Efek Aromatherapy Pepermint Inhalasi terhadap Mual dan Muntal pada Pasien dengan Pemberian Kemoterapi 1 Supatmi, 2Agustiningsih Email:
[email protected]
Akademi Perawatan Karya Bakti Husada Bantul Yogyakarta
Abstrak Mual dan muntah merupakan salah satu efek pemberian kemoterapi pada pasien kanker. Penanganan mual dan muntah menggunakan terapi farmakologi dan non fermakologi. Aromaterapi dapat dijadikan sebagai salah satu terapi non farmakologi. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektifitas pemberian aromaterapi pepermint inhalasi terhadap mual dan muntah pada pasien dengan kemoterapi. Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan post test-only non equivalent control group, dengan dua kelompok masing-masing terdiri atas 26 responden. Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya perbedaan kejadian mual dan muntah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Tingkat kejadian mual dan muntah pada kelompok intervensi lebih rendah dibanding kelompok kontrol (p=0,027). Pemberian aromaterapi Pepermint dapat dipertimbangkan sebagai salah satu terapi non farmakologi pada pasien mual dan muntah akibat pemberian kemoterapi. Kata kunci: Aromaterapi Peppermint, mual muntah, kemoterapi
Pendahuluan
:
Pemberian
kemoterapi
pada
pasien
penderita
kanker
menimbulkan efek samping antara lain mual dan muntah, inflamasi membran mukosa, kehilangan nafsu makan, perubahan indra pengecap, diare, dehidrasi, kelemahan, perubahan kulit, perubahan kulit, retensi cairan (Grunberg, 2004). Kejadian mual dan muntah pada pemberian kemoterapi terjadi segera setelah obat kemoterapi yang dimasukkan kedalam tubuh pasien melalui intra vena berjalan beberapa menit sampai 24 jam (Hawkins, 2009). Menurut Cook (2008) mual merupakan sensasi tidak menyenangkan yang mengawali terjadinya muntah, tetapi tidak semua muntah diawali dengan mual sedangkan muntah merupakan kondisi pengeluaran isi lambung ke dalam mulut.
Mual dan muntah melibatkan fungsi fisiologis yang kompleks dari saraf pusat dan perifer. Pada pusat lateral retikular menerima berbagai macam jaras termasuk jaras vagal mukosa, saluran gastrointestinal dan saluran syaraf, Stimulasi salah
2
satu dari jaras ini akan memicu terjadinya refleks muntah (Chiravalle & Caffrey, 2005). Kemoterapi menstimulasi Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) sehingga dapat memicu muntah, Kemoterapi juga dapat menyebabkan gangguan pada saluran cerna
yang menyebabkan pengeluaran neurotransmiter yang memicu
mual dan muntah. Mual dan muntah
juga stimulasi oleh kecemasan yang
memberikan pengaruh terhadap sistem syaraf pusat termasuk Pusat Muntah (Wood, Shega, Lynch, 2007). Masalah mual dan muntah ini dapat menimbulkan efek yang merugikan bagi pasien (Gundzik, 2008). Menurut Conway (2009) efek mual dan muntah ini antara lain dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit,
hipertensi vena dan perdarahan,
ruptur esofageal, dan keadaan lanjut dapat membuat pasien mengalami dehidrahi berat. Mual dan muntah yang hebat sangat menganggu aktifitas pasien dan menimbulkan rasa trauma terhadap pemakaian kemoterapi berikutnya. Penanganan
mual
dan
muntah
dapat
menggunakan
farmakologi
dan
nonfarmakologi yang berfungsi sebagai pencegahan dan pengobatan. Penanganan mual dan muntah nonfarmakologi yang efektif salah satunya dengan terapi komplementer (Chiravalle & Caffrey, 2005). Penggunaan terapi komplementer relatif mudah, relatif murah, efektif mengurangi mual dan muntah, menarik dan dapat diterima pasien (Hewitt & Watts, 2009). Terapi komplementer merupakan terapi pendamping pengobatan konvensional (Buckle, 2007). Terapi komplementer yang dapat digunakan untuk mencegah dan mengurangi mual dan muntah post operasi adalah aromaterapi. Aromaterapi adalah minyak tumbuhan yang harum dan mempunyai konsentrasi tinggi dan mudah mengalami penguapan (Potts, 2009). Prinsip utama aromaterapi yaitu pemanfaatan bau dari tumbuhan atau bunga untuk mengubah kondisi perasaan, psikologi, status spiritual dan memengaruhi kondisi fisik seseorang melalui hubungan pikiran dan tubuh pasien (Carstens, 2010). Sumber minyak harum yang digunakan sebagai aromaterapi diantaranya berasal dari pepermint, bunga lavender, bunga mawar, jahe, lemon (Allen, 2004; Buckle, 2007; Kim, et all, 2007). Minyak aromaterapi ini dapat digunakan dengan berbagai cara diantaranya dihirup, melalui kulit saat
3
mandi, digunakan untuk kompres, krim dan pencuci mulut (Buckle, 2007; Carstens, 2010).
Prinsip kerja aromaterapi di dalam tubuh yaitu memacu pelepasan neurotransmiter seperti ensepalin dan endorpin yang mempunyai efek analgesik dan meningkatkan perasaan nyaman dan rileks (Potts, 2009). Bau harum dari aromaterapi ditransmisikan melalui dua jalur, jalur pertama melalui sistem limbik menuju hipotalamus dan sampai pituitari. Jalur yang kedua ditranmisikan melalui kortek olfactory menuju talamus dan kemudian menuju neocortex. Melalui kedua jalur ini aromaterapi akan diolah sampai menimbulkan persepsi individu (Cook, 2008). Salah satu contoh persepsi yang ditimbulkan oleh individu terhadap aromaterapi lavender yang dihirup adalah efek ketenangan diri, efek ketenangan diri akan mengurangi
kecemasan
individu.
Penurunan
kecemasan
individu
dapat
menurunkan resiko terjadinya mual dan muntah (Grunebaum, Murdock, Tardan, Baumann, 2011).
Manusia merupakan makluk holistik yang terdiri atas satu kesatuan biologis, psikologis, sosiokultural dan spiritual yang tidak dapat dipisahkan (Potter & Perry, 2009). Pelayanan keperawatan pada pasien harus menyeluruh meliputi seluruh aspek tersebut. Asuhan keperawatan dengan mempertimbangkan budaya, kepercayaan dan tindakan yang dilakukan pasien berdasarkan kebiasaan setempat merupakan pendekatan transkultural nursing (Leininger, 2002 dalam Tomey & Alligood, 2010). Indonesia merupakan negara yang memiliki ragam budaya dan adat istiadat termasuk dalam tindakan pengobatan saat menghadapi sakit. Kebudayaan merupakan “ Way of Life” pada sekolompok kehidupan manusia, termasuk budaya dan ritual tertentu untuk menyembuhkan anggota kelompok yang sakit (Snyder & Lindquist, 2010).
Masyarakat di Kabupaten Bantul mempunyai kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun saat mengalami mual dan muntah. Masyarakat sering menggunakan bau-bauan dari buah atau bunga yang segar seperti kulit jeruk,
4
bunga melati, bunga mawar, pepermint, jahe ketika mengalami mual dan muntah baik di perjalanan, di rumah maupun di rumah sakit. Bau-bauan ini dapat dikategorikan kedalam jenis aromaterapi. Aromaterapi dapat digunakan untuk pencegahan atau pengobatan mual dan muntah yang banyak mempunyai kelebihan, diantaranya dapat digunakan secara terus menerus, relatif mudah digunakan, relatif rendah biayanya, sedikit efek negatif yang ditimbulkan dan banyak diminati oleh pasien (Hewitt & Watts, 2009). Pemerintah Kabupaten Bantul telah menetapkan bahwa aromaterapi merupakan salah satu bentuk pengobatan yang diijinkan pada tatanan pelayanan kesehatan di Kabupaten Bantul ( Perda Kab. Bantul No 04 tahun 2010).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah pemberian aromatherapi efektif menurunkan kejadian mual dan muntah akibat efek samping kemoterapi?”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuktikan secara ilmiah tentang penggunaan aromaterapi dalam menurunkan mual dan muntah yang selama ini sering
dipakai
masyarakat,
sehingga
masyarakat
tidak
ragu-ragu
lagi
menggunakannya. Perawat dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk melakukan asuhan keperawatan, dengan memperhatikan budaya pasien, terutama budaya menggunakan aromatherapi di masyarakat.
Kemoterapi Kemoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk memperlambat pertumbuhan kanker (Grunberg, 2004). Menurut Burke dan Lemon ( 2008), agen kemoterapi antara
lain:
Dactinomycin,
Cisplastin,
Cycloposphamide,
Cytarabine,
5
Daunorubicin, Etoposide, Methotrexate, Vincristin yang hampir semuanya menimbulkan efek mual dan muntah. Menurut Grunberg (2004), tipe pemberian kemoterapi ada beberapa variasi yaitu sebagai kemoterapi terapi primer, kemoterapi terapi adjuvant, kemoterapi neoadjuvant, dan kemoterapi kombinasi. Kemoterapi primer merupakan pemakaian kemoterapi tanpa tindakan pembedahan atau radiasi. Kemoterapi adjuvant merupakan pengobatan tambahan pada pasien yang telah mendapat terapi pembedahan. kemoterapi neoadjuvant, kemoterapi yang diberikan sebagai pengobatan tambahan pada pasien yang akan mendapat terapi pembedahan. Kemoterapi Kombinasi pemberian kemoterapi bersamaan dengan terapi radiasi.
Cara kerja dari kemoterapi menurut Brunner dan Suddart (2008), Kemoterapi mengeradikasi sel-sel kanker sehingga sel-sel tersebut dapat dirusak oleh sistem imun tubuh. Pengulangan siklus kemoterapi digunakan untuk membunuh sel kanker lebih banyak dengan menghambat sel kanker membelah diri. Kerja kemoterapi dilam tubuh dapat menimbulkan efek samping diantaranya mual dan muntah, anemia, mukositis, alopesia, infetilitas serta trombositopenia (Hesketh, 2008). Menurut Brunner dan Suddart ( 2008) ada empat fase siklus sel yang meliputi, fase pra mitosis, fase sintesis DNA, fase mitosis atau pembelahan, fase istirahat atau dorman. Pada fase istirahat ini sel-sel kanker mempunyai potensi terjadi reprikasi, sehingga pemberian kemoterapi harus dikoordinasikan dengan siklus sel.
2.2. Mual dan Muntah akibat Kemoterapi Mual adalah sensasi tidak nyaman yang merupakan awal terjadinya muntah (Jolley, 2001). Mual merupakan perasaan ingin muntah yang tertahan sampai ke tenggorokan atau epigastik, sedangkan muntah merupakan gerakaan ekspulsif isi lambung yang kuat melalui mulut (Cook, 2008). Mual sering diikuti dengan penurunan fungsi lambung berupa hipotonisia, hipoperistalsis, dan hiposekresi, dapat juga diikuti oleh berubahnya motalitas usus kecil seperti duodenum (Cook, 2008).
6
Kejadian mual dan muntah merupakan kejadian involunter yang sangat terintegrasi. Lambung bersifat pasif, sedangkan otot abdomenlah yang aktif. Fundus lambung dan spingter gastro vagus mengalami relaksasi, dalam kondisi yang bersamaan terjadi peningkatan tajam tekanan intra abdominal yang disebabkan oleh kontrasi kuat diafragma serta otot dinding abdomen, sehingga terjadi pengeluaran ekspulsif isi lambung kedalam oesofagus (Cook, 2008). Mual dan muntah merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi yang sudah ditemukan sejak awal penggunaan obat kemoterapi. Kondisi mual dan muntah ini masih dirasakan sangat menggangu bagi pasien yang menjalani kemoterapi. Greenburgn (2004) menemukan bahwa 38% pasien terjadi mual danmuntah pada pemakaian kemoterapi Cisplastin yang pertama dan insidennya meningkat menjadi 61% pada pemakaian kedua.
Mual dan muntah pada pemberian kemoterapi dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu: usia kurang dari 50 tahun, jenis kelamin perempuan, riwayat mual dan muntah terdahulu, jenis obat, dosis obat, kombinasi obat danmetode pemberian obat
(
Grunberg,
2004).
Pasien
yang
pernah
menjalani
kemoterapi
mempunyairesiko yang lebih besar mengalami mual dan muntah. Mekanisme mual dan muntah akibat kemoterapi karena stimulasi Chemoreseptor Triger Zone (CTZ) yang dipicu oleh sinyak dari lambung dan usus yang berjalan sepanjang saraf vagal aferen karena komponen emetogenik ( obatkemoterapi) yang dibawa darah (Garrett et al, 2003). Potensi agen kemoterapi merupakan stimulus utama terhadap mual dan muntah.
Penilaian mual dan muntah pada pasien post operasi dapat dilakukan dengan berberapa cara diantaranya dengan Visual Analogue Scale, penilaian ini digunakan untuk menilai kondisi mual seseorang (Allen, 2004). Penilaian mual dan muntah juga dapat menggunakan Rhodes Index of Nausea, Vomiting, and Retching (RINVR). Menurut Kim, Choi, Chin, Lee, Kim and Noh (2007), RINVR merupakan instrumen yang menilai mual dan muntah yang terdiri atas delapan pernyataan dengan lima pilihan jawaban yang mengkaji secara subyektif dan
7
obyektif. Instrumen ini sederhana tetapi validitas dan reliabilitasnya tinggi yaitu dengan Cronbach’s alpha nilainya 0.912-0,968, Spearman’s coeficient: 0,9621,000, P < 0,0001. Pertanyaan untuk menggali mual dan muntah sangat detail, pasien dapat melaporkan penurunan terhadap mual dan muntah yang dialami. Instrumen ini digunakan pada 6 jam setelah pasien post operasi. Skor minimal instrumen RINVR adalah 0 dan skor tertinggi 32. Kategorinya adalah sebagai berikut: skor 0 = normal, skor 1-8 = mual muntah ringan, skor 9 – 16 = mual muntah sedang, skor 17–24 = mual muntah berat, skor 25 -32 = mual muntah sangat berat.
Penanganan Mual dan
muntah secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu
pengobatan farmakologi dan nonfarmakologi (Collins, 2011; Gundzik, 2008). Penanganan Farmakologi antara lain dengan Lorazepam, yang diberikan pada malam hari sebelum pelaksanaan tindakan kemoterapi. Obat lain yang dapat diberikan adalah kombinasi dexamethasone dan Metoclopramide (Garret et al, 2003). Penanganan non farmakologi mual dan muntah
pada pasien yang
menjalani kemoterapi menggunakan diantaranya dengan menggunakan akupresur. Akupresure merupakan pengobtaan yang dilakukan dengan cara memijat titik tertentupada tubuh ( Fengge, 2011). Pemijatan ini menghasilkan efek konduksi elektromagnet yang mampu memperlancar aliran darah, mengaktivasi sistem opioid sehingga menurunkan nyeri. Penanganan mual dan muntah menggunakan titik P6 yang dipijat dibagian 3 jari dari pergelangan tangan ke arah proksimal. Tehnik ini terbukti dapat menurunkan mual dan muntah (Fengge, 2011). Tehnik non farmakologi lain adalah dengan menggunakan aromaterapi.
Aromaterapi Aromaterapi adalah destilasi minyak esensial, konsentrasi tinggi, dan harum berasal dari ekstrak tumbuhan yang mudah mengalami penguapan (Potts, 2009). Aromaterapi merupakan ekstrak tumbuhan dan minyak esensial seperti pepermint dan mawar yang digunakan untuk mengatasi masalah kesehatan dan
8
meningkatkan kualitas hidup secara umum (Thorgrimsen et
al, 2003 dalam
Buckle, 2007). Komponen utama dalam aromaterapi adalah minyak atsiri atau disebut juga minyak essensial (Koensoemardiyah, 2009). Minyak esensial ini dapat digunakan melalui inhalasi, topikal, kompres, krim (Buckle, 2007). Penggunaan aromaterapi ini dengan cara dihirup atau diabsorsi melalui kulit. Aromaterapi mendorong pelepasan neurotrasmiter pada otak dan endorpin yang menyebabkan efek analgesik, dan menimbulkan perasaan nyaman pada individu serta meningkatkan rasa rileks (Potts, 2009). Minyak ini mempunyai konsentrasi tinggi dan berkekuatan sangat besar dalam penyembuhan, oleh karena itu penggunaannya diencerkan 0,05 – 3% (Koensoemardiyah, 2009).
Mekanisme kerja aromaterapi pada tubuh manusia adalah sebagai berikut, minyak tumbuh-tumbuhan yang merupakan sumber aromaterapi dapat masuk ke dalam tubuh dengan 2 cara yaitu diabsorbsi kulit dan inhalasi (Kim et al, 2007; Perez, 2003). Menurut Cook (2008) aromaterapi yang mengandung molekul atau partikel kimia akan merangsang saraf penciuman yang kemudian merangsang sistem limbik, sistem limbik ini akan merangsang hipotalamus, dari hipotalamus di bawa ke kelenjar pituitari yang akhirnya menimbulkan persepsi yang segar dan nyaman bagi pasien. Menurut Collins (2011) aromaterapi inhalasi mengirim pesan ke bagian olfaktorius, proses ini dilanjutkan dengan pengolahan impuls pada sistem limbik dalam otak. Aromaterapi mempunyai pengaruh menimbulkan persepsi yang segar, relaksasi dan nyaman bagi pasien. Kondisi ini akan menekan stimuli stress yang menyebabkan tubuh merasa tidak nyaman dan menekan reflek mual dan muntah (Cook, 2008).
Aromaterapi dapat digunakan secara inhalasi dan dioleskan pada kulit/ topikal (Buckle, 2007; Snyder& Lindquist, 2010). Menurut Snyder dan Lindquist (2010) tehnik inhalasi dapat menggunakan cara yang sederhana atau dengan cara yang lain. Cara sederhana yaitu ambil minyak aromaterapi 1 -5 tetes, teteskan pada tissue, kemudian dihirup sekitar 5 – 10 menit, sedangkan menurut Perez (2003) penggunaan aromaterapi inhalasi dengan cara meneteskan aromaterapi pada tissue
9
satu sampai dua tetes kemudian dihirup selama 5 menit. Menurut Snyder dan Lindquist (2010) tehnik lain dengan dosis 1-5 tetes aromaterapi diteteskan diatas air panas, dengan cara pembakaran, nebulizer, dan penguapan yang menggunakan bantuan alat pemanas, baterai atau listrik. Penggunaan dengan alat steam (penguapan), masukkan 1-5 tetes aromaterapi kedalam steam atau penguapan, campur dengan air 10-20 cc, alat ini diletakkan disamping pasien sejajar dengan kepala pasien, suruh pasien melepas kaca mata, lensa kontak dan memejamkan matanya agar tidak pedih, jalankan proses penguapannya. Anjurkan pasien menghirup uap tersebut selama 10 menit.
Menurut Snyder dan Lindquist (2010) penggunaan aromaterapi secara topikal dengan cara dioleskan langsung pada kulit, dicampurkan pada air mandi dan dikompreskan. Minyak aromaterapi tidak langsung larut dalam air sehingga jika akan dicampurkan pada air mandi, caranya ambil 4–6 tetes minyak aromaterapi kemudian campurkan dengan satu sendok teh susu atau alkohol gosok aduk sampai merata baru kemudian dicampurkan pada air bak mandi. Minyak aromaterapi juga dapat dicampur dengan garam, caranya ambil 4-6 tetes minyak aromaterapi campurkan dengan 3 sendok makan garam, aduk jadi satu kemudian campurkan kedalam air bak mandi. Penggunaan aromaterapi dengan cara dikompreskan, digunakan pada kondisi luka kecil berupa benturan atau lecet-lecet, caranya adalah ambil 4 – 6 tetes minyak aromaterapi kemudian campur dengan air hangat aduk jadi satu, dan gunakan untuk mengompres bagian yang sakit. Efek aromaterapi yang digunakan secara inhalasi dan topikal hampir sama.
Menurut Koensoemardiyah (2009), Penggunaan aromaterapi secara inhalasi dapat menggunakan 3 macam cara yaitu, menggunakan bantuan botol semprot, dosis yang digunakan 10 -15 tetes dalam 250 ml air, dikocok kuat-kuat kemudian disemprotkan ke ruangan. Cara inhalasi yang kedua yaitu menggunakan tissue. Minyak essensial sebanyak 5-6 tetes diteteskan pada tissue, kemudian 2-3 kali dihirup dengan menarik nafas dalam-dalam, untuk mendapat efek yang panjang tissue diletakkan didada pasien. Cara ketiga dihisap dengan menggunakan telapak
10
tangan, cara ini khusus untuk orang dewasa, yaitu teteskan satu tetes minyak aromaterapi ditelapak tangan kemudian digosok-gosokkan, selanjutnya telapak tangan dipakai untuk menutup hidung dengan mata terpejam. Sedangkan menurut Hunt, et al (2012), pemberian minyak aromaterapi secara inhalasi diberikan selama 5 menit dihirup melalui hidung dengan jarak aromaterapi 5 cm dari hidung. Menurut Piotrowski (2006) dalam Buckle (2007), lama inhalasi aromaterapi adalah 5 menit, sedangkan menurut Snyder dan Lindquist (2010), aromaterapi untuk pasien mual dan muntah dapat diberikan selama 5- 10 menit. Jenis-jenis aromaterapi yang digunakan dalam terapi komplementer antara lain: 1. Aromaterapi Lavender. Aromaterapi lavender berasal dari minyak atsiri atau minyak essensial lavender dengan nama latinnya avandula angustivolia yang mempunyai kandungan kimia ester, dan mempunyai efek menenangkan ketegangan syaraf, kelelahan, stress, cemas, mual dan muntah, menurunkan spasme otot perut dan memperlancar sirkulasi darah di liver, Snyder dan Lindquist (2010). Menurut Price (1999) dalam Primadiati (2002) menyebutkan bahwa aromaterapi lavender mengandung 8% terpena dan 6% keton. Menurut Cook (2008) jenis lavender mempunyai efek menenangkan, mengurangi stress, menimbulkan efek relaksasi, anti spasmodik, merangsang produksi sedatif tubuh sehingga dapat mengurangi nyeri, meningkatkan kerja syaraf parasimpatis dan menurunkan kerja parasimpatis dan meningkatkan “mood” sehingga dapat mengurangi depresi seseorang. 2. Aromaterapi Lemon, merupakan jenis aromaterapi berasal dari minyak essensial kulit lemon dengan nama latinnya Citrus Limonum. Aromaterapi lemon berfungsi
meningkatkan
kekuatan
psikologi
(Cook,
2008).
Menurut
Koensoemardiyah (2009) minyak essensial lemon mempunyai efek mengurangi peradangan, merelaksasi otak, antidepresan dan meningkatkan konsentrasi. Menurut Snyder dan Lindquist (2010) aromaterapi lemon dapat membatu keja sistem syaraf simpatis dan membantu konsentrasi, mengurangi sakit perut dan mual-mual.
11
3. Aromaterapi mawar. Aromaterapi jenis mawar menurut Cook (2008) berasal dari detilasi bunga mawar dan mempunyai efek kesegaran, menurunkan tekanan darah sistolik dan meningkatkan kualitas memori. Aromaterapi mawar juga dapat digunakan untuk antidepresan, sedatif dan meringankan stress (Koesoemardiyah, 2009) 4. Aromaterapi pepermint. Aromaterapi pepermint berasar dari daun pemermint. Aromaterapi pepermint bersifat menghangatkan dan dapat berefek relaksasi otototot, meringankan sesak nafas saat pemakaian dengan hirup (Koesoemardiyah, 2009). Menurut Snyder dan Lindquist (2010) aromaterapi pepermint dapat digunakan untuk melemaskan otot-otot yang kram, memperbaiki gangguan ingestion, digestion, menurunkan terjadinya mual dan muntah serta mengatasi ketidakmampun flatus.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui durasi waktu yang paling efektif pemberian aromatherapi inhalasi terhadap penurunan kejadian mual dan muntah. Tujuan khusus : a. Mengidentifikasi karakteristik pasien yang meliputi: Jenis obat, frekwensi
pemberian kemoterapi serta kecemasan yang dialami pasien. b. Mengidentifikasi terjadinya mual dan muntah sesudah mendapatkan perlakuan standar pada kelompok kontrol.
12
c. Mengidentifikasi terjadinya mual dan muntah sesudah mendapatkan perlakuan standar dan pemberian aromaterapi pada kelompok intervensi . d. Mengidentifikasi perbedaan tingkat mual dan muntah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Desain Penelitian Desain penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental dengan post testonly non equivalent control group. Peneliti mengamati dan mengukur pengaruh aromaterapi terhadap mual dan muntah pada pasien yang dilakukan teindakan kemoterapi. Peneliti
ini memfokuskan untuk meneliti aromaterapi jenis
peppermint. Peneliti membagi responden menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Kelompok kontrol merupakan kelompok yang mendapatkan terapi standar dari ruangan. Terapi standar ruangan di RSUD Panembahan Senopati di Kabupaten Bantul. Kelompok intervensi merupakan kelompok yang mendapatkan terapi standar dari ruangan dan aromaterapi inhalasi selama 10 menit pertama. Peneliti mengambil kelompok kontrol terlebih dahulu sebesar 26 responden, setelah terpenuhi sebanyak 26 responden, dilanjutkan mengambil kelompok intervensi.
Populasi dan Sampel Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang dilakukan tindakan kemoterapi di bangsal kemoterapi RSUD Panembahan Senopati Kabupaten Bantul pada tanggal 1 Juni – 1 September 2015. Sampel : Cara penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan random sampling.. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah: usia pasien antara 18-60 tahun, pasien yang mendapatkan tindakan kemoterapi fungsi penghidu responden baik, bersedia menjadi responden penelitian. Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah: pasien dengan terapi komplementer lain seperti akupuntur,
13
pijat refleksi dan terapi herbal, pasien dengan kehamilan, alergi terhadap aromaterapi. Kriteria drop out pada penelitian ini, jika responden memutuskan berhenti menggunakan aromaterapi sebelum 10 menit penggunaan aromaterapi, pulang paksa atau meninggal dunia.
Pada penelitian ini, peneliti membutuhkan 56 responden dengan rincian 26 responden untuk kelompok kontrol dan 26 responden untuk kelompok intervensi.
HASIL YANG DICAPAI
Peneliti memperoleh sampel 57 responden dengan rincian 26 responden kelompok kontrol, 26 responden kelompok intervensi. Karakteristik responden menurut jenis obat kemoterapi responden berdasarkan hasil analisis univariat adalah sebagai berikut:Tabel 5.1 Distribusi responden menurut jenis obat kemoterapi di RSUD Panembahan Senopati Kabupaten Bantul Juni - September 2015 dalam tahun (n1=n2=26,) Variabel Kontrol Jenis obat kemoterapi Cisplatin, dacarbacin 7 5 FU, doxorubicin, daunorubicin 13 Bleumycin, Mitoxantrone 6
% 26,9 46,2 23,1
Intervensi 5 15 6
% 19,2 42,3 23,1
Hasil analisis menunjukkan bahwa obat kemoterapi yang digunakan untuk responden pada kelompok kontrol adalah untuk jenis obat cisplatin, dacarbacin ada 7 orang responden, 26,9%, sedangkan pada kelompok intervensi ada 5 responden, 19, 2%, jenis obat 5FU, doxorubicin, daunorubicin pada kelompok kontrol ada 13 responden, 46,2 %, pada kelompok intervensi ada 15 responden, 42,3%, jenis obat bleumycin, Mitoxantrone pada kelompok kontrol dan intervensi 6 responden, 23, 1%.
Distribusi responden menurut frekwensi pemberian kemoterapi, riwayat mual dan muntah, tingkat kecemasan
14
Tabel 5.2 Distribusi responden menurut frekwensi pemberian kemoterapi, riwayat mual dan muntah, tingkat kecemasan responden di RSUD Panembahan Senopati Kabupaten Bantul Juni- Agustus 2015 (n1=n2= 26,) Variabel Kontrol % Intervensi % Frekwensi Pemberian kemoterapi 1- 5 kali 7 26,9 5 19,2 6 – 10 kali 12 46,2 11 42,3 11 – 15 kali 6 23,1 6 23,1 16 – 20 kali 1 3,8 1 3,9 Lebih dari 20 kali 0 0 3 11,5 Riwayat mual dan muntah
Ya Tidak Tingkat Kecemasan Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat
24 2 23 2 1 0 0
92,3 7,7 88,5 7,7 3,8 0 0
24 2 20 4 2 0 0
92,3 7,7 76,9 15,4 7,7 0 0
Pada kelompok kontrol jumlah responden yang menjalani kemoterapi dengan frekensi satu sampai 5 kali pemberian ada 7 responden (26,9%), Frekwensi 6- 10 kali ada 12 responden ( 46, 2%), responden yang menjalani kemoterapi dengan frekwensi 11 – 15 kali ada 6 responden ( 23,1%), sedangkan responden yang menjalani kemoterapi 16 – 20 kali ada 1 responden ( 3,8% ), dan tidak ada responden yang menjalani kemoterapi dengan frekwensi lebih dari 20 kali.
Jumlah responden pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi yang tidak mempunyai riwayat mual dan muntah yang sama yaitu 2 responden (7,7%) sedangkan yang memiliki riwayat mual dan muntah ada 24 responden (92,3%).
Jumlah responden kelompok kontrol yang mempunyai kecemasan normal ada 23 responden (88,5%), responden yang mempunyai tingkat kecemasan ringan 2 responden (7,7%) dan responden dengan tingkat kecemasan sedang ada 1 responden (3,8%) sementara responden yang mempunyai tingkat kecemasan berat dan sangat berat tidak ada. Pada kelompok intervensi responden yang mempunyai
15
kecemasan normal ada 20 responden ( 76,9%), responden yang yang mengalami kecemasan ringan 4 responden ( 15,4%), sedangkan responden yang memiliki kecemasan sedang ada 2 responden (7,7%). Pada kedua kelompok baik kelompok control maupun kelompok intervensi responden yang termasuk cemas berat dan sangat berat.
1. Distribusi responden menurut terjadinya mual dan muntah sesudah mendapat perlakuan standar pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi dapat dilihat pada tabel 5.3 berikut: Tabel 5.3 Distribusi responden menurut terjadinya mual dan muntah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi di RSUD Panembahan Senopati Kabupaten Bantul Juni- September 2015 (n1=n2=26, n3=27) Tingkat mual dan muntah Kontrol Normal Ringan Sedang Berat Intervensi Normal Ringan Sedang Berat
jumlah kejadian
%
6 8 11 1
23,1 30,8 42.3 3,85
7 12 7 0
26,9 46,2 26,9 0
Berdasarkan tabel 5.3 didapat data bahwa pada kelompok kontrol jumlah responden yang termasuk kategori normal ada 6 responden (23,1%), kategori mual dan muntah ringan ada 8 responden (30,8%), kategori mual dan muntah sedang ada 11 responden (42,3%) dan kategori mual dan muntah berat ada 1 responden (3,8%). Pada kelompok intervensi jumlah responden yang termasuk kategori normal ada 7 responden (26,9%), kategori mual dan muntah ringan ada 12 responden (46,2%), dan kategori mual muntah ringan 7 responden (26,9%). Pada kelompok intervensi 2 jumlah responden yang termasuk kategori normal 16 responden (61,5%), sedangkan kategori ringan dan sedang ada 5 responden (19,2%) dan kategori berat tidak ada.
16
Perbedaan kejadian mual dan muntah pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut: Tabel 5.4 Perbedaan tingkat mual dan muntah pada kelompok kontrol dan intervensi di RSUD Panembahan Senopati Kabupaten Bantul Juni- September 2015 (n1=n2= 26, ) Mual dan muntah ` Normal Ringan Sedang Berat pvalue n % n % n % n % Kontrol 6 23,1 8 30,8 11 42,3 1 3,8 0,027 Intervensi 7 26,9 12 46,2 7 26,9 0 Total 29 37,2 25 32,1 23 29,5 1 1,3 Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan selisih kejadian mual dan muntah antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Pada kelompok intervensi, jumlah responden yang tidak mengalami mual dan muntah pada kelompok intervensi ada 7 responden (26,9%). Pada kelompok intervensi angka kejadian mual dan muntah ringan ada 12 responden (46,2%), lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol yang hanya 8 responden (30,8%). Pada kelompok kontrol angka kejadian mual dan muntah tingkat sedang ada 11 responden (42,3%), lebih tinggi dibandingkan pada kelompok intervensi yang hanya 7 responden (26,9%). Angka kejadian mual dan muntah berat pada kelompok kontrol ada 1 rsponden (3,8%) sedangkan pada kelompok intervensi tidak ada yang mengalaminya.
Analisa
lebih lanjut didapatkan nilai p= 0,027, ini berarti bahwa ada perbedaan kejadian mual dan muntah yang signifikan antara kelompok kontrol, kelompok intervensi (p<0,05).
Interpretasi dan Diskusi Hasil Jenis obat kemoterapi yang diberikan mempengaruhi kejadian mual dan muntah pasien. Kondisi ini sesuai dengan Buduhan, et al (2014) yang menyatakan bahwa kejadian mual dan muntah dipengaruhi oleh obat anti kanker yang diberikan pada
17
pasien,
golongan
obat
anti
kanker
carmustine,
cisplatin,
dacarbazine,
dactinomycin, mechlorethamine dan streptozotocin mempunyai resiko tinggi terhadap munculnya mual dan muntah pada pasien. Pengobatan anti mual dan muntah yang diberikan pada paien kanker yang mendapatkan kemoterapi berdasarkan obat kemoterapi yang diberikan.
Menurut Wickham (2012),
penggunaan anti mual dan muntah pada pasien yang mendapatkan kemoterapi terbagi menjadi beberapa tingkatan, jika obat kemoterapi yang diberikan menimbulkan efek kejadian mual dan muntah yang besar maka obat anti mual dan muntah yang harus diberikan pada pasien harus kombinasi obat anti mual dan muntah. Pada penelitian ini aromaterapi yang diberikan dimaksudnya untuk terapi komplementer, sehingga tidak menambah atau mengurangi obat anti mual dan muntah yang sudah standar diberikan.
Frekwensi pemberian kemoterapi dapat menyebabkan perasaan trauma jika sebelumnya responden mempunyai riwayat mual dan muntah, hal ini akan menyebabkan kondisi terulangnya kembali mual dan muntah itu. Menurut Apfel, Kranke dan Eberhart (2004) riwayat mual dan muntah mempengaruhi kejadian terjadinya mual dan muntah pada kondisi berikutnya sebesar 47-70%. Paterson (2012) yang menyatakan bahwa riwayat mual dan muntah sebelumnya dapat meningkatkan resiko terjadinya mual dan muntah pada kondisi berikutnya. Pernyataan Paterson (2012) mendukung pendapat Hewitt dan Watts (2009) yang menyatakan bahwa riwayat mual dan muntah dapat masuk kedalam memori pasien dan menimbulkan trauma dan rasa takut pada pasien, memori dan rasa takut ini akan mempengaruhi kerja pusat kortek tertinggi sehingga menyebabkan kejadian mual dan muntah kembali.
Menurut teori Callaghan dan Cheungli (2002), yang menyatakan bahwa kecemasan dapat mempengaruhi terjadinya mual dan muntah. Menurut Gundzik (2008) kondisi cemas memicu terjadinya peningkatan plasma katekolamin dan penumpukan udara pada saluran cerna yang akan menimbulkan distensi lambung dan memicu terjadinya mual dan muntah. Menurut Perason, Madden dan Fitridge
18
(2005) Kecemasan akan meningkatkan aktifitas sistem syaraf simpatik, peningkatan sirkulasi kortisol dan katekolamin, kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kerja sistem imun dan peningkatan waktu agregrasi platelet.
Penelitian ini juga mendukung penelitian Chiravalle dan Caffrey (2005) yang menyebutkan bahwa aromaterapi seperti minyak essensial mawar, minyak essensial lemon, minyak essensial lavender dan minyak essensial pepermint dapat menurunkan mual dan muntah kategorik ringan dan sedang pada 5 menit setelah pemakaian dengan nilai p: 0,028. Penelitian ini berbeda hasilnya dengan penelitian Lua, salihah, Mazlan (2015) yang menyatakan bahwa pemberian aromateraphy inhalasi jahe tidak berpengaruh terhadap penurunan mual dan muntah pada pasien kanker payudara dengan pemberian kemoterapi.
Penelitian Merrit, at al (2002) dalam Lewthwaite (2009) menyatakan bahwa aromaterapi isopropil alkohol yaitu salah satu jenis aromaterapi, tetapi bukan berasal dari bahan organik murni melainkan dibuat dari bahan sintetik, efektif untuk mengurangi mual dan muntah. Analisis menyatakan
bahwa
isopropil
alkohol
pada penelitian tersebut
menghambat
neurotrasmiter
yang
mengaktifkan sinyal mual dan muntah dalam kemoreseptor tringger zone di otak. Penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Lua dan Zakarya (2012) yang menyatakan bahwa pemberian aromaterapi inhalasi pepermint dan jahe dapat menurunkan angka kejadian dan kesakitan mual dan muntah ringan serta dapat meningkatkan kepuasan pasien.
Simpulan Secara umum aromaterapi jenis pepermint yang diberikan secara inhalasi, efektif menurunkan mual dan muntah pada pasien.
Saran
19
Perlu tindak lanjut penelitian terkait pemberian aromaterapi terhadap mual dan muntah pada pasien yang dilakukan tindakan kemoterapi dengan menggunakan metode kualitatif agar dapat mengekplorasi kondisi dan perasaan responden lebih dalam, karena mual dan muntah adalah sesuatu yang sangat subyektif bagi tiap individu. Perlu dilakukan penelitian lanjut secara berkesinambungan saat setelah pulang dari rumah sakit, dan pemberian kemoterapi selanjutnya.
20
DAFTAR PUSTAKA Allen, G. (2004). Aromatherapy’s effect on postoperative nausea, intravenous lidocaine; ignition of drape material; rofecoxib. Association of Operating Room Nurse Journal, 80(3), 572578 diperoleh dari www.proquest.com. Akin, A. & Cetin, B. (2007). The depression anxiety and stress scale ( DASS): The study of validity and reliability, education sciences. Theory & Practice Journal, 7(1), 260-268 diperoleh dari www.proquest.com. Black, J. M., & Hawks, J. H. (2009). Medical surgical nursing: Clinic management for positive outcome, 8th ed., St. Louis: Elsevier Saunders. Buckle, J. (2007). Literature review: Should nursing take aromatherapy more seriously?. British Journal of Nursing, 16(2), 116-120. diperoleh dari www.proquest.com. Buduhan, V., Cashman, R., and Cooper, E. (2014). Symtom Management Guidelines: Cancer Related Nausea and Vomiting, www.bccancer.bc.ca/legal.htm. Burke, M.B., Lemon.,(2008), Cancer Chemotherapy: A Nursing Process Aproach. 2 nd edition. Massachusets. Jones and Bertlett Publishers. Carstens, J. (2013). Complementary therapies (aromatheapy and herbal medicine): clinician information, Evidence Summaries-Joanna Briggs Institute, 11(1), 1-5 diperoleh dari http:/seach.ProQuest.com/docview/921745616?accountid=17242. Chiravalle, P. & Craffrey, M. (2005). Alternative therapy applications for postoperative nausea and vomiting. The Holistic Nursing Journal, 19(5), 207-201. diperoleh dari www.proquest.com. Cook, N. (2008). Aromatherapy: reviewing evidence for its mecahanisme of action and CNS effects. British Journal of Neuroscience Nursing, 4(12). 595-60, diperoleh dari www.proquest.com. Conway, B. (2009). Prevention and management of postoperative nausea and vomiting in adults, AORN Journal, 90(3). 391–413. diperoleh dari www.proquest.com. Fenton, M. V.,& Moris, D. L.(2003). The integration of holistic nursing practices and complementary and alternative modalities into curricula of schools of nursing, Alternatif Therapies in Health and Medicine, 9(4), 62-67, diperoleh dari www.proquest.com. Garrett, K, Tsuruta, K., Walker, S., Jackson, S., & Sweat, M., (2003). Managing nausea and Vomiting. Critical care Nurse, 23 (1), 31-50 Gundzik, K. (2008). Nausea and vomiting in the ambulatory surgical setting. Orthopaedic Nursing, 27 (3), 182-187, diperoleh dari www.proquest.com.
21
Grunberg, S.M. (2004). Chemotherapy induced nausea vomiting: Prevention detection and treatment-how are we doing? The Journal of Suppritive Oncology, 2(1)1-2 Grunebaum, L. D., Murdock, J., & Tardan, M. P. C. (2011). Effects of lavender alfactory input on cosmetic procedur, Journal of Cosmetic Dermatologi, 10(2),89-93, diperoleh dari www.proquest.com. Hawkins, R., Grunberg, S.M ( 2009). Chemotherapy-induced nausea vomiting. Advanced Studies in Nursing. 3(1).9-15 Helms, J. E. (2006). Complementary and alternative therapies: A new frontier for nursing education, Journal of Nursing Education, 45(3), 117-125, diperoleh dari www.proquest.com. Hesketh, P.J. (2008). Chemotherapy induced nausea and vomiting,The new England. Middle East Journal of Cancer,2,2-8 Hewitt,V. & Watts, R. ( 2009). The effectiveness of non-invasive complementary therapies in reducing posoperative nausea and vomiting following abdominal laparoskopic surgery in women: A systematic review. Journal British In Library of Systematic Review. 7(19), 850-907, diperoleh dari www.proquest.com. Kim, J. T., Ren, C. J., Fielding, G. A., Pitti, A., Kasumi,T., Wajda, M., Lebovits, A., & Bekker, A (2007). Treatment with lavender aromatherapy in the post-anesthesia care unit reduces opioid requirements of morbidly obese patients undergoing laparoskopic adjustable gastric banding, Obesity Surgery Journal, 17, 920 – 925, diperoleh dari www.proquest.com Koensoemardiyah, (2009). A-Z aromaterapi kecantikan,Yogyakarta, Lily Publisher.
unutk
kesehatan,
kebugaran,
dan
Lua, P.L., Salihah, N., Mazlan, (2015) Effects of Inhaled Ginger Aromatherapy on Chemotherapy- Induced Nausea and Vomiting and Health-Related Quality of life in Women With Breast Care, Elsevier. Perez, C. (2003). Clinical aromatherapy part 1: An introduction into nursing practice, Clinical Journal of Oncology Nursing, 7(5), 595-596, doi: 101188103.cjon. Polit, D. F., & Beck, C. T. (2012). Nursing research generating and assesing eviden for nursing practice, 9th ed., Philadelphia: Wolters Kluwer Health Lippincott William & Wilkins. Potter, P. A . & Perry, A. (2009). Fundamental of nursing, 7th ed. Vol.1. Mosby; Elsevier Inc. Potts, J. (2009). Aromatherapy in nursing practice, Australian Nursing Journal, 16(11): 55. diperoleh dari www.proquest.com.
22
Snyder, M. & Lindquist, R. (2010). Complementary & alternative therapies in Nursing, 6th ed., Springer Publishing Company, New York. Tomey, A. M. & Alligood, M. R. (2010). Nursing teorist and their work, St. Louis Missouri: Mosby Elservier. Wood, G.J., Shega, J.W., Lynch, B., & Roenn, J.H (2007). Management of intractable nausea and vomiting in patients at the end of life, Jounal of American Medical Association, 298(10),1196-1207 Wickham, R. (2012), Envolving Treatment Paradigms for Chemotherapy-induced Nausea and Vomiting, University School of Nursing, Marquette, Michigan, 19 (2).