TOLERANSI BERAGAMA MAHASISWA (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri)
Editor : H. Bahari, MA
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta, 2010
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri) Ed. I. Cet. 1. ------Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010 xiii + 171 hlm; 21 x 29 cm ISBN 978-979-797-287-5
Hak Cipta 2010, pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, September 2010 Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
TOLERANSI BERAGAMA MAHASISWA (STUDI TENTANG PENGARUH KEPRIBADIAN, KETERLIBATAN ORGANISASI, HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA, DAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN TERHADAP TOLERANSI MAHASISWA BERBEDA AGAMA PADA 7 PERGURUAN TINGGI UMUM NEGERI)
Editor: H. Bahari, MA Desain cover dan Lay out oleh: H. Zabidi Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Telp/Fax. (021) 87790189, 87793540 Diterbitkan oleh: Maloho Jaya Abadi Press, Jakarta Anggota IKAPI No. 387/DKI/09 Jl. Jatiwaringin Raya No. 55 Jakarta 13620 Telp. (021) 862 1522, 8661 0137, 9821 5932 Fax. (021) 862 1522
ii
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI
M
asalah toleransi beragama adalah masalah yang selalu hangat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sampai dewasa ini masih banyak kelompok masyarakat yang melakukan perbuatan intoleransi. Oleh karenanya, sikap intoleransi harus dideteksi sejak dini dan dijadikan dasar untuk mengembangkan budaya toleransi, demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam realitasnya, konflik akibat intoleransi sampai saat ini masih sering terjadi dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, mungkin juga termasuk mahasiswa. Padahal, mestinya kenyataan adanya perbedaan agama, paham, penafsiran dan organisasi keagamaan haruslah diterima sebagai kenyataan yang harus diterima. Solusi yang harus diupayakan adalah bagaimana mengelola perbedaan itu menjadi kekuatan dalam kehidupan sosial keagamaan dan mencerminkan kedewasaan beragama dalam kerangka kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sejak dini harus sudah ditanamkan kesadaran kepada anak-anak, pelajar, pemuda dan mahasiswa tentang adanya realitas kemajemukan bangsa ini. Mahasiswa sebagai harapan masa depan bangsa dalam mengemban amanah kepemimpinan dan agen perubahan sosial, kiranya harus dibekali dengan pengetahuan, pengalaman dan kebijaksanaan yang cukup dalam menyikapi pluralitas bangsa yang memang sangat tinggi. Untuk itulah sangat perlu dilakukan penelitian berkaitan dengan toleransi umat berbeda agama di kalangan mahasiswa. Oleh karena itu, kami menyambut baik diterbitkannya buku Toleransi
Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian,
iii
Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan Tinggi Umum Negeri). Pertama, penerbitan buku ini merupakan salah satu media untuk mensosialisasikan hasil-hasil pengembangan yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, dalam hal ini Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Kedua, dapat memberikan informasi tentang berbagai pandangan keagamaan para mahasiswa berkaitan dengan toleransi kehidupan beragamaan.
Selama ini belum diketahui benar, bagaimana sikap para mahasiswa terhadap pandangan keagamaanya ber-kaitan dengan toleransi kehidupan beragama. Dengan diterbitkannya hasil penelitian ini diharapkan dapat tersosialisasikan dengan baik bagaimana sebenarnya sikap mahasiswa berkaitan dengan pandangan keagamaan yang berhubungan dengan toleransi kehidupan beragama. Semoga buku ini dapat memberikan kontribusi dalam membangun pemahaman masyarakat yang moderat, tawasuth, tawazun dan toleran. Dengan pemahaman seperti itu diharapkan mendorong para mahasiswa untuk dapat memahami dirinya akan perlunya membangun toleransi kehidup-an keagamaan yang lebih baik di masa depan, ketika akan mengelola negeri di segala bidang kehidupan. Jakarta, September 2010 Kepala Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA. NIP: 19570414 198203 1 003
iv
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
K
emajemukan agama bangsa Indonesia pada satu sisi menjadi modal kekayaan budaya dan memberikan keuntungan bagi bangsa karena dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi yang kaya bagi proses konsolidasi demokrasi. Namun, pada sisi lain, kemajemukan bisa pula berpotensi mencuatkan social conflict antarumat beragama yang bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama bila kemajemukan tersebut tidak disikapi dan dikelola secara baik. Dalam konteks kemajemukan agama di Indonesia tersebut, toleransi beragama merupakan isu penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Toleransi merupakan elemen dasar yang dibutuhkan untuk menumbuh kembangkan sikap saling memahami dan menghargai perbedaan yang ada, serta menjadi entry point bagi terwujudnya suasana dialog dan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat. Agar tidak terjadi konflik antarumat beragama, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif seluruh kelompok masyarakat, dari tingkat anakanak, remaja, dewasa, hingga orang tua, baik pelajar, pegawai, birokrat maupun mahasiswa. Lebih dari itu, prinsip-prinsip toleransi harus betul-betul bekerja mengatur perikehidupan masyarakat secara efektif. Salah satu komponen penting masyarakat dalam rangka menjaga tetap bekerjanya prinsip-prinsip toleransi adalah para mahasiswa. Mahasiswa merupakan sebutan bagi mereka yang menempuh pendidikan lanjutan setelah Sekolah Menengah Umum (SMU). Pendidikan tersebut dapat berupa perguruan tinggi, sekolah tinggi, institut, akademi, dan sebagainya. Usia saat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, umumnya
v
berkisar antara 18-21 tahun. Secara fisiologis, usia ini sangat rentan terhadap segala sesuatu, kejiwaan yang belum mapan dan selalu memegang idiom ketokohan. Dalam masyarakat, mahasiswa dianggap sebagai salah satu kelompok yang menjadi sub elemen penting masyara-kat sebab memiliki potensi besar dalam menciptakan suatu bentuk tatanan tertentu. Mahasiswa adalah manusia yang dipenuhi idealisme. Mahasiswa dianggap tunas-tunas baru yang akan menggantikan peran para pemimpin di masa yang akan datang. Di tangan para mahasiswa masa depan bangsa ini akan bergantung. Tongkat estafet kepemimpinan ini akan diteruskan oleh mahasiswa. Di samping mahasiswa sebagai penerus kepemimpinan bangsa ini, ternyata mahasiswa berperan lebih besar sebagai agent of change. Potensi ini dipunyainya tidak terlepas dari tingkat pendidikannya yang tergolong tinggi dalam masyarakat. Beberapa sosiolog pendidikan, seperti Halsey dan Psacharopoulos menyatakan bahwa pendidikan memainkan bagian penting dalam determinan-determinan status dan penghasilan. Pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi cara pandang, wawasan dan daya kritis yang memungkinkan mahasiswa untuk memikirkan masa depan masyarakat tempat mereka hidup, meminjam istilah William Fulbright, Education is slow but a powerful force. Karena tingkat pendidikan yang tinggi ini, pada akhirnya nanti, dari kalangan mahasiswa akan muncul tokoh-tokoh masyarakat yang akan berperan dominan dalam perkembangan masyarakat, termasuk dalam hal hubungan antarumat beragama. Dari hasil penelitian dapat ditarik gambaran sementara bahwa setiap upaya meningkatkan toleransi di kalangan mahasiswa masih perlu dilakukan. Sebab, kendati survei SETARA Institute menunjukkan hasil menggembirakan terhadap kondisi toleransi kaum muda berbeda agama, namun pada sisi lain masih ditemukan konflik sosial yang melibatkan vi
mahasiswa. Bertolak dari berbagai masalah dan kenyataan serta harapan seperti dikemukakan di atas, maka diperlukan sebuah penelitian tentang toleransi mahasiswa berbeda agama pada perguruan tinggi. Dari penelitian ini diketahui toleransi dan apresiasi antarmahasiswa, baik intra maupun antarumat beragama, sebagai modal akademis guna mengarahkan kehidupan sosial yang lebih kohesif di masa depan. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan yang telah memberi sambutan dan arahan untuk terbitnya buku ini. Kemudian tak lupa kami sampaikan terima kasih juga kepada Editor yang telah mengkoreksi ulang hasil penelitian ini, sehingga menjadi buku yang layak terbit. Mudah-mudahan buku ini menjadi bahan pembelajaran yang berharga bagi para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan khususnya dan pembaca pada umumnya. Demi sempurnanya buku ini, kami dengan senang hati akan menerima masukan dan kritik dari pembaca sekalian. Semoga Allah selalu memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian. Amien. Jakarta, Juli 2010 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd. Rahman Mas`ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 005
vii
viii
PENGANTAR EDITOR
A
lhamdulillahi Rabbi al-`alamin, kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah mem-berikan kekuatan pada kami sehingga bisa menyelesaikan editorial tentang laporan penelitian Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada Perguruan Tinggi Umum Negeri (Studi di 7 Universitas) dengan baik. Penelitian ini merupakan 1 di antara 3 penelitian yang menggunakan pendekatan kuan-titatif, yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun anggaran 2009. Dengan adanya penelitian ini, Puslitbang Kehidupan Keagamaan cukup konsisten untuk terus mengembangkan pendekatan kuantitatif dalam beberapa penelitiannya.
Penelitian ini terasa dilakukan dengan cara cukup serius, dengan harapan penelitian berjalan sesuai harapan. Dalam tahapan penelitian ini pastilah terasa agak berat mengingat bahwa penelitian bercorak kuantitaif saat ini relatif merupakan tradisi baru di Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Penyusunan desain operasional penelitian terutama berkaitan dengan kerangka teorinya tentu sangat melelahkan dibandingkan dengan penelitian yang bercorak kualitatif, penyusunan kuesioner, uji coba kuesioner, validitasi dan reliabilitasi kuesioner, penyusunan ulang kuesioner hasil uji coba, penyusunan pedoman wawancara, pengumpulan data, analisis data, display data, diseminasi hasil penelitian, dan penyusunan laporan penelitian. Sebagai hasil penelitian ilmiah, penelitian ini telah mampu menggambarkan bagaimana Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda
ix
Agama pada Perguruan Tinggi Umum Negeri. Kami tidak perlu menyimpulkan atau membuat ringkasan mengenai hasil penelitian ini, tetapi substansi dapat dicerna sendiri oleh para pembaca dalam buku ini. Buku ini secara substansial memang sudah pernah terdengar dilakukan penelitian meskipun dengan judul yang berbeda. Namun hasil penelitian ini tetap menarik untuk tetap dibaca, mengingat bahwa terjadinya ketidakrukunan di berbagai tempat di Indonesia selama ini selalu diawali oleh kaum muda, bahkan terkadang juga para mahasiswa. Nah dari buku ini akan terlihat, bagaimana sikap para mahasiswa di perguruan tinggi umum yang berkaitan dengan toleransi beragama. Terakhir, kami ucapkan terima kasih kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk mengedit buku hasil penelitian ini, sehingga hasil penelitian ini juga membantu saya memahami sikap mahasiswa berkaitan dengan toleransi beragama itu, yang selama ini belum dilakukan. Demikian semoga bermanfaat.
Jakarta, Editor,
Juli
2010
Drs, H. M. Bahari, MA
x
DAFTAR ISI Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama .......................................................... Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ........................................................................... Pengantar Editor ................................................................. Daftar Isi ............................................................................... Bab I
Pendahuluan ........................................................ A. Latar Belakang Masalah ................................. B. Identifikasi Masalah ........................................ C. Pembatasan Masalah ...................................... D. Perumusan Masalah ....................................... E. Tujuan Penelitian ............................................ F. Kegunaan Hasil Penelitian ............................
Bab II
Penyusunan Kerangka Teoritik dan Pengajuan Hipotesis ............................................................... A. Deskripsi Teoritik ............................................ 1. Variabel Kepribadian (X1) ........................ 2. Variabel Keterlibantan Organisasi (X2) .. 3. Variabel Hasil Belajar Pendidika Agama (X3) ............................................................... 4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4) ... 5. Variabel Toleransi Beragama (Y) ............. B. Hasil Penelitian yang Relevan ....................... C. Kerangka Berpikir ........................................... D. Hipotesis Penelitian ........................................
Bab III Metodologi Penelitian ........................................ A. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................ B. Metode dan Desain Penelitian ...................... C. Populasi dan Sampel ......................................
iii v ix xi 1 1 12 26 27 28 28
31 31 31 39 43 44 50 61 80 90 91 91 92 93 xi
D. Instrumen Penelitian .................................... 94 1. Variabel Kepribadian (X1) ........................ 95 2. Variabel Keterlibatan Organisasi (X2) .... 96 3. Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama (X3) ............................................................... 97 4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4) ... 98 5. Variabel Toleransi Beragama (Y) ............. 100 E. Teknik Analisis Data ....................................... 102 Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ................... A. Profil Responden ............................................. B. Deskripsi Data dan Temuan ......................... 1. Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama 7 Universitas .................................................. 2. Kepribadian ................................................ 3. Keterlibatan Organisasi ............................. 4. Hasil Belajar Pendidikan Agama ............. 5. Lingkungan Pendidikan ........................... C. Analisis Inferensial ........................................ 1. Pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi .............................. 2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar ........................................................... 3. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar pendidikan agama 4. Pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan.............................. 5. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan............. 6. Pengaruh hasil belajar terhadap lingkungan pendidikan.............................. 7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama...................................................... 8. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama .................... xii
105 105 107 108 110 116 117 119 121 121 122 124 125 126 127 127 129
9. Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap toleransi beragama .................... 10. Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama .................... D. Model Empiris Hubungan Antar Variabel .. E. Pembahasan ...................................................... Bab V
129 129 131 134
Penutup ................................................................. A. Kesimpulan ...................................................... B. Implikasi............................................................ C. Rekomendasi ...................................................
141 141 143 144
Daftar Pustaka ..................................................................... Daftar Pustaka...................................................................... Lampiran .............................................................................. Daftar Pertanyaan (Kuesioner) .......................................... Pedoman Wawancara ......................................................... Hasil Penelitian Kualitatif ..................................................
115 145 153 153 154 155
xiii
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ndonesia adalah bangsa yang majemuk, baik dari sisi budaya, etnis, bahasa, dan agama. Dari sisi agama, di negara ini hidup berbagai agama besar di dunia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain itu, tumbuh dan berkembang pula berbagai aliran atau kepercayaan lokal yang jumlahnya tidak kalah banyak. Pada sensus tahun 2000, religious demography di Indonesia menunjukkan 213 juta jiwa penganut agama yang berbeda dengan komposisi 88.2% pemeluk Islam, 5.9% Kristen, 3.1% Katolik, 1.8% Hindu, 0.8% Buddha, dan 0.2% agama serta kepercayaan lainnya. Pada Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2005 juga masih menunjukkan angka yang hampir sama, yaitu pemeluk Islam (88.58%), Kristen (5.79%), Katolik (3.08%), Hindu (1.73%), Buddha (0.60%), Khonghucu (0.10%), dan lainnya (0.12%). Data tersebut mengungkapkan bahwa penduduk beragama Islam merupakan mayoritas secara nasional, namun tidak demikian dalam sebaran perpropinsi atau kabupaten/kota. Agama-agama tertentu lainnya menunjukkan jumlah mayoritas penduduk di propinsi tertentu seperti Hindu di Bali serta Kristen di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua. Komposisi jumlah penduduk Islam dan Kristen cukup berimbang di Maluku. Sedangkan di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, dan Maluku Utara penduduk Kristen merupakan minoritas tetapi dengan jumlah signifikan.1
I
1Dari sisi etnis, di Indonesia terdapat lebih kurang 658 etnis. Dari enam ratusan etnis itu, 109 kelompok etnis berada di Indonesia belahan barat, sedangkan
1
Kemajemukan agama tersebut pada satu sisi menjadi modal kekayaan budaya dan memberikan keuntungan bagi bangsa Indonesia karena dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi yang sangat kaya bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, pada sisi lain, kemajemukan bisa pula berpotensi mencuatkan social conflict antarumat beragama yang bisa mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama bila kemajemukan tersebut tidak disikapi dan dikelola secara baik.2 Dalam konteks kemajemukan agama di Indonesia tersebut, maka toleransi beragama---dalam pengertian kesediaan umat beragama hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain---merupakan isu penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Toleransi merupakan elemen dasar yang dibutuhkan untuk menumbuhkembangkan sikap saling memahami dan menghargai perbedaan yang ada, serta menjadi entry point bagi terwujudnya suasana dialog dan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat. Agar tidak terjadi konflik antarumat beragama, toleransi harus menjadi kesadaran kolektif seluruh kelompok masyarakat, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua, baik pelajar, pegawai, birokrat maupun mahasiswa. Lebih dari itu, prinsip-prinsip toleransi harus betul-betul bekerja mengatur perikehidupan masyarakat secara efektif. Salah satu subelemen penting masyarakat dalam rangka menjaga tetap bekerjanya prinsip-prinsip toleransi adalah para mahasiswa. Mahasiswa merupakan sebutan bagi mereka yang menempuh pendidikan lanjutan setelah Sekolah Indonesia timur terdiri atas 549 etnis. Dari 549 etnis itu 300 lebih di antaranya menyebar di Papua. Dengan kata lain, kemajemukan etnis di belahan timur lebih tinggi dari belahan barat. Amiruddin al Rahab. “Kekerasan Komunal di Indonesia: Sebuah Tinjauan Umum” dalam Jurnal Dignitas. Volume V No. 1 Tahun 2008. hlm. 34. 2Muhammad Hisyam et.al. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Rentan Konflik. Jakarta: LIPI Press. 2006. hlm. 1.
2
Menengah Umum (SMU). Pendidikan tersebut dapat berupa perguruan tinggi, sekolah tinggi, institut, akademi, dan sebagainya. Usia saat menjadi mahasiswa di perguruan tinggi, umumnya berkisar antara 18-21 tahun. Secara fisiologis, usia ini sangat rentan terhadap segala sesuatu, kejiwaan yang labil dan selalu memegang idiom ketokohan. Dalam masyarakat, mahasiswa dianggap sebagai salah satu kelompok yang menjadi subelemen penting masyarakat sebab memiliki potensi besar dalam menciptakan suatu bentuk tatanan tertentu. Mahasiswa adalah manusia yang dipenuhi idealisme. Mahasiswa dianggap tunas-tunas baru yang akan menggantikan peran para pemimpin di masa yang akan datang. Di tangan para mahasiswa masa depan bangsa ini akan bergantung. Tongkat estafet kepemimpinan ini akan diteruskan oleh mahasiswa. Di samping mahasiswa sebagai penerus kepemimpinan bangsa ini, ternyata mahasiswa berperan lebih besar sebagai agent of change.3 Potensi ini dipunyainya tidak terlepas dari tingkat pendidikannya yang tergolong tinggi dalam masyarakat. Beberapa sosiolog pendidikan, seperti Halsey dan Psacharopoulos menyatakan bahwa pendidikan memainkan bagian penting dalam determinan-determinan status dan penghasilan. Pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi cara pandang, wawasan dan daya kritis yang memungkinkan mahasiswa untuk memikirkan masa depan masyarakat tempat mereka hidup. Karena tingkat pendidikan yang tinggi ini, pada akhirnya nanti, dari kalangan mahasiswa akan muncul tokoh-tokoh masyarakat yang akan berperan dominan dalam perkembangan masyarakat, termasuk dalam hal hubungan antarumat beragama.4 3“Menggugat Intelektualisme Mahasiswa” dalam http:// bermula. wordpress.com/ 2008/06/25/menggugat-intelektualisme-mahasiswa/. 4Lucia Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi. Depok: FISIP UI. 1999. hlm. 11-12.
3
Andreas A. Yewangoe dalam Agama dan Kerukunan, optimis akan peran yang dapat dimainkan mahasiswa dalam meningkatkan kerukunan umat beragama. Dia memberikan 4 (empat) alasan, yaitu: Pertama, mahasiswa adalah calon-calon intelektual yang diharapkan dapat meninjau berbagai relasi antar manusia, termasuk hubungan antarumat beragama secara rasional dan berkepala dingin; Kedua, mahasiswa, paling tidak ditinjau dari sejarah kemahasiswaan di Indonesia selama ini masih belum terkontaminasi oleh berbagai tekanan di mana agama-agama cenderung diperalat; Ketiga, mahasiswa, dengan idealismenya yang tinggi, selalu berupaya mewujudkan persatuan dan kesatuan melalui perbuatan nyata; dan Keempat, mahasiswa adalah calon-calon pemimpin bangsa. Saling pengertian yang dicapai hari ini di antara para mahasiswa berbeda-beda agama merupakan modal yang berharga apabila mereka nanti menjadi pemimpin-pemimpin bangsa.5 Banawiratma mengatakan bahwa selayaknya kaum terdidik (baca: mahasiswa) dapat menjadi fasilitator dalam mencoba untuk membaca dan menilai situasi hidup nyata ini, begitu pula untuk menemukan langkah maju dalam kehidupan antarumat beragama. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan kesadaran penuh dari kalangan terdidik, untuk: Pertama, bersikap dan berperilaku terhadap pemeluk agama lain yang secara konkret mendukung dan dapat menciptakan toleransi antarpemeluk agama; dan Kedua, mempengaruhi masyarakat supaya dapat bersikap dan berperilaku yang mengarah pada toleransi yang tinggi antarpemeluk agama. Pertanyaan kemudian muncul, apakah dari kalangan terdidik sendiri (baca: mahasiswa), telah terdapat sikap-sikap yang berpotensi mendukung terciptanya toleransi antarumat 5
4
http://books.google.co.id/books, hlm. 31-32.
beragama. Ataukah justru sebaliknya, sikap-sikap yang diperlihatkan berpotensi untuk menciptakan intoleransi antarumat beragama.6 Pertanyaan di atas sangat penting untuk dijawab, mengingat masalah hubungan antarumat beragama yang baik merupakan syarat bagi terciptanya integrasi sosial. Dengan mengetahui gambaran tersebut diharapkan dapat disajikan kerangka pandang yang cukup memadai dalam usaha-usaha menuju kepada kehidupan antarumat beragama yang lebih baik, khususnya di kalangan terdidik. Sebab, konflik sosial, baik yang bernuansa agama, etnis, maupun politik, yang pernah terjadi di Indonesia7 ternyata melibatkan banyak pihak, strata dan jenis kelamin---dan itu berarti---mahasiswa juga patut diduga terlibat di dalamnya. Konflik bernuansa agama di Ambon misalnya, memperlihatkan bahwa Universitas Pattimura menjadi basis perlawanan kalangan Kristiani. Wilayah kampus tersegregasi antara mahasiswa dari kalangan Kristen dan dari kalangan Islam. Di sana para mahasiswa Kristiani menggalang kekuatan dan turut terlibat secara aktif dalam konflik bernuansa agama tersebut. Di Fakultas Teknik, dengan memanfaatkan peralatan yang ada membuat senjata-senjata rakitan, anak panah, dan tombak bermata besi. Sikap serupa dilakukan pula oleh para mahasiswa muslim di STAIN Ambon atau mereka yang terlibat dalam organisasi Ibid. Konflik bernuansa agama yang terjadi di Indonesia, misalnya peristiwa Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Ambon (1999), Pekalongan (24-26 Maret 1997), Temanggung (6 April 1997), Banjarnegara (9 April 1997), dan lain-lain. Konflik bernuansa etnik misalnya peristiwa Sanggauledo (Januari dan Februari 1997) dan peristiwa Sampit pada 7 Maret 1999 yang kemudian merembet ke Kualakapuas. M. Mukhsin Jamil. Mediasi dan Resolusi Konflik. Semarang: Walisongo Mediation Centre. 2007. hlm. xviii-xxi; Heru Cahyono. Ed. Konflik Kalbar dan Kalteng: Jalan Panjang Meretas Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI. 2008. 6 7
5
kemahasiswaan, sebagaimana dituturkan Abu Bakar Riri, mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang belakangan menjadi aktivis rekonsiliasi Gerakan Baku Bae Maluku.8 Konflik bernuansa agama yang melibatkan mahasiswa terjadi pula di Jakarta, misalnya kasus bentrok antara warga Kampung Pulo dengan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Injili Arastamar (SETIA) pada 25 Juli 2008. Pemicu terjadinya konflik disebabkan keberadaan SETIA dan perilaku mahasiswa yang sering meresahkan warga. Mahasiswa SETIA diduga sering terlibat bentrok antarsuku, pencurian, pacaran, bahkan warga sering menemukan kondom dan celana dalam di sepanjang jalan sepi tempat mahasiswa biasa jalan-jalan. Bentrokan 25 Juli 2008 lalu bermula dari tertangkapnya seorang mahasiswa SETIA yang diduga melakukan pencurian mesin pompa di salah satu rumah warga. Suasana menegang ketika ada teriakan provokasi dari dalam kampus yang tidak terima si pencuri dibawa ke kantor polisi. Sempat terjadi lempar batu tetapi berhenti setelah dilerai pihak kepolisian. Sesaat kondisi keamanan terkendali tetapi selang sehari kemudian kembali menegang ketika tiba-tiba ada seorang mahasiswa SETIA melempar Masjid Baiturrahim yang berjarak 50 meter dari kampus, yang saat itu tengah diadakan pengajian. Setelah melakukan pelemparan, pelaku lari menuju asrama putri. Kelakuan mahasiswa kriminal ini, mengundang reaksi warga. Mereka pun berkumpul menuju asrama putri meminta pertanggungjawaban, namun kedatangan warga justru disambut lemparan batu, serpihan kaca, ketapel dan anak panah besi.9 8“Gerakan Baku Bae Maluku Perlawanan terhadap Penganjur Perang” dalam Ambon Berdarah On-Line, www. geocities.com. 9“Mahasiswa Kriminal Picu Konflik Kampung Pulo”, dalam www.sabili.co.id.
6
Menjaga kondisi yang tak diharapkan sebab kemarahan warga meningkat, pada Ahad sore puluhan mahasiswi putri dievakuasi ke Kantor Kecamatan Makasar, Jakarta Timur. Proses evakuasi berlangsung aman tanpa diganggu warga. Selasa (29/7), sekitar 200 mahasiswa SETIA didampingi beberapa dosen, rektor dan pimpinan Aras Gereja Nasional (AGN) menyambangi perwakilan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS) di Komisi VII DPR. Mereka mengadu ke DPR agar tetap bisa kuliah di kampusnya. Mereka menginap selama dua malam di Komplek DPR/MPR Senayan Jakarta, dan baru pada hari Jumat (1/8) sekitar 400 mahasiswa SETIA dievakuasi ke Wisma Transito, Jl. Naman Kalimalang, Jakarta Timur. Pascabentrokan warga menuntut tiga hal, yaitu pergi, tutup dan bubarkan Yayasan SETIA dari Kampung Pulo, apa pun alasannya.10 Konflik sosial yang melibatkan mahasiswa terjadi pula di D.I. Yogyakarta, sebuah kota budaya dan kota pendidikan yang selama ini dikenal sebagai miniatur Indonesia dan tempat persemaian multikulturalisme.11 Kali ini bernuansa etnis, seperti penyerangan asrama mahasiswa Papua oleh orang tidak dikenal, pada 23 November 2004 dan penyerangan asrama mahasiswa Sulawesi Selatan, pada 15 Januari 2008, atau bentrokan antar mahasiswa di sebuah tempat kos di Tambakbayan, Babarsari, Kecamatan Depok, Kab. Sleman, tanggal 29 Juni 2007.
Ibid. Multikulturalisme adalah gagasan yang merujuk pada sebuah truisme bahwa masyarakat-masyarakat manusia niscaya memiliki budaya yang beragam. Hikmat Budiman. “Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas” dalam Hikmat Budiman. Ed. Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi Foundation. 2005. hlm. 3. 10 11
7
Catatan yang dibuat berdasarkan pemberitaan media massa dan juga sejumlah penelitian sosial dari lingkungan perguruan tinggi, memperlihatkan adanya pola yang berulang. Pertama, konflik meletup hanya karena penyebab yang sangat sepele. Hampir semua konflik antaretnis mahasiswa di Yogyakarta disebabkan oleh kesalahpahaman belaka. Kedua, konflik terjadi antara: (a) kelompok mahasiswa pendatang dengan penduduk asli; (b) kelompok mahasiswa pendatang dari suatu daerah atau suatu etnis dengan kelompok mahasiswa dari daerah/etnis lain; dan (c) kelompok mahasiswa pendatang dengan kelompok profesi tertentu (misalnya pengemudi becak). Sebuah temuan menarik, konflik antaretnis justru sangat jarang terjadi antara kelompok mahasiswa asli Yogyakarta dan juga Jawa Tengah, dengan kelompok mahasiswa dari etnis lain dari luar Jawa Tengah dan Yogyakarta. Kalaupun kadang-kadang terjadi konflik antaretnis dari luar Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan kelompok mahasiswa asli Yogyakarta atau Jawa Tengah, biasanya tidak berkembang menjadi konflik dalam skala cukup besar, misalnya dalam bentuk perusakan. Pada umumnya, penyebabnya pun hanya berupa gesekan kecil, seperti saat pertandingan olahraga.12 Konflik antarmahasiwa yang bisa mengarah pada sentimen keagamaan terjadi antara mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI) dan Universitas Persada Indonesia Yayasan Administrasi Indonesia (UPI YAI) patut juga dicatat. Sempat mesra pada saat menurunkan Soeharto hingga tahun 2000, konflik mulai terjadi ketika YAI membeli tanah kosong milik Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) yang berada persis di kampus tersebut. Tanah kosong tersebut pada mulanya digunakan 12
8
www.antara.co.id.
untuk para pedagang berjualan. Perlawanan muncul saat mahasiswa Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)--sebagian besar mahasiswa UKI---mengadvokasi para pedagang yang sering bentrok dengan Satpol PP Jakarta Pusat. Tidak bisa dipastikan bagaimana mulanya, yang jelas, kemudian yang berhadap-hadapan bukan antara Satpol PP dengan mahasiswa GMNI tetapi antara mahasiswa UKI dan YAI. Sejak peristiwa itu muncul sentimen-sentimen antarmahasiswa kedua kampus yang berujung pada tawuran. Tawuran bisa terjadi meski hanya saling pandang atau bersenggolan. Ditambah lagi ada semacam doktrin menurut penuturan Mangapul Silalahi, yang dilakukan oleh mahasiswa senior terhadap yunior bahwa mahasiswa UKI adalah yang terbaik. Ini menyebabkan sikap mahasiswa yunior cenderung reaksioner, arogan, dan sombong.13 Bentrok antarmahasiswa juga terjadi di Sulawesi Selatan, misalnya bentrok antara mahasiswa Fakultas Hukum dan Fakultas Teknik Universitas 45 Makassar, yang terjadi tanggal 19 November 2008. Akibat tawuran tersebut, seorang mahasiswa bernama Mursal luka berat karena tikaman di bagian leher dan anak panah juga menancap di sekitar perutnya, sedangkan dua mahasiswa lain mengalami luka ringan. Buntut tawuran antarfakultas tersebut, polisi melakukan razia di dalam kampus. Hasilnya, pihak kepolisian menurut Kepala Kepolisian Resort Makassar, Ajun Komisaris Besar Kamaruddin, menemukan beberapa senjata tajam dan botol bekas minuman keras di wilayah kampus.14 Paparan beberapa kasus konflik yang melibatkan mahasiswa di atas hanya beberapa contoh yang barangkali 13“Mahasiswa UKI dan YAI Sempat ‘Mesra’ di Era Reformasi”, 16 Oktober 2008, www.tempointeraktif.com. 14“Polisi Temukan Senjata Tajam dalam Kampus”, 19 November 2008, www.nasional.vivanews.com.
9
bisa menjadi dasar pemikiran bahwa usia yang relatif matang dan tingkat pendidikan yang tinggi ternyata tidak menjamin mahasiswa lepas dari konflik. Beberapa literatur psikologi memang menjelaskan bahwa tidak selalu bertambahnya usia itu membuat seseorang semakin dewasa---dalam arti--seseorang itu mampu berpikir abstrak serta bertindak mandiri dan sistematis. Sebab, ada juga orang yang tinjau dari usia dianggap dewasa tetapi sikap dan perilakunya kekanakkanakkan.15 Konflik muncul ketika mahasiswa tidak mampu berpikir secara rasional dan berkepala dingin, sudah terkontaminasi dan sarat kepentingan sehingga cenderung bersikap emosional primordial, membeda-bedakan orang berdasarkan suku, agama, ras dan golongan, mahasiswa tidak mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, tidak mampu memahami persoalan secara utuh, pemahaman agama yang sempit, atau punya pengalaman buruk dengan orang lain sehingga cenderung berprasangka (prejudice) pada satu etnis atau umat agama tertentu. Kondisi di atas sangat mungkin terjadi pada semua orang, tidak terkecuali pada mahasiswa sebagai komunitas terdidik. Penelitian Melissa, terhadap sejumlah mahasiswa di Jakarta, menunjukkan kemungkinan kecenderungan seperti itu. Dalam penelitiannya, ia mengasumsikan mahasiswa sebagai golongan muda yang kritis, sehingga bebas prasangka, termasuk prasangka agama, khususnya dalam memilih presiden wanita. Namun, hasil penelitiannya membuktikan lain, yaitu bahwa untuk mahasiswa, agama tetap merupakan hal yang tidak dapat dikritik. Dengan demikian, berarti bahwa faktor rasio yang seharusnya sudah terasah melalui proses pendidikan tinggi, tidak mengubah pola pikir mereka jika menyangkut agama. Jika temuan 15
10
Enung Fatimah. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia. 2006.
Melissa ini benar dan berlaku umum, bangsa ini akan menghadapi kesulitan yang cukup serius di masa yang akan datang, khususnya yang menyangkut kehidupan antarumat beragama. Hal yang lebih mencemaskan adalah bahwa gejala ini bukan hanya tipikal Indonesia, melainkan sudah merupakan gejala global.16 Namun demikian, Andreas A. Yewangoe tetap memandang positif dan meyakini bahwa mahasiswa mampu tampil sebagai garda depan pengembangan toleransi dalam rangka peningkatan kerukunan umat beragama. Sebab, mahasiswa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat Indonesia, sehingga persoalan-persoalan yang dikemukakan di atas, juga merupakan keprihatinan mereka. Mahasiswa sebagai sebagai orang-orang intelektual dan masih muda tentu diharapkan akan sanggup memilih dan memilah persoalan dengan kritis dan obyektif. Pergaulan mereka yang secara umum cenderung tidak membeda-bedakan suku, agama, ras dan golongan, kiranya dapat membantu untuk mengambil jarak dari persoalan-persoalan dan sanggup pula memberikan solusi-solusi yang dapat menolong semua orang.17 Argumen tentang masih pentingnya posisi mahasiswa dalam ikut serta mengembangkan sikap toleransi beragama dapat merujuk pada hasil survei yang dilakukan SETARA Institute tahun 2008 terhadap 800 responden yang berumur antara 17-22 tahun dengan latar belakang agama beragam. Hasilnya menunjukkan, bahwa sebanyak 87.1% responden tidak menjadikan perbedaan agama dalam berteman sebagai halangan dan 67.4% responden dapat menerima fakta 16Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Prasangka Orang Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2006. hlm. 92. 17http://books.google.co.id/books, hlm. 40.
11
perpindahan agama. Dengan demikian, menurut SETARA Institute, modal sosial (social capital) toleransi kaum muda sangat kuat sebagaimana teruji dalam beberapa indikator yang diajukan. Namun demikian, karena para penyelenggara negara, termasuk partai politik tidak menjalankan fungsinya dengan baik, modal sosial itu tidak berkembang dan terpasung. Minusnya transformasi nilai-nilai Pancasila, pola indoktrinasi pendidikan kewarganegaraan, dan keterbatasan teladan dari para penyelenggara negara, telah membentuk pemahaman kaum muda akan Pancasila mengalami kontradiksi.18 Dari elobarasi di atas dapat ditarik gambaran sementara bahwa setiap upaya meningkatkan toleransi di kalangan mahasiswa masih perlu dilakukan. Sebab, kendati survei SETARA Institute menunjukkan hasil mengembirakan terhadap kondisi toleransi kaum muda berbeda agama, namun pada sisi lain masih ditemukan konflik sosial yang melibatkan mahasiswa. Bertolak dari berbagai masalah dan kenyataan serta harapan seperti dikemukakan di atas, maka diperlukan sebuah penelitian tentang toleransi mahasiswa berbeda agama pada perguruan tinggi. Dengan penelitian ini diharapkan akan diketahui toleransi dan apresiasi antarmahasiswa, baik intra maupun antarumat beragama, sebagai modal akademis guna mengarahkan kehidupan sosial yang lebih kohesif di masa depan. B. Identifikasi Masalah Setelah memaparkan posisi penting mahasiswa dalam mengembangkan sikap toleransi, berikut akan ditelusuri faktor-faktor yang diduga menjadi sebab munculnya sikap toleransi dan intoleransi. Dalam perspektif psikologi diketahui 18Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta: SETARA Institute. 2008.
12
bahwa toleransi dan intoleransi adalah karakteristik mental yang merupakan bagian dari perilaku manusia (behavior). Ia adalah sikap individu yang muncul ketika ia berhadapan dengan sejumlah perbedaan dan bahkan pertentangan, baik di tingkat sikap, pandangan, keyakinan dan juga tindakan, yang tumbuh di tengah masyarakat.19 Kurt Lewin menyatakan bahwa sikap dan perilaku manusia merupakan fungsi dari kepribadian (personality) dan pengalaman (experience).20 Artinya, secara umum, munculnya sikap toleransi dan intoleransi pada seseorang atau kelompok masyarakat dipengaruhi oleh faktor kepribadian dan pengalaman. Kepribadian manusia merupakan gabungan dari berbagai sifat dan konsep diri orang. Aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, sikap, dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran kesan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat, yang terungkap melalui perilaku.21 Artinya, sikap dan perilaku intoleran misalnya, bisa dikatakan muncul dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dan kemudian diperbuat seseorang terhadap orang lain yang mungkin berbeda dengan dirinya, salah satunya disebabkan adanya prasangka negatif (negative prejudice). Kata prejudice diartikan M. Ainul Yaqin sebagai “sebuah penilaian akhir yang tidak dilandasi dengan bukti-bukti terdahulu”. Sedangkan secara sosiologis, prejudice adalah sebuah opini, sikap, kepercayaan, dan perasaan yang negatif dan tidak fair terhadap seseorang atau kelompok masyarakat yang lain (etnis, kewarganegaraan, agama, ras, jenis kelamin, partai politik, keluarga, organisasi tertentu, kelas sosial, dan lain 19Saiful Mujani dkk. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar. 2005. hlm. 92. 20Sarwono. op.cit. hlm. 77. 21Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. hlm. 3.
13
lain).22 Nelson mengatakan, seperti dikutip Sarlito Wirawan Sarwono, prasangka merupakan suatu evaluasi negatif seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau kelompok lain, semata-mata karena orang atau orang-orang itu merupakan anggota kelompok lain yang berbeda dari kelompoknya sendiri. Menurut Turner dan Hogg, dalam kehidupan, individu selalu akan mengindentifikasikan dan mendefinisikan diri berdasarkan kelompok sosialnya. Untuk sampai pada identifikasi dan definisi diri itu, tentunya ada proses tertentu. Turner dan Tajfel, menyatakan bahwa ada tiga hal yang dilakukan manusia dalam proses itu, yaitu: (1) kategorisasi; (2) identifikasi; dan (3) membandingkan. Dalam kategorisasi sosial, manusia menyederhanakan dunia sosial dengan menggolong-golongkan berbagai hal yang dianggap mempunyai karakteristik yang sama ke dalam suatu kelompok tertentu. Beberapa di antara pengelompokan sosial yang paling sering dilakukan adalah ras, etnik, agama, dan status sosial, atau tidak tertutup kemungkinan bahwa orang melakukan pengelompokan sosial berdasarkan hal-hal lain. Selanjutnya, individu akan memasukkan dirinya ke dalam salah satu kelompok yang sudah diimajinasikannya sendiri, misalnya aku orang Jawa, aku muslim, atau aku murid STM. Dengan demikian, definisi sosial mengenai siapa dirinya, seperti etnik, agama, jenis kelamin, dan golongan sosial, serta pendidikan juga berarti mencakup siapa yang bukan dirinya. Hal ini kemudian dapat menciptakan munculnya persepsi ingroup-outgroup dalam perilaku kelompok.
22M. Ainul Yaqin. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media. 2005. hlm. 17. Bandingkan dengan Alo Liliweri. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: LKiS. 199-203.
14
Selanjutnya, membandingkan adalah bahwa anggota ingroup selalu akan memandang kelompoknya sendiri lebih menyenangkan, lebih baik, dan lebih positif dibanding anggota outgroup yang hampir selalu dipandang secara lebih negatif. Selanjutnya, ketika individu berada dalam ingroupnya, mereka mempersepsi anggota kelompoknya memiliki keunikan dan berbeda dibandingkan kelompok lainnya. Kecenderungan berpikir seperti itu merupakan bentuk dari outgroup homogeneity dan ingroup bias. Hal ini kemudian menyebabkan individu melakukan bias dalam memandang outgroup sehingga muncul stereotipe terhadap kelompok outgroup.23 Prejudice biasanya cenderung melakukan generalisasi dalam melihat dan menilai seseorang atau kelompok lainnya tanpa memperdulikan kenyataan bahwa setiap individu mempunyai ciri-ciri dan karakter yang berbeda-beda. Prejudice dalam masalah agama misalnya, adanya prasangka atau anggapan umum dari sebagian masyarakat non-muslim di Barat bahwa orang Islam lebih suka melakukan kekerasan terhadap pengikut agama lain sebagai wujud dari pengamalan “jihad” dalam Islam. Islam bukan agama damai, tidak melindungi nilai-nilai moral, tidak menghargai HAM, tidak menghargai perempuan, tidak toleran terhadap non-muslim, dan lain sebagainya. Sebaliknya, ada anggapan dari sebagian masyarakat muslim bahwa orang Nasrani dan Yahudi tidak akan pernah merelakan orang Islam hidup dalam damai dan mencapai kemajuan, karena kemajuan Islam dianggap sebagai ancaman bagi mereka. Kedua anggapan yang tidak berdasar dari kedua pemeluk agama yang berbeda ini adalah contoh dari prejudice 23
Sarwono. op.cit. hlm. 17-26.
15
yang sangat menyesatkan dan berbahaya bagi penciptaan kerukunan umat beragama.24 Prejudice yang kemudian tampil dalam bentuk sikap dan perilaku intoleran dapat dimiliki siapapun, tidak terkecuali para mahasiswa. Asumsi ini tidak terlalu berlebihan, ketika mencermati bahwa beberapa konflik sosial di masyarakat ternyata melibatkan mereka. Tampak jelas, dalam kasus bentrok antara mahasiswa UKI dan YAI ada unsur fanatisme kelompok yang menganggap kelompoknya lebih hebat dibandingkan kelompok lain. Ironisnya, sikap ini diwariskan oleh para senior ke yuniornya. Dalam kasus konflik di Ambon dan penelitian Melissa, fanatisme agama menjadi salah satu pemicunya. Dalam kasus di Yogyakarta, tombol sentimen kesukuan dihidupkan sebagai pemicu bentrok. Sedangkan dalam kasus bentrok antara masyarakat dan mahasiswa SETIA, selain adanya mahasiswa yang bertindak kriminal, juga ketidaktoleran mahasiswa terhadap lingkungan dengan membuang barang-barang yang dianggap tabu secara sembarangan di jalan kampung, yang membuat masyarakat marah. Persoalannya sekarang, mengapa prejudice dan sikap toleran atau intoleran itu muncul di kalangan mahasiswa. Secara umum telah disinggung di atas, bahwa aspek agama dan nonagama dapat menjadi sebab sikap intoleran di kalangan umat beragama. Aspek agama meliputi fanatisme agama dan ketaatan serta penyiaran agama, sedang aspek nonagama meliputi ekonomi, politik, budaya, sosial, dan lainlain. Fanatisme agama dan ketaatan merupakan aktualisasi jiwa keagamaan yang dibentuk dari tradisi keagamaan. 24Yaqin, loc.cit. Selengkapnya baca Robert Spencer. Islam Ditelanjangi: Pertanyaan-pertanyaan Subversif Seputar Doktrin dan Tradisi Kaum Muslim (Islam Unveiled). Penerjemah Mun`im A. Sirry. Jakarta: Paramadina. 2003.
16
Mengacu kepada pendapat Erich Fromm bahwa karakter terbina melalui asimilasi dan sosialisasi. Suatu tradisi keagamaan membuka peluang bagi warganya untuk berhubungan dengan warga lainnya (sosialisasi). Selain itu juga, terjadi hubungan dengan benda-benda yang mendukung berjalannya tradisi keagamaan tersebut (asimilasi), seperti institusi keagamaan dan sejenisnya. Hubungan ini menurut tesis Erich Fromm berpengaruh terhadap pembentukan karakter seseorang. David Riesman melihat ada tiga model konfirmitas karakter, yaitu: (1) arahan tradisi (tradition directed); (2) arahan dalam (inner directed); dan (3) arahan orang lain (other directed), sebagai jabaran tipe karakter. Tetapi tulis Gardon Allport, Buss, dan Plomin, perkembangan emosional merupakan sentral bagi konsep temperamen dan kepribadian. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa karakter terbentuk oleh pengaruh lingkungan dan dalam pembentukan kepribadian, aspek emosional dipandang sebagai unsur dominan. Fanatisme dan ketaatan terhadap ajaran agama agaknya tak dapat dilepaskan dari peran aspek emosional. David Riesman25 melihat bahwa tradisi kultural sering dijadikan penentu di mana seseorang harus melakukan apa yang telah dilakukan nenek moyang. Dalam menyikapi tradisi keagamaan juga tak jarang munculnya kecenderungan seperti itu. Jika kecenderungan taklid keagamaan tersebut dipengaruhi unsur emosional yang berlebihan, maka terbuka peluang bagi pembenaran spesifik (truth claim) yang cenderung mengabaikan dialog yang jujur dan argumentatif. Sikap eksklusif ini yang oleh Ian G. Barbour dalam Issues in 25M. Amin Abdullah. “Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya: Tentang Kebenaran Agama dan Masa Depan Ilmu Agama” dalam Ulumul Qur’an, No. 1 Vol. IV Th. 1993. hlm. 88-96.
17
Science and Religion disebut-sebut sebagai ingridient yang paling dominan dalam proses pembentukan sikap dogmatism dan fanaticism.26 Sifat fanatisme dinilai merugikan bagi kehidupan beragama. Sifat ini dibedakan dari ketaatan. Sebab, ketaatan merupakan upaya untuk menampilkan arahan dalam (inner direct) dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama.27 Berdasarkan argumen di atas maka penelitian ini mengasumsikan bahwa tradisi keagamaan berpengaruh terhadap pembentukan sikap toleransi dan intoleran seseorang. Selain tradisi keagamaan, pada umumnya para ahli mengakui peran pendidikan dalam menanamkan rasa dan sikap keberagamaan pada manusia. Dengan kata lain, pendidikan dinilai memiliki peran penting dalam upaya menanamkan rasa keagamaan pada seseorang.28 Kemudian, melalui pendidikan pula dilakukan pembentukan sikap keagamaan tersebut. Jalaluddin menyebutkan tiga lingkup pendidikan yang berpengaruh, yaitu: (1) pendidikan keluarga; (2) pendidikan kelembagaan; dan (3) pendidikan di masyarakat. Guna menjelaskan tentang pentingnya pendidikan keluarga bagi pembentukan sikap seseorang, Jalaluddin mengutipkan kisah dua ahli psikologi anak Prancis bernama Itard dan Sanguin yang pernah meneliti anak-anak asuhan serigala. Mereka menemukan dua orang bayi yang dipelihara oleh sekelompok serigala disebuah gua. Ketika ditemukan, kedua bayi manusia itu sudah berusia kanak-kanak. Namun, kedua bayi tersebut tidak menunjukkan kemampuan yang 26M. Amin Abdullah. “Relevansi Studi Agama di Era Pluralisme Agama” dalam Mohammad Sabri. Keberagamaan yang Saling Menyapa: Perspektif Filsafat Perennial. Yogyakarta: Ittaqa Press. 1999. hlm. xiii. 27Jalaluddin. op.cit. hlm. 288-289; . 28Zakiyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga. 2007.
18
seharusnya dimiliki oleh manusia pada usia kanak-kanak. Tak seorang di antara keduanya yang mampu mengucapkan katakata, kecuali suara auman layaknya seekor serigala. Keduanya juga berjalan merangkak dan makan dengan cara menjilat. Dan terlihat pertumbuhan gigi serinya paling pinggir lebih runcing menyerupai taring serigala. Setelah dikembalikan ke lingkungan masyarakat manusia, ternyata kedua anak-anak hasil asuhan serigala tersebut tak dapat menyesuaikan diri, akhirnya mati. Peristiwa yang serupa pernah terjadi pula di India, bahkan dia ditemukan pada usia 14 tahun. Sebagaimana juga terjadi di Prancis, anak yang ditemukan dalam asuhan serigala yang kemudian diberi nama Manu itu pun akhirnya mati, karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan manusia pada umumnya. Contoh di atas menunjukkan bagaimana pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun pembentukan kebiasaan terhadap masa depan perkembangan seorang anak. Meskipun Manu seorang bayi manusia yang dibekali potensi kemanusiaan, namun di lingkungan pemeliharaan serigala potensi tersebut tidak berkembang. Kondisi seperti itu tampaknya menyebabkan manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya dapat berjalan secara baik dan benar. Di sinilah peran penting pendidikan keluarga---di mana orang tua sebagai pendidiknya---memberikan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan sang anak. Apakah anak akan bersikap terbuka (inklusif) atau tertutup (eksklusif), dogmatisme dan fanatisme, toleran atau intoleran, sangat bergantung bagaimana orang tua menanamkan sikap keberagamaan kepada sang anak.
19
Adapun mengenai pendidikan kelembagaan, para ahli mengaku kesulitan mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap perkembangan jiwa keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan anak. Kenyataan sejarah menunjukkan kebenaran itu. Sebagai contoh adalah adanya tokoh-tokoh keagamaan yang dihasilkan oleh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan khusus seperti pondok pesantren, seminari maupun vihara. Young menulis bahwa pendidikan keagamaan (religious pedagogyc) sangat mempengaruhi tingkah laku keagamaan (religious behavior).29 Pendidikan keluarga dan kelembagaan mempunyai masa asuhan yang terbatas, sedangkan masa asuhan pendidikan di masyarakat berlangsung selamanya. Oleh sebab itu, lingkungan masyarakat akan memberi dampak dan besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat normanorma kesopanan tidak akan dikuasai hanya dengan mengenal saja. Menurut Emerson, norma-norma kesopanan--dan itu berarti juga termasuk sikap toleransi dan intoleransi (pen.)---menghendaki adanya norma-norma kesopanan atau sikap toleransi dan intoleransi pula pada orang lain.30 Dengan demikian, dapat diartikan bahwa sikap toleran dan intoleran akan lebih efektif jika seseorang berada dalam 29 30
20
Jalaluddin. op.cit. hlm. 269-270; . Ibid. 273.
lingkungan yang menjunjung tinggi sikap-sikap tersebut. Sebagai contoh, hasil penelitian Masri Singarimbun terhadap kasus kumpul kebo di Mojolama. Ia menemukan 13 kasus kumpul kebo ini ada hubungannya dengan sikap toleran masyarakat terhadap hidup bersama tanpa nikah, di mana kasus seperti itu mungkin akan lebih kecil di lingkungan masyarakat yang menentang pola hidup seperti itu.31 Dari penjelasan di atas maka dapat diasumsikan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap pembentukan sikap toleran dan intoleran. Artinya apa, bahwa situasi dan kondisi pergaulan seseorang akan sangat menentukan tingkat toleransinya. Apabila dia hidup dalam sebuah keluarga atau kerabat yang mungkin menganut agama yang beragam, patut diduga dia mempunyai toleransi yang tinggi. Apabila mahasiswa banyak berkecimpung dalam kegiatan intrakurikuler atau ekstrakulikuler yang di dalamnya tidak sedikit melibatkan mahasiswa beda agama, patut diduga pula dia mempunyai toleransi yang tinggi. Apabila mahasiswa tinggal di lingkungan masyarakat yang beragam pula . Dalam ilmu psikologi sosial dinyatakan bahwa perilaku seseorang dapat dibedakan menjadi tiga aspek penyusunnya, yakni pengetahuan (aspek kognitif), sikap (aspek persuasif), dan keterampilan (aspek psikomotorik). Pengetahuan adalah semua buah pikiran dan pemahaman kita tentang dunia, yang diperoleh tanpa melalui daur hipotetiko-dedukto-verikatif (gabungan logika deduktif dan logika induktif dengan pengajuan hipotesa), atau tanpa metode ilmiah. Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu, namun demikian sikap mempunyai segi-segi perbedaan dengan pendorong-pendorong lain yang ada dalam diri 31
Ibid. 274.
21
manusia itu. Hubungan antara sikap dan perilaku seseorang, menurut Ajzen (1988) bahwa keyakinan tentang konsekuensi perilaku dan penilaian tentang keyakinan akan menumbuhkan sikap seseorang terhadap sesuatu obyek. Sikap tersebut bersama-sama dengan norma subyektif yang mereka miliki selanjutnya melahirkan intensi untuk berperilaku. Dalam taksonomi Bloom, keterampilan ini merupakan terjemahan dari psychomotor yaitu kompetensi yang berkaitan dengan tugas dalam suatu sistem dan perilaku sistematis yang relevan untuk mencapai tujuan. Lebih spesifik lagi keterampilan ini dapat bermakna kemampuan (ability) yang menggambarkan suatu sifat (bawaan atau dipelajari) yang memungkinkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang bersifat mental atau fisik. Alimron menjelaskan, secara garis besar, penyebab munculnya intoleransi terbagi ke dalam dua faktor, yaitu faktor agama dan faktor nonagama. Faktor agama meliputi fanatisme sempit dan pelaksanaan misi atau dakwah agama. Pertama, fanatisme sempit. Keberagamaan manusia erat kaitannya dengan masalah keyakinan yang bersifat subyektif dan emosional. Oleh sebab itu, setiap pemeluk agama musti meyakini agamanya sebagai kebenaran yang mutlak (absolut). Namun demikian, keyakinan ini harus diletakkan dalam sisi subyektifitas dan obyektifitas. Secara subyektifitas seorang penganut suatu agama lebih jauh akan meyakini bahwa agamanyalah sebagai satu-satunya agama yang benar, dan mengatakan bahwa semua ajaran (agama) yang berbeda dan bertentangan dengan agamanya adalah ajaran yang salah. Namun pada sisi obyektif, orang tersebut harus memberi hak kepada pemeluk agama lain untuk berkeyakinan dan mengatakan hal yang serupa.
22
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua pemeluk agama mempunyai keyakinan sebagai tersebut di atas. Dalam hal ini permasalahan akan muncul jika masing-masing umat beragama hanya mengutamakan sisi subyektifitasnya dan mengabaikan obyektifitas, atau bahkan berupaya memaksakan kemutlakan subyektif kepada orang lain. Implikasi dari fenomena ini adalah lahirnya sikap eksklusif yang tertutup, otoriter, merasa benar sendiri, dan tidak toleran terhadap perbedaan. Hal ini sikap eksklusivisme agama. Memang dalam penganutan suatu agama harus didukung dengan fanatisme ini. Jika tidak agama tersebut akan kehilangan nilai dan makna bagi penganutnya bahkan besar kemungkinan akan terancam eksistensinya. Dalam hal ini, ada kategori fanatisme, positif dan negatif. Fanatisme positif adalah sikap fanatik yang bertolak dari pemahaman dan penghayatan ajaran agama, sehingga terbentuk pribadi yang teguh dalam memegang ajaran agamanya, tetapi pada waktu yang sama, juga mau mengerti dengan pengalaman beragama orang lain. Sedangkan fanatisme negatif adalah sikap fanatik yang tidak didasarkan pada pemahaman dan penghayatan ajaran agama yang benar atau hanya berdasarkan taqlid semata. Dalam tataran praktis, fanatisme ini seringkali melahirkan sikap keberagamaan yang eksklusif, intoleran, defensif, dan reaktif, serta cenderung lebih mengutamakan konfrontatif dengan pihak lain.32 Kedua, pelaksanaan misi atau dakwah agama. Misi atau dakwah agama merupakan tugas suci bagi tiap pemeluk agama. Tugas ini merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemeluk agama yang bersangkutan, demi untuk mempertahankan ekstensinya atau untuk menyelamatkan 32Alimron. Toleransi Antarumat Beragama dalam Perspektif al-Quran. Tesis. Padang: IAIN Imam Bonjol. 1999. hlm. 21-25.
23
manusia dari kesesatan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keyakinan akan kemutlakan ajaran agamanya, apalagi kalau agama yang bersangkutan diklaim sebagai agama yang universal, yang ditujukan kepada seluruh umat manusia. Pemeluk agama demikian merasa dirinya berkewajiban untuk menyiarkan agamanya kepada seluruh manusia, jika perlu dengan paksaan. Selain itu, karena keyakinan bahwa agamanyalah yang benar, ia memandang agama lain salah, pemeluk agama itu tidak akan mencapai keselamatan. Didorong oleh keinginan untuk memberi petunjuk kepada orang lain yang dianggap sesat dan untuk menyelamatkan sesama manusia, timbullah usaha-usaha untuk menunjukkan kesalahankesalahan agama orang lain sambil menyatakan kebenaran agamanya sendiri yang kemudian dilanjutkan lagi dengan usaha-usaha untuk menarik pemeluk agama lain untuk mengubah agamanya. Upaya-upaya ini pada mulanya mungkin didasari niat baik, dapat menimbulkan intoleransi beragama dan mengakibatkan tegangnya hubungan antara kedua masyarakat pemeluk agama bersangkutan. Dalam hal ini ketegangan dalam penyebaran agama muncul ketika caracara yang digunakan dirasakan kurang wajar itu, dibumbui dengan ungkapan-ungkapan, tulisan maupun lisan yang mnyudutkan atau merendahkan agama lain. Dari agama-agama yang ada, sifat misionaris ini paling konkret memang terlihat pada Islam dan Kristen, karena keduanya sama-sama mengklaim sebagai agama universal. Oleh karena itu, bagi Islam dan Kristen, penyebaran agama merupakan konsekuensi logis dan bagian inherent dalam agama masing-masing. Berbeda dengan agama Hindu, Buddha, dan Khonghucu misalnya, yang lebih mengutamakan pada aspek pembinaan pribadi pemeluknya. Karena itu, jarang ada pertentangan atau ketegangan yang terjadi adalah ketegangan antara sesama agama misioner, yakni Islam dan 24
Kristen. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan tersebut, maka perlu diwujudkan adanya modus vivendi (cara hidup bersama) yang mengatur hubungan atau pergaulan antarumat beragama, termasuk tentang tata cara dan kode etik penyiaran agama. Sedangkan faktor nonagama dijelaskan Alimron, secara hakiki, pada dasarnya tidak ada agama di dunia ini yang lahir untuk bermusuhan, menghina atau menjelek-jelekkan agama atau penganut agama lain. Baik pada agama samawi (agama dengan kitab suci dari nabi) maupun agama ardhi (agama tanpa kitab suci dan nabi). Oleh karena itu, munculnya intoleransi antarumat beragama pada hakikatnya bukanlah berasal dari ajaran agama, melainkan bertolak dari pengertian dan pemahaman ajaran agama, melainkan bertolak dari pengertian dan pemahaman ajaran agama yang kurang utuh dan benar (kaffah), serta cara keberagamaan para pemeluknya. Selain karena sentimen keagamaan di atas, intoleransi dalam kehidupan beragama juga dapat timbul karena adanya pengaruh dari faktor-faktor lain, seperti politik, ekonomi, dan sosial budaya yang lain. Sebagai contoh, berbagai kerusuhan dan konflik yang melibatkan antarumat beragama di Indonesia, sebagaimana telah disinggung di atas, pada dasarnya lebih didominasi oleh faktor-faktor eksternal tersebut. Dalam hal ini faktor agama sebenarnya hanya menempel saja pada faktor-faktor tersebut, dengan kata lain, sentimen agama telah dijadikan alat atau pemicu untuk membangkitkan emosi masyarakat sehingga termobilasi untuk melakukan tindakan destruktif dan kekerasan.33 Berdasarkan elaborasi di atas dapat diidentifikasi beberapa faktor yang diduga mempengaruhi sikap toleran 33
Ibid.
25
dan intoleran mahasiswa, yaitu faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi internal mahasiswa, seperti pribadi dan kepribadian, serta eksternal mahasiswa, seperti pengalaman. Pribadi dan kepribadian bisa meliputi aspek genetis, usia, jenis kelamin, pola pengasuhan dan pendidikan dalam keluarga, pekerjaan, pendapatan, pemahaman keagamaan, dan lain-lain. Sedangkan kondisi eksternal---pengalaman--bisa meliputi aspek pendidikan kelembangaan (sekolah, pesantren), interaksi dalam kegiatan intra dan ekstrakurikuler, pendidikan di masyarakat (lingkungan homogen atau heterogen, pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama berbeda, tradisi keagamaan, dan sebagainya).34 Banyaknya faktor yang diduga mempengaruhi sikap toleran dan intoleran mahasiswa menunjukkan bahwa masalah toleransi merupakan masalah yang kompleks. Artinya, masalah ini tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja tetapi harus dilihat dari berbagai sudut pandang. C. Pembatasan Masalah Sebagaimana telah diuraikan di atas, faktor-faktor yang dapat menyebabkan munculnya sikap toleransi dan intoleransi cukup banyak, di antaranya kepribadian (personality), prasangka (prejudice), persepsi ingroup-outgroup, fanatisme keagamaan, tradisi keagamaan, pengetahuan dan pemahaman keagamaan, sosial-budaya, lingkungan pendidikan (keluarga, akademik, masyarakat), sikap inklusifeksklusif, penyiaran agama, politik, ekonomi, atau pengalaman berinteraksi dengan pemeluk agama berbeda. Namun, dalam rangka lebih fokus, penelitian ini hanya membatasi diri pada upaya untuk mengkaji lebih jauh 34Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme Islam. Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press & Pustaka Pelajar. 2009.
26
mengenai pengaruh kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, dan lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama. D. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini dikonstruksikan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap keterlibatan organisasi? 2. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap hasil belajar? 3. Apakah keterlibatan organsiasi berpengaruh langsung terhadap hasil belajar? 4. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan? 5. Apakah keterlibatan organisasi berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan? 6. Apakah hasil belajar berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan? 7. Apakah kepribadian berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama? 8. Apakah keterlibatan organisasi berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama? 9. Apakah hasil belajar pendidikan agama berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama? 10. Apakah lingkungan pendidikan berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama? 27
E. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah guna menjawab 10 butir rumusan masalah di atas, yaitu mengkaji: 1. Pengaruh kepribadian terhada keterlibatan organisasi 2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar 3. Pengaruh keterlibatan organsiasi terhdap hasil belajar 4. Pengaruh keprbadian terhdap lingkugan pendidikan 5. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan 6. Pengaruh hasil belajar terhadap pendidikan 7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama 8. Pengaruh beragama
keterlibatan
organisasi
terhadap
toleransi
9. Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap toleransi beragama 10. Pengaruh pendidikan terhadap toleransi beragama F. Kegunaan Hasil Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi para pihak berkepentingan mengetahui gambaran toleransi mahasiswa berbeda agama perguruan tinggi umum negeri, yaitu: 1. Bagi Pemerintah (Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama), penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar kebijakan bagi penyusunan dan pengembangan kurikulum nasional pendidikan agama di perguruan tinggi umum. 2. Bagi Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan 28
terukur dalam menggali akar masalah intoleransi beragama di kalangan mahasiswa perguruan tinggi umum. Selain itu, penelitian ini juga sebagai pengejawantahan tugas dan fungsi Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama untuk menyediakan data bagi pemerintah dalam perumusan kebijakan pendidikan agama di perguruan tinggi umum. 3. Bagi Perguruan Tinggi Umum, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam menyusun model pembinaan keagamaan dalam rangka menciptakan toleransi beragama di kalangan mahasiswa berbeda agama. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penyusunan kurikulum lokal pendidikan agama yang berbasis kemajemukan. 4. Bagi Mahasiswa, penelitian ini diharapkan sebagai bahan renungan bersama dan pengetahuan bagi mahasiswa untuk mengembangkan wawasan toleransi beragama di komunitas mereka. 5. Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan sosialisasi nilai-nilai kerukunan dan toleransi dalam keluarga dan masyarakat serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk bertanggung jawab dalam memberikan penyadaran tentang toleransi beragama.
29
30
BAB II PENYUSUNAN KERANGKA TEORITIK DAN PENGAJUAN HIPOTESIS A. Deskripsi Teoritik
S
ebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa terdapat lima variabel penelitian, yaitu variabel kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, lingkungan pendidikan, dan toleransi beragama, yang secara konseptual barangkali tidak banyak diketahui. Oleh karena itu, sehubungan penelitian ini, pengertian dari masing-masing variabel tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu guna menghindari kesalahpahaman terhadap pengertian dan batasan konsep lima variabel penelitian tersebut. 1. Variabel Kepribadian (X1) Disiplin ilmu psikologi menjelaskan bahwa istilah yang dikenal untuk kepribadian bermacam-macam, di antaranya adalah: (a) mentality, yaitu situasi mental yang dihubungkan dengan kegiatan mental atau intelektual; (b) personality, yang dalam Webters Dictionary dijelaskan sebagai the totality of personality’s characteristic dan an integrated group of constitution of trends behavior tendencies act; (c) individuality, adalah sifat khas seseorang yang menyebabkan seseorang mempunyai sifat berbeda dari orang lainnya; dan (d) identity, yaitu sifat kedirian sebagai suatu kesatuan dari sifat-sifat mempertahankan dirinya terhadap sesuatu dari luar (unity and persistance of personality).1 1Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2008. hlm. 191.
31
Personality atau kepribadian berasal dari kata persona yang berarti topeng, yakni alat untuk menyembunyikan identitas diri. Adapun pribadi yang merupakan terjemahan dari bahasa Inggris person, atau persona dalam bahasa Latin yang berarti manusia sebagai perseorangan, diri manusia atau diri orang sendiri. Sumber lain melihat, pribadi (persona, personeidad) adalah akar struktural dari kepribadian, sedang kepribadian (personality, personalidad) adalah pola perilaku seseorang di dalam dunia. Secara filosofis dapat dikatakan bahwa pribadi adalah “aku yang sejati” dan kepribadian merupakan “penampakan sang aku” dalam bentuk perilaku tertentu. Di sini muncul gagasan umum bahwa kepribadian adalah kesan yang diberikan seseorang kepada orang lain yang diperoleh dari apa yang dipikir, dirasakan, dan diperbuat yang terungkap melalui perilaku. Banyak definisi tentang kepribadian sebagaimana dikemukakan oleh Mark A. May, Morrison, Woodworth, Hartmann, L.P. Thorp, dan C.H. Judd, tetapi uraian paling lengkap adalah yang dikemukakan oleh G.W. Allport. Dikatakan bahwa, kepribadian adalah organisasi (susunan) dinamis dari sistem psikofisik dalam diri individu yang menentukan penyesuaiannya yang unik terhadap lingkungan. David Lykken mengatakan bahwa kepribadian sebagai suatu perangai dan langkah serta semua kekhasan yang membuat orang berbeda dari orang lain. Kepribadian manusia merupakan gabungan dari berbagai sifat dan konsep diri orang. Aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, sikap, dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran dan kesan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat, yang terungkap melalui perilaku.2 Hariwijaya menyatakan, kepribadian merupakan 2Djaali.
32
Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. hlm. 3.
kesatuan unik dari ciri-ciri fisik dan mental yang ada dalam diri seseorang. Contoh karakteristik fisik misalnya pandangan mata, senyum, sosok tubuh, perangai, dan sebagainya. Sedangkan contoh karakteristik mental adalah kebijaksanaan, toleransi dan ketekunan. Kombinasi yang muncul dari keduanya merupakan kepribadian seseorang.3 Selanjutnya Wetherington menjelaskan bahwa kepribadian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) manusia karena keturunannya mula sekali hanya merupakan individu dan kemudian barulah merupakan suatu pribadi karena pengaruh belajar dan lingkungan sosialnya; (b) kepribadian adalah istilah untuk menyebutkan tingkah laku seseorang secara terintegrasikan dan bukan hanya beberapa aspek saja dan keseluruhan itu; (c) kata kepribadian menyatakan ketentuan tertentu saja yang ada pada pikiran orang lain dan isi pikiran itu ditentukan oleh nilai perangsang sosial seseorang; (d) kepribadian tidak menyatakan sesuatu yang bersifat statis, seperti bentuk badan atau ras tetapi menyertakan keseluruhan dan kesatuan dari tingkah laku seseorang; dan (e) kepribadian tidak berkembang secara pasif saja, setiap orang mempergunakan kapasitasnya secara aktif untuk menyesuaikan diri kepada lingkungan sosial. Berdasarkan elaborasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian adalah perangai atau perilaku yang muncul sebagai akibat interaksi dinamis antara karakteristik fisik dan mental pada diri individu yang berkembang sesuai dengan pendidikan dan lingkungan sosialnya. Dengan perkataan lain, terdapat dua unsur pembentuk kepribadian yang saling mempengaruhi, yaitu hereditas (fisik dan mental) dan lingkungan. Adanya kedua unsur yang membentuk 3M.
hlm. 1.
Hariwijaya. Tes Kepribadian. Yogyakarta: Media Ilmu. 2009.
33
kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi4 dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan. Beranjak dari pemahaman tersebut, maka para psikolog cenderung berpendapat bahwa tipologi menunjukkan bahwa manusia memiliki kepribadian yang unik dan bersifat individu yang masing-masing berbeda. Sebaliknya karakter menunjukkan bahwa kepribadian manusia terbentuk berdasarkan pengalaman dengan lingkungan.5 Berkenaan dengan kepribadian, Carl Gustav Jung menjelaskan bahwa kepribadian dalam individu dapat dibedakan antara dua sisi yang introvert dan extrovert. Pada diri yang introvert umumnya memiliki sifat-sifat cenderung menarik diri, suka bekerja sendiri, tenang, pemalu, tetapi rajin, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan cenderung tertutup secara sosial. Individu yang extrovert pada umumnya memiliki ciri-ciri suka berpandangan atau berorientasi keluar, bebas dan terbuka secara sosial, berminat terhadap keanekaan, sigap dan tidak sabar dalam menghadapi pekerjaan yang lamban, dan suka bekerja kelompok. Extrovert adalah kecenderungan seseorang untuk mengarahkan perhatian keluar dari dirinya, sehingga segala minat, sikap, keputusan yang diambil lebih ditentukan oleh 4Tipologi (typology) adalah satu skema klasifikatori, yang merupakan hasil dari proses mentipekan (typication) yang mengacu pada ciri tipikal kualitas individu atau orang, benda-benda, atau peristiwa, oleh karenanya tipologi merupakan satu kategori niskal yang memiliki acuan empirikal. M.M. Billah. “Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep. Hukum dan HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. hlm. 4. 5Jalaluddin. op.cit. hlm. 282-283.
34
peristiwa yang terjadi di luar dirinya. Pada dasarnya orangorang yang bersifat extrovert menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan menerima masukkan dari pihak luar, aktif, suka berteman, dan ramah tamah. Umumnya mereka sudah senada dengan kebudayaan dan orang-orang yang berada di sekitarnya, serta berupaya untuk mengambil keputusan sesuai dan serasi dengan permintaan dan harapan lingkungan. Adapun tipe introvert kecenderungan seseorang untuk menarik dari dari lingkungan sosialnya. Minat, sikap, dan keputusan yang diambil selalu didasarkan perasaan, pemikiran, dan pengalamannya sendiri. Pada dasarnya orang yang introvert cenderung pendiam dan tidak membutuhkan orang lain karena merasa segala kebutuhannya dapat dipenuhinya sendiri. Di samping penampakkan umum tersebut, introvert menunjukkan tempat tertutup dan lebih berhati-hati, pengambilan keputusan agak terlepas dari kendala dan penelaahan mengenai situasi, kebudayaan, perorangan atau benda di sekitar mereka, mereka tenang, rajin, bekerja sendiri, dan agak tertutup secara sosial. Umumnya orang introvert tidak suka diinterupsi apabila sedang bekerja dan cenderung melupakan muka dan nama orang. Meskipun demikian, keduanya masing-masing memiliki kecenderungan ciri stable dan unstable. Meskipun demikian baik extrovert dan introvert hanya merupakan suatu tipe reaksi yang terus menerus, dan bila seseorang menunjukkan reaksi semacam itu secara kontinyu atau dengan kata lain reaksi semacam itu lelah menjadi kebiasaan, maka barulah dapat dianggap seseorang mempunyai kepribadian satu dari kedua tipe itu. Pada perkembangan melalui adaptasi maupun intervensi terhadap lingkungan, sebagian individu mengadakan penyesuaian, sehingga menjadi sifat yang
35
ambivalen, yakni sifat di antara introvert dan extrovert. Seseorang yang mempunyai sifat introvert dengan adanya unsur adaptasi dengan lingkungan serta rasa percaya dirinya yang semakin bertambah akan cenderung bergerak ke arah extrovert. Demkian juga seseorang extrovert dengan adanya unsur adaptasi dengan lingkungan tetapi percaya diri yang semakin berkurang akan cenderung bergerak ke arah introvert.6 Berbeda dengan Jung, jauh sebelumnya Galenus membagi secara umum kepribadian manusia menjadi empat kriteria yaitu: (a) Sanguinis, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar periang, optimistis, dan percaya diri. Sifat perasaannya mudah menyesuaikan diri, tidak stabil, baik hati, tidak serius, kurang dapat dipercaya karena kurang begitu konsekuen; (b) Melankolis, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri. Sifat lainnya merasa tertekan dengan masa lalunya, sulit menyesuaikan diri, berhati-hati, konsekuen, dan suka menepati janji; (c) Koleris, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif dan agresif. Sifat-sifat lainnya mudah tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, tidak mau mengalah, tidak sabaran, tidak toleran, kurang mempunyai rasa humor, cenderung beroposisi, dan banyak inisiatif (usaha); dan (d) Plegmatis, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar pendiam, tenang, netral (tidak ada warna perasaan yang jelas), dan stabil. Sifat lainnya merasa cukup puas, tidak peduli (acuh tak acuh), dingin hati (tak mudah terharu), pasif, tidak mempunyai banyak minat, bersifat lambat, sangat hemat, dan tertib/teratur.7 6Djaali.
op.cit. hlm. 11-12. Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian. Bandung: Sekolah Pascasarjana & Remaja Rosdakarya. 2008. hlm. 26. 7Syamsu
36
Sedangkan Hariwijaya menjelaskan, bahwa emosi orang Sanguinis umumnya menarik, pandai bicara, pandai menghidupkan forum dan punya rasa humor yang hebat. Ia mempunyai ingatan kuat untuk warna, rasa dan gaya. Di dalam forum, secara fisik mampu memukau pendengar, emosional dan demonstratif, antusias dan ekspresif, periang dan penuh semangat. Kepalanya penuh dengan rasa ingin tahu. Ia adalah orator yang baik di panggung, lugu dan polos dalam sikap, berhati tulus dan kadang kekanak-kanakan. Ia realistis dalam cita-cita, hidup di masa sekarang, mudah diubah jika memang ada ide yang lebih baik. Bukan hanya pandai mengontrol emosinya sendiri, ia juga pandai memainkan emosi orang lain. Seorang Sanguinis adalah sukarelawan untuk tugas, memikirkan kegiatan baru, tampak hebat di permukaan, kreatif dan inovatif, punya energi dan antusiasme, mulai dengan cara cemerlang, serta mampu mengilhami orang lain untuk ikut serta. Ia pandai untuk mempesona dan mendorong orang lain untuk bekerja. Sebagai rekan, orang Sanguinis mudah berteman karena ia mencintai orang, suka dipuji dan selalu tampak menyenangkan. Karena itu ia sering dicemburui orang lain, meski ia bukan pendendam dan cepat minta maaf jika merasa bersalah. Ia mempunyai daya improvisasi yang tinggi sehingga pintar mencegah saat-saat membosankan dengan kegiatan spontan. Ciri emosi orang Melankolis adalah pemikir yang mendalam, analitis, serius dan tekun. Ia cenderung jenius, berbakat dan kreatif, artistik atau musical, filosofis dan puitis. Ia sangat menghargai dan menjunjung tinggi keindahan, perasa terhadap orang lain, suka berkorban, penuh kesadaran, idealis. Ia akan memendam emosinya demi menjaga harmoni. Di dalam hubungan dengan pekerjaan, orang Melankolis berorientasi pada jadwal, perfeksionis, standar tinggi, sadar perincian, gigih dan cermat, tertib dan terorganisasi, teratur
37
dan rapih. Dalam pengeluaran ia ekonomis, melihat masalah secara cermat hingga mendapat pemecahan kreatif, perlu menyelesaikan apa yang dimulai, suka diagram, grafik, bagan, daftar. Kendali emosinya sangat tinggi. Orang melankolis hati-hati dalam berteman. Ia lebih puas tinggal sebagai orang kedua dalam sebuah organisasi dan menghindari perhatian. Meski demikian orang Melankolis setia dan berbakti, mau mendengarkan keluhan, bisa memecahkan masalah orang lain, sangat memperhatikan orang lain, terharu oleh air mata penuh dengan belas kasihan, mencari teman hidup ideal. Ciri emosi orang Koleris berbakat sebagai pemimpin karena ia dinamis dan aktif, sangat memerlukan perubahan, progresif memperbaiki kesalahan, berkemauan kuat dan tegas, tidak emosional bertindak, tidak mudah patah semangat, bebas dan mandiri, memancarkan keyakinan, dan bisa menjalankan apa saja. Ia akan memperoleh banyak pendukung dari teman-teman dekatnya. Salah satu sifat penting orang Koleris adalah disiplin tinggi. Seorang Koleris berorientasi target, melihat seluruh gambaran, berorganisasi dengan baik, mencari pemecahan praktis, bergerak cepat untuk bertindak, mendelegasikan pekerjaan, menekankan pada hasil, membuat target, merangsang kegiatan, berkembang karena saingan. Seorang Koleris tidak terlalu perlu teman, mau bekerja untuk kegiatan, mau memimpin dan mengorganisasi, biasanya selalu benar dan paling bijak, unggul dalam keadaan darurat. Ia fleksibel, mampu bekerja sendiri maupun berkelompok. Keduanya menguntungkan bagi dia. Emosinya sangat terjaga jika tidak dimulai oleh suatu pelanggaran kode etik yang mengganggu pribadinya. Pemimpin yang berjiwa Koleris adalah seseorang yang secara luar biasa mampu menggerakan orang lain untuk melangkah. Mereka bisa mengajak orang lain keluar dari zona kenyaman dan bergerak menuju tujuan mereka. Mereka mampu 38
membangkitkan gairah, antusiasme, dan tindakan para pengikut.8 2. Variabel Keterlibatan Organisasi (X2) Salah satu sikap manusia ditentukan oleh pengalaman. Pengayaan pengalaman ditentukan oleh seberapa besar keinginan seseorang terlibat dalam kegiatan sosialkemasyarakatan, atau bagi mahasiswa, kehidupan kampus melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan atau sejenisnya. Keinginan untuk terlibat dalam organisasi kemahasiswaan sesungguhnya merupakan pemenuhan kebutuhan untuk hidup bermasyarakat (live of society) ataupun kehidupan berkelompok (live of group). Keterlibatan atau partisipasi menurut Soerjono Soekanto merupakan setiap proses identifikasi atau menjadi peserta, suatu proses komunikasi atau kegiatan bersama dalam suatu situasi sosial tertentu.9 Dalam hidup bersama atau berkelompok, manusia menginginkan penampilannya sebaik mungkin agar dapat memberikan manfaat bagi orang lain. Miftah Thoha mengatakan bahwa dasar pokok yang amat penting atas keterlibatan seseorang dalam kehidupan berkelompok adalah kesempatannya untuk berinteraksi dengan pihak lain. Bila seseorang jarang melihat atau berbicara dengan pihak lain, akan sulit dapat tertarik. Oleh karena itu, keterlibatan seseorang dalam berorganisasi atau berkelompok, ditentukan oleh adanya daya tarik. Daya tarik ini ditimbulkan oleh adanya interaksi antara sesama organisasi. Kesempatan 8M. Hariwijaya. op.cit. hlm. 118-130; Jalaluddin. op.cit. hlm. 195; Agus Sujanto, Halem Lubis, dan Taufik Hadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. hlm. 22. 9Soerjono Soekanto (1993: 355), sebagaimana dikutip Sismarni. “Teori Partisipasi dalam Dinamika Sosial” dalam www.lppbifiba.blogspot.com.
39
berinteraksi ini secara langsung mempunyai pengaruh terhadap daya tarik dan pembentukan kelompok. Di samping itu juga, keterlibatan itu didasarkan atas teori kedekatan. Menurut teori ini, seseorang tersebut dapat berhubungan dengan orang lain karena adanya kedekatan ruang dan daerahnya (spatial and geographical proximity). Selanjutnya Thoha menyebutkan keterlibatan juga didasarkan atas alasanalasan praktis (practicalities of group formation). Karyawankaryawan suatu organisasi, misalnya, akan mengelompok atas alasan ekonomi, keamanan dan sosial. Yang terpenting dalam teori ini adalah bahwa kelompok-kelompok itu cenderung memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial yang mendasar dan substansial dari orang-orang yang mengelompok tersebut. Teori lain, dikemukakan oleh George Hommans yang melihat keterlibatan itu didasarkan pada aktifitas-aktifitas, interaksi-interaksi dan sentimen-sentimen (perasaan ataupun emosi). Ketiga elemen ini saling berhubungan secara langsung dengan alasan bahwa semakin banyak dilakukan aktifitas seseorang dengan hal yang berhubungan dengan orang lain, semakin beraneka interaksinya dan juga semakin kuat tumbuhnya sentimen-sentimen mereka. Kemudian semakin banyak interaksi antara seseorang dengan yang lainnya, maka semakin banyak kemungkinan aktifitas dan sentimen yang ditularkan kepada orang lain. Dan yang terakhir, semakin banyak aktifitas yang ditularkan kepada orang lain dan semakin banyak sentimen seseorang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak pula kemungkinan ditularkannya aktifitasaktifitas dan interaksi-interaksi. Menurut Thibaut dan Kelly, bahwa terbentuknya suatu organisasi didasarkan atas teori tukar menukar, teori persamaan sikap dan teori saling melengkapi. Menurut teori 40
tukar menukar ini, interaksi dalam suatu kelompok terjadi dalam proses tukar-menukar antara imbalan (reward) dengan ongkos (cost) dalam setiap terjadinya interaksi. Seseorang selalu mendapatkan imbalan berupa kepuasan atau terpenuhinya sebahagian kebutuhannya. Menurut teori tukar menukar ini, seseorang menciptakan dan memelihara hubungan antarperorangan karena ia berpendapat bahwa imbalan yang diperolehnya masih lebih besar daripada ongkos yang harus ia keluarkan. Festinger mengatakan bahwa orang yang memasuki suatu kelompok sosial, pada hakikatnya mempunyai dorongan untuk mengadakan evaluasi terhadap dirinya. Dengan memasuki suatu organisasi, seseorang akan mengetahui pendapat orang lain mengenai dirinya termasuk apa yang baik, yang boleh dan yang tidak boleh dikerjakan. Melalui interaksi dalam organisasi itulah ia dapat mengetahui apakah pendapatnya, gagasan dan pertimbangannya sesuai dengan kenyataan sosial.10] Sementara itu, menurut Helbert dan Ray keterlibatan seseorang dalam berorganisasi didasarkan pada keinginan untuk memuaskan tujuan-tujuan pribadinya. Organisasi dapat menuntunnya untuk mencapai cita-citanya yang tidak dapat dicapai dengan sendirian. Dasar lainnya ialah karena organisasi merupakan mobilitas bagi usaha pencapaian tersebut. Di samping itu, organisasi juga menjadikan seseorang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan atau menyempurnakan barang-barang (dalam arti luas) yang termasuk dalam tujuan pribadi. Hal itu akan sulit atau kurang memungkinkan untuk diselesaikan tanpa keterlibatan organisasi. Kemudian keterlibatan juga untuk memenuhi kebutuhan biologis seperti sandang, pangan, perumahan, air, 10Ibid.
41
udara dan lain-lain guna mempertahankan hidupnya. Selain itu, juga untuk mengharapkan sejumlah keuntungan atau kontribusi tertentu dari organisasi dan menyempurnakan tujuan-tujuan tertentu. Menurut Abdulsyani, keterlibatan seorang dalam kelompok didasarkan karena hasratnya untuk bersatu dengan manusia-manusia yang lain disekitarnya. Karena naluri manusia itu ingin hidup bersama atas kehendak dan kepentingan yang tidak terbatas. Karena itu, dalam usaha untuk memenuhi kehendak dan kepentingan tersebut, tidak dapat dilakukan sendirian melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Dengan demikian, proses untuk mencapai tujuan tersebut dapat melalui kerjasama dan berfikir secara bersama-sama pula. Sementara itu, menurut Witch bahwa tertariknya seseorang untuk melakukan interaksi di tentukan oleh prinsip atau asas saling melengkapi (the principle of complementary). Artinya, seseorang tertarik untuk mengadakan interaksi bukan karena adanya kesamaan sikap, tetapi justru karena adanya perbedan-perbedaan yang tercipta. Adanya perbedaan, misalnya, dalam merasakan kekurangan diri sendiri dibandingkan dengan orang lain, justru akan mendorong seseorang tersebut untuk mendapatkan yang kurang itu dari orang lain.11 Paparan di atas menggambarkan keuntungan yang dapat diperoleh oleh seseorang bila terlibat dalam organisasi. Melalui keterlibatan organisasi, selain akan memperoleh informasi berharga, tanggapan dan saran, ide-ide berharga, juga dapat memperkecil kesalahpahaman antarindividu dan kelompok, sehingga akan terwujud saling pengertian dan toleransi antaranggota. Para mahasiswa yang terlibat dalam organisasi diasumsikan memiliki cakrawala pandang yang luas dan toleran terhadap orang lain. 11Ibid.
42
Sedangkan organisasi (organization) artinya sistem disiplin yang mengatur sejumlah manusia dalam melaksanakan usaha sosial atau politik berdasarkan azas-azas dan mengikuti metode-metode yang terarah. Dalam konteks kemahasiswaan, ada dua jenis organisasi kemahasiswaan, yaitu yang bersifat intrakampus seperti Himpunan Mahasiswa Jurusan, Senat Mahasiswa Fak. Badan Eksekutif Mahasiswa, Lembaga Dakwah Kampus, dan lain-lain serta ekstrakampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan lain-lain. 3. Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama (X3) Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan hal (mata pelajaran).12 Definisi lain, pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitar. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan pikiran-pikiran.13 Sedangkan keagamaan artinya “yang berhubungan dengan agama”, yang dalam kaca mata Wade Clark Roof sebagai hasil pengembangan gagasan Durkheim memiliki unsur: (a) kepercayaan (beliefs); (b) ritus (ibadah); dan (c) komunitas moral. Dengan demikian, pengetahuan keagamaan dapat didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang diketahui, kepandaian atau segala sesuatu yang berkenaan 12Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Hlm. 1121. 13Israq. “Substansi dan Definisi Pengetahuan” dalam www.israq.wordpress.com.
43
dengan agama yang meliputi aspek kepercayaan, ritus, dan komunitas moral”.14 Dalam konteks pendidikan di perguruan tinggi, penguasaan pengetahuan keagamaan diukur melalui huruf dan angka tertentu, biasanya dalam 5 kategori: A = 4, B = 3, C = 2, D = 1, E = 0. Huruf A diasosiasikan sebagai simbol yang mewakili penguasaan pengetahuan keagamaan yang tertinggi (kategori sangat baik), baru menyusul kemudian peringkat di bawahnya B (baik), C (cukup), D (kurang), dan E (sangat kurang). Artinya, bila ada mahasiswa memperoleh nilai A maka yang bersangkutan diasumsikan mempunyai penguasaan pengetahuan keagamaan yang sangat baik. Sebaliknya, bila mendapat huruf E maka diasumsikan mempunyai penguasaan pengetahuan keagamaan yang sangat kurang. Dengan penguasaan pengetahuan keagamaan yang sangat baik maka diasumsikan mempunyai sikap toleransi beragama yang sangat baik pula. Sebaliknya, dengan penguasaan pengetahuan keagamaan yang sangat kurang maka diasumsikan mempunyai sikap toleransi beragama yang sangat kurang pula. Asumsi di atas tentu tidak baku, karena antara aspek kognitif (pengetahuan keagamaan) dan psikomotorik (toleransi beragama) tidak selalu mempunyai hubungan sebab-akibat. Banyak faktor---sebagaimana akan diuraikan pada penjelasan tentang toleransi beragama---yang mempengaruhi sikap toleransi beragama seseorang. 4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4) Memahami lingkungan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pemahaman akan konsepsi pendidikan, sebab 14Bandingkan
dengan pengertian pengetahuan keagamaan menurut Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. 1987. hlm. 46.
44
pendidikan itu merupakan suatu proses yang berlanjut dan berlangsung dalam bermacam-macam situasi dan lingkungan. Dalam Dictionary of Education yang dikutip oleh A. Mury Yusuf, mengatakan bahwa: “Pendidikan itu adalah merupakan (1) suatu proses (sejumlah proses secara bersamasama) perkembangan, kemampuan, sikap dan bentuk tingkah laku lainnya yang berlaku dalam masyarakat di mana ia hidup; (2) suatu proses di mana seseorang dipengaruhi oleh lingkungan terpilih dan terkontrol (misalnya kampus) sehingga ia dapat mengembangkan diri pribadi secara optimum dan kompeten dalam kehidupan masyarakat (sosial). Dengan demikian interaksi dalam diri individu dan dengan masyarakat sekitarnya baik dilihat dari segi kecerdasan/ kemampuan, minat maupun pengalamannya”15 Sehubungan dengan lingkungan pendidikan, oleh Hadari Nawawi dijelaskan bahwa: “Di dalam kegiatan kependidikan sekurang-kurangnya dua orang atau lebih yang masing-masing menjalankan fungsi sebagai pendidik dan si terdidik atau anak yang harus dibantu, ditolong dan diarahkan agar mencapai kedewasaannya masing-masing sebagai tujuan. Realita kegiatannya sengaja atau tidak sengaja akan berwujud organisasi atau kegiatan kelompok manusia sebagai suatu sistem yang bersifat tetap berlaku universal, dan tidak terkait pada organisasi yang lain. kegiatan kependidikan seperti itu antara lain diwujudkan dalam keluarga, sekolah/kampus, dan lembaga pendidikan formal lainnya”.16 Berdasarkan pendapat di atas, pada dasarnya lingkungan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi: 15A. Muri Yusuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1996. hlm. 23. 16Hadari Nawawi. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Gunung Agung. 1985. hlm. 7.
45
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (sosial). a. Lingkungan Keluarga Keluarga adalah unit terkecil di dalam masyarakat yang merupakan persekutuan hidup antarsekelompok orang dan mempunyai kepentingan masing-masing dalam mendidik. Ayah dan Ibu sebagai pimpinan keluarga memberikan suatu konsekuensi berupa tanggung jawab memelihara dan mendidik setiap anak yang dilahirkannya. Konsekuensi itu didasarkan pada norma-norma sosial dan norma agama yang menempatkan manusia sebagai makhluk individual, sosial dan bermoral. Dengan demikian sebuah keluarga tidak hanya sekadar berstatus sebagai lembaga sosial akan tetapi juga merupakan lembaga pendidikan informal. Raymond W. Murray menyatakan fungsi keluarga sebagai berikut: (1) kesatuan turunan biologis dan juga kebahagiaan bermasyarakat; (2) berkewajiban meletakkan dasar pendidikan, rasa keagamaan, kemauan, rasa kesukaan pada keindahan, kecakapan berekonomi, pengetahuan penjagaan pada diri si anak. Di samping itu pula dilengkapi bahwa keluarga perlu meletakkan kerangka berpikir pada diri si anak.”17 Selanjutnya status keluarga sebagai lembaga pendidikan dijelaskan Sutjipto Wirawidjojo dengan pernyataannya: “Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan utama”.18 Pentingnya pendidikan anak-anak dalam keluarga sangat menentukan perkembangan anak itu pada fase-fase selanjutnya. Tanpa adanya pendidikan anak yang terorganisasi dalam keluarga, maka anak akan tumbuh dan 17A.
Mury Yusuf. op.cit. hlm. 26. lot cit. hlm. 62.
18Slameto.
46
berkembang secara tidak sewajarnya. Karena tujuan pendidikannya untuk membina, membimbing dan mengarahkan kepada tujuan suci, yakni terbentuknya mental, sikap serta penonjolan tingkah laku yang positif dan membangun, bukan saja dalam lingkungan keluarga tetapi disetiap lingkungan di mana ia berada. Dengan demikian mahasiswa yang mendapat keluarga yang baik akan mampu mengidentifikasikan pola sikap dan tingkah laku yang baik dalam keluarganya dan dalam konteks yang lebih luas (lingkungan sosial). b. Lingkungan Perguruan Tinggi (Kampus) Perguruan Tinggi adalah organisasi kerja sebagai wadah kerjasama sekelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Oleh sebab itu Perguruan Tinggi dinamakan juga sebagai lembaga atau institusi. Perguruan Tinggi pada prinsipnya merupakan salah satu wadah tempat berlangsungnya pendidikan yang memiliki peranan dan kedudukan sebagai lembaga pendidikan. Di dalamnya terdapat pengelompokan yang berbeda-beda tetapi merupakan satu kesatuan yang integral sebagai komponen-komponen yang saling berinteraksi. Dari konteks inilah sehingga kampus diimplementasikan sebagai lingkungan pendidikan. Peranan Sekolah/Perguruan Tinggi sebagai institusi dinyatakan sebagai berikut: “peranan sekolah/kampus sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi manusiawi yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masayarakat. Kegiatan untuk mengembangkan potensi itu harus dilakukan secara berencana, terarah dan sistematik guna memncapai tujuan tertentu. tujuan itu harus mengandung nilai-nilai yang serasi
47
dengan kebudayaan masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan sebagai lembaga pendidikan.”19 Melalui Perguruan Tinggi mahasiswa dipersiapkan menjadi manusia yang memiliki pengetahuan, keteram pilan/keahlian di dalam mengola lingkungannya yang terdiri atas lingkungan fisik dan lingkungan sosial guna menciptakan berbagai kelengkapan untuk memper mudah dan menyenangkan kehidupannya. Dilihat dari sudut sosial dan spiritual Perguruan Tinggi berfungsi mengembangkan sikap mental yang erat hubungannya dengan norma-norma kehidupan. Muhlas, menyatakan bahwa pendidikan memiliki tiga dimensi, yaitu: dimensi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Dimensi jangka pendek pendidikan diartikan sebagai proses kegiatan belajar mengajar, dimensi jangka menengah diartikan sebagai proses penyiapan sumber daya manusia, dan dimensi jangka panjang adalah sebagai proses pengembangan budaya.20 Berdasarkan uraian di atas, berarti Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memiliki tanggung jawab mempersiapkan mahasiswa agar mampu meneruskan sejarah dan tata cara kehidupan manusia sebagai makhluk yang berbudaya. Karena kebudayaan itu bukanlah sesuatu yang statis akan tetapi terus menerus berkembang secara dinamis. Oleh sebab itu Perguruan Tinggi diharapkan bukan sekadar berfungsi untuk mempertahankan kebudayaan yang ada sesuai dengan martabat manusia yang selalu dituntut dengan kebutuhan yang selalu meningkat.
19Hadari
2009.
48
Nawawi. op.cit. hlm. 27. Pendidikan Profesi Guru. Jakarta: Irjen Dikti Depdiknas.
20Muhlas.
c. Lingkungan Masyarakat Menurut A. Muri Yusuf, lingkungan masyarakat adalah lingkungan ketiga dalam proses pembentukan kepribadian anak. Lingkungan masyarakat akan memberikan sumbangan yang berarti dalam diri anak apabila diwujudkan dalam proses dan pola yang tepat. Tidak semua ilmu pengetahuan, sikap, keterampilan maupun performansi dapat dikembangkan oleh sekolah/kampus ataupun dalam keluarga, karena keterbatasan dan kelengkapan lembaga tersebut. Kekurangan yang dirasakan akan dapat diisi dan dilengkapi oleh lingkungan masyarakat dalam membina pribadi anak”.21 Dalam pendapat tersebut di atas terlihat bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat adalah sebagai: (1) komplemen, yaitu berorientasi untuk melengkapi kemampuan keterampilan kognitif, perfomansi seseorang, sebagai akibat belum lengkapnya (mantapnya) apa yang mereka terima dalam sekolah atau dalam keluarga; (2) substitusi, yakni menyediakan pendidikan bukan sekadar tambahan atau pelengkap, tetapi mengadakan pendidikan yang sama dengan sekolah; dan (3) sebagai suplemen terhadap pendidikan yang diberikan oleh lingkungan yang lain yakni penambahan pengetahuan keterampilan. Misalnya mengadakan kursuskursus, pelatihan, dan kegiatan dalam suatu organisasi kemasyarakatan. Berdasarkan pembahasan di atas, maka bentuk dan jenis lingkungan sangat menentukan dan memberi pengaruh terhadap pembentukan sikap, penerimaan, tingkah laku, dan toleransi setiap mahasiswa terhadap berbagai kemajemukan (etnis, organisasi, dan agama). Hal tersebut mengindikasikan bahwa bentuk dan jenis lingkungan pendidikan tidak bisa 21A.
Mury Yusuf, op.cit., hlm. 34
49
diabaikan sebagai faktor penting dalam mengukur toleransi beragama di kalangan mahasiswa. Pengabaian terhadap masalah ini barangkali dapat membuat pembacaan terhadap toleransi beragama di kalangan mahasiswa itu tidak utuh (bias). 5. Variabel Toleransi Beragama (Y) Dalam Webster’s World Dictionary of American Language,22 kata “toleransi” secara etimologis berasal dari bahasa Latin, tolerare yang berarti “menahan, menanggung, membetahkan, membiarkan, dan tabah”. Dalam bahasa Inggris, kata itu berubah menjadi tolerance yang berarti “sikap membiarkan, mengakui, dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan”. Wikipedia Ensiklopedia, mengutip Perez Zagorin, menjelaskan bahwa toleransi adalah terminologi yang berkembang dalam disiplin ilmu sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.23 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan, toleransi adalah sifat atau sikap toleran, yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri, misalnya toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya).24 22David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American Language. New York: The World Publishing Company. 1959. p. 799; William L. Reese. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. Expanded Edition. New York: Humanity Books. 1999. p. 774-775.. 23www.wikipedia.org.id. 24Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. hlm. 1204; W.J.S. Poerwadarminta.
50
Dalam bahasa Arab, kata toleransi---mengutip Kamus alMunawir---biasa disebut dengan istilah tasamuh yang berarti sikap membiarkan atau lapang dada.25 A. Zaki Badawi mengatakan, tasamuh (toleransi) adalah pendirian atau sikap yang termanifestasikan pada kesediaan untuk menerima berbagai pandangan dan pendirian yang beranekaragam, meskipun tidak sependapat dengannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa toleransi ini erat kaitannya dengan masalah kebebasan atau kemerdekaan hak asasi manusia dalam tata kehidupan bermasyarakat, sehingga mengizinkan berlapang dada terhadap adanya perbedaan pendapat dan keyakinan dari setiap individu.26Kamus Oxford menegaskan bahwa toleransi adalah kemampuan untuk menenggang rasa atas keyakinan dan tindakan orang lain dan membiarkan mereka melakukannya. Kamus tersebut juga menggambarkan toleransi sebagai “kemampuan untuk menanggung penderitaan atau rasa sakit”. Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi UNESCO menyatakan bahwa “toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keragaman budaya dunia yang kaya, berbagai bentuk ekspresi diri, dan cara-cara menjadi manusia. Toleransi adalah kerukunan dalam perbedaan”. Sullivan, Pierson, dan Marcus, sebagaimana dikutip Saiful Mujani, toleransi didefinisikan sebagai a willingness to “put up with” those things one rejects or opposes, yakni Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989. hlm. 702; Binsar A. Hutabarat. Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama. www.google.com. 25Ahmad Warson Munawir. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: PP Krapyak. 1994. hlm. 702. 26A. Zaki Badawi. Mu`jam Musthalahat al-`Ulum al-Ijtima`iyat. Beirut: Maktabah Lubnan. 1982. hlm. 426; Khaled Abou El Fadl. Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme versus Pluralisme. Bandung: Arasy. 2003; `Ala Abu Bakar. Islam yang Paling Toleran: Kajian tentang Fanatisme dan Toleransi dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006.
51
“kesediaan untuk menghargai, menerima, atau menghormati segala sesuatu yang ditolak atau ditentang oleh seseorang”.27 J.P. Chaplin mengatakan, toleransi adalah satu sikap liberalis, atau tidak mau campur tangan dan tidak mau campur tangan dan tidak mengganggu tingkah laku dan keyakinan orang lain.28 Lorens Bagus menjelaskan, toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah, atau bahkan keliru. Dengan sikap itu ia juga tidak mencoba memberangus ungkapan-ungkapan yang sah keyakinankeyakinan orang lain tersebut. Sikap semacam ini tidak berarti setuju terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Juga tidak berarti acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas agnostisisme, atau skeptisisme, melainkan lebih pada sikap hormat terhadap pluriformitas dan martabat manusia yang berbeda.29 Benyamin Intan dalam bukunya, Public Religion and the Pancasila-Based State of Indonesia mengutip David Little membagi pengertian toleransi dalam dua bagian: Pertama, dalam definisinya yang minimal, yaitu “jawaban pada seperangkat kepercayaan, praktik atau atribut, yang pada awalnya dianggap sebagai menyimpang atau tidak bisa diterima, dengan ketidaksetujuan, tetapi tanpa menggunakan kekuatan atau paksaan”. Kedua, dalam bentuknya yang paling kuat, toleransi bisa didefinisikan sebagai “(sebuah) jawaban 27Saiful Mujani. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007. hlm. 162. 28J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2006. hlm. 512; Paul Edwards. Editor in Chief. “Toleration” in The Encyclopedia of Pholosophy. Volume 7 and 8 Paul Edwars (New York & London: Macmillan Publisher. 1967, hlm 143. 29Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996. hlm. 1111-1112.
52
kepada seperangkat kepercayaan, praktik atau atribut, yang awalnya dianggap sebagai menyimpang atau tidak bisa diterima, dengan ketidaksetujuan yang disublimasi, tetapi tanpa menggunakan kekuatan atau paksaan”. Menurut Little, “ketidaksetujuan yang disublimasi” adalah “ada sesuatu yang bisa dinilai, sesuatu yang membangun, baik di dalam bagian kepercayaan-kepercayaan yang menyimpang itu sendiri atau di dalam proses memberi-menerima yang terjadi di antara para pendukung ide-ide yang sedang bertikai, betapapun besarnya ketidaksepakatan yang ada”. Dalam definisi Little yang pertama ada hidup bersama, namun tak ada kebersamaan, sedang dalam definisi yang kedua, hidup bersama itu diwarnai dengan kebersamaan, suatu kehidupan yang saling memberi dan menerima. Kehidupan bersama yang harmonis tentu saja mensyaratkan penerimaan definisi yang kedua. Dengan demikian, jelaslah, sikap toleran itu bukan hanya membutuhkan kesadaran, tetapi juga semangat, gairah, perjuangan dalam bersikap toleran demi hidup bersama yang lebih baik.30 Dengan menggunakan perspektif psikologi sosial, Yayah Khisbiyah menjelaskan, toleransi adalah kemampuan untuk menahankan hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak kita sukai, dalam rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi mensyaratkan adanya penerimaan dan penghargaan terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta praktik orang/kelompok lain yang berbeda dengan kita. Intoleransi adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk bertoleran, muncul karena kita tidak bisa atau tidak mau menerima dan menghargai perbedaan. Intoleransi bisa terjadi pada tataran hubungan interpersonal, seperti hubungan antara kakak dan adik, orangtua dan anak, suami 30www.commongroundnews.org.
53
dan isteri, antarteman, atau antarkelompok, misalnya suku, agama, bangsa, dan ideologi.31 Penjelasan menarik tentang konsep dan praktik toleransi diungkapkan Walzer. Walzer, sebagaimana dikutip Trisno Sutanto, mengambil pendekatan berbeda ketimbang para pemikir yang sibuk mencari kaidah-kaidah universal. Baginya praktik-praktik toleransi---atau, sederhananya, koeksistensi damai kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki sejarah, budaya, dan identitas berbeda---harus selalu diletakkan dalam situasi historis-konkret. Soalnya, koeksistensi damai itu dapat mengambil bentuk pengaturan politik yang berbeda-beda, masing-masing dengan implikasinya sendiri-sendiri. Toleransi sebagai suatu sikap, menurut Walzer, merujuk pada berbagai matra di dalam suatu garis kontinum. Pertama, yang mencerminkan toleransi keagamaan di Eropa sejak abad ke 16 dan 17 adalah sekadar penerimaan pasif perbedaan demi perdamaian setelah orang merasa capek saling membantai. Jelas ini tidak cukup dan karenanya dapat dicandra gerak dinamis menuju matra kedua: ketidakpedulian yang lunak pada perbedaan. Di situ sang liyan diakui ada, tetapi kehadirannya tidak bermakna apa-apa. Matra ketiga melangkah lebih jauh: ada pengakuan secara prinsip bahwa sang liyan punya hak-hak sendiri sekalipun mungkin ekspresinya tidak disetujui. Matra keempat bukan saja memperlihatkan pengakuan, tetapi juga keterbukaan pada yang lain, atau setidaknya keingintahuan untuk lebih dapat memahami sang liyan. Posisi paling jauh dalam kontinum ini, yakni matra kelima, tidak sekadar mengakui dan terbuka, tetapi juga mau mendukung atau bahkan merawat dan 31Yayah
Khisbiyah. Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi untuk Multikulturalisme: Dukungan dari Psikologi Sosial. Surakarta: PSB-PS UMS. 2007. hlm. 4.
54
merayakan perbedaan, entah karena alasan estetika-religius (keragaman sebagai ciptaan Tuhan) entah karena keyakinan ideologis (keragaman merupakan tanah subur bagi perkembangan umat manusia). 32 Dalam hubungannya dengan agama dan kepercayaan, toleransi berarti menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan, agama yang berbeda itu tetap ada, walaupun berbeda dengan agama dan kepercayaan seseorang. Toleransi tidak berarti bahwa seseorang harus melepaskan kepercayaannya atau ajaran agamanya karena berbeda dengan yang lain, tetapi mengizinkan perbedaan itu tetap ada.33 Toleransi beragama pertama kali ditelaah oleh John Locke dalam konteks hubungan antara gereja dan negara di Inggris. Toleransi di sini mengacu pada kesediaan untuk tidak mencampuri keyakinan, sikap, dan tindakan orang lain, meskipun mereka tak disukai. Negara tidak boleh terlibat dalam urusan agama, dan juga tidak boleh ditangani oleh kelompok agama tertentu. Dalam masyarakat muslim, toleransi merujuk pada sikap dan perilaku kaum muslim terhadap nonmuslim, dan sebaliknya. Secara historis, toleransi secara khusus mengacu pada hubungan antara kaum muslim dan para pengikut agama Semitis lainnya, yakni Yahudi dan Kristen. Hubungan antara kaum muslim, Kristen, dan Yahudi sangat rumit dan mengalami pasang surut dari abad ke abad.34 Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain. 32Trisno Sutanto. “Melampaui Toleransi?: Merenung Bersama Walzer” dalam Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Paramadina. 2007. hlm. 346-353. 33www.in-christ.net. 34Saiful Mujani. op.cit. hlm. 159.
55
Dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia dijelaskan, toleransi beragama adalah sikap bersedia menerima keanekaragaman dan kebebasan beragama yang dianut dan kepercayaan yang diyakini oleh pihak atau golongan lain. Hal ini dapat terjadi karena keberadaan dan eksistensi suatu golongan, agama atau kepercayaan, diakui atau dihormati oleh pihak lain. Pengakuan tersebut tidak terbatas pada persamaan derajat, baik dalam tatanan kenegaraan, tatanan kemasyarakatan maupun di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga perbedaan-perbedaan dalam cara penghayatan dan peribadatannya yang sesuai dengan alasan kemanusiaan yang adil dan beradab.35 Dalam toleransi ini semua umat beragama harus berpegang pada prinsip agree in disagreement (setuju dalam perbedaan).36 Perbedaan tidak harus mengakibatkan permusuhan, karena bagaimanapun perbedaan akan selalu ada di dunia ini. Oleh karena itu, ia tidak harus menimbulkan pertentangan. Dalam konteks ini, prinsip tersebut mengandung pengertian, semua penganut agama setuju untuk hidup rukun dengan tetap memelihara eksistensi semua agama yang ada. Dengan demikian, toleransi antarumat beragama bukan hanya sekadar hidup berdampingan secara pasif tanpa adanya saling keterlibatan satu sama lain, melainkan lebih dari itu, yakni toleransi yang bersifat aktif dan dinamis, yang diaktualisasikan dalam bentuk hubungan saling menghargai dan menghormati, berbuat baik dan adil antarsesama, dan bekerjasama dalam membangun masyarakat yang harmonis, rukun dan damai. 35Tim Penyusun. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid XVI. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. 1996. hlm. 384; Karl Rahner. Ed. Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi. Wellwood, North Farm Road, Tunbridge Wells, Kent: Burns & Oates. 1993. p. 1721-1726. 36Istilah agree in desagreement dipopulerkan oleh Menteri Agama, A. Mukti Ali.
56
Sejalan dengan pendapat di atas, menurut A.M. Hardjana, toleransi beragama terdiri atas dua kategori, yaitu toleransi dogmatis dan toleransi praktis. Toleransi dogmatis adalah toleransi yang terbatas atau hanya menyangkut ajaran agama. Dalam hal ini para penganut agama tidak saling mengambil pusing akan ajaran agama orang lain. Sedangkan dalam toleransi praktis, para penganut agama saling membiarkan dalam mengungkapkan iman, menjalankan ibadat dan praktik keagamaan lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam aplikasinya, kedua macam toleransi tersebut dapat bergabung atau terpisah. Para penganut agama dapat saling toleran dalam kedua hal itu, dapat menentang di bidang yang satu, misalnya ajaran, tetapi membiarkan praktiknya dan sebaliknya. Dalam toleransi beragama, dibutuhkan adanya kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan bertanggung jawab, hingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan mengeliminir egoistis golongan. Oleh karenanya, setiap pemeluk agama hendaknya dapat menghayati ajaran agamanya secara mendalam. Sebab, sebagaimana dikemukakan Djohan Effendi, penghayatan terhadap aspek kedalaman dari agama akan dapat membuat seseorang lebih mampu bersikap menghormati orang lain secara lebih manusiawi. Dengan kata lain, aspek kedalaman dari agama itulah yang membuat seseorang lebih toleran terhadap orang lain. Hal ini membuat seseorang pada aspek kedalaman dari agama terdapat titik-titik temu yang lebih banyak dari agamaagama.37 Meskipun demikian dalam kaitannya dengan toleransi antarumat beragama, menurut Anwar Harjono, ada dua hal 37Djohan
Effendi. “Persahabatan Lebih Penting Daripada Kesepakatan Formal” dalam Mimbar Ulama, No. 128 Tahun XII/1988. hlm. 29-30.
57
yang sama besar bahayanya, yaitu: Pertama, apabila kita hanya terpaku kepada tugas-tugas dalam lingkungan agama kita sendiri tanpa menghiraukan hak-hak golongan agama lain. Kedua, apabila kita terlalu bersemangat menjalankan toleransi sehingga kita menganggap semua agama sama saja, sama benarnya, atau sama salahnya.38 Bahaya pertama akan mendorong seseorang kepada penyiaran agama tanpa mengindahkan peraturan yang ada, sehingga siapa saja dijadikan sebagai sasaran penyiaran agama. Semangat demikian kelihatannya sangat luhur karena didorong oleh motif suci melaksanakan perintah agama yang ganjarannya adalah surga. Akan tetapi, jika semua orang begitu keyakinan dan perilakunya, akibatnya akan terjadi “perang agama” secara permanen, baik terbuka maupun terselubung. Bahaya kedua, akan mendorong seseorang melakukan pendangkalan terhadap ajaran agama. Dicari-carilah persamaan-persamaan di antara agama-agama yang ada. Berdasarkan persamaanpersamaan itu, mereka merumuskan apa yang disebut sebagai “hakikat” atau “intisari” agama---jika tidak diwaspadai--bahkan berpotensi pula untuk menegasikan agama yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, dalam menjalankan toleransi setiap umat beragama hendaknya berpedoman kepada prinsip-prinsip yang telah digariskan oleh ajaran agamanya masing-masing, supaya tidak terjebak atau terjerumus kepada bahaya di atas. Muhammad Ali menjelaskan, toleran merupakan satu sikap keberagamaan yang terletak antara dua titik ekstrim sikap keberagamaan, yaitu eksklusif dan pluralis. Guna lebih jelasnya perhatikan skema berikut. 38Anwar Harjono. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 1995. hlm. 153.
58
Eksklusif
Toleran
Pluralis
Pada titik paling kiri, ada mereka yang eksklusif: menutup diri dari (seluruh atau sebagian) kebenaran pada yang lain. Ada yang bersikap toleran: membiarkan yang lain, namun masih secara pasif, tanpa kehendak memahami, dan tanpa keterlibatan aktif untuk bekerjasama. Bersikap toleran sangat dekat dengan sikap selanjutnya pada titik paling kanan, yaitu sikap pluralis. Yakni sikap meyakini kebenaran diri sendiri, sambil berusaha memahami, menghargai, dan menerima kemungkinan kebenaran yang lain, serta lebih jauh lagi, siap bekerja sama secara aktif di tengah perbedaan itu.39 Dari uraian di atas diketahui bahwa kendati toleransi merupakan sikap keberagamaan yang positif, namun masih bersifat pasif sebab hanya sekadar membiarkan yang lain (the other), tanpa kehendak memahami, dan tanpa keterlibatan aktif untuk bekerjasama. Namun demikian, konsep tersebut tidak mengurangi nilai penting sikap toleran sebagai satu sikap yang sangat penting untuk dimiliki setiap warga negara demi terwujudnya kerukunan umat beragama. Sebaliknya, tidak toleran (intolerant) merupakan satu sikap yang harus dijauhi karena dapat menimbulkan ketegangan, gesekan, bahkan konflik antarumat beragama.40 Yusuf al-Qardhawi berpendapat bahwa toleransi sebenarnya tidaklah bersifat pasif, tetapi dinamis. Sehubungan hal tersebut, al-Qardhawi mengategorikan toleransi keagamaan dalam tiga tingkatan. Pertama, toleransi dalam bentuk hanya sebatas memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya, tetapi tidak 39Muhammad Ali. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hlm.xii. 40Ibid.
59
memberinya kesempatan untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan yang diwajibkan atas dirinya. Kedua, memberinya hak untuk memeluk agama yang diyakininya, kemudian tidak memaksanya mengerjakan sesuatu sebagai larangan dalam agamanya. Ketiga, tidak mempersempit gerak mereka dalam melakukan hal-hal yang menurut agamanya halal, meskipun hal tersebut diharamkan menurut agama kita.41 Berdasarkan elaborasi di atas, secara konseptual dan metodologis, maka pertama, toleransi tidak merujuk kepada perbedaan, tetapi penerimaan terhadap perbedaan. Sebab itu berapapun besar dan jauhnya perbedaan tidak menggambarkan kondisi toleransi beragama. Kedua, toleransi beragama sebenarnya merujuk kepada suatu situasi relasional yang relatif damai di antara berbagai umat beragama yang berlainan. Terlepas dari kegaduhan dan ketegangan yang ditimbulkan oleh aktivitas-aktivitas berbagai kelompok partisan di ranah publik, sepanjang mereka tidak benar-benar menolak apalagi menghilangkan eksistensi kelompok-kelompok keagamaan lain, skala toleransi beragama sesungguhnya tidak mengalami perubahan yang berarti. Ini seharusnya merujuk kepada salah satu indikator demokrasi yang memungkinkan siapa pun bebas mengekspresikan diri dalam ruang publik, termasuk penolakannya kepada kelompok beragama lain.42 Hal tersebut berarti, konsep tentang toleransi mengandaikan pondasi nilai bersama sehingga idealitas bahwa agama-agama dapat hidup berdampingan secara koeksistensi harus diwujudkan.43 41Yusuf al-Qardhawi. Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam. Penerjemah Muhammad Baqir. Bandung: Mizan. 1985. Hlm. 95-97. 42Resume Studi Toleransi dan Kerentanan Religi di 4 Kota Jawa, dari Labsosio Departemen Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia. 2008. hlm. 1. 43Biyanto. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan: Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press. 2009. hlm. 160.
60
Berangkat dari beberapa penjelasan mengenai pengertian toleransi beragama tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa toleransi beragama adalah kesadaran seseorang untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan membolehkan pendirian, pandangan, keyakinan, kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan kebiasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dalam rangka membangun kehidupan bersama dan hubungan sosial yang lebih baik. B. Hasil Penelitian yang Relevan Perhatian para sarjana terhadap isu-isu toleransi beragama di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya cukup intens. Hal itu setidaknya ditunjukkan dengan digelarnya banyak seminar, lokakarya, dan penelitian yang menjadikan isu toleransi beragama sebagai temanya. Sebagian besar hasil kegiatan tersebut sudah dipublikasikan secara luas, baik dalam bentuk buku maupun press release yang dimuat di media massa. Dalam rangka memperkaya penelitian ini berikut akan disajikan beberapa publikasi dimaksud. Penelitian tentang toleransi---termasuk toleransi beragama---banyak jenisnya dan bergantung pada pokok masalah dan metodenya. Beberapa penelitian berusaha untuk mengukur toleransi masyarakat dengan menentukan indikator yang akan diukur dan dilakukan dengan menggunakan pendekatan survei. Penelitian yang layak disebut di sini misalnya penelitian yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat SETARA Institute. Sungguh menarik apa yang diakukan lembaga swadaya masyarakat (LSM) ini di mana pada tahun 2008 telah mensurvei 800 responden yang dipilih secara acak sistematik. Sampel dalam
61
penelitian adalah generasi muda yang berumur 17-22 tahun dengan latar belakang agama majemuk. Dengan jumlah sampai 800 orang, toleransi kesalahan (margin of error) penelitian lebih kurang 3.5% pada tingkat kepercayaan 95%. Sementara pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka dengan panduan kuesioner. Hasil survei menunjukkan bahwa sebanyak 87.1% responden tidak menjadikan perbedaan agama dalam berteman sebagai halangan dan 67.4% responden dapat menerima fakta perpindahan agama. Dengan demikian, modal sosial toleransi kaum muda sangat kuat. Namun demikian, karena para penyelenggara negara, termasuk partai politik tidak menjalankan fungsinya dengan baik, modal sosial itu tidak berkembang dan terpasung. Minusnya transformasi nilai-nilai Pancasila, pola indoktrinasi pendidikan kewarganegaraan, dan keterbatasan teladan dari para penyelenggara negara, telah membentuk pemahaman kaum muda akan Pancasila mengalami kontradiksi. Kontradiksi pertama terkait dengan kebolehan negara melakukan intervensi dalam urusan agama/keyakinan. Kaum muda menganggap sebaiknya urusan agama/keyakinan diatur oleh negara. Pandangan kaum muda muncul oleh karena teladan kontradiktif yang dipraktikkan para penyelenggara negara. Persetujuan kaum terhadap munculnya peraturan-peraturan daerah yang berbasis agama adalah kontradiksi kedua yang muncul dalam survei ini. Perda-perda, yang secara substantif mengancam kebangsaan Indonesia, disetujui oleh sebagian besar kaum muda. Atas fenomena ini penelitian mengkonstatasikan bahwa kecenderungan menurunnya semangat kebangsaan yang direpresentasikan oleh pandangan responden terhadap soal kebebasan beragama/berkeyakinan dan sikap akomodatifnya terhadap perda-perda berbasis agama, merupakan gejala baru yang tidak berbasis pada karakter 62
dasar kaum muda. Namun demikian, pembenaran intervensi negara dalam urusan agama dan persetujuannya terhadap perda berbasis agama, di mana keduanya dianggap tidak bertentangan dengan Pancasila, merupakan pandangan yang membahayakan bagi kaum muda Indonesia. Penelitian mengungkapkan pula bahwa konflik dan kekerasan yang bernuansa agama dipahami oleh kaum muda sebagai sesuatu yang bukan disebabkan oleh faktor kebencian antarumat beragama ataupun karena persaingan ekonomi umat beragama. Sebagian besar kaum muda menilai konflik bernuansa agama dipicu oleh adanya provokasi pihak-pihak tertentu. Pemicu yang hadir di tengah masyarakat yang bingung akibat tidak adanya panduan berbangsa dan bernegara serta fakta menguatnya fundamentalisme menjadi efektif memantik massa untuk berkonflik. Fundamentalisme adalah salah satu alat pasung toleransi yang saat ini berkembang. Hampir tak seorang pun di kalangan kaum muda yang dapat membenarkan atau menerima konflik dan kekerasan atas nama agama. Organisasi-organisasi tertentu yang sering melakukan tindakan kekerasan atas nama agama niscaya akan sulit diterima oleh kaum muda.44 Penelitian serupa dilakukan oleh Lucia Ratih Kusumadewi yang mengambil sampel di Universitas Indonesia, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah (sekarang Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah), dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara menunjukkan bahwa sikap pluralisme merupakan sikap yang dominan dimiliki oleh kalangan mahasiswa (55.8%). Kategori sikap lainnya, yaitu non-pluralis yang terdiri atas sikap 44Tim
Penyusun. Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta: SETARA Institute. 2008.
63
inklusif dan eksklusif mendapat angka 44.2%. Tema-tema yang menjadi indikator bagi pengukuran sikap adalah sikap terhadap kebenaran ajaran agamanya dan agama lain, anggapan terhadap kedudukan ajaran agamanya terhadap nilai-nilai universal, anggapan sebagai orang/golongan terpilih, anggapan terhadap kehidupan setelah mati bagi pemeluk agamanya dan pemeluk agama lain serta anggapan terhadap perangkat keagamaannya dari agama lain, misalnya kitab suci dan nabi/rasul. Temuan di atas berkaitan dengan variabel sikap keberagamaan di kalangan mahasiswa. Sedangkan yang berkaitan dengan variabel toleransi beragama di kalangan mahasiswa, temuan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki toleransi yang tinggi yaitu sebesar 61.7% dan selebihnya sejumlah 38.3% dari 120 responden yang memiliki tingkat toleransi yang rendah. Keseluruhan pengukuran terhadap variabel toleransi secara umum itu, didapat berdasarkan penjumlahan terhadap pengukuran tema-tema toleransi yang dirumuskan. Tema-tema tersebut adalah toleransi berkaitan dengan hal keinginan supaya orang lain memiliki sikap yang sama, toleransi berkaitan dengan hal perpindahan agama dan toleransi berkaitan dengan hal kawin beda agama. Angka yang ditunjukkan untuk toleransi dalam hal keinginan supaya orang lain memiliki sikap yang sama berada pada tingkat toleransi yang tinggi (74.2%), perpindahan agama mendapat prosentasi yang sedikit lebih besar (75%) dan kawin beda agama mendapat toleransi yang paling tinggi (85.8%). Kesimpulan yang dapat diambil berkaitan dengan data di atas adalah bahwa tema kawin beda agama merupakan tema yang paling dapat ditolerir dibanding perpindahan agama dan keinginan supaya orang lain memiliki sikap yang sama. Selanjutnya, faktor-faktor apakah yang turut mempengaruhi terjadinya kondisi di atas? Kusumadewi telah menentukan 64
dua faktor yaitu agama dan komunitas kampus. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa agama adalah faktor dominan yang memiliki andil besar dalam pembentukan sikap keberagamaan setidaknya di kalangan mahasiswa yang diteliti. Sikap keberagamaan ini sedikit banyak kemudian mempengaruhi terciptanya toleransi pada tingkat tertentu. Sedang faktor komunitas kampus disimpulkan tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Dua di antara banyak dimensi agama yang dapat dilihat adalah ajaran dan institusi agama. Dalam penelitian ini, kedua hal ini diidentifikasikan dapat melahirkan sikap keberagamaan yang berbeda dan tingkat toleransi yang berbeda pula. Pada dua agama yang diteliti yaitu Islam dan Katolik, penjelasan ini setidaknya dapat diajukan. Agama Islam, memiliki ajaran yang dekat dengan sifat-sifat inklusifistik dan struktur institusinya tidak terikat. Kedua hal ini kemudian menimbulkan kondisi sosialisasi agama yang cenderung inklusif dan beragam dalam Islam. Sikap-sikap keberagamaan yang dimiliki kelompok ini kemudian cenderung inklusif. Namun karena beragamnya sosialisasi ajaran karena banyaknya aliran pemikiran, terdapat juga ekskluisif dan pluralis. Sedang agama Katolik yang memiliki ajaran yang bersifat pluralis dengan struktur institusi yang hirarkis sentralistis menghasilkan sikap cenderung pluralis dalam kelompoknya.45 Selanjutnya survei nasional yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002, mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia (67%) menyatakan kebencian dan karenanya tidak bersedia hidup 45Lucia
Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi. Jakarta: FISIP-UI. 1999. hlm. 65-78.
65
berdampingan dengan kelompok sosial-politik dan keagamaan lain khususnya komunis, selanjutnya Yahudi (7%) dan Kristen (3%). Khusus menyangkut hubungan dengan kaum Kristen, kondisi kurang toleran bisa dijelaskan sebagai berikut. Anggota masyarakat yang membolehkan orang Kristen menjadi Presiden hanya 22%, kalau orang Kristen melakukan kebaktian di daerah sekitar tempat tinggal responden (31%), dan jika di lingkungan tersebut didirikan gereja, persentase persetujuan tampak meningkat (40%). Di samping itu, mereka yang tidak keberatan jika orang Kristen menjadi guru di sekolah umum juga kurang dari separuhnya (42%). Begitu pula gambaran serupa terjadi menyangkut saling percaya sesama warga (interpersonal trust), satu kultur politik masyarakat yang juga bisa berdampak positif bagi penciptaan demokrasi di Indonesia. Dalam hal ini kultur politik masyarakat Indonesia tidak begitu mendukung. Hanya 29% yang menyatakan selalu atau sering percaya pada orang lain. Pada umumnya masyarakat menyatakan bahwa setiap orang harus hati-hati terhadap orang lain, jangan mudah percaya (86%). Proporsi ini sangat besar, dan menunjukkan masih tipisnya budaya kewargaan kalau dilihat sisi saling percaya sesama warga.46 Survey lain dilakukan kembali oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, bersama Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal tentang orientasi sosial politik Islam pada tahun 2004. Hasilnya terdapat cukup banyak warga Indonesia yang setuju dengan kegiatan aktivis Islam, yang selama ini dianggap radikal. Survey yang melibatkan 1200 responden yang dipilih secara random lewat metode multistage random sampling dengan 46Saeful Mujani. Islam dan God Goverment. Jakarta: PPIM IAIN Syarif Hidayatullah. 2002.
66
terlebih dahulu menetapkan proporsionalitas populasi yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan, proporsi laki-laki dan perempuan, dan proporsi populasi di seluruh propinsi. Dari hasil penelitian, soal tindakan yang dilakukan aktivis Islam, data menunjukkan ada sekitar 6% responden dalam 5 tahun terakhir yang pernah ikut dalam kegiatan boikot produk atau jasa yang bertentangan dengan Islam. Selain itu ada 2% yang pernah ikut merazia tempat-tempat maksiat dan 2% lainnya, pernah terlibat dalam kegiatan demonstrasi sebagai bentuk solidaritas. Data hasil penelitian itu menunjukkan 18% responden, setuju kegiatan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI), seperti merazia tempat judi, dan kegiatan maksiat atau hiburan malam di Bulan Ramadhan, 15% masyarakat responden mendukung kegiatan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), 5% mendukung kegiatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memperjuangkan diterapkannya Syariat Islam, serta 13% setuju dengan Jamaah Islamiyah (JI) melakukan tindakan kekerasan terhadap Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, yang dianggap menindas umat Islam di dunia. Bahkan ada sekitar 16% responden yang mendukung aksi pengeboman sebagai bentuk pembelaan terhadap Islam. Hasil survey lain yang juga menarik adalah sikap para responden terhadap agenda Islamis dan tingkat toleransi terhadap Kristen-Katolik. Data menunjukkan ada sekitar 40% responden yang setuju dengan agenda Islamis, meliputi sikap masyarakat terhadap aturan di mana perempuan tidak boleh jadi presiden, kemudian pelarangan bunga bank, hukum rajam, poligami, dan hukuman potong tangan. Sedangkan dalam hal tingkat toleransi terhadap Kristen-Katolik, nyaris separuh responden setuju bahwa masyarakat Nasrani tidak boleh melakukan kebaktian di lingkungan yang mayoritas beragama Islam dan separuh responden juga tidak setuju bila orang Kristiani membangun gereja di lingkungan muslim. Pe-
67
nelitian ini juga mengukur tingkat pendidikan masyarakat dengan pengaruh dukungan terhadap aktivis muslim. Kesimpulannya, semakin tinggi pendidikan seseorang, makin besar kemungkinannya untuk setuju dengan kegiatan aktivis Islam. Saiful Mujani menganalisis bahwa cukup banyak di antara masyarakat muslim Indonesia yang terlibat dalam aktivitas Islamis. Hal tersebut memperlihatkan adanya dukungan yang cukup luas terhadap kelompok-kelompok Islamis, meski bukan menjadi kekuatan mayoritas. Masyarakat muslim Indonesia terbelah dalam mensikapi agendaagenda Islami dan itu ternyata cukup membuat banyak kaum muslim bersikap tidak toleran kepada umat Kristiani.47 Penelitian yang mencoba melihat hubungan antara Islam dan agama lain dengan pendekatan kualitatif pernah pula dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Nurhayati berjudul Toleransi Antara Umat Beragama: Studi Kasus Umat Islam dan Hindu di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung, Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) bentuk-bentuk toleransi antar umat Islam dan Hindu di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung-Bali; (b) faktor-faktor penghambat adanya sikap toleransi di Kamung Lebah Kabupaten Klungkung Bali; dan (c) faktor-faktor penghambat adanya toleransi dan solusi untuk menghadapi adanya hambatan toleransi di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung-Bali. Pendekatan yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut adalah pendekatan studi kasus yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakteristik yang khas dari kasus. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif yang merupakan studi kasus di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung Bali. Pengumpulan data pada 47“Umat Islam Indonesia Dukung Radikallisme” dalam Harian Tempo, 12 November 2004
68
penelitian ini menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Sumberdata diperoleh dari informan yang terdiri dari: masyarakat Muslim dan Hindu serta para pemuka agama baik Islam maupun Hindu. Melalui penelitian tersebut akhirnya diketahui bentuk-bentuk toleransi antarumat beragama khususnya Islam dan Hindu berupa toleransi dalam hal suka dan duka, toleransi pada saat hari raya, serta toleransi generasi muda dalam pergaulan. Adapun faktorfaktor pendukung adanya toleransi yaitu, adanya sistem kekerabatan antara umat Islam dan Hindu, adanya ajaran dalam agama Hindu yang menguatkan mereka untuk bersikap toleransi, dan adanya kegiatan-kegiatan yang melibatkan antara umat Islam dan Hindu. Penghambat adanya toleransi berupa, kecemburuan sosial yang terjadi antara penduduk asli dengan pendatang dan adanya krisis moralitas remaja. Sedangkan solusi dalam menghadapi hambatan tersebut dengan diberlakukannya hukum adat atau yang biasa disebut dengan awig-awig.48 Penelitian sejenis dengan penelitian di atas dilakukan oleh Anis Faranita Dhanik Rachmawati berjudul Toleransi Antar Umat Islam dan Katolik: Studi Kasus di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) apa yang menjadi faktor terciptanya toleransi antara umat Islam dan Katolik di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten; (2) seberapa jauh umat Islam dan Katolik di Dukuh Kasaran memahami makna toleransi. Dalam proses penelitiannya peneliti menggunakan field research yang terdiri dari data primer yaitu sumber utama penelitian ini adalah 48Nurhayati.
Toleransi Antara Umat Beragama: Studi Kasus Umat Islam dan Hindu di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung, Bali. Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2005.
69
tokoh-tokoh agama dan masyarakat di Dukuh Kasaran. Sebagai data pendukung yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah tersebut. Metode dalam pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan metode: (1) observasi; (2) interview; (3) dokumentasi; dan (4) angket. Penelitian tersebut menemukan: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi terciptanya toleransi antara umat Islam dan Katolik di Dukuh Kasaran adalah terdiri dari faktor internal yaitu faktor keimanan, faktor pengalaman keagamaan, rasa tanggung jawab, dan faktor pengetahuan. Selain itu dipengaruhi pula oleh faktor eksternal yaitu faktor keluarga dan faktor lingkungan masyarakat; (2) bahwa umat Islam dan Katolik di Dukuh Kasaran memahami betul tentang toleransi antarumat beragama, masyarakat Dukuh Kasaran dapat hidup berdampingan secara damai, dan selalu mengedepankan aspek toleransi dalam segala hal. Toleransi yang terbentuk pada masyarakat Dukuh Kasaran adalah berupa amalanamalan dan perbuatan yang bersifat positif yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama.49 Penelitian lainnya berjudul Toleransi Beragama Di Kalangan Komunitas Slankers Semarang: Studi Kasus Organisasi BASIS Slankers Club oleh Teguh Setyawan. Pokok persoalan yang dibahas adalah: (1) bagaimana kehidupan beragama di kalangan komunitas Slankers Semarang; (2) bagaimana sikap atau pandangan mereka terhadap toleransi beragama; dan (3) faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap toleransi beragama di antara mereka. Di dalam pengumpulan data digunakan metode interview, angket, dan observasi. Sumber 49Anis
Faranita Dhanik Rachmawati. Toleransi Antar Umat Islam dan Katolik: Studi Kasus di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Skripsi. Semarang: IAIN Walisongo. 2006.
70
data diperoleh melalui wawancara terhadap 20 orang informan yang terdiri atas: Islam 10 orang, Kristen 5 orang dan Katolik 5 orang. Sasaran penelitian adalah komunitas Slankers Semarang, yang tergabung dalam organisasi BASIS Slankers Club. Sebuah komunitas yang jelas keberadaannya dan diresmikan oleh Slank pada tanggal 12 Februari 2005 di Hotel Graha Santika Semarang. Anggota yang tergabung dalam organisasi ini adalah rata-rata berasal dari kalangan anak muda, yang terdiri dari pelajar( SMP, SMU), Mahasiswa dan pekerja. Di organisasi BASIS Slankers Club dalam merekrut anggotanya menggunakan pola terbuka, karena mereka selalu menerima siapa saja yang mau menjadi anggotanya, tidak memandang dari mana asalnya atau agama yang diyakininya. Dengan keterbukaan di antara mereka maka toleransi akan muncul dengan sendirinya. Bentuk toleransi beragama di antara mereka adalah berbentuk seperti amalan-amalan yang dilakukan atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat agamis. Mengenai kehidupan beragama di antara mereka, berdasarkan hasil pengisian angket dan interview dengan anggota BASIS Slankers Club, menunjukkan adanya kehidupan beragama yang dapat dikatakan baik. Hal ini ditandai dengan mereka mau menjalankan perintah agamanya seperti: shalat, puasa, tidak menggunakan atau memakai narkoba dan ibadah lainnya (kebaktian). Walaupun dalam menjalankannya tidak selalu mulus, karena dipengaruhi oleh tingkat keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Tuhannya. Sedangkan mengenai sikap atau pandangan komunitas Slankers Semarang terhadap toleransi beragama di antara mereka. Pada dasarnya anggota Slankers menerima sikap toleransi, hal ini ditunjukkan dengan adanya sikap saling menghormati dan menghargai. Mereka tidak pernah membeda-bedakan teman yang berbeda agama apalagi berkelahi gara-gara beda keyakinan/agama.
71
Pandangan para Slankers mengenai toleransi, pada intinya mereka tahu tentang toleransi walaupun belum menyamai wacana toleransi yang sesungguhnya, seperti yang pernah diungkapkan oleh para agamawan dan cendekiawan. Faktorfaktor yang mempengaruhi sikap toleransi di antara mereka, ada dua faktor yaitu: faktor intern dan ekstern. Faktor intern (dari diri anggota Slankers) seperti: pengetahuan yang ada pada diri Slankers, pengalaman keagamaan yang dimiliki oleh setiap anggota Slankers serta pemahaman dan pengetahuan tentang Slank. Sedangkan faktor ekstern (lingkungan di mana anggota Slankers bersosialisasi dengan sesamanya) adalah nilai-nilai PLUR (Peace, Love, Unity dan Respect).50 Penelitian berikutnya dilakukan oleh Fathurrahman berjudul Toleransi Beragama Antara Penyedia dan Pengguna Jasa Kos-kosan Beda Agama di Dusun Papringan, Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini berusaha mengungkapkan tentang bagaimana interaksi sosial antara pengguna jasa dengan para penyedia jasa kos yang beda agama dan bagaimana model (bentuk) toleransi yang dibangun oleh penyedia dengan pengguna jasa kos beda agama. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi dengan pendekatan emik yaitu upaya memahami fenomena sosial dengan pemahaman dunia pelakunya sendiri. Teori yang digunakan adalah fungsionalisme struktural yang dikonstruksikan oleh Robert K. Merton, yang mengasumsikan bahwa manusia diperlukan sebagai abstrak yang menduduki status dan peran yang membentuk lembaga-lembaga atau struktur sosial dan secara implisit manusia sebagai pelaku yang memainkan 50Teguh
Setiawan. Toleransi Beragama di Kalangan Komunitas Slankers Semarang: Studi Kasus Organisasi Basis Slankers Club. Skripsi. Semarang: IAIN Walisongo. 2007.
72
ketentuan-ketentuan yang telah dirancang sebelumnya, sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan masyarakat. Hasil dari penelitian ini adalah terbentuk (terwujudnya) toleransi beragama yang ada di Dusun Papringan karena adanya nilai budaya setempat yakni ewuh pakewuh yang diwarisi kepada setiap individu secara turun-temurun, dan ini juga yang diadopsi oleh para pendatang (pengguna jasa kos). Dengan nilai budaya ini maka melahirkan kebebasan bagi setiap individu untuk memeluk agama menurut keyakinannya masing-masing, untuk itu masalah-masalah yang bersifat ketuhanan (suci) merupakan hak mutlak bagi setiap individu akan tetapi masalah-masalah yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan merupakan tanggung jawab bersama.51 Penelitian menarik terkait toleransi dilakukan pula oleh YAPPIKA, sebuah Aliansi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Demokrasi, dengan biaya dari ACCESS (Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme). Penelitian ini merupakan subbagian dari agenda penelitian yang lebih besar, yaitu dalam rangka mengukur Indeks Masyarakat Sipil Indonesia (IMSI), yang dilakukan antara akhir tahun 2005 hingga pertengahan tahun 2006. Pendekatan dan metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut dikembangkan oleh organisasi masyarakat sipil tingkat internasional CIVICUS (World Alliance for Citizen Participation) yang berkantor di Johannesburg, Afrika Selatan. Berkenaan dengan subbagian toleransi, penelitian ini menganalisis sejauhmana aktor-aktor masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil (OMS) Indonesia mempraktikkan dan mempromosikan toleransi dalam aktivitas mereka sehari-hari. 51Fathurrahman.Toleransi
Beragama Antara Penyedia dan Pengguna Jasa Kos-kosan Beda Agama di Dusun Papringan, Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2008.
73
Ada dua indikator yang digunakan untuk mengukurnya, yakni toleransi dalam arena masyarakat sipil dan aktivitas OMS dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi. Hasilnya, toleransi dalam arena masyarakat sipil, pada umumnya kalangan OMS menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan mempraktikkannya dalam aktivitas sehari-hari. Kode etik yang disepakati sekitar 250 LSM pada tahun 2002 misalnya secara tegas menyatakan bahwa LSM adalah lembaga nonsektarian dan membebaskan dirinya dari prasangkaprasangka atas dasar segala perbedaan, termasuk agama, suku, ras, golongan, seks, dan gender. Sikap-sikap seperti rasis, diskriminasi dan tidak toleran hampir tidak pernah ditemukan dalam pemberitaan media mengenai aktivitas Ornop. Kalau pun ada sifatnya sangat marginal dan akan dikecam komunitas OMS yang lain. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa ada kekuatan-kekuatan dalam arena masyarakat sipil yang kurang toleran terutama dalam perbedaan agama seperti yang mengakibatkan terjadinya perusakan rumah ibadat agama minoritas Kristen/Katolik maupun terhadap pemeluk Islam Ahmadiyah. Pada tingkat masyarakat, adanya prasangka-prasangka atas dasar agama dan etnis tampaknya masih cukup tinggi yang ditandai dengan terjadinya kekerasan-kekerasan sosial di beberapa daerah di Indonesia. RSS (Regional Stakeholder Survey) 2006 mengungkapkan bahwa hampir separuh responden (49%) berpendapat bahwa kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang secara eksplisit menunjukkan kecenderungan rasis, diskriminatif atau tidak toleran tersebut tidak signifikan atau hanya terbatas. Hanya sekitar seperlima yang berpendapat bahwa kekuatan tersebut ada (16%) atau signifikan (5%). Sementara sangat menarik bahwa hampir sepertiga (30%) responden menyatakan tidak tahu atau tidak bersedia menjawab pertanyaan yang diajukan. Berkenaan dengan aksi 74
masyarakat sipil untuk mempromosikan toleransi, sejumlah OMS Indonesia menempatkan promosi toleransi sebagai bagian dari kegiatan pokok mereka. Survei organisasi peace building tahun 2002 menemukan bahwa 129 (27%) dari 465 OMS yang disurvei menyatakan bahwa mempromosikan toleransi dan pluralisme dalam masyarakat merupakan salah satu dari lima kegiatan utama yang mereka lakukan dalam dua tahun terkahir (2000-2002). Di Indonesia ada beberapa OMS yang khusus bekerja untuk menghapuskan diskriminasi rasial. Juga terdapat OMS yang secara khusus mengkaji dan mempromosikan kerjasama antaragama dalam masyarakat Indonesia. RSS 2006 menemukan bahwa hampir dua pertiga responden berpendapat bahwa mereka dapat mengingat contoh-contoh kampanye publik ataupun aktivitas OMS yang ditujukan untuk mempromosikan toleransi. Sebanyak 42% menyatakan bahwa mereka dapat menunjukkan satu atau dua contoh, 21% dapat menunjukkan beberapa contoh dan 7% dapat menunjukkan banyak contoh. Salah satu contoh yang banyak dikemukakan adalah perlunya meningkatkan toleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia. Sebanyak 41% responden berpendapat bahwa peran OMS dalam mempromosikan nilai-nilai toleransi tersebut cukup (35%) atau signifikan (7%). Sementara yang berpendapat bahwa peran tersebut terbatas atau tidak signifikan dinyatakan oleh 45% responden. Meskipun OMS Indonesia cukup aktif dalam mempromosikan toleransi di dalam masyarakat, hasilnya dirasakan masih belum signifikan.52 Survei lain dilakukan oleh Tim LIPI di tiga daerah (Bogor, Surakarta dan Cianjur) pada tahun 2006. Survei 52Tim Peneliti. Laporan Hasil Survei Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Stakeholders terhadap Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta: LP3ES dan YAPPIKA. 2006. Tim Peneliti. Indeks Masyarakat Sipil Indonesia. Jakarta: YAPPIKA. 2006. hlm. 90-91.
75
menunjukkan bahwa sebagian kalangan muslim Indonesia masih memiliki persoalan menyangkut proses konsolidasi demokrasi. Secara umum bisa dikatakan bahwa kesediaan muslim Indonesia untuk hidup sejajar dengan pemeluk agama lain masih rendah, misalnya terhadap praktik memberi ucapan selamat kepada pemeluk agama lain yang merayakan hari besar keagamaan mereka, hanya sebagian kecil responden (15.6%) yang mendukung, sementara sebagian besar (72.2%) tidak mendukung. Proporsi responden yang membolehkan ucapan salam (assalamu`alaikum) kepada nonmuslim sangat kecil (8.0%), sementara mereka yang tidak membolehkan mencapai angka 85.7%, dan sisanya 6.3% tidak bersikap. Praktik silaturrahmi dengan nonmuslim di hari besar keagamaan mereka, proporsi dukungan responden adalah 38.9%. Namun proporsi tersebut meningkat menjadi 59.9% untuk praktik silaturrahmi di luar hari besar keagamaan nonmuslim. Persentase tersebut konsisten dengan jawaban responden yang mendukung gagasan bahwa sebaiknya kaum muslim hanya berteman dekat dengan orang yang sama-sama memeluk agama Islam saja, yakni 40.4%.53 Penelitian toleransi yang tidak boleh dilewatkan adalah apa yang telah dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang antara tanggal 23-27 Januari 2006 melakukan suvei opini publik tentang toleransi sosial masyarakat Indonesia. Survei dilakukan terhadap 1.200 orang responden yang ditentukan dengan metode multistage random sampling yang tersebar di 33 propinsi dengan toleransi kesalahan (margin of error) sebesar lebih kurang 2,9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel akhir yang valid dan dianalisis sebanyak 1.173 53Muhammad
Hisyam. Ed. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Rentan Konflik. Jakarta: LIPI.2006; Idem. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Aman Konflik. Jakarta: LIPI. 2007. hlm. 4-5.
76
orang responden. Survei ini menetapkan bahwa sikap toleransi dan pandangan tentang pluralisme masyarakat Indonesia diukur dalam dua dimensi, yakni dimensi sosial keagamaan dan dimensi sosial politik. Indikator yang diukur dalam dimensi sosial keagamaan adalah: bagaimana kesediaan masyarakat untuk hidup bertetangga dengan orang lain yang berbeda (the other) baik dari agama dan etnis. Khusus tentang toleransi beragama, ditanyakan juga kesediaan mereka untuk membiarkan pihak yang berkeyakinan beda untuk melaksanakan dan membangun sarana ibadat. Selain itu, survei ini juga mengungkap derajat social trust dalam masyarakat Indonesia. Sedang yang diukur dalam dimensi sosial politiknya adalah: pandangan masyarakat terhadap orang lain, kelompok lain, sikap terhadap perjuangan hak oleh kelompok lain, dan pandangan terhadap kebudayaan barat. Temuan tentang toleransi sosial kemasyarakatan yang ditunjukkan dari hasil survei ini menunjukkan pola yang sangat menarik. Meski secara umum masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang cukup toleran, hal sangat terlihat dalam toleransi hidup bertetangga dengan orang lain yang berbeda etnis (di atas 90-an %), namun toleransi dengan orang yang berbeda agama lebih rendah (hanya 80-an %), dan semakin rendah terhadap pihak lain yang dianggap memiliki orientasi dan perilaku seks yang berbeda seperti kaum waria (61,7%) dan homo seks (43,7%). Temuan lain menyatakan: warga non-muslim di Indonesia memandang masyarakat muslim Indonesia pada umumnya sangat toleran terhadap mereka (78,7%). Dalam hal toleransi terhadap orang yang berbeda agama untuk melaksanakan dan membangun rumah ibadat mereka dalam lingkungan di sekitar responden, pihak yang menyatakan keberatan cukup besar (42,3%), meskipun tidak mayoritas (pihak yang menyatakan tidak keberatan sebanyak 38,1%). Sedangkan
77
untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan/kebaktian yang menyatakan tidak keberatan cukup besar (48%) dan yang menyatakan keberatan hanya 36,7%. Data tersebut dapat dipahami bahwa keberadaan rumah ibadat sebagai simbol adanya umat agama tertentu di suatu wilayah, tidak cukup disukai keberadaannya.54 Beberapa penelitian di atas cukup bisa memberi gambaran bahwa sikap toleransi sangat diperlukan oleh masyarakat guna menciptakan harmonisasi antarumat beragama. Sebaliknya sikap intoleran bisa mengancam terciptanya harmonisasi antaraumat beragama. Dari beberapa penelitian di atas diketahui pula bahwa banyak faktor yang mendorong sikap toleran tetapi tidak sedikit pula yang mendorong sikap intoleran. Salah satu penyebab intoleransi adalah paham keagamaan yang cenderung tertutup (eksklusif) sebagai akibat pengajaran doktrin keagamaan yang menekankan tentang kebenaran tunggal. Kesimpulan ini didukung pula oleh hasil penelitian Kasinyo Harto yang setelah dibukukan berjudul Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang. Harto melalui penelitiannya ini, salah satunya berusaha mengungkapkan perilaku sosial-keagamaan para aktivis gerakan Islam fundamentalis di UNSRI. Hasil penelitiannya berkesimpulan bahwa perilaku sosial kelompok-kelompok keagamaan di UNSRI terhadap masyarakat muslim mainstream, apalagi dengan non-muslim, rata-rata mereka punya kecenderungan sikap eksklusif dan intoleran. Kuatnya doktrin keagamaan mereka memunculkan keyakinan akan kebenaran tunggal, yakni kebenaran Islam kelompok sendiri. Kelompok atau gerakan yang tidak 54Tim Peneliti. Survei Opini Publik: Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia. Jakarta: LSI. 2006.
78
sepaham dipersepsikan sebagai golongan yang tersesat dan harus didakwahi agar kembali ke jalan yang benar.55 Kesimpulan bahwa sikap keberagamaan yang terbuka (inklusif) cenderung membuat orang toleran dan sikap keberagamaan yang tertutup (eksklusif) cenderung membuat orang intoleran merupakan kesimpulan penelitian Fatimah Husein, Muslim-Christian Relations in the New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslim Perspectives (2005). Hubungan Muslim dan Kristen yang menjadi fokus studi Husein merupakan topik penting sekaligus sensitif. Konflik dan kekerasan sering mewarnai perkembangan Islam dan Kristen di Indonesia. Dalam pandangan Husein, relasi antara Islam dan Kristen tidak bisa dilepaskan dari cara pandang masing-masing pemeluk agama tersebut terhadap agamanya sendiri maupun agama kelompok lain. Dalam studinya Husein mengungkap dua cara pandang dominan di kalangan Muslim yang mempengaruhi relasi Islam dan Kristen, yakni: eksklusif (exclusive) dan inklusif (inclusive). Muslim eksklusif memiliki keyakinan Islam sebagai agama terakhir untuk mengoreksi (kesalahan) agama lain. Cara pandang ini menurut Husein menimbulkan sikap tidak toleran (intolerance) terhadap keberadaan agama lain. Sedangkan Muslim inklusif memiliki keyakinan bahwa Islam merupakan agama yang benar. Meskipun begitu, mereka tidak menegasikan agama di luar Islam yang juga dapat memberikan keselamatan (salvation) bagi pemeluknya. Dengan cara pandang ini, Muslim inklusif bersikap lebih terbuka terhadap kelompok agama lain.56 Sekadar mempertegas definisi eksklusivisme 55Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi. Pengantar Karel A. Steenbrink. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. 56Kasinyo Harto. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang. Jakarta: Balitbang dan Diklat Depag. 2008. hlm. 215.
79
dari Husein, perlu dikutip juga penjelasan Joseph Runzo (2003) apa yang disebut dengan religious exclusivism, yakni sikap keagamaan yang menganggap bahwa satu-satunya agama yang benar hanya agama dan keyakinan yang dipeluknya, sedangkan agama dan kepercayaan lain salah. Mengapa ada yang berpandangan eksklusif, sementara lainnya inklusif? Apakah cara pandang tersebut dipengaruhi oleh doktrin agama? Dari hasil penelitian Kasinyo Harto di atas sikap eksklusif dan inklusif sangat dipengaruhi doktrin keagamaan yang dikonstatasi oleh kelompoknya. C. Kerangka Berpikir 1. Pengruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi Kepribadian dalam individu dapat dibedakan antara dua sisi yang introvert dan extrovert. Pada diri yang introvert umumnya memiliki sifat-sifat cenderung menarik diri, suka bekerja sendiri, tenang, pemalu, tetapi rajin, hati-hati dalam mengambil keputusan, dan cenderung tertutup secara sosial. Sebaliknya individu yang extrovert pada umumnya memiliki ciri-ciri suka berpandangan atau berorientasi keluar, bebas dan terbuka secara sosial, berminat terhadap keanekaan, sigap dan tidak sabar dalam menghadapi pekerjaan yang lamban, dan suka bekerja kelompok. Pada dasarnya orang-orang yang bersifat extrovert menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan menerima masukkan dari pihak luar, aktif, suka berteman, dan ramah tamah. Dengan seseorang mempunyai kepribadian extrovert, dia akan senang terlibat dalam sebuah kelompok atau organisasi karena keterlibatan nya dalam kehidupan berkelompok adalah kesempatannya untuk berinteraksi dengan pihak lain dan bekerja kelompok. Sebaliknya seseorang yang mempunyai kepribadian introvert cenderung tertutup secara sosial dan suka bekerja sendiri sehingga tidak senang terlibat dalam sebuah kelompok atau organisasi. Berdasarkan 80
uraian di atas, dapat di duga bahwa terdapat pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organsiasi. 2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar Kepribadian manusia merupakan gabungan dari berbagai sifat dan konsep diri orang. Aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, sikap, dan motivasi. Gagasan tersebut memberikan gambaran dan kesan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat, yang terungkap melalui perilaku. Kepribadian juga merupakan kesatuan unik dari ciri-ciri fisik (pandangan mata, senyum, sosok tubuh, perangai, dan sebagainya) dan mental yang ada dalam diri seseorang ( kebijaksanaan, toleransi dan ketekunan). Kombinasi yang muncul dari keduanya merupakan kepribadian seseorang. Di sisi lain hasil belajar Pendidikan agama adalah sejumlah pengetahuan agama pada ranah kognitif setelah menerima pengalaman belajar dalam jangka waktu tertentu berdasarkan tujuan pembelajaran dan hasilnya dapat dilihat nilai tes pendidikan agama. Berdasarkan uraian di atas, dapat di lihat bahwa seseorang yang memiliki kepribadian (watak, sifat, penyesuaian diri, emosi, sikap dan motivasi) yang baik maka akan memiliki hasil belajar pendidkan agama yang tinggi karena termotivasi untuk memperdalam pelajaran agama. Jadi di duga terdapat pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar pendidikan agama. 3. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar Salah satu sikap manusia ditentukan oleh pengalaman. Pengayaan pengalaman ditentukan oleh seberapa besar keinginan seseorang terlibat dalam kegiatan sosialkemasyarakatan, atau bagi mahasiswa melalui kegiatan
81
organisasi kemahasiswaan atau sejenisnya. Dasar pokok yang amat penting atas keterlibatan seseorang dalam kehidupan berorganisasi adalah kesempatannya untuk berinteraksi dengan pihak lain Di sisi lain orang yang memasuki suatu kelompok sosial, pada hakikatnya mempunyai dorongan untuk mengadakan evaluasi terhadap dirinya. Dengan memasuki suatu organisasi, seseorang akan mengetahui pendapat orang lain mengenai dirinya termasuk apa yang baik, yang boleh dan yang tidak boleh dikerjakan termasuk dalam hal pengetahuan agama islam. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh keterlibatan organsiasi terhadap hasil belajar pendidikan agama 4. Pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan Berkenaan dengan kepribadian, orang yang bersifat extrovert menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan menerima masukkan dari pihak luar, aktif, suka berteman, dan ramah tamah. Umumnya mereka sudah senada dengan kebudayaan dan orang-orang yang berada di sekitarnya, serta berupaya untuk mengambil keputusan sesuai dan serasi dengan permintaan dan harapan lingkungan. Pada dasarnya orang-orang yang bersifat extrovert akan menciptakan lingkungan yang terbuka dan saling menghargai. Sebaliknya pada tipe introvert kecenderungan seseorang untuk menarik dari dari lingkungan sosialnya, cenderung pendiam dan tidak membutuhkan orang lain karena merasa segala kebutuhannya dapat dipenuhinya sendiri. Pada dasarnya orang-orang yang bersifat introvert akan menciptakan lingkungan yang tertutup dan individualis. Pada intervensi 82
perkembangan melalui terhadap lingkungan,
adaptasi sebagian
maupun individu
mengadakan penyesuaian, sehingga menjadi sifat yang ambivalen, yakni sifat di antara introvert dan extrovert. Seseorang yang mempunyai sifat introvert dengan adanya unsur adaptasi dengan lingkungan serta rasa percaya dirinya yang semakin bertambah akan cenderung bergerak ke arah extrovert. Demkian juga seseorang extrovert dengan adanya unsur adaptasi dengan lingkungan tetapi percaya diri yang semakin berkurang akan cenderung bergerak ke arah introvert. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan. 5. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan. Keterlibatan seorang dalam kelompok didasarkan karena hasratnya untuk bersatu dengan manusia-manusia yang lain disekitarnya. Karena naluri manusia itu ingin hidup bersama atas kehendak dan kepentingan yang tidak terbatas. Karena itu, dalam usaha untuk memenuhi kehendak dan kepentingan tersebut, tidak dapat dilakukan sendirian melainkan harus dilakukan secara bersama-sama. Dengan demikian, proses untuk mencapai tujuan tersebut dapat melalui kerjasama dan berfikir secara bersama-sama pula. Dasar pokok yang amat penting atas keterlibatan seseorang dalam kehidupan berkelompok adalah kesempatannya untuk berinteraksi dengan pihak lain. Kesempatan berinteraksi ini secara langsung mempunyai pengaruh terhadap pembentukan kelompok. Melalui interaksi dalam organisasi itulah ia dapat mengetahui apakah pendapatnya dan gagasannya sesuai dengan kenyataan social yang ada di lingkungan kampus atau masyarakatnya. Di sisi nlain seseorang tertarik untuk mengadakan interaksi bukan karena adanya kesamaan sikap, tetapi justru karena adanya perbedan-perbedaan yang tercipta. Adanya
83
perbedaan, misalnya, dalam merasakan kekurangan diri sendiri dibandingkan dengan orang lain, justru akan mendorong seseorang tersebut untuk mendapatkan yang kurang itu dari orang lain. Paparan di atas menggambarkan keuntungan yang dapat diperoleh oleh seseorang bila terlibat dalam organisasi. Melalui keterlibatan organisasi, selain akan memperoleh informasi berharga, tanggapan dan saran, ide-ide berharga, juga dapat memperkecil kesalahpahaman antarindividu dan kelompok, sehingga akan mempengaruhi lingkungan kampus yang lebih nyaman dan jauh dari gejolak akibat perbedaan pendapat. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan. 6. Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap lingkungan pendidikan Pengetahuan keagamaan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian atau segala sesuatu yang berkenaan dengan agama yang meliputi aspek kepercayaan, ritus, dan komunitas moral. Hasil belajar Pendidikan agama adalah sejumlah kemampuan pendidikan agama pada ranah kognitif setelah menerima pengalaman belajar dalam jangka waktu tertentu berdasarkan tujuan pembelajaran dan hasilnya dapat dilihat nilai tes pendidika agama. Hasil belajar Pendidikan agama yang meliputi aspek kognitif (pengetahuan keagamaan) dan psikomotorik yang di miliki mahasiswa, diharapkan dapat mengembangkan pribadi mahasiswa secara optimum dan kompeten dalam kehidupan di lingkungan keluarga, kampus dan masyarakat (sosial). Dalam lingkungan keluarga, hasil belajar pendidikan agama yang di dapat mahasiswa diharapkan dapat memberikan suatu konsekuensi berupa tanggung jawab memelihara norma-norma sosial dan norma agama, karena 84
sebuah keluarga tidak hanya sekadar berstatus sebagai lembaga sosial akan tetapi juga merupakan lembaga pendidikan informal. Begitu juga melalui Perguruan Tinggi, diharapkan hasil belajar pendidikan agama yang dimiliki mahasiswa dapat berfungsi mengembangkan sikap mental yang erat hubungannya dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan beragama di lingkungan kampus. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh hasil belajar terhadap lingkungan pendidikan. 7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi agama Secara umum kepribadian manusia menjadi empat kriteria yaitu: (a) Sanguinis, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar periang, optimistis, dan percaya diri.; (b) Melankolis, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar pemurung, sedih, pesimistis, kurang percaya diri.; (c) Koleris, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar selalu merasa kurang puas, bereaksi negatif dan agresif. Sifat-sifat lainnya mudah tersinggung (emosional), suka membuat provokasi, tidak mau mengalah, tidak sabaran, tidak toleran, kurang mempunyai rasa humor, cenderung beroposisi, dan banyak inisiatif (usaha); dan (d) Plegmatis, yaitu seseorang yang mempunyai sifat dasar pendiam, tenang, netral (tidak ada warna perasaan yang jelas), dan stabil. Pada dasarnya orang-orang yang bersifat extrovert menunjukkan sikap yang lebih terbuka dan menerima masukkan dari pihak luar, aktif, suka berteman, dan ramah tamah. Adapun tipe introvert kecenderungan seseorang untuk menarik dari dari lingkungan sosialnya. Di sisi lain toleransi beragama adalah kesadaran seseorang untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan membolehkan pendirian, pandangan, keyakinan,
85
kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan kebiasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dalam rangka membangun kehidupan bersama dan hubungan sosial yang lebih baik. Dengan demikian orang-orang yang bersifat ekstrovert biasanya lebih mempunyai toleransi beragama yang baik karena sifatnya yang lebih terbuka secara sosial dan berminat terhadap keanekaan termasuk menerima keaneka ragaman agama yang ada di sekitar lingkungan dari pada orang-orang yang bersifat introvert yang cederung lebuh menarik diri dari lingkungan. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama. 8. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama Keterlibatan seseorang dalam kehidupan berkelompok akan memberikan kesempatan berinteraksi dengan pihak lain. Melalui interaksi dalam organisasi itulah ia dapat mengetahui apakah pendapatnya, gagasan dan pertimbangannya sesuai dengan kenyataan social. Tertariknya seseorang untuk melakukan interaksi di tentukan oleh prinsip atau asas saling melengkapi (the principle of complementary). Melalui keterlibatan organisasi, selain akan memperoleh informasi berharga, tanggapan dan saran, ide-ide berharga, juga dapat memperkecil kesalahpahaman antarindividu dan kelompok, sehingga akan terwujud saling pengertian dan toleransi antar anggota. Toleransi adalah kemampuan untuk menahankan hal-hal yang tidak kita setujui atau tidak kita sukai, dalam rangka membangun hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi mensyaratkan adanya penerimaan dan penghargaan terhadap pandangan, keyakinan, nilai, serta praktik orang/kelompok lain yang berbeda dengan kita. Intoleransi 86
adalah ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk bertoleran, muncul karena kita tidak bisa atau tidak mau menerima dan menghargai perbedaan. Intoleransi bisa terjadi pada tataran hubungan interpersonal, seperti hubungan antara kakak dan adik, orangtua dan anak, suami dan isteri, antarteman, atau antarkelompok, misalnya suku, agama, bangsa, dan ideologi. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama. 9. Pengaruh hasil belajar terhadap toleransi beragama Hasil belajar Pendidikan agama adalah sejumlah kemampuan pendidikan agama pada ranah kognitif setelah menerima pengalaman belajar dalam jangka waktu tertentu berdasarkan tujuan pembelajaran dan hasilnya dapat dilihat nilai tes pendidika agama. Dari hasil belajar pendidikan agama yang dimiliki, diharapkan mahasiswa mempunyai penghayatan terhadap aspek kedalaman dari agama sehingga dapat membuat mahasiswa lebih mampu bersikap menghormati orang lain secara lebih manusiawi. Dengan kata lain, aspek kedalaman dari agama itulah yang membuat seseorang lebih toleran terhadap orang lain. Hal ini membuat seseorang pada aspek kedalaman dari agama terdapat titik-titik temu yang lebih banyak dari agama-agama. Dalam toleransi beragama, dibutuhkan adanya kejujuran, kebesaran jiwa, kebijaksanaan dan bertanggung jawab, hingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan mengeliminir egoistis golongan. Oleh karenanya, setiap pemeluk agama hendaknya dapat menghayati ajaran agamanya secara mendalam.
87
Dalam toleransi ini semua umat beragama harus berpegang pada prinsip agree in disagreement (setuju dalam perbedaan). Perbedaan tidak harus mengakibatkan permusuhan, karena bagaimanapun perbedaan akan selalu ada di dunia ini. Oleh karena itu, ia tidak harus menimbulkan pertentangan. Dalam konteks ini, prinsip tersebut mengandung pengertian, semua penganut agama setuju untuk hidup rukun dengan tetap memelihara eksistensi semua agama yang ada. Dengan demikian, toleransi antarumat beragama bukan hanya sekadar hidup berdampingan secara pasif tanpa adanya saling keterlibatan satu sama lain, melainkan lebih dari itu, yakni toleransi yang bersifat aktif dan dinamis, yang diaktualisasikan dalam bentuk hubungan saling menghargai dan menghormati, berbuat baik dan adil antarsesama, dan bekerjasama dalam membangun masyarakat yang harmonis, rukun dan damai. Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh hasil belajar organisasi terhadap toleransi beragama. 10.
Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama
Memahami lingkungan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pemahaman akan konsepsi pendidikan, sebab pendidikan itu merupakan suatu proses yang berlanjut dan berlangsung dalam bermacam-macam situasi dan lingkungan. Di sisi lain pendidikan adalah suatu proses di mana seseorang dipengaruhi oleh lingkungan terpilih dan terkontrol (misalnya kampus) sehingga ia dapat mengembangkan diri pribadi secara optimum dan kompeten dalam kehidupan masyarakat (sosial). Pada dasarnya lingkungan pendidikan dapat diklasifikasikan menjadi: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (sosial). Tujuan 88
pendidikan di keluarga, yakni terbentuknya mental, sikap serta penonjolan tingkah laku yang positif dan membangun, bukan saja dalam lingkungan keluarga tetapi disetiap lingkungan di mana ia berada. Dengan demikian mahasiswa yang mendapat keluarga yang baik akan mampu mengidentifikasikan pola sikap dan tingkah laku yang baik dalam keluarganya sehingga muncul sikap saling toleran masing-masing anggota keluarga. Peranan Sekolah/Perguruan Tinggi sebagai institusi dinyatakan sebagai berikut: “peranan sekolah/kampus sebagai lembaga pendidikan adalah mengembangkan potensi manusiawi yang dimiliki anak-anak agar mampu menjalankan tugas-tugas kehidupan sebagai manusia, baik secara individual maupun sebagai anggota masyarakat. Kegiatan untuk mengembangkan potensi itu harus dilakukan secara berencana, terarah dan sistematik guna mencapai tujuan tertentu. tujuan itu harus mengandung nilai-nilai yang serasi dengan kebudayaan masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan sebagai lembaga pendidikan. Dengan demikian pendidikan di Perguruan Tinggi, dilihat dari sudut sosial dan spiritual, berfungsi mengembangkan sikap mental yang erat hubungannya dengan norma-norma kehidupan. Berdasarkan pembahasan di atas, maka bentuk dan jenis lingkungan sangat menentukan dan memberi pengaruh terhadap pembentukan sikap, penerimaan, tingkah laku, dan toleransi setiap mahasiswa terhadap berbagai kemajemukan (etnis, organisasi, dan agama). Hal tersebut mengindikasikan bahwa bentuk dan jenis lingkungan pendidikan tidak bisa diabaikan sebagai faktor penting dalam mengukur toleransi beragama di kalangan mahasiswa. Pengabaian terhadap masalah ini barangkali dapat membuat pembacaan terhadap toleransi beragama di kalangan mahasiswa itu tidak utuh
89
(bias). Berdasarkan uraian di atas di duga terdapat pengaruh lingkungan belajar terhadap toleransi beragama D. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: 1. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap keterlibatan organisasi 2. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap hasil belajar 3. Keterlibatan organsiasi berpengaruh langsung terhadap hasil belajar 4. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan 5. Keterlibatan organisasi berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan 6. Hasil belajar berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan 7. Kepribadian berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama 8. Keterlibatan organisasi berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama 9. Hasil belajar pendidikan agama berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama 10. Lingkungan pendidikan berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama
90
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian enelitian berlokasi di 7 perguruan tinggi umum negeri, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasannuddin, Universitas Udayana, dan Universitas Nusa Cendana. Alasan dipilihnya 7 universitas tersebut sebagai lokasi penelitian adalah: (1) selama ini 7 universitas tersebut menjadi ajang perebutan bagi para mahasiswa baru menuntut ilmu karena dianggap berkualitas baik secara akademis maupun sosial sehingga menghasilkan sumber daya manusia mahasiswa atau lulusan yang kompetitif; (2) karena prestasinya tersebut, 7 universitas tersebut mempunyai mahasiswa yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, sehingga secara otomatis mahasiswanya heterogen dari sisi agama dan etnis. Heterogenitas itu diasumsikan berpotensi memunculkan konflik bernuansa agama atau etnis di kalangan mahasiswa, baik laten maupun manifes; (3) 7 universitas tersebut diduga mempunyai kegiatan intra dan ekstra kampus yang cukup baik sehingga dapat membantu membentuk karakter mahasiswa yang tidak semata-mata pandai secara akademis tetapi juga baik sosialisasinya di masyarakat.
P
Penelitian ini, mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, pengolahan hasil penelitian, diseminasi hasil penelitian, dan pelaporan, membutuhkan waktu kurang lebih 4 bulan yaitu dari bulan September s.d. Desember 2009.
91
B. Metode dan Desain Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei cross-sectional yaitu survei yang dirancang untuk sekali waktu. Survei cross-sectional hanya ingin memotret pendapat atau perilaku masyarakat pada satu periode waktu tertentu. Survei cross-sectional tidak punya maksud membuat perbandingan atau melihat perubahan pendapat dan perilaku.1 Teknik pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Teknik analisis data dengan menggunakan metode analisis deskriptif, analisis korelasional dan analisis jalur (path analysis). Teknik ini dipergunakan untuk menganalisis hubungan antara 4 (empat) variabel bebas (independent variable), yaitu kepribadian (X1), keterlibatan organisasi (X2), hasil belajar pendidikan agama (X3), dan lingkungan pendidikan (X4) dengan 1 (satu) variabel terikat (dependent variable), yaitu toleransi beragama (Y).2 Berdasarkan konsep, teori, dan pandangan dari berbagai pakar, dalam setiap variabel penelitian telah dibangun konstruk dan indikator, yang juga berfungsi sebagai dasar dalam penyusunan instrumen penelitian dalam bentuk kuesioner. Model Hipotesis penelitian berbentuk pengaruh kausal (sebab akibat) sesuai dengan model teori yang digunakan, seperti gambar berikut X1
X3 Y
X2
X4
1 Eriyanto dkk. Bagaimana Merancang dan Membuat Survei Opini Publik. Jakarta: AROPI. 2009. hlm. 8. 2 M.A.S. Imam Chourmain. Metode Penelitian dengan Analisis Jalur (Metode Path Analysis). Jakarta: t.p. 2007.
92
Keterangan: X1 = Kepribadian X2 = Keterlibatan organsiasi X3 = Hasil Belajar PA X4 = Lingkungan pendidikan Y = Toleransi beragama Dari skema di atas dapat dijelaskan bahwa variabel kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, lingkungan pendidikan diasumsikan mempengaruhi secara langsung toleransi beragama. Selain itu, kepribadian juga diasumsikan mempengaruhi toleransi beragama melalui keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, lingkungan pendidikan; keterlibatan organisasi mempengaruhi toleransi beragama melalui hasil belajar pendidikan agama, lingkungan pendidikan; hasil pendidikan agama mempengaruhi toleransi beragama melalui lingkungan pendidikan. C. Populasi dan Sampel Populasi target dalam penelitian ini adalah mahasiswa perguruan tinggi umum negeri di wilayah DKI Jakarta (Universitas Indonesia), Jawa Barat (Universitas Padjadjaran), Jawa Tengah (Universitas Diponegoro), DI Yogyakarta (Universitas Gadjah Mada), Sulawesi Selatan (Universitas Hasanuddin), Bali (Universitas Udayana), dan Nusa Tenggara Timur (Universitas Nusa Cendana). Sedangkan populasi terjangkaunya adalah mahasiswa yang berbeda agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) di fakultas eksakta seperti teknik, MIPA, farmasi, kedokteran umum, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, pertanian, perikanan, kehutanan, ilmu komputer); dan fakultas sosial seperti ilmu sosial dan politik, ekonomi, hukum, ilmu budaya, psikologi, filsafat, keguruan, yang terdapat di perguruan tinggi tersebut. 93
Sampel penelitian secara keseluruhan sebanyak 610 mahasiswa dan penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposive dengan perincian sebagai berikut: Perguruan Tinggi Jumlah Sampel Universitas Indonesia 100 Universitas Padjadjaran 80 Universitas Diponegoro 81 Universitas Gadjah Mada 98 Universitas Hasanuddin 101 Universitas Udayana 80 Universitas Nusa Cendana 70 610 Jumlah Tabel 1. Sampel Responden Penetapan jumlah masing-masing responden universitas sebesar itu ditentukan setelah melihat jumlah mahasiswa keseluruhan dari masing-masing universitas. Dari hasil pelacakan melalui internet diketahui bahwa mahasiswa Universitas Indonesia sebesar 40.000-an orang, Universitas Gadjah Mada 45.000-an orang, Universitas Diponegoro sebanyak 28.000-an orang, Universitas Padjadjaran sebanyak 45.000-an orang, Universitas Hasanuddin sebanyak 30.000-an orang, Universitas Udayana sebanyak 18.000-an, dan Universitas Nusa Cendana sebanyak 15.000-an orang. Dari data tersebut mestinya Universitas Padjadjaran memperoleh 100 responden, namun karena pertimbangan keterwakilan wilayah Timur, proyeksi 100 responden diberikan kepada Universitas Hasanuddin. D. Instrumen Penelitian Penyusunan instrumen penelitian didasarkan pada “matrik pengembangan instrumen” dan “kisi-kisi instrumen” yang merujuk kepada 5 variabel yang diukur, yaitu variabel 94
kepribadian, keterlibatan organisasi, hasil belajar pendidikan agama, lingkungan pendidikan, dan toleransi beragama.3 1. Variabel Kepribadian (X1) a. Definisi Konseptual Kepribadian adalah perangai atau perilaku yang muncul sebagai akibat interaksi dinamis antara karakteristik fisik dan mental pada diri individu yang berkembang sesuai dengan pendidikan dan lingkungan sosialnya. b. Definisi Operasional Kepribadian adalah skor yang diperoleh dari instrumen kepribadian dengan indikator yang mengukur temperamental seseorang apakah ia tergolong ekstrovert, introvert, sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis, berdasarkan instrumen yang sudah baku. c. Kisi-kisi Tabel 3.1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Kepribadian (X1) No.
Dimensi
1.
Ekstrovert atau introvert. Sanguinis. Melankolis. Koleris. Plegmatis.
2. 3. 4. 5.
Nomor Soal 13 14 15 16 17 Jumlah
Jumlah Butir 15 15 15 15 15 75
3
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. 2008. hlm. 8.
95
d. Validitasi Instrumen Penentuan validitas konstruksi instrumen variabel kepribadian dilakukan dengan menggunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Dalam hal ini, setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli. Instrumen variabel kepribadian diadaptasi dari instrumen uji kepribadian yang sudah baku dilakukan oleh kalangan psikolog. 2. Variabel Keterlibatan Organisasi (X2) a. Definisi Konseptual Keterlibatan organisasi adalah setiap proses identifikasi, komunikasi atau kegiatan bersama individu atau kelompok dalam organisasi. b. Definisi Operasional Keterlibatan organisasi adalah skor yang diperoleh dari instrumen keterlibatan organisasi dengan indikator yang mengukur kuantitas dalam pengetahuan organisasi, kedudukan dalam organisasi, pengambilan keputusan di organisasi, kualitas dalam kegiatan organisasi, dan manfaat organisasi. c. Kisi-kisi Tabel 3.2. Kisi-kisi Instrumen Variabel Keterlibatan Organisasi (X2) No. Dime Nomor Soal Jumlah nsi Butir 1. Pengetahuan 18 1 2. Kedudukan 19 1 2. Keterlibatan 20, 21, 22, 23, 24, 25 6 3. Manfaat 26, 27, 28 3 Jumlah 11 96
d. Validitasi Instrumen Penentuan validitas konten/konstruk untuk instrumen keterlibatan organisasi dengan cara mengonsultasikan instrumen yang telah disusun kepada para ahli. Selanjutnya, untuk melihat validitas internal dilakukan analisis terhadap hasil uji coba instrumen. Hasil uji coba instrumen keterlibatan organisasi diolah dengan menggunakan program excell untuk melihat validitas internal setiap butir pernyataan secara keseluruhan dari instrumen tersebut dengan cara menghitung koefisien korelasi skor setiap butir dengan skor total. Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap 20 orang mahasiswa berbeda agama dan fakultas yang berbeda ternyata diperoleh 4 butir pernyataan tidak diterima. Butir pernyataan yang diterima pada instrumen keterlibatan organisasi dapat digunakan dalam penelitian (valid) sebanyak 7 butir. Adapun pernyataan 4 butir yang ditolak sehingga tidak digunakan dalam penelitian ini adalah, yaitu nomor 22, 25, 26 dan 27. Pengukuran reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan butir yang valid sesuai dengan hasil uji coba. Selanjutnya dari perhitungan dengan menggunakan komputer program excell diperoleh hasil bahwa instrumen ini memiliki reliabilitas yang ditunjukkan dengan nilai (Alpha Cronbach) sebesar 0.877. Dengan demikian instrumen yang digunakan untuk mengukur atau mengumpulkan data penelitian variabel keterlibatan organisasi adalah instrumen final yang terdiri atas 7 butir. 3. Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama (X3) a. Definisi Konseptual Hasil belajar pendidikan agama adalah prestasi akademik yang diperoleh mahasiswa dalam mata kuliah pendidikan agama di perguruan tinggi. 97
b. Definisi Operasional Hasil belajar pendidikan agama adalah skor yang diperoleh dari instrumen pengetahuan agama dengan indikator yang mengukur prestasi akademik mata kuliah pendidikan agama. c. Kisi-kisi Tabel 3.1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama (X3) No. Dimensi Nomor Butir Jumlah 1. Nilai 29 1 Jumlah 1 d.
Validitasi Instrumen
Validitasi instrumen dilakukan dengan membandingkan antara pengakuan responden dan hasil belajar yang dikeluarkan oleh pihak fakultas yang bersangkutan. 4. Variabel Lingkungan Pendidikan (X4) a. Definisi Konseptual Lingkungan pendidikan adalah tempat di mana individu atau kelompok mendapatkan pengaruh konsepsional dan perilaku terhadap pandangan atau aturan tertentu yang kemudian menjadi pandangan dan perilaku dirinya. b. Definisi Operasional Lingkungan pendidikan adalah skor yang diperoleh dari instrumen lingkungan pendidikan dengan indikator yang mengukur pengaruh lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (sosial) terhadap toleransi beragama.
98
c. Kisi-kisi Tabel 4.1. Kisi-kisi Instrumen Variabel Lingkungan Pendidikan (X4) No. 1.
Dimensi Keluarga
2.
Kampus
3.
Masyarakat.
Nomor Butir Jumlah 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 18 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 10 55, 56, 57 58, 59, 60, 61 4 Jumlah 32
d. Validitasi Instrumen Penentuan validitas konten/konstruk untuk instrumen variabel lingkungan pendidikan dengan cara mengkonsultasikan instrumen yang telah disusun kepada para ahli. Selanjutnya, untuk melihat validitas internal dilakukan analisis terhadap hasil uji coba instrumen. Hasil uji coba instrumen keterlibatan organisasi diolah dengan menggunakan program excell untuk melihat validitas internal setiap butir pernyataan secara keseluruhan dari instrumen tersebut dengan cara menghitung koefisien korelasi skor setiap butir dengan skor total. Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap 20 orang mahasiswa berbeda agama dan fakultas yang berbeda ternyata diperoleh 23 butir pernyataan tidak diterima. Butir pernyataan yang diterima pada instrumen keterlibatan organisasi dapat digunakan dalam penelitian (valid) sebanyak 9 butir. Adapun pernyataan 23 butir yang ditolak sehingga tidak digunakan dalam penelitian 99
ini adalah, yaitu nomor 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 51, 53, 54, 56, 57, 58, 59 dan 61. Pengukuran reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan butir yang valid sesuai dengan hasil uji coba. Selanjutnya dari perhitungan dengan menggunakan komputer program excell diperoleh hasil bahwa instrumen ini memiliki reliabilitas yang ditunjukkan dengan nilai (Alpha Cronbach) sebesar 0.877. Dengan demikian instrumen yang digunakan untuk mengukur atau mengumpulkan data penelitian variabel keterlibatan organisasi adalah instrumen final yang terdiri atas 9 butir. 5. Variabel Toleransi Beragama (Y) a. Definisi Konseptual Toleransi beragama adalah kesadaran seseorang untuk menghargai, menghormati, membiarkan, dan membolehkan pendirian, pandangan, keyakinan, kepercayaan, serta memberikan ruang bagi pelaksanaan kebiasaan, perilaku, dan praktik keagamaan orang lain yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri dalam rangka membangun kehidupan bersama dan hubungan sosial yang lebih baik. b. Definisi Operasional Toleransi beragama adalah skor yang diperoleh dari instrumen toleransi beragama dengan indikator yang mengukur kebebasan beragama, keyakinan agama, penghormatan terhadap pelaksanaan ritual dan pendirian rumat ibadat, dan kerjasama sosial.
100
c. Kisi-kisi Tabel 3.5. Kisi-kisi Instrumen Variabel Toleransi Beragama (Y) No. Dimensi 1. Kebebasan beragama. 2. 3. 4.
Keyakinan agama Ritual dan pendirian rumah ibadat Kerjasama sosial
Nomor Butir Jumlah 62, 63, 64, 65, 66, 8 67, 68, 69 70, 71, 72, 73, 74 5 75, 76, 77, 78, 79, 7 80, 81 25 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106 Jumlah 45
d. Validitasi Instrumen Penentuan validitas konten/konstruk untuk instrumen toleransi beragama dengan cara mengonsultasikan instrumen yang telah disusun kepada para ahli. Selanjutnya, untuk melihat validitas internal dilakukan analisis terhadap hasil uji coba instrumen. Hasil uji coba instrumen toleransi beragama diolah dengan menggunakan program excell untuk melihat validitas internal setiap butir pernyataan secara keseluruhan dari instrumen tersebut dengan cara menghitung koefisien korelasi skor setiap butir dengan skor total. Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap 20 orang mahasiswa berbeda agama dan fakultas yang berbeda ternyata diperoleh 7 butir pernyataan tidak diterima. Butir pernyataan yang diterima pada instrumen keterlibatan organisasi dapat digunakan dalam penelitian (valid) sebanyak 38 butir. Adapun pernyataan 7 butir yang 101
ditolak sehingga tidak digunakan dalam penelitian ini adalah, yaitu nomor 62, 64, 65, 66, 68, 79, dan 84. Pengukuran reliabilitas instrumen dilakukan dengan menggunakan butir yang valid sesuai dengan hasil uji coba. Selanjutnya dari perhitungan dengan menggunakan komputer program excell diperoleh hasil bahwa instrumen ini memiliki reliabilitas yang ditunjukkan dengan nilai (Alpha Cronbach) sebesar 0.87. Dengan demikian instrumen yang digunakan untuk mengukur atau mengumpulkan data penelitian variabel toleransi beragama adalah instrumen final yang terdiri atas 38 butir. E. Teknis Analisis Data Analisis data penelitian dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif tujuannya adalah untuk memperoleh gambaran karakteristik penyebaran skor setiap variabel yang diteliti dengan menghitung nilai rata-rata (mean), median, standar deviasi, frekuensi, dan histogram. Selanjutnya skor setiap variabel yang diperoleh dari hasil penelitian diklasifikasi menurut kategori berikut: Variabel Kepribadian Ekstrovert-Introvert 26-30 sangat luar biasa ekstrovert 9-12 agak ekstrovert 22-25 Sangat ekstrovert 5-8 sangat intrivert 18-21 Agak ekstrovert 0-4 sangat luar biasa introvert 13-17 Seimbang Sanguinis 26-30 sangat luar biasa sanguinis 9-12 Sedikit sanguinis 22-25 Sangat sanguinis 5-8 Tidak begitu sanguinis 18-21 Di atas Rata-rata 0-4 Bukan sanguinis 13-17 Rata Rata
102
Melankolis 26-30 sangat luar biasa artistik 9-12 Dibawah rata rata 22-25 Sangat artistik 5-8 Tidak begitu artistik 18-21 agak artistik 0-4 tidak artistik 13-17 Rata Rata Koleris 26-30 Imajinasi yang kuat 9-12 Dibawah rata rata 22-25 Imajinasi yang bagus 5-8 kekurangan imajinasi 18-21 Agak imajinatif 0-4 tidak punya imajinasi 13-17 Rata Rata Plegmatis 26-30 luar biasa asertif 9-12 sangat lembut 22-25 sangat asertif 5-8 Tenang 18-21 Agak aserif 0-4 Sangat tenang 13-17 lembut Variabel Keterlibatan Organisasi Kurang terlibat apabila skor: 0 -20 Cukup terlibat apabila skor: 21 – 40 Terlibat apabila skor: 41 – 60 Sangat terlibat apabila skor: 61 – 80 Variabel Hasil Belajar Pendidikan Agama A = 4, B = 3, C = 2, D = 1, dan E = 0 Variabel Lingkungan Pendidikan Kurang kondusif apabila skor: 9 – 18 Cukup kondusif apabila skor: 19 – 27 Kondusif apabila skor 28: – 36 Sangat Kondusif apabila skor: 37 – 45
103
Variabel Toleransi Beragama Rendah apabila skor: 39 – 78 Sedang apabila skor: 79 – 117 Baik apabila skor: 118 – 156 Baik sekali apabila skor: 157 – 195 Analisis selanjutnya adalah dengan statistik inferensial (induktif), yaitu teknik analisis jalur. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis terlebih dahulu dilakukan pengujian persyaratan analisis data yang terdiri dari uji normalitas galat taksiran dan uji homogenitas varians. Pengujian normalitas galat taksiran masing-masing dilakukan terhadap taksiran Y atas X1, X2, X3 dan X4. Sedangkan pengujian homogenitas varians masing-masing dilakukan terhadap varians pengelompokan nilai Y atas kesamaan nilai variabel bebas Kepribadian (X1), Keterlibatan Organisasi (X2), Hasil Belajar Pendidikan Agama (X3), dan Lingkungan Pendidikan (X4).
104
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA A. Profil Responden 1. Sebaran Responden
R
esponden penelitian ini tersebar di 7 (tujuh) universitas negeri di Indonesia yang tergolong universitas besar. Sebaran responden di 7 universitas tersebut adalah sebagai berikut:
Dari data di atas, penyumbang responden terbesar adalah Universitas Hasanuddin sebesar 16.6%, berikutnya kemudian Universitas Indonesia sebesar 16.4%, Universitas Gadjah Mada sebesar 16.1%, Universitas Diponegoro sebesar 13.3%, Universitas Padjadjaran sebesar 13.1%, Universitas Udayana sebesar 13.1%, dan Universitas Nusa Cendana sebesar 11.5%.
105
2. Jenis Kelamin Responden Ditinjau dari jenis kelamin, responden antara laki-laki dan perempuan hampir seimbang, sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
Dari tabel di atas diketahui bahwa responden perempuan sebanyak 295 orang (48%) dan responden laki-laki sebanyak 314 orang (51.5%). 3. Agama Responden Ditinjau dari sisi agama, responden kebanyakan pemeluk agama Islam dengan 273 orang (44.8%), Kristen sebanyak 133 orang (21.8%), Katolik sebanyak 91 orang (14.9%), Hindu sebanyak 76 orang (12.5%), Buddha sebanyak 34 orang (5.6%), dan Khonghucu sebanyak 2 orang (0.3%), sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut.
106
4. Semester Ditinjau dari sisi semester, responden sebagian besar berasal dari semester 3 sebanyak 234 orang (38.4%), semester 5 sebanyak 180 orang (29.5%), dan semester 7 sebanyak 128 orang (21.0%), sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
B. Deskripsi Data dan Temuan Deskripsi data hasil penelitian meliputi variabel terikat (Y) yaitu toleransi beragama beragama beragama dan variabel bebas (X) meliputi kepribadian (X1), keterlibatan organisasi (X2), hasil belajar pendidikan agama (X3), dan lingkungan pendidikan (X4). Variabel bebas yang mempengaruhi variabel toleransi beragama beragama beragama dalam penelitian ini ditetapkan secara teoritis dan empiris. Adapun paparan data dari variabel-variabel penelitian disajikan sebagai berikut:
107
1. Toleransi beragama Agama 7 Universitas
beragama
Mahasiswa
Berbeda
Berdasarkan hasil uji instrumen toleransi beragama beragama beragama yang diberikan kepada 610 mahasiswa yang tersebar di 7 universitas negeri diperoleh data toleransi beragama mahasiswa. Data tersebut selanjutnya dikategorikan menjadi 4 kategori yaitu kategori rendah (39 – 78), kategori sedang (79 – 117), kategori baik (118 – 156), dan kategori baik sekali (157 – 195). Deskripsi data toleransi beragama beragama beragama mahasiswa disajikan pada tabel berikut: Descriptive Statistics Dependent Variable: Toleransi_Y Kode_UN UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total
Mean 144.3375 145.8429 140.0792 139.8600 138.2963 136.7500 136.6531 140.0393
Std. Deviation 13.68631 13.98305 23.84730 18.63689 16.78053 23.69239 17.32473 19.07573
N 80 70 101 100 81 80 98 610
Berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, rata-rata toleransi beragama beragama beragama di kalangan mahasiswa berbeda agama di 7 universitas negeri berada dalam kategori baik (118-156), dengan skor 140. Perolehan rata-rata skor tersebut berada di atas rata-rata skor teoritik dari variabel toleransi beragama beragama beragama di kalangan mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan skor toleransi beragama beragama secara visual berikut ini.
108
Toleransi_Y
100
Frequency
80
60
40
20 Mean =140.04 Std. Dev. =19.076 N =610
0 0.00
50.00
100.00
150.00
200.00
Toleransi_Y
Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor toleransi beragama beragama condong ke kanan atau sebagian besar skor toleransi beragama beragama di atas rata-rata. Ditinjau dari universitas-unversitas lokasi penelitian, ternyata rata-rata skor toleransi beragama di kalangan mahasiswa di 7 universitas berbeda secara signifikan. Hal ini terlihat pada hasil analisis data yang terangkum pada tabel berikut. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Toleransi_Y Source Corrected Model Intercept Kode_UN Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 6074.398a 11793615.0 6074.398 215530.658 12184326.0 221605.056
df 6 1 6 603 610 609
Mean Square F 1012.400 2.832 11793614.96 32995.537 1012.400 2.832 357.431
Sig. .010 .000 .010
a. R Squared = .027 (Adjusted R Squared = .018)
Dari tabel di atas diperoleh F= 2,832, dan p-value = 0,010 < 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut memperlihatkan adanya perbedaan toleransi beragama
109
beragama beragama di kalangan mahasiswa di 7 universitas. Hal ini berarti karakteristik universitas tempat penelitian ini dilakukan berpengaruh nyata terhadap toleransi beragama beragama beragama. 2. Kepribadian Berdasarkan hasil uji instrumen kepribadian yang diberikan kepada 610 mahasiswa yang tersebar di 7 universitas negeri diperoleh data kepribadian mahasiswa. Data tersebut selanjutnya dikategorikan menjadi 5 dimensi kepribadian, yaitu ekstrovert dan introvert, sanguinis, melankolis, koleris, dan plegmatis, dengan kategori skor sebagaimana telah disinggung di bab tiga. Deskripsi data kepribadian mahasiswa disajikan pada tabel berikut:
110
Descriptive Statistics EKS_INTRO
SAGUINIS
MELANKOLIS
KOLERIS
PLEGMATIS
Kode_UN UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total
Mean 17.0625 16.2286 16.9604 17.0500 16.4321 16.5750 15.4898 16.5475 20.2375 20.8429 20.5248 19.5500 19.2346 17.5500 18.3673 19.4557 15.5750 15.3143 14.9802 15.5100 15.7901 14.9125 15.1429 15.3082 19.3000 19.2571 17.2871 18.1800 17.4444 17.6000 18.3265 18.1525 14.0625 15.5429 14.1980 14.7800 14.0988 14.7750 13.9796 14.4574
Std. Deviation 4.62340 4.61934 4.77477 4.44126 4.23066 4.35970 4.08226 4.46205 4.25231 3.83589 3.52589 4.50449 3.59955 4.91420 3.70952 4.18875 4.89840 5.19069 4.10848 4.51595 5.63630 4.58725 3.99226 4.66726 4.21990 4.63973 4.62890 4.71486 4.73814 4.67040 3.59775 4.50229 3.76306 3.52912 3.82889 3.68612 3.97368 3.83513 3.74711 3.78602
N 80 70 101 100 81 80 98 610 80 70 101 100 81 80 98 610 80 70 101 100 81 80 98 610 80 70 101 100 81 80 98 610 80 70 101 100 81 80 98 610
111
Berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, rata-rata kepribadian dalam dimensi ekstrovert-introvert di kalangan mahasiswa berbeda agama di 7 universitas berada dalam kategori seimbang (13 – 17), dimensi sanguinis dalam kategori di atas rata-rata (18 – 21), dimensi melankolis dalam kategori rata-rata (13 – 17), dimensi koleris dalam kategori agak imajinatif (18 – 21), dan dimensi plegmatis dalam kategori lembut (13 – 17). Perolehan rata-rata skor dimensi-dimensi variabel kepribadian di kalangan mahasiswa berbeda agama di 7 universitas secara umum di atas rata-rata skor teoritik. Gambaran umum secara visual dapat dilihat pada grafik berikut ini. EKS_INTRO
60
50
Frequency
40
30
20
10 Mean =16.55 Std. Dev. =4.462 N =610
0 0.00
10.00
20.00
EKS_INTRO
112
30.00
SAGUINIS
Frequency
60
40
20
Mean =19.46 Std. Dev. =4.189 N =610
0 -10.00
0.00
10.00
20.00
30.00
SAGUINIS
MELANKOLIS
60
50
Frequency
40
30
20
10 Mean =15.31 Std. Dev. =4.667 N =610
0 -10.00
0.00
10.00
20.00
30.00
MELANKOLIS
113
KOLERIS
60
50
Frequency
40
30
20
10 Mean =18.15 Std. Dev. =4.502 N =610
0 -10.00
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
KOLERIS
PLEGMATIS
80
Frequency
60
40
20
Mean =14.46 Std. Dev. =3.786 N =610
0 0.00
10.00
20.00
30.00
PLEGMATIS
Dari grafik-grafik di atas tampak bahwa dimensi sangunitas dan plegmatis di kalangan mahasiswa berbeda agama di 7 universitas merupakan dimensi yang cukup menonjol dibandingkan 3 dimensi yang lain. Jika dikomparasi antar 7 universitas ternyata hanya dimensi sanguinis dan koleris yang berbeda secara signifikan. Dengan kata lain, 114
karakteristik universitas hanya berpengaruh nyata terhadap dimensi sangunitas dan koleritas. Hasil pengujiannya dapat dilihat pada tabel berikut. Tests of Between-Subjects Effects Type III Sum Source Dependent Variable of Squares Corrected Model EKS_INTRO 181.583a SAGUINIS 710.489b MELANKOLIS 54.653c KOLERIS 334.466d PLEGMATIS 153.014e Intercept EKS_INTRO 164054.815 SAGUINIS 227311.089 MELANKOLIS 140661.735 KOLERIS 198559.466 PLEGMATIS 125885.198 Kode_UN EKS_INTRO 181.583 SAGUINIS 710.489 MELANKOLIS 54.653 KOLERIS 334.466 PLEGMATIS 153.014 Error EKS_INTRO 11943.538 SAGUINIS 9974.816 MELANKOLIS 13211.406 KOLERIS 12010.356 PLEGMATIS 8576.378 Total EKS_INTRO 179156.000 SAGUINIS 241586.000 MELANKOLIS 156214.000 KOLERIS 213347.000 PLEGMATIS 136229.000 Corrected Total EKS_INTRO 12125.121 SAGUINIS 10685.305 MELANKOLIS 13266.059 KOLERIS 12344.821 PLEGMATIS 8729.392
df 6 6 6 6 6 1 1 1 1 1 6 6 6 6 6 603 603 603 603 603 610 610 610 610 610 609 609 609 609 609
Mean Square F 30.264 1.528 118.415 7.158 9.109 .416 55.744 2.799 25.502 1.793 164054.815 8282.726 227311.089 13741.466 140661.735 6420.136 198559.466 9969.010 125885.198 8850.913 30.264 1.528 118.415 7.158 9.109 .416 55.744 2.799 25.502 1.793 19.807 16.542 21.909 19.918 14.223
Sig. .166 .000 .869 .011 .098 .000 .000 .000 .000 .000 .166 .000 .869 .011 .098
a. R Squared = .015 (Adjusted R Squared = .005) b. R Squared = .066 (Adjusted R Squared = .057) c. R Squared = .004 (Adjusted R Squared = -.006) d. R Squared = .027 (Adjusted R Squared = .017) e. R Squared = .018 (Adjusted R Squared = .008)
115
3. Keterlibatan Organisasi Berdasarkan data skor keterlibatan organisasi yang diperoleh dari 610 mahasiswa yang tersebar di 7 perguruan tinggi umum diperoleh rata-rata sebesar 22,51. Dengan menggunakan kategori: Kurang terlibat (0 – 20), Cukup terlibat (21 – 40), Terlibat (41 – 60), dan Sangat terlibat (61 – 80), maka skor keterlibatan organisasi yang diperoleh dalam penelitian ini berada dalam kategori cukup terlibat. Deskripsi data keterlibatan organisasi mahasiswa disajikan pada tabel berikut: Descriptive Statistics Dependent Variable: Terlibat_Organisasi_X2 Kode_UN UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total
Mean 24.6750 22.9571 22.0891 19.1700 22.2716 21.6500 25.1633 22.5098
Std. Deviation 7.87847 7.73742 8.07354 7.25865 8.61541 8.20173 7.20637 8.03670
N 80 70 101 100 81 80 98 610
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata skor keterlibatan organisasi kurang terlibat hingga sangat terlibat berturut-turut adalah UGM, Udayana, Undana, Unhas, Undip, Unpad, dan UI. Keterlibatan organisasi disajikan secara visual pada histogram berikut. Histogram
80
Frequency
60
40
20
Mean =22.51 Std. Dev. =8.037 N =610 0 0.00
10.00
20.00
30.00
Terlibat_Organisasi_X2
116
40.00
50.00
Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor keterlibatan organisasi condong ke kiri atau sebagian besar skor tersebut di bawah rata-rata empiris. Ditinjau dari universitas-unversitas lokasi penelitian, ternyata rata-rata skor keterlibatan organisasi di kalangan mahasiswa di 7 universitas berbeda secara signifikan. Hal ini terlihat pada hasil analisis data yang terangkum pada tabel berikut. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Terlibat_Organisasi_X2 Source Corrected Model Intercept Kode_UN Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 2276.099a 305328.290 2276.099 37058.342 348417.000 39334.441
df 6 1 6 603 610 609
Mean Square 379.350 305328.290 379.350 61.457
F 6.173 4968.192 6.173
Sig. .000 .000 .000
a. R Squared = .058 (Adjusted R Squared = .048)
Dari tabel di atas diperoleh F= 6,173, dan p-value = 0,000 < 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut memperlihatkan adanya perbedaan keterlibatan organisasi di kalangan mahasiswa di 7 universitas. Hal ini berarti karakteristik universitas tempat penelitian ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap keterlibatan organisasi di kalangan mahasiswa. 4. Hasil Belajar Pendidikan Agama Berdasarkan data hasil belajar pendidikan agama yang diperoleh dari 610 mahasiswa yang tersebar di 7 universitas umum negeri diperoleh rata-rata sebesar 3,49. Dengan menggunakan skala 1 – 5 (A, B, C, D, dan E), maka rata-rata hasil belajar pendidikan agama pada mahasiswa yang menjadi responden penelitian tergolong tinggi. Deskripsi data hasil
117
belajar pendidikan agama mahasiswa disajikan pada tabel berikut: Descriptive Statistics Dependent Variable: Hasil_Belajar_Agama_X3 Kode_UN UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total
Mean 3.6250 3.4286 3.6634 3.4000 3.3827 3.5000 3.4082 3.4885
Std. Deviation .64386 .80885 .60460 .69631 .68132 .81131 .70106 .70933
N 80 70 101 100 81 80 98 610
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar pendidikan agama tertinggi ke terendah berturutturut diperoleh Unhas, Udayana, Unpad, Undana, UGM, UI, dan Undip. Kecenderungan data hasil belajar pendidikan agama disajikan secara visual pada histogram berikut. Histogram
400
Frequency
300
200
100
Mean =3.49 Std. Dev. =0.709 N =610
0 -1.00
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
Hasil_Belajar_Agama_X3
Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor hasil belajar pendidikan agama condong ke kanan atau sebagian besar skor tersebut di atas rata-rata empiris. Ditinjau dari universitas-unversitas lokasi penelitian, ternyata rata-rata skor hasil belajar pendidikan agama di 118
kalangan mahasiswa di 7 universitas berbeda secara signifikan. Hal ini terlihat pada hasil analisis data yang terangkum pada tabel berikut. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Hasil_Belajar_Agama_X3 Source Corrected Model Intercept Kode_UN Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 7.163a 7288.565 7.163 299.257 7730.000 306.420
df 6 1 6 603 610 609
Mean Square 1.194 7288.565 1.194 .496
F 2.406 14686.409 2.406
Sig. .026 .000 .026
a. R Squared = .023 (Adjusted R Squared = .014)
Dari tabel di atas diperoleh F= 2,406, dan p-value = 0,026 < 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut memperlihatkan adanya perbedaan hasil belajar pendidikan agama di kalangan mahasiswa di 7 universitas. Hal ini berarti universitas-universitas tempat penelitian ini dilakukan berpengaruh nyata terhadap hasil belajar pendidikan agama mahasiswa. 5. Lingkungan Pendidikan Berdasarkan data skor lingkungan pendidikan yang diperoleh dari 610 mahasiswa yang tersebar di 7 perguruan tinggi umum diperoleh rata-rata sebesar 35,92. Dengan menggunakan kategori lingkungan pendidikan: Kurang kondusif (9 – 18), Cukup kondusif (19 – 27), Kondusif (28 – 36), dan Sangat Kondusif (37 – 45), maka skor lingkungan pendidikan tersebut berada dalam kategori kondusif. Deskripsi data lingkungan disajikan pada tabel berikut:
pendidikan
mahasiswa
119
Descriptive Statistics Dependent Variable: Lingkungan_Pendidikan_X4 Kode_UN UDAYANA UNDANA UNHAS UI UNDIP UNPAD UGM Total
Mean 36.6250 37.2857 36.0594 34.9500 35.5185 35.1000 36.1939 35.9164
Std. Deviation 3.50181 3.57991 5.14747 3.58835 3.50753 5.52463 3.19684 4.15321
N 80 70 101 100 81 80 98 610
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa rata-rata skor lingkungan pendidikan terkondusif hingga ke kurang kondusif berturut-turut diperoleh Undana, Udayana, UGM, Unhas, Undip, Unpad, dan UI. Kecendrungan data lingkungan pendidikan disajikan secara visual pada histogram berikut. Histogram
150
Frequency
100
50
Mean =35.92 Std. Dev. =4.153 N =610
0 0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
Lingkungan_Pendidikan_X4
Dari grafik di atas tampak bahwa kecenderungan skor lingkungan pendidikan condong ke kanan atau sebagian besar skor tersebut di atas rata-rata empiris. Ditinjau dari 120
universitas-unversitas lokasi penelitian, ternyata rata-rata skor lingkungan pendidikan di kalangan mahasiswa di 7 universitas berbeda secara signifikan. Hal ini terlihat pada hasil analisis data yang terangkum pada tabel berikut. Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Lingkungan_Pendidikan_X4 Source Corrected Model Intercept Kode_UN Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 340.568a 775287.502 340.568 10164.168 797397.000 10504.736
df 6 1 6 603 610 609
Mean Square 56.761 775287.502 56.761 16.856
F 3.367 45994.751 3.367
Sig. .003 .000 .003
a. R Squared = .032 (Adjusted R Squared = .023)
Dari tabel di atas diperoleh F= 3,367, dan p-value = 0,003 < 0,05. Dengan demikian hasil uji komparasi tersebut memperlihatkan adanya perbedaan lingkungan pendidikan di kalangan mahasiswa di 7 universitas. Hal ini berarti universitas-universitas tempat penelitian ini memberikan pengaruh yang nyata terhadap lingkungan pendidikan mahasiswa. C. Analisis Inferensial 1. Pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi Pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi di analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel kepribadian (X1) dan keterlibatan organisasi (X2), yaitu (px21). Hasil pengujian pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi terangkum pada tabel berikut.
121
ANOVA(b) Model 1 Regression
Sum of Squares
Mean Square
df
1377,633
1
1377,633
Residual
34853,989
608
57,326
Total
36231,621
609
F
Sig.
24,032 ,000(a)
a Predictors: (Constant), Kepribadian b Dependent Variabel: Keterlibatan organisasi Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model
B 1
(Constant) Kepribadian
Std. Error
26,788
2,115
,122
,025
Standardized Coefficients Beta
t B
,195
Sig. Std. Error
12,665
,000
4,902
,000
a Dependent Variabel: Keterlibatan organisasi Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (p21) = 0,195 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 4,902, p-value = 0,000 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur (p21) adalah signifikan. Dengan kata lain kepribadian mahasiswa berpengaruh nyata terhadap toleransi beragama beragama beragama. Variabel kepribadian memberi pengaruh sebesar 0,195 terhadap keterlibatan organisasi. 2. Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel kepribadian (X1) dan hasil belajar (X3), yaitu (p31). Hasil pengujian pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar terangkum pada tabel berikut:
122
ANOVA(c) Model 1 Regression Residual Total 2 Regression Residual Total
Sum of Squares 4,026 236,369 240,395 2,990 237,405 240,395
Mean Square 2,013 ,389
df 2 607 609 1 608 609
2,990 ,390
F 5,170
Sig. ,006(a)
7,657
,006(b)
a Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi, Kepribadian b Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi c Dependent Variabel: Hasil belajar Coefficients(a)
Model
1
(Constant) Kepribadian Keterlibatan organisasi (Constant) Keterlibatan organisasi
2
Unstandardize d Coefficients Std. B Error 3,929 ,196 ,003 ,002 ,008
,003
4,177
,124
,009
,003
Standardi zed Coefficie nts Beta ,067 ,098
,112
t
Sig. Std. B Error 20,049 ,000 1,632 ,103 2,399
,017
33,621
,000
2,767
,006
a Dependent Variabel: Hasil belajar
123
Excluded Variabels(b) Partial Collinearity t Sig. Correlation Statistics Toleranc Toleranc Tolerance e e Tolerance Tolerance
Model
2
Beta In
Kepriba dian
,067(a)
1,632
,103
,066
,962
a Predictors in the Model: (Constant), Keterlibatan organisasi b Dependent Variabel: Hasil belajar Model Summary
Model 1 2
R ,129(a) ,112(b)
Adjusted R Square R Square ,017 ,014 ,012 ,011
Std. Error of the Estimate ,62402 ,62488
a Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi, Kepribadian b Predictors: (Constant), Keterlibatan organisasi Dari tabel tersebut diperoleh koefisien jalur (p31) = 0,067 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 1,632, p-value = 0,103>0,05. Dengan demikian H0 diterima atau koefisien jalur (p31) adalah tidak signifikan. Dengan kata lain kepribadian tidak berpengaruh terhadap hasil belajar pendidikan agama. 3. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar pendidikan agama Karena ada koefisien jalur yang tidak signifikan, yaitu variabel kepribadian ke variabel hasil belajar pendidikan agama, maka perlu dilakukan trimming, yaitu mengeluarkan variabel kepribadian dari model dan perhitungan koefisien jalur model 1 diulang. Hasilnya ditunjukkan oleh model2 dan 124
diperoleh hasil bahwa pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar di analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel keterlibatan organisasi (X2) dan hasil belajar (X3), yaitu (p32). Hasil pengujian pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar pendidikan agama terangkum pada tabel di atas. Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (p32) = 0,112 dengan statistik ujit diperoleh: thit = 2,767, p-value = 0,006 < 0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur (p32) adalah signifikan. Dengan kata lain keterlibatan organisasi berpengaruh terhadap hasil belajar. 4. Pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan Pengaruh kepribadian (X1) terhadap lingkungan pendidikan (X4) dianalisis melalui uji koefisien jalur antara variabel kepribadian (X1) dan (X1), yaitu (p41). Hasil pengujian terangkum pada tabel coefficients bagian 3. ANOVA(b) Mode l 1 Regres sion Residu al Total
Sum of Squares 412,553
Mean Square
df 3
137,518
F 8,328
Sig. ,000(a)
10006,30 606 16,512 6 10418,85 609 9 a Predictors: (Constant), Hasil belajar, Kepribadian, Keterlibatan organisasi b Dependent Variabel: Lingkungan pendidikan
125
Coefficients(a)
Model
1
(Constant) Kepribadian Keterlibatan organisasi Hasil belajar
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients t Std. B Error Beta B 27,840 1,645 16,921 ,025 ,014 ,073 1,800
Sig. Std. Error ,000 ,072
,077
,022
,143
3,502
,000
,520
,264
,079
1,969
,049
a Dependent Variabel: Lingkungan pendidikan Dari tabel tersebut diperoleh Pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan dengan koefisien jalur (p41) = 0,073 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 1,800, p-value = 0,072 > 0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur (p41) adalah signifikan. Dengan kata lain kepribadian berpengaruh nyata terhadap lingkungan pendidikan 5. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan dianalisis melalui uji koefisien jalur antara variabel keterlibatan organisasi (X2) dengan lingkungan pendidikan agama (X4), yaitu (p42). Dari tabel tersebut diperoleh Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan dengan koefisien jalur (p42) = 0,143. dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 3,502, p-value = 0,000 < 0,05. Dengan kata lain variabel keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan
126
6. Pengaruh hasil belajar terhadap lingkungan pendidikan Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap lingkungan pendidikan dianalisis melalui uji koefisien jalur antara variabel hasil belajar pendidikan agama (X3) dengan lingkungan pendidikan (X4), yaitu (p43). Dari tabel tersebut diperoleh Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap lingkungan pendidikan dengan koefisien jalur (p43) = 0,079. dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 1,969, p-value = 0,049 < 0,05. Dengan kata lain variabel hasil belajar pendidikan agama terhadap lingkungan pendidikan 7. Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel kepribadian (X1) dan toleransi beragama (Y), yaitu (py1). Hasil pengujian pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama beragama beragama terangkum pada tabel berikut. ANOVA(b)
Model 1 Regression Residual Total
Sum of Squares 33110,947 213993,27 6 247104,22 3
df 4 605
Mean Square 8277,73 7
F 23,403
Sig. ,000(a)
353,708
609
a
Predictors: (Constant), Lingkungan pendidikan, Hasil belajar, Kepribadian, Keterlibatan organisasi b Dependent Variabel: Toleransi beragama beragama Beragama
127
Coefficients(a)
Model
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
t
Std. B 1
(Constant) Kepribadian Keterlibatan organisasi Hasil belajar Lingkungan pendidikan
a
Dependent Beragama
Error
65,740
9,240
,240
,063
,308
,102
-3,498
1,227
1,310
,188
Variabel:
Toleransi
Sig. Std.
Beta
B
Error
7,114
,000
,147
3,791
,000
,118
3,010
,003
-,109 -2,851
,005
,269
,000
beragama
6,969
beragama
Model Summary
Model 1 a
R ,366(a)
R Square ,134
Adjusted R Square ,128
Std. Error of the Estimate 18,80712
Predictors: (Constant), Lingkungan pendidikan, Hasil belajar, Kepribadian, Keterlibatan organisasi
Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (py1) = 0,147 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 3,791, p-value = 0,000<0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur (py1) adalah signifikan. Dengan kata lain kepribadian mahasiswa berpengaruh nyata terhadap toleransi beragama.
128
8. Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel keterlibatan organisasi (X2) dan toleransi beragama (Y), yaitu (py2). Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (py2) = 0,118 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 3,010, p-value = 0,003 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur (py2) adalah signifikan. Dengan kata lain keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama. 9. Pengaruh hasil belajar toleransi beragama
pendidikan agama terhadap
Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap toleransi beragama analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel hasil belajar pendidikan agama (X3) dan toleransi beragama (Y), yaitu (py3). Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (py3) = -0,109 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = -2,851, p-value = 0,005 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur (py3) adalah signifikan. Dengan kata lain hasil belajar pendidikan agama terhadap toleransi beragama. 10. Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama analisis melalui uji koefisien jalur antara variabel lingkungan pendidikan (X4) dan toleransi beragama (Y), yaitu (py4). Dari tabel coefficients diperoleh koefisien jalur (py4) = 0,269 dengan statistik uji-t diperoleh: thit = 6,969, p-value = 0,000 <0,05. Dengan demikian H0 ditolak atau koefisien jalur (py4) adalah signifikan. Dengan kata lain lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama, maka dapat diindikasikan apabila ingin meningkatkan toleransi beragama dapat dilakukan dengan memperbaiki lingkungan pendidikan.
129
Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis No 1
2
3
4
5
6
7
Hipotesis Pengaruh kepribadian terhadap keterlibatan organisasi Pengaruh kepribadian terhadap hasil belajar pendidikan agama Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar pendidikan agama Pengaruh kepribadian terhadap lingkungan pendidikan Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap lingkungan pendidikan Pengaruh kepribadian terhadap toleransi beragama beragama beragama
130
Uji Statistik
H
0
: p 21 = 0
H
1
: p 21 > 0
H
0
: p 31 = 0
H
1
: p 31 > 0
H
0
: p 32 = 0
H
1
: p 32 > 0
H
0
: p 41 = 0
H
1
: p 41 > 0
H
0
: p 42 = 0
H
1
: p 42 > 0
H
0
: p 43 = 0
H
1
: p 43 > 0
H
0
: p
y1
= 0
H
1
: p
y1
> 0
Koefisien Jalur 0,195
t hitung p-value Keputusan
Kesimpulan
4,902
0,000
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
0,067
1,53
0,103
diterima
Tidak memiliki pengaruh langsung
0,112
2,767
0,006
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
0,073
1,800
0,072
diterima
Tidak memiliki pengaruh langsung
0,143
3,502
0,000
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
0,079
1,969
0,049
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
0,147
3,791
0,00
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
8
9
10
Pengaruh keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama beragama beragama Pengaruh hasil belajar pendidikan agama terhadap toleransi beragama beragama beragama Pengaruh lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama beragama beragama
H
0
: p
y2
= 0
H
1
: p
y2
> 0
H
0
: p
y3
= 0
H
1
: p
y3
> 0
H
0
: p
y4
= 0
H
1
: p
y4
> 0
0,118
3,010
0,003
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
-0,109
-2,851
0,005
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
0,269
6,969
0,000
ditolak
Memiliki pengaruh langsung
D. Model Empiris Hubungan Antar Variabel Berdasarkan hasil penghitungan di atas, maka diketahui skor dari masing-masing variabel sebagai berikut. Nilai-nilai koefisien jalur p21
= 0,195
p31 =
p41
= 0,073
p42 = 0,143
p43 = 0,079
py1
= 0,147
py2
py3 = -0,109
py4
= 0,269
0,067 = 0,118
p32 =
0,112
131
X1 XX
X3 Hasil Belajar PA
Kepribadian
Y Toleransi beragama b X2 Keterlibatan Organisasi
X4 Lingkungan Pendidikan
Gambar 2: Skor Analisis Jalur (Path Analysis) Dari hasil perhitungan di atas terlihat dalam model 1, jalur p31 mempunyai tanda yang tidak sinifikan (p-value = 0,103>0,05) dan jalur p42 juga mempunyau tanda yang tidak signifikan (p-value = 0,103>0,05). Dengan kata lain bahwa kepribadian tidak berpengaruh langsung terhadap hasil belajar pendidikan agama dan kepribadian juga tidak berpengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan. Oleh karena itu dapat di simpulkan model awal atau satu tidak memenuhi persyaratan analisis jalur. Karena model awal tidak terbukti, maka harus dicari model lain. Dengan demikian model 1 perlu dimodifikasi dengan menghilangkan jalur pengaruh X1 terhadap X3 dan jalur pengaruh X1 terhadap X4.
132
Hasil perhitungan koefisien jalur memberikan nilai-nilai sbb: Nilai-nilai koefisien jalur p21
= 0,195
p32
=
p43
= 0,079
py1
= 0,147
py3
= -0,109
py4
= 0,269
0,112 p42 py2
= 0,143 = 0,118
Dengan memasukkan angka koefisien jalur pada masing-masing jalur hubungan, maka model 2 atau model baru empiris hubungan antar variabel dapat dikonstruksikan sebagai berikut X3 Hasil Belajar PA
X1 XX Kepribadian
0,147 X2 Keterlibatan 0,079 Organisasi
0,143
-0,109 Y Toleransi beragama b
0,195 X4 Lingkungan Pendidikan 0,118
0,269
Gambar 3: Model Baru Empiris Hubungan Antar Variabel Dari model 2 di atas dapat diketahui bahwa nilai masing-masing koefisen jalur di atas t hit< t tabel, sehingga persyaratan pertama telah terpenuhi. Selanjutnya perlu di uji
133
lagi dengan menggunakan persyaratan ke dua, yaitu dengan menggunakan uji ketepatan model dengan menggunakan program Software LISREL. Untuk mengetahui apakah nilai hitung ketepatan model (goodness fit statistics) mendukung model 2 maka akan digunakan analisis dengan menggunakan stastistik chi-square. Berdasarkan hasil perhitungan dapat diketahui bahwa nilai chi-square sebesar 0,00 dengan p-value sebesar 1 dan tidak perlu digunakan uji statistik yang lain lagi karena nilai chi-square sudah nol dan secara otomatis statistik uji yang lain akan menerima model 2 di atas, oleh Karena itu dapat di ambil kesimpulan bahwa model analisis jalur di atas sudah sempurna artinya sangat sesuai dengan data dan dapat di gunakan untuk penelitian ini. E. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data hasil perhitungan koefisen dan pengujian hipotesis, maka selanjutnnya dapat dianalisis perhitungan langsung dan tidak langsung variabel eksogen (variabel yang mempengaruhi/sebab) terhadap variabel endogen (variabel yang dipengaruhi/akibat) dalam model struktural yang terbagi menjadi 4 substruktur. Tabel Besar pengaruh langsung dan tidak langsung variabel eksogen ( X1 dan X2) terhadap variabel Endogen X3 pada substruktur 1 Variabel
Langsung Terhadap Hasil belajar (X3)
Kepribadian (X1)
-
Keterlibatan Organisasi (X2)
0,1122= 0,013
134
Tidak Langsung Total Melalui Keterlibatan Organsiasi (X2) 0,195 x 0,112 = 0,022 0,022 0,013
Dalam substruktur 1 pada tabel di atas terdapat sebuah variabel endogen yaitu hasil belajar dan 2 buah vaiabel eksogen yaitu keperibadian dan keterlibatan organsiasi. Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa tidak terdapat pengaruh langsung kepribadian (X1) terhadap hasil belajar (X3). Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap hasil belajar (X3) melalui keterlibatan organsiasi (X2) sebesar 2,2%. Dengan demikian pengaruh total kepribadian (X1) terhadap hasil belajar (X3) sebesar 8,9%. Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pengaruh langsung keterlibatan organisasi (X2) terhadap hasil belajar (X3) sebesar 0,013 atau 1,3% dengan koefisien jalur 0,112. Dengan demikian pengaruh total keterlibatan organisasi (X2) terhadap hasil belajar (X3) sebesar 1,39%. Adapun pengaruh kepribadian (X1) dan keterlibatan organisasi (X2) secara bersama-sama terhadap hasil belajar (X3) sebesar 0,017 atau 1,7%. Disamping ke dua variabel eksogen tersebut, hasil belajar juga dipengaruhi oleh variabel lain dengan besar pengaruh 0,983 atau 98% dengan koefisien pε31= 0,98. Tabel Besar pengaruh langsung dan tidak langsung variabel eksogen ( X1, X2 dan X3) terhadap variabel Endogen X4 pada Variabel
Kepribadian (X1) Keterlibatan Organisasi (X2) Hasil Belajar PA (X3)
substruktur 2 Tidak Langsung Langsung Terhadap Melalui Lingkungan Keterlibatan Pendidikan Organsiasi (X2) (X4) 0,195 x 0,143 = 0,028 0,1432=0,020 0,0792= 0,006
Tidak langsung melaluiHasil Belajar PA (X3)
Total
-
0,028
0,112 x 0,079 = 0,009
0,029 0,006
135
Dalam substruktur 2 pada tabel di atas terdapat sebuah variabel endogen yaitu lingkungan pendidikan dan 3 buah variabel eksogen yaitu keperibadian dan keterlibatan organsiasi dan hasil belajar PA. Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa tidak terdapat pengaruh langsung kepribadian (X1) terhadap lingkungan pendidikan (X4). Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap lingkungan pendidikan (X4) melalui keterlibatan organsiasi (X2) sebesar 2,8%. Dengan demikian pengaruh total kepribadian (X1) terhadap lingkungan pendidikan (X4) sebesar 2,8%. Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pengaruh langsung keterlibatan organisasi (X2) terhadap hasil belajar (X3) sebesar 0,02 atau 2% dengan koefisien jalur 0,143. Pengaruh tidak langsung keterlibatan organisasi (X2) terhadap lingkungan pendidikan (X4) melalui hasil belajar PA (X3) sebesar 0,9%. Dengan demikian pengaruh total keterlibatan organisasi (X2) terhadap lingkungan pendidikan (X4) sebesar 2,9%. Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pengaruh langsung hasil belajar (X3) terhadap lingkungan pendidikan (X4) sebesar 0,006 atau 0,6% dengan koefisien jalur 0,079. Adapun pengaruh kepribadian (X1), keterlibatan organisasi (X2) dan hasil belajar PA (X3) secara bersama-sama terhadap hasil belajar (X3) adalah sebesar 0,40 atau 40%. Disamping ke dua variabel eksogen tersebut, lingkungan pendidikan (X4) juga dipengaruhi oleh variabel lain dengan besar pengaruh 0,60 atau 60% dengan koefisien pε41= 0,60. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa keterlibatan organisasi memiliki total pengaruh langsung dan tidak langsung terbesar terhadap lingkungan pendidikan. Sedangkan hasil belajar PA memiliki total pengaruh langsung dan tidak langsung terkecil terhadap lingkungan pendidikan. 136
Tabel Besar pengaruh langsung dan tidak langsung variabel eksogen ( X1, X2, X3, X4) terhadap variabel Endogen Y pada substruktur 3 Variabel Langsung Terhadap Toleransi beragama beragama (Y)
Tidak Langsung Melalui Keterlibatan Organsiasi (X2)
Tidak langsun g melalui Hasil Belajar PA (X3)
Tidak langsung melalui Lingkungan pendidikan (X4)
Kepriba 0,1472=0,022 0,195 x 0,118 dian = 0,023 (X1) Keterlib atan Organis asi (X2) Hasil Belajar PA (X3) Lingkun gan Pendidi kan (X4)
Tidak Langsung Melalui Keterlibat an Organsias i (X2) dan Hsl Belajar (X3) 0,195 x 0,112 x 0,109 = 0,002
Tidak Langsung Melalui Keterlibatan Organsiasi (X2) dan lingk.Pddkn (X4)
Total Tidak Langsung Melalui Hasil Belajar PA (X3) dan lingk.Pddkn (X4)
0,195 x 0,143 x 0,269 = 0,008
0,051
0,1182=0,014
0,112 x - 0,143 x 0,269 0,109 = - = 0,038 0,012
0,112 x 0,079 x 0,042 0,269 = 0,002
0,1092=0,012
0,079 x 0,269 = 0,021
0,033
0,2692=0,072
0,072
Dalam substruktur 3 pada tabel di atas terdapat sebuah variabel endogen yaitu toleransi beragama dan 4 buah variabel eksogen yaitu keperibadian dan keterlibatan organsiasi, hasil belajar PA dan lingkungan pendidikan. Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat pengaruh langsung kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 2,2%. Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y) melalui keterlibatan organsiasi (X2) sebesar 2,3%. Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y) melalui keterlibatan organsiasi (X2) dan hasil Belajar (X3) sebesar 0,2%. Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap
137
toleransi beragama (Y) melalui keterlibatan organsiasi (X2) dan lingkungan pendidikan (X4)sebesar 0,8%. Pengaruh tidak langsung kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y) melalui hasil belajar PA (X3) dan lingkungan pendidikan (X4) sebesar 0,1%. Dengan demikian pengaruh total kepribadian (X1) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 5,1%. Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa terdapat pengaruh langsung keterlibatan organsiasi (X2) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 1,4%. Pengaruh tidak langsung keterlibatan organsiasi (X2) terhadap toleransi beragama (Y) melalui hasil belajar (X3) sebesar -1,2%. Pengaruh tidak langsung keterlibatan organsiasi (X2) terhadap toleransi beragama (Y) melalui lingkungan pendidikan (X4) sebesar 3,8%. Pengaruh tidak langsung keterlibatan organsiasi (X2) terhadap toleransi beragama (Y) melalui hasil belajar PA (X3) dan lingkungan pendidikan (X4) sebesar 0,2%. Dengan demikian pengaruh total keterlibatan organsiasi (X2) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 5,2%. Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa terdapat pengaruh langsung hasil belajar PA (X3) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 1,2%. Pengaruh tidak langsung hasil belajar PA (X3) terhadap toleransi beragama (Y) melalui lingkungan pendidikan (X4) sebesar 2,1%. Dengan demikian pengaruh total hasil belajar PA (X3) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 3,3%. Dalam tabel di atas juga dapat dilihat bahwa pengaruh langsung lingkungan pendidikan (X4) terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 7,2%. Adapun pengaruh kepribadian (X1), keterlibatan organisasi (X2) dan hasil belajar PA (X3) lingkungan pendidikan (X4) secara bersama-sama terhadap toleransi beragama (Y) sebesar 0,134 atau 13,4%. Disamping ke dua 138
variabel eksogen tersebut, lingkungan pendidikan (X4) juga dipengaruhi oleh variabel lain dengan besar pengaruh 0,866 atau 86,6% dengan koefisien pεy1= 0,87. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan memiliki total pengaruh langsung dan tidak langsung terbesar terhadap toleransi beragama. Sedangkan hasil belajar PA memiliki total pengaruh langsung dan tidak langsung terkecil terhadap toleransi beragama.
139
140
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan
B
erdasarkan hasil analisis data dan perhitungan statistik dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat Pengaruh langsung kepribadian terhadap keterlibatan organisasi sebesar 3,8% dengan nilai koefisien jalur adalah 0,195. Tidak terdapat pengaruh langsung yang signifikan antara kepribadian terhadap hasil belajar pendidikan agama. Terdapat Pengaruh langsung keterlibatan organisasi terhadap hasil belajar pendidikan agama sebesar 1,3% dengan nilai koefisien jalur adalah 0,112. Tidak terdapat pengaruh langsung yang signifikan antara kepribadian terhadap lingkungan pendidikan. Terdapat Pengaruh langsung keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan sebesar 2,0% dengan nilai koefisien jalur adalah 0,143. Terdapat Pengaruh langsung keterlibatan organisasi terhadap lingkungan pendidikan sebesar 0,6% dengan nilai koefisien jalur adalah 0,079. Terdapat Pengaruh langsung kepribadian terhadap toleransi beragama sebesar 2,2 % dengan nilai koefisien jalur adalah 0,147. Terdapat Pengaruh langsung keterlibatan organisasi terhadap toleransi beragama sebesar 1,4 % dengan nilai koefisien jalur adalah 0,118. Terdapat Pengaruh langsung hasil belajar pendidikan agama terhadap toleransi beragama sebesar 1,2% dengan nilai koefisien jalur adalah -0,109. Terdapat Pengaruh langsung lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama sebesar 7,2 % dengan nilai koefisien jalur adalah 0,269. 141
2. Variabel kepribadian mahasiswa tidak memiliki pengaruh langsung terhadap hasil belajar pendidikan agama, tetapi kepribadian mahasiswa akan lebih efektif perananya terhadap hasil pendidikan agama jika mahasiswa terlibat alam organisasi. 3. Variabel Kepribadian mahasiswa tidak memiliki pengaruh langsung terhadap lingkungan pendidikan, tetapi kepribadian mahasiswa akan lebih efektif perananya terhadap lingkungan pendidikan jika di dukung oleh keterlibatan mahasiswa dalam organisasi. 4. Secara umum variabel kepribadian, keterlibatan organsiasi, hasil belajar dan lingkungan pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap toleransi beragama. Variabel lingkungan pendidikan mempunyai pengaruh langsung terbesar terhadap toleransi beragama. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa variabel lingkungan pendidikan merupakan variabel yang paling dominan berpengaruh langsung terhadap toleransi beragama mahasiswa di perguruan tinggi. Dengan kata lain toleransi beragama pada mahasiswa di perguruan tinggi dapat meningkat jika di dukung atau ditumbuh suburkan oleh lingkungan pendidikan yang kondusif. Lingkungan pendidikan meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (sosial).Tujuan pendidikan di keluarga, yakni terbentuknya mental, sikap serta penonjolan tingkah laku yang positif dan membangun, bukan saja dalam lingkungan keluarga tetapi disetiap lingkungan di mana ia berada. Peranan Sekolah/ Perguruan Tinggi sebagai, jika dilihat dari sudut sosial dan spiritual, berfungsi mengembangkan sikap mental yang erat hubungannya dengan norma-norma kehidupan di kampus dan di lingkungan masyarakat. Dengan demikian jenis 142
lingkungan sangat menen tukan dan memberi pengaruh terhadap pembentukan sikap, penerimaan, tingkah laku, dan toleransi setiap mahasiswa terhadap berbagai kemajemukan (etnis, organisasi, dan agama). Hal tersebut mengindikasikan bahwa jenis lingkungan pendidikan tidak bisa diabaikan sebagai faktor penting mengukur toleransi di kalangan mahasiswa. B. Implikasi 1. Perbaikan kepribadian akan berdampak pada peningkatan keterlibatan organisasi mahasiswa di perguruan tinggi. 2. Perbaikan kepribadian akan berdampak tidak langsung terhadap hasil belajar pendidikan agama melalui keterlibatan organisasi. 3. Peningkatan keterlibatan organisasi akan berdampak pada peningkatan terhadap hasil belajar pendidikan agama. 4. Perbaikan kepribadian akan berdampak tidak langsung terhadap lingkungan pendidikan melalui keterlibatan organisasi. 5. Peningkatan keterlibatan organisasi akan berdampak pada perbaikan lingkungan pendidikan. 6. Peningkatan hasil belajar pendidikan agama akan berdampak pada perbaikan lingkungan pendidikan. 7. Perbaikan kepribadian akan berdampak pada peningkatan toleransi beragama beragama beragama. 8. Peningkatan keterlibatan organisasi akan berdampak pada peningkatan toleransi beragama beragama beragama. 9. Peningkatan hasil belajar pendidikan agama akan berdampak pada peningkatan toleransi beragama beragama beragama.
143
10. Perbaikan lingkungan pendidikan akan berdampak pada peningkatan toleransi beragama beragama beragama. C. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan di atas, maka rekomendasi yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Mengembangkan kurikulum pendidikan agama yang bernuansa multikulturalisme di Perguruan Tinggi, yang mampu menciptakan suasana yang sejuk bagi persemaian benih-benih toleransi beragama beragama dan kerukunan umat beragama; 2. Menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif dan harmonis bagi penciptaan toleransi beragama beragama di lingkungan keluarga, perguruan tinggi, masyarakat melalui peningkatan revitalisasi peran dan komunikasi orang tua, dosen, dan tokoh masyarakat; 3. Menciptakan kepribadian mahasiswa yang terbuka terhadap perbedaan melalui pengembangan program pendidikan dan pelatihan kepribadian yang dikelola oleh organisasi intra dan ekstra kampus; 4. Meningkatkan sikap toleran di kalangan mahasiswa melalui keteladanan orang tua dalam memberikan perilaku yang toleran terhadap orang beda agama, dosen tidak mengajarkan doktrin agama yang cenderung intoleran terhadap umat yang berbeda agama; dan 5. Menggunakan model empiris toleransi beragama di kalangan mahasiswa dari temuan penelitian ini, sebagai acuan penyusunan kebijakan pemeliharaan toleransi beragama beragama beragama di kalangan mahasiswa dengan penyempurnaan lebih lanjut.
144
DAFTAR PUSTAKA Amiruddin al Rahab. “Kekerasan Komunal di Indonesia: Sebuah Tinjauan Umum” dalam Jurnal Dignitas. Volume V No. 1 Tahun 2008. hlm. 34. Ahmad Warson Munawir. Kamus al-Munawir. Yogyakarta: PP Krapyak. 1994. hlm. 702. Ala Abu Bakar. Islam yang Paling Toleran: Kajian tentang Fanatisme dan Toleransi dalam Islam. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006. Anis Faranita Dhanik Rachmawati. Toleransi Antar Umat Islam dan Katolik: Studi Kasus di Dukuh Kasaran, Desa Pasungan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Skripsi. Semarang: IAIN Walisongo. 2006. Alo Liliweri. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: LKiS. 199-203. Alimron. Toleransi Antarumat Beragama dalam Perspektif al-Quran. Tesis. Padang: IAIN Imam Bonjol. 1999. hlm. 21-25. Anwar Harjono. Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam. Jakarta: Gema Insani Press. 1995. hlm. 153. Agus Purnomo. Ideologi Kekerasan: Argumentasi Teologis-Sosial Radikalisme Islam. Yogyakarta: STAIN Ponorogo Press & Pustaka Pelajar. 2009. A Muri Yusuf. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ghalia A. Zaki Badawi. Mu`jam Musthalahat al-`Ulum al-Ijtima`iyat. Biyanto. Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan: Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah. Malang: UMM Press. 2009. hlm. 160. David G. Gularnic, Webster’s World Dictionary of American Language. New York: The World Publishing Company. 1959. p. 799; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. hlm. 1204; Djaali. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. hlm. 3.
145
Djohan
Effendi. “Persahabatan Lebih Penting Daripada Kesepakatan Formal” dalam Mimbar Ulama, No. 128 Tahun XII/1988. hlm. 29-30.
Endang Saifuddin Anshari dalam Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. 1987. hlm. 46. Enung Fatimah. Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia. 2006. Eriyanto dkk. Bagaimana Merancang dan Membuat Survei Opini Publik. Jakarta: AROPI. 2009. hlm. 8. Fathurrahman.Toleransi Beragama Antara Penyedia dan Pengguna Jasa Kos-kosan Beda Agama di Dusun Papringan, Desa Catur Tunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga. 2008. “Gerakan Baku Bae Maluku Perlawanan terhadap Penganjur Perang” dalam Ambon Berdarah On-Line, www. geocities.com. Hadari Nawawi. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Gunung Agung. 1985. hlm. 7. Heru Cahyono. Ed. Konflik Kalbar dan Kalteng: Jalan Panjang Meretas Perdamaian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan P2P-LIPI. 2008. Hikmat Budiman. “Minoritas, Multikulturalisme, Modernitas” dalam Hikmat Budiman. Ed. Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: The Interseksi Foundation. 2005. hlm. 3. Israq. “Substansi dan Definisi Pengetahuan” dalam www.israq. wordpress.com. Istilah agree in desagreement dipopulerkan oleh Menteri Agama, A. Mukti Ali. Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008. hlm. 191. J.P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. hlm. 512;
146
Karl Rahner. Ed. Encyclopedia of Theology: A Concise Sacramentum Mundi. Wellwood, North Farm Road, Tunbridge Wells, Kent: Burns & Oates. 1993. p. 1721-1726. Kasinyo Harto. Islam Fundamentalis di Perguruan Tinggi Umum: Kasus Gerakan Keagamaan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang. Jakarta: Balitbang dan Diklat Depag. 2008. hlm. 215. Khaled Abou El Fadl. Cita dan Fakta Toleransi Islam: Puritanisme versus Pluralisme. Bandung: Arasy. 2003; Lucia Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi. Depok: FISIP UI. 1999. hlm. 11-12. Lorens Bagus. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996. hlm. 1111-1112. Lucia Ratih Kusumadewi. Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Skripsi. Jakarta: FISIP-UI. 1999. hlm. 65-78. Muhammad Hisyam et.al. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Rentan Konflik. Jakarta: LIPI Press. 2006. hlm. 1. Menggugat Intelektualisme Mahasiswa” dalam http:// bermula. wordpress.com/2008/06/25/menggugat-intelektualisme mahasiswa/. M. Mukhsin Jamil. Mediasi dan Resolusi Konflik. Semarang: Walisongo Mediation Centre. 2007. hlm. xviii-xxi; M. Ainul Yaqin. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta: Pilar Media. 2005. hlm. 17. M. Amin Abdullah. “Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya: Tentang Kebenaran Agama dan Masa Depan Ilmu Agama” dalam Ulumul Qur’an, No. 1 Vol. IV Th. 1993. hlm. 88-96. M. Amin Abdullah. “Relevansi Studi Agama di Era Pluralisme Agama” dalam Mohammad Sabri. Keberagamaan yang Saling
147
Menyapa: Perspektif Filsafat Perennial. Yogyakarta: Ittaqa Press. 1999. hlm. xiii. M. Hariwijaya. Tes Kepribadian. Yogyakarta: Media Ilmu. 2009. hlm. 1. .M. Billah. “Tipologi dan Praktek Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep. Hukum dan HAM RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003 M. Hariwijaya. op.cit. hlm. 118-130; Jalaluddin. op.cit. hlm. 195; Agus Sujanto, Halem Lubis, dan Taufik Hadi. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Muhlas. Pendidikan Profesi Guru. Jakarta: Irjen Dikti Depdiknas. 2009. Muhammad Ali. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. Muhammad Hisyam. Ed. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Rentan Konflik. Jakarta: LIPI.2006; Idem. Budaya Kewargaan Komunitas Islam di Daerah Aman Konflik. Jakarta: LIPI. 2007. Mujiburrahman. Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi. Pengantar Karel A. Steenbrink. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008. “Mahasiswa Kriminal Picu Konflik Kampung Pulo”, dalam www.sabili.co.id. M.A.S. Imam Chourmain. Metode Penelitian dengan Analisis Jalur (Metode Path Analysis). Jakarta: t.p. 2007. Nurhayati. Toleransi Antara Umat Beragama: Studi Kasus Umat Islam dan Hindu di Kampung Lebah Kabupaten Klungkung, Bali. Skripsi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2005. “Mahasiswa UKI dan YAI Sempat ‘Mesra’ di Era Reformasi”, 16 Oktober 2008, www.tempointeraktif.com.
148
Paul Edwards. Editor in Chief. “Toleration” in The Encyclopedia of Pholosophy. Volume 7 and 8 Paul Edwars (New York & London: Macmillan Publisher. 1967, hlm 143. “Polisi Temukan Senjata Tajam dalam Kampus”, 19 November 2008, www.nasional.vivanews.com. Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Prasangka Orang Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2006. hlm. 92. http://books.google.co.id/books, hlm. 40. Resume Studi Toleransi dan Kerentanan Religi di 4 Kota Jawa, dari Labsosio Departemen Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia. 2008. hlm. 1. Saiful Mujani. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2007. hlm. 162. Saiful Mujani dkk. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar. 2005. hlm. 92. Syamsu Yusuf LN dan A. Juntika Nurihsan. Teori Kepribadian. Bandung: Sekolah Pascasarjana & Remaja Rosda-karya. 2008. hlm. 26. Soerjono Soekanto (1993: 355), sebagaimana dikutip Sismarni. “Teori Partisipasi dalam Dinamika Sosial” dalam www.lppbifiba.blogspot.com. Saeful Mujani. Islam dan God Goverment. Jakarta: PPIM IAIN Syarif Hidayatullah. 2002. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. 2008. hlm. 8. Teguh Setiawan. Toleransi Beragama di Kalangan Komunitas Slankers Semarang: Studi Kasus Organisasi Basis Slankers Club. Skripsi. Semarang: IAIN Walisongo. 2007. Tempo, 12 November 2004 Tim Peneliti. Survei Opini Publik: Toleransi Sosial Masyarakat Indonesia. Jakarta: LSI. 2006.
149
Tim Peneliti. Laporan Hasil Survei Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Stakeholders terhadap Organisasi Masyarakat Sipil. Jakarta: LP3ES dan YAPPIKA. 2006. Tim Peneliti. Indeks Masyarakat Sipil Indonesia. Jakarta: YAPPIKA. 2006. hlm. 90-91. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2005. Hlm. 1121. Tim Penyusun. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid XVI. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. 1996. hlm. 384; Trisno
Sutanto. “Melampaui Toleransi?: Merenung Bersama Walzer” dalam Ihsan Ali-Fauzi, dkk. Demi Toleransi Demi Pluralisme. Jakarta: Paramadina. 2007.
Tim Penyusun. Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta: SETARA Institute. 2008. “Umat Islam Indonesia Dukung Radikallisme” dalam Harian Toleransi dalam Pasungan: Pandangan Generasi Muda terhadap Masalah Kebangsaan, Pluralitas dan Kepemimpinan Nasional. Jakarta: SETARA Institute. 2008. William L. Reese. Dictionary of Philosophy and Religion: Eastern and Western Thought. Expanded Edition. New York: Humanity Books. 1999. p. 774-775.. www.wikipedia.org.id. W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1989. hlm. 702; Binsar A. Hutabarat. Kebebasan Beragama VS Toleransi Beragama. www.google.com. www.commongroundnews.org. www.in-christ.net. www.antara.co.id. Yayah Khisbiyah. Menepis Prasangka, Memupuk Toleransi untuk Multikulturalisme: Dukungan dari Psikologi Sosial. Surakarta: PSB-PS UMS. 2007. hlm. 4.
150
Yusuf al-Qardhawi. Minoritas Nonmuslim di dalam Masyarakat Islam. Penerjemah Muhammad Baqir. Bandung: Mizan. 1985. Hlm. 95-97. Zakiyuddin Baidhawy. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga. 2007.
151
152
Lampiran Nomor : ................................................ Perguruan Tinggi : ................................................ Surveyor : ................................................ DAFTAR PERTANYAAN (KUESIONER) PENELITIAN TENTANG MAHASISWA BERBEDA AGAMA DI PERGURUAN TINGGI UMUM
TOLERANSI
Hai teman-teman mahasiswa, Kami peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama sedang menyelenggarakan penelitian tentang Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama di Perguruan Tinggi Umum. Tujuan penelaitian adalah untuk mengkaji pengaruh kepribadian, pengetahuan agama, keterlibatan organisasi, dan lingkungan pendidikan terhadap toleransi beragama para mahasiswa. Sehubungan hal tersebut, kami mohon bantuan teman-teman untuk mengisi kuesioner ini. Jawaban kuesioner merupakan informasi utama yang akan menentukan kesimpulan penelitian sekaligus sebagai bahan masukan bagi penyusunan kebijakan pembinaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Atas bantuan teman-teman, kami ucapkan terima kasih.
153
Petunjuk Pengisian a. b. c.
d. e.
I.
Teman-teman mahasiswa dimohon menjawab/merespon pertanyaan atau pernyataan di bawah ini dengan sejujurnya. Sebelum menjawab, baca dengan teliti pertanyaan atau pernyataannya. Apabila ada yang tidak jelas, tanyakan kepada petugas pengumpul data. Bubuhkan tanda silang (x) atau lingkaran (O) pada huruf a, b, c, d, e, dan/atau seterusnya untuk jawaban yang teman-teman anggap paling tepat. Untuk jawaban isian mohon ditulis secara jelas dan ringkas. Dimohon untuk menjawab/merespon semua pertanyaan atau pernyataan. Jawaban teman-teman dijamin kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan penelitian. Identitas Responden 1. Umur 2. Jenis kelamin 3. Agama
4. 5. 6. 7.
154
: ..………. tahun : a. Laki-laki b. Perempuan : a. Islam b. Kristen c. Katolik d. Hindu e. Buddha f. Khonghucu
Suku (yang dominan) : ................................... Daerah Asal : ……………………….. Anak ke : ……… dari ….... bersaudara Asal Sekolah : a. SMA b. SMK c. Madrasah Aliyah
No.
Pertanyaan
a.
Apakah kamu pernah cidera saat berolahraga berbahaya? Apakah kamu suka bermain langsung di atas pentas? Apakah kamu suka menjadi seorang pilot? Apakah kamu akan mempelajari sesuatu jika kamu dihukum penjara? Apakah kamu pernah mengkomplain ke pemilik toko atau penjaga toko? Apakah kamu suka ambil bagian dalam reli jalanan? Apakah kamu mau mengetuai kereta hias dalam suatu arak-arakan? Apakah kamu punya banyak kawan? Apakah kamu suka kehidupan malam? Apakah kamu popular di lingkungan kampus? Apakah kamu suka bekerja di bidang keuangan di satu kota besar? Apakah kamu suka menjadi politikus? Apakah kamu suka menyentuh orang? Apakah kamu suka menjadi seorang dokter? Apakah kamu seorang yang energik?
b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o.
Jawaban Anda Tidak Tida Ya Tahu k
8. Fakultas : ………………..………………………... Semester : ……...... 9. Biaya hidup perbulan : ………………………... 10. Transportasi ke kampus: a. Angkutan umum b. Motor c. Mobil d. Bersepeda e. Berjalan kaki 155
11. Pekerjaan Bapak 12. Pekerjaan Ibu
: ………………………... : ………………………...
II. Kepribadian 13. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom terhadap pertanyaan-pertanyaan di kiri! 14. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom terhadap pertanyaan-pertanyaan di kiri! No. Pertanyaan a. b.
c. d. e.
f. g. h. i.
156
Apakah kamu menjadi kacau kalau terganggu? Apakah kamu merasa khawatir jika ada pekerjaan yang belum diselesaikan? Apakah kamu membasuh tangan kamu lebih dari empat kali sehari? Apakah betul kamu tidak pernah berjalan di bawah tangga? Apakah kamu memerintahkan menyimpan surat-surat dengan ketat? Apakah kamu selalu tahu berapa uang yang ada di dompet kamu? Apakah kamu merencanakan liburan dengan baik? Apakah kamu segera mencuci piring setelah makan? Apakah kamu mengucapkan selamat hari raya pada sahabat
sebelah kanan kolom sebelah sebelah kanan kolom sebelah
Jawaban Kamu Tidak Ya Tidak Tahu
j. k. l.
lebih dahulu? Apakah kamu mencantumkan tanggal surat-surat kamu? Apakah kamu pernah tidak menepati janji? No.
Pertanyaan
a.
Apakah kamu bisa menulis puisi? Apakah kamu percaya ada makhluk asing di jagat raya ini? Apakah kamu percaya pada hal-hal yang bersifat supranatural? Apakah kamu dapat menulis buku cerita kanak-kanak? Apakah kamu berani tinggal di rumah angker sendirian di malam hari? Apakah kamu percaya setelah kematian ada kehidupan? Apakah kamu percaya adanya roh-roh jahat? Apakah kamu sering bermimpi pada malam hari? Apakah kamu percaya kepada spiritualisme? Apakah kamu pernah berencana seandainya kamu memenangkan lotere? Apakah kamu percaya ada hantu di sekitar rumahmu? Apakah kamu takut kalau keluar rumah di waktu malam? Apakah kamu suka hidup di
b. c.
d. e.
f. g. h. i. j.
k. l. m.
Jawaban Kamu Tidak Tidak Ya Tahu
157
n. o.
m. n. o.
abad ke-19? Apakah kamu suka pergi ke bulan? Apakah kamu mimpi di siang bolong?
Apakah kamu selalu memastikan pintu terkunci ketika malam? Apakah sepatu kamu selalu tampak bersih? Apakah kamu tidak pernah kehilangan kunci? Apakah kamu segera bersihbersih setelah bekerja? 15. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah kiri!
No.
Pertanyaan
a.
Apakah kamu membaca majalah desain interior untuk mendapatkan ide untuk rumah kamu? Apakah kamu berpariwisata ke kawasan yang indah pemandangannya? Apakah kamu seorang yang modis? Apakah kamu pernah mengikuti kelas merangkai bunga? Apakah kamu punya kartu anggota perpustaakan? Apakah kamu pelukis cat air? Apakah kamu pernah menulis cerita pendek?
b. c. d. e. f. g.
158
Jawaban Kamu Tidak Tidak Ya Tahu
h. i. j. k. l. m. n. o.
Apakah kamu pernah mengunjungi rumah yang megah? Apakah kamu sering mengunjungi galeri seni? Apakah kamu suka berpuisi? Apakah kamu gemar berkebun? Apakah kamu gemar fotografi? Apakah kamu bagus jika tampil di pentas? Apakah kamu suka menjadi seorang arsitek? Apakah kamu suka menjadi illustrator untuk penerbitan komik?
16. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah kiri! 17. Berikan tanda (X) atau (V) di kolom sebelah kanan terhadap pertanyaan-pertanyaan di kolom sebelah kiri! Jawaban Kamu No. Pertanyaan Tidak Tidak Ya Tahu a. Apakah kamu akan komplain, jika hidangan satu restoran tidak ada yang kamu sukai? b. Apakah kamu takut dengan orang yang punya wewenang? c. Apakah kamu menolak jika dikehendaki menjabat ketua sebuah klub? d. Apakah kamu akan mengatakan untuk menghubungi kembali, jika kamu menerima telepon ketika hendak keluar? 159
e.
f.
g. h.
i.
j.
k. l.
m.
n. o.
160
Apakah kamu akan komplain, jika buah yang kamu beli ada yang busuk? Apakah kamu akan menolak, jika tetangga kamu meminjam kendaraan? Apakah kamu tetap bisa bekerja, jika perlengkapan kantor ternyata rusak? Apakah kamu akan memakan sekotak coklat pemberian seseorang, padahal kamu berusaha untuk diet? Apakah kamu akan komplain, jika kamu disuruh menunggu giliran di salah satu klinik gigi? Apakah kamu akan marah, jika seekor kucing tetangga menggali rumput taman kamu? Apakah kamu keberatan, jika tetangga kamu memanasi motornya? Apakah kamu akan komplain untuk diulang, jika kamu tidak puas dengan perbaikan kendaraan kamu? Apakah kamu keberatan, jika ada penumpang yang merokok di kereta api non-merokok? Apakah kamu merasa sulit untuk menerima nasihat dari orang lain? Apakah kamu akan komplain, jika seorang sales tidak memperhatikan permintaan kamu?
III. Keterlibatan Organisasi 18. Apakah ada organisasi-organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra di kampus kamu seperti berikut?
Organisasi
Keterangan Tidak Ada Ada
a. b. c. d.
Himpunan Mahasiswa Jurusan Senat Mahasiswa Fakultas Badan Eksekutif Mahasiswa Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) e. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) f. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) g. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) h. Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI) i. Pemuda Katolik j. Pemuda Hindu k. Pemuda Buddha l. Pemuda Khonghucu m. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) ................................................................ ................................................................ ................................................................ ................................................................ ................................................................
161
19. Apakah kamu pernah atau sedang menduduki posisi tertentu di organisasi-organisasi kemahasiswaan berikut? Terlibat sebagai Organisasi a.
Himpunan Mahasiswa Jurusan b. Senat Mahasiswa Fakultas c. Badan Eksekutif Mahasiswa d. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) e. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) f. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) g. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) h. Persatuan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI) i. Pemuda Katolik j. Pemuda Hindu k. Pemuda Buddha l. Pemuda Khonghucu m. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) ..................................................... .....................................................
162
Peng urus
Anggota aktif
Anggota Tidak aktif
Bukan Anggota
20. Berapa banyak kamu memimpin rapat/diskusi dalam pertemuan organisasi kemahasiswaa di kampus? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 21. Berapa banyak kamu mengemukakan pendapat dalam setiap rapat/diskusi dalam pertemuan organisasi kemahasiswaan di kampus? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 22. Berapa banyak kamu menengahi perdebatan yang terjadi di antara teman-teman organisasi kemahasiswaanmu? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 23. Berapa banyak kamu mendukung teman yang hendak menduduki jabatan ketua di organisasi kemahasiswaanmu? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 24. Cara pandangmu terhadap masalah lebih arif sejak terlibat dalam organisasi kemahasiswaan. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah
IV. Hasil Belajar Pendidikan Agama 25. Berapakah nilai mata kuliah agama kamu? a. A b. B c. C d. D e. E
163
V. Lingkungan Pendidikan 26. Apakah kamu terganggu belajar karena penghuni tempat tinggal kamu cukup banyak? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 27. Apakah hubungan antara orang tua dan kamu dilandasi rasa kasih sayang? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 28. Apakah hubungan antara orang tua dan saudara kamu dalam suasana keakraban? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 29. Apakah hubungan antara kamu dan saudara kamu dalam suasana keakraban? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 30. Apakah pengetahuan agama yang diperoleh di kampus dapat kamu terapkan dalam kehidupan sehari-hari di tempat tinggalmu? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 31. Apakah kamu merasa tertarik dengan cara dosen kamu mengajar tentang perbedaan agama? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah
164
32. Apakah kamu diberi kesempatan untuk memberi pandangan berbeda saat pembelajaran agama berlangsung di ruang kuliah? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 33. Apakah dosen kamu mendukung sikap mahasiswa yang ekstrim? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 34. Apakah di lingkungan tempat tinggal kamu melakukan kegiatan sosial yang melibatkan anggota masyarakat berbeda agama? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah VI. Toleransi Beragama Pilih salah satu pernyataan di bawah ini yang dianggap paling sesuai dengan hati nurani kamu. 35. Kebebasan beragama berarti berhak memeluk atau tidak memeluk suatu agama. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 36. Kebebasan beragama berarti setiap orang atas kesadaran dan keyakinannya sendiri, leluasa memeluk suatu agama tanpa tekanan, intimidasi atau paksaan. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju
165
37. Kebebasan beragama berarti bebas mengembangkan dan memelihara hakikat ajaran agama yang dianut. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 38. Kebebasan beragama seseorang tidak boleh melanggar kebebasan beragama orang lain. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 39. Hanya agama kamu yang paling benar. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 40. Hanya yang memeluk agama kamu yang dijamin keselamatannya. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 41. Hanya kitab suci agama kamu yang paling benar. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 42. Satu-satu umat terpilih adalah mereka yang seagama denganmu. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 43. Hanya ajaran agama kamu saja yang perlu diketahui dan dipelajari. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju
166
44. Kamu tidak keberatan pendirian rumah ibadat agama lain di lingkungan RT-mu. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 45. Kamu bersedia diajak mengunjungi tempat suci agama lain. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 46. a. Tidak keberatan dengan ibadat teman agama dalam satu kamar. b. Tidak keberatan dengan ibadat teman agama dalam satu rumah. c. Tidak keberatan dengan ibadat teman agama di lingkungan tempat tinggal. d. Tidak keberatan dengan ibadat teman agama di Kampus. e. Tidak keberatan dengan ibadat teman agama di masyarakat luas.
berbeda berbeda berbeda berbeda berbeda
47. a. Berkunjung dan memberi ucapan selamat pada teman berbeda agama atas perayaan hari besar agamanya. b. Menghadiri undangan teman berbeda agama dalam perayaan hari besar agamanya. c. Memberi ucapan selamat pada teman berbeda agama atas perayaan hari besar agamanya. d. Tidak mengucapkan selamat atas perayaan hari besar teman berbeda agama tetapi tidak mengganggunya. e. Tidak mengucapkan selamat atas perayaan hari besar teman berbeda agama dan tidak menyukai acara itu dilangsungkan. 167
48. Kamu mengikuti kegiatan doa bersama dengan orang berbeda agama? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 49. Kamu membantu tenaga/dana dalam perayaan keagamaan umat agama lain? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang b. d. Pernah e. Tidak pernah 50. a. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda agama dalam satu kamar. b. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda agama dalam satu rumah. c. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda agama dalam satu lingkungan tempat tinggal. d. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda agama yang satu kampus. e. Tidak keberatan tinggal bersama teman berbeda agama di masyarakat luas. 51. a. Setuju membantu teman yang berbeda agama. b. Setuju berorganisasi dengan teman berbeda agama. c. Setuju bergaul dengan teman berbeda agama. d. Setuju mempunyai kelompok belajar dengan teman yang berbeda agama. e. Setuju tidak perduli dengan teman berbeda agama. 52. Kamu mengizinkan teman berbeda agama menginap di kamar kamu. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 168
53. Kamu ragu menikmati makanan yang dihidangkan teman berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 54. Kamu menitipkan kunci kamar kepada teman yang berbeda agama jika kamu ada acara ke luar kota. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 55. Kamu meminta tolong dibelikan sesuatu kepada teman berbeda agama yang pergi berbelanja. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 56. Kamu bersedia memberikan alamat dan nomor telepon kamu kepada orang berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 57. Kamu menghadiri undangan pesta orang berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang b. d. Pernah e. Tidak pernah 58. Kamu menghadiri upacara pernikahan di rumah ibadat agama lain. a. Sangat sering b. Sering d. Pernah e. Tidak pernah
c. Jarang
59. Kamu tidak ikut berdoa jika pembacaan doa dipimpin pemuka agama lain. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju
169
60. Kamu menjawab semua ucapan salam keagamaan yang diucapkan oleh penganut agama lain. a. Sangat setuju b. Setuju c. Netral d. Tidak setuju e. Sangat tidak setuju 61. Kamu melakukan ibadat di rumah temanmu yang berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 62. Kamu menghadiri upacara pemakaman penganut agama lain. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 63. Kamu memberi bantuan untuk pendirian rumah ibadat agama lain. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 64. Kamu membantu jika ada teman berbeda agama mendapat musibah. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 65. Kamu meminjamkan buku/uang kepada teman berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 66. Kamu akan memilih orang yang berbeda agama untuk menjadi ketua organisasi kampus? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 170
67. Kamu menolak tawaran bantuan dari teman berbeda agama? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 68. Kamu bertemu dan berbicara dengan orang lain yang berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 69. Kamu bertukar pikiran dengan orang berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 70. Kamu mengikuti nasihat yang diberikan teman berbeda agama. a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 71. Kamu bertamu ke rumah orang berbeda agama? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 72. Kamu meminjamkan kendaraan milikmu kepada orang berbeda agama? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang d. Pernah e. Tidak pernah 73. Kamu melakukan pinjam-meminjam barang/uang dengan orang berbeda agama? a. Sangat sering b. Sering c. Jarang b. d. Pernah e. Tidak pernah
171
172