Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-98
KATA PENGANTAR
Pembaca yang terhormat, Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya maka Jurnal Ecolab telah memperoleh status akreditasi-LIPI kategori B, sertifikat No. 294/Akred-LIPI/P2MB/08/2010. Harapan kami ke depan Jurnal Ecolab ini dapat terus meningkatkan kualitas penyajiannya. Pada penerbitan volume 4 nomor 2 tahun 2010, Jurnal Ecolab mengalami beberapa perubahan yaitu : Pertama, perubahan warna pada logo kalpataru disesuaikan dengan warna logo baru kantor Kementerian Lingkungan Hidup. Kedua, substansi tulisan yang dimuat tidak hanya terbatas pada hasil pemantauan tetapi juga kajian ilmiah yang mencakup aspek lingkungan hidup. Dalam penerbitan edisi ini, memuat tulisan dengan judul : • •
Polutan organik persisten pada beberapa lokasi pertanian di Indonesia tahun 2010 Studi awal kandungan Benzo(a)pyrene dalam contoh uji udara ambien akibat pembakaran briket batu bara • Penentuan batas deteksi metoda (Method Detection Level) dan batas kuantifikasi (Limit of Quantification) pengujian sulfida dalam air dan air limbah dengan metilen biru secara spektrofotometri • Degradasi minyak mentah dan solar oleh konsorsium mikroba asal pertambangan minyak Cepu • Potensi bakteri Pseudomonas aeruginosa pada proses biodegradasi alkil benzene sulfonat linear (LAS) dalam tiga jenis deterjen komersial Untuk penerbitan volume mendatang kami mengharapkan partisipasi para pembaca maupun praktisi untuk turut serta menyajikan tulisan mengenai kajian-kajian yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup. Terimakasih
Salam Redaksi
i
ISSN 1978-5860
Jurnal Pemantauan Kualitas Lingkungan Volume 4, Nomor 2, Juli 2010
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi . ............................................................................................................. i Daftar Isi .............................................................................................................................. iii Polutan organik persisten (POPS) pada beberapa lokasi pertanian di Indonesia tahun 2010........................................................................................................ 55 Dewi Ratnaningsih
Studi awal kandungan Benzo(a)pyrene dalam contoh uji udara ambien akibat pembakaran briket batu bara...................................................................................... 63 Sri Unon Purwati
Penentuan batas deteksi metoda (Method Detection Level) dan batas kuantifikasi (Limit of Quantification) pengujian sulfida dalam air dan air limbah dengan metilen biru secara spektrofotometri.................................................................................... 70 Nevy Rinda Nugraini
Degradasi minyak mentah dan solar oleh konsorsium mikroba asal pertambangan minyak Cepu................................................................................................. 81 Yanni Sudiyani, Riyanto Heru, dan Syarifah Alawiyah
Potensi bakteri Pseudomonas aeruginosa pada proses biodegradasi alkil benzene sulfonat linear (LAS) dalam tiga jenis deterjen komersial................................................................. 89 Anggito P. Tetuko, P. Sebayang, Muljadi, dan Nanik Indayaningsih
iii
Heny Puspita Rokhwani, Yunesfi Syofyan: Persistent Organik Pollutans (POPs) di Beberapa Lokasi..
PERSISTENT ORGANIK POLLUTANTS (POPS) DI BEBERAPA LOKASI PERTANIAN DI INDONESIA (2010) Heny Puspita Rokhwani, Yunesfi Syofyan Ratnaningsih1 (Diterima Tanggal........, Disetujui Tanggal.................,)
ABSTRACT Persistent Organic Compounds (POPs) are the organic substance who was toxic to organism and persistent to the environment. It has bioaccumulation and bio-concentration by food chain process, where is human has high level at the food chain. There is a potential that a human has big concentration on the pollutant by the bioaccumulation process. Exposure by residual of POPs will be serious affected to the human health. Monitoring on Persistent Organic Pollutants (POPs) and organokhlorine pesticide (OCs) have held on march to August 2010. The sampling location was designed at agriculture area at Medan and Karo for Sumatera Utara, Cianjur and Karawang (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah) and Batu (Jawa Timur). Matrix samples are water from the river, sediment and soil. monitoring was focused on Aldrin, Heptaklor, Heptaklor epoksid, trans-Klordan, p,p’-DDE, Dieldrin, Endrin, p,p’-DDD, o,p’-DDT, and p,p’-DDT. Other compounds (organokhlorine pesticides) as the target on analysis are α-HCH, β-HCH, BHC, γ-HCH, δ-HCH, Metoksiklor and mirex. Purposes for this monitoring are to identify target, inventory and investigate concentration of POPs on environment. Target compounds have taken from water, soil and sediment sample were extracted by organic solvent, passed to clean up process and analyzed by GCMS QP 2010 used non polar capillary column. The result show that derivate of POPs and organokhlorine pesticides such as DDT (p,p’-DDT, o,p-DDT) ,DDD dan DDE were detected by 0.011 ppb to 0.56 ppb for water sample, 0.23 ppb to 54.9 ppb for soil sample and 0.50 ppb to 18.7 ppb for sediment sample. Other target such as mirex, metoxychlor and endrin were detected by concentration lower than 10 ppb. Keywords: Persistent Organic Pollutants (POPs), agriculture area, Indonesia.
ABSTRAK Senyawa Persistent Organic Pollutants ( POPs ) adalah senyawa organik yang mempunyai sifat toksik bagi mahluk hidup dan dapat bertahan lama di lingkungan (persistent). Senyawa POPs juga memiliki sifat bioakumulasi dan biokonsentrasi melalui rantai makanan, dimana semakin tinggi tingkat kedudukan dalam rantai makanan maka akan menjadi tempat akumulasi yang paling tinggi konsentrasinya, yang kemudian akan memberikan dampak negatif yang serius terhadap kesehatan manusia. Pemantauan kualitas lingkungan akibat pencemaran kelompok senyawa Persistent Organic Pollutants (POPs) dan pestisida organoklorin (OCs) telah dilakukan di bulan Maret - Agustus 2010. Pengambilan contoh uji dilakukan di sekitar area pertanian atau perkebunan di Medan dan Karo (Sumatera Utara), Cianjur dan Karawang (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah) dan Batu (Jawa Timur). Jenis contoh uji yang diambil adalah air, tanah dan sedimen. Senyawa POPs yang dipantau adalah Aldrin, Heptaklor, Heptaklor epoksid, trans-Klordan, p,p’-DDE, Dieldrin, Endrin, p,p’-DDD, o,p’-DDT, dan p,p’-DDT. Senyawaan pestisida jenis organoklorin yang dianalisisis :α-HCH, β-HCH, BHC, γ-HCH, δ-HCH, Metoksiklor dan mirex. Tujuan dari pemantauan ini adalah untuk inventarisasi POPs dan OCs di Indonesia, mengetahui jenis dan konsentrasi residu senyawa POPs dan OCs yang terdapat di lingkungan. Senyawa target pada contoh uji air, tanah dan sedimen diekstrak dengan menggunakan pelarut organik, kemudian di clean-up dan dianalisis dengan GCMS QP 2010 menggunakan kolom kapiler non polar. Hasil analisis menunjukkan bahwa senyawa POPs yang terdeteksi adalah DDT dan turunannya seperti p,p’-DDT, o,p-DDT ,DDD dan DDE. Konsentrasi senyawa DDT dan turunannya yang terdeteksi di air berada pada kisaran 0,011 – 0.564 ppb, di sedimen terdeteksi dengan konsentrasi 0,50 ppb- 18,7 ppb dan tanah terdeteksi dengan konsentrasi 0,23 ppb- 54,9 ppb. Sedangkang konsentrasi senyawa target lainnya seperti mirex, endrin dan metoksiklor berada pada konsentrasi < 10 ppb. Kata Kunci: Persistent Organic Pollutants (POPs), Lokasi pertanian, Indonesia. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan-Deputi VII-KLH. Kawasan Puspiptek Gedung 210, Jl Raya Puspiptek, Serpong, Tangerang, Banten, 15310 Indonesia, Telp 021-7560983, email:
[email protected]. 1
55
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
PENDAHULUAN UNEP telah menetapkan bahwa senyawa Persistent Organic Pollutants (POPs) merupakan senyawa organik yang bersifat toksik dan dapat bertahan lama di Lingkungan (persisten), sangat mudah berpindah pada rantai yang panjang, bersifat bio-akumulasi dalam rantai makanan yang pada akhirnya akan sampai dalam tubuh hewan manusia dan dapat menimbulkan dampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan. (Bouwman, H. (2003) POPs dan pestisida organokhlorin (OCs) mempunyai sifat persisten tinggi, juga termasuk dalam kelompok senyawa yang dicurigai sebagai penyebab gangguan pada hormon endokrin atau dikenal sebagai Edocrine Disruptor Compounds (EDCs), yang menyebabkan kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada makhluk hidup termasuk janin ((Bouwman, H. (2003)). Konvensi Stockholm telah menetapkan bahwa bahan kimia POPs terdiri dari dua belas senyawa, dimana sembilan tergolong ke dalam pestisida (Dichloro-DiphenylTrichloroethane/DDT, aldrin, dieldrin, klordan, endrin, heptaklor, heksaklorobenzen, mirex dan toksapen), satu bahan kimia industri (Poly Chlorinated Biphenyl/PCB) dan dua lagi merupakan produk sampingan yang tidak sengaja terbentuk dalam suatu proses (Dioxin dan furan). Meskipun dalam konvensi tersebut telah ditekankan perlunya penghapusan atau pengurangan penggunaan bahan kimia POPs, penggunaan jenis pestisida organokhlorin yang tergolong senyawa POPs untuk peruntukan pembasmian nyamuk penyebab malaria di
56
beberapa negara berkembang masih terjadi. (“Living on Earth: POPsible Nightmare”. Living on Earth. 2006. Sementara, pada masa lalu penggunaan senyawa POPs di Indonesia secara luas adalah untuk keperluan pertanian (agriculture), pembasmian hama (public Health) dan lain-lain (industry). Oleh karena itu perlu dilakukan inventarisasi keberadaan senyawa di lingkungan dalam upaya pengelolaannya. Mengkipun penggunaannya di Indonesia telah dilarang sejak lama, hasil pemantauan yang dilakukan oleh Pusarpedal-KLH sejak tahun 2003 menunjukkan bahwa di beberapa lokasi pertanian di Indonesia residu senyawa POPs dan golongan pestisida Organoklorin (DDT dan turunannya) masih terdeteksi di lingkungan, baik di air, sedimen dan tanah. Hasil Pemantaun pada tahun 2010, masih menunjukan DDT dan turunannya terdeteksi di beberapa lokasi pertanian di Indonesia. KEBERADAAN POPS DI INDONESIA DAN PERATURAN YANG MENGATURNYA Di Indonesia penggunaan Pestisida Organokhlorine (OCs) telah lama di larang, dan pada masa lampau umumnya untuk keperluan pertanian seperti memberantas hama dan mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman, untuk keperluan yang berkaitan dengan Kesehatan masyarakat seperti pembasmian vector (nyamuk dan serangga), dan keperluan lain yaitu pengawet bahan-bahan furniture untuk membasmi rayap ataupun keperluan untuk keperluan industri. Menurut Li et al, 2004; pada masa lampau
Heny Puspita Rokhwani, Yunesfi Syofyan: Persistent Organik Pollutans (POPs) di Beberapa Lokasi..
DDT pernah di gunakan secara luas oleh 10 negara besar, yang salah satunya adalah Amerika Serikat (1947-1972), sementara itu Li et al, 2004 ; juga menampilkan data 5 besar negara yang terdeteksi adanya DDT dengan konsentrasi cukup besar. Kel5 Negara tersebut adalah Unites stated, India, Negara-negara di Soviet, Indonesia dan China (di tunjukan dalam gambar 1 di bawah ini). Penggunaan umumnya untuk keperluan pertanian, kesehatan Masyarakat dan keperluan lain seperti industri (overall). Kemungkinan terdeteksinya DDT sebagai residu dari pemakaian dimasa lalu atau ada kemungkinan penggunaan secara ilegal. Karena sifatnya yang persistent di Lingkungan (tidak mudah terpecah dan non degradable), mudah berpindah (dengan media air, udara atau tersedimentasi) serta berpotensi memberi dampak yang serius terhadap kesehatan manusia bila terakumulasi dalam rantai makanan, maka senyawa POPs dan OCs diatur keberadaannya untuk pengendalian terhadap
dampak negatifnya. Berikut ini beberapa peraturan terkait dengan senyawa POPs dan OCs di Indonesia; a. Peraturan Pemerintah republik Indonesia No. 85 tahun 1999; Peraturan tentang pengelolaan Limbah Bahan Beracun Berbahaya (B3), dimana senyawa POPs dan OCs masuk dalam daftar limbah dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, sisa kegiatan atau buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi. b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.74 tahun 2001; Pengelolaan Bahan Beracun Berbahaya (B3), dimana beberapa senyawa POPs dan OCs masuk dalam Tabel-1 lampiran II sebagai bahan yang di larang dipergunakan. Sedangkan Lindan masuk ke dalam Tabel-2 Lampiran II sebagai bahan yang penggunaannya terbatas. c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82 tahun 2001 tentang Kriteria Mutu Air.
Gambar 1. 5 besar Negara-negara yang pernah penngunakan DDT dimasa lalu dan terdeteksi pada masa kini (Li et al. 2004) 57
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Pestisida Organokhlorin Pestisida Golongan Organokhlorine termasuk dalam kategori POPs. Organoklorin adalah senyawa insektisida yang mengandung sejumlah atom karbon, klor, hidrogen, dan kadangkala oksigen (hidrokarbon klorinat, klorinat organik, insektisida klorinat atau klorinat sintesis). Kemampuan senyawa organoklorin untuk mengendalikan hama serangga baru diketahui sekitar tahun 19391945. Golongan organoklorin mempunyai rumus CxHyClz. Golongan ini dibagi menjadi tiga subgolongan utama, yaitu DDT, BHC, dan siklodiena. Pada umumnya semua subgolongan ini mempunyai sifat-sifat kimia yang hampir sama. Daya larutnya dalam air sangat rendah jika dibandingkan dalam pelarut organik. Dalam keadaan murni, ketiga subgolongan tersebut berbentuk kristal putih atau sedikit kekuning-kuningan. Dikhloro difenil trikhlorida (DDT) Suatu kondensasi Bayer dari kloral dengan klorobenzena di bawah aliran asam sulfat pekat akan menghasilkan senyawa DDT 100%. DDT yang dihasilkan adalah isomer dari p,p-DDT (80%) dan o,p-DDT (20%) dan sedikit isomer dari o,o-DDT.
Gambar 2. Struktur p,p dan o,p-DDT
Senyawa ini termasuk ke dalam kelas kimia alifatik difenil yang berarti terdiri atas rantai hidrokarbon alifatik dengan dua gugus fenil yang melekat. DDT merupakan salah satu senyawa sangat nonpolar, ia larut dalam hampir semua bahan pelarut yang nonpolar dan 58
praktis tidak larut dalam air dan etanol dingin. Sifat nonpolar menyebabkan larutan DDT mudah menembus kulit dan masuk ke dalam serangga (Website.organokhorpesticides, diambil tagnggal 3 Maret 2008). Senyawa diklorodifenitrikloroetana (DDT) dan benzalheksaklorida (BHC) merupakan senyawa organoklorin yang pertama kali diketahui memiliki sifat sebagai racun serangga. Senyawa dari golongan ini khususnya DDT telah mencatat sejarah dalam penggunaan pestisida sepanjang abad XX. Paparan DDT pada manusia dengan konsentrasi 10-16 mg/kg akan menyebabkan sakit dengan gejala kejang-kejang (diambil dari web,organokhlorpesticides, 3 Maret 2008). Di lingkungan DDT dapat mengalami dehidroksinasi membentuk diklorodifenildikloroetilen (DDE) dengan katalis garam-garam besi, alumunium, atau kromium. Dikhloro difenildikhloro etana (DDD) Senyawa ini merupakan analog dari DDT yang dikenal dengan nama dagang Rothone®. DDD murni berwujud kristal putih, titik lebur 109°C, dan berbau manis. Daya larut DDD sama dengan DDT tetapi deklorinasinya dalam alkali lebih lambat. DDD adalah hasil metabolisme dari DDT dengan peranan enzim DDT deidroklorinase (DDTase) yang banyak terdapat pada strain lalat yang resisten (Sastroutomo SS, 1992 dalam web yang diambil tahun 2008).
Gambar 3. Struktur senyawa DDD
Heny Puspita Rokhwani, Yunesfi Syofyan: Persistent Organik Pollutans (POPs) di Beberapa Lokasi..
Aldrin Aldrin memiliki nama kimia 1,2,3,4,10,10-heksakloro-1,4,4a,5,8,8a-heksahidro-1,4-endo, ekso-5,8-dimetanonaftalena atau nama kimia lainnya heksakloroheksahidro-dimetanonaftalena, senyawa ini sangat manjur digunakan untuk membasmi serangga yang hidup di tanah dengan dosis 0.5-5.0 kg/ha. Aldrin memilki bobot molekul 364.96 g/mol, tekanan uap 2.031 x 10-5 mmHg (20°C), dan titik leleh 104-107°C. Aldrin merupakan racun yang sistematik dan dapat menimbulkan keracunan yang akut ataupun kronis. Selain itu, aldrin juga dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, konvulsi, depresi, dan dapat merusak hati dalam 1 - 4 jam. Bila aldrin dipanaskan maka akan terurai dengan mengeluarkan fosgen dan HCl yang beracun (Sastroutomo SS 1992 dalam web yang diambil tahun 2008).
pengambilan contoh uji air. Pengambilan contoh uji sedimen juga dilakukan dengan alat pengambil contoh uji yang terbuat dari stainless steel (edgman dredge). Dan pengambilan contoh uji tanah dilakukan di Lokasi lahan pertanian pada top soil (tanah di permukaan dengan kedalamam minimal 5 cm). Tanah diambil di lima titik kemudian digabungkan berdasarkan kepada Z Pattern Sampling. Pengujian dilakukan dengan ekstraksi pelarut organik terhadap contoh uji, selanjutnya contoh adalah proses clean-up dengan kolom florisil dan diukur dengan menggunakan Gas Chromatography Spectrometri Massa (GCMS). Hasil analisis yang keluar dari alat diplotkan pada kurva kalibrasi. kemudian dihitung kembali dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada tahapan analisis.
METHODOLOGY
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi pengambilan contoh uji untuk pemantauan POPs tahun 2010 adalah di lokasi pertanian Brastagi sumatera Utara, Lokasi pertanian di Cipanas dan Cianjur, KarawangJawa Barat, pegunungan Dieng-Jawa Tengah dan perkebunan di batu Jawa Timur.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.85 tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah B3, senyawaan yang tergolong POPs dan OCs tertera dalam daftar lampiran II dan II peraturan tersebut sebagai zat pencemar yang bersifat kronis dan bersifat racun. Sementara nilai baku mutunya ditetapkan sebagai baku mutu TCLP (limbah atau bahan pencemar yang terleaching di lingkungan). Berikut ini kutipan baku mutu TCLP dalam limbah untuk menentukan sifat racunnya untuk beberapa parameter yang tergolong OCs dan POPs:
Pengambilan contoh uji air diambil di sungai dengan metoda sesaat menggunakan vandon atau wadah yang terbuat dari stainless teel. Contoh uji di masukan dalam wadah botol kaca berwarna gelap dan di dinginkan pada suhu 4®C. Sedangkan pengambilan contoh uji sedimen diambil dari sungai dimana dilakukan
59
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Tabel 1. Baku mutu TCLP untuk beberapa parameter POPs dan OCs (PP RI No.85 tahun 1999) KODE LIMBAH
PARAMETER
BAKU MUTU MG/L (PPM)
D 4023
Endrin
0,02
D 4025
Heptakhlor + heptakhlor epoxide
0,008
D 4026
Hexachlorobenzene
0,13
D 4030
Lindane
0,4
D 4032
Metoxychlor
D 4001
Aldrin + Dieldrin
0,07
D 4008
Chlordane
0,03
10
Hasil pemantauan untuk tahun 2010, konsentrasi yang terdeteksi untuk senyawa OCs yang tergolong POPs adalah DDT dan turunannya. Kisaran konsentrasinya 0,011 ppb sampai dengan 0,56 ppb untuk contoh uji air dan terdeteksi pada lokasi pemantauan di Dieng dan Cianjur. Untuk contoh uji tanah terdeteksi dengan konsentrasi 0,23 ppb sampai dengan 54,9 ppb di tanah perkebunan Batu, terdeteksi hampir disemua lokasi pemantauan.
Untuk contoh uji sedimen terdeteksi dengan konsentrasi 0,50 ppb sampai dengan 18,7 ppb, terdeteksi tertinggi di Medan Sumatera Utara. Bila di bandingkan dengan baku mutu TCLP, konsentrasi yang terdeteksi masih di bawah nilai yang dipersyaratkan. Akan tetapi keberadaannya di lingkungan masih tetap harus di pantau karena sifatnya yang persistent dan bioakumulasi.
Tabel 2. Konsentrasi DDT dan turunannya di air, sedimen dan tanah, tahun 2010 (PusarpedalKLH,2010) Konsentrasi Tertinggi DDT dan turunannya di air, sedimen dan tanah, Tahun 2010 (ppb) Cianjur
Parameter
medan
Karawang
Dieng
Batu
Air
Sed
tanah
air
sed
tanah
Air
tanah
sed
air
tanah
Se,d
air
tanah
sed
p.p'-DDD*
0,012
<0,001
5,22
<0,001
4,71
<0,001
<0,001
<0,001
001
0,032
1,36
<0,001
0,01
6,10
<0,001
o.p'-DDD*
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
001
<0,001
1,3
<0,001
0,01
<0,001
<0,001
p.p'-DDE*
<0,001
0,50
27,2
<0,001
<0,001
5,3
<0,001
2,1
2,61
0,11
14,6
3,1
<0,001
54,9
<0,001
o.p'-DDE*
<0,001
<0,001
14,2
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
001
<0,001
0,01
<0,001
0,01
3,7
p.p'-DDT*
0,025
<0,001
13,9
<0,001
18,7
<0,001
<0,001
0,23
1,51
0,02
<0,001
0,01
<0,001
4,7
<0,001
o.p'-DDT*
0,013
<0,001
8,01
<0,001
3,7
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0,56
4,1
2,9
0
7,6
<0,001
60
Heny Puspita Rokhwani, Yunesfi Syofyan: Persistent Organik Pollutans (POPs) di Beberapa Lokasi..
Gambar 2. Konsentrasi POPs dan OCs dalam tanah, tahun 2010
Gambar 3. Konsentrasi POPs dan OCs dalam air, tahun 2010
Dari gambar 3, DDT dan turunannya terdeteksi dengan konsentrasi Part pertriliun (ppt), terdeteksi tertinggi di Dieng dan Cianjur. Di Dieng lokasi pengambilan contoh uji
adalah sumber mata air Sahang dan Tuk Bimalukar. Lokasi mata air ini di bawah lokasi pertanian, sehingga memungkinkan terjadinya pencemaran karena semua aliran air terbawa sampai ke mata air ini. 61
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
KESIMPULAN Beberapa senyawa POPs dan organoklorin (DDT dan turunannya) untuk contoh uji tanah dan sedimen masih terdeteksi di lingkungan dengan kisaran konsentrasi 0,23 sampai dengan 54,9 ppb, sedangkan untuk contoh uji air terdeteksi dengan konsentrasi 0,011 ppb sampai dengan 0,56 ppb. Dengan terdeteksinya Pestisida organokhlorin di beberapa lokasi pertanian di Indonesia, keberadaan residu ini harus diperhatikan dan perlu di lakukan pengujian selanjutnya tentang kualitas lingkungan di lokasi pertanian di Indonesia, guna mengetahui dampak lanjutan dari keberadaan residu POPs dan pestisida organokhlorin. DAFTAR PUSTAKA (1) Bouwman, H., "POPs in southern Africa", Handbook of Environmental Chemistry. 2003 Vol. 3O: Persistent Organic Pollutants, pp. 297–320. (2) Mangala, Y. “ POPs in Sea food of China-Review. China University of Geoscience of Wuhan.2009 (3) " L i v i n g o n E a r t h : P O P s i b l e Nightmare". Living on Earth. 2006. http://www.loe.org/shows/ segments.htm?programID=06-P1300050&segmentID=2. Retrieved 2007-09-16.)
62
(4) The United Nation University (UNU) International Symposium on Industries and EDC Pollution.2001. Environmental Monitoring and Governance EDCs in East Asian Coastal Hydrosphere.KORDI Korea. (5) The United Nation University (UNU) Environmental Monitoring and Governance EDCs in East Asian Coastal Hydrosphere. 1999. Manual for sample collection and Analysis. Japan. (6) Gunlazuardi, J,.1992. DDT and residues in the Yogyakarta and Bali environment: A monitoring survey in soil, sediment, water, vegetables and fish samples. Pesticides Residues in relation to crop production increment. NODAI Japan. (7) B Byron A. 1996. Aquatic Ecosystem Contamination and Rivererine Flux of Persistent organic Pollutants (POPs) to Coastal Seas in the Asia-Pasific Region. Canada. (9) Pusarpedal-KLH. 2010, Pemantauan Persistent Organic Pollutants (POPs) di Indonesia Tahun 2010. (10) Website Persistent Organic Pollutants; A Global Issue, A Global response, di kutip pada tanggal 3 September 2010 (11) Diambil dari Web; www..pops.int, di ambil pada Septemebr 2010
Rita Mukhtar, Esrom Hamonangan..: Studi Awal Senyawa Benzo (A) Pyrene dalam Contoh Uji Udara Ambien ...
STUDI AWAL SENYAWA BENZO (A) PYRENE DALAM CONTOH UJI UDARA AMBIEN AKIBAT PEMBAKARAN BRIKET BATUBARA Rita Mukhtar, Esrom Hamonangan, Erini Yuwatini, Bambang Hindratmo, Rina Aprishanty1 (Diterima tgl : 1-11-2010; Disetujui tgl : 16-12-2010)
ABSTRACT The used of coal briquette as an alternative energy fuels could generate negative impact on human health and environment, because it would raise the concentration of air pollution, such as the organic compound like benzo (a) pyrene. The aim of this research is to know the effect of combustion of coal briquette to ambien air quality due to emission of air pollutants.This research used experimental method. The combustion of coal briquette in this test used simulation technique. The sampling of ambient air quality was taken before and after combustion using standardized method High Volume Air Sampler (HVAS). The air sample was analyzed in laboratory according to using EPA-method TO-13 High Performance Liquid Chromatography (HPLC) equipment. The results of ambient air analyses average value Benzo (a) pyrene before and after combustion coal briquette is ± 0.0022 µg/m3 and ± 0.01741 µg/m3 Analyzed using t test with an alpha (a) of 0,05, there is significante concentration different before and after experiments were conducted. Keywords: Coal Briquette, Benzo(a)pyrene, High Volume Air Sampler (HVAS), High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
ABSTRAK Penggunaan briket batubara sebagai alternatif bahan bakar dapat menimbulkan akibat negatif terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, karena dapat meningkatkan konsentrasi pencemaran udara misalnya senyawa organik seperti Benzo (a) pyrene. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas udara ambien akibat pembakaran briket batubara. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Pembakaran briket batubara dilakukan dengan cara simulasi, contoh uji udara ambien diambil sebelum dan sesudah pembakaran dengan metode standar menggunakan alat High Volume Air Sampler (HVAS). Analisis contoh uji udara di laboratorium menggunakan metode EPA-TO-13 dengan menggunakan alat HPLC. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata Benzo(a)pyrene sebelum dan sesudah pembakaran briket batu bara berturut-turut adalah 0.0022 µg/m3 dan 0.01741 µg/m3. Berdasarkan uji-t dengan a = 0,05 terdapat perbedaan nyata konsentrasi sebelum dan sesudah percobaan dilakukan. Kata kunci: Briket batubara, Benzo (a) pyrene, High Volume Air Sampler (HVAS), High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
PENDAHULUAN Benzo(a)pyrene atau BaP adalah salah satu senyawa turunan Polycyclic Aromatic Hidrocarbons (PAH), yang memiliki lima (5) cincin benzene, rumus kimia C20H12, berat molekul 252.32, dengan struktur molekul disajikan pada Gambar 1. BaP dijadikan sebagai indikator pencemaran PAH (1). International Agency for Research on Cancer (IARC) menggolongkan BaP sebagai animal carcinogen dan probable human carcinogen (Group 2A). Pada binatang percobaan BaP telah terbukti sebagai agen kanker, mutasi gen, agen tumor, agen
neoplastis dan teratogen. Pada manusia dapat menyebabkan kanker darah, kanker kulit, kanker paru, dapat merusak perkembangan janin dan kemungkinan menyebabkan kerusakan reproduktif (2).
Gambar 1. Struktur Molekul Benzo(a)pyrene
Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (PUSARPEDAL) Gedung 210 Kawasan Puspiptek Jl. Raya Puspiptek SerpongTangerang BANTEN, T/F:021-7560983, Email:
[email protected] 1
63
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Keberadaan PAH di udara dapat disebabkan oleh dua hal yaitu secara alami dan kegiatan manusia atau antropogenik. Sumber PAH alami berasal dari kebakaran hutan, letusan gunung berapi, penguraian bahan organik oleh bakteri. PAH dari antropogenik dihasilkan dari pembakaran yang tidak sempurna, misalnya pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin dan solar pada mesin diesel, kegiatan yang menggunakan batubara seperti tungku briket batubara, proses gasifikasi batubara dan penghasil batubara, pembakaran sampah organik (insenerator), asap rokok, pabrik peleburan aluminium, besi dan baja, serta pada masakan yang dibakar (3). Pemajanan PAH di lingkungan dapat melalui emisi uap atau dalam bentuk ikatan pada debu partikulat di udara. Penelitian emisi pembakaran batu bara pada suhu 600°C ,700°C, 800°C, 900°C, 1000°C, 1100°C, dan 1200°C di Cina menghasilkan senyawa BaP 1.598 μg/g, 1.855 μg/g, 21.668 μg/g, 0.763 μg/g , 4.002 μg/g, 8.631 μg/g, 2.147 μg/g (3). Hasil penelitian BaP dalam partikulat udara di Niigata-Jepang pada tahun 1990 – 1993 di tiga (3) perkotaan berada pada kisaran 3.5– 8.3 mg/g. (1). Penelitian di Taiwan terdapat hubungan linear antara abu insinerator bekas pembakaran plastik PP, PVC dengan PAH (4). Baku mutu BaP diberbagai negara adalah sebagai berikut; di Italy batas konsentrasi BaP di udara ambien adalah 1 ng/m3. NIOS untuk IDLH (Imediete Dangerous Level for Health) adalah sebesar 80 mg/m3 (coal tar pitch volatiles benzo(a)pyrene). Menurut OSHA PEL dan ACGIH TLV adalah 0.2 mg/ 64
m3 (coal tar pitch volatiles benzene soluble). Sedangkan menurut NIOSH REL adalah 0.1 mg/m3 (coal tar pitch volatiles benzo(a) pyrene) 2). IPCS (1995) menyatakan Oral LD50 BaP sebesar >1600 mg/Kg pada tikus. EPA menghitung risiko kanker oral dengan potensial faktornya adalah 7.3 (4.5-11.7) per mg/Kg/hari BaP 2). Hasil penelitian tentang hubungan kualitas udara ambien, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) dengan kejadian serangan Asthma/ bronkitis di DKI Jakarta pada tahun 20022003 menunjukkan tingginya angka pasien kanker paru-paru yang disebabkan karena pencemaran udara yang dihirupnya (5). Penelitian mengenai pencemaran udara akibat pembakaran briket batubara telah banyak dilaporkan oleh beberapa negara. Di Indonesia belum banyak penelitian PAH di lingkungan dan di dalam tubuh manusia (biomarker), sehingga Indonesia belum mempunyai standar baku mutu PAH di lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran atau studi awal tentang Benzo(a) pyrene yang terdapat dalam contoh uji udara ambien yang dihasilkan dari pembakaran briket batubara. Briket batubara merupakan bahan bakar padat yang terbuat dari batubara dengan sedikit campuran tanah liat dan tapioka. Briket batubara sebagai pengganti minyak tanah digunakan untuk pengolahan makanan, pengeringan, pembakaran dan pemanasan. Harga briket batubara relatif murah dan dimungkinkan untuk dikembangkan secara massal, teknologi dan peralatan yang digunakan relatif sederhana. Namun sebelumnya perlu
Rita Mukhtar, Esrom Hamonangan..: Studi Awal Senyawa Benzo (A) Pyrene dalam Contoh Uji Udara Ambien ...
ada kajian mengenai bahaya yang ditimbulkan akibat pembakaran briket batubara. METODOLOGI Pengambilan Contoh Uji (Sampling) Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Contoh uji udara ambien diambil menggunakan alat High Volume Air Sampler (HVAS), dengan jenis filter glassfiber Whatman GF/A, panjang 25.5 cm, lebar 20.5 cm. Flowrate diatur 1,0-1,2 m3/ menit alat dijalankan selama 24 jam. Briket batubara dibakar dengan beberapa kompor yang sudah dirancang untuk pembakaran briket batubara, diantaranya kompor untuk penghangat kandang ayam, untuk kegiatan rumahtangga atau home industry, dan kompor untuk industri. Briket yang digunakan 16 Kg untuk kompor ukuran besar dan 10 Kg untuk industri kecil, 8 Kg untuk kompor penghangat kandang ayam, 1-2 Kg untuk kompor rumah tangga. Kompor penghangat kandang ayam dinyalakan selama 8 jam, rumahtangga 2 jam, industri maksimal 4 jam. Perbedaan lama pembakaran berdasarkan asumsi lamanya kegiatan tersebut dilakukan. Sampling dilakukan sebelum proses pembakaran briket batubara dan pada saat proses pembakaran briket batubara pada jarak 20, 50, dan 60 meter dari tungku pembakaran briket batubara. Kondisi udara ambien diantaranya cuaca, temperatur, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin diukur selama penelitian dilakukan. Proses Ekstraksi Filter hasil sampling diperlakukan dilaboratorium. Filter dipotong 1x1 cm kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer bertutup, ditambahkan 50 mL dichloromethane,
diultrasonik selama 20 menit. Hasil ekstrak di centrifuge pada 4000 rpm, selama 5 menit, ekstraksi diulangi dengan 50 mL dichloromethane lainnya, Hasil ekstrak dikumpulkan ke dalam labu jantung dan pelarut diuapkan hingga sampai 2 mL dengan rotary vacumn evaporator. Larutan dipindahkan ke dalam tabung uji 10 mL sambil dibilas dengan dichloromethane, volume dikurangi hingga 0,5 mL dengan gas N2 (6). Proses Clean Up Larutan hasil ekstraksi dilewatkan pada kolom 30 x 1 cm yang mengandung 8 gr silica gel yang telah dipanaskan pada 130ºC selama 24 jam dan diaktifkan kembali dengan 5% air. Contoh uji dielusi dengan 25mL n-Hexane, kemudian dengan 40 mL n-Hexane-dichloromethane (4:1). Pelarut fraksi kedua ini diuapkan dengan rotary evaporator sampai larutan tinggal 5mL, sisanya dilarutkan dengan metanol, volume dijadikan sampai 10 mL. Larutan siap diukur dengan alat HPLC (6). Untuk mengetahui persentase keberhasilan metode dilakukan pengukuran recovery dengan penambahan standar (spike) pada contoh uji, kemudian dilakukan proses yang sama dengan contoh uji ektraksi dan clean up juga dilakukan untuk blanko dan spike. Pengukuran dengan HPLC Alat HPLC yang digunakan untuk analisis PAH adalah Merk Hitachi dengan pompa L-4200, Detektor yang digunakan adalah detektor Fruorescence dengan mengatur posisi panjang gelombang BaP tereksitasi 295nm dan emisi 405nm. Recorder Chromatogram D-2500, Kolom Varian ChromSpher PAH 4,6 mm id, panjang 150 mm. Fase gerak : 65
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
acetonitrile-air (7:3 v/v), flowrate 3mL/menit, volume injek 30µL. Fase gerak dihomogenkan dan udara yang ada dalam larutan dikeluarkan dengan menggunakan ultrasonic pompa vacumn. Data Hasil Analisis Deret standar yang digunakan adalah 0, 5, 25, 50, dan 100 ppb. Tinggi puncak dari grafik yang keluar sesuai dengan waktu retensi BaP merupakan konsentrasi BaP. Perhitungan konsentrasi BaP dengan membandingkan
tinggi puncak grafik contoh uji dengan tinggi puncak standar yang di uji, melalui kurva kalibrasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Kurva Kalibrasi: Kurva kalibrasi BaP diperoleh dari tinggi puncak yang dihasilkan dari masingmasing standar yang diinjek, dengan 7 kali pengulangan. Tabel 1. menyajikan standar deviasi dan koefisien variasi kurva kalibrasi.
Tabel 1. Standar Deviasi (SD) dan Koefisien Variasi (CV) Kurva Kalibrasi
Gambar 2. Kurva Kalibrasi Benzo (a) pyrene 66
Rita Mukhtar, Esrom Hamonangan..: Studi Awal Senyawa Benzo (A) Pyrene dalam Contoh Uji Udara Ambien ...
Perhitungan Konsentrasi BaP Dari persamaan garis lurus kurva kalibrasi pada Gambar 2., dapat dihitung konsentrasi BaP dalam contoh uji dengan rumus sebagai berikut:
..................(1)
Keterangan: C = Konsentrasi BaP di udara ambien (µg/ m3)
Ct = Konsentrasi BaP dalam larutan uji (µg/ mL) Cb= Konsentrasi BaP dalam larutan blanko (µg/mL) Vt = Volume larutan uji (mL) S = Luas contoh pada permukaan filter (cm) St = Luas contoh yang di uji (cm) V = Volume udara yang dihisap pada kondisi 25° C, 1 atm (m3) Konsentrasi BaP Sebelum Dan Sesudah Pembakaran Briket Batubara Konsentrasi BaP didalam contoh uji disajikan pada Tabel 2
Tabel 2. Konsentrasi BaP Sebelum dan Sesudah Pembakaran Briket Batubara
67
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Hasil analisis BaP menunjukkan adanya perbedaan nyata rata-rata konsentrasi BaP sebelum pembakaran briket batubara yaitu 0.0022µg/m3 dengan konsentrasi rata-rata BaP sesudah pembakaran briket batubara yaitu 0.0174µg/m3. Berdasarkan hasil analisis uji t, diperoleh t hitung = -5.93, (df)=16 , pada a= 0.05 t tabel = 2.120. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pembakaran briket batubara dengan nyata dapat meningkatkan kadar BaP di udara ambien. Perhitungan Recovery BaP Recovery merupakan nilai perolehan kembali zat yang sudah diperlakukan sama dengan contoh uji. Hal ini berguna untuk mengetahui apakah zat yang diuji mengalami kerusakan atau tidak selama diperlakukan. Semakin tinggi prosentase perolehan kembali maka prosedur tersebut semakin baik, dan berarti zat yang diuji tidak mengalami kerusakan, rumus % Recovery sebagai berikut:
yang ditambahkan standar X contoh uji = Nilai konsentrasi contoh uji X target = Konsentrasi standar yang ditambahkan pada contoh uji Recovery BaP hasil penelitian adalah 86%, 107%, 95.4% dengan rerata 96.3%. Nilai recovery disajikan pada Tabel 3. Kondisi Udara Saat Penelitian Dari hasil pengukuran arah dan kecepatan angin maka dapat disimpulkan bahwa kondisi udara tidak mempengaruhi pengambilan contoh uji saat penelitian. Hal ini dapat dilihat dari wind rose dan persentase kecepatan angin pada Gambar 3. dan 4.
...........(2)
Keterangan: %R X spike
= Persen Recovery = Nilai konsentrasi contoh uji
Tabel 3. Recovery Benzo(a)pyrene
68
Gambar 3. Windrose Kondisi Udara
Rita Mukhtar, Esrom Hamonangan..: Studi Awal Senyawa Benzo (A) Pyrene dalam Contoh Uji Udara Ambien ...
DAFTAR PUSTAKA 1) K. Kawata, H. Mukai, H. Taneoka, H. Tanabe and A. Yasuhara, 1997, Variations of Carcinogenic Polycyclic Aromatic Hydrocarbons In Airborne Particulate Matter In Niigata, Japan, Toxicological and Environmental Chemistry, Vol.60, pp27-37
Gambar 4. Persentasi Kecepatan Angin
KESIMPULAN Pembakaran briket batubara dapat meningkatkan kadar benzo(a)pyrene di udara ambien. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan nyata rata-rata konsentrasi BaP sebelum pembakaran briket batubara yaitu dengan nilai (0.002µg/m3) dan konsentrasi rata-rata BaP di udara ambien setelah adanya kegiatan pembakaran briket batubara adalah (0.0174µg/m3). Jika dibandingkan dengan Baku mutu BaP di negara lain seperti Italy dan Belanda batas konsentrasi BaP di udara ambien yaitu 0.001µg/m3. Maka konsentrasi BaP hasil penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan baku mutu Negara tersebut. Hasil ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi berbasis ilmiah dalam merumuskan, mengambil tindakan dan kebijakan yang tepat dan terarah untuk mengatasi permasalahan lingkungan.
2) Warouw, S. P., 2006, Analisis Risiko Kesehatan Pemanjanan Benzo(a) Pyrene Pada Petugas Pintu Tol di Jabotabek, Jakarta, Universitas Indonesia. 3) Yan, J.H., You, X.F., Li, X.D., Ni, M.J., Yin, X.F., Cen, K.F., 2004, Performance of PAHs Emission from bituminous coal combustion, Journal of Zhejiang University Science, ISSN 1009-3095, 5 (12) : 1554-1564 4) Chun,T.L., Huan, K.Z., Lien,T.H., Wen, J.L., and Meng, C.T., 2001, PAH Emission From The Incineration Of Three Plastic Waste, Environment International, V.27.i.1, Jul01 5) Iriani, D.U., 2004, Hubungan Antara Kualitas Udara Ambien, ISPU dengan Kejadian Asthma/Bronkitis di DKI Jakarta Tahun 2002-2003., Jakarta, Universitas Indonesia. 6) M.N. Kayali., S. Ruboi-Barroso., and L.M. Polo-Diez., 1995, Rapid PAH Determination in Urban Particulate Air Samples by HPLC with Fluorometric Detection and Programmed Excitation and Emission Wavelength Pairs, Journal Chromatographic Science, Vol.33., pp 181-184
69
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
PENENTUAN BATAS DETEKSI METODE (METHOD DETECTION LEVEL) DAN BATAS KUANTIFIKASI (LIMIT OF QUANTITATION) PENGUJIAN SULFIDA DALAM AIR DAN AIR LIMBAH DENGAN BIRU METILEN SECARA SPEKTROFOTOMETRI Anwar hadi1 (Diterima tgl : 1..............; Disetujui tgl : ...................)
ABSTRACT The method detection limit (MDL) is defined as the constituent concentration that, when processed through the complete method, produce a signal with a 99% probability that is different from blank. The MDL can be achived by experienced analysts operating well-calibrated instruments on a nonroutine basis. However, level of quantitation (LoQ) is the constituent concentration that produces a signal sufficiently greater than the blank that it can be detected within specified levels by good laboratories during routine operating conditions. Determination of MDL for sulfide using methylene blue method with spectrofotometry according APHA 21st edition, 45000-S2-D, 2005 is 0,01 mg/L and LoQ is 0,02 mg/L. With %RSD = 10,5%, everage %R = 95% and MDL < spike level < 10 MDL = 0,01 < 0,02 < 0,1, so the MDL and LoQ is acceptable according to US-EPA requirements. Keywords: Sulfide, Method Detection Level (MDL,) metile blue, and spectrophotometry
ABSTRAK Batas deteksi metode didefinisikan sebagai konsentrasi analit yang ditentukan sesuai tahapan metode pengujian secara menyeluruh sehingga menghasilkan signal dengan probabilitas 99% bahwa signal tersebut berbeda dengan blanko. Batas deteksi metode dapat diperoleh ketika dilakukan oleh analis yang kompeten dengan menggunakan peralatan terkalibrasi pada keadaan yang dirancang sedemikian rupa sehingga berbeda dengan kegiatan pengujian rutin. Sedangkan batas kuentifikasi adalah konsentrasi analit yang menghasilkan signal lebih besar dari blanko pada kondisi kegiatan rutin laboratorium. Penentuan MDL untuk sulfide secara biru metilen dengan spektrofotometri sesuai APHA edisi 21 tahun 2005, 4500-S2-D adalah 0,01 mg/L dan LoQ 0,02 mg/L. Dengan %RSD = 10,5%, rerata %R = 95% dan MDL < kadar spike < 10 MDL = 0,01 < 0,02 < 0,1 maka MDL dan LoQ dapat diterima sesuai persyaratan US-EPA. Kata Kunci: Sulfida, batas deteksi metode, biru metilen dan spektrofotometri
PENDAHULUAN Untuk mendapatkan validitas data hasil pengujian parameter kualitas lingkungan, maka disamping pengujian dilakukan oleh personil yang kompeten dengan menggunakan peralatan ukur yang telah dikalibrasi dan/ atau dicek serta sumber daya laboratorium yang mendukung, juga penggunaan metode yang valid memegang peranan yang sangat penting. Penggunakan metode yang valid, akan dapat mengetahui tingkat akurasi dan presisi dari suatu data hasil pengujian. Bila laboratorium menggunakan metode standar
70
yang telah dipublikasi dan sudah divalidasi oleh lembaga atau organisasi nasional maupun internasional, maka laboratorium harus melakukan revalidasi atau verifikasi metode tersebut meskipun hanya meliputi aspek-aspek tertentu saja. Perlu diperhatikan bahwa, setiap laboratorium memiliki kondisi yang berbeda, misalnya sarana akomodasi dan lingkungan pengujian, kompetensi personil, kemampuan peralatan, sehingga kinerja laboratorium yang satu berbeda dengan laboratorium lain dalam
Anwar hadi: Penentuan Batas Deteksi Metode (Method Detection Level) dan Batas Kuantifikasi...
menerapkan metode standar. Verifikasi metode merupakan proses mendapatkan informasi penting untuk menilai kemampuan sekaligus keterbatasan dari suatu penerapan metode pengujian standar di laboratorium. Perlu diperhatikan bahwa revalidasi selalu merupakan keseimbangan antara kemungkinan biaya, resiko dan teknis. Karena itu, hal-hal yang biasanya menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan revalidasi metoda, antara lain: keterbatasan biaya, waktu, dan personil; kepentingan laboratorium; kepentingan pelanggan; dan diutamakan untuk pekerjaan yang bersifat rutin. Salah satu parameter yang harus diuji dalam verifikasi metode adalah penentuan batas deteksi metode (method detection level, MDL). MDL merupakan kemampuan sekaligus keterbatasan laboratorium dalam menerapkan suatu metode pengujian tertentu pada kadar rendah metode tersebut. Penentuan batas deteksi bertujuan untuk menghindari penulisan laporan hasil pengujian tidak terdeteksi (not detectable, ND) yang merupakan informasi tidak informatif. Dalam kajian ini, ruang lingkup penentuan batas deteksi metode pengujian ditetapkan untuk parameter sulfida dalam air dan air limbah dengan biru metilen secara spektrofotometri sesuai SNI 6989.70: 2009. Secara prinsip sulfida bereaksi dengan ferri klorida dan dimetil-p-fenilendiamina membentuk senyawa berwarna biru metilen, kemudian diukur pada panjang gelombang 664 nm menggunakan spektrofotometer UVVis(1;2). METODOLOGI Untuk mendapatkan data MDL yang valid maka
persiapan harus sedemikian rupa sehingga kaidah-kaidah penentuan MDL dan batas keberterimaannya dapat memenuhi syarat. Adapun hal-hal yang harus dipertimbangkan antara lain(3): 1) Personil Personil yang melakukan penentuan MDL harus memiliki kompetensi berdasarkan pendidikan, pelatihan, serta pengalaman yang sesuai dan/atau keterampilan yang ditunjukkan terkait dengan pengujian parameter sulfida dalam air dan air limbah dengan biru metilen secara spektrofotometri. Sebagai bukti kompetensinya, maka sebelum melakukan penentuan MDL, personil yang bersangkutan harus dievaluasi melalui Analyst Proficiency Test atau Initial Demonstration of Capability for Analyst. Namun hingga saat ini, analyst proficiency test belum merupakan bagian persyaratan dari lembaga sertifikasi personil atau ketentuan ISO/IEC 17025. 2) kondisi akomodasi dan lingkungan pengujian Kondisi akomodasi dan lingkungan pengujian harus dapat memenuhi persyaratan berdasarkan SNI 6989.70: 2009. Selama melakukan penentuan MDL, kondisi akomodasi dan lingkungan pengujian harus dipantau dan dikendalikan. Rekaman kondisi akomodasi dan lingkungan pengujian sebagaimana penentuan MDL harus dipelihara. 3) Bahan kimia dan bahan habis pakai Bahan kimia yang meliputi antara lain: reagen, pelarut dan bahan habis pakai yang digunakan untuk penentuan MDL harus memiliki kemurnian tinggi (pro analysis) sedangkan akuades yang digunakan untuk penentuan MDL harus air suling yang tidak mengandung sulfida. 71
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
4) Peralatan
Tabel 1.
Semua peralatan yang digunakan untuk penentuan MDL yang mempunyai pengaruh yang signifikan pada akurasi atau keabsahan hasil harus dikalibrasi dan/atau dicek sebelum mulai digunakan. Peralatan gelas yang digunakan untuk penentuan MDL harus dikalibrasi atau dapat menggunakan peralatan gelas dengan klasifikasi A sebagaimana dalam
Sedangkan peralatan utama dan peralatan pendukung yang digunakan untuk penentuan MDL harus dikalibrasi dan/atau dicek sebelum digunakan untuk menjamin kinerja peralatan. Uji kinerja peralatan pendukung dan peralatan utama dilakukan sesuai instruksi manual dari pabrik pembuat peralatan atau sebagaimana dalam Tabel 2.
Tabel 1. : Klasifikasi peralatan gelas(6) Peralatan gelas
Pipet
Labu Ukur
Buret
Volume (mL)
Kesalahan pengukuran (± mL) Klas A
Klas B
1
0,006
0,012
2
0,006
0,012
5
0,01
0,02
10
0,02
0,04
50
0,05
0,10
100
0,08
0,16
500
0,20
0,40
1000
0,30
0,60
50
0,05
0,10
Sumber : ASTM E288, E542 dan E694 dalam David Harvey, 2000, Modern Analytical Chemistry
Tabel 2. : Uji Kinerja Peralatan Pendukung
Sumber : Maria Csuros, 1995 dan Pedoman KAN No. SR-03 DP.01.17 Januari 2004 72
Anwar hadi: Penentuan Batas Deteksi Metode (Method Detection Level) dan Batas Kuantifikasi...
Bila persiapan telah dilakukan maka langkah selanjutnya adalah pembuatan kurva kalibrasi awal (preliminary calibration curve) yang didasarkan pada rentang metode pengujian SNI 6989.70-2009 yaitu 0,02 mg S2-/L – 1,0 mg S2-/L. Idealnya, 10 deret larutan kerja tanpa blanko digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi awal. Buat kurva kalibrasi yang merupakan hubungan antara kadar larutan kerja dengan respon instrumen (absorbansi) serta tentukan persamaan garis regresinya. Jika koefisien korelasi regreasi linier (r) < 0,995, maka periksa kondisi alat serta ulangi pengukuran deret kadar larutan kerja hingga diperoleh nilai koefisien r ≥ 0,995(4). Jika persamaan regresi linear dalam kurva kalibrasi yang terbentuk telah memenuhi batas keberterimaan secara statistika maka tentukan method slope (b) yang diperoleh dari kemiringan kurva kalibrasi. Untuk menentuan MDL, maka kadar sulfida 0,02 mg S2-/L ditambahkan ke dalam sampel (laboratory fortified matrix, LFM) yang memiliki kadar sulfida yang sangat-sangat kecil. Sehubungan dengan hal tersebut, maka terhadap matrik tersebut harus dianalisis terlebih dulu dan dipastikan tidak mengandung sulfida. Jika matrik yang tidak mengandung
sulfida sulit diperoleh, maka dapat diganti dengan air akuades. Dalam hal ini disebut Laboratory Fortified Blank (LFB)(5). HASIL DAN PEMBAHASAN Method Detection Level adalah kadar analyte yang ditentukan sesuai tahapan metode pengujian secara menyeluruh sehingga menghasilkan signal dengan probabilitas 99% bahwa signal tersebut berbeda dengan blanko. Nilai MDL dapat dihitung dengan menggunakan rumus: MDL = t(0.01; n-1)sd...................................(1) Keterangan: t(0.01; n-1) = tabel t dengan tingkat kepercayaan 99% dan tingkat kebebasan n-1 sd
= standar deviasi
Minimum pengujian dalam penentuan MDL adalah 7 kali pengulangan dengan minimum 3 hari yang berbeda, karena itu MDL dapat dintayakan dengan: MDL = 3,143sd........................... ..............(2)
73
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Tabel 3. : Nilai ttabel (Student’s –t)
Pengulangan pengujian dilakukan dalam rentang waktu minimal 3 hari bertujuan untuk melihat variabilitas hasil pengujian terhadap waktu serta kondisi akomodasi dan lingkungan yang berbeda. Selain itu hal ini dimaksudkan, bahwa penentuan MDL harus dalam keadaan reprodusibilitas.
Gambar 3. Windrose Kondisi Udara 74
Untuk menentukan nilai spike yang dibutuhkan dalam penentuan MDL maka secara teoritis, perkiraan perbandingan hubungan antara IDL : LoD : MDL : LoQ = 1 : 2 : 4 : 10 yang diilustrasikan sebagaimana dalam Gambar 1 dibawah ini dapat digunakan sebagai pertimbangan.
Anwar hadi: Penentuan Batas Deteksi Metode (Method Detection Level) dan Batas Kuantifikasi...
Sehubungan dengan metode pengujian kadar sulfida sesuai SNI 6989.70-2009 mencantumkan batas rendah pengujian (LoQ) yaitu 0,02 S2-/L dan dengan mempertimbangkan perbandingan antara MDL : LoQ = 4 : 10, maka informasi ini dapat digunakan untuk menentuan estimasi MDL yaitu: estimasi .................................…..…….…(3) jadi, estimasi Sehubungan dengan MDL merupakan perkiraan batas terendah dari suatu kurva kalibrasi, maka faktor pengali 1 - 5 digunakan sebagai pertimbangan agar kadar analit yang ditambahkan (the spike level) mampu menghasilkan signal. Signal tersebut harus dapat dibedakan dengan background noise dari instrumen namun tidak diperkenankan terlalu tinggi sehingga the signal to noise rasio (S/N) yang diperoleh dapat diterima secara statistika yaitu 2,5 - 10. sehingga: 0,4 LoQ (1 – 5) = (0,4 – 2) LoQ.…………(4) Dengan demikian kadar spike yang harus ditambahkan berkisar pada rentang kadar sulfida 0,008 mg S2-/L - 0,04 mg S2-/L. Rentang kadar yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar pembuatan larutan kerja sulfida dan dapat ditambahkan ke dalam matrik sebagai laboratory fortified matrix (LFM). Penambahan (spike) larutan kerja ke matrik harus mempertimbangkan bahwa matrik tersebut memiliki kadar sulfida yang sangat-sangat kecil, karena itu terhadap
matrik tersebut harus dianalisis terlebih dulu dan dipastikan tidak mengandung sulfida. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, maka larutan kerja dengan kadar 0,02 mg S2-/L ditambahkan (spike) ke matrik yang memiliki kadar sulfida sangat-sangat kecil dan dianalisis sesuai tahapan SNI 6989.70-2009. Dengan menggunakan kurva kalibrasi awal sebagaimana Tabel 3 dan Gambar 2 maka dapat diperoleh hasil seperti dalam Tabel 4. Tabel 4: Kurva kalibrasi awal kadar sulfida dalam air No
Kadar (mg/L)
Absorbansi
1
0,02
0,017
2
0,05
0,062
3
0,10
0,108
4
0,20
0,265
5
0,30
0,354
6
0,40
0,443
7
0,50
0,535
8
0,60
0,628
9
0,70
0,721
10
0,80
0,819
11
0,90
0,914
12
1,00
0,996
Method slope (b)
0,988
Intercept (a)
0,029
Koefisien korelasi (r)
0,998
Gambar 2: Kurva kalibrasi sulfida 75
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Tabel 5: Hasil pengujian sulfida
Sumber : SNI 6989.70-2009 - Lampiran C
MDL dapat diterima bila data hasil pengulangan pengujian memenuhi batas keberterimaan sebagai berikut (7;8;9;10;11,12;13;14): 1) simpangan baku relatif yang dinyatakan dalam prosentase (relative standard deviation, %RSD) yang merupakan perbandingan antara simpangan baku dengan rerata hasil pengulangan pengujian harus memenuhi batasan keberterimaan yang disyaratkan yaitu tidak boleh melebihi 0.67x (Tabel 5). Secara matematika dapat dirumuskan sebagai berikut.
76
................................................................(5) Minimal satu blanko metode (method blank) harus dianalisis dalam penentuan MDL sebagai kontrol kontaminasi. Selain itu, blanko metode sangat penting sebagai pengendalian mutu untuk menentukan validitas hasil MDL. Idealnya, nilai kadar blanko mendekati nol atau sangat-sangat kecil dan nilai ini dapat digunakan sebagai pengurang hasil pengujian spike. Bila nilai kadar blanko ditemukan cukup besar maka pengujian dalam penentuan MDL harus diulang.
Anwar hadi: Penentuan Batas Deteksi Metode (Method Detection Level) dan Batas Kuantifikasi...
Tabel 6: Hasil Perhitungan %RSD berdasarkan persamaan Horwitz
Sumber : Guidelines for validation of analytical methods for non-agricultural pesticide active ingredients and product
2) Uji perolehan kembali (recovey test, %R) yang merupakan perbandingan nilai terukur dengan nilai target yang diperoleh dari hasil pengujian harus memenuhi batasan keberterimaan yang disyaratkan tidak boleh melebihi Tabel 5. Secara matematika %R dapat dirumuskan sebagai berikut.
3) The signal to noise ratio (S/N) yang dinyatakan dalam perbandingan antara rerata hasil pengulangan pengujian dengan simpangan baku harus berkisar antara 2,5 – 10. S/N merupakan evaluasi kesalahan acak (random error) yang terjadi pada pengujian tertentu dan perkiraan presisi yang diharapkan dari sejumlah pengulangan pengujian.
................................................................(6) Tabel 7: Penentuan batasan awal %R Kadar (unit)
Batasan maksimum %R
100%
98 – 101
10%
95 – 102
1%
92 – 105
0,1%
90 – 108
0,01% (100 ppm)
85 – 110
10 ppm
80 – 115
1 ppm
75 – 120
10 ppb
70 – 125
Sumber : AOAC Guidelines for Single Laboratory Validation of Chemical Methods for Dietary Supplements and Botanicals
Bila S/N kurang dari 2,5 maka hal ini menunjukan kesalahan acak yang terjadi dalam pengulangan pengujian terlalu tinggi dan menghasilkan MDL yang tinggi. Dalam hal ini, penambahan analit ke sampel (spike) harus pada kadar yang lebih tinggi agar dapat meningkatkan signal yang ada. Namun sebaliknya, jika S/N lebih besar dari 10 maka penambahan kadar analit ke sampel (spike) biasanya terlalu tinggi, karena itu kadar analit yang ditambahkan harus pada kadar yang lebih rendah. Secara matematika S/N dapat 77
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
dirumuskan sebagai berikut:
5) Bila secara statistika MDL yang dihasilkan telah memenuhi batas keberterimaan maka MDL tersebut harus dibandingkan dengan nilai baku mutu lingkungan hidup. Jika MDL yang dihasilkan lebih kecil dari nilai baku mutu lingkungan hidup maka laboratorium dapat menggunakan metode tersebut untuk pengujian parameter kualitas lingkungan. Namun, bila MDL yang dihasilkan lebih besar dari nilai baku mutu lingkungan hidup maka laboratorium harus mencari metode pengujian lainnya hingga diperoleh nilai MDL dibawah nilai baku mutu lingkungan hidup. Batas kuantifikasi (level of quantification, LoQ atau minimum quantitation level, MQL) merupakan kadar analit yang menghasilkan signal lebih besar dari blanko pada kondisi kegiatan rutin laboratorium. LoQ ditentukan sesuai persamaan:
...................................................................(7)
4) Pemilihan kadar spike dalam penentuan MDL harus sedemikian rupa sehingga hasil yang diperoleh memenuhi batas keberterimaan sebagai berikut: MDL < kadar spike < 10MDL....................(8) Presisi yang dihasilkan dalam penentuan MDL sangat tergantung dengan kadar spike yang digunakan, karena itu MDL yang dihasilkan harus lebih besar dari 1/10 dari kadar spike. Bila kadar spike melebihi 10 kali MDL maka hal ini berarti bahwa kadar spike terlalu tinggi sehingga penentuan MDL harus diulang dengan menggunakan kadar spike yang lebih rendah. Namun sebaliknya, jika MDL yang dihasilkan lebih besar dari kadar spike yang digunakan maka hal ini berarti bahwa secara statistika sulit dibedakan antara kadar spike dengan blanko dan presisi yang dihasilkan sangat jelek. Karena itu, kadar spike yang terlalu rendah dalam penentuan MDL harus diulang dengan menggunakan kadar spike yang lebih tinggi.
LoQ = 3,18 MDL = 3,18(3,143 sd) = 10sd...(15)
Dengan menggunakan persamaan (15) tersebut diatas maka nilai LoQ diperoleh: LoQ = 10(0,0020) = 0,02 mg/L Dengan membandingkan batas keberterimaan dengan hasil yang diperoleh maka penentuan MDL dapat disimpulkan sebagaimana dalam Tabel 8.
Tabel 8: Batas keberterimaan penentuan MDL dan LoQ sulfida Persyaratan
Hasil
Kesimpulan
1) %RSD ≈ 19,5
10,5%
Memenuhi
2) %R ≈ 75% - 120%
95%
Memenuhi
3) S/N = 2,5 – 10
9,6
Memenuhi
4) MDL < kadar spike
0,01 < 0,02
Memenuhi
5) Kadar spike < 10MDL
0,02 < 0,1
Memenuhi
6) MDL < baku mutu lingkungan
0,01 < 0,3*
Memenuhi
Catatan: (*) Lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 09 Tahun 2007 Tentang Baku Mutu Limbah Bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Industri Rayon 78
Anwar hadi: Penentuan Batas Deteksi Metode (Method Detection Level) dan Batas Kuantifikasi...
KESIMPULAN Penentuan batas deteksi bertujuan untuk menghindari penulisan laporan hasil pengujian tidak terdeteksi (not detectable, ND) yang merupakan informasi tidak informatif. Selain itu, penentuan batas deteksi merupakan kemampuan sekaligus keterbatasan laboratorium dalam menerapkan suatu metode pengujian tertentu pada kadar rendah metode tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, penentuan batas deteksi metode pengujian parameter sulfida dalam air dan air limbah dengan biru metilen secara spektrofotometri sesuai SNI 6989.70: 2009 diperoleh 0,01 mg/L sedangkan batas kuantifikasi adalah 0,02 mg/L. Bila hal ini dibandingkan dengan rentang metode pengujian yang tercantum dalam SNI 6989.702009 yaitu 0,02 mg S2-/L – 1,0 mg S2-/L maka dapat disimpulkan bahwa penentuan batas deteksi metode (MDL) dan batas kuantifikasi (LoQ) sulfida dalam air dan air limbah dengan biru metilen secara spektrofotometri memenuhi batas keberterimaan. Bila MDL dan LoQ telah memenuhi batas keberterimaan secara statistika maka batasan ini dapat digunakan sebagai acuan laporan hasil pengujian sebagai berikut: 1) hasil pengujian contoh uji diatas nilai LoQ maka laporan harus mencantumkan nilai estimasi ketidakpastian sehingga laporan hasil pengujian lebih terkuantitatif (laporan = x ± u95%); 2) bila hasil pengujian contoh uji berada diatas MDL namun dibawah LoQ (MDL<x
3) jika hasil contoh uji dibawah MDL maka laboratorium dapat melaporkan < MDL namun laboratorium harus tetap mencantumkan nilai MDL. DAFTAR PUSTAKA 1) Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater, 21st edition, 4500-S2-D, 2005, American Public Health Association (APHA), Washington DC USA; 2) Standar Nasional Indonesia, 2009, SNI 6989.70:2009 Air dan air limbah – Bagian 70: Cara uji sulfide dengan biru metilen secara spektrofotometri; 3) I n t e r n a t i o n a l S t a n d a r d s f o r Organization/International Electrotechnical Commission (ISO/IEC) 17025, 2005, General Requirements for the Competence of Calibration and Testing Laboratories, ISO, Switzerland. 4) Hadi, Anwar, 2009, Pedoman Pengendalian Mutu Internal Pengujian Parameter Kualitas Lingkungan”, Asdep Stanteksih KLH. 5) Csuros, Maria, 1994, Environmental Sampling and Analysis for Technicians, Lewis Publishers, USA. 6) Harvey, David, 2000, Modern Analyytical Chemistry, The McGrawHill, USA 7) Anonim, 1996, Analytical Detection Limit Guidance & Laboratory Guide for Determining Method D e t e c t i o n L i m i t s , Wi l c o n s i n Department of Natural Resources, Laboratory Certification Program, 79
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
PUBL-TS-056-96 http://www. dnr. state.wi.us/org/es/science/lc/ OUTREACH/-Publications/LOD%20 Guidance%20 Document.pdf (17 September 2010); 8) A O A C G u i d e l i n e s f o r S i n g l e Laboratory Validation of Chemical Methods for Dietary Supplements and Botanicals, http://www.aoac.org/ dietsupp6/Dietary-Supplement-website/slv_guidelines.pdf (17 September 2010); 9) Validation: An invisible Component of Measurement, http://www.aoac.org/ dietsupp6/Dietary-Supplement-website/HorwitzValid.pdf (17 September 2010); 10) Harmonized Guidelines for Single laboratory Validation of Methods of Analysis (IUPAC Technical Report), Pure Appl. Chem., Vol. 74, No. 5, Pp. 835–855, 2002 http://Www. Iupac.Org/Publications/Pac/2002/ Pdf/7405x0835.Pdf(7 September 2010) 11) Guidelines For Validation Of Analytical Methods For Non-
80
Agricultural Pesticide Active Ingredients And Products http:// www.hse.gov.uk/biocides/copr/pdfs/ validation.pdf (27 September 2010); 12) Ricard Boqué, Alicia Maroto, Jordi Riu and F. Xavier Rius, 2002, Validation of Analytical Methods, Department of Analytical Chemistry and Organic Chemistry University Rovira i Virgili Pl. Imperial Tàrraco, 1, 43005-Tarragona, Spain, Grasas y Aceites 128 Vol. 53. Fasc. 1 (2002), 128-143 http://grasasyaceites. revistas. csic.es/index.php/grasasyaceites/ article/view/295/297(15 September 2010); 13) Douglas Chesher, Evaluating Assay Precision Department of Clinical Biochemistry, Pacific Laboratory Medicine Services, Royal North Shore Hospital, St Leonards NSW 2065, Australia. www.aacb.asn.au/ files/cbr_articles/ CBR29_S_pgS23. pdf (15 September 2010); 14) Appendix B to part 136 - definition and procedure for the determination of the method detection limit - revision 1.11
Joko Prayitno, Amalia Mahmudah..... : Degradasi Minyak Mentah dan Solar Oleh Konsorsium Mikroba ........
DEGRADASI MINYAK MENTAH DAN SOLAR OLEH KONSORSIUM MIKROBA ASAL PERTAMBANGAN MINYAK CEPU Joko Prayitno1, Amalia Mahmudah2, Esi Lisyastuti1 (Diterima tgl : 1..............; Disetujui tgl : ...................)
ABSTRACT The aim of this research was to obtain oil-degrading microbes from Cepu mining area and to investigate the best combination of microbial consortium to degrade crude and diesel oil. Two yeast isolates were obtained out of ten isolates from Cepu samples. Four best isolates (C7, C6, C4 an C3) were then selected and used for consortium experiments. All consortia either grown in crude or diesel oil showed increased in absorbance values (as the indication of oil degradation) and increased in cell populations at day three. However, pH of the medium decreased from 6.5 at day zero to 2.9-3.5 at day three. After day three, the absorbance values, cell populations and pHs tend to flat or slightly reduced. The best combination of microbial consortium was K3, containing C7, C6 and C4 isolates. This consortium was able to degrade 49-50% of crude or diesel oil for 12 day. Keywords: Lignocelluloce, bioethanol, hydrolysis, fermentation
ABSTRAK
PENDAHULUAN Pencemaran minyak bumi di lahan dan perairan menimbulkan masalah serius bagi lingkungan sekitarnya. Pencemaran minyak bumi dapat berasal dari proses penambangan di darat dan lepas pantai, limbah hasil pengolahan, kecelakan kapal pengangkut minyak bumi, atau dari sisa pencucian minyak dari kapal. Kasus pencemaran minyak bumi akibat tumpahan minyak telah banyak diketahui(1,2,3). Minyak bumi terdiri dari campuran kompleks senyawa-senyawa hidrokarbon alifatik dan aromatik, aspal, dan
resin. Hasil distilasi minyak bumi adalah senyawa-senyawa hidrokarbon dengan jumlah rantai karbon yang bervariasi seperti bensin, kerosen, solar, minyak berat, oli dan residu(4). Penanggulangan pencemaran minyak bumi dapat dilakukan dengan teknik kimia, fisika maupun biologi. Pendekatan biologis untuk menanggulangi pencemaran minyak atau dikenal dengan istilah bioremediasi banyak menjadi pilihan karena lebih ramah lingkungan dan dapat mendegradasi senyawa
Balai Teknologi Lingkungan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Gd. 412 Puspiptek Serpong, Tangerang 15314. telp. 0217560919, Fax 021-7563116, Email:
[email protected] 2 Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Jl. HR. Boenyamin No. 708, Purwokerto. 1
81
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
polutan menjadi bentuk yang sederhana dan tidak berbahaya. Teknik bioremediasi menggunakan agensia mikroba sangat potensial dikembangkan dan diaplikasikan di Indonesia karena karena lebih sederhana dan murah serta sumber hayati mikroba yang melimpah. Mikroorganisme yang berperan utama dalam mendegradasi senyawa pencemar minyak adalah dari jenis bakteri dan jamur (yeast) tertentu yang tumbuh di alam(5,6,7). Karena tidak semua mikroba dapat mendegradasi minyak bumi, maka banyak upaya dilakukan untuk mengisolasinya terutama dari kawasan yang tercemar minyak. Di daerah tersebut, beberapa jenis mikroba setempat tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungan yang tercemar. Mikroba yang diisolasi dari tempat yang tercemar minyak memiliki kemampuan tinggi dalam mendegradasi minyak atau polutan. Seringkali suatu jenis mikroba hanya mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon pada kisaran berat molekul tertentu. Karena itu kombinasi mikroba yang tepat dalam suatu kultur campuran akan lebih menjamin keberhasilan proses degradasi senyawa pencemar minyak. Dalam suatu konsorsium, beberapa jenis mikroba bekerja secara bersamaan untuk mendegradasi senyawa pencemar minyak sesuai dengan spesifitas substrat yang dimiliki. Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat-isolat potensial yang mampu mendegradasi senyawa pencemar minyak serta kombinasi mikroba yang cocok digunakan dalam kultur konsorsium. Isolat-isolat tersebut diperoleh dari tanah yang terkena tumpahan minyak di daerah tambang minyak Cepu.
82
METODOLOGI Isolat dan isolasi. Isolat mikroba diisolasi dari tanah yang terkena tumpahan minyak di sekitar lokasi sumur minyak Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Sampel tanah 5 g dimasukkan ke dalam 100 ml medium Bushnell dan Hass (BH) yang berisi 2% (v/v) minyak mentah atau solar steril. Kultur dikocok di atas shaker selama 7 hari pada suhu ruang, kemudian dilakukan subkultur sebanyak dua kali. Mikroba yang tumbuh diisolasi di atas media Nutrient Agar (NA) pada suhu ruang. Isolat-isolat murni yang didapat kemudian dikarakterisasi dengan melihat morfologi koloni, morfologi sel, reaksi pewarnaan Gram dan motilitas sel. Uji Degradasi. Tiap-tiap isolat ditumbuhkan dalam medium Nutrient Broth (NB) selama 24 jam pada suhu ruang di atas shaker. Biomassa sel dipanen dengan menggunakan sentrifuse pada kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Pelet yang diperoleh kemudian disuspensikan dalam medium BH. Konsentrasi sel dalam larutan diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm. Suspensi mikroba (OD600 = 1.00) dipipet sebanyak 1 ml ke dalam 100 ml medium BH yang berisi 2% (v/v) minyak mentah atau solar. Kultur diinkubasi di atas shaker selama 9 hari pada suhu ruang. Tingkat degradasi minyak dalam larutan ditentukan dengan mengukur tingkat absorbansi larutan pada panjang gelombang 600 nm menggunakan spektrofotometer. Sebelum diukur, 4 ml larutan kultur disentrifuse terlebih dahulu pada kecepatan 3500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan larutan dari sel-sel mikroba. Tingkat degradasi minyak dalam larutan, populasi sel dan pH medium ditetapkan pada
Joko Prayitno, Amalia Mahmudah..... : Degradasi Minyak Mentah dan Solar Oleh Konsorsium Mikroba ........
hari ke-3, 6 dan 9. Sebagai pembanding, diukur pula nilai absorbansi kontrol yaitu kultur berisi medium cair yang ditambahkan minyak mentah atau solar.
suhu 70-85ºC. Labu destilasi yang berisi minyak sisa dikeringkan dalam oven selama 2 jam pada suhu 80ºC.
Uji kemampuan konsorsium dalam mendegradasi minyak dilakukan dengan mencampurkan tiga isolat dari empat isolat terbaik. Masing-masing isolat tunggal ditumbuhkan dalam media NB selama 24 jam pada suhu ruang, kemudian OD masing-masing kultur diset menjadi 1.0 setelah sentrifugasi. Setelah dicampur dengan perbandingan yang sama (v/v/v), 1 ml konsorsium (OD = 1.0) dipindahkan ke 100 ml media BH yag berisi 2% (v/v) minyak mentah atau solar. Kultur diinkubasi di atas shaker selama 12 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Kadar Minyak Sisa. Kadar minyak yang tidak terdegradasi oleh mikroba dalam kultur ditetapkan dengan metode gravimetri menggunakan 25 ml pelarut hexan. Sebelum diekstraksi, kultur disentrifuge pada kecepatan 3500 rpm selama 15 menit untuk memisahkan larutan dari sel-sel mikroba. Pelarut hexan yang berisi minyak dalam labu destilasi diuapkan dalam penangas air pada
Karakteristik isolat Dari sampel tanah di pertambangan minyak Cepu berhasil diisolasi sepuluh isolat yang berpotensi mendegradasi senyawa minyak. Dari kesepuluh isolat tersebut, enam isolat berasal dari kultur yang mengandung minyak mentah, yaitu isolat C1, C2, C6, C8, C9 dan C10. Sedangkan empat isolat lainnya berasal dari kultur yang mengandung solar, yaitu isolat C3, C4, C5 dan C7. Karakterisitik morfologi sel dari isolat-isolat yang didapat menunjukkan bahwa delapan isolat adalah bakteri, sedangkan dua isolat lain yaitu C6 dan C7 adalah yeast (Tabel 1). Sebagian besar morfologi koloni isolat berbentuk bulat, dan hanya satu isolat yang memiliki bentuk koloni tak beraturan, yaitu C9. Ketika dilihat di bawah mikroskop, morfologi sel dari isolatisolat yang didapat tersebut berbentuk batang dan kokus (Tabel 1).
Tabel 1: Morfologi koloni dan karakterisitik sel dari isolat-isolat yang didapat dari sampel tanah Cepu
83
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Gambar 1: Tingkat absorbansi minyak terlarut dari masing-masing isolat dalam kultur yang berisi sumber karbon tertentu. (a) minyak mentah, (b) solar.
Seleksi isolat tunggal Untuk melihat kemampuan degradasi masingmasing isolat, setiap isolat ditumbuhkan dalam media BH yang berisi minyak mentah atau solar. Kemampuan degradasi ditentukan secara tidak langsung dengan mengukur tingkat kekeruhan media akibat minyak yang terlarut. Hasil percobaan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kekeruhan media serta terbentuknya butiran-butiran minyak yang terdispersi dalam air selama percobaan berlangsung. Peningkatan absorbansi minyak terlarut berlangsung cepat pada hari ke-3 dan berlanjut hingga hari ke-9, baik pada kultur berisi minyak mentah ataupun solar (Gambar 1a dan 1b). Kontrol (tanpa penambahan mikroba) tidak menunjukan adanya perubahan kekeruhan media dan dispersi minyak (Gambar 1a dan 1b). Hal tersebut mengindikasikan bahwa seluruh isolat yang dicoba mampu tumbuh dan menggunakan minyak mentah atau solar sebagai sumber karbon untuk proses metabolisme sel. Dari sepuluh isolat yang dicoba, nilai absorbansi tertinggi dijumpai pada empat isolat yaitu C7, C6, C4 dan C3, dengan nilai absorbansi berkisar antara 0.2084
0.27 (Gambar 1). Tingkat absorbansi minyak yang tinggi dari keempat isolat tersebut dijumpai baik pada perlakuan minyak mentah maupun solar. Adanya aktifitas metabolisme mikroba juga ditandai dengan penurunan pH media dari 6.6 pada awal percobaan menjadi 3.8-5.5 pada hari ke-3, dan menjadi 2.8-4.0 pada hari ke-9, baik dalam kultur dengan minyak mentah maupun dengan solar (data tidak ditampilkan). Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan absorbansi minyak terlarut yang cepat dan penurunan pH media yang drastis terjadi pada tiga hari pertama kultur. Populasi mikroba dalam kultur meningkat pesat pada hari ke-3 pada perlakuan minyak mentah maupun solar. Populasi tertinggi pada perlakuan minyak mentah dijumpai pada isolat C1, yaitu sebesar 7.4 log cfu/ml pada hari ke-9 (Gambar 2a). Pada perlakuan solar, populasi tertinggi dijumpai pada isolat C4, yaitu 7.5 log cfu/ml pada hari ke-9 (Gambar 2b). Setelah hari ke-3, populasi sel baik pada perlakukan minyak mentah ataupun solar cenderung tetap ataupun menurun.
Joko Prayitno, Amalia Mahmudah..... : Degradasi Minyak Mentah dan Solar Oleh Konsorsium Mikroba ........
Gambar 2: Populasi sel dari masing-masing isolat dalam kultur yang berisi sumber karbon tertentu. (a) minyak mentah, (b) solar.
Uji degradasi konsorsium mikroba Empat isolat yaitu C7, C6, C4 dan C3 memiliki nilai absorbansi minyak terlarut yang paling tinggi diantara sepuluh isolat yang diuji. Keempat isolat tersebut selanjutnya dipilih dan dikombinasikan untuk mendapatkan formulasi konsorsium mikroba yang optimum dalam mendegradasi minyak. Ada tiga jenis konsorsium yang diuji, dan tiap konsorsium terdiri atas tiga mikroba unggul. Ketiga konsorsium tersebut yaitu isolat C7, C4 dan C3 (K1), isolat C7, C6 dan C3 (K2) dan isolat C7, C6 dan C4 (K3). Nilai absorbansi minyak terlarut pada perlakuan kontrol (K0, tanpa penambahan konsorsium) pada hari ke-9 tidak mengalami peningkatan dibanding dengan hari ke-0 (Gambar 3a-b). Seperti halnya pada uji isolat tunggal, nilai absorbansi minyak terlarut dalam kultur konsorsium meningkat di hari ke-3. Namun pola peningkatan nilai absorbansi hingga hari ke-9 berbeda antara perlakuan minyak mentah dengan solar. Pada perlakuan minyak mentah, nilai absorbansi meningkat hingga hari ke-6, setelah itu hanya K3 yang masih menunjukkan peningkatan. Nilai absorbansi paling tinggi dijumpai pada K2 di hari ke-6, yaitu sebesar
0.36 (Gambar 3a). Pada perlakuan solar, nilai absorbansi meningkat di hari ke-3, setelah itu nilai absorbansi tidak mengalami perubahan (Gambar 3b). Nilai absorbansi tertinggi di hari ke-3 pada perlakuan solar dijumpai pada K1 yaitu sebesar 0.26. Populasi mikroba dalam kultur yang tidak diberi minyak tidak mengalami perubahan yang berarti pada hari ke-9 dibanding dengan hari ke-0 (Gambar 4a). Sedangkan populasi mikroba pada ketiga jenis konsorsium yang dicoba mengalami peningkatan di hari ke-3, namun setelah itu tidak mengalami perubahan berarti hingga hari ke-9 (Gambar 4b-c). Hal ini terlihat baik pada perlakuan minyak mentah maupun solar. pH kultur dari ketiga konsorsium yang diberi perlakuan minyak mentah dan solar tidak mengalami perubahan di hari ke-9 dibanding dengan hari ke-0, yaitu sebesar 6.5 (Gambar 5a). Berlawanan dengan peningkatan nilai absorbansi minyak terlarut yang meningkat di hari ke-3, nilai pH kultur menurun di hari ke-3, dan tidak mengalami perubahan berarti hingga hari ke-9, terutama pada perlakuan solar (Gambar 5b-c). pH media pada hari 85
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
Gambar 3: Tingkat absorbansi minyak terlarut oleh konsorsium dalam kultur yang berisi sumber karbon tertentu. (a) minyak mentah, (b) solar.
Gambar 4: Populasi sel dari masing-masing konsorsium dalam kultur yang berisi sumber karbon tertentu. (a) tanpa penambahan minyak (b) minyak mentah, (c) solar.
Gambar 5: pH medium dari kultur konsorsium yang berisi sumber karbon tertentu. (a) tanpa penambahan minyak, (b) minyak mentah, (c) solar.
ke-9 pada perlakuan minyak mentah dan solar berkisar antara 2.9-3.1. Untuk melihat jumlah minyak yang didegradasi oleh masing-masing konsorsium mikroba, berat minyak yang diperoleh setelah ekstraksi diukur dengan metode gravimetri. Persentase 86
minyak yang didegradasi oleh konsorsium mikroba pada hari ke-12 berkisar antara 38.650.0% (Tabel 2). Persentase minyak yang terdegradasi paling tinggi dijumpai pada K3, yaitu 49.4% pada minyak mentah dan 40.0% pada solar.
Joko Prayitno, Amalia Mahmudah..... : Degradasi Minyak Mentah dan Solar Oleh Konsorsium Mikroba ........
Tabel 2: Persentase minyak yang terdegradasi oleh konsorsium mikroba asal Cepu pada hari ke-12 inkubasi.
Dari percobaan ini berhasil diperoleh sepuluh isolat mikroba pendegradasi minyak yang terdiri dari bakteri dan yeast. Kemampuan yeast dalam mendegradasi senyawa minyak bumi telah banyak dilaporkan(5,7). Hasil degradasi minyak bumi tersebut menghasilkan asamasam organik yang menyebabkan terjadinya penurunan pH medium(5,8). Dalam percobaan ini, pH medium yang turun hingga 3.0 kemungkinan juga disebabkan oleh akumulasi asam-asam organik yang terbentuk selama proses metabolisme minyak mentah atau solar. Selain dapat mendegradasi senyawa minyak menjadi senyawa lebih sederhana, bakteri dan yeast tertentu juga dapat menghasilkan senyawa bioemulsi yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara minyak dan air(9). Namun sejauh mana peranan bioemulsi dalam
proses degradasi minyak oleh mikroba yang diuji dalam percobaan ini belum diketahui dan perlu dikaji lebih jauh. Konsorsium mikroba yang diuji dalam percobaan ini dapat mendegradasi minyak hingga 50% di hari ke-12. Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa aktifitas degradasi minyak yang tinggi oleh mikroba yang diuji terjadi selama tiga hari pertama. Selain itu, peningkatan populasi sel paling banyak terjadi hingga hari ke-3. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan aktifitas tersebut, diantaranya kondisi nutrisi, pH dan pembentukan senyawa intermediet yang bersifat menghambat pertumbuhan/ metabolisme sel.
87
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
KESIMPULAN 1. Sepuluh isolat mikroba pendegradasi minyak diisolasi dari sampel tanah pertambangan minyak Cepu, dua diantaranya adalah isolat yeast. 2. Dari sepuluh isolat, isolat C7, C6, C4 dan C3 memiliki tingkat degradasi minyak terbaik. 3. Konsorsium mikroba yang terdiri dari isolat C7, C6 dan C4 memiliki persentasi minyak yang terdegradasi paling tinggi, baik pada perlakuan minyak mentah ataupun solar, yaitu sebesar 50% pada hari ke-12. DAFTAR PUSTAKA (1) Anonim. 1992. Oil Spill Case History 1967-1991, Summaries of Significant US and International Spills. NOAA/ Hazardous Materials Response and Assenssment Division, Seattle, Washington. 224 p. (2)http://www.antaranews.com/en/ news/1286083223/pertaminainvestigating-oil-spill-in-cilacap. Diakses tanggal 4 Oktober 2010. (3)http://www.consumerenergyreport. com/2010/06/20/internal-documentbp-estimates-spill-rate-up-to-100000bpd/. Diakses tanggal 4 Oktober 2010. (4) Zhendi W., Hollebone B.P, Fingas M., Fieldhouse B., Sigouin L., Landriault M., Smith P., Noonan J., and Thouin
88
G., 2003, Characteristics of Spilled Oils, Fuels, and Petroleum Products, 1. Composition and Properties of Selected Oils, National Exposure Research Laboratory,United States Environmental Protection Agency, 286p. (5) Van Hamme J.D., Sing A. and Ward O.W., 2003, Recent advances in petroleum microbiology, Microbiol Molec Biol Rev, 67, 503-549. (6) Atlas R.M., and Cerniglia C.E. 1995, Bioremediation of petroleum pollutants: diversity and environmental aspects of hydrocarbon biodegradation, BioScience, 45, 332–338. (7) Nurhariyati T., Ni'matuzahroh dan Surtiningsih T. 2006, Biodegradasi minyak oleh Rohodotorula dan Candida hasil isolasi dari pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Berk Penel Hayati, 12, 27-31. (8) de Cássia Miranda R., de Souza C.S., de Barros Gomes E., Roberta, Lovaglio B., Lopes C.E. and de Queiroz Sousa MFV, 2007, Biodegradation of diesel oil by yeasts isolated from the vicinity of suape port in the State of Pernambuco -Brazil, Brazilian Arch Biol Tech, 50, 147-152. (9) Duvnjak Z., and Kosaric N., 1987, Deemulsification of petroelum water-inoil emulsions by selected bacterial and yeast cells. Biotechnol Lett., 9, 39–42.
Mamay Maslahat, Farila Rakhmanika.....: Potensi Bakteri Pseudomonas Aeruginosa Pada Proses Biodegradasi....
POTENSI BAKTERI PSEUDOMONAS AERUGINOSA PADA PROSES BIODEGRADASI ALKIL BENZENA SULFONAT LINEAR (LAS) DALAM TIGA JENIS DETERGEN KOMERSIAL Mamay Maslahat1, Farila Rakhmanika2, RTM Sutamihardja1 (Diterima tgl : 1..............; Disetujui tgl : ...................)
ABSTRACT The use of detergent in household and industry activity can increase environment pollution. The active substance, that commonly used in detergent is Linear Alkyl Benzene Sulphonate (LAS). The research aims was to study potency of Pseudomonas aeruginosa in biodegradation of LAS in three kinds of commercially detergent. This research use P. aeruginosa as decomposer agent and added (NH4)2SO4, KH2PO4, K2HPO4, and C6H12O6 as N, P and C sources. The three kinds of commercially detergent were used as samples (A, B, and C) with 35mg/L, 50mg/L, and 100mg/L test concentration. The decreasing of LAS content in 30 days of biodegradation was determined with MBAS and used spectrofotometre Uv-Vis instrument at λ 652 nm. The result showed that in 30 days of biodegradation process at 35mg/l test concentration of A, B, and C detergent, produced LAS residue 3,62; 4,66; and 11,62mg/L respectively. At 50mg/l test concentration of A, B, and C detergent, produced LAS residue 7,71; 11,88; and 21,16mg/L respectively, and at 100mg/L test concentration of A, B, and C detergent, produced LAS residue 27,98; 37,54; and 66,81mg/L respectively. Keywords: Biodegradation, LAS, Pseudomonas aeruginosa, MBAS, spectrofotometre uv-vis
ABSTRAK Penggunaan deterjen dalam kegiatan rumah tangga dan industri dapat meningkatkan pencemaran lingkungan. Zat aktif yang umum digunakan dalam deterjen adalah Alkil Benzena Sulfonat Linear (LAS). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kemampuan Pseudomonas aeruginosa dalam mendegradasi LAS yang terdapat pada tiga jenis detergen yang berbeda. Penelitian ini menggunakan Pseudomonas aeruginosa sebagai dekomposer dan menambahkan (NH4)2SO4, KH2PO4, K2HPO4, dan C6H12O6 sebagai sumber N, P, dan C. Sebagai sampel digunakan tiga jenis deterjen komersial (A, B, dan C) dengan variasi konsentrasi uji 35mg/L, 50mg/L, dan 100mg/L. Penurunan kadar LAS dalam detergen selama 30 hari proses biodegradasi ditetapkan secara Methylene Blue Active Substances (MBAS) dan menggunakan instrumen spektrofotometer Uv-Vis pada λ652 nm. Hasil penelitian menunjukkan pada hari ke 30 proses biodegradasi deterjen A, B, dan C dengan konsentrasi uji 35mg/L menghasilkan residu LAS berturut-turut sebesar 3,62; 4,66 dan 11,62 mg/L. Pada konsentrasi uji 50 mg/L, residu LAS pada deterjen A, B, dan C berturut-turut sebesar 7,71; 11,88; dan 21,16mg/L. Sedangkan pada konsentrasi uji 100mg/L, residu LAS pada deterjen A, B, dan C berturut-turut sebesar 27,98; 37,54; 66,81mg/L. Kata kunci: Biodegradasi, LAS, Pseudomonas aeruginosa,MBAS, spektrofotometer Uv-Vis.
PENDAHULUAN Deterjen adalah surfaktan anionik dengan gugus alkil C9–C15 atau garam natrium berantai panjang dari sulfonat atau sulfat (RSO3-Na+ dan ROSO3-Na+)(1). Deterjen mengandung 10%-30% surfaktan di samping fosfor dan pemutih. Deterjen memberikan kontribusi fosfat sekitar 50% dari seluruh
fosfat yang berada di perairan (2). Deterjen memiliki kemampuan untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain, alat-alat rumah tangga, dan peralatan lainnya. Oleh karena itu, deterjen masuk ke badan air sebagai buangan rumah tangga atau sering disebut dengan limbah
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Nusa Bangsa Bogor. Jl. KH Soleh Iskandar KM 4 Cimanggu Tanah Sareal Bogor 16166 Telp. (0251)8340217, Fax : (0251)7535605 2 Laboratorium Bogor Labs, Dramaga Bogor 1
89
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
domestik. Penggunaan deterjen bersifat kontinyu (terus menerus) dan menyebabkan ketergantungan. Limbah deterjen bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Limbah ini membuat permukaan badan air tertutup busa. Busa-busa di permukaan air menjadi salah satu penyebab kontak antara udara dengan air terbatas sehingga menurunkan kadar oksigen terlarut dan dapat menyebabkan mikroorganisme air kekurangan oksigen. Umumnya surfaktan berinteraksi dengan membran dan enzim. Toksisitas timbul dari penghambatan enzim atau transmisi selektif ion – ion melalui membran. Sesuai dengan waktu ketahanan surfaktan yang cukup singkat dalam daerah perairan, maka surfaktan tidak mengalami biomagnifikasi dalam rantai makanan. Air yang mengandung surfaktan (2–4 mg/l), tidak dapat dideteksi perubahan apapun (3). Akumulasi deterjen dalam perairan dapat meningkatkan harga Chemical Oxygen D emand ( C OD)/Kebutuhan Oksigen Kimiawi, Biologycal OxygenDemand (BOD)/ Kebutuhan Oksigen Biologi, dan angka permanganat, sehingga pengolahan limbah yang mengandung deterjen sangat tepat jika menggunakan teknik biologis karena pengolahan dengan teknik biologis bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan senyawa organik atau anorganik. Pengolahan biologis dapat dicapai dengan bantuan aktifitas mikroorganisme pengurai/ dekomposer yang disebut dengan proses biodegradasi (4). Jenis surfaktan yang dominan digunakan saat ini adalah alkil benzena sulfonat linier 90
(LAS). LAS dinilai lebih ramah lingkungan dibandingkan jenis surfaktan sebelumnya yaitu alkil benzena sulfonat (ABS). Hal tersebut karena rantai alkil pada LAS adalah linier sementara rantai alkil pada ABS bercabang. Beberapa penelitian (5;6) membuktikan bahwa LAS dapat diuraikan oleh bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter gergoviae, Staphylococcus aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens, Pseudomonas putida, Kurthiazopfii, dan sebagainya (5). LAS dapat didegradasi oleh bakteri Bacillus sp. dan Pseudomonas sp. dengan penambahan nutrien N dan P (6). METODOLOGI Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan sebagai sampel adalah deterjen komersial dengan kode A, B, dan C, yang mengandung bahan aktif LAS. Deterjen komersial yang digunakan sebagai sampel dipilih tiga deterjen yang berbeda dalam hal bahan pengisi. Deterjen A tidak mengandung zat aktif lain selain LAS. Deterjen B mengandung zat aktif lain yang berfungsi sebagai pelembut. Deterjen C mengandung zat aktif lain yang berfungsi sebagai pemutih. Ketiga jenis deterjen diujikan dalam tiga variasi konsentrasi yaitu 35mg/L; 50mg/L; dan 100mg/L berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya(6). Bahan yang digunakan untuk pereaksi di antaranya CHCl3, biru metilen, asam sulfat, penunjuk fenol ftalien, larutan pencuci MBAS, larutan pencerna, larutan asam sulfat-perak sulfat, kanji, natrium tiosulfat, mangan sulfat, natrium azida, nutrien, unsur mikro, glukosa,
Mamay Maslahat, Farila Rakhmanika.....: Potensi Bakteri Pseudomonas Aeruginosa Pada Proses Biodegradasi....
dan bakteri Pseudomonas aeruginosa yang berasal dari PT Australian Laboratory Service (ALS) Kanada Alat yang dipakai adalah reaktor batch, inkubator, spektrofotometer uv-vis merk Shimadzu Seri UV 1200, kertas saring 0,45µm, alat ekstraksi, neraca analitik, dan alat – alat gelas. METODE ANALISIS
0,45µm, pewarnaan dengan biru metilen, ekstraksi dengan CHCl3 sebanyak tiga kali dengan volume pengekstrak sebanyak 30ml, setelah itu dilakukan pemisahan antara fase air dan fase CHCl3, fase CHCl3 selanjutnya dicuci dengan larutan asam, setelah itu dilanjutkan dengan pengukuran intensitas dengan spektrofotometer uv-vis pada panjang gelombang 652 nm. Kadar LAS selanjutnya dihitung berdasarkan rumus berikut :
Proses Biodegradasi
Kadar MBAS (mg/L) = C x fp
Biodegradasi dilakukan dalam suatu reaktor batch. Tahap pertama adalah penambahan larutan nutrien ke dalam reaktor. Nutrien yang digunakan adalah (NH4)2SO4 sebagai sumber nitrogen (N). KH2PO4 dan K2HPO4 sebagai sumber fosfor (P) dan glukosa sebagai sumber karbon (C). Keseluruh garam ini dilarutkan hingga sempurna oleh air suling dan pH larutan dibuat netral. Tahap kedua adalah penambahan Pseudomonas aeruginosa ke dalam reaktor. Sediaan bakteri ini berbentuk serbuk yang dikemas dalam cangkang kapsul. Serbuk dalam satu kemasan cangkang kapsul dilarutkan menjadi 1.000 ml dan larutan ini mengandung bakteri sebanyak 108sel/ml (6). Penambahan mikroba ke dalam reaktor adalah 6 ml untuk 1.000 mL. Suhu reaktor adalah 27oC, proses pengadukan dilakukan pada 30 rpm, dan kondisi pH dipertahankan pada 6,5-7,5. Pengamatan dilakukan selama 1(satu) bulan terhadap penurunan kadar LAS.
Dimana : C = (Absorbansi – intersep ) / Slope Fp = Faktor Pengenceran HASIL DAN PEMBAHASAN Biodegradasi LAS dengan Variasi Jenis Deterjen Deterjen A hanya mengandung zat aktif LAS tanpa menggunakan bahan aktif lain. Deterjen ini lebih cepat terurai dibandingkan kedua jenis deterjen lainnya pada konsentrasi yang sama (Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar 3).
Analisis Kadar LAS
Deterjen B adalah deterjen yang mengandung zat aktif lain yang berfungsi sebagai pelembut. Bahan yang umum digunakan sebagai pelembut adalah natrium fosfat (Na3PO4), asam sitrat, zeolit, dan etilen diamin tetra asetat (EDTA) (8). Bahan ini merupakan bahan kimia yang relatif mudah didegradasi tetapi pada konsentrasi tertentu zat-zat ini akan menghambat penguraian LAS.
Penetapan kadar LAS mengacu pada prosedur kerja dalam American Public Health Association (7), edisi 21, 5540B. Tahapan analisis dalam penetapan kadar LAS dimulai dari penyaringan dengan kertas saring
Deterjen C adalah deterjen yang mengandung zat aktif selain LAS yang berfungsi sebagai pemutih. Senyawa yang umum ditambahkan adalah boraks, klorin, natrium hipoklorit, dan hidrogen peroksida (H2O2) (8). Senyawa91
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
senyawa ini bersifat antibakteri sehingga sangat menghambat kerja bakteri bahkan mampu mematikan bakteri. Pengaruh variasi jenis deterjen terhadap proses biodegradasi diperlihatkan pada Gambar 1, 2 dan 3. 1. Variasi Jenis Deterjen pada Konsentrasi Sampel Uji 35 mg/L Ketiga jenis deterjen menunjukan penurunan kadar LAS yang optimum pada hari ke-5. Penurunan kadar LAS pada deterjen A, B, dan C dengan konsentrasi uji 35 mg/L, berturutturut adalah 65,45 ; 62,20; dan 41,44 %. Hasil penelitian Efendi (2) menunjukan bahwa pada waktu 5 hari bahan organik yang terkandung dalam limbah domestik mampu terurai sekitar 65 %, sedangkan bahan organik yang lebih kompleks hanya teroksidasi sekitar 45 %.
Gambar 1: Grafik Penurunan Kadar LAS pada Konsentrasi Sampel Uji 35 mg/L
2. Variasi Jenis Deterjen pada Konsentrasi Sampel Uji 50 mg/L Deterjen A masih mengalami penurunan tertinggi. Penyebab utama adalah keberadaan 92
bahan pengisi dalam deterjen B dan C. Biodegradasi umumnya sangat ditentukan oleh sifat dan susunan bahan dan pada umumnya senyawa organik lebih mudah terurai dari pada senyawa anorganik. Tetapi dalam kenyataannya, khususnya di lingkungan alami biodegradasi ditentukan pula oleh banyak faktor baik yang bersifat biotik maupun abiotik (9). Biodegradasi LAS melibatkan beberapa enzim yang terdapat di dalam sel. Proses biodegradasi melibatkan proses β-oksidasi rantai hidrokarbon paling ujung, yang akan menghasilkan asam karboksilat (10). 3. Variasi Jenis Deterjen pada Konsentrasi Sampel Uji 100 mg/L Deterjen C mengalami penurunan terendah dibandingkan kedua jenis deterjen lainnya. Kandungan zat pemutih dalam deterjen ini sangat meminimalkan angka biodegradasi pada seluruh konsentrasi LAS. Senyawa pengelantang yang bersifat memutihkan umumnya menghambat pertumbuhan mikroba bahkan mematikannya. Terhambatnya pertumbuhan mikroba, menyebabkan produksi enzim pendegradasi pun menurun sehingga kemampuan degradasi terhadap deterjen akan lebih rendah. Hampir semua bakteri mampu mengkatabolisis LAS sehingga menyebabkan perubahan struktur yang bervariasi pada rantai alifatik LAS. Bakteri yang mengubah LAS lambat laun akan mengalami penurunan kinerja kerja dalam hal mengoksidasi LAS selama proses biodegradasi berlangsung. Bakteri ini masih mampu mengoksidasi rantai karbon pendek seperti alkohol, aldehid, dan karboksilat tetapi tidak mampu mendegradasi LAS. Kosubstrat dapat menggantikan kerja bakteri yang mulai melemah (9).
Mamay Maslahat, Farila Rakhmanika.....: Potensi Bakteri Pseudomonas Aeruginosa Pada Proses Biodegradasi....
konsentrasi uji 50 mg/L, residu LAS pada deterjen A, B, dan C berturut-turut sebesar 7,71; 11,88; dan 21,16 mg/L. Sedangkan pada konsentrasi uji 100 mg/L, residu LAS pada deterjen A, B, dan C berturut-turut sebesar 27,98; 37,54; 66,81mg/L. Biodegradasi LAS dengan Variasi Konsentrasi Hubungan antara pertumbuhan spesifik (m) dengan konsentrasi substrat dimana m yang diukur pada suhu 30°C dan pH awal 4, menunjukkan bahwa pada konsentrasi susbstrat rendah maka m juga rendah (11). Gambar 2: Grafik Penurunan Kadar LAS pada Konsentrasi Sampel Uji 50 mg/L
Gambar 3: Grafik Penurunan Kadar LAS pada Konsentrasi Sampel Uji 100 mg/L
Proses biodegradasi berlangsung selama 30 hari. Pada hari ke 30 proses biodegradasi deterjen A, B, dan C dengan konsentrasi uji 35 mg/L menghasilkan residu LAS berturutturut sebesar 3,62; 4,66 dan 11,62 mg/L. Pada
Peningkatan konsentrasi substrat akan meningkatkan harga m. Hal tersebut menunjukkan bahwa LAS dapat diubah menjadi biomassa. Penambahan substrat yang mudah diserap (nutrien) dan substrat yang dibutuhkan oleh bakteri, sangat diperlukan terutama untuk pembentukkan biomassa dan sintesis enzim yang diperlukan untuk pemecahan molekul deterjen. Biomassa yang di dalamnya kaya akan kandungan lemak, karbohidrat, dan protein merupakan hasil yang sangat bermanfaat bagi kelangsungan proses serta kehidupan makhluk lain, sebagian biomassa lainnya menjadi sediaan untuk produksi sumber karbon atau energi (11). Kecepatan absorpsi substrat berpengaruh terhadap m. Salah satu faktor penentu kecepatan absorpsi substrat adalah berat molekul senyawa yang diserap. Bobot molekul LAS sekitar 249 g/mol. Berat tersebut lebih rendah dari berat molekul senyawa yang dapat diserap oleh dinding sel yaitu sekitar 600 g/ mol. Teknik biodegradasi dapat digunakan untuk mengolah limbah yang mengandung deterjen dengan komposisi utama LAS 93
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
maksimum sekitar 200 mg/L (11).
12 hari.
1. Variasi Konsentrasi pada Deterjen A
Proses biodegradasi LAS tertinggi pada deterjen A mencapai 89 % kemungkinan terjadi reaksi penguraian yang sempurna terhadap LAS. Mekanisme reaksi biodegradasi LAS beserta produk degradasi yang dihasilkan disajikan pada Gambar 5.
Berdasarkan grafik pada Gambar 4, dapat dikatakan bahwa efisiensi biodegradasi hanya berlangsung selama 10 hari karena sejak hari ke 15 hingga hari ke-30, penurunan terlihat tipis. Penurunan kadar LAS pada deterjen A dengan konsentrasi uji 35 mg/L pada hari ke 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 berturut-turut adalah 35,36; 12,13; 8,22; 7,14; 5,14; 4,05; dan 3,52 mg/L. Penurunan kadar LAS pada konsentrasi uji 50 mg/L pada hari ke 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 berturut-turut adalah 50,37; 19,73; 15,26; 13,90; 10,28; 8,99; 7,71 mg/L. Dan Penurunan kadar LAS pada konsentrasi uji 100 mg/L pada hari ke 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 berturut-turut adalah 100,20; 44,79; 37,28; 34,50;31,15; 29,19; 27,98 mg/L. Hasil penelitian Suharjono dkk (6) menunjukan bahwa biodegradasi LAS oleh Bakteri Pseudomonas sp. dilakukan dengan waktu pengamatan yang hanya berlangsung selama
Gambar 5: Reaksi Lengkap Biodegradasi LAS (12) 94
Gambar 4: Grafik Penurunan Kadar LAS pada Deterjen A
Mamay Maslahat, Farila Rakhmanika.....: Potensi Bakteri Pseudomonas Aeruginosa Pada Proses Biodegradasi....
berkurang yaitu sebesar 60-76 % kemungkinan reaksi hanya berjalan sampai pada reaksi b-oksidasi. 3. Variasi Konsentrasi pada Deterjen C
Gambar 6: Grafik Penurunan Kadar LAS pada Deterjen B
Deterjen C dengan konsentrasi uji tertinggi (100 mg/L) hanya menghasilkan penurunan sebesar 33,33 %. Nilai ini lebih kecil dibandingkan pada percobaan lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kandungan pengelantang. Jenis pengelantang yang terdapat dalam detergen C adalah hidrogen peroksida (H2O2). Pada konsentrasi LAS 100 mg/L, maka konsentrasi pengelantang akan lebih tinggi dari dua konsentrasi lainnya dan dosis tersebut sangat bersifat toksik bagi mikroba sehingga mikroba tidak mampu bertahan hidup (mati). Kinetika kimia penurunan konsentrasi LAS selama proses biodegradasi dapat dilakukan melalui penghitungan nilai konstanta laju reaksi dan waktu paruh (t ½). Persamaan yang digunakan adalah orde pertama. -dCt/dt = k Co atau ln (Ct/Co) = -kt
Gambar 7: Grafik Penurunan Kadar LAS pada Deterjen C
2. Variasi Konsentrasi pada Deterjen B Konsentrasi LAS 35mg/L memberikan penurunan sebesar 86% kemungkinan reaksi biodegradasi berjalan lengkap. Pada konsentrasi 50mg/L dan 100mg/L penurunan
Dimana Co dan Ct adalah konsentrasi LAS pada 0 dan t hari, secara berturut-turut dan k merupakan konstanta laju untuk degradasi. Berdasarkan hasil perhitungan dan grafik penurunan konsentrasi LAS selama proses biodegradasi diketahui bahwa waktu paruh (t1/2) untuk detergen A pada konsentrasi awal 35, 50, dan 100 mg/l berturut-turut sekitar 9,8 dan 7 hari. Sedangkan waktu paruh untuk deterjen B pada konsentrasi awal 30, 50, dan 100 mg/l berturut-turut sekitar 10,9 dan 7 hari. dan waktu paruh untuk deterjen C pada konsentrasi awal 30, 50, dan 100 mg/L berturut-turut sekitar 11, 7 dan 6 hari. 95
Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
KESIMPULAN Bakteri Pseudomonas aeruginosa mampu mendegradasi LAS. Ketiga jenis deterjen menunjukan penurunan kadar LAS yang optimum pada hari ke-5. Pada hari ke 30 proses biodegradasi deterjen A, B, dan C dengan konsentrasi uji 35mg/L menghasilkan residu LAS berturut-turut sebesar 3,62; 4,66 dan 11,62 mg/L. Pada konsentrasi uji 50 mg/L, residu LAS pada deterjen A, B, dan C berturut-turut sebesar 7,71; 11,88; dan 21,16mg/L. Sedangkan pada konsentrasi uji 100mg/L, residu LAS pada deterjen A, B, dan C berturut-turut sebesar 27,98; 37,54; 66,81mg/L. DAFTAR PUSTAKA (1). Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1994. Kimia Organik. Edisi Ketiga. Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT Erlangga. (2). Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Jakarta: Kanisius.
96
Surabaya: Universitas Airlangga. (6). S u h a r j o n o , J . , L . S u b a g j a , C . Sembiring, Retnaningdyah, IKJW Putra. 2007. Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Fosfor Terhadap Potensi Pseudomonas Pendegradasi Alkil Benzena Sulfonat Linier (LAS). Malang: Fakultas Biologi Universitas Brawijaya. (7). Standar Method-APHA. 2001. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water. Edisi 21. USA: American Public Health Association. (8). Badan POM. 2003. Deterjen. Info POM. Volume IV. Edisi 9. Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan. (9). Suriawiria, U. 1993. Mikrobiologi Air dan Dasar – Dasar Pengolahan Buangan Secara Biologis. Bandung: ITB.
(3). Mason, C.F. 1993. Biology of Freshwater Pollution. Edisi Kedua. New York: Longman Scientific and Technical.
(10). K e r t e s z , M . A . , P. K . l b e n e r, H.Stockinger, S. Beil, dan A.M. Cook. 1994. Desulfonasi surfaktan LAS dan senyawa serupa oleh bakteri. Appl. Environment Microbiol. 60: 2296–303.
(4). Arifin. 2007. Tinjauan dan Evaluasi Proses Kimia (Koagulasi, Netralisasi, Desinfeksi) di Instalasi Pengolahan Air Minum Cikokol Tangerang. Laporan Kunjungan. Tangerang: PT Tirta Kencana Cahaya Mandiri.
( 11 ) . S u d i a n a , I . M . 2 0 0 4 . P e r a n Komunitas Mikroba Lumpur Aktif dalam Perombakkan Deterjen Alkilbenzenasulfonat linier benzena alkil sulfonat. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Jakarta.
(5). Wignyanto. 2002. Biodegradasi Alkil Benzena Sulfonat Pendekatan Eksperimental Laboratorik Untuk Pengolahan Limbah. Disertasi.
(12). S choberl, P., E. Kunkel, dan K.J. Bock. 1989. Basic Principles of LAS Biodegradation. Munchen: Huls AG, Marl, FRG environmental protection.
_______________________________________________ Ecolab Vol. 4 No. 2 Juli 2010: 55-96
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi Mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. RTM. Sutamihardja 2. Dr. Ir. Ning Purnomohadi,MS 3. Ir. Isa Karmisa Ardiputera 4. Dr. Yanni Sudiyani Sebagai Mitra Bestari atas kesediaannya melakukan review pada Jurnal Ecolab Volume 4, tahun 2010.
Juli 2010 Dewan Redaksi Jurnal Kualitas Lingkungan Hidup Ecolab