EFEKTIFITAS MODEL MEMBANGUN HUBUNGAN UNTUK MENGATASI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN Satiningsih, Najlatun Naqiyah, Meita Santi B*
Abstract A great number of female students were the victims of violence, and they need support to improve their self-esteem. There is a significant difference in self-esteem improvement between those female students who were given a treatment model of building effective relationship with those who were not given such a treatment. Moreover, this model of building effective relationship significantly improved the female students’ self-esteem. After having been given the treatment, those students were able to take negative thoughts away from their minds and replace them with more positive thoughts on how they perceive themselves and the environment. Key words: female students, treatment, positive thoughts
A. Pendahuluan. Kekerasan yang dialami perempuan juga dialami oleh anak-anak perempuan di sekolah-sekolah dan di masyarakat. Dewasa ini tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia makin meningkat. Angka kekerasan terhadap anak meningkat, Lembaga Perlindungan Anak di Jawa Tengah melaporkan, sepanjang Januari-November 2003 ada 285 kasus kekerasan dan eksploitasi atas anak, seorang di antaranya meninggal. Di Sulawesi Selatan pada periode sama tercatat 187 kasus kekerasan terhadap anak, 37 persen di antaranya berupa kekerasan seksual dan 19 persen kekerasan fisik. (Kompas, 27 Juli 2005). Di Amerika, menurut Ibrahim & Than (2000), 15% anak sekolah menjadi korban karena diganggu oleh siswa yang lain, 48 juta anak-anak di USA diancam oleh anak lain. Nansel et al. (2001), 13% siswa SMP mengganggu anak lain, 10% * Satiningsih, Najlatun Naqiyah, Meita Santi B. adalah staf pengajar Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya. korban yang diganggu, 6% anak yang mengganggu pernah diganggu. Hasler et. Al. (1991), menyatakan 69% siswa percaya bahwa mengganggu orang dikarenakan kurangnya perhatian personil sekolah, personil sekolah bekerja kurang baik. 20% siswa yang mengganggu akan ditangani, 29% personil sekolah cukup memadai. Sejak tahun 1993 AS mengalami rata-rata tertinggi dalam kekerasan anak, seperti bunuh diri, penggunaan senjata api yang menyebabkan kematian di sebuah negara kaya. Hampir 75% terjadi pembunuhan anak-anak di dunia industri (Communities in School, 1997). Dari gambaran diatas, pendidik tidak dapat menutup mata terhadap
evidence kekerasan di lingkungan sekolah yang secara tidak langsung telah membunuh pertumbuhan kognitif, bahkan dapat menghacurkan anak-anak bangsa. Untuk mengatasi kekerasan, model membangun hubungan menjadi niscaya untuk dilakukan. B. Kajian Pustaka Model membangun hubungan (relationship) (Sandhu:2004) adalah proses membangun hubungan dengan memperhatikan rasa keterhubungan antara siswa dengan unsur-unsur lingkungan, seperti teman sebaya, keluarga (orang tua), sekolah dan masyarakat. Model membangun hubungan berguna untuk mengajarkan sikap terampil mengendalikan sumber-sumber emosi pada perempuan untuk mengelola konflik yang menyebabkan terjadinya kekerasan. Jika selama ini, perempuan seolah terpecah oleh lingkungan sosialnya, hingga mengakibatkan ketidakutuhan, maka dengan model membangun hubungan mampu menciptakan hubungan yang efektif bagi perempuan untuk tumbuh kembang. Model membangun hubungan dalam penelitian ini adalah diawali dengan membangun harga diri yang tinggi pada siswa perempuan yang mengalami korban kekerasan. Rasa keterhubungan antara siswa korban kekerasan dengan lingkungan harus dibangun lebih dahulu dengan membangkitkan harga diri yang selama ini menjadi rendah disebabkan karena peristiwa kekerasan yang dialami siswa. Kesejahteraan (well-being) pada anak dicirikan melalui tingginya self esteem dan postitifnya self concept (Harter dalam Santrock, 2007). Harga diri atau self esteem adalah dimensi evaluasi global terhadap diri. Self esteem juga diartikan penilaian diri (self worth) atau citra diri (self image). Contoh seorang anak misalnya merasakan bahwa ia bukan hanya seseorang individu biasa belaka, tetapi ia seseorang anak yang baik. Sedangkan self concept berhubungan dengan penilaian diri secara lebih khusus misalnya pada penilaian seseorang pada kemamapuan tertentu seperti jago sepakbola, pintar pelajaran matematika, pandai main gitar dan sebagainya. Harga diri itu sendiri mengalami dinamika dalam perkembangannya. Beberapa penelitian menemukan bahwa self esteem seringkali mengalami penurunan ketika anak-anak mengalami transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama atau fase-fase transisi lainnya (Santrock, 2007). Selanjutnya Santrock mengatakan bahwa fase masa remaja merupakan fase penurunan self esteem tertinggi dan remaja perempuan lebih mengalami harga diri yang rendah dibandingkan dengan remaja laki-laki. Harga diri rendah yang terbentuk pada perempuan korban kekerasan tentu tidak hanya terjadi pada satu-dua peristiwa hidup yang sederhana saja. Ketika seseorang mengalami tindak kekerasan, peristiwa yang dialami bisa menjadikannya pengalaman traumatis. Sebab-sebab trauma buka semata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan
pribadi tentang peristiwa terjadi yang menggocang eksistensi kejiwaan. Menurut ahli psikoanalisa Freud trauma adalah ingatan yang merepresi. Rasa trauma menimbulkan ketakutan yang berasal dari ingatan kolektif yang menggoncamgkan jiwa. Trauma adalah ketakutan keterkejutan yang menakutkan bagi seseorang. Trauma menimbulkan ketakutan dan ketidakberdayaan (Salmivalli dan Kaukianinen, 1999). Terdapat beberapa tanda seseorang mengalami trauma, yaitu : mengalami gangguan pada perasaan (feeling), pikiran (thoughts), perilaku (behaviour), fisik (fisiologi). Perasaan traumatis ditandai dengan cemas (anxious), takut (scared), cepat marah (irritable), gangguan suasana hati (moody). Sedangkan pikirannya menyebabkan harga diri (self esteem) rendah, takut gagal, tidak mampu berkonsentrasi, mudah kecewa, takut dengan bayuangan masa depan dan lalai. Perilaku yang mengiringi ialah gagap, sulit bicara, menangis berlebihan, menuruti kata hati. Perilakunya menyebabkan ketidak berdayaan yang ditandai denan mudah terkejut, menutup mata, diam, sakit kepala, gemetaran, diare dan lumpuh (Salmivalli dan Kaukianinen, 1999). Harga diri yang rendah menjadi kelemahan psikologis yang dialami korban kekerasan. Seperti yang sudah dijelaskan peristiwa traumatis memgarahkannya pada pikiran-pikran negative yang terus menganggu baik itu tantang diri maupun lingkungannya dan berakibat pada penilaian negative pada diri dan lingkungan. Kesejahteraan (well-being) pada anak dicirikan melalui tingginya self esteem dan postitifnya self concept (Harter dalam Santrock, 2007). Harga diri atau self esteem adalah dimensi evaluasi global terhadap diri. Self esteem juga diartikan penilaian diri (self worth) atau citra diri (self image). Contoh seorang anak misalnya merasakan bahwa ia bukan hanya seseorang individu biasa belaka, tetapi ia seseorang anak yang baik. Sedangkan self concept berhubungan dengan penilaian diri secara lebih khusus misalnya pada penilaian seseorang pada kemampuan tertentu seperti jago sepakbola, pintar pelajaran matematika, pandai main gitar dan sebagainya. Coopersmith berdasarkan manual Coopersmith Self Esteem Inventory (www.coe.iup/rjl/instruction/cml50/selfinterpretation/csei.htm) mengatakan bahwa self esteem adalah seperangkat sikap dan kepercayaan yang mengarahkan seseorang dalam menghadapi dunianya. Termasuk di dalamnya kepercayaan apakah dia dapat mencapai sukses atau sebaliknya gagal, seberapa besar usahanya mendapatkan hasil, apakah kegagalan dalam suatu pekerjaan akan membuat luka atau apakah justru dari kegagalan seseorang mendapatkan suatu hasil dari pengalaman yang berbeda. Dalam istilah psikologi self esteem menyediakan seperangkat mentalitas yang mempersiapkan seseorang merespon berdasarkan harapan akan sukses, penerimaan dan kekuatan personal. Lebih lanjut Coopersmith mengatakan self esteem bukan suatu yang terpisah dari performansi/prestasi sekolah seperti pada membaca, matematika, kemampuan
sosial dan matematika. Self esteem memegang peranan penting bagian integral dari performansi sekolah itu. Penelitian mengindikasikan, siswa yang tidak yakin pada dirinya sendiri atau merasa gagal akan berhenti berusaha dan menyerah pada keadaan. Penelitian mendukung data perasaan percaya diri dan self respect siswa memegang peranan penting pada prestasinya di sekolah. Jadi, istilah self esteem berarti penilaian yang dibuat seseorang yang berdasarkan penilaian/ penghargaannya pada diri sendiri. Self esteem mengekspresikan perilaku atas apa yang disetujui atau tidak disetujui dan mengindikasikan tingkatan sejauh mana seseorang menilai kesuksesan, keberhargaan, dan kemampuan dirinya (www.coe.iup/rjl/instruction/cml50/selfinterpretation/csei.htm). Singkatnya self esteem seseorang adalah penilaian atas (sejauh mana seorang individu menghargai) dirinya yang tercermin dari perilaku terhadap diri sendiri. Itu adalah pengalaman subyektif yang disampaikan pada orang lain melalui cara verbal dan perilaku ekspresif yang jelas. Self esteem atau harga diri itu sendiri mengalami dinamika dalam perkembangannya. Beberapa penelitian menemukan bahwa self esteem seringkali mengalami penurunan ketika anak-anak mengalami transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama atau fase-fase transisi lainnya (Santrock, 2007). Selanjutnya Santrock mengatakan bahwa fase masa remaja merupakan fase penurunan self esteem tertinggi dan remaja perempuan lebih mengalami harga diri yang rendah dibandingkan dengan remaja laki-laki. Ada beberapa ciri yang menandakan individu memiliki self esteem tinggi atau sebaliknya yaitu : 1. Ciri-ciri individu dengan self esteem tinggi. Ada beberapa ciri yang menandai seseorang mempunyai self esteem yang tinggi yaitu : mempunyai hal positif dan harapan realisitis usaha dan hasilnya, biasanya tidak khawatir akan hidup an mengambil resiko, mungkin menemukan bukti kredit diri mereka untuk sukses, menerima tanggung jawab atas kegagalan mereka, biasanya merasakan diri mereka sepadan dengan orang lain, niscaya memulai bekerja dan beraktivitas meningkatkan diri, bahagia, hidup layak dengan penyesuaian yang baik, mengalami emosi positif. 2. Ciri-ciri individu dengan self esteem rendah. Sedangkan ciri individu dengan self esteem rendah antara lain : sering mengalami kesulitan untuk melihat hal positif tentang apa yang dilakukan, cenderung khawatir akan hidup dan tidak ingin mengambil resiko, cenderung tidak mendapatkan pujian akan suksesnya, mengira kegagalan merupakan tanggung jawab mereka dan bukti baginya telah berbuat dengan kurang baik, merasakan lebih rendah dari orang lain, cenderung menjadi tidak termotivasi untuk meningkatkan diri, tetapi melindungi diri mereka
melawan terhadap kegagalan atau disappointment dari semua perbuatannya., tidak bahagia dan tidak merasa cukup dengan diri sendiri dan tidak menyesuaiakan diri den1gan baik, cenderung mengalami tekanan, keputusasaan dan pemikiran putus asa dan bunuh diri (Steward, 2000). Self esteem dapat diukur salah satunya melalui inventori CSEI (Coopersmith Self Esteem Inventory ). Nilai tinggi pada CSEI mengindikasikan tingginya self esteem pada seseorang. Atau lebih jelasnya, quartil atas dari total skor CSEI mengindikasikan tingginya self esteem, quartil bawah mengindikasikan rendahnya self estem dan antar quartil mengindikasikan self esteem sedang. Pengukuran Self Esteem. Harga diri rendah yang terbentuk pada perempuan korban kekerasan tentu tidak hanya terjadi pada satu-dua peristiwa hidup yang sederhana saja. Ketika seseorang mengalami tindak kekerasan, peristiwa yang dialami bisa menjadikannya pengalaman traumatic. Sebab-sebab trauma buka semata gejala kejiwaan yang bersifat individual. Trauma muncul akibat dari saling keterkaitan antara ingatan sosial dan ingatan pribadi tentang peristiwa terjadi yang menggocang eksistensi kejiwaan. Menurut ahli psikoanalisa Freud trauma adalah ingatan yang merepresi. Rasa trauma menimbulkan ketakutan yang berasal dari ingatan kolektif yang menggoncamgkan jiwa. Trauma adalah ketakutan keterkejutan yang menakutkan bagi seseorang. Trauma menimbulkan ketakutan dan ketidakberdayaan. Terdapat beberapa tanda seseorang mengalami trauma, yaitu : mengalami gangguan pada perasaan (feeling), pikiran (thoughts), perilaku (behaviour), fisik (fisiologi). Perasaan traumatis ditandai dengan cemas (anxious), takut (scared), cepat marah (irritable), berubahnya suasa hati (moody). Sedangkan pikirannya menyebabkan harga diri (self esteem) rendah, takut gagal, tidak mampu berkonsentrasi, mudah kecewa, takut dengan bayuangan masa depan dan lalai. Perilaku yang mengiringi ialah gagap, sulit bicara, menagis berlebihan, menuruti kata hati. Perilakunya menyebabkan ketidak berdayaan yang ditandai dengan mudah terkejut, menutup mata, diam, sakit kepala, gemetaran, diare dan lumpuh. Pada tingkat proyeksi, seseorang yang mengalami trauma akan mengalami beban psikologis yang amat berat. Takut terhadap orang lain, atau takut terhadap sesuatu yang bisa menghubungkannya dengan penyebab trauma. Contoh korban tsunami akan sangat ketakutan dengan suara deru ombak di pantai dan sebagainya. Trauma dan ancaman kesejahteraan hidup akan menempatkan individu di tengah resiko, terutama ketika trauma dan ancaman itu melampaui kemampuan insan untuk mengatasi secara konstruktif dan efektif. Individu akan makin rentan dengan menghadapi resiko tinggi jika diterpa trauma dan ancaman yang berkepanjangan. Misalnya mereka yang tergolong kaum miskin, pengangguran, anak-anak yatim piatu, kehilangan anggota keluarga dan cacat. Di sinilah peran konselor yang perlu mengembangkan strategi intervensi yang tepat untuk meringankan dampak negatif trauma dan ancaman yang dialami masing-masing klien.
Harga diri yang rendah menjadi kelemahan psikologis yang dialami korban kekerasan. Seperti yang sudah dijelaskan peristiwa traumatis mengarahkannya pada pikiran-pikiran negatif yang terus menganggu baik itu tantang diri maupun lingkungannya. Hal itu berakibat pada penilaian negatif pada diri dan lingkungan. Penilaian negative tersebut menjadi penyebab rendahnya harga diri korban kekerasan. Penilaian negative tentang diri dan lingkungan tersebut menjadi penyebab rendahnya harga diri korban kekerasan. Korban kekerasan mustahil dapat mengembangkan hubungan positif dengan lingkungan di sekitarnya karena pikiranpikiran negatif senantiasa selalu menghantuinya. Usaha mengembangkan hubungan baik dengan lingkungan pada korban kekerasan harus dimulai dari mengubah pikiranpikiran negatif menjadi pikiran-pikran positif mereka agar mereka dapat membentuk harga diri yang tinggi. Hipotesis.Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah : 1. Ada perbedaan self esteem siswa SLTA korban kekerasan yang diatasi dengan model membangun hubungan (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan) dengan yang tidak diatasi dengan model membangun hubungan. 2. Model membangun hubungan (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan) dapat efektif meningkatkan self esteem siswa SLTA perempuan yang menjadi korban kekerasan. C. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen, karena dilakukan kontrol langsung berupa manipulasi terhadap variabel bebas serta kontrol melalui randomisasi penempatan subjek ke dalam kelompok yang diberi perlakukan dan tidak diberi perlakuan (Kerlinger, 1993:605). Model rancangan eksperimen yang digunakan adalah Pretest-Posttest Control Group Design, karena desain ini sesuai untuk mengkaji perubahan yang mempengaruhi subjek eksperimental dalam kurun waktu antara pre tes dan post tes dengan melibatkan kelompok kontrol sebagai pembanding. Mengacu pada Campbell dan Stanley (1963:13-16) dan Kerlinger (1993:539-542), maka eksperimen ini akan menggunakan rancangan sebagai berikut: Tabel 1. Rancangan Eksperimen Penelitian Subjek Kelompok Kontrol Kelompok Pelatihan
Pretes T0 T0
Perlakuan X1
Postes T1 T1
Keterangan: T0 = pengukuran yang dilakukan terhadap subjek sebelum adanya perlakuan
X1 = perlakuan yang diberikan kepada subjek berupa model membangun hubungan T1 = pengukuran yang dilakukan terhadap subjek setelah adanya perlakuan. Subjek penelitian ini adalah 16 siswa perempuan korban kekerasan dengan karakteristik sebagai berikut: Usia remaja antara 15-18 tahun, diidentifikasi oleh guru BK menjadi korban kekerasan domestik maupun seksual, memiliki taraf intelegensi rata-rata, menempuh studi di SLTA., pelajar SMK Trisila Penentuan karakteristik subjek didasarkan atas aspek yang dikontrol untuk dapat digunakan sebagai generalisasi pada populasi yang sama. Berdasarkan sejumlah yang terseleksi, subjek dikategorikan ke dalam dua kelompok. Dari sejumlah subjek yang telah terbentuk kemudian ditentukan kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Subjek dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) kelompok yang diberi perlakuan model membangun hubungan dan (2) kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan model membangun hubungan tetapi hanya berupa model konvensional dari guru BK berupa konseling individual klasik. Penentuan ini dilakukan secara randomisasi sebagai kontrol homogenitas subjek dan varian ekstra (Kerlinger, 1993:500). Besarnya ukuran sampel ditentukan oleh pertimbangan efektivitas diskusi kelompok yaitu di dalam satu kelompok kurang dari 20 orang (Arbuthnot dan Faust, 1981:128); yang berlaku untuk kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Identifikasi Variabel: Variabel Tergantung: Self esteem siswa perempuan korban kekerasan. Variabel Bebas: Model membangun hubungan pengubahan pikiran negatif ke positif tentang diri dan lingkungan Self Esteem menurut Coopersmith adalah penilaian yang dibuat seseorang yang berdasarkan penilaian/ penghargaannya pada diri sendiri. Self esteem mengekspresikan perilaku atas apa yang disetujui atau tidak disetujui dan mengindikasikan tingkatan sejauh mana seseorang menilai kesuksesan, keberhargaan, dan kemampuan dirinya (www.coe.iup/rjl/instruction/cml50/selfinterpretation/csei.htm). Singkatnya Self Esteem seseorang adalah penilaian atas (sejauh mana seorang individu menghargai) dirinya yang tercermin dari perilaku terhadap diri sendiri. Itu adalah pengalaman subyektif yang disampaikan pada orang lain melalui cara verbal dan perilaku ekspresif yang jelas. Model membangun hubungan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai metode yang dilakukan dengan membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan siswa perempuan korban kekerasan. Caranya melalui Cognitive Restructuring (CR) yaitu mengidentifikasi dan memusatkan perhatian pada modifikasi kognitif serta membantu individu menghentikan pikiran-pikiran negatif dan menggantinya dengan pikiran-pikiran yang positif. Menurut Cormier dan Cormier (1985) tahapan CR adalah sebagai berikut a. rasional b. identifikasi pikiran klien dalam situasi problem, c. pengenalan dan latihan coping thought d.pindah dari
pikiran-pikran negative ke coping thought e. pengenalan dan latihan penguat positif, f. tugas rumah. . Sesuai dengan definisi operasional yang diajukan maka alat ukur yang digunakan adalah yang dikembangkan oleh Coopersmith atau yang disebut Coopersmith Self Esteem Inventory (CSEI). Dalam bentuk asli, disusun Coopersmith pada tahun 1967. pada awalnya berisi 50 aitem yang dijawab dengan like me atau unlike me. Dalam bentuk pendek, berisi hanya 25 aitem. Bentuk pendek ini berkorelasi setinggi 0,95 dengan bentuk panjang yang berisi 50 aitem (Coopersmith dalam Azwar, 2000). Pilihan jawaban ada 2 (dua) yaitu Ya dan Tidak. Ada dua jenis pertanyaan, favorabel dan unfavorabel. Skoring untuk Pertanyaan favorabel : untuk jawaban Ya pada diberi nilai 1 dan untuk jawaban Tidak diberi nilai 0. Skoring untuk Pertanyaan unfavorabel : untuk jawaban Ya pada diberi nilai 0 dan untuk jawaban Tidak diberi nilai 1. Skala penilaian ini pernah diujicobakan pada sampel lain untuk dicari tingkat validitas dan reliabilitas alat ukur sebagai syarat mendapatkan informasi ilmiah (Hadi, 2000:92-93). Validitas dan reliabilitas yang dimaksud untuk menguji kesahihan butir dan menguji keandalan butir dalam tiap konstrak. Paket model membangun hubungan dikembangkan melalui langkah-langkah Cognitive Restructuring menurut Cormier dan Cormier (1985) sebagai berikut : a. Langkah pertama : Rasional b. Langkah kedua : Identifikasi pikiran klien dalam situasi problem c. Langkah ketiga : Pengenalan dan latihan coping thought d. Langkah keempat : Pindah dari pikiran-pikiran negatif ke coping thought e. Langkah kelima : Pengenalan dan latihan penguat positif f. Langkah keenam : Tugas Rumah Tahap pengolahan dan analisis data meliputi pengolahan data CSEI (Coopersmith Self Esteem Inventory) sebagai data pretes dan postes. Prosedur pelaksanaan pelatihan Neuro-Linguistic Programming yaitu sebagai berikut: 1. Mempersiapkan media alat dan materi pelatihan. 2.Membuka materi dan memberi rasa aman secara psikologis.3. Menjelaskan dasar-dasar pelatihan secara teoritis dan ujicoba praktis. 4. Melaksanakan langkah-langkah pelatihan sesuai teknik cognitive restructuring. 5.Mengungkapkan kesan yang diperoleh dari metode ini. 6. Melakukan analisis terhadap hasilnya Analisis data menggunakan Statistik Non Parametrik mengingat jumlah subyek penelitian yang relatif sedikit hanya 16 subyek memungkinkan sebaran data berdistribusi tidak normal. Untuk menganalisis hipotesis pertama digunakan Uji Mann-Whitney sedangkan hipotesis kedua menggunakan Uji Wilcoxon. Komputasi atau analisis data menggunakan jasa komputer dengan soft ware SPSS -11.5. D. Pembahasan Berdasarkan uji-Mann Whitney melalui SPSS 11.5 pada kelompok control dan kelompok yang diberi perlakuan model membangun hubungan diperoleh nilai Mann–
Whitney U= 5,000 dengan nilai exact 2*(1-tailed)= 0,03. Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan self esteem antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dengan demikian hipotesis alternatif pertama dalam penelitan ini dapat diterima. Yaitu lengkapnya ada perbedaan yang signifikan pada self esteem siswa SLTA korban kekerasan yang diatasi dengan model membangun hubungan (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan) dengan yang tidak diatasi dengan model membangun hubungan. Sedangkan hipotesis alternatif kedua tentang model membangun hubungan (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan) dapat efektif meningkatkan self esteem siswa SLTA perempuan yang menjadi korban kekerasan juga diterima karena hasil uji Wilcoxon menunjukkan jumlah sample = 8, nilai ratarata sebelum perlakuan 9 dan sesudah perlakuan meningkat 12,75, dari table rank diperoleh informasi yang bertanda negative 0 dan bertanda positif 8. artinya semua subyek mengalami peningkatan self esteem. Z= -2,539 dengan taraf signifikansi (2 tailed) = 0,01 taraf signifikansi = < 0,01 yang berarti bahwa model membangun hubungan (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan) dapat secara sangat signifikan meningkatkan self esteem siswa SLTA perempuan yang menjadi korban kekerasan Hal ini berarti bahwa model membangun hubungan (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan) efektif sebagai upaya meningkatkan self esteem siswa perempuan korban kekerasan. Analisis pada kelompok perlakuan yang menggunakan metode model membangun hubungan dibandingkan kelompok kontrol dengan metode konseling individual konvensional menunjukkan adanya perbedaan self esteem siswa perempuan korban kekerasan. Sedangkan analisis kedua menunjukkan model membangun hubungan (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan) dapat secara sangat signifikan atau efektif meningkatkan self esteem siswa SLTA perempuan yang menjadi korban kekerasan. Analisis ini menujukkan bahwa self esteem siswa perempuan korban kekerasan dapat ditingkatkan melalui model membangun hubungan dalam hal ini (membangun pikiran-pikiran positif tentang diri dan lingkungan). Coopersmith berdasarkan manual Coopersmith Self Esteem Inventory (www.coe.iup/rjl/instruction/cml50/selfinterpretation/csei.htm) mengatakan bahwa self esteem adalah seperangkat sikap dan kepercayaan yang mengarahkan seseorang dalam menghadapi dunianya. Termasuk di dalamnya kepercayaan apakah dia dapat mencapai sukses atau sebaliknya gagal, seberapa besar usahanya mendapatkan hasil, apakah kegagalan dalam suatu pekerjaan akan membuat luka atau apakah justru dari kegagalan seseorang mendapatkan suatu hasil dari pengalaman yang berbeda. Dalam istilah psikologi self esteem menyediakan seperangkat mentalitas yang mempersiapkan seseorang merespon berdasarkan harapan akan sukses, penerimaan dan kekuatan personal.
Korban kekerasan mengalami self esteem yang rendah karena mengalami peristiwa traumatik yaitu pengalaman kekerasan. Mereka akan mengalami rasa tidak percaya pada lingkungannya, kepercayaannya tentu menjadi sangat rendah untuk mendapatkan suatu hasil karena pengalaman-pengalaman negatifnya. sering mengalami kesulitan untuk melihat hal positif tentang apa yang dilakukan, cenderung khawatir akan hidup dan tidak ingin mengambil resiko, cenderung tidak mendapatkan pujian akan suksesnya, mengira kegagalan merupakan tanggung jawab mereka dan bukti baginya telah berbuat dengan kurang baik, merasakan lebih rendah dari orang lain, cenderung menjadi tidak termotivasi untuk meningkatkan diri, tetapi melindungi diri mereka melawan terhadap kegagalan atau disappointment dari semua perbuatannya., tidak bahagia dan tidak merasa cukup dengan diri sendiri dan tidak menyesuaiakan diri dengan baik, cenderung mengalami tekanan, keputusasaan dan pemikiran putus asa dan bunuh diri (Steward, 2000). Dengan perubahan self esteem menjadi tinggi diharapkan perilakunya juga berubah menjadi mempunyai hal positif dan harapan realisitis usaha dan hasilnya, biasanya tidak khawatir akan hidup an mengambil resiko, mungkin menemukan bukti kredit diri mereka untuk sukses, menerima tanggung jawab atas kegagalan mereka, biasanya merasakan diri mereka sepadan dengan orang lain, niscaya memulai bekerja dan beraktivitas meningkatkan diri, bahagia, hidup layak dengan penyesuaian yang baik, mengalami emosi positif. Mengarahkan korban kekerasan kepada pernyataan-pernyataan diri yang lebih positif ternyata dapat meningkatkan harga dirinya. Hal ini berarti bahwa korban kekerasan dapat lebih positif menghadapi diri dan lingkungannya. Dengan demikian dampak dari peristiwa kekerasan dapat diatasi. E. Penutup Terdapat perbedaan peningkatan self esteem pada diri siswa perempuan korban kekerasan secara signifikan antara kelompok subyek yang diberi metode model membangun hubungan dengan subyek pada kelompok kontrol. Di sisi lain metode model membangun hubungan efektif meningkatkan self esteem siswa perempuan korban kekerasan. Penelitian ini membuktikan bahwa individu yang banyak memperoleh manfaat meningkatkan self esteem adalah mereka yang bersungguh-sungguh dan berpartisipasi aktif dalam pelatihan dengan metode model membangun hubungan. Oleh karena itu bagi praktisi yang akan menggunakan metode ini perlu menekankan pada klien bahwa keberhasilan klien dalam mengatasi masalahnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri. Kondisi siswa yang memiliki permasalahan psikologis yang cukup dalam yaitu menjadi korban kekerasan memang dibutuhkan ketelatenan konselor dalam memberikan treatmen. Konselor yang menjadi praktisi diharapkan mampu memotivasi siswa korban kekerasan dalam menjalin hubungan yang lebih positif dengan diri sendiri maupun
lingkungannya. Diharapkan siswa dapat mengangkat pikiran-pikiran negatifnya diganti menjadi pikiran-pikiran yang lebih positif tentang bagaimana ia memandang diri maupun lingkungannya. Sedangkan untuk selajuntnya perlu penelitian tahap lanjut dengan subjek dengan karakteristik berbeda dan jumlah lebih banyak. Perlu literatur yang lebih luas dan dalam, serta kemampuan terapan yang terlatih bila menggunakan metode pelatihan model membangun hubungan.Mengembangkan model membangun hubungan pada tingkat lanjut tidak hanya di tingkat individu korban kekerasan saja melainkan penanganan di tingkat orang tua, teman sebaya, sekolah dan masyarakat di sekitar siswa perempuan korban kekerasan. Daftar Pustaka Aspy. B. Cherly. Et.al. 2004. Adolescent Violence: The Protective effects of youth Assets. Journal of Counseling & Devolepment.. 4.239-245. Azwar. Saifuddin. 2000.Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Campbell, D.T., & Stanley, J.C. 1963. Experimental and Quasi experimental Design for Research. Chicago: Rand Mc.Nally Publishing Co. D’Andrea. Michael 2004. Comprehensive School-Based violence Prevention Training: A Developmental-ecological Training Model. Journal of Counseling & Devolepment. 4.105-110. Ginter. J. Earl. JCD’s 2004 Special Section on School Violence: Reactions and Thoughts of a Counselor. Journal of Counseling & Devolepment. 2 .78-89 Handayani et al 1998. Efektivitas Pelatihan Pengenalan Diri Terhadap Peningkatan Penerimaan Diri dan Harga Diri. Jurnal.2. 47-55 Newman, Dawn et.al. 2005. Bully Busters:A Psychoeducational Intervention for Reducing Bullying Behavior in Middle School Students. Journal of Counseling & Devolepment. 2.112-119. Salmiavalli, C & Kaukianinen, A. 1999. Self Evaluated, self esteem, peer evaluated self esteem, and defense egitism as predictor of adolescents participation in bulying situations. Personality and Social Psychology Bulletin, 25 (10), 12681279. Sciarra T. Daniel. 2004. School Counseling. Foundations and Contemporary Issues. Thomson.
Stenley. H.P. et.al. 2004. Using an Invitational Theory of Practice to Create Safe and Successful Schools. Journal of Counseling & Devolepment. 20. 15-19. Steward, William. 2000. Building Self Esteem. Kuala Lumpur: Golden Books Center. SDN Smith. C. Douglas, Sandhu. S 2004. Toward a Positive Perspective on Violence Prevention in Schools: Building Connections. Journal of Counseling & Devolepment. (82).287-293.