EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DESA DALAM PRAKTIK DEMOKRASI DI DESA KELANGDEPOK, PEMALANG, JAWA TENGAH
SOFI NUR ARIYATI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa Kelangdepok, Pemalang, Jawa Tengah” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2014 Sofi Nur Ariyati NIM I34100047
ABSTRAK SOFI NUR ARIYATI. Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa Kelangdepok, Pemalang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh SOFYAN SJAF. Efektivitas kelembagaan dalam praktik pemilihan Kepala Desa dipengaruhi oleh empat faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, serta faktor sosial-masyarakat. Pada efektivitas kelembagaan, dilihat dari faktor manakah yang lebih berpengaruh pada tingkat efektivitas. Kemudian pada masing-masing maupun keseluruhan tahap praktik pemilihan Kepala Desa, dilihat faktor manakah yang paling dominan. Selanjutnya, anggota mana yang lebih efektif antara anggota formal dan anggota informal. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dan didukung dengan data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh besar pada tingkat efektivitas. Pada tahap persiapan, faktor yang memiliki pengaruh besar adalah faktor sarana/fasilitas pendukung. Tahap pelaksanaan, keempat faktor tidak memberikan pengaruh yang paling signifikan. Untuk keseluruhan praktik, faktor sarana/fasilitas pendukunglah yang paling berpengaruh sama seperti pada tahap persiapan. Kinerja anggota yang lebih efektif dalam keseluruhan adalah anggota formal. Merujuk pada hasil, diharapkan anggota informal lebih banyak dilibatkan lagi, dan bagi anggota formal lebih ditingkatkan lagi kinerjanya. Kata kunci : demokrasi, desa, kelembagaan
ABSTRACT SOFI NUR ARIYATI. The Local Institutional Effectiveness in The Democratic’s Practice at the Desa Kelangdepok, Pemalang, Central Java. Supervised by SOFYAN SJAF. Institutional effectiveness in the practice of country chief elections is influenced by four factors, namely institutional factors, member institutions factors, support facilities factors, and social-community factors. On institutional effectiveness, in terms of which factors are more influential on the level of effectiveness. Then, at each stage and the overall practice of country chief elections, it will see which is the most dominant factor. You will see the members of which are more effective among members of formal and informal members. The method used is the method of quantitative and qualitative data supported. The results showed that member institutions factors have major influence on the level of effectiveness. In the preparation phase, the factors that have a major influence factor is the support facilities factors. Meanwhile, at the implementation stage, the fourth factor is not the most significant influence. For the whole practice, support facilities factors is the most influential factor as the same as in the preparation stage. The performance of members who more effective in the overall is the formal members. Referring to the results, informal members are expected to be more involved again, and formal members further enhanced performance. Keywords: democracy, village, institutional
EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN DESA DALAM PRAKTIK DEMOKRASI DI DESA KELANGDEPOK, PEMALANG, JAWA TENGAH
SOFI NUR ARIYATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa Kelangdepok, Pemalang, Jawa Tengah Nama : Sofi Nur Ariyati NIM : I34100047
Disetujui oleh
Dr Sofyan Sjaf Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah kelembagaan dan praktik demokrasi di aras lokal atau desa, dengan judul Efektivitas Kelembagaan Desa dalam Praktik Demokrasi di Desa Kelangdepok, Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian yang dilakukan oleh penulis bertujuan untuk melihat efektivitas kelembagaan desa dalam pelaksanaan praktik demokrasi desa. Untuk mencapai tujuan ini, peneliti terlebih dahulu akan menganalisis efektivitas kelembagaan yang dilihat dari beberapa faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat. Efektivitas kelembagaan ini akan dikaitkan dengan pelaksanaan praktik demokrasi desa, yakni pemilihan Kepala Desa yang kemudian juga dilihat bagaimana proses pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan yang melibatkan kelembagaan-kelembagaan yang ada di desa. Nantinya akan terlihat kelembagaan/organisasi desa manakah yang lebih efektif dalam melaksanakan praktik pemilihan Kepala Desa tersebut. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Sofyan Sjaf selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak Tahmid dan Ibu Taruni, juga adik-adik tercinta Zaitun Kamaruni, Annisa Dyah Agustin, yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman OMDA Pemalang, terutama angkatan 47 yakni Rifan, Yoga, Fika, Retno, Vita, Riska, Dini, Alief, Isti, dan Shandy yang selalu memberikan semangat dan motivasinya. Kepada temanteman SKPM angkatan 47 khususnya teman sebimbingan Putri Nadiyatul Firdausi, M. Habibi Karamallah, dan Resa Urpon, saya juga mengucapkan terima kasih dikarenakan selalu memberi semangat, motivasi, dan saran. Tidak lupa juga terima kasih untuk semangat, dan dukungan dari teman-teman satu kosan yakni Mbak Mei, Mbak Ayu, Mbak Novi, Dinna, Putri, dan Amik. Selanjutnya, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Paguyuban Bidik Misi IPB yang telah memberikan bantuan dana bagi peneliti dari awal kuliah hingga penelitian ini selesai. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada masyarakat Desa Kelangdepok, baik dari pihak Kepala Desa, perangkat desa, tokoh masyarakat maupun kalangan masyarakat umum lainnya yang telah membantu selama pengumpulan data di lapangan.
Bogor, Juni 2014 Sofi Nur Ariyati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Masalah Penelitian
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
7 7
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
15
Definisi Operasional
17
PENDEKATAN LAPANG
27
Metode Penelitian
27
Lokasi dan Waktu Penelitian
27
Teknik Sampling
27
Pengumpulan Data
28
Pengolahan dan Analisis Data
29
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
31
Kondisi Geografis dan Ekonomi
31
Karakteristik Responden
32
Profil Kelembagaan Formal dan Kelembagaan Informal Desa
34
FAKTOR PENGARUH EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN
39
Pengaruh Faktor Kelembagaan
40
Pengaruh Faktor Anggota Kelembagaan
43
Pengaruh Sarana/Fasilitas Pendukung
46
Pengaruh Sosial-Masyarakat
49
Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas
52
Ikhtisar : Faktor Pengaruh Efektivitas Kelembagaan
55
FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRAKTIK PEMILIHAN KEPALA DESA
57
Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas pada Tahap Persiapan
57
Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas pada Tahap Pelaksanaan
60
Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa 62 Ikhtisar : Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa 65 EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN TERHADAP PRAKTIK PEMILIHAN KEPALA DESA
67
Tingkat Efektivitas pada Tahap Persiapan
67
Tingkat Efektivitas pada Tahap Pelaksanaan
68
Tingkat Efektivitas pada Praktik Pemilihan Kepala Desa
69
Uji Beda antara Kelembagaan Formal dan Kelembagaan Informal Desa
71
Ikhtisar : Efektivitas Kelembagaan terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa 74 SIMPULAN DAN SARAN
77
Simpulan
77
Saran
78
DAFTAR PUSTAKA
79
LAMPIRAN
81
RIWAYAT HIDUP
947
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jumlah bangunan infrastruktur desa dan fasilitas lainnya di Desa Kelangdepok per tahun 2011 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor kelembagaan Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor anggota kelembagaan Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor sosial-masyarakat Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran tingkat efektivitas kelembagaan Persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran efektivitas kelembagaan antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran tahap persiapan Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran tahap pelaksanaan Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran praktik pemilihan Kepala Desa Persentase besaran faktor-faktor efektivitas dengan besaran praktik pemilihan Kepala Desa Persentase besaran efektivitas dengan besaran tahap persiapan Persentase besaran efektivitas dengan besaran tahap pelaksanaan Persentase besaran efektivitas dengan besaran praktik pemilihan Kepala Desa Perbandingan nilai rata-rata antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal dalam efektivitas kelembagaan Perbandingan nilai rata-rata antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal dalam praktik pemilihan Kepala Desa
31 40 43 47 50 52
56 57 60 62
65 67 68 70
71 72
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Kerangka pemikiran Metode pengambilan sampel Karakteristik responden berdasarkan status kelembagaan Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
15 28 32 34
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
Rancangan kegiatan penelitian Peta lokasi penelitian Daftar responden Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor kelembagaan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor anggota kelembagaan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor sosialmasyarakat Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap tingkat tahap persiapan Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap tahap pelaksanaan Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap praktik pemilihan Kepala Desa Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh tingkat efektivitas kelembagaan terhadap praktik pemilihan Kepala Desa Hasil pengolahan data dengan uji t-independent, keefektifan kelembagaan formal dan kelembagaan informal Dokumentasi
81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
94
PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Latar belakang penelitian menguraikan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini dilakukan yang kemudian akan memunculkan permasalahan penelitian secara umum (General Research Question). Permasalahan penelitian tersebut selanjutnya diuraikan secara lebih terperinci menjadi permasalahan yang spesifik (Spesific Research Question) pada bab masalah penelitian. Poin selanjutnya yaitu tujuan penelitian menjelaskan tujuan dari penelitian yang dilaksanakan berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan. Poin terakhir dari bab ini yaitu penjabaran tentang kegunaan penelitian baik bagi peneliti, akademisi, pemerintah, dan masyarakat.
Latar Belakang Indonesia mempunyai sejarah perjalanan panjang tentang demokrasi. Hal ini ditunjukkan dari beberapa peralihan periode demokrasi yang terjadi, yakni periode 1945-1959 yang dikenal sebagai masa demokrasi parlementer, periode 1959-1965 yang dikenal sebagai masa demokrasi terpimpin, periode 1966-1998 yang dikenal sebagai masa demokrasi Pancasila era orde baru, dan periode 1999sekarang yang dikenal sebagai masa demokrasi Pancasila era reformasi (Rikard dan Susanto 2005). Sebelum kemerdekaan, praktik demokrasi bahkan sudah dijalankan, yakni dengan munculnya berbagai perkumpulan dan perserikatan seperti Perkumpulan Pelajar, Perkumpulan Pemuda (Budi Utomo) dan berbagai organisasi sosial keagamaan lainnya. Praktik demokrasi semakin marak terjadi pada masa demokrasi Pancasila era reformasi tahun 1999 sampai sekarang, seperti adanya pemilihan Calon Legislatif (Caleg), pemilihan Gubernur, pemilihan Walikota, pemilihan Bupati, dan pemilihan Kepala Desa. Beberapa bentuk praktik demokrasi tersebut menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya dijalankan di tingkat nasional, namun juga di tingkat lokal. Demokrasi yang muncul pada masa reformasi ini dianggap sebagai obat mujarab untuk mengobati hak masyarakat dalam mengeluarkan pendapat setelah runtuhnya masa orde baru. Menurut Anita (2013) Peralihan dari sentralisasi ke desentralisasi ini memunculkan adanya pembaruan otonomi desa yang diharapkan pemerintahan di Indonesia akan semakin membaik, karena pikiran, pendapat, dan partisipasi masyarakat akan menjadi penentu dalam pengambilan sebuah keputusan. Konsep demokrasi sendiri secara umum menurut Rikard dan Susanto (2005) mempunyai arti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Menurut Prijono dan Tjiptoherijanto (2012), ide demokrasi Negara Barat menyatakan bahwa secara politis, demokrasi merupakan sistem dimana pemimpin mewakili keinginan rakyat, dipilih melalui suara rakyat dengan kesadaran sendiri, tanpa paksaan, menjamin kebebasan dan persamaan bagi rakyat seluas mungkin. Secara sosial, pada dasarnya dalam masyarakat yang demokratis, setiap orang harus mendapat hak yang sama atas pencapaian suatu kekuatan. Merujuk dari penjelasan kedua konsep tersebut, Gayatri (2007) menambahkan pernyataan yang menjelaskan bahwa demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru hampir selalu
2 dibicarakan secara berkaitan dengan pembentukan sistem politik yang mencerminkan prinsip keterwakilan, partisipasi, dan kontrol. Pemerintahan yang demokratis mengandaikan pemisahan kekuasaan dalam tiga wilayah institusi yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Suatu pemerintahan dikatakan demokratis jika terdapat indikator utama yaitu keterwakilan, partisipasi, dan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh ketiga institusi tersebut. Prinsip partisipasi menjamin aspek keikutsertaan rakyat dalam proses perencanaan pembangunan daerah; atau keikutsertaan rakyat dalam proses pemilihan wakil dalam lembaga politik; sedangkan prinsip kontrol menekankan pada aspek akuntabilitas pemerintahan. Prijono dan Tjiptoherijanto (2012) mengutip tulisan dari seorang nasionalis termashur, almarhum Mohammad Hatta yang menuliskan bahwa, "Di desa-desa, sistem yang demokratis masih kuat dan hidup sehat sebagai bagian adat-istiadat yang hakiki. Struktur demokrasi yang hidup dalam diri bangsa Indonesia harus berdasarkan pada demokrasi asli yang berlaku di desa. Selain itu, pola-pola demokrasi tradisional dilambangkan dengan musyawarah dalam pencapaian keputusan dan gotong-royong dalam pelaksanaan keputusannya. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan bahwa wewenang tertinggi di desa adalah rapat desa. Semua orang dewasa dari masyarakat desa berhak untuk menghadiri rapat desa dan berbicara serta memberikan suaranya. Kelembagaan formal maupun informal yang ada di desa juga pernah ada untuk mewakili pendapat-pendapat semua orang desa dalam pencapaian keputusan menurut asas-asas musyawarah. Ide dasar demokrasi ini berupa pengikutsertaan rakyat dan persetujuan umum dalam pencapaian keputusan dengan memelihara persetujuan bersama. Sebagaimana dalam praktiknya, demokrasi melibatkan berbagai macam aktor dan lembaga dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Demokrasi desa sendiri dimaksudkan untuk memberikan makna desentralisasi dan otonomi desa bagi masyarakat desa. Demokrasi akan membawa negara lebih dekat ke rakyat desa, sekaligus membuat akses rakyat kepada negara semakin dekat. Pelaksanaan demokrasi memuat aspek kelembagaan yang merupakan keutamaan dari berlangsungnya praktik politik yang demokratis. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa pada tahun 1960-an hingga pertengahan 1970, menurut adat-istiadat Jawa, desa mempunyai tiga institusi sebagai tempat berunding, sekaligus mempunyai fungsi pencapaian keputusan juga, yaitu Rapat Desa, Badan Musyawarah Desa, dan Dewan Desa. Ketiga kelembagaan ini tidak hanya beranggotakan para sesepuh dan tokoh masyarakat tetapi juga anggota masyarakat lainnya. Selanjutnya, didukung juga dengan adanya lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yangmana berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, yakni Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta Pemerintah Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Selain lembaga tersebut, munculnya lembaga informal seperti kelompok perkumpulan pemuda, kelompok agama, dan sebagainya juga ikut menyumbang partisipasi dan melakukan pengawasan terhadap proses jalannya pemerintahan serta praktik dari penyelenggaraan pemerintahan desa itu sendiri. Dalam tulisannya, Hadiwinata (2005) mengutip pernyataan dari Putnam (1996), bahwa konsep kelembagaan informal termasuk ke dalam kategori civil society, dimana
3 civil society merupakan tempat perbedaan kepentingan yang dinegosiasikan sehingga kehadirannya dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam merepresentasi kepentingan dan sekaligus memperluas partisipasi politik. Selanjutnya, Alagappa (2004) yang dikutip oleh Hadiwinata (2005) juga menyatakan bahwa civil society dapat mengembangkan demokrasi ketika dia memfasilitasi pembentukan budaya politik demokratis (memberikan kesempatan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalm bidang politik), meminta kepada pemerintah untuk mempertanggung jawabkan setiap kebijakannya, dan mendorong masyarakat untuk melakukan partisipasi politik. Contoh yang diberikan dari perwujudan konsep civil society itu sendiri ialah kelompok mahasiswa, organisasi non-pemerintah (ornop), dan kalangan intelektual yang pada tahun 1998 melakukan pergerakan untuk memperjuangkan sebuah demokrasi. Hudayana (2003) mengemukakan konsep civil society desa sebagai perkumpulan warga masyarakat yang sarat dengan karakter yang relatif lokal, sederhana, informal, personal, dan kadang bersifat temporal. Hudayana juga melakukan sebuah penelitian tentang civil society di beberapa desa di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Seperti halnya di Bantul, Hudayana menemukan sebuah pergerakan dari warga masyarakat yang menumbangkan pemerintah desa yang melakukan tindak kecurangan yakni KKN. Selain aksi ini, pada penghujung tahun 1999 hingga pertengahan tahun 2000, perkumpulan warga Bantul juga terlibat dalam penyusunan peraturan daerah (Perda) tentang pemerintahan desa yang demokratis. Lain halnya di Purworejo, perkumpulan warga lebih kooperatif dalam pesta demokrasi (berbagai bentuk pemilihan) yang diadakan oleh pemerintah desa serta aktif dalam mensosialisasikan kesadaran kritis. Selanjutnya, kasus Desa Wukirsari dan Jenar Wetan, dusun-dusun yang ada di kedua desa tersebut mempunyai lembaga lokal yang mampu berkembang menjadi lembaga lokal yang dapat membantu kepentingan dan memenuhi kebutuhan warga lainnya di bidang non-pemerintahan, juga bidang pemerintahannya. Kontrol terhadap pemerintahan desa pun tidak terlewatkan dari peran lembaga lokal ini. Keberadaan lembaga-lembaga formal maupun informal tersebut telah menunjukkan keterlibatan/partisipasi mereka dalam membantu pemerintah desa dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa. Dilihat dari fenomena ini, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang efektivitas kelembagaan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, terutama praktik demokrasi. Praktik demokrasi sendiri merupakan salah satu praktik pemerintahan yang dalam pelaksanaannya dapat melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pengukuran tingkat efektivitas sebuah kelembagaan sendiri akan menunjukkan sejauhmana kelembagaan (formal atau informal) dapat bertahan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan memaksimalkan peran dan tugas mereka. Praktik demokrasi yang dipilih di tingkat lokal ialah pemilihan Kepala Desa, hal ini dikarenakan bahwa demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipatif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Selain itu, praktik pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu bentuk irisan praktik demokrasi yang berasaskan musyawarah dan gotong-royong dalam pencapaian dan pelaksanaan keputusan (nilai demokrasi murni) dengan aspek partisipasi/keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusannya (nilai
4 demokrasi secara universal). Praktik ini juga menjadikan aspek kelembagaan sebagai unit penyelenggara yang melibatkan elemen masyarakat sebagai pihak yang berpartisipasi dalam proses teknis pelaksanaan (panitia) maupun pemberian hak suara. Selanjutnya, fakta di lokasi penelitian menunjukkan adanya kondisi pemerintahan desa yang kritis, dimana sang pemimpin atau Kepala Desa melakukan penyimpangan terhadap tugas dan wewenangnya dalam bidang anggaran desa, yakni penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (ADD) juga tanah bengkok desa. Munculnya masalah ini mengakibatkan kritisnya keuangan desa sehingga proses pembangunan desa berjalan dengan begitu lambat, bahkan sampai terhenti. Kondisi pemerintahan yang memprihatinkan ini memicu kelembagaankelembagaan desa, baik formal maupun informal melakukan gerakan untuk penyelesaian masalah dan juga menghadirkan solusi, yakni menyelenggarakan kembali proses pemilihan Kepala Desa. Tingkat antusias dari masing-masing kelembagaan pun tergolong sangat tinggi untuk dapat terlibat dan berkontribusi dalam praktik pemilihan Kepala Desa tersebut, dikarenakan mereka dan pihak masyarakat lainnya benar-benar menginginkan pemimpin baru yang lebih bertanggung jawab dan juga berkomitmen tinggi terhadap desa maupun kalangan masyarakat desa secara menyeluruh. Merujuk pada pemaparan-pemaparan yang telah disampaikan dan juga fakta di lokasi penelitian yang mendukung, penting bagi peneliti untuk meneliti tentang efektivitas kelembagaan dan membandingkan kelembagaan mana yang lebih efektif, apakah kelembagaan formal atau kelembagaan informal. Desa yang menjadi lokasi penelitian ialah Desa Kelangdepok. Desa ini terletak di Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Alasan yang melatarbelakangi mengapa peneliti memilih desa ini adalah adanya dua jenis kelembagaan, yakni formal dan informal yang keduanya mempunyai aktivitas/kegiatan yang cukup aktif serta sering ikut berperan serta dalam berbagai bentuk penyelenggaraan kegiatan oleh pemerintah desa dibandingkan dengan kelembagaan di desa lainnya. Selain itu, Desa Kelangdepok juga merupakan desa percontohan se-Kecamatan dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan desa.
Masalah Penelitian Pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu bentuk praktik demokrasi yang dilakukan di aras desa/lokal, praktik ini juga dilakukan rutin setiap periode tertentu. Proses Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan oleh sebuah kepanitiaan yangmana anggota panitianya merupakan anggota dari kelembagaan formal dan juga kelembagaan informal. Oleh karena itu, permasalahan umum yang menjadi fokus penelitian adalah sejauhmana keefektifan kelembagaan desa dalam praktik pemilihan Kepala Desa? Soekanto (tidak ada tahun) dalam Khairulludin (2010), efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 4 (empat) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihakpihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat dan kebudayaan, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
5 juga berkaitan erat dengan kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat. Hukum yang berjalan efektif harus dilihat dari hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Merujuk teori tersebut, penulis merumuskan konsep efektivitas kelembagaan sebagai upaya pencapaian tujuan yang ditentukan oleh faktor kelembagaan itu sendiri, faktor anggota dari kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat, keadaan masyarakat dimana kelembagaan itu tumbuh. Berangkat dari sintesis teori inilah peneliti ingin menganalisis faktor manakah yang lebih berpengaruh pada keefektifan kelembagaan? Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipatif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa, sehingga praktik demokrasi yang dipilih adalah praktik pemilihan Kepala Desa. Praktik pemilihan Kepala Desa sendiri dibagi menjadi dua tahap yakni, tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi; pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa. Di samping itu, sintesis teori muncul tentang efektivitas kelembagaan yangmana ditentukan oleh empat faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan juga faktor sosial-masyarakat. Sintesis dari empat faktor ini kemudian dihubungkan dengan praktik pemilihan Kepala Desa baik dari setiap tahapannya (tahap persiapan dan tahap pelaksanaan) maupun secara keseluruhan praktik pemilihan Kepala Desa. Oleh karena itu, diperlukan peneliti untuk menganalisis faktor manakah yang lebih berpengaruh pada praktik pemilihan Kepala Desa? Sintesis teori muncul tentang efektivitas kelembagaan yang ditentukan oleh empat faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan juga faktor sosial-masyarakat. Kemudian, tingkat efektivitas kelembagaan akan diukur dari tingkat penerapan seluruh komponen dari keempat faktor penentu tersebut. Jika sebuah kelembagaan dikatakan efektif, maka tingkat efektivitas kelembagaan tersebut akan mempunyai pengaruh terhadap penyelenggaraan suatu kegiatan atau praktik tertentu, dan dalam hal ini praktik pemilihan Kepala Desa. Tingkat efektivitas kelembagaan ini akan dihubungkan dengan proses berjalannya praktik pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan. Berangkat dari ini, peneliti ingin menganalisis adakah pengaruh tingkat efektivitas kelembagaan dengan proses berjalannya praktik pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan? Kehadiran lembaga perwujudan demokrasi yakni lembaga formal seperti BPD dan Pemerintah Desa, dan juga lembaga informal yang muncul di tingkat desa/lokal seperti kelompok paguyuban warga desa, organisasi masyarakat keagamaan, dan yang lainnya ini turut serta menyumbang partisipasi dan melakukan pengawasan terhadap proses jalannya pemerintahan serta praktik dari penyelenggaraan pemerintahan desa itu sendiri. Selanjutnya, keterlibatan mereka (kelembagaan formal dan kelembagaan informal) dalam berbagai praktik penyelenggaraan pemerintahan desa ini akan dibandingkan tingkat keefektifannya dalam praktik demokrasi desa, yakni pemilihan Kepala Desa. Kehadiran dan
6 keterlibatan kedua jenis lembaga tersebut dalam praktik demokrasi desa menjadi latar belakang peneliti untuk menganalisis manakah lembaga yang lebih efektif dalam praktik demokrasi desa?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum pada penelitian ini adalah menganalisis efektivitas kelembagaan dalam praktik demokrasi desa yakni pemilihan Kepala Desa. Adapun tujuan-tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis faktor manakah yang lebih berpengaruh pada efektivitas kelembagaan 2. Menganalisis faktor dari efektivitas kelembagaan manakah yang lebih berpengaruh dalam pelaksanaan praktik demokrasi. 3. Menganalisis pengaruh tingkat efektivitas kelembagaan dengan pelaksanaan praktik demokrasi 4. Menganalisis lembaga manakah yang lebih efektif dalam pelaksanaan praktik demokrasi, apakah lembaga formal atau lembaga informal.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai kelembagaan yang efektif dalam praktik demokrasi desa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan atau literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai kelembagaan-kelembagaan desa yang efektif dalam praktik demokrasi desa. 2. Bagi pembuat kebijakan atau pihak pemerintahan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan mengenai efektivitas kelembagaan dalam praktik demokrasi desa, yang selanjutnya dapat menjelaskan mengenai alasan efektif atau tidaknya kelembagaan yang ada di desa dalam melaksanakan praktik demokrasi desa. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah diharapkan dapat mengawasi dan mengevaluasi lebih jauh lagi kinerja dari kelembagaankelembagaan desa dalam pelaksanaan demokrasi desa yang kemudian juga bisa meningkatkan kinerja dari kelembagaan-kelembagaan desa tersebut. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai efektivitas kelembagaan-kelembagaan desa dalam melaksanakan praktik demokrasi desa.
PENDEKATAN TEORITIS
Bab ini memuat tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis uji penelitian, definisi konseptual, dan definisi operasional dari variabel yang disebutkan pada kerangka pemikiran. Tinjauan pustaka berisi beberapa teori dan konsep terkait penelitian yang dilakukan. Teori dan konsep yang diuraikan pada tinjauan pustaka selanjutnya diturunkan menjadi variabel pengaruh dan terpengaruh yang digambarkan hubungannya pada kerangka pemikiran. Adapun hubungan dugaan antar variabel pada kerangka pemikiran diuraikan pada hipotesis uji penelitian. Variabel-variabel beserta hubungannya tersebut dijelaskan pengertian dan pengukurannya pada definisi konseptual, dan definisi operasional.
Tinjauan Pustaka Demokrasi dan Demokrasi Pedesaan Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti memerintah. Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Sistem pemerintahan demokrasi, kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada di tangan rakyat. Lain halnya dengan pandangan Held (1987) yang dikutip oleh Hadiwinata (2005) arti demokrasi pada masa itu ialah demokrasi langsung, dimana rakyat secara langsung dan bersama-sama lewat suatu pertemuan menentukan keputusan-keputusan politik yang mendasar. Prijono dan Tjiptoherijanto (2012) menyebutkan bahwa ide dasar “demokrasi” berupa pengikutsertaan rakyat dan persetujuan umum dalam pencapaian keputusan dengan memelihara persetujuan bersama. Ide demokrasi Negara Barat menyatakan bahwa demokrasi secara politis merupakan sistem dimana pemimpin mewakili keinginan rakyat, dipilih melalui suara rakyat dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan, menjamin kebebasan dan persamaan bagi rakyat seluas mungkin. Selanjutnya, Hadiwinata (2005) juga memaparkan hasil konferensi International Commission of Jurists (Organisasi Internasional Para Ahli Hukum) di Bangkok tahun 1965 yang menyatakan bahwa syarat-syarat suatu negara dan pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah adanya: 1) perlindungan secara konstitusional atas hak-hak warga negara, 2) badan kehakiman atau peradilan yang bebas dan tidak memihak, 3) pemilihan umum yang bebas, 4) kebebasan untuk menyatakan pendapat, 5) kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi, 6) pendidikan kewarganegaraan. Keenam syarat tersebut harus terpenuhi dalam suatu pemerintahan yang demokratis. Jika tidak, apalagi terdapat praktik-praktik yang bertentangan dengan keenam prinsip tersebut, maka sistem pemerintahan itu kurang layak disebut pemerintahan yang demokratis. Ditambahkan dari pandangan Held (2006) yang dikutip oleh AlHamdi (2011), demokrasi klasik memiliki ciri-ciri berikut ini: 1) adanya partisipasi warga secara langsung dalam fungsi-fungsi legislatif dan yudikatif, 2)
8 majelis rakyat adalah kekuasaan tertinggi, 3) kekuasaan tertinggi menjangkau seluruh urusan umum, 4) tidak ada perbedaan hak istimewa antara rakyat biasa dengan pejabat publik, dan 5) jabatan publik tidak boleh dipegang lebih dari dua kali oleh orang yang sama. Prijono & Tjiptoherijanto (2012) menambahkan bahwa pola-pola demokrasi tradisional dilambangkan dengan musyawarah dalam pencapaian keputusan dan gotong-royong dalam pelaksanaan keputusannya. Proses pencapaian keputusan dalam masyarakat oleh orang-orang desa diartikan sebagai proses yang menuntun masyarakat ke persetujuan atau pertentangan dengan usulan yang diajukan orang-orang desa. Pencapaian keputusan secara bersama ini mempertimbangkan tiga aspek, yaitu permulaan atau prakarsa, pengesahan, dan juga pelaksanaan. Al-Hamdi (2011) mengutip pendapat Sisk (2002) yang menyebutkan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal, yakni pertama, partisipasi masyarakat. Peran serta masyarakat lokal merupakan fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan agar demokrasi dapat terwujud, dimana suara individu didengarkan oleh pemerintah. Kedua, adanya proses musyawarah. Demokrasi tidak sekadar Pemilu, tetapi juga mencakup dialog yang bermuara pada pencarian solusi bagi permasalahan yang dihadapi masyarakat. Jadi, pemerintah harus berani berhadapan dengan warganya dan menerima masukan bahkan kritikan sekalipun. Ketiga, perlunya pendidikan politik. Demokrasi lokal memberikan fasilitas bagi tiap-tiap individu masyarakat untuk dapat memperoleh informasi mengenai semua urusan publik. Warga yang terdidik juga membuat demokrasi menjadi lebih efektif, termasuk juga peran masyarakat berarti mengurangi konflik vertikal antara elit lokal dengan warga masyarakat. Keempat, pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Demokrasi yang baik harus menciptakan hubungan yang baik antar-warganya serta dapat membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial. Tiga hal yang harus dilakukan oleh para pejabat lokal agar demokrasi yang berjalan benar-benar untuk rakyat. Pertama, kemitraan strategis. Sejak diberlakukannya model desentralisasi, pemerintahan di berbagai daerah mulai menerapkan kerjasama dengan pihak-pihak luar dalam menyediakan pelayanan publik. Kerjasama itu bisa dilakukan dengan masyarakat madani seperti NGO dan organisasi massa (Ormas) serta dengan sektor swasta yang memiliki keunggulan dan profesionalitas tinggi seperti penyediaan air bersih, managemen transportasi, tenaga listrik atau pengumpulan sampah. Kedua, desentralisasi dan pemerintahan kooperatif. Semakin besar desentralisasi dilakukan, maka kebijakan pemerintah semakin dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan. Kebijakan ini mengharapkan Pemerintah Daerah agar dapat mengalokasikan programprogramnya kepada sasaran yang tepat. Ketiga, fokus internasional. Saat ini, ada kecenderungan masyarakat internasional ingin mendefinisikan hak suatu daerah untuk mengurus dirinya sendiri (self governance) sebagai hak asasi universal. Lembaga-lembaga internasional dan kelompok-kelompok multilateral mulai mengadopsi standar-standar agar pemerintah nasional melimpahkan fungsi pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintah yang dekat dengan masyarakat sebagai cara untuk memaknai prinsip-prinsip demokrasi. Berangkat dari beberapa pendapat ahli di atas, maka penulis merumuskan definisi demokrasi desa. Demokrasi desa ialah sistem pemerintahan yang
9 diselenggarakan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat. Masyarakat berhak berpartipasi penuh pada setiap tahap pemerintahan, yaitu mulai dari tahap persiapan, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan melalui permusyawaratan bersama. Bentuk praktik demokrasi yang dapat merepresentasikan alur partisipasi masyarakat berbasis permusyawaratan adalah pemilihan Kepala Desa. Bentuk Praktik Demokrasi Desa: Pemilihan Kepala Desa Pemilihan Kepala Desa, atau seringkali disingkat Pilkades, adalah suatu pemilihan Kepala Desa secara langsung oleh warga desa setempat. Berbeda dengan Lurah yang merupakan Pegawai Negeri Sipil, Kepala Desa merupakan jabatan yang dapat diduduki oleh warga biasa. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, proses pemilihan Kepala Desa memiliki beberapa ketentuan, yakni; 1) pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota, 2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, 3) ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Proses pemilihan Kepala Desa sendiri meliputi: 1. Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. 2. Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa. 3. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak. 4. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa. 5. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa. 6. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 7. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan. 8. Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud, dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa. 9. Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud, bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa. 10. Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. 11. Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak. 12. Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih.
10 13. Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa yang terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih. 14. Badan Permusyawaratan Desa paling lama (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota. 15. Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota. 16. Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota. 17. Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji. 18. Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. 19. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipatif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengurus rumahtanggga desanya sendiri. Pengajuan praktik pemilihan Kepala Desa ini juga merujuk pada pernyataan Sisk (2002) yang dikutip Al-Hamdi (2011) yang menyebutkan bahwa salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal adalah partisipasi masyarakat. Selain itu, praktik pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu bentuk irisan praktik demokrasi yang berasaskan musyawarah dan gotong-royong dalam pencapaian dan pelaksanaan keputusan (nilai demokrasi murni) dengan aspek partisipasi/keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan keputusannya (nilai demokrasi secara universal). Praktik ini juga menjadikan aspek kelembagaan sebagai unit penyelenggara yang melibatkan elemen masyarakat sebagai pihak yang berpartisipasi dalam proses teknis pelaksanaan (panitia) maupun pemberian hak suara. Peran serta masyarakat lokal merupakan fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan agar demokrasi dapat terwujud, dimana suara individu didengarkan oleh pemerintah. Ditambahkan dari Prijono dan Tjiptoherijanto (2012) yang menyatakan bahwa demokrasi merupakan sistem dimana pemimpin mewakili keinginan rakyat, dipilih melalui suara rakyat dengan kesadaran sendiri tanpa paksaan, menjamin kebebasan dan persamaan bagi rakyat seluas mungkin. Kedua pernyataan dari ahli inilah yang melatarbelakangi mengapa penulis memilih praktik demokrasi pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Sebagaimana konsep demokrasi yang telah dijelaskan di awal yang menekankan pada hak berpartisipasi masyarakat dalam setiap tahap pemerintahan mulai dari persiapan, pengambilan keputusan, dan juga pelaksanaan, maka sebuah
11 praktik demokrasi desa ialah mencakup bentuk aksi atau pelaksanaan teknis dari setiap tahapan tersebut yang melibatkan partisipasi warga masyarakatnya. Praktik demokrasi desa yang berupa pemilihan Kepala Desa merupakan contoh yang merepresentasikan setiap tahapan yang telah disebutkan, yakni tahapan persiapan, pengambilan keputusan, serta pelaksanaan. Partisipasi masyarakat dijadikan salah satu tolak ukur dalam keberhasilan, juga permusyaratan yang menghasilkan mufakat bersama. Kelembagaan Etzioni (1985) menyebutkan bahwa organisasi pada dasarnya adalah unit sosial (atau pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi, (2) adanya satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya, (3) adanya penggantian tenaga, bilamana tenaga kerja tersebut tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan. Tujuan organisasi itu sendiri ialah keadaan yang dikehendaki pada masa akan datang yang senantiasa dikejar oleh organisasi agar dapat direalisasikan. Utami, Molo, Widiyanti (2011) selanjutnya menyatakan bahwa kelembagaan dari aspek formal merupakan gambaran/deskripsi potret dari aspek regulative institusi formal yang terdiri dari batas yuridiksi, peraturan, sanksi dan monitoring. Kelembagaan menyediakan pedoman dan sumber daya untuk bertindak, sekaligus batasan-batasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi kelembagaan adalah untuk tercapainya stabilitas dan keteraturan. Kelembagaan formal di aras desa merujuk pada organisasi yang berada di bawah tanggung jawab atau komando pemerintahan desa, dimana menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, pasal 1 menyebutkan Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penjelasan dari beberapa ahli dan juga peraturan pemerintah tersebut, dapat dirumuskan lembaga formal sebagai lembaga yang berada di bawah wewenang pemerintah desa, dimana lembaga tersebut mempunyai tugas dan fungsi sebagai penyalur aspirasi dan juga wadah untuk musyawarah warga masyarakat dalam berbagai praktik pemerintahan desa termasuk praktik demokrasi. Lembaga formal ini meliputi BPD, dan Aparat Pemerintah Desa (termasuk RT dan RW didalamnya). Badan Permusyawaratan Desa Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD dapat dianggap sebagai “parlemen”-nya desa. BPD merupakan lembaga baru di desa pada era otonomi daerah di Indonesia. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
12 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Daerah memaparkan bahwa Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, juga menyebutkan bahwa anggota BPD merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara demokratis. Anggota BPD terdiri dari ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Kehadiran BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga perwakilan desa secara formal memang melahirkan harapan baru demokrasi desa. Masyarakat sangat berharap BPD menjadi lokomotif baru demokrasi desa yaitu sebagai sarana artikulasi, aspirasi, dan partisipasi, serta alat kontrol yang efektif terhadap pengelola pemerintah desa. Pemerintah Desa Mengutip Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2010 Kabupaten Pemalang, Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Civil Society Menurut Utami, Molo, Widiyanti (2011), institusi informal dikaji berdasarkan aspek normative dan aspek cultural-kognitif. Kelembagaan menyediakan pedoman dan sumber daya untuk bertindak, sekaligus batasanbatasan dan hambatan untuk bertindak. Fungsi kelembagaan itu sendiri ialah untuk tercapainya stabilitas dan keteraturan. Putnam (1996) yang dikutip oleh Hadiwinata (2005) mendefinisikan civil society sebagai segala bentuk kehidupan sosial yang terorganisir dan terbuka bagi semua kalangan, menganut prinsip sukarela, dan tumbuh secara mandiri. Civil society juga merupakan tempat perbedaan kepentingan dinegosiasikan sehingga kehadirannya dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam merepresentasi kepentingan dan sekaligus memperluas partisipasi politik. Selanjutnya, Alagappa (2004) yang masih dikutip oleh Hadiwinata (2005) mengemukakan bahwa civil society akan mengembangkan demokrasi ketika ia memfasilitasi pembentukan budaya politik demokratis, meminta kepada pemerintah untuk mempertanggung jawabkan setiap kebijakannya, dan mendorong masyarakat untuk melakukan partisipasi politik. Hadiwinata (2005) menambahkan kutipan dari pandangan Schmitter (1995) yang menyatakan bahwa civil society harus mengemban empat nilai, yakni otonomi, aksi kolektif, tidak berpretensi untuk memperebutkan kekuasaan dan civil (tunduk terhadap hukum). Sosok masyarakat sipil yang dimaksud secara operasional ialah mencakup institusi-institusi non-pemerintah yang berada di masyarakat yang mewujudkan diri melalui organisasi, perkumpulan atau pengelompokan sosial dan politik yang
13 berusaha untuk membangun kemandirian seperti organisasi sosial dan keagamaan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), paguyuban, kelompok-kelompok kepentingan, dan sebagainya yang juga bisa mengambil jarak dan menunjukkan otonomi terhadap negara. Pengertian civil society yang dapat dirumuskan dari berbagai pendapat ahli ialah sebuah organisasi non-pemerintah yang terbentuk secara swadaya, bergerak secara mandiri, dan juga tidak terikat dengan wewenang resmi dengan pemerintahan desa. Konsep civil society bisa juga dijadikan dasar pemikiran konsep lembaga informal yang dapat diartikan sebagai lembaga yang tidak terikat dengan kontrol wewenang pemerintah dan juga tidak terikat dengan struktur yang formal. Tugas dan fungsi civil society ini tetap berhubungan dengan proses penyelenggaraan pemerintahan desa. Bentuk dari civil society ini bisa LSM, organisasi keagamaan, organisasi sosial budaya, kelompok pemuda, kelompok arisan, dan sebagainya. Efektivitas Kelembagaan Menurut Utami, Molo, Widiyanti (2011), efektivitas kelembagaan dilihat dari unsur-unsur kelembagaan yang ditelaah pada tataran organisasi dan peraturan/pedoman. Pada tataran organisasi, penelaahan dilakukan pada skala dan ruang lingkup tugas pengawas dan posisi pengawas dalam struktur organisasi formal maupun informal. Telaah tataran peraturan menekankan pedomanpedoman yang menjadi acuan para anggota untuk melaksanakan kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sejauhmana aturan tersebut ditaati oleh anggota termasuk sanksinya. Efektivitas menurut Hidayat (1986) yang dikutip oleh Paraso (2013) menjelaskan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas, dan waktu) telah mencapai. Semakin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Adapun Martoyo (2000) yang masih dikutip oleh Paraso (2013) memberikan definisi bahwa efektivitas dapat pula diartikan sebagai kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih tujuan yang hendak dicapai dan sarana yang digunakan, serta kemampuan yang dimiliki adalah tepat, sehingga tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan. Dilanjutkan dengan pendapat Etzioni (1985) yang menyatakan efektivitas organisasi ialah tingkat sejauhmana ia berhasil dalam mencapai tujuannya. Kemudian teori efektivitas juga muncul dari pendapat seorang ahli yakni Soekanto (tidak ada tahun) yang dikutip oleh Khairulludin (2010), beliau mendefinisikan teori efektivitas di bidang hukum. Efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 4 (empat) faktor. Pertama; faktor hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat dan kebudayaan, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan dan berkaitan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat. Hukum yang berjalan efektif harus dilihat dari hukum itu sendiri, dimana tujuan hukum itu adalah memberikan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Berdasarkan dari konsep beberapa ahli tersebut, peneliti akhirnya memilih konsep yang dipaparkan oleh Soekanto (tidak ada tahun) yang dikutip oleh Khairulludin (2010), hal ini dikarenakan
14 variabel yang digunakan untuk mengukur efektivitas terbilang cukup jelas. Teori efektivitas di bidang hukum ini kemudian ditransformasikan menjadi teori efektivitas pada sebuah kelembagaan. Merujuk dari pemaparan di atas, dapat dirumuskan bahwa konsep efektivitas kelembagaan adalah upaya pencapaian tujuan berdasarkan sumberdaya yang tergantung pada kelembagaan itu sendiri (memuat tentang peraturan), kinerja dari anggota kelembagaan, sarana/fasilitas yang mendukung, serta lingkungan dimana kelembagaan tersebut tumbuh yakni meliputi sifat masyarakat yang hidup di sekitar dan juga kebudayaan yang ada di masyarakat. Kerangka Pemikiran Demokrasi dalam konteks pemilihan Kepala Desa (Pilkades) dapat dipahami sebagai pengakuan keanekaragaman serta sikap politik partisipatif dari masyarakat dalam bingkai demokratisasi pada tingkat desa. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memaparkan bahwa Pemerintahan Daerah mengakui penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan dimana desa berhak dan memiliki kewenangan untuk mengurus rumahtanggga desa. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam praktik demokrasi ada tiga, yakni lembaga desa yang bersifat formal seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Pemerintah Desa, dan Karang Taruna, serta lembaga desa yang bersifat informal seperti paguyuban warga desa, dan organisasi masyarakat keagamaan. Perbedaan sifat kelembagaan ini akan menentukan seberapa jauh lembaga tersebut dapat berpartisipasi dan berpengaruh pada pelaksanaan praktik demokrasi yang dijalankan. Hal ini dikarenakan sejauhmana pencapaian tujuan dari masingmasing lembaga formal dan informal dalam praktik demokrasi akan menunjukkan efektivitas dari kedua kelembagaan tersebut. Kemudian pengukuran efektivitas akan dilihat dari beberapa indikator yang meliputi faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, serta faktor sosialmasyarakat. Faktor kelembagaan sendiri dilihat dari variabel AD/ART, peraturan dan sanksi, struktur kepengurusan, pembagian tugas, serta pihak pengawas/monitoring di tingkat penerapan/pengimplementasiannya. Faktor anggota kelembagaan akan dilihat dari variabel kedudukan, peran, tugas, dan kinerja yang disandang dan dijalankan. Faktor sarana/fasilitas pendukung dilihat dari akses informasi, akomodasi, serta akses kontrol terhadap serangkaian proses pelaksanaan pemilihan Kepala Desa itu sendiri. Selanjutnya, untuk faktor sosialmasyarakat akan dilihat dari tingkat kohesivitas masyarakat, tingkat kesadaran masyarakat terhadap keberadaan kelembagaan, dan tingkat keterlibatan dalam memberikan hak suara. Keempat faktor tersebut akan dilihat tingkat pengaruh yang paling menonjol atau dominan terhadap efektivitas kelembagaan dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Desa. Selanjutnya, merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, proses pemilihan Kepala Desa dibagi menjadi dua tahapan, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, mengumumkan calon Kepala Desa yang berhak dipilih kepada
15 masyarakat, serta pelaksanaan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tahap pelaksanaan meliputi proses pemungutan suara, proses perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, dan pelantikan Kepala Desa yang terpilih. Pemaparan dari hal inilah yang merujuk pada rumusan kerangka analisis yang dibuat sebagai berikut :
Gambar 1 Kerangka pemikiran Keterangan: :
Unit analisis
:
Mempengaruhi
:
Dilihat dari
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh signifikan faktor tertentu terhadap efektivitas kelembagaan 2. Terdapat pengaruh signifikan faktor tertentu efektivitas kelembagaan terhadap praktik demokrasi desa 3. Terdapat pengaruh efektivitas kelembagaan terhadap praktik demokrasi desa
16 4. Kelembagaan formal lebih efektif dibandingkan dengan kelembagaan informal
Definisi Konseptual Merujuk pada kerangka pemikiran, penulis akan mendefinisikan secara lebih operasional mulai dari konsep dan variabel, serta akan dipaparkan indikatorindikator apa saja yang akan digunakan. Pemaparan lebih lanjut ialah sebagai berikut: Kelembagaan Desa a. Lembaga Formal Desa 1. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD dapat dianggap sebagai “parlemen”-nya desa. BPD merupakan lembaga baru di desa pada era otonomi daerah di Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, memaparkan bahwa Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. 2. Pemerintah Desa Pemerintah desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa. 3. Karang Taruna Merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan yang menjadi wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh, dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas adat sederajat. b. Lembaga Informal Desa 1. Paguyuban Warga Desa Merupakan salah satu lembaga yang dibentuk oleh kalangan masyarakat setempat, dan juga menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya tentang isu-isu yang berhubungan dengan berbagai bentuk praktik penyelenggaraan pemerintahan desa. Kemudian aspirasi yang ada akan diteruskan sampai lembaga formal desa. 2. Organisasi Masyarakat Keagamaan Merupakan lembaaga atau perkumpulan warga yang tidak terikat dengan wewenang resmi dari pemerintah desa, dan berkumpul berdasarkan kesamaan kepercayaan dan keyakinan yang bertujuan untuk menjalin tali silaturahmi dan persaudaraan. Lembaga ini juga menjadi wadah bagi
17 anggotanya untuk mengembangkan aspirasinya, dan dapat pula ikut mengawasi serta membantu pelaksanaan praktik penyelenggaraan pemerintahan desa.
Definisi Operasional Merujuk pada kerangka pemikiran, penulis akan mendefinisikan secara lebih operasional mulai dari konsep dan variabel, serta akan dipaparkan indikatorindikator apa saja yang akan digunakan. Pemaparan lebih lanjut ialah sebagai berikut: Efektivitas Kelembagaan 1. Faktor Kelembagaan. Kelembagaan adalah unit sosial (atau pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu. Organisasi pada umumnya ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan dan tanggung jawab komunikasi, (2) adanya satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi pengendalian usaha-usaha organisasi serta mengarahkan organisasi mencapai tujuannya, (3) adanya penggantian tenaga, bilamana tenaga kerja tersebut tidak bekerja sebagaimana yang diharapkan. Tujuan organisasi itu sendiri ialah keadaan yang dikehendaki pada masa akan datang yang senantiasa dikejar oleh organisasi agar dapat direalisasikan (Etzioni 1985). Ditambahkan dari Utami, Molo, Widiyanti (2011) menyatakan bahwa kelembagaan dari aspek formal merupakan gambaran/deskripsi potret dari aspek regulative institusi formal yang terdiri dari batas yuridiksi, peraturan, sanksi dan monitoring. Merujuk pada pendapat ahli tersebut, pengukuran faktor kelembagaan dilihat dari keberadaan dan sejauhmana tingkat penerapan AD/ART, peraturan dan sanksi, struktur kepengurusan, pembagian tugas, pengawas/pihak yang melakukan monitoring. a. AD/ART adalah landasan atau acuan dalam menjalankan sebuah organisasi yang didalamnya memuat secara terperinci, terarah, dan terpadu tentang visi dan misi organisasi, anggaran pembiayaan kegiatan organisasi, serta keseluruhan rencana kerja program organisasi yang berdasarkan pada tujuan organisasi tersebut. Tingkat penerapan AD/ART ialah tingkat kesesuaian isi AD/ART yang dijadikan pedoman dengan teknis pelaksanaannya, semakin banyak poin yang dijalankan dengan sesuai, maka kategori penerapannya semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Tingkat penerapan AD/ART, sangat baik (skor 4), baik (skor 3), tidak baik (skor 2), sangat tidak baik (skor 1). b. Peraturan dan sanksi adalah ketentuan dan pedoman yang memuat tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan, hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan, hal-hal yang seharusnya ditaati, hal-hal yang yang seharusnya dihindari, serta ganjaran yang diterima atas pelanggaran ketentuan yang telah disepakati. Peraturan dan sanksi ini dimaksudkan untuk mengontrol anggota organisasi agar tidak melakukan hal-hal diluar kendali atau diluar
18 ketetapan organisasi. Tingkat penerapan peraturan dan sanksi ialah tingkat kesesuaian isi peraturan dan sanksi yang dijadikan pedoman dengan teknis pelaksanaannya, semakin banyak poin yang dijalankan dengan sesuai, maka kategori penerapannya semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Tingkat penerapan peraturan dan sanksi, sangat baik (skor 4), baik (skor 3), tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). c. Struktur Kepengurusan adalah suatu susunan yang menggambarkan hubungan antara tiap bagian secara posisi yang ada pada organisasi dalam menjalin kegiatan operasional untuk mencapai tujuannya. Didalamnya juga memuat tentang bagaimana suatu pekerjaan dibagi, dikelompokkan, serta dikoordinasikan secara keseluruhan. Tingkat penerapan struktur kepengurusan ialah tingkat kesesuaian isi/gambaran struktur kepengurusan yang dijadikan pedoman dengan teknis pelaksanaannya, semakin jelas penggambarannya serta semakin banyak poin yang dijalankan dengan sesuai, maka kategori penerapannya semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Tingkat penerapan struktur kepengurusan, sangat baik (skor 4), baik (skor 3), tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). d. Pembagian tugas adalah kegiatan-kegiatan/tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab untuk dilaksanakan dibagi berdasarkan posisi tertentu anggota organisasi. Tingkat penerapan pembagian tugas ialah tingkat kesesuaian antara tugas-tugas yang telah dibagikan secara tertulis dengan tugas-tugas yang dilaksanakan secara teknis. Semakin rinci tugas yang dituliskan, serta semakin banyak kegiatan yang dijalankan dengan baik dan sesuai, maka kategori penerapannya semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Tingkat penerapan pembagian tugas, sangat baik (skor 4), baik(skor 3), tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). e. Pengawas/pihak yang memonitoring adalah seseorang atau pihak yang memperhatikan, mengawasi, serta mengontrol keseluruhan rancangan program kerja yang tertuang dalam beberapa kegiatan. Pengukuran pengawas/pihak yang memonitoring akan dilihat dari sejauhmana pengawas/pihak yang memonitoring menjalankan tugasnya, dimana berapa banyak kegiatan yang diawasi dan dikontrol secara benar. Semakin banyak kegiatan yang diawasi dan dikontrol secara benar, maka kategori penerapannya semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Tingkat pelaksanaan monitoring, sangat baik (skor 4), baik(skor 3), tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). Faktor kelembagaan, dikategorikan mempunyai pengaruh besar (jika skor 59-78) mempunyai poin 3, sedang (jika skor 39-58) mempunyai poin 2, dan rendah (jika skor 19-38) mempunyai poin 1. 2. Faktor Anggota Kelembagaan. Anggota kelembagaan adalah individu/badan yang menjadi bagian atau masuk dalam sebuah kelembagaan. Pengukuran faktor anggota kelembagaan dilihat dari sejauhmana kedudukan, peranan, tugas, dan kinerja yang dijalankan oleh anggota.
19 a. Kedudukan merupakan posisi tertentu dalam struktur kepengurusan yang tinggi, sedang atau rendah. Pengukuran kedudukan akan dilihat dari sejauhmana posisi seorang anggota menjalankan tugas-tugasnya, semakin banyak tugas yang dijalankan sesuai dengan posisinya, maka kategori kedudukan semakin aktif dan skornya semakin tinggi. (i) Kedudukan dikategorikan menjadi sangat aktif (skor 4), aktif (skor 3), tidak aktif (skor 2), dan sangat tidak aktif (skor 1). b. Peranan merupakan hak–hak dan kewajiban–kewajiban yang dilakukan oleh anggota. Pengukuran peranan akan dilihat dari sejauhmana seorang anggota menjalankan hak dan kewajibannya dalam menjalankan tugasnya, semakin banyak hak dan kewajiban yang terpenuhi, maka kategori peranan semakin aktif dan skornya semakin tinggi. (i) Peranan dikategorikan menjadi sangat aktif (skor 4), aktif (skor 3), tidak aktif (skor 2), dan sangat tidak aktif (skor 1). c. Tugas merupakan perihal yang harus dilaksanakan oleh anggota pada suatu kepentingan tertentu. Pengukuran tugas akan dilihat dari sejauhmana seorang anggota menjalankan tugasnya, semakin banyak tugas (yang harus) dijalankan selesai, maka kategori tugas semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Tugas dikategorikan menjadi sangat baik (skor 4), baik (skor 3), tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). d. Kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seorang anggota dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan berdasarkan kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta ketepatan waktu. Pengukuran kinerja akan dilihat dari sejauhmana seorang anggota menyelesaikan tugasnya dengan baik, tepat waktu, dan hasilnya memuaskan, semakin banyak tugas yang terselesaikan dengan baik, tepat waktu dan hasilnya bagus, maka kategori kinerja semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Kinerja dikategorikan menjadi sangat baik (skor 4), baik (skor 3), tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). Faktor anggota kelembagaan, dikategorikan mempunyai pengaruh besar (jika skor 23-30) mempunyai poin 3, sedang (jika skor 15-22) mempunyai poin 2, dan rendah (jika skor7-14) mempunyai poin 1. 3. Faktor Sarana/Fasilitas Pendukung. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan. Pengukuran faktor sarana/fasilitas pendukung dilihat dari adanya akses informasi, akomodasi, serta akses kontrol di kalangan anggota kelembagaan, juga kalangan masyarakat secara umum. Pengukuran faktor sarana/fasilitas pendukung dilihat dari sejauhmana akses informasi, akomodasi, serta akses kontrol berjalan dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Desa. a. Akses Informasi merupakan suatu jalan masuk untuk melakukan penerusan/penyebaran informasi kepada semua elemen masyarakat tentang hal-hal penting pemilihan Kepala Desa. Pengukuran akses informasi akan dilihat dari sejauhmana proses penerusan atau penyebaran informasi berjalan, semakin penyampaian informasi tidak banyak mengalami
20 kendala dan penundaan, maka kategori akses informasi semakin lancar dan skornya semakin tinggi. (i) Akses informasi, berjalan sangat lancar (skor 4), lancar (skor 3), tidak lancar (skor 2), dan sangat tidak lancar (skor 1). b. Akomodasi merupakan sesuatu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan, misalnya penyediaan tempat. Akomodasi dalam hal ini akan dilihat dari penyediaan tempat atau lokasi dalam penyelenggaran kegiatan tertentu dan penyediaan bahan dan alat yang dibutuhkan dalam pemilihan Kepala Desa. Pengukuran akomodasi sendiri berdasarkan seberapa layak penyediaan tempat, juga seberapa bagus bahan dan alat yang digunakan tersedia. Semakin baik penyediaan dari keseluruhannya, maka kategori akomodasi semakin baik dan skornya semakin tinggi. (i) Akomodasi tersedia dengan sangat baik (skor 4), baik (skor 3), tidak baik (skor 2), dan sangat tidak baik (skor 1). c. Akses kontrol merupakan suatu jalan masuk untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian oleh semua elemen masyarakat tentang hal-hal penting yang terjadi pada saat pemilihan Kepala Desa. Pengukuran akses kontrol akan dilihat dari sejauhmana proses pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian berjalan, semakin proses pengawasan, pemeriksaan, dan pengendalian tidak banyak mengalami kendala dan penundaan, maka kategori akses kontrol semakin lancar dan skornya semakin tinggi. (i) Akses kontrol, berjalan sangat lancar (skor 4), lancer (skor 3), tidak lancar (skor 2), dan sangat tidak lancar (skor 1). Faktor sarana/fasilitas pendukung, dikategorikan mempunyai pengaruh besar (jika skor 20-26) mempunyai poin 3, sedang (jika skor 13-19) mempunyai poin 2, dan rendah (jika skor 6-12) mempunyai poin 1. 4. Faktor Sosial-Masyarakat. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain. Pengukuran faktor sosial-masyarakat dilihat dari kohesivitas masyarakat, kesadaran masyarakat terhadap keberadaan kelembagaan, dan keterlibatan masyarakat dalam memberikan hak suara. a. Kohesivitas masyarakat adalah keeratan hubungan atau interaksi yang terjalin di kalangan warga masyarakat. Kohesivitas masyarakat ini akan dilihat dari sering/jarangnya masalah atau konflik yang terjadi, intensitas interaksi yang dilakukan, mobilitas fisik (kemampuan melakukan hubungan dengan pihak di luar lingkungan masyarakat). Pengkategorian skor akan disesuaikan dengan variasi jawaban responden. (i) Masalah atau konflik merupakan suatu hal atau sebuah keadaan, dimana terjadi kesenjangan atau ketidakharmonisan di kalangan masyarakat karena adanya perbedaan kepentingan dan pencapaian tujuan. Pengukurannya akan dilihat dari jumlah masalah/konflik yang terjadi, semakin banyak masalah/konflik yang terjadi, maka akan semakin tidak baik dan skornya semakin rendah. Terjadinya masalah/konflik, sangat tidak sering (skor 4) tidak sering (skor 3),sering (skor 2), sangat sering (skor 1).
21 (ii) Interaksi merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dengan menggunakan bahasa. Pengukurannya akan dilihat dari frekuensi hubungan yang dilakukan oleh masyarakat, semakin sering frekuensi interaksi yang dilakukan, maka akan semakin baik dan skornya semakin tinggi. Intensitas interaksi di kalangan masyarakat sangat sering (skor 4), sering (skor 3), tidak sering (skor 2), dan sangat tidak sering (skor 1). (iii) Mobilitas fisik merupakan kemampuan melakukan hubungan dengan pihak di luar lingkungan masyarakat. Pengukurannya akan dilihat dari frekuensi mobilitas fisik yang dilakukan oleh masyarakat, semakin sering frekuensi mobilitas fisik yang dilakukan, maka akan semakin tidak baik dan skornya semakin rendah. Mobilitas fisik yang dilakukan sangat tidak sering (skor 4), tidak sering (skor 3), sering (skor 2), dan sangat sering (skor 1). b. Kesadaran masyarakat terhadap keberadaan kelembagaan merupakan suatu proses yang mencakup unsur pengetahuan mengenai keberadaan sebuah kelembagaan, anggota kelembagaan, serta fungsi dan tugas dari sebuah kelembagaan tersebut. Kesadaran masyarakat ini akan dilihat dari sejauhmana tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sebuah kelembagaan, anggota kelembagaan, serta fungsi dan tugas dari sebuah kelembagaan tersebut. (i) Mengetahui dan memahami tentang keberadaan sebuah kelembagaan dengan sangat rinci (skor 4), rinci (skor 3), tidak rinci (skor 2), dan tidak mengetahui (skor 1). (ii) Mengetahui pihak siapa saja yang ada dalam kelembagaan, 80 persen sampai seluruh anggota (skor 4), 50 persen sampai 75 persen anggota (skor 3), 20 persen sampai 40 persen anggota (skor 2), tidak mengetahui (skor 1). (iii) Memahami fungsi dan tugas dari sebuah kelembagaan dengan sangat rinci (skor 4), rinci (skor 3), tidak rinci (skor 2), dan tidak mengetahui (skor 1). c. Selanjutnya, keterlibatan masyarakat dalam memberikan hak suara diartikan memberikan atau tidak memberikan hak suara mereka terhadap pilihan calon Kepala Desa yang telah ada, dan dilihat dari jumlah masyarakat (mempunyai hak pilih) yang terlibat. (i) Jumlah yang terlibat memberikan hak suara lebih dari 80 persen masyarakat pemilih (skor 4), 70 persen sampai 80 persen masyarakat pemilih (skor 3), 50 persen sampai 60 persen masyarakat pemilih (skor 2), kurang dari 50 persen masyarakat pemilih (skor 1). Faktor sosial-masyarakat, dikategorikan mempunyai pengaruh besar (jika skor 2634) mempunyai poin 3, sedang (jika skor 17-25) mempunyai poin 2, dan rendah (jika skor 8-16) mempunyai poin 1. Efektivitas kelembagaan dikategorikan tinggi, jika seluruh indikator terhitung dengan jumlah poin 10-12, dikategorikan sedang jika indikator terhitung dengan jumlah poin 7-9, dikategorikan rendah jika indikator terhitung dengan jumlah poin 4-6.
22 Praktik Demokrasi: Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, proses pemilihan Kepala Desa meliputi: 1. Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. 2. Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa. 3. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak. 4. Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa. 5. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa. 6. Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 7. Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan. 8. Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud, dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa. 9. Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud, bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa. 10. Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. 11. Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak. 12. Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih. 13. Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa yang terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih. 14. Badan Permusyawaratan Desa paling lama (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota. 15. Bupati/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota. 16. Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota. 17. Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji. 18. Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. 19. Kepala Desa dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.
23 Dari penjelasan proses tersebut, akan disederhanakan menjadi dua tahap, yakni sebagai berikut : 1. Persiapan merupakan tahapan awal yang dilakukan pada proses pemilihan Kepala Desa, tahapan awal ini meliputi : a. Pembentukan Panitia Pemilihan ialah kegiatan yang dilakukan untuk merekrut anggota panitia dari pihak perangkat pemerintahan dan juga dari pihak masyarakat. (i) Rapat pembentukan panitia, semua pihak masyarakat yang diundang dan semuanya hadir (skor 4), semua pihak masyarakat diundang dan beberapa yang tidak hadir (skor 3), semua pihak masyarakat diundang dan hanya pejabat desa yang hadir (skor 2), hanya pejabat desa yang diundang dan juga hadir (skor 1). (ii) Anggota panitia dari pihak masyarakat 45 persen sampai 50 persen (skor 4), anggota panitia dari pihak masyarakat 30 persen sampai 40 persen (skor 3), anggota panitia dari pihak masyarakat 20 persen sampai 30 persen (skor 2), anggota panitia dari pihak masyarakat kurag dari 20 persen (skor 1). (iii) Penetapan tata cara untuk keseluruhan rangkaian kegiatan berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (iv) Penyusunan jadwal dan pembiayaan pelaksanaan untuk keseluruhan rangkaian kegiatan berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). b. Penjaringan dan Penyaringan Berkas Bakal Calon Kepala Desa merupakan pemilihan bakal calon melalui berkas yang ada dengan penyesuaian dan kelengkapan persyaratan dan kriteria yang dibuat oleh BPD. (i) Sejauhmana mekanisme penjaringan bakal calon dilaksanakan (berkaitan dengan deadline), berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (ii) Sejauhmana tata cara penjaringan bakal calon yang dijalankan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (iii) Sejauhmana mekanisme penyaringan bakal calon dilaksanakan (berkaitan dengan deadline), berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (iv) Sejauhmana tata cara penyaringan bakal calon yang dijalankan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). c. Mengumumkan Calon Kepala Desa yang berhak dipilih kepada masyarakat ialah memberikan informasi kepada masyarakat secara luas dan merata mengenai calon mana saja yang pantas dipilih. (i) Sejauhmana pengumuman tentang daftar pemilih dilaksanakan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1).
24 (ii)
Sejauhmana pengumuman tentang calon yang berhak dipilih dilaksanakan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (iii) Sejauhmana pengumuman tentang tempat dan waktu pelaksanaan pemilihan dilaksanakan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). d. Kampanye dari para Calon Kepala Desa ialah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengenalkan lebih dalam profil calon Kepala Desa dan visi misi apa yang dibawa oleh para calon sesuai dengan jadwal yang ditentukan. (i) Sejauhmana mekanisme kampanye dari para calon dilaksanakan (berkaitan dengan deadline), berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (ii) Sejauhmana tata cara kampanye dari para calon yang dijalankan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). Tahap persiapan dikatakan berjalan baik, jika skor akhir 47-62, sedang jika skor akhir 31-46, tidak berjalan baik jika skor akhir 15-30. 2. Pelaksanaan merupakan tahapan yang berhubungan dengan teknis berjalannya pemilihan Kepala Desa sendiri, yakni meliputi : a. Proses Pemungutan Suara : Proses yang melibatkan masyarakat dalam memberikan hak suara mereka terhadap calon Kepala Desa yang ada. (i) Sejauhmana mekanisme pemungutan suara dilaksanakan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (ii) Sejauhmana tata cara pemungutan suara yang dijalankan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). b. Proses Penghitungan Suara : Proses yang menghitung akumulasi dari hak suara masyarakat. (i) Sejauhmana mekanisme perhitungan suara dilaksanakan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (ii) Sejauhmana tata cara perhitungan suara yang dijalankan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). c. Pelaporan Hasil Penghitungan Suara : kegiatan pemaparan hasil proses perhitungan suara yang telah dilaksanakan. (i) Sejauhmana mekanisme pengumuman hasil perhitungan suara dilaksanakan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (ii) Sejauhmana tata cara pengumuman hasil perhitungan suara yang dijalankan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik
25 (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). (iii) Sejauhmana pelaporan hasil perhitungan suara dan pertanggung jawaban lainnya dilaksanakan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). d. Pelantikan Kepala Desa : kegiatan untuk meresmikan Kepala Desa yang terpilih berdasarkan hasil laporan perhitungan suara dan keputusan BPD. (i) Sejauhmana pelaksanaan pelantikan Kepala Desa dijalankan, berjalan dengan sangat baik (skor 4), berjalan baik (skor 3), berjalan tidak baik (skor 2), berjalan sangat tidak baik (skor 1). Tahap pelaksanaan dikatakan berjalan baik, jika skor akhir 32-42, sedang, jika skor akhir 21-31, tidak berjalan baik jika skor akhir 10-20. Praktik pemilihan Kepala Desa dikategorikan berhasil dan berjalan baik, jika skor seluruh indikator terhitung dengan jumlah 77-102, berjalan sedang, jika skor akhir 51-76, tidak berjalan baik jika skor akhir 25-50.
PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan pendekatan penelitian sensus dan didukung dengan data kualitatif. Menurut Rianse dan Abdi (2009) menyatakan bahwa pengambilan sampel jenis ini dicirikan oleh pengambilan seluruh populasi sebagai sampel penelitian. Salah satu pertimbangannya ialah jumlah populasi yang kurang dari lima puluh orang. Unit analisa yang digunakan ialah anggota kelembagaan formal dan informal. Penelitian sensus yang digunakan pada penelitian ini dimaksudkan untuk penjelasan (explanatory). Pada penelitian explanatory, peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa. Sementara penelitian kualitatif dilakukan dengan teknik penelitian wawancara tidak terstruktur, wawancara mendalam, observasi, dan analisa data sekunder yang terkait dengan topik penelitian peneliti. Data sekunder sendiri merupakan data pendukung, dan diperoleh dari hasil berbagai catatan yang berupa laporan, arsip dan dokumen pada kantor Pemerintah Desa. Penelitian kualitatif yang dilakukan berguna untuk melengkapi data terkait efektivitas kelembagaan dalam praktik demokrasi desa. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Kelangdepok, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang. Lokasi tersebut dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut mempunyai kelembagaan formal dan informal yang cukup aktif keterlibatan dan partisipasinya dalam berbagai bentuk praktik penyelenggaraan pemerintahan desa, salah satunya praktik demokrasi seperti pemilihan Kepala Desa, dibandingkan dengan desa lainnya. Waktu pelaksanaan penelitian lapang (penggalian data primer dan data sekunder) akan dilaksanakan pada bulan April 2014. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi (Lampiran 1). Teknik Sampling Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh anggota kelembagaan desa (baik formal maupun informal) masyarakat Desa Kelangdepok yang terdaftar sebagai panitia pemilihan Kepala Desa, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Unit penelitiannya yaitu anggota dari kelembagaan. Anggota kelembagaan dipilih dikarenakan beberapa alasan, yakni bahwa anggota kelembagaan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat efektivitas kelembagaan dan juga menjadi pihak penyelenggara dan melaksanakan praktik pemilihan Kepala Desa. Populasi dalam penelitian ini adalah panitia pemilihan Kepala Desa, maka jumlah responden dalam penelitian ini yang sebanyak 39
28 orang yang merupakan anggota kelembagaan (baik fomal maupun informal) akan diambil secara keseluruhan. Agar lebih jelas, berikut adalah bagan metode pengambilan populasi sampel yang digunakan:
Gambar 2 Metode pengambilan sampel
Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner, dan wawancara kepada responden dan informan di lokasi penelitian. Kuesioner sebelumnya telah diuji coba untuk mengetahui reliabilitas dan validitas dari kuesioner tersebut. Berdasarkan uji statistik reliabilitas, besaran nilai yang tertera adalah 0,889. Aturan dalam penentuan nilai alpha yaitu jika nilai alpa > 0.90 maka reliabilitas sempurna, jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.90 maka reliabilitas tinggi, jika nilai alpha 0.70 < alpha < 0.5 maka reliabilitas moderat, dan jika nilai alpha <0.5 maka reliabilitas rendah. Besaran nilai yang tertera menunjukkan bahwa hasil uji reliabilitas pada kuesioner penelitian ini menunjukkan bahwa kuesioner memiliki reliabilitas tinggi. Kuesioner diberikan kepada 39 orang responden yang sudah ditentukan sebelumnya.Wawancara mendalam dilakukan kepada responden dan informan untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun data sekunder ialah data tambahan dan atau data pendukung, yang diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti panitia pemilihan Kepala Desa tahun 2010, pemerintah desa, dan pengurus kelembagaan pedesaan yang dijadikan unit analisa. Data sekunder juga diperoleh dari berbagai catatan yang berupa laporan, arsip dan dokumen pada kantor Pemerintah Desa.
29 Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis penelitian ini adalah anggota kelembagaan (individu). Data kuantitatif yang didapatkan dari hasil kuesioner responden diolah dan dianalisis dengan menggunakan program software SPSS Statistic 2.0 dan Microsoft Office Excel 2007. Program SPSS Statistic 2.0 digunakan oleh peneliti untuk melakukan uji statistik. Uji statistik data dilakukan dengan menggunakan Uji Regresi. Uji regresi merupakan uji statistik yang digunakan untuk mengukur besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel tergantung dan memprediksi variabel tergantung dengan menggunakan variabel bebas. Uji regresi digunakan untuk melihat tingkat pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap tingkat efektivitas kelembagaan dalam melakukan praktik pemilihan Kepala Desa, pengaruh faktor efektivitas kelembagaan terhadap praktik pemilihan Kepala Desa, dan juga melihat pengaruh efektivitas kelembagaan terhadap praktik pemilihan Kepala Desa. Selanjutnya, akan dilakukan uji t-independent untuk melihat peran dari kelembagaan manakh yang lebih dominan ataupun yang lebih efektif.
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Ekonomi Desa Kelangdepok adalah salah satu dari sembilan belas desa yang terdapat di Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Desa ini termasuk dalam daerah dataran rendah yang memiliki ketinggian rata-rata antara 6-15 meter di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata selama 1 tahun di desa ini adalah 302 mm. Desa Kelangdepok terbagi menjadi 2 Dusun yakni Dusun Kelang dan Dusun Depokan. Kemudian terbagi menjadi 4 RW (Rukun Warga), dan 18 RT (Rukun Tetangga). Adapun batas-batas wilayah Desa Kelangdepok adalah sebagai berikut: a. Sebelah utara : Desa Sragi b. Sebelah timur : Desa Pendowo c. Sebelah selatan : Sungai Comal : Desa Muncang d. Sebelah barat Tabel 1 Jumlah bangunan infrastruktur desa dan fasilitas lainnya di Desa Kelangdepok per tahun 2011 Bangunan Infrastruktur/Fasilitas Kantor Desa Balai Desa/Balai Pertemuan Kantor Sekretariat BPD Kantor Sekretariat LPMD Kantor Sekretariat Karang Taruna Taman Kanak-kanak (TK) Sekolah Dasar (SD) Sekolah Menengah Pertama (SMP) Madrasah Diniyah Poliklinik Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) Posyandu Masjid Surau/Langgar Pos PAUD Lapangan Sepak Bola Lapangan Bola Voli Lapangan Bulu Tangkis Lapangan Bola Basket Jembatan Pos Keliling Koperasi Pos Hansip Sumber: Data Profil Desa Kelangdepok, 2011 (diolah)
Jumlah Unit 1 1 1 1 1 1 3 1 2 1 1 5 1 10 1 1 1 1 1 4 1 1 1
32 Adapun luas wilayah Desa Kelangdepok adalah sekitar 279 Ha. Sebagian besar lahan di Desa Kelangdepok digunakan untuk persawahan. Sekitar 47 persen (131,13 Ha) wilayah desa merupakan persawahan. Selain wilayah persawahan tersebut, lahan di desa digunakan untuk bangunan pemukiman warga masyarakat, infrastruktur desa, dan juga fasilitas lainnya. Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Kelangdepok adalah 955 KK. Total penduduk seluruhnya adalah 2 815 jiwa yang terdiri dari 1 453 jiwa penduduk perempuan dan 1 362 jiwa penduduk laki-laki. Sedangkan jumlah warga masyarakat yang tercatat dalam daftar pemilih tetap adalah sebanyak 2 537 jiwa. Jumlah keluarga yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 329 keluarga, sedangkan jumlah keluarga yang anggota keluarganya ada buruh tani sebanyak 476 keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa sumber utama penghasilan sebagian besar masyarakat Desa Kelangdepok adalah sektor pertanian terutama di pertanian padi. Sisa jumlah lainnya bekerja di sektor perdagangan yang meliputi usaha warung kelontong, usaha warung makanan dan minuman, sektor industri di usaha konveksi, serta sebagai kalangan pegawai negeri sipil. Selanjutnya, rata-rata tingkat pendidikan warga masyarakat Desa Kelangdepok adalah lulusan jenjang Sekolah Menengah Atas.
Karakteristik Responden Responden pada penelitian ini berjumlah 39 orang. Responden adalah anggota kelembagaan yang tercatat sebagai panitia pemilihan Kepala Desa di Desa Kelangdepok pada tahun 2010. Pembagian anggota kelembagaan yang menjadi panitia pemilihan Kepala Desa ialah menurut status keanggotaan responden dalam sebuah kelembagaan tertentu. Responden akan dibedakan menjadi responden yang berasal dari kelembagaan formal desa dan juga yang berasal dari kelembagaan informal desa. Pada penelitian ini, jumlah responden yang berasal dari kelembagaan formal adalah sebanyak 27 orang yang terdiri dari 9 anggota BPD, 9 perangkat desa, 6 anggota karang taruna, 1 anggota LPMD, dan 2 anggota dari pihak RT/RW. Jumlah responden yang berasal dari kelembagaan informal adalah sebanyak 12 orang yang terdiri 10 anggota paguyuban warga desa, dan 2 anggota dari tokoh perempuan yang juga merupakan anggota dari organisasi masyarakat keagamaan (Gambar 3).
Status Keanggotaan 80
69,23
60 40 20
30,77
27
Anggota Formal Anggota Informal
12
0 Jumlah
Persentase
Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan status keanggotaan
33 Responden terdiri dari individu yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak 92.3 persen (36 orang dari 39 orang), dan 7.7 persen (3 orang dari 39 orang) merupakan responden perempuan. Banyaknya jumlah responden laki-laki pada penelitian ini dikarenakan bahwa dalam panitia pemilihan Kepala Desa, kaum laki-laki diyakini memiliki tenaga fisik, stamina, dan gerak cekatan yang lebih apabila dibandingkan dengan kaum perempuan. Selain itu, biasanya kaum perempuan hanya diikutsertakan untuk mengurus keperluan dekorasi, dokumentasi, dan juga konsumsi. Penggolongan status keanggotaan ini nantinya akan memperlihatkan sejauhmana anggota panitia memberikan kontribusinya dalam serangkaian kegiatan pemilihan Kepala Desa. Pemberian kontribusi juga tidak terpisahkan dari posisi atau kedudukan apa yang disandang oleh masing-masing anggota kelembagaan, baik formal maupun informal. Nantinya akan terlihat keefektifan dari keduanya, yakni antara anggota kelembagaan formal dan anggota kelembagaan informal. Keefektifan ini berdasarkan pada kesesuaian antara pemberian tanggung jawab dengan realisasi teknis di lapangannya dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Tingkat pendidikan sendiri, anggota kelembagaan formal seperti BPD dan LPMD, hampir semua anggotanya merupakan lulusan perguruan tinggi, sedangkan kalangan perangkat desa didominasi dengan lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Anggota kelembagaan informal, mayoritas merupakan lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Dasar (SD). Berdasarkan tingkat pendidikan, responden dari anggota kelembagaan formal cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berasal dari keanggotaan lembaga informal. Hal ini dikarenakan pada kelembagaan formal seperti lembaga desa, syarat dalam rekruitmen anggotanya, tingkat pendidikan terakhir yang harus ditempuh adalah lulusan Sekolah Menengah Atas/Sederajat. Lain halnya dengan anggota kelembagaan informal yang tidak bertumpu pada tingkat pendidikan terakhir yang ditempuh pada perekrutan anggota yang ada.
Persentase Responden
70 60 50
Lulus SD 40
Lulus SMP
30
Lulus SMA
20
Lulus Perguruan Tinggi
10 0
Anggota Formal
Anggota Informal
Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
34 Tingkat pendidikan dari anggota lembaga formal yang berjumlah 27 orang terdiri dari lulusan perguruan tinggi sebesar 51.85 persen (14 orang), lulusan SMA 11 sebesar 40.74 persen (11 orang), dan juga lulusan SMP sebesar 7.41 persen (2 orang). Sedangkan untuk tingkat pendidikan dari anggota lembaga informal yang berjumlah 12 orang, terdiri dari lulusan SD sebesar 58.33 persen (7 orang), lulusan SMP sebesar 33.33 persen (4 orang), dan lulusan perguruan tinggi sebesar 8.34 persen (1 orang) (Gambar 4). Profil Kelembagaan Formal dan Kelembagaan Informal Desa Profil Kelembagaan Formal a. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Merupakan sebuah lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. Selain itu, BPD juga menjadi mitra Kepala Desa dalam menetapkan peraturan desa, merancang Alokasi Dana Desa (ADD), serta penyelenggaraan pemerintahan lainnya, seperti pemilihan Kepala Desa. Jumlah anggota BPD Desa Kelangdepok ialah sebanyak 9 (sembilan) orang, yang terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang wakil ketua, dan 6 (enam) orang lainnya sebagai anggota. Pemilihan anggota BPD ini melalui musyawarah bersama berdasarkan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki, dimana kandidat dari pengurus mewakili dusun, ataupun mewakili Rukun Warga (RW) yang ada di Desa Kelangdepok. Jumlah RW yang ada sebanyak 4 (empat) RW, kandidat anggota BPD meliputi 2 (dua) orang dari RW 01, 2 (dua) orang dari RW 02, 3 (tiga) orang dari RW 03, dan 2 (dua) orang dari RW 04. Perbedaan jumlah kandidat dari RW 03 dengan RW lainnya, yakni 3 (tiga) orang disebabkan karena wilayah RW 03 lebih luas dibandingkan dengan RW yang lainnya, sehingga keterwakilan warga tidak terlalu timpang. b. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) Merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan sebagai mitra kerja pemerintah desa untuk mengelola, merencanakan dan melaksanakan pembangunan dengan menggali swadaya gotong-royong masyarakat desa. Lembaga ini juga bertugas untuk menyusun rencana pembangunan yang berpartisipatif, menggerakkan swadaya gotong-royong masyarakat, dan melaksanakan pengendalian pembangunan. Tetapi, dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa, salah satu anggota LPMD menjadi anggota panitia pemilihan Kepala Desa. Hal ini dikarenakan pemilihan Kepala Desa berhubungan dengan gotong-royong masyarakat, serta salah satu awal dari pengendalian pembangunan melalui pemilihan pemimpin yang nantinya juga melaksanakan program-program pembangunan. Anggota LPMD yang direkrut dari kalangan masyarakat melalui musyawarah bersama berdasarkan kemampuan dan kompetensi yang dimiliki. Jumlah anggota LPMD Desa Kelangdepok ialah sebanyak 9 (sembilan) orang, yang terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 6 (enam) orang lainnya sebagai anggota.
35 c. Aparat Desa/Perangkat Desa Merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa guna membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, perangkat desa bertanggung jawab penuh terhadap Kepala Desa. Jumlah perangkat desa yang ada di Desa Kelangdepok adalah sebanyak 9 (sembilan) orang belum termasuk sekretaris desa, yang terdiri dari seorang bendahara desa, seorang polisi desa, seorang lebe, seorang kaur pembangunan, seorang kaur pelayanan masyarakat, dan empat kepala dusun. d. Karang Taruna Merupakan salah satu lembaga kemasyarakatan yang menjadi wadah pengembangan generasi muda yang tumbuh dan berkembang atas dasar kesadaran dan rasa tanggung jawab sosial dari, oleh dan untuk masyarakat terutama generasi muda di wilayah desa/kelurahan atau komunitas adat sederajat. Karang Taruna di Desa Kelangdepok bernama “Mekar”. Jumlah anggota Karang Taruna yang ada di Desa Kelangdepok ialah sebanyak 10 (sepuluh) orang, yang terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara, dan 7 (tujuh) orang lainnya sebagai anggota. Profil Kelembagaan Informal Desa a.
Paguyuban Warga Merupakan salah satu lembaga yang dibentuk oleh kalangan masyarakat setempat, juga menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya tentang isu-isu yang berhubungan dengan berbagai bentuk praktik penyelenggaraan pemerintahan desa. Nantinya akan diteruskan sampai lembaga formal desa. Anggota dari paguyuban ini terdiri dari berbagai kalangan masyarakat, seperti masyarakat biasa, kalangan profesi, atau mantan pejabat desa sekalipun. Jumlah dari anggota paguyuban ini pun lebih dari 10 (sepuluh) orang. b.
Organisasi Masyarakat Keagamaan Merupakan lembaaga atau perkumpulan warga yang tidak terikat dengan wewenang resmi dari pemerintah desa, dan berkumpul berdasarkan kesamaan kepercayaan dan keyakinan yang bertujuan untuk menjalin tali silaturahmi dan persaudaraan. Lembaga ini juga menjadi wadah bagi anggotanya untuk mengembangkan aspirasinya, dan dapat pula ikut mengawasi serta membantu pelaksanaan praktik penyelenggaraan pemerintahan desa. Perkumpulan ini meliputi perkumpulan Muhammaddiyah, perkumpulan Nahdatul Ulama (NU), perkumpulan Fathayat, perkumpulan Muslimat, dll. Biasanya pada perkumpulan Fathayat dan perkumpulan Muslimat, hampir seluruh anggotanya terdiri dari kalangan masyarakat golongan tua.
36 Latar Belakang Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa Baru Tahun 2010, tepatnya pada bulan Maret, yakni setelah kurang dari 2 (dua) tahun masa jabatan Kepala Desa. Desa Kelangdepok mengalami sebuah krisis pemerintahan, sang Kepala Desa terlibat dalam sebuah masalah penyimpangan tugas dan wewenangnya sebagai seorang pemimpin. Penyimpangan yang berkaitan dengan anggaran dana desa, yakni penyelewengan Alokasi Dana Desa (ADD) dan juga tanah bengkok desa. Munculnya masalah ini memicu kalangan masyrarakat desa baik dari kelembagaan formal dan informal untuk melakukan pergerakan dalam menyelesaikan masalah tersebut, juga memberikan solusi terbaik demi mengembalikan keadaan pemerintahan agar bisa stabil kembali. Kronologi pergerakan penyelesaian masalah yang terjadi adalah sebagai berikut; pada bulan Maret 2010, kalangan masyarakat desa membentuk Tim 17 yang terdiri dari para tokoh masyarakat desa, dan berjumlah sebanyak 17 (tujuh belas) orang. Tim 17 ini dibentuk untuk menindak lanjuti penyelesaian masalah sang Kepala Desa lama. Tim 17 yang telah dibentuk, berangkat ke kantor dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Pemalang dengan menggunakan bus pada jam 8 pagi untuk menghadiri pertemuan dengan Komisi A (pemerintahan) dan pemerintah Kabupaten Pemalang. Pada pertemuan ini, Komisi A memberikan dukungan atas pemberhentian Kepala Desa Kelangdepok, serta diharapkan bahwa proses pemberhentiannya dilakukan sesegera mungkin. Pihak dari eksekutif memberikan laporan hasil inspeksi yang menyatakan bahwa Kepala Desa memang terbukti menyalahgunakan sejumlah uang dari Alokasi Dana Desa (ADD). Berdasarkan hasil ini, selanjutnya akan segera dilakukan proses pemberhentian yang dimulai dari teguran pertama, kedua, dan ketiga. Namun, sebenarnya telah ada laporan yang menyatakan bahwa Bupati telah memberikan teguran pertama kepada Bapak A, sang Kepala Desa lama. Teguran tersebut menyinggung tentang tindakan sang Kepala Desa yang telah melakukan tindakan penyimpangan, yakni penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (ADD), dan juga penyalahgunaan tanah bengkok desa. Penyalahgunaan ADD ini telah menimbulkan akibat yang sangat serius, pertama; tidak adanya laporan pertanggung jawaban Kepala Desa tahun 2009 kepada masyarakat dan juga BPD, dan kedua; Pemerintah Desa Kelangdepok tidak bisa membuat Perdes RAPBDes (Peraturan Desa tentang Rancangan Anggaran Pendapatan dan Biaya Desa) tahun 2010, sehingga proses pembangunan terhenti di tahun ini sama seperti yang terjadi pada tahun 2009. Teguran ketiga dilayangkan kepada sang Kepala Desa lama setelah teguran pertama dan teguran kedua tidak direspon. Teguran terakhir ini meminta agar sang Kepala Desa lama segera untuk mengundurkan diri. Kerjasama antara Tim 17 dengan BPD, pihak Kecamatan, dan juga Pemerintah Kabupaten menuai hasil, akhirnya Bapak A, sang Kepala Desa lama mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Desa Kelangdepok. Berdasarkan pengunduran diri ini, BPD akan melaksanakan rapat untuk mengajukan surat pemberhentian jabatan Kepala Desa secara resmi ke Pemerintah Kabupaten juga mengajukan nama pejabat yang sementara menggantikan posisi Kepala Desa. Tim 17 akan dibubarkan jika surat keputusan (SK) dari Bupati Pemalang tentang pemberhentian Kepala Desa telah diterbitkan, dan lama waktu yang dibutuhkan adalah 1 (satu) bulan.
37 Satu bulan kemudian, pada awal bulan April SK Bupati Pemalang tentang pemberhentian Kepala Desa telah diterbitkan. Kemudian, saudara Nuruzzaman SP yang pada saat itu menjabat sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) ditunjuk sebagai Pejabat Kepala Desa sementara sampai adanya Kepala Desa yang baru. Selain itu, dalam SK Bupati Pemalang tersebut juga disebutkan bahwa sang Kepala Desa lama harus mengganti uang dari ADD yang telah disalahgunakan dan juga tanah bengkok yang sudah terlanjur dijual dalam kurun waktu sebulan. Selanjutnya, agenda penting yang harus dilaksanakan ialah pembentukan panitia pemilihan Kepala Desa untuk mencari Kepala Desa yang baru. Setelah keluarnya SK pemberhentian Kepala Desa Kelangdepok, dan menunjuk saudara Nuruzzaman SP sebagai pejabat Kepala Desa untuk sementara waktu, maka BPD bergegas mempersiapkan dan membentuk panitia pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Pembentukan panitia pemilihan Kepala Desa sendiri dilaksanakan pada bulan April 2010. Bersamaan dengan ini, seluruh masyarakat Desa Kelangdepok diberikan kesempatan untuk menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di desa. Langkah awal yang dilaksanakan adalah pencalonan Kepala Desa melalui rukun warga (RW) masing-masing, dari berbagai calon yang ada akan dipilih satu calon. Seluruh operasional, pembiayaan, dan kewenangan dibebankan kepada RW, juga subsidi pendanaan dari Desa. Selanjutnya, calon yang terseleksi oleh RW akan diajukan kepada panitia pemilihan Kepala Desa (Pilkades) sebagai calon Kepala Desa (Kades) Kelangdepok yang mewakili RW setempat. Panitia pemilihan Kepala Desa (Pilkades) akan memproses calon yang diajukan oleh RW masing-masing untuk mengesahkan sebagai calon tetap Kepala Desa Kelangdepok dengan mengacu kepada peraturan dan mekanisme pemilihan Kepala Desa yang ada (menyesuaikan dengan Peraturan Daerah). Kemudian, panitia akan mengatur jadwal kampanye sampai batas waktu tertentu secara adil kepada masing-masing calon untuk bersosialisasi kepada seluruh masyarakat desa tentang visi, misi dan program kerja yang akan dijalankan. Panitia juga menentukan hari pemilihan/pencoblosan tanda gambar Kepala Desa di tempat pemungutan suara yang disediakan, dan dilanjutkan dengan proses penghitungan suara. Kondisi pemerintahan yang sedang kritis ini, menjadikan panitia pemilihan Kepala Desa menjalankan tahapan dengan sangat berhati-hati. Mekanisme dan tata cara yang dijalankan pada tahap persiapan benar-benar dikontrol sebaik mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk; 1) memilih orang yang tepat, baik loyalitas juga pengabdiannya kepada desa dan masyarakat, serta kredibilitas yang dimiliki. Selain itu, menghindari pemimpin-pemimpin yang karbitan, asal punya uang, keluarga besar, ataupun turunan kyai; 2) penghematan, calon tidak perlu repot mengeluarkan dana untuk para pecut, pengkaderan, penggalangan masa, dan basa basi lainya, karena semuanya ditanggung bersama oleh warga RW yang selanjutnya diusung ke panitia pemilihan Kepala Desa atas rekomendasi dari RW setempat; 3) pembelajaran bagi kita bersama bahwa sesungguhnya image untuk menjadi pemimpin itu mahal tidak berlaku Di Desa Kelangdepok; 4) memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada warga masyarakat untuk menjadi pemimpin desa, sekalipun tidak bermodal, akan tetapi mempunyai jiwa kepemimpinan dan loyalitas serta pengabdian di desa secara murni dari tahun ke tahun; 5) penilaian calon oleh masyarakat dilakukan secara
38 objektif berdasarkan progam kerja yang dipaparkan dalam kampanye, hal ini secara tidak langsung menjadikan masyarakat sebagai pengontrol dari kepemimpinan yang dijalankan tersebut. Pelaksanaan pemilihan Kepala Desa yang baru dilaksanakan pada bulan Juli 2010, tepatnya pada tanggal 18 Juli 2010.
FAKTOR PENGARUH EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN
Teori efektivitas kelembagaan yang digunakan merupakan sebuah transformasi dari teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto. Efektivitas hukum diartikan sebagai pengaruh hukum terhadap masyarakat, atau dengan kata lain perilaku warga masyarakat yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, efektivitas sebuah hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan penerapan, pelaksanaan, serta penegakan hukum dalam suatu masyarakat. Artinya, hukum tersebut harus benar-benar berlaku secara teori dan praktiknya. Penegakan hukum sendiri dimaksudkan untuk merepresentasikan berlakunya hukum secara teori maupun praktiknya. Penegakan hukum mempunyai beberapa faktor yang mempengaruhinya, yakni faktor hukum itu sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana/fasilitas pendukung, faktor masyarakat, serta faktor kebudayaan. Inti dari efektivitas hukum itu sendiri bergantung kepada efektif tidaknya penegakan hukum yang dijalankan. Sekilas paparan mengenai teori efektivitas hukum di atas akan mengantarkan pada rumusan teori efektivitas kelembagaan. Efektivitas kelembagaan diartikan sebagai upaya pencapaian tujuan kelembagaan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat. Upaya pencapaian tujuan kelembagaan dimaksudkan sebagai penerapan dan pelaksanaan rancangan program kerja/kegiatan yang ada dengan teknis atau praktik pelaksanaan di lapangan. Representasi teori dan praktik pun akan terlihat sebagaimana pada bidang hukum pula. Kemudian untuk faktor kelembagaan merupakan transformasi dari faktor hukum itu sendiri, dimana pada faktor kelembagaan, hal-hal yang dilihat adalah sejauhmana penerapan dan pelaksanaan komponen-komponen yang bersifat abstrak dan yuridis, seperti AD/ART, peraturan dan sanksi, struktur kepengurusan, pembagian tugas, serta monitoring kegiatan. Selanjutnya, faktor anggota kelembagaan merupakan transformasi dari faktor penegak hukum, dimana hal ini terkait dengan pihak-pihak yang menjalankan pedoman yang telah ada berdasarkan kedudukan, peranan, dan tugas yang diberikan. Praktiknya harus sesuai dengan pedoman yang tercantum. Faktor ketiga yakni faktor sarana/fasilitas pendukung, berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dan digunakan untuk memperlancar teknis pelaksanaan kegiatan. Faktor yang terakhir adalah faktor sosial-masyarakat, berkaitan dengan kondisi masyarakat, kesadaran masyarakat, serta keterlibatan mereka. Sementara untuk faktor kebudayaan dari teori efektivitas hukum tidak dicantumkan, hal ini dikarenakan pengukuran kebudayaan sendiri sulit untuk dilakukan secara kuantitatif. Faktor ini pun tidak diikutsertakan dalam faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kelembagaan. Penjelasan di atas akan menjadi dasar untuk pembahasan selanjutnya, yakni pembahasan lebih menyeluruh tentang efektivitas kelembagaan itu sendiri. Efektivitas kelembagaan merupakan upaya pencapaian tujuan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, serta faktor sosial-masyarakat.
40 Pengaruh Faktor Kelembagaan Pada faktor kelembagaan, hal-hal yang dilihat adalah sejauhmana penerapan dan pelaksanaan komponen-komponen yang bersifat abstrak dan yuridis, seperti AD/ART, peraturan dan sanksi, struktur kepengurusan, pembagian tugas, serta pihak yang melakukan monitoring kegiatan. AD/ART merupakan landasan atau acuan sebuah kelembagaan yang memuat secara terperinci, terarah, dan terpadu tentang visi dan misi kelembagaan, anggaran pembiayaan kegiatan, serta keseluruhan rancangan kerja program kelembagaan yang berdasarkan pada tujuan kelembagaan tersebut. Selanjutnya, peraturan dan sanksi memuat tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan atau tidak, hal-hal yang seharusnya dipatuhi dan ditaati, serta hal-hal yang seharusnya dihindari. Struktur kepengurusan sendiri merupakan suatu susunan yang menggambarkan hubungan antara tiap bagian satu dengan bagian lainnya menurut posisi yang ada, juga menunjukkan alur koordinasi antarkedudukan. Pembagian tugas, merupakan distribusi tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab untuk dilaksanakan sesuai dengan posisi masing-masing. Faktor yang terakhir adalah pihak yang melakukan monitoring kegiatan, merupakan pihak yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengontrol keseluruhan kegiatan yang dijalankan. Sejauhmana penerapan dan pelaksanaan dari keseluruhan komponen faktor kelembagaan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor kelembagaan itu sendiri. Faktor kelembagaan merupakan faktor dasar dari sebuah keefektifan. Semakin baik penerapan dan pelaksanaan dari keseluruhan komponen dijalankan, maka semakin besar pula pengaruh faktor kelembagaan terhadap tingkat efektivitas. Tabel 2 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor kelembagaan Faktor Kelembagaan Status Total Kelemba Besar Sedang Rendah gaan n % n % n % N % Formal 8 20.51 19 48.72 0 0.00 27 69.23 Informal 0 0.00 12 30.77 0 0.00 12 30.77 Total 8 20.51 31 79.49 0 0.00 39 100.00 Berdasarkan tabel 2, faktor kelembagaan mempunyai pengaruh yang sedang terhadap tingkat efektivitas kelembagaan secara keseluruhan. Dapat dilihat bahwa 79.49 persen (31 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa pengaruh faktor kelembagaan adalah sedang. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua komponen dari faktor kelembagaan diterapkan dan dijalankan dengan semestinya. Selain itu, hampir semua responden juga memiliki akses dan pemahaman yang cukup tentang keseluruhan komponen dari faktor kelembagaan, sehingga tingkat penerapan dan pelaksanaan dari keseluruhan komponen tidak ada yang termasuk dalam kategori rendah. Sedangkan sisanya, yakni 20.51 persen (8 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa faktor kelembagaan mempunyai pengaruh yang besar. Hal ini dikarenakan bahwa delapan orang tersebut memiliki kedudukan yang lebih
41 tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, seperti seorang ketua, sekretaris, dan bendahara BPD, maupun seorang ketua, sekretaris, serta bendahara panitia pemilihan. Keseluruhan delapan responden yang termasuk dalam pengaruh kelembagaan yang besar tersebut memiliki status kelembagaan yang sama yakni seorang anggota kelembagaan formal, sehingga mereka mempunyai akses dan pemahaman yang lebih terhadap semua komponen faktor kelembagaan dibandingkan dengan anggota lainnya. Tingkat penerapan dan pelaksanaan komponen faktor kelembagaan pun termasuk dalam kategori yang sangat baik dikarenakan mereka mengetahui lebih detail atau terperinci dari seluruh komponen faktor kelembagaan tersebut. Perbandingan besaran persentase pengaruh besar dan pengaruh sedang pun menunjukan keterpautan hampir 60 persen. Besarnya persentase keterpautan ini dikarenakan bahwa hal pelaksanaan dan penerapan alokasi dana kegiatan terbentur dengan sebuah masalah dana desa yang tidak bisa mencukupi pengeluaran yang ada. Kondisi ini berkaitan dengan krisis keuangan desa yang sedang ada masalah penyelewengan dari pemimpinnya. Sehingga untuk penerapan alokasi dana termasuk dalam kategori yang tidak baik dan berpengaruh pada skor/nilai pada indikator faktor kelembagaan pada hampir semua responden. Faktor kelembagaan pun menjadi tergolong pengaruh sedang. Pengaruh faktor kelembagaan yang dilihat dari tingkat penerapan dan pelaksanaan komponen-komponen faktor kelembagaan antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal. Masing-masing status anggota, pada status anggota formal, 29.63 persen anggota (8 orang dari 27 orang) memilih pengaruh kelembagaan dalam kategori besar, sedangkan sisanya 70.37 persen anggota (19 orang dari 27 orang) memilih pengaruh kelembagaan dalam kategori sedang. Perbedaan persentase antara pengaruh besar dan pengaruh sedang pada anggota formal, dikarenakan bahwa 8 orang dari 27 orang atau 29.63 persen anggota ini termasuk dalam pengurus inti dari BPD maupun kepanitiaan pemilihan Kepala Desa sendiri, sehingga mereka diberikan akses yang lebih dibandingkan anggota formal lainnya, dan juga lebih mengetahui rincian dari segala ketentuan dan peraturan yang dibuat. Selanjutnya, pada status anggota informal 0 persen anggota memilih pengaruh kelembagaan dalam kategori tinggi maupun rendah, dan 100 persen anggota memasukkan pengaruh kelembagaan menjadi kategori sedang. Jumlah persentase pengaruh sedang yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh besar dan pengaruh kecil pada anggota formal dan informal, dikarenakan bahwa adanya kesamaan pemikiran tentang pengalokasian dana desa yang sedang mengalami masalah pada saat pemilihan berlangsung. Masalah dana desa yang memang sedang defisit menjadikan faktor kelembagaan tidak pada kategori pengaruh besar. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, faktor kelembagaan termasuk dalam kategori sedang. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya pernyataan dari salah satu informan yakni sebagai berikut: “...memang ada sedikit kendala pada anggaran dana desa mbak, dikarenakan pada saat itu keuangan desa sedang mengalami krisis, sehingga panitia harus mencari dana tambahan untuk menutupi kekurangan yang ada, tetapi untungnya kami masih bisa menjalankan rencana kegiatankegiatan yang ada, begitu mbak...” (AST, tokoh masyarakat desa)
42 Kemudian, jika dilihat besaran persentase secara keseluruhan, terlihat lebih besar anggota kelembagaan formal dibandingkan dengan anggota kelembagaan informal, dengan perbedaan persentase hampir 40 persen. Perbedaan ini dikarenakan jumlah antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal yang terlibat dalam panitia pemilihan Kepala Desa tidak sama. Kemudian tingkat akses terhadap komponen faktor kelembagaan pun lebih besar anggota kelembagaan formal dibandingkan dengan anggota kelembagaan informal. Selain itu, kedudukan yang disandang oleh masing-masing anggota pun berpengaruh dengan tingkat akses terhadap komponen-komponen faktor kelembagaan, dan hanya anggota kelembagaan formal yang dapat memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa kontribusi faktor kelembagaan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan tergolong sedang, dikarenakan adanya kendala pada perihal anggaran dana desa. Lain halnya dengan hasil uji statistik yang telah dilakukan, hasil yang didapatkan adalah faktor kelembagaan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (Lampiran 3), faktor kelembagaan mempunyai pengaruh sebesar 14.6 persen terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Selanjutnya besaran nilai t hitung dari faktor kelembagaan adalah 2.511, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor kelembagaan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Hasil analisis data statistik tersebut dapat diartikan bahwa tingkat penerapan dan pelaksanaan AD/ART, peraturan dan sanksi, struktur kepengurusan, pembagian tugas, serta adanya monitoring dari pihak pengawas kurang berjalan dengan baik. Fakta di lokasi penelitian, yakni dari beberapa pernyataan responden dan informan, yang menyebabkan faktor kelembagaan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan adalah adanya masalah penyelewengan keuangan desa oleh Kepala Desa yang lama. Besarnya uang yang diselewengkan cukup banyak, sehingga kondisi keuangan desa kritis pada saat itu. Dana desa yang diselewengkan oleh sang Kepala Desa lama yang baru menjabat kurang dari 2 (dua) tahun itu menyebabkan pendanaan untuk berbagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti pemilihan Kepala Desa, kurang mencukupi. Panitia pemilihan harus mencari dana tambahan untuk menutupi kekurangan yang ada. Untuk semua responden dan juga informan juga mengungkapkan bahwa alokasi dana yang mereka miliki memang terbatas. Hal inilah yang menyebabkan kurang tingginya tingkat keefektifan kelembagaan dari faktor kelembagaan itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan faktor kelembagaan kurang mempunyai pengaruh yang signifikan.
43 Pengaruh Faktor Anggota Kelembagaan Faktor anggota kelembagaan, hal ini terkait dengan pihak-pihak yang menjalankan pedoman yang telah ada berdasarkan kedudukan, peranan, tugas yang diberikan. Praktiknya harus sesuai dengan pedoman yang tercantumkan. Pada faktor anggota kelembagaan, hal yang akan dilihat adalah sejauhmana kedudukan, peranan, tugas, dan kinerja dijalankan oleh anggota sesuai dengan pedoman dan instruksi yang ada. Kedudukan merupakan posisi tertentu dalam sebuah struktur kepengurusan, yang bisa tinggi, sedang, ataupun rendah. Selanjutnya, akan dilihat sejauhmana anggota menjalankan tugas-tugas yang ada sesuai dengan posisi yang telah ditentukan. Peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan. Nantinya akan dilihat sejauhmana anggota memenuhi hak dan kewajibannya dalam pelaksanaan tugas yang ditanggung jawabkan. Tugas sendiri merupakan perihal yang harus dilaksanakan oleh anggota pada suatu kepentingan tertentu, kemudian akan dilihat sejauhmana penyelesaian tugas yang telah dipercayakan kepada para anggota. Faktor yang terakhir adalah kinerja, dimana kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seorang anggota dalam penyelesaian tugas yang diberikan berdasarkan kecakapan, kesungguhan, pengalaman, serta ketepatan waktu. Nantinya juga akan dilihat sejauhmana kinerja yang dihasilkan oleh seorang anggota dalam penyelesaian tugas-tugas yang diberikan. Sejauhmana keseluruhan komponen faktor anggota kelembagaan dijalankan, akan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor anggota kelembagaan itu sendiri. Faktor anggota kelembagaan merupakan sebuah faktor penggerak, dikarenakan faktor ini terkait dengan pihak yang melaksanakan kegiatan secara teknis di lapangan. Semakin baik pelaksanaan dari keseluruhan komponen yang dijalankan, maka semakin besar pula pengaruh faktor anggota kelembagaan terhadap tingkat efektivitas. Tabel 3 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor anggota kelembagaan Faktor Anggota Kelembagaan Status Total Kelemba Besar Sedang Rendah gaan n % n % n % N % Formal 15 38.46 12 30.77 0 0.00 27 69.23 Informal 1 2.56 11 28.21 0 0.00 12 30.77 Total 16 41.02 23 58.98 0 0.00 39 100.00 Berdasarkan table 3, faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh sedang terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Dapat dilihat bahwa 58.98 persen (23 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa pengaruh faktor anggota kelembagaan adalah sedang. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua komponen dari faktor anggota kelembagaan dijalankan sesuai dengan apa yang ditetapkan dan yang diberikan. Selain itu, hampir semua responden menjalankan teknis kegiatan dengan begitu baik dan juga menunjukkan kinerja yang cukup baik, sehingga tingkat pelaksanaan dari
44 keseluruhan komponen tergolong dalam kategori sedang, bahkan tidak ada yang termasuk dalam kategori rendah. Sedangkan sisanya, yakni 41.02 persen (16 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh yang besar. Hal ini dikarenakan bahwa 16 orang tersebut memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya, seperti seorang ketua, sekretaris, dan bendahara BPD, maupun seorang ketua, sekretaris, serta bendahara panitia pemilihan, juga bahkan merupakan penanggungjawab teknis lapangan. Keseluruhan 16 responden yang termasuk dalam pengaruh anggota kelembagaan yang besar tersebut didominasi oleh status anggota kelembagaan formal dengan jumlah 15 responden, dan hanya 1 (satu) responden berstatus anggota kelembagaan informal. Sebanyak 15 orang anggota kelembagaan formal tersebut mempunyai akses dan kontribusi yang lebih terhadap semua komponen faktor anggota kelembagaan dibandingkan dengan yang lain, hal ini dikarenakan mereka terlibat dalam pengurusan berkas-berkas dan juga pelaksana teknis lapangan. Pengaruh anggota kelembagaan mereka pun tergolong ke dalam kategori besar. Untuk satu responden yang berstatus anggota informal tersebut, hal yang menyebabkan dia berada dalam kategori besar adalah tugas dia yang selalu berkaitan dengan teknis lapangan dan membutuhkan koordinasi yang cukup rutin dengan anggota pengurus harian. Pada akhirnya, ke-16 responden tersebut termasuk dalam kategori pengaruh besar. Pengaruh faktor anggota kelembagaan yang dilihat dari tingkat pelaksanaan komponen-komponen faktor anggota kelembagaan antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal. Masing-masing status anggota, pada status anggota formal, 55.56 persen anggota (15 orang dari 27 orang) memilih pengaruh anggota kelembagaan dalam kategori besar, sedangkan sisanya 44.44 persen anggota (12 orang dari 27 orang) memilih pengaruh anggota kelembagaan dalam kategori sedang. Perbedaan persentase antara pengaruh besar dan pengaruh sedang pada anggota formal, dikarenakan bahwa 15 orang dari 27 orang atau 55.56 persen anggota ini termasuk panitia inti, aparat desa inti, dan para kepala dusun yangmana keterlibatannya aktif di bagian berkas-berkas dan juga teknis pelaksanaan lapang, sehingga mereka memiliki kontribusi yang lebih dibandingkan anggota formal lainnya. Tetapi perbedaan keterpautan antara pengaruh besar dan pengaruh sedang tidak terlalu besar, sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja panitia dari anggota formal lainnya juga terbilang cukup baik. Selanjutnya, pada status anggota informal 8.33 persen anggota (1 orang dari 12 orang) memilih pengaruh anggota kelembagaan dalam kategori tinggi, dan 91.67 persen anggota (11 orang dari 12 orang) memasukkan pengaruh anggota kelembagaan menjadi kategori sedang. Perbedaaan keterpautan antara pengaruh besar dan pengaruh sedang yang sangat signifikan ini dikarenakan bahwa 1 orang yang masuk dalam kategori pengaruh besar ini menjadi semacam seksi akomodasi bagi para panitia inti untuk segala macam urusan, sehingga 1 (satu) orang ini ikut masuk dalam kategori pengaruh besar. Menurut paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah persentase pengaruh sedang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh besar dan pengaruh kecil pada anggota informal, dan jumlah persentase pengaruh
45 besar lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh sedang dan pengaruh kecil pada anggota formal. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, faktor anggota kelembagaan pada anggota formal tergolong pengaruh besar untuk sebagian jumlah anggota, dan tergolong pengaruh sedang pada 90 persen anggota informal. Berarti dapat pula dikatakan bahwa anggota informal memiliki kecenderungan yang aktif, meski tidak terkait langsung dengan tugas-tugas administratif, tetapi pelaksanaan teknis tugas-tugas yang diberikan kepada anggota informal tergolong cukup baik. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya pernyataan dari salah satu informan yakni sebagai berikut: “...tugas-tugas yang berkaitan dengan syarat administratif dan perberkasan memang lebih ditanggung jawabkan kepada aparat desa, karena untuk urusan semacam ini aparat desa lebih memahami dan menguasainya. Tetapi, dalam hal pelaksanaan teknis tugas-tugas, anggota panitia yang bukan pejabat desa pun menjalankan dengan begitu baik juga. Jadi sebenarnya, untuk keseluruhan panitia tergolong aktif semua mbak...” (ASR, ketua RW)
Pengaruh faktor anggota kelembagaan yang dilihat secara keseluruhan dari tingkat pelaksanaan komponen-komponen faktor anggota kelembagaan antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal, mempunyai perbedaan yang tidak begitu signifikan pada besar persentase pengaruh besar maupun pengaruh sedang. Perbedaan persentase hanya sekitar 17 persen, dimana perbedaan ini tidak mengindikasikan kecenderungan anggota kelembagaan formal yang lebih aktif sekali dibandingkan dengan anggota kelembagaan informal. Hal ini dikarenakan bahwa masing-masing anggota baik yang berstatus anggota kelembagaan formal maupun yang berstatus anggota kelembagaan informal menunjukkan kontribusi terbaiknya dalam pelaksanaan teknis lapangan. Meski anggota kelembagaan informal terbatas pada urusan yang berkaitan dengan berkas-berkas kegiatan. Lain halnya dengan hasil uji statistik yang telah dilakukan, hasil yang didapatkan adalah faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (Lampiran 4), faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh sebesar 89.8 persen terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Selanjutnya besaran nilai t hitung dari faktor anggota kelembagaan adalah 18.092, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Hasil analisis data statistik tersebut dapat diartikan bahwa tingkat pelaksanaan kedudukan, peranan, tugas, dan kinerja yang dijalankan oleh para anggota dapat dikategorikan sangat baik. Fakta di lokasi penelitian, dari beberapa
46 pernyataan responden dan informan, yang menyebabkan faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh yang signifikan adalah pemberian tanggung jawab kepada para anggota yang sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan juga posisi yang ada. Kemudian koordinasi antarpanitia juga berjalan dengan begitu baik, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pelimpahan tanggung jawab dari anggota satu ke anggota lainnya dengan alasan tugas yang terlalu berat. Selain itu, anggota panitia pun tidak pernah mengalami pergantian personil ataupun pengeluaran anggota. Kerjasama dan koordinasi yang terjalin antarpanitia pun berjalan dengan begitu baik dari awal pembentukan panitia sampai pembubaran panitia. Meski terkadang terjadi kesalahpahaman dan beberapa kendala kecil, tetapi semua deadline tugas yang telah ditetapkan tidak ada yang mengalami penundaan.
Pengaruh Sarana/Fasilitas Pendukung Faktor sarana/fasilitas pendukung, hal ini terkait dengan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memperlancar sebuah kegiatan atau mencapai sebuah maksud dan tujuan. Pada faktor sarana/fasilitas pendukung, hal yang akan dilihat adalah sejauhmana akses informasi, akomodasi, dan akses kontrol yang berjalan guna memperlancar atau mendukung berlangsungnya sebuah penyelenggaraan kegiatan tertentu, dalam hal ini pemilihan Kepala Desa. Akses informasi merupakan suatu jalan masuk untuk melakukan penerusan/penyebaran informasi kepada semua elemen masyarakat, yang nantinya akan dilihat sejauhmana akses masyarakat terhadap informasi, dan juga sejauhmana penyebaran informasi yang berjalan di kalangan masyarakat. Selanjutnya, akomodasi merupakan perihal yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan atau segala sesuatu yang dibutuhkan untuk memperlancar sebuah kegiatan, nantinya juga akan dilihat sejauhmana penyediaan lokasi/tempat dalam penyelenggaraan kegiatan tertentu, juga penyediaan bahan dan alat yang dibutuhkan. Akses kontrol sendiri merupakan suatu jalan masuk untuk melakukan pengawasan, pemeriksanan, dan pengendalian oleh kalangan masyarakat tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan tertentu. Kemudian akan dilihat sejauhmana akses masyarakat untuk melakukan pengontrolan, dan juga sejauhmana proses pengontrolan dijalankan oleh masyarakat. Sejauhmana keseluruhan komponen faktor sarana/fasilitas pendukung berjalan, akan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor sarana/fasilitas pendukung itu sendiri. Faktor sarana/fasilitas pendukung merupakan sebuah faktor pendukung, dikarenakan faktor ini terkait dengan segala perihal yang digunakan dan dibutuhkan dalam pelaksanakan kegiatan secara teknis di lapangan. Semakin baik pelaksanaan dari keseluruhan komponen yang dijalankan, maka semakin besar pula pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung terhadap tingkat efektivitas.
47 Tabel 4 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung Faktor Sarana/Fasilitas Pendukung Status Total Kelemba Besar Sedang Rendah gaan n % n % n % N % Formal 21 53.85 6 15.38 0 0.00 27 69.23 Informal 2 5.13 10 25.64 0 0.00 12 30.77 Total 23 58.98 16 41.02 0 0.00 39 100.00 Berdasarkan tabel 4, faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai pengaruh besar terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Dapat dilihat bahwa 58.98 persen (23 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung adalah besar. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua komponen dari faktor sarana/fasilitas pendukung dijalankan sesuai dengan kebutuhan dan berjalan semestinya tanpa ada kendala dan hambatan yang berarti. Selain itu, hampir semua responden menjalankan teknis kegiatan yang berkaitan dengan keseluruhan komponen faktor sarana dengan begitu sangat baik. Berbagai macam alternatif digunakan untuk pelaksanaan komponen faktor sarana tanpa mengganggu deadline yang telah ditetapkan, dan juga bisa merata ke seluruh kalangan masyarakat. Sisanya, yakni 41.02 persen (16 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai pengaruh yang sedang. Hal ini dikarenakan bahwa 16 orang tersebut meski terlibat dalam pelaksanaan kegiatan secara teknis, tetapi tidak semua alternatif yang digunakan oleh anggota yang lainnya ikut dijalankan pula. Dapat dikatakan bahwa, ke-16 orang ini hanya menjalankan sedikit dari beberapa alternatif yang digunakan oleh anggota yang lainnya. Pelaksanaan kegiatan secara teknis yang berjalan pun cukup baik bukan sangat baik, seperti halnya pada kegiatan penyebaran informasi, alternatif yang digunakan ada beberapa bentuk, yakni penyebaran informasi menggunakan pesan singkat (sms), menggunakan penyebaran selebaran, melalui ketua RT/RW masing-masing, melalui kepala dusun, melalui tokoh masyarakat setempat, melalui penyebaran informasi di berbagai perkumpulan warga masyarakat, dan juga pengumuman di papan informasi kantor desa. Pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung yang dilihat dari sejauhmana berjalannya komponen-komponen faktor sarana antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal. Masing-masing status anggota, pada status anggota formal, 77.78 persen anggota (21 orang dari 27 orang) memilih pengaruh sarana/fasilitas pendukung dalam kategori besar, sedangkan sisanya 22.22 persen anggota (6 orang dari 27 orang) memilih pengaruh sarana/fasilitas pendukung dalam kategori sedang. Perbedaan persentase antara pengaruh besar dan pengaruh sedang pada anggota formal, dikarenakan bahwa 6 orang dari 27 orang atau 22.22 persen anggota ini termasuk dalam anggota yang tidak melakukan penyebaran informasi pada semua alternatif yang digunakan, sehingga skor nilai mereka pada indikator akses informasi tidak tergolong cukup baik dan menjadikannya dalam kategori pengaruh sedang. Selanjutnya, pada status anggota informal 16.67 persen anggota (2 orang dari 12 orang) memilih pengaruh sarana/fasilitas pendukung dalam kategori tinggi,
48 dan 83.33 persen anggota (10 orang dari 12 orang) memasukkan pengaruh sarana/fasilitas pendukung menjadi kategori sedang. Perbedaaan keterpautan antara pengaruh besar dan pengaruh sedang yang sangat signifikan ini dikarenakan bahwa 2 orang yang masuk dalam kategori pengaruh besar ini menjadi penanggungjawab secara teknis lapangan dalam menyebarkan informasi di wilayah dusun 1 (satu) dan dusun 2 (dua), sehingga 2 (dua) orang ini lebih memiliki akses terhadap isi informasi dan bentuk informasi yang ada dibandingkan anggota informal lainnya, serta menjadikan ikut masuk dalam kategori pengaruh besar. Menurut paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah persentase pengaruh sedang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh besar dan pengaruh kecil pada anggota informal, dan jumlah persentase pengaruh besar lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh sedang dan pengaruh kecil pada anggota formal. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, faktor sarana/fasilitas pendukung pada anggota formal tergolong pengaruh besar untuk hampir seluruh jumlah anggota, dan tergolong pengaruh sedang pada 80 persen anggota informal. Berarti dapat pula dikatakan bahwa anggota informal memiliki kecenderungan yang cukup aktif meski tingkat akses dan tingkat penguasaan informasi tidak lebih besar dibandingkan dengan anggota formal. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya pernyataan dari salah satu informan yakni sebagai berikut: “...bentuk penyebaran informasinya cukup beragam ya mbak, pada waktu itu pengumuman ditempelkan di berbagai lokasi, seperti kantor desa, warung, masjid, mushola. Pokoknya di tempat-tempat strategis gitu loh mbak. Selain itu, juga disebarkan melalui forum-forum masyarakat seperti pertemuan paguyuban, dan juga forum pengajian di semua golongan. Biasanya hampir semua aparat desa sama BPD mengetahui semua kegiatan penyebaran itu, juga yang bukan pejabat desa pun ikut membantu dan pelaksanaannya pun cukup baik ya mbak....” (AHS, kepala dusun)
Pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung yang dilihat secara keseluruhan dari sejauhmana berjalannya komponen-komponen faktor sarana antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal, mempunyai perbedaan yang tidak begitu signifikan pada besaran persentase pengaruh besar dan pengaruh sedang. Perbedaan persentase hanya sekitar 17 persen, perbedaan ini tidak mengindikasikan kecenderungan anggota kelembagaan formal yang lebih aktif sekali dibandingkan dengan anggota kelembagaan informal. Hal ini dikarenakan bahwa masing-masing anggota baik yang berstatus anggota kelembagaan formal maupun yang berstatus anggota kelembagaan informal menunjukkan kontribusi terbaiknya dalam pelaksanaan teknis lapangan. Dan dalam pelaksanaan teknis ini sebagian besar anggota terlibat dalam berjalannya keseluruhan komponen faktor sarana. Lain halnya dengan hasil uji statistik yang telah dilakukan, hasil yang didapatkan adalah faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika
49 nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (Lampiran 5), faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai pengaruh sebesar 43.5 persen terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Selanjutnya besaran nilai t hitung dari faktor sarana/fasilitas pendukung kelembagaan adalah 5.335, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Hasil analisis data statistik tersebut dapat diartikan bahwa proses berjalannya akses informasi, akomodasi, serta akses kontrol terbilang sangat baik. Fakta di lokasi penelitian, dari beberapa pernyataan responden dan informan, yang menyebabkan faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai pengaruh yang besar adalah proses berjalannya akses masyarakat terhadap informasi, akses akomodasi masyarakat, serta akses kontrol masyarakat terbilang cukup kuat dan intens. Akses informasi sendiri, penyebaran informasi berjalan dengan sangat baik, dimana informasi yang diberikan bersifat transparan dan terbuka. Selain itu media penyebaran informasinya juga cukup beragam seperti melalui selebaran yang ditempelkan di tempat-tempat yang strategis, penyaluran dari bapak RT/RW, kepala dusun setempat, serta penyaluran informasi di berbagai perkumpulan warga masyarakat. Penerimaan informasi pun merata di semua kalangan masyarakat. Di samping itu, akses kontrol masyarakat terhadap rangkaian proses kegiatan terbilang baik, dimana dari awal pembentukan panitia sampai penyelesaian kegiatan, masyarakat benar-benar mengawal dan mengontrol dengan sikap yang dewasa, yakni tidak melalui jalan yang radikal.
Pengaruh Sosial-Masyarakat Faktor sosial-masyarakat, hal ini terkait dengan sekumpulan manusia yang hidup terorganisasi, saling berhubungan dan saling berinteraksi satu sama lain di lingkungan kelembagaan tersebut terbentuk, dan juga di saat kelembagaan tersebut melakukan kegiatannya. Pada faktor sosial-masyarakat, hal yang akan dilihat adalah sejauhmana keeratan hubungan atau interaksi yang terjalin di kalangan masyarakat, kesadaran kalangan masyarakat terhadap keberadaan sebuah kelembagaan (termasuk anggota kelembagaan, tugas dan fungsi), dan juga keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan tertentu. Sejauhmana keseluruhan komponen faktor sosial-masyarakat berjalan sebagaimana mestinya akan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor masyarakat itu sendiri. Faktor sosial-faktor masyarakat merupakan sebuah faktor kondisional, dikarenakan faktor ini terkait dengan sekumpulan pihak yang dijadikan subyek maupun obyek dalam penyelenggaraan kegiatan tertentu. Sekumpulan pihak ini dijadikan obyek acuan untuk pencapaian hasil dari penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang ada. Seharusnya, semakin baik keseluruhan komponen faktor sosial-masyarakat, maka semakin besar pula pengaruh faktor masyarakat terhadap tingkat efektivitas.
50 Tabel 5 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran pengaruh faktor sosial-masyarakat Faktor Sosial-Masyarakat Status Total Kelemba Besar Sedang Rendah gaan n % n % n % N % Formal 1 2.56 26 66.67 0 0.00 27 69.23 Informal 0 0.00 12 30.77 0 0.00 12 30.77 Total 1 2.56 38 97.44 0 0.00 39 100.00 Berdasarkan tabel 5, faktor sosial-masyarakat mempunyai pengaruh sedang terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Dapat dilihat bahwa 97.44 persen (38 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa pengaruh faktor masyarakat adalah sedang. Hal ini dikarenakan bahwa meski hampir semua komponen dari sosial-masyarakat berjalan dengan semestinya tanpa ada kendala dan hambatan yang berarti, tetapi masih saja ada beberapa perselisihan kecil yang terjadi di kalangan masyarakat, walaupun tidak sampai menyebabkan konflik pecah. Perselisihan ini terjadi antarpendukung calon dalam bentuk pertengkaran mulut saja dan masih dalam taraf wajar. Hampir seluruh responden pun menyatakan bahwa tidak dalam suatu pelaksanaan acara tertentu, tidak ada yang namanya kesalahpahaman dan perselisihan kecil yang terjadi. Selain itu, kesadaran masyarakat akan keberadaan kelembagaan yang ada di desa cukup baik, hanya sedikit masyarakat (termasuk anggota panitia) yang memiliki kesadaran yang rendah. Keterlibatan masyarakat dalam memberikan hak suara, hanya sedikit dari mereka yang tidak menggunakannya dikarenakan alasan sakit parah dan merantau di luar daerah. Angka yang tercatat dalam pelaporan panitia pun kurang dari 30 persen dari keseluruhan daftar pemilih tetap yang tidak memberikan hak suaranya, sehingga faktor sosial-masyarakat ini tergolong dalam kategori pengaruh sedang. Sisanya, yakni 2.56 persen (1 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa faktor masyarakat mempunyai pengaruh yang besar. Hal ini dikarenakan bahwa 1 orang tersebut terlibat dalam pengawasan kegiatan yang tidak selalu dilakukan setiap hari, dan dalam kehidupan bermasyarakat pun kurang begitu intens dikarenakan kesibukan beliau yang berprofesi sebagai tenaga birokrat dan mempunyai jam kerja yang cukup padat dan sibuk. Pada kesehariannya, beliau menganggap bahwa lingkungan masyarakat terlihat baikbaik saja dan tidak ada masalah apa pun, sehingga menurut beliau faktor sosialmasyarakat tergolong dalam kategori besar. Pengaruh faktor sosial-masyarakat yang dilihat dari sejauhmana berjalannya keseluruhan komponen faktor sosial-masyarakat antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal. Masing-masing status anggota, pada status anggota formal, 3.70 persen anggota (1 orang dari 27 orang) memilih pengaruh sosial-masyarakat dalam kategori besar, sedangkan sisanya 96.30 persen anggota (26 orang dari 27 orang) memilih pengaruh sosial masyarakat dalam kategori sedang. Perbedaan persentase antara pengaruh besar dan pengaruh sedang pada anggota formal, dikarenakan bahwa 1 orang dari 27 orang atau 3.70 persen anggota ini merupakan salah satu pengurus dari BPD yang memiliki kesibukan di luar lingkungan masyarakat, sehingga beliau tidak mengetahui segala macam kondisi masyarakat secara lebih mendetail
51 dibandingkan anggota formal lainnya. Beliau menganggap bahwa masyarakat dalam kondisi yang sewajarnya, dan menjadikan faktor sosial-masyarakat menjadi kategori pengaruh besar. Selanjutnya, pada status anggota informal 0 persen anggota memilih pengaruh sosial-masyarakat dalam kategori besar maupun rendah, dan 100 persen anggota memasukkan pengaruh sosial-masyarakat menjadi kategori sedang. Jumlah persentase pengaruh sedang yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh besar dan pengaruh kecil pada anggota formal dan informal, dikarenakan bahwa adanya kesamaan pemikiran tentang kondisi masyarakat pada saat itu tidak begitu baik dikarenakan adanya perselisihan kecil dan juga karena adanya kasus penyelewengan dana desa oleh Kepala Desa sebelumnya. Kemudian menjadikan kondisi masyarakat di tahap yang sedikit tidak baik. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, faktor sosial-masyarakat termasuk dalam kategori sedang. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya pernyataan dari salah satu informan yakni sebagai berikut: “...memang ada sedikit permasalahan pada waktu itu mbak, pendukung Kepala Desa yang lama dengan para pendukung Kepala Desa yang akan mencalon terlibat semacam perselisihan/cekcok kecil tentang masalah Kepala Desa lama yang menyelewengkan dana desa. Kemudian perselisihan antarpendukung calon juga ada. Tetapi ya tidak sampai perkelahian terbuka gitu mbak, masih pada taraf wajar. Dan dari pihak panitia bisa mengkondisikannya...”(AST, tokoh masyarakat desa)
Pengaruh faktor sosial-masyarakat yang dilihat secara keseluruhan dari sejauhmana berjalannya keseluruhan komponen faktor sosial-masyarakat antara anggota kelembagaan formal dengan anggota kelembagaan informal, mempunyai perbedaan yang sangat signifikan pada besaran persentase pengaruh besar dan pengaruh sedang. Perbedaan persentase mencapai 95 persen, perbedaan ini mengindikasikan kecenderungan anggota kelembagaan formal yang sama aktifnya dengan anggota kelembagaan informal, meski belum mencapai taraf sangat aktif. Hal ini dikarenakan bahwa masing-masing anggota baik yang berstatus anggota kelembagaan formal maupun yang berstatus anggota kelembagaan informal menunjukkan kontribusi terbaiknya dalam pelaksanaan teknis lapangan. Pelaksanaan teknis ini, sebagian besar anggota terlibat dalam berjalannya keseluruhan komponen faktor masyarakat. Lain halnya dengan hasil uji statistik yang telah dilakukan, hasil yang didapatkan adalah faktor sosial-masyarakat tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (Lampiran 6), faktor sosialmasyarakat hanya berpengaruh sebesar 4.2 persen terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Selanjutnya, besaran nilai t hitung dari faktor sosial-masyarakat pun
52 adalah 1.275, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor sosial-masyarakat tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Hasil analisis data statistik tersebut dapat diartikan bahwa proses berjalannya keseluruhan komponen yang terbilang cukup baik tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat efektivitas. Hal ini dapat dikarenakan bahwa di kalangan masyarakat yang ada seharusnya kondisi yang terjadi adalah kebalikannya atau dalam kondisi yang baik, sehingga kondisi masyarakat yang sedang kritis/tidak baik ataupun yang amat baik ini bisa mempengaruhi tingkat efektivitas agar bisa lebih baik lagi. Atau dikarenakan keadaan sosial masyarakat yang cukup baik, tetapi tidak untuk kondisi pemerintahan desa itu sendiri.
Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas Tingkat efektivitas merupakan hasil perpaduan dari tingkat penerapan keempat faktor-faktor efektivitas, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan juga faktor sosial-masyarakat. Jika keempat faktor memiliki tingkat penerapan yang baik, maka tingkat efektivitas kelembagaan pun akan tergolong dalam kategori baik pula. Tabel 6 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran tingkat efektivitas kelembagaan Efektivitas Status Total Kelemba Tinggi Sedang Rendah gaan n % n % n % N % Formal 14 35.90 13 33.33 0 0.00 27 69.23 Informal 1 2.56 11 28.21 0 0.00 12 30.77 Total 15 38.46 24 61.54 0 0.00 39 100.00 Berdasarkan tabel 6, tingkat efektivitas kelembagaan termasuk dalam kategori sedang. Dapat dilihat bahwa 61.54 persen (24 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa tingkat efektivitas kelembagaan tergolong kategori sedang. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua tingkat penerapan dan pelaksanaan komponen dari faktor-faktor efektivitas tergolong dalam kategori sedang, hanya faktor sarana/fasilitas pendukung saja yang tergolong dalam kategori besar. Pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung pun tidak bisa menjadikan tingkat efektivitas kelembagaan menjadi kategori tinggi. Tingkat penerapan dan pelaksanaan faktorfaktor efektivitas yang dijalankan pun sesuai dengan pedoman dan kebutuhan yang semestinya, tanpa ada kendala dan hambatan yang berarti, seperti dapat menunda kegiatan yang telah terjadwalkan. Sisanya, yakni 38.46 persen (15 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa tingkat penerapan dan pelaksanaan faktor-faktor efektivitas tergolong dalam kategori tinggi. Hal ini dikarenakan adanya satu faktor yang termasuk kategori besar, yakni faktor sarana/fasilitas pendukung. Sebanyak 15 orang yang muncul dan menyatakan tingkat efektivitas kelembagaan tinggi merupakan anggota-anggota yang menjalankan faktor sarana/fasilitas pendukung dengan sangat baik, juga faktor lain yang tergolong besar pula. Faktor
53 sarana merupakan faktor pendukung yang penting dalam suatu penyelenggaraan kegiatan tertentu. Besaran persentase kategori tinggi dan kategori sedang memiliki perbedaan yang cukup signifikan, yakni sekitar 23 persen. Hal ini menguatkan bahwa salah satu faktor yang mempunyai pengaruh besar tidak bisa menjadikan keseluruhan tingkat efektivitas kelembagaan menjadi tergolong dalam kategori tinggi. Jika tingkat efektivitas kelembagaan dilihat dari masing-masing status anggota, dihasilkan bahwa pada status anggota formal, 51.85 persen anggota (14 orang dari 27 orang) memilih tingkat efektivitas kelembagaan dalam kategori besar, sedangkan sisanya 48.15 persen anggota (13 orang dari 27 orang) memilih tingkat efektivitas kelembagaan dalam kategori sedang. Selanjutnya, pada status anggota informal 8.33 persen anggota (1 orang dari 12 orang) memilih tingkat efektivitas kelembagaan dalam kategori tinggi, dan 91.67 persen anggota (11 orang dari 12 orang) memasukkan pengaruh anggota kelembagaan menjadi kategori sedang. Perbedaaan keterpautan antara pengaruh besar dan pengaruh sedangyang cukup signifikan ini dikarenakan bahwa anggota formal memiliki tingkat akses, tingkat pemahaman, dan tingkat kepercayaan yang lebih dibandingkan dengan anggota informal dalam keseluruhan pelaksanaan keempat faktor efektivitas tersebut. Menurut paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah persentase pengaruh sedang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh besar dan pengaruh kecil pada anggota informal, dan jumlah persentase pengaruh besar lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase pengaruh sedang dan pengaruh kecil pada anggota formal. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, tingkat efektivitas kelembagaan pada anggota forrmal tergolong tinggi untuk sebagian jumlah anggota, dan tergolong pengaruh sedang pada 90 persen anggota informal. Berarti dapat pula dikatakan bahwa anggota informal memiliki kecenderungan yang aktif meski tingkat akses, kemampuan, dan juga tingkat kepercayaan yang kurang terhadap pelaksanaan keempat faktor dibandingkan dengan anggota formal. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya pernyataan dari salah satu informan yakni sebagai berikut: “...untuk secara keseluruhan urusan kegiatan yang ada, memang kami lebih mempercayakannya kepada para pejabat desa, mbak. Kami yang bukan pejabat desa hanya sekedar menjalankan tugas yang sudah diberikan dengan sebaik. Dan sejauh ini kinerja kami yang bukan aparat desa dan kerjasama kami dengan aparat desa dan BPD memang tergolong cukup baik, jadi intinya kami sama-sama kerja sebaik mungkin...” (KLR, tokoh masyarakat)
Keempat faktor-faktor efektivitas, seperti faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat tersebut, akan dilihat faktor manakah yang lebih menonjol atau paling signifikan terhadap tingkat efektivitas secara keseluruhan dan secara bersamaan. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar
54 dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan, 4) selanjutnya, tidak terjadi sebuah multikolinearitas1, nilai tolerance harus lebih dari 0.10, dan nilai variance inflation factor (VIF) harus kurang dari 10.0, maka dari keempat faktor efektivitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan. Berdasarkan perhitungan data (Lampiran 7), hasil uji regresi menunjukkan bahwa keempat faktor yakni, faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat memiliki pengaruh sebesar 91.7 persen terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Kemudian, dari keempat faktor efektivitas yang terdiri dari faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat, faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan adalah faktor anggota kelembagaan. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai t hitung faktor anggota kelembagaan yakni 12.914 lebih besar dari besaran nilai t tabel 2.776, dan juga lebih besar dibandingkan nilai t hitung faktor yang lain. Selanjutnya untuk nilai tolerance berturut-turut adalah 0.808, 0.585, 0.649, dan 0.889, dan untuk nilai VIF sendiri berturut-turut 1.238, 1.710, 1.540, dan 1.125, pembuktian angka tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolineritas. Kemudian, dari hasil analisis data statistik tersebut dapat dipaparkan bahwa tingkat efektivitas kelembagaan diberikan kontribusi pengaruh yang lebih oleh faktor anggota kelembagaan itu sendiri, tingkat penerapan kedudukan, peran, tugas, dan kinerja berjalan dengan begitu baik. Fakta di lokasi penelitian yang menyebabkan faktor anggota kelembagaan mempunyai pengaruh yang besar adalah adanya pemberian tanggung jawab kepada para anggota yang sesuai dengan kapasitas, kemampuan, dan juga posisi yang ada. Kemudian koordinasi antarpanitia juga berjalan dengan begitu baik, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya pelimpahan tanggung jawab dari anggota satu ke anggota lainnya dengan alasan tugas yang terlalu berat. Selain itu, anggota panitia pun tidak pernah mengalami pergantian personil ataupun pengeluaran anggota, sehingga kerjasama dan koordinasi yang terjalin antarpanitia berjalan dengan begitu baik dari awal pembentukan panitia sampai pembubaran panitia. Meski terkadang terjadi kesalahpahaman dan beberapa kendala kecil, tetapi semua deadline tugas yang telah ditetapkan tidak ada yang mengalami penundaan. Pelaksanaan tugas masing-masing anggota juga sesuai dengan peraturan dan segala tata cara yang telah ditetapkan bersama. Faktor anggota kelembagaan juga merupakan sebuah faktor penggerak, dikarenakan faktor ini terkait dengan pihak yang melaksanakan kegiatan secara teknis di lapangan. Semakin baik pelaksanaan dari keseluruhan komponen yang dijalankan dan sesuai dengan tanggung jawab yang dipercayakan, maka semakin besar pula pengaruh faktor anggota kelembagaan terhadap tingkat efektivitas. Faktor anggota kelembagaan ini juga merupakan inti dari sebuah kelembagaan itu sendiri, dimana anggota kelembagaan adalah sumberdaya yang diberdayakan untuk mencapai tujuan-tujuan dari sebuah kelembagaan.
1
tidak adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
55 Ikhtisar : Faktor Pengaruh Efektivitas Kelembagaan Efektivitas kelembagaan merupakan upaya pencapaian tujuan yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, serta faktor sosial-masyarakat. Pada faktor kelembagaan, hal-hal yang dilihat adalah sejauhmana penerapan dan pelaksanaan komponen-komponen yang bersifat abstrak dan yuridis, seperti AD/ART, peraturan dan sanksi, struktur kepengurusan, pembagian tugas, serta pihak yang melakukan monitoring kegiatan. Sejauhmana penerapan dan pelaksanaan dari keseluruhan komponen faktor kelembagaan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor kelembagaan itu sendiri. Faktor kelembagaan merupakan faktor dasar dari sebuah keefektifan, semakin baik penerapan dan pelaksanaan dari keseluruhan komponen dijalankan, maka semakin besar pula pengaruh faktor kelembagaan terhadap tingkat efektivitas. Faktor yang kedua, yakni faktor anggota kelembagaan yang merujuk pada pihak-pihak yang menjalankan pedoman yang telah ada berdasarkan kedudukan, peranan, tugas yang diberikan. Praktiknya harus sesuai dengan pedoman yang tercantumkan. Pada faktor anggota kelembagaan, hal yang akan dilihat adalah sejauhmana kedudukan, peranan, tugas, dan kinerja dijalankan oleh anggota sesuai dengan pedoman dan instruksi yang ada. Sejauhmana keseluruhan komponen faktor anggota kelembagaan dijalankan, akan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor anggota kelembagaan itu sendiri. Faktor anggota kelembagaan merupakan sebuah faktor penggerak, dikarenakan faktor ini terkait dengan pihak yang melaksanakan kegiatan secara teknis di lapangan. Semakin baik pelaksanaan dari keseluruhan komponen yang dijalankan, maka semakin besar pula pengaruh faktor anggota kelembagaan terhadap tingkat efektivitas. Selanjutnya, faktor sarana/fasilitas pendukung terkait dengan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk memperlancar sebuah kegiatan atau mencapai sebuah maksud dan tujuan. Pada faktor sarana/fasilitas pendukung, hal yang akan dilihat adalah sejauhmana akses informasi, akomodasi, dan akses kontrol yang berjalan guna memperlancar atau mendukung berlangsungnya sebuah penyelenggaraan kegiatan tertentu, dalam hal ini pemilihan Kepala Desa. Sejauhmana keseluruhan komponen faktor sarana/fasilitas pendukung berjalan, akan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor sarana/fasilitas pendukung itu sendiri. Faktor sarana/fasilitas pendukung merupakan sebuah faktor pendukung, dikarenakan faktor ini terkait dengan segala perihal yang digunakan dan dibutuhkan dalam pelaksanakan kegiatan secara teknis di lapangan. Semakin baik pelaksanaan dari keseluruhan komponen yang dijalankan, maka semakin besar pula pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung terhadap tingkat efektivitas. Terakhir, faktor sosial-masyarakat, hal ini terkait dengan sekumpulan manusia yang hidup terorganisasi, saling berhubungan dan saling berinteraksi satu sama lain di lingkungan kelembagaan tersebut terbentuk, dan juga di saat kelembagaan tersebut melakukan kegiatannya. Pada faktor sosial-masyarakat, hal yang akan dilihat adalah sejauhmana keeratan hubungan atau interaksi yang terjalin di kalangan masyarakat, kesadaran kalangan masyarakat terhadap keberadaan sebuah kelembagaan (termasuk anggota kelembagaan, tugas dan
56 fungsi), dan juga keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan tertentu. Sejauhmana keseluruhan komponen faktor sosial-masyarakat berjalan sebagaimana mestinya akan menunjukkan seberapa besar pengaruh dari faktor sosial-masyarakat itu sendiri. Faktor sosial-masyarakat merupakan sebuah faktor kondisional, dikarenakan faktor ini terkait dengan sekumpulan pihak yang dijadikan subyek maupun obyek dalam penyelenggaraan kegiatan tertentu. Sekumpulan pihak ini dijadikan obyek acuan untuk pencapaian hasil dari penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang ada. Seharusnya, semakin baik keseluruhan komponen faktor sosial-masyarakat, maka semakin besar pula pengaruh faktor sosial-masyarakat terhadap tingkat efektivitas. Tabel 7 Persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran efektivitas kelembagaan antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal Kelembagaan Kelembagaan Formal Informal Ratarata
sedang 70.37 100.00
besar 29.63 0.00
85.18
14.82
Faktor-Faktor Efektivitas (%) Anggota Sarana/Fasilitas Kelembagaan Pendukung sedang besar sedang besar 44.44 55.56 22.22 77.78 91.67 8.33 83.33 16.67 68.05
31.95
52.77
47.23
SosialMasyarakat sedang besar 96.30 3.70 100.00 0.00 98.15
1.85
Berdasarkan tabel 7, pada anggota formal terlihat bahwa, faktor kelembagaan menyumbangkan 70.37 persen pada kategori sedang, faktor anggota kelembagaan termasuk dalam kategori besar dengan persentase sebesar 55.56 persen, faktor sarana/fasilitas pendukung menyumbangkan persentase 77.78 persen pada kategori besar, dan faktor sosial-masyarakat yang menunjukkan besaran nilai 96.30 persen pada kategori sedang. Di samping itu, pada anggota informal terlihat bahwa semua faktor-faktor efektivitas tergolong dalam kategori sedang dengan jumlah persentase yang berbeda, yakni persentase pada faktor kelembagaan sebesar 100.0, persentase faktor anggota kelembagaan sebesar 91.67 persen, persentase faktor sarana/fasilitas pendukung sebesar 83.33 persen, dan persentase faktor sosial-masyarakat sebesar 100.0 persen. Meski faktor-faktor efektivitas pada anggota informal tergolong dalam kategori sedang, tetapi besaran persentase yang ditunjukkan lebih besar dibandingkan jumlah persentase pada anggota formal. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat efektivitas pada anggota informal memiliki kecenderungan besar dibandingkan dengan anggota formal. Selanjutnya, jika berdasarkan perhitungan data uji regresi, hasilnya menunjukkan bahwa keempat faktor yakni, faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat memiliki pengaruh sebesar 91.7 persen terhadap tingkat efektivitas kelembagaan. Kemudian, dari keempat faktor efektivitas yang terdiri dari faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat, faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan adalah faktor anggota kelembagaan. Berdasarkan hasil ini, hipotesis penelitian pertama yakni terdapat pengaruh signifikan faktor terhadap efektivitas kelembagaan dinyatakan terbukti.
FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRAKTIK PEMILIHAN KEPALA DESA Praktik pemilihan Kepala Desa dibagi menjadi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi; pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa.
Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas pada Tahap Persiapan Faktor-faktor efektivitas yang terdiri dari faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat akan dikaitkan dengan sejauhmana pelaksanaan tahap persiapan berjalan, yang meliputi; pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagan dan besaran tahap persiapan Tahap Persiapan Status Total Kelemba Baik Sedang Tidak Baik gaan n % n % n % N % Formal 24 61.54 3 7.69 0 0.00 27 69.23 Informal 3 7.69 9 23.08 0 0.00 12 30.77 Total 27 69.23 12 30.77 0 0.00 39 100.00 Berdasarkan tabel 8, tahap persiapan pemilihan Kepala Desa termasuk dalam kategori baik. Dapat dilihat bahwa 68.23 persen (27 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa tahap persiapan pada pemilihan Kepala Desa tergolong kategori baik. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua rangkaian tahap persiapan, seperti pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa dijalankan dengan begitu baik. Mekanisme yang dijalankan tidak ada kegiatan yang mengalami penundaan dari jadwal yang ditetapkan, serta tata cara pelaksanaan dari serangkaian kegiatan persiapan ini tidak ada yang menyimpang dari peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Pada kategori baik ini, anggota formal lebih mendominasi besaran persentase. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua kegiatan pada tahap persiapan berkaitan dengan administratif dan berkenaan dengan berkas-berkas, sehingga anggota formal lebih terlibat banyak pada tahap persiapan ini. Sisanya, yakni 30.77 persen (12 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa tahap persiapan pemilihan termasuk dalam kategori
58 sedang. Hal ini dikarenakan kurangnya akses anggota yang didominasi anggota informal terhadap urusan administratif dan berkas-berkas yang ada. Selain itu, kurangnya juga tingkat kepercayaan dalam urusan administratif dan berkas-berkas kepada anggota informal. Jika tahap persiapan dilihat dari masing-masing status anggota, dihasilkan bahwa pada status anggota formal, 88.89 persen anggota (24 orang dari 27 orang) memilih tahap persiapan dalam kategori baik, sedangkan sisanya 11.11 persen anggota (3 orang dari 27 orang) memilih tahap persiapan dalam kategori sedang. Selanjutnya, pada status anggota informal 25.0 persen anggota (3 orang dari 12 orang) memilih tahap persiapan dalam kategori baik, dan 75.0 persen anggota (9 orang dari 12 orang) memasukkan tahap persiapan menjadi kategori sedang. Menurut paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah persentase kategori sedang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase kategori baik dan kategori tidak baik pada anggota informal, dan jumlah persentase kategori baik lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase kategori sedang dan kategori tidak baik pada anggota formal. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, tahap persiapan pada anggota forrmal tergolong baik untuk hampir semua jumlah anggota, dan tergolong kategori sedang pada 75 persen anggota informal. Berarti dapat pula dikatakan bahwa anggota formal memiliki kecenderungan yang lebih aktif dikarenakan tingkat akses, kemampuan, dan juga tingkat kepercayaan yang lebih terhadap tahap persiapan dibandingkan dengan anggota informal. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya pernyataan dari salah satu informan yakni sebagai berikut: “...karena pada tahap persiapan lebih berkaitan dengan syarat-syarat administratif, perberkasan, dan ketentuan lainnya, maka kami lebih memberikan kepercayaan dan tanggung jawab lebih kepada aparat desa dan juga panitia inti dibandingkan dengan orang lain, begitu mbak...” (AGR, ketua BPD)
Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan, 4) selanjutnya, tidak terjadi sebuah multikolinearitas 2 , nilai tolerance harus lebih dari 0.10, dan nilai variance inflation factor (VIF) harus kurang dari 10.0, maka dari keempat faktor efektivitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (Lampiran 8), hasil uji regresi menunjukkan bahwa keempat faktor yakni, faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat memiliki pengaruh sebesar 48.0 persen terhadap pelaksanaan tahap persiapan. Kemudian, dari keempat faktor efektivitas tersebut, faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan adalah faktor sarana/fasilitas pendukung. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai t hitung faktor sarana/fasilitas pendukung yakni 2
tidak adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
59 4.283 lebih besar dari besaran nilai t tabel 2.776, dan juga lebih besar dibandingkan nilai t hitung faktor yang lain. Selanjutnya untuk nilai tolerance berturut-turut adalah 0.808, 0.585, 0.649, dan 0.889, dan untuk nilai VIF sendiri berturut-turut 1.238, 1.710, 1.540, dan 1.125, pembuktian angka tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolineritas. Kemudian, dari hasil analisis data statistik tersebut dapat dipaparkan bahwa pelaksanaan tahap persiapan dipengaruhi oleh faktor sarana/fasilitas pendukung, yakni dari akses informasi, akomodasi, dan juga kontrol. Fakta di lokasi penelitian menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap informasi pendaftaran calon Kepala Desa dan segala syarat dan ketentuannya berjalan dengan baik, akses akomodasi masyarakat dalam pemenuhan kelengkapan berkas dan pemenuhan persyaratan yang lainnya, serta akses kontrol masyarakat terhadap awal proses berjalannya pembukaan pendaftaran calon Kepala Desa hingga kampanye calon Kepala Desa terbilang cukup kuat dan intens. Akses informasi, penyebaran informasi yang berkaitan dengan persiapan pemilihan Kepala Desa berjalan dengan sangat baik, informasi yang diberikan bersifat transparan dan terbuka. Selain itu, media penyebaran informasinya juga cukup beragam seperti melalui selebaran yang ditempelkan di tempat-tempat yang strategis, penyaluran dari bapak RT/RW dan kepala dusun setempat, serta penyaluran informasi di berbagai perkumpulan warga masyarakat. Penerimaan informasi pun merata di semua kalangan masyarakat. Di samping itu, akses kontrol masyarakat terhadap rangkaian proses persiapan pemilihan Kepala Desa terbilang baik, dari awal pembukaan pendaftaran calon Kepala Desa sampai kampanye calon Kepala Desa, masyarakat benar-benar mengawal dan mengontrol kinerja panitia yang dimungkinkan ada ketimpangan yang terjadi. Sisa 52 persen untuk pengaruh di luar keempat faktor-faktor efektivitas tersebut yang peneliti temukan di lapangan adalah dikarenakan fakta kondisi pemerintahan desa yang pada saat itu memang sedang mengalami krisis kepemimpinan dan juga krisis keuangan. Keadaan inilah yang menjadikan kepanitiaan bekerja lebih hati-hati sekali dalam tahap persiapan. Pada tahap ini, panitia harus selektif dalam memilih calon pemimpin selanjutnya, agar kasus sebelumnya tidak terjadi lagi. Selain itu, tahap persiapan juga merupakan tahap awal untuk menjadikan proses pemilihan Kepala Desa berjalan dengan begitu baiknya. Jika tahap persiapannya saja tidak berjalan begitu baik, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa lebih buruk lagi. Pemaparan tersebut didukung pernyataan salah satu informan, yakni sebagai berikut: ”...karena desa ini pernah mengalami masa kepemimpinan Kepala Desa yang buruk, maka masyarakat desa semakin kritis dan benar-benar menekankan kepada kepanitiaan bahwa mereka tidak mau lagi Kepala Desa mereka bermasalah. Berangkat dari inilah mbak, panitia benar-benar hati-hati dalam merencanakan dan melaksanakan rangkaian pemilihan Kepala Desa. Pihak panitia harus benar-benar netral dan tidak memihak calon manapun, sehingga kinerja panitia tidak memiliki kecenderungan kepada salah satu calon dan melakukan kecurangan...” (RBI, tokoh masyarakat)
60 Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas pada Tahap Pelaksanaan Faktor-faktor efektivitas yang terdiri dari faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat akan dikaitkan dengan sejauhmana pelaksanaan tahap pelaksanaan berjalan, yang terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa. Tabel 9 Jumlah dan persentase responden menurut status kelembagaan dan besaran tahap pelaksanaan Tahap Pelaksanaan Status Total Kelemba Baik Sedang Tidak Baik gaan n % n % n % N % Formal 18 46.13 9 23.10 0 0.00 27 69.23 Informal 3 7.69 9 23.08 0 0.00 12 30.77 Total 21 53.82 18 46.18 0 0.00 39 100.00 Berdasarkan tabel 9, tahap pelaksanaan pemilihan Kepala Desa termasuk dalam kategori baik. Dapat dilihat bahwa 53.82 persen (21 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa tahap pelaksanaan pada pemilihan Kepala Desa tergolong kategori baik. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua rangkaian tahap pelaksanaan, seperti proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa dijalankan dengan begitu baik. Mekanisme yang dijalankan tidak ada kegiatan yang mengalami penundaan dari jadwal yang ditetapkan, serta tata cara pelaksanaan dari serangkaian kegiatan pelaksanaan ini tidak ada yang menyimpang dari peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Pada kategori baik ini, anggota formal lebih mendominasi besaran persentase. Hal ini dikarenakan bahwa kegiatan-kegiatan pada tahap pelaksanaan terkendali dan bertumpu pada koordinasi anggota formal. Selain itu, hampir semua anggota informal sebagai pihak yang bergerak berdasarkan perintah para anggota formal, atau dengan kata lain manut wae (ikut saja) apa yang diperintahkan. Sisanya, yakni 46.18 persen (18 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa tahap pelaksanaan pemilihan termasuk dalam kategori sedang. Hal ini dikarenakan anggota-anggota ini baik formal maupun informal menjadi bagian panitia yang berkaitan dengan akomodasi, tidak tetap pada satu pengalokasian posisi teknis lapang tertentu. Jika tahap pelaksanaan dilihat dari masing-masing status anggota, dihasilkan bahwa pada status anggota formal, 66.67 persen anggota (18 orang dari 27 orang) memilih tahap pelaksanaan dalam kategori baik, sedangkan sisanya 33.33 persen anggota (9 orang dari 27 orang) memilih tahap pelaksanaan dalam kategori sedang. Selanjutnya, pada status anggota informal 25.0 persen anggota (3 orang dari 12 orang) memilih tahap pelaksanaan dalam kategori baik, dan 75.0 persen anggota (9 orang dari 12 orang) memasukkan tahap pelaksanaan menjadi kategori sedang.
61 Menurut paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah persentase kategori sedang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase kategori baik dan kategori tidak baik pada anggota informal, dan jumlah persentase kategori baik lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase kategori sedang dan kategori tidak baik pada anggota formal. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, tahap pelaksanaan pada anggota forrmal tergolong baik untuk hampir semua jumlah anggota, dan tergolong kategori sedang pada 75 persen anggota informal. Berarti dapat pula dikatakan bahwa anggota informal memiliki kecenderungan yang cukup aktif. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya pernyataan dari salah satu informan yakni sebagai berikut: “...pada tahap pelaksanaan, meski anggota formal diberikan kepercayaan dan tanggung jawab lebih pada ketentuan teknis, juga pelaksanaan teknisnya, tetapi anggota panitia yang bukan dari aparat desa juga memberikan kontribusi terbaiknya mbak, jadi untuk keseluruhan kinerja panitia tergolong bagus semua, begitu mbak...” (FHR, ketua Panitia)
Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan, 4) selanjutnya, tidak terjadi sebuah multikolinearitas 3 , nilai tolerance harus lebih dari 0.10, dan nilai variance inflation factor (VIF) harus kurang dari 10.0, maka dari keempat faktor efektivitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (Lampiran 9), hasil uji regresi menunjukkan bahwa keempat faktor yakni, faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat memiliki pengaruh sebesar 37.9 persen terhadap berjalannya tahap pelaksanaan. Kemudian, dari keempat faktor efektivitas tersebut, faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan adalah tidak ada. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai t hitung dari keempat faktor efektivitas tidak ada yang lebih besar dari besaran nilai t tabel 2.776. Selanjutnya untuk nilai tolerance berturut-turut adalah 0.808, 0.585, 0.649, dan 0.889, dan untuk nilai VIF sendiri berturut-turut 1.238, 1.710, 1.540, dan 1.125, pembuktian angka tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolineritas. Kemudian, dari hasil analisis data statistik tersebut dapat dipaparkan bahwa berjalannya tahap pelaksanaan dipengaruhi oleh keempat faktor efektivitas, keempat faktor tersebut memberikan pengaruh yang sama meski tidak signifikan. Pengaruh dari keempat faktor tersebut mengindikasikan bahwa tingkat penerapan dan pelaksanaan meski berjalan cukup baik, tetapi tidak bisa memberikan pengaruh yang paling dominan/signifikan. Lain halnya untuk faktor sosial-masyarakat, yang menunjukkan hasil angka t hitung dengan nilai yang kecil bahkan negatif. Hal ini dikarenakan pada kondisi pelaksanaan, koordinasi antarpanitia dan sarana/fasilitas pendukung merupakan pengaruh yang lebih dibandingkan kondisi masyarakat pada saat itu. 3
tidak adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
62 Faktor sosial-masyarakat tersebut bisa saja memberikan pengaruh yang berkebalikan, bisa saja dengan kondisi masyarakat yang pada saat itu sedang kritis atau sedang dilanda masalah yang cukup pelik dapat memberikan pengaruh yang lebih terhadap berjalannya tahap pelaksanaan atau kondisi masyarakat yang sangat baik. Seharusnya, semakin baik kondisi suatu masyarakat semakin baik pula pelaksanaan sebuah kegiatan tertentu dikarenakan suasana yang tidak penuh dengan tekanan. Sisa 62.1 persen untuk pengaruh di luar keempat faktor-faktor efektivitas tersebut adalah dikarenakan kondisi pemerintahan desa yang pada saat itu memang sedang mengalami krisis kepemimpinan dan juga krisis keuangan. Keadaan inilah yang menjadikan kepanitiaan bekerja lebih hati-hati sekali dalam tahap pelaksanaan juga. Pada tahap pelaksanaan ini panitia harus adil dan bertanggung jawab dalam melaksanakan proses pemungutan suara sampai pelantikan Kepala Desa yang terpilih. Selain itu, tahap pelaksanaan juga merupakan tahap lanjutan yang nantinya akan memunculkan tokoh pemimpin yang baru. Jika tahap pelaksanaannya terjadi masalah ataupun kecurangan, maka masalah sebelumnya bisa terulang lagi dikarenakan tidak kecermatan memilih pemimpin baru. Pemaparan tersebut didukung pernyataan salah satu informan, yakni sebagai berikut: ”...dikarenakan kondisi desa yang sedang mengalami krisis kepemimpinan Kepala Desa, masyarakat desa menginginkan calon yang benar-benar amanah, mereka menjadi semakin kritis terhadap kinerja kepanitiaan, apalagi pas pencoblosan, mereka sangat antusias dengan para calon yang berhasil lolos pengujian, juga memantau kalau-kalau ada kecurangan yang terjadi. Kondisi inilah yang menjadikan masyarakat maupun panitia benar-benar bersungguh-sungguh dalam pemilihan Kepala Desa saat itu...” (KHL, tokoh masyarakat)
Pengaruh Faktor-Faktor Efektivitas terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa Faktor-faktor efektivitas yang terdiri dari faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat akan dikaitkan dengan sejauhmana pelaksanaan praktik pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan, mulai dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan. Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut status besaran praktik pemilihan Kepala Desa Praktik Pemilihan Kepala Desa Status Kelemba Baik Sedang Tidak Baik gaan n % n % n % Formal 26 66.66 1 2.57 0 0.00 Informal 4 10.26 8 20.51 0 0.00 Total 30 76.92 9 23.08 0 0.00
kelembagaan dan Total N 27 12 39
% 69.23 30.77 100.00
63 Berdasarkan tabel 10, tahap pelaksanaan pemilihan Kepala Desa termasuk dalam kategori baik. Dapat dilihat bahwa 76.92 persen (30 orang dari 39 orang) responden, baik anggota formal maupun informal mengungkapkan bahwa praktik pemilihan Kepala Desa tergolong kategori baik. Hal ini dikarenakan bahwa hampir semua rangkaian dari tahap persiapan, seperti pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa, hingga tahap pelaksanaan, seperti proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa dijalankan dengan begitu baik. Mekanisme yang dijalankan tidak ada kegiatan yang mengalami penundaan dari jadwal yang ditetapkan, serta tata cara pelaksanaan dari serangkaian kegiatan pemilihan Kepala Desa ini tidak ada yang menyimpang dari peraturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Pada kategori baik ini, anggota formal lebih mendominasi besaran persentase. Hal ini dikarenakan bahwa dari serangkaian kegiatan-kegiatan pada pemilihan Kepala Desa, baik dari tahap persiapan hingga tahap pelaksanaan, terkendali dan bertumpu pada koordinasi anggota formal. Anggota formal pun mempunyai akses dan kontrol yang lebih dibandingkan dengan anggota informal. Sisanya, yakni 23.08 persen (9 orang dari 39 orang) responden mengungkapkan bahwa praktik pemilihan Kepala Desa termasuk dalam kategori sedang. Hal ini dikarenakan bahwa anggota-anggota ini baik formal maupun informal menjadi bagian panitia yang berkaitan dengan akomodasi, tidak tetap pada satu pengalokasian posisi teknis lapang tertentu. Tidak semua anggota formal mengurus keseluruhan kegiatan yang berkaitan dengan administratif dan berkasberkas, ada pihak anggota formal yang juga ditugaskan pada bagian akomodasi atau dengan kata lain seksi mondar-mandir. Jika praktik pemilihan Kepala Desa dilihat dari masing-masing status anggota, dihasilkan bahwa pada status anggota formal, 96.30 persen anggota (26 orang dari 27 orang) memilih praktik pemilihan dalam kategori baik, sedangkan sisanya 3.70 persen anggota (1 orang dari 27 orang) memilih praktik pemilihan dalam kategori sedang. Selanjutnya, pada status anggota informal 33.33 persen anggota (4 orang dari 12 orang) memilih praktik pemilihan dalam kategori baik, dan 66.67 persen anggota (8 orang dari 12 orang) memasukkan praktik pemilihan menjadi kategori sedang. Perbedaaan keterpautan antara kategori baik dan kategori sedang yang cukup signifikan ini menunjukkan kecenderungan bahwa pada praktik pemilihan Kepala Desa anggota formal lebih efektif dibandingkan dengan anggota informal. Hal ini dikarenakan bahwa anggota formal memiliki tingkat akses, tingkat pemahaman, dan tingkat kepercayaan yang lebih dibandingkan dengan anggota informal dalam keseluruhan dari tahap persiapan dan juga tahap pelaksanaan. Menurut paparan tersebut, dapat dikatakan bahwa jumlah persentase kategori sedang lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase kategori baik dan kategori tidak baik pada anggota informal, dan jumlah persentase kategori baik lebih besar dibandingkan dengan jumlah persentase kategori sedang dan kategori tidak baik pada anggota formal. Hal ini menunjukkan bahwa dari kedua status anggota tersebut, praktik pemilihan pada anggota forrmal tergolong baik untuk hampir semua jumlah anggota, dan tergolong kategori sedang pada 67
64 persen anggota informal. Berarti dapat pula dikatakan bahwa anggota formal memiliki kecenderungan yang lebih aktif dikarenakan tingkat akses, kemampuan, dan juga tingkat kepercayaan yang lebih terhadap keseluruhan praktik pemilihan Kepala Desa dibandingkan dengan anggota informal. Pemaparan tersebut didukung pernyataan salah satu informan, yakni sebagai berikut: “...untuk secara keseluruhan urusan kegiatan yang ada, memang kami lebih mempercayakannya kepada para pejabat desa, mbak. Kami yang bukan pejabat desa hanya sekedar membantu apa yang kurang saja mbak. Dan sejauh ini kinerja aparat desa dan BPD memang sudah begitu baik, jadi kami tidak perlu mencampuri urusan kegiatan yang lebih mendalam sekali...” (KSN, tokoh masyarakat)
Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh signifikan, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan, 4) selanjutnya, tidak terjadi sebuah multikolinearitas 4 , nilai tolerance harus lebih dari 0.10, dan nilai variance inflation factor (VIF) harus kurang dari 10.0, maka dari keempat faktor efektivitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (Lampiran 10), hasil uji regresi menunjukkan bahwa keempat faktor yakni, faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat memiliki pengaruh sebesar 53.5 persen terhadap praktik pemilihan Kepala Desa. Kemudian, dari keempat faktor efektivitas tersebut, faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan adalah faktor sarana/fasilitas pendukung. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai t hitung faktor sarana/fasilitas pendukung yakni 4.483 lebih besar dari besaran nilai t tabel 2.776, dan juga lebih besar dibandingkan nilai t hitung faktor lain. Selanjutnya untuk nilai tolerance berturut-turut adalah 0.808, 0.585, 0.649, dan 0.889, dan untuk nilai VIF sendiri berturut-turut 1.238, 1.710, 1.540, dan 1.125, pembuktian angka tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolineritas. Kemudian, dari hasil analisis data statistik tersebut dapat dipaparkan bahwa praktik pemilihan Kepala Desa dipengaruhi oleh faktor sarana/fasilitas pendukung, yakni akses informasi, akomodasi, dan kontrol. Fakta di lokasi penelitian menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap informasi, akses akomodasi masyarakat, serta akses kontrol masyarakat terhadap proses berjalannya pemilihan Kepala Desa terbilang cukup kuat dan intens. Akses informasi sendiri, penyebaran informasi yang berkaitan dengan pemilihan Kepala Desa berjalan dengan sangat baik, informasi yang diberikan bersifat transparan dan terbuka. Selain itu, media penyebaran informasinya juga cukup beragam seperti penyebaran informasi menggunakan pesan singkat (sms), menggunakan penyebaran selebaran, melalui ketua RT/RW masing-masing, melalui kepala dusun, melalui tokoh masyarakat setempat, melalui penyebaran informasi di berbagai perkumpulan warga masyarakat, dan juga pengumuman di papan 4
tidak adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
65 informasi kantor desa. Penerimaan informasi pun merata di semua kalangan masyarakat. Di samping itu, akses kontrol masyarakat terhadap rangkaian proses pemilihan Kepala Desa terbilang baik, dimana dari awal pembentukan panitia sampai pelantikan Kepala Desa, masyarakat benar-benar mengawal dan mengontrol kinerja panitia, yangmana ada kemungkinan terjadinya ketimpangan yang terjadi. Ikhtisar : Faktor yang Berpengaruh terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa Praktik pemilihan Kepala Desa dibagi menjadi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi; pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa. Kemudian, faktor-faktor efektivitas yang terdiri dari faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat akan dikaitkan dengan sejauhmana pelaksanaan tahap persiapan berjalan, sejauhmana pelaksanaan tahap pelaksanaan berjalan, serta sejauhmana praktik pemilihan Kepala Desa yang berjalan secara keseluruhan. Tabel 11 Persentase besaran faktor-faktor efektivitas terhadap praktik pemilihan Kepala Desa Faktor Efektivitas Kelembagaan Anggota Kelembagaan Sarana/Fasilitas Pendukung Sosial-Masyarakat
Tahap Praktik Pemilihan Kepala Desa (%) Persiapan Pelaksanaan Keseluruhan 8 18 13.0 26
46
36.0
65
34
49.5
1
2
1.5
Berdasarkan tabel 11, terlihat bahwa pada tahap persiapan, faktor sarana/fasilitas pendukung memiliki persentase paling besar yakni 65 persen, yang kemudian disusul dengan faktor anggota kelembagaan sebesar 26 persen, faktor kelembagaan sebesar 8 persen, dan untuk faktor sosial-masyarakat sebesar 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai persentase paling besar terhadap tahap persiapan. Tahap pelaksanaan, faktor anggota kelembagaan memiliki persentase paling besar yakni 46 persen, yang kemudian disusul dengan faktor sarana/fasilitas pendukung sebesar 34 persen, faktor kelembagaan sebesar 18 persen, dan untuk faktor sosial-masyarakat sebesar 2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa faktor anggota kelembagaan mempunyai persentase paling besar terhadap tahap pelaksanaan. Untuk keseluruhan, faktor sarana/fasilitas pendukung mempunyai persentase besar terhadap praktik pemilihan Kepala Desa yakni sebesar 49.5 persen.
66 Di pihak lain, berdasarkan perhitungan data dari hasil uji regresi menunjukkan bahwa keempat faktor yakni, faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat memiliki pengaruh sebesar 53.5 persen terhadap praktik pemilihan Kepala Desa. Kemudian, dari keempat faktor efektivitas tersebut, faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan adalah faktor sarana/fasilitas pendukung. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai t hitung faktor sarana/fasilitas pendukung yakni 4.483 lebih besar dari besaran nilai t tabel 2.776, dan juga lebih besar dibandingkan dengan besaran t hitung faktor yang lain. Meski keempat faktor tersebut hanya berpengaruh sebesar 53.5 persen terhadap praktik pemilihan Kepala Desa, tetapi jika dilihat dari nilai signifikansinya, terdapat satu faktor tertentu yang memiliki pengaruh signifikan dibandingkan dengan faktor yang lainnya. Hasil ini sudah bisa menjawab hipotesis penelitian saya yang kedua, yakni terdapat pengaruh signifikan faktor tertentu efektivitas kelembagaan dengan praktik demokrasi desa, dalam hal ini praktik pemilihan Kepala Desa.
EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN TERHADAP PRAKTIK PEMILIHAN KEPALA DESA
Tingkat efektivitas kelembagaan merupakan hasil perpaduan dari tingkat penerapan keempat faktor-faktor efektivitas. Jika keempat faktor memiliki tingkat penerapan yang baik, maka tingkat efektivitas kelembagaan pun akan tergolong dalam kategori baik pula. Pengkategorian tingkat efektivitas dibagi menjadi tiga yakni kategori rendah, sedang, dan tinggi. Praktik pemilihan Kepala Desa dibagi menjadi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi; pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa. Kategori pelaksanaan praktik pemilihan Kepala Desa juga dibagi menjadi tiga kategori, yakni kategori tidak baik/buruk, sedang, dan baik. Tingkat Efektivitas pada Tahap Persiapan Tingkat efektivitas kelembagaan merupakan hasil perpaduan dari tingkat penerapan keempat faktor-faktor efektivitas. Jika keempat faktor memiliki tingkat penerapan yang baik, maka tingkat efektivitas kelembagaan pun akan tergolong dalam kategori baik pula. Pengkategorian tingkat efektivitas dibagi menjadi tiga yakni kategori rendah, sedang, dan tinggi. Praktik pemilihan kepala pada tahap persiapan yang meliputi; pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa juga dikategorikan menjadi tiga, yakni kategori tidak baik/buruk, sedang, dan baik. Tabel 12 Persentase besaran efektivitas dengan besaran tahap persiapan Efektivitas Tahap Persiapan (%) Baik Sedang Tidak Baik Tinggi 35.9 2.6 0 Sedang 33.3 28.2 0 Rendah 0.0 0.0 0 Total 79.2 30.8 0
Total 38.5 61.5 0.0 100.0
Berdasarkan tabel 12, besaran persentase kategori antara kategori efektivitas kelembagaan dengan kategori tahap persiapan tidak berbanding lurus, pada besaran efektivitas kelembagaan yang tinggi, besaran tahap persiapan tidak tinggi. Hasil yang terlihat menunjukkan bahwa kategori efektivitas kelembagaan tergolong sedang, dan kategori tahap persiapan tergolong baik. Namun, untuk besaran nilai persentase tertingginya, nilai persentase tingkat efektivitas dan nilai persentase tahap persiapan sama-sama tergolong dalam kategori yang tinggi ataupun baik. Perbedaan ini dapat diartikan bahwa keduanya tidak saling
68 mempengaruhi. Pada hasil pengolahan data Uji Regresi pun menunjukkan hasil yang sama. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan, 4) selanjutnya, tidak terjadi sebuah multikolinearitas 5 , nilai tolerance harus lebih dari 0.10, dan nilai variance inflation factor (VIF) harus kurang dari 10.0, maka dari tingkat efektivitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan. Berdasarkan perhitungan data, hasil uji regresi menunjukkan bahwa tingkat efektivitas kelembagaan memiliki pengaruh sebesar 17.0 persen terhadap pelaksanaan tahap persiapan. Kemudian, tingkat efektivitas kelembagaan tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pelaksanaan tahap persiapan. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai signifikansi 0.09 lebih besar dari nilai alpha yang digunakan yakni 0.05. Selanjutnya, untuk nilai tolerance adalah 1.000, dan untuk nilai VIF sendiri adalah 1.000, pembuktian angka tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolineritas. Kemudian, dari hasil analisis data statistik tersebut dapat dipaparkan bahwa tingkat efektivitas kelembagaan tidak mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan tahap persiapan. Berarti dapat dikatakan pula bahwa semakin tinggi tingkat efektivitas kelembagaan belum tentu pelaksanaan tahap persiapan berjalan dengan semakin baik pula. Tingkat Efektivitas pada Tahap Pelaksanaan Tingkat efektivitas kelembagaan merupakan hasil perpaduan dari tingkat penerapan keempat faktor-faktor efektivitas. Jika keempat faktor memiliki tingkat penerapan yang baik, maka tingkat efektivitas kelembagaan pun akan tergolong dalam kategori baik pula. Pengkategorian tingkat efektivitas dibagi menjadi tiga yakni kategori rendah, sedang, dan tinggi. Praktik pemilihan kepala pada tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa dikategorikan menjadi tiga, yakni kategori tidak baik/buruk, sedang, dan baik. Tabel 13 Persentase besaran efektivitas dengan besaran tahap pelaksanaan Efektivitas Tahap Pelaksanaan (%) Total Baik Sedang Tidak Baik Tinggi 30.8 7.7 0 31.5 Sedang 17.9 43.6 0 68.5 Rendah 0.0 0.0 0 0.0 Total 48.7 51.3 0 100.0 Berdasarkan tabel 13, besaran persentase kategori antara kategori efektivitas kelembagaan dengan kategori tahap pelaksanaan berbanding lurus, 5
tidak adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
69 pada besaran efektivitas kelembagaan yang tinggi, besaran tahap persiapan juga tinggi. Hasil yang terlihat menunjukkan bahwa kategori efektivitas kelembagaan tergolong sedang, dan kategori tahap pelaksanaan juga tergolong sedang. Selanjutnya, untuk besaran nilai persentase tertingginya, nilai persentase tingkat efektivitas dan nilai persentase tahap pelaksanaan sama-sama tergolong dalam kategori yang sedang. Hal ini dapat diartikan bahwa keduanya saling mempengaruhi. Pada hasil pengolahan data Uji Regresi pun menunjukkan hasil yang sama. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan, 4) selanjutnya, tidak terjadi sebuah multikolinearitas 6 , nilai tolerance harus lebih dari 0.10, dan nilai variance inflation factor (VIF) harus kurang dari 10.0, maka dari tingkat efektivitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan. Berdasarkan perhitungan data, hasil uji regresi menunjukkan bahwa tingkat efektivitas kelembagaan memiliki pengaruh sebesar 27.1 persen terhadap berjalannya tahap pelaksanaan. Kemudian, tingkat efektivitas kelembagaan mempunyai pengaruh terhadap berjalannya tahap pelaksanaan. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai signifikansi 0.01 lebih kecil dari nilai alpha yang digunakan yakni 0.05. Selanjutnya, untuk nilai tolerance adalah 1.000, dan untuk nilai VIF sendiri adalah 1.000, pembuktian angka tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolineritas. Kemudian, dari hasil analisis data statistik tersebut dapat dipaparkan bahwa tingkat efektivitas kelembagaan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap berjalannya tahap pelaksanaan. Berarti dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat efektivitas kelembagaan, maka berjalannya tahap pelaksanaan pun semakin baik. Tingkat Efektivitas pada Praktik Pemilihan Kepala Desa Tingkat efektivitas kelembagaan merupakan hasil perpaduan dari tingkat penerapan keempat faktor-faktor efektivitas. Jika keempat faktor memiliki tingkat penerapan yang baik, maka tingkat efektivitas kelembagaan pun akan tergolong dalam kategori baik pula. Pengkategorian tingkat efektivitas dibagi menjadi tiga yakni kategori rendah, sedang, dan tinggi. Praktik pemilihan Kepala Desa dibagi menjadi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi; pembentukan panitia pemilihan, penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa. Kategori pelaksanaan praktik pemilihan Kepala Desa juga dibagi menjadi tiga kategori, yakni kategori tidak baik/buruk, sedang, dan baik. 6
tidak adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
70 Tabel 14 Persentase besaran efektivitas dengan besaran praktik pemilihan Kepala Desa Efektivitas Praktik Pemilihan Kepala Desa (%) Total Baik Sedang Tidak Baik Tinggi 38.5 0.0 0 38.5 Sedang 35.9 25.6 0 61.5 Rendah 0.0 0.0 0 0.0 Total 74.4 25.6 0 100.0 Berdasarkan tabel 14, besaran persentase kategori antara kategori efektivitas kelembagaan dengan kategori praktik pemilihan tidak berbanding lurus, pada besaran efektivitas kelembagaan yang tinggi, besaran praktik pemilihan juga tidak tinggi. Hasil yang terlihat menunjukkan bahwa kategori efektivitas kelembagaan tergolong sedang, dan kategori praktik pemilihan tergolong baik. Untuk besaran nilai persentase tertingginya, nilai tertinggi persentase tingkat efektivitas dan nilai persentase praktik pemilihan sama-sama tergolong dalam kategori yang tinggi ataupun baik. Perbedaan ini dapat diartikan bahwa keduanya tidak saling mempengaruhi. Tetapi, pada hasil pengolahan data Uji Regresi menunjukkan hasil keterkaitan pengaruh antara keduanya. Pengolahan data program SPSS Uji Regresi mempunyai syarat seperti; 1) nilai R square menyatakan derajat representasi variabel yang digunakan dalam penelitian untuk menjelaskan permasalahan yang diangkat atau besaran kontribusi pengaruh variabel, 2) jika nilai signifikansi melebihi nilai 0.05 (nilai alpha yang digunakan), maka tidak ada pengaruh, dan 3) jika besaran nilai t hitung lebih besar dari besaran nilai t tabel (diketahui besaran t tabel adalah 2.776), maka ada pengaruh yang signifikan, 4) selanjutnya, tidak terjadi sebuah multikolinearitas7, nilai tolerance harus lebih dari 0.10, dan nilai variance inflation factor (VIF) harus kurang dari 10.0, maka dari tingkat efektivitas tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan data (lampiran 11), hasil uji regresi menunjukkan bahwa tingkat efektivitas kelembagaan memiliki pengaruh sebesar 21.6 persen terhadap praktik pemilihan Kepala Desa. Kemudian, tingkat efektivitas kelembagaan mempunyai pengaruh terhadap praktik pemilihan Kepala Desa. Hal ini ditunjukkan dengan besaran nilai signifikansi 0.03 lebih kecil dari nilai alpha yang digunakan yakni 0.05. Selanjutnya untuk nilai tolerance adalah 1.000, dan untuk nilai VIF sendiri adalah 1.000, pembuktian angka tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terjadi multikolineritas. Kemudian, dari hasil analisis data statistik tersebut dapat dipaparkan bahwa praktik pemilihan Kepala Desa dipengaruhi oleh tingkat efektivitas kelembagaan. Semakin tinggi tingkat efektivitas kelembagaan, semakin baik pula berjalannya praktik pemilihan Kepala Desa. Hal ini tidak terlepas dari tingkat penerapan keempat faktor efektivitas yang berjalan dengan begitu baiknya sehingga menjadikan tingkat efektivitas kelembagaan termasuk dalam kategori cukup baik/sedang. Meski tingkat efektivitas tidak mempunyai pengaruh terhadap tahap persiapan, tetapi tingkat efektivitas mempunyai pengaruh terhadap tahap pelaksanaan dan juga praktik pemilihan secara keseluruhan. Dapat dikatakan 7
tidak adanya korelasi antar variabel bebas (independent).
71 bahwa pengaruh tingkat efektivitas harus dilihat secara keseluruhan untuk praktik pemilihan Kepala Desa, bukan untuk dilihat pengaruh setiap tahapannya. Hal ini dikarenakan bahwa tingkat efektivitas merupakan satu kesatuan dari empat faktor efektivitas, dan praktik pemilihan juga merupakan satu kesatuan dari tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Jadi, harus dilihat secara keseluruhan pengaruh tingkat efektivitas terhadap keseluruhan praktik pemilihan Kepala Desa. Tingkat efektivitas kelembagaan mempunyai pengaruh terhadap proses pemilihan Kepala Desa. Meski besarnya persentase pengaruh tidak melebihi angka 50 persen, namun hasil tersebut sudah dapat menjawab hipotesis penelitian yang ketiga yakni terdapat pengaruh efektivitas kelembagaan terhadap praktik pemilihan Kepala Desa.
Uji Beda antara Kelembagaan Formal dan Kelembagaan Informal Desa Uji beda atau uji t-independent dilakukan untuk melihat manakah kelembagaan yang lebih berperan dominan atau yang lebih efektif antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal desa. Hasil uji t beda independent (Lampiran 12), menunjukkan bahwa nilai rata-rata dari tingkat efektivitas dan proses pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan antara anggota kelembagaan formal dan anggota informal mempunyai besaran nilai rata-rata yang berbeda. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa besaran nilai rata-rata anggota kelembagaan formal desa yang terlibat menjadi panitia pemilihan Kepala Desa lebih besar dari anggota informal desa. Tabel 15 Perbandingan nilai rata-rata antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal dalam efektivitas kelembagaan Status Kelemba gaan
Kelemba gaan
Formal Informal
2.30 2.00
Faktor-Faktor Efektivitas Anggota Sarana/Fasili Kelembagaan tas Pendukung 2.56 2.78 2.08 2.17
SosialMasyarakat
Efektivi tas
2.04 2.00
2.56 2.00
Pada faktor-faktor efektivitas kelembagaan, terlihat bahwa anggota formal lebih efektif dibandingkan anggota informal, hal ini dibuktikan dengan besaran nilai rata-rata anggota formal lebih besar dibandingkan besaran nilai rata-rata anggota informal. Tetapi, dapat dilihat pula bahwa perbedaan besaran nilai ratarata tersebut tidak terpaut jauh. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan tingkat akses, kemauan, dan kemampuan mengakses antara anggota keduanya, yakni anggota formal dan anggota informal tidak terlalu jauh. Selain itu, proporsi panitia pemilihan antara anggota formal dan anggota informal juga tidak seimbang, jumlah yang didominasi oleh anggota formal itu sendiri. Perbedaan proporsi ini dikarenakan kurangnya tingkat kepercayaan anggota formal terhadap anggota informal. Begitu pula hasil yang terlihat pada efektivitas kelembagaan, anggota formal masih menjadi unit yang lebih efektif dibandingkan dengan anggota informal.
72 Tabel 16 Perbandingan nilai rata-rata antara kelembagaan formal dan kelembagaan informal dalam praktik pemilihan Kepala Desa Status Kelemba gaan Formal Informal
Tahap Praktik Pemilihan Kepala Desa Persiapan 2.89 2.25
Pelaksanaan 2.67 2.08
Praktik Pemilihan Kepala Desa 2.96 2.25
Selanjutnya, pada tahap persiapan dan tahap pelaksanaan juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Terlihat bahwa anggota formal lebih efektif dibandingkan anggota informal, hal ini dibuktikan dengan besaran nilai rata-rata anggota formal lebih besar dibandingkan besaran nilai rata-rata anggota informal. Tetapi, dapat dilihat pula bahwa perbedaan besaran nilai rata-rata tersebut tidak terpaut jauh. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan tingkat akses pada tahap persiapan yang sering berkaitan dengan urusan administratif dan urusan berkas-berkas lainnya. Dalam urusan seperti itu, sudah pasti anggota formal lebih menguasai dan juga lebih bisa mengontrolnya. Pada tahap pelaksanaan pun, pemberian tugas dan wewenang lebih dipercayakan kepada anggota formal dibandingkan anggota informal. Hal ini juga berkaitan dengan pengalaman dan penguasaan prosedur pemerintahan. Praktik pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Perbedaan yang muncul disebabkan oleh faktor-faktor pengaruh pada tahap persiapan dan juga tahap pelaksanaan yang nantinya berpengaruh pada proses keseluruhan dari pemilihan Kepala Desa. Kemudian, pada hasil analisis statistik selanjutnya (merujuk Lampiran 12) nilai signifikansi yang tertera sebesar 0,00 menunjukkan bahwa data yang diperoleh tidak homogen (beragam). Hal ini disebabkan bahwa nilai signifikansi yang tertera 0,00 < 0,05 (nilai alpha yang digunakan). Selanjutnya, jika nilai sig. (2-tailed) 0,00 ≤ 0,01, maka ada perbedaan pada taraf 1 (satu) persen. Antara anggota lembaga formal desa dengan anggota lembaga informal desa mempunyai perbedaan yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini menunjukkan bahwa anggota formal lebih efektif dibandingkan dengan anggota informal. Selain itu, perbedaan tingkat keefektifan diantara keduanya cukup besar yakni di taraf 1 persen atau bisa dikatakan dengan perbedaan yang cukup signifikan. Lembaga yang lebih efektif antara lembaga formal desa dan lembaga informal desa dalam proses pemilihan Kepala Desa di Desa Kelangdepok adalah lembaga formal. Hal ini dikarenakan jumlah anggota formal yang dilibatkan dalam panitia pemilihan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anggota informal. Di samping itu, rata-rata usia anggota formal lebih muda dibandingkan dengan anggota informal. Hal ini juga mempengaruhi keaktifan anggota dari segi tenaga fisik yang disalurkan, sehingga yang usia lebih muda lebih gesit dan cekatan dibandingkan dengan anggota yang berusia lebih tua. Selain itu, rata-rata tingkat pendidikan pada kelembagaan formal pun lebih tinggi dibandingkan kelembagaan informal, sehingga mempengaruhi kapasitas dan kualitas sumberdaya dalam menjalankan tugasnya.
73 Penguatan Sumberdaya Manusia Kelembagaan sebagai Pilar Demokrasi Desa Sumberdaya manusia adalah sumberdaya yang mempunyai potensi dalam dirinya sendiri untuk mewujudkan peranannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif, mampu mengelola dirinya sendiri, juga mengelola potensi yang ada. Sumberdaya manusia juga merupakan salah satu bagian dari sebuah sistem yang membentuk suatu organisasi, dimana sumberdaya manusia tersebut sebagai subyek pelaku dalam berbagai kegiatan-kegiatan organisasi yang ada. Dikarenakan sumberdaya manusia menjadi subyek pelaku, maka diperlukan penguatan serta pengembangan kapasitas dan kualitas agar peranannya lebih baik lagi. Panitia pemilihan Kepala Desa yang terdiri dari anggota kelembagaan formal dan anggota kelembagaan informal merupakan representasi sumberdaya manusia yang menjadi subyek pelaku. Maka, perlu diperhatikan sumberdaya manusia yang terlibat dalam rangkaian kegiatan pemilihan Kepala Desa yang dilaksanakan. Nantinya, akan terlihat peranan yang dijalankan oleh masing-masing anggota kelembagaan dalam rangkaian kegiatan yang ada. Pada awal pembentukan panitia pemilihan Kepala Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mengundang seluruh elemen masyarakat untuk ikut hadir dalam pembentukan panitia pemilihan, yang kemudian dilanjutkan dengan agenda penyusunan jadwal kegiatan beserta anggaran dananya. Setelah panitia pemilihan kepala desa terbentuk, BPD memberikan sosialisasi tentang AD/ART, peraturan, dan segala bentuk ketentuan yang berkaitan pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Desa juga berkaitan dengan tugas kepanitiaan. AD/ART, peraturan dan beragam ketentuan yang disosialisasikan telah dibuat oleh BPD melalui permusyawaratan antar anggotanya. Sosialisasi yang dilakukan, benar-benar penjelasan secara rinci dan detail tentang keseluruhan poin yang tercantum didalamnya. Untuk tingkat penerapan dari poin-poin tersebut, tergantung pada anggota kepanitiaan menyikapinya, ada pihak anggota yang menyikapi tingkat penerapan tergolong dalam kategori baik, ada juga pihak anggota yang menyikapi tingkat penerapan tergolong dalam kategori sedang. Perbedaan kategori ini dikarenakan oleh tingkat akses dan tingkat pemahaman yang berbeda dari masing-masing anggota. Status dan kedudukan dalam panitia pun turut menjadi penyebabnya. Anggota panitia yang memiliki kedudukan/posisi inti kepanitiaan akan memiliki tingkat akses yang lebih dibandingkan anggota yang lainnya, dan anggota panitia yang menduduki posisi/kedudukan inti tersebut mempunyai kapasitas dan kualitas yang lebih juga dibandingkan dengan yang lainnya seperti anggota yang berasal dari aparat desa dan karang taruna. Kemudian, tingkat akses dan tingkat pemahaman yang lebih ini juga memicu pelaksanaan peranan dan tugas yang dijalankan, serta kinerja yang ada. Anggota dari kelembagaan formal yang direkrut menjadi panitia pemilihan Kepala Desa merupakan pejabat desa dengan jumlah anggota yang terekrut lebih banyak dibandingkan jumlah anggota informal. Status pejabat desa yang disandang menjadikan anggota kelembagaan formal ini memiliki kepercayaan yang lebih dikarenakan tingkat pendidikan, jaringan yang dimiliki, dan kemampuan yang lebih dengan urusan pemerintahan desa. Tingkat pendidikan menentukan kapasitas dan kualitas dari seorang anggota
74 dalam pemahaman tugas yang diberikan, pelaksanaan tugas, serta kemampuan membentuk jaringan komunikasi di kalangan masyarakat. Selanjutnya, pemilihan Kepala Desa merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan desa yang dilaksanakan secara rutin dengan periode tertentu, sehingga pejabat desa mempunyai hak dan kewajiban yang lebih untuk terlibat dalam praktik demokrasi tersebut sesuai dengan mandat yang tertera dalam beberapa peraturan resmi dari pemerintah. Pada tahap persiapan, kegiatan yang lebih banyak dilaksanakan dalam tahap ini merupakan kegiatan dengan mekanisme administratif, seperti penjaringan dan penyaringan bakal calon, serta kampanye dari para calon. Dikarenakan banyaknya kegiatan yang berkaitan dengan urusan administratif dan perberkasan, anggota formal lebih banyak dilibatkan. Salah satu informan memaparkan bahwa pejabat desa telah terbiasa berurusan dengan hal administratif dan perberkasan, juga lebih menguasai dan memahami prosedur pemerintahan, sehingga pemberian kepercayaan dan tanggung jawab pelaksanaan lebih diberikan kepada anggota formal. Anggota informal dalam hal ini sekedar membantu apa yang kurang bukan apa yang diperlukan, sehingga keterlibatan anggota informal tergolong kecil dalam tahap persiapan. Begitu pun dengan tahap pelaksanaan, pusat koordinasi teknis serta pengontrolan urusan administratif juga lebih dipertanggung jawabkan kepada anggota formal. Mulai dari kegiatan pemungutan suara sampai pelantikan Kepala Desa. Dilihat dari hasil penelitian, peran anggota informal sudah cukup aktif, tetapi pemberian kepercayaan dan akses terhadap mereka kurang diperbesar dan di perluas dengan alasan perbedaaan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusianya. Pada suatu organisasi seperti panitia pemilihan Kepala Desa, agar peranan yang dimunculkan tidak timpang maka sumberdaya manusia yang ada didalamnya harus mempunyai kapasitas dan kualitas yang sama. Dalam hal ini, sumberdaya manusia pada kelembagaan informal harus dikuatkan dan dikembangkan agar tidak timpang dengan kelembagaan formal. Penguatan dan pengembangan untuk kelembagaan informal ini dapat dilakukan dengan berbagai upaya, seperti pelatihan tentang prosedural pemerintahan yang berkaitan dengan urusan administratif dan perberkasan, serta pengkayaan kegiatan yang terkait dengan praktik pemerintahan. Selain itu, pendidikan politik bagi para anggota informal pun perlu dilakukan secara rutin setiap periode tertentu guna menambah wawasan dan khasanah ilmu mereka tentang dunia politik. Selanjutnya, pemberian kepercayaan kepada mereka (kelembagaan informal) untuk menjalankan tugas yang berkaitan dengan urusan desa juga harus ditingkatkan, sehingga kapasitas dan kualitas mereka tidak terlalu jauh berbeda dengan kelembagaan formal. Ikhtisar : Efektivitas Kelembagaan terhadap Praktik Pemilihan Kepala Desa Tingkat efektivitas kelembagaan merupakan hasil perpaduan dari tingkat penerapan keempat faktor-faktor efektivitas. Jika keempat faktor memiliki tingkat penerapan yang baik, maka tingkat efektivitas kelembagaan pun akan tergolong dalam kategori baik pula. Pengkategorian tingkat efektivitas dibagi menjadi tiga yakni kategori rendah, sedang, dan tinggi. Praktik pemilihan Kepala Desa dibagi menjadi tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Tahap persiapan meliputi; pembentukan panitia pemilihan,
75 penjaringan dan penyaringan berkas bakal calon Kepala Desa, pengumuman calon Kepala Desa yang berhak dipilih, dan kampanye dari para calon Kepala Desa. Tahap pelaksanaan sendiri terdiri dari proses kegiatan pemungutan suara, proses kegiatan perhitungan suara, pelaporan hasil perhitungan suara, serta proses kegiatan pelantikan Kepala Desa. Kategori pelaksanaan praktik pemilihan Kepala Desa juga dibagi menjadi tiga kategori, yakni kategori tidak baik/buruk, sedang, dan baik. Rata-rata dari tingkat efektivitas dan proses pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan antara anggota kelembagaan formal dan anggota informal mempunyai besaran nilai rata-rata yang berbeda. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa besaran nilai rata-rata anggota kelembagaan formal desa yang terlibat menjadi panitia pemilihan Kepala Desa lebih besar dari anggota informal desa. Pada faktor-faktor efektivitas kelembagaan, terlihat bahwa anggota formal lebih efektif dibandingkan anggota informal, hal ini dibuktikan dengan besaran nilai rata-rata anggota formal lebih besar dibandingkan besaran nilai rata-rata anggota informal. Tetapi, dapat dilihat pula bahwa perbedaan besaran nilai ratarata tersebut tidak terpaut jauh. Hal ini bisa disebabkan karena tingkat akses, kemauan, dan kemampuan mengakses yang berbeda antara anggota keduanya, yakni anggota formal dan anggota informal. Selain itu, proporsi panitia pemilihan antara anggota formal dan anggota informal juga tidak seimbang, jumlah yang didominasi oleh anggota formal itu sendiri. Dan perbedaan proporsi ini dikarenakan kurangnya tingkat kepercayaan anggota formal terhadap anggota informal. Begitu pula hasil yang terlihat pada efektivitas kelembagaan, anggota formal masih menjadi unit yang lebih efektif dibandingkan dengan anggota informal. Selanjutnya, pada tahap persiapan dan tahap pelaksanaan juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Terlihat bahwa anggota formal lebih efektif dibandingkan anggota informal, hal ini dibuktikan dengan besaran nilai rata-rata anggota formal lebih besar dibandingkan besaran nilai rata-rata anggota informal. Tetapi, dapat dilihat pula bahwa perbedaan besaran nilai rata-rata tersebut tidak terpaut jauh. Hal ini bisa disebabkan karena perbedaan tingkat akses pada tahap persiapan yang sering berkaitan dengan urusan administratif dan urusan berkas-berkas lainnya. Dalam urusan seperti itu, sudah pasti anggota formal lebih menguasai dan juga lebih bisa mengontrolnya. Pada tahap pelaksanaan pun, pemberian tugas dan wewenang lebih dipercayakan kepada anggota formal dibandingkan anggota informal. Hal ini juga berkaitan dengan pengalaman dan penguasaan prosedur pemerintahan. Praktik pemilihan Kepala Desa secara keseluruhan juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Perbedaan yang muncul disebabkan oleh faktor-faktor pengaruh pada tahap persiapan dan juga tahap pelaksanaan yang nantinya berpengaruh pada proses keseluruhan dari pemilihan Kepala Desa. Hasil yang menunjukkan bahwa kelembagaan formal lebih efektif dibandingkan kelembagaan informal, telah menjawab hipotesis penelitian saya yang keempat, yakni kelembagaan formal lebih efektif dibandingkan kelembagaan informal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keempat faktor efektivitas yang terdiri dari faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosialmasyarakat, faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap tingkat efektivitas adalah faktor anggota kelembagaan. Hasil ini telah menjawab hipotesis penelitian yang pertama yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan faktor tertentu terhadap efektivitas kelembagaan. Kemudian, dari keempat faktor efektivitas kelembagaan yang terdiri faktor kelembagaan, faktor anggota kelembagaan, faktor sarana/fasilitas pendukung, dan faktor sosial-masyarakat, terdapat satu faktor yang mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap praktik pemilihan dibandingkan dengan ketiga faktor lainnya, yakni faktor sarana/fasilitas pendukung. Hal ini dikarenakan tingkat akses masyarakat terhadap informasi, akomodasi masyarakat, dan kontrol masyarakat terhadap proses berjalannya pemilihan Kepala Desa terbilang cukup kuat dan intens. Akses informasi, penyebaran informasi yang berkaitan dengan pemilihan Kepala Desa berjalan dengan sangat baik, dimana informasi yang diberikan bersifat transparan dan terbuka. Selain itu, media penyebaran informasinya cukup beragam, seperti melalui selebaran yang ditempelkan di tempat-tempat yang strategis, penyaluran dari bapak RT/RW setempat, serta penyaluran informasi di berbagai perkumpulan warga masyarakat. Penerimaan informasi pun merata di semua kalangan masyarakat. Di samping itu, akses kontrol masyarakat terhadap rangkaian proses pemilihan Kepala Desa terbilang baik, dari awal pembentukan panitia sampai pelantikan Kepala Desa, masyarakat benar-benar mengawal dan mengontrol kinerja panitia yang mana dikan ada ketimpangan yang terjadi. Hasil ini telah menjawab hipotesis penelitian yang kedua yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan faktor tertentu efektivitas kelembagaan dengan praktik pemilihan Kepala Desa. Selanjutnya, tingkat efektivitas kelembagaan mempunyai pengaruh terhadap proses pemilihan Kepala Desa. Meski besarnya persentase pengaruh tidak melebihi angka 50%, namun hasil tersebut telah dapat menjawab hipotesis penelitian yang kedua, yaitu terdapat pengaruh antara efektivitas kelembagaan dengan praktik pemilihan Kepala Desa. Jika dilihat lebih jauh, tingkat efektivitas kelembagaan (formal maupun informal) dalam proses pemilihan Kepala Desa, nampaknya kelembagaan formal lebih efektif. Hal ini dikarenakan jumlah anggota formal yang dilibatkan dalam panitia pemilihan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah anggota informal. Selain itu, rata-rata usia anggota formal lebih muda dibandingkan dengan anggota informal. Hal ini juga mempengaruhi keaktifan anggota dari segi tenaga fisik yang disalurkan, sehingga yang usia lebih muda lebih gesit dan cekatan dibandingkan dengan anggota yang berusia lebih tua. Selanjutnya, rata-rata tingkat pendidikan pada kelembagaan formal pun lebih tinggi dibandingkan kelembagaan informal, sehingga mempengaruhi kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia dalam menjalankan tugasnya.
78 Saran Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai kelembagaan yang efektif dalam praktik demokrasi desa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan atau literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai kelembagaan-kelembagaan desa yang efektif dalam praktik demokrasi desa. Untuk penelitian selanjutnya, bisa dilihat dari aspek yang berbeda dari praktik pemilihan Kepala Desa, atau bisa diterapkan pada praktik penyelenggaraan desa yang lainnya. Bagi pembuat kebijakan atau pihak pemerintahan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan mengenai efektivitas kelembagaan dalam praktik demokrasi desa, yang selanjutnya dapat menjelaskan mengenai alasan efektif atau tidaknya kelembagaan yang ada di desa dalam melaksanakan praktik demokrasi desa. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah diharapkan dapat mengawasi dan mengevaluasi lebih jauh lagi kinerja dari kelembagaankelembagaan desa dalam pelaksanaan demokrasi desa yang kemudian juga bisa meningkatkan kinerja dari kelembagaan-kelembagaan desa tersebut.Di samping itu, pemerintah daerah juga disarankan untuk melakukan pendisiplinan sistem pengangkatan pegawai/pejabat pemerintahan, agar yang masuk dalam tata pemerintahan lokal maupun level di atasnya benar-benar yang berkompeten dan bermasyarakat. Selanjutnya, bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai efektivitas kelembagaan-kelembagaan desa dalam melaksanakan praktik demokrasi desa. Selain itu, pemerintah desa juga agar bisa melibatkan lebih banyak lagi dan memberikan kepercayaan pada anggota informal desa yang berusia muda dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintah desa, terutama praktik pemilihan Kepala Desa, serta dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas anggota kelembagaan informal agar mereka bisa berkontribusi lebih banyak dan lebih aktif lagi. Pengawasan kinerja anggota formal desa tetap dipertahankan keaktifannya, dan lebih baik lagi untuk ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA [PERDA]. Peraturan Daerah Kabupaten Pemalang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Di Desa. 2010. [Dokumen]. [internet]. [diunduh pada tanggal 17 Desember 2013]. Dapat diunduh dari : http://jdih.pemalangkab.go.id/produkhukum/asset/PERDA%20NOMOR%20 7%20TAHUN%202010%20TTG%20PERUBAHAN%20ATAS%20PERDA %20KAB%20PML%20NOMOR%206%20TAHUN%202007%20TTG%20P EMBENTUKAN%20LEMBAGA%20KEMASYARAKATAN%20DI%20D ESA.pdf [UU]. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. 2014. [Dokumen]. [internet]. [diunduh pada tanggal 26 Februari 2014]. Dapat diunduh dari : http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%20Daerah. pdf [UU]. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. 2014. [Dokumen]. [internet]. [diunduh pada tanggal 22 Maret 2014]. Dapat diunduh dari : http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/pm/UU%20No.6%20TH%202014.p df Al-Hamdi R. 2011. Praktik Demokrasi Lokal Di Indonesia, Studi Kasus Di Kabupaten Lampung Tengah. J Studi Pemerintahan. [Internet]. [1 Oktober 2013]. 2(2): 331-352. Dapat diunduh dari : http://jsp.umy.ac.id Anita K. 2013. Efektivitas Hukum dalam pemberantasan Korupsi. Artikel. [internet]. [1 Desember 2013]. Dapat diunduh dari : http://id.scribd.com/doc/201303/efektivitas-hukum-dalam-pemberantasankorupsi Etzioni A. 1985. Modern Organization. Jusuf GR, penyunting. OrganisasiOrganisasi Modern. Jakarta [ID] : UI Press. 174 hal. Gayatri IH. 2007. Demokrasi Lokal (di Desa) : Quo Vadis?. Artikel. [Internet]. [30 September 2013]. Dapat diunduh dari : http://interseksi.org/publication/articles/demokrasi_lokal_quo_vadis.html Hadiwinata BS. 2005. Civil Society : Pembangunan dan Sekaligus Perusak Demokrasi. J Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [4 Desember 2013]. 9(1): 1-22. Dapat diunduh dari : http://jsp.umy.ac.id Hudayana B. 2003. Civil Society : Anatomi Perkembangan Perkumpulan Warga Di Era Otonomi. J Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. [Internet]. [2 Desember 2013]. 6(3): 359-387. Dapat diunduh dari : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/171 Khairulludin. 2010. Effectiveness of Law Enforcement For Traffic And Transportation (Case Study Auto Bridge in Lubuk Selasih Kabupaten Solok). Working Paper. [Internet]. [13 Februari 2014]. Dapat diunduh dari : http://repository.unand.ac.id/1016/ Paraso A. 2013. Efektivitas Badan Permusyawaratan Desa Dalam Penyelenggaraan Pengawasan Pemerintahan Di Desa Sereh (Suatu Studi Di Desa Sereh Kecamatan Lirung Kabupaten Kepulauan Talaud. Jurnal
80 Eksekutif. [Internet]. [13 Februari 2014]. Dapat diunduh dari : https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnaleksekutif/article/view/2693 Prijono YM dan Tjiptoherijanto P. 2012. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta [ID] : Kosa Kata Kita. Rianse U dan Abdi. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi: Teori dan Aplikasi. Bandung [ID]: ALFABETA Rikard R, Susanto A. 2005. Kewarganegaraan untuk SMP kelas VIII. Jakarta [ID] : Erlangga. Singarimbun M, Effendi S. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID] : LP3ES. Utami BW, Molo M, Widiyanti E. [2011]. Efektivitas Kelembagaan dan Aliran Informasi Untuk Optimalisasi Pengelolaan Lahan Surutan Bendungan Gajah Mungkur di Kabupaten Wonogiri. J-Sep. [Internet]. [13 Desember 2013]. 5(3). Dapat diunduh dari : http://jurnal.unej.ac.id/index.php/JSEP/article/view/440/297
LAMPIRAN Lampiran 1 Rancangan kegiatan penelitian
Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal skripsi Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi
Februa Maret April ri 1 2 3 4 1 2 3 4
Mei 2 3 4
Juni
Juli
2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
82 Lampiran 2 Peta lokasi penelitian
83 Lampiran 3 Daftar responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama AGR AMT KNT PJI AGS SGR FJR RDI MBS FHR ASR KHL FJI AHM ISM SMS IST IMM HSN HDI KLR KST ABS EKP JTO DWR MKR KSN SSW KNO RBI ALS KLL RBN SNI AMN MKS TRY CSM
Usia 42 41 40 40 40 40 41 40 40 43 48 34 47 37 32 27 39 37 39 52 63 54 50 29 41 28 53 50 38 45 51 37 45 60 58 58 61 59 60
Status Kelembagaan Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Formal Informal Informal Formal Formal Informal Informal Informal Formal Informal Formal Formal Formal Formal Informal Informal Informal Informal Informal Informal
84 Lampiran 4 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor kelembagaan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Model Summary Mo del
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics R Square Change
,9367648 ,146 2 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_kelembagaan) ,382a
1
,146
,122
F Chang e 6,303
df1
df2
1
ANOVAa Model Sum of Squares Df Mean Square Regression 5,531 1 5,531 1 Residual 32,469 37 ,878 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_kelembagaan)
37
F 6,303
Sig. F Change ,017
Sig. ,017b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant) 1
-2,607E016
Std. Error
Standardiz ed Coefficien ts Beta
,150
Zscore(faktor_kele ,382 ,152 mbagaan) a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas)
,382
t
Sig.
Collinearity Statistics
Toleran ce ,000
1,000
2,511
,017
1,000
VIF
1,000
85 Lampiran 5 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor anggota kelembagaan terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Model Summary Mo del
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics R Square Change
F Chang e 327,30 1 ,948a ,898 ,896 ,32296661 ,898 8 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan) ANOVAa Model Sum of Squares Df Mean Square Regression 34,141 1 34,141 1 Residual 3,859 37 ,104 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan)
df1
df2
1
37
F 327,308
Sig. F Change ,000
Sig. ,000b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant)
-2,590E016
Std. Error ,052
Standardiz ed Coefficien ts Beta
t
Sig.
Collinearity Statistics
Toleran ce ,000
1,000
,948 18,092
,000
VIF
1
Zscore(faktor_ang gota_kelembagaan ,948 ,052 ) a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas)
1,000
1,000
86 Lampiran 6 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor sarana/fasilitas pendukung terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Model Summary Mo del
R
R Adjusted Square R Square
Std. Error of the Estimate
,7619012 6 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_sarana) ,659a
1
,435
,420
Change Statistics R Square Change
F Chang e
df1
,435 28,462
ANOVAa Model Sum of Squares df Regression 16,522 1 1 Residual 21,478 37 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_sarana)
Mean Square 16,522 ,580
df2
1
Sig. F Change
37
,000
F 28,462
Sig. ,000b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant) 1
-1,104E015
Standardiz ed Coefficient s Std. Error Beta ,122
Zscore(faktor_sa ,659 ,124 rana) a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas)
,659
T
Sig.
Collinearity Statistics
Toleran ce ,000
1,000
5,335
,000
VIF
1,000 1,000
87 Lampiran 7 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor sosialmasyarakat terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Model Summary Mo del
R
R Adjusted Std. Error Square R Square of the Estimate
Change Statistics R Square Change
,9918587 ,042 5 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat) ,205a
1
,042
,016
ANOVAa Model Sum of Squares Df Regression 1,600 1 1 Residual 36,400 37 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat)
F Chang e
df1
1,626
df2
1
Mean Square 1,600 ,984
Sig. F Change
37
,210
F 1,626
Sig. ,210b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant) 1
Standardiz ed Coefficien ts Std. Error Beta
-1,262E016
Zscore(faktor_mas ,205 yarakat) a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas)
,159 ,161
,205
t
Sig.
Collinearity Statistics
Toleran ce ,000
1,000
1,275
,210
VIF
1,000 1,000
88 Lampiran 8 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap tingkat efektivitas kelembagaan Model Summary Mo del
R
R Adjusted Square R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics R Square Change
F Chang e
df1
df2
,3038177 ,917 94,419 4 6 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan) ,958a
1
,917
,908
Sig. F Change
34
ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square F Regression 34,862 4 8,715 94,419 1 Residual 3,138 34 ,092 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan)
,000
Sig. ,000b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant)
Standardiz ed Coefficien ts Std. Error Beta
-5,358E016
Zscore(faktor_kele ,063 mbagaan) Zscore(faktor_ang 1 ,832 gota_kelembagaan) Zscore(faktor_sara ,158 na) Zscore(faktor_mas ,002 yarakat) a. Dependent Variable: Zscore(efektivitas)
,049
t
Sig.
Collinearity Statistics
Toleran ce ,000
1,000
VIF
,055
,063
1,144
,261
,808 1,238
,064
,832 12,914
,000
,585 1,710
,061
,158
2,582
,014
,649 1,540
,052
,002
,036
,971
,889 1,125
89 Lampiran 9 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap tahap persiapan Model Summary Mo del
R
R Adjusted Std. Error Square R Square of the Estimate
Change Statistics R Square Change
F Chang e
df1
df2
,7626813 ,480 7,832 4 6 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan) ,692a
1
,480
,418
Sig. F Change
34
ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square F Regression 18,223 4 4,556 7,832 1 Residual 19,777 34 ,582 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(tahap_persiapan) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan)
,000
Sig. ,000b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant)
-1,529E015
Std. Error
Standardiz ed Coefficien ts Beta
,122
Zscore(faktor_kele ,087 ,138 mbagaan) Zscore(faktor_ang 1 gota_kelembagaan ,027 ,162 ) Zscore(faktor_sara ,658 ,154 na) Zscore(faktor_mas -,014 ,131 yarakat) a. Dependent Variable: Zscore(tahap_persiapan)
t
Sig.
Collinearity Statistics
Tolera nce
VIF
,000
1,000
,087
,633
,531
,808
1,238
,027
,170
,866
,585
1,710
,658
4,283
,000
,649
1,540
-,014
-,106
,916
,889
1,125
90 Lampiran 10 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap tahap pelaksanaan Model Summary Mo del
R
R Adjusted Square R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics R Square Change
F Chang e
df1
,8207256 ,397 5,604 4 8 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan) ,630a
1
,397
,326
df2
Sig. F Change
34
ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square F Regression 15,098 4 3,774 5,604 1 Residual 22,902 34 ,674 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(tahap_pelaksanaan) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan)
,001
Sig. ,001b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant)
-8,680E016
Std. Error
Standardi zed Coefficien ts Beta
,131
Zscore(faktor_kel ,248 ,148 embagaan) Zscore(faktor_ang 1 gota_kelembagaan ,285 ,174 ) Zscore(faktor_sar ,292 ,165 ana) Zscore(faktor_ma -,008 ,141 syarakat) a. Dependent Variable: Zscore(tahap_pelaksanaan)
t
Sig.
Collinearity Statistics
Tolera nce
VIF
,000
1,000
,248
1,676
,103
,808
1,238
,285
1,638
,111
,585
1,710
,292
1,766
,086
,649
1,540
-,008
-,055
,956
,889
1,125
91 Lampiran 11 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, pengaruh faktor-faktor efektivitas terhadap praktik pemilihan Kepala Desa Model Summary Mo del
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics R Square Change
F Chang e
df1
df2
,7212005 ,535 9,765 4 4 a. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan) ,731a
1
,535
,480
Sig. F Change
34
ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square F Regression 20,316 4 5,079 9,765 1 Residual 17,684 34 ,520 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(praktik_pemilihan) b. Predictors: (Constant), Zscore(faktor_masyarakat), Zscore(faktor_sarana), Zscore(faktor_kelembagaan), Zscore(faktor_anggota_kelembagaan)
,000
Sig. ,000b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant)
-2,849E016
Std. Error
Standardiz ed Coefficien ts Beta
,115
Zscore(faktor_kele ,193 ,130 mbagaan) Zscore(faktor_ang 1 gota_kelembagaan ,051 ,153 ) Zscore(faktor_sara ,651 ,145 na) Zscore(faktor_mas -,064 ,124 yarakat) a. Dependent Variable: Zscore(praktik_pemilihan)
t
Sig.
Collinearity Statistics
Toleran ce
VIF
,000
1,000
,193
1,486
,147
,808
1,238
,051
,331
,743
,585
1,710
,651
4,483
,000
,649
1,540
-,064
-,519
,607
,889
1,125
92 Lampiran 12 Hasil pengolahan data dengan uji regresi, tingkat efektivitas kelembagaan terhadap praktik pemilihan Kepala Desa Model Summary Mo del
R
R Square
,464a
1
Adjusted R Square
,216
Std. Error of the Estimate
Change Statistics R Square Change
F Change
,216
10,165
,194 ,89759957
df1
df2
1
Sig. F Change
37
,003
a. Predictors: (Constant), Zscore(efektivitas) ANOVAa Model Sum of Squares df Regression 8,190 1 1 Residual 29,810 37 Total 38,000 38 a. Dependent Variable: Zscore(praktik_pemilihan) b. Predictors: (Constant), Zscore(efektivitas)
Mean Square 8,190 ,806
F 10,165
Sig. ,003b
Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
B (Constant) 1
9,110E016
Standardiz ed Coefficient s Std. Error Beta ,144
Zscore(efektiv ,464 ,146 itas) a. Dependent Variable: Zscore(praktik_pemilihan)
,464
t
Sig.
,000
1,000
3,188
,003
Collinearity Statistics
Tolera nce
VIF
1,000
1,000
93 Lampiran 13 Hasil pengolahan data dengan uji t-independent, keefektifan lembaga formal dan lembaga Informal Independent Samples Test Levene's Test t-test for Equality of Means for Equality of Variances F Sig. T df Sig. (2- Mean Std. tailed) Diffe Error rence Differe nce
faktor_kelem bagaan
faktor_anggo ta_kelembag aan
faktor_sarana
faktor_masya rakat
Efektivitas
tahap_persia pan
tahap_pelaks anaan
praktik_pemi lihan
Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed Equal variances assumed Equal variances not assumed
57,205
49,735
,650
1,894
57,157
4,450
20,065
20,421
95% Confidence Interval of the Difference Lo Upper wer
,000 2,189
37
,035
,296
,135
,02 2
,571
3,309
26,000
,003
,296
,090
,11 2
,480
,000 3,006
37
,005
,472
,157
,15 4
,790
3,683
34,422
,001
,472
,128
,21 2
,733
,425 4,257
37
,000
,611
,144
,32 0
,902
4,402
22,942
,000
,611
,139
,32 4
,898
,662
37
,512
,037
,056
1,000
26,000
,327
,037
,037
,000 2,757
37
,009
,435
,158
,11 5
,755
3,383
34,524
,002
,435
,129
,17 4
,696
,042 5,052
37
,000
,639
,126
,38 3
,895
4,425
16,111
,000
,639
,144
,33 3
,945
,000 3,889
37
,000
,583
,150
,27 9
,887
4,687
33,360
,000
,583
,124
,33 0
,836
,000 6,974
37
,000
,713
,102
,50 6
,920
5,254
12,807
,000
,713
,136
,41 9
1,007
,177
,07 6 ,03 9
,150
,113
94 Lampiran 14 Dokumentasi
Kantor Sekretariat Desa Kelangdepok
Kantor Sekreatriat Desa Karang Taruna
Kantor Sekreatriat BPD
Kantor Sekreatriat LPMD
Foto kegiatan: penyampaian visi dan misi calon
95
Foto kegiatan: penyampaian visi dan misi calon
Pengambilan tanda gambar
Pemungutan suara
Foto kegiatan : perhitungan suara
RIWAYAT HIDUP Sofi Nur Ariyati dilahirkan di Desa Pendowo, Kecamatan Bodeh, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, pada tanggal 03 September 1992. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Tahmid dan Taruni, adik pertama bernama Zaitun Kamaruni yang lahir pada tanggal 13 Maret 1998, dan adik kedua bernama Annisa Dyah Agustin yang lahir pada tanggal 15 Agustus 2006. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis adalah TK Handayani XIII periode 1997–1998, SD Negeri 02 Pendowo pada periode 1998–2004, SMP Negeri 1 Comal periode 2004–2007, dan SMA Negeri 1 Petarukan periode 20072010. Ditambah dengan pendidikan informal, penulis menjalani pendidikan informal di Madrasah Rodho’tul Syibyan selama 4 tahun dari tahun 1998-2002. Selanjutnya, penulis juga menjalani bimbingan belajar tambahan bahasa inggris di Basic English Course (BEC) selama satu tahun pada tahun 2004-2005. Di masa SMA, penulis aktif dalam berbagai organisasi seperti Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) masa jabatan 2007-2008 dan 2008-2009 di seksi bidang politik & kepemimpinan, Dewan Ambalan Pramuka Rama Wijaya Dewi Sinta masa jabatan 2008-2009 sebagai sekretaris, serta PMR pada masa jabatan 2007-2008 sebagai staff anggota. Selain aktif di organisasi, penulis pernah menorehkan prestasi sebagai peserta Lomba Mata Pelajaran Matematika tingkat SMA se-Kabupaten dan Olimpiade Matematika tingkat SMA se-Kabupaten dengan meraih peringkat 6 dan peringkat 9. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kegiatan kepanitiaan, seperti IPB Social, Health and Care (I-Share) selama 3 tahun berturut-turut di tahun 2011 sebagai staff divisi Dana Usaha, 2012 sebagai staff divisi Hubungan Masyarakat, dan 2013 sebagai kepala divisi Kesekretariatan. Selanjutnya, menjadi panitia SAMISAENA tahun 2011-2012 sebagai Bendahara divisi, panitia IDEA tahun 2012 sebagai staff divisi Dana Usaha, panitia DUTA FEMA tahun 2012 sebagai kepala divisi Kesekretariatan, panitia ESPENT 6 tahun 2013 sebagai staff divisi Dana Usaha, panitia Festival Islam Forsia (FIF) tahun 2013 sebagai staff divisi Konsumsi, serta menjadi panitia Acara Masa Perkenalan Departemen (MPD) KPM Angkatan 48 IPB sebagai pendamping kelompok. Disamping itu, penulis juga aktif dalam organisasi majalah fakultas yaitu Majalah Komunitas periode 2012-2013 sebagai staff divisi Marketing. Penulis mendapatkan beasiswa Bidik Misi IPB selama 8 semester yang terhitung dari Juli 2010-2014.