasi yang dapat dijelaskan oleh variabel lain (yang belum terdapat di dalam model), serta tingkat kesalahan (error) dari model. Setelah dilakukan validasi kita dapatkan jalur atau arah pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
106
105
106
107
LAMPIRAN 2 CATATAN HASIL WAWANCARA DAN PENGAMATAN I SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Nangroe Aceh Darussalam Oleh: Haidlor Ali Ahmad, MM Pada pertengahan bulan Desember 2006 telah dilaksanakan Sosialisasi PBM bagi 100 orang peserta yang terdiri dari para pemimpin formal dan informal, yaitu pejabat pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota, para tokoh agama, pimpinan ormas keagamaan, tokoh adat, tokoh masyarakat, tokoh muda, dan unsur perguruan tinggi. Selanjutnya, dalam setiap orientasi atau dialog baik yang bersifat intern umat beragama dengan pemerintah maupun antar umat beragama selalu dilakukan Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Kegiatan sosialisasi PBM tersebut biasanya diikuti 160 orang peserta, dengan alokasi waktu yang dibutuhkan untuk masingmasing kegiatan selama 4 jam permateri. Menurut salah seorang pejabat di Kanwil Departemen Agama, sosialisasi PBM di wilayah Provinsi NAD baru dilaksanakan oleh Kanwil Departemen Agama Provinsi, sedangkan instansi-instansi lain belum ada yang melaksanakan. Pihak Kesbang Linmas membenarkan pernyataan pejabat Kanwil Departemen Agama tersebut, 108
107
menegaskan bahwa sosialisasi dari Departemen Dalam Negeri secara khusus memang belum pernah dilakukan. Tapi dari Depdagri biasanya memasukkan materi sosialisasi PBM dalam berbagai macam kegiatan. Diakui pula mereka yang mengikuti kegiatan tersebut memang sangat terbatas, khususnya dari jajaran Kesbang Kota Banda Aceh. Rencana sosialisai yang akan datang akan diadakan sosialisasi PBM bagi seluruh BEM perguruan tinggi di wilayah Provinsi NAD, dengan tema Revitalisasi Wawasan Kebangsaan. Dalan pelaksanaan sosialisasi PBM masalah sarana dan prasarana tidak menjadi hambatan karena sosialisasi PBM tidak membutuhkan sarana dan prasarana secara khusus. Demikian pula, SDM tidak pada hambatan, Karena SDM untuk sosialisasi PBM cukup. Namun yang terasa menjadi hambatan adalah masalah dana.
Pasca Sosialisasi Penyelesaian Kasus Rumah Ibadat Setelah diselenggarakan sosialisasi PBM, pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota memiliki acuan jelas, yang memiliki kekuatan hukum yang sah. Penyelesaian kasus rumah ibadat, antara lain dilakukan di Kota Langsa berupa penyalahgunaan bangunan ruko menjadi tempat ibadat. Hal ini telah selesai dengan kesadaran dan pengakuan dari pihak pelaku serta telah ditandatangani surat pernyataan dan mengembalikan bentuk bangunan sesuai dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Wali Kota Langsa.
108
109
Selain itu juga dilakukan penyelesaian kasus penyalahgunaan bangunan rumah dijadikan tempat ibadat di Desa Dalam Kecamatan Karang Baru Kabupaten Aceh Tamiang. Kasus ini diselesaikan dengan diterbitkannya Instruksi Gebernur NAD kepada Bupati Aceh Tamiang. Instruksi ini telah ditindaklanjuti oleh pihak terkait dan yang pemeluk agama yang bersangkutan telah menghentikan kegitannya. Program Jangka Pendek dan Jangka Panjang Setelah dilaksanakan sosialisasi di wilayah Provinsi NAD, selanjutnya akan dilaksanakan langkah-langkah berupa program jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut: Program Jangka Pendek 1. Musyawarah/Dialog Kerukunan Intern , Antar Umat Beragama dan Antara Umat Beragama dengan Pemerintah; 2. Orientasi dan Pembinaan Kerukunan Umat Beragama bagi Penyuluh Agama; 3. Sosialisasi secara intensif tentang Peningkatan Kerukunan Umat Beragama Sesuai dengan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 serta peraturan dan perundangan lain yang berlaku. Ketiga kegiatan tersebut tersebut telah dilaksanakan dalam bulan April 2007 dan berakhir pada tanggal 5 Mei 2007. 4. Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk tingkat provinsi dan semua kabupaten/kota. Sesuai dengan tuntutan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 bahwa FKUB harus terbentuk selambat-lambatnya satu 110
109
tahun sejak PBM tersebut diberlakukan. Namun untuk Provinsi NAD pada waktu penelitian ini dilakukan, baru menerbitkan Peraturan Gubernur yang mengatur tentang FKUB. Sedangkan pembentukan FKUB nya sedang dalam proses pembuatan SK pengurus. Keterlambatan Provinsi NAD dalam pembentukan FKUB adalah karena : Di wilayah Provinsi NAD tidak pernah terjadi konflik antar umat beragama . Segenap komponen masyarakat sedang sibuk berbenah diri dari berbagai persoalan baik karena peristiwa tsunami yang meluluhlantakkan berbagai sarana dan prasarna, maupun karena konflik antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dua hal ini menjadi prioritas utama pemerintah dan elemen masyarakat. Sejak tahun 2004 Gubernur NAD tidak definitive dan dari 21 bupati/walikota dalam wilayah NAD 19 bupati/walikota diantaranya adalah pejabat sementara yang masa jabatannya hanya 6 bulan, yang selanjutnya digantikan oleh pejabat sementara yang baru. Kesibukan Gubernur NAD, Bupati/Walikota di seluruh wilayah Provinsi NAD dan staf-stafnya serta instansi terkait dan sejumlah elemen masyarakat menangani persiapan hingga penyelenggaraan Pilkada.yang dilaksanakan secara serentak pada tanggal 11 Desember 2006. Program Jangka Panjang 1. Mewujudkan Sekretariat Bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) 2. Membangun jaringan komunikasi (network) kerukunan umat beragama. 110
111
3. Melaksanakan program peningkatan pengamalan dan penghayatan ajaran agama secara konsekuen dan konsisten melalui dakwah /khutbah/pengjian dan berbagai kegiatan keagamaan lainnya. 4. Mengupayakan penyediaan dana pendukung kerukunan umat beragama baik melalui ABPD maupun ABPN untuk seluruh kabupaten/kota. Pembinaan Kerukunan Umat Beragama Pembinaan kerukunan umat beragama yang telah dilakukan hingga tahun 2006 sebagai berikut: 1. Dialog Intern Umat Beragama Angkatan I berjumlah 40 orang peserta yang terdiri dari tokoh agama (Islam ). Dilaksanakan pada tanggal 21 – 24 Juli, bertempat di Gedung PSBB MAN Model Banda Aceh. 2. Dialog Antara Umat Beragama dengan Pemerintah satu angkatan jumlah peserta 40 orang, yang terdiri dari tokoh-tokoh agama. Dilaksanakan pada tanggal 21-24 Juli 2006 bertempat di gedung PSBB MAN Model Banda Aceh. 3. Dialog Intern Umat Beragama Angkatan II jumlah peserta 40 orang , terdiri dari tokoh agama Islam. Dilaksanakan pada tanggal 28-31 Juli 2006 di Gedung Islamic Center Kota Langsa. 4. Dialog Antar Umat Beragama satu angkatan, jumlah peserta 40 orang yang terdiri dari tokoh/pemuka agama dari semua agama, dilaksanakan pada tanggal 28-31 Juli 2006 bertempat di Gedung Islamic Centre Kota Langsa. Pembentukan FKUB Pada tanggal 19 Juli 2007 Provinsi NAD telah berhasil menyusun personalia FKUB Provinsi NAD. Susunan personalia tersebut sebagai berikut: 112
111
No 1 2 3 4 5. 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 112
Nama
Agama
Jabatan
Dr. H. Syamsul Rijal, M.Ag. H. Syamsunan Muhammad, SE P. Sebastianus Eka, BS
Islam
Ketua
Islam
Drs. Muharrir Asy’ary Dr. Nurjanah Ismail, M.Ag. Drs.HM. Jamil Ibrahim Drs. H. Abdurrahman Kaoy Syamsul Bahri, S.Ag, M.Ag. Tgk H. Daud Zamzamy Dr.H. Azman Ismail Drs. H. Salahuddin Hasan Dra. Raihan Putri,M.Pd. Ir. Zardan ‘Araby, MM, MT. Dr.Ir.H. Agussalim H.Zainuddin Ahmad, S.Ag Drs.H. Adnan Jamal Drs. Tgk. H.Ghazali M. Syam Firman Mangunso Kasai Ir. Paini
Islam Islam Islam Islam
Wakil Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Skretaris Anggota Anggota
Islam
Anggota
Islam Islam Islam Islam Islam
Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Islam Islam
Anggota Anggota
Islam Islam
Anggota Anggota
Protestan Buddha Hindu Khonghucu
Anggota Anggota Anggota Anggota
Katolik
113
Nama Susunan Personalia FKUB ini masih merupakan konsep, belum diberi nomor dan baru diparaf oleh Kaba Kesbang, Drs. Suwarno Amin. Anggota nomor 21 yang disediakan untuk wakil dari Khonghucu masih kosong. Sebagaimana di atas sudah dijelaskan, kalangan WNI keturunan Cina/Tionghoa tidak ada yang mengaku sebagai penganut Khonghucu, pada umumnya mereka menganut agama Katolik atau Buddha. Efektivitas Sosialisasi PBM.
Daftar Bacaan Pakeh, M. Daud, Drs. H., Kondisi Kerukunan Umat Beragama di Provinsi Nangro Aceh Darussalam, (makalah, tidak diterbitkan), Banda Aceh, 5 Mei 2007. Satker Sementara BRR Penguatan Kelembagaan Kominfo, Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Tidak efektifnya sosialisasi PBM di wilayah Provinsi NAD karena tidak dosialisasikan hingga akar rumput. Saran dari pejabat Kesbang Linmas Provinsi NAD di wilayah NAD harus ada kebijakan lain. Belum efektifnya sosialisasi PBM antara lain terlihat sebagian besar responden yang mengisi kuesioner, tidak bersedia mengisi/menjawab pertanyaan berkenaan dengan keberadaan rumah ibadat umat lain di lingkungannya. Responden tersebut berasal dari berbagai agama dan sudah mengikuti sosialisasi PBM. Salah seorang responden (muslim) mengatakan jika ada rumah ibadat dari agama lain dan sudah ada sejak dahulu, maka kami berkewajiban untuk menjaganya. Tapi jika di lingkungan kami akan didirikan rumah ibadat baru oleh umat lain, hal itu jangan sampai terjadi.
114
113
114
115
II SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Sumatera Utara Oleh: Titik Suwariyati dan Akmal Salim Ruhana Hingga Mei 2007 di Sumatera Utara telah dilakukan sedikitnya enam kali acara Sosialisasi. Tiga kali diantaranya diselenggarakan oleh Kanwil Departemen Agama Provinsi Sumatera Utara. Pemberi materi pada Sosialisasi tersebut ialah Kepala Kanwil Depag Sumatera Utara, Bapak Drs. H. Z. Arifin Nurdin, SH, M.Kn. Jika beliau berhalangan, maka Kabag TU, Bapak H. Taufiqurrahman, yang mewakilinya. Dalam pelaksanaannya, narasumber dari Kanwil ini selalu dipanel dengan narasumber dari Badan Kesabangpol/Linmas Sumatera Utara, baik Kepala Badannya maupun yang mewakilinya. Selain itu, turut dipanel juga narasumber perwakilan dari FKUB Provinsi Sumatera Utara.
FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Di Provinsi Sumatera Utara, seluruh kabupaten/kota telah membentuk FKUB dan Dewan Penasihat FKUB. Namun demikian, hingga penelitian ini dilakukan baru 6 dari 28 kabupaten/kota saja yang telah dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bupati/Walikota. Di tingkat provinsi sendiri telah dibentuk dikukuhkan dengan Peraturan Gubernur, yakni Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2006 tentang FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota Sumatera Utara, tertanggal 19 Agustus 2006. Surat Keputusan dan Peraturan tersebut sesungguhnya bukanlah semata pengukuhan eksistensi FKUB dan Dewan Penasihat FKUB, melainkan jawaban atas tuntutan Pasal 12 PBM yang menjadi guidance dalam pelaksanaan tugas FKUB dan Dewan Penasihat FKUB di daerah masing-masing. Berikut selengkapnya beberapa SK dan Peraturan yang telah diterbitkan di Sumatera Utara: No.
Demikian halnya jika Sosialisasi diselenggarakan oleh Kesbang/Linmas ataupun FKUB, narasumbernya berasal dari ketiga instansi Depag, Kesbang/Linmas dan FKUB.
1
Tatacara Sosialisasi yang dilakukan masih konvensional. Setelah acara seremoni pembukaan, dilanjutkan dengan pemaparan oleh para narasumber secara panel. Biasanya pemaparan ini dibantu alat peraga berupa LCD yang menayangkan slide powerpoint PBM—yang telah baku dan diterima dari pusat. Setelah pemaparan ketiga narasumber, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan peserta, hingga dua atau tiga sesi. 116
115
116
Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara
Peraturan terkait FKUB 1. Peraturan Gubernur Sumatera Utara No. 24 Tahun 2006 tentang FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota Sumatera Utara (tgl. 19 Agustus 2006) 2. SK Gubernur Sumatera Utara No. 450/417/K/2007 tentang Komposisi Keanggotaan FKUB Provinsi Sumatera Utara, periode 2007-2012 (tgl. 22 Maret 2007) 117
2
3
4
118
Kabupaten Dairi
Kabupaten Toba Samosir
Kabupaten Mandailing Natal
3. SK Gubernur Sumatera Utara No. 450-05/418/K/2007 tentang Pembentukan Dewan Penasihat FKUB Provinsi Sumatera Utara (tgl. 22 Maret 2007) 1. SK Bupati Dairi No. 53 Tahun 2007 tentang Pengukuhan Kepengurusan FKUB Kabupaten Dairi, periode 2007-2012 (tgl. 8 Maret 2007) 2. SK Bupati Dairi No. 58 Tahun 2007 tentang Dewan Penasihat FKUB Kabupaten Dairi (tgl. 14 Maret 2007) 1. SK Bupati Toba Samosir No. 29 Tahun 2007 tentang Komposisi Keanggotaan FKUB Kabupaten Toba Samosir, periode 2007-2012 (tgl. 19 Februari 2007) 2. SK Bupati Toba Samosir No. 31 Tahun 2007 tentang Pembentukan Dewan Penasihat FKUB Kabupaten Toba Samosir (tgl. 21 Februari 2007) SK Bupati Mandailing Natal No. 400/251/K/2007 tentang Pembentukan Dewan Penasihat dan Dewan Pengurus FKUB Kabupaten Mandailing Natal (tgl. 1 Mei 2007) 117
5
Kabupaten Serdang Bedagai
Kabupaten Asahan
Kota Sibolga
SK Bupati Serdang Bedagai No. 175/450/2007 tentang Penetapan Susunan Pengurus FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Kabupaten Serdang Bedagai (tgl. 31 Mei 2007) SK Bupati Asahan No. 158SOS/2007 tentang Komposisi Dewan Penasihat, Sekretariat Dewan Penasihat, dan Struktur Pengurus FKUB Kabupaten Asahan, periode 2007-2012 (tgl. 30 Mei 2007) SK Walikota Sibolga No. 230/72/2007 tentang Pembentukan FKUB Kota Sibolga, periode 2007-2012 (tgl. 11 April 2007)
Adapun kabupaten/kota yang belum menerbitkan SK atau peraturan tentang ini, adalah: Kabupaten Batubara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Karo, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Langkat, Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Angkola Sipirok, Kota Binjai, Kota Medan, Kota Padang Sidempuan, Kota Pematangsiantar, Kota Tanjung Balai, dan Kota Tebing Tinggi. Sesungguhnya di Sumatera Utara sebelum adanya perintah PBM untuk membentuk FKUB ini telah ada forum 118
119
sejenis FKUB yang telah lama eksis dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Forum itu adalah Forum Komunikasi Pemuka Agama (FKPA) Sumatera Utara, yang telah berdiri sejak tahun 1996. Namun sejak diterbitkannya PBM, dalam rangka mematuhi perintah Pasal 27 Ayat 2 tentang Ketentuan Peralihan, maka FKPA dibubarkan dan dibentuk FKUB sesuai ketentuan dalam PBM. Di Sumatera Utara, di samping FKUB ada juga LPKUB (Lembaga Pengkajian Kerukunan Umat Beragama), yang juga telah eksis sejak 1996. Lembaga ini tidak mengalami peleburan atau pembubaran karena bukan sejenis FKUB, melainkan sebuah lembaga yang memfokuskan diri pada masalah-masalah kerukunan di Sumatera Utara dari sisi kajian/penelitian an sich dan tidak pada tataran praksis sebagaimana FKPA. Lembaga ini tetap ada bahkan ‘satu atap’ (maksudnya, berkantor pada gedung yang sama namun berbeda lantai) dengan Kantor FKUB Provinsi Sumatera Utara, yakni di Lt. 3 sebuah ruko di bilangan Jl. Amal Medan, Sumatera Utara—satu lantai di atas Ruang Rapat Kantor FKUB. Penolakan terhadap PBM? Sejauh ini, di Sumatera Utara tidak ada penolakan terhadap PBM, selain adanya beberapa keberatan secara pribadi-pribadi atas Pasal 14, yang mengandung ketentuan tentang persyaratan minimal 90 orang calon pengguna rumah ibadat dan 60 orang pendukung dari masyarakat sekitar rumah ibadat yang akan didirikan. Namun demikian, setelah diberikan penjelasan bahwa ketentuan itu dan seutuhnya PBM adalah kesepakatan para wakil masingmasing agama di tingkat pusat, maka mereka yang keberatan
tadi dapat menerimanya.1 Secara umum, hal ini dapat dijelaskan. Banyaknya masyarakat yang belum memahami secara utuh tentang isi dan sejarah PBM tersebut, sehingga masih menggunakan paradigma lama dalam melihat sebuah peraturan, maka muncul beberapa sikap resistan. Padahal jika dipahami betul hakikat keberadaan peraturan ini dan juga isinya, dapat dipastikan tak akan ada lagi nada-nada penolakan itu. Kasus-kasus Sejak setahun PBM diberlakukan jarang sekali ditemukan kasus terkait pendirian rumah ibadat di Sumatera Utara. Hal ini karena memang jarang sekali yang berencana membangun rumah ibadat baru, mungkin rumah ibadat yang ada sudah mencukupi. Yang ada adalah masalah ruko yang dijadikan tempat ibadat. Salahsatunya terjadi di Medan Plaza yang digunakan untuk kebaktian. Gejala seperti ini berlaku juga di daerah lain. Menurut laporan Gatra, edisi 21 Januari 2008, penggunaan ruko dan mal sebagai tempat ibadat dimulai sejak tahun 1990-an, terutama diawali Gereja Tiberias. Hal ini dipicu rasa tidak nyaman para penganut agama Kristen untuk beribadat di gereja yang belum berizin (baca: IMB) yang dituntut warga sekitar untuk ditutup. Perkembangan terbaru bahkan diberitakan bahwa PGI dan KWI mengadukan kepada Komnas HAM atas penutupan paksa oleh warga atas seratusan gereja di berbagai tempat. Solusi permasalahan ini sesungguhnya telah diberikan oleh PBM itu sendiri. Pertama, perlu diklarifikasi, 1
Wawancara dengan Solehudin, SH, Kabag Humas dan KUB, Kanwil Departemen Agama Sumatera Utara, 30 Juli 2007.
120
119
120
121
jika gereja tersebut memang telah ber-IMB rumah ibadat, maka semestinya tidak perlu ada penutupan paksa itu. Namun jika memang tempat ibadat itu belum ber-IMB rumah ibadat (misalnya ber-IMB rumah tinggal atau mall), maka kembalikan ke pasal-pasal tentang pemberian izin sementara bangunan gedung bukan rumah ibadat untuk tempat beribadat. (Pasal 18-20 PBM). Faktor Pendukung Sosialisasi PBM Beberapa faktor yang mendukung sosialisasi ini adalah adanya political will dari pihak Departemen Agama, Kesbang Linmas, dan FKUB dalam menyosialisasikan PBM ini. Bagaimana Sosialisasi ke depan? Berkaca dari pelaksanaan sosialisasi PBM yang telah dilaksanakan, maka perlu disusun rencana baru pelaksanaan sosialisasi yang lebih baik. Di antara masukan bagi perbaikan tersebut adalah: 1. Sosialisasi dilakukan dengan role playing, yakni peserta dibuat berkelompok dan diberi peran masing-masing sebagai panitia pembangunan, yang lain sebagai anggota FKUB, bupati/walikota, dan seterusnya. Atau dengan studi kasus, yakni peserta diminta menyelesaikan masalah dengan diberikan soal suatu kondisi perihal pendirian rumah ibadat di kampung x, misalnya. 2. Dilakukan evaluasi pelaksanaan Sosialisasi pada setiap akhir pelaksanaannya. Hal ini untuk secara langsung melihat feedback dari Sosialisasi materi PBM yang diberikan.
122
121
Penutup Kesimpulan Dari paparan di atas dapat disimpulkan, sebagai berikut:
1. Pelaksanaan sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 di Provinsi Sumatera Utara telah berjalan cukup baik, meski perlu terus ditingkatkan. oleh pihak pemerintah (Depag, Kesbang Linmas, atau Pemda sendiri), juga oleh pihak masyarakat umum (termasuk FKUB dan ormas keagamaan) 2. Faktor yang dapat mendorong sosialisasi diantaranya adalah: 1. 2. 3. . Sedangkan faktor yang menghambat proses sosialisasi diantaranya adalah 1.2.3. ; dan 3. Untuk pelaksanaan sosialisasi yang lebih efektif di masa yang akan datang, yakni dengan memvariasikan pemberian materi. Misal dengan role playing atau case study. Saran Adapun beberapa saran, sebagai berikut: 1. Dalam pelaksanaan sosialisasi PBM hendaknya ada koordinasi antar berbagai instansi pemerintah dalam menjangkau obyek sosialisasi seluas mungkin, agar tidak terjadi pengulangan peserta sosialisasi di satu sisi dan pengabaian obyek sosialisasi di pihak lain. Sehingga mudah-mudahan ke depan segenap masyarakat Sumatera Utara dapat kesempatan untuk mengikuti sosialisasi PBM ini. Seperti diketahui, wilayah kecamatan 122
123
dan kelurahan/desa belum seutuhnya terjangkau oleh sosialisasi ini. 2. Untuk mem-back-up pembiayaan, perlu dianggarkan secara matang dalam tahun anggaran yang akan datang untuk pelaksanaan sosialisasi PBM ini. 3. Perlu variasi pelaksanaan sosialisasi ini. Selain presentasi dengan powerpoint, mungkin perlu dengan cara lain, seperti role playing atau studi kasus.
III SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Sumatera Barat Oleh: Ibnu Hasan Muchtar Setelah dilakukan penelusuran di lapangan melalui wawancara dengan berbagai pihak yang berkaitan dengan permasalahan penelitian ini maka dapat disampaikan beberapa temuan sebagai berikut: 1. Dari hasil wawancara dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Sumatera Barat, Kepala Bidang Kesatuan Bangsa pada Kantor Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Sumatera Barat, berbagai nara sumber dan informan serta responden diperoleh informasi bahwa faktor utama sebagai penghambat dari penyelenggaraan sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat”, adalah faktor biaya/dana; 2. Di provinsi Sumatera Barat sosialisasi PBM ini baru dilakukan sebanyak 2 (dua) kali yaitu oleh Kanwil Departemen Agama selaku pelaksana dengan biaya difasilitasi oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama dan dilaksanakan oleh Kantor Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Sumatera Barat. Sedang sosialisasi oleh pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama
124
123
124
125
(FKUB) Provinsi sampai penelitian ini dilakukan awal bulan Juli 2007 belum pernah dilakukan karena kepengurusannya sendiri baru dibentuk dan di SK kan oleh Gubernur Sumatera Barat pada tanggal 17 April 2007 dan sedang mengadakan rapat-rapat intensif untuk menyusun program; 3. Untuk faktor pendukung, semua pemuka agama dan pejabat pemerintah mendukung kegiatan ini, bahkan dalam pembentukan FKUB semua pemuka agama antusias untuk menyukseskan sosialisasi PBM. Selain itu sumber daya manusianya, sarana dan prasarana serta metode/cara sosialisasi sangat memadai dan tidak menjadi persoalan berarti; 4. Keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Dewan Penasehat untuk Provinsi Sumatera Barat baru saja terbentuk. Dari data yang ada forum yang telah terbentuk baik Provinsi maupun di dua Kota/Kabupaten dilihat dari jumlah personil pengurus dan nama forum sudah sesuai dengan yang diatur oleh Peraturan Bersama Menteri (PBM), hanya saja dilihat dari struktur dan jumlah keterwakilan keanggotaan/kepengurusan yang masuk dalam forum terlihat berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Misalnya untuk forum tingkat provinsi dan Kota Solok dari struktur sama yaitu menggunakan pembagian bidang-bidang tidak seperti dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang tidak menyebut bidangbidang. Sedangkan untuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Pariaman Barat mengikuti apa yang tertuang di dalam PBM. Demikian halnya dengan jumlah keterwakilan dari kelompok agama menurut persentasi jumlah pemeluk agama. Untuk Provinsi Sumatera Barat misalnya walaupun persentasi jumlah pemeluk agama Islam jauh lebih besar (95% 126
125
lebih) dari jumlah pemeluk agama yang ada, tetapi pengurus yang muslim dari jumlah 21 orang pengurus, hanya 11 orang dan lainnya 10 orang dari non muslim. Menurut Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Sumatera Barat Bapak Drs. H. Darwas, hal ini sengaja dilakukan untuk memberikan rasa tanggung jawab kepada perwakilan agama masing-masing yang telah diberi kepercayaan untuk mengemban tugas ini. Tuntutan tanggungjawab juga terlihat dalam struktur adanya bidang-bidang, jika terjadi sesuatu maka pada bidang itulah dimintakan pertanggung jawabannya. 5. Berkenaan dengan program kerja FKUB Provinsi telah dapat disusun menurut skala prioritas misalnya, Prioritas Tahun 2007 (Juli s.d. Desember 2007): a. Menyusun Program FKUB Semester ke II Tahun 2007; b. Menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Forum untuk diajukan kepada Pemerintah Daerah Sumatera Barat (termasuk untuk sekretariat, ATK, biaya rutin, fasilitas yang diperlukan dsb); c. Memberikan dorongan agar segera dibentuk kepengurusan FKUB pada tingkat Kabupaten/Kota yang belum terbentuk; d. Memasyarakatkan serta mensosialisasikan Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor: 9 dan 8 Tahun 2006 serta keberadaan FKUB kepada semua pihak; e. Melakukan kunjungan untuk memberikan dorongan, motivasi kepada umat di mana pun berada di Sumatera Barat agar terdapat "budaya hidup rukun antar umat beragama"; f. Melakukan audiensi kepada Pemerintah Daerah, Departemen Agama untuk memperkenalkan diri;
126
127
6.
7.
8.
9.
128
g. Melakukan konsultasi dengan berbagai pihak khususnya mengenai masalah Kerukunan Umat Beragama (KUB); h. Selain program prioritas untuk tahun 2007 ini juga diprogramkan Rencana Kerja FKUB Sumatera Barat tahun 2008 sd. 2010 sebagai kegiatan tentative, bertahap dan terjadwal. Berkenaan dengan keberadaan PBM menurut keterangan berbagai pihak baik dari Kanwil DepartemenAgama, pemuka masyarakat, tokoh-tokoh agama dan Kantor Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Sumatera Barat bahwa umumnya dapat diterima masyarakat, walaupun ada dari kalangan agama tertentu yang merasa apriori terhadap peraturan ini seperti terungkap dalam pernyataannya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang intinya jika penegakan hukum tidak dilakukan maka sebaik apapun peraturan tidak ada gunanya. (terlampir). Yang menjadi banyak pertanyaan dalam persyaratan pendirian rumah ibadat adalah ketentuan jumlah calon pengguna rumah ibadat sebanyak 90 orang berkartu penduduk (KTP) dan pendukung sejumlah 60 orang di sekitar calon rumah ibadat; Hasil penelusuran terhadap kasus-kasus keagamaan khususnya berkenaan dengan pendirian rumah ibadat sampai setelah PBM ini diterbitkan dan disosialisasikan belum pernah terjadi hal-hal yang dapat menimbulkan perselisihan; Daerah-daerah yang telah membentuk FKUB melalui Surat Keputusan Gubernur maupun Bapati/Walikota adalah sebagai berikut: a. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi melalui SK Gubernur Nomor: 450.110. Tahun 2007 tertanggal 17 April 2007, Dewan Penasehat FKUB 127
Provinsi Nomor: 200 – 237 – 2007 tertanggal 18 Juli 2007 dan Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor: 01 Tahun 2007; b. Pembentukan Dewan Penasehat dan Pengurus FKUB Kota Solok melalui Keputusan Walikota Solok Nomor: 188.45/226/KPTS/WSL-2007; c. Pembentukan Dewan Penasehat dan Pengurus FKUB Kabupaten Pasaman Barat melalui Keputusan Bupati Pasaman Barat Nomor: 188.45/04/BUP-PASBAR/2007. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disampaikan beberapa kesimpulan di antaranya: 1. Lahirnya Peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 dan 8 Tahun 2006, Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat, sangat relevan dan signifikan untuk mewujudkan kerukunan umat beragama yang akhir-akhir ini terusik disebabkan salah satunya adalah masalah pendirian rumah ibadat; 2. Secara resmi di Provinsi Sumatera Barat baru 2 (dua) kali dilakukan sosialisasi tentang Peraturan Bersama Menteri (PBM) ini oleh instansi pemerintah dengan metode ceramah dan tanya jawab yang pesertanya masih terbatas pada para tokoh agama/masyarakat dan pejabat pemerintah terkait. Belum menyentuh lapisan bawah masyarakat dan pemerintah pada tingkat Kecamatan dan Kelurahan; 3. Tingkat pemahaman peserta sosialisasi masih sangat bervariatif, hal ini disebabkan karena lama waktu 128
129
sosialisasi masih dianggap kurang hanya 2 jam dan peserta sosialisasi masih bersifat massal; 4. Untuk tindak lanjut dari sosialisasi PBM ini, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat telah mengeluarkan Dua Surat Keputusan masing-masing berkenanan dengan Susunan Pengurus FKUB Provinsi dan Susunan Dewan Penasehat. Sehubungan dengan itu pula telah diterbitkan Peraturan Gubernur berkenaan dengan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama dan tatacara yang perlu diatur sebagai konsekwensinya, sedangkan untuk Kabupaten/Kota dihimbau dapat segera membentuk Forum dimaksud; 5. Masalah dana masih menjadi faktor penghambat utama untuk melakukan sosialisasi yang lebih intensif dan merata di berbagai kalangan khususnya pada daerah Kota/Kabupaten, sedangkan kesediaan berbagai pihak untuk terlibat khususnya para pemuka agama dan pemerintah daerah menyambut baik diterbitkannya PBM ini, merupakan faktor pendukung yang perlu mendapat perhatian bersama.
2. Masing-masing pemerintah Kota/Kabupaten (FKUB) bekerjasama dengan Kantor Departemen Agama dapat melakukan sosialisasi PBM kepada masyarakat luas melalui kecamatan masing-masing;
Rekomendasi Beberapa rekomendasi yang dapat disampaikan 1. Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri perlu lebih mendorong masing-masing aparatnya di daerah untuk terus melakukan sosialisasi Peraturan Bersama ini agar semua kalangan dapat memahami dan menghayati betul PBM ini sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, selain juga mendorong mereka untuk segera membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); 130
129
130
131
IV SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Kepulauan Riau Oleh: Reslawati Menindaklanjuti PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, maka masyarakat dan Pemerintah Daerah Kepulauan Riau merespon positif diterbitkannya peraturan tersebut. Salah satu tugas pokok Pemda adalah untuk membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasehat FKUB dalam rangka mewujudkan kerukunan umat beragama di daerah tersebut. Menjamin kemudahan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya selagi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menggangu ketentraman dan ketertiban umum. Oleh karena itu melalui Peraturan Gubernur Kepulauan Riau No. 21.a Tahun 2006 tentang Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat Provinsi Kepulauan Riau dan Keputusan Gubernur Kepulauan Riau No. 285 Tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Penasehat Forum Kerukunan Umat Beragama dan pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) provinsi Kepulauan Riau. Setelah di keluarkannya keputusan dan Peraturan Gubernur tersebut, diharapkan forum yang sudah dibentuk dapat menyusun program-program kegiatannya sesuai dengan fungsi dan tujuannya dibentuk forum tersebut. Dalam perjalanannya setelah dibentuk FKUB tingkat Provinsi ini belum melaksanakan secara mandiri sosialisasi 132
131
PMB tersebut. Namun sebagai forum yang dibentuk secara partisipatif selalu diundang dan menghadiri undangan dari Pemda maupun dari Kanwil dalam pelaksanaan pelantikan FKUB tingkat Kota/Kab yang dibentuk sekaligus sosialisasi PBM tersebut. Dalam rangka menindaklanjuti surat Gubernur Kepulauan Riau No. 26/KESBANGPOL/II/2007, tanggal 6 Februari 2006 tentang Pembentukan FKUB di tingkat kota/kab., maka Walikota dan para Bupati di Kepulauan Riau merespon secara baik pula pembentukan FKUB maupun Dewan Penasehat FKUB tersebut. Dilihat dari terbitnya PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 tersebut serta respon positif Pemda Provinsi/Kota/Kab, untuk menindaklanjuti hasil PBM dimaksud dengan melakukan pembentukan Dewan Penasehat dan Pengurus FKUB pada tahun yang sama (2006), ternyata belum banyak yang dapat diperbuat oleh lembaga yang sudah dibentuk tersebut. Bahkan dari 6 (enam) Kabupaten di Kepulauan Riau, dua diantaranya yaitu Kab. Natuna dan Kab. Lingga baru terbentuk pengurusnya pada bulan Februari dan Juli 2007, artinya baru dua (2) bulan terbentuk saat penelitian ini dilakukan, sehingga kita tidak dapat banyak berharap dari dua (2) Kabupaten tersebut mengenai implikasi hasil implementasi efektifitas sosialisasi PBM tersebut di masyarakat. Hasil wawacara dengan Ka. Kesbangpol, Ka. Kanwil Depag, Ka. Kandepag Kota Tj. Pinang dan Ka. Kandepag Kab. Bintan, Ketua FKUB Provinsi/Kota Tanjung Pinang menyatakan senada, bahwa sosialisasi baru dilakukan tiga (3) kali semenjak adanya PBM tersebut. Dan bahkan masyarakat belum banyak mengetahui yang termuat dalam PBM tersebut. Pemda dan Kanwil Depag telah melakukan koordinasi dalam pelaksanaan sosialisasi ini, namun hanya 132
133
mengundang instansi pemerintah dan Majelis-majelis Agama yang tergabung dalam FKUB. Namun demikian Kanwil telah melakukan terobosan yaitu mengadakan sosialisasi selain mengundang KandepagKandepag di wilayah kerja Kanwil dan FKUB, juga mengundang kalangan guru agama, petani, wiraswasta, pedagang, dll.2 Sementara itu untuk pelaksanaan kegiatan dari FKUB yang sudah terbentuk, baru sebatas menyusun program, ada yang disusun secara tertulis dan ada juga program bersifat spontanitas saja, artinya hanya menghadiri undangan-undangan dalam sosialisasi. Dalam pelaksanaan kegiatan FKUB belum mendapatkan bantuan berupa materi maupun pendanaan sehingga untuk sekretariat FKUB masih menyewa dan biaya ditanggung oleh pengurus sebesar Rp 18 juta. Sedangkan kegiatan sosialisasi pendanaannya dibiayai oleh Pemda baik Kota atau Kabupaten. Hal ini terjadi karena tidak masuk dalam APBD. Pada saat pengurus FKUB dilantik RAPBD telah disahkan, sehingga semua kegiatan FKUB dibantu melalui Kesbang. Jadi berapa jumlahnya Kesbang yang mengatur dan tidak diserahkan ke FKUB3. Lebih lanjut beliau mengungkapakan bahwa untuk tahun ini Bupati menganggarkan dalam RAPBD sebesar 250 juta. Namun, hingga saat ini FKUB belum mendapatkannya. Beliau bilang bulan Juli ini baru ada. Hanya saja, karena ini sudah pertengahan tahun 2007, berarti bukan 250 juta lagi.
Hasil angket yang disebar menyebutkan pekerjaan responden yang telah mengikuti sosialisasi PBM adalah; pedagang, wiraswasta, petani, pns, guru agama swasta/negeri, pengacara, dokter. 3 Hasil wawancara dengan Ketua FKUB Provinsi Kep. Riau. 2
134
133
Informasi senada juga disampaikan Kepala Tata U saha Kanwil Depag Provinsi Kep. Riau. Bahwa kegiatan beberapa waktu yang lalu berkenaan dengan sosilaisasi PBM ini tidak ada bantuan keuangan. Kebetulan di Kanwil Depag ada dana pembinaan keagamaan di setiap kabupaten sehingga dibantu sebesar 5 juta. Itu pun bukan untuk FKUB, namun untuk pembinaan keagamaan di setiap kabupaten/kota yang ada di Kepulauan Riau. Makanya kami memberikan 5 juta untuk kegiatan tersebut. Sedangkan untuk FKUB sendiri dalam rangka perluasan sasaran sosialisasi telah terbentuknya FKUB sehingga tempat diadakannya rapat-rapat FKUB selalu bergantian. Bulan lalu kami rapat di Kecamatan Tanjung Barat dan bulan ini kami akan mengadakan di Kecamatan Teluk Bintan. Kami sengaja melakukannya untuk perluasan. Dan pesertanya perwakilan dari setiap kecamatan sesuai dengan porsi jumlah penduduk agama. Kebetulan di sini jumlah penduduk terbanyak adalah pemeluk Islam. Di kecamatan Bintan Utara ada 5 orang; Bintan 4 orang; kemudian di kecamatan lainnya mewakili setiap agama masing-masing, minimal satu orang. Demikian diungkapkan Ketua FKUB Provinsi Kepulauan Riau. Dalam waktu dekat ini program yang dilakukan FKUB adalah pendataan rumah ibadat. Dan ini sedang berjalan di kecamatan-kecamatan. Dan ini tidak bisa dilepaskan dari Kandepag. Kalau di kecamatan kami meminta bantuan KUA lah yang terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Kalau diperhatikan, apa yang dilakukan oleh FKUB Provinsi, Pemda dan Kanwil Depag dalam upaya untuk melakukan sosialisasi dan konsolidasi mengenai PBM ini kepada berbagai pihak cukup optimal, namun karena kondisi geografis Kepulauan Riau yang dipisahkan oleh pulau-pulau mengakibatkan pelaksanaan kegiatan sedikit terhambat. Hal ini dapat dilihat dari FKUB Provinsi dalam 134
135
melakukan pertemuan pengurus dua bulan sekali. Pengurusnya tersebar dan mewakili enam (6) Kabupaten di Kep. Riau, sementara kabupaten-kabupaten yang ada di Kepulauan Riau terpisah oleh laut dan jarak tempuhnya sangat jauh untuk ke ibukota Provinsi ini sehingga perlu persiapan yang matang baik secara finansial maupun tenaga dan pikiran untuk melakukan koordinasi, konsolidasi dan rapat-rapat. Adapun pengurus FKUB Propinasi maupun di Kota/Kab adalah orang-orang sibuk dan penting semua di daerah. Ada yang ketua MUI, wakil ketua DPR, ketua agama Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu. Bercermin dari kepengurusan FKUB Provinsi, sesungguhnya tidak semestinya pengurus FKUB Provinsi harus penduduk yang bermukim di Kabupaten-kabupaten. Bisa juga yang bermukim di Tanjung Pinang sebagai ibukota Provinsi, namun pengurus tersebut harus direkomendasi oleh kabupaten/kota sehingga kepengurusan dapat efisien dan efektif dan roda organisasi dapat berjalan lancar, karena tidak saling menunggu pengurus.
a. Pemahaman masyarakat terkait materi atau isi yang dimuat dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 Diatas sudah disebutkan bahwa sosialisasi baru tiga (3) kali dilakukan oleh Pemda dan Kanwil Depag, Pemda Kota dan Kandepag Bintan telah 4 kali mengadakan sosialisasi kekecamatan-kecamatan sementara FKUB Provinsi, Kota, Kabupaten belum pernah melakukan sosialisasi secara mandiri karena terbentur dana dan SDM yang terbatas sehingga belum dapat banyak yang bisa di harapkan dan dirasakan. Namun dari hasil wawancara kepada responden yang sudah mengikuti sosialisasi PBM tersebut didapatkan bahwa sebagian belum memahami sepenuhnya materi 136
135
ataupun isi yang termuat dalam PBM tersebut. Apalagi buku PBM tersebut tidak tersosialisasi secara baik dimasyarakat, bahkan banyak pegawai pemerintah dan masyarakat yang tidak mengetahui adanya PBM tersebut. Sedangkan bagi mereka yang pernah ikut sosialisasi saja belum begitu memahami maksud yag terkandung dalam PMB tersebut. Sekalipun sosialisasi sudah dilakukan oleh pihak pemerintah setempat, namun masyarakat tetap saja mendirikan rumah ibadat tidak mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan. Contohnya saja ada tiga gereja bermasalah di Kijang, di Bintan Utara dan di Pulau Kuban, ingin mendirikan gereja ditengah-tengah komunitas agama lain dan bahkan mendirikan gereja di hutan yang tidak ada penduduknya. Gereja didirikan awalnya sebelum adanya PBM, namun masih dalam bentuk pondasinya saja. Ketika PBM sudah ada gereja tetap didirikan, ternyata belum sesuai dengan syarat-syarat yang ada dalam ketentuan tersebut. Pihak yang mendirikan gereja masih memakai aturan lama tanpa ketentuan-ketentuan yang ada di PBM. Sementara berbagai pihak menginginkan disesuaikan dengan ketentuan yang ada di PBM. Kontroversial dengan pendirian gereja tersebut, terjadi dimana dari pihak gereja merasa sudah mendapat persetujuan dari berbagai pihak dan sudah memenuhi syarat-syarat pendirian rumah ibadat. Namun dari komunitas yang lain disekitar tempat yang akan mendirikan gereja mereka merasa belum pernah dimintai persetujuan, apalagi tidak ada rekomendasi dari FKUB. Akhirnya permasalahan ini di selesaikan oleh pemerintah setempat, tokoh agama, tokoh masyarakat, Kanwil Depag, Kandepag, FKUB dan akhirnya dapat diatasi.
136
137
Hasil wawancara dengan Kakandepag Kab. Bintan dan FKUB Kab. terungkap bahwa ada juga di daerah Teluk Salsa, Kecamatan Bintan Utara, banyak rumah pakai salib, ada kios kecil menjual minyak dan ada embel-embelnya dan kios minyak itu kemudian tidak ada lagi sudah kosong dan dijadikan tempat kebaktian mingguan, dan itu semua tidak didaftar. Namun karena tidak ada masyarakat yang komplain dan melapor, jadi kita permasalahkan. Ibu, "Kalau Ka kanwil bilang itu laporan dari FKUB juga. FKUB melaporkan ada kejadian seperti itu." Untuk kasus di Kijang terungkap bahwa gereja yang akan dibangun cukup besar seperti Gereja Katedral dalam rangka menampung ribuan jamaat Kristiani yang ada di Kepri, hal ini diketahui setelah memanggil enam orang pendeta HKBP. Setelah dilakukan diskusi dan koordinasi dengan berbagai pihak terkait, maka pembangunan gereja dihentikan dan dapat diteruskan setelah ada izin dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam pendirian rumah ibadat. Dilihat dari telah dilakukannya sosialisasi PBM ternyata masyarakat tetap saja belum memahami isi atau materi yang ada di PBM tersebut. Hal ini belum diketahui penyebabnya. Perhatikan saja hasil wawancara peneliti dengan responden4 sbb: "Peneliti (P), menurut Bapak, ada atau tidak masyarakat yang menolak persyaratan PBM tentang rumah ibadat?" Bapak (B), "kalau secara nyata tidak ada. Tapi kalau diam-diam ada." P: "tapi, kenyataannya orang-orang yang telah ikut sosialisasi tetap saja mendirikan rumah ibadat. (B), "kita telah menyampaikan, namun kita tidak mengerti sampai ke mana?". (P), kira-kira apa yang
4
Responden meminta identitasnya di rahasiakan.
138
137
salah? sosialisasi sudah dilakukan kepada para tokoh agama dan masyarakat, tapi perilaku itu tidak berubah. Apakah ini sudah menjadi watak masyarakat di sini atau bagaimana?". (B), "itu bukan hanya di sini saja, banyak yang seperti itu. Itu sudah dogma dan doktrin mereka. Selama mereka memperbanyak jemaat dengan cara mengiming-imingi, jadi PBM ini tidak mempan. Karena kita legowo dengan mereka, kita tidak mengerti. Tapi, merekakan segelintir, tidak kebanyakan. Kita tidak pernah mengajak, menipu, merayu karena kita tidak punya uang. Kita tidak pernah mengiming-imingi memberi supermie atau mengobati orang gratis dan macam-macam. Makanya kalau bertemu dengan Kapolsek atau Kodim daerah sini kita itu satu. Malah, kepala Koramil pernah berkelahi. Sampai terungkaplah rahasia ini. Di pulau Natuna, mereka mengatakan membantu orang yang tidak punya rumah dan dibuatkan, membantu orang yang kesusahan, dan lain-lain, terbukalah misi mereka. Berarti tujuan mereka tidak murni. Nanti pada acara-acara kebaktian, orang yang diiming-imingi inilah yang jadi pengurus-pegurusnya. Begitulah gaya-gaya mereka. Mereka membantu orang-orang yang susah." Namun tidak dengan murni. (B), "sebenarnya mereka membangun sebelum FKUB disahkan. Namun, kecamatan menolak karena dengan peraturan yang lama pun, persyaratannya mereka tidak ada. Setelah kami dilantik, kami langsung ke kecamatan Bintan Timur dan langsung bicara dengan Camatnya. Karena itu akhirnya dihentikan. Setelah itu mereka datang kepada kita, mereka beranggapan bahwa dengan adanya FKUB itu mendapatkan angin segar. Kita tentunya mensyaratkan 90 pengguna dan 60 simpati. Namun, hingga kini mereka belum 138
139
bisa memenuhinya. Bahkan penduduk di sekitar itu mengatakan bahwa mereka disodorkan secarik kertas tidak ada judul dan ditanda tangani oleh masyarakat. Setelah itu datang surat dari masyarakat dan menolak bahwa sebenarnya persetujuan kami tidak ada. Masyarakat melakukan penolakan, setelah menandatangani. Lalu, mereka ke sini. Di FKUB kami bilang, belum bisa dibangun. Lalu mereka lari ke Kandepag. Kandepag juga baru. Mereka berkali-kali ke sini dan orangnya berbedabeda. Kebetulan ada anggota FKUB yang bernama Sabar Hutagalung. Dia anggota di FKUB juga dia menjadi panitia pendirian gereja. Saya bilang, 'Saya tidak menyalahkan. Secara organisasi juga tidak salah. Tapi, alangkah baiknya jangan kamu yang datang. Karena posisi kamu sama seperti saya. Kami tidak ada alasan menerima atau menolak kalau syarat-syarat itu terlengkapi. Terakhir kita rapat, dia bilang apa lagi alasan kita menolak. Saya bilang, tidak ada alasan kita menolak, tapi penuhi dahulu persyaratannya. Kita hanya meminta dua persyaratan: 90 dan 60. Namun, hingga sekarang belum terpenuhi juga. Di Bintan hanya itu yang kami tahu." Dari hasil wawancara diatas terungkap bahwa masyarakat belum memahami secara mendalam manfaat positif dari diberlakukannya Peraturan Bersama Menag dan Mendagri ini. Sehingga sosialisasi perlu terus dilakukan dan ditingkatkan secara kontinu agar tidak lagi terjadi perdebatan diantara pemeluk agama. Apalagi mendirikan rumah ibadat adalah suatu kebutuhan umat untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
b. Tingkat kesiapan masyarakat sehubungan dengan implementasinya di lapangan. Dari deskripsi diatas, sesungguhnya masyarakat di Kepulauan Riau sangat menyambut secara positif adanya PBM ini. Namun karena kurangnya sosialisasi dari isi atau materi dan kurangnya penjelasan yang mendalam kepada masyarakat berakibat pelaksanaan PBM di lapangan sedikit mengalami hambatan. Adapun masyarakat yang melakukan kegiatan pendirian rumah ibadat setelah adanya PBM, hal tersebut karena kurang kejelasan dalam menginterpretasi dan mempersepsi keberlakuan pelaksanaan peraturan yang ada. Terbukti masyarakat yang ingin membangun rumah ibadat setelah mendapat penjelasan dari berbagai pihak siap menghentikan pendirian rumah ibadat dan akan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Namun hal yang juga perlu diperhatikan adalah dimana FKUB yang sudah dibentuk baik di tingkat provinsi, kota dan kabupaten hendaknya harus didukung oleh sarana, prasarana dan dana yang memadai, agar tujuan dibentuknya FKUB tersebut dapat tercapai dan tugas kepala pemerintahan dapat terlaksana dengan baik.
Kesimpulan 1. Respon masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau khususnya Tanjung Pinang sangat positif terhadap ditetapkannya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Hal ini terbukti sudah dibentuknya FKUB Provinsi, Kota, Kabupaten, dan telah dilakukan beberapa kali sosialisasi. 2. Masyarakat dan pegawai yang sudah menerima sosialisasi belum sepenuhnya memahami materi atau isi yang dimuat dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006.
140
139
140
141
Dikarenakan kurangnya frekwensi sosialisasi dan kurangnya penjelasan terhadap isi dari PBM tersebut. 3. Pada dasarnya masyarakat siap dalam pelaksanaan diberlakukannya PBM tersebut. Karena kurangnya penjelasan dan kurangnya dipahami isi dari PBM tersebut berakibat terjadi kesalahan persepsi dilapangan dalam pelaksanaan peraturan tersebut.
Saran 1. Perlu ditingkatkan sosialisasi secara terus menerus sampai ke akar rumput, agar respon masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau khususnya Tanjung Pinang terhadap ditetapkannya PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 akan lebih baik lagi. Dan FKUB perlu diberdayakan secara maksimal. 2. Perlu diberikan penjelasan secara lebih terperinci tentang isi pasal demi pasal yang terdapat dalam PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, agar masyarakat lebih mudah untuk memahaminya. 3. Perlu adanya penyatuan persepsi antara pemerintah, tokoh agama, masyarakat dalam menterjemahkan materi dari PBM tersebut, agar tidak terjadi mis persepsi dan mis komunikasiketika pelaksanaan di lapangan.
142
141
V SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Jawa Tengah Oleh: Ahmad Syafii Mufid dan Mulyadi Pada pertengahan bulan Juli 2007 diadakan penelitian tentang Efektifitas Sosialisasi PBM di provinsi Jawa Tengah. Penelitin ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan dilengkapi dengan informasi kualitatif. Pendekatan kuantitatif dipilih untuk menggambarkan kecenderungan umum (Generalisasi) efektifitas sosialisasi secara nasional dengan cara pengisian kuesioner kepada 20 orang koresponden . Sedangkan informasi kualitatif diperlukan untuk dapat memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas sosialisasi PBM tersebut. Berikut ini adalah laporan yang bercorak kualitatif berkaitan dengan keberadaan FKUB di provinsi Jawa Tengah, tanggapan masyarakat beragama serta faktor penghambat dan pendukung sosialisasi PBM di wilayah ini. Informasi kualitatif dari Provinsi Jawa Tengah diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pimpinan Majelismajelis Agama dari enam agama yang ada. Penelitian lapangan dilakukan sebelum peraturan gubernur tentang pembentukan FKUB terbit, yakni pada tanggal 20 s.d. 27 Juli 2007. Informasi tentang peraturan gubernur diperoleh melalui komunikasi, setelah penelitian lapangan dilakukan. Selanjutnya informasi yang akurat diperoleh melalui dokumen resmi,seperti Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 108 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan 142
143
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasihat FKUB se-Jawa Tengah (Berita Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2006) juga Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 450/17/2007, tanggal 15 Maret 2007 tentang Pembentukan Dewan Penasihat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah, Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 450/64/2007 tentang Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Jawa Tengah, tanggal 27 Juli 2007. Adapun hasil penelitian tersebut adalah: 1. Keberadaan FKUB Provinsi Jawa Tengah FKUB Provinsi Jawa Tengah dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 450/64/2007, sedangkan untuk Dewan Penasihat, Forum Kerukunan Umat Beragama dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 450/17/2007, tanggal 15 Maret 2007. Tugas pengurus FKUB Provinsi Jawa Tengah adalah sama sebagaimana yang telah diatur dalam PBM, yaitu: a) Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b) Menampung aspirasi organisasi massa (ormas) keagamaan; c) Menyalurkan aspirasi organisasi massa (ormas) keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur; d) Melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat;
144
143
e) Melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan sbagaimana dimaksud pada huruf a) sampai dengan huruf d) kepada gubernur Jawa Tengah. Jumlah anggota FKUB Provinsi Jawa Tengah adalah sebanyak 21 (dua puluh satu) orang sebagaimana diatur dalam PBM. Jumlah tersebut terdiri atas wakil-wakil komunitas: Islam 11 orang, Kristen 3 orang, Katholik 3 orang, Budha 2 orang, serta Hindu dan Konghucu masing-masing 1 orang. Komposisi kepengurusan juga menunjukkan kebersamaan, yaitu ketua dan wakil ketua I dari komunitas muslim, sedangkan wakil ketua II berasal dari komunitas Kristen. Untuk jabatan sekretaris dan wakil sekretaris, masing-masing ditempati oleh wakil komunitas Katolik dan Budha, sedangkan untuk anggota, semua komunitas umat beragama terwakili, tidak terkecuali dari Konghucu. Masa bakti anggota FKUB adalah 5 (lima) tahun. Karena FKUB Provinsi baru dibentuk, maka FKUB kabupaten/kota belum diketahui berapa jumlah daerah yang telah membentuk dan berapa yang belum. 2. Program, Kegiatan, dan Anggaran Sebagai lembaga atau organisasi baru, maka FKUB yang dibentuk pada pertengahan tahun ini belum memiliki program yang berorientasi pada pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi. Kegiatan yang telah dilaksanakan adalah konsolidasi organisasi yang berupa pertemuan-pertemuan dan konsultasi antara pengurus dengan Kanwil Dpartemen Agama Provinsi Jawa Tengah dan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat. Adapun kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan pembinaan kerukunan, FKUB baru bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan 144
145
oleh Kesbanglinmas. Hal itu disebabkan karena belum adanya anggaran mau pun bantuan untuk kegiatan pada tahun 2007. Untuk tahun anggaran 2008, FKUB telah melakukan konsultasi dengan Kesbanglinmas agar mendapatkan pembiayaan dan penganggaran sebagaimana diamanatkan oleh PBM dan Peraturan Gubernur Nomor 450/64/2007 pasal 4, yaitu: Semua biaya yang timbul sebagai akibat ditetapkannya keputusan ini, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah. 3. Pandangan Majelis-Majelis Agama Kalangan wakil-wakil majelis agama di Jawa Tengah memandang bahwa sosialisasi yang dilakukan, baik oleh pemerintah mau pun intern majelis agama dapat memberikan gambaran tentang pentingnya peraturan yang jelas tentang bagaimana pendirian rumah ibadat itu diatur, pemberdayaan Forum Komunikasi Umat Beragama, dan peranan pemerintah dalam memberikan ijin pendirian rumah ibadat, penggunaan rumah ibadat sementara, dan peranan FKUB dalam memberikan rekomendasi, saran dan bahan kebijakan kerukunan kepada pemerintah daerah. Meskipun demikian, majelismajelis masih sangat kekurangan buku atau bahan untuk sosialisasi kepada umat, seperti buku PBM mau pun peraturan-peraturan serta bahan-bahan lainnya untuk kepentingan sosialisasi lebih lanjut. Wakil Konghucu merasa belum banyak mengerti tentang PBM. Pada kesempatan sosialisasi, yang hadir dari kalangan Konghucu adalah ketua Majelis Agama Konghucu (Makin). Anggota pimpinan yang lain belum 146
145
mendapatkan kesempatan untuk mengikuti sosialisasi, apalagi penganut Konghucu lainnya. Penutup Pada tataran pimpinan majelis-majelis agama, pejabat pemerintah, dan pemuka agama telah menerima penjelasan (desiminasi) Peraturan Mnteri gama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2007. Pemahaman tentang isi PMB dapat dilihat pada produk-produk peraturan pada tingkat pemerintah daerah provinsi yang juga sudah memenuhi harapan PBM dengan lahirnya beberapa peraturan gubernur. Untuk tahun 2007, FKUB Provinsi Jawa Tengah belum dapat melakukan fungsi dan tugasnya dengan baik, karena FKUB adalah lembaga baru pada saat itu. Masih banyak agenda yang harus diselesaikan oleh anggota dan pengurus, seperti penyediaan kantor, penyediaan anggaran, penataan organisasi, dan lain-lain. Hasil kajian ini dapat dipergunakan untuk bahan kebijakan penyelenggaraan penyebarluasan PBM, dan Peraturan Gubernur berkaitan dengan kerukunan umat beragama. Bagaimana hasil akhir dari proses sosialisasi, ternyata pada tingkat implementasi, pembentukan FKUB mengalami keterlambatan. Jika PBM menyatakan selambatlambatnya satu tahun setelah ditetapkan peraturan ini telah dibentuk FKUB di seluruh Indonesia, nyatanya hampir semua daerah mengalami keterlambatan.. Keterlambatan ini tidak semata-mata karena sosialisasi tidak efektif, tetapi lebih kepada masalah anggaran yang disediakan. Berdasarkan pendekatan anggaran, sebuah program atau kegiatan baru bisa dilaksanakan paling cepat satu tahun berikutnya. Inilah sebab utama mengapa FKUB pada tingkat kabupaten dan kota belum terbentuk. 146
147
VI SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Bali Oleh: Kustini
2.
3. 4. 5.
Pada tanggal 16 Desember 2006 Puslitbang Kehidupan Keagamaan bekerja sama dengan Balai Diklat Keagamaan Denpasar dan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Bali melakukan sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Sosialisasi diikuti oleh 100 (seratus) orang peserta terdiri atas pimpinan majelis-majelis agama, pengurus FKUB pejabat di lingkungan Departemen Agama dan Pemerintah Daerah setempat khususnya Badan Kesatuan Bangsa dan Linmas Pemda Provinsi Bali, tokoh adat, widyaiswara, pimpinan dari ormas-ormas keagamaan dan tokoh pemuda di Provinsi Bali. Peserta berasal dari Kota Denpasar, Kabupaten Buleleng, Kebupaten Jembrana, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan. Jika dilihat dari agama, peserta beragama Hindu berjumlah 46 orang, Islam 22 orang, Katolik 9 orang, Kristen 5 orang, Buddha 9 orang, dan Khonghucu 2 orang. Nara sumber sosialisasi terdiri atas pejabat di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Dirjen Kesatatuan Bangsa dan Politik, serta Tim Perumus PBM. Secara rinci, nara sumber adalah: 1.
Drs. H. Mudjahid AK, M. Sc. Sekretaris Badan Litbang dan Diklat
148
147
6. 7.
Prof. DR. H.M. Ridwan Lubis Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama; Drs. Denty Ierdan, MM. Kasubdit pada Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri; Drs. I Gusti Made Ngurah, M. Si. Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi Bali; Kol (Purn) I Nengah Dana, Parisada Hindu Dharma Pusat; KH. Anwar Abbas, Majelis Ulama Indonesia Pusat; Soedjito Kusumo, MBA. Perwakilan Umat Buddha Indonesia Pusat.
Sosialisasi memperoleh tanggapan yang positif dari masyarakat. Hal ini terlihat dari antusias masyarakat untuk menjadi peserta sosialisiasi serta pertanyaan atau respon yang diajukan kepada nara sumber. Beberapa pertanyaan yang sempat disampaikan adalah sebagai berikut: 1.
Salah satu masalah yang sering mengganggu kehidupan beragama di Bali adalah masalah tanah kuburan. Umat Islam di beberapa daerah di Bali memiliki kesulitan dalam hal kuburan. Oleh karena itu kami berharap masalah tanah kuburan juga ada aturan tertentu;
2.
Ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 29 PBM rasanya sulit terpenuhi. Oleh karena itu sosialisasi PBM perlu terus dilakukan ke seluruh lapisan masyarakat;
3.
Sosialisasi PBM di Bali hendaknya juga dilakukan melalui desa adat;
4.
Konflik yang sering terjadi di Bali walaupun tidak besar adalah terkait dengan masalah pendirian rumah ibadat dan penggunaan simbol-simbol agama yang dianggap tidak pada tempatnya;
148
149
5.
Di Provinsi Bali telah memiliki Perda tentang persyaratan pendirian rumah ibadat. Apakah pelaksanaan PBM tidak bisa disesuaikan ?;
6.
Mohon dijelaskan tentang syarat pendirian rumah ibadat yaitu 90 orang calon pengguna. Ukuran 90 itu KTP atau KK?;
7.
Bangunan yang digunakan untuk tempat ibadat sementara jika sudah melebihi jangka waktu 2 (dua) tahun, apa yang harus dilakukan?
8.
Di Provinsi Bali sudah diterbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 33 Tahun 2003 tentang Persyararatan Pendirian Rumah Ibadat. Apakah peraturan tersebut tidak tumpang tindih dengan PBM?;
9.
PBM seharusnya disosialisasikan juga kepada pejabat terkait seperti bupati, camat, lurah, dan sebagainya;
10. PBM berlaku unifikasi/umum untuk seluruh wilayah NKRI, tetapi tidak ada satupun pasal yang memuat sanksi. Mohon dijelaskan. Faktor Pendukung Sosialisasi PBM
dan
Penghambat
Pelaksanaan
Sosialisasi PBM yang dilaksanakan di Provinsi Bali memperoleh dukungan dari berbagai pihak, baik berupa bantuan untuk kesuksesan pelaksanaan sosialisasi maupun bantuan terkait dengan antusias masyarakat untuk mengikuti sosialisasi. Secara garis besar, factor pendukung sosialisasi adalah sebagai berikut:
2. Dukungan dari Pemerintah Pusat (Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik, Badan Litbang dan Diklat, Pusat Kerukunan Umat Beragama, Dirjen-Dirjen di Departemen Agama) untuk melakukan sosialisasi PBM di Provinsi Bali; 3. Kondisi heterogen masyarakat Bali khususnya dari agama yang dipeluk maupun etnik sehingga memudahkan masyarakat untuk menerima aturan terkait dengan kerukunan umat beragama; 4. Masih tingginya charisma tokoh agama dan tokoh adat. Tokoh-tokoh inilah yang menjadi mediator untuk sosialisasi berbagai peraturan perundangan tentang kehidupan beragama termasuk PBM; 5. Hubungan antar tokoh agama maupun antara tokoh agama dengan pemerintah relatif baik sehingga mudah mencapai kesepakatan bahkan tentang hal-hal yang selama ini dianggap rumit. 6. Networking yang memadai diantara tokoh agama di Bali dengan tokoh-tokoh agama di provinsi lainnya yang terbentuk melalui berbagai pertemuan tingkat nasional, baik intern beragama maupun antar umat beragama. Sementara itu, ada juga factor yang menjadi penghambat antara lain: (1) Ketidaksesuaian struktur kepengurusan FKUB dengan struktur kepengurusan forum sejenis yang telah lama terbentuk di Provinsi Bali; (2) PBM dirasakan kurang dapat mengakomodir peran tokoh adat sekaligus tokoh agama Hindu dalam struktur kepengurusan FKUB;
1. Komitmen instansi pemerintah di daerah (provinsi, kabupaten/kota) untuk menindaklanjuti kebijakankebijakan pemerintah pusat. 150
149
150
151
Keberadaan FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Forum Kerukunan Umat Beragama sebagaimana yang diatur pada PBM BAB III Pasal 8 sampai 11, belum terbentuk. Kendalanya adalah Pemerintah Daerah dan khususnya para pengurus FKAUB belum sepakat dengan beberapa aturan dalam PBM. Sejak tanggal 29 Pebruari 1999 di Provinsi Bali telah terbentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). Forum ini dicetuskan pada Musyawarah Antar Umat Beragama di Bedugul yang diprakarsai oleh ketua-ketua lembaga agama yang menjadi peserta musyawarah. Peserta Musyawarah antara lain terdiri atas unsur PHDI Provinsi Bali, MUI, MPAG, Keuskupan Bali-Lombok, dan WALUBI. -
Struktur kepengurusan FKAUB terdiri atas: Penasehat sebanyak 9 (sembilan) orang yang terdiri atas tokoh tokoh agama dan pejabat pemerintah; Ketua Umum dan Wakil-wakil Ketua sebanyak 6 (enam) orang terdiri atas pimpinan majelis-majelis agama; Sekretaris, Bendahara, Humas, Pengabdian Masyarakat dan Komisi-Komisi sebanyak 27 (dua puluh tujuh orang).
Dengan demikian seluruh jumlah pengurus, di luar penasehat, adalah 33 (tiga puluh tiga orang). Jumlah tersebut jelas tidak sesuai dengan PBM Pasal 10 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa: Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang. Data yang tercatat di Dirjen Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri menyebutkan bahwa di Provinsi Bali sudah terbetuk FKUB berdasarkan PBM berdasarkan surat yang dikirim dari Bali tanggal 5 Februari 2007 tanpa melampirkan SK tentang Susunan Pengurus 152
151
FKAUB. Pada Dirjen tersebut juga tercatat FKUB Kabupaten Gianyar. Namun demikian, berdasarkan wawancara dengan para pengurus FKAUB, dapat disimpulkan bahwa di Provinsi Bali belum memiliki FKUB sebagaimana diatur dalam PBM. Forum yang dilaporkan ke Departemen Dalam Negeri adalah FKAUB. Dari observasi di lapangan ditemukan bahwa di Kabupaten Buleleng telah terbentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama periode 2006 – 2011 yang telah dikukuhkan. Dalam beberapa hal, Forum tersebut telah mengacu kepada PBM, tetapi dalam banyak hal ternyata tidak sesuai dengan PBM. Dikatakan mengacu kepada PBM, karena dalam butir 6 diktum “mengingat”, menyebutkan: Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Demikian juga dalam menjelaskan tugas FKUB, sepenuhnya mengacu kepada PBM Pasal 9 Ayat (2). Namun demikian, dalam beberapa hal, FKUB Kabupaten Buleleng belum mengacu kepada PBM. Setidaknya hal itu dapat dilihat dalam 3 (tiga) factor: 1. Nama Forum masih mengacu pada forum lama yaitu Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB); 2. Jumlah pengurus: ketua, wakil-wakil ketua, sekretaris, bendahara, humas dan komisi pengandian masyarakat seluruhnya ada 20 orang; 3. Penasehat terdiri atas: Kepala Kandepag Kabupaten Buleleng dan Ketua-ketua Umum Majelis Agama. Informasi lain yang dapat diperoleh dari Surat Keputusan Bupati tersebut adalah dalam struktur kepengurusan ada unsur Pelindung yang terdiri atas: (1) 152
153
Bukapi Kabupaten Buleleng; (2) Ketua DPRD Kabupaten Buleleng; (3) Unsur Muspida Kabupaten Buleleng. Dalam PBM Pasal 27 Ayat (2) ditegaskan bahwa forum-forum sejenis yang telah terbentuk sebelum berlakunya PBM harus menyesuaikan dengan FKUB seperti dalam PBM. Namun para pengurus FKAUB masih keberatan untuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam PBM terutama dalam kaitannya dengan struktur Dewan Penasehat. Peraturan Gubernur Tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB PBM Pasal 12 mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB provinsi dan kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur. Sampai penelitian ini dilaksanakan, di Provinsi Bali belum terbentuk Peraturan Gubernur sebagaimana diamanatkan dalam PBM. Namun demikian, jauh sebelum PBM disyahkan, di Bali telah ada Peraturan Gubernut Bali Nomor 33 Tahun 2003 tentang Prosedur dan Ketentuanketentuan Pembangunan Tempa-tempat Ibadat di Provinsi Bali. Peraturan Gubernur tersebut kemudian diperbaharui dengan Peraturan Gubernur Nomor 10 tahun 2006 tentang Prosedur dan Ketentuan-ketentuan Pembangunan Tempa-tempat Ibadat di Provinsi Bali, yang mulai berlaku pada tanggal 27 Pebruari 2007. Beberapa ketentuan dalam Peraturan Gubernur Nomor 10 Tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat antara lain: 1. Pembangunan tempat ibadat harus memperoleh izin tertulis dari Gubernur Bali; 154
153
2. Gubernur mengeluarkan surat izin pembangunan rumah ibadat setelah mendapat pertimbangan dari Tim Pertimbangan Pembangunan Tempat-tempat Ibadat; 3. Untuk mendapatkan izin, harus mengajukan surat permohonan dengan melampirkan antara lain: persetujuan kepala lingkungan, persetujuan kepala desa pakraman, surat keterangan kepala desa, daftar jumlah umat calon pengguna rumah ibadat minimal 100 Kepala Keluarga, foto copy KTP dan KK dari calon pengguna rumah ibadat tersebut. Dilihat dari persyaratan-persyaratan teknis tersebut, maka dengan jelas dapat disimpulkan bahwa peraturan tentang pendirian rumah ibadat tersebut tidak (belum) mengacu kepada PBM. Dengan demikian, sampai saat ini di Bali belum terbentuk Peraturan Gubernur sebagaimana yang ditetapkan dalam PBM. Beberapa keberatan untuk menyesuiakan Peraturan Gubernur yang sudah ada dengan Peraturan Gubernur sebagaimana ditentukan dalam PBM, dapat disimak dari ungkapan berikut: Jika mengacu kepada Pasal 12, maka Peraturan Gubernur nanti judulnya adalah Peraturan Gubernur tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang sudah lama terjadi di Bali. Kami tidak sepakat jika FKUB diatur oleh Gubernur. Selama ini justru kami yang “mengatur”, dalam arti memberi masukan dan kritik, kepada Gubernur. Kalau Peraturan Gubernur tersebut isinya mengesahkan pengurus FKUB, kami setuju. Tapi jika demikian, namanya bukan Peraturan Gubernur, cukup disebut Keputusan Gubernur. Mestinya orang pusat waktu menyusun PBM belajar dari masyarakat yang sudah 154
155
lama memiliki system pengaturan tentang pendirian rumah ibadat dan masalah kerukunan sehingga kearifan-kearifan local yang ada di wilayah nusantara dapat terakomodir dalam PBM. Namun kami juga memiliki niat baik untuk mengikuti apa yang telah ditetapkan Pemerintah. Kami pernah melakukan studi banding ke DKI tentang FKUB. Di samping itu kami terus melakukan diskusi antara para pengurus FKAUB dengan Pemerintah Daerah Provinsi dalam rangka menyusun Peraturan Gubernur. (Wawancara dengan Drs. Ida Bagus Gede Wiyana, Ketua FKAUB, tanggal 31 Juli 2007) Keingian untuk mengikuti turan dalam PBM juga diungkapkan oleh Kepala Badan Kesbanglinmas Provinsi Bali. Pada hari selasa tanggal 31 Juli 2007 Biro Hukum Pemerintah Provinsi Bali mengadakan pertemuan dengan mengundang para pejabat pemerintah terkait, pakar hokum, unsure perguruan tinggi, unsure desa palraman dan pengurus FKAUB. Pertemuan tersebut membicarakan tentang rencana peyusunan peraturan gubernur. Hari ini memang baru pertemuan yang pertama kali sehingga hasilnya belum mengerucut. Kami sepakat harus ada Peraturan Gubernur sebagaimana ditetapkan dalam PBM. Yang masih kami diskusikan adalah: apa substansi peraturan gubernur tersebut. Ada 3 (tiga) substansi yang salah satunya, dua, atau ketiganya dituangkan dalam peraturan gubernur yaitu masalah: Forum Kerukunan Umat Beragama, kerukunan umat beragama, atau tentang pendidirian rumah ibadat. Diskusi tadi belum sempat memutuskan substansi mana yang akan dituangkan. Oleh karena itu, kami masih perlu waktu agam longgar untuk mencapai kesepakatan bersama.
156
155
Di samping itu kami di Bali sesungguhnya masih mempertanyakan tentang perlu tidaknya PBM. Kami sepakat bahwa hidup rukun dan damai adalah dambaan semua pihak. Tetapi sebagimana diketahui, di Bali sudah sejak lama memiliki mekanisme sendiri untuk menjaga kerukunan melalui FKAUB. Hasilnya sudah kita rasakan bersama. Mengapa kami tidak dibiarkan saja dengan system yang kami punya. Oleh karena itu kami tidak yakin dengan system baru (PBM) dapat mempertahankan situasi yang sudah ada atau bahkan dapat meningkatkan kerukunan di Bali. Satu hal yang sulit kami terima dari struktur kepengurusan FKUB adalah tentang dewan penasehat. Siapa yang pantas menjadi dewan penasehat? Selama ini tokohtokoh agama di Bali sangat mandiri dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan. (Wawancara dengan Kepala Badan Kesbanglinmasda Provinsi Bali, Drs. M. Sihombing, M. Si. Tanggal 31 Juli 2007) Sikap Penerimaan Masyarakat Terhadap PBM Pada dasarnya masyarakat menerima PBM tersebut. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh respon positif ketika Departemen Agama Pusat (Badan Litbang dan Diklat, serta Pusat Kerukunan Umat Beragama) melakukan sosialisasi yang kepanitiaannya merupakan kerjasama dengan Kanwil Departemen Agama, mereka menerima baik tawaran kerjasama tersebut dan kegiatan sosialisasi dilakukan sebagaimana yang direncanakan. Demikian juga ketika tokoh agama (Hindu dan Islam) di Bali diundang ke Jakarta untuk mengikuti semiloka nasional yang salah satu materinya adalah sosialisasi PBM, mereka mengikuti kegiatan itu dengan sungguh-sungguh.
156
157
Sekalipun di Provinsi Bali belum terbentuk FKUB dan belum tersusun Peraturan Gubernur sebagaimana diamanatkan dalam PBM, tetapi beberapa hal penting dalam PBM tersebut tetap diterima. Misalnya dalam hal persyaratan pendirian rumah ibadat, Peraturan Gubernur Bali Nomor 10 Tahun 2006 menyebutkan salah satu syarat adalah 100 KK calon pengguna rumah ibadat tersebut. Dalam kesempatan wawancara peneliti dengan Ketua FKAUB maupun tokoh agama lainnya, mereka sepakat tentang syarat calon pengguna yaitu 90 orang seperti yang diatur dalam PBM. Kalau ukurannya Kepala Keluarga (KK) memang sulit karena dalam satu keluarga bisa saja terjadi lebih dari satu pemeluk agama. Oleh karena itu dalam peraturan gubernur nanti kami sepakat untuk menggunakan ukuran 90 orang seperti yang disebutkan dalam PBM. (Wawancara dengan Drs. Ida Bagus Gede Wiyana, Ketua FKAUB Provinsi Bali, tanggal 1 Agustus 2007)
Kasus-Kasus Perselisihan Akibat Pendirian Rumah Ibadat Dalam sejarah kehidupan antarumat beragama di Bali, salah satu masalah yang masih menjadi hambatan dalam kehidupan beragama adalah masalah pendirian rumah ibadat. Meskipun sebelum PBM di Bali telah ada Peraturan Gubernur tentang Pendirian Rumah Ibadat, tetapi kasus tersebut selalu ada. Sebagai contoh. GPIB Maranatha sudah memperoleh izin dari Gubernur tetapi masyarakat sekitarnya menolak pendirian gereja tersebut sehingga pembangunan gereja yang hampir mencapai 50% dihentikan. Kelompok atau pihak yang menolak pendirian gereja mengatakan bahwa izin diperoleh langsung dari pejabat tingkat atas karena ada kedekatan antara pengurus gereja 158
157
dengan pejabat. Sementara pihak pengurus gereja mengatakan bahwa bagaimana mungkin sebuah rumah ibadat yang telah lengkap izinnya tidak dapat digunakan karena ketidaksetujuan beberapa gelintir orang. Jika demikian, dimana kewibawaan pemerintah untuk menegakkan segala peraturan? Beberapa kasus terjadi di tempat lain, khususnya terkait dengan pendirian gereja. Menanggapi hal tersebut, seorang informan mengungkapkan : Hubungan antar tokoh agama di Bali relative baik. Kami selalu bertemu, baik yang terjadwal maupun yang sifatnya spontanitas, dalam berbagai kesempatan. Namun di tingkat grass root tidak selalu demikian. Selalu ada kecurigaan dan ada potensi konflik baik terkait dengan pendirian/penggunaan rumah ibadat, terkait dengan masalah kuburan, maupun penggunaan symbol-simbol keagamaan. Oleh karena itu, dalam berbagai kesempatan kami tekankan kepada umat untuk selalu menjaga hubungan baik terutama dengan masyarakat yang ada di sekeliling kita (Wawancara dengan tokoh agama Islam, tanggal 1 Agustus 2007). Salah satu faktor pendukung terciptanya kerukunan umat beragama di Bali adalah karena peran FKAUB. Sejak didirikan FKAUB tahun 1999 telah banyak kesepakatan yang dihasilkan antara lain: 1. Semua tempat ibadat yang ada di Bali, keamanan dan kesuciannya menjadi tanggung jawab semua umat beragama di Bali; 2. Pengucapan salam hanya dilakukan dalam tata cara agama orang yang berbicara walaupun pertemuan tersebut dihadiri oleh orang dari berbagai agama; 158
159
3. Pertemuan satu bulan minimal satu kali, baik ketika ada masalah maupun tidak. Selain kesepakatan tersebut, FKAUB telah melakukan berbagai aksi nyata dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama. Aksi-aksi tersebut antara lain: 1. Sekali dalam setahun mengadakan kunjungan ke kabupaten/kota se Provinsi Bali bekerja sama dengan pemerintah daerah. Tujuan kunjungan tersebut adalah untuk saling tukar informasi dan berdialog serta meningkatkan hubungan menyamabraya: 2. Mengadakan kunjungan ke kabupaten/kota se Bali ketika menghadapi event-event tertentu misalnya menjelang Pemilu; 3. Mengadakan kunjungan ke kabupaten/kota se Bali setelah terjadi peristiwa-pweritiwa tertentu yang melibatkan issu agama, etnik maupun identitas lainnya. Peristiwa dimaksud adalah peristiwa Kamis Kelabu pada tahun 1999 serta meletusnya bom di Legian Kuta; 4. Pada tanggal 2 – 4 Juni 2002 mengadakan kunjungan ke Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka sosialisasi FKAUB serta berdialog tentang masalah kerukunan umat beragama;
Penutup Dalam usianya yang relatif muda, PBM telah menjadi rambu-rambu yang penting sebagai sarana peningkatan kerukunan umat beragama. Di beberapa provinsi di Indonesia, pemda setempat dengan cepat merespon PBM antara lain dengan membuat peraturan gubernur, membentuk FKUB atau menyesuaikan forum sejenis FKUB dengan FKUB sebagaimana diatur dalam PBM. Sejak tahun 1999 di Provinsi Bali telah terbentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama. Sejak terbentuknya sampai penelitian ini dilaksanakan FKAUB diresakan efektif untuk membentu memelihara kerukunan umat beragama. Oleh karena itu ketika PBM diberlakukan, masyarakat di Bali memerlukan tempo untuk dapat mengimplementasikan PBM tersebut. Masyarakat bersikap sangat hati-hati dalam menerima sesuatu yang baru seperti halnya PBM. Oleh karena itu, jika sampai saat ini di Bali belum terbentuk FKUb sebagaimana yang diatur dalam PBM, bukan karena sipak “pembangkangan”, tetapi merupakan ketelitian dan kehati-hatian sebagaimana tercermin dalam budaya Bali yang sellau mengutamakan kepentingan bersama.
5. Menerbitkan bulletin Puja Media sebagai media komunikasi dan informasi tentang kehidupan beragama di Bali.
160
159
160
161
VII SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Nusa Tenggara Timur Oleh: Suhanah Proses Pembentukan FKUB dan Dewan Penasihat Tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perlu kita ketahui bahwa kondisi Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai Provinsi Kepulauan dengan beragam suku, ras, bahasa, budaya dan agama, merupakan suatu kekayaan dan karunia Tuhan yang Maha Esa, sehingga kita harus senantiasa tetap menjaga dan memelihara karunia itu, karena dengan demikian berarti kita menghargai kebhinekaan yang ada. Bila secara khusus kita mau mencermati kehidupan keagamaan di Nusa Tenggara Timur, memang cukup unik, karena dalam satu keluarga bisa dihuni lebih dari satu pemeluk agama, sehingga dapat dikatakan bahwa interaksi dan tatakrama pergaulan antar pemeluk agama tidak menjadi persoalan, bahkan dapat tercipta suasana kehidupan yang rukun dan damai. Oleh karena itu peroses pembentukan FKUB tingkat provinsi Nusa Tenggara Timur dilakukan melalui pertemuan para tohoh agama/ tokoh masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah daerah yang berlangsung pada tanggal 27 Maret dan 13 April 2007. Pada pertemuan kedua tanggal 13 April tersebut, para tokoh agama/tokoh masyarakat secara bersama sepakat untuk membentuk FKUB dengan komposisi keanggotaannya berdasarkan 162
161
perbandingan jumlah pemeluk agama dengan keterwakilan minimal 1(satu) orang dari setiap agama yang ada di Provinsi. Peristiwa ini mengandung makna semua komponen masyarakat berkepentingan dan memiliki tanggung jawab memelihara kerukunan hidup antar umat beragama dengan damai. (Gubernur Nusa Tenggara Timur, Badan Perlindungan Masyarakat Provinsi NTT, 2007). A. Respon Masyarakat terhadap keberadaan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 Pada umumnya masyarakat Nusa Tenggara Timur menerima dengan baik keberadaan PBM Nomor 9 dan 8. Namun ada beberapa tanggapan yang dijabarkan dalam tulisan ini yaitu: 1. DR. H. Abdul Kadir Makarim (Ketua MUI NTT, Ketua NU sekaligus sebagai ketua RW) Menyatakan bahwa isi dari PBM Nomor 9 dan 8 itu kan intinya masalah pendirian rumah ibadat. Dulu sebelum adanya PBM No. 9 dan 8 umat Islam mau mendirikan rumah ibadat dipersulit dalam mengurus surat perizinannya. Apalagi dengan adanya PBM Nomor 9 dan 8 yang mengatur persyaratan dalam pendirian rumah ibadat harus ada 90 (sembilan puluh ) orang pengguna dan 60 (enam puluh) orang pendukung. Hal ini malah tambah mempersulit umat Islam yang ada di NTT untuk mendirikan rumah ibadat. Kenapa persyaratan tersebut tidak diperhitungkan untuk daerah-daerah minoritas. Memang sebelum adanya PBM Nomor 9 dan 8 , saya mendirikan rumah ibadat (Masjid) tidak memakai surat IMB, tapi berjalan lancar tanpa hambatan. Orang mau mendirikan rumah ibadat kok pakai izin. Jadi menurut saya PBM No. 9 dan 8 itu merugikan umat minoritas. 162
163
2. Drs. Jeremi (Pendeta dari Gereja Pantekosta).
3. Kepala Kandepag Kabupaten Rotendau (Drs. Mikail Pah)
Menyatakan bahwa secara pribadi menurut saya kehadiran PBM Nomor 9 dan 8 itu isinya adalah baik dan bisa diterima oleh sebagian masyarakat. Saya katakan baik karena isinya adalah mengatur tentang pendirian rumah ibadat. Jadi tidak bisa sekelompok orang dengan seenaknya membangun rumah ibadat tanpa izin dahulu dari pemerintah, dalam hal ini FKUB setempat yang dibentuk olah masyarakat. Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 belum sampai ke masyarakat bawah, baru sebatas PNS, oleh karena itu perlu digalakkan sosialisasi tersebut. Sumberdaya manusia yang ada di daerah NTT ini cukup bagus dalam artian latar belakang pendidikannya cukup tinggi dan wawasannya luas. Kalau masalah anggaran kan wewenang dari Pemda dalam hal ini Kesatuan Bangsa dan Politik, jadi saya tidak tau. Metode penyampaian dalam kegiatan sosialisasi itu cukup bagus, namun perlunya diadakan diskusi-diskusi kelompok yang membicarakan tentang isi PBM itu. Materi yang disampaikan dalam sosialisasi PBM No. 9 dan 8 sangat terbatas, karena waktu yang tersediapun juga terbatas. Sehingga para peserta sosialisasi PBM No. 9 dan 8 perlu banyak membaca sendiri dari buku PBM itu, supaya bisa memahami. Sebab kalau peserta hanya mengandalkan dari apa yang disampaikan oleh para nara sumber, ya sulit untuk memahami isi PBM itu. Memang di Provinsi NTT ini jauh sebelum adanya PBM No. 9 dan 8 sudah ada forum-forum kerukunan sejenis FKUB . Paling tidak, 3 bulan sekali para pemuka agama mengadakan pertemuan-pertemuan. Forumforum sejenis FKUB yang sudah ada, sekarang ini dengan adanya Pergub tentang PKUB, maka namanya menyesuaikan diri, dan susunan keanggotaannya disesuaikan dengan aturan PBM No. 9 dan 8.
Menyatakan bahwa masyarakat kami mayoritas beragama Kristen Protestan. SDM yang ada pada umat kami masih kurang, bila dilihat dari segi pimpinan umat sendiri. Sarana dan prasarana yang ada masih kurang mendukung, sehingga sosialisasi yang dilakukan baru satu kali hanya sebatas tingkat Kabupaten dan belum menjangkau untuk tingkat kecamatan, hal ini karena keterbatasan sarana dan dana. Sarana yang ada hanya terbatas kendaraan dinas. Untuk poto copy bahan-bahan sosialisasi saja uangnya sangat terbatas apalagi untuk tingkat Kecamatan uangnya dari mana. Pada waktu pelaksanaan sosialisasi dibantu dari Kesbangpol Linmas hanya sebatas uang trasport dan snaek. Begitu juga pada waktu pembentukan FKUB tingkat Kabupaten Rotendau April 2006, dananya diambil dari dana perjalanan dinas. Sosialisasi untuk pimpinan umat kami, belum berjalan karena keterkaitan dengan masalah anggaran. Untuk itu kami memberi saran mohon dipertimbangkan supaya Kepala Seksi diberi motor.
164
163
4. Drs. MP.Florianus Mekeng (Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga ) Menyatakan bahwa pada umumnya kondisi kerukunan umat beragama di NTT ini relatif baik-baik saja, di mana sebelum adanya PBM No. 9 dan 8, semua umat beragama dengan mudah saja bisa mendirikan rumah ibadat tanpa ada kesulitan. Namun dengan adanya PBM No. 9 dan 8 ini, sebenarnya ya baik juga, tetapi kalau mau mendirikan rumah ibadat ada payung hukumnya yang diatur oleh pemerintah yaitu ada syaratnya 90 (sembilan puluh ) orang pengguna, dan 60 (enam puluh) orang pendukung. Bagi masyarakat mayoritas tidak ada masalah tetapi bagi yang minoritas setidaknya ada sedikit masalah, mereka harus 164
165
melakukan komunikasi dahulu dengan FKUB bila mau mendirikan rumah ibadat. Kalau berbicara masalah kerukunan, jauh sebelum adanya PBM No. 9 dan 8, masyarakat NTT sudah hidup dengan rukun dan damai antar sesama umat beragama. Bahkan sebelum adanya PBM Nomor 9 dan 8 masyarakat NTT sudah memiliki forumforum sejenis FKUB. Oleh karena itu menurut saya forum yang sudah ada itu jangan dihilangkan, hanya menyesuaikan dengan aturan-aturan yang ada dalam PBM No. 9 dan 8.
Kerukunan Umat Beragama sekarang ini koordinasinya dipayungi oleh PBM No. 9 dan 8 , menurut saya hal tersebut menjadi lebih baik karena ada payung hukumnya yang diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu usul saya, anakanak didik sebaiknya diberikan pendidikan agama-agama, sehingga mereka bisa merasakan keunikan dari semua agama.
5. Bapak Drs. Irwan (sekretaris perlindungam masyarakat)
1. Kesimpulan
Menyatakan bahwa sebelum adanya PBM Nomor 9 dan 8, di Provinsi NTT ini sudah ada forum-forum kerukunan seperti forum bersama antar pemuka agama. Namun kedatangan PBM No. 9 dan 8 ini, bisa diterima dengan baik oleh masyarakat. Tetapi dalam aturan PBM No. 9 dan 8 ada pasal yang menyulitkan umat beragama yaitu dalam pendirian rumah ibadat, dilihat dari segi persyaratan 90 (sembilan puluh ) orang pengguna dan 60 (enam puluh ) orang pendukung . Dulunya sebelum ada PBM No. 9 dan 8 kearifan lokal sangat lentur. Kelompok umat beragama membangun rumah ibadat atas musyawarah umat, mengadakan dialog dan komunikasi dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Sekarang ini setelah adanya PBM No. 9 dan 8 , kalau umat beragama mau membangun rumah ibadat harus mengikuti aturan PBM No. 9 dan 8 yang diatur oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Dari uraian-uraian tersebut di atas, kiranya dapat disimpulkan sebagai berikut:
Romo Agustinus (Ketua FKUB Provinsi NTT) menyatakan bahwa Umat kami sangat menerima keberadaan PBM No. 9 dan 8, tidak ada masalah, karena kerukunan umat beragama bukan hal baru, dimana sebelum adanya PBM No. 9 dan 8 sudah ada forum-forum kerukunan yang bisa meningkatkan kerukunan umat beragama. Masalah 166
165
B. Kesimpulan dan Rekomendasi
a. Proses pembentukan FKUB di Nusa Tenggara Timur berjalan cukup lancar karena dilakukan melalui pertemuan para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang difasilitasi oleh Pemda dalam hal ini Kesbangpol Linmas yang berlangsung pada tanggal 27 Maret dan 13 April 2007. Mereka sepakat membentuk FKUB yang komposisi keanggotaannya berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama dengan keterwakilan minimal (satu orang) dari setiap agama yang ada di provinsi. b. Pada umumnya masyarakat Nusa Tenggara Timur menerima dengan baik atas kehadiran PBM No.9 dan 8, namun ada sedikit yang menjadi ganjalan yaitu adanya persyaratan dalam pendirian rumah ibadat 90 orang pengguna dan 60 orang pendukung. Sementara yang telah berjalan di NTT dalam membangun rumah ibadat berdasarkan kearifan lokal. c. Tingkat pencapaian sosialisasi PBM No.9 dan 8 itu masih perlu ditingkatkan karena belum menjangkau masyarakat bawah dan baru sebatas masyarakat 166
167
menengah ke atas yang kedudukannya sebagai tokoh agama dan tokoh masyarakat juga sebagai PNS. Selain itu, waktu yang tersedia dalam pelaksanaan sosialisasi tersebut sangat terbatas sehingga bagi peserta sosialisasi tersebut sulit memahami isi PBM itu.
2. Rekomendasi a. Perlunya digalakkan sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tidak hanya untuk kalangan atas saja, melainkan untuk masyarakat bawah yang bukan hanya PNS saja;
d. Masalah dana dan sarana yang tersedia dalam melakukan sosialisasi masih sangat terbatas, baik bantuan dari Pemda setempat maupun dari Kanwil Depag.
b. Untuk kegiatan sosialisasi PBM No. 9 dan 8 perlu ditingkatkan; dan dianggarkan dalam DIPA; c. Perlunya penambahan waktu pelaksanaan sosialisasi PBM No. 9 dan 8;
e. Faktor pendukung terlaksananya sosialisasi PBM No.9 dan 8 itu adalah : 1) Karena hal ini tugas Kepala Daerah /Wakil Kepala Daerah; 2) Karena Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), ini dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. f.
d. Metode penyampaian dalam sosialisasi PBM No. 9 dan 8 perlu ditambah, jangan hanya sebatas ceramah dan tanya jawab tetapi lebih ditingkatkan dengan membentuk kelompok diskusi-diskusi.
Faktor penghambatnya adalah : 1) sarana dan dana bantuannya masih terbatas, dan belum dianggarkan dalam DIPA 2) Wilayah Nusa Tenggara Timur ini, sulit dijangkau karena menyeberang pulau-pulau.
g. Para pemuka agama setempat memberikan respon positif terhadap keberadaan PBM No. 9 dan 8 dan mengharapkan supaya para pihak terkait melaksanakan sosialisasi itu. h. Pada umumnya, pelaksanaan sosialisasi PBM No. 9 dan 8 yang telah dilakukan di provinsi Nusa Tenggara Timur dapat berjalan dengan baik dan benar, dalam artian berjalan sesuai jadwal, baik yang telah dilakukan oleh pihak Departemen Agama Pusat dan Daerah, maupun dari Kesbangpol Pusat dan daerah. 168
167
168
169
VIII SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Maluku Oleh: Mursyid Ali Salah satu aspek yang dapat mengganggu dan merugikan upaya menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi kerukunan umat beragama adalah persoalan pendirian atau keberadaan rumah ibadat. Beragam kasus yang seringkali muncul, sehubungan dengan pendirian dan keberadaan rumah ibadat di berbagai daerah selama ini, dipandang terkait dengan sejumlah faktor yang dapat menjadi latar belakang penyebabnya, antara lain : 1) Belum adanya kejelasan mengenai persyaratan dan tata-cara Pendirian Rumah Ibadat, 2) Proses perizinan pendirian rumah ibadat sering berlarut-larut, 3) Penyalahgunaan rumah tinggal atau bangunan lain yang difungsikan sebagai rumah ibdah, 4) Pendirian atau keberadaan rumah ibadat yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku dan aspirasi masyarakat setempat, 5) Selain pengaturan oleh masingmasing Pemda sangat beragam, masih banyak Pemda yang belum memiliki peraturan tentang pendirian rumah ibadat, 6) Kurangnya komunikasi antar pemuka keagamaan di suatu wilayah Adanya sejumlah kenyataan lapangan yang menyangkut rumah ibadat seperti di atas, acapkali mengundang munculnya kasus-kasus yang menimbulkan ketegangan dan keresahan sosial yang dapat mengganggu dan sangat merugikan upaya mewujudkan bangunan 170
169
kerukunan. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Agama dan Departemen Dalam Negeri, bersama-sama dengan perwakilan dari Majelismajelis Agama (MUI – PGI – KWI – PHDI – WALUBI) bersepakat bahwa masalah pengaturan pendirian rumah ibadat yang sebelumnya berlaku, perlu ditata ulang. Melalui proses pembahasan dan dialog yang relatif intensif, serius dan berulang-ulang, selama lebih kurang enam bulan, berhasil mencapai kesepakatan, yang kemudian dituangkan dalam “PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEPALA DAERAH/WAKIL KEPALA DAERAH DALAM PEMELIHARAAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA, PEMBERDAYAAN FORUM KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DAN PENDIRIAN RUMAH IBADAT” (PBM Nomor :9 dan 8 Tahun 2006). Berikutnya, supaya PBM ini bisa dipahami, dihayati, dan diimplementasikan dalam kehidupan sosial beragama dan berbangsa secara luas, tepat dan benar serta efektif, selama kurun waktu sekitar sepuluh bulan sepanjang tahun anggaran 2006, pemerintah bersama-sama dengan Majelis-Majelis Agama, telah melakukan serangkaian kegiatan sosialisasi PBM, baik di tingkat pusat, provinsi dan kota/kabupaten. Bagaimana dan sampai sejauhmana respon masyrakat diberbagai daerah, berkenaan dengan upaya sosialisasi ini, baik dari sisi pemahaman, maupun aktualisasinya dalam praktek di lapangan, sampai sejauh ini, setelah sosialisasi PBM selama setahun berlangsung, belum banyak diketahui secara jelas. Untuk mendapatkan kejelasan yang lebih lengkap, utuh dan bisa dipertanggungjawabkan, khususnya mengenai keberhasilan atau efektivitas sosialisasi PBM ini, dipandang perlu dilakukan monitoring dan kajian 170
171
tersendiri dari waktu ke waktu secara seksama, terprogram dan terarah. Berbabagi informasi yang berhasil dihimpun melalui kajian ini, dipandang cukup bermakna, selain buat evaluasi, juga dapat dijadikan masukan tambahan buat para pejabat terkait, pemimpin keagamaan, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan, dalam rangka penyususnan kebijakan di bidang kehidupan keagamaan, di bidang kerukunan dan pendirian rumah ibadat, khususnya terkait dengan upaya peningkatan efektivitas sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Temuan Kajian Berbagai informasi yang berhasil dihimpun melalui serangkaian wawancara dengan sejumlah nara sumber terkait dengan kajian tentang “Efektivitas Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006” yang dilakukan di Ambon – Maluku pada bulan Juli 2007, disampaikan beberapa hal yang dipandang penting, bersifat umum dan menyeluruh seperti berikut : 1. Sehubungan dengan penyelenggaraan Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 di provinsi Maluku pada umumnya dinyatakan bahwa terdapat sejumlah faktor yang dipandang menghambat atau kurang menguntungkan antara lain : 1) Frekuensi dan durasi waktu sosialisasi yang tersedia, dirasakan kurang dibandingkan dengan banyaknya persoalan (materi) yang harus disampaikan, 2) Pengurus FKUB belum terbentuk (dilantik) , 3) Anggaran, Sarana dan prasarana, belum jelas, 4) Trauma kerusuhan Ambon yang berkepanjangan belum bisa dilupakan sepenuhnya di kalangan warga dan pihak-pihak terlibat setempat, 5) Masih adanya kelompok sparatis. 172
171
Sementara hal-hal yang dianggap menguntungkan atau mendukung bagi upaya sosialisasi PBM meliputi : 1) Dukungan, dorongan dan antusiasme yang tinggi dari Pemda dan Departemen Agama setempat, 2) Partisipasi aktif Majelis-Majelis Agama, 3) Kerusuhan Ambon menyadarkan warga setempat betapa pentingnya arti kerukunan dan kebersamaan, 4) Peran para tokoh pemerintahan, keagamaan, adat dan masyarakat selaku lambang pemersatu, 5) Saling ketergantungan yang tinggi dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup keseharian antar warga. 2. Sampai bulan Juli 2007, FKUB provinsi Maluku secara resmi belum terbentuk atau belum dilantik, walaupun konsep SK Gubernur Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembentukan Forum Antar Umat Beragama dan Dewan Penasehat Forum Provinsi Maluku sudah ditetapkan pada tanggal 15 Januari 2007. Sementara di daerah tingkat dua, dari sebanyak delapan wilayah tingkat kabupaten/kota di lingkungan provinsi Maluku, hanya satu wilayah yang sudah membentuk FKUB yaitu di kabupaten Maluku Tengah, dengan Surat Keputusan Bupati Maluku Tengah Nomor : 240 – 293 Tahun 2006, tertanggal 27 Nopember 2006, tentang “Forum Kerukunan Umat Beragama dan Dewan Penasehat Kerukunan Umat Beragama” Kabupaten Maluku Tengah. Tertundanya pelantikan FKUB provinsi Maluku ini, penurut penuturan sejumlah tokoh dari kalangan majelis-majelis agama, antara lain lantaran adanya perbedaan dengan PBM Nomor : 9 – 8 tahun 2006, seperti dalam nomenklatur FKUB, dalam SK Gubernur Nomor : 17 Tahun 2007, disebut Forum Antar Umat
172
173
Beragama (FAUB) dan Dewan Penasehat Forum Provinsi Maluku 3. Dari pantauan dan wawancara dengan warga dan tokoh setempat, terkesan sebagian mereka kurang antusias mendukung PBM Nomor : 9 dan 8 Tahun 2006 antara lain karena : 1) Trauma kerusuhan di Ambon dan Maluku tahun 2000 yang berkepanjangan dan menelan banyak korban, sampai kini masih sulit dihapus, terutama bagi para korban kerusuhan. Masih terlalu banyak permasalahan kerusuhan yang belum terselesaikan, 2) Masih adanya kelompok sparatis yang menginginkan kemerdekaan, 3) Adanya anggapan bahwa pemerintah setempat kurang serius menangani dan menyelesaikan secara tuntas persoalan mendasar di atas, sehingga mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, yang pada gilirannya menyulitkan atau paling tidak mengurangi keberhasilan berbagai upaya menciptakan suasana dan kondisi kerukunan beragama dan berbangsa. 4. Sejalan dengan berbagai hal seperti tersebut di atas, dipandang perlu dilakukan beberapa upaya secara lebih intensif dan sungguh-sungguh antara lain : 1) Menggalakkan dialog-dialog multikultural, 2) Penegakan hukum secara adil dan proporsional, 3) Meningkatkan rasa dan kesadaran serta memperkokoh ikatan nasionalisme, 4) Menyelesaikan segera dan proporsional dampak kerusuhan yang masih tersisa, dan kelompok sparatis setempat
IX SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Kalimantan Tengah Oleh: Imam Syaukani Pasca pelaksanaan sosialisasi PBM yang dilakukan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada permulaan tahun 2006, pihak Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Kalteng melalui Kepala Subbag Humas dan KUB serta jajarannya, langsung mengadakan sosialisasi kepada pemuka-pemuka agama se-wilayah Kalteng. Sosialisasi dilakukan da-lam bentuk pertemuan formal dan juga informal. Drs. Baihaqi, selaku Kasubbag Humas dan KUB saat itu menjelaskan, pada mulanya ada beberapa pihak yang menentang keber-adaan PBM, terutama mereka dari kalangan Kristen. Namun, setelah dilakukan pendekat-an secara intensif, berbicara dari hati ke hati, mereka sedikit demi sedikit bisa menerima PBM. Bahkan, kini mereka sering berkomunikasi dengan pihak kanwil.5 Selain dengan ceramah dan pendekatan secara informal, sosialisasi PBM dilakukan pula dengan media massa. Dalam hal ini, pihak kanwil telah memanfaatkan tabloid Cer-mien yang diterbitkan oleh Subbag Humas dan KUB sebagai media sosialisasi PBM. Cer-mien merupakan tobloid yang diterbitkan setiap 1 bulan sekali dan mempunyai jangkauan cukup luas, karena diedarkan pada seluruh kantor departemen agama se-Kalteng. Upaya kanwil 5Wawancara dengan Drs. Baihaqi, Kasubbag Humas dan KUB Kanwil Dep. Agama Provinsi Kalteng.
174
173
174
175
departemen agama tersebut ternyata tidak luput dari perhatian gubernur. Beliau sangat memuji apa yang telah dilakukan kanwil departemen agama. Perhatian gubernur itu dimanfaatkan betul oleh pihak kanwil untuk terus menjalin hubungan baik dengan pi-hak pemerintah daerah. Hasilnya cukup menggembirakan. Gubernur sangat merespon ketika Kanwil Departemen Agama mengajukan diri untuk memfasilitasi penyusunan peratur-an gubernur tentang pedoman pembentukan forum kerukunan umat beragama dan de-wan penasihat provinsi dan kabupaten/kota di Provinsi Kalteng.6 Untuk mendukung so-sialisasi gubernur langsung menganggarkan dalam anggaran pembangunan belanja dae-rah. Sosialisasi PBM di tingkat provinsi diteruskan hingga tingkat kabupaten/kota oleh departemen agama dan ormas Islam serta majelis agama masing-masing.7 Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh majelis ulama Indonesia belum secara khusus membahas ke-beradaan PBM, tetapi baru sebatas diselipkan dalam acara pengajian yang diadakan oleh masyarakat, manakala secara kebetulan mereka diundang sebagai penceramahnya. Sosial-isasi secara khusus belum bisa dilakukan karena majelis ulama Indonesia belum mempu-nyai dana.8 Kondisi berbeda dijumpai pada majelismajelis di luar majelis ulama Indonesia, terutama dari kalangan Kristen, di mana mereka telah mengundang secara khusus Ka-subbag Humas dan KUB untuk menjelaskan PBM. Penyelenggaraan sosialisasi secara khusus itu 6Berkaitan dengan pergub tentang pedoman pembentukan forum kerukunan umat beragama dan dewan penasihat akan dijelaskan pada bagian lain tulisan ini. 7Tabloit
Cermin, Edisi Maret 2007, Tahun III.
8Wawancara dengan Drs. H. Ahzar Slamet, sekretaris MUI dan sekretaris FKUB Provinsi Kalteng.
176
175
merupakan instruksi dari pimpinan pusat (Persekutuan Gereja-gereja di Indo-nesia dan Konferensi Waligereja Indonesia), karena selain mereka turut membidani PBM juga karena menganggap masalah ini penting untuk diketahui oleh jemaat mereka di ting-kat akar rumput (grassroot). Memperhatikan uraian di atas, maka pelaksanaan sosialisasi PBM di Kalteng berja-lan cukup baik. Faktor pendukung yang memungkinkan kondisi itu adalah kesigapan pi-hak kantor wilayah departemen agama, dukungan majelis-majelis agama, dan yang ter-penting adanya dukungan dari gubernur, walaupun sebatas baru menjanjikan adanya ang-garan sosialisasi dari APBD. Pada saat penelitian ini dilakukan anggaran sosialisasi dari APBD itu belum pernah diperoleh kanwil departemen agama, majelis-majelis agama, atau unsur masyarakat yang lain. Kondisi ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah dan akan menjadi faktor penghambat yang tidak bisa dire-mehkan begitu saja. Peraturan Penasihat
Gubernur
Mengenai
FKUB
dan
Dewan
Pasal 12 PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 menyebutkan bahwa dalam rangka mengatur ke-beradaan forum kerukunan umat beragama (FKUB) dan dewan penasihat harus melalui peraturan gubernur. Di Kalteng, ketentuan itu sudah dipenuhi dengan diterbitkannya Per-aturan Gubernur No. 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Dewan Penasihat Forum Kerukunan Umat Beragama Pro-vinsi dan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, tertanggal 8 Maret 2007. Ter-bitnya pergub ini tidak bisa dilepaskan dari peran kanwil departemen agama. Dengan dana Rp 7.000.000,- (tujuh juta rupiah) tim penyusun yang terdiri atas: 176
177
Drs. Rahmat Junai-di Rahman, SH dan Drs. Mohadi dari Kanwil Dep. Agama Provinsi Kalteng, Ir. H. Tonny Prohartono, Sukosmono, SH dan H. Amir Hamzah dari Biro Hukum Setda Provinsi Kal-teng. Tim penyusun di atas bekerja sejak awal November 2006. Ketika naskah sudah men-capai titik final, masuk tim penyusun baru dari Badan Linmaskesbang Provinsi Kalteng, Sukarsih, SH untuk ikut serta mengikuti proses penyempurnaan draf pergub, terutama untuk penyempurnaan tata bahasa. Setelah mengalami penyempurnaan draf itu dipresen-tasikan dihadapan gubernur dan kepala kanwil departemen agama provinsi Kalteng. Ra-pergub yang kemudian menjadi pergub itu mengatur tentang: (1) ketentuan umum; (2) pembentukan FKUB; (3) pertanggungjawaban, pembinaan dan pengawasan; (4) pembia-yaan; (5) sekretariat; (6) ketentuan peralihan, yang menyatakan bahwa pedoman pemben-tukan FKUB atau yang sejenisnya, yang telah terbentuk sebelum pedoman ini diterbitkan, agar segera menyesuaikan paling lambat 1 (satu) tahun; dan (7) ketentuan penutup.9 Keberadaan FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Provinsi dan Kabupaten/Kota Sebagai tindak lanjut dari PBM dan Pergub No. 6 Tahun 2007, pada 17 April 2007, dise-lenggarakan musyawarah forum kerukunan umat beragama Provinsi Kalteng di Palangka-raya dengan agenda utama pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Dewan Penasihat Provinsi Kalteng.
9Tabloid
178
Cermin, Edisi Januari 2007 Tahun III.
177
Setelah melalui proses musyawarah, disepakati susunan pengurus FKUB dan Dewan Penasihat Provinsi Kalteng periode 2007 s.d. 2010 dan dikukuhkan melalui Keputusan Gubernur Kalteng No. 188.44/232/2007 tertanggal 30 Mei 2007 tentang Penetapan Su-sunan Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Susunan Keanggotaan Dewan Penasihat FKUB serta Pegawai Sekretariat FKUB Provinsi Kalteng. Susunan anggota FKUB provinsi ialah: Susunan Pengurus FKUB Provinsi Kalteng No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
178
Nama Drs. H.M. Yamin Mukhtar, Lc Pdt. Drs. P.L. Sinaga, DpTh Drs. Oka Swastika, SH Drs. H. Ahzar Slamet H.M. Syairi Abdullah Pdt. Dr. Rugas Binti Drs. H. Anwar Isa, Lc P. Drs. Frieds Meko, SVD H. Kaspul Rizani, SH Lewis KDR, BBA Drs. H. Noordiansyah Pdt. Untung Christian J. Ekoet, S.Th Ir. H. Syamsuri Yusuf Drs. H.A. Aini Baderi, SH, MH Pdt. Julito, A.Ma.Pd Ir. H. Abdul Mukti, MP Drs. H. Tuaini Ismail, M.Ag H. Sa`aduddin Drs. H.M. Amin Suhaimi Ir. H. Rajudinnor, M.Si Drs. Sardimi, S.Ag
Jabatan dalam FKUB Ketua/Anggota Wakil Ketua/Anggota Wakil Ketua/Anggota Sekretaris/Anggota Wk. Sekretaris/Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
179
Sedangkan Dewan Penasihat adalah sebagai berikut: Susunan Keanggotaan Dewan Penasihat FKUB Provinsi Kalteng No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Nama Wakil Gubernur Kalteng Kanwil Depag Provinsi Kalteng Badan Linmas Kesbang dan Polisi Pamong Praja Kalteng Kepolisian Daerah Kalteng Kejaksaan Tinggi Kalteng DANREM 102 Panju Panjung Pengadilan Tinggi Kalteng Pengadilan Tinggi Agama Kalteng Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalteng Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Kalteng Badan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Kalteng Badan Pengolahan dan Sistem Informasi Daerah Provinsi Kalteng
Jabatan dalam FKUB Ketua Wakil Ketua Sekretaris Wakil Sekretaris Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota Anggota
Selain berhasil membentuk FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Provinsi Kalteng, musya-warah menelurkan pula beberapa kesepakatan:10 1. FKUB Provinsi Kalteng dalam pelaksanaan tugas berpedoman kepada ketentuan per-aturan perundangundangan yang berlaku; 10Tabloid
180
2. Anggota FKUB dalam melaksanakan tugas hanya untuk kepentingan kerukunan umat beragama dan pembangunan; 3. Anggota FKUB dalam melaksanakan tugas menggunakan bahasa kerukunan; 4. Anggota FKUB dalam melaksanakan tugas berdasarkan hasil musyawarah dan dilak-sanakan secara kolegial dan tidak secara individu; 5. Jumlah keterwakilan pemuka agama pada FKUB Provinsi Kalteng sebagai berikut: (a) dari lembaga keagamaan Islam sebanyak 14 orang anggota; (b) dari lembaga keagama-an Kristen Protestan sebanyak 3 orang anggota; (c) dari lembaga keagamaan Hindu sebanyak 2 orang anggota; (d) dari lembaga keagamaan katolik sebanyak 1 otang; dan (e) dari lembaga keagamaan Buddha sebanyak 1 orang anggota. Kesepakatan di atas kemudian dirinci lebih jauh dalam Keputusan Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Kalteng tentang Peraturan Tata Tertib Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalteng. Menurut kesaksian wakil umat Buddha, proses pembentukan FKUB berjalan bagus. Komunikasi antaranggota FKUB dilakukan dengan surat atau sms. Bahkan surat belum datang sms sudah datang. Kantor FKUB sedang di-siapkan. Wakil dari Hindu Kaharingan ada di FKUB Provinsi. Anggaran sedang diusulkan kepala Pemerintah Daerah. Terlibat dalam berbagai kegiatan harihari besar agama lain sebagai Panitia.11
Cermin, Edisi Mei 2007, Tahun III.
11Wawancara
179
180
dengan Pdt. Julito, anggota FKUB Provinsi wakil dari Buddha.
181
Setelah terbentuknya FKUB dan Dewan Penasihat FKUB Provinsi Kalteng, menyusul kemudian pembentukan lembaga sejenis di tingkat kabupaten/kota. Menurut Kasubbag Humas dan KUB, bahwa FKUB dan Dewan Penasihat tingkat kabupaten/kota sudah di-bentuk, kecuali di Kabupaten Seruyan. Alasan mengapa di kabupaten ini belum terbentuk FKUB dan Dewan Penasihat, menurut Kasubbag Humas dan KUB, konon disebabkan ka-rena adanya perseteruan antara bupati dan wakil bupati.12 Kondisi yang hampir sama ter-jadi pula di Kota Palangkaraya. Bedanya, di kota ini FKUB dan Dewan Penasihat sudah terbentuk, tetapi belum dikukuhkan melalui keputusan bupati karena ada perbedaan pen-dapat antara walikota dan sekdanya. Menurut satu informasi, orang yang dianggap “de-kat” dengan walikota tidak masuk dalam keanggotaan FKUB dan di sisi lain, sekda juga hendak memasukkan “orang dekatnya”.13 Mencermati lambatnya pembentukan FKUB dan Dewan Penasihat Kab. Seruyan dan pengukuhan FKUB dan Dewan Penasihat Kota Palangkaraya, ini membuktikan bahwa ada upaya-upaya untuk memanfaatkan FKUB dan Dewan Penasihat sebagai bagian dari peng-galangan massa. Jelas, ini bertentangan dengan tujuan pembentukan FKUB yang harus lepas dari kepentingan politik dan golongan. Selain itu, dari kabupaten/kota yang telah membentuk FKUB dan Dewan Penasihat, ternyata baru dua daerah yang melaporkan ha-silnya kepada sekretariat FKUB Provinsi, yakni Kab. Kapuas dan Barito Timur. Susunan kepengurusan 12Wawancara
dengan Drs. Mohadi, Kasubbag Humas dan KUB Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Tengah. 13Ibid.
182
181
dikukuhkan melalui Keputusan Bupati Kapuas No. 387 Tahun 2007 ten-tang Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kab. Kapuas (2007-2010), yaitu: Susunan Pengurus FKUB Kab. Kapuas (2007-2010) No.
Nama
Jabatan dalam FKUB
1.
Drs. Masyumi Rivai, MAP
Ketua/Anggota
2.
Pdt. Erasmus Bataha, SH
Wakil Ketua/Anggota
3.
Drs. L.H. Tinggam
Wakil Ketua/Anggota
4.
I Wayan Amatha, SH
Sekretaris/Anggota
5.
H. Kursani, S.Ag
Wakil Sekretaris/Anggota
6.
KH. Muchtar Ruslan
Anggota
7.
H.M. Sugiannor
Anggota
8.
H. Anwar Kusasi, BA
Anggota
9.
H. Junaedi, SE, SKM
Anggota
10.
H. Ikhsan Syahrin
Anggota
11.
H. Kamaruddin AK
Anggota
12.
H. Kasiyan, SE, SH, MM
Anggota
13.
Pdt. Tunggul Hutabalian
Anggota
14.
Patan Ely
Anggota
15.
Drs. Saptono
Anggota
16.
I Wayan Siben, S.Pd
Anggota
17.
Eyai
Anggota
Sedangkan kepengurusan di Kab. Barito Timur dikukuhkan Keputusan Bupati Barito Ti-mur No. 192 Tahun 2007 tentang Pembentukan Forum Komunikasi Kerukunan Umat Beragama Kab. Barito Timut (2007-2010). 182
183
Susunan Pengurus FKUB Kab. Barito Timur (2007-2010) No.
Nama
Peraturan dan Keorganisasian FKUB Provinsi Kalimantan Tengah
Jabatan dalam FKUB LOKASI
1.
H. Syaril M, BA
Ketua/Anggota
2.
Pdt. Antariksa, S.Th
Wakil Ketua/Anggota
3.
Riwut Mulajari
Sekretaris/Anggota
4.
Mursid
Wakil Sekretaris/Anggota
5.
H. Kamardi
Anggota
6.
Ir. Riza Rahmadi
Anggota
7.
Umarie Ngubel
Anggota
8.
Pdm. Lesios Abad Nego, S.Th
Anggota
9.
H. Rizal Taufik
Anggota
10.
Pdt. Yerina Bambang
Anggota
11.
Bermard Salassa
Anggota
12.
Drs. Satagunawan
Anggota
13.
H. Dartoyo
Anggota
14.
Rini Bernard I.N.
Anggota
15.
Ketut Sandie
Anggota
16.
Suriadi Ikat
Anggota
17.
H. Suryanor
Anggota
Ada
Konsistensi Pembentukan FKUB dan Dewan Penasihat dengan PBM Memperhatikan susunan kepengurusan FKUB dan Dewan Penasihat Provinsi Kalteng dan Kab. Kapuas dan Barito Timur, tampaknya sudah sesuai dengan aturan PBM.
184
Pergub tentang FKUB
183
Provinsi Kalimantan Tengah Kota Palangkaraya Kab. Barito Timur Kab. Kotawaringin Barat Kab. Kotawaringin Timur Kab. Kapuas Kab. Barito Selatan Kab. Barito Selatan Kab. Lamandau Kab. Sukamara Kab. Seruyan Kab. Katingan Kab. Pulang Pisau Kab. Gunung Mas Kab. Murung Raya
X
FKUB
Tidak Ada
Tidak
Dewan Penasihat FKUB Ada Tidak
X
X
x
X X X
X X X
X X X
X
X
X
X X X X X
X X X X X
X X X X x
X X X X
x X X X
X X X X
Program Kerja FKUB Program kerja FKUB untuk sementara ini memusatkan diri untuk pemantapan organisasi. Untuk itu, FKUB telah mengadakan studi banding ke Yogyakarta. Tujuan studi banding ini adalah untuk menambahkan ikatan kebersamaan dan pengembangan wawasan multi-kultural anggota FKUB. Hasil yang dicapai cukup mengejutkan, karena antusiasme pem-bentukan dan pengembangan FKUB 184
185
berkembang lebih baik di Kalimantan Tengah daripa-da di Yogyakarta. Kasubbag Humas dan KUB menyatakan terus terang bahwa hasil studi banding tidak sesuai dengan harapan, tetapi setidaknya tingkat kepercayaan diri anggota FKUB Kalteng semakin meningkat. Selain kegiatan studi banding juga diselenggarakan pendidikan multikultural bagi guru-guru pada tanggal 5-9 Agustus 2007. Kegiatan diarahkan untuk membekali gurugu-ru bagaimana cara menyampaikan atau materi yang berkaitan dengan wawasan multikul-tural kepada anak didik. Kegiatan ini dibiayai oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama De-partemen Agama (PKUB). Selain itu, program kerja juga diarahkan untuk mensinergikan kegiatan kerukunan di Kalimantan Tengah. Untuk itu, komunikasi antara Kepala Subbag Humas dan KUB dengan FKUB dan tokoh masyarakat/agama lainnya terus dilakukan.14 Program kerja dipusatkan pula---ini yang paling utama---terus menerus melakukan so-sialisasi PBM kepada masyarakat dan melakukan pendekatan kepada daerah-daerah yang belum dibentuk FKUB (Kab. Seruyan) dan belum dikukuhkan (Kota Palangkaraya). Hubungan FKUB dengan Forum Sejenis
Dukungan Pemda, Badan Kesbanglinmas dan Kanwil Departemen Agama cukup baik. Na-mun sepanjang dapat ditemui dalam tinjauan lapangan, dukungan kanwil departemen agama patut mendapat perhatian lebih; terutama ketika awal-awal pembentukan FKUB provinsi dan kabupaten/kota. Pada saat itu, pihak kanwil departemen agama harus mela-kukan pendekatan kepada banyak pihak--terutama yang tidak setuju dengan PBM---un-tuk menjelaskan tentang pentingnya PBM bagi peningkatan kerukunan umat beragama. Pihak Badan Kesbanglinmas juga pada mulanya “enggan” karena menganggap mendapat tugas yang baru. Baru setelah diyakinkan mereka mau merespon walau sangat terbatas. Untuk mendirikan FKUB kanwil departemen agama memberikan dukungan berupa ban-tuan Rp 7.000.000,- (tujuh juta rupiah.15 Sedangkan dukungan dari pihak pemda, saat ini sedang diusulkan anggaran operasi-onal FKUB dan penyiapan gedung sekretariat yang terletak di Jalan Yos Sudarso, Palang-karaya dengan dana rehabilitas dari APBD. Penerimaan dan Penolakan Masyarakat terhadap PBM
Sebelumnya ada Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB), namun atas prakar-sa Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalteng, FKAUB dilebur jadi FKUB. Jadi, saat ini tidak ada lembaga sejenis di Kalteng.
14Wawancara dengan Drs. Mohadi, Kasubbag Humas dan KUB Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Tengah.
186
Dukungan Pemda, Badan Kesbanglinmas dan Kanwil Departemen Agama
185
Sebagaimana telah disinggung di atas, daya terima masyarakat terhadap PBM pada mula-nya tidak merata, ada yang menolak dan ada pula yang menerima. Yang menolak, ter-utama dari kalangan Kristen, diarahkan pada ketentuanketentuan tentang syarat-syarat pendirian rumah ibadat dan pembentukan FKUB. Menurut yang menolak, pembentukan 15Wawancara dengan Drs. Baihaqi, mantan Kasubbag Humas dan KUB Kanwil Departemen Agama Provinsi Kali-mantan Tengah.
186
187
FKUB tidak diperlukan karena sudah ada FKAUB dan selain itu, kondisi masyarakat cu-kup rukun sehingga tidak diperlukan FKUB. Mereka juga berpendapat bahwa syaratsya-rat pendirian rumah ibadat cukup berat dan terlalu mengada-ada. Padahal, menurut me-reka, selama ini pendirian rumah ibadat di Kalteng tidak perlu syarat-syarat seperti tertu-ang dalam PBM dan ternyata tidak ada keberatan apa-apa dari masyarakat. Mereka bisa mendirikan rumah ibadat kapan saja tanpa halangan apapun. Atas keberatan masyarakat itu pihak Kanwil Departemen Agama telah melakukan pendekatan intensif kepada pihak-pihak yang menolak. Setelah diberikan penjelasan bah-wa PBM merupakan kesepakatan pemuka agama tingkat pusat yang diharapkan direspon dengan sama di tingkat daerah. PBM adalah kode etik bersama dalam rangka mengatur lalu lintas ajaran agama yang bersentuhan dengan kepentingan umum. Pihak kanwil juga meyakinkan bahwa kerukunan tidak bisa berjalan secara alamiah tetapi perlu diupayakan semua komponen bangsa untuk menyepakati kode etik kerukunan bersama. Pada bebera-pa kasus, kondisi kerukunan yang dikawal oleh perangkat etika tradisional tidak mampu bertahan dari gempuran modernitas. Untuk itulah, keberadaan PBM sebagai kesepakatan baru antarpemuka agama patut diapresiasi secara positif oleh banyak pihak. Ada juga informan yang belum bisa memberikan pendapat karena belum pernah membaca PBM yang salah satunya mengatur tentang pendirian rumah ibadat. Masjid su-dah berkali-kali renovasi tetapi belum pernah punya IMB dan izin prinsip mendirikan ru-mah ibadat. Padahal ia merupakan pengurus salah satu masjid besar di Palangkaraya, di mana salah satu pengurusnya adalah 188
187
anggota FKUB provinsi. Ketidaktahuan ini menun-jukkan bahwa sosialisasi PBM di Kalteng belum berjalan secara merata. Selain itu, kenya-taan itu menunjukkan pula bahwa tanggung jawab moral pengurus FKUB untuk menyebarluaskan PBM kepada jamaahnya masih sangat kurang. Kasus Perselisihan Akibat Pendirian Rumah Ibadat Tingkat kerukunan antarumat beragama di Kalteng cukup baik. Faktor perekat antar anggota masyarakat karena ada falsafah rumah betang. Dalam rumah ini 1 keluarga dengan keyakinan yang berbeda. Menurut sekretaris MUI Provinsi Kalteng, selama ini belum ada masalah pendirian rumah ibadat.16 Salah satu buktinya di Bukit Hindu ada masjid dan gereja yang berdiri berdampingan. Selama itu belum pernah terjadi bentrok saat ada peraya-an di masingmasing rumah ibadat tersebut. Dikatakan Bukit Hindu karena dulu pusat Hindu Kaharingan, dan juga ada beberapa pura.17 Lebih rukun lagi, di Jalan Galaksi Kom-plek Amaco, gereja dan masjid satu tembok. Pendapat berbeda dikemukakan Kakanwil Departemen Agama, bahwa kasus pendi-rian rumah ibadat pernah terjadi di Perumnas. Ketika itu ada penentangan pendirian ge-reja.18 Tidak diketahui persis alasan penentangan, tetapi kasus ini dapat diselesaikan de-ngan musyawarah tokoh agama setempat.
16Wawancara dengan Drs. Azhar Slamet, Kalimantan Tengah dan Sekretaris FKUB Provinsi.
Sekretaris
MUI
Provinsi
17Wawancara dengan Muhammad dkk, pengurus Masjid Raya Nurul Iman Kota Palangkaraya, Bahandut. 18Wawancara Kalimantan Tengah.
188
dengan
Kepala
Kanwil
Departemen
Agama
Provinsi
189
Penutup
DAFTAR PUSTAKA
Berdasarkan elaborasi di atas maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah: Pertama, sosi-alisasi sudah berjalan baik tetapi belum merata. Kedua, dukungan terhadap penyelenggaraan sosialisasi dari aspek sumberdaya manusia dan sarana prasarana cukup baik, hanya anggaran masih sangat terbatas. Faktor ini dapat menjadi faktor penghambat jalannya so-sialisasi. Faktor penghambat lainnya adalah kurangnya komitmen pengurus FKUB untuk mensosialisasikan PBM kepada jamaahnya. Ketiga, hampir seluruh Kalteng sudah diben-tuk FKUB dan dewan penasihat kecuali di Kab. Seruyan, karena ada kepentingan patron-klien yang masuk ke dalamnya. Hal yang hampir sama terjadi pula di Kota Palangkaraya, kendati hanya sekadar belum diterbitkannya SK bupati untuk pengangkatan pengurus FKUB dan dewan penasihat. Pendirian FKUB dan dewan penasihat sesuai dengan aturan PBM. Keempat, prioritas program kerja adalah melakukan sosialisasi dan mempercepat pembentukan FKUB Kab. Seruyan dan penerbitan SK FKUB di Kota Palangkaraya. Keli-ma, hubungan FKUB dengan lembaga sejenis berjalan baik. Keenam, dukungan Kanwil Departemen Agama dilakukan dengan memberikan dana awal bagi pembentukan FKUB dan memberikan penjelasan kepada banyak kalangan tentang pentingnya PBM dan keber-adaan FKUB. Ketujuh, penolakan masyarakat terhadap PBM relatif kecil. Kendati pun ada penolakan itu hanya pada awal-awalnya saja, tetapi setelah diberikan pengertian mereka bisa menerima keberadaan PBM. Kedelapan, kasus pendirian rumah ibadat sebelum PBM pernah terjadi di Palangkaraya tetapi bisa cepat diselesaikan secara arif oleh para tokoh agama. Setelah PBM belum ada kasus pendirian rumah ibadat. 190
189
Burhan Bungin. Ed. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006). Ida Bagoes Mantra. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Jurnal Nasional, Kamis, 16 Agustus 2007. KMA M. Usop, Pakat Dayak: Sejarah Integrasi dan Jatidiri Masyarakat Dayak dan Daerah Kalteng (Palangkaraya: Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Batang Garing, 1994). Tabloid Cermin, Edisi Januari 2007 Tahun III. Tabloid Cermin, Edisi Maret 2007, Tahun III. Tabloid Cermin, Edisi Mei 2007, Tahun III. Tim Penyusun, Kompilasi Peraturan Perundang-undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2006). Tim Penyusun, Selayang Pandang Kota Palangkaraya 2006 (Palangkaraya: Pemda, 2006). Tjilik Riwut dan Sanaman Mantikei, Maneser Panatan Tatu Hiang (Menyelami Kekayaan Leluhur) (Palangkaraya: Pusakalima, 2003). Wawancara dengan Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Tengah. Wawancara dengan Drs. Baihaqi, Kasubbag Humas dan KUB Kanwil Dep. Agama Provinsi Kalteng. Wawancara dengan Drs. H. Ahzar Slamet, sekretaris MUI dan sekretaris FKUB Provinsi Kalteng. 190
191
X SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Kalimantan Selatan
Wawancara dengan Pdt. Julito, anggota FKUB Provinsi wakil dari Buddha. Wawancara dengan Drs. Mohadi, Kasubbag Humas dan KUB Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Tengah. Wawancara dengan Muhammad dkk, pengurus Masjid Raya Nurul Iman Kota Palangkaraya, Bahandut.
Oleh: Bashori A. Hakim dan Fakhruddin Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah informan yang terdiri atas: para pejabat Kantor Wilayah Departemen Agama dan Kantor Kesbang Linmas Provinsi Kalimantan Selatan yang terlait dengan pelaksanaan sosialisasi PBM, para tokoh agama dan pimpinan lembaga/organisasi keagamaan dari berbagai agama, para tokoh masyarakat dan masyarakat peserta sosialisasi, dapat dipaparkan berikut: 1.
Tanggapan Masyarakat terhadap PBM
Masyarakat yang telah mengikuti sosialisasi PBM yang terdiri atas unsur berbagai agama dan profesi, pada umumnya menanggapi secara beragam terhadap keberadaan PBM. Sebagian mereka mengatakan keberadaan PBM tidak masalah. Dengan disisialisasikannya PBM maka berbagai aturan tentang kehidupan keagamaan khususnya mengenai pendirian rumah ibadat menjadi jelas, ada rambu-rambu yang harus diikuti. Sebagian yang lain berpendapat dengan adanya PBM justru menyulitkan umat beragama, terutama bagi umat beragama yang jumlah penganutnya minoritas di suatu daerah. Persyaratan pendirian rumah ibadat harus ada persetujuan masyarakat lingkungan mencapai jumlah 60 0rang dan dukungan jamaah minimal 90 orang penganut agama yang bersangkutan, dinilai sebagian masyarakat 192
191
192
193
sebagai persyaratan yang menyulitkan. Namun menurut sebagian masyarakat yang lain, persyarakat pendirian rumah ibadat itu justru dimaksudkan untuk mengayomi umat beragama yang relatif sedikit jumlahnya di suatu daerah. Penilaian itu mereka berikan setelah memperoleh penjelasan dari Pejabat Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama serta dari pejabat Kantor Kesbang Linmas pada saat mengikuti sosialisasi PBM setahun tang lalu (2006). Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang cukup signifikan bagi peserta sosialisasi PBM terhadap pengetahuan tentang PBM sekalipun tidak seluruh peserta sosialisasi memahami demikian. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa banyak pasal-pasal dalam PBM yang perlu penjelasan agar tidak terjadi salah tafsir. Oleh karena itu mereka mengharapkan adanya peraturan berupa penjelasan atas pasal-pasal tertentu. Pendapat itu disampaikan baik oleh masyarakat yang menganggap keberadaan PBM positif bagi pengaturan kehidupan beragama maupun bagi yang menganggap bahwa adanya PBM justru menyulitkan mereka. Namun ada pula yang menanggapi peraturanperaturan dalam PBM itu sebenarnya cukup sederhana, tidak sulit, dan muatannya luas. Karena itu maka tak perlu peraturan penjelasan secara tersendiri. Hanya saja dalam setiap sosialisasi, pasal-pasal tertentu yang dianggap kurang jelas perlu penjelasan secara rinci berikut contoh-contohnya agar masyarakat lebih memahami.
memfasilitasi umat beragama dalam melakukan ibadat sesuai agama yang diyakini. Bahkan secara ekstrim ada yang mengatakan bahwa dulu pemerintah telah membuat peraturan sejenis yakni SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 1979 dan sekarang dibuat lagi PBM. Hal ini dinilainya sebagai menghabiskan anggaran. Bangsa kita yang beragam agama ini telah memiliki Pancasila sehingga tak perlu ada peraturan lagi. Pendapat terakhir ini tampaknya hanya mewakili sekelompok kecil umat beragama yang kurang memahami latarbelakang dan proses perumusan PBM yang memerlukan waktu yang relatif lama dengan melibatkan perwakilan dari seluruh unsur-unsur agama yang ada. Walaupun PBM ini produk pemerintah dalam hal ini berupa Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, namun sebenarnya materi PBM ini merupakan hasil kesepakatan dari seluruh unsur pimpinan agama-agama. Apabila masyarakat memahami secara benar latarbelakang dan proses perumusan PBM sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas maka pendapat seperti itu tentu tidak akan ada. 2.
a. Faktor-faktor Penghambat: Di antara faktor penghambat sosialisasi PBM adalah: 1) Kurangnya dana untuk kegiatan sosialisasi, sehingga waktu sosialisasi terlalu singkat dan kurang dapat melibatkan peserta sosialisasi lebih banyak dari seluruh perwakilan unsur yang ada dalam masyarakat.
Sebagian yang lain menanggapi keberadaan PBM menghambat umat beragama dalam melakukan ibadat. Mereka beranggapan, adanya PBM memberikan kesan bahwa umat beragama diatur dalam beribadat, yang seharusnya pemerintah justru memberikan pelayanan dan 194
193
Faktor-faktor Penghambat dan Pendukung Sosialisasi PBM
194
195
2) Kurangnya SDM untuk umat tertentu (agama Hindu dan Buddha), sehingga mereka kesulitan untuk menyelenggarakan sosialisasi PBM untuk umat mereka sendiri. 3) Masih adanya sebagian oknum umat beragama yang belum terbiasa dengan keragaman sehingga terkesan ekstrim dan bersikap eksklusif. Sikap demikian apabila dibiarkan dapat menjadi kendala bagi sosialisasi PBM. b. Faktor-faktor Pendukung: Di antara faktor pendukung sosialisasi PBM adalah: 1) Adanya respon dan partisipasi positif dari kalangan para pejabat setempat maupun masyarakat dari berbagai unsur agama dan profesi. Para pejabat setempat memberikan apresiasi cukup tinggi terhadap penyelenggaraan sosialisasi PBM. Para pejabat yang mendapat tugas sebagai panitia penyelenggara sosialisasi, mereka aktif dalam kepanitiaan sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Bagi para pejabat yang menjadi peserta sosialisasi PBM. Mereka mengikuti kegiatan sosialisasi sebagai peserta aktif. Demikian pula masyarakat yang terdiri atas perwakilan dari unsur agama, lembaga/organisasi keagamaan dan unsur masyarakat yang lain. 2) SDM masyarakat pada umumnya relatif cukup terutama dari segi latar belakang pendidikannya. Sebagian besar peserta sosialisasi berpendidikan SLA ke atas, sehingga mudah menyerap dan dapat memahami materi PBM secara baik.
196
195
3) Telah terbentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sehingga dapat membantu pelaksanaan sosialisasi PBM di masa mendatang. 3. Keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Di Banjarmasin telah terbentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) pada bulan Juni 2007 yang lalu. Dengan demikian keberadaan FKUB di Banjarmasin ini tergolong masih relatif baru /belum lama. Keberadaannya didukung oleh adanya Peraturan Gubernur (Pergub) tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB. Struktur kepengurusan, keanggotaan/jumlah anggota pengurus serta nama forum kerukunan yang dibentuk telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 & No. 8 Tahun 2006 (PBM). Karena relatif baru terbentuk maka sampai dengan penelitian ini dilakukan forum kerukunan ini belum memiliki program kerja secara permanen. Namun selama ini telah diadakan rapat pengurus FKUB sebanyak dua kali membahas antara lain: tempat sekretariat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga serta membahas program kerja. Sementara menunggu tempat kantor yang permanen, kantor FKUB untuk sementara difasilitasi oleh Kantor Kesbang Linmas dengan menempati sebuah ruangan di kantor tersebut. Pertemuan/rapat tersebut di atas menghasilkan antara lain program kerja sementara/jangka pendek yakni: melakukan silaturrahim ke lembaga-lembaga agama seperti: MUI, DGI, PGI, Parisada Hindu Dharma dan Walubi yang 196
197
direncanakan dilakukan pada bulan Agustus 2007, kunjungan ke Kantor-kantor Kabupaten/Kota, FKUB-FKUB di berbagai daerah dan tokoh-tokoh masyarakat serta umat beragama yang akan dilakukan pada tahun depan (2008). Diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sudah menyusun program kerja tahunan. Untuk mengatasi dana operasional FKUB, disusun proposal untuk diajukan kepada Kantor Pemda/Gubernur. Untuk gedung sekretariat FKUB, berdasarkan informasi Kepala Seksi Hukmas dan KUB Kanwil Departemen Agama Provinsi Kalimantan Selatan akan diusulkan oleh Kanwil Depag ke Kantor Depag Pusat di Jakarta. Hubungan dan kerjasama dengan forum-forum sejenis yang ada di Banjarmasin seperti lembaga kerukunan LP3 dan Forum Agamawan Lintas Iman (FALI), untuk sementara ini praktis belum dilakukan. Dengan demikian maka kontribusi forum kerukunan ini terhadap peningkatan kerukunan umat beragama di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan baru akan dirintis oleh para pengurusnya melaui program kerja yang mereka rumuskan. Diharapkan pada masa mendatang keberadaan FKUB ini dapat memberikan kontribusi yang besar bagi upaya peningkatan kerukunan umat beragama di Banjarmasin dan Kalimantan Selatan pada umumnya. Harapan itu bukannya tidak beralasan, karena keberadaan FKUB di Banjarmasin mendapat respon dan dukungan yang cukup besar tidak hanya dari unsur pemda seperti para pejabat Kantor Wilayah Departemen Agama dan pejabat Kantor Kesbang dan Linmas Provinsi Kalimantan Selatan, tetapi juga dari para tokoh/pimpinan agama-agama dan tokoh masyarakat serta masyarakat pada umumnya. Para 198
197
anggota pengurus FKUB yang terlihat mempunyai respon yang tinggi –terbukti dari disiplin dan tanggungjawab mereka selalu hadir dalam rapat-rapat pengurus FKUBmemperkuat kemungkinan akan terwujudnya harapan itu. Sebagai lembaga keagamaan yang baru terbentuk, forum kerukunan ini tidak terlepas dari kesulitan danauntuk biaya operasional. Oleh karena itu, untuk mengatasi kesulitan dana operasional FKUB maka di antara para tokoh agama dan tokoh masyarakat menyarankan hendaknya anggaran operasional FKUB dimasukkan ke dalam anggaran APBD, sehingga pengurus FKUB tidak mencari dana setiap kali ada kegiatan. Tetapi ada pula di antara anggota masyarakat yang memberikan jalan keluar atas dana FKUB, dengan menyarankan bahwa dana dapat diperoleh dari para donatur perorangan ekonomi kuat atau perusahaan yang peduli terhadap keberadaan FKUB. Dengan demikian dana tidak hanya diperoleh dari anggaran pemerintah. Dengan cara demikian diharapkan FKUB lambat laun akan dapat mandiri. Keberadaan FKUB ini juga diharapkan dapat menjadi mitra pemerintah daerah dan pimpinan agamaagama dalam upaya sosialisasi PBM kepada masyarakat pada waktu yang akan datang. Untuk melengkapi hasil kajian ini, di sini dipaparkan struktur kepengurusan FKUB Provinsi Kalimantan Selatan berikut porsi masing-masing agama dalam kepengurusan secara garis besar sebagai berikut:
198
199
Ketua
: Guru Besar/mantan Rektor IAIN Antasari Banjarmasin, (MUI/Islam));
Wakil Ketua
: Dosen (Krsiten);
Wakil Ketua
: Ketua Pengadilan Agama Banjarmasin (Islam);
Sekretaris
: Ketua NU Provinsi Kalimantan Selatan/ Dosen IAIN Antasari (Islam);
Wakil Sekretaris
: Pengacara (Katholik);
Bendahara
: Sementara dijabat oleh Pembimas Buddha Kanwil Depag Provinsi Kalimantan Selatan (Buddha);
Pelaksanaan sosialisasi PBM di Sulawesi Tenggara dilaksanakan atas kerjasama antara Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama dengan Kanwil Departemen Agama Prov. Sulawesi Tenggara pada tanggal 14 Desember 2006 bertempat di Asrama Haji yang diikuti oleh sebanyak 100 orang. PBM juga pernah menjadi materi pada acara Orientasi Peningkatan Multikultural Bagi Guru-guru Agama se Prov. Sultra yang diikuti oleh 125 orang, yang dilaksanakan oleh Kanwil Dep. Agama bekerjasama dengan PKUB Departemen Agama. Sehingga jumlah orang yang sudah ikut dalam sosialisasi PBM masih sangat terbatas, demikian juga ketersediaaan buku PBM masih sangat kurang.
Wakil Bendahara : Dari unsur Parisada Hindu Dharma (Hindu); Anggota
XI SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006 di Sulawesi Tenggara Oleh: Zaenal Abidin
: 14 orang terdiri atas beberapa seksi/bagian. (Islam = 13 orang, Kristen – 1 orang).
Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum ada PBM dalam izin mendirikan rumah ibadat menggunakan dasar SK Gubernur, dan setelah keluarnya PBM persyaratan yang ada dapat lebih ringan. Sosaialisasi PBM perlu dilaksanakan ke daerah-daerah sampai masyarakat tingkat bawah (tingkat RT dan RW), karena kenyataan bahwa masyarakat tersebut yang sering menghadapi masalah dilapangan. Menurut Saryono, S.Ag (Pembimas Buddha Kanwil Dep. Agama Prov. Sultra), dimana sudah pernah mengikuti 2 kali sosialisasi PBM di Makassar dan Kendari yang pesertanya adalah para pejabat dan para tokoh agama, 200
199
200
201
namun yang paling penting menerima materi PBM adalah tokoh masyarakat tingkat bawah. Pembimas dan para tokoh agama tidak mampu untuk menyebarluaskan/ mengsosialisasikan materi PBM ke kampung-kampung, dan selama ini tidak mengetahui kegiatan sosialisasi PBM yang dilaksanakan instansi lain. Metode sosialisasi PBM yang digunakan seharusnya ada kunjungan ke lapangan, misalkan bersamaan kegiatan kerja bhakti dimasyarakat. Pelaksanaan sosialisasi PBM dilakukan bersamaan dengan memberi bantuan untuk rumah ibadat terdekat (masjid atau vihara, dll), kalau hanya kumpul-kumpul saja kurang bermanfaat. Sumbangan rumah ibadat bisa dengan mengumpulkan uang sumbangan seiklasnya dari para peserta, dan dari APBN. Hal seperti ini pernah dilakukan pada acara Kemah Remaja yang diadakan PKUB Tahun 2006 di Makassar. Pastor Martinus Pasomba (Pastor Paroki Santo Fransiscus Getirus Kendari), menyampaikan sosialisasi PBM belum sampai ke akar rumput, setelah mengikuti sosialisasi PBM di Asrama Haji belum ada langkah tindak lanjut. Masih banyak yang belum membentuk FKUB di daerah kota/kabupaten, dan mengenai dukungan 60 orang persyaratan dalam pendirian rumah ibadat tidak ada masalah. Yahya Sonaru (Pembimas Kristen Kanwil Dep. Agama Sultra), menyampaikan ketentuan dalam PBM tidak ada masalah, sebab dibandingkan dengan aturan yang lama baik SKB Menag dan Mendagri maupun SK Gubernur Sultra (Bapak Andi Alala) masih lebih ringan, dimana ketentuannya dibuat radius 500 m dengan jumlah pemeluk 50 KK hal ini bisa digunakan untuk menekan kelompok lain. Ketuan dalam PBM lebih jelas, khususnya menyangkut izin mendirikan rumah ibadat. Di Sultra FKUB sudah ada SK 202
201
Gubernur namun dalam susunan kepengurusan waktu itu tidak melibatkan seluruh tokoh agama. Persoalannya para tokoh agama tidak tahu asal-usul SK Gubernur tersebut, sehingga nasib SK tersebut sekarang ruwet. Pengurus yang duduk dalam SK tersebut tidak representatif, maka SK tersebut perlu ditinjau kembali dengan mengajak duduk bersama semua tokoh agama. Setiap tahun Kanwil Departemen Agama Prov. Sultra selalu melaksanakan dialog antar tokoh-tokoh agama dimulai sejak 2003 sampai ke kabupaten/kota. Pada tahun 2006-2007 dilakukan sosialisasi PBM di provinsi dan untuk sosialisasi ke daerah-daerah dilakukan penataran yang pesertanya adalah tokoh-tokoh agama. Orientasi Pemeliharaan Toleransi dan Pemberdayaan KUB yang dilaksanakan oleh Kesbangpol Kabupaten Kolaka dan Kota Bau-Bau isi materinya antara lain PBM dan kebijakan Pemprov. Sultra dalam pemeliharaan KUB. Menurut I Made Karyawan (Pengawas Agama Hindu Kanwil Prov. Sultra), sudah pernah 5 kali mengikuti sosialisasi PBM, yaitu: 1) Sosialisasi dengan Badan Litbang dan Diklat di Asrama Haji; 2) PHDI Sultra di Desa Putemata, Kec. Teranta, Kab. Kolaka diikuti 500 peserta dengan umat Hindu se kecamatan; 3) PHDI Sultra dengan PHDI Kab. Konawe diikuti 500 orang peserta umat Hindu se Kecamatan Amongendo; 4) PHDI Sultra dengan PHDI Kab. Konawe Selatan diikuti 400 orang peserta umat Hindu se Kecamatan Amongendo di Desa Lapoa Indah Kec. Andolo; 5) PHDI Sultra dengan PHDI Kab. Konawe peserta 500 orang di Desa Aboki, Kec. Aboki peserta umat Hindu se Kecamatan Aboki. Bekerjasama dengan pusat ada WHDI (Wanita Hindu Dharma Indonesia), Pradah (Pemda) dan PHDI, melaksanakan Kerja Bhakti dengan pengobatan gratis yang 202
203
juga melayani umat Hindu dan non Hindu. Sosialisasi dilakukan pada hari besar keagamaan atau hari libur dengan metode ceramah, pengarahan, penekanan-penekanan baik narasumber dari Parisada selama 2 jam, yang hasilnya umat Hindu tidak ada masalah dengan ketentuan dalam pendirian rumah ibadat yang ada dalam PBM.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Menurut Abdul Hamid (Kabid Ketentraman Pemprov Sultra), Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara telah mengeluarkan SK Pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang diikuti oleh beberapa FKUB kabupaten/kota. Sebagai pejabat teknis telah melakukan langkah-langkah kebijakan yang dibutuhkan dengan membuat kerangka pikir dan mekanismenya dalam pembentukan Pengurus FKUB Provinsi Sultra, namun ditunggu-tunggu masukan dari Kanwil Departemen Agama tidak merespon maka keluarlah SK Pengurus FKUB Provinsi Sultra sekarang. Pernah mengusulkan anggaran FKUB ke DPRD tapi mentok tidak disetujui, dan sarannya diusulkan menggunakan anggaran dari APBN. Susunan Pengurus FKUB Prov. Sultra sudah ditanda tangani oleh Gubernur, namun sampai sekarang para tokoh agama yang tersebut dalam SK belum pernah melakukan pertemuan. Permasalahan SK sususnan Pengurus FKUB Prov. Sultra disebabkan Kepala Kanwil Depag tidak pernah merespon/mengusulkan, maka tidak pernah ada pengurus FKUB yang sebenarnya. Memang SK tersebut perlu ditinjau kembali kalau pihak-pihak merasa kurang jelas, Gubernur sebagai dewan penasehat sudah mendesak, dan koordinasi dengan Kakanwil Depag sudah dilakukan, namun selama 3 204
203
bulan tidak ada jawaban. Oleh karena itu wakil gubernur mendesak PEMDA untuk mengesahkan SK Pengurus FKUB, dan sampai sekarang tidak ada tanggapan Kanwil Depag. SK Pengurus FKUB Provinsi Sultra sudah dan sudah dikirimkan ke seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Sultra, dimana isi suratnya meminta setiap Kabupaten/Kota untuk segera membentuk Pengurus FKUB, dengan menggunakan anggaran dari Kominda Provinsi. Menurut K.H. Abdullah Umar (Pengurus NU), pengurus FKUB provinsi sudah terbentuk, tetapi dalam pembentukannya tidak melibatkan seluruh pemuka agama, dan NU juga tidak diundang. Sebagian pengurus diisi oleh para pejabat struktural Kandepag Kota Kendari, padahal seharusnya diisi oleh para pejabat Kanwil Depag Sultra dan bukan pejabat Kandepag Kota Kendari. Menurut Drs. H. Djamil (Kabag TU Kanwil Dep. Agama Prov. Sultra), pengurus FKUB Provinsi Sultra sudah ada, tetapi orang-orang yang menjadi pengurus dalam SK tidak memperlihatkan nama-nama yang kompeten (khususnya bagi pengurus non muslim), entah siapa yang menggagas tiba-tiba muncul SK. Kelemahan lainnya SK Pengurus FKUB tersebut tidak ditunjuk seorang bendahara, seperti layaknya organisasi, dimana hanya ada ketua, sekretaris dan anggota. Demikian juga batas waktu masa kepengurusan Pengurus FKUB tidak dicantumkan. Untuk itu Subag Humas dan KUB Kanwil Departemen Agama Sultra sudah diperintahkan untuk mengadakan pertemuan antara orang-orang yang ada dalam SK dengan para tokoh agama. Langkah tersebut tidak masalah, karena SK masih terbungkus dengan rapi dimana yang tahu baru para Pembimas. Susunan Pengurus FKUB kurang tepat dan tidak selayaknya diduduki oleh orang-orang tersebut, sehingga 204
205
para Pembimas takut dituding sebagai pihak mengusulkan orang-orang yang tidak kompeten tersebut. Selain itu unsur pejabat Kanwil Departemen Agama tidak ada yang masuk menjadi pengurus FKUB Provinsi, sementara selama ini surat-surat dari Pusat masuk melalui Subbag Humas dan KUB. Ada khabar bahwa FKUB mendapat bantuan anggaran 15 juta rupiah beberapa waktu yang lalu, tetapi Pengurus FKUB tidak mempunyai bendahara sehingga uang itu sekarang masuk ke rekening siapa. Untuk mengetahui keberadaan pembentukan FKUB Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebagai berikut: No. Daerah 1. Pemprov Sulawesi Tenggara
2.
Pemkab Konawe
3.
Pemkab Kolaka
4.
Pemkab Wakatobi
Peraturan Surat Keputusan Gubernur Nomor: 658 Tahun 2006 tentang Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Sulawesi Tenggara, 30 Desember 2007 Surat Keputusan Bupati Nomor: 139 Tahun 2007, 13 Maret 2007 Surat Keputusan Bupati Nomor: 238 Tahun 2007, 9 September 2007 Surat Keputusan Bupati Nomor: 139 Tahun 2007, 2 Juli 2007
Izin Mendirikan Rumah Ibadat Tokoh-tokoh agama Kristen sangat senang dengan keluarnya PBM, karena dibandingkan dengan SK Gubernur Sultra sebelumnya persyaratan izin mendirikan rumah ibadat lebih ringan. Berdasarkan prosentase dari jumlah penduduk umat Kristen menerima saja, dan proses keringanan persyaratan seperti itu dapat menjadi bahan perbandingan. 206
205
Umat Buddha di Sultra jumlahnya sangat sedikit namun sektenya banyak, sehingg terlalu jauh kalau setriap minggu harus melakukan kebaktian ke Kota Kendari. Misalkan didaerah terpencil ada sekte Buddha yang hanya KK, karena itu untuk sementara pinjam rumah-rumah penduduk untuk tempat ibadat. Saat ini di Kota Kendari ada 2 aliran Buddha yang sudah punya rumah ibadat yaitu: Maitreya dan Ekadarma, namun aliran Teravada yang umatnya paling banyak belum punya rumah ibadat dan sementara numpang dirumah warga. Aliran-aliran dalam agama Buddha yang berbeda tidak bisa menjadi 1 rumah ibadat, yang penting sekarang semua dapat melaksanakan ibadat dan masyarakat lingkungan tidak mempermasalahkan. Ada 2 rumah ibadat yang sedang mengurus izin, yaitu di Konawe dan Konawe Selatan masih dalam proses dalam pendirian rumah ibadat. Menurut KH. Abdullah, misalkan di Kecamatan Kadia, Kota Kendari kurang lebih hanya tanah seluas 1 ha ada 3 bangunan gereja, sehingga sering jumlah umat tidak seimbang dengan jumlah rumah ibadat. Seharusnya jumlah rumah ibadat seimbang dengan jumlah penduduk. Prakteknya jamaah gereja orangnya sama tetapi tempatnya berpindah-pindah, misalkan ada kebaktian jam 6 di gereja A semua datang, dan dilanjutkan kebaktian jam 8 di gereja B dan jam 10 di gereja C, sehingga seolah-olah semua gereja terisi penuh. Ketidak jujuran antar umat dalam kelompok jumlah umat/tidak terbuka, dimana ada rekayasa mengenai jumlah pemeluk agama, dimana mereka mengaku masingmasing sekte harus mempunyai gereja yang berbeda, sehingga terpaksa harus membangun gereja sendiri-sendiri dengan cara itu mereka menambah bangunan gereja. Ada juga ruko prakteknya dijadikan kegiatan untuk gereja. Jumlah penduduk Sultra masih sangat kurang, sarannya 206
207
dalam pemberian izin mendirikan rumah ibadat disesuaikan dengan komposisi prosentase jumlah pemeluk masingmasing agama, maka jumlah gereja sudah terlalu banyak jangan sampai rumah tinggal dijadikan gereja. Didesa Puriala pada awalnya 99% berpenduduk Kristen telah berdiri 2 gereja, namun setelah ada kasus “ibu miskin masuk Islam” sekarang sudah ada 158 orang yang bergama Islam dan berdiri masjid yang jaraknya hanya 70 m dari gereja, tetapi warganya tetap hidup rukun dan damai. Desa Puriala adalah merupakan desa miskin yang banyak warganya menjadi pendeta Kristen di Sultra. Menurut Drs. H. Antamudin (Kasubag Humas dan KUB Kanwil Dep. Agama Sultra) SK Gubernur Nomor 510 Tahun 1996 merupakan penyempurnaaan SK tentang izin pendirian rumah ibadat, yang isinya batas minimal 50 KK dan maksimal 80 KK. Mestinya SK Pengurus FKUB Provinsi Sultra batal dan cacat demi hukum, karena yang tanda tangan adalah Wakil Gubernur (sebagai Gubernur karateker). Rumah ibadat diatur dalam PBM berdasarkan jumlah penganut agama 90 jiwa dimana dalam SK Gubernur 510 Tahun 1996 diatur harus ada 50 KK. Kasus-kasus Setelah lahir PBM di Kecamatan Puwato, Kab. Pungolaka ada warga yang memberikan tanahnya untuk mendirikan gereja agar dekat dengan jamaah namun masyarakat menolak walaupun sudah beberapa kali dilakukan pertemuan di kelurahan, dan untuk itu diserahkan ke atasan agar dilakukan pergeseran ke lokasi yang ditunjuk oleh pemerintah.
FKUB tetapi di Sultra masih banyak komentar bahwa SK tersebut asal-usulnya tidak jelas, dimana hanya unsur Kesbangpol Provinsi Sultra yang secara sepihak menyusun nama-nama pengurus tersebut. Pengurus FKUB menerima SK tidak secara formal karena belum ada pengukuhan/pelantikan, namun sampai sekarang kepengurusan itu masih nganggur, dimana lebih baik diserahkan secara resmi. Keinginan Kepala Kanwil Departemen Agama Sultra untuk merevisi SK Pengurus FKUB dalam waktu dekat dengan tokoh-tokoh agama yang sekarang tidak melalui proses itu, karena hal ini didesak para ulama untuk mengundang Kesbangpol Provinsi untuk merevisi. SK Pengurus FKUB Provinsi Sultra. Ada khabar dari PKUB Depag Pusat kalau akan ada anggaran Rp. 500 juta setiap provinsi, untuk pembangunan Gedung FKUB. Siapapun Pengurus FKUB agar segera mulai bergerak dari Kanwil Dep. Agama untuk berkonsultasi dengan Gubernur. Kewibawaan dan soal teknis dimana sebenarnya Ketua FKUB sekarang sudah cukup berpengalaman sebagai Ketua MUI, dan membidangi masalah kerukunan sudah cukup lama 3-4 tahun. Di Provinsi Sultra persoalannya adalah masalah etnis dan bukan agama situasi panas di Muna Daratan (laki-laki), Buton, Bugis (Kolaka), bukan persoalan agama tetapi lebih banyak masalah etnis, yang pada umumnya sering terjadi konflik yang berkepanjangan. Masyarakat belum tahu isi PBM jadi tokoh-tokoh agama yang ada di tingkat RT, RW dan kelurahan perlu mengikuti sosialisasi PBM, karena yang paling sering mengalami permasalahan.
Menurut Abdul Hadi (Ketua FKUB Sultra), walau sudah ditunjuk dalam SK gubernur sebagai Ketua Pengurus 208
207
208
209
Kesimpulan a. Sosialisasi PBM di Sulawesi Tenggara dilaksanakan atas kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama dengan Kanwil Departemen Agama Prov. Sulawesi Tenggara pada tanggal 14 Desember 2006 bertempat di Asrama Haji yang diikuti oleh sebanyak 100 orang. Pelaksanaan sosialisasi PBM di Sultra dijadikan materi pada beberapa kegiatan antara lain pada: orientasi untuk guru-guru agama; orientasi pemeliharaan toleransi dan pemberdayaan KUB yang dilaksanakan oleh Kesbangpol Kabupaten Kolaka dan Kota Bau-Bau dengan Pemprov. Sultra; serta PHDI Sultra pada hari besar keagamaan Hindu atau hari libur dengan metode ceramah yang juga dilakukan Kerja Bhakti dengan pengobatan gratis.
Agama Sultra untuk merevisi SK Pengurus FKUB dengan tokoh-tokoh agama berkonsultasi dengan Gubernur. b.
Sosaialisasi PBM sebaiknya dilaksanakan ke daerahdaerah sampai masyarakat tingkat bawah (tingkat RT dan RW), karena kenyataan bahwa masyarakat tersebut yang sering menghadapi masalah dilapangan
210
211
b. Di Provinsi Sulawesi Tenggara sebelum ada PBM pengaturan dalam izin mendirikan rumah ibadat menggunakan dasar SK Gubernur Nomor 510 Tahun 1996, dan setelah keluarnya PBM persyaratannya lebih ringan.
Saran-saran a.
Surat Keputusan Gubernur Nomor: 658 Tahun 2006 tentang Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Sulawesi Tenggara ditanda tangani pada 30 Desember 2007, namun sampai saat ini SK tersebut masih menjadi polemik. Pengurus FKUB menerima SK tidak secara formal karena belum ada pengukuhan/pelantikan, namun sampai sekarang kepengurusan itu masih nganggur dan belum ada wujud kegiatannya. Dalam waktu dekat ada keinginan Kepala Kanwil Departemen
210
209
LAMPIRAN 3
KUESIONER PENELITIAN EFEKTIFITAS SOSIALISASI PERATURAN BERSAMA MENTERI AGAMA DAN MENTERI DALAM NEGERI (PBM) NOMOR 9 DAN 8 TAHUN 2006
Petunjuk Pengisian a. Tidak perlu mencantumkan identitas diri. Dengan demikian kerahasiaan Anda terjaga b. Sebelum menjawab, baca dengan teliti pertanyaan atau pernyataannya. Apabila ada yang tidak jelas, tanyakan kepada petugas pengumpul data. c. Bubuhkan tanda silang (X) untuk jawaban pilihan. Untuk jawaban isian mohon ditulis secara jelas dan ringkas. d. PBM adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahuan 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Pendirian Rumah Ibadat. e. Sosialisasi adalah penyampaian informasi tentang PBM dan isinya yang dilakukan oleh Departemen Agama, atau Departemen Dalam Negeri, atau Pemerintah Daerah, atau lembaga lain atau kerjasama antar lembaga tersebut.
212
211
Karakter Responden Usia : ........................... tahun Jenis Kelamin : Laki-laki/Perempuan Pekerjaan : ................................. Tk. Pendidikan : SD/SMP/SMA/D1/D2/D3/S1/S2/S3 Pendapat per bulan : Rp. ………………… Agama : …………………….. Kedudukan dalam organisasi kemasyarakatan keagamaan a. Ketua b. Wakil Ketua c. Sekretaris d. Bendahar e. Setingkat Kepala seksi f. Anggota g. Jabatan lain, tuliskan .................................... h. Tidak aktif dalam organisasi kemasyarakatan keagamaan 8. Frekuensi mengikuti sosialisasi PBM ? ........ kali 9. Keterlibatan dalam kegiatan sosialisasi PBM ? a. Penerima informasi dari orang lain b. Penerima informasi dan pemberi informasi pada orang lain c. Terlibat dalam pengambilan keputusan perencanaan sosialisasi d. Terlibat dalam pengambilan keputusan pelaksanaan sosialisasi e. Terlibat dalam pengambilan keputusan penilaian keberhasilan sosialisasi. 10. Selain dari sosialisasi, darimana lagi Anda memperoleh informasi tentang PBM? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Pertemuan langsung dengan tokoh agama b. Pertemuan langsung dengan aparat pemerintah c. Media massa, tuliskan jenisnya ..................... d. Sumber lain, tuliskan .................................. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
212
213
11.
12.
Sejak mengikuti sosialisasi PBM, berapa kali bertemu dan membicarakan materi PBM dengan orang lain yang seagama ? ................ kali Sejak mengikuti sosialisasi PBM, berapa kali bertemu dan membicarakan materi PBM dengan orang lain yang berbeda agama ? .............. kali
Persepsi terhadap Sosialisasi PBM 13. Apakah dalam kegiatan sosialisasi, nara sumber menjelaskan tujuan sosialisasi ? a. Tidak jelas b. Menjelaskan tapi sulit dipahami c. Menjelaskan tetapi kurang dipahami d. Menjelaskan dan mudah dipahami e. Menjelaskan dan sangat mudah dipahami 14. Apakah tujuan sosialisasi tersebut dapat dicapai? a. Sangat tercapai b. Tercapai c. Kurang tercapai d. Tidak tercapai e. Sangat tidak tercapai 15. Bagaimana penilaian Anda terhadap materi sosialisasi? a. Sangat sulit dipahami b. Sulit dipahami c. Kurang dipahami d. Mudah dipahami e. Sangat mudah dipahami 16. Apakah materi sosialisasi memadai untuk memahami isi PBM ? a. Sangat memadai b. Memadai c. Kurang memadai d. Tidak memadai e. Sangat tidak memadai 17. Bagaimana kesesuaian cara/metode yang digunakan nara sumber untuk menyampaikan materi sosialisasi? a. Sangat sesuai b. Sesuai c. Kurang sesuai d. Tidak sesuai e. Sangat tidak sesuai 214
213
18. Bagaimana keragaman cara/metode yang digunakan nara sumber untuk menjelaskan materi sosialisasi ? a. Sangat beragam b. Beragam c. Kurang beragam d. tidak beragam e. Sangat tidak beragam 19. Bagaimana kemampuan nara sumber dalam menjelaskan materi? a. Sangat baik b. Baik c. Kurang baik d. Tidak baik e. Sangat tidak baik 20. Bagaimana kemampuan nara sumber dalam penguasaan materi? a. Sangat baik b. Baik c. Kurang baik d. Tidak baik e. Sangat tidak baik 21. Bagaimana kenyamanan tempat yang digunakan untuk sosialisasi? a. Sangat nyaman b. Nyaman c. Kurang nyaman d. Tidak nyaman e. Sangat tidak nyaman 22. Bagaimana ketersediaan alat-alat yang digunakan untuk membantu penjelasan materi sosialisasi? a. Sangat lengkap b. Lengkap c. Kurang lengkap d. Tidak lengkap e. Sangat tidak lengkap 23. Bagaimana penilaian Anda tentang lama waktu yang digunakan untuk penyampaian materi sosialisasi? a. Sangat lama b. Lama c. Kurang lama d. Tidak lama e. Terlalu sebentar 24. Apakah lama waktu penyampaian materi mencukupi untuk memahami isi PBM? 214
215
a. Sangat cukup b. Cukup c. Kurang cukup d. Tidak cukup e. Sangat tidak cukup 25. Apakah media (buku saku, hand out) yang digunakan membantu pemahaman materi sosialisasi tersebut ? a. Sangat membantu b. Membantu c. Kurang membantu d. Tidak membantu e. Sangat tidak membantu Pengetahuan tentang PBM 26. Apa ciri-ciri kerukunan umat beragama? (jawaban boleh lebih dari satu) a. Toleransi b. Saling pengertian c. Saling menghormati d. Menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama e. Kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara 27. Apa yang Anda ketahui tentang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)? (Jawaban boleh lebih dari satu) a. Forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah dalam membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. b. Dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota c. Bertugas antara lain melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat. d. Keanggotaannya terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat
216
215
28. Apa yang Anda ketahui tentang PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama b. Pemberdayaan FKUB c. Tata cara dan syarat pendirian rumah ibadat 29. Apa saja sebab-sebab munculnya permasalahan pendirian rumah ibadat di lapangan (jawaban dapat lebih dari satu) a. Sering kali terjadi penyalahgunaan rumah tinggal sebagai rumah ibadat b. Tidak transparannya rencana pembangunan rumah ibadat pada penduduk sekitar lokasi c. Kurang adanya komunikasi antar pemuka agama pada tingkat akar rumput d. Sulitnya diperoleh rekomendasi dari FKUB 30. Apa saja tugas dan kewajiban gubernur menurut PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di provinsi; b. Mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; c. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; d. Membina dan mengkoordinaskan bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama. 216
217
31. Apa saja tugas dan kewajiban bupati/walikota menurut PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di kabupaten/kota; b. Mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di kabupaten/kota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; c. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati dan saling percaya di antara umat beragama; d. Membina dan mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama; e. Menerbitkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) rumah ibadat. 32. FKUB tingkat mana saja yang diatur dalam PBM ? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Provinsi b. Kabupaten/kota 33. Apa saja tugas FKUB provinsi ? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur d. Melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang
218
217
berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. 34. Apa saja tugas FKUB kabupaten/kota? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat; c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan bupati/walikota; d. Melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; e. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. 35. Apa yang Anda ketahui tentang keanggotaan FKUB? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat b. Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota FKUB kabupaten/kota paling banyak 17 orang. c. Komposisi keanggotaan FKUB provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama setempat dengan keterwakilan minimal 1 orang dari setiap agama yang ada di provinsi dan kabupaten/kota. d. FKUB dipimpin oleh 1 orang ketua, 2 orang wakil ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota.
218
219
36. Apa saja tugas Dewan Penasehat FKUB? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Membantu kepala daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama; b. Memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; 37. Siapa saja yang termasuk dalam Dewan Penasehat FKUB Provinsi ? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Wakil gubernur b. Kepala kantor wilayah departemen agama c. Kepala badan kesbangpol provinsi atau instansi sejenis d. Pimpinan instansi terkait 38. Siapa saja yang termasuk dalam Dewan Penasehat FKUB kabupaten/kota? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Wakil bupati/walikota b. Kepala kantor departemen agama kabupaten/kota c. Kepala badan kesbangpol kabupaten/kota atau instansi sejenis d. Pimpinan instansi terkait 39. Apa yang Anda ketahui tentang prinsip-prinsip dalam pendirian rumah ibadat? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa b. Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.
220
219
c. Dalam hal keprluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi. 40. Apa saja persyaratan khusus dalam pendirian rumah ibadat? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. c. Rekomendasi tertulis kepala kantor depag kabupaten/kota d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota 41. Apa saja persyaratan yang harus dipenuhi bagi pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat untuk rumah ibadat? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Izin tertulis pemilik bangunan; b. Rekomendasi tertulis lurah/kepala desa; c. Pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota d. Pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota e. Laik fungsi. 42. Bagaimana penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat. b. Dalam hal musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh bupati/walikota dibantu kepala kantor departemen agama kabupaten/kota melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan 220
221
tidak memihak dengan mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB kabupaten/kota c. Dalam hal penyelesaian perselisihan tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat.
Sikap terhadap PBM 43. Pengaturan syarat pendirian rumah ibadat melalui PBM dapat memelihara kerukunan umat beragama a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 44. Syarat-syarat pendirian rumah ibadat, bukan merupakan pembatasan hak melakukan ibadat agama. a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 45. Rumah ibadat agama minoritas dapat didirikan di kawasan pemukiman warga suatu agama mayoritas. a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 46. Menolak Pendirian rumah ibadat agama lain. a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 47. Gedung bukan rumah ibadat dapat diberi izin sementara untuk dipakai sebagai rumah ibadat. a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 222
221
48. Pendirian bangunan rumah ibadat harus mendapat izin dari bupati/walikota a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 49. Salah satu tugas dan kewajiban gubernur adalah memelihara kerukunan umat beragama. a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 50. FKUB harus selalu ada di setiap provinsi, kabupaten/kota a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 51. Dalam keanggotaan FKUB, jumlah pemuka agama mayoritas setempat lebih banyak daripada jumlah pemuka agama minoritas setempat. a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 52. Ketua FKUB harus pemuka agama mayoritas. a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak tahu d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju Manfaat Sosialisasi PBM Diseminasi Informasi PBM 53. Apakah Anda menyampaikan informasi kepada orang lain tentang tugas gubernur dan bupati/walikota dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama? a. Melakukan secara teratur b. Melakukan meskipun tidak ada permintaan 222
223
54.
55.
56.
57.
224
c. Melakukan apabila ada permintaan d. Melakukan tetapi tidak teratur/kadang-kadang e. Tidak pernah melakukan. Apakah Anda menyampaikan informasi kepada orang lain tentang FKUB? a. Melakukan secara teratur b. Melakukan meskipun tidak ada permintaan c. Melakukan apabila ada permintaan d. Melakukan tetapi tidak teratur/kadang-kadang e. Tidak pernah melakukan. Apakah Anda menyampaikan informasi kepada orang lain tentang syarat pendirian rumah ibadat? a. Melakukan secara teratur b. Melakukan meskipun tidak ada permintaan c. Melakukan apabila ada permintaan d. Melakukan tetapi tidak teratur/kadang-kadang e. Tidak pernah melakukan. Apakah Anda menyampaikan informasi kepada orang lain tentang syarat izin sementara penggunaan bangunan bukan rumah ibadat, untuk rumah ibadat? a. Melakukan secara teratur b. Melakukan meskipun tidak ada permintaan c. Melakukan apabila ada permintaan d. Melakukan tetapi tidak teratur/kadang-kadang e. Tidak pernah melakukan. Apakah Anda menyampaikan informasi kepada orang lain tentang cara menyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat? a. Melakukan secara teratur b. Melakukan meskipun tidak ada permintaan c. Melakukan apabila ada permintaan d. Melakukan tetapi tidak teratur/kadang-kadang e. Tidak pernah melakukan. 223
Peraturan Terkait PBM 58. Apakah di provinsi Anda ada peraturan gubernur yang mengatur tentang FKUB dan Dewan Penasehat FKUB a. Ada b. Tidak tahu (langsung ke pertanyaan no. 61) c. Tidak ada (langsung ke pertanyaan no. 61) 59. Apakah peraturan gubernur tersebut dapat memelihara kerukunan umat beragama ? a. Sangat sesuai b. Sesuai c. Kurang sesuai d. Tidak sesuai e. Sangat tidak sesuai f. Tidak tahu 60. Apakah peraturan gubernur tersebut dapat memelihara kerukunan umat beragama ? a. Sangat memelihara kerukunan b. Memelihara kerukunan c. Kurang memelihara kerukunan d. Tidak memelihara kerukunan e. Sangat tidak memelihara kerukunan f. Tidak tahu Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dan Aparatnya dalam Pemeliharaan KUB 61. Tugas apa yang telah dilakukan gubernur Anda dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama ? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama. b. Mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; c. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; 224
225
d. Membina dan mengkoordinasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama; e. Apabila ada jawaban lain, tuliskan ............................... ........................................................................................ 62. Tugas apa yang telah dilakukan bupati/walikota Anda dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama ? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama; b. Mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama; c. Menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; d. Membina dan mengkoordinasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat dalan kehidupan beragama; e. Menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat f. Apabila ada jawaban lain, tuliskan ................................ ........................................................................................ 63. Menurut penilaian Anda, apakah gubernur Anda mendukung (anggaran, alat, bahan, tenaga, tatacara/aturan) terwujudnya kerukunan umat beragama. a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu
226
225
64. Menurut penilaian Anda, apakah bupati/walikota Anda mendukung (anggaran, alat, bahan, tenaga, tatacata/ aturan) untuk terwujudnya kerukunan umat beragama. a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu 65. Menurut penilaian Anda, apakah kepala kantor wilayah Departemen Agama di provinsi Anda mendukung (anggaran, alat, bahan, tenaga, tatacara/aturan) terwujudnya kerukunan umat beragama ? a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu 66. Menurut penilaian Anda, apakah kepala kantor departemen agama di kabupaten/kota Anda mendukung (anggaran, alat, bahan, tenaga, tatacara/aturan) terwujudnya kerukunan umat beragama. a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu 67. Menurut penilaian Anda, apakah gubernur Anda telah berusaha menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu 68. Menurut penilaian Anda, apakah bupati/walikota Anda telah berusaha menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama? a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung 226
227
e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu 69. Menurut penilaian Anda, apakah kepala kantor wilayah departemen agama di provinsi Anda telah berusaha menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama? a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu 70. Menurut penilaian Anda, apakah kepala kantor departemen agama di kabupaten/kota Anda telah berusaha menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama ? a. Sangat mendukung b. Mendukung c. Kurang mendukung d. Tidak mendukung e. Sangat tidak mendukung f. Tidak tahu 71. Menurut penilaian Anda, bagaimana hasil yang dicapai gubernur Anda dalam menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama ? a. Sangat berhasil b. Berhasil c. Kurang berhasil d. Tidak berhasil e. Sangat tidak berhasil f. Tidak tahu 72. Menurut penilaian Anda, bagaimana hasil yang dicapai bupati/walikota Anda dalam menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama ? a. Sangat berhasil b. Berhasil c. Kurang berhasil d. Tidak berhasil e. Sangat tidak berhasil f. Tidak tahu 73. Menurut penilaian Anda, bagaimana hasil yang dicapai kepala kantor wilayah departemen agama di provinsi 228
227
Anda dalam menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama ? a. Sangat berhasil b. Berhasil c. Kurang berhasil d. Tidak berhasil e. Sangat tidak berhasil f. Tidak tahu 74. Menurut penilaian Anda, bagaimana hasil yang dicapai kepala kantor departemen agama di kabupaten/kota Anda dalam menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya diantara umat beragama ? a. Sangat berhasil b. Berhasil c. Kurang berhasil d. Tidak berhasil e. Sangat tidak berhasil f. Tidak tahu Peran Majelis dan Pemuka Agama dalam Pemeliharaan KUB 75. Menurut penilaian Anda, apakah majelis-majelis agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) telah berperan dalam memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat berperan b. Berperan c. Kurang berperan d. Tidak berperan e. Sangat tidak berperan f. Tidak tahu 76. Menurut penilaian Anda, bagaimana hasil peran majelismajelis agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) dalam memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat baik b. Baik c. Kurang baik d. Tidak baik e. Sangat tidak baik f. Tidak tahu
228
229
77. Menurut penilaian Anda, apakah para pemuka agama telah berperan dalam memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat berperan b. Berperan c. Kurang berperan d. Tidak berperan e. Sangat tidak berperan f. Tidak tahu 78. Menurut penilaian Anda, bagaimana hasil peran para pemuka agama Anda dalam memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat baik b. Baik c. Kurang baik d. Tidak baik e. Sangat tidak baik f. Tidak tahu Dinamika FKUB 79. Apakah di provinsi Anda, telah terbentuk FKUB provinsi? a. Ada b. Tidak ada (langsung ke pertanyaan no. 85) c. Tidak tahu (langsung ke pertanyaan no. 85) 80 Apakah pengurus dan anggota FKUB provinsi Anda dapat saling bekerjasama dalam memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat dapat bekerjasama b. Dapat bekerjasama c. Kurang dapat bekerjasama d. Tidak dapat bekerjasama e. Sangat tidak dapat bekerjasama f. Tidak tahu 81. Tugas apa yang telah dilakukan FKUB provinsi anda ? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat 230
229
c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur d. Melakukan sosialisasi peraturan perundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat e. Apabila ada jawaban lain, tuliskan ....................... ........................................................................................ 82. Apakah FKUB provinsi Anda mempunyak program kerja untuk memlihara kerukunan antar umat beragama ? a. Ada b. Tidak ada (langsung ke pertanyaan no. 85) c. Tidak tahu (langsung ke pertanyaan no. 85) 83. Apakah program kerja FKUB provinsi Anda telah dilaksanakan ? a. Sudah terlaksana b. Belum terlaksana (langsung ke pertanyaan no. 85) c. Tidak tahu (langsung ke pertanyaan no. 85) 84. Apakah program FKUB provinsi Anda dapat memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat dapat memelihara kerukunan b. Dapat memelihara kerukunan c. Kurang dapat memelihara kerukunan d. Tidak dapat memelihara kerukunan e. Sangat tidak dapat memelihara kerukunan f. Tidak tahu 85. Apakah di kabupaten/kota Anda, telah terbentuk FKUB kabupaten/kota ? a. Ada b. Tidak ada (langsung ke pertanyaan no. 91 c. Tidak tahu (langsung ke pertanyaan no. 91) 230
231
86. Apakah antar anggota FKUB kabupaten/kota Anda dapat saling bekerjasama dalam memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat dapat bekerjasama b. Dapat bekerjasama c. Kurang dapat bekerjasama d. Tidak dapat bekerjasama e. sangat tidak dapat bekerjasama f. Tidak tahu 87. Tugas apa yang telah dilakukan FKUB kabupaten/kota Anda ? (jawaban dapat lebih dari satu) a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur d. Melakukan sosialisasi peraturan perundangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat e. Apabila ada jawaban lain, tuliskan ............................ ........................................................................................ 88. Apakah FKUB kabupaten/kota Anda mempunay program kerja untuk memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Ada b. Tidak ada (langsung ke pertanyaan no. 91 c. Tidak tahu (langsung ke pertanyaan no. 91) 89. Apakah program kerja FKUB kabupaten/kota Anda telah dilakasanakan ? a. Sudah terlaksana 232
231
b. Belum terlaksana (langsung ke pertanyaan no. 91) c. Tidak tahu (langsung ke pertanyaan no. 91) 90. Apakah program kerja FKUB kabupaten/kota anda dapat memelihara kerukunan antar umat beragama ? a. Sangat dapat memelihara kerukunan b. Dapat memelihara kerukunan c. Kurang dapat memelihara kerukunan d. Tidak dapat memelihara kerukunan e. Sangat tidak dapat memelihara kerukunan f. Tidak tahu Pendirian Rumah Ibadat 91. Menurut penilaian Anda, apakah masyarakat sudah paham syarat pendirian rumah ibadat ? a. Sangat memahami b. Memahami c. Kurang memahami d. Tidak memahami e. Sangat tidak memahami f. Tidak tahu 92. Menurut penilaian Anda, apakah kepala desa/lurah anda sudah paham syarat pendirian rumah ibadat? a. Sangat memahami b. Memahami c. Kurang memahami d. Tidak memahami e. Sangat tidak memahami f. Tidak tahu 93. Menurut penilaian Anda, apakah camat anda sudah paham syarat pendirian rumah ibadat ? a. Sangat memahami b. Memahami c. Kurang memahami d. Tidak memahami e. Sangat tidak memahami f. Tidak tahu 94. Menurut penilaian Anda, apakah bupati/walikota anda sudah paham syarat pendirian rumah ibadat? a. Sangat memahami b. Memahami c. Kurang memahami d. Tidak memahami e. Sangat tidak memahami f. Tidak tahu 232
233
95. Menurut penilaian Anda, apakah masyarakat setuju terhadap syarat pendirian rumah ibadat ? a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak berpendapat d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju f. Tidak tahu 96. Menurut penilaian Anda, apakah panitia yang akan mendirikan rumah ibadat, dapat memenuhi syarat pendiriannya ? a. Dapat memenuhi seluruh syarat b. Dapat memenuhi sebagian besar syarat c. Dapat memenuhi sebagian kecil syarat d. Tidak satupun syarat dapat dipenuhi e. Tidak tahu 97. Menurut penilaian Anda, apakah pendirian rumah ibadat di wilayah anda, sudah sesuai dengan aturan yang tercantum dalam PBM ? a. Sudah sesuai PBM b. Belum sesuai PBM c. Tidak tahu d. Jelaskan alasan jawaban Anda ................................... ........................................................................................
d. Tidak keberatan terhadap pendirian rumah ibadat agama lain di lingkungan kecamatan saya. e. Tidak keberatan terhadap pendirian tumah ibadat agama lain di lingkungan kabupaten/kota saya. 99. a. Mendukung pendirian rumah ibadat lingkungan rukun tetangga saya b. Mendukung pendirian rumah ibadat lingkungan rukun warga daya c. Mendukung pendirian rumah ibadat lingkungan desa/kelurahan saya d. Mendukung pendirian rumah ibadat lingkungan kecamatan saya e. Mendukung pendirian rumah ibadat lingkungan kabupaten/kota saya
98. a. Tidak keberatan terhadap pendirian rumah ibadat agama lain di lingkungan rukun tetangga saya b. Tidak keberatan terhadap pendirian rumah ibadat agama lain di lingkungan rukun warga saya. c. Tidak keberatan terhadap pendirian rumah ibadat agama lain di lingkungan desa/kelurahan saya. 234
233
agama lain di agama lain di agama lain di agama lain di
100. a.
Rumah ibadat saya berada dalam rukun tetangga yang sama dengan rumah ibadat agama lain b. Rumah ibadat saya berada dalam rukun warga yang sama dengan rumah ibadat agama lain c. Rumah ibadat saya berada dalam desa/kelurahan yang sama dengan rumah ibadat agama lain d. Rumah ibadat saya berada dalam kecamatan yang sama dengan rumah ibadat agama lain e. Rumah ibadat saya berada dalam kabupaten/kota yang sama dengan rumah ibadat agama lain
Tingkat Toleransi Antar Umat Beragama Pada setiap nomor, pilih salah satu pernyataan yang menurut Anda paling mewakili pendapat masyarakat di lingkungan Anda saat ini
agama lain di
101. a. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual lingkungan rukun tetangga saya b. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual lingkungan rukun warga saya c. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual lingkungan desa/kelurahan saya d. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual lingkungan kecamatan saya 234
agama lain di agama lain di agama lain di agama lain di 235
e. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual agama lain di lingkungan kabupaten/kota saya 102.
a. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual agama lain di lingkungan rukun tetangga saya b. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual agama lain di lingkungan rukun warga saya c. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual agama lain di lingkungan desa/kelurahan saya d. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual agama lain di lingkungan kecamatan saya e. Tidak terganggu dengan ibadat/ritual agama lain di lingkungan kabupaten/kota saya
103.
a. Membantuk pemeluk agama lain berupa materi dan tenaga untuk menyelenggarakan peringatan/ perayaan hari besar agamanya b. Membantu pemeluk agama lain berupa materi atau tenaga untuk menyelenggarakan peringatan/ perayaan hari besar agamanya. c. Berkunjung dan memberi ucapan selamat pada pemeluk agama lain atas peringatan/perayaan hari besar agamanya d. Menghadiri undangan pemeluk agama lain dalam peringatan/perayaan hari besar agamanya. e. Memberi ucapan selamat pada pemeluk agama lain atas peringatan/perayaan hari besar agamanya.
104.
a. Menerima bantuan dari pemeluk agama lain berupa materi dan tenaga untuk menyelenggarakan peringatan/perayaan hari besar agama saya.
236
235
b. Menerima bantuan dari pemeluk agama lain berupa materi atau tenaga untuk menyelenggarakan peringatan/perayaan hari besar agama saya. c. Mengundang pemeluk agama lain dalam peringatan/perayaan hari besar agama saya d. Menerima kunjungan dan ucapan selamat dari pemeluk agama lain atas peringatan/perayaan hari besar agama saya. e. Menerima ucapan selamat dari pemeluk agama lain atas peringatan/perayaan hari besar agama saya.
236
237