DUPLEX STAINLESS STEEL
Oleh: Mohamad Sidiqi Pendahuluan Stainless Steel (SS) adalah baja dengan sifat ketahanan korosi yang sangat tinggi di berbagai kondisi lingkungan, khususnya pada atmosfer ambient (lingkungan). Sifat ketahanan korosi dihasilkan oleh adanya paduan unsur kromium (Cr) dengan konsentrasi sedikitnya 11% yang membentuk lapisan oksida pelindung di permukaan. Ketahanan korosi juga dapat ditingkatkan dengan penambahan unsur nikel (Ni) dan molibdenum (Mo). Pada umumnya SS dikelompokkan menjadi empat bagian berdasarkan fasa yang dominan hadir dan kemampuan untuk ditingkatkan kekuatannya, yaitu: 1. Ferritic / Martensitic Ferritic SS memiliki struktur kristal BCC, bersifat magnetis dan tidak bisa ditingkatkan kekuatannya dengan heat treatment. Sifat yang menonjol dari jenis ini adalah kekuatannya tinggi namun ketangguhannya rendah. Sedangkan Martensitic SS merupakan jenis baja yang berasal dari Ferritic SS yang di treatment lebih lanjut. Jenis ini memiliki struktur kristal BCT, berifat magnetis dan dapat di heat treatment. Jenis ini memiliki kekerasan yang sangat tinggi dibanding kedua jenis di atas namun lebih getas, karena hadirnya fasa martensit. 2. Austenitic Austenitic SS memiliki struktur kristal FCC, bersifat non magnetis dan tidak bisa di heat treatment seperti jenis ferritic. Sifat yang dominan dari jenis ini adalah kekuatannya rendah tetapi ketangguhannya tinggi. 3. Duplex Duplex Stainless Steel (DSS) adalah jenis SS dengan gabungan dua fasa, dalam proporsi yang seimbang, antara ferit dan austenit. DSS dikembangkan untuk memperoleh material superior dalam hal ketahanan korosi, kekuatan dan kemudahan fabrikasi melalui penggabungan struktur ferrit dan austenit. 4. Precipitation Hardenable SS
Precipation hardenable SS adalah baja paduan besi-kromium-nikel. Tipe ini memiliki ketahanan korosi lebih tinggi dibanding martensitic SS juga nilai kuat tarik yang tinggi. Nilai kuat tarik yang tinggi dihasilkan dari precipitation hardening matrix martensite atau austenite. Tembaga, alumunium, titanium, niobium dan molybdenum adalah elemen utama yang ditambahkan ke SS ini untuk mempromosikan precipitation hardening.
Duplex Stainless Steel Duplex Stainless Steel (DSS) adalah material dengan kombinasi dua fasa yaitu austenit dan ferit. Hadirnya fasa austenit dalam duplex membuat material ini tangguh dan ulet sedangkan fasa ferit memberikan sifat ketahanan korosi namun ketangguhannya rendah. Sehingga DSS akan memiliki sifat kekuatan dan ketangguhan yang tinggi serta ketahanan korosi yang sangat baik. Selain dua sifat di atas duplex juga mudah untuk difabrikasi dan mudah di las. Kemampuan untuk di las dan karakteristik pengelasan DSS lebih baik dari feritic SS, tetapi secara umum tidak lebih baik dari material austenitic. Produk DSS diperoleh dengan beberapa proses pengerjaan seperti pengecoran (casting), tempa (forging), extrusi dan canai (rolling). Secara umum sifat DSS dapat dicapai untuk kesetimbangan fasa dalam rentang 30 sampai 70% ferrite dan austenite. Namun, DSS paling banyak memiliki komposisi yang seimbang antara ferrite dan austenite, dimana untuk produksi komersial saat ini lebih banyak penambahan austenite untuk alasan ketangguhan dan karakteristik fabrikasi yang lebih baik. Untuk menjaga kesetimbangan kedua fasa di atas bergantung pada komposisi paduan dan perlakuan panas. Dalam proses pengerjaannya, untuk memprediksi struktur mikro yang diinginkan (austenite dan ferrite) dapat merujuk kepada diagram Schaeffler-DeLong.
Gambar 1. Diagram Schaeffler-DeLong menunjukkan struktur mikro yang terbentuk pada komposisi paduan tertentu.
Elemen-elemen paduan penstabil ferit disebut Krom-equivalents dan elemen-elemen penstabil austenit di sebut Nikel-equivalents dengan formula: Cr-equivalent = Cr + Mo + 1.5Si + 0.5Nb [wt%] (1) Ni-equivalent = Ni + 30(C+N) + 0.5Mn [wt%] (2) DSS dapat diaplikasikan pada rentang temperatur intermediate dari temperatur ambient sampai beberapa ratus derajat Farenheit (tergantung lingkungan), dimana ketahanan terhadap asam dan larutan klorida dipersyaratkan. DSS dapat diaplikasikan pada sektor onshore dan offshore industri minyak dan gas sebagai sistem pemipaan, (process piping, seawater piping, tube & pipe fittings, instrumentation & hydraulic tubing), heat exchanger dan reaction vessel karena sifatnya yang tahan korosi dan memiliki kekuatan yang tinggi.
2
Komposisi Kimia Duplex Stainless Steels Kelas komersial DSS mengandung antara 22 – 26% krom, 4 - 7% nikel, 4,5% molibdenum, juga sebagian tembaga, tungsten, dan nitrogen seperti terlihat pada table 1. Modifikasi komposisi paduan tersebut dibuat untuk meningkatkan ketahanan korosi, kemampuan pengerjaan dan kemampuan las. Secara khusus, penambahan nitrogen efektif dalam meningkatkan ketahanan terhadap korosi pitting dan kemampuan las.
8 Table 1. Komposisi kimia (wt-%) berbagai macam kelas DSS.
Unsur-Unsur Penting Dalam Paduan Duplex Stainless Steels Chromium: Kromium adalah unsur pembentuk ferrite, yang berarti penambahan kromium menstabilkan struktur bcc besi. Jumlah minimum krom sekitar 10.5% penting untuk membentuk lapisan pasif krom stabil yang berguna untuk melindungi baja dari mild atmospheric corrosion. Efek kromium ini penting karena pengaruhnya pada pembentukan dan penghilangan scale oksida yang dihasilkan dari perlakuan panas atau pengelasan. 6 Molibdenum: Molibdenum berfungsi untuk mendukung kromium dalam ketahanan korosi klorida tehadap SS. Ketika kandungan krom dalam SS sedikitnya 18%, penambahan molibdenum menjadi tiga kali lebih efektif seperti penambahan krom dalam melawan pitting dan crevice corrosion di lingkungan klorida Molibdenum adalah unsur pembentuk ferrite dan juga meningkatkan kecenderungan SS membentuk fasa intermetalik yang merusak. Oleh karena itu kandungan Molibdenum dibatasi kurang dari 4% dalam DSS. Nitrogen: Nitrogen meningkatkan ketahanan pitting dan crevice corrosion pada austenitic dan DSS. Nitrogen adalah unsur penting pembentuk austenite dan bisa menggantikan nikel dalam austenitic ss. Unsur pembentuk ferit, kromium dan molibdenum, diseimbangkan dengan unsur pembentuk austenite nickel and nitrogen, untuk mendapatkan struktur duplex. Nickel: Nickel adalah unsur penstabil austenit, yang berarti penambahan nikel pada besi paduan mempromosikan perubahan struktur kristal dari bcc (ferritic) ke fcc (austenitic). Ferritic SS mengandung sedikit nikel sedangkan, DSS mengandung nikel sekitar 4-7%. Seperti terlihat pada gambar 1.
3
Gambar 2. Dengan penambahan nikel, struktur kristal berubah dari Body-Centered Cubic (sedikit atau tanpa nikel) menjadi Face-Centered Cubic (sedikitnya 8% nickel).
Penambahan nikel menunda pembentukan fasa intermetalik yang merusak pada austenitic ss tetapi nikel kurang efektif dibanding nitrogen pada DSS. Sruktur fcc membuat austenitic stainless steels memiliki ketangguhan tinggi. Kehadirannya dari sekitar setengah struktur mikro duplex meningkatkan ketangguhan duplex dibanding Ferritic SS.
7
Gambar 3. Peningkatan kandungan nikel merubah struktur mikro Stainless Steel dari Ferritic (kiri) menjadi Duplex (tengah) menjadi Austenitic (kanan) (Sumber Avesta Polarit).
Metalurgi Duplex Stainless Steels DX Diagram fasa ternari besi-kromium-nikel menjelaskan sifat metalurgi DSS. Pada konsentrasi 68% besi (gambar 3) mengilustrasikan bahwa paduan ini membeku sebagai ferit (α), sebagiannya kemudian berubah menjadi austenit (γ) pada suhu sekitar 1000°C (1832°F) tergantung pada komposisi paduan. Disana ada perubahan lebih jauh dalam kesetimbangan ferrite–austenite pada temperatur rendah. Efek peningkatan nitrogen juga ditunjukkan dalam Gambar 3 (Ref. 1). Efek positif nitrogen lainnya adalah meningkatkan temperatur dimana austenit mulai terbentuk dari ferit. Oleh karena itu, bahkan pada laju pembekuan cepat, keseimbangan level austenit dapat dicapai. Pada generasi kedua DSS, efek ini mengurangi masalah kelebihan ferit pada daerah HAZ. Secara termodinamik, karena austenit terbentuk dari ferit, maka tidak mungkin untuk paduan menuju kesetimbangan austenit. Namun, karena proses pembekuan ke temperatur rendah akan membentuk fasa-fasa yang merugikan seperti karbida, nitrida, sigma dan fasa intermetalik lainnya pada struktur mikro. Hal ini harus dihindari karena fasa-fasa tersebut bersifat getas, sehingga akan mengurangi ketangguhan duplex.
4
Gambar 4. Diagram fasa terner Fe-Cr-Ni pada kandungan 68% besi .Perubahan kecil pada kandungan nikel dan kromium membuat pengaruh yang besar pada jumlah austenite dan ferrite dalam duplex stainless steels.
Fabrikasi Duplex Stainless Steels OF DSS dalam dunia oil&gas banyak digunakan untuk aplikasi sistem pemipaan karena sifat ketahanan korosinya yang superior dalam lingkungan sour service sekalipun dan ketahanan impak yang baik walau ter ekspos pada temperature rendah. Dalam proses fabrikasinya DSS tidak boleh diperlakukan seenaknya (abused) karena bisa menghasilkan struktur-struktur yang aneh dan merugikan seperti dijelaskan di atas. Tetapi harus diperlakukan seperti “putri solo” mulai dari handling, storage sampai erection. Dalam fase konstruksi platform oil&gas, DSS dan jenis SS lainnya tidak dibolehkan bersentuhan dengan Carbon Steel (CS) karena akan menyebabkan penetrasi CS di permukaan DSS. Penetrasi ini akan menyebabkan inklusi dan lebih lanjut menyebabkan korosi. Penetrasi Fe akan menyebabkan konsentrasi Fe di lokasi tersebut tinggi dan karena Fe mudah teroksidasi sehingga bila terdapat lingkungan yang mendukung maka Fe akan teroksidasi dan merusak lapisan oksida pelindung. Tool steel juga mengandung Carbon yang tinggi dimana Carbon akan mempenetrasi SS yang lebih lunak. Karena afinitas (daya tarik) Carbon dengan Cr sangat tinggi maka di daerah batas butir Cr akan berikatan dengan Carbon membentuk fasa krom karbida Cr3C26. Akibatnya di daerah batas butir akan terjadi kekurangan kandungan Cr sehingga daerah tersebut mudah
terjadi korosi atau lebih dikenal dengan istilah korosi batas butir (grain boundary corrosion). Selama proses fabrikasi, beberapa fasa sekunder bisa mengendap dalam duplex karena perlakuan panas yang salah, biasanya pada rentang temperature 300-1000 °C, seperti secondary austenit, sigma, chi, alfa primer, Cr2N dan M23C6 . Pembentukan fasa-fasa tersebut merusak ketahanan korosi dan ketangguhan. Namun solution treatment duplex pada rentang temperature 1020-
1080 °C dapat mendeformasi fasa sekunder tanpa mempengaruhi keseimbangan fasa.
5
Fasa sigma, alfa primer, karbida dan nitrida dapat terbentuk dalam beberapa menit pada temperatur tertentu. Maka, perlakuan panas lanjutan dibutuhkan setelah pemprosesan dan fabrikasi untuk menjamin tidak hadirnya fasa-fasa tersebut sehingga ketahanan korosi dan sifat mekanis yang diinginkan bisa didapat. Pengelasan Duplex Stainless Steels DSS memiliki sifat mampu las yang baik dan metode pengelasan yang paling sering digunakan adalah Submerged Arc Welding (SAW), Shielded Metal Arc Welding (SMAW), Gas Tungsten Arc Welding (GTAW) dan Gas Metal Arc Welding (GMAW). Elektroda consumable yang dipakai sebaiknya mengandung nikel yang tinggi untuk menstabilkan austenit dan mencegah pengendapan nitrida dan secondary austenite. Kekuatan dan ketangguhan las duplex sangat bergantung pada prosedur pengelasan (WPS) yang tepat, filler material dan struktur mikro. Metode GTAW memberikan ketangguhan impak yang paling tinggi diikuti oleh SAW dan SMAW. Namun metode GTAW paling sesuai untuk material tipis, sekitar 0,5 mm sampai 3 mm. Sifat DSS dapat dipengaruhi cukup besar oleh pengelasan. Berdasarkan pentingnya menjaga keseimbangan struktur mikro dan penolakan pembentukan fasa yang tidak diinginkan, maka prosedur pengelasan harus spesifik dan terkendali. Jika prosedur pengelasan tidak benar akan menyebabkan terbentuknya struktur mikro yang tidak tepat, sehingga kehilangan sifat material dapat terjadi. DSS memiliki ketahanan retak panas yang sangat baik ketika di las. Masalah pada pengelasan DSS kebanyakan berhubungan dengan HAZ, bukan dengan logam las. Masalah pada HAZ menyebabkan hilangnya ketahanan korosi, ketangguhan, atau retak setelah di las.
Gambar 6. Struktur Metalografi 2205 logam las Duplex, 500x (Sumber: Lincoln Smitweld bv)
Referensi 1.
Callister, William, Materials Science and Engineering an Introduction
2.
International Molybdenum Association, Practical Guidlines for Frabrication Duplex Stainless Steel
3.
Sieurin, Henrik, Fracture Toughness Properties of Duplex Stainless Steels
4.
Kukuh,Stainless Steel in Oil & Gas Production, Sandvik Steel
5.
T. Sourmail and H. K. D. H. Bhadeshia, Stainless Steel
6