EFEK ANTIOKSIDAN VITAMIN C TERHADAP TIKUS (Rattus norvegicus L) JANTAN AKIBAT PEMAPARAN ASAP ROKOK
ISMIYATI MUHAMMAD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
EFEK ANTIOKSIDAN VITAMIN C TERHADAP TIKUS PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Efek Antioksidan Vitamin C Terhadap Tikus (Rattus norvegicus L) Jantan Akibat Pemaparan Asap Rokok”, adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Ismiyati Muhammad NRP. G352070171
ABSTRACT ISMIYATI MUHAMMAD, Effect of Antioxidant Vitamin C On Male Rat (Rattus norvegicus L) Due to Exposure of Cigarettes Smoke. Under Supervision of DEDY DURYADI SOLIHIN and NASTITI KUSUMORINI. Antioxidant of vitamins C could be used in neutralizing free radical such us cigarettes smoke. The aim of this research was to find out the effects of Vitamin C (ascorbic acid) on rat (Rattus norvegicus) which was exposed to cigarette smoke by concentration of malondialdehid (MDA), measuring activities of superoxide dismutase (SOD) enzyme, number of erythrocyte cells (RBC), number of leukocyte cells (WBC), concentration of hemoglobin (Hb), and pack cell volume (PCV). Twenty five rats were assessed in this study and they were devided into 5 groups: P0) As a control group (without any exposure to cigarette smoke and vitamin C); PI). The group which was given vitamin C only; P2). The group which was exposed to cigarette smoke only; P3). The group which was exposed to cigarette smoke and given vitamin C at the same time; P4). The group which was exposed to cigarette smoke and was given vitamin C after the exposure. Stress treatment was carried out by exposing the rats to cigarette smoke for 30 days continously with a dosage of 1 cigarette per 15 minutes in the period of 60 minutes. The vitamin C was given orally with a dosage of 8.57 mg/kg bw/day for 30 days continously. Stress condition (exposed to cigarette smoke) decreased the activities of SOD and increased the concentration of MDA in the heart and kidneys, also increased concentration of RBC, WBC, PCV and decreased concentration of Hb. Vitamin C consumption increased the activities SOD but do not as high as control group. The giving of vitamin C at the same time of cigarette smoke exposure showed the best result as antioxidant. Keywords : Ascorbic acid, liver, kidney, rat, cigarettes, Superoxide dismutase
RINGKASAN ISMIYATI MUHAMMAD. Efek Antioksidan Vitamin C Terhadap Tikus (Rattus norvegicus L) Jantan Akibat Pemaparan Asap Rokok. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN dan NASTITI KUSUMORINI. Kebiasaan merokok merupakan kebudayaan manusia sejak ratusan tahun yang lalu dan penggemarnya pun semakin meningkat, bahkan sekarang telah merambah dikalangan remaja dan anak sekolah. Saat ini sekitar 30 persen penduduk Indonesia adalah perokok, sedangkan berdasarkan jenis kelamin sekitar 60 persen laki-laki dan 5 persen wanita Indonesia perokok. Rokok merupakan salah satu sumber dari radikal bebas yang berasal dari lingkungan luar dan merupakan penyebab dari berbagai penyakit. Radikal bebas adalah produk antara yang terbentuk dalam berbagai proses reaksi kimia dalam tubuh dan juga dari lingkungan yang terpolusi seperti asap rokok, asap kendaraan, bahan pencemar dan juga radiasi. Jumlah radikal bebas dalam batas tertentu akan bersifat positif karena berperan penting bagi kesehatan dan fungsi tubuh dalam memerangi peradangan dan membunuh penyakit seperti bakteri. Namun demikian apabila radikal bebas dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan selulernya maka radikal bebas tersebut akan merubah fungsi dan berpengaruh pada proses munculnya penyakit. Rokok merupakan salah satu polutan berupa gas yang mengandung berbagai bahan kimia antara lain nikotin, karbon monoksida, tar dan eugenol untuk rokok kretek. Bahan-bahan kimia tersebut bersifat toksik, terdiri dari nitrosamin dan oksigen reaktif yang dapat membentuk radikal bebas seperti nitrit oksida (NO), nitrit peroksida (NO2) dalam fase gas serta quinone (Q), semiquinone (HQ) dan hydroquinone (HQ2) dalam fase tar. Zat-zat tersebut dapat bereaksi secara langsung dengan unsur-unsur ekstraseluler dan intraseluler seperti protein, lipid, karbohidrat dan DNA. Antioksidan merupakan substansi yang dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas. Secara fisiologis tubuh mempunyai dua sistem pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik ini bekerja secara intraseluler yang sebagian besar terdapat pada mitokondria dan sitoplasma. Ada tiga macam enzim yang bekerja sebagai antioksidan yaitu superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksida (GSH Px). Namun demikian ketiga enzim antioksidan tersebut kurang efektif sehingga membutuhkan suplai antioksidan nonenzimatik secara ekstraseluler. Antioksidan ekstraseluler tersebut harus mempunyai kemampuan memberikan ion hidrogen, sehingga radikal bebas yang ada akan dirubah menjadi molekul yang stabil berupa vitamin. Antioksidan berupa vitamin adalah vitamin A (β-karoten), vitamin E (larut dalam lemak) dan vitamin C (larut dalam air). Vitamin A dan vitamin E digunakan untuk mempertahankan atau melindungi lipid dalam tubuh sedangkan vitamin C untuk melindungi bagian tubuh berupa cairan seperti plasma dan menetralisir oksidan dari berbagai sumber termasuk dari polusi udara dan asap rokok. Oleh karena itu penggunaan vitamin C sebagai antioksidan yang dapat menetralisir radikal bebas akibat asap rokok perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor, mulai dari bulan Desember 2008 sampai bulan April 2009 dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh vitamin C terhadap radikal bebas akibat pemaparan asap rokok kretek. Hewan coba yaitu tikus putih (Rattus norvegicus) jantan yang berumur ± 8 minggu dengan berat badan ± 200 gr, ascorbic acid 8,57 mg/kg bb/hari dan pemaparan rokok kretek selama tiga puluh hari dengan dosis satu batang rokok per lima belas menit selama enam puluh menit. Tikus yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam lima kelompok yaitu P0 = tidak diberi perlakuan asap rokok dan tidak diberi vitamin C; P1 = diberi perlakuan dengan diberi vitamin C saja dengan dosis 8,57 mg/kg bb/hari selama tiga puluh hari dan tidak diberi asap rokok; P2 = diberi perlakuan dengan dipapar asap rokok saja (satu batang rokok per lima belas menit selama enam puluh menit) selama tiga puluh hari; P3 = diberi perlakuan dengan dipapar asap rokok saja (satu batang rokok per lima belas menit selama enam puluh menit), selama tiga puluh hari, setelah itu diberi vitamin C secara bersamaan; P4 = diberi perlakuan dengan dipapar asap rokok saja (satu batang rokok per lima belas menit selama enam puluh menit), selama tiga puluh hari dan kemudian diberi vitamin C selama tiga puluh hari dengan dosis 8,57 mg/kg bb/hari. Proses pemaparan dilakukan dengan menggunakan chamber, yaitu sebuah kotak plastik yang dihubungkan dengan tempat pembakaran rokok dan air pump (pompa udara) yang dimodifikasi. Pada chamber ini terdapat dua lubang yang satunya dihubungkan dengan air pump dan yang satunya lagi dihubungkan dengan tabung oksigen. Tikus dimasukan kedalam chamber, katup oksigen dibuka pada 0,5 atmosfer, rokok dibakar dan air pump dinyalakan. Biarkan sampai chamber penuh terisi asap rokok, lalu air pump dimatikan. Setelah asap rokok dalam chamber habis maka air pump dinyalakan kembali. Kegiatan ini dapat berulang sampai empat kali untuk satu batang rokok. Satu batang rokok dibakar sampai tersisa dua cm. Parameter yang diukur adalah kadar malondialdehida (MDA) pada hati dan ginjal tikus dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 532 nm. Prinsip pengukuran kadar MDA berdasarkan kemampuan kompleks berwarna merah muda antara MDA dan TBA (asam tiobarbiurat). Dan mengukur aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) pada hati dan organ tikus dengan panjang gelombang 550 nm. Prinsip pengukuran SOD berdasarkan laju penghambatan reduksi ferrisitokrom c oleh anioan superoksida yang dihasilkan oleh xantin oksidase. Terjadi oksidase xantin menjadi asam urat dan anion superoksidase. Selain itu juga parameter lain yang diukur adalah jumlah butir darah merah dan butir darah putih dengan metode Counting chamber-Burker dan Neubouer, jumlah Hb dengan metode Cyan-methemoglobin dan jumlah hematokri dengan metode Mikrohematokrit. Data yang diperoleh diolah dengan program SPSS 15, menggunakan uji ANOVA one-way dan uji Duncan. Hasil yang diperoleh dari penelitian tersebut adalah pada kelompok tikus yang diberi perlakuan dengan dipapar asap rokok (P2) menunjukkan perbedaan yang nyata dengan semua kelompok perlakuan (p<0,05) yaitu mempunyai kadar MDA tertinggi dan aktivitas SOD terendah dan dapat mempengaruhi jumlah hematologi pada tikus. Terjadi kenaikan kadar MDA dan penurunan aktivitas
SOD disebabkan karena keadaan stres dapat meningkatkan jumlah radikal bebas, dan radikal bebas yang tinggi akan menyebabkan penggunaan SOD juga semakin banyak sehingga jumlahnya pun semakin berkurang. Demikian juga dengan jumlah hematologi. Pemberian vitamin C terbukti dapat menurunkan kadar MDA dan mempertahankan aktivitas SOD, namun tidak setinggi kelompok kontrol serta memperbaiki kerja fungsi tubuh yang terganggu akibat stres. Hal ini terjadi karena vitamin C memiliki gugus enadiol sebagai pendonor elektron sehingga radikal bebas dapat dinetralkan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari IPB.
EFEK ANTIOKSIDAN VITAMIN C TERHADAP TIKUS (Rattus norvegicus L) JANTAN AKIBAT PEMAPARAN ASAP ROKOK
ISMIYATI MUHAMMAD
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul
: Efek Antioksidan Vitamin C Terhadap Tikus (Rattus norvegicus L) Jantan Akibat Pemaparan Asap Rokok
Nama
: Ismiyati Muhammad
NRP
: G352070171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA
Dr. Nastiti Kusumorini
Ketua
Anggota
Diketahui Koordinator Mayor Biosains Hewan
Dr. Bambang Suryobroto.
Tanggal Ujian : 25 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia serta ridho-Nya sehingga tesis yang berjudul “Efek Antioksidan Vitamin C Terhadap Tikus (Rattus norvegicus L) Jantan Akibat Pemaparan Asap Rokok” ini dapat diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA dan Dr. Nastiti Kusumorini, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan tesis ini. Di samping itu penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Departemen Agama RI atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat mengikuti program pascasarjana ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf pengajar dan pegawai FMIPA-IPB, staf pegawai dan laboran pada bagian Fisiologi dan Farmakologi FKH-IPB, Ibu A. Mu’nisa, Bapak I Nyoman Suarsana, teman-teman dan pengelola Laboratorium Biologi Molekuler, PPSHB IPB yang telah membantu dalam memberikan informasi untuk penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada Suami tercinta, mama, papa, kakak, adik serta keluarga besar Mardjuki, Mansur dan Lukman atas doa, perhatian dan dukungan yang diberikan. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2009 Ismiyati Muhammad
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 28 Juni dari Ayah Muhammad Hasim dan ibu Sitti Mariyani Mardjuki. Penulis merupakan anak ketiga dari 4 bersaudara. Tahun 2003 penulis menyelesaikan program Strata 1 pada Universitas Khairun Ternate Jurusan Pendidikan Biologi. Selanjutnya penulis mengajar di Madrasah Aliyah Negeri Model Ternate, mulai tahun 2003 hingga sekarang. Pada bulan Juli 2007 penulis mendapatkan kesempatan mengikuti program beasiswa pendidikan Pascasarjana dari Departemen Agama RI dan mengambil Program Studi Biologi, Mayor Biosains Hewan pada Sekolah Pascasarjana IPB.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr.drh.Hera Maheshwari, M.Sc
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
iv
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar Belakang ...................................................................................... Rumusan Masalah ................................................................................. Tujuan Penelitian .................................................................................. Hipotesis ................................................................................................ Manfaat Penelitian ................................................................................
1 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA Rokok .................................................................................................... 4 Radikal Bebas ....................................................................................... 5 Antioksidan ........................................................................................... 8 Vitamin C .............................................................................................. 11 Hematologi............................................................................................. 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................... 18 Bahan dan Alat ...................................................................................... 16 Metode Penelitian ................................................................................. 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Kadar Malondialdehida (MDA) Pada Hati dan Ginjal ..... 30 Pengukuran Aktivitas Enzim Superoksidase Dismutase (SOD) pada Hati dan Ginjal .............................................................................. 32 Pengukuran Hematologi ........................................................................ 35 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 41 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 42 LAMPIRAN .................................................................................................... 45
i
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Kebutuhan vitamin C menurut usia berdasarkan RDA(Recommended Dietary Allowance ) ................................................................................ 14
2.
Kandungan asap rokok kretek gudang garam menurut pusat pengujian obat dan makanan nasional jakarta ......................................................... 18
3.
Jumlah tikus yang mati pada percobaan pendahuluan penentuan dosis pemaparan asap rokok .................................................................... 19
4.
Nilai konversi berat badan manusia ke berat badan tikus ........................ 19
5.
Jumlah tikus yang mati pada percobaan pendahuluan penentuan dosis vitamin C .................................................................................................. 20
ii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Reaksi berantai dari radikal bebas............................................................
6
2. Struktur molekul vitamin C dengan gugus enadiolnya............................. 12 3. Skema dan seperangkat Smoking chamber .............................................. 21 4. Lingkungan kandang tikus ....................................................................... 22 5. Proses pemaparan dari awal hingga akhir................................................. 23 6. Pemberian vitamin C secara oral ............................................................ 24 7. Proses pemaparan asap rokok, pemberian vitamin C dan waktu pengambilan sampel. ............................................................................... 24 8. Spectrofotometer digital double beam (Hitachi U-2001) ....................... 27 9. Kadar malondialdehida (MDA) hati dan ginjal tikus pada semua perlakuan ................................................................................................. 30 10. Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati dan ginjal tikus pada semua perlakuan. ..................................................................... 33 11. Jumlah butir darah merah ......................................................................... 36 12. Jumlah butir darah putih .......................................................................... 38 13. Jumlah hemoglobin .................................................................................. 39 14. Jumlah hematokrit .................................................................................... 40
iii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Kadar malondialdehida (MDA) hati tikus jantan pada semua perlakuan ................................................................................................. 45 2. Kadar malonaldehida (MDA) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan ................................................................................................. 46 3. Rerata dan standar deviasi kadar malondialdehida (MDA) hati dan ginjal tikus jantan pada semua perlakuan ............................................... 47 4. Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati tikus jantan pada semua perlakuan .............................................................................. 48 5. Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan ............................................................................. 49 6. Rerata dan standar deviasi aktivitas enzim superosidase dismutase (SOD) hati dan ginjal tikus jantan pada semua perlakuan ...................... 50 7. Jumlah butir darah merah (BDM), butir darah putih (BDP), hemoglobin (Hb) dan hematokrit (PCV) ................................................. 51 8. Rerata dan standar deviasi jumlah butir darah merah, butir darah putih, hemoglobin dan hematokrit ........................................................... 52 9. Uji statistik kadar malondialdehida (MDA) hati tikus jantan pada semua perlakuan .............................................................................. 53 10. Uji statistik kadar malondialdehida (MDA) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan .............................................................................. 54 11. Uji statistik aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati tikus jantan pada semua perlakuan .................................................................. 55 12. Uji statistik aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan .................................................................. 56 13. Uji statistik jumlah butir darah merah ...................................................... 57 14. Uji statistik jumlah butir darah putih ...................................................... 58 15. Uji statistik jumlah hemoglobin ............................................................... 59 16. Uji statistik jumlah hematokrit ................................................................. 60 17. Kurva standar MDA ................................................................................. 61 18. Kurva standar SOD .................................................................................. 62
iv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Kebiasaan merokok merupakan kebudayaan manusia sejak ratusan tahun yang lalu dan penggemarnya pun semakin meningkat, bahkan sekarang telah merambah dikalangan remaja dan anak sekolah. Saat ini
sekitar
30 persen
penduduk Indonesia adalah perokok, sedangkan berdasarkan jenis kelamin sekitar 60 persen laki-laki dan 5 persen wanita Indonesia perokok (WHO Global Youth Tobacco Survey 2000). Asap rokok dalam lingkungan terdiri dari asap arus utama (mainstream smoke) dan asap arus samping (sidestreaem smoke). Asap arus utama dihisap dan dikeluarkan oleh perokok sedangkan asap arus samping dihasilkan dari ujung rokok diantara kedua hisapan. Dalam ruangan, dimana terdapat orang merokok, maka asap yang dihasilkan terbanyak dari asap arus samping. Asap tersebut akan mengganggu lebih banyak pada orang bukan perokok yang berada pada ruangan tersebut (Kritz et al. 1995; Widodo 2006). Berbagai usaha telah dilakukan oleh pihak-pihak yang peduli terhadap kesehatan lingkungan dari asap rokok, seperti larangan merokok di tempat-tempat umum, tempat kerja dan instalasi khusus. Bahkan peringatan pemerintah dalam kemasan rokok yang menyatakan “merokok dapat merugikan kesehatan” tidak mendapatkan tanggapan baik dari masyarakat (Susanna 2003). Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), lingkungan yang terpolusi oleh asap rokok adalah penyebab berbagai penyakit, dan dapat juga mengenai orang sehat yang bukan perokok (Susanna 2003). Rokok merupakan salah satu penyebab kerusakan sel karena dalam rokok mengandung bahan yang dapat membentuk radikal bebas. Menurut Sauriasari (2006) bahwa radikal bebas adalah produk antara yang terbentuk dalam berbagai proses reaksi kimia dalam tubuh (misalnya metabolisme sel, pernapasan, olah raga yang berlebihan) dan juga dari lingkungan yang terpolusi oleh asap rokok, asap kendaraan, bahan pencemar dan juga radiasi. Asap rokok mengandung berbagai bahan kimia antara lain nikotin, karbon monoksida, tar dan khusus rokok kretek mengandung eugenol. Bahan-bahan kimia tersebut bersifat toksik, terdiri dari
2
nitrosamin dan oksigen reaktif yang apabila teroksidasi dapat membentuk radikal bebas seperti nitrit oksida dan nitrit peroksida (NO, NO2) dalam fase gas serta quinon, semiquinon dan hydroquinone (Q, HQ dan HQ2) dalam fase tar. Zat-zat tersebut dapat bereaksi secara langsung dengan unsur-unsur ekstraselular dan interseluler seperti protein, lipid, karbohidrat dan DNA (Trabel et al. 2000). Pembentukan senyawa radikal bebas yang tidak segera dinetralkan oleh sistem antioksidan dapat menimbulkan terjadinya stress oksidatif yang banyak dihubungkan dengan penyakit degeneratif, kanker, gangguan sistem imun dan proses penuaan dini (Kartikawati 1999). Widodo (2006), menunjukkan bahwa paparan asap rokok delapan batang perhari selama enam minggu menyebabkan terjadinya perubahan histopatologi dan ultrastruktur pada organ sistem pernapasan. Dari perubahan tersebut indikasi yang dapat diamati adalah terjadinya penurunan kadar serum glutation peroksidase (GSH Px). Secara fisiologis tubuh mempunyai dua sistem pertahanan utama untuk melawan radikal bebas, yaitu antioksidan yang berupa enzim dan nonenzim. Antioksidan enzimatik ini bekerja secara intraseluler yang sebagian besar terdapat pada mitokondria dan sitoplasma. Ada tiga macam enzim yang bekerja sebagai antioksidan yaitu
superokside dismutase (SOD), katalase dan glutation
peroksidase (GSH Px). Namun demikian, ketiga enzim antioksidan tersebut kurang efektif sehingga membutuhkan suplai antioksidan nonenzimatik secara ekstraseluler. Antioksidan nonenzimatis tersebut harus mempunyai kemampuan memberikan ion hidrogen, sehingga radikal bebas yang ada akan dirubah menjadi molekul yang stabil berupa vitamin (Hanim 1996). Antioksidan berupa vitamin adalah vitamin A (β-karoten), vitamin E (larut dalam lemak) dan vitamin C (larut dalam air). Vitamin A dan vitamin E digunakan untuk mempertahankan atau melindungi lipid dalam tubuh sedangkan vitamin C (ascorbic acid) untuk melindungi bagian tubuh berupa cairan seperti plasma darah (Sizer & Whitney 2000). Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang sangat berperan penting dalam tubuh diantaranya membantu kerja enzim tertentu atau prekursor, melindungi zat makanan dari oksidan, membantu penyerapan makanan dalam
3
usus, melindungi bagian darah yang sensitif terhadap oksidan dan melindungi vitamin E. Vitamin C mudah diperoleh, baik dalam buah, sayuran, bentuk pil atau pun dalam bentuk vitamin C murni, selain itu juga vitamin C mempunyai kemampuan untuk menetralisir oksidan dari berbagai sumber termasuk dari polusi udara dan asap rokok ( Sizer & Whitney 2000 ). Oleh karena itu penggunaan vitamin C sebagai antioksidan yang dapat menetralisir radikal bebas akibat asap rokok perlu dieksplorasi lebih lanjut.
Rumusan Masalah Apakah antioksidan vitamin C dapat menetralisir (mencegah dan mengobati) akibat dari radikal bebas yang dihasilkan oleh asap rokok kretek pada tikus jantan ? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh vitamin C terhadap radikal bebas akibat pemaparan asap rokok kretek dan menguji keefektifitas vitamin C.
Hipotesis Vitamin C dapat menurunkan pengaruh oksidan akibat paparan asap rokok kretek. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang vitamin C sebagai antioksidan bagi perokok. Data ini dapat digunakan untuk penerapan pengobatan dan perlakuan terhadap penderita penyakit akibat merokok atau pun sebagai tindakan pencegahan terjadinya penyakit akibat merokok.
4
TINJAUAN PUSTAKA Rokok Ketergantungan terhadap rokok sudah menjadi pembicaraan secara global yang dapat menyebabkan kecacatan, penyakit, produktivitas menurun dan juga kematian. Namun kesadaran untuk berhenti mengkonsumsi rokok sangat sulit dilakukan, karena banyak faktor yang mempengaruhinya antara lain gencarnya industri rokok untuk mengiklankan produknya tanpa memberikan keterangan yang jelas tentang bahaya rokok dan juga banyaknya petani tembakau yang harus dialihkan profesinya untuk tidak menanam tembakau. Asap rokok merupakan aerosol heterogen dari pembakaran tembakau, komponen dalam rokok dan pembungkusnya. Setiap batang rokok mengandung banyak bahan kimia diantaranya adalah nikotin, karbon monoksida dan tar yang bersifat karsinogenik dan dapat membentuk radikal bebas, seperti nitrit oksida (NO) dan nitrit peroksida (NO2) (Widodo 2006). Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh asap rokok berupa penyakit kardiovaskuler, arteriosklerosis, tukak lambung dan tukak usus, kanker, chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dan lain-lain (Susanna et al. 2003). Rokok kretek bisa disamakan dengan sebuah pabrik bahan kimia. Setiap batang rokok kretek yang dibakar akan menghasilkan berbagai macam bahan kimia. Secara umum bahan kimia yang dihasilkan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga golongan
bahan yang berbahaya, yaitu nikotin, tar dan karbon
monoksida (CO). Nikotin adalah bahan dasar yang dapat menimbulkan sifat ketergantungan fisik dan psikis bagi perokok aktif atau disebut dengan kecanduan. Nikotin yang terkandung dalam rokok adalah sebesar 0,5-3 nanogram dan semuanya diserap sehingga dalam cairan darah didalam cairan darah ada sekitar 40-50 nanogram nikotin setiap 1 ml. Selain masuk dalam aliran darah, pada paru-paru nikotin akan menghambat aktivitas silia. Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paruparu. Kadar tar dalam rokok antara 0,5-35 mg/batang. Tar merupakan suatu zat
5
karsinogen yang dapat menimbulkan kanker pada saluran pernapasan dan paruparu yang terdiri dari dua fase yaitu fase tar dan fase gas. Pada fase tar merupakan pembentuk radikal bebas seperti quinon, semiquinon dan hydroquinon dalam bentuk matriks polimer. Pada fase gas mengandung nitrit oxida dan nitrit peroksida yang dapat mengubah oksigen menjadi radikal bebas superoksida dan selanjutnya menjadi radikal bebas hidroksil yang sangat merusak. Karbon monoksida merupakan produk pembakaran karbon yang tidak sempurna dari unsur arang atau karbon. Gas CO yang dihasilkan sebatang rokok dapat mencapai 3-6%. Gas ini mempunyai kemampuan mengikat hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, lebih kuat dibandingkan oksigen. Sehingga sel tubuh akan kekurangan oksigen karena darah yang beredar miskin akan oksigen dan kaya akan karbon monoksida. Sel tubuh yang kekurangan oksigen akan melakukan spasme, yaitu menciutkan pembuluh darah. Bila hal ini terus berlangsung terus-menerus maka pembuluh darah akan mudah rusak. Rokok juga mengandung sejumlah bahan reaktif molekuler kimia seperti reaktif oksigen dan zat radikal (Church & Pryor 1985). Pada asap rokok terdapat beberapa jenis bahan pembentuk radikal bebas diantaranya adalah aldehida, epoxida, peroksida, quinon, semiquinon dan hydroquinon (Droge 2002).
Radikal Bebas Pada abad ke 19 istilah radikal bebas diperuntukan bagi kelompokkelompok atom yang membentuk suatu molekul dalam keadaan bebas. Pada abad ke 20 Moses Gomberg (1866) menemukan istilah radikal bebas diartikan sebagai molekul tidak stabil dengan satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan di orbit luarnya. Radikal bebas merupakan elektron yang terlepas karena proses oksidasi. Dalam usaha untuk menggantikan elektron yang hilang itu maka radikal bebas mengikat dan menghancurkan sel-sel yang sehat. Hal ini karena sel yang sehat merupakan tempat yang cocok bagi radikal bebas untuk melakukan pemanjangan rantai tubuhnya (Weber et al. 1994). Menurut Droge (2002) bahwa radikal bebas dapat bersumber dari tiga hal, yaitu: 1) Dari lingkungan bersumber dari asap rokok, asap kendaraan, pestisida dan racun, dari sisa pembuangan; 2) Berasal dari dalam tubuh yaitu proses
6
metabolisme energi; 3) Dari radikal itu sendiri yaitu berusaha memperoleh elektron dari molekul lain sehingga terbentuklah radikal bebas baru yang kehilangan elektronnya. Bila reaksi berlanjut terus maka terjadilah suatu reaksi berantai (chain reaction) sampai radikal bebas itu hilang oleh reaksi dengan radikal bebas lain atau sistem antioksidan tubuh (Gambar 1).
Gambar 1 Reaksi berantai dari radikal bebas. Radikal bebas dapat bersifat positif, negatif dan netral. Mereka terbentuk secara normal dalam reaksi biokimia, tetapi bila berlebihan atau tidak terkontrol maka dapat menimbulkan kerusakan pada daerah yang luas dari makromolekul (Suyatna 1989). Menurut Araujo et al. (1998), radikal bebas dapat terbentuk secara in-vivo dan in-vitro yaitu dengan pemecahan satu molekul normal secara homolitik menjadi dua, kehilangan satu elektron dari molekul normal dan penambahan elektron pada molekul normal. Selanjutnya dijelaskan juga bahwa secara biologis radikal bebas dalam tubuh berupa radikal superoksida (superoxide radical), radikal hydroksil (hydroxyl radical), radikal peroksil (peroxyl radical), hydrogen peroksida (hydrogen peroxide), oksigen tunggal (single oxygen), nitrit oksida (nitric oxide), nitrit peroksida (peroxinitrite) dan asam hipoklor (hypochlorous acid). Radikal bebas bersifat sangat reaktif sehingga dapat menimbulkan perubahan kimiawi dan merusak berbagai komponen sel hidup seperti protein, lipid dan nukleutida. Pada protein, radikal bebas dapat menyebabkan fragmentasi sehingga mempercepat terjadinya proteolisis, Pada lipid dapat menyebabkan reaksi peroksidasi yang akan mencetus proses otokatalik dan pada nukleutida
7
dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur DNA dan RNA sehingg terjadi mutasi atau sitotoksisitas (Gitawati 1995). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa kerusakan sel oleh radikal bebas didahului oleh kerusakan membran sel dengan proses sebagai berikut: 1) Terjadi ikatan kovalen antara radikal bebas dengan komponen membran, sehingga terjadi perubahan struktur dari fungsi reseptor; 2) Oksidasi gugus tiol pada komponen membran oleh radikal bebas yang menyebabkan proses transpor lintas membran terganggu; 3) Reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung asam lemak tidak jenuh majemuk (PUFA). Hasil peroksidasi lipid membran oleh radikal bebas berpengaruh langsung terhadap kerusakan membran sel antara lain struktur dan fungsi dalam keadaan yang lebih ekstrim yang akhirnya akan menyebabkan kematian sel. Jumlah radikal bebas dalam batas tertentu akan bersifat positif karena berperan penting bagi kesehatan dan fungsi tubuh dalam memerangi peradangan dan membunuh penyakit seperti bakteri. Namun demikian apabila radikal bebas yang dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan selulernya maka radikal bebas tersebut akan berakibat negatif. Hal ini disebabkan karena radikal bebas tersebut akan menyerang sel itu sendiri. Struktur sel yang berubah akan merubah fungsi dari bagian tersebut dan hal tersebut akan berpengaruh pula pada proses munculnya penyakit (Sauriasari 2006). Masuknya radikal bebas ke dalam tubuh dapat melalui pernapasan, lingkungan luar yang tidak sehat dan makanan yang berlemak (Kumalaningsih 2007). Selain itu pada kondisi stres dapat meningkatkan jumlah peroksisom pada jaringan seperti pada ginjal kera Jepang, yang mengakibatkan peningkatan produksi radikal bebas didalam tubuhnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya penurunan kandungan antioksidan endogen seperti superoksida dismutase (Wresdiyati & Makita 1995). Menurut Shahidi (1997) dan Hariyatmi (2004) pada kondisi stres imbangan normal antara produksi radikal bebas (senyawa oksigen reaktif) dengan kemampuan
pertukaran
antioksidan
mengalami
gangguan
sehingga
menggoyahkan sebuah rantai reduksi oksidasi normal. Hal tersebut dapat mengakibatkan kerusakan oksidatif jaringan. Keadaan ini diduga sebagai salah
8
satu faktor pendorong terjadinya beberapa penyakit sistemik seperti katarak, arteriosklerosis atau yang dikenal dengan jantung koroner, kerusakan hati, diabetes, kanker dan penuaan dini. Kerusakan jaringan tubuh juga tergantung pada beberapa faktor, antara lain target molekuler, tingkat stres yang terjadi, mekanisme yang terlibat, serta waktu dan sifat alami dari sistem yang diserang. Menurut Kumalaningsih (2007) bahwa penyakit jantung koroner disebabkan karena molekul besar lemak yang disebut LDL teroksidasi oleh radikal bebas mengendap di pembuluh darah jantung. Hal ini akan menyebabkan aliran darah terganggu sehingga sebagian sel-sel jantung tidak cukup makanan dan mati. Katarak disebabkan karena kerusakan protein pada lensa mata akibat elektronnya diambil oleh radikal bebas sehingga protein yang terdapat pada sel-sel jaringan menjadi rusak. Kanker terjadi karena adanya serangan radikal bebas pada DNA dan RNA dalam sel sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan sel yang abnormal yang menyebabkan kerusakan jaringan dan penuaan dini. Hal tersebut akan berakibat berkurangnya elastisitas jaringan kolagen dan otot sehingga kulit menjadi keriput dan timbul bintik-bintik pigmen kecoklatan. Radikal bebas tersebut dapat merusak komponen membran sel yang berupa fosfolipid, kolesterol dan protein. Fosfolipid dan kolesterol, mengandung asam lemak tak jenuh ganda (linoleat, linolenat dan arakhidonat) yang sangat peka terhadap serangan radikal bebas terutama radikal hidroksil. Radikal hidroksil ini dapat menimbulkan reaksi berantai yang dikenal dengan peroksidasi lemak (Suryohudoyo 1995; Kartikawati 1999). Akibat akhir dari reaksi ini adalah terputusnya rantai asam lemak menjadi senyawa yang bersifat toksik terhadap sel dan jaringan seperti aldehid. Selain itu dapat pula terjadi ikatan silang antara dua rantai asam lemak dari rantai peptida sehingga mengakibatkan rusaknya membran sel dan muncul penyakit-penyakit degeneratif (Halliwell 1992). Antioksidan Radikal bebas merupakan produk normal dari proses metabolisme. Selama makanan dioksidasi untuk menghasilkan energi, sejumlah radikal bebas juga terbentuk dan efeknya dinetralisir oleh antioksidan yang diproduksi oleh tubuh (endogen) dalam jumlah yang berimbang (Hariyatmi 2004).
9
Tubuh manusia atau pun hewan dalam keadaan normal mempunyai sistem antioksidan yang dapat menangkal aksi radikal bebas, yaitu sistem proses enzimatis dan nonenzimatis. Dalam pengertian kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi elektron. Dalam pengertian klasik, istilah antioksidan menunjukkan senyawa yang memiliki berat molekul rendah yang dapat menginaktivasi reaksi rantai dari peroksidasi lipid dengan mencegah terbentuknya radikal peroksida. Dalam arti biologi dan kedokteran, istilah tersebut digunakan dalam pengertian yang luas, meliputi enzim yang dapat mendetoksifikasi senyawa-senyawa oksigen reaktif (Kartikawati 1999). Antioksidan adalah senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya dengan cuma-cuma kepada molekul radikal bebas tanpa mengganggu dan memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas. Antioksidan dapat menetralisir atau menghancurkan radikal bebas dengan cara berinteraksi langsung dengan oksidan atau radikal bebas, mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif, mengubah oksigen reaktif
menjadi kurang toksik dan
memperbaiki kerusakan yang timbul. Antioksidan bekerja sebagai sebuah sistem untuk menghentikan kerusakan akibat radikal bebas. Oleh karena itu, para ahli nutrisi menyarankan agar kita sering mengkonsumsi produk yang mengandung banyak variasi antioksidan, kombinasi vitamin, mineral, dan zat berkhasiat lainnya (Sizer & Whitney 2000). Berdasarkan
fungsinya
antioksidan
dapat
dibedakan
menjadi:
1)
Antioksidan primer yaitu antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru, dengan merubah radikal bebas menjadi molekul yang stabil sebelum bereaksi misalnya enzim superoksida dismutase; 2) Antioksidan sekunder yaitu senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar misalnya vitamin E, C dan β-karoten; 3) Antioksidan tersier yaitu senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas misalnya enzim metionin sulfoksidan reduktase; 4) oxygen scavanger yaitu senyawa yang mengikat oksigen sehingga tidak menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi misalnya vitamin C dan 5) chelators/sequestranst yaitu
10
senyawa pengikat logam yang mampu mengkatalisis reaksi oksidasi misalnya asam sitrat dan asam amino (Kumalaningsih 2007). Berdasarkan penghasil/penyedianya, maka antioksidan dapat dibagi menjadi tiga janis yaitu : 1. Antioksidan yang dibuat oleh tubuh kita sendiri yang disebut juga antioksidan endogen yang berupa enzim antara lain; superoksida dismutase (SOD), glutathione peroxidase (GSH Px ) dan katalase. 2. Antioksidan alami yang diperoleh dari tumbuhan atau hewan seperti tokoferol, vitamin C, betakaroten, flavonoid dan senyawa fenolik, dan 3. Antioksidan sintetik yang dibuat dari bahan-bahan kimia seperti butylated hroayanisole (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), tert butil hidroksi quinon (TBHQ), dan propil galat (PG) (Kumalaningsih 2007). Secara umum mekanisme kerja dari antioksidan adalah menghambat oksidasi lemak. Menurut (Kumalaningsih 2007) bahwa oksidasi lemak terjadi melalui beberapa tahap yaitu tahap inisiasi, dimulai dengan pembentukan radikal asam lemak yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat hilangnya satu atom hydrogen, dengan reaksi sebagai berikut : ROOH + logam (n)+
ROO˙ + logam (n)+ + H+
X˙ + RH
R˙ + XH
Selanjutnya tahap propagasi yaitu radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil dengan reaksi sebagai berikut: R˙ + O2
ROO˙
ROO˙ + RH
ROOH + R˙
dan tahap terminasi yaitu radikal peroksil yang telah terbentuk kemudian menyerang asam lemak sehingga menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru, dengan reaksi sebagai berikut: ROO˙ + ROO˙
ROOR + O2
11
ROO˙ + R˙
ROO
R˙ + R˙
RR
Prekursor molekul untuk memulai proses ini umumnya berupa produk hidroperoksida (ROOH), maka oksidasi lemak merupakan rangkaian reaksi bercabang dengan berbagai efek yang memiliki potensi untuk merusak. Antioksidan bereaksi dengan radikal bebas melalui berbagai cara yaitu: 1) Pembersihan senyawa oksigen reaktif atau penurunan konsentrasinya secara lokal (eliminating oxygen); 2) Pembersihan ion logam katalitik (immobilizing catalysts or metal ions); 3) Pembersih radikal bebas yang berfungsi sebagai inisiator seperti hidroksil (OH˙); 4) Peroksil (ROO˙) dan alkoksil (RO˙) (terminating chain reaction); 4) Pemutus rantai dari rangkaian reaksi yang diinisiasi oleh radikal bebas dan peredam reaksi serta pembersih single oksigen (inhibiting radicalgenerating enzymes) (Gutteridge 1995; Kartikawati 1999). Pencegahan pembentukan radikal bebas yang reaktif dapat dilakukan antara lain dengan pemunahan zat awalnya yang berupa peroksida ataupun hasil metabolisme oksigen oleh enzim superoksida dismutase,nkatalase dan glutation peroksidase. Enzim ini dalam mengendalikan tahap awal radikal bebas yang terbentuk memerlukan bantuan meniral Mn, Cu, Zn dan Se. Pemunahan dapat pula melalui zat gizi yang berperan sebagai antioksidan. Zat gizi tersebut telah banyak diteliti diantaranya adalah vitamin E, A (β-karoten) dan vitamin C (Berry 1992). Pemunahan radikal bebas hanya dapat dilakukan bila tepat waktu, tepat tempat dan tepat dosis (Kartikawati 1999).
Vitamin C Istilah vitamin C pertama kali ditemukan, ketika orang mulai meneliti ilmu gizi pada 250 tahun yang lalu, disaat para dokter berusaha untuk menyembuhkan penyakit scurvy pada beberapa kelompok pelaut Inggris, mereka diberi beberapa bahan/zat yang berbeda-beda yaitu cuka, air laut, belerang dan jeruk atau lemon. Mereka yang diberi jeruk dapat sembuh dalam waktu yang singkat. Kemudian informasi ini digunakan oleh angkatan laut Inggris dan menganjurkan prajuritnya
12
mengkonsumsi jeruk setiap hari. Kemudian diberi nama vitamin asam askorbut yang artinya tanpa sariawan (Sizer & Whitney 2000). Vitamin C atau L-asam ascorbut merupakan antioksidan larut air dan menjadi bagian dari pertahanan tubuh pertama terhadap oksigan reaktif dalam plasma dan sel. Vitamin C ini memiliki formula (C6 H 8O6 ) dengan berat molekul (BM) sebesar 176.13. Dalam keadaan murni berbentuk kristal putih, mudah larut air, mudah teroksidasi dan secara reversibel membentuk asam dehidro-L-asam askorbut yang kehilangan dua atom hidrogen (Zakaria et al. 1996). Purwantaka et al. (2005) menyatakan bahwa vitamin C mampu menangkap radikal bebas hydroksil. Hal ini dikarenakan vitamin C memiliki gugus pendonor elektron berupa gugus enadiol seperti yang tertuang pada (Gambar 1).
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Struktur molekul Vitamin C dengan gugus enadiol. (a. Model), (b. Gugus vitamin C (ascorbic acid) sebelum teroksidasi) dan (c. Gugus kimia vitamin C (dehydroascorbic acid) teroksidasi (UK Food Standart Agency 2007). Gugus ini terletak pada atom C dan C . Adanya gugus ini memungkinkan 2
3
vitamin C mampu menangkap radikal hidroksil. Oleh karena itu perlu dicoba pengaruh vitamin C ini terhadap kemampuannya dalam menetralisir radikal bebas akibat asap rokok. Meskipun diketahui antioksidan ini bersifat baik, apabila jumlahnya berlebihan
dapat berbahaya bagi tubuh. Vitamin C yang berlebihan akan
berpotensi menjadi vitamin C radikal yang bersifat radikal bebas, sehingga glutation tidak cukup untuk menetralkannya. Selain itu, kelebihan vitamin C (sintetis) akan membuat ginjal bekerja semakin keras dan mengakibatkan terbentuknya batu ginjal, serta mampu mengubah keseimbangan basa dan mempengaruhi kerja vitamin E (Sizer & Whitney 2000).
13
Vitamin C merupakan laktosa dengan enam rantai karbon yang disintesis dari glukosa di dalam hati oleh sebagian mamalia selain manusia, karena manusia tidak memiliki enzym gulonolactone oxidase yang penting untuk sintesis asam ascorbut. Vitamin C mampu memberikan elektron dan mereduksi agen karena bentuk fisiologi dan biokimianya. Vitamin C menyumbangkan dua elektronnya dari rantai ganda antara dua dan tiga molekul karbon dari enam molekul karbon (Padayatty et al. 2003). Dijelaskan pula bahwa, vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan elektron yang didonorkan itu dapat mencegah terbentuknya senyawa lain dari proses oksidasi dengan melepaskan satu rantai karbon. Namun, Setelah memberikan elektron pada radikal bebas, vitamin C akan teroksidasi menjadi semidehydroascorbut acid atau radikal ascorbyl yang relatif stabil. Sifat inilah yang mungkin menjadikannya sebagai antioksidan atau dengan kata lain bahwa ascorbic acid dapat bereaksi dengan radikal bebas, reaksi tersebut dapat mereduksi radikal bebas yang reaktif menjadi tidak reaktif. Radikal bebas yang mengalami reduksi dari yang reaktif menjadi tidak reaktif disebut scavenger atau squencsing. Oleh karena itu ascorbic acid, baik untuk radikal bebas scavenger karena sifat kimianya. Radikal ascorbyl tidak dapat bertahan lama dengan elektron tunggalnya. Dengan kehilangan dua elektronnya radikal ascorbyl akan berubah menjadi bentuk dehydroascorbut acid yang berbeda secara struktural tapi bentuk yang dominan secara in-vivo, belum diketahui, seperti yang terlihat pada (Gambar 2c). Vitamin C dalam bentuk radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acid bertindak sebagai penetral dari berbagai jenis oksidan dalam sistem biologis termasuk oksigen, superoksida, radikal hydroksil, hypochlorous, reaktif nitrogen species, logam besi dan tembaga (Tolbert 1982; Padayatty et al. 2003). Vitamin C berfungsi sebagai antioksidan, dan juga memiliki fungsi lain yaitu menjaga dan memacu kesehatan pembuluh-pembuluh kapiler, kesehatan gigi dan gusi, membantu penyerapan zat besi dan dapat menghambat produksi natrosamin, satu zat pemicu kanker. Vitamin C mampu pula membuat jaringan penghubung tetap normal dan membantu penyembuhan luka serta meningkatkan respon imun (William 2004). Vitamin C juga diperlukan untuk melindungi molekul-molekul dalam tubuh seperti protein, lipid, karbohidrat dan asam nukleat
14
(DNA dan RNA) (Carr & Frei 1999). Selain itu juga vitamin C dapat berperan penting dalam produksi tiroksin yang merangsang laju metabolisme basal dan temperatur tubuh (Sizer & Whitney 2000). Menurut hasil penelitian Simon et al. (2003) individu dengan rendah vitamin C dalam darah akan mudah terinfeksi bakteri Heliobacter pylori yaitu bakteri yang menyebabkan tukak lambung dan meningkatkan resiko kanker usus. Kebutuhan individu akan vitamin C sangat bervariasi tergantung pada usia dari individu tersebut (Tabel 1). Tetapi kebutuhan akan vitamin C akan berubah bila kondisi
individu
berubah
akibat
penyakit,
misalnya
penderita
scurvy
membutuhkan 10 mg/hari, common cold (selesma) membutuhkan 250 mg/hari sedangkan penyakit yang diakibatkan oleh asap rokok terutama yang berhubungan dengan cairan darah membutuhkan lebih dari 400 mg/hari (Gokce et al. 1999). Tabel 1 Kebutuhan vitamin C menurut usia berdasarkan RDA (Recommended Dietary Allowance ) (Food and Nutrition Board 2000) Usia
Kebutuhan vit.C mg/hari
0-6 bulan
40 (AI)
7-12 bulan
50 (AI)
1-3 tahun
15 mg/hari
4-8 tahun
25 mg/hari
9-13 tahun
45 mg/hari
14-18 dan orang dewasa
75-90 mg/hari
Vitamin C dapat diperoleh dalam bentuk pil dan juga diperoleh secara alami dari makanan berupa buah dan sayuran. Vitamin C dalam bentuk pil sudah mengalami tiga generasi yaitu generasi pertama asam ascorbat, generasi kedua adalah vitamin C penyangga dan generasi ketiga adalah ester C generasi penyempurnaan dari generasi sebelumnya (Kumalaningsih 2007). Selain itu vitamin C juga banyak terdapat pada buah-buahan, salah satunya adalah mangga. Setiap 100 gr bagian mangga masak yang dapat dimakan memasok vitamin C sebanyak 41 mg. Mangga muda bahkan mengandung hingga 65 mg. Berarti, dengan mengkonsumsi mangga ranum 150 gram atau mangga golek 200 gr (1/2
15
buah ukuran kecil), kecukupan vitamin C yang dianjurkan untuk laki-laki dan perempuan dewasa per hari (masing-masing 60 mg) dapat terpenuhi. Secara teori dikatakan bahwa vitamin C berpengaruh negatif bila pemakaian lebih dari 100 mg per hari (2-3 gr per hari) dapat mengakibatkan batu ginjal, mengubah keseimbangan basa dan mengurangi kerja vitamin E. Mekanisme penyerapan vitamin C yang diteliti pada hewan percobaan seperti mencit, hamster dan tikus membutuhkan suatu sistem transport aktif. Vitamin C siap diabsorbsi jika jumlah yang masuk kecil, namun jika jumlah yang masuk berlebihan maka penyerapan lewat usus menjadi terbatas.
Hematologi Sistem sirkulasi merupakan sistem transport yang mengantarkan oksigen dan berbagai zat yang diabsorbsi dari traktus gastrointestinal menuju ke jaringan serta mengembalikan karbon dioksida ke paru dan hasil metabolisme lain menuju ginjal. Sistem ini juga berperan dalam pengaturan suhu tubuh dan mendistribusi hormon serta berbagai zat lain yang mengatur fungsi sel. Unsur seluler dari darah terdiri dari butir darah merah, butir darah putih dan trombosit yang tersuspensi di dalam plasma. Pada tikus mengandung 7.2-9.6 x 106/mm3 butir darah merah, 5-13 x 103/mm3 butir darah putih dan 15-18 g % hemoglobin (Purwanti 2005). a. Butir darah merah (BDM) Butir darah merah merupakan sel darah yang paling banyak jumlahnya. Butir darah merah mempunyai fungsi utama adalah untuk mentranspor hemoglobin selanjutnya membawa oksigen ke dalam sirkulasi. Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada mamalia, sel ini kehilangan intinya sebelum memasuki peredaran darah. Pada keadaan yang menyebabkan jumlah oksigen yang ditranspor ke jaringan berkurang biasanya meningkatkan kecepatan pembentukan sel darah merah (Guyton 1996). Produksi butir darah merah dikontrol oleh mekanisme umpan balik negatifyang sensitif terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui darah.
16
b. Butir darah putih (BDP) Tubuh mempunyai sistem pertahanan untuk melawan berbagai agen toksik dan infeksi yang dikenal dengan butir darah putih (leukosit). Butir darah putih yang terdapat dalam darah, meliputi neutrofil, limfosit (dalam jumlah besar) eosinofil, basofil dan monosit (dalam jumlah kecil). Proses pertahanan tersebut dilakukan dengan cara menghancurkan agen penyerang dengan proses fagositosis (neutrofil) dan membentuk antibodi (limfosit). Proses fagositosis dapat terjadi apabila: a) permukaan partikel kasar, memungkinkan peningkatan fagositosis; b) sebagian besar zat alamiah tubuh mempunyai muatan permukaan elektronegatif dan oleh karena itu menolak fagosit yang juga mempunyai muatan permukaan elektronegatif. Sebaliknya jaringan yang mati dan partikel-partikel
asing
mempunyai muatan elektropositif sehingga merupakan bahan untuk fagosit; c) tubuh mempunyai cara khusus untuk mengenali benda asing tertentu (fungsi sistem imun). Dalam keadaan terpapar rokok, jumlah butir darah putih mengalami peningkatan untuk mengfagosit benda asing, namun bila jumlahnya tidak terkontrol maka akan mengfagosit sel-sel yang sehat. c. Hemoglobin (Hb) Pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel darah merah hewan vertebrata adalah hemoglobin. Hemoglobin adalah suatu molekul yang berbentuk bulat yang terdiri empat sub unit. Setiap sub unit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derivat porfirin yang mengancung besi. Polipeptida itu secara kolektif sebagai bagian globin dari molekul hemoglobin (Guyton 1996). Hemoglobin
bertugas
mengikat
oksigen
untuk
membentuk
oksihemoglobin, yang kemudian beredar dalam tubuh untuk mencukupi keperluan oksigen tubuh. Pengikatan hemoglobin terhadap oksigen dapat dipengaruhi oleh PH, suhu, konsentrasi fosfogliserat dalam sel darah merah dan H+. Dalam hal ini H+ akan berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa Oksigen (hemoglobin terdeoksi), sehingga menurunkan afinitas hemoglobin terhadap O2 dengan menggeser posisi empat rantai peptida. Apabila darah terpajan
17
pada aneka macam obat dan agen-agen pengoksidasi lain, baik in vitro atau in vivo maka besi ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi besi ferri (Fe3+) membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna tua dan kalau jumlahnya besar dalam sirkulasi, methemoglobin menyebabkan perubahan warna kehitaman pada kulit. Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk karbon monoksihemoglobin. Afinitas hemoglobin untuk O2 jauh lebih rendah dari pada afinitasnya dengan CO2 sehingga dapat menurunkan kapasitas darah sebagai pengangkut O2. Dengan pemberian vitamin C dapat membantu pelepasan Fe2+ dari ferritin (Fe3+) (Ganong 2001). d. Hematokrit (PCV) Hematokrit adalah persentase darah berupa sel. Tahanan aliran darah tidak hanya ditentukan oleh radius pembuluh darah tapi juga oleh viskositas darah. Pada pembuluh darah besar, peningkatan hematokrit menyebabkan peningkatan yang cukup besar dari viskositas. Akan tetapi pembuluh darah yang kecil seperti arteriol, kapiler dan venula, viskositas berubah lebih sedikit per unit perubahan dalam hematokrit dibandingkan dengan pembuluh darah besar. Viskositas juga dipengaruhi oleh komposisi plasma dan daya tahan sel terhadap deformasi (Ganong 2001). Makin besar persentase sel dalam darah, maka makin besar hematokritnya sehingga makin banyak pergeseran diantara lapisan-lapisan darah dan pergeseran inilah yang menentukan viskositas. Peningkatan viskositas dapat mengakibatkan aliran darah melalui pembuluh sangat lambat.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan, Kampus Dramaga Institut Pertanian Bogor selama 6 bulan mulai dari bulan Desember 2008 sampai bulan Mei 2009.
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Hewan coba Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus L) strain Sprague-Dawley berumur delapan minggu dengan berat badan ± 200 gr, berasal dari bagian hewan percobaan FKH-IPB. 2. Rokok Rokok yang digunakan adalah rokok kretek (Gudang garam) dengan kandungan seperti yang terlihat dalam tabel 2. Tabel 2 Kandungan asap rokok kretek gudang garam menurut Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Jakarta Jenis Rokok Gudang Garam Merah
Kandungan (mg/batang) Nikotin
CO
Tar
Eugenol
2,76
16,66
45,77
14,70
Penetapan dosis ini ditentukan dengan melakukan percobaan pada 15 ekor tikus jantan yang dibagi menjadi tiga kelompok pemberian dosis yaitu delapan batang rokok per enam puluh menit/hari, enam batang rokok per enam puluh menit/hari dan empat batang rokok per enam puluh menit/hari, pemberian dilakukan selama enam minggu (tiga puluh hari). Hewan yang mati setiap hari dicatat sebagai tolak ukur untuk menentukan LD50. Hasil percobaan tersaji pada (Tabel 3). Pada percobaan ini, kematian tikus terjadi pada kelompok perlakuan pemaparan delapan dan enam batang rokok. Kematian terjadi pada minggu kedua, ketiga dan keempat pada dosis delapan batang rokok dan dosis enam batang rokok terjadi pada minggu ketiga, keempat dan
19
kelima. Untuk dosis empat batang rokok per enam puluh menit tidak terjadi kematian. Dari hasil tersebut diatas, ditetapkan bahwa pemberian empat batang rokok per enam puluh menit aman. Sehingga dosis pemaparan yang dipakai untuk penelitian selanjutnya adalah empat batang rokok per enam puluh menit/hari. Tabel 3 Jumlah tikus yang mati pada percobaan pendahuluan penentuan dosis pemaparan asap rokok Kelompok Pemaparan Letalitas minggu ke0
1
2
3
4
5
6
8 batang/60 menit/hari 0/5
0/5
1/5
3/5
4/5
4/5
4/5
6 batang/60 menit/hari 0/5
0/5
0/5
2/5
3/5
4/5
4/5
4 batang/60 menit/hari 0/5
0/5
0/5
0/5
0/5 0/5
0/5
Rokok :
Letalitas : Jumlah hewan yang mati/jumlah hewan uji. 3. Vitamin C Penetapan dosis ditentukan dengan melakukan percobaan pada lima belas ekor tikus jantan yang dibagi menjadi tiga kelompok pemberian dosis yang biasa digunakan oleh manusia. Adapun dosis tersebut adalah 1500 mg/kg bb/hari, 3000 mg/kg bb/hari dan 4500 mg/kg bb/hari, pemberian selama enam minggu. Sehingga konversi dosis vitamin C yang diberikan untuk tikus mengikuti tabel 3 diatas. Nilai konversi dosis diperoleh dengan rumus : Berat badan tikus (gr) / berat badan manusia (gr) x dosis vitamin C yang diberikan (Hariyatmi 2004). Tabel 4 Nilai konversi berat badan manusia ke berat badan tikus Dosis Manusia
Dosis Tikus
1500 mg/kg/bb/hari
4,27 mg/kg/bb/hari
3000 mg/kg/bb/hari
8,57 mg/kg/bb/hari
4500 mg/kg/bb/hari
12,85 mg/kg/bb/hari
Hasil yang didapatkan adalah jumlah hewan yang mati setiap hari dicatat sebagai tolak ukur untuk menentukan LD50 (Tabel 4). Pada percobaan ini tikus
20
yang mati adalah tikus yang diberi vitamin C dengan dosis 4500 mg/kg bb/hari untuk manusia atau 12,85 mg/kg bb/hari untuk tikus. Kematian tikus tersebut terjadi pada minggu ketiga dan keempat dengan feases berbentuk cairan. Dengan demikian dosis yang dianggap aman untuk digunakan pada penelitian ini adalah dosis 3000 mg/kg bb/hari untuk manusia atau 8,57 mg/kg bb/hari untuk tikus. Tabel 5 Jumlah tikus yang mati pada percobaan penentuan dosis vitamin C Kelompok tikus
Letalitas minggu ke0
1
2
3
4
5
6
Kontrol
0/5 0/5
0/5
0/5
0/5
0/5
0/5
Vit.C: 4,27 mg/kg/bb/hari
0/5 0/5
0/5
0/5
0/5
0/5
0/5
8,57 mg/kg/bb/hari
0/5 0/5
0/5
0/5
0/5
0/5
0/5
12,85 mg/kg/bb/hari
0/5 0/5
0/5
1/5
3/5
3/5
3/5
Letalitas : Jumlah hewan yang mati/jumlah hewan uji 4. Bahan yang digunakan untuk analisis enzim SOD dan MDA adalah : SOD murni (Sigma, USA), larutan cytochrom c (Sigma, USA), larutan xantin (Sigma, USA), larutan xantin oksidase (Sigma, USA), TBA, BHT dan bahanbahan kimia lainnya seperti buffer potasium fosfat, aquades dan khloroform/etanol serta bahan untuk mengukur hematologi seperti larutan hayem, larutan turk dan reagen drabkins. Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
d merupakan alat untuk Smoking chamber (Gambar 3). Smoking chamber d
memaparkan asap rokok pada hewan coba. Alat ini dirancang khusus dalam penelitian ini yang terbuat dari plastik dengan ukuran 38,5x28,5x22,5 cm yang dilengkapi dengan ventilasi, dua buah air pump, dua buah pipa plastik, tabung kecil berbentuk gelas, tabung oksigen, dan tempat pembakaran rokok.
21
B
A
F
b
G
E
D
C
a d c eg
f
Gambar 3 Skema dan seperangkat Smoking chamber. Keterangan gambar : a. Kotak plastik dengan ukuran 38,5x28,5x22,5 tempat tikus selama proses pemaparan asap rokok; b. Pipa plastik untuk mengalirkan asap rokok dari pembakaran rokok ke chamber; c. Tempat pembakaran rokok; d. Pipa plastik untuk mengalirkan udara ke tempat pembakaran rokok; e. air pump sebagai alat pemompa udara; f. Pipa plastik untuk mengalirkan oksigen dari tabung oksigen ke chamber; g. Tabung oksigen. Mekanisme kerja dari alat ini adalah rokok dibakar, setelah itu ditempatkan pada tempat pembakaran (c) secara terbalik, dimana batang rokok yang dibakar menghadap ke bawah dan batang rokok yang tidak terbakar menghadap ke atas dan ditempatkan tepat pada pipa plastik (b) yang terhubung langsung dengan Chamber, kemudian dengan menggunakan air pump (e) untuk mengalirkan udara agar terjadi pembakaran rokok dan mendorong asap rokok masuk ke dalam chamber (a) melalui pipa plastik yang dihubungkan dengan chamber (b). Pada saat asap rokok masuk ke dalam chamber, oksigen dialirkan dari tabung oksigen melalui pipa plastik yang dihubungkan dengan chamber (g) dengan tekanan 0,5 atmosfer. Bila satu batang rokok telah habis terbakar, dilanjutkan dengan rokok kedua hingga semua rokok habis terbakar. Peralatan lain yang juga digunakan dalm penelitian ini adalah sonde, spektrofotometer digital double beam (Hitachi U-2001), jarum suntik,
22
hemasitometer, mikroskop, seperangkat alat bedah, lumpang kecil, sentrifuse, inkubator dan hematokrit reader. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu tahap persiapan hewan coba, tahap perlakuan dan tahap analisis.
1. Tahap Persiapan Dua puluh lima ekor tikus yang telah diadaptasikan selama satu minggu ditempatkan pada kandang individual berukuran 34 x 25 x 12 cm yang beralas sekam padi dengan penutup kawat ram (Gambar 3). Tikus diberi makan dan minum ad libitum yang ditempatkan pada ruangan khusus dengan suhu 20-25 °C. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan dua hari sekali setiap pagi untuk setiap kandang. Hal ini dilakukan agar tikus selalu dalam kondisi bersih.
Gambar 4 Lingkungan kandang tikus.
2. Tahap perlakuan Setelah masa adaptasi, tikus tersebut dibagi menjadi lima kelompok yang terdiri dari lima ekor. Adapun kelompok tersebut adalah : 1. P0 : merupakan kelompok kontrol; kelompok yang tidak dipapar rokok dan tidak diberi vitamin C. 2. P1 : merupakan kelompok yang diberi vitamin C dan tidak dipapar asap rokok. 3. P2 : merupakan kelompok yang dipapar asap rokok dan tidak diberi vitamin C. 4. P3 : merupakan kelompok yang dipapar asap rokok dan diberi vitamin C secara bersamaan.
23
5. P4 : merupakan kelompok yang dipapar asap rokok dan diberi vitamin C secara tidak bersamaan. Setelah dibagi dalam lima kelompok perlakuan, tikus-tikus tersebut diberi perlakuan sesuai dengan rancangan, yaitu : a. Proses pemaparan Proses pemaparan dilakukan dalam smoking chamber. Tikus dalam kandang individu dipindahkan ke dalam smoking chamber, katup oksigen dibuka dengan tekanan 0,5 atmosfer kemudian rokok dipasangkan pada pipa yang dihubungkan dengan pompa, selanjutnya rokok dibakar dan pompa dinyalakan. Biarkan asap rokok masuk kedalam chamber hingga asap tersebut habis terhirup. Pemberian dosis asap rokok adalah satu batang rokok per lima belas menit selama enam puluh menit. Pemaparan dilakukan setiap pagi mulai dari pukul 07.00 sampai 08.00 untuk satu kelompok pemaparan selama tiga puluh hari. Perlakuan ini diberikan pada semua kelompok perlakuan, kecuali kelompok kontrol (P0) dan kelompok perlakuan vitamin C (P1) Proses pemaparan terlihat pada (Gambar 4).
(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Proses pemaparan dari awal hingga akhir. (a. Awal pemaparan) (b. Selama pemaparan), (c. Akhir pemaparan)
b. Proses pemberian vitamin C Proses pemberian vitamin C dengan cara pencekokan dengan menggunakan sonde. Vitamin C tersebut dilarutkan dalam 1 ml aquades. Dosis pemberian vitamin C adalah sebanyak 8,57 mg/kg bb/hari dan diberikan setiap pagi pada jam sembilan untuk kelompok perlakuan P1, satu
24
jam setelah pemaparan untuk kelompok perlakuan P3 dan tiga puluh hari setelah pemaparan asap rokok untuk kelompok perlakuan P4. Proses pemberian vitamin C terlihat pada (Gambar 5).
Gambar 6 Pemberian vitamin C secara oral. Diagram perlakuan proses pemaparan asap rokok, pemberian vitamin C dan waktu pengambilan sampel tertuang pada (Gambar 6). Hari Penelitian Perlakuan 1 ................... 30
31 ................. 60
61
P0 P1 P2
Ket. Pemberian vitamin C Pemaparan asap rokok Hari pengambilan sampel
P3 P4 Gambar 7 Proses pemaparan asap rokok, pemberian vitamin C dan waktu pengambilan sampel.
3. Tahap Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan pada hari sesuai yang telah ditetapkan pada gambar. Ada pun parameter yang diukur adalah : 1. Kinerja atau aktivitas antioksidan dari vitamin C yang meliputi : a. Kadar malondialdehida (MDA) b. Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD)
25
2. Hematologi (gambaran darah) yang meliputi : a. Jumlah butir darah merah (BDM) b. Jumlah butir darah putih (BDP) c. Jumlah hemoglobin (Hb) d. Jumlah hematokrit (PCV) Pada akhir percobaan tikus dikorbankan dengan menggunakan eter kemudian darahnya diambil secara intrakardial sebanyak 2 ml untuk pemeriksaan gambaran darah (hematologi). Pembedahan segera dilakukan untuk mengambil organ hati dan ginjal selanjutnya hati dan ginjal dicuci dengan garam fisiologis 0,1 % kemudian dibagi menjadi dua bagian. Satu bagian ditimbang dengan berat organ 0,6 gr lalu dibungkus dengan aluminium foil dan disimpan difreezer pada suhu -20 °C yang nantinya digunakan untuk analisis MDA. Dan satu bagiannya lagi ditimbang dengan berat organ 0,5 gr lalu digerus dengan menggunakan tumbukan dan lumpang kemudian ditambahkan larutan buffer fosfat 1 ml lalu disentrifuse dengan kecepatan 10000 rpm selama 20 menit, diambil lisatnya lalu disimpan pada suhu -20° C dan siap dianalisi enzim SODnya.
4. Tahapan Analisis a. Pengukuran kadar MDA (Malondialdehida) Hati dan Ginjal Tikus (Conti dan Sutherland 1991). 1. Persiapan larutan standar Larutan kerja 10 μM dibuat dengan mengencerkan stok standar 2,5 mM 1,1,3,3 tetraetoksipropana (TEP). Kurva standar dibuat dengan mengencerkan larutan standar hingga menghasilkan beberapa konsentrasi yaitu 500, 1000, 2000, 2500, 3000, 4000 dan 5000 pmol/50µL (Lampiran 17). 2. Pengukuran Kadar MDA Prinsip ini berdasarkan pada kemampuan pembentukan kompleks berwarna merah muda antara MDA dan asam tiobarbiurat (TBA). Hati dan ginjal yang telah disimpan dalam freezer -20ºC dicairkan terlebih dahulu sebelum dianalisis pada suhu ruang. Hati dan ginjal digerus dengan
26
menggunakan
lumpang
(digerus
dalam
keadaan
dingin),
dengan
ditambahkan 1,25 ml buffer fosfat yang mengandung 11,5 g/L kalium klorida dalam kondisi dingin pH 7,4 (disimpan pada suhu 5ºC). Campuran ini disentrifuse 4000 rpm selama 10 menit, diambil supernatan keruh dan disentrifuse lagi 4000 rpm selama 10 menit, sebanyak 1 ml supernatan jernih diambil dan ditambahkan 1 ml campuran larutan asam klorida dingin 0,25 N (2,23 ml asam klorida pekat/100 ml) yang mengandung 15 % asam trikloroasetat
(w/v);0,38
%
asam
tiobarbiurat
dan
0,5%
butilat
hidroksitoluen). Campuran larutan asam klorida dan supernatan tersebut dipanaskan 80ºC (inkubator) selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dengan air mengalir dan disentrifuse 3500 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentifuse tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm. MDA (μmol/g protein)= A(μmol/g) x 3,75 ml/0,6 g (bb) A= Kadar MDA yang diperoleh dari persamaan regresi kurva standar. b. Pengukuran aktivitas enzim SOD (Superoksida dismutase) Hati tikus (Chen et al. 1996). 1. Persiapan Larutan Standar Larutan standar dibuat dengan melarutkan SOD (Sigma, USA) murni sehingga menghasilkan beberapa konsentrasi larutan, yaitu 0, 50, 100, 200, 250, 300 dan 500 unit/ml H2O dan larutan ini digunakan untuk membuat kurva standar (Lampiran 18). 2. Pengukuran Aktivitas SOD Pengukuran
aktivitas
enzim
SOD
(Superoksida
dismutase),
ditentukan berdasarkan pengukuran enzim secara tidak langsung, dengan menggunakan spektrofotometer (Gambar 7). Untuk mengukur enzim ini dipakai sistem xantin/xantin (XO) yang menghasilkan anion superoksida (O2·) yang mereduksi ferrisitokrom c. Aktivitas enzim SOD diukur berdasarkan laju penghambatan reduksi ferrisitokrom c oleh anion superoksida yang dihasilkan oleh xantin/xantin oksidase. Oksidasi xantin menghasilkan asam urat dan anion
27
superoksida, yang selanjutnya mereduksi ferrisitokrom c. Reduksi ferrisitokrom c diamati berdasarkan kenaikan absorbansi pada panjang gelombang 550 nm. Reaksinya : Xantin + O2
XO
O2˙ + asam urat
O2· + sitokrom c (Fe3+) 2O2 + 2H+
O2 + sitokrom c SOD
H2O2 + O2
Gambar 8 Spectrofotometer digital double beam (Hitachi U-2001). Pengukuran aktivitas enzim ini berlangsung pada suhu 25 ºC, larutan oksidase harus tetap dalam keadaan dingin (didinginkan selama 15 menit) sebelum
digunakan.
Medium
reaksi
segera
dipersiapkan
sebelum
pengukuran dengan memasukan 2,9 ml larutan A (campuran larutan xantin dan larutan sitokrom c) ke dalam tabung reaksi 3 ml. Selanjutnya ditambahkan 50 μl larutan baku (kontrol) atau sampel/lisat lalu divorteks secara perlahan. Reaksi dimulai dengan larutan B (xantin oksidase) dan divorteks secara perlahan. Kemudian diamati perubahan absorbansi yang terjadi pada spektrofotometer. Untuk blanko digunakan buffer fosfat sebagai pengganti sampel dan sebagai kontrol digunakan air destilasi. Untuk mengambalikan ke konsentrasi awal yaitu dalam (gr) maka dikonversi dengan rumus : SOD (U/g) = A (µ/ml) x 0,67/0,5 g (bb) A= Aktivitas SOD yang diperoleh dari persamaan regresi kurva standar.
28
c. Pengukuran Hematologi a. Pengukuran jumlah butir darah merah dengan metode Cuonting chamberburker dan neubauer. Darah diambil dengan menggunakan pipet eritrosit yang telah dihubungkan dengan aspirometer sampai menunjukkan angka 0,5, kemudian ditambahkan larutan Hayem sampai menunjukkan angka 101 lalu dikocok dengan gerakan seperti angka delapan setelah itu sebagian cairan pada ujung pipet dibuang dan sebagian larutan diteteskan ke dalam kamar hitung, kemudian hitung butir darah merah pada kotak R. b. Pengukuran jumlah butir darah putih dengan metode Cuonting chamberburker dan neubauer. Untuk mengukur butir darah putih, prosedur kerjanya sama dengan mengukur butir darah merah, yang berbeda hanyalah pada larutan yaitu menggunakan larutan turk sebagai pengencer dan aspirometer menunjukkan angka 11 serta menghitungnya pada kotak W. c. Pengukuran jumlah Hb dengan metode Cyan-methemoglobin Untuk mengukur hemoglobin, digunakan reagen drabkins. Reagen drabkins dipipet sebanyak 5,0 ml dan masukkan kedalam tabung reaksi 1 dan 2, kemudian ditambahkan 0,02 ml darah ke tabung reaksi ke 2 dengan menggunakan pipet sahli atau pipet lain yang bervolume 0,02 ml, lalu dicampur dan dibiarkan selama 10 menit pada suhu kamar, agar terbentuk sianmethemoglobin, lalu dibaca transmittannya dengan spektrofotometer λ 540 nm. d. Pengukuran jumlah hematokrit dengan metode Microhematokrit.
Darah diambil dengan menggunakan mikrokapiler, yang ujung disumbat dengan crestaseal kemudian disentrifuse dengan kecepatan 11.500 – 15.000 rpm selama 5 menit. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur % volume eritrosit (lapisan yang berwarna merah), dan dibaca dengan hematokrit reader.
29
Analisis Data Rancangan
percobaan
yang
digunakan
dalam
penentuan
kadar
malondialdehida (MDA), aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD), jumlah butir darah merah, jumlah butir darah putih, jumlah hemoglobin dan jumlah hematokrit adalah rancangan acak lengkap. Hasil yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan apabila terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji Duncan. Model persamaan matematik dari percobaan ini adalah sebagai berikut : Yij =μ + Ti +∑ij (Mattjik & Sumertajaya 2006), dimana : I = Banyaknya perlakuan, J = Banyaknya ulangan dari setiap perlakuan, μ = Pengaruh rata-rata pengamatan, Ti = Pengaruh adanya perlakuan ke-I, ∑ ij= Random error dari percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Kadar Malondialdehida (MDA) pada Hati dan Ginjal Analisis kadar radikal bebas dalam penelitian ini dilakukan dengan mengukur kadar MDA hati dan ginjal tikus, karena MDA merupakan indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh. MDA merupakan produk oksidasi asam lemak tak jenuh yang dapat dihasilkan melalui oksidasi oleh senyawa radikal dan juga sebagai perantara dari biosintesis prostaglandin. MDA dalam materi biologi telah digunakan secara luas sebagai indikator kerusakan oksidatif, terutama dari asam lemak tak jenuh (Nabet 1996 ; Prasetyawati 2003). Hasil analisis MDA pada hati dan ginjal tikus dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 8 dan lampiran 1 serta 2, menunjukkan rata-rata kadar MDA hati dan ginjal tertinggi adalah kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok kontrol (P0) baik pada hati maupun ginjal. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap kadar MDA pada hati dan ginjal tikus (p<0,05) (Lampiran 3). 35 000 30000 Kadar MDA (U/g)
c 25 000
bc a
a
20 000
ab Kadar MDA pada Hati
15 00 0
Kadar MDA pada Ginjal
c
10 00 0 5000
c a
b
ab
0 P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 9 Kadar malondialdehida (MDA) hati dan ginjal tikus pada semua perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok hewan yang hanya mendapat perlakuan pemaparan asap rokok (P2) memiliki nilai MDA yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Peningkatan nilai MDA pada
31
kelompok (P2) ini menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dapat meningkatkan radikal bebas dan ini mengindikasikan terjadinya stres lingkungan. Pemberian vitamin C dengan dosis 8.57 mg/kg bb/hari pada hewan percobaan (P1) tidak menunjukkan kondisi stres. Hal ini terlihat dari kadar MDA kelompok tersebut baik pada hati maupun ginjal tidak memberikan nilai yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P0). Lebih lanjut terlihat bahwa pemberian vitamin C dapat mempengaruhi jumlah radikal bebas yang ada dalam tubuh, hal ini terlihat pada kelompok P3 dan P4. Namun demikian efektivitas pemberian vitamin C lebih baik diberikan bersamaan dengan waktu pemaparan yaitu pada kelompok P3, dimana konsentrasi MDA pada kelompok ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok P2. Sedangkan pemberian vitamin C setelah selesai dilakukan pemaparan (P4) menunjukkan konsentrasi MDA yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok P2 tetapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P3. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian vitamin C saat terjadi stres asap rokok dan setelah terjadi stres asap rokok selama tiga puluh hari belum mampu menurunkan kadar MDA mendekati kelompok kontrol maupun kelompok yang diberi vitamin C (P0 dan P1). Penurunan kadar MDA pada hati dan ginjal tikus dari kelompok pemberian vitamin C terjadi karena pada vitamin C memiliki gugus pendonor elektron berupa gugus enadiol yang terletak pada atom C2 dan C3. Gugus enadiol ini dapat menghambat proses terjadinya peroksidasi lemak pada tahap inisiasi, sehingga radikal bebas tidak dapat berkembang membentuk radikal bebas yang baru. Vitamin C juga dapat bersifat scavenger yang bereaksi dengan radikal bebas, dengan cara mereduksi radikal bebas yang reaktif menjadi tidak reaktif. Radikal bebas yang tidak segera dinetralkan maka akan terbentuk rantai radikal bebas yang panjang sehingga sulit dinetralkan. Kadar MDA pada hati menunjukkan nilai yang rendah, bila dibandingkan dengan yang ada pada ginjal karena hati mempunyai kandungan antioksidan seluler lebih banyak dibandingkan ginjal dan merupakan tempat metabolisme berbagai zat makanan dan bukan sebagai tempat pembuangan zat sisa metabolisme. Vitamin C, selain mempunyai kemampuan untuk mendonorkan elektron pada radikal bebas, juga dapat menstimulir pengambilan Cu (tembaga)
32
yang terikat pada seruloplasmin sehingga Cu-ZnSOD juga meningkat. Dengan demikian maka enzim antioksidan pada hati lebih banyak yang ditunjukkan dengan rendahnya kadar MDA. Sebaliknya pada ginjal menunjukkan nilai MDA tampak lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang ada pada hati. Hal ini disebabkan karena ginjal mempunyai kadar enzim antioksidan seluler lebih sedikit dibandingkan dengan kadar antioksidan seluler pada hati. Ginjal merupakan organ tubuh yang paling rentan terhadap pengaruh zat toksik, yang menerima 25-30 % sirkulasi darah untuk dibersihkan sehingga sebagai organ ekskresi zat-zat sisa metabolisme maka pemakaian antioksidan seluler pun semakin banyak yang menyebabkan tidak adanya keseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan, ditunjukkan dengan tingginya kadar MDA. Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa terpapar asap rokok merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan stres oksidatif yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar MDA yang berarti pula meningkatnya radikal bebas. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Wresdiyati & Makita (1995) yang menyatakan bahwa stres oksidatif dapat meningkatkan jumlah peroksisom, sebagai akibatnya produksi radikal bebas juga meningkat sebagai hasil samping oksidasi tersebut.
Pengukuran Aktivitas Enzim Superoksida Dismutase (SOD) pada Hati dan Ginjal Superoksida dismutase merupakan enzim yang berada pada cairan intraseluler yang berpartisipasi pada proses degradasi senyawa radikal bebas intraseluler, seperti anion superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Enzim ini menghambat kehadiran simultan dari anion superoksida dan hirdogen peroksida yang berasal dari pembentukan radikal hidroksil. Analisis aktivitas enzim SOD hati dan ginjal tikus yang mengalami perlakuan stres dengan dipapar asap rokok ditentukan berdasarkan pengukuran enzim secara tidak langsung dengan menggunakan metode spektrofotometri. Untuk menganalisis enzim ini digunakan xanti/xantin oksidase (XO) yang menghasilkan anion superoksida (O2˙). Superoksida akan mereduksi ferrisitokrom c.
33
Hasil analisis aktivitas enzim SOD pada hati dan ginjal tikus dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 9 dan lampiran 4 serta 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata aktivitas enzim SOD tertinggi terlihat pada kelompok kontrol (P0) dan terendah terlihat pada kelompok yang dipapar asap rokok (P2) baik pada hati maupun ginjal. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan yang dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap aktivitas SOD pada hati dan ginjal tikus (p<0,05) (Lampiran 6). Penurunan aktivitas enzim SOD pada kelompok P2 ini menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok mengakibatkan peningkatan pemakaian enzim tersebut untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk akibat pemaparan rokok, sehingga enzim SOD yang tersedia menjadi rendah. Inilah yang dibaca sebagai aktivitas enzim SOD. Pada kelompok kontrol (P0) mempunyai aktivitas enzim SOD yang paling tinggi dari semua kelompok. Hal ini disebabkan karena pada kelompok tersebut tidak mengalami perlakuan stres yang dapat memicu produksi radikal bebas, sehingga pamakaian enzim tersebut juga rendah.
Aktivitas enzim SOD (U/g)
600 500
c c
400
bc bc
b
300
bc a
200
Aktivitas SOD pada Hati
a ab
Aktivitas SOD pada Ginjal
a 100 0 P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 10 Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati dan ginjal tikus pada semua perlakuan. Pemberian vitamin C dengan dosis 8.57 mg/kg bb/hari pada hewan percobaan P1 tidak menunjukkan pemakaian enzim SOD yang tinggi. Hal ini terlihat dari tingginya aktivitas enzim tersebut baik pada hati maupun ginjal dan tidak memberikan nilai yang berbeda nyata dengan kelompok kontrol (P0). Lebih lanjut terlihat bahwa pemberian vitamin C ternyata dapat membantu kinerja enzim
34
SOD untuk menetralisir radikal bebas sehingga pemakian enzim tersebut tidak terlalu tinggi seperti yang terlihat pada kelompok P3 dan P4. Namun demikian, efektivitas pemberian vitamin C lebih baik diberikan secara bersamaan dengan waktu pemaparan yaitu pada kelompok P3, dimana aktivitas enzim SOD lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok P2 dan P4. Sedangkan pemberian vitamin C setelah selesai pemaparan (P4) menunjukkan aktivitas enzim tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan P2. Hal ini disebabkan karena vitamin C yang memiliki gugus enadiol pada atom C2 dan C3 berfungsi sebagai pendonor elektron sehingga radikal bebas tidak dapat terbentuk dan mengurangi pemakian enzim antioksidan seluler seperti SOD. Radikal bebas yang terbentuk dari reaksi fenton yaitu reaksi yang melibatkan logam fe2+ (ferro) dan fe3+ (ferri) dapat ditangkap oleh vitamin C sebelum sempat bereaksi (Purwantaka et al. 2005). Dengan memberikan elektronnya maka vitamin C akan tereduksi menjadi dehydroascorbic acid yang relatif stabil. Pembentuk radikal bebas dari asap rokok terdapat dalam dua fase yaitu fase gas yang berupa nitrit oksida (NO) dan nitrit peroksida (NO2 ) dan fase tar berupa quinone, semiquinone dan hydroquinone (Trabel et al. 2000). Kedua fase pembentuk radikal bebas ini apabila bereaksi dengan logam transisi seperti Fe dan Cu maka akan menghasilkan radikal bebas superoksida, hydrogen peroksida yang selanjutnya membentuk radikal hydroksil. Pemakaian enzim SOD yang terlalu besar untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk secara terus-menerus, akan menurunkan aktivitas enzim tersebut. Pemakaian enzim SOD pada hati lebih rendah bila dibandingkan dengan pemakaian pada ginjal yang ditunjukkan dengan tingginya aktivitas enzim tersebut. Hal ini disebabkan karena hati merupakan organ terbesar yang sangat penting untuk pertahanan hidup dan berperan hampir dalam setiap fungsi metabolik tubuh. Fungsi hati antara lain untuk pembentukan dan ekskresi empedu, disamping menghasilkan energi dan tenaga, hati memiliki peranan penting pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak, selain itu juga berperan dalam pertahanan tubuh, baik berupa detoksifikasi maupun fungsi perlindungan. Detoksifikasi dilakukan dengan berbagai proses yang dilakukan oleh enzim-enzim
35
di hati terhadap zat-zat beracun. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer yang berada dalam dinding sinusoid (Price & Wilson 2006). Dengan adanya enzim-enzim antioksidan dan sel kupffer serta antioksidan dari luar tubuh, membuat hati mampu menurunkan kadar malondialdehida dan mempertahankan enzim antioksidan dalam hati. Aktivitas SOD (U/g) bervariasi pada beberapa organ tikus, terdapat dalam jumlah tertinggi dalam hati, kemudian berturut-turut dalam kelenjar adrenalin, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak, paru-paru, lambung usus, ovarium, timus dan lemak (Chow 1988; Kartikawati 1999). Sebaliknya pada ginjal menunjukkan pemakaian enzim SOD yang tinggi bila dibandingkan dengan pemakaian pada hati yang ditunjukkan dengan rendahnya aktivitas enzim tersebut. Hal ini disebabkan karena ginjal merupakan suatu sistem filtrasi alami tubuh yang mempunyai beberapa fungsi utama yaitu menyaring produk hasil metabolisme yang tidak berguna bagi tubuh, menjaga keseimbangan cairan tubuh dan mempertahankan pH cairan tubuh. Dalam menjalankan fungsinya banyak kondisi yang dapat mempengaruhi fungsi kerja ginjal baik secara akut maupun secara kronis (Wahyuningsih & Bijanti 2006). Ginjal merupakan organ yang kompak, terikat pada dinding dorsal dan terletak retroperitoneal. Ginjal menghasilkan urine yang merupakan jalur utama ekskresi toksikan, mempunyai volume aliran darah yang tinggi, mengkonsentrasi toksikan pada filtrat, dan membawa toksikan melalui sel tubulus, serta mengaktifkan toksikan tertentu. Akibatnya ginjal merupakan organ sasaran utama dari efek toksik (Lu 1995; Santoso 2006). Karena fungsinya yang begitu berat, sehingga penggunaan enzim antioksidan intraseluler pun semakin banyak, yang mengakibatkan aktivitas enzim tersebut makin berkurang. Pengukuran Hematologi Darah vertebrata merupakan suatu jaringan ikat yang terdiri atas beberapa jenis sel yang tersuspensi dalam suatu matriks cairan yang disebut plasma. Dalam plasma terdapat sel darah merah yang mengangkut oksigen dan sel darah putih yang berfungsi dalam pertahanan tubuh. Sistem sirkulasi merupakan sistem transpor yang mengantarkan O2 dan berbagai zat yang diabsorbsi dari traktus
36
gastrointestinal menuju ke jaringan, serta mengembalikan CO2 ke paru-paru dan hasil metabolisme lain menuju ke ginjal.
1. Pengukuran Butir Darah Merah (BDM) Hasil pengukuran butir darah merah dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah BDM tertinggi adalah kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok kontrol (P0). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap jumlah BDM tikus (p<0,05) (Lampiran 8). Lebih lanjut terlihat bahwa pemaparan asap rokok mempengaruhi jumlah BDM pada semua kelompok yang terpapar asap rokok (P2, P3 dan P4) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P0 dan P1). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin C belum mampu menurunkan
Jumlah (Juta/mm 3)
jumlah BDM seperti keadaan normal. 9
8,68
8
b
7
6,32
6 5
6,78
7,38
bc
a
ab
P0
P1
7,73
c
4 3 2 1 0 P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 11 Jumlah butir darah merah pada semua kelompok perlakuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok hewan yang mendapat perlakuan pemaparan asap rokok (P2) memiliki jumlah BDM yang paling tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya. Peningkatan BDM pada kelompok P2 ini
37
menunjukkan bahwa pemaparan asap rokok dapat meningkatkan BDM dan ini mengindikasikan bahwa terjadinya stres lingkungan. Pemaparan asap rokok dengan dosis empat batang rokok per enam puluh menit per hari pada hewan percobaan kelompok (P2) menunjukkan kondisi stres, hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah BDM kelompok tersebut memberikan nilai yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan kelompok (P0). Lebih lanjut terlihat bahwa pemaparan asap rokok dapat mempengaruhi jumlah BDM yang ada dalam tubuh, hal ini terlihat pada kelompok (P4). Namun demikian pemberian vitamin C ini belum mampu menurunkan jumlah BDM mendekati kelompok (P0 dan P1). Sel darah merah (eritrosit) mempunyai fungsi utama adalah untuk mentranspor hemoglobin, selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan. Pada keadaan yang menyebabkan jumlah oksigen yang ditranspor ke jaringan berkurang misalnya dengan pemberian asap rokok maka pembentukan sel darah merah juga semakin meningkat sehingga proses pengambilan oksigen juga semakin banyak. Produksi sel darah merah dikontrol oleh mekanisme umpan balik negatif yang sensitif terhadap jumlah oksigen yang mencapai jaringan melalui darah. Retikulosit merupakan indikator dari sel darah merah
yang
mengalami lisis, terbentuknya retikulosit mengindikasikan bahwa tubuh harus membentuk butir darah merah yang baru.
2. Jumlah Butir Darah Putih (BDP) Hasil pengukuran BDP dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 11 dan menunjukkan rata-rata jumlah BDP tertinggi adalah kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok kontrol (P0). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok (P2) berpengaruh nyata terhadap jumlah BDP dibandingkan dengan kelompok lain (p<0,05) (Lampiran 8). Meningkatnya BDP pada kelompok P2 dapat dimengerti karena kelompok ini mengalami pemaparan asap rokok selama tiga puluh hari. Asap rokok yang terhirup oleh hewan coba akan masuk saluran pencernaan bersama mengalirnya asap rokok, tar yang merupakan hasil dari pembakaran rokok akan terbawa masuk dan akan melapisi dinding alveoli di dalam paru-paru. Peningkatan tar di dalam
38
saluran pernapasan ini diduga memicu pembentukan BDP yang akan berfungsi
Jumlah (Ribu/mm 3)
untuk menghilangkan tar tersebut. 20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18,49 14,70 11,11
c
b
ab
a
P0
P1
14,03 12,51
P2
P3
b
P4
Perlakuan
Gambar 12 Jumlah butir darah putih pada semua kelompok perlakuan. Pada kelompok hewan yang dipapar asap rokok dan diberi vitamin C, terlihat bahwa jumlah BDP lebih rendah bila dibandingkan kelompok P2. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin C dapat berfungsi juga dalam meniadakan pemicu peningkatan BDP sebagai akibat pemaparan rokok.
3. Jumlah Hemoglobin (Hb) Hasil pengukuran Hb dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 12 dan menunjukkan rata-rata jumlah Hb tertinggi terlihat pada kelompok kontrol (P0) dan terendah terlihat pada kelompok yang dipapar asap rokok (P2). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok hewan yang mendapat perlakuan pemaparan asap rokok (P2, P3 dan P4) memiliki jumlah Hb yang rendah bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (P0 dan P1). Namun demikian pada kelompok terpapar asap rokok dan diberi vitamin C terlihat memiliki nilai Hb yang lebih besar dari kelompok terpapar tanpa pemberian vitamin C. Walaupun tidak memberikan beda nyata secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa vitamin C memiliki kecendrungan dapat mempertahankan homeostatis tubuh dalam mengatasi ketidaknyamanan akibat pemaparan asap rokok. Namun demikian upaya tersebut belum maksimal seperti pada kelompok kontrol.
39
20
18,56
18
Jumlah (g %)
16 14
16,57 14,85
c
13,39
bc
12
ab
a
10
13,80
a
8 6 4 2 0 P0
P1
P2 Perlakuan
P3
P4
Gambar 13 Jumlah hemoglobin pada semua kelompok perlakuan.
Hemoglobin
bertugas
mengikat
oksigen
untuk
membentuk
oksihemoglobin, yang kemudian beredar dalam tubuh untuk mencukupi keperluan oksigen tubuh. Pengikatan hemoglobin terhadap oksigen dapat dipengaruhi oleh PH, suhu, konsentrasi fosfogliserat dalam sel darah merah dan H+. Dalam hal ini H+ akan berkompetisi dengan oksigen untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa Oksigen (hemoglobin terdeoksi), sehingga menurunkan afinitas hemoglobin terhadap O2 dengan menggeser posisi empat rantai peptida. Apabila darah terpajan pada aneka macam obat dan agen-agen pengoksidasi lain, baik in vitro atau in vivo maka besi ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi besi ferri (Fe3+) membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna tua dan kalau jumlahnya besar dalam sirkulasi, methemoglobin menyebabkan perubahan warna kehitaman pada kulit. Karbon monoksida bereaksi dengan hemoglobin membentuk karbon monoksihemoglobin. Afinitas hemoglobin untuk O2 jauh lebih rendah dari pada afinitasnya dengan CO2 sehingga dapat menurunkan kapasitas darah sebagai pengangkut O2. Dengan pemberian vitamin C dapat membantu pelepasan Fe2+ dari ferritin (Fe3+) (Ganong 2001).
4. Jumlah Hematokrit (PCV) Hasil pengukuran PCV dari kelima kelompok perlakuan disajikan pada gambar 13 dan menunjukkan rata-rata jumlah PCV tertinggi terlihat pada kelompok yang dipapar asap rokok (P2) dan terendah terlihat pada kelompok
40
kontrol (P0). Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan dipapar asap rokok (P2) berpengaruh nyata terhadap kelompok kontrol (P0 dan P1) serta kelompok terpapar asap rokok yang diberi vitamin C (p<0,05) (Lampiran 8). 60
51,13 Jumlah (%)
50 40 30
39,1
a
43,3
39,65
c
a
b
44,52
b
20 10 0 P0
P1
P2
P3
P4
Perlakuan
Gambar 14 Jumlah hematokrit pada semua kelompok perlakuan. Hematokrit darah merupakan persentase darah yang berupa sel. Makin besar persentase sel dalam darah, maka makin besar hamatokritnya sehingga makin banyak pergeseran diantara lapisan-lapisan darah dan pergeseran inilah yang menentukan viskositas. Viskositas dalam darah akan meningkat ketika hemotokrit meningkat yang mengakibatkan aliran darah melalui pembuluh sangat lambat (Guyton 1996). Pola dan nilai yang didapat dari penelitian ini terlihat sejalan dengan peningkatan BDM. Pemaparan asap rokok akan meningkatkan jumlah BDM sehingga nilai PCV juga meningkat. Hadirnya vitamin C ternyata tidak menimbulkan perangsangan pembentukan BDM sebesar kelompok P2 sehingga vitamin C diduga dapat membantu menjaga komponen darah tetap dalam keadaan normal akibat pemaparan asap rokok.
41
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan. Pemberian vitamin C dapat mengeliminaasi radikal bebas pada tikus yang dipapar asap rokok, yang ditunjukkan dengan menurunnya kadar malondialdehida (MDA) dan meningkatkan kadar enzim superoksida dismutase (SOD) baik pada organ hati maupun organ ginjal. Selain itu vitamin C juga dapat mempertahankan gambaran darah (BDM, BDP, Hb dan PCV) mendekati normal. Efek vitamin C yang paling baik terlihat pada pemberian secara bersamaan dengan pemaparan asap rokok.
Saran. Dari penelitian ini dapat disarankan perlunya penelitian lebih lanjut tentang efek antioksidan vitamin C pada anak tikus yang induknya dipapar asap rokok dengan dosis vitamin C yang lebih tinggi, namun masih berada pada batas aman.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Vitamin C Risk Assessment. UK Food Standards Agency. Anonim. 2000. Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. Vitamin C. Dietary Reference Intakes for Vitamin C, Vitamin E, Selenium, and Carotenoids. Washington D.C.: National Academy Press. 95-185. Araujo V et al. 1998. Oxidant-antioxidant imbalance in blood of children with juvenile rheumatoid arthritis. Bio Factor. 8:155-159. Berry, Elliot M. 1992. The Effects of nutrients on lipoprotein susceptibility to oxidation. Current Opinion in Lipidology. 3: 5-11. Carr AC, Frei B. 1999. Toward a new recommended dietary allowance for vitamin C based on antioxidant and health effects in humans. J Clin Nutr 69:1086-1107. Chen HM, Muratomo K, Yamauchi F. 1996. Structural analysis of antioxidative peptides from sotbean β-Conglicinin. J. Agria. Food Chem 43:574-578. Chow CK. 1988. Cellular antioxidant defense mechanisme. Vol 3. CRC Press, Inc. Boca Raton. Florida. Conti M, MD Sutherland. 1991. Improve flurometric determination of malonaldehyde. J Clin Chem. 37:1273-1275. Church DF, Pryor W. 1985. Free radical of cigerette smoke and its toxicolocal implications. J. Environm Health Perspect. 64: 111-126. Droge W. 2002. Free radical in the physiological control of cell function. Physiol Rev. 82;47-95. Ganong F.2001. Buku Teks Fisiologi Kedokteran. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Gitawati R.1995. Radikal bebas, sifat dan peran dalam menimbulkan kerusakan/kematian sel. Cermin Dunia Kedokteran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Jakarta. 102:33-36. Gokce N, Keaney JF, Jr., Frei B et al. 1999. Long-term ascorbic acid administration reverses endothelial vasomotor dysfunction in patients with coronary artery disease. PudMed Circulation. 99:3234-3240. Gutteridge JMC. 1995. Lipid peroxidation and antioxidants as a biomarker of tissue damage. Clin. Chem. 41:1819-1827. Guyton AC 1996. Buku teks Fisiologi Kedokteran. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Halliwel B, Gutteridge JMC, EC. Cross. 1992. Free radicals, antoxidants and human deseases: where are we now? J. Lab. Clin. Med. 119:598-613.
43
Hanim D. 1996. Pengaruh vitamin E terhadap organ hati dan uterus tikus putih (Rattus norvegicus) betina yang diberi perlakuan natrium sakarin dan natrium Siklamat. (Disertasi). Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hariyatmi. 2004. Kemampuan vitamin E sebagai antioksidan terhadap radikal bebas pada lanjut usia.J MIPA. 14:52-60. Higdon J. 2006. Vitamin C. Linus Pauling Institute. Oregon State University. Kartikawati D. 1999. Studi efek protektif vitamin C dan E terhadap respon imun dan enzim antioksidan pada mencit yang dipapar paraquat. (Disertasi). Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 1999. Kritz H, Schmid P, Sinzinger H. 1995. Passive smoking and cardiovascular risk. Arch Intern Med Rev 155:1942-1948. Kumalaningsih S. 2007 Antioksidan, sumber dan manfaat. Artikel Antioksidan Center. Kusumawati D, IKW. Sardjana. 2006. Perbandingan pemberian cat food dan pindang terhadap pH urin, albuminuria, dan bilirubin kucing. MKH. 22 : 131-135. Lu F C. 1995. Toksikologi Dasar; Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi 2, UI Press, Jakarta. Nabet FB. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan dalam sistem biologis. Didalam : Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan : Reaksi Biomolokuler, Dampak Terhadap Kesehatan dan Penangkalan. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Perancis, Jakarta. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Ed ke-3. Bogor: IPB Press.
Padayatty SJ et al. 2003. Vitamin C as an antioxidant :evaluation of its role in disease prevention. Journal of the America College of Nutrition. 22:18-35. Prasetyawati RC. 2003. Evaluasi daya antioksidatif oleoresin jahe (Zingiber offisinale) terhadap aktivitas superoksida dismutase (SOD) hati tikus yang mengalami perlakuan stres. (Tesis). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke6. EGC. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Purwantaka et al. 2005. Validasi metode deoksiribosa sebagai uji penangkapan radikal bebas hydroksil oleh vitamin C secara in-vitro. Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Purwanti E. 2005. Pengaruh pemberian boraks secara oral terhadap darah dan struktur mikroanatomi ginjal pada Rattus sp. J Kes. Kep. 1: 10-12.
44
Santoso H.B 2006. Efek doksisiklin selama masa organogenesis pada struktur histologi organ hati dan ginjal fetus mencit. J Boiscientiae. 3:15-27. Universitas Lampung Mangkurat. Sauriasari R. 2006. Mengenal dan menangkal radikal bebas. Artikel Iptek – Bidang Biologi Pangan dan Kesehatan. Shahidi F. 1997. Natural antioxidant, chemistry, health effect and application, AOCS. Press Champaign, Illinois. pp.: 1 – 23. Sizer F, Whitney E. 2000. Nutrition Concept and Controversies. Thomson Learning Library of Congres Cataloging. Simon JA et al. 2003. Relation of serum ascorbic acid to helicobacter pylori serology in US adults: the Third National Health and Nutrition Examination Survey. J Am Coll Nutr 22:283-289 Suryohudoyo P. 1995. Oksidan, antioksidan dan radikal bebas. Dalam Kongres Nasional IV Himpunan Kimia Klinik Indonesia, Surabaya. Susanna et al. 2003. Penentuan kadar nikotin dalam asap rokok. Jurnal Kesehatan Lingkungan 2: 272-274. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. Suyatna D.F. 1989. Radiakal bebas dan iskemia. Cermin Dunia Kedokteran. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran UI Jakarta. 57: 25-28. Tolbert BM, Ward JB. 1982. Dehydroascorbic acid. in seib PA, Tolbert BM (eds): “Ascorbic acid: chemistry, metabolism, and uses.” Washington, DC: American Chemical Society, pp 101–123. Traber M.G et al. 2000. Tobacco related disease is a role for antioxidant micronutrient Suplementation J Science-Direct 21:173-187. Wahyuningsih RS, Bijanti R. 2006. Uji efek formula pakan komplit terhadap fungsi hati dan ginjal pedet sapi Friesian Holstein (Media kedokteran Hewan). 22:174-179.
Weber C, Jakobsen TS, Mortensen SA et al. 1994. Antioxidative effect of dietary coenzyme Q10 in human blood plasma. Int J Vitam Nutr Res. 64:311-315. Widodo E. 2006. Pajanan asap rokok kretek pada tikus putih sebagai model untuk manusia (Disertasi). Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. William R.J. 2004. The cure of heart disease. J Gale Group. 21:32-34 Wresdiyati T, Makita T. 1995. Remarkable increase of peroxisomes in the renal tubule cells of Japanese monkeys under fasting stress. Pathophysiol 2:177182. World Health Organisation. 2000. Global youth tobacco survey. Bulletin.78:868876. Zakaria F.R et al. 1996. Peranan zat gizi dalam sistem kekebalan tubuh (The role of nitrienst in immune system). Bul Tekn Industri Pangan. 7: 75-81.
Lampiran 1 Kadar malondialdehida (MDA) hati tikus jantan pada semua perlakuan Perlakuan (P0) Kontrol
(P1) Vitamin C
(P2) Papar rokok
(P3) Papar rokok dan Vit.C Secara bersamaan (P4) Papar rokok lalu Vit.C
Kadar MDA (U/ml)
Kadar MDA (U/g bb)
0,059 0,047 0,053 0,045
1086,05 835,42 960,72 793,65
6787,80 5221,39 6004,59 4960,32
5 1 2 3 4
0,064 0,082 0,059 0,067 0,058
1190,48 1566,42 1086,05 1253,13 1065,16
7440,48 9790,10 6787,80 7832,08 6657,27
5 1 2 3 4
0,069 0,099 0,113 0,128 0,123
1294,90 1921,47 2213,87 2527,15 2422,72
8093,15 12009,19 13836,68 15794,70 15142,02
5 1 2 3 4
0,110 0,055 0,082 0,075 0,079
2151,21 1002,15 1566,42 1420,22 1503,76
13445,07 6265,66 9790,10 8876,36 9398,50
5 1 2 3 4 5
0,063 0,099 0,116 0,110 0,085 0,107
1169,59 1921,47 2276,52 2151,21 1629,07 2088,55
7309,94 12009,19 14228,28 13445,07 10181,70 13053,47
Ulangan
Absorbansi
1 2 3 4
Rata-rata U/g bb 6,08 .103 ± 1,04 .103
7,83 .103 ± 1,26 .103
14,04 .103 ± 1,48 .103
8,32 .103 ± 1,48 .103
12,58 .103 ± 1,56 .103
46
Lampiran 2 Kadar malonaldehida (MDA) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan
Ulangan
Absorbansi
Kadar MDA (U/ml)
1 2 3 4
0,181 0,212 0,187 0,198
3634,09 4281,54 3759.40 3989,14
22713,03 26759,61 23496,24 24932,12
(P1) Vitamin C
5 1 2 3 4
0,189 0,185 0,165 0,221 0,192
3801,17 3717,63 3299,92 4469,51 3863,83
23757,31 23235,17 20624,48 27934,42 24148,91
(P2) Papar rokok
5 1 2 3 4
0,217 0,246 0,272 0,265 0,226
4385,96 4991,65 5534,67 5242,27 4573,93
27412,28 31197,79 34591,69 32764,20 28587.09
5 1 2 3 4
0,275 0,209 0,195 0,203 0,22
5597,33 4218,88 3926,48 4093,57 4448,62
34983,09 26368,00 24540,52 25584,80 27803,88
5 1 2 3 4
0,174 0,029 0,176 0,267 0,225
3487,89 4657,48 3528,66 5430,24 4553,05
21799,29 29109,23 22060,36 33939,01 28456,56
5
0,241
4887,22
30545,11
Perlakuan (P0) Kontrol
(P3) Papar rokok dan Vit.C Secara bersamaan (P4) Papar rokok lalu Vit.C
Kadar MDA (U/g bb)
Rata-rata U/g bb 24,33 .103 ± 1,57 .103
24,67 .103 ± 3,03 .103
32,42 .103 ± 2,62 .103
25,21 .103 ± 2,25 .103
28,82 .103 ± 4,33 .103
47
Lampiran 3 Rerata dan standar deviasi kadar malondialdehida (MDA) hati dan ginjal tikus jantan pada semua perlakuan. Perlakuan
Kadar MDA pada Hati Mean ± SD
Kadar MDA pada Ginjal Mean ± SD 24,33 .103 a ± 1,57 .103 24,67 .103 a ± 3,03 .103 32,42.103 c ± 2,62 .103 25,21 .103 ab ± 2,25 .103 28,82 .103 bc ± 4,33 .103
6,08 .103 a ± 1,04 .103 7,83 .103 ab ± 1,26 .103 14,04 .103 c ± 1,48 .103 8,32 .103 b ± 1,48 .103 12,58 .103 c ± 1,56 .103 Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata p<0,05
P0 P1 P2 P3 P4
48
Lampiran 4 Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) hati tikus jantan pada semua perlakuan
Perlakuan
Ulangan Absorbansi
Aktivitas SOD (U/ml)
Aktivitas SOD (U/g bb)
1 2 3 4
0,003 0,001 0,006 0,005
436,84 482,89 367,76 390,79
583,37 647,08 492,80 523,66
(P1) Vitamin C
5 1 2 3 4
0,004 0,004 0,006 0,005 0,009
413,82 413,82 367,76 390,79 298,68
554,51 554,51 492,80 523,66 400,24
(P2) Papar rokok
5 1 2 3 4
0,003 0,011 0,01 0,012 0,013
436,84 252,63 275,66 229,61 206,58
585,37 338,53 369,38 307,67 276,82
5 1 2 3 4
0,015 0,005 0,005 0,008 0,012
160,53 390,79 390,79 321,71 229,61
215,11 523,66 523,66 431,09 307,67
5 1 2 3 4
0,005 0,013 0,011 0,009 0,012
390,79 206,58 252,63 298,68 229,61
523,66 276,82 338,53 400,24 307,67
5
0,012
229,61
307,67
(P0) Kontrol
(P3) Papar rokok dan Vit.C Secara bersamaan
(P4) Papar rokok lalu Vit.C
Rata-rata U/g bb 0,56 .103 ± 0,059.103
0,51 .103 ± 0,071 .103
0,30 .103 ± 0,059 .103
0,46 .103 ± 0,095 .103
0,32 .103 ± 0,046.103
49
Lampiran 5 Aktivitas enzim superoksida dismutase (SOD) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan
Perlakuan
Aktivitas SOD Ulangan Absorbansi (U/ml)
Aktivitas SOD (U/g bb)
1 2 3 4
0,005 0,008 0,006 0,006
390,79 321,71 367,76 367,76
523,66 431,09 492,80 492,80
(P1) Vitamin C
5 1 2 3 4
0,005 0,002 0,004 0,007 0,009
390,79 459,87 413,82 344,74 298,68
523,66 616,22 554,51 461,95 400,24
(P2) Papar rokok
5 1 2 3 4
0,01 0,014 0,018 0,021 0,016
275,66 183,55 91,45 22,37 137,50
369,38 245,96 122,54 29,97 184,25
5 1 2 3 4
0,011 0,008 0,013 0,009 0,008
252,63 321,71 206,58 298,68 321,71
338,53 431,09 276,82 400,24 431,09
5 1 2 3 4 5
0,011 0,015 0,014 0,013 0,015 0,008
252,63 160,53 183,55 206,58 160,53 321,71
338,53 215,11 245,96 276,82 215,11 431,09
(P0) Kontrol
(P3) Papar rokok dan Vit.C Secara bersamaan (P4)
Papar rokok lalu Vit.C
Rata-rata U/g bb 0,49 .103 ± 0,037 .103
0,48 .103 ± 0,10 .103
0,18 .103 ± 0,11 .103
0,37 .103 ± 0,06 .103
0,276 .103 ± 0,089 .103
50
Lampiran 6 Rerata dan standar deviasi aktivitas enzim superosidase dismutase (SOD) hati dan ginjal tikus jantan pada semua perlakuan. Perlakuan
Aktivitas SOD pada Hati
Aktivitas SOD pada Ginjal
P0 P1 P2 P3 P4
Mean ± SD 0,56 .103 c ± 0,059 .103 0,51 .103 bc ± 0,071 .103 0,30 .103 a ± 0,059 .103 0,46 .103 b ± 0,095 .103 0,326 .103 a ± 0,046 .103
Mean ± SD 0,492 .103 c ± 0,037 .103 0,480 .103 bc ± 0,103 .103 0,184 .103 a ± 0,117 .103 0,375 .103 bc ± 0,066 .103 0,276 .103 ab ± 0,089 .103
Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata p<0,05
51
Lampiran 7 Jumlah butir darah merah (BDM), butir darah putih (BDP), hemoglobin (Hb) dan hematokrit (PVC). Perlakuan (P0) Kontrol
(P1) Vitamin C
(P2) Papar rokok
(P3) Papar rokok dan Vit.C Secara bersamaan (P4) Papar rokok lalu Vit.C
Ulangan
SDM (juta/mm³)
SDP (ribu/mm³)
HB (gr) %
PVC (%)
1 2 3 4
6,02 5,58 5,10 7,39
12,8 8,7 10,1 11,55
15,05 15,71 15,09 14,09
40,5 43,75 41,5 36,75
5 1 2 3 4
7,53 9,36 8,55 8,42 9,41
12,4 14,7 15,75 13,1 16,45
14,87 13,87 15,09 12,48 13,43
41 41,25 40,5 39,75 45,25
5 1 2 3 4
7,65 7,45 7,56 6,29 7,77
13,5 19,55 17,7 16,45 18,25
13,98 16,45 13,54 14,32 11,56
41,5 48 39,5 44 41,5
5 1 2 3 4 5 1 2 3 4
8,21 7,26 6,64 6,24 7,39 6,35 7,52 7,36 6,98 7,78
20,5 16,06 11,1 12,2 13,4 9,8 10,23 15,8 17,9 13,12
11,11 14,69 14,46 14,79 13,69 14,6 16,04 15,2 15,35 15,84
35 40,5 41,5 39,25 38 38,25 46 41,5 43 43,5
5
7,25
13,1
15,6
44
52
Lampiran 8 Rerata dan standar deviasi jumlah butir darah merah, butir darah putih, hemoglobin dan hematokrit.
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4
Butir darah merah (BDM) Mean ± SD 6.32 a ± 1.09 6,78 ab ± 0.52 8.68 b ± 0.73 7.38 bc± 0.29 7.73 c ± 0.74
Butir darah putih (BDP) Mean ± SD 11.11 a ± 1.70 14.70 b ± 1.43 18.49 c ± 1.58 12.51ab ± 2.38 14.03 b ± 2.93
Hemoglobin (Hb) Mean ± SD 18.56 c ± 1.60 16.57 bc ± 1.74 13.39 a ± 2.17 14.85 ab ± 1.57 13.80 a ± 1.15
Hemtokit (PCV) Mean ± SD 39.10 a ± 1.55 39.65 a ± 1.47 51.13 c ± 3.43 43.30 b ± 2.92 44.52 b± 2.38
Angka pada kolom yang sama dan diikuti huruf yang berbeda menunjukan perbedaan yang nyata p<0,05
53
Lampiran 9 Uji statistik kadar malondialdehida (MDA) hati tikus jantan pada semua perlakuan. Descriptives MDAHati
N
.
Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit.C Papar Rokok lalu Vit. C Total Model Fixed Effects Random Effects
5 5 5 5 5 25
Mean 6082,916 7832,080 14045,53 8328,112 12583,54 9774,436
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum 1042,643906 466,2845 4788,30260 7377,52940 4960,320 1262,210276 564,4776 6264,83894 9399,32106 6657,270 1484,312731 663,8048 12202,51432 15888,54968 12009,19 1489,471192 666,1118 6478,68924 10177,53476 6265,660 1562,606086 698,8187 10643,31028 14523,77372 10181,70 3331,048367 666,2097 8399,44721 11149,42559 4960,320 1381,573566 276,3147 9198,05401 10350,81879 1510,385 5580,93534 13967,93746
Test of Homogeneity of Variances MDAHati Levene Statistic ,356
df1
df2 4
Sig. ,837
20
ANOVA MDAHati
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2,3E+008 38174910 2,7E+008
df 4 20 24
Mean Square 57031571,77 1908745,518
F 29,879
MDAHati a
Duncan
Kelompok Kontrol Vitamin C Papar Rokok dan Vit.C Papar Rokok lalu Vit. C Papar Rokok Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 6082,916 7832,080 7832,080 8328,112 12583,54 14045,53 ,059 ,577 ,110
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
Sig. ,000
BetweenComponent Maximum Variance 7440,480 9790,100 15794,70 9790,100 14228,28 15794,70 11024565,25
54
Lampiran 10 Uji statistik kadar malondialdehid (MDA) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan. Descriptives MDAGinjal
N Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit.C Papar Rokok lalu Vit.C Total Model Fixed Effects Random Effects
5 5 5 5 5 25
Mean 24331,66 24671,05 32424,81 25219,30 28822,05 27093,78
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum 1573,47235 03,67823 22377,9380 26285,3860 22713,03 3036,15859 1357,811 20901,1632 28440,9408 20624,48 2626,31145 1174,522 29163,8156 35685,8084 28587,09 2252,24146 1007,233 22422,7709 28015,8251 21799,29 4332,68746 1937,637 23442,3120 34201,7960 22060,36 4142,47584 28,49517 25383,8456 28803,7056 20624,48 2913,29224 82,65845 25878,3714 28309,1798 1555,947 22773,7741 31413,7771
Test of Homogeneity of Variances MDAGinjal Levene Statistic ,693
df1
df2 4
Sig. ,605
20
ANOVA MDAGinjal
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2,4E+008 1,7E+008 4,1E+008
df 4 20 24
Mean Square 60524278,48 8487271,652
F 7,131
Sig. ,001
MDAGinjal Duncan
a
Kelompok Kontrol Vitamin C Papar Rokok dan Vit.C Papar Rokok lalu Vit.C Papar Rokok Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 24331,66 24671,05 25219,30 25219,30 28822,05 28822,05 32424,81 ,655 ,065 ,065
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
BetweenComponent Maximum Variance 26759,61 27934,42 34983,29 27803,88 33939,01 34983,29 10407401,36
55
Lampiran 11 Uji statistik kadar enzim superoksida dismutase (SOD) hati tikus jantan pada semua perlakuan. Descriptives SODHati
N Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit.C Papar Rokok lalu Vit.C Total Model Fixed Effects Random Effects
5 5 5 5 5 25
Mean Std. Deviation Std. Error 560,68400 59,352337 26,543172 511,31600 71,033110 31,766973 301,50200 59,349218 26,541777 461,94800 95,103930 42,531771 326,18600 46,794914 20,927322 432,32720 121,306671 24,261334 68,301177 13,660235 50,977092
95% Confidence Interval for BetweenMean Component Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum Variance 486,98834 634,37966 492,800 647,080 423,11674 599,51526 400,240 585,370 227,81021 375,19379 215,110 369,380 343,86087 580,03513 307,670 523,660 268,08244 384,28956 276,820 400,240 382,25427 482,40013 215,110 647,080 403,83245 460,82195 290,79210 573,86230 12060,30928
Test of Homogeneity of Variances SODHati
.
Levene Statistic ,825
df1
df2 4
Sig. ,525
20
ANOVA SODHati
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 259866,4 93301,015 353167,4
df 4 20 24
Mean Square 64966,597 4665,051
F 13,926
SODHati Duncan
a
Kelompok Papar Rokok Papar Rokok lalu Vit.C Papar Rokok dan Vit.C Vitamin C Kontrol Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 301,50200 326,18600 461,94800 511,31600 511,31600 560,68400 ,574 ,267 ,267
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
Sig. ,000
56
Lampiran 12 Uji statistik kadar enzim superoksida dismutase (SOD) ginjal tikus jantan pada semua perlakuan. Descriptives SODGinjal
N Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit.C Papar Rokok lalu Vit.C Total Model Fixed Effects Random Effects
5 5 5 5 5 25
Mean Std. Deviation Std. Error 492,80200 37,791544 16,900892 480,46000 103,719351 46,384704 184,25000 117,495622 52,545640 375,55400 66,889970 29,914104 276,81800 89,955295 40,229231 361,97680 145,073658 29,014732 87,814975 17,562995 59,235411
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum 445,87760 539,72640 431,090 351,67542 609,24458 369,380 38,35992 330,14008 29,970 292,49913 458,60887 276,820 165,12375 388,51225 215,110 302,09334 421,86026 29,970 325,34103 398,61257 197,51293 526,44067
Test of Homogeneity of Variances SODGinjal Levene Statistic 1,408
df1
df2 4
Sig. ,267
20 ANOVA
SODGinjal
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 350883,4 154229,4 505112,8
df 4 20 24
Mean Square 87720,848 7711,470
F 11,375
Sig. ,000
SODGinjal Duncan
a
Kelompok Papar Rokok Papar Rokok lalu Vit.C Papar Rokok dan Vit.C Vitamin C Kontrol Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 184,25000 276,81800 276,81800 375,55400 375,55400 480,46000 492,80200 ,111 ,091 ,058
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
Maximum 523,660 616,220 338,530 431,090 431,090 616,220
BetweenComponent Variance
16001,87570
57
Lampiran 13 Uji statistik jumlah butir darah merah (BDM). Descriptives
BDM SDM
N Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit. C Papar Rokok lalu Vit. C Total Model Fixed Effects Random Effects
5 5 5 5 5 25
5% Confidence Interval fo BetweenMean Component Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance 8,0200 ,44452 ,19880 7,4681 8,5719 7,45 8,56 9,0800 ,48949 ,21891 8,4722 9,6878 8,45 9,47 6,3240 1,08799 ,48657 4,9731 7,6749 5,10 7,53 7,6780 ,60475 ,27045 6,9271 8,4289 6,98 8,36 6,3760 1,10029 ,49206 5,0098 7,7422 4,64 7,39 7,4956 1,29120 ,25824 6,9626 8,0286 4,64 9,47 ,79966 ,15993 7,1620 7,8292 ,52176 6,0470 8,9442 1,23329
Test of Homogeneity of Variances
BDM SDM Levene Statistic 1,838
df1
df2 4
Sig. ,161
20
ANOVA
BDM SDM
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 27,224 12,789 40,013
df 4 20 24
Mean Square 6,806 ,639
F 10,643
SDM BDM Duncan
a
Kelompok Papar Rokok Papar Rokok lalu Vit. C Papar Rokok dan Vit. C Kontrol Vitamin C Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 6,3240 6,3760 7,6780 8,0200 9,0800 ,919 ,507 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
Sig. ,000
58
Lampiran 14 Uji statistik jumlah butir darah putih (BDP) Descriptives
BDP SDP
N Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit. C Papar Rokok lalu Vit. C Total Model Fixed Effects Random Effects
5 5 5 5 5 25
5% Confidence Interval fo BetweenMean Component Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper BoundMinimum Maximum Variance 11,1100 1,69868 ,75967 9,0008 13,2192 8,70 12,80 14,7000 1,42872 ,63894 12,9260 16,4740 13,10 16,45 18,4900 1,58169 ,70735 16,5261 20,4539 16,45 20,50 12,5120 2,38866 1,06824 9,5461 15,4779 9,80 16,06 14,0300 2,92587 1,30849 10,3971 17,6629 10,23 17,90 14,1684 3,17646 ,63529 12,8572 15,4796 8,70 20,50 2,08302 ,41660 13,2994 15,0374 1,24650 10,7075 17,6293 6,90107
Test of Homogeneity of Variances
BDP SDP Levene Statistic ,971
df1
df2 4
Sig. ,445
20
ANOVA
BDP SDP
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 155,377 86,780 242,157
df 4 20 24
Mean Square 38,844 4,339
F 8,952
SDP BDP Duncan
a
Kelompok Kontrol Papar Rokok dan Vit. C Papar Rokok lalu Vit. C Vitamin C Papar Rokok Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 11,1100 12,5120 12,5120 14,0300 14,7000 18,4900 ,300 ,131 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
Sig. ,000
59
Lampiran 15 Uji statistik jumlah hemoglobin (Hb). Descriptives HB
N Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit. C Papar Rokok lalu Vit.C Total Model Fixed Effects Random Effects
5 5 5 5 5 25
Mean 18,5620 16,5700 13,3960 14,8460 13,8060 15,4360
95% Confidence Interval for BetweenMean Component Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum Variance 1,60316 ,71695 16,5714 20,5526 16,05 20,09 1,73898 ,77770 14,4108 18,7292 14,09 18,43 2,16784 ,96949 10,7043 16,0877 11,11 16,45 1,57077 ,70247 12,8956 16,7964 12,46 16,69 1,14690 ,51291 12,3819 15,2301 12,60 15,20 2,47847 ,49569 14,4129 16,4591 11,11 20,09 1,67788 ,33558 14,7360 16,1360 ,95458 12,7857 18,0863 3,99305
Test of Homogeneity of Variances HB Levene Statistic ,413
df1
df2 4
Sig. ,797
20
ANOVA HB
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 91,122 56,306 147,428
df 4 20 24
Mean Square 22,781 2,815
F 8,092
HB Duncan
a
Kelompok Papar Rokok Papar Rokok lalu Vit.C Papar Rokok dan Vit. C Vitamin C Kontrol Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 13,3960 13,8060 14,8460 14,8460 16,5700 16,5700 18,5620 ,211 ,120 ,075
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
Sig. ,000
60
Lampiran 16 Uji statistik jumlah hematokrit (PCV) Descriptives
PCV PVC
N Kontrol Vitamin C Papar Rokok Papar Rokok dan Vit. C Papar Rokok lalu Vit. C Total Model Fixed Effects Random Effects
Mean Std. Deviation 39,1000 1,54717 39,6500 1,46416 51,1300 3,42921 43,3000 2,92297 44,4000 2,38223 43,5160 4,95103 2,47046
5 5 5 5 5 25
Std. Error ,69192 ,65479 1,53359 1,30719 1,06536 ,99021 ,49409 2,15926
95% Confidence Interval for BetweenMean Component Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum Variance 37,1789 41,0211 36,75 40,50 37,8320 41,4680 37,75 41,25 46,8721 55,3879 47,00 55,65 39,6707 46,9293 40,00 47,50 41,4421 47,3579 41,50 47,50 41,4723 45,5597 36,75 55,65 42,4853 44,5467 37,5209 49,5111 22,09140
Test of Homogeneity of Variances PCV PVC
Levene Statistic 1,570
df1
df2 4
Sig. ,221
20
ANOVA
PCV PVC
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 466,241 122,063 588,304
df 4 20 24
Mean Square 116,560 6,103
F 19,098
PVC
PCV
Duncan
a
Kelompok Kontrol Vitamin C Papar Rokok dan Vit. C Papar Rokok lalu Vit. C Papar Rokok Sig.
N 5 5 5 5 5
Subset for alpha = .05 1 2 3 39,1000 39,6500 43,3000 44,4000 51,1300 ,729 ,490 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5,000.
Sig. ,000
61
Lampiran 17 Kurva standar MDA
Konsentrasi (pmol/50µL) 500 1000 2000 2500 3000 4000 5000
Absorbansi 515 nm 0,037 0,053 0,101 0,133 0,138 0,194 0,255
Fitted Line Plot Y = 0.007028 + 0.000048 X S R-Sq R-Sq(adj)
0.25
0.20
Y
0.15
0.10
0.05
0.00 0
1000
2000
3000 X
4000
5000
0.0082122 99.0% 98.9%
62
Lampiran 18 Kurva standar SOD
Konsentrasi U/ml protein 0 50 100 200 250 300 500
Absorbansi 550 nm 0,025 0,021 0,017 0,011 0,009 0,006 0,004
Fitted Line Plot Y = 0.02197 - 0.000043 X S R-Sq R-Sq(adj)
0.025 0.020
Y
0.015 0.010 0.005
0.000 0
100
200
300 X
400
500
0.0029452 88.4% 86.1%