Efek Perasan Daun dan Tangkai Semanggi Air (Marsilea crenata) Terhadap Kualitas Urin Pada Hewan Model Urolithiasis Tikus Putih (Rattus norvegicus) Effect of Marsilea crenata Leaves and Stalks Juice on Urine Quality of Rats (Rattus norvegicus) Urolithiasis Animal Model Lelyta Damayanti, Pratiwi Trisunuwati, Sri Murwani Program Studi Pendidikan Dokter Hewan, Program Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya
[email protected] ABSTRAK
Urolithiasis sering ditemukan pada hewan, terutama anjing dan kucing karena pola makan yang terus menerus dengan dry food, keterbatasan pemeliharaan hewan dalam ruangan, pengandangan, sedikit gerak, dan kurangnya asupan air. Semanggi air (Marsilea crenata) memiliki kandungan kalium, flavonoid, alkaloid, dan polifenol, dimana kandungan tersebut dapat berperan sebagai diuretik, antioksidan, dan antiinflamasi, sehingga dapat digunakan untuk pencegahan urolithiasis. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui efek perasan daun dan tangkai semanggi air dalam mencegah terjadinya urolithiasis pada hewan model tikus putih ditinjau dari kualitas urin. Penelitian ini menggunakan RAL dengan metode eksperimental murni dan post test only control design. Data yang diperoleh meliputi pH, berat jenis, dan volume urin yang dianalisis dengan metode statistik oneway ANOVA, sedangkan bilirubin dan sedimen kalsium oksalat urin dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perasan daun dan tangkai semanggi air dapat meningkatkan kualitas urin dengan cara meningkatkan volume urin 24 jam dan menurunkan jumlah sedimen kalsium oksalat urin, tetapi tidak berpengaruh (p<0,05) terhadap pH, berat jenis, dan kadar bilirubin urin. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perasan daun dan tangkai semanggi air pada konsentrasi 40% dapat mencegah terjadinya urolithiasis pada hewan model tikus putih, dibuktikan dengan peningkatan volume urin dan penurunan jumlah sedimen kalsium oksalat. Kata kunci : urolithiasis, semanggi air (Marsilea crenata), dan kualitas urin ABSTRACT Urolithiasis frequently found on canine and feline as an impact of dry food given regularly, mismanagement of pet such as keeping animals in room or cage so that the movement of the animal becomes restricted, and lack of water intake. Marsilea crenata contains potassium, flavonoid, alkaloid and polyphenol which all of those compound acted as diuretic, antioxidant, and anti-inflammatory so it can use to prevent urolithiasis. The purpose of this research was to determine the effect of Marsilea crenata leaves and stalks juice on urine quality as urolithiasis preventive of rats (Rattus norvegicus) animal model. This research design was CRD true experimental and post test only control design. The data of pH, specific gravity, and volume urine were analyzed by oneway ANOVA, bilirubin and calcium oxalate sediment in urine were analyzed descriptively. Result of this research showed that Marsilea crenata leaves and stalks juice could increase urine quality by increasing 24 hour urine volume (as a diuretic) and decrease the amount of urine calcium oxalate sediment, but had no significantly effect (p<0,05) on amount pH, specific gravity, and bilirubin urine levels. This study revealed that 40% concentration of Marsilea crenata could be prevent the 1
occurrence of urolithiasis in rats animal model which proved by increasing 24 hour urine volume and decrease the amount of urine calcium oxalate sediment. Key words : urolithiasis, Marsilea crenata, and urine quality PENDAHULUAN Kasus urolithiasis merupakan kejadian yang sangat umum pada hewan kesayangan, terutama anjing dan kucing. Sejak dibukanya Canadian Veterinary Urolith Centre (CVUC) Februari 1998 hingga Juni 2008, dilaporkan 40100 kasus urolithiasis pada anjing (sebanyak 23700 dari anjing dengan berat < 10 kg) dan 10200 kasus urolithiasis pada kucing telah berhasil di analisis (Hesse and Neiger, 2008). Urolithiasis merupakan akibat dari kristal yang terbentuk karena mineral dalam urin mengendap. Urolitiasis adalah salah satu penyebab feline lower urinary tract disease selain idiopathic cystitis. The Ohio State University Veterinary Hospital mengevaluasi 109 ekor kucing dengan gejala klinis stranguria dan 15 ekor diantaranya mengalami urolithiasis (Buffington, 2001). Selain itu, berdasarkan Waltham Centre for Pet Nutrition tahun 1999, kejadian kasus baru feline lower urinary tract disease dilaporkan mencapai 0,5-1% per tahun pada populasi kucing di Eropa dan Amerika Selatan. Pembentukan kristal pada saluran urinaria anjing dan kucing bukan hal yang baru. Pada tahun 1891, Ashmont mengatakan adanya bahan kristal dalam vesika urinaria anjing. Kristal yang paling sering ditemukan adalah kalsium oksalat dengan presentase kejadian 46,3% dan magnesium amonium fosfat sebanyak 42,4%. Kasus urolithiasis pada hewan vertebrata merupakan hal yang sangat penting dan menjadi perhatian para dokter hewan praktisi saat ini. Penyakit ini juga dapat dikatakan sebagai beban ekonomi bagi masyarakat yang memiliki hewan ternak, atau pada hewan kesayangan seperti anjing dan kucing, dimana lama dan kualitas hidup mereka menjadi prioritas bagi pemilik. Penanganan urolithiasis dapat dilakukan
dengan menggunakan obat (farmasetika) atau dengan menggunakan kateter. Namun setelah dilakukan tindakan penanganan, kekambuhan dari urolithiasis ini sering dilaporkan. Menurut Sparkes and Philippe (2008), angka kekambuhan urolithiasis pada anjing dan kucing yaitu 20-50% apabila tidak dilakukan upaya pencegahan (prevensi). Upaya pencegahan dan pengobatan urolithiasis menggunakan bahan herbal sudah mulai dikembangkan, misalnya menggunakan tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus), buah anggur biru (Vitis vinifera L.), dan daun tempuyung (Sonchus arvensis). Semanggi air (Marsilea crenata) merupakan salah satu jenis tumbuhan air liar yang diduga memiliki kandungan kimia aktif untuk menghancurkan kristal. Tumbuhan yang termasuk ke dalam paku-pakuan ini banyak ditemukan pada pematang sawah, kolam, danau, rawa, dan sungai (Afriastini, 2003). Tanaman semanggi air ini mudah sekali untuk dibudidayakan. Perasan daun dan tangkai semanggi air diindikasikan mengandung senyawasenyawa kimia aktif yang dapat mencegah terjadinya urolithiasis, misalnya seperti ion K+ yang berfungsi sebagai diuretik, senyawa flavonoid yang berfungsi sebagai diuretik, antioksidan, dan antiinflamasi, serta senyawa alkaloid dan polifenol yang berfungsi sebagai antioksidan. Pada penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai hewan model urolithiasis. Hewan model urolithiasis diinduksi dengan kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2% karena berdasarkan hasil penelitian selama sepuluh hari akan membentuk kristal kalsium oksalat (Jagannath, 2012).
2
MATERI DAN METODE Persiapan Hewan Model Sebanyak 24 ekor hewan model dibagi dalam enam kelompok perlakuan secara acak. Hewan model diberi pakan standar sebanyak 20 g (10% dari berat badan) dan minum secara ad libitum setiap hari selama tujuh hari (Lina, dkk., 2003). Pemberian pakan dilakukan setiap pagi dan sore. Hewan model dikandangkan dalam kandang kelompok. Setiap kandang berisi empat ekor tikus. Kandang tikus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut dan terjaga dari asap industri serta polutan lainnya. Lantai kandang mudah dibersihkan dan disanitasi. Suhu yang digunakan adalah suhu ruang.
Pemberian Perlakuan Kelompok P1 (kontrol negatif), tikus diberi pakan standar dan minum. Kelompok P2 (kontrol positif), tikus diberi pakan standar, minum, dan
induksi kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2%. Kelompok P3, tikus diberi pakan standar, minum, 5% perasan daun dan tangkai semanggi air, dan induksi kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2%. Kelompok P4, tikus diberi pakan standar, minum, 10% perasan daun dan tangkai semanggi air, dan induksi kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2%. Kelompok P5, tikus diberi pakan standar, minum, 20% perasan daun dan tangkai semanggi air, dan induksi kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2%. Kelompok P6, tikus diberi pakan standar, minum, 40% perasan daun dan tangkai semanggi air, dan induksi kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2%. Pemberian perlakuan dilakukan selama 10 hari. Perasan dan bahan induksi urolithiasis diberikan kepada hewan coba secara per oral (PO) menggunakan sonde lambung (oral gavage).
Pemilihan Daun dan Tangkai Semanggi Air Daun dan tangkai semanggi air diperoleh dari UPT. Materia Medica Batu. Daun dan tangkai semanggi air diambil dalam keadaan segar, berwarna hijau, dan berumur ± 3 minggu. Daun dan tangkai semanggi air ditimbang sebanyak ± 100 g. Pembuatan Perasan Daun dan Tangkai Semanggi Air 100 g daun dan tangkai semanggi air dimasukkan kedalam juicer sehingga diperoleh ± 10 ml perasan dengan konsentrasi 100% (perasan murni) yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi I. Kemudian pada tabung reaksi II diisi 4 ml perasan daun dan tangkai semanggi air dari tabung I dan 6 ml aquabidest sehingga diperoleh konsentrasi 40%. Lalu pada tabung reaksi III diisi 5 ml perasan daun tangkai semanggi air dari tabung II dan 5 ml aquabidest sehingga diperoleh konsentrasi 20%. Kemudian pada tabung reaksi IV diisi 5 ml perasan daun tangkai semanggi air dari tabung III dan 5 ml aquabidest sehingga diperoleh konsentrasi 10%. Setelah itu, pada tabung reaksi V diisi 5 ml perasan daun dan tangkai semanggi air dari tabung IV dan 5 ml aquabidest sehingga diperoleh konsentrasi 5%.
Pengambilan Sampel Urin Pengambilan sampel urin dilakukan pada hari ke-11 (Purwono, 2009). Tikus dimasukkan ke dalam kandang metabolik untuk menampung urin selama 24 jam. Setiap tampungan urin yang diperoleh dimasukkan ke dalam pot urin berukuran 5 ml dan disimpan kedalam ice box. Urin yang diperlukan minimal 2 ml untuk dapat dilakukan pengujian. Pemeriksaan volume, pH, berat jenis, dan bilirubin urin Masing-masing sampel urin yang diperoleh dimasukkan ke dalam gelas beker untuk melihat volume urin 24 jam. Untuk melakukan pengujian menggunakan urine analyzer, sebanyak ±1 ml urin segar diteteskan pada strip uji. Strip uji ditempatkan pada baki geser dan ditunggu selama 55-65 detik. Hasil pemeriksaan pH, berat jenis, dan bilirubin urin tertera pada 3
print out urine analyzer (output berbentuk semikuantitatif) (Sacher, et al., 2002).
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data pH, berat jenis dan volume urin yang diperoleh dianalisis menggunakan one way ANOVA (Analysis Of Variance) menggunakan program SPSS 16 for windows dan dilanjutkan dengan uji lanjutan (Post Hoc Test) menggunakan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) atau disebut tukey dengan taraf kepercayaan sebesar 95% (α= 0,05). Data bilirubin dan sedimen urin dianalisis secara deskriptif (Kusriningrum, 2008).
Pemeriksaan Sedimen Urin Sebanyak 0,5-1,0 ml sampel urin diambil menggunakan pipet tetes, kemudian diletakkan di atas gelas obyek dan ditutup dengan kaca penutup. Pengamatan sedimen kalsium oksalat menggunakan mikroskop dengan lensa obyektif kecil (10x) dilanjutkan dengan lensa obyektif besar (40x) (Gandasoebrata, 1992). Pengamatan atau determinasi sedimen urin berdasarkan gambar yang mengacu pada textbook Small Animal Clinical Nutrition 5th ed. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Pemberian Perasan Daun dan Tangkai Semanggi Air Terhadap pH Urin Berdasarkan pengujian pH urin menggunakan urine analyzer, didapatkan
hasil perhitungan statistika (p<0,05) sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Hasil Pengujian pH Urin Ph Urin Rata-rata±SD P1 4 7,1250±0,25000 a P2 4 7,5000±0,40825 ab P3 4 7,6250±0,25000 ab P4 4 7,6250±0,25000 ab P5 4 7,7500±0,28868 ab P6 4 7,8750±0,25000 b Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan, p = nilai signifikansi Kelompok Perlakuan
Ulangan
Berdasarkan Tabel 1 kelompok P1 memiliki nilai pH urin sebesar 7,1250±0,25000. Menurut Gandasoebrata (1992), pH urin normal tikus putih adalah 4,6-8,5, sehingga dapat dikatakan bahwa pH urin kelompok P1 adalah normal. Pada kelompok P3, P4, P5, dan P6, memiliki nilai pH urin yang meningkat secara tidak signifikan. Hal ini dikarenakan perasan daun dan tangkai semanggi air memiliki kandungan ion K+. Semakin tinggi konsentrasi semanggi air yang diberikan, maka akan memiliki konsentrasi ion K+ yang tinggi juga, sehingga kelompok P6 yang diberikan perasan semanggi air dengan konsentrasi 40% memiliki nilai pH urin yang paling tinggi, yaitu sebesar 7,8750±0,25000. Kelompok P2 apabila dibandingkan dengan
kelompok P1, terlihat bahwa nilai pH urin mengalami kenaikan, namun masih dalam kisaran normal. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Huang, et al. (2006) yang menyatakan bahwa kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2% dapat menyebabkan hiperoxaluric yang bersifat kronis sehingga pH urin menjadi basa. pH urin basa dapat meningkatkan munculnya promotor terbentunya kristal seperti kalsium oksalat sehingga terjadi proses kristalisasi pada urin. Parmar, et al. (2012) juga menyatakan bahwa urolithiasis yang disebabkan kristal kalsium oksalat terjadi pada pH urin normal sampai basa. Berbeda apabila dibandingkan dengan urolithiasis yang disebabkan oleh kristal asam urat. Urolithiasis yang disebabkan oleh kristal 4
asam urat terjadi pada pH urin yang asam (McCann and Schilling, 2005). Dibandingkan dengan P3, P4, P5 dan P6, kelompok P2 memiliki nilai pH urin yang paling rendah. Hal ini disebabkan karena pada kelompok P3, P4, P5, dan P6 diberikan asupan ion K+ yang berasal dari perasan daun dan tangkai semanggi air dengan dosis bertingkat. Kelebihan ion K+ yang terdapat di dalam tubuh akan dikeluarkan melalui urin serta keringat (Irawan, 2007). Ion K+ bersifat basa sehingga akan menaikkan pH urin hewan model. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Tanagho, et al. (2000) bahwa ion K+ dapat digunakan untuk meningkatkan pH urin. Peningkatan pH urin secara tidak signifikan pada kelompok P3, P4, P5, dan P6 memberikan gambaran bahwa perasan daun dan tangkai semanggi air tidak mampu mempengaruhi kerja ginjal dalam mengatur konsentrasi H+ dan HCO3- dalam cairan tubuh hewan model urolithiasis. Menurut Guyton and Hall (1997) pengaturan asam basa oleh ginjal merupakan
salah satu mekanisme penting yang digunakan oleh tubuh untuk menjaga pH tubuh yang konstan. Ginjal mengontrol keseimbangan asam basa. dengan pengeluaran urin asam atau basa, sehingga pH urin yang dihasilkan tergantung pada status asam basa cairan ekstraseluler. Pengaturan ginjal terhadap keseimbangan pH cairan ekstraseluler melalui mekanisme sekresi ion-ion hidrogen, reabsorbsi ion-ion bikarbonat dan produksi ion-ion bikarbonat baru. Faktor yang mempengaruhi sekresi asam oleh ginjal adalah perubahan kadar ion K+, tekanan CO2 intraseluler, kadar anhidrase karbonat dan beberapa hormon seperti aldosteron, steroid adrenokorteks, dan angiotensin II (Ganong, 2003). Pengaruh Pemberian Perasan Daun dan Tangkai Semanggi Air Terhadap Berat Jenis Urin Berdasarkan pengujian berat jenis urin menggunakan urine analyzer, didapatkan hasil perhitungan statistika (p<0,05) sebagai berikut (Tabel 2).
Tabel 2. Hasil Pengujian Berat Jenis Urin Berat Jenis Urin Rata-rata±SD P1 4 1,01875±0,002500 a P2 4 1,01125±0,002500 b P3 4 1,01250±0,002887 ab P4 4 1,01500±0,004082 ab P5 4 1,01500±0,004082 ab P6 4 1,01625±0,002500 ab Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan, p = nilai signifikansi Kelompok Perlakuan
Ulangan
Berdasarkan Tabel 2 kelompok P1 memiliki nilai berat jenis urin sebesar 1,01875±0,002500. Menurut Gandasoebrata (1992), berat jenis urin normal 24 jam tikus putih sebesar 1,016-1,022, sehingga dapat dikatakan bahwa berat jenis urin kelompok P1 adalah normal. Nilai rata-rata berat jenis urin pada kelompok P2 lebih rendah dibandingkan kelompok P3, P4, P5, dan P6. Hal ini terjadi karena terjadi kerusakan pada ginjal akibat pemberian kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2%. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
DePass, et al. (1986) dan Cruzan, et al. (2004) yang menyatakan bahwa induksi etilen glikol dan amonium klorida dapat menurunkan nilai berat jenis urin tikus putih jantan. Doenges (1999) menyatakan bahwa berat jenis urin manusia dan hewan kurang dari 1,015 (sekitar 1,010) menunjukkan kerusakan ginjal berat. Kelompok P3, P4, dan P6 mengalami kenaikan secara tidak signifikan pada berat jenis urin hewan model urolithiasis. Kenaikan ini dimungkinkan karena disamping terjadi peningkatan konsentrasi semanggi air juga terjadi peningkatan jumlah zat terlarut pada 5
semanggi air yang tidak direabsorpsi oleh tubulus ginjal. Zat-zat yang tidak diinginkan tidak direabsorbsi sehingga konsentrasinya di urin meningkat. Misalnya saja pada daun tempuyung yang analog dengan semanggi air ditemukan kandungan manitol dan sukrosa (Sulaksana, dkk., 2004). Guyton and Hall (1997) menyatakan bahwa permeabilitas membran tubulus ginjal untuk reabsorpsi manitol dan sukrosa adalah nol yang berarti apabila zat-zat ini telah difiltrasi ke dalam glomerulus, seratus persen jumlah yang memasuki glomerulus akan keluar bersama urin. Hal yang sama juga terjadi pada glukosa. Apabila jumlah glukosa melebihi kapasitas tubulus ginjal untuk mereabsorpsinya maka sebagian glukosa juga akan ikut terlarut dan diekskresikan bersama urin. Pada kelompok P5 berat jenis urin mengalami penurunan dibandingkan kelompok P4. Penurunan berat jenis ini dikarenakan salah satu ulangan pada kelompok P5 memiliki berat jenis yang
rendah dibandingkan ulangan lainnya. Hal ini dimungkinkan hewan model tersebut mengalami gangguan regulasi reabsorbsi di tubulus sehingga terjadi peningkatan reabsorbsi zat-zat tertentu pada tubulus proksimal, lengkung henle, tubulus distal, atau tubulus kolektivus, yang menyebabkan zat-zat yang dieksresikan akan berkurang dan berat jenis urin menjadi lebih rendah. Berat jenis tinggi menunjukkan pekatnya urin. Berat jenis sangat erat berhubungan dengan diuresis, makin besar diuresis makin rendah berat jenis dan begitu sebaliknya. Hal ini terjadi karena berat jenis sangat tergantung pada kandungan benda-benda padat dan besar volume urin. Pengaruh Pemberian Perasan Daun dan Tangkai Semanggi Air Terhadap Volume Urin Berdasarkan pengukuran volume urin 24 jam, didapatkan hasil perhitungan statistika (p<0,05) sebagai berikut (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Pengujian Volume Urin Berat Jenis Urin Rata-rata±SD P1 4 4,0750±0,09574 a P2 4 4,2750±0,22174 a P3 4 4,8250±0,23629 b P4 4 5,1250±0,09574 b P5 4 5,7000±0,14142 c P6 4 5,9750±0,15000 c Keterangan : Notasi yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan, p = nilai signifikansi Kelompok Perlakuan
Ulangan
Berdasarkan hasil analisis statistika dapat diketahui bahwa peningkatan dosis perasan daun dan tangkai semanggi air diikuti peningkatan volume ekskresi urin hewan model. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya kandungan ion K+ dan flavonoid pada semanggi air mempengaruhi reabsorpsi air dan zat-zat terlarut, sehingga semakin besar dosis konsentrasi yang diberikan, semakin besar pula kandungan zat-zat dalam semanggi air yang mempengaruhi diuresis. Zat-zat yang diduga berperan dalam mempengaruhi diuresis adalah ion K+ dan flavonoid. Volume urin kelompok P2 mengalami kenaikan dibandingkan dengan kelompok P1. Berdasarkan penelitian
Cruzan, et al. (2004) dan DePass, et al. (1986), hewan model yang diinduksi dengan etilen glikol dan ammonium klorida akan mengalami kenaikan volume urin 24 jam. Menurut Cruzan, et al. (2004), adanya kristal kalsium oksalat pada lumen tubulus ginjal menyebabkan sel-sel ginjal menjadi rusak dan mengalami kematian. Hal ini menyebabkan fungsi ginjal menjadi terganggu, sehingga regulasi air juga terganggu. Ginjal mengkompensasi kondisi tersebut dengan meningkatkan volume urin yang dieksresikan yang diikuti dengan menurunnya berat jenis urin, serta menyebabkan peningkatan konsumsi air. Pengukuran volume urin bermanfaat untuk 6
menentukan adanya gangguan faal ginjal dan kelainan dalam keseimbangan cairan tubuh (Gandasoebrata, 1992). Volume urin berkaitan erat dengan penggunaan diuretik karena dapat menyebabkan terjadinya diuresis. Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995), diuretik merupakan senyawa atau obat yang dapat meningkatkan ekskresi urin. Istilah diuresis sendiri mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran zat-zat terlarut dalam urin. Efek diuretik pada perasan daun dan tangkai semanggi air diduga terjadi karena tanaman ini mengandung banyak air, karena hidupnya di wilayah perairan. Mengonsumsi semanggi air secara tidak langsung juga mengonsumsi air yang terkandung di dalamnya. Ditinjau berdasarkan prinsip homeostasis tubuh, penambahan volume tubuh akibat mengkonsumsi air akan diikuti dengan peningkatan jumlah ekskresi urin. Selain kandungan airnya yang tinggi, semanggi air juga memiliki kandungan ion K+ yang cukup tinggi sehingga dapat menguatkan efek diuresis yang dimiliki. Chairul (2000) menyatakan bahwa unsur makro seperti ion K+ memiliki efek diuretik. Konsumsi tinggi kalium akan menyebabkan tingginya kadar ion K+ didalam cairan intraselular. Tubuh menurunkan kadar kalium yang meningkat dengan meningkatkan eksresi ion Na+ dan menekan pelepasan renin, sehingga pembentukan angiotensin I berkurang. Berkurangnya angiotensin I menyebabkan angiotensin II yang dibentuk juga menurun. Hal ini akan
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan GFR (Glomerular Filtration Rate) yang kemudian terjadi peningkatan ekskresi air. Pada keadaan normal, sekitar 65 persen dari ion K+ yang disaring glomerulus akan diabsorbsi tubulus proksimalis dan sekitar 25 sampai 30 persen sisanya direabsorbsi ansa henle. Bila terjadi peningkatan kadar ion K+ di plasma maka tempat yang paling penting untuk pengaturan ekskresi ion K+ adalah tubulus distal dan tubulus koligentes kortikalis. Sekresi ion K+ terjadi melalui pompa natrium-kalium ATPase. Selain mekanisme kandungan-kandungan semanggi air dalam meningkatkan volume ekskresi urin yang telah disebutkan di atas, kemungkinan masih terdapat mekanisme lain yang menunjang peningkatan volume ekskresi urin akibat pemberian perasan daun dan tangkai semanggi air. Salah satu bahan aktif dari semanggi air yang diduga ikut berperan sebagai diuretik adalah flavonoid. Aktivitas diuretik dari flavonoid dapat membantu pengeluaran kristal dari dalam ginjal yaitu dikeluarkan bersama urin, sementara ion K+ akan berkompetisi dan memisahkan ikatan kalsium dengan oksalat sehingga kristal kalsium menjadi terlarut (Suharjo dan Cahyono, 2009). Pengaruh Pemberian Perasan Daun dan Tangkai Semanggi Air Terhadap Bilirubin Urin Berdasarkan pengujian bilirubin urin menggunakan urine analyzer, didapatkan hasil sebagai berikut (Tabel 4).
Tabel 4. Hasil pemeriksaan bilirubin urin Kelompok Ulangan 1 Ulangan 2 Perlakuan P1 negatif negatif P2 +1 +1 P3 +1 +1 P4 +1 negatif P5 negatif negatif P6 negatif negatif Keterangan : negatif = 0 umol/L +1 = 0-17 umol/L. 7
Ulangan 3
Ulangan 4
negatif +1 negatif negatif negatif negatif
negatif negatif negatif negatif +1 negatif
Berdasarkan Tabel 4, pemeriksaan bilirubin urin kelompok P1 menunjukkan hasil negatif pada semua ulangan. Pada kelompok P2, sebanyak tiga ekor memiliki hasil positif dan satu ekor memiliki hasil negatif. Setelah diberikan perasan daun dan tangkai semanggi air, terlihat adanya perbaikan pada hasil pemeriksaan bilirubin. Pada kelompok P6 hasil pemeriksaan bilirubin menunjukkan negatif pada keempat ulangan. Bilirubin merupakan produk degradasi dari hemoglobin di dalam sistem retikuloendotel oleh kerja enzim Heme Oksigenase yang terdapat pada retikulum endoplasma. Terdapat dua jenis bilirubin, yaitu bilirubin unkonjugasi dan bilirubin konjugasi. Bilirubin unkonjugasi disebut juga bilirubin indirek. Bilirubin indirek akan diambil (uptake) oleh hati oleh suatu carrier, lalu menempel pada protein simpanan di intrasel dan mengalami konjugasi dengan gugus glukuronida oleh enzim UDPGlukuronil Transferase menjadi bilirubin monogukuronida dan bilirubin diglukuronida. Kedua bilirubin yang terakhir inilah yang disebut dengan bilirubin konjugasi. Bilirubin konjugasi disebut juga
bilirubin direk. Bilirubin direk larut dalam air sehingga dapat difiltrasi oleh ginjal dan dapat ditemukan di urin. Setelah terbentuk, bilirubin direk akan diekskresi secara transport aktif menuju kanakuli biliaris, lalu dikeluarkan bersama cairan empedu menuju ke usus halus (Martin and Friedman, 2004). Bilirubin tidak terdapat pada urin hewan yang sehat. Adanya bilirubin dalam urin hewan pada umumnya berkaitan dengan penyakit di sistem perkemihan dan hepar, sehingga bilirubin dalam urin dapat sebagai petunjuk adanya penyakit pada sistem perkemihan sendiri atau yang berkaitan dengan sistem lain (Stockhom and Scot, 2002). Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa perasan daun dan tangkai semanggi air dapat memperbaiki adanya kerusakan pada sistem perkemihan atau sistem lain yang berkaitan dalam memproduksi bilirubin. Pengaruh Pemberian Perasan Daun dan Tangkai Semanggi Air Terhadap Sedimen Kalsium Oksalat Urin Berdasarkan pemeriksaan sedimen kalsium oksalat urin dibawah mikroskop, didapatkan hasil sebagai berikut (Tabel 5).
Tabel 5. Hasil pemeriksaan sedimen kalsium oksalat urin (pembesaran 400x) Kelompok Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Perlakuan P1 negatif negatif negatif +1 P2 +1 +2 +1 +1 P3 +1 +1 +1 +1 P4 +1 +1 +1 +1 P5 +1 +1 +1 Negatif P6 +1 negatif negatif Negatif Keterangan : +1 : 1-5 kristal kalsium oksalat +2 : 6-20 kristal kalsium oksalat +3 : > 20 kristal kalsium oksalat negatif : tidak ditemukan kristal kalsium oksalat (Fan, et al., 1999). Berdasarkan Tabel 5, pemeriksaan sedimen kalsium oksalat dalam urin pada kelompok P1 menunjukkan hasil negatif pada ketiga ulangan dan menunjukkan +1 pada ulangan 4. Pada kelompok P2, sebanyak tiga ekor memiliki hasil +1 dan satu ekor memiliki hasil +2. Hal ini
menunjukkan tingginya jumlah kalsium oksalat yang terbentuk akibat induksi kombinasi etilen glikol 0,75% dan amonium klorida 2%. Setelah diberikan perasan daun dan tangkai semanggi air, terlihat adanya perbaikan pada jumlah sedimen kalsium oksalat dalam urin. Pada kelompok P3 8
terlihat adanya penurunan jumlah kalsium oksalat dibandingkan dengan kelompok P2. Kelompok P3 tidak terlihat adanya perbedaan jumlah sedimen kalsium oksalat dalam urin dengan kelompok P4. Pada kelompok P5 terlihat adanya perbaikan pada tikus ulangan ke-4 dibandingkan kelompok P4. Kelompok P6 menunjukkan hasil yang cukup bagus, yaitu menunjukkan hasil negatif pada tiga ekor dan +1 pada satu ekor tikus ulangan. Data ini menunjukkan bahwa perasan daun dan tangkai semanggi air dapat mengurangi terbentuknya kristal kalsium oksalat dalam urin. Selain ditemukan kristal kalsium oksalat, tampak ditemukan kristal struvit pada setiap kelompok perlakuan. Kristal struvit dengan jumlah tertentu akan ditemukan pada setiap urin hewan karena merupakan hasil metabolisme normal zat-zat sampah didalam tubuh (Susilawati, dkk., 2003). Kristal asam urat dan sistin tidak ditemukan dalam pemeriksaan sedimen urin. Hal ini dikarenakan kristal asam urat hanya ditemukan pada urin yang memiliki pH asam (Becker, 2007), dan kristal sistin hanya terbentuk pada hewan yang memiliki kelainan resesif autosomal (Orson, 2006). Kristal kalsium oksalat dapat ditemukan dalam jumlah yang sedikit (< 5) bahkan tidak ditemukan pada urin hewan sehat. Kristal kalsium oksalat dalam urin dengan jumlah <5 belum memiliki pertalian khusus dengan penyakit urolithiasis, tetapi merupakan zatzat sampah metabolisme yang normal (Gandasoebrata, 1992). Pemeriksaan sedimen urin merupakan salah satu pemeriksaan laboratorium yang sangat diperlukan untuk melengkapi pemeriksaan fisik urin yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis suatu penyakit. Pemeriksaan sedimen dapat memberikan data mengenai saluran urin mulai dari ginjal sampai pada ujung uretra (Suratman, dkk., 2003). Pemberian perasan daun dan tangkai semanggi air dapat menurunkan secara signifikan jumlah kristal kalsium oksalat yang dikeluarkan bersama urin. Hal ini
disebabkan perasan daun dan tangkai semanggi air dapat menimbulkan diuresis. Perasan daun dan tangkai semanggi air mengandung ion K+ dan Na+ yang cukup tinggi, sehingga dapat menjaga keseimbangan elektrolit pada ginjal. Ion K+ dari perasan daun dan tangkai semanggi air inilah yang membuat kristal berupa kalsium oksalat terurai, ion K+ akan bergabung dengan senyawa asam oksalat, atau asam urat yang merupakan pembentuk kristal dengan membentuk senyawa garam yang mudah larut dalam air, sehingga kristal itu akan terlarut secara perlahan-lahan dan ikut keluar bersama urin dengan reaksi kimia sebagai berikut (Hidayati., dkk, 2009): 2K+ + CaC2O4
K2C2O4
+ Ca2+
Daya melarutkan ion K+ terhadap kristal kalsium oksalat disebabkan oleh letak ion K+ di dalam deret Volta sebelum letak ion Ca2+, sehingga ion K+ akan menyingkirkan ion Ca2+ untuk bergabung dengan senyawa karbonat, oksalat, atau urat dan ion Ca2+ menjadi larut (Hidayati., dkk, 2009). Ion K+ bergerak didalam tubuh secara difusi, absorbsi, dan sekresi. Ion K+ memasuki tubuh dari saluran usus dengan cara difusi melalui dinding kapiler dan absorbsi aktif. Ion K+ masuk ke dalam sel-sel juga dengan cara difusi dan membutuhkan proses metabolisme yang aktif. Ion K+ dibuang melalui urin dengan cara sekresi (Hidayati., dkk, 2009). Selain ion K+, kandungan flavonoid pada semanggi air juga dapat menurunkan jumlah kristal kalsium oksalat dalam urin. Kristal kalsium oksalat diduga dapat membentuk senyawa kompleks dengan gugus –OH dari flavonoid sehingga membentuk Caflavonoid. Senyawa kompleks ini diduga lebih mudah larut dalam air, sehingga air yang ada dalam urin akan membantu kelarutan kristal tersebut. Aktifitas diuretik dari flavonoid juga dapat membantu pengeluaran kristal kalsium oksalat dari dalam ginjal, yaitu dikeluarkan bersama urin (Suharjo dan Cahyono, 2009).
9
Gambar 5.4. Contoh hasil pengamatan sedimen kalsium oksalat urin (A) kelompok P1 (B) kelompok P2, (C) kelompok P3, (D) kelompok P5, (E) kelompok P6. Kristal kalsium oksalat ditunjukkan oleh huruf a dan kristal struvit ditunjukkan oleh huruf b. Kandungan flavonoid dalam perasan daun dan tangkai semanggi air memiliki fungsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan. Antiinflamasi dan antioksidan ini akan bekerja memperbaiki inflamasi yang timbul akibat akumulasi kristal pada saluran urinaria. Akumulasi kristal akan menyebabkan luka pada saluran urinaria. Luka akan menyebabkan sel mengalami stres oksidatif sehingga jaringan akan mengalami inflamasi. Kristal yang terbentuk merupakan
gabungan dari bahan anorganik dan organik. Pada proses inflamasi, sistem imun tubuh akan merespon, sehingga pada urin akan ditemukan bahan-bahan organik seperti eritrosit, neutrofil, limfosit, dan eosinofil, dimana bahan-bahan tersebut berkontribusi dalam menyusun kristal. Adanya kandungan flavonoid diharapkan dapat menurunkan inflamasi, sehingga jumlah bahan organik dalam urin dapat diminimalisir. 10
Pengaruh perasan daun dan tangkai semanggi air terhadap kualitas urin Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, perasan daun dan tangkai semanggi air memberikan efek diuresis dan dapat mencegah terbentuknya kristal kalsium oksalat, demikian pula memiliki kecenderungan meningkatkan pH dan berat jenis urin (p<0,05). Secara konseptual, peningkatan volume urin akan diikuti menurunnya berat jenis urin. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan berat jenis urin meningkat secara tidak signifikan. Hal ini dimungkinkan adanya zat-zat tertentu dalam semanggi air yang tidak dapat direabsorbsi di tubulus ginjal sehingga akan menaikkan nilai berat jenis urin meskipun masih dalam
kisaran normal. Manfaat yang lain adalah dapat menurunkan nilai bilirubin urin. Kandungan ion K+ dan flavonoid yang terdapat dalam perasan daun dan tangkai semanggi air ini dapat bergabung dengan senyawa oksalat yang merupakan pembentuk kristal kalsium oksalat dengan membentuk senyawa garam yang mudah larut dalam air, sehingga proses nukleasi atau kristalisasi kalsium oksalat dapat dihambat. Efek diuretik dari ion K+ dan flavonoid akan membantu kelarutan kristal tersebut. Kristal akan terlarut secara perlahan-lahan dan ikut keluar bersama urin. Selain itu efek diuretik ini juga akan mencegah terjadinya proses supersaturasi urin, sehingga proses nukleasi dan kristalisasi dapat dihambat.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perasan daun dan tangkai semanggi air pada konsentrasi 40% dapat mencegah terjadinya urolithiasis pada hewan
model tikus putih, dibuktikan dengan peningkatan volume urin dan penurunan jumlah sedimen kalsium oksalat.
UCAPAN TERIMAKASIH Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sri Murwani, drh., MP yang telah mengijinkan penulis mengikuti
penelitian payung ini dan kepada Prof. Dr. Pratiwi Trisunuwati, drh., MS sebagai dosen pembimbing pertama.
DAFTAR PUSTAKA Afriastini, J.J. 2003. Cryptograms: Ferns and fern allies. LIPI. Bogor.
putih jantan. Berita Biologi 5 (2): 247254.
Ashmont, C. 1891. Dogs: Their management and treatment in disease. Journal Loring Thayer. Boston. Becker, G. 2007. Uric Nephrology 12: S21–S23.
acid
Cruzan, G., Corley, R.A., Hard, G.C., Mertens, J.J.W.M., McMartin, K.E., Snellings, W.M., Gingell, R., and Deyo, J.A. 2004. Subchronic Toxicity of Ethylene Glycol in Wistar and F-344 Rats Related to Metabolism and Clearance of Metabolites. Toxicological Sciences 81: 502-511.
stones.
Buffington, C.A.T. 2001. Managing common chronic lower urinary tract disorders of cats. Proceedings of the North American Veterinary Conference. Orlando pages 282-285.
DePass, L.R., Garman, R.H., Woodside, M.D., Giddens, W.E., Maronpot, R.R., and Weil, C. S. 1986. Chronic Toxicity and Oncogenicity Studies of Ethylen Glycol in Rats and Mice. Fundamental Applied Toxicology 7(4): 547-65.
Chairul. 2000. Pengaruh pemberian ekstrak alkohol akar ilalang (Imperata cylindrica L.) terhadap penurunan suhu tubuh tikus
11
Doenges, M.E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi ke 3. EGC. Jakarta.
Lina, H.S., Listyawati, S., dan Sutarno. 2003. Analisis Kimia-Fisik Urin Tikus Putih (Rattus norvegicus) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Seledri (Apium graveolens linn.). Biosmart 5 (1): 43-46.
Fan, J., Glass, M.A., Chandhoke, P.S. 1999. Impact of ammonium chloride administration on a rat ethylene glycol urolithiasis model. Scanning Microscopic 13: 299-306.
Martin, P and Friedman, L.S. 2004. Assessment of Liver Function and Diagnose Studies. In: Friedman, L.S., Keefe, E.R., and Schiff, E.R. Handbook of Liver Disease. Ed 2. Churchill Livingstone. New York. Pages 1-8.
Gandasoebrata. 1992. Penuntun Laboratorium Klinik. PT Dian Rakyat. Jakarta. Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi ke-7. ECG. Jakarta.
McCann, J. A. and Schilling, R. N. 2005. Professional guide to diseases. 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins Publishers. London.
Guyton, A. C and Hall, J. E. 1997. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit III. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Orson, D.M. 2006. Kidney stones: pathophysiology and medical management. Lancet 367: 333–44.
Hidayati, A. M., Yusrin dan Herlisa, A. 2009. Pengaruh Frekuensi Penggunaan Teh Daun Tempuyung Kering (Sonchus arvensis) Terhadap Daya Larut Kalsium Oksalat (CaC2O4). Jurnal Kesehatan 2(2).
Parmar, R. K., Kachchi, N. R., Tirgar, P. R., Desai, T. R., and Bhalodiya, P. N. 2012. Preclinical Evaluation of Antiurolithiatic Activity of Swertia Chirata Stems. International Research Journal of Pharmacy 3(8).
Hesse, A and Neiger, R. 2008. Harnsteine bei Kleintieren. Enke Verlag. Germany.
Purwono, R, M. 2009. Pengaruh Infusum Daun Alpukat (Persea americana Mill) dalam Menghambat Pembentukan Kristal pada Ginjal Tikus. Institut Pertanian Bogor.
Huang, H.S., Chen, J., Chen, C.F., and Ma, M.C. 2006. Vitamin E Attenuates Crystal Formation in Rat Kidneys: Roles of Renal Tubular Cell Death and Crystallization Inhibitors. Kidney Int 70(4): 699-710.
Sacher, R.A., Mc Pherson., dan Richard, A. 2002. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Irawan, M, A. 2007. Cairan Tubuh, Elektrolit dan Mineral. Sports Science Brief 01: 1. Jagannath, N., Somashekara, S.C., Damodaram, G., and Golla, D. 2012. Study of antiurolithiatic activity of Asparagus racemosus on albino rats. Indian Journal of Pharmacology 44: 576579.
Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Penerbit Airlangga University Press. Surabaya. Sparkes, A.H. dan Philippe, C.J. 2008. Urolithiasis in Cats: Managing The Risks. Nestle Purina Pet Care. 1-7.
Kusriningrum. 2008. Rancangan percobaan. Airlangga Universitas Press. Surabaya.
12
Stockhom, S.L. and Scot, M.A. 2002. Fundamental of Veterinary Clinical Pathology. Iowa State Press. Suharjo, J.B., dan Cahyono. 2009. Batu Ginjal. Kanisius. Yogyakarta. Hal: 27, 3031, 48-49, 82. Sulaksana, J., Budi, S., dan Dadang, I. 2004. Tempuyung Budi Daya dan Pemanfaatan untuk Obat, Cetakan Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta. Suratman, Listyawati, S., dan Sutarno. 2003. Sifat Fisik dan Kandungan NaCl Urin Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan setelah Pemberian Ekstrak Rimpang Alangalang (Imperata cylindrica L.) secara Oral. Biofarmasi 1 (1): 7-12. Susilawati, H.L., Shanty L., dan Sutarno. 2003. Analisis Kimia-Fisik Urin Tikus Putih (Rattus norvegicus) setelah Pemberian Ekstrak Daun Seledri (Apium graveolens Linn.). Jurnal Biosmart 5 : 4346. Tanagho, E.A., McAninch, and Smith, J.W. 2000. General Urology, 15 edition. Mc Graw-Hill Companie. New York.
13