FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI KECAMATAN NGOMBOL KABUPATEN PURWOREJO PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013. Dwi Hastuti1 dan A. Rahman2 1
2
Kebidanan Komunitas Fakultas Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Abstrak Infeksi Saluran Pernafasan Akut merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak dengan manifestasi ringan sampai berat (Pneumonia). Di dunia dperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena Pneumonia dari 9 juta total kematian balita. Pelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di wilayah Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan pendekatan kuantitatif dan rancangan penelitian cross sectional. Populasi penelitian adalah semua balita yang berada di wilayah Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Sampel penelitian berjumlah 323 balita yang diambil dengan cara Quota sampling. Analisis data dan uji statistik menggunakan chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi dan status imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita (p=1.000,OR=1.579) dan (P=0.437,OR=1.439). Ada hubungan kejadian ISPA pada Balita dengan pencemaran asap rokok oleh anggota keluarga (p=0.006,OR=2.102), pemberian ASI Eklsklusif (p=0,19,OR=1.847) dan status ekonomi orang tua (p=0.34,OR=1,754). Kesimpulan hasil penelitian: Status imunisasi dan status gizi tidak berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita, Pencemaran asap rokok oleh anggota keluarga, pemberian ASI Eksklusif dan status ekonomi orang tua mempunyai hubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Kata kunci : ASI Eksklusif, Pencemaran Asap Rokok, Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Status Gizi, Status Imunisasi, dan Status Ekonomi Orang Tua Abstract Acute Respiratory Infection (ARI) is a common disease in children with mild to severe manifestations (Pneumonia). In the world is estimated at more than 2 million Under Five Years Children died of pneumonia than 9 million total under-five deaths. The research aimed to determine Factors Associated with Acute Respiratory Infection incidence in Under Five Years Children in Ngombol District Purworejo Regency. This research is a research survey with quantitative approach and cross sectional research design. Research population was all children Under Five Years Children located in Ngombol District, Purworejo Regency.Number of sample was 323 Under Five Years Children were taken by Quota sampling. Data analysis and statistical test using chi square. The results showed that there was no relationship between nutritional status and immunization status of in Under Five Years Children with ARI incidence (p=1.000, OR=1,579) and (P=0.437, OR=1.439). No association ARI genesis in Under Five Years Children in with cigerette smoke pollution by family members (p=0.006, OR=2.102), Exclusive breastfeeding (p=0.19, OR=1,847) and parents' economic status (p=0:34, OR=1.754). The conclusion of the research : immunization status and nutritional status was not associated with the incidence of ARI in Under Five Years
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
Children, smoke pollution by family members, exclusive breastfeeding and economic status of the parents had a relationship with the incidence of ARI in Under Five Years Children in Ngombol District, Purworejo Regency. Keywords: Acute Respiratory Tract Infections, Exclusive breastfeeding, Economic Status of Parents, Immunization Status, Nutritional Status and Smoke Pollution. PENDAHULUAN Penyakit menular merupakan menyumbang hampir sepertiga dari penyebab kematian. Dalam UU No 36 tahun 2009 telah diatur bahwa: Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat bertanggung jawab melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya (Purwanto, 2011). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insidens menurut kelompok umur Balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun dinegara berkembang dan 0,05 per anak/tahun di negara maju. Ini menunjukkan bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia pertahun dimana 151 juta episode (21 juta) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta), China (21 juta), Pakistan (10 juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-135 kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjunngan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) ( Kemenkes RI, 2011). Pneumonia adalah pembunuh utama balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan gabungan AIDS, malaria dan campak. Di dunia setiap tahun diperkirakan lebih dari 2 juta balita meninggal karena Pneumonia (1 Balita/20 detik) dari 9 juta total kematian balita. Karena besarnya kematian pneumonia ini, pneumonia disebut sebagai “pandemi yang terlupakan”. Namun tidak banyak perhatian terhadap penyakit ini, sehingga pneumonia disebut juga pembunuh balita yang terlupakan (Kemenkes RI, 2011) Penyakit pneumonia menduduki peringkat ke 6 dari semua penyebab kematian, dan merupakan peringkat pertama kematian akibat penyakit infeksi di Amerika. Tahun 2002 WHO juga melaporkan bahwa angka kematian akibat pneumonia mencapai 25% di Spanyol, serta 12% atau 30/100.000 penduduk Inggris dan Amerika. Menurut profil Kesehatah RI tahun 2005, yang diperoleh dari hasil survei 2005 memperlihatkan kematian balita yang disebabkan oleh pneumonia sebesar 23,6% (Misba dkk, 2009) Menurut Riskesdas 2007 Pneumonia adalah penyakit penyebab kematian pada anak usia 1 sampai 4 tahun nomor dua setelah diare (15,5%). Sementara prevalensi ISPA
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
merupakan yang tertinggi pada balita yaitu lebih dari 35%, prevalensi pneumonia sebesar 5,2% dan prevalensi Campak 3,4%. Di Provinsi Jawa Tengah kasus ISPA tersebar diseluruh Kabupaten dengan rentang prevalensi yang sangat bervariasi (10,71% – 43,1%), sedangkan prevalensi ISPA di provinsi Jawa Tengan sebesar 29,1% dan prevalensi pneumonia adalah 2,1% dengan rentang 0,3% – 6,1%. Prevalensi ISPA pada kelompok umur balita sebanyak 50% dan pneumonia sebanyak 4,7%. Prevalensi ISPA di Kabupaten Purworejo sebesar 25,3% sedangkan prevalensi Pneumonia 0,6%. (Depkes RI 2009). Berdasarkan bukti bahwa faktor resiko pneumonia adalah kurangnya pemberian ASI Eksklusif, Gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (indoor air pollution), BBLR, kepadatan penduduk, dan kurangnya imunisasi Campak. Walaupun data yang tersedia terbatas, studi terkini masih menunjukkan Streptococcus pneumonia, Haemophilus influensa dan Respiratory Syncytial Virus sebagai penyebab utama pneumonia pada anak (Rudan et al dalam Kemenkes RI, 2011) Kabupaten Purworejo adalah Kabupaten yang berbatasan dengan provinsi daerah istimewa Yogyakarta. Pertukaran dan pencarian informasi kesehatan hampir tidak ada batas, begitu juga dengan pencarian pelayanan kesehatan. Akan tetapi dari hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA dan prevalensi Pneumonia di provinsi DIY lebih rendah dari pada di Provinsi Jawa Tengah, khususnya di Kabupeten Purworejo. Berdasarkan hasil Riskesda 2007 prevalensi ISPA di provinsi DIY sebesar 22,7 % sedangkan prevalensi ISPA dan Pneumonia di Provinsi Jawa tengah masing masing sebesar 29% dan 2,1%. Sedangkan di Kabupaten Purworejo Prevalensi ISPA dan Pneumonia masing masing 25, 3% dan 0,6%. Dari hasil Riskesdas juga menunjukkan data bahwa 50% penderita ISPA dan 4,7% penderita pneumonia
adalah balita. Dari beberapa uraian diatas penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai Faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Penyebab dan Teori Terjadinya Penyakit. Menurut WHO: “ Sehat adalah keadaan kesempurnaan fisik, mental, dan keadaan sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kelainan/cacat. Dengan demikian, sakit dapat diartikan sebagai suatu penyimpangan dari status penampilan yang optimal. Sedangkan penyakit merupakan suatu proses gangguan fisiologis (faal tubuh), serta atau gangguan psikologis/mental maupun suatu gangguan tingkah laku (behavior)” (Nasry Noor, 2008).
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
Dalam epidemiologi, pengertian penyebab penyakit berkembang dari rantai sebab akibat ke suatu proses kejadian penyakit, yaitu interaksi antara penjamu (manusia) dengan berbagai sifat biologis, fisiologis, psikologis, sosiologis, dan antropologis dengan penyebab (agen) serta lingkungan (environmen). Ketiga unsur tersebut harus dipertahankan keseimbangannya, karena jika terjadi ganguan keseimbangan antara ketiganya akan menyebabkan timbulnya penyakit.(Nur Nasry Noor, 2008) Pencemaran Udara Menurut Chamber (1976) dan Master (1991) yang dimaksud
pencemaran udara
adalah bertambahnya bahan atau substrak fisik atau kimia di dalam lingkungan udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (atau yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vetegasi dan material. Sedangkan menurut Kumar (1987) pencemaran udara adalah adanya bahan polutan diatmosfer yang dalam konsentrasi tertentu akan menggangu keseimbangan dinamik diatmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungan ( Mukono, 2000). Waktu tinggal pada anak, bayi, orang tua dan penderita penyakit kronis lebih banyak didalam ruangan. Bahan polutan didalam rumah, tempat kerja maupun dalam gedung, kadarnya berbeda dengan bahan polutan diluar ruangan. Meningkatnya kadar bahan polutan diruangan dapat berasal dari penetrasi polutan diluar ruangan dan sumber polutan didalam ruangan seperti asap tembakau, asap yang berasal dari dapur dan pemakain obat anti nyamuk. Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) ISPA adalah penyakit saluran pernafasan yang bersifat akut dengan berbagai macam gejala (sindrom). Penyakit ini disebabkan oleh berbagai sebab (multifaktorial). Meskipun organ saluran pernafasan yang terlibat adalah hidung, laring, tenggorok, bronkus, trakea, dan paru paru, tetapi yang menjadi fokus adalah paru-paru (Widiyono, 2011). Klasifikasi penyakit ISPA terdiri dari : Bukan Pneumoni (batuk yang tidak menunjukan gejala frekwensi nafas dan tidak menunjukan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke arah dalam), Pneumonia (didasarkan pada adanya batuk dan atau kesukaran bernafas dan nafas cepat), Pneumonia berat (batuk, sesak nafas dan disertai chest indrowing). ASI Eksklusif ASI adalah Air Susu Ibu yang merupakan makanan terbaik untuk bayi. Disamping zat-zat yang terkandung didalamnya ASI mempunyai beberapa keuntungan yaitu : steril, aman dari pencemaran, selalu tersedia dalam suhu yang optimal, produksi disesuaikan dengan usia bayi, mengandung antibodi yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh kuman atau virus, tidak menimbulkan alergi.
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
Pemberian ASI Eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu air teh, dan air putih serta tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan nasi tim kecuali vitamin, mineral dan obat. Karena pentingnya ASI bagi bayi, para ahli menyarankan agar ibu menyusui bayinya selama 6 bulan sejak kelahirannya yang lebih dikenal dengan ASI Eksklusif. Status Gizi Penyakit infeksi dan keadaan gizi kurang sangat erat kaitannya, merupakan hubungan timbal balik dan merupakan sebab akibat. Keadaan gizi yang tidak baik akan mempermudah timbulnya infeksi, begitu juga sebaliknya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan gizi. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan masalah gizi antara lain diare, tuberkulosis, campak dan batuk rejan. Antopometri merupakan salah satu cara penilaian status gizi secara langsung. Antopometri berarti ukuran tubuh manusia, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi dan ukuran tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Antopometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan energi protein. (Supariasa dkk, 2002).Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 290 tahun 2000 sebagai penetapan dari hasil Temu Pakar Gizi Bulan Juni 2000 di Semarang penggolongan status gizi adalah sebagai berikut: A. Indeks BB/U
B. Indeks TB/U
-
Gizi Buruk
: < -3 SD
-
Anak Pendek : < -2 SD
-
Gizi Kurang
: > -3 Sd s/d < -2 SD
-
Anak Normal : > -2 SD
-
Gizi Baik
: > -2 SD s/d < +2 SD
-
Gizi Lebih
: > +2 SD
C. Indeks BB/TB -
Sangat Kurus : < -3 SD
-
Kurus
: > -3 Sd s/d < -2 SD
-
Normal
: > -2 SD s/d < +2 SD
-
Gemuk
: > +2 SD
(Ramadhan, 2012). Imunisasi Vaksin adalah suatu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang menjadi penyebab penyakit yang bersangkutan, yang telah dilemahkan atau dimatikan atau diambil sebagian atau mungkin tiruan dari kuman penyebab penyakit, yang secara sengaja dimasukkan ke
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
dalam tubuh seseorang yang bertujuan merangsang timbulnya zat antipenyakit kepada orang tersebut, sehingga memiliki kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Achmadi, 2006). Tidak semua penyakit dapat dicegah dengan imunisasi. Berbagai penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi dapat dikelompokkan ke dalam 2 kelompok vaksin, yakni vaksin yang tergabung dalam kelompok vaksin virus dan kelompok vaksin bakteri. Kelompok vaksin bakteri misalnya tuberkulosis, difteri, pertusis, tetanus, meningitis, tipus abdominalis, kolera, pneumonia dan lain lain. Sedangkan vaksin virus antara lain campak, polio, hepatistis B, hepatitis A, influensa dan lain sebagianya. Beberapa penyakit lainnya vaksinnya masih dikembangkan seperti demam berdarah, malaria, HIV/Aids dan lainnya. Pengertian Status Ekonomi Status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Menurut BPS Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dengan sisi pengeluaran yang dikonseptualisasikan dengan garis kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah besarnya nilai rupiah pengeluaran perkapita setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap berada pada kehidupan yang layak ( BPS, 2011) METODA PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian mengenai kejadian penyakit ISPA pada Balita dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada balita di wilayah Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif dengan rancangan peneltian survey cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh balita yang ada di wilayah Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo tahun 2013. Sampel dalam penelitian ini adalah balita yang datang berobat ke Puskesmas Ngombol pada bulan April sampai bulan Juni 2013. Tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quota sampling. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat dan analisis bivariat. Pembuktian hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji Chi-square dengaaan derajat kemaknaan (p) 0,05.
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
HASIL DAN PEMBAHASAN Kecamatan Ngombol adalah satu satu kecamatan di Kabupaten Purworejo. Luas wilayah Kecamatan Ngombol kurang lebih 55,27 Km2 dan seluruh wilayah Kecamatan Ngombol merupakan dataran rendah dimana sebagian besar merupakan lahan pertanian. Secara administratif Kecamatan Ngombol terbagi menjadi 57 desa, dengan jumlah penduduk 30.882 jiwa terdiri dari laki laki 15.351 dan perempuan 15.471 dengan kepadatan penduduk 558/ Km2. Sebagian besar penduduk Kecamatan Ngombol bermata pencaharian petani. Kecamatan
Ngombol secara umun memiliki iklim yang sama
dengan wilayah
Kabupaten Purworejo dan hampir sama dengan di Indonesia pada umumnya yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Musim penghujan biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai dengan September. Tabel 1. Karakteristik Balita Menurut Jenis Kelamin dan Umur di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Karakteristik
Frekuensi
Jenis Kelamin Laki Laki Perempuan
181 142
Umur 0 – 1 tahun 1 – 2 tahun 2 – 3 tahun 3 – 4 tahun 4 – 5 tahun
77 69 69 66 42
Persentase (%) 56,0 44,0
23,8 21,4 21,4 20,4 13,0
Berdasarkan Tabel 1 di atas terlihat bahwa karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin antara jumlah laki laki dan perempuan perbandingannya hampir sama, meskipun jumlah laki laki lebih banyak dari pada jumlah perempuan. Hampir semua kelompok golongan umur 0 sampai 4 tahun prosentasenya relatif sama yaitu berkisar antara 20 sampai 24 persen. Sedangkan jumlah yang paling sedikit adalah pada kelompok usia 4-5 tahun. Tabel.2. Distribusi Frekuensi Balita Berdasarkan Jenis Penyakit, Status Gizi, Status Imunisasi, Pemberian ASI Eksklusif, Status Merokok Anggota Keluarga dan Status Ekonomi di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Karakteristik Penyakit Non ISPA ISPA
Frequency ( f )
Percent ( % )
91 232
28,2 71,8
Universitas Indonesia
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Karakteristik Status Gizi Normal Kurus Status Imunisasi Lengkap Tidak Lengkap ASI Eklusif Eksklusif Tidak Eklusif Status Merokok Anggota Keluarga Tidak Merokok Merokok Status Ekonomi Orang Tua Non Maskin Maskin
Frequency ( f )
Percent ( % )
318 5
98,5 1,5
278 45
86,1 13,9
132 191
40,9 59,1
100 223
31,0 69,0
163 160
50,5 49,5
Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa: -
Subyek penelitian yang menderita ISPA hampir tiga kali lipat dibanding dengan yang menderita Non ISPA, dan hampir seluruh subyek penelitian memiliki status gizi normal.
-
Presentese subyek penelitian yang mendapatkan imunisasi lengkap jauh lebih banyak dari pada yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap sedangkan prosentase subyek penelitian yang terpapar asap rokok oleh anggota keluarga 2 kali lipat lebih banyak dari pada yang tidak tercemar asap rokok oleh anggota keluarganya.
-
Jumlah subyek penelitian yang berasal dari masyarakat miskin dan non miskin relatif sama dan subyek penelitian yang mendapatkan ASI Eksklusif lebih sedikit dibandingkan yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif.
Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA Berdasarkan hasil penelitian didapatkan ¾ dari subyek penelitaian, dalam hal ini balita yang berkunjung ke Puskesmas Ngombol menderita Infeksi Saluran Pernafasan Atas.Tingginya kasus ISPA pada balita tidak disebabkan hanya oleh satu fakto saja karena pada dasarnya tidak ada penyakit yang timbul disebabkan oleh satu faktor tunggal, akan tetapi di sebabkan oleh berbagai faktor yang saling mendorong terjadinya penyakit. ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, dimana insiden ISPA pada anak diperkirakan 0,29 episode per anak pertahun di negara berkembang. Indonesia merupakan salah satu negara dimana kasus ISPA nya terbanyak di dunia selain negara India, China dan Pakistan. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan di Rumah Sakit. Episode batuk pilek pada Balita di Indonesia
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
diperkirakan 2-3 kali pertahun. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%). Berdasarkan fakta menunjukkan bahwa faktor resiko pneumonia adalah kurangnya pemberian ASI Eksklusif, Gizi buruk, polusi udara dalam ruangan (indor air polutan), BBLR kepadatan penduduk dan kurangnya imunisasi campak (Kemenkes, 2011) ISPA diklasifikasikan menjadi 3 yaitu Bukan Pneumonia, Pneumonia dan Pneumonia Berat. Bukan Pneumonia mencakup kelompok balita dengan batuk yang tidak menunjukkan adanya gejala frekuensi pernafasan yang cepat dan tidak menunjukkan adanya tarikan dada bagian bawah ke dalam, seperti Common Cold, faringitis, tonsilitis dan otitis (Widiyono, 2011). Pada penelitian ini yang dimaksud Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita adalah ISPA Non Pneumonia yaitu ISPA yang ditandai dengan gejala panas, batuk dan pilek tanpa disertai penafasan yang cepat dan tanpa adanya tarikan dala bagian bawah kedalam. Balita diagnosa ISPA oleh petugas yang memriksa dalam hal ini adalah bidan yang bertugas di bagian KIA dengan menggunakan Manajemen Terpadu Balita Sakit. Beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA di Kecamatan Ngombol adalah rendahnya cakupan ASI Eksklusif, tingginya masyarakat yang merokok dimana dari hasil pendataan PHBS hampir 65%
ada anggota keluarga yang merokok. Kebanyakan
pencemaran asap rokok dilakukan oleh orang tua balita dimana sebagian besar kebisaan merokok dilakukan di dalam rumah. Rendahnya prosentase rumah sehat (27,2%) juga dimungkinkan sangat mempengaruhi kejadian ISPA pada balita. Balita merupakan kelompok umur yang rentan terhadap penyakit infeksi, jika balita tinggal di rumah yang tidak sehat, maka balita akan mudah terserang penyakit. Hasil penelitian Ardianto dan Yudhastuti mengenai kejadian ISPA pada pekerja pabrik yang tinggal di Kecamatan Rungkut, Surabaya yang merupakan kawasan industri menyimpulkan bahwa faktor lingkungan rumah yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA adalah kepadatan hunian ruang, luas ventilasi, suhu kamar, kelembaban, lama tinggal di hunian, dan kebiasaan merokok. Hasil penelitian Nuryanto di Palembang Tahun 2010 menyatakan bahwa faktor yang berhubungan dengan penyakit ISPA pada balita adalah status gizi balita, status imunisasi, kepadatan tempat tinggal, keadaan ventilasi rumah, status merokok orang tua, tingkat pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan ibu, dan sosial ekonomi keluarga. Sedangkan faktor yang dominan penyebab terjadinya ISPA pada balita adalah balita kurang gizi, balita
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
tidak mendapat imunisasi, terdapat anggota keluarga yang merokok di dalam rumah, jumlah anggota keluarga yang padat, dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua. Hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada Balita Tabel 3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
Status Gizi Normal Kurus Total
Jenis Penyakit Non ISPA ISPA n (%) n (%) 90 (28,3) 228 (71,7) 1 (20,0) 4 (80,0) 91 (28,2) 232 (71,8)
Total n (%) 318 (100) 5 (100) 323 (100)
OR (95% CI)
P Value
1,579 (0,174-14,319)
1,000
Hasil analisis bivariat antara status gizi dengan kejadian ISPA diperoleh hasil bahwa hampir semua balita yang menderita ISPA memiliki status Gizi normal. Dari hasil uji statistik ternyata di Kecamatan Ngombol status Gizi tidak berpengaruh terhadap kejadian ISPA. Menurut Kemenkes RI (2011) status gizi seseorang dapat mempengaruhi kerentanan terhadap penyakit infeksi, begitu juga sebaliknya. Balita merupakan kelompok yang rentan terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga apabila kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang penyakit infeksi, salah satunya pneumonia. Keadaan gizi kurang dan penyakit infeksi sangat erat kaitannya. Gizi sangat penting untuk pertumbuhan, perkembangan dan pemeliharaan aktifitas tubuh. Tanpa asupan gizi yang cukup, maka tubuh akan mudah terkena penyakit salah satunya penyakit infeksi. Salah satu faktor yang sangat penting dan sangat berpengaruh secara timbal balik dengan keadaan kekurangan gizi adalah penyakit infeksi dan parasit. Keadaan gizi yang tidak baik akan mempermudah timbulnya infeksi, begitu juga sebaliknya (Supariasa dkk, 2002). Meskipun di puskemas Ngombol kasus Gizi buruk tidak ada dan status Gizi kurang sedikit akan tetapi kasus Infeksi Saluran Pernafasan Akut cukup tinggi, hal ini memperlihatkan bahwa kejadian penyakit ISPA sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain sesuai dengan konsep penyebab dan teori terjadinya penyakit. Hasil penelitian Rahmawati di URJ Anak RSU dr Soetomo Surabaya Tahun 2008 (c2 hitung 4,54) dan Nuryanto di Palembang Tahun 2001 (p=0,004) menyatakan ada hubungan antara status gizi balita dengan penyakit ISPA pada balita. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Cross Sectioanal seperti yang digunakan pada penelitian di Kecamatan Ngombol. Hasil penelitian di Kecamatan Ngombol tidak sejalan dengan penelitian Rahmawati dan Nuryanto, hal ini dimungkinkan karena jumlah sampel yang berbeda. Selain jumlah
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
sampel berbeda penggolongan status gizi yang digunakan pada penelitian ini juga berbeda. Penggolongan status gizi yang digunakan Rahmawati adalah baik, sedang, kurang dan buruk dan yang digunakan oleh Nuryanto adalah kurang dan baik, dimana penggolongan status gizi tersebut berdasarkan berat badan dibandingkan dengan umur. Sedangkan pada penelitian ini penggolongan status gizi yang di gunakan adalah berdasarkan berat badan menurut tinggi badan dan LILA yaitu sangat kurus, kurus, normal dan gemuk. Balita di katakan sangat kurus jika ditandai BB/PB-BB/TB <-3SD atau pada anak usia 6-59 bulan dengan LILA <11,5 cm, dan balita dikatakan kurus (kurang) jika ditandai BB/TB-BB/TB -2SD s/d -3SD atau pada anak usia 6-59 bulan dengan LILA 11,5 cm – 12,5 cm. Dari laporan bulanan Program Gizi Puskesmas Ngombol di dapatkan data bahwa hanya ada 0,4 % balita dengan status gizi kurang (kurus) dan tidak ada balita dengan status Gizi buruk (sangat kurus). Tinggi badan memberikan gambaran fungsi pertumbuhan yang dilihat dari keadaan kurus kering dan kecil pendek. Tinggi badan sangat baik untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita. Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk Indeks TB/U ( tinggi badan menurut umur), atau juga indeks BB/TB ( Berat Badan menurut Tinggi Badan) jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya dilakukan setahun sekali. Penggunaan berat badan dan tinggi badan akan lebih jelas dan sensitive/peka dalam menunjukkan keadaan gizi kurang bila dibandingkan dengan penggunaan BB/U. Keadaan indeks ini pada umumnya memberikan gambaran keadaan lingkungan yang tidak baik, kemiskinan dan akibat tidak sehat yang menahun ( Depkes RI, 2004). Hubungan antara Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita Tabel 4. Hubungan status Imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
Status Imunisasi Lengkap Tidak Lengkap Total
Jenis Penyakit Non ISPA ISPA n (%) n (%) 81 (29,1) 197 (70,9) 10 (22,2) 35 (77,8) 91 (28,2) 232(71,8)
Total n (%) 278 (100) 45 (100) 323 (100)
OR (95% CI)
P Value
1,439 (0,681-3.043)
0,437
Hasil analisis hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA diperoleh bahwa balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dan menderia penyakit ISPA lebih banyak pada balita yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita.
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
Vaksin adalah suatu bahan yang berasal dari kuman atau virus yang menjadi penyebab penyakit yang bersangkutan, yang telah dilemahkan/dimatikan atau diambil sebagian atau mungkin tiruan dari kuman penyebab penyakit, yang secara sengaja dimasukkan ke dalam tubuh seseorang yang bertujuan merangsang timbulnya zat anti penyakit kepada orang tersebut, sehingga memiliki kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan (Achmadi, 2006). Anak diimunisasi berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Cakupan imunisasi yang lengkap, meliputi imunisasi Hepatitis (anti hepatitis), BCG (anti tuberkulosis), DPT (anti difteri, pertusis dan tetanus), Polio (anti poliomilitis) dan Campak (anti campak), menjadi salah satu faktor yang sangat penting bagi balita untuk mendapatkan kekebalan terhadap penyakit tertentu. Imunisasi merupakan salah satu alat pencegahan yang paling efektif. Imunisasi Dipteria dan Pertusis merupakan salah satu imunisasi yang memberikan kekebalan terhadap penyakit saluran pernafasan. Imunisasi Campak memberikan kekebalan terhadap penyakit campak, dimana penyakit campak dapat menimbulkan komplikasi pneumonia atau radang paru yang merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang berat( Achmadi, 2006) Cakupan imunisasi diwilayah Kecamatan Ngombol telah mencapai target yaitu cakupan imunisasi BCG 100%, DPT/HB I 90,9 %, DPT/HB III 90,9%, Polio III 100%, dan Campak 88,3 %. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar balita mendapatkan imunisasi lengkap. Pada penelitian ini menunjukkan bahwa status imunisasi tidak berhubungan dengan kejadian ISPA, hal ini karena penyakit ISPA pada balita sangat dipengaruhi oleh banyak faktor selain faktor imunisasi dasar yang diperoleh oleh balita. Imunisasi yang diberikan pada balita di puskesmas adalah imuinisasi dasar yang memberikan kekebalan terhadap penyakit TBC, hepatitis, dipteri, pertusis, polio dan campak. Pada beberapa laporan yang ada di puskesmas Ngombol tidak tercatat adanya balita yang menderita penyakit-penyakit tersebut. Kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut pada balita di kecamatan Ngombol adalah ISPA non pneumonia yang ditandai dengan gejala panas, batuk dan pilek bukan pneumonia atau ISPA yang terjadi karena penyakit difteri, pertusis dan campak. Selain hal tersebut pengaruh iklim dan cuaca juga dianggap berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada Balita di wilayah kecamatan Ngombol.
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
Hubungan antara Status Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita Tabel 5. Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013
Status Merokok Anggota Keluarga Tidak Merokok Merokok Total
Jenis Penyakit Non ISPA ISPA n (%) n (%) 39 (39,0) 61 (61,00 52 (23,3) 171 (76,7) 9 (28,2) 232 (71,8)
Total n (%) 100 (100) 223 (100) 323 (100)
OR (95% CI)
P Value
2,102 (1,265-3,493)
0,006
Hasil analisi bivariat antara adanya anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA diperoleh bahwa sekitar 2/3 balita yang tinggal bersama anggota keluarga yang merokok menderita penyakit ISPA. Hasil uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa adanya anggota keluarga yang merokok mempunyai hubungan yang bermakna
dengan kejadian ISPA.
Besarnya risiko menderita ISPA pada anak balita yang tinggal bersama anggota keluarga yang memiliki kebiasaan merokok sebesar 2 kali lebih besar dibandingkan anak balita yang tinggal bersama anggota keluarga yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa risiko balita terkena ISPA akan meningkat jika tinggal bersama dengan anggota keluarga yang merokok. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Aji Yuwono Tahun 2008 di Puskesmas Kawunganten, Kabupaten Cilacap yang menunjukkan bahwa kebiasaan anggota keluarga yang merokok berhubungan dengan kejadian Pneumonia pada balita (p=0,022) dan hasil penelitian Nuryanto tahun 2010 di Palembang yang menunjukkan hasil ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA (p=0,005). Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substak fisik atau kimia di dalam udara normal yang mencapai sejumlah tertentu, sehingga dapat menimbulkan efek kepada manusia (Chamber dan Master dalam Mukono, 2000). Asap rokok merupakan salah satu bahan pencemar udara yang mengandung patikel partikel berbahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Terdapat lebih dari 4.000 jenis senyawa yang terdapat dalam asap rokok, banyak diantaranya telah terbukti bersifat racun atau menimbulkan racun dan menimbulkan gannguan kesehatan. Sebanyak 43 zat karsinogen telah diidentifikasi, termasuk diantaranya nitromines, benzo (a) pyrene, kadmium, nikel, dan zinc. Karbon monoksida, nitrogen oksida, dan partikulat juga merupakan diantara bahan-bahan beracun yang terkandung dalam asap rokok.
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
Berdasarkan fakta, menunjukkan bahwa salah satu faktor resiko terjadinya pneumonia adalah adanya polusi udara dalam ruangan (indor air pollution). Waktu tinggal pada anak, bayi, orang tua dan penderita penyakit kronis lebih banyak didalam ruangan. Adanya pencemaran udara di dalam rumah yang disebabkan oleh asap rokok dapat merusak mekanisme pertahanan paru-paru, sehingga mempermudah timbulnya gangguan saluran pernafasan. Gangguan pernafasan ini lebih mudah terjadi pada balita disebabkan balita lebih rentan terhadap efek polutan. Selain itu keberadaan balita yang lebih lama di dalam rumah juga menyebabkan dosis pencemar yang diterima akan lebih tinggi (balita terpapar lebih lama). Dari hasil pendataan PHBS hampir 655 rumah tangga memiliki anggota keluarga yang merokok. Sebagian besar mpenduduk merokok didalam rumah sehingga balita yang sebagian besar waktunya berada didalam rumah juga tercemar oleh asap rokok orang tua. Hubungan antara Status Ekonomi dengan kejadian ISPA pada Balita Tabel 6. Hubungan Status Ekonomi Orang Tua dengan Kejadian ISPA pada Balita di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Status Ekonomi Orang Tua Non Maskin Maskin Total
Jenis Penyakit Non ISPA ISPA n (%) n (%) 55 (33,7) 108 (66,3) 36 (22,5) 124 (77,5) 91 (28,2) 232 (71,8)
Total n (%) 163 (100) 160 (100) 323 (100)
OR (95% CI)
P Value
1,754 (1,071-2,872)
0,034
Hasil analisis hubungan antara status ekonomi dengan kejadian ISPA diperoleh bahwa balita yang menderita ISPA lebih banyak pada balita yang status sosial ekonomi keluarganya rendah (maskin) dan hasil uji statistik diperoleh nilai bahwa balita dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai peluang lebih besar menderita ISPA dibandingkan balita dengan status sosial ekonomi keluarga yang tinggi. Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Hal ini juga terlihat dari data kesehatan lingkungan yang ada di puskesmas Ngombol, dimana jumlah rumah sehat yang ada hanya 1.955 rumah (27,2%) dari 7.178 rumah yang diperiksa, sedangkan rumah yang memiliki tempat pembuangan sampah dan SPAL yang memenuhi syarat kesehatan hanya sekitar 34,1% dan 48,2%. Status sosial ekonomi yang rendah juga akan berdampak pada kondisi kepadatan tempat tinggal yang buruk (padat penghuninya) yang disebabkan ketidakmampuan penyediaan tempat tinggal. Rendahnya pendapatan juga dapat menyebabkan kurangnya daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan, sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
gizi buruk, maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun, sehingga memudahkan terkena penyakit infeksi. Tingkat penghasilan keluarga erat hubungannya dengan pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan dan upaya pencegahan penyakit. Status sosial ekonomi yang rendah menyebabkan seseorang kurang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli obat, membayar transport dan lainnya. Masyarakat miskin umumnya memperlihatkan pengetahuan tentang kesehatan yang rendah serta keadaan lingkungan termasuk kesehatan lingkungan rumah yang buruk. Meskipun pemerintah telah menjamin biaya pelayanan kesehatan pada masyarakat miskin akan tetapi tingkat sosial ekonomi yang rendah masih sangat mempengaruhi segala aspek dalam hidup seseorang dan saling berkaitan. Hubungan antara Pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA pada Balita Tabel 7. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Pemberian ASI Eksklusif Eksklusif Tidak Eksklusif Total
Gangguan Kesehatan Non ISPA ISPA n (%) n (%) 47 (35,6) 85 (64,4) 44 (23,0) 147 (77,0) 91 (28,2) 232 (71,8)
Total n (%) 132 (100) 191 (100) 323 (100)
OR (95% CI)
P Value
1,847 (1,131-3,016)
0,019
Analisis hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA diperoleh bahwa balita yang mengalami ISPA lebih banyak pada balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif. Hasil uji statistik disimpulkan ada hubungan antara penyakit ISPA pada balita dengan pemberian ASI Eksklusif, balita yang tidak mendapatkan ASI Eksklusif mempunyai peluang 1.84 kali menderita ISPA dibandingkan balita yang mendapatkan ASI Eksklusif. ASI adalah Air Susu Ibu yang merupakan makanan terbaik untuk bayi. ASI mengandung antibodi yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh kuman atau virus dan tidak menimbulkan alergi. ASI mengandung Imonoglubolin, semua macan imunoglobulin terdapat didalam ASI. Imunoglobulin memberikan mekanisme pertahanan yang efektif terhadap bakteri dan virus. Di dalam ASI Imunoglobulin A merupakan imunoglubulin yang terpenting, selain karena konsentrasinya yang tinggi juga karena aktifitas biologiknya (Soetjiningsih,1997). Cakupan ASI Eksklusif di Puskesmas Ngombol masih rendah, bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif (Lulus E6) sebesar 62 %. Berdasarkan bukti menunjukkan bahwa salah satu faktor resiko pneumonia adalah kurangnya pemberian ASI Eklsusif. Bayi yang mendapatkan
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
ASI Eksklusif akan mendapatkan kekebalan yang terkandung didalam ASI, sehingga balita tidak rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus salah satunya ISPA. KESIMPULAN Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 dapat diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan yang bermakna antara status merokok anggota keluarga, pemberian ASI Eksklusif, dan status ekonomi orang tua dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita. Sedangkan status gizi dan status imunisasi tidak berhubungan dengan sebagai Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang ada di Puskesmas Ngombol sehingga tidak dapat melihat faktor-faktor lain yang berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita khususnya yang berhubungan dengan lingkungan rumah karena data tersebut tidak terdokumentasi oleh Puskesmas. SARAN Berdasarkan simpulan penelitian dapat diberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Meningkatkan kegiatan promosi kesehatan baik perorangan maupun kelompok tentang ASI Ekslusif, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat serta Kesehatan Lingkungan. 2. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam menggalakkan ASI Eksklusif dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. 3. Meningkatkan kerja sama lintas sektor dalam meningkatkan kesehatan masyarakat untuk menurunkan prevalensi ISPA. 4. Melakukan kerja sama dengan Badan Narkotika Nasional untuk mengadakan sosialisasi dan kampanye anti rokok. 5. Meningkatkan kerjasama lintas sektor dalam meningkatkan ekonomi keluarga melalui pelatihan pelatihan dan pemberdayaan perempuan.
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA 1. Achmadi, Umar Fahmi (2006) ; Imunisasi Mengapa Perlu?, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2. Ardianto, Denny dan Yudhastuti, Ririh (2012) ; Kejadian Infeksi Pernafasan Akut Pada Pekerja Pabrik, Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat nasional Volume 6 Nomor 5 bulan April Tahun 2012, FKM UI Depok 3. Arikunto, Suharsimi. (2010) ; Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik; Penerbit Rineka Cipta; Jakarta. 4. Cheng Teik ; http://www.mpaweb.org.my/article.php?aid=83 diakses tanggal 1 November 2012 5. Depkes RI.(2009) ; Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Provinsi Jawa Tengah tahun 2007, Jakarta. 6. Depkes RI.(2009) ; Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar RISKESDAS Indonesia Tahun 2007, Jakarta. 7. Depkes RI. (2008) ; Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten / Kota; Jakarta. 8. Hidayat, Aziz Alimul (2010) ; Metode Penelitian Kesehatan, Paradigma Kuantitatif; Penerbit Health Books Publishing; Surabaya. 9. Hastono, Sutanto Priyo (2011); Analisa Data Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 10. Kemenkes RI (2011); Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk, Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Jakarta. 11. Kemenkes RI (2011); Pedoman Pengendalian Infeksi saluran Pernafasan Akut, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyeatan Lingkungan, Jakarta. 12. Mandal B.K. ( 2002); Lecture Notes Penyakit Infeksi, Penerbit Erlangga, Jakarta. 13. Mukono, (2000) ; Prinsip dasar Kesehatan Lingkungan, Penerbit Airlangga Universiti Press, Surabaya. 14. Nur Nasry Noor, (2008) ; Epidemiologi, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta. 15. Notoatmojo, Sukijo (2010) ; Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. 16. Prasetyo, Dwi Sunar (2009) ; Buku Pintar ASI Eksklusif, Pengenalan, Praktik dan kemanfaatan-kemanfatannya, DIVA Pres, Jogjakarta. 17. Rahmawati , (2008) ; Hubungan Antara Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di URJ Anak RSU dr. Soetomo Surabaya , Indonesian Scientific Journal
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia
Database,
diakses
tanggal
23
Mei
2013
,
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?act=tampil&id=26212&idc=24 18. Supariasa, dkk (2002) ; Penilaian Status Gizi, penerbit EGC , Jakarta. 19. Widiyono (2011) ; Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya; Penerbit Erlangga, Jakarta. 20. Yudhastuti, Ririh dan Ardianto Y. Deni (2012) ; Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut Pada pekerja Pabrik, Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Volume 6 Nomor 5, April 2012; Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta 21. Yuwono, Tulus Aji (2008) ; Faktor–Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap, Fkm.unsrat.ac.id/wp-ontent/uploads /2012/ 11/jurnal-skripsi-yoan.docx, diakses tanggal 28 Mei 2013 https://www.google.com/search?q =utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:enUS:official&client=firefox-a
Faktor-faktor ..., Dwi Hastuti, FKM UI, 2013
Universitas Indonesia