Jurnal Matematika dan Sains Vol. 9 No. 2, Juni 2004, hal 223-227
Efek Teratogenik Ekstrak Etanol Kulit Batang Pule (Alstonia scholaris R.Br) pada Tikus Wistar Endang Kumolosasi1), Andreanus A. Soemardji2), Komar Ruslan W.(3), Hasti Yuliani2) 1) UBI Farmasi Rumah Sakit/Farmakologi-Toksikologi, 2)UBI Farmakologi-Toksikologi, 3) UBI Farmakognosi-Fitokimia, Departemen Farmasi FMIPA-ITB Diterima Februari 2004, disetujui untuk dipublikasikan Juni 2004
Abstark Telah diteliti efek teratogenik ekstrak etanol kulit batang pule (Alstonia scholaris R.Br., Apocynaceae) dosis berulang 490 dan 980 mg/kg bobot badan yang diberikan secara oral pada tikus Wistar bunting selama 19 hari. Pemberian masing-masing dosis menyebabkan keguguran pada 9,1 % induk tikus, hidrosefalus ringan pada 23,1% janin (dosis 490 mg/kg bb) dan 12% janin (dosis 980 mg/kg bb). Kata Kunci : Pule, Alstonia scholaris R.Br; efek teratogenik Abstract The teratogenic effect of ethanolic extract of “pule” (Alstonia scholaris R.Br., Apocynaceae) bark at repeated doses of 490 and 980 mg/kg body weight administered orally to pregnant Wistar rats for 19 days had been studied. Each dose caused miscarriage in 9.1% of the rats and mild hydrocephalus in 23.1% of the fetuses (dose 490 mg/kg body weight) and in 12.0% of the fetuses (dose 980 mg/kg body weight). Key words : “Pule”, Alstonia scholaris R.Br; teratogenic effect penggilingan untuk menghasilkan serbuk dengan mesh no. 30.
1. Pendahuluan Kulit batang pule (Alstonia scholaris R.Br.) merupakan tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat Indonesia. Dari studi pustaka, kulit batang pule berkhasiat sebagai penurun demam, meningkatkan selera makan, mengobati radang ginjal, obat kencing manis, obat malaria, obat tekanan darah tinggi dan obat cacing1). Pada penelitian sebelumnya, ekstrak etanol kulit batang pule terbukti mempunyai efek antitoksoplasma pada mencit7). Efek teratogenik dari ekstrak tumbuhan obat belum banyak diteliti dan hingga saat ini belum ditemukan suatu publikasi tentang pengujian efek teratogenik dari ekstrak Alstonia scholaris R.Br. Untuk melihat kemungkinan penggunaannya pada pengobatan toksoplasmosis pada ibu hamil, maka perlu dibuktikan terlebih dahulu bahwa ekstrak kulit batang pule benar-benar aman bagi janin maupun induk tikus. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh pemberian berulang ekstrak etanol kulit batang pule pada tikus bunting.
2.2. Hewan Percobaan Tikus dewasa jantan dan betina galur Wistar, umur 10-12 minggu dengan bobot badan 150200 g diperoleh dari Laboratorium Perhewanan Departemen Biologi Institut Teknologi Bandung. 2.3 Ekstraksi dan Penyiapan Bahan Uji Serbuk simplisia sebanyak 100 g diekstraksi secara sinambung dengan alat Soxhlet menggunakan pelarut etanol 95%. Ekstrak dipekatkan dengan alat penguap vakum hingga diperoleh ekstrak kental. Untuk pengujian teratogenik, ekstrak disuspensikan dalam tragakan 2% b/v. 2.4. Penyiapan Tikus Bunting Penelitian diawali dengan tahap aklimatisasi selama satu minggu, pada saat tersebut dilakukan pengamatan aktivitas/perilaku dan penimbangan bobot badan setiap hari. Fase proestrus dapat diketahui dengan cara membuat preparat apusan vagina dari setiap tikus betina kemudian diwarnai dengan metilen biru 0,1%. Pengamatan apusan vagina dilakukan dengan mikroskop dengan pembesaran 100 kali, dan adanya sel epitel berinti yang dominan4,5) merupakan ciri fase proestrus. Duabelas jam kemudian, fase proestrus akan memasuki fase estrus yang merupakan fase birahi tikus betina dan merupakan fase pengawinan. Pengawinan dilakukan dengan cara tiga ekor tikus betina yang berada pada fase estrus disatukan dengan
2. Bahan dan Metode 2.1. Bahan Uji Kulit batang pule dikumpulkan pada bulan Maret dari daerah Lembang dan diidentifikasi sebagai Alstonia scholaris R.Br. di Herbarium Bandungense, Departemen Biologi, FMIPA, ITB. Kulit batang dikeringkan, digiling dengan
223
224
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
dua ekor tikus jantan dalam satu kandang. Keesokan harinya dilakukan pembuktian perkawinan dengan cara: setiap tikus betina diamati vaginanya dan tikus dinyatakan kawin bila ditemukan sumbat vagina. Bila tidak ditemukan, maka dilanjutkan dengan pembuatan apusan vagina dan tikus dinyatakan kawin bila ditemukan sperma dalam cairan apusan vagina. Adanya sumbat vagina atau sperma pada tikus betina dihitung sebagai kebuntingan hari ke nol4,5). 2.5 Uji Teratogenik Uji teratogenik dilakukan pada empat kelompok tikus bunting (setiap kelompok terdiri atas 10 ekor tikus) yaitu kelompok kontrol yang diberi suspensi tragakan 2%, dua kelompok perlakuan yang diberi ekstrak uji dalam suspensi tragakan 2% dengan dosis 490 mg/kg bb dan 980 mg/kg bb dan kelompok pembanding yang diberi kombinasi sulfadoksin 235 mg/kg bb dan pirimetamin 6,75 mg / kg bb (sebagai P1) dan kombinasi sulfadoksin 58,75 mg/kg bb dan pirimetamin 1,69 mg/kg bb (34,8 : 1) (6). ( sebagai P2). P2 digunakan sebagai pembanding pada percobaan selanjutnya. Kombinasi sulfadoksin dan pirimitamin digunakan sebagai pembanding, karena merupakan obat standar untuk terapi toksoplasmosis yang sudah diketahui mempunyai efek teratogenik6). Dosis ekstrak 490 mg/kg bb adalah dosis pada mencit yang memberikan efek farmakologi(7). Pemberian bahan uji dilakukan setiap hari dimulai pada hari pertama kebuntingan sampai hari ke 19 masa kebuntingan untuk kelompok tikus yang akan diamati janinnya. Pembedahan dilakukan pada umur kebuntingan 19 hari, dan diamati terjadinya keguguran (ditandai adanya sisa serpihan janin dan darah, perut yang mengecil, bobot badan turun drastis), jumlah janin diresorpsi dan jumlah janin yang hidup, berat dan panjang janin, serta keadaan rahim. Sebagian janin yang hidup direndam dalam etanol dan diwarnai dengan Alizarin merah S untuk pengamatan tulang kerangka, sebagian lagi direndam dalam larutan fiksatif Bouin untuk pengamatan bagian luar tubuh yang meliputi telinga, mata, ekor dan kaki, kemudian janin disayat pada wilayahwilayah tertentu untuk pengamatan langit-langit,
mata, rongga hidung, jantung, hati, ginjal, ovarium, testes secara makroskopik3,4,5). 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Efek Obat Terhadap Kasus Keguguran Tabel 1 menunjukkan, bahwa pemberian ekstrak kulit batang pule dosis 490 dan 980 mg/kg bb menyebabkan keguguran masing-masing pada 9,1% induk tikus. Pemberian kombinasi sulfadoksin 235 mg/kg bb dan pirimetamin 6,75 mg/kg bb, (dosis terapi pada mencit sebagai anti toksoplasma) sebagai obat pembanding 1, menyebabkan 100% induk tikus mengalami keguguran, sehingga dosis diturunkan menjadi seperempatnya yaitu sulfadoksin 58,75 mg/kg bb dan pirimetamin 1,69 mg/kg (34,8 :1) sebagai pembanding 2. Tabel 1. Kasus keguguran akibat pemberian bahan uji Kelompok perlakuan
Jumlah tikus bunting
Kontrol PL-1 PL-2 Pembanding 1 (dosis terapi) Pembanding 2 (1/4 dosis terapi)
10 11 11
% Tikus hamil yang keguguran (jumlah ) 0,0 (0) 9,1 (1) 9,1 (1)
6
100,0 (6)
10
0,0 (0)
Keterangan : Induk tikus menerima perlakuan : Kontrol = tragakan 2%; PL-1 = ekstrak kulit batang pule dosis 490 mg/kg bb, PL-2 = ekstrak kulit batang pule dosis 980 mg/kg bb; Pembanding 1 = kombinasi sulfadoksin 235 mg/kg bb dan pirimetamin 6,75 mg/kg bb; Pembanding 2 = kombinasi sulfadoksin 58,75 mg/kg bb dan pirimetamin 1,69 mg/kg bb (34,8 :1). 3.2 Pembedahan dan Pengamatan Janin Tabel 2 dan hasil perhitungan statistik dengan uji t menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada jumlah janin yang diresorpsi dan janin yang hidup antara kelompok uji dan kelompok pembanding terhadap kelompok kontrol pada P < 0,05 maupun P < 0,1.
Tabel 2. Jumlah janin yang diresorpsi, jumlah janin hidup, bobot badan janin dan panjang janin dari induk tikus pada umur kebuntingan 19 hari Kelompok perlakuan Kontrol PL-1 PL-2 Pembanding
Janin diresorpsi Jumlah % rataan rataan 0,0 ± 0,0 0,0 ± 0,0 0,4 ± 0,9 4,4 ± 9,9 0,4 ± 0,9 3,6 ± 8,1 1,0 ± 1,7 5,9 ± 8,0
Janin hidup Jumlah % rataan rataan 9,2 ± 1,1 100,0 ± 0,0 9,0 ± 1,4 95,6 ± 9,9 9,0 ± 1,2 96,4 ± 8,1 8,2 ± 2,4 92,1 ± 11,4
Bobot badan janin rataan (g) 2,42 ± 0,1 2,54 ± 0,2 2,42 ± 0,2 2,25 ± 0,3
Panjang janin rataan ( mm) 31,8 ± 1,0 32,1 ± 1,2 31,0 ± 1,2 30,8 ± 3,5
Keterangan : Induk tikus menerima perlakuan : Kontrol = tragakan 2%; PL-1 = ekstrak kulit batang pule dosis 490 mg/kg bb, PL-2 = ekstrak kulit batang pule dosis 980 mg/kg bb; Pembanding = kombinasi sulfadoksin 58,75 mg/kg bb dan pirimetamin 1,69 mg/kg bb (34,8 : 1).
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
3.3 Pengamatan Tulang Kerangka Janin Untuk melihat adanya kelainan tulang rangka janin, digunakan pewarna Alizarin merah S. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah dan kelainan komponen kerangka yang mungkin terjadi pada proses pembentukan tulang. Susunan dan jumlah komponen tulang belakang adalah normal yaitu: 7 vertebra serviks, 13 vertebra toraks, 6 vertebra lumbar, dan 4 vertebra sacral dan 12 pasang tulang rusuk dan komponen tengkorak juga normal . Jumlah
225
normal komponen rangka kaki depan adalah : 5 falang distal, 4 falang proksimal, 4 metakarpal, sedangkan, komponen rangka kaki belakang adalah: 5 falang distal, 4 falang proksimal, 5 metatarsal. Semua janin yang diamati menunjukkan keadaan normal, dan hasil penghitungan statistik dengan uji t pada P<0,10 menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada semua kelompok uji dengan kelompok kontrol (Gambar 1, Tabel 3 dan Tabel 4).
Gambar 1 : Hasil pewarnaan Alizarin merah S tulang kerangka janin yang induknya diberi ekstrak kulit batang pule. K= janin dari induk tikus kelompok kontrol; PL1= janin dari induk tikus yang diberi ekstrak kulit batang pule dosis 490 mg/kg bb; PL2 = janin dari induk tikus yang diberi ekstrak kulit batang pule dosis 980 mg/kg bb. Tabel 3. Kelainan komponen tulang belakang janin dari induk tikus dengan umur kebuntingan 19 hari Kelompok Jumlah janin Jumlah janin Kejadian kelainan tulang belakang perlakuan seluruhnya yang diamati* Serviks Toraks Lumbar Sakral Kontrol 46 18 0 0 0 0 PL-1 45 18 0 0 0 0 PL-2 45 18 0 0 0 0 Pembanding 2 41 16 0 0 0 0 Keterangan : 0 = tidak ada kelainan; * = Pengambilan sampel yang diamati berdasarkan tata cara uji teratogenik4,5) yaitu.: 1/3 hingga 1/2 dari fetus hidup harus dibuat preparat kerangka. Tabel 4. Jumlah komponen rangka kaki depan dan belakang janin dari induk tikus dengan umur kebuntingan 19 hari Jumlah janin dengan jumlah komponen rangka kaki yang normal (%) Rangka kaki depan Rangka kaki belakang Falang Distal Falang Metakarpal Falang Distal Falang Metatarsal Proksimal Proksimal K 18 18(100,0%) 12(66,7%) 18(100,0%) 18(100,0%) 13(72,2%) 18(100,0%) PL-1 18 18(100,0%) 12(66,7%) 18(100,0%) 18(100,0%) 11(61,1%) 18(100,0%) PL-2 18 18(100,0%) 10(55,6%) 18(100,0%) 18(100,0%) 11(61,1%) 18(100,0%) P2 16 16(100,0%) 9(56,3%) 16(100,0%) 16(100,0%) 15(93,8%) 16(100,0%) Keterangan : K = kontrol, PL-1 = ekstrak kulit batang pule dosis 490 mg/kg bb, PL-2 = ekstrak kulit batang pule dosis 980 mg/kg bb, P 2 = pembanding 2, (*) = Pengambilan sampel yang diamati berdasarkan tata cara uji teratogenik4,5) yaitu.: 1/3 hingga 1/2 dari fetus hidup harus dibuat preparat kerangka. Kel. Jumlah Perla- Janin kuan (*)
226
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
3.4 Pengamatan Organ Bagian Dalam Janin Tabel 5 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa janin dari kelompok induk tikus kontrol, yang diberi ekstrak kulit batang pule dosis 490 atau 980 mg/kg bb dan obat pembanding, mengalami hidrosefalus ringan yang pada pemberian obat pembanding kejadian hidrosefalus (30,4 %) nyata lebih tinggi dari
kontrol. Sebanyak 7,3% janin dari induk yang diberi obat pembanding ditemukan mengalami kelainan ventrikel jantung, tetapi tidak memberikan perbedaan yang bermakna terhadap janin dari induk tikus kontrol. Organ bagian dalam lain yang diamati yaitu : mata, langit-langit, hati, ginjal, ovarium, tetes, menunjukkan keadaan normal.
Gambar 2 : Irisan melintang kepala melalui wilayah hidung, mata, otak janin dari induk tikus dengan umur kebuntingan 19 hari. K= kelompok kontrol; PL1= Kelompok yang diberi ekstrak kulit batang pule dosis 490 mg/kg bb; PL2 = Kelompok yang diberi ekstrak kulit batang pule dosis 980 mg/kg bb. P = Kelompok obat pembanding. Tabel 5. Kelainan organ dalam, kaki dan ekor janin dari induk tikus dengan umur kebuntingan 19 hari Kel. Perlakuan
Jumlah % Jumlah janin dengan kelainan organ secara makroskopik Janin Otak Mata LangitJan- Hati Gin- Tes- OvaKaki Kaki E(*) (Hidrolangit tung jal tes rium depan bela- kor sefalus) kang K 18 12,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 PL-1 18 23,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 PL-2 18 12,0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 P 16 30,4** 0 0 7,3 0 0 0 0 0 0 0 Keterangan : 0 = tidak ada kelainan; K = kontrol, PL-1 = Kelompok ekstrak kulit batang pule dosis 490 mg/kg bb, PL-2 = Kelompok ekstrak kulit batang pule dosis 980 mg/kg bb, P = pembanding, (*) = Pengambilan sampel yang diamati berdasarkan tata cara uji teratogenik(4,5) yaitu.: 1/3 hingga 1/2 dari fetus hidup harus dibuat preparat kerangka. ** = uji t ; (P < 0,1 ), dibandingkan terhadap kontrol. V. Kesimpulan 1. Pemberian ekstrak kulit batang pule dengan dosis 490 atau 980 mg/kg bb pada tikus Wistar bunting menyebabkan keguguran pada masing-masing 9,1% induk tikus, hidrosefalus ringan pada 23,1% janin (dosis 490 mg/kg bb) dan 12% janin (dosis 980 mg/kg bb). Tidak ada perbedaan antar tulang kerangka, organ yang meliputi otak, mata, langitlangit, jantung, hati, ginjal, ovarium, testes, kaki dan ekor, janin kelompok uji dan kontrol. 2. Pemberian obat pembanding [sulfadoksin dosis 235 mg/kg bb dan pirimetamin 6,75 mg/kg bb
(dosis terapi pada tikus sebagai anti toksoplasma)], menyebabkan keguguran pada 100% induk tikus, sedangkan seperempat dosis terapi tersebut tidak menyebabkan keguguran, tetapi menyebabkan hidrosefalus ringan pada 30,4% janin yang lebih tinggi dan berbeda (P < 0,1) dari kontrol, dan menyebabkan kelainan ventrikel jantung pada 7,3% janin yang tidak bermakna dibandingkan dengan janin kelompok kontrol. 3. Dari hasil penelitian ini ekstrak kulit batang pule dosis 490 dan 980 mg/kg bb dapat dimasukkan ke
JMS Vol. 9 No. 2, Juni 2004
dalam kategori C pada penetapan kategori teratogenisitas suatu senyawa obat oleh FDA6). Kategori C yaitu Risiko tidak dapat dikesampingkan : Pada manusia data kurang, dan pada hewan positif berisiko terhadap janin atau kurang cukup berisiko. Akan tetapi manfaat dan risiko boleh dipertimbangkan6). Oleh Karena itu ekstrak kulit batang pule sebaiknya tidak direkomendasikan untuk digunakan pada ibu hamil, pada dosis yang setara dengan 490 dan 980 mg/kg bb tikus.
227
4.
5. 6.
Referensi 1. Kasahara, S., and Hemmi, S., “Medical Herb Index Indonesia”, PT. Eisai Indonesia, Jakarta, 34-35, 222 – 223 (1986). 2. Wilson, I.G. and Fraser, F.G., “Handbook of Teratology”, vol. IV, Plenum Press, New York, 215-446 (1978). 3. Tuchmann-Duplessis, H., “Methods for Evaluating Teratogenic Properties of New Drug
7.
Evaluation”, Proceeding of International Symposium, Milano, 11-30 (1965). Paget, G.E and Thomson, R., “Standard Operating Procedures in Pathology Including Developmental Toxicology and Quality Assurance”, MTP Press, Landcaster, 341-461 (1979). Taylor, P., “Practical Teratology”, Academic Press, London, (1986). Herfindal, E.T., Gourley, D.R., Lloyd Hart, L., “Clinical Pharmacy and Therapeutics”, 5th ed., Williams & Wilkins, Maryland, 1465-1466 (1992). Kumolosasi., E., Elin Yulinah S., Komar Ruslan W., Andreanus A.S., Sundani Nurono., “Pembuatan Sediaan Fitofarmaka Terhadap Penyakit Toksoplasmosis, Disebabkan oleh Toxoplasma gondii yang Efektif dan Aman”, Laporan Penelitian Hibah Bersaing VII, ITB, th 1999.