EFEKTIVITAS PERATURAN PEMBATASAN USIA PERKAWINAN SUHARTI Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Al-Ittihad Bima
Abstrak Praktik perkawinan di bawah umur membuka peluang tidak tercapainya asas dan tujuan perkawinan. Bahkan fungsi-fungsi pokok dalam keluarga akan terabaikan. Salah satu asas yang terdapat dalam undang-undang perkawinan di dunia Islam adalah kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Salah satu standar yang digunakan adalah penetapan usia minimal kawin. Asas ini tercermin dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Pembatasan usia perkawinan merupakan unsur baru yang ditransplantasikan dalam institusi perkawinan di masyarakat. Praktik perkawinan di bawah umur masih terjadi karena masyarakat meyakini bahwa seorang anak yang memasuki usia baligh harus segera dinikahkan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan madharat yang lebih besar, seperti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fiqh lebih banyak dijadikan rujukan daripada peraturan perundang-undangan yang ada. Kata Kunci: Nikah al-s}agi>rah, al-zawa>j al-mubakkir, usia perkawinan, Indonesia Abstract Underrage marriage practices potentially cause failure in achieving objectives, and applying principles, of marriage. Evenmore, the main functions of family could not be realized. One prime marriage principle in Muslim marriage law is concerned with maturity of grooms and brides. This principles requires a minimum age of marriage. Chaper 7 [1] of Marriage Law 1/1974 states that a marriage will be permitted if the bride reaches sixteen years old and the groom is nineteen years old. This is a new stipulation enforced in society. Those who practice underage marriage perceive that when one has passed the age of balig, he/she must get married to avoid having sexual promiscuity or even premarital sexual relationships. They base the arguments for underage marriage more on the stipulations of classical Islamic law (fiqh) than on modern regulations. Keywords: Nikah al-s}agi>rah, al-zawa>j al-mubakkir, marital age, Indonesia
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 163
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
Pendahuluan Perkawinan merupakan institusi yang dilegalkan oleh agama dan negara untuk membentuk sebuah keluarga yang kekal dan bahagia. Meskipun demikian, di dalam institusi ini masih terdapat persoalan-persoalan yang kontroversial dan belum terselesaikan hingga saat ini, salah satunya adalah perkawinan anak di bawah umur yang dianggap melanggar hak-hak anak. Model perkawinan ini kembali menjadi sorotan publik setelah tersebarnya kasus Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji, seorang pengusaha asal Semarang berusia 43 tahun yang menikahi seorang gadis berusia 12 tahun bernama Lutviana Ulva pada tahun 2008 lalu. Menurut Pujiono, perbuatannya dianggap mencontoh perilaku Rasulullah SAW. yang menikahi ‗Aisyah ra. di usia kanak-kanak. Akibat perbuatannya, Syekh Puji harus menjalani pidana penjara karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perkawinan anak di bawah umur (child marriage atau early marriage) saat ini menjadi sorotan dan keprihatinan bagi dunia internasional. Meskipun sebagian besar negara di dunia menetapkan usia minimal perkawinan adalah 18 tahun dan memberlakukan sanksi hukum, diduga lebih dari seratus juta anak perempuan, menikah pada usia di bawah 18 tahun dalam satu dekade ke depan. Data The United Nations Population Fund (UNFPA) meunjukkan bahwa perkawinan di bawah umr (child marriage) sering terjadi di negara-negara berkembang, khususnya wilayah subsahara Afrika dan Asia Selatan. Bahkan di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara, perkawinan akan segera diselenggarakan setelah masa pubertas.1 Berdasarkan data UNICEF tahun 2005, di wilayah Asia Selatan sebanyak 48% atau 9,7 juta perempuan menikah di bawah usia 18 tahun. Sedangkan di Afrika perkawinan di bawah umur mencapai angka 48 %. Dan 29 % terjadi di Amerika Latin dan Karibia.2 Hasil penelitian The International Center for Research on Women (ICRW) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa praktik perkawinan anak di bawah umur mengalami penurunan dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, namun perkawinan ini masih terjadi pada kelompok-kelompok masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Dalam penelitiannya, ICRW merangking beberapa negara yang masih melakukan perkawinan di bawah usia 18 tahun, antara lain: Niger (76,6 %), Chad
1The United Nations Population Fund, Child Marriage Fact Sheet (Online) (dapat diakses di http://www.unfpa.org, tanggal 21 Oktober 2010) 2United Nations Children‘s Fund, Early Marriage: a Harmfull Traditional Practice (Online) (dapat diakses di www.unicef.org , tanggal 21 Oktober 2010)
164 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
(71,5%), Bangladesh (68,7%), Mali (65,4%), Nepal (56,1), Uganda (54,1%), India (50%), Yaman (48,4%), Kameron (47,2%) dan Nigeria (43,3%).3 Sedangkan di Indonesia, perkawinan anak di bawah umur masih menjadi fenomena yang hidup di masyarakat, khususnya di pedesaan atau masyarakat tradisionalis. Bahkan, sering kali keberadaannya tidak diketahui orang.4 Berdasarkan Survei Data Kependudukan Indonesia (SDKI) 2007, di beberapa daerah didapatkan bahwa sepertiga dari jumlah pernikahan dilakukan oleh pasangan usia di bawah 16 tahun. Di Jawa Timur sebanyak 39,4%, Kalimantan Selatan sebesar 35,5%, Jambi 30,6%,, dan Jawa Barat sebanyak 36%. Bahkan di sejumlah pedesaan, pernikahan seringkali dilakukan segera setelah anak perempuan mendapat haid pertama.5 Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, sebanyak 34, 2 % perempuan menikah di bawah usia 15 tahun, sementara laki-laki yang menikah di bawah usia 15 tahun hanya 11, 9 %. Sedangkan perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun mencapai 49%. Jumlah perempuan yang melahirkan pada usia 13-18 tahun mencapai 18 %. Analisis sosial menunjukkan bahwa perkawinan di bawah umur merupakan salah satu faktor penghambat kualitas SDM dan berkontribusi memperparah indeks kemiskinan di Indonesia. Adapun lima provinsi dengan frekuensi praktik perkawinan di bawah umur tetinggi adalah Jawa Timur (28%), Jawa Barat (27,2%), Kalimantan Selatan (27%), Jambi (23%), dan Sulawesi Selatan (20,8%).6 Menurut temuan Bappenas pada tahun 2008, sebanyak 34,5% dari dua juta perkawinan yang tercatat di Indonesia melibatkan anak-anak. Bahkan, sebuah survei yang dilakukan oleh Plan Indonesia pada Januari-April 2011 menunjukkan bahwa 33,5% dari anak-anak usia antara 13 sampai 18 tahun dipaksa untuk melakukan perkawinan. Menurut survey yang dilakukan di delapan kabupaten yang tersebar di lima propinsi di Indonesia tersebut – Indramayu di JawaBarat; Grobogan dan Rembang di Jawa Tengah; Tabanan di Bali; Dompu di Nusa Tenggara Barat; dan Timor Tengah Selatan, Sikka dan Lembata di Nusa Tenggara Timur – 44% dari perempuan yang dipaksa untuk melakukan perkawinan di bawah umur mengalami
3The
International Center for Research on Women, New Isights for Preventing Child Marriage: A Global Analysis of Factors and Programs (Online) (dapat diakses di www.icrw.org, tanggal 20 Oktober 2012) 4Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta:LKiS, 2001), 89 5Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya, Sari Pediatri, Jurnal Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2, (Agustus, 2009), 136 (Online) (dapat diakses di www.idai.or.id, tanggal 20 Oktober 2012) 6Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur Perspektif Fikih Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional (Bandung:Mandar Maju,2011), 6
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 165
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
kekerasan domestik yang serius.7 Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2010 ditemukan bahwa 41,9% responden menikah pertama kali pada usia 15-19 tahun dan 4,8 % responden lainnya menikah pada usia 10-14 tahun. Provinsi dengan persentase perkawinan usia sangat muda (10-14 tahun) paling tinggi adalah Kalimantan Selatan (9%), Jawa Barat (7,5%), Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah (7%).8 Praktik perkawinan di bawah umur membuka peluang tidak tercapainya asas dan tujuan perkawinan. Bahkan fungsi-fungsi pokok dalam keluarga akan terabaikan. Menurut Muhammad Amin Summa salah satu asas yang terdapat dalam undangundang perkawinan di dunia Islam adalah kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Salah satu standar yang digunakan adalah penetapan usia minimal kawin. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Yahya Harahap, Arso Sosroatmodjo, dan Wasit Aulawi.9 Asas ini tercermin dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan, seseorang yang telah masak jiwa dan raganya diharapkan mampu mewujudkan tujuan dengan baik dan tidak berakhir dengan perceraian, serta mendapat keturunan yang baik.10 Salah satu tujuan yang dimaksud adalah membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal atau mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam. Dengan dasar kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, Kompilasi Hukum Islam juga menganut rumusan yang sama dengan Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1). Dengan adanya pembatasan usia perkawinan, Fungsi-fungsi pokok keluarga diharapkan berjalan dengan baik. Secara sosiologis, Djudju Sudjana sebagaimana dikutip oleh Mufidah Ch menyebutkan tujuh macam fungsi keluarga, antara lain: (1) Fungsi Biologis, perkawinan dilakukan untuk memperoleh keturunan yang sah baik menurut agama maupun negara; (2) Fungsi Edukatif, keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggota keluarga dalam aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan profesional; (3) Fungsi Religius, keluarga merupakan sarana 7Muhammad
Isna Wahyudi, Menekan Tingkat Perkawinan Anak (Online) (dapat diakses di www.nu.or.id, tanggal 20 Oktober 2012) 8Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar 2010, (Jakarta:Kementerian Kesehatan, 2010), 185-186 (Online) (dapat diakses di www.litbang.depkes.go.id, tanggal 22 Oktober 2012) 9Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974, sampai KHI (Jakarta:Kencana, 2006), 52-53 10Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Sinar Grafika,2009), 8
166 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
penanaman nilai-nilai agama melalui pemahaman dan penyedaran serta praktik dalam kehidupan sehari-hari; (4) Fungsi Protektif, keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal dan eksternal keluarga dan menangkan segala pengaruh negatif yang masuk ke dalamnya; (5) Fungsi Sosialisasi, keluarga merupakan tempat mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik; (6) Fungsi Rekreatif, keluarga merupakan tempat melepas lelah dan memberikan kesejukan dari berbagai aktifitas anggota keluarga; (7) Fungsi Ekonomis, di dalam keluarga memiliki aktivitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, dan bagaimana memanfaatkan sumber penghasilan dengan baik, mendistribusikannya secara proporsional.11 Dalam praktik perkawinan anak di bawah umur, para pelakunya tidak dapat memperoleh pendidikan yang lebih baik, kesehatan reproduksinya tergangganggu, ekonomi keluarga yang lemah, bahkan sering terjadi kekerasan yang berujung pada perceraian. Berdasarkan kondisi-kondisi ini, Zainuddin Ali merekomendasikan agar perkawinan yang dilakukan oleh calon mempelai di bawah umur sebaiknya ditolak.12 Meskipun banyak ekses negatif yang muncul, masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam masih mempraktikkan model perkawinan ini. Terlebih Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam justru membuka peluang terjadinya perkawinan di bawah umur yang telah ditetapkan. Bagi calon mempelai yang masih belum cukup umur dapat minta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita. Meskipun lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang membatasi praktik perkawinan di bawah umur sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1), yang memberikan kewajiban dan tanggung jawab bagi orang tua untuk: (a) mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; (b) menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, praktik perkawinan ini masih belum teratasi secara maksimal. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa peraturan-peraturan tentang batas usia minimal perkawian yang ada belum efektif dan belum sepenuhnya ditaati oleh masyarakat, sekalipun peraturan ini telah berlaku lebih dari sepuluh tahun. Maka timbul pertanyaan, mengapa masyarakat tidak taat terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku? Dan faktor apa saja yang mempengaruhi tidak efektifnya pembatasan usia perkawinan?
11Mufidah
Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang:UIN-Malang Press, 2008),
42-47 12Zainuddin
Ali, Hukum, 14
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 167
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
Tulisan ini mencoba menggali dan menemukan jawaban dari persoalan-persoalan di atas. Perkawinan Anak di Bawah Umur Perkawinan di konsepsikan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara lebih spesifik Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tujuan-tujuan perkawinan ini tidak bisa atau setidaknya akan sulit tercapai jika tidak siap, baik secara fisik maupun secara psikis. Dan salah satu indikator kesiapan yang dijadikan acuan seseorang boleh menikah adalah usia minimal. Di dalam beberapa peraturan, baik hukum Islam, hukum adat, maupun Peraturan Perundang-Undangan ditemukan perbedaan dalam menentukan batas umur minimal seseorang agar dianggap cakap hukum. Dalam literatur hukum adat, Imam Sopomo menyatakan bahwa seseorang dianggap dewasa apabila: (a) Sudah kuat gawe (mampu bekerja secara mandiri); (b) cakap untuk melakukan pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta mempertanggungjawabkan sediri segala sesuatunya; (c) cakap mengurus harta bendanya serta keperluannya sendiri. dan yang dimaksud dengan anak di bawah umur menurut Soedjono Dirjosisworo adalah mereka yang belum menunjukkan tanda-tanda fisik yang konkret bahwa ia telah dewasa.13 Dalam literatur-literatur fiqh, seseorang dianggap telah baligh ditandai dengan keluarnya sperma, baik dalam mimpi maupun dalam kondisi sadar (ihtilam). Sedangkan untuk perempuan ditandai dengan menstruasi atau hamil. Jika tidak muncul indikasi-indikasi tersebut, maka ketentuan baligh seseorang didasarkan pada usia. Abu Hanifah berpendapat bahwa usia baligh bagi laki-laki adalah 18 tahun dan 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan Abu Yusuf bin Hasan dan al-Sha>fi‘i> menetapkan usia baligh bagi laki-laki dan perempuan adalah 15 tahun. 14 Dalam petaturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdapat beberapa batas usia seseorang dikatagorikan sebagai anak, antara lain:
13Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) (Jakarta:NLRP, 2010), 44-45 14Husein Muhammad, Fiqh, 90
168 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan … Peraturan Perundang-Undangan Burgerlijk Wetboek (BW)
Keterangan Pasal 330 menyatakan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum genap mencapai umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa Anak yang belum 1974 tentang Perkawinan mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun Pasal 1 angka 2 menyatakan bahwa Anak adalah seseorang 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Kompilasi Hukum Islam Inpres Pasal 98 ayat (1) menyatakan bahwa Batas usia anak yang No. 1 Tahun 1991 mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Undang-Undang Nomor 9 Tahun Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Anak adalah 1999 tentang Hak Asasi Manusia manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) dan belum menikah, termasuk anak yang masih kandungan apabila hal tersebut adalah kepentingannya.
setiap tahun dalam demi
Undang-Undang Nomor 2 Tahun Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Anak adalah seseorang 2002 tentang Perlindungan Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun Pasal 1 angka 26 menyatakan bahwa Anak adalah 2003 tentang Ketenagakerjaan seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun Undang-Undang Nomor 21 Tahun Pasal 1 angka 5 menyatakan bahwa Anak adalah seseorang 2007 tentang Pemberantasan yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk Tindak Pidana Perdagangan Orang anak yang masih dalam kandungan
Secara umum, dalam setiap konvensi PBB yang berkaitan dengan anak, batas usia minimal yang ditetapkan adalah di bawah 18 (delapan belas) tahun. Namun, menurut Yusuf Hanafi di beberapa negara di dunia masih menerapkan batas yang lebih kecil, berikut perbandingan di beberapa negara tersebut15: Negara Amerika Serikat Inggris Australia Belanda Taiwan Iran Korea Philipina Malaysia Singapura 15Yusuf
Usia min. Anak 8 tahun 12 tahun 8 tahun 12 tahun 14 tahun 6 tahun 14 tahun 7 tahun 7 tahun 7 tahun
Usia max. Anak 18 tahun 16 tahun 16 tahun 18 tahun 18 tahun 18 tahun 20 tahun 16 tahun 18 tahun 18 tahun
Hanafi, Kontroversi, 27
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 169
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
Sedangkan batas usia minimal seseorang boleh menikah sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, menyatakan bahwa Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Pembatasan ini bertujuan untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga Menurut Tahir Mahmood, batas umur yang dimuat di dalam Undang-Undang Perkawinan sebenarnya masih belum terlalu tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara lainnya. Beberapa negara yang dimaksud tersaji dalam tabel berikut: Country Algeria Bangladesh Egypt Indonesia Iraq Jordan Lebanon Libya Malaysia Marocco North Yemen Pakistan Somalia South Yemen Syria Tunisia Turkey
Males 21 21 18 19 18 16 18 18 18 18 15 18 18 18 18 19 17
Females 18 18 16 16 18 15 17 16 16 15 15 16 18 16 17 17 15
Bahkan dalam penelitiannya, Tahir Mahmood juga menyatakan, di beberapa negara termasuk Indonesia, perkawinan di bawah umur dapat dilakukan berdasarkan izin yang diberikan oleh pengadilan dalam kasus tertentu, biasanya dengan persetujuan dari wali nikah.16 Izin yang dimaksud diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Meskipun demikian, ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang Perkawinan lebih tinggi dibandingkan batas minimal usia perkawinan yang terdapat di dalam Ordonansi Perkawinan Kristen dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menetapkan 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.17
16Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, Analysis) (New Delhi:Academy of Law and Religion, 1987), 270 17Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum , 70
170 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, setidaknya ada tiga tujuan pembatasan usia menikah, antara lain: Pertama, menghapuskan kekaburan penafsiran batas minimal usia menikah, baik yang terdapat dalam hukum adat maupun hukum Islam. langkah ini menurut Yahya Harahap merupakan penerobosan hukum (exepressip verbis) terhadap praktik perkawinan yang dijumpai di masyarakat. Kedua, mengatasi masalah kependudukan. Dengan adanya batas minimal ini Undang-Undang berupaya merekayasa menahan dan mengurangi laju penduduk. Ketiga, perlindungan terhadap kesehatan reproduksi perempuan. Batas minimal usia perkawinan yang rendah akan mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi, implikasinya angkat kematian ibu hamil juga akan mengalami peningkatan. Berdasarkan tujuantujuan ini, keduanya berkesempulan bahwa perkawinan pada usia dini sebisa mungkin dihindari karena membawa ekses negatif terhadap para pelakunya.18 Dalam khazanah fiqh klasik, perkawinan di bawah umur lazim dikenal dengan istilah nikah al-shaghir atau nikah al-shaghirah. Sedangkan dalam kitab fiqh kontemporer digunakan istilah al-zawaj al-mubakkir. Secara etimologi al-shaghir atau al-shaghirah berarti kecil. Namun, yang dimaksud dalam konteks perkawinan adalah laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Menurut Husein Muhammad, yang dimaksud dengan perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan di bawah usia minimal di atas. Bahkan mayoritas ulama mengatakan bahwa kriteria baligh dan berakal bukan merupakan persyaratan keabsahan perkawinan.19 Jumhur ulama berpedoman pada beberapa ayat al-Qur‘an. Firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Thalaq [65]: 4 menyatakan: Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Ayat ini berbicara mengenai masa iddah bagi perempuan-perempuan yang sudah monopause dan bagi perempuan-perempuan yang belum haid. Masa iddah bagi kedua kelompok perempuan ini adalah tiga bulan. Secara tidak langsung, ayat ini dipandang menjustifikasi bahwa perkawinan bisa dilakukan dengan perempuan di 18Amiur
Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum, 70-71 Muhammad, Fiqh, 89-90
19Husein
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 171
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
bawah umur. Sebab masa iddah hanya diperlakukan kepada orang-orang yang telah menikah. Selain itu, dalam Q.S. al-Nur [24]: 32 juga dinyatakan bahwa: Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui.
Kata al-ayyama meliputi perempuan dewasa maupun perempuan yang masih kecil. Ayat ini dipandang sebagai legitimasi bagi wali untuk mengawinkan anak perempuannya sekalipun masih di bawah umur. Perkawinan Nabi SAW dengan ‗Aisyah Ra. juga dijadikan landasan adanya perkawinan pada usia dini. Dalam sebuah riwayat ‗Aisyah menyatakan:
ثزوجين انليب و أنا ابنة ست و بين ليب و أناابنة تسع Artinya: Nabi menikahiku pada usia 6 tahun dan hidup bersamaku pada usia 9 tahun (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan al-Nasa‘i)
Praktik perkawinan di bawah umur juga dilakukan oleh para sahabat, Ali bin Abi Thalib misalnya, menikahkan Ummu Kultsum dengan Umar ibn Khattab.20 Pandangan yang berbeda disampaikan oleh Ibn Syubramah, Abu Bakar al, dan Utsman al-Batti mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan di bawah umur tidak boleh dinikahkan. Mereka hanya boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh dengan adanya persetujuan mereka secara ekplisit. Dasar yang digunakan ketiga ulama ini adalah firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nisa‘ [4]: 6 Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka hartahartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang 20Husein
Muhammad, Fiqh, 92
172 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan … miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).
Perkawinan Rasulullah Saw dengan ‗Aisyah‘ Ra. merupakan pengecualian serta pengkhususan bagi nabi sendiri dan tidak bisa diberlakukan kepada umatnya. Pendapat ketiga ulama di atas diadopsi dalam Undang-Undang Perkawinan di Syiria. Dasar pertimbangan yang digunakan adalah prinsip istishlah (kemaslahatan), realitas sosial, dan memperhatikan beratnya tanggung jawab perkawinan.21 Menurut Husein Muhammad, berdasarkan uraian di ada dua kenyataan hukum yang berlaku. Pertama, hukum yang ditetapkan berdasarkan hasil ijtihad para ulama. Hukum ini sifatnya tidak mengikat dan memaksa, kecuali telah mencapai derajad ijma‘. Kedua, hukum yang terlahir berdasarkan proses legislasi yang bersifat mengikat dan memaksa. Meskipun Undang-Undang Perkawinan telah diberlakukan lebih dari 30 tahun, fenomena perkawinan anak di bawah umur yang masih dilakukan oleh masyarakat Indonesia, menunjukkan bahwa keberlakuannya belum berjalan dengan baik. Selain itu, keberadaan kitab-kitab fiqh klasik masih tetap menjadi rujukan dan pedoman kuat bagi masyarakat Indonesia. Undang-Undang Perkawinan dipandang tidak merepresentasikan hukum Islam, dan kitab-kitab itulah yang sepenuhnya harus diterapkan karena mencerminkan hukum Islam yang sesungguhnya.22 Para ahli fiqh sebenarnya memandang bahwa perkawinan di bawah umur bukan sesuatu yang baik. Imam al-Sha>fi‘i> mengatakan bahwa seorang ayah sebaiknya menikahkan anaknya pada usia baligh sehingga dia dapat menyampaikan izinnya, sebab perkawinan akan menimbulkan berbagai kewajiban dan tanggungjawab. Bahkan jika calon mempelai dikhawatirkan tidak dapat menjalankan kewajibannya, hukum perkawinan berubah menjadi makruh, dengan catatan dia masih bisa menahan dari perbuatan zina. Karena pada dasarnya, perkawinan merupakan sarana menjaga maqasid al-syariah, yaitu menjaga kemaslahatan jiwa (hifd al-nafs) dan menjaga keselamatan fungsi reproduksi (hifdz al-nasl). Menurut Husain Muhammad, praktik perkawinan anak di bawah umur harus mempertimbangkan ada-tidaknya unsur kemaslahatan atau kemungkinan berbuat zina, sebab pada asasnya perkawinan bertujuan menjaga kehormatan diri (hifdz al-„irldh) agar tidak terjerumus dalam perbuatan terlarang. Akan tetapi, apabila perkawinan di bawah umur justru menimbulkan kemudharatan, kerusakan, atau keburukan, padahal faktor yang dikhawatirkan tidak dapat dibuktikan maka perkawinan tersebut tidak dapat dibenarkan.23 21Husein
Muhammad, Fiqh, 95 Muhammad, Fiqh, 98 23Husein Muhammad, Fiqh, 100-101 22Husein
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 173
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
Sedangkan menurut Yusuf Hanafi, praktik perkawinan anak di bawah umur merupakan bentuk arogansi orang tua dan tradisi yang berbahaya (the harmful tradition practice) karena memunculkan sejumlah resiko dan bahaya seperti: kematian ibu (maternal mortality) di usia muda akibat kehamilan prematur (premature pregnancy), buta aksara (illiterate) karena tidak mendapatkan pendidikan dasar (primary education), terjangkit problem-problem kesehatan (health problems) sebab tidak familiar dengan isu-isu dan layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar (basic reproductive health issues and services), mengalami kekerasan dalam rumah tangga (abuse and violence), serta hidup dalam lingkaran kemiskinan (the cycle of poverty).24 Menurut Ratna Batara Munti dan Hindun Aisah, apabila batas usia minimal 16 tahun bagi perempuan dikaitkan dengan aspek kematangan biologis, khususnya kesiapan melakukan hubungan seksual dan melahirkan, kenyataan di lapangan menunjukkan kebalikannya. Menurut data BKKBN jumlah ibu yang meninggal saat melahirkan 10 kali lipat lebih besar daripada Malaysia. Sedangkan data UNFPA menunjukkan data yang lebih besar yaitu 15 kali lipat. Salah satu pemicunya adalah usia perkawinan bagi perempuan yang terlalu muda. Terlebih di Indonesia disediakan sarana dispensasi kawin yang dilegalkan oleh Undang-Undang. Berdasarkan hal ini, usia perkawinan bagi perempuan harus dinaikkan minimal mengikuti rumusan Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu 18 tahun. Selain pertimbangan kesehatan reproduksi, usulan ini mempertimbangakan aspek ekonomi yaitu kesiapan calon mempelai memenuhi fungsi-fungsi ekonomis di dalam keluarga sehingga tidak menjadi beban orang tua.25 Efektivitas Hukum dalam Kajian Sosiologi Hukum Meskipun, Undang-Undang Perkawinan telah diberlakukan untuk masyarakat Indonesia lebih dari 30 tahun, akan tetapi keberlakuannya belum berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa secara sosiologis, peraturan-peraturan yang ada di dalamnya belum sepenuhnya diterima dan berlaku secara efektif. Kajian tentang efektivitas hukum merupakan wilayah dari disiplin ilmu sosiologi hukum. Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi hukum dapat digunakan sebagai sarana memahami hukum dalam konteks sosial. Selain itu, sosiologi hukum juga dapat digunakan untuk menganalisa dan mengevaluasi efektifitas hukum di dalam masyarakat, baik sebagai
24Yusuf
Hanafi, Kontroversi, 29 Batara Munti dan Hindun Aisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:LBH-APIK, 2005), 54 25Ratna
174 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
pengendali sosial, sarana mengubah masyarakat, atau sarana mengatur interaksi sosial untuk mencapai keadaan-keadaan tertentu.26 Kajian tentang efektivitas hukum tidak bisa terlepas dari aspek perilaku masyarakat dalam berhukum. Menurut Soleman B. Taneko, kajian ini merupakan perbandingan antara realitas hukum dengan idealitas hukum. Melalui kajian ini para ahli sosiologi hukum mencoba membandingkan hukum yang tercermin dalam tindakan (law in action) dan hukum yang terdapat di dalam teori (law in the books). Misalnya, membandingkan ketentuan pembatasan usia perkawinan dengan praktik perkawinan yang berlaku di masyakart. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa berhasil atau tidaknya suatu kaidah hukum mencapai tujuannya dapat diukur melalui perilaku tertentu yang muncul di masyarakat. Atau dengan kata lain keberlakuan hukum adalah mewujudnya hukum sebagai sebuah perilaku.27 Berkaitan dengan perilaku masyarakat dalam berhukum, menarik dikemukakan pendapat Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa dasar dari hukum suatu bangsa bukan berada dalam sistem hukumnya, melainkan dalam perilaku bangsa itu sendiri, yaitu cara hidup manusia dengan berperilaku yang baik. Hukum tidak hanya muncul dari undang-undang, melainkan juga muncul dari perilaku orang. Dan perilaku ini tidak dapat dibendung oleh undang-undang. Dinamika perilaku akan selalu mencari jalannya sendiri untuk muncul ke permukaan.28 Lebih lanjut Satjipto mengatakan bahwa hukum menjadi hidup melalui perantara manusia. Sebab perilaku atau tindakan manusia dapat merubah teks yang diam dan kaku.29 Menurut Lawrence M. Friendman, perilaku hukum (legal behavior) adalah setiap perilaku yang dipengaruhi oleh aturan, perintah, keputusan, atau undang-undang yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Jika seseorang berkendara dan melihat rambu batas kecepatan atau melihat polisi dan memperlambat laju kendaraannya, hal itu merupakan perilaku hukum. Termasuk di dalamnya juga seseorang yang memacu kendaraannya lebih cepat untuk menghindari polisi. Kondisi-kondisi ini menunjukkan bahwa ada undang-undang yang ditaati dan ada yang tidak. Menurut Achmad Ali, perilaku hukum yang dimaksud oleh Friedman bukan hanya perilaku taat hukum, tetapi semua perilaku yang merupakan reaksi
26Soejono 27Soleman
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:CV.Rajawali, 1988), 22 B. Taneko, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 1993),
48-49 28Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilak: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta:Kompas,2009), vii-x 29Satjipto Rahardjo, Hukum, 21
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 175
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
terhadap keadaan yang terjadi dalam sistem hukum. Bahkan menggunakan atau tidak menggunakan hukum yang ada juga termasuk dalam perilaku hukum.30 Friedman juga mengatakan bahwa perilaku hukum adalah persoalan pilihan yang berhubungan dengan motif dan gagasan orang yang dapat dibagi menjadi empat katagori, yaitu: (a) Kepentingan sendiri (self interest), menurut Soleman B. Taneko, Friendman tidak menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan kepentingan diri sendiri, namun hal ini dapat dipahami melalui contoh berikut, seseorang menggunakan sabuk pengaman atau menyalakan lampu pada siang hari agar terhindar dari kecelakaan, jika dia tidak memperhatikan peraturan tersebut kemungkinan besar akan terjadi kecelakaan. Dalam konteks hukum perkawinan, seseorang mentaati pembatasan usia perkawinan karena melihat adanya ekses negatif apabila dia tidak melanggarnya, seperti kesehatan dan kesempatan menikmati pendidikan yang terganggu; (b) Sensitif terhadap sanksi, menurut Friedman sanksi merupakan salah satu alasan yang dapat mewujudkan perilaku hukum. Dengan kata lain, seseorang mentaati hukum karena menghindari hukuman. Dalam hukum, biasanya telah ditentukan jenis perilaku menyimpang beserta sanksinya. Akan tetapi, Undang-Undang Perkawinan tidak menyediakan sanksi bagi pelaku atau subjek yang terlibat dalam perkawinan di bawah umur, justru menyediakan sarana terjadinya praktik perkawinan ini dengan adanya pemberian dispensasi kawin; (c) Tanggapan pengaruh sosial, perilaku seseorang disebabkan apa yang oleh keluarga, teman, atau anggota kelompok lakukan, Misalnya munculnya stigma negatif jika anak yang sudah baligh belum dinikahkan Soerjono Soekanto mengatakan bahwa perilaku hukum disebabkan adanya keinginan yang kuat untuk memelihara hubungan baik dengan lingkingan atau memelihara hubungan baik dengan penguasa, pengaruh sosial dapat dijadikan alat analisis mengetahui kedalaman meresapnya hukum dalam masyarakat, sebab jika mereka tidak mengenali hukum, tidak ada yang tahu bahwa orang-orang mematuhinya. Di beberapa wilayah di Indonesia, praktik perkawinan di bawah umur masih terjadi karena telah menjadi budaya yang hidup di masyarakat; (d) Kepatuhan, orang-orang mentaati hukum karena mereka beranggapan bahwa suatu pelanggaran merupakan perbuatan immoral dan illegal. Mereka juga beranggapan bahwa apa yang dimuat di dalam hukum itu benar, oleh karenanya harus dilaksanakan. Menurut Soleman B. Taneko, dari keempat motif dan gagasan yang diajukan Friedman, tiga motof terakhir menghendaki adanya pengenalan terhadap hukum terlebih dahulu. hal ini menunjukkan bahwa hukum telah dikenal atau melembaga di dalam
30Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi terhadap Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana,2012), 143-145
176 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
masyarakat. Sedangkan motif yang pertama tidak mensyaratkan adanya pengenalan terhadap hukum.31 Menurut Selo Soemarjan, dikenalnya hukum dalam masyarakat merupakan hasil dari suatu proses pelembagaan. Proses ini dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) efektivitas menanam, yaitu penggunaan sumber daya dan metode dalam menanamkan unsur yang baru dalam masyarakat. Semakin besar kemampuan tenaga manusia, semakin canggih alat-alat yang digunakan, semakin rapi dan teratur organisasinya, dan semakin sesuainya sistem penanaman unsur baru dengan kebudayaan masyarakat, semakin besar hasil yang dapat dicapai; (2) kekuatan menentang dari masyarakat, menurut Soemarjan setiap usaha menanam unsur baru pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang merasa dirugikan. Sikap ini akan menghambat proses institusionalisasi, semakin kecil penentangan yang terjadi maka proses pelembagaan akan semakin baik. Penentangan masyarakat terhadap unsur baru boleh jadi karena mereka tidak mengerti kegunaan unsur baru tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo, UndangUndang tidak secara langsung berpengaruh terhadap perilaku kecuali disampaikan dengan baik kepada masyarakat. Komunikasi hukumlah yang menjadi jembatan penghubung antara peraturan hukum dan perilaku orang.32 Selain itu, perubahan yang dikehendaki di dalam undang-undang bertentangan dengan kaidah atau nilai yang ada dan berlaku. Menurut Zainudin Ali, semakin besar peran pengendali sosial selain hukum seperti agama atau adat istiadat, maka semakin kecil peran hukum. Hukum tidak akan pernah bisa dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang lebih ampuh. Dan hukum digunakan sebagai sarana terakhir jika sarana yang lain sudah tidak lagi mampu mengatasi persoalan.33 Meskipun demikian, tidak semua nilai atau kaidah yang telah ada bertetangan dengan unsur yang baru, berdasarkan hal ini Soemarjan mengklasifikasikan nilai dan kaidah tersebut menjadi empat, yaitu: a) kaidah dan nilai yang menguntungkan proses perubahan dan karena itu harus dipelihara bahkan diperkuat, b) kaidah dan nilai yang dapat menguntungkan perubahan dengan jalan menyesuaikan dengan proses perubahan tersebut, c) kaidah dan nilai yang dapat menjadi faktor penghambat namun dapat dinetralkan oleh proses perubahan itu sendiri, d) kaidah atau nilai yang menghambat sehingga harus dihapus untuk melancarkan proses perubahan. Selain itu penentangan terjadi karena para warga masyarakat yang kepentingannya ternanam dengan cukup kuat, berkuasa untuk menolak suatu proses perubahan. 31Soleman
B. Taneko, Pokok, 50-53 Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan (Yogyakarta:Genta Publishing, 2010), 213 33Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta:Sinar Grafika,2008), 65 32Satjipto
Masalahnya
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 177
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
Resiko yang dihadapi sebagai akibat dari perubahan ternyata lebih berat daripada mempertahankan ketentraman sosial yang ada sebelumnya. Masyarakat tidak mengakui wewenang dan kewibawaan para pelopor perubahan; (3) kecepatan menanam, hal ini berkaitan dengan jangka waktu penanaman unsur baru dalam masyarakat, semakin tergesa-gesa dan semakin singkat proses yang ditempuh, maka semakin tipis kemungkinan proses institusionalisasi akan tercapai, begitu pula sebaliknya, meskipun demikian, kecepatan menanam dapat ditambah jika diikuti dengan penambahan faktor efektivitas menanam.34 Apabila ditemukan fakta bahwa perilaku masyarakat tidak sesuai dengan hukum, hal itu menunjukkan bahwa ada faktor penghalang bagi terwujudnya hukum. Menurut Teori Aksi (action theory), sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber yang kemudian dikembangkan oleh Talcott Parsons, menyatakan bahwa tindakan atau perilaku seseorang merupakan hasil keputusan subjektif dari pelaku, secara eksplisit disampaikan bahwa tradisi yang sudah mapan turut mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut. Lebih lanjut Parson dengan teori Tindakan Sosialnya menyatakan bahwa aktor adalah pemburu tujuan-tujuan dan memilih alternatif cara, alat, serta teknik untuk mencapainya. Namun, aktor juga berhadapan dengan kondisi-kondisi yang membatasi tindakannya, seperti jenis kelamin dan tradisi. Selain itu, aktor juga berada di bawah kendali nilai-nilai, norma-norma, dan berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan menentukan tujuan. Hukum dapat dijadikan referensi atau panduan bagi perilaku seseorang untuk mencapai tujuannya. Jika tidak, maka perlu dilihat apakah ada referensi lain yang digunakan untuk berperilaku.35 Pembatasan usia perkawinan merupakan unsur baru yang ditransplantasikan dalam institusi perkawinan di masyarakat. Praktik perkawinan di bawah umur masih terjadi karena masyarakat meyakini bahwa seorang anak yang memasuki usia baligh harus segera dinikahkan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan madharat yang lebih besar, seperti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fiqh nampaknya masih dipegang teguh dan lebih banyak dijadikan rujukan daripada peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini sejalan dengan asumsi yang disampaikan Zainudin Ali, semakin besar peran pengendali sosial selain hukum seperti agama atau adat istiadat, maka semakin kecil peran hukum. Hukum tidak akan pernah bisa dipaksakan keberlakuannya di dalam segala hal, selama masih ada sarana lain yang lebih ampuh. Dan hukum digunakan sebagai sarana terakhir jika sarana yang lain sudah tidak lagi mampu 34Soejono 35Soleman
Soekanto, Pokok, 111-114 B. Taneko, Pokok, 55-56
178 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
mengatasi persoalan, misalnya jika perkawinan tidak bisa dicatatkan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) karena calon mempelai kurang umur, baru kemudian masyarakat mau melirik hukum, yaitu mengajukan dispensasi perkawinan. Catatan Akhir Sebagai upaya mewujudkan perilaku yang taat terhadap pembatasan usia minimal perkawinan, diperlukan adanya komunikasi hukum yang baik, khususnya penyuluh agama dari Kantor Urusan Agama dengan jalan sosialisasi dan pendapingan yang intensif pada masyakat tentang urgensi pembatasan usia perkawinan. Selain itu, dibutuhkan dukungan dari para elit agama sebagai tokoh yang otoritatif dalam mentransormasikan dan menafsirkan ajaran-ajaran agama. Sehingga peraturan perundang-undangan yang ada tidak dipandang sebagai produk sekuler yang terlepas dari semangat hukum Islam. Secara sosiologis, seseorang mentaati pembatasan usia perkawinan, boleh jadi disebabkan karena kepentingan diri sendiri seperti melindungi kesehatan reproduksinya atau karena belum siap menanggung kewajiban sebagi suami-istri, atau karena ada sanksi sekalipun belum ada sanksi yang tegas tentang perkawinan anak di bawah umur dalam Undang-Undang Perkawinan, atau karena menjalin hubungan baik dengan lingkungan sosialnya misalnya munculnya stigma negatif jika anak yang sudah baligh belum dinikahkan, dan terakhir karena kepatuhannya terhadap hukum tersebut. Daftar Pustaka Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence): Termasuk Interpretasi terhadap Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta:Kencana, 2012) Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur) (Jakarta:NLRP, 2010) Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974, sampai KHI (Jakarta:Kencana, 2006) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar 2010, (Jakarta: Kementerian Kesehatan, 2010), (Online) (dapat diakses di www.litbang. depkes.go.id, tanggal 22 Oktober 2012)
Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014 | 179
Suharti, Efektivitas Peraturan Pembatasan …
Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty, Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya, Sari Pediatri, Jurnal Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2, (Agustus, 2009), 136 (Online) (dapat diakses di www.idai.or.id, tanggal 20 Oktober 2012) Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta, LKiS, 2001) Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender (Malang:UIN-Malang Press, 2008) Muhammad Isna Wahyudi, Menekan Tingkat Perkawinan Anak (Online) (dapat diakses di www.nu.or.id, tanggal 20 Oktober 2012) Ratna Batara Munti dan Hindun Aisah, Posisi Perempuan dalam Hukum Islam di Indonesia (Jakarta:LBH-APIK, 2005) Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perilak: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta:Kompas, 2009) ______________, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalahnya (Yogyakarta:Genta Publishing, 2010) Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:CV.Rajawali, 1988) Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada, 1993) Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text, Analysis) (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987) The International Center for Research on Women, New Isights for Preventing Child Marriage: A Global Analysis of Factors and Programs (Online) (dapat diakses di www.icrw.org, tanggal 20 Oktober 2012) The United Nations Population Fund, Child Marriage Fact Sheet (Online) (dapat diakses di http://www.unfpa.org, tanggal 21 Oktober 2010) United Nations Children‘s Fund, Early Marriage: a Harmfull Traditional Practice (Online) (dapat diakses di www.unicef.org, tanggal 21 Oktober 2010) Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak di Bawah Umur Perspektif Fikih Islam, HAM Internasional, dan UU Nasional (Bandung:Mandar Maju, 2011) Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) ___________, Sosiologi Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2008)
180 | Schemata, Volume 3, Nomor 2, Desember 2014