ABSTRAK
Nasihin Aziz Raharjo Analisis Semiotik Serat Dewa Ruci Serat Dewa Ruci yang digubah oleh Kyai Yasadipura I memuat ajaran tasawuf yang dalam pembawaannya disejajarkan dengan ajaran mistik Jawa. Penciptaannya disengajakan untuk menyampaikan nilai-nilai ke-Islaman kepada masyarakat Jawa kala itu. Karya Sastra semacam ini merupakan warisan tradisi berdakwah yang diturunkan oleh para wali yang diyakini dengan cara demikianlah Islam dapat disebarkan di Nusantara, wilayah yang sebelumnya telah diisi dengan budaya anemisme, dinamisme, Hindu, dan Budha. Saat ini pemahaman generasi baru tentang bahasa dan simbol-simbol komunikasi yang biasa digunakan oleh masyarakat terdahulu banyak mengalami distorsi. Termasuk pemahaman terhadap ajaran luhur yang termuat dalam Serat Dewa Ruci, saat ini sudah tidak banyak lagi orang yang mengerti maksud dari simbol-simbol yang digunakan di dalamnya. Dengan demikian, maka, penelitian ini bermaksud mengadakan penafsiran mendalam dari padanya, agar kemudian dapat dituliskan dan dapat dibaca serta disebar luaskan kepada masyarakat, guna memberi pemahaman atas ajaran yang terkandung di dalamnya. Penggalian kandungan Serat Dewa Ruci dalam karya ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif analitis dengan penggunaan semiotik sebagai metode analisis. Adapun metode analisis semiotik yang digunakan adalah metode yang dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure, yaitu dengan memfokuskan pada rumusan tentang analisis bahasa sinkronik-diakronik dan konsep penandapetanda. Analisis semiotik dilakukan dengan cara penggalian pemaknaan yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu dalam manuskrip-manuskrip yang ada, serta dengan mencari data dan informasi dari pelaku budaya Jawa yang memiliki wawasan luas tentang kandungan Serat Dewa Ruci. Hasil dari penelitian ini adalah kesimpulan bahwasanya isi kandungan Serat Dewa Ruci didominasi dengan ajaran tasawuf falsafi yang kemudian dikenal juga dengan ajaran mistik kejawen. Simbol-simbol yang digunakan di dalamnya merupakan penggambaran lelaku tirakat yang harus dijalani seseorang untuk menggapai tingkatan tinggi dalam spiritual dan kesucian jiwa. Banyak kalangan masyarakat Jawa yang menjadikan cerita Dewa Ruci sebagai rujukan pencarian jati diri manusia.
iv
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah, penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah berkenan mengizinkan (bi idznihi) skripsi ini akhirnya terselesaikan, setelah melalui proses yang cukup panjang dengan kesungguhan, jerih payah, serta kesabaran. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan besar, Nabi Muhammad SAW yang berkatnya manusia mendapatkan pencerahan sejati melebihi pencerahan-pencerahan yang diyakini oleh dunia hari ini. Perkenankan, pada pengantar skripsi ini penulis menghaturkan untaian terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung ataupun tak langsung dalam penulisan tugas akhir perkuliahan ini. 1. Terimakasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor UIN Jakarta, Dr. Arief Subhan, MA., selaku Dekan FIDKOM, Drs. Jumroni, MSi., selaku Ketua Jurusan KPI, serta Ibu-nya mahasiswa KPI, Umi Musyarofah, MA., selaku Sekretaris Jurusan KPI. 2. Terimakasih kepada dosen pembimbing, Drs. Muhammad Sungaidi, MA., atas kesabarannya memberikan arahan serta pendampingan yang tak hentihentinya sehingga saat ini penulis telah menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Terimaksih kepada Dr. Hamid Nasuhi, atas sharing-nya seputar Serat Dewa Ruci. Dan yang lebih dari itu, terimaksih atas pemberian data dan informasi yang beliau peroleh secara susah payah itu, diberikan kepada penulis dengan cuma-cuma. Juga kepada Pak Sudirman Tebba penulis beberapa buku yang berkaitan dengan tasawuf Jawa atas pemberian data yang sangat membantu penulis. 4. Terimakasih kepada Ki Joko Wardono dan Ki Andhika S.Sen., atas informasi seputar perwayangan pada umumnya dan lakon Dewa Ruci/ Bima Suci pada khususnya, yang beliau-beliau bagikan kepada penulis. 5. Terimakasih kepada Rektor Universitas Maiyah mbah Emha, serta para guru besar dan jamaah di seluruh Nusantara: Kenduri Cinta, Padhang Bulan, Macapat Syafaat, Gambang Syafaat, dan Bangbang Wetan. Semua usaha tidak akan sia-sia. Nusantara akan kembali berjaya.
v
6. Terimakasih kepada keluarga, kanjeng rama Mugohardjo, kanjeng ibu Tri Mulyani, serta kedua kakak penulis, Nur Eka Yanti sekeluarga dan Munawir Hasan al-Fauzi, atas kehangatan yang diberikan selama ini. 7. Terimakasih kepada kawan-kawan “nongkrong” Tongkrongan Sastra Senjakala: Abraham Zakky, Asep Sopyan , Dedik, Moham, Maharini, dan semua anggota nongkrong atas banyak hal yang saling dibagi bersama. 8. Terimakasih kepada keluarga besar Al-Barkah Institute: Nian, Rochim, Majid, Domen, Imam, Fajar, Habib, Icha, Iin, Azizullah, pakne Azam, dan semua penghuni basecamp, baik kaum “anshor” maupun “muhajirin,” atas keintiman perkawanan dengan penulis. 9. Terimakasih kepada Ikatan Alumni MAKN Surakarta (IKAMAKSUTA) Jakarta Raya: Farid, Kamal, Ais, Ulya, Baha’, Amri, Saidah, Fajar, Amin, Sari, dan seluruh alumni baik yang telah penulis seniorkan karena usia, karir, dan pengalaman, ataupun yang masih menjadi mahasiswa di JABODETABEK. Kebersamaan dengan mereka mengajarkan pada penulis arti persaudaraan. 10. Terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Zahratu Qalbiy, Ika Prihatin Yuliana, atas motivasi yang tiada henti. Keterbatasan ruang, meniscayakan penulis tak mungkin mencantumkan satupersatu semua pihak yang telah membantu penulis. Bagi mereka yang tak tersebut namanya dalam pengantar ini, hatur terimakasih penulis tak kurang dari nama-nama yang tersurat di atas. Last but not least, tiada yang sempurna di dunia ini, termasuk skripsi ini tentu jauh dari kesempurnaan. Segala masukan, kritik, dan saran terhadapnya sangat penulis harapkan dan nantikan. Ciputat, 12 Desember 2010
Penulis,
vi
DAFTAR ISI ABSTRAK............................................................................................................... i KATA PENGANTAR............................................................................................ v DAFTAR ISI......................................................................................................... vii BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah........................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................................... 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.......................................................... 8 D. Metodologi Penelitian........................................................................... 9 E. Tinjauan Pustaka................................................................................. 13 F. Sistematika Penulisan.......................................................................... 14
BAB II TINJAUAN TEORITIS........................................................................... 16 A. Tinjauan Sastra Jawa........................................................................... 17 1. Sastra Jawa Kuno.................................................................... 17 2. Sastra Jawa Pertengahan......................................................... 19 3. Sastra Jawa Baru..................................................................... 20 4. Sastra Jawa Modern................................................................ 22 B. Tinjauan Tasawuf................................................................................ 22 1. Tinjauan UmumTasawuf......................................................... 22 2. Tasawuf dan Mistik Jawa........................................................ 24 C. Tinjauan Umum Semiotik................................................................... 27 1. Semiotika dalam Karya Sastra................................................ 29 2. Semiotika Ferdinand de Saussure........................................... 32
BAB III GAMBARAN UMUM SERAT DEWA RUCI...................................... 34 A. Pustaka Dewa Ruci............................................................................. 34 B. Biografi Yasadipura I.......................................................................... 40
vii
C. Pengaruh Budaya Islam dalam Serat Dewa Ruci................................ 45 D. Penokohan Bima (Werkudara) dalam Serat Dewa Ruci..................... 49 E. Sinopsis Serat Dewa Ruci................................................................... 51
BAB IV KONSTRUKSI SIMBIL DALAM SERAT DEWA RUCI (ANALISIS SEMIOTIK SERAT DEWA RUCI)..................................................................... 54 A. Bait Ke-2 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 56 B. Bait Ke-3 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 60 C. Bait Ke-4 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 63 D. Bait Ke-5 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci...................................... 69
BAB V PENUTUP................................................................................................ 73 A. Kesimpulan......................................................................................... 73 B. Saran Penelitian................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 76 LAMPIRAN.......................................................................................................... 79
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Para wali khususnya “Wali Songo”1 menyebarkan ajaran Agama Islam di Nusantara melalui berbagai macam cara. Adapun cara yang paling dianggap sukses adalah dengan penerapan metode yang sangat apresiatif terhadap budaya, antara lain melalui asimilasi kebudayaan “lokal” dengan nilai-nilai ke-Islaman (bukan berarti mencampur adukkan antara agama dengan budaya). Metode yang digunakan para wali ini mampu menjadi bukti ke-Rahmatan lil ‘Alamin-an Islam bagi masyarakat. Terbukti sampai hari ini Islam bertahan, dan bahkan hari ini lebih dari 80% penduduk Indonesia beragama Islam. Pencapaian ini merupakan keberhasilan yang sangat baik, mengingat sebelumnya selama ratusan tahun telah diisi oleh agama adat istiadat serta Hindu-Budha. Metode yang santun inilah yang membedakan Islam di negeri ini dengan Islam di Andalusia (sekarang Spanyol dan sebagian Portugal) yang telah sempat memiliki peradaban tinggi, namun akhirnya runtuh oleh pasukan “salib” yang
1
Wali dalam konteks ini adalah waliyullah, yaitu orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah, sedangkan songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Jadi, Wali Songo adalah sebutan untuk sembilan wali yang bertugas menyebarkan ajaran Islam di Jawa sekaligus sebagai penasehat keagamaan di kerajaan. Dalam tugasnya para wali tersebut diberi kuasa oleh raja (Kerajaan Islam Jawa) untuk menguasai suatu wilayah tertentu, misalnya Maulana Malik Ibrahim diberi kekuasaan di wilayah Gresik, maka bergelar Sunan Gresik, Ja’far Shadiq diberi kekuasaan di wilayah Kudus, maka bergelar Sunan Kudus. Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara; Rangkaian Sufi Terkemuka (Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2005), h. 10-11. Prof. Hasanu Simon, mengutip dari Asnan Wahyudi, berdasar naskah orisinil yang tersimpan di Istana Istanbul, Wali Songo pada awalnya adalah sembilan ulama yang memiliki karomah, utusan Sultan Muhammad I untuk berdakwah di Tanah Jawa pada tahun 1404. Dalam keterangannya, hal ini juga telah ditulis Ibnul Batuthah dalam kitab Kanzul Hum. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), cet ke2, 2005, h. xxii.
1
2
dalam beberapa analisa disinyalir karena hadirnya Islam di sana dengan pedang (kekerasan dan pendudukan), maka berakhir pula dengan pedang. Bentuk kesantunan dakwah para wali itu antara lain dengan menghadirkan nafas Islam ke dalam ranah produksi-produksi budaya dan kesenian seperti pertunjukan wayang, gamelan, dan sastra. Pertimbangan para wali waktu itu tentu melihat bahwa kesenian adalah sesuatu yang paling bisa mengumpulkan banyak orang
untuk
menyaksikannya.
Pertunjukan
wayang
kulit,
misalnya,
keberadaannya pada waktu itu kira-kira sama dengan konser musik hari ini. Di mana digelar, maka di situ akan banyak orang berbondong-bondong untuk menghadirinya. Kondisi semacam itulah yang dimanfaatkan para wali untuk menyisipkan petuah-petuah ke-Islaman. Kebudayaan adalah hasil cipta, rasa, dan karsa tinggi manusia yang terpadu dalam karya (berupa produk budaya dan sastra). Dengan demikian, tentu kebudayaan akan selalu ada dan dikenang sepanjang zaman. Dalam artian, kebudayaan terdahulu tidak boleh terhapuskan hari ini, dan kebudayaan hari ini pun tidak akan pernah terhapuskan pada masa yang akan datang. Sebagai contoh, karya sastra misalnya, sampai kapan pun kita akan mengenang Negarakertagama, Bharata Yudha, Ramayana, Serat Centhini, Serat Wedhatama dan lain sebagainya, sebagai maha karya. Pun dengan sastra baru, sampai nanti kita akan tetap mengenal Marah Rusli dengan karyanya “Siti Nurbaya,” Sutan Takdir Alisjahbana dengan karyanya “Layar Terkembang,” Chairil anwar dengan karyanya “Aku,” Ali Akbar Nafis dengan karyanya “Robohnya Surau Kami,” dan bahkan karya-karya yang terus bermunculan seperti “Laskar Pelangi” karya
3
Andrea Hirata juga akan terus mendapat tempat pada memori perjalanan sastra dan budaya. Sebagai objek, khazanah sastra Indonesia terdiri dari dua macam, yaitu: sastra lama dan sastra modern. Sastra lama disebut juga sastra Nusantara, tersebar di seluruh Indonesia, menggunakan bahasa-bahasa daerah. Sastra modern atau sastra nasional, juga tersebar di seluruh Indonesia, tetapi menggunakan bahasa Indonesia. Secara historis sastra lama mulai lahir sejak berakhirnya masa prasejarah, sejak manusia mengenal kebudayaan, dengan hasil kongkret berupa pepatah, dongeng, dan tradisi lisan (folklore) yang lain, yang kemudian dilanjutkan dengan kebudayaan Hindu dan Islam, hingga awal abad ke-20. Kemudian setelah abad ke-20 lahirlah yang disebut dengan sastra modern yang ditandai dengan terbitnya “Azab dan Sengsara” karya Merari Siregar, dan kumpulan puisi “Tanah Air dan Sengsara” karya M. Yamin.2 Keberadaan karya sastra sebagai salah satu produk budaya inilah, maka dulu para wali menjadikannya sebagai salah satu alat untuk menyebarkan misi Islam. Sebagai contoh, Sunan Bonang menciptakan beberapa suluk, Sunan Kalijaga menciptakan instrumen penulisan sastra yang berupa rumusan penulisan syair yang hasilnya bisa dinyanyikan, yang sampai hari ini masih dipakai dan dikembangkan, yaitu tembang macapat Dandanggula. Selain Sunan Kalijaga, wali-wali yang lain juga menciptakan, seperti Sunan Giri menciptakan tembang Asmarandana dan Pucung, Sunan Bonang menciptakan tembang Dwima, Sunan Kudus menciptakan tembang Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan tembang Sinom dan Kinanthi, Sunan Drajat menciptakan tembang 2
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 12.
4
Pangkur.3 Sampai akhirnya pada masa setelah “Wali Songo,” tradisi berdakwah melalui sastra diwarisi dua tokoh, yaitu ulama pesantren dan para pujangga Kerajaan Mataram Islam. Khusus untuk pujangga, karya sastranya khas dengan pesan tasawuf, seperti yang banyak dikenal, yaitu Serat Wulangreh karya Sri Sunan Pakubuwana IV, Serat Centhini karya Sri Sunan Pakubuwana V, Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV,4 Serat Cabolek dan Serat Dewa Ruci karya R. Ng. Yasadipura I, hingga sampai pada karya-karya legendaris yang dianggap sebagai karya kapujanggan terakhir Surakarta, seperti Serat Joko Lodang, Serat Wirid Hidayat Jati, dan Serat Kalatidha yang di dalamnya memuat tentang perihal “zaman edan” karya R.Ng. Ranggawarsita. Sebagai salah satu karya sastra tinggi yang juga merupakan media dakwah Islam yang efektif untuk kalangan rakyat jelata di Pulau Jawa,5 Serat Dewa Ruci merupakan tinggalan berharga kepustakaan Islam Jawa. Meski terlahir bukan murni dari rahim budaya Islam (Mekah dan Madinah), namun isi ceritanya sampai hari ini telah berubah menjadi muatan dakwah tasawuf. Ajaran yang terdapat didalamnya mengandung pesan proses pencarian jati diri manusia yang sejatinya adalah makhluk bertuhan. Seperti dikatakan oleh Imam al-Ghazali yang juga dikutip dari ‘ulama pendahulu, dan bahkan dinisbatkan sanatnya sampai kepada Rasulullah SAW, “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, yang artinya: barang siapa mengenali dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.
3 HM. Ilyas Werdisastro, Keris Kalimasada dan Wali Songo (Jakarta: Timpani Publishing, 2008), h. 95. Dalam Purwadi, disebutkan bahwa Sunan Bonang menciptakan Suluk Wujil. Sedangkan masalah penciptaan tembang-tembang, ia sependapat dengan Werdisastro. Lihat: Purwadi, Sejarah Sastra Jawa, (Yogyakarta: Shaida, 2007), h. 118-125. 4 Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009), h. 6. 5 A. Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja (Jakarta: Kinta, 1967), h. 3.
5
Serat Dewa Ruci menggambarkan kisah perjalanan seorang hamba yang hendak menggapai puncak kenikmatan beribadah. Yaitu perjumpaan hamba dengan Tuhannya (ihsan). Untuk mencapai kenikmatan tersebut, maka seorang hamba harus meninggalkan sifat keduniawian, rasa ragu, takut, dan bimbang untuk bersungguh-sungguh dalam mengambil langkah mantap menuju kebajikan yang semata hanya mengharap ridlha dari-Nya. Dalam ini, Rasulullah SAW bersabda:
ﻳَـَﺮاكُﻓَِﺈﻧﱠﻪُﻚ ﺗَـَﺮاﻩُ ﻓَِﺈْن ﻟَْﻢ ﺗَُﻜْﻦ ﺗَـَﺮاﻩ َ ﺴﺎِن ﻗَﺎَل أَْن ﺗَـْﻌﺒَُﺪ اﻟﻠﱠﻪَ َﻛﺄَﻧﱠ َ ﻗَﺎَل ﻓَﺄَْﺧﺒِْﺮﻧِﻰ َﻋِﻦ اِﻹْﺣ (setelah mendapat penjelasan apa itu Islam dan Iman, maka penanya itu) bertanya: dan kabarkanlah padaku tentang Ihsan?! (Rasulullah) bersabda: Enkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya. Jika engkau tidak melihatnya, (setidaknya engkau merasa bahwa) sesungguhnya Dia melihatmu. (H.R. Abu Daud)6 Mengenai perasaan bahwa tuhan selalu ada pada saat apa pun dan kapan pun manusia berada, Allah berfirman di dalam al-Qur’an surat al-Hadid (57) ayat 4:
...dan dia bersama kamu di mama saja kamu berada 6
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sijistani, Sunan Abu Daud, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t), h. 39. Hadits ini merupakan peristiwa di mana Malaikat Jibril AS dengan menyamar sebagai seorang yang ingin bertanya kepada Rasulullah SAW dengan mengenakan pakaian serba putih. Jibril AS bertanya tentang Islam, Iman, kemudian Ihsan sebelum akhirnya bertanya tentang hari kiamat dan tanda-tandanya. Dalam hadits ini urutan Ihsan berada setelah Islam dan Iman, ini merupakan sebuah pertanda bahwa ke-ihsan-an seseorang akan dicapai setelah Islam dan Iman.
6
Firman Allah dan Sabda Nabi SAW tersebut di atas, menjadi dalil bahwa manusia dituntut memiliki kesadaran atas keberadaan Allah yang senantiasa melihat, tidak tidur, dan tidak pernah lupa akan sesuatu. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Maha Adil, serta Maha Mengancam atas apa yang dilakukan manusia. Manusia seharusnya menyadari hal ini agar tidak merasa takabur karena merasa hebat, sakti, kuat, pintar, serta lebih dalam segala hal dari orang lain. Sesungguhnya Allahlah yang memiliki segala kesempurnaan itu, dan bukan selain dari pada-Nya. Kesadaran semacam inilah yang menjadi tujuan dalam penulisan Serat Dewa Ruci. Kandungannya menghendaki kesadaran bagi siapa saja yang mempelajarinya. Namun menjadi keresahan hari ini adalah bahwa pengemasan pesan yang terkandung dalam Serat Dewa Ruci sudah tidak menarik lagi untuk dipelajari, bahkan pembawaannya yang sarat dengan simbol-simbol mulai tidak dimengerti oleh generasi muda. Seolah telah terjadi keterputusan antara pemahaman pujangga dahulu dalam menulis menggunakan gaya yang diperuntukkan bagi generasi saat itu, dengan pemahaman generasi muda saat ini. Hal ini dimungkinkan karena memang tidak terjadi pewarisan ilmu yang berkesinambungan antar generasi tentang pesan luhur yang dikandung dalam Serat Dewa Ruci. Harus menjadi kesadaran bagi para akademisi hari ini adalah, bagaimana caranya menghadirkan isi pesan Serat Dewa Ruci itu untuk konteks kekinian, mengingat memang wujudnya yang kurang menarik dan susah dimengerti oleh masyarakat yang hidup pada era modern ini. Isi Serat Dewa Ruci dipenuhi simbol-simbol yang tidak jelas jika hanya sekilas dibaca. Hal ini disebabkan karena generasi akhir ini tidak
7
mengerti kesepahaman konvensi makna sebagaimana masa silam di mana Serat Dewa Ruci ditulis. Maka dari itu, perlu diadakan pembahasan dengan tafsiran yang terperinci agar karya besar itu dapat dimengerti kembali maksud dan artinya. Hal
ini harus dilakukan dengan penggalian makna-makna dari pesan-pesan
simbolik yang terdapat pada cerita tersebut sesuai dengan interpretasi masyarakat pada masa silam melalui manuskrip-manuskrip, tulisan-tulisan yang memuat pemaknaan terhadap simbol-simbol dalam Serat Dewa Ruci, dan penjelasan para budayawan Jawa sebagai pegiat sekaligus pewaris ilmu budaya. Untuk penggalian makna di balik simbol-simbol yang terdapat dalam cerita Dewa Ruci tersebut, maka salah satu metode analisa yang paling cocok adalah metode semiotik. Metode ini adalah metode yang mencoba mengenali simbol dan lantas menerjemahkannya secara mendalam. Sebagai upaya pengembangan disiplin Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, penelitian ini diharapkan mampu memadukan berbagai kepentingan, antara penggalian nilai sufistik untuk kepentingan dakwah dengan penggunaan metode analisis semiotik yang merupakan salah satu metode penelitian komunikasi kualitatif. Dengan demikian, maka penelitian ini diberi judul “ANALISIS SEMIOTIK SERAT DEWA RUCI”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah penggalian atas isi pesan dari simbol-simbol yang terdapat pada cerita Serat Dewa Ruci. Fokus penelitian ini dibatasi hanya pada kata, kalimat, ataupun adegan yang terdapat pada bait ke-2
8
sampai dengan bait ke-5 Serat Dewa Ruci yang mengandung unsur simbolik dan memerlukan analisa untuk mengerti isi pesan yang disampaikannya. Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana konstruksi simbol dalam Serat Dewa Ruci? 2. Apa keterkaitan Serat Dewa Ruci dengan ilmu tasawuf?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pesan-pesan luhur yang terkandung dalam Serat Dewa Ruci serta mencari keterkaitannya dengan Ilmu Tasawuf melalui pemaknaan atas simbol-simbol yang terdapat di dalamnya yang sudah tidak relevan lagi bagi pemahaman kebanyakan orang pada zaman ini. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Dalam segi akademis, penelitian diharapkan ini mampu memberikan kontribusi riil terhadap kemajuan pengembangan teori-teori baik dalam ilmu Dakwah maupun Komunikasi oleh dan bagi para akademisi, terutama mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 2. Dalam segi praktisnya, sesuai tertera dalam paragraf tujuan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang niliai luhur yang terkandung dalam Serat Dewa Ruci agar dapat dirumuskan kembali keseluruhan pesan-pesan tersebut dalam karya baru yang lebih merakyat sesuai dengan tuntutan zaman, seperti lahirnya karya baru dalam bentuk novel, puisi, lukisan, drama, atau film yang mengambil ajaran luhurnya sebagai pesan utama. Jika tidak sampai demikian, maka setidaknya
9
penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan pemaknaan atas simbolsimbol yang terdapat dalam Serat Dewa Ruci, sehingga nantinya menjadi pelengkap dari karya Dr. Hamid Nasuhi dan karya-karya penelitian lain yang sudah ada sebagai pemberi kemudahan bagi siapa saja yang ingin mempelajari Serat tersebut.
D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analitis dengan konsep semiotik sebagai metode analisis. Metode yang dipilih secara paradigma masuk dalam ranah paradigma subjektif, dan nantinya hasil analisis tidak bisa terlepas dari subjektifitas peneliti. Seperti dikutip oleh Ranita Erlanti Harahap, dari Agus Sudibyo, Ibnu Ahmad, Muhammad Qodari, dan Little John dalam “Kabar-kabar Kebencian; Prasangka Agama di Media Massa,” dijelaskan bahwa proses pemaknaan tidak bisa dilepaskan dari unsur subjektifitas pemberi makna, karena teori-teori jenis ini memang mengizinkan seorang peneliti menginterpretasi atas teks secara subjektif akibat pengaruh pengalaman hidupnya.7
2. Objek Penelitian dan Unit Analisis Objek Penelitian ini adalah karya sastra jawa, Serat Dewa Ruci, sedangkan unit analisisnya adalah adegan-adegan yang mengandung unsur simbolik yang terdapat
7
Ranita Erlanti Harahap, “Analisis Semiotik pada Poster HIV/AIDS di Yayasan Pelita Ilmu,” (Skripsi S I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 11.
10
pada Serat Dewa Ruci dari adegan pertama sampai dengan adegan Bima bertemu dengan Dewa Ruci.
3. Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini menggabungkan hasil perolehan data dari beberapa tahap. Tahap pertama, pengumpulan data-data dari unit analisis yaitu berupa adegan, kalimat, maupun kata yang mengandung unsur simbolik. Dengan mengambil inspirasi dari linguistik Saussure, sebuah kritik sastra struktural akan menemukan fondasi teoretik yang kuat untuk menisbahkan diri pada aliran (strukturalisme) yang dianutnya. Untuk melakukan kritik sastra struktural semacam ini, maka peneliti mengikuti tawaran Rh. Widada dengan menyusun langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membaca karya sastra secara cermat. 2. Mencatat dan mengakumulasikan semua kesan-kesan yang muncul dalam pembacaan. 3. Mengidentifikasikan dan menggolong-golongkan kesan-kesan itu menurut kecenderungan kesesuaiannya dengan unsur-unsur narasi tertentu (misalnya pada tokoh-tokohnya atau alurnya). 4. Mencari dan menemukan seluruh isyarat-isyarat, tanda-tanda tekstual yang menunjukkan relasi perbedaan dan/atau pertentangan-pertentangan dalam teks yang biasa disebut sebagai pasangan oposisi biner tersebut. 5. Mencari kemiripan nalar (homologi) diantara pasangan-pasangan oposisi biner tersebut.
11
6. Mencari arah, hierarki, dan pengorganisasian yang ada dalam pasanganpasangan oposisi biner untuk kemudian disarikan (diabstraksikan) ke dalam sebuah pasangan opisis biner rujukan tempat semua oposisi biner memperoleh nalarnya.8 Kemudian mengumpulkan data literasi yang membahas tentang isi pesan Serat Dewa Ruci. Ketiga mengadakan observasi terhadap naskah Serat Dewa Ruci yang dalam hal ini penulis mengambil inisiatif mengadakan observasi ke perpustakaan Sasana Pustaka Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan perpustakaan Reksa Pustaka Kraton Pura Mangkunegaran, dengan alasan Serat Dewa Ruci gubahan Yasadipura I merupakan karya sastra dari kapujanggan Surakarta. Tahapan selanjutnya untuk mengumpulkan data, yaitu menggali informasi sebanyakbanyaknya tentang signifikasi pemahaman budaya Jawa terhadap simbol-simbol dalam Serat Dewa Ruci dengan mengadakan wawancara kepada tokoh budayawan Jawa.
4. Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti menggolongkan Serat Dewa Ruci sebagai karya mimetik, yaitu, karya sastra yang menitikberatkan semesta sebagai komponen utama.
Komponen semesta menimbulkan ancangan mimetik, yaitu ancangan susastra yang menonjolkan aspek referensial di dalam menelaah karya sastra. Dasar pandangan ancangan mimetik ini adalah karya sastra merupakan tiruan alam atau penggambaran dunia dan kehidupan manusia di semesta raya ini. Karya sastra yang menjadi telaahnya dilihat akan jalinannya dengan dunia 8
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural (Yogyakata: Jalasutra, 2009) h. 37-38.
12
nyata atau semesta alam dan juga hubungannya dengan karya sastra lain sebagai hipogram atau latar pengacuan untuk menciptakan karya sastra yang baru.9 Sedangkan untuk menganalisis, penelitian ini menggunakan metode analisis semiotik. Metode ini diyakini sesuai untuk meneliti karya sastra sebagai produk budaya, karena sastra itu sendiri memang bekerja pada domain semiotik. Pada dasarnya kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik adalah suatu cara atau teknik untuk meneliti teks.10 Tulisan yang terdapat dalam Serat Dewa Ruci dilihat sebagai suatu produk budaya yang mengandung unsur-unsur lambang. Semua unsur tersebut dinilai sebagai suatu keseluruhan teks. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan konsep semiotika Ferdinand de Saussure dengan memfokuskan diri pada analisis sinkronik-diakronik dan terhadap konsep signifer-signified.
E. Tinjauan Pustaka Penelitian ini merujuk pada empat penelitian sebelumnya. Dua diantaranya adalah sebagai tinjauan objek penelitian. Sedangkan dua penelitian lainnya adalah sebagai tintauan metodologi. Keempat penelitian yang ditinjau dalam penilitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini meninjau pada “Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I” karya Dr. Hamid Nasuhi. Buku yang juga merupakan karya disertasi ini
9
29.
Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993), h.
10
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 237.
13
memuat keutuhan isi Serat Dewa Ruci berikut dengan penjelasan ajaran Tasawuf Jawa di dalamnya, yaitu kecenderungan Tasawuf Falsafi sebagai kiblat. Dalam bukunya tersebut, Nasuhi telah menggali berbagai manuskrip tantang Serat Dewa Ruci dan membedahnya secara detail tentang muatan sufistik di dalamnya. 2. Penelitian ini juga meninjau pada hasil penelitian Prof. Dr. Abdul Hadi W. M. “Islam Dalam Filsafat Mistik Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat Cabolek”.11 Dalam karya ini, Hadi menuliskan hasil penelusuran dan analisa pada akhir kesimpulannya secara eksplisit, menyatakan, bahwa keseluruhan isi cerita Dewa Ruci dalam Serat Cabolek merupakan kitab mistik Jawa yang harus dipegang. 3. Sebagai tinjauan metode analisis, penelitian ini merujuk pada karya “Analisis Semiotik pada Poster HIV/AIDS di Yayasan Pelita Ilmu,” oleh Ranita Erlanti Harahap tahun 2008, KPI, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Jakarta. 4. Tinjauan metodologis selanjutnya yaitu pada karya “Analisis Semiotika Film Turtles Can Fly,” oleh Istianah tahun 2009, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
Penelitian pada nomer satu dan dua di atas perlu dilengkapi dengan eksplorasi terhadap makna pada simbol-simbol dalam cerita Dewa Ruci secara terperinci. Dengan demikian, maka penelitian ini akan berusaha menjadi pelengkap bagi keduanya. 11
Karya ini merupakan buah penelitian Prof. Dr. Abdul Hadi W. M. yang dipublikasikan pada media internet dalam bentuk file PDF, bertanggalkan 8 April 2008. Artikel diakses tanggal 10 Mei 2010 dari http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2.
14
Sementara, kedua karya penelitian terakhir di atas merupakan karya yang menggunakan metodologi penelitian komunikasi kualitatif, dengan teori semiotik sebagai metode analisis. Maka, penelitian ini bermaksud mengembang-lanjutkan metode tersebut.
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hasil penelitian ini yaitu, sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika Penulisan.
BAB II
TINJAUAN TEORI Bab ini menguraikan Tinjauan Umum Sastra Jawa dengan sub bab Sejarah Sastra Jawa; Periodisasi Sastra Jawa berikut karakternya, Tinjauan Umum Konsep Tasawuf dengan penjelasan berbagai konsep tasawuf dan penjelasan istilah-istilahnya, Tinjauan Umum Semiotika dengan sub bab yang meliputi Konsep umum Semiotika, Semiotika dalam Karya Sastra, dan Konsep Semiotika Saussuran.
BAB III
MANUSKRIP SERAT DEWA RUCI Bab ini memberikan gambaran umum tentang Serat Dewa Ruci berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada yang meliputi sejarah serta perkembangannya, tokoh-tokoh dan
15
penokohan di dalam ceritanya, pengaruh ajaran tasawuf yang memasukinya, dan dengan menuliskan sinopsis cerita singkat Serat Dewa Ruci. BAB IV
HASIL PENELITIAN ANALISIS SEMIOTIKA Bab ini berisikan hasil dari penelitian ini sendiri, yaitu analisis semiotik Serat Dewa Ruci
BAB V
PENUTUP Bab ini menyampaikan uraian singkat berupa kesimpulan dan saran penulis untuk penelitian-penelitian lanjutan atas permasalahan yang diteliti.
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Tinjauan Sastra Jawa Kata sastra dalam arti ''aslinya'' dalam pembendaharaan bahasa Sanskrit atau Jawa Kuno berarti teks-teks yang mengarah lebih kepada berasal dari kedewataan atau naskah-naskah suci.1 Dalam pemahaman populer, seperti dalam Kamus Ilmiah Populer, disebutkan, bahwa sastra adalah kitab; tulisan; karangan; buku ilmu.2 Sastra bagi orang Jawa mendapat posisi yang luhur. Bahkan dapat dikatakan dahulu kaum intelektual Jawa sebagian besar terdiri dari para pujangga (sastrawan). Fungsi sastra bagi orang Jawa di antaranya adalah sebagai fungsi alat penyampai ajaran spiritual-keagamaan, fungsi magis-politis, fungsi didaktik (pendidikan), dan fungsi pelipur.3 Dalam Wikipedia berbahasa Indonesia disebutkan, bahwa sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Sastra jawa kuno biasanya menyebutkan tanggal dikeluarkannya lewat sebuah sistem yang rumit yang berkaitan dengan gejala-gejala astronomis. Demikian misalnya prasasti Sukabumi disebutkan di dalamnya “tahun 726 penanggalan saka, dalam bulan caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari haryang (hari kedua pada Sugilanus G. Hartha “Nyastra; Merunut Kembali Arti Kata Sastra,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/202/Makna_dalam_Sastra. 2 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), h. 695. 3 S. Supomo “Fungsi Jawa Kuna Dan Relevansinya Di Sepanjang Masa,” artikel diakses tanggal 18 Agustus 2010 dari http://www.petra.ac.id/science/social_sciences/r_papers/konggres/sastra13.htm. 1
16
17
minggu yang berhari enam), wage (hari keempat dalam minngu yang berhari lima), saniscara (pada hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh)...” dengan demikian, Prasasti Sukabumi sesuai penelusuran, bertanggalkan 25 Maret tahun 804. Ini merupakan suatu tanggal yang sesuai untuk mengawali tinjauan mengenai sastra Jawa Kuno.4 Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuno).5 Prof. Poerbatjaraka menyatakan ada kitab yang lebih tua dari prasasti itu, yakni kitab Tjandra-Karana. Dikatakan lebih tua karena dalam kitab tersebut di dalamnya memuat nama seorang raja keturunan Cailendra yang mendirikan candi Kalasan kira-kira pada tahun 700 saka, yaitu sama dengan 778 Masehi. Kitab inilah yang menurut Poerbatjaraka merupakan bacaan tertua.6 Untuk merumuskan periodisasi Sastra Jawa, perumusan dari periode ke periode yang paling sistematis adalah merujuk kepada rumusan yang dimuat dalam situs Wikipedia berbahasa Indonesia, yaitu dengan membaginya dalam empat periode: Sastra Jawa Kuno, Sastra Jawa Baru, Sastra Jawa Pertengahan, dan Sastra Jawa Modern.
1. Sastra Jawa Kuno Sastra Jawa Kuno meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-8 sampai 13 Masehi, dimulai dengan kitab Candra-Karana dan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam 4 P.j. Zoetmulder, Kalangwan; Sastra Jawa Kuno; Selayang Pandang (Jakarta: Djambatan, 1985) cet. Ke-2, h. 3. 5 Wikipedia berbahasa Indonesia “Sastra Jawa,” artikel di akses tanggal 24 Juli 2010 dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa. 6 Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta Djambatan, 1957) h. 2.
18
bentuk
gancaran (prosa) ataupun kakawin (puisi, nyanyian atau tembang).7
Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik, dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip yang ditulis pada daun tal/ lontar, yakni daun siwalan dan prasasti pada batu atau lempengan batu. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya, meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan. Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.8 Poerbatjaraka membagi lagi periode Sastra Jawa Kuno ini dalam tiga bentuk sesuai periodisasinya, yaitu pertama, Sastra Jawa Kuno golongan Tua yang ditandai dengan penulisannya pada batu, tembaga atau emas, maupun pada daun tal, yang hampir keseluruhan berbentuk bahasa prosa. Kitab-kitab tersebut seperti Kitab Candrakarana, Kitab Ramayana, Kitab Sang Hyang Kamahayanikan, Brahmandapurna, Agastyaparwa, Utarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa.9 Kedua, Sastra Jawa Kuno yang berkembang. Pada periode ini ditandai dengan pembawaan bahasa Hindu sebagai bahasa penulisannya, yakni dengan aturan main penulisan berbentuk “tembang gede” (nyanyian besar) yang penuh dengan syarat irama tetap tanpa perubahan sedikitpun.10 Adapun kitab-kitab pada periode ini
seperti
7
Arjunawiwaha,
Kresnayana,
Sumanasantaka,
Lihat catatan kaki, No. 4, 5, dan 6. Wikipedia berbahasa Indonesia, “Sastra Jawa.” 9 Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan, h. 163. 10 Ibid, h. 16. 8
Sumaradahana,
19
Bhomakawya, Bharatayudha,
Hariwangsa, Gatotkacasraya, Wrettasancaya,
Lubdhaka. Semua kitab yang disebutkan dalam periode ini berbentuk kakawin. Ketiga, Sastra Jawa Kuno yang tergolong baru. Ciri-ciri sastra pada periode ini adalah sama saja dengan kedua periode sebelumnya yaitu di dalamnya menyebutkan nama raja pada masa penulisan, hubungan dengan kitab atau tulisan lain, hari dan tahun pembuatan, serta menggunakan bahasa yang serupa dengan kedua periode sebelumnya. Ciri yang menjadi pembeda periode ini adalah di dalamnya selain menyebutkan hal-hal di atas, juga menyebutkan kitab rujukan yang lebih tua –barangkali sekarang seperti adanya tinjauan pustaka– dan menceritakan keadaan tanah Jawa11 (dua periode sebelumnya bercerita tanah lain seperti India dan lain sebagainya). Kitab-kitab pada periode ini seperti Brahmandapurana, Kunjarakarna, Negarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma, Parthayadnya, Nitisastra.
2. Sastra Jawa Pertengahan Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Pada garis besarnya yang menjadi penanda periode ini adalah bahasa yang digunakan merupakan bahasa pertengahan antara bahasa Jawa kuno dengan bahasa yang dipakai dewasa ini. Setelah abad ke-16, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.12 Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung. Poerbatjaraka menyatakan, menurut perkiraan, bahasa Jawa pertengahan 11
Ibid, h. 38. Wikipedia berbahasa Indonesia, “Sastra Jawa Bali,” artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa-Bali. 12
20
muncul sebagai bahasa percakapan sehari-hari pada zaman kerajaan Majapahit berjaya. Dengan kata lain sebelumnya bahasa Jawa kuno digunakan hanya sampai pada akhir zaman kerajaan Singasari. Adapun pada zaman Majapahit bahasa Jawa kuno hanya digunakan oleh para pujangga13 untuk menulis syair-syairnya yang masih merujuk kepada kitab-kitab lama seperti bahasa yang digunakan pada kitab Negarakertagama dan Arjunawijaya. Selebihnya, di luar kepujanggaan dan di luar golongan bangsawan, bahasa Jawa kuno sudah jarang dipahami orang saat itu. Dengan demikian karya sastra saat itu hanya lazim dibaca oleh para sastrawan lain dan para bangsawan Majapahit. Oleh sebab pemakaian bahasa pada kalangan masyarakat umum sudah berubah, maka lahirlah karya-karya sastra yang menggunakan bahasa umum yang dapat dipahami dan dimengerti oleh siapa saja seperti Tantu Panggelaran, Calon Arang, Tantri Kamandaka, Korawacrama, dan Kitab Pararaton.
3. Sastra Jawa Baru Sastra jawa baru dimulai saat masuk dan berkembangnya agama Islam di pulau Jawa, yaitu kira-kira pada abad 15-16 M. Oleh karena itu, maka periode ini disebut dengan periode zaman Islam. Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka.14 Datangnya Islam yang bertepatan dengan masa keruntuhan Majapahit, menarik banyak orang termasuk di dalamnya para intelektual Jawa pada kala itu untuk memeluk agama Islam. Lama kelamaan hal ini melahirkan pusat kekuasaan dan akhirnya menjadi
13 14
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa, h. 72. Wikipedia berbahasa Indonesia. “Sastra Jawa.”
21
pusat kebudayaan Jawa-Islam.15 Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Sebagai karya tertua pada periode ini adalah Het Boek Van Bonang. Meskipun periodisasi Sastra Jawa Baru hanya sampai pada abad 16 dan setelah itu digantikan dengan munculnya gaya modern, akan tetapi kelahiran karya-karya periode ini tidak berhenti hanya sampai pada abad 16 saja. Model periode ini masih tetap bertahan hingga pada abad 19, bahkan sampai hari ini beberapa pujangga masih menciptakan karya-karya baru dengan corak ke-Islaman untuk kepentingan dakwah, dan dalang wayang kulit masih menggunakannya untuk menggubah cerita carangan dalam lakon pewayangan. Sebagai contoh munculnya karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara dan Serat Centhini yang ditulis pada abad 18. Para penulis 'ensiklopedia' ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuno. Karya sastra yang lain diantaranya Kitab Ambiya, Paniti-sastra, Lokapala, Dewa Ruci, Kitab Babad Giyanti, dan beberapa karya lain. Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Pertengahan. Setelah tahun 1650, bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, kemudian ada pula renaisans Sastra Jawa Kuno. Kitabkitab kuno yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam Bahasa Jawa Baru.
15
Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa, h. 95.
22
4. Sastra Jawa Modern Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi. Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orang Barat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karya sastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentang perjalanan. Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga katakata Belanda. Pada masa tahun 1839, oleh Taco Roorda, diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gaya Surakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.16
B. Tinjauan Tasawuf 1. Tinjauan Umum Tasawuf Secara etimologis, para ulama berbeda pendapat tentang dari mana asal kata tasawuf. Ada di antaranya yang menyebutkan bahwa tasawuf berasal dari kata shufa’ (kesucian jiwa) yang pada akhirnya pengertian ini akan membawa mereka dalam komunitas sufistik yang maha tinggi. Di antara mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah al-Syaikh abdul Qadir Jailani.17 Pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf merujuk pada orang yang mengenakan pakaian suf 16
Artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 dari http://heritageofjava.com/portal/index.php?topic=sastra&page=2. 17 Harapandi Dahri, Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jailani (Jakarta: Wahyu Press, 2004) h. 124.
23
(kain wol) dari bulu domba di Bashrah. Mereka itu adalah kelompok Abdul Wahid bin Zaid pengikut Hasan Bashri. Kata Tasawuf juga diidentikkan kepada ahlu al-Shuffah, yaitu, sekelompok orang yang terdiri dari kaum fuqara’ yang mendiami sebuah tempat di Masjid Nabawi. Mereka adalah para sahabat nabi yang telah tidak memiliki keluarga dan tempat tinggal, lantas mereka mengabdikan diri kepada Allah dengan beribadah dan mengkaji ilmu agama.
Terlepas dari semua pendapat itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa tasawuf berarti orang-orang yang tertarik dan intens dengan pengetahuan-pengetahuan yang terkait dengan batin seseorang, dan orang-orang yang tertarik untuk mencari jalan atau praktek-praktek ke arah kesadaran dan pencerahan diri secara terus menerus tanpa henti mengadakan muraqabah dan kontemplasi dalam mendekatkan dirinya kepada Allah Yang Maha Bijaksana.18 Dalam tradisi tasawuf, untuk upaya pencapaian kenikmatan akan perjumpaan dengan manifestasi Allah ke dalam kalbu dikenal istilah selain maqamat dan ahwal, yaitu takhalli, tahalli, dan tajalli.
1. Takhalli Takhalli adalah proses perjalanan tasawuf yang paling pertama, yaitu, mengawali dengan penyucian diri dengan mengkosongkan diri dari kotoran serta penyakit-penyakit hati dan jiwa seperti riya’, ujub, takabur, dan sifat-sifat buruk lainnya. Tahap ini adalah tahap penyucian diri, di mana seseorang harus bersesuci secara lahir dan batin, menanggalkan
18
Ibid, h. 127.
24
semua pakaian keduniawian yang menjadi hijab antara makhluk dengan khalik.
2. Tahalli Setelah tahap penyucian dengan mengosongkan diri dari sifat-sifat kefanaan, maka masuklah seseorang kepada tahapan tahalli, yaitu mengisi hati dan jiwa yang sudah dikosongkan tadi dengan sifat-sifat baik seperti qana’ah, zuhud, tawadlhu’, ihlas, sabar, dan tawakkal.
3. Tajalli Setelah seseorang berhasil menempuh kedua proses, yaitu mengosongkan diri dari keburukan dan mengisinya dengan kebaikan, maka seseorang akan menemui tajalli, yaitu kenikmatan tersendiri dalam menjalankan ibadah. Seseorang yang berhasil mencapai proses tajalli inilah yang akan menjadi orang “muhsin/ ihsan” yang dijelaskan pada sebuah hadits yaitu orang yang beribadah seolah-olah berjumpa dengan Tuhan, dan jika tidak demikian, setidaknya orang itu meyakini bahwa Tuhan sedang melihatnya.19
2. Tasawuf dan Mistik Jawa Antara mistik dengan tasawuf memang sangat dekat. Tasawuf sering disejajarkan dengan mistisisme. Bahkan ada juga yang menyebut mistik Islam Kejawen. Tasawuf merupakan bentuk mistik Islam yang berupaya agar hati
19
Imam Taufiq “Maqamat dan Ahwal; Tinjauan Metodologis, “ dalam Simuh, dkk., Tasawuf dan Krisis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 132. Lihat catatan kaki Bab I No. 7.
25
manusia menjadi benar dan lurus menuju Tuhan. Ajaran tasawuf sering disebut sebagai ilmu hakikat atau kasunyatan.20 Di dalam tasawuf dikenal dengan adanya dualisme paham. Di satu sisi meyakini dirinya menarik garis perbedaan tegas dengan Tuhan sebagai dzat wajibul wujud yang bersifat transendental. Penganut ini mempercayai bahwa insan al-kamil hanyalah sampai ke hadirat Tuhan, yakni manakala hidupnya diimbasi sifat Ketuhanan karena telah melenyapkan (fana) alam luar dan terimbas sifat Tuhan (baqa) yang hadir karenannya. Sedangkan sisi yang lain mempercayai paham panteisme dan monisme yang disebut dengan manunggaling kawula-Gusti. Dalam penghayatan ini manusia sama dengan Tuhan. Kedua konsep tasawuf ini sangat terasa titik temunya dengan mistik kejawen.21 Konsep-konsep ini tidak lain adalah perwujudan dari konsep ittihad, hulul, dan wahdat al-wujud dalam konteks mistik Jawa. Cita hidup yang harus dicapai manusia adalah mendapatkan penghayatan kesatuan dengan Tuhannya. Dalam sebuah rumusan dikatakan bahwa dzat Tuhan diibaratkan sebagai samudra, dan manusia adalah satu titik air di dalamnya. Konsep ini memandang bahwa lahir-batin Tuhan telah berada dalam hidup manusia, dan Tuhan telah kasarira, yakni sudah tercakup dalam diri manusia. Konsep manunggaling kawula gusti merupakan gubahan dari tajalli dalam ajaran tasawuf. Dasar pemikiran ini berasal dari paham falsafah yang disebut monisme, yakni suatu paham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia, adalah aspek lahir dari satu hakikat yang tunggal, yaitu Tuhan.22 20
Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen (Yogyakarta: Narasi, 2004), cet. Ke-3, h. 67. Ibid, h. 69. 22 Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI-Press, 1988), h. 290-293. 21
26
Dari pengertiannya sendiri Manunggaling kawula-Gusti yaitu (jawa) bersatunya hamba dengan Tuhan. Manunggal= bersatu, kawula= hamba, gusti= Tuhan. Ungkapan-ungkapan lain yang memiliki arti serupa adalah jumbuhing kawula-Gusti, pamoring kawula-Gusti, dan loroning atunggal. Ungkapan
ini
menunjuk kepada adanya dua (hamba dengan Tuhan) yang berkumpul, menyatu, bersamaan rupa, bersesuaian, bercampur, atau berpadu menjadi satu.23 Sedangkan konsep syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat dalam mistik Jawa disebutkan, sarengat adalah menghormati dan hidup sesuai dengan hukum-hukum agama, seperti menjalankan shalat lima waktu dengan setia, tarekat adalah kesadaran tentang hakekat dari tingkah laku pada tahap sarengat secara mendalam dan terus meningkat, misalnya doa-doa tidak lagi sekedar gerak-gerik tubuh dan pembacaan ayat-ayat, melainkan usaha yang luhur untuk mencapai Tuhan, hakekat
adalah
tahap
menghadapi
kebenaran
yang
merupakan
tahap
berkembangnya secara penuh kesadaran akan tingkah laku pada tahap pertama dan kedua, yaitu bahwa tujuan hidup adalah menjadi bagian yang tergantung pada seluruh tatanan kosmos; tindakan ritual menjadi kehilangan kepentingan (pamrih) karena hidup dan tindakan manusia menjadi doa terus menerus kepada Tuhan, dan makrifat adalah ketika manusia mencapai jumbuhing kawula lan gusti, di mana jiwa manusia terpadu dengan jiwa semesta, dan tindakan manusia semata-mata hanya laku kepada Tuhan.24
23 24
Azumardi Azra dan Tim, Ensiklopedi Tasawuf (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005), h. 775. Endraswara, Mistik Kejawen, h. 127-128.
27
C. Tinjauan Umum Semiotik Semiotik adalah sebuah metode analisis yang menggali makna dari penandapenanda yang ada dalam kehidupan. Masih menjadi perdebatan para tokoh linguistik dan tokoh-tokoh ilmu budaya tentang apakah semiotik ini merupakan disiplin ilmu tersendiri, ataukah hanya merupakan sebuah metode analisis. Sebagai suatu metode ilmiah, semiotik sebagai metode analisis dapat dikatakan relatif sangat baru. Dalam konteks akademik modern, istilah semiotika digunakan oleh Margareth Mead pada tanggal 19 Mei 1962 di Universitas Indiana AS, ketika diselenggarakan seminar tentang Paralinguistik dan Kinesis. Mead, dalam hal ini, menggunakan istilah semiotik untuk menunjuk komunikasi yang terpolakan dalam segala bentuk modal.25 Kata semiotika diturunkan dari bahasa Inggris: semiotic. Berpangkal pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah (Produksi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) bahwa orientasi pembentukan istilah itu ada pada bahasa Inggris. Akhiran bahasa Inggris –ics dalam bahasa Indonesia berubah menjadi -ik atau –ika, misalnya dialektics berubah menjadi dialektik atau dialektika, esthetics berubah menjadi estetik atau estetika. Nama lain dari semiotika adalah semiologi. Keduanya memiliki pengertian yang sama, yaitu sebagai ilmu tentang tanda. Baik semiotika maupun semiologi keduanya berasal dari bahasa Yunani: semion, yang berarti tanda.26 Literatur lain menyebutkan semiotika berasal dari kata Seme, yang berarti penafsir tanda. Dalam pengertian lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti
25 26
2.
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: LKiS, 2008), h. 156. Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra (Bandung: Angkasa, 1993), h.
28
studi sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya dan apa manfaatnya terhadap kehidupan.27 Istilah semiotik pertama kalinya diajukan pada akhir abad kesembilan belas oleh seorang filsuf Amerika yang bernama Charles S. Pierce untuk merujuk kepada doktrin formal tanda-tanda. Kajian semiotik melingkupi segala sistem tanda, apa pun substansi dan batas-batasnya.28 Tokoh lain yang dianggap berjasa dalam upaya pengembangan semiotika adalah Ferdinand de Saussure, seorang ahli ilmu bahasa dari Swiss. Saussure lebih menggunakan istilah semiologi, dan pandangan-pandangannya kebanyakan disampaikan ketika memberi kuliah di University of Guneva sekitar tahun 1906 sampai 1911, yang kemudian dibukukan di bawah judul Course de Linguistique generale (Course in General Linguistics), yang diterbitkan pada tahun 1915.29 Asumsi yang paling mendasar dari semiotik menyatakan bahwa segala sesuatu adalah tanda. Bukan hanya bahasa dan sistem komunikasi tertentu saja yang tersusun sebagai tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiri. Dengan perantara tanda-tanda proses kehidupan manusia menjadi lebih efisien, dengan perantaraan tanda-tanda manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya, sekaligus mengadakan pemahaman yang lebih baik terhadap dunia. Tidak ada seorang pun yang mampu berhubungan dengan realitas, kecuali dengan perantara bermacammacam tanda.30
27
Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 97. 28 Kris Budiman, dalam kata pengantarnya, Kosa Semiotika (Yogyakarta: LKiS, 1999). 29 Santosa, Ancangan semiotika, h. 17. 30 Siti Chammamah-Suratno, dalam kata pengantar Kris Budiman, Kosa Semotika (Yogyakarta: LKiS, 1999).
29
Tanda dalam tradisi semiotik didefinisikan sebagai stimulus yang menandakan atau menunjukkan satu atau beberapa kondisi lain. Misalnya, Bendera kuning yang dipasang di perempatan dan tetepi-tepi jalan menjadi pertanda adanya kabar duka karena ada keluarga yang ditinggal mati oleh salah satu anggota keluarganya; hilangnya barang-barang di rumah menjadi penunjuk bahwa ada pencuri yang mengambilnya; tertawa terbahak-bahak menjadi petunjuk bahwa seseorang sedang memiliki perasaan senang/ gembira, dan sebaliknya menangis tersedu-sedu menandakan bahwa seseorang sedang menyandang sedih hati/ duka.
1. Semiotika dalam Karya Sastra Manusia
menggunakan
si st e m
tanda
sebagai
pengatur
kehidupan
bermasyarakat. Tanda-tanda tersebut melingkupi perilaku, bahasa, maupun bendabenda yang dibuat, merupakan tanda-tanda yang mengatur pola-pola interaksi sosial dalam masyarakat itu.31 Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem tanda. Budaya itu sendiri secara kasar dan ringkas dapat dikatakan sebagai keseluruhan aktifitas manusia. Sebagian besar aktifitas manusia pada dasarnya dilakukan melalui bahasa, baik lisan maupun tulisan. Dengan demikian, bahasa menjadi konservasi yang paling kuat terhadap kebudayaan manusia. Sebagai produk budaya berbentuk bahasa yang aplikatif tentunya yang paling pertama akan muncul ke permukaan adalah karya sastra. meskipun, volume aktivitas kesastraan terbatas, tetapi intensitas kesastraan itu sendiri memiliki kualitas yang
31
E.K.M. Masinambow dan Rahayu S. Hidayat, Semiotik; Mengkaji Tanda dan Artifak (Jakarta: Balai Pustaka), 2001, h. 28.
30
sangat luas sekaligus kompleks.32 Dari kodratnya, karya sastra merupakan refleksi seorang pengarang melalui bahasa. Bahasa itu sendiri tidak sembarang bahasa, melainkan bahasa yang khas, yakni, bahasa yang memuat tanda-tanda (semiotik) yang akan membentuk sistem tanda. Secara definitif tanda adalah sembarang apa yang mengatakan tentang sesuatu yang lain dari pada dirinya sendiri.33 Misalnya, lampu merah pada perempatan jalan tidak dimaksudkan untuk berfikir mengenai warna merah itu sendiri, melainkan sebagai tanda untuk perintah berhenti. Contoh lain, seperti ketika seorang pengendara mobil di sorot tembak lampu mobil dari belakangnya, bukanlah lampu itu yang utama, melainkan itu adalah isyarat meminta jalan. Teks sastra hampir secara keseluruhan terdiri atas ciri-ciri semisal tersebut. Bahasa metafora-konotatif (bahasa-bahsa kiasan), dengan hakikat kreatif-imajinatif merupakan faktor utama yang menjadikan karya sastra dipenuhi dengan sistem tanda. Di antara model komunikasi sastra, yang dianggap paling baik untuk dijadikan pedoman penciptaan sekaligus sebagai tumpuan analisis yaitu yang dirumuskan oleh M. H. Abrams, yaitu dengan mengutarakan empat elemen sastra.
Semesta ↕ Pengarang ↔ Karya ↔ Pembaca
32 33
Ratna, Teori, Metode, dan, h. 111. Ibid, h. 112.
31
Dengan model itu karya sastra, sebagai sebuah fenomena, maka sebuah karya sastra dipahami selalu terkait dengan semesta sebagai hal yang ditirunya; terkait dengan latar belakang pengarang sebagai penciptanya; terkait dengan pembaca sebagai pihak yang menjadi sasaran karya; dan pada dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu entitas yang bisa dilihat secara terpisah dari situasi yang melingkupinya. Dari situ lahirlah empat kategori sastra yaitu, mimetik (karya yang menitikberatkan
semesta
sebagai
unsur
utama),
ekspresif
(karya
yang
menitikberatkan pengarang sebagai unsur utama), pragmatik (karya yang menitikberatkan pembaca sebagai unsur utama), dan objektif (karya yang menitikberatkan karya itu sendiri sebagai unsur utama).34 Keempat ancangan yang ditawarkan oleh M.H. Abrams tersebut sebagai modal dasar pemahaman semiotika secara komunikatif.35 Dalam model komunikasi sastra Abrams ini tidak terlihat hubungan antara pembaca dan penulis. Hubungan antara pembaca dan penulis tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan harus melalui karya sastra itu sendiri. Pembaca hanya dapat berkomunikasi dengan penulis melalui karya sastra yang dibacanya. Di sini pembaca memiliki peran sebagai pelaku yang menciptakan pertalian antara teks, penafsir, dan interteks. Dalam pembacaan dan pemahaman sebuah karya sastra, terjadilah pada batin pembaca proses transfer semiotik dari satu tanda ke tanda yang lain.36
34
Rh. Widada, Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural (Yogyakata: Jalasutra, 2009) h. 4. 35 Santosa, Ancangan semiotika, h. 25. 36 Ibid, h. 25.
32
2. Semiotika Ferdinand de Saussure Sebenarnya Ferdinand de Saussure tidak pernah menyusun teori semiotika. Bahkan dalam bukunya Cours in General Linguistics yang menjadi rujukan utama para pakar linguistik dan pakar komunikasi itu sama sekali tidak terdapat teoriteori semiotika. Kitab suci semiotika sesungguhnya tidaklah ditulis oleh Saussure sendiri. Kris Budiman menyebutkan bahwa teori semiotika ditulis oleh dua “rasul”-nya yang setia: Charles Bally dan Albert Sechehaye.37 Meskipun demikian, Saussure telah meramalkan akan hadirnya semiotika.
Suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam kehidupan sosial dimungkinkan; akan menjadi bagian dari psikologi sosial, dan dengan sendirinya dari psikologi umum; kita akan menyebutnya semiology (dari bahasa Yunani semeionn, “tanda”). Semiologi mungkin akan menunjukkan kepada kita terdiri dari apa saja tanda-tanda tersebut, hukum apa saja yang mengatur mereka. Karena ilmu itu belum ada, dapat dikatakan bahwa ilmu tersebut tidak akan ada; tetapi ilmu tersebut berhak untuk hadir, tempatnya telah ditetapkan sebelum ia lahir.38 Beberapa dasawarsa kemudian apa yang diramalkan Saussure kemudian menampakkan sosok-wujudnya setahap demi setahap berkat para “penerus”-nya baik yang patuh maupun yang membangkang yang mengaplikasikan konsepkonsep Saussure ke dalam fenomena kesastraan pada khususnya dan fenomena non-kebahasaan pada umumnya.39 Meskipun baru berupa rumusan dan ramalan, terlebih belum disebut sebagai semiotika maupun semiologi, konsep Saussure harus diakui sebagai akar lahirnya
37
h. 35. 38
Kris Budiman, Ikonitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2005)
Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum, terj. Rahayu S. Hidayat (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993) Cet. Ke-2, h. 82-83. 39 Budiman, Ikonitas: Semiotika Sastra, h. 36.
33
semiotika. Dalam rumusannya tentang tanda, Saussure mengusulkan sebuah tanda model “dyadic”, yaitu dua bagian dari tanda.
Saussure mengemukakan: Sebuah tanda di dalamnya terdapat penanda atau ‘signifier’ (signifiant) sebagai bentuk dan petanda ‘signified’ (signifie) sebagai konsep. Bahasa pada dasarnya adalah sebuah proses signifikasi yang kompleks. Bahasa terdiri dari langue dan parole. Tanda dalam bahasa terdiri dari yang menandai (signifiant, signifier, penanda) dan yang ditandai (signifie, signified, petanda). Baik penanda maupun petanda tidaklah dapat dipisahkan satu dari yang lainnya. Baik penanda maupun tanda bersifat mental; penanda adalah citra bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Konsep penanda dan petanda merupakan keutuhan dalam sebuah tanda. Lantas analisis petanda bahasa dalam pandangan Saussure menurut kesesuaian makna yang berhubungan dengan tempo tertentu dan perkembangan dari masa ke masa di mana keberadaan tanda bahasa tersebut, tergolongkan dalam dua, yaitu sinkronik dan diakronik.
Sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang eksis pada suatu titik waktu tertentu–yang sering kali berarti “saat ini” atau kontemporer– dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sedangkan diakronik mengkaji relasi-relasi secara suksesif mengikat terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat bersubtitusi tanpa membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif. Prefesi Saussure secara khusus tertuju kepada linguistik sinkronik.40
40
Kris Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004) h. 38.
BAB III GAMBARAN UMUM SERAT DEWA RUCI
A. Pustaka Dewa Ruci Kisah Dewa Ruci menurut berbagai sumber, sudah ada semenjak zaman Jawa Kuno yang entah kapan tidak terlacak. Pengarang awalnya, dinisbahkan kepada tokoh yang bernama “Mpu Ciwamurti” yang tidak diketahui secara pasti apakah nama asli ataukah sekedar sebutan.1 Namun menurut Poerbatjaraka sesuai penemuannya, naskah asli Dewa Ruci tidak memuat nama pengarang di dalamnya (anonim),2 dan bahkan yang juga berkembang di masyarakat ada yang menyebutkan secara spekulatif bahwa pengarangnya adalah Sunan Kalijaga. Hal ini berdasar anggapan masyarakat bahwa yang memperkenalkan asimilasi budaya dengan agama Islam adalah Sunan Kalijaga, seperti halnya dialah yang dianggap sebagai pemrakarsa wayang kulit sebagai sarana dakwah. Cerita Dewa Ruci asli sesuai temuan Poerbajtaraka, gaya penulisannya menggunakan bahasa Jawa Pertengahan, namun susunannya masih dengan cara penyusunan Jawa Kuno meskipun memakai tembang yang sedikit melanggar irama.3 Meskipun tidak pernah diketahui secara pasti kapan kali pertamanya dikarang, setidaknya hal ini menunjukkan bahwa naskah Dewa Ruci memang sudah ada sejak zaman Hindu-Buda, yang berarti bahwa cerita aslinya tidak bermuatan ke-Islaman.
1 A. Seno Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja (Jakarta: Kinta, 1967), h. 2. 2 Hamid Nasuhi, Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009), h. 57. 3 Poerbajtaraka dan Tardjan Hadidjaja, Kepustakaan Djawa (Jakarta Djambatan, 1957) h. 74.
34
35
Menurut team perpustakaan Yayasan Sastrokartono Yogyakarta, cerita Dewa Ruci itu pada pokoknya mengambil dari cerita pahlawan Gilgamesh di tanah Mesopotamia sekitar tahun ke-3000 sebelum tarikh masehi.4 Gilgamesh adalah seorang pemuda yang tersohor dengan keberaniannya yang luar biasa. Ia memiliki sahabat karib bernama Enkidu. Dalam persahabatan ini Gilgamesh menghendaki adanya persahabatan abadi, akan tetapi pada akhirnya Enkidu menemui ajalnya. Alangkah sedihnya Gilgamesh menerima kenyataan demikian. Sejak itu Gilgamesh berkeinginan untuk memiliki kehidupan abadi agar tidak mengalami kematian seperti halnya yang menimpa Enkidu. Akhirnya Gilgameshpun berguru kepada seorang Pendeta. Oleh Sang Pendeta Gilgamesh disuruh mencari “Pohon Kehidupan” yang terletak di dalam pusat samudra raya agar tercapai hasratnya untuk hidup abadi. Dalam perjalanannya itu Gilgamesh harus menempuh berbagai rintangan yang menghalanginya.5 Cerita Gilgamesh tersebut di atas mengalami perjalanan dari tanah Mesopotamia melalui tanah Persia menuju tanah jajahan India. Kemudian oleh bangsa India cerita itu dibawa ke tanah Jawa ketika mereka bermigrasi pada abadabad awal Masehi.6 Kemudian cerita Gilgamesh sedikit banyak berubah, terutama nama tokoh Gilgamesh diganti dengan nama Bima atau Wrekodara (Werkudara) dengan mengubah judul ceritanya menjadi Dewa Ruci atau juga terkenal dengan kisah Bima Suci. Kisah Dewa Ruci disisipkan sebagai cerita carangan dalam epos besar Mahabarata, yaitu cerita tentang perang saudara antara Pandawa dan Korawa. 4 Yayasan Sosrokartono Cabang Yogyakarta, Meninjau Pustaka Dewa Ruci Secara Mendalam (Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono, 1971), h. 1. 5 Fasha (nama yang tertera dalam blog), “Sastra Serat Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 31 Desember 2009 dari http://fashamistik13.blogspot.com/2009_01_01_archive.html. 6 Yayasan Sosrokartono, Meninjau Pustaka, h. 5.
36
Dengan memanfaatkan latar dan tokoh-tokoh yang sama seperti dalam cerita Mahabarata, khususnya di tanah Jawa cerita Dewa Ruci seolah-olah telah menjadi bagian dari keutuhan cerita Mahabarata yang sebenarnya jika ditengok dalam kisah aslinya karangan Mpu Wiyasa (di Jawa dikenal sebagai Begawan Abiyasa) tidak terdapat bagian yang menceritakan kisah Dewa Ruci tersebut.7 Menurut Poerbatjaraka, seperti dikutip Nasuhi, naskah tertua Dewa Ruci diperkirakan berasal dari zaman Jawa Pertengahan, yaitu antara tahun 1292 sampai tahun 1520.8 Masa ini bertepatan dengan masa peralihan zaman HinduBudha ke zaman Islam. Seperti dijelaskan pada bab sebelumnya, setelah abad ke16, Sastra Jawa Pertengahan beralih ke Bali dan menjadi Sastra Jawa-Bali, maka di Bali cerita Dewa Ruci ini berkembang dan lebih dikenal dengan Nawa Ruci. Sementara itu di tanah Jawa beralih kepada Sastra Jawa Baru, yaitu dengan kemunculan Islam di dalamnya. Serat Dewa Ruci yang asli diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa yang lebih modern untuk kali pertamanya oleh Sunan Bonang,9 seorang waliullah yang termasuk dalam salah satu dari kesembilan “Wali Songo”, kemudian cerita Dewa Ruci berkembang sebagai cerita bernafaskan Islam. Selanjutnya, seperti dikutip oleh Nasuhi, dari majalah Pewayangan Indonesia tahun 1973, Abdullah menyitir sebuah syair yang terjemahan dalam bahasa Indonesianya sebagai berikut:
7 Lihat: C. Rajagopalachari, Mahabarata (edisi asli); Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2008). Buku ini merupakan gubahan baru cerita Mahabarata berdasar cerita teroriginal yang berkembang di India. Buku ini adalah hasil sayembara yang diadakan oleh Bharatiya Vidya Bhavan, yaitu sebuah lembaga kebudayaan di India. Setelah penulis baca, ternyata benar bahwa cerita Dewa Ruci tidak termuat dalam keutuhan cerita asli Mahabarata. 8 Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 5. 9 Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa, h. 3.
37
Maka Sultan Demak yang sangat haus pengetahuan Meminta Sunan Kalijaga untuk menyusun lakon Bima Suci yang menggambarkan ilmu tarekat dalam menyembah Tuhan Biayanya sangat mudah Hanya membaca kalimat syahadat Maka banyaklah orang yang menjadi Muslim10 Syair di atas menunjukkan bahwa pada masa Kerajaan Demak, ada permintaan seorang sultan kepada Sunan Kalijaga untuk menyusun cerita Dewa Ruci sebagai lakon untuk sebuah pertunjukan yang ditujukan untuk dakwah. Disebutkan bahwa bagi yang hendak menyaksikannya, tiketnya (biayanya) sangat mudah, hanya dengan mengucapkan kalimat syahadat saja. Maka dengan pementasan tersebut akan banyak orang masuk agama Islam. Dengan informasi dari kutipan syair di atas, jelaslah bahwa ada pengembangan cerita Dewa Ruci oleh Sunan Kalijaga. Keterangan ini diperkuat oleh Profesor Hasanu Simon yang menyebutkan, bahwa “Dewo Ruci” adalah salah satu dari dua karya Sunan Kalijaga yang dapat dijadikan dasar untuk menganalisis kepribadiannya.11 Sedangkan cerita Dewa Ruci pada zaman Wali Songo, khususnya yang dikenal sebagai karangan Sunan Kalijaga ini lebih dikenal dengan cerita Syekh Malaya (Melaya).12 Minat masyarakat terhadap kisah Dewa Ruci sejak awal diedarkannya, sangatlah besar, terbukti dari banyaknya gubahan-gubahan atasnya. Banyak sekali gubahan baru yang diturunkan dari cerita aslinya, kemudian diturunkan lagi dan
10
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 146. Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), cet ke-2, 2005, h. 8. Disebutkan dua karya yang dapat dijadikan dasar untuk menganalisis kepribadian Sunan Kalijaga adalah Sertat Dewo Ruci dan Suluk Linglung. 12 Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 147. Lihat juga: Abdul Hadi W. M. “Islam Dalam Filsafat Mistik Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat Cabolek,” Artikel diakses tanggal 10 Mei 2010 dari http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2. 11
38
diturunkan lagi sesuai kehendak penyalin.13 Tercatat sudah lebih dari lima naskah yang berkembang sampai hari ini. Pertama sekali, seperti yang disebut di atas, bahwa sesuai penemuan Poerbatjaraka, naskah asli Dewa Ruci tidak menyebutkan nama pengarangnya dengan penjelasan melihat dari segi bahasa yang digunakan, kira-kira ditulis pada zaman peralihan Hindu-Budha ke zaman Islam. Kemudian setelah itu berkembang di Bali dengan lebih dikenalnya sebagai cerita Nawa Ruci. Sementara itu, di Jawa berkembang dengan sisipan ajaran agama Islam di dalamnya, mengingat telah masuknya dakwah Islam terutama oleh para Wali dengan didukung kondisi Tanah Jawa yang telah dikuasai kerajaan Islam. Selanjutnya pada masa kerajaan Surakarta, muncullah tokoh pujangga yang juga berpengetahuan luas tentang agama Islam, Yasadipura I (1729-1803), berkenan menggubah Serat Dewa Ruci dan memperbaruinya. Dengan demikian isi cerita Dewa Ruci gubahan Yasadipura I sudah berbeda dengan Nawa Ruci. Cerita Dewa Ruci Yasadipura I bermuatkan Tasawuf, sedangkan Nawa Ruci masih tetap dengan corak Hindu.14 Yasadipura I dikenal sebagai seorang pujangga ulung di Surakarta pada pemerintahan Sri Sunan Paku Buwana II, III, dan IV. Ia juga dikenal, seperti dikutip Nasuhi, dari Pigeaud (pakar kesusastraan Jawa berkebangsaan Belanda), sebagai salah satu tokoh terpenting dalam “ The Renaissance of Javanese Literature” (kebangkitan kembali kesusastraan Jawa kuno).15 Mula-mula Yasadipura I hanya menyelipkan kisah Dewa Ruci dalam Serat Cabolek. Setelah itu ia menuliskannya dalam naskah serat utuh dengan Bahasa Jawa Baru dalam
13
Sastroamidjojo, Tjeritera Dewa, h. 2. Muhammad Zaairul Haq, Tasawuf Pandawa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 109. 15 Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 5. 14
39
bentuk tembang macapat.16 Berkat sentuhan Yasadipura I inilah cerita Dewa Ruci menjadi sangat dikenal oleh masyarakat. Bahkan Serat Dewa Ruci karya Yasadipura dianggap sebagai acuan semua karya setelahnya. Setelah Yasadipura I naskah Serat Dewa Ruci masih terus berkembang. Salah satunya adalah oleh R. Tanojo yang menggubah naskah Dewa Ruci dalam bentuk gancaran
dengan
Bahasa
Jawa
Baru.
Gubahan
ini
dalam
tafsirnya,
memperlihatkan keinginan menyusupkan anasir Islam di dalamnya, yaitu bahwa Dewa Ruci yang di temui Bima di dalam Samudra tak lain dan tak bukan adalah nabi khidzir (kilir),17 seperti pada kisah nabi Musa saat berguru mengarungi samudra. Gubahan naskah Dewa Ruci masih terus berkembang. Bahkan saat ini tiga perpustakaan (Sasana Pustaka kraton Kasunanan Surakarta, Reksa Pustaka Kraton Mangkunegaran, dan Radya Pustaka) di Surakarta menyimpan naskah berbahasa Sunda-Cirebon dengan nama penulis Salamun. Hari ini di Pengging, tempat pesarean (makam) Yasadipura I, hampir setiap bulan Suro (Muharam dalam kalender Hijriah) diadakan pagelaran wayang kulit dengan lakon Dewa Ruci. Akan tetapi jika dicermati, ternyata sebenarnya pada lakon yang dimainkan dalam wayang tersebut sudah sangat berubah dari cerita gubahan Yasadipura I. Dalam lakon tersebut dikembangkan bahwa tujuan pencarian Bima bukan pada tirta pawitra sari, akan tetapi pada kawruh sangkanparaning dumadi (pengetahuan tentang asal-muasal kejadian dan hendak kemana semua menuju).
16 17
Yayasan Sosrokartono, Meninjau Pustaka, h. 12. Ibid.
40
Secara lebih perinci, cerita Dewa Ruci yang dikembangkan dalam lakon pewayangan tersebut di atas, yaitu pertama-tama untuk menggayuh kawruh sangkan-paraning dumadi, Bima harus mencari kayu gung susuhing angin (kayu besar sarang angin), setelah itu Bima harus mencari tirta perwita sari (air suci), baru setelah itulah Bima akan mendapatkan kawruh sangkan-paraning dumadi. Kitab Dewa Ruci dengan tembang macapat versi Yasadipura I mengalami beberapa kali cetak dengan huruf Jawa. Percetakan pertama dilakukan oleh percetakan van Drop di Semarang pada tahun 1870 atas usaha penerbitan yang dilakukan oleh Mas Ngabehi Kramapawira. Kemudian dicetak untuk kali yang kedua dan ketiganya oleh orang dan percetakan yang sama masing-masing pada tahun 1873 dan 1880. Pada tahun 1922, oleh Mas Ngabehi Mangunwijaya melalui penerbit dan percetakan Tan Khoen Swie, masih menggunakan bahasa Jawa, kitab Dewa Ruci dicetak dengan tambahan pengantar yang mengatakan bahwa kitab Dewaruci itu mula-mula berbahasa Kawi dan tembangnya Sekar Ageng, karangan Mpu Widayaka dari negeri Mamenang (Kediri). Setelah itu barulah terbit cetakancetakan dengan tulisan latin, dan pada tahun 1930-an naskah-naskah yang berkenaan dengan Dewa Ruci mulai memasuki ranah pengkajian akademik.18
B. Biografi Yasadipura I Dalam buku Tus Pajang seperti dikutip Nasuhi, disebutkan bahwa Yasadipura I lahir di Pengging pada hari Jumat Pahing 1729, adalah pujangga Surakarta yang merupakan keturunan Sultan Hadi Wijaya (raja Pajang),19 dan merupakan 18 19
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 58-59. Ibid, h. 46.
41
keturunan dari Brawijaya V, raja terakhir Majapahit. Silsilahnya yaitu Raden Ngabehi Yasadipura I bin Raden Tumenggung Padmanegara, bin Pangeran Adipati Danupaya, bin Pangeran Serang, bin Pangeran Wiramenggala III, bin Pangeran Wiramenggala II, bin Panembahan Raden, bin Pangeran Benawa, bin Sultan Hadiwijaya, bin Adipati Kebo Kenanga, bin Pembayun (istri Adipati Pengging Handayaningrat), binti Brawijaya V.20 Akan tetapi menurut versi lain berdasar beberapa referensi silsilah, Yasadipura I adalah keturunan Kyai Ageng Pemanahan, dan bertemu silsilah dengan Sultan Hadi Wijaya jika terus ditelusuri keduanya sama-sama merupakan keturunan dari Brawijaya V Sang Raja Majapahit yang terakhir.21 Yasadipura I lahir dari perkawinan antara Padmanegara (seorang Adipati di Pekalongan pada masa Sultan Agung dan seorang Jaksa Kerajaan pada masa Susuhunan Pakubuwana I) dengan Siti Maryam (Nyai Ageng Padmanegara), yaitu putri dari Kyai Kalipah Caripu, guru sekaligus sahabat Padmanegara dalam mengembangkan agama Islam di Pengging. Dari perkawinan ini, Padmanegara mengidamkan karunia seorang putra laki-laki setelah sebelumnya mendapatkan buah hati seorang putri. Maka demi keinginannya itu, Padmanegara selalu memohon kepada kepada Allah SWT. Ia banyak melakukan tapa brata dan prihatin siang malam, mengurangi makan dan tidur. 20
Sudirman Tebba, Sufi-sufi Jawa; Mengenalkan Wajah Islam yang Ramah (Jakarta: Pustaka Irvan, 2007), h. 126. 21 Kyai Ageng Pemanahan adalah sahabat sezaman dengan Sultan Hadi Wijaya yang bersama Kyai Juru Martani turut serta dalam penaklukan Arya Penangsang. Kyai Ageng Pemanahan dihadiahi tanah Mentaok (sekarang Yogyakarta), sementara Kyai Juru Martani dihadiahi tanah Pati. Kyai Ageng Pemanahan merupakan ayah dari Panembahan Senopati, yaitu raja Mataram Islam yang pertama. Lihat novel karya Gamal Komandoko, Panembahan Senopati; Geger Ramalan Sunan Giri. (2009). Selanjutnya, semua tokoh di atas (kecuali Kyai Juru Martani yang penulis belum temukan) merupakan keturunan Brawijaya V. Pernyataan ini berdasar penelusuran penulis dengan menggabungkan silsilah dari keluarga Trah Yasadipuran yang dipadukan dengan silsilah raja-raja Mataram yang terdapat pada perpustakaan Reksa Pustaka Kraton Pura Mangkunegaran Surakarta.
42
Selang waktu dari tirakat itu, akhirnya istri Padmanegara mengandung. Singkat cerita, satu hari menjelang kelahiran bayi yang dikandung Nyai Ageng Padmanegara, tepatnya pada hari Kamis malam Jumat Pahing, datang seorang ahli nujum yang menyampaikan bahwa anak yang lahir pada malam Jumat Pahing kelak akan menjadi anak yang memiliki kelebihan dari anak yang lainnya. Tak lama setelah itu, datang juga seorang ulama sahabat Kyai Kalipah Caripu, yaitu Kyai Hanggamaya dari Bagelen, Kedu. Ia mengatakan bahwa nanti pada saat subuh, Nyai Ageng Padmanegara akan melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak akan menjadi orang yang pandai dan memiliki kelebihan. Ternyata benar apa yang dikatakan Kyai Hanggamaya, pada saat Padmanegara dan para tamunya menunaikan shalat subuh, Nyai Ageng Padmanegara benarbenar melahirkan seorang bayi laki-laki, yang kelak dikenal sebagai R.Ng. Yasadipura I.22 Yasadipura kecil diberi nama Bagus Banjar oleh orang tuanya, sedangkan panggilannya adalah Jaka Subuh, karena ia dilahirkan pada waktu subuh. Di usianya yang ke delapan (sewindu), sesuai permintaan Kyai Hanggamaya, Bagus Banjar dikirim ke pesantrennya di Karesidenan Kedu untuk mendapat pengajaran masalah kesenian, kebudayaan, dan keagamaan. Dalam usianya yang relatif muda itu, Bagus Banjar telah memperlihatkan bakat yang luar biasa dalam ilmu agama dan kesusastraan. Kira-kira enam tahun Bagus Banjar menyantri, lantas di usianya yang ke-14 ia mengabdikan diri dan berkarir di kraton Kartasura di bawah pemerintahan Paku Buwana II. Mula-mula ia mengabdi sebagai prajurit dan diberi tugas untuk 22
Soetomo W. E., dan Cahyo Budi Utomo, Mengenal R. Ng. Yosodipuro (Semarang: Kanwil Depdikbud Jateng Bidang Jarahnitra, 1990), h. 4-5.
43
menjaga pusaka kraton. Kemudian setelah kira-kira dua tahun setelah itu, pusat kerajaan berpindah ke Sala (Solo), sesuai bakatnya, ia mendapat kepercayaan sebagai sekretaris raja di bawah bimbingan Pangeran Wijil, dan sejak saat itulah namanya dirubah menjadi Yasadipura. Ia juga mendapat amanat sebagai Pujangga Taruna (pujangga muda) kraton. Pada
pertengahan
antara
tahun
1745-1755
terjadi
perpecahan yang
menyebabkan melemahnya pengaruh politik kraton. Karena itu, maka diperlukan konsolidasi internal dengan membangkitkan kembali warisan budaya Jawa. Hal ini ditujukan untuk memunculkan kembali kekuatan politik yang melemah itu. Berbagai upaya dikerahkan untuk menciptakan karya-karya tulis baru di bidang sastra sebagai pengganti buku-buku yang rusak. Sebagai pujangga kraton, Yasadipura bertugas merestorasi dan menggubah kembali khazanah kesusastraan Jawa Kuno.
Dalam hal ini ia telah berhasil melakukan penulisan kembali
berbagai kitab Jawa Kuno ke dalam kitab baru dengan Bahasa Jawa Modern dengan ketrampilannya yang luar biasa. Dengan pengetahuan agamanya, ia juga tak luput untuk mengarahkan karya-karya gubahan barunya tersebut menjadi karya yang bernafaskan ajaran Islam. Dengan demikian Yasadipura tampil tidak hanya sebagai pujangga, melainkan juga sebagai sejarawan, guru agama, dan mistikus Islam (sufi). Karya-karya Yasadipura sangat populer hingga saat ini. Bahkan bahasa yang digunakan Yasadipura dalam karya-karyanya mempengaruhi tata kebahasaan di kraton Surakarta yang akhirnya menjadi ukuran standar bahasa Jawa. Dari situlah
44
maka sering disebut-sebut bahwa patokan bahasa Jawa adalah Surakarta.23 Karyakaryanya tersebut antara lain, yaitu: Tajusalatin, Babad Giyanti, Anbiya’, Menak, Bratayuda, Babad Prayut, Cabolek, Arjuna Wiwaha (Jarwa), Paniti Sastra (Kawi Miring), Dewa Ruci Jarwa, dan Babad Pakepung.24 Yasadipura selain piawai dalam tata kesusastraan, ia juga sedikit banyak menguasai keahlian di bidang politik. Jasa Yasadipura bagi kraton antara lain adalah ikut menentukan lokasi Kraton Surakarta, mendamaikan perselisihan antara Sunan Pakubuwana III (Surakarta) dengan Sultan Hamengkubuwana I (Yogyakarta), serta memecahkan permasalahan kerajaan dengan Belanda pada waktu pemerintahan Pakubuwana IV (peristiwa pakepung).25
Dengan
pengalamannya di bidang politik itu, sehingga pada masa pemerintahan Paku Buwana IV, Yasadipura sempat diminta untuk menjadi patih (mentri) dalam pemerintahan kraton Surakarta. Akan tetapi ia menolak dengan alasan usia yang telah lanjut. Yasadipura wafat di Surakarta pada hari Senin Kliwon, 14 Maret 1803. Ia dimakamkan ditempat kelahirannya, di Pengging. Sampai hari ini makamnya dikeramatkan. Setiap malam Jumat Pahing (hari kelahirannya), makamnya dikerumuni orang yang hendak berwisata spiritual atau ada juga yang ngalap barkah (mencari keberkahan) dari makamnya. Sepeninggalan Yasadipura I, kemudian di kraton, posisinya digantikan oleh putranya, Raden Sastranegara (Yasadipura II).
23 Berkembang di masyarakat Jawa, bahwa standar bahasa Jawa tertinggi sampai hari ini adalah Surakarta (Solo). Itu artinya, bahwa bahasa Jawa Surakarta dianggap sebagai bahasa paling halus dalam tingkatan kebahahasaan Jawa. 24 Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Kepustakaan, h. 150. 25 Soetomo, dan Utomo, Mengenal, h. 10-19.
45
C. Pengaruh Budaya Islam dalam Serat Dewa Ruci Pengaruh budaya luar terhadap sastra jawa telah berlangsung lama, dari satu fase ke fase berikutnya. Pengaruh budaya luar tersebut turut menentukan bentuk dan struktur karya sastra jawa yang muncul,26 termasuk di dalamnya budaya Islam. Hal ini sudah dimulai sejak masuknya budaya asing tersebut ke tanah Jawa. Sedangkan budaya Islam, pengaruhnya meluas menjelang berakhirnya dinasti atau pemerintahan Majapahit. Pengaruh itu semakin kuat pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-16. pengaruh Islam turut mempengaruhi warna sastra dan budaya Jawa. Sebagai salah satu contoh munculnya sastra suluk yang berbentuk tembang. Sastra suluk adalah karya sastra yang memuat ajaran yang berupa usaha manusia mencapai kesempurnaan hidup, manunggaling kawula gusti berdasarkan mistik islam.27 Budaya yang biasa berkembang menyertai perkembangan Islam, turut memberi pengaruh dalam pembuatan naskah Serat Dewa Ruci. Di antara bukti pengaruh tersebut adalah gaya dan cara penulisan Serat Dewa Ruci yang merupakan cerita dengan menggunakan tata syair yang sangat runtut dan bernada. Hal ini menyerupai penulisan kitab al-Barjanji atau Barzanji,28 yang ditulis oleh Syaikh Ja`far al-Barzanji pada tahun 1184. Barzanji merupakan kitab yang berisikan doadoa, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad SAW yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. 26
Pardi, dkk, Sastra Jawa Periode Akhir Abad XIX—Tahun 1920, ed: Muhammad Fanani (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996), h. 14. 27 Ibid. h, 17. 28 Al-Barzanji adalah kitab yang berisikan riwayat Nabi Muhammad SAW yang disusun dalam bentuk syair berlau dan di dalamnya terdapat banyak sekali puji-pujian kepada Beliau SAW. Kitab ini dilahirkan dari sayembara saat kali pertamanya peringatan Mulid Nabi yang pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Membangkitkan gairah ke-islaman dengan mengenang-ngenang Nabi SAW, sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.
46
Selain pengaruh pada cara penulisan, dalam segi isi, Serat Dewa Ruci memuat ajaran tasawuf. Orang hanya dapat memahami Dewa Ruci bila ia memiliki latar belakang ilmu tasawuf, dengan merujuk paling tidak pada karya-karya Al-Ghazali dan Ibn Arabi. Walaupun Poerbatjaraka mengatakan bahwa nilai sastra dewa Ruci itu tidak besar dan nilainya sebagai buku tasawuf juga tidak begitu penting, bagi kebanyakan orang Jawa, terutama “angkatan tua”, ia dianggap sebagai sumber pokok ajaran Kejawen, sebagai rujukan untuk “ilmu kasampurnan”. Dalam Cerita Dewa Ruci, sebenarnya tasawuf disampaikan dengan menggunakan “bahasa” orang Jawa. Secara hermeneutik, jika kita membaca Cerita Dewa Ruci dengan Vorverstandnis (preunderstanding) sastra modern, kebanyakan orang yang membacanya akan mengatakannya sebagaimana Poerbatjaraka berpendapat. Tetapi bila preunderstanding pembaca itu dilandasi pada literatur sufi, maka ia akan melihat Serat Dewa Ruci sebagai karya yang sangat sufistik. Sudah lazim dalam literatur sufi, para sufi mengajar lewat cerita. Cerita itu diambil dari khazanah budaya bangsa yang dihadapi para sufi itu, seperti juga bagaimana Sa’di, Rumi, dan Hafez mengambil banyak cerita dari khazanah Persia untuk mengajarkan tasawuf.29 Kisah Dewa Ruci versi Yasadipura I mengandung nilai ajaran tasawuf (mistik). Sejak awal kisahnya bercerita tentang penggambaran bagaimana seseorang mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi.
Meskipun digambarkan secara simbolik, orang Jawa tahu bahwa untuk mencapai tujuan hidup bukanlah perkara mudah, banyak sekali rintangan yang harus dihadapi. Bima mencapainya mulai dari berguru, bertempur dengan raksasa, bergulat melawan naga di tengah samudra, sampai akhirnya bertemu 29
(anonim) “Serat Dewo Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://kariyan.wordpress.com/serat-dewo-ruci/.
47
dengan Dewa Ruci, makhluk kecil penjaga laut yang memberi wejangan yang mencerahkan mengenai ilmu sejati (kasunyatan).30 Ajaran tasawuf yang mempengaruhi Serat Dewa Ruci adalah konsep-konsep dalam tasawuf falsafi seperti konsep ittihad, hulul, wahdat al-wujud, dan insan alkamil, dengan asumsi bahwa pencapaian kesempurnaan manusia adalah setelah ia mencari kesuciannya (yang dilambangkan dengan pencarian tirta amerta/ pawitra) dan setelah itu maka ia akan mengenali jati dirinya (dilambangkan dengan sosok Dewa Ruci yang berwujud menyerupai Bima). Dalam hal ini sebuah dalil yang entah sebenarnya itu merupakan Hadits Rasulullah ataukah hanya Qaul ‘ulama, disebutkan “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (barang siapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya).31 Jelas sudah, bahwa perjalanan Bima dalam Serat Dewa Ruci memang melambangkan proses pencapaian kepada hakikat Tuhan. Cerita Dewaruci dibangun atas pandangan hubungan antara Tuhan dan manusia dan segenap alam semesta, bersifat monistik. Artinya kata dia, sebenarnya manusia, alam semesta, dan Tuhan, merupakan satu kesatuan wujud, satu hakikat. Hakikat yang satu itu adalah Tuhan. Karena itu, untuk menemukan Tuhan dan bersatu dengan-Nya sebagai puncak pengamalan mistik, manusia tidak perlu mencari jauh-jauh apa yang ada di luar dirinya, melainkan cukup melihat dan menyelami hakikat dirinya. 30
Nasuhi, Dewaruci, h. 9. Penulis belum berhasil menemukan kejelasan secara pasti apakah kalimat itu merupakan hadits atau sekedar perkataan ulama’. Ada beberapa pendapat mengenai hal ini, ada yang menyebutkan perkataan tersebut merupakan hadits qudsi, ada yang berpendapat merupakan hadits Nabi SAW, dan ada juga yang berpendapat bahwa itu merupakan hikmah dari Imam al-Ghazali. Sementara ini menurut peneliti, perkataan itu seperti telah diungkapkan pada bab I. Lihat halaman 4. Dalam al-Fatani, Tadzkirat al-Maudlhuat (T.tp.: T.pn., t.t.), h. 11., disebutkan bahwa kalimat tersebut bukan merupakan sabda Nabi SAW, melainkan perkataan dari Yahya bin Mu’adz al-Razi. Imam al-Suyuti tidak begitu mempermasalahkan dari mana asal kalimat tersebut, yang penulis temukan dalam karyanya, Suyuti hanya menjabarkan saja maksud dari kalimat tersebut. Jalal alDin abd al-Rahman bin Abi Bakrin al-Suyuti, al-Hawi li al-Fatawa fi al-Fiqh wa ‘Ulum al-Tafsir wa al-Hadits wa al-Ushul wa al-Nahw wa al-I’rab wa Sairi al-Funun, vol.2 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000), h. 228. 31
48
Gagasan tasawuf falsafi yang terserap dalam Serat Dewa Ruci di antaranya berasal dari naskah tasawuf yang terkenal di Jawa sejak abad ke-17, yaitu kitab alTuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi karya Muhammad ibn Fadl Allah alBurhanpuri, seorang sufi asal India. Hal ini tidak terlalu mengejutkan, kerena Serat Dewa Ruci dikarang dan menjadi populer pada zaman ketika Islam sudah diakui eksistensinya di kalangan orang Jawa, terutama di lingkungan keraton, sementara Yasadipura I sendiri adalah pujangga keraton sekaligus guru mistik yang sebagian masa pendidikannya dihabiskan di pesantren.32 Cerita dalam Serat Dewa Ruci juga menyerupai kisah perjalanan Nabi Muhammad ketika Isra’ Mi’raj, dimana dipenuhi dengan pralambang-pralambang. Pada puncaknya Isra’ Mi’raj mempertemukan Nabi Muhammad SAW dengan keindahan maha keindahan, yaitu perjumpaan dengan Allah SWT. Segala kenikmatan dan kebahagiaan berada disana, namun Nabi Muhammad harus kembali kepada umat manusia untuk mengajarkan makarim al-akhlaq. Jika disuruh memilih, pasti ketika itu Nabiyullah Muhammad SAW menghendaki tidak kembali untuk terus bersemayam dalam kebahagiaan. Begitu juga dalam Serat Dewa Ruci, ketika Bima masuk dalam tubuh Dewa Ruci, ia mendapati ketenangan dan enggan keluar kembali. Akan tetapi Bima harus tetap kembali kepada saudara-saudaranya, juga kepada manusia untuk mengajarkan dan menegakkan kebenaran. Kemudian pembawaan ceritanya, Serat Dewa Ruci juga memiliki kemiripan dengan kisah Nabiyullah Musa AS ketika disuruh oleh Allah SWT untuk berguru
32
Hamid Nasuhi “Akulturasi Serat Dewa Ruci dengan Ajaran Tasawuf,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.majalahgontor.co.id.
49
kepada Nabi Khidzir AS. Dalam bergurunya ini, Nabi Musa AS mengikuti Nabi Khidzir AS menjelajah samudra dan mendapat ilmu-ilmu yang belum diketahui.
D. Penokohan Bima (Werkudara) dalam Serat Dewa Ruci Dalam sejarah kebudayaan Jawa, Bima tak hanya muncul sebagai tokoh dalam karya sastra, melainkan juga dalam bentuk arca, relief, “boneka” wayang, dan gambar wayang. Ada pula prasasti yang menyebutkan namanya. Bahkan, ada galaksi yang dinamai Bima Sakti. Ia dikenal dalam kurun waktu yang cukup panjang, sejak abad ke-10 melalui Prasasti Wukajana 908 M, yang dibuat atas perintah Dyah Balitung (899-911 M), raja Mataram Hindu, hingga sekarang.33 Para ahli juga menjadikan Bima pokok bahasan, mulai dari H. Kern dan W.H. Rassers, W.F. Stutterheim, Prijohoetomo, R.M.Ng. Poerbatjaraka, Heidi Hinzler, Hariani Santiko, dan Woro Aryandini Sumaryoto, yang dari disertasinya tulisan ini dikembangkan. Bima itu salah satu tokoh kreasi seni yang sejak dimunculkan dalam alam budaya orang Jawa punya daya bertahan sepanjang pergantian zaman selama sepuluh abad. Citranya dibentuk oleh penggambaran mengenai watak dan tabiat, peran, serta ciri fisiknya. Bima merupakan simbol kepahlawanan, kejantanan, pencarian hakikat hidup, dan kesuburan. Ini diungkapkan dalam bentuk badan, bagian tubuh yang khas, tindakan, cara berbicara dan bahasa, senjata, serta kain polèng warna empat yang dipakainya. Kain ini pun simbol nafsu empat (amarah, lawwamah, sufiah, muthmainnah), konsep sedulur, kesatuan manusia dan Tuhan, dan tingkatan tahapan tarekat Islam (syariat, thariqat, hakikat, ma’rifat). 33
”Filsafat Bima dan Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.gudangmateri.com/2010/05/filsafat-bima-dan-dewa-ruci.html.
50
Seperti dikutip Nasuhi, dari Aryandini Sumaryoto, dijelaskan bahwa bima adalah tokoh yang dari zaman ke zaman dikenal (digunakan) sebagai pralambang kesatria. Pada zaman Hindu sampai dengan zaman Majapahit awal, Bima adalah sebagai pelindung keluarga, pelindung masyarakat, dan pahlawan perang. Sedangkan pada pada zaman Majapahit akhir, citra tokoh Bima adalah sebagai seorang yang mencari jati diri dan juga menjadi objek pemujaan. Kemudian pada zaman Jawa Baru, tokoh Bima adalah sebagai pelindung keluarga, pelindung masyarakat, pahlawan perang, bahkan sebagai tokoh penyebar agama dalam lakon wayang di daerah pedesaan.34 Sampai hari ini masih terus demikian adanya, yaitu sebagian besar pagelaran wayang kulit yang bersifat carangan (bukan cerita pakem seperti Mahabarata dan Ramayana), menggunakan tokoh Bima sebagai tokoh utama yang memungkasi segala macam bentuk kejahatan dan ketidakadilan. Gambaran tokoh Bima dalam Serat Dewa Ruci, seperti dinyatakan Nasuhi, bahwa tokoh Bima bukanlah hanya sekedar merupakan lambang manusia yang diberkati Tuhan dengan bentuk fisik yang halus, tampan, kokoh, dan kuat, tetapi dia juga merupakan tokoh dengan derajat keruhaniahan yang luhur. Ia melambangkan hati yang berani, jujur, dan murni dengan kemauan yang keras dan keteguhan hati yang kuat untuk mencapai segala tujuan. Nasuhi mempertegas, itu semua berkat pencapaiannya menemukan air kehidupan (tirta pawitra).35
34 35
Nasuhi, Serat Dewaruci, h. 156. Ibid, h. 159
51
E. Sinopsis Serat Dewa Ruci Meringkas dari cerita utuhnya dari karya Pujangga Surakarta, kisah ringkas Dewa Ruci, yaitu bercerita kisah perjalanan Bima (Arya Bima, Bima Sena, Bratasena, Werkudara) mencari “Air Suci”.36 Menjelang Bharata-Yudha37, Prabu Dhuryudhana memanggil seluruh anggota Kurawa (musuh Pandawa yang sebenarnya merupakan saudara sekakek) untuk melakukan Sidang Istimewa. Dari perhitungan kertas, Kurawa lebih kuat dari Pandawa kecuali karena satu hal saja; Pandawa memiliki Bima yang sangat sakti. Di samping sangat perkasa, Bima juga kesatria yang jujur, lugu, dan kuat kemauan. Ia tidak bisa dibeli. Ia berpegang teguh pada keyakinannya. Bima berpedoman, "Sing sapa becik, dhen beciki, sapa ala dhen alani, nadhyan bahu kanan-kering jen ala binuwang" (barang siapa yang baik, harus diperlakukan baik, siapa yang buruk harus diperlakukan buruk, meskipun itu bahu kanan sendiri jika berbuat buruk maka harus dibuang). Supaya Kurawa menang, sidang memutuskan untuk mencari cara agar Bima dapat dibinasakan. Akan tetapi, yang menjadi masalahnya, Bima terlalu kuat untuk dikalahkan. Dibuatlah sebuah skenario. Bima harus dibuang. Caranya bagaimana? Bima sangat hormat dan patuh kepada gurunya, Resi Durna. Maka dibuatlah tipu muslihat, yaitu Kurawa mendesak Resi Durna untuk menjerumuskan Bima. Dengan itu, lantas Resi Durna memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan: Tirta Perwita, tirta prawita, atau tirto sucining ngaurip, tirta kamandalu, 36
Lihat: R. Tanojo, Serat Dewa Ruci Kidung; Miturut Babon Asli Kapujanggan Surakarta ing Madya Awal Abad XIX M. (Surakarta, T.pn., 1962). Lihat juga naskah Serat Dewa Ruci dalam Nasuhi, Serat Dewaruci, jika diringkas naskah tersebut bercerita tentang perjalanan Werkudara (Bima) dalam mencari “Air Suci.” 37 Bharatayudha adalah peperangan besar antara Pandawa dengan Kurawa yang saling merebutkan kerajaan Astina Pura. Kedua fihak saling mengklaim satu sama lain sebagai pewaris sah kerajaan tersebut.
52
amrtanjiwangi, amrta, tirta amerta, atau air hayat. Menurut Sang Begawan, siapa saja yang dapat memperoleh air kehidupan ini, ia akan mencapai tingkat hidup yang sempurna. Ia akan memiliki pranawa "ilmu kebebasan jiwa." Ia akan memahami rahasia kejadian alam semesta dengan segala isinya. Ia akan saestu sumerep purwa-wekasaning jagad raya atau ilmu tentang sangkan paraning dumadi. Bima tidak boleh ragu-ragu dalam mencari tirta amrta ini, karena jika ragu-ragu tidak akan pernah mencapai pengetahuan tentang kasunyatan. Ia harus bertekad dengan sungguh-sungguh dan rela menjalani apa saja untuk dapat memperoleh pengetahuan yang berharga tersebut. Tirta amrta (air hayat) ini tidak mudah diperoleh. Ia berada di Gunung Candramuka, di Rimba Palasara hutan Tikbrasara. Tanpa ragu, Bima berangkat, walaupun saudara-saudaranya menghalanginya. Tekadnya sudah bulat. Ia harus berkhidmat kepada gurunya. Ia memasuki gua Gandamadana di Gunung Candramuka itu. Setibanya di gunung Candramuka, Bima membongkar gunung itu, akan tetapi air yang ia cari tidak ketemu. Malah di situ ia bertemu dengan dua raksasa: Rukmuka dan Rukmakala. Melalui pertempuran yang dahsyat, Bima berhasil mengalahkan keduanya. Ia membanting kedua raksasa tersebut ke batu hingga hancur lebur. Tubuh kedua raksasa itu menghilang, dan ternyata kemudian berubah menjadi Bhatara Indra dan Bhatara Bayu yang baru saja menjalani kutukan Hyang Pramesthi sehingga berubah bentuk dan rupa menjadi raksasa. Justru berkat Bimalah keduanya terbebas dari kutukan itu. Mereka mengucapkan terimakasihnya. Bima mendapat kabar dari kedua dewa itu bahwa Durna sebenarnya berdusta. Tirta kehidupan itu tidak berada di Candramuka. Ia disuruh kembali kepada gurunya untuk meminta penjelasan yang sebenarnya.
53
Bima bergegas ke Astina38. Sesampainya di sana, ia bertemu dengan gurunya, lantas gurunya berkata kepadanya, "O, anakku, hal ini tidak mengherankan. Memang aku sengaja, telah kurencanakan sedari semula. Sebenarnya aku hanya ingin mengetahui seberapa jauh kesanggupanmu. Tempat air hidup ini sebenarnya terletak di tengah-tengah samudra”. Mendengar penjelasan gurunya, Bima kembali berangkat mencari air hayat. Sebelum berangkat kembali, ia sekali lagi menghadap saudara-saudaranya di Amarta, mohon doa restunya. Saudara-saudaranya tidak memberi ijin. Mereka meminta Bima untuk tidak berangkat. Tapi Bima tidak menghiraukannya. Ia segera berangkat ke samudra. Saudara-saudaranya bersedih. Karena kesedihan itu, maka prabu Kresna datang ditengah-tengah mereka untuk menghibur dan membesarkan hati saudara pandawa sekalian dengan memberitahukan bahwa Bima pasti kembali dengan selamat. Sesampainya di tepi samudra, Bima melocat ke dalam lautan. Lalu ia disambut dengan semprotan racun dari ular besar Nemburnawa. Bima dapat menghindarkan bahaya bisa ular itu. Segera terjadilah pertempuran mati-matian di antara Bima dan Nemburnawa. Kemenangan sudah dapat diduga berada pada Bima dengan senjata sakti Kuku Pancanakanya. Setelah menempuh perjalanan yang sedemikian rupa, Bima yang perkasa sudah hampir kehabisan tenaga mencari-cari di mana sebenarnya tirta amrta/ pawitra (air hayat). Ia diombang-ambingkan oleh gelombang samudra yang besar. Berulang kali dibenturkan ke batu karang yang keras dan tajam. Ia merasa terpuruk dan hampir mendekati ajalnya. Pada saat itulah ia ditemui dewa kerdil yang hanya
38
Astina Pura adalah kerajaan yang diperselisihkan antara pandawa dan kurawa.
54
sebesar jari kelingking Bima yang wujudnya persis menyerupai dirinya dan menyatakan bahwa dia bernama Dewa Ruci. Di sinilah Bima akhirnya mendapat wejangan-wejangan tentang berbagai pengetahuan ilmu hakikat kehidupan.
BAB IV KONSTRUKSI SIMBOL DALAM SERAT DEWA RUCI (HASIL ANALISIS SEMIOTIK SERAT DEWA RUCI) A. Serat Dewa Ruci Bait Ke-2 Dandanggula I Wrekudara duk purita mring// Werkudara ketika berguru kepada Dhanyang Durna kinen ngupayaa// Pendeta Durna disuruh mencari toya ingkang nucekake// air yang menyucikan marang sariranipun// atas dirinya Wrekudara mantuk wewarti// Werkudara pulang memberi kabar maring negri ngamarta// ke negeri Amarta pamit kadang sepuh// mohon diri kepada kakaknya sira prabu Yudistira// yaitu prabu Yudistira kang para sri sadaya nuju marengi// dan adik-adiknya semua kebetulan aneng ngarsaning raka// sedang menghadap kakandanya. No 1.
Penanda
Sinkronik
Diakronik
Petanda
Purita
Mencari ilmu
Menghamba
Bertekad dengan
(Berguru)
melalui
kepada seseorang
sungguh demi
perantara
untuk
mendapatkan ilmu.
seseorang yang mendapatkan disebut dengan
suatu ilmu
guru.
tertentu.
Werkudara demi mendapatkan ilmu yang ia kehendaki, ia berguru kepada Pendeta Durna. Dalam bangunan oposisi biner, kegiatan berguru dibangun oleh keberadaan orang yang berguru dan yang menggurui, yaitu adanya murid dan guru. Guru tidak berada kecuali keberadaannya juga ditentukan oleh keberadaan murid. Murid secara bahasa berasal dari bahasa arab, yaitu isim fa’il dari arada-yuriduiradatan-wa muradan-fahuwa “muridun,” yang artinya “yang menginginkan”.1
1
Atabik Ali, dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer (al-‘Ashri) Arab-Indonesia (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), h. 1697.
55
56
Dalam hal ini, Werkudara telah mengambil sikap dan menentukan pilihannya untuk menjadi seorang yang berkeinginan, artinya ia telah siap dengan segala resiko yang melekat pada pilihannya itu. Dalam konteks tasawuf murid disebut dengan salik. No 2.
Penanda
Sinkronik
Diakronik
Petanda
Dhanyang
Seorang
Dhanyang dalam
Seorang yang
(Guru, atau
yang
pengertian masyarakat
berilmu serta
bisa juga
mengajar-
Jawa saat ini berarti
terpilih.
berarti
kan ilmu.
penguasa alam. ghaib
penguasa
suatu wilayah tertentu.
suatu wilayah
Makna dahulu adalah
tertentu).
seorang Guru Agung.
Guru adalah orang yang wajib dihormati oleh seorang murid. Dalam konteks Tasawuf, guru disebut dengan mursyid, yaitu orang yang mengawal, mengarahkan, serta mengajarkan ilmu kepada seorang salik untuk mencapai sebuah pencapaian spiritual tertentu. Mencermati Nasuhi, ia mengartikan kata Dhanyang dengan Pendeta. Jika ditelusuri, pemilihan kata “Pendeta” memang merupakan kata yang paling tepat bagi masyarakat Jawa. Kata “Pendeta” dalam pemahaman masyarakat Jawa tidak sekedar sebagaimana pemaknaan dalam bahasa Indonesia, jika muncul kata “Pendeta,” maka seketika berasosiasi kepada pemaknaan seorang pengkhotbah dari agama Kristen, atau kata lain yang masih seakar dengan itu adalah “Pandhita,” yaitu pemuka agama Budha. Pengertian masyarakat Jawa tentang “Pendeta” adalah dari bahasa Jawa Kawi, yaitu sebutan bagi seseorang yang memiliki wawasan spiritual tinggi serta berperangai baik. Dari pemahaman yang demikian, maka tidak jarang para kakek menasehati cucunya dengan kalimat: Dadia satria pinandhita,
57
yang dalam bahasa Indonesia berarti: Jadilah seorang yang berperangai layaknya pendeta. Dengan demikian, keterangan di atas menunjukkan kepada bahwa Werkudara telah mengambil orang yang ia yakini tepat sebagai seorang guru. Untuk mencari guru, seseorang harus mempertimbangkan baik-baik siapa yang pantas menjadi guru baginya. Tidak dibenarkan mencari guru denga asal-asalan, karena ia yang akan mengajarkan dan mengarahkannya menjalani suatu tirakat untuk mendapatkan ilmu. Jika gurunya benar, maka muridnya akan benar, dan jika gurunya salah, maka muridnya ikut salah karena mendapatkan ilmu dari orang yang salah. No
Penanda
Sinkronik
Diakronik
3.
Toya ingkang
Air yang
Air untuk
Dengan air tersebut,
nucekake
menyucikan
penyucian
maka seseorang
(Air yang
jiwa dan raga
seperti air
dapat menyucikan
menyucikan).
manusia.
sungai Gangga.
diri
→
Islam:
Petanda
a ir
wudhu Tahapan paling pertama seseorang jika menghendaki dirinya untuk melakukan perjalanan spiritual, maka ia harus bersesuci dahulu, yaitu menyucikan jiwa dan raganya. Werkudara mendapat perintah dari gurunya, Pendeta Durna, untuk mencari air yang menyucikan dirinya. Perintah ini merupakan perintah yang mengandung arti permulaan sekaligus tujuan. Dalam ritual keagamaan, seseorang diharuskan mendahuluinya dengan menyucikan diri dengan air atau jika tidak dengan debu, padahal tujuan dari ritual itu sendiri adalah untuk mencapai kesucian. Hanya bedanya, bersesuci yang mengawali ritual relatif lebih bersifat jasmani, sedangkan tujuan kesucian yang selanjutnya lebih bersifat rohani.
58
Memang tidak bisa dijelaskan begitu saja apakah mandi, ber-wudlhu dan tayammum itu merupakan syarat atau tujuan. Secara kasat kegiatan itu memang seolah sekedar merupakan syarat sebelum mengerjakan shalat. Akan tetapi jika dilihat dengan kacamata hakikat, mengapa dalam mandi jinabat harus mengguyur seluruh tubuh dengan air suci dan mensucikan, juga dalam wudlhu harus membasuh muka, kedua tangan, kepala, dan kedua kaki, merupakan pertanyaan yang membutuhkan perenungan. Karena guyuran dan basuhan-basuhan terhadap raga itu sebenarnya merupakan isyarat untuk mengguyur dan membasuh jiwa. No 4.
Penanda Werkudara
pulang
Petanda memberi - Seorang yang beradab hendaklah
kabar// ke Negeri Amarta// mohon
mohon
diri
yaitu
sebelum mengadakan perjalanan,
prabu yudistira// dan adik-adiknya
terlebih yang tidak diketahui batas
semua
waktunya.
kepada
kakaknya//
kebetulan//
menghadap kakandanya.
sedang
pamit
kepada keluarga
- Keluarga Pandawa adalah keluarga yang menjaga tali persaudaraan, saling peduli, dan bersilaturahmi.
Secara umum bait ke-2 Dhandanggula I Serat Dewa Ruci bisa disimpulkan memuat pesan bahwa layak bagi seorang guru memberikan suatu tugas tertentu bagi muridnya dengan tujuan sang murid mendapatkan pengajaran, pengalaman, serta ilmu setelah melaksanakan tugas tersebut. Hal ini digambarkan dengan penugasan pendeta Durna kepada Werkudara untuk mencari air yang menyucikan. Kemudian, sebagai seorang murid yang beradab, dalam menjalankan tugas dari seorang guru hendaklah ia mengabarkan apa yang akan ia lakukan kepada keluarga yang mengayominya, terlebih tugas tersebut membutuhkan waktu yang belum diketahui seberapa lama selesainya? Hal ini dilakukan untuk menjaga
59
hubungan kekerabatan dalam suatu keluarga, karena menunjukkan suatu kepedulian antara satu dengan yang lainnya. Dengan memberi kabar kepada sanak keluarga, setidaknya semua akan sama-sama merasa dianggap sebagai orang yang dekat dan selalu dibutuhkan pertimbangan, saran, serta nasehat-nasehatnya. Keharmonisan semacam ini digambarkan dengan keberadaan keluarga Pandawa yang selalu dijadikan figur teladan bagi masyarakat Jawa. Betapa Pandawa bersaudara yang telah dewasa dan memiliki tempat singgah masingmasing masih tetap saling berkumpul. Hal ini ditunjukkan dengan ketika Werkudara hendak menghadap kakandanya, Prabu Yudistira, secara kebetulan ketiga saudaranya yang lain juga sedang menghadap kakak tertua mereka itu. Kebetulan semacam ini kemungkinan kecil terjadi jika dalam kesehariannya mereka tidak sering berkumpul. Dengan demikian, maka tidak heran jika masyarakat Jawa memiliki slogan untuk keluarganya “Makan tak makan asal kumpul,” sebagai pertanda bahwa berkumpulnya keluarga untuk saling berbagi itu lebih penting dari pada sibuk mengurusi urusan perut yang bersifat individualistik. Demikianlah para tokoh teladan orang jawa digambarkan. B. Serat Dewa Ruci Bait Ke-3 Dhandanggula I Aryasena matur ing raka ji// Arya Sena berkata kepada kakanda raja lamun arsa kesah mamrih toya// bahwa akan pergi mencari air dening guru pituduhe// atas petunjuk gurunya Sri Dharmaputra ngunngun// Sri Dharmaputra heran amiarsa aturing ari// mendengar penuturan adiknya cinipta prapteng baya// memikirkan marabahaya narendra mangunkung// sang raja menjadi berduka dyan satriya Dananjaya// Raden Satria Dananjaya matur nembah ing raka Sri narapati// berkata sambil menyembah kakanda raja
60
punika tan sakeca// bahwa itu tidak baik. No.
Penanda
Petanda
1.
Arya Sena berkata kepada kakanda
Perjalanan mencari air suci adalah
raja// bahwa akan pergi mencari
perjalanan yang sangat serius.
air// atas petunjuk gurunya// Sri
Belum pernah ada cerita seseorang
Dharmaputra heran// mendengar
menempuhnya, sehingga
penuturan adiknya// memikirkan
marabahaya yang mengancamnya
marabahaya// sang raja menjadi
tidak tergambarkan. Hal ini
berduka
membuat resah Sri Dharmaputra (nama lain Prabu Yudistira).
Bait ini menyambung bait sebelumnya, yaitu tentang perihal permohonan diri Werkudara kepada sanak keluarga untuk mengadakan pencarian terhadap air suci. Werkudara bermaksud menghaturkan ucap pamit kepada kakandanya, Yudistira, dengan mengabarkan bahwa ia mendapat perintah dari Sang Guru. Kejadian sebagaimana yang disebutkan di atas ini sebenarnya sudah menjadi petunjuk awal bahwa perjalanan mencari air suci bukanlah perjalanan biasa. Terlihat bagaimana seorang Werkudara yang begitu perkasa untuk sekedar menjaga diri dari segala marabahaya yang mengancamnya, harus berpamitan, seakan ia sendiri belum tahu apa yang akan terjadi dalam menempuh perjalanannya itu. Dengan kata lain, kalimat pamitan Werkudara kepada sanak keluarganya adalah kalimat pengganti dari keterangannya bahwa jangan mencarinya atau menanyakan kabarnya selama beberapa saat yang ia sendiri belum tahu batasnya. Selanjutnya, hal yang mempertegas bahwa perjalanan Werkudara bukanlah perjalanan biasa adalah sikap Yudistira yang kaget dengan niat adindanya untuk
61
mengadakan pencarian atas air suci. Rasa kaget Yudistira ini karena ia memikirkan marabahaya yang menyertai Werkudara dalam pencariannya itu. Tidak berhenti pada rasa kaget, pikiran Yudistira berbuah menjadi kesedihan. Ia berduka dengan kehendak adindanya. Kejadian ini seakan menyerupai peristiwa pamitnya seorang prajurit kepada keluarganya untuk menjalankan tugas militer melawan serangan tentara negara lain. Tugas yang tidak diketahui secara pasti apakah ia akan selamat dan bisa kembali kepada mereka, atau mungkin saja dalam waktu yang tidak lama hanya pulang namanya sebagai almarhum seorang pejuang bangsa? Kesedihan dan kegelisahan pasti menyelimuti keluarga yang mendapat pamit dari salah satu anggotanya semisal demikian. Dengan demikian jelaslah betapa tidak jelasnya pencarian yang hendak dijalani Wekudara. Pribadi yang gagah berani, kuat, dan tangguh itu telah membuat kekhawatiran yang begitu mendalam bagi kakandanya. Sudah dapat dibayangkan betapa pencarian air suci itu tidak dapat disepelekan oleh siapa saja. No.
Penanda
Petanda
2.
Raden Satria Dananjaya// berkata
Kesedihan Yudistira disambut
sambil menyembah kakanda raja//
dengan sikap Dananjaya (nama lain
bahwa itu tidak baik.
Arjuna) yang memohon-mohon agar tidak memperkenankan Werkudara untuk pergi.
Keberadaan Arjuna yang kebetulan juga sedang berada di Astina Pura turut memperkuat keterangan bahwa pencarian air suci yang hendak dijalani Werkudara itu memang sangat berbahaya. Arjuna mendengar ucap pamit Werkudara kepada Yudistira seketika langsung menyembah kepada kakak tertuanya, Yudistira, agar
62
tidak memperkenankan kakak keduanya, Werkudara, untuk pergi. Arjuna mengatakan bahwa itu tidak baik. Kata tidak baik di sini merupakan terjemahan dari kata: tan sakeca. Masyarakat Jawa sendiri sering menggunakan kata ini lebih kepada makna tidak mengenakkan. Dengan demikian kata tidak baik (tan sakeca) yang dikatakan Arjuna kepada Yudistira itu juga bermakna kekhawatiran yang mendalam sebagaimana Yudistira telah mengungkapkannya dengan perasaan berduka. C. Serat Dewa Ruci Bait Ke-4 Dhandanggula I Inggih sampun paduka lilani// jangan paduka izinkan rayi dalem kesahe punika// adinda raja itu pergi boten sakeca raose// rasanya tidak baik arya kaleh wotsantun// Si Kembar (Nakula-Sadewa) pun demikian (sambil menyembah berkata) inggih sampun tuwan lilani// janganlah kakanda izinkan watak raka paduka// sifat para kakanda Ngastina pukulun// yang ada di Astina karya mangendra sangsara// hanya ingin menyengsarakan Resi durna ginebul purih ngapusi// Pendeta Durna dibujuk agar menipu sirnaning pra Pandawa// demi musnahnya para Pandawa. No. 1.
Penanda Jangan paduka izinkan// adinda
Petanda Perasaan yang tidak mengenakkan.
raja itu pergi// rasanya tidak baik
Karya sastra Jawa yang disajikan dalam bentuk jarwa (puisi lama) semisal Serat Dewa Ruci, sangatlah berbeda dengan gaya penulisan sastra geguritan (puisi baru) dan parikan (pantun) yang berkembang saat ini. Geguritan dan parikan
63
penulisannya cenderung merapihkan bait-baitnya dengan satu rangkaian ide yang utuh. Mangan kupat duduhe santen// makan ketupat kuahnya santan Menawi lepat nyuwun ngapunten// jika ada salah mohon dimaafkan Duduh santen numplaki klasa// kuah santan menumpahi tikar Cekap semanten atur kula// cukup sekian hatur saya. Pemenggalan bait pada parikan di atas adalah utuh sesuai ide dan rima sebagaimana pantun harus dituliskan. Sedangkan pada karya lama seperti pada kidung, tembang, dan jarwa penulisannya tidak begitu rapih dalam pemenggalan antar bait. Rumusan yang paling harus diikuti dalam penulisannya adalah karya kidung, tembang, dan jarwa harus menyesuaikan dengan tatanan lagu (guru lagu) sesuai tembang yang dipilih, misalnya dhandanggula, harus berjumlah sepuluh larik dalam satu bait. Jika telah selesai sepuluh larik sedangkan ide penulisan belum selesai, maka bisa dituliskan pada larik awal bait yang berikutnya, meskipun sejatinya bait itu diadakan untuk ide yang sudah berbeda. Tiga larik pertama pada bait ke-4 tembang dhandanggula I Serat Dewa Ruci merupakan kelanjutan dari tiga larik terakhir bait sebelumnya. Yaitu, pengucapan Arjuna kepada Yudistira atas ketidakberkenanannya pada kepergian Werkudara untuk mencari air suci karena merasa itu tidaklah mengenakkan. No.
Penanda
2.
Si Kembar (Nakula-Sadewa) pun
Nakula dan Sadewa sependapat
demikian (sambil menyembah
dengan Arjuna. Mereka turut
berkata)// janganlah kakanda
menguatkan pendapat Arjuna.
izinkan
Petanda
64
Keempat saudara Pandawa Werkudara yang kebetulan berkumpul semuanya sependapat bahwa alangkah lebih baik jika Werkudara mengurungkan niatnya untuk mencari air suci. Di sini tergambar jelas betapa ketiga adik Werkudara memohon-mohon dengan sangat agar Yudistira sebagai kakak tertua tidak memberi izin kepada Werkudara. Kakak laki-laki tertua dalam budaya Jawa adalah sebagai tonggak pengayom bagi adik-adiknya. Ia bertanggungjawab atas kebutuhan, keselamatan, serta masa depan mereka. Terlebih jika Sang Ayah sudah wafat. Dalam hal warisan kakak laki-laki tertua mendapatkan semua warisan tanah produktif yang ditinggalkan orang tua, dengan tujuan bisa menyambung tugas orang tua untuk menjaga adikadiknya. Demikian halnya Yudistira sebagai kakak laki-laki tertua, ia berwenang mengurus nasib adiknya. Perwujudan budaya sebagaimana disebut di atas dalam Serat Dewa Ruci digambarkan dengan ketiga adik Werkudara yang bermaksud memintanya untuk mengurungkan niat mencari air suci, tidak secara langsung menegur Werkudara, melainkan memohon kepada kakak tertua untuk tidak memberikan izin. Padahal, sebagai adik, sangat mungkin jika mereka langsung saja menyampaikannya kepada Werkudara secara terbuka. No.
Penanda
Petanda
3.
Sifat para kakanda// yang ada di
Prasangka buruk terhadap para
Astina// hanya ingin
saudara Kurawa yang
menyengsarakan
dilatarbelakangi kebiasaan sebagaimana terjadi pada waktuwaktu sebelumnya.
65
Kata-kata “hanya ingin menyengsarakan” pada bait ke-4 dhandanggula I Serat Dewa Ruci adalah terjemahan Indonesia dari karya mangendra sangsara, yang dapat dimaknai dengan penjabaran: (Memang begitulah watak para Kurawa, kerjaanya) hanya ingin (selalu berusaha) menyengsarakan (para Pandawa). Kata “hanya” pada ungkapan ini sangat tegas menyatakan hal yang mengandung arti kebiasaan. Dengan demikian, maka pantaslah kecurigaan Si Kembar Nakula-Sadewa itu sebagai bentuk kewaspadaan saja, dan bukan serta merta berarti buruk sangka kepada pihak lain yang bernilai negatif. Karena mereka sudah mendapati ketidakbaikan para Kurawa atas Pandawa pada kejadian-kejadian sebelumnya. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa Serat Dewa Ruci disisipkan pada cerita besar Mahabarata, sehingga masyarakat Jawa dengan mudah menerimanya sebagai kesinambungan logis sebuah cerita, termasuk perwatakan tokoh-tokoh di dalamnya. Masyarakat Jawa telah hafal bagaimana watak Kurawa sebelum cerita Serat Dewa Ruci sampai kepada mereka. Memang demikianlah adanya bahwa Kurawa penuh dengan tipu muslihat, kecurangan, serta
kejahatan
terhadap
Pandawa.
Sehingga,
ungkapan
“hanya
ingin
menyengsarakan” pada bait ke-4 Serat Dewa Ruci di atas, tidak mungkin diartikan selain sikap kewaspadaan yang bernilai positif.
66
No.
Penanda
4.
Pendeta Durna dibujuk agar
Petanda - Bagi
para
Pandawa,
sejatinya
menipu// demi musnahnya para
Pendeta Durna bukanlah orang yang
Pandawa
jahat. Ia hanya dibujuk oleh para Kurawa. - Seorang
pendeta
m a si h
ada
kemungkinan dapat terbujuk oleh kejahatan. Dua baris terakhir dari bait keempat dhandanggula I Serat Dewa Ruci ini menyampaikan kondisi pribadi Pendeta Durna yang keberadaannya sebagai tokoh “abu-abu,” yang tidak bisa dinyatakan secara tegas posisinya, apakah berada di pihak Pandawa atau Kurawa? Yang jelas ia merupakan guru bagi Pandawa sekaligus Kurawa. Masyarakat Jawa telah mengerti bahwa Pandawa dan Kurawa sebenarnya adalah saudara sekakek. Dulunya keduanya berada dalam satu rumah bersama, yaitu Astina Pura. Dari sinilah asal mula cerita guru bagi dua golongan murid yang berseteru itu. Ia telah menjadi guru bagi Pandawa dan Kurawa semenjak semuanya masih kanak-kanak, sampai akhirnya mereka bertikai setelah dewasa. Pandawa adalah murid-murid yang menunjukkan prestasi lebih baik dibanding para Kurawa, akan tetapi saat pertikaian dimulai, pihak Kurawalah yang mendiami Astina Pura, dengan begitu, secara lahiriah Pendeta Durna memang berada di tempat kediaman para Kurawa, akan tetapi tidak ada yang tahu dalam hatinya pihak manakah yang dibela. Para Kurawa merasa Pendeta Durna pasti berada dipihaknya dengan alasan ia tinggal serumah dengan mereka. Sementara para Pandawa juga merasakan hal
67
yang sama, karena selama ini mereka lebih berprestasi, tentu seorang guru akan memilih mereka,
terlebih Durna adalah seorang pendeta yang selalu
mempertimbangkan baik dan buruk. Kata “dibujuk” pada bait keempat dhandanggula I Serat Dewa Ruci menunjukkan keyakinan Si Kembar Nakula-Sadewa bahwa Pendeta Durna sebenarnya baik, akan tetapi ia dipaksa untuk menjerumuskan Werkudara dengan menugaskannya mencari air suci. Hal ini dilakukan para Kurawa demi musnahnya Pandawa, yaitu memusnahkan salah satu kekuatan terbesarnya dengan membunuh Werkudara. Artinya, jika terjadi kejahatan dari Pendeta Durna, sejatinya itu bukanlah kehendaknya sendiri, melainkan atas bujukan Kurawa. Selain menunjukkan perbuatan yang dilakukan atas dasar paksaan orang lain, kata “dibujuk” pada bait keempat dhandanggula I Serat dewa Ruci juga berarti kemungkinan terbujuk. Dalam hal ini Pendeta Durnalah yang menjadi objek pembahasan. Mungkinkah seorang Mahaguru dapat terbujuk oleh rayuan untuk suatu tindak kejahatan? Pada dasarnya manusia memiliki titik kelemahan, yaitu secara fitrah manusia mencintai dunia yang didalamnya adalah harta, tahta, dan wanita. Memang ada manusia yang mampu mentas dari ketiganya, biasanya mereka yang memilih jalan spiritual sebagai jalan kebahagiaan. Akan tetapi sesuci apa pun manusia, ia tetaplah manusia yang memiliki kadar keimanan bertambah dan berkurang, tidak seperti malaikat yang selalu tunduk kepada kuasa Allah SWT. Atas dasar inilah, maka seorang Mahaguru masih dimungkinkan berpotensi untuk dapat menerima bujukan. Demikian juga halnya dengan Pendeta Durna, Si Kembar Nakula – Sadewa melihatnya sebagai sebuah kemungkinan yang wajar.
68
D. Serat Dewa Ruci Bait Ke-5 Dhandanggula I Wrekudara miyasa nauri// Werkudara mendengar lalu menjawab Ingsun mesa kenaa den ampah// aku tak mungkin dapat dicegah matia umurku dhewe// kalaupun mati, itu ajalku sendiri wong nedya mrih pinutus// aku ingin mencari yang diperintahkan panunggale Hyang Maha Suci// untuk bersatu dengan Yang Maha Suci Arya Sena saksana// Arya Sena segera pergi kalepat sumemprung// diam dan sangat sedih Sri narendra Yudhistira// Sang Prabu Yudistira miwah ari katiga ngunngun tan sipi// dan ketiga adiknya termangu-mangu lir tinebak mong tuna// bagaikan kehilangan sesuatu. No.
Penanda
Petanda
1.
Werkudara mendengar lalu menjawab// aku tak mungkin dapat
dicegah//
kalaupun
mati, itu ajalku sendiri
- Tekad
kuat
dari
Werkudara
ta k
mungkin dihalang-halangi. - Keyakinan Werkudara terhadap takdir kematian yang pasti datang yang tidak pernah kurang sebab terjadinya, serta tidak dapat ditawar kedatangannya.
Bait ke-5 ini merupakan penjelasan sikap Werkudara atas niatnya mencari air suci. Ia tidak akan goyah dalam niatan, tidak mungkin mundur dan mengurungkan apa yang menjadi tujuannya. Demikianlah digambarkan tokoh idola orang Jawa dalam cerita Serat Dewa Ruci. Jika sudah ada kemauan yang dilandasi keyakinan untuk tujuan baik, maka jangan sekali-kali surut langkah karena godaan seberat apa pun. Dalam pepatah Jawa dikatakan: Yen wani aja wedi-wedi// jika berani (yakin) jangan takut-takut (ragu-ragu) Yen wedi aja wani-wani// jika takut (ragu) jangan sok berani.
69
Werkudara telah mengambil keyakinannya yang kuat untuk tujuan baik, sehingga apa pun yang dikatakan saudara-saudaranya tidak sedikitpun mampu mencegah niatannya itu. Selain menunjukkan keyakinan yang kuat, sikap Werkudara juga menunjukkan sikap husnudzan (berbaik sangka) terhadap guru.2 Mulyono menjelaskan, bahwa kisah Dewa Ruci merupakan penggambaran keharusan seorang murid untuk percaya sepenuhnya kepada seorang guru walau sukar dan aneh permintaannya. Kepercayaan ini sering digambarkan sebagai sikap mayit terhadap yang memeliharanya.3 Inilah yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu memposisikan guru sebagai sosok yang dihormati, tanpa prasangka-prasangka negatif yang justru akan cenderung memunculkan sikap angkuh atas dirinya sendiri. Semisal, seorang murid telah menyangka bahwa gurunya itu tidak banyak ilmu, maka murid itu akan enggan menjalankan apa yang menjadi perintah gurunya, meskipun yang diperintahkan itu merupakan kebaikan baginya. Kemudian ucapan Werkudara “Matia umurku dhewe,” lebih mempertegas sikap Werkudara dalam menjalani lelakunya. Ketika seluruh saudara dan kerabatnya hendak menghalangi karena alasan kekhawatiran mereka terhadap resiko mara bahaya yang akan menimpanya, Werkudara tetap teguh, bahkan ia pastikan rela mati untuk mencapai tujuannya itu. Kesungguhan Werkudara yang tergambar juga menunjukkan sikap kepasrahan total, yaitu penghambaan diri kepada Tuhan.4 Dalam hal ini, Imam Ja’far as-
2
Purwadi, Tasawuf Jawa (Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2003), h. 36. Sri Mulyono, Wayang dan Karakter Manusia (Jakarta: Gunung Agung, 1979), h. 115. 4 Kata matia umurku dewe menunjukkan kepasrahan kepada Tuhan sebagai pemilik umur manusia. Tuhanlah yang menentukan ajal manusia. Sebesar apa pun mara bahaya yang menimpa, jika Tuhan menghendaki keselamatan bagi seseorang, maka selamatlah seseorang itu. 3
70
Shadiq pernah mengutarakan sebuah pernyataan, yaitu bagi mereka yang hendak menuntut ilmu, hendaknya ia bangkitkan terlebih dahulu hakikat ubudiyah (perasaan sebagai seorang hamba) pada dirinya.5 Sebagai seorang hamba, maka seseorang tidak membantah apa pun yang menjadi perintah tuannya, apa pun resikonya. Lebih-lebih jika ditelusuri lagi hakikat penciptaan manusia adalah untuk menghambakan diri kepada Allah (liya’ budun).6 No. 2.
Penanda Aku
ingin
mencari
Petanda yang Tujuan dari pencarian air suci adalah
diperintahkan// untuk bersatu untuk dapat bersatu dengan Yang dengan Yang Maha Suci
Maha Suci.
Bagian dari bait ke-4 dhandanggula I Serat Dewa Ruci ini adalah penjelasan kembali dari bait ke-2, yaitu perihal pencarian air suci. Telah disinggung sebelumnya bahwa bersesuci adalah syarat sebelum menjalankan sebuah ritual keagamaan, sedangkan tujuan rutual itu sendiri sejatinya adalah untuk mencapai kesucian diri. Werkudara mengatakan bahwa yang diperintahkan oleh Pendeta Durna adalah untuk bersatu dengan Yang Maha Suci, artinya air suci yang hendak dicari Werkudara dan perjalanannya ditakutkan oleh saudara-saudaranya itu merupakan jalan menuju kesucian. Sedangkan Yang Maha Suci tidak mungkin menemui sesuatu yang tidak suci. Lantas untuk mencapai kesucian pastilah akan melalui kepahitan, godaan, dan tantangan yang tidak ringan.
5
Hasan Rahmat, “Menjadi Murid,” dalam Sukardi Ed., Kuliah-kuliah Tasawuf (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 214. 6 Lihat Q.S. al-Dzariyat (51) ayat 56.
71
No.
Penanda
Petanda
3.
Arya Sena segera pergi// diam dan
- Werkuda teguh dengan tekadnya.
sangat
- Sesama
sedih//
Sang
Prabu
saudara
merasakan
Yudhistira// dan ketiga adiknya
kekhawatiran
termangu-mangu//
saudaranya satu sama lain.
bagaikan
atas
nasib
kehilangan sesuatu. Tidak ada yang dapat membendung dan mencegah sebuah keyakinan yang kuat. Dalam kaidah ushu al-fiqh disebutkan: al-Yaqinu la yazalu bisyak (keyakinan tak tertanggalkan oleh keragu-raguan). Dengan kesungguhan semacam itu, Werkudara tetap menjalankan saja apa yang diyakininya, tanpa harus takud dengan apa yang akan menimpanya. Sebagai seorang saudara, pasti ia akan peduli terhadap segala sesuatu yang terjadi pada saudaranya yang lain. Demikian yang terjadi pada saudara Pandawa ketika ditinggalkan oleh Werkudara untuk mencari air suci.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian dan penjelasan pada bab-bab terdahulu, penulis secara umum menyimpulkan: 1.
Isi kandungan Serat Dewa Ruci secara umum sebagian besar merupakan
ajaran tasawuf, akan tetapi terdapat juga pesan-pesan moral, etika, dan budaya Jawa di dalamnya. 2.
Penggunaan simbol-simbol dalam Serat Dewa Ruci dimaksudkan untuk
memperhalus penyampaian pesan mistik yang terkandung di dalamnya. Pada masa penulisannya, masyarakat Jawa memiliki kesepahaman keseragaman (mengikuti konvensi) perlambang dalam bahasa komunikasi sebagai mana yang digunakan dalam serat tersebut. 3.
Sastra memiliki peranan besar dalam menyampaikan ide maupun gagasan-
gagasan kepada masyarakat Jawa. Secara historis, sastra mampu membentuk pola pikir masyarakat, serta memberi pengaruh sampai pada tataran sikap (attitude) orang Jawa. Oleh karenanya, sastra dijadikan sarana menyampaikan informasi dan bahkan misi tertentu kepada masyarakat di Jawa.
B. Saran Penelitian Berdasar uraian kesimpulan di atas, maka penulis mengharapkan akan ada penelitian lebih lanjut tentang:
72
73
1.
Ajaran mistik kejawen yang dikorelasikan dengan isi dari Serat Dewa
Ruci. Akan lebih bermanfaat lagi bagi umat muslim khususnya di Jawa, jika penelitian
tentang
Serat
Dewa
Ruci
digali
sedalam-dalamnya
tentang
keterkaitannya dengan ajaran ke-Islaman. Diungkapkan di dalamnya ayat-ayat alQur’an serta hadits-hadits Nabi SAW dari satu bab ke bab berikutnya untuk memperkukuh keyakinan masyarakat bahwa Serat Dewa Ruci bermaksud mengarahkan pembacanya untuk lebih memaknai kehidupan beragamanya, mengingat ajaran-ajaran berupa tuturan bijak dari leluhur lebih diikiuti oleh sebagian besar masyarakat Jawa dibanding dalil-dalil resmi dari ajaran agama yang bersifat normatif. 2.
Peneliti
mengharapkan
pada
penelitian
yang
lahir
selanjutnya,
menambahkan deskripsi sedetail-detailnya tentang pencapaian spiritual tertinggi dalam beribadah. Sehingga diharapkan hasil penelitian itu mampu memberikan pengaruh bagi pembacanya untuk “me-rohani-kan” segala bentuk ibadahnya, yaitu mukhlishina lahu al-din atau yang disebut juga ber-ihsan. Dengan demikian, pembacanya nanti dalam beribadah baik ibadah mahdlah seperti shalat, puasa, haji, maupun ghairu mahdlhah seperti berbuat baik kepada sesama, menjadi lebih ikhlas tanpa pamrih sedikitpun, kecuali hanya mengharapkan ridlha Allah SWT. 3.
Jika orang yang membaca karya ini memiliki minat dan bakat dalam
menulis karya fiksi, maka diharapkan setelah ini akan lahir darinya karya-karya fiksi baru yang berupa novel, cerpen, drama, puisi, prosa, dan bahkan skenario film yang memuat ajaran-ajaran tasawuf sebagaimana terkandung dalam Serat Dewa Ruci.
74
Demikian penulisan skripsi ini, semoga memberikan manfaat bagi penulis dan yang berkenan membaca. Puji syukur kepada Allah SWT berkat rahmat dan taufiqnya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Wallahu a’lam bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA Ali, Atabik dan Muhdlor, A. Zuhdi. Kamus Kontemporer (al-‘Ashri) ArabIndonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003. Azra, Azumardi dan Tim. Ensiklopedi Tasawuf. Bandung: Penerbit angkasa, 2008. Budiman, Kris. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS, 1999. -------------------. Ikonitas: Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik, 2005. -------------------. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik, 2004. Dahri, Harapandi. Pemikiran Teologi Sufistik Syekh Abdul Qadir Jailani. Jakarta: Wahyu Press, 2004. Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi, 2004. al-Fatani. Tadzkirat al-Maudlhuat. T.tp.: T.pn., t.t. Haq, Muhammad Zaairul. Tasawuf Pandawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. Masinambow, E.K.M. dan Hidayat, Rahayu S. Semiotik; Mengkaji Tanda dan Artifak. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Mulyati, Sri. Tasawuf Nusantara; Rangkaian Sufi Terkemuka. Jakarta: Kencana Predana Media Group, 2005. Mulyono, Sri. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung, 1979. Nasuhi, Hamid. Serat Dewaruci; Tasawuf Jawa Yasadipura I. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2009. Pardi, dkk. Sastra Jawa Periode Akhir Abad XIX—Tahun 1920, ed: Muhammad Fanani. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1996. Partanto, Pius A dan Al Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka, 1994. Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS, 2008. Poerbajtaraka dan Hadidjaja, Tardjan. Kepustakaan Djawa. Jakarta Djambatan, 1957. Purwadi. Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Shaida, 2007.
75
76
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra; dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme; Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Santosa, Puji. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa, 1993. Sastroamidjojo, A. Seno. Tjeritera Dewa Rutci Dengan Arti Filsafatnja. Jakarta: Kinta, 1967. de Saussure, Ferdinand. Pengantar Linguistik Umum. terj. Rahayu S. Hidayat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Cet. Ke-2, 1993. al-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abu Daud, vol. 4. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t. Simon, Hasanu. Misteri Syekh Siti Jenar; Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet ke-2, 2005. Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita; Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati. Jakarta: UI-Press, 1988. ---------, dkk.. Tasawuf dan Krisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Sukardi Ed., Kuliah-kuliah Tasawuf. Bandung: Pustaka Hidayah, 2000. Tanojo, R. Serat Dewa Ruci Kidung; Miturut Babon Asli Kapujanggan Surakarta ing Madya Awal Abad XIX M. Surakarta, T.pn., 1962. Tebba, Sudirman. Sufi-sufi Jawa; Mengenalkan Wajah Islam yang Ramah. Jakarta: Pustaka Irvan, 2007. Werdisastro, HM. Ilyas. Keris Kalimasada dan Wali Songo. Jakarta: Timpani Publishing, 2008. Widada, Rh. Saussure Untuk Sastra; Sebuah Metode Kritik Sastra Stuktural. Yogyakata: Jalasutra, 2009. W. E., Soetomo dan Utomo, Cahyo Budi. Mengenal R. Ng. Yosodipuro. Semarang: Kanwil Depdikbud Jateng bidang Jarahnitra, 1990. Yayasan Sosrokartono Cabang Yogyakarta. Meninjau Pustaka Dewa Ruci Secara Mendalam. Yogyakarta: Yayasan Sosrokartono, 1971. Zoetmulder, P.j. Kalangwan; Sastra Jawa Kuno; Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, cet. Ke-2, 1985.
77
Rujukan dari Skripsi, Buku Fiksi, dan Data Dari Situs Internet Abdul Hadi W. M. “Islam Dalam Filsafat Mistik Jawa; Analisis Dewa Ruci Serat Cabolek,” Artikel diakses tanggal 10 Me i 2010 dari http://www.scribd.com/doc/19387418/Index-2. Fasha (nama yang tertera dalam web blog) “Sastra Serat Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 31 Desember 2009 dari http://fashamistik13.blogspot.com/2009_01_01_archive.html. Harahap, Ranita Erlanti “Analisis Semiotik pada Poster HIV/AIDS di Yayasan Pelita Ilmu.” Skripsi S I Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Hartha, Sugilanus G. “Nyastra; Merunut Kembali Arti Kata Sastra,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://permenkaretmolor.multiply.com/journal/item/202/Makna_dalam_Sastra . Komandoko, Gamal. Panembahan Senopati; Geger Ramalan Sunan Giri. Yogyakarta: DIVA Press, 2009. Nasuhi, Hamid “Akulturasi Serat Dewa Ruci dengan Ajaran Tasawuf,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.majalahgontor.co.id. Rajagopalachari, C. Mahabarata (edisi asli); Sebuah Roman Epik Pencerah Jiwa Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2008. Supomo, S. “Fungsi Jawa Kuna Dan Relevansinya Di Sepanjang Masa,” artikel diakses tanggal 18 Agustus 2010 dari http://www.petra.ac.id/science/social_sciences/r_papers/konggres/sastra13.ht m. Wikipedia berbahasa Indonesia “Sastra Jawa,” artikel di akses tanggal 24 Juli 2010 dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa. ---------------------------------------- “Sastra Jawa Bali,” artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Jawa-Bali. Artikel-artikel tanpa nama penulis dan bahkan judul artikel yang jelas: ”Filsafat Bima dan Dewa Ruci,” artikel diakses tanggal 8 Agustus 2010 dari http://www.gudangmateri.com/2010/05/filsafat-bima-dan-dewa-ruci.html.
78
“Serat Dewo Ruci,” artikel diakses tanggal http://kariyan.wordpress.com/serat-dewo-ruci/.
8
Agustus
2010
Artikel diakses tanggal 24 Juli 2010 http://heritageofjava.com/portal/index.php?topic=sastra&page=2.
dari dari
Wawancara Pribadi Wawancara Pribadi dengan Ki Joko Wardono, Pengging, tanggal 3 September 2010. Wawancara Pribadi dengan Ki Andhika, S.Sen., Boyolali, tanggal 5 September 2010.