EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PNFI EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PNFI Malem Sendah Sembiring Pusat Penelitian Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaa Email:
[email protected] ABSTRAK Kajian bertujuan untuk mengetahui melihat efektifitas penyelenggaraan Pendidikan Non Formal (PNF) ditinjau dari konteks, input, proses dan hasil. Permasalahan penyelenggaraan PNFI masih banyak PKBM yang sarana dan prasarananya yang belum memadai baik ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Keberlangsungan program di PKBM cenderung tergantung pada bantuan pemerintah, kecuali program yang pembiayaannya dipungut langsung dari warga belajar. Data diperoleh melalui wawancara dan meminta dokumen yang relevan di 95 pengelola PKBM di 16 kabupaten/kota. Hasil studi menunjukkan bahwa: 1) Secara umum, penyelenggaraan PKBM sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama program Paket B, Paket C, dan Keaksaraan Fungsional (KF); 2) Pengelola PKBM sebagian besar memiliki latar belakang pekerjaan bidang pendidikan dan memahami program PNF dengan tingkat pendidikan S1 atau S2 dan sebagian kecil SMP/MTS atau SMA. Pendidikan tutor Program PAUD, KF, Program Paket A, Program Keterampilan, dan Pembina TBM sebagian masih SMA/MA/sederajat; 3) Terdapat sebagian tutor yang telah memiliki silabus, menggunakan KTSP dan menggunakan bahasa daerah dalam proses pembelajaran; 4) Program keterampilan hanya terlaksana di beberapa PKBM dan sering hanya bersifat temporer, dengan hasil karya nyata berupa makanan kecil, anyaman, tenun, menjahit, batako, pagar besi atau ternak. Kata kunci: (maks 5 kata)
ABSTACT(sesuaikan dengan Abstrak Bhs Indonesia/ telah diedit) The study objective was to see the effectiveness of the implementation of non-formal education in terms of context, input, process and product. Data were obtained through interviews and requested relevant documents to 95 managers PKBM in 16 districts. In general, the implementation PKBM are in accordance with the needs of society, especially B Package program, C Package program, and Functional Literacy (KF). Most of PKBM managers have educational background and experienced in non-formal education with education level S1 or S2 and a small level of SMP/MTS or SMA/MA. The Tutor of Early childhood education program, Functional Literacy, A Package Program, Skills Program, and TBM Coach some still SMA / MA or equivalent level. There are many PKBM facilities and infrastructure are inadequate both in terms of quantity and quality. Sustainability of programs in PKBM are likely depend on government assistance, except for the financing program collected directly from participant. Only some of the tutors have a syllabus, using KTSP and they still use the local language in the learning process. Skills program implemented only in a few PKBM and often only temporary, the real work in the form of snacks, plaiting, weaving, sewing, brick, iron fence or livestock. The A Package Proggram should be held in an area which is not covered by primary schools. Skill Program to be held in accordance with the potential of local, sustainably, without dependence on government 1
funding. PKBM expected to have the business to support the implementation of its programs. The existence PKBM organizing skills programming which have no real masterpieces needs to be reviewed. Skills competitions need to stimulate and need medium of communication for dissemination of information and experiences. Keywords:
PENDAHULUAN Latar Belakang Pendidikan
nonformal
(PNF)
pada
prinsipnya
berbasis
kebutuhan
masyarakat,
diselenggarakan oleh dan untuk masyarakat yang penyelenggaraannya bersifat fleksibel ditinjau dari tempat, waktu dan warga belajarnya.
Pendidikan nonformal bertujuan
memperluas kesempatan warga, untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental dalam mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Penyelenggaraan maupun hasil PNF menjadi sorotan dari berbagai pihak karena kenyataan yang dijumpai sering tidak sesuai dengan harapan. Menurut Hiryanto, 2009, berbagai permasalahan PNF yang mengemuka antara lain: 1) penyelenggaraannya bernuansa proyek; 2) kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah; 3) penghargaan terhadap PNF rendah; dan 4) PNF dianggap hanya pendidikan kelas dua setelah pendidikan formal. Selanjutnya, penyelenggaraan PNF yang fleksibel kadang disalahartikan sebagai “seadanya” sehingga program tidak sepenuhnya terlaksana. Jumlah serta kualitas sumberdaya, sarana dan prasarana di sebagian besar satuan pendidikan nonformal sering tidak memadai. Lebih lanjut,
Hamid M., Dirjen PNFI Kemdiknas, 2010 menyatakan adanya indikasi
lembaga PNFI yang tidak menjalankan fungsinya secara baik dan hanya berupa papan nama saja atau hanya beroperasi bila tersedia dana dari Pemerintah. Lebih lanjut, dinyatakan kegiatan pendidikan nonformal dan informal tidak abu-abu dan bukan adhoc atau kepanitiaan, bukan ecek-ecek, tapi permanen dan konkrit. Kegiatan pembelajaran seharusnya terlaksana secara penuh dan dibimbing oleh tutor yang kompeten. Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) Provinsi Jawa Tengah
tahun
2008-2013
(http://bappedajateng.info/dokumen/rpjmd_2008_2013/1-
Pendidikan.pdf), sasaran pendidikan nonformal pun umumnya memiliki karakteristik, seperti berasal dari keluarga kurang mampu, putus sekolah, anak jalanan, pengangguran, atau orang dewasa yang ingin memperoleh ijazah
sehingga perlu upaya ekstra keras untuk 2
penanganannya. Secara umum, Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) belum optimal dalam pemerataan, akses, mutu dan relevansi serta daya saing yang diperkirakan disebabkan oleh beberapa hal antara lain: 1) kurangnya apresiasi masyarakat terhadap Pendidikan Nonformal; 2) rendahnya Indek pembiayaan dalam layanan Pendidikan satuan PNF; 3) belum terpenuhinya standar sarana prasarana pada kelembagaan PNF; dan 4) Rendahnya mutu pada pendidikan nonformal. Menurut Supeno (2010), implementasi kebijakan di bidang PNFI terdapat berbagai kemungkinan penyimpangan, antara lain: 1) penanganan warga belajar yang keliru; 2) kemampuan tutor yang rendah dan/atau beban kerja terlalu berat; 3) evaluasi dan pengawasan yang kurang; 4) materi yang disiapkan terlalu teoritis, sentralistik dan tidak menarik; 5) penyelenggaraan program terlalu berorientasi bisnis; 6) manajemen penyelenggaraan kurang memadai; 7) sanksi hukum terhadap penyimpangan belum dapat diterpkan sepenuhnya karena belum didikung undang-undang secara spesifik.
Masalah Pertumbuhan area garapan dan profesi PNFI belum diikuti sepenuhnya oleh kajian dan penelitian dan pengembangan secara ilmiah. Masih sulit menemukan hasil penelitian bidang pendidikan nonformal dan pendidikan informal dari perguruan tinggi dan/atau badan penelitian yang mampu memberikan kontribusi secara signifikan bagi pengambilan kebijakan maupun praktek PNFI di Indonesia sehingga diperlukan kajian-kajian secara terus menerus dan menyeluruh (http://www.um.ac.id/agenda/2009/07/106/). Tujuan Studi ini dilakukan untuk menyiapkan bahan rumusan kebijakan dalam memberi masukan terkait dengan efektivitas penyelenggaran PNF. Khususnya mengevaluasi penyelenggaraan program Pendidikan Nonformal ditinjau dari Context, Input, Process dan Product. Kajian Pustaka Untuk mengetahui efektif tidaknya suatu program dapat dilihat dari implementasi program tersebut di lapangan. Dalam buku Social Program Implementation yang dikutip Michael Q Patton, (2006) terkait implementasi kebijakan PNFI, disebutkan bahwa “kurangnya perhatian terhadap implementasi sekarang ini merupakan tantangan berat untuk meningkatkan pelaksanaan program yang semakin kompleks, melakukan analisis kebijakan, dan percobaan di ranah kebijakan sosial”. Pengambil keputusan dapat menggunakan informasi lapangan 3
untuk meyakinkan bahwa suatu kebijakan terlaksana sesuai rencana. Dengan mempelajari informasi dari lapangan maka dapat diperoleh gambaran kondisi terkini dari suatu implementasi program, apa yang terjadi dan perkembangan program. Untuk mengetahui bagaimana implementasi program berjalan sesuai tujuan maka dilakukanlah evaluasi. Informasi yang dikumpulkan dalam evaluasi program pendidikan menurut Fernandes (1984) yaitu: a) its objective; b) its design; c) its process of implementation; and d) its outcomes. Penelitian evaluasi seharusnya fokus pada beberapa hal tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 100 ayat (2), terdapat lima satuan pendidikan nonformal yaitu Lembaga Kursus dan Pelatihan, Kelompok Belajar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Majelis Taklim, dan PAUD Jalur Nonformal, namun kajian ini fokus pada satuan pendidikan nonformal PKBM. PKBM dalam Profil Direktorat P2TK PAUDNI merupakan suatu wadah berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya (http://www.jugaguru.com/profile). Tujuan PKBM untuk memperluas kesempatan warga masyarakat, khususnya yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Dalam upaya menyamakan persepsi dan menyelaraskan penyelenggaraan PKBM, dengan ide dasar PKBM sebagai pusat kegiatan pendidikan luar sekolah, PKBM yang tumbuh dan berkembang berdasarkan kepentingan dan kemampuan masyarakat, maka perlu dikembangkan alat ukur kelayakan penyelenggaraan PKBM. PKBM berfungsi antara lain sebagai; 1) tempat kegiatan belajar bagi warga masyarakat; 2) tempat pusaran berbagai potensi yang ada dan berkembang di masyarakat; 3) sumber informasi yang handal bagi warga masyarakat yang membutuhkan keterampilan fungsional; 4) ajang tukar-menukar berbagai pengetahuan dan keterampilan fungsional di antara warga masyarakat; dan 5) tempat berkumpulnya warga masyarakat yang ingin meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya (Dit. Dikmas, Ditjen PNFI, 2004). Indikator keberhasilan dapat dilihat dari aspek penyelenggaraan dan pengelolaan pembelajaran/pelatihan, yaitu: 1) meningkatnya jumlah program dan mitra kerja; 2) adanya dukungan pendanaan yang memadai; 3) memiliki sarana dan prasarana yang memadai; 4) fungsi organisasi berjalan dengan lancer; 5) meningkatnya partisipasi masyarakat sekitar; 6) kesesuaian antara program dengan kebutuhan masyarakat sekitar; 7) proses pembelajaran 4
terlaksana dengan baik dan lancer; 8) meningkatkan pengetahuan/wawasan; 9) meningkatnya keterampilan dan kemampuan warga belajar dalam mengelola sumber daya yang ada dilingkungannya untuk kepentingan kehidupan sehari-hari; 10) meningkatnya kesadaran warga belajar dan masyarakat sekitar PKBM akan pentingnya pendidikan/keteampilan; 11) terbukanya kesempatan bagi warga belajar dalam mengelola usaha sebagai sumber mata pencarian; dan 12) meningkatnya pendapatan/kesejahteraan warga setempat. (…sebutkan sumbernya) Dalam ketentuan umum PP. No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pengelolaan adalah hal yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Secara umum aspekaspek pengelolaan PKBM dapat ditinjau dari empat fungsi manajemen (Sihombing, U. 1999), yaitu Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengawasan/Pengendalian, dan Penilaian. Penyelenggara PKBM merupakan lembaga/organisasi masyarakat yang dibentuk secara khusus untuk mewujudkan visi dan misi PKBM. Pengelola PKBM adalah orang atau sekelompok orang yang ditugaskan oleh penyelenggara PKBM serta bertanggung jawa terhadap pelaksanaan program pembelajaran/pelatihan masyarakat yang diselenggarakan oleh PKBM (Dit Dikmas, 2008). Organisasi PKBM idealnya terdiri atas unsur ketua, sekretaris/bendahara, dan penanggung jawab masing-masing kegiatan.
Namun dalam
prakteknya dapat disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan masing-masing (Dit. Dikmas, Ditjen PNFI, 2004). Pendekatan yang digunakan dalam studi ini dengan menggunakan pendekatan evaluasi program, khususnya model Context, Input, Process dan Product Evaluation (CIPP Model) yang dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam. Berikut ini pengertian dari masing-masing aspek dari pendekatan tersebut,yaitu: 1) Context Evaluation, yaitu melihat kebutuhan, permasalahan, dan kesempatan sebagai dasar penentuan tujuan dan prioritas dan mempertimbangkan signifikansi dari hasilnya (assess needs, problems, and opportunities as bases for defining goals and priorities and judging the significance of outcomes); 2) Input Evaluation, yaitu melihat berbagai pendekatan alternatif dalam rangka menemukan kebutuhan untuk perencanaan program dan mengalokasikan sumber daya (assess alternative approaches to meeting needs as a means of planning programs and allocating resources); 3) Process Evaluation, yaitu melihat implementasi dari perencanaan sebagai acuan kegiatan yang kemudian dapat digunakan untuk menjelaskan capai program (assess the 5
implementation of plans to guide activities and later to help explain outcomes); dan 4) Product Evaluation, yaitu mengidentifikasi capaian program yang diharapkan untuk melihat kesesuaian pelaksnaan proses dengan perencanaan dan juga menentukan keefektivannya (identify intended outcomes both to help keep the process on track and determine effectiveness).
METODE PENELITIAN (…tambahkan sumber acuan) Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, mengkaji tentang pengelolaan, ketercapaian dan kendala dalam mewujudkan tujuan diselenggarakannya PKBM. Penelitian ini menggunakan data kualitatif dan didukung oleh data kuantitatif agar dapat menjelaskan secara lebih mendalam. Secara garis besar data dan informasi yang dibutuhkan yaitu tentang i)
Pengelolaan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi; ii)
ketercapaian program yang diselenggarakan PKBM; iii) tujuan program; dan iv) kendalakendala masing-masing program. Populasi penelitian ini mencakup seluruh PKBM di Indonesia baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat yang pada tahun 2010 berjumlah 5754 lembaga. Penentuan sampel provinsi dilakukan secara purposif (…sumber), dengan pertimbangan memiliki jumlah PKBM yang relatif besar menurut data nomor induk kelembagaan PKBM yang dikeluarkan Direktorat Dikmas. Untuk melihat validitas instrumen, maka diadakan ujicoba instrumen di tiga provinsi, yakni Jawab Barat, Lampung dan Kalimantan Timur dengan mengunjungi tiga PKBM di masing-masing provinsi. Jumlah sampel provinsi sebanyak delapan, terdiri atas dua di dalam Jawa dan enam provinsi di luar Jawa. Sampel provinsi di Jawa yang terpilih Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Delapan provinsi di luar Jawa meliputi: 1) Lampung; 2) Bengkulu; 3) Kalimantan Timur; 4) Kalimantan Selatan; 5) Sulawesi Selatan; 6) Sulawesi Barat; 7) NTB; dan 8) Maluku Utara. Di setiap provinsi tersebut ditentukan satu kabupaten dan satu kota sebagai sampel. Kriteria pemilihan kabupaten dan kota memiliki jumlah PKBM yang relatif besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di dalam provinsi tersebut. PKBM yang menjadi sampel penelitian sebanyak enam di setiap kabupaten/kota. Adapun
kriteria
pemilihan
PKBM
di
setiap
kabupat/kota
sebagai
berikut:
i)
menyelenggarakan satu atau lebih program diantara enam program berikut yaitu Kesetaraan (Paket A,B dan C), PAUD, Keaksaraan fungsional, Taman Bacaan Masyarakat (TBM),
6
Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, dan Pendidikan kecakapan hidup; ii) tingkat kemajuan pengelolaannya menurut pendapat dinas pendidikan kabupaten/kota. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung ke pengelola, tutor, warga belajar (WB) dan orang tua WB. Selain wawancara juga dilakukan studi dokumen untuk mendapatkan informasi tambahan dari pengelola PKBM dan tutor. Instrumen pengumpulan data untuk wawancara berupa pedoman wawancara dan untuk studi dokumen berupa pedoman studi dokumen. Pedoman tersebut memuat tentang berbagai dokumen yang dibutuhkan oleh studi ini dan berpeluang diperoleh dari narasumber. Secara umum analisis dilakukan dengan membandingkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dan angket dengan SNP atau acuan lainnya yang relevan. Data kualitatif berupa hasil wawancara dianalisis dengan mengkategorikannya berdasarkan kelompok pertanyaan penelitian. Data direduksi dan dikelompokkan untuk selanjutnya dilakukan penyajian dan penarikan kesimpulan. Selain itu, untuk mempermudah pengolahan data kualitatif digunakan Program NVivo. Data yang bersifat kuantitatif yang diperoleh melalui angket dan daftar isian diolah dengan melalui tahapan: 1) pemeriksaan data; 2) pemasukan data ke program komputer; 3) kemudian diolah dan dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Data berupa dokumen dianalisis melalui studi dokumen untuk mengetahui profil PKBM dan keseluruhan programnya serta kebijakan dan informasi yang terkait dengan pengelolaan PKBM.
TEMUAN STUDI DAN PEMBAHASAN Kepemilikan PKBM terbanyak adalah milik Pribadi atau milik bersama beberapa orang dan milik yayasan masing-masing sebanyak 41,8 persen, sedangkan lainnya milik Pemerintah setempat (kelurahan) atau milik pribadi tapi pinjam nama yayasan tertentu. Penyelenggaraan kegiatan di PKBM milik pribadi umumnya di bagian rumah dari si pemilik, di rumah salah satu tutor, atau ada juga meminjam fasilitas sekolah atau kelurahan, sedangkan penyelenggaraan kegiatan PKBM milik yayasan umumnya adalah di tempat yang telah dimiliki sendiri oleh yayasan yang juga biasanya digunakan secara bergantian/bergilir untuk kegiatan lain dari yayasan. PKBM yang diselenggarakan oleh kelurahan setempat umumnya menggunakan
sarana
dan
prasarana
kelurahan,
sekolah
negeri
atau
fasilitas
perusahaan/industri kecil setempat. Ditinjau dari status akreditasi, semua PKBM sampel belum terakreditasi.
7
Jumlah program yang diselenggarakan oleh PKBM sampel sangat bervariasi, yaitu satu sampai dengan sembilan program. PKBM yang menyelenggarakan sembilan program bukan berarti menyelenggarakan semua program secara bersamaan pada saat yang sama, tetapi PKBM tersebut pernah menyelenggarakan program-program tersebut. Program yang dilaksanakan secara berkelanjutan umumnya program PAUD dan Program Kesetaraaan, khususnya Program Paket B dan Paket C. Pelaksanaan program lainnya pada umumnya tergantung pada keberadaan warga belajar dan adanya bantuan dana dari Pemerintah. Dilihat secara keseluruhan PKBM sampel, keberadaan jumlah program yang terselenggara secara berkelanjutan cenderung lebih sedikit dari jumlah program yang tertera di Nomor Induk Lembaga (NILEM). Hal ini bertentangan dengan salah satu indikator keberhasilan PKBM. Warga belajar (WB) di berbagai program yang diselenggarakan oleh PKBM terdiri atas berbagai tingkat usia sesuai dengan program yang diikuti. Usia peserta Program PAUD umumnya sudah sesuai dengan ketentuan. Pada Program Keaksaraan Fungsional masih terdapat warga belajar yang berusia 10 hingga 15 tahun. Warga belajar dalam batas usia tersebut seyogianya mengikuti pendidikan formal/wajib belajar sembilan tahun yaitu mengikuti pendidikan SD atau SMP. Adanya warga belajar pada usia Wajar Dikdas sembilan tahun disebabkan mereka tidak mau/malu mengikuti pendidikan formal karena mereka harus mencari nafkah. Peserta progam Keaksaraan Fungsional umumnya orang dewasa, yaitu lebih dari 30 tahun. Rata-rata jumlah peserta pada awal program cukup banyak (± 65 orang) yang ada di 60 PKBM. Namun jumlah peserta tersebut terindikasi cenderung menurun setelah program berjalan beberapa waktu. Bahkan kegiatan pembelajaran dikebanyakan PKBM tidak berjalan lancar dan tidak berkelanjutan utamnya bila dana bantuan sudah tidak ada lagi. Hal itu juga banyak terjadi pada program pendidikan kecakapan hidup, program pendidikan pemberdayaan perempuan, dan pendidikan kewirausahaan masyarakat. Jumlah rata-rata peserta (WB) Program Paket A adalah 24,4 orang. Keberadaan program Paket A hanya ±60 persen PKBM dan cenderung berkurang pesertanya dari tahun ke tahun karena layanan SD umumnya telah sampai hingga ke pelosok dan daerah terpencil. Peserta Paket A masih ditemukan ada yang berusia setara SD (kurang dari 12 tahun) dengan jumlah rata-rata sembilan orang di delapan PKBM, sedangkan peserta lainnya umumnya telah berusia di atas usia anak SD bahkan hingga usia 30 tahun. Usia WB pada Program Paket B umumnya antara 15 hingga 30 tahun bahkan ada yang di atas 30 tahun, namun masih terdapat WB yang berusia setara anak usia SMP, yaitu di 22 PKBM sampel (23%). Adanya peserta Paket B yang berusia setara usia anak SMP karena WB harus 8
mencari nafkah dan/atau SMP jauh dari tempat tinggal mereka sehingga tidak sanggup menyediakan ongkos. Warga belajar Program Paket C yang setara SLTA umumnya berusia 15 - 30 tahun, rata-rata jumlah warga belajar 26 peserta, sedangkan warga belajar berusia lebih dari 30 tahun ada di 52 PKBM dengan jumlah rata-rata 24 orang. Artinya warga belajar program Paket C telah memenuhi target usia dan jumlah peserta per kelompok belajar sesuai dengan ketentuan. Program keterampilan pada umumnya diikuti oleh warga masyarakat berusia 15 hingga 30 tahun dengan jumlah rata-rata 18 orang, terdapat di 21 PKBM sampel. WB yang berusia 10 hingga 15 tahun, rata-rata 15 orang, terdapat di empat PKBM, sedangkan selebihnya berusia di atas 30 tahun dengan jumlah rata-rata sembilan orang, terdapat di 12 PKBM sampel. Masyarakat pengguna jasa PKBM umumnya berasal dari kalangan keluarga yang ekonomi kurang mampu dan bekerja dibidang yang kurang memberi kesejahteraan yang memadai, seperti petani penggarap, nelayan kecil, pegawai rendahan, buruh lepas, tukang beca/ojek, pemulung, atau pekerja tidak tetap. Sebagian besar WB (selain PAUD) lebih mengutamakan mencari nafkah daripada pendidikan. Hal ini cenderung disebabkan oleh karena motivasi dan apresiasi mereka terhadap pendidikan relatif rendah. Luas lahan PKBM sangat beragam mulai dari 20 meter persegi hingga 6000 mater persegi atau rata-rata sekitar 550 meter persegi. Lahan PKBM kebanyakan merupakan bagian dari rumah pengelola atau yayasan dan sebagian kecil di gedung pemerintahan, seperti gedung sekolah negeri atau bangunan/kantor kelurahan. Luas bangunan sangat beragam mulai dari sembilan meter persegi (hanya kantor) hingga 4500 meter persegi dengan atau rata-rata 225 meter persegi. Lokasi PKBM di daerah perkotaan umumnya berada di pinggir kota, kawasan industri kecil atau di dalam kota yang penduduknya relatif padat/kumuh, sedangkan di luar kota, lokasi PKBM berada di daerah perkampungan yang relatif jauh ke sekolah formal atau di sekitar kawasan kantong-kantong industri kecil. Kondisi ini tampaknya telah sesuai dengan sasaran pendidikan nonformal. Penyelenggaraan program PKBM yang memerlukan lahan dan bangunan yang relatif luas adalah program PAUD/TK dan program kesetaraan. Walaupun lahan dan bangunan atau ruang yang tersedia di PKBM relatif kecil namun peserta program juga kebanyakan relatif sedikit sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung. Dilihat dari kondisi bangunan dan lingkungan PKBM kebanyakan PKBM yang dikunjungi masih belum sepenuhnya kondusif untuk penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, misalnya ruangan terlalu sempit, ruang kantor
9
dan ruang belajar saling tumpang tindih, ruangan kurang penerangan/ventilasi, dan sebagian kecil berada di daerah kumuh. Sarana yang dimiliki PKBM kebanyakan masih sangat minim bahkan ada yang belum memiliki jenis sarana dan prasarana tertentu. Sarana seperti OHP, VCD, Tape Recorder, dan alat peraga hanya sebagian kecil PKBM yang memilikinya dan itu pun dalam jumlah yang relatif sedikit. Prasana seperti ruang belajar teori, ruang praktik keterampilan, ruang bermain, ruang serba guna, dan kamar mandi (MCK) baru sebagian PKBM yang memilikinya dengan jumlah masing-masing hanya satu atau dua buah. Sarana yang lengkap umumnya dimiliki oleh yayasan yang sudah baik dan memiliki program yang relatif bervariasi termasuk penyelenggara pendidikan formal. Keadaan sarana-prasarana yang dimiliki oleh PKBM sampel ternyata masih banyak yang belum memadai baik ditinjau dari segi kuantitas maupun dari segi kualitasnya. Berarti saranaprasarana yang dimiliki oleh kebanyakan PKBM sampel belum sepenuhnya ideal dan kondusif untuk kegiatan pembelajaran dan peningkatan keterampilan warga belajar atau masyarakat yang memanfaatkan PKBM. Pengelola PKBM lebih banyak dikelola oleh laki-laki (63,2%). Rata-rata usia pengelola PKBM adalah 42,9 tahun dengan usia termuda 20,7 tahun dan tertua 65,3 tahun. Pekerjaan utama pengelola PKBM paling banyak secara berturut-turut adalah guru/kepala sekolah, pengelola PKBM, wiraswasta/usaha, dan PNS. Latar belakang pekerjaan pengelola PKBM cenderung dekat dengan bidang pendidikan dan mengetahui program PNF serta memanfaatkan fasilitas pendidikan formal, seperti KTSP, silabus, RPP, bahan ajar sekolah formal, khusunya oleh pengelola yang berprofesi sebagai guru formal. Pendidikan tertinggi dari pengelola maka pendidikan formal para pengelola PKBM umumnya cukup tinggi bahkan cukup banyak yang telah mencapai strata 2 (S2), namun masih ada yang tingkat pendidikannya SMP/MTS dan SMA. Pengalaman pengelola PKBM mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemdiknas bervariasi, yaitu dari tidak pernah hingga ada yang sampai lima kali. Tetapi terdapat pengelola PKBM yang belum pernah mengikuti pelatihan sebanyak 12,6 persen dan yang mengikuti hanya satu kali sebanyak 19,9 persen, dua kali sebanyak 17,9 persen, tiga kali sebanyak 15,8 persen dan 4 hingga 5 kali sebanyak 35,8 persen. Tingkat pendidikan sebagian tutor program PAUD, Keaksaraan Fungsional (KF), dan Kursus/Keterampilan masih jenjang SMP dan SMA. Hingga tahun 2011, sebagian tutor program PAUD dan Keaksaraan Fungsional dan tutor paket A, Kursus/Keterampilan dan Pembina TBM masih berpendidikan SMA/MA/sederajat. Pengelola Taman Bacaan 10
Masyarakat umumnya merupakan salah satu dari tutor atau pengelola PKBM dan tutor pada program paket kebanyakan mengajar di beberapa program paket. Ditinjau dari tingkat pendidikan tutor PAUD, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa kualifikasi pendidikan untuk program PAUD minimal DIV atau S1. Untuk tutor paket A, menurut acuan proses pelaksanaan dan pembelajaran pendidikan kesertaraan program paket A, seharus kualifikasi pendidikan tutor paket A adalah DIV/S1. Kecuali untuk daerah yang tidak memiliki sumberdaya yang sesuai, pendidikan minimal tutor kesetaraan paket A dan paket B minimal DII dan untuk paket C adalah DIII. Tingkat pendidikan sebagaian besar tutor program paket B (81,0%) dan C (86,7%) telah mencapai DIV/S1. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tutor paket B dan paket C, kualifikasi pendidikannya telah sesuai dengan acuan proses pelaksanaan dan pembelajaran pendidikan program kesetaraan. Namun, masih ada tutor paket B dan C yang berijazah SMA, karena menjadi tutor cenderung sebagai pekerjaan sambilan dan kegiatan sosial untuk mengabdi dan membantu masyarakat. Kegiatan di PKBM yang diprogramkan Kemendiknas telah dialokasikan pembiayaanya dari Pemerintah baik melalui APBN atau APBD sehingga warga belajar tidak membayar atau tidak dibebani. Namun, sebagian kecil (35,8%) PKBM sampel menyatakan memungut biaya dari orang tua/warga belajar untuk mengikuti program yang diselenggarakan PKBM. Adapun sumber utama dana operasional dari program atau kegiatan di PKBM dana pemerintah (APBN, APBD Provinsi, dan APBD Kabupaten/Kota) dan dana masyarakat, yaitu dari yayasan dan dari warga belajar/orang tua. Adapun jenis program yang dipungut biaya oleh sebagian besar PKBM penyelenggara program adalah program paket A, paket B, dan paket C, PAUD, dan Kursus. Untuk mendapatkan dana dari Pemerintah, PKBM harus mengajukan proposal kepada Pemerintah melalui Dinas pendidikan kabupaten/kota dan dinas pendidikan provinsi. Dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki peran untuk menentukan PKBM/program yang layak untuk menerima bantuan, sedangkan dinas provinsi memberikan dana langsung ke PKBM yang telah memenuhi syarat. Mekanisme penyaluran dana tersebut terindikasi tidak terlaksana secara objektif di beberapa daerah. Perencanaan dan pengorganisasian pendidikan nonformal di tingkat pusat khusus program kesetaraan sudah dialihkan ke pendidikan formal yakni Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, dan Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Hal ini cenderung menyebabkan kebingungan di tingkat dinas pendidikan 11
provinsi maupun kabupaten/kota misalnya dalam proses pengajuan permohonan dana dari dinas kabupaten/kota ke provinsi dan dinas provinsi ke Pusat. Kebingungan terjadi karena transisi dari pengajuan ke pendidikan nonformal menjadi ke pendidikan formal yang belum mapan. Di setiap PKBM terdapat beberapa program yang diselenggarakan. Masing-masing program memiliki pengelola sendiri di 74 PKBM, sedangkan di 17 PKBM, program dikelola langsung oleh pengelola PKBM. Sebagian besar PKBM yang memiliki pengelola di setiap program PKBM memiliki tujuan agar proses belajar-mengajar dapat berjalan dengan lancar dan pengelola dapat fokus pada satu kegiatan tertentu. PKBM yang tidak memiliki pengelola di setiap program karena program yang diselenggarakan oleh PKBM hanya sedikit, sehingga tidak memerlukan pengelola program cukup dijalankan oleh pengelola PKBM. Struktur organisasi dibuat oleh pengelola dilakukan oleh 61 PKBM, sebanyak 14 PKBM struktur organisasi dibuat dalam rapat pengurus, 3 PKBM dibuat oleh ketua yayasan, lainnya yang membuat struktur organisasi ketua PKBM dan Sekretaris. Tugas pokok dan fungsi dalam struktur organisasi jelas ada di 48 PKBM, namun diakui pula oleh 3 PKBM tugas pokok dan fungsi kurang jelas. Ada PKBM yang memiliki struktur organisasi yang lengkap namun ketika pelaksanaannya disesuaikan dengan kebutuhan sehingga tidak semua organ dalam struktur beroperasi. Ada pula PKBM yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang jelas, namun tidak tertulis. Sebagian besar, PKBM masih mengharapkan dana dari Pemerintah untuk menggerakkan program yang sudah direncanakan, seperti program Paket A, Paket B dan Paket C. Namun, jika dana dari pemerintah tidak ada maka program yang sudah direncanakan oleh PKBM pun menjadi macet. Ketergantungan bergerak tidaknya suatu program dalam PKBM terhadap dana dari Pemerintah sangat besar, sehingga membuat program yang sudah direncanakan oleh PKBM tidak bisa efektif bila dana dari Pemerintah tidak mengalir. Pengawasan program di PKBM umumnya dilakukan oleh penilik PLS, dinas pendidikan kabupaten/kota, dan dari dinas provinsi, serta terkadang dari pihak lainnya, seperti UPT kecamatan, Pusat, atau internal PKBM (ketua yayasan, pengelola).
Waktu pelaksanaan
pengawasan oleh berbagai pihak tersebut berbeda-beda antara satu dengan lainnya , antara lain pada saat program berlangsung dan pada saat diadakan ujian akhir dan ada juga pada awal kegiatan (saat pembukaan program, di tengah pelaksanaan, dan akhir kegiatan). Sebagian kecil (30,3%) PKBM menyatakan
didatangi pihak terkait dalam rangka
pengawasan paling tidak dua kali dalam setahun, tiga kali setahun (16,7%), namun ada pula yang tidak terjadwal pelaksanaan pengawasannya, bahkan ada PKBM yang mengaku belum 12
pernah kedatangan pengawas. Pada umumnya (91,8%) pengelola menyatakan bahwa hasil dari pengawasan diberitahukan kepada PKBM, dan (95,3%) pengelola menyatakan hasil tersebut ditindak-lanjuti untuk diperbaiki. Proses pembelajaran menurut penjelasan pengelola dan tutor bervariasi antar PKBM tergantung pada program yang dilaksanakan dan berlangsung sesuai dengan kalender akademik yang telah ditetapkan pengelola, khususnya bagi sasaran atau WB yang bekerja. WB yang bekerja adalah mereka yang mengikuti program keaksaraan fungsional, Paket kesetaraan, dan program kursus dan pelatihan. Proses pembelajaran disesuaikan dengan kondisi warga belajar dan tutor. Pelaksanaan proses pembelajaran dilakukan pada sore hari, yaitu sekitar pukul 15.00 hingga pukul 18.00 menurut sebagian pengelola (48,6%) dan warga belajar (51,7%). Namun, ada juga yang menyatakan proses pembelajaran dilaksanakan pagi hari yaitu dimulai sekitar pk 7.30 atau pk 8.00, menurut pengelola (36,3%) dan warga belajar (23,2%), bahkan ada juga WB (17,2%) menyatakan proses pembelajaran dilaksanakan pada malam hari, serta 3,4 persen warga belajar menyatakan dilaksanakan pada sore sampai malam hari. Beberapa program keterampilan hidup dan kursus yang dimiliki PKBM menurut ngelola dan tutor antra lain menjahit, menyulam, pertukangan kayu (membuat kursi, meja. Dalam proses pembelajaran dan pelatihan keterampilan di PKBM, menurut warga belajar (76,5%) menyatakan tidak ada iuran, dengan demikian berarti mereka tidak dipungut biaya, namun 21,7% warga belajar menyatakan mereka ada iuran, besarnya iuran per bulan rata-rata 30.365, minimum 5.000 dan maksikum 250.000. Menurut warga belajar manfaat mengikuti program di PKBM, bagi orang tua warga belajar (orang tua KB atau TK) menyatakan anaknya bisa menyanyi, jadi pintar, melatih anak mandiri, anak bisa senam, anak dapat berinteraksi, anak jadi banyak belajar, anak tumbuh aktif dan kreatif, bisa mengaji, banyak teman, tahu perkembangan anak, tahu tingkah anak, dan anak jadi mampu beradaptasi. Program kesetaraan diselenggarakan di 54 PKBM sampel ditemukan rata-rata jumlah warga belajar program kesetaraan tingkat I sebanyak 35 orang, tingkat II adalah 40 dan tingkat III adalah 38. Rata-rata jumlah yang tamat untuk program kesetaraan adalah 35 orang. Nilai terendah yang diperoleh oleh warga belajar kesetaraan adalah 22,50 dan nilai tertinggi adalah 89. Nilai rata-rata yang diperoleh pada program kesetaraan mencapai 68. Terdapat 39 PKBM yang menyelenggarakan program PAUD. Rata-rata jumlah warga belajar PAUD sebanyak 38 anak, diantara 38 anak yang menamatkan program PAUD sebanyak 36
13
anak. Nilai terendah yang diperoleh di program PAUD yaitu 60 dan nilai tertinggi 80. Nilai rata-rata yang diperoleh 70,25. Rata-rata jumlah warga belajar Program Keaksaraan tingkat I sebanyak 34 orang, tingkat II sebanyak 33 dan tingkat III sebanyak 35. Rata-rata jumlah yang tamat untuk program keaksaraan 33 orang. Nilai terendah yang diperoleh oleh warga belajar keaksaraan 6,35 dan nilai tertinggi 80. Nilai rata-rata yang diperoleh pada program keaksaraan 48,6. Rata-rata jumlah warga belajar program keterampilan sebanyak 31 orang, tingkat II adalah 28 dan tingkat III adalah 24. Rata-rata jumlah yang tamat untuk program keterampilan adalah 24 orang. Nilai terendah yang diperoleh oleh warga belajar keterampilan adalah 70 dan nilai tertinggi adalah 80. Nilai rata-rata yang diperoleh pada program keterampilan 76,3. Rata-rata jumlah warga belajar program kecakapan hidup 23 orang, tingkat II adalah 23 dan tingkat III adalah 27. Rata-rata jumlah yang tamat untuk program kecakapan hidup adalah 27 orang. Nilai terendah yang diperoleh oleh warga belajar keterampilan 75 dan nilai tertinggi 85. Nilai rata-rata yang diperoleh pada program kecakapan hidup adalah 78,6. Warga belajar di 60 PKBM memiliki karya nyata seperti hasil keterampilan, sedangkan di 24 PKBM tidak memiliki karya nyata. Berbagai produk yang dihasilkan oleh program kesetaraan yaitu dibagi menjadi makanan seperti aneka kue dan keripik, kerajinan seperti anyaman dan tenun, menjahit, batako, pagar besi dan peternakan. Dalam menyelenggarakan program di PKBM, pengelola menghadapi berbagai hambatan. Adapun hambatan utama yang disampaikan antara lain: 1) Kehadiran WB mengikuti kegiatan/program yang diikuti sangat minim/tidak menentu (WB belum bisa 100% dihadirkan); 2) Keterbatasan gedung, meubiler, alat keterampilan, dan alat kesenian; 3) WB Program KF tidak mampu membaca, kurang sarana dan prasarana yang dimiliki; 4) Kurang SDM, pengelola, pendidik, dan dukungan masyarakat; 5) Kekurang Personil yang kompeten dan sulit menesuaikan jadwal; 6) Penyamaan pola pikir dengan masyarakat, letak dan kondisi geografis, budaya, struktur sosial masyarakat karena banyak WB yang pendatang; dan 7) Keaktifan WB dalam mengikuti pembelajaran
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pada hasil studi dan pembahasan disimpulkan bahwa: 1) Konteks penyelenggaraan PKBM secara umum ada yang sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan adapula yang belum. Program yang sesudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat adalah 14
program Paket B, Paket C, dan KF. Program yang belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu program Paket A dan keterampilan karena program Paket A pesertanya cenderung berkurang dari tahun ke tahun. Untuk program keterampilan, permintaan program tersebut cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun PKBM tidak bisa memenuhinya . Hal itu cenderung disebabkan program tersebut sangat tergantung pada dana yang diberikan oleh pemerintah dan ketersediaan nara sumber berkemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh semua orang; 2) Input mencakup pengelola, pendidikan tutor, sarana dan prasarana, dan dana, dimana: a) Pengelola sebagian besar memiliki latar belakang pekerjaan bidang pendidikan dan memahami program PNF. Pendidikan formal pengelola umumnya sarjana bahkan cukup banyak yang telah mencapai Strata 2, namun masih ada yang tingkat pendidikannya SMP/MTS dan SMA; b) Data memperlihatkan masih ada tutor yang berpendidikan SMP dan SMA, yaitu pada program PAUD, KF, dan Kursus/Keterampilan. Hal ini diperkirakan disebabkan program-program tersebut lebih menekankan pada penguasaan keterampilan khusus yang tidak selalu diperoleh melalui pendidikan formal. Sebagian tutor program PAUD, KF, program paket A, Kursus/Keterampilan, dan Pembina TBM masih berpendidikan SMA/MA/sederajat. Pembina TBM umumnya salah satu dari tutor atau pengelola PKBM. Tutor program pendidikan kesetaraan sebagian besar guru yang biasanya mengajar di beberapa program paket; c) Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PKBM sampel masih banyak yang belum memadai baik ditinjau dari segi kuantitas maupun kualitas. Berarti sarana dan prasarana tersebit belum sepenuhnya ideal dan kondusif untuk kegiatan pembelajaran dan peningkatan keterampilan WB atau masyarakat yang memanfaatkan PKBM; dan d) Keberlangsungan penyelenggaraan program di PKBM cenderung tergantung pada bantuan pemerintah, kecuali program yang pembiayaannya dipungut langsung dari warga belajar. Dalam kaitannya dengan penentuan PKBM penerima dana bantuan dari pemerintah, ada kecenderungan terjadi keberpihakan baik di tingkat Dinas Pendidikan Provinsi maupun di tingkat Kabupaten; 3) Proses meliputi pengelolaan dan proses belajar mengajar teori serta praktek. Komponen pengelolaan terdiri atas perencanaan dan pengorganisasian, pelaksanaan serta pengawasan, dimana: a) Salah satu langkah penting dalam perencanaan yaitu seleksi calon WB. Cara menyeleksi WB sebagai berikut: (1) tes secara tertulis dan wawancara; (2) teleksi batas usia 45 tahun (program KF); (3) seleksi ijazah (Paket B dan C); (4) seleksi melalui pengelompokan usia; (5) mengisi formulir disertai surat pernyataan dari RT/RW dan/atau lurah; dan (6) melihat potensi dan bakat yang dimiliki; b) Masing-masing program di 74 PKBM memiliki pengelola sendiri. Sebanyak 17 PKBM, program-programnya dikelola langsung oleh pengelola PKBM. Alasan keberadaan pengelola 15
di setiap program di sebagian besar PKBM adalah agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar dan pengelola dapat fokus pada satu program tertentu yang menjadi tanggung jawabnya. Sedangkan PKBM yang tidak memiliki pengelola di setiap program disebabkan program yang diselenggarakan hanya sedikit, sehingga tidak memerlukan pengelola program,
cukup dijalankan oleh pengelola PKBM; c) Pihak PKBM merasa
kesulitan dalam mengatur jadwal dinyatakan oleh 25 PKBM dan 66 PKBM selebihnya tidak merasa kesulitan. Alasan PKBM kesulitan mengatur jadwal antara lain: (1) tutor memiliki agenda rutin yang berbenturan dengan kegiatan PKBM, (2) waktu pelayanan fleksibel, (3) ketersediaan fasiltias yang terbatas, dan (4) harus menyesuaikan dengan waktu luang WB; d) Pengawasan dilakukan pada awal kegiatan (saat pembukaan program, di tengah pelaksanaan, dan akhir kegiatan), ujian akhir, dan pada saat evaluasi program. Pengawasan minimal dilakukan 2 kali dalam setahun, namun ada pula yang tidak terjadwal pelaksanaan pengawasannya, bahkan ada PKBM yang belum pernah diawasi; e) Dalam pelaksanaan proses pembelajaran, tutor kadang-kadang menggunakan bahasa daerah yang mudah dimengerti bagi warga belajar, khususnya pada program keaksaraan dan program kesetaraan. Penggunaan KTSP dalam pembelajaran di PKBM, persentase tertinggi, sebanyak
62,5
persen menyatakan menggunakan KTSP, 35,5 persen tidak menggunakan KTSP, dan sebanyak 2 persen menyatakan tidak tahu. Tutor/pendidik yang tidak menggunakan KTSP, hanya menggunakan pedoman sebagai acuannya; f) Kepemilikan silabus untuk setiap jenis program yang diselenggarakan di PKBM, sebanyak 303 orang (67,8%) menyatakan memiliki silabus, 137 orang (30,6%) tidak memiliki, dan 7 orang (1,6%) menyatakan tidak tahu; dan g) Program-program keterampilan di beberapa PKBM masih belum sepenuhnya terlaksana, dan berjalan temporer yaitu jika ada bantuan, baik dalam bentuk dana maupun sarana. Bantuan sarana yang ada di PKBM belum dapat difungsikan atau dimanfaatkan secara optimal; 4) Produk, mencakup: a) Indikator produk meliputi angka kelulusan dan nilai rata-rata ujian pada program berturut-turut sebagai berikut: (1) Angka kelulusan: Program kesetaraan 92%, Program PAUD 95%, Program KF 94%, Program Keterampilan 100%, Program Kecakapan Hidup 100%; (2) Nilai rata-rata ujian: Program kesetaraan 68,0 , Program PAUD 70,25, Program KF 48,6, Program Keterampilan 76,3, Program Kecakapan Hidup 76,2; b) Warga belajar di 60 PKBM memiliki karya nyata seperti hasil keterampilan, sedangkan di 24 PKBM tidak memiliki karya nyata. Berbagai produk yang dihasilkan oleh program kesetaraan adalah dibagi menjadi makanan seperti aneka kue dan keripik, kerajinan seperti anyaman dan tenun, menjahit, batako, pagar besi dan peternakan.
16
Saran (….sebaiknya dikelompokkan sesuai konteks, input, proses, dan produk) Berdasarkan simpulan maka disarankan agar: a) Program paket A sebaiknya diselenggarakan dalam konteks untuk WB usia sekolah yang berada di daerah yang tidak terjangkau oleh Sekolah Dasar. Program keterampilan di PKBM agar diselenggarakan sesuai dengan potensi lokal daerah dan berkesinambungan sehingga dapat memberikan nilai tambah. Agar program keterampilan dapat diselenggarakan secara berkesinambungan dan tidak tergantung kepada dana pemerintah, PKBM diharapkan memiliki bidang usaha yang dapat menunjang penyelenggaraan program tersebut. Selain itu diperlukan pula pendataan tentang peta potensi daerah yang dapat dikembangkan; b) Perlunya peningkatan frekuensi pelatihan dengan materi yang sesuai dengan keunikan program PNF yang diselenggarakan untuk pengelola; c) Dalam upaya meningkatkan pendidikan tutor, disarankan agar salah satu syarat guru mengajukan sertifikasi adalah wajib mengajar di program paket A, paket B dan paket C; d) Upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana antara lain adalah dengan memanfaatkan sarana prasarana milik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. PKBM tidak harus memiliki sendiri sarana dan prasarana secara lengkap yang lebih penting adalah dapat memanfaatkan fasilitas yang tersedia di sekitar PKBM dengan menggalang kerjasama antar berbagai pihak yang relevan, seperti kelurahan, sekolah negeri, yayasan, perusahaan, dan individu/masyarakat yang peduli pendidikan; e) Untuk PKBM yang memiliki banyak program, sebaiknya setiap program memiliki pengelola sendiri. Sebaliknya, PKBM yang hanya memiliki sedikit program, pengelola PKBM merangkap sebagai pengelola program; f) Selayaknya penyusunan jadwal dilakukan bersama-sama antara pengelola, tutor dan WB. Agar WB memiliki komitmen atau tanggung jawab dalam mengikuti proses pembelajaran, perlu dibuat “kontrak belajar”. Untuk meningkatkan komitmen tutor perlu dukungan insentif, antara lain dari pemda setempat; g) Fungsi pengawasan terhadap penentuan penerima dana bantuan program di PKBM seharusnya ditingkatkan agar sesuai dengan mekanisme yang sudah ditetapkan sehingga tidak terjadi subjektivitas/keberpihakan; h) Penilik perlu meningkatkan peran dan kemampuannya dalam mengarahkan perencanaan dan pelaksanaan program-program yang diselenggarakan di PKBM, termasuk peningkatan pengembangan KTSP, silabus, dan RPP; Dinas pendidikan, dalam hal ini penilik dan berbagai pihak yang relevan perlu memfasilitasi PKBM agar dapat memperoleh bantuan antara lain dari dunia usaha/dunia industri. Bantuan tersebut antara lain dalam bentuk pemberian modal kerja, pemasaran hasil, ataupun bantuan teknis; i) Nilai yang dicapai oleh warga belajar progam KF perlu ditingkatkan dengan menggunakan metode mengajar yang lebih menarik sesuai dengan usia, misalnya membuat program kunjungan 17
lapangan ke tempat usaha terdekat yang berhasil atau PKBM yang lebih baik. Mengadakan lomba-lomba keterampilan yang lebih intensif; j) PKBM yang memiliki program keterampilan namun tidak memiliki karya nyata, maka perlu ditinjau kembali dengan mengevaluasi dan memonitor secara berkala setiap program yang diberikan oleh pemerintah; dan k) Agar WB program keterampilan termotivasi untuk belajar dan meningkatkan kualitas produknya maka perlu diadakan lomba hasil keterampilan secara berjenjang mulai dari tingkat kecamatan sampai dengan tingkat nasional. Untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta memperlihatkan hasil karya keterampilan perlu ada media komunikasi misalnya bulletin di tingkat kabupaten/kota.
PUSTAKA ACUAN Dit. Dikmas. 2004. Direktori PKBM 2004: Menuju Masyarakat yang Cerdas, Terampil, dan Mandiri. Jakarta: Dit. Dikmas. Dit. Dikmas. 2003. Pedoman Pengelolaan dan Pembinaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat. Jakarta: Dit. Dikmas. Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. Ditjen PNFI. 2010. Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pos PAUD. Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. Direktorat Pendidikan Masyarakat. Ditjen PNFI. 2010. Acuan Penyelenggaraan dan Pembelajaran Pendidikan Keaksaraan Dasar. Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal, 2010. Petunjuk Teknis Bantuan Sosial Pendidikan Kesetaraan Program Paket A dan B. Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. Ditjen PAUDNI. 2011. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program dan Dana Bantuan Sosial Pendidikan Kecakapan Hidup Melalui Lembaga Pendidikan (PKH-LPd). Jakarta: Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan. Direktorat Pendidikan Masyarakat. Ditjen PNFI, 2006. Pedoman Pengelolaan Taman Bacaan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat. Fernandes, H.J.X. 1984. Evaluation of Educational Programs.Jakarta: National Education Planning, Evaluation and Curriculum Development. Hamid
Muhammad, Dirjen PNFI Kemendiknas, 2010. http://www.paudni.kemdiknas.go.id/news/20100406115647/Kemdiknas-TertibkanPendidikan-Nonformal-Dan-Informal-%60Abu-Abu%60.html
Hiryanto, 2009. Meningkatkan Efektivitas Pendidikan Nonformal dalam Pengembangan Kualitas Manusia (http://staff.uny.ac.id/sites/default /files/tmp/artikel-ppm-peningkatan-kualitas-manusia-melalui-pnf.pdf) Patton MQ .2006. “ Metode Evaluasi Kualitatif”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
18
PP. No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Supeno, 2010. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah: Isu Kritis Seputar Pendidikan Nonformal di edit oleh Emzir dan Sam M. Chan. Ciawi-Bogor: Ghalia Pustaka. Stufflebeam, D.L. Evaluation in Education and Human Services, 2002, Volume 49, III, 279317, DOI: 10.1007/0-306-47559-6_16 Seminar dan Lokakarya Nasional PNFI 2009 Tgl. 21 - 23 Juli 2009. Kerjasama Ditjen PNFI dan Universitas Negeri Malang (http://www.um.ac.id/agenda/2009/07/106/), diakses tanggal 15 Desember 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-D) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2013 (http://bappedajateng.info/dokumen/rpjmd_2008_2013/1-Pendidikan.pdf), diakses tanggal 15 Desember 2011. (http://www.jugaguru.com/profile).
19