EFEK INTERVENSI TEMPE TERHADAP PROFIL LIPID, SUPEROKSIDA DISMUTASE, LDL TEROKSIDASI DAN MALONDIALDEHYDE PADA WANITA MENOPAUSE
DIAH MULYAWATI UTARI I 061060051
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Efek Intervensi Tempe terhadap Profil Lipid, Superoksida Dismutase, LDL Teroksidasi dan Malondialdehyde pada Wanita Menopause” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Diah Mulyawati Utari NRP. I 061060051
3
ABSTRACT DIAH MULYAWATI UTARI. The Effect of Tempeh Intervention on Lipid Profile, Superoxide Dismutase, Ox-LDL and Malondialdehyde in Postmenopausal Women. Under direction of RIMBAWAN, HADI RIYADI, MUHILAL, PURWANTYASTUTI. Menopause is physiological condition in women where the function of ovaries is declining thus causing reduction of estrogen hormone production. The reduction of estrogen production may cause the destruction of lipid metabolism hence worsening the profile of blood lipid and lipid oxidation in the body. If this problem continues, further condition that we should be aware of is coronary heart disease (CHD). Lipid in the body is very prone to oxidation, with the result lipid peroxidation and marked with increase of malondialdehyde (MDA). Lipid, especially the K-LDL is the main target of oxidation that often called as Ox-LDL. Superoxide dismutase (SOD) enzyme is an antioxidant that acts as the primary defense against the process of oxidation in the body. The urgency in understanding about the correlation between consumption of soybean and its product with heart disease in women is due to this disease is the main cause of morbidity and mortality in menopause women. Tempeh is the most popular Indonesian traditional food made of soybean through the fermentation process. The fermentation process causes the increase of amino acid, fatty acid and the total of isoflavon in tempeh is much higher in the soybean. This research is aimed to study the effect of tempeh intervention toward the changes in lipid profile (total cholesterol, K-LDL, K-HDL, TGA), the SOD activity, and MDA in menopause women. The study design is using 2x4 weeks cross-over parallel group, randomized control trial with washout and it has received approval from the Research Ethical Commission, Board of National Health Research and Development, Ministry of Health, Number LB.03.04/KE/6693/2009. The research was conducted in Bogor City, with total sample of 53 menopause women that fulfill the inclusion research criteria. The intervention used 160 gram of Tempeh that has been steamed for 10 minutes then mixed with certain spices and given to the samples daily in 4 weeks. The intervention was done in May-August 2009, while the blood serum analysis done in May-December 2009. The statistical test showed that the consumption of 160 gram of Tempeh daily for 4 weeks can improve the lipid profile by decreasing the total cholesterol for 6%, K-LDL for 5.8%, and TGA for 11.7%, but could not increase the K-HDL level. This intervention also increased the activity of SOD for 56.9%, reducing MDA for 10.4% and maintain Ox-LDL. The amino acid, unsaturated fatty acid and high isoflavon in Tempe is useful to obstruct the synthesis and absorption of cholesterol and LDL oxidation, improve antioxidant status, decrease of body fat and obstruct the uncontrollable free radical formation. It is recommended to government to improve socialization of Tempe as a food that have benefit for health. As for community, it is recommended to increase Tempeh consumption as part of their daily diets, particularly for menopause women and other groups that have high risk of CHD. To obtain the maximum effect on health, it is recommended to consume Tempeh which is cooked by steaming and avoid frying. The amount of Tempeh to be consumed daily is 150-160 gram which is equal to 3-4 middle size portion of Tempeh. Keywords: Tempeh, lipid profile, SOD, Ox-LDL, MDA, postmenopausal women
4
RINGKASAN DIAH MULYAWATI UTARI. Efek Intervensi Tempe terhadap Profil Lipid, Superoksida Dismutase, LDL teroksidasi dan Malondialdehyde pada Wanita Menopause. Dibimbing oleh RIMBAWAN, HADI RIYADI, MUHILAL, PURWANTYASTUTI. Menopause adalah kondisi fisiologis pada wanita dimana terjadi penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi hormon estrogen. Turunnya produksi estrogen juga menyebabkan gangguan metabolisme lipid sehingga akan memperburuk profil lipid darah dan oksidasi dalam tubuh. Masalah berkelanjutan sehubungan dengan penurunan estrogen yang harus mendapatkan perhatian adalah penyakit jantung koroner (PJK). Lipid dalam tubuh mudah teroksidasi sehingga mengakibatkan terbentuknya peroksidasi lipid yang ditandai dengan peningkatan malondialdehyde (MDA). Lipid khususnya dalam Kolesterol-LDL (K-LDL) merupakan target utama oksidasi sehingga disebut dengan LDL teroksidasi (OxLDL). Untuk mencegah terjadinya hal tersebut maka diperlukan adanya antioksidan, salah satunya adalah antioksidan endogen yaitu superoksida dismutase (SOD) yang merupakan pertahanan pertama terhadap proses oksidasi di dalam tubuh. Adanya kebutuhan untuk memahami hubungan antara konsumsi pangan yang berasal dari kedelai dengan risiko kejadian penyakit jantung pada wanita adalah karena penyakit ini merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada wanita menopause. Dalam 10-12 tahun terakhir, penelitian tentang manfaat protein kedelai dan isoflavon semakin meningkat dan mendalam, dan membuktikan bahwa konsumsi kedelai tidak saja memperbaiki beberapa aspek kesehatan pada wanita menopause tetapi juga memperbaiki kesehatan jantung. Tempe merupakan pangan tradisional Indonesia yang dibuat dari kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus dan dikenal sebagai makanan yang sangat popular di Indonesia. Proses fermentasi menyebabkan peningkatan asam amino, asam lemak dan isoflavon total tempe sehingga jauh lebih tinggi dibanding kedelai. Beberapa penelitian tentang intervensi tempe telah dilakukan di Indonesia, namun sejauh ini belum diketahui pengaruh tempe terhadap profil lipid, SOD, Ox-LDL dan MDA pada wanita menopause yang merupakan kelompok risiko PJK. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efek intervensi tempe terhadap perubahan profil lipid (kolesterol total, K-LDL, K-HDL, TGA), aktivitas SOD, Ox-LDL dan MDA pada wanita menopause. Desain penelitian yang digunakan adalah 2x4 minggu cross-over parallel group, randomized control trial dengan washout dan telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Badan Litbang Kesehatan RI Nomor LB.03.04/KE/6693/2009. Penelitian dilaksanakan di Kota Bogor, dengan jumlah total sampel 53 wanita menopause yang memenuhi kriteria inklusi penelitian. Intervensi yang dilakukan adalah memberikan 160 gram tempe setiap hari selama 4 minggu. Jumlah tersebut setara dengan 4 (empat) potong tempe ukuran sedang Tempe yang diberikan kepada sampel adalah tempe yang dikukus selama 10 menit kemudian dicampur dengan bumbu tertentu sehingga menjadi masakan tempe
5
yang siap santap. Terdapat berbagai variasi menu tempe yang diberikan bergantian selama penelitian. Intervensi dilakukan pada bulan Mei – Agustus 2009, sedangkan analisis serum darah dilakukan pada bulan Mei – Desember 2009. Data yang dikumpulkan adalah data primer meliputi: karakteristik sampel (umur, lama menopause, suku), sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan, pengeluaran), aktifitas fisik, kebiasaan merokok, dan olah raga. Data dikumpulkan melalui wawancara pada awal penelitian. Data kesehatan dan IMT dikumpulkan setiap saat pengambilan darah, sedangkan data konsumsi dikumpulkan dengan metode food record yang diambil sebanyak 1 (satu) kali per minggu dan FFQ diambil sebanyak 1 (satu) kali per bulan. Analisis pangan tempe menunjukkan bahwa kandungan asam amino tertinggi pada tempe adalah arginin dan asam lemak tertinggi adalah asam linoleat. Tempe juga kaya akan isoflavon dan kadarnya relatif dapat dipertahankan jika tempe diolah dengan pengukusan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa pemberian tempe sebanyak 160 gram setiap hari selama 4 minggu dapat memperbaiki profil lipid yaitu menurunkan kadar kolesterol total sebesar 6%, K-LDL sebesar 5.8% dan TGA sebesar 11.7%, namun tidak dapat meningkatkan kadar K-HDL. Intervensi tempe juga dapat meningkatkan aktivitas SOD sebesar 56.9%, menurunkan MDA sebesar 10.4% dan mempertahankan Ox-LDL. Kandungan asam amino dan asam lemak tidak jenuh serta isoflavon yang tinggi pada tempe diperkirakan mempunyai manfaat sebagai penghambat sintesa kolesterol, penghambat absorbsi kolesterol, penghambat oksidasi LDL serta meningkatkan status antioksidan, sehingga dapat menurunkan lemak tubuh dan menghambat proses oksidasi dan pembentukan radikal bebas yang berlebihan dalam tubuh. Disarankan pada pemerintah untuk meningkatkan sosialisasi tempe sebagai makanan yang mempunyai manfaat bagi kesehatan. Masyarakat disarankan untuk meningkatkan konsumsi tempe setiap hari secara terus menerus khususnya pada wanita menopause serta kelompok lain yang memiliki risiko tinggi PJK. Untuk mendapatkan efek maksimal bagi kesehatan maka tempe sebaiknya diolah dengan cara dikukus dan menghindari pengolahan dengan cara menggoreng. Jumlah tempe yang dikonsumsi setiap hari sekitar 150-160 gram atau setara dengan 3-4 potong tempe ukuran sedang. Kata Kunci: Tempe, Profil lipid, SOD, Ox-LDL, MDA, menopause
6
© Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
7
EFEK INTERVENSI TEMPE TERHADAP PROFIL LIPID, SUPEROKSIDA DISMUTASE, LDL TEROKSIDASI DAN MALONDIALDEHYDE PADA WANITA MENOPAUSE
DIAH MULYAWATI UTARI I 061060051
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
8
Penguji Ujian Tertutup 1. Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, M.S 2. dr. Endang L Achadi, MPH, Dr.PH
Penguji Ujian Terbuka 1. Dr. Ir. Evy Damayanthi, M.S 2. Dr. Minarto, M.PS
9
PRAKATA Bismillahirrahmannirrahim. Assalamu’alaiikum warahmatullahi wa barakatuh. Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, dan karuniaNya, sehingga penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan April 2009 hingga Pebruari 2010 ini adalah intervensi makanan untuk mencegah risiko PJK dengan judul “Efek Intervensi Tempe terhadap Profil Lipid, Superoksida Dismutase, LDL Teroksidasi dan Malondialdehyde pada Wanita Menopause” Dengan segala hormat penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terimakasih yang tulus dan mendalam kepada semua pihak yang telah membantu semua proses hingga disertasi ini dapat diselesaikan: Terimakasih terdalam penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Rimbawan selaku ketua komisi pembimbing, serta anggota komisi pembimbing yaitu Bapak Dr.Ir. Hadi Riyadi, MS., Bapak Prof.Dr. Muhilal, APU., dan Ibu Prof.Dr.dr. Purwantyastuti, MSc,SpFK., yang dengan sabar telah membimbing dan memberikan saran mulai dari proposal, pelaksanaan hingga tulisan ini terwujud. Terimakasih juga disampaikan kepada penguji proposal Bapak drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc,PhD., penguji prelim lisan dan ujian tertutup Ibu Dr.Ir. Sri Anna Marliyati, MS., penguji ujian tertutup dr. Endang L. Achadi, MPH, DrPH serta penguji ujian terbuka Ibu Dr.Ir. Evy Damayanthi, MS dan Bapak Dr. Minarto, MPS., atas saran guna memperbaiki tulisan ini. Tak lupa juga terimakasih kepada Bapak Peter Hollman, PhD dari Universitas Wageningen selaku pembimbing studi pustaka dan pembuatan protokol penelitian. Penulis sampaikan pula rasa terimakasih kepada Kepala Dinkes Kota Bogor dan jajarannya, Kepala Lab. Patologi Klinik FK-UI, Kepala Lab. Biokimia FMIPAUniversitas Brawijaya, Kepala Lab. Terpadu IPB, Kepala Lab. Mikrobiologi LIPI dan Kepala Lab. Biokimia Puslibang Gizi dan Makanan Kemenkes yang telah membantu analisis serum dan tempe dalam penelitian ini. Terimakasih juga disampaikan kepada Kepala Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UI Ibu Prof.Dr.dr. Kusharisupeni, MSc dan teman-teman sejawat dari Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Indonesia. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan pada ibu-ibu yang menjadi sampel dalam penelitian ini yang dengan setia mengikuti proses intervensi, juga pada adik-adik yang membantu proses penelitian di lapangan (Melisa Chandra SKM, Sri Mulyaningrum SKM, Shinta Devi SKM). Ungkapan terimakasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu, suami beserta seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu yang telah memberikan kontribusi dan kebaikan yang tulus, penulis ucapkan terimakasih yang mendalam. Semoga Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha Mengasihi akan memberikan balasan berlebih kepada Bapak dan Ibu sekalian. Tak ada kesempurnaan melainkan milik Allah semata, semoga tulisan ini walau kecil dapat memberi manfaat pada pembaca.
Bogor, Juli 2011 Diah Mulyawati Utari
10
RIWAYAT HIDUP Nama
: Diah Mulyawati Utari
Email
:
[email protected]
Alamat kantor
: Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Gd. F lantai 2, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok
Telepon/fax
: 021 – 786 3501
Pendidikan
: 1986 – 1990 S-1 GMSK Faperta IPB 1993 – 1995 S-2 Program Studi Gizi Kesmas, FKM-UI 2006 – 2011 S-3 Program GMK Keluarga, PPS-IPB Oktober 2008 – Pebruari 2009 Program Sandwich di Departement of Human Nutrition, Wageningen University, The Netherland
Artikel yang diterbitkan selama mengikuti program S-3 1. Potensi asam amino pada tempe untuk memperbaiki profil lipid dan diabetes mellitus (Jurnal Kesmas, ISSN 1907-7505, Volume 5, Nomor 4, Pebruari 2011, hal 166-170) 2. Pengaruh pengolahan kedelai menjadi tempe dan pemasakan tempe terhadap kadar isoflavon (Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan, ISSN 0125-9717, Volume 33, No. 2, Desember 2010, hal 148 - 153)
11
PENDAHULUAN Latar Belakang Menopause adalah kondisi fisiologis pada wanita dimana menstruasi berhenti secara permanen akibat penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi hormon estrogen (Cassidy 2006). Menopause dapat terjadi secara alami atau tidak alami, misalnya karena pengangkatan sel telur. Seorang wanita disebut memasuki masa menopause jika tidak mengalami menstruasi selama 12 bulan berturut-turut. Usia mulai menopause bervariasi dimulai sekitar 45 tahun hingga 55 tahun, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau melalui proses dimana menstruasi terjadi secara tidak teratur menjelang memasuki masa menopause. Turunnya produksi estrogen saat menopause juga dapat menyebabkan gangguan metabolisme lipid sehingga dapat memperburuk profil lipid darah dan oksidasi dalam tubuh. Masalah selanjutnya yang perlu mendapat perhatian sehubungan dengan menurunnya estrogen pada wanita adalah kemungkinan meningkatnya risiko penyakit jantung koroner (PJK) yang merupakan penyebab kematian utama pada wanita menopause (Teede et al. 2001; Dewell et al. 2002; Cuevas et al. 2003; Cassidy et al 2006). Faktor risiko PJK meliputi faktor risiko lipid (tinggi kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida dan rendah kolesterol HDL) serta faktor risiko non lipid (hipertensi, obesitas, diabetes mellitus, rokok, aktifitas fisik, konsumsi, stres, dan obat) (Schlenker et al. 2007). Perubahan profil lipid selain disebabkan karena faktor fisiologis seperti proses penuaan juga dapat disebabkan karena adanya perubahan gaya hidup bagi sebagian
penduduk khususnya yang berada di perkotaan. Pola makan yang
awalnya tinggi karbohidrat, serat, vitamin dan mineral saat ini banyak berubah menjadi tinggi lemak, garam, namun rendah serat, vitamin dan mineral. Perubahan pola makan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan atau transisi penyakit dan gizi. Jika dahulu masalah gizi lebih didominasi oleh masalah gizi kurang, seperti KEP (Kurang Energi Protein), KVA (Kurang Vitamin A), GAKY (Gangguan Akibat Kurang Yodium) dan AGB (Anemia Gizi Besi) namun saat ini, dimana masalah gizi kurang masih belum tuntas teratasi, juga terjadi peningkatan masalah gizi lebih terutama di wilayah perkotaan. Oleh karena itu Indonesia
12
mempunyai dua masalah gizi sekaligus (double burden), yang tentu saja memerlukan penanganan yang lebih spesifik tergantung pada target sasaran. Selain terjadinya transisi gizi, Indonesia juga mengalami transisi penyakit, jika dahulu didominasi oleh penyakit menular seperti ISPA dan diare, saat ini berubah menjadi penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif, misalnya jantung koroner, diabetes mellitus, stroke, atherosklerosis. Peningkatan gizi lebih dan penyakit degeneratif menyebabkan terjadinya penurunan kualitas hidup manusia seperti penurunan produktivitas dan penurunan Usia Harapan Hidup (UHH). Seiring dengan meningkatnya usia, proses penuaan akan terjadi, termasuk bertambahnya senyawa radikal bebas di dalam tubuh. Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom yang memiliki satu atau lebih
elektron yang tidak
berpasangan, sehingga sangat labil dan reaktif menyerang molekul di sekitarnya dan dapat mengakibatkan kerusakan struktur sel dan fungsinya (Marks 2000). Radikal bebas bisa terjadi karena faktor di dalam tubuh (endogen) maupun dari luar tubuh (eksogen). Faktor dari tubuh terjadi dari proses metabolisme misalnya meningkatnya aktivitas oksidasi di dalam tubuh sedangkan faktor dari luar dapat disebabkan oleh pengaruh polusi atau makanan. Soeatmaji (1998) menyatakan bahwa lipid di dalam tubuh merupakan target utama radikal bebas. Senyawa radikal bebas dapat merusak lipid khususnya lipid pada kolesterol-low density lipoprotein (K-LDL). Terjadinya serangan radikal bebas pada K-LDL sering disebut dengan LDL teroksidasi (Ox-LDL). Kolesterol-LDL sangat mudah teroksidasi dibanding lipoprotein lain, karena komposisinya sebagian besar terdiri dari asam lemak tidak jenuh ganda atau PUFA (Gropper et al. 2005). Proses berkelanjutan dari radikal bebas khususnya pada jaringan lipid akan menyebabkan terbentuknya peroksidasi lipid yang selanjutnya akan menghasilkan produk akhir seperti misalnya malondialdehyde (MDA).
Jumlah MDA dapat digunakan sebagai indikator adanya kerusakan
akibat radikal bebas atau indikator keaktifan proses peroksidasi lipid. Berbagai literatur menyatakan bahwa ada hubungan antara MDA dalam darah dan atherosklerosis pada dinding arteri, sehingga tingginya kadar MDA dapat dikategorikan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya PJK.
13
Tingginya radikal bebas dalam tubuh dapat disebabkan karena rendahnya aktivitas enzim antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang memberikan elektron atau reduktan sehingga dapat mencegah terjadinya radikal bebas melalui pencegahan reaksi oksidasi. eksogen.
Antioksidan terdiri dari antioksidan endogen dan
Antioksidan endogen disintesa di dalam tubuh seperti superoksida
dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Enzim SOD merupakan pertahanan pertama terhadap proses oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh dan aktifitasnya bergantung pada beberapa logam mineral seperti Zn, Cu, Fe dan Mn. Kedelai adalah bahan pangan sumber protein nabati.
Selain sebagai
sumber protein, kedelai juga merupakan sumber isoflavon yang dapat berfungsi untuk memperbaiki profil lipid. Konsumsi matriks protein kedelai atau protein kedelai dalam bentuk utuh diketahui lebih menguntungkan dibanding dalam bentuk konsentrat isoflavon saja (Potter et al. 1998; Steinberg et al. 2003). Meskipun peran setiap komponen yang terdapat dalam kedelai terhadap lemak belum sepenuhnya dimengerti, namun diperkirakan protein kedelai dapat mempengaruhi metabolisme hepatik dari kolesterol atau lipoprotein (Potter et al. 1998) atau pengaturan reseptor LDL (Anderson et al. 2003). Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus dan dikenal sebagai makanan tradisional yang sangat populer di Indonesia. Tempe dikonsumsi oleh lebih dari separuh penduduk di Indonesia dan menjadi lauk maupun makanan camilan yang sering dikonsumsi khususnya pada masyarakat kelas menengah ke bawah. Selain itu tempe juga mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasar, serta mudah dimasak. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi dan non gizi yang lebih baik dibanding kedelai. Dasar pemikiran Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah gizi ganda, dimana masalah gizi kurang masih belum terselesaikan namun di sisi lain masalah gizi lebih mulai mengalami peningkatan yang cukup memprihatinkan. Masalah gizi lebih akan diikuti dengan munculnya penyakit degeneratif seperti atherosklerosis, diabetes mellitus, hipertensi, stroke, dan PJK. Peningkatan penyakit degeneratif dapat disebabkan antara lain karena perubahan gaya hidup, termasuk perubahan pola
14
makan, yaitu dari pola makanan tinggi serat dan karbohidrat menjadi tinggi lemak dan natrium namun rendah serat, vitamin dan mineral. Prevalensi PJK di Indonesia meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, dari 16.0% pada tahun 1991 menjadi 26.4% pada tahun 2001.
Penyakit tersebut
menjadi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Data terbaru hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung sebesar 7.2%, diabetes mellitus 1.1%, hipertensi 29.8% dan stroke 0.8%. Sementara stroke merupakan penyebab kematian tertinggi untuk penyakit tidak menular, diikuti hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit jantung. Risiko penyakit akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Secara rinci data penyakit berdasar jenis kelamin belum tersedia di Indonesia, namun berdasar teori dan data epidemiologi menunjukkan bahwa wanita akan mengalami peningkatan khususnya PJK setelah mengalami menopause. Berkurangnya estrogen pada wanita menopause merupakan salah satu alasan penggunaan estrogen replacement therapy (ERT) yang mempunyai efek positif pada serum lipid sehingga mampu menurunkan risiko PJK (Chiechi et al. dkk, 2002). Namun terapi ini juga berisiko mengakibatkan terjadinya komplikasi tromboembolik dan ketidaknyamanan yang lain sehingga banyak wanita menopause beralih memilih menggunakan pendekatan alami (Glazier et al. 2001 dan Barnes et al. 2003). Protein kedelai, merupakan komponen penting dalam diet penduduk di wilayah dunia bagian timur dan diketahui merupakan salah satu faktor lingkungan yang menonjol dalam pencegahan PJK (Cuevas et al. 2003 dan Rimbach et al. 2008).
Hasil penelitian di berbagai populasi di banyak negara menunjukkan
bahwa protein kedelai menurunkan kolesterol plasma, triasilgliserol dan glukosa darah (Anderson et al. 1995; Griffin et al. 1999; Blair et al. 2006; Palanisamy et al. 2008) dan berperan sebagai antioksidan yang potensial (Lichtenstein et al. 1998).
Konsumsi kedelai juga memperbaiki fungsi endothelial koroner (Mattan
et al. 2007). Efek hipokolesterolemia dan antioksidan tersebut setidaknya merupakan bagian dari komponen dalam kedelai yang disebut isoflavon atau fitoestrogen (Cuevas et al. 2003).
15
Telah diketahui selama 60 tahun terakhir bahwa mengganti konsumsi hewani
dengan
protein
dari
kacang-kacangan
dapat
menurunkan
hiperlipoproteinemia dan atherosklerosis. Dalam 10-12 tahun terakhir penelitian tentang hal tersebut semakin meningkat dan mendalam, dan membuktikan bahwa konsumsi protein nabati tidak saja memperbaiki beberapa aspek kesehatan pada wanita menopause tetapi juga memperbaiki kesehatan jantung (Clarkson et al. 2002). Isoflavon merupakan sub-klas flavonoid, adalah komponen non gizi pada tanaman dan sangat mirip struktur kimia dengan estrogen (Setchell & Adlercreuts 1988; Rimbach et al. 2007). Dalam tanaman, isoflavon terdiri dari empat bentuk isomer yaitu : 1) aglikon (unconjugates) dan glukosida (conjugates) yang terdiri dari 2) β-glucosides (genistin, daidzin, glycitin), 3) aceytyl-β-glycosides dan 4) malonyl-β-glycosides (Wang and Murphy 1994; Xu et al. 2000). Banyak studi tentang intervensi suplemen protein kedelai baik dalam bentuk isolat, makanan utuh maupun kombinasi keduanya terhadap serum kolesterol total (K-T), Kolesterol LDL (K-LDL), trigliserida dan Kolesterol HDL (K-HDL) yang telah dilakukan pada manusia dan hewan. Hasil meta analisis randomized controlled trial (RCT) menunjukkan bahwa suplementasi tersebut mampu menurunkan K-T, K-LDL dan trigliserida serta sedikit meningkatkan KHDL (Anderson et al. 1995; Reynolds et al. 2006; Hooper et al. 2008). Hasil meta analisis terbaru mengkonfirmasi efek berbagai kelas dalam flavonoid, dimana isolat protein kedelai signifikan menurunkan tekanan darah diastolik dan K-LDL (Hooper et al. 2008). Hasil penelitian tentang intervensi kedelai (isolat protein kedelai, isolat isoflavon kedelai maupun matrik kedelai dalam bentuk makanan) secara sistematik menguatkan berbagai meta analisis sebelumnya bahwa terdapat efek kedelai dan isoflavon pada faktor risiko PJK, yaitu menurunkan K-LDL tetapi tidak ada efek terhadap kenaikan K-HDL. Protein kedelai dapat menurunkan K-LDL sebesar 0.2 mmol/L, dan diperkirakan dapat menurunkan 3% semua kasus kematian dan 6% penurunan kematian karena PJK (Hooper et al. 2008). Tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi sehingga menyebabkan peningkatan isoflavon total khususnya dari aglikon yang
16
jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Wang and Murphy,1994).
Saat ini tempe
dipertimbangkan sebagai pangan fungsional (functional food) karena kandungan gizi dan substansi aktifnya. Selain itu tempe juga mudah diproduksi, harga relatif terjangkau, tersedia di pasar, dan mudah dimasak. Sebagai pangan tradisional, tempe mempunyai komposisi gizi yang lebih baik dibanding kedelai. Aktivitas lipase R. oligosporus menyebabkan level asam lemak bebas pada tempe lebih tinggi dibanding kedelai. Asam lemak bebas dilaporkan dapat menghambat beberapa enzim seperti: glikolitik, glikoneogenik, lipogenik proteolitik, dan menghambat sintesa asam lemak. Setelah fermentasi, kandungan vitamin B meningkat (kecuali thiamin). Vitamin A diproduksi oleh R.oligosporus dalam bentuk -carotene, sedangkan vitamin D diproduksi dalam bentuk ergosterol, dan vitamin E dalam bentuk tocopherol. berperan sebagai antioksidan (Pawiroharsono 1997).
Vitamin tersebut juga
Tempe mengandung asam
amino bebas sekitar 3-10 kali lebih besar dibanding kedelai. Hal tersebut karena R. oligosporus akan menghidrolisa protein menjadi asam amino dan peptida. Asam amino seperti ornitin, lisin, arginin, dan histidin merupakan antioksidan yang kuat (Tamura et al. 1998). Aktivitas antioksidan tempe ada dalam bentuk tidak terikat yaitu aglikon seperti genistein, daidzein, glycetein dan faktor 2 yang lebih kuat dibanding bentuk glukosida seperti genistin dan daidzin (Pratt 1979; Kurzer et al. 1997). Genistein dan daidzein mampu mengikat reseptor β-estrogen yang ditemukan di sistem saraf pusat, tulang, dinding vaskular dan saluran urogenital (Nahas et al. 2006).
Genistein merupakan inhibitor sangat kuat terhadap produksi hidrogen
peroksida dan menghambat pembentukan anion superoksida. Genistein juga menunjukkan kemampuan meningkatkan aktivitas enzim yang berperan dalam antioksidan seperti SOD, katalase, glutathione peroksidase dan glutathione reductase
(Wei et al. 1995), serta memakan radikal, mengikat logam dan
menghambat tirosin kinase (Kiriakidis et al. 2005). Banyak studi menunjukkan hasil bahwa kedelai mempunyai potensi sebagai penangkal radikal yang lebih kuat dibanding sayuran lain seperti wortel, buncis, juice buah (Ou et al. 2002 dan Wu et al. 2004).
Sejalan dengan hal
tersebut peran antioksidan dalam tempe ternyata juga lebih kuat dibanding
17
tocopherol (Jha et al. 1997). Efek antioksidan pada tempe tampaknya merupakan efek sinergis dari tocopherol (terdapat dalam kedelai) dan asam amino yang dibebaskan selama fermentasi (Hoppe et al. 1997). Penelitian Arbai (1994) menunjukkan bahwa pemberian 150 gram tempe per hari selama 2 minggu pada laki-laki hiperkolesterol ternyata dapat menurunkan Kolesterol Total (K-T) sebesar 8.3%, K-LDL sebesar 8.29%, meningkatkan K-HDL sebesar 8.47% dan menurunkan rasio K-T:K-HDL sebesar 13.38%. Sementara itu penelitian Sugyarto (1990) yang memberikan 200 gram tempe selama 2 minggu pada laki-laki dan wanita juga menunjukkan efek yang baik pada perbaikan profil lipid. Astuti (1992) dan Kasaoka et al (1997) menguji distribusi Fe, Cu dan Zn pada sel tikus dan ternyata mineral tersebut jauh lebih tinggi pada tikus yang diberi tempe dibanding yang diberi kasein atau kedelai. Distribusi mineral dalam sel hati mengindikasikan bahwa mineral tersebut aktif pada berbagai reaksi intraselular termasuk membantu kerja enzim antioksidan.
Selanjutnya Astuti
(1993) dan Kasaoka et al (1997) memberikan perlakuan diet termasuk tempe pada tikus menyatakan bahwa MDA tikus yang diberi tempe hasilnya paling rendah dibanding yang diberi diet lain.
Diperkirakan tempe mengandung
substansi yang dapat meningkatkan SOD. Sejauh ini belum diketahui pengaruh tempe terhadap profil lipid, enzim antioksidan, LDL teroksidasi dan MDA pada wanita menopause. Sulit untuk meneliti pengaruh tempe pada penyakit jantung dan penyakit degeneratif lainnya kecuali pada binatang, sehingga pada manusia pada umumnya penelitian hanya melihat pengaruhnya terhadap faktor risiko penyakit. Mengingat kandungan lemak, protein, isoflavon dan beberapa vitamin serta mineral tempe jauh lebih baik dibanding kedelai, maka diperkirakan fungsi tempe sebagai pangan yang bermanfaat bagi kesehatan khususnya efek hipokolesterolemia dan antioksidan jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Tabel 8). Namun penelitian intervensi pada kelompok rentan khususnya pada wanita menopause belum pernah dilakukan secara menyeluruh, sehingga perlu kajian secara khusus untuk melihat pengaruh konsumsi tempe terhadap profil lipid, radikal bebas dan enzim antioksidan
pada wanita menopause.
Jika hasil
18
penelitian ini dapat menjawab hipotesis maka diharapkan dapat menurunkan risiko penyakit jantung dan penyakit degeneratif lain, meningkatkan usia harapan hidup (UHH), meningkatkan produktivitas kerja dan menekan biaya kesehatan yang tinggi pada golongan usia dewasa lanjut atau manula. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi salah satu upaya pencegahan penyakit sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Masalah Penelitian Kebutuhan untuk memahami tentang kedelai dan PJK pada wanita adalah karena penyakit ini merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada wanita menopause (Clarkson et al. 2002). Risiko disebabkan karena penurunan produksi estrogen yang akan mempengaruhi metabolisme lipid, sehingga akan memperburuk profil lipid.
Pernyataan bahwa semua wanita menopause
membutuhkan ERT adalah sesuatu yang irrasional dan tidak menguntungkan (Nahas et al. 2006). Meskipun ERT mempunyai efek positif pada serum lipid dan mampu menurunkan risiko PJK (Chiechi et al. 2002), tetapi terapi ini juga berisiko mengakibatkan terjadinya beberapa keluhan dan komplikasi (Hulley et al. 2002). Di Indonesia diperkirakan hanya 5% wanita yang menggunakan ERT, dan tidak diketahui berapa persentase pengguna yang tidak melanjutkan terapi tersebut. Data di USA menunjukkan bahwa 70% pengguna ERT menghentikan terapi ini pada tahun pertama. Alasan penghentian adalah perdarahan, mastalgia, mual, migraine, odema dan ketakutan terhadap risiko kanker payudara (Glazier et al. 2001; Barnes et al. 2003).
Alasan tersebut menyebabkan banyak wanita
beralih menggunakan pendekatan alami, seperti meningkatkan frekuensi konsumsi makanan sumber fitoestrogen. Penelitian tentang manfaat mengganti konsumsi hewani dengan protein nabati telah berlangsung lebih dari enam dasawarsa dan hasilnya menunjukkan bahwa
penggantian
tersebut
berpengaruh
positif
terhadap
penurunan
hiperlipoprotein dan atherosklerosis yang merupakan risiko penyakit jantung. Secara lebih spesifik berbagai studi tentang manfaaf kedelai dan komponen non gizi di dalamnya telah dimulai sejak tiga dasawarsa yang lalu, dan dalam sepuluh tahun terakhir diketahui bahwa kedelai dan fitoestrogen tidak saja mempunyai
19
efek potensial bagi kesehatan wanita menopause namun juga memperbaiki kesehatan jantung (Clarkson et al. 2002). Tempe dipilih sebagai bahan intervensi dengan beberapa pertimbangan. Pertimbangan dari sisi produsen tempe adalah: mudah mendapatkan kedelai sebagai bahan dasar, proses pengolahan sederhana, mudah dipasarkan, dan keuntungan membuat tempe tergolong cukup besar (sekitar 30%). Pertimbangan dari sisi konsumen, tempe merupakan pangan tradisional Indonesia yang harganya murah, mudah dijumpai di pasar, mudah diolah menjadi makanan.
Namun
demikian kuantitas konsumsi kedelai sebagai bahan dasar tempe sebenarnya masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan Jepang atau Cina. Tempe juga kaya akan zat gizi dan non gizi yaitu isoflavon
sehingga sangat bermanfaat bagi
wanita menopause. Kandungan gizi dan non gizi pada tempe melebihi kedelai. Salah satu efek isoflavon adalah hipokolesterolemia dan antioksidasi yang jika dikonsumsi akan mampu meningkatkan enzim antioksidan sehingga memperbaiki profil lipid darah. kesehatan
Namun demikian, hingga saat ini
belum terlalu popular di masyarakat.
khasiat tempe untuk
Mengingat harganya yang
murah, tempe masih dipandang sebelah mata, status tempe sebagai makanan tergolong rendah, dan umumnya dianggap sebagai makanan bagi golongan masyarakat kelas bawah. Oleh sebab itu perlu dikaji lebih mendalam manfaat tempe bagi kesehatan khususnya terhadap profil lipid, enzim antioksidan (SOD), LDL teroksidasi dan MDA pada kelompok rentan seperti wanita menopause. Pertanyaan Penelitian Beberapa masalah penting berkaitan dengan pemberian tempe pada wanita menopause adalah sebagai berikut: 1. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan memperbaiki profil lipid (menurunkan K-T, K-LDL dan trigliserida serta meningkatkan K-HDL)? 2. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan meningkatkan enzim SOD? 3. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan menurunkan OxLDL? 4. Apakah pemberian tempe pada wanita menopause akan menurunkan MDA?
20
Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Mengkaji efek pemberian tempe terhadap profil lipid, enzim SOD, Ox-LDL, dan MDA pada wanita menopause. Tujuan Khusus: 1. Menguji kandungan asam amino tempe 2. Menguji kandungan asam lemak tempe. 3. Menguji kandungan isoflavon tempe berdasar frekuensi perebusan kedelai. 4. Menguji kandungan isoflavon tempe kukus dan membandingkan dengan metode pemasakan lain. 5. Menguji kadar profil lipid (K-total, K-LDL, K-HDL, trigliserida) sebelum dan setelah intervensi tempe. 6. Menguji kadar enzim SOD dan Seng sebelum dan setelah intervensi tempe. 7. Menguji kadar Ox-LDL sebelum dan setelah intervensi tempe. 8. Menguji kadar MDA sebelum dan setelah intervensi tempe. 9. Menguji pada kelompok mana intervensi tempe lebih bermanfaat.
Manfaat Penelitian 1. Masyarakat: meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang manfaat tempe khususnya untuk menurunkan risiko terhadap penyakit jantung. Penurunan prevalensi kesakitan dan kematian akibat PJK akan membawa keuntungan, yaitu menghemat biaya pengobatan yang besar, meningkatkan produktivitas baik pada
usia produktif maupun usia lanjut dan
meningkatkan usia harapan hidup. 2. Pemerintah: menjadi acuan untuk sosialisasi dalam rangka meningkatkan gerakan makan tempe yang murah dan bergizi sebagai upaya pencegahan PJK. 3. Institusi Pendidikan: memberikan masukan ilmiah di bidang pangan, gizi dan kesehatan untuk pencegahan PJK dan penyakit degeneratif lainnya.
21
4. Lain-lain: penelitian ini juga diharapkan mengangkat status tempe sebagai makanan tradisional khas Indonesia yang mempunyai kemampuan sebagai pangan fungsional.
Hipotesis Ho : Tidak ada perbedaan antara perlakuan intervensi tempe dan kontrol terhadap profil
lipid (kolesterol total, K-LDL, K-HDL, trigliserida), aktivitas
SOD, Ox-LDL dan MDA. H1 : Perlakuan intervensi tempe akan menyebabkan profil lipid lebih baik (kolesterol total, K-LDL, trigliserida lebih rendah dan K-HDL lebih tinggi), aktivitas SOD lebih tinggi serta Ox-LDL dan MDA yang lebih rendah dibanding kontrol.
KERANGKA PEMIKIRAN Menopause adalah kondisi fisiologis pada wanita dimana terjadi penurunan fungsi ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi hormon estrogen. sehingga
Hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan metabolisme lemak meningkatkan
risiko
terjadinya
peroksidasi
lipid
yang
dapat
mengakibatkan risiko terjadinya PJK. Konsumsi antioksidan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya lipid peroksida.
Antioksidan yang dimaksud dapat
diperoleh dari luar tubuh (eksogen) seperti dari makanan (vit C, vit E, selenium, Zn, dan Cu) maupun antioksigen endogen atau yang terbentuk dari dalam tubuh (SOD, katalase dan glutation peroksidase).
Antioksidan dari luar akan
berpengaruh pada kerja antioksidan endogen. Penyakit jantung koroner (PJK) secara umum dapat disebabkan karena adanya faktor risiko lipid yang terdiri dari meningkatnya kolesterol, LDL kolesterol, trigliserida dan turunnya HDL kolesterol. Faktor risiko yang kedua adalah faktor risiko non lipid yang terdiri dari merokok, hipertensi, aktifitas fisik, obesitas, diabetes mellitus, konsumsi lemak (SAFA, MUFA, PUFA), alkohol, stress dan konsumsi obat tertentu. Faktor risiko yang tidak bisa dihindari terdiri dari jenis kelamin, usia, keturunan, riwayat keluarga. Tahap awal perjalanan menuju PJK adalah konsumsi yang tidak seimbang (khususnya tinggi karbohidrat, lemak dan protein) yang mengakibatkan kegemukan ditandai dengan peningkatan IMT. Kegemukan akan menyebabkan penumpukan lemak visceral yang selanjutnya mengakibatkan disregulasi pengeluaran adipocytokin. Hal ini akan berisiko pada hipertensi, diabetes mellitus dan dislipidemia sehingga akan mempermudah terjadinya atherosklerosis dan PJK.
1
PJK MDA
Atherosklerosis
Lipid peroksida
Ox-LDL
katalase
H2 O2
O2 SOD
GPx
H2O2
Dislipidemia
IMT
MENOPAUSE
Aktivitas Fisik
Energi KH Lemak Genetik
Alkohol
Stress
Isoflavon Vit C Vit E Zn Cu Serat
Merokok Obat
Kebiasaan makan
Suku
Gambar 12 Kerangka Teoriris
Diteliti Tidak diteliti
2
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian adalah 2x4 minggu cross-over paralel group, RCT (randomized control triall) dengan washout. Cross-over merupakan suatu cara untuk membandingkan beberapa perlakuan pada sampel yang sama di waktu yang berbeda, sehingga akan diperoleh hasil yang lebih tepat dengan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode paralell group trials (Hills & Armitage 1979; Garcia et al. 2004). Untuk mengurangi carryover effect maka diterapkan satu periode washout selama 4
minggu.
Dalam
pelaksanaan
penelitian, peneliti tidak mengetahui jenis perlakuan yang diterima oleh setiap sampel, hanya petugas lapangan dan sampel yang mengetahui perlakuan apa yang diberikan. Protokol pelaksanaan penelitian sudah mendapatkan Persetujuan Etik dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia No: LB.03.04/KE/6693/2009. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di Kota Bogor. Sampel yang diambil berasal dari beberapa posbindu yang menjadi binaan Dinkes Kota Bogor. Dasar pemilihan lokasi adalah keaktifan posbindu sehingga mempermudah operasional penelitian di lapangan.
Lokasi penelitian terpilih berasal dari Kelurahan Tanah Sareal,
Pondok Rumput, Ciwaringin, Ciomas dan Sindang Sari. Penapisan sampel mulai dilakukan sejak bulan Maret hingga April 2009, sedangkan intervensi dilakukan mulai Mei hingga Agustus 2009.
Penelitian ini
dibagi menjadi 2 fase, dimana fase I pengambilan darah dilakukan pada 26 Mei 2009 (sebelum intervensi) dan 24 Juni 2009 (setelah intervensi), sedangkan fase II dilakukan pada 22 Juli 2009 (sebelum intervesi) dan 20 Agustus 2009 (setelah intervensi). Selanjutnya analisis serum darah dilakukan sejak April 2009 hingga Januari 2010.
3
Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Target Target populasi pada penelitian ini adalah wanita yang telah menopause antara 1 hingga 5 tahun dan tinggal di wilayah Kota Bogor. Populasi studi adalah wanita menopause antara 1 hingga 5 tahun yang menjadi binaan posbindu terpilih. Selanjutnya populasi tersebut harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. 2. Sampel Sampel harus memenuhi kriteria penerimaan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, antropometri, dan hasil penapisan pemeriksaan darah. Berdasar hasil penapisan terpilih sampel yang selanjutnya akan dijelaskan tujuan penelitian, perlakuan penelitian yang akan dilakukan, manfaat dan kerugian menjadi sampel penelitian. Jika sampel bersedia, maka akan menandatangani formulir persetujuan tertulis terhadap tindakan media yang dilakukan. 3. Penentuan Jumlah Sampel Penelitian ini menggunakan rumus sampel desain cross over Sd 2 N = 10.5 ----- D 10.5 Sd D N
= 90%, P 0,05 = standar deviasi kolesterol total = 34.6 mm/dL (Alrasyid 2007) = perbedaan atau efek yang diharapkan =19.6 mm/dL (Alrasyid 2007) = 33
Banyaknya sampel yang diperlukan dengan power 90% dan p 0,05 berdasar hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Alrasyid (2007 ) minimal dibutuhkan 33 sampel. Mengingat waktu penelitian yang relatif lama (3.5 bulan) dan untuk mengantisipasi drop out selama penelitian, maka jumlah minimal sampel ditambah 100%, sehingga jumlah sampel di awal penelitian diambil sebanyak 67 sampel.
4
Sampel terpilih akan dibagi secara random untuk menentukan kelompok perlakuan. Random dilakukan menggunakan tabel acak. Proporsi jumlah sampel terbagi rata pada 2 kelompok perlakuan. Pengacakan dilakukan oleh personil yang tidak turut dalam kegiatan penelitian dan tidak disaksikan sampel dan peneliti (peneliti tidak mengetahui sampel terpilih untuk masing-masing perlakuan). Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Pengeluaran Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sampel adalah. Kriteria Inklusi -
Wanita menopause, masa menopause antara 1 tahun hingga 5 tahun
-
Menopause terjadi secara alami
-
Bersedia menjadi responden dan mematuhi peraturan yang dibuat selama penelitian dengan mengisi surat pernyataan
-
Salah satu profil lipid darah tidak normal (kolesterol > 200 mg/dL, kolesterol-LDL > 130 mg/dL trigliserida > 150 mg/dL, kolesterol-HDL < 40 mg/dL) atau mengalami hipertensi (sistolik > 140 mmHg dan atau diastolik > 90 mmHg)
Kriteria eksklusi -
Mempunyai riwayat atau sedang mengalami penyakit hati, ginjal, gangguan tiroid, kanker, PJK, stroke, diabetes mellitus dan penyakit lainnya
-
Rutin mengkonsumsi suplemen
-
Rutin mengkonsumsi obat hipoglikemi, fitofarmaka, hipolipid.
-
Penganut vegetarian
-
Menggunakan terapi estrogen
Kriteria Pengeluaran -
Pada saat masuk dalam fase perlakuan, sampel tidak mengonsumsi tempe selama 3 hari berturut-turut
-
Indikasi kriteria eksklusi ditemukan pada sampel sewaktu penelitian berlangsung
-
Sampel tidak menjalani pemeriksaan darah secara lengkap
5
Alur Penelitian Setelah ditentukan sampel yang memenuhi kriteria inklusi maka penelitian dapat dilaksanakan. Penelitian ini di bagi menjadi empat fase, dimulai dari fase run-in, dan selanjutnya diikuti dengan fase 1 dan fase 2 yang diselingi dengan fase washout. Run in phase 2 mgg
Fase 1 4 mgg
Washout 4 mgg
Fase 2 4 mgg
Tempe
Kontrol
Kontrol Darah 1 (penapisan)
Darah2
Tempe Darah 3
Darah 4
Darah 5
Gambar 13 Alur penelitian. Run-in phase : -
2 minggu
-
home diet (mengonsumsi makanan dari rumah seperti biasa)
-
Record konsumsi (2 hari) untuk mengetahui pola konsumsi (base line).
-
Responden tidak diperbolehkan mengonsumsi kedelai dan hasil olahnya
-
Responden tidak diperkenankan konsumsi semua jenis suplemen dan obat
Treatment tempe -
4 minggu
-
Home diet + tempe 160 g tempe/hr
-
Tempe diberikan 6 hr/mgg.
Kontrol -
4 minggu
-
Home diet
-
Responden tidak mengonsumsi kedelai dan hasil olahnya
Washout -
4 minggu
-
Home diet
-
Responden tidak mengkonsumsi kedelai dan hasil olahnya
6
Responden mempersiapkan seluruh kebutuhan makannya sendiri kecuali tempe yang disiapkan oleh peneliti. Tahap pertama penapisan adalah mendaftar semua ibu menopause dengan masa menopause 12 bln – 59 bln. Calon sampel diundang untuk mendapat penjelasan tentang penelitian meliputi tahapan penelitian serta kerugian dan keuntungan menjadi sampel. Calon sampel yang bersedia mengikuti tahapan penelitian diwajibnya mengisi form persetujuan. Form persetujuan merupakan dasar untuk dimulainya penelitian yaitu tahap run in. Sebelum run in, dilakukan pemeriksaan spesimen darah dan antropometri sebagai pengukuran dasar (base line) untuk penapisan sampel. Calon sampel wajib puasa sekitar 10-12 jam sebelum dilakukan pengambilan darah. Pengambilan darah serentak dilakukan pada hari yang sama dimulai jam 6.30 WIB hingga jam 9.00 WIB, selanjutnya darah di bawa ke laboratorium untuk dipisahkan serum nya dan serum disimpan dalam suhu -200C sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium. Parameter yang diukur pada tahap tersebut meliputi: kolesterol total, K-LDL, K-HDL, trigliserida dan tekanan darah. Individu yang memenuhi kriteria inklusi akan dimasukkan sebagai sampel penelitian. Sampel terpilih akan menjalani run in phase, dimana mereka mulai menghindari konsumsi tempe, produk kedelai, maupun suplement yang biasa dikonsumsi selama minimal 2 minggu. Fase run in dilakukan selama 2 minggu untuk membersihkan kadar isoflavon dalam darah sampel dan merupakan tahap sosialisasi sebelum masuk pada tahap intervensi. Setelah run in selesai atau sebelum fase 1 dimulai, maka dilakukan pengambilan darah ke 2. Selanjutnya secara random, sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (intervensi tempe) dan kelompok kontrol. Diakhir fase 1 dilakukan kembali pengambilan darah (yang ke 3), diikuti dengan washout selama 4 minggu. Selesai washout kemudian dilakukan pengambilan darah ke 4, setelah itu masuk fase 2 yaitu fase cross over, dimana sampel yang pada fase 1 masuk pada kelompok intervensi, maka pada fase ke 2 masuk ke kelompok plasebo, begitu juga sebaliknya.
Fase 2 juga dilakukan selama 4
minggu. Setelah 4 minggu fase 2 berakhir, maka dilakukan pengambilan darah terakhir (ke 5).
7
Fase Intervensi diberikan selama 4 minggu berdasar hasil berbagai penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa minimal intervensi protein kedelai maupun isoflavon dilakukan selama 2 minggu, dan dalam selang waktu tersebut dapat dilihat perubahan pada parameter yang diukur. Penelitian terdahulu yang memberikan protein kedelai maupun isoflavon terhadap profil lipid juga menunjukkan hasil bahwa perubahan dapat dilihat setelah pemberian selama 2 minggu. Besarnya perubahan parameter sangat tergantung dari besarnya dosis, bentuk intervensi, lama intervensi dilakukan, serta kondisi pre test sampel perlakuan. Adapun wash out diberlakukan selama 4 minggu dengan alasan untuk memberikan kesamaan waktu antara intervensi dan wash out, dan dari penelitian yang pernah dilakukan bahwa kadar isoflavon akan bersih dalam darah setelah 2 minggu fase wash out serta untuk menghilangkan pengaruh intervensi yang telah diterima sampel sebelumnya. Jumlah sampel dari awal hingga akhir penelitian disajikan dalam Gambar 14. 440 orang
Penapisan
123 orang
Sampel
67 orang
Pre-test
30 orang
30 orang
Pos-test
29 orang
30 orang
Pre-test
29 orang
27 orang
27 orang
26 orang
Fase I
Fase II Pos-test
Gambar 14 Jumlah sampel dari awal hingga akhir penelitian.
8
Sampel total terpilih sebanyak 67 orang, namun yang hadir pada saat pengambilan darah pre-test hanya 60 orang. Sebanyak 7 orang tidak hadir karena bekerja di tempat yang jauh sehingga tidak memungkinkan untuk diberi intervensi. Dari 60 orang yang mengikuti awal intervensi, terdapat 53 orang yang mengikuti semua prosedur penelitian secara lengkap. Terjadi drop out sebanyak 7 orang disebabkan karena 1 orang sakit (tetanus), 1 orang tidak hadir saat pengambilan darah terakhir, dan 5 orang tidak bersedia melanjutkan intervensi dengan alasan non medis. Untuk setiap pengambilan darah ke 1 hingga ke 5 dilakukan prosedur yang sama, diawali dengan puasa selama 10-12 jam sebelumnya dan pengambilan darah dilakukan serentak pada hari yang sama dimulai pukul 6.30 hingga selesai. Darah selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dipisahkan serumnya, dibagi ke dalam beberapa cuvet kecil dengan volume sesuai dengan jenis pemeriksaan. Serum disimpan pada suhu -200C sebelum didistribusikan ke laboratorium yang akan melakukan analisis lebih lanjut. Intervensi Tempe yang digunakan sebagai bahan intervensi berasal dari satu produsen tempe yang ada di Kota Bogor, hal tersebut untuk menjamin keseimbangan kandungan isoflavon yang dihasilkan karena menggunakan prosedur yang selalu sama saat pembuatannya.
Kedelai sebagai bahan dasar
pembuatan tempe adalah merek Americana, sedangkan ragi yang digunakan diproduksi oleh PT. Aneka Fermentasi Industri, Bandung (BPOM RI. MD 262628001051). Teori yang ada menunjukkan bahwa kandungan isoflavon tempe akan lebih tinggi pada tempe yang mengalami 2 kali perebusan. Berdasar hal tersebut, peneliti menunjuk satu produsen dengan proses pembuatan melalui perebusan 2 kali. Sebelum ditentukan produsen tempe yang akan diambil sebagai pemasok, dilakukan analisa isoflavon pada 2 tempat pembuatan tempe, dimana kedua tempat tersebut mengerjakan pembuatan tempe dengan proses yang berbeda. Hasil analisis yang dilakukan sebanyak 3 kali uji isoflavon menunjukkan bahwa 160 g tempe mentah basah mengandung rata-rata 49.3 mg isoflavon.
9
Kandungan protein dalam 160 gr tempe mentah 26.4 g yang masih dianggap aman untuk diberikan setiap harinya. Intervensi tempe yang diberikan sebanyak 160 g per hari, 6 hari dalam seminggu selama 4 minggu. Selama fase intervensi, setiap hari jam 06.00 WIB produsen tempe mengantar tempe mentah ke peneliti.
Proses pemasakan
membutuhkan waktu sekitar 1 jam dan proses pengemasan membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Sekitar jam 09.00 WIB tempe matang yang telah dikemas siap didistribusikan ke sampel, dan tiba dirumah sampel sekitar pukul 09.30 WIB hingga 11.00 WIB. Tempe tidak harus dihabiskan pada satu saat tertentu, namun diminta untuk dihabiskan dalam
satu hari.
Untuk mengontrol kepatuhan
konsumsi tempe, maka setiap hari petugas pengantar tempe menanyakan konsumsi tempe sehari sebelumnya. Tempe diberikan sebanyak 160 g atau setara dengan 4 potong tempe ukuran sedang. Menu tempe yang diberikan diganti setiap hari dengan ragam jenis masakan : 1. Panggang rempah 2. Oseng 3. Bumbu kencur 4. Panggang opor 5. Sukiyaki 6. Semur 7. Bumbu kacang 8. Kari kemangi 9. Bacem 10. Sambal kencur 11. Botok Instrumen Penelitian Formulir yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Formulir karakteristik sampel (usia, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, suku, lama menopause, kebiasaan Olah Raga dan merokok) 2. Formulir pengetahuan gizi 3. Formulir pemeriksaan darah
10
4. Formulir IMT 5. Formulir antropometri (BB, TB) 6. Formulir kesehatan (tekanan darah, status kesehatan saat pemeriksaan) 7. Formulir konsumsi : Food Frequency Quesioner (FFQ) dan food record. Peralatan dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan meliputi 1. Timbangan BB merek seca dengan ketelitian 0,1 kilogram 2. Pengukur TB microtoise dengan ketelitian 0,1 centimeter 3. Pengukur tekanan darah sphygmomanometer dengan ketelitian 1,0 mmHg 4. Peralatan pengambil darah: syringe 10cc, kapas, alkohol, plester, tabung 5. Peralatan laboratorium: tube, sentrifuse, freezer, lemari es, shaker, printer, spectrophotometer UV-1601 dengan panjang gelombang 200-800 nm (untuk pemeriksaan MDA) , ELISA reader (untuk pemeriksaan SOD dan OxLDL), Hitachi 902 analyzer (enzymatic colorimetric test untuk pemeriksaan profil lipid), AAS (untuk pemeriksaan Zn). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi karakterisik responden yang terdiri dari: nama, tanggal lahir, menstruasi terakhir, lama menopause, suku bangsa, status pernikahan, frekuensi kehamilan, jumlah anak, keikutsertaan KB, jenis KB yang digunakan.
Identitas responden dikumpulkan di awal tahap
penelitian. Data sosial ekonomi meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Data aktivitas fisik meliputi aktivitas di rumah dan olah raga (lama, jenis, dan frekuensi). Data status kesehatan yang dikumpulkan meliputi
riwayat penyakit,
konsumsi obat, kebiasaan konsumsi suplement. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter yang meliputi pemeriksaan fisik, anamnesa, keluhan dan riwayat penyakit.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap kali akan dilakukan
pengambilan darah. Data antropometri meliputi: BB dan TB. Pengukuran TB dilakukan di awal penelitian sedangkan pengukuran BB dilakukan bersamaan dengan setiap
11
kali dilakukan pengambilan darah.
Pengukuran TB menggunakan Microtoise
dengan ketelitian 0.1 cm, pengukuran BB menggunakan timbangan injak merek seca ketelitian 0.1 kg, dan pengukuran tekanan darah menggunakan alat ukur tekanan darah tensimeter raksa. Tabel 9 Variabel penelitian Variabel
Sebelum run-in
Sebelum fase 1
Setelah fase 1
Sebelum fase 2
Setelah fase 2
SOD
Zn
Ox-LDL
MDA
-Sistolik
-Diastolik
Karakteristik sampel
Sosial Ekonomi
Profil Lipid -Total kolesterol -Kolesterol-HDL -Kolesterol-LDL -Trigrliserida
Pemeriksaan Kesehatan
Tekanan Darah
Sindrom Menopause BB
TB
Record (1x/mg) FFQ (1x/bl)
Data biokimia darah meliputi: profil lipid, SOD, Zn, OxLDL, MDA. Pengambilan darah dilakukan sebanyak 5 kali.
Data konsumsi meliputi :
pencatatan konsumsi makanan (food record) dan FFQ. Food record dilakukan 1 minggu sekali, sehingga total selama penelitian diperoleh 14 food record untuk setiap sampel, sedangkan FFQ diambil sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan saat
12
penelitian untuk melihat perubahan frekuensi konsumsi. Dari hasil food record dianalisis konsumsi energi, karbohidrat, lemak, kolesterol, PUFA, MUFA, SAFA, protein, vitamin E, Se, Zn, Cu dan Fe serta serat. Kepatuhan konsumsi tempe ditanyakan setiap hari (pada keesokan harinya, bersamaan dengan pemberian tempe pada sampel). Tabel 10 Indikator dan metode pengumpulan data Variabel
Indikator Kunci
Metode
Karakteristik
Umur, lama menopause, frekuensi
Wawancara berdasar kuesioner
responden
kehamilan, alat KB yang pernah digunakan
Sosial ekonomi
Pengeluaran per kapita/bulan
Wawancara berdasar kuesioner
Pekerjaan Pendidikan Status kesehatan
Pernah/tidak pernah sakit, kebiasaan
Pemeriksaan dan Wawancara
minum obat, pemeriksaan fisik kesehatan Riwayat penyakit
Jenis penyakit yang pernah diderita
Wawancara berdasar kuesioner
Konsumsi per hari
Pengisian formulir food record
Frekuensi dalam 1 bulan terakhir
Wawancara berdasar kuesioner
Antropometri
BB, TB
Pengukuran BB dan TB
Biokimia darah
Kolesterol total K-LDL K-HDL Trigliserida SOD MDA Ox-LDL Zn
Analisis laboratorium
Zat gizi dan non gizi
Protein dan Asam amino
Analisis laboratorium
pada tempe
Lemak dan asam lemak
Konsumsi Food record FFQ
Zn, Fe, Cu Isoflavon Kepatuhan
Jumlah tempe yang dimakan per hari
Wawancara
13
Pengambilan sampel darah dilakukan 5 kali (1 kali penapisan dan 4 kali saat perlakuan). Sampel darah diambil sebanyak 8 ml dimasukkan dalam tabung tanpa koagulan dan kemudian diputar dengan sentrifuse untuk diambil serumnya. Serum di bagi menjadi 7 (5 untuk variabel dan 2 cadangan). Serum disimpan dalam freezer -200C sebelum dilakukan analisis. Kandungan gizi dan non gizi tempe yang dianalisis adalah : protein, asam amino, lemak, asam lemak, Zn, Cu, dan isoflavon total. Pengendalian Kualitas Data Tim peneliti direkruit dengan seleksi sehingga memenuhi kriteria tertentu dengan tujuan agar penelitian menghasilkan data yang berkualitas.
Kriteria
petugas lapangan adalah sebagai berikut: - perempuan - lulusan S-1 gizi - mempunyai pengalaman dalam mewawancarai responden - mempunyai pengalaman di lapangan - dapat berkomunikasi dengan baik - tertarik dengan penelitian ini - disiplin - mempunyai komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan - mempunyai kapasitas untuk membuat laporan kegiatan lapangan - mampu bekerja sendiri maupun sebagai tim Semua calon petugas lapangan/pewawancara
dilatih selama 1 hari di
dalam ruangan dan 1 hari di lapangan. Materi yang diberikan selama pelatihan adalah latar belakang dan tujuan penelitian survei, desain penelitian, metode pemilihan sampel, bagaimana menghadapi responden, penguasaan kuesioner, proses wawancara, teknik wawancara (pendekatan, pelaksanaan, probing), penyelesaian masalah dan simulasi (praktek di kelas). Hari kedua akan dilakukan ujicoba wawancara di lapangan dengan kriteria responden mirip dengan responden penelitian.
Setelah pelatihan maka modifikasi/perbaikan manual
dilakukan sesuai dengan pengalaman saat uji coba di lapangan. Uji coba kuesioner dilaksanakan
untuk mencatat berapa lama waktu
dibutuhkan untuk wawancara, menilai alur pertanyaan dan format kuesioner serta
14
jawaban yang kemungkinan belum tercantum sebagai pilihan di kuesioner. Selain itu juga untuk memastikan bahwa kuesioner telah dipahami dengan baik oleh pewawancara dan menghindari aspek sensitif. Reliabilitas pertanyaan
dikendalikan
untuk menjaga konsistensi
pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara. Hal ini dilakukan terhadap sub sampel dari setiap pewawancara dengan cara wawancara ulang yang dilakukan oleh peneliti dan dibandingkan dengan jawaban responden sebelumnya. Pertemuan rutin petugas dilakukan untuk memastikan data telah terkumpul dengan baik dan untuk mengetahui masalah serta penyelesaiannya di lapangan. Petugas lapangan secara rutin dikumpulkan bersama-sama setiap hari untuk mendiskusikan hal tersebut. Hasil wawancara akan diperiksa oleh pewawancara lain dan di periksa kembali oleh peneliti, hal tersebut untuk memastikan semua kuesioner sudah dijawab dengan lengkap oleh sampel. Pemilihan tempat analisis serum berdasarkan kemampuan peralatan dan tenaga laboratorium yang berpengalaman mengalanisis parameter tertentu. Hal tersebut menyebabkan analisis tidak dapat dilakukan di satu laboratorium namun menyebar menjadi beberapa tempat. Tabel berikut berisi tempat analisis serum dilakukan,. Tabel 11 Laboratorium analisis biokimia darah No.
Jenis pemeriksaan
Tempat pemeriksaan
1.
Profil lipid
Lab. Patologi Klinik FK – UI
2.
SOD
Lab. Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya
3.
MDA
Lab. Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya
4.
Ox-LDL
Lab. Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya
5.
Zn
Lab. Biokimia Puslibang Gizi dan Makanan Kemenkes RI
6.
Isoflavon tempe
Lab. Bioprospeksi Bidang Mikrobiologi LIPI
7.
Protein & asam amino tempe
Lab. Terpadu IPB
8.
Lemak & asam lemak tempe
Lab. Terpadu IPB
9.
Zn, Cu dan Fe tempe
Lab. Terpadu IPB
15
Penilaian terhadap proses pengumpulan data dilakukan di lapangan oleh supervisor untuk memeriksa apakah pewawancara mengumpulkan data dengan tepat. Selain itu juga untuk mengetahui masalah yang ditemukan di lapangan. Penilaian kualitas data entry dilakukan minimal 10% dari total data. Entry ulang akan dilakukan jika terdapat inkonsistensi. Pengukuran antropometri dilakukan oleh tenaga terlatih dan alat ukur yang digunakan (timbangan, microtoise) telah dikalibrasi sebelum digunakan. Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga ahli sedangkan analisis sampel darah
dilakukan
di
beberapa
laboratorium
yang
sudah
terstandarisasi.
Pengambilan darah selalu dilakukan serentak mulai jam 6.30 WIB hingga 9.00 WIB. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan variasi hari dan cuaca serta kondisi lain yang dikhawatir mempengaruhi spesimen darah. Metode Pemeriksaan Laboratorium Secara rinci prosedur kerja analisis spesimen darah dimuat dalam lampiran. Berikut secara ringkas adalah reagent yang digunakan dalam analisis tersebut. 1. Profil lipid - Kolesterol total: diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “cholesterol CHOD-PAP (Roche, 2007). No Katalog 11489232-216 - Trigliserida: diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “triglycerides GPO-PAP (Roche, 2007). No Katalog 11488872-216 - Kolesterol-LDL: diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “LDL-cholesterol CHOD-PAP (Roche, 2007). - Kolesterol-HDL diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “HDL-cholesterol CHOD-PAP (Roche, 2007). No Katalog 04713184-190 2. Aktifitas SOD diperiksa dengan metode activity assay menggunakan reagent merk Northwest (NWK-SOD02) 3. OxLDL diperiksa dengan metode enzyme immunoassay menggunakan reagent merk Mercodia, Swedia 4. MDA diperiksa dengan spektrofotometer, bahan yang digunakan antara lain TCA, Na Thio, dan HCl 5. Zn diperiksa dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)
16
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dari data yang terkumpul di lapangan hingga data siap dianalisis.
Data yang terkumpul di
lapangan akan diperiksa oleh peneliti, jika terdapat kekurangan data pewawancara akan melengkapi dengan wawancara ulang kepada sampel. Jawaban pertanyaan dikoding oleh pewawancara sehingga mempermudah proses input data. Selanjutnya data diinput ke komputer.
Jika proses input data telah selesai,
dilakukan proses pembersihan data dengan cara melihat sebaran data setiap variabel.
Data ekstrim akan dicek kembali ke kuesioner. Data yang telah
dibersihkan selanjutnya dianalisis secara diskriptif dan statistik menggunakan soft ware statistik. Sebelum dilakukan uji statistik lanjut semua data disajikan dalam bentuk statistik elementer (minimal, maksimal, rata-rata dan standar deviasi). Data kuantitatif konsumsi pangan (food record) yang diambil 1x/mgg direkapitulasi untuk mengetahui berbagai jenis pangan dan ukuran (gram) yang dikonsumsi sampel. Untuk bahan makanan khususnya jajanan yang tidak lazim, peneliti membeli bahan makanan tersebut di warung sekitar tempat tinggal responden. Terindikasi ada sekitar 20 jenis jajanan yang dibeli dan digunakan untuk mengetahui bahan asal dan berat makanan. Daftar ini digunakan sebagai panduan dalam memasukkan jenis makanan ke dalam soft ware. Semua jenis makanan dan berat makanan kemudian dimasukkan dalam soft ware Nutrisurvey untuk dihitung energi, karbohidrat, protein, lemak, kolesterol, MUFA, SAFA, PUFA, serat, vitamin E, Seng dan Cu. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan AKG (WKNPG 2004) untuk mengetahui kecukupan zat gizi setiap sampel.
Data kualitatif konsumsi pangan (FFQ) merupakan data pendukung
kuantitatif di ambil 1x/bln direkapitulasi dan dikonversi dalam hari atau minggu untuk menggambarkan frekuensi konsumsi responden. Analisis data yang pertama dilakukan adalah pengukuran diskriptif terhadap beberapa parameter seperti karakteristik individu dan sosial ekonomi. Beberapa ukuran yang dianalisis antara lain: mean (rata-rata), median, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimal. Uji statistik parameter biokimia darah
dilakukan melalui beberapa tahap.
Tahap pertama adalah menguji
distribusi sebaran normalitas data dengan menggunakan Uji Kosmogorov-
17
Smirnov dan Uji homogenitas varian menggunakan Lavena test. Jika p>0.05 maka sebaran data tergolong terdistribusi normal dan varians data tergolong homogen.
Untuk mengetahui perubahan kadar parameter biokimia darah
sebelum dan setelah intervensi serta membandingkan antara kelompok perlakuan dan kontrol (K-T, K-LDL, K-HDL, trigliserida, SOD, Zn, Ox-LDL dan MDA) digunakan Anova design repeated measurement atau GLMRM (general linier model repeated measurement). Untuk mengetahui hubungan masing-masing konsumsi zat gizi terhadap perubahan kadar setiap parameter biokimia darah dilakukan uji bivariat dengan uji pearson jika data terdistribusi normal dan uji sperman jika data tidak terdistribusi normal.
Selanjutnya analisis regresi linier multivariat digunakan untuk
mengetahui faktor (konsumsi zat gizi) yang paling mempengaruhi perubahan parameter darah setelah perlakuan. Definisi Operasional Definisi operasional berisi definisi dari setiap parameter atau variabel yang diukur disertai dengan alat ukur yang digunakan, cara mengukur dan hasil ukurnya. Selengkapnya disajikan pada Tabel 12 berikut.
18
Tabel 12 Definisi operasional Variabel Usia
Definisi Operasional Usia dihitung sejak lahir
Alat Ukur Kuesioner
Cara Ukur Wawancara
hingga ulang tahun terakhir
Hasil Ukur < 50 thn 51 – 55 thn >55 thn
Pendidikan
Lama sekolah yang berhasil
Kuesioner
Wawancara
diselesaikan responden
Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Lulus Akd/S-1
Pekerjaan
Aktivitas di dalam atau
Kuesioner
Wawancara
diluar rumah yang
Bekerja Tidak bekerja
menghasilkan uang Pengeluaran
Besarnya rupiah yang
Kuesioner
Wawancara
dikeluarkan perkapita per
< rata-rata > rata-rata
bulan Suku
Asal daerah orang tua
Kuesioner
Wawancara
Sunda Jawa Minang, dll
Lama menopause
Pengetahuan gizi
Dihitung sejak terakhir kali
Kuesioner
Wawancara
Lama nya
menstruasi hingga saat
menopause
penelitian dimulai
dalam tahun
Nilai yang diperoleh setelah
Kuesioner
Wawancara
Kurang
menjawab pertanyaan
<60% benar
tentang gizi
Sedang 60%-80% benar Baik >80% benar
Konsumsi
Jumlah dan jenis makanan
Form food
yang dikonsumsi dalam satu
record
Pengisian
< AKG > AKG
hari yang disajikan dalam persentase total dari Angka Kecukupan Gizi Status Gizi (IMT)
Rasio antara berat badan
Timbangan
Menimbang BB
Kurus: <18.5
dalam kg dengan tinggi badan
BB SECA
responden dengan
Normal: 18.5 –
dalam meter kuadrat. Rumus
dan pengukur
timbangan SECA
25
: BB (kg)/TB2 (m)
tinggi
dan TB dengan
Gizi lebih: 25 –
microtoise
microtoise
27 Obesitas: >27
19
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Tekanan darah
Hasil pengukuran sistolik dan
Tensi meter
Mengukur
Hipertensi: sistolik
diastolic yang dilakukan pada
tekanan darah
>140 mmHg dan atau
posisi duduk setelah
pada lengan
diastolik <90 mmHg
beristirahat minimal 10 menit
bagian atas
Non hipertensi: sistolik <140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg
Genetik
Penyakit yang diturunkan dari
Kuesioner
Wawancara
Ada: jika salah satu
salah satu orang tua atau
keluarga yang lebih
saudara yang lebih tua
tua mengalami salah satu jenis pyk degeneratif Tidak ada: jika tidak ada anggota keluarga yang terkena pyk degeneratif
Merokok
Kebiasaan merokok yang
Kuesioner
Wawancara
dilakukan sehari-hari
Ya: jika saat penelitian sampel terbiasa merokok Tidak: jika saat penelitian sampel tidak merokok
Aktivitas fisik
Kegiatan olah raga yang
kuesioner
Wawancara
dilakukan secara rutin dalam
Jarang (<3x/mg) Sering (>3x/mg)
satu minggu K-Total
Kadar kolesterol dalam serum
Analisis
Pengambilan
darah
laboratorium
darah lewat
Rasio
vena dan dianalisis di Lab K-LDL
Kadar LDL dalam
Analisis
Pengambilan
serum darah
laboratorium
darah lewat
Rasio
vena dan dianalisis di Lab K-HDL
Kadar HDL dalam
Analisis
Pengambilan
serum darah
laboratorium
darah lewat
Rasio
vena dan dianalisis di Lab
20
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Trigliserida
Kadar trigliserida dalam
Analisis
Pengambilan
serum darah
laboratorium
darah lewat vena
Hasil Ukur Rasio
dan dianalisis di Lab SOD
Kadar enzim superoksida
Analisis
Pengambilan darah
dismutase dalam serum darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab Zinc
Kadar Zn dalam serum darah
Analisis
Pengambilan darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab MDA
Kadar MDA dalam
Analisis
Pengambilan darah
serum darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab Oksidasi LDL
Kadar oksidasi LDL dalam
Analisis
Pengambilan darah
serum darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab
21
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penapisan Awal Berdasar data Dinas Kesehatan Kota Bogor diperoleh gambaran Puskesmas yang memiliki Posbindu (Pusat Pembinaan Terpadu – tempat berkumpulnya Lansia secara rutin) yang tergolong aktif. Selanjutnya nama dan lokasi Posbindu diperoleh dari data Puskesmas setempat.
Setelah penetapan
Pusbindu, dilakukan pendataan semua anggota Posbindu terpilih dan tercatat 440 anggota Posbindu yang kemudian terpilih 123 calon sampel yang memenuhi kriteria awal inklusi yaitu : menopause secara alami, menopause telah berlangsung selama 1 hingga 5 tahun, tidak menderita penyakit degeneratif, dan jika terpilih bersedia menjalani perlakuan penelitian selama sekitar 3 bulan. Calon sampel selanjutnya mengikuti penapisan (skrening) darah untuk dilakukan pemeriksaan : profil lipid (K-total, K-LDL, K-HDL, TGA), kadar tekanan darah, pemeriksaan kesehatan secara umum dan riwayat penyakit serta penimbangan BB dan pengukuran TB untuk menentukan IMT. Tabel 13 menunjukkan distribusi calon sampel berdasar profil lipid penapisan darah. Persentase terbesar dari profil lipid yang tidak normal adalah kolesterol total
disusul dengan trigliserida dengan jumlah lebih dari 20%,
sedangkan kadar profil lipid lain yang tidak normal persentasenya kurang dari 20%. Tabel 13 Distribusi profil lipid saat penapisan (n = 123 orang) Variabel
Standar normal
Mean + SD n
Normal %
Tidak normal n %
Profil lipid Kolesterol total
mg/dL
< 200
197.1 + 33.5
70
56.9
53
43.1
Kolesterol LDL
mg/dL
< 130
95.6 + 30.6
103
83.7
20
16.3
Kolesterol HDL
mg/dL
> 40
48.8 + 10.2
102
82.9
21
17.1
Trigliserida
mg/dL
< 150
125.8 + 60.7
93
75.6
30
24.4
Kolesterol / K-HDL
mg/dL
<5
4.2 + 0.8
99
80.5
24
19.5
K-LDL/K-HDL
mg/dL
< 3.5
2.0 + 0.3
118
95.9
5
4.1
Standard: Adult Treatment Panel III.
22
Indeks Massa Tubuh (IMT) diukur untuk mengetahui sebaran status gizi sampel berdasar perbandingan BB dalam kilogram dengan TB kuadrat dalam meter. Distribusi IMT menunjukkan bahwa persentase IMT terbesar adalah “obesitas” dan “normal”, disusul “gemuk” dan terendah adalah “kurang”. Lebih dari sepertiga calon sampel mengalami obesitas dan
prevalensi ini jauh di atas
prevalensi nasional obesitas pada dewasa wanita yaitu 23.8% (Riskesdas 2007). Tekanan darah diukur melalui mengukuran tekanan sistolik (tekanan darah yang dihasilkan pada saat jantung berkontraksi) dan tekanan diastolik (tekanan darah yang dihasilkan saat jantung berelaksasi). Peningkatan tekanan darah merupakan karakteristik dari hipertensi yaitu kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik dimana tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan atau diastolik > 90 mmHg (WHO 1999).
Prevalensi hipertensi di Indonesia menurut survey INA-
MONICA diperkirakan sekitar 6-15% penduduk mengalami hipertensi. Sementara itu hasil SKRT 1992, 1995 dan 2001, persentase hipertensi menunjukkan peningkatan yang cukup bermakna yaitu 16.0%, 18.9% dan 26.4% (Komnas ISH 2007) sedangkan hasil Riskesdas 2007 sebesar 29.8%.
Disebutkan pula bahwa
persentase wanita yang mengalami hipertensi lebih tinggi dibanding laki-laki. Hasil penapisan menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga calon sampel wanita menopause yang diukur mengalami hipertensi. Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa pada wanita yang telah memasuki masa menopause akan mengalami peningkatan risiko hipertensi. Tabel 14 Distribusi IMT dan tekanan darah saat penapisan (n=123) Variabel 2
IMT (kg/m ) Mean = 27.3 + 4.9
Tekanan Darah (mmHg)
Kriteria
n
%
Kurang : <18.5
1
0.8
Normal : 18.5 – 25
49
39.8
Gemuk : 25.1 – 27
24
19.5
Obesitas : >27
49
39.8
Normal
74
60.2
Hipertensi
49
39.8
Penelitian di beberapa negara barat menunjukkan bahwa kelebihan berat badan yang tergolong obesitas berkorelasi dengan peningkatan tekanan darah
23
(Kawada 2002). Hasil ini mendukung temuan Riskesdas (2007) bahwa 19.1% kasus kelebihan BB berdasar IMT pada penduduk usia diatas 15 tahun merupakan faktor risiko utama hipertensi (Depkes 2008). Tingginya persentase obesitas dan hipertensi pada calon sampel penelitian ini dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko PJK. Berdasar latar belakang sosial ekonomi calon sampel yang sebagian besar tergolong rendah, maka dapat dikatakan bahwa risiko PJK tidak hanya tinggi pada golongan ekonomi menengah ke atas namun juga terjadi pada masyarakat yang berlatarbelakang sosial ekonomi menengah ke bawah. Keterpaparan calon sampel terhadap pelayanan kesehatan seperti puskesmas terjadi hanya jika mereka dalam keadaan sakit, serta hampir semua calon sampel tidak mengonsumsi obat anti hipertensi secara rutin.
Hal ini
mendukung ternyataan Bustan (2000) bahwa hanya 4% penderita hipertensi di Indonesia
yang
memeriksakan
tekanan
darahnya
dan
mengusahakan
pengobatannya (penderita hipertensi terkontrol). Penentuan sampel terpilih untuk mengikuti intervensi ditetapkan berdasar kriteria awal penapisan ditambah dengan jika salah satu dari kadar profil lipidnya tidak normal. Berdasar kriteria tersebut terpilih 67 calon sampel, dimana 7 orang diantaranya tidak hadir saat pengambilan darah fase 1. Alasan ketidakhadiran adalah karena mereka bekerja di tempat yang jauh sehingga tidak memungkinkan untuk diberi intervensi setiap harinya. Jumlah sampel yang hadir pada pengambilan darah fase 1 sejumlah 60 orang, dan terjadi drop out sebanyak 7 orang, sehingga di akhir penelitian yang mempunyai data lengkap berjumlah 53 orang. Alasan drop out 7 orang adalah: 1 orang sakit tetanus, 1 orang tidak hadir saat pengambilan darah terakhir dan 5 orang tidak bersedia melanjutkan karena alasan non medis (pergi untuk waktu yang lama, bosan, dilarang keluarga lain). Karakteristik Sampel Berdasar kriteria awal penapisan, telah ditetapkan individu yang akan menjadi sampel dalam penelitian ini.
Sebelum masuk pada fase intervensi,
sampel akan menjalani fase run in selama 2 minggu. Selama fase tersebut sampel tidak diperkenankan mengonsumsi kedelai dan hasil olahnya.
Hal tersebut
bertujuan untuk membersihkan darah dari isoflavon serta untuk membiasakan diri
24
pada intervensi yang akan diterimanya. Setelah melewati fase run in, selanjutnya akan diambil darah yang pertama (sebelum perlakuan). Sampel penelitian berdasar usia, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, suku, lama menopause, pengetahuan gizi Total sampel terpilih yang lengkap data intervensi dan data sosial ekonomi berjumlah 53 sampel. Tabel berikut menunjukkan karakteristik umum sampel yang meliputi usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, pengeluaran, suku bangsa, lama menopause dan pengetahuan gizi. Tabel 15 Karakteristik sampel berdasarkan usia, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, suku, lama menopause, pengetahuan gizi Variabel
Kriteria
n
%
Usia (thn)
46 – 50
12
22.6
51 – 55
24
45.3
56 – 62
17
32.1
Tidak lulus SD
11
20.8
Lulus SD
24
45.3
Lulus SMP
6
11.3
Lulus SMA
11
20.8
Lulus PT
1
1.9
Bekerja
20
37.7
Tidak Bekerja
33
62.3
< Mean
34
64.2
> Mean
19
35.8
Sunda
47
88.7
Jawa
5
9.4
Minang
1
1.9
1
6
11.3
2
12
22.6
3
16
30.2
4
9
17.0
5
10
19.0
Kurang (< 60%)
45
84.9
Sedang (60%-80%)
6
11.3
Baik (>80%)
2
3.8
Mean = 54
Pendidikan
Pekerjaan
Pengeluaran per kapita Mean = Rp 312.000,-
Suku
Lama Menopause (thn)
Pengetahuan Gizi
Rata-rata umur sampel adalah 54 tahun, umur terendah 46 tahun dan umur tertinggi 62 tahun, dengan persentasi sampel terbesar ada di kelompok usia 51-55
25
tahun, diikuti 55-62 tahun dan paling sedikit 46-50 tahun. Hal tersebut sesuai dengan teori, bahwa pada umumnya wanita mulai mengalami menopause saat memasuki usia 50 tahun, meskipun kadang terjadi juga pada usia yang lebih awal. Lebih dari separuh sampel berpendidikan rendah, bahkan tidak lulus SD, sepertiga sampel berpendidikan menengah dan hanya satu orang yang lulus perguruan tinggi. Jenis pekerjaan sampel sejajar dengan pendidikan yang telah ditamatkan, dimana lebih banyak sampel yang tidak bekerja dibandingkan yang bekerja.
Jenis pekerjaan sampel umumnya tidak membutuhkan ketrampilan
khusus seperti: penjual makanan, penjual kelontong, buruh cuci, serta petugas tidak tetap kantor kelurahan. Jenis pekerjaan juga sejajar dengan besarnya pengeluaran keluarga per bulan yang tergolong rendah. Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan adalah Rp 312.000,-, dengan kisaran Rp 60.000,- hingga Rp 935.000,-. Besarnya pengeluaran keluarga sampel tidak terdistribusi normal, lebih condong pada pengeluaran rendah, yang terbukti lebih besarnya (64,2%) responden dengan pengeluaran kurang dari mean dibandingkan pengeluaran lebih besar dari mean (35,8%).
Lokasi penelitian
berada di Kota Bogor, Jawa Barat, yang berpengaruh pada tingginya persentasi sampel yang bersuku Sunda (88,7%) pendidikan,
pekerjaan
dan
pengeluaran
dibandingkan suka lain. Variabel yang
hampir
homogen,
lebih
mempersempit variasi sampel khususnya dalam hal pemilihan konsumsi yang juga dihitung dalam penelitian ini. Rentang lama menopause menyebar antara 1 tahun hingga 5 tahun dengan presentase terbesar ada di lama 3 tahun (30,2%) dan paling kecil lama 1 tahun (11,3%). Dibatasinya rentang lama menopause di atas 1 tahun adalah jika kurang dari 1 tahun masih dalam tahap transisi hormonal dan kemungkinan masih akan terjadi menstruasi kembali, selain itu juga untuk lebih menghomogenkan sampel dalam rentang menopause. Dikhawatirkan jika masa menopause lebih dari 5 tahun, usia sampel akan semakin tua dan risiko penyakit degeneratif semakin besar sehingga akan mempersulit mendapatkan sampel yang sesuai kriteria inklusi. Total pertanyaan pengetahuan gizi berjumlah 22 pertanyaan yang berisi tentang fungsi, sumber, akibat dan kekurangan zat gizi karbohidrat, protein,
26
lemak, vitamin dan mineral serta makanan yang dianjurkan dan tidak dianjurkan untuk manula.
Sebagian besar sampel (84.9%) tergolong mempunyai
pengetahuan gizi kurang dan hanya 3.8% mempunyai pengetahuan baik, sisanya sebanyak 11.3% mempunyai pengetahuan gizi sedang.
Kisaran nilai sampel
adalah minimal 0 dan maksimal 81.8, sedangkan nilai rata-rata adalah 35.9. Pertanyaan yang dijawab dengan benar oleh lebih dari separuh sampel adalah sumber protein (62.3%), sumber lemak (83.0%), fungsi vitamin (62.3%), sumber vitamin (75.5%), makanan yang harus dihindari oleh manula (77.4%) dan makanan yang harus dikonsumsi oleh manula (69.8%).
Banyaknya sampel
dengan pengetahuan gizi rendah menunjukkan bahwa masih sangat diperlukannya penyuluhan tentang hubungan makanan dan gizi bagi manula. Meskipun sekitar duapertiga sampel mengetahui jenis makanan yang diperbolehkan (69.8%) dan dilarang untuk manula (77.4%), namun hal tersebut berbanding terbalik dengan kadar profil lipid yang cenderung tidak normal, yang artinya pengetahuan tidak sejalan dengan perilaku sampel. Kadar profil lipid sampel yang kurang baik kemungkinan disebabkan karena mereka sering mengonsumsi makanan yang digoreng. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar sampel tidak bisa menghindari makanan gorengan, karena rasa yang enak, murah, praktis dan banyak penjaja makanan gorengan di sekitar tempat tinggal mereka. Indeks Massa Tubuh, Tekanan Darah dan Keturunan Penyakit Degeneratif Banyak teori menyatakan bahwa bagi seorang wanita, risiko terjadinya kegemukan semakin meningkat, meskipun pada usia di atas 70-80 tahun risiko tersebut akan menurun kembali.
Hal tersebut terbukti bahwa tidak satupun
sampel yang tergolong kurus berdasar IMT. Persentasi tertinggi terdapat pada kelompok obesitas (47.2%), dimana hal tersebut juga sesuai dengan teori bahwa persentasi kelebihan BB lebih banyak pada laki-laki namun persentase obesitas lebih banyak pada wanita. Hampir dua per tiga sampel (68.0%) memiliki IMT tidak normal yang terbagi menjadi 20.8% oberweight dan 47.2% obesitas. Berat badan terendah sampel adalah 38.1 kg dan tertinggi 87.3 kg, sedangkan TB terendah adalah 134.5
27
cm dan tertinggi 166.6 cm. Sementara IMT terendah adalah 18.6 dan tertinggi 36.9. Jika dibandingkan dengan angka nasional berdasar Riskesdas 2007 yaitu penderita obesitas pada wanita di atas 15 tahun sebesar 23.8%, maka prevalensi obesitas yang ditemukan pada penelitian ini mendekati dua kali lipat angkat nasional, sehingga prevalensi sudah pada taraf mengkhawatirkan karena risiko penyakit degeneratif menjadi semakin besar. Tabel 16 Karakteristik sampel berdasarkan IMT, tekanan darah dan genetik Variabel
Kriteria
n
%
IMT (kg/m2 )
Kurang
0
0.0
Normal
17
32.1
Gemuk
11
20.8
Obesitas
25
47.2
Normal
25
47.2
Hipertensi
28
52.8
Genetik terhadap penyakit
Ada
31
58.5
Degeneratif
Tidak ada
22
41.5
Mean = 27.3 + 4.9
Tekanan Darah (mm Hg)
Sampel yang mengalami hipertensi tergolong tinggi, terbukti lebih dari separuh sampel (52.8%) mengalami hipertensi. Rata-rata dan standar deviasi sistolik sampel sebesar 131+19.5, sedangkan diastolik sebesar 85+10.8. Besarnya penderita hipertensi pada penelitian ini hampir dua kali lipat dibanding angka prevalensi hipertensi nasional yaitu 29.8% (Riskesdas 2007). Besarnya persentasi penyandang hipertensi pada usia menopause disebabkan karena semakin bertambah umur risiko untuk hipertensi menjadi semakin tinggi, khusus untuk wanita menurunnya hormon estrogen juga mempunyai andil pada peningkatan tekanan darah. Semakin bertambahnya usia ukuran pembuluh darah akan semakin mengecil dan kelenturan juga akan semakin rendah. Tidak ada satupun sampel yang mengonsumsi obat antihipertensi secara rutin. Rata-rata mereka hanya pergi ke puskeskas jika merasa kurang sehat, dan akan minum obat –termasuk obat hipertensi- terbatas hanya obat yang diberikan pada saat tersebut.
28
Lebih dari separuh sampel (58.5%) mengaku bahwa diantara anggota keluarganya (ibu, bapak, kakek, nenek, paman atau bibi) pernah terkena penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang ditanyakan dalam penelelitian ini antara lain: penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi, stroke, dan kanker. Melihat besarnya sampel yang mempunyai risiko penyakit degeneratif, maka pencegahan perlu sekali dilakukan sebelum mereka terkena salah satu penyakit tersebut, mengingat mereka membawa genetik untuk mengalami hal yang sama sehingga kemungkinan untuk terkena menjadi lebih besar. Olah raga dan Merokok Wanita perokok di Propinsi Jawa Barat tergolong tinggi dibandingkan propinsi lain. Hal ini terbukti 9.4% (5 orang) sampel merokok dengan jumlah rokok yang dihisap: 2 orang menghisap 1 batang/hari, 2 orang menghisap 6 batang/hr dan 1 orang menghisap 12 batang/hr. Atau dapat dikatakan 4 orang tergolong perokok ringan, dan hanya 1 orang perokok sedang. Sementara itu dari 90.6% yang tidak merokok, ternyata 13.2% diantaranya pernah merokok. Secara umum kebiasaan merokok dapat mempengaruhi jantung dan pembuluh
darah
melalui
mekanisme
gangguan
metabolisme
lemak,
atherosklerotik, gangguan homeostatik, dan gangguan irama jantung. Kandungan nikotin dan monooksida dalam rokok mengakibatkan platelet darah menjadi lebih lengket dan menjadi gumpalan yang jika masuk ke aliran darah dapat merusak lapisan arteri dan mempercepat atherosklerosis (Patel 1995). Olah raga nampaknya belum menjadi bagian hidup bagi sebagian besar sampel. Sekitar dua per tiga sampel (71.7%) menyatakan tidak pernah berolah raga sama sekali, sedangkan dari 28.3% yang berolah raga, hanya 13.2% yang berolah raga secara teratur yaitu minimal 2 kali seminggu dan minimal 30 menit setiap kali berolah raga. Olah raga yang paling banyak dilakukan adalah senam pagi, sementara olah raga lain yang dilakukan adalah jogging.
29
Tabel 17 Karakteristik sampel berdasarkan kebiasaan merokok dan olah raga Variabel
Kriteria
n
%
Merokok
Merokok
5
9.4
Tidak merokok
48
90.6
Ya
15
28.3
Teratur
7
13.2
Tidak teratur
8
15.1
38
71.7
Olah raga
Tidak
Olahraga teratur dapat menormalkan berbagai proses metabolisme di dalam tubuh.
Secara spesifik disebutkan bahwa individu yang melakukan
olahraga secara teratur memiliki kadar K-HDL yang lebih baik (lebih tinggi) dibandingkan dengan individu yang tidak melakukan olahraga. Anjuran olahraga yang dikeluarkan oleh Depkes (2007) adalah melakukan olahraga secara teratur 35 kali per minggu dengan durasi minimal 30 menit Konsumsi Kebiasaan Makan Makanan porsi. Makanan porsi adalah makanan lengkap yang terdiri dari nasi beserta lauk pauk seperti lauk hewani, nabati dan sayur/buah. Kebiasaan masyarakat pada umumnya mengonsumsi makanan porsi sebanyak 3x/hari pada pagi, siang dan malam hari. Kebiasaan makan sampel dapat dikatakan tidak banyak mengalami perubahan sebelum dan saat intervensi dilakukan. Tabel 18 menunjukkan lebih dari separuh sampel mempunyai kebiasaan makan 2x/hari (56.6% dan 52.8%), disusul 3x/hari (39.6% dan 41.5%), dan persentase terkecil 1x/hr (3.8% dan 5.7%). Persentase frekuensi makan 3x/hr dan 1x/hr sedikit meningkat namun sedikit menurun pada sampel yang makan 2x/hr. Sampel yang frekuensi makan 1x/hr hanya mengonsumsi makanan porsi pada siang hari, pagi dan sore menggantinya dengan kue atau snack lain, sedangkan yang mengonsumsi makanan porsi 2x/hr pada umumnya makan pada menjelang siang dan sore hari, di pagi hari hanya mengonsumsi roti atau gorengan dan minum teh atau kopi.
30
Tempat tinggal sampel yang berada di perkampungan dan banyak terdapat penjaja makanan jajanan turut mempengaruhi frekuensi dan jenis makanan yang dikonsumsi. Umumnya penjaja makanan jajanan di pagi hari menyediakan nasi uduk dan berbagai jenis gorengan, sedangkan warung kelontong menyediakan berbagai jenis roti dan kripik. Harga satu bungkus nasi uduk yang berisi nasi, bihun goreng, irisan telur dadar adalah Rp 3000,- per bungkus.
Sedangkan
gorengan Rp 500,-/buah dan roti pada umumnya Rp 1000,-/buah. Selain penjaja makanan yang mangkal, banyak ditemui penjaja keliling yang menjual bakso, siomay, dan ketoprak. Tabel 18 Distribusi sampel berdasar frekuensi makanan porsi Frekuensi makanan porsi 1 kali 2 kali 3 kali
Sebelum Intervensi n % 2 30 21
3.8 56.6 39.6
Selama Intervensi n % 3 28 22
5.7 52.8 41.5
Frekuensi Konsumsi Makan. Dalam penelitian ini dikumpulkan pula frekuensi konsumsi pangan yang bertujuan untuk mengidentifikasi kelompok pangan apa yang paling sering dikonsumsi oleh sampel.
Pengumpulan data
kualitatif melalui FFQ dilakukan sebelum dan pada saat intervensi untuk melihat kebiasaan makan dalam 1 bulan terakhir. Dalam Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS, Depkes 2005) direkomendasikan agar setiap orang setiap hari mengonsumsi minimal pangan pokok (nasi/mie/umbi), lauk pauk (hewani dan nabati), serta sayuran dan buahbuahan. Dalam penelitian ini dikategorikan sering jika sampel mengonsumsi jenis makanan tersebut minimal 4x/mgg atau dalam 1-2 hari mengonsumsi jenis makanan tersebut. Tabel 19 menyajikan data frekuensi pangan nabati yaitu tahu dan tempe yang hanya dikumpulkan saat sebelum intervensi. Tempe adalah bahan intervensi dan tahu serta hasil olah kedelai lainnya tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi saat intervensi berlangsung. Jenis pangan hewani yang ditanyakan pada responden meliputi telur, ayam, ikan asin, ikan segar dan daging sebelum dan saat intervensi.
31
Untuk sayur dan buah tidak dirinci per jenis bahan, namun jenis yang paling sering dikonsumsi dicatat oleh petugas lapang. Makanan gorengan dan bersantan juga ditanyakan karena berkaitan dengan bahan pangan sumber lemak. Selain itu kebiasaan minum meliputi minum kopi, teh, dan air putih juga dicatat. Kopi di nilai sebagai salah satu faktor yang meningkatkan risiko hipertensi, sebaliknya teh merupakan minuman yang mengandung antioksidan. Frekuensi minum air putih ditanyakan sebagai data pendukung kebiasaan minum yang baik bagi kesehatan juga untuk mencegah dehidrasi. Dalam Tabel 19 juga disajikan data konsumsi > 4x/mgg atau frekuensi makan setidaknya dalam 2 hari sekali. intervensi frekuensi konsumsi tempe
Data menunjukkan bahwa sebelum
dan tahu tergolong sering dikonsumsi.
Lebih dari separuh sampel biasa mengonsumsi tempe dan tahu untuk lauk pauk sehari-hari karena tergolong murah dan mudah diolah dan dapat disimpan jika dalam 1 hari tidak habis dikonsumsi. Namun umumnya sampel memasak tempe dan tahu dengan cara digoreng. Tempe dikonsumsi setiap hari oleh 50.9% sampel dan 43.4% sampel mengonsumsi tahu setiap hari.
Meskipun sebagian besar
sampel termasuk suku sunda namun mereka terbiasa mengonsumsi tempe yang sebenarnya merupakan makanan khas suku Jawa, hal ini berarti tempe merupakan jenis makanan yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat. Frekuensi konsumsi pangan hewani, sayur, buah, makanan bersantan, gorengan serta minum teh dan kopi relatif tidak banyak berubah antara sebelum dan saat intervensi, kecuali untuk makanan gorengan. Lauk hewani yang sering dikonsumsi sampel adalah telur dan ikan asin. Frekuensi konsumsi tidak banyak berubah sebelum dan saat intervensi. adalah protein hewani yang paling sering dikonsumsi.
Ikan asin
Hal ini beralasan
mengingat sebagian besar sampel termasuk golongan ekonomi lemah sehingga daya beli menjadi sangat terbatas. Lebih dari 20% sampel mengonsumsi ikan asin setiap hari baik pada sebelum maupun selama intervensi. Peningkatan konsumsi ikan asin dari 20.8% menjadi 28.3% terjadi saat intervensi. Setelah ikan asin, telur adalah pangan hewani kedua terbanyak dikonsumsi sampel.
Persentase
konsumsi telur tidak terlalu banyak berubah saat sebelum dan selama intervensi. Dibanding dengan ikan segar, ayam dan daging, harga telur relatif lebih murah.
32
Kebiasaan mengonsumsi ayam dan ikan segar tergolong rendah. Sampel yang tergolong sering mengonsumsi ayam masih kurang dari 20% total sampel (17% saat intervensi dan 9.4% sebelum intervensi). Demikian halnya dengan ikan segar, hanya dikonsumsi kurang dari 10% sampel saja. Harga ayam dan ikan segar yang mahal merupakan penyebab terbatasnya konsumsi pangan tersebut. Daging adalah pangan hewani yang paling jarang dikonsumsi.
Tak satupun
sampel yang tergolong sering mengonsumsi daging, bahkan sekitar 30% sampel tidak mengonsumsi daging dalam satu bulan terakhir. Harga yang mahal dan terbatasnya ketersediaan daging di penjual sayur merupakan alasan rendahnya frekuensi konsumsi daging. Tabel 19 Distribusi sampel yang mengonsumsi jenis makanan > 4 kali/minggu pada fase sebelum dan selama intervensi Jenis makanan
Sebelum Intervensi n %
Selama Intervensi n %
Tempe
33
62.3
Tahu
31
58.5
Telur
18
34.0
16
30.2
Ayam
5
9.4
9
17.0
Ikan asin
17
32.1
19
35.8
Ikan segar
1
1.9
3
5.7
Daging
0
0.0
0
0.0
Sayur
46
86.8
38
71.7
Buah
21
39.6
19
35.8
Makanan bersantan
4
7.5
5
9.4
Makanan gorengan
45
84.9
32
60.4
Teh
31
62.3
29
54.7
Kopi
21
39.6
23
43.4
Hewani
Lebih dari 70% sampel tergolong sering mengonsumsi sayur, namun jika dirinci lebih detil terjadi sedikit penurunan persentase sampel yang mengonsumsi sayur per hari yaitu dari 66.0% sebelum intervensi menjadi 54.7% saat intervensi. Sayuran daun hijau seperti bayam, kangkung, sawi hijau, relatif lebih sering
33
dikonsumsi dibanding sayuran berwarna seperti wortel dan tomat. Sementara sayur kacang-kacangan seperti buncis dan kacang panjang relatif lebih jarang dikonsumsi.
Harga sayur yang tergolong murah dibanding hewani dan banyak
dijual di sekeliling perumahan merupakan salah satu faktor cukup seringnya sampel mengonsumsi sayuran. Dibanding sayur, buah relatif lebih jarang dikonsumsi.
Hanya sekitar
sepertiga sampel yang tergolong sering mengonsumsi buah. Ketersediaan buah di penjaja sayur keliling relatif tidak banyak, selain itu akses ke pasar agak jauh, sehingga buah menjadi jarang dikonsumsi.
Konsumsi jenis buah sangat
tergantung dari musim. Buah yang relatif sering dikonsumsi adalah: pisang, pepaya, jeruk dan salak.
Pisang adalah buah yang paling sering dikonsumsi
meskipun kandungan seratnya tidak terlalu tinggi Cara memasak yang paling aman terhadap risiko penambahan lemak adalah memasak sayur atau masakan lain dengan mengukus, merebus atau menumis.
Kebanyakan sampel memasak sayur dengan merebus (sayur bening
bayam, sayur asem) dan menumis.
Jarang sampel memasak dengan
menambahkan santan dalam masakan, dimana cara ini hanya dilakukan kurang dari 10% sampel. Selain membutuhkan tambahan uang untuk membeli kelapa (santan), jenis masakan ini relatif tidak tahan lama.
Sebaliknya sebagian besar
sampel memasak lauk dengan cara menggoreng. Persentase konsumsi gorengan sedikit menurun banyak selama fase intervensi (84.9% menjadi 60.4%), karena telah dilakukan penyuluhan sebelum dimulainya intervensi tentang cara memasak yang baik serta makanan apa yang sebaiknya dikonsumsi. Makanan gorengan umumnya dikonsumsi sebagai camilan, sehingga dengan pemberian intervensi tempe yang dapat dikonsumsi sebagai lauk atau camilan ikut mempengaruhi turunnya konsumsi gorengan.
Gorengan yang umumnya dikonsumsi adalah
makanan jajanan yang banyak dijual di sekeliling rumah, seperti pisang goreng, bakwan, ubi goreng, aci goreng. Kebiasaan minum teh adalah salah satu budaya masyarakat Sunda, dan hal tersebut terbukti dalam penelitian ini dimana lebih dari separuh sampel minum teh setiap hari, bahkan beberapa minum teh lebih dari 3 gelas/hr. Sampel umumnya minum teh tidak disertai dengan penambahan gula. Teh mengandung pholiphenol
34
yaitu tannin yang berguna sebagai antioksidan. Teh juga mengandung kafein yang memperlancar fungsi fisiologis tubuh. Teh yang biasa dikonsumsi sampel pada umumnya tergolong sangat encer dan merupakan teh hitam yang banyak dijual di pasaran. Jenis teh tertentu yaitu teh hijau telah banyak diteliti dan dinyatakan mampu memperbaiki profil lipid.
Hasil wawancara menunjukkan
tidak ada satupun sampel yang mengonsumsi teh hijau. Kopi mengandung kafein yang mampu melancarkan fungsi fisiologis tubuh dan menambah semangat kerja. Dibanding frekuensi minum teh, frekuensi minum kopi lebih jarang dilakukan. Sekitar 40% sampel tergolong sering minum kopi sedangkan alasan tidak minum kopi adalah karena sampel khawatir tekanan darahnya akan meningkat jika terlalu sering minum kopi. Konsumsi kafein yang terlalu tinggi dapat berakibat pada tangan gemetar dan peningkatan tekanan darah sesaat. Konsumsi kopi yang aman (setara dengan 300mg kafein) kira-kira sekitar 3-5 gelas kopi per hari. Konsumsi gula dihitung untuk mengetahui sumbangan gula (karbohidrat sederhana) terhadap total energi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa konsumsi gula per hari relatif tidak tinggi, bahkan hampir separuh sampel (43.4%) tidak mengonsumsi gula.
Konsumsi paling banyak adalah 4 sdm gula dan hanya
dilakukan oleh 3.8% sampel, yang terbanyak mengonsumsi 1 sdm/hr (28.3%) disusul 2 sdm/hr (17%), dan 3 sdm/hr (7.5%). Konsumsi gula semua sampel sudah sesuai dengan PUGS, yaitu maksimal konsumsi 4 sdm per hari. Dapat dikatakan bahwa sumbangan gula terhadap total energi tergolong rendah yaitu hanya berkisar 5% total energi. Tabel 20 Distribusi sampel berdasar konsumsi gula dan air putih Jenis yang dikonsumsi
Satuan
n
%
0
23
43.4
1-3
28
52.8
4
2
3.8
< 6 gls/hr
34
64.1
6 – 8 gls/hr
11
20.8
>8
8
15.1
Gula (sdm)
Air putih (gelas)
gls/hr
35
Lebih dari separuh responden kurang mengonsumsi air putih (64.1%). Alasan kurang minum air putih adalah karena kesibukan dalam bekerja sehingga lupa untuk minum. Sebanyak 20.8% sampel tergolong cukup mengonsumsi air putih, dan 15.1% tergolong banyak mengonsumsi air putih. Besarnya kebutuhan air bagi dewasa didasarkan pada umur, BB dan luas permukaan tubuh. Konsumsi air minum yang
dianjurkan adalah sekitar 8-10 gelas per hari yang bertujuan
untuk mengganti kehilangan cairan tubuh. Penelitian Valtin (2002) menyebutkan bahwa konsumsi minimal 8 gelas air per hari dianjurkan untuk pengobatan maupun pencegahan berbagai jenis penyakit. Disebutkan bahwa wanita yang mengonsumsi sedikitnya 5 gelas atau lebih air per hari dapat mengurangi risiko PJK hingga 41% dibandingkan yang hanya minum 2 gelas per hari.
Kecukupan Zat Gizi a. Energi, Protein, Karbohidrat Tabel 21 dan 22 menunjukkan rata-rata konsumsi sampel sebelum dan selama intervensi. Rata-rata konsumsi saat intervensi tidak memasukkan tempe dalam perhitungan konsumsi. Tabel 21
Konsumsi energi sebelum dan selama intervensi
Zat Gizi
Satuan
Phase
Mean + SD
Min
Maks
AKG
%AKG1)
P value2)
Energi
Kalori
sebelum
1104 + 347
545
2285
1750
63.1
0.487
selama
1112 + 289
643
1593
1750
63.5
1) AKG 2004; 2) t-test (p>0.05 tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok)
Energi. Kecukupan energi baik sebelum intervensi maupun saat intervensi tidak berbeda bermakna (p>0.05) dan masih jauh dari angka kecukupan, dimana rata-rata kecukupan sebelum intervensi sebesar 63.1% (31.1% - 130.6%) dan saat intervensi 63.5% (36.7% - 91.0%). Sebagian besar sampel mengonsumsi nasi sebagai sumber utama energi. Tabel 20 dapat menjelaskan bahwa rendahnya kecukupan energi dapat disebabkan karena lebih dari separuh sampel (52.8%) mengonsumsi nasi hanya sebanyak 2x/hr. Persentase frekuensi makan nasi juga tidak banyak berubah saat intervensi dan penapisan.
Meskipun rata-rata AKG
hampir sama, namun terlihat bahwa rata-rata energi yang dikonsumsi sebelum
36
intervensi sedikit lebih besar dibanding saat intervensi, hal tersebut kemungkinan karena pada beberapa sampel, pemberian intervensi menurunkan konsumsi sumber energi khususnya nasi.
Rendahnya AKG pada penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan Purwantyastuti (2000) di DKI Jakarta pada wanita lansia dimana AKG untuk energi adalah 58%, sementara penelitian yang dilakukan oleh Mega (2008) di Depok diperoleh AKG yang relatif lebih besar meskipun masih tergolong defisit yaitu 84% dari total energi. Gambar 15 memperlihatkan persentase sampel yang mengalami kategori defisit energi tingkat berat (<70% AKG) dan kategori cukup (>90% AKG). Terlihat, bahwa persentase yang mengalami defisit energi tingkat berat sebelum dan selama intervensi hampir sama (64.2% dan 69.8%), sementara yang tergolong cukup energi ternyata lebih besar sebelum intervensi (18.9%) dibanding selama intervensi
(9.4%).
Kemungkinan saat intervensi beberapa sampel menurun
konsumsi energi karena diganti dengan bahan intervensi. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian Herry (2008) pada lansia dimana sekitar 85% sampel, AKG untuk energi hanya mencapai 80% AKG. %
80 70
69.8
64.2
60
def. berat
50
cukup
40 30 20
18.9 9.4
10 0 sebelum intervensi
selama intervensi
ambar 15 Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan energi sebelum dan selama intervensi. Protein. Tabel 22 menunjukkan bahwa kecukupan protein sebelum dan selama intervensi tidak berbeda bermakna, yaitu 74% dan 72%, keduanya masih di bawah angka kecukupan yang dianjurkan.
Kisaran AKG sebelum intervensi
(14.8% - 149.6%) jauh lebih besar dibanding saat intervensi (33.0% - 119.2%). Hasil penelitian ini sedikit lebih rendah dibanding penelitian Purwantyastuti
37
(2000) yaitu kecukupan protein sebesar 85% AKG. Kemungkinan masih belum tercapainya pemenuhan AKG protein karena kurangnya konsumsi hewani. Hanya 32.1% sampel yang mengonsumsi hewani setiap hari, sebagian yang lain tidak setiap hari, bahwa sebagian kecil dalam 1 minggu hanya mengonsumsi sekali. Pangan hewani yang paling sering dikonsumsi adalah telur dan ikan asin, sekitar sepertiga sampel mengonsumsi lebih dari 3kali/minggu, sedangkan ayam dan ikan segar relatif lebih jarang dikonsumsi, bahkan daging dalam sebulan terakhir tidak dikonsumsi oleh sampel (Tabel 19).
Penurunan persentase AKG protein selama
intervensi kemungkinan karena konsumsi lauk maupun camilan turun dan diganti dengan tempe, selain itu karena nilai gizi tempe tidak dimasukkan dalam perhitungan, sehingga menurunkan nilai konsumsi protein. Tabel 22 Konsumsi protein sebelum dan selama intervensi Zat Gizi
Satuan
Protein
gram
Phase
Mean + SD
Min
Maks
AKG
%AKG1)
P value2)
sebelum
37.0 + 12.4
7.4
74.8
50
74.0
0.108
selama
36.0 + 11.1
16.5
59.6
50
72.0
1) AKG 2004; 2) t-test (p>0.05 tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok)
Gambar 16 memperlihatkan persentase sampel yang mengalami kategori defisit protein tingkat berat (<70% AKG) dan kategori cukup (>90% AKG). Terlihat, bahwa persentase yang mengalami defisit protein saat penapisan dan intervensi hampir sama (49.1% dan 50.9%), sementara yang tergolong cukup protein ternyata lebih besar saat penapisan (22.6%).
(32.1%) dibanding intervensi
Kemungkinan saat intervensi beberapa sampel menurun konsumsi
sumber protein karena diganti dengan bahan intervensi.
Hasil penelitian ini
hampir sama dengan penelitian Herry (2008) pada lansia dimana hanya sekitar 30% sampel yang AKG protein mencapai taraf cukup.
38
60 50
50.9
49.1
def. berat
40
32.1
cukup
30
22.6
20 10 0 sebelum intervensi selama intervensi
Gambar 16 Persentase sampel menurut kategori tingkat kecukupan protein sebelum dan selama intervensi. Karbohidrat.. Angka Kecukupan Gizi untuk karbohidrat tidak tersedia di Indonesia, namun merujuk pada angka kecukupan gizi USA (2002) yang diacu oleh Schlenker & Sara Long (2007) dinyatakan bahwa AKG bagi wanita dewas a untuk karbohidrat sebesar 130 g/hr. Sementara dalam Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) disebutkan bahwa kebutuhan karbohidrat sebesar 50% -60% atau sekitar 218.8 g/hr – 262.5 g/hr wanita di atas 50 tahun. Jika dibandingkan dengan kedua standar, maka persentasi perse ntasi konsumsi karbohidrat sampel adalah 130% AKG (menurut USA 2002) atau 80% AKG (menurut PUGS).
Tabel 23
menunjukkan bahwa rata-rata rata rata konsumsi karbohidrat sampel tidak berbeda antara sebelum dengan saat intervensi, meskipun saat intervensi terlihat sedik it lebih tinggi.
Selain nasi, sumber karbohidrat yang umum dikonsumsi adalah mie
instant dan kue atau roti (camilan).
Sedangkan konsumsi gula pasir pada
umumnya tergolong tergolong rendah (Tabel 20). Tabel 23 Konsumsi karbohidrat sebelum dan selama intervensi i Zat Gizi
Satuan
Karbohidrat
gram
Phase
Mean + SD
Min
Maks
AKG
%AKG1)
P value 2)
sebelum
161.2 + 45.8
68.7
285.5
-
-
0.274
selama
173.4 + 47.1
89.9
272.8
-
-
1) AKG 2004; 2) t-test test (p>0.05 tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok)
39
b. Serat, vitamin C, vitamin E dan Seng Tabel 24 menunjukkan gambaran konsumsi serat dan vitamin. Untuk zat gizi mikro –khususnya antioksidan– %AKG vitamin C, vitamin E dan Zn hampir sama antara persentase AKG sebelum intervensi (37.2%, 22.7%, 39.8%) dengan selama intervensi (37.2%, 20.7% dan 42.9%), selain itu persentase AKG ketiganya juga masih dibawah separuh AKG. Serat. Kecukupan serat berdasar RDA USA (2002) adalah sebesar 21 g/hr sehingga persentase konsumsi serat sampel terhadap RDA USA hanya sekitar 30% saja atau jauh dari kecukupan yang dianjurkan. Sumber serat utama berasal dari sayur dan buah.
Tabel 19 menunjukkan bahwa tidak semua sampel
mengonsumsi sumber serat setiap hari, sekitar 66% sampel mengonsumsi sayur setiap hari namun hanya seperlima sampel (20.8%) yang mengonsumsi buah setiap hari. Rendahnya konsumsi serat merupakan salah satu faktor risiko terhadap memburuknya profil lipid sampel. Tabel 24 Konsumsi serat, vitamin C, vitamin E dan Zn sebelum dan selama intervensi Zat Gizi
Satuan
Serat
gram
Vitamin C
Vitamin E
Zn
mg
mg
mg
Phase
Mean + SD
Min
Maks
AKG
%AKG1)
P value 2)
sebelum
6.9 + 3.7
1.8
19.5
-
-
0.157
selama
6.2 + 2.6
2.3
12.8
-
-
sebelum
27.9 + 19.5
3.2
119.2
75
37.2
selama
27.9 + 22.8
0.2
109.9
75
37.2
sebelum
3.4 + 1.5
1.10
9.5
15
22.7
selama
3.1 + 1.3
1.14
6.2
15
20.7
sebelum
3.9 + 1.7
0.9
12.0
9.8
39.8
selama
4.2 + 1.4
2.1
8.5
9.8
42.9
0.546
0.126
0.328
1) AKG 2004; 2) t-test (p>0.05 tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok)
Vitamin C. Sumber utama vitamin C adalah buah yang berwarna kuning, orange atau sayuran berwarna hijau.
Vitamin C dapat berfungsi sebagai
antioksidan karena kemampuannya sebagai agen pereduksi, seperti mereduksi superoxide menjadi hidrogen peroksida atau mereduksi unsur logam. Vitamin ini juga membantu beberapa proses di dalam tubuh seperti menjadi bagian dari proses sintesa karnitin yang berfungsi untuk transfer lemak, transport elektron dalam berbagai reaksi enzimatik, sintesa kolagen dan meningkatkan imunitas (Guthrie 1998).
40
Rendahnya frekuensi konsumsi sayur dan khususnya buah (hasil FFQ pada Tabel 19) menyebabkan rendahnya AKG vitamin C. Kecukupan vitamin C hanya 37.2% AKG.
Hal ini sedikit bertentangan dengan tradisi perilaku makan di
wilayah penelitian yang berada di Jawa Barat dimana pada umumnya konsumsi sayur relatif lebih tinggi dibanding daerah lain. Sampel lebih menyukai makanan yang digoreng daripada sayur dan buah (Gambar 18). Pemasakan sayur juga mengakibatkan turunnya sebagian besar vitamin, khususnya vitamin C. Rendahnya AKG vitamin C sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mega (2008) dengan subyek lansia di Kota Depok, dimana AKG untuk vitamin C adalah 32.9%. Vitamin E. Vitamin E merupakan antioksidan larut lemak yang penting dalam sistem antioksidan tubuh. Fungsinya adalah sebagai penghalang pertama terjadinya antioksidan pada PUFA dan oksidasi LDL oleh radikal bebas hal ini karena vitamin terdapat pada phospolipid membran sel sehingga efektif melindungi kerusakan lemak. Tabel 24 menunjukkan bahwa kecukupan gizi vitamin E tergolong sangat rendah, hanya berkisar 20%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Purwantyastuti (2000) dimana kecukupan vitamin E pada lansia perempuan sebesar 36% juga sejalan dengan penelitian Mega (2008) dimana kecukupan vitamin E pada lansia hanya mencapai 24% AKG. Sumber vitamin E terbesar berasal dari minyak nabati (minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak wijen) disusul sayuran dan pangan yang difortifikasi.
Masyarakat di Indonesia relatif tidak terbiasa
mengonsumsi jenis minyak tersebut yang umumnya di negara barat digunakan sebagai campuran salad buah atau sayur.
Meskipun tergolong sering
mengonsumsi minyak nabati, rata-rata konsumsi vitamin E penduduk Amerika juga lebih rendah dibanding AKG (Guthrie 1998). Seng. Seng (Zn) merupakan zat gizi mikro yang merupakan komponen dari lebih 300 enzim di dalam tubuh. Secara spesifik Zn diperlukan oleh enzim SOD untuk perannya sebagai antioksidan.
Angka kecukupan gizi Zn relatif
sedikit lebih tinggi dibanding vitamin C dan vitamin E. Kecukupan Zn berkisar 40% yang tidak berbeda bermakna antara sebelum dan saat intervensi. Sumber utama Zn adalah pangan nabati seperti daging, ayam, telur dan susu serta hasil
41
olahnya. Selain itu Zn pada pangan hewani relatif lebih mudah di serap dibanding Zn dari bahan pangan nabati. Zn juga terdapat pada produk serealia khususnya pada kulit luar yang umumnya hilang saat penggilingan. Rendahnya konsumsi hewani sampel seperti terlihat pada Gambar 18 dapat menjelaskan mengapa kecukupan gizi Znn juga tidak mencapai angka yang dianjurkan. Gambar 17 memperlihatkan persentase sampel yang mengalami defisit konsumsi vitamin C, vitamin E dan Zn (AKG <70%) sebelum dan selama intervensi. Terlihat bahwa hampir semua sampel mengalami defisit semua zat gizi izi tersebut baik pada saat penapisan maupun intervensi, bahkan untuk vitamin E semua sampel mengalami defisit. Besarnya AKG tidak menunjukkan perbedaan antara sebelum dengan selama intervensi.
120 100
100 100 83
86.8
96
92.5
80 sebelum intervensi
60
selama intervensi
40 20 0 Vit C
Vit E
Zn
<70% AKG
Gambar 17 Persentase konsumsi vitamin C, vitamin E dann Zn < 70% AKG sebelum dan selama intervensi .
42
% 80
71.7
setiap hari
70 56.6
60
54.7
54.7
60.4
> 4-6x/mg
50 40
32.1
30.2
30
35.8
20 10 0 hewani
sayur
buah
gorengan
Gambar 18 Persentase frekuensi f rekuensi konsumsi hewani, sayur, buah dan gorengan selama elama intervensi Gambar 18 menjelaskan frekuensi konsumsi hewani, sayur, buah dan gorengan yang dikonsumsi sampel saat intervensi.
Gambar ini merupakan
penjelasan dari Gambar 17 dan Tabel 19.. Terlihat bahwa sekitar separuh dari sampel yang mengonsumsi sayur dan gorengan setiap hari, sedangkan konsumsi buah dan pangan hewani setiap hari hanya dilakukan kurang dari sepertiga sampel. Terlihat bahwa konsumsi hewani, sayur dan buah masih jauh dari yang dianjurkan, sebaliknya konsumsi gorengan tergolong tinggi, artinya kombina si atau keragaman konsumsi masih jauh dari yang dianjurkan sehingga dikhawatirkan mempengaruhi status gizi dan kesehatan. c. Lemak Konsumsi lemak sebaiknya tidak lebih dari 25% konsumsi energi. Jika AKG energi adalah 1750 Kal, maka 25% dari AKG adalah 48.6 g lemak, sehingga rata-rata rata konsumsi sampel sebesar 29.9 g lemak memenuhi sekitar 61.5% AKG lemak atau 15.4% dari total energi AKG. Jika dibandingkan dengan konsumsi energi rata-rata rata sampel, maka pada fase sebelum intervensi, konsumsi lemak sudah melebihi 25% total energi, sementara pada fase intervensi mendekati 25% total energi.
43
Tabel 25 Persentase konsumsi lemak, kolesterol dan asam lemak terhadap asupan energi sebelum dan selama intervensi Zat Gizi
Satuan
Lemak
gram
Kolesterol
MUFA
PUFA
SAFA
1)
mg
gram
gram
gram
Phase
Mean + SD
Min
Maks
Acuan
% asupan energi
value3)
P
Sebelum
35.6 + 19.9
7.3
82
25% E 1)
29.0
0.12
Selama
29.9 + 12.0
9.73
55.7
Sebelum
152.0 + 125.5
12.5
297
Selama
146.9 + 78.9
34.2
237.5
Sebelum
9.3 + 5.9
1.6
26.0
Selama
8.7 + 3.6
1.9
22.3
Sebelum
9.8 + 7.5
1.2
32.4
Selama
9.9 + 5.0
1.2
23.1
Sebelum
13.8 + 8.03
2.0
31.3
Selama
9.5 + 4.4
1.3
20.0
24.2 < 200 mg 2)
<20% E2)
0.275
7.6
0.09
7.0 <10% E2)
8.0
0.462
8.1 < 7% E2)
11.3
0.04
7.7
PUGS, 2)RDA USA, 3) t-test (p>0.05 tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok)
Konsumsi kolesterol masih tergolong normal (< 200 mg/hr) baik pada saat sebelum maupun selama intervensi yaitu kurang dari 200 mg atau sekitar 70% dari batas maksimal. Persentase konsumsi PUFA dan MUFA masih dibawah batas maksimal baik pada sebelum maupun selama intervensi. Hal ini sejalan dengan penelitian Purwantyastuti (2007) pada lansia wanita di DKI Jakarta yang menyebutkan bahwa dibandingkan dengan persen konsumsi energi, maka konsumsi MUFA hanya sebesar 5% dan PUFA sebesar 4%. Konsumsi SAFA dalam penelitian ini saat sebelum intervensi sedikit diatas yang dianjurkan namun selama intervensi turun di bawah yang dianjurkan. Hasil penelitian ini pun sejalan dengan penelitian Purwantyastuti (2007) pada lansia wanita bahwa kecukupan SAFA ternyata melebihi batas yang dianjurkan, yaitu 19%. Sebaiknya persentase konsumsi SAFA dibawah 10% dari asupan energi yang dikonsumsi (Nix, 2005), meskipun banyak literatur menyatakan sebaiknya tidak lebih dari 7% asupan energi. Secara keseluruhan, konsumsi energi yang berasal dari lemak masih di bawah asupan yang dianjurkan.
Namun yang perlu diperhatikan adalah,
frekuensi konsumsi sumber lemak dari gorengan pada sebagian besar sampel tergolong tinggi, dimana lebih dari separuh sampel mengonsumsi gorengan setiap
44
hari. Umumnya makanan yang digoreng adalah makanan jajanan seperti bakwan, tahu, ubi atau pisang goreng.
Yang dikhawatirkan adalah minyak untuk
menggoreng telah digunakan berkali-kali sehingga mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap PJK mengingat asam lemak tidak jenuh pada minyak goreng saat pemanasan berulang dapat berubah menjadi minyak jenuh dan lemak trans. Rendahnya status sosial ekonomi sebagian besar sampel kemungkinan mempengaruhi ketidakseimbangan asupan zat gizi makro yang cenderung lebih rendah dibanding AKG. Sejalan dengan zat gizi makro, zat gizi antioksidan dan serat juga jauh di bawah kecukupan. Hal ini kemungkinan merupakan salah satu penyebab tingginya sampel yang terjaring saat skrining darah, dimana 54.9% sampel mempunyai kadar profil lipid tidak normal. Lebih tingginya AKG untuk karbohidrat (dibanding AKG USA) serta kurangnya aktivitas fisik kemungkinan menyebabkan tingginya IMT sebagian besar sampel. Gambar 19 menunjukkan persentase kecukupan lemak, SAFA, MUFA dan SAFA terhadap total konsumsi energi.
Kecuali PUFA, semua jenis lemak
konsumsinya sedikit lebih tinggi sebelum intervensi dibandingkan saat intervensi, meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan. Baik SAFA, MUFA dan PUFA, persentase konsumsi masih dibawah batas maksimal, namun konsumsi lemak saat sebelum intervensi melebihi 25% total konsumsi energi. Meskipun konsumsi lemak masih dibawah batas maksimal, namun hal ini tidak sejalan dengan profil lipid darah sampel yang umumnya cenderung tinggi.
Fase
menopause kemungkinan menjadi penyebab memburuknya profil lipid meskipun konsumsi lemak cenderung dalam batas normal.
45
%
35 30 25
sebelum intervensi selama intervensi
29 24.2
20 15
11.3
10
7.7
7.6
7
8
8.1
5 0 lemak (g)
SAFA (g)
MUFA (g)
PUFA (g)
Gambar 19 Persentase rata-rata r rata konsumsi lemak, SAFA, MUFA dan PUFA terhadap persen konsumsi energi sebelum dan selama intervensi
Tempe Prosedur Pembuatan Tempe Terpilih satu produsen tempe dari beberapa produsen yang telah dikunjungi dan dilihat proses pembuatan tempe. Penentuan satu produsen tempe adalah agar tidak terjadi variasi yang terlalu besar dalam bahan dan prosedur pembuatan. Kriteria pemilihan produsen produse n tempe dalam penelitian ini adalah yang melakukan perebusan sebanyak 2 kali dan mengupasan kulit ari kedelai. Hal tersebut untuk memaksimalkan produk isoflavon tempe. Berdasar penelusuran penulis di beberapa produsen tempe ditemukan bahwa kedelai jenis Americana yang paling banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan tempe. Skala usaha produsen tempe terpilih tergolong kecil, karena hanya membuat sekitar 8-10 10 kg kedelai per hari. Usaha tersebut sudah dilakukan sekitar 8 tahun yang lalu. Kedelai ya ng digunakan jenis Americana yang diperoleh dari agen distributor KOPTI Bogor. Sedangkan ragi yang digunakan diproduksi oleh PT. Aneka Fermentasi Industri (AFI), Bandung, dengan ijin produksi BPOM RI MD 262628001051. Komposisi ragi terdiri dari beras dan jamur tempe.
46
Prinsip dasar pembuatan tempe adalah pembersihan, pencucian, perebusan, perendaman, pencucian, penambahan inokulum, pengemasan dan fermentasi.
Setiap produsen mempunyai cara pengolahan yang berbeda.
Modifikasi yang dilakukan adalah lama perendaman, frekuensi perebusan, lama perebusan, penambahan cuka, penggilingan, pemakaian kembali kulit ari kedelai, jenis inokulum, lama fermentasi, tipe pengemasan. Perebusan. Tahap ini bertujuan agar kedelai dapat menyerap air sebanyak mungkin, sehingga membuatnya lebih lunak dan memudahkan proses fermentasi (acidification) di tahap awal.
Perebusan yang ideal dalam pembuatan tempe
dilakukan sebanyak 2 kali dengan tujuan akhir memaksimalkan jumlah isoflavon tempe. Jika tanpa perebusan di tahap awal, maka dibutuhkan waktu perendaman yang lebih lama, dan akan muncul bau asam (Hermana & Karmini 1999). Beberapa produsen yang dikunjungi pada umumnya hanya melakukan perebusan satu kali dengan alasan untuk penghematan.
Proses perebusan yang kedua
sebenarnya diperlukan untuk memastikan agar kedelai dalam keadaan benar-benar matang dan untuk membunuh bakteri yang bersifat kontaminan. Pengupasan kulit kedelai. Bertujuan agar asam laktat bisa masuk lebih mudah ke dalam biji kedelai dan mycelium tumbuh selama fermentasi (Hermana & Karmini 1999). Pengupasan kedelai dalam skala kecil bisa dilakukan dengan menggunakan kaki, namun jika kedelai dalam jumlah besar menggunakan mesin mengupas. Mesin pengupas ada yang menggunakan listrik atau dikayuh seperti sepeda. Kedelai yang dipakai untuk pembuatan tempe umumnya kedelai import, karena mempunyai ukuran biji yang sama. Kedelai lokal umumnya mempunyai biji yang tidak seragam, sehingga sulit dikupas dengan menggunakan mesin pengupas. Beberapa produsen tempe tidak melakukan pengupasan dengan alasan pengupasan kulit akan menurunkan jumlah tempe yang dihasilkan, selain itu ada yang mencampurkan kembali kulit kedelai saat pengemasan, untuk menambah massa tempe. Perendaman. Bertujuan agar terjadi fermentasi asam laktat dan terjadinya kondisi asam sehingga mendorong pertumbuhan mold tempe, yang akan tercapai jika pH sekitar 3.5 – 5.2.
Adanya campuran kulit kedelai dalam tempe akan
menghambat pertumbuhan bakteri asam laktat selama perendaman dan
47
menurunkan acidification kedelai (Hermana & Karmini 1999).
Pertumbuhan
bakteri ditandai dengan keluarnya bau asam saat perendaman serta adanya busa di permukaan air perendaman.
Banyak produsen tempe menambahkan cuka ke
dalam air rendaman agar proses keasaman berlangsung lebih cepat, bahkan bisa menghemat waktu perendaman hingga 10 jam.
Pengasaman secara alami,
meskipun lebih lambat namun menguntungkan karena terjadi penguraian protein sehingga lebih mudah dicerna. Keasaman dan perendaman juga menguntungkan pertumbuhan bakteri untuk sintesa vitamin B2, vitamin B6, vitamin B12, niacin, biotin, asam folat, dan asam pantotenat (Hermana & Karmini 1999). Pencucian. Bertujuan agar kedelai tidak menjadi asam dan menghilangkan lendir yang dihasilkan bakteri asam laktat.
Adanya bakteri dan lendir akan
menghalangi proses fermentasi tahap akhir. produsen merebus kedelai untuk kedua kalinya.
Setelah pencucian, beberapa Hal ini akan membuat biji
kedelai semakin lunak. Selain itu juga akan membunuh bakteri yang hidup dan berkembang biak selama perendaman (Hermana & Karmini 1999).
Kedelai
dengan dua kali perebusan akan lebih bersih, lebih lama daya simpannya, dan rasa tidak asam. Pendinginan. Bertujuan untuk mendinginkan sebelum kedelai diberi ragi. Pada umumnya sambil menunggu kedelai dingin, kedelai juga dibersihkan dari kotoran yang mungkin masih ada. Kotoran yang biasanya terdapat dalam kedelai adalah kerikil, ranting, dan kedelai hitam. Peragian. Kedelai harus benar-benar bersih, kering dan dingin sebelum disebarkan ragi dipermukaan kedelai.
Ragi yang digunakan umumnya berbeda
antar produsen. Jumlah ragi yang ditebar juga bergantung pada cuaca. Jika cuaca mendung dan dingin, umumnya dibutuhkan jumlah ragi yang lebih banyak. Beberapa jenis ragi dicampur dengan tepung beras (digunakan dalam penelitian ini) atau tepung jagung, yang tujuannya untuk memudahkan ragi disebar dalam kedelai. Pengemasan.
Setelah peragian, maka kedelai segera dikemas.
Pengemasan bisa menggunakan daun pisang atau plastik (telah diberi lubang kecil untuk mendapatkan oksigen bagi pertumbuhan bakteri). Menurut Hermana
48
dan Karmini (1999), pertumbuhan kapang dari kedelai yang dibungkus daun umumnya lebih cepat dibandingkan yang dibungkus plastik. Fermentasi. Setelah pengemasan selesai, kedelai yang sudah dibungkus, diperam pada tempat yang dianggap lembab. Suhu tidak boleh terlalu dingin karena akan menghalangi pertumbuhan kapang. Suhu yang ideal berkisar 20oC hingga 37oC.
Jumlah ragi, suhu dan kelembaban adalah faktor penting untuk
proses fermentasi (Hermana, 1999). Lama fermentasi yang umum dilakukan oleh produsen tempe adalah sekitar 36 jam. Umumnya pengemasan dilakukan sore hari dan kedelai telah berubah menjadi tempe dua hari kemudian dipagi hari, sehingga bisa langsung dipasarkan. Kandungan protein dan asam amino tempe Analisis kadar protein yang dilakukan dalam penelitian ini dengan teknik analisis Kjeldhal menunjukkan bahwa dalam 100 g tempe kukus mengandung 16.85 g protein. Pengukusan 10 menit menambah kadar air sekitar 2%, sehingga dalam 100 g tempe mentah mengandung 16.5 g protein. Hasil ini tidak terlalu berbeda dengan kandungan protein tempe dalam USDA (2004) sebesar 15 mg/100 g bahan dan DKBM (1981) sebesar 18.3 mg/100 g bahan.
Total kandungan
protein kedelai tidak banyak berubah setelah proses fermentasi, perubahan dalam nitrogen terlarut hanya 0.5%-2.5% (Hermana & Karmini 1999). Intervensi yang diberikan sebanyak 160 g tempe mengandung 26.4 g protein.
Jumlah ini hampir sama dengan anjuran U.S. Food and Drug
Administration’s yang menyebutkan bahwa “25 gram protein kedelai per hari sebagai bagian dari diet rendah SAFA dan kolesterol dapat menurunkan risiko penyakit jantung”. Berbagai uji klinik pada manusia menyebutkan bahwa konsumsi 25 g hingga 50 g protein kedelai per hari adalah aman dan efektif menurunkan K-LDL sekitar 4% hingga 8% (Erdman et al. 2008; Lichtenstein 1998). Konsumsi protein kedelai lebih dari 25g/hr juga dihubungkan dengan asupan fitokimia yang dapat memperbaiki profil lipid khususnya pada individu yang mengalami hiperkolesterolemia. Kandungan protein kedelai dan tempe hampir sama, namun melalui proses fermentasi, terjadi peningkatan asam amino bebas sebesar 30 hingga 35 kali
49
(Kiers et al. 2001), sementara hasil penelitian Hermana dan Karmini (1997) menunjukkan terjadinya peningkatan asam amino bebas sebesar 7.3% hingga 12%.
Hal tersebut karena selama fermentasi (oleh Rhizopus dan bakteri)
dihasilkan enzim protease sehingga protein diurai menjadi asam amino bebas. R.oligosporus akan menghidrolisa protein menjadi asam amino dan peptida (Wang & Murphy 1994A).
Jumlah asam amino yang dibebaskan mencapai
puncaknya setelah fermentasi selama 24 jam hingga 72 jam (Stillings 1965; Wang & Murphy 1994A). Meningkatnya pelepasan asam amino ini akan memperbaiki nilai gizi tempe, dimana PDCAAS (protein digestibility corrected amino acid score) 0,8 – 0,9 atau 80% – 90 % dari protein hewani. Selama fermentasi, Rhizopus menghasilkan setidaknya empat grup enzim yaitu lipase, protease, amilase dan fitase yang menguntungkan bagi individu dengan masalah pencernaan, serta membantu pencernaan protein, lemak dan karbohidrat (Hermana & Karmini 1997). Fitase juga berguna menurunkan asam fitat dari sayuran yang dikonsumsi sehingga menurunkan mineral yang terikat pada asam fitat dan dapat meningkatkan bioavailability mineral. Asam amino yang cenderung meningkat setelah fermentasi adalah arginin, hal ini sesuai dengan temuan Sarkar et al. (1997) dan Ghozali (2008). Penelitian Ghozali (2008) menunjukkan bahwa secara keseluruhan asam amino arginin tempe mengalami kenaikan dibanding kedelai, dengan rata-rata peningkatan sebesar 68.8% (tempe Americana meningkat 78.8%, tempe Cikuray 63.7% dan tempe Baluran 62.7%). Penelitian Ghozali (2008) juga menyebutkan bahwa arginin pada tempe Americana meningkat paling tinggi, dari 2.78%w/w menjadi 4.96%w/w, sedangkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asam amino arginin tempe jauh lebih tinggi dibanding Ghozali (2008) yaitu 6.58%w/w. Sementara itu penelitian Zamora & Veum (1988) menunjukkan bahwa komposisi asam amino tempe hanya mengalami peningkatan kurang dari 10% jika dibandingkan dengan kedelai yang direbus.
Peningkatan asam amino hanya
terjadi pada treonin, metionin, leusin dan lisin.
Kemungkinan metoda yang
digunakan berbeda dan rentang waktu penelitian terdahulu dengan saat ini cukup jauh (20 tahun) sehingga hasil yang diperoleh juga menunjukkan perbedaan yang cukup besar.
50
Tabel 26 berikut menyajikan hasil analisis kandungan protein dan asam amino per 100 gram tempe kukus. Tabel 26 Kandungan protein dan asam amino per 100g tempe kukus Parameter Protein
Hasil %w/w berat basah 16.85
Asam Amino - Arginin
6.58
- Asam Glutamat
1.74
- Asam Aspartat
1.13
- Serin
0.50
- Histidin
0.31
- Glisin
0.42
- Treonin
0.44
- Alanin
0.47
- Tirosin
0.40
- Metionin
0.15
- Valin
0.58
- Penilalanin
0.53
- I – leusin
0.51
- Leusin
0.76
- Lisin
0.95
- Triptophan
0.13
Kandungan lemak dan asam lemak tempe Kadar lemak kedelai dan tempe relatif tidak terlalu berbeda, namun saat proses fermentasi terbentuk enzim lipase pada tempe yang melarutkan sebagian lemak kedelai, dan meningkatkan 30% (Wagenknecht et al. 1960) atau 50-70 kali asam lemak bebas dibanding bentuk kedelai (Murata 1967 dan Wang et al. 1975) serta menurunkan gliserida dari 22.3% menjadi 11.5% (De Reu et al. 1994). Komposisi perubahan asam lemak disebabkan karena keberadaan dan aktivitas ragi dan bakteri serta lamanya fermentasi (Hering et al. 1990). Lipase yang dihasilkan saat fermentasi akan menghidrolisis lemak pada waktu fermentasi berlangsung, dengan laju tertinggi setelah 12 jam hingga 24 jam. Sementara asam lemak mencapai puncaknya setelah 36 jam fermentasi. Pelepasan asam lemak
51
akan digunakan sebagai sumber karbon bagi R.oligosporus
untuk asimilasi
(Wang et al. 1975 dan Liu et al. 1990). Hermana dan Karmini (1997) menyatakan bahwa fungi lipase meningkatkan asam lemak bebas dari 0.5% saat perebusan kedelai menjadi 21% setelah menjadi tempe.
Besarnya asam lemak yang
dibebaskan tergantung dari komposisi inokulum yang digunakan (Agranoff & Markham 1977). Asam lemak yang dominan pada tempe adalah asam lemak tidak jenuh yaitu sekitar 80% dari total asam lemak (Hering et al. 1990; Pawiroharsono 1997). Peningkatan asam lemak juga meningkatkan daya cerna tempe (Stainkraus et al. 1965). Asam lemak bebas di dalam tubuh dilaporkan menghambat beberapa enzim seperti glikolitik, glikoneogenik, lipogenik, proteolitik, tripsin dan sintesa asam lemak (Wang et al. 1975). Asam lemak tidak jenuh tersebut tidak disintesa dari tubuh dan harus diperoleh dari makanan. Tabel 27 menunjukkan hasil analisis lemak dan asam lemak tempe. Tempe mengandung 2.89 %w/w lemak. Hasil ini jauh lebih rendah dibanding kadar lemak tempe yang tertera pada PERSAGI (2009) yaitu 8.8 g sedangkan pada Nutrisurvey sebesar 7.7 g.
Kandungan lemak tempe jauh di bawah
kandungan lemak hewani dengan kadar protein yang hampir sama dengan tempe. Ikan mas, misalnya, mempunyai kadar lemak 5.8 g dan protein 18.3 g, sementara tempe dengan kandungan lemak jauh dibawah ikan mas, namun mempunyai kandungan protein yang hampir sama yaitu 16.9 g. Sedangkan telur ayam mempunyai kandungan lemak yang jauh lebih tinggi (10.8 g) dibanding tempe namun proteinnya jauh lebih rendah (12.4 g). Asam lemak yang dominan adalah asam linoleat (C18:2) sebesar 50.12%w/w, disusul asam oleat, asam linolenat dan asam palmitat
yang
kesemuanya tergolong asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan jumlahnya sekitar 80% dari total asam lemak. Asam lemak yang dominan tersebut tergolong esensial yaitu tidak dapat disintesa di dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari konsumsi makanan.
Hasil analisis asam lemak dalam penelitian ini sejalan
dengan penelitian Ghozali (2008) dan Agranoff and Markham (1997), dimana asam lemak tertinggi pada tempe adalah asam linoleat disusul asam oleat dan asam linolenat.
52
Tabel 27 Kandungan lemak dan asam lemak per 100 g tempe kukus Parameter
Hasil (%w/w berat basah)
Lemak
2.89
Asam Lemak - Asam Palmitat
C16:0
7.21
- Asam Stearat
C18:0
3.05
- Asam Oleat
C18:1n9c
14.74
- Asam Linoleat
C18:2n6c
50.12
- Asam Arakidat
C20:0
0.21
- Asam Linolenat
C18:3n3
9.32
- Asam Behenat
C22:0
0.22
Teridentifikasi bahwa asam linoleat, asam oleat, asam linolenat, asam palmitat, dan asam stearat merupakan asam lemak yang paling banyak dibebaskan dan hal ini sejalan dengan penelitian Wagenknecht (1960). Sebuah penelitian terdahulu juga menunjukkan bahwa minyak yang berasal dari tempe mempunyai daya tahan yang kuat terhadap peroksida lemak saat penyimpanan dalam suhu kamar, bahkan tidak berubah kadarnya ketika disimpan sekitar 2 tahun, hal ini berbeda dengan minyak dari kedelai yang cenderung rentan terhadap peroksida saat penyimpanan (Stahl & R J Sims 1985). Asam Oleat. Asam oleat adalah asam lemak kedua terbanyak pada tempe. Asam oleat tergolong lemak bebas cis yang bermanfaat bagi tubuh yang jika dikonsumsi sebagai pengganti SAFA akan menurunkan kolesterol darah. Meskipun efek hipokolesterolemia lebih rendah dibanding asam linoleat maupun asam linolenat namun asam oleat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan K-HDL yang merupakan lemak yang dapat menurunkan risiko penyakit jantung, sehingga asam oleat juga sering diklaim untuk mencegah penyakit jantung (Mann & Stewart 2007). Asam Linoleat. Asam lemak utama pada tempe adalah asam linoleat (18:2-6) yang bersifat meningkatkan K-HDL dan menurunkan K-LDL, hal ini berbeda
dengan
peran
asam
lemak
lainnya
yang
cenderung
bersifat
hiperlipidemia. Jika konsumsi energi dari lemak jenuh (SAFA) diganti oleh asam
53
linoleat, maka secara bermakna akan menurunkan kolesterol darah (Mann & Stewart 2007). Asam Linolenat. Jenis asam lemak ini merupakan ketiga terbanyak dalam tempe. Asam lemak ini dapat lebih efektif menurunkan trigliserida darah dibanding asam linoleat. Namun harus diwaspadai karena jika dikonsumsi terlalu banyak pada individu yang kadar K-LDL awalnya tinggi justru akan semakin meningkatkan kadar K-LDL serta menurunkan kadar K-HDL (Mann & Stewart 2007). Selama ini sumber asam linolenat yang popular adalah minyak ikan dan konsumsi dalam dosis tinggi pada orang yang rentan harus dalam pengawasan dokter. Keuntungan dari tempe adalah karena asam linolenat bukan asam lemak bebas utama, sehingga lebih leluasa untuk dikonsumsi dalam jumlah banyak khususnya pada orang dengan hiperlipidemia tanpa mengurangi manfaatnya. Peran lain dari asam linoleat dan asam linolenat adalah: 1) untuk kekuatan membran sel dan mencegah kerusakan jaringan kulit, 2) membantu transport dan metabolisme kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol darah, 3) mengatur produksi enzim yang dibutuhkan untuk sintesa asam lemak non esensial dalam hati, 4) meningkatkan imunitas dan mencegah kerentanan terhadap infeksi, 5) merupakan prekursor komponen aktif prostaglandin yang dibutuhkan dalam semua jaringan tubuh dan aktivitasnya mempengaruhi tekanan darah, pembekuan darah dan fungsi jantung (Schlenker and Sara 2007). Elogasi dan desaturasi. Di dalam tubuh, asam linoleat dan asam linolenat tidak hanya dibutuhkan untuk semua membran sel tetapi juga mengalami elongasi dan desaturasi menjadi rantai yang lebih panjang dan merupakan prekursor komponen eicosanoid yang menyerupai hormon, prostaglandin dan leukotrienes. Asam linoleat akan dikonversi menjadi asam arakidonik sedangkan asam linolenat akan dikonversi menjadi eicosapentaenoic acid (EPA) dan decosahexaenoic acid (DHA) (Mann & Stewart 2007).
EPA dan DHA dapat mencegah timbulnya
platelet darah. Platelet dalam darah ini dalam jumlah besar akan mengganggu aliran darah dan merupakan faktor utama penyebab serangan jantung dan stroke. EPA dan DHA juga dapat memperbaiki trigliserida darah pada individu dengan hipertrigliserida.
54
Secara organoleptik, tempe yang nikmat adalah setelah mengalami fermentasi sekitar 30 jam, karena rasa netral dan bau yang tidak menyengat, selain itu juga kandungan gizi termasuk asam lemak berada pada kondisi maksimal. Untuk mempertahankan organoleptik dan gizi yang baik, maka perlu pemasakan yang benar. Tempe yang digoreng akan mengalami penurunan asam lemak bebas seperti asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat, sebaliknya justru meningkatkan asam kaprilat, asam kaprik, asam laurat dan asam miristat yang manfaat kesehatannya tidak sebesar asam lemak lain yang mengalami penurunan saat penggorengan.
Saat penggorengan juga terjadi penambahan persentase
gliserida pada tempe karena adanya absorbsi lemak dari minyak
goreng
(Sudarmadji 1978), oleh sebab itu untuk mencapai manfaat tempe yang maksimal, sebaiknya dihindari pemasakan dengan menggoreng. Kandungan Isoflavon Isoflavon merupakan komponen non gizi pada tanaman dan sangat mirip struktur kimia dengan estrogen (Setchell & Adlercreuts 1988; Rimbach 2008). Isoflavon banyak ditemukan di kedelai dan hasil olahnya, merupakan salah satu jenis fitoestrogen selain lignan, flavonoids dan coumestans (Nahas et al. 2006; Kris-Etherton et al. 2002).
Dalam tanaman, isoflavon terdiri dari glukosida
(daidzin, glycetin, genistin) dan aglikon (genistein, daidzein dan glycitein). Glukosida adalah bentuk terikat sehingga absorbsi nya lebih rendah dibanding aglikon yang berada pada posisi tidak terikat.
Isoflavon adalah fitoestrogen
dengan aktivitas estrogenik terkuat yang berasal dari komponen aglikon (genistein, daidzein dan glycitein). Kedelai adalah sumber terbesar isoflavon. Sedangkan tempe merupakan produk olahan kedelai melalui proses fermentasi dengan penambahan Rhizopus oligosporus dikenal sebagai makanan yang sangat popular di Indonesia. Selama proses pembuatan tempe terjadi dua kali fermentasi, yaitu saat perendaman dan saat peragian. Fermentasi akan mengubah sebagian besar glukosida dalam kedelai menjadi aglikon yang mudah diserap tubuh.
Tinggi rendahnya kisaran hasil
isoflavon disebabkan karena berbagai faktor seperti: varitas kedelai, tahap kematangan kedelai, iklim dan suhu tempat tumbuh kedelai, kondisi tanah, cara
55
bertanam, cara pengolahan tempe dan prosedur pemeriksaan isoflavon (Wang & Murphy 1994A). a. Perebusan Kedelai Dari dua tempat pembuatan tempe yang dikunjungi keduanya melakukan tahap pembuatan tempe yang berbeda. Tabel 28 memperlihatkan metode pembuatan tempe yang dilakukan oleh dua produsen tempe. Produsen pertama merebus kedelai sebanyak satu kali yaitu diawal proses pembuatan sedangkan produsen kedua merebus kedelai sebanyak dua kali, yaitu di awal dan pertengahan proses. Hasil analisis isoflavon menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe dengan dua kali perebusan kedelai menghasilkan peningkatan isoflavon sebesar 11.4 mg atau 58.7% lebih besar dibandingkan dengan sekali perebusan. Tabel 28 Variasi produksi tempe dan kadar isoflavon . Tahap
Metode Produksi Tempe I
II
1.
Pencucian
Perebusan
2.
Perebusan
Perendaman
3.
Perendaman
Pengupasan
4.
Pencucian
Pencucian
5.
Pengupasan
Perebusan
6.
Pengeringan
Pendinginan
7.
Peragian
Pembersihan
8.
Pembungkusan
Peragian
9.
Fermentasi
Pembungkusan
10. Isoflavon
Fermentasi 19,4 mg
30.8 mg*
*) rata-rata dari 3x pengukuran isoflavon pada hari yang berbeda (28.6 mg, 30.64 mg, 33.14 mg)
Tabel 29 menunjukkan kandungan isoflavon yang pernah dilakukan sebelumnya. Kisaran isoflavon dalam tempe adalah 26 mg hingga 54 mg. Jika dibandingkan dengan kandungan isoflavon pada Tabel 30, maka isoflavon hasil penelitian ini masih berada dalam kisaran hasil penelitian sebelumnya.
56
Tabel 29 Kandungan isoflavon/100g tempe dari berbagai penelitian Penelitian
Isoflavon/100g tempe basah (mg)
Bintari, 2007
26
USDA National Nutrient Database
36
USDA-Iowa State University Database
43.5
Hutabarat, 2001
46
Wang, 1994
52
USDA Nutrient Database
53
Haron, 2009
54
Pada dasarnya setiap produsen mempunyai cara pengolahan yang berbeda meskipun mempunyai prinsip dasar yang sama yaitu persiapan dan fermentasi (Astuti 1997).
Modifikasi yang dilakukan adalah lama perendaman, frekuensi
perebusan, lama perebusan, penambahan cuka, penggilingan, pemakaian kembali kulit ari kedelai, jenis inokulum, lama fermentasi, dan tipe pengemasan. Perebusan pertama bertujuan agar kedelai dapat menyerap air sebanyak mungkin, sehingga membuatnya lebih lunak dan memudahkan proses fermentasi di tahap awal.
Jika tanpa perebusan di tahap awal, maka dibutuhkan waktu
perendaman yang lebih lama, dan akan muncul bau asam (Hermana & Karmini 1999). Sementara itu proses perebusan yang kedua diperlukan untuk memastikan agar kedelai dalam keadaan benar-benar matang dan untuk membunuh bakteri yang bersifat kontaminan yang hidup dan berkembang biak selama perendaman. Adanya bakteri dan lendir akan menghalangi proses fermentasi tahap akhir. Selain membuat lunak, perebusan juga memudahkan proses pengupasan kulit ari kedelai sehingga asam laktat bisa masuk lebih mudah ke dalam biji kedelai dan mycelium tumbuh selama fermentasi (Hermana & Karmini 1999). Kedelai dengan dua kali perebusan akan lebih bersih, lebih lama daya simpannya, dan rasa tidak asam.
Umumnya produsen tempe hanya melakukan satu kali
perebusan kedelai dengan alasan untuk penghematan bahan bakar. Proses fermentasi menyebabkan peningkatan isoflavon total, sehingga kadar isoflavon tempe jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Wang & Murphy 1994A). Sedangkan menurut Pawiroharsono (2000), pemanasan kedelai sebelum diolah menjadi tempe memberi efek penetrasi ke daging biji kedelai sehingga
57
enzim -glucosides tumbuh subur dan membantu perubahan isoflavon terikat (glukosida) menjadi isoflavon tidak terikat (aglikon). Bahan pangan kedelai yang tidak difermentasi (tahu, susu kedelai) kaya akan glukosida, sedangkan yang difermentasi (tempe) kaya akan aglikon yang disebabkan karena proses hidrolisis enzimatik selama fermentasi (Wang & Murphy 1994B). Oleh sebab itu isoflavon yang dominan pada tempe adalah aglikon, sementara produk olahan kedelai yang tidak difermentasi lebih dominan glukosida.
Sebagian besar absorbsi isoflavon
adalah dalam bentuk aglikon, dengan tingkat absorbsi sebesar 20% hingga 55%. Oleh sebab itu dibandingkan dengan bentuk isoflavon glukosida, bentuk aglikon mempunyai manfaat kesehatan yang jauh lebih besar. b. Pemasakan Tempe Kadar isoflavon dihubungkan dengan fraksi protein -yang terdapat pada kedelai- dan produk olahannya (Wang & Murphy 1994; Coward et al. 1993; Dewell et al. 2006).
Proses pengolahan menggunakan air – seperti pembuatan
tahu dan susu kedelai – akan menurunkan kandungan isoflavon kedelai (Anderson & Wolf 1995; Wang & Murphy 1994A). Isoflavon juga relatif rentan terhadap panas tinggi (Tsukamoto et al. 1995). Pemasakan tempe yang tepat akan meminimalkan kehilangan isoflavon sehingga diperoleh manfaat kesehatan yang optimal. Hal tersebut menjadi alasan mengapa semua menu tempe dalam penelitian ini diawali dengan pengukusan karena metoda ini yang menghasilkan kehilangan isoflavon terendah dibanding dengan metoda lain seperti digoreng atau direbus. Tabel 30 menunjukkan hasil isoflavon tempe mentah dan tempe yang dikukus selama 10 menit. Terlihat bahwa isoflavon tempe kukus mengalami penurunan sebesar 13.3% dibanding tempe mentah. Pengukusan tempe dalam penelitian ini merupakan metoda yang menghasilkan kehilangan isoflavon terendah (13.3%) dibanding dengan metoda lain seperti: seperti digoreng atau direbus.
58
Tabel 30 Kandungan isoflavon tempe (100g bahan basah) Isoflavon Isoflavon total (mg)
Tempe mentah
Tempe kukus
Perubahan (%)
28.6
24.8
13.3
Gambar 20 menunjukkan perbandingan persentase penurunan kadar isoflavon setelah dikukus (Utari 2009) dan setelah direbus serta digoreng (Suarsana
2009).
Perbandingan
tersebut
menunjukkan
bahwa
proses
penggorengan tempe akan menurunkan kadar isoflavon tertinggi (39.15%), dibandingkan dengan proses perebusan (18.20%) dan pengukusan (13.3%).
45
39.15
% 40 35 30 25 18.2
20 15
13.3
10 5 0 kukus *
rebus **
goreng**
Gambar 20 Persentase penurunan kadar isoflavon tempe setelah proses pengukusan*, perebusan** dan penggorengan** (*Utari 2009; **Suarsana 2009)
Konsentrasi isoflavon dalam tubuh sangat bervariasi dan individual yang dikontrol oleh banyak faktor, sehingga sulit untuk menentukan dosis ideal konsumsi isoflavon. Beberapa penelitian merekomendasikan konsumsi isoflavon sebesar 30 mg hingga 100 mg per hari (Nahas & Jorge 2003; Messina & Messina 2003). Konsumsi tempe kukus sebesar 160 g/hr mengandung 39.7 mg isoflavon dianggap peneliti dapat memperbaiki profil lipid dan parameter biokimia lain yang berhubungan dengan PJK. Berbagai hasil meta analisis menyatakan bahwa isoflavon akan berperan dalam menurunkan kadar lipid darah jika diberikan minimal 35 mg/hr (Hendrich 2002).
59
Berbagai penelitian intervensi tempe pernah dilakukan di Indonesia, namun jarang yang menganalisis kandungan isoflavon dalam tempe yang diberikan. Penelitian yang mengukur isoflavon antara lain 1) intervensi susu skim difortifikasi 100 mg isoflavon kedelai (Winarsi 2004),
2) intervensi 60g/hr
formula tepung tempe setara dengan 100 mg isoflavon (Biben 2001),
3)
intervensi 100 g formula tempe mengandung 0.59 mg isoflavon (Juweni 2000 dan Wardani 2000). Sumbangan Zat Gizi Tempe terhadap Kecukupan Tempe adalah satu-satunya bahan pangan nabati yang zat gizinya dianggap sempurna, karena kandungan proteinnya mendekati hewani, hal ini berkaitan dengan kandungan asam amino tempe.
Tabel 31 menunjukkan bahwa sebagai
sumber protein yang baik ternyata intervensi 160g tempe per hari mampu memberi sumbangan signifikan kecukupan protein, yaitu lebih dari 50% AKG. Protein umumnya tinggi pada pangan hewani yang juga memiliki kadar lemak tinggi. Konsumsi tempe sebagai sumber protein akan sangat baik pada kelompok berisiko hiperkolesterolemia mengingat kadar lemak tempe jauh lebih rendah dibanding hewani. Hasil analisis tempe dalam penelitian ini menunjukkan bahwa dalam 100 g tempe mengandung lemak sebesar 2.9 g dan protein sebesar 16.9 g, sementara ayam dan daging meskipun mengandung protein yang lebih tinggi yaitu sekitar 24 g, namun kandungan lemaknya 6 kali lipat dibanding tempe (sekitar 18 g lemak). Sumbangan lemak dan energi dari 160g tempe terhadap kecukupan masing-masing hanya sekitar seperlima dari AKG, maka tidak ada kekhawatiran bahwa konsumsi tempe akan memperburuk profil lipid atau meningkatkan berat badan. Proses hidrolisa dan penggunaan energi saat fermentasi menyebabkan karbohidrat pada tempe menjadi lebih rendah dibanding kedelai (Winarno 1985). Komposisi asam lemak pada tempe menunjukkan bahwa persentase terbesar kandungan asam lemak tempe adalah asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA) yang jumlahnya sekitar 4 kali dibanding SAFA dan 3 kali dibanding MUFA.
Komposisi
ini
juga
sangat
baik
bagi
konsumsi
individu
hiperkolesterolemia.
60
Tabel 31 Sumbangan intervensi tempe terhadap AKG Zat gizi
Energi
Kalori
Protein
gram
100 g tempe
Sumbangan 160 g tempe terhadap AKG (%)
1991)
18.2
16.85
2)
2)
53.9
Lemak
mg
2.9
SAFA
gram
1.1 1)
-
gram
1.7
1)
-
4.3
1)
-
MUFA PUFA
gram
Vitamin E
mg
Zn
1
ppm
Cu
ppm
1)
1)
9.9
10.7
1.74
2)
28.4
1.69
2)
-
2)
Nutrisurveys (2007); tempe kukus (Utari, 2009)
Hasil analisis kandungan Zn pada tempe menunjukkan bahwa kandungan Zn tempe sebesar 1.74ppm, hampir sama dengan kandungan Zn pada ayam (1.8ppm).
Intervensi tempe memberikan sumbangan Zn terhadap kecukupan
sekitar 30%.
Selama proses fermentasi kedelai terjadi peningkatan
bioavailability Zn dari 73% menjadi 84.5% (Moeljopawiro et al. 1988). Perbedaan Konsumsi Zat Gizi Kelompok Intervensi dan Kontrol Tabel 32, 33, dan 34 menunjukkan perbandingan konsumsi sampel pada kelompok kontrol dan intervensi. Intervensia) sama dengan intervensib), perbedaan adalah pada penghitungan konsumsi dimana intervensia) memasukkan zat gizi tempe dalam perhitungan konsumsi sedangkan intervensib) tidak memasukkan zat gizi tempe dalam perhitungan konsumsi. Tabel 32 memperlihatkan konsumsi zat gizi makro. Jika tempe tidak dimasukkan dalam perhitungan konsumsi (Intervensib)) maka tidak ada perbedaan konsumsi energi, protein dan karbohidrat pada kelompok kontrol dengan intervensi. Namun jika tempe dimasukkan dalam perhitungan konsumsi (Intervensia)) terlihat adanya perbedaan konsumsi energi dan protein yang bermakna pada kelompok kontrol dengan intervensi. Terjadi peningkatan konsumsi energi sebesar 19.9% sedangkan protein sebesar 39.3%. Peningkatan konsumsi energi dapat memperkecil persentase kekurangan energi, dimana pada
61
kontrol sebesar 66.2% AKG (tergolong defisit energi berat) menjadi 79.0% AKG pada kelompok intervensi (tergolong defisit energi sedang). Sementara itu peningkatan AKG pada protein dari 70.8% AKG (defisit protein sedang) menjadi 98.6% AKG (normal), sedangkan konsumsi karbohidrat tidak menunjukkan perbedaan bermakna meskipun terjadi peningkatan pada kelompok intervensi. Tabel 32 Karakteristik sampel berdasarkan rata-rata konsumsi zat gizi makro saat intervensi Zat Gizi
Perlakuan
Mean
% Perubahan terhadap kontrol
P value terhadap kontrol
Energi (Kalori)
Intervensia)
1389
19.9
0.000
b)
1112
-3.9
0.548
Intervensi Kontrol Protein (g)
1158
Intervensi
a)
49.3
39.3
0.000
Intervensi
b)
36.0
1.7
0.795
Kontrol Karbohidrat (g)
35.4
Intervensi
a)
186.7
4.4
0.373
Intervensi
b)
173.4
-3.0
0.146
Kontrol
178.8
a)
Intervensi = zat gizi tempe dihitung; Intervensib) :zat gizi tempe tidak dihitung; p<0.05 ada beda
Tabel 33 menunjukkan karakteristik sampel berdasar konsumsi lemak. Jika tempe tidak dimasukkan dalam perhitungan konsumsi (Intervensi b)) maka tidak ada perbedaan antara konsumsi lemak, kolesterol, SAFA, MUFA dan PUFA pada kelompok kontrol dengan intervensi. Namun jika tempe dimasukkan dalam perhitungan konsumsi (Intervensia)) terlihat adanya perbedaan konsumsi SAFA, MUFA dan PUFA pada kelompok kontrol dengan intervensi, namun tidak ada perubahan konsumsi lemak dan kolesterol, meskipun konsumsi lemak sedikit meningkat pada kelompok intervensi dan konsumsi kolesterol sedikit turun pada kelompok intervensi.
Konsumsi SAFA, MUFA dan PUFA mengalami
peningkatan pada kelompok intervensi dibanding kontrol, dengan persentase terbesar pada MUFA disusul PUFA dan SAFA. Hal ini sesuai dengan analisis laboratorium bahwa tempe mengandung MUFA dan PUFA ikatan rangkap 2 yang cukup tinggi.
62
Penurunan konsumsi kolesterol pada kelompok intervensi kemungkinan disebabkan karena mereka mengonsumsi tempe intervensi sementara pada kelompok kontrol yang tidak diperkenankan mengonsumsi tempe terpaksa beralih mengonsumsi pangan lain, dan kemungkinan adalah beralih mengonsumsi ayam yang lebih sering (Tabel 19). Tabel 33 Karakteristik sampel berdasarkan rata-rata konsumsi lemak selama intervensi Zat Gizi
Perlakuan
Mean
% Perubahan terhadap kontrol
P value terhadap kontrol
Lemak (g)
Intervensi a)
41.5
8.1
0.097
b)
29.9
-10.5
0.142
Intervensi Kontrol Kolesterol (mg)
33.4
Intervensi
a)
147.9
-15.1
0.174
Intervensi
b)
146.9
-15.7
0.215
Kontrol SAFA (g)
174.3
Intervensi
a)
12.5
23.8
0.001
Intervensi
b)
9.5
-5.9
0.689
20.2
104.0
0.000
8.7
-12.1
0.186
13.0
46.1
0.000
9.9
-11.2
0.324
Kontrol MUFA (g)
10.1
Intervensi a) Intervensi
b)
Kontrol PUFA (g)
Intervensi a) Intervensi Kontrol
a)
9.9
b)
8.9 b)
Intervensi = zat gizi tempe dihitung; Intervensi :zat gizi tempe tidak dihitung: p<0.05 ada beda
Tabel 34 memperlihatkan rata-rata konsumsi zat gizi mikro dan serat . Jika tempe tidak dimasukkan dalam perhitungan konsumsi (Intervensib)) maka tidak ada perbedaan antara konsumsi vitamin E, Seng dan serat antara kelompok kontrol dengan intervensi. Namun jika tempe dimasukkan dalam perhitungan konsumsi (Intervensia) ) terlihat adanya perbedaan pada konsumsi vitamin E, Seng dan Cu pada kelompok control dengan intervensi.
Pada kelompok intervensi
terjadi peningkatan konsumsi vitamin E, Seng dan Cu yang lebih besar dibanding kontrol. Hal tersebut sesuai dengan uji laboratorium bahwa kandungan vitamin E,
63
Seng dan Cu tempe cukup tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan AKG (Tabel 31). Tabel 34 Karakteristik sampel berdasar rata-rata konsumsi zat gizi mikro dan serat saat perlakuan Zat Gizi
Perlakuan
Mean
% Perubahan terhadap kontrol
P value terhadap kontrol
Vitamin C (mg)
Intervensi a)
33.3
-7.2
0.362
b)
27.9
-22.3
0.046
Intervensi Kontrol Vitamin E (mg)
35.9
Intervensi
a)
4.3
34.4
0.000
Intervensi
b)
3.1
-3.1
0.548
Kontrol Zn (mg)
3.2
Intervensi
a)
13.7
24.5
0.050
Intervensi
b)
4.2
-61.8
0.490
1.0
41.0
0.000
0.58
-1.7
0.025
Kontrol Cu (mg)
11.0
Intervensi a) Intervensi
b)
Kontrol Serat (g)
0.59
Intervensia)
7.4
8.8
0.103
b)
6.2
-8.8
0.097
Intervensi Kontrol
6.8
a)
Intervensi = zat gizi tempe dihitung; Intervensib) :zat gizi tempe tidak dihitung; p<0.05 ada beda
Kepatuhan Mengingat intervensi tempe cukup lama diberikan, maka menu tempe diganti setiap hari. Tempe diolah dengan pengukusan selama 10 menit, kemudian diangkat dan dicampur dengan bumbu yang telah dimasak sebelumnya. Setelah agak dingin, maka tempe dimasukkan ke dalam kemasan dan siap didistribusikan ke rumah sampel. Tempe intervensi didistribusikan ke masing-masing sampel dengan cara di antar ke rumah masing-masing sampel setiap hari sekitar pukul 9.00 WIB hingga 11.00 WIB. Intervensi dilakukan selama 4 minggu, enam hari seminggu - hari Senin hingga Sabtu (hari Minggu libur, namun pada hari tersebut sampel tidak
64
diperkenankan mengkonsumsi kedelai dan hasil olahnya). Sampel diharapkan menghabiskan tempe tersebut dalam satu hari (tempe tidak bau hingga malam hari). Peneliti tidak menunggu saat tempe tersebut dimakan, karena tempe tidak harus dihabiskan dalam satu kali makan, namun boleh dikonsumsi sesuai keinginan sampel, baik sebagai camilan/snack maupun sebagai lauk. Setiap hari ketika tempe diantar ke sampel, peneliti menanyakan sisa konsumsi tempe sehari sebelumnya. Pada umumnya sampel mampu menghabiskan tempe yang diberikan. Rata-rata konsumsi tempe tidak berbeda antara fase I dan II yaitu 86.3% pada fase I dan 86.9% pada fase II atau sebanyak 138g tempe (mengandung 22.5 g protein dan 34.2 g isoflavon). Alasan tempe kadang tidak dihabiskan oleh sampel adalah karena menu tempe tidak sesuai selera, bau tempe yang kadang agak langu, bosan, dan tidak sempat makan karena bepergian. Tidak ada keluhan bahwa tempe membuat perut menjadi kembung seperti banyak dikhawatirkan selama ini. Hal tersebut karena kadar karbohidrat terutama oligosakarida mengalami penurunan saat proses perendaman, pemasakan dan fermentasi (Teran 1999). Tidak ditemukan menu tempe favorit, mengingat selera sampel yang beragam. Jika dilihat dari persentase kepatuhan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar sampel dapat menghabiskan tempe yang diberikan. Kebiasaan ini dapat diteruskan jika penelitian sudah berakhir dengan jumlah tempe dan cara pengolahan yang sama dengan saat penelitian. Tabel 35 di bawah ini adalah memperlihatkan persentase konsumsi tempe. Tabel 35 Gambaran kepatuhan konsumsi tempe Fase
Minimal (%)
Maksimal (%)
Rata-rata (%)
I
62.5
100
86.3
II
58
100
86.9
Total
58
100
86.5 (138g tempe)
65
Kadar profil lipid serta prevalensi dislipidemia sebelum intervensi Pada tahap pelaksanaan penapisan awal diperoleh 123 sampel yang memenuhi kriteria inklusi penapisan yaitu mengalami menopause secara alami, rentang menopause 1 – 5 tahun, tidak menderita penyakit degeneratif dan jika terpilih sanggup menjalani intervensi yang telah ditentukan. Setelah dilakukan penapisan pengambilan darah maka diperoleh 67 sampel (54.9%) yang sesuai dengan kriteria inklusi penelitian yaitu salah satu dari kadar profil lipidnya tidak normal.
Dari 67 calon sampel yang memenuhi syarat awal, hanya 60 calon
sampel yang datang saat pengambilan darah 1 (fase 1). Tujuh calon sampel yang tidak datang karena bekerja di tempat yang jauh sehingga tidak memungkinkan untuk mengirim tempe setiap hari. Hingga akhir penelitian, dari 60 sampel tersisa 53 sampel yang memiliki data lengkap untuk dianalisis. Tujuh sampel yang drop out
memiliki alasan: 1 orang sakit, 1 orang data tidak lengkap, 5 orang tidak
bersedia melanjutkan intervensi dengan alasan non medis. Tabel 36 menunjukkan profil lipid sampel sebelum intervensi, terlihat bahwa rata-rata serum kolesterol total dan K-LDL lebih tinggi dari normal, sedangkan rata-rata trigliserida mendekati batas tidak normal dan K-HDL masih tergolong normal. Jika di lihat dari besarnya persentasi kadar profil lipid, terlihat bahwa lebih dari separuh jumlah sampel mempunyai kadar kolesterol total lebih dari nilai normal sedangkan K-LDL yang diatas normal mendekati separuh jumlah responden. Sementara K-HDL dan trigliserida yang tidak normal kurang dari sepertiga responden. Tabel 36 Distribusi sampel berdasar kadar profil lipid sebelum intervensi Variabel
Standar
Mean + SD
normal
Normal
Tidak normal
n
%
n
%
Profil lipid Kolesterol total
mg/dL
< 200
210.7 + 26.6
18
33.9
35
66.0
Kolesterol LDL
mg/dL
< 130
132.2 + 23.6
27
50.9
26
49.1
Kolesterol HDL
mg/dL
> 40
49.2 + 10.7
44
83.0
9
17.0
Trigliserida
mg/dL
< 150
147.0 + 48.9
34
64.2
19
35.8
Masa menopause yang ditandai dengan penurunan produksi estrogen merupakan faktor risiko yang meningkatkan ketidaknormalan profil lipid pada
66
wanita menopause. Hal tersebut karena hilangnya fungsi esterogen untuk meningkatkan aktivitas reseptor LDL sehingga menurunkan metabolisme lipid dan berakibat pada peningkatan kadar lipid darah. Parameter Biokimia sebelum dan Setelah Intervensi Kadar Profil Lipid Sebelum dan Setelah Intervensi Wanita menopause merupakan salah satu kelompok populasi yang mengalami peningkatan risiko terhadap PJK. Bukti empiris menyebutkan bahwa PJK merupakan penyebab kematian terbesar pada wanita menopause.
Hal
tersebut disebabkan karena perubahan metabolisme lipoprotein yang berhubungan dengan penurunan sekresi estrogen sehingga menyebabkan peningkatan kolesterol total, K-LDL dan penurunan K-HDL (Nasr 1998). Di Indonesia, meskipun tidak dibagi berdasar jenis kelamin, ternyata terjadi peningkatan penyebab kematian karena PJK.
Jika pada tahun 1971 PJK menjadi penyebab kematian no 11
(menyumbang 5.1% kematian), tahun 1986 meningkat menjadi penyebab kematian ke 3 (9.7%) dan tahun 1995 menjadi penyebab kematian pertama (18.9%). Berbagai bukti ilmiah berdasar penelitian klinis membuktikan bahwa kedelai merupakan alternatif makanan sebagai pengganti protein hewani yang mempunyai efek menguntungkan terhadap penurunan risiko PJK.
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa konsumsi kedelai mempunyai kontribusi terhadap penurunan risiko PJK di berbagai populasi (Potter et al. 1993) termasuk wanita menopause (Potter et al. 1998; Wangen et al. 2001; Dewell et al. 2002). Bukti epidemiologi juga menunjukkan bahwa bangsa Asia yang mengonsumsi kedelai sebagai salah satu pangan utama mempunyai insiden PJK jauh lebih rendah dibanding tipe diet barat (Beaglehole
1990). Sebagai contoh, bangsa Jepang
mengonsumsi protein kedelai sebesar 55g/hr sedangkan penduduk Amerika Serikat mengonsumsi kurang dari 5g/hr.
Pada tahun 1998, dengan menghitung
kematian karena PJK per 100.000 penduduk usia 35 hingga 75 tahun ternyata penduduk Amerika mempunyai kejadian tertinggi sebesar 401 kematian laki-laki dan 197 kematian perempuan, sedangkan Jepang sebesar 201 laki-laki dan 99
67
kematian perempuan (AHA 1999). Terlihat bahwa perbedaan pola diet akan mempengaruhi pola penyakit dan penyebab kematian di suatu negara. Tempe sebagai makanan tradisional yang murah dan sangat mudah ditemukan di pasar mempunyai peluang sebagai pangan fungsional untuk memperbaiki profil lipid dan menurunkan risiko PJK pada wanita menopause. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi tempe dapat memperbaiki profil lipid secara bermakna, yaitu dengan menurunkan kolesterol total sebesar 6.0%, K-LDL sebesar 5.8% dan trigliserida sebesar 11.7%. Namun demikian, tidak terjadi penurunan K-HDL setelah intervensi. Tabel 37 Kadar profil lipid sebelum dan setelah intervensi Parameter
Fase
Intervensi
Kontrol
K-Total (mg/dL)
Sebelum
210.7 + 26.8
211.4 + 32.0
Setelah
198.1 + 32.6
210.9 + 34.6
Selisih
12.6 + 18.1
0.5 + 14.7
6.0
0.2
p-value
0.000
0.802
Sebelum
132.2 + 23.6
127.5 + 26.2
Setelah
124.4 + 27.7
141.6 + 30.3
Selisih
7.8 + 16.7
14.1 + 15.0
5.8
11.8
p-value
0.001
0.000
Sebelum
49.2 + 10.7
48.3 + 12.2
Setelah
48.2 + 10.5
50.7 + 10.3
Selisih
1.1 + 5.9
2.3 + 6.7
1.4
7.0
p-value
0.198
0.013
Sebelum
147.0 + 48.9
127.8 + 33.7
Setelah
127.9 + 60.3
127.2 + 45.2
Selisih
19.0 + 43.2
0.6 + 37.7
11.7
1.2
0.002
0.904
% Selisih
K-LDL (mg/dL)
% Selisih
K-HDL (mg/dL)
% Selisih
Trigliserida (mg/dL)
% Selisih p-value
p-value
0.000
0.000
0.009
0.017
68
Selanjutnya Gambar 21 memperlihatkan perubahan persentase sampel yang memiliki serum lipid “normal” sebelum dengan setelah intervensi. Dapat dilihat terjadinya peningkatan persentase yang memiliki kadar K -total serum “normal” dari 33.9% (sebelum intervensi) menjadi 50.9% (set elah intervensi) atau terjadi peningkatan sebesar 50.1% dan peningkatan persentase kadar trigliserida “normal” dari 64.2% menjadi 79.2% atau meningkat sebesar 23.4%. Sedangkan untuk K-LDL LDL tidak terjadi perubahan persentase sampel sebelum dengan setelah intervensi tervensi meskipun jika dilihat kadar K -LDL rata-rata rata setelah intervensi mengalami penurunan (turun 5.8%) dibanding sebelum intervensi. Sementara untuk K-HDL HDL setelah intervensi terjadi sedikit penurunan persentase sampel yang memiliki kadar “normal”, kemungkinan kemun gkinan karena durasi waktu penelitian yang kurang lama menyebabkan kadar K-HDL K HDL relatif tidak berubah setelah intervensi. Berbagai penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perubahan K -HDL terjadi setelah intervensi selama 12 minggu, sedangkan perubahan K -tot total, K-LDL dan trigliserida dapat berubah dalam waktu yang lebih singkat, yaitu setelah intervensi selama 2 minggu. 90
83 81.1
80 70
64.2
% 60
50.9
50 40
79.2 sebelum sebelum intervensi intervensi setelah setelah intervensi intervensi
50.9 50.9
33.9
30 20 10 0 K-total
KLDL
K-HDL
p < 0.05
ns
ns
Trigliserida p < 0.05
Gambar 21 Persentase sampel menurut kategori profil lipid “normal” sebelum dan setelah intervensi. Hasil penelitian ini mendukung penelitian penelit ian intervensi tempe yang pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia. Sugyarto (1990) memberikan tempe 200 g
69
/hr pada pasien rumah sakit yang hiperkolesterolemia berhasil menurunkan kolesterol total (17.3%), K-LDL (26.3%) dan meningkatkan K-HDL (4.2%). Arbai (1994) memberikan tempe 150 g/hr selama 2 minggu pada laki-laki dewasa yang hiperlipidemia dan hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan kolesterol total (8.38%), K-LDL (8.29%), trigliserida (9.19%) dan meningkatkan K-HDL (8.47%). Sementara itu penelitian yang dilakukan Wardani (2000) yang memberikan 100 g/hr
formula tempe selama 42 hari pada laki-laki berhasil
menurunkan kolesterol total sebesar 15.7%. Meta analisis yang dilakukan oleh Anderson et al. (1995) terhadap 38 penelitian klinis menyatakan adanya hubungan antara konsumsi protein kedelai dengan konsentrasi serum lipid. Secara rata-rata terdapat penurunan 13% pada KLDL, namun tidak ada perubahan pada K-HDL. Yeung and Yu (2003) dalam meta analisis yang dilakukan terhadap 21 studi klinis menyebutkan bahwa isolat isoflavon (dalam bentuk tablet) signifikan menurunkan kolesterol total, K-LDL dan trigliserida. Selanjutnya meta analisis yang dilakukan Zhan and Ho (2005) yang mereview 23 penelitian klinis yang dipublikasi tahun 1995 hingga 2000 melaporkan bahwa isoflavon secara signifikan menurunkan kolesterol total sebesar 3.77%, K-LDL 5.25% dan trigliserida 7.27%, serta meningkatkan K-HDL 3.03%. Perubahan dipengaruhi oleh jenis atau bentuk isoflavon yang diberikan, level awal kadar profil lipid, serta durasi pemberian. Beberapa studi menunjukkan bahwa konsumsi isoflavon lebih dari 80mg/h lebih nyata mempengaruhi perubahan profil lipid.
Efek pada
kolesterol total, K-LDL dan triliserida dapat muncul pada pemberian dalam jangka pendek, sementara perubahan K-HDL muncul setelah intervensi lebih dari 12 minggu (Zhan & Ho 2005). Meta analisis yang dilakukan Taku et al. (2007) pada 11 randomized controlled trials yang dipublikasi tahun 1990 hingga 2006 menyimpulkan bahwa isoflavon kedelai dapat menurunkan serum kolesterol total 0.10 mmol/L, K-LDL 0.10 mmol/L, namun tidak memperbaiki K-HDL dan trigliserida. Penurunan KLDL lebih besar pada individu yang mengalami hiperkolesterolemia dibanding yang normal. Meta analisis terbaru yang ditulis oleh Hooper et al. (2008) tentang pengaruh pemberian flaonoids dan makanan yang diperkaya flavonoid terhadap
70
risiko penyakit jantung pada berbagai randomized controlled trials menyatakan bahwa isoflavon secara signifikan dapat menurunkan K-LDL sebesar 0.19 mmol/L. Efek hipokolesterolemik kedelai dan tempe tidak secara spesifik ditunjukkan oleh faktor tertentu, namun akibat dari peran sinergis beberapa komponen dalam kedelai (Potter et al. 1995). Berbagai mekanisme lain yang dapat menjelaskan peran kedelai dan tempe dalam menurunkan kolesterol antara lain: Serat. Setelah fermentasi, serat dalam tempe meningkat hingga tujuh kali lipat dibanding kedelai yang disebabkan karena adanya pertumbuhan miselium Rhizopus (Matsuo 1990). Dalam serat juga terkandung saponin yang mampu menghambat penyerapan kolesterol (Fraser 1994).
Berbagai penelitian
melaporkan bahwa serat kedelai dapat menurunkan kolesterol pada individu yang mengalami hiperkolesterolemia (Shorey et al. 1985). Efek protein pada hormon. Dalam penelitian ini, uji laboratorium menunjukkan bahwa asam amino tertinggi dalam tempe adalah arginin, yaitu 6.68%w/w. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ghozali (2009) yaitu arginin meningkat hingga tujuh kali dibandingkan dengan arginin pada kedelai. Insulin dan glukagon berperan dalam homeostatis lipid dan glukosa. Tingginya rasio insulin/glukagon dihubungkan dengan peningkatan risiko PJK yang disebabkan efek hiperlipidemik dan atherogenik. Pada intervensi protein kedelai jangka panjang terjadi peningkatan glukagon sehingga terjadi penurunan rasio insulin/glukagon. Hal tersebut merupakan sebagian peran protein kedelai terhadap efek hipolipidemik. Kapasitas protein kedelai untuk mengatur rasio insulin/glukagon kemungkinan karena komposisi asam amino kedelai. Umumnya protein nabati tinggi asam amino seperti lisin, glisin dan alanin, sementara protein hewani tinggi lisin. Tingginya rasio arginin/lisin dihubungkan dengan tingginya konsentrasi serum glukagon (Torres et al. 2006).
Rasio arginin/lisin yang lebih
tinggi pada kedelai dibanding pangan hewani ternyata dapat menghambat proses lipogenesis (Potter et al. 1995).
Efek ini dilaporkan terjadi pada penderita
hiperkolesterolemia (Sanchez & Hubbard 1991). Sisa protein yang tidak dapat
71
dicerna yaitu peptida hidrofobi akan mengikat asam empedu dan kolesterol dalam lumen usus menyebabkan penurunan absorbsi kolesterol (Madani et al. 1998). Penelitian terdahulu pada studi binatang mencatat bahwa asam amino lisin dan methionin (asam amino pembatas pada kedelai) cenderung meningkatkan level kolesterol (methionin merupakan prekursor homosistein-faktor risiko PJK), sementara arginin mempunyai efek yang berlawanan (Kurowska & Carroll 1994; Tamura et al. 1998). Efek protein pada reseptor LDL. Kedelai mengandung 2 tipe protein yaitu globulin 11S (glycinin) dan 7S (β-conglycinin).
Studi pada kultur sel
menunjukkan bahwa globulin dapat menstimulasi aktifitas reseptor LDL (Lovati et al. 1992). Berdasar penelitian sebelumnya, Sirtori et al. (1995) menyatakan bahwa konsumsi protein kedelai dapat mengatur reseptor LDL pada manusia. Kadar reseptor LDL pada sel ternyata lebih tinggi pada kelompok yang diberi intervensi protein kedelai dibanding protein kasein (Baum et al. 1998). Protein kedelai menurunkan absorbsi kolesterol di pencernaan dan pengeluaran garam empedu sehingga membantu menurunkan kolesterol serum. Protein 7S (β-conglycinin) dilaporkan menurunkan akumulasi kolesterol dalam aorta sehingga mencegah PJK dan membantu menekan pusat lapar sedangkan protein 11S (glycinin) mempunyai peran sebagai antioksidan (Torres et al. 2006). Isoflavon. Kedelai adalah sumber utama isoflavon (Erdman et al. 2000). Isoflavon merupakan fitoestrogen dengan potensi aktivitas estogen terbesar, dimana genistein, daidzein dan glycitein adalah komponen paling aktif (Sutar et al. 2001). Isoflavon kedelai mempunyai aktivitas mirip estrogen terhadap reseptor estrogen (ER) (afinitasnya 100 kali lebih rendah dibanding estradiol). Isoflavon kedelai mengikat ER-yang ditemukan di sistem syaraf pusat, tulang, dinding vaskular dan saluran urogenitas.
Ikatannya terhadap ER- yang terdapat di
payudara serta uterine jauh lebih rendah (Morito et al. 2001). Isoflavon mempunyai peran yang selektif tergantung dari konsentrasi estradiol dan kejenuhan reseptor, sehingga di beberapa jaringan mungkin menunjukkan peran proestrogenik sedangkan di jaringan lain antiestrogenik (Baker et al. 2000; Wolter 2004). Banyak penelitian menunjukkan bahwa isoflavon mempunyai efek hipokolesterolemik (Cassidy et al. 1995), antioksidan dan efek mirip estrogen
72
pada pembuluh darah (Nestel et al. 1997; Honore et al. 1997).
Isoflavon
mempunyai struktur mirip estrogen sehingga mempunyai kemampuan aktivitas estrogenik
yang
dapat
mengatur
metabolisme
lipoprotein.
Efek
hipokolesterolemik isoflavon adalah melalui kemampuannya untuk mengatur aktivitas reseptor LDL. Studi pada binatang yang reseptor LDL nya dihilangkan ternyata meningkat risiko atherosklerosis (Setchell & Cassidy 1999). Vitamin B12. Tempe mengandung vitamin B12 aktif yang diproduksi baik oleh bakteri maupun kapang selama proses fermentasi kedelai. Penelitian Susianto (2011) membuktikan bahwa sampel yang diberi formula tepung tempe ternyata mengalami peningkatan kadar vitamin B12 serum setelah 3 bulan intervensi dihentikan. Selain itu juga terbukti adanya korelasi negatif antara kadar vitamin B12 dengan homosistein serum. Seperti diketahui peningkatan kadar homosistein
akan
memicu
peningkatan
hidrogen
peroksida
sehingga
menimbulkan risiko kerusakan sel endotel dan timbulnya platelet pada pembuluh darah yang akan mengakibatkan stroke atau penyakit jantung (Bittner 2001) Kadar SOD dan Zn Sebelum dan Setelah Intervensi Enzim SOD adalah salah satu dari jenis enzim antioksidan endogen dan berperan melindungi sel dari proses oksidasi (kerusakan oksidatif), merupakan sistem pertahanan pertama untuk menekan pembentukan radikal bebas. Enzim ini terdapat pada semua organisme aerob dan umumnya berada dalam tingkat subseluler (intraseluler). Karena berada dalam lingkungan aerob maka dibutuhkan oksigen untuk kehidupannya sehingga peka terhadap terjadinya kerusakan karena oksidasi atau disebut stres oksidatif.
Enzim SOD bekerja di dalam sel dan
berperan pada tahap awal terjadinya stres oksidatif yaitu dengan mengubah radikal anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan molekul oksigen. Sampel penelitian ini yang mempunyai profil lipid “tidak normal” merupakan individu dengan risiko terkena oksidasi yang tinggi. Adanya radikal bebas pada individu yang berisiko akan meningkatkan pemakaian enzim antioksidan yang mengakibatkan berkurangnya enzim tersebut di dalam sel. Rendahnya enzim antioksidan intrasel mengakibatkan sel tidak mampu mencegah pembentukan radikal bebas dalam tubuh sehingga terjadi proses peroksidasi lipid dan berakibat pada peningkatan kadar MDA.
73
Dalam penelitiannya Astuti mendeteksi adanya SOD dalam tempe yang muncul setelah fermentasi kedelai selama 24 jam (Astuti 1997). Peningkatan SOD berlanjut hingga fermentasi 60 jam yang menandakan bahwa produksi SOD berjalan bersamaan dengan pertumbuhan kapang.
Dalam penelitian ini enzim
antioksidan yang diteliti hanya SOD dengan asumsi karena penelitian sebelumnya hanya menemukan SOD dalam tempe sedangkan katalase dan glutation peroksidase belum dilaporkan. Selain itu SOD dianggap sebagai antioksidan primer yang merupakan pertahanan pertama untuk menangkal radikal bebas.
a. Perubahan aktivitas SOD pada setiap fase Uraian di bawah ini akan menampilkan secara lebih terperinci pergerakan rata-rata (mean) pada setiap kelompok perlakuan (orang yang sama), dimulai saat awal hingga akhir penelitian. Gambar 22 adalah kelompok A yang saat fase 1 mendapat “intervensi” terlebih dahulu dan setelah wash out pada fase 2 mendapat “kontrol”, sementara Gambar 23 merupakan kelompok B dimana pada fase 1 mendapat “kontrol” terlebih dahulu dan pada fase 2 mendapat “intervensi”. Gambar 22 berikut menunjukkan bahwa pada kelompok sampel yang memiliki aktivitas SOD kurang dari rata-rata, mengalami peningkatan aktivitas SOD yang lebih tajam dibanding kelompok sampel yang memiliki aktivitas SOD lebih besar dari mean. Pada fase wash out terjadi sedikit penurunan aktivitas SOD di dua kelompok, dan memasuki fase 2 terjadi peningkatan aktivitas SOD meskipun sangat kecil. Relatif rendahnya perubahan di fase wash out dan fase 2 kemungkinan karena aktivitas SOD telah berada pada kisaran normal atau terjadi kondisi homeostatis. Kelompok A U/mL
20.0 15.0 > mean
10.0
< mean
5.0 0.0 Sebelum Setelah Intervensi
Sebelum Setelah Kontrol
Gambar 22 Perubahan rata-rata aktivitas SOD pada kelompok A (U/mL)
74
Tidak terjadinya penurunan aktivitas SOD seperti kondisi sebelum “intervensi” kemungkinan karena fase wash out yang kurang lama. Intervensi tempe terbukti mampu mempertahankan aktivitas SOD pada level yang “baik” hingga 2 bulan setelah berakhirnya intervensi. Pada Gambar ar 23 menampilkan sampel yang pada fase 1 mendapat “kontrol” terlebih dahulu, terlihat adanya kenaikan aktivitas SOD. SOD
Sementara
pada kelompok yang memiliki aktivitas SOD di atas mean terus terjadi peningkatan bahkan setelah fase “intervensi” selesai, meskipun peningkatan saat “intervensi” tidak terlalu tajam. Kemungkinan sebelum masuk fase “intervensi” , aktivitas SOD berada pada level yang cukup, sehingga pemberian tempe menjadi tidak terlalu berpengaruh. Hal yang sama terjadi pada kelompok dengan aktivitas SOD kurang dari mean, terjadi peningkatan yang sangat kecil selama fase “kontrol”, namun setelah selesai “intervensi” terjadi peningkatan aktivitas SOD yang jauh lebih besar dibanding kelompok dengan mean lebih besar, sehingga kemungkinan pemberian tempe akan lebih bermanfaat pada individu dengan aktivitas SOD yang rendah karena dapat meningkatkan akt ivitas SOD lebih tinggi. Kelompok B U/mL 25.0 20.0 15.0
> mean
10.0
< mean
5.0 0.0 Sebelum Kontrol
Setelah
Sebelum Setelah Intervensi
Gambar mbar 23 Perubahan rata-rata rata aktivitas SOD pada kelompok B (U/mL) Ketika “intervensi” pada kelompok A dan B digabung (Gambar 24), terlihat bahwa sampel yang memiliki aktivitas SOD kurang dari mean mengalami peningkatan aktivitas SOD yang lebih tajam dibanding sampel dengan aktivitas SOD lebih besar dari mean. Hal ini be rarti pada individu dengan aktivitas SOD yang rendah maka pemberian tempe akan lebih bermanfaat. Sementara itu pada “kontrol” terlihat bahwa meniadakan konsumsi tempe pada kelompok yang aktivitas SOD kurang dari mean tetap menunjukkan peningkatan. Hal te rsebut kemungkinan disebabkan karena sampel yang termasuk kelompok A, dimana
75
setelah 2 bulan tidak mengonsumsi tempe aktivitas SOD masih dalam keadaan baik. Artinya pemberian tempe selama 4 minggu masih dapat mempertahankan aktivitas SOD 2 bulan berikutnya ketika tempe tidak lagi diberikan. U/mL
Total sampel (A+B)
25 20 15
> mean
10 5
< mean
0 Sebelum Setelah Intervensi
Sebelum Setelah Kontrol
Gambar 24 Perubahan rata-rata aktivitas SOD (U/mL) Analisis bivariat lebih lanjut berdasar hasil FFQ terhadap riwayat konsumsi tempe sebelum penelitian dilaksanakan menunjukkan, bahwa sampel dengan aktivitas SOD lebih besar dari mean ternyata lebih banyak yang mengonsumsi tempe setiap hari (48.1%) dibanding yang tidak mengonsumsi tempe setiap hari (26.9%). Hal ini berarti bahwa konsumsi tempe rutin setiap hari dapat meningkatkan aktivitas SOD hingga mencapai level yang aman. b. Perubahan total aktivitas SOD Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
pemberian
tempe
dapat
meningkatkan aktivitas SOD sampel sebesar 56.9%, lebih besar dibanding kontrol (28.9%).
Namun demikian analisis statistik tidak menunjukkan perbedaan
bermakna pada kelompok intervensi dan kontrol karena peningkatan aktivitas SOD pada kelompok kontrol ada dalam kisaran kelompok intervensi (Tabel 38). Mineral Zn dalam serum sampel juga mengalami peningkatan sebesar 22.27% sedangkan pada kelompok kontrol juga meningkat namun tidak sebesar dibanding kelompok intervensi yaitu sebesar 12.75%. Kandungan Zn pada tempe yang hampir setara dengan Zn pada ayam kemungkinan menyebabkan peningkatan Zn pada kelompok intervensi. Meskipun mengalami peningkatan pada kelompok intervensi, namun secara statistik tidak ada perbedaan hasil dengan kelompok kontrol, karena perubahan pada kelompok kontrol ada dalam kisaran hasil kelompok intervensi.
76
Tabel 38 Kadar SOD dan Zn sebelum dan setelah intervensi Parameter
Fase
Intervensi
Kontrol
SOD (U/mL)
Sebelum
11.3 + 7.4
10.9 + 7.2
Setelah
17.6 + 8.11
13.8 + 8.6
Selisih
6.3 + 9.6
2.9 + 10.2
56.9
28.9
p-value
0.000
0.044
Sebelum
0.69 + 0.2
0.76 + 0.16
Setelah
0.83 + 0.18
0.83 + 0.17
Selisih
0.12 + 16.7
0.07 + 0.17
22.27
12.75
0.000
0.004
% Selisih
Seng (mg/dL)
% Selisih p-value
p-value
0.141
0.211
Di dalam mitokondria, SOD berbentuk Mn-SOD, sementara dalam bagian yang lebih luas yaitu sitosol, SOD berbentuk Zn-Cu SOD (Gropper et al. 2005). Menurut Darnenne et al. (1982), aktivitas SOD sangat tergantung pada keberadaan Zn yang mampu meningkatkan menstabilkan enzim.
Peran Zn
terhadap peningkatan aktivitas SOD kemungkinan dengan cara menstimulai limfosit T untuk berproliferasi sehingga memacu aktivitas enzim selular (Takana et al. 1989) maupun humoral (Vouldoukis et al. 2000; Vouldoukis et al. 2003). Kostyuk et al. (2001) dalam Winarsi (2004) menduga adanya interaksi flavonoid dan Zn++ , memiliki tambahan 1 pusat radical scavenging sehingga efek antioksidannya menjadi lebih kuat. Hal tersebut mungkin berlaku untuk isoflavon dan Zn yang bekerjasama meningkatkan SOD. Peningkatan aktivitas SOD pada kelompok intervensi dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Astuti (1997) yang memberikan tempe kepada tikus.
Hasil intervensi selama enam minggu menunjukkan terjadinya
peningkatan SOD pada serum dan hati tikus yang sejalan dengan peningkatan jumlah tempe yang diberikan. Demikian juga penelitian yang dilakukan Winarsi (2004) pada wanita premenopause dengan memberikan susu skim yang difortifikasi isoflavon ternyata dapat meningkatkan kadar SOD setelah intervensi. Mekanisma peningkatan aktivitas SOD kemungkinan karena peningkatan jumlah Cu, Fe dan Zn dalam tempe, dimana mineral-mineral tersebut merupakan
77
kofaktor dan pengatur SOD dalam sitosol (Gropper et al. 2005). Peningkatan mineral tersebut disebabkan karena selama proses fermentasi terjadi peningkatan enzim fitase yang akan menurunkan asam fitat sekitar sepertiga dimana asam fitat tersebut dapat mengikat mineral seperti Fe, Zn dan Cu (Sudarmadji & Markakis 1977). Penurunan asam fitat akan meningkatkan ketersediaan Zn, Fe dan Cu untuk membantu fungsi SOD. Penelitian Astuti (1992) juga menjelaskan bahwa terjadi peningkatan distribusi Fe, Cu dan Zn dalam sel hati tikus yang diberikan tempe, namun peningkatan tidak terjadi pada kelompok yang diberi kasein dan kedelai.
Sementara itu penelitian yang dilakukan Lee (2006) menunjukkan
peningkatan aktivitas SOD, katalase dan GPx pada tikus yang diberi genistein dari kedelai. Penelitian secara in vitro yang dilakukan oleh Hu et al. (2004) berhasil mendeteksi bahwa ekstrak fermentasi kedelai mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C untuk melawan peroksidasi asam lemak tidak jenuh. Ditunjukkan bahwa ekstrak fermentasi kedelai mempunyai dua fungsi yaitu sebagai antioksidan sekaligus sebagai acceptor radikal bebas yang mengubah radikal bebas menjadi substansi yang tidak berbahaya melalui proses penurunan energi. Sementara itu secara in vivo menunjukkan telah terjadi peningkatan aktivitas SOD, katalase dan GPx di hati. Rimbach et al. (2008) menyebutkan bahwa isoflavon berperan sebagai antioksidan lewat mekanisme penghambat oksidasi LDL, stimulasi aktivitas enzim antioksidan (SOD dan katalase) serta induksi sintesa glutathione. Kandungan protein yang tinggi pada tempe kemungkinan meningkatkan jumlah protein pembentuk enzim. Meningkatnya aktivitas enzim SOD setelah pemberian tempe juga diduga karena induksi gen yang bertanggung jawab pada sintesis enzim antioksidan (Suarsana 2009). Hal tersebut didukung oleh penelitian Boras et al. (2006) dalam Suarsana (2009) bahwa kultur sel yang diberi genistein dapat meningkatkan ekspresi MnSOD yang kemungkinan melalui mekanisme: interaksi genistein dengan reseptor estrogen, aktivasi ERK1/2 (extracellular-signal regulated kinase) dan melalui translokasi NFkB atau Nrf2 ke inti sehingga meningkatkan ekspresi MnSOD dan menurunkan peroksida intraselullar.
78
Mekanisme peran isoflavon untuk meningkatkan transkripsi gen antioksidan dijelaskan pada gambar 25 yang menyatakan bahwa diet tinggi isoflavon dapat meningkatkan aktivitas eNOS (endotel nitrik oksida sintase), sehingga sel endotel akan menghasil NO (nitrik oksida) yang mempunyai peran penting dalam ekspresi gen antioksidan GPx yang dimediasi oleh Nrf2. Jika dihubungkan dengan penelitian ini, maka meskipun tempe hanya disebut mengandung SOD, namun kandungan isoflavon dalam tempe mampu meningkatkan enzim antioksidan lain yaitu GPx. Isoflavon, khususnya genistein dan daidzein (daidzein mempunyai produk turunan yaitu equol yang strukturnya mirip estrogen) mempunyai afinitas terhadap ER-βatau ER-α.
Gambar 25 Peran isoflavon dalam aktivasi transkripsi gen antioksidan (Mann et al. 2007 and Siow, Ricard C.M, et al. 2007)
Mekanisme yang terjadi adalah estrogen atau isoflavon berikatan dengan ERβatau ERαpada permukaan membran sel yang selanjutnya akan mengaktifkan kinase dalam intrasel dan mengaktifkan MAPK (MAP kinase phosphorylation) dan kemudian MAPK akan memodifikasi residu sistein pada
Keap-1
menyebabkan pemisahan dan translokasi transkipsi Nrf2 (berfungsi menghambat stress oksidasi) serta meningkatkan pelepasan Nrf2 dan NF-kB ke nukleus. Selanjutnya Nrf2 akan mengikat ARE (antioxidant response element) atau EpRE (electrophile response element) pada daerah target gen dan akan menginduksi gen antioksidan.
79
Pemberian tempe sebanyak 160 g per hari selama 4 minggu mampu meningkatkan kadar Zn serum dan meningkatkan aktivitas SOD dalam sel. Kandungan isoflavon khususnya isoflavon aglikon dapat berperan seperti estrogen sehingga mampu meningkatkan kadar SOD, sedangkan kandungan protein turut berperan dalam pembuatan enzim antioksidan dan kandungan Zn yang tinggi pada tempe mampu meningkatkan aktivitas SOD. Kadar Ox-LDL Sebelum dan Setelah Intervensi Beberapa studi kasus kontrol melaporkan tingginya kadar Ox-LDL pada penderita PJK dibandingkan dengan individu yang sehat. Toshima et al. (2000) menyatakan bahwa konsentrasi Ox-LDL merupakan marker yang sensitif terhadap PJK dibanding K-total, trigliserida, apoB dan K-HDL pada pasien PJK. Hal tersebut dikonfirmasi oleh Suzuki et al. (2002) bahwa Ox-LDL merupakan parameter yang lebih sensitif terhadap PJK dibandingkan K-total, trigliserida, KHDL, K-LDL, lipoprotein dan rasio K-total/HDL. Dengan kata lain Ox-LDL merupakan prediktor yang kuat untuk PJK. a.
Perubahan Ox-LDL pada setiap fase Gambar 26 menunjukkan bahwa
setelah intervensi, kelompok sampel
yang memiliki Ox-LDL lebih besar dari mean, mengalami penurunan yang lebih tajam, sementara kelompok sampel yang memiliki Ox-LDL kurang dari mean justru terjadi peningkatan Ox-LDL. Pada fase wash out terjadi peningkatan OxLDL pada kedua kelompok, dan level Ox-LDL pada kelompok yang tinggi telah kembali seperti sebelum “intervensi”. Artinya durasi wash out selama satu bulan dapat meningkatkan kembali Ox-LDL pada kondisi semula, baik pada kelompok yang Ox-LDL di atas mean maupun di bawah mean, dengan kata lain jika tempe tidak dikonsumsi maka terdapat risiko peningkatan oksidasi LDL yang dikhawatirkan akan berdampak serius pada kesehatan, khususnya peningkatan risiko penyakit jantung.
80
120 mU/l 100 80 60 40 20 0
Kelompok A
< mean > mean
Sebelum Setelah Intervensi
Sebelum Setelah Kontrol
Gambar 26 Perubahan rata-rata Ox-LDL pada kelompok A (mU/l) Pada Gambar 27 menunjukkan sampel pada fase 1 mendapat “kontrol” terlebih dahulu, terlihat adanya kenaikan Ox-LDL baik pada kelompok yang kurang maupun lebih besar dari mean. Peningkatan yang lebih besar pada kelompok dengan Ox-LDL di atas mean kemungkinan adalah ketika tingkat oksidasi pada LDL tergolong tinggi, maka kenaikan akan semakin tinggi saat tidak ada intervensi untuk mencegahnya. Kelompok yang memiliki Ox-LDL di atas mean terus mengalami peningkatan Ox-LDL yang kemudian turun setelah fase “intervensi” selesai. Sebaliknya pada kelompok Ox-LDL kurang dari mean justru mengalami penurunan saat wash out dan terjadi sedikit peningkatan setelah “intervensi”, kemungkinan disebabkan Ox-LDL pada kelompok ini dalam kisaran “normal”, sehingga tidak terjadi perubahan yang berarti selama penelitian (intervensi) berlangsung. 140 mU/l 120 100 80 60 40 20 0
Kelompok B
< mean > mean
Sebelum Setelah Kontrol
Sebelum Setelah Intervensi
Gambar 27 Perubahan rata-rata Ox-LDL pada kelompok B (mU/l). Ketika “intervensi” pada kelompok A dan B digabung (Gambar 28), terlihat bahwa sampel yang memiliki Ox-LDL di atas mean mengalami penurunan
81
Ox-LDL yang lebih tajam dibanding sampel dengan Ox-LDL kurang dari mean. Hal ini berarti pada individu dengan stres oksidatif yang tinggi pemberian tempe akan lebih bermanfaat. Sementara itu pada “kontrol” terlihat bahwa meniadakan konsumsi tempe akan semakin meningkatkan Ox-LDL. Hasil ini sejalan dengan kecenderungan yang terjadi pada kadar MDA. Total sampel (A+B)
120 mU/l 100 80 60 40 20 0
< mean > mean
Sebelum
Setelah
Intervensi
Sebelum
Setelah
Kontrol
Gambar 28 Perubahan rata-rata Ox-LDL (mU/l). Analisis bivariat lebih lanjut untuk melihat faktor yang berhubungan dengan Ox-LDL sebelum perlakuan menunjukkan bahwa Ox-LDL berhubungan dengan konsumsi SAFA, dimana pada kelompok sampel dengan Ox-LDL tinggi ternyata lebih banyak (50%) yang konsumsi SAFA di atas mean dibanding yang konsumsi SAFA kurang dari mean (35.9%). Ox-LDL juga berhubungan dengan kadar serum kolesterol-total
dan serum K-LDL, dimana persentase sampel
dengan Ox-LDL tinggi ternyata lebih banyak pada sampel yang serum kolesteroltotal dan serum LDL di atas normal (59.4% dan 58.3%) dibanding yang serum kolesterol-total dan K-LDL normal (33.3% dan 41.4%). b. Penurunan total Ox-LDL Hasil penelitian menunjukkan perbedaan kadar Ox-LDL sebelum dan setelah intervensi, yaitu
terjadinya penurunan sebesar 5.8% pada kelompok
intervensi dan peningkatan sebesar 20.3% pada kelompok kontrol. Terdapat 5 orang sampel (9.4%) yang mempunyai kebiasaan merokok (4 orang tergolong perokok ringan dan 1 orang tergolong perokok sedang), namun setelah diuji ternyata tidak ada perbedaan kadar Ox-LDL antara perokok dan bukan perokok. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena sebagian besar yang merokok tergolong perokok ringan. Banyak penelitian menyebutkan bahwa merokok dapat
82
menurunkan kadar antioksidan dalam tubuh dan meningkatkan risiko Ox-LDL (Parthasarathy 2008). Kadar Ox-LDL sebelum dan setelah intervensi disajikan dalam Tabel 39 berikut. Tabel 39 Kadar Ox-LDL sebelum dan setelah intervensi Parameter
Fase
Intervensi
Kontrol
Ox-LDL (mU/l)
Sebelum
85.9 + 29.0
83.2 + 24.2
Setelah
79.6 + 28.7
95.3 + 25.3
Selisih
-6.4 + 30.0
12.0 + 25.4
5.8
20.3
0.126
0.001
% Selisih p-value
p-value
0.000
Isoflavon merupakan golongan fitokimia yang banyak mempunyai grup hidroksil dan menunjukkan aktivitas antioksidan pada berbagai sistem (Larkin et al. 2008), baik pada fase aqueous maupun lipophilic (Harper 1999). Semakin banyak grup hidroksil dan grup karbonil pada posisi 4 rantai C, maka akan semakin meningkat aktivitas antioksidannya (Cook & Samman 1993). Mekanismenya adalah melalui pemutusan rantai propagasi radikal bebas (free radical chain breaking) dimana gugus hidroksi akan mendonorkan elektron atau hidrogen sehingga terjadi pembersihan (scavenging) atau penghalang (interceptor) terhadap radikal bebas. Isoflavon juga mempunyai kemampuan pemutusan rantai propagasi melalui pengikatan (chelating) ion metal transisi sehingga ion asing tersebut dapat dihilangkan dan efek prooksidannya dapat dihambat. Proses pengolahan kedelai menjadi berbagai bentuk turunan kedelai mempengaruhi kandungan isoflavon produk akhir. Pangan kedelai yang tidak difermentasi seperti tahu dan tepung kedelai lebih tinggi kandungan β-glukosida, sementara produk fermentasi kedelai seperti tempe, yogurt kedelai maupun natto lebih tinggi kandungan aglikon yang disebabkan proses hidrolisis enzimatik selama fermentasi (Wang and Murphy, 1994). Absorbsi bentuk aglikon lebih mudah dibanding bentuk glukosida karena ketika dikonsumsi glukosida harus dirubah terlebih dahulu menjadi aglikon sebelum diabsorbsi oleh pencernaan dengan kata lain bioavailability aglikon lebih baik dibanding glukosida. Tabel 40 berikut memperlihatkan bahwa total aglikon tempe adalah terbesar dibandingkan
83
dengan kedelai dan produk olahan lainnya.
Terlihat pula bawah tempe
mengandung genistein dalam jumlah yang lebih banyak dibanding daidzein dan glicitein. Genistein tempe juga jauh lebih besar dibandingkan dengan produk olahan kedelai lainnya seperti tahu (tofu), minuman dari kedelai maupun kedelai itu sendiri. Tabel 40 Kandungan isoflavon dari produk kedelai (Mikrograms per Gram) Produk
Glukosid a
Aglikon
Daidzin
Genistin
Glicitin
Total
Daidzein
Genistein
Glicitein
Total
Kedelai bakar
460
551
68
1079
39
69
52
160
Minuman kedelai
444
775
76
1295
18
44
20
82
Tofu
25
84
8
117
46
52
12
110
Tempe
2
65
14
148
137
193
24
354
Wang (1994)
Peran antioksidan isoflavon paling besar dilakukan oleh genistein, dalam hal ini berperan sebagai free radical scavengers (Vinson et al. 1995) atau menghambat reaksi radikal berantai (Hwang et al. 2000). Kerry and Mavis (1998) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan genistein disebabkan karena genistein mempunyai grup keton dan ikatan rangkap 2,3 C pada ring C dan grup hidroksil phenolik 3 yang menempel pada struktur ring.
Gugus hidroksi isoflavon yang
sangat reaktif dapat menyebabkan senyawa radikal menjadi inaktif yaitu dengan menangkap radikal superoksida sehingga efek radikal bebas dapat diredam. Hasil dalam penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian yang melihat peran isoflavon secara in vitro maupun in vivo. Penelitian Kapiotis et al. (1997) menunjukkan bahwa genistein dapat menghambat oksidasi LDL. Ekstrak isoflavon dari kedelai juga memperbaiki elastisitas pembuluh darah sistemik pada wanita namun tanpa mempengaruhi kadar lemak darah (Nestel et al. 1997). Penelitian tersebut menyatakan bahwa isoflavon dan atau fitokimia kedelai larut etanol yang lain mempunyai efek langsung pada sistem vaskular dan berdiri sendiri terhadap metabolisme lipid. Sementara itu Tamura et al. (1998) menyebutkan bahwa terdapat asam amino seperti arginin, ornitin, dan histidin yang mempunyai aktivitas antioksidan
84
yang kuat. Mekanisme antioksidan dari asam amino dan peptida adalah kation pada radikal peptida yang akan memberikan satu elektron dari atom nitrogen ke radikal peroksi (Murase et al. 1993). Pemberian tempe sebanyak 160 g per hari selama 4 minggu relatif dapat mempertahankan Ox-LDL untuk tidak mengalami peningkatan dibandingkan kelompok kontrol yang meningkat sebesar 20.3%. Hal tersebut karena isoflavon pada tempe dapat mencegah oksidasi lipid, bahkan potensi antioksidannya lebih tinggi dibandingkan dengan -tocopherol (Packett et al. 1971). Kadar MDA Sebelum dan Setelah Intervensi Malondialdehyde (MDA) adalah senyawa aldehida yang merupakan hasil akhir dari oksidasi asam lemak tidak jenuh ganda yang mengalami oksidasi karena senyawa radikal bebas atau peroksidasi lipid. Sebagai produk akhir, MDA dapat digunakan untuk penanda terjadinya peroksidasi lipid atau kadar radikal bebas di dalam tubuh.
Semakin bertambahnya usia, pembentukan radikal bebas akan
semakin meningkat sehingga mengakibatkan kerusakan oksidatif selular. Wanita menopause yang berisiko terhadap memburuknya profil lipid merupakan kelompok yang rentan terhadap radikal bebas akibat reaksi oksidasi. Serangan radikal bebas pada membran sel dapat ditandai dengan peningkatan kadar MDA dalam darah yang biasanya juga disebabkan rendahnya status antioksidan (Zakaria et al. 2000). Biomarker ini diperkirakan merupakan indikator yang sesuai untuk pengukuran stres oksidasi pada penelitian klinis.
Malondialdehyde dianggap
sebagai parameter peroksidasi lipid dan sesuai untuk penelitian pada sampel dengan kondisi klinis seperti metabolik sindrom dimana terjadinya peningkatan peroksidasi lipid akan disertai dengan peningkatan produksi MDA.
Jika MDA
bereaksi dengan DNA akan terbentuk MDA-DNA adduct sehingga DNA menjadi rusak dan sel tidak dapat berfungsi. a. Perubahan MDA pada setiap fase Gambar 29 menunjukkan kelompok yang pada fase 1 mendapatkan “intervensi” terlebih dahulu.
Terlihat bahwa pada kelompok sampel yang
memiliki MDA lebih besar dari mean, mengalami penurunan yang lebih tajam dibanding kelompok sampel yang memiliki MDA kurang dari mean. Pada fase
85
wash out penurunan MDA di dua kelompok ini masih terjadi, dan setelah masuk fase 2 (kontrol), terjadi peningkatan MDA. Fase wash out yang hanya satu bulan kemungkinan masih terlalu singkat untuk meningkatkan MDA kembali seperti sebelum “intervensi”. “intervensi”. Hal ini yang menyebabkan, jika fase kontrol digabung (kelompok A dan B) maka rata-rata rata rata pada kelompok kontrol jauh lebih rendah dibanding kelompok intervensi. Gambar 29 juga menunjukkan bahwa khususnya sampel dengan stres oksidatif tinggi, konsumsi temp e akan menurunkan MDA secara bermakna dan mempertahankan pada level tersebut hingga 2 bulan setelah konsumsi tempe dihentikan. ppm
Kelompok A
8 6 4
> mean
2
< mean
0 Sebelum
Setelah
Sebelum
Setelah
Kontrol
Intervensi
Gambar 29 Perubahan rata-rata rata MDA pada kelompok A (ppm). (ppm) Pada Gambar 30 dimana sampel pada fase 1 mendapat “kontrol” terlebih dahulu terlihat adanya kenaikan MDA baik pada sampel dengan MDA di atas maupun di bawah mean. mean
Sementara setelah memasuki fase intervensi, ntervensi, ternyata
sampel dengan kadar MDA lebih besar dari mean menunjukkan penurunan MDA yang tajam sebaliknya sampel den gan MDA kurang dari mean justru jus mengalami peningkatan MDA, kemungkinan kemungkinan karena pada kelompok tersebut mean MDA masih pada kisaran normal, sehingga tidak terjadi perubahan seperti yang diharapkan. ppm
Kelompok B
4 3 2
> mean
1
< mean
0 Setelum
Kontrol
Setelah
Sebelum
Setelah
Intervensi
Gambar 30 Perubahan rata-rata rata MDA pada kelompok B (ppm). (ppm)
86
Ketika “intervensi” pada kelompok A dan B digabung (Gambar 31), terlihat bahwa sampel yang memiliki MDA di atas mean ternyata mengalami penurunan MDA yang lebih tajam dibanding sampel dengan MDA kurang dari mean.
Hal ini kemungkinan pada individu dengan level MDA yang tinggi
intervensi tempe akan lebih bermanfaat. Sementara itu pada “kontrol” terlihat bahwa meniadakan konsumsi tempe akan semakin meningkatkan kadar MDA. ppm
Total sampel (A dan B)
6 4
> mean
2
< mean
0 Sebelum
Setelah
Intervensi
Sebelum
Setelah
Kontrol
Gambar 31 Perubahan rata-rata MDA (ppm). Analisis bivariat lebih lanjut berdasar hasil FFQ terhadap riwayat konsumsi tempe sebelum penelitian dilaksanakan menunjukkan bahwa, sampel dengan MDA di atas mean ternyata lebih banyak yang tidak mengonsumsi tempe setiap hari (36.4%) dibanding yang mengonsumsi tempe setiap hari (29.0%). Hal ini sejalan dengan penelitian Purwantyastuti (2007) bahwa lansia wanita yang mengonsumsi tempe lebih besar atau sama dengan 350g/minggu mempunyai kadar MDA yang lebih rendah dibandingkan dengan yang mengonsumsi tempe dengan jumlah lebih sedikit, artinya konsumsi tempe dapat menghambat laju peningkatan oksidasi lipid atau MDA di dalam tubuh. Konsumsi kolesterol juga berhubungan dengan kadar MDA, dimana sampel dengan kadar MDA lebih besar dari mean ternyata persentasenya lebih banyak yang mengonsumsi kolesterol >200 mg/hr (50%) dibanding sampel yang konsumsi kolesterolnya < 200 mg/hr (24.3%). Kadar MDA di atas mean juga berhubungan dengan serum kolesterol di atas normal dan hipertensi, yaitu sampel dengan kadar MDA diatas mean lebih banyak yang serum kolesterol di atas normal (37.5%) dan mengalami hipertensi (40%) dibandingkan dengan yang serum kolesterol nya normal (15.4%) dan tidak hipertensi (25%).
87
b. Perubahan MDA total Tabel 41 menunjukkan kadar MDA sebelum dan setelah intervensi. Terlihat bahwa pada kelompok intervensi, terjadi penurunan MDA sebesar 10.4% sementara pada kelompok kontrol terjadi peningkatan sebesar 27.3%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Azadbakht et al. (2007) yang membuktikan bahwa intervensi berupa soya protein dan soya nut pada wanita menopause dengan metabolik sindrom berhasil menurunkan MDA sebesar 7.9% dan 9.4%. Intervensi kedelai menghasilkan perubahan yang lebih baik dibandingkan intervensi dalam bentuk protein kedelai. Lebih tingginya penurunan MDA pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena intervensi yang diberikan berupa matriks makanan yang telah mengalami fermentasi sehingga mengandung protein nabati, asam lemak tidak jenuh dan isoflavon yang lebih tinggi dan fungsinya sebagai pencegah peroksidasi lipid menjadi lebih besar. Selain itu tempe sebagai produk fermentasi kedelai mempunyai kandungan genistein yang lebih tinggi dibanding produk non fermentasi kedelai sehingga kemampuannya sebagai antioksidan juga lebih tinggi. Tabel 41 Kadar MDA sebelum dan setelah intervensi (ppm atau mg/L) Parameter
Fase
Intervensi
Kontrol
MDA (ppm)
Sebelum
3.2 + 2.0
2.0 + 1.2
Setelah
2.4 + 1.5
2.8 + 1.6
Selisih
-0.8 + 1.8
0.8 + 1.9
-10.4
27.3
0.003
0.006
% Selisih p-value
p-value
0.000
Sementara itu hasil penelitian Winarsi (2004) menunjukkan bahwa pemberian susu skim yang difortifikasi dengan 100 mg isoflavon kedelai dan Zn pada wanita premanopause berhasil menurunkan MDA plasma dari 2.91 nmol/ml menjadi 1.86 nmol/ml (turun 36%).
Penelitian Astuti (1997) yang membagi
perlakuan menjadi 5 (kontrol, tempe 25%, tempe 50%, tempe 75%, tempe 100%) dan diberikan pada tikus hiperlipidemia selama 2 bulan menunjukkan bahwa tikus yang diberi pakan tempe kadar MDA nya lebih rendah dibanding tikus yang diberi kedelai. Hasil MDA terendah ditunjukkan pada tikus yang diberi tempe 100%.
88
Juweni (2000) yang memberi intervensi pada laki-laki dislipidemia berupa formula tempe sebanyak 100 g selama 42 hari ternyata tidak merubah kadar MDA di akhir penelitian, meskipun pada kelompok kontrol justru terjadi peningkatan MDA. Dalam hal ini, formula tempe berhasil menahan laju peroksidasi lipid dibanding kelompok kontrol. Pada penelitian secara in vitro, isoflavon yang tergolong kelas flavonoid dapat menghambat peroksidasi lipid melalui aktivitasnya sebagai free radical scavenger dengan cara menyumbangkan ion hidrogen kepada radikal bebas sehingga membentuk produk yang lebih stabil (Hodgson et al. 1996). Isoflavon bereaksi dengan produk peroksidasi lipid lain seperti radikal peroksil (LOO•), radikal lipid (L•) dan radikal lipid alkoksil (LO•) sehingga menjadi senyawa yang lebih stabil. Hasil
serupa
dikemukakan
oleh
Hwang
et
al.
2000
bahwa
fitoestrogen/isoflavon yg berlimpah pada tempe akan menstabilkan struktur LDL yang rentan terhadap oksidasi dengan cara menangkap radikal bebas sehingga menjadi produk yang lebih stabil dan mencegah terjadinya peroksidasi lipid. Selain mengeleminasi radikal bebas, isoflavon juga mencegah reaksi rantai lebih lanjut sehingga terjadi penurunan pembentukan MDA. Teori tersebut kemudian dikonfirmasi dengan penelitian Wiseman et al. (2000) dimana pemberian protein kedelai tinggi isoflavon dapat menurunkan kadar F2-isoprostane (merupakan marker peroksidasi lipid).
Azadbakht et al. (2007) juga menjelaskan bahwa
aktivitas antioksidan dari kedelai kemungkinan berhubungan dengan fitoestrogen atau kandungan asam fitat. Asam fitat pada tempe mengalami penurunan dibanding kedelai karena saat fermentasi terjadi hidrolisis asam fitat oleh fitase menjadi inositol dan 6 molekul asam fosfat. Asam fitat ini berperan mengikat Zn, Cu dan Fe, sehingga penurunan kadar asam fitat akan mempertahankan kadar Zn, Cu dan Fe dalam tubuh serta mampu meningkatkan kapasitas antioksidan tubuh. Asumsi lain tentang peran isoflavon pada penurunan MDA adalah menekan terbentuknya radikal bebas, mengubah radikal bebas menjadi molekul yang stabil dengan menyumbangkan atom hidrogen ke radikal bebas serta memotong rantai peroksidasi (Wijaya 1996 dalam Winarsi 2004).
Kemungkinan
89
lain adalah peningkatan konsentrasi enzim antioksidan dan stimulasi gen yang bertanggung jawab terhadap sintesa antioksidan. Pengaruh Konsumsi terhadap Parameter Darah Analisis bivariat. Konsumsi pangan yang diterjemahkan dalam zat gizi dapat mempengaruhi status biokimia darah seseorang.
Pada tabel berikut
disajikan hasil uji pearson hubungan antara konsumsi dengan perubahan atau delta biokimia darah. Tabel 42
Uji bivariat konsumsi dengan parameter biokimia*
Konsumsi
p value R square
Delta kolesterol
Delta K-LDL
Delta K-HDL
Delta TGA
Delta SOD
Delta Ox-LDL
Delta MDA
Energi
P value R square P value R square P value R Square P value R Square P value R Square P value R Square P value R Square P value R Square P value R Square P value R Square P value R Square P value R Square
0.023 0.31 0.024 0.31 ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
0.035 0.29 ns
ns
ns
ns
0.035 0.29 ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
0.015 0.33 ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
0.043 0.28 ns
0.025 0.31 ns
ns
ns
0.018 0.32 ns
0.001 0.43 ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
ns
Protein Lemak Karbohidrat Serat Kolesterol SAFA MUFA PUFA Vit E Zn Cu
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa yang berpengaruh terhadap kolesterol serum sebelum dan setelah intervensi (delta) adalah konsumsi energi, protein, karbohidrat dan kolesterol.
Terlihat bahwa semakin tinggi konsumsi
energi, protein, karbohidrat dan kolesterol maka semakin kecil penurunan kolesterol yang terjadi selama fase intervensi. Delta K-HDL dipengaruhi oleh konsumsi SAFA, sementara delta TGA dipengaruhi oleh protein, kolesterol, dan MUFA; dan delta SOD dipengaruhi oleh SAFA. Sebaliknya delta K-LDL, delta Ox-LDL dan delta MDA dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh konsumsi.
90
Analisis Multivariat. Dari hasil analisis bivariat, maka variabel konsumsi yang berhubungan dengan delta biokimia, ditambah dengan variabel perlakuan intervensi (tempe) dan variabel konsumsi yang secara teori mempengaruhi biokimia darah (lemak, kolesterol, SAFA, MUFA, PUFA, serat, vitamin E) selanjutnya dimasukkan bersama-sama dalam analisis multivariat. Tabel 43 berikut menyajikan hasil analisis multivariat, dimana variabel independent terdiri dari konsumsi tempe (bahan intervensi), lemak, kolesterol, MUFA, PUFA, SAFA, protein, energi, vit E, dan Zn sedangkan variabel dependent adalah parameter biokimia darah (delta, perubahan setelah dengan sebelum). Tabel 43 Analisis regresi linier antara konsumsi dengan parameter biokimia darah Biokimia darah (var. dependen)
R Square
Kolesterol-Total Constant Tempe Konsumsi protein
0.1530
K-LDL Constant Tempe Asupan SAFA
0.1510
K-HDL Constant Tempe PUFA
0.1040
TGA Constant Tempe
0.1050
SOD Constant Tempe Konsumsi MUFA
0.0640
Ox-LDL Constant Tempe Kolesterol Vit E
0.1410
MDA Constant Tempe SAFA MUFA
0.1910
Standard error
Coeff B
5.533 3.170 0.142
10.762 12.222 - 0.289
7.468 3.593 0.610
-8.605 11.602 1.664
1.680 1.226 0.176
-1.386 3.011 0.286
16.574 10.758
30.716 23.968
2.826 1.948 0.413
-2.520 -4.017 0.692
7.953 5.394 0.032 2.039
-12.306 17.199 -0.061 3.431
0.562 0.374 0.061 0.072
-0.826 1.610 -0.123 0.135
Partial
p value
Pengaruh tempe thd var.dependent 12.6%
0.355 -0.196
0.000 0.045 9.2%
0.304 0.260
0.001 0.007 5.6%
0.236 0.158
0.015 0.108 4.6%
0.214
0.028 4%
-0.199 0.163
0.042 0.096 9.1%
0.301 -0.183 0.164
0.002 0.062 0.095 15.4%
0.392 -0.195 0.182
0.000 0.047 0.063
Analisis yang dilakukan adalah analisis multivariat dengan uji regresi linier karena semua variabel dalam bentuk rasio, kecuali variabel perlakuan
91
(kelompok intervensi dan kontrol) yaitu dalam bentuk kategori, sedangkan metoda yang dipakai adalah backward dimana semua variabel inpendent dimasukkan secara bersama dan satu persatu akan dikeluarkan variabel dengan nilai p value terbesar, sehingga terakhir akan keluar variabel yang dianggap paling berpengaruh terhadap variabel dependent. Dari tabel 43 di atas dapat diartikan bahwa intervensi tempe selalu mempunyai pengaruh bermakna terhadap variabel dependent.
Sumbangan
intervensi tempe terhadap perubahan setiap variabel dependent dihitung dari nilai partial yang dikuadratkan kemudian dikali 100.
Adapun pengaruh intervensi
tempe terhadap variasi variabel dependent berturut-turut adalah: 12.6% terhadap kolesterol-total, 9.2% terhadap K-LDL, 5.6% terhadap K-HDL, 4.6% terhadap TGA, 4% terhadap SOD, 9.1% terhadap Ox-LDL dan 15.4% terhadap MDA. Generalisasi Penelitian Generalisasi suatu penelitian atau studi adalah seberapa jauh hasil dari penelitian atau studi tersebut dapat diaplikasikan di tempat lain dengan populasi yang berbeda. Kriteria inklusi yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan kriteria umum yang berlaku di masyarakat. Selama penelitian, pengumpulan data dilakukan berdasar standar tertentu untuk menjamin kualitas data dan kepatuhan konsumsi bahan intervensi tergolong tinggi (86.5%). Dalam penelitian ini, pengambilan sampel tidak dilakukan secara random populasi namun random alokasi sehingga semua sampel mendapat kesempatan yang sama untuk mendapat perlakuan.
Adapun kriteria sampel yang ditetapkan merupakan masalah
kesehatan yang prevalensinya cukup besar. Sampel penelitian ini adalah wanita menopause dari golongan sosial menengah ke bawah di daerah perkotaan. Dari sisi ekonomi, data statistik menyebutkan bahwa kondisi sosial masyarakat di Indonesia yang didekati dengan pendapatan tidak jauh berbeda dengan pengeluaran per kapita per bulan, sedangkan dari sisi konsumsi maka hasil kecukupan zat gizi sampel penelitian tidak jauh berbeda dengan beberapa penelitian pada kelompok lanjut usia di daerah lain. Demikian juga dengan pola konsumsi khususnya rendah hewani, buah dan sayur serta tinggi konsumsi gorengan yang mempunyai kemiripan
92
dengan daerah lain di Indonesia.
Hal tersebut dianggap dapat digeneralisasikan
pada kelompok lain di perkotaan maupun pedesaan. Bahan intervensi – tempe – sangat ekonomis (murah) dan tersedia di pasar dapat menjadi alternatif pilihan bagi sebagian besar masyarakat berpendapatan rendah. Tempe dapat dijumpai baik di pasar tradisional maupun pasar modern, bahkan di pelosok desa tempe mudah dijumpai. Tempe berasal dari Jawa, namun bahan pangan tersedia di hampir di semua tempat yang terjangkau oleh transportasi (bahkan di luar jawa). Selain di Indonesia, saat ini tempe mulai digemari oleh masyarakat di luar Indonesia. Di negara-negara dalam lingkup Asia, tempe relatif mudah ditemukan. Sedangkan di Negara-negara Eropa dan Amerika, tempe dapat diperoleh di China Town atau toko yang dimiliki oleh warga Asia. Tempe mulai banyak digemari karena rasa tempe yang relatif lebih ringan sehingga mudah diterima.
Jika
dibandingkan dengan Natto – makanan khas Jepang yang mempunyai rasa dan bau tergolong menyengat – maka tempe relatif lebih disukai dan di pilih. Pada umumnya masyarakat di luar Indonesia mengonsumsi tempe karena mereka mengetahui keunggulan zat gizi dan non gizi tempe serta manfaatnya bagi kesehatan. Berdasar hal-hal di atas, maka aplikasi penelitian di lapangan sangat mudah diterapkan oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia bahkan di luar Indonesia. Aplikasi Hasil Penelitian Masalah memburuknya profil lipid serta faktor risiko PJK tidak lagi hanya mengincar wanita menopause dan kelompok lain di daerah perkotaan dari kelas ekonomi menengah ke atas namun juga pada kelas sosial ekonomi menengah ke bawah, bahkan mulai meningkat risikonya pada masyarakat di daerah pedesaan. Penerima manfaat studi ini terutama adalah wanita menopause dengan alasan karena pengaruh hormonal menyebabkan meningkatnya faktor risiko terhadap PJK.
Penyakit ini juga merupakan penyakit dan penyebab kematian
utama pada wanita menopause. Hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan pada laki-laki yang berisiko terhadap PJK.
Harga tempe yang murah dan
ketersediaannya yang luas, menyebabkan tempe dapat dikonsumsi oleh semua
93
kelompok masyarakat tanpa terkecuali, bahkan tempe dapat digunakan sebagai menu wajib dalam sajian sehari-hari. Hasil penelitian ini juga dapat diterapkan pada katering khususnya pada katering yang melayani diet pasien atau individu berisiko terhadap penyakit degeneratif. Warung, rumah makan, bahkan restoran mewah dan hotel berbintang pun dapat memanfaatkan tempe sebagai hidangan sehat untuk mencegah penyakit sekaligus meningkatkan status tempe sebagai makanan tradisional yang mempunyi manfaat pangan fungsional. Anjuran Konsumsi Tempe Intervensi tempe yang diberikan sebesar 160 g setara dengan empat potong tempe ukuran sedang. Jika dikonversi dalam protein, maka setara dengan 26.4 g protein yang setara dengan anjuran US Food and Drug Administration yang menyebutkan bahwa konsumsi 25 g protein kedelai per hari sebagai bagian dari diet rendah SAFA dan kolesterol dapat menurunkan risiko penyakit jantung. Kandungan isoflavon 160 g tempe berdasar analisis setara dengan 39.7 mg, dimana jumlah ini setara dengan konsumsi isoflavon minimal sebesar 35 mg untuk memperbaiki profil lipid darah. Cara pengolahan tempe yang paling baik adalah dengan pengukusan karena menurunkan paling sedikit kandungan isoflavon dibandingkan perebusan dan penggorengan. Berdasar hasil penelitian di atas, maka dianjurkan untuk mengonsumsi tempe setiap hari pada jangka waktu yang lama dengan metode pemasakan kukus yang selanjutnya diberi bumbu sesuai selera. Keterbatasan Penelitian 1.
Metode cross-over yang digunakan dinilai merupakan metoda dalam suatu penelitian klinis yang dapat menghilangkan efek fisiologis individu sampel. Kelemahan metode ini adalah semakin banyak kelompok perlakuan akan semakin lama dibutuhkan waktu penelitian karena semua kelompok akan menerima semua perlakuan pada waktu yang berbeda.
2.
Penelitian ini hanya menggunakan dua perlakuan (intervensi dan kontrol) dengan alasan: sulit memperoleh sampel yang memenuhi kriteria inklusi,
94
pertimbangan waktu yang semakin lama jika melakukan lebih dari dua perlakuan serta kekhawatiran drop out yang tinggi mengingat intervensi yang diberikan adalah dalam bentuk makanan yang berisiko pada kebosanan sampel. 3.
Periode wash out diantara waktu perlakuan menambah waktu penelitian. Dengan semakin lama perlakuan semakin tinggi risiko sampel untuk drop out.
4.
Periode wash out selama 1 bulan dirasa memberatkan sampel karena tidak boleh mengonsumsi bahan intervensi yang sebenarnya merupakan salah satu menu yang biasa disajikan untuk konsumsi sehari-hari.
5.
Penentuan perlakuan bagi sampel dilakukan secara acak dan tidak memisahkan lokasi,
sehingga dalam satu wilayah (Rukun Tetangga)
terdapat sampel yang mendapatkan perlakuan intervensi dan sampel lain di wilayah yang sama mendapat perlakuan kontrol. Bentuk intervensi yang berupa makanan dan tidak bisa disamarkan dalam bentuk tablet atau kapsul mengakibatkan metode penelitian menjadi tidak buta ganda, karena sampel dan petugas lapangan mengetahui jenis perlakuan yang diberikan. 6.
Jumlah tempe sebagai bahan intervensi yang harus konsumsi selama satu hari tergolong cukup banyak, sehingga sampel tidak dapat menghabiskan dalam satu kali makan, namun bertahap dari sejak diberikan hingga sore hari. Hal ini menyebabkan petugas lapangan tidak dapat menunggu saat sampel mengonsumsi tempe. Oleh karena itu evaluasi konsumsi tempe hanya dilakukan dengan menanyakan pada keesokan harinya. Kejujuran sampel untuk menjawab seberapa banyak konsumsi yang mampu dihabiskannya dalam satu hari sangat diperlukan dalam hal ini.
7.
Penghitungan konsumsi zat gizi dilakukan secara kuantitatif dengan food record yang dilakukan 1x/minggu (12 kali pengumpulan food record) dan secara kualitatif dengan FFQ 1x/bulan. Formulir food record diberikan pada sampel dan sampel akan menuliskan apa yang dikonsumsi dalam satu hari. Kelemahan metode ini adalah karena peneliti tidak melihat secara langsung apa yang dimakan dan seberapa banyak makanan dikonsumsi. Meskipun
95
belum ada metode yang dianggap paling baik, namun metode food record dimaksudkan untuk menghindari sampel lupa apa yang dikonsumsi. 8.
Hasil food record selanjutnya di-input ke dalam program nutrisurvey. Kelemahan program ini adalah tidak memuat semua data kandungan gizi makanan yang dikonsumsi sampel, sehingga harus di-input berdasar sumber lain atau dengan memilih bahan makanan lain yang hampir serupa.
9.
Sampel pada penelitian ini adalah wanita menopause sehingga interpretasi mungkin lebih menggambarkan keadaan wanita menopause.
10. Sebagian besar sampel berasal dari golongan menengah ke bawah sehingga kemungkinan kurang dapat menggambarkan keadaan pola konsumsi golongan menengah ke atas.
96
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis kimia tempe (100 g bahan) menunjukkan bahwa 1. Kandungan asam amino terbesar pada tempe adalah arginin 2. Kandungan asam lemak terbesar pada tempe adalah asam linoleat disusul asam oleat dan asam linolenat 3. Metode pengolahan kedelai menjadi tempe dengan proses perebusan sebanyak 2 kali meningkatkan kadar isoflavon 58.7% lebih besar dibandingkan dengan perebusan kedelai sebanyak 1 kali. 4. Proses pemasakan dengan pengukusan menurunkan isoflavon tempe sebesar 13.3% dan
merupakan penurunan terendah dibandingkan dengan metoda
pemasakan yang lain. Hasil intervensi 160 g tempe kukus (berbumbu) yang diberikan setiap hari selama empat minggu pada wanita menopause adalah : 5. Konsumsi tempe dapat memperbaiki profil lipid darah yaitu menurunkan kadar kolesterol total sebesar 6%, K-LDL sebesar 5.8% dan TGA sebesar 11.7%, namun tidak dapat meningkatkan kadar K-HDL. 6. Konsumsi tempe dapat meningkatkan aktivitas enzim SOD dalam darah sebesar 56.9% dan meningkatkan kadar Seng dalam darah sebesar 22.27%. 7. Konsumsi tempe dapat mempertahankan Ox-LDL darah 8. Konsumsi tempe dapat menurunkan MDA dalam darah sebesar 10.4%. 9. Intervensi tempe sangat bermanfaat khususnya pada individu dengan kadar MDA dan LDL teroksidasi tinggi serta aktivitas enzim SOD rendah dibandingkan dengan individu dengan kadar MDA, LDL teroksidasi dan aktivitas SOD tergolong “normal”.
Penelitian ini dapat menjawab hipotesa penelitian yaitu intervensi tempe yang diolah dengan pengukusan dan diberikan setiap hari selama 4 minggu pada wanita menopause berhasil memperbaiki K-total, K-LDL, trigliserida dan meningkatkan aktivitas superoksida dismutase, menurunkan MDA serta mempertahankan LDL teroksidasi.
97
Saran Masyarakat 1. Meningkatkan konsumsi tempe dengan cara mengonsumsi tempe setiap hari secara terus menerus khususnya pada wanita menopause serta kelompok lain yang memiliki risiko tinggi PJK. Jumlah tempe yang dikonsumsi setiap hari sebaiknya sekitar 150-160 gram (atau setara dengan 3-4 potong tempe ukuran sedang), jumlah ini setara dengan 26.4 g protein dan 39.7 mg isoflavon.
US-FDA menyebutkan 25 g protein
kedelai per hari sebagai bagian diet rendah SAFA dan kolesterol dapat menurunkan risiko penyakit jantung, dan berbagai meta analisis menjelaskan isoflavon berperan dalam menurunkan profil lipid jika diberikan minimal 35 mg/hr. 2. Tempe sebaiknya diolah dengan cara dikukus karena belum ada bukti eksperimen bahwa tempe goreng mempunyai efek yang sama baik dengan tempe kukus. Institusi Kesehatan 1. Mensosialisasikan tempe sebagai makanan yang mempunyai manfaat bagi kesehatan. 2. Memasukkan tempe dalam Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yang wajib dikonsumsi bagi semua kelompok umur. Institusi Terkait Lainnya 1. Meningkatkan produksi kedelai dalam negeri 2. Meningkatkan sosialisasi cara produksi tempe yang baik untuk memperoleh isoflavon tempe yang maksimal. Penelitian Lanjut 1. Perlu dilakukan studi intervensi lebih lanjut dengan durasi intervensi yang lebih lama sehingga hubungan antara parameter biokimia darah menjadi lebih terlihat. 2. Jika waktu intervensi tidak diperpanjang, maka perlu dilakukan penelitian dengan durasi wash out yang lebih lama dengan tujuan untuk mengetahui
98
durasi yang dibutuhkan hingga kadar biokimia darah yang diteliti dapat kembali seperti sebelum intervensi dilakukan. 3. Perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan intervensi tempe dengan intervensi isoflavon saja dan atau protein saja dengan kadar yang setara dengan yang terdapat pada tempe. 4. Perlu dilakukan studi intervensi menggunakan kelompok perlakuan yang lebih banyak (dosis pemberian tempe yang lebih beragam) serta parameter biokimia darah yang lebih lengkap (misalnya : antioksidan katalase dan glutation peroksidase) serta manfaat tempe terhadap gejala atau penyakit lain (hipertensi, diabetes mellitus, asam urat, sindrom menopause). 5. Perlu dilakukan studi intervensi pengaruh berbagai pengolahan tempe terhadap berbagai kadar biokimia darah.
99
DAFTAR PUSTAKA
AHA (American Heart Association). 1999. Heart and stroke statistical update. Dallas, Tex: American Heart Association. Alrasyid H. 2007. Efek diet indeks glikemik rendah dengan campuran tempe kedelai terhadap konsentrasi tissue-type plasminogen activator (t-PA) antigen, plasminogen activator inhibito tipe-1 (PAI-1) antigen dan lipid plasma wanita obesitas dewasa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Ambra R et al. 2006. Genistein affects the expression of genes involved in blood pressure regulation and angiogenesis in primary human endothelial cells. Nutrition, Metabolism & Cardiovascular Diseases 16:35-43. Anderson JW, Johnstone BM and Cook-Newell ME. 1995. Meta-analysis of the effects of soy protein intake on serum lipids. The New England Journal of Medicine 333:276-282. . Anderson J, Anthony M, Messina M, and Garner. 1999. Effects of phytoestrogens on tissues. Nutrition Research Reviews 12:75-116. Anderson JW. 2003. Diet first, then medication for hypercholesterolemia. Journal of the American Medical Association 290:531-533. Anderson RL, Wolf WJ. 1995. Compositional changes in trypsin inhibitors, phytic acid, saponins and isoflavones related to soybean processing. Journal Nutr 125:581S-588S Anthony MS, Clarkson TB, Bullock BC, et al. 1997. Soy protein versus soy phytoestrogens in prevention of diet-induced coronay artery atherosclerosis of male cynomogus monkeys. Arterioscler Thromb Vasc Biol 17: 2524-2531. Arbai, Arsiniati MB. 1994. Efek normolitik “tempe A5” dan “tempe” terhadap profil lipid penderita dislipidemia (Disertasi). Surabaya: Program Pascasarjana, Universitas Airlangga. Agranoff J and P Markham. 1977. Fatty acid components of tempe (and tapeh). Proceeding International Tempe Symposium July 13-15 1997. Reinventing the hidden miracle of tempe. Indonesian Tempe Foundation, Jakarta :205210. Ahmed N, Maureen D, Chris S and Ed W. 2007. Biology of disease. Tatlor & Francis Group.
100
Anouk Geelen A, Jannigje M. Schouten, Claudia Kamphuis, Bianca E. Stam, Jan Burema, Jacoba M. S. Renkema, Evert-Jan Bakker, Pieter van’t Veer, and Ellen Kampman. 2007. Fish Consumption, n-3 Fatty Acids, and Colorectal Cancer: A Meta-Analysis of Prospective Cohort Studies. Am J Epidemiol; 166:1116–1125. Astuti M. 1992. Iron bioavailability of traditional Indonesian soybean tempe (Desertation for the degree PhD). Tokyo: Tokyo University Japan. Astuti M. 1997. Superoxide dismutase in tempe, an antioxidant enzyme, and its implication on health and disease. Procedings International Tempe Symposium July 13-15 1997. Reinventing the hidden miracle of tempe. Indonesian Tempe Foundation, Jakarta. Astuti M, Meliala A, Dalais FS and Wahlqvist ML. 2000. Tempe, a nutrious and healthy food from Indonesia. Asia Pacific J Clin Nutr 9:332-325. Azadbakht L, Masoud Kimiagar, Yadollah Mehrabi, Ahmad Esmaillzadeh, Frank B. Hu and Walter C. Willett. 2007. Dietary soya intake alters plasma antioxidant status and lipid peroxidation in postmenopausal women with the metabolic syndrome. British Journal of Nutrition 98:807–813. Baker VL, Leitman D, Jaffe RB. 2000. Selective estrogen receptor modulators in reproductive medicine and biology. Obstet Gynecol Surv 55(suppl 2): S21-S47. Baum JA, Teng H, Erdman JW Jr, et al. 1998. Long-term intake of soy protein improves blood lipid profiles and increases mononuclear cell LDL receptor messenger RNA in hypercholesterolemic postmenopausal women. Am J Clin Nutr 68:545-551. Beaglehole R. 1990. International trends in coronary heart disease mortality, morbidity, and risk factor. Epidemiol Rev :12:1-15. Barnes, S, Jeevan Prasin, Tracy D’alessandro, Chao-Cheng Wang, Huang-Ge Zhang, and Helen Kim. 2006. Soy IIsoflavones. Nutritional Oncology Chapter 32. Barnes S. 2003. Phyto-oestrogens and osteoporosis: what is a safe dose? Br J Nutr 89(suppl.1):S101-8. Bhathena S and Manuel T Velasques. 2002. Beneficial role of dietary phytoestroges in obesity and diabetes. Am J Clin Nutr 76:1191-1201. Bisping B, L Hering, U Baumann, I denter, S Keuth and HJ Rehm. 1993. Tempe fermentation: some aspects of formation of γ -linolenic acid, proteases and vitamins. Bvotech. Ad. Vol: 11:481-493.
101
Bittner V. 2001. Estrogens, lipids and cardiovascular disease: no easy answers. Journal of the American College of Cardiology; Vol.37,No.2:431-433. Blair RM, Robert M Blair, EC Henley and Aaron Tabor. 2006. Soy foods have low glycemic and insulin response indices in normal weight subjects. Nutrition Journal 5:35 doi:10.1186/1475-2891-5-35. Beynen AC. 1990 Comparison of the mechanism proposed to explain the hypocholesterolemic effect of soybean protein versus casein in experimental animals. J. Nutr. Sci. Vitaminol 36:S87-S93. Biben A. 2001. Pengaruh suplementasi diet tempe formula terhadap formasi dan resorpsi tulang pada wanita pra dan pasca menopause (Disertasi). Bandung:Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran. British Nutrition Foundation. 1992. Unsaturated fatty acids: nutritional and physiological significance: the report of the British Nutrition Foundation’s Task Force. London, Chapman & Hall for the British Nutrition Foundation. Bustan, MN. 2000. Epidemiologi penyakit tidak menular. Jakarta, Rineka Cipta. Carpentier Y A, Laurence P, and Willy J Malaisse. 2006. n-3 Fatty acids and the metabolic syndrome. Am J Clin Nutr ;83(suppl):1499S–504S. Cassidy A, Paola Albertazzi, Inge Lise Nielsen, Wendy Hall, Gary Williamson, Inge Tetens, Steve Atkins, Heide Cross, Yannis Manios, Alicja Wolk, Claudia Steiner and Francesco Branca. 2006. Critical review of health effects of soyabean phyto-oestrogens in post-menopausal women. Proceedings of the Nutrition Society 65:76–92. Chiechi LM, Secreto G, Vimercati A, et al. 2002. The effects of soy rich diet on serum lipids: the Menfis randomized trial. Maturitas 41:97-104. Clarkson TB. 2002. Soy, soy phytoestrogens and cardiovascular disease. J. Nutr 132:566S–569S. COMA (Committee on Medical Aspects of Food Policy). 1994. Report on Health and Social Subject No.46 Nutritional Aspects of Cardiovascular Disease: London. Cook
NC and Samman S. 1996. Flavonoids-chemistry, metabolism, cardioprotective effects and dietary sources. J. Nutr. Biothem 7: 66-76.
102
Coraci IS, Lara W. Crock, and Samuel C. Silverstein. 2005. PAF-receptor antagonists, lovastatin, and the PTK inhibitor genistein inhibit H2O2 secretion by macrophages cultured on oxidized-LDL matrices. J. Leukoc. Biol 78:1166–1174. Coward L, Barnes N, Setchell K, and Barnes S. 1993. Genistein, daidzein, and their beta-glycoside conjugates: antitumor isoflavones in soybean food from American and Asian diets. Journal of Agricultural Food Chemistr 41:1961-1967. Crouse JR, Morgan TM, Terry J G, Ellis J, Vitolins M, & Burke GL. 1999. A randomized trial comparing the effect of casein with that of soy protein containing varying amounts of isoflavones on plasma concentrations of lipids and lipoproteins. Arch. Intern. Med 159:2070–2076. Cuevas AM, VL Irribarra, OA Castillo, MD Yanez, and AM Germain. 2003. Isolated soy protein improves endothelial function in postmenopausal hypercholesterolemic women. European Journal of Clinical Nutrition 57:889-894. Dardenne M et al. 1982. Contribution of zinc and other metals to biological activity of the serum thymic factor. Proc Natl Acad Sci USA 79: 53705373. Davis CD, David BM, Forrest HN. 2000. Changes in dietary zinc and cooper affect zinc status indicators of postmenopausal women, notably, extracellular superoxide dismutase and amyloid precursor protein. Am J Clin Nutr;71(3):781-788. Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar 2007. De Reu JC, Ramdaras D, Rombouts FM and Nout MJR. 1994. Changes in soybean lipid during tempe fermentation. Food Chem 50(2):171-175. Dewell A, Clarie B Hollenbeck and Bonnie Bruce. 2002. The effects of soyderived phytoestrogens on serum hipids and lipoproteins in moderately hypercholesterolemic postmenopausal women. J Clin Endocrinol Metab 87:118-121. Dewell A, Piper LW Hollenbeck, and Clarie B Hollenbeck. 2006. Clinical Review: A critical evaluation of the role of soy protein and isoflavone supplementation in the control of plasma cholesterol concentrations. J Clin Endocrinol Metab 91:772-780.
103
Dijsselbloem N, Wim Vanden Berghe, An De Naeyer, Guy Haegeman. 2004. Soy isoflavone phyto-pharmaceuticals in interleukin-6 affections Multipurpose nutraceuticals at the crossroad of hormone replacement, anticancer and anti-inflammatory therapy. Biochemical Pharmacology 68:1171–1185. Djanuwardi B dan Chrisman Silitonga. 1997. Pattern of tempe consumption. The complete handbook of tempe. The unique fermented soyfood of Indonesia. The American Soybean Association (Pub). Erdman Jr J, Badger T, Lampe J, Setchell KK and Messine M. 2004. Not soy products are created equal: caution needed in interpretation of research results. The Journal of Nutrition 134:S1229-S1233. Food and Drug Administration. 1999. Food labelling: health claim for soy protein and coronary artery disease. Feed Regist 57:699-733. http://www.fda.gov/bbs/topics/ANSWERS/ANS00980.html. Forsythe WA III. 1995. Soy protein, thyroid regulation and cholesterol metabolism. J Nutr 125:619S-623S. Fraser GE. 1994. Biyon dietary fats and low densit lipoprotein cholesterol. Am J Clin Nutr 59:1117s-1123s. Frei B. 1995. Cardiovascular disease and nutrient antioxidants: Role of lowdensity lipoprotein oxidation. Crit. Rev. Food Sci. Nutr 35: 83-98. Fumagalli R, Soleri L, Farini R, et al. 1982. Fecal cholesterol excretion in type II hypercholesterolemic patients treated with soybean protein diet. Atherosclerosis 43:341-353. Garcia Raquel, Marta Benet, Catalina Arnau, Erik Cobo. 2004. Efficiency of the cross-over design: an empirical estimation. Statistics in medicine 23:37733780. Ganong WF. 1999. Fisiologi Kedokteran. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Geissler C and Hilary Powers (Ed). 2005. Human Nutrition (elevent edition). Elsevier Churchill Livingstone. Gibney MJ, Marinos Elia, Olle Ljungqvist, Julie Dowsett (ed). 2005. Clinical Nutrition. Blackwell Publishing. Gibson Rosalind S. 2005. Principles of Nutritional Assessment, 2nd edition. Oxford University Press.
104
Ghozali DS. 2008. Pengaruh diet tempe terhadap kesembuhan luka pada tikus diabetes yang diinduksi streptozotocin (STZ) (Skripsi). Bogor: Program studi GMSK, Faperta, Institut Pertanian Bogor. Giroux I, Elzbieta M. Kurowska, and Kenneth K Carroll. 1999. Role o dietary lysine, methionine, and arginine in the regulation of hypercholesterolemia in rabbits. J. Nutr. Biochem 10:166-171. Glazier M, Gina MB, Bowman MA. 2001. A review of the evidence for use of phytoestrogens as a replacement for traditional estrogen replacement therapy. Arch Int Med 161:1161-72. Griffin BA. 1999. Cholesterol-lowering effects of high-protein soy milk. British Journal Nutrition 82:79-80. Gropper SS, Jack L Smith, James L. Groff. 2005. Advanced nutrition and human metabolism, fourth edition. Thomson Wadsworth. USA. Grundy SM. 2008. Multifactorial etiology of hypercholesterolemia. Implication for prevention of coronary heart disease. Arterioscler, Thromb, Vasc, Biol 11:1619-1635. Guthrie H A and Mary F P. 1995. Human Nutrition. Mosby A Times Mirror Company -Year Book Inc, St Louis Missouri. . Ham JO, Chapman KM, Essex-Sorlie, D, Bakhit RM, Prabhudesa M, Winter L, Erdman, JW Jr. & Potter SM. 1993. Endocrinological response to soy protein and fiber in mildly hypercholesterolemic men. Nutr. Res 13:873884. Halliwel, B and JMC Guteridge. 1991. Free radical in biology and medicine. Oxford:Clarendon Press. Harper A, Kerr D, Gescher A. and Chipman J. 1999. Antioxidant effects of isoflavonoids and lignans, and protection against DNA oxidation. Free Radical Research 31:149-160. Harper’s Biochemistry. 1993. A lange medical. Book Twenty Second Edition Prentice Hall International Inc 25 Van Zant Sheet East Normalk Connectute. Harris W S. 1997. n-3 fatty acid and serum lipoproteins: human studies. Am J Clin Nutr; 65: 1645S-1654S. Hegsted D M, Mc Grandy R B, Myers M L, Stare F J. 1965. Quantitative effects of dietary fat on serum cholesterol in man. Am J Clin Nutr;17:281-195.
105
Hering LB, Bisping and H.J. Rehm. 1990. Fatty acid composition during tempe fermentation, dalam Hermana, Mien K Mahmud dan Darwin Karyadi (penyunting) Second Asian Symposium on Non-Salted Soybean Fermentation February 13-15th. Puslitbang Gizi Depkes RI. Bogor Hermana, Karmini M, and Karyadi D. 1999. Composition and nutritional value of tempe: its role in the improvement of the nutritional value of food. Dalam “The complete handbook of tempe”. The American Soybean Association. Hermana and Karmini M. 1999. The development of tempe technology. . Dalam “The complete handbook of tempe”. The American Soybean Association. Hesseltine CW. 1985. Genus Rhizopus and tempeh microorganisms. Asian Symposium Non-salted soybeand fermentation, Tsukuba, Japan, Juli 1416, 1985. Hills, M , P.Armitage. 1979. The two-period cross-over clinical trial. Br. J. clin. Pharmac 8:7-20.
Honore´ EK, Williams JK, Anthony MS & Clarkson TB. 1997. Soy isoflavones enhance vascular reactivity in atherosclerotic female macaques. Fertil. Steril 67:148–154. Hoppe Markus B, Hem Chandra Jha and Heinz Egge. 1997. Structure of an antioxidant from fermented soybeans (Tempeh). JAOCS 74:477-479. Hopper Le, Paul A Kroon, Eric B Rimm, Jeffrey S Cohn, Ian Harvey, Kathryn A Le Cornu, Jonathan J Ryder, Wendy L Hall and Aedin Cassidy. 2008. Flavonoids, flavonoid-rich foods, and cardiovascular risk: a meta-analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr 88:38-50. Howe JC. 1990. Postprandial response of calcium metabolism in post menopausal women to meals varying in protein level/source. Metabolism 39:1246-52. Hu Chih-Chieh, Ching-Huang Hsiao, Sin-Yi Huang, Sheng-Hwa Fu, Chih-Chia Lai, Tzu-Ming Hong, Hwei-Hsien Chen, and Fung-Jou Lu. 2004. Antioxidant Activity of Fermented Soybean Extract. J. Agric. Food Chem 52(18):5735–5739. Hodgson JM, Kevin D Croft, Ian B. Puddey, Trevor A. Mori, and Lawrie J. Beilin. 1996. Soybean isoflavonoids and their metabolic products inhibit in vitro lipoprotein oxidation in serum. J. Nutr. Biochem 7:664-669. Huff MW &.Carroll KK. 1980. Effects of dietary protein on turnover, oxidation, and absorption of cholesterol, and on steroid excretion in rabbits. J. Lipid Res 21: 546-558.
106
Hwang J, Alex Sevanian, Howard N.Hodis, and Fulvio Ursini. 2000. Synergistic inhibition of LDL oxidation by phytoestrogens and ascorbic acid. Free Radical Biology & Medicine Vol 29:1: 79–89. IPBInstitut Pertanian Bogor. 2008. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah, Edisi kedua. Bogor: IPB Juweni. 2000. Pengaruh intervensi formula tempe terhadap kadar malondialdehida dan F2-isoprostan pada penderita hiperkolesterolemia (Thesis). Jakarta: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Jha HC, S Bockemuhl and H Egge. 1990. Adriamicyn-induced mitochondrial lipid peroxidation and its inhabitation by tempe isoflavonoids and their derivative, dalam Hermana, Mien K Mahmud dan Darwin Karyadi (penyunting) Second Asian Symposium on Non-Salted Soybean Fermentation February 13-15th. Puslitbang Gizi Depkes RI. Bogor Jobgen Wenjuan Shi, Susan K Fried, Wenjiang J Fu, Cynthia J Meininger, Guoyao Wu. 2006. Regulatory role for the arginine-nitric oxide pathway in metabolism of energy substrates. Journal of Nutr. Bioc 17:571-588. Karmini, M. 1987. Penggunaan makanan bayi/formula tempe dalam diit bayi dan anak balita sebagai upaya penanggulangan masalah diare. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Karmini M, dkk. 1997. The inhibitory effect of tempe on Escherichia coli infection. Reinventing the hidden miracle of tempe. Proceedings International Tempe Symposium, Juli 1997. Kasaoka S, Mary Astuti, Mariko Uehara, Kazuharu Suzuki and Shiro Goto. 2007. Effect of Indonesian Fermented Soybean Tempeh on Iron bioavailability and lipid peroxidation in anemic rats. J.Agric.Food Chem 45(1):195-198. Kapiotis S, Hermann M, Held I, et al. 1997. Genistein, the dietary-derived angiogenesis inhibitor, prevents LDL oxidation and protects endothelial cells from damage by atherogenic LDL. Artherioscler Thromb Vasc Biol 17:2868-2874. Kawada T. 2002. Body mass index is a good predictor of hypertention and hyperlipidemia in a rural Japanese population. International Journal of Obesity; 26:725-729. Khosla P, Samman S &.Carroll K. (1991) Decreased receptor mediated LDL catabolism in casein-fed rabbits precedes the increase in plasma cholesterol levels. J. Nutr. Biochem 2:203-209.
107
Kerry Nicole and Mavis Abbey. 1998. The isoflavone genistein inhibits copper and peroxyl radical mediated low density lipoprotein oxidation in vitro. Atherosclerosis 140:341–347. Kiers Jeroen L. 2001. Effects of fermented soya bean on digestion, absorption and diarrhoea (Disertation). Wageningen:Wageningen Universiteit, Netherland. Kinoyama Maki., Hayami Nitta., Shinsuke Hara, Akiharu Watanabe and Kunihisa Shirao. 2007. Journal of Health Science 53(5):608-614. Kiriakidis Serafim, Oliver Ho¨gemeier, Susanne Starcke, Frank Dombrowski, Jens Claus Hahne, Michael Pepper, Hem Chandra Jha and Nicolas Wernert. 2005. Novel tempeh (fermented soyabean) isoflavones inhibit in vivo angiogenesis in the chicken chorioallantoic membrane assay. British Journal of Nutrition 93: 317–323. Komisi Nasional Indonesian Society of Hipertention. 2007. “Seperti di belahan dunia lain, hipertensi juga menjadi beban berat bagi biaya kesehatan di Indonesia. http://www.majalah-farmacia.com (22 Pebruari 2010). Kris-Etherton, Penny M., Kari D. Hecker, Andrea Bonanome, Stacie M. Coval, Amy E. Binkoski, Kirsten F. Hilpert, Amy E. Griel, Terry D. Etherton, 2002. Bioactive Compounds in Foods: Their Role in the Prevention of Cardiovascular Disease and Cancer. Am J Med 113(9B):71S–88S. Kuiper G, Lemmen J, Carlsson B, Corton JSS, Van der Saag P, Van der Berg, B and Gustafsson J. 1998. Interaction of estrogenic chemicals and phytoestrogens with estrogen receptor . Endocrinology 139:4252-4263. Kurowska EM and Carroll KK. 1994. Hypercholesterolemic responses in rabbits to selected groups of dietary essential amino acids. J Nutr 124:364-370. Kurzer M and Xu X. 1997. Dietary phytoestrogens. Annual Reviews in Nutrition 17:353-381. Kushi L H, Lew R A, Stare F J et al. 1985. Diet and 20-year mortality from coronay heart disease. The Ireland-Boston Diet Heart Study. N Eng J Med;312:811-8 Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. 2007 Larkin Theresia, William E. Price and Lee Astheimer. 2008. The key importance of soy isoflavone bioavailability to understanding health benerfits. Critical Reviews in Food Science and Nutrition 48:538-552.
108
Lee Jeong-Sook. 2006. Effects of soy protein and genistein on blood glucose, antioxidant enzyme activities, and lipid profile in streptozotocin-induced diabetic rats. Life Sciences 79:1578:1584. Lelana RP Agus. 1997. Pengaruh tempe terhadap aterogenesis pada monyet ekor panjang (Thesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Leonard V P. Linda H C and Jean Y Liu. 1971. Antioxidant potential of tempeh as compared to tocopherol. Journal of Food Science; 36:798-799 Lichtenstein AH. 1998. Soy protein, isoflavones and cardiovascular disease risk. The Journal of Nutrition 128:1589-1592. Lichtenstein A H , Nirupa R Matthan, Susan M Jalbert, Nancy A Resteghini, Ernst J Schaefer, and Lynne M Ausman. 2006. Novel soybean oils with different fatty acid profiles alter cardiovascular disease risk factors in moderately hyperlipidemic subjects. Am J Clin Nutr; 84:497–504. Lichtman Ronnie. 1996. Perimenopausal and postmenopausal hormone replacement therapy Part 2. Hormonal Regimens and Complementary and Alternative Therapies. Journal of Nurse-Midwifery 41:3. Lovati MR, Manzoni C, Canavesi A, Sirtori M, Vaccarino V, Marchi M, Caddi G & Sirtori CR. 1987. Soybean protein diet increases low density lipoprotein.receptor activity in mononuclear cells from hypercholesterolemic patients. J. Clin.Invest 80:1498-1502. Lovati MR, Manzoni C, Corsini A, et al. Low density lipoprotein receptor activity is modulated by soybean globulins in cell culture. J Nutr 122:1971-1978. Mackey R, Eden J. 1998. Phytoestrogens and the menopause. Climateric 1: 3028. Madani S, Lopez S, Blond JP and Belleville J. 1998. Highly purified soy bean protein is not hypocholesterolemic in rats but stimulates cholesterol synthesis and excretion an reduces polyunsaturated fatty acid biosynthesis. Am Soc Nutr Sci 22:1084-1091. Mann, Jim and A. Stewart Truswell (ed). 2007. Essentials of human nutrition (Third edition). Oxford University Press. Marks Dawn B, Allan D Marks and Colleen M. Smith. 2000. Basic medical biochemistry: a clinical approach. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Matsuo M. 1990. Development of high fiber food stuff by fermentation with Rhizopus oligosporus, dalam Second Asian Symposium on Non Salted Soybean Fermentation. Puslitbang Gizi Depkes RI.
109
Matthan Nirupa R, Susan M Jalbert, Lynne M Ausman, Jeffrey T Kuvin, Richard H Karas, and Alice H Lichtenstein. 2007. Effect of soy protein from differently processed products on cardiovascular disease risk factors and vascular endothelial function in hypercholesterolemic subjects. Am J Clin Nutr 85:960–6. Merz-Demlow BE, Duncan AM, Wangen KE, Xu X, Carr TP, Phipps WR & Kurzer M S. (2000) Soy isoflavones improve plasma lipids in normocholesterolemic, premenopausal women. Am. J. Clin. Nutr 71:1462–1469. Mesink R P and Katan M B. 1989. Effect of a diet inriched with UFA or PUFA on levels of low-density and high-density lipoprotein cholesterol in healthy women and men. N Eng J Med; 321:436-41. Messina M. 1990. Legumes and soybeans: overviews of their of their nutritional profiles and health effects. American Journal of Clinical Nutrition 70:S439-S450. Messina M, Messina V. 2003. Provisional recommended soy protein and isoflavone intakes for health adults: rationale. Nutr Today 38:100-9. Moeljopawiro S, ML Fields and D Gordon. 1988. Bioavailability of zinc in fermented soybeans. Journal of Food Science Volume 53 No.2:460-463. Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1993. Biokimia: Suatu pendekatan berorientasei kasus. Jilid 2 Ed ke 4. Terjemahan M. Ismadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Moon YJ, Xiaodong Wang, Marilyn E. Morris. 2006. Dietary flavonoids: Effects on xenobiotic and carcinogen metabolism. Toxicology in Vitro 20:187– 210. Morito K, Hirose T, Kinjo J, et al. 2001. Interaction of phytoestrogens with estrogen receptors and . Biol Pharm Bull 24:352-356. Murase H, Nagao A, Terao J. 1993. Antioxidant and emulsifying activity of n(long-chain-acyl) histidine and n-(long-chain-acyl) carnosine. J Agric Food Chem 41:1601-1604. Murata K, H Ikehata and T Miyamoto. 1967. Studies on the nutritional value of tempeh. J Food Science 32:580-586. Nagata Y, Ishiwaki N, & Sugano M. (1982) Studies on the mechanism of the antihypercholesterolemia action of soy protein and soy protein-type amino acid mixtures in relation to their casein counterparts in rats. J. Nutr 112:1614-1625.
110
Nagata C, Takatsuka N, Kurisu Y, Shimizu H. 1998. Decreased serum total cholesterol concentration is associated with high intake of soy product in Japanese men and women. J Nutr 128:209-213 Nahas Eliana Eguiar Petri and Jorge Nahas-Neto. 2006. The Effects of Soy Isoflavones in Postmenopausal Women: Clinical Review. Current Drug Therapy 1:31-36. Naim M, Gestetner B, Bondi A, Birk Y. 1976. Antiooxidative and antiohemolytic activity of soybean isoflavones. J. Agric Food Chem 24:1174-77. Nasr A, Breckwoldt M. 1998. Estrogen replacement therapy and cardiovascular protection: lipid mechanisme are the tip of an iceberg. Gynecol Endocrinol 12:43-59. Nelse, David L and Michael M. Cox. 2005. Lehninger, Principles of biochemistry. W.H. Freeman and Company. New York. Nestel PJ, Yamashita T. Sasahara T, et al. 1997. Soy isoflavones improve systemic arterial compliance but not plasma lipids in menopausaland perimenopausal woman. Arterioscler Thromb Vasc Biol 17:3392-3398. Nix Staci. 2005. Williams’ Basic Nutrition & Diet Therapy. Twelfth edition. Missouri: Mosby Elsevier. Ou, B, Huang D, Hampsch-Woodill M, Flanagan JA, Deemer EK. 2002. Analysis of antioxidant activities of common vegetables employing oxygen radical absorbance capacity (ORAC) and ferric feducing antioxidant power (FRAP) assays: A comparative study. J.Agric.Food. Chem 50:3122-3128. Packett LV, Linda H Chen and Jean Y Lu. 1971. Antioxidant potential of tempeh as compared to tocopherol. Juurnal of Food Science 36:798-799. Palanisamy N, Periyasamy Viswanathan, Carani Venkataraman Anuradha. 2008. Effect of Genistein, a Soy Isoflavone, on Whole Body Insulin Sensitivity and Renal Damage Induced by a High-Fructose Diet. Renal Failure 30:645–654. Patel RP, Brenda J. Boersma, Jack H. Crawford, Neil Hogg, Marion Kirk, Balaraman Kalyanaraman, Dale A. Parks, Stepen Barnes, Victor Darley Usmar. 2001. Antioxidant mechanism of isoflavones in lipid systems: Pardoxical effects of peroxyl radical scavenging. Free Radical Biology & Medicine Vol.31 No.12: 1570–1581. Patel, Chandra. 1995. Fighting heart disease (A practical self-help guide to prevention and treatment. London: Dorling Kindersley Publishers Limited.
111
Patel S, Kent K. 1998. Risk Factors and Their Role in the Diseases of the Arterial Wall. Seminars in Vascular Surgery 11:156. Pawiroharsono S. 1997. Prospect of Tempe as Functional Food. Reinventing The Hidden Miracle of Tempe. Indonesia Tempe Foundation. Pawiroharsono S 1999. Microbiological Aspects of Tempe. The complete handbook of tempe, the unique fermented soy food of Indonesia. The American Soybean Association. PERSAGI (Persatuan Ahli Gizi). 2009. Jakarta.
Tabel komposisi pangan Indonesia.
Philibert A, Claire Vanier, Nadia Abdelouahab, Hing Man Chan, and Donna Mergler. 2006. Fish intake and serum fatty acid profiles from freshwater fish. Am J Clin Nutr ;84:1299 –307. Potter S, Bakhit RM, Essex-Sorlie DL, Weingartner KE, Chapman KM, Nelson RA, Prabhudesai M, Savage WD, Nelson AL, Winter LW. 1993. Depression of plasma cholesterol in men by consumption of baked products containing in soy protein. Am J Clin Nutr 58:501-506. Potter SM. 1995. Overview of proposed mechanism for hypocholesterolemic effect of soy. J.Nutr 125:606S-611S. Potter SM, Baum J, Teng H, Stillman R, Shay N and Jr, J.E. 1998. Soy protein and isoflavones; their effects on blood lipids and bone density in postmenopausal women. American Journal of Clinical Nutrition 68:S 1375-1379. Purba MB, Wijaya Lukito, Wahlqvist ML, Kouris-Blazos A. Hadisaputro S, Lestiani L, Wattanapenpaiboon N, Sudiyanto K. 1999. Food intake and eating patterns of Indonesian elderlubefore the 1998 economic crisis. Asia Pacific J Clin Nutr 8: 200-206. Purwantyastuti. 2000. Relation of lipid peroxides to food habits, selected coronary heart disease risk factors and vitamin E supplementation the elderly. Disertation. Post graduate program. University of Indonesia. Purwantyastuti. 2007. The relation of tempeh consumption and plasma lipid peroxides in the elderly. Majalah kedokteran Indonesia; Volume:57,Nomor:10. Pratt DE and Birac PM. 1979. Source of antioxidant activity of soybeans and soy products. J.Food Scr 44:1720-22.
112
Ratnam DV, DD Ankola, V Bhardwaj, DK Sahana, MNV Ravi Kumar. 2006. Role of antioxidants in prophylaxis and therapy: A pharmaceutical perspective. Journal of Controlled Release 113:189–207. Reynolds K, Ashley Chin, Karen A. Lees, Aline Nguyen, Deborah Bujnowski, and Jiang He. 2006. A Meta-Analysis of the effect of soy protein supplementation on serum lipids. Am J Cardiol 98:633– 640. Rimbach G, Christine Boesch-Saadatmandi, Jan Frank, Dagmar Fuchs, Uwe Wenzel, Hannelore Daniel, Wendy L Hall, Peter D. Weinberg. 2007. Dietary isoflavones in the prevention of cardiovascular disease – A molecular perspective. Food and Chemical Toxicology 46:1308-1319. Roda E, Mazella G, Cornia GL, et al. 1983. Effects of soybean protein-rich diet on biliary lipid composition. Elsevier/North Holland Biochemical Press 309-312. Rosadi, GN. 1996. Efektivitas kacang merah dan tempe sebagai sumber asam amino berantai cabang terhadap pencegahan progresivitas sirosis hati pada tikus wistar (Disertasi). Bandung:Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran. Sanchez A. & Hubbard RW. 1991. Plasma amino acids and the insulin/glucagon ratio as an explanation for the dietary protein modulation of atherosclerosis. Med. Hypotheses 35:324- 329. Sarkar PK, Jones LJ, Craven GS, Somerset SM & Palmer C. 1997. Amino acid profiles of kinema, a soybean-fermented food. Food Chemistry 59:69-75. Schlenker, ED and Sara Long. 2007. Willianms’Essentials of Nutrition and diet therapy, Ninth Edition. Mosby Elsevier. Setchell KDR and Adlercreuts H. 1988. Mammalian lignans and phytoestrogens. Recent studies on their formation, metabolism and biological role in health and disease. InRole and of the Gut Flora in Toxicity and Cancer; ed. IR Rowland, pp.315-45. London: Academic Setchell KDR and Aedin Cassidy. 1999. Dietary isoflavones: biological effects and relevance to human health. J Nutr 129:758S-767S. Setchell KDR, Brown N, Desai P, Zimmer-Nechimias L, Wolfe B, Brashear W, Kirshner A, Cassidy A and Heubi J. 2001. Bioavailability of pure isoflavones in healthy humans and analysis of commercial soy isoflavone supplements. Journal of Nutrition 131:S1362-S1375. Setchell KDR, Brzezinski A, Brown NM, 2005. et al. Pharmacokinetics of a slowrelease formulation of soybean isoflavones in health postmenopausal women. J Agric Food Chem 53: 1938-44.
113
Simatupang P, Marwoto, Dewa Swastika. 2005. Pengembangan kedelai dan kebijakan penelitian di Indonesia. Dalam lokakarya Pengembangan kedelai dan lahan sub optimal. Balitkabi, Malang. 26 Juli 2005. Sirtori CR, Galli G, Lovati MR, Carrara P, Bosisio E & Kienle MG. 1984. Effects of dietary proteins on the regu lation of liver lipoprotein receptors in rats. J. Nutr. 114: 1493-1500. Sirtori CR, Lovati MR, Manzoni C, et al. 1995. Soy and cholesterol reduction:clinical experience. J Nutr 125:598S-605S. Shorey RL, Day PJ, Willis RA, et al. 1985. Effects of soybean polysacharide on plasma lipids. J Am Diet Assoc 85:1461-1465. Soeatmaji, D W. 1998. Peran stress oksidatif dalam pathogenesis angiopati mikro dan makro DM. Medica;5(24):318-125. Squadrito F, Altavilla D, Squadrito G, Saitta A, Cucinotta D, Minutoli L, Deodato B, Ferlito M, Campo GM, Bova A & Caputi AP. 2000. Genistein supplementation and estrogen replacement therapy improve endothelial dysfunction induced by ovariectomy in rats. Cardiovasc. Res 45:454–462. Stahl H D and R J Sims. 1985. Tempeh OiI-Antioxidant(?). JAOCS; Vol 63, no. 4. Steinberg F, Guthrie N, Villablanca A, Kumar K and Murray M. 2003. Soy protein with isoflavones has favorable effects on endothelial function that are independent of lipid and antioxidant affects in healthy postmenopausal women. American Journal of Clinical Nutrition 78:123-130. Steinkraus KH, Lee CY and Buck PA. 1965. Soybean fermentation by the onchom mold Neurospora. Food Techno 19:119. Stillings BR and LR Hackles. 1965. Amino acid studies on the effect of fermentation time and heat processing of tempe. Cornell University. Suarsana I N. 2009. Aktivitas hipoglikemik dan antioksidatif ekstrak metanol tempe pada tikus diabetes (Disertasi). Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sudarmadji S and Pericles M. 1977. The Phytate and phytase of soybean tempeh. J. Sci. Fd Agric 28:381-383.
Sudarmadji S and P Markakis. 1978. Lipid and other changes occurring during the fermentation and frying of tempeh. Fd. Chem:3.
114
Sugyarto. 1990. Pengaruh tempe kedele terhadap profil lipid penderita-penderita hiperkolesterolemia yang berobat di bagian ilmu penyakit dalam FK UI/RSCM Jakarta (tesis). Jakarta:Fakultas Pascasarjana, Universitas Indonesia. Survei Kesehatan Rumah Tangga. 2002. Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik
Susianto. 2011. Peran formula tempe sebagai sumber vitamin B12 dan implementasinya untuk diet vegetarian. Disertasi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Sutar AC, Banavalikar MM, Biyani MK. 2001. Pharmacological activities of genistein, an isoflavone form soy (Glycine max): part II-anti-cholesterol activity, effects on osteoporosis & menopasal symptoms. Indian J Exper Biol 39:520-525. Sutardi and K.A.Buckle. 1985. Reduction in phytic acid levels in soybeans during tempeh production, storage and frying. Journal of Food Science 50:260261. Suzuki T, Kohno H, Hasegawa A, Toshima S, Amaki T, Kurabayashi M, et al. 2002. Diagnostic implications of circulating oxidized low density lipoprotein levels as a biochemical risk marker of coronary artery disease. Clin Biochem; 35:347-53. Taher Achmad. 2003. Peran fitoestrogen kedelai sebagai antioksidan dalam penanggulangan aterosklerosis (Thesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Taku K, Keizo Umegaki, Yoko Sato, Yuko Taki, Kaori Endoh and Shaw Watanabe (2007). Soy isoflavones lower serum total and LDL cholesterol in humans: a meta-analysis of 11 randomized controlled trials. Am J Clin Nutr 85:1148-56. Tanaka Y, Shiozawa S, Morimoto I, Fujita T. 1989. Zinc inhibit pokeweed mitogen-induced development of immunoglobulin-secreting cells through augmentation of CD4 and CD8 cells. Int J Immunopharmacol 11(6): 673679. Tamura Y, Takenaka S, Sugiyama S, Nakayama R. 1998. Occurrence of anserine as an antioxidative dipeptide in a red alga, porphyra yezoensis. Biosci Biotechnol Biochem 62:561-563. Tasker,T. & Potter, S.M. (1993) Effects of dietary protein sourceon plasma lipids, HMG CoA reducÃaseactivity, and hepalic glutathione levels in gerbils. J. Nutr. Biochem 4:458-462.
115
Teede, Helena., Fabien S. Dalais, Dimitra Kotsopoulos, Yu-Lu Liang, Susan Davis and Barry P. 2001. McGrath. 2001. Teran Francis co Ruiz and J David Owens. 1999. Fate of oligosaccharides during production of soya bean tempe. J Sci Food Agric 79:249-252. Teresa Sonia de Pascual et al. 2006. Absorption of isoflavones in humans: effects of food matrix and processing. Journal of Nutritional Biochemistry 17:257-264. Tham, D., Gardner, C. and Haskell, W. 1998. Potential health henefits of dietary phytoestrogens: a review of the clinical, epidemiological, and mechanistic evidence. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism 83:2232235. Thompson, GR. 1990. A hand book of hiperlipidemia. MSD Current Science Ltd. London, 89-94. Toshima S, Hasegawa A, Kurabayashi M, Itabe H, Takano T, Sugano J, et al. 2000. Circulating oxidized low density lipoprotein levels. A biochemical risk marker for coronary heart disease. 2000. Arterioscler Thromb Vasc Biol; 20:2243-7. Tsukamoto, C., Shimada, S., Igata, K., Kudou S., Kokubun, M., Okubo K dan Kitamura, K. 1995. Factors afecting isoflaones content in soybean seeds changes in isoflavones, saponins, and composition of fatty cid at different temperatur during seed development. J. Agric. Food Chem 43:11841192. Torres N, Ivan Torre-Villalvaso, Armando R. Tovar. 2006. Regulation of lipid metabolism by soy protein and its implication in diseases mediated by lipid disorders. Journal of Nutritional Biochemistry 17: 365-373. Tsai AC, Mott EL, Owen GM, et al. 1993. Effects of soy polysaccharide on gastrointestinal functions, nutrient balance, steroid excretions, glucose tolerance, serum lipids and other parameters in human. Am J Clin Nutr 38:505-511. US Development of Agriculture Nutrient Data Laboratory, USDA-Iowa State University database on the isoflavone content of foods, release 1.3. 2002. Internet: http://www.nal.usda.gov/fnic/foodcomp/data/isoflav/isoflav.html. Valtin Heinz. 2002. Drink at least eight glasses of water a day. Really?? Is there scientific evidence for 8x8? Am J Physiol Regulatory Integrative Comp Pysiol ;283:993-1004. Vina Jose et al. 2008. Modulation of longevity-associated genes by estrogens or phytoestrogens. Biol. Chem 389:273-277.
116
Vinson JA, Dabbagh YA, Serry MM, and Jang J. 1995. Plant flavonoids, especially tea flavonols, are powerful antioxidants using an in vitro oxidation model for heart disease. J. Agric. Food Chem 43:2800-2802. Vouldoukis I, Sivan V, Vosenin MC, Kamate C, Calenda A, Mazier D and Dugas B. 2000. Fc-receptor-mediated intracellular delivery of Cu/ZnSuperoxide Dismutase (SOD1) protects againts redox-induced apoptosis through a nitric oxide dependent mechanism. Mol.Med 6:1042-1053. Vouldoukis I, Lacan, Kamate C, Coste P, Calenda A, Mazier D, Conti M and Dugas B. 2004. Antioxidant and anti-inflammatory properties of a curcumis melo LC. Extract rich in superoxide dismutase activity. J.Ethnopharmacol 94:67-75. . Vouldoukis I, Conti M, Kolb JP, Calenda A, Mazier D and Dugas B. 2003. Induction of Th1-dependent immunity by orally effective melon superoxide dismutase extract. Curr.Trends Immunol 5:141-145. Wagenknecht AC, LR Mattick, LM Lewin, DB Hand and KH Steinkraus. 1960. Changes in Soybean Lipids During Tempeh Fermentation Presented at the Twentieth Annual Meeting of the Institute of Food Technologists, San Francisco May 18, 1960. Wang C and Kurzer M. 1998. Effects of phytoestrogens on DNA synthesis in MCF-7 cells in the presence of estradiol or growth factors. Nutrition and cancer 31:90-100. Wang HL, EW Swain, LL Wallen and DC Hesseltine. 1975. Free fatty acids identified as antitryptic factor in soybeans fermented by rhyzopus aoligosporus. J.Nutr 105:1351-1355. Wang HJ and Murphy PA. 1994A. Isoflavone content in commercial soybean foods. J Agric Food Chem 42: 1666-73. Wang HJ and Murphy PA. 1994B. Isoflavone composition of American and Japanese soybeans in Iowa: effects of variety, crop year, and location. Journal of Agricultural and Food Chemistry 42:1674-1677. Wang HL, Doris I Ruttle, CW Hesseltine. 1996. Protein Quality of Wheat and Soybeans After Rhizopus oligosporus Fermentation. J. Nutrition 109-114. Wangen KE, Duncan AM, Xu X. & Kurzer MS. 2001. Soy isoflavones improve plasma lipids in normocholesterolemic and mildly hypercholesterolemic postmenopausal women. Am. J. Clin. Nutr 73: 225–231. Wardani N. 2000. Pengaruh formula tempe terhadap kadar kolesterol total dan apolipoprotein B penderita hiperkolesterolemia (Thesis). Jakarta: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
117
Wei H, Bowen R, Cai Q, Barnes S, Wang Y. 1995. Antioxidant and antipromotional effects of the soybean isoflavone genistein. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 208 (1): 124-30. Winarno FG. 1985. Tempe: peningkatan mutu dan statusnya di masyarakat, dalam dalam Hermana, dan Darwin Karyadi (penyunting). Simposium Pemanfaatan Tempe dalam Peningkatan Upaya Kesehatan dan Gizi. Puslitbang Gizi Depkes RI. Bogor Winarsi H. 2004. Respons hormonal dan imunologis wanita premenopause terhadap minuman fungsional berbahan dasar susu skim yang disuplementasi dengan isoflavon kedelai dan (Disertasi). Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wolters M and Hahn A. 2004. Soy isoflavones: a therapy for menopausal symptoms? Wien Med Wochenschr 154:334-41. Wooleet L A and Dietschy. 1994. Effect of long-chain fatty acids on low-density lipoprotein cholesterol metabolism. Am J Clin Nutr: 60;991S-996S. Xu Jiaqiong, Sigal Eilat-Adar, Catherine Loria, Uri Goldbourt, Barbara V Howard, Richard R Fabsitz, Ellie M Zephier, Claudia Mattil, and Elisa T Lee. 2006. Dietary fat intake and risk of coronary heart disease: the Strong Heart Study. Am J Clin Nutr ; 84:894 –902. Wu X, Beecher GR, Holden JM, Haytowitz DB, Gebhardt SERL. 2004. Lipophilic and hydrophilic antioxidant capacities of common foods in the United States. J.Agric.Food.Chem 52:4026-4037. Xu X, Wang JJ, Murphy PA, Hendrich S. 2000. Neither background diet nor type of soy food affects short-term isoflavone bioavailability in women. J Nut 130:798-801. Yeung John and Tak-fu Yu. 2003. Effects of isoflavones (soy phyto-estrogens) on serum lipids: a meta-analysis of randomized controlled trials. Nutrition Journal 2:15 Zamora RG and Veum TL. 1988. Nutritive value of whole soybeans fermented with Aspergillus oryzae or Rhizopus oligosporus as evaluated by neonatal pigs. Journal of Nutrition 118:438-444. Zhan S and Suzanne CH. 2005. Meta-analysis of the effects of soy protein containing isoflavones on the lipid profile. Am J Clin Nutr 81:397-408
118
METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian adalah 2x4 minggu cross-over paralel group, RCT (randomized control triall) dengan washout. Cross-over merupakan suatu cara untuk membandingkan beberapa perlakuan pada sampel yang sama di waktu yang berbeda, sehingga akan diperoleh hasil yang lebih tepat dengan jumlah sampel yang lebih sedikit dibandingkan dengan metode paralell group trials (Hills & Armitage 1979; Garcia et al. 2004). Untuk mengurangi carryover effect maka diterapkan satu periode washout selama 4
minggu.
Dalam
pelaksanaan
penelitian, peneliti tidak mengetahui jenis perlakuan yang diterima oleh setiap sampel, hanya petugas lapangan dan sampel yang mengetahui perlakuan apa yang diberikan. Protokol pelaksanaan penelitian sudah mendapatkan Persetujuan Etik dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia No: LB.03.04/KE/6693/2009. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di Kota Bogor. Sampel yang diambil berasal dari beberapa posbindu yang menjadi binaan Dinkes Kota Bogor. Dasar pemilihan lokasi adalah keaktifan posbindu sehingga mempermudah operasional penelitian di lapangan.
Lokasi penelitian terpilih berasal dari Kelurahan Tanah Sareal,
Pondok Rumput, Ciwaringin, Ciomas dan Sindang Sari. Penapisan sampel mulai dilakukan sejak bulan Maret hingga April 2009, sedangkan intervensi dilakukan mulai Mei hingga Agustus 2009.
Penelitian ini
dibagi menjadi 2 fase, dimana fase I pengambilan darah dilakukan pada 26 Mei 2009 (sebelum intervensi) dan 24 Juni 2009 (setelah intervensi), sedangkan fase II dilakukan pada 22 Juli 2009 (sebelum intervesi) dan 20 Agustus 2009 (setelah intervensi). Selanjutnya analisis serum darah dilakukan sejak April 2009 hingga Januari 2010.
1
Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Target Target populasi pada penelitian ini adalah wanita yang telah menopause antara 1 hingga 5 tahun dan tinggal di wilayah Kota Bogor. Populasi studi adalah wanita menopause antara 1 hingga 5 tahun yang menjadi binaan posbindu terpilih. Selanjutnya populasi tersebut harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. 2. Sampel Sampel harus memenuhi kriteria penerimaan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, antropometri, dan hasil penapisan pemeriksaan darah. Berdasar hasil penapisan terpilih sampel yang selanjutnya akan dijelaskan tujuan penelitian, perlakuan penelitian yang akan dilakukan, manfaat dan kerugian menjadi sampel penelitian. Jika sampel bersedia, maka akan menandatangani formulir persetujuan tertulis terhadap tindakan media yang dilakukan. 3. Penentuan Jumlah Sampel Penelitian ini menggunakan rumus sampel desain cross over Sd 2 N = 10.5 ----- D 10.5 Sd D N
= 90%, P 0,05 = standar deviasi kolesterol total = 34.6 mm/dL (Alrasyid 2007) = perbedaan atau efek yang diharapkan =19.6 mm/dL (Alrasyid 2007) = 33
Banyaknya sampel yang diperlukan dengan power 90% dan p 0,05 berdasar hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Alrasyid (2007 ) minimal dibutuhkan 33 sampel. Mengingat waktu penelitian yang relatif lama (3.5 bulan) dan untuk mengantisipasi drop out selama penelitian, maka jumlah minimal sampel ditambah 100%, sehingga jumlah sampel di awal penelitian diambil sebanyak 67 sampel.
2
Sampel terpilih akan dibagi secara random untuk menentukan kelompok perlakuan. Random dilakukan menggunakan tabel acak. Proporsi jumlah sampel terbagi rata pada 2 kelompok perlakuan. Pengacakan dilakukan oleh personil yang tidak turut dalam kegiatan penelitian dan tidak disaksikan sampel dan peneliti (peneliti tidak mengetahui sampel terpilih untuk masing-masing perlakuan). Kriteria Inklusi, Eksklusi dan Pengeluaran Adapun kriteria inklusi dan eksklusi sampel adalah. Kriteria Inklusi -
Wanita menopause, masa menopause antara 1 tahun hingga 5 tahun
-
Menopause terjadi secara alami
-
Bersedia menjadi responden dan mematuhi peraturan yang dibuat selama penelitian dengan mengisi surat pernyataan
-
Salah satu profil lipid darah tidak normal (kolesterol > 200 mg/dL, kolesterol-LDL > 130 mg/dL trigliserida > 150 mg/dL, kolesterol-HDL < 40 mg/dL) atau mengalami hipertensi (sistolik > 140 mmHg dan atau diastolik > 90 mmHg)
Kriteria eksklusi -
Mempunyai riwayat atau sedang mengalami penyakit hati, ginjal, gangguan tiroid, kanker, PJK, stroke, diabetes mellitus dan penyakit lainnya
-
Rutin mengkonsumsi suplemen
-
Rutin mengkonsumsi obat hipoglikemi, fitofarmaka, hipolipid.
-
Penganut vegetarian
-
Menggunakan terapi estrogen
Kriteria Pengeluaran -
Pada saat masuk dalam fase perlakuan, sampel tidak mengonsumsi tempe selama 3 hari berturut-turut
-
Indikasi kriteria eksklusi ditemukan pada sampel sewaktu penelitian berlangsung
-
Sampel tidak menjalani pemeriksaan darah secara lengkap
3
Alur Penelitian Setelah ditentukan sampel yang memenuhi kriteria inklusi maka penelitian dapat dilaksanakan. Penelitian ini di bagi menjadi empat fase, dimulai dari fase run-in, dan selanjutnya diikuti dengan fase 1 dan fase 2 yang diselingi dengan fase washout. Run in phase 2 mgg
Fase 1 4 mgg
Washout 4 mgg
Fase 2 4 mgg
Tempe
Kontrol
Kontrol Darah 1 (penapisan)
Darah2
Tempe Darah 3
Darah 4
Darah 5
Gambar 13 Alur penelitian. Run-in phase : -
2 minggu
-
home diet (mengonsumsi makanan dari rumah seperti biasa)
-
Record konsumsi (2 hari) untuk mengetahui pola konsumsi (base line).
-
Responden tidak diperbolehkan mengonsumsi kedelai dan hasil olahnya
-
Responden tidak diperkenankan konsumsi semua jenis suplemen dan obat
Treatment tempe -
4 minggu
-
Home diet + tempe 160 g tempe/hr
-
Tempe diberikan 6 hr/mgg.
Kontrol -
4 minggu
-
Home diet
-
Responden tidak mengonsumsi kedelai dan hasil olahnya
Washout -
4 minggu
-
Home diet
-
Responden tidak mengkonsumsi kedelai dan hasil olahnya
4
Responden mempersiapkan seluruh kebutuhan makannya sendiri kecuali tempe yang disiapkan oleh peneliti. Tahap pertama penapisan adalah mendaftar semua ibu menopause dengan masa menopause 12 bln – 59 bln. Calon sampel diundang untuk mendapat penjelasan tentang penelitian meliputi tahapan penelitian serta kerugian dan keuntungan menjadi sampel. Calon sampel yang bersedia mengikuti tahapan penelitian diwajibnya mengisi form persetujuan. Form persetujuan merupakan dasar untuk dimulainya penelitian yaitu tahap run in. Sebelum run in, dilakukan pemeriksaan spesimen darah dan antropometri sebagai pengukuran dasar (base line) untuk penapisan sampel. Calon sampel wajib puasa sekitar 10-12 jam sebelum dilakukan pengambilan darah. Pengambilan darah serentak dilakukan pada hari yang sama dimulai jam 6.30 WIB hingga jam 9.00 WIB, selanjutnya darah di bawa ke laboratorium untuk dipisahkan serum nya dan serum disimpan dalam suhu -200C sebelum dilakukan pemeriksaan laboratorium. Parameter yang diukur pada tahap tersebut meliputi: kolesterol total, K-LDL, K-HDL, trigliserida dan tekanan darah. Individu yang memenuhi kriteria inklusi akan dimasukkan sebagai sampel penelitian. Sampel terpilih akan menjalani run in phase, dimana mereka mulai menghindari konsumsi tempe, produk kedelai, maupun suplement yang biasa dikonsumsi selama minimal 2 minggu. Fase run in dilakukan selama 2 minggu untuk membersihkan kadar isoflavon dalam darah sampel dan merupakan tahap sosialisasi sebelum masuk pada tahap intervensi. Setelah run in selesai atau sebelum fase 1 dimulai, maka dilakukan pengambilan darah ke 2. Selanjutnya secara random, sampel dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan (intervensi tempe) dan kelompok kontrol. Diakhir fase 1 dilakukan kembali pengambilan darah (yang ke 3), diikuti dengan washout selama 4 minggu. Selesai washout kemudian dilakukan pengambilan darah ke 4, setelah itu masuk fase 2 yaitu fase cross over, dimana sampel yang pada fase 1 masuk pada kelompok intervensi, maka pada fase ke 2 masuk ke kelompok plasebo, begitu juga sebaliknya.
Fase 2 juga dilakukan selama 4
minggu. Setelah 4 minggu fase 2 berakhir, maka dilakukan pengambilan darah terakhir (ke 5).
5
Fase Intervensi diberikan selama 4 minggu berdasar hasil berbagai penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa minimal intervensi protein kedelai maupun isoflavon dilakukan selama 2 minggu, dan dalam selang waktu tersebut dapat dilihat perubahan pada parameter yang diukur. Penelitian terdahulu yang memberikan protein kedelai maupun isoflavon terhadap profil lipid juga menunjukkan hasil bahwa perubahan dapat dilihat setelah pemberian selama 2 minggu. Besarnya perubahan parameter sangat tergantung dari besarnya dosis, bentuk intervensi, lama intervensi dilakukan, serta kondisi pre test sampel perlakuan. Adapun wash out diberlakukan selama 4 minggu dengan alasan untuk memberikan kesamaan waktu antara intervensi dan wash out, dan dari penelitian yang pernah dilakukan bahwa kadar isoflavon akan bersih dalam darah setelah 2 minggu fase wash out serta untuk menghilangkan pengaruh intervensi yang telah diterima sampel sebelumnya. Jumlah sampel dari awal hingga akhir penelitian disajikan dalam Gambar 14. 440 orang
Penapisan
123 orang
Sampel
67 orang
Pre-test
30 orang
30 orang
Pos-test
29 orang
30 orang
Pre-test
29 orang
27 orang
27 orang
26 orang
Fase I
Fase II Pos-test
Gambar 14 Jumlah sampel dari awal hingga akhir penelitian.
6
Sampel total terpilih sebanyak 67 orang, namun yang hadir pada saat pengambilan darah pre-test hanya 60 orang. Sebanyak 7 orang tidak hadir karena bekerja di tempat yang jauh sehingga tidak memungkinkan untuk diberi intervensi. Dari 60 orang yang mengikuti awal intervensi, terdapat 53 orang yang mengikuti semua prosedur penelitian secara lengkap. Terjadi drop out sebanyak 7 orang disebabkan karena 1 orang sakit (tetanus), 1 orang tidak hadir saat pengambilan darah terakhir, dan 5 orang tidak bersedia melanjutkan intervensi dengan alasan non medis. Untuk setiap pengambilan darah ke 1 hingga ke 5 dilakukan prosedur yang sama, diawali dengan puasa selama 10-12 jam sebelumnya dan pengambilan darah dilakukan serentak pada hari yang sama dimulai pukul 6.30 hingga selesai. Darah selanjutnya dibawa ke laboratorium dan dipisahkan serumnya, dibagi ke dalam beberapa cuvet kecil dengan volume sesuai dengan jenis pemeriksaan. Serum disimpan pada suhu -200C sebelum didistribusikan ke laboratorium yang akan melakukan analisis lebih lanjut. Intervensi Tempe yang digunakan sebagai bahan intervensi berasal dari satu produsen tempe yang ada di Kota Bogor, hal tersebut untuk menjamin keseimbangan kandungan isoflavon yang dihasilkan karena menggunakan prosedur yang selalu sama saat pembuatannya.
Kedelai sebagai bahan dasar
pembuatan tempe adalah merek Americana, sedangkan ragi yang digunakan diproduksi oleh PT. Aneka Fermentasi Industri, Bandung (BPOM RI. MD 262628001051). Teori yang ada menunjukkan bahwa kandungan isoflavon tempe akan lebih tinggi pada tempe yang mengalami 2 kali perebusan. Berdasar hal tersebut, peneliti menunjuk satu produsen dengan proses pembuatan melalui perebusan 2 kali. Sebelum ditentukan produsen tempe yang akan diambil sebagai pemasok, dilakukan analisa isoflavon pada 2 tempat pembuatan tempe, dimana kedua tempat tersebut mengerjakan pembuatan tempe dengan proses yang berbeda. Hasil analisis yang dilakukan sebanyak 3 kali uji isoflavon menunjukkan bahwa 160 g tempe mentah basah mengandung rata-rata 49.3 mg isoflavon.
7
Kandungan protein dalam 160 gr tempe mentah 26.4 g yang masih dianggap aman untuk diberikan setiap harinya. Intervensi tempe yang diberikan sebanyak 160 g per hari, 6 hari dalam seminggu selama 4 minggu. Selama fase intervensi, setiap hari jam 06.00 WIB produsen tempe mengantar tempe mentah ke peneliti.
Proses pemasakan
membutuhkan waktu sekitar 1 jam dan proses pengemasan membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Sekitar jam 09.00 WIB tempe matang yang telah dikemas siap didistribusikan ke sampel, dan tiba dirumah sampel sekitar pukul 09.30 WIB hingga 11.00 WIB. Tempe tidak harus dihabiskan pada satu saat tertentu, namun diminta untuk dihabiskan dalam
satu hari.
Untuk mengontrol kepatuhan
konsumsi tempe, maka setiap hari petugas pengantar tempe menanyakan konsumsi tempe sehari sebelumnya. Tempe diberikan sebanyak 160 g atau setara dengan 4 potong tempe ukuran sedang. Menu tempe yang diberikan diganti setiap hari dengan ragam jenis masakan : 1. Panggang rempah 2. Oseng 3. Bumbu kencur 4. Panggang opor 5. Sukiyaki 6. Semur 7. Bumbu kacang 8. Kari kemangi 9. Bacem 10. Sambal kencur 11. Botok Instrumen Penelitian Formulir yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: 1. Formulir karakteristik sampel (usia, pendidikan, pekerjaan, pengeluaran, suku, lama menopause, kebiasaan Olah Raga dan merokok) 2. Formulir pengetahuan gizi 3. Formulir pemeriksaan darah
8
4. Formulir IMT 5. Formulir antropometri (BB, TB) 6. Formulir kesehatan (tekanan darah, status kesehatan saat pemeriksaan) 7. Formulir konsumsi : Food Frequency Quesioner (FFQ) dan food record. Peralatan dan Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan meliputi 1. Timbangan BB merek seca dengan ketelitian 0,1 kilogram 2. Pengukur TB microtoise dengan ketelitian 0,1 centimeter 3. Pengukur tekanan darah sphygmomanometer dengan ketelitian 1,0 mmHg 4. Peralatan pengambil darah: syringe 10cc, kapas, alkohol, plester, tabung 5. Peralatan laboratorium: tube, sentrifuse, freezer, lemari es, shaker, printer, spectrophotometer UV-1601 dengan panjang gelombang 200-800 nm (untuk pemeriksaan MDA) , ELISA reader (untuk pemeriksaan SOD dan OxLDL), Hitachi 902 analyzer (enzymatic colorimetric test untuk pemeriksaan profil lipid), AAS (untuk pemeriksaan Zn). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan selama penelitian meliputi karakterisik responden yang terdiri dari: nama, tanggal lahir, menstruasi terakhir, lama menopause, suku bangsa, status pernikahan, frekuensi kehamilan, jumlah anak, keikutsertaan KB, jenis KB yang digunakan.
Identitas responden dikumpulkan di awal tahap
penelitian. Data sosial ekonomi meliputi : pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, jumlah anggota keluarga dalam satu rumah. Data aktivitas fisik meliputi aktivitas di rumah dan olah raga (lama, jenis, dan frekuensi). Data status kesehatan yang dikumpulkan meliputi
riwayat penyakit,
konsumsi obat, kebiasaan konsumsi suplement. Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh dokter yang meliputi pemeriksaan fisik, anamnesa, keluhan dan riwayat penyakit.
Pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap kali akan dilakukan
pengambilan darah. Data antropometri meliputi: BB dan TB. Pengukuran TB dilakukan di awal penelitian sedangkan pengukuran BB dilakukan bersamaan dengan setiap
9
kali dilakukan pengambilan darah.
Pengukuran TB menggunakan Microtoise
dengan ketelitian 0.1 cm, pengukuran BB menggunakan timbangan injak merek seca ketelitian 0.1 kg, dan pengukuran tekanan darah menggunakan alat ukur tekanan darah tensimeter raksa. Tabel 9 Variabel penelitian Variabel
Sebelum run-in
Sebelum fase 1
Setelah fase 1
Sebelum fase 2
Setelah fase 2
SOD
Zn
Ox-LDL
MDA
-Sistolik
-Diastolik
Karakteristik sampel
Sosial Ekonomi
Profil Lipid -Total kolesterol -Kolesterol-HDL -Kolesterol-LDL -Trigrliserida
Pemeriksaan Kesehatan
Tekanan Darah
Sindrom Menopause BB
TB
Record (1x/mg) FFQ (1x/bl)
Data biokimia darah meliputi: profil lipid, SOD, Zn, OxLDL, MDA. Pengambilan darah dilakukan sebanyak 5 kali.
Data konsumsi meliputi :
pencatatan konsumsi makanan (food record) dan FFQ. Food record dilakukan 1 minggu sekali, sehingga total selama penelitian diperoleh 14 food record untuk setiap sampel, sedangkan FFQ diambil sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan saat
10
penelitian untuk melihat perubahan frekuensi konsumsi. Dari hasil food record dianalisis konsumsi energi, karbohidrat, lemak, kolesterol, PUFA, MUFA, SAFA, protein, vitamin E, Se, Zn, Cu dan Fe serta serat. Kepatuhan konsumsi tempe ditanyakan setiap hari (pada keesokan harinya, bersamaan dengan pemberian tempe pada sampel). Tabel 10 Indikator dan metode pengumpulan data Variabel
Indikator Kunci
Metode
Karakteristik
Umur, lama menopause, frekuensi
Wawancara berdasar kuesioner
responden
kehamilan, alat KB yang pernah digunakan
Sosial ekonomi
Pengeluaran per kapita/bulan
Wawancara berdasar kuesioner
Pekerjaan Pendidikan Status kesehatan
Pernah/tidak pernah sakit, kebiasaan
Pemeriksaan dan Wawancara
minum obat, pemeriksaan fisik kesehatan Riwayat penyakit
Jenis penyakit yang pernah diderita
Wawancara berdasar kuesioner
Konsumsi per hari
Pengisian formulir food record
Frekuensi dalam 1 bulan terakhir
Wawancara berdasar kuesioner
Antropometri
BB, TB
Pengukuran BB dan TB
Biokimia darah
Kolesterol total K-LDL K-HDL Trigliserida SOD MDA Ox-LDL Zn
Analisis laboratorium
Zat gizi dan non gizi
Protein dan Asam amino
Analisis laboratorium
pada tempe
Lemak dan asam lemak
Konsumsi Food record FFQ
Zn, Fe, Cu Isoflavon Kepatuhan
Jumlah tempe yang dimakan per hari
Wawancara
11
Pengambilan sampel darah dilakukan 5 kali (1 kali penapisan dan 4 kali saat perlakuan). Sampel darah diambil sebanyak 8 ml dimasukkan dalam tabung tanpa koagulan dan kemudian diputar dengan sentrifuse untuk diambil serumnya. Serum di bagi menjadi 7 (5 untuk variabel dan 2 cadangan). Serum disimpan dalam freezer -200C sebelum dilakukan analisis. Kandungan gizi dan non gizi tempe yang dianalisis adalah : protein, asam amino, lemak, asam lemak, Zn, Cu, dan isoflavon total. Pengendalian Kualitas Data Tim peneliti direkruit dengan seleksi sehingga memenuhi kriteria tertentu dengan tujuan agar penelitian menghasilkan data yang berkualitas.
Kriteria
petugas lapangan adalah sebagai berikut: - perempuan - lulusan S-1 gizi - mempunyai pengalaman dalam mewawancarai responden - mempunyai pengalaman di lapangan - dapat berkomunikasi dengan baik - tertarik dengan penelitian ini - disiplin - mempunyai komitmen untuk menyelesaikan pekerjaan - mempunyai kapasitas untuk membuat laporan kegiatan lapangan - mampu bekerja sendiri maupun sebagai tim Semua calon petugas lapangan/pewawancara
dilatih selama 1 hari di
dalam ruangan dan 1 hari di lapangan. Materi yang diberikan selama pelatihan adalah latar belakang dan tujuan penelitian survei, desain penelitian, metode pemilihan sampel, bagaimana menghadapi responden, penguasaan kuesioner, proses wawancara, teknik wawancara (pendekatan, pelaksanaan, probing), penyelesaian masalah dan simulasi (praktek di kelas). Hari kedua akan dilakukan ujicoba wawancara di lapangan dengan kriteria responden mirip dengan responden penelitian.
Setelah pelatihan maka modifikasi/perbaikan manual
dilakukan sesuai dengan pengalaman saat uji coba di lapangan. Uji coba kuesioner dilaksanakan
untuk mencatat berapa lama waktu
dibutuhkan untuk wawancara, menilai alur pertanyaan dan format kuesioner serta
12
jawaban yang kemungkinan belum tercantum sebagai pilihan di kuesioner. Selain itu juga untuk memastikan bahwa kuesioner telah dipahami dengan baik oleh pewawancara dan menghindari aspek sensitif. Reliabilitas pertanyaan
dikendalikan
untuk menjaga konsistensi
pertanyaan yang diberikan oleh pewawancara. Hal ini dilakukan terhadap sub sampel dari setiap pewawancara dengan cara wawancara ulang yang dilakukan oleh peneliti dan dibandingkan dengan jawaban responden sebelumnya. Pertemuan rutin petugas dilakukan untuk memastikan data telah terkumpul dengan baik dan untuk mengetahui masalah serta penyelesaiannya di lapangan. Petugas lapangan secara rutin dikumpulkan bersama-sama setiap hari untuk mendiskusikan hal tersebut. Hasil wawancara akan diperiksa oleh pewawancara lain dan di periksa kembali oleh peneliti, hal tersebut untuk memastikan semua kuesioner sudah dijawab dengan lengkap oleh sampel. Pemilihan tempat analisis serum berdasarkan kemampuan peralatan dan tenaga laboratorium yang berpengalaman mengalanisis parameter tertentu. Hal tersebut menyebabkan analisis tidak dapat dilakukan di satu laboratorium namun menyebar menjadi beberapa tempat. Tabel berikut berisi tempat analisis serum dilakukan,. Tabel 11 Laboratorium analisis biokimia darah No.
Jenis pemeriksaan
Tempat pemeriksaan
1.
Profil lipid
Lab. Patologi Klinik FK – UI
2.
SOD
Lab. Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya
3.
MDA
Lab. Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya
4.
Ox-LDL
Lab. Biokimia FMIPA Universitas Brawijaya
5.
Zn
Lab. Biokimia Puslibang Gizi dan Makanan Kemenkes RI
6.
Isoflavon tempe
Lab. Bioprospeksi Bidang Mikrobiologi LIPI
7.
Protein & asam amino tempe
Lab. Terpadu IPB
8.
Lemak & asam lemak tempe
Lab. Terpadu IPB
9.
Zn, Cu dan Fe tempe
Lab. Terpadu IPB
13
Penilaian terhadap proses pengumpulan data dilakukan di lapangan oleh supervisor untuk memeriksa apakah pewawancara mengumpulkan data dengan tepat. Selain itu juga untuk mengetahui masalah yang ditemukan di lapangan. Penilaian kualitas data entry dilakukan minimal 10% dari total data. Entry ulang akan dilakukan jika terdapat inkonsistensi. Pengukuran antropometri dilakukan oleh tenaga terlatih dan alat ukur yang digunakan (timbangan, microtoise) telah dikalibrasi sebelum digunakan. Pengambilan darah dilakukan oleh tenaga ahli sedangkan analisis sampel darah
dilakukan
di
beberapa
laboratorium
yang
sudah
terstandarisasi.
Pengambilan darah selalu dilakukan serentak mulai jam 6.30 WIB hingga 9.00 WIB. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalkan variasi hari dan cuaca serta kondisi lain yang dikhawatir mempengaruhi spesimen darah. Metode Pemeriksaan Laboratorium Secara rinci prosedur kerja analisis spesimen darah dimuat dalam lampiran. Berikut secara ringkas adalah reagent yang digunakan dalam analisis tersebut. 1. Profil lipid - Kolesterol total: diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “cholesterol CHOD-PAP (Roche, 2007). No Katalog 11489232-216 - Trigliserida: diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “triglycerides GPO-PAP (Roche, 2007). No Katalog 11488872-216 - Kolesterol-LDL: diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “LDL-cholesterol CHOD-PAP (Roche, 2007). - Kolesterol-HDL diperiksa dengan metode enzymatic colorimetric test “HDL-cholesterol CHOD-PAP (Roche, 2007). No Katalog 04713184-190 2. Aktifitas SOD diperiksa dengan metode activity assay menggunakan reagent merk Northwest (NWK-SOD02) 3. OxLDL diperiksa dengan metode enzyme immunoassay menggunakan reagent merk Mercodia, Swedia 4. MDA diperiksa dengan spektrofotometer, bahan yang digunakan antara lain TCA, Na Thio, dan HCl 5. Zn diperiksa dengan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)
14
Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan secara bertahap, dimulai dari data yang terkumpul di lapangan hingga data siap dianalisis.
Data yang terkumpul di
lapangan akan diperiksa oleh peneliti, jika terdapat kekurangan data pewawancara akan melengkapi dengan wawancara ulang kepada sampel. Jawaban pertanyaan dikoding oleh pewawancara sehingga mempermudah proses input data. Selanjutnya data diinput ke komputer.
Jika proses input data telah selesai,
dilakukan proses pembersihan data dengan cara melihat sebaran data setiap variabel.
Data ekstrim akan dicek kembali ke kuesioner. Data yang telah
dibersihkan selanjutnya dianalisis secara diskriptif dan statistik menggunakan soft ware statistik. Sebelum dilakukan uji statistik lanjut semua data disajikan dalam bentuk statistik elementer (minimal, maksimal, rata-rata dan standar deviasi). Data kuantitatif konsumsi pangan (food record) yang diambil 1x/mgg direkapitulasi untuk mengetahui berbagai jenis pangan dan ukuran (gram) yang dikonsumsi sampel. Untuk bahan makanan khususnya jajanan yang tidak lazim, peneliti membeli bahan makanan tersebut di warung sekitar tempat tinggal responden. Terindikasi ada sekitar 20 jenis jajanan yang dibeli dan digunakan untuk mengetahui bahan asal dan berat makanan. Daftar ini digunakan sebagai panduan dalam memasukkan jenis makanan ke dalam soft ware. Semua jenis makanan dan berat makanan kemudian dimasukkan dalam soft ware Nutrisurvey untuk dihitung energi, karbohidrat, protein, lemak, kolesterol, MUFA, SAFA, PUFA, serat, vitamin E, Seng dan Cu. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan AKG (WKNPG 2004) untuk mengetahui kecukupan zat gizi setiap sampel.
Data kualitatif konsumsi pangan (FFQ) merupakan data pendukung
kuantitatif di ambil 1x/bln direkapitulasi dan dikonversi dalam hari atau minggu untuk menggambarkan frekuensi konsumsi responden. Analisis data yang pertama dilakukan adalah pengukuran diskriptif terhadap beberapa parameter seperti karakteristik individu dan sosial ekonomi. Beberapa ukuran yang dianalisis antara lain: mean (rata-rata), median, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimal. Uji statistik parameter biokimia darah
dilakukan melalui beberapa tahap.
Tahap pertama adalah menguji
distribusi sebaran normalitas data dengan menggunakan Uji Kosmogorov-
15
Smirnov dan Uji homogenitas varian menggunakan Lavena test. Jika p>0.05 maka sebaran data tergolong terdistribusi normal dan varians data tergolong homogen.
Untuk mengetahui perubahan kadar parameter biokimia darah
sebelum dan setelah intervensi serta membandingkan antara kelompok perlakuan dan kontrol (K-T, K-LDL, K-HDL, trigliserida, SOD, Zn, Ox-LDL dan MDA) digunakan Anova design repeated measurement atau GLMRM (general linier model repeated measurement). Untuk mengetahui hubungan masing-masing konsumsi zat gizi terhadap perubahan kadar setiap parameter biokimia darah dilakukan uji bivariat dengan uji pearson jika data terdistribusi normal dan uji sperman jika data tidak terdistribusi normal.
Selanjutnya analisis regresi linier multivariat digunakan untuk
mengetahui faktor (konsumsi zat gizi) yang paling mempengaruhi perubahan parameter darah setelah perlakuan. Definisi Operasional Definisi operasional berisi definisi dari setiap parameter atau variabel yang diukur disertai dengan alat ukur yang digunakan, cara mengukur dan hasil ukurnya. Selengkapnya disajikan pada Tabel 12 berikut.
16
Tabel 12 Definisi operasional Variabel Usia
Definisi Operasional Usia dihitung sejak lahir
Alat Ukur Kuesioner
Cara Ukur Wawancara
hingga ulang tahun terakhir
Hasil Ukur < 50 thn 51 – 55 thn >55 thn
Pendidikan
Lama sekolah yang berhasil
Kuesioner
Wawancara
diselesaikan responden
Lulus SD Lulus SMP Lulus SMA Lulus Akd/S-1
Pekerjaan
Aktivitas di dalam atau
Kuesioner
Wawancara
diluar rumah yang
Bekerja Tidak bekerja
menghasilkan uang Pengeluaran
Besarnya rupiah yang
Kuesioner
Wawancara
dikeluarkan perkapita per
< rata-rata > rata-rata
bulan Suku
Asal daerah orang tua
Kuesioner
Wawancara
Sunda Jawa Minang, dll
Lama menopause
Pengetahuan gizi
Dihitung sejak terakhir kali
Kuesioner
Wawancara
Lama nya
menstruasi hingga saat
menopause
penelitian dimulai
dalam tahun
Nilai yang diperoleh setelah
Kuesioner
Wawancara
Kurang
menjawab pertanyaan
<60% benar
tentang gizi
Sedang 60%-80% benar Baik >80% benar
Konsumsi
Jumlah dan jenis makanan
Form food
yang dikonsumsi dalam satu
record
Pengisian
< AKG > AKG
hari yang disajikan dalam persentase total dari Angka Kecukupan Gizi Status Gizi (IMT)
Rasio antara berat badan
Timbangan
Menimbang BB
Kurus: <18.5
dalam kg dengan tinggi badan
BB SECA
responden dengan
Normal: 18.5 –
dalam meter kuadrat. Rumus
dan pengukur
timbangan SECA
25
: BB (kg)/TB2 (m)
tinggi
dan TB dengan
Gizi lebih: 25 –
microtoise
microtoise
27 Obesitas: >27
17
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Hasil Ukur
Tekanan darah
Hasil pengukuran sistolik dan
Tensi meter
Mengukur
Hipertensi: sistolik
diastolic yang dilakukan pada
tekanan darah
>140 mmHg dan atau
posisi duduk setelah
pada lengan
diastolik <90 mmHg
beristirahat minimal 10 menit
bagian atas
Non hipertensi: sistolik <140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg
Genetik
Penyakit yang diturunkan dari
Kuesioner
Wawancara
Ada: jika salah satu
salah satu orang tua atau
keluarga yang lebih
saudara yang lebih tua
tua mengalami salah satu jenis pyk degeneratif Tidak ada: jika tidak ada anggota keluarga yang terkena pyk degeneratif
Merokok
Kebiasaan merokok yang
Kuesioner
Wawancara
dilakukan sehari-hari
Ya: jika saat penelitian sampel terbiasa merokok Tidak: jika saat penelitian sampel tidak merokok
Aktivitas fisik
Kegiatan olah raga yang
kuesioner
Wawancara
dilakukan secara rutin dalam
Jarang (<3x/mg) Sering (>3x/mg)
satu minggu K-Total
Kadar kolesterol dalam serum
Analisis
Pengambilan
darah
laboratorium
darah lewat
Rasio
vena dan dianalisis di Lab K-LDL
Kadar LDL dalam
Analisis
Pengambilan
serum darah
laboratorium
darah lewat
Rasio
vena dan dianalisis di Lab K-HDL
Kadar HDL dalam
Analisis
Pengambilan
serum darah
laboratorium
darah lewat
Rasio
vena dan dianalisis di Lab
18
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Cara Ukur
Trigliserida
Kadar trigliserida dalam
Analisis
Pengambilan
serum darah
laboratorium
darah lewat vena
Hasil Ukur Rasio
dan dianalisis di Lab SOD
Kadar enzim superoksida
Analisis
Pengambilan darah
dismutase dalam serum darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab Zinc
Kadar Zn dalam serum darah
Analisis
Pengambilan darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab MDA
Kadar MDA dalam
Analisis
Pengambilan darah
serum darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab Oksidasi LDL
Kadar oksidasi LDL dalam
Analisis
Pengambilan darah
serum darah
laboratorium
lewat vena dan
Rasio
dianalisis di Lab
19
SUPEROXIDE DISMUTASE Kit by Northwest, Vancouver Prinsip Metoda ini di dasarkan pada monitoring laju auto-oksidasi dari hematoxilin, dengan modifikasi untuk meningkatkan robustness dan reliability. Adanya enzim SOD pada pH spesifik, laju auto-oksidasi dihambat dan persentase dari hambatan adalah linier pada jumlah SOD yang ada pada kisaran spesifik. Prinsip dasar dari pengukuran dirumuskan sebagai berikut. O2 + HTH2
SOD XX
H2O2 + HT (Abs 560 ↑)
Alat yang dibutuhkan - Cuvet semi-midro (1.0 mL) - Tabung mikrosentrifugas - Botol - Pipet (0.0 – 1.0 mL) - Tips pipet
Prosedur 1. Tambahkan 230 µL assay buffer dalam well sampel 2. Tambahkan 10 µL assay buffer (untuk blanko) atau 10 µL sampel. Mix dan inkubasi 2 menit 3. Tambahkan 10 µL hematoxylin reagent untuk memulai reaksi. 4. Mix dengan cepat menggunakan shaker dan segera mulai pembacaan dengan panjang gelombang 560 nm setiap 10 detik atau interval waktu yang pendek, setidaknya 5 menit. Catatan : Laju reaksi seharusnya akan linier sekitar 10 menit. Penghitungan aktivitas SOD menggunakan rumus sebagai berikut : 1. Y = aX + b 2. Rate (Abs 560nm /min) = (Y2 – Y1)/(X2 – X1) 3. Ratio s/b = Rates/Rateb 4. % Inhibition = (1 – Ratios/b) *100% 5. (SOD U/mL) s = 1.25 * (% inhibition) 6. (SOD U/mL) os = (SOD U/mL)s * (Sample dilution factor)
Kolesterol Kolesterol total diperiksa dengan menggunakan monotest Cholesterol CHOD-PAP, dengan metoda enzimatik kolorimetrik dengan batas normal < 200 mg/dl. Kolesterol ditentukan secara enzimatik menggunakan kolesterol esterase dan kolesterol oksidase. Sampel di tuang dalam kuvet kecil ditambah reagent kolesterol, diletakkan dalam alat dan pembacaan dimulai, nilai akan keluar secara digital.
Trigliserida Trigliserida diperiksa dengan menggunakan pemeriksaan enzimatik kolorimetrik “trigliserida GPO-PAP” dengan batas normal < 150 mg/dl. Sampel di tuang dalam cuvet, dan ditambahkan buffer/4-chlorophenol/enzymes
dan
pembacaan dimulai serta nilai akan keluar secara digital.
K-HDL Pemeriksaan K-HDL dilakukan dengan menggunakan metoda HDL Cholesterol, no pretreatment, secara homogeneous enzymatic colorimetric dengan batas normal 40 mg/dl. Sampel dituang dalam cuvet dan ditambahkan R1 dan R2 (PEG-modified enzymes/4-amino-antipyrine/buffer) dan pembacaan dimulai, nilai akan keluar secara digital.
K-LDL Pemeriksaan K-LDL dilakukan dengan menggunakan metoda LDL cholesterol CHOD-PAP dengan atas normal 130 mg/dl. Sampel dituang dalam cuvet dan ditambahkan reagent K-LDL dan pembacaan dimulai, nilai akan keluar secara digital.
ANALISIS ISOFLAVON (INA Method 118.000) Prinsip Contoh diekstrak pada suhu 65oC selama 2 jam dengan alcohol/methanol 80% dan dilakukan penyabunan pada temperature ruang dengan NaOH 2N selama 10 menit kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan asam acetat glacial, kemudian hasil ekstrak disaring, diencerkan dan di sentrifus. Dianalisis dengan HPLC kolom C18, dengan fase gerak methanol air dan asam asetat. Contoh dibaca pada panjang gelombang 260 nm.
Persiapan contoh: Untuk sampel yang konsentrasi proteinnya tinggi, diusahakan penimbangan 1 gram protein.
Timbang 300 mg contoh ke dalam tabung centrifuge, tambahkan 40 ml methanol 80% , tutup, kocok pada suhu 65oC selama 2 jam. Dinginkan pada temperatur ruang, tambahkan 3 ml NaOH 2N, tutup dan kocok selama 10 menint pada orbital sheaker, tambahkan 1 ml asam asetat glacial, putar agar tersuspensi. Encerkan menjadi 20 ml dengan methanol. Pusingkan selama 10 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Dengan standar > 40% isoflavon, ambil 1 ml encerkan ke dalam 10 ml methanol 80%.
Kondisi alat HPLC detector UV 260 nm Flow rate 0.8 ml/menit Coloum temperature 30 oC Coloum C18, gradiant, injection volume 10 µL
OXIDIZED LDL ELISA (Kit by Mercodia, Swedia) PRINSIP PENGUKURAN Mercodia Oxidized LDL ELISA merupakan pengukuran imunologi dari 2 sisi enzim dalam fase padatan. Pengukuran ini didasarkan pada tehnik direct sandwich, dimana 2 antibodi monoclonal digunakan untuk memisahkan titik antigenic pada molekul oxidized apolipoprotein B. Selama inkubasi oxidized LDL dalam sampel bereaksi dengan antibody anti-oxidized LDL microtitration well. Setelah pencucian, yang mana menghilangkan komponen-komponen plasma nonreaktif, antibody peroxidaxe conjugated anti-human apolipoprotein B mengenali fase padatan dari oxidized LDL. Setelah inkubasi kedua dan tahapan pencucian berikutnya yang menghilangkan antibody enzim terlabel yang tidak terikat, ikatan konjugat dideteksi oleh reaksi dengan TMB. Reaksi dihentikan dengan penambahan asam untuk memberikan titik akhir kolorimetrik, selanjutnya dibaca dengan spektrofotometer.
ALAT DAN BAHAN Mikropipet 25 μL dengan disposable tips Pipet 50, 100, 200, 1000 μL Gelas kimia dan silinder untuk preparasi sampel H2O steril Test tubes dengan tutup 3.5 mL Microplate reader filter 450 nm Shaker Microplate washing device Vortex
REAGENT Setiap Mercodia Oxidized LDL ELISA kit mengandung reagent untuk 96 wells, tersedia untuk 40 sampel, 2 kontrol, dan 1 kurva calibrator (duplo). a. Coated Plate – 1 plate, 96 wells, ready to use (mouse monoclonal anti-oxidized LDL) – 8-well
Untuk mikcroplate wells yang tidak digunakan, tutup kembali dengan isolasi dan dapat digunakan dalam jangka waktu 2 bulan. b. Calibrators 1, 2, 3, 4, 5 – 5 vials, 1000 L, Lyophilized Konsentrasi terdapat pada label. Warna kode kuning. Ditambahkan 1000 μL H2O steril per vial. c. Calibrator 0 – 1 vial, 1000 μL, ready to use Warna kode kuning. d. Control (L), (H) – 2 vials, 1000 L, Lyophilized Konsentrasi tercantum pada label. Ditambahkan 1000 L H2O steril per vial. e. Enzyme Conjugate 11x – 1 vial, 1.2 mL, Preparation (Peroksidase conjugated mouse monoclonal anti-apoB) f. Enzyme Conjugate Buffer – 1 vial, 12 mL, ready to use Kode warna biru. g. Assay Buffer – 1 vial, 12 mL, ready to use Kode warna merah. h. Sampel Buffer 4x – 1 botol, 50 mL Kode warna kuning. Dilarutkan dengan 150 mL H2O steril untuk membuat sampel buffer. Catatan! Endapan mungkin terbentuk ketika disimpan pada suhu 2 – 8 0C. Biarkan Sampel Buffer 4x hingga mencapai suhu ruang. Shake atau vortex hingga endapan terlarut kembali. i. Wash Buffer 21X – 1 botol, 40 mL Dilarutkan dengan 800 mL H2O steril untuk membuat wash buffer j. Substrate TMB – 1 vial, 22 mL, ready to use Tidak berwarna. Catatan! Sensitif terhadap cahaya! k. Stop Solution – 1 vial, 7 mL, ready to use 0.5 M H2SO 4
PERSIAPAN ENZYME CONJUGATE SOLUTION Siapkan sejumlah volume enzyme conjugate solution yang dibutuhkan dengan melarutkan enzyme conjugate 11x (1+10) dalam enzyme conjugate buffer seperti pada table. Jika ingin menyiapkan enzyme conjugate solution untuk seluruh plate,
tuangkan seluruh enzyme conjugate buffer kedalam vial enzyme conjugate 11x. Campurkan hingga merata.
KOLEKSI SPESIMEN DAN PERLAKUAN Spesimen ynag direkomendasikan untuk digunakan adalah fresh EDTA-plasma, heparin-plasma, dan serum. Plasma Koleksi darah kemudian masukkan dllam tabung yang mengandung EDTA atau heparin sebagai anti-koagulasi, dan pisahkan fraksi plasma. Sampel dapat dismpan pada suhu -80 0C selama-lamanya 6 bulan. Hindari pembekuan dan pencairan yang berulang-ulang. Serum Koleksi darah, biarkan menggumpal, dan pisahkan serum dengan sentrifugasi. Sampel dapat disimpan pada suhu -80
0
C paling lama 6 bulan . Hindari
pembekuan dan pencairan yang berulang-ulang.
PREPARASI SAMPEL Sampel harus dilarutkan pada hari yang sama saat pengukuran dilakukan. Siapkan 2 tabung untuk setiap sampel pasien. Setiap sampel harus dilarutkan dalam 2 tahapan hingga mencapai larutan akhir 1/6561, sebagai berikut : 1. Pembuatan larutan 1/81. 25 μL sampel pasien dimasukkan dalam tabung, ditambahkan 2000 μL sampel buffer kemudian ditutup dan dicampurkan sempurna (invert 3x, vortex). 2. Pembuatan larutan 1/6561. 25 μL larutan 1/81 dimasukkan dalam tabung, ditambahkan 2000 μL sampel buffer, kemudian ditutup dan dicampurkan sempurna (invert 3x, vortex).
PROSEDUR Semua reagent dan sampel harus berada di suhu ruang sebelum penggunaan. Siapkan kurva standar setiap kali pengukuran. 1. Siapkan enzyme conjugate solution, sampel buffer, wash buffer dan sampel.
2. Siapkan Coated Plate wells yang tersedia untuk calibrators, controls, dan sampel (duplo). 3. Pipet calibratos, controls, dan diluted sampel masing-masing 25 μL kedalam wells. 4. Tambahkan 100 μL assay buffer pada setiap wells. 5. Inkubasi plate pada shaker (700-900 rpm) selama 2 jam pada temperatur ruang (18-25 0C). 6. Cuci sebanyak 6 kali dengan pencuci otomatis atau masukkan setiap sumuran dengan 350 μL wash buffer. Hilangkan cairannya dan ulangi sebanyak 5 kali. Setelah pencucian terakhir, balik dan tepukkan palte pada tisu. 7. Tambahkan 100 μL enzyme conjugate solution pada setiap wells. 8. Inkubasi plate pada shaker selama 1 jam pada temperatur ruang (18-25 0
C).
9. Cuci kembali sebanyak 6 kali dengan pencuci otomatis atau masukkan setiap sumuran dengan 350 μL wash buffer. Hilangkan cairannya dan ulangi sebanyak 5 kali. 10. Tambahkan 200 μL substrate TMB. 11. Inkubasi selama 15 menit pada temperatur ruang (tanpa shaker). 12. Tambahkan 50 μL stop solution, shaker selama 5 detik untuk memastikan pencampuran. 13. Baca absorbansinya pada 450 nm dan analisa. Pembacaan harus dilakukan + 30 menit.
Catatan! Untuk menghindari kontaminasi antara conjugate dan substrate, gunakan pipet yang berbeda.
SKEMA KERJA PENGUKURAN OXIDIZED LDL ELISA (Mercodia Kit)
Calibrators, Controls, Diluted Sample -
Diambil dengan pipet masing-masing sebanyak 25 μL dan dimasukkan kedalam wells yang telah tersedia
-
Ditambahkan masing-masing wells dengan 100 μL assay buffer
-
Diinkubasi dengan dishaker (700-900 rpm) selama 2 jam pada T ruang (18-25 0C)
-
Ditambahkan masing-masing wells dengan 350 μL wash buffer, dihilangkan cairannya dan diulangi sebanyak 5 kali. Setelah pencucian terakhir, microplate dibalik dan ditepukkan pada tisu.
-
Ditambahkan masing-masing wells dengan 100 μL enzyme conjugate solution.
-
Diinkubasi dengan dishaker selama 1 jam pada T ruang (18-25 0C)
-
Ditambahkan masing-masing wells dengan 350 μL wash buffer, dihilangkan cairannya dan diulangi sebanyak 5 kali. Setelah pencucian terakhir, microplate dibalik dan ditepukkan pada tisu.
-
Ditambahkan masing-masing well dengan 200 μL substrat TMB
-
Diinkubasi selama 15 menit pada T ruang (tanpa dishaker)
-
Ditambahkan masing-masing well dengan 50 μL stop solution, shaker selama 5 detik untuk memastikan pencampuran.
-
Dibaca absorbansinya pada 450 nm (pembacaan harus dilakukan dalam + 30 menit)
-
Dianalisa
Calibrators, Controls, Diluted Sample
119