ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA PENGGUNAAN TERAPI ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA YOGAYKARTA
dr Dyah Ayu Shinta Lesmanawati NIP.198709232014022001 HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bagian ini dijelaskan tentang faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terapi terutama pasien yang menjadi sampel adalah pasien gangguan jiwa. Faktor-faktor itu antara lain : jenis kelamin, umur pertama kali terdiagnosis, tingkat pendidikan, status pekerjaan.Selain itu lama rawat inap dan waktu kambuh juga diteliti untuk mengetahui tingkat efektivitas terapi. Dari seluruh subyek penelitian, di dapatan 3 jenis kombinasi terapi.Kombinasi pertama adalah kombinasi antipsikotik oral tipikal, oral atipikal, dan injeksi tipikal.Untuk kombinasi terapi injeksi tipikal tidak ditemukan pada pasien skizofrenia yang di rawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit Ghrasia Yogyakarta pada periode Juli- Desember 2012.Dari ketiga jenis kombinasi tersebut, kombinasi oral atipikal menjadi pilihan terapi yang paling banyak ditemukan. Jumlah pasien laki-laki selama periode penelitian dua kali lipat jumlah pasien perempuan.Hal ini dapat disebabkan diantaranya karena adanya efek neuroprotektif dari hormon pada wanita dan kecenderungan yang lebih besar mendapatkan trauma kepala pada pria (Seeman, 2004; Lalloo, 2003). Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa pria akan lebih mungkin daripada wanita untuk mengalami gangguan gejala negatif dan wanita lebih mungkin untuk memiliki fungsi sosial yang lebih baik dari pria (Kaplan, 1997). Pada umumnya hasil akhir untuk pasien schizophrenia wanita lebih baik daripada hasil akhir pasien pria (Kaplan, 1997).Ini kemungkinan salah satu penyebab pasien yang dirawat lebih banyak yang pria dibandingkan wanita.Hasil penelitian ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurihara et al, 2006 yang menemukan bahwa dari 39 pasien schizophrenia, 25 diantaranya adalah pria dan 14 lainnyawanita. Umur onset skizofrenia akan mempengaruhi prognosis penyakit skizofrenia. Di mana onset muda akan memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingakan umur onset tua. Kelompok
pasien berdasarkan rentang umur dari data yang diperoleh dapat diketahui bahwa persentase pasien skizofrenia dengan onset penyakit di usia muda hampir sama dengan yang memiliki umur onset penyakit tua, yaitu 51,06% dan 48,94%. Hasil tersebut tidak sesuai dengan studi yang pernah dilakukan oleh Kaplan Yang mengatakan bahwa kejadian onset tua jarang ditemukan. Hal ini berkaitan dengan stressor yang sebagian besar dialami pada usia muda, mencakup masalah dengan keluarga, teman kerja, pekerjaan yang terlalu berat, ekonomi bahkan masalah keluarga yang juga kompleks (Michael et al, 2000). Telah banyak penelitian yang menyebutkan adanya hubungan yang nyata antara schizophrenia dengan stres.Dimana teori diatesis stres menyebutkan seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres memungkinkan perkembangan gejala schizophrenia (Kaplan, 1997).Stres dapat menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter glutamat (suatu senyawaprekursor GABA) di daerah prefrontal kortek dan dopamin pada sistem limbic (Savioli, 2009).Ketidakseimbangan neurotransmitter inilah yang mencetuskan terjadinya schizophrenia.Disisi lain, diagnosis yang tertunda berpotensi mengalami masalah dalam terapinya karena gejala yang sudahlama, pada studi prospektif menunjukan tidak responsifnya pasien terhadap obat antipsikotik (Bottlender et al, 2003; Harrigan, 2003). Hormon wanita yang berperan sebagai neuroprotektif adalah estrogen.Bukti ekperimental menyebutkan bahwa peranan estrogen, terutama estradiol padaperempuan relatif pada gejala psikose.Gejala psikose ini cenderung timbul padamasa remaja yang umumnya terkait masalahmasalah sosial, sehingga denganadanya estrogen pada wanita dapat menunda onset prepsikotik danmemungkinkan mereka menyelesaikan sekolah, memulai pekerjaan, membangunhubungan sosial di masyarakat. Hal sebaliknya terjadi pada pria, dimana gejalapsikotik yang biasa terjadi pada masa sekolah dan tidak adanya perlindungan dariestrogen menyebabkan mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikansekolah, memulai pekerjaan dan mengembangkan keterampilan sosial yangdibutuhkan untuk berinteraksi dengan individu lain (Seeman, 1997). Tingkatpendidikan dan status pekerjaan merupakan hal yang juga mempengaruhi terapi.Pasien dengan tingkat pendidikan rendah cenderung kurang memperhatikan kualitas hidup sehat, sehingga berpengaruh juga pada terapi (Amarita, 2004).Sebaliknya pasien dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung untuk kritis terhadap kualitas kesehatan mereka.Dalam penelitian ini di dapatkan 4 kategori pedidikan. Yaitu tidak bersekolah sebanyak 2,31%. Memiliki tingkat pendidikan setingkat pendidikan dasar, dalam hal ini lulus Sekolah Dasar, sebesar 25,53%.
Pendidikan menengah atau lulusan SLTP dan SLTA dimiliki oleh sebagian besar subyek penelitian yaitu sebesar 61,7%. Dan terkakhir adalah subyek dengan status pendidikan, berpendidikan tinggi sebesar 8,51%. Sehingga bisa disimpulan bahwa mayoritas subyek penelitian memiliki tingkat cukup untuk memperhatikan kualitas kesehatan mereka dan terapi jiwa mereka.Selain pendidikan, pekerjaan pasien akan mempengaruhi kulitas terapi. Mereka yang masih memiliki aktivitas pekerjaan di kehidupan sehari-harinya cenderung aan lebih memperhatikan
tingkat
kesehatan,
sehingga
lebih
memperhatikan
keberlangsungan
terapinya.Namun sebaliknya, mereka yang tidak memiliki pekerjaan lebih sulit untuk menjaga kualitas kesehatannya.Pada penelitian ini di dapatkan hasil bahwa pekerjaan terbesar yang dimiliki subyek penelitian adalah tidak bekerja. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan Kaplan, bahwa pasien yang sudah menjalani terapi dengan obat antipsikotik rata-rata akan mengalami penurunan tingkat kognisi, sehingga akan sulit sekali untuk melakukan suatu pekerjaan. Hal inilah yang kemudian membuat, banyak pasien yang didiagnosis dan menjalani terapi skizofrenia tidak bekerja, seperti pada penelitian ini, sebanyak 77% subyek tidak bekerja. Lama rawat inap pasien akan berpengaruh pada biaya yang dikeluarkan pasien tersebut untuk pengobatannya. Menurut WHO, lama rawat inap pasien skizofrenia dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kategori akut dengan rawat inap < 35 hari, kategori sub akut dengan waktu perawatan 35-103 hari dan kronik apabila lama rawat lebih dari 103 hari. Pada penelitian ini, obat antipsikotik oral tipikal memiliki rata-rata hari rawat inap 116 hari, yang akan mempengaruhi biaya total perawatan yang akan semakin besar. Hal ini memungkinkan kelompok pengobatan ini menghasilkan biaya pengobatan yang tertinggi. Pada pasien kelompok terapi oral atipikal, rata-rata hari rawat inap adalah 67 hari, jumlah hari rawat inap setengah dari rerata oral tipikal, sehingga biaya keseluruhan pengobatan pun akan menjadi lebih kecil dibandingkan oral tipikal. Kelompok terakhir dengan terapi injeksi tipikal memiliki rata-rata rawat inap terpendek, yaitu 30 hari.Dengan begitu, biaya yang dikeluarkan selama perawatan pun cenderung paling rendah.Sehingga lama rawat inap menjadi suatu poin penting dalam perhitungan efektivitas biaya pengobatan pasien skizofrenia ini. Waktu kekambuhan didefinisikan sebagai waktu munculnya kembali gejala seperti di awal penyakitnya. Gejala pada pasien skizofenia yang sudah dinyatakan stabil akan meningkat, sehingga pasien membutuhkan pengobatan dari fase akut lagi. Kapalan menyatakan, pasien skizofrenia dinyatakan kambuh kembali apabila peningkatan gejala muncul < 12 bulan, sejak
riwayat pengobatan akut terakhirnya.Rohrer dalam studinya menyebutkan bahwa tingkat kekambuhan pasien skizofrenia ada pada angka 60%-75%. Hal ini sesuai dengan penelitian ini, yang mana persentase pasien kambuh keseluruhan adalaj 66,67%. Lebih besar dua kali lipat dibandingkan yang tidak kambuh.Kelompok yang kambuh ini didominasi oleh mereka yang menggunakan terapi oral baik tipikal ataupun atipikal.Hal ini disebabkan tingkat kepatuhan pasien pada terapi oral cenderung rendah.Kebanyakan dari mereka beralasan lupa ataupun bosan untuk meminum obatnya (Ratna Dewi, 2009).Pasien kambuh pada obat oral tipikal memiliki presentase paling besar.Kebanyakan alasan kekambuhan ini adalah kepatuhan minum obat yang rendah karena adanya reaksi efek samping dan alasan keluarga yang terlambat untuk mengantar control. Tingkat kekambuhan ini nantinya akan berhubungan dengan efektivitas terapi pasien, yang akan berujung pada jumlah pembiayaan pasien tersebut. Pemilihan kombinasi antipsikotik pada pasien skizofrenia selain fase pengobatan juga ditentukan oleh keamanan obat serta efektif dari segi farmakoekonomi.Pada penelitian ini didapatkan data kombinasi obat antipsikotik yang digunakan pada pasien rawat inap adalah di Rumah Sakit Ghrasia adalah adalah oral tipikal (haloperidol+klorpromazin), oral atipikal (risperidon_clozapin), injeksi tipikal (flufenazin). Selain obat antipsikotik juga diberikan obat ajuvan antara lain triheksiperidil, difenhidramin, asam folat, besi, dan diazepam. Haloperidol merupakan derivat butirofenon termasuk antipsikotik golongan pertama atau tipikal. Dari penelitian sebelumnya dikatakan bahwa haloperidol juga memiliki resiko tinggi terhadap timbulnya gejala ekstrapiramidal, termasuk sindrom parkinson (Martindale 35, 2008). Obat ini bekerja dengan cara memblok reseptor dopaminergik D1 dan D2 di postsinaptik mesolimbik otak (Martindale 35, 2008). Dosis paling rendah yang dimiliki adalah 0,5 mg. Pada penelitian ini digunakan dosis 1,5 mg dengan penyesuaian dengan kondisi pasien. Obat diberikan dengan interval setiap 12 jam. Namun karena disesuaikan dengan jam jaga petugas, obat tidak benar-benar diberikan dengan interval 12 jam. Obat diberikan dengan aturan pakai pagi dan malam hari. Klorpromazin, derivat fenotiazin merupakan antipsikotik generasi pertama atau antipsikotik tipikal. Klorpromazin merupakan obat antipsikotik yang paling banyak diresepkan, bekerja dengan jalan memblok reseptor dopaminergik D2 (PIO,2009). Telah dilaporkan menyebabkan terjadinya sindrom parkinson pada pasien yang diterapi dengan obat ini (Martindale 35, 2008; Tjay, 2002; FKUI, 2007). Sindrom parkinson ini muncul setelah pemakaian jangka lama secara teratur yaitu sekitar beberapa minggu atau bulan (Martindale 35,
2008), atau setelah pemakaian selama satu bulan (Olson, 1993). Selain indikasi sebagai obat antipsikotik, Klorpromazin juga dapat memperkuat efek analgetik, sehingga membuat pasien lebih acuh tak acuh pada rasa nyeri (Tjay, 2002).Pada penelitian ini dosis yang digunakan adalah dosis 25 mg .atau dengan penyesuaian dosis. Karena efek orthostatic yang tinggi, maka penggunaan klorpromazin biasanya pada malam hari dengan interval penggunaan 24 jam sekali. Risperidon merupakan obat atipikal baru (1993) termasuk obat antipsikotik generasi kedua (Tjay, 2002).Obat ini juga dilaporkan dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal (>10%) namun sangat kecil dibandingkan dengan antipsikotik generasi sebelumnya.(PIO, 2009; Martindale 35, 2008). Risperidon, Olanzapin, Clozapin dan obat neuroleptik baru lainnya memiliki efek gejala ekstrapiramidal lebih sedikit jika dibandingkan dengan obat klasik (Kamin et al, 2000). Pada penelitian, digunakan dosis Risperidon 2 mg dengan waktu pemberian interval 12 jam, atau pagi dan malam hari. Clozapin merupakan obat dengan resiko terendah menimbulkan efek samping gejala ekstrapiramidal. Di Amerika, clozapin tidak digunakan untuk terapi akut, tetapi digunakan untuk terapi refractory psikosis atau psikosis yang sulit untuk disembuhkan, hanya obat ini obat antipsikotik yang diakui FDA untuk mengatasi refractory psikosis (Fatemi, 2009). Di Eropa clozapin digunakan biasanya dalam waktu singkat (1 minggu) untuk menstabilkan pasien manik sampai mood-nya stabil (Kamin et al, 2000).Dari hasil penelitian yang membandingkan penggunaan clozapin vs obat tipikal, clozapin dapat mengatasi sindrom positif, sindrom negatif dan kognitif tanpa menyebabkan gejala ekstra piramidal, disamping itu obat ini dapat mengurangi depresi dan keinginan bunuh diri (Fatemi, 2009). Penggunaan clozapine ini dengan dosis 25 mg, diberikan pada malam hari tiap 24 jam atau sehari sekali. Flufenazine injeksi, dengan merk dagang yang digunakan adalah Sikzonoat merupakan derivate Flufenazine Decanoat.Dosis yang digunakan dalam injeksi Sikzonoat adalah 25 mg dengan waktu pemberian setiap 1 bulan sekali.Obat ini merupakan salah satu obat long-acting sehingga pemberiannya bisa dilakukan setiap satu bulan sekali. Obat ini harganya sangat mahal bila dibandingan dengan dua kombinasi yang lain. Namun dengan melihat kerjanya yang longacting maka, akan diperoleh penghematan dari biaya pengobatan yang lainnya. Flufenazine merupakan antipsikotik golongan tipikal, yang bekerja memblok ARAS.Karena sifatnya inilah maka kemungkinan terjadinya efek samping ekstrapiramidal masih sangat tinggi (Tsalatsita, 2013). Selain obat antipsikotik, pasien skizofrenia juga diberikan terapi ajuvan.Adapun terapi
ajuvan yang banyak diberikan adalah triheksifenidil untuk mencegah efek samping obat antipsikotik.Kadang difenhidramin juga digunakan untuk mencegah efek samping obat, selain itu juga diberikan diazepam dan asam folat. Triheksipenidil merupakan obat antimuskarinik yang berfungsi untuk mengurangi efek samping dari antipsikotik Extrapyramidal Syndrome.(Tjay, 2002). Selain Triheksifenidil, antikolonergik lain yang digunakan sebagai terapi ajuvan adalah Difenhidramin. Difenhidramin digunakan sebagai ajuvan pada kelompok injeksi tipikal.Hal ini digunakan karena ketidaktersiadaan Triheksifenidil injeksi yang digunakan untuk mendampingi pemnggunaan Flufenazin. Diazepam termasuk kelompok obat transquilizer.Diazepam biasanya ditambahkan untuk mengobati episode akut skizofrenia dan juga berguna untuk memberikan efek sedative dan anxiolitik (Volz, 2007).Penggunaannya tidak boleh dihentikan dengan mendadak, melainkan harus secara berangsur untuk menghindari psikose dan konvulsi reaktif (rebound) (Tjay, 2002). Asam folat diberikan karena pasien skizofrenia mengalami defisiensi nutrien bersangkutan. Alasan lain yang jauh lebih penting diberikannya asam folat pada pasien skizofrenia karena menurut perkiraan perlu ditambahkan disebabkan terhambatnya pengubahan asam amino triptofan menjadi niasiamida dalam otak, sehingga terjadi kekurangan vitamin B3 dan kelebihan triptofan bebas. Triptofan berlebihan dapat mendorong pembentukan zat halusinogen tertentu (yang menimbulkan khayalan) dan dapat menimbulkan kelainan pada suasana jiwa dan pengamatan.(Tjay, 2002). Lama perawatan pasien skizofrenia berkisar antara 28-188 hari dengan rincian rata-rata lama rawat 30 hari untuk pasien yang mendapat terapi kombinasi injeksi tipikal, 66 hari untuk pasien yang memperoleh terapi kombinasi injeksi atipikal dan 116 hari untuk pasien yang mendapat terapi kombinasi antipsikotikoral tipikal. Data tentangpenjelasan hal ini dapat dilihat pada tabel 13.Keberhasilan pengobatan skizofrenia dapat dinilai berdasarkan lama rawat inap dan hilangnya gejala berdasarkan Skor PANNS, serta tidak ditemukannya efek samping obat.Setiap pasien yang diperbolehkan pulang merupakan pasien yang telah mencapai kestabilan hilangnya gejala berdasarkan skor PANNS.Pada penelitian ini, pengobatan pasien dikatan efektif apabila total hari perawatan kurang dari 35 hari. Untuk detil efektivitas dapat dilihat pada table 15. Dijelaskan bahwa efektivitas total pengobatan 21,28% dengan terapi oral tipikal memiliki efektivitas sebesar 6,25% dan terapi oral atipikal sebesar 15,38%. Kombinasi injeksi atipikal memiliki efektivitas sebesar 100% karena lama rawat inap seluruhnya ada di bawah angka 35
hari. Semua komponen biaya yang dikeluarkan pasien selama pengobatan dihitung.Hasil ditampilkan menjadi dua macam yaitu data biaya penggunaan antipsikotik dan data biaya keseluruhan perawatan. Biaya pengunaan antipsikotik kombinasi oral atipikal lebih tinggi dari kombinasi yang lainnya.Hal ini disebabkan harga satuan oral atipikal yang jauh lebih mahal apabila dibandingkan dengan harga satuan oral tipikal.Dan hal ini juga akibat dari lama rawat inap yang lebih panjang dibandingkan dengan kelompok kombinasi injeksi tipikal. Rata-rata biaya antipsikotikoral tipikal per pasien yaitu sebesar Rp 22.342,03 sedangkan oral atipikal sebesar Rp 392.286,06.Adapun biaya penggunaan antipsikotik injeksi atipikal per pasien sebesar Rp83.800,00. Harga satuan termahal sebetulnya ada pada injeksi tipikal yaitu Sikzonoat. Namun karena waktu rawat inap yang lebih singkat, yaitu rata-rata 30 hari pada kelompok ini, sedangkan pada kelompok oral atipikal 66 hari, sehingga jumlah total biaya pengobatan tertinggi ada pada atipikal oral. Biaya tindakan kombinasi oral tipikalpaling tinggi dari kombinasi lainnya. Rata-rata biaya tindakan oral tipikal per pasien yaitu sebesar Rp 6.586.785,71.Sedangkan kelompok lainnya, masing-masing sebesar Rp 3.952.122,53 pada kelompok oral atipikal dan Rp 2.380.569,05 pada kelompok injeksi tipikal. Biaya penunjang kombinasi oral tipikaljuga paling tinggi dari kombinasi lainnya. Rata-rata biaya penunjangoral tipikal per pasien yaitu sebesar Rp 1.050.916,88.Sedangkan kelompok lainnya, masing-masing sebesar Rp 649.363,46 pada kelompok oral atipikal dan Rp 426.642,33 pada kelompok injeksi tipikal. Dari tabel 1 diketahui bahwa rata-rata lama hari rawatan kombinasi oral tipikal paling lama dibanding yang lain, sekitar 116 hari rerata. Sehingga hal ini berpengaruh pada biaya rawat inap dan biaya total perawatan.. Hasil perhitungan dapat dilihat pada rata-rata biaya rawat inap yaitu kombinasi oral tipikal sebesar Rp 7.855.125,00. Pada oral atipikal lebih rendah dibandingkan kombinasi oral tipikal yaitu sebesar Rp 4.535.769,23. Sedangkan injeksi tipikal paling rendah sekitar Rp 2.201.400,00. Rata-rata biaya total perawatan kombinasi oral tipikal juga lebih tinggi dari kombinasi lainnya. Rata-rata biaya total perawatan oral tipikal yaitu sebesar Rp 5.516.669,62sedangkan oral atipikal Rp 9.531.041,28 serta Rp 5.093.911,38 pada injeksi tipikal. ACER adalah metoda yang dikembangkan oleh ahli-ahli ekonomi yang dalam ilmu kesehatan berguna untuk mencari suatu terapi yang paling efektif baik dari segi biaya maupun
efektifitasnya.Hasil perhitungan dimanfaatkan untuk membantu memilih beberapa intervensi kesehatan masyarakat (Mukti, 2000).Untuk memperjelas hasil penelitian maka dilakukan perhitungan ICER.ICER dapat digunakan untuk mendeterminasi biaya tambahan dan peningkatan efektifitas antara beberapa terapi. Jika biaya tambahan ini rendah, berarti obat tersebut dapat dipilih, sebaliknya jika biaya tambahan sangat tinggi maka obat tersebut tidak baik untuk dipilih (Drummond, 1999; Schulman, 2000) Pada penelitian digunakan untuk membandingkan antara kelompok kombinasi antipsikotikoral tipikal, oral atipikal, dan injeksi tipikal.Hasil ACER dan ICER menunjukkan bahwa kelompok yang paling cost-effectivepada biaya penggunaan antipsikotik adalah kombinasi injeksi tipikal sedangkan yang paling tidak cost-effective adalah oral atipikal. Sedangkan pada total biaya perawatan kelompok yang paling cost-effective adalah kombinasi injeksi tipikal sedangkan yang paling tidak cost-effective adalah oral tipikal.Dari kedua analisis, baik pada penggunaan obat maupun biaya perawatan, antipsikotik injeksi atipikal adalah yang paling costeffective. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pasien Skizofrenia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Ghrasia Yogyakartadari bulan Juli sampai Desember 2012 dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Efektivitas penggunaan antipsikotik kombinasi injeksi tipikal lebih efektif dibandingkan oral tipikal maupun atipikal, dengan nilai efektifitas masing-masing 100%; 6,25% dan 15,38% 2. Rata-rata biaya penggunaan antipsikotik oral atipikal paling tinggi dibandingkankelompok oral tipikal maupun injeksi tipikal, yaitu sebesar Rp 392.286,06 per pasien. Sedangkan pada kombinasi oral tipikal yang paling rendah sebesar Rp 22.342,03 dan injeksi tipikal sebesar Rp 83.800,00 per pasien. 3. Rata-rata biaya total perawatan kelompok kombinasi oral tipikal paling tinggi daripada kombinasi lainnya, yaitu sebesar Rp 15.516.669,62 per pasien dan paling rendah adalah kelompok injeksi tipikal sebesar Rp 5.093.911,38 per pasien 4. Kelompok kombinasi antipsikotikinjeksi tipikal lebih Cost-effective daripada kelompok lainnya baik dibandingkan terhadap biaya penggunaan maupun bila dibandingkan terhadap total biaya perawatan dengan hasil ACER masing-masing 838 dan 50.939 serta ICER masingmasing 655,55 dan -111.176,10.