1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama ini, pembicaraan mengenai drama lebih banyak terfokuskan pada produk pementasan atau pertunjukannya. Resensi dan kritik drama di mediamedia massa sebagian besar hanya berhenti pada pemaknaan terhadap nilai estetik drama ketika ia dimainkan di atas panggung. Keberhasilan drama seolah-olah hanya ada pada sutradara, aktor, penata rias, penata lampu, stage manager, pimpinan produksi sebagai orang yang menjalankan pementasan drama tersebut. Padahal selain pementasan, “roh” drama juga terdapat pada teks drama itu sendiri yang selama ini kurang mendapatkan perhatian. Karya sastra Indonesia modern banyak menunjukkan adanya keterkaitan dengan fakta (realitas) sosiologis, historis, dan kultural. Karya sastra menampilkan gambaran dalam kehidupan manusia dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga peristiwaperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan kehidupan dan fakta yang terjadi di masyarakat baik itu fakta sosial, budaya, dan sejarah. Karya sastra ditulis berdasarkan kurun waktu tertentu yang sangat erat kaitannya dengan norma-norma, adat-istiadat, serta kebudayaan pada zaman tersebut. Norma, adat-istiadat, serta kebudayaan tersebut mencakup pula masalahmasalah perubahan sosial politik yang ada di dalam masyarakat. Hal ini
2
menunjukkan bahwa karya sastra tidak terlahir dari sebuah kekosongan, tetapi ada suatu kejadian yang menjadi latar belakang penciptaannya serta kemampuan pada diri sastrawan dalam merefleksikan pengalaman individu yang menjadi bagian dari pengalaman masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Teeuw bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (1980: 11) sehingga sastra sebagai fiksi memungkinkan adanya fakta yang ada di dalamnya. Faktafakta inilah yang kemudian dijadikan latar belakang oleh seorang pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra. Nano Riantiarno merupakan dramawan yang lahir di Cirebon pada 6 Juni 1949. Ia menekuni dunia teater sejak 1965 di Cirebon. Ketika tamat SMA ia langsung hijrah ke Jakarta melanjutkan kuliah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) pada tahun 1967. Setelah itu, ia bergabung dengan Teguh Karya dan ikut mendirikan Teater Populer pada tahun 1968. Dramawan ini selanjutnya mendirikan Teater Koma pada tahun 1977. Hingga kini, kelompok ini sudah menggelar lebih dari 100 karya produksi panggung dan televisi. Sebagai bagian dari sebuah masyarakat, Nano Riantiarno mengalami pergolakan sosial dan kebudayaan yang ada di Indonesia serta ia terbiasa hidup dalam lingkungan masyarakat kelas menengah ke bawah. Pengalaman tersebut menjadi sangat berpengaruh terhadap karya-karya yang diciptakannya. Karyakarya yang diciptakan itu sebagai wujud “gudang pengetahuan” yang dimiliki oleh Nano Riantiarno sebagai seorang penulis. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila sebagian besar karya yang dihasilkannya bermuatan kritik sosial.
3
Nano Riantiarno lebih dikenal sebagai intelektual dan budayawan seni pertunjukan. Dalam dunia kepenulisan Nano Riantiarno lebih dikenal sebagai penulis naskah sandiwara daripada genre-genre sastra lainnya seperti puisi, cerpen, dan novel. Hal ini terlihat dari produktivitas kepenulisannya yang lebih banyak menghasilkan naskah sandiwara. Saat ini tercatat ada 3 kumpulan puisi, 6 novel-novelet, 1 kumpulan cerpen, 30 skenario film, 26 naskah sandiwara adaptasi dan saduran, 30 naskah sandiwara pendek untuk panggung dan tv, serta 36 naskah sandiwara panjang. Melihat jumlah karya yang telah dihasilkan oleh Nano Riantiarno ini dapat dipastikan bahwa ia adalah seorang yang produktif. Naskah sandiwara yang pertama kali ditulis oleh Nano Riantiarno berjudul Sore Bersinar Lembayung (1967) dan ditulis kembali pada tahun 1972 dengan judul Titik Silang. Naskah ini menang dalam sayembara penulisan naskah sandiwara Dewan Kesenian Jakarta tahun 1972. Di tahun-tahun berikutnya, yaitu tahun 1973, 1974, dan 1975 naskah-naskahnya juga menang dalam sayembara tersebut. Naskah-naskah itu berjudul Tali-tali (1973), Malam Semakin Kelam (1974), dan Lingkaran Putih (1975). Pada tahun 1977, Nano Riantiarno menulis trilogi Rumah Kertas (Surat Kaleng, Namaku Kiki, dan Rumah Kertas) yang menjadi pentas perdana oleh teater koma. Tahun 1978 muncul juga tiga karyanya yang berjudul Bianglala, Jujur Itu... (sandiwara untuk anak-anak), dan Marah Atawa Astana, atau Maaf.Maaf.Maaf. Menurut Anwar (2005: 126) salah satu hal yang menjadi pendorong Nano menjadi seorang yang sangat produktif dalam menulis adalah “penderitaan hidup” yang dialaminya. Anggapan ini diyakininya karena diperkuat oleh pernyataan
4
Nano di dalam makalahnya yang berjdul Teater&Masyarakat Teater Koma ketika diskusi teater di ISI Yogyakarta 31 Agustus 1992. Akan tetapi anggapan Anwar ini bukanlah satu-satunya alasan keproduktifan Nano dalam berkarya. Apabila melihat kehidupan Nano yang sekarang, kemiskinan ternyata bukan sebab dirinya menjadi produktif. Ada masalah-masalah lain yang menyebabkan kegelisahan bagi hidup Nano yang kemudian ditungkan dalam karya-karyanya. Persoalanpersoalan sosial yang membuat dirinya gelisah lalu dipotret dan dikemas dalam karya-karyanya, terutama naskah sandiwaranya. Kondisi ini sama seperti yang dinyatakan dalam makalahnya yang berjudul Teater&Masyarakat Teater Koma ketika diskusi teater di ISI Yogyakarta 31 Agustus 1992. Sampek dan Engtay merupakan salah satu naskah sandiwara karya Nano Riantiarno yang sangat populer. Sampek dan Engay sendiri sebenarnya adalah cerita rakyat dari Tiongkok yang mengisahkan kehidupan seorang pemudi intelektual bernama lengkap Ciok Engtay dan seorang pemuda Nio Sam Pek yang hidup pada abad ke-4 Masehi. Cerita Sampek Engtay pada mulanya disebarkan oleh masyarakat dari mulut ke mulut karena ia merupakan sastra lisan, tetapi pada masa kini cerita Sampek Engtay telah direproduksi secara cetak dan audio visual dengan berbagai versi. Selain naskah drama karya Nano Riantiarno, di Indonesia juga terdapat cerita Sampek dan Engtay yang telah ada sebelumnya, yaitu karya terjemahan Boen Sing Hoo dengan judul Tjerita dahoeloe kala di Negri Tjina terpoengoet dari tjeritaan boekoe menjanjian Tjina, Sam Pik-Ing Taij. Drama Sampek Engtay karya Nano Riantiarno pernah mengalami pelangarang pentas di
5
Medan pada tahun 1989 karena drama ini dianggap kritis terhadap kondisi sosial dan terhadap penguasa. Dalam naskah sandiwara Sampek Engtay karya Nano Riantiarno dikisahkan tentang suami-istri Ciok yang tinggal di Serang. Mereka punya anak gadis semata wayang yang bernama Engtay. Melalui berbagai akal dan upaya, Engtay berhasil meyakinkan orang tuanya dan akhirnya dia pun diizinkan menuntut ilmu ke Betawi. Engtay pergi dengan menyamar sebagai seorang lakilaki. Dalam perjalanan, Engtay berkenalan dengan Sampek yang juga mempunyai niat sama, yaitu bersekolah ke Betawi. Keduanya saling sepakat untuk mengangkat saudara. Di asrama, Engtay ditempatkan sekamar dengan Sampek. Penyamaran Engtay sukses. Tidak ada yang menyangka dia adalah seorang gadis. Waktu berlalu, rasa cinta Engtay terhadap Sampek semakin berkembang. Pada suatu hari Engtay membuka rahasia jati dirinya. Ternyata Sampek juga jatuh hati, tetapi mereka mempunyai nasib tidak mujur. Cinta Sampek membentur tembok. Tepat ketika dia siap untuk bercinta, Engtay dipanggil pulang karena hendak dinikahkan dengan Macun, putra Kapten Liong, tuan tanah yang kaya raya dari Rangkasbitung. Perjodohan itu telah dirancang sejak lama oleh keluarga Ciok dan Liong. Sampek merana dan mati penasaran akibat tidak dapat menikah dengan Engtay. Jasadnya dikubur di Pandeglang. Di sisi lain Engtay juga mengalami nasib yang sama karena tidak dapat menikah dengan Sampek, lelaki yang sangat dicintainya. Engtay pun menuruti perintah ayahnya untuk menikah dengan Macun.
6
Macun memboyong Engtay ke kampungnya dengan tandu pengantin. Di tengah perjalanan, Engtay memohon agar rombongan berhenti sejenak di makam Sampek. Di sana Engtay berziarah dan berdoa. Setelah berdoa, kuburan Sampek mendadak terbuka. Lalu, Engtay pun melompat ke dalamnya dan menyatu dengan jasad sang kekasih. Mengetahui hal tersebut Macun marah besar. Dibongkarnya kuburan tersebut, tetapi ia tidak mendapatkan jasad Sampek ataupun Engtay. Hanya ada dua batu biru dan dua tawon kuning. Ketika kuburan digali lebih dalam lagi, muncul sepasang kupu-kupu yang segera melayang terbang. Sekejap kemudian, berjuta kupu-kupu memenuhi langit, menutup cahaya matahari, memayungi bumi, meneduhkan hati. Dapat dikatakan bahwa apa yang terealisasi dalam naskah sandiwara Sampek Engtay merupakan wujud gudang pengetahuan yang dimiliki oleh Nano Riantiarno. Gudang pengetahuan ini apabila disandingkan dengan dengan konsep Iser dapat disebut sebagai repertoire. Secara singkat repertoire dapat dipahami sebagai sesuatu yang dijadikan pengarang sebagai landasan penciptaan suatu karya, sebagai latar belakang (background) untuk menciptakan latar depan (foreground) yang dituju pengarang melalui karyanya. Dalam buku The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1987) Iser mengungkapkan bahwa repertoire dapat dikenali melalui referensi-referensi terhadap karya sastra terdahulu atau terhadap norma-norma yang menjadi landasan penciptaan, yaitu norma sosial, norma budaya, dan norma sejarah yang dimunculkan di dalam sebuah teks. Sesuai dengan argumen di atas, kondisi sosial, historis, kultural, serta pengalaman dari Nano Riantiarno sangat berpengaruh terhadap proses penciptaan
7
karya sastra. Selain itu proses kreatif Nano Riantiarno juga dapat dipengaruhi oleh pemikiran pribadi terhadap pembacaan referensi-referensi atau karya-karya sebelumnya yang menjadi background dalam menciptakan sebuah karya sastra yang baru. Norma-norma dan referensi terdahulu yang menjadi landasan dalam proses penciptaan naskah sandiwara Sampek Engtay adalah fakta yang terjadi dalam kehidupan nyata, bukan semata-mata sebuah imajinasi dari pengarang. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Sampek Engtay merupakan salah satu di antara beberapa karya sastra Indonesia modern yang menunjukkan adanya hubungan antara fakta sosial, historis, dan kultural. Kenyataan ini digunakan sebagai pengungkap hubungan antara fakta dan fiksi. Hubungan tersebut sesuai dengan pernyataan Iser (1987: 79) bahwa sebuah fiksi merepresentasikan realitas. Berdasarkan teori estetika resepsi yang dikemukakan oleh Iser, hal yang terpenting adalah penggalian terhadap efek teks untuk mencari pemahaman atas makna teks yang diperoleh lewat komunikasi antara teks dan pembaca. Secara sederhana dapat dipahami bahwa fiksi bukanlah realitas, tetapi di dalam fiksi terdapat sebuah realitas. Fiksi hanya sarana untuk menyampaikan realitas. Keduanya tidak bertentangan dan tidak pula beroposisi, tetapi membentuk elemen pembangun komunikasi. Hal yang menjadi fokus utama adalah penerima pesan, yaitu pembaca yang ingin menjalin komunikasi (Iser, 1987: 53). Berdasarkan pemaparan di atas, maka konvensi-konvensi serta alusialusi (kiasan-kiasan) yang muncul dalam naskah sandiwara Sampek Engtay menjadi suatu hal yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini membahas
8
perwujudan repertoire dalam naskah sandiwara Sampek Engtay yang dijadikan background penciptaan, sehingga foreground yang dituju oleh Nano Riantiarno dapat diungkapkan. Pengkajian ini akan mengungkapkan repertoire yang digunakan oleh Nano Riantiarno dalam naskah sandiwara Sampek Engtay. Hal ini sekaligus juga untuk mengungkapkan seberapa jauh Nano Riantiarno memainkan repertoire atau gudang pengetahuan dalam penciptaan naskah sandiwara Sampek Engtay. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana perwujudan norma sosial dan budaya dalam naskah sandiwara Sampek Engtay karya Nano Riantiarno sebagai repertoire? 2. Bagaimana perwujudan norma sejarah dalam naskah sandiwara Sampek Engtay karya Nano Riantiarno sebagai repertoire? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan peruwujudan norma sosial, norma budaya, dan norma sejarah sebagai repertoire dalam naskah sandiwara Sampek dan Engtay. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoretis dan praktis. Manfaat teoretis dalam penelitian ini adalah menerapkan teori respon estetik Wolfgang Iser. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah
9
sebagai pijakan pengetahuan mengenai teori resepsi sastra Wolfgang Iser khususnya repertoire bagi peneliti-peneliti selanjutnya. 1.5 Tinjauan Pustaka Pusat kajian penulis dalam penelitian ini adalah tentang repertoire. Penelitian yang berkaitan dengan Repertoire dalam Naskah sandiwara Sampek Engtay Karya Nano Riantiarno dengan menggunakan teori Respon Estetik Wolfgang Iser belum ada. Namun, penelitian tentang teori repertoire respon estetik Wolfgang Iser ini pernah dilakukan oleh peneliti lain, yaitu Rany Syafarina, mahasiswa Program Studi Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada mengambil tesis dengan judul “Repertoire dalam Karya P.D James Death Comes to Pemberley: Kajian Respon Estetika Wolfgang Iser” (2014). Tesis ini mengungkapkan aspek-aspek kebangsawanan yang dihadirkan dalam karya sastra dengan melihat keterkaitannya dengan norma sosial, norma budaya, dan norma sejarah. Selain itu, karya Death Comes to Pamberley juga mengindikasikan keterkaitan dengan karya sebelumnya yang berjudul Pride and Prejudice yang ditulis oleh JaneAusten. Kebangsawanan dalam norma sosial Inggris dapat dilacak dari sistem pernikahan, pendidikan, pekerjaan, dan gaya hidup. Adapun budaya dansa menjadi menjadi salah satu budaya yang diasosiasikan dengan kebangsawanan Inggris. Peperangan melawan Irlandia dan Prancis digunakan sebagai norma sejarah yang melatarbelakangi karya sastra. Norma-norma yang hadir dalam karya Death Comes to Pemberley bukanlah representasi dari realitas yang ada, tetapi merupakan repertoire yang dimiliki oleh PD James yang dibangun kembali dalam karya sastra membentuk konteks baru.
10
Penelitian Marfidah di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Repertoire dalam Sajak-sajak Sejarah Melayu: Kajian Respons Estetik Wofgang Iser” (2013). Skripsi ini mengungkapkan adanya transformasi Sejarah Melayu yang berbentuk prosa ke dalam Sajak-sajak Sejarah Melayu yang berbentuk puisi. Selain itu untuk memberikan interpretasi Muhammad Haji Salleh sebagai pembaca dalam memberikan reaksi terhadap teks Sejarah Melayu yang menjadi referensi Sajaksajak Sejarah Melayu. Tujuan akhir penelitian ini adalah mengungkapkan mata rantai sejarah penyambutan teks Sejarah Melayu. Penelitian Inung Setyami di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Repertoire dalam Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Kajian Estetik Wolfgang Iser” (2012) juga berkaitan dengan teori respon estetik Wolfgang Iser. Tesis ini mengungkapkan repertoire Novel Ronggeng Dukuh Paruk dan bagaimana cara Ahmad Tohari mengolah serta memanfaatkan repertoire itu untuk mencapai efek kepada pembaca. Tesis ini juga membahas bagaimana keterkaitan antara fakta dan fiksi, khususnya yang membangun komunikasi antara Novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan pembaca atau peneliti, yaitu norma sosial dan budaya masyarakat abangan jawa, serta sejarah Gerakan 30 September PKI dan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru yang otoriter. Penelitian yang dilakukan oleh Wiekandini Dyah Pandanwangi juga berkaitan dengan teori respon estetik Wolfgang Iser. Penelitian ini dilakukan di Universitas
Gadjah
Mada
dengan
judul
“Roro
Mendut
Mangunwijaya: Sebuah Tinjauan Repertoire Wolfgang Iser” (2004).
Karya
Y.B.
11
Selain itu penelitian tentang teori repertoire Wolgang Iser juga pernah dilakukan oleh Heru Marwata di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Repertoire dalam Trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap Karya Fira Basuki” (2003). Penelitian mandiri ini bertujuan mengungkapkan repertoire yang diolah Fira Basuki dalam menciptakan Novel-novelnya. Repertoire ini mempunyai keterkaitan dengan aspek ekstratekstual berkaitan dengan pengarang yang diekspresikan secara estetik dalam trilogi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode baca dengan melakukan proses pembacaan untuk menjalin komunikasi dengan objek analisis dalam rangka melacak repertoire yang digunakan oleh pengarang dalam melahirkan karya-karyannya berupa trilogi Jendela-jendela, Pintu, dan Atap. Selain itu, penelitian tentang teori repertoire respon estetik Wolfgang Iser ini pernah dilakukan oleh Heru Marwata di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Repertoire dalam Sri Sumarah” (2000). Penelitian mandiri ini mengungkapkan repertoire cerpen Sri Sumarah dan bagaimana cara Umar Kayam mengolah serta memanfaatkan repertoire itu untuk mencapai efek kepada pembaca. Tesis ini juga membahas bagaimana keterkaitan antara fakta dan fiksi, khususnya yang membangun komunikasi antara cerpen Sri Sumarah dengan pembaca atau peneliti, yakni Mahabarata sebagai karya yang mendahului, norma sosial priyayi jawa, dan historis G 30 S PKI. Penelitian tentang repertoire juga pernah dilakukan oleh Prajudi di Universitas Gadjah Mada dengan judul “Repertoire Bentuk Tuturan Perintah dalam Bahasa Indonesia” (1988). Skripsi ini mengkaji repertoire tetapi
12
menggunakan tinjauan sosiolinguistik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seluk-beluk
perihal
berbagai
bentuk
tuturan
perintah
yang
ada,
menginventarisasikan bentuk-bentuk tuturan perintah yang biasa dipakai untuk memerintah, mengetahui faktor-faktor penentu kehadiran bentuk tuturan perintah secara kontekstual, mengetahui penggunaan masing-masing bentuk tuturan perintah secara realitas, mengetahui derajad nilai rasa masing-masing bentuk tuturan perintah. Penelitian yang berkaitan dengan novel Sampek Engtay saduran berbahasa jawa dilakukan oleh Kartika Dewi Purwaningsih dari mahasiswa Jurusan Sastra Nusantara Universitas Gadjah Mada dengan judul “Novel Sampek Engtay Saduran Widi Widayat: Analisis Bentuk dan Gaya Bahasa” (2012). Skripsi ini mengungkapkan bentuk dan gaya bahasa yang dipakai dalam novel tersebut. Bentuk novel Sampek Engtay berbahasa jawa ini memiliki beberapa persamaan dan perbedaan fakta sosial dari cerita aslinya, tetapi secara garis besar ceritanya sama. Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini digunakan secara berselangseling, yaitu panyandra, saloka, parikan, wangsalan, dan paribasan. Kajian gaya bahasa model Keraf Gorys digunakan untuk mengetahui lebih dalam penggunaan gaya bahasa dalam novel ini. Dari penelitian ini terdapat tiga fungsi gaya bahasa yang dapat diambil, yaitu fungsi estetis, fungsi penegasan, fungsi deskriptif. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan di atas mempunyai perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaan tersebut terletak pada teori yang digunakan, objek material yang dipilih, serta permasalahan yang diangkat. Naskah sandiwara Sampek Engtay sepengetahuan penulis belum pernah diteliti
13
dengan menggunakan teori repertoire Wolfgang Iser. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini belum pernah dilakukan, yaitu bagaimana perwujudan repertoire dalam naskah sandiwara Sampek Engtay dapat terungkapkan. 1.6 Landasan Teori Secara sederhana, repertoire dapat dibatasi pada sesuatu yang dijadikan pengarang sebagai landasan dalam penciptaan suatu karya sebagai latar belakang (background) untuk menciptakan latar depan (foreground) yang dituju oleh seorang pengarang melalui karyanya. Repertoire meliputi keseluruhan lingkup yang dapat dikenali dalam teks. Repertoire dapat berupa referensi-referensi terhadap karya-karya terdahulu, norma-norma yang ada di dalam masyarakat, atau budaya tempat di mana teks tersebut dilahirkan. Teori yang dikemukakan oleh Wolfgang Iser pada dasarnya membicarakan tentang repertoire. Repertoire dapat disebut sebagai “gudang pengetahuan” (Munawwar, 2007: 35). Repertoire tidak dapat dilepaskan dari eksistensi estetika resepsi. Repertoire berkaitan dengan bagaimana kemampuan pembaca dalam memberikan tanggapan berupa pemberian makna melalui pemerolehan efek terhadap teks sastra yang dibacanya. Apabila pembaca juga seorang penulis/ pengarang, tentu saja hal ini secara tidak langsung juga berkaitan dengan fiksi yang diciptakannya. Kajian estetik Wolfgang Iser pada dasarnya berpusat pada pertanyaan mendasar yang menyangkut proses pemaknaan teks yang dihasilkan melalui komunikasi antara teks dan pembacanya (Iser, 1987), yaitu bagaimana dan dalam
14
kondisi apa sehingga sebuah teks menjadi bermakna bagi pembacanya. Pertanyaan ini menyangkut (a) cara atau tindakan pembacaan; (b) interaksi antara teks dan pembaca. Cara atau tindakan pembacaan merujuk pada bagaimana teks mengarahkan cara pembacaan dan bagaimana pengalaman pembaca mengatur pembacaannya. Berkaitan dengan pemaknaan, Iser memberi ketegasan bahwa pembaca seharusnya melakukan reaksi terhadap teks, bukan sekadar menerima apa yang disampaikan pengarang dalam teks. Iser (1987: 53) memandang bahwa hal yang terpenting bagi pembaca, kritikus, dan penulis adalah memahami apa fungsi dari kesusastraan. Meskipun Iser lebih memfokuskan pada efek teks bagi pembaca yang terpola melalui titik temu hubungan antara teks dan realitas serta hubungan antara teks dengan pembaca, namun pada dasarnya teori respon estetik yang dikemukakan oleh Iser mempunyai implikasi pada perspektif sosial. Hal ini dapat dilihat dari salah satu konsepnya mengenai repertoire dan strategi pembacaan. Menurut Iser (1987: 69), realitas yang dievokasi tak terbatas pada halaman cetak semata. Kondisi seperti itu dapat dipahami bahwa meskipun teks menjadi pokok atau pusat perhatian, kemunculannya tidak terlepas dari realitas ekstratekstual. Hal itu dapat dilihat dalam referensi mengenai karya-karya yang telah ada atau karya yang mendahuluinya. Karya-karya tersebut memuat norma-norma sosial, historis, serta kultural yang dimunculkan dalam teks. Fakta bahwa realitas ini dijadikan referensi mempunyai implikasi ganda. Pertama, bahwa realitas yang dimunculkan tidak terbatas pada halaman teks. Kedua, bahwa elemen-elemen yang diseleksi sebagai referensi tidak dimaksudkan sebagai replika semata. Sebaliknya,
15
kehadiran kehadiran elemen-elemen tersebut dalam teks biasanya berarti bahwa mereka mengalami semacam transformasi dan sesungguhnya hal ini merupakan satu aspek yang tak dapat dipisahkan dalam keseluruhan proses komunikasi. Demikian halnya Mukarovsky mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami dan diteliti terlepas dari konteks sosial. Dalam perkembangan pemikiran dari Mukarovsky ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa karya sastra merupakan ragam realisasi diri seorang subjek pada dunia luar. Wujud realisasi diri seorang subjek pada dunia luar yang dituangkan dalam karya sastra masih menjadi artefak tanpa peran pembaca sebagai pemberi makna. Pembaca inilah yang kemudian menjadikan karya sastra sebagai objek estetik. Dengan demikian, keberadaan pembaca merupakan sesuatu yang harus ada dan menjadi hal yang paling vital dalam dunia sastra. Hal tersebut sama seperti yang dikatakan oleh Iser (1987: 20) bahwa tak seorangpun yang menyangkal keberadaan pembaca dalam memberi penilaian terhadap karya sastra, sekalipun orang berbicara mengenai otonomi sastra. Iser menyatakan bahwa teks hanya mempunyai arti apabila ia dibaca. Oleh karena itu, membaca merupakan prasyarat penting bagi proses interpretasi sastra. Pusat pembacaan dalam karya sastra adalah interaksi antara struktur karya dan pembacanya. Efek estetik dalam pembacaan menyatakan bahwa makna suatu teks bukanlah entitas yang bisa didefinisikan, tetapi suatu peristiwa yang dinamis. Karenanya tugas pembaca harus melibatkan efek potensial yang muncul bukan hanya fokus pada satu teks saja. Pola interpretasi tradisional hanya berdasarkan pencarian makna tunggal yang berdampak bukan saja mengabaikan karakter
16
sebuah teks sebagai suatu peristiwa, tetapi juga pengalaman pembaca yang diaktivkan oleh peristiwa tersebut. Hal ini berarti bahwa pembacaan sastra tidak hanya melibatkan teks sastra, melainkan juga aksi pembaca dalam menanggapi teks tersebut. Teks itu sendiri hanyalah aspek-aspek skematik yang diciptakan pengarang yang dapat digantikan dengan kegiatan konkretisasi (Iser 1987: 20). Secara sederhana Iser (1987: 21) mengungkapkan bahwa karya sastra mempunyai dua kutub, yaitu kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik berkenaan dengan teks pengarang, kutub estetik berkenaan dengan konkretisasi (realisasi makna teks yang dicapai oleh pembaca). Makna yang dihasilkan menurut Iser sebaiknya merupakan hasil dari tanda-tanda yang terdapat dalam teks dan digabungkan dengan kemampuan pemahaman pembaca. Makna antara subjek (pembaca) dan objek (teks) merupakan hasil dari gudang pengetahuan (repertoire). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Junus (1985: 47) bahwa Iser membarikan perhatian kepada peranan pembaca dalam memahami/ mengongkretkan suatu karya. Pembaca mungkin akan dapat merekonstruksikan sesuatu yang tak disebutkan. Hal ini memungkinkan untuk menghubungkan karya itu dengan realitas. Repertoire terdiri atas semua wilayah yang dapat dikenali dalam teks. Wilayah ini dapat berupa referensi-referensi terhadap karya-karya terdahulu, atau terhadap norma-norma sosial dan historis, atau dapat juga mengambil keseluruhan kebudayaan yang dimunculkan dalam teks. Singkatnya, apa yang disebut oleh strukturalisme praha (Prague) sebagai realitas ekstratekstual. Repertoire memiliki dua implikasi, yaitu (1) realitas yang muncul dalam teks tidak terbatas dalam pada
17
halaman cetak; (2) elemen atau unsur-unsur yang diseleksi sebagai referensi tidak dimaksudkan sebagai replika semata. Kehadiran elemen-elemen tersebut dalam teks biasanya berarti bahwa elemen-elemen tersebut mengalami suatu jenis transformasi.
Cara
konvensi-konvensi,
norma-norma,
dan
tradisi-tradisi
mengambil tempat dalam repertoire kesusastraan bervariasi, namun dalam beberapa hal konvensi-konvensi, norma-norma, dan tradisi-tradisi selalu tereduksi atau termodifikasi1. Norma merupakan suatu kaidah yang digunakan sebagai tolok ukur untuk menilai atau memperbandingkan sesuatu. Norma sosial berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain atau kaidah tentang kemasyarakatan. Norma budaya berkaitan dengan adat istiadat atau kebiasaan yang ada dalam suatu wilayah. Sedangkan norma sejarah berhubungan dengan asal usul terjadinya suatu peristiwa. Norma-norma ini kemudian digunakan sebagai repertiore atau background bagi seorang pengarang untuk menciptakan sebuah karya sastra. Menurut Iser (1987: 78-79) tugas norma-norma adalah mengangkat sifat inovatif repertoire, tetapi tugas ini mungkin mengarah ke konsekuensi yang berbeda. Determinasi repertoire menyajikan satu titik pertemuan (meeting point) antara teks dan pembaca, namun sebagaimana komunikasi selalu menghendaki penyampaian sesuatu yang baru, maka titik pertemuan ini tidak dapat mencakup lingkup bidang yang familiar. Repertoire menghadirkan norma-norma dan merepresentasikannya dalam keadaan tidak valid atau mempunyai validitas yang 1
Wolfgang Iser, 1987, The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response, London: The Johns Hopkins University Press. Hal 79.
18
mengambang sehingga meletakkan teks yang sama antara masa lampau dan masa depan (Iser, 1987: 70). Repertoire teks dibangun oleh materi yang diseleksi dari sistem sosial dan tradisi-tradisi kesusastraan. Seleksi norma-norma sosial dan alusi-alusi (kiasan-kiasan) kesusastraan ini menempatkan karya dalam sebuah konteks referensial yang di dalamnya sistem ekuivalensi harus teraktualisasi (Iser, 1987: 86). Repertoire teks sebagai pengirim dan pembaca sebagai penerima akan bertumpang tindih dan elemen-elemen umum merupakan kondisi awal untuk sirkulasi. Bagaimanapun komunikasi sastra berbeda dengan bentuk komunikasi yang lain, karena elemen-elemen repertoire pembaca yang familiar kepada pembaca melalui penerapan mereka dalam situasi kehidupan yang nyata kehilangan validitasnya ketika ditransplantasikan ke dalam teks sastra. Dapat dikatakan bahwa elemen-elemen repertoire kehilangan validitas yang mengarah ke pengomunikasian sesuatu yang baru (Iser, 1987: 83). Kebaruan dan pengulangan saling mendekati satu sama lain tanpa pernah menyatu ke dalam satu identitas harmonis yang tunggal (Iser, 1987: 70). Ketidakhadiran suatu identitas itu merupakan indikasi bahwa lingkup bidang familiar menarik bukan karena ia familiar, tetapi karena ia mengarah ke suatu arah nonfamiliar. Signifikasi norma-norma lama tidak dapat didefinisikan oleh teks, karena definisi apapun harus dalam peristilahan norma-norma yang eksis. Oleh karena itu, lebih baik dikatakan bahwa repertoire
merepresentasikan norma-
norma yang eksis dalam satu keadaan validitas yang mengambang. Dengan demikian, meletakkan posisi teks pada posisi yang sama tengah antara masa lalu dan masa depan. Teks sendiri hadir kepada pembaca sebagai satu kejadian atau
19
peristiwa terbuka karena kepentingan komponen-komponen familiar tidak dapat terletak pada familiaritasnya dan karena intensi yang mendasari seleksi komponen-komponen itu belum diformulasikan. Posisi determinan inilah yang menyokong teks dengan dinamikanya. Iser (1987: 85) mengatakan bahwa repertoire dikarakteristikkan dengan bentuk rekodifikasi dan makna menjadi pengalaman pembaca. Makna harus menjadi pragmatik. Hal ini disebabkan oleh makna yang tidak pernah mencakup semua potensi semantik teks, namun hanya membuka wujud khusus akses ke potensi-potensi itu. Makna pragmatik ini hanya dapat diwujudkan melalui sebuah seleksi realisasi jangkauan makna, dalam realisasi ini keputusan pembaca memainkan peranannya bersama dengan sikap yang dibangkitkan dalam dirinya oleh teks untuk mendekati masalah-masalah yang ditimbulkan oleh repertoire. Makna pragmatik adalah sebuah makna terapan atau makna tersirat. Makna itu memungkinkan teks sastra untuk memenuhi fungsinya sebagai sebuah jawaban dengan membuka dan menyeimbangkan kekurangan-kekurangan sistem-sistem yang menciptakan masalah. Makna tersebut membuat pembaca bereaksi atas realitasnya sendiri. Rekodifikasi sastra terhadap norma-norma memiliki dua fungsi, yaitu memungkinkan pembaca kontemporer melihat apa yang tidak bisa dilihatnya secara normal dan memungkinkan generasi pembaca berikutnya untuk menangkap realitas yang tidak pernah menjadi milik mereka. Repertoire teks terdiri atas satu seleksi norma-norma dan alusi-alusi (Iser, 1987: 70). Komponen dasar repertoire muncul dari interaksi antara karya sastra dengan sistem pemikiran historis. Repertoire memproduksi ulang sesuatu yang
20
familiar, tetapi memotongnya untuk validitas yang baru. Jika karya sastra mucul dari latar belakang sosial atau filosofi pembaca sendiri, hal itu akan membantu untuk melepaskan norma-norma umum yang berlaku dari konteks fungsional mereka. Dengan demikian, pembaca dapat menempatkan diri dalam posisi yang memungkinkannya untuk melihat secara jelas kekuatan-kekuatan yang memandu dan mengarahkannya. Jika norma-norma itu sekarang menghilang dalam sejarah masa lampau dan pembaca tidak lagi terlibat dalam sistem tempat norma-norma itu muncul. Alusi-alusi sastra yang melekat pada repetoire tereduksi dengan cara yang sama dengan norma-norma, karena mereka bersifat fungsional buka imitasi. Jika fungsinya menginporasikan (menggabungkan), norma-norma adalah untuk memunculkan kekurangan pada sebuah sistem umum, fungsi alusi kesusastraan adalah untuk membantu menciptakan sebuah jawaban atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan itu. Meskipun demikian, alusi-alusi itu seperti halnya norma-norma, membuka wilayah yang familiar dan juga memberi jawaban-jawaban yang tidak lagi membentuk sebuah makna yang valid pada karya masa kini. Akan tetapi, menawarkan sebuah formula tentang orientasi berupa sarana yang memungkinkan penemuan makna baru (Iser, 1987: 79-80). Repertoire
memerlukan
suatu
bentuk
atau
struktur
untuk
mengorganisasikan kehadirannya dengan berbagai cara (Holub, 1989: 88). Dalam hal ini, Iser menggunakan istilah strategi untuk menyebut fungsi itu. Strategi menurut Iser (1987: 86) meliputi struktur imanen teks dan aksi-aksi pemahaman yang ada pada diri pembaca. Strategi mengorganisasikan materi teks dan kondisi-
21
kondisi tempat-tempat materi itu dikomunikasikan. Selanjutnya, strategi berfungsi untuk mengarahkan perhatiannya pada teknik konkretisasi. Iser (1987: 92) menjelaskan bahwa hubungan teks dengan dunia luar hanya dapat dilihat melalui skema-skema yang terdapat dalam teks itu sendiri, yaitu berupa repertoire normanorma sosial dan konvensi-konvensi kesusastraan yang mengondisikan gambaran tertentu yang dijadikan oleh karya yang bersangkutan. Strategi ini berperan sebagai pembatas pergerakan imajinasi yang dihimpun pembacanya. Fungsi strategi yang paling utama adalah mengadakan defamiliarisasi meliputi apa-apa saja yang terlihat familiar. Struktur dasar strategi muncul dari komposisi selektif repertoire. Walaupun norma-norma sosial mungkin telah diseleksi dan dipadatkan dalam teks, secara otomatis mereka akan membentuk sebuah kerangka referensi dalam bentuk pemikiran atau sistem sosial dari mana mereka diseleksi. Proses seleksi ini akan menciptakan sebuah hubungan antara latar belakang dan latar depan, dengan elemen yang dipilih berada di latar depan dan konteks aslinya di latar belakang. Tanpa hubungan semacam itu elemen yang dipilih tidak akan mempunyai arti (Iser, 1987:93). Adapun struktur yang mengatur strategi adalah latar depan (foreground) dan latar belakang (background). Latar depan dan latar belakang ini akan mengendalikan persepsi pembaca dan bertanggung jawab atas makna karya sastra. Lebih lanjut, Iser (1987: 95) menyatakan bahwa latar depan dan latar belakang juga merupakan struktur dasar. Melalui strategi-strategi teks dapat menciptakan
22
tegangan yang membawa pada serangkaian tindakan serta interaksi yang berbeda dan pada akhirnya diputuskan dengan kemunculan objek-objek estetis. Repertoire
membentuk
struktur
organisasional
arti
yang
harus
dioptimalkan melalui pembacaan teks. Repertoire mengorganisasikan reaksireaksinya terhadap teks dan masalah-masalah yang dibawanya. Optimalisasi ini tergantung pada tingkat kesadaran pembaca sendiri dan keinginannya untuk membuka diri terhadap satu pengalaman yang tidak familiar. Optimalisasi itu juga tergantung pada strategi-strategi teks yang membentuk garis panjang pada teks yang akan diaktualisasikan. Garis strategi ini tidak berarti secara bebas karena elemen-elemen repertoire telah sangat terdeterminasi (Iser, 1987: 85). Lebih lanjut Iser (1987: 96) menyatakan bahwa terdapat empat perspektif untuk memunculkan pola repertoire, yaitu perspektif narator, karakter, alur, dan pembaca fiktif. Walaupun demikian, teks-teks naratif tidak harus melibatkan keempat perspektif naratif tersebut. Ke-empat perspektif tersebut terdapat dalam novel sehingga bagi Iser (1987: 35), novel merupakan contoh terbaik dalam menunjukkan sistem yang dirancang untuk mentransmisikan individualitas pandangan penulis karena novel memiliki berbagai perspektif yang menguraikan pandangan pengarang dan memberikan akses kepada apa yang mesti divisualisasikan oleh pembaca. Hal tersebut dapat pula dikenali melalui implied reader atau pembaca implisit yang disarankan Iser (1987). Pembaca implisit merupakan pembaca yang diciptakan sendiri oleh teks untuk dirinya dan menjadi “jaringan kerja struktur yang mengandung jawaban” atau dapat pula diartikan sebagai suatu instansi di
23
dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antar teks dengan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang berada pada keseluruhan teks atau diciptakan oleh teks-teks itu sendiri yang memungkinkan pembaca membaca teks dengan cara tertentu. Pembaca implisit berada pada wilayah ke-empat perspektif yaitu narator, karakter, alur, dan pembaca fiktif. Posisi pembaca dalam sebuah teks terletak pada pertemuan antara memori yang dimiliki dan harapannya terhadap karya. Melalui proses membaca terjadi hubungan saling mempengaruhi secara kontinu antara modifikasi harapan dan memori yang mengalami transformasi (1987: 111). Iser memberikan perhatian pada peranan pembaca dalam memahami atau mengkonkretisasikan suatu karya. Dengan demikian, pembaca dapat merekonstruksikan sesuatu yang tidak disebutkan. Maka pembaca akan lebih berkesan bila ia menemukan “pandangan” yang diskematikkan untuk membangun imajinasi yang memberikan pembaca ruang gerak. Menurut Iser (1987: 78-79), perkiraan norma-norma merupakan karakter inovatif repertoire. Namun perkiraan ini menyebabkan konsekuensi yang berbeda: pembaca akan melihat apa yang belum atau tidak pernah dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti akan menangkap sesuatu yang hingga kini tidak pernah nyata baginya. Singkatnya dapat dikatakan bahwa teks sastra memungkinkan pembaca untuk mentransendensi (menembus) batas-batas situasi kehidupan nyata mereka sendiri. Teks sastra bukanlah pencerminan dari realitas apapun, tetapi merupakan sebuah perpanjangan (kelanjutan) atau perluasan realitas mereka sendiri. Hal ini bukan berarti sekadar replika antara unsur dan
24
realitas intratekstual dengan unsur dan realitas ekstratekstual. Unsur dan realitas ekstratekstual dalam fiksi akan mengalami transformasi ketika diolah oleh pengarang melalui repertoire menjadi unsur-unsur tekstual yang telah mengalami reduksi dan modifikasi, bukan sekadar usaha mengcopy semata. Realitas ekstratekstualnya
atau
repertoire
yang dijadikan
latar
belakang
untuk
memunculkan latar depan, yaitu apa yang hendak dikemukakan dalam karyanya. 1.7 Metode Penelitian Metode dapat diartikan sebagai suatu kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi sasaran penelitian. Karena karya sastra merupakan fakta estetik yang memiliki karakteristik tersendiri, maka metode yang digunakan untuk mengkajinya pun berbeda. Metode dalam studi sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang ditentukan oleh karakteristiknya sebagai suatu sistem, yaitu sistem sastra. Dalam penelitian sastra, pemilihan metode berkaian erat dengan karakteristik, objek penelitian, masalah, dan tujuan penelitian (Chamamah dalan Jabrohim, 2001: 15). Metode yang dikembangkan dan digunakan dalam suatu penelitian harus sesuai dengan objek yang diteliti. Namun demikian, dalam suatu kajian ilmiah perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat terutama dalam kaitannya dengan penggunaan metode ilmiah dalam suatu penelitian. Kaelan (2005: 4) menyatakan bahwa suatu ilmu pengetahuan disebut ilmiah manakala mengembangkan suatu model penelitian dengan menggunakan suatu prinsip verifikasi, dan menyangkut objek yang bersifat empiris serta logis.
25
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Maleong, 1989: 2). Bodgan dan Taylor (melalui Maleong, 1989: 3) mendefinisikan
metodologi
kualitatif
sebagai
prosedur
penelitian
yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan. Kaelan (2005: 5) mengungkapkan bahwa karakteristik penelitian kualitatif terletak pada objek yang menjadi fokus penelitian. Jika penelitian kuantitatif mengukur objek dengan suatu perhitungan, dengan angka, persentase, statistik, atau bahkan dengan komputer. Akan tetapi pada penelitain kualitatif tidak menekankan pada kuantum atau jumlah, jadi lebih menekankan pada segi kualitas secara ilmiah karena menyangkut pengertian, konsep, nilai serta ciri-ciri yang melekat pada objek penelitian. Penelitian kualitatif dapat diartikan pula suatu penelitian yang tidak melakukan perhitungan-perhitungan dalam melakukan justifikasi epistimologis. 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Penulis mengumpulkan data menggunakan studi pustaka dengan cara mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan materi repertoire dalam naskah sandiwara tersebut, di samping itu penulis juga mengumpulkan ulasan-ulasan serta bahan tulisan lain yang didapat dari buku, jurnal, majalah, internet, dan lain sebagainya. Pada metode pengumpulan data ini, data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa naskah sandiwara Sampek Engtay karya Nano Riantiarno yang diterbitkan oleh penerbit Galang Press pada tahun 2004 yang berjumlah 281 halaman. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari beberapa
26
sumber yang berkaitan dengan objek penelitian. Data sekundr yang dimaksud adalah berupa referensi tertulis yang berkaitan dengan repertoire. Referensi tersebut dapat diperoleh baik dari buku teori, penelitian karya sastra, maupun tulisan-tulisan lain yang bersifat ilmiah tentang kebudayaan patriarki, drama komedi, sejarah etnis Tionghoa di Indonesia, serta hasil penelitian yang relevan dengan objek yang akan dianalisis. 1.7.2 Analisis Data Faruk (2012: 25) mengungkapkan bahwa metode analisis data merupakan seprangkat cara atau teknik penelitian yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan. Sebagaimana yang sudah dikemukakan, hubungan itu dapat berupa hubungan genetik, hubungan fungsional, hubungan disposisional, intensional, kausal, dan sebagainya. Hasil dari analisis data inilah yang akan menjadi pengetahuan ilmiah, pengetahuan mengenai aturan atau mekanisme yang memungkinkan adanya keadaan dan terjadinya peristiwa-peristiwa empirik yang menjadi sumber data. Analisis data pada dasarnya adalah cara untuk memilah-milah, mengelompokkan data kualitatif agar kemudian dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain (Ahimsa-Putra, 2009: 19). Data-data yang diperoleh dilakukan analisis data dengan pembacaan, kategorisasi, dan inferensi. Penelitian ini akan mendasarkan metode analisis data pada respon estetik Wofgang Iser. Teori Iser mengenai repertoire digunakan
27
dalam kajian ini untuk memusatkan perhatian pada proses interaksi antara teks dengan pembacanya sehingga menghasilkan respon karena suatu teks akan memiliki makna apabila ia dibaca. Teks yang dibaca akan menimbulkan efek yang mempengaruhi pengalaman pembaca. Ruang-ruang kosong yang terdapat dalam teks membuat pembaca ingin memberikan penafsiran terhadapnya. Penafsiran tersebut mengacu pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki oleh pembaca. Proses komunikasi untuk mengisi ruang-ruang kosong dalam teks dikontrol oleh strategi yang akan mengatur background dan foreground pembaca atau peneliti. Strategi akan mengaktualisasikan repertoire pembaca yang kemudian melakukan proses kesepakatan dengan harapan pembaca serta kemampuan pembaca dalam berimajinasi sehingga terwujud konkretisasi atau realisasi makna dalam sebuah teks. Setelah dilakukan pembacaan, dilakukan proses kategorisasi. Teknik kategorisasi ini digunakan untuk mengelompokkan data yang berkaitan dengan repertoire mengenai norma sosial, budaya, dan sejarah. Dengan demikian dapat diketahui seberapa jauh repertoire dalam Naskah sandiwara Sampek Engtay dapat diungkapkan. Langkah terakhir adalah inferensi untuk menyimpulkan hasil penelitian berdasarkan kategori yang diperoleh. Norma sosial yang diperoleh dari proses tersebut adalah drama komedi. Nano menciptakan sebuah naskah sandiwara yang dipengaruhi oleh gaya komedi Aristophanes. Norma budaya yang diperoleh adalah budaya patriarki yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan. Sedangkan norma sejarah yang diperoleh dari proses tersebut adalah
28
etnis Tionghoa dan masa Orde Baru. Proses dalam penelitian akan dijelaskan pada bagan berikut.
Naskah sandiwara Sampek Engtay
Pembacaan
Teori Respon Estetik
Repertoire
Wirkung/ Efek
Background
Norma Sosial
Norma Budaya
Norma Sejarah
Drama Komedi
Budaya Patriarki
Etnis Tionghoa di Indonesia
Foreground
Bagan 1. Langkah Kerja Penelitian Hal pertama yang akan dilakukan adalah menampilkan teks naskah sandiwara Sampek dan Engtay. Teks tersebut kemudian dilakukan proses
29
pembacaan dengan teori repertoire untuk mendapatkan efek keseluruhan dari teks tersebut. Di dalam teks tersebut dicari background penciptaan yang dimunculkan dalam karya sastra untuk mengungkapkan foreground dari naskah sandiwara Sampek dan Engtay. Data berupa materi tentang Drama komedi yang menjadi ciri khas Nano dalam menulis naskah sandiwara Sampek Engtay di dalam BAB II. Selain itu dalam BAB II juga akan dijelaskan seperangkat norma budaya yang ditangkap pembaca dalam teks. Iser menyebutkan bahwa berbagai norma direpresentasikan sebagai prinsip atau dasar pedoman di balik perilaku sebagian besar karakter tokoh yang penting. Norma budaya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budaya patriarki yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan. Dalam BAB IV penulis akan mengungkapkan fakta sejarah etnis Tionghoa di Indonesia masa orde baru yang digunakan Nano dalam naskah sandiwara Sampek Engtay. Iser (1987: 87) menyebutkan bahwa di antara fungsi-fungsi strategi, yang terpenting adalah mendefamiliarisasikan hal-hal yang familiar. 1.8 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas empat bab. Di dalam bab I merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi perwujudan repertoire dalam naskah sandiwara Sampek Engtay yang meliputi: drama komedi (norma sosial), budaya patriarki dan ketidakadilan terhadap perempuan (norma budaya) sebagai repertoire. Pada bab III membahas tentang perwujudan norma sejarah dalam
30
naskah sandiwara Sampek Engtay, yaitu etnis Tionghoa masa Orde Baru sebagai repertoire. Berikutnya bab IV berupa simpulan dan saran.