Dua Hati Satu Jiwa Kumpulan Cerpen
Christina Juzwar
1
Thanks to.. Jika kita melihat gado-gado, semua sayuran dan bumbu ada di sana dan dicampur aduk. Terkadang kamu bisa makan dengan memilihnya satu persatu mana yang kamu sukai, tetapi terkadang saking sulitnya membedakan sayuran satu dengan yang lain, maka kamu harus memakan semuanya demi mendapatkan satu yang kamu sukai tersebut.
Seperti itulah hidup, begitu juga halnya dengan kumpulan cerpen ini. Gado-gado dan campur rasa kehidupan. Suguhan cerita yang beraneka ragam yang selalu menerpa dalam hidup kita sehari-hari. Tetapi dengan selesainya kumpulan cerpen ini, pastilah ada campur tangan dari para malaikat yang berhak mendapatkan ucapan terima kasih dari saya dengan segenap hati: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tuhan Yesus atas segala karunia dan kelebihan yang sudah diberikan. Papa Greg, yang sudah mendukung dengan hati. Alm. Mama Lanny, doanya seperti nyanyian mengalun dari surga. Keluarga kecilku, Adam dan Kimi, pemberi semangat. Siblings, Antonio, Deslin, Bernadetta dan Michael. Nulis buku, yang menjadi wadah untuk penerbitan kumpulan cerpen ini. Kesempatan yang luar biasa! Senang menjadi bagian dari kumpulan penulis hebat. 7. Angel, yang sudah membantu pembuatan cover ini. 8. Semua orang yang sudah menginspirasi. Salam kehidupan, Christina Juzwar
2
Biografi Christina, lahir di Jakarta dibawah naungan bintang Sagitarius. Mencintai dunia menulis. Tina sudah menerbitkan dua novel remaja, yaitu Billy-Fin or Not (Grasindo 2006) dan Love Lies (Gramedia 2010) serta beberapa cerpen yang pernah di muat di majalah, antara lain Chic Magazine. Sekarang ini kegiatan Tina tak jauh dari menulis, mulai dari menulis cerpen, menulis novel dua sekaligus karena saking banyak ide yang bertumpuk dan juga menulis skenario untuk televisi. Masih ada mimpinya yang belum terwujud, dan mudah-mudahan akan segera terwujud, yaitu menulis biografi, yang tak lain untuk almarhum mamanya sendiri.
Twitter @Christinajuzwar FB/Email:
[email protected]
3
Dua Hati Satu Jiwa Decitan ban mobil begitu ngilu karena aku harus menghentikannya secara tiba-tiba karena seekor kucing berwarna kuning keemasan melintas secara tiba-tiba pula. Kucing brengsek, gerutuku dalam hati sambil kembali mengatur putaran jantungku yang berpacu cepat karena rasa kaget. Setelah pulih, aku baru memberanikan diri untuk menekan gas secara perlahan agar roda mobil kembali berputar. Untung saja sudah sampai rumah, hatiku pun mendesah lega dan membawa mobilku masuk ke dalam garasi rumah. Aku membanting pintu mobil dan bergegas masuk ke dalam rumah dengan penuh tanda tanya. Di sore hari begini, biasanya mama akan menyambutku pulang. Entah ia sedang bersantai di kursi malas, atau sedang memberi minum kepada tanaman - tanaman kesayangannya. Kemudian benakku kembali mencari segala kemungkinan, mungkin Mama sedang banyak pesanan kue, jadi tidak bisa meninggalkan dapur. Tetapi cepat-cepat aku enyahkan pikiran tersebut ketika aku mendapatkan rumah yang gelap dan suram. Lampu senja seolah terlupakan untuk dinyalakan, dan tak ada harum bekas panggangan kue yang biasa menyapa begitu masuk ke dalam rumah. Aku pun menyalakan semua lampu hingga ruangan menjadi terang berderang. Aku mulai mencari mama. Ternyata ia sedang menyendiri di dalam kamar yang juga gelap gulita. “Ma? Kenapa gelap?” Mama yang sedang memunggungiku tidak menjawab. Akhirnya aku pun berinisiatif untuk menyalakan lampu dan berjalan menghampirinya. Alangkah terkejutnya diriku, ketika aku mendapatkan dirinya yang sedang menangis. Tangannya mengenggam sebuah surat yang sudah basah karena air mata. Aku memeluk mama dan mencoba membaca surat tersebut, yang isinya tidak juga aku mengerti. Aku menunggu sampai mama tenang dan ia pun mulai bercerita perihal yang terjadi dengan dirinya. “Surat dari tantemu,” kata Mama. Tante? Aku heran. Mama mengangguk, “adik ayahmu.” Keningku berkerut ketika kata ‘Ayah’ terucap. Rasanya sangat asing karena aku hampir tidak bisa mengingat sosoknya yang sudah lama berlalu dari kehidupanku. “Ada perlu apa lagi dia?” aku enggan menggunakan kata Papa dalam kamus hidupku, karena memang aku hampir tidak pernah mengenal dirinya. Mama hanya menggeleng, dengan air mata yang kembali mengalir tak hentinya. “Bukan Papamu, tetapi Coline.” Coline? Pikiranku mulai mencari-cari nama tersebut yang rasanya begitu familiar. Aku mencarinya hingga celah memori yang terdalam, tetapi rasanya meskipun begitu akrab tetapi aku tidak 4
bisa mengingatnya. Mama memandangku dan menarik nafas yang panjang. Mama pun mulai bercerita. Bukan dongeng semata, tetapi sebuah kenyataan yang ternyata lebih menyakitkan dari yang aku duga. “Aku punya saudara kembar?” tanyaku perlahan. Mama mengangguk, “Namanya Coline. Kalian hanya beda tak lebih dari dua menit. Kalau mama cerita, perlahan-lahan kamu pasti akan ingat kembali.” Tidak banyak yang bisa aku ingat dari bayangan masa kecilku karena yang aku temukan ketika aku berusaha untuk mengingatkannya, ingatan tersebut masih berwarna abu-abu.
Mama pun
menyerahkan surat tersebut kepadaku untuk aku baca kembali. Setelah selesai membacanya, wajahku memucat ketika mengetahui segala kebenaran yang ada dan ketika aku dan mama akhirnya pergi menemuinya, perjalanan tersebut rasanya bagiku masih seperti mimpi yang samar-samar. # Rasanya perjalanan yang aku lalui begitu panjang hingga aku tertidur. Begitu terbangun, aku mendapatkan di depan mataku sebuah rumah besar yang tua dan kumuh. Kami pun masuk kedalam rumah tersebut. Rasa tak nyaman yang berpadu dengan kegelisahan yang semakin memuncak ketika aku dan mama sudah diantar ke sebuah kamar dengan pintu yang tak kalah kumuh dan kusamnya dengan rumah yang menaunginya. Sang perawat mengetuk pintu tersebut dan memanggil nama Coline. Aku sampai harus menajamkan penglihatanku karena kamar yang aku masuki hanya disinari remang-remang. Bau apak dan jamur hinggap di hidungku, dan tak ketinggalan bau rokok yang begitu tajam membuatku hampir saja mengeluarkan isi perutku saking mualnya. “Coline! Ada tamu!” seru perawat tersebut tak berperasaan. Ia pun meninggalkan aku dan mama di dalam kamar sambil membanting pintu kamar hingga lantainya bergetar. Lalu di ujung kamar, sebuah jendela besar yang menerima sinar dari luar teronggok membisu. Sebuah sofa lapuk diam tak bergeming di depannya. Dari belakang, aku dan mama bisa melihat asap yang keluar yang dihembuskan oleh seseorang. Dengan ragu, mama memanggil, “Coline?” Asap yang berhembus itu menghilang dan berganti dengan suara, “Siapa ya? dan ada perlu apa?” Aku terkesiap mendengar suara yang berat. Mama mulai terisak ketika suara coline berhembus ke telinga kami. Suara itu tidak seperti suara perempuan. Suara itu menyimpan berpuluh batang rokok yang sudah habis dihisapnya dan juga tersimpan kesedihan. “Ini Mama, nak..ada carla juga..” Lalu hening. 5
Keheningan ini rasanya lebih menyakitkan. Sungguh tak menyenangkan bagiku untuk terjebak dalam situasi seperti ini. Aku yakin, semakin lama kami diam, aku bersumpah bahwa aku bisa mendengar suara nafasku sendiri, dan juga yang lain. Sofa lapuk itu bergerak, dan berdirilah sosok yang sudah aku dan mama nanti. Tetapi begitu cahaya menyinari dirinya, tangis mama semakin menjadi, sedangkan aku semakin terkesiap. Bagiku ia bukanlah seorang Coline. Coline itu seharusnya mirip dengan diriku sebagaimana kami di takdirkan untuk tumbuh dan lahir bersama dari satu rahim. Yang ada di depanku ini sekarang adalah seorang perempuan yang bermata cekung dengan bobot tubuh seringan angin dan kulitnya sepucat kertas. Benarkah ia Coline? Perlahan aku melangkahkan kakiku dan begitu juga dirinya. Kami saling berdiri tak lebih dari dua meter. Sekarang aku bisa melihat dengan jelas sosoknya. Perempuan di depanku sungguh menyedihkan. Aku menatapnya lekat-lekat karena aku mencoba untuk mencari diriku di dalam dirinya, tetapi tak sedikit pun sepercik sinar yang ada. Namun, perlahan ia mulai tersenyum. Oh, senyumnya itu sungguh melegakan dan memberi pengharapan, terutama untuk dirinya. Aku mencoba untuk membalas senyumnya, tetapi bibirku malah bergetar. Akhirnya aku melihat diriku di dalam dirinya. Senyuman itu adalah milikku. Kaca buram di depanku ini perlahan mulai menampakkan sinar dan pantulannya. “Ini bukan mimpi kan?” tanya Coline. Aku menggeleng dan tak bisa berkata. Leherku tercekat. “Doaku akhirnya dikabulkan.” Coline memelukku erat. Seketika itu juga airmataku tumpah. Mama bergabung dengan kedua anak kembarnya dalam pelukan yang penuh tangis haru.
6