PERANAN SANGGAR PURWO BUDOYO DALAM MELESTARIKAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM KESENIAN JARANAN TURONGGO YAKSO DI DESA DONGKO KECAMATAN DONGKO KABUPATEN TRENGGALEK THE ROLE OF PURWO BUDOYO STUDIO IN PRESERVING THE VALUES OF LOCAL WISDOM IN THE JARANAN TURONGGO YAKSO ARTS IN DONGKO VILAGE DONGKO SUBDISTRICT TRENGGALEK REGENCY Dwi Utami Ningsih Universitas Negeri Malang E-mail:
[email protected] Abstract: the Art of jaranan Turonggo Yakso contains the value of local wisdom, it is a good value as well as act as a reference. The aim of this study is to describe the role of purwo budoyo studio in preserving the value of local wisdom in the jaranan Turonggo Yakso arts in Dongko vilage Dongko subdistrict Trenggalek regency. The procedures of collecting the data in this study are observation, interview, and documentation. The results of this study is, the establishment of the studio background is a desire to preserve the art of jaranan Turonggo Yakso. The studio programs are meeting / conference, regularly practicing, joining the festival contest and conducting the training. The performances processes of jaranan Turonggo Yakso art are prayings and ritual offerings, Dhadung Awuk, rampokan Celengan, rampokan Barongan, and the fighting of Barongan with Dhadung Awuk. The values of local wisdom in the arts of jaranan Turonggo Yakso are the value of entertainment, education, art, religion, struggle, mutual cooperation, unity and integrity, and morality. The efforts of Purwo Budoyo studio do to preserve this art such as giving the information about it to members and the society, providing a training, developing the member and society’ skills, and joining the festival contest. The Constraints preserve the value of local wisdom are limited funding, overcame by cooperation with the private sector, globalization addressed by providing training and a society that is less supportive overcame by attractive packing. Keyword: role, studio, preserving, local wisdom Abstrak: Kesenian jaranan Turonggo Yakso mengandung nilai kearifan lokal, yaitu nilai yang baik serta dijadikan acuan bertingkah laku. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan peranan sanggar Purwo Budoyo dalam melestarikan nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso di Desa Dongko Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Prosedur pengumpulan data penelitian ini yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini yaitu, latar belakang berdirinya sanggar adalah keinginan melestarikan kesenian jaranan Turonggo Yakso. Program kerja sanggar yaitu mengadakan pertemuan/rapat, latihan rutin, mengikuti festival dan mengadakan pelatihan. Proses penampilan kesenian jaranan
1
Turonggo Yakso yaitu do’a dan sesaji, Dhadung Awuk, rampokan celengan, rampokan barongan, perangnya barongan dengan Dhadung Awuk. Nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso yaitu nilai hiburan, pendidikan, seni, religi, perjuangan, gotong royong, persatuan dan kesatuan, dan moral. Upaya yang dilakukan sanggar Purwo Budoyo yaitu memberikan informasi kepada anggota dan masyarakat, memberikan pelatihan, membina skill anggota dan masyarakat, mengikuti festival. Kendala melestarikan nilai kearifan lokal yaitu dana terbatas, diatasi dengan melakukan kerjasama dengan swasta, globalisasi diatasi dengan memberikan pelatihan dan adanya masyarakat yang kurang mendukung diatasi dengan mengemas menjadi lebih menarik. Kata Kunci: peranan, sanggar, melestarikan, kearifan lokal Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia. Kebudayaan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani maupun rohani. Manusia menciptakan kebudayaan untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dalam kehidupannya. Koentjaraningrat (2003: 72) mengungkapkan bahwa “kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Menurut Yunus (1995: 2) kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang penting karena kesenian memiliki daya ekspresi yang dapat merefleksikan secara simbolik kehidupan batiniah, sebagai media komunikasi dan penyampai pesan. Yunus (1995: 2) mengartikan seni sebagai “media komunikasi untuk berekspresi, untuk menyampaikan pesan, kesan, dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari lingkungannya” Salah satu kesenian yang ada di Trenggalek adalah kesenian jaranan Turonggo Yakso. Kesenian ini didalamnya terkandung nilai learifan lokal yang harus dilestarikan.Hal itu dipandang penting karena nilai kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang berlaku di dalam suatu masyarakat, yang dianggap baik dan benar serta dijadikan acuan dalam bertingkah laku oleh masyarakat setempat. Menurut Indramawan (2013) kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu: (1) Culture experience, pelestarian kebudayaan yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural; (2) Culture knowledge, pelestarian kebudayaan yang dilakukan dengan membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat dimanfaatkan untuk edukasi maupun untuk mengembangkan kebudayaan dan potensi wisata daerah. 2
Sanggar Purwo Budoyo merupakan sanggar yang ada di Desa Dongko Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek yang berupaya melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan TuronggoYakso. Sanggar Purwo Budoyo mengadakan latihan, mengikuti festival dan mengadakan seminar dan diklat kepada guru-guru dan kegiatan lain. Sanggar merupakan tempat atau sarana yang digunakan oleh suatu komunitas atau sekumpulan orang untuk melakukan suatu kegiatan (Wikipedia, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peranan sanggar Purwo Budoyo dalam melestarikan nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso.
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian ini mendeskripsikan mengenai peranan sanggar Purwo Budoyo dalam melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso. Peneliti menggunakan jenis penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus dilakukan dengan maksud untuk melakukan telaah secara mendalam terhadap suatu kasus. Peneliti hadir di sanggar Purwo Budoyo untuk melakukan pengumpulan data. Peneliti berkedudukan sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, dan pelapor hasil penelitian. Peneliti memilih lokasi penelitian di sanggar Purwo Budoyo, sanggar ini beralamat di RT 17 RW 04 Dusun Blimbing Desa Dongko Kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Peneliti memilih lokasi tersebut karena sanggar Purwo Budoyo merupakan sanggar yang melestarikan nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso. Sumber data utama diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Budi selaku ketua sanggar, Bapak Supriyanto sekertaris sanggar Purwo Budoyo, pencipta gerakan jaranan Turonggo Yakso yaitu Bapak Pamrihanto, Mbah Mu’an pengrawit dan pembuat jaranan, dan Mbah Mudjiman sesepuh di sanggar Purwo Budoyo dan observasi pada saat ada pertunjukan kesenian jaranan Turonggo Yakso, pada saat latihan, pada saat seminar dan diklat serta bedah buku kesenian jaranan Turonggo Yakso. Sedangkan data pendukung diperoleh dari foto dan sumber tertulis yang berasal dari buku dan dokumen.
3
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan dengan tiga tahapan yaitu reduksi data, display data dan verifikasi data. Tujuan analisis data ialah untuk mengungkapkan data apa yang masih perlu dicari, hipotesis apa yang perlu diuji, pertanyaan apa yang perlu dijawab, metode apa yang harus digunakan untuk mendapatklan informasi baru, dan kesalahan apa yang harus diperbaiki (Usman, 2000: 86). Teknik pengecekan keabsahan temuan dalam penelitian ini yaitu perpanjangan keikutsertaan, ketekunan/keajegan dan triangulasi.
HASIL Gambaran Umum Sanggar Purwo Budoyo Sanggar Purwo Budoyo merupakan satu-satunya sanggar yang ada di Desa Dongko kecamatan Dongko Kabupaten Trenggalek. Sebagian besar penduduk Desa Dongko bermata pencaharian sebagai petani. Petani menjalin hubungan dengan alam dengan cara mengadakan selamatan-selamatan dan ritual. Hal inilah yang melahirkan kesenian yang ada di Desa Dongko, yaitu kesenian jaranan Turonggo Yakso. Sanggar yang melestarikan kesenian jaranan Turonggo Yakso adalah sanggar Purwo Budoyo. Sanggar ini diketuai oleh Bapak Budi Utomo. Sanggar Purwo Budoyo berdiri pada tanggal 25 November 2010. Penamaan sanggar Purwo Budoyo didasarkan pada harapan agar sanggar tersebut dapat menjadi perintis dan pemrakarsa kebudayaan di Desa Dongko. Tidak ada syarat khusus untuk menjadi anggota. Sanggar Purwo Budoyo sudah memiliki organisasi kepengurusan. Kepengurusan terdiri dari ketua, sekertaris, bendahara, bidang seni tari, bidang seni musik, bidang usaha, bidang perlengkapan, bidang humas, dan bidang pembantu umum.
Latar Belakang Berdirinya Sanggar Purwo Budoyo Kesenian jaranan Turonggo Yakso bersumber dari upacara baritan (bubar ngarit tanduran). Desa Dongko mengalami pagebluk kemudian Dukun/sesepuh mendapatkan petunjuk bahwa bisa kembali seperti dulu asalkan dilaksanakan upacara baritan. Tetapi mulai tahun 1965 sampai sekarang kegiatan upacara baritan tidak dilaksanakan lagi. Bapak Sutiyono menghidupkan kembali upacara
4
baritan dalam bentuk lain yakni dalam bentuk seni jaranan yang berkepala lembu/sapi. Tahun 1976 kepala jaranan yang berwujud sapi diganti dengan kepala buto. Jaranan berkepala buto ini selanjutnya dinamakan Turonggo Yakso yang memiliki arti Turonggo berarti jaran dan Yakso berarti buto. Yakso mempunyai empat nafsu jelek, yaitu: nafsu syaitonah, aluamah, serakah dan amarah. Keempat nafsu jelek tersebut harus dapat dikalahkan dengan adanya nafsu yang baik yakni nafsu mutmoinah. Latar belakang berdirinya sanggar Purwo Budoyo adalah adanya suatu keinginan untuk terus melestarikan kesenian jaranan Turonggo Yakso yang merupakan kesenian asli Desa Dongko dan juga adanya keinginan untuk menghidupkan kembali kesenian-kesenian yang sudah mulai memudar di Desa Dongko yang dinaungi dalam wadah sanggar Purwo Budoyo yang nantinya dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam bidang seni. Sanggar Purwo Budoyo ingin terus melestarikan kesenian jaranan Turonggo Yakso karena kesenian ini merupakan warisan dari nenek moyang. Selain itu juga karena banyak nilai baik yang dapat diambil dari kesenian jaranan Turonggo Yakso.
Program Kerja Sanggar Purwo Budoyo Program kerja sanggar Purwo Budoyo yaitu: (1) melaksanakan pertemuan/rapat, dilaksanakan untuk membahas suatu permasalahan ataupun merencanakan dan mengevaluasi kegiatan dan untuk menjalin silaturahmi dengan anggota; (2) melaksanakan latihan rutin, latihan rutin dilaksanakan seminggu sekali, yakni pada hari Sabtu malam Minggu. Dilaksanakan mulai pukul 19.0023.00 WIB; (3) mengikuti festival dan pementasan. Hal ini untuk meningkatkan prestasi dan untuk melestarikan budaya daerah. Sanggar Purwo Budoyo rutin mengikuti festival setiap tahunnya di tingkat Kecamatan dan Kabupaten dan juga mengadakan pementasan di sanggar; (4) mengadakan pelatihan, pelatihan yang diadakan oleh sanggar Purwo Budoyo yaitu pelatihan gerak tari, pelatihan pembuatan pakaian tari, pelatihan pembuatan jaranan, pelatihan pembuatan barongan dan pelatihan pembuatan gamelan.
5
Proses Penampilan Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Gerakan dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso dibagi menjadi dua yaitu ukel (gerak baku) dan lawung (gerak tambahan). Gerak ukel terdiri dari budalan, sembahan, negar sengkrak, sengkrak gejuk, sirik gejuk, gagak lincak, lompat gantung, loncat gejuk, makan minum, Perang-perangan, dan Ulih-ulihan. Gerak lawung terdiri dari, lawung lumaksono, lawung ngigel, lawung nggareng, lawung reting, lawung tolehan. Alat musik yang digunakan dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso yaitu: kendang, gong, kenong, kempul, angklung, slompret, kentongan, balungan, demong, saron, tipung, dram dan kencreng. Semua alat musik ini memiliki fungsi sendiri-sendiri dimana seluruhnya membentuk suatu kesatuan yang harmonis. Properti penari yaitu jaranan, celengan, barongan, dan gendhir. Tahap-tahap penampilan kesenian jaranan Turonggo Yakso secara lengkap sebagai berikut: 1) periode 1: do’a dan sesaji, pawang keluar lalu membakar arang dan ditaburi kemenyan sambil membaca mantra ungakapan puji syukur. Kepala Desa dan perangkat Desa mendampingi pawang. Dayang-dayang yang berjumlah 4 gadis yang menggambarkan bidadari dari kayangan membawa bokor yang berisi bunga tiga warna. Dhadung Awuk menuntun jaranan menggambarkan kerbau dan sapi. Petani membawa dhadung/tampar menuntun membawa hewan ternaknya; 2) periode 2: Dhadung Awuk, Dhadung Awuk keluar setelah itu satu persatu hewan ternak/jaranan dikeluarkan sampai berjumlah 6 ekor; 3) periode 3: rampokan celengan, datanglah pengganggu hewan ternak yaitu celeng. Kemudian terjadilah peperangan antara celengan dengan jaranan. Berkat persatuan dan kesatuan para jaranan, celengan kalah; 4) Periode 4: rampokan barongan/berhala, datanglah marabahaya yang lebih besar dan berbahaya yaitu barongan/berhala. Hewan ternak/jaranan kalah berperang dengan berhala; 5) periode 5: perangnya berhala/barongan dengan Dhadung Awuk, Dhadung Awuk datang berperang melawan barongan dan barongan kalah. Penampilan kesenian jaranan Turonggo Yakso tidak selalu lengkap hal ini tergantung waktu. Apabila mengikuti festival tidak ada dayang-dayanngnya, urutannya pawang keluar, kemudian periode Dhadung Awuk, rampokan celengan, rampokan berhala/barongan dan perangnya berhala/barongan dengan Dhadung Awuk.
6
Nilai Kearifan Lokal dalam Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Kesenian jaranan Turonggo Yakso memiliki banyak nilai yang dianggap baik oleh masyarakat yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat Desa Dongko. Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso yaitu: 1) nilai hiburan, kesenian jaranan Turonggo Yakso hiburan yang murah meriah dan menarik; 2) nilai pendidikan, kesenian jaranan Turonggo Yakso mengajarkan kepada masyarakat untuk selalu bersyukur dan selalu berdoa kepada Tuhan agar diberikan keselamatan hal ini terlihat dalam gerakan sembahan; 3) nilai seni, kesenian jaranan Turonggo Yakso menggabungkan seni drama, seni musik dan seni tari; 4) nilai religi, sesaji-sesaji yang digunakan dalam pementasan kesenian Turonggo Yakso, dipersembahkan agar harapannya tercapai. Kemudian terlihat dalam gerakan tarinya ada sembahan, bermakna meminta keselamatan kepada Tuhan; 5) nilai perjuangan, hal ini terlihat pada perjuangan jaranan melawan celengan yang akhirnya dimenangkan jaranan, tetapi kemudian ada musibah datang lagi yaitu barongan; 6) nilai gotong royong, semua anggota dan masyarakat gotong royong saling membantu mensukseskan kegiatan; 7) nilai persatuan dan kesatuan, ditunjukkan dalam gerakan tari, sikap dan perilaku penari harus kompak dan serasi, harus bisa menjadi satu kesatuan. Nilai persatuan dan kesatuan juga terlihat dalam pementasan, dimana ada adegan perang antara jaranan dengan celengan, agar bisa mengalahkan celengan jaranan itu harus bersatu; 8) nilai moral, kesenian jaranan Turonggo Yakso mengandung nilai moral yaitu berbuat baik kepada sesama manusia dan juga kepada hewan dan tanaman, masyarakat harus melestarikan lingkungan, karena apabila dirusak akan mendatangkan bencana. Selain itu antara anggota ditanamkan untuk saling menghargai. Tingkah laku penari dan ucapannya diharapkan jangan sampai menyakiti orang lain yang kemudian dapat membentuk akhlak mulia dalam diri penari.
Upaya Sanggar Purwo Budoyo dalam Melestarikan Nilai Kearifan Lokal dalam Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Upaya sanggar Purwo Budoyo dalam melestarikan nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso sebagai berikut: 1) memberikan
7
informasi kepada anggota dan masyarakat. Sanggar berupaya memberikan informasi kepada anggota, dilaksanakan pada saat rapat dan latihan. Memberikan penjelasan kepada masyarakat pada saat pementasan yang dilakukan oleh Dhalang; 2) memberikan pelatihan kesenian jaranan Turonggo Yakso mulai TK, sampai SMA. Siswa dilatih dan ditanamkan sejak kecil sehingga nilai-nilai yang baik yang ada dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso dapat menjadi pedoman dalam bertingkah laku; 3) membina skill para anggota sanggar dan juga masyarakat supaya dapat melestarikan dan mengembangkan kesenian jaranan Turonggo Yakso. Anggota dan masyarakat diberikan pelatihan seperti pelatihan membuat barongan, jaranan, dan pakaian tari; 4) Aktif mengikuti festival-festival dan mengadakan pementasan. Sanggar berupaya dengan cara aktif mengikuti festival dan mengadakan pementasan seperti pada saat HUT kabupaten Trenggalek, HUT kemerdekaan Republik Indonesia, perayaan tahun baru dan festival lain di luar Kabupaten Trenggalek dan mengadakan pementasan di sanggar.
Kendala dan Upaya Mengatasi Kendala yang Dihadapi Sanggar Purwo Budoyo dalam Melestarikan Nilai Kearifan Lokal dalam Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Kendala yang dihadapi sanggar Purwo Budoyo serta upaya mengatasi kendala tersebut sebagai berikut: 1) dana yang terbatas, untuk sekali pertunjukan membutuhkan dana yang besar, sehingga dengan adanya dana yang terbatas akan kesulitan untuk mengikuti festival dan mengadakan pementasan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dana adalah dengan menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan pemerintah terkait, masyarakat dan swasta; 2) masuknya budaya asing dan globalisasi, hal ini menyebabkan masyarakat kurang mencintai kesenian tradisional. Upaya untuk mengatasi kendala tersebut yaitu dengan melaksanakan pelatihan, guru-guru yang mendapatkan pelatihan dapat mengajarkan kepada muridnya sehingga mulai dini anak-anak sudah mencintai kesenian jaranan Turonggo Yakso dan menanamkan nilai-nilai di dalamnya dalam kehidupan sehari-hari; 3) adanya masyarakat yang kurang mendukung, masyarakat yang kurang mendukung bisa dari kelompok lain yang merasa iri dan
8
ada juga kelompok masyarakat yang fanatik. Sanggar Purwo Budoyo juga terus berupaya untuk mengemas kesenian jaranan Turonggo Yakso menjadi lebih menarik tanpa meninggalkan ciri khasnya supaya masyarakat lebih tertarik.
PEMBAHASAN Latar Belakang Berdirinya Sanggar Purwo Budoyo Kesenian jaranan Turonggo Yakso bersumber dari upacara baritan (bubar ngarit tanduran). Desa Dongko terjadi pagebluk kemudian Dukun/sesepuh mendapatkan petunjuk untuk melaksanakan upacara baritan. Mulai tahun 1965 sampai sekarang baritan tidak dilaksanakan lagi. Bapak Sutiyono menghidupkan kembali upacara baritan dalam bentuk seni jaranan yang dinamakan Turonggo Yakso yang memiliki arti Turonggo berarti jaran dan Yakso berarti buto. Yakso mempunyai empat nafsu jelek, yaitu: nafsu syaitonah, aluamah, serakah dan amarah. Keempat nafsu jelek tersebut dapat dikalahkan dengan nafsu yang baik yakni nafsu mutmoinah. Temuan tersebut sesuai dengan pendapat Setiadi (2008: 33-34) bahwa sifat hakiki dari kebudayaan yaitu: (1) budaya terwujud dan tersalurkan dari perilaku manusia; (2) budaya telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan; (3) budaya diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya; (4) budaya mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan. Temuan tersebut juga selaras dengan pendapat Yunus (1995: 1) kesenian berperan sebagai media komunikasi, kesenian lahir, tumbuh dan berkembang berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat dimana kesenian tersebut menampakkan eksistensinya. Latar belakang berdirinya sanggar Purwo Budoyo adalah adanya keinginan untuk melestarikan kesenian jaranan Turonggo Yakso yang merupakan kesenian asli Desa Dongko dan juga adanya keinginan untuk menghidupkan kembali kesenian-kesenian yang mulai memudar di Desa Dongko, dimana keseniankesenian itu akan dinaungi dalam wadah sanggar Purwo Budoyo yang nantinya dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan di dalam bidang seni. Sanggar Purwo Budoyo ingin terus melestarikan kesenian jaranan Turonggo Yakso karena
9
kesenian ini merupakan warisan dari nenek moyang. Selain itu juga karena banyak nilai baik yang dapat diambil dari kesenian jaranan Turonggo Yakso. Temuan tersebut sesuai dalam Wikipedia (2013) sanggar seni didirikan secara mandiri atau perorangan. Sanggar seni adalah suatu tempat atau sarana yang digunakan oleh suatu komunitas atau sekumpulan orang untuk berkegiatan seni. Sanggar seni bersifat non formal. Hampir semua prosesnya dilakukan di dalam sanggar apabila fasilitas yang ada di sanggar tersebut memadai. Keberlangsungan sanggar tergantung kepada minat masyarakat terhadap sanggar.
Program Kerja Sanggar Purwo Budoyo Program kerja sanggar Purwo Budoyo yaitu: (1) melaksanakan pertemuan/ rapat, untuk membahas suatu permasalahan ataupun merencanakan dan mengevaluasi kegiatan dan untuk menjalin silaturahmi dengan anggota; (2) melaksanakan latihan rutin, dilaksanakan pada hari Sabtu malam Minggu; (3) mengikuti festival dan pementasan, hal ini untuk meningkatkan prestasi dan untuk melestarikan budaya daerah; (4) mengadakan pelatihan, yaitu pelatihan gerak tari, pembuatan pakaian tari, pembuatan jaranan, pembuatan barongan dan pembuatan gamelan. Temuan tersebut sesuai dengan pendapat Indramawan (2013) yang menyebutkan bahwa kebudayaan dapat dilestarikan dalam dua bentuk yaitu: (1) Culture Experience, pelestarian kebudayaan yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke dalam sebuah pengalaman kultural; (2) Culture Knowledge, pelestian kebudayaan yang dilakukan dengan membuat suatu pusat informasi mengenai kebudayaan yang dapat dimanfaatkan untuk edukasi maupun untuk mengembangkan kebudayaan dan potensi wisata daerah.
Proses Penampilan Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Gerakan dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso dibagi menjadi dua yaitu ukel (gerak baku) dan lawung (gerak tambahan). Gerak ukel terdiri dari budalan, sembahan, negar sengkrak, sengkrak gejuk, sirik gejuk, gagak lincak, lompat gantung, loncat gejuk, makan minum, Perang-perangan, dan Ulih-ulihan.
10
Gerak lawung terdiri dari, lawung lumaksono, lawung ngigel, lawung nggareng, lawung reting, dan lawung tolehan. Alat musik yang digunakan dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso yaitu: kendang, gong, kenong, kempul, angklung, slompret, kentongan, balungan, demong, saron, tipung, dram dan kencreng. Properti penari yaitu jaranan, celengan, barongan, dan gendhir. Tahap-tahap penampilan kesenian jaranan Turonggo Yakso secara lengkap sebagai berikut: 1) periode 1: do’a dan sesaji, pawang keluar lalu membakar arang dan ditaburi kemenyan sambil membaca mantra ungakapan puji syukur. Kepala Desa dan perangkat Desa mendampingi pawang. Dayang-dayang yang berjumlah 4 gadis yang menggambarkan bidadari dari kayangan membawa bokor yang berisi bunga tiga warna. Dhadung Awuk menuntun jaranan menggambarkan kerbau dan sapi. Petani membawa dhadung/tampar menuntun hewan ternaknya; 2) periode 2: Dhadung Awuk, Dhadung Awuk keluar setelah itu satu persatu hewan ternak/jaranan dikeluarkan sampai berjumlah 6 ekor; 3) periode 3: rampokan celengan, datanglah pengganggu hewan ternak yaitu celeng. Kemudian terjadilah peperangan antara celengan dengan jaranan. Berkat persatuan dan kesatuan para jaranan, celengan kalah; 4) Periode 4: rampokan barongan/berhala, datanglah marabahaya yang lebih besar yaitu barongan/berhala. Hewan ternak/jaranan kalah berperang dengan berhala; 5) periode 5: perangnya berhala/barongan dengan Dhadung Awuk, Dhadung Awuk datang berperang melawan barongan dan barongan kalah. Penampilan kesenian jaranan Turonggo Yakso tidak selalu lengkap hal ini tergantung waktu. Apabila mengikuti festival tidak ada dayangdayanngnya, urutannya pawang keluar, kemudian periode Dhadung Awuk, rampokan celengan, rampokan berhala/barongan dan perangnya berhala/barongan dengan Dhadung Awuk. Termuan tersebut sejalan dengan pendapat Langer sebagaimana dikutip oleh Yunus (1995: 1) yang menyatakan fungsi utama dari seni adalah untuk mengobyektifkan perasaan. Kesenian merupakan unsur kebudayaan yang penting karena seni memiliki daya ekspresi yang dapat merefleksikan secara simbolik batiniah. Kesenian mempunyai kekhususan sendiri sesuai dengan kondisi dari masyarakat dimana kesenian tersebut hidup dan latar belakang dari timbulanya kesenian tersebut. Temuan juga selaras dengan pendapat Surur (2013: 62) ajaran
11
dalam kesenian jaranan mengandung makna dan gagasan yang hampir sama, bahwa kekuatan nafsu akan dikalahkan oleh kekuatan baik yang berasal dari kekuatan Tuhan.
Nilai Kearifan Lokal dalam Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Nilai kearifan lokal yang terkandung dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso yaitu: 1) nilai hiburan, kesenian jaranan Turonggo Yakso hiburan yang murah meriah dan menarik; 2) nilai pendidikan, kesenian jaranan Turonggo Yakso mengajarkan kepada masyarakat untuk bersyukur dan selalu berdoa kepada Tuhan agar diberikan keselamatan hal ini terlihat dalam gerakan sembahan; 3) nilai seni, kesenian jaranan Turonggo Yakso menggabungkan seni drama, seni musik dan seni tari; 4) nilai religi, sesaji-sesaji yang digunakan dalam pementasan kesenian Turonggo Yakso, dipersembahkan agar harapannya tercapai. Kemudian terlihat dalam gerakan sembahan, bermakna meminta keselamatan kepada Tuhan; 5) nilai perjuangan, hal ini terlihat pada perjuangan jaranan melawan celengan dan barongan; 6) nilai gotong royong, semua anggota dan masyarakat gotong royong saling membantu untuk dapat mensukseskan kegiatan; 7) nilai persatuan dan kesatuan, ditunjukkan dalam gerakan tari, sikap dan perilaku penari harus kompak dan serasi. Nilai persatuan dan kesatuan juga terlihat dalam adegan perang antara jaranan dengan celengan; 8) nilai moral, kesenian jaranan Turonggo Yakso mengandung nilai moral yaitu berbuat baik kepada sesama manusia dan juga kepada hewan dan tanaman. Selain itu antara anggota ditanamkan untuk saling menghargai. Temuan tersebut sesuai dengan pendapat Yunus (1995: 1-2) mengartikan seni sebagai “media komunikasi untuk berekspresi, untuk menyampaikan pesan, kesan, dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari lingkungannya”. Temuan tersebut juga sesuai dengan pendapat Ridwan (2007: 3) kearifan lokal merupakan hasil budaya masa lalu yang patut secara tarus menerus dijadikan pedoman hidap. Dalam masyarakat kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, tari, pepatah, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari.
12
Upaya Sanggar Purwo Budoyo dalam Melestarikan Nilai Kearifan Lokal dalam Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Upaya sanggar Purwo Budoyo dalam melestarikan nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso sebagai berikut: 1) memberikan informasi kepada anggota dan masyarakat. Dilaksanakan pada saat rapat dan latihan dan pementasan; 2) memberikan pelatihan kesenian jaranan Turonggo Yakso mulai TK sampai SMA. Siswa dilatih dan ditanamkan sejak kecil sehingga nilai-nilai yang baik yang ada dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso dapat menjadi pedoman dalam bertingkah laku; 3) membina skill para anggota dan masyarakat; 4) aktif mengikuti festival dan mengadakan pementasan. Hal ini selaras dengan pendapat Setiadi (2008: 41) hal yang terpenting dalam proses pengembangan kebudayaan adalah adanya kontrol atau kendali terhadap perilaku regular yang ditampilkan oleh para penganut kebudayaan. Kontrol sosial diperlukan yang akan menjadi suatu cambuk bagi komunitas yang menganut kebudayaan tersebut sehingga dapat memilah-milah kebudayaan yang sesuai dan yang tidak sesuai.
Kendala dan Upaya Mengatasi Kendala yang Dihadapi Sanggar Purwo Budoyo dalam Melestarikan Nilai Kearifan Lokal dalam Kesenian Jaranan Turonggo Yakso Kendala yang dihadapi sanggar Purwo Budoyo serta upaya mengatasi kendala tersebut sebagai berikut: 1) dana yang terbatas, sanggar kesulitan untuk mengikuti festival dan mengadakan pementasan. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya dengan menjalin kerjasama yang baik dengan pemerintah, masyarakat dan swasta; 2) masuknya budaya asing dan globalisasi, hal ini menyebabkan masyarakat kurang mencintai kesenian tradisional. Upaya untuk mengatasi kendala tersebut yaitu dengan melaksanakan pelatihan; 3) adanya masyarakat yang kurang mendukung. Hal ini diatasi dengan mengemas kesenian jaranan Turonggo Yakso menjadi lebih menarik tanpa meninggalkan ciri khasnya supaya masyarakat lebih tertarik. Temuan ini sejalan dengan pendapat Sartini (2004:117) yang menyatakan bahwa globalisasi menyebabkan adanya globalophobia, suatu bentuk ketakutan
13
terhadap arus globalisasi sehingga orang atau lembaga harus mewaspadai secara serius. Temuan tersebut juga sesuai dengan pendapat Setiadi (2008: 40) kebudayaan yang dimilki suatu kelompok tidak akan terhindar dari pengaruh kebudayaan kelompok lain dengan adanya kontak antar kelompok. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan-perubahan termasuk kebudayaan. Problematika dalam kebudayan terjadi karena adanya perbedaan pandangan hidup dan sistem kepercayaan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini dapat disusun kesimpulan sebagai berikut: (1) latar belakang berdirinya sanggar Purwo Budoyo adalah adanya suatu keinginan untuk melestarikan kesenian jaranan Turonggo Yakso; (2) Program kerja sanggar Purwo Budoyo yaitu melaksanakan pertemuan/ rapat, melaksanakan latihan rutin, mengikuti festival serta pementasan dan mengadakan pelatihan; (3) tahap-tahap penampilan kesenian jaranan Turonggo Yakso secara lengkap yaitu do’a dan sesaji, Dhadung Awuk, rampokan celengan, rampokan barongan/berhala, perangnya berhala/ barongan dengan Dhadung Awuk. Apabila mengikuti festival tahap penampilannya yaitu pawang keluar, kemudian periode Dhadung Awuk, rampokan celengan, rampokan berhala/ barongan dan perangnya berhala/barongan dengan Dhadung Awuk; (4) nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso yaitu nilai hiburan, pendidikan, seni, religi, perjuangan, gotong royong, persatuan dan kesatuan, dan moral; (5) Upaya yang dilakukan sanggar Purwo Budoyo dalam melestarikan nilai-nilai kearifan lokal dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso yaitu memberikan informasi kepada anggota dan masyarakat, memberikan pelatihan kesenian jaranan Turonggo Yakso, membina skill anggota sanggar dan masyarakat, dan aktif mengikuti festival; (6) Kendala yang dihadapi sanggar Purwo Budoyo yaitu dana yang terbatas, upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut dengan menjalin kerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan swasta, masuknya budaya asing dan globalisasi, upaya untuk mengatasinya dengan memberikan pelatihan, adanya masyarakat yang kurang mendukung,
14
diatasi dengan saling mengingatkan dan mengemas kesenian jaranan Turonggo Yakso menjadi lebih.
Saran Saran yang diberikan peneliti berdasarkan kesimpulan yang telah ditarik yaitu: (1) supaya kesenian jaranan Turonggo Yakso dapat terus lestari dan berkembang seharusnya antara sanggar Purwo Budoyo, masyarakat, dan pemerintah meningkatkan kerjasama yang baik; (2) supaya nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam kesenian jaranan Turonggo Yakso dapat lestari dan tertanam dalam diri anggota dan masyarakat seyogyanya sanggar Purwo Budoyo terus menanamkan dengan cara yang lebih menarik dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN Indramawan. 2013.Upaya Melestarikan Budaya Bangsa, (online), (http://iindramawan. blogspot.com/2013/03/upaya-melestarikan-budayabangsa.htm), diakses 26 Desember. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Ridwan, Nurma Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal, 5(1), (Online), (Http//:Ibda.Files.Wordpress.Com/.../2-Landasan-Keilmuan-Kearifan Local), diakses 25 November 2013. Sartini. 2004, Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati, 37(2. (Online), (Http//:Dgi-Indonesia.Com/.../Menggalikearifanlokalnusantara), diakses 25 November 2013. Setiadi, M, Elly. 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Prenada Media Goup. Usman, dkk. 2000. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara. Wikipedia. 2013. Sanggar seni, (online), (Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/ Sanggar_Seni), diakses tanggal 25 November 2013. Yunus, A., Dloyana, S., Mintosih, S., Soeloso & Saimun. 1995. Kesenian Dalang Jemblung Sebagai Penyebaran Nilai Budaya (Achadiyat, Anti, Ed). Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
15