ZIYADAH DALAM UTANG PIUTANG (Studi Kasus Utang Piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh
Kabupaten Grobogan)
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh:
ENI DWI ASTUTI 052311070
JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum.
Dra. Hj. Noor Rosyidah, M.SI.
PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eks.
Kpd Yth.
Hal
Dekan Fakultas Syariah
: Naskah Skripsi A.n. Sdri. Eni Dwi Astuti
IAIN Walisongo Semarang Di Semarang
Assalamu'alaikum. Wr. Wb. Setelah saya meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya bersama ini saya kirim naskah skripsi saudari : Nama
: Eni Dwi Astuti
NIM
: 052311070
Judul Skripsi : ZIYADAH DALAM UTANG PIUTANG (Studi Kasus Utang Piutang
Di
Desa
Kenteng
Kecamatan
Toroh
Kabupaten
Grobogan). Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudari tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Semarang, 8 Juni 2010 Pembimbing I
Pembimbing II
Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. NIP. 19711012 199703 1 004
Dra. Hj. Noor Rosyidah, M.SI. NIP. 19650909 199403 2 002
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG FAKULTAS SYARI’AH Jl.Prof. Dr. Hamka KM 2 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN Nama : NIM : Fakultas/Jurusan : Judul Skripsi :
Eni Dwi Astuti 052311070 Syari’ah / Muamalah ZIYADAH DALAM UTANG PIUTANG (Studi Kasus Utang Piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan) Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal: ______________ Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Syari’ah. Semarang, Dewan Penguji Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Muhammad Saifullah, M.Ag NIP. 19700321 199603 1 003
Dra. Hj. Noor Rosyidah,M.SI. NIP. 19650909 199403 2 002
Penguji I,
Penguji II,
Rustam Dahar K.A.H, M.Ag. MH. NIP. 19690723 199803 1 005 004
Maria Anna Muryani, SH.
Pembimbing I
Pembimbing II
Moh. Arifin, S.Ag. M.Hum. NIP. 19711012 199703 1 004
Dra. Hj.Noor Rosyidah,M.SI. NIP. 19650909 199403 2 002
NIP. 19620601 199303 1
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Juni 2010 Deklarator,
Eni Dwi Astuti NIM: 052311070
ABSTRAK Utang piutang ini merupakan sebuah akad yang bertujuan untuk tolong menolong, bukan sebagai pengembangan modal. Sehingga syarat tambahan atau bunga yang ditetapkan baik secara pribadi atau pun kesepakatan kedua belah pihak itu tidak diperbolehkan. Karena hal ini pada dasarnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Akan tetapi kenyatannya, banyak transaksi utang piutang yang mensyratkan lebih atau berbunga yang terjadi dalam masyarakat. Bahkan orang Islam pun banyak yang melaksanakannya. Dalam scope yang terbatas, kenyataan ini dapat di saksikan di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Praktek utang piutang yang dilakukan oleh masyarakat desa tersebut adalah utang piutang dengan bunga atau yang lebih dikenal dengan istilah anakan. Dan masyarakat di desa tersebut sudah terbiasa dengan fenomena utang piutang semacam ini. Melihat fenomena ini penulis tertarik untuk menelitinya yang mengacu pada pokok masalahnya sebagai berikut: Bagaimana praktek utang-piutang dan faktor-faktor yang melatarbelakangi transaksi utang-piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan?. Dan Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tambahan dalam utang-piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan? Jenis penelitian ini dilihat dari objeknya termasuk penelitian lapangan atau field research yang dilakukan di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan. Untuk mendapatkan data yang valid, penulis menggunakan metode pengumpulan data yaitu wawancara. Sumber data dalam penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Setelah data-data terkumpul maka penulis menganalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada akhirnya hasil penelitian ini berkesimpulan, dalam pelaksanaan utang piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan ini rukun dan syarat al-qardh telah dipenuhi, maka praktek utang piutang ini sudah sah menurut hukum Islam. Sedangkan Faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya praktek tersebut dikarenakan adanya kemudahan dalam menutupi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Ditambah dengan minimnya pengetahuan tentang hukum transaksi tersebut dalam Islam. Bahwa tidak setiap tambahan yang terdapat dalam utang piutang itu riba, tetapi lebih tergantung pada latar belakang serta akibat yang di timbulkan. Dengan demikian tambahan dalam transaksi di desa tersebut tidak terlarang untuk di ambil karena dalam hal ini para pihak tidak ada yang dirugikan dan juga tidak mengakibatkan para pihak terpuruk dan susah dalam kehidupan ekonominya dengan adanya tambahan dalam transaksi tersebut.
KATA PENGANTAR ÉOŠÏm§•9$# Ç`»uH÷q§•9$# «!$# ÉOó¡Î0
Segala puji kehadirat Ilahi Rabby yang telah melimpahkan rahmat dan hidayatNya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Sholawat diiringi salam selalu tercurahkan kepada pahlawan revolusioner Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa pencerahan dalam kehidupan seluruh ummat manusia. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari semua pihak dengan berbagai bentuk kontribusi yang diberikan, baik secara moril ataupun materiil. Dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, Drs. Muhyidin, M. Ag beserta seluruh stafnya yang telah memberikan berbagai kebijakan untuk memanfaatkan segala fasilitas di Fakultas Syari’ah
2.
Bapak Moh. Arifin S.Ag, M.Hum. dan Ibu Dra. Hj. Noor Rosydah, M. Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan waktu, pikiran, dan perhatian serta dengan penuh kesabaran membimbing dalam proses penulisan skripsi.
3.
Bapak Dede Rodin selaku dosen wali studi yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menempuh perjalanan di kampus IAIN Walisongo Semarang.
4.
Seluruh dosen Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang telah memberikan pelajaran dan pengajaran kepada penulis sehingga dapat mencapai akhir perjalanan di kampus IAIN Walisongo Semarang.
5.
Kepala Desa dan tokoh masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan beserta staf-stafnya yang telah mengizinkan penulis untuk penelitian. Terimakasih atas waktu dan bantuannya.
6.
Segenap masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan khususnya para pihak yang terlibat langsung dalam penelitian ini. Terimakasih atas waktu dan bantuannya.
7.
Bapak, Ibu dan keluarga tercinta yang selalu memberikan support, terimakasih atas segala pengorbanan yang telah dilakukan. Do’a restu kalian menjadi kekuatan untuk penulis.
8.
Sahabat-sahabat, Fatim, Cahya, Mas Huda dan Sofi yang telah menemani penulis dalam suka dan duka dalam mengarungi dinamika kehidupan kampus. Terima kasih atas segala warna yang kalian berikan.
9.
Ibu Kos dan Keluarga, Teman-Teman Kos “Wartel Sumber Agung” dan temanteman kos “Ringinsari” Fiqoh, Fuzi, Desi, Choris, Lia, Kak Daim, Yuli, Maesa, Azizah, Indah dan yang lain, yang telah memberikan dukungan penuh demi terselesaikannya skripsi ini.
10. Kawan-kawan sekelas MU-A `05 dan seluruh teman seangkatan. Terima kasih atas pertemanan yang penuh kehangatan. 11. Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bentuk kontribusi yang diberikan kepada penulis. Semoga amal baik kalian mendapat balasan dari Yang Maha Sempurna. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan baik berupa saran maupun kritik demi kelengkapan dan sempurnanya skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya.
Semarang, Juni 2010 Penulis,
ENI DWI ASTUTI NIM.052311070
PERSEMBAHAN Skripsi ini saya persembahkan kepada: v Bapak dan Ibu tercinta, kasih sayangmu tak lekang oleh waktu. v Adekku tercinta, tetaplah optimis menghadapi hidup. v Keluarga besarku, terimaksih atas sprit dan doa yang kalian berikan. v My best friend, memey, aya, coffe, dan uyii, terima kasih atas sprit, waktu dan doa yang kalian berikan. v Temen-temen seangkatan dan temen-temen kost Ringin sari dan Tanjunsari terima kasih atas spirit dan do a yang kalian berikan.
MOTTO
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya (QS. Al-Maidah: 2)
1
1
Depag, Al-Qur an dan terjemah, Semarang: Toha Putera, 2006, Hlm. 106
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................
i
HALAMAN NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING........................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ...............................................................................
iii
HALAMAN DEKLARASI ....................................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK ........................................................................................
v
HALAMAN KATA PENGANTAR.......................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................
ix
HALAMAN MOTTO ............................................................................................
x
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
xi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................................
1
B. Perumusan Masalah ................................................................................
7
C. Tujuan Penelitian....................................................................................
7
D. Telaah Pustaka........................................................................................
8
E. Metode Penelitian ...................................................................................
13
F. Sistematika Penulisan .............................................................................
15
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG UTANG PIUTANG A. Pengertian Utang Piutang .......................................................................
17
B. Dasar Hukum Utang Piutang ..................................................................
20
C. Rukun dan Syarat Utang Piutang ............................................................
23
D. Hak Dan Kewajiban Kreditur dan Debitur ..............................................
30
E. Tambahan dalam Utang Piutang .............................................................
33
BAB III :
PRAKTEK
UTANG
PIUTANG
DI
DESA
KENTENG
KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN A. Monografi dan Demografi Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan .......
37
B. Praktek utang piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan ...........
42
C. Faktor-faktor yang melatarbelakangi praktek utang piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan.........................................................................
48
BAB IV : ANALISIS UTANG PIUTANG DI DESA KENTENG KECAMATAN TOROH KABUPATEN GROBOGAN A. Analisis
Terhadap
Praktek
Utang
Piutang
dan
Faktor-faktor
yang
Melatarbelaknginya di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan 61 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Tambahan dalam Utang Piutang di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan .......................................
73
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................................
85
B. Saran ..........................................................................................................
86
C. Penutup ......................................................................................................
86
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, kehidupan masyarakat di pedesaan ditandai dengan kuatnya ikatan sosial. Mereka umumnya dipersatukan oleh ikatan primordial (kesukuan) yang bersumber pada kesamaan leluhur dan gotong-royong (tolongmenolong atau ta awun) merupakan adat mereka. Dalam masyarakat kekerabatan yang beradat gotong-royong, tradisi meminjam barang dan utang-piutang berkembang. Sebagaimana dalam era ini, ekonomi semakin sulit, namun kebutuhan yang tidak terbatas terus mengejar, ditambah barang ekonomis melonjak dengan harganya yang tinggi. Utang-piutang seakan telah menjadi salah satu solusi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang tidak terpisahkan ditengah hiruk-pikuk kehidupan di pedesaan. Karena sudah lazim ada pihak yang kekurangan dan ada pula pihak yang berlebih dalam hartanya. Ada pihak yang tengah mengalami kesempitan dalam memenuhi kebutuhannya, dan ada pula pihak lain yang tengah dilapangkan rezekinya. Namun itu semua adalah roda yang berputar. Biasa saja, yang kemarin mungkin sebagai pihak pengutang, hari ini bisa berstatus sebagai pemberi pinjaman. Semuanya saling mengisi dan berganti peran dalam sebuah panggung bernama dunia.2 Utang-piutang dalam istilah Arab sering disebut dengan al-dain (jamaknya al-duyun) dan al-qardh. Dalam pengertian yang umum, utang piutang mencakup
2
http://al-ilmu.com/magazines/detail.php, hlm. 1, diakses tgl 10 Januari 2010
transaksi jual-beli dan sewa-menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Transaksi seperti ini dalam fikih dinamakan mudayanah atau tadayun.3 Secara bahasa qardh merupakan bentuk mashdar dari qaradha asy-syai yaqridhuhu, yang berarti dia memutusnya. Qaradh adalah bentuk mashdar yang berarti memutus. Dikatakan, qaradhtu asy-syai a bil-miqradh. Aku memutus sesuatu dengan gunting. 4 Adapun yang dimaksud dengan utang piutang adalah memberikan ”sesuatu
kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar
yang sama dengan itu.5 Pengertian “sesuatu
dari definisi diatas mempunyai makna yang luas,
selain dapat berbentuk uang, juga bisa saja dalam bentuk barang, asalkan barang tersebut habis karena pemakaian. Pengertian utang-piutang ini sama pengertiannya dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 yang berbunyi : Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang lain ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.6 Utang-piutang (al-qardh) merupakan salah satu bentuk muamalah yang bercorak ta awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam al-Qur’an dan al-Hadist sangat kuat menyerukan prinsip hidup gotongroyong seperti ini. Bahkan al-Qur’an menyebut piutang untuk menolong atau
3
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 151 Taqdir Arsyad dan Abul Hasan (ed), Ensiklopedi Fiqih Muammalah Dalam Pandangan 4 Mazhab,Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, Cet. 1, 2009, h. 153 5 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, h. 136 6 Ibid 4
meringankan orang lain yang membutuhkan dengan istilah “mengutangkan kepada Allah dengan hutang baik”.7
( :
8
Artinya:
)
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak . (al-Hadid:11).
Memberikan utang ini merupakan salah satu bentuk dari rasa kasih sayang. Rasulullah
menamakannya
maniihah,
karena
orang
yang
meminjam
memanfaatkannya kemudian mengembalikannya kepada pengutang. Ada yang mengatakan bahwa memberi utang lebih baik daripada memberikan sedekah, karena seseorang tidak memberikan utang kecuali kepada orang yang membutuhkannya9. Dalam hadist shahih Rasulullah bersabda:
:
: ( Artinya:
7
)
Dari Anas ibn Malik ra. Berkata, Rasulullah SAW. Bersabda: Pada malam aku diisra kan aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis shadaqah dibalas sepuluh kali lipat dan utang dibalas delapan belas kali lipat . Lalu aku bertanya: Wahai Jibril mengapa mengutangi lebih utama dari pada shadaqah? Ia menjawab: Karena meskipun seorang pengemis meminta-minta namun masih mempunyai harta, sedangkan seorang yang berutang pastilah karena ia membutuhkannya.(H.R. Ibnu Majah)
Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Ed. 1, Cet.1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 169-171 8 Departemen Agama, Al-Qur an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989, h. 902 9 Saleh al-Fauzan, al-Mulakhasul Fiqhi, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. 1, 2005, h. 410-411 10 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah , Juz Tsani, Beriut Lebanon: Darul Fikr, tt, h. 15
Hukum qardh (utang-piutang) mengikuti hukum taklifi, terkadang boleh, makruh, wajib dan terkadang haram. Hukumnya wajib jika memberikan kepada orang yang sangat membutuhkan seperti tetangga yang anaknya sedang sakit keras dan membutuhkan uang untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter. Hukumnya haram jika meminjamkan uang untuk maksiat atau perbuatan makruh, misalnya untuk membeli narkoba atau yang lainnya. Dan hukumnya boleh jika untuk menambah modal usahanya karena berambisi mendapatkan keuntungan besar.11 Islam menganjurkan dan menyarankan orang yang memberikan pinjaman dan membolehkan bagi orang yang diberi pinjaman, serta tidak memasukkannya ke dalam kategori meminta-meminta yang dimakruhkan, karena debitur mengambil harta untuk memanfaatkannya dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, lalu mengembalikan yang serupa dengannya.12 Disyaratkan untuk sahnya pemberian utang ini bahwa pemberi utang benarbenar memiliki harta yang akan dipinjamkan tersebut dan juga diketahui jumlah dan ciri-ciri harta yang dipinjamkan, agar dapat dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, piutang tersebut menjadi utang di tangan orang yang meminjam, dan wajib mengembalikannya ketika mampu dengan tanpa menunda-nundanya. 13 Diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan dari utang yang ia berikan ketika menggembalikannya. Para ulama’ sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan kepada pengutang untuk mengembalikan utangnya dengan adanya tambahan, kemudian si penghutang menerimanya maka itu adalah riba. Jadi selama
11
Taqdir Arsyad dan Abul Hasan (ed), Op. Cit., h. 157-158 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah Jilid 4, Jakarta: Pena Peduli Aksara, 2009, h. 115 13 Dimayuddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, , Yogyakarta: Pustaka Belajar, Cet. 1, 2008, 12
h. 256
tambahan, hadiah atau manfaat tersebut disyaratkan, maka itu adalah riba.
14
Rasulullah SAW. bersabda:
).
: (
Artinya: Telah menceritakan padaku, Yazid bin Abi Khabib dari Abi Marzuq AtTajji dari Fadholah bin Ubaid bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba (H.R. Baihaqi). Namun dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak orang yang beragama Islam melaksanakan praktek hutang-piutang dalam berbagai hal, dalam rangka pencaharian dan usaha mereka. Dalam scope yang terbatas, kenyataan ini dapat di saksikan pada masyarakat Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Utang-piutang yang dilakukan oleh masyarakat desa tersebut adalah utang piutang dengan bunga atau yang lebih dikenal dengan istilah anakan. Praktek utang-piutang anakan tersebut dengan cara: seseorang berutang kepada orang lain, dalam hal ini adalah orang yang dianggap terkaya di desa itu atau dari tabungan tahunan ibu-ibu arisan di desa tersebut, untuk memberikan utang sesuai kebutuhan si pengutang. Sebagai konsekuensinya, pihak yang berutang harus mengembalikan utang tersebut beserta tambahan atau anakannya sesuai dengan perjanjian diawal dan didasarkan atas keridhoan kedua belah pihak. Dalam utang-piutang ini, bunga atau anakannya bervariasi antara kreditur yang satu dengan kreditur yang lain, yaitu antara 3% sampai 10%. Dengan jangka
14 15
Saleh Al-Fauzan, Op. Cit. h. 411-412 Abi BakrAl-Baihaqi , Sunan Al- Kubra, juz 5, tp, Dar Al_Kutub Al-Ilmiah, tt, h. 350
waktu pengembaliannya bervariasi pula yaitu antara jangka satu tahun dengan semampunya pihak pengutang dapat melunasi tanggungannya tersebut. Dan pelunasannya dapat di cicil sebulan sekali. Transaksi utang piutang ini seakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan, yang notabenya mayoritas masyarakatnya adalah petani dan wirausahawan. Sehingga dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari mereka mengandalkan dari hasil pertanian yang mereka peroleh atau hasil usaha yang mereka jalankan. Oleh karena itu, keberadaan utang piutang ini cukup membantu masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan apabila mengalami kesulitan. Karena ketika mereka membutuhkan pinjaman untuk membeli pupuk atau untuk modal usaha, mereka dengan mudah mendapatkan pinjaman tersebut tanpa meninggalkan barang jaminan. Berangkat dari uraian diatas, maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul: ZIYADAH DALAM UTANG PIUTANG (Studi Kasus Utang Piutang Di Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan)
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka penulis akan merumuskan beberapa pokok masalah yang akan menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Adapun pokok permasalahan tersebut adalah: 1. Bagaimana praktek utang-piutang dan faktor-faktor yang melatarbelakangi transaksi utang-piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tambahan dalam utang-piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan?
C. Tujuan Penulisan Skripsi Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui praktek dan faktor-faktor yang melatarbelakangi utangpiutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan. 2. Untuk mengkaji dan mengetahui hukum Islam terhadap tambahan dalam utang piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan.
D. Telaah Pustaka Permasalahan utang piutang bukanlah hal yang baru untuk diangkat dalam sebuah penulisan skripsi maupun literatur lainnya. Sebelumnya telah banyak bukubuku atau karya ilmiah lainnya yang membahas tentang utang- piutang, diantaranya yaitu: Dalam buku
Hukum Perjanjian Dalam Islam
karyanya Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, membahas tentang rukun dan syarat utangpiutang dan melebihkan pembayaran, baik kelebihan yang diperjanjikan ataupun yang tidak diperjanjikan. Yang menyebutkan bahwa apabila kelebihan tersebut tidak diperjanjikan di awal, maka hal itu dibolehkan (halal) dan merupakan kebaikan bagi yang berhutang, tetapi bila kelebihan tersebut telah diperjanjikan di awal, maka kelebihan tersebut haram. 16
16
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., h. 137-138
Thesis Muslihun, M.Ag. dengan judul harga barang sebagai standar pengembalian utang piutang uang di lombok (tela ah aspek al- adalah dalam ekonomi Islam. Thesis ini membahas tentang praktek utang-piutang yang mana harga sebuah barang dijadikan standar sewaktu pengembalian utang piutang uang di pulau Lombok persepektif ekonomi Islam. Dan hasil penelitian thesis ini menyebutkan bahwa Landasan normatif-filosofis akad hutang-piutang (al-qardl) dalam perspektif Ekonomi Islam berangkat dari asumsi bahwa utang piutang adalah akad tabarru (akad sosial). Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi orang yang mempiutangi mengambil keuntungan dari akad sosial (utang piutang) yang dilakukannya. Tapi apabila mengikuti pola pikir kelompok modernis, seperti Fazlurrahman dan M. Qurais Shihab, maka konsep al- adalah (juctice) dapat menjadi alasan pembenaran utang-piutang (al-qardl) sejumlah uang dengan menggunakan standar harga barang sewaktu pengembaliannya di Pulau Lombok dalam perspektif ekonomi Islam. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan dua kondisi, yakni kemungkinan harga barang naik dan kemungkinan harga barang turun, dan harus dipastikan bahwa kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Sementara, jika mengikuti model cara berpikir kelompok neorevivalis, maka utang piutang berstandarisasi harga barang ini tetap dianggap sebagai riba yang diharamkan karena harga barang yang menjadi standar tersebut dapat naik, kenaikan tersebut tetap dianggap riba yang diharamkan.17 Skripsi
Lina
Fadjria
dengan
judul
Utang
Piutang
Emas
dengan Pengembalian Uang di Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dalam Perspektif Hukum Islam . Skripsi ini 17
Muslihun, M.Ag., harga barang sebagai standar pengembalian hutang piutang uang di lombok (tela ah aspek al- adalah dalam ekonomi Islam, Thesis Magister Studi Islam, Lombok, Perpustakaan IAIN Mataram, h. 25-26, t.d.
membahas tentang praktek utang piutang emas dengan pengembalian uang di kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya. Dan hasil penelitiannya menyebutkan bahwa praktek utang piutang di kampung Pandugo tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam, karena yang menjadi objek utang piutang tersebut merupakan barang yang tidak sejenis.18 Skripsi Junainah, dengan judul
Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Pelunasan Utang Sapi untuk Penanaman Tembakau Berdasarkan Ketentuan Kreditur di Ds. Sejati Kec. Camplong Kab. Sampang Madura . Skripsi ini membahas tentang tinjauan Hukum Islam terhadap akad utang sapi di Ds. Sejati yang dilakukan secara lisan dan tanpa saksi. Sedangkan pelunasannya mengikuti ketentuan kreditur, yakni dikembalikan dengan sapi yang umur dan ukurannya sesuai lamanya berutang atau sejumlah uang yang ditentukan langsung oleh kreditur. Selain itu jika berutang gagal panen, maka dia mendapat perpanjangan waktu dengan tambahan 5% dari jumlah pelunasan yang semula. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa akad yang dilaksanakan tanpa adanya saksi bisa menyebabkan akadnya tidak sempurna. Sebab menurut pendapat ulama’ saksi dalam transaksi adalah wajib. Sedangkan pelunasan yang berupa sapi adalah mubah. Demikian ini karena terdapat kesesuaian antara hukum Islam yang mewajibkan utang dikembalikan dengan benda yang sejenis dengan praktek utang sapi kembali sapi. Utang sapi yang dikembalikan dengan sejumlah uang yang ditentukan langsung oleh kreditur hukumnya haram. Sebab mengembalikan utang dengan benda yang tidak sejenis, seperti sapi kembali uang itu diharamkan dalam hukum Islam seperti penjelasan Hadis yang menerangkan adanya larangan 18
Lina Fadjria, Utang Piutang Emas dengan Pengembalian Uang di Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dalam Perspektif Hukum Islam, Pustakawan IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Library IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
pengembalian utang perak dengan emas. Sedangkan perpanjangan waktu bagi yang pailit dengan tambahan 5 % adalah haram. Hal ini dikarenakan jika ada tambahan dalam pembayaran utang yang disyaratkan oleh kreditur dalam akadnya, menurut kesepakatan ulama’ haram hukumnya. Sebab mengarah ke riba nasi ah.19 Skripsi Nurul Fadilah dengan judul "Tinjauan Hukum Islam Terhadap Implementasi Utang Pupuk Dengan Gabah Di Desa Pucuk Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto". Skripsi ini membahas tentang bagaimana deskripsi implementasi utang pupuk dengan gabah di Desa Pucuk Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto, dimana pihak debitur (petani) mengutang pupuk kepada pihak kreditur (pedagang pupuk), yang kemudian orang yang memberi utang melakukan kesepakatan tentang obyek yang diutangkan beserta terjadinya proses kesepakatan antara keduanya mengenai waktu pengembaliannya. Dengan mensyaratkan pelunasan utang harus berupa gabah kering, di mana harga pupuk yang diutangkan sudah ditinggikan dari harga pasaran, namun apabila telah tiba waktu jatuh temponya dan pengutang mengalami gagal panen, maka orang yang mengutangi melakukan penyitaan terhadap barang-barang yang dianggap berharga dengan ketentuan nilai sama dengan harga gabah kering. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa implementasi utang pupuk dengan gabah yang terjadi di Desa Pucuk Kecamatan Dawarblandong adalah tidak dibenarkan oleh Islam. Karena utang piutang dalam Islam mensyaratkan dalam hal
19
Junainah,, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelunasan Utang Sapi untuk Penanaman Tembakau Berdasarkan Ketentuan Kreditur di Ds. Sejati Kec. Camplong Kab. Sampang Madura, Skripsi Sarjana Syariah jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Lebrary IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
pengembalian utang harus sama dan sejenis. Bahkan dalam Islam memberi waktu kelonggaran kepada orang yang kondisinya pailit. 20 Meskipun semua hasil penelitian skripsi di atas sudah banyak yang membahas masalah utang piutang, namun tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk melakukan penelitian masalah utang piutang dari sudut pandang yang berbeda yaitu dilihat dari konstruk sosial masyarakat desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobongan yang melakukan transaksi utang piutang yang berbunga, yang notabenya mayoritas masyarakat daerah tersebut adalah muslim. Jika skripsi-skripsi yang sudah ada telah banyak membahas tentang praktek utang piutang yang dikaitkan dengan hukum Islam, akan tetapi pembahasan skripsi kali ini nantinya akan dikaitkan dengan obyek yang berbeda yaitu bagaimana hukum Islam meninjau fenomena utang piutang yang terjadi di desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan. Dan skripsi-skripsi yang sudah ada nantinya bisa penulis jadikan khazanah dan acuan bagi penulis dalam penyelesaian skripsi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
ZIYADAH DALAM UTANG
PIUTANG (Studi Kasus Utang Piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan)
E. Penegasan Istilah Untuk memudahkan dan memahami dalam menginterprestasikan judul tersebut, perlu dijelaskan dan ditegaskan istilah sebagai berikut : 20
Nurul Fadilah,, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Implementasi Hutang Pupuk Dengan Gabah Di Desa Pucuk Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto, Skripsi Sarjana Syari’ah jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Lebrary IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009
a. Ziyadah Ziyadah adalah melebihi dari pokoknya.21 Yang dimaksud ziyadah dalam penelitian ini adalah tambahan atau pengembalian utang yang melebihi dari pokoknya dalam transaksi utang piutang yang terjadi di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan. b. Utang Utang adalah uang yang dipinjam dari orang lain.22 Yang dimaksud utang dalam penelitian ini adalah sesuatu yang dipinjam oleh masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan yang mebutuhkan pinjaman. c. Piutang Piutang adalah uang yang dipinjam dari dan yang dipinjamkan oleh orang lain. 23 Yang dimaksud piutang dalam penelitian ini adalah sesuatu yang dipinjam dari pihak pemberi pinjaman kepada masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan yang membutuhkan pinjaman. d. Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan Merupakan salah satu desa di Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan. Dengan demikian dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan dari judul “Ziyadah Dalam Utang piutang (Studi Kasus Utang Piutang Di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan)” adalah suatu penelitian untuk mengetahui bagaimana hukum ziyadah (tambahan) dalam utang piutang yang terjadi di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan persepektif hukum Islam.
21
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Ed. 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, h. 57 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Ed. 4, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 1540 23 Ibid 22
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yaitu suatu penelitian yang meneliti objek di lapangan untuk mendapatkan data dan gambaran yang jelas dan konkrit tentang hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang di teiliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan penelitian ini, didapat pencandraan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu.24 Yaitu masyarakat desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan yang terlibat langsung dengan transaksi utang piutang. 2. Sumber Data Sumber data adalah subyek dari mana data bisa diperoleh.25 Ada dua macam sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: a.
Sumber Data Primer Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari.26 Data ini diperoleh langsung dari masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan yang terlibat langsung dalam transaksi utang piutang tersebut (dalam hal ini kreditur dan debitur) dan juga yang tidak terlibat langsung dalam transaksi utang piutang yang dilakukan dengan cara wawancara. Dalam penelitian ini, target populasinya adalah warga masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan yang terlibat langsung dengan
24
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,Jakarta, Rajawali Pers (cet. VII), 1992, hlm. 18 Ibid 26 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian Yogyakarta:, Pustaka Pelajar, 1999, h. 91. 25
tarasaksi utang piutang ini dan beragama Islam. Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subyeknya kurang dari 100, maka lebih baik semua sehingga penelitiannya merupakan penerlitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10% - 15% atau 20% - 25% atau lebih. 27 Karena target populasinya lebih dari 100 orang, maka cukup diambel sampelnya saja. Sampel dari penelitian ini adalah sebagian sebagian warga yang terlibat langsung dengan penelitian ini. Yaitu 10 orang yang terlibat langsung dengan transaksi utang piutang di Desa Kenteng yang diambil 5 Rw dari 11 Rw yang ada di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan. Berdasarkan pengamatan peneliti, target populasi masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan adalah mereka yang sudah berumah tangga. b.
Sumber Data Skunder Sumber data skunder adalah sumber yang menjadi bahan penunjang dan melengkapi suatu analisa. Dalam skripsi ini, yang dijadikan sumber sekunder adalah buku-buku referensi yang akan melengkapi hasil wawancara, yang telah ada.28
3. Metode Pengumpulan Data Untuk menjawab masalah penelitian, diperlukan data yang akurat di lapangan. Metode yang digunakan harus sesuai dengan obyek yang akan diteliti. Dalam penelitian lapangan ini, penulis menggunakan beberapa metode: a. 27 28
Metode Wawancara (Interview)
Suharsimi Arikunto, Op. Cit., h. 20 Ibid
Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dengan jalan komunikasi, yakni melalui kontak atau hubungan pribadi antara pengumpul data (pewawancara) dengan sumber data (responden).29 Dalam metode ini penulis akan melakukan wawancara secara langsung kepada responden, diantaranya yaitu: kreditur atau yang berpiutang, debitur atau yang berutang, dan masyarakat umum, misalnya tokoh masyarakat atau masyarakat yang tidak terlibat langsung dengan transaksi utang piutang di desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan.
4. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisis data dan mengambil kesimpulan data yang terkumpul. Dalam menganalisis data dalam penelitian ini menggunakan metode diskriptif normatif yaitu metode yang dipakai untuk membantu dalam menggambarkan keadaan atau sifat yang dijadikan obyek dalam penelitian dengan dikaitkan norma, kaedah hukum yang berlaku atau sisi normatifnya untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum. 30
G. Sistematika Penulisan Untuk dapat memahami dengan mudah isi skripsi secara keseluruhan, maka penulis akan menguraikannya dengan sistematika sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan 29
Rianto Adi, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004, h. 72 Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006, h. 302 30
Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi. Bab II : Tinjauan Umum Tentang Piutang Bab ini merupakan landasan teori yang akan digunakan membahas bab-bab selanjutnya. Bab ini meliputi: pengertian utang piutang, dasar hukum utang piutang, syarat dan rukun utang piutang, hak dan kewajiban kreditur dan debitur, dan tambahan dalam utang piutang. Bab III : Praktek utang piutang di Desa Kenteng Kec.Toroh Kab. Grobogan Bab ini merupakan data-data yang diperoleh dari lapangan yang kemudian sebagai acuan untuk analisis pada bab IV. Bab ini meliputi keadaan geografis dan demografi Desa Kenteng Kec.Toroh Kab. Grobogan, serta praktek utang piutang di Desa Kenteng Kec.Toroh Kab. Grobogan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi keberadaan praktek utang piutang tersebut. Bab IV : Analisis terhadap utang piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan Dalam bab ini, sebagai inti dari penulisan skripsi penulis akan menganalisa praktek utang piutang dan faktor-faktor yang melatarbelakangi transaksi tersebut serta hukum ziyadah dalam utang piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan perspektif Islam. Bab V : Penutup Merupakan bab akhir dari penulisan skripsi ini. Berisi kesimpulan yang merupakan hasil pemahaman, penelitian, dan pengkajian terhadap pokok masalah, saran-saran, dan penutup.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG UTANG PIUTANG
A. Pengertian Utang Piutang (al-qardh) Utang-piutang dalam istilah Arab sering disebut dengan al-dain (jamaknya al-duyun) dan al-qardh. Dalam pengertian yang umum, utang piutang mencakup transaksi jual-beli dan sewa-menyewa yang dilakukan secara tidak tunai (kontan). Transaksi seperti ini dalam fikih dinamakan mudayanah atau tadayun.31 Secara bahasa qardh merupakan bentuk mashdar dari qaradha asy-syai yaqridhuhu, yang berarti dia memutusnya. Qaradh adalah bentuk mashdar yang berarti memutus. Dikatakan, qaradhtu asy-syai a bil-miqradh. Aku memutus sesuatu dengan gunting. 32 Adapun yang dimaksud dengan utang piutang adalah memberikan “sesuatu
kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar
yang sama dengan itu.33 Pengertian “sesuatu
dari definisi diatas mempunyai makna yang luas,
selain dapat berbentuk uang, juga bisa saja dalam bentuk barang, asalkan barang tersebut habis karena pemakaian. Pengertian utang piutang ini sama pengertiannya dengan perjanjian pinjam meminjam yang dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 yang berbunyi : Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang
31
Rachmat Syafe’i, Loc. Cit. Taqdir Arsyad dan Abul Hasan (ed), Loc. Cit. 33 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Loc. Cit. 32
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang lain ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.34 Adapun definisinya secara syara adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya.35 Sedangkan para ulama’ berbeda pendapat dalam mengemukakan pengertian utang piutang, diantaranya yaitu: a. Menurut Mazhab Maliki yang dikutip oleh Mohammad Muslehuddin dalam bukunya yang berjudul Sistem Perbankan Dalam Islam, mendefinisikan “Qardh sebagai pinjaman atas benda yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas kasihan, dan bukan merupakan bantuan (ariyah) atau pemberian (hibah), tetapi harus dikembalikan seperti bentuk yang dipinjamkan.”36 b. Menurut Wahbah al-Zuhayliy, piutang adalah penyerahan suatu harta kepada orang lain yang tidak disertai dengan imbalan/tambahan dalam pengembaliannya. 37 c. Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi qardh sebagai harta yang diberikan oleh kreditor (pemberi pinjaman) kepada debitur (pemilik utang), agar debitur mengembalikan yang serupa dengannya kepada debitur ketika telah mampu.38 d. Berbeda dengan pengertian-pengertian di atas, Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Fiqh Muamalah mengartikan utang piutang dengan 34
Ibid Saleh Fauzan, Op. Cit., h. 410 36 Mohammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 1, 1990, 35
h. 74 37
Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, juz IV, Bairut: Dar al-Fikr, 1998 h.
38
Sayyid Sabiq, Op. Cit. h. 115
2915.
akad yang dilakukan oleh dua orang di mana salah satu dari dua orang tersebut mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan barang tersebut senilai dengan apa yang diambilnya dahulu. Berdasarkan pengertian ini maka “qard ( (
) memiliki dua pengertian yaitu; “ arah
) yang mengandung arti tabarru (
) atau memberikan harta kepada
orang dasar akan dikembalikan, dan pengertian mu awadlah, (
)
karena harga yang diambil bukan sekedar dipakai kemudian dikembalikan, tetapi dihabiskan dan dibayar gantinya.39 Jadi dengan demikian piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan pengembalian yang sama. Sedangkan utang adalah kebalikan pengertian piutang, yaitu menerima sesuatu (uang/barang) dari seseorang dengan perjanjian dia akan membayar atau mengembalikan utang tersebut dalam jumlah yang sama. Selain itu, akad utang piutang pada dasarnya merupakan bentuk akad yang bercorak ta awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.40
B. Dasar Hukum Utang Piutang Utang piutang secara hukum dapat didasarkan pada adanya perintah dan anjuran agama supaya manusia hidup dengan saling tolong menolong serta saling bantu membantu dalam lapangan kebajikan. Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah: 2 41
39
( :
)...
...
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999, h. 103 40 Gufron A. Masadi, Op Cit, h. 171 41 Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 156
Artinya:
...dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran... (Al-Maidah: 2)
Dalam transaksi utang piutang terdapat nilai luhur dan cita-cita sosial yang sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan. Dengan demikian, pada dasarnya pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasari niat yang tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam kebaikan. Ayat ini berarti juga bahwa pemberian utang atau pinjaman pada seseorang harus didasarkan pada pengambilan manfaat dari sesuatu pekerjaan yang dianjurkan oleh agama atau jika tidak ada larangan dalam melakukannya. Selanjutnya, dalam transaksi utang piutang Allah memberikan rambu-rambu agar berjalan sesuai prinsip syari ah yaitu menghindari penipuan dan perbuatan yang dilarang Allah lainnya. Pengaturan tersebut yaitu anjuran agar setiap transaksi utang piutang dilakukan secara tertulis 42. Ketentuan ini terdapat dalam surat alBaqarah ayat 282 sebagai berikut;
43
(
:
).....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar (Al-Baqarah: 282) Karena pemberian utang pada sesama merupakan perbuatan kebajikan, maka seseorang yang memberi pinjaman, tidak dibolehkan mengambil keuntungan (profit). Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, keuntungan apa yang diperoleh 42
http://bmtazkapatuk.wordpress.com/2009/02/16/utang-piutang-dalam-hukum-islam/, hlm. 2, diakses pada tgl 22 Maret 2010 43 Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya, Op. Cit h. 70
pemberi utang atau pemberi pinjaman? Tentang hal ini Allah menjawab dalam surat al-Hadid ayat 11 sebagai berikut;44 45
(
:
)
Artinya: Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak . (al-Hadid:11). Selain dasar hukum yang bersumber dari al-Qur’an sebagaimana di atas, pemberian utang atau pinjaman juga didasari Hadi Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai berikut;
: .. 46 ( Artinya:
)
Dari Ibnu Mas ud bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, Tidak ada seorang muslim yang mengutangi muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti sedekah. (H.R. Ibnu Majah)
Maksud hadist diatas adalah bahwa memberi utang kepada seseorang disaat dia membutuhkannya itu pahalanya lebih besar dari pada memberi sedekah. Karena utang hanya dibutuhkan oleh orang yang dalam kesempitan. 47
!
.
.
"
.
:
: (
44
)
http://bmtazkapatuk.wordpress.com , Op. Cit., h. 2 Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya , Loc. Cit. 46 Ibnu Majah, Loc. Cit. 47 Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, Ed. 2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, Cet. 3, 2001, h. 123 48 Ibnu Majah, Loc. Cit. 45
Artinya: Dari Anas ibn Malik r.a. Berkata, Rasulullah SAW. Bersabda: Pada malam aku diisra kan aku melihat pada sebuah pintu surga tertulis shadaqah dibalas sepuluh kali lipat dan utang dibalas delapan belas kali lipat . Lalu aku bertanya: Wahai Jibril mengapa mengutangi lebih utama dari pada shadaqah? . Ia menjawab: Karena meskipun seorang pengemis meminta-minta namun masih mempunyai harta, sedangkan seorang yang berutang pastilah karena ia membutuhkannya.(H.R. Ibnu Majah) Maksud hadist di atas adalah bahwa dalam hal ini, Nabi SAW. ingin memberikan sugesti agar orang tidak berat dalam memberikan pinjaman. Karena terkadang orang itu merasa keberatan bila harus memberikan pinjaman apalagi bersedekah, bilamana ketika keadaan ekonominya pas-pasan. Tetapi dengan jaminan pahala yang lebih, memberikan pinjaman akan terasa lebih ringan ketika seseorang belum mampu memberikan sedekah.49 Selain dasar hukumnya berasal dari al-Qur’an dan Hadits Rasulullah, para ulama telah bersepakat bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan ulama’ ini didasari pada tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.50
C. Rukun dan syarat utang piutang Syarkhul Islam Abi Zakaria al-Ansari memberi penjelasan bahwa rukun utang piutang itu sama dengan jual beli yaitu:
49
M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan Manajemen Islamy, Solo: CV. Pustaka Mantiq, Cet 1, 1992, h. 125 50 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001, h. 132-133
a.
Aqid (
) yaitu yang berutang dan yang berpiutang.
b. Ma qud alayh ( c. Shigat (
) yaitu barang yang diutangkan.
) yaitu ijab qabul, bentuk persetujuan antara kedua belah pihak. 51
Demikian juga menurut Drs. Chairuman Pasaribu bahwa rukun hutangpiutang ada empat macam:52 1. Orang yang memberi utang 2. Orang yang berutang 3. Barang yang diutangkan (obyek) 4. Ucapan ijab dan qabul (lafadz).53 Dengan demikian, maka dalam utang-piutang dianggap telah terjadi apabila sudah terpenuhi rukun dan syarat daripada utang-piutang itu sendiri. Rukun adalah unsur esensial dari sesuatu , sedang syarat adalah prasyarat dari sesuatu . Adapun yang menjadi rukun dan syarat utang-piutang adalah: 1.
Aqid (orang yang berutang dan berpiutang) Orang yang berutang dan yang berpiutang boleh dikatakan sebagai subyek hukum. Sebab yang menjalankan kegiatan utang-piutang adalah orang yang berutang dan orang yang berpiutang. Untuk itu diperlukan orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum. Imam Syafi’i mengungkapkan bahwa 4 orang yang tidak sah akadnya adalah anak kecil (baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum mumayyiz) orang gila, hamba sahaya, walaupun mukallaf dan orang buta.
51
Ghufron A. Mas‘adi, Op. Cit, h. 173. Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Op. Cit., h. 137 53 Ibid 52
Sementara dalam Fiqh Sunnah disebutkan bahwa akad orang gila, orang mabuk, anak kecil yang belum mampu membedakan mana yang baik dan yang jelek (memilih) tidak sah. Dan anak kecil yang sudah mampu memilih akadnya dinyatakan sah, hanya keabsahannya tergantung pada izin walinya.54 Sebagaimana Hadis Nabi SAW:
( Artinya:
)
:
:
Dari Aisyah ra., sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Bahwasanya Allah mengangkat penanya dari tiga orang yaitu: dari orang tidur sampai dia bangun, orang gila sampai sembuh, dan dari anak kecil sampai dia baligh/ dewasa .(HR. Ibnu Majah )
Di samping itu orang yang berpiutang hendaknya orang yang mempunyai kebebasan memilih, artinya bebas untuk melakukan perjanjian utang piutang lepas dari paksaan dan tekanan. Sehingga dapat terpenuhi adanya prinsip saling rela. Oleh karena itu tidak sah utang piutang yang dilakukan karena adanya unsur paksaan.56 2. Obyek Utang Di samping adanya ijab qabul dan pihak-pihak yang melakukan utang piutang, maka perjanjian utang piutang itu dianggap terjadi apabila terdapat obyek yang menjadi tujuan diadakannya utang piutang. Tegasnya harus ada barang yang akan diutangkan. Untuk itu obyek utang piutang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
54
Sayyid Sabiq, Op. Cit., h. 38 Sunan Ibnu Majah, Op. Cit., h. 658 56 Rahmat Syafi‘ie, Op. cit., h. 58 55
a. Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan dan penggunaannya mengakibatkan musnahnya benda utang. b. Dapat dimiliki c. Dapat diserahkan kepada pihak yang berutang d. Telah ada pada waktu perjanjian dilakukan. 57 Abu Bakar Jabir al-Jaziri menjelaskan syarat-syarat obyek utang piutang sebagai berikut: a. Diketahui jumlahnya, baik dengan timbangan, takaran maupun hitungan. b. Jika utang piutang itu berupa hewan, harus diketahui sifat-sifat umurnya. c. Bahwa obyek utang harus merupakan harta seseorang yang pandai membelanjakan/mentasyarrufkannya.58 Dalam perjanjian utang-piutang itu disyari‘atkan secara tertulis. Hal ini untuk menjamin agar jangan sampai terjadi kekeliruan/lupa, baik mengenai besar kecilnya utang/waktu pembayarannya59. Sebagaimana firman Allah SWT: 60
(
Artinya:
:
)...
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya . (QS. Al-Baqarah: 282)
Pencatatan ini disyaratkan, supaya mereka mudah dalam menuntut pihak yang berutang untuk melunasi utangnya apabila sudah jatuh temponya. Di samping disyari atkan secara tertulis, dalam utang-piutang itu diperlukan juga adanya saksi. 57
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba ah, Juz 2, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996, h. 304 58 Ibid, h. 305. 59 Abdul Aziz Dahlan (et al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. 1, 1996, h. 1892 60 Depag, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Loc. Cit.
3. Shigat (Ijab dan Qabul) Suatu bentuk muammalah yang mengikat pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya yang selanjutnya melahirkan kewajiban, diperlukan adanya perjanjian antara pihak-pihak itu. Perjanjian di dalam hukum Islam disebut dengan “akad”. Akad (perjanjian) dilakukan sebelum terlaksananya suatu perbuatan, di mana pihak yang satu berjanji untuk melakukan sesuatu hal/tidak melakukan dan lainnya itu berhak atas apa yang dijanjikannya itu untuk menuntutnya bila tidak sesuai dengan perjanjian. Akad menurut bahasa berarti menyimpulkan, mengikat (tali). Menurut istilah adalah: 61
Artinya:
.
Perikatan ijab dan qabul yang dibenarkan syara yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak .
Dari definisi di atas dapat diambil pengertian, akad adalah perikatan antara ijab dan qabul yang menunjukkan adanya kerelaan dari kedua belah pihak. Sifat kerelaan itu bisa terwujud dan jelas apabila telah nyata-nyata diucapkan secara lisan oleh keduanya. Ijab adalah pernyataan dari pihak yang memberi utang dan qabul adalah penerimaan dari pihak yang berutang. Ijab qabul harus dengan lisan, seperti yang telah dijelaskan di atas, tetapi dapat pula dengan isyarat bagi orang bisu.62 Perjanjian utang piutang baru terlaksana setelah pihak pertama menyerahkan uang yang diutangkan kepada pihak kedua dan pihak kedua telah 61 62
Hendi Suhendi, Op. Cit., h. 46 Ghufron A, Mas’adi, Op. Cit, h., 90-91
menerimanya dengan akibat bila harta yang diutangkan tersebut rusak atau hilang setelah perjanjian terjadi tetapi sebelum diterima oleh pihak kedua, maka resikonya ditanggung oleh pihak pertama.63 Berkaitan dengan pengertian akad tersebut, maka terdapat ketentuan yang harus dipenuhi dalam akad. Ketentuanketentuan tersebut adalah: 1. Pihak yang bertransaksi Keduanya harus memenuhi persyaratan: dewasa (mampu bertindak), berakal sehat, dan tidak berada pada pengampunan, sebagaimana firman Allah SWT:
64
Artinya:
( :
) ...
Dan janganlah kalian serahkan harta orang-orang bodoh itu kepadanya yang mana Allah akan memelihara kalian dan berikanlah kepada mereka belanja dari hartanya itu (QS. AnNisa : 5).
Dalam akad harus terdapat unsur kerelaan dari kedua belah pihak, serta akad harus jelas dan dimengerti maksudnya oleh masing-masing pihak. 2. Mengenai suatu barang tertentu, barang yang menjadi obyek akad harus jelas dari kesamaran. 3. Mengenai suatu barang yang halal, suci dari najis dan yang tidak haram dimakan.65 Di atas telah disebutkan bahwa akad adalah perikatan antara ijab dan qabul yang menunjukkan adanya kerelaan dari kedua belah pihak. Adapun yang dimaksud dengan ijab dan qabul secara jelasnya adalah:
63
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, h.
64
Depag, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Op. Cit., h. 115 Ali Fikri, al-Mu allamatul Maiyah wal Adabiyah, Bab I, Beriut: Dar al-Fikr, tt, h. 34-39.
38. 65
. 66
Artinya:
.
Ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salah satu seorang yang berakad, buat memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja yang memulainya. Qabul adalah jawaban dari pihak yang lain sesudah adanya ijab, buat menyatakan persetujuannya.
Dalam kaitannya dengan masalah utang diperlukan juga adanya akad ini (ijab qabul). Sebagaimana pengertian ijab qabul di atas, maka dalam masalah utang, pihak yang berutang dapat melakukan ijab. Akad dalam masalah utang, adalah akad tamlik, karena itu tidak sah kecuali dari orang yang boleh menggunakan harta (milik sendiri dan tidak berada dalam pengampuan). Dan tidak sah pula kecuali dengan ijab dan qabul, seperti akad jual beli dan hibah, karena itu akad dinyatakan sah dengan memakai akad lafadz qirad, salaf dan semua lafadz yang mempunyai arti dan maksud yang sama. 67
D. Hak dan Kewajiban Debitur dan Kreditur Kewajiban orang yang melakukan utang-piutang adalah dengan melakukan persetujuan utang-piutang secara tertulis. Persetujuan tersebut disertai tanda terima atau kwitansi yang menyebutkan besarnya utang, tanggal terjadinya utang-piutang,
66 67
M. Hasby as-Siddiqiy, Op. Cit. h. 27 Sayyid Sabiq, Jilid 4, Op. Cit., h. 116
maupun tanggal pengembaliannya68. Ketentuan ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut;
69
(
:
).....
Artinya: Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar (Al-Baqarah: 282) Kewajiban orang berutang-piutang selain hal diatas, adalah menghadirkan saksi. Saksi sebaiknya terdiri atas 2 orang laki-laki. Apabila tidak ada 2 orang lakilaki, maka boleh satu orang laki-laki dan 2 orang perempuan70. Ketentuan ini terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 282 sebagai berikut;
...... 71
(
:
) ......
Artinya : Dan persaksikanlah dengan 2 orang saksi laki-laki (diantaramu), jika tidak ada 2 orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan 2 orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu rida i, agar jika yang seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya (Q.S. Al-Baqarah: 282) Orang yang berhutang wajib mengembalikan utangnya kepada orang yang meminjami utang sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati bersama. Jika pengutang telah mampu mengembalikan utangnya sebelum waktu perjanjiannya berakhir, sebaiknya ia segera mngembalikannya. Cara seperti ini dapat menambah kepercayaan pemberi utang kepada penerima utang.72
68
http://matulessi.wordpress.com/2010/01/30/utang-piutag-menurut-islam/, hlm. 1, diakses tgl 20 Mmaret 2010 69 Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya, Loc. Cit. 70 http://matulessi.wordpress.com, Op. Cit., hlm. 1 71 Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya, Loc. Cit. 72 http://matulessi.wordpress.com, Op. Cit., hlm. 2
Selain kewajiban-kewajiban diatas, seorang kreditur memiliki hak penuh untuk menagih utangnya. Ia memiliki hak suara termasuk mengadukan ke pengadilan bila si debitur membandel (malas membayar utangnya tersebut).73 Sedangkan hak dan kewajiban debitur dan kreditur menurut KUHPerdata pasal 1759-1764, adalah sebagai berikut: Kewajiban debitur adalah mengembalikan barang yang dipinjam dalam jumlah yang sama pada waktu yang diperjanjikan (pasal 1763). Jika ia tidak mampu memenuhi kewajibannya, maka ia diwajibkan membayar harga barang yang dipinjamnya, dengan syarat ia harus memperhatikan waktu dan tempat barangnya, sesuai dengan kontrak (pasal 1764).74 Sedangkan hak debitur adalah menerima barang yang dipinjam dari kreditur.75 Kewajiban kreditur adalah tidak dapat meminta kembali barang yang telah dipinjamkan sebelum lewat waktu yang ditentukan dalam perjanjian(pasal 1759). Jika telah ditetapkan sesuatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang meminjamkan
menuntut
pengembalian
pinjamannya,
menurut
keadaan,
memberikan sekedar kelonggaran kepada si peminjam (pasal 1760). Oleh hakim kelonggaran tersebut, apabila diberikan akan dicantumkan dalam putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar pinjamannya.76 Kalau orang yang meminjamkan, sebelum menggugat dimuka hakim, sudah memberikan waktu secukupnya kepada si peminjam, maka tidak pada tempatnya lagi kalau hakim masih juga memberikan pengunduran. Jika perjanjian pinjam uang 73
M. Thalib, Op. Cit., h. 133 R. Subekti, S.H dan R. Tjitrosudibio., Kitab Undang-Udang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. 32, h. 452 75 Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2003, h. 79 76 Djoko Prakoso dan Bambang Riyadi Lany, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu, Cet. 1, Jakarta: Bina Aksara, 1987 h. 179 74
itu dibuat dengan akte otentik (notaris). Maka, jika diminta oleh penggugat, hakim harus menyatakan putusannya dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada permohonan banding atau kasasi. 77 Jika telah diadakan perjanjian, bahwa pihak yang meminjam sesuatu barang atau sejumlah uang, akan mengembalikannya bila mana ia mampu untuk itu, maka hakim, mengingat keadaan, akan menentukan waktunya pengembalian (pasal 1761).78
E. Tambahan dalam Utang Piutang Akad perutangan merupakan akad yang dimaksudkan untuk mengasihi manusia, menolong mereka menghadapi berbagai urusan, dan memudahkan saranasarana kehidupan. Akad perutangan bukanlah salah satu sarana untuk memperoleh penghasilan dan bukan salah satu metode untuk mengeksploitasi orang lain. Oleh karena itu, diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan dari utang yang ia berikan ketika mengembaliknnya. Para ulama sepakat, jika pemberi utang mensyaratkan untuk adanya tambahan, kemudian si pengutang menerimanya maka itu adalah riba.79 Dalam hal ini Nabi SAW, bersabda :
).
77
:
(
R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian, , Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, Cet. 10, 1995, h. 127 R. Subekti, S.H dan R. Tjitrosudibio, Op. Cit., h. 452 79 Saleh Fauzan, loc. cit. 80 Abi Bakr Al-Baihaqi , loc. cit., Juz 5. 78
Artinya:
Telah menceritakan padaku, Yazid bin Abi Khabib dari Abi Marzuq AtTajji dari Fadholah bin Ubaid bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba (H.R. Baihaqi).
Yang dimaksud dengan mengambil manfaat dari hadist di atas adalah keuntungan atau kelebihan atau tambahan dari pembayaran yang disyaratkan dalam akad utang piutang atau ditradisikan untuk menambah pembayaran. Bila kelebihan itu adalah kehendak yang ikhlas dari orang yang berutang sebagai balas jasa yang diterimanya, maka yang demikian bukan riba dan dibolehkan serta menjadi kebaikan bagi si pengutang.81 Karena ini terhitung sebagai husnul al-qadha (membayar utang dengan baik). Sebagai mana hadist Nabi SAW. Sebagai berikut:
( Artinya:
).
:
:
Dari Abu Hurairah r.a, berkata: Rasulullah SAW. Berhutang seekor unta, dan mengembalikannya sebagai bayaran yang lebih baik dari unta yang diambilnya secara hutang, dan beliau bersabda: orang yang lebih baik diantara kamu adalah orang yang paling baik pembayarannya . (HR. At-Turmudzy)
Dari hadist tersebut jelas pengembalian yang lebih baik itu tidak disyaratkan sejak awal, tetapi murni inisiatif debitor (al-mustaslif). Itu juga bukan tambahan atas jumlah sesuatu yang diutang karena tidak ada tambahan atas jumlah unta yang dibayarkan dan tidak ada pula tambahan apapun atas unta yang diutang. Itu tidak lain adalah pengembalian yang semisal dengan apa yang diutang; seekor hewan dengan seekor hewan, namun lebih tua dan lebih besar tubuhnya. Itulah yang dimaksud dengan pengembalian yang lebih baik (husn al-qadhâ ).83 Tapi jika
81
Amir Syarifuddin, Gari-Garis Besar Fiqh, , Jilid 1, Jakarta: Prena Media, Cet. 1, 2003, h. 224-
82
Abi ‘Isa, Muhammad, Sunanu At-Tirmidzy, Juz 3, Beriut: Darul Kutb al-Ilmiyah, tt, h. 60 http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/30/qardun-utang/, h. 2, diakses tgl 19 Maret 2010
225 83
sebelum utang dinyatakan terlebih dahulu syarat tambahannya dan kedua belah pihak setuju maka sama dengan riba. Sebagaimana sabda Nabi SAW. yang artinya “Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba .84 Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat dikalangan fuqaha Mazhab mengenai boleh atau tidaknya menerima manfaat dari akad utang piutang tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Menurut Mazhab Hanafiyah: jika keuntungan tersebut tidak dipersyaratkan dalam akad atau jika hal itu tidak menjadi urf (kebiasaan di masyarakat) maka hukumnya adalah boleh. 2. Menurut Mazhab Malikiyah: utang piutang yang bersumber dari jual beli, penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan adalah boleh. Sedangkan dalam hal utang piutang (al-qardl), penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi kebiasaan di masyarakat, hukumnya adalah haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan di masyarakat baru boleh diterima. 3.
Menurut Mazhab Syafii: penambahan pelunasan utang yang diperjanjikan oleh muqtaridl (pihak yang berutang), maka pihak yang mengutangi makruh menerimanya.
4. Menurut Mazhab Hambali: pihak yang mengutangi dibolehkan menerima penambahan pelunasan yang diperjanjikan oleh muqtaridl (pihak yang berutang dibolehkan menerimanya. 85
84 85
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, , Jakarta: Reineka Cipta, Cet. 1, 1992, h. 419 Ghufron A, Mas’adi, Op. Cit., h. 173-174
5. Sedangkan menurut Syekh Zainuddin al-Malibary menyebutkan bahwa boleh bagi muqridl menerima kemanfaatan yang diberikan kepadanya oleh muqtaridl tanpa disyaratkan sewaktu akad, misalnya kelebihan ukuran atau mutu barang pengembalian dan pengembalian lebih baik dari yang diutangkan. Bahkan melebihkan pengembalian utang adalah disunnahkan bagi muqridl sebagaimana sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi: “sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling bagus dalam membayar utangnya .86 Argumentasi para ulama tersebut memang sangat bervariasi. Hanya Imam Hambali yang kelihatan agak longgar dengan membolehkan mengambil kelebihan pelunasan dari yang berutang asalkan kelebihan itu dijanjikan oleh pihak yang berutang.
86
Syaikh Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibary, Fathul Mu in, Jilid II, Terj. Aliy As’ad Yogyakarta: Menara Kudus, 1979, h. 212.
BAB III PRAKTEK UTANG PIUTANG DI DESA KENTENG KEC.TOROH KAB. GROBOGAN
A. Monografi dan Demografi Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan 1. Keadaan Monografi Desa Kenteng Desa Kenteng merupakan salah satu desa di Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan. Desa Kenteng adalah desa yang berada dalam benteng wilayah dataran rendah yang terletak di pedesaan. Luas keseluruhan Desa Kenteng adalah 1.280,390 ha. Yang terbagi menjadi 5 bagian yaitu tanah persawah 333.005 ha, pekarangan/bangunan 212.345 ha, tegalan/perkebunan 41.219 ha, hutan Negara 680.200, dan tanah lain-lain (sungai, jalan, kuburan saluran dll) 13.972 ha. Berada pada ketinngian 32 m dari permukaan air laut. Sebelah utara desa berbatasan dengan Desa Waru Karanganyar, sebelah selatan berbatasan dengan hutan Negara, sebelah barat berbatasan dengan Desa Genengsari Tunggak, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ngerandah. Desa Kenteng terbagi menjadi 8 dusun dan memiliki 11 RW dan 54 RT. Jarak dari ibu kota kecamatan 12 km dengan lama tempuh 30 menit. Sedangkan jarak dari ibu kota kabupaten adalah 14 km dengan lama tempuh adalah 60 menit. Panjang jalan beraspal atau beton 4 ha dan panjang jalan antar desa/kecamatan adalah 12 km. Desa Kenteng memiliki hutan, lahan pertanian atau perkebunannya cukup luas. Hasil dari pertanian atau perkebunannya adalah padi, jagung, kedelai dan sayur-sayuran, misalnya kacang panjang dan terong. Selain itu hutan negaranya juga cukup luas, yang akhir-akhir ini sedang ada program penghijauan kembali,
sehingga hal ini dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Kenteng untuk dijadikan lahan pertanian. Yaitu dengan ditanami jagung dan pisang. 2. Keadaan Demografi Desa Kenteng Demografi Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan pada bulan Juli sampai bulan Desember 2009 adalah sebagai berikut: Jumlah penduduk Desa Kenteng berdasarkan buku monografi Desa Kenteng tahun 2009 adalah sebanyak 8.011 orang. Terdiri dari 3.913 orang lakilaki dan 4.098 orang perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.609 KK. Seluruh penduduk Desa Kenteng beragama dan tidak seorangpun yang menganut kepercayaan. Sebagian besar penduduknya beragama Islam. Adapun jumlah penganut agama Islam adalah 7.987 orang, dan penganut agama Kristen 24 orang. Sebagai desa yang terletak pada benteng wilayah dataran rendah, dengan lahan pertanian atau perkebunan/tegalan yang cukup luas, maka sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Kenteng adalah sebagai petani dan buruh tani. Selain itu juga sebagai pedagang. Adapun datanya adalah sebagai berikut:
TABEL 1 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Kenteng Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan No. Mata Pencaharian Jumlah 1.
Pegawai Negeri
76 Orang
2.
TNI/POLRI
8 Orang
3.
Karyawan (Swasta)
680 Orang
4.
Tani
681 Orang
5.
Buruh Tani
619 Orang
6.
Jasa lainnya
3 Orang
7.
Nelayan
-
Sumber : Buku Monografi Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan Tahun 2009
Karena Desa Kenteng terletak di pedesaan (jauh dari perkotaan), sehingga untuk objek wisata dan kebudayaan tidak ada. Dan yang ada hanya sebuah tradisi yaitu tradisi sedekah bumi yang diadakan setiap setahun sekali yang jatuh pada bulan apit. Sedekah bumi ini diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi (panen) yang melimpah. Masyarakat Desa Kenteng adalah masyarakat yang suka bergotong royong. Terlihat dari adanya kegiatan gotong royong atau sambatan dalam pembangunan rumah, gotong royong menjaga kebersihan desa, gotong royong membangun jembatan dan jalan, dll. Masyarakat desa Kenteng adalah masyarakat yang guyub dan tidak individualisme. Hal ini terlihat dengan adanya 9 kelompok majelis ta’lim, 8 majelis masjid, dan 8 remaja masjid. Biasanya kelompok majelis ini diisi dengan kegiatan keagamaan, seperti barjanji, yasinan, manaqiban dan tahlil.
B. Praktek Utang Piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan 1. Praktek utang piutang di Desa Kenteng Praktek utang piutang yang ada di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan ini merupakan utang piutang yang berbunga atau di Desa Kenteng
tersebut lebih mengenalnya dengan istilah utang piutang anakan. Utang piutang anakan ini merupakan utang piutang yang beranak pinak, yaitu ketika seorang debitur
tidak
dapat
mencicil
anakan
atau
bungannya
pada
waktu
pengembaliannya (biasanya setiap bulan sekali), maka anakan atau bunganya akan bertambah sesuai dengan bunganya. Misalnya seorang debitur meminjam Rp 500.000,00 dengan bunga 5% atau sekitar Rp 25.000,00 perbulan, maka bulan berikutnya si debitur tersebut harus mengembalikan dengan bunga dari bulan yang kemarin yang belum dibayar yaitu 5% dari Rp 25.000,00 atau sekitar Rp 1.250,00,. Jadi akan bertambah terus sesuai dengan bunganya, sampai debitur biasa melunasi hutangnya tersebut.87 Apabila si debitur belum bisa melunasi utang pokoknya, maka dibolehkan hanya membayar bunganya terlebih dahulu, sedangkan batas waktu untuk pelunasan tidak ditentukan. Misalnya harus dalam jangka waktu satu tahun harus lunas, tapi bebas. Akan tetapi ada pula yang diberi batasan waktu pengembalian yaitu dalam jangka waktu satu tahun harus lunas, yaitu apabila seorang debitur melakukan pinjaman dari kelompok ibu-ibu arisan, karena uang yang dipinjamkan merupakan uang tabungan dari anggota arisan tersebut yang setiap satu tahun sekali akan dibuka.88 Sesungguhnya, asal mula utang piutang anakan ini ada karena kesepakatan bersama, yaitu kesepakatan ibu-ibu arisan apabila ada yang melakukan pinjaman di kelompok arisan tersebut, akan ditarik bunga yang kemudian hasilnya akan dibagikan pada semua anggotanya pada akhir tahun. 87
Hasil wawancara dengan Ibu Maryati selaku salah satu kreditur di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan, pada tanggal 31 Maret 2010 88 Hasil Wawancara dengan ibu Sutiyem selaku pengurus dan anggota arisan di Desa Kenteng, pada tanggal 2 April 2010
Namun lambat laun, ada pula yang dilakukan oleh individu, yaitu oleh orang yang dianggap kaya di daerah tersebut. Dengan tambahan atau bunga antara 3% sampai dengan 10% dengan waktu pengembaliannya bebas, tidak ada batasan waktu yaitu semampu orang yang meminjam untuk melunasi utangnya tersebut. Dan bunga atau anaknya tidak sampai beranak pinak, maksudnya bunganya tetap tidak sampai berbunga lagi, jika si debitur belum dapat mengembalikan pada waktu pengembalian yaitu setiap sebulan sekali. 89 2. Pihak yang Bertransaksi Dalam pelaksanaan praktek utang piutang ini ada 2 pihak yang terlibat, yaitu: a. Kreditur Kreditur adalah yang berpiutang, yang memberikan kredit, penagih.90 Dalam hal ini yang menjadi kreditur adalah orang-orang yang dianggap kaya di daerah tersebut atau dari kelompok arisan. Adapun yang menjadi kreditur di Desa kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan adalah sebagai berikiut: 1. Ibu Maryati 2. Bapak Huri 3. Bapak Tono 4. Ibu Dapi (ketua arisan ibu-ibu) 5. Bapak Hardi 6. Ibu Kusyati 7. Bapak Ginok 89
Ibid Tim Penyusun Kamus Pusat Pembina dan Pengembang Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 2, Jakarta: Balai Pustaka, Cet. 3, 1994, h. 530 90
b. Debitur Debitur
adalah
orang
atau
lembaga
yang
berutang
kepada
orang/lembaga lain.91 Dalam hal ini adalah masyarakat Desa Kenteng yang membutuhkan pinjaman. Umumnya mereka adalah petani dan pedagang. Kedua belah pihak tersebut (kreditur dan debitur) kemudian mengadakan akad utang piutang beserta tambahan yang telah disepakati pada awal akad secara lisan dan berupa catatan-catatan mengenai tanggal peminjaman, jumlah peminjaman serta tambahan atas pinjaman tersebut dan tanpa adanya saksi. Catatan tersebut hanya dimiliki oleh pihak kreditur saja. Sedangkan akadnya dengan pihak debitur dilakukan secara lisan dan tanpa adanya catatan (tulisan) atau saksi. 3. Akad Utang piutang ini seakan sudah menjadi pilihan masyarakat Desa Kenteng dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari ketika mereka berada dalam kesulitan. Bahkan ada pula yang melakukan pinjaman untuk sekedar memenuhi kebutuhan yang tidak begitu urgen, yaitu untuk membeli motor. Sesungguhnya,
secara
mekanisme
proses
utang
piutang
yang
diberlakukan para kreditur di Desa Kenteng ini adalah sama. Yaitu ketika ada seorang debitur datang untuk melakukan pinjaman kepada para kreditur, kemudian para pihak (kreditur dan debitur) mengadakan kesepakatan mengenai jumlah pinjaman beserta tambahan atau daerah sana lebih mengenalnya dengan istilah anakannya tersebut pada awal.
91
Ibid., h. 215
Cara pengembaliannya adalah dengan di cicil setiap sebulan yaitu berupa pinjaman pokok beserta tambahan atau anakanya tersebut. Tapi bila si debitur tidak dapat mengembalikan pinjaman pokok beserta anaknya, maka pihak kreditur memberikan kelonggaran dengan dibolehkan hanya mencicil anakannya saja. Atau bisa pula di cicil dua bulan sekali, bila dalam satu bulan tersebut si debitur belum bisa mencicil, tapi tambahan atau anaknya tetap di hitung perbulan. Selain itu, para kreditur tidak meminta pada para debitur untuk meninggalkan barang sebagai jaminan atas pinjamannya tersebut. Karena yang mereka jadikan dasar transaksi utang piutang tersebut adalah sikap saling percaya, sehingga adanya barang jaminan tidak diberlakukan dalam transaksi utang piutang ini. Akan tetapi yang membedakan antara kreditur yang satu dengan yang lain adalah tambahan serta batasan waktu pengembalian yang mereka berikan berbeda-beda. Misalnya di tempatnya Bapak Huri, tambahan yang diberikan kepada seseorang yang meminjam di tempatnya adalah 3%, dengan batas waktu pengembaliannya antara 5 bulan sampai dengan 10 bulan. Dan bila si peminjam tidak dapat melunasi utangnnya tersebut sesuai batas waktunya, maka pihak debitur akan diberi kelonngaran hanya mengembalikan utang pokoknya saja, sedangkan tambahannya akan dianggap sudah diberikan. Dengan jumlah pinjaman rata-rata bekisar antara Rp. 200.000,00., sampai dengan Rp. 1.000.000,00..92 Di tempatnya Ibu Maryati, tambahan yang diberikan kepada para debitur yang melakukan pinjaman di tempat beliau adalah sebesar 5%. Dengan batas
92
Hasil wawancara dengan Bapak Huri selaku kreditur di Desa Kenteng pada tanggal 3 April 2010
pelunasan pinjaman tersebut adalah bebas (semampu debitur untuk melunasi utang tersebut). Dengan rata-rata pinjaman berkisar antara Rp. 300.000,00 sampai dengan Rp. 10.000.000,00.93 Hal tersebut sama sebagaimana yang diterapkan di tempatnya Bapak Tono, akan tetapi tambahan yang dikenakan di tempat ini setiap ada pinjaman adalah 10%. Dengan rata-rata pinjaman berkisar antara Rp. 200.000,00. Sampai dengan Rp. 2.000.000,00. 94 Di tempat Ibu Dapi selaku ketua arisan di salah satu dusun di desa tersebut. Di tempat ini, ketika ada seorang debitur yang datang untuk melakukan pinjaman, tambahan beserta batasan waktu di jelaskan pada awal akad dibuat, yaitu tambahan sebesar 10 % dengan jangka waktu pengembalian satu tahun harus sudah lunas. Karena uang yang mereka pinjamkan kepada seorang debitur berasal dari tabungan anggota arisan di dusun tersebut, yang setiap setahun sekali akan dibuka dan hasilnya di bagi rata antar anggota. Dengan rata-rata pinjaman berkisar antara Rp. 150.000,00. Sampai dengan Rp. 700.000,00. 95 Berbeda dengan mekanisme yang diberlakukan di tempatnya Bapak Hardi, yaitu dengan menggunakan standar harga pupuk, yaitu seorang debitur datang ketempatnya dengan tujuan untuk meminjam pupuk, kemudian ke dua belah pihak akan membuat perjanjian bahwa harga pupuk tersebut akan dinaikkan sekitar 10% dari harga semula ketika si debitur akan melunasi pinjaman tersebut dengan jangka pengembalian adalah ketika musim panen tiba.
93
Hasil wawancara dengan Ibu Maryati selaku kreditur di Desa Kenteng pada tanggal 31 Maret
94
Hasil wawancara dengan Bapak Tono selaku kreditur di Desa Kenteng pada tanggal 1 April
95
Hasil wawancara dengan Ibu Dapi selaku kreditur di Desa Kenteng pada tanggal 3 April 2010
2010 2010
Misalnya harga pupuk tersebut waktu awal dipinjam seharga Rp. 85.000,00. Perkwintal, maka ketika setelah panen akan naik menjadi Rp. 93.500,00. Tetapi bila ketika musim panen belum bisa mengembalikan, maka pihak kreditur akan memberi kelonggaran sampai si debitur sanggup mengembalikan pinjaman tersebut. Dengan rata-rata pinjaman pupuk antara 2 sampai dengan 3 kwintal pupuk.96 Menurut para kreditur transaksi utang piutang tersebut hanya berlaku untuk masyarakat Desa Kenteng saja, dan bukan untuk umum (masyarakat selain dari Desa Kenteng). Hal itu dikarenakan, menurut para kreditur, transaksi ini sifatnya hanya untuk menolong sesama serta untuk mempermudah masyarakat
desa
tersebut
dalam
memenuhui
kebutuhan
hidup
atau
mempermudah mereka untuk mendapatkan pinjaman. C. Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi Praktek Utang Piutang Di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan Menurut Bapak Eko, salah seorang warga yang tidak terlibat langsung dengan transaksi utang piutang tersebut, menyebutkan bahwa alasan orang Desa Kenteng ini cenderung melakukan praktek utang piutang anakan ini ketimbang melakukan pinjaman di bank-bank, yang sama-sama menarik tambahan, dikarenakan menurut mereka, melakukan pinjaman di desa itu lebih mudah dan tanpa harus meninggalkan barang jaminan. Di samping itu, pengembaliaannya juga cukup mudah, yaitu semampu si debitur biasa mengembalikan pinjamannya tersebut.97
96
Hasil wawancara dengan Bapak Hardi selaku kreditur di desa tersebut pada tanggal 1 April 2010 Hasil wawancara dengan Bapak Eko selaku masyarakat umum (yang tidak terlibat langsung dengan transaksi utang piutang tersebut) pada tanggal 31 maret 2010 97
Beliau juga menambahkan bahwa masyarakat desa itu cenderung takut untuk melakukan pinjaman di bank, dikarenakan prosesnya yang ribet dan harus meninggalkan barang jaminan. Dan ketika disinggung mengenai hukum transaksi semacam ini menurut hukum Islam, beliau menuturkan beliau mengetahuinya, tetapi yang di jadikan dasar transaksi ini berlaku adalah karena hal ini sudah menjadi kebiasaan serta para pihak sama-sama menyetujui transaksi tersebut tanpa adanya paksaan.98 Menurut Mbah Wagiyem, selaku salah satu debitur di Desa Kenteng menyebutkan alasannya kenapa beliau lebih memilih melakukan pinjaman semacam ini dari pada melakukan pinjaman di bank adalah karena pinjaman yang ia butuhkan sedikit serta prosesnya lebih mudah dan lebih cepat. Sedangkan kalau di bank, menurut beliau prosesnya ribet serta akses menuju ke sana juga jauh.99 Mengenai tambahan yang diberikan oleh kreditur cukup memberatkan atau meringankan?. Menurut penuturan beliau tambahan yang diberikan oleh kreditur cukup meringankan, karena sudah di niatkan. Dan ketika ditanyai tujuan peminjaman serta sudah berapa kali kah melakukan peminjaman? Beliau menuturkan bahwa tujuan peminjaman adalah untuk membeli pupuk. Dengan jumlah pinjaman sebesar Rp. 300.000,00. dan ini merupakan pinjaman yang pertama kali beliau lakukan. Begitulah penjelasan beliau. Sedangkan ketika disinggung mengenai hukum transaksi utang piutang tersebut menurut hukum Islam, beliau menuturkan bahwa hukum transaksi tersebut menurut hukum Islam adalah tidak boleh. Tetapi karena kebutuhan dan transaksi ini sudah biasa dilakukan masyarakat
98
Ibid Hasil wawancara dengan Mbah Wagiyem selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 3 April 2010 99
di desa sini. Jadi saya tinggal mengikuti aturan yang sudah ada saja, ditambah lagi tidak ada paksaan dalam transaksi ini. Menurut beliau, penghasilan yang beliau peroleh setiap kali musim panen adalah sekitar Rp. 800.000,00 sampai dengan Rp. 1.500.000,00., sedangkan penghasilan yang diperoleh perbulannya dengan berdagang krupuk singkong atau daerah sana menyebutnya dengan istilah ladu adalah sekitar Rp. 300.000,00 sampai dengan Rp. 500.000.00.. Dengan tanggungan utang yang sudah beliau cicil sebesar Rp.200.000 beserta bunganya Rp. 15000,00, sedangkan sisanya akan di lunasi nanti setelah panen jagung. Kira-kira kurang lebih 2 sampai dengan 3 bulan lagi. 100 Alasan beliau melunasi tanggungan tersebut setelah panen dikarenakan beliau sudah janji pada pihak kreditur untuk melunasi utangnya tersebut setelah panen, disamping itu penghasilan dari hasil panen musim ini diperkirakan lebih banyak dari biasanya. Semua itu dikarenakan musim tanam kali ini, beliau mendapat dua bagian tanah dari perhutanan yang sedang mengadakan program penghijauan kembali. Sehingga beliau mempunyai rencana untuk melunasi utangnya setelah panen, agar beliau juga tenang karena sudah tidak punya tanggungan terhadap orang lain.101 Hal tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibu Puji, Ibu Sularti, Ibu Darti dan Bapak Siswo, selaku para debitur di desa tersebut, menuturkan bahwa alasan mereka memilih transaksi ini adalah karena transaksi ini prosesnya lebih mudah dan cepat. Dan ketika ditanyai mengenai tambahan yang diberikan oleh
100 101
Ibid Ibid
kreditur cukup meringankan atau memberatkan, mereka menuturkan bahwa tambahan yang diberikan cukup meringankan. 102 Mengenai hukum transaksi tersebut menurut hukum Islam, mereka menuturkan bahwa mereka kurang mengetahuinya bahkan Ibu Sularti tidak mengetahuinya sama sekali. Akan tetapi menurut Bapak Siswo, transaksi tersebut menurut hukum Islam, tidak boleh dilakukan, namun karena adanya kebutuhan yang mendesak serta tidak adanya paksaan dalam transaksi ini, jadi beliau tetap saja melakukan pinjaman semacam ini. Selain itu, menurut mereka, yang dijadikan pijakan dalam menjalankan transaksi ini adalah berdasarkan kebiasaan masyarakat di desa tersebut dalam menjalankan transaksi ini yaitu utang piutang yang ada tambahannya, selain itu juga di dasarkan atas kerelaan kedua belah pihak serta tanpa adanya paksaan.103 Frekuensi peminjaman dan tujuan pemijaman antar para debitur berbedabeda. Misalnya Ibu Puji, beliau sudah dua kali melakukan peminjaman semacam ini. Yaitu untuk membeli kendaraan bermotor dan untuk membeli pupuk. Beliau menuturkan bahwa pinjaman tersebut dilakukan karena uang yang ada masih kurang, sehingga untuk menambahi kekurangannya, beliau meminjam pada Ibu Maryati selaku salah satu kreditur di desa tersebut. Dengan jumlah pinjaman sebesar Rp. 500.000,00 dan Rp. 5.000.000,00.104 Mengenai penghasilan beliau perbulan, beliau menuturkan
bahwa
penghasilan yang beliau peroleh perbulan adalah kurang lebih sebesar Rp.
102
Hasil wawancara dengan Ibu Puji, Ibu Sularti, Ibu Darti dan Bapak Siswo selaku para debitur di Desa Kenteng pada tanggal 30 Maret, 1 April dan 4 April 2010 103 Ibid 104 Hasil wawancara dengan Ibu Puji selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 30 Maret 2010
1.000.000,00 sampai dengan 1.500.000,00, sedangkan penghasilan yang diperoleh dari hasil setiap kali musim panen adalah rata-rata sekitar Rp. 3.000.000,00 sampai dengan Rp. 4.000.000,00. Sedangkan tanggungan utang yang beliau miliki yang pertama sudah lunas pada musim panen yang lalu, akan tetapi tanggungan utang yang kedua baru beliau cicil sebesar Rp. 2.000.000,00 beserta bunganya sebesar Rp. 250.000,00 sedangkan sisanya rencananya akan di cicil lagi setelah dapat kiriman dari suami dan anak-anaknya yang bekerja di Jakarta.105 Berbeda dengan Ibu Darti, ketika disinggung mengenai alasan beliau melakukan peminjaman dan sudah berapa kali melakukan peminjaman, beliau menuturkan bahwa alasan beliau melakukan peminjaman adalah untuk membeli pupuk dan keperluan lainnya. Dan beliau sudah beberapa kali melakukan pinjaman semacam ini. Dengan rata-rata pinjaman yang beliau pinjam berkisar antara Rp. 200.000,00 sampai dengan Rp. 300.000,00. Dan ketika disinggung mengenai penghasilan beliau perbulan, beliau menuturkan bahwa penghasilan yang beliau peroleh perbulan adalah berkisar antara Rp. 200.000,00 sampai dengan Rp. 300.000,00, sedangkan penghasilan yang diperoleh dari hasil panen setiap kali musim panen adalah berkisar antara Rp. 1.500.000,00 sampai dengan Rp. 2.000.000,00. Dan tanggungan utang yang beliau miliki sudah lunas semua. 106 Menurut Ibu Sularti, beliau baru pertama kali melakukan peminjaman semacam ini. Dan ketika disinggung mengenai tujuan peminjaman tersebut, beliau menuturkan bahwa pinjaman ini digunakan untuk membeli sawah. Karena uang yang ada masih kurang, sehingga untuk menambahi kekurangan tersebut beliau
105
Ibid Hasil wawancara dengan Ibu Darti selaku salah satu Debitur di Desa Kenteng pada tanggal 30 Maret 2010 106
melakukan
pinjaman
tersebut.
Dengan
jumlah
pinjaman
sebesar
Rp.
10.000.000,00.107 Mengenai
penghasilannya
perbulan,
beliau
menuturkan,
bahwa
penghasilannya perbulan adalah berkisar antara Rp. 400.000,00 sampai dengan Rp. 600.000,00. Sedangkan penghasilannya dari hasil panen pada setiap musim panen adalah berkisar antara Rp. 8.000.000,00 sampai dengan Rp. 10.000.000,00. Sedangkan ketika disinggung mengenai mekanisme pembayaran utang yang beliau terapkan, beliau menjelaskan, bahwa beliau telah mencicil utang beliau sebesar Rp. 5.000.000,00 beserta bunganya sebesar Rp. 500.000,00, sedangkan sisanya akan dilunasi dengan uang hasil panen depan.108 Menurut Bapak Siswo, ketika disinggung mengenai berapa kali beliau melakukan pinjaman dan tujuan pinjaman tersebut dilakukan untuk apa, beliau menuturkan, bahwa beliau melakukan pinjaman baru pertama kali. Dan pinjaman digunakan untuk tambahan modal usahanya. Dengan jumlah pinjaman sebesar Rp. 5.000.000,00. Dan ketika disinggung mengenai penghasilannya perbulan, beliau menuturkan bahwa penghasilan yang diperoleh perbulan adalah berkisar antara Rp. 3.000.000,00 sampai dengan Rp. 6.000.000,00,. Dengan perincian penghasilan dari hasil usahanya membuka warung makanan dan dari pekerjaan sebagai mandor proyek di Jakarta. Beliau juga menuturkan, bahwa tanggungan utang yang beliau miliki sudah di cicil sebanyak tiga kali dengan perincian cicilan pertama sebesar Rp. 2.000.000,00 beserta bunganya Rp. 250.000,00. kemudian cicilan yang kedua Rp.
107
Hasil wawancara dengan Ibu Sularti selaku salah seorang debitur di Desa Kenteng pada tanggal 22 April 2010 108 Ibid
1.500.000,00 beserta bunganya Rp. 150.000,00 dan cicilan ketiga
sebesar Rp.
1.500.000,00 beserta bunganya Rp. 75000,00. 109 Mengenai utang ruginya dalam transaksi ini, secara umum tidak pernah mereka perhitungkan sebelumnya. Mereka melakukan pinjaman karena memang membutuhkan pinjaman tersebut, tanpa berfikir utang dan ruginya dikemudian hari. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh para debitur yang lain. Karena selama ini, mereka tidak merasa dirugikan dengan transaksi ini. Berbeda dengan Ibu Ekowati, selaku salah seorang debitur yang melakukan pinjaman pada kreditur dengan bunga 10%, mengatakan bahwa tambahan yang diberikan oleh kreditur cukup memberatkan, tetapi karena ada kebutuhan yang mendesak untuk tambahan modal usahanya sebagai penjual sayur keliling, maka hal itu di kesampingkan. 110 Mengenai frekuensi peminjaman serta tujuan pinjaman tersebut, beliau menuturkan bahwa baru pertama kali melakukan pinjaman semacam ini dengan jumlah pinjaman sebesar Rp. 500.000,00. Dan pinjaman tersebut sudah beliau cicil sebesar Rp. 250.000,00 beserta bunganya Rp. 50.000, sedangkan sisanya akan dilunasi setelah beliau dapat kiriman dari suaminya yang bekerja di Surabaya sebagai tukang keramik. Penghasilan yang diperoleh perbulan di tambahan penghasilan suaminya adalah rata-rata berkisar antara Rp. 700.000,00 sampai dengan Rp. 1.200.000,00. Sedangkan ketika disinggung mengenai transaksi tersebut dalam hukum Islam, beliau menuturkan bahwa beliau tidak mengetahui hukum transaksi tersebut dalam 109
Hasil wawancara dengan Bapak Siswo selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 30 Maret 2010 110 Hasil wawancara dengan Ibu Ekowati selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 3 April 2010
hukum Islam, sebab beliau hanya mengikuti para debitur yang lain dalam menjalankan transaksi tersebut, tanpa mengetahui boleh atau tidaknya transaksi ini dilakukan.111 Menurut Bapak Harto, selaku seorang tokoh masyarakat di desa tersebut, menuturkan bahwa tambahan yang diberikan oleh para kreditur, ada yang memberatkan dan ada pula yang meringankan, untuk tambahan 10%, cukup memberatkan, apalagi untuk masyarakat di pedesaan, yang notabennya sebagian besar masyarakatnya adalah seorang petani. Tetapi kalau untuk tambahan 3%/5%, cukup meringankan. Namun itu semua tergantung pada situasi dan kondisi para debitur.112 Tapi beliau membedakan antara pinjaman yang bersumber dari individu dan koperasi. Bila dari koperasi menurut beliau cukup membantu dan tambahannya juga cukup ringan, dikarenakan tambahannya hanya sekitar 2% sampai dengan 5%, yang pada akhirnya tambahan tersebut akan dibagi antar anggotanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada dasarnya, tambahan tersebut akan kembali lagi pada si debitur. Karena rata-rata yang melakukan pinjaman di kopersi adalah para anggotanya itu sendiri.113 Bapak Harto ini dianggap sebagai seorang tokoh masyarakat di Desa Kenteng tersebut dikarenakan beliau merupakan sosok yang disegani oleh masyarakat di desa tersebut, baik muda, tua ataupun anak-anak. Dan di setiap rapat atau kegiatan di desa tersebut, baik acara keagamaan ataupun acara sosial, beliau
111
Ibid Hasil wawancara dengan Bapak Harto selaku tokoh masyarakat di desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan pada tanggal 3 April 2010 113 Ibid 112
selalu yang menjadi tempat untuk dimintai pendapatnya dan menjadi panutan oleh masyarakat di desa tersebut. Menurut Ibu Kustini dan Bapak Erwanto, selaku masyarakat umum (tidak terlibat langsung dengan transaksi tersebut), menuturkan bahwa tambahan yang diberikan oleh para kreditur, ada yang memberatkan, namun ada pula yang meringankan. Tambahan yang di anggap cukup meringankan adalah tambahan yang rata-rata berkisar antara 3% sampai dengan 5%, tapi untuk tambahan yang berkisar 10%, menurut beliau cukup memberatkan. Karena untuk ukuran masyarakat desa tambahan tersebut cukup berat. Tapi untuk tambahan 3% sampai dengan 5% cukup meringankan. Karena transaksi utang piutang yang ada di desa Kenteng selama ini adalah transaksi utang piutang yang menarik tambahan. Jadi ukuran meringankan atau memberatkan adalah dilihat dari prosentase tambahan yang diberikan serta tingkat ekonomi yang melakukan pinjaman. 114 Menurut beliau, transaksi tersebut dalam hukum Islam pada hakekatnya tidak boleh, namun karena adanya kebutuhan yang mendesak serta prosesnya yang cepat dan mudah, selain itu tidak adanya paksaan dalam transaksi ini, sehingga membuat sebagian masyarakat seakan tidak memperhatikan larangan tersebut ditambah lagi pemahaman masyarakat di daerah sini tentang larangan transaksi tersebut dalam hukum Islam sangat minim, hanya sebagian masyarakat yang mengetahuinya. Selain itu, transaksi ini sudah biasa dilakukan oleh masyarakat di desa sini. Dan ketika disinggung mengenai alasan mengapa beliau tidak melakukan pinjaman semacam ini? beliau menuturkan bahwa hal tersebut dikarenakan, beliau
114
Hasil wawancara dengan Ibu Kustini dan Bapak Erwanto selaku masyarakat umum (tidak terlibat langsung dengan transaksi ini) pada tanggal 3 April 2010
belum membutuhkan pinjaman serta semua kebutuhan keluarganya sudah cukup terpenuhi dengan hasil usahanya.115 Selain itu, ketika peneliti menyinggung mengenai alasan mereka (para kreditur) memberikan pinjaman?, mereka hanya menuturkan bahwa alasan mereka memberikan pinjaman adalah karena untuk menolong tetangga yang sedang membutuhkan pinjaman. Sedangkan ketika disinggung mengenai tambahan yang diberikan, mereka menuturkan bahwa tambahan itu hanyalah sebuah bentuk tanda terimakasih yang diberikan oleh pihak debitur atas pinjamannya. Dan tambahan tersebut telah mereka sepakati bersama, tanpa adanya paksaan. Semua itu didasarkan atas kerelaan kedua belah pihak. Berbeda dengan tambahan yang ada pada kelompok arisan. Tambahan tersebut ada karena kesepakatan antar anggotanya, dengan harapan pada akhir tahun ada tambahan pada tabungan mereka. Atau secara sederhana mereka mengatakan setidaknya bisa untuk membeli ayam untuk acara lebaran. Namun semua ini juga atas kerelaan antar pihak, tanpa adanya paksaan. Alasan para kreditur individu (selain kelompok arisan) ikut memberikan pinjaman adalah dikarenakan dari kelompok arisan hanya menerima pinjaman dengan nominal yang kecil, sedangkan untuk nominal yang besar, di tempat tersebut tidak bisa melayaninya. Hal tersebut dikarenakan dana yang ada juga terbatas serta rata-rata yang melakukan pinjaman tersebut adalah para anggotanya sendiri. Sebab dana yang ada hanya berasal dari tabungan para anggotanya. Oleh sebab itu, orang yang dianggap kaya di tempat tersebut bersedia memberikan pinjaman sesuai dengan kebutuhan seorang debitur. Baik dalam jumlah yang kecil atau pun yang
115
Ibid
besar, akan tetapi tetap ada tambahannya. Hal tersebut dikarenakan para kreditur individu mencoba untuk menyesuaikan dengan daerah tersebut dalam menjalankan transaksi semacam ini. Apabila dilihat secara lebih dalam lagi, tambahan yang diberikan oleh para kreditur kepada para debitur tersebut cukup memberatkan. Namun seakan-akan masyarakat Desa Kenteng tersebut tidak menyadarinya atau bisa dikatakan tidak menghiraukannya. Semua itu dikarenakan, proses pengembaliannya yang bebas, tanpa adanya batasan yang jelas. Sehingga membuat mereka tidak pernah berfikir bahwa tambahan yang diberikan oleh para kreditur cukup memberatkan. Karena yang mereka rasakan bahwa mereka (para debitur) merasa dibantu dengan adanya transaksi ini. oleh karena itu mereka tidak begitu memperhatikan mengenai tambahan yang ada, karena pinjaman yang berlaku di desa tersebut adalah pinjaman yang ada tambahannya. Baik perorangan maupun koperasi. Dan seakan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan di desa tersebut. Jika disinggung mengenai alasan mereka menganggap tambahan yang diberikan oleh para kreditur cukup meringankan?, mereka menuturkan bahwa semua itu dikarenakan masyarakat daerah tersebut sudah terbiasa melihat atau melakukan transaksi tersebut, sehingga menjadikan masyarakat daerah tersebut tidak merasakan keberatan dengan tambahan yang diberikan oleh para kreditur. Selain itu mereka (para debitur) juga merasa dibantu dengan adanya transaksi ini. Sehingga menjadikan masyarakat di daerah tersebut menganggap biasa saja dengan tambahan yang ada, karena selain transaksi tersebut sudah biasa mereka lihat dan jalankan, mereka juga merasa dibantu dengan transaksi ini. Begitu pula, ketika ditanyakan mulai kapan transaksi ini berlangsung?, mereka menuturkan, bahwa mereka tidak
mengetahui persis sejak kapan transaksi ini berjalan, yang mereka ketahui, transaksi ini sudah ada sejak dahulu dan dijalankan sebagian besar masyarakat desa tersebut. Faktor-faktor yang meletarbelakangi masyarakat Desa Kenteng ini melakukan transaksi ini adalah dikarenakan adanya kebutuhan yang mendesak, tidak adanya paksaan dalam transaksi ini serta prosesnya yang mudah dan cepat. Disamping itu para debitur tidak harus meninggalkan barang jaminan pada kreditur serta pengembaliannya yang tidak ditentukan (bebas, semampu debitur untuk mengembalikan utangnya tersebut). Atau dengan kata lain mereka merasa dimudahkan dalam menutupi kebutuhan hidup dengan adanya transaksi tersebut. Ditambah lagi dengan minimnya pemahaman masyarakat di daerah tersebut mengenai hukum transaksi tersebut dalam hukum Islam. Hanya sebagian masyarakat saja yang mengetahui tentang hukum transaksi tersebut dalam hukum Islam, itupun hanya sekedar tahu bahwa hukum transaksi tersebut dilarang dalam hukum Islam, tanpa mengetahui mengapa transaksi tersebut dilarang. Sehingga membuat transaksi semacam ini menjamur di daerah tersebut. Meskipun sebagian besar penduduknya adalah muslim, akan tetapi tingkat pemahaman mereka tentang fiqih muamalah sangat minim.
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK UTANG PIUTANG DI DESA KENTENG KEC. TOROH KAB. GROBOGAN
A. Analisis
terhadap
praktek
utang
piutang
dan
faktor-faktor
yang
melatarbelakangi terjadinya di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan Utang piutang seakan telah menjadi kebutuhan sehari-hari ditengah hirukpikuk kehidupan manusia. Karena sudah lazim ada pihak yang kekurangan dan ada pula pihak yang berlebih dalam hartanya. Ada pihak yang tengah mengalami kesempitan dalam memenuhi kebutuhannya, dan ada pula pihak lain yang tengah dilapangkan rezekinya. Kondisi inilah yang terkadang dimanfaatkan oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab untuk memberikan pinjaman dengan syarat ada tambahannya. Sebagaimana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan, praktek utang piutang yang mereka laksanakan adalah sistem utang piutang berbunga atau daerah sana lebih mengenal dengan istilah utang piutang anakan. Yaitu seorang debitur datang kepada seorang kreditur untuk melakukan pinjaman, kemudian kedua belah pihak membuat perjanjian bahwa ketika si debitur akan mengembalikan pinjaman tersebut beserta bunga atau tambahan yang telah disepakati pada awal perjanjian. Dengan jangka pengembalian yang tidak ditentukan atau bebas (semampu pihak debitur untuk melunasi pinjaman tersebut), disamping itu prosesnya mudah dan tidak diharuskan meninggalkan barang jaminan.
Praktek utang piutang yang terjadi di desa tersebut sudah berlangsung sejak lama dan seakan telah menjadi kebiasaan masyarakat di daerah tersebut. Namun masyarakat di desa tersebut kurang mengetahui sejak kapan praktek utang piutang tersebut berlangsung. Karena masyarakat di daerah tersebut hanya meneruskan dari praktek yang sebelumnya tanpa mengetahui sejak kapan transaksi tersebut dimulai. Sedangkan alasan mengapa praktek tersebut ada, itu dikarenakan awalnya pinjaman yang ada hanya dilakukan oleh kelompok ibu-ibu arisan. Dengan membuat kesepakatan bahwa setiap ada seorang yang melakukan pinjaman di tempat tersebut akan dikenai tambahan yang kemudian hasilnya akan dibagi rata antar anggota arisan tersebut. Namun lambat laun, praktek tersebut tidak hanya dilakukan oleh kelompok ibu-ibu arisan, tetapi juga oleh individu. Hal tersebut dikarenakan dari kelompok arisan hanya menerima pinjaman dengan nominal yang kecil, sedangkan untuk nominal yang besar, di tempat tersebut tidak bisa melayaninya. Hal tersebut dikarenakan dana yang ada juga terbatas serta rata-rata yang melakukan pinjaman tersebut adalah para anggotanya sendiri. Oleh sebab itu, orang yang dianggap kaya di tempat tersebut bersedia memberikan pinjaman sesuai dengan kebutuhan seorang debitur. Baik dalam jumlah yang kecil ataupun yang besar, akan tetapi tetap ada tambahannya. Hal tersebut dikarenakan para kreditur individu hanya menyesuaikan dengan daerah tersebut dalam menjalankan transaksi semacam ini. Kesepakatan dalam transaksi utang piutang ini adalah seorang debitur datang kepada seorang kreditur untuk melakukan pinjaman, kemudian kedua belah pihak (kreditur dan debitur) mengadakan kesepakatan mengenai jumlah pinjaman beserta tambahan yang harus ia tanggung atas pinjamannya tersebut, namun waktu
pengembalian bebas (semampu pihak debitur untuk mengembalikan atau melunasinya). Dan perjanjian utang piutang ini sudah terlaksana sesuai dengan ketentuan hukum Islam, karena dalam hal ini pihak kreditur telah menyerahkan uang sebagai objek dalam akad utang piutang kepada si debitur. Dengan demikian, salah satu syarat dan rukun utang piutang telah terpenuhi. Selain itu objek dalam utang piutang ini juga telah memenuhi syarat sebagaimana sahnya akad utang piutang tersebut diadakan. Yaitu objeknya merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan dan penggunaannya mengakibatkan musnahnya benda hutang yaitu berupa uang yang diterima oleh debitur yang ketika digunakan akan musnah dzatnya, dapat dimiliki yang secara otomatis uang tersebut telah berpindah tangan ke debitur sehingga uang tersebut telah menjadi milik si debitur, dengan begitu uang sebagai objek dalam transaksi ini dapat diserahkan kepada pihak yang berutang, dan telah ada pada waktu perjanjian dilakukan. Dan hal tersebut telah terpenuhi dalam akad utang piutang yang ada di desa tersebut. Demikian juga dengan aqidnya dalam transaksi utang piutang telah sesuai dengan rukun dan syarat sahnya akad dilakukan. Yaitu orang yang melakukan transaksi utang piutang di desa tersebut merupakan orang yang dewasa, berakal dan cakap dalam melakukan tindakan hukum. Begitu pula dengan shigat dalam transaksi ini juga telah mereka penuhi, yaitu para pihak dalam transaksi ini adalah orang yang dewasa, berakal serta cakap dalam tindakan hukum, adanya kerelaan para pihak, objeknya jelas dan merupakan benda yang suci yaitu berupa uang yang pada dasarnya merupakan sesuatu yang suci. Dan ijab qabulnya mempunyai maksud
untuk berutang. Dengan demikian, akad dalam utang piutang tersebut telah sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Baik dari segi aqid, objek, maupun shigotnya. Kesepakatan yang dibuat oleh kedua pihak tersebut dengan lisan dan tulisan yang hanya dimiliki oleh pihak kreditur saja, sedangkan terhadap pihak debitur hanya berupa lisan dan tanpa adanya saksi, karena yang dijadikan dasar dalam transaksi ini adalah sikap saling percaya. Hal ini dapat dilihat betapa besar kepercayaan yang dibangun oleh masing-masing pihak, yang berarti tingkat kejujuran, keikhlasan, dan keterbukaan diantara mereka sudah tidak diragukan lagi. Namun demikian betapa pentingnya sebuah kesepakatan hitam diatas putih untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan pada masa yang akan datang. Jika dilihat, kehidupan para kreditur dan debitur yang terlibat dalam transaksi ini, secara ekonomi mereka tergolong sebagai tingkatan ekonomi yang menengah ke atas. Dan misalnya mereka tidak melakukan pinjaman, penghasilan yang mereka peroleh pun cukup untuk menutupi semua kebutuhannya. Akan tetapi mereka lebih memilih untuk melakukan pinjaman, dikarenakan mereka merasa dibantu dengan transaksi tersebut, meskipun disisi lain, transaksi tersebut menarik tambahan. Akan tetapi mereka tidak merasa terbebani dengan tambahan tersebut, dikarenakan hal tersebut sudah biasa mereka lakukan. Bila dilihat dari segi pendidikan tergolong dalam tingkatan pendidikan yang rendah. Yaitu umumnya mereka hanya lulusan SD bahkan ada yang tidak lulus atau tidak mengeyam pendidikan sama sekali. Hal tersebut dikarenakan kurangnya perhatian mereka dalam segi pendidikan. Sehingga kemampuan mereka untuk memang penghasilan dengan baik dan mengalokasikannya pada usaha lain cukup sulit. Bahkan untuk melakukan pinjaman di lembaga keuangan yang resmi misalnya
bank atau koperasi yang sama-sama menarik tambahan, cenderung enggan mereka lakukan. Karena menurut mereka prosesnya yang ribet dan harus meninggalkan barang jaminan serta batas waktu pengembalian yang ditentukan. Sedangkan melakukan pinjaman di desa prosesnya mudah dan cepat serta tidak harus meninggalkan barang jaminan dengan batas pengembalian yang bebas (semampu debitur untuk melunasinya). Sehingga membuat mereka merasa cukup di bantu dengan adanya transaksi tersebut. Ditambah pemahaman mereka tentang hukum transaksi tersebut dalam Islam yang minim, meskipun notabennya masyarakatnya adalah Muslim. Jadi jika para kreditur dalam memberikan pinjaman secara murni (tanpa menarik tambahan) pun jadi lebih baik. Karena dari segi finansial mereka termasuk orang yang berlimpah. Akan tetapi kenyataan yang terjadi di desa tersebut tidak lah demikian. Karena setiap kali seorang debitur yang melakukan pinjaman di desa tersebut selalu ditarik tambahan. Dan menurut mereka tambahan tersebut sebagai ungkapan tanda terimakasih karena atas pinjaman dan semua itu telah disepakati oleh para pihak. Semuanya didasarkan atas kerelaan para pihak, tanpa adanya paksaan. Menurut penulis, dalam praktek di atas, memang dilakukan dengan cara saling meridlai
antarâdlin), namun tetap dianggap kurang tepat karena
“keridlaan dalam kasus di atas masih ada unsur keterpaksaan, meskipun para pihak berdalih bahwa semuanya dilakukan dengan suka sama suka, akan tetapi pada dasarnya bukanlah ridho, namun semi pemaksaan. Orang yang mengutangi (kreditor) sebenarnya takut jika orang yang berhutang tidak ikut dalam mu amalah riba semacam ini. Ini adalah ridho, namun kenyataannya bukan ridho, karena secara
tidak langsung tambahan itu ada karena dibuat, bukan murni dari inisiatif debitur. Sehingga hal tersebut menunjukkan bahwa pihak debitur harus mengembalikan pinjamannya tersebut lebih dari modal (ra s al-mal). Jadi, jika orang yang menghutangi mengambil tambahan tersebut, ini berarti dia mengambil sesuatu tanpa melalui jalur yang dibenarkan. Jika orang yang berhutang tetap ridho menyerahkan tambahan tersebut, maka ridho mereka pada sesuatu yang syari’at ini tidak ridhoi tidak dibenarkan. Jadi, ridho dari orang yang berhutang tidaklah teranggap sama sekali. Sebab, menurut sebagian ulama betapapun kecilnya tambahan (ribâ) itu tetap haram. Berbeda dengan jual beli, berapa pun tinggi harganya tetap sah, karena sudah jelas barang yang mau dibeli walaupun labanya sampai tinggi, karena jual beli tersebut termasuk akd tijârah (bisnis) dan akad timbal balik yang sempurna (mu âwadah kâmilah). Sementara, transaksi pinjam-meminjam termasuk akd tabarru (kebaikan). Transaksi tersebut merupakan transaksi yang tidak lazim dilakukan dan bertentangan dengan tujuan transaksi utang piutang tersebut yaitu untuk menolong sesama yang berada dalam kesusahan dengan memberi manfaat kepada si pengutang untuk menggunakan pinjaman tersebut untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi kesulitan yang sedang ia alami. Namun dengan disyaratkannya ada tambahan, maka akan membebani si pengutang, karena disamping harus memikirkan pengembalian pokoknya juga harus memikirkan tambahan/bunga yang di berikan oleh pihak pemberi utang. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa transaksi semacam ini tidak lazim dilakukan karena dengan dipersyratkan adanya tambahan berarti akad ini telah keluar dari tujuan utamanya yaitu sebagai sarana tolong
menolong yang mempunyai sisi-sisi sosial yang sangat tinggi, serta mengandung nilai-nilai sosial yang cukup signifikan untuk pengembangan perekonomian masyarakat, bukan sebagai sarana bisnis. Tapi dengan dipersyaratkan adanya tambahan, maka hal ini akan menjadi sarana untuk mendapat penghasilan dengan cara mengeksploitasi orang lain atau dalam hal ini adalah seorang debitur, karena si kreditur akan mendapat laba dari tambahan yang diberikan oleh pihak pengutang (debitur). Sehingga tujuan dari transaksi ini yang semula untuk tolong menolong dan meringankan beban sesama tidak tercapai, dan berubah menjadi ladang bisnis. Karena pihak kreditur kan mendapat laba dari tambahan yang ia pinjamkan kepada si debitur. Meskipun kenyataannya di lapangan masyarakat di daerah tersebut mengatakan cukup merasa dibantu dengan adanya transaksi semacam ini. Yang kehidupannya secara ekonomi tetap stabil dan dinamis, meskipun mereka terlibat dengan transaksi ini. Di sisi lain, pihak kreditur juga cukup memberikan kelonggaran dengan tidak menentukan batasan waktu pelunasan atau dengan pengembaliannya yang bebas (semampu debitur untuk melunasinya) dan tanpa adanya barang jaminan. Dan hal tersebut dapat dikatakan bahwa dalam transaksi ini juga ada unsur untuk menolong pihak debitur. Walau pun disisi lain transaksi ini bisa dikatakan juga meraup keuntungan dengan adanya tambahan yang mereka (para kreditur) syaratkan. Akan tetapi bila tambahan tersebut tidak memberatkan dan cukup membantu serta para pihak tidak ada yang dirugikan, maka tambahan dalam transaksi tersebut tidak dilarang. Tetapi ada baiknya agar tidak terjerumus pada transaksi yang terlarang, para pihak (kreditur dan debitur) tidak menggunakan akad
utang piutang, akan tetapi akad kerjasama. Karena dengan begitu jelas perputaran uang yang dipinjam. Sistem utang piutang yang dilakukan adalah hal yang seakan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Desa Kenteng. Ketika peneliti mewawancarai sebagian dari mereka, mereka mengatakan bahwa sistem utang piutang ini sudah ada sejak dulu dan sudah biasa dilakukan, dan ketika disinggung mengenai tambahan yang diberikan oleh para kreditur cukup memberatkan atau meringankan, mereka hanya memberi penuturan bahwa tambahan yang diberikan biasa-biasa saja, tidak meringankan atau pun memberatkan. Karena utang piutang yang ada selama ini adalah sistem utang piutang yang berbunga atau yang menarik tambahan. Jadi sistem utang piutang semacam ini sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Desa Kenteng ini. Menurut
mazhab Malikiyah,
dalam hal utang piutang (al-qardl),
penambahan pembayaran yang tidak dipersyaratkan dan tidak dijanjikan karena telah menjadi kebiasaan di masyarakat, hukumnya adalah haram. Penambahan yang tidak dipersyaratkan dan tidak menjadi kebiasaan di masyarakat baru boleh diterima.116 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tambahan yang diperbolehkan dalam utang piutang adalah tambahan yang berasal dari inisiatif debitur sendiri sebagai tanda terimakasih, bukan karena disyaratkan pada awal akad. Dan juga tidak menjadi kebiasaan di masyarakat tertentu dalam melakukan transaksi semacam ini. Akan tetapi kenyataan yang terjadi disana, tambahan tersebut berasal dari kesepakatan kedua belah pihak dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa
116
Gufron A. Mas’adi, Op. Cit.,h. 173-174
tersebut dalam menjalankan transaksi semacam ini. Karena masyarakat di desa tersebut sudah terbiasa dengan tambahan yang ada dalam transaksi semacam ini. Sehingga mereka tidak merasa terbebani dengan tambahan yang ada tersebut. Dengan demikian transaksi tersebut merupakan transaksi yang tidak sesuai dengan konsep Islam. Faktor-faktor yang melatarbelakangi praktek tersebut adalah karena adanya kebutuhan yang mendesak serta prosesnya yang mudah dan cepat ditambah lagi para kreditur tidak meminta barang jaminan pada pihak debitur serta pengembaliannya yang bebas (semampu debitur untuk melunasi utangnya tersebut). Sehingga membuat masyarakat desa tersebut merasa lebih ringan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditambah lagi dengan pemahaman tentang hukum transaksi tersebut dalam hukum Islam sangat minim, sehingga praktek tersebut bebas berkembang. Misalnya untuk membeli pupuk, tambahan modal usaha atau untuk membeli kendaraan bermotor. Apabila kita mengamati hadist Nabi yang berbunyi : Tidak ada seorang muslim yang mengutangi muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya seperti sedekah. . Dan yang dimaksud dengan hadist Nabi diatas adalah memberi hutang kepada seseorang disaat dia memerlukannya, lebih besar pahalanya dari pada memberi sedekah. Karena utang hanya diperlukan oleh orang yang dalam kesempitan . 117 Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang dibolehkan berutang karena dalam keadaan yang darurat, yaitu untuk menutupi suatu hajat yang mendesak. Bukan karena sesuatu yang dibiasakan, karena hal tersebut sangatlah
117
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, Op. Cit., h. 123
buruk akibatnya. Sebagaimana petunjuk Allah dalam al-Qur’an kepada umatnya agar berlaku hemat dan jangan memboroskan harta bendanya, yaitu firman Allah, Q.S. al- Isra’ ayat 26-27:
¾ÏmÎn/t•Ï9 ß`»sÜø‹¤±9$# tb%x.ur ( ÈûüÏÜ»u‹¤±9$# tbºuq÷zÎ) (#þqçR%x. tûïÍ‘Éj‹t6ßJø9$# ¨bÎ) ÇËÏÈ #·•ƒÉ‹ö7s? ö‘Éj‹t7è? Ÿwur….. 118
Artinya
( -
:
) ÇËÐÈ #Y‘qàÿx.
Dan .jaganlah kalian menghambur-menghaburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang yang pemboros itu adalah kawan syetan dan setan itu sangat ingkar pada Tuhan-Nya. (Q.S. Al- Isra ayat 2627)
Demikian juga petunjuk agama yang menghendaki agar setiap muslim bekerja keras untuk menutup kebutuhan hidup, dan tidak membiasakan menutup kebutuhan hidup dengan jalan berutang. Dalam hal ini Rasulullah telah memberikan bimbingan agar terhindar dari utang. Karena beliau menyamakan kekufuran dengan utang, tapi bukan kesamaan dalam tingkatan besarnya dosa, melainkan pada akibatakibat buruk yang sama-sama membawa kepada kesulitan dan penderitaan yang gawat di kemudian hari, karena itu keduanya perlu dijauhi. Kenyataan berbeda pada era sekarang ini, seseorang berutang tidak hanya untuk menutupi kebutuhan hidup yang mendesak, tapi juga sekedar untuk memenuhi kepuasan pribadi saja. Misalnya untuk membeli sepeda motor atau yang lainnya yang bersifat pelengkap saja. Hal ini pula yang menjadi faktor-faktor yang melatarbelakangi masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan untuk melakukan praktek utang piutang semacam ini yaitu untuk memenuhi kebutuhankebutuhan yang tidak begitu urgen. Meskipun ada yang melakukan pinjaman untuk kebutuhan yang urgen, namun umumnya dari mereka yang melakukan transaksi
118
Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya, Op. Cit. h. 428
semacam ini hanya sebagai pemenuhan kebutuhan yang bersifat pelengkap saja. Semua itu dikarenakan, mereka merasa lebih diringankan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara berutang, baik kebutuhan yang mendesak atau kebutuhan yang biasa-biasa saja. Dan tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan alasan dibolehkannya berutang, karena pada dasarnya, seseorang boleh mengadakan utang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup yang urgen, bukan sekedar pelengkap saja. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya transaksi utang piutang di desa tersebut adalah karena masyarakat daerah tersebut merasa cukup dimudahkan dan diringankan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan hidup urgen atau pun kebutuhan yang tidak begitu urgen. Di tambah lagi dengan pemahamannya tentang hukum transaksi tersebut dalam hukum Islam yang sangat minim. Meskipun mayoritas masyarakatnya adalah Islam. Namun pemahaman tentang fiqih muamalahnya sangat minim. Sehingga transaksi semacam ini seakan tidak ada legitimasinya. Karena masyarakatnya sendiri pun menganggap transaksi semacam ini merupakan suatu hal yang biasa mereka jalankan selama ini. Berdasarkan faktor-faktor yang melatarbelakangi transaksi utang piutang di desa tersebut, sekiranya bila pihak kreditur meminta tambahan atas pinjamannya tersebut tidak dilarang tetapi juga tidak dianjurkan, karena pada dasarnya pinjaman tersebut dipergunakan untuk usaha dan yang meminjam pun orang yang mampu, sehingga ada baiknya bila pihak debitur mempunyai inisiatif untuk memberikan tambahan sebagai tanda terimakasih atas pinjaman tersebut. Sebagai sabda Nabi SAW. yang berbunyi yang artinya orang yang lebih baik diantara kamu adalah
orang yang paling baik pembayarannya , dengan kata lain bahwa orang kaya yang mengembalikan utangnya dengan tambahan termasuk orang yang terpuji, dan tidak termasuk riba. Dan ini menjadi kebaikan bagi si pengutang (husn al-qadhâ ).
B. Analisis hukum Islam terhadap tambahan dalam utang piutang di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan Utang piutang merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kegiatan ekonomi yang dikembangkan dan berlaku di masyarakat. Sebagai kegiatan ekonomi masyarakat, utang piutang mempunyai sisi-sisi sosial yang sangat tinggi. Selain itu, utang piutang juga mengandung nilai-nilai sosial yang cukup signifikan untuk pengembangan perekonomian masyarakat. Islam sebagai agama yang universal dan menyeluruh (kamil dan syamil), memandang kegiatan ekonomi, di mana utang piutang juga termasuk di dalamnya, sebagai tuntutan kehidupan manusia. Di sisi lain, kegiatan ekonomi merupakan salah satu kegiatan yang dianjurkan dan memiliki dimensi ibadah dalam intensitas yang cukup signifikan. 119 Dalam konsep Islam, utang piutang merupakan akad (transaksi ekonomi) yang mengandung nilai ta awun (tolong menolong). Dengan demikian utang piutang dapat dikatakan sebagai ibadah sosial yang dalam pandangan Islam juga mendapatkan porsi tersendiri. Utang piutang juga memiliki nilai luar biasa terutama guna bantu membantu antar sesama yang kebetulan tidak mampu secara ekonomi atau sedang membutuhkan. Dari sini maka utang piutang dapat dikatakan sebagai
119
http://bmtazkapatuk.wordpress.com/2009/02/16/utang-piutang-dalam-hukum-islam/, pada tgl 22 maret 2010, h. 4-5
diakses
salah satu bentuk transaksi yang mengandung unsur ta abbudi.120 Oleh karena itu, diharamkan bagi pemberi utang mensyaratkan tambahan dari utang yang ia berikan ketika mengembaliknnya.121 Hal tersebut sebagaimana hadis Nabi SAW,:
).
: (
Artinya: Telah menceritakan padaku, Yazid bin Abi Khabib dari Abi Marzuq AtTajji dari Fadholah bin Ubaid bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: Tiaptiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu salah satu dari beberapa macam riba (HR Baihaqi). Dengan demikian, tidak dibenarkan bagi siapapun untuk mencari keuntungan dalam bentuk apapun dari akad macam ini. Karena pada dasarnya akad utang-piutang tersebut termasuk salah satu akad yang bertujuan untuk menolong dan memberikan uluran tangan kepada orang yang membutuhkan bantuan.123 Hal tersebut semakin marak dilakukan sebagian masyarakat di sekitar kita, bahkan umat Islam pun masih banyak yang melakukan praktek-praktek transaksi yang batil tersebut. Baik dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan yang urgen atau sekedar untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat pelengkap saja. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Desa Kenteng dalam menjalankan transaksi utang piutangnya. Yaitu transaksi utang piutang yang mendatangkan manfaat, karena ada tambahan yang disyaratkan pada awal akad
120
Ibid Saleh Fauzan, Op. Cit., h. 441 122 Abi Bakr Al-Baihaqi , Loc. Cit. 123 http://www.aufklarungblog.co.cc/2009/06/yang-dimaksud-riba-dalam-islam.html, diakses tgl 10 Mei 2010, h. 4 121
yang kemudian disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan begitu si kreditur akan menerima manfaat dari debitur berupa tambahan dari pinjamnnya tersebut. Bila dikaitkan dengan konsep hukum Islam, transaksi tersebut merupakan transaksi yang terlarang untuk dilakukan. Karena utang piutang yang mendatangkan manfaat, merupakan salah satu bentuk transaksi yang mengandung unsur riba, yaitu riba al qard. Riba qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman. Dengan kata lain merupakan pinjaman berbunga124 atau biasa disebut sebagai riba nasiah/riba jahiliyah yaitu riba (tambahan) yang terjadi akibat pembayaran yang tertunda pada akad tukar menukar dua barang yang tergolong ke dalam komoditi riba, baik satu jenis atau berlainan jenis dengan menunda penyerahan salah satu barang yang dipertukarkan atau kedua-duanya.125 Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, tumbuh, naik, bengkak, meningkat dan menjadi besar dan tinggi. Kata riba juga digunakan dalam pengertian bukit yang kecil. Semua penggunaan ini namapaknya memiliki satu makna yang sama yaitu pertambahan, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Namun yang
dimaksud riba dalam ayat Al-Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek.126 Sedangkan pengertian riba menurut fiqih adalah:
124
Mervin K. Lewis, dan Latifa M. Algoud, Perbankan Syari ah: Prinsip, Praktek dan Prospek, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001, h. 57 125 http://www.almanhaj.or.id/content/2093/slash/ , diakses tgl 10 Mei 2010, h. 2 126 http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg00255.html, diakses tgl 10 Mei 2010, h. 1
Artinya: “tambahan dari modal yang dipinjam, baik ia sedikit atau banyak127. Dengan kata lain, sedikit pun tambahan yang diambil seseorang dalam transaksi yang komersial yang tidak adanya transaksi pengganti atau penyeimbang adalah merupkan perilaku riba. Sehingga transaksi tersebut termasuk transaksi yang bathil. Hal tersebut sebagaimana Firman Allah Ta'ala sebagai berikut yang merupkan salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharaman praktek riba':
) 128
Artinya:
(
:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalahkamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan."(Ali Imran 130.)
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata: "Allah Ta'ala melarang hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari praktek dan memakan riba yang senantiasa berlipat ganda. Dahulu, di zaman jahiliyyah, bila piutang telah jatuh tempo mereka berkata kepada yang berutang: engkau melunasi utangmu atau membayar riba, bila ia tidak melunasinya, maka pemberi utangpun menundanya dan orang yang berutang menambah jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun, sehingga bisa saja piutang yang sedikit menjadi berlipat ganda hingga menjadi besar jumlahnya beberapa kali lipat. Dan pada ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan
127
Kahar Masyhur, Beberapa Pendapat Mengenai Riba, Jakarta: Kalim Mulia, Cet. Ke 2, 1992, h.
128
Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya, Op. Cit., h 97
4
hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat." 129
Falsafah-falsafah yang terdapat dalam riba adalah karena riba itu merupakan bentuk penganiyaan, sebagaimana firman Allah SWT: 130
(
:
).
Artinya: Bila kamu telah tobat, maka kamu boleh mengambil modalmu, sehingga kamu tidak menganiaya orang dan kamu tidak pula dianiaya orang. (Q.S. al-Baqarah 279) Menurut Ibnu Taimiyah, riba itu merupakan satu bentuk penganiayaan atas yang membutuhkan pinjaman. Oleh sebab itu, ia merupakan lawan dari bersedekah. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan orang-orang kaya dengan kekayaannya saja, tai mewajibkan atas mereka agar memberi fakir, karena keselamatan antara orang kaya dan fakir tidak lengkap tanpa sedekah. bila orang kaya meriba dengannya, maka ia bagaikan memperlakukan antara seorang laki-laki yang berutang, maka ia menganiayanya dengan tidak mau memberikan pinjaman kecuali bersedia bila ada tambahan. Padahal orang yang berutang dalam keadaan membutuhkan utangnya tersebut. Jadi, riba merupakan satu bentuk penaniyaan yang paling besar.131 Riba memutuskan keterkaitan antara kekayaan dan usaha. Orang yang memperoleh manfaat dari harta, ia telah mendapat kekayaan tanpa usaha. Pada dasarnya tidak ada masalah dengan ketiadaan kaitannya antara kekayaan dengan usaha jika hal tersebut tidak mengganggu hak orang lain. Dalam Islam telah membolehkan persewaan (ijarah) dan kerjasama (mudharabah). Disini pemilik
129
Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. 1, Jakarta: Gema Insani, 1999. h. 404 Depag, Al-Qur an dan Terjemahannya, Op. Cit., h. 70 131 Kahar Masyhur, Op. Cit., h. 9 130
tidak harta memperoleh keuntungan dari hartanya tanpa melakukan usaha tertentu, bahkan kadang-kadang harta tersebut diperolehnya dari warisan. Jadi ini tidak bisa dikatakan sebagai alasan riba dalam Islam. Terdapat perbedaan antara riba dan persewaan atau mudharabah, yaitu dalam riba antara modal dengan keuntungan terjamin. Sedangkan dalam persewaan serta mudharabah, modal dan keuntungan tidak terjamin. Bahkan dalam persewaan, modal bisa mengalami penyusutan.132 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak semua tambahan atau riba itu adalah haram. Semua itu harus dilihat dari latar belakang keuntungan itu diperoleh, serta dalam memperoleh keuntungan tersebut tidak mengganggu hak orang lain. Selain itu, riba akan menyebabkan pemilik harta tidak melakukan usaha dan menghilangkan sumber daya manusia, sebagai akibatnya akan terjadi resesi ekonomi. Karena dengan usaha seseorang bisa memenuhi kebutuhan materialnya, karena itu islam menuntut untuk berusaha. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan pengharaman riba, karena pemilikan yang berlebih-lebihan dalam kehidupan sehari-hari dalam juga dilarang dalam Islam. Karena dalam Islam tidak memaksa seseorang untuk berusaha. 133 Jadi, dengan begitu seseorang diperbolehkan untuk mendapat keuntungan dengan persewaan dan mudharabah, aslkan diperoleh dengan cara yang sah dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam. Riba menjadi sebab terpilahnya masyarakat menjadi dua kelas, yaitu kelas produkif dan non-produktif. Riba cenderung mengorbankan kelas produktif dan menjadikannya kelas non-produktif. Yang pada akhirnya akan melemahkan kelas 132
Murtadha Muthahari, Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba, Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. 1, 1995, h. 14-15 133 Ibid., h. 15-16
produktif, bahkan menghapuskannya, sehingga menyebabkan resensi ekonomi dan hilangnya kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi bila jika pengambilan keuntungan itu tidak menyimpang dari prinsip keadilan dan tidak menyalahgunakan prinsip supllay and demand (penawaran dan permintaan), terlebih lagi dengan suku bunga yang rendah, maka riba tidak akan melemahkan kelas produktif. Bahkan sebaliknya, riba meningkatkan dan menambah kesejahteraan kelas produktif melalui pengembalian suku bunga yang rendah.134 Dengan kata lain, selama suku bunga yang ditetapkan tidak menyebabkan seseorang menjadi terpuruk dan hancur, bahkan menjadi lebih baik, maka hal tersebut tidak di sebut sebagai suatu hal yang haram. Karena pengharaman itu berlaku ketika dengan pengambilan tambahan tersebut membuat kehancuran. Akan tetapi bila sebaliknya, maka penetapan dan pengambilan tambahan tersebut tidak dilarang. Riba termasuk diantara bentuk-bentuk usaha para pemilik modal, yakni diantara keadaan dimana sebagian orang tidak melakukan usaha tetapi hanya menanamkan usahanya saja. Jika pemilik modal juga melakukan suatu usaha selain menanamkan
modalnya,
maka
akan
menyebabkan
hilangnya
persamaan
kesejahteraan diantara anggota-anggota masyarakat disebabkan adanya sebagian orang yang memiliki usaha, sedangkan yang lain memiliki usaha dan modal sekaligus. Maka lambat laun hilanglah persamaan sosial diantara anggota masyarakat. Tetapi jika pemilik modal itu tidak melakukan usaha dan hanya menanamkan modalnya, dan jika kondisi ini terus berlangsung, maka akan ada
134
Ibid, h. 16-17
sebagian orang yang berusaha dan dapat makan, sedangkan yang lain tidak berusaha tetapi tetap dapat makan. Penanaman modal dan pengambilan keuntungannya, jika pemilikan modalnya sah, maka ini tidak menyimpang dari prinsip keadilan dan dengan sendirinya tidak ada masalah dengan munculnya perbedaan strata sosial, yang bergantung pada kepribadian individu masing-masing. Adapun tidak adanya usaha, tidak akan menghilangkan kekuatan ekonomi. Karena itu, tidak mungkin hal ini menjadi alasan pengharaman riba, sebab Islam juga membolehkan sebagian pemilikan kekayaan.135 Dengan demikian pengambilan keuntungan dari modal yang seseorang punya itu tidak di larang, asalkan tidak bertentangan dengan rasa keadilan serta merugikan orang lain. Selain itu perjanjian riba hanya akan menimbulkan hubungan yang tegang antar sesama yang pada akhirnya akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Sehingga lambat laun akan melucuti masyarakatnya dari kemakamuran. Karena yang ada hanya perpecahan dan perselisihan, sehingga kemakmuran itupun akan terkikis yang pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya. Yang secara otomatis telah memutus perbuatan baik dengan sesama, karena pada dasarnya tujuan utang piutang itu adalah untuk menolong sesama yang tengah mengalami kesusahan, akan tetapi dengan adanya tambahan atau riba, maka hal tersebut akan semakin menambah beban bagi pengutang tersebut.136 Akan tetapi bila dalam hal ini hubungan antara pemberi pinjaman dengan peminjam tidak ada perubahan, bahkan menjadi lebih baik lagi, karena pihak peminjam merasa telah ditolong, maka pengambilan tersebut tidak dilarang. Karena 135 136
Ibid., h. 17-18 Mervin K. Lewis, dan Latifa M. Algoud, Op. Cit., h. 58
salah satu penyebab diharamkannya riba adalah dikhawatirkan akan terjadinya kesenjangan sosial antara peminjam dengan pemberi pinjaman. Akan tetapi bila hal tersebut tidaklah terjadi, maka transaksi tersebut tidak lah bermasalah, karena dalam hal ini tidak ada yang merasa dirugikan. Menurut penulis, pengharaman riba ini lebih didasarkan pada dampak yang ditimbulkannya sangat buruk dan merugikan bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya. Karena akan menimbulkan kesenjangan sosial, karena akan terjadi penumpukan harta pada satu pihak, bila hal tersebut tidak di legitimasi secara jelas dan tegas. Sehingga rasa keadilan dalam transaksi ekonomi Islam tidak tercapai. Selain itu juga akan membentuk pribadi yang malas-malasan dalam berusaha. Karena cenderung mengandalkan tambahan dari pinjaman yang ia berikan. Serta budaya mengeksploitasi orang lain semakin merajalela dan bebas berkembang. Tetapi jika ditemukan sebuah kondisi dimana seorang peminjam tidak harus disantuni karena ia tidak termasuk miskin. Maka dalam hal ini, seorang peminjam dituntut untuk mengembalikan utang secepatnya dan sebaik mungkin, seperti memberi tambahan sebagai tanda terimakasih atas jasa pemberi pinjaman. Sebagaimana hadist Nabi SAW. yang artinya orang yang lebih baik diantara kamu adalah orang yang paling baik pembayarannya , dengan kata lain bahwa orang kaya yang mengembalikan utangnya dengan tambahan termasuk orang yang terpuji, dan tidak termasuk riba. Dengan demikian tidak setiap tambahan atas jumlah pinjaman dari pihak yang berutang itu dikatakan riba, tetapi, lebih tergantung pada latar belakang dan akibat yang ditimbulkan. Bila hal tersebut dikaitkan dengan kondisi ekonomi Negara–Negara yang menggunakan mata uang yang “berlangganan” inflasi, maka petunjuk Nabi agar
orang mampu (kaya) yang berutang mengembalikannya dengan sebaik-sebaiknya, maka tambahan atas jumlah pinjaman tersebut harus diberikan. Sekarang, andai kata besar inflasi suatu mata uang sebesar 10% setahun, maka orang membayar jumlah pinjaman dengan tenggang waktu satu tahun, misalnya dengan tambahan 10%, belum dapat dikatakan terpuji, karena sebenarnya ia baru membayar jumlah pinjaman berdasarkan kurs ketika meminjam, belum memberikan tambahan yang sesungguhnya. Apalagi tidak memberikan tambahan apa pun, tentu merugikan orang lain.137 Dalam hal ini adalah pihak kreditur, karena pada dasarnya uang yang dipinjam oleh kreditur tersebut bila diputarkan dalam usaha tertentu dalam jangka satu tahun tentu sudah menghasilkan laba. Dengan demikian tidak berlebihan dan dianggap kiranya jika seorang peminjam memberikan tambahan atas pinjamannya tersebut kepada pihak kreditur. Dengan begitu dapat diambil kesimpulan, bahwa tidak setiap tambahan (ziyadah) yang terdapat dalam utang piutang itu adalah riba. Akan tetapi semua itu tergantung pada latar belakang dan akibat yang ditimbulkannya. Misalnya apabila pinjaman tersebut di gunakan untuk modal usaha dan peminjamnya orang yang mampu (kaya), maka adanya tambahan tersebut dibolehkan. Dan tentunya dengan tambahan yang rendah dan tidak mengakibatkan ia melemah dan hancur. Akan tetapi bila pinjaman tersebut dipergunakan dalam rangka menutupi kebutuhan hidupnya yang urgen, misalnya untuk membeli sembako, maka tidak diperbolehkan menarik tambahan, karena tambahan tersebut merupakan riba dan merupakan bentuk penganiayaan.
137
Muh. Zuhri, Riba Dalam al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, Ed. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1996, h. 50-51
Jadi dengan kata lain, tidak semua tambahan dalam transaksi utang piutang itu dilarang. Pelarangannya bersifat fleksibel, tergantung dengan situasi dan kondisi serta latar belakang dan sebab yang di timbulkannya. Bila dengan tambahan tersebut tidak mengganggu kehidupan ekonominya dan bisa meningkatkan tingkat ekonominya, maka menarik tambahan diperbolehkan. Akan tetapi bila sebaliknya yaitu semakin memperburuk tingkat ekonominya maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Baik berasal dari inisiatif debitur sendiri sebagai ucapan terimakasih atau disepakati pada awal akad. Yang terpenting tambahan tersebut tidak mengakibatkan para pihak merasa dirugikan dan merasa tertipu dan sudah tentu didasarkan pada keikhlasan dan kerelaan kedua belah pihak, dan bukan karena keterpaksaan. Sebagaimana dengan tambahan yang terdapat dalam transaksi utang piutang yang terjadi di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan, tambahan dalam transaksi utang piutang tersebut merupakan tambahan yang boleh saja diambil karena ratarata pinjaman tersebut untuk modal usaha serta dengan tambahan tersebut tidak menimbulkan keterpurukan dalam kehidupan ekonominya. Akan tetapi bukan berarti ini sebuah anjuran, bila memang kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan dengan adanya tersebut, maka pengambilan tambahan dalam transaksi tersebut tidak dilarang. Akan tetapi bila sebaliknya yaitu menyebabkan keterpurukan dan kesusahan dalam kehidupan ekonominya, maka tambahan tersebut dilarang untuk diambil. Semua tergantung latar belakang peminjaman serta akibat yang ditimbulkan oleh tambahan tersebut.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa analisa yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Praktek utang piutang yang terjadi di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan telah memenuhi rukun dan syarat sahnya akad dalam Islam yaitu dengan adanya para pihak yang telah cakap melakukan tindakan hukum, objeknya yang jelas dan dapat dimiliki serta shighatnnya yang menunjukkan maksud untuk melakukan pinjaman serta kesepakatan yang terjalin diantara mereka didasarkan atas kerelaan kedua belah pihak. Sedangkan faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya praktek tersebut dikarenakan adanya kemudahan dalam menutupi kebutuhan hidup masyarakat setempat serta prosesnya yang mudah, cepat dan tidak harus meninggalkan barang jaminan. Ditambah lagi, minimnya pengetahuan tentang hukum transaksi tersebut dalam hukum Islam. 2. Bahwa tidak setiap tambahan atas jumlah pinjaman dari pihak yang berutang itu dikatakan riba, tetapi, lebih tergantung pada latar belakang dan akibat yang ditimbulkan. Sebagaimana dengan tambahan yang terdapat dalam transaksi utang piutang yang terjadi di Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan, tambahan dalam transaksi utang piutang tersebut merupakan tambahan yang boleh saja diambil karena rata-rata pinjaman tersebut untuk modal usaha serta dengan tambahan tersebut tidak menimbulkan keterpurukan dalam kehidupan ekonominya. Akan tetapi bukan berarti ini sebuah anjuran, bila memang kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan dengan adanya tersebut, maka pengambilan tambahan dalam transaksi tersebut tidak dilarang. Akan tetapi bila sebaliknya yaitu menyebabkan keterpurukan dan kesusahan dalam
kehidupan ekonominya, maka tambahan tersebut dilarang untuk diambil. Semua tergantung latar belakang peminjaman serta akibat yang ditimbulkan oleh tambahan tersebut.
B. Saran-saran
1. Bagi masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan khususnya para pihak yang terlibat dalam transaksi ini, dalam bermuamalah hendaknya selalu memperhatikan prinsip-prinsip yang telah diajarkan Islam, agar tidak terjerumus kepada hal yang dilarang oleh Islam.
2. Bagi tokoh masyarakat desa tersebut agar lebih memberikan pengarahan terhadap masyarakat Desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan dalam menjalankan kegiatan muamalahnya agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
C. Penutup
Puji syukur kehadirat Rabby yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa penulis junjungkan kepada baginda Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa jalan kebenaran bagi ummat manusia, dialah pahlawan revolusioner handal dan akhirul anbiya` yang dapat menjadi inspirasi bagi penulis untuk mengerjakan skripsi ini. Tidak lupa ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu demi terwujudnya skripsi ini tepat pada waktunya. Penulis sadar penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, karena manusia tidak ada yang sempurna. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi sempurnanya skripsi ini. Dan penulis berharap semoga
skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Dan
akhirul
kalam
wallahul
muwafiq
wassalamu`alaikaum wa rahmatullahi wa barakatuhu.
ila
aqwamitthoriq
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, 1998 Arsyad, Taqdir dan Hasan, Abul (ed), Ensiklopedi Fiqih Muammalah Dalam Pandangan 4 Mazhab,Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, Cet. 1, 2009 Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Azhar Basyir, Ahmad, Asas-asas Hukum Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008 Al-Din Abd al-Azim al-Munziri, Al-Hafiz Zaki, Mukhtasir Sahih Muslim, Terj. Syinqity Jamaluddin dan Mochtar Zoerni Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Al-Arba ah, Juz 2, Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1996 Al-Zuhayliy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, Juz IV, Bariut: Dar al-fikr, 1989 Bakr Al-Baihaqi, Abi, Sunan Al- Kubra, Juz 5, tp, Dar Al-Kutub Al Ilmiah, tt Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2004 Dahlan Abdul Aziz (ed. al.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. 1, 1968 Danim, Sudarwan , Menjadi Peneliti kualitatif, Bandung: Pustaka Setia, 2002 Departemen Agama, Al-Qur an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989 Djuwaini, Dimayuddin, Pengantar Fiqih Muamalah, Cet. 1, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2008 Fadilah, Nurul, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Implementasi Hutang Pupuk Dengan Gabah Di Desa Pucuk Kecamatan Dawarblandong Kabupaten Mojokerto, Skripsi Sarjana Syariah jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, D ital Lebrary IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009 Fadjria, Lina, Utang Piutang Emas dengan Pengembalian Uang di Kampung Pandugo Kelurahan Penjaringan Sari Kecamatan Rungkut Kota Surabaya dalam Perspektif Hukum Islam, Pustakawan IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Library IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009 Fikri, Ali, al-Mu allamatul Ma}iyah wal Adabiyah, Bab I, Beirut: Dar al-Fikr Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Mu amalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002
H.S, Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, Cet. 1, 2003 Hasbi ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad, Pengantar Fiqih Mualalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 Ibrahim, Jhony, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2006 --------------------------------------------------------------, Koleksi Hadis-Hadis Hukum 7, Cet. 3, Ed. 2, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001 Junainah, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelunasan Utang Sapi untuk Penanaman Tembakau Berdasarkan Ketentuan Kreditur di Ds. Sejati Kec. Camplong Kab. Sampang Madura, Skripsi Sarjana Syariah Jurusan Mu’amalah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Digital Lebrary IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2009 K. Lewis, Mervin, dan M. Algoud, Latifa, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik dan Prospek, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001 Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah , Juz tsani, Beriut Lebanon: Darul Fikri ---------------, Sunan Ibnu Majah, Juz Awwal, Beriut Lebanon: Darul Fikri Masyhur, Kahar, Beberapa Pendapat Mengenai Riba, Jakarta: Kalim Mulia, Cet. 2, 1992 Muslehudidin, Muhammad, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 1, 1990 Muslihun, M.Ag., harga barang sebagai standar pengembalian hutang piutang uang di lombok (tela ah aspek al- adalah dalam ekonomi Islam, Thesis Magister Studi Islam, Lombok, Perpustakaan IAIN Mataram. Muthahari, Murtadha, Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba, Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. 1, 1995 Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid. 1, Jakarta: Gema Insani 1999 Prakoso, Djoko dan Riyadi Lany, Bambang, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu, Jakarta: Bina Aksara, Cet. 1, 1987 R. Subekti, S.H, dan R. Tjitrosudibio., Kitab Undang-Udang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. 32 R. Subekti, S.H., Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditiya Bakti, Cet. 10, 1995 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001 Sudarsono, Pokok-Pokok hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet. 1, 1992 Suhendi, Hendi Fiqh Muamalah, Ed. 1, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008 Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Rajawali Pers (cet. VII), 1992 Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001
Syarifuddin, Amir Gari-Garis Besar Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Prena Media, Cet. 1, 2003 Saleh al-Fauzan, al-Mulakhasul Fiqhi, , Jakarta: Gema Insani Press, Cet. 1, 2005 Sabiq, Sayyid, Fiqhus Sunnah, Jilid 4, Jakarta: Pena Peduli Aksara, 2009 Thalib, M., Pedoman Wiraswasta dan Manajemen Islamy, Solo: CV. Pustaka Mantiq, Cet. 1, 1992 Yaqub, Hamzah, Kode Etik Hukum Dagang Menurut Islam, Bandung: C.V. Diponegoro, 1984 Zainuddin bin Abdul Azis al-Malibary, Syaikh, Fathul Mu in, Jilid II, Terj. Aliy As’ad Yogyakarta: Menara Kudus, 1979 Zuhri, Muh. Riba Dalam al-Quran dan Masalah Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, Ed. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1996 http://bmtazkapatuk.wordpress.com/2009/02/16/utang-piutang-dalam-hukum-islam/, diakses pada tgl 22 Maret 2010 http://matulessi.wordpress.com/2010/01/30/utang-piutag-menurut-islam/, diakses tgl 20 Maret 2010 http://al-ilmu.com/magazines/detail.php, diakses tgl 10 Januari 2010 http://www.aufklarungblog.co.cc/2009/06/yang-dimaksud-riba-dalam-islam.html, diakses tgl 10 Mei 2010 http://www.almanhaj.or.id/content/2093/slash/, diakses tgl 10 Mei 2010 http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg00255.html, tgl 10 Mei 2010
diakses
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/12/30/qardun-utang/, diakses tgl 19 Maret 2010 Wawancara dengan Ibu Sutiyem selaku pengurus dan anggota arisan di Desa Kenteng Wawancara dengan Bapak Huri selaku kreditur di desa tersebut pada tanggal 3 April 2010 Wawancara dengan Ibu Maryati selaku kreditur di Desa Kenteng pada tanggal 31 Maret 2010 Wawancara dengan Bapak Tono selaku kreditur di Desa Kenteng pada tanggal 1 April 2010 Wawancara dengan Ibu Dapi selaku kreditur di di Desa Kenteng pada tanggal 3 April 2010 Wawancara dengan Bapak Hardi selaku kreditur di Desa Kenteng pada tanggal 1 April 2010 Wawancara dengan Bapak Eko selaku masyarakat umum (tidak terlibat langsung dengan transaksi utang piutang di desa Kenteng) pada tanggal 31 maret 2010
Wawancara dengan Mbah Wagiyem selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 3 April 2010 Wawancara dengan Ibu Puji selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 30 Maret 2010 Wawancara dengan Ibu Darti selaku salah satu Debitur pada tanggal 30 Maret 2010 Wawancara dengan Ibu Sularti selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 22 April 2010 Wawancara dengan Bapak Siswo selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 30 Maret 2010 Wawancara dengan Ibu Ekowati selaku salah satu debitur di Desa Kenteng pada tanggal 3 April 2010 Wawancara dengan Bapak Harto selaku tokoh masyarakat di desa Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan pada tanggal 3 April 2010 Wawancara dengan Ibu Kustini dan Bapak Erwanto selaku masyarakat umum (tidak terlibat langsung dengan transaksi utang piutang di desa Kenteng) pada tanggal 3 April 2010
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Eni Dwi Astuti
TTL
: Grobogan, 14 Desember 1986
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Dsn. Sidomulyo RT 05 RW 06 Kel. Kenteng Kec. Toroh Kab. Grobogan
Riwayat Pendidikan : SD Kenteng 04 lulus tahun 1999 MTS Yafalah Gubug lulus tahun 2002 MA Yafalah Gubug lulus tahun 2005 Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang
Demikian riwayat hidup penulis, dibuat dengan sebenar-benarnya untuk menjadikan maklum adanya. Grobogan, Juli 2010
Eni Dwi Astuti