EFEKTIFITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (DPL-BM) (KASUS DPL-BM BLONGKO, MINAHASA SELATAN, DPL-BM PULAU SEBESI, LAMPUNG SELATAN DAN APL PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU)
RIANA FAIZA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ini adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor,
Agustus 2011
Riana Faiza C261040171
ABSTRACT
Riana Faiza. Effectiveness and Sustainability Community Based Marine Sanctuary Management (CBMSM): Cases of CBMSM of Blongko, SebesiIsland and Harapan Island. Under Supervision of Tridoyo Kusumastanto, Mennofatria Boer, FredinanYulianda and Dietriech G. Bengen. Indonesian marine conservation policy was already established trough national law: UU No. 27/2007 concerning coastal and marine resources management and small island and also Government Regulation : PP No. 60/2007 concerning fisheries resources conservation. The target of national marine conservation by 2020 is to establish 20 million ha of marine protected areas. This research contribute to better marine and coastal conservation management for the future. General objective of this research is to evaluate the sustainability of marine sanctuaries in three locations. Specific objectives are (1) to determine the key factor which relates to marine sanctuary management; (2) to evaluate the effectiveness and sustainability of marine sanctuary, and (3) to formulate a strategic action for the development of marine sanctuary. The research were conducted at three locations, which are Blongko, North Sulawesi Province, Sebesi Island, Lampung Province, and Harapan Island, Jakarta Province. The data were collected from June 2007 to December 2007. The method of analysis consist of (1) natural resources analysis by quantitative analysis, (2) economic valuation, (3) effectiveness and sustainability analysis by multi dimension scaling analysis and discriminant analysis. There are 32 attributes has been analyzed to evaluate the sustainability of marine sanctuaries in three location. By using the analysis of attributes leverage method, it was found the attribute with high sensitivity that relate to the quality of coral reef and coral fish (ecological and environmental dimension); contribution of income, alternative livelihood and multiplier effect of marine sanctuary (economic and social dimension); legal aspect, local regulation and internalization of the program to local development program (policy dimension); and guidelines of marine sanctuary, extention offficer programs and capacity building, and participation of non government insitution (institutional dimension).The value of sustainability. index are: Blongko (63,83), Sebesi Island (72,41) and Harapan Island (36,30). Management strategies proposed, are (1) increasing the quality of coral reef and coral fish through protection from destructive fishing; (2) develop alternative livelihood such as mariculture, fish processing, environmentaly friendly fishing activities, marine ecotourism ; (3) internalization of the marine sanctuary to local development programs; and (4) involve the non government organization in marine sanctuary programs. Key Words: Effectiveness, sustainability, multi dimensional scaling, management strategy, Sustainability Community Based Marine Sanctuary Management (CBMSM):.
RINGKASAN Riana Faiza. Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM): Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan DPL-BM Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. Pembimbing: Tridoyo Kusumastanto, Mennofatria Boer, Fredinan Yulianda, dan Dietriech G. Bengen Sadar akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut bagi kelangsungan hidup manusia terutama bagi masyarakat pesisir, telah menumbuhkan kesadaran bagi segenap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk melindungi sumberdaya tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar sumberdaya alam tersebut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengalokasian suatu kawasan laut menjadi daerah yang dilindungi dari berbagai jenis kegiatan pemanfaatan tertentu merupakan wujud nyata upaya pengelolaan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan laut. Daerah Perlindungan Laut (DPL) Berbasis Masyarakat merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu karang. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeterminasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat; (2) mengevaluasi efektifitas dan keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat; dan (3) merumuskan strategi pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Adapun manfaat penelitian adalah (1) tersedianya konsep atau model pengelolaan daerah perlindungan laut yang optimal yang dapat diterapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan; dan (2) masukan bagi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan daerah perlindungan laut. Penelitian dilakukan di tiga lokasi, yaitu (1) DPL-BM Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara, (2) DPL-BM Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan-Provinsi Lampung, dan (3) APL-BM Pulau Harapan, DKI Jakarta. Untuk mengkaji efektifitas dan keberlanjutan program DPL di tiga lokasi digunakan analisis skala multi dimensi (Multi Dimensional Scalling) dengan menggunakan program RAPSMILE yang dimodifikasi berdasarkan atribut yang dinilai. Hasil analisis leverage atribut diperoleh beberapa atribut sensitif terhadap keberlanjutan pengembangan DPL, yaitu (1) aspek ekologi dan lingkungan yang meliputi peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan karang, penurunan tekanan dan eksploitasi terumbu karang, dan pengembangan program perlindungan sumberdaya pesisir dan laut, (2) aspek sosial ekonomi dan budaya yang terdiri dari kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat; pengembangan mata pencaharian alternatif dan penyerapan tenaga kerja,dan munculnya efek ganda program DPL, (3) aspek kebijakan yang meliputi legalitas program DPL, dukungan dalam hal peraturan daerah, dukungan dalam hal program pembangunan dan internalisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah; dan (4) aspek kelembagaan yang terdiri dari aturan pengelolaan DPL, program pendampingan dan pelatihan, pelaksanaan kegiatan
monitoring dan evaluasi serta keterlibatan lembaga non pemerintah (swasta dan LSM). Secara umum prospek keberlanjutan program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi masing-masing pada kategori sedang, yaitu di antara nilai IBDPL 50.01– 75.00 pada skala 0-100. Adapun APL Pulau Harapan masih rendah, yaitu kurang dari 50. Nilai indeks keberlanjutan berdasarkan aspek/dimensi adalah (1) ekologi dan lingkungan: DPL Blongko (83.28); DPL Sebesi (87.74) dan APL Harapan (52.89); (2) sosial Ekonomi dan Budaya: DPL Blongko (54.28); DPL Sebesi (65.18); dan APL Harapan (24.62); (3) kebijakan: DPL Blongko (57.22); DPL Sebesi (60.25); APL Harapan (25.26); dan (4) kelembagaan: DPL Blongko (65.47); DPL Sebesi (82.29); dan APL Harapan (49.09). Strategi pengelolaan yang disarankan untuk menjaga keberlanjutan DPL adalah (1) peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan di kawasan DPL melalui pelarangan kegiatan yang merusak sumberdaya terumbu karang; (2) pengembangan mata pencaharian alternatif guna mendukung program DPL sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat; (3) internalisasi program DPL kedalam program tahunan pemerintah daerah, sehingga program ini mendapatkan perhatian secara kontinyu; dan (4) pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam pengembangan DPL, sehingga berbagai keterbatasan yang dimiliki masyarakat dan pemerintah daerah dapat diatasi. Kata kunci: efektifitas, keberlanjutan, Daerah Perlindungan Laut-Berbasis Masyarakat (DPL-BM), Skala Multi Dimensi (MDS), dan strategi pengelolaan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
EFEKTIFITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN DAERAH PERLINDUNGAN LAUT BERBASIS MASYARAKAT (DPL-BM) (KASUS DPL-BM BLONGKO, MINAHASA SELATAN, DPL-BM PULAU SEBESI, LAMPUNG SELATAN DAN APL PULAU HARAPAN KEPULAUAN SERIBU)
RIANA FAIZA
DISERTASI Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1.
Dr. Ir. Budi Wiryawan, M.Sc
2.
Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1.
Dr. Ir. Sudirman Saat, M.Sc.
2.
Dr. Endhay Kusnendar, MS.
Judul Disertasi
:
Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) (Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan DPL-BM Pulau Harapan, Kepulauan Seribu)
Nama
:
Riana Faiza
Nomor Pokok
:
C261040171
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota
Dr. Ir. Fredinan Yulianda, MSc Anggota
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.
Tanggal Ujian : 27 Mei 2011
Tanggal Lulus : ...........................
PRAKATA
Segala puji dan syukur tercurah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada seisi alam pencipta dan pemelihara semesta beserta isinya. Demikian halnya dalam penulisan disertasi ini, berkat pertolongan dan ridho-Nya dapat dilaksanakan dengan baik. Efektifitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan suatu kajian ilmiah tentang pengembangan daerah perlindungan laut. Penelitian ini mengkaji parameter apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan program pengelolaan daerah perlindungan laut. Selain itu, penelitian ini juga mengkaji efektifitas dan prospek keberlanjutan program DPL berdasarkan parameter yang telah ditentukan. Pada bagian akhir, disusun strategi pengelolaan sebagai suatu masukan bagi pengelolaan daerah perlindungan laut agar berkelanjutan. Melalui pengembangan DPL-BM. Diharapkan kualitas sumberdaya dan lingkungan tetap terjaga dan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Saya mengharapkan kiranya disertasi ini dapat menjadi masukan dalam mengembangkan program DPL-BM dimasa yang akan datang, mengingat program DPL-BM di Indonesia baru berkembang beberapa tahun terakhir. Penelitian ini dibawah bimbingan: (1) Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS; (2) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA; (3) Dr. Ir. FredinanYulianda, MSc; dan (4) Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Untuk itu disampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada pembimbing yang telah memberikan arahan selama penyusunan disertasi ini. Semoga amal kebajikan dan kerelaan mendidik diberi pahala yang setimpal di sisi Allah SWT. Semoga disertasi ini dapat memberi manfaat bagi masyarakat, instansi terkait dan stakeholder dalam mengelola sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Bogor, Agustus 2011
Riana Faiza
UCAPAN TERIMA KASIH Disertasi ini tak akan pernah selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Berkaitan dengan hal tersebut penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Bapak Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto MS., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak awal penulisan disertasi ini hingga selesai. Berkat bimbingan beliau disertasi ini diharapkan dapat berguna bagi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Bapak Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA., yang berperan memberi masukan kepada penulis dalam pengolahan data dan statistika, sehingga mendorong penulis untukberpikir sistematis dan kritis terhadapdata hasil penelitian. Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA., ditengah kesibukan beliau telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan memotivasi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc, dengan sabar membantu penulis menjelaskan berbagai hal terkait dengan penyusunan disertasi ini. Bapak Dr. Ir. Luky Adrianto M.Sc. dan Bapak Dr. Budi Wiryawan, M.Sc., yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing pada ujian tertutup. Bapak Dr. Ir. Sudirman Saat M.Sc. dan Bapak Dr. Endhay Kusnendar, MS., yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi Penguji Luar Komisi Pembimbing pada ujian terbuka. Bapak Dr. Ir. Moch Rahardjo MS, dan Bapak Drh. Edy Setiarto MS. yang telah mendorong penulis untuk melanjutkan kuliah dengan memberikan izin belajar pada waktu beliau menjabat sebagai Kepala Dinas, sehingga penulis dapat melanjutkan program S3 di IPB. Ibu Ir. Ipih Ruyani M.Si, selaku Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan program S3 di IPB. Rekan-rekan kerja di Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, Dinas Perikanan Manado, Sulawesi Utara, dan Dinas Perikanan Lampung yang banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian, dan memberikan informasi untuk melengkapi disertasi ini. Teman-teman pengelola DPL Desa Blongko, Sulawesi Utara, Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan yang telah membantu penulis selama melaksanakan penelitian. Terima kasih yang tak terhingga kepada Almarhum Suami tercinta, anakanak tersayang, Orang Tua, Mertua, dan teman-teman serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan moril dan materil selama penulis menyelesaikan disertasi ini.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 1964, merupakan anak kedua dari dua bersaudara keluarga Bapak Drs. Moh. Masrohdan Ibu Onny ZD Suratenaiya. Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan di SD Negeri Sindoro Pagi Jakarta Selatan (1976), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 111 Jakarta Barat (1980). Sekolah Menengah Atas di Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan (SMPP ) 35 sekarang SMAN 78 Jakarta Barat (1983). Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui undangan jalur Proyek Perintis II. Pendidikan sarjana diselesaikan di Fakultas Perikanan IPB, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Febuari 1988. Pada tahun 2000 penulis melanjutkan pendidikan pascasarjana S2, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan dan lulus pada tanggal 16 Agustus 2002. Selanjutnya pada tahun 2004, penulis melanjutkan program Doktor di IPB, pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Penulis diterima bekerja sebagai PNS di Dinas Perikanan DKI Jakarta sejak tahun 1989. Penulis menjadi Kepala LPPMHP (1995 -2005). Menjabat sebagai Kepala Suku Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan Jakarta Utara (2005-2008). Penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Perikanan (2008- 2010). Sejak Febuari 2010 sampai dengan saat ini penulis menjabat sebagai Kepala Bidang Kelautan. Selama bekerja penulis mendapat kesempatan mengikuti berbagai pelatihan di dalam dan luar negeri, diantaranya. Penulis mendapat kesempatan belajar di Kumamoto Jepang (1992-1993). Pelatihan Arbitration and Dispute Settlement, di Washington, DC. USA (1997). Pelatihan Eco Labelling, Italia (2004), Pelatihan Antibiotik Chloramphenicol di Manchaster, Inggris, (2005), Codex Allementrius di Cape Town Afrika Selatan (2007), dan sebagainya. Penulis menikah dengan Mohammad Tauhid, SE, MM (Alm.), Direktur HRD PT Jaring Data Interaktif pada tanggal 8 Agustus 1987 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Hudzaifil Hazen (Jakarta, 3 Juni 1988) lulus kuliah Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan anak kedua, Hirzi Hasan (Jakarta 7 Desember 1993) kelas XI di SMAN 78 Jakarta Barat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xxiii DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxvii 1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 1.4 Kerangka Pemikiran ..................................................................... 1.5 Kebaharuan (Novelty) ..................................................................
1 1 3 5 5 8
2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu.......................................... 2.2 Pulau-Pulau Kecil ........................................................................ 2.3 Kawasan Konservasi Laut (Marine Sacntuary) ........................... 2.4 Daerah Perlindungan Laut . ......................................................... 2.4.1 Tujuan Daerah Perlindungan Laut .................................... 2.4.2 Metode Pengelolaan DPL-BM .......................................... 2.4.3 Lokasi dan Ukuran DPL..................................................... 2.5 Keberhasilan Program DPL ......................................................... 2.6 Pengertian Efektifitas dan Keberlanjutan .................................... 2.7 Pengertian Pengelolaan Berbasis Masyarakat.............................. 2.8 Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil....................... 2.9 Multidimensional Scaling ............................................................
9 9 10 12 14 14 15 16 17 19 21 22 24
3
METODOLOGI ................................................................................... 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ....................................................... 3.2 Kerangka Pendekatan Penelitian .................................................. 3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 3.4 Metode Pengumpulan Data .......................................................... 3.5 Analisis Data............................................................................... . 3.5.1 Analisis Potensi Sumberdaya Alam ................................ 3.5.2 Analisis Nilai Ekonomi Sumberdaya ............................. Pulau-pulau Kecil ............................................................ 3.5.3 Analisis Efektifitas Pengelolaan DPL ............................. 3.5.4 Analsisis Keberlanjutan Pengembangan DPL ................ 3.6 Batasan Penelitian .......................................................................
27 27 30 32 32 34 34
KARAKTERISTIK LOKASI STUDI ................................................. 4.1 Karakteristik Ekologi ................................................................... 4.1.1 Daerah Perlindungan Laut Daerah Blongko ................... 4.1.2 Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi ......................... 4.1.3 Area Perlindungan Laut Pulau Harapan.......................... 4.2 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya .................................. 4.2.1 Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko .......................
55 55 55 58 62 66 66
4
xxi
35 38 45 53
xxii
4.2.2 Daerah Perlindungan Laut Desa Pulau Sebesi ................ 4.2.3 Area Perlindungan Laut Pulau Harapan .......................... 4.3 Estimasi Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir ............................... 4.3.1 Estimasi Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove................ 4.3.2 Estimasi Nilai Ekosistem Terumbu Karang ....................
67 70 72 72 74
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 5.1 Evaluasi Pengelolaan Daerah Perlindngan Laut........ .................. 5.1.1 DPL Blongko ................................................................... 5.1.2 DPL Pulau Sebesi ............................................................ 5.1.3 APL Pulau Harapan ......................................................... 5.2 Penilaian Efektivitas Pengelolaan DPL ....................................... 5.3 Evaluasi Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan ........ Laut ......................................................................................... 5.3.1 Penilaian Parameter Keberlanjutan ................................. 5.3.1.1 DPL-BM Blongko .............................................. 5.3.1.2 DPL Pulau Sebesi .............................................. 5.3.1.3 APL Pulau Harapan ........................................... 5.3.2 Indeks Keberlanjutan Pengembangan DPL ..................... 5.4 Telaah Konsep Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut .......... 5.4.1 Skenario Berdasarkan Kondisi Aktual .............................. 5.4.2 Skenario Berdasarkan Perbaikan Atribut Sensitif ............. 5.4.3 Skenario Berdasarkan Kondisi Ideal ................................. 5.5 Strategi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut .........................
77 77 77 82 85 89 93 95 95 101 109 115 126 126 129 132 135
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 6.1 Kesimpulan....... ........................................................................... 6.2 Saran......................... ...................................................................
137 137 138
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
139
LAMPIRAN ...............................................................................................
147
5
6.
DAFTAR TABEL Halaman 1
Kebutuhan data biofisik ....................................................................
33
2
Kriteria persentase penutupan karang hidup ....................................
34
3
Kelas kehadiran masing-masing jenis lamun ....................................
35
4
Ringkasan parameter penilaian efektifitas pengelolaan DPL ...........
43
5
Matriks analisis efektifitas pengembangan DPL ditiga lokasi penelitian ...........................................................................................
45
6
Kategori penilaian keberlanjutan pengelolaan DPL .........................
52
7
Kualitas tutupan karang di DPL Blongko Tahun 2007 .....................
57
8
Hasil pengukuran kualitas terumbu karang di DPL Pulau Sebesi ....
59
9
Persentase tutupan karang di Pulau Harapan ....................................
65
10
Indeks keragaman, keseragaman dan dominasi ikan karang di Pulau Harapan...................................................... .......................................
65
Perbandingan persentase penututupan karang hidup tahun 2003, 2007, dan 2009 di DPL Blongko................................ .....................
81
Perbandingan persen penutupan karang hidup tahun 2006, 2007 dan 2009 di APL Pulau Harapan .............................................................
88
11 12 13
Nilai akar ciri dan persentasi ragam ketiga DPL/APL pada sumbu (komponen utama) pertama (F1) dan sumbu (komponen utama) kedua (F2) ........................................................................................ Korelasi variabel-variabel efektifitas pada sumbu pertama (F1) dan sumbu kedua (F2)..............................................................................
89
15
Uji nilai rata-rata kelompok variabel pada ketiga DPL/APL ............
90
16
Nilai (skor) variabel efektifitas pengelolaan DPL Blongko, DPL P. Sebesi, APL P. Harapan ...............................................................
91
14
89
17
Nilai (skor) atribut keberlanjutan pengembangan DPL Desa Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan...................................... 94
18
Nilai indeks keberlanjutan pengembangan DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan ....................................................... 116
19
Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada kondisi aktual ....................................................................................
127
Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada skenario kedua (perbaikan) ...............................................................
130
Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada . kondisi ideal ......................................................................................
132
20 21
xxiii
xxiv
DAFTAR GAMBAR Gambar
Uraian
Halaman
1
Kerangka analisis penelitian .................................................................
6
2
Contoh DPL-BM yang dibuat di sekitar pulau kecil (Tulungan et al. 2003). ...........................................................................................
17
Peta Lokasi Penelitian (DPL Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara, DPL Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan–Provinsi Lampung, dan APL Pulau Harapan, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu–Provinsi DKI Jakarta) ...
29
4
Kerangka penelitian ..............................................................................
31
5
Daerah perlindungan laut Desa Blongko ..............................................
56
6
Peta lokasi daerah perlindunga laut Pulau Sebesi ................................
60
7
Peta lokasi pengembangan APL Pulau Harapan, Kabupaten Kepulauan Seribu (Dinas P2K-DKI Jakarta, 2006 ...............................
63
Kontribusi masing-masing DPL/APL pada sumbu (komponen utama) pertama (F1) dan Sumbu (komponen utama) kedua (F2) ........
90
Distribusi atribut efektifitas pengelolaan DPL Blongko, Sebesi dan APL Pulau Harapan ..............................................................................
92
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan .........................................................
116
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek ekologi dan lingkungan ............................................................................................
117
Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek ekologi dan lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. ......
118
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek sosial ekonomi dan budaya………………………………. ...........................................
119
Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek sosial ekonomi dan budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ....... .
120
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek kebijakan setempat ...... .
121
Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek kebijakan yang ...... dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. ..................................
122
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek kelembagaan. ........................................................................................
123
3
8 9 10 11
12 13
14 15 16 17
xxv
xxvi
18
Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek kelembagaan setempat yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS ..........
124
Diagram laying-layang keberlanjutan pengelolaan DPL Blongko, DPL Sebesi, dan APL Pulau Harapan ..................................................
124
Distribusi keberlanjutan pengelolaan DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan ...........................................................
125
21
Grafik keberlanjutan ketiga DPL pada kondisi aktual ........................
128
22
Grafik keberlanjutan ketiga DPL pada kondisi perbaikan ...................
130
23
Perbandingan skenario keberlanjutan DPL Blongko ...........................
133
24
Perbandingan skenario keberlanjutan DPL P. Sebesi ..........................
133
25
Perbandingan skenario keberlanjutan APL P. Harapan .......................
134
19 20
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Uraian
Halaman
Parameter dan indikator penilaian efektifitas pengembangan program Daerah Perlindungan Laut di DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan ..............................................
147
2
Ringkasan parameter penilaian keberlanjutan pengelolaan DPL .....
149
3
Matriks indikator penilaian keberlanjutan pengembangan Daerah Perlindungan Laut......................................................
151
4
Perbandingan persentase penutupan karang hidup tahun 2002, 2005, 2007 dan 2009 di DPL Pulau Sebesi .................................................. .... 156
5
Ringkasan penilaian keberlanjutan DPL Blongko berdasarkan kondisi eksisting................................................................................
157
Ringkasan penilaian keberlanjutan DPL Sebesi berdasarkan kondisi eksisting................................................................................
159
Ringkasan penilaian keberlanjutan APL Pulau Harapan berdasarkan koondisi eksisting..............................................................................
161
6 7 8
Estimasi nilai ekonomi hutan mangrove di Desa Blongko, kecamatan Sinon Sayang, kabupaten Minahasa Selatan (US$/Ha) .................... 163
9
Estimasi nilai ekonomi hutan mangrove di Pulau Sebesi, kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan (US$/Ha) ............................
165
10
Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di Desa Blongko, kecamatan Sinon Sayang, kabupaten Minahasa Selatan (US$/Ha) .................... 167
11
Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di Pulau Sebesi, kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan (US$/Ha) ............................
169
Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di kelurahan Pulau Harapan, kecamatan Kepulauan Seribu Utara, kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (US$/Ha) .............................................................
171
12
xxvii
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan
kelestarian sumberdaya alam dan kesehatan
lingkungan. Berbagai dampak negatif yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebihan ini apabila dibiarkan terus menerus akan menjadi ancaman bagi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Kondisi ini terjadi karena kurang adanya kontrol terhadap eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut. Dalam pemanfaatan sumberdaya alam tersebut, masyarakat menganggap bahwa sumberdaya pesisir dan laut merupakan sumberdaya akses terbuka (open access resources), sehingga setiap orang atau pengguna berlomba-lomba untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa ada satu aturan pun yang membatasinya. Hal ini dilakukan karena setiap orang atau pengguna mempunyai asumsi bahwa orang lain juga akan memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sumberdaya alam yang banyak dieksploitasi secara berlebihan diantaranya adalah sumberdaya perikanan, terumbu karang, mangrove dan padang lamun yang merupakan bagian terbesar sumberdaya alam pulau-pulau kecil. Sumberdaya alam ini merupakan sumberdaya alam pulih yang cukup besar dan tersebar luas di wilayah pesisir Kepulauan Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki wilayah laut sangat luas (dua pertiga wilayah Indonesia). Suharsono (1998), mengemukakan bahwa Indonesia memiliki terumbu karang tidak kurang dari 60 000 km2 atau satu per delapan dari luas total terumbu karang yang terdapat di belahan dunia. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut.
Pada suatu hamparan ekosistem
terumbu karang bisa hidup lebih dari 300 jenis karang dan lebih dari 200 jenis ikan serta berpuluh-puluh jenis moluska, crustacea, sponge, algae, lamun dan biota lainnya.
2
Menyadari betapa pentingnya sumberdaya pesisir dan laut bagi kelangsungan
hidup
manusia
terutama
bagi
masyarakat
pesisir,
telah
menumbuhkan kesadaran bagi segenap pemangku kepentingan (stakeholder) untuk melindungi sumberdaya tersebut. Berbagai upaya dilakukan untuk menjaga agar sumberdaya alam tersebut tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pengalokasian suatu kawasan laut menjadi daerah yang terlindungi dari berbagai jenis kegiatan pemanfaatan tertentu merupakan wujud nyata dari upaya pengelolaan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) merupakan pendekatan yang umum diterapkan pada program pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki ekosistem terumbu karang. Daerah perlindungan laut dapat dianggap sebagai manisfestasi dari keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara lestari, kebutuhan untuk menikmati keindahan alam dan kebutuhan untuk melindungi ‘hak sebagai pemilik sumberdaya’ dari pengguna luar. Model DPL-BM telah banyak diimplementasikan oleh negara-negara yang memiliki hamparan ekosistem terumbu karang. Pengembangan DPL di Filipina dan Pasifik Selatan misalnya, telah terbukti secara efektif melindungi ekosistem terumbu karang, meningkatkan sumberdaya ikan di dalam daerah perlindungan dan meningkatkan produksi perikanan di sekitar DPL (Alcala 1988; Russ dan Alcala 1989). Daerah Perlindungan Laut juga efektif meningkatkan produksi perikanan dibandingkan dengan pengelolaan secara tradisional. Pengembangan DPL-BM merupakan pendekatan yang murah dan sederhana. Pengembagan DPLBM adalah pendekatan yang tepat untuk konservasi terumbu karang. Parejo et al. (1999) mencatat 439 DPL di Filipina dari berbagai jenis, dimana mayoritas DPL ini berbentuk DPL skala kecil yang dikelola oleh masyarakat yang berukuran kurang dari 30 hektar. Daerah perlindungan laut berbasis masyarakat merupakan upaya masyarakat untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya ekosistem terumbu karang dan sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang. Secara
3
umum, tujuan dari daerah perlindungan laut adalah (1) memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, dan memijah biota-biota laut, dan (2) memelihara fungsi sosial ekonomi kawasan pesisir bagi masyarakat di sekitarnya, sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari hasil produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata bahari. Pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di Indonesia pertama kali diinisiasi oleh Program Coastal Resources Management Project (CRMP) atau lebih populer disebut Proyek Pesisir pada tahun 1996 di Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara. Konsep DPL ini kemudian diadopsi oleh program yang sama di Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung pada tahun 2001. Saat ini DPL juga sudah mulai dikembangkan oleh Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta yang dikenal dengan nama Area Perlindungan Laut (APL). Melihat perkembangan dari implementasi daerah perlindungan laut di Indonesia yang cukup baik, penulis tertarik untuk melihat dua aspek dari program ini, yaitu aspek efektifitas dan keberlanjutan ditinjau dari pendekatan sistem ekologi dan sosial ekonomi. Pendekatan ini pada prinsipnya menekankan bahwa efektifitas dan keberlanjutan dari pengelolaan daerah perlindungan laut ditinjau dari aspek ekologi dan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Diharapkan dengan kajian tersebut dapat dikembangkan Daerah Perlindungan Laut yang dapat mensejahterakan masyarakat pesisir dan melestarikan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. 1.2
Perumusan Masalah Pada saat program Coastal Resources Management Project (CRMP) atau
Proyek Pesisir dirancang dan mulai dilaksanakan pada tahun 1996, salah satu harapan dari perancang dan pelaksana program ini adalah diadopsinya program ini oleh masyarakat Indonesia. Dalam artian, program yang telah berlangsung lama dengan pendanaan yang cukup besar, tidak berakhir seiring dengan berhentinya bantuan pendanaan dari penyandang dana. Harapan ini cukup beralasan, karena bila disimak betapa banyak program-program sejenis yang telah dilaksanakan di Indonesia, namun sebagian besar dari program tersebut berakhir seiring dengan
4
berhentinya bantuan dari penyandang dana. Padahal bila ditinjau dari lingkup kegiatan, program-program pengelolaan pesisir di Indonesia selama ini sudah cukup luas dan menyeluruh. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa suatu program pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut tidak berkelanjutan manakala bantuan dari penyandang dana berakhir?. Menurut Bengen et al. (2003) salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah program-program tersebut belum diadopsi secara formal oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Dengan pola pikir yang sama, pemerintah juga telah banyak menginisiasi program-program pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk di dalamnya sumberdaya pulau-pulau kecil.
Program-program ini juga dirancang dengan
konsep pengelolaan berbasis masyarakat. Artinya, pamerintah hanya menjadi inisiator program, sedangkan implementasi selanjutnya oleh masyarakat. Pengembangan daerah perlindungan laut di Indonesia diinisiasi oleh berbagai institusi, baik institusi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, ataupun lembaga internasional yang mengembangkan program konservasi di Indonesia.
Daerah perlindungan laut Pulau Sebesi yang terletak di Teluk
Lampung, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung dan daerah perlindungan laut Blongko, Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara adalah program perlindungan laut khususnya sumberdaya terumbu karang yang diinisiasi oleh Proyek Pesisir pada tahun 1999 dan 2002. Program ini merupakan program pengelolaan sumberdaya alam yang mendapatkan bantuan pendanaan dari USAID. Sementara itu, area perlindungan laut (istilah DPL di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu) Pulau Panggang adalah program perlindungan sumberdaya laut yang diinisiasi oleh pemerintah melalui Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta. Meskipun inisiator dari DPL di atas berbeda, namun pada prinsipnya harapan dari inisiator tersebut adalah sama, yaitu agar program DPL tersebut tetap berlanjut meskipun bantuan dari inisiator berkurang atau berhenti. Dari uraian tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian Efektivitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat (DPL-BM) : Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau
5
Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu, sebagai berikut: 1. Sejauh mana efektifitas dan peluang keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut yang terdapat di Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan? 2. Parameter apa saja yang menjadi faktor-faktor pendukung keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat di lokasi-lokasi tersebut di atas? 3. Strategi apa yang bisa dirumuskan untuk mendukung keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat? 1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menilik-kaji prospek
pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Secara spesifik tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Mendeterminasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. (2) Mengevaluasi
efektifitas
dan
keberlanjutan
pengembangan
daerah
perlindungan laut berbasis masyarakat. (3) Merumuskan strategi pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: (1) Tersedianya konsep atau model pengelolaan daerah perlindungan laut yang optimal yang dapat diterapkan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. (2) Masukan
bagi
Pemerintah
Daerah
dalam
mengembangkan
daerah
perlindungan laut. 1.4
Kerangka Pemikiran Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki tiga fungsi yaitu fungsi
ekologi, fungsi sosial budaya, dan fungsi ekonomi. Fungsi ekologi adalah sebagai penyedia sumberdaya alam (bahan makanan), dan penyedia jasa-jasa lingkungan (nilai estetika lingkungan) (Gambar 1).
Dalam kondisi ideal fungsi-fungsi
6
tersebut dapat dipertahankan kualitasnya dan berkesinambungan. Namun karena adanya pemanfaatan yang tidak berdasarkan atas asas-asas kelestarian, menyebabkan munculnya tekanan terhadap wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tekanan tersebut menyebabkan berkurangnya atau menurunkan peran atau fungsi ekologis dari pesisir dan pulau-pulau kecil, menurunnya nilai-nilai estetika lingkungan (jasa lingkungan) dan berkurangnya potensi sumberdaya alam (sumberdaya ikan dan sejenisnya). Untuk menjamin ketiga fungsi tersebut di atas, diperlukan suatu upaya perlindungan dan pemanfaatan secara lestari yaitu pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu.
Salah satu konsep yang dapat
dikembangkan untuk menjaga fungsi-fungsi di atas adalah pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Daerah perlindungan laut ini memiliki fungsi untuk mempertahankan fungsi-fungsi ekologis, ekonomis dan sosial budaya dari ekosistem terumbu karang.
Gambar 1. Kerangka pemikiran
7
Inisiasi pengembangan daerah perlindungan laut di Indonesia, ada yang berasal dari masyarakat dan ada pula dari pemerintah. Namun pada prinsipnya, tujuan dari pengembangan daerah perlindungan laut, baik yang diinisiasi oleh masyarakat maupun pemerintah adalah untuk mempertahankan fungsi-fungsi dari sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam perkembangannya, pengelolaan daerah perlindungan laut, baik yang diinisiasi oleh masyarakat maupun pemerintah, dapat dikelola dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat. Dalam banyak contoh pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat memberikan hasil yang lebih baik dan mencapai tujuan yang diharapkan. Keberhasilan pengembangan daerah perlindungan dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat, disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu (1) ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya laut cukup tinggi, sehingga masyarakat berupaya seoptimal mungkin menjaga sumberdaya tersebut; (2) masyarakat lebih memahami permasalahan sekitarnya, sehingga memudahkan pengelolaan sumberdaya tersebut; (3) pengelolaan berbasis masyarakat dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut, dan (4) pengawasan dan kontrol oleh masyarakat akan lebih efektif, karena masyarakat berada di sekitar sumberdaya itu berada. Pencapaian tujuan pengembangan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat seperti diuraikan sebelumnya, hanya akan terlaksana manakala dalam proses pengembangannya dilaksanakan secara efektif dan berkelanjutan. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Dalam penelitian ini terdapat 8 (delapan) faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut, yaitu (1) adanya dukungan dari pemerintah; (2) adanya dukungan dari masyarakat; (3) adanya dukungan dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian; (4) adanya dukungan dari organisasi lain seperti lembaga swadaya masyarakat; (5) program yang dikembangkan memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat; (6) program yang dikembangkan memberikan dampak terhadap perbaikan lingkungan dan sumberdaya alam; (7) program yang dilaksanakan diiringi dengan peningkatan kapasitas masyarakat; dan (8) program yang dikembangkan mendapat dukungan dari aspek hukum dan kelembagaan.
8
Apabila faktor-faktor tersebut di atas terpenuhi, maka fungsi-fungsi dari sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil tetap terpelihara. Dengan demikian tujuan dari konsep pengelolaan sumberdaya secara optimal dan lestari dapat dipenuhi, melalui pengembangan daerah perlindungan laut yang berkelanjutan. 1.5
Kebaharuan (Novelty) Efektifitas dan Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut Berbasis
Masyarakat (DPL-BM): Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu, merupakan penelitian yang menilai program pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam konteks keterpaduan. Pengelolaan pesisir terpadu adalah suatu proses yang dinamis dan kontinyu untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya dan pembangunan secara berkelanjutan, perlindungan sumberdaya dan wilayah pesisir dan laut (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Pengelolaan pesisir terpadu ini adalah sebuah proses yang memperhatikan karakteristik dari wilayah pesisir, karakteristik DPL yang mewakili Pulau Besar (DPL Blongko), Pulau Kecil (DPL P. Sebesi) dan Pulau- pulau sangat kecil (APL P. Harapan). Aspek keterpaduan dari pengelolaan pesisir terpadu adalah keterpaduan antar sektor, keterpaduan antar pemerintah (lokal-nasional), keterpaduan wilayah/spasial, keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen, dan keterpaduan internasional.
Sampai saat ini penjabaran aspek-aspek keterpaduan tersebut
belum dapat memenuhi parameter-parameter keberhasilan efektivitas dan keberlanjutan DPL-BM. Merujuk kepada penelitian efektifitas dan keberlanjutan program daerah perlindungan laut sebelumnya maka penelitian ini merumuskan kriteria penentu efektivitas
dan
keberlanjutan
pengelolaan
DPL-BM
melalui
evaluasi
komprehensif dari parameter yang menentukan keberhasilan pengelolaan DPLBM. Oleh karena itu kebaharuan dari penelitian ini adalah memberikan kontribusi dalam proses penilaian DPL dalam sebuah evaluasi integral dengan menggunakan konsep keterpaduan dalam rangka pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat secara berkelanjutan.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Pengelolaan
wilayah
pesisir
didefinisikan
sebagai
suatu
proses
pemeliharaan, peningkatan lingkungan pesisir, pencegahan kerusakan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia. Pengelolaan wilayah pesisir pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu pendayagunaan potensi pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, dan untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan. Pencapaian dua tujuan di atas, dapat dicapai melalui perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Kebutuhan akan perencanaan dan pengelolaan terpadu di wilayah pesisir disebabkan oleh karena
adanya berbagai konflik
pemanfaatan ruang pesisir, konflik kepentingan antara berbagai institusi pemerintah. Lebih lanjut konflik-konflik yang terjadi di wilayah pesisir dipacu oleh faktor adanya kompetisi terhadap ruang pesisir, dampak dari suatu kegiatan pembangunan terhadap kegiatan lainnya (limbah minyak terhadap kegiatan perikanan), dan dampak kegiatan pembangunan terhadap ekosistem (Cicin-Sains dan Knecht 1998). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu merupakan suatu upaya yang menyatukan antara pemerintah dengan komunitas, ilmu pengetahuan dengan manajemen, dan antara kepentingan sektoral dengan kepentingan masyarakat dalam mempersiapkan dan melaksanakan perencanaan terpadu bagi perlindungan dan pengembangan ekosistem pesisir terpadu.
Sementara menurut Cicin-Sain
and Knecht (1998) dimensi keterpaduan dalam ICM meliputi lima aspek, yaitu (1) keterpaduan sektor, yaitu antara berbagai sektor pembangunan di wilayah pesisir, seperti perikanan (tangkap dan budidaya), pariwisata, pertambangan migas, perhubungan dan pelabuhan, pemukiman, pertanian pantai, (2) keterpaduan wilayah/ekologis, yaitu antara daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam suatu sistem ekologis, (3) keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintahan, yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder yang terdapat di wilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada
10
berbagai level, seperti pusat, propinsi dan kabupaten; (4) keterpaduan antar berbagai disiplin limu, yaitu dengan melibatkan seluruh disiplin ilmu yang terkait dengan pesisir dan lautan, seperti ilmu sosial budaya; fisika, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan, dan lain-lain;
dan (5) keterpaduan antar
negara, yaitu adanya kerjasama dan koordinasi antar negara dalam mengelola sumberdaya pesisir, terutama yang menyangkut kepentingan seluruh manusia. 2.2
Pulau-Pulau Kecil Perbandingan luas wilayah lautan dan daratan Indonesia adalah tiga
berbanding dua, hal ini menjadikan wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki berbagai macam sumberdaya alam, terutama sumberdaya alam yang dapat pulih seperti berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan sebagainya. Selain itu, juga terdapat sumberdaya alam lain dan jasa lingkungan yang belum diusahakan secara optimal dan perlu dikembangkan secara lebih baik untuk kesejahteraan bersama masyarakat Indonesia terutama masyarakat pesisir yang selama ini lebih banyak merupakan obyek dari kegiatan pembangunan di wilayah pesisir. Menurut Fauzi dan Anna (2005), potensi pemanfaatan pulau-pulau kecil tersebut dapat dilihat dari berbagai sisi, antara lain ekonomi, sosial, ekologi, keamanan, dan navigasi. Selama ini potensi pemanfaatan tersebut belum dikelola secara optimal, mengingat ada berbagai kendala yang dihadapi. Selain itu berbagai kepentingan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil menjadikannya cukup sensitif. Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005) berpendapat bahwa kebijakan menyangkut pemanfaatan pulau-pulau kecil pada dasarnya haruslah berbasiskan kondisi dan karakteristik biogeofisik, serta sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya, mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting, baik bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun kehidupan ekosistem di daratan. Hal terpenting yang berkaitan dengan penentuan kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia adalah pengetahuan tentang keragaan nilai ekonomi dari pulaupulau kecil tersebut, karena setiap pulau mempunyai keragaan ekonomi yang berbeda-beda, tergantung kondisi sumberdaya yang ada di pulau tersebut serta kondisi biogeofisiknya. Batasan pulau kecil mempunyai luas area kurang dari atau sama dengan 10 000 km2, dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 200 000 orang.
11
Secara ekologis terpisah dari pulau induk (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. Alternatif batasan pulau kecil juga berlandaskan pada kepentingan hidrologi (ketersediaan air tawar), ditetapkan oleh para ilmuwan batasan pulau kecil adalah pulau dengan ukuran kurang dari 1 000 km2 atau lebarnya kurang dari 10 km (Bengen 2002). Namun pada kenyataannya, banyak pulau berukuran antara 1 000 km2- 2 000 km2 memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1000 km2, sehingga diputuskan oleh UNESCO pada 1991 bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari 2 000 km2.
Sementara itu, dalam konteks pengelolaan PPK, Indonesia menetapkan
batasan PPK adalah kurang atau sama dengan pulau dengan luas 2 000 km2. Griffith dan Innis (1992); United Nation (1994) dalam Bengen (2002) menyatakan bahwa karakteristik biogeofisik pulau kecil yang menonjol yaitu:
Terpisah dari habitat pulau induk
Sumberdaya air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil
Rentan terhadap pengaruh eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia, seperti badai dan gelombang besar serta pencemaran
Memiliki sejumlah jenis sumberdaya endemik yang bernilai ekologis tinggi
Area perairan lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya
Tidak mempunyai daerah hinterland yang jauh dari pantai. Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga
keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau serta dapat membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam tanah. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998). Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka ada 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut
12
perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah tingkat ketergantungan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil. 2.3
Kawasan Konservasi Laut (Marine Sanctuary) Kawasan Konservasi Laut (KKL) adalah istilah yang diusulkan oleh
Komisi Nasional Konservasi Laut sebagai terjemahan dari Marine Protected Area (MPA) (Wiryawan et al. 2005). KKL didefinisikan sebagai kawasan perairan pasang surut termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya, yang dilindungi secara hukum, atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut. Konsep pengembangan kawasan konservasi skala luas yang digunakan adalah pendekatan Large Marine Ecosystem (LMEs), yaitu sebuah pendekatan yang digunakan untuk menentukan luasan dari suatu kawasan pesisir dan laut untuk di konservasi. LMEs ini ditetapkan untuk kawasan pesisir dan laut seluas 200 000 km2 atau lebih yang dikarakteristikkan oleh kedalaman, hydrografi, produktivitas, aspek antropologi atau penduduk (Mahon et al. 2007). Konsep ini telah digunakan sekitar 25 tahun yang lalu, dan telah diinvestigasi pengaruhnya terhadap ekosistem pesisir dan laut dunia. Konsep ini digunakan untuk mengatasi isu ekosistem pesisir pada skala geografi yang banyak dipengaruhi oleh aspek biofisik. Pendekatan LMEs ini fokus pada lima hal yaitu produktivitas, ikan dan kegiatan perikanan, kesehatan ekosistem, sosial ekonomi dan tata-kelola ekosistem pesisir dan laut.
Beberapa kawasan konservasi yang mengikuti
pendekatan LMEs adalah kawasan konservasi Phoenix Island di di Republik Kiribati dengan luas 185 000 km2, Taman Laut Great Barrier Reef Marine dengan luas 344 000 km2, dan Taman Laut Nasional di Pulau Hawai seluas 362 000 km2 (Edward 2008). Peraturan perundangan yang terkait dengan kawasan konservasi laut di Indonesia adalah UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan PP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya
13
Ikan. UU No. 27 Tahun 2007 mengatur hal-hal yang lebih umum terkait dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU ini disebutkan bahwa kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Pada Pasal 28 Ayat 1 disebutkan
bahwa
konservasi
wilayah
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
diselenggarakan untuk (1) menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil; (2) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain; (3) melindungi habitat biota laut; dan (4) melindungi situs budaya tradisional. Konservasi ekosistem secara spesifik diatur dalam PP No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Pada Pasal 1 Ayat 2 Ketentuan Umum disebutkan bahwa konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang. Lebih lanjut pada Pasal 5 dan 6 diatur tentang tipe pelaksanaan konservasi ekosistem. Pasal 5 menyebutkan bahwa tipe ekosistem yang terkait dengan sumberdaya ikan adalah terdiri atas laut; padang lamun; terumbu karang; mangrove; estuari; pantai; rawa; sungai; danau; waduk; embung; dan ekosistem perairan buatan. Pasal 6 menyatakan konservasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan habitat dan populasi ikan; (b) rehabilitasi habitat dan populasi ikan; (c)
penelitian dan
pengembangan; (d) pemanfaatan sumberdaya ikan dan jasa lingkungan; (e) pengembangan sosial ekonomi masyarakat; (f) pengawasan dan pengendalian; dan/atau; (g) monitoring dan evaluasi. Beberapa jenis konservasi yang disebutkan dalam PP No. 60 Tahun 2007 adalah sebagai berikut: (1) Kawasan Konservasi Perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. (2) Taman Nasional Perairan adalah kawasan pelestarian alam perairan yang mempunyai ekosistem asli, yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.
14
(3) Suaka Alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman ikan dan ekosistemnya. (4) Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. (5) Suaka Perikanan adalah kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau maupun
laut
dengan
kondisi
dan
ciri
tertentu,
sebagai
tempat
berlindung/berkembang biak jenis sumberdaya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan. 2.4
Daerah Perlindungan Laut
2.4.1
Tujuan Daerah Perlindungan Laut Daerah Perlindungan Laut adalah daerah pesisir dan laut yang dipilih dan
ditetapkan untuk ditutup secara permanen dari berbagai aktivitas penangkapan ikan dan pengambilan sumberdaya laut lainnya (Tulungan et al. 2002). Pengelolaan daerah perlindungan laut ini, umumnya dilakukan oleh masyarakat, sehingga dikenal dengan sebutan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat. Dalam skala global, daerah perlindungan laut telah mencapai tujuan konservasi dan memberikan manfaat secara sosial dan ekonomi kepada kegiatan perikanan (Gell dan Roberts 2002).
Word dan Hegerl (2003), menyebutkan beberapa
manfaat dari daerah perlindungan laut adalah (1) memproteksi habitat penting, daerah pemijahan dan daerah pembesaran (spawning dan nursery grounds), (2) meningkatkan kelimpahan stok, (3) meningkatkan rata-rata umur dan ukuran ikan, (4) memperbaiki potensi reproduksi perikanan, (5) memproteksi keragaman genetik, (6) memelihara atau meningkatkan kawasan perikanan. Lebih lanjut Tulungan et al. (2002) mengatakan bahwa tujuan penetapan daerah perlindungan laut berbasis-masyarakat adalah (1) meningkatkan dan mempertahankan produksi perikanan, di sekitar daerah perlindungan; (2) menjaga dan memperbaiki keanekaragaman hayati pesisir dan laut seperti keanekaragaman terumbu karang, ikan, tumbuhan, dan organisme lainnya; (3) dapat dikembangkan sebagai tempat yang cocok untuk daerah tujuan wisata; (4) meningkatkan pendapatan/kesejahteraan masyarakat setempat; (5) memperkuat masyarakat setempat dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam mereka; (6) mendidik masyarakat dalam hal perlindungan/konservasi sehingga dapat meningkatkan rasa
15
tanggungjawab dan kewajiban masyarakat untuk mengambil peran dalam menjaga dan mengelola sumberdaya mereka secara lestari; dan (7) sebagai lokasi penelitian dan pendidikan keanekaragaman hayati pesisir dan laut bagi masyarakat, sekolah, lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Terdapat 3 fungsi kunci yang harus dipenuhi oleh suatu area perlindungan laut: (1) melindungi biodiversitas laut; (2) menjaga produktivitas dan (3) kontribusi kesejahteraan sosial dan ekonomi (United Nations Environmental Program 1995; McManus et al. 1998). Kawasan konservasi laut digunakan untuk menunjang bentuk tradisional lain dari pengelolaan sumberdaya laut, seperti misalnya pengelolaan perikanan, di mana metode-metode tersebut telah terbukti tidak efektif (Agardy 2000). 2.4.2
Metode Pengelolaan DPL-BM Berdasarkan panduan yang disusun oleh Tulungen et al. (2002),
pembentukan dan pengelolaan DPL-BM harus dilakukan bersama antara masyarakat, pemerintah setempat, dan para pemangku kepentingan lain yang ada di desa.
Pemerintah setempat harus bekerja sama dengan masyarakat dalam
proses penentuan lokasi dan aturan DPL-BM, pengembangan dan pendidikan masyarakat, serta memberikan bantuan teknis dan keuangan bagi pengelolaan DPL. Tanggungjawab dalam menentukan lokasi dan tujuan pengelolaan DPLBM ditetapkan oleh masyarakat, sedangkan bantuan teknis pendanaan dan persetujuan terhadap peraturan yang dibuat ditetapkan oleh pemerintah atas persetujuan dan kesepakatan dengan masyarakat. Masyarakat dan pemerintah dapat juga bekerja sama dengan pihak lain seperti LSM atau pihak swasta untuk membentuk dan mengelola DPL-BM. Penetapan daerah perlindungan laut meningkat karena kepentingan manusia dalam rangka memerangi over-eksploitasi sumberdaya kelautan dan menjaga keberlangsungan keragaman laut. Saat ini terdapat lebih dari 1 300 DPL yang penentuan dan tanggungjawabnya merupakan otorisasi masing-masing negara, namun hal yang penting untuk diperhatikan adalah perlindungan lingkungan laut skala besar, karena hal ini biasanya menyangkut kepentingan beberapa negara yang daerahnya memiliki aeal laut (Boersma dan Parrish 1999).
Dalam
mendesain sistem dalam rangka mengelola biaya dan resiko yang berhubungan dengan sumberdaya kelautan, tujuannya adalah memaksimumkan perubahan
16
pendapatan dalam kesejahteraan dari keadaan status quo. Pengambilan keputusan yang ideal dalam rezim pengelolaan sistem perlindungan laut harus diperhatikan secara berkesinambungan.Sangat mungkin untuk memilih sistem perlindungan untuk meminimalisasi biaya yang cocok untuk standar lingkungan tetapi tidak ada jaminan bahwa standar yang digunakan dapat optimal secara sosial.
Dalam
rangka mengeksplorasi tradeoff, sangat disarankan untuk memperhatikan kisaran standar lingkungan lain dan mendapatkan konsep biaya minimum sistem zonasi untuk setiap standar.
Hal ini merupakan kunci penting dalam bernegosiasi
terhadap sistem yang akan diimplementasikan (Lawson dan Gooday 2000). Daerah perlindungan laut
merupakan investasi kapital alami dengan
maksud memperbesar stok ikan dengan membiarkan daerah tersebut berkembang secara alami. Jika usaha perikanan tangkap dapat dikelola berkelanjutan secara ekonomi, bersamaan dengan perangkat-perangkat kebijakan lain, maka daerah perlindungan bukanlah cara yang paling efisien untuk mengatasi masalah overeksploitasi (Carter 2003). Penelitian mengenai prospek co-manajemen di daerah perlindungan laut di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan dan kesempatan dalam mencapai co-manajemen yang lebih baik pada daerah taman nasional di Indonesia (Clifton 2003). 2.4.3 Lokasi dan Ukuran DPL Menurut Tulungan et al. (2003) DPL-BM dapat dibuat dan ditemukan dalam berbagai bentuk dan ukuran. DPL-BM dapat dibentuk di sekitar pulaupulau kecil atau juga di sepanjang pesisir pulau-pulau besar. Penetapan kawasan DPL dapat dimulai dari garis pantai menuju kawasan lepas pantai. Meskipun tidak ada aturan tentang ukuran yang ideal dari suatu DPL-BM, namun para ilmuwan lebih menyukai kawasan yang berukuran besar. Para ahli menyepakati bahwa DPL-BM sebaiknya berukuran antara 10-20% dari luas terumbu karang yang ada di suatu desa. Di beberapa negara, luasan DPL-BM ditetapkan antara 550 ha.
Di Filipina, DPL-BM
yang berukuran antara 6-10 ha dimanfaatkan
sebagai lokasi pariwisata, seperti yang dibentuk pada Apo Island dan Sumilon Island (Marten 2007). DPL-BM yang telah dibentuk dibagi menjadi dua zona, yaitu zona inti dan penyangga. Zona inti adalah suatu areal yang didalamnya tidak diperkenankan
17
adanya kegiatan penangkapan ikan dan aktivitas pengambilan sumberdaya lainnya. Demikian pula kegiatan yang dapat merusak terumbu karang di zona ini seperti pengambilan karang, pelepasan jangkar, serta penggunaan galah untuk mendorong perahu diatas terumbu karang juga dilarang. Zona lainnya adalah zona penyangga. Zona penyangga adalah suatu kawasan di sekeliling zona inti yang memperbolehkan beberapa jenis kegiatan dapat dilakukan seperti penangkapan ikan. Kegiatan penangkapan yang diperbolehkan adalah penangkapan ramah lingkungan atau dengan menggunakan cara tradisional seperti memancing, memanah dan menggunakan perahu tradisional. Kegiatan penyelaman dengan menggunakan scuba atau snorkelling juga diizinkan. Sementara itu, kegiatan penangkapan ikan secara komersial seperti penggunaan perahu berlampu, dan penggunaan beberapa jenis alat tangkap yang dapat merusak terumbu karang tetap dilarang dalam zona penyangga ini.
Gambar 2. Contoh DPL-BM yang dibuat di sekitar pulau kecil (Tulungan et al. 2003). 2.5
Keberhasilan Program DPL Laporan PISCO (2008) menyatakan bahwa dari 80 daerah perlindungan
(marive reserve) laut yang dikaji telah memberikan dampak positif terhadap perbaikan sumberdaya laut, yaitu:
18 Terjadi peningkatan densitas ataupun jumlah individu sebesar 2.4 kali lebih besar. Terjadi peningkatan bimas atau berat hewan 5.5 kali lebih besar. Terjadi peningkatan ukuran badan 1.3 kali lebih besar, dan Terjadi peningkatan densistas atau jumlah spesies 1.2 kali lebih besar. Nelayan lokal di New Zealand juga melaporkan bahwa setelah pembentukan daerah perlindungan laut terjadi peningkatan hasil tangkapan di luar daerah DPL dibandingkan sebelum adanya DPL.
Jenis tangkapan yang
mengalami peningkatan secara dramatis adalah lobster baik dalam hal densitas maupun ukuran yang ditangkap di sekitar DPL (Robert dan Hawkins 2000). Manfaat utama dari DPL adalah meningkatkan kemampuan dalam hal spawning stock di dalam DPL yang selanjutnya menjadi larva juvenil yang masuk ke kawasan penangkapan.
DPL menyediakan strategi pengelolaan kehati-hatian
untuk mengurangi veriabel yang berasosiasi dengan interakasi antara aktivitas perikanan dan lingkungan (Ward et al. 2001).
Perlindungan spawning stock
melalui pengembangan DPL akan menghasilkan lebih banyak rekruitmen, yang selanjutnya akan meningkatkan stok sumberdaya ikan. Perlindungan terhadap garis pantai alami dan perikanan karang yang saling berhubungan, akan menjadi faktor yang lebih penting daripada menetapkan pengganti habitat karang. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wilson et al. di Hongkong, struktur karang buatan lebih rendah daripada di habitat aslinya, di dalam mendukung keberadaan perikanan karang komersil. Sehingga akan memperburuk keadaan over-fishing (Wilson et al. 2002). Usaha pembuatan karang buatan bukannya tanpa hambatan. Beberapa nelayan usaha kecil akan menantang usaha ini, jika daerah usaha diperluas sehingga mencapai area ‘tidak bertuan’. Dalam hubungannya dengan sektor perikanan, kawasan konservasi laut menjadi penyedia berbagai keuntungan bagi reproduksi, pemijahan dan beberapa keterlibatan sumberdaya laut hayati lainnya (LMR).
Suatu habitat kawasan
konservasi laut mengalami kerusakan fisik yang disebabkan oleh alat tangkap ikan, atau kebisingan, pergerakan dan bayang-bayang akibat benda di permukaan air seperti dok, kapal atau transek. Kawasan konservasi laut di daerah estuari biasanya mengalami dampak kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan migas dan
19
pertambangan lain di laut (Dodd 2001). Dengan adanya kawasan konservasi laut, para nelayan tetap dapat menangkap ikan, misalnya dengan cara para pengelola kawasan konservasi laut memberikan quota perseorangan terhadap nelayan untuk menangkap ikan atau berusaha di bidang pertambangan, dengan disertai monitoring yang sesuai untuk menjamin stabilitas sumberdaya (Pearce 2002). 2.6
Pengertian Efektifitas dan Keberlanjutan Efektivitas dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang bisa memberikan
manfaat positif bagi semua komponen dalam melakukan suatu kegiatan tertentu. Suatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut memberikan manfaat yang nyata bagi para pelakunya. Sehingga efektifitas DPL-BM merupakan suatu tingkat pengukuran tertentu dimana kegiatan DPL-BM berpengaruh positif atau negatif terhadap lokasi dan stakeholder yang menjalankannya. DPL-BM dinilai mempunyai
nilai
positif
apabila
parameter-parameter
yang
terkandung
didalamnya mendapatkan kemajuan positif dalam perkembangannya.
Daerah
perlindungan laut dapat menyajikan lokasi yang efektif bagi populasi target yang akan dilindungi. Lebih jauh lagi, kepadatan dan ukuran tubuh populasi akan meningkat pada daerah tersebut (Fernando et al. 2000). Namun demikian, tidak seluruh sistem kawasan konservasi laut dapat mencapai tujuannya. Kebanyakan sistem-sistem itu gagal mencapai tujuan pengelolaannya. Kawasan konservasi laut dapat menjadi efektif jika berada pada daerah tertentu yang tepat dan jika dikelola dengan cara yang benar. Keberhasilan kawasan konservasi laut juga terkait dengan sistem kelembagaan dan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan dan kebutuhan ekologis yang sesuai (Jameson et al. 2002) Pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan hal yang cukup sulit dan menantang. Pemanfaatan tanpa disertai dengan pengelolaan bukan saja dapat mengakibatkan kemunduran mutu sumberdaya dan lingkungan tetapi juga berdampak dalam hal distribusi pendapatan dan kesejahteraan sosial. Tanpa pengaturan, sektor pembangunan yang tampaknya kuat dapat menjadi dominan, sebaliknya sektor yang tampaknya lemah (tetapi belum tentu lemah), akan makin berkurang dan akhirnya hilang (Nikijuluw 1995). Sementara itu, suatu kondisi dapat dikatakan berkelanjutan, apabila manfaat yang diperoleh oleh masyarakat tidak berkurang sepanjang waktu dan
20
konsumsi tidak menurun sepanjang waktu. Keberlanjutan dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi dimana sumberdaya alam dikelola sedemikian rupa untuk memelihara kesempatan produksi di masa yang akan datang (Perman et al. 1996). Keberlanjutan berarti terus menerus dapat dimanfaatkan tanpa mengurangi eksistensi dari sesuatu yang digunakan. Keberlanjutan dalam pengelolaan suatu kawasan dapat diartikan sebagai sebuah sistem yang mendukung adanya suatu manfaat yang selalu dapat digunakan tanpa merusak kawasan tersebut dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Keberlanjutan DPL-BM merupakan suatu ukuran tertentu dimana kita bisa menilai apakah kegiatan DPL-BM memberikan kelangsungan obyektif tentang pemanfaatan sumberdaya alam yang mampu dimanfaatkan secara terus menerus. Parameter-parameter keberlanjutan DPL-BM juga mencakup: a) aspek biologis (terumbu karang, padang lamun, mangrove), b) aspek sosial (masyarakat, pemerintah, LSM), dan c) aspek ekonomi (valuasi ekonomi sumberdaya alam, tingkat pendapatan masyarakat lokal). Pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan selama ini tidak banyak mendapat perhatian oleh pembuat kebijakan. Keragaman potensi sumberdaya alam yang ada di pesisir dan laut akan mendatangkan konflik kepentingan apabila tidak ada kebijakan pengelolaan yang jelas. Padahal potensi yang ada mempunyai fungsi sosial, fungsi ekonomi, dan fungsi ekologi yang khas. Upaya pemanfaatan sumberdaya alam lestari dengan melibatkan masyarakat sangat dibutuhkan. Pada kasus di Bali, dimana masyarakat melakukan pengambilan karang secara intensif harus dicegah dengan mencarikan alternatif berupa pengelolaan wilayah tersebut untuk kepentingan turisme dan melibatkan masyarakat didalamnya. Cara seperti ini telah berhasil dikembangkan di Bunaken Sulawesi Utara dimana masyarakat terlibat dalam sektor ekonomi seperti pelayanan pada penjualan cinderamata, makanan kecil, dan penyediaan fasilitas untuk menikmati keindahan terumbu karang; berupa perahu katamaran (perahu yang mempunyai kaca pada bagian tengah, sehingga orang bisa melihat langsung kedalam air melalui kaca tersebut) atau jasa penyewaan alat-alat selam. Sedangkan perusahaan bisa menyediakan fasilitas hotel, restauran dan lain-lain (Dahuri et al. 1996). Bagi negara-negara yang sedang berkembang dengan keadaan keuangan yang terbatas, masalah pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat
21
diatasi dengan mencari dana yang berasal dari organisasi internasional. Sebagai contoh di Negara Arab Saudi, pemerintahnya menjadi negara ke satu yang mendukung
pembiayaan
kegiatan-kegiatan
pengelolaan
lingkungan
yang
dilakukan negara-negara dunia ketiga. Namun penurunan harga minyak dunia akhir akhir ini berakibat pada menurunnya pendapatkan pemerintah sehingga terpaksa memotong anggaran rutin kepemerintahan dan badan-badan pemerintah. Beberapa
perangkat
ekonomi
dapat
diimplementasikan
dalam
rangka
pengeloalaan keuangan untuk membiayai daerah perlindungan laut dan sumberdaya pesisir, terutama pada saat industri pariwisata memanfaatkan daerah tersebut (Gladstone 2000). Kawasan konservasi laut juga dapat digunakan sebagai perangkat yang efektif dalam membatasi efek ekosistem terhadap kegiatan penangkapan ikan, termasuk di dalamnya adalah aspek bilogis dan sosial ekonomi. Dari kenyataan yang ada, kegiatan penangkapan ikan seringkali menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Dengan penetapan kawasan konservasi laut, terutama yang bertujuan meningkatkan
populasi
satwa
over-eksploitasi,
dapat
menekan
dampak
penangkapan ikan. Teknik model kawasan konservasi laut dapat berbeda-beda di masing-masing area, namun peran di dalam menjalankan skenarionya adalah hal yang krusial. Keberhasilan menjalankan kawasan konservasi laut tergantung dari seberapa bagus masyarakat penangkap ikan di daerah tersebut mempertimbangkan aspek biologi dan kebutuhan sosial ekonomi (Sumaila et al. 2000) 2.7
Pengertian Pengelolaan Berbasis Masyarakat Pengelolaan adalah sebagai suatu proses pemeliharaan dan peningkatan
lingkungan alam, dan pencegahan kerusakan lingkungan alam, sementara pada saat yang sama mempertahankan kehidupan manusia dan pembangunan ekonomi. Sementara itu dalam UU No. 27 Tahun 2007 pengertian pengelolaan adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumberdaya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Management) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam (Nikijuluw
22
1994). Prinsip dari model pengelolaan ini adalah meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional, dimana akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya. Adapun Carter (1996), memberikan pengertian pengelolaan berbasis masyarakat sebagai suatu startegi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak/berada di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di Daerah tersebut. Lebih lanjut Pomeroy dan Williams (1994) mengatakan bahwa konsep pengelolaan yang mampu menampung banyak kepentingan, baik kepentingan masyarakat maupun kepentingan pengguna lainnya adalah konsep Cooperative Management atau disingkat dengan Co-Management.
Adrianto (2005)
menyebutkan bahwa prinsip pengelolaan berbasis masyarakat pada umumnya, yaitu dimulai dari proses kerjasama (cooperative), advisory hingga pemberian (sharing) informasi 2.8
Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Sumberdaya alam merupakan faktor produksi yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Rothengatter (1987) dalam Kusumastanto (1994) bahwa sumberdaya alamdan lingkungan tidak hanya berfungsi sebagai penyedia bahan baku produksi tetapi juga sebagai penyerap limbah yang dihasilkan dari proses produksi. Oleh kaarena itu memasukkan aspek lingkungan sebagai faktor produksi merupakan langkah baru dalam pemikiran ekonomi.
Dixon
(1985)
dalam
Kusumastanto
(1994)
menyatakan
bahwa
pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang bersifat inter temporal (antar waktu) dan terus menerus, tidak hanya tergantung pada parameter-parameter produksi tetapi juga berhubungan dengan pilihan atau keinginan masyarakat untuk mernperhatikan kualitas lingkungan dan kewajaran alokasi sumberdaya alam.
23
Dalam hal ini, pertumbuhan konsumsi yang memperhatikan kelestarian lingkungan dan kelangsungan antar generasi, hanya mungkin terjadi apabila ketersediaan sumberdaya alam yang berfungsi memperbaiki kualitas lingkungan tetap terjaga. Hal ini berarti bahwa investasi pada sumberdaya alam dan lingkungan adalah faktor kunci demi pertumbuhan konsumsi dimasa yang akan datang. Oleh karena itu investasi harus mempertimbangkan perkembangan ekonomi yang berkelanjutan. Valuasi ekonomi berfungsi sebagai kerangka analisis dalam proses pengambilan keputusan. Nikijuluw (1995) mengemukakan bahwa keputusan untuk membangun suatu sektor tidak hanya tergantung pada pertimbangan ekonomi, tetapi faktor-faktor lain seperti faktor sosial, kultural, politik, serta bioekologi juga perlu diperhatikan. Namun dari segi ekonomis, pada batas dan asumsi tertentu pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dinilai atau diperhitungkan biaya dan manfaatnya. Sehingga analisis ekonomi sangat berperan dalam mengevaluasi berbagai alternatif skenario pembangunan. Total Economic Value (TEV) atau Nilai Ekonomi Total (NET) adalah suatu bentuk pemberian nilai secara menyeluruh terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang memperhitungkan berbagai fungsi dan manfaat sumberdaya tersebut. Nilai TEV adalah hasil penjumlahan dari nilai pemanfaatan (use value = UV) dan nilai non-pemanfaatan (non-use value = NUV). Sementara itu nilai pemanfaatan adalah hasil penjumlahan dari pemanfaatan langsung (direct use value = DUV), nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use value =IUV), dan nilai pilihan (option value = OV). Sedangkan nilai non pemanfaatan adalah jumlah dari nilai eksistensi (existence value =EV) dan nilai waris (bequest value = BV). Secara lengkap formulasi Nilai Ekonomi Total adalah : TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (EV + BV) Nilai Ekonomi Total (TEV) dari aset lingkungan hidup dapat dipisahkan kedalarn suatu set bagian komponen. Salah satu contoh adalah dalam penentuan alternatif pengembangan pemanfaatan hutan mangrove.
Berdasarkan hukum
biaya dan manfaat (benefit-cost rule), keputusan untuk mengembangkan hutan mangrove dapat dibenarkan (justified) jika manfaat bersih dari pengembangan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Dalam hal ini manfaat
24
konservasi adalah nilai ekonomi total dari hutan mangrove itu sendiri. NET ini juga dapat diinterpretasikan sebagai NET dari perubahan kualitas lingkungan hidup. Penilaian ekonomi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil untuk setiap jenis sumberdaya pada dasarnya terdiri dari 3 langkah utama, yaitu : (1) mengidentifikasi fungsi dan manfaat dari keragaman hayati, (2) menilai fungsifungsi dan manfaat tersebut dalam bentuk uang (secara moneter), dan (3) menilai total keuntungan bersih (total net benefits) dari seluruh fungsi dan manfaat ekosistem (Dahuri et al. 1995). Lebih lanjut Pomeroy (1992) dalam Dahuri et al. (1995) memberikan konsep valuasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan yang lebih sederhana, yaitu nilai sekarang (present value) dari suatu sumberdaya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : NPV = ML + ME -CL-CP-CE, dimana : NPV ML ME CL CP CE 2.9
= = = = = =
Nilai sekarang manfaat bersih sumberdaya Manfaat Langsung Manfaat Eksistensi atau Manfaat Lingkungan (Eksistensi) Biaya Langsung Biaya Perlindungan Sumberdaya Biaya Eksternal atau Biaya Lingkungan (Eksistensi)
Multidimensional Scaling Multidimensional scaling (penskalaan multidimensi) merupakan suatu
teknik yang dapat membantu peneliti untuk mengenali (mengidentifikasi) dimensi kunci yang mendasari evaluasi obyek dari responden.
Sebagai contoh, guna
mengevaluasi persepsi responden terhadap berbagai aspek keberlanjutan program DPL BM. Responden dapat memberikan penilaian tingkat kepentingan aspekaspek yang terkait dengan keberlanjutan dengan membanding-bandingkan secara berpasangan aspek-aspek tersebut. Dari analisis MDS dapat diketahui dimensi apa yang mendasari persepsi responden tentang keberlanjutan program DPL-BM. Tujuan analisis MDS adalah mentransformasi keputusan-keputusan responden tentang similaritas/preferensi yang digambarkan dalam ruang multi dimensi. Bila obyek A dan B diputuskan/dipersepsikan oleh responden sebagai pasangan obyek yang paling serupa (similar) dari pada semua pasangan lain yang mungkin, maka MDS akan memposisikan obyek A dan B sedemikian rupa sehingga jarak di antara keduanya dalam ruang multi dimensi lebih dekat daripada
25
jarak antar sembarang pasangan obyek yang lain (Hair et al. 1998). Beberapa hal yang dapat dilakukan MDS dengan data yang tersedia adalah: 1. Menentukan
dimensi
apa
yang
dipergunakan
responden
ketika
mengevaluasi obyek 2. Menentukan berapa dimensi yang akan dipergunakan untuk masalah yang sedang diteliti 3. Menentukan kepentingan relatif dari setiap dimensi 4. Menentukan bagaimana obyek dikaitkan atau dihubungkan secara perseptual (perceptually) Simamora (2005) mengemukakan bahwa sebelum melakukan MDS, ada beberapa isu yang perlu diperhatikan oleh peneliti, misalnya hal-hal berikut ini:
Identifikasi Obyek Relevan. Peneliti perlu memeriksa obyek-obyek yang relevan. Obyek-obyek yang tidak relevan akan mengganggu peta persepsi serta mempersulit interpretasi dimensi-dimensi perceptual diantara obyekobyek yang diuji. Untuk memperolehnya, kita dapat melakukan riset pendahuluan, bisa pula berdasarkan data sekunder berupa data yang dipakai oleh pihak lain sebelumnya.
Similarity Versus Prefensi.
Setelah obyek ditentukan, perlu pula
ditentukan berdasarkan pada apa persepsi terhadap obyek-obyek tersebut dipetakan, pada kesamaan (similarity) ataukah prefensi (prefence). Kedua jenis input data akan menghasilkan peta persepsi yang berbeda. Dengan similarity, memang dimensi-dimensi obyek dapat digali, tetapi determinasi pilihan tidak terungkap. Artinya kita tidak mengetahui kecenderungan pilihan responden. Dengan prefensi memang pilihan terefleksi, tetapi sulit membandingkan kesamaan antara satu obyek dan obyek lain sebab dimensi yang dipakai untuk membangun prefensi bisa saja berbeda untuk obyek yang berbeda. Desain Riset perlu ditentukan, apakah dalam MDS kita menggunakan desain decompositional (atribute-free) ataukah compositional (attribute-based). Dengan desain decompositional kita hanya mengukur kesan umum (general impression). Artinya responden tak perlu menguraikan alasan atas persepsi ataupun preferensinya. Dengan metode compositional, kita mengukur kesan atas sejumlah merek berdasarkan sekumpulan atribut. Dengan menggunakan teknik
26
pengukuran tertentu (biasanya skala numerik ataupun semantic differential scale), kita meminta responden memberikan peringkat (rating) pada sejumlah atribut. Kesamaan diukur dengan membandingkan data setiap obyek, umumnya dengan cara melakukan korelasi antar obyek. Kesamaan turunan (derived similarity) kemudian diolah dengan analisis faktor atau analisis diskriminan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi yang dipakai responden dalam membedakan obyek-obyek tersebut. Berdasarkan isu-isu diatas, kita dapat mengetengahkan berbagai metode dalam membuat peta persepsi (perceptual mapping). Konsep dasar MDS adalah proses menentukan koordinat posisi tiap obyek dalam suatu peta multi dimensi sehingga jarak antar obyek pemetaan akan sesuai dengan nilai kedekatan dalam input datanya. Ukuran kedekatan antar pasangan obyek
berupa
(dissimilarity).
nilai
kemiripan
(similarity)
atau
nilai
ketidak
miripan
Jika yang dipakai sebagai ukuran kedekatan adanya nilai
kemiripan, semakin besar nilainya maka dua obyek tersebut semakin sama atau mirip satu sama lain.
3 METODOLOGI
3.1
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian diawali dengan pengumpulan data pada bulan Juni sampai
Desember 2007. Selanjutnya pengumpulan data juga dilakukan pada tahun 2008 sampai 2009.
Kegiatan penelitian di dilakukan di tiga lokasi yaitu di Desa
Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara, yaitu lokasi kegiatan pengelolaan DPL Desa Blongko, (2) Desa Tejang Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan-Provinsi Lampung, yaitu lokasi pengelolaan DPL Pulau Sebesi, dan (3) Desa Pulau Harapan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu-Provinsi DKI Jakarta, yaitu lokasi pengelolaan APL Pulau Harapan (Gambar 3). Jastifikasi pemilihan ketiga lokasi tersebut di atas didasarkan pada beberapa alasan, sebagai berikut: (1) Jastifikasi berdasarkan inisiator pendirian DPL. Pengembangan kegiatan DPL/APL di atas dilakukan oleh inisiator yang berbeda. Ada dua lembaga inisiator pengembangan ketiga DPL/APL di atas, yaitu Pemerintah Daerah dan Lembaga Internasional melalui program pengelolaan sumberdaya alam. a) DPL Desa Blongko dan DPL Desa Tejang Pulau Sebesi adalah DPL yang diinisiasi dan dikembangkan oleh Lembaga Internasional melalui program pengelolaan sumberdaya pesisir atau yang disebut dengan Proyek Pesisir pada tahun 1997.
DPL Desa Blongko mewakili
pengelolaan sumberdaya pesisir (daratan), sedangkan DPL Desa Tejang Pulau Sebesi mewakili pengelolaan pulau-pulau kecil. b) APL Pulau Harapan adalah APL yang dikembangkan atas inisiasi Pemerintah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
APL Pulau
Harapan juga merupakan pengelolaan sumberdaya berbasis pulau-pulau kecil.
28
(2) Jastifikasi berdasarkan karakteristik lokasi pendirian DPL. Selain perbedaan inisiatior, ketiga DPL/APL di atas juga memiliki perbedaan dalam hal kataktiristik wilayah. Ada yang merupakan daerah daratan (pulau besar), ada yang merupakan pulau kecil, dan ada pulau yang merupakan pulau sangat kecil. (a) DPL Desa Blongko adalah DPL yang mewakili kawasan pesisir dari daratan, yaitu pesisir daratan Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. (b) DPL Pulau Sebesi adalah DPL yang mewakili pulau kecil dengan keragaan sumberdaya yang cukup besar. (c) APL Pulau Harapan adalah DPL yang mewakili pulau sangat kecil dengan keragaan sumberdaya yang sangat rendah. Dari alasan pemilihan lokasi penelitian di atas, beberapa hal yang mendorong penelitian ini adalah perbandingan sebagai berikut: (1) Melalui pendekatan yang sama (pengembangan daerah perlindungan laut yang diinisiasi oleh lembaga yang sama) dapat dilakukan analisis pengelolaan sumberdaya berbasis daratan (pesisir) dan pengelolaan sumberdaya berbasis pulau-pulau kecil (kasus DPL Desa Blongko dan DPL Desa Tejang Pulau Sebesi); (2) Melalui pendekatan berbeda (inisiator) seperti pada kasus DPL Desa Tejang Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan, dapat dianalisis perbedaan pendekatan pengelolaan terhadap sumberdaya yang relatif sama (diwakili oleh sumberdaya pulau-pulau kecil); dan (3) Kasus DPL Blongko dan APL Pulau Harapan, dapat dianalisis perbedaan pendekatan
pengelolaan
dan
perbedaan
(sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil).
karakteristik
sumberdaya
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian (DPL Desa Blongko, Kabupaten Minahasa Selatan-Provinsi Sulawesi Utara, DPL Pulau Sebesi, Kabupaten Lampung Selatan – Provinsi Lampung, dan APL Pulau Harapan, Kabupaten Administratif Kepulauan SeribuProvinsi DKI Jakarta) 29
30
3.2 Kerangka Pendekatan Penelitian Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian Efektifitas dan Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat: Kasus DPL-BM Blongko, Minahasa Selatan, DPL-BM Pulau Sebesi, Lampung Selatan, dan APL Pulau Harapan Kepulauan Seribu ini disajikan pada Gambar 4. Kajian diawali dari kondisi terkini pengelolaan dari 3 DPL, yaitu DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan. Tahap pertama dilakukan pengumpulan data ekologi/biofisik, sosial ekonomi, sosial budaya, kebijakan dan kelembagaan.
Data ekologi/biofisik antara lain mencakup kondisi ekosistem
terumbu karang dan sumberdaya ikan, serta ekosistem pesisir lainnya. Data sosial ekonomi mencakup mata pencaharian, pendapatan dan usaha ekonomi alternatif. Data sosial budaya meliputi data persepsi masyarakat dan partipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pulau.
Adapun kebijakan dan kelembagaan
seperti aturan-aturan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, kelembagaan masyarakat, kemampuan institusi setempat, dukungan pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi. Data tersebut di atas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitaif.
Analisis kuantitatif digunakan untuk
menganalisis aspek ekologi/biofisik dan data sosial ekonomi. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis aspek sosial budaya dan kebijakan-kelembagaan. Tahap selanjutnya, dilakukan penyusunan parameter dan indikator penilaian efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Parameter yang dijadikan indikator penilaian prospek keberlanjutan pengelolaan DPL terdiri atas 12 parameter, yaitu (1) dampak terhadap kualitas terumbu karang; (2) dampak terhadap sumberdaya ikan; (3) dampak terhadap perbaikan lingkungan; (4) kesesuaian dengan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat; (5) dampak terhadap perbaikan ekonomi masyarakat; (6) dampak terhadap pengembangan usaha lain; (7) kesesuaian dengan kebijakan setempat; (8) komitmen pemerintah setempat dan institusi lainnya; (9) partisipasi dari stakeholder utama; (10) peningkatan kapasitas institusi setempat; (11) penguatan kapasitas sumberdaya manusia; dan (12) hubungan dengan sumber pendanaan lainnya (Modifikasi dari Bengen et al. 2002).
Gambar 4. Kerangka penelitian 31
32
Untuk menilai efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut di tiga lokasi studi digunakan analisis diskriminan (Discriminant Analysis). Parameterparemeter tersebut dinilai dan diberi skor berdasarkan indikator yang telah disusun. Dengan pendekatan yang sama, juga dilakukan untuk menilai prospek keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Penilaian keberlanjutan ini menggunakan analisis multidimensional scaling. Berdasarkan hasil analisis ini, akan diketahui seberapa besar efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut di lokasi studi dan sejauh mana prospek keberlanjutan pengembangan DPL oleh masyarakat setempat. 3.3
Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif dan bersifat eksploratif.
Metode deskriptif dirancang untuk
mengumpulkan informasi tentang kejadian-kejadian nyata sekarang (sementara berlangsung). Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk menggambarkan sifat, suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dilakukan, dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala yang terjadi. 3.4
Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder.
Data primer dikumpulkan dari berbagai institusi terkait dan
penelusuran berbagai pustaka yang ada. Data primer dikumpulkan dari kegiatan observasi, wawancara, diskusi, dan pengukuran di lapang. Kedua jenis data ini meliputi data sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat serta data biofisik. a. Data Ekologi/Biologi-Fisik Data biofisik yang dikumpulkan meliputi data oseanografi, kualitas air dan sumberdaya hayati laut yang ada di lokasi penelitian. Parameter oseanografi dan kualitas air yang diukur secara langsung di lapangan meliputi suhu, kecerahan, kedalaman perairan, kecepatan arus, salinitas, kekeruhan, derajat keasaman (pH). Data biologi dan sumberdaya hayati yang dikumpulkan meliputi terumbu karang, mangrove, lamun dan sumberdaya perikanan. Secara ringkas kebutuhan data biofisik untuk penelitian ini disajikan pada Tabel 1.
33
Tabel 1. Kebutuhan data biofisik No. A.
Parameter
Fisika 1 Suhu 2 Kecerahan 3 Kecepatan arus 4 Salinitas 5 DO B. Kimia 1 pH
Jenis data
Alat
o
C m m/detik o/oo ppm
Primer Primer Sekunder Primer/sekunder Primer/sekunder
Termometer Seichidisch Current meter Salinometer DO meter
mg/L
Primer/sekunder
pH meter Pengambilan sampel Pengambilan sampel
2
Nitrat
mg/L
Sekunder
3
Phospat
mg/L
Sekunder
C. Terumbu Karang 1. Luas 2. Persen Penutupan D. Ekosistem Mangrove 1. Luas 2. Jenis E. Ekosistem Lamun 1. Luas 2. Jenis b.
Satuan
ha %
Sekunder Primer/Sekunder
Analisis GIS Metode LIT
ha
Sekunder Primer
Analisis GIS Transek Plot
ha
Sekunder Primer
Analisis GIS Transek Plot
-
-
Data sosial ekonomi dan budaya Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber dan instansi yang relevan, seperti dari kantor Kecamatan dan Desa, Dinas Perikanan dan Kelautan, BAPPEDA, Dinas Pertanian, Dinas Pariwisata, BPS (Biro Pusat Statistik), dan sebagainya. Pelaksanaan kajian dilakukan secara partisipatif terhadap masyarakat maupun organisasi yang ada baik formal maupun informal. Data sosial ekonomi meliputi jumlah penduduk, mata pencaharian, pendidikan, persepsi, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, kecenderungan masyarakat memanfaatkan sumberdaya laut dan sebagainya, serta keinginan masyarakat. Data kelembagaan meliputi lembagalembaga yang ada di tingkat desa (formal dan non formal), kapasitas lembaga
34
(dilihat dari kemampuan menjabarkan program), program yang dibuat oleh lembaga yang ada, dan sebagainya. Peraturan dan perundangan meliputi seluruh peraturan dan perundangan baik pada level desa, kecamatan, kabupaten maupun propinsi,
baik
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
mendukung
pengembangan daerah perlindungan laut. Pengumpulan data primer sosial ekonomi budaya dilakukan melalui diskusi dan wawancara dengan penggunaan kuesioner. Responden yang menjadi target adalah mereka yang terkait langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan daerah perlindungan laut. Responden tersebut berasal dari kelompok nelayan, kelompok non nelayan, anggota lembaga swadaya masyarakat, staf pemerintah (level desa sampai kabupaten), dan kelompok lainnya yang terkait dengan pengembangan daerah perlindungan laut. Jumlah responden yang dipilih tidak lebih dari 25 orang yang mewakili masing-masing kategori di atas. 3.5
Analisis Data
3.5.1
Analisis Potensi Sumberdaya Alam
(1)
Ekosistem Terumbu Karang Data terumbu karang dianalisis lebih lanjut untuk mendapatkan informasi
mengenai kondisi terkini dari ekosistem terumbu karang yang diamati. Untuk mengetahui kualitas tutupan karang digunakan kriteria persentasi tutupan karang hidup seperti pada Tabel 2 (Gomes dan Yap, 1978). Tabel 2. Kriteria persentase penutupan karang hidup Persentase Tutupan Karang Hidup (%)
Kondisi
0.0% - 24.9%
Buruk
25.0% - 49.9%
Sedang
50.0% -74.9%
Baik
75.0% - 100% Sumber : Gomez dan Yap (1978) (2)
Sangat Baik
Ekosistem Lamun Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan
dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, digunakan Metode Saito dan Adobe. Kriteria penilaian tutupan Lamun disajikan pada Tabel 3.
35
Tabel 3. Kelas kehadiran masing-masing jenis lamun Luas Area Penutupan Kelas % Penutupan Area 50 - 100 5 ½ - penuh 25 – 50 4 ¼-½ 12,5 – 25 3 1/8 - ¼ 6,25 – 12,5 2 1/16 – 1/8 < 6,25 1 <1/16 0 0 Tidak Ada Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2005)
% Titik Tengah (M) 75 37,5 18,75 9,38 3,13 0
3.5.2 Analisis Nilai Ekonomi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil Analisis nilai ekonomi pengembangan daerah perlindungan laut dilakukan dengan menghitung total nilai ekonomi yang terdapat di Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan yang menjadi lokasi studi kasus penelitian ini. Tahapan analisis yang dilakukan adalah (1) mengidentifikasi manfaat ekonomi dan (2) menghitung total nilai ekonomi. Identifikasi Manfaat Potensi sumberdaya alam yang terdapat di pulau-pulau kecil terdiri atas terumbu karang, lamun, perikanan tangkap dan perikanan budidaya. (1)
Terumbu karang Nilai ekonomi terumbu karang terdiri atas perikanan sekitar karang,
pencegahan erosi, penelitian, stok karbon, biodiversity dan pariwisata. ekonomi terumbu karang dirumuskan sebagai berikut: TEC = PK + PE + PEN + SK + BIO + PAR Keteraangan: TEC PK PE PEN SK BIO PAR
= = = = = = =
Total manfaat ekonomi terumbu karang Manfaat perikanan sekitar karang Manfaat pencegah erosi Manfaat penelitian Manfaat stok karbon Manfaat biodiversity Manfaat pariwisata
Nilai
36
(2)
Lamun Nilai ekonomi lamun terdiri atas perikanan sekitar lamun, pencegahan
erosi, penelitian dan biodiversity. Nilai ekonomi lamun dirumuskan sebagai berikut: TES = PK + PE + PEN + BIO Keterangan: TES = Total manfaat ekonomi lamun PK = Manfaat perikanan sekitar lamun PE = Manfaat pencegah erosi PEN = Manfaat penelitian BIO = Manfaat biodiversity (3)
Perikanan tangkap dan budidaya Nilai
ekonomi
sumberdaya
perikanan
tangkap
didekati
dengan
produksi/nilai produksi yang dihasilkan masing-masing lokasi studi. Nilai ekonomi perikanan budidaya akan didekati dengan produksi/nilai produksi yang dihasilkan masing-masing lokasi studi. Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi Kedalam Nilai Uang Beberapa teknik kuantifikasi yang digunakan adalah : (1) Nilai pasar: untuk merupiahkan komoditas-komoditas yang langsung dapat
dipasarkan (untuk menilai manfaat langsung hasil hutan, hasil perikanan, dan lain-lain). (2) Harga tidak langsung: digunakan bila mekanisme pasar gagal memberikan
pada komponen sumberdaya yang diteliti, misalnya karena komponen tersebut belum memiliki nilai pasar. Cara ini digunakan untuk merupiahkan manfaat tidak langsung dari sumberdaya. (3) Contingent valuation method : yaitu untuk memperoleh nilai manfaat
keberadaan sumberdaya.
Untuk itu dalam survei digunakan tiga model
pertanyaan yang saling melengkapi, yaitu pertanyaan terbuka, pertanyaan pilihan, dan pertanyaan setuju atau tidak setuju (binom choice) kepada responden. Penilaian Alternatif Alokasi Pemanfaatan Sumberdaya DPL Analisis data meliputi analisis nilai ekonomi total sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dan analisis manfaat biaya (benefit cost analysis).
37
(1)
Nilai Ekonomi Total (NET) untuk masing-masing kawasan DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan diformulasikan sebagai berikut: NET = TEM + TEC + TES + TET + TEB dimana : TEM TEC TES TECF TEAF
(2)
= = = = =
Nilai ekonomi total mangrove Nilai ekonomi total terumbu karang Nilai ekonomi total lamun Nilai ekonomi total perikanan tangkap Nilai ekonomi total perikanan budidaya
Penetapan alternatif pengelolaan sumberdaya Penetapan alokasi pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil yang efisien dilakukan dengan menggunakan analisis manfaat biaya (benefit cost analysis) seperti yang diungkapkan Ruitenbeek (1992) dan Munasinghe (1993) dengan kriteria :
∑
(
)
Keterangan: Bt = Pendapatan kotor unit usaha pada tahun t Ct = Biaya kotor unit usaha pada tahun t n = Umur ekonomis i = Tingkat bunga t = 1, 2, 3, …, n Kriteria: NPV > 0, berarti usaha layak/menguntungkan NPV = 0, berarti usaha mengembalikan dikeluarkan NPV < 0, berarti usaha tidak layak/rugi.
sebesar
biaya
yang
Analisis Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) ini bertujuan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis proyek.
Net B/C merupakan perbandingan antara total nilai sekarang dari
penerimaan bersih yang bersifat positif (Bt – Ct > 0) dengan total nilai sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif (Bt – Ct < 0), dengan rumus:
38
∑ ∑
(
)
(
)
(
)
(
)
Keterangan: B Ct t r NPV BCR
= manfaat yang diperoleh dari penggunaan sumberdaya pulaupulau kecil di lokasi studi = biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh manfaat penggunaan sumberdaya pulau-pulau kecil di lokasi studi = jangka waktu penilaian (tahun) = faktor diskonto (discount rate) = net present value (nilai manfaat bersih sekarang) = benefit cost ratio (rasio manfaat – biaya)
Kriteria penilaian alokasi pemanfataan sumberdaya layak dikembangkan jika NPV > 0 atau bila BCR > 1. dalam penentuan skenario terbaik, maka nilai NPV yang terbaik digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Dari analisis NET tersebut kemudian digabungkan dengan Analisa Biaya Manfaat (ABM). Analisis ini merupakan salah satu analisis yang ditujukan untuk melihat manfaat bersih (penilaian manfaat sumberdaya pulau-pulau kecil sekarang) dari suatu ekosistem alamiah setelah diketahui manfaat yang dihasilkan serta biaya yang harus dikeluarkan dan hasil dari analisis ini digunakan dalam pengambilan keputusan (decision making) dalam pengalokasian sumberdaya alam yang langka. Nilai ekonomi ekosistem alamiah dalam studi ini dinyatakan dalam bentuk Nilai Bersih Sekarang (Net Present Value atau NPV). 3.5.3
Analisis Efektifitas Pengelolaan DPL
A.
Penilaian Parameter Penilaian efektifitas pengembangan daerah perlindungan laut berbasis
masyarakat dirujuk pada sejumlah parameter yang mengarah pada pencapaian tujuan program ini. Secara umum, ada tiga parameter kunci yang dapat dijadikan indikator penilaian efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat, yaitu (1) Penyusunan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut; (2) Proses Implementasi Program Daerah Perlindungan Laut; dan (3) Dampak Program atau Pencapaian Hasil dari Program Daerah Perlindungan Laut.
39
1.
Penyusunan Rencana Pengelolaan Efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut hanya akan tercapai manakala sejak awal sudah disusun rencana pengelolaan atau kerangka kerja yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan program ini. Rencana pengelolaan seharusnya sudah disiapkan sejak awal, yaitu pada saat program ini dirancang untuk dikembangkan. Meskipun program-program pembangunan dapat disusun setiap 6 bulan atau 1 tahun sekali. Untuk menilai efektifitas program DPL ini ditinjau dari aspek penyusunan rencana pengelolaan maka beberapa parameter yang dianalisis adalah:
Ketersediaan data dasar Untuk mengetahui apakah program ini berhasil mencapai tujuan atau tidak, maka harus dilakukan penilaian terhadap kecenderungan perubahan yang ada baik terhadap perbaikan kualitas sumberdaya maupun peningkatan taraf hidup masyarakat.
Untuk mengetahui
adanya perubahan ini, maka pengelola DPL harus memiliki data dasar yang bisa dijadikan pembanding dari setiap kali melakukan pengukuran atau penilaian sumberdaya alam dan lingkungan. Oleh karena itu, pada saat program ini dirancang, maka kerangka monitoring juga sudah disiapkan dengan dukungan data dasar yang dikumpulkan pada saat penyusunan program pengembangan daerah perlindungan laut. Data dasar tersebut tidak hanya menyangkut data biofisik, tetapi juga data sosial ekonomi dan budaya. Data ini akan menjadi indikator dalam penilaian keberhasilan pengembangan daerah perlindungan laut.
Adanya Kerangka Kerja Parameter lainnya yang perlu dianalisis untuk menilai efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut adalah apakah terdapat kerangka kerja
yang dijadikan
pedoman
dalam
pengembangan
daerah
perlindungan laut. Kerangka kerja ini menyangkut lembaga pengelola (badan pengelola), aturan-aturan yang disiapkan oleh masyarakat dan mendapat persetujuan dari pemerintah daerah dan masyarakat
40
setempat,
program-program
pembangunan
yang
mendukung
pengelolaan daerah perlindungan.
Sumber Pendanaan Meskipun program pengelolaan daerah perlindungan laut berdasarkan pada pendekatan pengelolaan masyarakat, namun dalam prakteknya pengelolaan daerah perlindungan memerlukan dana yang mungkin tidak dapat ditanggulangi oleh masyarakat. Oleh karena itu, pengelola daerah perlindungan laut perlu mengidentifikasi sumber-sumber pendanaan yang dapat dijadikan sebagai sumber pemasukan dana pengelolaan daerah perlindungan laut. Sumber-sumber tersebut dapat berasal dari bantuan pemerintah daerah, sumbangan donor, atau dana retribusi bagi wisatawan yang berkunjung ke lokasi tersebut.
2.
Proses Implementasi Parameter lainnya yang menjadi indikator penilaian efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut adalah terkait dengan proses implementasi. Meskipun rencana pengelolaan telah disiapkan seperti diuraikan sebelumnya, jika tidak didukung dengan proses implementasi yang memiliki akuntabilitas, maka pengelolaan daerah perlindungan laut tidak akan efektif.
Ada beberapa parameter yang terkait dengan proses
implementasi daerah perlindungan laut, yaitu:
Pembagian tugas dalam pengelolaan DPL Sebagai sebuah institusi pengelolaan yang berbasis masyarakat, maka terdapat berbagai komponen yang terlibat dalam proses implementasi daerah perlindungan laut ini. Keterlibatan setiap komponen sangat menguntungkan pengelolaan program ini karena mendapat dukungan luas dari masyarakat. Namun apabila tidak dilakukan pembagian tugas terhadap setiap komponen ini, akan menimbulkan konflik antara satu komponen dengan komponen lainnya. Apabila ini terjadi, akan menyebabkan ketidak efektifan pengelolaan daerah perlindungan laut. Oleh karena itu, penilaian efektifitas pengelolaan ini, akan dilihat dari ada tidaknya pembagian tugas dari setiap komponen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan daerah perlindungan laut.
41
Dukungan Peraturan Pengembangan daerah perlindungan laut pada prinsipnya pembatasan kegiatan pada daerah tertentu. terhadap
kegiatan-kegiatan
Hal ini berarti adanya pelarangan yang
mungkin
sudah
dilakukan
sebelumnya di lokasi tersebut. Hal ini tentunya akan menimbulkan berbagai konflik antara masyarakat. Konflik yang muncul ini akan menyebabkan tidak efektifnya pengelolaan daerah perlindungan laut. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan ini perlu membuat aturan-aturan yang disepakati oleh masyarakat setempat.
Adanya
penerimaan masyarakat setempat dan masyarakat sekitarnya terhadap aturan ini akan membuat pengelolaan daerah perlindungan laut menjadi efektif.
Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut juga dapat dilihat dari ada tidaknya kegiatan monitoring (pemantauan) dan evaluasi terhadap program ini. Monitoring dan evaluasi sudah harus dirancang sejak awal untuk mengetahui pencapaian dari tujuan pengembangan program. Hasil-hasil dari kegiatan monitoring dan evaluasi ini akan menjadi masukan bagi perbaikan program tersebut.
3.
Pencapaian Hasil Parameter lainnya yang menjadi indikator efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut adalah pencapaian hasil.
Sebagaimana diuraikan
sebelumnya, terdapat tiga tujuan yang ingin dicapai dari program daerah perlindungan laut, yaitu (1) perbaikan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan; (2) perbaikan kualitas hidup masyarakat; dan (3) perubahan sikap masyarakat terhadap pola-pola pemanfaatan yang berwawasan lingkungan.
Oleh karena itu, parameter-parameter ini akan dianalisis
untuk mengetahui efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut.
Kontribusi terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan Efektif tidaknya pengelolaan daerah perlindungan laut akan dilihat sejauh mana kontribusi program ini terhadap perbaikan kualitas terumbu karang dan ikan karang serta perbaikan kualitas lingkungan
42
secara umum. Pola-pola pemanfaatan sumberdaya yang selama ini merusak terumbu karang telah dilarang sejak pengembangan program daerah perlindungan laut.
Dengan demikian, terjadi penurunan
tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya ini. Harapannya, kualitas sumberdaya yang ada menjadi lebih baik, baik kualitas terumbu karang maupun sumberdaya ikan karang yang berada di sekitarnya.
Kontribusi terhadap perbaikan sosial ekonomi masyarakat Program ini juga bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat dari aspek peningkatan pendapatan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Perbaikan kualitas terumbu karang dan ikan karang akan berdampak terhadap produksi perikanan di sekitar daerah perlindungan laut. Selain itu, karena program ini dirancang secara terpadu, terdapat berbagai kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat seperti penciptaan mata pencaharian alternatif (budidaya laut, pariwisata, dll).
Apabila
kegiatan ini tidak memberikan kontribusi terhadap perbaikan ekonomi masyarakat, maka pengelolaan daerah perlindungan laut dapat dianggap tidak efektif.
Kontribusi terhadap perubahan sikap positif masyarakat Perubahan sikap masyarakat dari pola-pola pemanfaatan sumberdaya yang merusak lingkungan ke arah pola-pola pemanfaatan yang ramah lingkungan, juga menjadi indikator pengelolaan daerah perlindungan laut yang efektif.
Sebagaimana diketahui, sebelum program ini
dikembangkan di masing-maisng lokasi terdapat banyak masyarakat yang menggunakan teknik-teknik penangkapan ikan yang merusak lingkungan dan sumberdaya seperti penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (sianida, bom, dan alat tangkap gardan). Perubahan sikap positif ini akan dianalisis sebagai salah satu indikator pengelolaan yang efektif.
43
Tabel 4. Ringkasan parameter penilaian efektifitas pengelolaan DPL Domain
Parameter
Variabel
Rencana Pengelolaan
Ketersediaan data dasar
Dokumen data dasar ekologi, sosial dan ekonomi
Ekologi kualitas ekosistem pesisir (terumbu karang, mangrove dan lamun), sumberdaya ikan Ekonomi : mata pencaharian, pendapatan, penduduk Sosial budaya: Persepsi, pola-pola pemanfaatan sumbedaya alam, kearifan lokal dan kelembagaan
Adanya kerangka kerja
Dokumen kerangka kerja
Kelembagaan pengelolaan DPL Aturan-aturan pengelolaan DPL yang disiapkan oleh masyarakat Program-program pembangunan
Sumber pendanaan
Kejelasan sumber anggaran untuk pembiayaan
Pembiayaan pemerintah Pembiayaan masyarakat Pembiayaan sumber lainnya (LSM, swasta, dll)
Pembagian tugas pengelolaan DPL
Kejelasan tugas pihak-pihak yang terlibat
Organisasi badan pengelola Pembagian tugas setiap bagian
Dukungan peraturan
Penerbitan aturan khusus
Peruturan Daerah atau Pemerintah yang khusus untuk mengembangkan DPL
Monitoring dan evaluasi
Kerangka kerja untuk monitoring dan evaluasi
Tahapan-tahapan melakukan meonitoring
Perbaikan terhadap sumberdaya dan lingkungan
Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan
Perbaikan kualitas lingkungan Berkurangnya kegiatan yang destruktif
Perbaikan terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat
Dampak terhadap perekonomian masyarakat
Peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat
Perbaikan terhadap perubahan persepsi dan perilaku masyarakat
Dampak terhadap sikap dan persepsi masyarakat
Munculnya kesadaran masyarakat untuk melindungi ekosistem pesisir
Proses Implementasi
Pencapaian Hasil
B.
Keterangan
Teknik Analisis Selain melihat efektifitas pengelolaan daerah perlindungan laut masing-
masing DPL di atas, juga akan dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang berpengaruh di setiap DPL.
Perbedaan pendekatan yang digunakan dalam
pengembangan DPL dan perbedaan karakteristik masing-masing DPL, tentunya akan memberikan hasil efektifitas yang berbeda pula.
Untuk mengetahui
perbedaan ini akan digunakan analisis diskriminan. Seperti diuraikan sebelumnya,
44
2 DPL (DPL Blongko dan Sebesi) diinisiasi oleh Proyek Pesisir, sedangkan APL P. Harapan diinisiasi oleh Pemerintah Daerah. DPL Blongko merupakan DPL yang berbasis pulau daratan, sedangkan DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan merupakan DPL berbasis pulau-pulau kecil.
Perbedaan ini sangat
menarik untuk dianalisis untuk dijadikan bahan masukan bagi pengelolaan DPL lebih lanjut. Prosedur analisis diskriminan dapat dilakukan dalam lima tahapan berikut : 1. Mengenali tujuan analisis, penentuan variabel tak bebas berdasarkan teori atau hasil penelitian sebelumnya, penentuan variabel bebas/prediktor yang akan dimasukkan dalam model fungsi diskriminan. Pada tahap ini juga termasuk tahap penentuan contoh analisis (untuk keperluan estimasi) dan sample validasi (untuk keperluan validasi fungsi diskriminan). 2. Melakukan estimasi fungsi diskriminan. Estimasi fungsi diskriminan dapat dilakukan dengan bantuan program SPSS. Estimasi dapat dilakukan dengan salah satu metode yaitu direct method atau stepwise discriminant analysis. 3. Menguji signifikansi fungsi diskriminan:
tahapan ini dimaksudkan untuk
menguji keberartian fungsi diskriminan dalam membedakan antar kelompok. Dari tahapan ini akan dapat diperoleh fungsi-fungsi yang secara signifikan mendiskriminasi kelompok-kelompok yang diberikan 4. Mengintepretasi hasil: tahapan ini dimaksudkan untuk mengkaji koefisien fungsi diskriminan dikaitkan dengan permasalahan yang dimodelkan 5. Penilaian validitas analisis diskriminan: tahapan ini dimaksudkan untuk menilai sejauh mana akurasi fungsi diskriminan hasil estimasi dalam mengklasifikasikan objek-objek yang diketahui kelompoknya. Prosentase keberhasilan mengelompokkan obyek secara benar ke dalam kelompoknya merupakan indikator keakuratan analisis. Variabel-variabel tak bebas adalah tiga DPL yang mengembangkan program DPL berbasis masyarakat yang diberi indeks 1, 2 dan 3. Variabel bebas merupakan variabel kuantitatif yang terkait dengan efektifitas program DPL-BM, seperti diuraikan di atas, yaitu: (1)
Ketersediaan data dasar (X1)
(2)
Kerangka kerja pengelolaan DPL (X2)
45
(3)
Sumber pendanaan pengelolaan DPL (X3)
(4)
Pembagian tugas pengelolaan DPL (X4)
(5)
Dukungan peraturan (X5)
(6)
Monitoring dan evaluasi (X6)
(7)
Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan (X7)
(8)
Dampak terhadap perbaikan sosial ekonomi masyarakat (X8)
(9)
Dampak terhadap perubahan sikap masyarakat (X9) Penentuan nilai (skor) dari setiap parameter bebas ini disajikan pada
Lampiran 1, sedangkan matriks data yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks analisis efektifitas pengembangan DPL ditiga lokasi penelitian Pulau/DPL Blongko (Y1) Sebesi (Y2) Harapan (Y3) Keterangan: Yi (i = 1, 2, m) Xj (j = 1, 2, ...., n) Yij (m=3; n=9)
Variabel Bebas X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
X8
X9
y11 y12 y13
y21 Y22 Y23
y31 Y32 Y33
y41 Y42 Y43
y51 Y52 Y53
y61 Y62 Y63
y71 Y72 Y73
y81 Y82 Y83
y91 Y92 Y93
= Pulau/DPL ke-i = Variabel bebas (parameter) ke-j = Pengukuran keragaan variabel ke-j dari pulau ke-i
3.5.4
Analisis Keberlanjutan Pengembangan DPL
A.
Parameter Keberlanjutan Fokus analisis keberlanjutan program daerah perlindungan laut dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauhmana program daerah perlindungan laut di lokasi penelitian dapat berlanjut atau dilanjutkan oleh masyarakat setempat. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa ketiga daerah perlindungan laut yang diteliti merupakan program inisiasi oleh pihak luar. Sehingga dalam jangka waktu tertentu inisiator tidak lagi terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, maka tanggungjawab selanjutnya untuk melanjutkan program ini adalah masyarakat setempat. Apakah masyarakat akan melanjutkan program ini atau tidak, terdapat banyak parameter yang mempengaruhinya. Faktor-faktor inilah yang akan diteliti.
Faktor-faktor yang mempanguruhi
46
keberlanjutan daerah perlindungan laut di tiga lokasi penelitian, dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu: 1.
Faktor yang terkait dengan Aspek Ekologi/Biofisik Sesuai
dengan
konsep
pengembangannya,
DPL bertujuan
untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil dalam hal ini ekosistem terumbu karang dan biota-biota yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Oleh karena ini, program ini harus mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan kualitas terumbu karang dan ikan karang. Dalam jangka pendek program DPL bertujuan untuk menghentikan kegiatan yang sifatnya merusak ekosistem terumbu karang dan ikan-ikan karang, sedangkan dalam jangka panjang bertujuan untuk meningkatkan kualitas terumbu karang. parameter
yang akan
dianalisis
Dengan demikian,
dalam kaitannya dengan aspek
ekologi/biofisik adalah:
Dampak terhadap kualitas terumbu karang Untuk melihat dampak program daerah perlindungan laut terhadap kualitas terumbu karang, maka informasi yang perlu dianalisis adalah kecenderungan dari kualitas terumbu karang sejak adanya program DPL ini.
Apakah kualitas terumbu karang mengalami penurunan,
tetap atau sebaliknya mengalami peningkatan. Informasi lainnya yang perlu dianalisis adalah kecenderungan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Apakah pola-pola pemanfaatan sumberdaya terumbu karang selama ini khususnya yang merusak terumbu karang masih berlangsung atau sudah tidak ada. Demikian juga faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi seperti pencemaran, sedimentasi dan sebagainya dari daratan apakah masih ada atau sudah dikelola dengan baik.
Dampak terhadap sumberdaya ikan Keberadaan sumberdaya ikan merupakan salah satu parameter yang perlu dikaji dalam kaitannya dengan pengembangan program DPL. Program DPL akan berkelanjutan apabila memberikan pengaruh terhadap perbaikan sumberdaya ini. Oleh karena itu, parameter ini akan dianalisis untuk mengetahui kemungkinan keberlanjutan dari
47
program DPL. Informasi yang dianalisis adalah kecenderungan dari ikan-ikan yang ada di kawasan dan sekitar DPL, baik untuk ikan target maupun ikan indikator. Keberadaan ikan-ikan ini akan dilihat dari segi kelimpahan dan keanekaragamannya. Selain itu juga akan dianalisis kecenderungan dari pemanfaatan sumberdaya ini. Apakah praktekpraktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan masih dilakukan atau tidak.
Dampak terhadap perbaikan lingkungan Dampak program DPL lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program ini adalah ada tidaknya dampak terhadap perbaikan lingkungan, seperti penanggulangan abrasi pantai, penanggulangan pencemaran pantai dan sebagainya.
2.
Faktor yang terkait dengan Aspek Ekonomi Aspek lainnya yang sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program DPL adalah aspek ekonomi. Program daerah perlindungan laut dirancang tidak hanya untuk melindungi sumberdaya terumbu karang, tetapi juga untuk menciptakan kegiatan yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat. Oleh karena itu, beberapa parameter yang dianalisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kesesuaian DPL dengan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat Program DPL yang dikembangkan akan berkelanjutan, apabila program ini mendapat dukungan dari masyarakat. Dukungan tersebut akan didapatkan apabila program ini sesuai dengan aspek sosial ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, informasi yang dianalisis terkait dengan parameter ini adalah persepsi masyarakat terhadap program DPL, keterkaitan program DPL dengan mata pencaharian masyarakat; dan minat dan animo masyarakat terhadap program DPL.
Dampak terhadap perbaikan ekonomi masyarakat Parameter lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program DPL adalah adanya dampak dari program ini terhadap peningkatan pendapatan masyarakat setempat.
Informasi yang dianalisis dari
48
parameter ini adalah kecenderungan pendapatan masyarakat setelah adanya program DPL. Pendapatan akan dikaji dari berbagai aktivitas ekonomi yang baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan pengembangan program DPL.
Dampak terhadap pengembangan usaha lain Parameter lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program DPL adalah
apakah
program
ini
memberikan
dampak
terhadap
pengembangan usaha ekonomi lainnya, seperti pengembangan usaha wisata bahari, pengembangan budidaya laut, dan kegiataan lainnya terkait dengan peningkatan usaha ekonomi masyarakat. Usaha-usaha yang dikembangkan terkait dengan program ini akan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan keberlanjutan program DPL. 3.
Faktor yang terkait dengan Aspek Sosial Budaya Aspek sosial budaya juga memegang peranan penting terkait dengan keberlanjutan program DPL. Kesesuaian program ini dengan kebijakan dan adat istiadat masyarakat setempat akan mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap program ini. Demikian juga dukungan pemerintah dan lembaga lainnya juga mempengaruhi keberlanjutan program DPL. Berikut parameter yang dianalisis terkait dengan aspek sosial budaya dalam pengembangan program DPL adalah:
Kesesuaian program DPL dengan kebijakan setempat Tidak dipungkiri bahwa kesesuaian program DPL dengan kebijakan setempat, baik pada tingkat masyarakat (desa) maupun kabupaten sangat mempengaruhi keberlanjutan program DPL ini. Tidak jarang suatu program ditolak atau tidak diterima masyarakat karena tidak sesuai dengan kebijakan setempat. Kesesuaian program ini dengan kebijakan
setempat
memudahkan
program
ini
diadopsi
oleh
masyarakat dan dilaksanakan, dan selanjutnya program tersebut akan dikembangkan sendiri oleh masyarakat. Demikian juga keberlanjutan program DPL ini sangat dipengaruhi oleh parameter ini, apakah program ini sesuai dengan kebijakan setempat atau tidak. Apabila
49
sesuai, maka program ini tentunya dapat berlanjut dan dikembangkan oleh masyarakat.
Adanya komitmen lembaga pemerintah dan lembaga lainnya Adanya dukungan dari lembaga-lembaga lokal baik lembaga pemerintah maupun lembaga lainnya seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan ataupun perguruan tinggi atau lembaga penelitian akan memberikan dukungan bagi keberlanjutan program DPL ini. Oleh karena itu, informasi ini akan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana dukungan lembaga-lembaga yang ada di daerah
dalam
mendukung
program
pengembangan
daerah
perlindungan laut.
Adanya partisipasi dari stakeholder utama Dalam konteks keterlibatan masyarakat dalam suatu program pengelolaan pesisir, terdapat tiga tingkatan partisipasi, yaitu partisipasi sebatas pada memberi informasi (tingkat informasi), partisipasi sebatas target konsultasi, dan partisipasi sebagai pemilik program.
Dalam
pengembangan daerah perlindungan laut, ketiga tingkatan partisipasi di atas akan dianalisis pada masing-masing lokasi untuk mengetahui sejauh mana partisipasi masyarakat dalam program ini. 4.
Faktor yang terkait dengan Aspek Hukum dan Kelembagaan Faktor lainnya yang mempengaruhi keberlanjutan program DPL ini adalah terkait dengan aspek hukum dan kelembagaan. Sejauh mana inisiator dan masyarakat mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan aspek ini untuk mendukung pengembangan program DPL.
Beberapa parameter yang
dianalisis terkait dengan aspek ini adalah:
Penguatan kapasitas institusi setempat Salah satu konsep dari pengembangan daerah perlindungan laut adalah pengembangan institusi pengelola atau sering disebut badan pengelola. Dalam pengembangannya, badan ini biasanya berasal dari lembaga yang sudah ada di desa sehingga tidak perlu dibentuk lembaga baru. Hanya saja dilakukan penyesuaian berdasarkan fungsi dan tugas yang
50
akan dilaksanakan terkait dengan pengelolaan daerah perlindungan laut. Parameter ini juga sangat menentukan dan mempengaruhi keberlanjutan program DPL. Oleh karena itu, dalam penelitian ini parameter tersebut akan dianalisis untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dari institusi tersebut. Informasi yang dianalisis adalah sejauh mana kemampuan institusi tersebut mendapatkan informasi dari luar, apakah institusi ini mampu menjalin kerjasama dengan pihak luar, dan bagaimana kemampuan institusi pengelola memasarkan atau mempromosikan program DPL.
Penguatan sumberdaya manusia Ketersediaan sumberdaya manusia yang memahami konsep dari program DPL juga menjadi faktor yang mempengaruhi keberlanjutan program ini. Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauhmana persiapan yang dilakukan terkait dengan penguatan sumberdaya manusia ini, maka analisis ini akan difokuskan pada informasi-informasi seperti apakah ada program penguatan sumberdaya manusia yang dilakukan terkait langsung dengan pengelolaan DPL; apa dampak dari program tersebut terhadap penguatan sumberdaya manusia; apakah ada program pendampingan yang dilakukan; dan apakah ada tenaga asistensi teknis yang disediakan selama pengembangan program.
Hubungan dengan donor lain Meskipun parameter ini tidak terlalu penting dan menentukan, namun keberadaannya
juga
akan
memberikan
kontribusi
terhadap
keberlanjutan program DPL seperti disajikan pada Lampiran 2. Hal ini mengingat seringkali program DPL membutuhkan pendanaan yang tidak dapat disediakan oleh masyarakat atau pemerintah daerah. Informasi yang dianalisis terkait dengan parameter ini adalah apakah ada kegiatan lainnya yang memberikan iklim kondusif bagi pengembangan daerah perlindungan laut; apakah ada rencana atau program untuk mendapatkan dana pengelolaan dari donor lain.
51
B.
Teknik Analisis Untuk mengetahui sejauh mana setiap parameter di atas mempengaruhi
keberlanjutan pengembangan program daerah perlindungan laut di tiga lokasi penelitian akan dilakukan analisis lebih lanjut. Penentuan nilai (skor) dari setiap parameter keberlanjutan disajikan pada Lampiran 3. Metode analisis yang digunakan untuk melihat keberlanjutan DPL adalah analisis multidimension scalling. Terdapat 5 tahapan prosedur analisis MDS sebagai berikut: 1. Tahap perumusan masalah, yaitu menentukan tujuan penggunaan MDS dan memilih obyek atau stimulus yang akan dianalisis.
Agar diperoleh peta
spasial yang cukup baik maka dibutuhkan minimal 8 stimulus namun tidak lebih dari 23 agar responden tidak rumit dalam memberikan persepsinya. 2. Tahap memperoleh input data. Pada tahap ini, data diperoleh dari responden berdasarkan kuesioner yang mengungkap pertimbangan/persepsi/preferensi mengenai kemiripan atau ketidakmiripan (similarity atau dissimilarity) berbagai stimulus, dengan menggunakan criteria subyektif responden. Banyaknya pertanyaan (Q) dalam kuesioner merupakan fungsi dari banyaknya stimulus (N) yaitu Q = 23 (23 - 1) / 2. Pendekatan ini disebut pendekatan data persepsi secara langsung (direct approach). Dua pendekatan yang lain adalah pendekatan persepsi turunan (derived approach) dan pendekatan data preferensi (preference data approach). 3. Tahap pemilihan prosedur. Pada tahap ini, dapat memilih diantara prosedur MDS metric (yang terkait dengan data interval atau rasio) dan prosedur MDS non metric (terkait dengan data ordinal) 4. Menentukan banyaknya dimensi. Program-program paket analisis data statistik MDS akan membuat pemetaan data. kedekatan
stimulus
satu
dengan
yang
Peta akan menggambarkan lain
bergantung
pada
pendekatan/prosedur apa yang dipilih. Penentuan banyaknya dimensi dapat menggunakan beberapa prinsip maupun pendekatan statistik lain yang lebih kompleks. Namun demikian untuk keperluan kemudahan intepretasi, pemilihan 2 dimensi kiranya menjadi pilihan yang paling fisibel. Dimensi-
52
dimensi harus diberi label sendiri oleh peneliti, artinya ada pertimbangan yang sifatnya subyektif. Selanjutnya peta tersebut diintepretasikan. 5. Pemberian label dimensi dan intepretasi. Pada tahap ini intepretasi atas dasar
peta
perseptual
telah
dihasilkan.
Posisi-posisi
obyek
dapat
diintepretasikan sesuai dengan atribut-atribut yang dijadikan pedoman responden untuk memberikan persepsinya atas pasangan obyek-obyek yang dibandingkan. Untuk itu diperlukan informasi tambahan yang terkait dengan karakteristik obyek-obyek yang dibandingkan agar dapat ditemukan dimensi yang cocok dengan peta spasial data. Hasil analisis total atribut/parameter yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan DPL di 3 lokasi akan diperoleh nilai pada skala 0-100.
Untuk
mensintesis tingkat keberlanjutan pengelolaan DPL, digunakan tiga kategori sebagai sebagai berikut: Tabel 6. Kategori penilaian keberlanjutan pengelolaan DPL No.
Skala Keberlanjutan
Kategori
Keterangan
1.
0,00 - 50,00
Rendah
DPL dengan kategori ini memiliki peluang sangat kecil untuk berkelambang lebih lanjut.
2.
50,01- 75,00
Sedang
DPL ini akan berkelanjutan, namun tidak memberikan hasil optimal atau dengan kata lain ada beberapa tujuan yang tidak tercapai
3.
75,01 – 100,00
Tinggi
DPL ini berkelanjutan dan memberikan hasil optimal dan tujuan pengembangan DPL tercapai
Sumber : Modifikasi dari Susilo (2003) Pengembangan Daerah Perlindungan Laut dapat dinilai memiliki peluang keberlanjutan apabila mencapai indeks keberlanjutan lebih dari 75%. Hal ini didasarkan, bahwa 4 aspek yang mempengaruhi keberlanjutan yaitu, aspek ekologi/biofisik, sosial ekonomi, sosial budaya, dan hukum kelembagaan memenuhi ¾ dari seluruh atribut masing-masing aspek tersebut.
53
3.6
Batasan Penelitian Untuk mengarahkan penelitian ini supaya menjadi fokus, maka perlu
dibuat batasan dari penelitian. Sebagaimana diuraikan pada sub bab perumusan masalah dan kebaharuan dari penelitian ini, maka penelitian dibatasi pada lingkup berikut: 1. Pengumpulan dan analisis sumberdaya di lokasi penelitian lebih difokuskan pada sumberdaya pesisir dan laut, khususnya sumberdaya terumbu karang, perikanan, lamun dan mangrove. Meskipun demikian, data-data terkait dengan sumberdaya alamnya juga dikumpulkan dari berbagai pustaka yang ada. 2. Analisis efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut menggunakan data sebelum pendirian DPL (baseline data) dan data sesudah pendirian DPL, untuk melihat kecenderungan dari perubahan yang terjadi. 3. Lingkup wilayah kajian adalah desa dimana daerah perlindungan laut dikembangkan. kelembagaan
Namun data-data pendukung terkait hukum dan mencakup
dinas/lembaga terkait.
sampai
tingkat
provinsi
pada
berbagai
4
KARAKTERISTIK LOKASI STUDI
4.1
Karakteristik Ekologi
4.1.1
Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko
(1)
Gambaran Umum DPL Blongko Daerah Perlindungan Laut (DPL) Desa Blongko memiliki beberapa tujuan,
yaitu: (1) melindungi ekosistem terumbu karang, (2) melindungi keanekaragaman hayati, dan (3) meningkatkan potensi sumberdaya ikan. DPL ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang menjaga dan mengelola DPL tersebut. DPL Blongko didirikan dan ditetapkan oleh masyarakat desa bersamasama dengan Pemerintah Desa pada Bulan Nompember 1998. Luas DPL Blongko sekitar 10 ha dengan panjang 300 m searah garis pantai. Pada Bulan Oktober 1999 DPL Blongko disahkan sebagai kawasan DPL oleh Kepala Desa Blongko dan Kelompok Kerja Pesisir Terpadu Kabupaten. Sejak ditetapkan sebagai DPL, masyarakat Desa Blongko lebih aktif dan bertanggungjawab dalam menjaga dan melindungi sumberdaya pesisir yang secara langsung berpengaruh pada kehidupan mereka sehari-hari. Masyarakat Desa Blongko yang dahulunya hanya memanfaatkan sumberdaya laut, sejak adanya DPL aktif sebagai pengelola sumberdaya. DPL dalam ukuran kecil ini jika digunakan sebagai model dan diterapkan di seluruh desa pesisir di Sulawesi Utara maupun di Indonesia akan secara nyata meningkatkan jumlah dan luas daerah pesisir yang dilindungi. Berbagai lembaga, kelompok dan perorangan mengunjungi Blongko untuk menimba pembelajaran dari masyarakat di Blongko. Lokasi dan batas-batas kawasan DPL Blongko dapat dilihat pada Gambar 4. Wilayah pesisir Desa Blongko memiliki ekosistem terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Luas ekosistem terumbu karang di Desa Blongko sekitar 50,66 ha.
Pengamatan terumbu karang di DPL Blongko tahun 2007
menunjukkan bahwa persen penutupan karang hidup sekitar 55.66% (Tabel 7).
56
Gambar 5. Daerah perlindungan laut Desa Blongko
57
Tabel 7. Kualitas tutupan karang di DPL Blongko Tahun 2007 Kategori
Persen Penutupan (%) 55.66 0.00 13.77 8.04 22.53
Karang Keras Karang Lunak Karang Mati Alga Abiotik (2)
Karakteristik Pantai Pesisir pantai Desa Blongko pesisir yang bersih dan produktif. Panjang
garis pantai Desa Blongko sekitar 6.5 km. Karakteristik perairan pantai Desa Blongko memiliki kedalaman yang coraknya beragam.
Corak dasar perairan
pantai desa Blongko berlereng curam dan berlembah dalam sebagai hasil dari proses endogen maupun eksogen. Keadaan dasar perairan desa ini memiliki profil pantai dengan katogori miring (14.10 – 16.99%) sampai curam (28.18 – 47.08%). (3)
Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove yang terdapat di Desa Blongko diperkirakan sekitar
49.81 ha yang sebagian besar terletak di pantai barat (Bappeda Minahasa, 1999). Tekanan terhadap ekosistem mangrove mulai sekitar tahun 1962-1965, dimana masyarakat banyak memanfaatkan kayu bakau untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar, pewarna dan pengawet jaring serta obat-obatan. Dampak kerusakan mangrove yang besar terjadi pada tahun 1972, dimana pada saat pembuatan Jalan Trans Sulawesi yang digunakan sebagai kayu bakar dan juga alat pengangkut karang yang masuk sampai di pantai mengakibatkan pohon-pohon bakau ditebang. Akibat kerusakan hutan ekosistem mangrove, terjadi instrusi air laut sampai ke perkampungan penduduk pada saat musim gelombang besar (musim angin barat dan selatan).
Pengamatan yang dilakukan pada tahun 2007,
menujukkan luas ekosistem mangrove tidak banyak mengalami perubahan sejak tahun 1999. Hal ini disebabkan sejak adanya proyek pesisir tahun 1997, program perlindungan sumberdaya pesisir sudah mulai digalakkan. Hal ini berimplikasi positif bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir termasuk ekosistem mangrove. (4)
Ekosistem Terumbu Karang Kondisi terumbu karang yang ada di Desa Blongko tidak berbeda jauh
dengan kondisi terumbu karang secara umum yang ada di Sulawesi Utara.
58
Tingginya tekanan yang dihadapi oleh ekosistem terumbu karang, menyebabkan kualitas terumbu karang sangat memprihatinkan.
Praktek-praktek yang tidak
ramah dalam mengeksploitasi sumberdaya terumbu karang seperti penangkapan ikan dengan bom, potasium dan pengambilan karang menyebabkan terumbu karang mengalami kerusakan. Luas terumbu karang yang ada di kawasan Desa Blongko sekitar 50.66 ha (Yayasan Kelola 2001). (5)
Ekosistem Hutan Pantai Ekosistem hutan pantai yang ada di Desa Blongko dikategorikan sebagai
hutan lindung, yaitu seluas 237 ha dan hutan produksi seluas 205.5 ha (Bappeda Minahasa 1999). Sebagian besar hutan yang ada telah dirubah menjadi lahan untuk perkebunan dan pertanian rakyat.
Masyarakat biasanya memanfaatkan
kayu dari hutan ini untuk berbagai keperluan seperti bahan bangunan, kayu bakar. Jenis-jenis kayu yang diambil adalah kayu Nantu (Palaquium abtusifolium), Binuang (Octomeles sumatran), Rao (Diospyros dao), Kananga (Cananga odorata), Cempaka (Elmerrillia ovalis), Linggua (Ptercapus indicus), Bugis (Koodersiodendron pinnatum), dan kayu Bolangitan (Tetrameles nudiflora) (Kussoy et al. 1999). Permasalahan yang ada untuk hutan di Desa Blongko sekarang ini adalah mulai terlihat adanya penggundulan hutan di beberapa lokasi dan bahkan di lokasi sekitar sumber air. 4.1.2 Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi (1)
Gambaran Umum Daerah perlindungan Pulau Sebesi Pengembangan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi adalah salah satu
upaya masyarakat Pulau Sebesi untuk mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya ekosistem terumbu karang dan sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya lainnya yang berasosiasi dengan terumbu karang.
Tujuan dari daerah perlindungan laut adalah (1) memelihara fungsi
ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur, dan memijah biotabiota laut, dan (2) memelihara fungsi ekonomis kawasan pesisir bagi masyarakat Pulau Sebesi dan sekitarnya, sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari hasil produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata bahari.
59
Daerah perlindungan laut yang ditetapkan oleh masyarakat dibagi dalam dua zona atau kawasan, yaitu zona inti dan zona penyanggah, dimana pada setiap zona tersebut memiliki ketentuan atau peruntukan masing-masing. Namun pada dasarnya, ketentuan yang dibuat ini dimaksudkan untuk melindungi sumberdaya laut, yang kemudian akan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pelarangan penggunaan alat-alat penangkapan ikan pada daerah perlindungan laut adalah untuk mencegah terjadinya kerusakan ekosistem terumbu karang, yang pada tahap selanjutnya akan mempengaruhi sumberdaya ikan yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang tersebut. Pemanfaatan hanya dilakukan secara terbatas dan menggunakan alat sederhana yang tidak merusak serta dilakukan pada waktu tertentu, yaitu ketika sumberdaya ikan sudah mengalami pemulihan (recovery). Daerah perlindungan laut P. Sebesi memiliki empat kawasan perlindungan laut, yaitu DPL 1 di dusun Sianas, DPL 2 dan 3 di dusun Tejang dan DPL 4 di dusun Segenom, seperti terlihat pada Gambar 6. (2)
Ekosistem Terumbu Karang Perairan Pulau Sebesi memiliki ekosistem terumbu karang yang cukup
luas, terutama pada sisi barat, terumbu karang dapat ditemukan sampai pada kedalaman 10 meter. Luas terumbu karang di Pulau Sebesi dan Pulau Umang adalah 58.98 ha, dimana 31.64 ha berupa karang hidup dan penyusun terumbu karang lainnya dan 27.34 ha berupa karang mati, pecahan karang dan komponen abiotik (Wiryawan, et al. 2002). Kualitas tutupan karang di pulau ini berkisar antara 2.65% - 63.83%, yang berarti kualitas terumbu karang di Pulau Sebesi termasuk kategori buruk sampai baik. Jenis-jenis karang yang ditemukan antara lain adalah Millepora, Acropora, Caulastrea, Echinopora, Favia, Favites, Fungia, Goniastera, Goniopora, Hydnophora, Leptoria, Lamnelia, dan Lobophyton. Tabel 8. Hasil pengukuran kualitas terumbu karang di DPL Pulau Sebesi Kategori Karang Hidup Karang Lunak Karang Mati Alga Abiotik
DPL 1 35 0.35 33.15 22.07 9.43
Persen Penutupan DPL 2 DPL 3 85.45 32.09 4.32 51.06 2.25 3.42 0 6.16 7.98 7.27
DPL 4 54.82 3.73 20.22 3.14 18.09
60
Gambar 6. Peta lokasi daerah perlindungan laut Pulau Sebesi
61
(3)
Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove Pulau Sebesi hanya terdapat di satu lokasi, yaitu
antara Dusun Tejang dan Regahan Lada dengan luas sekitar satu ha. Mangrove datap tumbuh di lokasi ini karena lokasi ini relatif terlindung dari hantaman ombak dan dan merupakan sebuah teluk kecil.
Kondisi yang tenang
menyebabkan banyak endapan dan kondisi dasar perairannya berupa lumpur. Jenis mangrove yang tumbuh antara lain adalah Avicenia marina (Api-api), Rizhophora sp. (Bakau), Sonneratia sp. (Gogem), Bruguiera sp. (Tanjang) dan Xylocarpus sp. dengan jenis yang dominan tumbuh adalah Bakau dan Api-api. (4)
Ekosistem Lamun Pantai pesisir Pulau Sebesi merupakan kawasan yang banyak ditumbuhi
oleh padang lamun.
Sepanjang pantai sebelah barat merupakan lokasi-lokasi
dimana ditemukan ekosistem. Padang Lamun yang ada di Pulau Sebesi berfungsi untuk mencegah pelumpuran atau sebagai filter alami perairan sehingga tetap bersih. Jenis lamun yang dominan ditemukan di Pulau Sebesi adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, dan Thalassodenderon ciliatum. (5) Ekosistem Hutan Selain ekosistem laut, Pulau Sebesi juga memiliki ekosistem hutan yang merupakan hutan sekunder. Tanaman yang ada di hutan terdapat 24 jenis tanaman (5 jenis belum teridentifikasi) yang merupakan tanaman hasil pengkayaan dan tanaman hasil permudaan alami yaitu Soge, Kileho, Camun, Nangsi, Kadaka, Ampelas, Rembi, ango/Medang, Kibesi, Benda, Selangkar, angsana, Lempeni, Bunut, Melinjo, Kelapa, Mangga, Jengkol, Jambu Monyet (Wiryawan et al. 2002). Jenis satwa yang terdapat di hutan Pulau Sebesi terdapat 10 spesies dari klas Aves yaitu Cucak Kutilang, Dederuk Jawa, Perkutut Jawa, Delimukan Zamrud, Bubut Alang-alang, Serak Jawa, Raja Udang Biru, Kucica Kampung, Gagak Hutan Elang Bondol, 1 spesies mamalia yaitu Babi hutan, dan 1 spesies reptil yaitu Biawak.
Pemanfaatan hutan yang ada di Pulau Sebesi oleh
masyarakat adalah berkebun, berburu, eksploitasi hasil hutan.
62
4.1.3 Area Perlindungan Laut Pulau Harapan (1)
Gambaran Umum APL Pulau Harapan Area Perlindungan Laut Pulau Harapan merupakan salah satu APL yang
terdapat di Kepulauan Seribu. APL ini ditetapkan oleh masyarakat Pulau Harapan pada tahun 2006 dengan bantuan teknis dan pembinaan dari Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta. Tujuan dari pendirian APL Pulau Harapan ini adalah (1) untuk memulihkan kembali secara bertahap kondisi sumberdaya laut khsususnya terumbu karang, dan (2) meningkatkan kesadaran dan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut. Lokasi area perlindungan laut di Kelurahan Pulau Harapan yang ditilik berada pada empat lokasi, yaitu (1) kawasan karang suar sebagai pembanding, (2) zona penyangga 1, (3) zona penyangga 2 dan (4) zona inti. Monitoring dilakukan pada lokasi APL-DPL-BM yang sudah ditentukan oleh masyarakat yaitu kawasan timur Kelapa Dua seperti yang tersaji pada Gambar 7. (2)
Ekosistem Terumbu Karang Kondisi terumbu karang di Kelurahan Pulau Harapan pada umumnya
dapat dikategorikan dalam kondisi rusak. Kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh faktor pencemaran air, abrasi, penyelaman, penambangan karang batu untuk bahan bangunan, degradasi pantai serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan bahan kimia. Penyebab rusaknya terumbu karang di Kelurahan Pulau Harapan adalah karena pencemaran, degradasi pantai dan eksploitasi oleh manusia dalam menggunakan karang untuk bahan bangunan dan pengeras jalan.
Hal ini
disebabkan karena masyarakat sulit mendapatkan batu kali sebagai bahan bangunan di sekitar kawasan Kepulauan Seribu. Berdasarkan hasil wawancara dengan penduduk terungkap bahwa masyarakat setempat biasanya mengambil terumbu karang dengan dua cara yaitu: dipotong dengan kampak dan linggis atau diledakkan dengan bom, lalu diangkat dengan perahu ke tempat pengumpulan.
63
Gambar 7. Peta lokasi pengembangan APL Pulau Harapan, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (Dinas P2K-DKI Jakarta 2006).
64
Berbagai jenis ikan hias juga banyak ditemui di perairan Kepulauan Seribu. Paling tidak di kawasan ini hidup 113 jenis ikan hias yang diantaranya termasuk ke dalam famili Chaetodontidae, Diodontidae dan Pomacantidae. Tidak aneh jika keragaman jenis terumbu karang dan ikan hias di kawasan ini merupakan salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan jenis ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi, yang banyak ditemui antara lain ikan baronang, ekor kuning, tenggiri dan ikan tongkol. Di kawasan ini juga terdapat ikan lumba-lumba yang dilindungi. Untuk jenis Echinodermata yang banyak dijumpai diantaranya adalah bintang laut, teripang dan bulu babi yang juga merupakan indikator perusakan terumbu karang. Jenis ini hidup di lingkungan terumbu karang, sehingga tinggi rendahnya populasi jenis ini dapat menjadi indikator rusak tidaknya kawasan terumbu karang. Jenis Crustacea yang banyak dikonsumsi antara lain kepiting, rajungan dan udang karang (spiny lobster). Moluska (binatang lunak) yang dapat dijumpai terdiri dari jenis-jenis Gastropoda dan Pelecypoda termasuk yang dilindungi diantaranya Kima Raksasa dan Kima Sisik. Keberadaan terumbu karang beserta ikan-ikan hias serta berbagai biota air yang tersebar di wilayah perairan Kelurahan Pulau Harapan dan Kepulauan Seribu ini merupakan potensi sumberdaya yang telah sejak lama menopang kehidupan masyarakat setempat.
Keanekaragaman hayati tersebut ditambah lagi dengan
pantai berpasir putih di berbagai pulau, juga merupakan sumberdaya alam yang potensial untuk lebih lanjut dikembangkan bagi keperluan wisata. Adanya kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak mengakibatkan tidak hanya ikan-ikan target penangkapan yang mati, tetapi juga anak-anak ikan dan biota air lainnya, belum lagi kerusakan habitat karang. Padahal terumbu karang selain sebagai tempat hidup berbagai biota air, dikenal dengan keindahannya yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisata bahari. Nampaknya masalah penangkapan dengan menggunakan bahan peledak ini cukup menjadi ancaman dan perlu ditangani dengan lebih komprehensif. Hal yang juga merupakan masalah adalah penangkapan ikan, terutama ikan-ikan hias, dengan menggunakan bahan pembius atau racun. Walaupun tidak sehebat akibat akibat dari penggunaan bahan peledak, penggunaan bahan pembius
65
juga berakibat pada kematian-kematian biota-biota air lain yang lebih rentan daripada ikan, selain juga dapat merusak terumbu karang. Hasil pengamatan yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa kualitas terumbu karang di Pulau Harapan memiliki persen penutupan sampai 70%. Pengamatan dilakukan di empat titik, yaitu Karang Suar, Karang Sekoci, Timur Kelapa Dua dan Selatan Harapan. Di kawasan karang suar kualitas tutupan karang hidup mencapai 60 persen. Di kawasan ini jenis ikan yang dominan dijumpai adalah seriding merah, kromis hijau dan ekor kuning. Ekosistem terumbu karang di kawasan karang sekoci memiliki persen penutupan karang hidup mencapai 69 persen. Ikan yang dominan ditemukan di kawasan ini adalah seriding pipih, baronang dan ikan pelo tanda coklat. Ekosistem terumbu karang di sekitar timur kelapa dua juga memiliki kualitas tutupan karang hidup dalam kondisi yang baik, yaitu mencapai 64 persen. Ikan yang dominan ditemukan di kawasan ini adalah ikan kromis hijau. Kondisi kualitas terumbu karang Pulau Harapan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Persentase tutupan karang di Pulau Harapan Jenis Karang Karang Hidup Karang Mati Algae Fauna Lainnya Abiotik Jumlah
Karang Suar 3m 58.7 8.8 0 0.8 31.7 100.0
7m 26.6 5.9 0.6 1 65.9 100.0
Lokasi Timur Kelapa Karang Sekoci Dua 3m 7m 3m 7m 68.8 50.3 64.3 37.9 6.5 6 9.7 2.4 1 0.2 0 0.8 0.4 2.1 0 0.8 23.3 41.4 26 58.1 100.0 100.0 100.0 100.0
Selatan Harapan 3m 46.9 11 0 0.4 41.7 100.0
7m 35.3 8.8 0 4.6 51.3 100.0
Tabel 10. Indeks keragaman, keseragaman dan dominasi ikan karang di Pulau Harapan Indeks Indeks Dominasi Indeks Keragaman Indeks Keseragaman
3m 0.196 2.073
7m 0.201 2.148
Lokasi Timur Kelapa Karang Sekoci Dua 3m 7m 3m 7m 0.413 0.328 0.333 0.067 1.539 0.631 1.912 2.667
0.563
0.638
0.433
Karang Suar
0.187
0.518
0.800
Selatan Harapan 3m 7m 0.137 0.164 2.340 2.308 0.669
0.693
66
(3)
Lamun Ekosistem padang lamun di Pulau Harapan terdapat di perairan sebelah
utara dan selatan. Meskipun menempati kawasan yang cukup luas, namun jenis lamun yang ada hanya terdiri dari dua spesies, yaitu jenis Enhalus sp. dan Thalasiasp. Ekosistem lamun ini merupakan salah satu ekosistem penting dari ekosistem pesisir yang ada di Pulau Harapan. 4.2
Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya
4.2.1 Daerah Perlindungan Laut Desa Blongko (1)
Sejarah Desa dan Kependudukan Desa Blongko merupakan hasil pemekaran Desa Boyong Pante, hingga
tahun 1991 Blongko masih merupakan bagian adminitrasi Desa Boyong Pante. Nama Blongko memiliki dua makna, yaitu (1) Belanga Goreng (wajan tempat penggorengan), karena daratan desa ini bila dilihat dari ketinggian tampak seperti belanga goreng, (2) Mati berjongkok, yang berasal dari cerita bahwa pernah ada orang yang mencuri kelapa, lalu jatuh dan mati dalam kondisi berjongkok (Kasmidi 1998). Sejarah kependudukan desa ini dimulai kurang lebih sekitar tahun 1924, yaitu sejak berdirinya perusahaan perkebunan kelapa milik Belanda dan membuka pemukiman di Desa Blongko. Sebagian besar penduduk Desa Blongko merupakan penduduk pendatang, yang umumnya berasal dari Sangir (69%), Minahasa (19%) dan Bolaang Mongondow (2%) (Kussoy et al. 1999). Orang-orang tersebut memilih datang ke Desa Blongko karena di desa tersebut masih tersedia lahan untuk pertanian, masih bisa menangkap ikan di laut atau bekerja di perusahaan perkebunan kelapa. Suku atau etnis yang ada di Desa Blongko adalah Sangir, Minahasa, Bolaang Mongondow, Siau, Talaud, SangirMinahasa, Gorontalo, Buton, Bugis, Sangir-Siau, Jawa-Manado, dan Bantik. (2)
Mata Pencaharian Berdasarkan Data dari Profil Desa Blongko mata pencaharian penduduk di
desa ini adalah 38% dikategorikan bekerja pada subsektor Pertanian Tanaman Pangan, 13.3% bekerja pada subsektor Perkebunan, 1.6% bekerja pada subsektor Peternakan, 11.4% bekerja pada subsektor Perikanan, dan 4.0% bekerja pada subsektor Jasa/Perdagangan (termasuk guru, pegawai negeri, pensiunan, pegawai
67
BUMN, warung dan kios). Jumlah angkatan kerja yang ada di desa sebesar 748 jiwa Kegiatan pertanian merupakan kegiatan penting dalam kegiatan produktif Desa Blongko diikuti oleh kegiatan perikanan dan mengumpulkan hasil laut. Jenis tanaman yang paling banyak ditanam oleh masyarakat adalah jagung, diikuti oleh kelapa, kemudian padi, sayuran, ubi, cabe, dan lain-lain. Penangkapan ikan memainkan peranan penting untuk kegiatan produktif di Desa Blongko seperti desa-desa pesisir lainnya. Pantai yang berada di depan pemukiman masyarakat dijajari dengan perahu nelayan, jaring yang bergelantungan untuk dibersihkan atau diperbaiki dan orang-orang yang berjualan ikan, hal ini merupakan pemandangan umum yang dapat dilihat di desa ini Sepanjang hari dapat dilihat perahu yang datang dan pergi di sekitar pantai desa.
Sekitar 16 jenis alat
penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Desa Blongko, yaitu: pancing, panah/jubi, tali senar, soma pajeko, jaring, dodango, soma rarape, soma dampar, giop, tali cakalang, soma landra, soma paka-paka, soma bodo, pancing bonceng, koreng, tali madidihang. Alat penangkapan yang paling banyak dipakai adalah pancing yang digunakan baik dengan menggunakan perahu atau hanya berdiri di tepi pantai/terumbu karang (Bappeda Kabupaten Minahasa 1999). 4.2.2 Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi (1)
Kependudukan Penduduk pulau sebesi pada awalnya merupakan pendatang yang bekerja
sebagai buruh di kebun kelapa yang dimiliki oleh tuan tanah, para buruh tersebut berdatangan ke Pulau Sebesi sejak 1913.
Lama kelamaan buruh tersebut
membentuk beberapa keluarga yang kemudian berkumpul membentuk sebuah kelompok. Penduduk Pulau Sebesi berjumlah 471 kepala keluarga atau 2 015 jiwa. Jumlah ini belum termasuk satu RT yaitu RT 12 (Dano) yangterletak di lereng Gunung Sebesi pada ketinggian sekitar 525 meter diatas permukaan laut. Penduduk Dano sebagian besar merupakan penduduk tidak tetap, mereka kebanyakan buruh kelapa dan mempunyai tempat tinggal di luar Pulau Sebesi. Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan seimbang, yaitu 1 011 (laki-laki) dan 1 004 (perempuan) dengan sex ratio 99%. Persentase terbanyak penduduk merupakan penduduk yang berumur 19 sampai 59 tahun yaitu mencapai
68
52.6% (1 059 jiwa). Gambaran penduduk secara keseluruhan untuk setiap dusun dapat dilihat pada grafik. Sebanyak 1659 dari penduduk usia sekolah sampai lanjut usia telah berpendidikan minimal sekolah dasar. Persentase warga yangberpendidikan SD sebesar 78.7% (1 305 jiwa), Sekolah Menengah Pertama sebesar 15.8% (262 jiwa), Sekolah Menengah Atas sebesar 5% (83 jiwa), dan perguruan tinggi sebesar 0.5% (9 jiwa). (2)
Mata Pencaharian Mata
pencaharian
utama
penduduk
Pulau
Sebesi
terdiri
dari
pertanian/perkebunan dan perikanan (nelayan). Untuk mata pencaharian sebagai petani/perkebunan, penduduk di pulau ini mengandalkan hasil dari kelapa yang diolah menjadi kopra. Hasil perkebunan lainnya adalah kakao. Sementara itu, penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan umumnya adalah nelayan pancing dan bubu. Dua jenis usaha perikanan yang sangat ramah lingkungan. Berdasarkan data terakhir, profesi penduduk sebagai buruh merupakan yang persentasi tertinggi yaitu mencapai 57% (365 jiwa). Sedangkan penduduk yang mempunyai pekerjaan selain buruh yaitu petani sebesar 17.2% (110 jiwa), nelayan 16.7% (107 jiwa), pedagang sebesar 1.4% (9 jiwa), wiraswasta 6.6% (42 jiwa), dan Pegawai negeri 1.1 % (7 jiwa). (3)
Kelembagaan Masyarakat Kelembagaan masyarakat yang terdapat di Pulau Sebesi terdiri dari
lembaga formal dan non formal. Lembaga formal adalah Rukun Nelayan, Karang Taruna, Koperasi Tani dan Nelayan, dan Seksi Keamanan Laut, sedangkan lembaga nonformal adalah Sikam Salamban, Sikam Muahi, dan Risma. Rukun Nelayan Mina Bahari Pulau Sebesi merupakan organisasi nelayan yang beranggotakan sekitar 100 orang nelayan. Organisasi ini merupakan organisasi yang melakukan pembinaan akan arti penting lingkungan dan wadah aspirasi bagi anggotanya. Karang Taruna merupakan organisasi pemuda yang ada di Desa Tejang Pulau Sebesi. Seksi Keamanan Laut merupakan organisasi yang dibentuk oleh desa di tiap-tiap dusun pada tahun 1999 atas dasar kesadaran masyarakat akan arti pentingnya penjagaan lingkungan dari pengrusakan. Organisasi ini bertugas untuk menjaga laut dari pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh nelayan luar atau pun nelayan Pulau Sebesi.
69
Sikam Salamban dan Sikam Muahi merupakan organisasi sosial yang beranggotakan beberapa keluarga guna menghimpun dana untuk digunakan oleh anggota yang tertimpa musibah seperti sakit, meninggal dunia dan keperluan hajatan. Risma merupakan perkumpulan pemuda yang berbasis masjid, organisasi ini berada di tiap-tiap masjid tiap dusun. Risma melakukan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hari-hari besar umat Islam, seperti peringatan Isra’ Mi’raj, Maulud Nabi, kegiatan Bulan Ramadhan dan beberapa kegiatan lainnya. (4)
Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian merupakan pemanfaatan yang
dominan di Pulau Sebesi, yaitu seluas 1 600 ha atau sekitar 61.47% dari total luas daratan Pulau Sebesi. Lahan pertanian dan perkebunan terbentang dari mulai pantai sampai ke dataran tinggi Pulau Sebesi. Lahan sawah hanya sekitar 10 Ha atau 0.38%, yang merupakan sawah tadah hujan. Pemanfaatan lahan lainnya adalah sebagai lahan hutan yang memiliki areal seluas 922 ha atau sekitar 35.42%. Hutan ini berada di lereng Gunung Sebesi mulai dari ketinggian 535 sampai dengan 845 meter di atas permukaan laut. Permukiman penduduk menempati lahan dengan luas 70 ha atau sekitar 2.69% yang tersebar disepanjang pantai. Daerah permukiman ini tersebar di 4 dusun. Pemanfaatan lahan lainnya adalah untuk fasilitas umum dengan luas total 7 ha atau sekitar 0.27%. (5)
Perekonomian Desa Kegiatan perekonomian utama penduduk Desa Tejang Pulau Sebesi adalah
pertanian/perkebunan, perikanan, peternakan dan perkebunan. Pemanfaatan lahan Pulau Sebesi untuk pertanian dan perkebunan merupakan yang terluas, yaitu mencapai 65%. Tanaman yang mendominasi perkebunan dan pertanian Pulau Sebesi adalah kelapa (Cocos nucifera), cengkeh (Eugenia aromatica), pisang (Musa paradisiaca), dan padi (Oryzasativa). Juga terdapat tanaman lainnya seperti terung, kacang hijau, cabai merah, bayam, melinjo, kakao, jagung, timun, dan nilam. Namun tanaman ini belum dikelola secara intensif dan bukan hasil utama pertanian. Lahan yang dipakai untuk menanam padi merupakan sawah tadah hujan sedangkan untuk menanam pisang dan sebagian cengkeh merupakan tumpang sari dengan tanaman kelapa. Sawah yang tidak ditanami padi akan ditanami tanaman pertanian lainnya atau sayuran.
70
Hasil pertanian dan perkebunan yang berupa kelapa, pisang, melinjo, padi, jagung, dan timun dijual pada pengumpul yang ada di Pulau Sebesi. Hasil cengkeh, kopi dan coklat dijual langsung kepada pembeli yang ada di luar Pulau Sebesi, sedangkan untuk hasil pertanian dan perkebunan yang berupa nilam dijual pada pemberi modal melalui koperasi. Hasil Survei pada tahun 1998 produksi kelapa mencapai 1 302 ton atau 977 ton kopra dan produksi cengkeh mencapai 732.8 ton. Kegiatan perikanan utama Pulau Sebesi adalah perikanan tangkap. Jenis tangkapan utama adalah ikan Tenggiri (Scombero-morus sp.), Selar (Caranx sp.), Tengkurungan (Clupea sp.), Kurisi (Holocentrum sp.), Simba (Caranx sp.), Tanjan (Clupea sp.), Tambak (Lutjanus sp.), Kakap Merah(Lutjanus sp.), Banyar (Rastrelliger sp.), Cumi-cumi, dan ikan-ikan karang. Saat nelayan yang ada di Pulau Sebesi sekitar 100 orang yang tersebar di seluruh dusun Pulau Sebesi. Alat tangkap yang dipakai nelayan adalah adalah pancing kotrek, pancing rawe, dan bubu. Nelayan yang menggunakan alat pancing memakai perahu jukung dengan motor tempel (gantar) 5.5 PK dengan operasi penangkapan mulai dari pagi sampai siang.
Daerah penangkapan ikan berada di sekitar tendak (rumpon) yang di
pasang di sekitar Pulau Sebesi, nelayan pancing membuat tendak yang terbuat dari daun kelapa dengan pemberat pasir dan pelampung yang kemudian ditempatkan pada lokasi yang mereka inginkan untuk jadi tempat pemancingan. Nelayan yang menggunakan bubu biasanya memasang bubu pada sore hari atau malam hari kemudian diangkat pada pagi hari untuk diambil ikannya. 4.2.3 Area Perlindungan Laut Pulau Harapan (1)
Kependudukan Data demografi Kelurahan Pulau Harapan pada akhir Bulan November
tahun 2005 menunjukkan jumlah penduduk sebanyak 468 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa 1 951 jiwa. Berdasarkan kelompok umurnya, sebagian besar penduduk Kelurahan Pulau Harapan berada pada usia produktif (15-64 tahun) yaitu sebanyak 1288 jiwa (66.02%), kemudian usia muda (0-14 tahun) yaitu sebanyak 625 jiwa (32.03%) dan usia tua (65 tahun ke atas) yaitu sebanyak 38 jiwa (1.95%). Dengan memperhatikan kelompok umur tersebut, maka diperoleh rasio beban tanggungan sebesar 52 yang berarti dari 100 jiwa usia produktif (15-4
71
tahun) harus menanggung 52 jiwa usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas). (2)
Mata Pencaharian Mata pencaharian adalah bidang kegiatan dari usaha atau perusahaan
dimana seseorang bekerja atau pernah bekerja. Mata pencaharian penduduk di Kelurahan Pulau Harapan meliputi sektor (bidang kegiatan) perikanan, perdagangan, PNS dan ABRI, karyawan/buruh, jasa, dan lain-lain.
Sebagian
besar penduduk di Kelurahan Pulau Harapan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan (469 jiwa atau 64.16 %). Peluang usaha yang ada di wilayah Kelurahan Pulau Harapan umumnya berkaitan dengan sektor perikanan, seperti penyewaan kapal nelayan bagi orang luar yang memerlukannya untuk kegiatan survei, penelitian atau wisata. Peluang usaha yang banyak dimanfaatkan oleh para ibu-ibu atau perempuan di Kelurahan Pulau Harapan adalah ikan asin dan kerupuk ikan. Para wanita ini juga sekaligus menjual hasil olahan tersebut kepada para pendatang atau wisatawan yang berkunjung ke Pulau Harapan. (3)
Aktivitas Perekonomian Aktivitas perikanan tangkap merupakan mata pencaharian utama
penduduk di Pulau Harapan. Kondisi ini menyebabkan besarnya ketergantungan terhadap sumberdaya perairan, termasuk ekosistem terumbu karang.
Nelayan
adalah orang yang memiliki mata pencaharian menangkap ikan di laut atau perairan lainnya. Perahu merupakan bagian yang sangat penting dalam melakukan usaha penangkapan. Perahu yang digunakan oleh nelayan terdiri dari kapal motor, perahu motor dan perahu layar. Nelayan perikanan tangkap yang ada di Kelurahan Pulau Harapan, Kepulauan Seribu pada umumnya merupakan nelayan tradisional dan merupakan pekerjaan yang diwarisi secara turun-temurun. Nelayan perikanan tangkap di Kelurahan Pulau Harapan menggunakan berbagai jenis alat tangkap yang disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap, kekuatan perahu dan cuaca. Jenis alat tangkap yang digunakan antara lain pancing, payang,
muroami dan bubu.
Jenis alat tangkap yang banyak
digunakan oleh nelayan di Kelurahan Pulau Harapan adalah bubu.
72
Kegiatan perikanan budidaya yang berkembang di Kelurahan Pulau Harapan yaitu budidaya laut yang berupa budidaya rumput laut, jaring tancap kerapu/teripang dan keramba apung kerapu. Jumlah pengusaha budidaya laut di Kelurahan Pulau Harapan sebanyak 31 orang yang terdiri dari budidaya rumput laut (25 orang), jaring tancap kerapu/teripang (5 orang) dan jaring apung kerapu (1 orang). 4.3
Estimasi Nilai Ekonomi Sumberdaya Pesisir
4.3.1 Estimasi Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Estimasi nilai ekonomi ekosistem alami dalam konteks pelestarian ekosistem dan lingkungan wilayah pesisir merupakan salah satu upaya untuk mengimbangi permintaan pasar terhadap sumberdaya alam secara tidak terkendali, tidak rasional dan cenderung merusak, bahkan cenderung menilai terlalu rendah (underestimate) sumberdaya alam tersebut.
Dengan demikian,
estimasi terhadap nilai ekonomi ekosistem alamiah dapat dijadikan justifikasi dari upaya pelestarian dan perlindungan ekosistem. Potensi ekonomi mangrove dapat diduga melalui teknik valuasi ekonomi sumberdaya alam (natural resource economical valuation). Valuasi ekonomi atau nilai ekonomi dari suatu sumberdaya alam terdiri atas dua jenis, yaitu nilai kegunaan atau nilai pemanfaatan (use values) dan nilai non-kegunaan (non-use values). Nilai kegunaan merupakan nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual berupa barang dan jasa, dan mempunyai dua komponen, yaitu nilai kegunaan langsung (direct use values) dan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use values). Ikan atau kepiting, hasil kayu dari mangrove merupakan contoh nilai kegunaan langsung, sementara nilai mangrove sebagai tempat asuhan biota laut atau fungsi mangrove sebagai pencegah banjir dan pencegah intrusi air laut merupakan nilai kegunaan tidak langsung. Nilai non-kegunaan merupakan nilai sumberdaya alam yang tidak terkait dengan pemanfaatan aktual barang dan jasa dari sumberdaya alam tersebut. Nilai non-kegunaan ini memang bersifat lebih sulit diukur (less tangible). Komponen yang termasuk nilai non-kegunaan ini menurut Fauzi (2000) adalah nilai keberadaan (existence values), nilai pewarisan (bequest values) dan nilai adanya pilihan (option values).
Nilai keberadaan
merupakan nilai yang diberikan masyarakat atas keberadaan sumberdaya tersebut
73
walaupun masyarakat itu tidak memanfaatkan atau melihatnya. Nilai ini disebut juga nilai intrinsik sumberdaya alam.
Nilai total ekonomi mangrove adalah
penjumlahan berbagai komponen nilai tersebut di atas dikurangi biaya untuk pemanfaatan dan pemeliharaan keberadaan mangrove tersebut. Nilai ekonomi ekosistem mangrove di wilayah Desa Blongko dan Pulau Sebesi diestimasi dengan menggunakan metode alih manfaat (benefit transfer method) dari ekosistem di lokasi yang dianalogikan memiliki kondisi alamnya sejenis dengan kondisi biofisik kawasan di Desa Blongko dan Pulau Sebesi, yaitu hasil perhitungan nilai ekonomi ekosistem pesisir dan lautan di Selat Malaka dan Segara Anakan. Asumsi tersebut didasarkan pada : 1) Kawasan Selat Malaka dan Segara Anakan diperkirakan memiliki karakteristik biofisik yang relatif sama dengan pantai Desa Blongko dan Pulau Sebesi. 2) Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang relatif sama, seperti untuk wisata dan penangkapan ikan. Estimasi manfaat dan biaya dari ekosistem hutan mangrove di Selat Malaka seperti dikemukakan Kusumastanto (1998) dalam Pertamina (1998). Manfaat ekonomi yang sesuai dengan manfaat ekonomi ekosistem mangrove di Kawasan Segara Anakan sesuai kajian Paryono et al (1999) dengan asumsi estimasi manfaat langsung ekosistem hasil kajian Paryono et al dikurangi beberapa item yang tidak ditemui di Desa Blongko dan Pulau Sebesi. Dengan demikian diperoleh estimasi manfaat ekosistem mangrove di Desa Blongko sebesar US$ 1 154.44/ha/tahun dengan perincian : 1) Manfaat langsung sebesar US$ 48.24/ha/tahun. 2) Manfaat tidak langsung (pelindung pantai) sebesar US$ 730.54/ha/tahun (Kusumastanto 1998 dalam Pertamina1998). 3) Manfaat pilihan sebesar US$ 15.09/ha/tahun (Ruitenbeek 1991). 4) Manfaat eksistensi sebesar US$ 360.57/ha/tahun (Paryono et al. 1999). Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Desa Blongko yang luasnya 49,81 ha dengan menggunakan perhitungan statis diperoleh nilai sebesar US$ 56 149.82. Apabila menggunakan perhitungan secara dinamis dalam rentang waktu 20 tahun
74
dengan tingkat diskonto 10% nilai estimasi ekonomi ekosistem mangrove diperoleh nilai sebesar US$ 492 435.11. Estimasi manfaat ekosistem mangrove di Pulau Sebesi sebesar US$ 1865.41/ha/tahun dengan perincian : 1) Manfaat langsung sebesar US$ 691.60/ha/tahun. 2) Manfaat
tidak
langsung
(pelindung
pantai)
sebesar
US$
775.19/ha/tahun (Kusumastanto 1998 dalam Pertamina 1998). 3) Manfaat pilihan sebesar US$ 16.01/ha/tahun (Ruitenbeek 1991). 4) Manfaat eksistensi sebesar US$ 382.61/ha/tahun (Paryono et al. 1999).
Nilai ekonomi ekosistem mangrove di Pulau Sebesi yang luasnya 1 ha dengan menggunakan perhitungan statis diperoleh nilai sebesar US$ 1 477.95. Sedangkan apabila menggunakan perhitungan secara dinamis dalam rentang waktu 20 tahun dengan tingkat diskonto 10% nilai estimasi ekonomi ekosistem mangrove diperoleh sebesar US$ 13 060.33. 4.3.2 Estimasi Nilai Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) juga merupakan ekosistem yang memiliki fungsi dan nilai secara ekologis maupun ekonomis. Di dalam ekosistem ini hidup berbagai organisme yang mempunyai warna dan bentuk yang sangat menarik, indah dan unik sehingga disebut sebagai taman laut. Taman laut ini jauh lebih indah dibandingkan dengan taman yang ada di daratan. Oleh karena itu terumbu karang merupakan obyek wisata di berbagai negara. Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu manfaat terumbu karang adalah untuk pariwisata karena keindahannya. Selain itu, pada ekosistem ini juga terdapat berbagai sumberdaya ikan (termasuk tiram, udang dan kepiting) yang bermanfaat bagi manusia baik sebagai makanan maupun sebagai ikan hias. Ekosistem karang juga merupakan tempat pembesaran (nursery) berbagai jenis hewan laut yang memiliki nilai ekonomis penting dan juga tempat mencari makan ikan dan penyu laut.
Hal ini dikarenakan ekosistem terumbu karang
mempunyai produktivitas yang cukup tinggi. Terumbu karang juga berfungsi sebagai pencegah erosi. Keuntungan dengan adanya terumbu karang di pantai dapat mengurangi energi gelombang laut sebanyak 20%, sehingga dapat melindungi pantai dari proses abrasi.
75
Dengan berbagai manfaat terumbu karang tersebut di atas, maka sebenarnya secara ekonomis terumbu karang memang mempunyai nilai yang sangat besar. Namun demikian di dalam tulisan ini perkiraan nilai ekonomi terumbu karang hanya dihitung berdasarkan beberapa jenis manfaat saja. Nilai ekonomi terumbu karang yang disajikan berikut ini dapat dianggap sebagai nilai yang minimum. Nilai ekonomi terumbu karang yang sesungguhnya lebih besar dari nilai yang diperhitungkan ini mengingat beberapa manfaat seperti nilai keindahan sebagai obyek wisata belum diperhitungkan. Estimasi manfaat ekosistem terumbu karang di Desa Blongko sebesar US$ 38 897.30/ha/tahun dengan perincian: 1) Manfaat perikanan sekitar karang sebesar US$ 3 947.89/ha/tahun. 2) Manfaat pencegahan erosi sebesar US$ 34 605,97/ha/tahun (Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 3) Manfaat penelitian sebesar US$ 90.39/ha/tahun (Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 4) Manfaat sebagai penyedia stok karbon sebesar US$ 238.17/ha/tahun (Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 5) Manfaat
keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
sebesar
US$
14.89/ha/tahun (Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). Nilai ekonomi ekosistem terumbu karang di Desa Blongko yang luasnya 50.66 ha dengan menggunakan perhitungan statis diperoleh nilai sebesar US$ 1 884 215.11. Sedangkan apabila menggunakan perhitungan secara dinamis dalam rentang waktu 20 tahun dengan tingkat diskonto 10% nilai estimasi ekonomi ekosistem terumbu karang diperoleh nilai sebesar US$ 15 972 716.53. Estimasi manfaat ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi sebesar US$ 39 628.45/ha/tahun dengan perincian : 1) Manfaat perikanan sekitar karang sebesar US$ 2 543.23/ha/tahun. 2) Manfaat pencegahan erosi sebesar US$ 36 720.79/ha/tahun (Asisten
Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 3) Manfaat penelitian sebesar US$ 95.91/ha/tahun (Asisten Meneg LH
1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003).
76
4) Manfaat sebagai penyedia stok karbon sebesar US$ 252.73/ha/tahun
(Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 5) Manfaat
keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
sebesar
US$
15.80/ha/tahun (Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). Nilai ekonomi ekosistem terumbu karang di Pulau Sebesi yang luasnya 58.98 ha dengan menggunakan perhitungan statis diperoleh nilai sebesar US$ 2 245 846.93. Sedangkan apabila menggunakan perhitungan secara dinamis dalam rentang waktu 20 tahun dengan tingkat diskonto 10% nilai estimasi ekonomi ekosistem terumbu karang diperoleh nilai sebesar US$ 18 988 557.33. Estimasi manfaat ekosistem terumbu karang di Pulau Harapan sebesar US$ 1 014 978.78/ha/tahun dengan perincian : 1) Manfaat perikanan sekitar karang sebesar US$ 980 566.21/ha/tahun. 2) Manfaat pencegahan erosi sebesar US$ 34 074.40/ha/tahun (Asisten
Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 3) Manfaat penelitian sebesar US$ 89.00/ha/tahun (Asisten Meneg LH
1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 4) Manfaat sebagai penyedia stok karbon sebesar US$ 234.51/ha/tahun
(Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). 5) Manfaat
keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
sebesar
US$
14.66/ha/tahun (Asisten Meneg LH 1999 dalam Bappeda Kepulauan Riau 2003). Nilai ekonomi ekosistem terumbu karang di Pulau Harapan yang luasnya 1.397 ha dengan menggunakan perhitungan statis diperoleh nilai sebesar US$ 727 985.91.
Sedangkan apabila menggunakan perhitungan secara dinamis dalam
rentang waktu 20 tahun dengan tingkat diskonto 10% nilai estimasi ekonomi ekosistem terumbu karang diperoleh nilai sebesar US$ 5 745 610.08.
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Evaluasi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Untuk menilai apakah pengelolaan daerah perlindungan laut yang
dikembangkan dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat di tiga lokasi penelitian sudah dilakukan dengan baik, maka perlu dilakukan evaluasi terhadap perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dampak pengelolaan ketiga DPL tersebut. Secara umum ada 9 parameter yang dievaluasi terkait dengan pengelolaan daerah perlindungan laut, yaitu (1) ketersediaan data dasar, (2)
kerangka kerja
pengelolaan DPL, (3) sumber pendanaan pengelolaan DPL, (4) pembagian tugas pengelolaan DPL, (5) dukungan peraturan, (6) monitoring dan evaluasi, (7) dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan, (8) dampak terhadap perbaikan sosial ekonomi masyarakat, dan (9) dampak terhadap perubahan sikap masyarakat. 5.1.1
DPL Blongko
1.
Penyusunan Rencana Pengelolaan
(1)
Ketersediaan data dasar Penilaian terhadap indikator ketersediaan data dasar ini mencakup
beberapa parameter, yaitu (1) data dasar terumbu karang dan ikan karang, (2) data dasar kondisi sosial ekonomi dan budaya, dan (3) ketersediaan kerangka pengumpulan data.
Ketiga parameter ini dapat digunakan untuk menilai
efektifitas program daerah perlindungan laut ini. Data awal ini akan dijadikan data pembanding untuk menilai apakah ada perbaikan yang dicapai sejak program dilaksanakan. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan tidak ditemukan ketersediaan data terumbu karang dan ikan karang. Data terumbu karang yang diperoleh hanya berupa data hasil monitoring yang dilakukan pada tahun 2003, 2007 dan 2009. Namun demikian, data tersebut dapat digunakan untuk menilai apakah program DPL Blongko memberikan dampak signifikan terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan sumberdaya. Ketersediaan data awal untuk
78
sosial ekonomi dan budaya mencakup data komposisi penduduk, mata pencaharian, distribusi sarana produksi baik pertanian maupun perikanan. (2)
Ketersediaan kerangka kerja Faktor lainnya yang akan mempengaruhi efektifitas pencapaian program
daerah perlindungan laut adalah ketersediaan kerangka kerja. Kerangka kerja akan menjadi landasan atau acuan mekanisme kerja pengelolaan DPL. Indikator ini mencakup beberapa parameter, yaitu (1) lembaga pengelola, (2) aturan pengelolaan, dan (3) program pengelolaan. Tanggungjawab pengelolaan DPL Blongko diserahkan kepada Badan Pengelola yang dipilih oleh masyarakat desa. Aturan pengelolaan DPL Blongko terdiri dari dua peraturan, yaitu (1) yaitu Keputusan Pemerintah Desa Blongko Nomor 04/2004A/KD-DB/XI/99 tentang pelaksanaan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Wilayah Desa Blongko, dan (2) Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2 Tahin 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat di Kabupaten Minahasa.
Berbagai aturan
pengelolaan DPL Blongko secara lengkap dicantumkan dalam Keputusan Desa Blongko tersebut. Program-program pengelolaan DPL Blongko dibuat secara terintegrasi dengan program pembangunan Desa Blongko yang dituangkan dalam Dokumen Rencana Pengelolaan Desa Blongko, yaitu Dokumen Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Wilayah Desa Blongko Tahun 1999. (3)
Sumber pendanaan Sumber pendanaan juga merupakan salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk menilai efektifitas pengembangan program DPL. Indikator ini mencakup tiga parameter, yaitu (1) lembaga yang memiliki komitmen pendanaan program DPL, (2) internalisasi program DPL ke dalam progam pembangunan daerah, dan (3) sumber-sumber pendanaan lainnya. Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa setelah program DPL Blongko tidak difasilitasi lagi oleh Proyek Pesisir (Coastal Resources Management Project), maka tidak ada lagi sumbersumber pendanaan yang kontinyu bagi pengelolaan DPL ini. Sumber pendanaan yang ada hanya berupa swadana dari masyarakat yang juga sangat terbatas.
79
Sehingga masalah pendanaan menjadi faktor pembatas dalam pencapaian tujuan pengelolaan DPL Blongko. 2.
Proses Implementasi
(1)
Pembagian tugas pengelolaan Pembagian
tugas
merupakan
indikator
untuk
menilai
efisiensi
implementasi program DPL. Pembagian tugas dalam pengelolaan DPL Blongko dilihat dari tiga parameter, yaitu (1) ketersediaan kelompok pengelola, (2) pembagian tugas dan tanggungjawab, (3) sistem pelaporan dan (4) mekanisme pengambilan keputusan. Hasil kajian yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa tugas pengelolaan DPL Blongko dilaksanakan oleh Badan Pengelola dengan pembagian tugas yang jelas berdasarkan seksi-seksi yang dibentuk. Namun dalam pembagian tugas ini tidak dilengkapi dengan mekanisme kerja secara jelas, sedangkan mekanisme pengambilan keputusan dilakukan melalui rapat pengurus. (2)
Dukungan peraturan Dalam implementasi rencana pengelolaan atau program pengelolaan
sumberdaya pesisir, salah satu yang diperlukan adalah dukungan peraturan dari berbagai level. Dalam konteks ini, DPL Blongko memiliki dukungan pemerintah pada tingkat desa, yaitu Keputusan Pemerintah Desa Blongko Nomor 04/2004A/KD-DB/XI/99 tentang pelaksanaan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Wilayah Desa Blongko, dan Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat di Kabupaten Minahasa. Aturan tersebut disosialisasikan kepada masyarakat baik di dalam Desa Blongko maupun di luar Desa Blongko. Tujuannya agar masyarakat luas mengetahui adanya program DPL ini. Melalui sosialisasi ini, dapat diketahui tingkat penerimaan masyarakat di luar Desa Blongko. Sehingga diharapkan pada saat implementasi program ini tidak mendapat hambatan dari masyarakat khususnya dari luar Desa Blongko. (3)
Monitoring dan evaluasi Untuk mengetahui apakah program DPL ini mencapai tujuan yang
diharapkan, maka kegiatan monitoring dan evaluasi harus dilakukan.
Suatu
kegiatan monitoring akan memberikan hasil yang baik apabila kerangka
80
monitoring yang akan menjadi acuan dalam pelaksanaan kegiatan monitoring, ada data dasar sebagai pembanding dan ada tindak lanjut yang dari hasil kegiatan monitoring dan evaluasi. Hasil kajian yang dilakukan dalam pengembangan DPL ini, ternyata tidak ditemukan adanya kerangka monitoring, ketersediaan data dasar hanya mencakup data sosial ekonomi dan budaya, sedangkan data sumberdaya dan lingkungan tidak ada. Demikian juga tidak ada tindak lanjut terhadap hasil monitoring dilakukan. 3.
Pencapaian Hasil
(1)
Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan Untuk mengetahui sejauh mana dampak terhadap perbaikan sumberdaya
dan lingkungan program DPL Blongko ini terdapat 4 indikator yang dinilai, yaitu peningkatan kualitas terumbu karang, peningkatan keragaman ikan karang, perbaikan ekosistem mangrove dan penurunan tekanan terhadap ekosistem terumbu karang. Data hasil pengamatan yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2009, dibandingkan dengan data hasil pengamatan pada tahun 2003, secara keseluruhan terjadi penurunan kualitas terumbu karang, yang diwakili oleh persen penutupan karang keras. Dimana pada tahun 2003, persentase penutupan karang hidup yang dilakukan pada 3 lokasi pengamatan mencapai 62.79%, sedangkan hasil pengamatan tahun 2007 yang dilakukan pada dua lokasi pengamatan menunjukkan persentase penutupan karang keras hanya 55.66%. Namun jika data tahun 2007 dibandingkan tahun 2009 terjadi perbaikan kembali. Analisis ikan karang di DPL blongko tidak didukung oleh ketersediaan data baik data awal maupun data monitoring, oleh karena ini dampak DPL terhadap ikan karang tidak dapat disimpulkan. Dampak terhadap perbaikan lingkungan, memberikan efek positif bagi pengembangan atau rehabilitasi ekosistem mangrove yang dilakukan di pesisir Desa Blongko.
Rehabilitasi mangrove ini menjadi program yang
bersinergi degan pengembangan DPL.
Dampak lainnya yang diperoleh dari
pengembangan DPL adalah berkurangnya tekanan terhadap ekosistem terumbu karang berupa kegiatan-kegiatan yang merusak seperti penggunaan bom dan cianida. Namun pengurangan tekanan ini tidak signifikan dengan peningkatan kualitas terumbu karang.
81
Tabel 11. Perbandingan persentase penutupan karang hidup tahun 2003, 2007 dan 2009 di DPL Blongko Parameter
2003
2007
Terumbu Karang Karang Keras 62.79 55.66 Karang Lunak 2.27 4.23 Karang Mati 2.9 7.68 Alga 22.19 9.9 Abiotik 9.85 22.53 Kegiatan Destrukif ada tidak ada Peningkatan pendapatan Tidak ada tidak ada Kegiatan alternatif Tidak ada tidak ada Perubahan perilaku ada ada Sumber : Proyek Pesisir (2003) dan Data Primer 2007 dan 2009 (2)
2009 57.65 5.64 6.23 10.24 20.24 tidak ada tidak ada tidak ada ada
Dampak terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi Indikator sosial ekonomi dari pencapaian hasil pengembangan DPL ini
adalah perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan pengembangan mata pencaharian alternatif. Dari hasil kajian yang dilakukan, ternyata pengembangan Daerah Perlindungan Laut Blongko ini belum memberikan hasil yang signifikan bagi perubahan sosial ekonomi masyarakat. Pada awal pengembangan program DPL, diharapkan akan memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi dari produksi perikanan dan pengembangan wisata bahari. Namun sampai saat ini, kedua alternatif pendapatan ini tidak memberikan hasil yang signifikan. Indikator yang juga dinilai adalah pengembangan usaha alternatif. Harapannya, apabila program DPL ini berjalan dengan baik, akan memberikan efek bagi pengembangan usaha alternatif, namun hal ini tidak terwujud. Sejak program DPL ini kembangkan, pesisir Desa Blongko bukan menjadi tujuan alternatif wisata bahari. Meskipun pada awalnya banyak masyarakat luar yang berkunjung ke desa ini, namun hal itu dilakukan untuk melihat pengembangan DPL. (3)
Dampak terhadap perubahan sikap masyarakat Dampak pengembangan DPL Blongko terhadap perubahan sikap
masyarakat cukup baik.
Hal ini dilihat dari berkurangnya atau berhentinya
kegiatan eksploitasi terumbu karang dengan menggunakan teknik atau cara-cara
82
yang merusak lingkungan. Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan sianida sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat, seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya perlindungan terumbu karang. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan terumbu karang, terwakili oleh anggota masyarakat yang menjadi anggota badan pengelola DPL. 5.1.2 DPL Pulau Sebesi 1.
Penyusunan Rencana Pengelolaan
(1)
Ketersediaan data dasar Ketersediaan data dasar program DPL Sebesi diwakili oleh data-data
terumbu karang dan ikan karang, data sosial ekonomi dan budaya, sedangkan kerangka pengumpulan data tidak tersedia. Data terumbu karang dan ikan karang merupakan data awal yang digunakan dalam memilih lokasi yang ditetapkan sebagai daerah perlindungan laut. Pemilihan spot-spot yang mewakili perairan Sebesi didasarkan pada kondisi terumbu karang. Ada empat lokasi (spot) yang dijadikan DPL Sebesi, yaitu DPL 1 di dusun Siamas, DPL 2 di dusun Tejang, DPL 3 di Pulau Umang dan DPL 4 di dusun Segenom. Ketersediaan data awal untuk data sosial ekonomi dan budaya mencakup data komposisi penduduk antara nelayan dan non nelayan dijadikan pertimbangan dalam pemilihan Pulau Sebesi sebagai daerah perlindungan laut. (2)
Ketersediaan kerangka kerangka kerja Pengembangan DPL Sebesi juga didukung oleh ketersediaan kerangka
kerja dalam bentuk lembaga pengelola, aturan pengelolaan dan program-program pengelolaan.
Lembaga pengelolaan DPL Sebesi diimplementasikan melalui
Badan Pengelola yang anggota dipilih dari masyarakat. Sejak terbentuknya badan pengelola ini, sudah dua kali mengalami pergantian pengurus. Untuk mendukung program DPL Sebesi ini, maka dibuat aturan pengelolaan DPL yang dituangkan dalam Surat Keputusan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi Nomor : 140/02/KDTPS/16.01/I/2002 tentang Aturan Daerah Perlindungan Laut. Berbagai hak dan kewajiban masyarakat diatur dalam SK ini. Demikian juga sanksi yang bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran. Aspek lainnya yang terkait dengan kerangka kerja adalah adanya Rencana Pembangunan dan Pengelolaan Pulau Sebesi. Di dalam dokumen ini dituangkan program-program yang dapat diimplementasikan
83
guna membangunan Pulau Sebesi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya pengelolaan DPL Sebesi. (3)
Sumber pendanaan Tiga indikator yang menjadi penilaian terhadap sumber pendanaan adalah
komitmen lembaga pemerintah untuk menyediakan pendanaan DPL, internalisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah, dan sumber-sumber pendanaan lainnya. Dari hasil analisis yang dilakukan, diketahui bahwa sejak Proyek Pesisir mengakhiri program fasilitasi di Pulau Sebesi, tidak ada lembaga lainnya yang memiliki komitmen untuk pendanaan program DPL ini. Meskipun beberapa tahun berjalan ada bantuan dan fasilitasi dari Yayasan Telapak, namun bantuan yang diberikan hanya berlangsung selama 1 tahun. Internalisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah dilakukan khususnya terkait dengan program konservasi dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang.
Program
transplantasi karang secara kontinyu diprogramkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Selatan guna meningkatkan kualitas terumbu karang di DPL Sebesi. Sementara itu, sumber-sumber pendanaan selain yang disebutkan di atas, sumber pendanaan lain untuk pengelolaan DPL Sebesi tidak ada, sehingga dana pengelolaan DPL hanya berasal dari bantuan pemerintah dalam bentuk program. 2.
Proses Implementasi
(1)
Pembagian tugas pengelolaan Pembagian tugas dalam kaitannya dengan proses implementasi program
DPL Sebesi, dilihat dari adanya kelompok pengelola, pembagian tugas, sistem pelaporan dan mekanisme pengambilan keputusan. Kelompok pengelola DPL Sebesi diwakili oleh Badan Pengelola yang anggotanya dipilih oleh masyarakat pada tahap pembentukan program DPL. Pemilihan anggota Badan Pengelola pada tahap selanjutnya dilakukan dalam mekanisme rapat pengurus.
Dalam
pembagian tugas pengelolaan DPL Sebesi ini tidak dilengkapi dengan sistem pelaporan yang baku, sehingga data dan informasi pengelolaan DPL tidak terdokumentasi dengan baik, sedangkan mekanisme pengambilan keputusan dilakukan melalui rapat pengurus (Badan Pengelola).
84
(2)
Dukungan peraturan Indikator ini mencakup 4 parameter, yaitu (1) aturan pengelolaan pada
tingkat desa, (2) aturan pengelolaan pada tingkat kabupaten, (3) sosialisasi program DPL, dan (4) penerimaan masyarakat di luar Pulau Sebesi. Dari empat parameter ini, aturan pada tingkat kabupaten tidak dibuat guna mendukung pengelolaan DPL. Keputusan
Kepala
Aturan pada tingkat desa, dituangkan dalam dalam Surat Desa
Tejang
Pulau
Sebesi
Nomor
:
140/02/KD-
TPS/16.01/I/2002 tentang Aturan Daerah Perlindungan Laut. Sosialisasi program DPL dilakukan pada nelayan yang berasal dari desa di luar Pulau Sebesi dan sering melakukan penangkapan di sekitar DPL. Melalui sosialisasi ini, lambat laun nelayan di luar Pulau Sebesi menerima aturan yang telah dibuat oleh masyarakat Pulau Sebesi dalam rangka mendukung program DPL. (3)
Monitoring dan evaluasi Kerangka monitoring yang disusun untuk program monitoring DPL Sebesi
adalah penetapan titik-titik pengamatan pada setiap DPL. Kegiatan pengamatan tidak dilakukan secara kontinyu tetapi hanya dilakukan berdasarkan secara spontan dengan metode mantatow. Seperti telah disubutkan sebelumnya, bahwa terdapat data awal baik data terumbu karang, ikan karang maupun sosial ekonomi. Data awal ini menjadi data pembanding jika ada kegiatan monitoring. Karena tidak ada kegiatan monitoring secara berkala terhadap DPL Sebesi, maka tidak ada tindak lanjut terhadap hasil monitoring. Kegiatan monitoring secara rutin hanya dilakukan pada daerah dimana dilakukan kegiatan transplantasi karang. Badan pengelola melakukan monitoring secara berkala untuk mengetahui perkembangan dari hasil transplantasi karang. 3.
Pencapaian Hasil
(1)
Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan Sesuai dengan tujuan dari pengembangan daerah perlindungan laut,
perbaikan kualitas terumbu karang merupakan salah satu tujuan dari program ini. Dari data yang dikumpulkan pada tahun 2002, 2005, 2007 dan 2009 terlihat perubahan kualitas terumbu karang di DPL Sebesi. Seperti yang tersaji pada Lampiran 4, data terakhir (2009) memperlihatkan sebagian besar DPL mengalami perbaikan kualitas penutupan karang hidup, yaitu khususnya pada DPL 1, 2, dan 3. Adapun DPL 4 mengalami penurunan kualitas dari tahun 2002 sampai tahun 2009.
85
(2)
Dampak terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi Seperti halnya dengan DPL Blongko, DPL Sebesi juga tidak memberikan
dampak signifikan terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi terutama terkait dampak langsung terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Meskipun tidak dilakukan pendataan secara kontinyu terkait dengan pendapatan masyarakat yang bersumber dari pengembangan DPL, namun dari wawancara yang dilakukan, masyarakat umumnya mengatakan bahwa tidak ada dampak langsung dari DPL terhadap peningkatan pendapatan. Namun demikian, dampak tidak langsung dari program DPL berupa menurunnya aktivitas penggunaan alat tangkap gardan dan sianida telah berdampak positif terhadap perikanan secara umum di Pulau Sebesi. (3)
Dampak terhadap perubahan sikap masyarakat Salah satu tujuan lainnya yang diharapkan dari program pengembangan
DPL adalah perubahan sikap masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya terumbu karang. Praktek pemanfaatan terumbu karang secara luas, tidak hanya di Pulau Sebesi, tetapi umumnya terjadi di seluruh pesisir Indonesia cenderung merusak sumberdaya ini.
Praktek-praktek tersebut seperti penggunaan bom,
sianida, penggunaan alat tangkap dasar (gardan kasus P. Sebesi), penambangan karang dan sebagainya, telah berdampak luas terhadap kerusakan terumbu karang. Dalam pengembangan DPL Sebesi, perubahan sikap masyarakat dari kondisi yang merusak seperti ini ke arah yang lebih konservatif merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai.
Dari hasil monitoring yang dilakukan oleh masyarakat,
praktek-praktek tersebut di atas sudah tidak ditemukan lagi di Pulau Sebesi. 5.1.3
APL Pulau Harapan
1.
Penyusunan Rencana Pengelolaan
(1)
Ketersediaan data dasar Pengembangan APL Pulau Harapan yang difasilitasi oleh Dinas
Peternakan,
Perikanan dan
Kelautan DKI Jakarta mulai tahun 2006.
Pengembangan APL ini merupakan bagian dari program pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi di DKI Jakarta.
Sebelum menetapkan
kawasan APL, terlebih lebih dahulu dilakukan survei lokasi untuk menentukan lokasi yang sesuai baik secara biofisik maupun sosial ekonomi. Data hasil survei inilah yang akan menjadi data dasar dalam pengembangan APL selanjutnya.
86
Sementara itu, data dasar terkait dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat tidak disusun dalam kerangka yang baku sehingga sulit dijadikan sebagai data dasar bagi pengembangan APL. (2)
Ketersediaan kerangka kerja Pengembangan APL Harapan juga didukung oleh ketersediaan kerangka
kerja, melalui pembentukan kelompok pengelolaan pesisir terpadu. Kelompok ini tidak hanya mengelola DPL saja tetapi mencakup seluruh aspek yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Pulau Harapan. Kelompok ini dibentuk lebih awal dari pembentukan APL Pulau Harapan. Tugas dari kelompok ini adalah mengelola kawasan pesisir dan laut Pulau Harapan.
Keberadaan
kelompok pengelola ini akan membuat pengembangan APL harapan akan lebih efektif dalam mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Seperti halnya halnya pada pengembangan DPL di Blongko dan Sebesi, pada pengembangan APL Pulau Harapan juga telah dibuat aturan pengelolaan, khususnya pada kawasan yang ditetapkan sebagai Zona Inti dan Penyanggah. Sementara itu, program-program pengelolaan yang diusulkan oleh badan pengelola belum mendapat respon dari instansi pemerintah, sehingga program pengelolaan APL ini tidak berjalan dengan baik. (3)
Sumber pendanaan Program APL Pulau Harapan diinisiasi oleh Dinas Peternakan, Perikanan
dan Kelautan DKI Jakarta. Oleh karena itu, pendanaan awal sejak program ini diinisiasi berasal dari Pemda DKI Jakarta. Namun demikian, tidak terdapat dana khusus bagi pengembangan APL Harapan. Selama dua tahun berjalan, program APL Pulau Harapan hanya mendapatkan dana bantuan dalam bentuk dana yang terintegrasi dalam program pengembangan DPL yang diberikan kepada pihak ketiga (konsultan) sebagai pelaksana program. Meskipun demikian, Pemda DKI memiliki komitmen mengembangkan kawasan konservasi laut di DKI Jakarta akan memberikan bantuan pengembangan APL ini.
Program-program yang
dikembangkan dalam rangka mendukung pengembangan APL diinternalisasikan ke dalam program Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta, ataupun program pada Suku Dinas di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu.
87
2.
Proses Implementasi
(1)
Pembagian tugas pengelolaan Meskipun sudah ada Badan Pengelola, yang memiliki beberapa pengurus,
namun karena aktivitas pendukung program APL ini tidak ada, maka program APL ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pengurus yang masih aktif adalah Ketua Badan Pengelola, sementara pengurus lainnya sangat jarang terlibat dalam pengelolaan DPL. (2)
Dukungan peraturan Berbeda dengan DPL Blongko dan Sebesi yang sudah didukung oleh
Peraturan Desa, APL Pulau Harapan belum mendapatkan legalitas dalam bentuk peraturan.
Badan Pengelola yang terbentuk juga belum ditetapkan secara
kelembagaan oleh instansi terkait. Pengakuan yang ada terhadap Badan Pengelola hanya pada tataran masyarakat Pulau Harapan. Hal ini tidak memberikan kekuatan hukum bagi Badan Pengelola untuk mengembangkan APL lebih lanjut, misalnya mengajukan proposal pengembangan DPL. (3)
Monitoring dan evaluasi Program monitoring dan evaluasi tidak dirancang secara reguler, dan
hanya dilakukan secara insidetial, yaitu pada saat ada kegiatan yang dilakukan di kawasan APL.
Pada dasarnya Badan Pengelola sudah memiliki kemampuan
untuk melakukan monitoring, namun karena tidak ada sarana (fasilitas penyelaman), maka terdapat kesulitan untuk melakukan monitoring. 3.
Pencapaian Hasil
(1)
Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan Dampak program APL Pulau Harapan terhadap perbaikan sumberdaya dan
lingkungan belum menunjukkan hasil yang baik.
Berdasarkan data persen
penutupan karang hidup pada saat survey penentuan lokasi DPL, kualitas tutupan karang hidup di lokasi yang terpilih sebagai kawasan APL berkisar antara 55-60% (Dinas PPK-DKI Jakarta, 2006). Dengan membandingkan data terbaru tahun 2007, kualitas tutupan karang hidup di daerah APL Pulau Harapan yang hanya mencapai 51,22% (Safri, 2007), terlihat bahwa kualitas terumbu karang mengalami penurunan. Dampak progarm APL Pulau Harapan terhadap perbaikan lingkungan masih rendah.
Meskipun ada program-program perbaikan lingkungan yang
dilakukan di Pulau Harapan seperti penanaman mangrove, namun program ini
88
tidak diitegrasikan dengan program APL Pulau Harapan. Demikian juga tekanan terhadap ekosistem terumbu karang masih terus terjadi, meskipun ada kecenderungan mengalami penurunan. Aktivitas penambangan karang, masih dilakukan oleh masyarakat, sehingga akan memperburuk kualitas lingkungan pada masa yang akan datang. Hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa belum ada pelarangan terkait dengan pengambilan karang. Menurut masyarakat, Badan Pengelola APL hanya melarang mereka mengambil karang pada kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan APL saja. Tabel 12. Perbandingan persentase penutupan karang hidup tahun 2006, 2007 dan 2009 di APL Pulau Harapan No. 1.
2 3 4 5 (2)
Parameter Terumbu karang Karang Hidup Karang Mati Algae Fauna Lainnya Abiotik Kegiatan Destrukif Peningkatan pendapatan Kegiatan alternatif Perubahan perilaku
2006
2007
2009
55.00 9.70 9.30 0.00 26.00 Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
51.00 12.00 10.00 0.00 27.00 Ada tidak ada tidak ada tidak ada
30.69 28.17 12.02 0.00 29.12 Ada tidak ada tidak ada tidak ada
Dampak terhadap perbaikan kondisi sosial ekonomi Dampak pengembangan APL Pulau Harapan terhadap perbaikan kondisi
sosial ekonomi masyarakat dilihat dari kontribusi APL terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan peluang pengembangan mata pencaharian alternatif. Hasil wawancara yang dilakukan dengan masyarakat Pulau Harapan dan anggota badan pengelola, diketahui bahwa program APL ini belum memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.
Demikian juga, peluang
pengembangan mata pencaharian alternatif sampai saat ini belum ada. Akibatnya, masyarakat kurang berpartisipasi dalam pengelolaan APL Pulau Harapan. (3)
Dampak terhadap perubahan sikap masyarakat Dampak pengembangan APL terhadap perubahan sikap masyarakat, relatif
kecil. Aktivitas pemanfaatan ekosistem terumbu karang dengan cara-cara yang merusak mulai berkurang.
Aktivitas penambangan karang meskipun masih
89
dilakukan masyarakat, tetapi hanya diperbolehkan dilakukan di lokasi-lokasi tertentu. Kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan APL tidak diperkenankan untuk ditambang atau digali. Keterlibatan masyarakat dalam program ini juga rendah, karena masyarakat tidak mendapatkan manfaat dari program ini. 5.2
Penilaian Efektivitas Pengelolaan DPL Hasil analisis diskriminan pada kelompok variabel efektifitas DPL/APL di
DPL Blongko, DPL P. Sebesi dan APL P. Harapan memperlihatkan bahwa keseluruhan informasi (variabel) yang mendiskiriminasi ketiga DPL/APL dapat dijelaskan pada sumbu (komponen utama) pertama (87,43%) dan sumbu (komponen utama) kedua (12,57%) Tabel 13. Tabel 13. Nilai akar ciri dan persentasi ragam ketiga DPL/APL pada sumbu (komponen utama) pertama (F1) dan sumbu (komponen utama) kedua (F2). Uraian Akar Ciri
F1 2.15
F2
Presentasi Ragam (%)
87.43
12.57
Nilai Komulatif (%)
87.43
100.00
0.309
Korelasi antara variabel efektifitas DPL/APL mengidentifikasikan bahwa DPL P Sebesi berkontribusi pada sumbu (komponen utama) pertama, sedangkan APL P. Harapan berkontribusi pada sumbu (komponen utama) kedua (Tabel 14 dan Tabel 15).
Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa efektifitas DPL Sebesi
berbeda dengan APL P. Harapan, demikian pula dengan DPL Blongko. Namun demikian,
efektifitas DPL Blongko masih lebih baik dari APL P. Harapan
(Gambar 8). Tabel 14. Korelasi variabel-variabel efektifitas pada sumbu pertama (F1) dan sumbu kedua (F2) DPL Blongko
F1 0.567
F2 0.736
DPL P. Sebesi APL P Harapan
0.852 0.343
0.511 0.908
90
Tabel 15. Uji nilai rata-rata kelompok variabel pada ketiga DPL/APL Variable DPL Blongko DPL P. Sebesi APL P Harapan
Lambda F DF1 DF2 0.653 1.596 2 6 0.443 3.769 2 6 0.725 1.138 2 6
Probabilitas <0.0001 <0.0001 <0.0001
Variables (axes F1 and F2: 100.00 %) 1 APL P Harapan 0.75
DPL Blongko DPL P. Sebesi
0.5
F2 (12.57 %)
0.25
0
-0.25
-0.5
-0.75
-1 -1
-0.75
-0.5
-0.25
0
0.25
0.5
0.75
1
F1 (87.43 %)
Gambar 8.
Kontribusi masing-masing DPL/APL Pada sumbu (komponen utama) pertama (F1) dan sumbu (komponen utama) kedua (F2).
Variabel-variabel efektifitas yang sangat membedakan DPL P. Sebesi dengan DPL Blongko dan APL P. Harapan adalah sumber pendanaan dalam pengelolaan, monitoring dan evaluasi selama proses implementasi, dan dampak dari DPL terhadap perbaikan sumberdaya alam dan lingkungan, dan dampak terhadap perubahan kondisi sosial-ekonomi masyarakat (Tabel 16). Demikian pula variabel-variabel monitoring dan evaluasi serta dampak terhadap perbaikan sumberdaya alam dan perubahan kondisi sosial ekonomi yang sangat membedakan DPL Blongko dan APL P. Harapan.
Melihat variabel-variabel
monitoring dan evaluasi berkorelasi erat dengan variabel dampak terhadap
91
perbaikan sumberdaya alam dan perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang membedakan ketiga DPL/APL, maka variabel-variabel ini harus menjadi dasar dalam penilaian efektifitas DPL/APL bagi keberlanjutan pengelolaan DPL/APL. Tabel 16. Nilai (skor) variabel efektifitas pengelolaan DPL Blongko, DPL P. Sebesi, dan APL P. Harapan. Atribut PenyusunanRencanaPengelolaan Ketersedian data awal Ketersedian kerangka kerja Sumber Pendanaan Proses Implementasi PembagianTugas DPL Dukungan Peraturan Monitoring dan Evaluasi PencapaianHasil Dampak Terhadap Perbaikan Sumberdaya dan Lingkungan Dampak Terhadap Sosial Ekonomi Dampak Terhadap Perubahan Sikap Masyarakat
DPL Blongko
Lokasi DPL P. Sebesi
APL P Harapan
3 3 0
3 3 1
3 2 0
3 2 1
3 1 2
1 0 0 0
1 0
2 1
0 0
1
2
0
Uraian di atas dapat dipaparkan lebih lanjut seperti pada Gambar 9, yang menyajikan gabungan antara atribut dan Daerah Perlindungan Laut.
Seperti
terlihat pada Gambar tersebut, DPL Blongko dan DPL Sebesi, berada pada satu kuadran, yang mana menunjukkan bahwa perbedaan antara DPL Blongko dan DPL Sebesi sangat kecil sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Berbeda
dengan APL Pulau Harapan berada kuadran berbeda yang menunjukkan bahwa APL Pulau Harapan memiliki perbedaan yang cukup besar dengan DPL P. Sebesi dan DPL Blongko. Dilihat dari distribusi atributnya, terlihat bahwa terdapat tiga kelompok yang membedakan karakteristik dari 9 atribut efektifitas pengelolaan DPL. Atribut dampak terhadap komponen sosial ekonomi dan sumber pendanaan
92
memiliki persamaan, dan hal ini juga terlihat pada Tabel 16, dimana nilai kedua artribut tersebut sangat rendah. Demikian juga dengan atribut ketersediaan data awal, ketersediaan kerangka kerja dan pembagian tugas dalam pengelolaan DPL juga memiliki karakteristik pembeda dengan atribut lainnya, sebagaimana juga ditunjukkan oleh nilai-nilai (skor) pada Tabel 16. Kelompok ketiga terdiri dari dampak terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan SDA, ketersediaan dukungan pemerintah, dampak terhadap perubahan sikap masyarakat dan kegiatan monitoring dan evaluasi juga memiliki karakteristik pembeda terhadap atribut lainnya. Atribut-atribut yang berada pada kelompok 2 dan 3 merupakan atribut pembeda antara DPL Sebesi dan DPL Blongko dengan APl Pulau Harapan.
Biplot (axes F1 and F2: 93.93 %) 5
4
3
F2 (7.80 %)
2
1 Dampak Sosek Pendanaan
0
Data Awal
APL P Harapan
Perbaikan SDA
DPL Blongko Dukungan Aturan Monev DPL P Sibesi Dampak Perubahan Sikap
Kerangka Kerja Pembagian Tugas
-1
-2
-3
-4 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
7
F1 (86.14 %)
Gambar 9. Distribusi atribut efektifitas pengelolaan DPL Blongko, Sebesi dan APL Pulau Harapan
93
5.3
Evaluasi Keberlanjutan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Seperti diuraikan dalam Bab 3 (Metodologi Penelitian) terdapat 12
parameter yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut.
Parameter tersebut adalah: (1) dampak terhadap peningkatan kualitas
terumbu karang; (2) dampak terhadap peningkatan sumberdaya ikan; (3) dampak terhadap perbaikan lingkungan; (4) kesesuaian dengan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat; (5) dampak terhadap perbaikan ekonomi masyarakat; (6) dampak terhadap pengembangan usaha lain; (7) kesesuaian dengan kebijakan setempat; (8) komitmen pemerintah setempat dan institusi lainnya; (9) partisipasi dari stakeholder utama; (10) peningkatan kapasitas institusi setempat; (11) penguatan kapasitas sumberdaya manusia; dan (12) hubungan dengan sumber pendanaan lainnya (Modifikasi dari Bengen et al. 2002). Keduabelas parameter tersebut lebih lanjut dijabarkan menjadi 32 atribut seperti disajikan pada Tabel 17. Nilai skor dari setiap atribut berkisar antara 0
sampai 3.
Nilai 0
menunjukkan bahwa dampak dari program DPL terhadap atribut tersebut sangat rendah atau bahkan memberikan dampak yang negatif.
Sebaliknya, nilai 3
menunjukkan bahwa dampak dari program DPL terhadap atribut tersebut cukup besar. Dari 32 atribut tersebut, tidak semua atribut memiliki nilai skoring dari 0 sampai 3, tetapi ada beberapa atribut yang hanya memiliki dua atau tiga nilai skor saja, yaitu 0 dan 1, atau 0, 1 dan 2. Penentuan nilai skoring tersebut didasarkan pada banyaknya faktor-faktor yang berkaitan dengan setiap atribut. Semakin banyak faktor-faktor yang terkait dengan suatu atribut, maka pemberian nilai skoring semakin beragam (0-3), demikian sebaliknya (Lampiran 3).
Dalam
pengolahan data-data skoring dengan menggunakan Rapsmile, maka ditentukan nilai baik dan nilai buruk dari setiap atribut. Pada Tabel 17, terlihat bahwa nilai setiap atribut untuk masing-masing DPL/APL lokasi berbeda-beda.
Hal ini
menunjukkan bahwa dampak pengembangan DPL di setiap lokasi memiliki pengaruh yang berbeda.
94
Tabel 17. Nilai (skor) atribut keberlanjutan pengembangan DPL Desa Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan. Blongko
Lokasi Sebesi
Harapan
A. Ekologi dan Lingkungan Perbaikan terumbu karang
0
2
0
3
0
Penurunan tekanan penggunaan bom
3
3
2
3
0
Penurunan tekanan penggunaan sianida
3
3
2
3
0
Penurunan tekanan penggunaan alat tangkap dasar Peningkatan keragaman ikan karang
3
3
2
3
0
1
2
1
3
0
Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang Program perlindungan sumberdaya
3
3
2
3
0
3
3
1
3
0
Eksploitasi karang B. Sosial Ekonomi dan Budaya Kesesuaian DPL dengan kondisi sosial ekonomi
3
3
2
3
0
3
3
3
3
0
Kaitannya dengan mata pencaharian
2
2
2
3
0
Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Penyerapan tenaga kerja Multiplier efek Kegiatan lain yang mendukung DPL
2
2
1
2
0
0 1 1
0 1 2
0 0 0
1 1 2
0 0 0
Upaya pengembangan mata pencaharian alternatif Introduksi Teknologi C. Kebijakan Setempat Kesesuaian dengan aturan setempat Legalitas Dukungan Perda Ada aturan khusus yang mendukung
0
0
0
2
0
0
1
0
2
0
1 2 1 2
1 2 0 2
1 0 0 1
2 2 1 2
0 0 0 0
Dukungan pemerintah daerah
1
2
1
2
0
Internalisasi Program DPL
1
1
0
2
0
Dukungan LSM/organisasi lain
1
2
0
2
0
Partisipasi masyarakat D. Kelembagaan Ketersediaan Perengkat Pengelola
2
2
1
3
0
2
2
2
2
0
Aturan Pengelolaan DPL Monitoring dan Evaluasi Kemampuan Insitusi Pengelola
2 1 1
2 2 2
2 0 1
2 2 2
0 0 0
Program Pendampingan
1
1
0
1
0
Program Pelatihan Hubungan dengan swasta Hubungan dengan donor
1 0 0
1 0 1
1 0 0
1 1 1
0 0 0
Atribut
Kategori Baik Buruk
95
5.3.1
Penilaian Parameter Keberlanjutan Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat 10 parameter dan 32
atribut yang dianalisis dalam penelitian ini guna mengkaji keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut. Pencapaian setiap parameter ini dibahas berdasarkan aspek pengelolaan untuk setiap lokasi (DPL) berikut ini. 5.3.1.1 DPL-BM Blongko 1.
Ekologi dan Lingkungan
(a)
Dampak terhadap kualitas terumbu karang Penilaian dampak pengembangan DPL terhadap kualitas terumbu karang
dilihat dari 4 atribut, yaitu persen penutupan karang hidup, aktivitas penggunaan bom, penggunaan sianida dan penggunaan alat tangkap dasar aktif (minitrawl). Berdasarkan data tahun 2003 dan 2007, terlihat bahwa persen penutupan karang hidup di DPL Blongko mengalami penurunan, yaitu dari 62.79% menjadi 55.66%. Penurunan kualitas terumbu karang ini, menunjukkan program DPL yang dilakukan belum memberikan hasil maksimal bagi perbaikan kualitas terumbu karang. Belum diketahui faktor penyebab penurunan kualitas terumbu karang di DPL Blongko ini. Jika dikaitkan dengan aktivitas yang merusak terumbu karang seperti penggunaan bom, sianida dan alat tangkap dasar seharusnya kualitas persen penutupan karang hidup meningkat atau tetap, mengingat akivitas ini sudah tidak terjadi lagi sejak dibentuknya DPL Blongko. (b)
Dampak terhadap ikan karang Dampak pengembangan DPL terhadap kelimpahan ikan karang dilihat dari
dua variabel yaitu peningkatan keragaman ikan karang dan eksploitasi sumberdaya ikan karang. Sejak pengembangan DPL, data tentang sumberdaya ikan karang tidak tersedia, baik data dasar maupun data hasil monitoring. Oleh karena itu, dampak pengembangan DPL terhadap sumberdaya ikan tidak dapat dianalisis. Eksploitasi sumberdaya ikan karang dengan menggunakan teknikteknik yang merusak di DPL Blongko sudah tidak ditemukan lagi. Pengembangan DPL Blongko memberikan dampak terhadap penghentian penggunaan teknik-teknik eksploitasi ikan karang yang merusak.
96
(c)
Dampak terhadap perbaikan lingkungan Dampak pengembangan DPL terhadap perbaikan lingkungan dilihat dari
ada tidaknya program lain yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan lingkungan, dan eksploitasi terumbu karang yang merusak. Selain program DPL Blongko, program lain yang dikembangkan adalah program penanaman mangrove luasnya 3 ha (sekitar 6 000 bibit). Program ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk melindungi pantai dari abrasi. Program ini dilakukan pada tahun 2002, yang dikembangkan sejalan dengan program DPL. Kegiatan eksploitasi terumbu karang seperti penambangan karang untuk bahan bangunan sudah tidak dilakukan lagi. Masyarakat telah menyadari bahwa eksploitasi terumbu karang seperti ini akan menimbulkan dampak negatif bagi mereka.
Dengan demikian,
pengembangan DPL telah memberikan dampak positif bagi program perbaikan lingkungan dan mencegah eksploitasi karang yang merusak lingkungan. 2.
Sosial Ekonomi dan Budaya
(a)
Kesesuaian dengan aspek sosial masyarakat Analisis kesesuaian pengembangan DPL dengan aspek sosial masyarakat
dilihat dari variabel kesesuainnya dengan kondisi sosial ekonomi, dan kaitannya dengan mata pencaharian. Jika dilihat dari kondisi sosial ekonomi, masyarakat Desa Blongko adalah masyarakat pesisir, yang sebagian masyarakat memiliki ketergantungan terhadap wilayah pesisir yang sangat tinggi. Kerusakan ekosistem pesisir akan berdampak terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Sementara itu, jika dilihat dari kaitannya dengan mata pencaharian masyarakat, sebagian besar masyarakat Desa Blongko merupakan nelayan yang menangkap ikan di sekitar kawasan terumbu karang. Dengan demikian, baik kesesuaian dengan kondisi sosial ekonomi maupun kaitannya dengan mata pencaharian memiki kaitan yang sangat erat. Oleh karena pengembangan DPL Blongko harusnya mendapatkan respon yang baik dari masyarakat. (b)
Dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Dampak pengembangan DPL terhadap peningkatan ekonomi masyarakat
dilihat dari tiga atribut, yaitu kontribusi terhadap peningkatan pendapatan, penyerapan tenaga kerja, dan efek ganda dari pengembangan DPL.
Hasil
wawancara yang dilakukan kepada masyarakat, diketahui bahwa tidak ada
97
dampak secara langsung meningkatkan pendapatan masyarakat.
Masyarakat
hanya mengetahui bahwa setelah program DPL berjalan beberapa tahun, hasil tangkapan nelayan meningkat. Hal ini berarti pengembangan DPL memberikan dampak positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat secara tidak langsung. Penyerapan tenaga kerja, tidak terlihat sebagai dampak dari pengembangan DPL. Meskipun terdapat banyak orang yang terlibat dalam pengelolaan DPL namun hal ini tidak dipandang sebagai lapangan kerja. Belum adanya aktivitas sekunder dari adanya DPL ini, menyebabkan aspek penyerapan tenaga kerja belum berdampak. Demikian juga dengan efek ganda pengembangan DPL belum terlihat berkembang di Blongko. Pada konsep awal, pengembangan DPL diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan ke lokasi ini, sehingga dapat menimbulkan efek ganda bagi peluang usaha lainnya. Namun sampai 10 tahun program ini berjalan, kunjungan wisata ke DPL Blongko sangat kecil. Oleh karena itu, dari tiga variabel yang terkait dengan dampak pengembangan DPL terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat hanya satu yang terlihat dampak positif meskipun tidak terlalu signifikan. (c)
Dampak terhadap pengembangan usaha lainnya Dampak pengembangan DPL terhadap pengembangan usaha lain di Desa
Blongko dilihat dari ada tidaknya kegiatan yang berkembang setelah adanya program DPL dan apakah ada pengembangan mata pencaharian alternatif. Pengembangan usaha lainnya yang dimaksud adalah pengembangan usaha pariwisata yang didalamnya didukung oleh jasa-jasa kepariwisataan.
Dari
wawancara yang dilakukan kepada masyarakat diketahui bahwa usaha lain tidak berkembang. Demikian juga pengembangan mata pencaharian alternatif tidak dilakukan. Dengan demikian, pengembangan DPL Blongko tidak memberikan dampak terhadap pengembangan usaha lain. (d)
Introduksi teknologi Introduksi teknologi ramah lingkungan juga merupakan parameter yang
mempengaruhi keberlanjutan dari pengembangan DPL di Desa Blongko. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa pengelolaan DPL menggunakan pendekatan adaptive management yang juga membutuhkan kemampuan manajerial. Selain itu, dalam proses pengembangan dan pengelolaannya membutuhkan keterampilan
98
teknis yang mana harus didukung dengan teknologi ramah lingkungan. Dalam pengembangannya, DPL Desa Blongko ini tidak atau belum didukung oleh introduksi teknologi ramah lingkungan oleh inisiator program. 3.
Kebijakan Daerah/Setempat
(a)
Kesesuaian dengan kebijakan setempat Salah satu faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan DPL
Blongko adalah kesesuaiannya dengan aturan setempat dan ketersediaan aturan khususnya yang dibuat untuk mendukung pengembangan DPL. Secara umum, tidak ada aturan setempat yang bertentangan atau menentang program pengembangan daerah perlindungan laut.
Sejak program ini diinisiasi, tidak
pernah ada masyarakat yang melakukan perlawanan terhadap program ini. Hal ini menunjukkan bahwa program DPL tidak bertentangan dengan aturan setempat atau aturan yang ada di dalam masyarakat. Untuk mendukung program DPL Blongko terdapat dua aturan yang khsusus dibuat, yaitu pada level desa dan kabupaten. Aspek legalitas DPL Desa Blongko dituangkan dalam bentuk aturan desa yang disepakati oleh perwakilan masyarakat dan pemerintah setempat. Kesepakatan ini juga didukung oleh pemerintahan pada level yang lebih tinggi, misalnya pada tingkat kecamatan dan Kabupaten. Pada level desa, aturan yang dibuat untuk mendukung pengembangan DPL Blongko adalah Keputusan Pemerintah Desa Blongko Nomor 04/2004A/KDDB/XI/99 tentang pelaksanaan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Wilayah Desa Blongko.
Pada level
kabupaten, aturan yang dibuat guna mendukung pengembangan DPL Blongko adalah Peraturan Daerah Kabupaten Minahasa No. 2 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Masyarakat di Kabupaten Minahasa. (b)
Komitmen institusi lokal Komitmen institusi lokal terhadap pengembangan DPL Blongko dilihat
dari dukungan Pemerintah Daerah dan dukungan lembaga lainnya (misalnya LSM). Dukungan Pemerintah Daerah terhadap pengembangan DPL dapat berupa internalisasi program DPL kedalam program pembangunan daerah, atau pemberian bantuan dana bagi operasional badan pengelola.
Meskipun pada
99
tataran kabupaten sudah ada Peraturan Daerah terkait dengan pengelolaan pesisir terpadu, namun program DPL Blongko belum mendapatkan baantuan dari Pemerintah Daerah.
Demikian internalisasi program DPL ke dalam program
pembangunan daerah belum dilakukan. Dukungan lembaga lainnya juga belum ada, meskipun terdapat bantuan yang sifatnya sesaat, terkait dengan programprogram mereka di Desa Blongko. (c)
Partisipasi masyarakat setempat Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pesisir di Desa Blongko juga
merupakan faktor yang mempengaruhi keberlanjutan program DPL Blongko. Semakin tinggi partisipasi masyarakat, peluang atau prospek keberlanjutan DPL akan tinggi. Hasil wawancara dengan masyarakat Desa Blongko menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat Desa Blongko berada pada tingkat pemberi informasi dan konsultasi.
Hanya ada beberapa orang saja yang memiliki
partisipasi sebagai pemilik, yaitu masyarakat yang menganggap program DPL sebagai program mereka dan untuk kepentingan mereka. 4.
Kelembagaan
(a)
Kapasitas institusi setempat Dampak pengembangan DPL Blongko terhadap pengembangan kapasitas
institusi setempat dapat dilihat dari ada tidaknya perangkat pengelola DPL, ketersediaan aturan pengelolaan, pelaksanaan monitoring dan evaluasi, dan kemampuan institusi pengelola DPL. Sejak disahkannya DPL Desa Blongko oleh aparat pemerintah desa, DPL Blongko sudah memiliki perangkat pengelola dan dilengkapi pula dengan aturan pengelolaan. Perangkat pengelola DPL ini juga dilengkapi
dengan
pembagian
dan
uraian
tugas
masing-masing
seksi.
Pelaksanaan program monitoring dan evaluasi juga menunjukkan kapasitas dari institusi DPL. Karena dengan adanya program ini, pengelola dapat melakukan pengembangan terhadap berbagai masalah yang dihadapi dalam pengelolaan DPL. Kemampuan Badan Pengelola dapat dinilai dari kemampuan menyusun proposal dan kemampuan mencari sumber-sumber pendanaan bagi pengelolaan DPL.
Hasil penilaian terhadap anggota pengelola DPL, diketahui bahwa
pengelola DPL sudah memiliki kemampuan menyusun proposal untuk selanjutnya diusulkan kepada Pemerintah Daerah.
Dengan demikian program DPL telah
100
memberikan dampak terhadap peningkatan kemampuan institusi setempat. Aturan pengelolaan DPL juga telah disiapkan, yang dituangkan dalam Keputusan Pemerintah Desa Blongko Nomor 04/2004A/KD-DB/XI/99 tentang pelaksanaan Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Wilayah Desa Blongko. Hak-hak dan kewajiban masyarakat telah diatur di dalam Peraturan Desa tersebut. Demikian juga sanksi bagi setiap pelanggaran sudah ditetapkan di dalam aturan pengelolaan. (b)
Penguatan SDM Dampak program DPL Blongko terhadap pengembangan sumberdaya
manusia dinilai dari ada tidaknya program pendampingan dan pelatihan yang diberikan kepada masyarakat termasuk di dalamnya anggota badan pengelola. Bengen et al. (2003), menyebutkan bahwa program pendampingan (extension officer)
di Desa Blongko berlangsung selama 2 tahun, yang dimulai sejak
sosialisasi program pengelolaan pesisir sampai terbentuknya daerah perlindungan laut. Program pendampingan ini telah memberikan dampak bagi peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan pesisir bagi kelangsungan hidup mereka. Program pelatihan juga banyak dikembangkan untuk mendukung pengembangan sumberdaya pesisir di Desa Blongko. Program-program pelatihan dilakukan mulai pelatihan teknis sampai pelatihan yang bersifat umum. Pelatihan teknis seperti mantatow, pengukuran garis pantai, pengolahan ikan dan sebagainya. Pelatihan yang bersifat umum, seperti pelatihan pengelolaan pesisir secara terpadu. (c)
Hubungan dengan donor lain Faktor lainnya yang juga mempengaruhi prospek keberlanjutan DPL
adalah hubungan dengan pihak swasta dalam mengembangkan program-program pendukung dan hubungan dengan lembaga-lembaga donor lainnya. Keterlibatan pihak swasta diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, baik secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan program DPL. Demikian juga dengan hubungan dengan lembaga donor lainnya. Pembiayaan yang dilakukan oleh inisiator program pada saatnya akan berhenti, sehingga perlu sumber-sumber pendanaan lainnya. Dari kedua variabel di atas, baik keterkaitan swasta maupun dengan lembaga donor lainnya dalam pengembangan DPL
101
Blongko belum ada. Ringkasan penilaian keberlanjutan Blongko disajikan pada Lampiran 5. 5.3.1.2 DPL Pulau Sebesi 1.
Aspek ekologi dan lingkungan
a.
Dampak terhadap perbabaikan kualitas terumbu karang Secara konseptual daerah perlindungan laut bertujuan untuk melindungi
sumberdaya laut melalui perlindungan kawasan terumbu karang dari berbagai kegiatan yang merusak terumbu karang. Oleh karena itu, dalam jangka panjang diharapkan terjadi peningkatan kualitas pesisir dan selanjutnya memberikan dampak terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Perbaikan kualitas
ekosistem terumbu karang ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik lingkungan maupun terhadap sosial ekonomi masyarakat. Setelah pengelolaan daerah perlindungan laut berjalan kurang lebih 5 tahun (2002-2007), dampak dari program perlindungan laut terhadap perbaikan kualitas terumbu karang sudah menunjukkan kecenderungan yang meningkat, dilihat dari persen penutupan karang hidup. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, kualitas terumbu karang khususnya pada DPL 1-2 mengalami peningkatan dilihat dari persen penutupan karang keras. Peningkatan kualitas yang cukup signifikan terdapat di DPL 2 dan 3 sejak program DPL dimulai pada tahun 2002 sampai 2007. Tahun 2002 persen penutupan karang hidup di DPL 2 dan 3 adalah 17.41% dan 10.37% dan pada tahun 2007, persen penutupan di DPL 2 dan 3 menjadi 34.65% dan 32.09%. Peningkatan kualitas terumbu karang juga terjadi di DPL 1 dari tahun 2002 yaitu 25.82% menjadi 52.98% pada tahun 2005. Namun pada tahun 2007 kualitas terumbu karang di DPL 1 ini mengalami penurunan menjadi 34.65%. Penurunan kualitas terumbu karang terjadi di DPL 4, dimana pada tahun 2002 persen penutupan karang keras adalah 26.60% menurun menjadi 10.09% pada tahun 2007. Penurunan kualitas terumbu karang di DPL 4 ini diduga sebagai akibat badai yang terjadi pada tahun 2007, dimana bagian pantai dusun segenom mengalami pengangkatan. Dampak lainnya yang dikaji dari pengembangan DPL Sebesi terhadap perbaikan kualitas terumbu karang adalah dampak terhadap kegiatan penggunaan
102
bom, sianida dan alat tangkap dasar. Ketiga kegiatan ini sebelum ditetapkannya DPL di sebagian perairan Pulau Sebesi cukup banyak dilakukan, baik oleh masyarakat dari Pulau Sebesi itu sendiri, maupun nelayan dari desa lainnya. Namun sejak ditetapkannya kawasan DPL di perairan Pulau Sebesi kegiatan tersebut berhenti sama sekali. Proses sosialisasi yang dilakukan pada masyarakat Pulau Sebesi tidak terlalu mengalami hambatan, karena mereka memiliki kesadaran akan pentingnya terumbu karang bagi kehidupan mereka.
Namun
sosialisasi yang dilakukan kepada nelayan dari luar Pulau Sebesi mengalami kesulitan atau perlawanan terhadap program ini. Namun lama-kelamaan mereka juga dapat menerima dan mematuhi aturan yang telah ditetapkan masyarakat Pulau Sebesi. b.
Dampak terhadap kelimpahan sumberdaya ikan Paramter yang dianalisis terkait dengan dampak pengembangan DPL
terhadap ikan karang meliputi dampak terhadap kelimpahan ikan karang dan tekanan eksploitasi sumberdaya ikan karang.
Penelitian yang dilakukan oleh
Prasetiawan (2002) menunjukkan adanya hubungan antara kualitas terumbu karang dengan kelimpahan dan jumlah genus ikan karang yang terdapat di daerah perlindungan laut Pulau Sebesi. Artinya apabila program daerah perlindungan laut Pulau Sebesi mampu meningkatkan kualitas terumbu karang (persen penutupan karang hidup), akan secara langsung juga akan meningkatkan kualitas sumberdaya ikan karang.
Berdasarkan hasil pemantauan ikan karang yang
dilakukan pada bulan Maret dan Oktober 2002 menunjukkan adanya peningkatan jumlah spesies dan jumlah genus pada beberapa lokasi daerah perlindungan laut. Demikian juga jumlah genus yang ditemukan terjadi peningkatan pada DPL 1, 2 dan 3.
Hal ini berarti pengembangan daerah perlindungan laut memberikan
dampak terhadap peningkatan sumberdaya ikan karang. Pengembangan daerah perlindungan laut juga secara nyata memberikan dampak terhadap penurunan aktivitas pemanfaatan ikan karang dengan menggunakan teknik yang merusak seperti bom dan sianida. Seperti diuraikan pada bagian dampak terhadap kualitas terumbu karang, kegiatan-kegiatan yang merusak terumbu karang juga secara tidak langsung mengganggu sumberdaya ikan. Aktivitas seperti penggunaan bom, sianida, dan alat tangkap dasar di DPL
103
Sebesi sudah tidak dilakukan lagi sejak berdirinya DPL Pulau Sebesi. Hal ini menunjukkan adanya dampak positif pengembangan DPL terhadap penurunan tekanan sumberdaya ikan karang. c.
Dampak terhadap perbaikan lingkungan Dampak pengembangan DPL terhadap perbaikan lingkungan ditinjau dari
dua variabel yaitu ada tidaknya program perlindungan lingkungan dan eksploitasi terumbu karang. Program perbaikan lingkungan akan memberikan dampak positif bagi pengembangan DPL dan lingkungan secara umum di Pulau Sebesi. Program perbaikan lingkungan yang dikembangkan di DPL Sebesi adalah pengembangan terumbu buatan yang dibantu oleh Nihon University, Jepang. Selain itu, program transplantasi karang juga sudah mulai digalakkan oleh masyarakat Pulau Sebesi sebagai salah satu program pendukung pengembangan DPL Sebesi. Kegiatan eksploitasi karang yang merusak, seperti penambangan karang sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat.
Sebelumnya tekanan terhadap
eksploitasi karang banyak dilakukan untuk keperluan bahan bangunan dan jalan. Sejak pengembangan DPL, masyarakat telah menyadari bahwa kegiatan tersebut akan merugikan mereka. Dengan demikian dampak pengembangan DPL Pulau Sebesi memberikan dampak positif bagi perbaikan lingkungan pesisir Pulau Sebesi. 2.
Aspek sosial ekonomi
a.
Kesesuaian dengan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat Seperti umumnya masyarakat pulau-pulau kecil, kondisi sosial ekonomi
masyarakat Pulau Sebesi memiliki ketergantungan terhadap wilayah pesisir, khususnya ketergantungan sumberdaya alamnya.
Sebagai masyarakat pulau-
pulau kecil, kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat tergantung kepada keberlanjutan sumberdaya pesisir pulau ini. Oleh karena itu, pengembangan DPL sebagai salah upaya untuk menjaga kelangsungan sumberdaya terumbu karang dan ikan karang sangat sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Pulau Sebesi. Pengembangan DPL juga diharapkan dapat memberikan dampak terhadap pengembangan mata pencaharian alternatif. Usaha ini pernah dirintis khususnya usaha budidaya kerapu, namun tidak berkembang karena faktor teknis. Mata pencaharian alternatif yang saat ini dikembangkan adalah budidaya karang
104
melalui kegiatan transplantasi karang. Hasil transplantasi karang ini diharapkan bisa menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat. b.
Dampak terhadap peningkatan kesejahteraan Meskipun tidak ada data statistik yang menunjukkan kenaikan pendapatan
masyarakat dari sebelum dan sesudah adanya program pengelolaan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, terlihat adanya dampak positif yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat. Hal-hal tersebut yang memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat adalah sejak adanya DPL Pulau Sebesi, Pulau Sebesi sering dikunjungi orang luar baik untuk melihat ekosistem terumbu karang maupun untuk melakukan studi banding terhadap pengelolaan DPL Pulau Sebesi. Demikian juga, kawasan DPL menjadi objek penelitian oleh mahasiswa dari strata S1 sampai S3. Hal ini secara tidak langsung memberikan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat peningkatan
penggunaan
transportasi
laut,
sewa
menyewa
seperti
penginapan,
penyediaan konsumsi oleh masyarakat pulau dan sebagainya. c.
Dampak terhadap pengembangan usaha lain Selain itu, pengembangan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi juga
memberikan peluang bagi pengembangan usaha alternatif.
Di dalam konsep
pengembangan dan pengelolaan daerah perlindungan laut diharapkan dapat memberikan dampak terhadap pengembangan usaha-usaha alternatif yang sifatnya sinergis. Dalam konteks pengembangan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi, pengembangan usaha yang cukup relevan adalah pengembangan daerah wisata bahari. Hal ini memungkinkan karena Pulau Sebesi terletak di sekitar Gunung Krakatau.
Apabila program daerah perlindungan laut ini berhasil dalam hal
pemeliharaan dan peningkatan kualitas terumbu karang, maka Pulau Sebesi akan menjadi lokasi kunjungan wisata bahari khususnya wisata selam. Mengingat kondisi terumbu karang di sekitar Selat Sunda pada umumnya telah mengalami kerusakan. d.
Introduksi teknologi Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa introduksi teknologi ramah
lingkungan akan mendukung keberlanjutan pengembangan DPL Pulau Sebesi
105
juga. Teknologi ramah lingkungan ini bisa mencakup teknologi pemanfaatan sumberdaya alam, teknologi rehabilitasi lingkungan dan teknologi pengolahan yang mendukung program DPL. Teknologi ramah lingkungan yang diintroduksi ke program pengembangan DPL Pulau Sebesi adalah teknologi transplantasi karang, sebagai bagian dari rehabilitasi ekosistem terumbu karang yang sudah mengalami kerusakan. Program ini selain bertujuan untuk peningkatan kapasitas masyarakat juga sebagai pembelajaran bagi masyarakat dalam rehabilitasi ekosistem terumbu karang. 3.
Aspek kebijakan setempat
a.
Kesesuaian dengan kebijakan setempat Secara umum program daerah perlindungan laut Pulau Sebesi tidak
bertentangan dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik pada tingkat propinsi, kabupaten, maupun desa. Bahkan tujuan dari program daerah perlindungan laut sejalan dengan tujuan pembangunan kelautan dan perikanan Lampung.
Pada
kebijakan tingkat Propinsi Lampung, daerah perlindungan laut sesuai dengan Perda Nomor 1 tahun 2000 dengan kebijakan pemulihan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan manusia. Pada tingkat Kabupaten, program daerah perlindungan laut sejalan dengan Rencana Strategis Dinas Perikanan dan Kelautan Lampung Selatan, sebagai bagian dari Program Pengawasan, Perlindungan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Legalitas DPL Pulau Sebesi dikuatkan oleh Surat Keputusan Desa yang didukung oleh perangkat yang ada di desa.
Program DPL sesuai dengan
kebijakan pengamanan laut, yaitu Surat Keputusan Keamanan Laut: SK No. 66/RN-SBG/VI 1999 yang memuat tiga keputusan, yaitu (1) menggalang kesatuan dan kekompakan anggota nelayan; (2) membentuk tiga regu keamanan laut yang beranggotakan 45 orang; dan (3) menangani permasalahan pengelolaan laut. Surat Keputusan Desa ini juga merupakan aturan khusus yang dibuat guna mendukung pengembangan DPL Pulau Sebesi.
Sayangnya, pada tingkat
kabupaten tidak didukung oleh peraturan yang lebih kuat dalam bentuk PERDA. b.
Komitmen pemerintah setempat dan institusi lainnya Dari beberapa institusi yang selama ini terlibat dalam program-program
pengelolaan pesisir di Propinsi Lampung, seperti pemerintah melalui lembaga
106
terkait (Bappeda dan Dinas Kelautan dan Perikanan), perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat, pada umunya memiliki komitmen untuk mendukung program daerah perlindungan laut Pulau Sebesi. Namun demikian, sesuai dengan fungsi dan peran dari masing-masing lembaga akan memberikan komitimen dan bantuan sesuai dengan fungsinya. Lembaga-lembaga pemerintah pada tingkat propinsi akan lebih fokus pada fungsi koordinasi, sedangkan pada tingkat kabupaten akan memberikan bantuan melalui integrasi program-program lembaga yang mendukung program daerah perlindungan laut tersebut. Demikian juga dengan lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi akan membantu sesuai dengan fungsi dan peran, seperti bantuan teknis dan ilmiah oleh Perguruan Tinggi dan penguatan keswadayaan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Hingga tahun 2007, beberapa lembaga telah memberikan dukungan program pengelolaan sumberdaya laut Pulau Sebesi, seperti Telapak melaui program peningkatan kualitas sumberdaya manusia, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung serta Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Selatan melalui pengembangan program transplantasi karang. c.
Partisipasi stakeholder utama Indikator lainnya dari efektifitas pengelolaan DPL Pulau Sebesi adalah
kepedulian dan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam perlindungan
sumberdaya laut. Dalam konteks keterlibatan masyarakat dalam suatu program pengelolaan pesisir, terdapat tiga tingkatan partisipasi, yaitu partisipasi sebatas pada memberi informasi (tingkat informasi), partisipasi sebatas target konsultasi, dan partisipasi sebagai pemilik program.
Dalam pengembangan daerah
perlindungan laut Pulau Sebesi, partisipasi tingkat informasi terjadi pada saat inisiator program akan memilih satu pulau dari beberapa pulau untuk dijadikan lokasi implementasi program.
Partisipasi tingkat konsultasi terjadi pada saat
inisiator baru memulai menempatkan penyuluh lapangan di Pulau Sebesi, sedangkan partisipasi tingkat pemilik terjadi pada saat inisiator sudah membentuk Kelompok Badan Pengelola. Setelah berjalan sekitar setahun, inisiator program telah membentuk Badan Pengelola daerah perlindungan laut yang beranggotakan 22 orang yang berasal dari masyarakat Pulau Sebesi.
107
Semenjak dibentuk, Badan Pengelola inilah yang melaksanakan kegiatankegiatan yang berkaitan dengan program daerah perlindungan laut Pulau Sebesi. Inisiator program melalui staf penyuluh lapangan hanya menjadi pendamping dalam meningkatkan kemampuan dari setiap anggota Badan Pengelola. Dengan demikian, tingkat partisipasi dari stakeholder dalam program daerah perlindungan laut ini adalah sebagai pemilik dan diharapkan mampu menjalin kerjasama antar lembaga yang ada di Pulau Sebesi sehingga tercipta sistem pengelolaan yang terpadu di antara komponen stakeholder. 4.
Aspek kelembagaan
a.
Peningkatan kapasitas institusi setempat Kapasitas institusi setempat dapat dilihat dari institusi yang dibentuk
khusus untuk mengelola DPL dan institusi yang sudah ada dan memiliki peran terhadap pengelolaan pesisir Pulau Sebesi.
Kapasitas institusi mencakup
ketersediaan perangkat pengelola DPL, ketersediaan aturan pengelolaan DPL, program monitoring dan evaluasi, serta kemampuan anggota badan pengelola menjaring bantuan. Sejak DPL Pulau Sebesi dibentuk, juga telah dilengkapi perangkat pengelola yang disebut Badan Pengelola DPL Pulau Sebesi. Badan Pengelola ini juga dilengkapi dengan aturan-aturan pengelolaan dan pembagian tugas seksi-seksi. Anggota badan pengelola ini melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi program DPL, bahkan secara aktif melakukan rehabilitasi terumbu karang. Kemampuan Badan Pengelola DPL dalam mengusulkan program ke Pemerintah Daerah juga cukup baik. Berdasarkan usulan Badan Pengelola Dinas Kelautan Kabupaten Lampung Selatan mengembangkan program konservasi dan rehabilitasi di Pulau Sebesi. Selain Badan Pengelola DPL Pulau Sebesi, institusi lainnya yang ada di Pulau Sebesi adalah terdiri dari intitusi formal dan non formal. Institusi formal yang ada antara lain adalah Rukun Nelayan, Karang Taruna, Koperasi Tani dan Nelayan, dan Seksi Keamanan, sedangkan institusi non formal adalah Sikam Salamban, Sikam Muahi, dan Risma. Rukun Nelayan Mina Bahari Pulau Sebesi merupakan organisasi nelayan yang ada di Pulau Sebesi yang beranggotakan sekitar 100 orang nelayan. Organisasi ini merupakan organisasi yang melakukan pembinaan akan arti penting lingkungan dan wadah aspirasi bagi anggotanya.
108
Karang Taruna merupakan organisasi pemuda yang ada di Desa Tejang. Koperasi Tani dan Nelayan merupakan koperasi yang ada di Desa Tejang yang saat ini belum aktif dan hanya mengelola hasil Nilam dengan modal dari investor yang berasal dari Jakarta.
Keamanan Laut merupakan organisasi yang dibentuk oleh
desa di tiap-tiap dusun pada tahun 1999 atas dasar kesadaran masyarakat akan arti pentingnya penjagaan lingkungan dari pengrusakan.
Organisasi ini bertugas
untuk menjaga laut dari pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh nelayan luar atau pun nelayan Pulau Sebesi itu sendiri. b.
Penguatan sumberdaya manusia Pengembangan daerah perlindungan laut Pulau Sebesi juga diikuti
program peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, pendampingan dan penyediaan bantuan teknis. Program peningkatan kapasitas sumberdaya manusia yang telah dilaksanakan adalah (1) pengiriman anggota masyarakat ke Sulawesi Utara untuk studi banding tentang Pengelolaan Terumbu Karang di Desa Blongko, Talise, dan Taman Nasional Bunaken; (2) pelatihan pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat untuk penyiapan kader di Desa Tejang Sebesi dan Pematang Pasir; (3) pelatihan pengolahan hasil perikanan tradisional; dan (4) pelatihan monitoring (manta tow).
Program-program di atas, secara
langsung atau tidak langsung telah meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia di Pulau Sebesi, terutama dalam hal (a) terbentuknya Badan Pengelola daerah perlindungan laut; (b) kemampuan masyarakat membuat aturan pengelolaan daerah perlindungan laut; dan (c) kemampuan memahami permasalahan pengelolaan terumbu karang (monitoring terumbu karang). Program lain yang dilakukan adalah program pendampingan masyarakat yang akan membantu masyarakat setempat dalam mempersiapkan upaya-upaya pengelolaan sumberdaya pesisir, yaitu (1) penempatan Extension Officer (penyuluh lapangan dari luar Pulau Sebesi) satu orang mulai dari awal sampai akhir; dan (2) pengangkatan asisten penyuluh lapangan dari masyarakat setempat (dua orang). Penyuluh lapangan berfungsi sebagai jembatan antara manajemen proyek dan masyarakat desa. Tugas penyuluh lapangan adalah (a) fasilitator dan mediator antara proyek pesisir, pemerintah dan masyarakat; (b) membantu proses
109
pelaksanaan proyek dengan bantuan asisten dan tanggungjawab terhadap proyek; dan (c) membangun motivasi masyarakat desa dalam upaya pengelolaan pesisir. Selain program pendampingan, peningkatan kapasitas SDM juga dilakukan melalui penyediaan bantuan teknis.
Bantuan teknis yang telah
dilakukan adalah (a) tenaga asistensi monitoring terumbu karang (Mahasiswa IPB); (b) pelatihan pengolahan ikan dan (c) pelatihan tentang organisasi. Pelatihan
monitoring
terumbu
karang
dimaksudkan
untuk
memberikan
keterampilan kepada masyarakat dan pengelola daerah perlindungan laut bagaimana melakukan monitoring terumbu karang.
Pelatihan organisasi
dilaksanakan oleh Yayasan Mitra Bentala yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang berorganisasi dan pemahaman tentang posisi kekuatan dari suatu organisasi, sedangkan pelatihan pengolahan ikan dilaksanakan oleh Jurusan Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Pelatihan ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi ibu-ibu bagaimana mengolah ikan dengan mutu yang baik. c.
Hubungan dengan donor lain Sejak fasilitator DPL Sebesi (Proyek Pesisir) berakhir, maka diperlukan
bantuan atau sumber-sumber pendanaan lainnya untuk membantu pengembangan DPL ini. Salah satu sumber pendanaan yang diharapkan adalah adanya hubungan kerja dengan pihak Swasta. Upaya ini pernah direalisasikan namun berhenti karena kendala teknis.
Sumber pendanaan lainnya yang diharapkan adalah
bantuan dari lembaga donor baik LSM internasional maupun lokal. Bantuan pendanaan pernah diberikan oleh Yayasan Telapak kepada badan pengelola, dimana bantuan ini hanya berjalan selama satu tahun.
Ringkasan penilaian
keberlanjutan DPL Sebesi disajikan pada Lampiran 6. 5.3.1.3 APL Pulau Harapan 1.
Aspek ekologi dan lingkungan
a.
Dampak terhadap kualitas terumbu karang Sejak dua tahun lalu APL Pulau Harapan ditetapkan sebagai kawasan
konservasi di Kelurahan Pulau Harapan, namun belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap perbaikan kualitas terumbu karang. Bahkan berdasarkan data tahun 2006 dan 2007, terlihat adanya penurunan kualitas tutupan karang.
110
Data tahun 2006, kualitas tutupan karang hidup di kawasan APL berkisar antara 55- 60%, sedangkan data tahun 2007 menunjukkan kualitas tutupan karang hanya sekitar 51%. Hal ini menunjukkan bahwa program APL belum memberikan dampak signifikan bagi perbaikan kualitas terumbu karang. Pengembangan APL juga belum memberikan dampak yang signifikan terhadap aktivitas yang merusak ekosistem terumbu karang.
Aktivitas
penambangan karang di sekitar Pulau Harapan masih terus dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat mengganggap bahwa karang yang ditambang adalah karang mati, yang menurut mereka tidak menjadi masalah untuk ditambang. Anggota Badan Pengelola APL Pulau Harapan tidak dapat memberhentikan atau melarang masyakat untuk melakukan kegiatan penambangan karang ini. Aktivitas lainnya yang masih dilakukan oleh masyarakat adalah penggunaan potas atau sianida. Meskipun ada kecenderungan aktivitas ini sudah berkurang. Namun masuh sering dilakukan oleh masyarakat di tempat-tempat tertentu. Penggunaan alat tangkap dasar di sekitar Pulau Harapan juga banyak dilakukan, meskipun alat tangkap dasar yang digunakan bersifat pasif, yaitu alat tangkap bubu. Berbeda dengan alat tangkap dasar yang digunakan oleh nelayan di sekitar Pulau Sebesi, yang menggunakan alat tangkap dasar aktif yaitu gardan. Secara keseluruhan, pengembangan APL Pulau Harapan ini belum memberikan dampak yang signifikan bagi perbaikan kualitas terumbu karang. b.
Dampak terhadap sumberdaya ikan karang Sama halnya dengan dampak terhadap perbaikan kualitas terumbu karang,
dampak APL Pulau Harapan terhadap peningkatan ikan karang belum memberikan hasil yang signifikan. Pengembangan APL Pulau harapan belum mampu menghentikan aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan dengan teknikteknik yang merusak lingkungan, seperti penggunaan sianida, penggunaan alat tangkap dasar dan juga penambangan karang. c.
Dampak terhadap perbaikan lingkungan Pengembangan APL Pulau Harapan juga belum memberikan dampak yang
berarti bagi perbaikan kualitas lingkungan.
Meskipun sudah ada program-
program perbaikan lingkungan yang dilakukan seperti penanaman mangrove dan transplantasi
karang,
namun
belum
merupakan
program
terpadu
dari
111
pengembangan APL Pulau Harapan ini. Maraknya aktivitas penambangan karang untuk bahan bangunan, mencerminkan dampak program ini terhadap perbaikan lingkungan masih rendah. Masyarakat menambang karang untuk dijadikan bahan bangunan dan juga diperjual belikan dengan harga sekitar Rp. 60 000,-/m3. 2.
Aspek sosial ekonomi dan budaya
a.
Kesesuaian dengan aspek sosial masyarakat Kesesuaian program APL Pulau Harapan dengan kondisi sosial ekonomi
masyarakat dilihat dari kondisi sosial ekonomi dan juga kaitannya dengan mata pencaharian masyarakat.
Secara umum, masyarakat Pulau Harapan adalah
masyarakat yang memiliki ketergantungan kepada sumberdaya pulau-pulau kecil khususnya sumberdaya ikan dan terumbu karang. Upaya pengembangan kawasan konservasi melalui program APL Pulau Harapan sangat sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ditinjau dari kesesuaian dengan mata pencaharian masyarakat, sekitar 80% masyarakat Pulau Harapan adalah nelayan yang sangat tergantung pada sumberdaya ikan dan ekosistem pesisir. Masyarakat menyadarai bahwa keberadaan sumberdaya ikan memiliki hubungan yang erat dengan kondisi kualitas terumbu karang. Oleh karena itu, upaya-upaya perlindungan terumbu kaang pada prinsipnya dipahami sebagai upaya untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dengan demikian, program APL ini memiliki kesesuaian yang sangat erat dengan kondisi sosial masyarakat Pulau Harapan. b.
Dampak terhadap peningkatan pendapatan Dampak pengembangan APL Pulau Harapan terhadap peningkatan
pendapatan masyarakat dilihat dari tiga artibut, yaitu kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, kontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja dan dampak terhadap efek ganda. Sejak pengembangan APL Harapan dua tahun lalu, sampai saat ini APL Pula Harapan tidak memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat.
Meskipun pada awalnya, masyarakat
memahami bahwa pengembangan APL ini akan berdampak pada peningkatan sumberdaya ikan, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan hasil tangkapan. Namun sejauh ini, masyarakat belum merasakan adanya peningkatan atau dampak dari APL ini terhadap peningkatan pendapatan mereka.
112
Dampak pengembangan APL Harapan terhadap penyerapan tenaga kerja juga tidak dirasakan oleh masyarakat. Pembentukan badan pengelola APL Pulau Harapan pada saat pembentukan APL tidak berjalan dengan baik.
Hal ini
disebabkan karena program pengelolaan APL tidak berjalan dengan baik. Akibatnya para pengurus APL tidak menjalankan program yang telah disusun. Efek ganda yang diharapkan dapat ditimbulkan dari adanya program APL ini juga sampai saat ini tidak ada. c.
Dampak terhadap peningkatan usaha lain Pengembangan APL Pulau Harapan, seyogyanya juga didukung oleh
kegiatan lain yang bersinergi dengan program APL ini. Hal ini dimaksudkan untuk mendukung keberlanjutan program ini. Namun sampai saat ini, tidak ada program lain yang dikembangkan untuk mendukung pengembangan APL. Pada tahun pertama APL dikembangkan, Suku Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kepulauan Seribu sebenarnya telah membuat pos jaga, namun pembuatan pos jaga ini tidak berjalan dengan baik. Upaya pengembangan mata pencaharian alternatif juga tidak berkembang dengan baik. Diharapkan bahwa pengembangan mata pencaharian akan meningkatkan keterlibatan masyarakat atau nelayan dalam pengelolaan APL ini.
Dinas Peternakan, Kelautan dan
Perikanan DKI Jakarta membuat fish shelter sebagai salah satu upaya membantu masyarakat untuk memanfaatkan potensi perikanan di sekitar Pulau Harapan namun program ini tidak diintegrasikan dengan program pengembangan APL. Akibatnya, masyarakat Pulau Harapan tidak merasakan manfaat dari program ini. d.
Introduksi teknologi Pengembangan APL Pulau Harapan sampai saat ini belum banyak
mendapatkan bantuan, baik dari instansi pemerintah maupun lembaga lainnya. Hal ini menyebabkan program APL Pulau Harapan belum optimal dalam mendukung pencapaian tujuan konservasi ekosistem terumbu karang. Demikian juga, tidak ada introduksi teknologi ramah lingkungan ke dalam program APL ini.
113
3.
Aspek kebijakan setempat
a.
Kesesuaian dengan kebijakan setempat Salah satu faktor yang dapat mendukung keberlanjutan program APL
Pulau Harapan adalah kesesuaian program ini dengan kebijakan setempat. Ada dua hal yang dapat mendukung pengembangan APL ini, yaitu apakah program APL ini sesuai atau tidak bertentangan dengan aturan setempat, dan apakah ada aturan khusus yang dibuat untuk mendukung program APL ini. Hasil wawancara dengan masyarakat, diketahui bahwa tidak ada aturan masyarakat yang bertentangan dengan program APL atau program konservasi secara umum. Artinya program APL ini sejalan dengan tujuan pengelolaan sumberdaya di lokasi penelitian. Pengembangan APL Pulau Harapan sebenarnya sudah dirancang dengan menyusun aturan-aturan khusus untuk mendukung program ini.
Sayangnya,
sampai saat ini aturan ini tidak disahkan oleh pemerintah daerah. Kepengurusan Badan Pengelola APL sampai saat ini belum dilegalisasi oleh pemerintah setempat, akibatnya badan pengelola tidak memiliki kekuatan hukum untuk menjalankan tugas-tigasnya dalam mengelola APL. Demikian juga, aturan-aturan yang dipersiapkan untuk mendukung program konservasi dan pengelolaan pesisir secara terpadu di Kepulauan Seribu, termasuk didalamnya APL Pulau Harapan belum ditetapkan. Akibatnya pengembangan APL Pulau Harapan sampai saat ini tidak didukung oleh adanya aturan khusus. b.
Komitmen institusi lokal Meskipun program APL Pulau Harapan ini diinisiasi oleh Dinas
Peternakan, Kelautan dan Perikanan DKI Jakarta, namun dukungan dari pemerintah belum ada. Mengingat program ini baru diinisiasi dua tahun lalu, maka masyarakat mengharapkan kiranya pemerintah seharusnya memberikan dukungan untuk pengembangan program ini. Namun, sampai saat ini dukungan tersebut tidak ada, baik dalam bentuk dukungan aturan atau legalitas program APL maupun bantuan pendanaan. Dukungan dari institusi selain pemerintah juga tidak ada.
Meskipun di Kepulauan Seribu terdapat lembaga-lembaga non
pemerintah, namun mereka tidak memberikan dukungan atau bantuan kepada
114
program APL Pulau Harapan.
Oleh karena itu, pengembangan APL Pulau
Harapan ini relatif kurang mendapat dukungan dari institusi setempat. c.
Partisipasi masyarakat Pada awalnya, masyarakat yang berpartisipasi dalam program ini cukup
banyak, namun karena manfaat yang didapatkan dari program ini dianggap kurang memenuhi harapan seperti yang diutarakan pada saat sosialiasi program, menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah. Saat ini, hanya sebagian anggota badan pengelola yang masih memiliki kepedulian terhadap program APL Pulau Harapan. 4.
Kelembagaan
a.
Kapasitas institusi setempat Kapasitas institusi setempat dilihat dari kemampuan institusi pengelola
APL Pulau Harapan.
APL Pulau Harapan saat ini telah memiliki perangkat
pengelola yang juga disebut Badan Pengelola APL. pengelola ini belum bekerja secara optimal.
Sayangnya perangkat
Kemampuan ini dilihat dari
kemampuan mempromosikan program APL kepada pihak luar dan kemampuan badan pengelola menyusun proposal untuk mendapatkan bantuan dari pihak luar untuk membiayai program APL ini.
Hasil wawancara dengan ketua badan
pengelola, diketahui bahwa anggota badan pengelola belum memiliki kapasitas yang memadai untuk menyusun proposal mendapatkan bantuan dari institusi lain. Katersediaan aturan pengelolaan APL Pulau Harapan juga menjadi indikator dalam menilai kapasitas institusi APL Pulau Harapan. Aturan-aturan pengelolaan APL ini sudah dibuat, namun karena belum ada legalitas program ini, maka aturan ini belum diimplementasikan dengan baik. b.
Penguatan SDM Program penguatan SDM juga menjadi faktor penentu keberlanjutan
program APL Pulau Harapan. Sejauh mana persiapan yang dilakukan selama pengembangan APL Pulau Harapan ini akan menentukan prospek keberlanjutan program ini.
Program pendampingan yang dilakukan selama pengembangan
program ini, hanya dilakukan pada saat pendirian APL, setelah program ini berdiri sudah tidak dilakukan pendampingan. Penguatan SDM melalui pelatihan juga
115
dilakukan hanya beberapa kali, sehingga dirasakan oleh masyarakat penguatan SDM masih rendah. c.
Hubungan dengan donor lain Berbeda dengan DPL yang diinisiasi oleh lembaga-lembaga non
pemerintah, program APL Pulau Harapan yang diinisiasi oleh pemerintah daerah ini tidak memiliki hubungan dengan lembaga donor lainnya. Padahal, banyak lembaga-lembaga lain yang memiliki prospek memberikan bantaun bagi pengembangan APL ini khususnya lembaga-lembaga swasta yang bergerak dalam bidang pariwisata.
Lembaga-lembaga ini memiliki kepentingan terhadap
perlindungan ekosistem terumbu karang yang merupakan objek wisata bahari yang diandalkan di kawasan Kepulauan Seribu.
Ringkasan penilaian
keberlanjutan APL Pulau Harapan disajikan pada Lampiran 7. 5.3.2
Indeks Keberlajutan Pengembangan DPL Hasil penentuan skor untuk setiap atribut dari aspek ekologi dan
lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, kebijakan setempat dan kelembagaan seperti disajikan pada Tabel 17 sebelumnya, yang kemudian diolah dengan metode Rapsmile (Rapid Apraisal of Small Island Development) menunjukkan bahwa ketiga program Daerah Perlindungan Laut memiliki prospek kebelanjutan yang berbeda-beda, sebagai mana ditunjukkan oleh Indeks Keberlanjutan DPL (IB-DPL).
Seperti yang disajikan pada Tabel 18 dibawah IB-DPL tertinggi
dimiliki oleh DPL Pulau Sebesi, yaitu 72.41 pada skala keberlanjutan 0-100. DPL Desa Blongko memiliki nilai IB-DPL sebesar 63.83. Adapun APL Pulau Harapan memiliki Indeks Keberlanjutan sebesar 36.30. Hasil penilaian terhadap 32 atribut yang terdiri dari 4 aspek atau dimensi, yaitu aspek ekologi dan lingkungan, sosial ekonomi dan budaya, kebijakan setempat, dan kelembagaan memperlihatkan bahwa Program DPL Pulau Sebesi dan DPL Desa Blongko memiliki prospek keberlajutan yang sedang (50.01-75.00%) berdasarkan kelas keberlanjutan yang dimodifikasi dari Susilo (2003). Hasil analisis keberlanjutan ketiga DPL disajikan pada Gambar 10.
116
Gambar 10.
Tabel 18.
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan. Nilai indeks keberlanjutan pengembangan DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan Lokasi DPL
Dimensi
DPL Blongko
DPL Pulau Sebesi
APL Pulau Harapan
Ekologi
83.28
87.74
52.89
Ekonomi dan Budaya
54.28
65.18
24.62
Kebijakan Setempat
57.22
60.25
25.26
Kelembagaan
65.47
82.29
49.09
Total
63.83
72.41
36.30
Dari hasil analisis di atas, dapat dikatakan bahwa program DPL Pulau Sebesi dan Desa Blongko memiliki prospek keberlanjutan yang lebih baik untuk terus dikembangkan oleh masyarakat, dibandingkan program APL Pulau Harapan,
117
dimana nilai IB-DPL kurang dari 50 pada skala 0-100. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian bagi inisiator program, jika ingin program ini terus berlanjut. Untuk program DPL Desa Blongko dan Pulau Sebesi juga perlu dikaji lebih lanjut, aspek apa saja yang belum berkelanjutan dari pengembangan DPL di dua lokasi ini. Pada Gambar 11 berikut disajikan posisi keberlajutan program DPL yang diteliti berdasarkan empat dimensi atau aspek, yaitu aspek ekologi dan lingkungan, sosial ekonomi budaya, kebijakan setempat dan kelembagaan.
Ordinasi Aspek Ekologi dan Lingkungan 60
Up
40 Sumbu Y Setelah Dirotasi
DPL yang Diteliti
20 APL Harapan
Bad
DPL Sebesi
0 0
20
40
60
80
Titik Referensi Utama
Good 100
120 Titik Referensi
DPL Blongko
-20
Tambahan
-40
-60
Down Sumbu X Setelah Dirotasi: Skala Keberlanjutan
Gambar 11. Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek ekologi dan lingkungan Hasil penilaian Indeks Keberlanjutan Pengembangan Tiga DPL yang diteliti sebagaimana disajikan pada Gambar 11 menunjukkan bahwa IB-DPL ditinjau dari aspek ekologi dan lingkungan untuk DPL Blongko dan Pulau Sebesi sudah mencapai kategori tinggi, yaitu di atas nilai 75.00 pada skala 0-100.00. Nilai IB-DPL yang sangat tinggi dari aspek ekologi dan lingkungan pada program DPL Pulau Sebesi, yaitu mencapai 87.74. Nilai IB-DPL Desa Blongko juga
118
cukup tinggi, yaitu 83.28.
Nilai IB-DPL terendah terdapat pada APL Pulau
Harapan. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperlihatkan dari setiap atribut yang sudah dijelaskan, dimana DPL Pulau Sebesi dan DPL Blongko memiliki nilai yang cenderung maksimum dibandingkan dengan program APL Pulau Harapan. Dari hasil analisis leverage atribut diketahui bahwa atribut yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan ditinjau dari aspek ekologi dan lingkungan adalah kualitas ikan karang, kualitas terumbu karang, penggunaan alat tangkap destruktif seperti sianida dan alat tangkap dasar. Keempat atribut inilah yang mempengaruhi prospek keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut. Analisis Leverage Aspek Ekologi dan Lingkungan Eksploitasi Karang Program Perlindungan Sumberdaya Attribute
Tekanan Eksploitasi Ikan Karang Kualitas Ikan Karang
Penggunaan Alat Tangkap Dasar Penggunaan Cyanida Penggunaan Bom Kualitas Terumbu Karang
0
2
4
6
8
10
Perubahan Root Mean Square Change (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 12. Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek ekologi dan lingkungan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Dimensi sosial ekonomi dan budaya memiliki nilai IB-DPL yang terendah jika dibandingkan dengan nilai IB-DPL tiga dimensi lainnya. APL Pulau Harapan memiliki nilai IB-DPL yang sangat rendah, yaitu kurang dari 50 (24.62). DPL Blongko dan Pulau Sebesi masih memiliki nilai IB-DPL yang lebih baik dari APL Pulau Harapan, yaitu masing-masing 54.28 dan 65.18 seperti yang disajikan pada Gambar 13. Namun jika dibandingkan dengan nilai IB-DPL untuk aspek ekologi dan lingkungan masih jauh lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa dampak
119
dari program DPL terhadap atribut-atribut yang menyangkut aspek sosial ekonomi dan budaya masih rendah. Ordinasi Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya 60
Up
Sumbu Y Setelah Dirotasi
40
APL Harapan
20 Bad 0 0
DPL Blongko
DPL yang Diteliti DPL Sebesi
20
40
60
Good 80
100
Tititk Referensi Utama
120
Titik Referensi Tambahan
-20
-40
Down
-60
Sumbu X Setelah Dirotasi: Skala Keberlanjutan
Gambar 13.
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek sosial ekonomi dan budaya
Analisis leverage atribut untuk aspek sosial ekonomi dan budaya menunjukkan bahwa atribut yang mempengruhi keberlanjutan pada aspek ini adalah penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan, efek ganda dari pengembangan DPL, serta pengembangan mata pencaharian alternatif. analisis leverage atribut disajikan pada Gambar 14 berikut.
Hasil
120
Analisis Leverage Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Introduksi Teknologi Ramah Lingkungan Pengembangan Mata Pencaharian Alternatif
Attribute
Kegiatan Lain Mendukung DPl Efek Ganda Penyerapan Tenaga Kerja Peningkatan Pendapatan Kaitan dengan Mata Pencaharian Kesesuaian dengan Kondisi Sosial Ekonomi 0
5
10
Perubahan Root Mean Square Change (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 14. Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek sosial ekonomi dan budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Dilihat dari kesesuaian program DPL dengan aspek kebijakan setempat, nilai IB-DPL tidak berbeda jauh dengan nilai IB-DPL pada aspek sosial ekonomi dan budaya. Nilai IB-DPL terendah untuk aspek kebijakan setempat terdapat pada pengembangan program APL Pulau Harapan sebesar 25.26. DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi masing-masing 57.22 dan 60.25. Pada Gambar 15 Nilai IB-DPL yang rendah ini menunjukkan bahwa atribut-atribut dari aspek kesesuaian program DPL dengan kebijakan setempat banyak yang belum optimal dikelola. Hal ini berarti bahwa untuk mempertahankan keberlanjutan program DPL di lokasi penelitian aspek ini perlu mendapatkan perhatian. Kesesuaian dengan kebijakan setempat dan adanya dukungan dari berbagai elemen masyarakat akan mendorong pengembangan DPL ini. Sebaliknya, jika tidak ada dukungan dari elemen masyarakat, maka DPL ini akan sulit berkembang.
121
Ordinasi Aspek Kebijakan Setempat 60
Up
Sumbu Y Setelah DIrotasi
40
DPL yang Diteliti
20 Bad 0 0
APL Harapan
20
DPL Sebesi
DPL Blongko
40
60
Tititk Referensi Utama
Good
80
100
120
Titik Referensi Tambahan
-20
-40
Down
-60
Sumbu X Setelah Dirotasi : Skala Keberlanjutan
Gambar 15.
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek kebijakan setempat
Seperti terlihat pada Gambar 16, atribut yang berpengaruh terhadap pengembangan DPL dilihat dari aspek kebijakan setempat adalah dukungan Peraturan Daerah (PERDA), dukungan program pemerintah daerah, dukungan lembaga non pemerintah, dan internalisasi program DPL kedalam program pemerintah daerah. Adanya dukungan Perda akan memberikan kekuatan hukum bagi pengembangan DPL ini. Demikian juga, jika program DPL diinternalisasikan ke dalam program tahunan, akan mendapatkan bantuan setiap tahun bagi pengembangan DPL.
122
Analisis Leverage Aspek Kebijakan Setempat Partisipasi Masyarakat Dukungan Lembaga Non Pemerintah
Attribute
Internalisasi Program DPL Dukungan Pemda Aturan Khusus Dukungan Peraturan Daerah Legalitas Kesesuaian Dengan Aturan Setempat 0
2
4
6
Perubahan Root Mean Square Change (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 16. Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek kebijakan setempat yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS.
Nilai IB-DPL untuk aspek kelembagaan dari tiga lokasi yang diteliti menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari nilai IB-DPL untuk aspek sosial ekonomi-budaya dan aspek kebijakan setempat. Nilai IB-DPL tertinggi terlihat pada Program DPL Pulau Sebesi, yaitu 82.29. Seperti yang terlihat pada Gambar 17, Nilai IB-DPL untuk DPL Desa Blongko dan APL Pulau Harapan masingmasing adalah 65.47 dan 49.09. Berdasarkan uraian setiap parameter yang telah dipaparkan sebelumnya, atribut yang membedakan ketiga lokasi ini adalah dalam hal pengembangan SDM dan legalitas dari program DPL. Untuk dua atribut ini, pada program DPL Pulau Sebesi dan Desa Blongko dikembangkan dengan baik, sedangkan pada program APL Pulau Harapan belum berjalan dengan baik.
123
Ordinasi Apek Hukum dan Kelembagaan 60
Up
Sumbu Y Setelah Dirotasi
40 APL Harapan
DPL Blongko
DPL yang Diteliti
20 Bad 0 0
DPL Sebesi
20
40
60
80
Good 100
Titik Referensi Utama
120 Titik Referensi Tambahan
-20
-40
Down
-60
Sumbu X Setelah Dirotasi: Skala Keberlanjutan
Gambar 17.
Posisi keberlanjutan pengembangan program DPL Desa Blongko, Pulau Sebesi dan Pulau Harapan untuk aspek kelembagaan
Empat atribut yang berpengaruh pada pengembangan DPL dilihat dari aspek kelembagaan adalah program pendampingan, bantuan dari pihak swasta/non pemerintah, program pelatihan dan aturan pengelolaan.
Aspek
kelembagaan dan pengembangan sumberdaya manusia sangat berpengaruh dalam pengembangan DPL.
Hal ini terlihat dari analisis leverage atribut aspek
kelembagaan seperti pada Gambar 18.
124
Analisis Leverage Aspek Hukum dan Kelembagaan Hubungan Dengan Lembaga Donor Lain Hubungan Dengan Swasta
Attribute
Program Pelatihan Program Pendampingan Kemampuan Institusi DPL Program Monitoring dan Evaluasi Aturan Pengelolaan DPL Ketersediaan Perangkat Pengelola DPL
0
2
4
6
8
Perubahan Root Mean Square Change (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan
Gambar 18. Peran masing-masing atribut keberlanjutan aspek kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS. Pada Gambar 19, dapat dilihat tingkat keberlanjutan masing-masing aspek pada setiap DPL/APL. Sebagaimana terlihat pada Gambar 19 tersebut, masing-masing DPL/APL memiliki nilai keberlanjutan dari setiap aspek yang berbeda-beda. Ekologi 100 80 60
40 20 Kelembagaan
0
Ekonomi dan Budaya
Kebijakan Setempat DPL Pulau Sebesi
DPL Blongko
APL Pulau Harapan
Gambar 19. Diagram layang-layang keberlanjutan pengelolaan DPL Blongko, DPL Sebesi, dan APL Pulau Harapan
125
Perbedaan tingkat keberlanjutan setiap aspek pada masing-masing DPL/APL di atas, ditentukan oleh perbedaan pencapaian dari kelompok-kelompok atribut. Sebagaimana terlihat pada Gambar 20, dari 32 atribut tersebut ternyata memiliki pengelompakan berdasarkan nilai dari skor yang telah disajikan pada Gambar 20. Kelompok-kelompok
atribut
inilah
yang
mencirikan
perbedaan
tingkat
keberlanjutan dari masing-masing DPL/APL yang diteliti. Sebagaimana terlihat pada Gambar 18, APL Pulau Harapan dicirikan oleh aturan pengelolaan DPL, Mata Pencaharian Alternatif, dan Perangkat Pengelolaan. Bilai merujuk kepada Gambar 20, atribut-atribut tersebut memiliki perbedanaan dengan DPL Blongko dan Sebesi.
Sebaliknya, DPL Blongko dan Sebesi dicirikan oleh kapasitas
pengelola DPL, Dampak terhadap peningkatan keanekaragam ikan, peningkatan pendapatan, aturan khusus serta dukungan pemerintah. Atribut-atribut lainnya mengelompok berdasarkan kesamaan nilai skoring, namun tidak mencirikan secara khusus dari 3 DPL/APL yang diteliti. Biplot (axes F1 and F2: 95.43 %) 2
1
Kesesuaian
Aturan DPL Pelatihan Swasta Kerja
Aturan Setempat
Harapan
Perda
MT Pencaharian Perangkat pengelola
F2 (9.67 %)
Alternatif
Teknologi
0
Donor
Pendampingan Efek Internailisasi
Kapasitas Blongko Partisipasi ANEKA Pemerintah Aturan Khusus Pendapatan
Sebesi
MONEV TK -1
CIAIkarang BOM DSR Eksp
Lain-Lain
Kons
Legalitas
LSM
-2 -3
-2
-1
0
1
2
3
F1 (85.76 %)
Gambar 20. Distribusi keberlanjtan pengelolaan DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan
126
5.4 Telaah Konsep Keberlanjutan Daerah Perlindungan Laut Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa terdapat empat aspek yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan DPL, yaitu aspek ekologi dan lingkungan, aspek sosial ekonomi dan budaya, aspek kebijakan, dan aspek kelembagaan.
Analisis leverage menyajikan beberapa atribut yang sensitif
terhadap keberlanjutan pengembangan daerah perlindungan laut. Atribut sensitif untuk aspek ekologi dan lingkungan adalah perbaikan ekosistem terumbu karang, penurunan tekanan pemanfaatan terumbu karang, peningkatan keragaman ikan karang, dan program perlindungan sumberdaya.
Atribut sensitif aspek sosial
ekonomi dan budaya adalah kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, efek ganda, dan upaya pengembangan mata pencaharian alternatif. Untuk aspek kebijakan setempat, atribut yang sensitif adalah legalitas DPL, dukungan Peraturan Daerah (PERDA), dukungan program pemerintah
daerah,
dan
internalisasi
program
DPL
kedalam
program
pembangunan daerah. Adapun aspek sensitif untuk aspek kelembagaan adalah aturan pengelolaan DPL, program pendampingan, program pelatihan, hubungan dengan lembaga donor, dan monitoring dan evaluasi. Berdasarkan
konsep
keberlanjutan
di
atas,
terdapat
keberlanjutan pengembangan DPL di 3 lokasi penelitian.
3
skenario
Penetapan model
skenario ini didasarkan pada skenario pengelolaan yang dilakukan dan yang dapat diupayakan guna mengetahui keberlanjutan pengelolaan DPL/APL.
Skenario
tersebut adalah sebagai berikut: (1) Skenario berdasarkan kondisi aktual (saat ini) (2) Skenario berdasarkan perbaikan atribut sensitif (3) Skenario berdasarkan kondisi ideal 5.4.1 Skenario Berdasarkan Kondisi Aktual Nilai skor untuk setiap atribut yang sensitif pada tiga lokasi studi disajikan pada Tabel 19. Pada Tabel 19 terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai skor untuk setiap DPL pada kondisi aktual, dimana perbaikan kualitas terumbu karang di DPL Blongko dan APL Harapan belum menunjukkan hasil yang positif. Hal ini tentunya akan mempengaruhi keberlanjutan pengembangan DPL di kedua DPL tersebut. Pada aspek sosial ekonomi, atribut penyerapan tenaga kerja dan upaya
127
pengembangan mata pencaharian alternatif juga belum memberikan hasil yang positif dan akan mempengaruhi keberlanjutan pengembangan DPL di tiga lokasi penelitian. Tabel 19. Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada kondisi aktual
Atribut
DPL Blongko
DPL Sebesi
APL Harapan
Nilai Skor Ekologi dan Lingkungan Perbaikan terumbu karang Penurunan tekanan penggunaan sianida
0
2
0
3
3
2
Peningkatan keragaman ikan karang Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
1
2
1
3
3
2
Program perlindungan sumberdaya Sosial Ekonomi dan Budaya Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
3
3
1
2
2
1
Penyerapan tenaga kerja Multifliyer efek Upaya pengembangan mata pencaharian alternatif
0 1
0 1
0 0
0
0
0
2 1 1 1
2 0 2 1
0 0 1 0
2 1 1 1 0
2 1 1 1 0
2 1 0 1 0
Kebijakan Legalitas Dukungan Perda Dukungan pemerintah daerah Internalisasi Program DPL Kelembagaan Aturan Pengelolaan DPL Monitoring dan Evaluasi Ada program Pendampingan Program Pelatihan Hubungan dengan swasta
Aspek kebijakan setempat, menunjukkan bahwa banyak atribut di APL Harapan yang belum memberikan hasil positif bagi pengembangan DPL. Hal ini terlihat pada atribut legalitas program APL, dukungan peraturan daerah, dan internalisasi program APL ke dalam program pembangunan daerah. Sementara itu, untuk aspek kelembagaan, atribut hubungan dengan pihak non pemerintah sperti swasta dan lembaga swadaya masyarakat di tiga lokasi penelitian belum memberikan hasil yang positif, sehingga atribut ini akan mempengaruhi keberlanjutan pengembangan program DPL (Gambar 21).
128
Kurva Keberlanjutan DPL pada Kondisi Aktual 100
Keberlanjutan DPL (Dalam Persen)
90 80 70 60 50 40 30 20 DPL Blongko DPL Sibesi APL Harapan
10 0
0
2
4
6
8
10 Tahun
12
14
16
18
20
Gambar 21. Grafik keberlanjutan ketiga DPL pada kondisi aktual Dengan kondisi aktual atribut sensitif di atas, akan mempengaruhi secara keseluruhan prospek keberlanjutan DPL di tiga lokasi.
Implikasi nilai atribut
pada Tabel 19 di atas terhadap keberlanjutan pengembangan DPL, dapat diuraikan sebagai berikut: (1)
Ekologi dan Lingkungan Skenario pertama ini yang didasarkan pada kondisi aktual pengelolaan DPL saat ini di iga lokasi memiliki dampak positif bagi pengembangan DPL secara keseluruhaan, kecuali belum optimalnya dampak terhadap perbaikan kualitas terumbu karang khususnya di DPL Blongko dan APL Harapan.
(2)
Sosial Ekonomi dan Budaya Dampak pengembangan DPL terhadap sosial ekonomi pada kondisi akual ini jauh dari optimal, karena adanya beberapa aribut yang belum memberikan dampak, seperti penyerapan tenaga kerja dan pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat sekitarnya.
Demikian juga
129
harapan akan adanya efek ganda dari pengembangan DPL belum terlihat secara jelas. (3)
Kebijakan Setempat Dampak pengembagan DPL untuk skenario pertama telah memberikan dampak positif bagi aspek kebijakan khususnya di DPL Blongko, sedangkan DPL Sebesi dan APL Harapan belum optimal.
(4)
Kelembagaan Skenario pertama ini akan berdampak positif bagi pengembangan DPL, atribut hubungan dengan pihak swasta akan memberikan dampak negatif karena belum optimalnya peran dari pihak non pemerintah.
5.4.2
Skenario Berdasarkan Perbaikan Atribut Sensitif Skenario 2 ini adalah skenario dimana dilakukan upaya perbaikan
khususnya terkait dengan atribut yang belum memberikan kontribusi positif bagi pengembangan DPL.
Upaya perbaikan yang dilakukan adalah meningkatkan
perbaikan kualitas terumbu karang melalui penekanan kegiatan yang merusak terumbu karang, khususnya di DPL Blongko dan APL Harapan.
Perbaikan
lainnya yang dilakukan adalah meningkatkan peran DPL dalam hal penyerapan tenaga kerja dengan menciptakan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan program DPL yang dapat memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Demikian juga dengan mengusahakan mata pencaharian alternatif seperti budidaya laut. Pada Tabel 20 disajikan nilai setiap atribut untuk skenario kedua. Dalam aspek kebijakan, upaya yang dapat dilakukan adalah perlunya dukungan aturan pada tingkat kabupaten untuk mendukung pengembangan DPL ini. Upaya perbaikan yang perlu dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan pihak non pemerintah swasta atau lembaga swadaya masyarakat untuk memberikan bantuan dalam pengembangan DPL.
Pada Gambar 22, disajikan
grafik keberlanjutan ketiga DPL pada kondisi perbaikan.
130
Tabel 20.
Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada skenario kedua (perbaikan) DPL Blongko
Atribut
DPL Sebesi
APL Harapan
Nilai Skor Ekologi dan Lingkungan Perbaikan terumbu karang Penurunan tekanan penggunaan sianida Peningkatan keragaman ikan karang Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
1 3 1
2 3 2
1 2 1
3
3
2
Program perlindungan sumberdaya Sosial Ekonomi dan Budaya Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
3
3
1
2
2
1
Penyerapan tenaga kerja Multifliyer efek Upaya pengembangan mata pencaharian alternatif Kebijakan Legalitas Dukungan Perda Dukungan pemerintah daerah Internalisasi Program DPL Kelembagaan Aturan Pengelolaan DPL Monitoring dan Evaluasi Ada program Pendampingan Program Pelatihan Hubungan dengan swasta
1 1 1
1 1 1
1 1 1
2 1 1 1
2 1 2 1
1 1 1 1
2 1 1 1 1
2 1 1 1 1
2 1 1 1 1
Kurva Keberlanjutan DPL pada Kondisi Perbaikan 100
Keberlanjutan DPL (Dalam Persen)
90 80 70 60 50 40 30 20
DPL Blongko DPL Sibesi DPL Harapan
10 0
0
2
4
6
8
10 Tahun
12
14
16
18
20
Gambar 22. Grafik keberlanjutan ketiga DPL pada kondisi perbaikan
131
Dengan kondisi atribut sensitif pada skenario kedua di atas, maka akan terjadi peningkatan prospek keberlanjutan pengembangan DPL dibandingkan dengan skenario aktual. Implikasi skenario kedua terhadap keberlanjutan pengembangan DPL, dapat diuraikan sebagai berikut: (1)
Ekologi dan Lingkungan Skenario kedua memberikan dampak yang lebih baik dari kondisi aktual, karena telah dilakukan berbagai upaya perbaikan, seperti penekanan dampak pengrusakan terumbu karang, seperti penggunaan alat tangkap dasar, penggunaan sianida.
Upaya ini akan memberikan dampak positif bagi
peningkatan kualitas terumbu karang di kawasan DPL. (2)
Sosial Ekonomi dan Budaya Dampak pengembangan DPL terhadap sosial ekonomi pada skenario kedua ini juga akan berdampak positif karena dilakukan upaya-upaya perbaikan seperti penciptaan kegiatan-kegiatan alternatif untuk membuka lapangan usaha terkait dengan pengembangan DPL. Selain itu pengembangan mata pencaharian alternatif seperti budidaya laut akan berdampak positif bagi pengembangan DPL di tiga lokasi.
(3)
Kebijakan Setempat Dengan melakukan perbaikan pada beberapa atribut yang belum optimal pada kondisi aktual, maka skenario kedua ini akan berdampak positif bagi pengembangan DPL. Perbaikan yang dilakukan seperti penguatan kebijakan pengelolaan DPL dengan dukungan peraturan daerah dan internasilisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah.
Internalisasi
program DPL ke dalam program pembangunan daerah, akan menguatkan upaya pengembangan DPL karena akan mendapatkan perhatian secara kontinyu dari pemerintah daerah. (4)
Kelembagaan Skenario kedua ini juga akan berdampak positif bagi pengembangan DPL, dengan menjalin kerjasama dengan lembaga non pemrintah baik swasta maupun Lembaga Swadaya Masyarakat, untuk memberikan bantuan bagi pengembangan DPL.
132
5.4.3 Skenario Berdasarkan Kondisi Ideal Skenario 3 adalah skenario ideal, tercapai manakala seluruh atribut memiliki nilai optimal dari nilai skor yang dibuat. Jika kondisi ini tercapai, maka pengembangan DPL akan mencapai tujuan yang diharapkan, baik dari aspek perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan maupun peningkatan kehidupan masyarakat pesisir di sekitarnya. Pada skenario ini, atribut keberlanjutan yang belum optimal pada skenario kedua (perbaikan) diperbaiki lagi sehingga mencapai kondisi ideal yang diinginkan. Tabel 21 berikut menyajikan nilai atribut pada kondisi ideal. Tabel 21. Skor atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan DPL pada kondisi ideal Atribut
DPL Blongko
DPL Sebesi
APL Harapan
Nilai Skor Ekologi dan Lingkungan Perbaikan terumbu karang
3
3
3
Penurunan tekanan penggunaan sianida
3
3
3
Peningkatan keragaman ikan karang Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
3 3 3
3 3 3
3 3 3
2
2
2
1 1
1 1
1 1
2
2
2
2 1 2 2
2 1 2 2
2 1 2 2
2 2 1 1 1
2 2 1 1 1
2 2 1 1 1
Program perlindungan sumberdaya Sosial Ekonomi dan Budaya Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Penyerapan tenaga kerja Multifliyer efek Upaya pengembangan mata pencaharian alternatif Kebijakan Legalitas Dukungan Perda Dukungan pemerintah daerah Internalisasi Program DPL Kelembagaan Aturan Pengelolaan DPL Monitoring dan Evaluasi Ada program Pendampingan Program Pelatihan Hubungan dengan swasta
Dengan kondisi nilai atribut maksimal seperti kondisi ideal yang diharapkan, maka pengembangan DPL ini akan mencapai tujuan yang inginkan, yaitu pengelolaan daerah perlindungan laut berbasis masyarakat yang bertujuan untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya serta meningkatkan kondisi sosial
133
ekonomi dan budaya masyarakat pesisir. Secara ringkas perbandingan setiap skenario dari ketiga DPL/APL disajikan pada Gambar 23-25.
Kurva Keberlanjutan DPL Blonko 100
Keberlanjutan DPL (Dalam Persen)
90 80 70 60 50 40 30 20
Kondisi Aktual Kondisi Perbaikan Kondisi Ideal
10 0
0
2
4
6
8
10 Tahun
12
14
16
18
20
Gambar 23. Perbandingan skenario keberlanjutan DPL Blongko
Kurva Keberlanjutan DPL Sibesi 100
Keberlanjutan DPL (Dalam Persen)
90 80 70 60 50 40 30 20
Kondisi Aktual Kondisi Perbaikan Kondisi Ideal
10 0
0
2
4
6
8
10 Tahun
12
14
16
18
20
Gambar 24. Perbandingan skenario keberlanjutan DPL P. Sebesi
134
Kurva Keberlanjutan APL Harapan 100
Keberlanjutan DPL (Dalam Persen)
90 80 70 60 50 40 30 20
Kondisi Aktual Kondisi Perbaikan Kondisi Ideal
10 0
0
2
4
6
8
10 Tahun
12
14
16
18
20
Gambar 25. Perbandingan skenario keberlanjutan APL P. Harapan Implikasi skenario ideal terhadap keberlanjutan pengembangan DPL, dapat diuraikan sebagai berikut: (1)
Ekologi dan Lingkungan Skenario ideal ini akan berdampak positif bagi pengembangan DPL dimana akan terjadi perbaikan kualitas terumbu karang, peningkatan sumberdaya ikan, penurunan tekanan terhadap terumbu karang serta berkembangnya program pengelolaan sumberdaya alam.
(2)
Sosial Ekonomi dan Budaya Skenario ideal ini juga akan berdampak positif terhadap pengembangan DPL.
DPL akan memberikan dampak positif bagi kontribusi terhadap
peningkatan pendapat masyarakat, penyeapan tenaga kerja, berkembangnya mata pencaharian alternatif dan adanya dampak sekunder dari kegiatan ini. (3)
Kebijakan Setempat Dalam aspek kebijakan setempat, pada skenario ideal ini DPL akan memiliki legalitas, dukungan Perda, dukungan program dan internalisasi program DPL ke dalam program daerah.
(4)
Kelembagaan Aspek kelembagaan akan mendukung pengembangan DPL secara optimal pada skenario ideal dimana program-program dan aturan pengelolaan DPL dibuat dan diimplementasikan dengan baik, adanya program pendamping dan pelatihan serta bantuan dari berbagai pihak.
135
5.5
Strategi Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Berdasarkan hasil analisis di atas, terlihat bahwa program DPL di tiga
lokasi memiliki tingkat keberlanjutan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu upaya atau strategi pengelolaan agar ketiga DPL yang sudah dikembangkan ini dapat berlanjut dan menjadi contoh yang baik dalam pengelolaan skala kecil di tingkat masyarakat (desa). Berikut beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah: (1)
Peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan di kawasan DPL Perbaikan kualitas terumbu karang dan sumberdaya alam lainnya di kawasan DPL merupakan tujuan dari pengembangan DPL. Apabila program DPL tidak mampu meningkatkan kualitas terumbu karang, maka program ini akan sulit berkembang atau berlanjut. Oleh karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas terumbu karang dengan menekan kegiatan yang merusak terumbu karang.
(2)
Pengembangan mata pencaharian alternatif guna mendukung program DPL Masyarakat akan terlibat secara aktif dalam pengembangan DPL, jika program ini memberikan manfaat bagi mereka. Salah satu manfaat yang bisa mereka dapatkan apabila ada kegiatan-kegiatan alternatif yang dikembangkan sejalan dengan program DPL.
(3)
Internasilisasi program DPL ke dalam program tahunan pemerintah daerah. Internasilisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah akan memudahkan pemerintah daerah mengembangkan program DPL. Karena dengan masuknya program DPL ke dalam program pemerintah daerah, maka DPL akan mendapatkan bantuan setiap tahunnya.
(4)
Pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam pengembangan DPL Pelibatan stakeholder lainnya seperti swasta dan lembaga swadaya masyarakat akan membantu upaya-upaya pengembangan DPL.
Hal ini
disebabkan karena keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat maupun pemerintah daerah. Lembaga non pemerintah ini akan mengambil peran tertentu
dalam
pengembangan
DPL,
pengembangan DPL secara keseluruhan.
sehingga
dapat
mendukung
6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah:
1.
DPL Pulau Sebesi lebih efektif dibandingkan DPL Blongko dan APL P. Harapan, demikian juga DPL Bongko lebih efektif dibandingkan APL P. Harapan. Parameter pembeda efektifitas ketiga DPL/APL adalah monitoring dan evaluasi serta dampak terhadap perbaikan sumberdaya alam dan perubahan kondisi sosial ekonomi.
2. Parameter (faktor) yang dominan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan daerah perlindungan laut adalah:
Aspek ekologi dan lingkungan: peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan karang; penurunan tekanan dan eksploitasi terumbu karang; dan pengembangan program perlindungan sumberdaya pesisir dan laut.
Aspek sosial ekonomi dan budaya: kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat; pengembangan mata pencaharian alternatif dan penyerapan tenaga kerja; serta munculnya efek ganda dari program DPL.
Aspek kebijakan: legalitas program DPL, dukungan dalam hal peraturan daerah, dukungan dalam hal program pembangunan dan internalisasi program DPL ke dalam program pembangunan daerah.
Aspek kelembagaan: aturan pengelolaan DPL, program pendampingan dan pelatihan; pelaksanaan kegiatan monioring dan evaluasi serta keterlibatan lembaga non pemerintah (swasta dan LSM).
3.
Tingkat keberlanjutan yang ditunjukkan dengan indeks keberlanjutan (IBDPL) program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi masih berada pada kategori sedang, yaitu nilai IB-DPL diantara 50,01 sampai 75,00 pada skala 0-100. Adapun APL Pulau Harapan masih rendah, yaitu kurang dari 50 (36,30).
138
4.
Berdasarkan analisis efektifitas dan keberlanjutan, DPL Sebesi dan Blongko memiliki efektifitas dan keberlanjutan yang sedang, sedangkan APL Pulau Harapan memiliki efektifitas dan keberlanjutan yang rendah.
5.
Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan untuk menjaga keberlanjutan pengembangan DPL adalah: -
Peningkatan kualitas terumbu karang dan sumberdaya ikan di kawasan DPL melalui penekanan kegiatan yang merusak lingkungan.
-
Pengembangan mata pencaharian alternative guna mendukung program DPL sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
-
Internasilisasi program DPL kedalam program tahunan pemerintah daerah, sehingga program ini mendapatkan perhatian secara kontinyu.
-
Pelibatan lembaga lain (non pemerintah) dalam pengembangan DPL, sehingga berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah daerah dapat diatasi.
6.
Telah ditemukan metode untuk menilai efektifitas dan keberlanjutan pengelolaan Daerah Perlindungan Laut/Area Perlindungan Laut.
6.2
Saran Beberapa saran yang dapat dikemukakan dalam disertasi ini adalah:
1. Perlu dikaji aspek sosial ekonomi dan budaya lebih lanjut, mengapa aspek ini yang merupakan salah satu tujuan dari program pengembangan DPL ini umumnya masih rendah, dibandingkan dengan aspek ekologi dan lingkungan. Padahal, aspek ini sangat mempengaruhi keberlajutan program yang dikembangkan dengan pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat. 2. Melihat tiga contoh program DPL yang diteliti, terlihat bahwa DPL Desa Blongko dan Pulau Sebesi memiliki tingkat keberlajutan yang lebih tinggi dari APL Pulau Harapan.
Jika dilihat dari inisiator masing-masing program,
dimana program DPL Desa Blongko dan DPL Pulau Sebesi diinisiasi oleh lembaga non pemerintah dengan pendekatan yang sangat partisipatif, sedangkan APL Pulau Harapan diinisiasi oleh pemerintah daerah dengan pendekatan proyek. Diperlukan kajian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa program dengan pendekatan yang partisipatif akan lebih berkelanjutan dibandingkan dengan pendekatan proyek.
DAFTAR PUSTAKA
Adrianto L. 2005. Aspek Sosial Ekonomi Dalam Pengelolaan Kesehatan Ikan dan Lingkungan : Revitalisasi Community-Based Fish Disease and Environmental Management. Makalah disampaikan pada Workshop Forum Koordinasi Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta, 28 September 2005. ________. 2006. Introduction on Concepts and Techniques for Valuation of Coastal and Marine Resources. Center for Coastal and Marine Resources Studies Publication. Bogor, Indonesia. Agardy TS. 2000. Marine Protected Areas and Oceann Conservation. R.G. Landes Company. Austin, TX. Alcala AC. 1998. Effect of Marine Reserve on Coral Fish Abundance and Yields on Philipina Coral Reefs. Ambio. Arancibia Y, AL Lara-Domongues, JLR Galavis, DJZ Lomeli, GJV Zapata, P Sanches-Gil. 1999. Integrating Science and Management on Coastal Marine Protected Areas In Southern Gulf of Mexico. In Ocean & Coastal Management 42 (199), pp. 319-344. Arifin T. 2008. Akuntabilitas dan Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang di Selat Lembeh, Kota Bitung. Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor. Bappeda Kabupaten Minahasa 1999. Rencana Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut dan Pembangunan Sumberdaya Wilayah Pesisir Desa Blongko, Kecamatan Tenga, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Kerjasama Proyek Pesisir dengan Bappeda Kabupaten Minahasa. Barton DN. 1994. Economic Factors and Valuation of Tropical Coastal Resources. SMR Report 14/94. Center for Studies of Environment and Resources. University of Bergen. Norway. Bengen DG, A Tahir, B Wiryawan. 2003. Tinjauan Sustainabilitas, Akuntabilitas, Replikabilitas, Pengembangan Daerah Perlindungan Laut di Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Proyek Pesisir Bengen DG. 2004. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bengen DG. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Borsma PD, JK Parrish. 1999. Limiting abuse : marine protected areas, a limited solution. In Ecological Economic 31, P. 287-304.
140
Brown K, WN Adger, E Tompkins, P Bacon, D Shim, K Young. 2001. Tradeoff Analysis for Marine Protected Area Management. Ecological Economics, 37 (2001), pp. 417-434. Carter
JA. 1996. Introductory Couse on Integrated Coastal Zone Management(Tarining Manual). Pusat Penelitian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sumatra Utara, Medan, dan Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan LingkunganUniversitas Indonesia, Jakarta; Dalhousle University, Enviromental Studies Centre Development in Indonesia Project
Carter RWG. 1988. Coastal Environment: An Introduction to the Physical, Ecological and Cultural Systems of Coastlines. Academic Press Inc., San Diego, USA. Carter DW. 2003. Protected Areas in Marine Resource Management : Another Look at The Economics and Research Issues. Ocean & Coastal Management, 46 (2003), pp. 439-456 Cava FM, JH Robinson, SA Earle. 1993. Should the Arabian (Persian) Gulf Become a Marine Sanctuary. Oceanus, Vol. 36, No. 3, 1993 Christie P, A White, E Deguit. 2002. Starting Point or Solution? Community Based Marine Protected Areas in the Philippines. Journal off Environmental Management (2002) 66, pp. 441-454. Cicin-Sain B, RW Knecht. 1998. Integrated coastal and ocean management: Concepts and practices: Island Press. Washington D.C. Covelo, California Clifton J. 2003. Prospect for Co-management in Indonesia‟s Marine Protected Areas. In Marine Policy 27 (2003, pp. 389-395. Cole-King A. 1995. Marine Protected Areas in Britain : a Conceptual Problem?. Ocean & Coastal Management Vol. 27, No. 1-2 , pp. 109-127, 1995. Dahuri R, J Rais, SP Ginting, MJ Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri R. 1998. Pendekatan Ekonomi-Ekologis Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Kerjasama Departemen Dalam Negeri, Direktorat Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan-TPSA-BPPTCoastal Resources Management Project (CRMP) USAID. Davis D, C Tisdell. 1995. Recreational Scuba-Diving and Carrying Capacity in Marine Protected Areas. Ocean & Coastal Management Vol. 26, No. 1 (1995), pp. 19-40 Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta. 2006. Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Konservasi Laut (KKL) di DKI Jakarta. Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta dan PT. Coastmar Lestari. Jakarta Dodd J. 2001. Marine candidate special areas of conservation in Argyll. The Scottish Association for Marine Science Newsletter 24, 7–8.
141
Edwards S. 2005. Ocean zoning, first possession and Coasean contracts. Marine Policy 32 (2008) 46–54. Farrow S and Sumaila UR. 2002. Conference Summary : the „New‟ Emerging Economics of Marine Protected Areas. Conference Report. Fish and Fisheries, 3 (2002). Pp. 356-359. Farrow S. 1996. Marine Protected Areas : Emerging Economics. Marine Policy, Vol. 20. No. 6, pp. 439-446, 1996. Fauzi A, S Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan: Untuk Analisis Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fernando TC, ML Soboil, J Kido. 2000. An Assessment of the Effectiveness of Marine Protected Area s the San Juan Islands, Washington, USA. In ICES Journal of Marine Science, 57 (2000), Pp. 1218-1226. Gell FR, CM Roberts. 2002. The Fishery Effects of Marine Reserves and Fishery Closures. WWF-US, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037, USA. Gladstone W. 2000. The Ecological and Social Basis for Management of a Red Sea Marine Protected Area. Ocean & Coastal Management 43 (2000), pp. 1015-1032 Gomez ED, HT Yap. 1978. Monitoring Reef Condition, dalam Coral Reef Management Handbook. Second Edition. In: Kenchington RA, Hudson BET (Editors). Unesco Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Hair JF, RE Anderson, RL Tatham, WC Black. 1998. Multivariate Data Analysis Fifth edition. Prentice Hall International, Inc. : New York. Hall SJ. 2001. Marine Protected Areas : a Picture Paints a Thousand Words . In ICES Journal of Marine Science, 58 (2001), Pp.738-739 Hawis MH, IS Alhusna, N Dahl-Tacconi, R Sihombing, F Setiawan, A Gunawan, NA Muzahar, H Ohoiulun. 2005. Evaluasi Keefektifan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi 2002-2004 dan rekomendasi-rekomendasi untuk meningkatkan pengelolaan. NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), BPDPL (Badan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut, Pulau Sebesi) dan PKSPL-IPB (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor). IUCN. 1998 Economic Value of Protected Areas : Guidelines for Protected Areas Managers. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Jameson SC, MH Tupper, JM Ridley. 2002. The Three Screen Doors : can Marine “Protected” Areas be Effective?. Marine Pollution Bulletin, 44 (2002), pp. 1177-1183 Juanes F. 2001. Mediterranean Marine Protected Area. TREND in Ecology & Evolution, Vo. 16 No. 4, April 2001, pp. 169-170. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2005. Kumpulan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Deputi Bidang Peningkatan Konservasi
142
Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Khazali M, DG Bengen, VPH Nikijuluw. 2002. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat). Jurnal Pesisir dan Lautan. Volume 4, No. 3, hal 29-42. Kriwoken LK. 1996. Australia Biodiversity and Marine Protected Areas. Ocean & Coastal Management Vol. 33, No. 1-3, pp. 19-40, 1996. Kussoy P, Crawford BR, Kasmidi M, Siahainenia A. 1999. Aspek SosialEkonomi Untuk Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir di Desa Blongko Sulawesi Utara Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island, USA. Kusamastanto T, 1994. An Investment Strategy for Development of Brickishwater Shirmp Aquaqulture Industri in Indonesia. Auburn University, Auburn, Alabama, United States of America. Lam M. 1998. Consideration of Customary Marine Tenure System in the Establishment of Marine Protected Areas in the South Pacific. In Ocean & Coastal Management 39 (1998), pp. 97-104. Lawson K, P Gooday. 2000. Economic of Marine Protected Area Design. In Abare Converence Paper 2000. 17 ( 6 – 7 July August, 2000). Marine Reserves Designing Cost Effective Options. Mahon R, L Fanning, P McConney. 2007. A governance perspective on the largemarine ecosystem approach. Marine Policy 33 (2009) 317–321 Manson FJ, DJ Die. 2001. Incorporating Commercial Fishery Information into the Design of Marine Protected Areas. Ocean & Coastal Management, 44 (2001), pp. 517-530. Marten G. 2007. Apo Island‟s Marine Sanctuary: Restoring a Coral-Reef Fishery in the Philippines McManus JW, Menez LAB. 1998. The proposed international Spratly Island marine part: ecological considerations. In H. Lessios (ed.) Proceedings of the 8th International Coral Reef Symposium 2:1943-1948 Mohan M, MA Jeffrey, S Adelaida. 1994. Protected area Economics and Policy: Linking Conservation and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Washington D.C. Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper No. 3. The World Bank. Washington. Mungatana ED. 2000. People Living in the Environment of Protected Areas have Positif Attitudes Towards them : some Evidance from Benefit-Cost Analysis. Paper prepared for the Second International Conference on Environment & Development, Stockholm, 6-8 September 2000.
143
Muttaqim E. 2005. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang Pada Tahun 2002 dan Tahun 2005 di Daerah Perlindngan Laut Pulau Sebesi Lampung. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nepal SK. 2000. Tourism in Protected Areas : The Nepals Himalay. Annals of Tourism Reasearch, Vo. 27, No. 3, pp. 661-681, 2000. Nicholls HB. 1998. Canadian-East Coast Marine Protected Areas : a Review. Ocean & Coastal Management 39 (1998), pp. 87-96 Nikijuluw VPH. 1994. Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya Berdasarkan Komunitas (PSBK) di Pulau Saparua, Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, 93: 79-92. Nunes PALD, JCJM Van den Bergh 2001. Economic Valuation of Biodiversity: Sense or Nonsense, Ecological Economics, vol. 39, pages. 203-222.. Parejo D, JM Sacchez, JM Aviles. 1999. Factors affecting the nest height of three heron species in heronries in the South-West Spain. Ardeola 42: 227230 Paryono TJ, T Kusumastanto, R Dahuri, DG Bengen. 1999. Kajian Ekonomi Pengelolaan Tambak di Kawasan Mangrove Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 2 No. 3. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor. Partnership for Interdisciplinary Studies of Coastal Oceans, 2008. Ecosystem Responses in a Marine Reserve. http://www.piscoweb.org/ outreach/topics/mpa Pearce J. 2002. The Future of Fisheries - Marine Protected Areas – a New Day oward or Another Management Glitch?. Marine Pollution Bulletin, 44 (2002), pp. 89-91. Pearman AD, K Yardley, G Wright. 1996. Risk Aversion, Consultancy report for the United Kingdom Offshore Oil Operators Association. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Pomeroy RS, MJ. Williams. 1994. Fisheries Co-Management and Smale-Scale Fisheries : A Policy Brief. ICLARM, Manila 15 p. Raharjo Y. 1996. Community-Based Management di Wilayah Pesisir. Pelatihan Perencanaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pusat Kajian Sumberdaya perikanan dan kelautan dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Rangkuti F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis; Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. PT Gramedia Pustaka Umum, Jakarta. Roberts CM and JP Hawkins. 2000. Fully protected marine reserves: a guide. WWF Endangered Seas Campaign, 1250 24th Street, NW, Washington, DC 20037, USA and Environment Department, University of York, YO10 5DD, UK.
144
Ruitenbeek HJ. 1992. Mangrove Management: An Economic Analysis of Management Options With a Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Environmental Management Development in Indonesia Project (EMDI). EMDI Environmental Report No. 8. Jakarta. Russ GR, AC Alcala. 1989. Effects on intence fishing pressure on a assemblage of coral reefs fishes. Marine Ecology Progress Series. Saaty TL. 1991. Pengambilan Keputusan, Bagi Para Pemimpin (terjemahan). Seri Manajemen LPPM No. 134. Jakarta. Salm RV, JR Clark. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers. 3rd edition. IUCN. Gland. Salmona P, D Verardi. 2001. The Marine Protected Area of Portofino, Italy : a difficult balance. Ocean & Coastal Management, 44 (2001), pp. 39-60 Sanchirico JN, KA Cochran, PM Emerson. 2002. Marine Protected Areas : Economic and Social Implications. Discussion Paper 02-26. Resources For The Future, Washington, DC. Santoso S. 2006. Menggunakan SPSS untuk Statistik Multivariat. PT Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia, Jakarta. Saunders DL, JJ Meewig, and ACJ Vincent . 2002. Freshwater Protected Area : Strategies for Conservation. In Conservation Biology Vol. 16 No. 1, pp. 30-41 Serageldin I. 1994. Making Development Sustainable: From Concept to Action. ESD. World Bank. Sharma S. 1996. Applied Multivariate Techniques. John Wiley & Sons, Inc. New York Simamora B. 2005. Analisis Multivariat Pemasaran. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Suharsono 1998. Condition of Coral Reef Resources in Indonesia. Jurnal Pesisir dan Lautan. Volume 1, No.2, 1998 ISSN 1410–7821. Hal:44-52. Sumaila UR, S Guenette, J Alder, R Chuenpagdee. 2000. Addressing Ecosystem Effect of Fishing Using Marine Protected Areas. ICES Journal of Marine Sciences, 57. Pp. 752-760. Sumaila UR. 1998. Protected Marine Reserves as Fisheries Management Tools : a Bioeconomic Analysis. Fisheries Research 37 (1998), pp. 287-296 Susilo, SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tahir A, DG Bengen, SB Susilo. 2002. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Balikpapan. Jurnal Pesisir dan Lautan. Volume 4, No. 3, hal 1-16.
145
Tulungen JJ, M Kasmidi, C Rotinsulu, M Dimpudus, dan N Tangkilisan. 2002. Panduan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat. USAID-Indonesia Coastal Resources Management Project. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UNESCO. 2000. Reducing Megacity Impacts on the Coastal Environment: Alternatif Livelihoods and Waste Management in Jakarta and Seribu Islands. Coastal Region and Small Island Paper 6, UNESCO, Paris. Villa F, L Tunesi, T Agardy. 2002. Zoning Marine Protected Areas Through Spatial Multiple Criteria Analysis : the case of the Asinara Island Mational Marine Reserve of Italy. Conservation Biology, Vol. 16, No. 2 (2002), pp. 515-526. Ward TJ, D Heinemann, N Evans. 001. The role of marine reserves as fisheries management tools – a review of concepts, evidence and international experience. Bureau of Rural Sciences, Canberra. Ward T, E Hegerl. 2003. Marine Protected Areas in Ecosystem-based Management of Fisheries - A Report for Environment Australia. Draft for Review March 2003. Wilson KDP, AWY Leung, R Kennish. 2002. Restoration of Hong Kong Fisheries Through Deployment of Artificial Reefs in Marine Protected Areas. In ICES Journal of Marine Science, 59 (2002), Pp. S157-S163. Wiryawan B, DG Bengen, I Yulianto, HA Susanto, AK Mahi, dan M Ahmad. 2002. Profil Sumberdaya Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan. Penerbitan Khusus Proyek Pesisir, Coastal Resources Center - University of Rhode Island. Narraganset, Rhode Wiryawan B, M Khazali, M Knight. 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau Kalimantan Timur: Status Sumberdaya Pesisir dan Proses Pengembangan KKL. Mitra Pesisir, Jakarta.
147 Lampiran 1. Parameter dan indikator penilaian efektifitas pengembangan program daerah perlindungan laut di DPL Blongko, DPL Pulau Sebesi dan APL Pulau Harapan A. No. I. 1.
2.
3.
II. 1.
2.
Indikator Penilaian Efektifitas Pengelolaan DPL Parameter
Informasi yang dianalisis
Indikator Penilaian
Penyusunan Rencana Pengelolaan Ketersediaan Data Dasar
Ketersediaan Kerangka Kerja
Sumber pendanaan
Ketersedian data biolofisik awal Ketersediaan data sosekbud awal Ketersediaan kerangka pengumpulan data
Adanya lembaga pengelola Adanya aturan pengelolaan Adanya program-program pengelolaan
Ada lembaga-lembaga yang memiliki komitmen pendanaan Internalisasi program DPL ke dalam program Pemerintah Daerah Ada sumber-sumber lainnya
0
Tidak ada data awal (biofisik dan sosekbud)
1
Terdapat satu jenis data awal (biofisik atau sosekbud)
2
Terdapat data awal biofisik dan sosekbud
3
Terdapat data awal biofisik dan sosekbud dan terdapat kerangka pengumpulan data
0
Tidak ada lembaga pengelola, tidak ada aturan pengelolaan dan belum ada program pengelolaan
1
Hanya ada satu parameter
2
Terdapat 2 parameter
3
Terdapat 3 parameter
0
Tidak ada sumber pendanaan yang jelas
1
Terdapat minimal Satu sumber pendanaan
2
Terdapat dua sumber penadanaan
3
Terdapat lebih dari 2 sumber pendanaan
0
Tidak ada kelompok pengelola
1
Ada kelompok pengelola dan ada pembagian tugas
2
Ada kelompok pengelola, ada pembagian tugas, dan ada mekanisme pelaporan
3
Ada kelompok pengelola, ada pembagian tugas, ada mekanisme pelaporan, dan ada mekanisme pengambilan keputusan
Proses Implementasi Pembagian tugas pengelolaan
Dukungan peraturan
Adanya kelompok-kelompok pengelola Ada pembagian tugas Ada sistem pelaporan Ada mekanisme pengambilan keputusan
Peraturan tingkat desa Peraturan tingkat kabupaten Sosialisasi peraturan Penerimaan masyarakat di luar Pulau Sebesi
0
Tidak ada dukungan peraturan
1
Ada dukungan di tingkat masyarakat (desa)
2
Ada dukungan di tingkat masyarakat (desa) dan kabupaten
3
Ada dukungan di tingkat masyarakat (desa) dan kabupaten, dilakukan sosialisasi dan mendapat dukungan/penerimaan dari masyarakat luar Pulau Sebesi
148 Lampiran 1 (Lanjutan) No. 3.
III. 1.
2.
3.
Parameter Monitoring dan Evaluasi
Informasi yang dianalisis Kerangka monitoring dan evaluasi Ketersediaan data dasar Tindak lanjut dari hasil monitoring dan evaluasi
Indikator Penilaian 0
Tidak ada kerangka monitoring dan evaluasi
1
Ada kerangka monitoring dan evaluasi
2
Ada kerangka monitoring dan evaluasi dan didukung oleh ketersediaan data awal
3
Ada kerangka monitoring dan evaluasi, didukung oleh ketersediaan data awal dan ada tindak lanjut terhadap hasil monitoring dan evaluasi
Kecenderungan dari kualitas ekosistem terumbu karang (menurun, tetap, meningkat) Kecenderungan tekanan terhadap sumberdaya terumbu karang Kecenderungan dari spesies indikator Kelimpahan dan keanekaragaman sumberdaya ikan Kecenderungan tekanan terhadap pemanfaatan sumberdaya ikan
0
kualitas terumbu karang dan ikan karang menurun dan tekanan terhadap terumbu karang meningkat
1
kualitas terumbu karang dan ikan tetap dan tekanan terhadap terumbu karang tetap
2
kualitas terumbu karang dan ikan karang tetap dan tekanan terhadap terumbu karang menurun
3
kualitas terumbu karang dan ikan karang meningkat dan tekanan terhadap terumbu karang menurun
Kontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat Peluang pengembangan usaha dan mata pencaharian alternatif
0
terjadi penurunan pendapatan masyarakat
1
tidak memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat
2
memberikan dampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat
3
terjadi peningkatan ekonomi dan membuka peluang pengembangan mata pencaharian alternatif
Pencapaian Hasil Dampak terhadap perbaikan sumberdaya dan lingkungan
Dampak terhadap perbaikan kondisi social eknomi
Dampak terhadap perubahan sikap masyarakat
Kecenderungan masyarakat/nelayan yang menggunakan teknik-teknik merusak lingkungan/sumberdaya Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan DPL
0
Masyarakat yang menggunakan teknikteknik merusak lingkungan meningkat
1
Masyarakat yang menggunakan teknikteknik merusak lingkungan tetap
2
Masyarakat yang menggunakan teknikteknik merusak lingkungan berkurang
3
Masyarakat yang menggunakan teknikteknik merusak lingkungan tetap dan partisipasi mereka terlibat dalam pengelolaan DPL
149
Lampiran 2. Ringkasan parameter penilaian keberlanjutan pengelolaan DPL Domain Ekologi dan lingkungan
Aspek sosial ekonomi dan budaya
Parameter
Variabel
Keterangan
Dampak terhadap kualitas terumbu karang
Perbaikan persen tutupan karang hidup
Apakah ada perubahan persen tutupan karang hidup (meningkat atau menurun)
Penurunan tekanan penggunaan bom
Apakah terjadi penurunan penggunaan bom ikan
Penurunan penggunaan sianida
Apakah terjadi penurunan penggunaan sianida dalam penangkapan ikan
Penggunaan alat tangkap dasar
Apakah terjadi penghentian penggunaan alat tangkap dasar
Dampak terhadap kelimpahan ikan karang
Keragaman ikan karang
Apakah terjadi peningkatan keragaman ikan karang
Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
Apakah kegiatan eksploitasi terhadap ikan karang berkurang
Dampak terhadap perbaikan lingkungan
Program perlindungan sumberdaya
Apakah ada perbaikan kualitas lingkungan perairan
Eksploitasi karang
Apakah terjadi perubahan eksloitasi karang khususnya untuk karang hias dan bangunan
Kesesuaian dengan aspek sosial
Kesesuaian DPL dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Apakah DPL tidak bertentangan dengan karakteristik sosial ekonomi
Kaitannya dengan mata pencaharian
Apakah DPL tidak bertentangan atau ada hubungan dengan mata pencaharian masyarakat setempat
Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
Apakah ada dampak signifikan DPL terhadap peningkatan pendapatan
Penyerapan tenaga kerja
Apakah program DPL menyerap tenaga kerja
Multiplier efek
Apakah ada aktivitas lain yang berkembang dari program DPL
Dampak terhadap pengebangan usaha lain
Kegiatan lain yang mendukung program DPL
Apakah ada kegiatan lain yang dilakukan untuk mendukung program DPL
Pengembangan mata pencaharian alternatif
Apakah ada program pengembangan alternatif lain yang dikembangkan untuk mendukung DPL
Input teknologi
Introduksi teknologi
Apakah ada TTG yang diintoduksikan dalam pengembangan DPL
Kesesuaian dengan kebijakan setempat
Kesesuaian dengan aturan setempat
Apakah DPL sesuai dengan aturanaturan setmpat
Legalitas
Apakah Program DPL memiliki aspek legalitas (Peraturan Desa, dll)
Dampak terhadap peningkatan pendapatan
Aspek kebijakan setempat
150
Lampiran 2. (Lanjutan) Domain
Parameter
Komitmen institusi lokal
Aspek Hukum dan Kelembagaan
Kapasitas insitusi setempat
Hubungan dengan donor lain
Variabel
Keterangan
Dukungan Peraturan Daerah
Apakah DPL sebagai kawasan konservasi mendapatkan dukungan Peraturan Daerah
Aturan khusus
Apakah DPL memiliki aturan khusus untuk mendukung pengembangannya
Dukungan pemerintah daerah
Apakah program DPL mendapat dukungan dari pemerintah daerah
Internalisasi program DPL
Apakah program DPL diinternalisasikan ke dalam program pembangunan daerah
Dukungan pergu-ruan tinggi/LSM
Apakah program DPL mendapatkan bantuan/dukungan dari lembaga lainnya
Partisipasi masyarakat
Sejauh mana partisipasi masyarakat dalam program DPL
Ketersediaan perangkat pengelola DPL
Apakah ada kelengkapan perangkat pengelola DPL
Aturan pengelolaan DPL
Apakah ada aturan pengelolaan yang disiapkan untuk mengelola DPL
Program monitoring dan evaluasi
Apakah ada program monitoring dan evaluasi secara berkala
Kapasitas badan pengelola
Sejauh mana kapasitas anggota badan pengelola DPL
Program pendampingan
Apakah ada program pendampingan dalam pengembangan DPL
Progran pelatihan
Apakah ada program pelatihan bagi pengelola DPL
Hubungan dengan swasta
Apakah ada hubungan dengan swasta untuk membantu program DPL
Hubungan dengan donor
Apakah ada hubungan dengan donor untuk program pengembangan DPL
151
Lampiran 3. Matriks indikator penilaian keberlanjutan pengembangan Daerah Perlindungan Laut No.
Parameter
A
Aspek Ekologi dan Lingkungan
1
Dampak terhadap kualitas terumbu karang
2
3
4
Variabel
Kualitas terumbu karang
Penggunaan bom
Penggunaan cyanisa
Pengunaan alat tangkap dasar
Indikator
0
Jika terjadi penurunan kualitas terumbu karang
1
Jika kualitas terumbu karang tetap
2
Jika kualitas terumbu karang meningkat kurang 25 %
3
Jika kualitas terumbu karang meningkat lebih dari 25 %
0
Jika terjadi peningkatan aktivitas penggunaan bom
1
Jika aktivitas penggunaan bom masih tetap sama dengan sebelumnya
2
Jika aktivitas penggunaan bom menurun dari sebelumnya
3
Jika aktivitas penggunaan bom berhenti total
0
Jika terjadi peningkatan aktivitas penggunaan cyanida
1
Jika aktivitas penggunaan cyanide masih tetap sama dengan sebelumnya
2
Jika aktivitas penggunaan cyanida menurun dari sebelumnya
3
Jika aktivitas penggunaan cyanida berhenti total
0 Jika terjadi peningkatan aktivitas penggunaan alat tangkap dasar 1 Jika aktivitas penggunaan alat tangkap dasar masih tetap sama dengan sebelumnya 2 Jika aktivitas penggunaan alat tangkap dasar menurun dari sebelumnya
152
Lampiran 3. (Lanjutan) No.
Parameter
Variabel
Indikator 3 Jika aktivitas penggunaan alat tangkap dasar berhenti total
5
Dampak terhadap kelimpahan ikan karang
Keragaman ikan karang
0 Jika terjadi penurunan keragaman ikan karang 1 Jika keragaman ikan karang tetap 2 Jika keragaman ikan karang meningkat kurang 25 % 3 Jika keragaman ikan karang meningkat lebih dari 25 %
6
Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
0 Jika teknik ekspoloitasi ikan karang secara tidak ramah lingkungan meningkat 1 Jika teknisk ekspoloitasi ikan karang secara tidak ramah lingkungan meningkat tetap 2 Jika teknisk ekspoloitasi ikan karang secara tidak ramah lingkungan menurun 3 Jika teknisk ekspoloitasi ikan karang secara tidak ramah lingkungan berhenti total
7
Dampak terhadap perbaikan lingkungan
Program perlindungan sumberdaya
0 Jika terjadi penurunan kualitas lingkungan sekitarnya 1 Jika kualitas kualitas lingkungan sekitarnya tetap 2 Jika kualitas kualitas lingkungan sekitarnya meningkat Jika ada program lain yang 3 dikembangkan dan bersinergi dengan DPL
8
Eksploitasi karang
0 Jika aktivitas eksploitasi terumbu karang meningkat 1 Jika aktivitas eksploitasi terumbu karang tetap 2 Jika aktivitas eksploitasi terumbu karang menurun 3 Jika aktivitas eksploitasi terumbu karang berhenti total
153
Lampiran 3. (Lanjutan) B
Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya
9
Kesesuaian dengan aspek sosial
10
11
Kaitannya dengan mata pencaharian
Dampak terhadap peningkatan pendapatan
12
Kontribusi terhadap peningkatan pandapatan masyarakat
Penyerapan tenaga kerja
13 14
Kesesuaian DPL dengan kondisi sosial ekonomi
Multifliyer efek Dampak terhadap pengembangan usaha lain
Kegiatan lain yang mendukung DPL
0
Jika bertentangan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat
1
Jika tidak bertentangan dengan kondisi sosial masyarakat
2
Jika sangat sesuai dengan kondisi sosial masyarakat setempat
3
Jika sesuai dan mendapat respon positif dari masyarakat
0
Jika bertentangan dengan mata pencaharian masyarakat
1
Jika tidak bertengangan dengan mata pencaharian masyarakat
2
Jika sangat sesuai dengan mata pencaharian masyarakat
3
Jika sangat sesuai dan mendapat respon dari masyarakat
0
Jika terjadi penurunan pendapatan masyarakat
1
Jika ada dampak terhadap peningkatan pendapatan
2
Jika ada peningkatan pendapatan masyarakat
0
Jika tidak ada penyerapan tenaga kerja
1
Jika ada penyerapan tenaga kerja
0
Jika tidak ada multiflyer efek
1
Jika ada multiflyer efek
0
Jika tidak ada kegiatan lain yang mendukung DPL
1
Jika ada satu kegiatan lain yang mendukung DPL
2
Jika ada lebih dari satu kegiatan yang mendukung DPL
154
Lampiran 3. (Lanjutan) 15
Upaya pengembangan mata pencaharian alternatif
C
Aspek Kebijakan Setempat
16
Kesesuaian dengan kebijakan setempat
17
18
19
Kesesuaian dengan aturan setempat
Ada aturan khusus yang mendukung
Komitmen Insitusi lokal
Dukungan pemerintah daerah
Dukungan LSM/organisasi lain
0
Jika tidak ada pengembangan mata pencaharian alternatif
1
Jika ada satu usaha pengembangan mata pencaharian alternatif
2
Jika ada lebih dari satu usaha pengembangn mata pencaharian alternatif
0
Jika bertentangan dengan aturan setempat
1
Jika tidak bertentangan dengan aturan setempat
2
Jika sangat sesuai dengan aturan setempat degan adanya aturan yang mendukung
0
Jika tidak ada aturan khusus mendukung DPL
1
Jika ada aturan khusus mendukung DPL pada tingkat desa
2
Ada aturan khusus yang mendukung DPL pada tingkat desa dan kabupaten
3
Ada aturan khusus yang mendukung DPL pada tingkat desa, kabupaten, dan provinsi
0
Jika tidak ada dukungan Pemda
1
Jika ada dukungan secara insidential
2
Jika ada dukungan Pemda secara berkala
3
Jika program DPL diintenasisasikan ke dalam Program Daerah
0
Jika tidak ada dukungan LSM/organisasi lain
1
Jika ada dukungan satu LSM/Organisasi lain
2
Jika ada dukungan lebih dari 1 LSM/organisasi lainnya
155
Lampiran 3. (Lanjutan) 20
Partisipasi masyarakat
D
Aspek Hukum dan Kelembagaan
21
Kapasitas Institusi Setempat
22
23
Aturan Pengelolaan DPL
Penguatan SDM
24
25
26
Kemampuan Insitusi Pengelola DPL
Program Pendampingan
Program Pelatihan
Hubungan dengan donor lain
Hubungan dengan swasta
Hubungan dengan donor
0
partisipasi masyarakat hanya pada tingkat informasi
1
partisipasi masyarakat hanya pada tingkat informasi konsultasi dan kerjasama
2
partisipasi masyarakat hanya pada tingkat pemilik
3
partisipasi masyarakat hanya pada tingkat pemilik dan hubungan antara kelompok utama dan kelompok lainnya positif.
0
Jika tidak ada peningkatan kemampuan pengelola
1
Jika ada peningkatan kemampuan pengelola dalam hal membuat proposal
2
Jika ada kemampuan pengelola dalam hal membuat proposal dan memasarkan produknya
0
Jika tidak ada aturan pengelolaan
1
Jika ada aturan pengelolaan
2
Jika ada aturan pengeloalan dan ada badan pengelola
0
Jika tidak ada program pendampingan
1
Jika ada program pendampingan
0
Jika tidak program pelatihan
1
Jika ada program pelatihan
0
Jika tidak ada hubungan (kerja) dengan swasta
1
Jika ada hubungan (kerja) dengan swasta
0
Jika tidak ada hubungan dengan donor
1
Jika ada hubungan dengan donor
156
Lampiran 4. Perbandingan persentase penutupan karang hidup tahun 2002, 2005, 2007 dan 2009 di DPL Pulau Sebesi
Parameter
DPL 1 DPL 2 DPL 3 DPL 4 2002 2005 2007 2009 2002 2005 2007 2009 2002 2005 2007 2009 2002 2005 2007 2009
Karang Keras
25.82 30.34 34.65 35.22 10.08 17.41 20.23 23.00 10.37 13.38 16.33 16.12 26.60 10.55 10.09 8.15
Karang Lunak
24.49 26.24 30.33 32.28 50.56 53.43 54.32 51.20 31.94 30.39 31.06 31.25 27.16 30.32 28.32 30.46
Karang Mati
3.89
1.64
3.53
2.15
2.28
5.52
2.49
4.22
6.83
7.98
8.00
8.12
0.40
1.88
2.43
4.22
Alga
5.61 15.38 22.07 20.33 18.72 7.62 12.70 9.45 10.94 10.60 9.17 10.10 1.50 12.35 14.16 15.00
Abiotik
40.19 26.40 9.42 10.02 18.36 16.02 10.26 12.13 39.92 37.65 35.44 34.41 44.34 44.90 45.00 42.17
Kegiatan Destrukif Peningkatan pendapatan
ada
Tidak Tidak Tidak ada ada ada
ada
Tidak Tidak Tidak ada ada ada
ada
Tidak Tidak Tidak ada ada ada
ada
Tidak Tidak Tidak ada ada ada
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada ada
Kegiatan alternatif
ada
ada
Perubahan perilaku
ada
ada
Tidak Tidak ada ada ada
ada
ada
ada
ada
ada
Tidak Tidak ada ada ada
ada
ada
ada
ada
ada
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak ada ada ada ada ada ada ada
ada
ada
ada
ada
ada
157
Lampiran 5. Ringkasan penilaian keberlanjutan DPL Blongko berdasarkan kondisi eksisting Domain Ekologi dan lingkungan
Aspek sosial ekonomi dan budaya
Parameter Dampak terhadap kualitas terumbu karang
Hasil Evaluasi
Skor
Keterangan
Perbaikan persen tutupan karang hidup
Tidak ada
0
Belum ada dampak terhadap perbaikan kualitas tutupan karang hidup
Penurunan tekanan penggunaan bom
Ada
3
Aktivitas penggunaan bom tidak ditemukan lagi di DPL Blongko
Penurunan penggunaan sianida
Ada
3
Aktivitas penggunaan sianida sudah tidak ditemukan di di DPL blongko
Penggunaan alat tangkap dasar
Ada
3
Tidak ada penggunaan alat tangkap dasar yang merusak terumbu karang
Dampak terhadap kelimpahan ikan karang
Keragaman ikan karang
Ada
1
Keragaman ikan karang tetap (belum ada peningkatan)
Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
Ada
3
Aktivitas atau ekaloitasi ikan karang sudah tidak dilakukan lagi
Dampak terhadap perbaikan lingkungan
Program perlindungan sumberdaya
Ada
3
Ada beberapa program yang dilakukan bersinergi dengan program DPL seperti perlindungan mangrove
Eksploitasi karang
Ada
3
Aktivitas eksloitasi karang untuk berbagai keperluan sudah tidak dilakukan
Kesesuaian dengan aspek sosial
Kesesuaian DPL dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Ada
3
Program DPL sangat sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebagai masyarakat pesisir
Kaitannya dengan mata pencaharian
Ada
2
Program DPL sangat terkait dengan mata pencahraian khususnya sebagai nelayan
Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
Ada
2
Program DPL secara tidak langsung memiliki kontribusi terhadap pendapatan masyarakat
Penyerapan tenaga kerja
Tidak ada
0
Tidak ada dampak terhadap penyerapan tenaga kerja
Multiplier efek
Ada
1
Memberikan dampak lanjutan seperti adanya pengunjung ke lokasi Blongko
Dampak terhadap pengemban gan usaha lain
Kegiatan lain yang mendukung program DPL
Ada
1
Terdapat kegiatan lain yang mendukung DPL tetapi tidak banyak
Pengembangan mata pencaharian alternatif
Tidak ada
0
Tidak ada upaya pengem-bangan mata pencaharian alternatif
Input teknologi
Introduksi teknologi
Tidak ada
0
Tidak ada introduksi teknologi bagi pengembangan DPL
Kesesuaian dengan kebijakan setempat
Kesesuaian dengan aturan setempat
Ada
1
DPL sesuai dengan aturan setempat
Legalitas
Ada
2
Ada aspek legalitas berupa badan pengelola
Dukungan Peraturan Daerah
Ada
1
Ada Peraturan daerah tentang pengelolaan pesisir secara terpadu
Aturan khusus
Ada
2
Ada aturan khusus yang dibuat untuk mengelola DPL
Dampak terhadap peningkatan pendapatan
Aspek kebijakan setempat
Variabel
158
Lampiran 5 (Lanjutan) Domain
Parameter Komitmen institusi lokal
Aspek Hukum dan Kelembagaan
Kapasitas insitusi setempat
Hubungan dengan donor
Variabel
Hasil Evaluasi
Skor
Keterangan
Dukungan pemerintah daerah
Ada
1
Dukungan pemerintah daerah masih lemah dan tidak secara kontinyu memberikan bantuan
Internalisasi program DPL
Ada
1
Internasilisasi program DPL ke dalam program daerah dalam bentuk pengembangan program pembangunan desa
Dukungan perguruan tinggi/LSM
Ada
1
Ada dukungan LSM lokal untuk mengembangkan program DPL
Partisipasi masyarakat
Ada
2
Dukungan masyarakat cukup baik dalam pengembangan DPL
Ketersediaan perangkat pengelola DPL
Ada
2
Ada perangkat pengelola DPL yang disebut badan Pengelola
Aturan pengelolaan DPL
Ada
2
Ada aturan pengelolaan DPL
Program monitoring dan evaluasi
Ada
1
Ada kegiatan monitoring tetapi tidak kontinyu
Kapasitas badan pengelola
Ada
1
Anggota badan pengelola memiliki kapasitas dalam pengelolaan DPL
Program pendampingan
Ada
1
Ada program pendampingan dari proyek Pesisir
Progran pelatihan
Ada
1
Ada program pelatihan
Hubungan dengan swasta
Tidak ada
0
Tidak ada bantuan dari swasta
Hubungan dengan donor
Tidak ada
0
Tidak ada bantuan dari donor lainnya
159
Lampiran 6. Ringkasan penilaian keberlanjutan DPL Sebesi berdasarkan kondisi eksisting Domain Ekologi dan lingkungan
Aspek sosial ekonomi dan budaya
Parameter Dampak terhadap kualitas terumbu karang
Hasil Evaluasi
Skor
Keterangan
Perbaikan persen tutupan karang hidup
Ada
2
Terjadi peningkatan kualitas tutupan karang hidup terutama pada DPL 1-3
Penurunan tekanan penggunaan bom
Ada
3
Aktivitas penggunaan bom tidak ditemukan lagi di DPL Sebesi
Penurunan penggunaan sianida
Ada
3
Aktivitas penggunaan sianida sudah tidak ditemukan di di DPL Sebesi
Penggunaan alat tangkap dasar
Ada
3
Tidak ada penggunaan alat tangkap dasar yang merusak terumbu karang
Dampak terhadap kelimpahan ikan karang
Keragaman ikan karang
Ada
2
Keragaman ikan karang mengalami peningkatan
Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
Ada
3
Aktivitas atau ekaloitasi ikan karang sudah tidak dilakukan lagi
Dampak terhadap perbaikan lingkungan
Program perlindungan sumberdaya
Ada
3
Ada beberapa program yang dilakukan bersinergi dengan program DPL seperti perlindungan mangrove
Eksploitasi karang
Ada
3
Aktivitas eksloitasi karang untuk berbagai keperluan sudah tidak ada
Kesesuaian dengan aspek sosial
Kesesuaian DPL dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Ada
3
Program DPL sangat sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebagai masyarakat pesisir
Kaitannya dengan mata pencaharian
Ada
2
Program DPL sangat terkait dengan mata pencahraian khususnya sebagai nelayan
Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
Ada
2
Program DPL secara tidak langsung memiliki kontribusi terhadap pendapatan masyarakat
Penyerapan tenaga kerja
Tidak ada
0
Tidak ada dampak terhadap penyerapan tenaga kerja
Multiplier efek
Ada
1
Memberikan dampak lanjutan seperti adanya pengunjung ke lokasi Sebesi
Dampak terhadap pengemban gan usaha lain
Kegiatan lain yang mendukung program DPL
Ada
2
Terdapat lebih dari satu kegiatan lain yang mendukung DPL
Pengembangan mata pencaharian alternatif
Tidak ada
0
Tidak ada upaya pengem-bangan mata pencaharian alternatif
Input teknologi
Introduksi teknologi
Ada
1
Teknologi yang intoduksi ke masyarakat adalah transplantasi karang khususnya kepada anggota badan pengelola
Kesesuaian dengan kebijakan setempat
Kesesuaian dengan aturan setempat
Ada
1
DPL sesuai dengan aturan setempat
Legalitas
Ada
2
Ada aspek legalitas berupa badan pengelola
Dukungan Peraturan Daerah
Tidak ada
0
Tidak ada Peraturan Daerah yang mendukung pengelolaan DPL
Aturan khusus
Ada
2
Ada aturan khusus yang dibuat untuk mengelola DPL
Dampak terhadap peningkatan pendapatan
Aspek kebijakan setempat
Variabel
160
Lampiran 6 (Lanjutan) Domain
Aspek Hukum dan Kelembagaan
Parameter
Variabel
Hasil Evaluasi
Komitmen institusi lokal
Dukungan pemerintah daerah
Ada
2
Dukungan pemerintah daerah cukup baik dengan mengembangkan kawasan wisata di Sebesi
Internalisasi program DPL
Ada
1
Internasilisasi program DPL ke dalam program daerah dalam bentuk pengembangan program pembangunan desa
Dukungan perguruan tinggi/LSM
Ada
2
Ada dukungan beberapa LSM lokal untuk mengembangkan program DPL
Partisipasi masyarakat
Ada
2
Dukungan masyarakat cukup baik dalam pengembangan DPL
Ketersediaan perangkat pengelola DPL
Ada
2
Ada perangkat pengelola DPL yang disebut badan Pengelola
Aturan pengelolaan DPL
Ada
2
Ada aturan pengelolaan DPL
Program monitoring dan evaluasi
Ada
2
Ada kegiatan monitoring secara kontinyu
Kapasitas badan pengelola
Ada
2
Anggota badan pengelola memiliki kapasitas dalam pengelolaan DPL, dimana mampu menyusun program untuk mendapatkan dana dari donor
Program pendampingan
Ada
1
Ada program pendampingan dari proyek Pesisir
Progran pelatihan
Ada
1
Ada program pelatihan
Hubungan dengan swasta
Tidak ada
0
Tidak ada bantuan dari swasta
Hubungan dengan donor
Ada
1
Ada ada bantuan dari donor lainnya
Kapasitas insitusi setempat
Hubungan dengan donor
Skor
Keterangan
161
Lampiran 7. Ringkasan penilaian keberlanjutan APL Pulau Harapan berdasarkan kondisi eksisting Domain
Ekologi dan lingkungan
Aspek sosial ekonomi dan budaya
Parameter
Dampak terhadap kualitas terumbu karang
Hasil Evaluasi
Skor
Keterangan
Perbaikan persen tutupan karang hidup
Tidak ada
0
Belum ada dampak terhadap perbaikan kualitas tutupan karang hidup
Penurunan tekanan penggunaan bom
Ada
2
Aktivitas penggunaan bom tidak ditemukan lagi di APL Harapan
Penurunan penggunaan sianida
Ada
2
Aktivitas penggunaan sianida kadangkadang masih ditemukan di di APL Harapan
Penggunaan alat tangkap dasar
Ada
2
Tidak ada penggunaan alat tangkap dasar yang merusak terumbu karang
Dampak terhadap kelimpahan ikan karang
Keragaman ikan karang
Ada
1
Keragaman ikan karang tetap (belum ada peningkatan)
Penurunan tekanan terhadap eksploitasi ikan karang
Ada
2
Aktivitas atau ekaloitasi ikan karang masih dilakukan
Dampak terhadap perbaikan lingkungan
Program perlindungan sumberdaya
Ada
1
Ada program yang dilakukan bersinergi dengan program APL
Eksploitasi karang
Ada
2
Aktivitas eksloitasi karang untuk berbagai keperluan sudah kadang-kadang dilakukan
Kesesuaian dengan aspek sosial
Kesesuaian DPL dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
Ada
3
Program APL sangat sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebagai masyarakat pesisir
Kaitannya dengan mata pencaharian
Ada
2
Program APL sangat terkait dengan mata pencahraian khususnya sebagai nelayan
Kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
Ada
1
Program APL secara tidak langsung memiliki kontribusi terhadap pendapatan masyarakat tapi sangat kecil
Penyerapan tenaga kerja
Tidak ada
0
Tidak ada dampak terhadap penyerapan tenaga kerja
Dampak terhadap peningkatan pendapatan
Aspek kebijakan setempat
Variabel
Multiplier efek
Tidak Ada
0
Tidak memberikan dampak lanjutan
Dampak terhadap pengemban gan usaha lain
Kegiatan lain yang mendukung program DPL
Tidak ada
0
Tidak terdapat kegiatan lain yang mendukung APL tetapi tidak banyak
Pengembangan mata pencaharian alternatif
Tidak ada
0
Tidak ada upaya pengem-bangan mata pencaharian alternatif
Input teknologi
Introduksi teknologi
Tidak ada
0
Tidak ada introduksi teknologi
Kesesuaian dengan kebijakan setempat
Kesesuaian dengan aturan setempat
Tidak ada
1
APL sesuai dengan aturan setempat
Legalitas
Tidak ada
0
Tidak ada aspek legalitas berupa badan pengelola
Dukungan Peraturan Daerah
Tidak ada
0
Tidak ada Peraturan Daerah tentang pengelolaan pesisir secara terpadu
162
Lampiran 7. (Lanjutan) Domain
Parameter
Komitmen institusi lokal
Aspek Hukum dan Kelembagaan
Kapasitas insitusi setempat
Hubungan dengan donor
Variabel
Hasil Evaluasi
Skor
Keterangan
Aturan khusus
Ada
1
Ada aturan khusus yang dibuat untuk mengelola APL
Dukungan pemerintah daerah
Ada
1
Dukungan pemerintah daerah masih lemah dan tidak secara kontinyu memberikan bantuan
Internalisasi program DPL
Tidak ada
0
Tidak ada internasilisasi program APL ke dalam program daerah dalam bentuk pengembangan program pembangunan desa
Dukungan perguruan tinggi/LSM
Tidak ada
0
Tidak ada dukungan LSM lokal untuk mengembangkan program APL
Partisipasi masyarakat
Ada
1
Dukungan masyarakat baik dalam pengembangan APL
Ketersediaan perangkat pengelola DPL
Ada
2
Ada perangkat pengelola APL yang disebut badan Pengelola
Aturan pengelolaan DPL
Ada
2
Ada aturan pengelolaan DPL
Program monitoring dan evaluasi
Tidak ada
0
Tidak ada kegiatan monitoring
Kapasitas badan pengelola
Ada
1
Anggota badan pengelola memiliki kapasitas dalam pengelolaan DPL
Program pendampingan
Ada
0
Tidak ada program pendampingan dari Dinas setempat.
Progran pelatihan
Ada
1
Ada program pelatihan
Hubungan dengan swasta
Tidak ada
0
Tidak ada bantuan dari swasta
Hubungan dengan donor
Tidak ada
0
Tidak ada bantuan dari donor lainnya
Lampiran 8. Estimasi nilai ekonomi hutan mangrove di Desa Blongko, kecamatan Sinon Sayang, kabupaten Minahasa Selatan (US$/Ha) Komponen
Tahun 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Manfaat a.
Manfaat langsung hasil hutan (potensi kayu, kayu bakar, bakau)
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
1,16 730,54 15,09 360,57 1.154,44
b.
Manfaat langsung hasil perikanan (kepiting, udang, ikan, dll) c. Manfaat langsung hasil satwa (burung, biawak, dll) d. Manfaat langsung sebagai objek wisata e. Manfaat tidak langsung (penahan abrasi) f. Manfaat pilihan g. Manfaat eksistensi (nilai keberadaan) T otal manfaat
0
Discount Rate (DR 10%)
1
0,91
0,83
0,75
0,68
0,62
0,56
0,51
0,47
Present Value
0
1.050,54
958,18
865,83
785,02
715,75
646,49
588,76
542,59
0,42 484,86
0,39 450,23
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
191,51
0,00 27,16
0,00 27,16
0,00 27,16
0,00 27,16
0,00 27,16
0,00 218,67216
0,00 27,16
0,00 27,16
1 191,51 -191,51
0,91 24,71 1025,82
0,83 22,54 935,64
0,75 20,37 845,46
0,68 18,47 766,55
0,62 16,84 698,91
0,56 122,46 524,03
0,51 13,85 574,91
0,47 12,76 529,82
0,00 27,16 0,42 11,41 473,46
0,00 27,16 0,39 10,59 439,64
Biaya a.
Investasi
b.
Hasil hutan (tegakan kayu, kayu bakar, arang dll) Perikanan Satwa Liar
c. d.
e. Wisata T otal Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV) Net Present Value (NPV) B-C Ratio
191,51
191,51
9.886,27 52,62
Keterangan: 1 US$ = Rp 10000
163 163
164
164
Lampiran 8. (Lanjutan) Komponen
Tahun 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Manfaat a.
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
47,08
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
d
Manfaat langsung hasil hutan (potensi kayu, kayu bakar, bakau) Manfaat langsung hasil perikanan (kepiting, udang, ikan, dll) Manfaat langsung hasil satwa (burung, biawak, dll) Manfaat langsung sebagai objek Wisata
1,16
1,16
1,16
1,16
1,16
1,16
1,16
1,16
1,16
1,16
e.
Manfaat tidak langsung(penahan abrasi)
730,54
730,54
730,54
730,54
730,54
730,54
730,54
730,54
730,54
730,54
f.
Manfaat pilihan
15,09
15,09
15,09
15,09
15,09
15,09
15,09
15,09
15,09
15,09
g.
Manfaat eksistensi (Nilai keberadaan)
360,57
360,57
360,57
360,57
360,57
360,57
360,57
360,57
360,57
360,57
1.154,44
1.154,44
1.154,44
1.154,44
1.154,44
1.154,44
1.154,44
1.154,44
1.154,44
1.154,44
0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,2
0,18
0,16
0,15
404,05
369,42
334,79
300,15
277,07
253,98
230,89
207,80
184,71
173,17
b. c.
T otal manfaat Discount Rate (DR 10%) Present Value Biaya a.
Investasi
b. c.
Hasil hutan (tegakan kayu, kayu bakar, arang dll) Perikanan
191,51
191,51
d.
Satwa Liar
e.
Wisata
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
T otal Biaya
27,16
218,67
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
218,67216
27,16
27,16 0,15
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
27,16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
Discount Rate (DR 10%)
0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,20
0,18
0,16
Present Value
9,51
69,98
7,88
7,06
6,52
5,98
5,43
39,36
4,35
4,07
394,55
299,45
326,91
293,09
270,55
248,00
225,46
168,44
180,36
169,09
Manfaat Bersih (PV)
Lampiran 9. Estimasi nilai ekonomi hutan mangrove di Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan (US$/Ha) Komponen
Tahun 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Manfaat a.
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
d.
Manfaat langsung hasil hutan (potensi kayu, kayu bakar, bakau) Manfaat langsung hasil perikanan (kepiting, udang, ikan, dll) Manfaat langsung hasil satwa (burung, biawak, dll) Manfaat langsung sebagai objek wisata
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
e.
Manfaat tidak langsung (penahan abrasi)
775,19
775,19
775,19
775,19
775,19
775,19
775,19
775,19
775,19
775,19
f.
Manfaat pilihan
16,01
16,01
16,01
16,01
16,01
16,01
16,01
16,01
16,01
16,01
g.
Manfaat eksistensi (nilai keberadaan)
382,61
382,61
382,61
382,61
382,61
382,61
382,61
382,61
382,61
382,61
1.865,41 0,91 1.697,52
1.865,41 0,83 1.548,29
1.865,41 0,75 1.399,06
1.865,41 0,68 1.268,48
1.865,41 0,62 1.156,55
1.865,41 0,56 1.044,63
1.865,41 0,51 951,36
1.865,41 0,47 876,74
1.865,41 0,42 783,47
1.865,41 0,39 727,51
28,82
28,82
28,82
28,82
28,82
203,22 28,82
28,82
28,82
28,82
28,82
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
358,64 0,00
203,22
0,00 387,46
0,00 387,46
0,00 387,46
0,00 387,46
0,00 387,46
0,00 590,67
0,00 387,46
0,00 387,46
0,00 387,46
0,00 387,46
1 203,22 -203,22
0,91 352,58 1344,94
0,83 321,59 1226,70
0,75 290,59 1108,47
0,68 263,47 1005,01
0,62 240,22 916,33
0,56 330,78 713,85
0,51 197,60 753,76
0,47 182,10 694,64
0,42 162,73 620,74
0,39 151,11 576,40
b. c.
T otal manfaat Discount Rate (DR 10%) Present Value Biaya a. Investasi b. Hasil hutan (tegakan kayu, kayu bakar, arang dll) c. Perikanan d. Satwa Liar e. Wisata T otal Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV) Net Present Value (NPV)
203,22
13.060,33 65,27
165
B-C Ratio
0 1 0
Keterangan: 1 US$ = Rp 10000
165
166
166
Lampiran 9. (Lanjutan) Komponen
Tahun 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Manfaat a.
Manfaat langsung hasil hutan (potensi kayu, kayu bakar, bakau) b. Manfaat langsung hasil perikanan (kepiting, udang, ikan, dll) c. Manfaat langsung hasil satwa (burung,biawak, dll) d Manfaat langsung sebagai objek Wisata e. Manfaat tidak langsung(penahan abrasi) f. Manfaat pilihan g. Manfaat eksistensi (Nilai keberadaan) T otal manfaat Discount Rate (DR 10%) Present Value Biaya a. Investasi b. Hasil hutan (tegakan kayu, kayu bakar, arang dll) c. Perikanan d. Satwa Liar e. Wisata T otal Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV)
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
49,95
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
640,42
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,35 652,89
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,32 596,93
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,29 540,97
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,26 485,01
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,24 447,70
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,22 410,39
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,2 373,08
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,18 335,77
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,16 298,47
1,23 775,19 16,01 382,61 1.865,41 0,15 279,81
28,82
203,22 28,82
28,82
28,82
28,82
28,82
28,82
203,22 28,82
28,82
28,82
358,64 0,00 0,00 387,46 0,35 135,61 517,28
358,64 0,00 0,00 590,67 0,32 189,02 407,92
358,64 0,00 0,00 387,46 0,29 112,36 428,61
358,64 0,00 0,00 387,46 0,26 100,74 384,27
358,64 0,00 0,00 387,46 0,24 92,99 354,71
358,64 0,00 0,00 387,46 0,22 85,24 325,15
358,64 0,00 0,00 387,46 0,2 77,49 295,59
358,64 0,00 0,00 590,67 0,18 106,32 229,45
358,64 0,00 0,00 387,46 0,16 61,99 236,47
358,64 0,00 0,00 387,46 0,15 58,12 221,69
Lampiran 10. Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di Desa Blongko, kecamatan Sinon Sayang, kabupaten Minahasa Selatan (US$/Ha) Komponen
Tahun 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Manfaat a.
Perikanan sekitar karang
b.
Pencegahan erosi
c.
Penelitian
d.
Stok karbon
e.
Biodiversity
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
18.281,73
0,42 16.336,87
0,39 15.169,95
118,73
118,73
118,73
118,73 1.579,47
Total manfaat
0
Discount Rate (DR 10%)
1
0,91
0,83
0,75
0,68
0,62
0,56
0,51
0,47
Present Value
0
35.396,54
32.284,76
29.172,98
26.450,16
24.116,33
21.782,49
19.837,62
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
Biaya a.
Investasi
b.
Biaya tetap
c.
Biaya operasional
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
d.
Biaya rehabilitasi
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
1703,95
1703,95
1703,95
1703,95
1703,95
2297,61
1703,95
1703,95
1703,95
1703,95
Total Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV) Net Present Value (NPV)
B-C Ratio
593,66
593,66
593,66
1
0,91
0,83
0,75
0,68
0,62
0,56
0,51
0,47
593,66
1.550,59
1.414,28
1.277,96
1.158,69
1.056,45
1.286,66
869,01
800,86
0,42 715,66
0,39 664,54
-593,66
33.845,95
30.870,48
27.895,01
25.291,48
23.059,88
20.495,83
18.968,61
17.480,87
15.621,21
14.505,41
315.292,47 532,10
167 167
168
168
Lampiran 10. (Lanjutan) Komponen
Tahun 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Manfaat a.
Perikanan sekitar karang
b.
Pencegahan erosi
c.
Penelitian
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
90,39
d.
Stok karbon
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
238,17
e.
Biodiversity
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
14,89
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
38.897,30
0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,2
0,18
0,16
0,15
13.614,06
12.447,14
11.280,22
10.113,30
9.335,35
8.557,41
7.779,46
7.001,51
6.223,57
5.834,60
Total manfaat Discount Rate (DR 10%) Present Value
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
3.947,89
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
34.605,97
Biaya a.
Investasi
b.
Biaya tetap
c. d.
593,66
593,66
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
118,73
Biaya operasional
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
1.579,47
Biaya rehabilitasi
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
5,75
1.703,95
2.297,61
1.703,95
1.703,95
1.703,95
1.703,95
1.703,95
2.297,61
1.703,95
1.703,95
0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,2
0,18
0,16
0,15
Total Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV)
596,38
735,24
494,15
443,03
408,95
374,87
340,79
413,57
272,63
255,59
13.017,67
11.711,90
10.786,07
9.670,27
8.926,40
8.182,54
7.438,67
6.587,94
5.950,94
5.579,00
Lampiran 11. Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di Pulau Sebesi, kecamatan Rajabasa, kabupaten Lampung Selatan (US$/Ha) Komponen
Tahun 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Manfaat a.
Perikanan sekitar karang
b.
Pencegahan erosi
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
c.
Penelitian
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
d. e.
Stok karbon
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
Biodiversity
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
Total manfaat
0
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
Discount Rate (DR 10%)
1
0,91
0,83
0,75
0,68
0,62
0,56
0,51
0,47
Present Value
0
36.061,89
32.891,62
29.721,34
26.947,35
24.569,64
22.191,93
20.210,51
18.625,37
0,42 16.643,95
0,39 15.455,10
203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
Biaya a.
Investasi
b.
Biaya tetap
c.
Biaya operasional
d.
Biaya rehabilitasi
Total Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV)
Net Present Value (NPV)
B-C Ratio
1.017,29
1.017,29
1.017,29
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
1.550,34
1.550,34
1.550,34
1.550,34
1.550,34
2.567,63
1.550,34
1.550,34
1.550,34
1.550,34
1
0,91
0,83
0,75
0,68
0,62
0,56
0,51
0,47
1.017,29
1.410,81
1.286,79
1.162,76
1.054,23
961,21
1.437,88
790,68
728,66
0,42 651,14
0,39 604,63
-1.017,29
34.651,08
31.604,83
28.558,58
25.893,11
23.608,43
20.754,06
19.419,84
17.896,71
15.992,81
14.850,46
321.949,09 317,48
169 169
170
170
Lampiran 11. (Lanjutan) Komponen
Tahun 11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Manfaat a.
Perikanan sekitar karang
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
2.543,23
b.
Pencegahan erosi
c.
Penelitian
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
36.720,79
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
95,91
d. e.
Stok karbon
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
252,73
Biodiversity
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
15,80
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
39.628,45
Total manfaat Discount Rate (DR 10%) Present Value
0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,2
0,18
0,16
0,15
13.869,96
12.681,11
11.492,25
10.303,40
9.510,83
8.718,26
7.925,69
7.133,12
6.340,55
5.944,27
203,46
1.017,29 203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
203,46
1.017,29 203,46
203,46
203,46
Biaya a.
Investasi
b.
Biaya tetap
c.
Biaya operasional
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
1.340,83
d.
Biaya rehabilitasi
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
6,05
1.550,34
2.567,63
1.550,34
1.550,34
1.550,34
1.550,34
1.550,34
2.567,63
1.550,34
1.550,34
Total Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV)
0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,2
0,18
0,16
0,15
542,62
821,64
449,60
403,09
372,08
341,08
310,07
462,17
248,06
232,55
13.327,34
11.859,46
11.042,65
9.900,31
9.138,75
8.377,18
7.615,62
6.670,95
6.092,50
5.711,72
Lampiran 12. Estimasi nilai ekonomi terumbu karang di kelurahan Pulau Harapan, kecamatan Kepulauan Seribu Utara, kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (US$/Ha) Komponen 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Manfaat a.
Perikanan sekitar karang
b.
Pencegahan erosi
c.
Penelitian
d.
Stok karbon
e.
Biodiversity
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
T otal manfaat
0 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78
Discount Rate (DR 10%)
1
0,91
0,83
0,75
0,68
0,62
0,56
0,51
0,47
Present Value
-
923.630,69
842.432,39
761.234,09
690.185,57
629.286,84
568.388,12
517.639,18
477.040,03
0,42 426.291,09
0,39 395.841,72
Biaya a.
Investasi
b.
Biaya tetap
c.
Biaya operasional
d.
Biaya rehabilitasi
T otal Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV) Net Present Value (NPV) B-C Ratio
238.367,93
238.367,93
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
1
0,91
0,83
0,75
0,68
0,62
0,56
0,51
0,47
238.367,93
449.423,69
409.913,92
370.404,14
335.833,09
306.200,76
276.568,43
251.874,82
232.119,93
0,42 207.426,32
0,39 192.610,15
-238.367,93
474.207,00
432.518,47
390.829,94
354.352,48
323.086,09
291.819,69
265.764,36
244.920,10
218.864,77
203.231,57
4.112.820,39 18,25
171 171
172
172
Lampiran 12. (Lanjutan) Komponen
Tahun 11
12
13
14
15
16
17
18
20
Manfaat a.
Perikanan sekitar karang
b.
Pencegahan erosi
c.
Penelitian
d.
Stok karbon
e.
Biodiversity
T otal manfaat Discount Rate (DR 10%) Present Value
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
980.566,21
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
34.074,40
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
89,00
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
234,51
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
14,66
1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 1.014.978,78 0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,2
0,18
0,16
0,15
355.242,57
324.793,21
294.343,85
263.894,48
243.594,91
223.295,33
202.995,76
182.696,18
162.396,60
152.246,82
Biaya a.
Investasi
b.
Biaya tetap
c.
Biaya operasional
d.
Biaya rehabilitasi
T otal Biaya Discount Rate (DR 10%) Present Value Manfaat Bersih (PV)
238.367,93 7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
7.945,60
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
485.920,97
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
5,62
732.240,12
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
493.872,19
0,35
0,32
0,29
0,26
0,24
0,22
0,2
0,18
0,16
0,15
256.284,04
158.039,10
143.222,93
128.406,77
118.529,33
108.651,88
98.774,44
88.896,99
79.019,55
74.080,83
98.958,53
166.754,11
151.120,91
135.487,71
125.065,58
114.643,45
104.221,32
93.799,19
83.377,05
78.165,99