Dowry Murder: Kekerasan Simbolik terhadap Perempuan di India Putu Titah Kawitri Resen Ikma Citra Ranteallo Staf Pengajar Program Studi Hubungan Internasional dan Sosiologi Universitas Udayana Denpasar Bali Email;
[email protected]
Abstract This article attempts to explain the phenomenon of dowry murder as a form of violence against women in India. Differ from bride price practiced in Indonesia, dowry in India is a wedding gift in the form of money as well as other goods given by the bride’s family to the groom’s family. The writers analyze this article by using radical feminism perspective. This perspective argues that patriarchy system prevailing in India has contributed a lot to the domination of men over women. This domination is supported by dowry system in India’n marriage which leads the women to be the victims of symbolic violence. Key words : dowry, symbolic violence, women, patrilineal, radical feminism
Pendahuluan Menurut Narayan (1997) dan Metcalf (2006), dowry murder adalah pembunuhan terhadap perempuan karena tidak memberikan atau membawa maskawin yang cukup sesuai dengan permintaan keluarga laki-laki. Dowry murder sebagai sebuah fenomena baru muncul di akhir tahun 1980-an dan semakin lama semakin mengalami peningkatan hingga saat ini. Data UNDP Report tahun 1994 mengemukakan bahwa sebanyak 9 ribu perempuan setiap tahunnya meninggal akibat masalah maskawin. Pada tahun 1990 jumlah kasus dowry murder yang tercatat adalah sebanyak 4.386. Peningkatan dari tahun 1988 yang tercatat sebanyak 2.2091. Jumlah
kasus bunuh diri perempuan akibat dowry pun semakin meningkat di tahun 2000-an. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh National Crime Records Bureau India, pada tahun 2006 sebanyak 2.276 perempuan melakukan bunuh diri akibat masalah maskawin, pada tahun 2005 jumlah kasus ini mencapai 2.305 kasus2. Bentuk umum pembunuhan terhadap perempuan ini adalah dengan menyiramkan minyak tanah ke tubuh sang pengantin muda kemudian menyulutnya dengan api hingga perempuan tersebut meninggal. Oleh karena itu, dowry murder seringkali disebut dengan bride burning3. Praktek bride burning lebih dipilih untuk melenyapkan nyawa pengantin
UNDP Report, 1994. Suriah Niazi. 2008. State of Dowry Death .
(diakses 15 Mei 2010 3 Namratha. S Ravikant. “Dowry Deaths: Proposing A Standard for Implementation of Domestic Legislation In Accordance with Human Rights Obligations”, Michigan Journal of Gender and the Law, Vol. 6 (2). (2000: 456). 1 2
22
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
perempuan tersebut karena beberapa alasan4. Pertama, minyak tanah sangat mudah didapat dan selalu tersedia sebagai bahan bakar memasak bagi keluarga kelas menengah ke bawah di India. Kedua, penyiksaan tersebut dilakukan di rumah, tepatnya di dapur sehingga seringkali tidak mencurigakan. Sari yang dikenakan oleh perempuan India terbuat dari bahan yang mudah terbakar, api dengan cepat dapat menjalar dan melalap tubuh perempuan tersebut dan membunuhnya dengan sedikit bukti atau bahkan tidak ada bukti pembunuhan. Pembakaran juga bisa menutupi tindakan penganiayaan fisik yang ditujukan kepada perempuan tersebut oleh suami atau mertua dan ipar-iparnya sebelum kematiannya. Dengan demikian, penganiayaan yang berujung pada kematian bisa ditutupi dengan mengakuinya sebagai sebuah kecelakaan biasa. Praktik dowry sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat India, tetapi karena perubahan sosial di India praktek dowry yang terjadi saat ini telah banyak mengalami perubahan. Dowry yang lebih dikenal dengan nama dejjah, daaj, atau sthridhanam dalam bahasa Hindi secara tradisional merupakan hadiah atau warisan yang diberikan kepada calon pengantin perempuan dalam sistem perkawinan yang dianut oleh kasta atas India. Hadiah yang biasanya berupa pakaian, perhiasan, dan alat- alat rumah tangga tersebut diberikan oleh keluarganya sebelum meninggalkan orangtuanya untuk hidup dengan keluarga sang suami5. Menurut Arunachalam dan Logan, (2000:2). Pada awalnya praktik
dowry ini merupakan warisan kepada anak perempuanya untuk tujuan keamanan dan tidak diberikan kepada keluarga suami. Dalam konteks budaya India, dejjah atau daaj ini merupakan cerminan atas kepemilikan harta benda oleh anak perempuan. Saat ini pemberian dowry telah menjadi bagian dari kebiasaan pernikahan dari berbagai kasta dan berbagai komunitas di India6. Dowry tidak hanya dilakukan oleh kasta Brahmana dan Kshatrya, namun juga dilakukan oleh golongan Sudra dan Dalit yang awalnya bahkan tidak mengenal praktek dowry. Dowry tidak hanya dilakukan oleh kaum Hindu, namun juga oleh Muslim dan Kristen di India7. Praktik dowry menimbulkan ketakutan yang luar biasa bagi keluarga India yang memiliki anak perempuan dan praktek ini merupakan sumber penindasan yang berlapis kepada perempuan. Di India, karena beban keuangan untuk menyediakan maskawin bagi anak perempuan, seorang anak perempuan seringkali tidak diharapkan atau dianggap tidak berharga bagi keluarga dimana ia dilahirkan. Beban dowry menyebabkan anak perempuan tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan. Dowry juga menjadi penyebab semakin meningkatnya kasus bunuh diri gadis-gadis muda di India yang takut membebani orangtua mereka dengan utang untuk mendapatkan sejumlah uang untuk dowry. Dowry juga menjadi penjelasan akan banyaknya transaksi jual beli organ tubuh di India sebagai cara untuk mendapatkan uang dowry8.
Ibid. Lionel Caplan. “Bridegroom Price in Urban India: Class, Caste and Dowry Evil Among Christians in Madras”, Jurnal Man, New Series, Vol.19 (2), Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland (diakses 13 Mei 2010). (1984: 217). 6 Geetanjali Gangoli. Indian Feminism Law, Patriarchies and Violence in India, USA, Ashgate Publishing Company. (2007:3). 7 Mohd. Umar. Bride Burning in India : A Socio Legal Study, New Delhi : APH Publishing Coorporation. (1998:140). 8 C.S. Lakshmi. “On Kidneys and Dowry”, Economic and Political Weekly, Vol.24 (January 1989) (diakses 13 Mei 2010). (1989:189). 4 5
Putu Titah Kawitri Resen, Ikma Citra Ranteallo, Dowry Murder: Kekerasan Simbolik ...
Fenomena globalisasi yang mulai dikenal pada tahun 1990-an telah banyak membawa perubahan pada struktur sosial seperti pada kasta, kelas, dan komunitas di India9. Globalisasi dan modernisasi juga membawa perubahan pada praktek dowry. Dowry bukan lagi sebuah pemberian kepada anak perempuan, namun merupakan tuntutan yang diajukan oleh keluarga calon suami. Saat ini tuntutan akan dowry bisa beragam dalam bentuknya mulai dari jam tangan, pakaian, perhiasan, televisi, dan bahkan uang yang jumlahnya ditentukan oleh keluarga laki-laki. Jumlah dowry yang diminta disesuaikan dengan kelas, status sosioekonomi, penampilan fisik dan pendidikan dari calon suami10.
Feminisme Radikal Untuk menjawab pokok permasalahan di atas, kami menggunakan pendekatan feminisme radikal. Asumsi dasar dari pemikiran kaum feminis radikal adalah mereka menganggap penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Patriarki secara harfiah berarti ”rule of fathers” dalam keluarga yang didominasi oleh laki-laki11. Ini merupakan sebuah konstruksi sosial dan ideologi yang menganggap laki-laki (yang berperan sebagai patriarchs atau kepala keluarga) lebih superior dari perempuan. Silvia Walby, seperti yang dikutip oleh Suranjita Ray mengatakan patriarki sebagai sebuah sistem dari struktur sosial dan kebiasaan dimana laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan12. 9 10 11 12 13
2009.
14
23
Patriarki didasarkan pada sistem hubungan kekuasaan yang hierarkhis dan tidak seimbang dimana laki-laki memegang kendali atas produksi, reproduksi, dan seksualitas perempuan. Masyarakat patriarki mempertahankan ideologi ”motherhood” yang membatasi ruang gerak perempuan dan membebankan mereka dengan tanggung jawab untuk merawat dan membesarkan anak-anak. Faktor biologis untuk merawat anak dikaitkan dengan posisi sosial dari kewajiban perempuan sebagai ibu yaitu merawat, mendidik serta membesarkan anak-anak dengan mengabdikan diri mereka kepada keluarga. Patriarki sendiri telah mengaburkan pembedaan antara seks dan gender dan menganggap bahwa semua pembedaan sosio-ekonomi dan politik antara laki-laki dan perempuan berakar pada biologi atau anatomi13. Kate Millet dalam Sexual Politics mendefinisikan politik sebagai power atau kekuasaan yang membentuk hubungan yang tidak hanya terbatas antara pemerintah dengan warga negaranya tetapi juga pada keluarga; antara anak-anak dengan orangtua mereka dan antara suami dengan istri. Melalui keluarga, gereja dan sekolah laki-laki disahkan untuk menindas perempuan dan masing-masing institusi membenarkan dan memperkuat subordinasi perempuan dari laki-laki dan sebagai akibatnya perempuan menanamkan anggapan bahwa mereka lebih rendah dibandingkan laki-laki14. Bagi kaum feminis radikal, hubungan seksual adalah tindakan politik, sebuah simbol dari hubungan kekuasaan laki-laki
Geetanjali Gangoli, Op. Cit. Lionel Caplan, Op. Cit. . Jill Steans. Gender and International Relations, Cambridge, Polity. (1998.: 20). Suranjita Ray. tanpa tahun. Understanding Patriarchy, University of Delhi. Ibid. Jill Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
24
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
dengan perempuan. Kaum feminis radikal mempertanyakan kebenaran teori politik tradisional yang membedakan antara ranah politik dan personal dan mempercayai bahwa keluarga merupakan institusi non politis dan personal. Menurut mereka justru keluarga merupakan sebuah ruang dimana eksploitasi secara maksimum terhadap perempuan terjadi. Kaum feminis radikal berkeinginan untuk mendefinisikan ulang identitas individu, membebaskan bahasa dan budaya dari dominasi maskulinitas, membangun ulang kekuasaan politik, mengevaluasi ulang sifat manusia dan perilakunya serta menantang nilai-nilai tradisional. Feminis radikal percaya bahwa jika seksualitas tidak dikonsep ulang dan dikonstruksi ulang, maka perempuan akan tetap berada pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Perempuan yang mengalami kekerasan dalam keluarga menjadi isu penting bagi feminis radikal. Berkaitan dengan kekerasan, Pierre Bourdieu menawarkan teori symbolic violence (kekerasan simbolik). Menurut Bourdieu dan Passeron, pengendalian dan aturan sosial dalam semua masyakat dihasilkan secara tidak langsung oleh mekanisme kultural15. Kekerasan simbolik adalah beban atau kerugian yang diakibatkan oleh sistem simbolisme dan makna, misalnya budaya. Beban tersebut dikendalikan oleh kelas atau kelompok yang memiliki legitimasi kekuasaan. Legitimasi ini menyembunyikan hubungan kekuasaan, sehingga kekuasaan berhasil mengendalikan beban tersebut. Dalam kasus dowry di India, praktik ini adalah bentuk kekerasan simbolik. Sistem patriarki mengendalikan nasib perempuan dengan menggunakan
15 16
legitimasi dowry. Peran dan posisi perempuan dapat menjadi hal yang simbolik dalam konteks identitas etnis. Keluarga sebagai tempat berlindung bagi perempuan, ternyata juga dapat menjadi sumber ethnic violence (kekerasan etnis). Dalam kasus dowry di India, perempuan menjadi korban dalam kekerasan etnis-nya sendiri. Dowry adalah kekerasan yang dibentuk oleh sistem perkawinan yang patriarki. Kekerasan terhadap perempuan kadangkala berwujud kekerasan fisik dan penindasan. Penderitaan tersebut didukung oleh penegakan atas nama budaya dan moral16.
Perempuan dalam Masyarakat Patriarki India dan Sistem Dowr y Tradisional Dalam kitab-kitab Hindu yang dipegang teguh oleh masyarakat India kuno, perempuan adalah obyek pemujaan sekaligus juga sebagai penyebab dari semua masalah di dunia. Kita mengenal Dewi Savitri seorang perempuan yang dipuja karena telah berkorban untuk menyelamatkan nyawa sang suami dan ada juga Dewi Kakeyi yang dihujat karena dengan keji telah menyebabkan Rama dibuang ke hutan Dandaka selama tiga belas tahun. Kode Manu, sebuah kitab Hindu merupakan titik awal yang membuat wanita inferior terhadap laki-laki. Beberapa kalimat seperti ”perempuan tidak berhak atas kebebasan” dan ”jadilah ibu bagi laki-laki”, mencerminkan penempatan perempuan pada posisi lemah dan lebih rendah dalam Hindu. Perempuan akan lebih berharga jika telah melahirkan anak laki-laki dibandingkan melahirkan anak perempuan. Bila kita meneliti seluruh khasanah agama Hindu, kita akan
Richard Jenkins. Pierre Bourdieu. London dan New York: Routledges. (2006:65). Linda McKie. Families, Violence and Social Change. Berkshire: Open University Press. (2005:28).
Putu Titah Kawitri Resen, Ikma Citra Ranteallo, Dowry Murder: Kekerasan Simbolik ...
menemukan contoh berulang-ulang dari dominasi laki-laki atas wanita. Tidak jelas apakah hal ini dimaksudkan untuk melindungi perempuan karena mereka adalah pihak yang lebih lemah atau justru untuk membuat mereka sebagai obyek kesenangan. Dalam Kode Manu juga dinyatakan bahwa bagi seorang perempuan, pernikahan adalah untuk seumur hidup, tak dapat dibatalkan, dan tak dapat dipertanyakan17. Dengan demikian, perceraian dianggap sangat tabu betapapun beratnya penderitaan yang dirasakan perempuan tersebut dalam pernikahannya. Di sisi lain, Manu juga meminta masyarakat untuk memuja wanita karena mereka adalah ”cahaya rumah”. Seorang perempuan yang membaktikan seluruh hidupnya bagi kesejahteraan suaminya akan menjadi seorang Pativrata (me ndapatkan kesucian). Hindu juga mengenal dewi-dewi yang dipuja sebagai sakti (pendamping) dewa-dewa. Misalnya Dewi Saraswathi (Dewi ilmu pengetahuan), Dewi Lakshmi (Dewi kesuburan), Dewi Parwati (Dewi Kekuasaan). Sekali lagi, dewi-dewi tersebut hanya akan berfungsi apabila didamping oleh para dewa, yaitu Dewa Brahma, Vishnu, dan Siwa. Dalam keseharian masyarakat India, para perempuan muda memiliki kekuatan relijius yang cukup penting dan akan mendapatkan penghormatan melalui sikap moral mereka yang baik. Gadisgadis muda mendapatkan peran relijius untuk mengucapkan mantra-mantra bagi keluarga terutama bagi saudara laki-laki mereka agar dikaruniai kesehatan dan umur yang panjang. Sikap moral inilah yang memberikan sebuah nilai bagi mereka di rumah mertuanya kelak.
25
Untuk menjaga status kesakralan perempuan dan untuk membenarkan pembatasan ruang gerak mereka maka perempuan perlu melindungi diri mereka melalui pemakaian purdah ( kerudung ). Perempuan yang memiliki standar moral yang tinggi akan ditunjukkan melalui penggunaan purdah dan menjadi sumber status bagi suami mereka. Purdah sendiri merupakan suatu cara untuk menjaga dominasi laki-laki dalam sebuah sistem patriarki walaupun tujuan awalnya adalah untuk melindungi perempuan dari serangan atau gangguan. Saat ini, meskipun pemakaian purdah sudah tidak lagi seketat dulu, pembatasan perempuan karena seksualitas mereka telah menjadi sebuh norma yang pada akhirnya membatasi akses publik perempuan. Perempuan tidak boleh memiliki tanah dan mendapatkan akses yang lebih terbatas kepada pendidikan serta pekerjaan di luar rumah. Singkatnya, para perempuan sangat tergantung dan terikat kepada suami dan keluarganya. Pentingnya peranan perempuan dalam melakukan pemujaan membuat mereka bisa dihadiahkan kepada seorang Brahmana untuk dinikahkan dan mendampingi Brahmana tersebut dalam melakukan pemujaan kepada Tuhan. Perempuan di sini dianggap sebagai ”hadiah” (kanyadana) yang diserahkan oleh ayahnya kepada seorang pemuda yang telah mempelajari kitab-kitab suci. Ketika diserahkan, seorang gadis tersebut harus perawan dan dihiasi dengan segala macam perhiasan, permata, dan baju yang indah untuk menambah nilai dari ”hadiah” tersebut18. Sebagai tambahan dari perhiasan dan baju yang mahal,
Ed Visvanathan. Am I a Hindu?. Denpasar: Pustaka Manik Geni. (2000:185). Dorothy Stein. “Burning Widows, Burning Brides: The Perils of Daughterhood In India”, Pacific Affairs, Vol. 61 (3), Pacific Affairs: Univeristy of British Columbia (diakses 13 Mei 2010) (1988:475). 17 18
26
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
pengantin perempuan tersebut akan membawa barang-barang perlengkapan rumah tangga dan apapun yang diberikan kepadanya yang secara teori akan digunakan oleh pengantin perempuan tersebut untuk memulai kehidupan rumah tangganya. Hadiah tersebut yang dalam hal ini disebut sebagai stridhana, dejjah atau daaj tersebut merupakan sebuah simbol transfer kepemilikan terhadap perempuan dari keluarga yang melahirkan ke keluarga sang suami. Hadiah tersebut juga berarti terhentinya tanggung jawab keluarga dimana perempuan tersebut dilahirkan untuk menjaga dan melindunginya. Sistem kasta yang mensyaratkan perkawinan endogamy atau perkawinan dengan kasta yang sama menyebabkan hanya perempuan Brahmana yang bisa menikah dengan pemuda Brahmana, hanya perempuan dari kasta Kshatrya yang bisa menikah dengan pemuda Kshatrya. Dengan demikian, sistem perkawinan melalui pemberian stridhana atau dowry ini hanya berlaku di golongan kasta atas pada masa India kuno karena hanya golongan kasta atas yang diperbolehkan untuk mempelajari kitab-kitab suci dan ilmu keagamaan. Dengan perubahan sosial yang terjadi India yang dimulai dengan kedatangan penjajah Inggris serta arus globalisasi dan modernisasi , perempuan di India mulai kehilangan kekuatan ritualnya sedangkan sistem patriarki tetap menempatkan perempuan untuk tidak memiliki kontrol terhadap ekonomi. Sebagai hasilnya, perempuan menjadi semakin rentan sebagai obyek yang bisa diganti atau ditukar. Perempuan terlihat sebagai komoditi, penyedia uang. Ketika simpanan
uang telah menipis, mereka berada dalam posisi lemah yang rawan akan berbagai kritik, penyiksaan, dan akhirnya menjadi korban pembunuhan akibat maskawin.
Komodifikasi Pernikahan Perkembangan sistem dowry yang dikenal saat ini menggambarkan perkawinan tidak ubahnya seperti transaksi dagang dimana hanya perempuan dengan tawaran yang tertinggi yang akan mendapatkan laki-laki sebagai suaminya. Perubahan pada praktek dowry terjadi sejak kedatangan kolonialisme Inggris19. Menurut Rudd (2007) dan Lakhani, ada dua hal penting yang dilakukan pemerintah Inggris sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem dowry. Pertama, universalisasi nilai-nilai Brahmanisme dalam hal ini adalah dengan mendorong dan mengesahkan sistem perkawinan yang menggunakan sistem dowry dan kedua, melakukan pemungutan pajak dalam bentuk uang. Sebelum India menjadi koloni Inggris, ada delapan macam cara perkawinan yang dikenal oleh masyarakat India20. Sementara Brahmana menggunakan sistem perkawinan dengan dowry, kasta-kasta yang lain menggunakan ritual pernikahan dengan cara yang berbeda salah satunya justru pihak keluarga laki-laki yang memberikan maskawin kepada mempelai wanita. Pemerintah Inggris mendorong pernikahan sistem dowry dan menganggap sistem-sistem perkawinan non–Brahmana tidak sah. Pada pertengahan abad 20, berbagai bentuk tata cara perkawinan lainnya yang pernah ada tidak dipakai lagi dan hanya perkawinan ala Brahmin yang dipakai di seluruh India21. Sumbangan
19 Ranjana Sheel. “Institusionalisation and Expansion of Dowry System”, Economic and Political Weekly, Vol.32 (28) (diakses 13 Mei 2010). (1997:1709). 20 Bharati Ray. Women of India: Colonial and Postcolonial Periods. New Delhi: PHISPC (2005:147). 21 Avnita Lakhani. “Bride-Burning: The “Elephant in the Room” Is Out of Control”, Pepperdine Dispute Resolution Law Journal, Vol. 5 (2) (2005) (diakses 15 Mei 2010).
Putu Titah Kawitri Resen, Ikma Citra Ranteallo, Dowry Murder: Kekerasan Simbolik ...
kedua terhadap perubahan sistem dowry dilakukan pemerintah Inggris dengan tidak lagi menerima hasil bumi sebagai pajak. Oldenburg menggambarkan bahwa eksploitasi pemerintah kolonial Inggris merupakan titik awal meningkatnya praktek dowry. Inggris melakukan pemungutan pajak sehingga memaksa banyak keluarga untuk menggadaikan tanah mereka untuk membayar pajak tersebut22. Untuk meringankan beban keuangan pada masa itu, permintaan akan dowry mulai berubah karena produk pertanian sudah tidak diterima lagi dan pemerintah Inggris hanya menginginkan uang sebagai bentuk pajak dan dowry pun mulai menggunakan uang tunai23. Setelah kemerdekaan beberapa kejadian penting seperti krisis minyak di tahun 1973, berhentinya bantuan Amerika Serikat akibat konflik Pakistan – Pakistan Timur sehingga India mengalokasikan anggarannya lebih untuk belanja militer menjadi penyebab stagnasi perekonomian dari tahun 1970 sampai dengan tahun 1975. Pada masa itu inflasi meningkat, pendapatan perkapita menurun yang menyebabkan protes publik, kerusuhan, dan penolakan kebijakan pemerintah. Selain itu, kebijakan penyesuaian struktural yang dianjurkan oleh Bank Dunia dan IMF pada saat krisis Asia tahun 1998 juga turut memberikan sumbangan pada peningkatan kemiskinan masyarakat India dan tingginya tingkat pengangguran. Dampak krisis ini pada level keluarga adalah peningkatan kebutuhan akan uang tunai untuk bisa bertahan dalam situasi krisis. Tekanan-tekanan ini ditambah dengan status perempuan India yang rendah
27
menyebabkan semakin meningkatnya permintaan akan dowry tambahan yang juga berimbas pada banyaknya kematian akibat tidak terpenuhinya tuntutan dowry tersebut. Kondisi ini semakin mengkhawatirkan dengan meningkatnya budaya konsumerisme masyarakat India yang akhirnya menggunakan dowry sebagai suatu cara untuk naik ke tangga kelas yang lebih tinggi, memperoleh jaminan ekonomi, mengumpulkan kekayaan yang nantinya bisa diputar untuk membayar dowry bagi adik atau anak perempuan mereka. Cara ini dilakukan dengan mengorbankan keluarga yang memiliki anak perempuan. Sistem patriarki menyebabkan calon pengantin laki-laki dan keluarganyalah yang memiliki posisi tawar yang tinggi dan menentukan berapa maskawin yang diminta. Semakin tinggi tingkat pendidikan lakilaki maka semakin tinggi maskawin yang diminta, sebaliknya tingkat pendidikan perempuan hanya memberikan sedikit pengaruh terhadap dowry. Kecantikan dan pendidikan seorang gadis bisa mengurangi jumlah dowry yang diminta tetapi pengurangannya tidak akan banyak24. Jamila Verghese memberikan ilustrasi ekspektasi dowry sebagai berikut : “Guru pre-school dan pegawai rendahan dengan tingkat pendapatan sekitar 3 ratus rupee bisa meminta dowry sekitar 10 ribu sampai dengan 15 ribu rupee. Guru sekolah tingkat menengah dan pegawai yang lebih tinggi dengan jumlah pendapatan sekitar 5 sampai 6 ratus – termasuk dalam golongan kelas menengah – mereka bisa meminta dowry sebesar 15 ribu sampai
22 Veena Talwar Oldenburg. Dowry Murder: The Imperial Origins of A Cultural Crime, New York, Oxford University Press. (2002:189). 23 Jane Rudd. Urban Women in Contemporary India, India, Sage Publications. (2007:95). 24 Lionel Caplan. Bridegroom Price in Urban India: Class, Caste and Dowry Evil Among Christians in Madras”, Jurnal Man, New Series, Vol.19 (2), Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland (diakses 13 Mei 2010) (1984:221).
28
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
dengan 20 rbu rupee. Tentu saja jika si perempuan bekerja, permintaannya bisa diturunkan. Dosen dan insinyur dengan pendapatan 5 ratus sampai 15 ribu rupee yang tergolong dalam kelas menengah namun dalam kategori yang lebih tinggi, bisa meminta dowry sebesar 35 ribu sampai 40 ribu rupee jika calon pengantin perempuan bekerja, namun jika calon pengantin perempuan tidak bekerja maka permintaannya bisa jadi lebih tinggi”25. Ukuran dowry menjadi penentu status keluarga laki-laki serta menegaskan bahwa laki-laki jauh lebih berharga dibandingkan dengan perempuan26. Ketamakan dan materialisme menjadi simbol perkawinan dan tuntutan akan dowry bisa terus dilakukan bahkan ketika sang istri yang tidak berdaya tersebut telah melahirkan dua sampai tiga anak. Banyak dari perempuan tersebut mencoba melarikan diri dari siksaan dengan kembali ke rumah orang tuanya, namun sayang seringkali malah orang tua merekalah yang mengembalikannya ke rumah sang suami. Rasa malu dan takut akan menjadi perbincangan masyarakat atau karena rasa hormat terhadap keluarga laki-laki biasanya menjadi alasan mengapa mereka tidak mau menerima kedatangan putri mereka kembali27. Orang tua perempuan tersebut tidak hanya korban dalam kasus ini tetapi juga turut merendahkan posisi anak perempuannya dengan memberikan pandangan bahwa perkawinan adalah keharusan dan mereka harus tetap berada dalam ikatan pernikahan meskipun mereka harus mengorbankan nyawa mereka sendiri. Salah satu alasan mengapa
para orangtua mau menyiapkan dowry bagi anak perempuan mereka meskipun mereka harus bekerja keras untuk mengumpulkan uang adalah karena ketika mereka sudah membayar dowry mereka akan menganggap diri mereka lepas dari segala tanggung jawab atas kesejahteraaannya. Apa yang terjadi pada anak perempuan mereka setelah pernikahan bukan urusan mereka lagi.
Sankritisasi dan Brahmanisasi Salah satu penyebab maraknya kasus bride burning akibat maskawin adalah sosialisasi nilai-nilai Brahmanisme dan Sankritisasi pada pertengahan tahun 1980-an. Brahmanisme adalah suatu ideologi untuk mengembalikan masyarakat India pada sebuah tatanan sosial yang berdasarkan kasta dengan menempatkan kaum Brahmana pada posisi tertinggi dalam masyarakat. Sedangkan Sanskritisasi merupakan proses perubahan kelompok-kelompok kasta dengan mengadopsi kebiasan-kebiasaan yang dilakukan oleh golongan kasta atas seperti sistem pernikahan, ritual keagamaan, dan cara pemujaan28. Ada beberapa peristiwa penting yang terjadi di India antara pertengahan tahun 1980-an sampai tahun 1990-an diantaranya adalah gerakan Ram Janmabhoomi, Ramayana Fever, dan Hinduisasi Dalit yang menandai bangkitnya fundamentalis Hindu yang bercita-cita mendirikan negara Hindu India (Hindutva). India saat itu menyaksikan berkembangnya organisasi Hindu nasionalis yang bahkan mendapatkan dukungan dari orang-orang India yang berada di luar India29.
Jamila Verghese. Gold and Her Body. New Delhi: Vikas (1980:126). Madu Ksihwar. “Continuing The Dowry Debate”, Economic and Political Weekly, Vol 24 (49) (diakses 13 Mei 2010) (1989:2763). 27 Ranjana Sheel. “Institusionalisation and Expansion of Dowry System”, Economic and Political Weekly, Vol.32 (28) (1997:305). 28 Rajeswari Sunder Rajan. Real and Imagined Women, London, Routledge. (2005:75). 29 Mary Hancock. . “Hindu Culture for An India Nation”, American Ethnologist, Vol. 22, (4) (November 1995) (diakses 13 Mei 2010). (1995:907). 25 26
Putu Titah Kawitri Resen, Ikma Citra Ranteallo, Dowry Murder: Kekerasan Simbolik ...
Tepatnya pada tahun 1989, kekalahan Partai Kongres akibat berbagai isu korupsi tidak hanya menjadi akhir dari dinasti Nehru dalam pemerintahan namun juga membantah asumsi bahwa Partai Kongres dengan sejarahnya telah merepresentasikan India dengan seutuhnya30. Berakhirnya era partai Kongres juga menjadi sebuah celah bagi Partai Hindu Bharatiya Janata yang didominasi oleh golongan kasta atas untuk memenangkan pemilihan umum untuk pertama kalinya. Partai ini bercita-cita untuk mendirikan negara Hindu dengan Brahmanisasi dan Sanskritisasi menjadi agenda politik utamanya. Untuk mewujudkan suatu bangsa dengan slogan ”Hindu, Hindi, Hindustan (one people, one nation, one culture)”, kaum fundamentalis Hindu percaya bahwa sejatinya identitas India adalah berdasarkan Weda dan sistem kasta31. Menurut mereka nilai-nilai Hindu telah tercemar akibat kedatangan Muslim dan pemerintah kolonial. Gerakan Ram Janmabhoomi yang dipimpin oleh L.K. Advani presiden BJP bertujuan untuk menggalang dukungan untuk merebut kembali kuil Rama di Ayodyha yang telah berubah menjadi Masjid Babri. Tempat dimana masjid tersebut berdiri diklaim oleh kaum fundamentalis Hindu sebagai tempat suci, tempat dimana Rama salah satu avatar Tuhan yang lahir ke dunia. Gerakan tersebut berujung pada kerusuhan besar yang terjadi pada tanggal 6 Desember 1992 dimana ratusan orang menjadi korban dalam kerusuhan tersebut baik di pihak Muslim maupun di pihak Hindu32. Sanskritisasi juga dilakukan melalui penayangan serial televisi
29
Ramayana dengan versi Brahmin. Rama dan adiknya Bharata dalam serial tersebut digambarkan sebagai pria tampan dengan kulit putih bersih bukan dengan kulit gelap seperti yang digambarkan dalam tradisi konvensional33. Serial ini menjadi tayangan yang wajib ditonton oleh masyarakat dan ketika serial ini selesai, terjadi protes massa yang meminta serial tersebut ditayangkan ulang. Sebagai gantinya, dibuatlah tayangan Mahabharata yang juga mendapatkan respon yang luar biasa dari masyarakat. Usaha untuk mengembalikan India berdasarkan Hindu juga dilakukan dengan memaksa kaum Dalit yang telah memeluk agama lain untuk kembali memeluk agama Hindu (George, tanpa tahun). Pada tahun 1992, sebanyak 2000 golongan Dalit yang telah memeluk agama lain dipaksa untuk kembali memeluk Hindu. Agenda Brahmanisasi dan Sanskritisasi sejak kemunculannya di satu sisi telah menyebabkan kerusuhan dan kekacauan dimana-mana. Salah satunya adalah konflik Hindu dan Muslim yang terjadi di Bihar pada tahun 1989 yang menelan korban 1000 jiwa dan sebanyak 40 ribu orang kehilangan rumah. Golongan kasta bawah yang menentang Brahmanisasi seringkali bentrok dengan golongan kasta atas yang mendukung agenda ini. Salah satu kasus yang terkenal adalah kasus Rajeev Goswami, seorang mahasiswa kasta atas yang membakar tubuhnya sendiri karena menentang persamaan antara kasta atas dengan kasta bawah pada tanggal 19 September 199034. Pembakaran diri tersebut ternyata kemudian diikuti oleh 159 orang
30 Barbara D Metcalf dan Thomas R Metcalf. A Concise History of Modern India, New York, Cambridge. (2006:273). 31 The Hindu. Hindutva and Multiculturalism, (diakses 18 Mei 2010). 1998. 32 KN Panikkar. Towards a Hindu Nation, (diakses 15 Mei 2010). 2004. 33 Metcalf, Op. Cit hlm. 276. 34 Nicholas B Dirks. Castes of Mind, United Kingdom, Princenton University Press (2001:275).
30
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
pemuda yang mencoba melakukan yang sama. Namun di sisi yang lain, di pedesaanpedesaan dimana masyarakatnya secara tradisional masih sangat terikat dengan hubungan jajmani, Brahmanisasi dan Sanskritisasi dapat diterima dengan baik. Jajmani adalah sebuah sistem yang mengatur hubungan antara golongan kasta tinggi dengan golongan kasta rendah. Sistem jajmani juga bisa diartikan sebagai sebuah hubungan patron – klien dimana kasta bawah tunduk terhadap perintahperintah yang dikeluarkan oleh golongan kasta tinggi karena ketergantungan mereka secara ekonomi terhadap golongan kasta tinggi. Peniruan terhadap kebiasaankebiasaan kasta atas merupakan suatu kebanggan bagi kaum kasta bawah walaupun sebenarnya tidak memberikan pengaruh apapun pada status mereka. Citra pasangan suami istri ideal yang digambarkan oleh pasangan Rama dan Sita menjadi pembenaran bagi keluargakeluarga pedesaan yang tergolong kelas menengah ke bawah untuk melakukan adopsi terhadap kebiasaan Brahmin, terutama sistem pernikahan melalui sistem dowry. Adegan Sita yang menceburkan dirinya ke api juga menjadi pembenaran atas kejadian pembakaran terhadap pengantin perempuan yang tidak mampu memberikan maskawin tambahan. Kematian yang dikaitkan dengan api dianggap sebagai kematian yang suci. Sistem kasta menempatkan golongan Brahmin dan Kshatrya pada posisi dengan segala hak-hak istimewa terlebih-lebih ketika Inggris datang ke India. Barmuli Natrajan mengatakan bahwa kasta-kasta
atas dapat dicirikan dengan enam karakteristik sebagai berikut; tanah ladang atau sawah yang luas, kuat dalam jumlahnya, posisi tinggi dalam jabatan lokal, pendidikan barat, memiliki pekerjaan di institusi pemerintahan, dan pendapatan yang tinggi35. Kasta juga merupakan sebuah sistem tertutup karena faktor kelahiran yang tidak memungkinkan adanya mobilitas bagi anggotanya36. Dengan demikian, Brahmanisasi dan Sanskritisasi merupakan suatu usaha untuk mempertahankan hak-hak istimewa yang dinikmati oleh golongan kasta atas melalui ketergantungan ekonomi kasta bawah. Seperti yang diungkapkan oleh Marry Hancock : “Hindutva kept class, caste, and gender distinctions intact by naturalizing them through Hindu practice. Religious idioms thus helped frame a nationalism that cohered with bourgeois class ideology at the same time as they provided an ideological cement for dependency relations that perpetuated social inequalities”.37
Maskawin dalam Konteks Indonesia Di Indonesia, maskawin lebih jelas terlihat dalam perkawinan secara Islam. Maskawin yang biasanya digunakan antara lain seperangkat alat sholat, perhiasan, Alquran, dan lain-lain. Maskawin (bride-price) adalah serah-terima kekayaan dari mempelai pria atau keluarganya atau keduanya kepada keluarga mempelai wanita. Masyarakat mengenal beberapa istilah mahar atau maskawin, seperti tukon (Jawa), pangolon hodi, tuhor (Batak), beli (Maluku), belis (Nusa Tenggara Timur) yang berarti membeli. Seorang antropolog
35 Balmurli Natrajan. “Caste, Class and Community in India : An Ethographic Approach”, Ethnology, Vol. 44 (3), University of Pittsburgh (diakses 13 Mei 2010) (2005:228). 36 Ghanshyam Shah. Caste Association and Political Process in Gujarat. Bombay: Popular Prakashan Private Ltd. (1975:1). 37 Mary Hancock. “Hindu Culture for An India Nation”, American Ethnologist, Vol. 22, (4) (diakses 13 Mei 2010). (1995:919).
Putu Titah Kawitri Resen, Ikma Citra Ranteallo, Dowry Murder: Kekerasan Simbolik ...
Mentawai, Tarida Hernawati38, mengkritik penggunaan istilah lokal maskawin. Masyarakat keliru menafsirkan maskawin sebagai harta yang digunakan untuk membeli mempelai perempuan. Dalam masyarakat Mentawai, terdapat istilah alattoga (kesepakatan perihal maskawin) sebagai bentuk komunikasi pihak keluarga laki-laki dan perempuan. Mereka menyepakati berapa besar jumlah alattoga dan siapa saja yang berhak menerimanya. Selain itu, alattoga juga merupakan penghormatan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Menurut Irawati39, struktur kekerabatan Mentawai tidak mengenal aturan khusus tentang siapa yang berhak menerima alattoga. Orang tua kandung (sibakkattoga) dan kerabat dekat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan sibakkattoga, misalnya saudara laki-laki ayah dan saudara laki-laki mempelai perempuan, berhak atas alattoga. Hal ini disebabkan karena mereka bertanggung jawab sebagai wali apabila orang tua mempelai perempuan meninggal. Tidak berbeda dari sistem dowry di India, lakilaki tetap berhak atas alattoga. Maskawin yang terdapat dalam masyarakat poligini berpusat pada pria yang kehidupannya sejahtera, secara sosial dan ekonomi. Menurut Jack Goody, beberapa sarjana mengemukakan bahwa bride-price dihubungkan dengan tingkat menengah dalam stratifikasi sosial dan terjadinya pembagian kekayaan diantara keluarga, baik bagi keluarga mempelai pria maupun mempelai wanita40. Menurut Lebar (1972:182) dan Freeman
31
(1960:75). Masyarakat Iban menganggap mahar tidak penting. Suku Dayak Maanyan melaksanakan upacara perkawinan disertai dengan pembayaran harga pengantin, yang terdiri atas uang, beberapa buah gong, dan barang-barang pusaka lainnya41. Suku Dayak Maanyan berada di Kalimantan Tengah, khususnya di Barito Timur. Suku Dayak Iban berada di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Penutup Perdamaian saat ini tidak bisa lagi hanya dipandang menggunakan kaca mata realis yang memandang perdamaian secara negatif. Perdamaian negatif yang dimaksudkan adalah untuk mengatakan bahwa perdamaian merupakan kondisi yang ditandai dengan ketiadaan perang. Dalam konteks kekerasan, perempuan seharusnya memperoleh perlindungan dari keluarga dan negara. Kasus dowry murder memberikan kita gambaran bagaimana kekerasan terhadap perempuan tersembunyi dibalik nilai-nilai agama sehingga menjadi sebuah pembenaran atas kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan terhadap perempuan. Perempuan sering menjadi korban kekerasan yang disebabkan oleh seks mereka sebagai perempuan. Dengan menggunakan kacamata feminis radikal, kita dapat menganalisa bagaimana sistem patriarki telah melakukan penindasan terhadap perempuan dan bagaimana patriarki beroperasi dalam sistem kapitalistik modern. Inilah yang menjelaskan mengapa justru di era modern, kasus dowry murder mengalami peningkatan. Oleh
38 Henny Irawati. “Pundak perempuan Mentawai”, Jurnal Perempuan (57), Jakarta, Yayasan Jurnal Perempuan. (2008:35-36). 39 Ibid, hlm. 36. 40 David Levinson dan Melvin Ember. Encyclopedia of Cultural Anthropology, New York, Henry Holt and Company. (1996:152). 41 Yekti Maunati. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. LkiS: Yogyakarta (2004:78-9).
32
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
karena itu, penafsiran ulang terhadap ajaran agama dan budaya dalam keluarga dan masyarakat menjadi sebuah cara
untuk mengurangi dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam kasus dowry murder.
Bacaan Bryson, V. 1996. Feminist Debates: Issues of Theory and Political Practice. London: Macmillan Caplan, Lionel. 1984. “Bridegroom Price in Urban India: Class, Caste and Dowry Evil Among Christians in Madras”, Jurnal Man, New Series, Vol.19 (2), Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland (diakses 13 Mei 2010) Dirks, Nicholas B. 2001. Castes of Mind. United Kingdom: Princenton University Press Galtung, Johan. 1996. Peace by Peaceful Means : Peace and Conflict, Development and Civilization. Oslo : Sage Publication Gangoli, Geetanjali. 2007. Indian Feminism Law, Patriarchies and Violence in India. USA: Ashgate Publishing Company George, M. Goldy. Tanpa tahun. “Globalisation, Facism, and Dalits” (diakses 14 Mei 2010) Hancock, Mary. 1995. “Hindu Culture for An India Nation”, American Ethnologist, Vol. 22, (4) (November 1995) (diakses 13 Mei 2010). Irawati, Henny. 2008. “Pundak perempuan Mentawai”, Jurnal Perempuan (57), Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Jenkins, Richard. 2006. Pierre Bourdieu. London dan New York: Routledges Kishwar, Madu. 1989. “Continuing The Dowry Debate”, Economic and Political Weekly, Vol 24 (49) (9 December 1989) (diakses 13 Mei 2010) Lakhani, Avnita. 2005. “Bride-Burning: The “Elephant in the Room” Is Out of Control”, Pepperdine Dispute Resolution Law Journal, Vol. 5 (2) (diakses 15 Mei 2010) Lakshmi, C.S. 1989. “On Kidneys and Dowry”, Economic and Political Weekly , Vol.24 (January 1989) (diakses 13 Mei 2010) Levinson, David dan Ember, Melvin. 1996. Encyclopedia of Cultural Anthropology. New York: Henry Holt and Company Mansbach, Richard W. dan Raffert, Kirsten L. 2008. Introduction to Global Politics. London: Routledge
33
Putu Titah Kawitri Resen, Ikma Citra Ranteallo, Dowry Murder: Kekerasan Simbolik ...
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. LkiS: Yogyakarta McKie, Linda. 2005. Families, Violence and Social Change. Berkshire: Open University Press Metcalf, Barbara D dan Metcalf, Thomas R. 2006. A Concise History of Modern India. New York: Cambridge Natrajan, Balmurli, “Caste, Class and Community in India : An Ethographic Approach”, Ethnology, Vol. 44 (3), University of Pittsburgh (diakses 13 Mei 2010) Niazi, Suriah. 2008. State of Dowry Death (diakses
2010)
15 Mei
Oldenburg, Veena Talwar. 2002. Dowry Murder: The Imperial Origins of A Cultural Crime. New York: Oxford University Press Panikkar, KN., 2004. Towards a Hindu Nation, (diakses 15 Mei 2010). Rajan, Rajeswari Sunder. 2005. Real and Imagined Women. London: Routledge Rao, Vijayendra dan Bloch, Francis. 2002. “Terror as a Bargaining Instrument : A Case Study of Dowry Violence in India”, The American Economic Review, Vol.92 (4) (September 2002) (diakses 13 Mei 2010) Ravikant, Namratha S. 2000. “Dowry Deaths: Proposing A Standard for Implementation of Domestic Legislation In Accordance with Human Rights Obligations”, Michigan Journal of Gender and the Law, Vol. 6 (2), pp. 449-497 Ray, Suranjita. Tanpa tahun. Understanding Patriarchy, University of Delhi Ray, Bharati. 2005. Women of India: Colonial and Postcolonial Periods. New Delhi: PHISPC Rudd, Jane. 2007. Urban Women in Contemporary India. India: Sage Publications Shah, Ghanshyam. 1975. Caste Association and Political Process in Gujarat. Bombay: Popular Prakashan Private Ltd Sheel, Ranjana. 1997. “Institusionalisation and Expansion of Dowry System”, Economic and Political Weekly, Vol.32 (28) (July 1997) (diakses 13 Mei 2010). Steans, Jill. 1998. Gender and International Relations, Cambridge, Polity Stein, Dorothy. 1998. “Burning Widows, Burning Brides: The Perils of daughterhood In India”, Pacific Affairs, Vol. 61 (3), Pacific Affairs, Univeristy of British Columbia
34
SOSIOLOGI REFLEKTIF, Volume 7, Nomor 1, Oktober 2012
(diakses 13 Mei 2010) Steins, Jill dan Pettiford, Lloyd. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar The Hindul. 1998. Hindutva and Multiculturalism, (diakses 18 Mei 2010). Umar,Mohd.1998. Bride Burning in India : A Socio Legal Study. New Delhi: APH Publishing Coorporation UNDP Report 1994 Verghese, Jamila. 1980. Her Gold and Her Body. New Delhi: Vikas Visvanathan, Ed. 1999. Am I a Hindu?. Denpasar: Pustaka Manik Geni