Dr. Heru Hendrayana Geological Engineering Dept., Faculty of Engineering, Gadjah Mada University Email :
[email protected] Website : www.heruhendrayana.staff.ugm.ac,id
ZONA PERLINDUNGAN SUMBER AIR BAKU
LATAR BELAKANG
Peningkatan eksploitasi airtanah yang sangat pesat di berbagai sektor di Indonesia telah menuntut perlunya persiapan berupa langkah-langkah nyata untuk memperkecil dampak negatif yang ditimbulkannya. Airtanah sebagai salah satu sumberdaya air saat ini telah menjadi permasalahan nasional. Airtanah yang merupakan sumberdaya alam terbarukan ( renewal natural resources ) saat ini telah memainkan peran penting di dalam penyediaan pasokan kebutuhan air bagi berbagai keperluan, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai terhadap airtanah itu sendiri. Airtanah pada masa lalu merupakan barang bebas (free goods) yang dapat dipakai secara bebas tanpa batas dan belum memerlukan pengawasan pemanfaatan, tetapi pada era pembangunan saat ini yang disertai dengan peningkatan kebutuhan airtanah yang sangat pesat telah merubah nilai airtanah
menjadi
barang
ekonomis
(economic
goods),
artinya
airtanah
diperdagangkan seperti komoditi yang lain, bahkan di beberapa tempat airtanah mempunyai peran yang cukup strategis. Mengingat peran airtanah semakin penting, maka pemanfaatan airtanah harus didasarkan pada keseimbangan dan kelestarian airtanah itu sendiri, dengan istilah lain pemanfaatan airtanah harus berwawasan lingkungan. Untuk menjamin pemanfaatan airtanah yang berwawasan lingkungan dan pelestariannya, maka perlu dilakukan pengelolaan airtanah. Pengelolaan airtanah dalam arti luas adalah segala upaya yang mencakup inventarisasi, pengaturan pemanfaatan, perijinan, pengendalian serta pengawasan dalam rangka konservasi airtanah, yang mencakup kualitas dan kuantitasnya. DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
1
Pengelolaan airtanah pada hakekatnya melibatkan banyak pihak dan harus dilakukan secara bijaksana dengan mendasarkan aspek hukum dan aspek teknis. Perlindungan Sumber Air Baku merupakan bagian dari strategi pelaksanaan pengelolaan airtanah berwawasan lingkungan, yang perlu dilakukan secara benar dengan meningkatkan koordinasi berbagai tingkatan instansi, serta dengan meningkatkan pemanfaatan data dan informasi airtanah secara terpadu. Pada saat ini pengelolaan airtanah dan kegiatan konservasi airtanah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, baik Instansi Pemerintah maupun Swasta. Tetapi pada kenyataannya hasil pengelolaan maupun konservasi airtanah belum dapat mencapai sasaran dan masih relatif jauh dari titik sasaran. Salah satu tindakan nyata untuk menjaga kualitas airtanah agar tetap dapat digunakan sebagai sumber air baku bagi masyarakat, adalah dengan melindungi sumber tersebut dari proses pencemaran. Pemberlakuan zona-zona Perlindungan sumber air merupakan langkah awal perlindungan terhadap kualitas sumber air baku bagi masyarakat dari kegiatan masyarakat itu sendiri, program ini telah mulai dilaksanakan di beberapa wilayah kabupaten, yaitu Program Perlindungan Sumber Air Baku (PSAB).
Zona Perlindungan Sumber Air Baku
2.1. Definisi Zona Perlindungan Sumber Air Baku Sumber
air
yang
dipergunakan
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup
masyarakat harus dilindungi dari proses pencemaran. Penentuan zona Perlindungan Sumber Air Baku didasarkan pada faktor-faktor kesehatan dan biologis. Di negara Jerman dan negara-negara Eropa secara umum dikenal 3 macam zona Perlindungan Sumber Air Baku :
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
2
Zona Perlindungan I : yaitu daerah perlindungan yang bertujuan untuk melindungi air dari semua zat pencemar yang secara langsung atau tidak langsung menyebabkan degradasi kualitas air, dengan radius ditentukan sejauh 10 – 15 meter dari sumber air. Zona Perlindungan II : yaitu daerah perlindungan yang bertujuan untuk melindungi sumber air baku dari bahaya pencemaran bakteri pathogen yang dapat menyebabkan degradai kualitas air, dengan luas yang diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh bakteri colli selama 50 (lima puluh) hari kesumber air baku. Zona Perlindungan III : yaitu daerah perlindungan yang bertujuan untuk melindungi sumber air baku dari pencemaran kimiawi dan radioaktif yang tidak dapat mengalami degradasi dalam waktu singkat, dengan luas yang ditentukan berdasarkan luas tangkapan air. Penentuan zona Perlindungan I secara khusus tidak memerlukan penelitian teknis, dengan demikian dapat secara langsung diukur di lapangan, yaitu antara 10 sd 15 m mengelilingi sumber air baku yang akan dilindungi. Penentuan
zona
Perlindungan
II
ditentukan
berdasarkan
penelitian
hidrogeologis dengan menggunakan beberapa cara / metoda, antara lain dapat dihitung dengan menggunakan rumus kecepatan aliran airtanah, yaitu Va.
Va = Kf x J/nsp dengan : Va
=
kecepatan aliran airtanah semu (m/s)
kf
=
permeabilitas batuan/akuifer (m/s)
J
=
kemiringan muka airtanah ( - )
nsp =
porositas efektif ( - )
Dengan diketahuinya kecepatan aliran airtanah, maka jarak tempuh 50 hari dapat ditentukan dengan perhitungan di bawah ini : X50
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
=
Va x 50 x 86400 ( m )
3
Pada jarak tempuh ini nilai permeabilitas, kemiringan muka airtanah dan porositas efektif dianggap konstan. Pada kasus pemompaan air di sumur produksi, maka akan terjadi kerucut depresi muka airtanah yang dalam, sehingga perhitungan jarak 50 hari harus dilakukan secara lebih iteratif (gambar 2.1).
Gambar 2-1. Perhitungan iteratif jarak tempuh 50 hari untuk zona Perlindungan II ( LILLICH & LOTTIG, 1972).
Cara lain yang lebih sederhana untuk menentukan batas jarak 50 hari adalah dengan “Formula Silinder”, yaitu sebagai berikut : R50 = Q50 {π x M x nsp}-0,5 dengan : R50=
Jarak tempuh 50 hari ( m )
Q50
=
M =
Ketebalan akuifer ( m )
nsp
=
Debit pemompaan airtanah untuk 50 hari ( m3 ) Porositas efektif ( - )
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
4
Kedua perhitungan di atas hanya memperhatikan transport convective pada airtanah. Langguth dan Voight (1980) mengusulkan penggunaan nilai ganda dari kecepatan aliran airtanah semu untuk memperhitungkan efek dispersi pada proses transport airtanah. Di beberapa negara yang lain jarak tempuh batas zona Perlindungan Sumber Air Baku II adalah 60 hari, bukan 50 hari seperti yang telah dijelaskan pada uraian di atas. Perbedaan jarak tempuh untuk zona II ini disebabkan oleh kondisi akuifer beserta aspek-aspeknya yang menentukan harga retardasi pergerakan kontaminan dalam airtanah. Untuk kasus tiga daerah penelitian ini, digunakan harga 60 hari berdasarkan kondisi sistem akuifer seperti yang dijelaskan pada bab 2. Zona Perlindungan III diwakili oleh “Catchment area” airtanah dari suatu sumur atau mataair , yang juga dapat dihitung dengan cara :
AE
=
dengan:
Q ------R
AE =
Luas area tangkapan airtanah
Q =
Rata-rata debit pemompaan airtanah/ debit mata air
R =
Rata-rata recharge airtanah
2.2. Metoda Random Walk Untuk menghitung jarak tempuh 50 hari yang merupakan batas zona Perlindungan II, diperlukan pemecahan masalah perhitungan dengan model numerik. Area penelitian dideskritisasi menjadi titik-titik nodal yang berbentuk kuadran. Pada gambar 3.2 dijelaskan struktur dari titik nodal dan kondisi batas setiap segmen akuifer. Kecuali pada area di sekitar kerucut depresi dari sumur produksi, kecepatan aliran vertikal tidak relevan untuk diperhitungkan. Model aliran “Horizontal Unsteady State Flow” dapat mensimulasi aliran airtanah yang tidak kontinyu dengan lebih baik.
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
5
Proses perhitungan jarak tempuh 50 hari dapat dibagi menjadi 3 tahapan: 1. Tahap perhitungan potensial airtanah pada setiap titik nodal muka airtanah harus diperhitungkan, sehingga akan didapatkan n-titik nodal, n-perhitungan dengan nnilai yang tidak diketahui. Seluruh perhitungan dapat dipecahkan dengan metode iteratif (IADI = Iterative Alternating Direction Implicit Method). 2. Tahap perhitungan kecepatan aliran airtanah. Dengan
menggunakan
permeabilitas,
hukum
Darcy
dan
data
muka
airtanah
serta
maka kecepatan aliran airtanah semu dapat dihitung. Oleh
karena itu area pengganti dari suatu titik nodal dibagi menjadi 4 kuadran (lihat gambar 3.3). Pada ke-empat kuadran tersebut kecepatan aliran airtanah dan permeabilitasnya konstan. Kecepatan Darcy dihitung dengan cara di bawah ini :
Gambar 2-2. Kondisi batas pada model aliran airtanah
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
6
Kuadran I : Vfx = Vfy = Kuadran II : Vfx = Vfy = Kuadran III : Vfx = Vfy = Kuadran IV : Vfx = Vfy =
kf * (h2 - h0)/x kf * (h1 - h0)/y kf * (h2 - h0)/x kf * (h3 - h0)/y kf * (h4 - h0)/x kf * (h3 - h0)/y kf * (h4 - h0)/x kf * (h1 - h0)/y
Kecepatan aliran airtanah semu dapat dihitung dengan : Va = Vf / nsp dengan : Va = Kecepatan aliran airtanah semu Kecepatan Darcy Vf = nsp = Porositas efektif 3. Tahap perhitungan pengaruh Dispersi Dispersi dimodelisasi dengan pergeseran partikel secara convective dengan pergerakan random yang memenuhi properti statistik dan berpengaruh terhadap properti dari proses dispersi.
Gambar 2-3. Perhitungan kecepatan aliran airtanah semu pada titik nodal DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
7
Proses partikel setelah mengalami transport melalui suatu jarak dapat dihitung dengan : X dengan : X = = V2 t = Z = = aL
=
Va x t + Z (2 x aL x Va x t)0,5
Posisi partikel setelah waktu (t) tertentu Kecepatan aliran airtanah semu Waktu (50 hari) Variabel random Longitudinal Dispersivitas
(m)
(m) ( m/s ) (s) (-) (m)
Z menunjukkan distribusi variabel random rata-rata 0 dan standar deviasi 1. Hasil perkalian Va x t menunjukkan transport secara convective, sedangkan rumusan kedua menunjukkan perhitungan pengaruh dispersi. Untuk menghitung jalur aliran kontaminan pada waktu 50 hari, waktu harus dipisahkan pada tahap-tahap finite untuk setiap waktu. Pada setiap tahap waktu, bagian perhitungan pengaruh dispersi dihitung dengan variabel acak Z. Dispersivitas memiliki nilai yang selalu tidak tetap, tergantung pada panjang dari suatu aliran airtanah. Percobaan lapangan untuk mengukur dispersi dinamik telah dilakukan oleh BEIM (1983) dan SEILER (1985). LINDNER dan LINDNER (1986) mengenalkan hasil dari kedua percobaan dengan rumus : aL = 0,097 x X0,025 dengan : aL 0,097 dan 0,025 X
= dispersi longitudinal (m) = konstanta = Jarak aliran airtanah (m)
2.3. Larangan pada setiap zona PSAB Penentuan zona Perlindungan Sumber Air Baku pada prinsipnya untuk mempertahankan dan menjaga agar sumber air tersebut tetap berfungsi sesuai peruntukkannya, serta apabila mungkin untuk lebih meningkatkan kualitas airnya.
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
8
Untuk mencapai tujuan tersebut, pada setiap zona Perlindungan perlu diberlakukan pembatasan dan larangan-larangan aktivitas, antara lain sebagai berikut : a. Larangan pada Zona III •
Pembangunan dan pengembangan daerah industri
•
Pembangunan instalasi IPAL, penampungan limbah industri
•
Pembangunan jaringan perpipaan minyak
•
Penggunaan pestisida yang berlebihan
•
Penyimpanan atau gudang pupuk
•
Daerah pemukiman tanpa jaringan sanitasi
•
Daerah pemakaman
•
Daerah pembuangan sampah
b. Larangan pada Zona II Semua larangan yang disebutkan pada larangan pada Zona III, ditambah •
Penggunaan pupuk kandang dan bahan kimia : pestisida, insektisida, fungisida dll.
•
Penggunaan pupuk mineral / pupuk buatan yang berlebihan
•
Adanya SPBU, usaha bengkel, pencucian dan tempat parkir mobil dan motor
•
Penggalian tanah pada aereal relatif luas
•
Pembangunan jalan raya
•
Adanya kandang hewan dalam skala relatif besar, misalnya peternaan ayam, sapi, babi dll.
•
Adanya kolam renang, daerah perkemahan dan fasilitas olah raga
c. Larangan pada Zona I Semua larangan yang disebutkan pada larangan pada Zona III dan II, ditambah : •
Zone I harus dipagari dengan jarak minimum 10 m dari sumur
•
Air permukaan di zona ini harus bersih dari semua subtansi yang dapat menurunkan kualitas airtanah.
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
9
CONTOH KASUS PEMETAAN ZONA PSAB
3.1. Mataair Dedari – Kab. Tabanan 3.1.1. Deskripsi Umum Lokasi
: Desa Kuwun, Desa Selanbawak, Kec. Marga
Tahun konstruksi broncapt.
: 1998
Elevasi
: 228 m dpl
Debit
: 30 lt/dt
Jenis Aliran
: Pompa
Kapasitas produksi
: 15 lt/dt
3.1.2. Deskripsi Bronkaptering Dedari Bronkaptering terletak pada tebing sungai (± 10 m dari permukaan air sungai), terdiri dari 2 unit bronkaptering (B), dan pipa utama menuju reservoar. Pipa ke reservoar berada diatas sungai menggunakan jembatan gantung. Air yang terkumpul di reservoar (R) kemudian
dinaikkan menggunakan pompa air
berkekuatan besar. Dinding bronkaptering sudah mulai ditumbuhi lumut dan rumput-rumput kecil, bronkaptering belum dipagari, pipa pelepas tekanan pada kondisi baik, dan tutup bronkaptering pada kondisi rapat/baik. Gambaran umum situasi penangkap air terlihat seperti pada gambar 3.1 di bawah ini. 3.1.3. Akuifer dan Genesa Mataair Dedari Secara regional sistem akuifer yang ada di sekitar Tabanan adalah sistem akuifer bebas. Akuifer ini tersusun atas lapisan batuan sedimen volkanoklastik, yaitu breksi epiklastik , bersifat grain supported, fragmen berupa andesit porfir yang berukuran kerikil hingga bongkah, bentuk sub rounded – sub angular, dan massif. Selain itu juga terdapat fragmen pumice dengan prosentase kecil berukuran
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
10
kerakal. Sedangkan matriknya pasiran, sedikit lapuk, rapuh, terdapat kekar-kekar dengan panjang antara 1 hingga 5 meter dan interval kekar 30 cm hingga 2 meter. Hampir semua mataair di sekitar Tabanan muncul dari batuan breksi epiklastik, yang terekspos di daerah lereng sebelah selatan dan utara. Mataair Dedari adalah salah satu contoh mataair yang muncul pada suatu tebing dari satuan batuan breksi epiklastik. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan, bahwa kemunculan mataair Dedari disebabkan oleh pemotongan muka airtanah oleh topografi dan adanya dukungan dari kekar-kekar yang ada. Konsep genesa hidrogeologi yang menerangkan kejadian munculnya mataair Dedari ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Keterangan : : Breksi epiklastik : Kekar-kekar
m.a.t
Gambar 3.2. Genesa mataair Dedari
3.1.4. Zona Perlindungan Sumber Air Baku Zona Perlindungan Sumber Air Baku untuk mataair Dedari diuraikan sebagai berikut : Zona I
: zona ini merupakan area sekitar mataair radius 10 m dan lingkungan penyadap sumber air baku yang ada saat ini.
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
11
Zona II
: zona ini merupakan area dengan jarak ke arah upstream sejauh 276 m, dengan lebar ke arah sisi kiri 110 m dan sisi kanan 133 m di ukur dari mata air.
Zona III
: zona ini merupakan luas catchment area mata air
3.1.5. Implementasi Perlindungan Sumber Air Baku Berdasarkan atas kondisi tata guna lahan di zona I, zona II dan zona III, maka tindakan yang dilarang dan perlu dilakukan untuk melindungi sumber air baku dari pencemaran adalah seperti pada table 3.1.
Gambar 3.1. Sketsa situasi broncaptering mataair Dedari, Kab. Tabanan DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
12
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
13
Tabel 3.1. Tindak lanjut perlindungan untuk tiap zona Perlindungan Sumber Air Baku di mataair Dedari
Zona Perlindungan Airtanah Zona I radius 15-20m dari kumpulan mataair
Zona II jarak ke arah upstream 420 m, downstream 50 m, tepi 200 470 m mulai dari mataair
Sumber kontaminan dan faktor yang mempengaruhi kualitas – kuantitas airtanah
Program yang harus dilaksanakan
Tindakan yang dilarang
Sekitar Bronkaptering • Injeksi zat– zat berbahaya dan urine ke dalam bronkap
•
Ladang dan sawah • Resiko kontaminasi oleh penggunaan pupuk kandang dan pupuk buatan
•
Pemukiman • Pencemaran nitrat dan bakteri coli dari kotoran manusia dan hewan Peternakan ayam • Kotoran dan limbah ternak ayam
• • • • •
Melakukan kegiatan apapun yang dapat menurunkan kualitas airtanah penggunaan pupuk buatan dan pupuk kandang yang berlebihan
•
membuang kotoran (tinja) di sembarang tempat membuang sampah cair dan padat sebarangan Membuat kandang pada zona II Menumpuk kotoran ayam di tempat yang tidak kedap Membuang limbah ternak di zona II
•
• •
• • •
Pemagaran bronkap secara permanen Memelihara lingkungan di zona I Penyuluhan tentang penggunaan pupuk yang ramah lingkungan dan pengembangan metode bertani berhasil guna Penyuluhan tentang cara hidup sehat Sosialisasi penggunaan septic tank, drainase Memindahkan lokasi kandang ke luar zona II Melakukan pengawasan dan menyimpan kotoran ayam pada tempat yang kedap
Penilaian
Prioritas pelaksanaan program
Program (p)
Biaya (b)
Total nilai [p+b]
3
2
5
Prioritas I
2
3
5
Prioritas II
3
2
5
Prioritas II
3
2
5
Prioritas II
2
1
3
Prioritas IV
2
2
4
Prioritas III
Keterangan : Penilaian program Program sangat mendesak mendesak cukup mendesak
nilai 3 2 1
Penilaian biaya Biaya sangat mahal mahal cukup mahal
nilai 1 2 3
14
3.2. Mataair Gembrong – Kab. Tabanan
3.2.1. Deskipsi Umum Lokasi Mataair
: Dusun Wajageseng, Kec. Penebel
Tahun konstruksi
: 1990
Elevasi
: 674 m dpl
Debit pemompaan
: 250 lt/dt
Jenis Aliran
: Gravitasi
Kapasitas produksi
: 140,19 lt/dt
3.2.2. Deskripsi Bronkaptering Gembrong Pada lokasi ini dibangun bronkaptering pada cekungan antar bukit, yang merupakan lokasi kumpulan mataair. Kondisi bronkaptering relatif baik dan terawat, dan selalu dalam keadaan terkunci. Bronkaptering tersebut juga telah dipagari dengan baik. Di sekitar bronkaptering ini juga telah dibangun saluran drainase, kondisi tersebut di atas digambarkan seperti pada Gambar 3.3.
3.2.3. Akuifer dan Genesa Mataair Gembrong Sistem akuifer yang ada di sekitar mataair Gembrong adalah sistem akuifer bebas dan dangkal. Akuifer ini tersusun atas lapisan batuan sedimen volkanoklastik, yaitu breksi epikalstik yang grain supported, fragmen batuan beku andesit porfir yang berukuran kerikil hingga bongkah, bentuk sub rounded – sub angular, dan massif. Sedangkan matriknya pasiran, sedikit lapuk, rapuh, terdapat kekar-kekar dengan panjang antara 0,75 hingga 4 meter, interval kekar antara 25 cm hingga 2,5 meter. Selain itu juga tersusun dari breksi autoklastik yang mempunyai bentuk membaji dengan tekstur matrik supported mempunyai matriks yang terdiri dari butiran batuan beku dan pumice, sedangkan fragmennya juga terdiri dari batuan beku dan pumice dengan ukuran relatif besar, yaitu kerikil hingga kerakal yang relatif lebih segar. Berdasarkan data di lapangan serta data sekunder, maka dapat disimpulkan bahwa mataair Gembrong ini terjadi oleh pemotongan muka airtanah oleh
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
15
topografi dan adanya dukungan dari kekar-kekar yang adapada satuan breksi. Konsep genesa secara hidrogeologis yang menerangkan kejadian munculnya mataair Gembrong ini dapat dilihat pada gambar 3.4.
Keterangan : : Breksi epiklastik : Breksi autoklastik : Kekar-kekar
m.a.t
Gambar 3.4. Genesa Mataair Gembrong
3.2.3. Zona Perlindungan Sumber Air Baku Zona Perlindungan Sumber Air Baku untuk mataair Gembrong diuraikan sebagai berikut : Zona I
: zona ini merupakan area sekitar mataair beradius 10 - 15 m dan lingkungan pengolah sumber air baku yang ada pada saat ini.
Zona II : zona ini adalah area dengan jarak ke arah upstream sejauh 564 m, dengan lebar ke arah sisi kiri 320 m dan sisi kanan 320 m di ukur dari mata air. Zona III : zona ini merupakan catchment area dari mata air 3.2.4. Implementasi Perlindungan Sumber Air Baku Berdasarkan atas kondisi tata guna lahan dan aktivitas yang ada di zona I, zona II dan zona III, maka tindakan yang dilarang dan perlu dilakukan untuk melindungi sumber air baku tersebut dari proses pencemaran seperti diuraikan pada tabel 3.2.
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
16
Gambar 3.3. Sketsa situasi broncaptering mataair Gembrong, Bali
DR. Heru Hendrayana – GED - UGM
17
Tabel 3.2. Tindak lanjut perlindungan untuk tiap zona Perlindungan Sumber Air Baku di mataair Gembrong Zona Sumber kontaminan dan Perlindunga faktor yang n mempengaruhi kualitas – Airtanah kuantitas airtanah Sekitar Bronkaptering Zona I radius 15-20m • Injeksi zat– zat berbahaya dari kumpulan dan urine ke dalam mataair bronkap Ladang • Resiko kontaminasi pupuk Zona II kandang dan pupuk jarak ke arah buatan upstream Pemukiman 420 m, • Pencemaran nitrat dan downstream bakteri coli dari kotoran 50 m, tepi manusia dan hewan 200-470 m • Limbah rumah tangga mulai dari Hutan mataair • Pencemaran dari air permukaan Kandang sapi • Kontaminasi oleh kotoran hewan Penilaian program Program sangat mendesak mendesak cukup mendesak
Tindakan yang dilarang
Program yang harus dilaksanakan
• Melakukan semua kegiatan yang dapat menurunkan kualitas air
• Pemagaran bronkap secara permanen • Memelihara lingkungan sekitar bronkaptering
• penggunaan pupuk buatan dan pupuk kandang yang berlebihan
• Penyuluhan tentang penggunaan pupuk yang ramah lingkungan dan pengembangan metode bertani yang berhasil guna • Penyuluhan tentang cara hidup sehat • Sosialisasi penggunaan septic tank • Pembuatan saluran drainase
• membuang kotoran (tinja) di sembarang tempat • Membuang dan menimbun limbah cair dan pada dari RT • Penebangan hutan di zona II (untuk pengambilan kayu, pemukiman ataupun lahan pertanian) • Membuat kandang pada zona II • Menumpuk kotoran di tempat yang tidak kedap nilai 3 2 1
• Penyuluhan dan pengawasan di lapangan • Reboisasi daerah yang terlanjur gundul • Memindahkan lokasi kandang ke luar dari zona II • Pengawasan dan melarang menimbun kotoran di tempat yang tidak kedap Penilaian biaya Biaya sangat mahal mahal cukup mahal
Penilaian
Prioritas pelaksanaan program
Program (p)
Biaya (b)
Total nilai [p+b]
3
2
5
Prioritas I
2
3
5
Prioritas II
3
2
5
Prioritas II
3
2
5
Prioritas II
2
2
4
Prioritas III
2
1
3
Prioritas IV
2
1
3
Prioritas IV
2
2
4
Prioritas III
nilai 1 2 3
18
PELAKSANAAN PROGRAM PSAB
Dalam pelaksanaan Program Raw Water Resources Protection Zones = RWRP (Perlindungan Sumber Air Baku = PSAB) di setiap daerah percontohan, perlu disusun dan ditetapkan tahapan-tahapan yang harus ditempuh untuk mencapai target program PSAB. Tahapan pelaksanaan program PSAB tersebut adalah : Tabel 4.1. Tahapan pelaksanaan program PSAB yang harus dilaksanakan di setiap daerah. TAHAP
AKTIVITAS
Tahap 1
Workshop : Sosialisasi program Perlindungan Sumber Air Baku (PSAB), Keluaran : Komitmen Pemda setempat dan pihak terkait untuk secara bertahap bersedia melaksanakan program PSAB
Tahap 2
Survey hidrogeologi dan pemetaan pada sumber air baku yang ditetapkan, sebagai materi untuk Rancangan Perda Perlindungan Sumber Air Baku
Tahap 3
Workshop : Sosialisasi hasil survey hidrogeologi dan pemetaan zona PSAB pada sumber air baku terpilih, Keluaran : Komitmen Pemda setempat dan pihak terkait untuk bersedia melaksanakan persiapan Perda PSAB
Tahap 4
Pembentukan Tim Inti terdiri dari PDAM, Biro Hukum dan Dinas Kesehatan yang bertugas sebagai tim penyusun Draft Raperda PSAB
Tahap 5
Persiapan dan penyusunan Draft Raperda PSAB (berdasarkan hasil survey hidrogeologi dan pemetaan) oleh Tim Inti
Tahap 6
Workshop : Sosialisasi Draft Awal Raperda PSAB untuk mendapatkan masukan dan koreksi dari pihak/instansi terkait
Tahap 7
Penyempurnaan dan finalisasi Draft Akhir Raperda PSAB oleh Tim Inti dengan melakukan beberapa kali pertemuan intern anggota Tim Inti
Tahap 8
Workshop : Pembahasan terhadap Draft Akhir Raperda PSAB oleh Tim Inti dan instansi lintas sektoral, Keluaran : Persetujuan Draft Raperda PSAB untuk diajukan kepada DPRD oleh Pemda setempat
19
Tahap 9
Pengajuan Raperda PSAB ke DPRD, dilanjutkan dengan Pembahasan dan Diskusi Raperda PSAB di DPRD
Tahap 10
Pengesahan Perda PSAB oleh DPRD dan Pencatatan sebagai Lembaran Daerah
Tahap 11
Mempersiapkan Surat Keputusan Bupati/Walikota (Kepala Pemerintahan Daerah setempat) sebagai petunjuk teknis pelaksanaan Perda PSAB
Tahap 12
Sosialisasi dan Implementasi Perda PSAB
Setelah dilakukan pemetaan atau zonasi perlindungan sumber air baku, maka implementasi jangka pendek program Zona Perlindungan Sumber Air secara umum dapat dilakukan dengan melalui dua tahapan utama, yaitu : 1. Tahap pertama ; merupakan tahapan jangka pendek, yaitu melakukan program-program tindak lanjut pada zona I. Program pada zona I tidak membutuhkan sosialisasi karena program-program pada zona I umumnya bersifat intern sebagai tanggungjawab pengelola sumber air/PDAM, dan masih berada di lahan sumber air milik pengelola. Tindak lanjut yang dilakukan berdasar kepada prioritas pelaksanaan program, yaitu prioritas I, II dan seterusnya. 2. Tahap kedua ; merupakan tahapan jangka panjang, yaitu melakukan programprogram tindak lanjut pada zona II. Program tindak lanjut pada zona II membutuhkan perangkat hukum (PERDA) dan sosialisasi, serta kerjasama pihakpihak terkait. Pelaksanaan tindak lanjut dilaksanakan berdasarkan prioritas dan dipisahkan berdasarkan jenis follow up. Prioritas yang bernilai sama harus dipilih sesuai dengan kondisi umum di lokasi sekitar sumber air tersebut. Misal untuk lokasi sekitar sumber air dengan kondisi umum sebagai lahan pertanian, maka hal-hal tindak lanjut untuk menanggulangi pencemaran oleh limbah pertanian pantas untuk diprioritaskan. Tahapan implementasi program Zona Perlindungan Airtanah secara umum digambarkan pada diagram alir berikut ini:
20
PERDA
Sosialisasi / Penyuluhan
TAHAP I Implementasi tindak lanjut pada zona I
Dilakukan berdasarkan prioritas
TAHAP II Implementasi tindak lanjut pada zona II & III Dilakukan berdasar prioritas dan kondisi umum
Pembangunan fisik
Penyuluhan
Pengembangan
Kendala-kendala yang umumnya muncul pada implementasi zona perlindungan sumber air baku dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Kendala teknis a) Pemanfaatan dan pelaksanaan penerapan zona perlindungan sumber air baku memerlukan waktu yang lama, karena membutuhkan koordinasi antar instansi terkait dan masyarakat. b) Tata guna lahan yang ada di sekitar lokasi unit operasional yang diteliti telah beranekaragam, akibatnya timbul kesulitan dalam pengaturan dan penerapan program implementasi zona perlindungan sumber air baku. c) Beberapa program tindak lanjut yang harus dilaksanakan dalam penerapan zona perlindungan sumber air baku memerlukan biaya yang cukup besar.
21
d) Masih diperlukan peningkatan sumber daya manusia dalam penentuan zona perlindungan sumber air baku. 2. Kendala non-teknis a)
Perangkat hukum untuk penerapan zona perlindungan sumber air baku belum ada, akibatnya segala tindakan yang berhubungan dengan masyarakat belum mempunyai dasar hukum.
b)
Penerapan zona perlindungan sumber air baku harus melalui beberapa instansi terkait, sehingga pelaksanaannya membutuhkan jenjang birokrasi yang cukup panjang.
Segala tindakan larangan atau pembatasan kegiatan, serta tindak lanjut program
pada
zona
Perlindungan
airtanah
yang
disebutkan
pada
bab
sebelumnya, akan dapat berjalan secara efektif dengan mempertimbangkan empat hal berikut ini: 1. Implementasi
zona
Perlindungan
airtanah
harus
diatur
melalui
PERDA
Kabupaten atau Propinsi dengan mengacu pada PERMENKES (Peraturan Menteri Kesehatan) dan UULH (Undang-Undang Lingkungan Hidup). 2. Kesiapan PDAM, PEMDA dan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan program PSAB, baik kesiapan teknis, non teknis maupun kesiapan perangkat hukum yang akan mengatur program tersebut. 3. Kesadaran dan kesiapan masyarakat mengenai adanya zona PSAB dan segala larangan/pembatasan kegiatan yang berlaku di zona tersebut. 4. Komitmen Pemegang Kebijakan, aparat PEMDA, pengelolan sumber air/PDAM, masyarakat dan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan program Perlindungan airtanah. Kesiapan dan kesadaran masyarakat yang berada dalam zona PSAB diharapkan dapat mendukung pelaksanaan program ini. Dalam hal ini penyuluhan dan pendekatan sosial kepada penduduk harus aktif dilakukan dengan membuat tim yang bertanggungjawab terhadap penyuluhan, yang terdiri dari pihak terkait PDAM, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kecamatan/Desa. Isi dari penyuluhan berkaitan arti penting zona PSAB, dengan adanya keterbatasan dan larangan dalam zona tersebut, serta jalan keluar yang akan dilakukan untuk menanggulangi kerugian yang ada dalam zona tersebut.
22