Dr. H. Barsihannor, M.Ag
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi setiap manusia, sebab melalui proses pendidikan, manusia dapat menjadi manusia yang sebenarnya, yakni manusia yang memiliki kualitas dan integritas kepribadian. Keharusan akan pendidikan bagi manusia merupakan refleksi dari karakteristik manusia sebagai homo educandum. Ini berarti bahwa manusia dalam setiap dinamikanya membutuhkan pendidikan. Proses pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia yang tumbuh dan berkembang secara sempurna. Sejak anak lahir ke dunia ini, ia sangat bergantung kepada orang lain; ia tidak mengetahui sesuatu; karena itu ia memerlukan bimbingan dan arahan dari orang dewasa sebagai wujud dari proses pendidikan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab setiap orang, dan yang secara formal tanggung jawab itu dibebankan kepada tiga lingkungan yaitu, rumah tangga, masyarakat dan sekolah. Ketiga unsur itu beserta seluruh subjek dan objek yang terkait satu sama lain, harus saling menunjang untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Lingkungan keluarga yang menjadi lingkungan pertama anak dibesarkan dan dididik, memberikan peranan yang sangat berarti dalam proses pendidikan, sebab di lingkungan inilah untuk pertama kalinya si anak menerima sejumlah nilai dan norma yang ditanamkan kepadanya. Oleh karena itu wajar kalau
1
dikatakan bahwa orang tua merupakan penanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. 1 Orang tua sebagai penanggung jawab anak, dituntut tanggung jawabnya dalam mendidik, membingbing dan membesarkannya sampai menjadi orang yang dewasa dan berguna bagi bangsa dan negara. Orang tua memiliki peranan yang kuat dalam menentukan dan membentuk masa depan anak. Dalam hal ini Nabi Muhammad saw. pernah mengisyaratkan bahwa orang tua memiliki peranan penting dalam membentuk kepribadian anak. Isyarat itu terdapat dalam hadis Nabi berikut: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪان اﺧﱪﻧﺎ ﻋﺒﺪ اﷲ اﺧﱪﻧﺎ ﻳﻮﻧﺲ ﻋﻦ اﻟﺰﻫﺮي ﻗﺎل أﺧﱪﱐ أﺑﻮ ﺳﻠﻤﺔ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ان أﺑﺎ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻣﺎﻣﻦ ﻣﻮﻟﻮد إﻻ ﻳﻮﻟﺪ ﻋﻠﻰ اﻟﻔﻄﺮة ﻓﺄﺑﻮاﻩ:ﻫﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل 2 .ﻳﻬﻮداﻧﻪ او ﻳﻨﺼﺮاﻧﻪ او ﳝﺠﺴﺎﻧﻪ Terjemahnya: ‘Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. Bersabda: “ Tidak ada seorang anak yang dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.’ 3 Hadis di atas memberikan petunjuk kepada orang tua mereka agar mereke memenfaatkan fungsinya sebagai orang tua dengan sebaik-baiknya, karena pendidkan yang diterima dari orang tua menjadi dasar pembinaan kepribadian anak. Orang tua jangan membiarkan pertumbuhan anakberjalan tanpa bimbingan
1Disadur dari Salih ‘Abd al-‘Azis dan ‘Abd al-‘Azis ‘Abd al-Majid, alTarbiyat wa Turuq al-Tadris, jus I (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), h. 2. 2Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhariy, Sahih al-Bukhariy, jilid III (Jakarta: Maktabat Dahlan, t.th.), 1952. 3Terjemahan
penulis.
2
atau hanya diserahkan kepada guru-guru di sekolah saja. Ini merupakan suatu kekeliruan yang sering terjadi di masyarakat. 4 Di dalam keluarga, anak diberi bimbingan berupa pendidikan jiwa, moral, ibadah dan akidah, 5 dengan tujuan untuk mengosongkan jiwa dari sifat tercela dan mengisinya dengan sifat terpuji, sehingga ia menjadi anak saleh. 6 Dengan demikian dapat dipahami, bahwa orang tua memegang peranan dan menentukan proses pendidikan, dan ini dapat terwujud bila orang tua memiliki kesadaran penuh akan pentingnya pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama dan sosial kepada anak. Tujuan pendidikan yang dilangsungkan di rumah tangga adalah agar anak mampu berkembang secara maksimal, meliputi aspek jasmani, akal dan rohani yang harus dibimbing oleh orang tua. 7 4Zakiyah Drajat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 47. 5Tujuan diberikan bimbingan akidah di antaranya adalah agar anak mengerti dan mengetahui akidah yang benar, menguatkan keimanan kepada Allah, menumbuhkan semangat ibadah dalam diri anak. Lihat Muhammad Abd al-Qadir Ahmad, Turuq Ta’lim al-Tarbiyat al-Islamiyyah (Cairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyyah, 1981 M/ 1401 H), h. 103. 6Husain Muhammad al-Syarqawiy, Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islamiy (t.t.: Mua’ssasat Syabab al-Jami’ah, 1984), h. 315. 7Menurut Muhammad ‘Atiyyah al-Abrasyiy, orang tua memiliki peranan yang penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan keluarga. Pengaruh orang tua dalam gaya bahasa dan tingkah laku, sangat menentukan keberhasilan tujuan pendidikan. Lihat Muhammad ‘Atiyyah al-Abrasyiy, Ruh al-Tarbiyat wa al-Ta’lim (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1955), h. 88.
3
Dalam hal perkembangan jasmani, orang tua dituntut memberikan pelayanan sebaik-baiknya, memberikan segala kebutuhan jasmani berupa pelayanan kesehatan, makanan, pakaian dan lain-lain, sehingga pertumbuhan anak dapat berjalan secara maksimal. Dalam perkembangan rohani, orang tua mestis memberikan bimbingan, terutama dalam pembentukan pemikiran, ahklak, ibadah dan akidah kepada Tuhan, sebab hal semacam ini akan mengakar tumbuh dalam diri anak, jika diajarkan sejak dini. Penanaman nilai rohaniah kepada anak, sama halnya dengan memberikan ajaran agama kepada anak. Ibnu al-Qayyim berpendapat seperti dikutip oleh Sa’id Isma’il ’Ali bahwa, agama adalah akhlak, barang siapa yang bertambah akhlaknya, maka bertambah pula agamanya. 8 Kasih sayang dan perhatian orang tua, termasuk juga dalam aspek pengembangan rohani. Bila kasih sayang dan perhatian orang tua tercurah kepada anak, maka anak akan merasa tenang dan tenteram, sehingga jiwa raganya tumbuh dan berkembang dengan baik. Khairiyyah Husain Taha, berpendapat bahwa nilai kasih sayang telah menyebar di lingkungan keluarga dan masingmasing pihak selalu menjalani interaksi dengan cara yang baik pula, hal itu akan memiliki pengaruh yang amat besar terhadap kehidupan anak. 9 8Sa’id Isma’il ‘Ali, Nasy’at al-Tarbiyah al-Islamiyyah (Mesir: ‘Alam al-Kutub, 1978), h. 173.
Husain Thaha, Daur al-Umm fi Tarbiyat al-Atfal li al-Muslim, diterjemahkan oleh Hosen Arjaz Jamal dengan judul Konsep Ibu Teladan (Surabaya: Risalah Gusti, 1994), h. 49. 9Khairiyyah
4
Untuk memenuhi dan menjawab segala persoalan berkenaan dengan pendidikan anak, pendidikan terdapat dalam kisah Luqman al-Hakim merupakan alternatif yang baik dalam memberikan solusi yang mendasar dalam pembentukan pendidikan yang berlandaskan nilai etis-religius, sebab pendidikan dalam konsep tersebut mencakup pendidikan akhlak, akal dan intelektual serta pendidikan jiwa. 10 Dari uraian di atas, nyatalah bahwa pendidikan seperti yang terdapat dalam kisah Luqman al-Hakim memegang peranan penting dalam pendidikan anak terutama dalam menanamkan jiwa dan akhlak yang baik terhadap anak. Pendidikan seperti itu tidak hanya terfokus pada pembinaan akhlak semata, tetapi lebih dari itu, juga mengarahkan bagaimana agar anak memiliki kadar intelektual yang baik sesuai dengan norma agama. Proses pendidikan berlandaskan agama hendaknya ditanamkan secara kontinyu, sejak dalam kandungan hingga dewasa. Dengan begitu, nilai agama yang ditanamkan dapat mengkristal dan melekat dalan kepribadiannya. Adanya pendidikan agama yang berkesinambungan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis diharapkan dapat melahirkan manusia yang bermoral tinggi dan berkepribadian yang baik, terhindar dari goncangan jiwa. 11 Dari ungkapan di atas, dapat dipahami bahwa proses pendidikan anak tidak dapat terhindar dari proses perkembangan dan pertumbuhan anak itu sendiri. Ini berarti bahwa di dalam
10Al-Syarqawiy,
op. cit., h. 313.
11Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 26.
5
proses pendidikan anak diperlukan unsur dan pendekatan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan. Anak sebagai objek dan subjek pendidikan, harus dipandang sebagai makhluk yang tumbuh dan berkembang, baik jasmani maupun rohani. Anak harus diperlakukan sesuai dengan irama perkembangannya. Ancaman, kekerasan, kritikan, ejekan, cemoohan dan membandingkan anak dengan anak yang lain, harus dihindari, sebab bisa menghambat perkembangan jiwanya. 12 Al-Qur’an sebagai pedoman hidup memberikan petunjuk bagaimana manusia seharusnya melakukan aktifitas di dunia ini, di antaranya aktifitas pendidikan. 13 Al-Qur’an memberikan contoh tentang proses pendidikan, bagaimana terdapat di dalam kisah Luqman al-Hakim. 14 Kisah pendidikan Luqman al-Hakim ini merupakan contoh ideal bagaimana proses pendidikan seharusnya diberikan kepada anak. Pokok-pokok pendidikan Luqman al-Hakim itu meliputi unsur pendidikan dan pendekatannya. Unsur-unsur itu meliputi dasar dan tujuan, materi dan metode serta lingkungan pendidikan, sedangkan pendekatan pendidikan meliputi pendekatan filosofis, psikologis dan religius. Salah satu contoh unsur pendidikan Luqman al-Hakim adalah materi pendidikan. Materi pertama yang diberikan adalah tauhid. Materi ini merupakan inti ajaran dasar untuk menanamkan nilai-nilai akidah kepada anak agar senantiasa 12Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), h. 370. 13QS.
Al-Baqarah (2): 2.
14QS.
Luqman (31):12-19.
6
mengesakan Allah. Tauhid ini merupakan misi para Rasul dalam menyampaikan risalah kepada manusia. 15 Itu berarti tauhid memang memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Materi tauhid yang diajarkan Luqman al-Hakim kepada anaknya, tentu tidak terlepas dari pertimbangan aspek jiwa manusia, yang secara fitrah memiliki perasaan untuk bertuhan. Metode dan pendekatan pendidikan yang ditetapkan Luqman al-Hakim juga sangat menyentuh aspek esoteris, sehingga materi yang diberikan kepada anaknya mudah diterima. Luqman al-Hakim menyampaikan nasehatnya dengan gaya bahasa yang halus dan menyentuh hati. 16 Hal itu menunjukkan bahwa gaya bahasa yang digunakan seorang pendidik sangat berpengaruh terhadap proses pendidikan anak, oleh karena itu, segala aspek yang berhubungan dengan transformasi pengetahuan melalui pendidikan harus benar-benar diperhatikan. Jika ditelaah kandungan ayat yang menceritakan nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya, tampak tersirat adanya hubungan dialogis dan komunikatif antara keduanya. Hubungan emosi yang erat ini dilihat dari beberapa ungkapan Luqman alHakim dalam menyampaikan materi dan menerapkan metode pendidikan. Semua materi diberikan dengan metode dan pendekatan pendidikan yang penuh arif dan bijaksana serta penuh kasih sayang.
Abu Zahrah, al-‘Aqidat Islamiyyah Kama Ja’a Biha al-Qur’an alKarim (Kairo: Sisilat al-Buhus al-Islamiyyah, 1969), h. 18. 15Muhammad
h. 143.
16Wahbat
al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir, 1991),
7
Kasih sayang, sikap arif dan bijaksana dalam pendidikan memang sangat dibutuhkan. Anak mengalami gangguan jiwa jika dia tidak merasakan kasih sayang. Kekurangan kasih sayang akan timbul, jika anak merasakan hilangnya pemeliharaan orang tua, dan ini berdampak negatif terhadap anak. 17 Sikap dan gaya orang tua dalam mendidik anak harus baik, dalam arti bahwa mereka harus menerapkan prinsip-prinsip irama perkembangan anak. Keteladanan yang baik merupakaan syarat utama keberhasilan pendidikan di dalam rumah tangga. Khairiyyah Husain Taha, berpendapat bahwa Islam memulai pembinaan keluarga dan rumah tangga dari nurani individu dengan asas yang sehat dan metode yang tepat dan kokoh, yaitu kasih sayang. Untuk itu orang tua harus mengiasi diri dengan nilai etis dan norma sosial. Orang tua dilarang bersikap takabur dan diktator terhadap anak. 18 Apa yang disampaikan dan dicontoh Luqman al-Hakim berkenaan dengan pendidikan ini, seharusnya menjadi kerangka dasar pemikiran dalam proses pendidikan, terutama pendidikan anak. Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam menekankan pentingnya pendidikan anak dengan metode dan pendekatan yang tepat, 19 sebab manusia itu pada dasarnya hidup melalui proses perkembangan. 20 Dengan demikian, maka kajian psikologis sangat menentukan dalam proses pendidikan. 17Zakiyah
Drajat, Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h. 76.
18Khairiyyah 19Misalnya
Husain Taha, op.cit., h. 47.
QS. Al-Tahrim (66):6.
20QS. Al-Nisa (4):1, Nuh (71):14, al-Insan (76):1,3, al-Sajadah (32):7,8,9, alMu’minun (23):12,13,14, al-Tariq (86):5,7.
8
Sistematika pendidikan Luqman al-Hakim, terutama urutan materi pendidikan, sangat menarik untuk dicermati dan ditelaah secara mendalam, sebab urutan ini tampaknya memiliki hubungan erat dengan irama perkembangan jiwa manusia. Urutan materi itu adalah sebagai berikut: tauhid, akhlak, ibadah dan muamalah. Kisah Luqman al-Hakim tentang pendidikan memang sangat menarik untuk dikaji. Luqman al-Hakim merupakan figur ideal dalam alam pendidikan yang harus diteladani oleh setiap pendidik. Untuk menelaah lebih jauh konsep pendidikan Luqman al-Hakim, penulis tertarik mengangkat masalah ini sebagai kajian dalam penulisan ini, dengan judul: “Konsep Pendidikan Anak di Dalam Kisah Luqman al-Hakim” (Telaah terhadap QS. Luqman (31): 12-19). Penulisan ini beranjak dari konsep dasar tentang pendidikan anak. Konsep dasar itu meliputi unsur dan pendekatan pendidikan yang selalu menyertai proses pendidikan. Dengan demikian, maka kajian dalam penelitian ini tidak lepas dari aspek tersebut. Semua kajian dalam penelitian ini merujuk kepada pola dan paradigma pendidikan, baik paradigma pendidikan yang secara umum diterapkan dalam pendidikan formal, informal dan nonformal, maupun paradigma pendidikan menurut konsep alQur’an. Namun dalam peneliltian ini, paradigma utama yang digunakan adalah sebagaimana petunjuk al-Qur’an, sementara paradigma di luar itu, hanya bersifat elementer dan suplementer. Masalah pokok dalam tulisan ini adalah: Bagaimana konsep pendidikan anak dalam kisah Luqman al-Hakim? Masalah pokok ini dirinci dalam beberapa sub masalah, yakni: (1) Siapa Luqman al-Hakim menurut para ahli tafsir; (2) Apa tugas dan peranan beliau; (3) Apa yang dimaksud dengan al-Hikmah, dan 9
bagaimana hubungannya dengan pendidikan; (4) Bagaimana unsur dan pendekatan pendidikan Luqman al-Hakim; dan (5) Bagaimana implikasi pendidikan Luqman al-Hakim. Tujuan penulisan buku ini adalah: 1. Untuk mengetahui konsep pendidikan anak sebagai terdapat dalam kisah Luqman al-Hakim. 2. Untuk mengetahui siapa Luqman al-Hakim, menurut para ulama. 3. Untuk mengetahui unsur-unsur dan pendekatan pendidikan yang diterapkan Luqman al-Hakim dalam proses pendidikan anaknya. 4. Untuk mengetahui implikasi pendidikan Luqman alHakim terhadap dunia pendidikan. Buku ini diharapkan memiliki signifikansi sebagai berikut: 1. Sebagai penambah khazanah ilmu pengetahuan, terutama berkenaan dengan pendidikan menurut Islam. 2. Adanya pemahaman yang mendalam tentang pentingnya pendidikan sejak dini, dengan menanamkan nilai etisreligius kepada anak. 3. Anak merupakan tanggung jawab orang tua dan ia merupakan generasi penerus, karenanya, dengan pendidikan, diharapkan ia dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. 4. Tumbuhnya pemahaman di kalangan pendidik tentang pentingnya unsur dan pendekatan yang harus diterapkan, sesuai dengan irama perkembangan anak.
10
BAB II LUQMAN AL-HAKIM DAN PENDIDIKAN ANAK
A. Sosok Luqman al-Hakim
Salah satu unsur pendidikan adalah pendidik. Pendidik merupakan orang yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pendidikan. Berhasil tidaknya proses pendidikan, di antaranya dipengaruhi oleh aspek pendidik. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka tugas pendidikan dibedakan dalam dua situasi atau lingkungan pendidikan, yakni sekolah dan rumah tangga. Yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pendidikan di sekolah adalah guru, sementara di rumah tangga adalah orang tua. Luqman al-Hakim merupakan salah seorang pendidik, yang digambarkan di dalam al-Qur’an sebagai pendidik di dalam keluarga. Di dalam beberapa uraian tafsir, ia dianggap sebagai orang yang memiliki potensi sebagai orang yang diberikan alHikmah. 1 Dengan al-Hikmah, Luqman al-Hakim mampu mengembangkan nilai-nilai pendidikan terhadap anaknya. Untuk mendapatkan keterangan lebih jauh tentang sosok Luqman al-Hakim, maka perlu ditelaah secara mendalam siapa sebenarnya Luqman al-Hakim. Hal ini penting karena ia merupakan suatu figur yang bisa dijadikan teladan bagi orang tua. Nama Luqman al-Hakim memang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an, kecuali dalam surat Luqman. Al-Nuhas menyatakan bahwa Luqman al-Hakim adalah Ibn Ba’ura ibn Nahur ibn Tarah yakni Azar, ayah ibrahim. Nasab seperti ini diberikan oleh Muhammad ibn Ishaq. 2 Al-Suhailiy menyebutkan bahwa Luqman al-Hakim adalah Ibn ‘Anqai ibn Sarun, dia adalah 1Lihat misalnya Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansariy alQurtubiy, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (t.tp., t.th.), h, 59; lihat pula Muhammad Husain al-Tabatab’iy, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an (Beirut: Mu’assasat al-‘Alamiy li al-Matbu’at, t.th.), h. 215.
loc. cit.; lihat juga Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad alSyaukaniy, Fath al-Qadir al-Jami’ ‘Baina Fann al-Riwayat wa al-Dirayat min ‘Ilm al-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 237. 2al-Qurtubiy,
11
seorang nabi dari keluarga Ilat. 3 Wahab, berpendapat bahwa Luqman al-Hakim adalah anak saudara Ayyub. Menurut Muqatil, Luqman al-Hakim adalah anak bibi Ayyub. 4 Al-Zamakhsyariy, berpendapat bahwa Luqman al-Hakim adalah putra Ba’ura ibn Nahur, saudara perempuan Ayyub, hidup selama seribu tahun. Selama hidupnya itu, Nabi Daud pernah bertemu dengan Luqman al-Hakim dan Nabi Daud menuntut ilmu darinya. Sebelum Daud hidup dan diutus menjadi Nabi, Luqman al-Hakim memberikan fatwa. Ketika Daud menjadi Nabi, maka ia tidak berfatwa lagi. 5 Menurut al-Waqidiy, Luqman al-Hakim adalah seorang Qadi di masyarakat Bani Israil. Sa’id ibn Musayyab berkata bahwa Luqman al-Hakim hanyalah seorang hamba sahaya berkulit hitam dari Sudan; yang diberi Allah al-Hikmah. 6 Oleh karena itu jumhur ulama menyatakan bahwa Luqman adalah seorang wali bukan seorang Nabi. 7 Untuk hal ini, ‘Ikrimah dan alSya’biy menyatakan bahwa meskipun Luqman al-Hakim bukan seorang Nabi tapi ia diberi Hikmat al-Nubuwwah (hikmah kenabian) oleh karena itu ia memiliki predikat sebagai seorang yang memiliki hikmah dengan hikmah Allah. 8 Penulis mencermati beberapa uraian dan pendapat beberapa ulama di atas, tampaknya Luqman al-Hakim memang bukanlah seorang Nabi, tapi hanya seorang hamba biasa yang diberikan oleh Allah kelebihan, berupa al-Hikmah. Luqman al-Hakim juga pernah ditawari menjadi khalifah untuk memberikan dan melaksanakan hukum di antara manusia. Diceritakan bahwa pada suatu hari, ketika Luqman al-Hakim loc. cit.; lihat pula Isma’il Haqqiy al-Barusawiy, Tafsir Ruh alBayan (Juz V; Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 73. 3Al-Qurtubiy,
4Al-Qurtubiy,
loc. cit.; al-Syaukaniy, loc. cit.; al-Barusawiy, loc. cit.
5Al-Barusawiy, 6Al-Qurtubiy,
ibid.
loc.cit.
7Ibid. 8Ibid.
12
tidur, datang kepadanya suatu panggilan, yang menyatakan bahwa Allah akan menjadikannya sebagai khalifah di bumi yang akan menjalankan hukum di antara manusia dengan benar. Ketika itu Luqman berkata, jika Tuhan memilih saya, maka aka menerima kebaikan dan aku tidak menerima bala, dan jika Tuhan menetapkan saya, maka saya tunduk dan taat. Sesungguhnya saya tahu bahwa jika itu dikehendaki, maka Tuhan memberikan inayah dan menghindarkan aku dari dosa. 9 Ketika mendengar kalimat itu, malaikat berkata: Mengapa ya Luqman? Luqman al-Hakim menjawab bahwa hukum merupakan tempat yang paling keras, sebab jika salah dalam memutuskannya, maka itu berarti kezaliman, dan itu berarti salah dalam menuju jalan ke surga. Barang siapa di dunia hina dan di akhirat kelak ia mulia, lebih baik dari pada di dunia ia mulia, tapi di akhirat ia menjadi hina. 10 Dari petikan cerita di atas, dapat dipahami bahwa Luqman al-Hakim memang seorang yang memiliki kehalusan dan kearifan budi pekerti, sehingga dari ucapannya, tercermin katakata yang bijak, bahkan mampu membuat malaikat takjub dengan kalimat Luqman al-Hakim. 11 Qatadah, berpendapat bahwa Luqman al-Hakim telah diberikan alternatif untuk memilih antara nubuwwah dan alHikmah. Luqman ternyata memilih al-Hikmah. Ketika Luqman alHakim sedang tidur, datang malaikat Jibril kepadanya dan memasukkan al-Hikmah, kemudian Luqman al-Hakim berkata kepada malaikat bahwa al-Hikmah lebih disenangi. 12 Dengan al-Hikmah itulah, Luqman al-Hakim memiliki kesempurnaan jiwa kemanusiaan dengan mendapatkan ilmu-ilmu dan melaksanakan sesuatu dengan perbuatan yang terpuji. Tampaknya figur Luqman al-Hakim merupakan figur seorang pendidik yang sangat ideal. Hal ini dapat dilihat dari 9Al-Tabatab’iy,
op. cit., h. 221.
10Ibid. 11Ibid.,
h. 222.
12Al-Qurtubiy,
op. cit., h. 60.
13
integritas kepribadian dan akhlak yang ia miliki, baik dari segi ucapan, sikap (akhlak) maupun perbuatannya. al-Tabatab’iy, berpendapat bahwa Luqman al-Hakim merupakan seorang yang kuat wara’nya, pendiam, dalam pandangan dan wawasannya, cerdas pikirannya, menutup pandangannya dari perbuatan maksiat, tidak menertawakan sesuatu, tidak pemarah, tidak memperolok-olokkan manusia lainnya, tidak gembira jika ia menerima sesuatu dari persoalan duniawi, juga tidak sedih, seperti halnya manusia biasa, dia juga nikah dan memiliki banyak anak dan dia tidak menangis (terlalu sedih) jika di antara anaknya wafat. 13 Bila mencermati ungkapan di atas, memang pantas dinyatakan bahwa Luqman al-Hakim merupakan tokoh yang terbaik di antara sekian banyak pendidik. Nabi Muhammad saw. sendiri mengategorikan Luqman al-Hakim sebagai orang yang terasuk ahl al-jannah. Dikatakan bahwa Nabi pernah menyuruh para sahabat untuk mencontoh tiga tokoh Sudan, sebab mereka termasuk ahli surga, yakni Luqman al-Hakim, al-Najasyiy, dan Bilal bin Rabah. 14 Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dari ‘Abd al-Rahman ibn Harmalah, bahwa pada suatu hari datang orang yang berkulit hitam kepada Sa’id ibn al-Musayyab bertanya tentang keadaannya yang ditentukan sebagai orang yang berkulit hitam. Sa’id menasehati agar orang itu jangan bersedih, sebab Bilal, Mahja, dan Luqman al-Hakim juga adalah orang yang berkulit hitam. 15 Di dalam beberapa riwayat, memang disebutkan bahwa Luqman al-Hakim adalah orang yang berkulit hitam. Namun dalam konsep al-Qur’an, sesuatu itu dinilai bukanlah dari sisi materialnya, tetapi dari sisi substansinya. Al-Qur’an tidak membedakan manusia dari ukuran material, tetapi dari derajat ketaqwaan dan keimanannya kepada Allah. 16 Oleh karena itu, 13Al-Tabataba’iy,
loc. cit.
14Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyutiy, Tafsir al-Durr al-Mansur fi al-Tafsir bi al-Ma’sur, Juz VI (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 509. 15Ibid., 16Lihat
h. 510. misalnya QS. Al-Hujurat (49):13.
14
seorang pendidik, disenangi atau tidaknya, bukanlah karena bentuk tubuh atau warna kulitnya, tetapi karena kepribadiannya dan kompetensinya di bidang pendidikan.
B. Tugas dan Peranan Luqman al-Hakim
Islam mengajarkan bahwa pendidikan itu berlangsung seumur hidup, dari buaian sampai ke liang lahat. 17 Konsep pendidikan seumur hidup ini menegaskan bahwa pendidikan di dalam keluarga mesti dilakukan, karena pembinaan dan pendidikan di dalam keluarga merupakan awal dari usaha untuk mendidik anak agar bertakwa, cerdas dan terampil. Luqman al-Hakim merupakan figus orang tua, sekaligus sebagai pendidik, yang bertanggung jawab terhadap pembinaan pendidikan anak-anaknya; memiliki hubungan interaksi edukatif dan berperan dalam menciptakan suasana pendidikan. Sosok pendidik seperti Luqman al-Hakim yang memiliki kualitas kepribadian yang bagus, sangat potensial menciptakan interaksi edukatif yang harmonis. Menurut Dr. Zakiah Drajat, keadaan jiwa orang tua, hubungan antara satu dengan yang lainnya, dan sikap orang tua terhadap rumah tangga harus benar-benar mencerminkan seorang atau sosok pendidik. 18 Apa yang dikemukakan oleh Dr. Zakiah Drajat tersebut tampaknya diwakili oleh sosok Luqman al-Hakim sebagai seorang figur pendidik, sekaligus orang tua. Kualitas moral dan semangat keagamaan yang dimilikinya merupakan modal utama dalam mendidik keluarga. Muhammad Qutb menegaskan bahwa kualitas orang tua harus memiliki nilai-nilai moral dan semangat keagamaan, sebab orang tua tidak bisa menjadi panutan yang baik kecuali melalui persiapan dirinya yang matang. 19 Luqman al-Hakim sebagai pendidik dan orang tua, merupakan rujukan moral bagi anaknya, sebab setiap perilakunya akan menjadi teladan. Dalam kaitan ini, Luqman al-Hakim telah 17Misalnya 18Zakiah
hadis Nabi yang berbunyi: ( ) أﻃﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ ﻣﻦ اﳌﻬﺪ إﱃ اﻟﻠﺤﺪ
Drajat, Kesehatan Mental (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h. 65.
19Muhammad Qutb, Minhaj al-Tarbiyah Islamiyyah (Beirut: Dar al-Syuruq, t.th.), h. 101.
15
menjalankan tugasnya dalam kedudukannya sebagai pendidik, sekaligus orang yang mampu memperbaiki adab dan akhlak anaknya. 20 Berkenaan dengan ini, Rasulullah saw. telah menyatakan dalam sabdanya: . أﻛﺮﻣﻮا أوﻻدﻛﻢ وأﺣﺴﻨﻮا ادﻬﺑﻢ... Terjemahnya: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka. 21 Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang tua sebenarnya memiliki kedudukan yang utama dan bahkan menjadi pendidik pertama. Oleh karena itu, segala aktifitas mereka sangat memberikan corak dan warna dalam kehidupan anak. Berkenaan dengan tugas dan peran Luqman al-Hakim, alQur’an telah menjelaskan, terutama berkenaan dengan fungsinya sebagai pendidik dan orang tua di rumah tangga. 1. Menanamkan akidah Islamiyah Aspek akidah merupakan aspek fundamental yang harus ditanamkan kepada anak, sebab dengan bekal akidah anak akan terbimbing jalan hidupnya, baik secara moral maupun sosial. Menurut ‘Abd Allah Nasih ‘Ulwaniy di antara peranan orang tua dalam hal penanaman akidah ini adalah agar orang tua memberi petunjuk, mengajari anak-anak beriman kepada Allah secara bertahap dari penginderaan akal, dari parsial menuju menuju kepada yang integral, dari yang sederhana kepada hal yang kompleks sehingga dapat memperkokoh iman. 22 Konsep akidah ini tidak hanya dipahami sebagai konsep dasar tentang tauhid, tapi lebih dari itu adalah aplikasinya di dalam kehidupan anak, sehingga anak benar-benar menjalankan fungsi agama dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. 20Disebutkan
bahwa anak-anak Luqman al-Hakim pada mulanya adalah kafir. Lihat Abu al-Su’ud ibn Muhammad al-‘Umadiy al-Hanafiy, Tafsir Abi al-Su’ud (Riyadh: Maktabat al-Riyad al-Hadisah, t.th.), h. 376. 21Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid ibn Majah al-Qazwiniy, Sunan Ibn Majah (Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th.), h. 1211. Hadis ini diriwayatkan dari Anas ibn Malik. 22‘Abd Allah Nasih ‘Ulwaniy, Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, Jilid I (Beirut: Dar al-Salam, 1981), h. 162.
16
Luqman al-Hakim sebagai orang yang paling bertanggung jawab di rumah tangga, pertama kali menanamkan konsep akidah ini kepada anak dan keluarganya. Luqman al-Hakim menasehati anaknya agar menyembah Allah yang Maha Esa dan melarang menyekutukan-Nya dengan sesuatu, sebab perbuatan itu merupakan suatu kezaliman yang paling besar. 23 Sudah menjadi tanggung jawab setiap orang tua untuk menyelamatkan keluarganya dari perbuatan yang menyimpang dari agama, seperti syirik. Allah telah memerintahkan orang yang beriman untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Firman Allah dalam QS. Al-Tahrim (66):6 ... ﻳﺎأﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ آﻣﻨﻮا ﻗﻮا أﻧﻔﺴﻜﻢ وأﻫﻠﻴﻜﻢ ﻧﺎرا Terjemahannya: ‘Hai orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…’ 24 Luqman al-Hakim dalam hal ini tentu ingin menyelamatkan keluarganya dari siksaan api neraka, dengan menanamkan nilai akidah kepada anaknya yang paling dikasihi dan dicintainya, dan dia benar-benar ingin memberikan yang terbaik kepada anaknya mengenai apa yang diketahuinya. 25 Ungkapan di atas menunjukkan tanggung jawab Luqman al-Hakim sebagai orang tua dalam mendidik anak. Ia mencurahkan seluruh pikiran dan tenaga dalam membimbing anaknya, sehingga keluarganya bisa selamat hidup di dunia maupun di akhirat. Nasehat Luqman al-Hakim kepada anaknya agar jangan menyekutukan Allah, dijadikan petunjuk oleh Nabi sebagai pelajaran bagi para sahabatnya. Hal ini dapat dilihat dari hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhariy: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﺟﺮﻳﺮ ﻋﻦ اﻻﻋﻤﺶ ﻋﻦ اﺑﺮاﻫﻴﻢ ﻋﻦ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ﳌﺎ ﻧﺰﻟﺖ ﻫﺬﻩ اﻵﻳﺔ )اﻟﺬﻳﻦ آﻣﻨﻮا وﱂ ﻳﻠﺒﺴﻮا اﳝﺎ�ﻢ ﺑﻈﻠﻢ( ﺷﻖ ﻋﻠﻰ اﺻﺤﺎب رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ 23Abu al-Fida’ al-Hafiz Ibn Kasir, Tafsir al-Qur’an ‘Azim (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 538.
Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Gema Risalah Press, 1992), h. 951. 24Departemen
25Lihat
Ibn Kasir, loc. cit.
17
اﻻ.ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ وﻗﺎﻟﻮا اﻳﻨﺎ ﱂ ﻳﻠﺒﺲ اﳝﺎﻧﻪ ﺑﻈﻠﻢ ﻓﻘﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﺑﺬاك 26 .(ﺗﺴﻤﻊ اﱄ ﻗﻮل ﻟﻘﻤﺎن ﻻﺑﻨﻪ )إن اﻟﺸﺮك ﻟﻈﻠﻢ ﻋﻈﻴﻢ Terjemahannya: … dari ‘Abd Allah r.a. ia berkata: ketika turun ayat yakni )اﻟﺬﻳﻦ ( آﻣﻨﻮا وﱂ ﻳﻠﺒﺴﻮا اﳝﺎ�ﻢ ﺑﻈﻠﻢpara sahabat terkejut, lalu berkata: Siapakah di antara kita yang tidak mencampur imannya dengan kezaliman. Maka Nabipun bersabda: Sesungguhnya maksudnya bukan demikian; apakah kamu sekalian tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Luqman kepada anaknya ([ )إن اﻟﺸﺮك ﻟﻈﻠﻢ ﻋﻈﻴﻢSesunggunya menyekutukan Allah itu adalah kezaliman yang besar.] 27 Hadis di atas menggambarkan bahwa iman bisa berubah menjadi kezaliman akibat perbuatan syirik, sebab perbuatan ini menimbulkan dosa besar yang tidak bisa diampuni, 28 dan termasuk perbuatan najis. 29 Oleh karena masalah akidah ini masalah esensi, maka Luqman al-Hakim memberikan perhatian yang besar terhadap persoalan tersebut, demi menjaga keluarganya dari perbuatan yang menimbulkan dosa-dosa besar yang tidak bisa diampuni. Menurut Ibn Abi al-Dunya, Luqman al-Hakim terus menerus memberikan nasehat kepada anaknya, sampai ia meninggal dunia. 30 2. Menanamkan nilai akhlak Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan ahklak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan agama. 31 P26F
P
‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il al-Bukhariy, Sahih al-Bukhariy, Juz III (Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th.), h. 1952. 26Abu
27Terjemahan 28Lihat 29Ibn
penulis.
QS. Al-Nisa (4):48, 116.
Hayyan al-Andalusi, op.cit., Juz VIII, h. 478. op.cit., h, 512. Langgulung, op.cit., h. 373.
30al-Suyuti, 31Hasan
18
Luqman al-Hakim, sebagai orang tua dan pendidik, tidak lepas tugasnya dalam menanamkan nilai-nilai ahklak, baik ahklak terhadap Tuhan, 32 kedua ibu bapak, 33 diri sendiri, 34 maupun ahklak terhadap lingkungan. 35 Tidak sempurna iman seseorang jika ia tidak memiliki ahklak yang baik. Oleh karena itulah Luqaman al-Hakim, setelah menanamkan dasar aqidah, ia selanjutnya menanamkan nilai moral akhlak terhadap anaknya. Tentang kesempurnaan iman dan kaitannya dengan akhlak ini, Nabi Muhammad bersabda: ﻗﺎل:ﺣﺪﺛﻨﺎ اﲪﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﳛﻲ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ ﻋﻦ ﳏﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﻤﺮو ﻋﻦ اﰊ ﺳﻠﻤﺔ ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة ﻗﺎل 36 . أﻛﻤﻞ اﳌﺆﻣﻨﲔ إﳝﺎﻧﺎ أﺣﺴﻨﻬﻢ ﺧﻠﻘﺎ:رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ Terjemahannya: Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. 37 Luqman al-Hkim memegang peranan penting dalam penanaman nilai mulai beinteraksi dengan lingkungannya. Tampaknya penekanan terhadap aspek akhlak ini telah disampaikan Luqman al-Hakim terhadap anaknya sebagai usaha untuk mewujudkan anak yang sempurna baik secara lahir maupun batin. Dari ungkapan ayat-ayat al-Quran tentang Luqman alHakim, dapat diambil kesimpulan bahwa ia telah memainkan perannya sebagai seorang pendidik sekaligus sebagai orang tua yang bertanggung jawab terhadap keluarga, dengan mengajarkan
32QS.
Luqman (31):13.
33QS.
Luqman (31):14, 15.
34QS.
Luqman (31):17.
35QS.
Luqman (31):18, 19.
36Abu
Daud, Sunan Abu Daud, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 228.
37Terjemahan
penulis.
19
kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kasih sayang dan cinta kasih, pemurah dan lain-lain. 38 Luqman al-Hakim sendiri telah memberikan contoh tauladan yang baik tentang akhlak ini terhadap anaknya, baik melalui perkataannya maupun perbuatannya. Hal ini sangat wajar dilakukan oleh seorang pendidik maupun orang tua, sebab orang tua yang memiliki integritas kepribadian yang baik dapat meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang ia ajarkan. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2):44. .أﺗﺄﻣﺮون اﻟﻨﺎس ﺑﺎﻟﱪ وﺗﻨﺴﻮن أﻧﻔﺴﻜﻢ وأﻧﺘﻢ ﺗﺘﻠﻮن اﻟﻜﺘﺐ أﻓﻼ ﺗﻌﻘﻠﻮن Terjemahannya: Adakah kamu memerintah orang berbuat baik sedang kamu melupakan dirimu dan kamu membacakan kitab, apakah kamu tidak berakal. 39 Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang yang ingin memberikan pelajaran atau contoh kepada orang lain, hendaklah orang tersebut membekali dirinya dengan sifat-sifat terpuji, sehingga menjadi panutan bagi yang melihatnya. Luqman pernah mengambil intisari dari beberapa perkataan para Nabi, untuk dijadikan sebagai nilai-nilai akhlak di antaranya adalah agar menjaga hati ketika sedang shalat, menjaga kerongkongan ketika sedang makan, menjaga mata ketika sedang berada di rumah orang lain, menjaga lisan ketika sedang berbicara dengan manusia, mengingat dua hal dan melupakan dua hal yaitu selalu mengingat Allah dan kematian, melupakan kebaikan yang telah diberikan kepada orang lain (tidak mengharap jasa), dan melupakan kesalahan orang lain (memaafkannya). 40 Apa yang telah diungkapkan oleh Luqman seperti di atas, telah terlebih dahulu dipraktekkan oleh Luqman, 41 sebab dengan 38Lihat
Tabataba’iy, op. cit., h. 223-6.
39Departemen
Agama RI., op. cit., h. 16.
op. cit., h. 73. riwayat, Luqman adalah orang yang wara’ pendiam bahkan dia pernah berkata: “Diam itu hikmah, tapi sedikit orang yang melakukannya”, luas pandangannya, tidak pemarah, tidak mengolok-olok orang lain, dan tidak suka 40Al-Barusawiy, 41Menurut
20
pola seperti itu, maka pendidikan yang diberikannya akan diserap dan diterima baik oleh anaknya.
C. al-Hikmah dan Hubungannya dengan Pendidikan
Di dalam QS Luqman (31):12, Allah menyatakan bahwa Luqman al-Hakim telah diberi al-Hikmah. Dengan al-Hikmah itu ia menjadi seorang yang memiliki kepribadian yang agung, baik dari ucapan, sikap maupun perbuatan. Untuk mengetahui hakikat dan makna al-Hikmah dan kaitannya dengan pendidikan, maka perlu ditelaah makna dari konsep tersebut. Al-Hikmah merupakan ism al-masdar dari kata kerja hakama. Kata hakama berasal dari akar kata ha, kaf dan mim, berarti menahan atau melarang, yakni melarang dari kezaliman. 42 Kata al-Hikmah berarti hidayah, 43 sebab menahan kezaliman itu merupakan hidayah dari Allah. Kata hakama juga berarti melarang untuk suatu kebajikan. 44 Dikatakan Luqman mendapat al-Hikmah, berarti dia memberi peringatan dan menyampaikan semua al-Hikmah dengan sifat al-Hikmah yang dimilikinya. 45 Dengan demikian bisa dikatakan bahwa peringatan dan penyampaian al-Hikmah itu berarti menyampaikan suatu kebajikan. Al-Hikmah merupakan pemahaman dan akal pikiran serta pelaksanaan dari kedua unsur tersebut, oleh karena itu seorang tidak bisa disebut sebagai al-Hakim kecuali ia menggabungkan kedua unsur tersebut. 46 Dikatakan juga bahwa al-Hikmah menertawakan orang lain. Lihat Tabataba’iy, loc. cit. Ibnu Kasir al-Dimasyqiy, op. cit., h. 537, Wahbat al-Zuhaili, loc. cit. al-Husain ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz II (t.tp.: Dar al-Fikr, 1979 M/1399 H), h. 91. 42Abu
43Ibid. 44Al-Ragib al-Isfahaniy, Mu’jam Mufradat al-Faz al-Qur’an (Beirut: Dar alFikr, t.th.), h. 126. 45Ibid.
46Sulaiman ibn ‘Umar al-Ajiliy al-Syafi’iy, al-Futuhat al-Ilahiyyah, Juz II (t.tp.: Dar al-Fikr, t.th), h. 403.
21
merupakan pengetahuan (al-Ma’rifah) dan amanah terhadap segala urusan, al-Hikmah merupakan sesuatu yang dibuat dan diberikan Allah di dalam hati dengan cahaya-Nya, sebagaimana penglihatan memberikan cahaya, sehingga yang melihat bisa mengetahui sesuatu. 47 Menurut al-Mahalliy dan al-Suyutiy, di antara unsur alHikmah itu adalah ilmu dan agama serta pengaruhnya di dalam perkataan. 48 Al-Hikmah merupakan pemahaman dan ilmu serta kemampuan mengambil perumpamaan dan pelajaran. 49 Al-Barusawiy lebih terperinci mengartikan al-Hikmah sebagai penetapan kebenaran dengan lisan, membenarkan pikiran dengan hati dan menetapkan perbuatan dengan kemuliaan, berbicara, berpikir dan berbuat dengan hikmah. 50 Al-Zauhailiy menyatakan bahwa al-Hikmah merupakan kesempurnaan jiwa kemanusiaan dengan menerapkan ilmu-ilmu yang dimiliki dan berupaya memiliki sifat yang sempurna atas semua perbuatan yang terpuji. 51 Di sini al-Zauhailiy menekankan tentang kesempurnaan jiwa manusia dengan adanya al-Hikmah. Sementara Ibn Hayyan al-Andalusiy berpendapat bahwa alHikmah itu adalah ucapan yang memberikan nasehat dan peringatan. 52 Pendapat Ibn Hayyan al-Andalusiy tampaknya lebih mengacu kepada kenyataan bahwa Luqman al-Hakim memang banyak memberikan beberapa nasehat dan peringatan, baik kepada anaknya maupun kepada orang lain.
47Ibid.
al-Din al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyutiy, Tafsir al-Jalalain (t.tp.: Dar al-Fikr, t.th.), h. 437. 48Jalal
49Ibn
Kasir, loc.cit.
50al-Barusawiy, 51al-Zahailiy, 52Ibn
loc.cit.
loc.cit.
Hayyan al-Andalusiy, op.cit., h. 412.
22
Hal ini bisa dilihat dari contoh nasehat Luqman al-Hakim kepada tuannya yang ingin disembelihkan satu ekor anak sapi dan meminta dagingnya yang paling baik. Ketika itu Luqman alHakim memberikan hati dan lidah. Tuannya kaget dan meminta daging yang lain. Luqman al-Hakim tetap memberi tuannya lidah dan hati, lalu dia berkata bahwa dua daging ini (hati dan lidah) adalah yang terbaik jika ia baik dan dua daging itu juga yang terjelek, jika ia jelek. 53 Al-Hikmah, menurut al-Barusawiy, menyerupai wahyu. 54 Hal ini bisa dilihat dari firman Allah: 55 ... وﻳﻌﻠﻤﻪ اﻟﻜﺘﺎب واﳊﻜﻤﺔ واﻟﺘﻮراة واﻹﳒﻴﻞ Al-Hikmah diberikan kepada para wali Allah sebagaimana wahyu diberikan kepada para Nabi. Al-Nubuwwah didapat bukan melalui usaha, tetapi ia merupakan keutamaan yang diberikan, demikian pula al-Hikmah. Ia diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang diberi al-Hikmah, maka akan mendapatkan kebaikan yang banyak. 56 Al-Hikmah dapat diklasifikasikan kepada tiga bagian. Pertama, hikmah al-Qur’an yaitu hakikat. Kedua, hikmah iman yaitu ma’rifah. Ketiga, hikmah petunjuk (al-Burhan) yakni mengenal kebenaran untuk diterapkan dalam perbuatan. 57 Dari beberapa uraian di atas, dapat dikatakan bahwa alHikmah merupakan akumulasi dari iman, ilmu dan amal yang menjadi refleksi kesempurnaan jiwa seseorang. Dengan keimanan, seseorang memiliki cahaya dalam kehidupannya, mampu menentukan baik dan buruk, sehingga ia tidak tersesat dalam menentukan jalan hidupnya. Dengan ilmu pengetahuan, kehidupan akan menjadi mudah dan indah. Dengan amal, maka iman dan ilmu akan bermanfaat, baik bagi diri pribadi maupun orang lain. 53Al-Qurtubiy,
op.cit., h. 61.
54Al-Barusawiy,
op.cit., h. 74.
55QS.
Ali Imran (3):48.
56QS.
Al-Baqarah (2):269.
57Al-Barusawiy,
loc.cit.
23
Jika ditelaah secara seksama, maka konsep al-Hikmah memiliki kaitan erat dengan konsep pendidikan. Dengan alHikmah itulah Luqman al-Hakim menjalankan tugas dan perannya dalam pendidikan. Namun sebelum lebih jauh menelaah hubungan al-Hikmah dengan pendidikan, terlebih dahulu diuraikan makna pendidikan, baik dari sudut etimologis maupun terminologi. Konsep pendidikan yang akan diuraikan berorientasi pada konsep epistimologi Qur’ani. Artinya makna pendidikan akan diuraikan berdasarkan telaah terhadap berbagai istilah yang terdapat di dalam al-Qur’an. Dengan demikian, akan mudah menelaah hubungan antara keduanya, sebab keduanya berasal dari kata yang terdapat di dalam al-Qur’an. Pendidikan dalam bahasa Arabnya adalah al-Tarbiyah, alTa’dib dan al-Ta’lim. Adapula yang berpendapat bahwa term alTa’lim lebih tepat untuk menunjuk konsep pendidikan menurut al-Qur’an, karena term tersebut lebih luas dari al-Tarbiyah. 58 Sementara Quraisy Shihab lebih cenderung memakain term alTarbiyah, 59 dan Muhammad al-Naquib al-Attas menyatakan bahwa term al-Ta’dib lebih sesuai untuk konsep pendidikan. 60 Di dalam uraian ini, penulis lebih cenderung memakai term al-Tarbiyah, sebab di samping term ini sudah populer dan terdapat di dalam al-Qur’an, juga menurut hemat penulis istilah ini lebih luas cakupannya mencakup aspek afektif, kognitif dan psikomotor. Kata al-Tarbiyah berasal dari kata rabba. Kata ini terdiri dari akar kata ra dan ba, berarti memperbaiki dan memelihara, 61
27. 14.
58Abd
59M.
al-Fattah Jalal, Min Ushul al-Tarbiyat fi al-Islam (Mesir: t.p., 1977), h.
Quraisy Shihab, Tafsir al-Amanah (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), h.
Muhammad al-Naquib al-Attas, Konsep Pendidikan Islam (Bandung: Mizan, 1990), h. 60. 60Syed
61Ibn
Zakariyya, op. cit., h. 381.
24
mengembangkan sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan. 62 Menurut al-Nahlawi, kata al-Tarbiyah berasal dari tiga kata dalam bentuk fi’il. Pertama, kata raba-yarbu, berarti bertambah dan tumbuh. Kedua, rabiya-yarba, berarti menjadi besar. Ketiga, rabba-yarubbu, berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara. 63 Berdasarkan uraian di atas, maka al-Nahlawiy menyatakan bahwa al-Tarbiyah itu memiliki empat elemen. Pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa. Kedua, mengembangkan seluruh potensi. Ketiga, mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan. Keempat, menerapkan secara bertahap. 64 Di dalam al-Qur’an, banyak dijumpai ayat yang berkenaan dengan pendidikan. Salah satu contoh adalah ungkapan pendidikan yang terdapat di dalam QS. Al-Isra’ (17):24: واﺧﻔﺾ ﳍﻤﺎ ﺟﻨﺎح اﻟﺬل ﻣﻦ اﻟﺮﲪﺔ وﻗﻞ رب ارﲪﻬﻤﺎ ﻛﻤﺎ رﺑﻴﺎﱏ ﺻﻐﲑا Kata ( ) رﺑﻴﺎﱐdalam ayat ini berasal dari kata rabiya-yarba, yang berarti mengasuh dan membesarkan. 65 Menurut al-Taba Taba’iy, ayat itu mengandung tasybih, sehingga ayat itu bisa ditafsirkan dengan mengingat pendidikan yang diberikan orang tua ketika kita kecil, dan seyogyanya kita berdoa kepada Allah agar memberikan kasih sayang-Nya kepada keduanya, seperti mereka menyayangi kita waktu kecil. 66 Menurut al-Zuhailiy, makna ayat di atas adalah permintaan kita kepada Allah agar Dia P64F
P65F
62Al-Isfahaniy,
P
P
op. cit., h. 189.
63‘Abd. Al-Rahman al-Nahlawiy, Usul al-Tarbiyat al-Islamiyyah wa Asalibuha, diterjemahkan oleh Sihabuddin dengan judul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h, 20. 64Ibid.,
h. 32.
65Jamal
al-Din Ibn Manzur, Lisan al-’Arab, Juz XIII (t.tp.: t.p., t.th.), h. 94.
66Tabataba’iy,
op.cit., Juz XIII, h. 81.
25
menyayangi keduanya sebagaimana mereka menyayangi ketika mereka mendidik kita di waktu kecil. 67 Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan (Tarbiyah) adalah usaha sadar yang dilakukan untuk membina, mengarahkan dan mengembangkan seluruh potensi yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk menuju kesempurnaan dengan berlandaskan nilai-nilai dasar Islam. Implikasi dari konsep pendidikan seperti itu adalah proses untuk membentuk generasi masa mendatang, yang mampu menghasilkan manusia berkualitas dan bertanggung jawab serta mampu mengantisipasi masa depan, dan mampu menstimulir dan menyertai perubahan dan perkembangan umat manusia. Tampaknya pernyataan John C. Bock cukup relevan dengan konsep di atas. Dia menyatakan: Education is also seen as the single most important agency, not only for training the young for the relatively stable reportoire of adult roles but, more important for socializing the to the new competencies required by the emergent role needs if changing societies. 68 Jika dihubungkan konsep al-Hikmah yang dimiliki Luqman, dengan konsep pendidikan yang dirumuskan melalui konsep al-Qur’an, maka antara keduanya terdapat hubungan yang sangat integral. Hubungan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Al-Hikmah berarti hidayah yakni petunjuk terhadap sesuatu yang belum diketahui atau memberikan bimbingan terhadap sesuatu. Pendidikan merupakan proses bimbingan untuk menuju kesempurnaan jiwa dan raga. Dengan demikian, jika Luqman alHakim diberi al-Hikmah, berati dia bertugas memberi bimbingan dan petunjuk, terutama berkaitan dengan pendidiakn. 2. Al-Hikmah merupakan pemahaman dan akal pikiran serta pelaksanaan dari kedua unsur tersebut. Pemahaman dan akal 67Al-Zuhailiy, op. cit., Juz XV, h. 51. Ahmad al-Sawi, Hasyiyat al-Sawi, Jilid II (t.tp.: Dar al-Fikr, t.th.), h. 347.
C. Bock, Education and Development, dalam Philip G. Altbach, Robert R. Arnove, Gail P. Kelly (eds.), Comparative Education (New York: McMillan Publishing Co. Ltd., 1982), h. 85. 68John
26
sangat berkaitan dengan ilmu. Ilmu juga berkaitan dengan pendidikan, sebab pendidikan merupakan proses mentransformasi ilmu. 3. Al-Hikmah merupakan pengetahuan dan amanah terhadap segala urusan. Al-Hikmah merupakan sesuatu yang dibuat Tuhan dan diberikan Allah ke dalam hati, sehingga seseorang memiliki cahaya dalam hidupnya. Unsur pengetahuan dan amanah yang terdapat dalam al-Hikmah berhubungan erat dengan pendidikan, sebab pendidikan merupakan cara untuk mendapatkan pengetahuan dan memiliki sifat amanah. Jika al-Hikmah diumpamakan seperti cahaya yang menerangi kehidupan, maka pendidikan juga demikian, sebab dengan pendidikan, manusia akan memiliki cahaya dalam hidupnya. 4. Al-Hikmah merupakan kesempurnaan jiwa kemanusiaan dengan menerapkan ilmu yang dimiliki dan memiliki sifat yang sempurna atas semua perbuatan yang terpuji. Pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang sempurna lahir dan batin. Dengan demikian, maka antara pendidikan dan al-Hikmah memiliki hubungan yang erat. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa al-Hikmah dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat. Lebih jauh lagi, bisa dikatakan bahwa terdapat tiga unsur pokok yang saling berkaitan erat, yakni Luqman, al-Hikmah dan pendidikan. Luqman sebagai tokoh yang diberi Allah al-Hikmah tentu memiliki hubungan yang sangat erat dengan al-Hikmah. Artinya, segala perilaku dan ucapannya selalu disertai dengan al-Hikmah. 69 Dengan al-Hikmah, Luqman al-Hakim menjadi sosok yang memiliki sifat dan kepribadian kharismatik serta agung. Al-Hikmah merupakan satu anugerah Allah kepada Luqman al-Hakim, berupa ilmu pengetahuan, pemahaman, akal pikiran dan salah satu unsur bagi kesempurnaan jiwa, yang memiliki implikasi edukatif. Dengan demikian, jika Luqman alHakim mengaplikasikan seluruh potensi al-Hikmah, maka ia telah menanamkan nilai-nilai pendidikan.
69Al-Barusawiy,
op. cit., h. 73.
27
BAB III UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN A. Dasar Pendidikan Dasar pendidikan merupakan suatu yang sangat pokok dan penting dalam proses pendidikan, sebab dasar merupakan kerangka landasan dan tempat berpijak sesuatu. Artinya, segala aktifitas pendidikan harus selalu berorientasi kepada dasar pendidikan tersebut. Dasar pendidikan biasanya diilhami oleh suatu ideologi atau keyakinan dan falsafah. Bagi suatu bangsa, maka dasar pendidikan yang dianut adalah kerangka ideologi dan sistem keyakinan bangsa itu, sebab dari kerangka ideologi itulah, segala aktifitas pendidikan berjalan dengan pola dan warna ideologi yang mendasarinya. Jika ditelaah dengan cemat, maka Luqman al-Hakim juga memiliki dasar dalam proses pelaksanaan pendidikan terhadap anaknya, suatu dasar yang menjadi akar filosofi dan ideologi serta keyakinannya. Paling tidak ada dua dasar yang menjadi kerangka acuan pendidikan Luqman al-Hakim, yaitu nilai-nilai ilahiyah dan sunnah para Rasul. 1 Nilai ilahiyah merupakan ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah swt. sedangkan sunnah para nabi dan rasul adalah segala bentuk ucapan dan perbuatan mereka. Kedua nilai ini, dijadikan Luqman sebagai dasar pelaksanaan pendidikan. Penetapan nilai-nilai di atas sebagai dasar pendidikan merupakan kerangka acuan filosofis bagi setiap aktifitas pendidikan yang dilakukan. Proses pendidikan terhadap anak yang disertai dengan nilai-nilai ilahiyah sebagai dasar pelaksanannya, memiliki makna filosofis yang dalam, sebab dasar pendidikan itu memiliki hubungan yang erat dengan hakekat anak sebagai objek dan subjek pendidikan. 1Luqman
bertemu dengan 4000 nabi, dan setiap perkataan nabi, dijadikan sebagai instisari dari proses pendidikan. Intisari perkataan para nabi itu disampaikan kepada anaknya. Lihat Isma’il Haqqiy al-Barusawiy, Tafsir Ruh al-Bayan (Juz V; Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 73.
28
Luqman al-Hakim tentu memandang anaknya sebagai sosok manusia yang memiliki fitrah ketuhanan, sehingga dasar yang digunakan dalam proses pendidikan tentu juga nilai-nilai ilahiyah. Apa yang dilakukan Luqman al-Hakim, sangat relevan dengan pandangan al-Qur’an tentang hakekat manusia. AlQur’an memandang hakekat manusia bersumber pada dua asal. Pertama asal jauh (asl al-ba’id), yaitu penciptaan pertama dari tanah, lalu disempurnakan dan diberikan roh-Nya. Kedua, asal dekat (asl al-qarib) yaitu penciptaan manusia dari nutfah. 2 Apa yang digambarkan Allah di dalam ayat tersebut memberikan indikasi bahwa pada hakekatnya manusia lemah dan begitu kecil dihadapan Allah, tetapi kadang-kadang manusia bersifat sombong dan angkuh, padahal Allah telah menjelaskan bahwa manusia hanya berasal dari setetes air (air mani), 3 yakni air yang terpancar keluar dari tulang sulbi dan tulang dada, 4 tetapi dengan kesombongannya, manusia tiba-tiba menjadi penentang Allah. 5 Pernyataan Allah melalui ayat-ayat tentang kejadian manusia, pada intinya bertujuan untuk menghilangkan kesombongan dan kecongkakan manusia, sehingga ia benarbenar tawadu dan taat kepada-Nya. Di dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa manusia merupakan makhluk yang paling sempurna, 6 dimuliakan oleh
2Penciptaan manusia dari nutfah dapat dimengerti dari kandungan QS. alSajadah (32):7-9. Lihat ‘Abd al-Rahman al-Nahlawiy, Usul al-Tarbiyat al-Islamiyyah wa Asalibuha, diterjemahkan oleh Sihabuddin dengan judul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 38. 3QS.
al-Mu’minun (23):12-14.
4QS.
al-Tariq (86):6-7.
5QS.
Yasin (36):77.
6QS.
al-Tin (95):4.
29
Allah karena diberi kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan makhluk lain, 7 dan manusia memiliki potensi untuk dididik. 8 Itulah pandangan al-Qur’an tentang hakekat manusia. AlQur’an senantiasa memberikan kedudukan yang mulia bagi manusia, jika manusia memang memperlakukan dirinya sebagai manusia yang memiliki fitrah. Dengan fitrah ketuhanan dan potensi edukatif, manusia bisa berkembang sesuai dengan tatanan sistem yang melingkupinya, yakni sistem nilai yang telah tertuang dalam doktrin agama. Dengan demikian, maka sangat tepat nilai-nilai ilahiyah dijadikan sebagai dasar pendidikan. Bagi Luqman al-Hakim, tampaknya menjadikan nilai-nilai ilahiyah dan sunnah para Nabi sebagai kerangka dasar pemikiran dalam sistem pendidikan anaknya, bukan hanya dipandang sebagai kebenaran yang didasarkan kepada keyakinan semata. Lebih jauh kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran yang dapat diterima oleh nalar dan bukti sejarah. Kebenaran yang dikemukakan Allah mengandung kebenaran yang hakiki, 9 dan lestari, 10 bukan kebenaran yang spekulatif dan bukan kebenaran yang bersifat tentatif. Oleh karena itulah Luqman al-Hakim mendasarkan pendidikan anaknya pada nilai-nilai ilahiyah yang memiliki kebenaran hakiki. Nasehat Luqman al-Hakim, yang antara lain berisi larangan menyekutukan Allah, merupakan sebuah paradigma dasar bagi pembentukan dasar pendidikan, sebab ungkapan ini bermakna penghambaan diri kepada Allah dan penghatan bahwa tiada Tuhan yang disembah kecuali Allah.
7QS.
al-Isra’ (17):70.
8QS.
al-Baqarah (2):31-32.
9QS.
al-Baqarah (2):2.
10QS.
al-Hirj (15):9.
30
B. Tujuan Pendidikan Secara etimologi, tujuan berarti arah, jurusan dan sasaran. 11 Tujuan, dalam bahasa Inggris adalah objective, goals dan aims. Menurut para pakar bahasa, kata objective mempunyai pengertian yang lebih sederhana dan lebih ringkas menuju ke arah aims dan goals. Namun sebagian besar ahli pendidikan menyebut istilah objective sebagai tujuan antara menuju tujuan umum. Mereka menggunakan istilah aims dalam referensi hasil khusus. Hasil pendidik tidak bisa dikatakan sebagai objective, kecuali dikhususkan dan ditempatkan pada bentuk-bentuk yang bisa diamati. Aims dipandang oleh sebagian ahli sebagai tujuan umum sedangkan objective digunakan untuk menyebut tujuan khusus. 12 Ada lagi istilah lain, yaitu purpose, tapi istilah ini identik dengan aims dan goals. Istilah tujuan dalam bahasa Arab adalaj al-garad, al-qasd, albugyat dan al-hadaf. 13 Di dalam buku-buku pendidikan, sering digunakan istilah al-gayah atau al-garad. Dari beberapa penjelasan istilah di atas, dapat dipahami bahwa tujuan merupakan sesuatu yang diharapkan. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka tujuan pendidikan berarti perubahan yang diinginkan dan diusahakan melalui proses pendidikan terhadap individu, masyarakat maupun lingkungan. 14 Nasehat Luqman al-Hakim, sebagai terdapat di dalam alQur’an, tidak terlepas dari beberapa tujuan pendidikan yang diinginkan. Tujuan pendidikan tersebut dapat dirinci sebagai berikut: h, 965.
11Tim
Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),
Saleh Abdullah, Educational Theory, a Qur’anic Outlook, diterjemahkan oleh M. Arifin dengan judul Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 17. 12Abdurrahman
13Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lugat wa al-A’lam (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 548.
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafat al-Tarbiyat al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 399. 14‘Umar
31
1. Ayat yang berbunyi:
ﻳﺎﺑﲏ ﻻ ﺗﺸﺮك ﺑﺎﷲ إن اﻟﺸﺮك ﻟﻈﻠﻢ ﻋﻈﻴﻢ... Terjemahnya: ‘… Haik anakku, jangankah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ 15 Merupakan tujuan pokok pendidikan Luqman al-Hakim terhadap anaknya, agar jangan menyekutukan Allah. Di sini terkandung tujuan yang mengandung pokok-pokok keimanan kepada Allah, dengan memberikan penekanan bahwa hanya Allah yang wajib disembah, tidak boleh menyamakan Allah dengan wajib disembah dengan yang lain, sebab pengabdian yang tidak pada tempatnya merupakan kezaliman yang besar. 16 Tujuan pendidikan Luqman al-Hakim terhadap anaknya itu memiliki nilai fitrah, yaitu membimbing perkembangan anak sejalan dengan fitrah kejadiannya. Sebelum anak lahir ke dunia ini, mereka telah menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan mereka. 2. Ayat yang berbunyi: ووﺻﻴﻨﺎ اﻹﻧﺴﺎن ﺑﻮاﻟﺪﻳﻪ ﲪﻠﺘﻪ أﻣﻪ وﻫﻨﺎ ﻋﻠﻲ وﻫﻦ وﻓﺼﺎﻟﻪ ﰲ ﻋﺎﻣﲔ أن اﺷﻜﺮﱄ وﻟﻮاﻟﺪﻳﻚ إﱄ اﳌﺼﲑ Terjemahnya: ‘Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah dan menyapihnya dalam dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kedua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali. 17 Merupakan tujuan pendidikan berkenaan dengan pembinaan moral dan akhlak. Pembinaan akhlak tersebut diarahkan terhadap dua dimensi yakni akhlak terhadap manusia dan akhlak terhadap Tuhan. 15Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Gema Risalah Press, 1992), h. 654.
al-Din ‘Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Bagdadiy, Tafsir al-Khazin (t.t.: Dar al-Fikr, t.th.), h. 440. 16‘Ala
17Departemen
Agama RI., op. cit., h. 654.
32
Dalam kaitan ini, Luqman al-Hakim menanamkan pembinaan akhlak agar menghormati orang tua dan bersyukur terhadapnya, sebab orang tua (ibu) mengandung dan mengasuh dengan susah payah. 18 Implikasi dari kandungan ayat ini tentu juga, tuntutan memiliki akhlak terhadap orang lain, sebagai sesama manusia. Di samping itu, perlu pula pembinaan akhlak terhadap Allah, dengan cara bersyukur kepada-Nya, sebab kebaikan hidup pasti disertai dengan syukur, jiwa manusia dibersihkan dengan menghadap Allah dan diluruskan dengan bersyukur terhadap kebaikan. 19 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa tujuan ini mengandung nilai yang sangat universal yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu serta paham tertentu, sebab dimensi tujuan ini memiliki dua garis hubungan yaitu kepada manusia dan kepada Allah. 3. Ayat yang berbunyi: ... وإن ﺟﺎﻫﺪاك ﻋﻠﻲ أن ﺗﺸﺮك ﰊ ﻣﺎﻟﻴﺲ ﻟﻚ ﺑﻪ ﻋﻠﻢ ﻓﻼ ﺗﻄﻌﻬﻤﺎ وﺻﺎﺣﺒﻬﻤﺎ ﰲ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﻌﺮوف Terjemahnya: ‘Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik …’ 20 Merupakan tujuan pendidikan yang berkenaan dengan pembinaan dan pembentukan daya intelektualitas dengan menanamkan berpikir kritis terhadap anak. Menurut al-Naja’iy, bersikap taat terhadap orang tua merupakan suatu kewajiban, jika keduanya membimbing dan mengarahkan anak supaya tetap berada di jalan yang benar, tetapi anak juga dituntut kritis berpikir, agar bisa memahami semua apa yang diperintahkan orang tua. Jika perintah itu bertentangan dengan akidah, maka tidak boleh ditaati, sebab tidak ada 18Muhammad Jamal al-Din al-Qasimiy, Tafsir al-Qasimiy (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 197. 19Sayyid
Qutb, Fi Zilal al-Qur’an (Jilid V; t.tp.: Dar al-Syuruq, 1992), h. 2089.
20Departemen
Agama RI., op. cit., h. 655.
33
kewajiban untuk taat terhadap orang yang memerintahkan berbuat maksiat kepada Allah. 21 Meskipun dalam hal tertentu anak boleh tidak menaati orang tua, misalnya perintah berbuat syirik, atau hal-hal yang bisa mengakibatkan terjadinya penyimpangan dari ajaran agama, tetapi anak harus tetap memiliki etika dan akhlak terhadap orang tua. Menurut al-Khazin ayat yang berbunyi ()وﺻﺎﺣﺒﻬﻤﺎ ﰲ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﻌﺮوف menunjukkan kewajiban berbuat baik, menyambung hubungan dan persahabatan yang baik. 22 Kandungan dari makna ayat ini adalah adanya ide-ide demokrasi pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim terhadap anaknya. Konsep demokrasi ini tentu sangat relevan dengan semangat ajaran Islam yang bersifat universal. Islam datang membawa konsep demokrasi kemanusiaan dan menghormati individu sebagai manusia yang memiliki kemerdekaan yang mencakup kebebasan berkehendak, berpikir, berbuat dan berpendirian, sampai-sampai hukum dalam Islam tidak menunjukkan adanya belenggu kebebasan, sebab hal itu hanya mempersempit gerakan, sedangkan gerakan adalah kehidupan dan Islam adalah agama yang hidup. 23 Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang tetap berpegang kepada nilai-nilai dasar ajaran agama. Artinya, meskipun seorang anak diberikan kebebasan berpikir kritis, tetapi tetap harus berorientasi kepada tata nilai yang telah digariskan oleh norma sosial dan agama. Seorang anak boleh bersikap kritis terhadap setiap perintah dan ucapan orang tuanya, tetapi menurut Sadiq Hasan Khan, seorang anak harus berbuat baik kepada keduanya, menyambung hubungan, menciptakan suasana pergaulan yang baik, berakhlak mulia, bersikap sabar dan memeliharanya. 24 4. Ayat yang berbunyi: 21Bagdadi,
op. cit., h. 441.
22Ibid. 23Said
Ismail Ali, op. cit., h. 177.
24Sadiq
Hasan Khan, Fath al-Bayan, (Juz. VII; t. tp.: t.p., t. th.), h. 284.
34
ﻳﺎ ﺑﲏ أﻗﻢ اﻟﺼﻼة وأﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮوف واﻧﻪ ﻋﻦ اﳌﻨﻜﺮ واﺻﱪ ﻋﻠﻲ ﻣﺎ أﺻﺎﺑﻚ إن ذﻟﻚ ﻣﻦ ﻋﺰم اﻷﻣﻮر Terjemahnya: ‘Hai anakku: dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).’ 25 Merupakan tujuan pendidikan berkenaan dengan pembentukan sikap untuk selalu beribadah kepada Allah. Tujuan ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Zariyat (51):56: وﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﳉﻦ واﻹﻧﺲ إﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪون Terjemahnya: ‘Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menyembah-Ku.’ 26 Dalam hal penanaman kebiasaan beribadah ini, Luqman al-Hakim nampaknya cukup ketat menanamkan disiplin kepada anaknya. Hal ini terlihat dari nasehatnya, sebagaimana yang dinukil oleh al-Alusiy al-Bagdadi. Luqman menasehatkan kepada anaknya agar jangan melalaikan shalat karena ada pekerjaan lain. Dia menyatakan bahwa shalat itu penting dan merupakan tempat beristirahat bagi orang yang beriman. 27 Ungkapan Luqman al-Hakim di atas, di samping menanamkan kebiasaan beribadah kepada Allah, lebih jauh memberikan penjelasan tentang makna shalat itu sendiri, sebagai salah satu kewajiban agama dan sarana untuk beristirahat. Lebih jauh juga Luqman al-Hakim menjelaskan tentang kandungan puasa dan manfaat shalat. Menurutnya puasa itu merupakan latihan untuk memperbaiki tabiat dan memperindah akhlak, sedangkan shalat untuk memperbaiki jiwa yang menjadi tempat bersarangnya kejahatan. 28 25Departemen 26Ibid.,
Agama RI., op. cit., h. 655.
h. 862.
al-Fadl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud al-Alusiy al-Bagdadiy, Ruh al-Ma’aniy fi Tafsri al-Qur’an al-’Azim aw al-Sab’al al-Masaniy (Beirut: Dar al-Fikr, 1994/1414), h. 135. 28Al-Barusawiy, op. cit., h. 83. 27Abu
35
Penanaman kebiasaan untuk beribadah kepada Allah ini, tidak saja bersifat vertikal, tetapi juga berkenaan dengan ibadah horisontal yakni berbuat baik sesama manusia. Tujuan ini ditanamkan oleh Luqman al-Hakim, mengingat ibadah kepada Tuhan (misalnya shalat) memiliki implikasi terhadap aktifitas duniawi sebagai suatu ibadah. 5. Ayat yang berbunyi: وﻻ ﺗﺼﻌﺮ ﺧﺬك ﻟﻠﻨﺎس وﻻ ﲤﺶ ﰲ اﻷرض ﻣﺮﺣﺎ إن اﷲ ﻻ ﳛﺐ ﻛﻞ ﳐﺘﺎل ﻓﺨﻮر Terjemahnya: ‘Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang sombong lagi membanggakan diri.’ 29 Merupakan tujuan berkenaan dengan pembentukan dan penanaman sifat sosial dan cinta terhadap lingkungan hidup. Tujuan pembentukan sifat sosial adalah memberikan pemahaman bahwa manusia pada hakekatnya adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Manusia tidak lepas dari ikatan komunitasnya, sebab manusia adalah makhluk yang memiliki keinginan untuk hidup bersama, bergaul dan bermasyarakat. Di samping itu, manusia juga terikat dengan lingkungannya, oleh karena itu, manusia seharusnya mencintai lingkungan alam. Konsep seperti ini ditanamkan oleh Luqman al-Hakim terhadap anaknya, agar senantiasa berbuat baik terhadap sesama manusia dan mencintai lingkungan. Ungkapan ( )وﻻ ﺗﺼﻌﺮ ﺧﺬك ﻟﻠﻨﺎسmemiliki arti agar jangan memalingkan muka dari manusia karena sombong, sebagaimana orang sombong telah melakukan hal seperti itu. Hal seperti itu diibaratkan seperti onta yang sakit yang menutupi sakitnya dengan lehernya, dia berpaling dan yang terlihat hanya pipinya. 30 Dalam hubungan sosial hendaknya seseorang menerima orang yang lain dengan baik, menampakkan muka ketika mengucapkan salam, ketika berbicara dan ketika bertemu. Dalam 29Departemen 30Al-Alusiy
Agama RI., op. cit., h. 655.
al-Bagdadiy, op. cit., h. 136.
36
hal seperti itu, seseorang tidak seharusnya memalingkan muka (sombong) terlebih terhadap orang miskin. Antara yang kaya dan miskin, hendaknya dipandang sama. 31 Dalam memberikan pendidikan sosial ini, Luqman alHakim memberikan penekanan tentang hakekat manusia terhadap anaknya, bahwa manusia itu semua sama. Yang membedakan mereka hanyalah takwanya di sisi Allah. Luqman al-Hakim juga menanamkan pendidikan untuk mencintai lingkungan hidup. Dia mengatakan kepada anaknya agar jangan berjalan di bumi ini dengan angkuh. Artinya perbuatan angkuh seperti merusak alam, mengotorinya dan tidak memeliharanya merupakan suatu perbuatan yang dianggap angkuh. Ia juga pernah menasehatkan kepada anaknya agar tidak bersikap angkuh dan sombong baik terhada sesama manusia maupun lingkungan. Luqman al-Hakim menasehati anaknya agar memperhalus tutur kata serta indahkan wajah terhadap sesama manusia, karena akan disukai orang melebihi sukanya seseorang terhadap orang lain yang pernah memberikan barang berharga. 32 Ungkapan di atas memberi isyarat bahwa mencintai terhadap sesama dan mencintai alam lingkungan akan memberikan nilai lebih terhadap seseorang. Mencintai alam sekitar, lebih jauh memberi implikasi terhadap munculnya pengetahuan-pengetahuan baru, sebab dari alam itulah, manusia bisa mencermati dan menganalisis fenomena alam yang melahirkan ilmu-ilmu tentang teknologi. Dengan demikian, bisa pula dipahami bahwa Luqman alHakim juga memiliki tujuan pendidikan, agar anaknya memiliki pengetahuan tentang alam yang melahirkan berbagai ilmu-ilmu alam dan teknologi. Dari beberapa uraian tujuan pendidikan Luqman alHakim, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikannya adalah untuk membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah, mengamalkan seluruh ajaran agama, memiliki budi pekerti 31Al-Barusawiy, 32Al-Alusiy
op. cit., h. 84.
al-Bagdadiy, op. cit., h. 127.
37
yang luhur, berpengetahuan dan memiliki daya berpikir kritis serta memiliki rasa tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tujuan pokok yang diinginkan Luqman al-Hakim tentu mewujudkan anaknya menjadi manusia sempurna. Hal ini juga senada dengan tujuan pendidikan Islam yakni terbentuknya alinsan al-kamil, 33 yakni insan sebagaimana tercantum di dalam tujuan pendidikan Luqman al-Hakim. Apa yang diinginkan Luqman al-Hakim dengan tujuan pendidikan seperti itu tidak lain untuk memberikan bimbingan terhadap anak, agar memiliki keseimbangan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian bisa dipahami bahwa tujuan yang dikemukakannya memiliki prinsip keseimbangan. Tujuan yang berorientasi keduniaan dimaksudkan agar anak memiliki bekal pengetahuan hidup di dunia sehingga ia bisa menjadi khalifah (pengelola) bumi ini dengan baik, sedangkan tujuan yang berorientasi ukhrawi dimaksudkan agar anak selamat hidup di akhirat nanti. C. Materi Pendidikan Materi pendidikan sangat menentukan dalam proses pendidikan, sebab melalui materi inilah, segala aspek kependidikan ditanamkan kepada terdidik. Materi juga memiliki hubungan yang integral dengan unsur lainnya, apalagi jika dikaitkan dengan tujuan pendidikan. Artinya tujuan tidak mungkin tercapai kecuali materi yang akan dikembangkan terseleksi secara baik dan tepat. Istilah materi pendidikan berarti mengorganisir bidang ilmu pengetahuan yang membentuk basis aktifitas lembaga pendidikan, bidang ilmu-ilmu pengetahuan ini satu sama lain bisa dipisahkan namun merupakan satu kesatuan utuh terpadu. 34 Dari penyataan di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan materi adalah sejumlah organisasi bidang berupa isi dari segala konsep pendidikan yang akan disampaikan kepada peserta didik, yang proses penyampaiannya, dilakukan di Munir Mursiy, al-Tarbiyat al-Islamiyyah Usuluhu wa Tatawwuruhu fi al-Bilad al-‘Arabiyyah (Mesir: ‘Alam al-Kutub, t. th.), h. 18. 34Abdurrahman Saleh Abdullah, op. cit., h. 159. 33Muhammad
38
lembaga pendidikan. Istilah lembaga ini berkaitan erat dengan lingkungan pendidikan. Demikian juga halnya dengan materi pendidikan yang disampaikan Luqman al-Hakim terhadap anaknya. Organisasi materinya memiliki sistem, satu sama lain saling terkait, dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga. Materi-materi pendidikan yang terdapat di dalam kisah Luqman al-Hakim adalah sebagai berikut: 1. Tauhid Istilah tauhid sudah tidak asing lagi bagi setiap orang yang mengaku muslim. Kata ini merupakan kata benda kerja (verbal noun) aktif (yakni memerlukan pelengkap penderita atau objek), sebuah derivasi atau tasrif dari kata-kata wahid yang artinya satu atau esa. Oleh karena itu, makna harfiah tauhid ialah menyatukan atau mengesakan. 35 Materi yang berkenaan dengan tauhid ini bisa dilihat dalam nasehat Luqman al-Hakim dalam QS. Luqman (31):13: وإذ ﻗﺎل ﻟﻘﻤﺎن ﻹﺑﻨﻪ وﻫﻮ ﻳﻌﻈﻪ ﻳﺎ ﺑﲏ ﻻ ﺗﺸﺮك ﺑﺎﷲ إن اﻟﺸﺮك ﻟﻈﻠﻢ ﻋﻈﻴﻢ Terjemahnya: ‘Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’ 36 Kandungan dari ayat itu memiliki makna bahwa hanya Allah yang berhak disembah, jika ada sesuatu yang lain di sisi Allah yang disembah, maka perbuatan itu termasuk syirik. Menurut Hamdun, di antara termasuk syirik itu, memberikan hak untuk menetapkan hukum terhadap seseorang yang kedudukannya disamakan dengan Allah, sebagaimana halnya mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram yang kedua masalah itu telah diatur dalilnya di dalam al-Qur’an dan alSunnah. 37 35Louis
Ma’luf, op. cit.
Agama RI., op. cit., h. 654. Hamdun, Tafsir Min Nasamat al-Qur’an (t. tp.: Dar al-Salam, 186/1407 H), h. 433. 36Departemen 37Gassan
39
Materi tauhid merupakan materi pertama kali ditanamkan Luqman al-Hakim kepada anaknya, sebab tauhid merupakan pokok ajaran yang sangat esensial dan penting, dalam rangka menumbuhkan keimanan kepada Allah. Ajaran tauhid yang diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya sesuai dengan potensi fitrah yang dimiliki anak, sebab sebagaimana diketahui bahwa setiap manusia, sebelum lahir ke dunia telah mengaku bahwa Allah adalah Tuhannya. 38 Potensi untuk bertauhid telah digambarkan oleh Allah melalui firman-Nya dalam QS. al-Rum (30):30: ﻓﺄﻗﻢ وﺟﻬﻚ ﻟﺪﻳﻦ ﺣﻨﻴﻔﺎ ﻓﻄﺮت اﷲ اﻟﱵ ﻓﻄﺮ اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻻ ﺗﺒﺪﻳﻞ ﳋﻠﻖ اﷲ ذﻟﻚ اﻟﺪﻳﻦ اﻟﻘﻴﻢ وﻟﻜﻦ أﻛﺜﺮ اﻟﻨﺎس ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮن Terjemahnya: ‘Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetap atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’ 39 Tauhid merupakan prinsip dasar agama samawi, sebab setiap kali Allah mengutus para rasul, maka missi tauhid ini selalu menjadi risalahnya. 40 Namun walaupun semua rasul membawa ajaran tauhid, tampak ada beberapa perbedaan dalam pemaparan mereka tentang prinsip tauhid. Jelas sekali bahwa Nabi Muhammad saw. melalui al-Qur’an diperkaya oleh Allah dengan aneka penjelasan dan bukti, serta jawaban yang membungkam siapapun yang mempersekutukan Tuhan. 41 Menurut al-Gazali, tauhid itu terbagi kepada empat susunan. Urutan pertama adalah ucapan manusia bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah tetapi hatinya lalai. Tauhid seperti ini dimiliki oleh orang munafik. Urutan kedua adalah membenarkan 38QS.
al-A’raf (7):172.
39Departemen
Agama RI., op. cit., h. 645.
Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi (Juz XIII; Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 105. 41M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 19. 40Lihat
40
adanya Allah dengan hati seperti orang muslim lainnya juga membenarkan. Tauhid seperti ini adalah akidah orang awam. Urutan ketiga adalah menyaksikan dengan cara al-kasyf (melihat dengan pandangan mata hati), dengan perantaraan cahaya kebenaran (al-haqq). Tauhid ini adalah tauhid para muqarrabun. Urutan keempat adalah manusia tidak melihat wujud yang lain kecuali hanya wujud Allah. Tauhid ini, di dalam tasawuf disebut al-fana’ fi al-tauhid, yakni seseorang tidak lagi melihat sesuatu kecuali Allah, dirinya sudah tidak ada (tidak dirasakan ada), sebab ia telah tenggelam dengan tauhid. 42 Terlepas dari klasifikasi tauhid sebagaimana dikemukakan al-Gazali, yang jelas Luqman al-Hakim telah menanamkan inti ajaran tauhid kepada anaknya sebagau ajaran dasar, yang tentunya memiliki berbagai macam implikasi. Esensi tauhid yang diajarkan Luqman al-Hakim adalah esensi tauhid yang murni, karenanya di dalam memberikan nasehat kepada anaknya, tidak dimulai dengan perkataan untuk meminta anaknya menyatakan adanya Allah, tetapi Luqman alHakim langsung memberikan tekanan terhadap larangan menyekutukan Tuhan, yang inti dasarnya juga adalah ajaran tauhid. Makna memegang ajaran tauhid bukan berarti hanya sekedar beriman atau percaya kepada Allah. Namun jika kita meneliti secara seksama kitab al-Qur’an, konsep seperti ini telah dipegang oleh kaum musyrik di Mekkah. Orang-orang musyrik di Mekkah yang memusuhi Nabi dahulu itu adalah kaum yang percaya kepada Allah. Firman Allah dalam QS. al-‘Ankabut (29):63: وﻟﺌﻦ ﺳﺄﻟﺘﻬﻢ ﻣﻦ ﻧﺰل ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء ﻣﺎء ﻓﺄﺣﻴﺎﺑﻪ اﻷرض ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﻮﻬﺗﺎ ﻟﻴﻘﻮﻟﻦ اﷲ ﻗﻞ اﳊﻤﺪ ﷲ ﺑﻞ أﻛﺜﺮﻫﻢ ﻻ ﻳﻌﻘﻠﻮن Terjemahnya: ‘Dan sungguh jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, “Siapa yang menurunkan air dari langit, sehingga Abu Hamid al-Gazaliy, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Semarang: Maktabat Toha Putra, t. th.), h. 240. Lihat juga Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 80., Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim Hawazin al-Qusyairiy, al-Risalah al-Qusairiyyah (Kairo: Maktabat wa Matba’at ‘Ali Sabih, t. th.), h. 62. 42Imam
41
dengan air itu dihidupkan bumi (tanah) sesudah kematiannya?” pastilah mereka menjawab, “Allah”. Katakanlah: Alhamdulillah!, tetapi kebanyakan mereka itu tidak berakal.’ 43 Firman Allah yang merupakan penuturan tentang kaum kafir itu dengan jelas membawa kita kepada kesimpulan bahwa tauhid tidaklah cukup dan tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai dan bagaimana kita bersikap kepadanya serta objek-objek selain Dia. Memang al-Qur’an tidak menjelaskan tentang wujud Tuhan. Menurut Quraish Shihab, mengutip pendapat ‘Abd alHalim Mahmud, jangankan al-Qur’an, kitab Taurat dan Injil dalam bentuknya yang sekarangpun tidak menguraikan tentang wujud Tuhan. Ini disebabkan karena wujud-Nya sedemikian jelas, dan terasa sehingga tidak perlu dijelaskan. 44 Apa yang dijelaskan Luqman tentang Allah sangat tepat. Ia tidak saja menjelaskan larangan menyekutukan Allah, tetapi lebih jauh lagi ia menjelaskan siapakah Allah yang harus disembah itu. Ia menasehati anaknya sebagaimana disebutkan dalam QS. Luqman (31):16 ﻳﺎﺑﲏ إ�ﺎ إن ﺗﻚ ﻣﺜﻘﺎل ﺣﺒﺔ ﻣﻦ ﺧﺮذل ﻓﺘﻜﻦ ﰲ ﺻﺨﺮة أو اﻟﺴﻤﻮات أو ﰲ اﻷرض ﻳﺄت ﻬﺑﺎ اﷲ إن اﷲ ﻟﻄﻴﻒ ﺧﺒﲑ Terjemahnya: ‘Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya); sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.’ 45 Di dalam ayat ini terdapat kandungan makna bahwa ilmu dan kekuasaan Allah sangat dalam. Ia memiliki perhitungan dan
43Departemen 44Quraish
Agama RI., op. cit., h. 637.
Shihab, Wawasan, h. 15. Agama RI., op. cit., h. 655.
45Departemen
42
keadilan. Apapun pekerjaan yang dilakukan, meskipun beratnya sebiji sawi, di manapun dikerjakan, maka Allah mengetahuinya. 46 Di dalam kaitan ini, Luqman al-Hakim telah menjelaskan siapa Allah yang sebenarnya berhak disembah. Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa ia tidak hanya sekedar memperkenalkan materi tauhid, tetapi lebih jauh ia menerangkan esensi dari tauhid itu. Semangat tauhid memberikan berbagai macam implikasi terhadap kepentingan kehidupan manusia. Melalui tauhid orang bisa mengenal Tuhan secara terperinci, 47 memahami diri sendiri, dan lebih jauh meningkatkan keimanan dan ketakwaan, dan memiliki semangat pembebasan. Tauhid memiliki semangat pembebasan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak (polyteisme), dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkap melalui kalimat al-nafy wa al-isbat, atau negasi-konfirmasi, yaitu kalimat: “Tidak ada Tuhan selain Allah (Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa).” 48 Penegasan tauhid merupakan suatu pengakuan dan penghambaan diri yang terdalam dari seseorang yang menyatakan bahwa Tuhan adalah Maha Esa, tidak ada sesuatu yang menyamai-Nya. Keesaan Tuhan mencakup empat macam, 49 yaitu: a. Keesaan Zat Allah Keesaan zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah swt. tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian, karena bila zat yang Maha Kuasa itu terdiri 4320.
46Sa’id
Hawiy, al-Asas fi al-Tafsir, Jilid III (t. tp.: Dar al-Salam, 1989), h.
47Mengenal Allah secara terperinci maksudnya adalah mengenal keesaanNya yang mencakup keesaan zat, sifat, perbuatan, dan keesaan dalam beribadah kepada-Nya. Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan, h. 33.
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992), h. 79. 48Nurcholish
49M.
Quraish Shihab, Wawasan, h. 33-36.
43
dari bagian, maka berarti itu membutuhkan unsur. Jika membutuhkan unsur maka tidak bisa disebut Tuhan Yang Maha Kuasa dan Esa, sebab dengan demikian, Tuhan tidak bisa berdiri sendiri. Setiap penganut paham tauhid berkeyakinan bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu, dan Dia tidak bersumber dari sesuatu apapun. Al-Qur’an menegaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa menyerupai-Nya. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. 50 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa yang serupa dengan Allah tidak ada, apalagi yang seperti Allah, lebih-lebih yang sama dengan-Nya. Karena itu, jangankan secara faktual di dunia nyata ada yang seperti Dia, secara imajinatifpun tidak ada yang serupa dengan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan keesaan dalam zatnya. Di dalam QS. al-Baqarah (2):163 Allah berfirman tentang keesaan-Nya: وإﳍﻜﻢ إﻟﻪ واﺣﺪ ﻻ إﻟﻪ إﻻ ﻫﻮ اﻟﺮﲪﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Terjemahnya: ‘Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.’ 51 Keesaan Tuhan dalam ayat ini ditunjukkan dengan pola penguat ( )ﺗﻮﻛﻴﺪberganda. Penyebutan kata ( )إﻟﻪdilakukan sebanyak tiga kali. Kata ( )إﻟﻪsetelah kata ( )إﳍﻜﻢberfungsi sebagai penguat tambahan, 52 sedangkan penguat lain adalah dalam bentuk hasr (penyebutan ﻻdan )إﻻ. 53 Ayat ini menekankan tentang esanya Allah; semua makhluk tertuju beribadah dan hanya tunduk kepada-Nya; P52F
50Lihat
QS. al-Syura (42):11.
Agama RI., op. cit., h. 40. Abu al-Baqa ‘Abd Allah ibn al-Husain al-‘Ukbariy, al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an (Beirut: Dar al-Jil, 1976), h. 132. 51Departemen 52Lihat
53Baurun al-Dannawiy dab Hidyan al-Dannawiy, Tafsir al-Nahr al-Madd min al-Bahr al-Muhit li Abi Hayyan al-Andalusiy (Juz I; t.tp.: Dar al-Jinan, t. th.), h. 157.
44
tunggalnya sumber moral dan akhlak mereka; begitu pula dasar syari’at dan undang-undang, serta cara dan gaya hidup mereka dalam berbagai hal. 54 b. Keesaan Sifat Allah Keesaan dalam sifat berarti bahwa Allah memiliki sifat yang tidak sama dalam sunstansi dan kapasitasnya dengan sifat makhluk, meskipun dari segi bahasa, digunakan yang sama untuk menunjuk sifat Allah dengan sifat makhluk. Sebagai contoh, kata rahim digunakan untuk menggambarkan sifat Allah, tetapi ia juga digunakan untuk menunjuk kepada kasih sayang makhluk. Namun substansi dan kapasitas rahmat dan kasih sayang Allah berbeda dengan rahmat makhluk-Nya. Allah esa dalam sifat-Nya, sehingga tidak ada yang menyamai substansi dan kapasitas sifat-Nya itu. 55 Sementara ulama memahami lebih jauh keesaan sifat Allah dalam arti bahwa zat-Nya sendiri merupakan sifat-Nya. Demikian mereka menganut dan memahami keesaan secara murni. Mereka menolak adanya sifat bagi Allah, walaupun mereka tetap yakin dan percaya bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Pengampun, Penyayang, dan lain-lain. Konsep seperti tersebur di atas dikemukakan oleh golongan Mu’tazilah. 56 Salah satu tokohnya pernah menyatakan bahwa arti dari ungkapan “Tuhan mengetahui” adalah bahwa Tuhan mengetahui dengan perantaraan pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. 57 Untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Konsep tentang peniadaan sifat Allah (nafy al-sifat) seperti yang dikemukakan oleh golongan Mu’tazilah dapat dipahami 54Sayyid 55M.
Qutb, op.cit., juz I, h. 213.
Quraish Shihab, Wawasan, h. 34.
56Mu’tazilah adalah salah satu aliran teologi Islam yang membahas persoalan teologis lebih mendalam dan bersifat filosofis. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), h. 38. 57Abu al-Hasan ibn Isma’il al-Asy’ariy, Maqalat al-Islamiyyin (Kairo: alNahdat al-Misriyyah, 1950), h. 178.
45
sebagai upaya untuk mengesakan Allah semurni-murninya. Itulah sebabnya mereka dikenal pula dengan julukan ahl al-tauhid. 58 c. Keesaan Perbuatan-Nya Keesaan ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berada di alam raya ini, baik sistem kerjanya maupun sebab dan wujudnya, kesemuanya adalah hasil perbuatan Allah semata. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, tidak akan terjadi. Tidak ada daya dan tidak ada pula kekuatan kecuali bersumber dari Allah. 59 Ungkapan di atas merupakan makna dari kelemahan manusia dibanding dengan kekuasaan Allah. Meskipun Allah Maha Kuasa, bukanlah berarti Allah berlaku sewenang-wenang atau “bekerja” tanpa sistem yang ditetapkan-Nya. Keesaan perbuatannya dikaitkan dengan hukum-hukum atau takdir dan ketentuan Allah. Dalam mewujudkan kehendak-Nya, Allah tidak membutuhkan apapun. Firman Allah dalam QS. Yasin (36):82. إﳕﺎ أﻣﺮﻩ إذا أراد ﺷﻴﺌﺎ أن ﻳﻘﻮل ﻟﻪ ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮن Terjemahnya: ‘Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia.’ 60 Ayat di atas menurut M. Quraish Shihab tidaklah berarti bahwa Allah membutuhkan kata ““( ”ﻛﻦJadilah!”). Ayat ini hanya bermaksud menggambarkan bahwa pada hakekatnya dalam mewujudkan sesuatu, Allah tidak membutuhkan apapun. Ayat ini juga tidak berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan-Nya tercipta dalam sekecap tanpa proses sesuai dengan kehendakNya. 61 d. Keesaan dalam Beribadah kepada Allah
58Harun 59M.
Nasution, Teologi Islam, h, 42.
Quraish Shihab, Wawasan, h. 35. Agama RI., op. cit., h. 714. Quraish Shihab, Wawasan, h. 35.
60Departemen 61M.
46
Kalau ketiga keesaan di atas merupakan hal-hal yang harus diketahui dan diyakini, maka keesaan yang keempat ini merupakan perwujudan dari ketiga makna keesaan terdahulu. Mengesakan Allah dalam beribadah, menuntut manusia untuk melaksanakan segala sesuatu demi Allah, baik sesuatu itu dalam bentuk ibadah murni maupun selainnya. Allah merupakan sumber moral dan akhlak. Segala dasar syari’at dan undangundang harus merujuk kepada-Nya, dan Allah adalah al-ma’bud, dan semua makhluk berkonsentrasi untuk beribadah dan tunduk kepada-Nya. Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tauhid yang menjadi materi dalam pendidikan adalah tauhid sebagaimana konsep tersebut, yakni konsep tauhid yang meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia; esa dalam sifat, zat, dan perbuatan serta menjadi sumber dan tempat bergantung semua makhluk. Berkaitan dengan materi pendidikan, maka tauhid menempati tempat yang sentral, sebab tauhid memiliki peranan yang sangat menentukan dalam pembentukan way of life seseorang. Sebelum lahir, seorang anak telah diajar oleh Tuhan tentang Tauhid. 62 Demikian juga kalimat tauhid diajarkan kepada seorang anak ketika ia lahir, dengan mengumandangkan azan dan iqamat ke telinganya. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi sebagaimana terdapat dalam sabdanya: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺴﺪد أﺧﱪﻧﺎ ﳛﻲ ﻋﻦ ﺳﻔﻴﺎن ﺣﺪﺛﲏ ﻋﺎﺻﻢ ﺑﻦ ﻋﺒﻴﺪ اﷲ ﻋﻦ ﻋﺒﻴﺪ ﺑﻦ اﰊ راﻓﻊ ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻗﺎل 63 .رأﻳﺖ رﺳﻮل اﷲ أذن ﰱ أذن اﳊﺴﻦ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺣﲔ وﻟﺪﺗﻪ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﺎﻟﺼﻼة Terjemahnya: ‘Dari Abu Rafi’ dari ayahnya ia berkata: Aku melihat Rasulullah menyuarakan azan di telingan al-Hasan ibn ‘Ali ketika Fatimah melahirkannya. 64 62Lihat
QS. al-A’raf (7):172.
Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 363. 63Abu
64Terjemahan
penulis.
47
Azan yang dikumandangkan ketika seorang anak lahir, merupakan penanaman dasar terhadap konsep tauhid kepada si anak, sebab di dalam suasana azan itu terdapat kalimat tauhid. Jika mencermati konsepsi pendidikan Luqman al-Hakim, tentu tidak ditemukan kalimat tauhid dengan formulasi bahasa Arab, tetapi pada prinsipnya, apa yang diajarkan Luqman alHakim, sama konsep tauhidnya dengan apa yang kita terima sekarang, yakni mengesakan Allah secara murni. Materi tauhid yang disampaikan Luqman al-Hakim memiliki kekuatan dasar dengan adanya kesinambungan penanaman nilai moral dan akhlak. Sebagaimana diketahui bahwa Luqman al-Hakim, setelah menyampaikan ajaran tauhid, dia melanjutkannya dengan menanamkan moral kepada anaknya. Tampaknya proses seperti itu mengilhami konsepsi Jawad Rida tentang pengembangan dan pemeliharaan tauhid. Menurut beliau, pemeliharaan dan pengembangan tauhid atau keimanan sebagai fitrah manusia, harus dilakukan dengan pendidikan melalui tiga proses. Pertama, melalui pembiasaan; kedua, melalui pembentukan pengertian; dan ketiga, melalui pembentukan budi pekerti luhur. 65 Penanaman ajaran tauhid yang dilakukan oleh Luqman alHakim berlangsung sampai ia meninggal dunia, merupakan prinsip pendidikan akidah melalui pembiasaan. Ini berarti bahwa beliau tidak pernah berhenti menanamkan nilai tauhid kepada anaknya. Beliau juga tidak hanya sekedar memperkenalkan tauhid kepada anaknya, tapi lebih jauh ia menanamkan pengertian terhadap konsep tauhid yang diajarkannya itu. Ia menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya yang harus disembah, dan menguraikan sifat dan kekuasaan Allah. 66 Untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai tauhid tersebut, Luqman al-Hakim memberikan ajaran dan penanaman nilai-nilai akhlak dan ibadah kepada anaknya, 67 sebab melalui materi ini, 65Muhammad Jawad Rida, al-Fikr al-Tarbawiy al-Islamiy (Kuwait: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, t. th.), h. 81. 66Lihat QS. Luqman (31):12, 14, dan 16. 67Ini
disebutkan di dalam QS. Luqman (31):14-19.
48
nilai-nilai tauhid yang telah diserap akan bertambah kuat dan melekat. Jika tauhid seorang anak telah kuat, maka segala tindak tanduknya akan didasarkan pada pikiran-pikiran yang telah dibenarkannya, dan hatinyapun akan tenteram. Perilakunya senantiasa didasarkan pada landasan yang kokoh dan kuat sehingga dapat dijadikan pegangan dan tumpuan ketenteraman. 68 Dengan demikian dapat dipahami bahwa tauhid memiliki peran yang sangat penting dalam pembinaan manusia seutuhnya. Implikasi tauhid bukan saja pada masalah akidah, tapi menyangkut pula aspek-aspek lain, seperti ibadah, akhlak dan mu’amalah. 2. Akhlak Materi kedua yang terkandung di dalam kisah Luqman alHakim adalah materi akhlak. Materi yang dimaksudkan di sini adalah segala nilai yang terkandung di dalam kisah tersebut yang berhubungan erat dengan akhlak yang mencakup ajaran akhlak yang diberikan Tuhan, juga akhlak yang disampaikan Luqman alHakim. 69 Kata akhlaq terbentuk dari akar kata kha, lam, dan qaf, yang mengandung dua dimensi makna dasar, yaitu “menetapkan sesuatu” dan “melicinkan atau menghaluskan sesuatu.” 70 Makna akhlak sebagai suatu etika dasar, merupakan refleksi dari tabiat yang dimiliki seseorang. Jika tabiat itu baik atau halus, maka dengan sendirinya, seseorang dikatakan memiliki akhlak yang baik. Tapi jika watak dasar itu jelek, maka menjadi cerminan watak yang jelek pula. Kata ‘akhlak’ dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. 71 Menurut istilah Latin, akhlak disebut moral, berasal dari akar kata mos atau moris, yang berarti: 68Demikian
menurut al-Nahlawiy, op. cit., h. 84.
69Di dalam QS. Luqman (31):12-19 terdapat beberapa nasehat atau ungkapan, yang mengajarkan etika atau akhlak. Ujngkapan atau nasehat itu ada yang dikategorikan sebagai pernyataan Allah, dan ada pernyataan Luqman al-Hakim yang pada prinsipnya juga adalah firman Allah. 70Ibn Zakariyya, op .cit., juz II, h. 213. 71Tim
Penyusun Kamus, op. cit., h. 15.
49
1. Beliefs about the nature of man. 2. Beliefs about ideals, about what is ggod or desirable or worthy of pursuit for its own sake. 3. Rules laying down what ought to be done and what ought no to be done , and 4. Motives that incline us to choose the right or the wrong course. 72 Pengertian ini menunjukkan bahwa moral mengacu kepada persoalan baik dan buruk; apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya tidak dikerjakan, serta suatu motif yang mendorong kita untuk memilih yang benar atau yang salah. Karena itulah, menurut pendapat Prof. Izutsu, moral merupakan suatu istilah etik primer yang mengandung metabahasa bagi suatu sikap dan tindakan yang benar dan salah. 73 Sayyid Qutb pada waktu menafsirkan QS. al-Qalam (68):14 yang berbunyi: ( )وإﻧﻚ ﻟﻌﻠﻲ ﺧﻠﻖ ﻋﻈﻴﻢmenyatakan bahwa istilah khuluq dalam konteks ayat tadi mengacu pada nilai-nila kebaikan, kemuliaan atau keagungan. Kata khuluq yang kemudian mendapat penyifatan ‘azim, dianggap sebagai suatu bentuk konsep moral Islami (al-akhlaq al-Islamiy) yang mengandung implikasi penting dalam pengaturan hidup orang perorang, masyarakat maupun negara. 74 Menurut al-Isfahaniy, istilah al-akhlaq dan al-khuluq memiliki dasar kata yang sama, tetapi ada titik tekanan yang berbeda pada keduanya. Istilah al-akhlaq lebih menitikberatkan pada segi makna yang menunjuk pada gerak yang dapat ditangkap dengan penglihatan inderawi; sedangkan istilah alkhuluq menitikberatkan pada segi makna yang menunjuk pada potensi dan watak dasar yang hanya dapat ditangkap dengan penglihatan hati. 75 Itulah sebabnya ada sebagian ulama yang 72Partick
H. Nowell Smith, “Religion and Morality”, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. VII (New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972), h. 150. Izutsu, Ethico Religious Concept in the Qur’an (Montreal: Mc Gill University Press, 1966), h. 20. 74Sayyid Qutb, op. cit., jilid VI, h. 3657. 73Toshihiko
75Al-Isfahaniy,
op. cit., h. 159.
50
membagi potensi manusia kepada inderawi yang merujuk kepada arti agama (al-din) dan potensi amali yang merujuk kepada arti tabiat. 76 Atas dasar pengertian dari beberapa istilah dan uraian di atas, dapat dipahami bahwa makna akhlak itu memiliki dua dimensi, yaitu ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat jelek. Akhlak yang dibahas di dalam kajian materi pendidikan Luqman al-Hakim ini adalah konsepsi akhlak yang bersumber kepada ajaran dasar agama (nilai ilahiyah), sehingga yang dimaksudkan dengan akhlak di sini adalah akhlak yang baik yang menjadi tabiat seseorang yang segala nilai moralnya bersumber dari konsep ajaran dan nilai ilahiyah. Dari kisah Luqman al-Hakim sebagai terdapat di dalam QS. Luqman (31):12-19, terdapat beberapa bentuk akhlak yang dijadikan kerangka dasar pembentukan sikap, baik secara lahir maupun batin. Bentuk akhlak atau sasaran akhlak itu adalah sebagai berikut: a. Akhlak terhadap Allah Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, tidak membuat sekutu (syarikat) bagi-Nya. Dia memiliki sifat-sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat sekalipun tidak dapat menjangkau hakekat-Nya. 77 Akhlak terhadap Allah ini, digambarkan dalam QS. Luqman (31):13. ﻳﺎﺑﲏ ر ﺗﺸﺮك ﺑﺎﷲ إن اﻟﺸﺮك ﻟﻈﻠﻢ ﻋﻈﻴﻢ... Mengakui dengan sesungguhnya, bahwa Allah tidak memiliki sekutu, merupakan akhlak terhadap Allah. Luqman alHakim memulai nasehatnya dengan perintah untuk tidak menyekutukan Allah, merupakan penanaman ajaran tauhid yang memiliki implikasi terhadap penanaman sikap dan akhlak terhadap Allah.
al-Din al-Razi, Tafsir al-Fakhr al-Razi (Juz XIII; Beirut: Dar al-Fikr, 1994), h. 82. 77M. Quraish Shihab, Wawasan, h. 262. 76Fakhr
51
Akhlak terhadap Allah tidak hanya terbatas dalam hal mengesakan-Nya, tetapi mencakup seluruh perilaku akhlak baik dalam bentuk lisan maupun perbuatan (ibadah). Di dalam al-Qur’an dijelaskan, bahwa akhlak terhadap Allah tidak saja dilakukan manusia, tetapi seluruh makhluk yang ada di alam jagad raya ini. Beberapa ayat al-Qur’an di antaranya yang menggambarkan sikap makhluk-Nya sebagai suatu sikap akhlak, misalnya firman Allah dalam QS. al-Naml (27):93. وﻗﻞ اﳊﻤﺪ ﷲ ﺳﲑﻳﻜﻢ آﻳﺎﺗﻪ ﻓﺘﻌﺮﻓﻮ�ﺎ وﻣﺎ رﺑﻚ ﺑﻐﺎﻓﻞ ﻋﻤﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮن Terjemahnya: ‘Dan katakanlah, segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan.’ 78 Di dalam QS. al-Syura (42):5 Allah berfirman: ... واﳌﻼﺋﻜﺔ ﻳﺴﺒﺤﻮن ﲝﻤﺪ رﻬﺑﻢ... Terjemahnya: ‘… Dan para malaikat menyucikan sambil memuji Tuhan mereka …’ 79 Di dalam QS. al-Ra’d (13):13. وﻳﺴﺒﺢ اﻟﺮﻋﺪ ﲝﻤﺪﻩ واﳌﻼﺋﻜﺔ ﻣﻦ ﺧﻴﻔﺘﻪ وﻳﺮﺳﻞ اﻟﺼﻮاﻋﻖ ﻓﻴﺼﻴﺐ ﻬﺑﺎ ﻣﻦ ﻳﺸﺎء وﻫﻢ ﳚﺎدﻟﻮن ﰲ اﷲ وﻫﻮ ﺷﺪﻳﺪ اﶈﺎل Terjemahnya: ‘Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, demikian pula para malaikat karena takut kepada-Nya dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantah tentang Allah, dan Dialah Tuhan yang Maha Keras siksa-Nya.’ 80 Mengomentari ayat-ayat di atas, Quraish Shihab menyatakan bahwa ayat tersebut menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah swt. Itulah sebabnya mereka sebelum memuji-Nya, terlebih dahulu bertasbih dalam 78Departemen 79Ibid., 80Ibid.,
Agama RI., op. cit., h. 605.
h. 783. h. 370.
52
arti menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang diucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. 81 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa akhlak terhadap Allah tidak saja berupa pernyataan dan keyakinan tentang keesaan Allah, tapi lebih dari itu implikasi tauhid itu sendiri harus mencerminkan nilai-nilai akhlak tersebut. Keagungan Allah dengan sifat pengasih dan penyayang, serta berbagai macam sifat terpuji lainnya menunjukkan bahwa Allah sangat menyayangi hamba-Nya, apalagi bagi hamba yang senantiasa bersyukur. 82 Allah bahkan berjanji menjadi pelindung bagi hamba-Nya dalam QS. al-Muzammil (73):9: رب اﳌﺸﺮق واﳌﻐﺮب ﻻ إﻟﻪ إﻻ اﷲ ﻫﻮ ﻓﺎﲣﺬﻩ وﻛﻴﻼ Terjemahnya: ‘Dialah Tuhan masyriq dan magrib, tiada Tuhan selain Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).’ 83 Menjadikan Allah sebagai wakil, 84 sesuai dengan maknanya berarti hendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya. 85 Pernyataan di atas, menurut Quraish Shihab, perlu diperluas penjelasannya, sebab jika tidak akan memberikan pengertian lain. Menurutnya, yang harus diingat adalah bahwa Allah itu Maha Esa, di antaranya esa dalam perbuatan-Nya, sehingga tidak dapat disamakan dengan perbuatan manusia, walaupun penamaannya sama. Allah swt. yang kepada-Nya diwakilkan segala urusan adalah Yang Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Bijaksana dan Penyayang dan semua sifat yang 81Quraish
Shihab, Wawasan, h. 623.
82QS.
Ibrahim (14):7. Dijelaskan di dalam ayat ini, bahwa hamba yang selalu bersyukur kepada Allah akan mendapat tambahan nikmat Allah, tapi hamba yang kufur nikmat, akan diazab dengan azab yang sangat pedih. Agama RI., op. cit., h. 989. wakil terambil dari kata wakala, yakilu, berarti menyerahkan urusan kepada yang lain dan dijadikannya sebagai wakil. Lihat al-Asfihani, op. cit., h. 569. 83Departemen 84Kata
85M.
Quraish Shihab, Wawasan, h. 263.
53
mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan dalam segala hal. Dengan demikian “perwakilan-Nya” pun berbeda dengan perwakilan manusia. 86 Ketika menjadikan Allah swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya. Dengan demikian, maka menjadikan Allah sebagai wakil (pelindung), dengan penuh penghambaan merupakan wujud dari akhlak seorang hamba terhadap penciptanya. Penghambaan seseorang terhadap Allah dilihat dari intensitas ibadah yang dilakukan, semakin tinggi nilainya semakin baik pula akhlaknya kepada Allah, sebaliknya semakin rendah kualitas atau tidak ada sama sekali ibadahnya kepada Allah, semakin rendah bahkan bisa dikatakan tidak berakhlak kepadaNya. Ibadah memiliki hubungan yang erat dengan pendidikan akhlak. Ibadah berkaitan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Perintah Allah berkaitan dengan perbuatan baik, sedangkan larangan Allah berkaitan dengan perbuatan yang tidak baik. 87 Ibadah kepada Allah berkaitan erat pula dengan nilai pribadi seorang hamba. Kualitas pribadi (akhlak) yang baik memiliki nilai lebih di sisi Allah, sebaliknya ibadah yang tidak disertai dengan nilai kualitas akhlak tidak memiliki implikasi etis di hadapan Allah, sebab segala tindakan ibadahnya tidak disertai dengan akhlak. Dengan kata lain, akhlak terhadap Allah dalam segala bentuk ibadah sangat penting dan memiliki nilai di sisiNya. Pentingnya akhlak (ketundukan pribadi) kepada Allah dijelaskan oleh Nabi Muhammad saw. dengan sabdanya: ﻋﻦ اﰊ ﻫﺮﻳﺮة رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل ﺷﻬﺪﻧﺎ ﻣﻊ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎل رﺟﻞ ﳑﻦ...ﺑﺎ ﻓﻠﻤﺎ ﺣﻀﺮ اﻟﻘﺘﺎل ﻗﺎﺗﻞ اﻟﺮﺟﺎل ﻗﺘﺎﻻ ﺷﺪﻳﺪا ﻓﺄﺻﺎﺑﺘﻪ ﺟﺮاﺣﺔ ﻓﻘﻴﻞ.ﻳﺪﻋﻲ اﻹﺳﻼم ﻫﺬا ﻣﻦ اﻫﻞ اﻟﻨﺎر ﻓﻘﺎل اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ.ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ اﻟﺬي ﻗﻠﺖ اﻧﻪ ﻣﻦ اﻫﻞ اﻟﻨﺎر ﻓﺎﻧﻪ ﻗﺪ ﻗﺎﺗﻞ اﻟﻴﻮم ﻗﺘﺎﻻ ﺷﺪﻳﺪا وﻗﺪ ﻣﺎت ﻓﺒﻴﻨﻤﺎﻫﻢ ﻋﻠﻲ ذﻟﻚ إذ ﻗﻴﻞ اﻧﻪ ﱂ ﳝﺖ، ﻗﺎل ﻓﻜﺎد ﺑﻌﺾ اﻟﻨﺎس ان ﻳﺮﺗﺎب.اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﱄ اﻟﻨﺎر ﻓﻠﻤﺎ ﻛﺎن ﻣﻦ اﻟﻠﻴﻞ ﱂ ﻳﺼﱪ ﻋﻠﻲ اﳉﺮاح ﻓﻘﺘﻞ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﺎﺧﱪ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ.وﻟﻜﻦ ﺑﻪ ﺟﺮاﺣﺎ ﺷﺪﻳﺪا 86Ibid.,
h. 264.
87Harun
Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), h. 57.
54
ﰒ اﻣﺮ ﺑﻼﻻ ﻓﻨﺎدي ﻟﻨﺎس اﻧﻪ ﻻ ﻳﺪﺧﻞ.ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﺑﺬﻟﻚ ﻓﻘﺎل اﷲ اﻛﱪ اﺷﻬﺪ اﱐ ﻋﺒﺪ اﷲ ورﺳﻮﻟﻪ 88 .اﳉﻨﺔ اﻻ ﻧﻔﺲ ﻣﺴﻠﻤﺔ وان اﷲ ﻟﻴﺆﻳﺪ ﻫﺬا اﻟﺪﻳﻦ ﺑﺎﻟﺮﺟﻞ اﻟﻔﺎﺟﺮ Terjemahnya: ‘… Abu Hurairah berkata: Kami bersama Rasulullah saw. berada (dalam perang) khaibar. Rasulullah saw bersabda terhadap seseorang yang mengaku muslim: “Orang ini ahli neraka”. Ketika peperangan itu terjadi, orang itu berperang dengan gigih sampai menderita luka-luka. Informasi sampai kepada Rasulullah saw. orang yang tadi anda katakan ahli neraka, hari ini telah berperang gigih sekali dan telah wafat. Rasul Allah bersabda: “Dia ke neraka”. Abu Hurairah berkata pula: Sebagian orang hampir saja tidak percaya. Dalam kondisi seperti itu diinformasikan pula orang itu belum meninggal, tetapi menderita banyak luka, lalu bunuh diri. Informasi itu pun sampai kepada Rasulullah, beliau bersabda: “Maha Besar Allah, aku bersaksi bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”. Kemudian beliau menginstruksikan kepada Bilal untuk menyampaikan kepada orang banyak: “Hanya sesungguhnya pribadi yang tunduk yang akan masuk surga, dan sesungguhnya Allah akan memperkuat agama (Islam) ini dengan seorang fajir (yang imannya tidak benar). 89 Hadis di atas mengandung makna, bahwa orang yang ternyata tidak memiliki akhlak kepada Allah, dalam arti dia melakukan ibadah hanya karena sesuatu, bukan karena Allah, maka orang itu tidak bermakna di sisi Allah. Segala usahanya hanya sia-sia. Dengan demikian, bisa dipahami bahwa penghambaan yang setulus-tulusnya kepada Tuhan memberikan implikasi yang resiprocal (timbal balik). Menurut Harun Nasution, kaum sufi memiliki akhlak yang sangat tinggi kepada Allah. Dalam istilah sufi disebut al88al-Bukhariy, op. cit., jilid II, h. 1197. Lihat juga Imam Muslim, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, jilid I (Indonesia: Maktabat Dahlan, t. th.), h. 105-106; Ahmad ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid II, (Beirut: al-Maktab al-Islamiy, 1398 H/1978 M), h. 309; Abu Muhammad ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Fadl ibn Bahran al-Darimiy, Sunan al-Darimiy, jilid II (Indonesia: Maktabat Dahlan, t. th.), h. 240-241. 89Terjemahan penulis.
55
takhalluq bi akhlaq Allah (memiliki akhlak Tuhan), al-ittisaf bi sifat Allah. 90 Dengan akhlak seperti itu, kaum sufi menyatakan penghambaan kepada Allah dengan kesungguhan hati dan keikhlasan. b. Akhlak terhadap Orang Tua (Ibu-Bapak) Intisari yang bisa diambil dari kisah Luqman juga berkenaan dengan akhlak terhadap orang tua. Firman Allah swt. dalam QS. Luqman (31):14-15: .ووﺻﻴﻨﺎ اﻹﻧﺴﺎن ﺑﻮاﻟﺪﻳﻪ ﲪﻠﺘﻪ أﻣﻪ وﻫﻨﺎ ﻋﻠﻲ وﻫﻦ وﻓﺼﺎﻟﻪ ﰲ ﻋﺎﻣﲔ أن اﺷﻜﺮﱄ وﻟﻮاﻟﺪﻳﻚ إﱄ اﳌﺼﲑ وإن ﺟﺎﻫﺪاك ﻋﻠﻲ أن ﺗﺸﺮك ﰊ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻟﻚ ﺑﻪ ﻋﻠﻢ ﻓﻼ ﺗﻄﻌﻬﻤﺎ وﺻﺎﺣﺒﻬﻤﺎ ﰲ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﻣﻌﺮوﻓﺎ واﺗﺒﻊ .ﺳﺒﻴﻞ ﻣﻦ أﻧﺎب إﱄ ﰒ إﱄ ﻣﺮﺟﻌﻜﻢ ﻓﺄﻧﺒﺌﻜﻢ ﲟﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﺗﻌﻤﻠﻮن Terjemahnya: ‘Dan kamu perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kamu kembali. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka kuberikan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’ 91 Ayat di atas mengisyaratkan pentingnya akhlak terhadap orang tua, sebab ayat di atas memerintahkan manusia untuk berbuat baik terhadap kedua orang tuanya. Merekalah yang mengandung dengan susah payah, lemah dan begitu berat. 92 Berbuat baik sebagai suatu sikap akhlak dapat diwujudkan dengan cara memeliharanya, 93 dalam arti memberikan perhatian 90Harun
Nasution, Islam Rasional, h. 59. Agama RI., op. cit., h. 654-655.
91Departemen
Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Tabariy, Tafsir al-Tabariy, jilid VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1978 M/1398 H), h. 44. 92Abu
93al-Alusiy
al-Bagdadiy, op. cit., h. 129.
56
sebagai wujud syukur terhadap keduanya. Sebab Allah memerintahkanmanusia untuk berbuat baik kepada orang tua, baik ketika mereka masih kuat, apalagi jika umur mereka sudah tua. Tidak diperkenangkan seorang anak membentak atau berkata-kata kasar terhadap keduanya. 94 Menurut Hasan Khan, perkataan ( )أن اﺷﻜﺮﱄdiikuti dengan perkataan ( )وﻟﻮاﻟﺪﻳﻚmenunjukkan bahwa hak-hak orang tua untuk dihormati dan disyukuri oleh anaknya dan merupakan hak yang paling besar wajib diberikan kepada mereka. 95 Adalah wajar dan suatu kewajiban jika manusia diperintahkan berbakti kepada orang tua, sebab orang tua mengandungnya di dalam perut yang setiap hari bertambah besar dan berat, kondisinya menjadi lemah dan sulit. Sufyan pernah berkata, ‘Uyaynah, bahwa siapa yang melakukan (mendirikan) shalat lima waktu, maka ia bersyukur pada Allah dan siapa yang mendoakan keduanya ketika shalat lima waktu, maka ia bersyukur kepada orang tua. 96 Dengan demikian, berbuat baik kepada orang tua sebagai suatu akhlak, tidak saja dalam bentuk pelayanan fisik (perbuatan) atau perkataan, tetapi juga dalam bentuk doa kapada Allah agar mereka diberi rahmat. Ada satu hal yang perlu juga direnungkan bahwa keberadaan manusia di dunia ini justru karena orang tua. Orang tua pula yang memberikan pendidikan. 97 Mereka juga membesarkan dengan air susu, hingga dua tahun lamanya. Betapa penting berbuat baik kepada orang tua, sampaisampai Allah meletakkan posisi ini setelah firman-Nya tentang larangan menyekutukan Allah (perintah bertauhid). Dalam konteks ini al-Nisaburi mengatakan dalam tafsirnya, bahwa berbuat baik kepada orang tua itu disebutkan 94QS.
al-Isra’ (17):23-24.
95Sadiq
Hasan Khan, op. cit., h. 283.
96Ibid.
97Ahmad Mustafa al-Maragiy, Tafsir al-Maragiy, juz XIX (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 83.
57
setelah bertauhid dan menyembah Allah, dilihat dari berbagai segi yaitu: 1) Orang tua telah menjadi sebab kehadiran anak dan telah mendidiknya, sehingga tidak ada pemberian yang lebih baik daripada pemberian mereka (tentunya setelah pemberian Allah). 2) Pemberian keduanya terhadap anak, seperti pemberian Allah terhadap makhluk-Nya yang tidak mengharapkan pujian dan balasan. 3) Allah swt. tidak pernah jemu memberikan nikmat kepada makhluk-Nya meskipun mereka (sebagiannya) melakukan dosa besar. Demikian pula orang mereka tetap sayang kepada anaknya, meskipun anak itu nakal. 4) Tidak ada kesempurnaan dalam bentuk apapun yang dimiliki seorang anak, kecuali orang tua selalu mencari dan menginginkannya untuk kepentingan anaknya dan mereka tidak pernah berhenti memperjuangkannya. Puncak kebaikan mereka adalah mereka tidak pernah hasud atau iri dan dengki jika anaknya lebih baik dari mereka. 98 Dan hal akhlak terhadap orang tua ini, Rasul Allah swt. Telah bersabda: ﻗﺎل ﺳﺄﻟﺖ ﻋﻨﻪ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ. ان رﺟﻼ ﻗﺎل ﻻﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد أي اﻟﻌﻤﻞ اﻓﻀﻞ... ﻗﺎل. ﻗﺎل وﺑﺮ اﻟﻮاﻟﺪﻳﻦ ﻗﻠﺖ وﻣﺎذا ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ، ﻗﻠﺖ وﻣﺎذا ﻳﺎرﺳﻮل اﷲ. اﻟﺼﻼة ﻋﻠﻲ وﻗﺘﻬﺎ:ﻓﻘﺎل 99 ... اﳉﻬﺎد ﰱ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ Terjemahnya: ‘… Seseorang bertanya kepada Ibn Mas’ud: Amal mana yang paling utama. Ia lalu berkata: Aku telah bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai hal itu. Rasulullah menjawab, mendirikan shalat pada waktunya. Aku bertanya lagi, kemudian perbuatan apa ya Rasulullah? Beliau menjawab, berbuat baik kepada ibu-bapak. Aku bertanya lagi. Kemudian apa lagi ya Rasul? Beliau menjawab: berjuang di jalan Allah. 100 98Disadur dari Nizam al-Din al-Hasan Muhammad al-Qummiy alNaisaburiy, Tafsir Gara’ib al-Qur’an wa Gara’ib al-Furqan, Hamisy di dalam al-Tabariy, Tafsir al-Tabariy, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, 1978 M/1398 H), h. 323. 99Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurat al-Turmuziy, Sunan al-Turmuziy, jilid I (Indonesia: Maktabat Dahlan, t. th.), h. 112. 100Terjemahan
penulis.
58
Dari hadis tersebut dapat dimengerti bahwa kedudukan shalat wajib berada di atas kedudukan berbuat baik terhadap orang tua, dan kedudukan berbuat baik terhadap orang tua berada di atas kedudukan jihad. Apa yang disampaikan Rasulullah itu sangat tepat dan sesuai dengan firman Allah swt. berkenaan dengan perintah berbuat baik kepada mereka. Ayat-ayat tersebut selalu didahului dengan perintah untuk beribadat kepada Allah, kemudian diiringi dengan perintah berbuat baik kepada orang tua. 101 Berbuat baik kepada orang tua lebih utama daripada berjihad. Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam sabdanya. : ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎل ﺟﺎء رﺟﻞ اﱄ اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻳﺴﺘﺄذﻧﻪ ﰲ اﳉﻬﺎد ﻓﻘﺎل... 102 . ﻓﻔﻴﻬﺎ ﻓﺠﺎﻫﺪ: ﻗﺎل. ﻗﺎل ﻧﻌﻢ،أﺣﻲ واﻟﺪك Terjemahnya: ‘… Abd Allah ibn ‘Amr ibn Ash r.a., meriwayatkan, bahwa telah ada seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah saw. memohon izin untuk berjuang. Rasulullah saw. bersabda, “Masih adakah kedua ibu-bapakmu?”, orang itu menjawab, “Mereka masih hidup”. Rasulullah saw. bersabda, “Kalau demikian berjuanglah engkau dalam berbuat baik kepada ibu bapakmu.” 103 Al-Khattabiy menjelaskan bahwa jika seseorang secara ikut berjuang di jalan Allah, maka hal itu hendaknya seizin orang tuanya. Tetapi jika keduanya kafir tidak diharuskan meminta izin. 104 Ibn Hajar al-Asqalaniy juga menyatakan bahwa sebagian besar ulama berpendapat bahwa seseorang dilarang ikut berjuang di jalan Allah kecuali keduanya, atau salah satu di antaranya memberikan izin, dan orang tuanya tetap beragama Islam. Berbuat baik kepada orang tua hukumnya wajib (fard ‘ain), sedangkan berjuang hukumnya fard kifayah. Tetapi jika pada suatu saat berjuang itu menjadi wajib hukumnya (fard ‘ain), maka tidak 101QS.
al-Baqarah (2):36. al-Nisa’ (4):36 dan QS. al-Isra’ (17):23.
102Muslim,
op. cit., juz II, h. 418. penulis.
103Terjemahan
104Abu al-Tayyib Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azimabadiy, ‘Aun alMa’bud, juz VII (t. tp.: al-Maktabat al-Salafiyyah, 1979), h. 203.
59
ada keharusan lagi meminta izin kepada orang tua sebab keadaan darurat. 105 Lebih jauh al-‘Asqalaniy menyatakan bahwa kedudukan berbuat baik kepada orang tua berada di atas kewajiban berjihad di jalan Allah. Apalagi dalam hal bepergian biasa, maka wajib memohon izin kepada keduanya. 106 Beberapa hadis di atas telah menjelaskan bahwa akhlak terhadap orang tua sangat penting, sebab terlalu besar dan banyak jasa orang tua terhadap anak. Hasan Ayyub menyatakan: Tak ada seorang manusia pun yang mampu menghitung dan mengira-ngira mengenai hak-hak ayah dan ibu atas anaknya. Seandainya anak-anak dapat menghitung apa yang dirasakan dan dialami orang tuanya, mereka pasti dapat menghitung dan menentukan apa-apa yang menjadi hak-hak mereka, yang berupa perbuatan baik dan pemuliaannya. Akan tetapi, menghitung dan menentukan serta memperkirakan jasa orang tua terhadap anaknya merupakan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan, terutama jasa ibunya ketika mengandung, melahirkan, menyusui, menjaga dan memeliharanya. Hanya ibu dengan keibuannya dan tak seorang pun yang tidak memerlukannya. 107 Jika akhlak yang paling puncak terhadap Allah adalah tidak menyekutukan-Nya, maka puncak akhlak kepada ibu bapak adalah tidak mendurhakai mereka. Perintah bersyukur kepada orang tua datang setelah perintah bersyukur kepada Allah, sementara perintah untuk tidak durhaka kepada ibu bapak datang setelah perintah untuk tidak berbuat syirik kepada Allah. Hal ini dijelaskan oleh Nabi dalam salah satu hadisnya:
al-Din Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Fath al-Baribi Syarh Sahih al-Bukhariy, juz VI (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.th.), h. 140-141. Lihat juga Badr al-Din Abi Muhammad Mahmud ibn Ahmad al-‘Ainiy, ‘Umdat al-Qari Syarh Sahih alBukhariy, juz XIV (Beirut: Dar al-Fikr, t. th.), h. 250. 105Syihab
loc. cit. Ayyub, al-Suluk al-Ijtima’iy fi al-Islam, alih bahasa Tarmana Ahmad Qasim dkk., dengan judul Etika Islam (Bandung: Trigenda Karya, 1994), h. 320. 106al-‘Asqalaniy, 107Hasan
60
ﻗﺎل اﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ اﻛﱪ: ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺮﲪﻦ ﺑﻦ اﰉ ﺑﻜﺮة ﻋﻦ اﺑﻴﻪ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﻗﺎل... ﻓﻤﺎ زال ﻳﻜﺮرﻫﺎ ﺣﱵ ﻗﻠﻨﺎ ﻟﻴﺘﻪ.اﻟﻜﺒﺎﺋﺮ اﻻﺷﺮاك ﺑﺎﷲ وﻋﻘﻮق اﻟﻮاﻟﺪﻳﻦ وﺷﻬﺎدة اﻟﺰور ﺛﻼث او ﻗﻮل اﻟﺰور 108 .ﺳﻜﺖ Terjemahnya: ‘… diriwatkan dari Abi Bakrah dari ayahnya ia berkata: Nabi saw. bersabda: Dosa yang paling besar adalah menyekutukan Allah, dan durhaka kepada kedua orang tua, serta bersumpah palsu [yang diulangi mengucapkannya] tiga kali; atau beliau mengatakan berkata bohong. Beliau terus mengulanginya, sampai kami berkata: semoga beliau mau diam.’ 109 Dalam hadis tersebut, Rasulullah saw. menempatkan aspek durhaka kepada ayah dan ibu pada urutan kedua setelah mempersekutukan Allah. Hal itu menunjukkan besarnya dosa durhaka kepada orang tua. 3. Akhlak terhadap Sesama Manusia Firman Allah swt. Dalam QS. Luqman (31):18-19: وﻻ ﺗﺼﻌﺮ ﺧﺪك ﻟﻠﻨﺎس وﻻ ﲤﺶ ﰱ اﻷرض ﻣﺮﺣﺎ إن اﷲ ﻻ ﳛﺐ ﻛﻞ ﳐﺘﺎل ﻓﺨﻮر واﻗﺼﺪ ﰱ ﻣﺸﻴﻚ واﻏﻀﺾ ﻣﻦ ﺻﻮﺗﻚ إن أﻧﻜﺮ اﻷﺻﻮات ﻟﺼﻮت اﳊﻤﲑ Ayat di atas merupakan dasar moral bagi pergaulan sesama manusia, bagaimana seharusnya manusia berkomunikasi dan bersikap satu dengan yang lainnya. Tidak berakhlak terhadap sesama seperti sombong, angkuh, menyakiti orang lain, merupakan suatu sikap yang tidak disenangi oleh Allah. Menurut al-Syanqiti, pernyataan وﻻ ﺗﺼﻌﺮ ﺧﺪك mengindikasikan adanya larangan bersikap sombong terhadap manusia. Hal ini sesuai pula dengan QS. al-A’raf (7):13, yang menunjukkan perintah menghilangkan sifat sombong (tidak berakhlak) sesama manusia, karena akibat sombong (tidak berakhlak) itu akan menimbulkan kejahatan. 110 Bersifat sombong saja telah dilarang Allah, apalagi melakukan hal-hal yang merusak orang lain, seperti membunuh, 108al-Bukhariy, op. cit., juz IV, h. 2765; lihat juga Imam Muslim, Sahih Muslim, juz I (Bandung: Dahlan, t. th.), h. 51. 109Terjemahan
penulis. al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Jakni al-Syanqiti, Adwa’ al-Bayan fi Indah al-Qur’an bi al-Qur’an, juz VII (t. tp.: Sihab al-Samawi alMalakiy al-Amin Abd al-Azis, 1983 M/1403 H), h. 497. 110Muhammad
61
merampok dan menyakiti hati orang lain dengan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak perduli aib itu benar atau salah. Allah telah mengatur sedemikian rupa, bagaimana seharusnya manusia memiliki akhlak terhadap sesamanya. Akhlak terhadap manusia itu mencakup perbuatan dan perkataan. Dalam hal perkataan, dijelaskan pula di dalam QS. Luqman (31):19, bahwa manusia hendaknya melunakkan suara dalam arti baik dan indah dalam bertutur, sebab perkataan yang jelek itu sama dengan suara keledai. al-Tabataba’iy dalam menafsirkan ayat 19 ini, mengutip pernyataan Abu ‘Abd Allah yang menyatakan bahwa أﻧﻜﺮ اﻷﺻﻮات itu adalah seperti bersin yang keras dan sangat jelek. 111 Berkata dan bertutur yang baik, nilainya lebih baik daripada bersedekah yang diiringi dengan sesuatu menyakitkan. 112 Karena itu Allah mengatur bagaimana jika manusia bertemu dengan sesamanya. Allah menyatakan bahwa jika manusia diberi salam (dihormati) oleh orang lain, maka hendaknya ia menjawab salam (penghormatan) itu dengan penghormatan yang serupa atau lebih baik. 113 Jika ada orang lain yang diberi gelar gentlemen, yakni orang yang memiliki harga diri, berkata benar dan bersikap lemah lembut, maka seorang muslim yang mengikuti perintah Allah (akhlak al-Qur’an), tidak hanya pantas bergelar demikian, tapi juga mendapat gelar al-muhsin. 114 Dengan demikian, berakhlak terhadap sesama manusia akan menciptakan suasana kedamaian, saling harga menghargai, sehingga terwujud suatu suasana yang kondusif dan bersahabat di antara sesama. 4. Akhlak terhadap Lingkungan Yang dimaksud dengan lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuhP
111Al-Tabataba’iy, 112QS. 113QS. 114M.
op.cit., jilid XVI, h. 221.
al-Baqarah (2):263. al-Nisa’ (4):86.
Quraish Shihab, Wawasan, h. 269.
62
tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. 115 Dalam bahasa Arab lingkungan disebut al-muhit yang berarti mengelilingi. 116 Istilah lingkungan hidup dalam bahasa Inggris adalah environment yaitu hal atau kondisi sekeliling khususnya, yang mempengaruhi eksistensi seseorang atau sesuatu, 117 atau keadaan yang dikelilingi oleh kondisi sekitar atau semua kondisi yang mempengaruhi perkembangan suatu organisme atau sekelompok organisme. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan adalah suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan serta makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dengan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Di dalam QS. Luqman (31):18, dijelaskan bahwa berbuat kerusakan di muka bumi ini merupakan salah satu perbuatan yang dilarang Allah. Karena itu, Luqman al-Hakim memerintahkan anaknya untuk tidak berbuat demikian. al-Zamakhsyariy dalam menafsirkan ayat tersebut di atas menyatakan bahwa tujuan berjalan di muka bumi ini jangan dijadikan tujuan untuk berbuat kebatilan dan kejahatan, sebagaimana kebanyakan orang melakukan demikian, bukan untuk kepentingan agama atau duniawi. 118 Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya QS. al-Anfal (8):47: .وﻻ ﺗﻜﻮﻧﻮا ﻛﺎﻟﺬﻳﻦ ﺧﺮﺟﻮا ﻣﻦ دﻳﺎرﻫﻢ ﺑﻄﺮ ورﺋﺎء اﻟﻨﺎس وﻳﺼﺪون ﻋﻦ ﺳﺒﻴﻞ اﷲ واﷲ ﲟﺎ ﻳﻌﻤﻠﻮن ﳏﻴﻂ Terjemahnya: ‘Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud ria kepada manusia serta menghalangi orang dari 115Ibid.,
h. 270.
Anthon Ilyas, Qamus Ilyas al-‘Asriy (Mesir: Syarikah Dar Ilyas al‘Asriyyah, 1979), h. 249. 116Ilyas
117Webster’s Encyclopedie Unabridge Dictionary of The English Language (New York: Porland House, 1989), h, 477. 118Abu al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar al-Zamakhsyariy, al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, juz III (Mesir: Syirkat Maktabat Mustafa al-Babiy al-Halabiy, t. th.), h. 234.
63
jalan Allah. (Dan ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan.’ 119 Berjalan di bumi (hidup di dunia) dengan maksud berbuat kebatilan dan kejahatan, berarti telah merusak lingkungan, dan ini sama halnya tidak memiliki akhlak terhadap lingkungan. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan serta bimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya. 120 Seseorang manusia yang bersifat sombong, angkuh dan bersifat merusak, sebagaimana dijelaskan dalam surah Luqman (31):18, tentu tidak bisa mengolah alam sebagaimana mestinya, sebab akhlak terhadap alam dan lingkungan tidak dimiliki. Binatang, tumbuhan dan benda materi lainnya, diciptakan oleh Allah swt. dan menjadi milik-Nya, serta semuanya memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan itu mengantarkan seseorang untuk menyadari bahwa semua itu, adalah “umat” Allah yang harus diperlakukan secara wajar dan baik. 121 Lingkungan habitat, seperti burung, binatang melata, tumbuhan dan lain-lain, sama halnya juga dengan manusia, sehingga semuanya tidak boleh diperlakukan secara aniaya. 122 Kesadaran bahwa semua yang ada di alam ini adalah milik Allah memunculkan suatu sikap akhlak yang terpuji terhadap lingkungan, sehingga tidak ada niat untuk berbuat kerusakan di alam ini. Al-Qurtubiy memberikan penafsiran terhadap ayat وﻻ... ... ﲤﺶ ﰲ اﻷرض ﻣﺮﺣﺎdengan menyatakan bahwa, ayat ini mengandung makna segala kegiatan ()اﻟﻨﺸﺎط. 123 Jadi apa saja P
119Departemen 120M.
Agama RI., op. cit., h. 269.
Quraish Shihab, Wawasan, h. 269.
121Ibid. 122QS.
al-An’am (6):38.
123al-Qurtubiy,
op. cit., h. 71.
64
kegiatan yang dilakukan, bila sifatnya merusak, maka kegiatan itu termasuk akhlak yang tidak baik. Pendidikan akhlak terhadap lingkungan ini tentu sangat penting ditanamkan kepada anak, agar memiliki kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan, sebab jika tidak demikian, maka kerusakan alam akibat manusia akan terjadi di mana-mana. Al-Qur’an sangat menekankan pentingnya pemeliharaan terhadap alam. Dalam situasi apapun lingkungan harus dijaga. Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk al-Qur’an yang melarang melakukan penganiayaan, baik terhadap manusia, binatang maupun pepohonan, kecuali dalam keadaan terpaksa. Firman Allah dalam QS. al-Hasyr (59):5: .ﻣﺎﻗﻄﻌﺘﻢ ﻣﻦ ﻟﻴﻨﺔ أو ﺗﺮﻛﺘﻤﻮﻫﺎ ﻗﺎﺋﻤﺔ ﻋﻠﻲ أﺻﻮﳍﺎ ﻓﺒﺈذن اﷲ وﻟﻴﺨﺰي اﻟﻔﺎﺳﻘﲔ Terjemahnya: ‘Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma atau kamu biarkan tumbuh berdiri di atas pokoknya, maka semua itu adalah atas izin Allah dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang fasik.’ 124 Ayat di atas mengajarkan bagaimana seharusnya manusia berakhlak terhadap lingkungan, sebab Allah telah memperuntukkan semua yang ada di bumi dan di langit untuk manusia. Orang yang berakhlak baik terhadap apa saja atas dasar keimanan dan ketakwaan kepada Allah akan masuk ke dalam surga, sebagaimana hadis Nabi: : ﻗﺎل، ﺳﺌﻞ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻋﻦ أﻛﺜﺮ ﻣﺎ ﻳﺪﺧﻞ اﻟﻨﺎس اﳉﻨﺔ: ﻋﻦ اﰉ ﻫﺮﻳﺮة ﻗﺎل... 125 . اﻟﻔﻢ واﻟﻔﺮج: ﻗﺎل، وﺳﺌﻞ ﻋﻦ أﻛﺜﺮ ﻣﺎ ﻳﺪﺧﻞ اﻟﻨﺎس اﻟﻨﺎر.ﺗﻘﻮي اﷲ وﺣﺴﻦ اﳋﻠﻖ Terjemahnya: ‘Dari Abu Hurairah, ia berkata: Nabi ditanya tentang penyebab kebanyakan orang masuk surga, Nabi menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”. Lalu Nabi
124Departemen
Agama RI., op. cit., h. 916.
125al-Turmuziy,
op .cit., juz III, h. 245.
65
ditanya tentang penyebab orang masuk neraka, Nabi menjawab. “Mulut dan kemaluan.” 126 Itulah beberapa materi dan sasaran akhlak yang telah diajarkan Luqman al-Hakim terhadap anaknya, sebagaimana digambarkan oleh Allah melalui firman-Nya. Di samping itu, beliau juga banyak memberikan nasehat-nasehat kepada anaknya sebagai pembentukan akhlak. 127 Beberapa nasehat beliau itu adalah sebagai berikut: 128 (1) Ia menyatakan bahwa, sesungguhnya dunia ini bagaikan lautan yang dalam, banyak manusia yang karam ke dalamnya. Bila ingin selamat, layarilah lautan itu dengan sampan takwa dan isinya adalah iman, layarnya adalah tawakkal. (2) Orang yang senantiasa menyediakan dirinya untuk menerima nasehat, maka dirinya akan mendapat penjagaan dari Allah. Orang yang insaf dan sadar setelah menerima nasehat orang lain, akan menerima kemuliaan dari Allah. (3) Ia mengingatkan bahwa, orang yang merasa dirinya hina dan rendah di dalam beribadah dan taat kepada Allah, dia akan lebih dekat kepada Allah dan selalu berusaha menghindarkan maksiat. (4) Ia mendidik anaknya agar berbuat baik kepada orang tua dan ia menyatakan apabila orang tua marah (karena kesalahan anak), maka marahnya orang tua itu bagaikan pupuk bagi tanamtanaman. (5) Ia juga memberi nasehat agar anaknya menjauhi hutang, karena sesungguhnya hal itu bisa membuat hina di waktu siang dan gelisah di waktu malam. 126Terjemahan
penulis.
127Nasehat
Luqman ada yang jelas tertera di dalam al-Qur’an sebagaimana di dalam surah Luqman, ada pula beberapa nasehat Luqman yang diriwayatkan oleh para sahabat Nabi dan para mufassir. 128Masih
banyak nasehat Luqman al-Hakim, berupa pendidikan akhlak terhadap anaknya. Lebih lanjut lihat al-Alusy al-Bagdadiy, op. cit., h. 126-127; Ibn Kasir, op. cit., h. 540; al-Suyutiy, op. cit., h. 509-523; dan al-Qurtubiy, op .cit., h. 66-67, di mana ia mencantumkan nama para ulama dan sahabat yang menguraikan nasehat Luqman al-Hakim.
66
(6) Ia menyuruh anaknya agar selalu berharap kepada Allah tentang sesuatu yang menyebabkan tidak mendurhakai Allah. Bertakwa kepada Allah dengan senbenarnya, sebab takwa melepaskan diri dari sifat keputus asaan. (7) Ia juga meminta anaknya agar jangan berdusta, sebab seorang pendusta akan lekas hilang air mukanya karena tidak dipercayai orang, dan orang yang bejat akhlaknya senantiasa banyak melamunkan hal-hal yang tidak benar. Ia mengibaratkan memindahkan batu yang besar lebih mudah daripada memberi pengertian kepada orang yang tidak mau mengerti. (8) Ia juga melarang anaknya menjadi pendusta, sebab berdusta itu mengakibatkan bahaya yang besar. (9) Ia meminta anaknyaagar bersikap hati-hati dan selektif jangan menelan begitu saja karena manisnya barang dan jangan langsung memuntahkan karena pahitnya. Karena yang manis itu belum tentu baik dan yang pahit itu belum tentu menimbulkan kegetiran. (10) Ia menasehati anaknya agar selalu mengamalkan ilmu sebab, bukan suatu kebaikan namanya bila selalu mencari ilmu tapi tidak pernah diamalkan. Hal itu tidak ubahnya seperti orang yang mencari kayu bakar, setelah banyak terkumpul, ia tidak kuat memikulnya, padahal ia masih mau menambahnya. (11) Ia menyuruh anaknya, untuk memperhalus tutur kata dan budi bahasa, karena orang akan menyenangi melebihi sukanya orang terhadap orang lain yang pernah memberikan barang berharga. (12) Ia meminta anaknya untuk bersikap rendah hati, tidak menerima pujian atau sanjungan orang lain, karena motivasi ria itu menimbulkan cela. (13) Ia menganjurkan anaknya agar berkata-kata baik, tidak mengeluarkan kata-kata kotor serta kasar, karena lebih selamat jika berdiam diri. (14) Ia mendidik anaknya agar berkata dan tertawa seperlunya sesuai dengan kondisi, dia juga menyuruh anaknya untuk tidak menyia-nyiakan harta, ada gunanya bagimu dan jangan menyia-nyiakan harta. (15) Ia berkata bahwa: barang siapa yang bersifat penyayang, tentu dia akan akan disayang, siapa yang pendiam
67
(menjaga kata-kata kotor) dia akan selamat dan siapa yang tidak bisa menjaga lidah, maka dia akan menyesal. Nasehat yang terkandung di dalam surah Luqman, maupun nasehat Luqman al-Hakim seperti diuraikan oleh ulama, memiliki ruang lingkup yang dimensional, luas dan amat dalam terutama berkenaan dengan akhlak, baik dalam hal ubidiyah, maupun mu’amalah. 3. Ibadah Materi pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya termasuk pula soal ibadah kepada Allah. Materi ibadah ini dapat dilihat dari nasehat Luqman sebagaimana tercantum dalam QS. Luqman (31):17: .ﻳﺎﺑﲏ أﻗﻢ اﻟﺼﻼة وأﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮوف واﻧﻪ ﻋﻦ اﳌﻨﻜﺮ واﺻﱪ ﻋﻠﻲ ﻣﺎ أﺻﺎﺑﻚ إن ذﻟﻚ ﻣﻦ ﻋﺰم اﻷﻣﻮر Terjemahnya: ‘Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari yang mungkat dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya hal-hal yang demikian itu termasuk diwajibkan.’ 129 Kata ‘ibadah berasal dari kata ‘abada yang berarti; mamluk, nabat al-tayyib al-ra’ihat (tumbuhan yang harum dan baik). 130 Dari pengertian itu, bisa dipahami bahwa makna pertama memiliki arti kerendahan atau merendahkan diri, sedangkan makna dari pengertian kedua adalah kelemahan dan kelembutan. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ‘ibadah berarti menyatakan kepasrahan kepada Allah dengan bersikap lemah lembut. Jika dicermati surah Luqman (31):17 ini, maka ibadah tampaknya memiliki dua arah. Pertama ibadah yang tertuju kepada Allah, sebagaimana nasehat untuk mendirikan shalat. Kedua, ibadah yang berdimensi sosial, seperti nasehat untuk mencegah kemungkaran dan menyeru kebajikan kepada manusia. Perintah melakukan ibadah (shalat) dimaksudkan untuk menyempurnakan jiwa. 131 Dalam hal ini Luqman al-Hakim 129Departemen
311.
Agama RI., op. cit., h. 655. al-Qamus al-Muhit, juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h.
130Al-Fairuzabadiy,
68
mendidik materi ibadah tentu dengan maksud agar anaknya memiliki jiwa yang sempurna. Di samping itu diberikan pula kepada anaknya tentang batasan shalat, kewajiban dan waktuwaktunya. 132 Dalam penanaman materi ibadah ini, tampaknya Luqman al-Hakim memberikan penjelasan tentang apa dan bagaimana ibadah (misalnya shalat). Dengan demikian, anak bukan hanya sekedar melakukan ibadah, tapi lebih jauh paham dan menghayati maknanya. Perintah melakukan ibadah (shalat) ini diikuti pula dengan perintah melakukan kebaikan atau menyeru orang berbuat baik dan mencegah perbuatan munkar. Hal ini memiliki implikasi bahwa ibadah baik yang bersifat ritual maupun sosial, satu sama lain saling berpengaruh. Ibadah ritual yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan ikhlas kepada Allah akan berimplikasi kepada perilaku sosial seseorang. Ibadah yang ditanamkan Luqman al-Hakim terhadap anaknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, memiliki nilainilai yang sarat, baik nilai ilahiyah maupun nilai kemanusiaan, suatu ibadah yang memang memiliki nilai keikhlasan dan kesabaran dalam menjalankannya, bersih dari sifat riya dan syirik. Menjalankan ibadah, seperti menyeru manusia untuk berbuat baik dan melarang mereka untuk berbuat kejahatan, merupakan ibadah yang mulia, tapi tentu banyak halangan dan rintangan yang harus dihadapi, karena berhadapan dengan manusia. Karena itulah Allah (dalam nasehat Luqman al-Hakim) menyuruh untuk bersikap sabar terhadap situasi yang tidak baik (ujian, musibah) ketika melakukan hal demikian. 133 Sebagai halnya keimanan, maka ibadah pun sesungguhnya merupakan hal yang fitri, yakni hal yang secara interen terdapat
131Al-Alusiy
al-Bagdadiy, op. cit., h. 135.
Kasir, op. cit., h. 539. Hawiy, op. cit., h. 4319. al-Barusawiy, op. cit., h. 83. Tantawiy Jauhariy, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz XV (Mesir: Mustafa al-Babiy al-Halabiy, t. th.), h. 125. 132Ibn
133Sa’id
69
pada kecenderungan alami manusia dan alam kejadian asalnya sendiri. 134 Sama halnya dengan semua kecenderungan natural, kecenderungan manusia untuk melakukan tindakan-tindakan ubudiyah harus disalurkan secara benar, sehingga mampu meningkatkan hasrat dan martabat individu yang bersangkutan. Penyaluran ibadah yang benar adalah sistem ibadah yang pelaksanaannya hanya ditujukan kepada wujud yang tertinggi (Allah), Tuhan yang berhak disembah, penguasa alam jagad raya. Dari perspektif ini, maka ibadah merupakan lambang pengagungan seseorang hamba kepada khaliknya serta pernyataan akan penerimaan hamba itu akan tuntutan moralnya. Melalui ibadah itu (misalnya shalat), seorang hamba mengharap pertolongan sang pencipta agar hidupnya mendapat bimbinganNya. 135 Berkenaan dengan ibadah ini, dalam konteks makna penghambaan, maka sesungguhnya seluruh nasehat Luqman alHakim yang disanpaikan kepada anaknya merupakan bentukbentuk nilai ibadah, sebab semua memiliki nila penghambaan, hanya saja semua nilai ibadah itu harus ada yang dikonkretkan sebagai suatu simbol penghambaan, misalnya shalat dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. 136 Sebagaimana diketahui, dari sisi esoteris, iman atau keimanan merupakan ibadah yang berada pada tingkat keabstrakan yang sangat tinggi, yang sulit ditangkap dengan perilaku nyata sehari-hari. Oleh karena itu, menurut Nurcholis Madjid, untumengenai antara iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal perbuatan yang konkret itu adalah ibadah-ibadah. 137 134Nurcholis
Madjid, Doktrin, h. 63.
135Setiap orang melakukan shalat, pasti membaca surah al-Fatihah. Di dalam surah ini terdapat pernyataan penghambaan seorang hamba kepada Khaliqnya, karena itu di dalam ibadah shalat itu terdapat “dialog” antara khaliq dan makhluq. Lihat QS. al-Fatihah (1):1-7. 136QS. Luqman (31):17. 137Nurcholis
Madjid, Doktrin, h. 61.
70
Bentuk simbol ibadah yang diajarkan Luqman al-Hakim yakni shalat, merupakan lambang yang sangat representatif untuk mewakili sistem ibadah. Shalat menempati urutan kedua sesudah syahadat di dalam rukun Islam. Shalat merupakan bentuk ibadah yang amat simbolistik untuk kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup manusia. 138 Kesadaran akan kehadiran Allah swt. bisa dirasakan bila seseorang benar-benar menghayati apa yang dibaca dan dilakukan di dalam shalat. Di dalam shalat, seseorang dituntut agar seluruh sikap dan perhatiannya ditujukan semata-mata kepada Allah, pencipta alam raya ini. Shalat yang sempurna, dilakukan dengan kekhusyukan dan kehadiran hati yang diserta dengan ketenangan seluruh anggota badan, membentuk jiwa sempurna. Beberapa ulama tafsir menafsirkan ungkapan ()ﻳﺎﺑﲏ أﻗﻢ اﻟﺼﻼة sebagaimana yang terdapat dalam QS. Luqman (31):17 dengan frase tujuan perintah shalat itu, yakni untuk membentuk kesempurnaan jiwa. 139 Kesempurnaan jiwa hanya bisa dicapai seseorang dengan melakukan shalat yang sempurna, ia memiliki jiwa yang lebih seimbang, penuh harapan, namun tidak kehilangan kesadaran diri atau sombong, karena ia tidak berkeluh kesah jika ditimpa kemalangan dan tidak menjadi kikir jika sedang mengalami keberuntungan. 140 Dengan demikian bisa dipahami, bahwa shalat yang diajarkan Luqman al-Hakim kepada anaknya adalah shalat yang memiliki kualitas penghambaan yang tinggi kepada Tuhan sebagai suatu simbol institusi ibadah. Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa shalat, demikian pula bentuk ibadah lain memiliki hubungan yang erat sekali dengan pembentukan keteguhan hati dan 138Ibid.,
h. 65.
139Abu al-Su’ud, op. cit., h. 178. al-Barusawiy, op. cit., h. 82. Tantawiy Jauhari, op. cit., h. 125. al-Alusiy al-Bagdadiy, op. cit., h. 135. 140QS. al-Ma’arij (70):19-23. “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalat.”
71
kesempurnaan jiwa. Ibadah yang dilaksanakan dengan sungguhsungguh mewujudkan sikap moral dan sosial. Ibadah yang tidak melahirkan sikap sosial, suatu perwujudan nyata terpenting hidup bermoral, akan kehilangan maknanya yang hakiki, sehingga pelaku suatu bentuk ibadah formal tanpa kesadaran sosial itu justru terkutuk oleh Tuhan. 141 Oleh karena itu, tepat sekali ungkapan perintah shalat di dalam surah Luqman itu diiringi dengan perintah berbuat kebaikan atau menyeru kebaikan dan mencegah kejahatan. Inilah implikasi moral dan sosial dari perilaku ibadah. Dengan demikian, maka pada intinya tujuan paling penting amalan keagamaan seperti ibadah adalah untuk mendidik manusia agar memiliki pengalaman ketuhanan dan menanamkan kesadaran Ketuhanan yang sedalam-dalamnya. 142 4. Mu’amalah Pendidikan mu’amalah diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya. Hal ini bisa dipahami dari ungkapan yang terdapat dalam QS. Luqman (31):17-18: وﻻ.ﻳﺎﺑﲏ أﻗﻢ اﻟﺼﻼة وأﻣﺮ ﺑﺎﳌﻌﺮوف واﻧﻪ ﻋﻦ اﳌﻨﻜﺮ واﺻﱪ ﻋﻠﻲ ﻣﺎ أﺻﺎﺑﻚ إن ذﻟﻚ ﻣﻦ ﻋﺰم اﻷﻣﻮر .ﺗﺼﻌﺮ ﺧﺪك ﻟﻠﻨﺎس وﻻ ﲤﺶ ﰱ اﻷرض ﻣﺮﺣﺎ إن اﷲ ﻻ ﳛﺐ ﻛﻞ ﳐﺘﺎل ﻓﺨﻮر Terjemahnya: ‘Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari yang mungkat dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu, sesungguhnya hal-hal yang demikian itu termasuk hal yang diwajibkan. Dan janganlah kamu memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.’ 143 141QS.
al-Ma’un (107):1-7. Kandungan surah ini menegaskan bahwa tiadanya sifat sosial merupakan indikasi kepalsuan dalam beragama, dan kegiatan melakukan shalat justru dikutuk Tuhan, jika shalat itu lalai dan tidak melahirkan sifat sosial tersebut. Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995), h. 189. 143Departemen Agama RI., op. cit., h. 655. 142Nurcholis
72
Mu’amalah merupakan ism masdar dari ‘amala. Kata ini berasal dari kata kerja ‘amala yang akar katanya terdiri dari ‘ain, mim dan lam, yang berarti keumuman suatu perbuatan yang dikerjakan. 144 Keumuman perbuatan itu berhubungan dengan manusia (aktifitas manusia). Oleh karena itu mu’amalah bisa berarti tata hubungan antar manusia dengan sesamanya dalam lalu linta pergaulan dan kebutuhan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika dihubungkan dengan pengertian mu’amalah sebagaimana dikemukakan, maka kandungan ayat 17-18 tersebut memiliki makna pendidikan mu’amalah, sebab kedua ayat tersebut sama-sama memerintahkan untuk berkomunikasi dengan manusia, dan memerintahkan untuk tidak berlaku sombong di antara sesama. Pendidikan mu’amalah yang diberikan Luqman al-Hakim dengan ungkapan ayat seperti di atas, paling tidak memiliki esensi tujuan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Tujuan pendidikan mu’amalah itu adalah sebagai berikut: a. Membentuk kehidupan yang baik Dalam kehidupan ini, setiap orang berupaya mencari jalan agar hidup tenteram, bahagia, aman dan sejahtera, memiliki hubungan yang baik di antara sesama. Tujuan Luqman al-Hakim mendidik anaknya untuk berdakwah (amar ma’ruf nahi munkar), 145 serta untuk tidak sombong, 146 merupakan upaya nyata untuk menciptakan kehidupan sebagaimana konsep di atas. b. Membina kepribadian Seorang muslim (orang yang mengaku bertuhan Allah dengan mengesakan-Nya) adalah manusia yang mempunyai roh yang tinggi, mempunyai jiwa yang matang dan mempunyai pikiran (akal). Orang muslim seperti inilah yang mengetahui amanat yang dibebankan atasnya, mengetahui risalah yang diperintahkan 144Ibn
145QS.
Zakariyya, op. cit., juz IV, h. 140. Luqman (31):17.
146QS.
Luqman (31):18.
73
untuk disebarkan kepada orang banyak, dengan cara bergaul dan berkomunikasi dengan masyarakat, menyampaikan ajaran-ajaran Tuhan dengan penuh hikmah, sesuai dengan perintah Allah untuk memberikan peringatan kepada manusia dengan cara pendidikan dan hikmah. 147 Orang yang senantiasa memperbaiki kegiatan mu’amalahnya akan memiliki kepribadian yang baik, ia akan disenangi oleh masyarakat di sekitarnya, bahkan ia menjadi orang yang terbaik di antara mereka. 148 Hayyan Ayyub, bahkan memberikan contoh bahwa seorang dai yang tidak memiliki mu’amalah yang baik, tidak melakukan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan dan tidak beretika terhadap sesama manusia, tentu orang yang didakwahinya akan menolaknya dan apa yang dia dakwakan kepada mereka tentu akan ditolak pula. 149 c. Mengetahui hak dan kewajiban bermasyarakat Mengerjakan kewajiban-kewajiban dalam etika sosial terhadap setiap muslim adalah tuntutan dan ketetapan akidah Islam. Pada hakekatnya, dalam jiwa seorang muslim, telah tertanam konsep bagaimana hidup bermasyarakat, sebab agama telah memberikan gambaran dan batasannya. Pada hakekatnya, konsep masyarakat di dalam Islam diikat oleh konsep ukhuwwah (persaudaraan), karenanya jika salah satu di antara saudara memiliki kesalahan, maka diadakan islah (damai). 150 Konsep al-islah ini merupakan prinsip pokok dalam bermasyarakat. Orang yang memiliki mu’amalah yang baik, akan mengetahui tentang konsep hak dan kewajibannya, baik ia sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai individu. Ia menyadari bahwa setiap masyarakat itu memiliki ciri khas dan pandangan hidup (way of life) yang melahirkan watak dan 147al-Nahl 148Ali
(16):125.
‘Imran (3):110. Ayyub, op .cit., h. 36. Al-Hujurat (49):10.
149Hasan 150QS.
74
kepribadian yang khas. Firman Allah swt. dalam QS. al-An’am (6):108: ﻛﺬﻟﻚ زﻳﻨﺎ ﻟﻜﻞ أﻣﺔ ﻋﻤﻠﻬﻢ ﰒ إﱄ رﻬﺑﻢ ﻣﺮﺟﻌﻬﻢ ﻓﻴﻨﺒﻌﻬﻢ ﲟﺎ ﻛﺎﻧﻮا ﻳﻌﻤﻠﻮن... Terjemahnya: ‘Demikianlah, kami jadikan indah (di mata) setiap masyarakat perbuatan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka kembali, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan.’ 151 Al-Qur’an menekankan kebersamaan anggota masyarakat seperti gagasan sejarah bersama, tujuan bersama, catatan perbuatan bersama, bahkan kebangkitan bersama. Dari sini, menurut Quraish Shihab, akan lahir gagasan amar ma’ruf dan nahi munkar serta konsep fard kifayah dalam arti semua anggota masyarakat memikul dosa bila mereka tidak melaksanakan kewajiban tertentu. 152 Keterkaitan antara pribadi dan masyarakat dalam konsep mu’amalah akan melahirkan perubahan positif, jika disertai dengan etika sosial yang merujuk kepada nilai dasar agama. Maka mengetahui hak dan kewajiban bermasyarakat merupakan kewajiban bagi setiap orang. Konsep mu’amalah yang menghendaki pengenalan hak dan kewajiban dalam bermasyarakat, berkaitan erat dengan konsep al-Qur’an yang mengajarkan tentang tanggung jawab pribadi dan kelompok. 153 Karena itu, konsep mu’amalah ini memerlukan suatu sistem nilai etis yang mendasari aktifitas, baik dari nilai sosio-cultural maupun nilai agama. D. Metode Pendidikan Istilah metode berasal dari kata meta dan hodos. Meta berarti melalui, melewati, dan hodos berarti jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan. 154 151Departemen
Agama RI., op. cit., h. 205.
Quraish Shihab, Wawasan, h. 321. Maryam (19):93-95, berkenaan dengan tanggung jawab pribadi. QS. al-Jasiyah (45):28, berkaitan dengan tanggung jawab sosial (kolektif). 152M.
153QS.
154Tim
Penyusun Kamus, op. cit., h. 581.
75
Di dalam bahasa Arab sering digunakan istilah manhaj dan tariq. Kata manhaj berasal dari kata nahaja yang akar katanya nun, ha dan jim, berarti jalan. 155 Sedangkan tariq berasal dari kata taraqa yang akar katanya terdiri dari ta, ra dan qaf, berarti antara lain mengenakan sesuatu atas sesuatu. 156 Tariq berarti pohon tamar yang tersusun rapi dalam satu baris. Oleh karena tersusun dalam satu baris, maka bisa diumpamakan seperti jalan. 157 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa metode adalah suatu cara, jalan dan usaha yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Jika dikaitkan dengan pendidikan, maka metode pendidikan berarti suatu teknik penyampaian bahan pelajaran kepada peserta didik agar mereka dapat menangkap dan mencerna pelajaran dengan mudah dan efektif. Jika ditelaah secara seksama, maka di dalam QS. Luqman (31):13, terdapat kata kunci berkenaan dengan metode pendidikan. Kata tersebut adalah ()ﻳﻌﻆ Kata ( )ﻳﻌﻆmerupakan ﻓﻌﻞ ﻣﻀﺎرعdari kata ()وﻋﻆ. Adapun fungsi ﻓﻌﻞ ﻣﻀﺎرعitu adalah sebagai penunjuk peristiwa yang sedang atau akan terjadi di masa mendatang. 158 Kata ( )وﻋﻆberasal dari akar kata waw, ‘ain dan za, yang berarti memberikan peringatan dengan baik yang dapat menggugah dan melunakkan hati. 159 Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa Luqman alHakim menerapkan metode pendidikan yang mampu menggugah perasaan dan hati, yang dilakukan secara terus menerus. Metode yang menyentuh perasaan dalam arti sesuai dengan perkembangan kejiwaan, akan banyak memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Metode yang diterapkan Luqman al-Hakim terhadap pendidikan anaknya adalah sebagai berikut: 155Ibn
Zakariyya, op. cit., juz V, h. 361.
156Ibid.,
juz III, h. 449.
157Ibid.,
h. 452. Mustafa al-Gaalayainiy, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz I (Beirut: Mansyurat al-Maktabat al-Misriyyah, 1987 M/1408 H), h. 33. 158Syekh
159Ibn
Zakariyya, op.cit., juz VI, h. 126.
76
1. Metode Nasehat Metode nasehat yang diterapkan Luqman al-Hakim kepada anaknya, tampak terdapat dalam ayat 13-19, dari materi tauhid sampai materi mu’amalah. Nasehat, sebagaimana nilai yang terkandung di dalamnya, memberikan implikasi psikologis terhadap perkembangan pendidikan anak. Menurut ‘Abd al-Rahman Umdirah, nasehat selalu dibutuhkan oleh jiwa, karena memberikan ketenangan hati, lebih-lebih jika nasehat itu timbul dari hati yang ikhlas dan jiwa yang suci. 160 Di dalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap dan oleh karena itu kata-kata itu harus diulang-ulang. Jika dicermati, maka nasehat yang diberikan Luqman alHakim kepada anaknya sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa. Nasehat itu diulang-ulang, bahkan disertai dengan kata ( ﻳﺎﺑﲏhai anakku), yang menunjukkan kasih sayang dan kecintaan seorang ayah kepada anaknya. 161 Muhammad Qutb memberikan ilustrasi tentang hubungan nasehat dengan perkembangan jiwa. Ia menyatakan: Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya ke dalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Ia menggerakkannya dan menggoncangkan isinya selama waktu tertentu, tak ubahnya seperti seorang peminta-minta yang berusaha membangkitkan kenestapaannya sehingga menyelubungi dirinya, tetapi bila tidak dibangkitkan, maka kenestapaan itu terbenam lagi. 162 Ungkapan Muhammad Qutb tersebut memberikan gambaran bahwa nasehat yang diberikan dengan penuh kecintaan dan kebijakan, memberikan efek psikologis terhadap orang yang al-Rahman ‘Umdirah, Manhaj al-Qur’an fi Tarbiyat al-Rijal, diterjemahkan oleh Abd Hadi Basultanah dengan judul Metode al-Qur’an dalam Pendidikan (Surabaya: Mutiara Ilmu, t. th.), h. 210. 161al-Alusiy al-Bagdadiy, op. cit., h. 128. al-Qurtubiy, op. cit., h. 63. 160‘Abd
Qutb, Sistem Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Salman Harun (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1984), h. 334. Buku terbitan ini tidak mencantumkan judul aslinya. 162Muhammad
77
menerimanya, bahkan seseorang yang senantiasa mendapat nasehat akan selalu membutuhkan dan menganggapnya hal itu sebagai suatu kebutuhan jiwa. Nasih ‘Ulwaniy juga menyatakan bahwa metode nasehat merupakan metode yang influentif terhadap proses pendidikan anak. Metode ini, menurutnya, dapat menumbuhkan keimanan, mempersiapkan moral, spiritual dan sosial anak, sebab nasehat ini dapat membukakan mata anak-anak pada hakekat sesuatu dan mendorongnya menuju situasi luhur, serta menghiasinya dengan akhlak yang mulia. 163 Al-Qur’an, sebagai pegangan dasar umat Islam, memberikan pendidikan kepada umat manusia, juga dengan nasehat, baik berbentuk tamsil, kisah maupun peringatan. 164 Karena itulah, Nasih ‘Ulwaniy lebih lanjut menyatakan: Sudah menjadi kata sepakat, bahwa nasehat yang tulus, berbekas dan berpengaruh, jika memasuki jiwa yang bening, hati terbuka, akal yang bijak dan berfikir, maka nasehat tersebut akan mendapat tanggapan secepatnya dan meninggalkan bekas yang dalam. 165 Dari ungkapan itu, bisa dipahami bahwa nasehat memiliki unsur yang begitu kompleks, satu sama lain saling terkait. Dengan kata lain, penerapan metode nasehat akan berhasil, bila disampaikan secara arif dan bijaksana, disampaikan oleh orang yang memiliki wibawa, kepada orang yang siap menerima nasehat, lahir dan batin. Menurut al-Nahlawiy, nasehat memiliki beberapa konsep yang menjadi landasannya. Nasehat hendaknya penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan agar orang yang dinasehati menjauhi maksiat dan bisa hidup sesuai dengan syari’at agama, di samping itu pemberi nasehat harus ikhlas dan menghindarkan diri darinya. Pemberi nasehat (pendidik) harus mengulang-ulang apa yang dinasehatkan kepada 163Nasih
66.
‘Ulwaniy, op. cit., jilid II, h. 64.
164Misalnya 165Nasih
QS. Saba (34):46-49. QS. Hud (11):32-34. QS. al-A’raf (7):65-
‘Ulwaniy, op. cit., jilid II, h. 68.
78
anak, sehingga konsep dan peringatan itu dapat menggugah berbagai perasaan, sehingga mendorongnya untuk melakukan amal saleh. 166 Konsep dan metode pengulangan dalam nasehat ini jelas tergambar dalam metode pendidikan Luqman al-Hakim, bahkan kata ( )ﻳﻌﻆyang berbentuk ( )ﻓﻌﻞ ﻣﻀﺎرعmenunjukkan bahwa nasehat itu terus menerus. Di samping itu Luqman al-Hakim juga mengulang penyebutan “hai anakku” sampai tiga kali. Konsep seperti ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. 2. Metode Contoh Teladan (Uswat Hasanah) Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang sangat efektif dan meyakinkan untuk membentuk kepribadian anak, baik di bidang moral, spiritual maupun sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak yang akan ditirunya dalam segala perilakunya, solpan santunnya dan semua ucapannya. Bahkan disadari atau tidak, figur pendidik itu tercetak atau tergambar dalam jiwa anak. Keteladanan menjadi faktor penting dalam hal baikburuknya anak. Jika pendidik (orang tua) jujur, dapat dipercaya, berakhlak mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan yang bertentangan dengan agama, maka anak pun akan tumbuh dalam kejujuran, memiliki akhlak yang mulia dan taat beragama. 167 Hal demikian juga tidak terlepas dari konsep metodologis yang diterapkan Luqman al-Hakim kepada anaknya. Sebagai orang yang dikaruniai al-Hikmah, tentu beliau menjadi figur sentral bagi anaknya. Orang yang memiliki al-Hikmah, tidak akan memberikan nasehat atau pendidikan kepada orang lain, sebelum dirinya terlebih dahulu dinasehati dan dididik. Jika Luqman al-Hakim memberikan materi tauhid, akhlak, ibadah dan mu’amalah, maka bisa dipastikan bahwa beliau sendiri telah melakukan hal demikian, sebelum ia memberikan materi tersebut kepada anaknya. Sebagai contoh, nasehat beliau kepada anaknya, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Baihaqiy dari Sulaiman al-Taimiy, adalah agar anaknya itu memperbanyak zikir op .cit., h. 289-291. ‘Ulwaniy, op. cit., jilid II, h. 2
166al-Nahlawiy, 167Nasih
79
dengan menggunakan formula ([ )رب اﻏﻔﺮﱄwahai Tuhanku, ampunilah daku], sebab Allah itu memiliki kekuasaan untuk mengabulkan doa hamba-Nya. 168 Nasehat Luqman al-Hakim di atas, tentu telah dipraktekkannya sendiri, sebelum beliau sampaikan kepada anaknya. Hal itu dibuktikan dari adanya riwayat yang menyatakan bahwa beliau adalah orang yang banyak bertafakkur. Memang ada keterkaitan yang sangat erat antara nasehat dengan keteladanan. Nasehat seseorang akan sangat bermakna, jika orang tersebut memiliki teladan yang baik, bahkan walaupun orang tersebut tidak berkata-kata, tapi perilakunya yang indah dan baik merupakan teladan bagi orang lain. Bukankah keberhasilan Nabi Muhammad saw. menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia dalam waktu yang relatif singkat adalah karena akhlak mulia yang dimiliki beliau, sehingga apa yang disampaikannya, selalu ditaati umatnya dan perilakunya dijadikan contoh teladan bagi kehidupan pengikutnya. Allah mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul yang memiliki keteladanan yang baik (uswat hasanah). 169 Dengan keteladanan itu, menurut Muhammad Qutb, Allah telah menyusun suatu bentuk sempurna metodologi Islam, suatu bentuk yang hidup dan abadi selama sejarah masih berlangsung. 170 Ungkapan di atas memang benar dan objektif, sebab di dalam diri Nabi telah terakumulasi sejumlah nilai Islam yang dijadikan rujukan bagi setiap umatnya. Dia memiliki keagungan akhlak, bahkan dikatakan bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an. Demikianlah, jika seseorang memiliki teladan yang baik, maka segala ucapan dan perbuatannya akan selalu menjadi cerminan bagi orang lain. Dari uraian di atas, bisa dipahami bahwa, seseorang, apalagi anak, bagaimanapun usaha yang dipersiapkan untuk op. cit., h. 513. al-Ahzab (33):21.
168Al-Suyutiy, 169QS.
170Muhammad
Qutb, op. cit., h. 325.
80
kebaikannya, ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip kebaikan dan pokok-pokok pendidikan, selama ia tidak melihat si pendidik sebagai teladan nilai moral yang tinggi. Bagi orang tua (sebagai pendidik) tampak mudah mengajari anak dengan berbagai metode pendidikan, tetapi teramat sukar bagi anak melaksanakan materi pendidikan itu, ketika orang tua (pendidik) yang membimbingnya tidak mengamalkan metode tersebut. 3. Metode Dialog Tanya Jawab Metode dialog/tanya jawab dikenal di dalam bahasa Arab dengan istilah al-hiwar. Metode dialog ini sangat berguna untuk menumbuhkan kreatifitas anak dan memberikan kesempatan kepadanya untuk menanyakan hal-hal yang belum dipahaminya. Metode dialog/tanya jawab ini banyak dicontoh di dalam al-Qur’an, misalnya dialog antara malaikat dengan Tuhan, tentang penciptaan Adam, 171 dialog Allah dengan Nabi Ibrahim tentang kekuasaan Allah menghidupkan yang mati, 172 dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur’an yang disajikan berbentuk dialog. 173 Di dalam QS Luqman (31):12-19, memang secara eksplisit tidak ditemukan adanya dialog antara Luqman al-Hakim dengan anaknya, tetapi jika ditelaah dengan seksama, maka antara keduanya juga terjadi komunikasi yang dialogis. Luqman al-Hakim menasehati anaknya agar takut kepada Allah dan hanya berharap kepada-Nya dengan penuh keikhlasan, sebab menurut beliau, orang mukmin memiliki dua cahaya, yakni cahaya takut kepada Allah dan cahaya berharap kepada-Nya.
171QS. 172QS.
al-Baqarah (2):30. al-Baqarah (2):260.
173Materi dakwah yang disajikan al-Qur’an berkisar pada tiga materi pokok, yakni akidah, akhlak dan hukum. Sedangkan metode dakwah untuk mencapai ketiga pokok itu terlihat pada (a) pengarahannya untuk memperhatikan alam raya, (b) peristiwa masa lalu yang dikisahkannya, (c) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan atau semacamnya yang dapat menggugah hati untuk menyadari diri dan lingkungan, dan (d) janji-janji dan ancaman duniawi dan ukhrawi. M. Quraish Shihab, Membumikan alQur’an (Bandung: Mizan, 1992), h. 193.
81
Orang yang beriman selalu membenarkan perkataan Allah. Jika ia membenarkan pasti mengerjakan apa yang diperintah Allah. 174 Ungkapan Luqman al-Hakim di atas menggambarkan bahwa hati orang mukmin memiliki fungsi dan peran penting dalam mendekatkan diri kepada-Nya. Hari yang penuh dengan cahaya, selalu berharap mendapat ridha-Nya dan takut kepada azab-Nya. Berikut ini adalah penjelasan Luqman al-Hakim dengan anaknya, berkenaan dengan penjelasan (( )ﻣﻦ ﺣﺒﺔbiji sawi), kaitannya dengan amal. Ketika anaknya bertanya tentang pengetahuan Allah terhadap orang yang berbuat jahat, Luqman menjelaskan bahwa pengetahuan Allah Maha Luas, di mana dan kapan pun manusia berada, Allah pasti mengetahuinya. 175 Apa yang diungkapkan Luqman al-Hakim di atas memberikan pemahaman bahwa pendidikan tentang ketuhanan yang diberikan kepada anak harus dijelaskan secara terperinci, agar anak dapat memahaminya dengan baik. Dari dialog tersebut, tampak terjadi hubungan yang sangat komunikatif antara keduanya. Di satu sisi anaknya menanyakan hal-hal yang belum dipahaminya, di sisi lain Luqman al-Hakim menjelaskannya secara panjang lebar apa yang ditanyakan. Metode dialog memang sangat efektif untuk menumbuhkan kreatifitas anak serta mendidik untuk bersifat demokratis. Di dalam metode ini, anak diberikan kesempatan untuk mengemukakan apa-apa yang belum dipahami atau mengemukakan pendapatnya sendiri. Dialog antara Luqman al-Hakim dengan anaknya, bahkan berlangsung ketika mereka sedang melakukan perjalanan. Di dalam perjalanan ini, Luqman al-Hakim ingin memberikan pelajaran kepada anaknya bagaimana bersikap terhadap alam dan lingkungan sebagai ciptaan Allah. 176 174al-Tabataba’iy,
op. cit., h. 224.
op. cit., h. 67. op. cit., h. 514. Istilah perjalanan di dalam cerita ini, biasa juga disamakan dengan karyawisata yang bersifat edukatif. 175al-Qurtubiy, 176Al-Suyutiy,
82
Selain bermanfaat untuk menumbuhkan sifat demokratis dan kreatif, dialog juga memiliki implikasi psikologis. Hal ini dijelaskan oleh al-Nahlawiy bahwa dialog itu sanggup membangkitkan pengakuan atas diri dan rasa syukur kepada Allah yang memunculkan ketundukan dan kepatuhan kepadaNya karena dialog itu memberi pengaruh tertentu secara berulang-ulang. 177 4. Metode Pembiasaan Dalam mendidik anaknya, Luqman al-Hakim menerapkan metode pembiasaan. Metode ini diterapkan dengan memberikan penanaman nilai secara berulang-ulang menyangkut semua materi pendidikan. Ada beberapa indikator bahwa ia menerapkan metode ini, yaitu adanya ungkapan ()ﻳﻌﻆ. Bentuk kata kerja ini adalah ﻓﻌﻞ ﻣﻀﺎرع yang berarti sedang menasehati, terus-menerus menasehati. Adanya proses kontinuitas ini menunjukkan adanya pembiasaan. Di sisi lain, Ibn Abi al-Dunya menyatakan bahwa Luqman alHakim terus menerus memberikan pendidikan kepada anaknya, sampai ia wafat. 178 Pembiasaan, menurut pendapat Muhammad Qutb merupakan metode yang sangat istimewa dalam kehidupan manusia, sebab melalui pembiasaan ini, terjadi perubahan seluruh sifat-sifat yang bukan hanya sekedar sifat baik, tetapi telah menjadi kebiasaan yang terpuji di dalam diri seseorang. 179 Ini berarti bahwa adanya potensi sifat baik pada seorang anak, jika dibiasakan, akan menjadi sifat baik dan terpuji (akhlaq al-karimah) yang integral dengan kepribadiannya. Ada beberapa contoh metode pembiasaan yang diterapkan Luqman al-Hakim kepada anaknya, sebagaimana dikemukakan oleh al-Bagdadiy tentang pembiasaan cara makan dan mementingkan persoalan sosial. Luqman al-Hakim menganjurkan anaknya agar bergaul dengan para ulama agar bisa meminta nasehat dari mereka. Dalam soal ta’ziyah dan op. cit., h. 221. op. cit., h. 512.
177Al-Nahlawiy, 178Al-Suyutiy,
179Muhammad
Qutb, op. cit., h. 363.
83
perkawinan, beliau meminta anaknya untuk mendahulukan ta’ziyah, baru menghadiri perkawinan, sebab menurut beliau, ta’ziyah akan mengingatkan manusia terhadap kampung akhirat. 180 Dari kutipan di atas, tampak Luqman al-Hakim mendidik anaknya dengan penekanan terhadap pembiasaan, yakni membiasakan makan dengan orang-orang yang beriman, dan membiasakan untuk mementingkan persoalan yang bersifat lebih penting. Tujuan semua itu tentu agar anak selamat dan terhindar dari berbagai kesalahan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Menurut Nasih ‘Ulwaniy, pendidikan dengan mengajarkan pembiasaan adalah pilar terkuat untuk pendidikan, dan metode yang sangat efektif dalam membentuk iman dan meluruskan akhlak anak. 181 Metode pembiasaan harus diterapkan sejak anak masih kecil, sehingga apa yang dibiasakan, terutama berkenaan dengan akhlak yang baik, akan menjadi kepribadian yang sempurna. Para ahli pendidikan Islam, sepakat bahwa pembentukan kebiasaan harus dilakukan sejak dini ketika anak masih kecil, seperti membiasakan tidur yang teratur dan baik, jujur dalam berkata dan berbuat, tertib dan disiplin, dan semua pembiasaan yang bertujuan membina akhlak. 182 Dalam hal pembiasaan ini, Rasulullah saw. memberikan contoh konkret melalui sabdanya: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻣﺮوا اوﻻدﻛﻢ: ﻋﻦ ﻋﻤﺮو ﺑﻦ ﺷﻌﻴﺐ ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪﻩ ﻗﺎل... 183 .ﺑﺎاﻟﺼﻼة وﻫﻢ اﺑﻨﺎء ﺳﺒﻊ ﺳﻨﲔ واﺿﺮﺑﻮﻫﻢ ﻋﻠﻴﻬﺎ وﻫﻢ اﺑﻨﺎء ﻋﺸﺮ ﺳﻨﲔ وﻓﺮﻗﻮاﺑﻴﻨﻬﻢ ﻗﻲ اﳌﻀﺎﺟﻊ Terjemahnya:
180Al-Alusiy
al-Bagdadiy, op. cit., h. 126.
al-‘Ulwaniy, op. cit., jilid II, h. 64. ‘Atiyyah al-Abrasyiy, al-Tarbiyat al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh H. Bustami A. Gani dan Djohar Bahri, dengan judul Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 111. 181Nasih
182Muhammad
183Abu
Dawud, op. cit., jilid I, h. 197.
84
‘Perintahkan anak-anakmu melaksanakan shalat pada usia ketujuh dan pukullah jika tidak melakukannya pada usia kesepuluh, dan pisahkan tempat tidur mereka.’ 184 Hadis di atas menekankan perlunya membiasakan anak untuk melaksanakan ibadah dan tatacara tidur, pada saat usia tertentu. E. Lingkungan Pendidikan Hubungan dialogis antara Luqman al-Hakim dengan anaknya, bisa dikatakan sebagai interaksi edukatif, sebab hubungan yang terjadi di antara keduanya memunculkan nilainilai pendidikan yang sarat dengan makna. Interaksi edukatif ini berlangsung di dalam lingkungan keluarga. 185 Lingkungan keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan, sebab di sinilah anak pertama kali menerima sejumlah nilai-nilai pendidikan. Begitu pentingnya arti sebuah lingkungan keluarga, sehingga di dalam Islam, lingkungan keluarga bukan hanya dipandang sebagai persekutuan hidup terkecil, tetapi lebih dari itu sebagai lembaga kehidupan manusia yang bisa memberikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Nabi Muhammad saw. diperintahkan untuk memberi peringatan kepada keluarga, sebelum terjun ke masyarakat. 186 Demikian pula halnya, dengan proses pendidikan yang diterapkan Luqman al-Hakim. Di lingkungan keluargalah untuk pertama kali anaknya diberikan pendidikan tauhid, akhlak, ibadah dan mu’amalah. Di sini pula Luqman al-Hakim memberikan sejumlah nasehat, agar anaknya hidup selamat di dunia maupun di akhirat. Di lingkungan keluarga ini, Luqman al-Hakim memberika pendidikan kepada anaknya, menyangkut masalah pembinaan 184Terjemahan
penulis.
185Interaksi edukatif bisa berlangsung di tiga pusat pendidikan, yakni sekolah, masyarakat dan keluarga. Ketiga situasi ini sering pula dikenal dengan istilah lingkungan pendidikan. Lihat H. Abdurrahman, Ilmu Pendidikan, Sebuah Pengantar dengan Pendekatan Islami (Jakarta: PT. al-Quswa, 1988), h. 80-81. 186QS. al-Syu’ara (26):214.
85
kesehatan jasmani dan rohani, akal (intelektual), emosi, agama, akhlak dan pendidikan sosial. Berkenaan dengan pembinaan kesehatan jasmani, Luqman al-Hakim menyuruh anaknya untuk tidak makan terlalu kenyang. 187 Untuk masalah akal (intelektual), beliau menyuruh anaknya untuk mencari ilmu dan mengamalkannya. 188 Berkenaan dengan emosi, beliau juga memberikan pengertian tentang emosi, misalnya marahnya orang tua (akibat kesalahan anak), harus dianggap sebagai suatu kebaikan. 189 Berkenaan dengan agama, beliau memberikan nasehat secara panjang lebar, mencakup juga pendidikan akhlak dan sosial. Jadi pada dasarnya, lingkungan keluarga, sebagai salah satu lembaga pendidikan, memiliki peranan yang sangat signifikan dalam membentuk kepribadian anak, dan membina suatu masyarakat. 190 Ungkapan di atas memberikan pengertian bahwa keluarga tidak saja berperan terhadap pembinaan kepribadian anak, tapi lebih jauh memiliki implikasi terhadap perkembangan masyarakat. Masyarakat yang baik tentu masyarakat yang terdiri dari anggota keluarga yang baik.
187Al-‘Alusiy
al-Bagdadiy, loc. cit.
188Ibid. 189Ibid.
190Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam (Jakarta: Pustaka alHusna, 1985), h. 47.
86
BAB IV PENDEKATAN DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN A. Pendekatan Pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya, tidak terlepas dari berbagai pendekatan yang menyertainya. Pendekatan ini memberi corak terhadap proses pendidikan, serta menentukan nilai-nilai yang diharapkan Sebelum menguraikan beberapa pendekatan pendidikan, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu makna pendekatan dalam konsep pendidikan. Istilah pendekatan di dalam bahasa Inggris adalah approach. Di dalam kamus Webster, istilah ini diartikan sebagai “the act of drawing near, a coming, or advancing near, a way of coming toward or reaching a person or places.” 1 Maksud istilah di atas adalah bahwa pendekatan merupakan suatu sikap dan tindakan mendekati sesuatu objek untuk meresapi suatu tujuan atau mengatasi suatu persoalan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendekatan itu bisa berarti proses mendekati dengan berbagai cara untuk mencapai suatu sasaran atau tujuan. Jika dikaitkan dengan konsep pendidikan, maka pendekatan pendidikan bisa berarti suatu proses untuk mendekati berbagai aspek pendidikan, dengan mengidentifikasi seluruh kebutuhan yang menyangkut pendidikan, untuk mencapai tujuan. Menelaah konsep pendidikan yang diberikan Luqman alHakim kepada anaknya, sebagai terdapat dalam QS. Luqman (31):12-19, didapati beberapa pendekatan yang menyertai proses pendidikan tersebut. Pendekatan pendidikan itu adalah sebagai berikut
1Noah Webster, Webster’s New 20 th Century Dictionary (New York: William Collin Publisher Inc, 1980), h, 91.
88
1. Pendekatan Filosofis Pendekatan ini berkaitan erat dengan cara pandang hidup tentang nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah atau pandangan hidup tersebut, harus dilakukan dengan berbagai cara. Perenungan atau kontemplasi yang mendalam tentang hakekat sesuatu akan memberikan suatu jawaban yang filosofis. Anak sebagai manusia yang menjadi salah satu unsur pendidikan, memiliki hubungan yang erat dengan konsep filsafat, sebab salah satu objek filsafat juga adalah antropologi. Dengan demikian, maka tepat jika suatu pendidikan didekati dengan pendekatan filosofis. Jika pendidikan didekati dengan pendekatan ini, maka kajian yang muncul sebagai bahan pemikiran adalah tentang hakekat manusia, siapa, dari mana, dan kemana manusia, dikaji dalam konteks tujuan penciptaannya. Di samping itu, sumber kebenaran sebagai sentral dari semua rujukan, tidak bisa tidak, harus juga dibahas. Dengan demikian, maka kajian ini tidak bisa terlepas dari pembahasan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Kajian ontologi merupakan kajian terhadap teori tentang wujud dan hakekat sesuatu. 2 Dalam hal ini, akan dibahas bagaimana pandangan Luqman al-Hakim tentang hakekat kebenaran sebagai sumber rujukan moral dan nilai dalam setiap aktivitas pendidikan. Juga dibahas bagaimana pandangan tentang hakekat anak. Kajian epistemologi membahas tentang problem pengetahuan, dai mana dan bagaimana cara memperolehnya. 3 Di dalam pembahasan Luqman al-Hakim, kajian ini akan difokuskan pada problem di atas, yakni bagaimana beliau dan anaknya 2John Hick, “Ontological Argument”, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. V (New York: Macmillan Publishing Co. Inc., t. th.), h. 538. Harun Nasution, Filsafat Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 51. 3Vergilius Ferm (ed.), An Encyclopedia of Religion (Westport: Greenwood Press, Publisher, t. th.), h. 252.
89
memperoleh pengetahuan, dan dari mana pengetahuan itu didapat. Kajian aksiologi membahas tentang nilai, hubungan dan interpretasinya terhadap metafisika, agama, logika, estetika dan psikologi. 4 Kaitannya dengan Luqman al-Hakim akan dibahas tentang nilai dan hikmah yang terkandung di dalam proses pendidikan yang diterapkan kepada anaknya. a. Ontologi Pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim tidak terlepas dari nilai ontologis yang mendasarinya. Konsep kebenaran mutlak selalu memberikan corak dan warna terhadap setiap nilai pendidikan yang diberikan kepada sang anak. Hal ini dapat dilihat dari pendidikan tentang wujud Tuhan. Beliau menjelaskan hakekat Tuhan kepada anaknya, bahwa Dia merupakan satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, sumber moral, nilai dan kebenaran. Konsep ontologi ini dapat dibaca di dalam QS. Luqman (31):22 .وﻣﻦ ﻳﺴﻠﻢ وﺟﻬﻪ ﷲ وﻫﻮ ﳏﺴﻦ ﻓﻘﺪ اﺳﺘﻤﺴﻚ ﺑﺎﻟﻌﺮوة اﻟﻮﺛﻘﻲ وإﱄ اﷲ ﻋﺎﻗﺒﺔ اﻷﻣﻮر Terjemahnya: ‘Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang ia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudah segala urusan’. 5 Dengan mendasarkan pada konsep seperti di atas, maka proses pendidikan yang diberikan tidak pernah kering dari nilainilai kebenaran. Oleh karena itu proses pendidikan tidak akan menyimpang dari konsep ontologis yang mendasarinya. Karena nilai ontologisnya telah tertanam, maka setiap materi pendidikan yang diberikan selalu memiliki corak ontologi 4Ibid.,
h. 50.
5Departemen
Agama RI., op. cit., h. 656.
90
itu. Berikut ini adalah pendidikan Luqman al-Hakim kepada anaknya tentang etika sosial. Luqman menasehati anaknya agar memilih suatu majlis yang di dalamnya disebut-sebut nama Allah. Ia melarang anaknya mengikuti suatu majlis yang kegiatannya tidak didasarkan atas nilai-nilai agamis. 6 Meskipun nasehat itu berkenaan dengan pergaulan sosial, namun isi nasehat itu menekankan pentingnya nilai tentang kebenaran yang harus dipegangm kapan dan di manapun. Pemahaman secara mendalam tentang hakekat kebenaran, memberikan implikasi pula kepada pemahaman terhadap hakekat manusia, siapa dari mana dan kemana dan apa tujuan diciptakan manusia. Menyadari bahwa anaknya merupakan amanah Allah, maka Luqman al-Hakim menjaganya dengan sebaik-baiknya, yakni dengan mendidiknya sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah. Mmeberikan pendidikan agama, akhlak, ibadah dan mu’amalah, dengan tujuan agar anak bisa beribadah kepada Allah dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan tujuan diciptakannya. 7 Manusia selaku hamba Allah telah diberi kemampuan dasar yang disebut fitrah yang bersifat dinamis dan berkecenderungan sosial-religius dalam stuktur psiko-fisik, patuh dan menyerahkan diri kepada Penciptanya secara total. Itulah hakekat manusia, yang memberikan inspirasi kepada Luqman alHakim untuk menerapkan sistem pendidikan berdasarkan konsep ilahiyah. b. Epistemologi Manusia yang menyadari bawah dirinya adalah ciptaan Allah dalam ikhtiar mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuannya senenatiasa ditujukan untuk beribadah dan
6Al-Suyuti, 7QS.
op. cit., h. 517.
al-Zariyat (51): 56.
91
mengabdi kepada Allah. Semakin bertambah ilmunya, semakin tebal pula imannya kepada Allah. Proses untuk memperoleh pengetahuan itu didapatkan melalui pendidikan. Namun untuk memahami hakekat pengetahuan, harus ditelaah secara mendalam tentang pengetahuan yang menjadi materi pendidikan itu, dari mana dan bagaimana cara memperolehnya. Konsep epistemologi dalam kisah Luqman ini dapaar dilihat dalam QS. Luqman (31):34: إن اﷲ ﻋﻨﺪﻩ ﻋﻠﻢ اﻟﺴﺎﻋﺔ وﻳﻨﺰل اﻟﻐﻴﺚ وﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﰲ اﻷرﺣﺎم وﻣﺎ ﺗﺪري ﻧﻔﺲ ﻣﺎذا ﺗﻜﺴﺐ ﻏﺪا وﻣﺎ .ﺗﺪري ﻧﻔﺲ ﺑﺄي أرض ﲤﻮت إن اﷲ ﻋﻠﻴﻢ ﺧﺒﲑ Terjemahnya: ‘Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah yang menurunkan hujan dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.’ 8 Ayat di atas menggambarkan bahwa sumber pengetahuan itu hanya Allah. Allah yang memberi pengetahuan dan Allah pula yang mengetahui segala sesuatu. Ilmu Allah bersifat mutlak dan pasti. Dalam aliran filsafat ada dua teori mengenai hakekat pengetahuan, yaitu realisme dan idealisme. Realisme menganggap bahwa pengetahuan adalah gambaran atau kopi sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata. Idealisme berpendapat bahwa mempunyai gambaran yang benar-benar tepat dan sesuai dengan kenyataan adalah mustahil. Pengetahuan menurut aliran ini
8Departemen
Agama RI., op. cit., h. 658.
92
adalah proses-proses mental atau proses psikologis dan ini bisa bersifat subyektif. 9 Kedua teori di atas tampak tak membawa kepastian tentang hakekat kebenaran; hakekat pengetahuan masih bersifat nisbi. Teori di atas dipakai oleh aliran filsafat yang ingin mencari hakekat kebenaran. Jika mencermati proses pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya, dan dengan pendidikan itu anaknya memperoleh pengetahuan, maka dapat dikatakan bahwa hakekat pengetahuan bagi Luqman al-Hakim adalah al-Ma’rifah yakni sesuatu yang menggambarkan hubungan erat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari. 10 Jadi pada intinya hakekat pengetahuan itu adalah segala sesuatu yang bersifat mendekatkan diri dengan Tuhan, sebagai satu-satunya sumber moral dan nilai. Oleh karena itulah, jika Luqman al-Hakim memberikan pengetahan tentang Tuhan, akhlak, ibadah dan mu’amalah, melalui pendidikan, semua itu dimaksudkan agar anaknya senantiasa dekat dan menyembah kepada Allah swt. Meskipun pengetahuan itu diperoleh melalui pendidikan, namun pada hakekatnya pengetahuan itu diperoleh dengan dua cara, yaitu melalui akal dan wahyu. 11 Pengetahuan dapat diperoleh melalui akal pikiran, ditopang dengan bantuan panca indera. Meskipun akal berhajat kepada panca indera untuk mendapatkan pengetahuan dari alam 9Harun
Nasution, Falsafah Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 7-8.
Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992, (mistisme), h. 75. Al-Ma’rifah berarti pengetahuan, tetapi konsep ini berbeda dengan konsep al-‘ilm (pengetahuan). Al-Ma’rifah merupakan konsep pengetahuan yang telah memiliki nilai-nilai ilahiyah. Istilah ini dikenal juga dengan al-ilm al-yaqin. Lihat al-Gazaliy, al-Munqiz min al-Dalal (Kairo: t.p., 1316 H), h. 26. 10Harun
11Ada
beberapa teori untuk memperoleh pengetahuan, di antaranya, empirisme, rasionalisme, realisme empiris, idealisme empiris, idealisme rasional, realisme rasional. Lihat lebih lanjut Harun Nasution, Falsafat Agama, h. 8-9.
93
nyata, tetapi akal yang menghubungkan data satu dengan yang lain, sehingga terakumulasi apa yang disebut pengetahuan. Luqman al-Hakim menyadari bahwa akal dan panca indera merupakan media untuk memperoleh pengetahuan, karena itu beliau memberikan pendidikan kepada anaknya tentang berbagai materi pendidikan. Dengan akal dan panca indera, seluruh materi pendidikan yang disampaikan beliau dapat diterima. Di samping itu pengetahuan juga diperoleh melalui wahyu. Pengetahuan ini memiliki kebenaran mutlak. Pengetahuan melalui wahyu ini juga disampaikan Luqman alHakim kepada anaknya, terutama pengetahuan tentang hakekat Tuhan, dan bagaimana seorang hamba harus bersikap kepada Tuhan. 12 Pengetahuan tentang nilai dan norma, juga diperoleh melalui wahyu, misalnya tentang sikap terhadap orang tua, 13 dan masyarakat luas, 14 sebab norma dan nilai yang dibuat manusia, kadangkala tidak sesuai dengan petunjuk wahyu. Pengetahuan yang diperoleh akal tidak pernah bertentangan dengan pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu, selama konsep pengetahuan itu diformulasikan sebagaimana konsep pengetahuan Luqman al-Hakim, yakni pengetahuan yang membawa kepada pendekatan diri kepada Tuhan. c. Aksiologi Aksiologi membahas tentang nilai, nilai mutlak, kebenaran, baik dan buruk. 15 Para filosof dan teolog sering membahas tentang arti konsep di atas, dan merumuskannya
12QS.
Luqman (31):13-16.
13QS.
Luqman (31):14-15.
14QS.
Luqman (31):18-19.
15Taufiq al-Tawil Tawil, Asas al-Falsafah (Cairo: Dar al-Nahdat al‘Arabiyyah, 1979), h. 88.
94
untuk diaplikasikan dalam setiap aktifitas yang dilakukan, apapun bentuknya pasti menghasilkan nilai di atas. Pendidikan, sebagai suatu aktifitas, juga memiliki nilai. Apa yang ingin dihasilkan dari aktifitas pendidikan tersebut, tergantung pada pendekatan nilai yang diterapkan. Jika nilai yang diberikan didalam proses pendidikan itu baik, maka hasil yang dicapai juga akan baik. Jika nilai yang diberikan jelek, maka hasilnya pun akan jelek. Di dalam proses pendidikan yang diterapkan Luqman alHakim, sumber nilai, nilai mutlak dan kebenaran itu hanyalah Allah. Oleh karena itu, aktifitas pendidikannya selalu didasarkan atas nilai ilahiyah. Aktifitas yang mengacu pada nilai ilahiyah akan memberikan arti tersendiri, bahkan dinyatakan Allah bahwa orang yang beraktifitas mengacu pada nilai Al-Qur’an akan mendapat keberuntungan. Firman Allah swt. dalam QS. Luqman (31):2-5: اﻟﺬﻳﻦ ﻳﻘﻴﻤﻮن اﻟﺼﻼة وﻳﺆﺗﻮن اﻟﺰﻛﺎة وﻫﻢ. ﻫﺪى ورﲪﺔ ﻟﻠﻤﺤﺴﻨﲔ.ﺗﻠﻚ آﻳﺎت اﻟﻜﺘﺎب اﳊﻜﻴﻢ . أوﻟﺌﻚ ﻋﻠﻲ ﻫﺪى ﻣﻦ رﻬﺑﻢ وأوﻟﺌﻚ ﻫﻢ اﳌﻔﻠﺤﻮن.ﺑﺎﻵﺧﺮة ﻫﻢ ﻳﻮﻗﻨﻮن Terjemahannya: ‘Inilah ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung hikmat (2). Menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang yang berbuat kebaikan (3), (yaitu) orang-orang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negri akhirat (4), mereka itukah orang yang tetap mendapat petunjuk dari tuhan-Nya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.’ 16 Nilai inilah yang memberikan motivasi moral terhadap setiap aktifitas pendidikan yang dilakukan, sebab nilai yang bersumber dari tuhan, mutlak kebenarannya. Tidak sistem nilai ciptaan manusia, mampu menandingi sistem nilai yang diciptakan-Nya. 16Departemen
Agama RI., op. cit., h. 653.
95
Dalam perspektif nilai etis-kultural, membantah dan tidak taat kepada orang tua dalam bentuk apapun, dianggap menyalahi etika dan adat, tetapi di dalam sistem nilai yang dibuat Tuhan, membantah atau tidak taat kepada orang tua, jika mereka berbuat syirik, kafir atau melanggar syari’at agama, boleh saja tidak ditaati. 17 Konsep pendidikan dengan pendekatan filosofis seperti ini, tidak akan pernah menghasilkan pendidikan yang sekuler, terlepas dari nilai-nilai agama. Konsep pendidikan yang didekati dengan pengembangan nilai ontologis, epistemologis dan aksiologis, memberikan nilai dasar yang substansinya selalu mengakar pada ketentuan nilai mutlak dan hakekat kebenaran, yang bersumber dari zat Yang Maha Kuasa. Konsep pendidikan seperti inilah yang diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya. 2. Pendekatan Psikologis Pendekatan psikologis menurut suatu pemahaman bahwa sebenarnya manusia-didik adalah makhluk Allah yang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan rohaniah dan jasmaniah yang memerlukan bimbingan, pengarahan melalui proses pendidikan. Membimbing dan mengarahkan perkembangan jiwa dan pertumbuhan jasmani dalam pengertian pendidikan tidak dapat dipisahkan dari pengertian psikologis karena pekerjaan mendidik berhadapan dengan manusia yang memiliki tahap-tahap perkembangan, baik jiwa maupun raga. Pertumbuhan di dalam diri seorang individu berkaitan erat dengan adanya perubahan sejumlah bagian organisme dan perubahan psikis. 18 Adanya perubahan seperti ini menuntut 17QS. Luqman (31):15, kandungan ayat ini memberikan makna bahwa seorang anak tidak boleh menaati perintah orang tua untuk berbuat syirik. Lihat alQasimi, op. cit., h. 200. 18Robert I. Watson and Henry Clay Lindgren, Psychology of The Child (New York: John Wiley & Sons Inc., 1973), h. 59.
96
kearifan seorang pendidik untuk memberikan pendidikan sesuai dengan tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangannya. Adanya perkembangan dan pertumbuhan ini menuntut diterapkannya pendekatan psikologis dalam pendidikan. Pendekatan itu antara lain penyesuaian materi, tujuan metode, sarana dan prasarana, serta evaluasi dengan tahap pertambahan dan pertumbuhan anak. Mencermati proses pendidikan yang diberikan Luqman alHakim kepada anaknya, tampak di dalamnya terdapat pendekatan psikologis. Pendekatan itu meliputi unsur tujuan, materi, metode dan lingkungan. Dalam hal tujuan, pertama kali tujuan yang hendak dicapai oleh Luqman al-Hakim adalah agar anak beriman kepada Tuhan dan bertauhid (menyatakan Allah itu Maha Esa). Tujuan ini, secara psikologis, sangat sesuai dengan kejiwaan manusia yang memiliki fitrah ketuhanan. 19 Sejak dalam kandungan manusia telah memiliki fitrah tersebut, apalagi setelah ia lahir dan menjadi anak-anak. Menurut suatu teori, anak-anak yang banyak berbicara tentang agama dengan teman-temannya memiliki motivasi yang lebih besar daripada anak-anak yang jarang membicarakannya. 20 Pernyataan di atas memberikan pemahaman bahwa anakanak pada dasarnya juga memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengetahui agama (Tuhan), sehingga perkembangannya perlu diarahkan. Perkembangan dan pertumbuhan anak, setiap hari makin bertambah. Ini berarti bahwa anak mengalami perubahan di
19QS.
al-Rum (30):30. QS. al-A’raf (17):172.
20Elizabeth B. Hurlock, Child Development (t.t.: t.p., 1978), h. 435, menurut Zakiyah Darajat, anak mulai mengenal Tuhan melalui orang tua dan lingkungan keluarganya. Sikap, kata-kata dan tindakan orang tua sangat mempengaruhi perkembangan agama anak. Lihat Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 74.
97
dalam jasmani dan rohani. Adanya perubahan seperti ini menuntut reformulasi seperangkat unsur pendidikan. Dengan dasar seperti itu, maka Luqman al-Hakim mengorientasikan tujuan pendidikan selanjutnya pada pembinaan akhlak. Di masa-masa pertumbuhan seperti ini diperlukan penanaman nilai-nilai yang mendasar, sebab pada saat itu anak memiliki perkembangan emosi. 21 Dengan adanya perubahan atau formulasi tujuan yang baru, yang hendak dicapai, maka materi dan metode pun juga mengalami penyesuaian. Artinya, baik metode maupun materi harus sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan anak. Susunan materi yang dikembangkan Luqman al-Hakim tampak memiliki pengaruh yang besar terhadap kejiwaan anak. Luqman merumuskan materi-materi itu atas dasar pertimbangan psikologis, sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak. Materi yang diberikan Luqman al-Hakim adalah tauhid, akhlak, ibadah dan mu’amalah (sosial). Jika ditelaah urutan materi itu, maka urutan seperti itu sangat relevan dengan perkembangan jiwa manusia. Perkembangan dan pertumbuhan anak harus dipandang sebagai suatu keharusan, sebab hal itu merupakan satu indikasi bahwa anak akan mencapai suatu kematangan dan kedewasaan. Meskipun tumbuh dan perkembangan menuju kedewasaan, anak tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Cara berfikir, bersikap dan bertindak jelas berbeda dengan orang dewasa. Anak bukanlah miniatur orang dewasa. John F. Travers menyatakan: “Interest in cognitive development has increased with the realization that children think differently than adults and the difference is qualitative as well as quantitative. Thas is, children are not miniature adults whose
21Emosi
diartikan sebagai suatu kondisi yang termotivasi yang biasanya disertai dengan kesadaran yang tinggi. Rasa takut, marah dan senang merupakan contoh emosi. Lihat Francis Leukel, Introduction to Psychological Psychology (Tokyo: Toppan Company, 1968), h. 345.
98
thinking process lacks a certain number of experience. Children interpret experience according to their level of mental development”. 22 Ungkapan di atas memberikan petunjuk bahwa seorang pendidik harus bersikap arif dan bijaksana dalam menghadapi anak. Anak dalam dunianya memiliki sikap dan cara tersendiri dalam memahami semua pengamalan yang didapatkannya. Pengalaman-pengalaman tertentu bisa membawa perubahan pada diri seseorang. Itulah sifat dasar manusia, perubahan dan fleksibilitas merupakan ciri utama manusia yang memiliki prilaku. 23 Sebagai konsekwensi dari adanya pertumbuhan dan perkembangan pada diri anak, maka diperlukan bimbingan dan pengarahan yang intensif, sehingga anak dapat melalui tahap dan irama perkembangannya. Menelaah konsep pendekatan psikologis yang diterapkan Luqman al-Hakim, tampaknya dalam proses pendidikan, kerangka normatif dijadikan sebagai landasan utama pendekatan ini. Landasan normatif itu adalah nilai-nilai agama sebagai landasan pendidikan yang berdimensi psikologis. Format kerangka normatif itu dapat dilihat dari tiga unsur, yaitu, konsep manusia, konsep pendidikan, dan konsep psikologi. Sebagai orang yang taat beragama dan diberi al-Hikmah, Luqman al-Hakim tentu mengerti bahwa manusia lahir ke dunia ini, pada hakekatnya tidak memiliki satu pengetahuan pun. 24 Oleh karena itu, anak yang lahir perlu dididik dan diarahkan perkembangannya menuju kedewasaan. Anak dipandang sebagai sosok yang suci dan memiliki fitrah untuk bertuhan, dan telah
22John F. Travers, The Growing Child (London: Scott, Foresman and Company, 1982), h. 183.
Schwartsz, Psychology of Learning and Behavior (New York: W.W. Norton and Company Inc,m 1978), h. 3. 23Barry
24QS.
al-Nahl (16): 78.
99
menyatakan bahwa Allah adalah Tuhannya sejak anak dalam kandungan. 25 Dari sudut pendidikan tentu dipahami pula, bahwa anak pada dasarnya memerlukan sistem pembinaan yang berkala dan bertanggung jawab untuk kelangsungan hidupnya. Di samping itu, pendidikan akan memberikan satu pengertian bahwa kehadiran anak di muka bumi ini untuk mengenal dirinya, orang lain dan lingkungan serta Tuhannya. Dari aspek psikologis bisa pula dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat unsur-unsur psikologis yang menentukan kepribadian manusia. 26 Allah juga memberikan satu perangkat jiwa yang disebut nafsu dan memerintahkan untuk mengendalikan dan memfungsikannya dengan baik. 27 Itulah kerangka normatif yang menjadi landasan pendekatan psikologis yang diterapkan Luqman al-Hakim dalam mendidik anaknya. Kerangka normatif inilah yang memberikan corak dan warna terhadap segenap nilai kejiwaan yang dimiliki anak Luqman al-Hakim. Segala sikap, baik ucapan maupun prilaku, sebagai refleksi dari gejala jiwa, memiliki unsur normatif yang didasari oleh nilai-nilai agama. 3. Pendekatan Kegamaan Tidak bisa disangkal bahwa pendekatan keagamaan ini merupakan pendekatan pokok yang diterapkan Luqman alHakim dalam proses pendidikan anaknya, bahkan pendekatan ini menjiwai seluruh pendekatan. 25QS.
al-A’raf (7):172.
26Dalam salah satu hadis, Rasulullah bersabda bahwa “Sesungguhnya di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging, jika ia baik, maka baik pula semua anggota badan, dan jika ia rusak, maka rusak pula anggota badan, segumpal daging itu adalah qalb (hati)”. Hadis riwayat Bukhari, dari Abu Na’im, dari Zakariya, dari Amir, dari al-Nu’man bin Basyir. Lihat Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il alBukhariy, Shahih al-Bukhariy, juz I (Indonesia: Maktabat Dahlan, t. th.), h. 32. 27QS.
al-Furqan (25): 43-44.
100
Pendekatan keagamaan yang diterapkan, tampak memberikan warna terhadap semua aktifitas pendidikan. Hal ini dilakukan oleh Luqman al-Hakim, karena menyadari bahwa tujuan hidup di dunia ini adalah untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah). Allah memberikan dua alternatif cara hidup yaitu jalan hidup yang benar dan jalan hidup yang sesat. Cara ini dipilih manusia melalui pertimbangan akal dan kualitas keimanannya. Bila ia memilih jalan yang benar, maka Allah menjamin akan memperoleh kebahagiaan hidup di dunia-akhirat, dan bila memilih jalan sesat, ia diancam oleh Allah dengan siksaan-Nya yang sangat pedih. Sebagai orang yang taat kepada Allah dan diberi alHikmah, Luqman al-Hakim menetapkan jalan hidup diri dan keluarganya sesuai dengan jalur yang ditetapkan Allah. Karena itu setiap aktifitas hidupnya maupun aktifitas pendidikannya, tidak terlepas dari nilai agama. Pendekatan keagamaan ini tidak terlepas dari adanya pandangan religius yang dimiliki Luqman al-Hakim. Pandangan ini menganggap bahwa setiap anak (manusia) adalah makhluk yang memiliki fitrah untuk percaya kepada Tuhan (homo divinus) yang mampu mengembangkan dirinya menjadi manusia yang bertakwa dan taat kepada Allah. Di samping itu, manusia juga memiliki potensi untuk menyimpang dari fitrahnya, terjerumus ke lembah dosa dan kehinaan. Oleh karena itu, nilai-nilai agama harus ditanamkan sejak dini kepada anak, agar dia tetap berada dalam fitrahnya. Nasehat Luqman al-Hakim yang menjadi materi pendidikan, semuanya disampaikan melalui pendekatan ini, baik materi yang menyangkut agama, maupun masalah-masalah keduniaan. Diterapkannya pendekatan keagamaan ini tidak terlepas dari orientasi tujuan pendidikan yang hendak dicapai yakni membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah,
101
mengamalkan seluruh ajaran agama, memiliki budi pekerti yang luhur, berpengetahuan dan memiliki daya pikir kritis serta memiliki rasa tanggung jawab sosial dan lingkungan. Sasaran utama tujuan ini adalah mewujudkan al-Insan alKamil, yang menurut Munir Mursi, merupakan sosok yang ideal untuk menjadi khalifah di bumi. 28 B. Implikasi Konsep pendidikan Luqman al-Hakim sebagai telah diuraikan sebelumnya, memiliki implikasi yang cukup besar terhadap pengembangan dunia pendidikan, paling tidak, konsep itu bisa dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan dunia pendidikan, terutama pendidikan Islam. Kerangka dasar pendidikan yang dibangun secara kokoh, sebagaimana konsep pendidikan Luqman al-Hakim selalu memiliki relevansi dan aktualitas dengan perkembangan zaman. Artinya konsep seperti itu tidak akan pernah ditinggalkan oleh putaran masa, kapan dan di manapun, semangat pendidikannya dapat menjadi sumber rujukan bagi pengembangan dunia pendidikan. Implikasi pendidikan Luqman al-Hakim itu meliputi unsur dan pendekatan pendidikan. Di dalam dunia pendidikan, kedua faktor itu tidak dapat terlepas dari aktifitas pendidikan. Dari segi dasar pendidikan, konsep pendidikan Luqman al-Hakim jelas mendasarkan pendidikan pada ajaran agama atau nilai-nilai ilahiyah, sehingga segala aktifitas pendidikan, senantiasa merujuk kepada dasar yang dipegang. Kerangka dasar yang kokoh ini tidak akan melahirkan pendidikan yang sekuler, maupun memunculkan pendidikan yang dikhotomis, sebab dasar itu diletakkan pada pemahaman yang sempurna. Di dalam pendidikan Islam, dasar pendidikan itu dikembangkan secara konkret, yakni menjadikan al-Qur’an dan 28Muhammad Munir Mursiy, al-Tarbiyat al-Islamiyyah Usuluhu wa Tatawwuruha fi al-Bilad al’Arabiyyah (Mesir: ‘Alam al-Kutub, t. th.), h. 18-19.
102
Hadis Nabi sebagai dasar pendidikan. 29 Kedua unsur ini merupakan wujud nyata dari nilai-nilai ilahiyah, sebagaimana Luqman al-Hakim menjadikannya sebagai dasar. Ditinjau dari segi tujuan, pendidikan Luqman al-Hakim memiliki tujan yang jelas. Tujuan itu ada yang bersifat ukhrawi dan ada juga tujuan duniawi, tetapi dalam penerapannya tidak ada perbedaan. Kepentingan ukhrawi maupun duniawi sama-sama penting, sehingga keduanya harus diwujudkan. Tujuan pendidikan ini tidak hanya memiliki orientasi, tetapi memiliki sasaran tertentu dalam pengembangan sumber daya manusia. Sasaran tujuan itu mencakup pembinaan aspek efektif, kognitif dan psikomotor, sehingga terwujud manusia yang sempurna, lahir dan batin. Konsep tujuan ini tampaknya menjadi inspirasi bagi pengembangan dunia pendidikan. Baik pendidikan umum, maupun pendidikan Islam, memiliki tujuan seperti di atas, atau paling yang tidak mendekati tujuan seperti di atas, atau paling tidak mendekati kesamaan tujuan, hanya saja formulasi bahasanya tidak sama. Ada satu keistimewaan tujuan pendidikan Luqman al-Hakim, yaitu hasil pendidikan yang dilaksanakan diharapkan memunculkan al-insan al-kamil. Dilihat dari segi materi, tampak materi yang disampaikan Luqman al-Hakim dalam proses pendidikan, memiliki relevansi dengan kondisi lingkungan dan perkembangan anak. Materi itu adalah tauhid, akhlak, ibadah dan muamalah. Jika dicermati rangkaian materi itu, tampak kandungannya bukan hanya memfokuskan aspek ritual, tetapi juga aspek sosial yakni mu’amalah. Jika dikembangkan lebih jauh aspek mu’amalah ini, niscaya memiliki amplikasi terhadap konsep pengembangan sumber daya manusia di bidang sosial-ekonomi dan teknologi.
29 Abd al-Rahman al-Nahlawiy, Usul al-Tarbiyat al-Islamiyah wa Asalibuha, diterjemahkan oleh Sihabuddin dengan judul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 29-31.
103
Di dalam pendidikan Islam, materi pendidikan lebih jauh dikembangkan, tetapi esensinya sama saja dengan materi yang disampaikan Luqman al-Hakim. Materi dalam pendidikan Islam lebih diarahkan pada pengembangan profesionalitas. Ditinjau dari pelaksanaan metode, pendidikan yang dilaksanakan Luqman al-Hakim mengemas metode yang sangat tepat, suatu metode yang diterapkan secara kontiyu, efektif dan efisien. Kaidah umum yang berlaku untuk metode yang dipakai adalah kata ( )ﻳﻌﻆyang berarti peringatan atau nasehat yang mampu menggetarkan dan melunakkan hati. Kata ( )ﻳﻌﻆbukan hanya semata bisa dipergunakan untuk merujuk kepada metode nasehat, tetapi bisa juga untuk menunjuk suatu metode apa saja yang bisa menggetarkan dan melunakkan hati, sehingga materi pendidikan yang disampaikan bisa diterima, dipahami dan dilaksanakan oleh anak (peserta didik). Konsep metode yang diterapkan Luqman al-Hakim memiliki implikasi yang sangat besar dalam dunia pendidikan. Metode nasehat, keteladanan, pembiasaan dan dialog hanya sebagian metode yang jelas tersirat dan terungkap di dalam proses pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim. Ini berarti bahwa konsep metode itu masih bisa dikembangkan sesuai dangan kebutuhan, lingkungan, situasi dan perkembangan anak didik. Di dalam dunia pendidikan modern, baik pendidikan umum maupun Islam, metode telah dikembangkan secara variatif, dari metode yang sederhana sampai metode yang paling canggih, dari metode yang tradisional sampai metode yang paling modern, dengan tujuan untuk mempermudah anak dalam menyerap proses pendidikan dan untuk menyesuaikan dengan irama perkembangan dan pertumbuhan anak. Lingkungan pendidikan Luqman al-Hakim juga memberikan implikasi terhadap dunia pendidikan, terutama situasi pendidikan yang berlangsung di lingkungan rumah tangga.
104
Meski di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan tentang lingkungan keluarga Luqman al-Hakim, tetapi mencermati fenomena tentang cerita beliau, seperti adanya interaksi edukatif antara beliau dan anaknya, maka bisa dipahami bahwa pendidikan itu pasti berlangsung di lingkungan rumah tangga. Lingkungan pendidikan seperti terdapat di dalam kisah Luqman al-Hakim ini dapat dijadikan contoh teladan, terutama tentang situasi transformasi pendidikan yang diterapkan beliau di dalam keluarganya. Lingkungan rumah tangga tempat berlangsungnya proses pendidikan anak, hendaknya memiliki nilai-nilai dasar yang mampu memberikan corak dan warna terhadap proses pendidikan anak, sehingga ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan nilai yang berlaku, terutama nilai agama dan sosial budaya. Di samping unsur-unsur pendidikan sebagai dijelaskan sebelumnya, maka pendekatan pendidikan Luqman al-Hakim juga memiliki implikasi dalam pengembangan dunia pendidikan. Pendekatan pendidikan yang meliputi pendekatan filosofis, psikologis dan religius sebagai terdapat di dalam pendidikan Luqman al-Hakim memiliki peranan yang sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Ketiga pendekatan itu memiliki dasar dan akar yang sangat kuat sebagai salah satu aspek yang harus menyertai proses pendidikan. Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa konsep pendidikan anak sebagai terdapat dalam kisah Luqman al-Hakim memiliki implikasi yang positif terhadap pengembangan dunia pendidikan modern.
105
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi anak, sebab dengan pendidikan, ia bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Pertumbuhan dan perkembangan anak, baik jasmani maupun rohani, bisa berjalan secara sempurna, apabila bimbingan, perhatian dan arahan orang tua diberikan dengan baik. Pendidikan yang berlangsung di lingkungan keluarga sangat menentukan dalam membentuk kepribadian anak. Setelah menelaah ayat-ayat yang berkenaan dengan kisah Luqman, maka dapat disimpulkan bahwa pola pendidikan anak yang bisa dijadikan teladan adalah pola sebagai terdapat di dalam kisah pendidikan Luqman al-Hakim. Untuk menjawab masalah pokok seperti terdapat dalam rumusan masalah, tesis ini telah membahas tentang latar belakang pentingnya pendidikan anak, membahas sekitar pendapat ulama tentang Luqman al-Hakim, tugas, peran dan hubungan al-Hikmah dengan pendidikan, serta membahas unsur, pendekatan dan implikasi pendidikannya. Inti pembahasan dan kesimpulan jawaban atas masalah pokok yang diajukan dalam tesis ini, dikemukakan sebagai berikut: 1. Luqman al-Hakim digambarkan oleh al-Qur’an sebagai figur pendidik yang ideal. Ia bukan seorang nabi, tapi manusia biasa yang diberi Allah al-Hikmah. 2. Luqman al-Hakim memiliki peranan sebagai pendidik bagi anaknya, dan bertugas untuk menyampaikan semua tugas pendidikan itu kepada anak. Adalah wajar dan tepat, jika pendidikan harus diberikan kepada anak sejak dini, sebab ia sebagai manusia yang memiliki fitrah untuk dididik, sangat memerlukan pendidikan. 3. Al-Hikmah yang diberikan Allah kepada Luqman alHakim memiliki hubungan yang sangat erat dengan tugas pendidikan yang diemban beliau. Al-Hikmah merupakan suatu anugerah Allah kepada Luqman al-Hakim, berupa ilmu pengetahuan, pemahaman dan akal pikiran dan merupakan salah
107
satu unsur bagi kesempurnaan jiwa yang memiliki implikasi edukatif. Dengan demikian, jika Luqman al-Hakim mengaplikasikan seluruh potensi al-Hikmah itu, maka ia telah melaksanakan tugas pendidikan. 4. Pendidikan yang diberikan Luqman al-Hakim kepada anaknya memiliki unsur-unsur pendidikan , yaitu, dasar, tujuan, materi, metode dan lingkungan pendidikan. Dasar pendidikan didasarkan kepada nilai-nilai ilahiyah berupa ajaran agama yang disampaikan oleh nabi dan rasul. Tujuan pendidikannya diarahkan kepada pembentukan manusia yang sempurna (al-Insan al-Kamil), memiliki orientasi duniawi dan ukhrawi. Materi pendidikan melingkupi materi yang mengembangkan ranah afektif, kognitif dan psikomotor. Materi itu adalah tauhid, akhlak, ibadah dan mu’amalah (pendidikan sosial). Materi ini merupakan rangkai sistem yang diatur menurut perkembangan dan pertumbuhan anak. Metode pendidikannya lebih menekankan pada aspek yang mampu menggugah perasaan dan hati, sehingga anak dengan mudah mencerna dan menerima pelajaran yang diberikan. Metode yang tampak diberikan Luqman al-Hakim dalam proses pendidikan kepada anaknya adalah nasehat, keteladanan, pembiasaan dan metode dialog. Lingkungan pendidikan Luqman al-Hakim adalah lingkungan keluarga. Lingkungan yang pertama kali memberikan dan menanamkan nilai kepada anak. Lingkungan keluarga beliau adalah lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai agamis. 5. Proses pendidikan yang diberikan kepada anaknya menerapkan pendekatan filosofis, psikologis dan religius. Pendekatan filosofis membahas tentang hakekat dan nilai yang mendasari setiap aktifitas pendidikan. Pembahasan ini mencakup aspek ontologi, aksiologi dan epistemologi. Pendekatan psikologis diterapkan untuk menyesuaikan semua aspek pendidikan yang diberikan dengan proses perkembangan dan pertumbuhan anak. Dengan pendekatan ini, anak mampu menyerap proses pendidikan sesuai dengan irama perkembangannya.
108
Pendekatan religius merupakan pendekatan yang mewarnai seluruh aktifitas pendidikan, sehingga pendidikan memiliki nilai-nilai yang yang sesuai dengan tuntutan agama. 6. Pendidikan ideal sebagai terdapat di dalam kisah Luqman al-Hakim ini memiliki implikasi yang sangat positif terhadap perkembangan dunia pendidikan, terutama pendidikan anak, baik yang berlangsung di rumah tangga maupun di sekolah. Pendidikan Luqman al-Hakim bisa dijadikan sebagai model pendidikan ideal, atau paling tidak sebagai inspirator bagi pengembangan dunia pendidikan modern. B. Saran-saran Dalam kesempatan ini, saya menyarankan kepada semua pendidik, baik orang tua, guru, tokoh masyarakat, atau siapa saja yang bertanggung jawab terhadap pendidikan untuk memperhatikan dan memberikan pendidikan kepada anak sejak dini, dengan pola pendidikan sebagai dicontohkan di dalam kisah Luqman al-Hakim. Semoga dengan memberi pendidikan seperti itu, anak-anak akan tumbuh sebagai manusia yang sarat dengan sumber daya.
109
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim. ‘Abd al-‘Azis, Salih dan ‘Abd al-‘Azis ‘Abd al-Majid, al-Tarbiyat wa Turuq al-Tadris, jus I, Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th. Abdullah, Abdurrahman Saleh, Educational Theory, a Qur’anic Outlook, diterjemahkan oleh M. Arifin dengan judul Teoriteori Pendidikan Berdasarkan al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1994. Abdurrahman, H., Ilmu Pendidikan, Sebuah Pengantar dengan Pendekatan Islami, Jakarta: PT. al-Quswa, 1988. al-Abrasyiy, Muhammad ‘Atiyyah, al-Tarbiyat al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh H. Bustami A. Gani dan Djohar Bahri, dengan judul Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993. _______., Ruh al-Tarbiyat wa al-Ta’lim, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, 1955. Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid ibn Majah al-Qazwiniy, Sunan Ibn Majah, Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th. Abu Daud, Sunan Abu Daud, Jilid IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Abu Zahrah, Muhammad, al-‘Aqidat Islamiyyah Kama Ja’a Biha alQur’an al-Karim, Kairo: Sisilat al-Buhus al-Islamiyyah, 1969.
110
Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, jilid II, Beirut: alMaktab al-Islamiy, 1398 H/1978 M. Ahmad, Muhammad Abd al-Qadir, Turuq Ta’lim al-Tarbiyat alIslamiyyah, Cairo: Maktabat al-Nahdat al-Misriyyah, 1981 M/ 1401 H. al-‘Ainiy, Badr al-Din Abi Muhammad Mahmud ibn Ahmad, ‘Umdat al-Qari Syarh Sahih al-Bukhariy, juz XIV, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. ‘Ali, Sa’id Isma’il, Nasy’at al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Mesir: ‘Alam alKutub, 1978. al-Asy’ariy, Abu al-Hasan ibn Isma’il, Maqalat al-Islamiyyin, Kairo: al-Nahdat al-Misriyyah, 1950. al-‘Asqalaniy, Syihab al-Din Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, Fath alBaribi Syarh Sahih al-Bukhariy, juz VI, Beirut: Dar alMa’rifah, t.th. al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib, Konsep Pendidikan Islam, Bandung: Mizan, 1990. Ayyub, Hasan, al-Suluk al-Ijtima’iy fi al-Islam, alih bahasa Tarmana Ahmad Qasim dkk., dengan judul Etika Islam, Bandung: Trigenda Karya, 1994. al-‘Azimabadiy, Abu al-Tayyib Muhammad Syams al-Haqq, ‘Aun al-Ma’bud, juz VII, t.tp.: al-Maktabat al-Salafiyyah, 1979. al-Bagdadiy, Abu al-Fadl Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud alAlusiy, Ruh al-Ma’aniy fi Tafsri al-Qur’an al-’Azim aw alSab’al al-Masaniy, Beirut: Dar al-Fikr, 1994/1414.
111
al-Bagdadiy, ‘Ala al-Din ‘Ali ibn Muhammad ibn Ibrahim, Tafsir al-Khazin, t.t.: Dar al-Fikr, t.th. Barmawi, Bakir Yusuf, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak, Semarang: Dina Utama, 1994. al-Barusawiy, Isma’il Haqqiy, Tafsir Ruh al-Bayan, Juz V; Beirut: Dar al-Fikr, t.th. al-Bukhariy, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Isma’il, Shahih alBukhariy, juz I, Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th. _______, Sahih al-Bukhariy, jilid III, Jakarta: Maktabat Dahlan, t.th. Bock, John C., Education and Development, dalam Philip G. Altbach, Robert R. Arnove, Gail P. Kelly (eds.), Comparative Education, New York: McMillan Publishing Co. Ltd., 1982. al-Dannawiy, Baurun dan Hidyan al-Dannawiy, Tafsir al-Nahr alMadd min al-Bahr al-Muhit li Abi Hayyan al-Andalusiy, Juz I; t.tp.: Dar al-Jinan, t.th. al-Darimiy, Abu Muhammad ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Fadl ibn Bahran, Sunan al-Darimiy, jilid II, Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Gema Risalah Press, 1992. Drajat, Zakiyah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
112
_______., Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental, Jakarta: Bulan Bintang, 1982. _______., Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1982. al-Fairuzabadiy, al-Qamus al-Muhit, juz I, Beirut: Dar al-Fikr, 1978. Ferm, Vergilius (ed.), An Encyclopedia of Religion, Westport: Greenwood Press, Publisher, t.th. al-Galayainiy, Syekh Mustafa, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz I, Beirut: Mansyurat al-Maktabat al-Misriyyah, 1987 M/1408 H. al-Gazaliy, al-Munqiz min al-Dalal, Kairo: t.p., 1316 H. al-Gazaliy, Imam Abu Hamid, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Semarang: Maktabat Toha Putra, t.th. Hamdun, Gassan, Tafsir Min Nasamat al-Qur’an, t.tp.: Dar alSalam, 186/1407 H. al-Hanafiy, Abu al-Su’ud ibn Muhammad al-‘Umadiy, Tafsir Abi al-Su’ud, Riyadh: Maktabat al-Riyad al-Hadisah, t.th. Hawiy, Sa’id, al-Asas fi al-Tafsir, Jilid III, t.tp.: Dar al-Salam, 1989. Hick, John, “Ontological Argument”, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. V, New York: Macmillan Publishing Co. Inc., t.th. Hurlock, Elizabeth B., Child Development, t.t.: t.p., 1978.
113
Hornby, A.S., The Advanced Learner’s Dictionary of Current English, London: Oxford University Press, 1973. Ibn Kasir, Abu al-Fida’ al-Hafiz, Tafsir al-Qur’an ‘Azim, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Ibn Manzur, Jamal al-Din, Lisan al-’Arab, Juz XIII, t.tp.: t.p., t.th. Ibn Zakariya, Abu al-Husain ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Juz II, t.tp.: Dar al-Fikr, 1979 M/1399 H. Ilyas, Ilyas Anthon, Qamus Ilyas al-‘Asriy, Mesir: Syarikah Dar Ilyas al-‘Asriyyah, 1979. Imam Muslim, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, jilid I, Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th. _______, Sahih Muslim, juz I, Bandung: Dahlan, t.th. al-Isfahaniy, al-Ragib, Mu’jam Mufradat al-Faz al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Izutsu, Toshihiko, Ethico Religious Concept in the Qur’an, Montreal: McGill University Press, 1966. Jalal, Abd al-Fattah, Min Ushul al-Tarbiyat fi al-Islam, Mesir: t.p., 1977. Jauhariy, Tantawiy, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, juz XV, Mesir: Mustafa al-Babiy al-Halabiy, t.th. Khan, Sadiq Hasan, Fath al-Bayan, Juz. VII; t.tp.: t.p., t.th.
114
Langgulung, Hasan, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1985. _______., Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989. Leukel, Francis, Introduction to Psychological Psychology, Tokyo: Toppan Company, 1968. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1992. _______., Islam Agama Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995. Ma’luf, Louis, al-Munjid fi al-Lugat wa al-A’lam, Beirut: Dar alMasyriq, 1986. al-Maragiy, Ahmad Mustafa, Tafsir al-Maragiy, juz XIX, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Mursiy,Muhammad Munir, al-Tarbiyat al-Islamiyyah Usuluhu wa Tatawwuruhu fi al-Bilad al-‘Arabiyyah, Mesir: ‘Alam alKutub, t.th. al-Nahlawiy, ‘Abd. Al-Rahman, Usul al-Tarbiyat al-Islamiyyah wa Asalibuha, diterjemahkan oleh Sihabuddin dengan judul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995. al-Naisaburiy, Nizam al-Din al-Hasan Muhammad al-Qummiy, Tafsir Gara’ib al-Qur’an wa Gara’ib al-Furqan. Hamisy di dalam al-Tabariy, Tafsir al-Tabariy, jilid I, Beirut: Dar alFikr, 1978 M/1398 H.
115
Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986. _______., Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1991. _______., Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1992. _______., Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1995. al-Qasimiy, Muhammad Jamal al-Din, Tafsir al-Qasimiy, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. al-Qurtubiy, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansariy, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, t.tp., t.th. al-Qusyairiy, Abu al-Qasim ‘Abd al-Karim Hawazin, al-Risalah alQusairiyyah, Kairo: Maktabat wa Matba’at ‘Ali Sabih, t.th. Qutb, Muhammad, Sistem Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Salman Harun, Bandung: PT. al-Ma’arif, 1984. _______., Minhaj al-Tarbiyah Islamiyyah, Beirut: Dar al-Syuruq, t.th. Qutb, Sayyid, Fi Zilal al-Qur’an, Jilid V; t.tp.: Dar al-Syuruq, 1992. al-Razi, Fakhr al-Din, Tafsir al-Fakhr al-Razi, Juz XIII; Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Rida, Muhammad Jawad, al-Fikr al-Tarbawiy al-Islamiy, Kuwait: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, t.th.
116
al-Sawi, Ahmad, Hasyiyat al-Sawi, Jilid II, t.tp.: Dar al-Fikr, t.th. Schwartsz, Barry, Psychology of Learning and Behavior, New York: W.W. Norton and Company Inc,m 1978. Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka Kartini, 1992. _______., Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992. _______., Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996. al-Sijistaniy, Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as, Sunan Abi Dawud, Jilid IV, Beirut: Dar al-Fikr, 1994. Smith, Partick H. Nowell, “Religion and Morality”, dalam Paul Edward (ed.), The Encyclopedia of Philosophy, vol. VII, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., and The Free Press, 1972. al-Suyutiy, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman, Tafsir al-Durr al-Mansur fi al-Tafsir bi al-Ma’sur, Juz VI, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. al-Suyutiy, Jalal al-Din al-Mahalliy dan Jalal al-Din Abd alRahman, Tafsir al-Jalalain, t.tp.: Dar al-Fikr, t.th. al-Syafi’iy, Sulaiman ibn ‘Umar al-Ajiliy, al-Futuhat al-Ilahiyyah, Juz II, t.tp.: Dar al-Fikr, t.th. al-Syaibani, ‘Umar Muhammad al-Toumy, Falsafat al-Tarbiyat alIslamiyyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
117
al-Syanqiti, Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar alJakni, Adwa’ al-Bayan fi Indah al-Qur’an bi al-Qur’an, juz VII, t.tp.: Sihab al-Samawi al-Malakiy al-Amin Abd alAzis, 1983 M/1403 H. al-Syarqawiy, Husain Muhammad, Nahw ‘Ilm al-Nafs al-Islamiy, t.t.: Mua’ssasat Syabab al-Jami’ah, 1984. al-Syaukaniy, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad, Fath al-Qadir al-Jami’ ‘Baina Fann al-Riwayat wa al-Dirayat min ‘Ilm alTafsir, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. al-Tabariy, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir, Tafsir al-Tabariy, jilid VIII, Beirut: Dar al-Fikr, 1978 M/1398 H. al-Tabatab’iy, Muhammad Husain, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Beirut: Mu’assasat al-‘Alamiy li al-Matbu’at, t.th. Tawil, Taufiq al-Tawil, Asas al-Falsafah, Cairo: Dar al-Nahdat al‘Arabiyyah, 1979. Thaha, Khairiyyah Husain, Daur al-Umm fi Tarbiyat al-Atfal li alMuslim, diterjemahkan oleh Hosen Arjaz Jamal dengan judul Konsep Ibu Teladan, Surabaya: Risalah Gusti, 1994. Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Travers, John F., The Growing Child, London: Scott, Foresman and Company, 1982. al-Turmuziy, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn Saurat, Sunan alTurmuziy, jilid I, Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th.
118
al-‘Ukbariy, Abu al-Baqa ‘Abd Allah ibn al-Husain, al-Tibyan fi I’rab al-Qur’an, Beirut: Dar al-Jil, 1976. ‘Ulwaniy, ‘Abd Allah Nasih, Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam, Jilid I, Beirut: Dar al-Salam, 1981. ‘Umdirah, ‘Abd al-Rahman, Manhaj al-Qur’an fi Tarbiyat al-Rijal, diterjemahkan oleh Abd Hadi Basultanah dengan judul Metode al-Qur’an dalam Pendidikan, Surabaya: Mutiara Ilmu, t.th. Watson, Robert I. and Henry Clay Lindgren, Psychology of The Child, New York: John Wiley & Sons Inc., 1973. Webster’s Encyclopedie Unabridge Dictionary of The English Language, New York: Porland House, 1989. Webster, Noah, Webster’s New 20 th Century Dictionary, New York: William Collin Publisher Inc, 1980. al-Zamakhsyariy, Abu al-Qasim Jar Allah Mahmud ibn ‘Umar, alKasysyaf ‘an Haqa’iq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh alTa’wil, juz III, Mesir: Syirkat Maktabat Mustafa al-Babiy al-Halabiy, t.th. al-Zuhailiy, Wahbat, Tafsir al-Munir, Beirut: Dar al-Fikr alMu’asir, 1991.
119