PRIORIS Editorial 714#teriale/eaa em6a& Taterita4 Prolfidioftediclate Betapapun, Jurnal Hukum Prioris ini harus tetap terbit pada waktunya. Bukan karena sekedar melaksanakan kewajiban, tetapi lebih dari itu kami para ponggawa redaksi menempatkannya sebagai sebuah kesadaran intelektual (beyond the legal complience). Kesadaran ini secara rutin harus dengan sengaja disirami agar tetap tumbuh subur ditengah kehidupan yang kian dikuasai oleh pragmatisme industri dan hampir menyelimuti semua sisi kehidupan, tak terkecuali dunia pendidikan. Di tengah hegemoni pragmatisme industri, sebagai bagian dari profesional hukum yang setiap hari bergulat dengan hal ihwal perundang-undangan dan tafsir menafsir hukum, para ahli hukum dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan profesionalisme hukum. Adakah kita para ahli hukum dalam bekerja melayani masyarakat, melayani pencari keadilan masih setia pada janji-janji dan komitmen etis? Masih adakah dewan-dewan kehormatan profesi yang ada masih berwibawa dalam menegakkan etika profesi ? Adakah mekanisme kontrol profesi otonom yang masih efektif ataukah justru kolusi-kolusi yang didasarkan pada prinsip "jeruk jangan makan jeruk" (spirit de corps) yang lebih dominan? Realitas membuktikan, dalam berhadapan dengan dunia industri yang rasional dan impersonal, rasional dan pragmatik, para profesional hukum akan selalu berhadapan dengan godaan-godaan materi yang menggiurkan. Jika etika profesi tak lagi bersemayam dalam hati, maka jangan mengharapkan "penguatan profesi", yang akan terjadi justru proses "deprofesionalisasi", kompromi-kompromi terhadap standar profesional untuk memenuhi permintaan pasar jasa yang menghendaki penyelesaian yang rasional dan pragmatis. "Khittah profesionalisme" yang lahir sebagai perlawanan kultural terhadap kapitalisme yang mengagungkan nilai produktivitas ketimbang semangat pengorbanan demi kemaslahatan sesama, justru akan "tergadai" dan mengalami krisis yang parah. Pada titik ini, kerap kali muncul sinikalisme masyarakat terhadap profesional praktisi hukum, Hubungi Aku Kalau Ingin Menang (Hakim), Kasih Uang Habis Perkara atau Lapan Enam (Polisi dan jaksa Penuntut Umum), Maju tak gentar membela yang bayar, semua Jurnal Hukum PRIORIS, Vol . 3 No. 2, Tahun 2013 I I
Prioris Editorial
bisa diatur (Advokat dan Konsultan Hukum). Tak kalah menarik Sinikalisme terhadap profesional hukum akademisi yang sering bermetamorfosa menjadi pebisnis nilai dan buku ajar dikampus-kampus atau menjadi "ahli bersaksi" di pengadilan sesuai dengan permintaan pasar. Ironis dan menyakitkan memang, dan ini harus dihentikan. Mari kita kembali menegakkan integritas profesionalisme, tidak aja dimaksudkan untuk menangkal sinikalisme terhadap profesi hukum, tapi juga sebagai upaya menjunjung tinggi kehormatan diri dan profesi. Dalam konteks inilah Jurnal Hukum Prioris Fakultas Hukum Universitas Trisakti menempatkan diri sebagai bagian dari upaya sengaja yang terus menerus menyirami kesadaran intelektual ditengah pragmatisme industri di segala sektor kehidupan, agar tetap hidup dan tumbuh subur, bahkan diharapkan dapat mempengaruhi perkembangan pemikiran hukum serta atmosfir penegakan hukum di republik tercinta ini. Terbitan nomor ini menampilkan tiga artikel konseptual dan tiga artikel penelitian dari guru besar dan pengajar dari beberapa universitas disamping dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti sendiri dengan ekspektasi dapat memenuhi kebutuhan referensi akademis maupun praktis. Terminologi "konstitusi ekonomi" menjadi wacana di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada tahun 1990 jauh sebelum Wofgang K menulis pada tahun 1999. Melalui disertasi pada tahun 1994 berjudul: "Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia: Pergeseran Keseimbangan antara Individualisme dan Kolektivisme dalam Kebijakan Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980-an". (Jimly Assidiqi), telah digunakan istilah konstitusi ekonomi (economic constitution) untuk membedakannya dari pengertian konstitusi politik (political constitution) dan konstitusi sosial (social constitution). Dalam perspektif konstitusi ekonomi, diskusi mengenai ideologi ekonomi tidak diperlukan. Perdebatan mengenai ideologi kapitalisme ekstrim versus komunisme sebagai bentuk sosialisme ekstrim sudah berakhir. Sosialisme yang hidup dewasa ini, bukan lagi sosialisme dalam bentuknya yang ekstrim. Demikian pula kapitalisme-liberalisme yang berkembang dewasa ini juga bukanlah kapitalisme dalam bentuknya yang ekstrim. Penganut ajaran liberalisme-kapitalisme juga sudah belajar dari kegagalan dan kelemahan-kelemahan yang dialami sebelumnya sehingga banyak elemen sosialisme yang justru telah diadopsi ke dalam kebijakan yang dikembangkan. Demikian pula, negara-negara yang menganut paham sosialisme tidak lagi seperti dalam buku teks, melainkan telah banyak belajar dengan meliberalkan sebagian kebijakan ekonominya sesuai dengan kebutuhan menurut tempat dan waktu. Prof. Dr. JIMLY ASSIDIQI, SH., MH Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia menjelaskan secara panjang lebar masalah Konstitusi Ekonomi ini dalam tulisannya berjudul Gagasan Konstitusi Ekonomi. 11
Jurnal Hukum PRIORIS, Vol . 3 No. 2, Tahun 2013
Prioris Editorial
Konvensi ILO No. 158 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atas Inisiatif Pengusaha menunjukkan kesadaran mengenai pentingny a untuk memberikan perlindungan pekerja atas PHK yang tidak adil oleh pengusaha karena praktek fleksibilitas pasar kerja. Perlindungan yang disediakan oleh Konvensi ini misalnya menutup kemungkinan pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan-alasan yang terkait hak asasi manusia, mewajibkan pengusaha yang bermaksud melakukan PHK atas alasan ekonomi dan teknologi untuk melakukan upaya-upaya pencegahan, berkonsultasi dengan perwakilan pekerja, dan memberitahukan kepada pihak berwenang mengenai rencana PHK tersebut. Walaupun demikian, seperti sifat standar internasional lainnya, Konvensi ini tidak dapat mengikat negara-negara anggota ILO jika negara-negara tersebut tidak meratifikasinya. BUDI SANTOSO, SH., MH staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, menganalisisny a dalam sebuah tulisan yang diberi judul : Perlindungan Kerja terhadap Pemutusan Hubungan Kerja Atas Inisiatif Pengusaha Berdasarkan Konvensi ILO No. 158. Tidak dapat disangkal, bahwa hakim yang memiliki moralitas pribadi yang tinggi, tahu dan mampu membedakan perbuatan mana yang baik dan yang buruk, perbuatan yang benar dan yang salah serta perbuatan yang adil dan tidak adil. Oleh karena itu, maka sang hakim tersebut berani dan mampu menegakkan misi suci lembaga peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan, meskipun aspek-aspek lainnya (seperti sistem politik, sistem hukum dan perundang-undangan, remunerasi dan birokrasi peradilan) tidak memberikan dukungan yang berarti bahkan menghambat tugasnya. Selain itu is pun sangat siap menerima segala konsekuensi yang timbul dari keputusan yang diambilnya baik berupa ancaman keselamatan bagi diri dan keluarganya maupun karir dan jabatanya. Sedangkan hakim yang tidak bermoral biasanya hati nuraninya menjadi tumpul atau "mata hatinya" sudah buta, tidak tahu atau pura-pura tidak tahu dan atau tidak mampu membedakan perbuatan mana yang benar dan salah, baik dan buruk, adil dan tidak adil, sehingga dia tidak memiliki kemauan dan keberanian untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsipprinsip moral dan rasa keadilan dalam masyarakat. Sebaliknya dia dengan berani dan tak tahu malu untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kepentingan penguasa, kekuatan politik/golongan tertentu, atau kaum powerfull lainnya dalam masyarakat, dengan memperhitungkan segala imbalan yang akan diterimanya baik imbalan dalam bentuk materi/finansial maupun karir dan atau jabatan. Biasanya untuk mewujudkan hal tersebut sang hakim cenderung memanfaatkan kelemahan sistem hukum dan perundang-undangan, prosedur formal, birokrasi peradilan yang berbelit-belit dan tertutup bagi orang luar (outsiders) bahkan secara terang-terangan mengabaikan ketentuan dalam UU yang dipandang tidak berpihak pada kepentingan orang yang dibelanya. Lebih jauh Dr. MOMPANG L PANGGABEAN, SH., MH Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 2, Tahun 2013 I 111
Prioris Editorial
Dosen Biasa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia mengupas tuntas mengenai hal ini dalam tulisan yang berjudul : Mencari Sosok Hakim Indonesia Yang Ideal. Interaksi antar nelayan dalam aktivitas pencarian ikan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik. Salah satu penyebab konflik dapat terjadi akibat perebutan wilayah tangkapan, alat tangkap, dan perilaku atau sikap. Konflik-konflik akibat beberapa hal tersebut adalah tergolong konflik horisontal. Selain itu, konflik vertikal juga terjadi pada masyarakat nelayan. Kebijakan pemerintah khususnya kebijakan yang tidak berdasarkan pada kebutuhan nelayan yakni kebijakan yang mengeskploitasi sumber daya alam. Kebijakan ini lebih cenderung diakibatkan upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan. Penelitian ini mengkaji mekanisme penyelesaian konflik yang diterapkan oleh masyarakat nelayan, khususnya nelayan di Pantai Puger Kabupaten Jember. Nelayan hakekatnya mempunyai mekanisme asli untuk memecahkan masalah mereka. Mekanisme tersebut ada secara turun-temurun dalam kurun waktu yang lama. Kesimpulan diatas merupakan hasil penelitian dengan judul Mekanisme Penyelesaian Konplik Nelayan (Studi di Pantai Puger Kabupaten Jember) yang ditulis oleh Dr. AAN EKO WIDIARTO, SH., MH, dan kawan-kawan pengajar dan peneliti pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan dan persamaan tanggung jawab produsen, sistem tanggung jawab yang dipergunakan dan proses penyelesaian ganti ruginya. Tanggung Jawab Product Liability dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Indonesia diatur secara umum dalam Bab VI dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28, kepada pelaku usaha terhadap semua barang, sedangkan di Turki diatur dalam Pasal 4 The Act No. 4077 on Consumer Protection as Amanded by Act No.4822. System tanggung jawab yang dipergunakan dalam UUPK menggunakan system based on fault dengan beban pembuktian terbalik untuk semua barang, sedangkan dalam The Consumer Protection Act Turki menggunakan system tanggung jawab based on fault, hanya khusus untuk produk yang cacat dan kekurangan dalam memberikan pelayanan. Di Indonesia, proses penyelesaian ganti ruginya, dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Di luar pengadilan dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), sedangkan di Turki dapat dilakukan melalui pengadilan dan juga di luar pengadilan melalui lembaga Arbitrase yang dikenal dengan Arbitration Committee. Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen, Indonesia maupun Turki samasama membentuk suatu Badan. Di Indonesia dinamakan Badan Perlindungan Konsumen Nasional, sedangkan di Turki dinamakan The Consumer Council. Kesimpulan diatas merupakan salah satu hasil penelitian terbaik Fakultas Hukum Usakti tahun 2011 berupa study perbandingan hukum yang bertitel: Aspek Yuridis iV I Jurnal Hukum PRIORIS, Vol. 3 No. 2, Tahun 2013
Prioris Editorial
Mengenai Product Liability Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (Study Perbandingan Indonesia — Truki) karya Dra. SITI NURBAITI, SH., MH. Dosen Biasa Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Tulisan terakhir dalam terbitan Jurnal Hukum Prioris nomor ini, merupakan sebuah catatan atau Anotasi atas putusan perkara tindak pidana korupsi atas nama Artalita Suryani alias Ayin. Anator Dr. RAMELAN, SH., MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti memberikan catatan bahwa sejarah korupsi menunjuk pada penyuapan terhadap para hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah sebagai suatu masalah yang seringkali muncul ke permukaan pada kejahatan korupsi. Hammurabi dari Babilonia yang naik tahta sekitar tahun 1200 sebelum Masehi, telah memerintahkan kepada seorang Gubernur Propinsi untuk menyelidiki suatu perkara penyuapan Shamash, seorang raja Assiria (sekitar tahun 200 sebelum Masehi), menjatuhkan pidana kepada seorang hakim yang menerima uang suap. Penyuapan mengakibatkan pelanggaran sumpah jabatan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kedudukan oleh pejabat pemerintah yang secara sadar dan tidak sadar memberikan kesempatan kepada pemberi suap menjalankan kepentingan usaha seolah-olah tidak bertentangan dengan hukum. Penyuapan merupakan "hulu' dari kejahatan korupsi lainnya seperti perbuatan melawan hukum memperkaya din sendiri atau orang lain atau korporasi, maupun korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, ataupun setidak-tidaknya penyuapan menjadi kejahatan awal untuk mentolerir kejahatan lain yang merugikan masyarakat dan negara. Akhirul kalam, terlepas dari segala kekurangannya, kami berharap penerbitan Jurnal ini akan mampu menjadi inspirasi dan memberikan kontribusi yang mencerahkan. Atas nama seluruh ponggawa redaksi, kami mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang terlibat aktif serta seluruh pihak yang mendukung penerbitan Jurnal ini. Selamat Membaca dan selamat berkarya ! (
[email protected])
Jurnal Hukum PRIORIS, Vol . 3 No. 2, Tahun 2013 IV