TESIS
EFEKTIFITAS PERATURAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH MILIK PRIBADI BAGI ORANG ASING DI KABUPATEN BADUNG
I PUTU INDRA MANDHALA PUTRA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
1
TESIS EFEKTIFITAS PERATURAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH MILIK PRIBADI BAGI ORANG ASING DI KABUPATEN BADUNG
I PUTU INDRA MANDHALA PUTRA NIM. 1392461009
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
i
EFEKTIFITAS PERATURAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH MILIK PRIBADI BAGI ORANG ASING DI KABUPATEN BADUNG
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I PUTU INDRA MANDHALA PUTRA NIM. 1392461009
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
ii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 16 APRIL 2015
KOMISI PEMBIMBING
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH NIP. 19530401 198003 1 004
Dr. I Gede Yusa, SH., MH NIP. 19610720 198609 1 001
MENGETAHUI :
Ketua Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH., M.Hum NIP. 19640402 198911 2 001
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
iv
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 21 April 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 1182/UN14.4/HK/2015 Tanggal 20 April 2015
Ketua
:
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH
Anggota : 1. Dr. I Gede Yusa, SH., MH 2. Prof. Dr. I Made Subawa, SH., MS 3. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M. Hum 4. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: I PUTU INDRA MANDHALA PUTRA
NIM
: 1392461009
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Efektifitas Peraturan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Milik Pribadi Bagi Orang Asing di Kabupaten Badung.
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari karya ilmiah tesis ini terbukti plagiat, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundangundangan yang berlaku.
Denpasar, 16 April 2015 Yang Membuat Pernyataan
(I Putu Indra Mandhala Putra)
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul ”Efektifitas Peraturan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Milik Pribadi Bagi Orang Asing di Kabupaten Badung”. Penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan informasi dan menambah khasanah pengetahuan dalam ranah hukum agraria terkait dengan jabatan notaris. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pembimbing Pertama Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH dan Pembimbing Kedua Dr. I Gede Yusa, SH.,MH yang telah memberikan dukungan, semangat, saran serta dengan penuh kesabaran membimbing penulis selama menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KEMD beserta staff atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr A.A
vi
Raka Sudewi, SP. S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan kepada Mantan Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Prof. Dr. Arya Utama, SH., M.Hum serta Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Dr. Desak Putu Dewi Kasih, SH.,M.Hum atas segenap perhatian, bimbingan dan petunjuk yang selama ini diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama perkuliahan berlangsung. Ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu seluruh staff dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi selama perkuliahan berlangsung dan selama proses penulisan tesis ini berlangsung. Terima kasih juga penulis tujukan kepada orang tua tercinta I Made Daging, A.ptnh, SH., MH dan Ni Ketut Adi Sukesi serta adik tercinta I Made Buana Wicaksana yang senantiasa mendoakan, mendukung dan memberikan semangat selama penulis menjalani masa perkuliahan dan selama proses pengerjaan tesis ini. Terimakasih pula penulis ucapkan kepada saudari Karina Mutiara atas dukungan dan motivasi yang diberikan kepada penulis dalam proses pengerjaan tesis ini.
vii
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh temanteman angkatan VI Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan semangat dan dukungan dalam penulisan tesis ini serta semua pihak yang telah mendukung proses pembuatan tesis ini. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang kenotariatan serta berguna bagi masyarakat.
Denpasar, 16 April 2015
Penulis
viii
ABSTRAK EFEKTIFITAS PERATURAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH MILIK PRIBADI BAGI ORANG ASING DI KABUPATEN BADUNG Sebagai solusi untuk memenuhi keinginan dari orang asing (WNA) untuk memiliki rumah dan tanah di Indonesia, Pemerintah telah mengaturnya dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dan diatur secara lebih khusus lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Namun karena adanya harapan dari mereka untuk memiliki tanah dengan jangka waktu yang lebih panjang dan juga dengan tujuan penggunaan yang lebih luas, maka terjadilah praktek-praktek penguasaan atas tanah oleh orang asing dengan praktek perolehan yang pada hakekatnya adalah merupakan bentuk-bentuk penyelundupan hukum. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah di Kabupaten Badung? (2) bagaimana fungsi dan peran Notaris/PPAT selaku pejabat umum dalam mendukung efektifitas pelaksanaan pemberian hak pakai? Dan (3) penelitian ini mengkaji tentang efektifitas peraturan pemberian hak pakai atas tanah bagi orang asing di Kabupaten Badung. Penelitian ini berjenis yuridis empiris, dan data primer dari penelitian ini diperoleh melalui penelitian langsung di lapangan dalam bentuk kuesioner dan wawancara langsung kepada para responden dan informan, sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sesuai permasalahan yang dibahas. Data yang telah terkumpul tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif lalu data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing di Kabupaten Badung dalam prakteknya tidak efektif, hal ini dibuktikan oleh hasil data penelitian yang menunjukkan bahwa penerbitan hak pakai atas tanah yang masih lebih rendah dari penerbitan hak tanggungan dengan kreditur yang merupakan orang asing dan faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah kurangnya sosialisasi dari para penegak hukum mengenai jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh orang asing dan yang mana hanya dapat dimiliki oleh WNI, terbatasnya sarana dan fasilitas yang menunjang penegakan hukum tersebut, kurang perdulinya masyarakat akan peraturan-peraturan yang ada, dan juga adanya bantuan dari penegak hukum dalam memuluskan praktek penguasaan tanah oleh WNA dengan cara yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kata Kunci : Efektifitas, Hak Pakai Atas Tanah, Orang Asing.
ix
ABSTRACT REGULATION EFFECTIVENESS OF GRANTING USE RIGHT ON PRIVATE LAND FOR FOREIGNERS IN BADUNG DISTRICT As a solution to fulfill the wish of foreigners to have a house and land in Indonesia, the Government had already set in Article 41 and Article 42 of Law No. 5 of 1960 (UUPA) and more specifically regulated in Government Regulation No. 41 Year 1996 on ownership of Dwelling or Residential by foreigners domiciled in Indonesia and Government Regulation No. 40 Year 1996 on Leasehold, Broking, and the Right to Use Land. However, because of the expectations of their own land with a longer period of time and also with the aim of a more widespread use, then there was a practice of tenure by foreigners with acquisition practice which is essentially the forms of law smuggling. Base on these condition, the formulation of the problem in this research are (1) what factors that affect the implementation of the provisions granting the land use rights in Badung Regency? (2) how the functions and role of the Notary as a public official in supporting the effectiveness of the rules granting land use rights for foreigners and (3) this research aims to study about the effectiveness of the rules granting land use right for foreigners in Badung Regency. This research type is empiris legal research and Primary data from this study were obtained through direct research in the field in the form of questionnaires and interviews directly to the respondents and informants. Secondary data was collected through literature research on primary legal materials, secondary, and tertiary according issues discussed. The collected data is then analyzed qualitatively and then the data will be presented in a descriptive qualitative and systematic. The results showed that the implementation of the provisions granting use rights on private land to foreigners in Badung Regency is ineffective in practice, this is evidenced by the results of research data that shows that the issuance of land use rights are still lower than the issuance of mortgage lenders for foreigner creditors and the factors that affect it is the lack of socialization of law enforcement officials regarding the types of rights to land that can be managed by foreigners and which one can only be owned by a Indonesian citizen (WNI), limited means and facilities that support the law enforcement, community that less concerned about existing regulations, also the assistance of law enforcement in smoothing the acquisition of land by foreigners in a way that does not comply with the legislation. Keywords: Effectiveness, Use Land Rights, Foreigners.
x
RINGKASAN Tesis ini menganalisis efektifitas peraturan pemberian hak pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing di Kabupaten Badung. Tesis ini terdiri dari 6 (enam) bab yang dapat diuraikan sebagai berikut. Bab I menguraikan mengenai latar belakang yang melandasi lahirnya penelitian terhadap permasalahan dalam tesis ini. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang diteliti dalam tesis ini meliputi 3 (tiga) hal yakni (1) faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah untuk orang asing di Kabupaten Badung dan (2) bagaimana fungsi dan peranan Notaris/PPAT dalam mendukung efektifitas pelaksanaan pemberian hak pakai untuk orang asing, lalu berikutnya (3) apakah pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah untuk orang asing di Kabupaten Badung sudah berjalan efektif. Disamping latar belakang dan rumusan masalah pada bab I juga diuraikan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, landasan teoritis yang akan dipakai mengkaji sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini, sumber-sumber bahan hukum yang menunjang pembahasan permasalahan, teknik pengumpulan bahan hukum serta teknik pengolahan dan analisa bahan hukum. Bab II tentang tinjauan umum terkait dengan hak-hak atas tanah, hak pakai atas tanah, dan juga tentang pengertian orang asing (WNA) di Indonesia, yang merupakan pengembangan dari kajian teoritis pada bab I. Pembahasan pada bab ini dibagi dalam 3 (tiga) sub bab, yakni tinjauan umum tentang hakhak atas tanah, tinjauan umum tentang hak pakai atas tanah, dan tinjauan umum tentang pengertian orang asing atau WNA di Indonesia. Bab III tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas, dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan ada 2 (dua) pembahasan yakni, syarat-syarat untuk memperoleh hak pakai atas tanah di Kabupaten Badung bagi WNA serta mekanisme pemberian hak pakai atas tanah di Kabupaten Badung bagi WNA. Bab IV sebagai bab tentang pembahasan rumusan masalah II dikemukakan hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan ada 2 (dua) pembahasan yakni peran Notaris/PPAT dalam proses pemberian hak pakai dan fungsi Notaris/PPAT dalam proses pemberian Hak Pakai. Bab V sebagai bab tentang pembahasan rumusan masalah III dikemukakan hasil-hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini dibedakan ada 3 (tiga) pembahasan yakni tentang pemberian hak pakai atas tanah di Kabupaten Badung lalu praktek-praktek penyelundupan
xi
hukum perolehan hak milik atas tanah oleh asing, dan efektifitas pelaksanaan peraturan pemberian hak pakai atas tanah bagi orang asing. Bab VI sebagai penutup ini dikemukakan kesimpulan yang diperoleh berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab III, bab IV dan Bab V. Adapun kesimpulan atas ketiga permasalahan yang dibahas yakni, untuk kesimpulan pada rumusan masalah pertama beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas peraturan pemberian hak pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing di Kabupaten Badung adalah karena kurangnya sosialisasi dari penegak hukum mengenai jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh orang asing (WNA) dan mana yang hanya dapat dimiliki oleh WNI, selain itu terbatasnya sarana atau fasilitas yang menunjang penegakan hukum tersebut, kurang perdulinya masyarakat akan peraturan-peraturan yang ada dan juga adanya bantuan dari penegak hukum dalam memuluskan praktekpraktek penyelundupan hukum tersebut. Kesimpulan pada rumusan masalah kedua, yaitu fungsi dan peran Notaris/PPAT dalam mendukung efektifitas pelaksanaan pemberian hak pakai adalah memberikan penyuluhan hukum terkait dengan pembuatan akta peralihan hak pakai atas tanah. Untuk kesimpulan pada permasalahan ketiga, yaitu pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing di kabupaten badung belum efektif, hal ini dibuktikan berdasarkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penerbitan hak pakai atas tanah masih lebih rendah dari penerbitan hak tanggungan dengan kreditur orang asing yang terindikasi merupakan salah satu bentuk penyelundupan hukum. Selain kesimpulan juga dalam bab ini dikemukakan beberapa saran yang terkait, yaitu diperlukan adanya perbaikan dan penyederhanaan mekanisme pelayanan di bidang pertanahan dari kantor pertanahan agar memudahkan masyarakat khususnya para WNA dalam melakukan pengurusan permohonan hak pakai atas tanah, selain itu diharapkan pada para penegak hukum khususnya Notaris/PPAT dapat memberikan penyuluhan hukum optimal kepada masyarakat sehubungan dengan pembuatan akta dan juga pemerintah dan Notaris/PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum haruslah menjalankan kode etik profesinya dengan penuh kepatuhan terhadap undangundang yang berlaku. Selain itu haruslah diberikan sosialisasi dan pemahaman hukum yang berkesinambungan kepada masyarakat khususnya para WNA yang akan melakukan proses peralihan dan permohonan hak pakai atas tanah, agar melakukan proses peralihan hak dan penguasaan tanah yang sesuai peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
xii
DAFTAR ISI SAMPUL DALAM ....................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ..............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ..........................................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..........................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................
vi
ABSTRAK .................................................................................................
ix
ABSTRACT .................................................................................................
x
RINGKASAN .............................................................................................
xi
DAFTAR ISI ............................................................................................... xiii DAFTAR TABEL ...................................................................................... xvii BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 12 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................... 12 1.3.1. Tujuan Umum ............................................................ 12 1.3.2. Tujuan Khusus ........................................................... 12 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................. 13 1.4.1. Manfaat Teoritis ......................................................... 13 1.4.2. Manfaat Praktis .......................................................... 13 1.5. Landasan Teoritis................................................................... 14 1.6. Metode Penelitian .................................................................. 34
xiii
1.6.1. Jenis Penelitian ........................................................... 34 1.6.2. Sifat Penelitian ........................................................... 36 1.6.3. Data dan Sumber Data ................................................ 36 1.6.4. Teknik Pengumpulan Data.......................................... 38 1.6.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian .......................... 38 1.6.6. Pengolahan dan Analisis Data ..................................... 40 BAB II
TINJAUAN UMUM ................................................................... 42 2.1. Tinjauan Umum Tentang Hak-Hak Atas Tanah ..................... 42 2.1.1. Macam-Macam Hak Atas Tanah................................. 42 2.1.2. Subyek Hak Atas Tanah ............................................. 44 2.1.3. Hapusnya Hak Atas Tanah ......................................... 50 2.2. Tinjauan Umum Tentang Hak Pakai Atas Tanah .................... 58 2.2.1. Pengertian Umum Hak Pakai ...................................... 58 2.2.2. Jangka Waktu Hak Pakai ............................................ 68 2.2.3. Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Pakai .................. 73 2.2.4. Peralihan Hak Pakai dan Pendaftarannya .................... 74 2.2.5. Pembebanan Hak Pakai .............................................. 81 2.2.6. Hapusnya Hak Pakai................................................... 83 a. Hapusnya Hak Pakai Karena Berakhirnya Jangka Waktu Pemberiannya ............................................. 85 b. Hapusnya Hak Pakai Karena Tidak Terpenuhinya Syarat Pemegangnya .............................................. 86 c. Hapusnya Hak Pakai Karena Pencabutan Hak ........ 87
xiv
d. Hapusnya Hak Pakai Karena Penyerahan Sukarela . 88 e. Hapusnya Hak Pakai Karena Ditelantarkan ............ 89 f. Hapusnya
Hak
Pakai
Karena
Kemusnahan
Tanahnya ............................................................... 92 g. Hapusnya Hak Pakai Karena Pemegang Haknya Tidak Memenuhi Kewajibannya............................. 92 h. Hapusnya Hak Pakai Karena Pemegang Haknya Tidak
Memenuhi
Kewajibannya
Berdasarkan
Perjanjian Pemberian Haknya ............................... 93 i. Hapusnya Hak Pakai Karena Putusan Pengadilan ... 95 2.3. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Orang Asing atau WNA di Indonesia ........................................................................... 96 BAB III FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
PELAKSANAAN KETENTUAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH DI KABUPATEN BADUNG ............................ 99 3.1 Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Hak Pakai Atas Tanah di Kabupaten Badung Bagi WNA .............................................. 99 3.2 Mekanisme Pemberian Hak Pakai Atas Tanah di Kabupaten Badung Bagi WNA ................................................................ 101 BAB IV FUNGSI
DAN
MENDUKUNG
PERAN
NOTARIS/PPAT
EFEKTIFITAS
DALAM
PELAKSANAAN
PEMBERIAN HAK PAKAI UNTUK ORANG ASING ........... 108 4.1 Peran Notaris/PPAT Dalam Proses Pemberian Hak Pakai ...... 108
xv
xvi
4.1.1
Fungsi Notaris/PPAT Dalam Proses Pemberian Hak Pakai .......................................................................... 111
BAB V
4.1.2
Fungsi Akta Pelepasan Hak........................................ 116
4.1.3
Isi Akta Pelepasan Hak .............................................. 117
PELAKSANAAN KETENTUAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH MILIK PRIBADI BAGI ORANG ASING DI KABUPATEN BADUNG ........................................................... 120 5.1 Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Di Kabupaten Badung ....... 120 5.2 Praktek Penyelundupan Hukum Perolehan Hak Milik Atas Tanah Oleh Asing ................................................................. 125 5.3 Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Bagi Orang Asing ........................................................ 132
BAB VI PENUTUP ................................................................................... 136 6.1 Kesimpulan ........................................................................... 136 6.2 Saran ..................................................................................... 138 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 140 LAMPIRAN .............................................................................................. 147
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Sampel Populasi Hak Pakai Atas Nama Orang Asing di Kabupaten Badung ........................................................................................... 39 Tabel 2 Hasil Kuesioner Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Tingkat Efektifitas Penggunaan Hak Pakai Atas Tanah Bagi Orang Asing di Kabupaten Badung............................................................ 121 Tabel 2.1 Kuesioner Pengetahuan Umum ........................................ 121 Tabel 2.2 Kuesioner Kualitas Pelayanan Di Kantor Pertanahan ....... 121 Tabel 2.3 Kuesioner Kualitas Pelayanan Di Kantor Notaris/PPAT .. 121 Tabel 3 Data Penerbitan Sertifikat Hak Pakai Di Kabupaten Badung ........... 124 Tabel 4 Data Jumlah Pemegang Hak Tanggungan Dengan Kreditur Orang Asing (WNA) Di Kabupaten Badung .............................................. 131
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini, mobilitas Warga Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) yang masuk ke wilayah Indonesia terus meningkat. WNA yang masuk ke Indonesia itu, selain mempunyai tujuan wisata, ada pula yang berminat untuk berbisnis dan melakukan investasi. Untuk dapat melakukan hal tersebut, tentu saja WNA tersebut memerlukan tanah baik untuk tempat usaha maupun tempat tinggal mereka nantinya. Hal ini diindikasikan oleh banyaknya WNA yang menguasai tanah di beberapa tempat di Indonesia, di antaranya adalah di Provinsi Bali. Di antara 8 Kabupaten dan 1 Kota yang terdapat di Bali, Kabupaten Badung merupakan pusat dari aktivitas pariwisata masyarakat Bali, dimana terdapat obyek-obyek pariwisata dan akomodasi berupa hotel-hotel bertaraf nasional dan internasional. Sehingga dengan demikian tidak sedikit wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali dan menetap di Kabupaten Badung. WNA yang menetap di Kabupaten Badung tersebut mendapatkan hak itu berdasarkan sebuah perbuatan hukum yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut menjadi jatuh ke tangan WNA, perbuatan hukum yang dapat memberikan hak kepada WNA untuk dapat memiliki tanah dan rumah di Indonesia antara lain yaitu, pemberian hak oleh Negara, jual-beli, hibah,
1
2 warisan, perjanjian pemberian hak oleh pemilik hak atas tanah, dan pemberian hak sewa untuk bangunan. Artini mengatakan ”keberadaan WNA di Provinsi Bali merupakan salah satu dampak dari pesatnya pembangunan di industri pariwisata. Pemerintah Provinsi Bali selalu menempatkan pariwisata pada prioritas tertinggi secara sektoral, bersama-sama dengan sektor pertanian dan industri kecil.” 1 Hal ini akan memberikan dampak pada aspek pertanahan. Salah satu pengaruh langsung di bidang pertanahan adalah kebutuhan tanah untuk pembangunan fisik yang semakin meningkat. Provinsi Bali yang mempunyai luas wilayah sebesar 5.632,86 km2 membutuhkan sarana pariwisata yang besar. Sarana itu meliputi pembangunan hotel, restoran, agen perjalanan, industri kerajinan, sarana transportasi, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang semuanya membutuhkan tanah/lahan. Pengertian tentang orang asing (WNA) itu sendiri telah diatur dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa: ”Setiap orang asing yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing”. Namun selain dari yang ditentukan dalam pasal 7 tersebut, yang juga dapat digolongkan sebagai orang asing adalah seorang Warga Negara Indonesia yang telah kehilangan kewarganegaraannya. Sementara dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang1
Artini, NP dan Anggraeni, IL, 2007, Peranan Desa Adat Dalam Pengelolaan Kepariwisataan (Studi Kasus di Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung), Jurnal SOCA, Vol. 7 No. 1 Tahun 2007, Denpasar, hal. 14.
3 undang sebagai warga negara dan lebih lanjut, pengaturan mengenai kewarganegaraan tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2006). Bagi bangsa Indonesia, setiap usaha pembangunan dan penggunaan tanah diharapkan dapat memberikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tujuan ini merupakan pondasi yang telah dituangkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Selanjutnya, tujuan ini ditindaklanjuti dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA. Salah satu asas dalam UUPA adalah asas kebangsaan. Berdasarkan
asas
ini,
hanya
Warga
Negara
Indonesia
(WNI)
yang
diperkenankan untuk mempunyai hubungan sepenuhnya dengantanah. Hal ini berarti bahwa hubungan WNA dengan tanah dibatasi, yakni hanya diberi kemungkinan untuk mempunyai Hak Pakai atau Hak Sewa. Pemberian Hak Pakai kepada WNA sepatutnya dapat memberikan kenyamanan bagi WNA yang menguasai tanah di Indonesia. Terlebih lagi pada masa yang akan datang, mobilitas dari WNA yang masuk ke Indonesia diyakini akan semakin bertambah. Mobilitas tersebut dipengaruhi oleh adanya kemajuan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, telekomunikasi, jaringan transportasi, yang akan membuat arus informasi semakin mudah dan lancar untuk mengalir antar individu dan/atau kelompok dan menyebabkan batas geografis dan negara tidak lagi signifikan.
4 Melihat kondisi tersebut di atas, maka dibutuhkan adanya perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi WNA yang menguasai tanah di Indonesia. Peraturan dimaksud sepatutnya dapat mengimbangi pesatnya perkembangan kebutuhan hukum dalam praktik. Dalam hal kepastian hak atas tanah dimaksud, saat ini memang telah ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, di antaranya adalah: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dan PP Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Penerbitan kedua PP ini mengandung arti positif karena pengaturan tentang Hak Pakai merupakan landasan yuridis bagi penguasaan tanah oleh WNA di Indonesia. Pada tingkat Menteri/Kepala Badan Pertanahan Nasional, telah pula diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) No. 7 Tahun 1996 Jo. PMNA/KBPN No. 8 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing. Indonesia merupakan Negara Kesatuan dan peraturan di atas pada dasarnya merupakan sebuah kebijakan publik yang dihasilkan di sebuah Negara Kesatuan karena merupakan produk dari legislatif dan eksekutif. Sebagai suatu kebijakan, selain penetapan kebijakan, maka yang penting juga adalah implementasinya. Bahkan pelaksanaan kebijakan itu sendiri jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu, aparat pelaksana diharapkan dapat menterjemahkan kebijakan itu ke dalam tindakan yang nyata
5 walaupun pelaksanaan kebijakan apapun sebenarnya mengandung risiko kegagalan. Menurut C.F. Strong, ”The essence of a unitary state is that the souvereignity of is a devide, or, in other word, that the power of the central power are a restricted, for the constitution of unitary state does not atmit only other law making body than the central one.” 2 Yaitu ciri dari sebuah Negara Kesatuan adalah bahwa kedaulatan tidak terbagi atau dengan kata lain kekuasaan Pemerintah Pusat tidak dibatasi karena konstitusi Negara kesatuan tidak mengenal adanya Badan Legislatif lain selain dari Badan Legislatif Pusat. Dalam Hukum Tanah Nasional ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah, yang dapat disusun dalam tata jenjang atau hierarkhi sebagai berikut: 1. Hak Bangsa Indonesia, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yang beraspek perdata dan publik; 2. Hak Menguasai dari Negara, sebagai hak penguasaan atas tanah yang semata-mata hanya mengandung aspek publik; 3. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, beraspek perdata dan publik; 4. Hak-hak perorangan/individual, yang semuanya berunsur perdata, terdiri dari: a) Hak-hak atas tanah, sebagai hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa: 1) Primer Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara; 2) Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya. b) Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan; c) Hak Jaminan atas tanah: Hak Tanggungan.3
2C.F.
Strong, 1996, Modern Political Constitution, Sidwicks & Jackson, London, hal. 80. 3 Oloan Sitorus dan Zaki Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, hal. 8.
6 Menurut
Hutagalung
dalam
Makalah
Seminar
Nasional
yang
diselenggarakan oleh Pusat Hukum Universitas Trisakti, dikatakan dalam praktiknya,
dijumpai
kebijakan
pemberian
Hak
Pakai
kepada
WNA
diindikasikan tidak dapat dilaksanakan secara efektif di Provinsi Bali. WNA ditemukan melakukan praktek-praktek penguasaan tanah melalui cara yang tidak sesuai dengan ketentuan UUPA. 4 Maria S.W Sumardjono mengatakan bahwa dalam praktiknya, banyak WNA memperoleh tanah dengan melakukan praktek penyelundupan hukum, yakni dengan cara pemindahan hak melalui sewa maupun dalam bentuk pemilikan hak atas tanah yang menggunakan ”kedok” atas nama WNI. Kedua cara ini telah marak dimanfaatkan oleh WNA dalam memperoleh hak atas tanah di beberapa tempat. 5 Di Provinsi Bali, perolehan tanah dengan cara terselubung tersebut biasanya diikuti dengan peruntukkan tanahnya berupa pembangunan hotel atau villa. Dengan demikian praktek seperti itu dapat disebut sebagai suatu model kerjasama pemanfaatan tanah antara WNA dengan WNI.
Dengan demikian,
model-model kerjasama
yang telah
dipraktekkan oleh masyarakat tersebut adalah model pinjam nama dan sistem kontrak/sewa tanah. Sedangkan model yang diatur menurut ketentuan UUPA dan peraturan pelaksanaannya adalah pemberian Hak Pakai kepada WNA baik Hak Pakai di atas tanah negara maupun Hak Pakai di atas tanah Hak Milik. 4
Hutagalung, A.S, 2001, Menyempurnakan Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional,Makalah Seminar Nasional Diselenggarakan oleh Bagian Hukum Administrasi Negara Bekerjasama dengan Pusat Hukum Universitas Trisakti, Tanggal 10 Juli 2001, Jakarta, hal. 27. 5 Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W. Sumardjono I), hal. 85.
7 Praktek kerjasama pemanfaatan tanah antara WNA dengan penduduk lokal tersebut akan memberikan dampak terhadap keberlanjutan sistem kehidupan masyarakat. Soethama mengatakan bahwa ketika terdapat pihak yang akan masuk menanamkan modalnya di Provinsi Bali, sesungguhnya masyarakat telah masuk ke dalam perangkap untuk saling bertikai. Masyarakat sangat mudah berseteru dengan sanak saudaranya hanya karena perbedaan pendapat dalam pengalihan tanah warisan. Selain itu kemudahan masuknya arus modal ke Bali sering dilakukan dengan cara mempermainkan hukum, bertabrakan dengan kebijakan pusat, memperkosa hak-hak komunitas, hak adat, tata nilai dan tata kultur yang berlaku di Bali. Hal ini sering memicu ketegangan sosio-kultural masyarakat.Dengan demikian kedatangan arusmodal ke Bali perlu dicermati secara hati-hati agar tidak membawa petaka bagi masyarakat Bali. 6 Dalam hal pemanfaatan tanah, Pemerintah Daerah Provinsi Bali dewasa ini tengah menghadapi permasalahan maraknya pembangunan vila tanpa ijin. Vila ini sebagian besar diindikasikan milik WNA. Wijaya mengatakan bahwa pembangunan vila tanpa ijin tersebut telah menimbulkan kecemburuan sosial di antara pemilik hotel. Pemilik vila dengan leluasa menyewakan vila kepada wisatawan tanpa dibebani membayar pajak. 7 Sementara itu, Eka mengatakan bahwa pengawasan terhadap vila-vila tak berijin ini sangat sulit dilakukan karena letaknya yang jauh dari keramaian. Bahkan vila ini tidak jarang dibangun
6
Soethama, A, 2008, Cakar Investasi, Kecemasan Baru, Majalah Sarad Edisi No. 93 Januari 2008, Denpasar, hal. 22. 7 Wijaya, L.S. 2006, Penyelundupan Hukum Terhadap Prinsip Nasionalitas Dalam Jual Beli Hak Milik Atas Tanah, Tesis Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 35.
8 pada lahan persawahan. Padahal keindahan sawah itu merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Bali.8 Kerusakan lingkungan akibat pembangunan vila tanpa ijin ini pernah pula dikemukakan oleh Brata bahwa di Bali terdapat sejumlah hotel, vila, dan bangunan lainnya yang menyimpang dari rencana tata ruang wilayah Provinsi Bali, khususnya berkaitan dengan sempadan pantai, sempadan jurang, dan kawasan suci.9 Salah satu wilayah di Provinsi Bali dewasa ini yang terindikasi telah memperoleh arus modal dari WNA sebagaimana telah disebutkan di atas adalah Kabupaten Badung. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di daerah tersebut, pada wilayah ini penguasaan tanah oleh WNA beserta pembangunan hotel dan villa relatif mudah ditemui. Model-model kerjasama yang banyak dilakukan oleh masyarakat dengan WNA adalah model pinjam nama dan sistem kontrak/sewa tanah. Maraknya pembangunan villa di wilayah ini memperjelas terjadinya perubahan penggunaan tanah dari lahan sawah pertanian menjadi non pertanian. Penduduk lokal telah banyak yang menjadi tenaga kerja pada hotel/villa milik WNA. Pada peralihan hak-hak atas tanah kepada WNA tidak dicatat ke Kantor Pertanahan sehingga tidak tercipta tertib administrasi pertanahan. Kondisi seperti ini sesungguhnya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan dan apabila hal ini dibiarkan tanpa kontrol dari Pemerintah maka penduduk lokal akan selalu ditempatkan pada posisi yang lemah dan berada di bawah kendali 8
Eko, 2007, Bali Akan Tertibkan Vila Liar Tak Berijin, Serial Online Maret 2008, (Cited 2014 oktober. 8), available from : URL : http://www.elshinta.com 9 Brata, 2005, Stop Pembangunan Hotel dan Vila di Bali, Beranikah Pemerintah Tertibkan?, Serial Online November 2010, (Cited 2014 oktober. 8), available from : URL : http://www.bisnisbali.com
9 WNA. Padahal tanah bagi masyarakat tani setempat merupakan sumber kehidupan yang mempunyai nilai sangat strategis. 10 Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa ternyata di Indonesia khususnya Kabupaten Badung, Provinsi Bali merupakan tempat yang diminati oleh WNA untuk dijadikan tempat tinggal dengan berbagai alasan masing-masing. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 memang telah mengatur tentang hal kepemilikan tanah oleh WNA di Indonesia yaitu dengan Hak Pakai atas tanah, akan tetapi untuk mendapatkan hak yang diperbolehkan tersebut harus melalui syarat-syarat tertentu dan membutuhkan waktu yang relatif panjang, sedangkan para WNA tersebut biasanya tidak mau melakukan hal-hal yang rumit dan lama, akan tetapi hanya mau melakukan hal-hal yang mudah dan cepat. Setelah mencermati uraian diatas dan juga fakta-fakta yang ada dilapangan terdapat indikasi bahwa kebijakan pemberian Hak Pakai kepada WNA tidak dapat dilaksanakan secara efektif, khususnya di Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penelitian ini diberi judul efektifitas peraturan pemberian hak pakai atas tanah bagi orang asing di Kabupaten Badung (studi kasus di Kabupaten Badung, Provinsi Bali) dan alasan lainnya adalah karena beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, belum pernah mengkaji permasalahan yang diteliti oleh penulis. Penelitianpenelitian tersebut diantaranya adalah: 10
Sumadra & Oloan Sitorus, 2003, Penyelundupan Hukum Dalam Perolehan Hak Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing di Provinsi Bali, Jurnal Widya Bhumi No 10 Tahun 4 Mei 2003, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, hal. 55.
10 1.
Penelitian tesis dari A.A. Sri Angraini, Program Studi Ilmu Hukum Minat Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, judul tesis “Peralihan Hak Atas Tanah dari WNI kepada WNA di Provinsi Bali”. Penelitian ini mengkaji permasalahan mengenai apakah peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA mempunyai landasan yuridis atau penyelundupan hukum dan apakah akta-akta pertanahan yang dibuat dalam peralihan hak atas tanah dari WNI kepada WNA adalah berdasarkan kewenangan pejabat pembuat akta.
2.
Penelitian tesis dari A.A. Ngurah Rai Shuryawan, Program Studi Ilmu Hukum Minat Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang, judul tesis “Penguasaan Tanah dan Bangunan oleh WNA di Kabupaten Badung Provinsi Bali”. Penelitian tesis ini mengkaji permasalahan mengenai apakah penguasaan tanah dan bangunan oleh WNA mendapat perlindungan hukum dan mengenai hambatan serta upaya yang dilakukan WNA agar dapat menguasai tanah dan bangunan di Kabupaten Badung Provinsi Bali.
3.
Penelitian tesis dari Eka Krisna Jayanti, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Universitas Udayana tahun 2010, judul tesis “Penguasaan Tanah Milik Oleh Warga Negara Asing Dengan Menggunakan Perjanjian Nominee”. Penelitian tesis ini mengkaji permasalahan mengenai faktor yang menyebabkan WNA menguasai tanah
dengan
menggunakan
perjanjian
nominee
dan
mengapa
11 Notaris/PPAT
membuat
perjanjian
nominee
bagi
WNA
untuk
penguasaan tanah. 4.
Penelitian tesis dari Luh Putu Ayu Devy Susanti, Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana 2013, judul tesis “Hapus dan Jatuhnya Hak Milik Atas Tanah Kepada Negara Akibat Pemindahan Hak Milik Secara Tidak Langsung Kepada WNA Dengan Akta Notaris”. Penelitian tesis ini mengkaji permasalahan mengenai apakah dasar pemikiran dirumuskannya larangan pemindahan hak milik atas tanah kepada WNA sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 ayat (2) UUPA masih relevan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini dan bagaimanakah pengaturan hapus dan jatuhnya hak milik atas tanah kepada negara akibat pemindahan hak milik secara tidak langsung kepada WNA dengan akta notaris. Meskipun isu hukum dari keempat penelitian tersebut di atas
berhubungan dengan penguasaan hak milik atas tanah oleh orang asing (WNA), namun kajian permasalahan maupun analisa pembahasannya tidak sama dengan penelitian dalam tulisan ini. Hal ini membuktikan bahwa tulisan dalam penelitian tesis ini tidak merupakan plagiasi terhadap tulisan penelitianpenelitian terdahulu.
12 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam pertanyaan penelitian berikut ini: 1. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah untuk orang asing di Kabupaten Badung? 2. Bagaimana fungsi dan peranan Notaris/PPAT selaku pejabat umum dalam mendukung efektivitas pelaksanaan pemberian hak pakai untuk orang asing? 3. Apakah pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah untuk orang asing di Kabupaten Badung sudah berjalan efektif? 1.3 Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui situasi nyata dalam masyarakat mengenai model kerjasama pemanfaatan tanah antara WNA dengan WNIdi Kabupaten Badung, serta memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pola penguasaan tanah yang dapat dimiliki oleh WNA sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. b. Tujuan Khusus Penelitian ini dilakukan untuk memberi deskripsi sekaligus analisis secara mendalam tentang: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai atas tanah bagi orang asing di Kabupaten Badung.
13 2. Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi dan peranan Notaris/PPAT selaku pejabat umum dalam mendukung efektifitas pelaksanaan pemberian hak pakai untuk orang asing. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis efektifitas pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai untuk orang asing di Kabupaten Badung. 1.4 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum khususnya tentang Hukum Agraria serta realitanya dalam kehidupan di masyarakat. Demikian juga penelitian dan penulisan ini sangat berarti untuk terus belajar dan mempersiapkan diri bagi penulis yang setelah memperoleh gelar magister kenotariatan akan menjalankan profesinya dalam dunia kerja nyata lebih penuh tantangan dan juga harapan. Untuk peneliti/penulis selanjutnya yang akan melakukan kajian, dimana hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan yang bermanfaat, baik sebagai perbandingan maupun landasan berpikir kritis dan ilmiah dalam rangka mengamati dan mengkritisi masalah-masalah hukum yang terjadi di dalam masyarakat khususnya tentang pemberian hak pakai atas tanah. b. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam menentukan dan mengatur penguasaan tanah yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya masyarakat yang ingin melakukan peralihan hak atas tanah kepada warganegara asing. Tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi
14 bahan pertimbangan bagi pemerintah khususnya mengenai pemberian hak pakai dalam pengaturan penguasaan tanah bagi WNA dan menjadi rujukan dalam mengevaluasi upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini. 1.5 Landasan Teoritis Untuk membahas masalah-masalah yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya,
yakni masalah-masalah yang berkaitan dengan efektifitas
pemberian hak pakai untuk orang asing dalam mengatur penguasaan atas tanah, maka akan diketengahkan beberapa teori dan konsep serta pandangan para sarjana, sebagai pembenaran teoritis yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: a. Konsep Negara Hukum b. Konsep Hak Atas Tanah c. Teori Efektifitas Hukum d. Teori Kepastian Hukum e. Teori Kepemilikan a. Konsep Negara Hukum Sebuah Negara menurut Plato terbentuk karena tidak ada seorangpun yang sanggup mandiri, dan selain itu kita hidup membutuhkan banyak hal yang tidak dapat dihasilkan atau dikerjakan hanya seorang diri “A city comes into being because each of us is not self-sufficient but need many things.” 11 Sementara itu Aristoles mengemukakan “sesungguhnya setiap negara itu
11
J.H. Rapar, 2001, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 57.
15 merupakan suatu persekutuan hidup atau lebih tepat lagi suatu persekutuan hidup politis.”12 Sementara itu, Hans Kelsen dalam ajaran Hukum Murni mengatakan bahwa: The State is the community created by a national (as opposed to an international) legal order. The state as juristic person ia a personafication of this community or the national legal order constituting this community. From a juristic point of view, the problem of the Statue therefore appears as the problem of the national legal order.13 Kutipan diatas menunjukkan bahwa Negara itu merupakan komunitas yang diciptakan oleh suatu tata hukum nasional sebagai lawan dari tata hukum internasional. Negara sebagai badan hukum merupakan suatu personafikasi dari komunitas ini atau personafikasi dari tata hukum nasional yang membentuk komunitas ini. Menurut Burkens, negara hukum (rechtsstaat) adalah negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. 14 Suatu negara dapat dikatakan negara hukum “rechtsstaat”, apabila memenuhi syarat-syarat yaitu: 1. asas legalitas. Setiap tindakan pemerintahan harus didasarkan peraturan perundang-undangan (wetelijke gronslag). Dengan landasan ini, undangundang dalam arti formil dan undang-undang sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan. Dalam hubungan ini pembentukan undang-undang merupakan bagian penting negara hukum;
12Ibid,
hal. 167. Kelsen, 1961, General Theory Of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 181. 14 Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, hal.9. 13 Hans
16 2. pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh bertumpu pada satu tangan; 3. hak-hak dasar (grondrechten), merupakan sasaran perlindungan dari pemerintahan terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang; 4. pengawasan pengadilan bagi rakyat tersedia. 15 Bagir Manan (1994), lebih lanjut mengetengahkan ciri-ciri minimal negara hukum adalah sebagai berikut: 1. semua tindakan harus berdasarkan hukum; 2. ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya; 3. ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas); 4. adanya pembagian kekuasaan. 16 A.V.
Dicey
salah
seorang
pemikir
Inggris
yang
termasyur,
mengemukakan tiga unsur utama pemerintahan yang kekuasaannya di bawah hukum (the rule of law), yaitu: 1. supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukum); 2. equality before the law, artinya persamaan dalam kedudukan hukum bagi semua warga negara, baik selaku pribadi maupun kualifikasinya sebagai pejabat negara; 3. constitution based on individual rights, artinya konstitusi itu bukan merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi manusia diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harus dilindungi.17 Abrar Saleng, mengklasifikasikan konsep atau tipe dari negara hukum menjadi tiga yakni:
15
Yohanes Usfunan, 1990, Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana UNAIR Surabaya, 1990, hal.111. 16 Bagir Manan, 1994-1995, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad, Bandung, hal. 19. 17 Nukthoh Arfawie Kurde, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 18-19.
17 1. negara hukum kesejahteraan atau negara hukum modern; 2. negara hukum liberalis klasik; dan 3. negara hukum sosialis. Negara hukum kesejahteraan lahir sebagai reaksi terhadap gagalnya konsep negara hukum klasik dan negara hukum sosialis. Kedua konsep dan tipe negara hukum tersebut memiliki dasar dan bentuk penguasaan negara atas sumber daya
ekonomi yang berbeda. Secara
teoretik perbedaan itu
dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh ideologi atau paham-paham yang dianutnya. Pada negara hukum liberalis klasik dipengaruhi oleh paham liberalisme dan negara hukum sosialis dipengaruhi oleh paham marxisme.18 Teori negara hukum kesejahteraan merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan negara kesejahteraan. Konsep negara kesejahteraan, menurut Bagir Manan19 ialah negara atau pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat, tetapi pemikul utama tanggung jawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indonesia sebagai negara hukum, termasuk kategori negara hukum modern. Konsepsi negara hukum modern secara konstitusionil dapat dirujuk pada rumusan tujuan negara, yaitu : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah
mencerdaskan
18 19
darah
kehidupan
Indonesia, bangsa
Abrar Saleng, op cit, hal. 9-11. Bagir Manan, op cit, hal. 9.
memajukan serta
kesejahteraan
mewujudkan
keadilan
umum, sosial.
18 Normativisasi tujuan negara tersebut, khususnya memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial antara lain termuat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konsep negara hukum modern selain mengharuskan setiap tindakan negara/pemerintah berdasarkan atas hukum, juga negara/pemerintah diserahi pula peran, tugas dan tanggung jawab yang luas untuk mensejahterakan masyarakat. Dari berbagai konsep negara hukum modern, menurut Bagir Manan,20 pada pokoknya memuat tiga aspek utama, yaitu : aspek politik, konsep hukum itu sendiri dan aspek sosial-ekonomi. Dari aspek politik, antara lain pembatasan kekuasaan negara, dari aspek hukum, antara lain supremasi hukum, asas legalitas dan the rule of law, sedangkan dari aspek sosial ekonomi adalah keadilan sosial (social justice) dan kesejahteraan umum (public welfare). Philipus M. Hadjon dalam bukunya Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia
21
, mengemukakan negara hukum Indonesia yang berdasarkan
Pancasila, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan; 2. hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; 3. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; 4. keseimbangan antara hak dan kewajiban. 20
Bagir Manan, op cit, hal. 15. Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I), hal. 90. 21
19 Relevansi konsep-konsep negara hukum ini dengan permasalahan yang dikaji adalah asas legalitas dalam arti setiap tindakan negara/pemerintah dalam pengelolaan tanah negara untuk pemberian hak pakai harus berdasarkan atas peraturan perundang-undangan yang berlaku dan juga negara/pemerintah mempunyai peran, tugas dan tanggung jawab yang luas untuk mensejahterakan masyarakatnya, salah satunya melalui pengaturan pengelolaan tanah negara. b. Teori Efektivitas Hukum Kata efektivitas secara etimologi berasal dari kata efektif yaitu terjemahan dari kata effective dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia diartikan berhasil, selain itu dalam bahasa Belanda dikenal dengan kata effectief yang memiliki arti berhasil guna. Dalam Black’s Law Dictionary dijabarkan arti kata effective yaitu: 1) a statue, order, or contract is often said to be effective beginning (and perhaps ending) at a designated time. 2) Performing within the range of normal and expected standards (effective counsel). 3) Productive; achieving a result (effective cause).22 Kutipan diatas menunjukkan bahwa,
kata
efektivitas tersebut berarti
keberhasilan dari segi tercapai atau tidaknya sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Jika hasilnya semakin tinggi mendekati sasaran berarti semakin tinggi efektifitasnya. Sementara itu John Echols dan Hassan Shadily dalam EnglishIndonesian Dictionary menyatakan bahwa effective berarti:
22Bryan
A. Garner, Black’s Law Dictionary, 2004, Ninth Edition, WEST a Thomson Reuter Business, hal. 592.
20 1) Berhasil, ditaati. His warning to the crowd was e. Peringatannya pada banyak orang itu berhasil. 2) Mengesankan. The arrangement of the furniture was very e. Pengaturan perkakas dalam kamar itu sangat mengesankan. 3) Berlaku. The new law is e. January 1. Undang-undang baru itu berlaku 1 Januari. 4) Mujar(r)ab, manjur, mustajab, effektip. The medicine was very e. Obat itu sangat mujarrab.23 Menurut Badudu dan Zain dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, efektivitas berarti keefektifan, keefektifan artinya sifat atau keadaan efektif. Efektif artinya mulai berlaku (tentang undang-undang), jadi efektivitas artinya sifat atau keadaan mulai berlakunya undang-undang. 24 Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa efektivitas berarti keefektifan. Keefektifan artinya hal mulai berlakunya (tentang undang-undang, peraturan), jadi efektivitas adalah hal mulai berlakunya undang-undang atau peraturan. Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa inti dan arti penegakan hukum secara konsepsional terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir,
untuk
mencipatakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.25 Berbicara efektifitas hukum, Soerjono Soekanto berpendapat bahwa salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah penegakan hukum tidak
23 John.
M. Echols and Hassan Shadily, 2010, An English-Indonesian Dictionary, Cornell University Press, hal. 207. 24 J.S Badudu dan Sutan Muhammad Zain, 2001, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 731. 25 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung, (Selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal. 20.
21 hanya terbatas pada timbulnya ketaatan atau kepatuhan pada hukum saja, tetapi juga mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif atau negatif.26 Ketaatan seseorang berperilaku sesuai dengan harapan pembentuk undang-undang, Friedman menyatakan bahwa: Compliance is, in other words, knowing conformity with a norm or command, a deliberate instance of legal behavior thas bens toward the legal act that evoked it. Compleance and deviance are two poles of a continuum. Of the legal behavior frustrates the goals of legal act, but falls short of noncompliance or, as the case may be, legal culpability.27 Berdasarkan pendapat Friedman tersebut bahwa pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku, dapat diklasifikasikan sebagai ketaatan (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan (deviance) dan pengelakan (evasion). Konsep-konsep ketaatan, ketidaktaatan atau penyimpangan dan pengelakan berkaitan dengan hukum yang berisikan larangan atau suruhan. Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto, yaitu: a) Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang. b) Faktor penegak hukum, yakni pada pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 26
Ibid. Lawrence, Friedman M, The Legal System A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975 dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 88. 27
22 d) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. e) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.28 Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan erat satu dengan lainnya, karena merupakan esensi dari penegakan hukum dan merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Faktor hukumnya sendiri, seperti pada undang-undang merupakan faktor pertama yang menjadi tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. Undangundang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dari undang-undang, dapat disebabkan.29 : a)
Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang, seperti undangundang tidak berlaku surut (artinya undang-undang hanya boleh diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang dinyatakan berlaku.
b) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang (adanya berbagai undang-undang yang belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan, padahal di dalam undang-undang tersebut diperintahkan demikian); c)
Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan
28 29
Soerjono Soekanto I, op.cit, hal. 8. Ibid, hal. 17-18.
23 secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat. Faktor kedua yakni, penegak hukum yang meliputi mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan. Penegak hukum mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan merupakan suatu wadah yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, dimana unsur tersebut merupakan peranan (role). Suatu hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Ada berbagai halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari penegak hukum yang berasal dari dirinya sendiri atau lingkungan, yaitu30 : a)
Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi;
b) Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi; c)
Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali membuat suatu proyeksi.
d) Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material; e)
Kurangnya
daya
inovatif
yang
sebenarnya
merupakan
pasangan
konservatisme. Faktor ketiga, yakni sarana dan fasilitas yang sangat penting peranannya dalam penegakan hukum. Sarana dan fasilitas tersebut, antara lain mencakup
30
Ibid, hal. 34-35
24 tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa adanya sarana dan fasilitas yang baik, tidak mungkin penegak hukum dapat menyerasikan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Jalan pikiran yang sebaiknya dianut, khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut, yaitu: a) b) c) d) e)
Yang tidak ada-diadakan yang baru betul; Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan; Yang kurang-ditambah; Yang macet-dilancarkan; Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.31 Faktor
keempat yang mempengaruhi penegakan
hukum adalah
masyarakat. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan juga bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Salah satu arti hukum yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yaitu: hukum diartikan sebagai petugas (polisi, jaksa, hakim). Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum mengakibatkan harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual penegak hukum menjadi terlampau banyak, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kebingungan pada diri penegak hukum itu sendiri, oleh karena itu terjadilah berbagai konflik dalam dirinya. Keadaan demikian juga dapat memberikan pengaruh yang baik, dimana para penegak hukum tersebut merasa perilakunya senantiasa mendapat perhatian dari masyarakat. Masalah lain yang timbul dari anggapan tersebut adalah mengenai penerapan perundang-undangan, karena jika penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak
31
Ibid, hal. 44
25 mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Disamping itu juga dapat menimbulkan kebiasaan untuk kurang menelaah perundang-undangan yang kadangkala tertinggal dengan perkembangan di dalam masyarakat. Disamping itu, ada juga golongan masyarakat yang mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Akibat dari anggapan bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan kuat satu-satunya tugas hukum adalah kepastian hukum. Dengan demikian, akan muncul anggapan yang kuat bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban. Dimana lebih menekankan pada kepentingan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga timbul gagasan kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur dengan hukum tertulis. 32 Faktor kelima adalah kebudayaan, dimana setiap kelompok sosial yang ingin menyebut dirinya sebagai masyarakat haruslah menghasilkan kebudayaan yang merupakan hasil karya, rasa, dan cipta. Kebudayaan tersebut merupakan hasil dari masyarakat manusia yang sangat berguna bagi warga masyarakat tersebut, karena kebudayaan melindungi diri manusia terhadap alam, mengatur hubungan antara manusia, dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia. Dari sekian banyak kegunaan dan manfaat kebudayaan bagi manusia, khususnya akan diperhatikan aspek yang mengatur hubungan antar manusia, karena aspek tersebut bertujuan untuk menghasilkan tata tertib di dalam pergaulan hidup
32
Ibid, hal. 54-55
26 manusia dengan aneka warna kepentingan yang tidak jarang berlawanan satu dengan lainnya. Hasil dari usaha-usaha manusia untuk mengatur pergaulan hidupnya merupakan hasil rasa masyarakat yang mewujudkan kaidah-kaidah dan nilainilai masyarakat. Hasil rasa tersebut juga merupakan daya upaya manusia untuk melindungi dirinya terhadap kekuatan lain di dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat tidak selamanya baik dan untuk menghadapi kekuatan yang buruk.33 c. Konsep Hak Atas Tanah Sebagaimana diketahui dalam ilmu hukum, yang dimaksud dengan hak pada hakekatnya adalah suatu kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap sesuatu benda ataupun orang, sehingga diantaranya menimbulkan hubungan hukum. Menurut Boedi Harsono, hak atas tanah apapun semuanya memberi kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu dalam rangka memenuhi suatu kebutuhan tertentu.34 Dengan demikian hak atas tanah juga dapat juga dimaknai sebagai kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang terhadap sebidang tanah, sehingga diantaranya juga menimbulkan sebuah hubungan hukum. Definisi hak atas tanah ini juga telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal 33
Soerjono Soekanto, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hal. 203. 34 Boedi Harsono, 2003, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, cet. 9, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono I), hal.228.
27 dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), khususnya dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi: (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi serta air dan ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yg lebih tinggi. Hak atas tanah yang mengandung aspek kepastian hukum dan keadilan tidak terpisah dari penggunaan dan pemanfaatan tanah yang mewujudkan kemakmuran. Kepastian dan keadilan saja tidak bisa mewujudkan kemakmuran tanpa penggunaan dan pemanfaatan. Sebaliknya pengunaan dan pemanfaatan saja tanpa kepastian dan keadilan tidak bisa memberikan kemakmuran yang adil dan berkepastian yang juga merupakan cita-cita kemerdekaan kita.35 Berdasarkan ketentuan ini, maka setiap orang yang memiliki hak atas tanah memiliki pula wewenang untuk mempergunakan tanah yang dimaksud dengan tetap dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada dasarnya setiap orang tanpa memperhatikan status kewarganegaraannya dapat mempunyai hak atas tanah, oleh karena hal itu orang asing (WNA) dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia. Prinsip tersebut tercermin pada ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yang berbunyi: (1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
35
Soedjarwo Soeromihardjo, 2009, Mengkritisi Undang-Undang Pokok Agraria, Cerdas Pustaka, Jakarta, hal. 125.
28 Perbedaan hanya terjadi dalam hal jenis-jenis hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh seseorang. UUPA juga telah menentukan macam-macam jenis hak atas tanah. Hakhak atas tanah tersebut diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi: (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. Hak milik b. Hak guna usaha c. Hak guna bangunan d. Hak Pakai e. Hak sewa f. Hak membuka tanah g. Hak memungut hasil hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Dari macam-macam jenis hak atas tanah tersebut, orang asing (WNA) hanya berhak memiliki tanah dengan cara Hak Pakai dan Hak Sewa. d. Teori Kepastian Hukum Teori kepastian hukum digunakan karena proses pemberian hak pakai atas tanah bagi orang asing juga melibatkan aktifitas pendaftaran tanah yang mencakup pemetaan dan pembukuan tanah. Tujuan dari pendaftaran tanah sendiri adalah untuk mencapai kepastian hukum. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 UUPA yaitu: (1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. (2) Pendaftaran tersebut dalam ayat 1, pasal ini meliputi: a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
29 pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut. Jadi menurut UUPA tujuan dari dilaksanakannya pendaftaran tanah adalah dalam rangka pemberian jaminan kepastian hukum (Rechtkadaster) di bidang pertanahan. Tujuan tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tujuan dari pendaftaran tanah antara lain adalah: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum terhadap mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Untuk itu pemegang hak milik atas tanah diberi sertipikat sebagai surat tanda buktinya. Di samping umtuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang dibutuhkan dalam mengadakan perbuatan hukum terhadap tanah yang bersangkutan. Penelitian tesis ini menggunakan Teori Kepastian Hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu teori yang berpendapat bahwa kepastian hukum
30 adalah situasi ideal yang dapat tercapai jika didukung unsur-unsur sebagai berikut: a. Substansi hukum yaitu berbicara tentang isi ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri. b. Aparatur hukum yaitu perangkat, berupa sistem kerja dan pelaksana dari apa yang diatur dalam substansi hukum. c. Budaya hukum yang menjadi pelengkap atau pendorong terwujudnya kepastian hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum juga tidak kalah pentingnya dibandingkan kedua unsur yang lain karena tegaknya peraturan-peraturan hukum akan sangat bergantung pada budaya hukum masyarakat.36 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori Kepastian Hukum menurut Lawrence M. Friedman berpendapat bahwa kepastian hukum akan tercapai apabila masyarakat memiliki budaya hukum untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri serta tunduk pada aparatur yang menjalankannya sesuai ketentuan tertulis dari hukum itu sendiri. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak terdapat kekaburan norma atau keragu-raguan (multitafsir) dan logis, yang artinya menjadi suatu sistem norma dengan norma lain tidak bertentangan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum mengandung arti bahwa setiap perbuatan hukum yang dilakukan harus menjamin kepastian hukumnya. Teori Kepastian Hukum digunakan dalam penelitian ini untuk membahas kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan peraturan pemberian hak pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing di Kabupaten
36
Raimona Flora, Lasamanda, “Penegak Hukum”, Serial Online November 2014, (Cited 2014 Desember 1), available from : URL : http//www.scribd.com
31 Badung, terkait pemenuhan aturan hukum secara formil dan sejauh mana penerapan aturan-aturan tersebut dilakukan secara benar sehingga substansi hukum terpenuhi. e. Teori Kepemilikan Dalam konsep hukum, hubungan antara orang dan benda merupakan hubungan yang disebut hak. Teori Kepemilikan menurut Muchtar Wahid intinya mengandung kepemilikan atas suatu benda disebut dengan hak milik atas benda itu atau dikenal dengan property right. 37 Dalam hal ini yang menjadi titik tolaknya bukanlah benda yang dimiliki tersebut melainkan hak untuk memiliki benda tersebut, dengan kata lain penekanannya adalah pada hak penguasaannya bukan pada bendanya. Mengenai segi penguasaan itu sendiri, menurut Satjipto Raharjo ditentukan oleh dua unsur yaitu: a. legitimasi faktual dan b. sikap batin manusia. Pada legitimasi faktual tampak penguasaan ditentukan adanya hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang atau benda yang dikuasai dan pada saat itu tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Mengenai unsur sikap batin dalam penguasaan ditentukan oleh maksud seseorang yang memang bertujuan untuk menguasai barang tersebut. Kedua unsur penguasaan tersebut di atas dalam istilah latin dikenal dengan asas corpus possessionis dan animus posidendi.38
37Muchtar
Wahid, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta, hal. 44. 38Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 63.
32 Sementara menurut doktrin klasik, mengenai cara penguasaan atas hak kebendaan ini lebih menekankan pada unsur legitimasi faktual. Mengenai unsur legitimasi faktual ini Roscoe Pound berpendapat ”the first and second of these have always been spoken of as giving a natural title to property. Thus the Romans spoke of them as a modes of natural aqcuisition by occupation.”39 Menurut Muchtar Wahid, terkait kepemilikan hak atas tanah, dikatakan bahwa hak individual untuk memiliki dan mengalihkan adalah hak alamiah yang berasal dari Tuhan dan mengenai hak alamiah ini, lebih lanjut dia mengatakan ”Hak alamiah kodrati manusia ini diturunkan oleh Tuhan dan mendasarkan diri pada prinsip-prinsip moral, bersifat universal yang didalamnya mengandung hak untuk hidup dan tuntutan kebahagiaan.”40 Dalam kaitannya dengan hak pakai atas tanah bagi Warga Negara Asing, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria yang menentukan bahwa: 1. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undangundang ini. Sementara itu dasar hukum ketentuan tentang hak-hak atas tanah yang ada di Indonesia lebih lanjut diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, yang menentukan bahwa: 39 Roscoe
Pound, 1975, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press, Published in Great Britain, London, hal. 109. 40Muchtar Wahid, loc.cit.
33 Atas dasar hak menguasai dari negara atas tanah sebagai yang maksud Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dan badan hukum, baik badan hukum privat maupun badan hukum publik.41 Hak Milik merupakan hak terkuat atas tanah yang memberikan wewenang kepada pemiliknya untuk memberikan kembali hak lain di atas bidang tanah hak milik yang dimilikinya yang hampir sama dengan kewenangan negara untuk memberikan hak atas tanah pada warganya. 42 Pemberian hak pakai diatas hak milik memang sangat memungkinkan karena seperti yang tercantum dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dan termasuk hak primer. Dengan demikian hak milik dapat dibebani dengan hak atas tanah yang lain seperti hak pakai, berdasarkan pengertian di dalam Pasal 41 UUPA maka hak pakai di atas tanah hak milik mengandung pengertian sebagai hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil tanah dari milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian dengn pemilik tanahnya. Teori Kepemilikan digunakan dalam tesis ini karena peraturan pemberian hak pakai atas tanah milik pribadi kepada orang asing harus melalui proses pelepasan hak milik itu sendiri dari pemegang hak milik atas tanah, baru setelah itu dapat dimohonkan kembali kepada Negara oleh pemohon hak pakai atas tanah. 41
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Grup, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso I), hal. 87. 42Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2002, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, hal. 30.
34 Dari segi teori, kepastian hukum dan kesebandingan merupakan dua tugas pokok dari hukum. Walaupun demikian, seringkali kedua tugas tersebut tidak dapat diterapkan sekaligus secara merata. Sebagaimana ditegaskan Soerjono Soekanto, dengan mengutip pendapat Max Weber, yang membedakan antara substantive rationality dan formal rationality. Dikatakan bahwa sistem hukum barat mempunyai kecenderungan untuk lebih menekankan pada segi formal rationality, artinya penyusunan secara sistematis dari ketentuanketentuan semacam itu, seringkali bertentangan dengan aspek-aspek dari substantive rationality, yaitu kesebandingan bagi masyarakat secara individual. 43 Jika kita mengacu pada kerangka pemikiran kepastian hukum hak milik atas tanah menurut Muchtar Wahid maka dapat disimpulkan bahwa teori ini adalah mengenai keadaan dimana terpenuhinya aturan-aturan hukum secara formil dan sejauh mana penerapan aturan-aturan secara benar sehingga subsatansi hukum terpenuhi. 44 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan disini adalah jenis penelitian hukum empiris, yang memiliki sifat atau karakter yang beranjak dari adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein yaitu kesenjangan antara teori dan kenyataan, atau kesenjangan keadaan teoritis dengan fakta hukum (teori dan fakta tidak sesuai), yaitu adanya kesenjangan antara PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dan PP Nomor 41 43 44
Soerjono Soekanto II, op.cit, hal. 18-19. Muchtar Wahid, op.cit, hal 117.
35 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia dengan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.Pengertian dari penelitian empiris menurut Soerjono Soekanto adalah: Penelitian hukum yang terdiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum tidak tertulis dan penelitian terhadap efektifitas hukum, terutama bertujuan untuk menalaah perilaku hukum warga masyarakat. Penelitian hukum empiris awalnya yang diteliti adalah data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan dan masyarakat.45 Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa ”dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, begitu pula penelitian dalam ilmu hukum, data-data yang dikumpulkan itu merupakan data primer dan data sekunder.” 46 Data Sekunder yang dimaksud disini adalah berupa bahan-bahan hukum baik berupa bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder yang berupa literatur-literatur bahan bacaan atau laporan penelitian terdahulu, maupun bahan hukum tersier misalnya kamus hukum dan bibliografi. Sedangkan data primer disini diperoleh dari penelitian di lapangan yang kemudian data tersebut digabung lalu ditelaah dan dianalisis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris karena penelitian ini membutuhkan data-data langsung dari lapangan. Untuk memperoleh informasi tersebut penulis melakukan wawancara langsung kepada para informan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung Provinsi Bali.
45
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), hal. 51. 46 Hilman Hadikusuma, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal. 61.
36 1.6.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian lebih mengarah kepada penelitian deskriptif yang merupakan
metode
penelitian
yang
berusaha
menggambarkan
dan
menginterprestasi objek sesuai apa adanya. Penelitian deskriptif juga dapat membentuk teori-teori baru atau dapat memperkuat teori yang sudah ada. Dalam situs resmi Universitas Negeri Makassar disebutkan bahwa “penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal. Di samping itu, penelitian deskriptif juga merupakan penelitian, dimana pengumpulan data untuk membandingkan pertanyaan penelitian atau hipotesis yang berkaitan dengan keadaan dan kejadian sekarang. Disajikan dengan melaporkan keadaan objek atau subjek yang diteliti sesuai dengan apa adanya.”47 1.6.3 Data dan Sumber Data Data yang diteliti dalam penelitian hukum empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder48 1. Data Primer ini terutama bersumber dari suatu penelitian yang diperoleh langsung di lapangan dalam bentuk kueesioner dan wawancara terbuka dengan narasumber dan para responden. Penyebaran kuesioner dan wawancara ini mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perolehan hak atas 47
Situs Resmi Universitas Negeri Makassar, 2009, Penelitian Deskriptif, serial online 11 April 2009, (Cited 2014 may. 18), available from : URL : http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikel-nalar/penelitian/163-penelitiandeskriptif.html 48 M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 83.
37 tanah bagi warga negara asing dan mekanisme yang dipergunakan di lapangan. Berdasarkan kuesioner dan wawancara langsung ini akan diketahui, pola penguasaan tanah oleh orang asing di Kabupaten Badung dan mekanisme pelaksanaan ketentuan pemberian hak pakai untuk orang asing di Kabupaten Badung. 2. Data Sekunder, yaitu suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan, yang dapat berupa bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan perundangundangan yang mengatur masalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki warga asing maupun bahan hukum sekunder berupa buku-buku yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer tersebut. Data sekunder lainnya yaitu: 1) Sertipikat Hak Pakai; 2) Akta Pelepasan Hak; 3) Berkas Permohonan Sertipikat; Berdasarkan data-data yang diperoleh di Kantor Pertanahan di Kabupaten Badung, masalah dikembangkan dengan memfokuskan permasalahan pada masing-masing berkas perolehan hak atas tanah bagi warganegara Indonesia kepada warganegara asing tersebut dan khususnya untuk pemberian hak pakai. Dari studi kasus yang didapat di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Sebagian besar akta yang berupa peralihan hak dimaksud tidak dapat diminta demikian pula dengan Surat Keputusan perolehan hakatas tanah, dengan alasan adanya larangan untuk memfoto copy warkah bagi Kantor Pertanahan kecuali untuk keperluan penyidikan.
38 Sehubungan dengan itu maka data-data yang berhubungan dengan penelitian hanya dapat dicatat saja. Catatan-catatan dokumen inilah yang merupakan sumber data sekunder yang akan dikaji dan dipelajari, sehingga dengan demikian data sekunder ini terutama diperoleh dengan studi dokumen. 1.6.4 Teknik Pengumpulan Data Dalam
penelitian
Hukum
Empiris
dikenal
teknik-teknik
untuk
mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, dan observasi. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: 1.
Teknik Studi Dokumen yaitu dalam pengumpulan data akan digunakan teknik studi dokumen terhadap sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan permasalahan penelitian dengan cara membaca dan mencatat kembali data yang kemudian dikelompokkan secara sistematis.
2.
Teknik wawancara yaitu pendataan didapat melalui proses interview atau wawancara kepada orang-orang yang terkait untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, yang dalam hal ini adalah para narasumber di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung dan juga para Notaris/PPAT yang mempunyai wilayah kerja di Kabupaten Badung. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide.
1.6.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Adapun lokasi penelitian yang dipilih dalam penyusunan penelitian ini adalah di wilayah Kabupaten Badung. Terpilihnya Kabupaten Badung sebagai
39 lokasi penelitian karena Kabupaten Badung merupakan wilayah yang menjadi tujuan wisata utama dan memiliki aktifitas pariwisata yang paling tinggi diantara wilayah lainnya di Provinsi Bali, lalu yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti, yang dianggap mewakili populasinya. Oleh karena populasi biasanya sangat besar dan luas, maka seringkali tidak mungkin untuk diteliti sebagai sampel yang memberikan gambaran tentang objek penelitian secara tepat dan benar.49 Populasi dalam penelitian ini adalah WNA yang memiliki Hak Pakai Atas Tanah di Kabupaten Badung yang berdasarkan data pemilikan hak pakai atas nama orang asing dari periode tahun 2011 sampai saat ini yang diperoleh dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, yang antara lain: Tabel 1 Sampel Populasi Hak Pakai Atas Nama Orang Asing di Kabupaten Badung No.
Desa
2011
2012
2013
2014
Total
1.
Pecatu
2
4
1
-
7
2.
Jimbaran
1
5
1
-
7
3.
Benoa
3
3
-
1
7
4.
Ungasan
2
2
3
2
9
5.
Kerobokan
1
5
2
-
8
6.
Tibubeneng
-
4
1
-
5
49
Rony Hatnijo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 10.
40 7.
Canggu
4
2
-
-
6
8.
Pererenan
2
1
-
-
3
9.
Cemagi
-
1
2
-
3
10.
Total
15
27
37
3
48
Sumber: Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan Teknik Non Probability Sampling khususnya dengan menggunakan Teknik Purposive Sampling, yaitu dengan cara penarikan sampel penelitian yang ditentukan sendiri oleh peneliti dan dilakukan berdasarkan tujuan tertentu. Dalam penelitian ini ditetapkan pada Desa/Kelurahan Ungasan sebagai sampel penelitian yang dipilih berdasarkan dari data yang didapat, karena merupakan lokasi yang paling banyak ditempati oleh orang asing dengan pemilikan hak pakai atas tanah.Penentuan informan dilakukan yaitu dengan mencari key informan (informan kunci) yang diawali dengan menunjuk sejumlah informan yang mengetahui, memahami, dan berpengalaman sesuai dengan objek penelitian ini yakni para narasumber di Kantor BPN Badung dan para Notaris/PPAT di Kabupaten Badung. 1.6.7 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan Analisis Data dalam penelitian ini adalah dengan Analisis Data Kualitatif dimana data yang dikumpulkan adalah data naturalistik dengan menggunakan pedoman wawancara dan observasi, lalu data-datayang diperoleh tersebut diolah menjadi rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus tidak disusun kedalam struktur klasifikasi sehingga
41 sampel lebih kepada non probabilitas dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi ke lapangan. Keseluruhan data primer dan sekunder yang diperoleh akan diolah dan dianalisis dengan disusun secara sistematis,
digolongkan dalam
pola
dan tema,
dikategorisasikan
dan
diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.50
50
M. Iqbal Hasan, op.cit, hal. 138.
BAB II TINJAUAN UMUM
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak-Hak Atas Tanah 2.1.1 Macam-Macam Hak Atas Tanah Macam-macam jenis-jenis hak atas tanah tersebut telah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 16 ayat (1) yang berbunyi: (1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ialah: a. Hak milik b. Hak guna usaha c. Hak guna bangunan d. Hak Pakai e. Hak sewa f. Hak membuka tanah g. Hak memungut hasil hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Hak Milik merupakan hak yang paling kuat atas tanah, yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain di atas bidang tanah Hak Milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dengan pengecualian Hak Guna Usaha) yang hampir sama dengan kewenangan Negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini, meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberikan kewenangan yang (paling) luas pada
42
43 pemiliknya. 51 Pengertian tentang Hak Milik tersebut diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi: (1) Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. (2) Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak atas tanah yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah Hak Guna Usaha, yang pengertiannya dijabarkan dalam Pasal 28 Undang Undang Pokok Agraria yang berbunyi: (1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. (2) Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. (3) Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dari definisi pengertian yang diberikan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa yang dinamakan dengan Hak Guna Usaha adalah hak yang diberikan oleh Negara kepada perusahaan pertanian, perikanan, atau perusahaan peternakan yang melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut ketentuan Pasal 53 UndangUndang Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut: (1) Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
51Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaja, 2012, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, cet. 6, Jakarta, hal. 30.
44 (2) Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat 1 diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. (3) Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dapat diketahui bahwa yang dinamakan dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu selama 30 tahun. Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah di mana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang hak Guna Bangunan adalah berbeda dari pemegang Hak Milik atas bidang tanah di mana bangunan tersebut didirikan; atau dalam konotasi yang lebih umum, pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang Hak Milik dari tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Sehubungan dengan Hak Guna Bangunan ini, Pasal 37 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa Hak Guna Bangunan Terjadi: a. mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh negara; karena penetapan pemerintah. b. mengenai tanah milik: karena perjanjian yang berbentuk autentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh Hak Guna Bangunan itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut. 2.1.2 Subyek Hak Atas Tanah Dari ketentuan selanjutnya mengenai subyek Hak Milik Atas Tanah yang diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria, menyatakan bahwa: (1) Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai Hak Milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh Hak Milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
45 kewarganegaraannya itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lainyang membebaninya tetap berlangsung. (4) Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini. Dapat diketahui bahwa pada dasarnya Hak Milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia tunggal saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing dan badan hukum, baik yang didirikan di Indonesia maupun yang didirikan di luar negeri dengan pengecualian badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963. Ini berarti selain warga negara Indonesia tunggal, dan badan-badan yang ditunjuk dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963, yang terdiri dari: 1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); 2. Perkumpulan-perkumpulan
Koperasi
Pertanian
yang
didirikan
berdasarkan atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 139); 3. Badan-badan Keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Agama; 4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial; Tidak ada pihak lain yang dapat menjadi pemegang Hak Milik atas tanah di Indonesia. Dengan ketentuan yang demikian berarti setiap orang tidaklah dapat dengan begitu saja melakukan pengalihan Hak Milik atas tanah. Ini berarti
46 Undang-Undang Pokok Agraria memberikan pembatasan peralihan Hak Milik atas tanah. Agar Hak Milik atas tanah dapat dialihkan, maka pihak terhadap siapa Hak Milik atas tanah tersebut hendak dialihkan haruslah merupakan orang perorangan warga negara Indonesia tunggal, atau badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 1963 tersebut. Dalam teori Hak Milik, Curzon mendefinisikan hak milik dengan property, yaitu: The following are examples of many definitions of ”property”: The highest right men have to anything”; ”a right over a determinate thing either a tract of land or a chattel”; an exclusive right to control an economic good”; an aggregate of rights guaranteed and protected by the government”; ”everything which is the subject of ownership”; ”a social institution whereby people regulate the acquisition and use of the resources of our environment according to a system of rules”; ”a concept that refers to the rights, obligations, privilages, and a restrictions that govern the relations of men with respect to things ov value.”52 Berikutnya, sehubungan dengan pemberian Hak Guna Usaha dan pihak-pihak yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Usaha ini, ditentukan lebih lanjut dalam Pasal 30 dan Pasal 31 Undang-Undang Pokok Agraria sebagai berikut: Pasal 30 (1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha ialah: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Pasal 31 Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan pemerintah.
52 L.B.
Curzon, 1999, Land Law, Seventh Edition, Pearson Education Limited, Great Britain, hal. 8-9.
47 Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika Hak Guna Usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dari rumusan Pasal 30 Undang-Undang Pokok Agraria dapat diketahui bahwa undang-undang memperluas subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah. Dalam hal Hak Guna Usaha, selain orang perorangan warga negara Indonesia tunggal, badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia juga dimungkinkan untuk menjadi pemegang Hak Guna Usaha. Mengenai badan hukum Indonesia ini, perlu diperhatikan bahwa untuk menjadi badan hukum Indonesia menurut Pasal 30 Undang-Undang Pokok Agraria harus memenuhi kedua syarat tersebut, yaitu: 1. didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia, dan 2. berkedudukan di Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapatlah menjadi pemegang Hak Guna Usaha. Dengan ini berarti, dengan tidak mempertimbangkan sumber asal dana yang merupakan modal dari badan hukum tersebut, selama badan hukum tersebut memenuhi kedua kriteria tersebut dapatlah menjadi pemegang Hak Guna Usaha. Terhadap perusahaaanperusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal, baik Penanaman
48 Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, harus diperhatikan terlebih dahulu ketentuan mengenai Izin Lokasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Selanjutnya dalam hal pemegang Hak Guna Usaha tersebut tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah menyatakan sebagai berikut: (1) Pemegang Hak Guna Usaha yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak Guna Usaha itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Hak Guna Usaha itu tidak dilepaskan atau dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara. Dalam kaitannya dengan kepemilikan Hak Guna Bangunan, ketentuan pada Pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa subjek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan, yaitu: (1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Bangunan ialah: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. (2) Orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika Hak Guna Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuanketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
49 Sejalan dengan ketentuan mengenai Hak Guna Usaha, seperti telah dijelaskan sebelumnya, dari rumusan Pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut juga dapat diketahui bahwa Undang-Undang memungkinkan dimilikinya Hak Guna Bangunan oleh badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan yang berkedudukan di Indonesia. Dua ketentuan tersebut di atas, yaitu: 1. didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia; dan 2. berkedudukan di Indonesia: adalah dua unsur yang secara bersama-sama harus ada, jika badan hukum tersebut ingin mempunyai Hak Guna Bangunan di Indonesia. Ini berarti badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia tetapi tidak berkedudukan di Indonesia tidak mungkin memiliki Hak Guna Bangunan (keadaan ini jarang sekali terjadi, kecuali dengan tujuan penyelundupan hukum); atau badan hukum yang tidak didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia, tetapi berkedudukan di Indonesia juga tidak dapat memiliki Hak Guna Bangunan. Terhadap keadaan yang disebutkan terakhir, dalam teori-teori yang berkembang dalam hukum perdata internasional, kedudukan suatu badan hukum telah berkembang sedemikian rupa, sehingga pada taraf tertentu mereka juga dianggap memiliki ”persona standi in judicio” pada suatu negara dimana mereka melakukan kegiatan operasionalnya, dan tidak harus dimana kantor pusatnya berkedudukan. Dalam konteks inilah, maka kedua syarat didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia menjadi keharusan kumulatif.53
53Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal. 191
50 2.1.3 Hapusnya Hak Atas Tanah Ketentuan yang mengatur mengenai hapusnya Hak Milik atas tanah ini dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi sebagai berikut: Hak milik hapus bila: a. tanahnya jatuh kepada negara, 1. karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18; 2. karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya: 3. karena ditelantarkan; 4. karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2). b. tanahnya musnah. Alasan pertama hapusnya Hak Milik adalah karena adanya pencabutan hak, menurut ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menyatakan bahwa ”Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.” Ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria ini selanjutnya dilaksanakan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya. Dalam rumusan Pasal 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 dikatakan bahwa: Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dala keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Selanjutnya dalam rumusan Pasal 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 dikatakan lebih lanjut bahwa:
51 (1) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah dan/atau benda tersebut pada Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. (2) Permintaan tersebut pada ayat (1) Pasal ini oleh yang berkepentingan disertai dengan: i. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu. ii. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas, dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan. iii. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang bersangkutan. Dengan demikian jelaslah bahwa pencabutan hak atas tanah harus didasarkan pada suatu rencana peruntukan dan penampungan pihak-pihak yang dicabut haknya tersebut. Jika ternyata setelah pencabutan dilakukan, tanahnya tidak dipergunakan sebagaimana peruntukannya, Pasal 11 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 menyatakan bahwa: Jika telah terjadi pencabutan hak sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 5 dan 6, tetapi kemudian ternyata, bahwa tanah dan/atau benda yang bersangkutan tidak dipergunakan sesuai dengan rencana peruntukannya, yang mengharuskan dilakukannya pencabutan hak itu, maka orang-orang yang semula berhak atasnya diberi prioritet pertama untuk mendapatkan kembali tanah dan/atau benda tersebut. Agar supaya pencabutan tersebut mengikat pada ketiga, ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 menentukan bahwa: (1)Surat keputusan tentang pencabutan hak tersebut pada Pasal 5 dan 6 dan tentang perkenaan untuk menguasai tersebut pada Pasal 6 ayat (2) diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia dan turunannya disampaikan kepada yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu. Isinya diumumkan melalui surat-surat kabar. (2)Biaya pengumuman tersebut pada ayat (1) pasal ini ditanggung oleh yang berkepentingan.
52 Dalam hal terjadi perselisihan mengenai penetapan yang berhubungan dengan pencabutan hak atas tanah tersebut, ketentuan Pasal 8 hingga Pasal 10 UndangUndang No. 20 Tahun 1961 menentukan bahwa: Pasal 8 (1)Jika yang berhak atas tanah dan/atau benda-benda yang haknya dicabut itu tidak bersedia menerima ganti kerugian sebagai yang, ditetapkan dalam Surat Keputusan Presiden tersebut pada Pasal 5 dan 6, karena dianggapnya jumlahnya kurang layak, maka ia dapat minta banding kepada Pengadilan Tinggi, yang daerah kekuasaannya meliputi tempat letak tanah dan/atau benda tersebut, agar pengadilan itulah yang menetapkan jumlah ganti kerugiannya. Pengadilan Tinggi memutus soal tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir. (2)Acara tentang penetapan ganti kerugian oleh Pengadilan Tinggi sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3)Sengketa tersebut pada ayat (1) pasal ini dan sengketa-sengketa lainnya mengenai tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan tidak menunda jalannya pencabutan hak dan penguasaannya. (4)Ketentuan dalam ayat (1) dan (2) pasal ini berlaku pula, jika yang bersangkutan tidak menyetujui jumlah ganti kerugian yang dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat (3). Pasal 9 Setelah ditetapkannya surat keputusan pencabutan hak tersebut pada Pasal 5 dan 6 dan setelah dilakukannya pembayaran ganti kerugian kepada yang berhak, maka tanah yang haknya dicabut itu menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, untuk segera diberikan kepada yang berkepentingan dengan suatu hak yang sesuai. Pasal 10 Jika di dalam penyelesaian persoalan tersebut di atas dapat dicapai persetujuan jual-beli atau tukar-menukar, maka penyelesaian dengan jalan itulah yang ditempuh, walaupun sudah ada surat keputusan pencabutan hak. Dengan diberikannya mekanisme tersebut, maka diharapkan agar pencabutan hak yang dilakukan tidak merugikan kepentingan dari pihak-pihak tertentu, khususnya mereka yang hak atas tanahnya dicabut. Alasan kedua hapusnya Hak Milik atas tanah adalah karena penyerahan sukarela, Boedi Harsono menyatakan bahwa hapusnya Hak Milik karena
53 penyerahan sukarela ini berhubungan dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.54 Dari judul yang diberikan pada Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut dapat dilihat bahwa pada prinsipnya ketentuan ini, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut, yang menyatakan bahwa: (1) Ketentuan tentang pengadaan tanah dalam Keputusan Presiden ini semata-mata hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. (2) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. (3) Pengadaan tanah selain untuk pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Penyerahan sukarela ini menurut Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 sengaja dibuat untuk kepentingan Negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Pemerintah. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 3 hingga Pasal 5 dari Keputusan
54Boedi
Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia; Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono II), hal. 27.
54 Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tersebut dinyatakan lebih lanjut: Pasal 3 Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pasal 4 (1) Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dengan dan berdasar pada Rencana Umum Tata Ruang yang telah ditetapkan terlebih dahulu. (2) Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Umum Tata Ruang, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada. Pasal 5 Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk: 1. Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut: a. Jalan umum, saluran pembuangan air; b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal; e. Peribadatan; f. Pendidikan atau sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES; h. Fasilitas pemakaman umum; i. Fasilitas keselamatan umum seperti anara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; j. Pos dan Telekomunikasi; k. Sarana olahraga; l. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; m. Kantor Pemerintah; n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 2. Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam angka 1 yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
55 Tiga pasal tersebut di atas merupakan rambu-rambu yang harus dipenuhi agar Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dapat dilaksanakan. Alasan ketiga hapusnya Hak Milik atas tanah adalah karena ditelantarkan, pengaturan mengenai tanah yang terlantar dapat ditemukan dalam Peraturan
Pemerintah
No.
36
Tahun
1998
tentang
Penertiban
dan
Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar tersebut mengatur mengenai kriteria tanah telantar, yang di dalamnya meliputi tanah Hak Milik, dengan rumusan sebagai berikut: Pasal 3 Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah telantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya tidak dipelihara dengan baik. Pasal 4 Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tanah telantar adalah: 1. tanah yang tidak dimanfaatkan dan atau dipelihara dengan baik; 2. tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut.
56 Selanjutnya atas bidang tanah yang dinyatakan telantar tersebut, ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar memberikan sanksi berupa tindakan yang dapat diambil terhadap tanah telantar tersebut. (1) Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah telantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. (2) Kepada bekas pemegang hak atau pihak yang kemudian sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan sebagai tanah telantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh hak atau dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri. (3) Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut telah biaya untuk membuat prasarana fisik atau bangunan di atas tanah yang dinyatakan telantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada pihak yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pemegang hak yang baru atas tanah tersebut. Seperti dapat dibaca pada rumusan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar, khususnya ketentuan pada ayat (4)-nya, cenderung akan melahirkan penyelundupan hukum. Dalam hal ini, dengan alasan suatu bidang tanah telah ditelantarkan, pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dimungkinkan untuk memperoleh bidang tanah yang dikehendakinya tersebut dengan harga yang murah. Alasan berikut hapusnya Hak Milik atas tanah adalah karena Hapusnya Hak Milik karena Dikuasai atau Dialihkan kepada Subjek Hukum yang Tidak Berhak Memangku Kedudukan Hak Milik Atas Tanah. Hal ini mengacu pada ketentuan dari Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria yang menentukan bahwa:
57 Pasal 21 (3) Orang asing yang sesudah berlakunya undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung. Pasal 26 (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaran asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2) adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. Ketentuan-ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari rumusan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia tunggal saja yang dapat memperoleh hak atas tanah. Alasan terakhir hapusnya Hak Milik atas tanah adalah karena kemusnahan tanahnya, yang artinya bahwa jika kita kembali kepada pengertian dasar hak-hak atas tanah, dan khususnya Hak Milik Atas Tanah, maka sangat jelaslah bahwa pada dasarnya hak-hak atas tanah tersebut, termasuk Hak Milik Atas Tanah bersumber pada keberadaan atau eksistensi dari suatu bidang tanah tertentu. Dengan musnahnya bidang tanah yang menjadi dasar pemberian hak
58 atas tanah oleh negara, maka demi hukum hak atas tanah tersebut, termasuk Hak Milik Atas Tanah menjadi hapus.55 2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Pakai Atas Tanah 2.2.1 Pengertian Umum Hak Pakai Hak atas tanah berikutnya yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah Hak Pakai. Rumusan umum mengenai Hak Pakai sebagai hak atas tanah tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria, yang menyatakan sebagai berikut: (1) Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undangundang ini. (2) Hak Pakai dapat diberikan: a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apa pun. (3) Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Dari rumusan yang diberikan dalam Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut dapat kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan Hak Pakai adalah hak untuk mengunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya.
55Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal. 140
59 Perkataan ”menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan ”memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan dan perkebunan.56 Sebagaimana halnya Hak Guna Bangunan, pemberian Hak Pakai ini pun dapat bersumber pada: 1. tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam bentuk keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang: 2. tanah yang telah dimiliki dengan Hak Milik oleh perorangan tertentu, berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah tersebut. Sehubungan dengan perjanjian dengan pemegang Hak Milik atas tanah tersebut, dalam Undang-Undang Pokok Agraria ditentukan bahwa perjanjian tersebut haruslah bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Sehubungan dengan perjanjian sewa-menyewa ini, dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 44 Undang-Undang Pokok Agraria tentang pengaturan mengenai pengertian dari Hak Sewa untuk bangunan sebagai berikut: Bagian VII Hak sewa untuk bangunan Pasal 44 (1) Seseorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa. (2) Pembayaran uang sewa dapat dilakukan: a. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; b. Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. (3) Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur pemerasan.
56Urip
Santoso, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Urip Santoso II), hal. 119.
60 Selanjutnya jika kita sandingkan ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Pokok Agraria mengenai subjek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Pakai dan Pasal 45 Undang-Undang Pokok Agraria mengenai subjek hukum yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 42 Yang dapat mempunyai Hak Pakai ialah: a. Warga negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asimg yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 45 Yang dapat menjadi pemegang Hak Sewa ialah: a. Warga negara Indonesia; b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia berkedudukan di Indonesia; d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;
dan
dan
Dapat kita lihat mengenai ketentuan dari Pasal 42 dan Pasal 45 tersebut bahwa pihak yang dapat menjadi subyek pemegang Hak Pakai dan Hak Sewa adalah sama. Selain itu dalam ketentuan Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, subyek pemegang Hak Pakai dipertegas dengan memberikan uraian yang lebih lengkap, dengan konsekuensi berlakunya Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Pasal 39 Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah: a. Warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah; d. Badan-badan keagamaan dan sosial;
61 e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. Pasal 40 (1) Pemegang Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan. Selanjutnya mengenai Hak Sewa untuk Bangunan, dalam Undang-Undang Pokok Agraria, di luar ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Pokok Agraria tersebut diatas mengenai Hak Sewa untuk Bangunan tidak ada lagi rumusan atau pengertian yang diberikan mengenai perjanjian sewa, maupun perjanjian pengolahan tanah. Menurut Gunawan Widjaja yang dinamakan dengan pengelolaan adalah suatu kegiatan untuk menjadikan tanah tersebut produktif, sehingga menghasilkan sesuatu melalui proses pengolahan tanah tersebut. Dalam pandangan Undang-Undang Pokok Agraria, melalui rumusan Pasal 10nya dan selanjutnya dalam rumusan Pasal 28 Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi. 57 Pasal 10 (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Pasal 28 (1) Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. (2) Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus 57Kartini
Mulyadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, hal. 249.
62 memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman. (3) Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pemilik Hak Milik Atas Tanah Pertanian dilarang untuk menyerahkan pengelolaan hak atas tanah pertanian tersebut kepada pihak lain, dan karena itu pulalah maka hanya Negara yang dapat memberikan Hak Guna Usaha (oleh karena Negara bukanlah pemilik hak atas tanah). Jadi, jelas sewa yang bertujuan untuk mengolah atau mengelola lebih lanjut suatu bidang tanah (untuk keperluan pertanian) adalah tidak dimungkinkan, dengan demikian tepatlah jika perjanjian pengolahan dan pengelolaan tanah (pertanian) tidak diperbolehkan dalam konteks Undang-Undang Pokok Agraria.58 Dari rumusan dan penjelasan yang diberikan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Hak Pakai atas tanah Hak Milik, yang lahir dari perjanjian memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Pakai untuk memanfaatkan tanah yang bukan miliknya tersebut, tetapi tidak untuk dikelola lebih lanjut, maupun dalam rangka keperluan bangunan di atas tanah milik orang lain tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996-pun tidak diberikan suatu definisi mengenai Hak Pakai. Walau demikian jika kita perhatikan penjelasan yang diberikan terhadap ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 UndangUndang Pokok Agraria, tampaknya hak yang disebut dengan Hak Pakai ini adalah hak-hak lainnya atas tanah yang tidak mungkin diberikan dalam bentuk Hak Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Hak Guna Usaha, seperti misalnya pemberian hak kepada kedutaan negara asing (dimasukkan sebagai Hak Pakai). 58Hutagalung,
A.S & Gunawan, M, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 143.
63 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 41 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 diketahui bahwa jenis-jenis tanah yang dapat diberikan hak pakai yaitu: ”Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah: a. Tanah Negara; b. Tanah Hak Pengelolaan; c. Tanah Hak Milik.” Dan terjadinya Hak Pakai atas tanah menurut ketentuan Pasal 42 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yaitu: (1) Hak Pakai atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2) Hak Pakai atas Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang dtunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. (3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Pakai atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Ada satu hal yang cukup menarik mengenai Hak Pakai ini, yang tidak dapat ditemukan pengaturannya dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang berbeda dari pengaturan mengenai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha. Dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai kewajiban pendaftaran Hak Pakai, sebagaimana halnya Hak Milik dalam Pasal 23 UndangUndang Pokok Agraria, Hak Guna Bangunan dalam Pasal 38 Undang-Undang Pokok Agraria, dan Hak Guna Usaha dalam Pasal 32 Undang-Undang Pokok Agraria. Apakah dengan demikian berarti terhadap Hak Pakai ini tidak perlu didaftarkan.
64 Jika kita perhatikan lebih lanjut ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 Undang-Undang Pokok Agraria yang menyatakan bahwa: (1) Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. (2) Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Dapat diketahui bahwa pada dasarnya pemberian Hak Pakai ini adalah bersifat personal, dan karenanya pada prinsipnya tidak untuk dialihkan. Hal ini berbeda dari ketentuan mengenai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha, yang sama sekali tidak mengandung unsur pembatasan dalam pengalihannya. Sifat personal dari Hak Pakai ini, jika kita bandingkan dengan asas personalia dalam hukum perikatan, maka jelas terhadap Hak Pakai ini memang hanya ditujukan untuk kepentingan dari orang-orang terhadap siapa Hak Pakai telah diberikan. Selanjutnya dalam rumusan Pasal 42, Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 1. Hak Pakai Atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 2. Hak Pakai Atas Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. 3. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 43 1. Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. 2. Hak Pakai atas tanah negara dan atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan dalam buku tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
65 3. Sebagai tanda bukti hak kepada pemegang Hak Pakai diberikan sertifikat hak atas tanah. Pasal 44 1. Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. 2. Pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. 3. Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengikat pihak ketiga sejak saat pendaftarannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). 4. Ketentuan lain mengenai tata cara pemberian dan pendaftaran Hak Pakai Atas tanah Hak Milik diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Bahwa ternyata dalam perkembangannya Hak Pakai juga harus didaftarkan. Hal ini terjadi karena diundang-undangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996, di mana pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) hingga Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut, dinyatakan sebagai berikut: (1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan. (2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. (3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa untuk kepentingan pemberian jaminan dalam bentuk Hak Tanggungan, maka tanah dengan status Hak Pakai juga harus didaftarkan. Dengan demikian berarti jelaslah mengapa Hak Pakai menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan
66 Pemerintah No. 40 Tahun 1996 juga dinyatakan wajib untuk didaftar. Sehubungan dengan kewajiban pendaftaran menurut Pasal 43 dan Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tersebut, dapat diketahui bahwa sebagaimana halnya Hak Guna Bangunan, dalam Hak Pakai pun, Hak Pakai yang pemberiannya: 1. di atas tanah Negara, pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk menentukan lahirnya Hak Pakai tersebut; 2. berdasarkan perjanjian dengan pemegang Hak Milik atas bidang tanah dengan status Hak Milik, maka pendaftaran yang dilakukan hanya ditujukan untuk mengikat pihak ketiga yang berada di luar perjanjian. Dalam hal ini berarti, saat lahirnya Hak Pakai adalah saat perjanjian ditandatangani oleh para pihak di hadapan pejabat yang berwenang (dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah). Di luar kedua hal tersebut, perlu diperhatikan juga ketentuan yang diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Ketentuan ini dibuat dengan tujuan untuk mengakomodir kemungkinan terjadinya peralihan hak atas tanah tertentu kepada pihak yang tidak dapat menjadi atau bukan subjek hukum yang diperkenankan untuk menguasai tanah dengan hak atas tanah tertentu. Misalnya, pengalihan Hak Guna Bangunan kepada orang asing. Dalam hal tersebut, seperti telah dijelaskan di atas, oleh karena orang asing adalah pihak yang tidak diperbolehkan untuk menguasai tanah dengan Hak Guna Bangunan,
67 maka peralihan Hak Guna Bangunan kepada orang asing tersebut, demi hukum akan menghapuskan hak atas tanah tersebut.59 Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai tersebut, maka peralihan Hak Guna Bangunan kepada orang asing dimungkinkan dan dipermudah, dengan cara: Pasal 1 (1) Dengan keputusan ini: a. ………. b. Hak Guna Bangunan atas tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan kepunyaan perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia, atas permohonan pemegang hak atau kuasanya diubah menjadi Hak Pakai yang jangka waktunya 25 (dua puluh lima) tahun; (2) …………….. (3) Untuk perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b pemohon wajib membayar uang pemasukan kepada Negara dengan memperhitungkan uang pemasukan yang sudah dibayar kepada Negara untuk memperoleh Hak Guna Bangunan yang bersangkutan. Pasal 2 (1) Permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik mejadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai, dan perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan disertai: 1) Sertifikat Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang dimohon perubahan haknya, atau bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum terdaftar; 2) Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang apabila hak yang bersangkutan dimenangkan oleh badan hukum dalam suatu pelelangan umum; 3) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah tersebut dibebani Hak Tanggungan, 4) Bukti identitas pemohon. 59
Bernhard Limbong, 2012, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, hal. 172
68 (2) ……………. (3) ……………. Pasal 3 (1) Atas permohonan pendaftaran perubahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan perintah sektor pungutan sesuai ketentuan yang berlaku. (2) Setelah diterima tanda bukti setor pungutan sebagaimana dimaksud ayat (1) Kepala Kantor Pertanahan mendaftar perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunana atau Hak Pakai, atau perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sesuai ketentuan di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dengan ketentuan bahwa permohonan pendaftaran perubahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku sebagai keterangan melepaskan hak atas tanah semula sebagaimana dimaksud Pasal 131 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. 2.2.2 Jangka Waktu Hak Pakai Hal-hal yang berhubungan dengan jangka waktu pemberian Hak Pakai dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 41 ayat (2) huruf a Undang-Undang Pokok Agraria, yang selanjutnya dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 45 hingga Pasal 49 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 sebagai berikut: Pasal 41 (1) ………….. (2) Hak Pakai dapat diberikan: a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu: b. ……… Bagian Keempat Jangka Waktu Hak Pakai Pasal 45 (1) Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
69 (2) Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama. (3) Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada: a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah; b. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; c. Badan Keagamaan dan badan sosial. Pasal 46 (1) Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat diperpanjang atau diperbaharui sebagaiman dimaksud dalam Pasal 45 atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat: a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksuda dalam Pasal 39. (2) Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui atas usul pemegang Hak Pengelolaan. Pasal 47 (1) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai atau pembaharuan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut. (2) Perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. (3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 48 (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai. (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai hanya dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan. (3) Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) serta perincian
70 uang pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai. Pasal 49 (1) Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. (2) Atas kesepakatan antar pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Dari rumusan pada pasal-pasal tersebut dapat diketahui bahwa jangka waktu pemberian Hak Pakai berbeda-beda, sesuai dengan asal tanahnya, dengan ketentuan: 1. Untuk Hak Pakai yang diberikan di atas Tanah Negara: a. jika pemegang Hak Pakainya adalah: 1) Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah; 2) Perwakilan
negara
asing
dan
perwakilan
badan
Internasional; 3) Badan keagamaan dan badan sosial. Hak Pakai dapat diberikan untuk jangka waktu yang tidak terbatas; b. jika pemegang Hak Pakainya bukanlah subjek hukum tersebut di atas, atau 1) Warga Negara Indonesia; 2) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 3) Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
71 4) Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; Jangka waktu pemberiannya paling lama empat puluh lima tahun, yang terdiri dari 25 tahun untuk pemberian pertama kali dan 20 tahun untuk perpanjangannya. Perpanjangan hanya diberikan jika: 1) tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; 2) syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan 3) pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai. Setelah berakhirnya Hak Pakai tersebut, Hak Pakai dapat diperbaharui kembali untuk masa yang sama. Pembaharuan Hak Pakai yang telah berakhir tersebut harus disampaikan dalam jangka dua tahun sebelum berakhirnya Hak Pakai tersebut. Berkaitan dengan subjek Hak Pakai atas tanah negara ini, A.P. Parlindungan menyatakan bahwa ada Hak Pakai yang bersifat publikrechtelijk, yang tanpa right of dispossal (artinya yang tidak boleh dijual ataupun dijadikan jaminan utang), yaitu Hak Pakai yang diberikan untuk instansi-instansi Pemerintah seperti sekolah, pergurusan tinggi negeri, kantor pemerintah, dan sebagainya, dan Hak Pakai yang diberikan untuk perwakilan asing, yaitu Hak yang diberikan untuk waktu yang tidak terbatas dan selama pelaksanaan tugasnya, ataupun Hak Pakai yang diberikan untuk usaha-usaha
72 sosial dan keagamaan juga diberikan untuk waktu yang tidak tertentu dan selama melaksanakan tugasnya. 60 2. Untuk Hak Pakai yang diberikan di atas tanah dengan Hak Pengelolaan, berlaku ketentuan yang telah disebutkan untuk Hak Pakai yang diberikan di atas tanah negara, dengan ketentuan bahwa, jika Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat diperpanjang atau diperbaharui cukup atas permohonan pemegang haknya, Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui atas usul pemegang Hak Pengelolaan. 3. Untuk Hak Pakai yang diberikan di atas tanah Hak Milik, jangka waktu pemberiannya paling lama dua puluh lima tahun, yang dibuat di hadapan PPAT. Setelah berakhirnya Hak Pakai ini, atas persetujuan bersama antara pemegang Hak Milik dengan mantan pemegang Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik tersebut, Hak Pakai yang telah habis tersebut dapat diperbaharui (bukan diperpanjang). Pembaharuan Hak Pakai harus tetap dibuat dengan akta PPAT. Hak Pakai tersebut di atas semuanya, termasuk perpanjangan dan pembaharuannya harus didaftarkan, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997. Perpanjangan Jangka Waktu Hak Atas Tanah Pasal 47 Pendaftaran perpanjangan jangka waktu hak atas tanah dilakukan dengan mencatatnya pada buku tanah dan sertifikat hak yang bersangkutan
60 A.P.
Parlindungan, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 34.
73 berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang yang memberikan perpanjangan jangka waktu hak yang bersangkutan. Menurut Urip Santoso untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai bisa dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai. Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus, untuk perpanjangan dan pembaharauan Hak Pakai hanya dikenakan uang administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Persetujuan untuk pemberian perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai serta perincian uang pemasukan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Pakai.61 2.2.3 Kewajiban Dan Hak Pemegang Hak Pakai Hak
dan
kewajiban
pemegang
Hak
Pakai
dapat
ditemukan
pengaturannya dalam Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 sebagai berikut: Pasal 50 Pemegang Hak Pakai berkewajiban: a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; c. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;
61
Urip Santoso II, op.cit, hal. 123.
74 d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus; e. menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. Pasal 51 Jika tanah Hak Pakai karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebabsebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Pakai wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Pasal 53 Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu. 2.2.4 Peralihan Hak Pakai Dan Pendaftarannya Secara umum sebagaimana dikutip di bawah ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 26 dan Pasal 43 UUPA/V.5/60, Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai dapat dialihkan, yaitu melalui caracara sebagai berikut: Pasal 26 (1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahakan hak milik kepada orang asing, kepda seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat 2, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
75 Pasal 43 (1)Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. (2)Hak Pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Dan ketentuan yang diatur dalam Pasal 52 dan Pasal 54 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu. Pasal 54 1. Hak Pakai yang diberikan atas tanah Negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. 2. Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila hak tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. 3. Peralihan Hak Pakai terjadi karena: a. jual-beli; b. tukar-menukar; c. penyertaan dalam modal; d. hibah; e. pewarisan; 4. Peralihan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. 5. Peralihan Hak Pakai karena jual-beli kecuali jual-beli melalui lelang, tukar-menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. 6. Jual-beli yang dilakukan melalui pelelangan dibuktikan dengan Berita Acara Lelang. 7. Peralihan Hak Pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh instansi yang berwenang. 8. Peralihan Hak Pakai atas tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang. 9. Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. 10. Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan.
76
Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas jelas bahwa hak-hak atas tanah berupa Hak Pakai dapat dialihkan ”kepemilikannya”. Sehubungan dengan pengalihan hak-hak atas tanah tersebut, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyatakan sebagai berikut: Pendaftaran Peralihan dan Pembebanan Hak Paragraf 1 Pemindahan Hak Pasal 37 1. Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemndahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut
kadar
kebenarannya
dianggap
cukup
untuk
mendaftar
pemindahan hak yang bersangkutan. Paragraf 2 Pemindahan Hak Dengan Lelang Pasal 41 1. Peralihan hak melalui pemindahan hak dengan lelang hanya dapat didaftar jika dibuktikan dengan kutipan risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang.
77 2. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerjas sebelum suatu bidang tanah atau satuan rumah susun dilelang baik dalam rangka lelang eksekusi maupun lelang non-eksekusi, Kepala Kantor Lelang wajib meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kepada Kantor Pertanahan mengenai bidang tanah atau satuan rumah susun yang akan dilelang. 3. Kepala Kantor Pertanahan mengeluarkan keterangan sebagaimana dimaksud pada (2) selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah diterimanya permintaan dari Kepala Kantor Lelang. 4. Kepala Kantor Lelang menolak melaksanakan lelang, apabila: a. Mengenai tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun: 1. kepadanya tidak diserahkan sertifikat asli hak yang bersangkutan, kecuali dalam hal lelang eksekusi yang dapat tetap dilaksanakan walaupun sertifikat asli hak tersebut diperoleh oleh Pejabat Lelang dari pemegang haknya; atau 2. sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan: 1. surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan 2. surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau 3. ada perintah Pengadilan Negeri untuk tidak melaksanakan lelang berhubung dengan sengketa mengenai tanah yang bersangkutan. 5. Untuk pendaftaran peralihan hak yang diperoleh melalui lelang disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan: a. kutipan risalah lelang yang bersangkutan; b. 1) sertifikat hak milik atas satuan rumah susun atau hak atas tanah yang dilelang jika bidang tanah yang bersangkutan sudah terdaftar; atau 2) dalam hal sertifikat tersebut tidak diserahkan kepada pembeli lelang eksekusi, surat keterangan dari Kepala Kantor Lelang mengenai alasan tidak diserahkannya sertifikat tersebut; atau 3) jika bidang tanah yang bersangkutan belum terdaftar, suratsurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b Pasal ini; c. bukti identitas pembeli lelang;
78 d. bukti pelunasan harga pembelian. Dari rangkaian pasal-pasal tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: 1. Peralihan Hak Pakai dapat terjadi, karena: a. jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya; b. lelang; Peralihan Hak Pakai yang terjadi atau dilakukan dengan cara jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan Hak Pakai, yang dilakukan dalam bentuk jual-beli, tukar-menukar atau hibah adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum di hadapan PPAT berarti selesai pula tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat
79 dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai Hak Pakai yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut. 2. Agar peralihan Hak Pakai tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat akta yang berisikan peralihan Hak Pakai tesebut harus memastikan kebenaran mengenai Hak Pakai yang akan dialihkan tersebut, dan juga mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan objek hak atas tanah yang dipindahkan, PPAT harus
memeriksa
kebenaran
dari
dokumen-dokumen
yang
berhubungan dengan Hak Pakai yang akan dialihkan tersebut. Dalam hal surat tersebut, termasuk Sertifikat Hak Pakainya tidak dapat diserahkan, atau tidak ada, maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan Hak Pakai yang akan dialihkan tersebut. Sehubungan dengan subjek hukum yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan, maka PPAT harus memeriksa mengenai kewenangan dari pihak yang akan mengalihkan dan yang akan menerima peralihan Hak Pakai tersebut. Jika subjek hukum yang akan menerima pengalihan Hak Pakai tersebut adalah warga negara Indonesia tunggal, dan tanah tersebut diperuntukkan bagi tempat tinggal, maka dalam hal ini perlu diperhatikan ketentuan yang diatur dalam:
80 a. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) jo. Nomor 15 Tahun 1997 dan Nomor 1 Tahun 1998; b. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang telah dibeli oleh pegawai negeri dari pemerintah; c. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal; d. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik. Hak Pakai yang diberikan atas tanah negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila Hak Pakai tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik yang bersangkutan. Hak Pakai atas tanah Negara yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak dapat ditentukan selama digunakan untuk keperluan tertentu tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai yang dipunyai oleh
81 departemen, lembaga pemerintah non-departemen, pemerintah daerah, badanbadan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan inernasional tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak Pakai yang dipunya oleh badan hukum publik disebut Hak Pakai publik, dan ada right to use, yaitu menggunakannya untuk waktu yang tidak terbatas selama pelaksanaan tugas, namun tidak ada right of dispossal, yang dimaksud di sini adalah tidak dapat dialihkan dalam bentuk apapun kepada pihak ketiga dan juga tidak dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. 62 2.2.5 Pembebanan Hak Pakai Dimungkinkannya Hak Pakai dibebani dengan suatu hak jaminan kebendaan dapat kita temui pada rumusan dalam ketentuan Pasal 52 dan Pasal 53 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 yang menyatakan bahwa: Pasal 52 Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama dipergunakan untuk keperluan tertentu. Pasal 53 (1) Hak Pakai Atas Tanah Negara dan atas tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dan dibebani dengan Hak Tanggungan. (2) Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya hak pakai. Selanjutnya, dengan diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996 dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan
62
A.P. Parlindungan, Beberapa Konsep Tentang Hak Atas Tanah, Majalah CSIS, Tahun XX No. 2, Jakarta, Maret-April 1991, (selanjutnya disingkat A.P. Parlindungan II), hal. 135.
82 tidak hanya Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha, melainkan juga: Pasal 4 (1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan. (2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan. (3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas Tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. (5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta autentik. Dari rumusan Pasal 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tersebut diketahui bahwa ternyata Hak Pakai yang terdaftar juga dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, demikian juga bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, baik yang merupakan milik pemegang hak atas tanah (ayat 4), maupun tidak (ayat 5), selama dan sepanjang tindakan tersebut dilakukan oleh pemiliknya dan pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
83 2.2.6 Hapusnya Hak Pakai Ketentuan mengenai hapusnya Hak Pakai dapat ditemukan di dalam rumusan Pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa: Hapusnya Hak Pakai Pasal 55 (1) Hak Pakai hapus karena: a. berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; b. dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena: 1) tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 51 dan Pasal 52; atau 2) tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajibankewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan; atau 3) putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap; c. dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir; d. dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961; e. ditelantarkan; f. tanahnya musnah; g. ketentuan Pasal 40 ayat 2. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Hapusnya Hak Pakai atas tanah negara mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara. Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. Hapusnya
84 Hak Pakai atas tanah Hak Milik mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemilik tanah.63 Dengan hapusnya Hak Pakai tersebut, maka Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menentukan sebagai berikut: Pasal 56 (1) Hapusnya Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 mengakibatkan tanahnya menjadi tanah Negara. (2) Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan. (3) Hapusnya Hak Pakai atas tanah Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 mengakibatkan tanahnya kembali dalam penguasaan pemegang Hak Milik. Pasal 57 (1) Apabila Hak Pakai atas Tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Pakai wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang di atasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Pakai. (2) Dalam hal bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih diperlukan, kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi. (3) Pembongkaran bangunan dan benda-benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Pakai. (4) Jika bekas pemegang Hak Pakai lalai dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka bangunan dan bendabenda yang ada di atasnya dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Pakai. Pasal 58 Apabila Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan atau atas tanah Hak Milik hapus sebagaimana dimaksud pada Pasal 56, bekas pemegang Hak Pakai wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik dalam memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
63Urip
Santoso, op cit, hal. 129.
85 a. Hapusnya Hak Pakai karena berakhirnya Jangka Waktu Pemberiannya Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 49 Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 merumuskan bahwa: Pasal 45 (1) Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun atau diberikan untuk jangka waktu tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. (2) Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama. (3) Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan kepada: a. Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah; b. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional; c. Badan keagamaan dan badan sosial. Pasal 46 (1) Hak Pakai Atas Tanah Negara dapat diperpanjang atau diperbaharui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 atas permohonan pemegang hak, jika memenuhi syarat: a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. (2) Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui atas usul pemegang Hak Pengelolaan. Pasal 47 (1) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai atau pembaharuan diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai tersebut. (2) Perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicatat dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. (3) Ketentuan mengenai tata cara permohonan perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai dan persyaratannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
86 Pasal 49 (1) Hak Pakai atas tanah Hak Milik diberikan untuk jangka waktu paling lama dua puluh lima tahun dan tidak dapat diperpanjang. (2) Atas kesepakatan antara pemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan. Dari rumusan tersebut diatas dapat diketahui bahwa pemberian Hak Pakai, baik atas Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan, maupun Tanah Hak Milik, adalah hak atau tanah yang senantiasa dibatasi dengan waktu tertentu. Dengan berakhirnya masa atau jangka waktu pemberian Hak Pakai tersebut, maka Hak Pakai itu pun hapus demi hukum, meskipun setelah itu dapat diperbaharui kembali. b. Hapusnya Hak Pakai Karena Tidak Terpenuhinya Syarat Pemegangnya Salah satu syarat pokok pemberian Hak Pakai adalah bahwa subjek hukum yang dapat menjadi pemegangnya adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa: Pasal 39 Yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah: a. Warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan Pemerintah Daerah; d. Badan-badan keagamaan dan sosial; e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; f. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; g. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional. Dalam hal ternyata pemegang haknya menjadi tidak berhak lagi, maka rumusan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menentukan sebagai berikut:
87 Pasal 40 (1) Pemegang Hak Pakai yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dalam waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu pada pihak lain yang memenuhi syarat. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap diperhatikan. Dengan demikian jelaslah bahwa dengan tidak dipenuhinya lagi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 jo. Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, maka Hak Pakai hapus demi hukum. c. Hapusnya Hak Pakai Karena Pencabutan Hak Alasan selanjutnya yang berhubungan dengan hapusnya Hak Pakai adalah karena terjadinya pencabutan hak. Hapusnya Hak Pakai karena pencabutan hak ini mendapatkan dasarnya pada ketentuan Pasal 18 UndangUndang Pokok Agraria, yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 18 Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, ketentuan mengenai pencabutan hak untuk kepentingan umum ini dapat dilaksanakan jika telah dibuat berdasarkan pada suatu rencana peruntukan hak atas tanah yang telah ditetapkan sebelumnya, dan bagi pihak yang haknya dicabut telah disediakan penampungan bagi mereka tersebut.64
64Hutagalung,
A.S II, op.cit, hal. 145.
88 d. Hapusnya Hak Pakai Karena Penyerahan Sukarela Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Boedi Harsono menghubungkan ketentuan mengenai antara hapusnya Hak Milik karena penyerahan sukarela ini dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dari uraian dan penjelasan sebelumnya dapat diketahui bahwa ”penyerahan hak atas tanah tersebut semata-mata dibuat untuk kepentingan Negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah.”65 Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 3 hingga Pasal 5 dari Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum tersebut dinyatakan lebih lanjut: Pasal 3 Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. Pasal 4 (1) Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila penetapan rencana pembangunan untuk kepentingan umum tersebut sesuai dengan dan berdasar pada Rencana Umum Tata Ruang yang telah ditetapkan terlebih dahulu. (2) Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Umum Tata Ruang, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan perencanaan tata ruang wilayah atau kota yang telah ada. Pasal 5 Pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan Keputusan Presiden ini dibatasi untuk: 1.Kegiatan pembangunan yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari keuntungan, dalam bidang-bidang antara lain sebagai berikut: a. Jalan umum, saluran pembuangan air; 65Boedi
Harsono III, op.cit, hal. 27.
89 b. Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; c. Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; d. Pelabuhan atau bandar udara atau terminal; e. Peribadatan; f. Pendidikan dan sekolahan; g. Pasar Umum atau Pasar INPRES; h. Fasilitas pemakaman umum; i. Fasilitas keselamatan umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana; j. Pos dan telekomunikasi; k. Sarana olahraga; l. Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; m. Kantor pemerintah; n. Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; 2.Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam angka 1 yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa agar Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dapat dilaksanakan dengan baik sehingga hapusnya suatu hak atas tanah termasuk Hak Pakai melalui penyerahan sukarela dapat terlaksana tanpa terjadi penyelundupan hukum, maka ketiga pasal tersebut di atas merupakan rambu-rambu yang harus dapat dilaksanakan dengan baik. e. Hapusnya Hak Pakai Karena Ditelantarkan Pengaturan mengenai tanah yang telantar dapat ditemukan dalam Peraturan
Pemerintah
No.
36
Tahun
1998
tentang
Penertiban
dan
Pendayagunaan Tanah Telantar. Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tersebut mengatur mengenai kriteria tanah Hak Pakai yang telantar, yang berbunyi sebagai berikut. Pasal 3 Tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dapat dinyatakan sebagai tanah telantar apabila tanah tersebut dengan
90 sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Pasal 4 Tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku pada waktu permulaan penggunaan atau pembangunan fisik di atas tanah tersebut. Pasal 6 (1) Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksudkan untuk dipecah menjadi beberapa bidang tanah dalam rangka penggunaannya tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, apabila tanah tersebut tidak dipecah dalam rangka pengembangannya sesuai dengan rencana kerja yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang. (2) Jika hanya sebagian dari bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria telantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan telantar. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya, serupa dengan pengertian tanah telantar bagi Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan atas tanah yang telantar, tanah dengan Hak Pakai yang telantar adalah tanah yang: (1) tidak dimanfaatkan dan atau dipelihara dengan baik; (2) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat, atau tujuan dari pemberian haknya tersebut; dengan sanksi berupa tindakan: a. penguasaan secara langsung oleh negara atas bidang tanah yang sudah dinyatakan sebagai telantar tersebut;
91 b. kepada bekas pemegang haknya atau pihak yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan sebagai tanah telantar tersebut diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh hak atau dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh menteri; 1) Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut telah mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau bangunan di atas tanah yang dinyatakan telantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi. 2) Dalam hal tanah yang telantar tersebut hendak dipergunakan oleh pihak ketiga, maka ganti rugi tersebut akan dibebankan pada pihak yang oleh menteri ditetapkan sebagai pemegang hak yang baru atas tanah tersebut. Seperti telah pula dijelaskan sebelumnya ketentuan Pasal 15 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar, yang menyatakan bahwa ”Dalam hal tanah yang telantar tersebut hendak dipergunakan oleh pihak ketiga, maka ganti rugi tersebut akan dibebankan pada pihak yang oleh menteri ditetapkan sebagai pemegang hak yang baru atas tanah tersebut” memungkinkan terjadinya penyelundupan hukum. Dengan alasan suatu bidang tanah telah ditelantarkan, pihak-pihak tertentu yang
92 berkepentingan
dimungkinkan
untuk
memperoleh
bidang
tanah
yang
dikehendakinya tersebut dengan harga yang murah. f. Hapusnya Hak Pakai Karena Kemusnahan Tanahnya Soedjarwo Soeromihardjo dalam Mengkritisi Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa: Mengenai hapusnya Hak Pakai atas tanah yang disebabkan oleh kemusnahan tanahnya yaitu dikatakanbahwa sebagaimana juga hak-hak atas tanah lainnya, yang eksistensinya bergantung pada keberadaan tanah terhadap mana hak tersebut diberikan, maka dengan musnahnya bidang tanah yang menjadi dasar pemberian Hak Pakai tersebut, maka demi hukum hapuslah pula Hak Pakai tersebut.66 g. Hapusnya Hak Pakai Karena Pemegang Haknya Tidak Memenuhi Kewajibannya Seperti telah dijelaskan di atas sebelumnya, pemegang Hak Pakai memiliki beberapa kewajiban yang ditentukan dalam Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 53 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, sebagai berikut: Pasal 50 Pemegang Hak Pakai berkewajiban: a. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; b. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik; c. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; d. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus; e. menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. 66Soedjarwo
Soeromihardjo, op.cit, hal. 198.
93
Pasal 51 Jika tanah Hak Pakai karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebabsebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, pemegang Hak Pakai wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu. Pasal 52 Pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk memindahkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu. Jika pemegang Hak Pakai tersebut tidak memenuhi salah satu atau lebih kewajiban tersebut di atas, maka pemberian Hak Pakai tersebut dapat dibatalkan, yang berakibat hapusnya Hak Pakai tersebut. Jika kemudian lahir sengketa sehubungan dengan pembatalan tersebut, maka penyelesaiannya
harus
diserahkan kepada Peradilan Tata Usaha Negara. h. Hapusnya Hak Pakai Karena Pemegang Haknya Tidak Memenuhi Kewajibannya Berdasarkan Perjanjian Pemberian Haknya Mengenai Hak Pakai yang diberikan atas bidang tanah dengan status Hak Pakai, ketentuan Pasal 44 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menentukan bahwa: Pasal 44 (1) Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian tanah oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Seperti telah dijelaskan pada uraian bab sebelumnya mengenai pembahasan serupa pada tanah dengan Hak Guna Bangunan, yaitu bahwa pada dasarnya lahirnya Hak Pakai tersebut bergantung pada ada tidaknya perjanjian yang dibuat antara pemegang Hak Milik atas tanah dengan calon pemegang Hak
94 Pakai tersebut. Pemberian Hak Pakai melalui perjanjian tersebut, senantiasa diikat dengan pemenuhan perikatan, yang dapat terwujud dalam bentuk syarat precedent, syarat concurent, maupun syarat subsequent, Syarat-syarat ini, yang jika dikaitkan dengan dengan perikatan bersyarat, dapat mengambil bentuk perikatan dengan syarat tangguh maupun perikatan dengan syarat batal. Bergantung pada jenis perikatannya, yang bersyarat tangguh atau bersyarat batal, maka tidak dipenuhinya syarat-syarat precedent, concurent, maupun subsequent tersebut dapat mengakhiri perjanjian (pemberian Hak Pakai) dalam hal perikatan tersebut bersyarat tangguh, atau membatalkan perjanjian (pemberian Hak Pakai) dalam hal perikatan tersebut bersyarat batal.67 Terhadap perikatan bersyarat batal, ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan sebagai berikut: Pasal 1266 Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk, menurut keadaaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannnya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan. Pasal 1267 Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih, apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya, kerugian dan bunga. 67
A.P. Parlindungan, 1993, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat A.P. Parlindungan III), hal. 181.
95
Dengan demikian jelaslah bahwa hal-hal yang berhubungan dengan pembatalan perjanjian, termasuk perjanjian pemberian Hak Pakai di atas bidang tanah dengan Hak Milik, harus dan hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. Selanjutnya dalam hal pengakhiran perjanjian, karena terpenuhinya syarat tangguh, yang terwujud sebagai syarat-syarat precedent, concurrent, maupun subsequent, dalam hal terjadi sengketa maka tidak menutup kemungkinan bahwa berlanjut tidaknya pemberian Hak Pakai di atas bidang tanah dengan Hak Milik tersebut harus diputuskan oleh pengadilan. Dalam hal ini penulis katakan ”tidak menutup kemungkinan” oleh karena secara teoretis, pada prinsipnya pengakhiran perjanjian (berbeda dari pembatalan perjanjian) tidak memerlukan putusan pengadilan. i. Hapusnya Hak Pakai Karena Putusan Pengadilan Seperti halnya Hak Guna Bangunan, sebagaimana juga telah dijelaskan di atas, Putusan Pengadilan yang berkekuatan tetap juga dapat menjadi salah satu penyebab hapusnya Hak Pakai, dan yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap ini adalah putusan pengadilan yang: 1. membatalkan pemberian hak atas tanah, atau dalam hal ini pemberian Hak Pakai. Putusan Pengadilan ini, sejalan dengan sifatnya yang membatalkan pemberian hak atas tanah negara, maka putusan ini haruslah merupakan putusan terhadap sengketa tata usaha negara, yang dimajukan oleh seseorang yang berhak atas bidang tanah tersebut terhadap pejabat tata usaha negara
96 (dalam hal ini pejabat dalam lingkungan Badan Pertanahan Nasional) yang telah memberikan Hak Pakai atas bidang tanah yang dipersengketakan tersebut; 2. mengakhiri maupun membatalkan perjanjian pemberian Hak Pakai. Putusan ini merupakan putusan dalam lingkup peradilan umum, yang merupakan sengketa antara pemegang Hak Milik atas tanah dengan pihak pemegang Hak Pakai yang diberikan di atas bidang tanah Hak Milik tersebut. 2.3 Tinjauan Umum Tentang Pengertian Orang Asing atau WNA di Indonesia Pengaturan tentang pengertian orang asing (WNA) itu dapat ditemukan dalam Pasal 7 Undang-Undang No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa ”Setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing.” Dari ketentuan tersebut jelas bahwa setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia diperlakukan sebagai orang asing di Indonesia, yang berarti segala hak dan kewajibannya dibatasi, termasuk hak dan kewajibannya dalam menguasai tanah di Indonesia. Hal tersebut juga berlaku bagi WNI yang telah kehilangan kewarganegaraannya, sehingga digolongkan sebagai orang asing. Dari segi kehadirannya di Indonesia, orang asing (WNA) itu sendiri dapat dibagi kedalam 2 golongan yaitu: (1) orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia secara menetap (penduduk Indonesia dengan Izin Tinggal Tetap), dan (2) orang asing yang tidak tinggal di Indonesia secara menetap melainkan hanya sewaktu-waktu berada di Indonesia (izin kunjungan atau izin keimigrasian
97 lainnya berbentuk tanda diterakan pada paspor atau dokumen keimigrasian lainnya).68 Lebih lanjut tentang kewarganegaraan ini juga diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa: Pasal 26 ayat (1) 1. yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai warga negara. 2. penduduk ialah Warga Negara Indonesia dan orang-orang yang bertempat tinggal di Indonesia. 3. hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan Undangundang. Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa yang dapat disebut Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang-orang baik bangsa Indonesia asli maupun bangsa lain yang telah disahkan menjadi warga negara dengan Undang-undang. Hal ini bersifat fundamental karena berkaitan dengan hak bangsa Indonesia atas tanah yang merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi juga kepada semua tanah yang ada dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi, dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. Menurut Boedi Harsono, pernyataan tanah yang dikuasai oleh bangsa Indonesia sebagai tanah bersama tersebut menunjukkan adanya hubungan hukum di bidang Hukum Perdata. Biarpun hubungan hukum tersebut hubungan perdata bukan berarti bahwa hak bangsa Indonesia adalah hak pemilikan pribadi yang tidak memungkinkan adanya hak milik individual. Hak bangsa Indonesia
68Siti
Zumrokhatun dan Darda Syahrizal, 2014, Undang-Undang Agraria dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta, hal. 143.
98 dalam Hukum Tanah Nasional adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama dengan Hak Milik oleh warga negara secara individual.69
69Boedi
Harsono, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya Dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, Jakarta, Maret 2002, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono III), hal. 43.
BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN KETENTUAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH DI KABUPATEN BADUNG
3.1 Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Hak Pakai Atas Tanah di Kabupaten Badung Bagi WNA Untuk memperoleh Hak Pakai atas tanah di Indonesia, khususnya di Kabupaten Badung, bagi WNA yang memohonnya harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada Bapak I Ketut Surya Wirawan, SH., MH selaku Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung yaitu menurut pada pasal di dalam UUPA yang menentukan bahwa orang asing yang dapat memiliki tanah dengan Hak Pakai di Indonesia adalah orang asing yang berkedudukan di Indonesia (Pasal 42 b dan Pasal 45 b UUPA). Seperti yang telah diuraikan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 yang memberikan pengertian ”berkedudukan di Indonesia” sebagai ”kehadirannya memberi manfaat bagi pembangunan nasional.” Definisi dari frasa ini kiranya terlampau luas dan untuk ketegasannya diperlukan kriteria yang lebih jelas tentang ”keberadaan” dan juga ”memberi manfaat” tersebut
99
100 yang tentunya harus meliputi dipenuhinya syarat-syarat keimigrasian disamping syarat-syarat penentu utama tersebut.70 Istilah berkedudukan dalam hal ini artinya sangatlah luas, karena tidak dapat dijumlah penjelasan yang baku tentang istilah tersebut, istilah berkedudukan bila dapat dipersamakan dengan bertempat tinggal, maka dapatlah ditemukan peraturan-peraturan yang mengatur hal tersebut, yaitu UndangUndang Darurat Nomor 9 Tahun 1995 tentang Kependudukan Orang Asing, dimana berdasarkan undang-undang tersebut orang asing yang diperbolehkan tinggal di Indonesia dibagi menjadi dua golongan, yaitu: (1) mereka yang mendapat ijin masuk dengan memperoleh hak untuk tinggal di Indonesia untuk jangka waktu tertentu, dan (2) mereka yang diperbolehkan untuk tinggal di Indonesia dan dipandang sebagai penduduk dengan dasar menetap. Syarat lainnya adalah sesuai dengan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, yaitu bahwa rumah yang boleh dimiliki adalah rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas sebidang tanah Hak Pakai di atas tanah Negara atau yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanahnya, atau satuan rumah susun yang berdiri di atas tanah Hak Pakai atau tanah Negara. Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1996 yang mensyaratkan bahwa rumah tersebut tidak termasuk klasifikasi Rumah Sederhana atau Rumah Sangat Sederhana. Selain itu, satu syarat yang cukup 70Maria
S.W. Sumardjono, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Kompas, Jakarta, (selanjutnya disingkat Maria S.W. Sumardjono II), hal. 39.
101 penting adalah bahwa kehadiran WNA tersebut di Indonesia haruslah memberi manfaat bagi pembangunan nasional yaitu dengan cara berinvestasi memiliki rumah, yang maksudnya ”WNA yang kehadirannya di Indonesia memberi manfaat bagi pembangunan nasional adalah orang asing yang memiliki dan memelihara kepentingan ekonomi di Indonesia dengan melaksanakan investasi untuk memilik rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia.”71 Dari uraian diatas, jelaslah bahwa dalam investasi atau penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing, hak milik atas tanah tidak harus dilepaskan oleh pemiliknya, melainkan cukup dengan pemberian Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan. Padahal kenyataannya pemilik modal atau pengusaha hampir selalu mengusahan pelepasan hak atas tanah dari pemilikannya pemilik tanpa alasan hukum yang pasti mengapa harus demikian.72 3.2 Mekanisme Pemberian Hak Pakai Atas Tanah di Kabupaten Badung Bagi WNA Tata cara pemberian Hak Pakai atas tanah sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan yang menyatakan bahwa permohonan untuk Hak Pakai atas tanah diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi dari letak tanah yang bersangkutan. 71Maria
S.W. Sumardjono II, op.cit, hal. 11. S.W. Sumardjono dan Marin Samosir, 2000, Hukum Pertanahan Dalam Berbagai Aspek, Bina Media, Medan, (selanjutnya disingkat Maria S.W. Sumardjono III), hal. 49-50. 72Maria
102 Mekanisme pemberian hak pakai atas tanah bagi WNA di Kabupaten Badung berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, melalui 5 tahapan prosedural, yaitu: 1. Tahapan pertama: pemohon terlebih dahulu mendaftarkan dirinya di loket Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung dengan mengisi blangko pendaftaran yang telah disediakan. 2. Tahapan kedua: permohonan terhadap tanah yang dimohon haruslah mempunyai surat keterangan dari kelurahan setempat dimana lokasi tanah tersebut berada. Permohonan itu sendiri terdiri dari dua bagian, yaitu permohonan hak dan permohonan pengukuran tanah. Format permohonan hak tersebut berisi jenis permohonan dan ditujukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional di Jakarta, dan memuat (1) mengenai identitas diri pemohon, yang berisi nama dan umur, kewarganegaraan, pekerjaan, tempat tinggal, susunan keluarga, Paspor, Visa, Kartu Ijin Tinggal Tetap dan Ijin Kerja Tenaga Asing (IKTA) yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. (2) mengenai tanah yang dimohon, berisi letaknya, luasnya, batas-batas, status tanah (hak yang melekat di atas tanah tersebut), jenis dan keadaan tanah, dasar penguasaan, rencana penggunaannya. (3) mengenai tanah lain yang dipunyai si pemohon (dengan menyebut status tanah, luas dan letaknya dengan menunjuk Kabupaten/Kota saja). (4) mengenai surat-surat yang dilampirkan, berupa fotokopi akta atau peraturan pendirian badan hukum dan pengesahannya, sertifikat tanah, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan atau rumah
103 yang telah dibeli dari pemerintah, Salinan Akta Pelepasan Hak dari PPAT (jika dimohonkan di atas tanah pribadi), Asli sertipikat hak milik yang dilepaskan haknya, putusan pengadilan, surat-surat bukti perolehan lainnya, salinan surat ukur dan gambar situasi, IMB, fotokopi surat rekomendasi dari departemen luar negeri, surat rencana penguasaan tanah jangka pendek dan jangka panjang, surat penunjukan atau penyerahan tanah dari pemerintah, surat pelepasan kawasan hutan dari instansi, surat pernyataan penguasaan tanah (untuk instansi), surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah yang dimiliki, dan surat-surat lain. Lalu format untuk mengajukan permohonan pengukuran berisi perihal surat yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat, dan memuat mengenai identitas pemohon, jenis permohonan, menyebutkan lokasi tanah yang dimohon dan lampiran-lampiran yang menjadi persyaratan dalam mengajukan permohonan pengukuran. Adapun surat keterangan yang dimaksud adalah surat yang dibuat oleh Lurah/Kepala Desa setempat dimana lokasi tanah tersebut berada. Surat keterangan berisi tentang identitas pihak yang bersangkutan, mengenai tanah yang dimohonkan, dan riwayat dari penguasaan tanah. Surat keterangan Kelurahan menjelaskan tentang riwayat tanah tersebut atau asal-usul tanah yang akan didaftarkan. Adapun isi dari Surat Keterangan harus sejalan dengan Surat Pernyataan yang dibuat oleh pemohon. Surat Pernyataan Pemohon merupakan surat pernyataan yang dibuat oleh pemohon dengan sebenarnya untuk menjamin sepenuhnya kebenaran materiil permohonan hak dan surat-surat yang dilampirkan dan
104 sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari si pemohon, apabila nanti di kemudian hari ternyata permohonan tersebut tidak benar maka si pemohon siap menerima segala tuntutan yang timbul baik dalam bentuk pidana maupun perdata. Isi surat permohonan tersebut yaitu, tentang identitas pihak pemohon, luas tanah, lokasi tanah yang dimohon, dan isi pernyataan dari pemohon. 3. Tahapan ketiga: setelah berkas permohonan diajukan, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung lalu memerintahkan Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah (Kasi PPT) untuk menentukan jadwal dan melakukan pengukuruan atas tanah tersebut. Pengukuran dilakukan oleh petugas ukur dari Kantor Pertanahan, bersama-sama dengan pemohon ke lokasi tanah dan juga disaksikan oleh orang-orang yang bersebelahan dengan lokasi tanah tersebut (Penyanding) beserta Kepala Desa di lokasi tanah tersebut berada. Adapun Surat Ukur yang dibuat oleh petugas ukur dari Badan Pertanahan Nasional harus ditandatangani oleh tetangga yang bersebelahan dengan lokasi tanah tersebut (Penyanding) dan juga oleh Kelurahan setempat. 4. Tahapan keempat: setelah proses pengukuran selesai Kasi PPT lalu menerbitkan Surat Ukur yang salinan beserta berkas permohonannya lalu diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang kemudian akan mengadakan Konstatering Report atas tanah tersebut, yaitu mengecek keberadaan tanah yang dimohon ke lokasi tanah. 5. Tahapan kelima: jika tanah yang dimohonkan masih memiliki hak alas maka terlebih dahulu harus dibuatkan pelepasan hak oleh Badan Pertanahan
105 Nasional setempat (jika asalnya tanah negara) atau akta pelepasan hak oleh PPAT (jika asalnya tanah milik pribadi) setelah itu lalu di buatkan penetapan lokasi. Setelah pengecekan selesai, Kepala Kantor Pertanahan kemudian mengeluarkan Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Report) yang berisikan data dan riwayat tentang pemohon, dan keperluan pemohon dalam permohonan hak, riwayat tanah dan kesimpulan. Dalam kesimpulan akan ditentukan apakah permohonan tersebut dapat dikabulkan atau tidak. Setelah permohonan pengajuan Hak Pakai dikabulkan maka selanjutnya untuk pembuatan Surat Keputusan Tentang Pemberian Hak Pakai yang dibuat oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung di bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (HTPT), dan sebelum ditandatangani, terlebih dahulu pemohon diharuskan membayar BPHTB sebesar 5% dari nilai ganti rugi di Bank Persepsi atau kantor Pos dan Giro lalu disahkan di Kantor PBB. Setelah bukti pelunasan BPHTB diserahkan oleh pemohon barulah Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung jika masih merupakan kewenangan Kabupaten atau ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah jika termasuk dalam kewenangan Kantor Wilayah (KANWIL). Adapun ketentuan dari kewenangan di Kantor Badan Pertanahan Nasional dalam Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai tersebut, yaitu: a.
Untuk tanah lokasi perumahan: 1. Lokasi < 2000m2 menjadi kewenangan Kabupaten. 2. Lokasi > 2000m2 menjadi kewenangan Kantor Wilayah.
106 b.
Untuk tanah lokasi pertanian:
1. Lokasi < 2Ha menjadi kewenangan Kabupaten. 2. Lokasi > 2Ha menjadi kewenangan Kanwil. Adapun surat-surat yang dibutuhkan untuk pembuatan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai, yaitu: 1. Surat Keterangan untuk kewenangan Kabupaten: a. Risalah panitia; b. Ikhtisar tentang permohonan; c. Kelengkapan permohonan. 2. Surat Keterangan untuk kewenangan Kantor Wilayah: a. Risalah panitia; b. Ikhitisar tentang permohonan; c. Daftar pengantar; d. Kelengkapan permohonan. Setelah Surat Keputusan keluar, maka dibuatlah Sertifikat Hak Pakai oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung dengan didasari oleh Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai tersebut. Penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan faktor-faktor tersebut menjadi tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum yang mempunyai arti yang netral, yang pada akhirnya memberi dampak positif atau negatif terletak pada isi dari faktor-faktor tersebut. Dengan memakai ukuran dari Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas penegakan
107 peraturan pemberian hak pakai atas tanah bagi orang asing di Kabupaten Badung adalah: a. Faktor aparat atau petugas hukumnya, yakni disini para jajaran pegawai di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung dan para Notaris/PPAT di Kabupaten Badung. b. Faktor sarana atau fasilitas, yang mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil (SDM), organisasi sistem pelayanan yang baik, dan juga peralatan yang memadai. c. Faktor masyarakat, dimana disini terindikasi masyarakat yang akan melakukan proses peralihan hak atas tanah kepada orang asing (WNI) terkesan tidak perduli pada peraturan-peraturan yang ada.
BAB IV FUNGSI DAN PERAN NOTARIS/PPAT DALAM MENDUKUNG EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK PAKAI UNTUK ORANG ASING
4.1 Peran Notaris/PPAT Dalam Proses Pemberian Hak Pakai Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum.
73
Dengan demikian Notaris berperan
melaksanakan sebagian dari tugas Negara dalam bidang hukum keperdataan, dan Notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dan akta tersebut merupakan formulasi keinginan atau kehendak (wilsvorming) dari para pihak yang dituangkan dalam sebuah akta otentik yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Istilah pejabat umum itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah Openbare Ambtenaren yang tedapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW). Dimana Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa:74 De notarissen zijn openbare ambtenaren, uitsluitend bevoegd, om authentieke akten op te maken wegends alle handeliggen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening gebiedt of de belanghebbenden verlangen, dat bij authentiek geschrift bkijken zal, daarvan de dagteekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en 73
Habib Adjie, 2014, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie I), hal. 15. 74 G.H.S. Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 31.
108
109 daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te geven; alles voorzoover het opmaken dier akten door eene algemeene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorhebehouden is. Kutipan diatas dapat diartikan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang satusatunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Sementara dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW) menyebutkan bahwa ”Eene authentieke acte is de zoodanige welke in de wettelijken vorn is verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe bevoegd zijn ter plaatse alwaar zulks is geschied.” Kutipan tersebut dapat diartikan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Dengan demikian jelaslah peran Notaris/PPAT yaitu sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik untuk membantu dan melayani masyarakat yang kewenangannya itu sendiri diberikan oleh undangundang. Selain itu Notaris juga diharapkan mampu menyimpan atau merahasiakan segala keterangan atau ucapan yang diberikan dihadapannya sehubungan dengan pembuatan akta, menjaga kerahasiaan itu merupakan salah
110 satu bentuk kewajiban Notaris sebagaimana ditetapkan oleh Undang-Undang Jabatan Notaris.75 Maka peran daripada Notaris/PPAT dalam proses pemberian Hak Pakai yaitu memberi penyuluhan dan bantuan hukum kepada masyarakat baik WNI maupun WNA yang akan melakukan proses peralihan hak, dalam hal ini untuk proses pemberian Hak Pakai, bagi WNI tidak dapat serta merta langsung mengalihkan hak atas tanahnya kepada WNA, melainkan haruslah terlebih dahulu membuat Akta Pelepasan Hak di Notaris/PPAT sebelum dimohonkan untuk hak pakainya oleh WNA di Kantor Pertanahan dimana lokasi tanah tersebut berada. Menurut Arie. S. Hutagalung, pelepasan hak atas tanah dilaksanakan apabila subyek yang memerlukan tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan sehingga tidak dapat diperoleh dengan jual beli dan pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya.76 Sementara menurut ketentuan pada Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang merupakan pengganti daripada Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yaitu ”Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan 75 Santia
Dewi dan R.M. Fauwas Diradja, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 10. 76Hutagalung. A.S, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: LPHI, 2005), (selanjutnya disebut Hutagalung A.S II), hal. 152.
111 ganti rugi atas dasar musyawarah.” Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengertian dari pelepasan hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang berupa melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dan tanahnya melalui musyawarah untuk mencapai kata sepakat dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya, hingga tanah yang bersangkutan statusnya menjadi tanah Negara. Selain itu, acara pelepasan hak atas tanah tidak dapat dilakukan oleh Pengadilan Negeri, melainkan harus dilakukan dengan akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh pemegang haknya secara notariil yang dibuat dalam bentuk suatu akta otentik oleh Notaris/PPAT. 4.2 Fungsi Notaris/PPAT Dalam Proses Pemberian Hak Pakai Dalam Asas-asas Pemerintahan yang baik (AUPB) dikenal asas-asas sebagai berikut:77 a. b. c. d. e. f. g.
Asas persamaan; Asas kepercayaan; Asas kepastian hukum; Asas kecermatan; Asas pemberian alasan; Larangan penyalahgunaan wewenang; Larangan bertindak sewenang-wenang.
Untuk kepentingan pelaksanaan tugas jabatan Notaris menurut Habib Adjie, ditambah dengan Asas Proporsionalitas dan Asas Profesionalitas. Asas-asas tersebut dapat diadopsi sebagai asas-asas yang harus dijadikan pedoman dalam
77 Philipus
M. Hadjon, 1992, Pemerintah Menurut Hukum, Yuridika, Cetakan I, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 270.
112 menjalankan tugas jabatan Notaris, sebagai asas-asas pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang baik.78 Berikut akan diuraikan tentang fungsi Notaris/PPAT dalam proses pemberian Hak Pakai atas tanah bagi WNA berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. Berawal dari adanya keinginan dari seorang WNA untuk memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal di Bali sehubungan dengan tugasnya sebagai seorang karyawan sebuah kantor cabang perusahaan swasta internasional yang beralamat di Kabupaten Badung dan mengharuskannya tinggal di Bali. Kemudian WNA tersebut mendapatkan sebuah rumah yang merupakan milik seorang WNI yang juga ternyata bermaksud menjual rumah beserta tanahnya tersebut, berhubung telah terjadi persesuaian kehendak dimana WNI tersebut bermaksud menjual rumah beserta tanahnya sedangkan WNA tersebut juga bermaksud untuk memiliki sebuah rumah, maka terjadilah kesepakatan di antara mereka untuk melakukan jual-beli atas rumah dan tanah tersebut. Sehubungan telah terjadinya kesepakatan tersebut, lalu mereka datang ke kantor Notaris/PPAT untuk membuat akta jual beli, disana Notaris menjelaskan bahwa tanah tersebut tidak dapat langsung untuk dibuatkan akta jual beli, karena pembelinya adalah seorang WNA, akan tetapi harus melalui proses dengan beberapa metode terlebih dahulu, yaitu dapat dilakukan dengan cara penurunan hak berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 1997 atau dapat juga melalui pelepasan 78
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie II), hal. 75.
113 hak yang diikuti selanjutnya dengan permohonan hak atas tanah beserta bangunan tersebut.79 Jika dilakukan dengan melalui proses penurunan hak, maka terlebih dahulu harus dimohonkan penurunan hak oleh WNI yang memiliki tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, dan setelah terbit sertifikat Hak Pakai atas nama WNI baru kemudian dapat dibuatkan akta jual beli dari WNI kepada WNA tersebut, sedangkan bila dilakukan melalui metode pelepasan hak yang diikuti dengan permohonan hak, maka terlebih dahulu WNI tersebut harus melepaskan haknya dengan membuat akta pelepasan hak di Notaris/PPAT barulah kemudian WNA tersebut mengajukan permohonan hak atas tanah yang dilepaskannya tersebut kepada Negara melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Dengan penjelasan seperti itu yang diberikan oleh Notaris, baik WNI maupun WNA tersebut akhirnya sepakat untuk melakukan peralihan hak melalui metode kedua yaitu pelepasan hak milik atas tanah milik WNI yang diikuti dengan permohonan hak pakai atas tanah oleh WNA. Menurut Boedi Harsono dalam bukunya yang berjudul Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, disebutkan bahwa mekanisme yang harus dilakukan dalam peralihan Hak Pakai atas tanah dari WNI kepada WNA melalui metode pelepasan hak yang diikuti permohonan hak ini merupakan cara dan mekanisme dengan melakukan dua perbuatan hukum, perbuatan hukum yang pertama yaitu pelepasan hak atas tanah dan perbuatan hukum yang kedua merupakan permohonan hak atas tanah, perbuatan hukum yang pertama 79Sudikno
Mertokusumo, 2011, Perundang-Undangan Agraria Indonesia, Edisi Ketiga cet. 1, Liberty, Yogyakarta, hal. 79.
114 dilakukan oleh WNI sebagai pemilik hak atas tanah, dan perbuatan hukum yang kedua dilakukan oleh WNA. 80 Untuk perbuatan hukum pelepasan hak yang dilakukan oleh WNI dengan pembuatan akta pelepasan hak tersebut harus dibuat di hadapan Notaris/PPAT dan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan Ibu Ulce Irithrina Sudjateruna, SH, Notaris/PPAT yang berkedudukan di Kabupaten Badung, berikut adalah syarat-syarat bagi WNI yang akan melepaskan haknya, yaitu: 1. Asli sertipikat hak milik atas tanah yang akan dilepaskan; 2. Asli SPPT/PBB tahun terakhir; 3. KTP Suami-Istri, Kartu Keluarga, dan Akta Perkawinan. Sementara itu bagi WNA yang akan memohon hak, berikut adalah syarat-syarat yang harus dipenuhinya, yaitu: 1. Paspor; 2. Surat Ijin Tinggal; 3. Surat Ijin Kerja. Sebelum Akta Pelepasan Hak dibuat, Notaris/PPAT terlebih dahulu melakukan pemeriksaan atas sertipikat hak milik atas tanah yang akan dilepaskan haknya tersebut pada Kantor Pertanahan Kabupaten Badung (Pasal 97 ayat (1) PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997). Berdasarkan permohonan tersebut Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk olehnya membubuhkan keterangan bahwa ”telah diperiksa dan sesuai dengan daftar di kantor
80
Boedi Harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Trisakti, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono IV), hal. 127.
115 pertanahan” yang diparaf oleh Kepala Sub Seksi Pendaftaran Hak dan Informasi (Pasal 97 ayat (3) PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997). Setelah itu, Notaris meminta WNI sebagai pihak yang akan melepaskan haknya membayar Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan atau Bangunan (P.Ph) hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) huruf a PP. 48 Tahun 1994 dan juga WNA selaku pihak yang akan menerima Pelepasan Hak membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat 1 jo. Pasal 2 ayat (2) huruf b.1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Bahwa P.Ph yang harus dibayar oleh pihak yang melepaskan hak yaitu pihak WNI sebesar 5% dari nilai yang lebih besar antara Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diterbitkan oleh Kantor Pajak dengan nilai yang tercantum dalam Akta Pengalihan Hak/Pelepasan Hak (Pasal 4 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1994), dalam hal ini 5% dihitung dari besarnya nilai tanah dan bangunan yang terdapat dalam akta pelepasan hak (nilai ganti kerugian), karena nilai ganti kerugian lebih besar dari NJOP, yaitu sebesar Rp. 250.000.000,sedangkan NJOP atas tanah tersebut besarnya hanya Rp. 25.920.000,- sehingga WNI sebagai pihak yang melepaskan hak harus membayar kepada Negara melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro (Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1994) sebesar Rp. 12. 500. 000,-. Sedangkan pihak WNA yang akan melakukan permohonan hak harus membayar BPHTB sebesar 5% dari besarnya ganti rugi setelah dikurangi Bea
116 Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Tidak Kena Pajak (BPHTBTKP) yang pada saai itu besarannya Rp. 30.000.000,- (Pasal 6 ayat (2h) jo. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997), sehingga WNA harus membayar kepada Negara melalui bank persepsi atau kantor pos dan giro (Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997) sebesar Rp. 11.000.000,-. Setelah semua syarat-syarat tersebut terpenuhi baru kemudian Notaris membacakan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut yang kemudian ditandatangani oleh WNI dan juga istrinya selaku pihak yang menerima pelepasan hak (pihak kedua). Akta Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut dibacakan oleh Notaris/PPAT dan ditandatangani oleh para pihak yang namanya tertuang dalam akta tersebut. 4.2.1 Fungsi Akta Pelepasan Hak Setelah membaca uraian tentang fungsi Notaris/PPAT dan Akta Pelepasan Hak tersebut di atas, maka perlu kiranya diperhatikan tentang fungsi akta tersebut dalam peralihan Hak Pakai atas tanah. Seperti yang telah ditentukan di dalam UUPA bahwa orang asing (WNA) di Indonesia hanya dapat memiliki tanah dengan Hak Pakai (Pasal 42 huruf b) atau Hak Sewa Untuk Bangunan (Pasal 45 huruf b). Maka karena tanah yang akan dialihkan haknya tersebut di atas adalah sebidang tanah Hak Milik, haruslah haknya tersebut dirubah terlebih dahulu agar menjadi jenis hak yang boleh dimiliki oleh WNA, yaitu dengan Hak Pakai, atau tanah tersebut terlebih dahulu dilepaskan haknya kepada Negara sehingga menjadi Tanah Negara, yang berakibat setiap orang (termasuk WNA) dapat memohon suatu hak atas tanah tersebut.
117 Berdasarkan uraian di atas telah disebutkan bahwa antara WNI dan WNA tersebut telah sepakat untuk melakukan jual beli menggunakan metode Pelepasan Hak yang diikuti dengan Permohonan Hak. Sehingga dengan demikian lalu Notaris membuatkan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang bertujuan agar tanah Hak Milik tersebut berubah menjadi Tanah Negara. Sehubungan dengan hal tersebut perlulah kiranya dilakukan analisis mendalam tentang akta tersebut apakah telah sesuai dengan tujuan pembuatannya, sesuai dengan fungsinya sebagai Akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang bertujuan agar tanah yang sebelumnya merupakan Tanah Hak Milik tersebut berubah menjadi Tanah Negara. Maka yang perlu dianalisis dalam hal ini adalah komparan, isi, dan juga penandatanganan dari Akta Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut. 4.2.2 Isi Akta Pelepasan Hak Dalam bagian Akta Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut di atas terdapat, Pasal 1 yang pada pokoknya berbunyi bahwa Pihak Pertama (WNI) melepaskan dan menyerahkan hak kepada Pihak Kedua (WNA) dan Pihak Kedua menerima pelepasan dan penyerahan hak dari Pihak Pertama. Selanjutnya Pasal 2 akta tersebut memuat pernyataan bahwa ganti kerugian pelepasan hak atas tanah tersebut dilakukan dan diterima dengan uang ganti kerugian sebesar Rp. 2.500.000.000,- dan telah dibayar lunas oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama. Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas, maka terjadilah pelepasan hak atas sebidang tanah Hak Milik dari seorang WNI kepada seorang WNA. Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Pertanahan Indonesia menyebutkan menurut
118 Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 bahwa pelepasan hak atau penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.
81
Berdasarkan isi pasal tersebut,
pelepasan atau penyerahan hak mengakibatkan terputusnya hubungan hukum pemilik hak atas tanah dengan tanahnya, sehingga tanah tersebut tidak ada lagi yang memiliki haknya, maka hak atas tanah tersebut jatuh kepada Negara dan menjadi Tanah Negara (Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997), sehingga setiap orang boleh memohon sesuatu hak atas tanah terhadap bidang tanah tersebut kepada Negara. Dalam Akta Pelepasan Hak tersebut juga harus mencantumkan bahwa WNI menjual bangunan rumah tinggal yang berdiri di atas tanah tersebut kepada WNA dan melepaskan hak atas tanah tersebut kepada Negara dengan harga jual beli bangunan dan nilai ganti rugi atas pelepasan hak atas tanah tersebut sesuai dengan harga yang telah disepakati sehingga mengakibatkan bangunan rumah tersebut menjadi milik WNA dan tanahnya menjadi Tanah Negara. Dengan demikian WNA tersebut memiliki hak utama untuk memohon suatu Hak Pakai atas bidang tanah tersebut kepada Negara, karena WNA tersebut memiliki bangunan rumah yang berdiri di atas bidang tanah tersebut. Bagian atau frasa menjual bangunan ini sangat penting dan harus disertakan oleh Notaris di dalam Akta Pelepasan Hak Atas Tanah tersebut, karena apabila tidak diterangkan di dalam akta tersebut maka secara yuridis 81 Andi
Jakarta, hal. 95.
Hamzah, 1991, Hukum Pertanahan Indonesia, Rineka Cipta,
119 formal, bangunan rumah tersebut masih menjadi milik WNI, sehingga sewaktuwaktu dapat saja WNI tersebut meminta kembali bangunan rumah itu kepada WNA, berbeda bila dalam Akta Pelepasan Hak telah dicantumkan penjualan bangunan rumah tinggal tersebut kepada WNA, maka pihak WNI sudah tidak lagi memiliki kepentingan apapun juga terhadap tanah dan bangunan rumah tinggal tersebut. Satu hal lagi diluar isi akta yang harus diperhatikan dalam pembuatan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah adalah tentang pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dimana menurut Pasal 9 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yaitu saat yang menentukan pajak terutang atas perolehan atas tanah dan atau bangunan untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari Pelepasan Hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat pemberian hak. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka WNA diharuskan membayar BPHTB pada saat dia sudah mendapatkan Surat Keputusan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah, dan bukan pada saat WNA tersebut menandatangani Akta Pelepasan Hak Atas Tanah di hadapan Notaris/PPAT.
BAB V PELAKSANAAN KETENTUAN PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS TANAH MILIK PRIBADI BAGI ORANG ASING DI KABUPATEN BADUNG
5.1 Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Di Kabupaten Badung Mengkaji pelaksanaan hukum dari ketentuan dalam dan penjelasan atas Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Fokus kajian sebenarnya terletak pada bagaimana ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UUPA diterapkan dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Penegakan hukum Hak Pakai merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponenkomponen atau subsistem sebagai bagian untuk mewujudkan sinergi dalam rangka mencapai tujuan dari isi dalam Pasal 40 dan Pasal 41 UUPA tersebut, dan dalam rangka mendukung penegakan hukum Hak Pakai, Pemerintah kembali mengeluarkan peraturan yang mengatur khusus tentang hal tersebut, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah yang dapat dikatakan juga merupakan realisasi dari Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Berdasarkan hasil penelitian dengan cara penyebaran kuesioner yang dilakukan peneliti kepada para WNA yang memiliki Hak Pakai Atas Tanah di
120
121 Desa Ungasan, Kabupaten Badung yang telah ditentukan sebagai lokasi penarikan sampel penelitian karena merupakan lokasi yang paling banyak ditempati oleh orang asing dengan kepemilikan Hak Pakai Atas Tanah (Tabel 1), diperoleh hasil penelitian sebagai berikut: Tabel 2 Hasil Kuesioner Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Tingkat Efektifitas Penggunaan Hak Pakai Atas Tanah Bagi Orang Asing Di Kabupaten Badung
Jawaban
Tabel 2.1 Kuesioner Pengetahuan Umum Pertanyaan 1 Pertanyaan 2 Pertanyaan 3 Pertanyaan 4
Ya
3
7
6
9
Tidak
6
2
3
0
Tabel 2.2 Kuesioner Kualitas Pelayanan Di Kantor Pertanahan Jawaban Pertanyaan 1 Pertanyaan 2 Pertanyaan 3 Pertanyaan 4 Ya
9
5
5
3
Tidak
0
4
4
6
Tabel 2.3 Kuesioner Kualitas Pelayanan Di Kantor Notaris/PPAT Jawaban Pertanyaan 1 Pertanyaan 2 Pertanyaan 3 Pertanyaan 4 Ya
9
8
1
8
Tidak
0
1
8
1
Ketiga tabel diatas adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepada para WNA yang memiliki Hak Pakai Atas Tanah di Kabupaten Badung khususnya yang bertempat tinggal di Desa Ungasan. Pada tabel 2.1 yang berisikan daftar
122 pertanyaan tentang pengetahuan umum para responden tentang hak-hak atas tanah didapatkan hasil secara umum belum semua orang asing (WNA) mengetahui jenis-jenis dari hak atas tanah yang ada di Indonesia, serta yang mana boleh dikuasai oleh WNA dan yang mana hanya dapat dimiliki oleh WNI, dan pada pertanyaan terakhir seluruh responden juga menginginkan adanya program penyuluhan khusus tentang hak-hak atas tanah dari Pemerintah kepada masyarakat khususnya untuk para WNA agar mereka mendapatkan informasi yang benar dan tidak mengalami kesalahan saat melakukan peralihan hak atas tanah di Indonesia. Pada tabel 2.2 yang berisikan daftar pertanyaan tentang kualitas pelayanan di Kantor Pertanahan saat melakukan pengurusan permohonan Hak Pakai Atas Tanah, semua responden mengaku pernah melakukan pengurusan Hak Pakai di Kantor Pertanahan dan lebih dari setengah responden mengaku bahwa mereka mendapatkan kesulitan saat melakukan pengurusan permohonan Hak Pakai Atas Tanah di Kantor Pertanahan, dan juga mengeluhkan kualitas pelayanan yang mereka terima pada saat itu. Setelah peneliti menanyakan apa saja jenis hambatan yang diterima, diperoleh jawaban yang umumnya pada proses yang mereka anggap tidak praktis, kurang cepat dan memakan waktu yang lama. Selain itu juga hanya 3 dari 9 responden yang mengaku mendapatkan penyuluhan hukum pada saat melakukan pengurusan Hak Pakai di Kantor Pertanahan, hal ini juga tidak dapat serta-merta dipersalahkan karena tugas dari Kantor Pertanahan memang hanya melakukan pencatatan peralihan hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran
123 tanah, hal ini sudah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada tabel 2.3 yang berisikan daftar pertanyaan tentang kualitas pelayanan di Kantor Notaris saat melakukan pengurusan permohonan Hak Pakai Atas Tanah, semua responden mengaku pernah melakukan pengurusan Hak Pakai di Kantor Notaris, dan 8 dari 9 responden telah mendapatkan penyuluhan hukum sebelum melakukan peralihan hak atas tanah di Kantor Notaris, ini tentu sudah sesuai dengan isi dari Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P) yang menyebutkan bahwa Notaris haruslah memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Pada pertanyaan ketiga hanya 1 responden yang mengakui pernah mengalami hambatan saat melakukan pengurusan peralihan hak atas tanah di Kantor Notaris, setelah peneliti menanyakan apa jenis hambatan yang diterima, diperoleh jawaban karena jangka waktu pengurusan yang relatif lama dan kurang cepat. Pada pertanyaan terakhir tentang kualitas pelayanan, 8 dari 9 responden mengakui kualitas pelayanan yang diterima saat melakukan pengurusan proses peralihan hak di Kantor Notaris sudah memuaskan. Berikutnya akan disajikan tabel daftar penerbitan sertifikat Hak Pakai Atas Tanah di Kabupaten Badung dalam kurun waktu tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian yang dilakukan di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung, yaitu:
124 Tabel 3 Data Penerbitan Sertifikat Hak Pakai di Kabupaten Badung No.
Desa
2011
2012
2013
2014
Total
1.
Pecatu
2
4
1
-
7
2.
Jimbaran
1
5
1
-
7
3.
Benoa
3
3
-
1
7
4.
Ungasan
2
2
3
2
9
5.
Kerobokan
1
5
2
-
8
6.
Tibubeneng
-
4
1
-
5
7.
Canggu
4
2
-
-
6
8.
Pererenan
2
1
-
-
3
9.
Cemagi
-
1
2
-
3
10.
Total
15
27
37
3
48
Sumber: Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung Melihat tabel 3 diatas berdasarkan hasil data di lapangan yang penulis temukan dari hasil penelitian di Kantor Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Badung, dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah penerbitan Hak Pakai Atas Tanah pada tahun 2011 sebanyak 15 sertifikat, sedangkan pada tahun 2012 terjadi peningkatan mencapai 27 sertifikat diterbitkan pada kurun waktu tersebut, selanjutnya pada tahun 2013 kembali mengalami peningkatan sebanyak 37 sertifikat diterbitkan pada kurun waktu tersebut, dan pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2014 mengalami penurunan yang sangat drastis, yaitu hanya 3 sertifikat diterbitkan pada tahun tersebut, dan berdasarkan penelitian yang
125 dilakukan, terdapat indikasi hal tersebut terjadi karena para orang asing (WNA) semakin tidak tertarik menggunakan hak pakai atas tanah melainkan banyak melakukan pola-pola praktek penguasaan atas tanah yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5.2 Praktek Penyelundupan Hukum Perolehan Hak Milik Atas Tanah Oleh Asing Sebagai solusi untuk memenuhi keinginan dari orang asing (WNA) untuk memiliki rumah dan tanah di Indonesia, Pemerintah dalam hal ini telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan Di Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya. Namun karena adanya harapan dari mereka untuk memiliki tanah dengan jangka waktu yang lebih panjang dan juga dengan tujuan penggunaan yang lebih luas, maka para praktisi berusaha untuk mensiasati hal-hal tersebut dengan praktek-praktek perolehan
yang
pada
hakekatnya
adalah
merupakan
bentuk-bentuk
penyelundupan hukum. Beberapa praktek penyelundupan hukum
dalam
perolehan dan
penguasaan tanah oleh orang asing (WNA) yaitu pada umumnya menggunakan kedok pinjam nama (nominee), praktek penguasaan tanah dengan model ini yaitu dengan melakukan jual-beli atas nama seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dengan sumber dananya yang berasal dari orang asing (WNA), sehingga secara yuridis formal hal tersebut tidak menyalahi peraturan, namun yang menjadi masalah disini adalah adanya upaya pembuatan perjanjian antara WNI
126 dan WNA tersebut yang biasanya dengan cara pemberian kuasa yang memberikan hak yang tidak dapat ditarik oleh si pemberi kuasa (WNI) dan memberi wewenang yang mutlak kepada penerima kuasa (WNA) untuk dapat melakukan segala perbuatan hukum yang berhubungan dengan hak atas tanah tersebut, yang menurut hukum yang berlaku semestinya hanya dapat dilakukan oleh si pemegang hak (WNI), sehingga pemberian kuasa seperti ini pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah dan perjanjian atau kuasa ini tidak sah karena secara substansial telah melanggar ketentuan daripada UndangUndang, yakni ketentuan pada Pasal 26 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa perjanjian seperti tersebut batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara.82 Praktek penguasaan tanah oleh WNA yang juga merupakan bentuk praktek penyelundupan hukum yaitu dengan pemilikan tanah oleh pasangan kawin campur antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan orang asing (WNA) yang tidak mempunyai perjanjian kawin yang mengatur khusus tentang pemisahan harta mereka, praktek ini biasanya berpola dengan cara melakukan jual-beli sebidang tanah hak milik dengan atas nama seorang WNI yang sumber dananya umumnya berasal dari WNA yang merupakan pasangan kawinnya, akan tetapi mereka tidak memunculkan identitas perkawinannya, sehingga secara yuridis formal hal tersebut tidak menyalahi aturan, namun secara substansial
telah
terjadi
pemilikan
tanah
hak
milik
oleh
pasangan
kewarganegaraan ganda yang tentu tidak memenuhi syarat sebagai subyek hak
82Maria
S.W. Sumardjono I, op.cit, h. 162
127 milik. Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip nasionalitas, sehingga setiap perbuatan yang langsung atau tidak langsung memindahkan Hak Milik kepada orang asing, atau kepada orang yang berdwikewarganegaraan adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan seperti diatur pada Pasal 21 ayat (3) UUPA, hak ini hapus dalam tempo satu tahun jika tidak dipindahkan kepada Warga Negara Indonesia. Khusus jika tanah itu dibebani dengan sesuatu hak maka hak itu tidak berakhir dengan peristiwa tersebut.83 Berdasarkan pengamatan penulis dan penelitian yang dilakukan, ada beberapa model bentuk-bentuk Akta Notaris/PPAT dalam penguasaan tanah oleh orang asing (WNA) di Kabupaten Badung, yaitu: 1.
Akta Jual Beli dengan meminjam nama seorang WNI (Nominee). Melalui akta jual-beli tersebut telah terjadi kepemilikan semu atas tanah tersebut, karena nama Warga Negara Indonesia hanya dipinjam saja untuk di sertifikat, sedangkan penggunaan dan penguasaan atas tanah tersebut sepenuhnya menjadi milik Warga Negara Asing karena sesungguhnya uang untuk membeli tanah tersebut berasal dari WNA.
2.
Akta Pengakuan Hutang. Melalui akta pengakuan hutang ini seolah-olah seorang WNI yang namanya dipinjam tersebut mempunyai hutang kepada WNA karena sumber dana atau uang yang dipergunakan untuk membeli tanah tersebut berasal dari WNA, dan isi perjanjian ini biasanya tanpa bunga dan juga tidak ada jangka waktu pengembalian hutang.
83A.P.
Parlindungan III, op.cit, h. 141
128 3.
Akta Sewa Menyewa. Melalui akta sewa menyewa ini seorang WNA dapat mempergunakan dan memanfaatkan tanah yang telah dikuasainya dengan jangka waktu sewa yang terus bisa diperpanjang dan bisa diteruskan oleh ahli warisnya.
4.
Akta Pemberian Hak Tanggungan. Melalui akta pengakuan hutang yang telah dibuat sebelumnya oleh WNI dengan WNA tersebut, lalu selanjutnya diikat dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan karena tanah dengan atas nama WNI tersebut sendiri dijadikan jaminan atas pelunasan hutang tersebut.
5.
Akta Pernyataan. Melalui akta pernyataan ini WNI memberikan pernyataanpernyataan untuk memberikan perlindungan hukum kepada WNA sehubungan dengan hak atas tanah tersebut dan juga akan melakukan perbuatan hukum sesuai dengan perintah dan petunjuk dari WNA bersangkutan.
6.
Akta Kuasa Menjual dan Mengelola. Melalui kuasa menjual dan mengelola ini, maka sebidang tanah yang dikuasai dengan meminjam nama WNI tersebut nantinya dapat dialihkan atas kehendak dan permintaan WNA, selain itu dengan adanya kuasa mengelola maka WNA tersebut dapat memanfaatkan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainya.
Secara terpisah perbuatan hukum yang dilakukan oleh WNA melalui akta Notaris/PPAT tersebut diatas tidaklah menyalahi aturan-aturan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun apabila rangkaian perbuatan hukum melalui akta-akta Notaris/PPAT tersebut adalah sebenarnya usaha untuk
129 mengalihkan Hak Milik Atas Tanah secara terselubung oleh WNA dengan meminta perlindungan hukum kepada Notaris/PPAT, maka hal tersebut juga tidak dapat dibenarkan karena dapat menimbulkan potensi terjadi suatu permasalahan di kemudian hari yang tidak dikehendaki dan pada akhirnya akan merugikan mereka sendiri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut beberapa kasus-kasus yang melibatkan WNI dan WNA dalam sengketa yang berkaitan dengan hak atas tanah dan memiliki modus yang beragam, yaitu karena nominee, hak tanggungan, penipuan maupun penggelapan namun kesemuanya bersumber dari hal yang sama, yaitu dari praktek-praktek penyelundupan hukum yang dilakukan dalam penguasan atas tanah oleh WNA. Kasus-kasus ini ada yang prosesnya telah mencapai tahap peradilan dan ada pula yang masih dalam tahap laporan dan penyidikan awal di Kepolisian maupun Kejaksaan. Data kasus-kasus ini bersumber dari Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, yang antara lain: a.
Kasus ini terjadi pada tahun 2011 dengan seorang WNA yaitu Cornelis Jan Dirk Navest sebagai penggugat dan seorang WNI yaitu Shelissa Kiky Karjadi sebagai pihak tergugat dengan obyek gugatan SHM No. 3921/Kuta, SHM No. 3344/Kuta, dan SHM No. 546/Kuta. Kasus ini telah masuk ke tahapan peradilan dengan nomor Putusan P. 732/Pdt.G/2011/PN.Dps.
b.
Kasus berikutnya terjadi pada tahun 2012 dengan seorang WNA yaitu Kawada Haruyuki sebagai penggugat dan seorang WNI yaitu Ida Bagus Surya Bhuwana sebagai tergugat dengan obyek gugatan SHM No. 9586/Desa Ungasan, SHM No. 7009/Desa Ungasan, SHM No. 9421/Desa
130 Ungasan, SHM No. 9420/Desa Ungasan, dan SHM No. 9422/Desa Ungasan. Kasus ini juga sudah masuk tahap peradilan di Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor putusan P.396/Pdt.G/2012/PN.Dps. c.
Kasus berikut terjadi pada tahun 2014 dengan seorang WNA yaitu Katheriue Reane Gogdili sebagai pelapor dan dua orang WNI sebagai terlapor, yaitu yang pertama Zainal Arifin Sitepu dengan obyek laporan SHM No. 257/Seminyak dan SHM 817/Seminyak, serta seorang lagi yaitu Ery Kusdarjati dengan obyek laporan SHM No. 623/ Desa Ungasan.
d.
Kasus berikutnya terjadi pada tahun 2014 dengan seorang WNA yaitu John Ernest Toding sebagai pelapor dan seorang WNI yaitu Shelissa Kiky Karjadi sebagai pelapor dengan obyek laporan SHM No. 3921/Kuta, SHM No. 344/Kuta dan SHM No. 2483/Kerobokan.
e.
Kasus berikutnya terjadi pada tahun 2014 dengan seorang WNA yaitu Chitosi Kono sebagai penggugat dan seorang WNI yaitu Najamudin sebagai tergugat dengan obyek gugatan SHM No. 4620/Canggu. Kasus ini juga sudah masuk tahap peradilan di Pengadilan Negeri Denpasar dengan nomor putusan P.911/Pdt.G/2014/PN.Dps.
f.
Kasus berikutnya terjadi pada tahun 2014 dengan seorang WNA yaitu Bruno Piazza sebagai pelapor dan seorang WNI yaitu Tety Carolina sebagai terlapor dengan obyek laporan SHM No. 1391/Perenan, SHM No. 1482/Pererenan dan SHM No. 2483/Kerobokan. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka penulis kembali melakukan
penelitian berikutnya yang dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Badung
131 dengan tujuan untuk dapat lebih menyempurnakan penelitian ini, dan hal yang kali ini diteliti adalah data jumlah dan daftar nama pemegang Hak Tanggungan dengan kreditur perseorangan yang merupakan orang asing (WNA) di Kabupaten Badung, yang antara lain: Tabel 4 Data Jumlah Pemegang Hak Tanggungan Dengan Kreditur Orang Asing (WNA) di Kabupaten Badung No.
Tahun
Jumlah
1.
2011
30
2.
2012
35
3.
2013
30
4.
2014
32
Sumber: Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Badung Melihat tabel 4 diatas berdasarkan hasil data di lapangan yang penulis temukan dari hasil penelitian di Kantor Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Badung, dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah pemegang hak Tanggungan dengan krediturnya yang merupakan orang asing (WNA) pada tahun 2011 sebanyak 30 sertifikat, sedangkan pada tahun 2012 terjadi peningkatan yang mencapai 35 sertifikat diterbitkan pada kurun waktu tersebut, selanjutnya pada tahun 2013 kembali mengalami penurunan sebanyak 30 sertifikat diterbitkan pada kurun waktu tersebut, dan pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2014 mengalami peningkatan, yaitu 32 sertifikat diterbitkan pada tahun tersebut.
132 5.3 Efektifitas Pelaksanaan Peraturan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Bagi Orang Asing Efektifitas hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang juga merupakan sekaligus sebagai sebuah tolak ukur dari efektifitas (penegakan) hukum. Efektifitas merupakan suatu fakta bahwa kaidah-kaidah tersebut secara aktual diterapkan dan telah dipatuhi, sehingga warga masyarakat juga bertingkah laku sesuai dengan kaidah tersebut. Efektifitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat yang juga harus berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Mengenai pengaruh hukum dan konsep tujuan, dapat dikatakan bahwa konsep pengaruh berarti sikap tindak atau perilaku yang dikaitkan dengan suatu kaidah hukum dalam kenyataan atau fakta di lapangan, berpengaruh positif atau efektifitasnya tergantung pada tujuan atau suatu maksud kaidah hukum tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang efektifitas pelaksanaan peraturan pemberian Hak Pakai atas tanah bagi orang asing di Kabupaten Badung, dan setelah data-data yang diperlukan terkumpul, baik data primer maupun data sekunder, maka diperoleh hasil seperti berikut, yaitu melihat pada data tentang kepemilikan Hak Pakai oleh WNA di Kabupaten Badung (Tabel 3) setelah dikomparasi dengan data tentang jumlah pemegang Hak Tanggungan dengan krediturnya merupakan orang asing (Tabel 4) secara tahun pertahun maka didapatkan hasil yaitu pada tahun 2011 kepemilikan Hak Pakai di Kabupaten Badung sebanyak 15 hak diterbitkan, sementara untuk Hak Tanggungan dengan krediturnya yang merupakan WNA ada 30 hak yang diterbitkan, di tahun ini
133 persentasenya berbanding 33,33% untuk Hak Pakai dan 66,66% untuk Hak Tanggungan, sementara pada tahun berikutnya di tahun 2012 penerbitan Hak Pakai di Kabupaten Badung meningkat sebanyak 27 hak diterbitkan dan untuk Hak Tanggungan yang krediturnya merupakan orang asing sebanyak 35 hak diterbitkan, di tahun ini persentasenya adalah berbanding 44% untuk Hak Pakai dan 56% untuk Hak Tanggungan, beralih ke tahun berikutnya yaitu pada tahun 2013, pada tahun ini penerbitan Hak Pakai atas tanah mengalami peningkatan sebanyak 37 hak diterbitkan pada kurun waktu tersebut, sementara untuk penerbitan Hak Tanggungan dengan kreditur WNA mengalami penurunan ke angka 30 hak diterbitkan pada tahun tersebut dengan persentase 55% untuk penerbitan Hak Pakai berbanding 45% untuk penerbitan Hak Tanggungan, dan berikutnya pada tahun 2014 untuk penerbitan Hak Pakai di Kabupaten Badung mengalami penurunan sangat drastis, yaitu hanya 3 buah hak diterbitkan pada kurun waktu tersebut, sementara untuk penerbitan Hak Tanggungan dengan krediturnya merupakan WNA juga mengalami penurunan, yaitu hanya 28 hak diterbitkan pada tahun tersebut, dengan persentase 10% untuk Hak Pakai berbanding 90% untuk Hak Tanggungan. Setelah ditotal perbandingan keduanya maka mendapatkan hasil sebagai berikut: Untuk penerbitan Hak Pakai atas tanah dalam periode tahun 2011-2014: Jumlah penerbitan Hak Pakai Jumlah total Hak Pakai + Hak Tanggungan
x 100% =
82 205
x 100% = 40%
134 Dari hasil persentase 40% yang ditetapkan, hal ini menurut Sugiyono secara kontinum dapat dibuat kategori sebagai berikut:84 Gambar 1 Kontinum Interprestasi Skor
0
20%
40%
Sangat tidak efektif
tidak efektif
60%
80%
100%
cukup efektif
efektif
sangat efektif
Keterangan interprestasi skor: Angka 0% - 20%
= sangat tidak efektif
Angka 21% - 40% = tidak efektif Angka 41% - 60% = cukup efektif Angka 61% - 80% = efektif Angka 81% - 100% = sangat efektif Dari perhitungan gambar diatas dapat diketahui bahwa efektifitas peraturan pemberian Hak Pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing (WNA) di Kabupaten Badung belum efektif. Hal ini terlihat dari nilai 40% dalam kontinum interprestasi skor yang termasuk dalam kategori tidak efektif, dapat dikatakan belum efektif karena jika dibandingkan dengan penerbitan Hak Tanggungan dengan kreditur yang merupakan orang asing (WNA), yang juga merupakan salah satu praktek penyelundupan hukum, penerbitan sertifikat Hak Pakai masih tertinggal dalam hal jumlah. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa pola 84Sugiyono,
hal. 27
2010, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung,
135 penguasaan tanah oleh orang asing di Kabupaten Badung banyak yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melainkan masih banyak melakukan praktek dan pola penguasaan atas tanah diluar dari ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku.
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan yang telah diuraikan diatas maka dapat disimpukan bahwa: 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas peraturan pemberian Hak Pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing di Kabupaten Badung adalah karena (1) kurangnya sosialisasi dari aparat petugas hukum mengenai jenis-jenis hak-hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh orang asing (WNA) dan mana yang hanya dapat dimiliki oleh WNI kepada masyarakat khususnya orang asing (WNA), dan (2) terbatasnya sarana atau fasilitas yang menunjang penegakan hukum tersebut,
yang mencakup tenaga manusia
yang
berpendidikan dan terampil (SDM), organisasi sistem pelayanan yang baik, dan juga peralatan yang memadai lalu (3) kurang perdulinya masyarakat akan peraturan-peraturan yang ada, dan yang terakhir (4) karena adanya juga peranan dari aparat petugas hukum dalam hal ini Notaris/PPAT dalam memuluskan praktek-praktek penyelundupan hukum yang dilakukan dalam penguasaan tanah oleh orang asing (WNA) di Kabupaten Badung. 2. Fungsi dan peran Notaris/PPAT dalam mendukung efektifitas pelaksanaan pemberian Hak Pakai untuk orang asing (WNA) adalah dengan memberikan pelayanan pada masyarakat dalam hal pembuatan Akta Pelepasan Hak Atas Tanah yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan oleh
136
137 pemegang haknya (WNI) secara notariil yang dibuat dalam bentuk suatu akta otentik sebelum dimohonkan haknya orang asing (WNA) di Kantor Pertanahan, ataupun dalam pembuatan akta-akta lainnya yang berkaitan dengan peralihan dan permohonan Hak Pakai atas tanah. 3. Pelaksanaan ketentuan pemberian Hak Pakai Atas Tanah milik pribadi bagi orang asing di Kabupaten Badung, dalam prakteknya belum efektif, hal ini sangat ditentukan oleh faktor aparat atau petugas hukumnya, yaitu Notaris/PPAT yang dalam prakteknya ternyata banyak yang malah memberikan bantuan dalam memuluskan praktek-praktek penyelundupan hukum yang dilakukan dalam penguasaan tanah oleh orang asing (WNA) di Kabupaten Badung. Selain itu proses pelaksanaan ketentuan pemberian Hak Pakai Atas Tanah milik pribadi bagi orang asing di Kabupaten Badung ditentukan juga oleh faktor masyarakatnya yaitu kesadaran hukum dari para pihak, khususnya bagi orang asing (WNA) dalam melakukan proses penguasaan atas tanah yang harusnya sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penerbitan Hak Pakai atas tanah yang masih lebih rendah daripada penerbitan Hak Tanggungan dengan kreditur yang merupakan orang asing, hal ini menunjukkan masih banyak praktek-praktek penyelundupan hukum yang terjadi dalam penguasaan tanah oleh orang asing (WNA) di Kabupaten Badung, padahal praktek-praktek tersebut sangat rentan akan terjadinya sengketa di kemudian hari dan hal tersebut sudah dibuktikan dengan data berupa daftar kasus-kasus dan sengketa yang terjadi karena
138 penguasaan tanah oleh orang asing dengan cara penyelundupan hukum tersebut. 6.2 Saran Beberapa saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pelaksanaan peraturan pemberian hak pakai atas tanah milik pribadi bagi orang asing (WNA) adalah sebagai berikut: 1. Kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional diperlukan adanya perbaikan dan penyederhanaan mekanisme pelayanan di bidang pertanahan dari Kantor Pertanahan Kabupaten Badung agar memudahkan masyarakat khususnya para orang asing (WNA) dalam melakukan pengurusan permohonan Hak Pakai atas tanah. Selain itu diharapkan adanya program penyuluhan hukum secara khusus yang diberikan berkaitan dengan hak-hak atas tanah, agar masyarakat khususnya para orang asing (WNA) mendapatkan informasi yang benar dan tidak mengalami kesalahan saat melakukan peralihan hak atas tanah di Indonesia. 2. Diharapkan agar para penegak hukum khususnya para Notaris/PPAT dapat memberikan penyuluhan hukum yang optimal kepada masyarakat khususnya para orang asing (WNA) sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Jabatan Notaris yang mengharuskan Notaris/PPAT memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta, selain itu diharapkan agar penyuluhan hukum tersebut haruslah tegak lurus kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan Pemerintah dalam hal ini diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas jika terdapat Notaris/PPAT yang dalam
139 menjalankan jabatannya terindikasi memberikan bantuan dalam memuluskan praktek-praktek penyelundupan hukum yang dilakukan dalam penguasaan tanah oleh orang asing (WNA), karena jika tidak akan berakibat fatal bagi kelangsungan bangsa ini dimana penguasaan tanah dikhawatirkan akan dikuasai oleh orang asing dan para pemodal besar, dan hal tersebut tentu tidak sesuai dengan amanat dalam UUD 1945 kita, dimana disana disebutkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 3. Pemerintah dan Notaris/PPAT dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat umum haruslah menjalankan kode etik profesinya dengan penuh kepatuhan terhadap undang-undang yang berlaku. Selain itu haruslah diberikan sosialisasi dan pemahaman hukum yang berkesinambungan kepada masyarakat khususnya para WNA yang akan melakukan proses peralihan dan permohonan Hak Pakai atas tanah, agar melakukan proses peralihan hak dan penguasaan tanah yang sesuai peraturan perundang-undangan dan aturanaturan yang berlaku yang sudah pasti aman dibandingkan melakukan praktekpraktek penyelundupan hukum yang tentunya tidak aman karena menabrak peraturan yang ada dan berpotensi menimbulkan sengketa atau permasalahan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU Adjie, Habib, 2014, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung. _______, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Artini, NP dan Anggraeni, IL. 2007. Peranan Desa Adat Dalam Pengelolaan Kepariwisataan (Studi Kasus di Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung). Jurnal SOCA, Vol. 7 No. 1 Tahun 2007, Denpasar. Badudu,J.S danSutan, Muhammad Zain, 2001, KamusUmumBahasa Indonesia, SinarHarapan, Jakarta. Curzon, L.B, 1999, Land Law, Seventh Edition, Pearson Education Limited, Great Britain. Dewi, Santia dan Diradja, Fauwas R.M, 2011, Panduan Teori dan Praktik Notaris, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Echols, M. John, An English-Indonesian Dictionary, Cornel University Press. Garner, A. Bryan, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, WEST a Thomson Reuter Business. Harsono, Boedi, 2002, Hukum Agraria Indonesia: Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta. _______, 2002, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional Dalam Hubungannya Dengan TAP MPR RI IX/MPR/2001, Universitas Trisakti, Jakarta. _______, 2003, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Cet.9, Djambatan, Jakarta. _______, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Trisakti, Jakarta. Hadikusuma, Hilman, 1995, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.
140
Hutagalung, A.S, 2001, Menyempurnakan Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional, Makalah Seminar Nasional Diselenggarakan oleh BagianHukum Administrasi Negara Bekerjasama dengan Pusat Hukum Universitas Trisakti, Tanggal 10 Juli 2001, Jakarta. _______, 2005, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta. Hutagalung, A.S & Gunawan, M, 2008, Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hadjon, Philipus M, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. Hamzah, Andi, 1991, Hukum Pertanahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. _______, 1992, Pemerintah Menurut Hukum, Yuridika, Cetakan I, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Hasan, Iqbal M, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta. Kelsen, Hans, 1961, General Theory Of Law and State, Russel & Russel, New York. Kurde, Nukthoh Arfawie, 2005, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Lawrence, Friedman M, The Legal System A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975 dalam Siswantoro Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Limbong, Bernhard, 2012, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta. Manan, Bagir, 1994-1995, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945, Makalah Ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Sarjana Unpad, Bandung. Mulyadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan, 2002, Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2011, Perundang-Undangan Agraria Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Pound, Roscoe, 1975, An Introduction To The Philosophy Of Law, Yale University Press, Published in Great Britain, London.
141
Parlindungan, A.P, 1989, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung. _______, 1991, Beberapa Konsep Tentang Hak Atas Tanah, Majalah CSIS, Tahun XX No. 2, Jakarta. _______, 1993, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. Rapar, J.H, 2001, Filsafat Politik Plato, Aristoteles, Augustinus, Machiavelli, PT. Radja Grafindo Persada, Jakarta. Raharjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta. Santoso, Urip, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Grup, Jakarta. _______, 2012, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta. Strong, C.F, 1996, Modern Political Constitution, Sidwick & Jackson, London. Sumardjono, Maria S. W, 2000, Hukum Pertanahan Dalam Berbagai Aspek, Bina Media, Medan. _______, 2005, KebijakanPertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta. _______, 2008, Alternatif Kebijakan Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan Bagi Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing, Kompas, Jakarta. Soemitro, Rony Hatnijo, 1998, Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung. _______,1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. _______, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta. Soeromihardjo,Soedjarwo, 2009, Mengkritisi Undang-Undang Pokok Agraria, Cerdas Pustaka, Jakarta.
142
Soethama, A, 2008, Cakar Investasi, Kecemasan Baru, Sarad Edisi No. 93 Januari 2008, Denpasar. Sugiyono, 2010, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung. Sitorus, Oloan dan Sumadra, Made, 2003, Penyelundupan Hukum Dalam Perolehan Hak Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing di Provinsi Bali, Jurnal Widya Bhumi No. 10 Tahun 4 Mei 2003, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta. Sitorus, Oloan dan Zaki, Sierrad, 2006, Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasi, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta. Tobing ,Lumban G.H.S, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta. Usfunan, Yohanes, 1990, Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Disertasi dalam meraih Doktor pada Program Pasca Sarjana UNAIR Surabaya. Wijaya, L.S. 2006, Penyelundupan Hukum Terhadap Prinsip Nasionalitas Dalam Jual Beli Hak Milik Atas Tanah, Tesis Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Wahid, Muchtar, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Republika, Jakarta. Zumrokhatun, Siti dan Syahrizal, Darda, 2014, Undang-Undang Agraria dan Aplikasinya, Dunia Cerdas, Jakarta. II. ARTIKEL Eko, 2007, Bali Akan Tertibkan Villa Liar Tak Berijin, Serial Online Maret 2008, (Cited 2013 oktober. 13), available from : URL : http://www.elshinta.com Brata, 2005, Stop Pembangunan Hotel dan Villa di Bali, Beranikah Pemerintah Tertibkan?, Serial Online November 2010, (Cited 2013 oktober. 13), available from : URL : http://www.bisnisbali.com Situs Resmi Universitas Negeri Makassar, 2009, Penelitian Deskriptif, serial online 11 April 2009, (Cited 2012 mei. 8), avaialble from : URL : http://www.penalaran-unm.org/index.php/artikelnalar/penelitian/163-penelitian-deskriptif.html III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
143
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1960, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 1966, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2324). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Ada Diatasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4634). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5491). Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (Lembaran Negara Nomor 61 Tahun 1963). Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3643 Tahun 1996). Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Yang Berkedudukan di Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3644 Tahun 1996). Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1997 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan Pajak Bumi Dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 97 Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3722).
144
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3745). Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 7 Tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 7 Tahun 1996 Jo. PMNA/KBPN Nomor 8 Tahun 1996 tentangPersyaratanPemilikanRumahTempatTinggalAtauHunianOleh Orang Asing. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS). Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 2 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Telah Dibeli Oleh Pegawai Negeri Dari Pemerintah. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.
145
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan Atau Hak Pakai Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Dibebani Hak Tanggungan Menjadi Hak Milik. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMNA/KBPN) Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
146
147
148