EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PELAYANAAN PERIZINAN LOKASI DI KABUPATEN MERAUKE. THE EFFECTIVENESS OF IMPLEMENTATION OF LICENSING SERVICE IN MEMUKE REGENCY
1
Ismanto, 2Muhadar, 3Muhammad Yunus
1
Mahasiswa PPW Universitas Hasanuddin Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin 3 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 2
Alamat Korespondensi : Ismanto Sekretariat Distrik Ngguti Kabupaten Merauke HP. 081248623001
ABSTRAK
Penyelenggaraan Pelayanaan Perizinan Lokasi dalam Pemanfaatan Tata Ruang di Kabupaten Merauke. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis dan menjelaskan efektivitas penyelenggaraan pelayanan perizinan dan (2) mengembangkan strategi mengefektifkan penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kabupaten Merauke. Tipe penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, kuesioner, wawancara (in depth interview), dan dokumentasi. Teknik analisis data adalah kualitatif dengan analisis SWOT.Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan pelayanan perizinan belum efektif di Kabupaten Merauke, terutama dalam hal paradigma, kebijakan, kelembagaan, mekanisme, koordinasi dan kerjasama, keterjangkauan tarif, produktivitas, transparansi, akuntabilitas, pengawasan, dan evaluasi. Strategi mengefektifkan penyelenggaraan pelayanan perizinan terutama adalah : internalisasi nilai-nilai kebijakan perizinan ke dalam pengembangan wilayah, penegakan aturan hukum dan sanksi terkait penyelenggaraan pelayanan perizinan dan perencanaan pengembangan wilayah, pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP). Efektivitas
Kata kunci: efektivitas, pelayanan, perijinan.
ABSTRACT
The Effectiveness of Implementation of Licensing Service in Memuke Regency The aims of the research are to (1) analyze and explain the effectiveness of implementation of licensing service, (2) develop the strategy of the effectiveness of implementation of licensing service in Merauke Regency. The research was a descriptive qualitative study. The methods of obtaining the data were observation, questionnaire, in-depth interview, and documentation. The data were analyzed qualitatively by using SWOT analysis. The results of the research reveal that the implementation of licensing service in Merauke Regency is not effective, especially in terms of paradigm, policy, institutional, mechanism, coordination, and cooperation, ability to pay tariff, productivity, transparency, accountability, controlling, and evaluation. The strategies of the effectiveness of licensing service are values internalization of licensing policy into area development, law enforcement, sanction related to the implementation of licensing service, the planning of area development, and the establishment of One Door Integrated Licensing Service Office.
Key words: effectiveness, service, licensing
PENDAHULUAN Suatu
wilayah
yang
direncanakan
pengembangannya,
bilamana
tanpa
penyelenggaraan pelayanan perizinan yang baik, maka berbagai potensi sumber daya yang ada pada wilayah tersebut dapat mengalami gangguan dan kerusakan yang serius, kelestarian lingkungan dan sumber daya alam (SDA) terancam dan terganggu keseimbangannya, potensi lahannya dapat mengalami degradasi, flora dan fauna-nya dapat mengalami kepunahan, polusi dan pencemaran menjadi tak terkendalikan. Singkatnya, akan timbul persoalan baru yang harus dibayar mahal dan butuh proses waktu yang sangat panjang untuk pemulihannya. Menyelenggarakan pelayanan perizinan secara efektif, akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi ketertiban pemanfaatan tata ruang, tertib perilaku dan tindakan, tegaknya nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial, lingkungan, hukum, kelancaran pelayanan administrasi, akuntabilitas publik, kesejahteraan masyarakat, serta kemajuan bangsa dan negara dalam pembangunhan kewilayahannya. Berbagai kebijakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan diberlakukan oleh pemerintah untuk mengatur penyelenggaraan pelayanan perizinan seperti Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalaian Perizinan di Bidang Usaha, dan memperkuat Inpres Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2010 tentang Pengembangan Usaha Budidaya Tanaman Skala Luas, masih terkesan memberi posisi yang kuat bagi para birokrat atau pejabat untuk menjadi king subject, bukan sebagai pelayan. Sebaliknya, masyarakat cenderung diposisikan sebagai obyek atau pelayan, bukan sebagai king subject. Penempatan kegiatan usaha pada lokasi tertentu yang telah disetujui dan ditetapkan sebagai tempat usaha, seringkali tidak memberikan jaminan dan kepastian berusaha. Pemilik izin usaha tidak jarang harus menghadapi risiko gangguan atas kegiatan dan kelangsungan usahanya dari masyarakat sekitarnya.
Dari aspek interaksinya secara langsung dengan
masyarakat dan pemanfaatan ruang, maka peran pemerintah Daerah sebagai penyedia pelayanan dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan sangat besar. Kepentingan Pemerintah Daerah (Pemda) terhadap pelayanan perizinan mempengaruhi pendapatan dan iklim investasi Daerah. Kabupaten Merauke yang memiliki potensi wilayah yang luas, pada dasarnya telah menyelenggarakan pelayanan perizinan, namun dalam perkembangannya, pelayanan perizinan yang diselenggarakan, seolah tidak pernah berhenti diperhadapkan pada berbagai
tantangan dan permasalahan.Menyadari kenyataan tersebut, Pemerintah Kabupaten Merauke tidak pernah berhenti berupaya memenuhi berbagai tuntutan pelayanan perizinan yang mencakup berbagai aspek kegiatan dalam berbagai dimensi kehidupan. Pelayanan perizinan di Kabupaten Merauke masih dilaksanakan oleh Instansi Teknis dan belum diselenggarakan dalam pola terpadu, hal ini mengakibatkan tidak efektifnya penerbitan izin Lokasi yang sering kali tidak sesuai dengan pemanfaatan tata ruang. Dalam mengantisipasi tantangan ke depan itulah, maka penelitian Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Lokasi dalam Pemanfaatan Tata Ruang di Kabupaten Merauke disusun dan dilaksanakan. Hal ini didorong oleh kesadaran intelektual bahwa hanya dengan pendekatan yang tepat dalam suatu perencanaan kebijakan yang terpadu dan komprehensif maka efektifitas penyelenggaraan pelayanan Perizinan lokasi dalam pemanfaatan tata ruang dapat terwujud sesuai yang diharapkan. Rumusan masalah
dirumusan sebagai berikut
(1) Bagaimana gambaran
penyelenggaraan pelayanan perizinan lokasi dalam pemanfaatan tata ruang di Kabupaten Merauke; (2) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi efektivitas penyelenggaraan pelayanan Perizinan lokasi dalam pemanfaatan tata ruang di Kabupaten Merauke; (3) Bagaimana arahan manajemen perencanaan untuk mengefektifkan penyelenggaraan pelayanan perizinan lokasi dalam pemanfaatan tata ruang di Kabupaten Merauke.
METODE PENELITIAN Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan model Interpretif yang merupakan bagian dari pendekatan fenomenologis yang berupaya mencari “makna” bukan mencari hukum, berupaya memahami bukan mencari teori dari fenomena.
Dengan
pendekatan Interpretif ini peneliti ingin mencari makna dari apa yang disampaikan informan dan berupaya memahami interaksi yang terjadi pada kinerja pelayanan Perizinan Lokasi pada instansi terkait di Kabupaten Merauke melalui pernyataan informan dan bahan-bahan yang ada. Pemilihan rancangan penelitian deskriptif kualitatif ini dimaksudkan agar peneliti dalam melakukan pendekatan terhadap obyek penelitian akan dilakukan secara wajar. Dalam artian menggali informasi sesuai dengan persepsi peneliti dan informan, dan proses penggalian informasi ini dapat berkembang sesuai dengan interaksi yang terjadi dalam proses wawancara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode kualitatif. Adapun alasan peneliti menggunakan metode tersebut adalah agar dapat
mengumpulkan sebanyak mungkin informasi mengenai fakta-fakta mengenai pelayan Perizinan Lokasi dalam Pemanfaatan Tata Ruang di Kabupaten Merauke. HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Lokasi Ruang di Kabupaten Merauke.
dalam Pemanfaatan Tata
(Gie, 1987) mendefinisikan efektifitas yaitu suatu keadaan yang mengandung pengertian terjadinya efek atau akibat yang dikehendakinya; sesuatu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau mempunyai maksud sebagaimana dikehendakinya. Jika dalam pekerjaan atau usaha tercapainya sasaran sesuai yang telah direncanakan sebelumnya, namun jika pekerjaan yang dilakukan tidak cocok atau tidak tercapai sesuai yang direncanakan maka hal itu tidak efektif. Dari pengertian itu jelaslah bahwa efektifnya sesuatu terletak pada pencapaian tujuan atau sasaran tanpa membandingkan faktor-faktor yang mempengaruhi suatu pekerjaan dalam pencapaian tujuan yang diinginkan. Dalam pencapaian tujuan yang efektif belum tentu dikatakan pencapaian tujuan yang efisien, oleh karena efisien merupakan hasil perbandingan terbaik antara input dan outputnya, namun jika pencapaian tujuan yang efisien maka dengan sendirinya juga adalah efektif. The Liang Gie menyatakan bahwa setiap pekerjaan yang efisien tentu berarti juga efektif, dari segi hasil, tujuan atau bagaimana akibat yang dikehendaki dengan perbuatan itu telah tercapai bahkan secara maksimal (mutu atau jumlah). Setiap pekerjaan yang efektif belum tentu selalu efisien, karena hasil dapat tercapai tapi mungkin dengan penghamburan pikiran, tenaga, waktu atau benda. Dari pengertian di atas, dapat ditarik suatu makna bahwa efektifnya suatu organisasi pemerintahan bukan saja diukur dari keuntungan yang diperolehnya tetapi juga dari jumlah pengeluaran atau outputnya yang makin lama menurun, dalam arti bahwa pengeluaran yang dimaksud adalah yang berupa input dana, pikiran dan tenaga yang dipergunakan makin lama makin menurun tetapi hasil yang dicapai meningkat atau minimal sama dengan sebelum turunnya input yang digunakan. Upaya mengevaluasi jalannya suatu organisasi, dapat dilakukan melalui konsep efektivitas. Konsep ini adalah salah satu faktor untuk menentukan apakah perlu dilakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk, atau manajemen organisasi. Dalam hal ini efektivitas merupakan pencapaian tujuan organisasi melalui pemanfaatan sumber daya yang dimiliki secara efisien, ditinjau dari sisi masukan (input) maupun keluaran (output). Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan sumber daya meliputi ketersediaan personil, sarana dan metode serta model yang digunakan. Suatu kegiatan dikatakan efisien apabila dikerjakan
dengan benar dan sesuai dengan prosedur, sedangkan efektif bila kegiatan tersebut dilaksanakan dengan benar dan dapat memberikan hasil yang bermanfaat. (Indrawijaya, 1989) menyatakan bahwa efektivitas organisasi sama dengan prestasi yang dicapai oleh total personil yang ada dalam suatu lembaga/organisasi. Efektivitas organisasi dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha mencapai tujuan atau sasaran. Sedangkan menurut( Etzioni ,1985), efisiensi organisasi berkaitan dengan sumber daya per satuan output. Berdasarkan pendapat tersebut tergambar bahwa efektivitas ditentukan oleh adanya sumber daya dalam hal ini personil pelaksana kegiatan. Menurut (Lubis, 1987) , ada 4 pendekatan dalam mengukur efektivitas organisasi, yaitu : 1). pendekatan sasaran (goals approach), dimana pusat perhatian pada output mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana, 2) Pendekatan sumber (resource approach) yakni mengukur efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun non fisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.; 3) Pendekatan proses (process approach) adalah untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi; 4) Pendekatan integratif (Integrative approach) yakni suatu pendekatan gabungan yang mencakup input, proses dan output. Dalam upaya merubah orientasi pelayanan kepada kepuasan masyarakat (customer satisfaction) dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka Kontrak Pelayanan (KP) yang dilembagakan adalah salah satu upaya yang bisa dikembangkan guna menumbuhkan budaya dan orientasi pelayanan serta lebih menjamin kepastian dalam penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat (Kusumari, 2005). KP adalah suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan sebagai pusat perhatian. Artinya, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Untuk mencapai maksud tersebut, kontrak pelayanan mendorong penyedia layanan bersama-sama dengan pengguna layanan dan pihak-pihak yang berkepentingan menyepakati jenis, prosedur, waktu, biaya, serta cara pelayanan. Kesepakatan tersebut harus mempertimbangkan keseimbangan hak dan kewajiban antara penyedia layanan, pengguna layanan, serta stakeholders. Kesepakatan inilah yang nantinya menjadi dasar praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Pada dasarnya pelayanan dapat diukur, oleh karena itu, standar dapat ditetapkan, baik dalam waktu yang diperlukan, maupun hasilnya. Dengan adanya standar ukuran, maka
manajemen dapat merencanakan, melaksanakan, mengawasi, dan mengevaluasi kegiatan pelayanan. Kelancaran pelayanan hak, tergantung pada: kesadaran para petugas terhadap kewajiban yang dibebankan antara lain: sistem, prosedur dan metode yang memadai, pengorganisasian tugas pelayanan yang tuntas, pendapatan pegawai yang cukup untuk kebutuhan hidup minimal. kemampuan atau keterampilan pegawai dan sarana kerja yang memadai. (Gaspersz,1997) menjelaskan bahwa, pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok yaitu kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Organisasi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, selalu berfokus kepada pencapaian layanan, sehingga pelayanan yang diberikan diharapkan dapat memenuhi keinginan pelanggan. Menerapkan prinsip menyiapkan kualitas pelayanan sebaik mungkin, perlu dilakukan untuk dapat menghasilkan kinerja secara optimal, sehingga kualitas pelayanan dapat meningkat, di mana yang penting untuk dilakukan adalah kemampuan membentuk layanan yang dijanjikan secara tepat dan memiliki rasa tanggungjawab terhadap mutu pelayanan serta perhatian pada pelanggan. Disamping untuk mewujudkan kualitas pelayanan yang didasarkan pada sistem kualitas memiliki cara atau karakteristik tertentu, antara lain dicirikan oleh adanya partisipasi aktif yang dipimpin oleh manajemen puncak dalam proses peningkatan kualitas. Pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat /daerah, BUMN / BUMD, dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kep. MenPan No. 81/93). Pelayanan umum menurut Keputusan Menpan Nomor 81 Tahun 1993 adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Atmosudirdjo,1982) mengemukakan bahwa Perizinan merupakan perbuatan hukum yang bersifat administrasi negara yang diberikan oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang dan diberikan dalam bentuk suatu penetapan (beschikking). Suatu izin atau persetujuan atas sesuatu yang pada umumnya dilarang. Perizinan yang dimaksud tersebut
merupakan penetapan atau keputusan yang bersifat positif (pengabulan daripada permohonan seluruhnya atau sebagian) dan tergolong pada penetapan positif yang memberikan keuntungan kepada suatu instansi, badan, perusahaan, atau perseorangan. Perizinan ini timbul dari strategi dan teknik yang dipergunakan oleh pemerintah untuk menguasai atau mengendalikan berbagai keadaan, yakni dengan melarang tanpa izin tertulis untuk melakukan kegiatankegiatan apapun yang hendak diatur atau dikendalikan oleh pemerintah. Perencanaan merupakan salah satu unsur dalam perumusan/formulasi kebijakan, dimana pada tahap ini dilakukan
proses
pemilihan
alternative
kebijakan oleh
pembuat
kebijakan
yang
mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dihasilkan dari pilihan alternative utama tersebut. (Alexander, 1986) menyatakan bahwa perencanaan sebagai suatu kegiatan masyarakat dan organisasi untuk mengembangkan strategi yang optimal terkait tindakan masa depan untuk mencapai seperangkat tujuan yang diinginkan, guna mengatasi permasalahan yang nyata dalam konteks yang kompleks dan di dukung oleh kewenangan dan keinginan untuk mengalokasikan sumber daya serta bertindak sesuai yang diperlukan untuk melaksanakan strategi-strategi yang sudah ditetapkan. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 ,menegaskan bahwa Izin Lokasi adalah Izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah, dan izin tersebut. Pengertian penataan ruang dalam Pasal 1 Butir 5 UUPR adalah suatu sistem proses yang terdiri dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Proses penataan ruang tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan satu sama lainya. Sesuai dengan Pasal 6 Ayat (3) UUPR maka penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Pada prinsipnya perencanaan tata ruang berfungsi untuk mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial, meningkatkan fungsi wilayah secara serasi, selaras dan seimbang, meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan, dan mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam proses pembangunan ini.
(Salusu,1996) mendefinisikan strategi yaitu sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Ansoff dalam (Salusu,1996) menjelaskan bahwa keputusan stratejik berarti pilihan stratejik, pilihan dari beberapa alternative, dan pilihan-pilihan itu berupa ketetapan mengenai aspirasi-aspirasi stratejik yang realistis, yaitu keinginan yang masuk akan dan dapat direalisasikan. Ini juga berarti bahwa terdapat keputusan yang didasarkan pada hasil analisis yang mendalam mengenai berbagai faktor baik faktor inernal maupun faktor eksternal. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, kedua faktor yang dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut : Faktor Internal Adapun yang mempengaruhi secara internal dalam efektivitas pelayanan perijinan lokasi, yaitu : a). , penyelenggaraan perizinan selama ini belum mampu menciptakan servis yang baik. Hal ini tidak terlepas dari adanya ketimpangan sumber daya manusia dalam birokrasi yang masih terbatas di level daerah. Gradasi kecukupan sumber daya antar daerah saat ini masih terjadi sehingga penyelenggaraan pelayanan perizinan lokasi dalam pemanfaatan tata ruang mengalami perbedaan di setiap daerah otonom, b).
pelaksanaan perizinan lokasi
pemanfaatan tata ruang masih identik dengan biaya yang tidak pasti. Transparansi biaya yang tidak pasti menjadi alasan utama bagi calon investor untuk menanamkan modalnya. Biaya yang tidak pasti dapat timbul karena aturan main yang tidak mengatur transparansi biaya, atau moral hazard yang dilakukan aparatur negara dengan pembuat izin. Hasil penelitian di Kabupaten Merauke memberikan gambaran bahwa perilaku seperti ini masih muncul dalam proses perizinan. Selain karena faktor budaya lokal, kesempatan kompromi antara pemberi dan penerima layanan turut menimbulkan biaya yang tidak seperti pungutan liar di luar tarif resmi yang ditetapkan., c)., budaya elitis lokal yang mengedepankan kedekatan kekuasaan juga menjadi ranah terjadinya inkonsistensi penyelenggaraan perizinan. Pada era otonomi daerah, kedekatan dengan penguasa menjadi jurus ampuh dalam mendapatkan perizinan dan berbagai kemudahan usaha lainnya. Kedekatan ini didasari atas kepentingan kelompok, individu, dan kekerabatan keluarga. Seringkali, proses transparansi perizinan tidak terjadi jika melibatkan permohonan izin yang berafiliasi dengan elit lokal., d).
Kompetensi Petugas
(Sumber Daya Manusia). Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat di Kabupaten Merauke diketahui bahwa jumlah pegawai yang ada saat ini belum mencukupi, mengingat semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang melakukan pengurusan izin. Jumlah tenaga
survey/proses di bagian proses hanya dua orang untuk masing-masing seksi. Sehingga untuk Kasi Perekonomian dan Kasi Pembangunan cukup kewalahan dalam menangani pengurusan izin, karena kedua seksi tersebut berwenang dalam pengurusan SITU, SIUP, TDP ketiganya merupakan jenis izin yang paling banyak diurus oleh masyarakat terutama kalangan pengusaha. Ditambah lagi kompetensi petugas khususnya bagian front office masih kurang dalam hal pengoperasian komputer. Seharusnya dengan komputer berikut jaringan intranet yang tersedia saat ini petugas front office dapat menginput data pemohon sehingga jumlah pemohon beserta data-datanya dapat diakses setiap saat. Demikian juga dengan petugas pengambilan hasil, seharusnya dapat menginput data izin yang telah selesai sehingga dapat mempermudah dalam pengambilan hasil., e). ketimpangan kompetensi dalam pelayanan perizinan usaha dari sisi SDM serta sarana dan prasarana turut memengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pelayanan perizinan.
Keterbatasan jumlah dan kualitas SDM akan
memengaruhi kinerja organisasi secara umum seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Minimnya sarana dan prasarana juga menjadi permasalahan mendasar yang hampir ditemui di daerah. Hal ini tidak lepas dari dukungan dana dan political will dari kepala daerah untuk mereformasi pelayanan perizinan usaha sebagai katub masuknya investasi ke daerah., f). moral hazard yang sangat kental dalam proses pelayanan perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang juga menjadi penghambat responsitas pemberi layanan kepada penerima layanan. Praktik suap, budaya permisif, menggunakan pendekatan individu tanpa melalui mekanisme yang ada ketika membuat izin menjadi identifikasi umum praktik moral hazard dalam pelayanan perizinan., g). ketiadaan grand design penyelenggaraan pelayanan perizinan juga menjadi permasalahan mendasar dalam menciptakan perizinan usaha yang responsif. Selama ini tumpang tindih kebijakan antar instansi serta cepatnya perubahan peraturan yang dibuat oleh pembuat kebijakan membingungkan instansi terkait dalam mengimplementasikan instruksi pemerintah pusat. Belum lagi kecepatan responsitas daerah yang berbeda semakin memperjelas disparitas kualitas pelayanan perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang., h). pelayanan perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang saat ini belum menerapkan prinsip good governance secara komprehensif. Ketimpangan untuk menerapkan prinsip good governance memberikan gambaran bahwa peran kepala daerah sangat penting dalam mendorong terciptanya tata kelola pelayanan perizinan yang baik dan bertanggung jawab.. Dari semua aspek yang dijelaskan di atas, semuanya memiliki andil dalam mengebiri proses efektivitas perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang di wilayah kasus penelitian. Permasalahan yang satu dan yang lain saling terkait, dan tidak dapat dipisahkan. Identifikasi permasalahan
ini akan memberikan resistensi yang semakin besar kepada pemberi layanan jika tidak diperbaiki. Dampaknya bukan hanya pada menurunnya kepercayaan pada pengguna, namun di sisi yang lain pelayanan perizinan usaha sebagai salah satu gerbang investasi daerah justru menjadi beban bagi penyelenggaraan pelayanan. Nampak bahwa penyelenggaraan pelayanan perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang hanya terkesan pada aspek normatif semata.
Mengintegrasikan kemudahan pelayanan
perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang dengan peningkatan kesejahteraan daerah yang sesuai dengan peruntukannya masih jarang ditemui walau wacana ke arah itu semakin nyata. Masih menggantungkan badan pelayanan perizinan usaha untuk Pendapatan Asli Daerah menjadi cermin bahwa orientasi jangka pendek reformasi perizinan masih dirasakan cukup kuat. Masuknya investasi ke daerah hanya dimaknai dengan semakin meningkatnya retribusi dan pajak daerah yang masuk ke kas daerah. Aspek multiplier effect terhadap tingkat kesejahteraan daerah ketika perizinan usaha sebagai bagian dari grand design pelayanan perizinan masih belum terlaksana dengan baik. Faktor Eksternal Analisis faktor eksternal terhadap efektivitas pelayanan perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang di Kabupaten Merauke pendekatan kajiannya dilihat pada tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan perizinan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan perizinan di Kabupaten Merauke berada pada indikator kurang puas, sehingga dapat disimpulkan bahwa penyelenggaran pelayanan perizinan, termasuk penyelenggaran pelayanan perizinan lokasi pemanfaatan tata ruang yang dilihat baik secara internal maupun ekternal berada pada kategori tidak efektif. Arahan Strategis Manajemen Perencanaan untuk Mengefektifkan Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Lokasi dalam PemanfaatanTata Ruang di Kabupaten Merauke Dalam mengkreasi penyelenggaraan pelayanan lokasi perizinan pemanfaatan tata ruang
yang efektif pada masyarakat, maka dapat dilakukan dengan arahan manajemen
perencanaan strategis sebagai berikut : a).
Prosedur
Pelayanan
yang
dibakukan
bagi
pemberi dan penerima pelayanan perizinan termasuk masalah pengaduan. Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan perizinan agar standarisasi yang bisa dimonitoring dan dievaluasi untuk menghindari kesalahan baik dalam penyelenggaraan maupun ketentuan dasar pemberian izin dalam pemanfaatan lahan yang tidak berdasar kesesuaian lahan.., b). Diperlukan integrasi dalam memformulasikan peraturan perizinan usaha dan turunan peraturan lainnya.
Harmonisasi peraturan pusat dan daerah akan
mengurangi ekonomi biaya tinggi dan menjamin kepastian hukum dalam berusaha di daerah.,
c). Peningkatan kapasitas aparatur daerah (kualitas dan kuantitas) sangat diperlukan karena ketimpangan jumlah SDM dan beban kerja yang ditanggung masih belum ideal. Mekanismenya dapat diatur melalui peraturan di tingkat pusat atau daerah sebagai wujud political will pemangku kebijakan., d). Implementasi format pelayanan perizinan usaha yang dibuat oleh pemerintah pusat tidak dapat dijalankan dengan baik oleh seluruh daerah. Pemerintah pusat sebaiknya membuat tipologi atau format perizinan yang sesuai dengan karakteristik wilayah dan kemampuan daerah., e). Perlu dilakukan percepatan implementasi pelayanan satu pintu (one stop service) dalam rangka mencapai standardisasi penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha., f). Terkait dengan koordinasi antarinstansi terkait, terlihat masih ada resistensi dari beberapa dinas teknis dengan kantor/badan pelayanan perizinan. Untuk itu, perlu dibentuk koordinasi baik vertikal maupun horizontal antarinstansi dan kesinambungan pembinaan dinas teknis terkait., g). Mekanisme kerja pelayanan perizinan (biaya, syarat administrasi, reward and punishment, pengawasan internal dan eksternal, serta prosedur pengaduan) harus dibuat dengan jelas untuk memaksimalkan fungsi pelayanan publik., h). Penyelenggaraan pelayanan perizinan usaha tidak lagi harus dibebani target penerimaan PAD karena akan berimplikasi pada mahalnya tarif retribusi dan psikologis aparatur daerah untuk memenuhi target penerimaan yang dibebankan Pemda., i). Debirokratisasi pelayanan perizinan usaha harus diimbangi dengan reformasi hokum sebagai aturan main pemberian pelayanan public., j). Resistensi antara dinas teknis dan kantor/badan pelayanan perizinan usaha membuat pemberian pelayanan perizinan usaha tidak kompetitif dan tidak efisien, khususnya dari segi waktu. Oleh karena itu, integrasi dinas teknis ke dalam kantor/badan pelayanan perizinan usaha seperti di Kabupaten Purbalingga, atau merelokasi dinas teknis menjadi satu kompleks sangat diperlukan untuk mengatasi rentang kendali yang masih panjang dan berbelit-belit., k). Partisipasi pihak swasta dalam mendukung penyediaan sarana dan prasarana patut didorong dan dikembangkan sehingga keterbatasan dukungan dana dari Pemda/Pemkot tidak menjadi alasan berhentinya proses reformasi pelayanan perizinan di suatu daerah.,
KESIMPULAN Kurangnya sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagai factor internal dan tingkat kepuasan masyarakat sebagai factor eksternal menjadi determinan ketidakefektifan dalam penyelenggaraan penyalanan perizinan dalam pemanfaatan tata ruang di Kabupaten Merauke. Keefektifan dan efisiensi pelaksanaan prosedur perizinan akan dapat merangsang masyarakat untuk selalu mengawali pembangunan dengan perizinan yang secara langsung akan berdampak terhadap ketertiban pembangunan. Untuk mengevaluasi kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan, terutama dalam hal pengaturan kebijakan pemanfaatan ruang bagi penyelenggaraan pelayanan perizinan, perencanaan dan pemanfaatan tata ruang. Untuk mengatasi masalah faktor paradigma, kebijakan, kelembagaan, mekanisme, koordinasi dan kerjasama, mekanisme pelayanan, , transparansi dan akuntabilitas yang masih relatif rendah dan menghambat efektivtas penyelenggaraan pelayanan perizinan di Kabupaten Merauke. Untuk mempertibangkan strategi mengefektifkan penyelenggaraan pelayanan perizinan antara lain: konsistensi penerapan UU No.26 Tahun 2007, penetapan Regulasi (PERDA), pembentukan Pelayanan Perizinan Satu Pintu (Oneway one stop service), sosialisasi dan pembinaan, transparansi, koordinasi dan kerjasama, dan pengawasan.
DAFTAR PUSTAKA Alexander, E.R.,( 2005). Institutional Transformation and Planning From Institutionalization Theory To Institutional Design, Journal Planning Theory, Vol.4 (3): 209-223 Atmosudirdjo. S.P, (1982). Administrasi Pembangunan, CV Hajimasagung. Jakarta. Gaspersz, V. (1997). Manajemen Kualitas : Penerapan Konsep VINCENT dalamManajemen Bisnis Total, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Indrawijaya, Adam. (1989). Perubahan dan Pengembangan Organisasi. Bandung : Sinar Baru. Kusumari, Bevaora, (2005), Kontrak Pelayanan dalam Reformasi Pelayanan Publik di Indonesia, dalam Birokrasi Publik: Dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Gava Media, Yogyakarta. Lubis,SHB dan Husaini ,M (1987), Teori Organisasi : Suatu Pendekatan Makro, PAU Jakarta. Salusu J. (1996), Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit, PT Gramedia Jakarta. Gie The Liang (1987). Penertian, Kedudukan, dan Perincian Ilmu Administrasi, PUBIB, Yogyakarta