Edi Cahyono’s Experience: [ http://www.geocities.com/edicahy ]
Edi Cahyono’s experiencE
setumpuk layang-layang putus
Ira Iramanto
Penerbit Emansipasi 1999 Modified & Authorised by: Edi Cahyono, Webmaster Disclaimer & Copyright Notice © 2005 Edi Cahyono’s Experience Edi Cahyono’s experiencE
Z. AMR. (Samar) Angkuh? Memang kau selalu begitu. Naik ke kepala dalam keberhasilan. Sudah kuingatkan dirimu. Enggan. Jika mendekat, telanjang kau rasakan kekuranganmu? Kupanggil-panggil dirimu. Aku S.O.S. dalam dirimu. Kupanggil-panggil dirimu. Harapanku kulihat cerah dalam langkahmu. Kuingkari titiknila dijulukkan padamu, karena itu tak-hinggap padaku. Dan Gumoh kucoba kenali dari piawaimu. Kau S.O.S. dalam diriku.
•1•
Edi Cahyono’s experiencE
SARMID (Syaman) Klaim anda bagaikan para-normal, orang pintar. Hantu berkeliaran dan tuyul-tuyul bergelandangan, cuma soal membalikkan telapak-tangan. Di malam buta, siulan di balik jendela dan senandung lirih di kamar sebelah. Seketika anda kenali warna dan baunya. Bila sampai terjadi meletus Merapi dan luapan-banjir Pluit menerkam tak-tercanangkan. Maaf. Atau amok bertubi-tubi. Maaf. Tidakkah anda sedang sibuk mengurus uang belanja isteri tercinta?
•2•
Edi Cahyono’s experiencE
GUMOH Kau datang bagaikan meteor di kesadaranku. Sebelumnya: entah karena kepandiran entah karena kedangkalan. Membuatku kelabakan, mencari identitasmu. Bobotmu. Kau datang bagaikan pangeran (atau ksatria ?), menggandeng Muze dan Athena. Dan Clio meluruskan Chaos. Di mana tempatmu di antara Eros dan Aphrodit? Jika Zarathustra menggoncang tatanan. Jika Simposium masih berbusa-busa. Kau juga tahu akan sub-laba, nir-laba, sur-laba, dan pendekkata. Orbitmu sudah pada rasi Mahkota Atau, mahkota-mahkota kecil yang mengorbit di rasi-mu?
•3•
Edi Cahyono’s experiencE
MALAM I Kala itu aku tenggelam (atau didera) dalam orgasme, dalam pelukan nebula obscura
MALAM II Di mana nalar, di mana emosi, di mana ego, dan di mana pula engkau dan dia, saat kelam malam berpijar-pijar hanyut terseret gairah.
•4•
Edi Cahyono’s experiencE
KISAH SIMBOL–SIMBOL Ketika itu pasar-baru dalam adu-gaduh. Sang penilik (yang merasa atau memang menganggap dan menjadikan pasar itu miliknya) sedang dilanda risau, ditimpah bala, bahkan gelapmata. Kios utama yang mengomandoi rezeki dan singgasana dan dinasti menjadi ajang dan yang diperebutkan. Di medan perlombaan sudah hadir para preman pasar dari calon utama yang anak-angram (anak angkat yang lahir dari kecelakaan), abang-abang dan mbok-mbok gusuran atau ungsian dari pasar lama yang dibumi-hanguskan, dan seperti biasa, para durna dan pemulung dan calo. Dan para pendatang baru yang Remus-remus dan Romulusromulus. Yang pandai dalam rumus-rumus dan yang tulustulus (dan tentu, ada juga yang kurang atau setengah tulus)........ Dan yang pencari kesempatan, dan yang merasa terpanggil sebagai juru-selamat (atau penengah, atau pendamai, atau pewaris absah?) Dan jangan lupa: sang Penilik. Kisah seperti ini masih selalu berlanjut. Dengan pemenangnya dan pecundang-pecundangnya.
•5•
Edi Cahyono’s experiencE
IVA – VAI – AVI ATAU VIA Jika kalam itu memang jadi permulaan, cobalah atur (atau kutak-kutik) runut bagian-bagiannya. Berilah ruang dan gilirannya hingga menjadilah keutuhannya. Akankah lahir perbedaan, atau yang lahir adalah kesamaan? Jika tempat dan saat sudah dimantapkan, maknanya sudah dipancangkan. Tidakkah masih ada pergeseran dan lompatan. Lalu, apa dan bagaimana hembusannya? Jika pusingan di dalam dan serbuan dari luar sampai beradu, mengubah susunan, memaksakan jarak, menerpa inderaindera, di mana senyawa semuanya berkumpul dan bercitra, berpadu dan menggagas?
•6•
Edi Cahyono’s experiencE
P.A.T. Bila Pram berucap bagaikan pisau-pisau melesat menerjang keluar dari mulutnya Kata-kata, makna-makna, gagasan, pencitraan Berkilau menyilaukan, mencengkam, mempesona menggugah, mendakwa. Menerkam, mencemeti Diburu bagaikan binatang jalang atau memburu makna-makna sejarah menjadi saksi kepengecutan atau itulah sengsara anak sejarah menonton di tepi kali bekasi atau terbawa arusnya yang menghitung detak waktu zaman yang sedang lahir Bumi dipuji dipuja, dicercah peristiwa manusia bumi, bukan, bumi manusia! Pijakan harkat, Pijakan harap. Jejak-jejak langkah, langkah-langkah diayunkan ke ambang sana di setiap persimpangan jalan sejarah, di setiap sejarah melangkah, meninggalkan jejak anak segala bangsa, anak di persimpangan sejarah.
•7•
Edi Cahyono’s experiencE
Budi-didayakan atau daya dibudi-muliakan pada kaca-kaca rumah atau dalam rumah kaca. Sama saja. Menyertai langkah dan kiprah sang pemula yang membuat awal langkah anak segala bangsa dengan jejak langkahnya di atas bumi manusia. Aum, aum. Mengaumnya sang harimau yang sudah harimau sebelum diberi dan dikaitkan julukan-julukan kepadanya Jika Pram berucap bagaikan pisau-pisau yang melesat dari mulutnya bukan bunga kantil perayu sukma, bukan tsunami yang membikin derita Ketajaman penembus gelap, pembedah mati-nalar Dan ketika semua dan segala dirampas darinya hak dan harta, harkat dan usia, berucap dan nyaris bernafas dilucuti segala daya, dan telanjang dan kecundang, –ini dalam pikir dan khayal yang kuasa– Ternyata ada yang tak-terenggutkan, yang tidak terpurukkan, roh kebebasan, kebebasan roh dan lantang mematahkan tonggak keangkuhan mencabik-cabik khayal bermimpi yang kuasa Telah kututup buku dengan yang bersimerajalela
•8•
Edi Cahyono’s experiencE
WARNA I Ketika itu yang menjadi Komandan Unit adalah seorang Kapten Sujoso. Orang kurus, kerempeng, tidak terlalu tinggi. Sedang-sedang saja. Tetapi galaknya! Kumisnya yang tebal dan melintang seram mungkin dianggapnya kurang seram. Maka dipikirkannya dan kemudian dikarangnya macam-macam untuk mendukung kegalakannya itu. Atau misi sucinya sebagai komandan kamp yang penghuninya adalah bedebahbedebah masyarakat, ancaman bagi keselamatan tentera dan republik yang sudah dirusak oleh Sukarno. Dan kapten Sujoso menganggap sebagai tugas sucinya bukan sebagai sekedar sipir bui. Tidak. Dirinya menerima pengangkatan dari pucuk pimpinan kekuasaan tertinggi untuk menjadi penguasa nasib, hidup atau matinya tahanan politik, orang-orang buangan masyarakat, musuh nomor satu republik. Dirinya pula yang harus menegakkan arti kuasa itu. Juga atas jalan atau cara berpikir, melihat atau menafsirkan segala sesuatu. Maka pada dan sejak hari pertama kapten Sujoso ber-missionsacre, ia menetapkan 1) tidak boleh ada atau digunakan apa saja yang berwarna merah. 2) tidak boleh ada atau dibuat apa saja dalam kesatuan yang tiga komponennya. Mengapa? Warna merah itu warna haram. Warna terkutuk. Warna antiTuhan, warna anti-Pancasilsa. Warna ateis. Mengapa yang kedua? Apa saja yang tiga yalah mengacu, menyiratkan, mempropagandakan Tri-panji orang-orang komunis. Taktik •9•
Edi Cahyono’s experiencE
dan strategi dan semboyan dan simbol para pemakar terhadap kekuasaan, kesucian republik. Jangan membantah, jangan coba-coba, jangan..... Sebab demikianlah sabda kapten Sujoso. Terang saja tidak ada yang berani! Membisikkan saja kepada kapten Sujoso, bahwa di luar tempat pembuangan itu., ada dipakai warna merah sebagai warna simbol keberanian, warna yang (justru) bagian atas bendera pusaka (!), mana ada yang berani? Mau berkenalan dengan gagang revolvernya? Mengingatkan pada kapten Sujoso, bahwa di luar kamp ‘rehabilitasi’ (atau, seperti yang juga sering dikhotbahkannya, kamp di mana para penghuninya hanya akan meninggalkan nama saja di atas batu nisan masing-masing) sedang terus bergolak dan marak Tritura, Trilogi pembangunan, operasi Trisula dan entah apa lagi, pokoknya memakai juga tiga, tri itu-itu juga. Mana ada yang berani?
• 10 •
Edi Cahyono’s experiencE
GIGI Banyak, artinya tidak sedikit, aktor dan aktris yang mengenal dan mengetahui tentang kepiawaian Bakhtiar berbicara, membujuk, merayu, memerintah dan membimbing. Para aktris dan aktor yang pernah mengalami penangganan Bakhtiar, sutradara yang seorang ini. Syahdan, sang interogator yang sedang mencecer Bakhtiar dengan bermacam-macam pertanyaan, pancingan, jebakan, ancaman dan himbauan itu sudah sampai pada batas kesabarannya. Sebab, Bakhtiar, yang seorang sutradara ini, memang sungguh pandai dalam bicara, mengelak, menghindari atau (kata dan bentakan sang interogator) bermain kucing-kucingan. Maka, sang interogator itu: disuruhnya (dibentakkannya perintah) Bakhtiar itu berdiri. Dan weengggg .... melayanglah tinju sang interogator itu dalam sebuah swing yang a la Acong (seorang petinju Indonesia zaman pendudukan Jepang dulu) layaknya. Dan ketahuilah, apa yang terjadi! Kedua gigi palsu (ya, gigi palsu atas dan bawah) melompat keluar dari gua mulut Bakhtiar. Plak-plak ..... tersungkur kedua benda ajaib itu di atas lantai bertegel warna abu-abu itu. (Memang benda-benda ajaib, karena benda-benda itu sebenarnya seperti rambutnya Samson. Lihat saja, seketika wajah Bakhtiar itu berubah, bermetamorfose: seketika Bakhtiar yang kita kenal gagah-mempesona itu, seorang yang sungguh asing di mata kita, menjadi ompong, kereyot wajahnya itu!) Dan ketahuilah, apa yang terjadi kemudian! Sang interogator itu, saking gemasnya, saking terhasutnya oleh emosinya sendiri, saking merasa-tak-berdayanya, saking terhambat rasa-kuasanya....... Dengan suara geram • 11 •
Edi Cahyono’s experiencE
menggelegar: keeuuaaamuuu (kamu), bedebah! Diangkatnya kaki kanannya yang bersepatu tentera, hitam, dempal, menyiutkan jiwa.......dan dengan gaya kungfu bagaikan mau ‘lepas landas’ untuk melesat ke atas wuwungan rumah, tetapi dalam peristiwa ini lebih mirip gaya jawara yang sedang pasang kuda-kuda...... diinjaknya kedua benda ajaib sudahtak-berdaya itu dengan sekali gebrakan kaki bersepatu tentera, hitam, dempal, menyiutkan jiwa itu. Sementara itu, juga kaca-mata yang dikenakan Bakhtiar meluncur ke arah yang lain lagi, dan jatuh pecah berantakan di atas lantai bertegel yang sama itu ...........
• 12 •
Edi Cahyono’s experiencE
KESEDERAJATAN (? !) Entah ini cerita benaran, karangan atau cuma isu, tetapi sungguh-mati aku mendengarnya dari mulut-pertama yang kuyakini dapat dipercaya. Pabila (dalam rapat-rapat tingkat tinggi) ketua NU, Idham Khalid menyapa atau berbicara dengan Sukarno, presiden pertama itu, maka Idham Khalid selalu memakai sapaan Bapak. Dan Sukarno, pada gilirannya, juga memakai sapaan Bapak pada Idham Khalid. Pabila yang menjadi lawan bicara Sukarno itu ketua PNI, Suwiryo, maka sapaan yang dipakai adalah Mas...... Dan, Sukarno juga memakai Mas itu dikepadakan pada Suwiryo. Sedang Aidit, ketua PKI, selalu memakai Bung, yang ditimpali dengan Bung juga oleh Sukarno. Kesederajatan? Kesederajatan! Kesederajatan? Yang kita ketahui sebagai yang berlaku zaman sekarang, semua saling mem-Bapak. Tak peduli tua pada yang muda, atau yang muda pada yang tua. Di setiap kesempatan, di setiap perjumpaan. Di rumah, di jalanan, di telefon, di TV. Apalagi jika ini menyangkut yang di kalangan elit dan yang paling di atas.......... Jangan coba-coba menyapa seorang polisi lalu lintas (apa lagi yang sedang menilang anda) dengan Bung atau Saudara.......... Tetapi, dunia ini tidak segelap seperti dalam kekhawatiran kita. Budaya “bapak” dalam sapaan itu sudah mulai mencair juga. Tentu bermotivasi! Bung Harmoko jelas orang yang (pikir-pikir sampai pada ‘’penemuan besar’ ini) menyimpulkan betapa perkasa dalam arti psikologi-massa, kelantangan dan daya Bung a la Sukarno itu. Kalaupun hal itu baru sampai pada jadi-kepemilikan untuk dirinya sendiri. • 13 •
Edi Cahyono’s experiencE
MALAM III Kunantikan dirimu di malam kelam ini Di bawah lampu jalanan, karena kusangka kau akan mendatangi tempat yang terang Kunantikan dirimu di malam hujan lebat di tempat perhentian bis, karena kusangka kau mencari tempat orang-orang mencari teduhan Kunantikan dirimu di kegelapan malam ini, di ujung-ujung jalan dan lorong-lorong, karena kusangka akan kau datangi tempat-tempat orang mencari arah Tak kujumpai dirimu di tempat-tempat aku menanti, menunggu Halilintar itu yang menggoncang kedunguanku Dan tahulah aku: Kau mesti kucari, mesti kukejar, kalaupun hingga ke ujung dunia,hingga ke mana pun, hingga kapan pun. Tak akan bisa dengan hanya menunggu.
• 14 •
Edi Cahyono’s experiencE
WARNA II Dalam kamus warna di Barat umumnya, kuning itu bisa emas, bisa burung kanari. Tetapi yang menarik: kuning itu juga dengki. Dan orang belanda bilang geel van nijd. Dalam budaya Tiongkok, kuning itu keagungan, warna kekaisaran. Warna kulit Asia, yang salah-salah jadi tanda bahaya: bahaya kuning. Yellow danger. Eh, juga Yellow fever....... Di negeri kita, kuning itu banyak maknanya: burung kepodang seragam temu-kader birokrasi aspirasi kekuasaan yang harus menang ke-jawa-tengahan monopoli jaket pembayatan pagar dan zebra-cross ke-ABG-an jalan ke lisensi dan proyek ya, apa lagi? Golkar. Dan bendera duka yang dipasang di ujung jalan.
• 15 •
Edi Cahyono’s experiencE
SISTEM I
(miturut Galeano)
Para pejabat tidak berfungsi Para politikus berbicara tapi tidak bilang apa-apa Para pemilih memberikan suara tetapi tidak memilih Arus informasi mendesinformasi Lembaga-lembaga pendidikan mengajarkan ketidak-tahuan Para hakim menghukum para korban Tentara berperang dengan bangsa sendiri Polisi bukan memerangi kejahatan karena sendiri melakukannya Kefailitan disosialisasi, laba diprivatkan Uang lebih bebas dari manusia Orang-orang berdinas pada benda-benda
• 16 •
Edi Cahyono’s experiencE
SISTEM II
(menurut Galeano)
Zamannya bunglon: tiada yang telah begitu banyak mengajarkan pada manusia seperti binatang rendah-hati ini. Terpelajar adalah orang yang pandai menyembunyikan, seni penyamaran menjadi pujaan. Yang dipakai bahasa rangkap seni kemunafikan. Bahasa rangkap, pembukuan rangkap, moral rangkap: satu moral untuk diucapkan, moral kedua untuk berbuat. Moral untuk berbuat disebut realisme. Hukum realitas adalah hukum kekuasaan. Agar realitas tidak menjadi tak-nyata, demikian kata orang yang berkuasa, maka moral itu mestilah tidak-bermoral.
• 17 •
Edi Cahyono’s experiencE
SISTEM III
(atau keperkasaan suara, masih miturut Galeano) Ada bangsa yang memancung kepala lawan yang telah ditaklukkannya. Setelah kepala dipancung, dipotongnya itu sampai berkeping-keping. Hingga cukup dipegang dengan satu tangan. Agar yang sudah dikalahkan itu tidak bangkit kembali. Tetapi yang telah dikalahkan itu belum sepenuhnya kalah, selama mulutnya masih belum dirapatkan Maka dijahitlah mulut yang masih terbuka itu dengan serabut yang tidak bisa membusuk.
• 18 •
Edi Cahyono’s experiencE
DALANG Betapa terhormat. Dijuluki kebijaksanaan. Betapa dipuji bahkan menjadi pujaan berjuta orang, berjuta penonton. Dari mulut ki dalang didengarkan kisah-kisah moral dan kebajikan. Tentang keagungan dan kesatuan manusia dengan alam jagat. Yang mengajarkan keteladanan. Yang mengungkapkan pertarungan antara kegelapan dan kebenaran. Antara hitam dan putih, tanpa terlewatkan kehalusan nuansa-nuansanya. Dari pergelaran di bawah langit telanjang yang menyatukan hubungan manusia dan alam. Dan kemudian dibawa masuk ke istana-istana kekuasaan. Lalu sekarang. Dalang. Dengan konotasi yang mengerikan, yang negatif. Dalang yang menjadi kegelapan itu sendiri. Menjadi kebatilan itu sendiri. Menjadi penunggang kereta kegaduhan, penebar dan penyebar maut. Menjadi fitnah raja-diraja. Aktor intelektual, itu sebutan canggihnya. Subversi, itu sebutan kemakarannya. Tangkap hidup atau mati, itu sebutan operasionalnya. Tudingan reka-rekaan yang seketika menjadikannya pesakitan berkalungkan hukuman mati. Baru niat berburu beruang, sudah dijual kulitnya. • 19 •
Edi Cahyono’s experiencE
Memang setiap kata punya maknanya, bahkan melahirkan turunannya, merambahkan fungsinya. Membawa pula pada kenisbiannya. Adakah semua ini terjadi karena kisah asli yang dibawakan ki dalang? Metamorfosa. Tagihan yang tertunda-tunda sepanjang cerita? Tidakkah seluruh kisah dari mulut ki dalang, adalah pergumulan dan perebutan kekuasaan itu sendiri? Atau kenisbian yang mengiringi zaman. Jawaban yang tercari-cari , padahal adanya di ujung jalan sana. Ataukah ini cuma kisah dan perpanjangan kerajaan iklan, yang menghadirkan hukuman zaman dan sejarahnya: bahwa semua itu dapat ditawarkan dan semua itu dapat dibeli. Apakah semua ini sebenarnya cuma sederhana saja. Apakah karena ki Mantep nimbrungkan lakon: Oskadon, oye........ Atau A mild coba meyakinkan: Bukan basa-basi.........
• 20 •
Edi Cahyono’s experiencE
NOSTALGIA–atau: LAIN DULU LAIN SEKARANG Di sebuah lorong, di kota Den Bosch, negeri Belanda, aku mencoba lumpia Vietnam. Sepotong Nf.1.25, kalau beli Nf. 10,- dapat sebelas potong (di Jawa-timur beli 10 juga dapat sebelas, welasan). Lezat bukan main. Kita juga punya lumpia yang terkenal dari Semarang. Masih lebih enak lumpia Vietnam itu. Lagi pula, lumpia Semarang yang enak itu, tidak akan kita temukan lagi di tempat yang menjadikannya terkenal, khas, Gang Tengah (atau disebut juga Gang Kelenteng), Dalam suatu pertemuan di Jakarta, seorang keluarga dekat alm. Supriadi, tokoh pemberontakan PETA terhadap Jepang, menyesalkan hilangnya suatu budaya perjuangan 45. Katanya: dulu, kita boleh berbeda pendapat, bahkan saling bertentangan dalam pendirian. Tetapi sebagai sesama pejuang, kita tetap sahabat. Tidak seperti sekarang, bertentang-tentangan dalam hal politik, lebih-lebih lagi bersimpangan dalam soal kekuasaan..... pertentangan antara dua orang yang dulu sekubu, sepertinya mesti dibawa sampai mati. Pembersihan, pengucilan, sekurang-kurangnya penggeseran dan peminggiran. Di tahun-tahun 50-an, Subchan E.Z. dan aku seakrab-akrab suatu persahabatan bisa dibangun. Kita makan lebih sering bersama daripada sendiri-sendiri. Seprei-seprei tempat tidur di rumah Subchan yang besar dan ramah itu, seandainya diberikan pada anjing pelacak, mungkin akan membawa orang yang tak-tahu lagi di mana aku sekarang berada (setelah hampir 40 tahun), ke tempatku sekarang tinggal. Aku dan • 21 •
Edi Cahyono’s experiencE
Subchan pergi ke pesta dansa bersama-sama, Subchan membawa cewek, aku pasti tidak ketinggalan nggandeng juga seorang cewek. Berdansa hingga pagi. Tetapi masing-masing kita beda pendirian. Biar tidak kusetujui banyak dari pikiran-pikirannya maupun sikapsikapnya, aku tidak bisa tidak mengagumi kecemerlangan gagasan-gagasannya, jalan pikirannya. Menghormatinya. Sekali peristiwa, dibawanya aku pada Jamaludin Malik, menteri perdagangan ketika itu, dan akulah yang dimintanya memperjuangkan kepentingan-kepentingannya. Pendirian-pendirian kita masing-masing tidak pernah bisa bertemu. Terakhir aku bertemu Subchan di awal Oktober 1965. Samasama mewakili Indonesia. Dalam sebuah konferensi internasional. Konferensi politik. Aku duduk di kursi di belakang Subchan. Sambil menoleh ke belakang, berbisik Subchan padaku: Saiki musuhan yo musuhan, tapi yen kito yo nggak ono musuhmusuhan iku. Ngko bengi nang’ngo nggonku, dalan Probolinggo. Ayo, nyate kambing. Itu memang terakhir kali aku bertemu Subchan. Beberapa waktu kemudian aku ke pertapaanku. Dan Subchan sempat menjadi ketua MPR, lalu ........ di tempat pertapaanku kudapat berita Subchan meninggal dalam suatu kecelakaan di Kairo..... Ia telah tiada. Hilanglah seorang yang cemerlang.
• 22 •
Edi Cahyono’s experiencE
IMPIAN I Impian-impian itu menyertainya ketika ia meninggalkan desa dan pergi ke kota. Ke Jakarta. Atau, boleh juga dikatakan, ia meninggalkan desa mengejar impian-impian itu, atau bisa juga, impian-impian itulah yang memandunya ke Jakarta. Impian-impian yang lahir dari kepengapan yang dirasakannya di keterbelakangan dan kemandegan di desa. Lahir dari gaerah dan nafsu akan kelainan, perbedaan, yang baru-baru. Keramaian, kemajuan, kesempatan. Impian-impian yang datang sendiri padanya. Juga yang dibawa kerabat dan kenalan yang sudah mencicipnya. Yang datang mudik bercerita tentang yang hebat-hebat, tentang keberhasilan, tentang peluang. Tentang gedung-gedung tinggi-tinggi menggerayangi langit, lalu-lalang mobil-mobil yang banyaknya dan menterengnya aduhai aduhai. Tentang cewek-cewek bermini hingga cewek-cewek yang siap berteman di setiap tempat keramaian. Tentu juga terceletuk yang kurang sedap didengar dan dipikirkan. Bahkan yang mengerikan dan menyiutkan gelora. Tetapi itu tidak menggebu-gebu datang dan diceritakan seperti segala yang menyilaukan dan menjebak fantasi. Sebab yang datang bercerita, enggan juga, setengah-setengahnya malu juga dan tertabukan untuk bercerita tentang kegagalankegagalan diri sendiri. Maka berangkatlah si anak desa, yang bahkan telah bermimpi impian-impian menakjubkan itu terjadi dan terlaksana menjadi kenyataan dalam impian-impiannya. Setahun, dua tahun kemudian. Impian-impian itu pulang berlebaran. • 23 •
Edi Cahyono’s experiencE
Anak desa itupun ikut pulang, berlebaran..... pulang ke tempat lahirnya impian-impian itu, yang sisa-sisa dan cabikcabiknya ingin ia coba pulihkan, sedapat-dapatnya, kalau bisa............
IMPIAN II Entah dari mana asosiasi itu datangnya. Yang jelas, aku baru membaca kembali Zarathustra di tengah pasar dalam jurnal “adi-”budaya Kalam. Setelah nonton sebentar tayangan TV mengenai peristiwa “baca sajak wanita-wanita agung”, kantukku sudah tidak dapat dilawan lagi. Dan aku bermimpi bertemu Iramani. Dari seingatku, aku sepertinya melihat kerut-kerut telah bertambah di atas dahinya yang tinggi. Menambah kesayuan wajahnya. Dengan menunjuk pada setumpukan buku -yang entah dari mana tahu-tahu muncul di mata mimpiku - yang samar-samar kulihat “Catatan Pinggir” judulnya, ia menegur aku: kapan G.M. akan meneruskan Surat Minggu Ini......... Takjub membuatku tak-menemukan kata-kata jawaban. Keharuan melintang di tenggorokanku. Harapan........ cuma mimpi belaka?
• 24 •
Edi Cahyono’s experiencE
BAS Tak mau ia mati (apalagi mati tua) di negeri orang. Ia, yang sudah merayakan 83 kali lebaran. Maka pulanglah ia ke tanahairnya, Menyiapkan diri ke dalam pelukan bumi asalnya. Tapi dalam kemarahan, dalam kekecewaan. Karena seperti di pengasingan, di sini cuma ada penolakan. Di pengasingan, yang memandang dan memperlakukan dirinya bagaikan benda langka yang sudah layak diregister dan disimpan di museum. Di negeri asal, tidak ditemukannya lahan dan kesuburan bagi muatan-muatan pikiran dan harapannya. Orang tua yang sudah menjalani segala pengalaman dalam rentang waktu yang 83 lebaran. Ada hantu kesedangsedangan yang hinggap dan membayangi 83 lebaran itu. Di seni yang memang dunianya, belum dilampauinya kesedang-sedangan, ia cuma sedang-sedang saja. Di politik, dengan segala ideologi, program dan praktek, organisasi dan disiplin, yang cuma sayup-sayup dikenalnya, yang dalam ulah “nasib” (keadaan) mesti digelutinya, ia juga baru sampai di ambang kesedang-sedangan. Serba sedangsedang. Mediokritas. Ini realitas atau nasib seorang anak manusia. Atau kesimpulan lancang –sekalipun penuh simpati–pemerhati sepenggal tragedi? • 25 •
Edi Cahyono’s experiencE
KEKUASAAN I Di kamp pembuangan. Nama resminya Instalasi Rehabilitasi. Inrehab. Aku pertama kali melihatnya tertulis di atas dinding papan: Time to kill. Setelah itu, setiap pagi di waktu apel, di atas dahi inspektur upacara: time to kill. Pada popor bedil-bedil serdadu yang berjaga selagi kita bersawah: time to kill. Di atas karung-karung berisi beras yang kita pikul untuk disetor pada “Kini Maluku Menjadi Lumbung Beras”: time to kill. Pada tunggul-tunggul meranti yang batang-batangnya kita gergaji menjadi lembaran-lembaran papan: time to kill. Pada asap api dari tungku-tungku kita menyuling minyak kayuputih: time to kill. Pada kantung-kantung atau besek-besek barang kiriman keluarga yang isinya sudah di”upetikan”: time to kill. Pada label-label sumbangan Palang Merah Internasional dan luar negeri yang barangnya sudah digelar di pasar Ambon, Namlea atau mungkin juga di Jakarta atau yang “trickled down” pada kita-kita: time to kill. Dan ketika sejumlah teman dibuang ke tempat pembuangan dalam kamp pembuangan orang-orang buangan: benar-benar jadinya..... It’s time to kill............... • 26 •
Edi Cahyono’s experiencE
KEKUASAAN II Jaksa itu namanya Sujono. Tahanan itu kemudian bernomor 001. – Di mana kamu simpan mobil Mercy-mu? – Saya tidak punya mobil Mercy. – Jangan bohong. Masah kamu tidak punya Mercy. – Mobil saja Mazda. Mazda yang ‘kotak korek api’ itu. Mobil pembagian. – Ah. Bohong kamu. Berterus terang saja, aku cuma mau membantu. – Betul. Cuma punya Mazda itu. – Tahu, tahu..... Aku sudah tahu. Nah, Mazdamu itu sudah kita sita. – Oh ya? Kapan? – Kemarin. Betul kamu tidak punya Mercy? – Tidak punya. Ya cuma Mazda itu. – Nah, aku mau bantu kamu. Kamu bantu kita juga, ya? – Bagaimana? – Ban-ban Mazdamu itu sudah klimis semua. Bikin saja surat, supaia keluargamu beri uang untuk membeli ban-ban baru. – Loooh? Koh begitu? – Iya. Bikin saja surat itu. – Wah, tidak bisa. Koh saya yang mesti membelikan ban. – Ah, kamu memang kepala-batu! Ngelawan ya? – Bukan melawan........ – Sudah, sana! Biar mampus kamu, pergi sana! Jhuuh! Tahanan itu ngeloyor pergi, sambil mengusap mukanya. Untunglah ia, cuma diludahi....... • 27 •
Edi Cahyono’s experiencE
GELAR Margaret Thatcher – Wanita Besi Muhamad Ali – Si Mulut Besar Suharto – Bapak Pembangunan Bette Grable – The One-Million Dollar Legs Napoleon Bonaparte – Le Petit Caporal Clark Gable – The King Sukarno – Penyambung Lidah Rakyat Marlene Dietriech – La Femme Fatale Mao Tse-tung – Juru-mudi Agung Sumitro – Begawan Ekonomi Chiang Kai-shek – The Running Generalissimo Jassin – Paus Sastera Hitler – The Great Dictator Madame Chiang Kai-shek – Howling Fox Stalin – The Great Leader Rhoma Irama – Si Raja Dangdut Sen. Barry Goldwater – The Witch-Hunter Zaenuddin M.Z. – Da’i Sejuta Ummat Eichman – The Butcher Budiman Cs. – sang Dalang, eh maaf, koreksi: Subversi Raden Mas Kolusino – Raja Salah Prosedur Rakyat Indonesia – Massa Mengambang
• 28 •
Edi Cahyono’s experiencE
STIKKER Alat totok digerebek sepeleton tentara. Bentuknya yang seperti arit, mengingatkan orang pada yang tidak-tidak...... Ada kaos oblong dikepung satu truk tentara. Ada gambar sablon yang mengingatkan orang pada yang tidak-tidak. Di Jakarta dijual bebas: stikker swastika hitler. Pendekar baja hitam. Sieg Heil, Sieg Heil! Exterminator
• 29 •
Edi Cahyono’s experiencE
BUDAYA I Bukan separoh tambah satu. Budaya kita musyawarah untuk mufakat. Bukan mengundurkan diri. Budaya kita introspeksi. Bukan beroposisi. Budaya kita berazas tunggal. Bukan rekayasa. Budaya kita tut wuri.......... Bukan intervensi. Budaya kita legalitas. Bukan jor-joran. Budaya kita mayoritas tunggal. Bukan meminggirkan. Budaya kita menjalankan perintah atasan. Bukan kritik-mengritik. Budaya kita saling-menyejukkan. Bukan kontradiksi. Budaya kita harmoni di anjungan. Dan hari ini terbaca: Bukan koneksi dan kolusi. Budaya kita lobi dan silahturahmi.
• 30 •
Edi Cahyono’s experiencE
BUDAYA II Besarnya jumlah penggemar film India yang ditayangkan lewat saluran-saluran TV sangat menarik perhatian. Mengapa bukan film-film atau sinetron Indonesia yang lebih digemari? Dalam film-film India itu, disamping kekonyolan, kedodoran, kecengengan, nyanyi (bertemu air: menyanyi, bertemu bunga: menyanyi atau menangis) dan tari (sampai yang paling sexi) , orang menjumpai juga yang tidak pernah (dan mungkin tidak akan pernah) dijumpai dalam film/ sinetron Indonesia. Dalam film Indonesia jangan mencari polisi yang ber”masalah,” penegak hukum dan pejabat yang menjadi “bad guy”, pelaku korupsi atau kolusi atau persekongkelan jahat. Dalam film India hal-hal yang “bersih” di dalam film Indonesia itu, berlimpah dan realistik. Ini sebenarnya juga misteri atau rahasia umum yang sudah diketahui oleh semua orang, bahwa memang “ada sesuatu yang tidak beres” di negeri kita.
• 31 •
Edi Cahyono’s experiencE
KEMITRAAN I Kata kunci (kuncinya?) untuk memerangi ketidak-adilan adalah kemitraan. Sandi rahasia untuk mementaskan kemiskinan adalah kemitraan. Pancing (pujangga dan ahli strategi Khong Bing mencari ilham sambil mengail ikan dengan mata-kail lurus) kemakmuran adalah bapak angkat.
• 32 •
Edi Cahyono’s experiencE
KEMITRAAN II Tangan kiri memberi (sedekah?), tangan kanan mencuri. Yang menerima semakin tidak punya apa-apa. Semakin banyak mereka membayar, semakin bertambah saja hutangnya. “Biar kubebaskan kamu dari tanahmu, dan akan kuangkat dirimu menjadi caddy golf.” “Biar kuganti gubuk-gubuk kalian dengan mall dan plaza megah. Biar kusulap kardus-kardus kekumuhan kalian menjadi apartemen bekupon”
• 33 •
Edi Cahyono’s experiencE
IMPIAN III Aku bermimpi sedang menghapus harapan dari dindingdinding demokrasi. Aku bermimpi melihat tangan-tangan mungil menyingkirkan huruf-huruf GOL PUT dari alon-alon kota, dan bahu-bahu perkasa mengangkat huruf-huruf B O I K O T ke atas sebuah papan catur raksasa. Ketika aku tersentak bangun kudengar suara-suara di kamar sebelah, sibuk berbincang-bincang.
MALAM IV Mengapa merasa sendiri di tengah orang banyak?
• 34 •
Edi Cahyono’s experiencE
PROFESI I Pada awal pergaulanku dengan Iramani, diketahuinya minatku terutama di bidang ekonomi. Tulisan-tulisanku kadang-kadang diperhatikannya. Suatu ketika katanya padaku: – Cerita pendekmu tempohari lumayan juga. Mengapa tidak lebih banyak kau berkecimpung di situ? Beberapa tahun berlalu. Komentarnya: – Tinjauan ekonomi kau bikin seperti karangan sastera. Berbunga-bunga dan bertele-tele. Cerita pendekmu kau sajikan seperti kau membuat sebuah analisa ekonomi. Alot dan kering.
• 35 •
Edi Cahyono’s experiencE
PROFESI II Hampir setiap tahun diselenggarakan pameran seni rupa. Henk Ngantung yang mengetuai setiap kali pameran seperti itu ikut bangga dan memuji hasil yang dibuahkan pameranpameran itu. Jarang terjadi bahwa ada pelukis peserta yang tidak terjual karyanya. Sekali peristiwa, pada penutupan pameran, disampaikan laporan pada Henk. Di antara sekian banyak lukisan yang terjual, terdapat dua buah dari Tarmizi, sebuah dari Trubus, dan –kataku seadanya– seri lukisan Dullah yang dibuatnya di Tiongkok, keenam-enamnya diborong orang. Celetuk Henk: – Ya, Tuhan! Koh lukisan kau jual berserial, berpasangan, setengah lusinan! Lukisan Hendra apakah tidak kau jual per cm² ?
• 36 •
Edi Cahyono’s experiencE
PROFESI III Dalam guyonan Buyung Saleh disetandingkan dengan Wiratmo Sukito. Sama-sama ensiklopedik. Buyung yang menandingi Wiratmo atau Wiratmo yang menandingi Buyung. Memang ada kesetandingan itu. Buyung ikut merancang Pakta Kawi di zaman gerilya melawan agresi Belanda. Wiratmo menyusun strategi dengan A.D.
• 37 •
Edi Cahyono’s experiencE
BUDAYA III Menyatakan kehadiran dengan pertanyaan-pertanyaan dalam Selimut pembungkus kesedangan berfilsafat Tersobek tampangnya tanpa dendam Menjadi bacaan di depan cermin diri Segalak taring macan, macan kertas. Rendah-hati domba, jejadian srigala. Ada alunan tabuhan nun jauh di sana Cuma kepulan asap tanda bahaya Sudahlah. Ini kejenuhan ramai-ramai ikut bersuara Ini kegerahan padang sahara pelangi-pelangi kata cekikan istilah-istilah, sumbatan ludah kering mulut menganga. Cuma pamer, cuma pamer. Pamornya di mana? Di kamar kecil patuh pada alam Dasi kupu KTP peradaban Esok pagi, bangkit dari sisi wanita jalang Karena mabok, terlepaslah wanita idaman. Ah, ini cerita berkelana ke mana-mana Lupa pangkal tersesat ujungnya. Para datuk sudah berkumpul Membuka persidangan budaya Apa mau, Agenda tertinggal, entah di mana • 38 •
Edi Cahyono’s experiencE
Daripada mubasir niatnya padahal itu menentukan sejarah Sebaiknya dijadikan pesta terakhir Biar semua urun putusan membalikkan seisi dunia. Jangan sedih, jangan bertepuk tangan sebelah Ini cuma sandiwara budaya.
• 39 •
Edi Cahyono’s experiencE
JODOH Dari anak-anak Mang Adab, cuma puteri Demok yang ditaksir Simin Populi. Simin Populi tahu diri. Ia tidak mempunyai apa-apa. Rumahnya pun sudah terdesak ke pinggiran kota, setelah beberapa kali mengalami penggusuran tanpa ganti kerugian. Ia juga mengetahui bahwa saingan ada banyak. Ada anak jendral, yang sering bertamu di rumah Mang Adab, selalu datang dengan naik jip tentara. Ada pengusaha, yang datang dengan mobil Volvo edisi paling akhir. Ada pejabat yang selalu datang dengan Pajero. Dan ada lagi yang asal usul atau kedudukan sosialnya tidak diketahui oleh Simin Populi. Ada lagi yang mempersulit Simin Populi. Kebanyakan orang mengatakan bahwa ia itu seorang yang berangasan, mulutnya sebrono dan tak mau patuh pada peraturan. Selalu mencari gara-gara. Angen-angen Simin Populi terhadap puteri Demok cuma menjadi tertawaan orang. Mana mungkin, kata mereka, mengejek, si kere yang mengimpikan rembulan. Maka cinta Simin Populi itu cuma cinta dari jauh. Dan Simin Populi tidak kehabisan akal. Di zaman iptek ini, demikian pikirnya, tidak mustahil maksudnya bisa juga sampai pada si jantung hati, lewat remote control. Maka setiap tiga hari sekali, Simin Populi mengirim seikat bunga, yang diletakkannya di atas kotak pos yang tergantung di pintu gerbang rumah Mang Adab. Itu dilakukan Simin Populi di pagi hari buta. Bunga dipetiknya dari halaman rumah orang, dari taman bunga atau sekali waktu juga dibelinya di pasar kembang. Setiap kali seikat bunga yang lain dari kemarinnya, bukan cuma warnanya, tetapi juga harumnya. • 40 •
Edi Cahyono’s experiencE
Setiap kali Simin Populi mempersembahkan maksudnya itu, di siang atau sore harinya ia nengok apakah kirimannya itu keterima. Dari kejauhan, di seberang jalan. Dengan ulet dan sabar dilakukannya itu, entah berapa bulan dan entah berapa ikat bunga. Pasti tidak kurang dari 30 ikat bunga. Sambil menindas rasa kecewa dan kadang-kadang juga sakit hati dan nyaris putus-asa. Sebab setiap kali Simin Populi memeriksa nasib cintanya itu, dari seberang jalan disaksikannya, ikatan bunga itu berceceran dalam keadaan yang nyaris tidak bisa dikenali lagi, di tengah dan di pinggir jalan di depan rumah Mang Adab. Terlindas roda-roda mobil dan truk, hancur pipih dilindas roda bajai dan angkot dan bis kota, terinjak-injak kaki orang yang bersepatu maupun yang tidak. Terutama roda-roda kendaraan angkutan tentara. Sebab rumah kediaman Mang Adab itu memang di Jalan Merdeka, yang sepanjang jalannya berdiri bangunan-bangunan kantor pemerintah dan di ujung jalan sana ada tangsi militer. Tetapi Simin Populi telah bertekad dan sudah belajar untuk bersabar diri. Sampai tiba hari itu......... Pada pagi hari buta dengan setia sudah diantarkannya seikat bunga mawar, dengan kombinasi warna putih, kuning dan merah. Diletakkannya itu -seperti biasa-di atas kotak surat yang terpasang di pintu gerbang rumah Mang Adab itu. Setelah menggumankan, “Inilah sayang, cintaku padamu kuungkapkan dengan bunga-bunga,” Simin Populi yang tiada susut sedikitpun harapannya, ngeloyor pergi, mencari rezekinya untuk hari itu. Sore hari. Tampak Simin Populi berjalan ke tempat biasanya di seberang jalan rumah kediaman Mang Adab. Seketika itu juga, Simin Populi rasanya terbang ke langit ke • 41 •
Edi Cahyono’s experiencE
tujuh. Jalanan, di pinggir maupun di tengah, di sebelah kiri maupun di sebelah kanan, tidak ada bekas-bekas kembang yang hancur, yang berceceran. Keterima ! pikir Simin Populi dengan jantung berdebar-debar. Ia mulai melangkah menyeberangi jalan itu. Menuju ke rumah Mang Adab. Dalam hati dan dalam kepalanya, sudah mulai disusun katakata yang akan diucapkannya. Menyukuri nasibnya, jodohnya. Tetapi, hai! Mengapa keadaan rumah Mang Adab sore ini lain dari biasanya? Pintu rumah dan lebih-lebih pintu gerbangnya, yang biasanya tertutup rapi, mengapa sore ini terbuka lebar, sekalipun tiada tampak hidung seorang pun di situ? Semakin ia mendekati rumah Mang Adab itu, semakin besar keheranan melanda Simin Populi. Ada terlihat kursi-kursi lipat ditumpuk bersandar di sudut halaman rumah Mang Adab itu. Juga meja-meja lipat. Tak seorangpun menampakkan diri. Setelah Simin Populi melewati ambang gerbang rumah itu, baru dilihatnya di halaman samping rumah Mang Adab itu, seseorang sedang mencuci sejenis bale-bale kayu dengan semprotan slang air. Terlalu panjang kalau cerita ini mesti dikisahkan selengkapnya, Hanya akan membuat orang tenggelam dalam kepedihan teramat sangat. Hanyut dalam tangis dan sesal-nasib. Terenyuh-renyuh. Singkat cerita (dan yang beredar): Anak Mang Adab yang paling ditaksir oleh paling banyak pihak, termasuk di situ Simin Populi kita, puteri Demok, telah meninggal mendadak, tanpa menderita sakit, tanpa mengalami kecelakaan, tanpa perbuatan nekad. • 42 •
Edi Cahyono’s experiencE
Ada yang berbisik-bisik bilang, puteri Demok meninggal kesambet, meninggal karena diguna-guna, disantet. Tetapi ada juga yang bilang, puteri Demok meninggal karena terlalu lama mesti menanti dan berharap-harap. Dan ada lagi yang bilang, puteri Demok itu keberatan nama...............
• 43 •
Edi Cahyono’s experiencE
PATRIOTISME I Urusan mobnas sampai-sampai dilarikan pada soal patriotisme. Dalam patriotisme yang menggebu-gebu disorakkan: My country, Right or Wrong! Seakan-akan itulah nilai puncak patriotisme. (Dan itupun bukan untuk yang pertama dan terakhir kalinya!) Tahu-tahu, itu ternyata cuma sepenggal dari tulisan C.K. Chesterton (The Defendant): “My country, right or wrong,” is a thing that no patriot would think of saying except in a desperate case. It’s like saying “My mother, drunk or sober”. (“Negeriku, benar atau salah,” bukan sesuatu yang akan diucapkan seorang patriot, kecuali dalam keadaan nekat. Itu seperti mengatakan “Ibuku, mabok atau waras.”)
• 44 •
Edi Cahyono’s experiencE
PATRIOTISME II Sekali lagi patriotisme. Edith Cavell, kata-kata terakhir sebelum ditembak mati oleh regu-tembak Jerman, di Brussels: I realize that patriotism is not enough. I must have no hatred toward any one. (Aku sadari bahwa patriotisme itu tidak cukup. Aku tidak boleh mendendam kebencian terhadap siapapun.) Tinggal kita saja menilainya. Makna keagungan manusia atau makna kearifan manusia?
• 45 •
Edi Cahyono’s experiencE
PATRIOTISME III Bagi kita, tak usahlah yang terlampau mentit-mentit. Jangan biarkan rakyat Indonesia terseok-seok dan terbungkuk-bungkuk menggali anugrah yang terkandung dalam perut bumi negeri ini, untuk diangkut keluar dan menjadi persembahan pada takhta kebesaran dan keserakahan asing. Jangan pertukarkan cinta tanah-air dengan menjadi bonekaboneka terpuji di pentas dunia. Tidak, dengan menjadi tenaga kerja yang paling murah di dunia. Tidak, dengan menjadi konglomerat terkaya di dunia. Tidak, dengan memompa diri menjadi raksasa monopol kebenaran Juga tidak dengan mengejar dalih-sesat nasionalisme baru
• 46 •
Edi Cahyono’s experiencE
PATRIOTISME IV Tahun 2148. Simin Populi telah menjadi orang paling terkenal di dunia. Orang membicarakannya dengan takjub, rasa ngeri, menyebut namanya dengan bisik-bisik dan mengaguminya dalam impian-impian mereka. Kemashuran Simin Populi melebihi jagoan-jagoan masa-masa lampau. Bahkan , Simin Populi telah menjadi sosok ketenaran yang melebihi Superman, Herkules, Al Capone, Pendekar Baja Hitam, Hulk dan sederetan panjang nama-nama legendaris. Daftar kejahatan yang dilakukan Simin Populi sedemikian panjang dan beraneka, sehingga merepotkan bahkan bagi alatpendeteksi yang semuanya sudah serba elektronik dan adiiptek. Ya penggarongan, ya penyerbuan bank, ya penculikan, ya penghadangan konvoi pengangkutan aset-aset negara, ya penyanderaan, ya pemerasan... Ya, pokoknya kejahatankejahatan sebebas-bebas yang dibayangkan dan dikhayalkan orang. (Di kalangan orang jelata, –pada tahun 2148 masih ada rakyat jelata itu-beredar versi lain tentang operasi-operasi atau gebrakan-gebrakan Simin Populi. Kalau boleh dipercaya lakon Simin Populi yang cuma dari mulut ke mulut: Simin Populi itu melebihi penyamun budiman Robinhood yang teramat terkenal di masa lalu.) Nah, demikianlah tiba juga saatnya, Simin Populi, tertangkap basah dalam salah-satu operasinya itu, dibekuk setelah terkepung pasjukan-pasukan istimewa (semacam Gegana, atau pasukan Buru Cepat, atau mungkin juga semacam pasukan SWAT zaman sekarang). Dan tertangkapnya Simin Populi itu di suatu tempat di daratan global. • 47 •
Edi Cahyono’s experiencE
Maaf, ada sesuatu yang terlewatkan dalam kronik futuristik ini: zaman yang dikisahkan ini adalah zaman tata-tertib global. Sesuai strategi dasar dan -sudah tentu-kepentingan para perancang globalisasi, di zaman yang dikisahkan di sini, nyaris hilanglah yang di masa jauh sebelumnya, disebut negara-negara bangsa. Yang ada yalah kawula global, mandani global, manager global, konglomerat global, pokoknya semua kelembagaan yang disertai sebutan global. Dalam teori dan praktek. Secara hukum dan aplikasinya. Nah, ketika berita tertangkapnya Simin Populi itu mulai disiarkan lewat semua media, ya koran, ya radio, ya televisi, ya internet (presisnya globalnet, namanya), hebohlah seluruh global itu. Sudah jelas bagi semua orang, bahwa telah terjadi suatu peristiwa yang paling bersejarah dan akan menentukan jurisprudensi global. Hal hukuman tidak ada kesangsian lagi, dan nyaris tak perlu dipersoalkan lagi. Semua yang telah dilakukan oleh Simin Populi adalah top-nya kejahatan. Dan untuk itu cuma ada hukuman top juga. Di zaman jauh sebelumnya, ada yang disebut capital verdict atau punishment. Hukuman mati. Soal hukuman ini sudah jelas. Itu yang akan didapatkan Simin Populi. Yang menjadi soal yang lebih besar lagi adalah: Persidangan pengadilan (diseret ke depan meja hijau, istilahnya zaman sekarang) itu adalah persidangan mahkamah global! Para anggota hakim, terdiri atas hakim-hakim yang pengangkatannya masih menurut salah-satu bagian hukum (undang-undang) global yang belum sempat berubah. Dan ini konsekwensinya –khususnya dan terutama dalam perkara Simin Populi-gawat sekali. Salah satu pasal agak paling mendekati azasi yalah, para hakim itu masih membawa gaung atau bagasi zaman lampau, yaitu masih dalam ikatan berbangsa-bangsa. Dan demi legalitas global, salah-satu pasal yang agak paling mendekati azasi yalah, dalam menjatuhkan capital verdict, alias hukuman top • 48 •
Edi Cahyono’s experiencE
= mati, harus juga disebut kebangsaan, atau negeri si pesakitan. Ini didefinisikan sebagai totalitas identifikasi, karena hanya dengan begitu dapat diperoleh manfaat mutlak bagi tatanan global baru: yaitu dengan diidentifikasikan dan tudingan tanpa tedeng-aling-aling asal negeri = tanahair si pesakitan akan sekaligus diberlakukan budaya-mental global: yaitu si pesakitan itu telah mempermalukan negeri dan tanahair asalnya, sesuatu yang menjadi sasaran kutukan global. Di situlah diletakkan bobot keteladanan untuk masadepan global. Sedangkan bagi Simin Populi itu, cuma samar-samar masih ingat bahwa ia asalnya dari negeri yang dulu disebut Nusantara, sabuk zamrut khatulistiwa, atau Indonesia, atau negeri dari Sabang sampai Merauke. Semakin lama ia menghadap dinding beton sel tempat tahanan itu, semakin gencar datang menyerbu ingatan-ingatan. Sebab memang, Simin Populi memang mengetahui (artinya masih ingat cerita-cerita kakek dan ibunya mengenai riwayat keluarga) leluhurnya orang Jakarta, kalau tidak keliru tinggal di suatu perkampungan [nah, yang ini tidak bisa dibayangkannya, sebab apakah yang namanya kampung itu, Simin Populi tidak tahu] yang namanya Jatinegara. Lagi pula medan operasi Simin Populi kan tidak saja di sana (di mana? Di pulau Jawa sana?) tetapi tidak mengenal perbatasan-perbatasan. Sudah mengglobal! Bisa dibayangkan betapa beratnya pergulatan yang terjadi dalam kalbu dan kesadaran Simin Populi. Ia memang mesti menimbang-nimbang benar yang kini menimpa dirinya, yang dihadapinya. Yang mana lebih penting: citra dirinya atau citra asal-usulnya, riwayatnya? Sesuai haknya sebagai pesakitan yang pasti akan menjalani atau harus menjalani hukuman mati, Simin Populi minta setumpuk buku, yang daftarnya disusunnya dengan sepenuh hati nurani. Ada buku Roots, Hawaii, Kumpulan Lagu-lagu Wajib, Racial Pride and Prejudice, Countries and Peoples, • 49 •
Edi Cahyono’s experiencE
Encyclopaedia Britannica........... Spekulasi orang tidak terkendali lagi. Pasar tarohan juga marak. Ini bukan sekedar peradilan global. Ini peristiwa di mana bawah-sadar bangsa-bangsa sedang saling-mengintai. Peristiwa yang akan menjadi pemicu meledaknya sentimensentimen yang paling primordial. Ini semacam pengadilan bangsa-bangsa. Sebuah persidangan di mana segala yang esensial atau yang masih tersisa dari padanya akan diuji dan dipertarohkan. Hakim Ketua: Sebut nama mu. Simin Populi : Simin Populi. H.K. : Sebut tanggal lahirmu. S.P. : Satu Januari Duaribu-seratus. H.K. : Tempat kelahiranmu S.P. : Ibukota Kosmopolitan H.K. : Kebangsaanmu Hening sejenak. Seluruh telinga di ruang persidangan yang seluas koloseum itu terpasang tajam-tajam .............. Masih hening juga. H.K. : Kebangsaanmu. S.P. : Bangsa global H.K. : (tiba-tiba menggebrak meja) Jangan ingkar Kebangsaanmu. Harus lebih spesifik. S.P. : Bangsa Global, yang mulia. Sesuai yang dipesankan oleh buku penataran Penghayatan dan Pengamalan Budaya Global, diperkuat lagi oleh Indoktrinasi tentang kepribadian Global, dan Buku Pedoman Waralaba Kebangsaan, ditambah lagi dengan Petunjuk-petunjuk Promosi Pariwisat Global ..... H.K. : Hush! Masih kurang spesifik. Yang ditanya di sini, asal-usul aslimu, yang menjadi tumpuan sisa-sisa kenangankenanganmu, kebangsaanmu. Tempat yang menjadi sasaran seluruh curahan cintamu yang paling asali. Yang dengan kejahatan-kejahatanmu telah kamu permalukan, dan sebagai dosa terbesar tujuh-keturunan, patut diganjar • 50 •
Edi Cahyono’s experiencE
dengan hukuman maksimal dan final. Sekali lagi: kebangsaanmu? S.P. : Tak punya, yang mulia. Biar kuterima saja hukuman kapital itu, biar itu kuterima sebagai resiko, daripada mesti menyeret-nyeret nenek-moyang dan leluhur segala. Heboh besar di ruang persidangan bangsa-bangsa itu. Semua pada meneriakkan dan beradu membesarkan identitas kebangsaan masing-masing. Yang tidak dipermalukan. Yang saling mengklaim saling mengungguli. Hanya satu nama negeri atau bangsa yang tidak terdengar dilontarkan. Tetapi orang mungkin juga sudah tidak menaroh perhatian. Bunyi meja para hakim digebrak-gebrak diiringi dengan suara nyaring Hakim Ketua: Tenang, tenang! Kalau tidak, akan kami perintahkan agar ruang persidangan ini dikosongkan! Dengarkan, inilah keputusan persidangan perkara Global versus Simin Populi. Satu: Atas perbuatan-perbuatan kejahatannya, yaitu pengrong-rongan tata-tertib global, Simin Populi diganjar hukum-gantung-hingga-tewas-nyawa. Dilaksanakan sebelum lewat tigaratusenampuluhsembilan menit terhitung dari ketukan palu ini. (dok-dok-doook!). Dua: Atas perbuatan yang menolak menyebutkan asal-usul aslinya, sehingga menghilangkan hak global untuk mengetahui asal-usul kebangsaan dan negeri yang telah dipermalukannya, Simin Populi dijatuhi hukuman Tigaratusenampuluhsembilan cambukan sesudah menjalani hukuman kapital, dan dijatuhi hukuman dikuburkan di tempat penguburan orang-orang tidak dikenal, tidak berbangsa dan tidak bertanah-air. (Sebagai catatan: angka 3–6–9 itu dapat juga diartikan angka gawat –sam–lak–kiu–untuk kaum pria, menurut kepercayaan sementara orang ..........)
• 51 •
Edi Cahyono’s experiencE
PATRIOTISME V Dari dalam liang kubur Simin Populi, sayup-sayup terdengar lontaran penasarannya. – Yang mempunyai itu aku, atau kamu? Kepada siapa itu tertuju? Entahlah. Tanya saja sendiri pada Simin Populi.
• 52 •
Edi Cahyono’s experiencE
KEBENARAN I Ucapan yang dilontarkan bertumpu posisi, wewenang dan kekuatan, tidak mesti berarti Dan menjamin kebenarannya. Tuduhan, ancaman dan keangkuhan yang dilontarkan pembesar, sivil atau militer, tidak mesti berarti dan menjamin keabsahannya. Juga bantahan, penjelasan dan janji yang diberikan, tidak mesti berarti dan menjamin beresnya keadaan. Kebenaran tidak ditegakkan dengan galaknya silat lidah.Keabsahan tidak terjadi dengan teror tudingantudingan. Keberesan tidak datang dengan memasung mulut, mata dan telinga. Kebenaran tidak sembunyi di mana-mana.
• 53 •
Edi Cahyono’s experiencE
KEBENARAN II Untuk sarapan cuma ada gorengan-kalajengking tasik, situ, ledo dan rengas. Keresahan. Makan siang hanya menghidangkan oseng-oseng jerohan busang, jonggol dan timoresku. Skandal. Pesta malam dengan pepesan–ati syu–ki, udin dan marsinah. Kebiadaban.
KEBENARAN III Kebenaran. Hanya dalam kotak deposit di anjungan sana? Kebenaran. Tidak berdarah-biru keningratan.
• 54 •
Edi Cahyono’s experiencE
JUDUL I Beberapa judul film kita: Pesona Gadis Simpanan. Rose Merah Cinta Terlarang Sex & Kriminal Bisikan Nafsu Lampiasan Nafsu Perempuan di Persimpangan Jalan Ecstasy & Pengaruh Sex (1 dan 2 !) Nafsu Liar
Macho (1 & 2 !) Gairah yang Panas Gairah Terlarang Gairah Malam yang Ketiga Gejolak Nafsu Akibat Bebas Sex Godaan Membara Gadis Misterius Selingkuh
Memperhatikan daftar (baru sebagian kecil!) di atas sungguh menunjukkan betapa kreatif dan bagaimana selera kultural (?) yang dijejalkan di negeri kita. Menyimak daftar judul film di atas membuat orang semakin ngeri jika disertakan di sini daftar judul film ‘iringan’ yang menggelar horor, kekerasan, ketahyulan dan sejenisnya. Nota-bene setelah sekian lama dan bertubi-tubi pembinaan penguasa dunia perfilman, yang menyabdakan, menyerukan, menghimbau bahkan memerintahkan kepribadian bangsa, budaya bangsa, edukasi bangsa ........
• 55 •
Edi Cahyono’s experiencE
JUDUL II Pada kaca-belakang sebuah mobil:
I Love Made In Indonesia Presis di bawahnya, dengan gambar ‘ouwheer’ berjenggot:
K.F.C. Kentucky Fried Chicken - garingnya !
• 56 •
Edi Cahyono’s experiencE
HUMOR I Lazimnya orang menganggap humor itu sesuatu yang luculucu. Humor adalah lelucon, kata orang. Padahal, humor berarti berdamai dengan kenyataan. Bahkan lebih dari itu, dengan humor seseorang dapat menghadapi sesuatu kegagalan tidak sebagai kesalahan siapa-siapa, tidak karena kesalahan siapapun dan apapun, kecuali memang kekurangan atau aspirasi diri sendiri yang belum dapat menjangkau sesuatu yang diinginkan itu. Demikian pula melihat keganjilan yang menimpa orang lain, tidak sebagai sesuatu untuk ditertawakan atau dikasiani, tetapi justru bersimpati dan faham akan deskrepansi antara keadaan dan kemampuan yang sedang dihadapi atau dialami orang tersebut. Sesuatu keadaan tidak dapat diubah atau diatur hanya sekedar dengan atau sesuai keinginan. Kemauan saja tidak cukup. Ada syarat-syaratnya, ditentukan pula oleh kesadaran akan ruang dan waktu. Kondisi. Maka itu orang berkata juga: nafsu besar, tetapi tenaga kurang Dengan demikian seseorang akan dapat memeriksa diri sendiri, melihat dirinya seakan-akan dalam sebuah karikatur. Dengan kelegaan melihat dirinya bagaikan Don Kisot yang melawan kicir-angin........ Dapatlah ia berdamai dengan keadaannya sendiri, persoalan-persoalannya sendiri, tertawa dan juga memahami gapaian-gapaian dirinya yang taksampai-sampai meraih angan-angan di langit, atau hasrat khayalnya untuk terbang meluncur ke angkasa raya.
• 57 •
Edi Cahyono’s experiencE
KUASA I Kisah si Kerdil menjadi Raksasa adalah bayangan khayalan orang. Si Kerdil merebut dan bisa lebih berkuasa karena ada bahu Sang Raksasa untuk dinaiki dan menjadi pijakannya. Si Kerdil biar ditunjang berdiri di atas puncak gunung, tetap saja ia kerdil. Sang Raksasa biar berdirinya di dasar sumur, tetap saja ia raksasa. Semakin jauh orang dalam sorotan cahaya, semakin kecil bayangannya di pentas peristiwa. Semakin kerdil sosoknya di layar sejarah. Semakin dekat orang dalam sorotan cahaya, semakin kelam bayangannya pada lingkungan. Semakin meraksasa cacad-cacadnya di mata khalayak.
• 58 •
Edi Cahyono’s experiencE
KUASA II Jika kekuasaan di kelola kekerdilan. Akan seperti ketololan yang datang berkodi-kodi. Sebuah pemerintah yang cuma untuk melindungi bisnis dan benda-benda dan Mammon keserakahan, adalah seperti bangkai yang segera membusuk karena korupsinya sendiri.
• 59 •
Edi Cahyono’s experiencE
DUSTA I Berkepanjangan melukis iblis pada dinding-dinding, tiada henti-hentinya, akan membuat iblis-iblis itu benaran muncul di hadapan kita. Dusta itu tak berkaki, sedangkan skandal itu bersayap. Teringat aku pada menteri propaganda dan pencerahan masyarakat jerman nazi: Dr. Paul Joseph Goebbels, yang kurang lebih mengatakan: berkeras dan ulangilah kebohongan itu tanpa berhenti sejenak pun, dan itu akan berakumulasi sehingga menjadilah ia kebenaran. Negeri kita juga kenyang dengan dusta-dusta resmi. Dusta dan fitnah nyaris senyawa dan sebangun. Yang kemarin dinyatakan pemicu dan penghasut huru-hara, hari ini diluruskan sebagai ‘sudah disaling-mengertikan’ dan tak-usahdisinggung-singgung lagi. Dan jadilah dusta itu bumerang, menjadi blunder setelanjangtelanjangnya yang kesekian kalinya. Tetapi juga karena dilawan dan serangan balik memaksanya menelan kembali ludah busuk yang sudah dilontarkan.
• 60 •
Edi Cahyono’s experiencE
NAFSU I Simin Populi sempat menceritakan dongeng tentang sebuah republik yang ditata menurut romantisme zaman kerajaanfeodal. Syahdan, presiden yang seperti tennoheika dianggap titisan dewa-dewa dan memang dilahirkan untuk mendewai republik-tata-negari-raja-raja itu suatu saat terpanggil untuk menunaikan konstitusi: sudah waktunya diangkat seorang wakilnya. Wakil presiden. Bukan soal suksesi. Dan sudah sepatutnya, mesti dipatuhi dan dipenuhi kaidah-kaidah tertentu. Memang tidak diperlombakan seperti di zaman lama-sebelumnya, tatkala para ksatria diharuskan berlomba/ mengikuti sayembara (seperti ksatria Tarzan mencari obat manjur: koyok cabe untuk sang raja Asmuni) demi dapat menyunting puteri sang raja. Karena ini urusan wakil, maka para calon atau yang mencalonkan diri (dan ini jumlahnya tidak kepalang tanggung!) mestilah tokoh yang mampu mendampingi, bersesuai-pikiran dan gaya, bisa bekerja-sama 100% serasi dan dalam keserasian, bahkan ekstremnya: nyaris keseranjangan dengan paduka raja-presiden. Maka adalah seorang mahapati yang melebihi semua aspiran lainnya, paling menggebu-gebu menghasratkan, menafsukan kedudukan pendamping singgasana itu. Dalam menggelembungnya gebuan nafsu itu, sang mahapati tidak segan-segan, bahkan sunguh rela-ikhlas melepaskan yang tadinya adalah dirinya sendiri. Dan semangkin dekat saat menentukan itu, semangkin maraklah pergelaran keserasian, kesaling-pengertian, kesatuan bahasa (dan penggunaan bahasa) dan kesehidup-kesematian dan keseranjangan, diki-barkan oleh sang mahapati itu. Dan semangkin menjadi-jadilah terjun-bebas sang mahapati itu, ketika pada suatu ketika didengarnya gumam sang • 61 •
Edi Cahyono’s experiencE
presiden–raja itu: yang kira-kira berbunyi u maar, u maar. Dan sang mahapati yang sudah sampai ke puncak GR, menerjemahkan gumaman itu sebagai engkau saja, engkau saja........ Dan lonjakan harapan itu dinyatakan oleh sang mahapati itu dengan semangkin gencar memidatokan aken, aken dan aken, mangkin dan mangkin dan mangkin , semangkin aken mangkin tercapai angen-angen.......... Dengan mengelus dada dan mbrebes mili Simin Populi mengakhiri dongengnya itu dengan helaan nafas panjang: Lah koh, dalam zaman alea judiciorum (tiadanya kepastian hukum) seperti di zaman itu sang mahapati itu tega-teganya mempurukkan diri sampai seperti itu! Simin Populi masih sempat melengkapkan kisahnya itu: Kesudahannya, yang menjadi raja-muda..... eh, wakil presiden... itu memang seorang yang namanya mirip gumaman sang raja-presiden...... Mahapati malang kita itu, dalam lengar sesaat itu menerjemahkan yang didengarnya itu ke dalam bahasa belanda......... u maar, engkau saja....................... Tetapi sudahlah, sepahit-pahit pengalaman sang mahapati itu, yang sementara itu telah mangkat dengan segala upacara kebesaran, bahkan sampai diabadikan dengan julukan Mahabuldozer, ternyata bisa meninggalkan warisan beratus-ratus hektar tanah pada anak-cucunya.
• 62 •
Edi Cahyono’s experiencE
KUASA III Gebrakan-gebrakan senopati kita masih saja tentang pemain di belakang layar, sais gelap dan pembangkang urakan. Semua sudah telanjang di hadapannya. Data dan fakta sudah dan hanya dalam genggaman tanganbesinya. Hanya kejelasan belum terlontarkan, karena kelantangan masih tersumbat oleh dahak kebingungan. Kesimpang-siuran. Maka pedang damokles belum keluar dari sarungnya. Blunder demi blunder menjelang kebangkrutan wibawa Memang gaya sewenang-wenang menjadi tanda impotensi Operose nihil agendo. Sibuk tak berbuat.
• 63 •
Edi Cahyono’s experiencE
KUASA IV Ada yang membusuk dalam negara. Sebab, hanya sumber (mata-air) murni yang selalu mengalirkan air jernih. Sang petualang melolong-lolong di tengah sahara kegersangan dan kegelisahan, mendambakan oasis dan kesejukan. Kalaupun itu cuma fatamorgana dan khayalan demam takberampun. Limbah desintegrasi diri dikiranya kejaran dendam kesumat pembalasan.
• 64 •
Edi Cahyono’s experiencE
INTEGRITAS I Terlampau klise untuk mengatakan musibah adalah suatu blessing in disguise, berkah tersembunyi. Titik nadir kenistaan, kekalahan, tidak-dimanusiakan, pembuangan dan pengucilan, teror dan kesewenangwenangan menelanjangkan orang di depan diri sendiri dan di hadapan orang lain. Di situ tiada tempat bagi dan bohong belaka robinsonrobinson crusoe berpeluang untuk berkiprah. Yang namanya digodok dalam kawah condrodimuko, tiada yang bisa lolos: pribadi diri, fisik maupun mental. Yang soal bukan sekedar hidup bertahan atau mati merana, di situ cuma ada pilihan menjadi manusia atau menjadi nonmanusia. Di situ bukan soal intelektual atau ignoransi, di situ semua disederajatkan: nalar, kesadaran dan hati nurani. Maka di situ berlakulah ukuran orang banyak bersama-sama yang sederajat di hadapan keadaan. Melebur yang banyak menjadi yang satu dan yang satu menjadi yang banyak. Bukan sebagai kawanan atau gerombolan tanpa kepribadian, kumpulan tak bernama. Yang cuma membebek. Melainkan yang satu-satu dan masing-masing berdiri tegak menyatakan diri dan harkatnya. Di mana mata kesadaran jernih melihat: ada. Ada yang dilayakkan -tadinya- baja murni olahan, ternyata cuma lempung dan sosok dan tokoh dan jiwa karbitan. Dan yang terbanyak, yang dibariskan -tadinya-sebagai orang-banyakignoramus, cuma rank-and-file, ternyata dan justru tempaan baja murni oleh kesederhanaan dan kesahajaan. Yang adalah integritas. Integritas tanpa embel-embel. Tanpa istilah-istilah tinggi-tinggi. Integritas kepedulian pada sesama. • 65 •
Edi Cahyono’s experiencE
Integritas rela berkorban untuk yang menderita dan lemah. Integritas pelayanan tanpa pamrih. Integritas yang bukan keluh-kesah dan rengekan mengemis dikasiani. Integritas tempat mengaduh ketidak-adilan untuk dihadapi bersama. Integritas kebersamaan dan kesenasiban. Integritas membuka diri dan menyalami toleransi. Integritas yang berpegang pada azas dan tidak terkecoh oleh basa-basi, bunga-bunga kemunafikan. Integritas yang tidak bertekuk-lutut dihadapan kesempitan dalam kesempatan. Integritas yang tidak menghisap darah godaan kesempatan dalam kesempitan. Integritas: tiada orang yang makan tulang kawan. Ya, integritas untuk menjadi manusia yang lebih manusia.
• 66 •
Edi Cahyono’s experiencE
UNTUK AMIEN RAIS Biar kudekap dikau, kesengsaraan tercelah, karena –kata para orang arif bestari- itulah jalan paling bijaksana untuk ditempuh (Shakespeare, Henry VI.)
GUS DUR Buat apa orang men-Semar-Semarkan dirimu. Dirimu yang tanda-zaman, bukan sebuah mitos dan tidak untuk dimitoskan. Integritas yang sedang berjuang Kebenaran tak memerlukan omongan berbunga-bunga.
• 67 •
Edi Cahyono’s experiencE
HASTA MITRA Kelahiranmu digagas dalam belenggu penindasan. Jadimu di buaian pergolakan dan kelaliman merajalela. Tarohanmu keberanian, komitmen Dan kesetiaan pada sejarah dan hari-depan Memang bukan semut makanan Garuda. Quod est, eo decet uti: et quiequid agas, agere pro viribus. (Yang dipunyainya, itulah yang mesti dikerahkan; dan apapun yang dilakukan, itu dilakukan dengan seluruh kemampuannya)
• 68 •
Edi Cahyono’s experiencE
PERUBAHAN I Tiada yang berubah di Indonesia, cuma ada tambahan sesuatu yang khas Indonesia: mobnas Timor. Tiada yang berubah di Indonesia, kecuali sebuah Pesta Terakhir (drama satu babak R. S.) yang tidak dihadiri para tamu undangan. Tiada yang berubah di Indonesia, cuma ada tambahan sesuatu yang khas Indonesia: menjadi saudara tua Myanmar. Tiada yang berubah di Indonesia, kecuali bila sebuah Pesta Demokrasi ketimpa boikot. Tiada yang berubah di Indonesia, cuma ada tambahan sesuatu yang khas Indonesia, modern dan ilmiah: budaya tudingmenuding. Tiada yang berubah di Indonesia, kecuali tambahan lahirnya seorang raja emas Indonesia.
• 69 •
Edi Cahyono’s experiencE
NAFSU II Kubiarkan diriku terbawa berkelana dalam riak pusaran semakin meninggi daulat rasa dan naluri purba mengikuti olakan renjana Ujung jari-jariku bagaikan sungut-sungut peraba puting-puting tegang tergugah dan membelai pucuk jenisnya. Menguji kuasa keperkasaan disambut wadah menengadah diterima dalam kesatuan menggila Dan melepas dayaku tak peduli segala Berguling-guling dalam kepekatan madu kenikmatan. Lahiriah. Mengapa cuma rasa kehilangan kesudahannya? Hampa.
• 70 •
Edi Cahyono’s experiencE
PERUBAHAN II Inilah tantangannya. Bawa padaku orang-orang yang menandingi barisan pegununganku. Bawa padaku orang-orang yang menandingi hamparan dataran-negeriku Bawa padaku orang-orang yang menandingi dahsyatnya gelombang samudera-samuderaku Ya, orang-orang yang menyeluruh dunia dalam niatnya dengan kurun-kurun zaman baru dalam benaknya.
• 71 •
Edi Cahyono’s experiencE
LANGGAM I Sudah kejalani masa gerakan-gerakan pelurusan, rektifikasi. Pikiran, moral, kelakuan, gaya kerja. Yang satu itu anti kemaksiatan. Molimo. Anti-lima-m. Madat, madon, maling, mabokmabokan, main-judi. Sok puritan? Ketika itu aku lagi hobi-hobinya memancing. Bukan memancing di sungai atau danau atau kolam. Di laut. Sampai kata teman-teman: lupa daratan. Tak kenal siang, malam dan waktu. Sekali peristiwa aku menghadiri sebuah pertemuan. Biasa diadakan seminggu atau sebulan sekali. Aku bukannya datang terlambat, cuma amburadul saja keadaanku. Pagi tadi baru pulang dari memancing, berangkat sabtu petang, pulang senin pagi, tadi. Kulitku ‘abang-biru’ kata orang, terkena angin laut, sorot dan panas matahari. Mendadak lahir usulan dari Iramani. Agar padaku tidak hanya diberlakukan molimo. Ditambah satu anti–m. Mancing. Semua yang hadir: ramai-ramai anut-biung setuju sambil nyengar-nyengir. Penggembira musibah yang menimpa diriku...
• 72 •
Edi Cahyono’s experiencE
USIA SENJA I ‘Biar usia kita sudah berkepala tujuh,’ demikian Dharnoto suka berkata, ‘jiwa kita kan masih muda.’ Ungkapan klise? Atau cuma untuk menghibur diri? Atau barangkali kepandiran yang mengira dapat menahan waktu, menghentikan waktu? Gapaian-gapaian orang yang sudah sampai diambang ketidak-berdayaan? Tidak. Nyatanya Dharnoto memang masih sanggup dan diberondong permintaan-permintaan menggubah lagu. Tak satupun yang ditolaknya. Agaknya juga karena Dharnoto memiliki rasa humor yang renyah. Droog-komiek kita selalu menjulukinya. Dan ia terus nyanyi, memainkan jari-jari tangannya di atas tuts-tuts piano atau organ. Memang, tiada yang lebih nista daripada seorang tua, yang membungkuk-bungkuk dibebani timbunan waktu, tetapi tiada bukti lain bagi panjangnya usia yang direguknya, kecuali ketua-rentaannya itu.
• 73 •
Edi Cahyono’s experiencE
USIA SENJA II Makin bertambahnya usia memang membuat orang berpikir dan merenung. Tidak hanya bagaimana berdamai dengan kematian yang pasti datang menjemput. Mata ingatanku mendatangkan seseorang yang kini sudah berusia 83, orang pertama pembayat diriku pada pikiran-pikiran yang kumiliki sekarang. Mata kenanganku memanggil seorang yang telah wafat tahun lalu, dalam usia 92. Salah-seorang guruku yang pertama mencerahkan dan membekali pengetahuan pada diriku. Maka semakin dalam perasaan ini. Betapa benarnya. Orang yang tak menengok kebelakang pada leluhurnya, tak akan pernah memandang ke depan pada anak-cucunya.........
• 74 •
Edi Cahyono’s experiencE
LANGGAM II Kolonel Samsi, nama Dan Tefaat itu. (Benar, tempat pembuangan tahanan politik itu disebut tefaat, tempat pemanfaatan). Tanpa tedeng aling-aling, pada awalnya. Komandan yang seorang ini, dapat disebut khas. Yang menjadi ambisinya, dan ambisi itu tidak pernah beristirahat, adalah membangun semacam masyarakat-mini dan semacam tatanan hubungan mini, khusus bagi para orang di pembuangan. Yang ada di atas, tentu saja dirinya, adalah gusti, atau dem’igusti dan yang di bawah , tentu saja yang lebih dari 10.000 tapol buangan itu, adalah budak-sahaya, atau dem’i-budak. Sebuah struktur ideal, bukan? Tetapi, tentu saja mesti dibuat sedemikian rupa, sehingga bisa menjadi kenyataan. Caranya: Dan Tefaat itu mesti mengerdilkan dulu yang lebih 10.000 orang buangan itu, secara fisikal, secara rokhaniah, secara mental, dalam kesadaran maupun harga-diri. Semua nilai-nilai yang masih endap dalam perasaan dan pikiran lebih 10.000 orang buangan itu mesti dijungkir-balikkan, sebaiknya bahkan dilikwidasi. Dan itu dengan jalan menteror eksistensi, pikiran, perasaan maupun mental. Bentakan, penghinaan, hajaran, perintahperintah sewenang-wenang, ketergantungan dalam hal ketenteraman, penangsalan perut dan hak-hak sampai pada bernafaspun........... Caranya lagi, ini sisi lain atau sebaliknya dari mata uang nilainilai tadi: pengagungan sang dem’i-gusti, betapa merupakan suatu anugrah bila para dem’i-budak itu boleh memandang sirah sang gusti, ‘diajak bertukar-kata’ oleh sang gusti, bahkan • 75 •
Edi Cahyono’s experiencE
untuk diperkenankan mengucap ‘nggih gusti’ sambil merangkak mundur dari kehadiran sang gusti. Dan dalam kelanjutan proses itu, semakin bertubi-tubilah sabda-cerita sang gusti mengenai asal-muasal dirinya, mengenai leluhurnya, dan yang terdekat orang tuanya, khususnya sang bapak kanjeng gusti: yang –katanya– terhitung salah seorang dari putera-putera terbaik negeri ini. Yang adalah seorang ilmuwan sekaligus sejarawan, yang dalam kekerasannya penuh berkeadilan, dan daripada mesti hijrah lebih memilih menghitung pensiunnya. Entah itu suatu kekebetulan saja, entah itu guyonan dan ulah para dewa, tetapi adalah Pram., –salah seorang dari antara yang banyak, yang sudah mengalami, menderitakan segala cara pengerdilan orang buangan, bahkan secara khusus dihina, diludahi dan digebuk sampai tujuh putaran oleh kolonel Samsi, sang dem’i-gusti in person itu–, yang ternyata meng-identifikasi bapak sang gusti itu sebagai salah seorang kenalannya dari masa revolusi. Seorang tentara, yang kemudian menjadi direktur atau wakil direktur sebuah perusahaan penerbitan di Jakarta. Bisalah dibayangkan apa dampak peristiwa ‘pengungkapan rahasia’ itu. Sampai-sampai Pram. dicoba dirayunya menjadi semacam juru-tulis kronik istana kolonel Samsi, Dan Tefaat, sang dem’igusti........ Kisah agak lengkap ini tidak kuperoleh dengan kesaksian mata-kepala sendiri. Aku mendengarnya ketika sedang panen ubi rambat di ladang unitku. Sambil mengorek-ngorek buah ubi itu, terlintas dalam benakku, betapa yang cuma bisa membangga-banggakan leluhurnya yang dimashur-mashurkannya sendiri, adalah seperti buah-buah ubi itu: satu-satunya tempat yang paling menjadi miliknya yalah di bawah urukan dan gundukan tanah! Ada sebuah kisah, beberapa tahun berselang, tentang pensiun dan hidup santai, membuka sebuah tempat permainan bola • 76 •
Edi Cahyono’s experiencE
sodok (bilyard). Memang, masing-masing orang ada rezekinya sendiri. Janganlah pahit empedu meracuni pena ini.............
• 77 •
Edi Cahyono’s experiencE
SCRIBBLE-SCRABBLE Hasil usaha mama-papa untuk saya saja. Tokoh itu memang orang rakus. Sudah persis seperti marcos.
• 78 •
Edi Cahyono’s experiencE
INTEGRITAS II Bandaharo, penyair Tak Seorang Berniat Pulang, telah berpulang. Sekali peristiwa, sebuah noda pertanda -salah satunya-suatu awalan dari suatu akhiran. Ia memang masuk dalam deretan cc dan dalam sebuah sidang ia berdiri, mempertanyakan salah sebuah analisis sang ketua. Yang ikut bersidang, termasuk sang ketua, serta merta sepakat membincangkan pertanyaan itu. Pada waktu jedah untuk makan siang, ke meja Banda datang Sam ‘the great conspirator’, kepala keamanan (atau barisan pengawal?), dan dengan seram-keren melontarkan bisikan bernada ancaman: “Kau sudah merasa dirimu kuat untuk melawan ketua?” Sesuatu bisa naik tetapi untuk jatuh, dan bertumbuh tetapi untuk membusuk. Bencana dan khaos. Bencana, anak haram rekayasa dan komplotan atau limbah kepandiran dan nalar yang hilang, atau salah kaprah petualangan. Khaos, malam rangkap kegelapan dan nuansa bayangbayang,— peristiwa-peristiwa ketika khaos berkuasa Tetapi-itu juga saat-saat penentu dan ditegakkannya kebenaran kaidah-kaidah Ia, yang masih mau menyusu dari kejayaan masa-lalu, bergayut pada kebesaran dan wibawa yang menuntut pelayanan Membangun jarak: Ia, sebagai nirmala batu karang tua, pencerah dan pemandu budaya • 79 •
Edi Cahyono’s experiencE
dan: yang banyak, yang kasar kurang tersentuh budaya, berbudayakan ‘anak-buah’ dan berjatahkan kerja, kerja dan sisa-sisa, yang bersyaratkan kepatuhan pada lembaga dipribadikan Padahal, sengsara itu dijalani bersama, sama-sama mesti menanggungnya. Padahal, masa lalu sudah memberikan padanya: pengakuan dan kedudukan, keharuman nama dan nikmat-nikmat kesempatan. Semuanya itu ada karena yang banyak yang di-’anak-buah’kannya. Tidakkah bakat memang diasuh dengan diam-diam, sedangkan watak dan kepribadian dan integritas dibentuk dalam hempasan badai dunia? Buat apa lembaga yang memberi pengayoman dan pijakan untuk berkiprah, ketenaran dan bobot menentukan nilainilai, dihujatkan sebagai palu-godam bela-diri Sengketa pribadi dalam absurditas supra absurditas. Bagaikan buddha duduk bersila di bawah pohon bodhi mencari dan mencapai maha-pencerahan yang menghantar ke alam kedamaian Bandaharo, penyair Tak Seorang Berniat Pulang, telah berpulang.
• 80 •
Edi Cahyono’s experiencE
INTEGRITAS III Jangan padaku, jangan pada kami diberikan berhala-berhala baru mengkultuskan pribadi, mendewakan institusi, memutlakkan ideologi. Jangan padaku, jangan pada kami dipaksakan kepatuhan buta, pembekuan gagasan, mematikan nalar dan pemasungan kebebasan. Mengetahui yang benar tapi sedikitpun tidak berbuat, itulah kepengecutan. Tiada yang kebetulan, karena kekebetulan itu sebuah kata hampa, sebab tiada yang ada tanpa sesuatu sebab. Barangkali itu nama samaran Dewa, ketika tak mau membubuhkan tandatangannya. Mengucap..... mengucaplah seniman karena menjadi kejayaan dan keunggulan Seni menjadi satu-satunya jalan yang mungkin, untuk menyatakan kebenaran.
• 81 •
Edi Cahyono’s experiencE
HUMOR II Berperangai yang tak-pernah mengkerutkan dahi, dan keceriaan menjadi nama kecilnya. Dirinya dibanding-bandingkan dengan kepiawaian orang lain, mendengar decak kagum akan keberlimpaan tetangga. Tak melayani amarah yang cuma salah satu syaraf desahan kalbu, atau mengendalikan pasangannya tanpa bertepuk dada, memikat dalam penyerahan, patuh dalam mengelak. Dan paling mempesona ketika menyatakan taatnya. Cemeti tiada akan mengusik ketersinggungan Menerima kekalahan bagaikan itu suatu kemenangan dan pesan bagaikan itu gagasan sendiri. Yang bangga akan asal-usulnya, bangga akan kemampuannya, bangga akan keindahan tubuhnya, bangga beradi-busana, bangga akan kekayaannya, bangga akan kelebihannya, kalaupun itu semua bertaring keburukan. Setiap humor memiliki kebahagiaannya sendiri, memberikan kenikmatan melebihi yang lainnya.
• 82 •
Edi Cahyono’s experiencE
BEDUK Pandanglah buah yang menggelantung tinggi dari ranting pohon. Tidakkah ia sebuah riwayat sendiri dari biji yang dipeluk bumi dan tumbuh menjadi hingga meranum tinggi di situ? Hanya kejelian dan peduli cerah pikiran dan jauh pandangan mampu menghidupkan makna dan makna-makna. Begitu pula beduk, sebongkah riwayat hinggap menjadi di ingatan dan prilaku satu dan jutaan khalayak Melahirkan suasana kerinduan dan nostalgia ibadah dan pesta hari raya tradisi dan adu perkasa anak-anak muda Tetapi bisa juga, kendaraan sengketa dan malapetaka. Ia juga kisah yang bercerita tentang negeri-negeri, adat kebiasaan, peta dunia dan budaya bangsa-bangsa Ia sebuah peristiwa tapi juga pencipta peristiwa-peristiwa Tapi ia tidak secetek tangan dalam kobogan • 83 •
Edi Cahyono’s experiencE
Ia juga kisah tentang kesenjangan, tentang keterpinggiran. Tentang punahnya tradisi dan pemekaran Ruang dan kesempatan. Terusiknya kebebasan Tahu. Betapa pentingnya tahu. Luasnya wawasan. Hanya kejelian dan peduli cerah pikiran dan daya bedah kejernihan mampu menghidupkan makna dan makna-makna.
• 84 •
Edi Cahyono’s experiencE
GEBUK Lain info, beda muatan Lain selera, beda tafsirnya. Semua peristiwa: kuda troya Semua peristiwa: konspirasi jahat Semua peristiwa: keberingasan Semua peristiwa: ini dan itu Semua peristiwa: mencurigakan Semua peristiwa: di-inteli Semua peristiwa: pengadilan jalanan Semua peristiwa: kejahatan Semua peristiwa: awas! Semua peristiwa: diluar konsitusi Semua peristiwa: penunggangan Semua peristiwa: banyak peristiwa Semua peristiwa: terjawab Gebuk. Pil bersalut manis = gebuk Pil pahit sebugilnya = gebuk
• 85 •
Edi Cahyono’s experiencE
SENI I Sudah berkepanjangan kita bermain-main dengan istilah dan tafsir berlomba berpacu ciptakan yang baru asal baru, keliaran iseng mencari heboh mengarang bungkus hias ornamen Gugat Semsar, Semar gugat realisme berlapis-lapis kebangsaan berkeping-keping meniada seni multi-kultural, seni supra-individual Seni kesejaman atau seni kesepanjangan waktu jalan buntu atau kebolongan total black hole.
• 86 •
Edi Cahyono’s experiencE
SENI II Seni itu tangan kanan Alam Alam hanya memberi keberadaan Tangan yang menjadikan kita manusia Maka, adakah seni itu cuma bakat pada kedangkalan? Ia mesti berawal jauh ke belakang pada manusia. Bagaikan jerami kedangkalan itu mengapung di permukaan, untuk mencari mutiara, apalagi mutiara kebenaran, mestilah seniman menyelam dalam-dalam.
• 87 •
Edi Cahyono’s experiencE
SENI III Masih saja kau berteka-teki sendiri Mengapa aku kau jadikan sekeping dagingmu, secuwil tulangmu sekilas rasa atau sedu-sedan anganmu. Untuk siapa aku kauhadirkan bagi diri sendiri atau malu-malu tersimpan dalam gudang di belakang rumah. Hasrat berbicara dan mencari pengakuan apakah yang mendera kesangsian ditangisi terabaikan atau sepinya hirau sambutan yang tercari-cari dinantikan dan diharapkan belaian kebanggaan dimanja puja-puji Kutak-kutik kata-kata atau sapuan warna-warna, dan bunyi seruling di kerinduan jiwa. Pendangkalan atau sublimasi, medium atau idioma bagi kepuasan cuma satu kesendirian atau tepuk tangan kerumunan, cuma penonton. Menjadi pusaka egoisme dan kuasa kepemilikan tunggal atau untuk kenikmatan banyak hati dalam kegersangan jiwa Perspektif kelonjongan, prospektif lingkaran-lingkaran Apakah sebenarnya, ketika aku kauciptakan, yang merasuki dirimu Ambisi, pretensi, kerendahan-hati atau pesan sang sponsor Atau yang sayup-sayup terdengar: tanggapan dan suara hatimu. Menyajikan dunia dan kehidupan., dalam relief-relief tajam. • 88 •
Edi Cahyono’s experiencE
HARI Dengarkan anjuran-anjuran Fajar Pandanglah jeli hari ini. Karena itulah kehidupan Kehidupan itu sendiri Dalam lintasannya yang singkat mengandung semua kebenaran dan semua kenyataan keberadaan, realitas eksistensi. Berkah pertumbuhan, kejayaan laku Pesona keindahan. Karena kemarin cuma sebuah impian dan esok hanya sebuah bayangan. Hari ini yang dijalani dengan baik menjadikan setiap kemarin sebuah impian kebahagiaan dan setiap esok sebuah bayangan harapan. Maka, pandanglah baik-baik hari ini! Demikianlah Fajar disambut. (Dari sebuah sumber Sanskerta.)
• 89 •
Edi Cahyono’s experiencE
TEMUAN Betapa benar, Romo! Tumpulnya segala niat baik, welas-asih dan advokasi datang sebagai juru penolong atau pamrih juru-selamat dengan segala kecanggihan, tentang kuadratur dan senyawa kimia, dengan terang sosiologi , filsafat kemiskinan, kriteria psikologi dan teologi penderitaan. Di hadapan kekentalan keterasingan, teralienasinya orang dari segala-galanya, orang-orang yang menggeluti timbunan sampah dan disampahkan, yang mencari bakal penyambung hidup sekedarnya dari limbah dan sisa-sisa dan rongsokan terbuang. Kepedulian dan ketulusan saja, apalagi konsep-konsep proyeksi keinginan, tak-akan menemukan kuncinya, membuka pintu masuk ke persoalan dasarnya. Jalan masuk itu, akses, adalah pemahaman budaya, mata dan bahasa budaya, ungkapan budaya. Budaya primeval. Itulah yang mereka miliki, daya bertahan primeval untuk hidup, untuk survival. Naluri, resistensi, ketegaran dan kekenyalan, daya tangkal tetapi juga daya adaptasi. Dengan segala ketangkasan akal dan kreativitas keterpojokan manusia. Suatu sistem sendiri untuk bertahan hidup, menghadapi keterampasan total, himpitan ruang total, cekikan waktu total. Seperti juga wujud sikap mereka dalam menghadapi dan • 90 •
Edi Cahyono’s experiencE
menggugat kematian. Jatuh dan menjadi korban yang bagaikan saudara kembar keseharian mereka. Setiap korban yang jatuh dalam pergulatan besar untuk survival itu: karena tak terpenuhi tuntutan-tuntutan minimal alam; karena gusuran hingga batas-batas terakhir segala kesempatan, atau menjadi umpan api penggusuran dan keganasan ketakpedulian. Di sekeliling maut dan korban yang sudah menyatu itu, memang tak cukup hanya upacara dan doa-doa, ratapan tangis dan kutukan dan caci-maki. Inilah skandal. Skandal. Gugatan itu mereka teriakkan dari atas atap-atap rumah ke langit dan seluruh penjuru dunia, dengan gelegar suara yang paling dahsyat: keheningan diam. Mereka kumpulkan seluruh dendam, kepasrahan, perlawanan, kepatuhan dan pemberontakan itu dalam kepekatan paling solid: kebungkaman diam Dan mereka menyatakan kembali eksistensi mereka di lembah-lembah keterpinggiran dan ketersampahkan itu dengan hakekat semua bunyi: diam total. Bukankah ini kesadaran baru bagi para pekerja sosial dan pekerja budaya, karena pergulatan manusia sepanjang masa, adalah pergulatan untuk bertahan hidup sebagai anak tangga pertama di tangga emansipasi manusia,. Semakin menjadi manusia, manusia yang lebih manusia. Dengan kesadaran baru itu, dengan bahasa pemahaman budaya itu, menyampaikan dan membangun pengertian ke seluruh penjuru kepedulian, membangun dan menggerakkan seluruh kekuatan kepedulian terhadap skandal terbesar di bawah kolong langit dan peradaban: keterasingan paling telanjang dalam pergulatan mempertahankan hidup dan korban-korban ‘sesajen’ bangsa manusia. • 91 •
Edi Cahyono’s experiencE
HIMNE I Yang kudendangkan ini nyanyian pujian bagi kaum yang ditaklukkan yang gugur di medan kehidupan Himne kaum tak-berdaya, terluka, kalah dan mati dilindas dalam pergulatan itu. Bukan lagu kemenangan para penakluk yang mendapatkan sorak-sorai paduan suara bangsa-bangsa, dengan tanda kemashuran pada dahinya. Tetapi himne para miskin papa, yang terpuruk-puruk, yang letih dan lelah, yang patah hati, yang telah berusaha dan gagal Dengan gagah-berani memainkan peranan bisu dan tanpa-harapan.
• 92 •
Edi Cahyono’s experiencE
PENCERAHAN Biar karunia pencerahan menyapu bersih busa dan kabut dari hati-nurani Agar sungai pikiran dapat mengalir jernih berkelanjutan.
• 93 •
Edi Cahyono’s experiencE
HIMNE II Dalam gubuk reyot, di tengah ladang kau hadapi maut seorang diri menyerahkan dirimu dalam peluknya yang abadi Bukan karena malu, digampar dan diperintah push-up hati buas dan mata buta kesewenang-wenangan yang penuh dengki mengolok-olok tubuhmu yang dicengkeram sirosis, masih bertahan dan berani bernafas. Bukan, bukan karena malu, tetapi karena beban tanggungan sakitmu tak kaurelakan memberat di atas bahu teman-temanmu Kau, yang pada waktu keperkasaanmu, menjadikan dirimu kerbo penyeret bajak, agar teman-temanmu dapat menuai hasilnya. Kau, yang berjalan paling depan menerjang dan membabat hutan menebang raksasa-raksasa meranti, agar teman-temanmu dapat merebahkan badan di atas alas-tidur papan-papan gergajian. Kau, yang selalu merebut tugas-tugas dan korve-korve paling berat Dengan senyummu yang sejuk dan cerah wajahmu, mengangkat kesuraman dan putus-asa dari pikiran dan suasana hati semua. • 94 •
Edi Cahyono’s experiencE
Kayun! Pemudaku! Pemuda kami! Pemuda kita! Calon cendekia, harapan bangsa, jantung hati pertiwi. Dengan endrine kau leburkan dirmu dengan maut Agar kami bisa hidup!
• 95 •
Edi Cahyono’s experiencE
BAHASA Negeri kita memang sudah dilanda kerancuan bahasa. Tidak hanya dalam kosa-kata, penggunaan dan tata-bahasa, dalam tulisan dan –apalagi– yang diucapkan. Tapi juga dalam memilih, mengucapkan dan mengartikannya. Ada bahasa iklan yang diperdebatkan, ada seminar mengenai bahasa kekuasaan, bahkan mengenai bahasa dan kekuasaan, ada bengkel rekayasa euphemisme, ada pentabuan kata-kata, bahkan–sebaliknya–juga ada ‘pengangguran intelek’ para Badoedoe di negeri kita. Dan tidak reda-reda pula berlangsungnya kehebohankehebohan di bidang bahasa di negeri kita. Di bawah ini dihadirkan suatu parade yang sungguh mengasyikkan: siapa tahu dapat kita menarik hikmah darinya. Pedantri, sok-tahu, yalah pemakaian kata-kata yang tak-cocok waktunya, tempatnya dan lingkungan pergaulannya. Coleridge: Biographia Literaria. Aksen itu jiwa suatu bahasa, wacana; memberikan perasaan dan kebenaran padanya Rousseau: Emile. Sebuah bejana diketahui dari bunyinya: retak atau tidak. Demikianlah orang dibuktikan oleh ucapan-ucapannya: arif-bijaksana atau ketololan (berjalan). Demosthenes. • 96 •
Edi Cahyono’s experiencE
Nah, kacaulah sudah Telah dicekik bahasanya, dalam amarah-murka yang membabi-buta. Sigismund, pada Majelis Constance (tahun 1414) melontarkan: Ego sum rex Romanum, et supra grammaticam. (Aku raja Roma, berada di atas gramatika) Berkonversasi itu citra pikiran; bagaimana orangnya, begitulah ucapannya Syrus: Maxims. Pilihan kata dan kata pilihan, menunjukkan watak orang yang mengucapkannya Ketika yang diajaknya berbicara tidak mengerti; Dan yang berbicara itu sendiri tidak mengerti, itulah metafisika. Voltaire. Ya, sebagian besar kegaduhan, sampai pada pecahnya perang, yang menandai tidak-warasnya dunia, timbul dari kata-kata Kata-kata yang berlumuran darah (atau haus darah), Dan darah yang berkata-kata.......... Ayah memang agak dangkal, manisku. Lagi pula, kata bapak memberi bentuk manis pada bibir. Bapak, babe, bakpao, babat, bakar, bakmie, basmi dan bunuh kesemuanya kata-kata enak di bibir, teristimewa basmi dan bunuh......... (sebuah variasi dari Dickens: Little Dorit) Anak-anak bermain layangan dapat menghela-turun burung-kertas itu, yang tidak dapat dilakukan dengan kata-kata • 97 •
Edi Cahyono’s experiencE
yang (keburu) diterbangkan. ‘Jangan bermain dengan api’ sungguh sebuah nasehat baik, ‘Berhati-hatilah dengan kata-kata’ seribu kali lipat mesti didengar dan dijalankan. Pikiran-pikiran yang tidak (keburu) dinyatakan, kadang-kadang terjengkang mati sendiri Tetapi, bahkan para dewa tidak bisa membunuhnya kalau itu sudah dilontarkan.......... Duduk ngelemporok di tepi jalan, menyaksikan parade berlalu di depannya, dengan tambur-tambur dipukul tanpa mengeluarkan bunyi, Simin Populi, sambil mengetuk-ngetukkan ujung-ujung jarinya di atas lututnya, mengucap: –dalam to be or not to be-nya, rakyat jelata juga melampiaskan kegusaran dengan kata-kata– Simin Populi cuma menirukan Goethe dalam Torquato Tasso: Es macht das Volk sich auch mit Worten Lust. Di paling belakang arak-arakan itu, sekelompok orang dengan wajah-wajah serius memanggul white-board berukuran raksasa yang bertuliskan: –’Bagaimana kalau kata yang diucapkan, maksudnya untuk ditindakkan?’– Cuma Simin Populi yang berani berkomentar, sendiri, dalam syair karangan sesaat –’Gebrak-gebruk suara genderang, memesan tempat di tanahabang. Sudah bosan memrotes larangan, sampai tenggorokan dang-meradang. – –’Gebrak-gebruk suara genderang. • 98 •
Edi Cahyono’s experiencE
mencoba jalan tol padalarang. Setinggi-tinggi puncak burangrang lebih seram pernyataan perang. –
• 99 •
Edi Cahyono’s experiencE
HARI ESOK I Mengimpikan suatu hari-esok, hari esok yang mana? Yang tetap masih sama jauhnya, seperti pada hari ini? Pada derita-derita itu selalu kuberi janji hari esok. Dan ketika hari esok itu tiba, aku tetap berkata: hari esok saja. Tidakkah hari esok itu, cuma sebuah sindiran atas hari ini? Semua hari kemarin cuma menerangi jalan menuju kematian bagi orang yang putus-asa Dan tak berdaya. Mengapa tiada dewa mengasihi diriku Dan menjanjikan hari-esok padaku. Jangan hari-harimu meminjam bagian terbaik • 100 •
Edi Cahyono’s experiencE
dari hari-esok, dari semalam derita yang lebih dulu dicicipi. Untuk berbijaksana, jangan tunda hingga hari esok, siapa bisa menjamin, bahwa matahari hari esok, masih akan menyingsing bagimu? Mujurlah orang yang bisa berkata, bahwa hari ini adalah punyanya. Yang dengan tegar, pada hari esok, berkata hari esok, silakan, silakan datang membawa segala yang terburuk. Karena telah dijalani hidup hari ini. Waktu melesat, dan diriku diseretnya serta Saat aku menulis ini, sudah tertinggal jauh di sana, Dan belum juga aku memasuki hari esok.
• 101 •
Edi Cahyono’s experiencE
HARI ESOK II Ada mata-air terus mengalir, Ada cahaya tetap bersinar, Ada panas memberi kehangatan Ada angin menghembuskan kesejukan Ada hutan menyediakan papan Ada ladang sumber pangan Ada hujan menyuburkan bumi Ada sekuntum bunga merekah Jika niat dan berbuat kumpul bersatu dan menyatu tak–’kan tertahan datangnya kepastian, seperti datangnya hari esok.
• 102 •
Edi Cahyono’s experiencE
SIKAP Anggaplah keraguan dan ketakutan karatnya jiwa berani berpikir dan berani berbuat akan membersihkan dan mencerahkannya Hantu-hantu hanya ada bagi yang memang ingin melihatnya berani bersikap dan berani bertindak akan mengusir dan membasmi jejadiannya
• 103 •
Edi Cahyono’s experiencE