Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
1
2
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak Engkau sudah dalam pelukan kasih Yang Maha Kasih Dan kita terangkai dalam rasa dan kenangan yang tak pernah hilang Di hati Warsi di hati kami Yusak, engkau tak lagi di belantara Tapi hutan kami telah bersimfoni Dengan ritme suaramu Dalam belajar dan pengajaran si Orang Rimba
Kini kita tak lagi melihat Orang Rimba Dalam ancaman kebijakan semu Bukit Duabelas jangan hilang dalam hidup Orang Rimba Tercerabut dari identitas hidupnya sebagai manusia Jangan kita terpukau oleh tipu Jangan terpana oleh kata dusta Orang Rimba saudara kita Dan Yusak engkau mengaliri darah si anak rimba dalam meraih takdirnya
Terima kasih Yusak Engkau selalu dalam kasih Jambi, 3 April 2013 Junaedi T Noor
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
i
Rekam Jejak Sang Sahabat Yusak Adrian Hutapea Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Hak Cipta @2013 Komunitas Konservasi Indonesia Dilindungi Undang-Undang Hak Cipta
Penulis : Sukmareni
Foto
Hermayulis
: Alain Compost Riza Marlon Aulia Erlangga Lander Rana Jaya Heriyadi Asyari Dokumentasi KKI WARSI
Penyunting Bahasa Tata Letak Desain Cover
: MH Abid
: Heriyadi Asyari : Heriyadi Asyari
Di cetak dan diterbitkan : di Indonesia oleh KKI WARSI ISBN 978-602-96339-2-4 Cetakan Pertama ii
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
“Kami persembahkan untuk keluarga Besar Yusak Adrian Hutapea, Bepak Pengusai dan Orang Rimba dimana saja berada”
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
iii
Daftar Isi • Sambutan Dewan Anggota • Kata Pengantar • Kata Pendahuluan • Merancang Pendidikan untuk Orang Rimba • Rekrutmen Staf Pendidikan • Perjalanan Perdana ke Kelompok Orang Rimba • Belajar ke Yogyakarta dan Menyusun Framework Pendidikan • Bertemu Orang Rimba Bukit Duabelas • Perjalanan Menelusuri Mekekal Hilir • Analisis Awal untuk Pilot Project • Sekolah Perdana di Belantara • Mencoba Daerah Lain • Berhadapan dengan Pebalok • Pengetik yang Baik • Berpacu dengan Waktu • Hutan Sumber Makanan Berlimpah
iv
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
vi ix
1 9
19 26 34 40 52 67 70 88 91 94 96
102
• Menghindari Beruang • Yusak dan Keakraban dengan Muridnya • Di Ujung Pengabdian • Empat Belas Tahun Kemudian • Yusak di Mata Orang Rimba • Yusak di Mata Murid-muridnya • Yusak di Mata Sahabat
106 109 111 121 129 134 139
• Yusak di Mata Keluarga • Glosarium Bahasa Orang Rimba
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
175 186
v
SAMBUTAN DEWAN ANGGOTA
Lebih dari 18 tahun, KKI WARSI (selanjunya disebut WARSI)
memilih jalan keberpihakan kepada Orang Rimba melalui upaya
penyelamatan, perlindungan dan penghormatan terhadap “Halom Rimba”, sebagai tempat hidup dan berpenghidupannya. Halom rimba
merupakan media kehidupan, pengetahuan, teknologi, kearifan dan pendidikan di ujicobakan dan ditumbuh kembangkan. Musnahnya
halom rimba, merupakan kiamat bagi orang rimba. Sehingga bagi
orang rimba, halom rimba merupakan “jantung” bagi kehidupan yang harus dijaga dan dirawat. Namun tekanan terhadap halom rimba makin meningkat, khususnya konversi besar-besaran kawasan hutan
menjadi perkebunan besar sawit, Hutan Tanaman Industri, areal transmigrasi serta pertambangan.
Salah satu pilihan yang diambil WARSI, untuk memperkuat
Orang Rimba didalam mengadvokasikan kepentingannya, adalah
meningkatkan kapasitas mereka melalui “Pendidikan Alternatif”. Pada tahap awal, upaya pendidikan ini mengalami tantangan sangat
luar biasa dari Orang Rimba sendiri, karena dianggap akan “meroboh adat”. Sehingga diperlukan upaya luar biasa pula dalam memulainya,
khususnya membangun kepercayaan dari Orang Rimba, menjelaskan pentingnya pendidikan serta manfaatnya,
mencari strategi serta
metode pengajaran dan lainnya. Waktu kemudian membuktikan, bahwa pendidikan yang diinisiasi ternyata bermanfaat luar biasa.
vi
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Upaya luar biasa untuk membangun kepercayaan Orang
Rimba akan manfaat pendidikan ini dimotori dan sangat diwarnai oleh seorang pendidik muda Yussak Adrian Hutapea, biasa dipanggil
Yusak. Yusak adalah pelopor, pejuang, peletak dasar dan ujung tombak
pendidikan untuk anak-anak Orang Rimba. Yusak mendedikasikan usia produktifnya sampai akhir hayatnya untuk mengembangkan sistem pendidikan unik bagi Orang Rimba, Suku Asli Marginal yang dicintai dan mencintainya dengan segala ketulusan dan penuh kesungguhan. Buku ini, memotret sebagian dari perjalanan hidup
Yusak
yang penuh warna. “Sang Pelopor Pendidikan Orang Rimba” saat
ini telah damai dalam pangkuan Sang Pencipta, yang berangkat
menuju keabadian 14 tahun yang lalu akibat serangan Malaria yang
menderanya. Ia telah lebih dahulu memenuhi panggilan Sang Maha Pencipta saat mendampingi proses pendidikan di belantara Bukit Dua Belas, jauh dijantung rimba Sumatera yang tersisa. Penyakit yang
sama juga menyerang hampir semua aktifis WARSI yang melakukan pendampingan Orang Rimba.
Yusak dengan komitmen mendalam, meniti hari demi hari
bersama Orang Rimba dengan semangat yang selalu menyala, tanpa
pernah memikirkan jasanya. Tak terpikir apakah akan dimuat pada media-media masa utama atau jepretan lampu blitz serta sorot lampu kamera. Dengan keyakinan penuh bahwa Orang Rimba juga bagian dari bangsa ini, yang harus memperoleh layanan pendidikan yang
sama. Karena itu merupakan Hak dasar yang dijamin oleh negara. Dengan keyakinan tersebut, segala rintangan, tantangan dan kesulitan
alam dia hadapi dengan senyuman penuh ketulusan. Itulah Yusak, salah satu dari “tonggak sejarah terpenting” WARSI.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
vii
Sebagai Ketua Dewan Anggota WARSI, atas nama pribadi dan
lembaga saya menyampaikan salut luar biasa atas kiprah Almarhum
bagi penegakan HAM Orang Rimba, khususnya hak atas pendidikan.
Semoga buku ini mampu menginspirasi para pihak, untuk bersamasama mendukung upaya perlindungan halom rimba sebagai media pendidikan, karena bagi orang rimba alam yang terkembang merupakan guru yang tak pernah tergantikan. Salam
Nurkholis Katua Dewan Anggota KKI WARSI
viii
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
KATA PENGANTAR “Saya sangat bersyukur punya Tim sekuat ini”, ucap Yusak
pada suatu senja yang temaram beberapa belas tahun lalu. Sambil
saya mencoba mengangkat barbel yang menjadi kesukaannya, ia
berucap dengan rendah hati, “Tanpa dukungan teman-teman seperti Tijok, Dicky, Sidiq, Erinaldi, Milda, Robert dan yang lain mungkin
pendekatanku pada kelompok Orang Rimba di Sungai Pengelaworon dihilir Sungai Makekal tidak akan semaju ini”. Dialog bergizi sembari
menyeruput kopi kental disamping garasi Mess Warsi, di sore
berlangit jingga itu, meninggalkan kenangan manis dalam interaksi kami.
Saya sendiri tidak sesering teman-teman di Tim Orang Rimba
beraktifitas di lapangan bersama Yusak, karena saya bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan aktifitas terkait dengan pendampingan
masyarakat di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Namun kecintaan kami akan alam yang telah terbangun sejak masa kuliah melalui kelompok pencinta alam, menjadi jembatan komunikasi yang
tak pernah basi. Sayang... kemudian Tuhan lebih mencintai Yusak,
sehingga teman yang sangat santun, rendah hati dan selalu tersenyum ini harus segera menghadap Yang Kuasa.
Buku ini bagaikan menonton film masa lalu yang penuh
kejujuran dan ketulusan, jauh dari sekedar menonjolkan keakuan. Seperti membaca potongan berita lama yang menggambarkan
seutuhnya perjuangan anak banagsa apa adanya, tanpa polesan berlebihan. Apalagi jauh dari pamrih pengkultusan. Buku ini hanyalah Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
ix
sebagian potongan kecil dari luasnya pengalaman hidup dan kehidupan
Yusak, yang disusun dari berbagai pengalaman sahabat, laporanlaporan lapangan, catatan harian dan wawancara dengan keluarga.
Perlu beberapa kali membaca draft buku ini, karena harus
mendiskusikan dengan Orang Rimba dan teman-teman, menambahkan informasi baru, mencocokan dengan keakuratan jurnal lapangan serta
input dari teman-teman yang mengenal Yusak. Kadang-kadang saya tersenyum, terharu dan terbangkitkannya semangat muda. Memang,
perlu waktu untuk berdiskusi substansi dengan Tim Komunikasi yang dikomandani Rudy, Reni, Hery, Elfie, Yulis dan lainnya. Debat berkepanjangan tak jarang kami lakukan untuk menyiapkan buku ini sebaik mungkin.
Buku ini bukan dimaknai untuk menyaingi buku lain terkait
dengan Orang Rimba, tapi hanya sekedar mencatat penggalan sejarah anak bangsa yang mendampingi Orang Rimba. Buku ini diikhtiarkan untuk terus menyalakan perjuangan bagi penyelamatan habitat
orang rimba dan meningkatkan layanan bagi Orang Rimba atas akses pendidikan. Namun yang tidak kalah pentingnya buku ini secara
khusus dipersembahkan kepada para pejuang tanpa pamrih yang telah terlebih dahulu menghadap Sang Pencipta. Dengan segala ketulusan
buku ini kami persembahkan untuk : 1. Yusak Adrian Hutapea sang perintis pendidikan Orang Rimba 2. Prio Uji Sukmawan sang guru Rimba yang kreatif 3. Yuzamrir yang telah mendedikasikan usia produktifnya didalam mendorong inisiatif Hutan Adat 4. Suhardi, sahabat yang mendukung kami semua didalam
x
mnjalankan aktifitas lapangan
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
5. Keluarga-keluarga terbaik dari Almarhum Yusak, Prio, Yuzam
dan Suhar. Terimakasih atas dukungan, semangat dan doa yang tiada henti untuk kami di WARSI agar tetap “kaffah” dijalan yang kami yakini. Walaupun terkadang badai dan taufan menghadang, tapi yakinlah.... kami akan tetap dengan kepala tegak meneruskan
perjuangan dari kawan-kawan yang telah mendahului kami. Tekad tersebut saat ini diteruskan oleh Tim Pendidikn berikunya, semoga tongkat estafet akan dapat diteruskan oleh Huzeir, Sasa,
Karin, Ida, Maknun dan Thio. Sehingga kita bisa melayaniOrang Rimba dengan paripurna.
Terimaksih tak berhingga kepada semua sahabat-sahabat
di WARSI yang meyakinkan kami agar apapun yang ditulis, akan
memberikan makna luar biasa untuk masa depan manusia dan kemanusiaan, khususnya pengalaman mendampingi dan mencatat sejarah pendidikan Orang Rimba. Salah satu suku asli marjinal yang
terus mendapat tekanan. Juga kerja keras Tim Komunikasi yang tak
pernah lelah untuk menjawab tantangan kami agar buku ini bisa selesai sebelum HUT WARSI.
Semoga buku ini bermanfaat. Salam
Rakhmat Hidayat Direktur Eksekutif Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
xi
12
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
KATA PENDAHULUAN
In Memoriam of Our Beloved Son, Yusak Adrian Panca Pangeran Hutapea (Catatan Seorang Ibu)
Pertama-tama saya ingin menyampaikan fakta yang sebenarnya.
Tidak bermaksud atau berniat lain, kecuali meluruskan fakta. Beberapa bulan setelah Yusak meninggal, kami menerima telepon dari seseorang dari Bekasi, namanya Saur Marlina “Butet” Manurung, menanyakan
alamat rumah kami. Dia mengatakan telah bergabung dengan WARSI
dan akan meneruskan pekerjaan yang telah dirintis oleh almarhum Yusak mendidik anak-anak Rimba. Yusak sendiri meninggal dalam
tugasnya karena malaria. Sekali lagi meneruskan pekerjaan almarhum Yusak.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
1
Oleh sebab itu, dia membutuhkan catatan-catatan dan
pengalaman-pengalaman dari almarhum Yusak untuk pekerjaan itu.
Suatu malam Butet datang ke rumah kami. Sebagaimana adat sesama
orang Batak, kami undang dia makan malam bersama kami. Setelah itu
kami duduk berbincang-bincang, dan dia mempelajari catatan-catatan Yusak. Banyak hal dia tanyakan. Beberapa catatan dia bawa.
Almarhum Yusak merintis jalan penuh onak duri sampai akhirnya
dia diterima oleh Orang Rimba dan mendapatkan murid-murid untuk
belajar baca-tulis. Sedang giat-giatnya mengajar, dia diserang malaria
tropika, dan “Bepak Guru” Orang Rimba itu harus pergi menghadap Sang Pencipta pada usia 32 tahun.
Bagi Butet Manurung, jalan sudah dibuka oleh almarhum
Yusak dengan lebar. Butet tinggal meneruskan. Kepada anak-anak
Rimba, murid-murid almarhum Yusak, Butet diperkenalkan sebagai pengganti “Bepak Guru” Yusak yang sangat mereka cintai, yang telah pergi dipanggil Tuhan.
Itulah kenyataan dan fakta-fakta sesungguhnya yang harus saya
sampaikan demi ketenangan anakku, Yusak Hutapea.
2
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Anakku Yusak, Anakku Sayang Yusak lahir di Palembang pada 1 Juni 1967, setelah saya
mengandung sebelas bulan dan setelah saya menyaksikan acara
peringatan Hari Lahir Pancasila. Sebab itu, kami memberinya nama Yusak Adrian Panca Pangeran. Yusak merupakan anak kelima dari
delapan bersaudara, tujuh di antaranya laki-laki. Ayahnya, W.P Hutapea, adalah pegawai Pertamina yang pernah dikirim studi ke Prancis di Institute Francais du Petrole (IFP), Paris. Kakeknya (dari pihak Ibu) adalah: Abdul Djafar Simatupang, seorang pejuang yang
membantu perjuangan RI di Subang. Bahkan Presiden Soekarno pernah berkunjung dan menginap di rumah kami di Subang.
Sejak kecil Yusak senang dan mudah bergaul. Dia tidak banyak
bicara, tekun, rendah hati, dan memandang segala sesuatu dari segi positifnya. Sejak TK, SD, dan SMP, di sekolah dia selalu mendapatkan
rangking terbaik. Dia senang berolahraga sejak TK. Ayahnya
memasukkan dia ke klub renang Bina Taruna dan memenangkan
beberapa kejuaraan dalam pertandingan renang antar klub di DKI Jakarta. Dia seangkatan dengan Felix Sutanto, Wirmandi Sugriat, dll. Dia juga suka musik dan merupakan pemain gitar klasik yang hebat.
Setelah tamat dari SMAN 3 Teladan Jakarta, dia mengikuti
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) 1986. Dia gagal
dan kemudian masuk ke Fakultas Teknik Pertambangan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta pada 1986. Pada
1988, dia mengikuti Sipenmaru lagi, dan diterima di Jurusan Antroplogi Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
3
Sosial Universitas Gajah Mada (UGM). Dia tamat dan baru diwisuda
pada 1998—dia menghilangkan buku perpustakaan, sehingga wisudanya ditunda setelah mengganti buku tersebut. Di Teknik Pertambangan UPN Veteran, saat itu dia sedang menyusun skripsi. Dia kemudian bekerja dahulu untuk membiayai tugas akhirnya tersebut.
Dia diterima di WARSI pada Maret 1998, dan berangkatlah dia
ke Jambi diiringi doa restu dari kami, orangtuanya. Ketika pertama kali cuti pulang ke Jakarta, dia menceritakan tugas-tugasnya yang harus
ke hutan, berhubungan dengan Orang Rimba (Kubu) pendidikan bagi anak Rimba. Pada waktu itu, ayahnya yang dulu menjadi pejabat di perusahaan minyak, Stanvac, kemudian menjadi Pertamina dan
pernah bertugas di Jambi, memberi nasihat agar Yusak berhati-hati bila memasuki kampung Orang Rimba, pelajari dahulu adat istiadat
dan budayanya, supaya bisa diterima mereka dengan baik serta jangan lupa berdoa.
Setiap cuti, dia ke Jakarta. Banyak sekali oleh-oleh cerita
tentang anak Rimba. Saya terkejut ketika mengetahui pekerjaannya
mengajar anak-anak Rimba di hutan dan kesukaran-kesukaran yang dihadapainya. Saya masih mengatakan, “Ngapain kamu ke hutan, yang
banyak harimau dan ular, untuk memberdayakan orang Kubu?” Dia
hanya tersenyum dan berkata, “Mama, Orang Rimba itu tidak seperti yang Mama sangka. Moral mereka jauh lebih baik dari orang kota. Saya ingin memberdayakan mereka, sekurang-kurangnya mereka bisa baca-tulis. Kasihan, mereka sering ditipu cukong-cukong. Mereka
disodorkan kertas berisikan tulisan yang mereka tidak tahu isinya. Mereka hanya disuruh cap jempol, kemudian diberikan imbalan
4
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
motor, handphone, dan lain-lain, mereka sudah senang. Tidak tahu tanah mereka melayang, terjual dan diambil.”
Yusak beritikad, sekurang-kurangnya mereka harus bisa
baca-tulis agar tidak tertipu lagi. Apa pun akan dilakukannya demi menyelamatkan Orang Rimba. Setelah Indonesia merdeka lebih dari 50
tahun, masih ada anak bangsa yang tidak bisa baca-tulis dan ditipu oleh
bangsanya sendiri. “Kasihan, Ma, anak-anak Rimba itu anak Indonesia juga, mempunyai hak yang sama dengan anak-anak Indonesia yang
lain di Nusantara ini. Moral mereka baik dan bagus, tapi sering ditipu
dan mereka miskin.” Saya hanya berdoa semoga Yusak selamat, sebab saya menyadari, dia begitu menikmati pekerjaannya dan mengasihi anak-anak Rimba.
Pada waktu cuti berikutnya, dia menceritakan keberhasilannya
mendidik anak-anak Rimba. “Ma, rasanya bahagia sekali berhasil mendidik mereka, tidak bisa dibandingkan dengan hadiah apa pun!”
Begitulah, setiap pulang cuti dia bercerita tentang pendidikan
anak-anak Rimba yang dia tekuni dan keberhasilannya dengan semangat dan mata yang berbinar-binar.
Pada 24 Maret 1999, dia menelepon saya. Seperti biasa, ketika
tersambung, dia mengatakan, “Mama, ya? Ini Yusak di Muarabungo,
akan masuk hutan dan mengajar. Doakan saya ya, Ma. Tanggal 26 Maret nanti saya pulang cuti ke Jakarta.” Dia mengatakan akan pulang ke Jakarta dan bertemu kami sekalian.
Itulah kata-kata terakhirnya. Itulah terakhir kali saya mendengar
suara anakku Yusak, yang dengan semangat mengatakan akan masuk hutan, mengajar Orang Rimba, minta didoakan, dan menjanjikan Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
5
pertemuan pada 26 Maret 1999. Dengan hati gembira saya menantikan dia dengan menyiapkan makanan kesukaannya.
Esok hari, 25 Maret 1999, pukul 15.00 WIB, kami menerima
telepon dari WARSI di Bangko, mengatakan bahwa Yusak telah meninggal karena malaria tropika yang dideritanya. Benar dia kembali ke Jakarta pada 26 Maret, tetapi jenazahnya dalam peti yang datang.
Betapa hancur hati seorang ibu yang menantikan anaknya pulang ke
rumah dan akan bercerita banyak. Seakan sebagian dari tubuh dan jiwa saya pergi melayang bersamanya. Lebih dari satu tahun lamanya, saya baru bisa menerima kenyataan itu. Terbayang selalu wajahnya!
Terlebih saat terakhir dia mau ke Jambi pada Januari 1999, dia meletakkan sebuah majalah dan baju kaos di kamar saya. Ketika dia
mau berangkat, saya berlari membawa baju dan majalah itu, sebab saya
kira ketinggalan. Tetapi dia bilang, “Itu memang buat Mama.” Setelah beberapa lama dia meninggal, saya baru membaca majalah tersebut.
Ada terselip di dalamnya kartu asuransi Yusak (ING Insurance) dan kartu BNI beserta slip gajinya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih, WARSI telah mengurus
jenazah anak kami dengan baik, tiba di rumah kami dengan selamat, dan upacara pemakaman juga berjalan dengan baik. Terima kasih juga, asuransi dan lain-lain sudah diselesaikan dengan baik.
Kami juga pernah diundang untuk “napak tilas” perjuangan alm.
Yusak di hutan. Ketika itu ayahnya masih ada (2005). Kami bermalam
di hutan bersama anak-anak Rimba. Kenyataan itu benar-benar membuka mata dan hati kami, betapa dia berjuang untuk keberhasilan anak-anak didiknya, anak-anak Rimba. 6
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Dan setelah 14 tahun dia pergi, kami melihat betapa indahnya
hasilnya. Terima kasih WARSI, kami diundang dalam acara untuk memperingati perjuangan Yusak, yang membuka mata kami akan
apa yang telah dicapai oleh tim WARSI bagi anak-anak Rimba. Kami terharu melihat kenyataan itu, terlebih saudara-saudara kandung
almarhum Yusak. Mereka bangga, dan itu memacu semangat mereka. Mereka sangat terkesan dan kagum terhadap perjuangan adik atau
abang kandung mereka. Bagi keponakan-keponakannya, itu memacu semangat mereka untuk lebih giat belajar.
Dan last but not least, terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada Bapak Rakhmat Hidayat, Rudy Syaf, Firdaus Jamal, Robert Aritonang, dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu,
serta Ibu Sukmareni, atas segala budi baik Anda semua. Undangan
dan fasilitas yang Anda berikan kepada kami, saya, ibunda almarhum
Yusak, dan abangnya, Ebenezer Hutapea, sehingga kami merasa kagum dan menikmati acara 14 tahun kepergian Yusak, yang seolaholah mengobati kepedihan hati kami selama ini. Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin. Jakarta, April 2013 Ny. R. Hutapea br. Simatupang Ibunda almarhum Yusak Adrian Hutapea
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
7
//Foto Orang Rimba di dalam hutan
8
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Merancang Pendidikan untuk Orang Rimba Yusak Adrian Panca Pangeran Hutapea, pria bertubuh kekar
sarjana lulusan Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, bisa disebut sebagai pahlawan pendidikan Orang Rimba. Dia bergabung dengan WARSI pada Maret 1998 setelah seleksi bahan
dan wawancara di Gedung wisma PKBI Jakarta. Yusak diposisikan sebagai fasilitator pendidikan dan pengembangan sumber daya. Kala
itu WARSI memiliki empat antropolog yang bertugas melakukan kajian untuk mengetahui pola kehidupan Orang Rimba.
Ide menambah staf berlatar belakang antropologi didasarkan
atas kebutuhan program di lapangan untuk mengembangkan
pendidikan untuk anak-anak Rimba. Pada tahun kedua berkegiatan
bersama Orang Rimba, Warsi melihat Orang Rimba menjadi marginal karena ketidakpahaman mereka pada aksara. Dengan budaya yang
jauh dari kekerasan, Orang Rimba selalu menghindari persinggungan
dengan kelompok masyarakat lainnya. Ini tergambar dari kehidupan Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
9
Orang Rimba yang mengisolasi diri dari kehidupan luar. Hanya saja,
banyak pihak kemudian masuk ke jantung kehidupan Orang Rimba dengan hadirnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman
Industri (HTI), dan perkebunan sawit serta trasmigrasi. Semua dilegalisasi negara untuk mengambil hutan-hutan yang selama ini menjadi tempat hidup dan berpenghidupan Orang Rimba. Kondisi itu memungkinkan akses Orang Rimba dengan pihak lain terbuka lebar. Sayangnya Orang Rimba sering dirugikan karena keterbukaan akses
tersebut. Posisi Orang Rimba sangat lemah untuk mempertahankan
sumber daya mereka. Dengan selembar surat yang ditunjukkan ketika
ada yang menyebutkan tanah itu diambil raja, Orang Rimba akan
segera meninggalkannya dan pindah ke tempat baru. Menjadi soal ketika tempat menghindar semakin sempit dan mereka kesulitan untuk hidup dan berpenghidupan.
10
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Selain posisi tawar yang lemah, Orang Rimba juga sering menjadi
korban pembodohan oleh pihak lain, terutama dalam perdagangan.
Hasil hutan yang mereka miliki biasanya dihargai murah, karena ketidakpahaman menghitung jumlah penjualan hasil hutan.
Berangkat dari sinilah WARSI kemudian melihat pentingnya
Orang Rimba mengenal pendidikan. Robert Aritonang dan Amilda Sani adalah dua antropolog yang bergabung setahun lebih awal dari Yusak, yang bertugas untuk berkeliling dari satu kelompok ke kelompok Orang
Rimba untuk mengetahui respons Orang Rimba terdapat pendidikan. Robert dan Amilda masuk dari daerah selatan. Kelompok pertama yang dikunjungi adalah kelompok Sungai Tengkuyungon di bawah
pimpinan Tumenggung Laman. Di kelompok tersebut, Robert dan Amilda berdiskusi dengan Orang Rimba, menginap selama tiga malam
di sana, sebelum berpindah ke Pisang Krayak, tempat Tungganai
Ngembar (Bepak Meratai) bermukim bersama keluarganya. Namun, orang dewasa di Pisang Krayak ini hanya Tungganai dan Mangku Basemen. Tak banyak yang bisa dibicarakan dengan Tungganai yang
waktu itu sudah cukup tua. Berikutnya perjalanan berlanjut ke sungai Lembing, tempat Tumenggung Mirak bermukim. Mirak merupakan tumenggung yang anggotanya cukup banyak. Dalam pembicaraan terkait pendidikan, Mirak lebih menjawab diplomatis.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
11
Mendihang Temengug MIrak
“Kalu kamia nang rerayo yoya hopi setuju, tapi kalu ado bebudak
nang mau nerimo pengajoron yoy kamia nio hopi melarongnye,”1 kata Tumenggung Mirak tegas.
Tumenggung Mirak menyebutkan, pendidikan hanya boleh jika
gurunya yang masuk ke dalam rimba, bukan sebaliknya Orang Rimba
yang keluar hutan. Namun Tumenggung Mirak juga tidak bersedia untuk mendorong anggotanya agar terlibat pendidikan. Kesannya, kalau mau mengadakan sekolah, ya usahakan sendiri.
Berikutnya perjalanan dilanjutkan ke kelompok Bepak Pengusai
di bagian hulu sungai Pengelaworon. Respons mereka cukup baik.
Mereka menyadari banyak perubahan yang terjadi di sekitar mereka, sehingga memang seharusnya mereka mendapatkan pendidikan, khususnya untuk anak-anak mereka.
Kalau kami yang orang tua tidak setuju. Tapi kalau ada anak-anak yang menerima, kami tidak melarang.
1
12
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Tiga hari berikutnya dilanjutkan ke Sako Rempon. Di sini Robert
dan Amilda bertemu Langkap yang merupakan kelompok Mekekal Hilir. Robert menjelaskan maksud kedatangan mereka dan bertanya tentang kelompok tersebut. “Ngapo betatanyo podo kamia, kalu hendok betatanyo namo yoya, siko namo sepuluh ribu,”2 patok Langkap tanpa
segan.
“Au melawon orang ini,”3 batin Robert dalam hati. Amilda terlihat
kesal dengan jawaban Langkap dan berniat untuk segera pergi. Robert sempat menyebutkan akan berkunjung ke genah Langkap, tetapi Langkap langsung menolak. Namun belakangan, salah satu anak Langkap menjadi murid WARSI yang menerima pendidikan.
//orang rimba yang hidup di ladang atau kebun karet yang baru tumbuh
Anak rimba di halom rimba yang sudah dirubuh 2 3
Mengapa bertanya-tanya pada kami. Kalau mau tanya nama, satu nama Rp. 10.000. Wah, hebat orang ini.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
13
//genah pemukiman rimba
Pemukiman Orang Rimba Bukit Dua Belas
Dari analisis respons Orang Rimba terhadap pendidikan, ditarik
kesimpulan bahwa sebagian besar Orang Rimba menolak pendidikan dengan alasan takut akan mengubah adat budaya mereka. Penolakan
Orang Rimba lebih disebabkan karena budaya Orang Rimba yang
menganut paham berkebalikan dengan masyarakat Melayu.
Konon, menurut legenda, ada sumpah antara Dewa Tunggal
dan Putri Gading dengan Bujang Malapangi dan Putri Selaro Pinang
Masak. Dewa Tunggal dan Putri Gading adalah nenek moyang Orang Rimba, sementara Bujang Malapangi dan Putri Selaro Pinang Masak
merupakan leluhur Orang Melayu. Menurut keyakinan Orang Rimba,
dahulu ada sumpah di antara mereka yang mengatur poisisi dan cara hidup masing-masing dan tidak saling ganggu. 14
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//gambar perkampungan melayu
Orang Rimba tinggal di rimba. “Be-atap cikai, bedinding banir,
betikar gambut, beayam kuaw, bekambing kijang, bekebau pado tonuk”. Sedangkan yang tinggal di dusun berpola hidup: “bepadang pinang bepadang kelapo, besunat bebersihan, mengaji dan besekolah, beternak kambing, beritik berangso, belamun bedusun, berumah betanggo”.
Namun jika ditelusuri, perbedaan pandangan cara hidup
dan berpenghidupan ini, sebenarnya lebih dimaknai Orang Rimba sebagai bentuk menghindari penyakit. Dalam pandangan Orang Rimba, penyakit berasal dari daerah hilir dan paling banyak terdapat
di laut. Hal inilah yang kemudian menyebabkan Orang Rimba selalu
mencurigai segala sesuatu yang berasal dari luar komunitas mereka yang dianggap dari wilayah hilir.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
15
//hamparan hutan rusak
Karena itu, ketika ada orang dari luar masuk ke dalam rimba,
tidak bisa langsung bergabung dengan mereka. Mereka harus memisahkan diri dulu beberapa malam dengan jarak yang cukup jauh
dari genah Orang Rimba yang dalam bahasa rimba disebut dengan
besasandingon. Boleh bergabung dengan Orang Rimba jika diyakini
bersih dari penularan penyakit, yang dibuktikan dengan tidak sakit
selama proses besasandingon. Hal itulah yang kemudian menyebabkan
Orang Rimba kurang mau berinteraksi dengan dunia luar. Mereka
sengaja mengisolasi diri dari penduduk luar. Cara proteksi diri Orang
Rimba ini juga dimaksudkan untuk mempertahankan jati diri dan budaya Orang Rimba. Orang Rimba bisa eksis dengan budayanya, meski di bagian kelompok masyarakat lain, budaya asing memengaruhi perkembangan adat dan budaya. 16
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Pola tersebut hanya bisa berlangsung ketika Orang Rimba
berada dalam lingkungan yang stabil. Kenyataannya, sejak 1970-an,
pengelolaan hutan sudah melibatkan investor dan kemudian terjadi perubahan besar-besaran sektor kehutanan. Orang Rimba yang ada di dalam hutan menerima dampak paling besar. Pada awalnya mereka
menghindar, namun kemudian kawasan hidup mereka semakin sempit, dan Orang Rimba pun terdesak serta menjadi marginal.
Sebagian kecil Orang Rimba sudah melihat ancaman perubahan
sumber daya hutan terhadap eksistensi kelanjutan mereka, sehingga
mereka mulai terbuka dan memberikan respons positif terhadap pendidikan. Kelompok yang mulai terbuka inilah yang kemudian menjadi bahan bagi WARSI untuk mulai mengembangkan pendidikan untuk Orang Rimba.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
17
//Genah pemukiman orang rimba
18
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Rekrutmen Staf Pendidikan Pengumuman rekrutmen disampaikan melalui iklan lowongan
kerja di harian Kompas. Cukup banyak pelamar waktu itu. Dari lamaran yang masuk, dilakukan seleksi untuk memilih yang sesuai dengan
yang kebutuhan. Latar belakang tentu harus dilihat untuk mengetahui ketangguhannya di medan kerja yang akan mereka tempuh. Kegiatan
WARSI dalam advokasi dan pendampingan masyarakat di dalam dan
sekitar hutan, tidak hanya membutuhkan spesifikasi ilmu pengetahuan yang memadai, namun juga harus andal untuk menghadapi medan kerja yang berat. Masuk hutan, naik-turun bukit, menempuh jalan
berlumpur, tinggal bersama komunitas, yang tidak semua orang mau dan mampu melakukannya.
Apalagi banyak orangtua berharap anaknya yang sarjana
seharusnya bekerja di kota, berpakaian necis, pergi pagi dan pulang
sore. Sedangkan bekerja di WARSI tidak perlu pakaian necis, waktu kerja yang tak teratur, dan pasti hidup sebagaimana komunitas yang didampingi. Karena itu, tak heran banyak orangtua yang kurang setuju
ketika anak mereka mulai bergabung sebagai staf WARSI. Namun tetap
saja dalam setiap rekrutmen, WARSI mendapati orang-orang yang
bersedia melakukan pekerjaan berat itu, walau tak jarang mereka Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
19
//staf WARSI mengendarai trail menuju hutan di jalan berlumpur
Jalanan tanah berlumpur menjadikan pengendara harus sering-sering membersihkan ban kendaraannya sebelum melanjutkan perjalanan ke rimba
menyembunyikan perihal apa yang dikerjakan kepada keluarga.
Setelah proses wawancara yang dilakukan di gedung Wisma
PKBI Jakarta untuk pelamar dari luar Sumatera dan di Bangko untuk
yang berasal dari Sumatera, terpilihlah Yusak Adrian Panca Pangeran
Hutapea, antropolog lulusan UGM, sebagai fasilitator pendidikan pertama yang ketika itu diberi nama “Fasilitator Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia”. Dengan latar belakang
pendidikan antropologi, Yusak diharapkan lebih memahami kehidupan
Orang Rimba, sehingga bisa mencari pola pendidikan yang tepat. Tugas sebagai pengajar dianggap bisa dijalankan Yusak karena dia juga berpengalaman sebagai tenaga pengajar dan pengelola lembaga kursus di Yogyakarta sewaktu masih berstatus mahasiswa. 20
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Perawakannya yang besar dan pengalaman di dunia pencinta
alam menjadi nilai plus Yusak untuk bergabung dengan WARSI. Tipe orangnya yang ramah dan supel, semakin menarik minat pewawancara
yang terdiri atas Direktur Firdaus Jamal dan Suvervisor WARSI Oyvind Sanbukt.
Berbarengan dengan Yusak juga direkrut Adi Prasetijo atau
biasa dipanggil Tijok, Alumnus Arkeologi Universitas Gajah Mada yang akhirnya menjadi staf Pendidikan Budaya dan Lingkungan. Kemudian
Sidiq, lulusan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lalu Siti Aminah atau biasa dipanggil Ami merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Rata-rata mereka seumuran, kecuali Yusak
yang terpaut dua tahun diatas yang lain. Mereka muda, semangat dan sepertinya akan tahan banting menghadapi tantangan pekerjaan ini.
//Yusak dkk di dalam rimba
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
21
Yusak dan kawan-kawan bisa disebut sebagai generasi kedua di
WARSI untuk berkegiatan bersama Orang Rimba. Generasi pertama
diisi oleh Robert Aritonang, Amilda Sani, Bintoro Juandaru, Agus
Budi Utomo, Friskonanda dan Farida. Waktu Yusak bergabung di WARSI terdapat dua unit kerja yaitu Unit Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Unit Kajian Dan Pendampingan Orang Rimba. Staf Kajian, Fasilitator Pendidikan Orang Rimba dan Fasilitator Kesehatan Orang
Rimba berada di bawah Unit Kajian Dan Pendampingan Orang Rimba.
Sedangkan unit Pengelolaan Sumber Daya Alam membawahi para
fasilitator desa, yang waktu itu fokus kegiatannya berada di wilayah
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) untuk kegiatan Integrated Community Development Project (ICDP) TNKS.
Staf Warsi saat itu
hanya 20 orang, termasuk para pendiri dan jajaran manajemen. Dengan jumlah kecil tersebut, mereka berkerja saling dukung dan saling bantu.
Ketika itu kegiatan WARSI meliputi advokasi ruang hidup
masyarakat asli marginal yang difokuskan pada Orang Rimba dan selain advokasi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.
Mereka mendapat ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya
yang dilegalisasi negara. Orang Rimba terancam akibat konversi hutan untuk kepentingan investasi, dibagian lain kehadiran kawasan
konservasi, dalam hal ini Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), telah melemahkan hak-hak masyarakat yang sudah lebih awal berada di kawasan ini.
22
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//kegiatan WARSI disekitar TNKS
Dengan tim kerja yang relatif kecil, Yusak tak mengalami
kesulitan berinteraksi dengan tim yang sudah lebih dahulu ada di
WARSI. Cukup terbantu karena sebagian staf antropolog berasal dari kampus yang sama. Kalaupun tidak satu almamater, sebagian besar berlatar belakang sebagai pencinta alam.
Setelah melewati masa orientasi dan adaptasi dengan lingkungan
WARSI, pekerjaan di lapangan, hutan belantara, dan medan yang
sulit dimulai. Menjelajahi belantara dan melakukan pendampingan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Pada tahap awal orientasi lapangan, Yusak tandem dengan Erinaldi untuk mengenali Orang
Rimba. Waktu itu WARSI tengah melakukan studi kelompok suku-
suku asli minoritas di Provinsi Jambi melalui kegiatan Jambi Regional Development Project (JRDP). Studi tersebut dilakukan untuk Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
23
merancang pembangunan Jambi, bekerja sama dengan Bappenas dan Bappeda Provinsi Jambi. Suku-suku yang diteliti adalah Bathin IX,
Orang Rimba, Talang Mamak, dan Duano. Dari studi tersebut diketahui bahwa suku asli minoritas merupakan kelompok masyarakat yang
paling terancam dan termaginalkan sebagai dampak pembangunan
daerah transmigrasi, pembukaan perkebunan kelapa sawit skala besar, HPH dan HTI.
Di sisi lain, pasca jatuhnya rezim Suharto tahun 1998, terjadi
tragedi akses sumber daya alam terbuka (open access natural resources
tragedy) yang ditandai dengan maraknya aksi illegal logging membuat
kehidupan suku-suku asli minoritas tersebut semakin terdesak.
Rekomendasi WARSI waktu itu adalah pentingnya mengakomodir ruang dan kawasan hidup dan berpenghidupan bagi kelompok suku asli minoritas.
//illegal logging
Eforia illegal logging yang menyentuh hampir semua kawasan hutan di Jambi
24
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Dalam orientasi lapangan, Yusak yang baru bergabung dengan
WARSI dikenalkan dengan Orang Rimba yang berada di sekitar Kabupaten Bungo. Orang Rimba di kawasan itu merupakan kelompok Orang Rimba yang paling banyak kehilangan kawasan hutan yang
beralih fungsi untuk perkebunan kelapa sawit dan transmigrasi. Selain
di daerah Bungo, kelompok Orang Rimba bisa ditemukan di sepanjang jalan lintas tengah Sumatera dari batas Jambi-Sumatera Selatan hingga
batas Jambi-Sumatera Barat, yang lebih sering disebut Orang Rimba
jalan lintas. Selain mereka, ada juga Orang Rimba Bukit Duabelas yang tinggal di hutan sekunder di tengah jantung Sumatera. Berikutnya Orang Rimba yang tinggal di selatan Bukit Tigapuluh. Ketiga kelompok sebaran Orang Rimba tersebut merupakan wilayah kerja WARSI. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
25
Perjalanan Perdana ke Kelompok Orang Rimba Sejak pagi 19 April 1998, Yusak sudah mengemasi barang-
barangnya ke dalam tas ransel setinggi punggung. Dia terlihat gembira
ketika memanggul tas ransel itu berjalan dari mess putra menuju
kantor WARSI, seolah akan mengulang perjalanannya mendaki gunung seperti aktivitasnya kala mahasiswa. Erinaldi yang akrab disapa Eri juga sudah datang, mereka hari itu akan memulai studi Orang Rimba. Sebelum berangkat, mereka kembali mengecek segala kebutuhan
untuk perjalanan yang direncanakan sepuluh hari tersebut. Stok logistik, obat-obatan, dan peralatan untuk melakukan studi mereka siapkan. Siang hari selepas makan, Eri sibuk mengikatkan ranselnya di bagian belakang sepeda motor Honda GL Pro Black keluaran 26
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
1992 yang akan mereka tunggangi. Bagian belakang sepeda motor sengaja dimodifikasi sehingga kuat menyangga satu ransel besar
tanpa mengganggu penumpang yang duduk di belakang pengendara. Rata-rata sepeda motor lapangan WARSI dibuat demikian untuk memudahkan pergerakan staf lapangan.
Eri sudah siap untuk mengedarai, helm dan topi berada di
kepala. Yusak memanggul ranselnya dan segera duduk di belakang Eri. Siang itu, keduanya melaju kencang dari Bangko menuju arah Bungo,
melintasi Jalan Lintas Sumatera yang cukup ramai. Sebelum simpang Rantau Keloyang, Eri membelokkan sepeda motor ke arah kanan. Kali
ini mereka menyusuri jalanan desa yang sempit. Di awal, jalanan yang mereka lewati beraspal baik, namun makin ke ujung makin hilang aspalnya hingga tinggal jalan tanah yang berdebu. Setelah dua jam
melewati jalanan desa, mereka sampai di Desa Sungai Beringin. Di desa itu, Eri menitipkan sepeda motornya kepada kenalannya orang
desa, sembari beristirahat sejenak. Selanjutnya mereka berjalan kaki ke Sekampil yang ditempuh lebih-kurang 1,5 jam. Mereka berjalan
beriringan dengan ransel di punggung masing-masing. Jalan setapak di pinggir sungai Senamat itu memberi nuansa alam yang menyejukkan.
Matahari yang sudah condong ke Barat mendorong mereka
mempercepat langkah, berharap sebelum gelap sudah sampai di Sekampil. Sesekali mereka berbincang. Yusak lebih banyak bertanya tentang pengalaman Eri bersama Orang Rimba dan warga desa.
Yusak cukup kagum dengan cara Eri berinteraksi dengan warga
dusun tempat mereka menitipkan motor, seolah yang mereka temui merupakan saudara. Eri termasuk yang terlibat dalam pendirian Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
27
Warsi, yang waktu itu baru tamat kuliah dan merupakan pencinta alam Universitas Jambi (Unja).
Menjelang magrib, keduanya sampai di kediam an Pak Usman,
kontak person WARSI di dusun di pinggir Batang Senamat. Pak
Usman menyambut ramah kedua tamunya. Eri sudah akrab dengan
Pak Usman dan sudah menjadi penghubung dengan Orang Rimba
di daerah Sekampil, seperti rombong Juru Penerang Sungai Pering.
Malam itu, Pak Usman yang sudah sangat mengenal Orang Rimba di kelompok itu berbagi cerita kepada Yusak. Sebagai antropolog dan baru pertama datang, Yusak sangat antusias bertanya banyak hal
tentang Orang Rimba kepada Pak Usman, yang dengan senang hati
melayani pertanyaan anak muda Jakarta itu. Bahkan di belakang hari, Pak Usman mengemukakan kekagumannya terhadap sosok Yusak yang hanya dia jumpai kali itu saja.
Keesokan hari, petualangan Yusak dimulai. Menggunakan
sampan, mereka menyusuri sungai Senamat ke arah hulu menuju muara sungai Sekampil. Pak Usman bertindak sebagai juru mudi duduk paling
belakang, sementara Yusak dan Eri di depannya. Dengan gesit Pak
Usman mengendalikan laju perahu, melawan arus sungai yang lumayan
deras dengan galah sepanjang 5 meter yang dia pegang. Dua pemuda yang dibawanya tampak menikmati dua jam perjalanan di pagi itu.
Di muara sungai Sekampil, Pak Usman meminggirkan perahunya.
Eri dan Yusak turun dengan ransel bawaan mereka. Perjalanan
dilanjutkan dengan menelusuri sungai Sekampil yang dangkal.
Selama 1,5 jam perjalanan mereka melewati perladangan masyarakat Sekampil untuk menuju sesap Orang Rimba yang lebih ke hulu. 28
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
/sesudongan orang rimba
Sesudungon Orang Rimba
Menjelang siang, mereka sampai juga di sesap Orang Rimba.
Beberapa sesudongan menandakan di situlah Orang Rimba bermukim.
Pak Usman besasalung bersuara agak keras membuat panggilan khas untuk Orang Rimba. Tak lama berselang, Juru Penerang dan Bujang Tampui datang. Mereka terlihat biasa saja dengan kedatangan para
tamu itu, bahkan beberapa perempuan juga ikut nimbrung dalam percakapan, meski tak banyak bicara. Setelah pengantar dari Pak
Usman, selanjutnya Eri dan Yusak melakukan wawancara untuk mencari data yang diperlukan.
Di kawasan itu, terdapat enam paseken Orang Rimba, yaitu Juru
Penerang, Bujang Tampui, Komandan Tuha, Demang Pede, Muhib, dan
Bujang Kecik. Orang Rimba rombong ini sudah berada di hulu sungai sekampil sejak sekitar 1985. Interaksi mereka dengan masyarakat
Dusun Sekampil juga baik dan membentuk hubungan simbiosis Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
29
mutualisme. Keberadaan Orang Rimba di sekitar ladang masyarakat Dusun Sekampil cukup membantu mengatasi serangan hama berupa babi dan binatang hutan lain yang merusak tanaman perkebunan
mereka. Bagi Orang Rimba, kebutuhan pangan mereka cukup terbantu dengan interaksi mereka dengan masyarakat Sekampil.
Orang Rimba rombong tersebut rata-rata punya kawasan
kelola berupa dua bidang kebun per keluarga atau sekitar 3,5 ha. Di kelompok Orang Rimba ini, Yusak sebagai antropolog memperlihatkan kemampuannya berinteraksi dengan Orang Rimba untuk pertama kali.
Eri yang sudah beberapa kali berkunjung ke kelompok ini memberi ruang luas kepada Yusak untuk mengenali Orang Rimba.
Selama dua hari, mereka tinggal bersama kelompok tersebut.
Saat itu, mereka juga mengunjungi rombong Hasan Tuneh di bagian
atas, sekitar satu jam perjalanan kaki dari rombong Juru Penerang
dan Bujang Tampui. Kelompok Hasan Tuneh secara administratif bersebelahan dengan Desa Talang Sungai Bungo yang lebih dekat
dengan Rantau Duku. Meski di kelompok ini hanya tedapat empat
paseken, jumlah anggota kelompoknya mencapai 30 orang. Rombong Hasan Tuneh ini mobilitasnya sangat tinggi. Mereka benar-benar
mengandalkan hasil hutan. Kalaupun berladang hanya untuk satu musim dan berpindah pada musim berikutnya.
Setelah mendapatkan gambaran yang cukup komplit, Eri dan
Yusak kembali ke Dusun Sekampil untuk melanjutkan perjalanan ke
kelompok Orang Rimba berikutnya, yaitu Orang Rimba di sekitar Baru Pelepat, Kabupaten Bungo (waktu itu Kabupaten Bungo Tebo). Untuk
sampai ke sana mereka harus memutar dan keluar ke Jalan Lintas
30
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Tengah Sumatera, hingga masuk lagi dari Rantau Keloyang Baru Pelepat.
Mereka melewati jalanan tanah dan beberapa tanjakan tajam. Ketika
melewati Bukit Managih, demikian masyarakat setempat memberi nama tanjakan yang paling tinggi menuju desa itu, Eri kehilangan
kendali sepeda motornya. Tak ayal keduanya terguling, melorot di
jalan tanah. Yusak hanya cengengesan dan segera bangkit, demikian pula Eri yang sudah terbiasa melewati jalan itu. Mereka sempat duduk sebentar sebelum menegakkan motor, membereskan ransel yang
terjatuh. Eri mencoba menghidupkan kembali sepeda motornya dan Yusak memilih berjalan kaki melewati tanjakan tersebut.
Pada malam harinya mereka menginap di rumah kepala desa di
Dusun Baru Nalo. Keesokan hari baru melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki selama satu setengah jam menemui Orang Rimba
rombong Gubernur di Sungai Sagu. Lokasi Orang Rimba kelompok
Gubernur berada di sekitar kawasan eks HPH PT Rimba Karya Indah (RKI) dan Serestra II. Kelompok Gubernur juga berdekatan dengan
kelompok Ali yang memilih tinggal di sekitar jalan logging PT RKI. Jalan logging itu menghubungkan Baru Pelepat dengan Jalan Lintas
Tengah Sumatera. Di lokasi Orang Rimba ini direncanakan akan
dibangun kawasan transmigrasi lokal, namun sayangnya Orang Rimba
tetap saja tidak diperhitungkan dalam program ini. Padahal, lokasi pembangunan transmigrasi itu tak jauh dari genah Orang Rimba, yang hanya beratapkan terpal hitam berlantai tanah tanpa dinding.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
31
/Proyek PKMT
Dengan detail keduanya menggali beragam informasi dan data
di kedua rombong itu, sehingga menghasilkan rekomendasi yang
baik untuk suku-suku asli minoritas. Dua hari mereka tinggal di sana, sebelum kembali ke arah Rantau Keloyang dan menginap di Rantau
Panjang. Keesokan hari mereka menuju rombong Orang Rimba yang
bermukim di Desa Dwi Karya Bakti Pasir Putih. Rombong ini terdiri atas enam paseken, yaitu Ampung, Salim, Wahid, Samsu, Bujang Tengkak dan Ulung. Kelompok ini bermukim di perumahan yang
dibangun oleh Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) pada 1990-an, melalui proyek Pemukiman Kembali Masyarakat Tertinggal (PKMT). Hanya sebagian yang terisi, sebagian lain kosong ditinggal
penghuninya. Beberapa rombong Orang Rimba memang ada yang
sudah dirumahkan. Namun, berbeda dengan peserta transmigrasi, Orang Rimba tidak diberikan areal kelola, hanya rumah yang dibangun
berdekatan. Juga belum dilengkapi transformasi pengetahuan untuk 32
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
hidup menetap. Selain itu, pembangunan rumah yang mengacu model
rumah masyarakat umum, membuat Orang Rimba merasa asing. Orang Rimba sangat berpantang untuk tinggal di rumah-rumah ala Melayu. Ini lebih berhubungan dengan sistem religi Orang Rimba yang
memercayai dewa-dewa dan beranggapan rumah beratap seng hanya akan menghalangi dewa masuk ke rumah mereka. Akibatnya, banyak rumah bantuan Departemen Sosial itu ditinggalkan penghuninya.
Dari perjalanan yang dilakukan selama sembilan hari itu, Yusak
memiliki kesimpulan tentang bagaimana Orang Rimba diperlakukan oleh kelompok masyarakat lainnya serta penyelesaian dan kejelasan
kawasan tempat hidup dan berpenghidupan mereka merupakan hal yang mendesak. Orang Rimba berada dalam keterjepitan karena beragam kepentingan di sekitarnya. Yusak mulai memikirkan untuk
suatu transformasi pengetahuan bagi Orang Rimba, sehingga mereka mampu mempertahankan dan memperjuangkan kawasan hidup
mereka. Menurut Yusak, transfer pengetahuan bisa diawali dengan pendampingan dan fasilitasi pendidikan untuk Orang Rimba.
Yusak mengaku belajar banyak dari kelompok Orang Rimba yang
telah ditemuinya. Menurutnya, Orang Rimba memiliki keterbatasan
dibanding masyarakat lain, tetapi mereka mampu bertahan hidup dan menyiasati kehidupan di dalam rimba. Mereka bersatu dengan beragam tipe iklim dan konsisten dengan pola penghidupan mereka.
Dari pertemuan singkatnya dengan Orang Rimba, Yusak memiliki rencana untuk melakukan studi yang lebih lengkap tentang bagaimana proses pendidikan bisa menjadi bagian dari transformasi pengetahuan. Tentu saja pendidikan itu harus sesuai dengan adat dan budaya Orang Rimba.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
33
Belajar ke Yogyakarta dan Menyusun Framework Pendidikan Berdasarkan studi respons Orang Rimba terhadap pendidikan
dan setelah melihat langsung kehidupan Orang Rimba, metode pendidikan yang tepat untuk Orang Rimba kembali didiskusikan. Diskusi rutin awal Mei 1998 belum juga menemukan cara dan metode
yang efektif untuk memulai proses belajar-mengajar untuk anak-anak Rimba.
Selama ini WARSI belum mempunyai model dan pengalaman
empirik yang cocok dengan situasi untuk anak-anak Rimba. Adat dan budaya Orang Rimba dengan segala keunikan dan keyakinan mereka belum banyak dipahami orang lain. 34
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak yang diposisikan sebagai fasilitator pendidikan pertama
juga kesulitan menghadapi persoalan tersebut. Yusak yang terus berupaya membangun hubungan saling memahami dengan anakanak rimba, melihat peluang adanya pendidikan. Tetapi caranya jelas
tidak seperti sekolah umumnya yang menerapkan kurikulum dari pemerintah.
Dalam diskusi itu, Yusak menyampaikan gagasan dan keinginan
untuk belajar dari pengalaman YB Mangunwijaya atau Romo Mangun dalam mengembangkan sekolah untuk anak jalanan dan terlantar di Kali Code, Yogyakarta. Yusak yang lama menempuh pendidikan
di Yogyakarta pernah mendengar metode pengajaran ala Romo Mangun, hanya saja dia merasa perlu mendalami sehingga agar bisa menerapkannya untuk anak-anak Rimba.
WARSI mendukung penuh gagasan Yusak, dengan harapan
metode dan pendekatan yang digunakan Romo Mangun dapat diadaptasikan di Bukit Duabelas untuk anak-anak Rimba. Dukungan “seadanya” dan pengalaman tinggal dan bersekolah di Yogyakarta membantu Yusak dalam proses magang dan belajar dari pengalaman di Kali Code selama satu bulan.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
35
36
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Sekembali dari Yogyakarta, Yusak mulai menyusun rencana
untuk mengadaptasikan model dan pendekatan yang dia pelajari. Dia membuat rencana pilot project pendidikan untuk anak-anak Rimba
dan menyusun kerangka kerja (framework). Berikut kerangka kerja yang disusun Yusak sebagaimana tercatat di dalam buku hariannya: Framework Pilot Project Pendidikan Orang Rimba di Makekal Hulu dan Hilir I. Kajian Awal
Membina hubungan yang lebih erat dengan Orang Rimba di lokasi.
Menjelaskan secara rinci tentang program kerja pendidikan Orang Rimba.
Pemotivasian awal pada Orang Rimba, khususnya mereka yang berminat.
Pelibatan tokoh masyarakat semisal jenang, pimpinan rombong, dll dalam memotivasi Orang Rimba Makekal.
Menentukan lokasi potensial program.
II. Identifikasi dan Inventarisasi
Selanjutnya Yusak membuat Skema Sistem Pendidikan Orang
Rimba sebagai berikut: I. Kajian Awal
Penentuan lokasi pilot project pendidikan.
Membina hubungan yang erat dengan Orang Rimba setempat.
Pelibatan tokoh masyarakat/keyperson jenang dll dalam memotivasi Orang Rimba.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
37
II. Identifikasi dan Inventarisasi
Potensi Orang Rimba yang berminat untuk mengikuti pendidikan.
Penggolongan Orang Rimba yang ingin mengikuti pendidikan menurut jenis kelamin, umur, status dalam keluarga, dll.
Adat-adat Orang Rimba yang mendukung dan menghambat terciptanya program pendidikan.
III. Kajian Tindak Lanjut
Persiapan sarana belajar Orang Rimba, fisik, dan materi.
Persiapan tenaga pengajar dan tenaga pendukung.
Pemotivasian ulang pentingnya pendidikan yang tidak mengubah adat Orang Rimba.
Memulai dasar-dasar pendidikan bagi Orang Rimba. Memodifikasi pondok belajar Orang Rimba.
IV. Pendidikan Dasar Awal bagi Orang Rimba Pendidikan awal tentang aksara.
Pendidikan awal tentang baca-tulis.
Pendidikan awal tentang tingkah laku belajar.
Pendidikan awal tentang kesehatan masyarakat. Pendidikan awal tentang lingkungan.
Pendidikan awal tentang masalah sosial.
Menyerahkan peserta didik kepada tenaga pendidik berikutnya.
V. Penutup
Analisis tindakan dan pelaporan.
Evaluasi tindakan.
38
Rekomendasi.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
39
Bertemu Orang Rimba Bukit Duabelas Yusak mulai mengaplikasikan rencana kerjanya di Bukit
Duabelas. Bersama Diki Kurniawan staf sekaligus salah satu pendiri WARSI, perjalanan ke Bukit Duabelas dimulai. Mereka menunggangi
GL Pro menelusuri Jalan Lintas Sumatera hingga Simpang Margoyoso. Kemudian menelusuri jalan transmigrasi menuju Satuan Permukiman
(SP) G Bungo Tanjung dan melanjutkan perjalanan ke SP E Bukit Subur. SPE dan SPG juga sering disebut daerah Trans Rantau Limau Manis.
Di SP E ini mereka beristirahat di rumah Pak Slamet, salah seorang transmigran di daerah itu. Rumah Pak Slamet masih merupakan
rumah transmigrasi asli, belum direnovasi. Di rumah itu Pak Slamet tinggal bersama istri dan ketiga anak mereka.
Ketika datang pada 15 Juni 1998 menjelang magrib, Yusak
dan Diki disambut Bu Slamet dan anak-anaknya. Pak Slamet sendiri memotong karet (para) di kebun dan tidak kembali sore itu. Pak
Slamet dan keluarga sudah menjadi kontak person WARSI di wilayah ini sebelum masuk ke kelompok Orang Rimba. Pak Slamet
merupakan warga desa yang menjadi kepercayaan Orang Rimba
untuk berhubungan dengan masyarakat lainnya. Meski tidak disebut jenang, peran dan pengaruh Slamet terhadap Orang Rimba di wilayah
Seranten dan Makekal, khususnya terhadap rombong Tumenggung Bayu, Tumenggung Mirak, dan Tumenggung Bedinding Besi, cukup kuat. 40
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Keesokan hari sekitar pukul 10.00, mereka melanjutkan
perjalanan menelusuri perkebunan karet. Sengaja berangkat agak
siang menunggu matahari bersinar setelah sebelumnya turun hujan,
mereka berharap jalanan tanah yang akan dilalui telah cukup kering.
Namun tetap saja, belum lama berjalan, mereka dihadang jalanan licin dan berlumpur. Berkali-kali mereka berdua terbanting dan jatuh di jalan berlumpur.
Setelah tiga jam perjalanan, mereka sampai di pondok milik Pak
Abidin, petani Rantau Limau Manis, di pinggir Sungai Pengelaworon Kecil. Ladang Pak Abidin cukup luas di kawasan itu, sekitar 20 ha. Pak
Abidin mempunyai dua rumah ladang yang cukup besar, salah satunya
diberikan kepada Ternong untuk dipakai sebagai tempat tinggal, sehingga sering kali pondok itu diberi nama pondok Ternong.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
41
Abidin juga meminta tim WARSI untuk tinggal di salah satu
rumah ladang miliknya daripada tinggal di tenda. Sebelumnya tim
WARSI mendirikan tenda tak jauh dari pondok itu ketika berkegiatan di Pengelaworon. Ladang pak Abidin tak terlalu jauh dengan ladang karet
Ngandun, rerayo Orang Rimba di Pengelaworon, tepatnya di Sungai Pengelaworon Besar. Sungai Pengelaworon tersebut merupakan salah
satu hulu Sungai Makekal, sebelum bergabung dengan Batang Tabir dan bermuara ke Sungai Batanghari.
Genah kelompok Orang Rimba biasanya berada di dekat atau
di tepi sungai, sehingga penyebutan kelompok atau rombong Orang Rimba identik dengan nama sungai dimana mereka tinggal, misalnya kelompok Orang Rimba Makekal Hulu, berarti kelompok Orang Rimba
yang tinggal di daerah hulu sungai Makekal. Sungai Pengelaworon
sendiri berasal dari kata kelelawor (kelelawar) dimana di daerah ini
42
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
banyak terdapat kelelawar dan di hulunya terdapat sebuah goa yang menjadi sarang kelelawar tersebut.
Mereka menurunkan barang dan bersitirahat di pondok
Ternong, seorang anak Rimba yang beranjak remaja. Sewaktu Diki dan Yusak datang, Ternong sedang tidak berada di pondok itu karena tengah diisolasi oleh anggota kelompoknya karena menderita demam selimo atau demam influenza.
Siang itu mereka berkunjung ke rombong Ngandun
yang
menjabat menti Kelompok Orang Rimba Makekal Hulu yang waktu itu
bermukim di seberang sungai Pengelaworon Besar. Ngandun sudah kenal dan sering membantu kegiatan WARSI. Ngandun lebih dikenal
dan sering dipanggil dengan Bepak Pengusai. Apabila sudah punya anak, maka rerayo Orang Rimba biasanya sering dipakai dengan gelar
beranak-nya dengan menyebutkan anaknya yang paling tua. Bepak
Pengusai berarti bapaknya Pengusai yang merupakan nama anaknya
paling tua. Sedangkan bila suami istri belum punya anak maka dipanggil Bepak Bolum dan Induk Bolum.
Rombong Bepak Pengusai berjumlah empat pesaken yang terdiri
atas 22 jiwa. Terdapat tujuh anak yang berpotensi untuk ikut program
pendidikan. Keluarga Ngandun mempunyai dua anak bujang dan satu budak kecik, di keluarga Beteku terdapat satu bujang, keluarga Ngadun
atau Bepak Terenong satu bujang dan satu budak kecik, sementara keluarga Besulit belum punya anak.
Bepak Pengusai cukup terbuka terhadap pendatang, termasuk
staf WARSI. Ladang karetnya tidak terlalu jauh dari ladang Abidin, hanya terpisah satu hamparan sesap dan terpisah sungai. Bepak Pengusai Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
43
mulai menyadari kehadiran pihak luar di kawasan hidup Orang Rimba yang tak mampu mereka hindarkan. Itu yang mendorongnya
mau terlibat dalam rencana program pendidikan. Hanya saja, sebagai bagian dari rombong Tumenggung Mirak, menti Ngandun menyatakan
tetap perlu mendapatkan restu dari Tumenggung terlebih dahulu.
Dari Pengelaworon, Yusak dan Diki akan mengunjungi Orang
Rimba di Sako Rampon yang ketika itu dipimpin Mangku Tuha.
Awalnya Ngentepi, adik Pengusai, yang akan menemani. Namun karena
dia demam, Yusak dan Diki harus merencanakan sendiri perjalanan
mereka. Ketika mereka tengah bersiap-siap, Nggrip-salah satu anggota
rombong Orang Rimba Sako Rampon, yang baru datang dari SP G mampir ke pondok itu. Nggrip sebelumnya sudah kenal dengan Diki.
Nggrip merupakan rerayo di kelompoknya, yang menjabat sebagai
Anak Dalam. Grip yang memiliki sebelas anak dari dua istrinya, dari segi
penampilan tampak berbeda dengan Orang Rimba kebanyakan. Dia
sudah berpakaian lengkap dan menggunakan sepatu boot, sementara Orang Rimba lainnya masih bercawat dan bertelanjang kaki. Nggrip pernah merantau ke dusun, yang membuatnya sedikit berbeda.
Diki mengatakan bahwa mereka hendak ke Sako Rampon
untuk membicarakan pendidikan. Nggrip antusias dan sangat ingin mengikutinya, termasuk anak-anaknya. Selain tentang rencana
pendidikan, Nggrip juga antusias bertanya soal cara membatasi jumlah anak. Berusia sekitar 35 tahun, Nggrip cukup kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya. Sementara ia sendiri tidak tahu cara membatasi kehamilan istrinya. 44
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
“Guding mumpamono caranye hopi bulih nambah budak lagi?”4
Nggrip bertanya sambil berbisik. Sepertinya Nggrip cukup malu sebab anak-anaknya lahir dalam waktu yang berdekatan.
Sebenarnya Orang Rimba punya cara sendiri untuk membatasi jumlah anak, yaitu dengan melarang suami-istri berhubungan selama anak mereka yang paling kecil menyusui. Setelah masa menyusui selesai, barulah mereka diperbolehkan berhubungan. Orang Rimba yang diketahui memiliki anak lagi ketika anaknya belum berusia dua tahun atau belum selesai menyusui, akan dikenai denda adat. Sebagian Orang Rimba patuh dengan aturan itu, namun ada juga yang tidak patuh dan malah memilih menikah lagi meski harus mendapatkan denda adat yang cukup tinggi dari keluarga istri pertamanya. Denda adat sebetulnya sangat ditakuti dan dijauhi oleh Orang Rimba, tapi Nggrip tampaknya kesulitan menahan hasratnya dan memilih kawin lagi.
//Nggrip dan kelauarganya
4
Kawan, bagaimana caranya supaya anak tidak bertambah lagi.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
45
Pertanyaan ini cukup sulit dijawab kedua bujang WARSI yang
belum berpengalaman tentang keluarga berencana (KB). Karena itu Diki hanya mengatakan sebaiknya Nggrip dan istri-istrinya mengikuti program Keluarga Berencana (KB) dengan berbagai pilihan metode.
Nggrip manggut-manggut mendengar metode yang disebutkan Diki.
Dia kemudian terdiam cukup lama, sepertinya sedang memilih dan berpikir maukah istri-istrinya berkunjung ke tenaga medis untuk diberikan layanan KB. Untuk lebih jelasnya, Diki menyarankan Nggrip mengunjungi Puskesmas di SP E.
Usai pembahasan tentang KB, Nggrip mendampingi Diki dan
Yusak ke Sako Rampon, sekitar dua jam perjalanan dari Pengelaworon. Kelompok ini cukup besar, dengan jumlah 98 jiwa yang tergabung dalam
12 pesaken. Tiga paseken di antaranya pergi melangun. Di rombong ini
terdapat 16 anak yang bisa ikut program pendidikan, yaitu di keluarga
Mangku Tuha terdapat satu bujang jenton, keluarga Nggrip tiga bujang
kecik, keluarga Siambur tiga bujang kecik, keluarga Celitai satu bujang, keluarga Melasah tiga bujang, keluarga Ngamup dua bujang, keluarga
Besilo tiga bujang, serta di keluarga Merendang terdapat satu bujang
dan dua budak kecik. Dari segi jumlah maupun pesaken, rombong tersebut sangat potensial untuk dijadikan pilot project pendidikan
baca-tulis bagi Orang Rimba. Selain agak terbuka, mereka cukup sadar pentingnya pendidikan karena tingginya interaksi mereka dengan
orang luar. Beberapa Orang Rimba di kelompok tersebut setuju dengan syarat dilakukan di dalam rimba. Sebagian lainnya menolak dan menyerahkan pada keputusan Tumenggung Mirak. 46
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Orang Rimba mengumpulkan buah sebagai bahan Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba makanan mereka
47
Dari Sako Rampon, Yusak dan Diki kembali ke Pengelaworon.
Malamnya mereka merancang perjalanan berikutnya ke Sako Talun,
genah Tumenggung Mirak yang merupakan pemimpin tertinggi Orang Rimba di Makekal Hulu. Secara kekerabatan Mirak merupakan
saudara tertua Ngandun. Genah mereka terpisah sekira satu setengah jam perjalanan kaki. Awalnya Ngandun berniat mengantarkan ke Sako
Talun, namun karena dia mendapatkan informasi bahwa Tumenggung sedang berada di SP I, perjalanan pun ditunda. Keesokan hari, tanpa
disangka, Tumenggung Mirak berkunjung ke pondok Yusak dan Diki. Rupanya, malam sebelumnya, dia menginap di tempat Ngandun.
Tumenggung Mirak sangat antusias begitu dikatakan ada orang
luar yang hendak bertemu dengannya. Waktu itu dia sebenarnya
dalam perjalanan ke SP G. Diki lalu menjelaskan rencana mereka untuk berkunjung ke Sako Talun. Tumenggung mengizinkan mereka
datang dua hari berikutnya, setelah dia kembali dari SP G. Saat itu Tumenggung sempat berkeluh kesah karena harga beras yang semakin
mahal. Orang Rimba sudah menjadikan beras sebagai konsumsi utama mereka. Sebelumnya mereka lebih banyak mengonsumsi umbi-umbian yang berasal dari hutan. Tidak ada informasi yang pasti
sejak kapan mereka mengonsumsi beras, padahal budaya mereka
belum sepenuhnya mengenal bercocok tanam padi. Kalaupun ada yang menanam padi , biasanya sedikit saja berupa padi ladang. Selain belum terbiasa bercocok tanam, serangan hama yang tinggi juga menyebabkan mereka enggan bertanam padi. Mereka lebih banyak
membeli beras dari luar. Diki dan Yusak mendengarkan saja keluh kesah sang Tumenggung penguasa Makekal Hulu itu. 48
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Mengisi waktu senggang menunggu waktu berkunjung ke Sako
Talun, Diki dan Yusak ikut kegiatan Orang Rimba di Pengelaworon berburu, ngapok ikan, memancah ladang, dan kegiatan lainnya.
Anak-anak Ngandun senang dengan teman baru yang ikut bersama mereka. Sore hari Diki dan Yusak menelusuri sungai mencari gua Pengelaworon yang berada agak hilir sungai Pengelaworon Kecik, yang
katanya di tepi ladang Pak Abidin. Entah mengapa sore itu mereka tak
menemukannya. Besok hari, bersama bujang-bujang rimba, mereka menelusuri sungai kembali dan barulah menemukan gua yang penuh
kelelawar itu. Bau amis kencing kelelawar menyengat hidung. Bagian dalam goa yang tidak terlalu besar itu agak riskan untuk ditelusuri.
Bagian luar gua sudah gundul dan berubah jadi ladang, sehingga
rawan longsor. Selain itu menurut Orang Rimba di dalam gua banyak ular dan landak. Mereka pun urung untuk masuk lebih dalam.
Pada Selasa, 23 Juni 1998, Diki dan Yusak berangkat menuju
Sako Talun. Awalnya Ngandun yang akan menemami. Tetapi, setalah
dicari di ladangnya, tak terlihat keberadaannya. Besasalungon pun tidak berbalas. Beseling, anak kedua Ngandun, juga tak kelihatan.
Yusak dan Diki memutuskan untuk pergi berdua saja, toh mereka juga sudah bertemu dengan Tumenggung beberapa hari sebelumnya.
Mereka berjalan di tengah lebatnya rimba di pinggir sungai. Belum lama berjalan, mereka bertemu Pengusai, anak tertua Ngandun.
Pengusai mengantar mereka sampai di Sako Talun. Jalanan licin dan beban di punggung menghambat mereka bergerak cepat, sehingga baru tiba di tujuan setelah dua jam perjalanan.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
49
//Pemukiman anggota klp mirak
Tumenggung Mirak (kanan) dan anggota kelompoknya
Ternyata Tumenggung Mirak tak ada di genah-nya. Dia belum
kembali dari SP G. Kepada anggota rombong-nya, Tumenggung
meninggalkan pesan agar Diki dan Yusak menunggu, tetapi menginapnya di Pondok Ngulin, sekitar 100 meter dari genah Orang
Rimba. Malam itu mereka ditemani Pengusai. Anak-anak Tumenggung Mirak yang juga sepupu Pengusai ikut bergabung besok paginya.
Pagi sekali Pengusai balik ke Pengelaworon, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Yusak dan Diki tinggal bersama anak-anak
Tumenggung Mirak yang sudah bujang, yaitu Petatai, Siomban, dan
Lubang. Hari itu mereka isi dengan mendata sebaran Orang Rimba di kawasan tersebut.
Orang Rimba di rombong ini terdiri atas lima pesaken dengan 24 jiwa, dengan sepuluh di antaranya berpotensi ikut program pendidikan. Dari keluarga Tumenggung Mirak terdapat dua budak jenton, keluarga Naju tiga budak jenton, keluarga Ngeladi dua budak jenton, keluarga Beramal satu budak jenton, dan keluarga Nyubur dua budak jenton. Dua hari mereka tinggal di kelompok tersebut. Namun, setelah bertemu Tumenggung, mereka melihat kesan penolakan 50
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
terhadap pendidikan meski tidak secara langsung dikemukakan. Gaya diplomasi Tumenggung sepertinya lebih untuk menyenangkan tamu, tidak menampakkan kesungguhannya terhadap pengadaan pendidikan di rombong-nya.
Di Mekakal Hulu, selain berkunjung ke genah-genah Orang Rimba, Diki dan Yusak juga memetakan lokasi Orang Rimba. Itu dilakukan untuk memudahkan mereka jika berkunjung lagi karena sudah mengetahui sebaran Orang Rimba. Hampir semua kelompok Orang Rimba di Mekekal Hulu mereka jelajahi, termasuk di Sungai Pengarukan dan Sungai Gemuruh. Dari perjalanan pertama itu, Yusak mendapatkan penjelasan tentang beberapa anak Rimba yang pernah menerima pendidikan dari guru yang masuk dari SP G Bungo Tanjung. Namun, pengajaran tersebut ditolak karena guru meminta budak-budak Rimba yang telah mengikuti pendidikan awal agar keluar ke Desa SP G Bungo Tanjung untuk disekolahkan di sana. Tentu saja permintaan itu ditolak oleh Orang Rimba karena takut anak-anak mereka tidak akan kembali ke rimba. Selain itu, juga ada misionaris yang masuk mengajarkan huruf dan angka serta lagu-lagu rohani yang justru ditolak oleh Orang Rimba. Beberapa metode pengajaran yang pernah “singgah” ke Mekekal Hulu itu membuat Orang Rimba semakin protektif menjaga anak-anak mereka dari dunia luar. Hal itu dilakukan supaya budaya dan adat Orang Rimba tetap terjaga sepanjang masa.
Kondisi tersebut diperburuk oleh banyaknya kabar yang beredar di kalangan mereka bahwa ada anak Rimba yang dibawa keluar dan tidak kembali lagi ke rimba. Cerita itu menyebar dan menimbulkan ketakutan dalam diri Orang Rimba. Bagi WARSI, itu menjadi catatan penting, yaitu pendidikan yang diberikan tidak boleh mengubah adat dan budaya Orang Rimba serta tidak menjauhkan mereka dari rimba. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
51
Perjalanan Menelusuri Mekekal Hilir Setelah mendapatkan gambaran di daerah hulu, Diki dan Yusak
melanjutkan pendataan potensi murid ke Makekal Hilir. Sebelumnya
mereka keluar dulu ke SP E berbelanja, karena perbekalan sudah habis, sekaligus mencuci pakaian yang kotor. Keesokan hari, mereka berkunjung ke Seranten untuk menemui Tumenggung Bayu, menempuh perjalanan dua jam dari SP E. Ketika sampai, Tumenggung
Bayu sedang berburu bersama anggota kelompoknya. Yang ada di
lokasi hanya perempuan dan anak-anak. Diki dan Yusak tahu adat Rimba, bahwa tidak boleh mendekati perempuan dan anak-anak
bila rerayo jenton tidak ada, akhirnya mereka memilih menjauh dan
menunggu di ladang karet warga transmigrasi SPE yang waktu itu
sedang menyadap karet. 52
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
perempuan rimba
Barulah sore harinya Tumenggung Bayu dan Nambuh pulang dari berburu babi. Tumenggung Bayu menyambut ramah kedatangan Diki dan Yusak. Interaksi rombong Tumenggung Bayu dengan masyarakat luar sudah sangat intensif karena genah mereka bersisian dengan ladang-ladang karet milik warga transmigrasi. Interaksi itu juga mengubah pola pikir Orang Rimba. Mereka resah dengan kawasan hidup mereka yang berubah. Hutan sudah mulai habis dan berganti ladang karet. Benuaron yang merupakan kebun buah milik Orang Rimba, sebagian sudah dijual karena terdesak kebutuhan hidup yang tidak sebanding dengan pendapatan mereka. Karena perubahan itu, Orang Rimba rombong Tumenggung Bayu mulai berpikir untuk memperbaiki diri. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
53
Namun, Tumenggung belum melihat solusi yang tepat untuk kehidupan Orang Rimba di masa yang akan datang. Meski begitu, tampaknya ia juga tidak mau terlalu memperlihatkan harapan bahwa tamu yang datang kepadanya akan membawa perubahan kehidupan Orang Rimba ke arah yang lebih baik. Seperti sikap Orang Rimba umumnya, mereka agak sulit untuk mendeskripsikan keinginan mereka ke depan.
Silaturahmi singkat dengan Tumenggung Bayu memberikan gambaran tentang problematika Orang Rimba. Akankah pendidikan mampu meningkatkan harkat Orang Rimba? Pendidikan seperti apa? Apakah bisa dalam waktu singkat? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiran Yusak. Ia melihat Orang Rimba tidak mampu menolak perubahan yang terjadi atas mereka. Mereka juga tak berdaya untuk menentukan langkah selanjutnya. Sore hari, mereka kembali ke SP E. Dalam perjalanan, Yusak lebih banyak diam. Sepertinya dia sedang berpikir keras bagaimana tranfer pengetahuan bisa cepat sampai ke Orang Rimba. Tak hanya cepat, tapi juga materi yang diberikan dan metodenya tepat serta mampu menjawab persoalan Orang Rimba.
Dalam assessment untuk memulai pilot project pendidikan, Yusak dan Diki melanjutkan pendataan ke kelompok Makekal Hilir yang waktu itu dipimpin Tumenggung Bedinding Besi-gelar yang diberikan karena sebenarnya ditubuhnya banyak kurap besi, nama aslinya adalah Bejumpai. Orang Rimba Makekal 54
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Hilir terdapat tiga sub-rombong, yang dipimpin Tumenggung Bedinding Besi, Nitip (Bepak Bepiun), dan Mensebah di Sungai Bernai. Tumenggung Bedinding Besi yang pertama dikunjungi. Sayangnya waktu itu Tumenggung tidak berada di genah-nya. Yusak dan Diki mencari sendiri tempat mereka akan mendirikan tenda, tak jauh dari ladang Orang Rimba. Sorenya barulah beberapa Orang Rimba mendekat dan nimbrung di pondok dari terpal itu. Mereka mengobrol santai sambil minum kopi. Hanya saja, beberapa Orang Rimba memperlihatkan sikap curiga dan waspada.
Rupanya mereka marah. Dalam kunjungan bulan sebelumnya, Diki dengan Bintoro yang ketika itu melakukan survei sebaran Orang Rimba, membuat foto-foto beberapa anak Rimba. Ketika itu, para tetua memperbolehkan mereka difoto. Sayangnya, tak beberapa lama setelah keduanya pulang, beberapa anak yang sempat difoto mengalami sakit demam kura.
Demam kura merupakan istilah yang digunakan Orang Rimba untuk penyakit demam yang disertai menggigil, perut buncit, dan terjadi perubahan warna kuning di tubuh penderitanya. Secara medis, penyakit itu merupakan gejala hepatitis, yang disebabkan virus maupun nonvirus. Penyakit itu menular dari manusia ke manusia atau bisa juga dari binatang ke manusia. Dalam kasus anak Rimba, kemungkinan penyebabnya adalah hewan yang mereka konsumsi terkontaminasi virus itu. Apalagi anak-anak Rimba tidak mendapatakan vaksin antihepatitis. Ketika antibodi mereka belum terbentuk dengan Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
55
sempurna, mereka akan mudah terjangkit penyakit ketika ada virus yang menyerang. Penyakit juga bisa disebabkan gangguan ISPA serta kondisi anak-anak yang lemah karena kekurangan asupan gizi.
Meski demikian, Orang Rimba sangat sederhana menilainya. Bagi mereka, penyakit disebabkan mereka berhubungan dengan alat-alat dari luar mereka seperti kamera foto. Orang Rimba yakin, benda itu yang telah menyakiti anak-anak mereka.
Yusak dan Diki kemudian menjelaskan tentang penyakit. Namun, mereka tidak mau peduli dan tetap menuduh kamera itulah yang menyebabkan anak-anak mereka sakit. Uniknya, mereka tetap saja nimbrung di tenda Yusak dan Diki karena alasan lain. Mereka sangat yakin kedua orang beru itu membawa makanan yang banyak, dan mereka bisa ikut menumpang makan.
56
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Itu perbedaan antara Orang Rimba di Makekal Hulu dan Hilir.
Di Makekal Hulu, Orang Rimba mengutamakan barter untuk apa pun.
Mereka akan makan bersama jika turut membantu mendampingi
survei atau menemani staf WARSI. Di luar itu, mereka menjaga diri
supaya tidak mengganggu dan memberatkan tamu yang datang. Di Hilir sepertinya hal itu mulai bergeser. Mereka seolah memanfaatkan
siapa saja yang datang kepada mereka. Pergeseran budaya tersebut terjadi akibat interaksi yang tinggi dengan perusahan, yaitu Intan
Petra. Petugas perusahaan sering kali memudahkan urusan dengan cara memberikan barang-barang kebutuhan kepada Orang Rimba.
Akibatnya, ketika ada yang datang, Orang Rimba selalu beranggapan mereka sama dengan orang perusahaan yang suka memberi makanan. Keesokan hari, Diki dan Yusak pergi ke genah Tumenggung,
tetapi tidak diizinkan mendekat karena anak gadisnya berada di
pondok itu takut kedulat katanya. Tumenggung mengajak mereka mengobrol di rumah ladangnya yang tak terlalu jauh dari genah. Waktu membicarakan kondisi Orang Rimba Tumenggung menjelaskannya dengan santai, namun dia langsung saja menolak ketika pembicaraan
mengarah ke persoalan pendidikan. Sangat jelas dan tegas dia menolak. Beruntung Tumenggung masih menyambut baik ketika
dilakukan pendataan Orang Rimba yang dia pimpin. Dari pendataan, diketahui bahwa di sub tiap rombong Makekal Hilir juga terdapat
potensi untuk mengembangkan program pendidikan. Di sub kelompok
Mensebah, terdapat tujuh anak laki-laki yang potensial, yaitu keluarga
Mensebah tiga budak kecik dan dua bujang, keluarga Begagang satu budak kecik, dan keluarga Bejambur/Gayek Patoh satu budak kecik. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
57
Di subkelompok Bedinding Besi terdapat satu anak yang berpotensi. Sementara di sub kelompok Nitip terdapat sembilan anak laki-laki
yang berpotensi, yaitu keluarga Nitip dua budak jenton, keluarga Nawir tiga budak jenton, dan keluarga Ngagung empat budak jenton.
Sayangnya semua potensi itu tertutup oleh sikap curiga
terhadap orang luar yang baru datang, juga sikap Tumenggung
yang menolak pendidikan. Tak seorang pun anggota rombong yang
pernah mengenyam pedidikan. Padahal, dua tahun sebelumnya, ada
misionaris yang datang mengajarkan lagu-lagu gereja ke kelompok ini. Sebagaimana Diki dan Yusak, misionaris itu juga ditolak.
Yusak paham dengan penolakan Tumenggung. Mungkin saja
hari itu mereka bersikap demikian, dan siapa di kemudian hari bisa jadi menerima. Selalu ada kemungkinan mereka berubah pikiran.
Yusak dan Diki tetap tinggal bersama kelompok ini beberapa hari
guna mengakrabkan diri dan mengenali Orang Rimba. dan kemudian Tijok datang dari daerah Air Hitam dan bergabung dengan mereka.
Pada hari keempat di Makekal Hilir, Diki dan Yusak bergeser
ke Bernai, mengunjungi Bepak Bepiun. Bepak Bepiun agak dingin dan tidak terlalu suka diajak ngobrol. Apalagi ketika membicarakan pendidikan, dia langsung saja menyetop dengan berkata, “Hopi.” Untuk
bicara benuaron dan anggota rombong-nya di Bernai, Bepak Bepiun
juga sangat irit. Untuk itulah, sore harinya Diki dan Yusak kembali ke pondok mereka dekat Tumenggung Bedinding Besi.
Besok pagi, sejumlah bujang Rimba sudah berkumpul lagi
di pondok. Ngelincak, Temiang, Petesin, dan Begunung nongkrong serempak. Diki dan Yusak memutuskan hari itu mereka tak akan 58
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
berjalan, tetapi berdiam di pondok dan membersihkan pakaian yang
sudah kotor. Kepada anak-anak itu, Yusak menjelaskan program mereka tentang pendidikan dan kesehatan. Bujang-bujang itu juga menolak
secara halus, dengan alasan mereka sudah punya pekerjaan menyadap
karet. Mereka bahkan menertawakan bagaimana pendidikan akan
menghasilkan uang untuk mereka. Sulit memang menjelaskannya, karena memang pendidikan tidak secara langsung mengubah
kehidupan mereka menjadi serba berkecukupan sebagaimana yang mereka harapkan.
Ketika melihat bujang-bujang di pondok Diki, Tijok dan Yusak,
anak-anak juga ikut bergabung. Mereka senang dengan kehadiran orang baru. Rupanya induk-induk masih sangat marah dengan kejadian
demam bulan lalu. Segera saja mereka seret anak-anak itu untuk
kembali ke pondok masing-masing sembari mengeluarkan serapah
dalam bahasa Rimba yang tidak dimengerti orang luar. Dari nada suara dan mimik wajah mereka, para induk yang menyeret anak mereka itu
memperlihatkan bahwa mereka sangat marah. Tinggallah Begagang, satu bujang Rimba yang masih sering main ke pondok itu, setidaknya untuk alasan makan gratis.
Diki, Yusak dan Tijok kembali menemui Tumenggung, menggali
lebih jauh pandangannya tentang masa depan tanah Makekal. Kali ini pendidikan tidak lagi dibicarakan. Tumenggung benar-benar
tidak membuka celah untuk membahas satu hal itu. Jadilah mereka berbicara tentang benuaron dan persebarannya.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
59
//peta sebaran Orang Rimba Bukit Dua belas
60
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Bernai dan Sungai Gemuruh merupakan wilayah yang belum
dipetakan. Diki dan Yusak mengulangi perjalanan mereka, sedangkan Tijok menunggu di tenda. Bepak Bepiun kali ini mau berbincang agak lama. Dia mengizinkan untuk memetakan benuaron-nya dengan
ditemani Nawir, anggota rombong itu. Dalam perjalanan, mereka
bertemu dengan saudara Nawir yang dipekerjakan oleh pebalok
yang masuk ke kawasan itu. Hampir saja terjadi keributan di dalam
pertemuan tersebut. Para pebalok yang dibantu sejumlah Orang
Rimba mempertanyakan izin kedua orang WARSI itu masuk ke hutan
Makekal. Mereka minta diperlihatkan surat izin dari jenang Tanah Garo, orang yang dianggap paling berkuasa terhadap Orang Rimba di wilayah itu. Terlihat jelas mereka ketakutan, namun berupaya ditutupi dengan terus mengeluarkan kata-kata bernada tinggi.
Diki dan Yusak meninggalkan para pebalok setelah menyatakan
mereka memiliki izin yang lengkap untuk berjalan di dalam rimba.
Mereka kembali ke rencana semula melakukan pemetaan benuaron wilayah Berbai hingga Sungai Gemuruh. Sejumlah Orang Rimba
anggota rombong ini menderita domom slemo, sehingga mereka
meminta untuk diberikan obat-obatan. Sejak massifnya pembukaan
kawasan hutan baik untuk berbalok dan perladangan, Orang Rimba mulai senang menggunakan obat-obatan luar untuk segala penyakit
mereka. Hutan yang menipis membuat mereka sulit untuk tetap dengan pengobatan tradisional menggunakan daun, bunga, dan akar tumbuhan sebagai bahan obat.
Akhirnya mereka selesai juga melakukan pemetaan hingga
ke Sungai Gemuruh. Siang itu semua data sudah lengkap. Sambil Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
61
menunggu sore, mereka berniat mandi di sungai di tengah hutan itu. Cukup luas dan jernih airnya. Hanya saja, ketika Diki dan Yusak
datang, sungai itu sudah keruh karena banyak anak yang mandi dan melompat-lompat di sana. Agak ke hulu, Yusak dan Diki memilih untuk memancing hingga sore menjelang. Cukup banyak ikan yang mereka dapatkan hingga menjelang magrib. Mereka berencana akan menginap di Bernai malam itu sembari menikmati ikan bakar.
Selagi asik memancing ikan, tiba-tiba datang anggota rombong
Tumenggung Bedinding Besi mengabarkan sebuah kecelakaan yang terjadi. Ngukur menantu Tumenggung luka parah. Betisnya tersabet
patahan kayu ketika menumbang pohon sebagai bagian dari proses membuka ladang. Bergegas Diki dan Yusak ke genah Tumenggung
ditemani Temiang. Di bawah cahaya rembulan, mereke menembus
hutan menuju tempat Tumenggung. Satu setengah jam mereka berjalan cepat, hingga sampai di tujuan. Tijok yang tidak ikut ke Bernai sudah bersama kelompok itu.
Tumenggung yang sebelumnya terlihat menjaga wibawa, begitu
Diki dan Yusak datang, langsung menyembah-nyembah bahkan sampai
hendak mencium kaki Diki. Dia meminta supaya Ngukur diselamatkan. Kakinya hampir putus, otot betisnya melorot dan mengeluarkan darah banyak sekali.
Pertolongan
pertama
yang
mereka
lakukan
adalah
membersihkan luka, memberikan obat merah dan membalut luka tersebut dengan kain kasa dan memberinya antiseptik. Obat-obatan
PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat) atau biasa sering disebut P3K biasanya staf WARSI bawa ke lapangan untuk jaga-jaga. 62
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Mereka membujuk Tumenggung dan rerayo lain untuk
untuk menggotong dan membawa Ngukur keluar untuk di bawa ke Puskesmas Induk di SPD (Desa Sungai Bulian), karena luka tersebut harus dijahit, kalau tidak akan terus pendarahan. Namun Tumenggung
menolaknya. Malam itu, Diki dan Yusak berinisiatif untuk mencari dan
menyewa mobil ke SPA (Desa Sungai Jernih) sekitar 12 Km atau satu
jam perjalanan dengan sepeda motor karena jalanan rusak parah,
sedangkan Tijok menunggu di genah Ngukur sambil memantau perkembangan. Tumenggung dan rerayo lainnya sudah bedekir untuk
memohon keselamatan Ngukur. Karena ritual tersebut maka Tijok disuruh menjauh dari pondok Ngukur dan akhirnya kembali ke tenda. Tiba di SPA, Diki dan Yusak langsung mencari mobil pick up yang
akan disewa, namun mungkin karena alasan hari sudah mulai larut malam dan jalan ke Bernai sudah rusak parah maka tidak ada yang
mau disewa mobilnya. Akhirnya Diki dan Yusak memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan ke Puskesman Induk di SPD (Desa Sungai Bulian), harapannya tenaga medis ada yang mau diajak ke Bernai
untuk menjahit dan mengobati luka Ngukur. Perjalanan dari SPA ke SPD melewati SPB (Desa Bangun Seranten) cukup jauh, sekitar satu
setengah jam perjalanan dengan sepeda motor. Sampai di Puskesmas Induk di SPD sudah sekitar jam 11 malam dan langsung mengetuk rumah dinas mantri dan dokter. Namun selain alasan hari sudah larut malam, jawaban dari ibu dokter waktu itu sungguh tidak mengenakan
bahwa “sudah resiko orang bebalok maka tetimpa kayu, biarin saja”. Padahal mereka sudah menjelaskan bahwa ini adalah Orang Rimba
yang sedang menumbang pohon untuk membuka ladang. Dalam hati Diki, untuk penyelamatan nyawa maka bandit sekalipun harus ditolong Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
63
lebih dulu bila butuh bantuan medis. Akhirnya mereka mengalah karena dokternya adalah perempuan, dan kami meminta mantri yang
terlihat sehat dan kuat untuk ikut bersama kami, namun tetap saja
menolak diajak ke dalam rimba karena hari sudah larut malam dan
perjalanan jauh. Mereka disuruh membujuk Ngukur untuk dibawa ke Puskesmas, dan dokter meminjamkan tandu Puskesmas untuk
menggotong korban ke luar. Walaupun terlihat masih kuat, namun
tandu itu sudah ada yang robek dan bolong karena termakan usia. Dengan perasaan cukup kecewa akhirnya mereka kembali ke Bernai.
Tiba di lokasi sudah jam satu dini hari, mereka kembali membujuk
Tumenggung agar Ngukur mau digotong dengan tandu untuk dibawa
keluar. Malahan Orang Rimba mencemooh bahwa tandu tersebut tidak akan kuat karena sudah robek. Yusak dan Tijok mencoba menggotong Diki dan Bepiyun untuk mengetes kekuatan tandu tersebut dan masih 64
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
kuat, namun Tumenggung dan anggota kelompoknya tetap menolak untuk dibawa keluar, dan meminta diobati saja di rimba.
Obat-obatan Peralatan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan
(P3K) sudah habis digunakan untuk penanganan darurat. Bingung dan khawatir lukanya menjadi infeksi dan semakin parah, namun Ngukur
tidak mau naik tandu yang dibawa berobat keluar. Menjelang Subuh, Diki kembali keluar ke rumah Pak Slamet di SP E untuk meminta bantuan pengobatan alternatif. Pak Slamet juga merupakan dukun
besar di daerah transmigrasi Margoyoso dan Rantau Limau Manis ini. Pak Slamet bergegas ikut Diki ke rimba. Pak Slamet membantu
melakukan pengurutan dan mengobati tulang kaki yang sudah patah,
selain itu juga efek sugestifnya diharapkan menyemangati Ngukur untuk bertahan hidup.
Belakangan diketahui bahwa akhirnya Ngukur masih hidup
walaupun sudah diisolasi oleh keluarganya tinggal di pondok ladang
sendirian karena lukanya mengeluarkan bau busuk seperti bangkai
yang sangat menyengat dan sudah berulat. Ngukur mengobati sendiri lukanya dengan tuba hulot dan lukanya menjadi kering sebatas lutut dengan tulang kering yang tetap masih ada. Dia masih dapat berjalan
dan meloncat dengan dibantu sebilah tongkat. Justeru istri dan anaknya yang meninggal dunia lebih dulu akibat dibunuh penyakit”. Dan Orang Rimba kelompok Bernai ini akhirnya “melangun” ke daerah Sungai Sungkai dan Sungai Makekal Hilir. Dia tidak mau memberi tahu apa wabah penyakitnya yang terjadi.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
65
//yusak naik trail
66
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Analisis Awal untuk Pilot Project Waktu sebulan penuh dihabiskan oleh Diki dan Yusak di lapangan.
Mereka melakukan pendataan dan assessment untuk studi pilot project pendidikan. Yusak menganalisis komitmen kelompok Orang
Rimba yang telah ditemuinya dari Mekekal Hulu hingga Hilir. Yusak
mengelompokkan mereka berdasarkan faktor internal dan eksternal yang memengaruhi mereka. Faktor internal terdiri atas sikap Orang Rimba (pria, wanita, dan anak-anak) terhadap pendidikan (formal dan informal), sifat dan bentuk pendidikan tradisional orangtua (peran ibu
atau bapak) terhadap anak-anak mereka (termasuk cara mengasuh anak), pengaruh dan peran pemimpin menentukan sikap mereka terhadap pendidikan. Sikap dan pengaruh anggota rumah tangga yang pernah mengalami hidup di desa (merantau ke desa atau menjadi anak
angkat salah satu keluarga di desa), jenis kelamin juga mempengaruhi pandangan mereka pada pendidikan. Selain juga pengaruh sejarah atau asal usul nenek moyang atau leluhur mereka, serta pengaruh hukum adat (tabu, larang pantang, dan lain-lain) yang juga menjadi tolak ukur Orang Rimba menentukan sikap mereka pada pendidikan. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
67
Faktor eksternal dipengaruhi peran dan pengaruh aktor luar,
yaitu interaksi yang terjadi dengan orang desa, misionaris, turis, peneliti, instansi, dan lain-lain. Aspek politis dari adanya hubungan dengan waris, toke dan jenang serta pengaruh teknologi luar, juga
menentukan pandangan Orang Rimba terhadap pendidikan.
Di Mekekal Hulu, pendidikan diperbolehkan untuk para bujang
dan anak laki-laki, sedangkan perempuan sangat dilarang. Alasannya
gadis dan induk sangat dilindungi adat dan tidak bisa berhubungan
dengan orang luar. Juga budak ebun-anak-anak yang masih kecil dilarang ikut dalam pendidikan, karena mereka dianggap sangat rentan penyakit.
Pengaruh dan peran kepemimpinan dalam menentukan sikap
terhadap pendidikan sangat besar. Di kelompok Orang Rimba di Makekal Hulu, terlihat jelas bagaimana tengganai merestui program pendidikan diberikan kepada bujang-bujang dan bapak-bapak.
Subkelompok ini (Pengelaworon, Sako Rempon, dan Pangarukan)
sadar akan ketidakmampuan mereka dalam hal baca-tulis. Mereka sangat sering ditipu oleh orang dusun dan transmigran yang membuka ladang di Makekal.
Tumenggung Mirak sebagai pemimpin tertinggi tidak suka
rombong-nya diberi pendidikan. Akan tetapi, dia tidak berkomentar
terhadap sikap tengganai yang merestui program tersebut di subkelompok masing-masing.
Pandangan Orang Rimba terhadap pendidikan juga dipengaruhi
oleh anggota kelompoknya yang pernah mengalami besemendo dan
menikah dengan perempuan Desa Tanah Garo. Tetapi pengaruh 68
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
pendidikan yang diperoleh dari Desa Tanah Garo bisa dibilang minim, karena Orang Rimba yang menikah tersebut kemudian berdiom di dusun dan tidak pernah lagi masuk ke dalam rimba.
Penolakan Orang Rimba dengan alasan adat dan asal usul nenek
moyang mereka yang melarang segala hal yang datang dari luar sebenarnya bisa dipatahkan. Sejarah atau asal usul nenek moyang hanya membedakan cara hidup Orang Rimba dan orang dusun. Dalam
persumpahan yang membedakan cara hidup tersebut, tidak disebutkan secara rinci bahwa Orang Rimba tidak boleh mengikuti pendidikan baca-tulis. Hanya saja, alasan keraguan mereka tentang pendidikan
karena sejak nenek moyang dahulu tidak ada yang belajar baca-tulis.
Padahal, Orang Rimba sudah mulai mengalami perubahan, dan tidak lagi sepenuhnya menjalankan persumpahan sebagaimana legenda
asal usul mereka. Ada pantangan di zaman nenek moyang mereka yang kini dilakukan Orang Rimba, seperti menanam ubi, karet, padi,
dan cabai. Orang Rimba Makekal Hulu mulai betetanom, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Pendidikan sejatinya
juga bisa dipandang demikian. Pendidikan akan meningkatkan
kesejahteraan mereka, terutama membuka wawasan mereka yang lebih luas tentang bercocok tanam, tentang adat yang tertulis, tentang surat yang datang dari luar kelompok, dan membawa keuntungan dalam interaksi sosial mereka dengan orang luar.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
69
Sekolah Perdana di Belantara Setelah diadakan workshop di kantor WARSI Bangko, pada 25 Juli 1998 Yusak kembali ke rimba. Kali ini dia sendirian dengan mengendarai sepeda motor trail Suzuki TS 125. Yusak tidak kesulitan dalam perjalanan keduanya ke rimba. Ransel besar di punggungnya terlihat gagah dari belakang. Kokohnya tegakan ransel di jalan berlumpur itu setegak semangat Yusak untuk memulai pendidikan di Makekal.
70
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Dalam perjalanan, Yusak sempat beristirahat sejenak di SP E,
di rumah Pak Slamet, sebelum masuk ke rimba, melewati jalan tanah
dengan banyak kubangan lumpur. Kerasnya raungan suara trail itu
sekeras impian Yusak untuk memulai sekolah perdananya di rimba. Setelah tiga jam berkendara, dia sampai di Pengelaworon Kecil.
Pondok Ternong yang jadi basecamp-nya bulan lalu masih berdiri tegak. Ternong si anak Rimba yang tinggal di rumah itu menyambut
hangat kedatangan Yusak, seperti adik yang sudah lama menunggu kehadiran kakaknya, meskipun itu pertemuan kedua mereka. Anak-
anak Ngandun juga mulai mendekat. Mereka mengerubungi Yusak walau tidak mau banyak bicara dan masih malu-malu.
Yusak yang sejak kuliah dikenal low profile memang mudah akrab
dengan banyak orang. Sebagai antropolog, dia punya cara tersendiri untuk mendekati anak-anak Rimba dan anggota kelompok mereka. Dengan usaha keras selama tiga bulan di Warsi, dia berjuang untuk
bisa menguasai bahasa Rimba dan juga belajar adat istiadat rimba. Dengan bahasa Rimba-nya yang sudah mulai baik, Yusak menawarkan permen dan makanan kecil pada anak-anak Rimba.
Sore itu Yusak yang berdiam di rumah ladang Abidin menyiapkan
perapian untuk memasak nasi. Dengan cekatan Yusak memasak nasi dalam nesting yang dibawanya. Anak-anak Rimba membantunya
mencari kayu bakar. Usai memasak, mereka makan bersama. Anakanak sungguh senang dengan kegiatan itu.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
71
//Bepak pengusai
Malam harinya Ngandun berkunjung ke genah Yusak. Bapak
paruh baya itu sangat ramah dan memperlakukan Yusak dengan baik.
“Jedi mika nioma hendok mulai membori pelajoron di sio?,”5 tanya Ngandun.
“Au Bepak, akeh raso Bepak memboriko akeh izin dan genah di
sio untuk memulai pengajoron yoya.”6
“Au akeh lihat sodah waktunya anak-anak rimba juga mengerti
baca tulis seperti yang mika cakopko tempo hari.”7 “Sebila mika hendok memulainye?”8
“Secepatnya Bepak, kalau murid-muridnya sudah ado. Akeh harap
di sio ado sepuluh murid yang di tahap pertamo nio.”9
Jadi kamu akan memulai pendidikan di sini? Ya, Pak. Saya rasa Bapak sudah memberi saya ruang di sini untuk memulai pendidikan. 7 Ya, saya lihat sudah waktunya anak-anak Rimba mengerti baca-tulis seperti yang kamu bicarakan tempo hari. 8 Kapan kamu mau memulainya? 9 Secepatnya, Pak, kalau murid-muridnya sudah ada. Saya harap di sini ada sepuluh murid untuk tahap pertama. 5 6
72
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak
berfikiran
bahwa
untuk
tahap
awal
dia
akan
menggabungkan bujang-bujang rimba yang mau ikut pendidikan,
tidak hanya dari Pengelaworon, tetapi juga dari Sako Rampon dan
Sako Talun.
“Kalau ado sepuluh murid, sulit, nang penting kini mulai dengan
budak yang ado dulu,”10 ujar Ngandun.
“AnakaAkeh, Pengusai dengan Beseling, serto Ternong anak adik
akeh yoy. Tigo budak yoya beiklah mika ajorko dulu,”11 sebut Ngandun.
Ngandun berkeyakinan, banyaknya pebalok yang menebangi
hutan mereka, dengan kehadiran perusahan-perusahan akan
mengancam sumber penghidupan Orang Rimba. “Tando-tando pado urang bebalok, pado PT-PT benyok yang masuk mangambek kayu dan menghabiyko rimba, retinye rimba kita nioma kemungkinon terancam.
Kito rerayo nioma…kito urang buto hurup, piado tokang tuliy baco. Lebih baik kito mengadokan pengajoron mupa anak sokolah di bukit duabelay nio. Jadi, mudah-mudahon segelo Tumenggung tegerak hatinyo pado tujuan pengajoron iyoy. Mako kini, dimana tempatnye, ado baelah anak sokolah di delom rimba niyo,”12 ujar Ngandun.
Ngandun kembali mewanti-wanti bahwa pendidikan yang
diizinkannya tidak akan mentgubah adat usang pusako lamo Orang Rimba. Dia menegaskan anak Rimba tidak akan dibawa sekolah keluar dari genah mereka, meninggalkan rimba yang menjadi rumah mereka.
Kalau sepuluh murid sulit. Yang penting kini mulai dengan anak-anak yang sudah ada dulu. Anakku Pengusai dan Beseling. Ternong anak adikku. Tiga anak itu kamu ajar dulu. 12 Tanda-tanda penebang hutan, ada banyak perusahaan yang masuk. Artinya, rimba kita ini terancam. Kita orang tua buta huruf, tidak pandai baca-tulis. Lebih baik kita mengadakan sekolah di Bukit Duabelas. Mudah-mudahan semua tumenggung juga ikut, tertarik pada tujuan pendidikan ini. Maka kini di mana tempatnya, ada sajalah anak sekolah di dalam rimba ini. 10 11
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
73
Yusak tersenyum lebar, meyakinkan bepak di depannya bahwa
dia tidak akan mengubah adat Orang Rimba dan pendidikan yang
diberikan sekadar mengenalkan huruf dan angka untuk menghindari pembodohan yang sering dialami Orang Rimba. Di dalam hati Yusak
gembira. Perjalanannya ke rimba kali ini memperlihatkan titik
terang, jerih-payahnya keluar-masuk rimba menemui kelompok demi kelompok Orang Rimba terobati.
Meski Ngandun sudah menyatakan menerima diadakan
pendidikan di rombong-nya, bukan berarti pendidikan bisa langsung dilakukan. Ngandun meminta waktu untuk berunding dengan seluruh anggota kelompoknya. Mereka berunding pada 26 Juli 1998 malam. Perundingannya cukup sengit. Meski akhirnya disetujui, ada juga Orang
Rimba yang menyatakan kekhawatiran dan ketakutan kalau nanti
sudah bisa baca-tulis, mereka akan selalu ditekan oleh pemerintah melalui surat-surat yang datang kepada mereka. Yusak tersenyum mendengarnya. Dia menegaskan bahwa pendidikan baca-tulis tidak akan dihalangi pemerintah dan pemerintah tidak akan menekan status
tanah mereka sehubungan dengan kepandaian mereka membaca dan menulis.
Perundingan usai tengah malam. Mereka menerima pendidikan
dan boleh dimulai. Yusak harus mempersiapkan segala sesuatunya
untuk kelas perdana di tengah rimba itu. Yusak merancang proses transfer pengetahuan itu harus berlangsung menyenangkan dan
diminati anak-anak Rimba. Ia nanti harus bisa menarik minat muridnya
terhadap pendidikan melalui materi yang dia berikan. Hari perdana akan menjadi penentu lanjut-tidaknya pendidikan untuk Orang Rimba.
74
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Yusak mengajar anak-anak rimba
Yusak di kelas perdananya di Sungai Pengelaworon Makekal Hulu
Besoknya, 27 Juli 1998, pagi masih menyisakan embun di
dedaunan rimba. Yusak sudah menyiapkan sarapan pagi, tidak hanya untuk dirinya seorang, tapi dia sengaja memasak porsi lebih karena
yakin anak-anak muridnya akan segera datang. Benar saja, ketika nasi yang dijerangnya di nasting mulai mendidih, Ternong bangun
dan menghampiri. Tak berapa lama kemudian muncul Pengusai dan Beseling.
Ternong tinggi semampai. Usianya ketika itu sekitar 18 tahun,
tidak bisa dipastikan karena Orang Rimba tidak pernah mencatat kelahiran anak mereka sehingga usia tidak bisa diketahui secara
pasti. Penguasai lebih tua, sekitar 20 tahun. Beseling lebih muda
sedikit dari Ternong. Berbeda dengan Ternong dan Beseling, Pengusai mengenakan celana dan baju yang membalut tubuhnya.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
75
Pagi itu mereka memasak bersama dan kemudian sarapan.
Usai sarapan, Yusak membacakan sebuah cerita dari buku yang dipegangnya. Cerita tentang kehidupan hewan-hewan di rimba.
Tema hewan dipilih karena itulah yang paling dekat dengan anak-
anak Rimba. Terbukti anak-anak itu antusias mendengarkan cerita yang dibacakan sang guru. Mereka mulai bertanya bagaimana orang
bisa membuat cerita. Yusak menjelaskan cerita dibuat dengan cara mengarangnya, kemudian dituliskan di kertas, dan dicetak, sehingga bisa dibaca oleh banyak orang.
Usai bercerita, Yusak menjelaskan pentingnya mengenal huruf
dan angka. Anak-anak manggut-manggut mendengarkan. Yusak juga mempersilakan murid-muridnya bicara. Ternong menceritakan
pengalaman mereka yang ketakutan pada orang yang masuk ke rimba menebangi pohon-pohon besar di rimba. “Kamia tokut Bepak, iyoi
nobang pohon nang segodong nio, sebentar saja sudah rubuh, kamia Orang Rimba hopi ado merubuh pohon nang segodong yoy,”13 sebut Ternong sembari melingkarkan tangannya di depan dada.
Ternong melanjutkan ceritanya. Dia mendengar dari rerayo
bahwa orang-orang yang menebang pohon tersebut mengatakan mereka membawa surat dari rajo godong yang menyebutkan mereka boleh menebang pohon.
Yusak mengerti bahwa yang diceritakan Ternong adalah
perusahaan HPH PT Inhutani yang sudah mengantongi izin dari pemerintah. Perusahaan itu memang sudah memulai melakukan land clearing dengan menebangi pohon-pohon besar.
Kami takut, Pak. Mereka menebang pohon yang sebesar itu sebentar saja sudah roboh. Kami Orang Rimba tidak menebang pohon sebesar itu. 13
76
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Ternong sedang belajar
Dinding Pondok yang jadi papan tulis
Yusak menjelaskan, masih ada peluang bagi Orang Rimba
untuk mempertahankan hutan mereka. Jika mereka tidak setuju penebangan pohon, mereka bisa menyampaikan protes baik secara langsung maupun tidak langsung dengan menulis surat dan kemudian mengirimkannya ke Menteri Kehutanan. Walau anak-anak itu tampak
tidak paham siapa menteri, Yusak mencoba menjelaskan dengan
sederhana tentang perizinan kawasan hutan serta hak-hak mereka sebagai penghuni rimba.
Bujang-bujang rimba itu semakin bersemangat. Mereka meminta
supaya Yusak segera mengajari mereka membaca dan menulis. Karena
belum ada papan tulis, Yusak menggunakan dinding pondok sebagai
papan tulis. Dengan kapur tulis yang telah dipersiapkan dari bangko, Yusak menulis huruf-huruf Latin satu per satu di dinding pondok, kemudian mengajarkan cara menyebutkannya.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
77
“Nang mumpa atop pondok iyoi, dibeco a, nang perutnye
buncit mumpa iyoi disobut be,”14 kata Yusak dengan semangat sambil
menunjuk huruf-huruf yang disebutkan. Badannya ikut maju-mundur ketika mengucapkan huruf.
“Nang mumpa mata pancing disobut je,”15 ujar Yusak. Anak-
anak bersemangat mengikutinya. Mereka bahkan berinisiatif
mencontohkan bentuk huruf dengan alam sekitar mereka. E seperti angka 3 terbalik, I seperti titian batang/kujur, J seperti mata pancing,
K seperti ranting pohon, M seperti burung terbang, N seperti huruf M
terpotong, O seperti tutup botol, T seperti tiang jemuran, W seperti kebalikan huruf M, X seperti palang, Y seperti peci atau ketapel. Ketika mengajar perdana tersebut, Yusak harus bekerja keras. Ada pelafalan
beberapa huruf yang tidak dikenal dalam bahasa Rimba, seperti huruf F, V, W, X, Z.
Tak terasa, siang menjelang ketika mereka terus mengulang-
ulang penyebutan huruf-huruf itu. Matahari sudah tepat di ubun-ubun
dan perut mulai keroncongan. Energi dari sarapan pagi sepertinya
sudah habis untuk membaca huruf-huruf sejak pagi. Yusak meminta anak-anak didiknya untuk beristirahat. Awalnya anak-anak itu tak mau. Mereka tetap meminta pelajaran dilanjutkan.
Yusak berjanji, setelah makan akan dilanjutkan. Barulah anak-
anak itu mau rehat. Bergegas Yusak ke tungku yang tak seberapa
jauh dari tempatnya berdiri. Dia menghidupkan api. Ternong dengan sigap ke sungai mengambil air. Beseling dan Pengusai membantu
14 15
Yang mirip atap pondok ini dibaca a, yang perutnya buncit seperti ini disebut be. Yang seperti mata pancing disebut je.
78
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
mengumpulkan kayu bakar. Siang itu mereka menanak nasi dan menyiapkan lauk makan siang, mi rebus yang dicampur daun ubi, serta sarden kaleng.
Setengah jam berikutnya, nasi sudah mengepulkan asap putih,
siap dibagi ke piring-piring mereka. Mereka semangat belajar. Yusak
menyebutkan kata “nasi”, rangkaian huruf N, A, S, dan I. Disambut tawa murid-muridnya. Mereka makan sembali menyebutkan huruf-huruf yang mereka ketahui.
Usai makan, mereka kembali duduk melingkar. Kali ini di luar
pondok. Murid-murid ikut mengambil kapur dan mengikuti Yusak
menulis di dinding, meski belum berhasil menuliskan huruf-huruf itu dengan baik. Dengan sabar Yusak membimbing murid-muridnya.
Mereka belajar hingga sore menjelang. Mengucapkan huruf demi Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
79
hurif dan berusaha menuliskannya di buku tulis yang dibawakan
Yusak. Beberapa huruf sulit untuk ditirukan murid-murid perdana itu, terutama E, F, H, I, K, M, N, O, Q, V, W, X, Y, dan Z.
Meski kesulitan, mereka tetap berusaha dan terus menggoreskan
pensil untuk menghasilkan sebuah huruf. Sakit semangat menulis, sampai-sampai beberapa lembar halaman tembus ke beberapa lembar di belakangnya. Goresan hitam dengan bentuk kaku hadir di buku
mereka. Yusak tersenyum simpul. Mereka sudah mengerahkan energi yang besar untuk bisa menuliskan huruf-huruf yang ditempelkannya di dinding luar pondok.
Ketika malam datang, anak-anak itu tak kunjung mau pulang.
Mereka masih terus belajar. Diterangi obor, kembali Yusak membacakan cerita untuk murid-muridnya. Hingga larut malam, akhirnya anakanak itu tertidur pulas melingkar di antara guru mereka yang juga ikut tertidur.
Keesokan hari, kegiatan serupa kembali mereka ulangi, membaca
huruf demi huruf dan menuliskannya. Kala lelah mendera, mereka
beristirahat sejenak, ngapok ikan-mengapak ikan seluang dengan sebilah parang) dan juga memancing ikan di lubuk sungai untuk lauk
makan malam. Ternong menyebut huruf J kala mengisi mata pancing dengan cacing tanah sebagai umpan ikan.
Pada hari ketiga, Nggrip, Mendawai, dan Ngetepi bergabung.
Hari berikutnya Siomban juga ikut. Sayangnya Mendawai dan Ngetepi
tak bertahan lama. Hanya beberapa hari saja, mereka lantas menyerah
dan tidak ingin melanjutkan pelajaran. Mereka mengaku kesulitan mengeja huruf-huruf yang diajarkan. Setelah seminggu, Nggrip,
80
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//yusak mengajar malam hari
Malam haripun belajar masih terus dilakukan, tidak ada batasan waktu untuk belajar.
Terenong, Pengusai, dan Besuling sudah dapat membaca dan menulis huruf A sampai Z. Mereka juga mulai bisa mengeja beberapa kata,
seperti i-bu, a-ke, a-ku, ba-pak, oi, au, ho-pi. Sebagai gambaran atas kesenangan mereka belajar, dinding pondok penuh dengan tulisan kapur juga arang bekas perapian yang dijadikan alat tulis.
Setelah berjalan seminggu, Betatai (anak Tumenggung Mirak),
Besangkil, dan Manggung datang ke pondok belajar. Sebenarnya mereka tengah dalam perjalanan menuju SP G Bungo Tanjung untuk belanja. Yusak sudah menjelaskan kepada mereka bahwa Tumenggung Mirak kurang setuju dengan program pendidikan, tetapi ketiga anak itu tetap ingin mengikutinya. Ternyata kedatangan mereka bertiga
membuat Mendawai dan Ngentepi datang lagi ke pondok belajar. Mereka semua kemudian ikut dalam kegiatan belajar.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
81
Sebagai guru, Yusak tentu senang murid-muridnya bertambah
banyak. Malam itu, Terenong, Pengusai, Beseling, dan Nggrip
memamerkan kepandaian mereka kepada Betatai, Besangkil, dan
Manggung. Ternyata mereka tertarik dan ikut belajar walau cuma satu malam.
Setelah muridnya mampu menghafalkan bentuk-bentuk huruf,
Yusak menyuruh mereka menuliskan bentuk-bentuk huruf di buku
yang dibagikan. Karena belum pernah menulis, cara memegang pensil juga harus diajarkan dengan baik sehingga bisa dituliskan. Yusak
mencontohkan cara memegang pensil, kemudian meminta muridmuridnya menirukan caranya.
Ketika menuliskannya ke buku, mulailah jari-jari mereka lepas
kontrol pada pensil, sehingga belum bisa menghasilkan satu bentuk
huruf. Dengan sabar Yusak memegang tangan murid-muridnya agar
konstan dengan pensil mereka, menggoreskannya dengan lembut di kertas, sehingga bisa membentuk huruf.
Begitulah Yusak memulai pendidikannya di belantara. Setelah
dua minggu di rimba, Yusak memutuskan berkunjung ke Mekekal
Hilir, selain untuk melihat mencari celah untuk pendidikan di wilayah itu, juga untuk mengetes murid-muridnya, apakah mereka akan tetap belajar kalau dia tidak berada di lokasi. Untuk membantu murid-
muridnya tetap belajar, Yusak merekam suaranya yang menyebutkan huruf dengan tape recorder. Ia sangat yakin murid-muridnya akan
kembali mendengarkan suaranya, meski sang guru tidak langsung hadir bersama mereka. 82
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//orang rimba mendengarkan tape recorder atau tape recorder di pondok Orang Rimba
Orang Rimba memang menyenangi tape recorder yang
menggunakan baterai sebagai sumber energi. Mereka terbiasa
memutar kaset berisi lagu-lagu daerah dan dangdut atau menangkap siaran radio, terutama RRI, yang mampu menjangkau hingga
pedalaman. Yusak meninggalkan kaset untuk anak-anak muridnya, supaya mereka tetap belajar meski dia tidak hadir di sana.
Sekembali dari Makekal Hilir, Yusak melihat muridmuridnya kurang tertarik untuk belajar sendiri. Meski tetap mendengarkan kaset rekaman suara Yusak, tetapi mereka tidak sesemangat ketika Yusak berada ditengah-tengah mereka. Tiga bulan pertama Yusak fokus mengajar di Sungai Pengelaworon. Murid tetapnya enam orang: Pengusai, Beseling, Ternong, Siomban, Nggrip, dan Ngetepi. Sebagian ada juga orang dewasa yang ikut bergabung belajar huruf dan angka Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
83
sepulang dari ladang. Dari murid-muridnya itu, Yusak mulai mempersiapkan kader guru rimba yang bisa mengjangkau murid Rimba lebih banyak lagi. Untuk itu, Yusak berusaha keras supaya murid-muridnya lebih cepat menyerap pelajaran bacatulis dan hitung.
Hubungan Yusak dengan kelompok Orang Rimba di Sungai Pengelaworon semakin akrab. Yusak mengikuti semua aktivitas Orang Rimba kala murid-muridnya rehat belajar. Yusak juga belajar keras cara menyadap karet atau dalam istilah Orang Rimba disebut motong para. Kadang ikut berburu bersama, mencari rotan udang semut, manau, memancah kebun, belajar, bermain, dan tidur bersama. Bahkan juga makan dalam piring yang sama. Dengan cara seperti itu, hubungan yang terbangun sangat dekat. Orang Rimba berkeyakinan bahwa orang yang hidup dengan cara mereka dan mau hidup ala mereka telah menjadi bagian dari kelompok mereka. Bahkan ketika bulan kedua Yusak mengajar di kelompok itu dan terserang deman, murid-muridnya menangis melihat guru mereka yang terbaring lemah. Bepak Pengusai dengan segera mengusahakan obat-obatan ala rimba untuk mengobati Yusak.
Saking arabnya Yusak dengan para murid-muridnya, dia tak lagi sekadar membicarakan pelajaran, tetapi juga mendiskusikan banyak hal hingga persoalan pribadi. Hubungan yang terbangun nyaris tanpa batas. Mereka seolah berasal dari asal yang sama, yang menciptakan saling pengertian. 84
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Adakalanya Yusak dan para muridnya berjalan-jalan di rimba,
mengejar hewan buruan, memasang jerat, mencari buah, atau mencari ikan di sungai. Suatu ketika di tengah hutan lebat, sewaktu
akan melewati jembatan yang sudah rapuh, Yusak meminta muridmuridnya berhenti. Yusak melihat jembatan itu tidak bisa dilalui, sementara murid-muridnya mengatakan bisa. Yusak meminta para muridnya agar jangan meniti dulu. Yusak dulu yang mencoba. Perlahan
dia melangkah di atas kayu yang sudah dimakan usia. Baru separuh
jalan, tiba-tiba jembatan itu benar-benar ambruk, melemparkan Yusak ke sungai kecil di bawahnya. Basah kuyup dan berlumpur, Yusak mencoba bangkit.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
85
Murid-muridnya sempat khawatir. Tetapi ketika gurunya
sudah bangkit, mereka langsung tertawa. Anak-anak Rimba segera
saja mengolok-olok “gejoh masuk sungai”. Selama di rimba, karena
perawakannya yang besar, Yusak sering disebut gejoh (gajah). Mereka
semua tertawa. Yusak berusaha keluar dari sungai, kembali ke pinggir tempat murid-muridnya berdiri. Segara dia mencopot bajunya dan diperas, kemudian menyandangnya di bahu. Perjalanan itu mereka lanjutkan dengan menelusuri sungai.
Begitulah, tidak hanya ketika sedang mengajar Yusak bersikap
ramah, tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Dia juga tak pernah
menampakkan diri tersinggung atau marah meski kadang menjadi bahan olokan dan tertawaan para muridnya.
86
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Orang Rimba sedang berladang
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
87
Mencoba Daerah Lain Di Pengelaworon, tidak semua murid Yusak berasal dari
rombong Orang Rimba yang mukim di sana, tetapi juga ada yang dari wilayah lain. Dia adalah Nggrip, yang berasal dari rombong Orang
Rimba di Sako Rampon. Sewaktu belajar kepada Yusak, Nggrip harus ke Pengelaworon. Karena itu dia tidak bisa terlalu sering belajar dan hanya mengikuti sesempatnya saja, karena ia harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan semangat mengenal huruf
dan angka yang tinggi, meskipun tidak setiap waktu belajar, Nggrip bisa membaca dalam waktu yang relatif singkat.
Untuk itu, Yusak melihat perlunya membuka “kelas” baru Sako
Rampon, agar Nggrip dan pemuda Rimba lainnya bisa ikut belajar di sana. Untuk itu, Yusak merencanakan adanya pondok belajar yang agak terpisah dari permukiman, namun bisa dijangkau para muridnya.
Sayangnya, rencana itu tidak disetujui oleh Bepak Gelanggang yang merupakan tetua adat rombong Sako Rampon.
Bepak Gelanggang tampaknya masih ragu dengan metode
pendidikan yang dibawa Yusak. Namun, rupanya bukan keraguan
yang menyebabkan Bepak Gelanggang menolak Yusak. Belakangan diketahui Orang Rimba di kelompok ini cemburu melihat keakraban
dan kedekatan Yusak dengan Orang Rimba di Sungai Pengelaworon. Yusak memaklumi saja kecemburuan Orang Rimba. Dia tetap pada
88
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Orang Rimba sedang berladang
niatnya menyebarkan aksara di belantara yang dihuni Orang Rimba. Yusak tetap menjaga pendidikan yang dibawanya murni baca-tulis
dan hitung, tanpa disusupi unsur lain. Itu untuk menepis dugaan dan ketakutan Orang Rimba akibat pengalaman sebelumnya yang beberapa kali didatangi misionaris.
Ditolak di Sako Rampon, Yusak menjadikan Sako Talun sebagai
tujuan berikutnya. Kelompok ini dipimpinan Tumenggung Mirak yang merupakan kakak tertua Bepak Pengusai. Sang tumenggung
berdiplomasi, di satu sisi tak menolak, namun ada anggota
kelompoknya yang melarang mereka ikut pendidikan. Akibatnya orang-orang tua di kelompok itu juga tidak ada yang menyarankan
anak-anak mereka untuk ikut pendidikan. Walhasil pengembangan pendidikan di kelompok ini tidak maksimal. Sebagian anak yang mau belajar memilih dan harus ke Pengelaworon.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
89
90
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Berhadapan dengan Pebalok Ketika WARSI mulai berkegiatan di Bukit Duabelas, Reformasi
bergulir. Tidak hanya reformasi birokrasi yang digaungkan, tetapi juga terjadi euforia kedaerahan untuk mengusai sumber daya hutan. Di
masa Orde Baru, penguasaan hutan terpusat di Jakarta. Daerah bisa dibilang tidak terlibat langsung dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Ketika Reformasi terjadi, sektor kehutanan menjadi salah satu incaran
daerah untuk dikuasai sebagai upaya meningkatkan pendapatan asli daerah atau PAD.
Pengelolaan hutan kemudian sangat karut-marut karena sektor
ini menjadi bancakan banyak pihak, ditandai dengan aktifnya kegiatan illegal logging. Pengawasan yang rendah menyebabkan hutan yang
merupakan penyangga kehidupan dan ruang hidup Orang Rimba
diserbu oleh aksi pembalakan liar.
Bukit Duabelas baik bagian selatan yang berstatus sebagai
kawasan cagar biosfer maupun bagian utara yang berstatus
hutan produksi—keseluruhannya merupakan tempat hidup dan berpenghidupan Orang Rimba—juga tidak lepas dari aksi illegal itu. Kegiatan logging di Jambi sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak
hadirnya HPH, yang memperlihatkan mudahnya mendapatkan uang dari penebangan kayu di hutan. Sawmill liar dan pabrik pengolahan kayu tumbuh subur di Jambi. Kayu legal dan ilegal berbaur untuk menghidupi industri tersebut.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
91
Pembalakan kayu yang berasal dari kawasan Bukit Dua Belas.
Di bagian selatan Bukit Duabelas, meskipun berstatus cagar biosfer,
terdapat Log Pond Meranti yang merupakan tempat penampungan kayu illegal. Di bagian timur Cagar Biosfer, yaitu di KM 24 jalan logging
eks HPH PT Intan Petra Dharma, juga ditemukan Log Pond. Kayunya sebagian besar berasal dari dalam Cagar Biosfer. Bagian utara yang
merupakan hutan produksi adalah lahan konsesi Intan Petra Darma dan kemudian beralih menjadi PT Inhutani V konsesi HTI. Meski waktu itu statusnya masih pencadangan, kenyataannya penebangan kayu di
areal konsesi sudah dilakukan baik oleh anak perusahaan patungan Inhutani maupun oleh pebalok yang tak mau ketinggalan. Untuk kegiatan logging itu, di kawasan hutan Bukit Duabelas terdapat jalan
logging yang menghubungkan kawasan utara dan selatan serta selatan
dan timur. Massifnya kegiatan logging di kawasan hidup Orang Rimba menyebabkan interaksi staf Warsi dengan pebalok tidak terhindarkan. 92
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak yang prihatin dengan penghancuran hutan Orang Rimba,
merasa sangat kesal terhadap aksi pebalok. Dalam suatu perjalanannya
ke Sako Rampon bersama Bepak Pengusai, Yusak mendengar raungan chainsaw diiringi derakan pohon tumbang. Bukannya menjauh, Yusak
mendekati suara itu. Dia mendapati pebalok tengah menebang kayu.
Di dekat mereka, kayu-kayu log sudah bergelimpangan. Tanpa takut, Yusak memarahi pebalok itu.
Bepak Pengusai kagum dengan keberanian Yusak. Orang Rimba
sebenarnya resah dengan aksi penebangan hutan, namun tidak bisa berbuat banyak. Dengan budaya yang selalu mengalah, Orang Rimba hanya akan menyingkir ketika ada yang mengambil hak-hak mereka.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
93
Pengetik yang Baik Di samping menjadi guru di rimba, Yusak juga aktif dalam
kegiatan-kegiatan WARSI lainnya, terutama yang melibatkan seluruh staf. Pada Oktober 1998, misalnya, WARSI mengadakan workshop yang memaparkan kajian tentang Orang Rimba melalui JRDP. Dalam
kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama WARSI dan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jambi itu,
WARSI memaparkan dampak pembangunan terhadap komunitas suku-suku asli marginal. Mereka menjadi “korban” pembangunan yang menjadi kebijakan pemerintah saat itu.
Dalam kegiatan-kegiatan seperti itu, Yusak menjadi andalan
sebagai notulis. Kemampuannya mengetik sangat cepat, buah kerja sampingan Yusak sewaktu di Yogyakarta dulu. Ketika itu Yusak tidak 94
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
selalu mengandalkan kiriman orangtua untuk membiayai kuliahnya. Ia juga bekerja di Sweet House, lembaga yang menerima jasa pengetikan.
Kala Yusak bergabung dengan Sweet House, lembaga itu hampir kolaps akibat konflik internal. Berkat masuknya Yusak, lembaga itu kembali berdiri dan mendapatkan order lumayan bagus. Kecuali memberikan pendapatan yang mampu menghidupi lembaga, order itu membuat konflik terurai. Kemampuan mengetik cepat itulah yang
membuat Yusak menjadi andalan dalam notulensi kegiatan WARSI. Setiap workshop dan kegiatan lainnya selalu didokumentasikan oleh WARSI dalam bentuk tulisan, dan Yusak-lah yang sering membantu mengerjakannya.
Saat itu belum banyak staf WARSI yang lancar mengetik 10 jari
tanpa melihat papan keyboard. Yusak mampu melakukannya. Walhasil,
catatan yang dia buat tentang sebuah kegiatan tertuliskan dengan baik.
Karena banyak kegiatan WARSI yang terpusat di Kota Jambi
harus dia ikuti, pada Oktober-November 1998 Yusak absen ke rimba. Dalam kunjungan sebelumnya, Yusak berjanji kepada para muridnya bahwa dia akan kembali dua minggu berikutnya. Ternyata dia baru
bisa ke sana lagi setelah dua bulan. Saat kembali, buku-buku pelajaran dan bahan ajarnya di pondok Ternong habis semua.
Menurut Ternong, buku-buku itu diambil oleh peladang yang
berkegiatan di wilayah itu. Ternong juga mengikhlaskan karena tak
yakin gurunya akan pulang ke rimba. Ketika Yusak kembali, Ternong amat bahagia dan berjanji akan belajar kembali sebagaimana yang mereka lakukan dulu. Orang Rimba harus berdaya, salah satunya melalui pendidikan.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
95
//Yusak dan Ternong
Berpacu dengan Waktu Jauh di dalam rimba Mengkekal sana,
Kami tertawa bersama, belajar bersama, makan bersama.
Bermain bersama, bercerita dan bertukar pengalaman hidup.
Ditingkahi oleh berbagai suara alam, kami sangat menghargai dan menghayati kebersamaan ini. Semuanya berlangsung secara natural. Tak ada kebisingan lalu-lalang kendaraan.
Yang ada hanya suara gemericik air di pagi hari, suara burung gagak melintas di sore hari, dan suara desir jangkrik serta tengkuyung mewarnai tidur kami. Sampai suatu saat kini: suara chainsaw terus memburu hidup kami. Haruskah kami pergi dari kehidupan ini?
(sebait kegetiran Yusak kala mengajar anak-anak Rimba di Makekal). 96
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Peta konsesi Inhutani V dioverlay dengan sebaran klp OR Makekal
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
97
Yusak tidak hanya memberikan pengajaran kepada anak-
anak Rimba di Pengelaworon, tetapi juga sudah memulai aktivitas
pendidikan di Sako Rampon dan Pangarukan. Selain mengajar,
adakalanya Yusak harus membantu kerja tim lainnya. Waktu itu WARSI tengah mengupayakan wilayah Makekal dan Kejasung di utara Cagar
Biosfir Bukit Duabelas menjadi kawasan hidup Orang Rimba dengan cara memperluas Cagar Biosfer dan menghentikan laju land clearing PT Inhutani V. Karena itu, semua staf WARSI melakukan berbagai kajian
untuk mendukung analisis pentingnya kawasan tersebut dipertahankan
keberadaannya dan tidak dialihfungsikan. Orang Rimba menjadi pertimbangan utama untuk tetap mempertahankan kawasan itu.
Awal 1999, Yusak, Tijok, dan Diki mendapatkan tugas membantu
pemetaan sumber daya hutan Orang Rimba yang menjadi sumber daya
tradionalnya sebagai sumber penghidupan dan mata pencahariannya. Pekerjaan yang luar biasa, karena mereka harus memetakan sumber
daya tradisional Orang Rimba di seluruh hutan yang ada di Cagar Biosfer Bukit Duabelas dan sekitarnya. Mulai jenis pepohonan, tumbuhan yang berguna, hingga ladang dan kebun Orang Rimba. Mereka bekerja
mengejar waktu karena wilayah itu sudah menjadi pencadangan HTI PT
Inhutani V. Awalnya dikerahkan tim yang lebih besar, Yusak termasuk di dalamnya. Namun, seiring pekerjaan utama yang harus diselesaikan,
tinggal berempat yang mengerjakan, yaitu Tijok, Diki, Robert, dan Sidiq. Robert dan Sidiq mengkaver wilayah selatan, sementara Tijok dan
Diki untuk wilayah utara dan barat yang merupakan areal konsesi PT Inhutani V, termasuk di dalamnya wilayah Makekal yang juga wilayah dampingan pendidikan untuk Orang Rimba milik Yusak.
Pondok bekas peladang yang dijadikan Yusak untuk pendidikan
di Sungai Pengelaworon, yang cukup untuk ditempati berlima, menjadi 98
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
basecamp kegiatan pemetaan itu. Pondok tersebut berada di atas bukit yang cukup luas untuk memandang beberapa bukit di depannya, di
mana Orang Rimba tinggal. Di belakang pondok ada sungai bening yang melintas.
Murid-murid Yusak juga bersahabat baik dengan tim pemetaan.
Setiap malam mereka berkumpul di pondok Yusak dan para anak didik
itu turut menginap. Pada pagi hari tim pemetaan sudah harus berangkat
mengumpulkan data ditemani oleh Pak Zul—orang desa Jernih yang biasa menjadi penunjuk jalan ke dalam rimba dan juga sejumlah Orang Rimba. Pernah juga, karena kelelahan akibat medan yang berat, Tijok
dan Diki beristirahat di pondok Yusak untuk satu-dua hari. Di situlah Tijok punya waktu untuk melihat dan mengamati apa yang dilakukan
Yusak dan para muridnya. Sesekali Tijok menjepretkan kameranya ke arah guru dan para murid tersebut.
Tijok (kiri), Yusak (tengah) dan Ternong pada suatu senja di Sungai Pengelaworon
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
99
Kala kegiatan pengajaran rehat, Tijok ambil bagian untuk
ikut bersenda gurau. Pengusai, murid Yusak yang pendiam, menjadi sasaran. Tijok mencandainya dengan sebutan “bujang lapay”. Sebutan
itu sering disematkan kepada para bujang yang belum juga menikah. Pengusai saat itu belum menikah meski untuk ukuran Orang Rimba sudah cukup dewasa.
Ternong yang saat itu sedang naksir anak gadis kelompok lain,
namun tak berani mengutarakannya, juga menjadi sasaran senda
gurau. Yusak rupanya tak hanya guru a-b-c-d, tapi juga dengan senang hati sering memberikan tips-tips mendekati gadis pujaan hati.
Jika malam tiba, sehabis makan, kegiatan belajar kembali
dilakukan. Dengan hanya ditemani lampu lilin atau damar hutan,
Yusak tampak tetap asyik mengajar anak-anak didiknya membaca. Tak peduli walau esoknya jelaga dari damar akan memenuhi hidungnya.
“Mupamano huruf A, Guding?”16 Yusak menguji anak muridnya.
“Ekh, macam nio Kakok,”17 kata Ternong sambil mengambar
huruf A di kertasnya. Ternong menulis huruf A hampir menghabiskan
sepertiga halaman buku tulisnya. Ternong adalah yang tercepat menguasai huruf.
Meski sudah bisa merangkai kata, Yusak cukup kewalahan
ketika mengajarkan murid-muridnya merangkai kalimat, apalagi
kalimat panjang. Berulang kali dia mengatakan bahwa anak-anak itu mempunyai ingatan yang tajam. Huruf dan angka semua bisa
dihafalkan dengan baik dan cepat. Tetapi jika merangkai kalimat, tampaknya mereka kesulitan. Yusak pun berpikir mencari cara yang terbaik untuk mengatasinya. 100
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
16 17
Seperti apa huruf A, Kawan? Seperti ini, Kakak.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
101
Hutan Sumber Makanan Berlimpah Rimba menyediakan sumber makanan untuk siapa saja yang
mendiaminya, termasuk staf WARSI yang bertugas di rimba. Orang
Rimba sangat senang berbagi lauk buruan mereka. Pada suatu
kesempatan, Yusak, Eri, dan Tijok tengah berkegiatan di Makekal. Jerat Bepak Ternong mengenai rusa betina yang cukup besar. Bepak Ternong dengan hati-hati melepaskan jeratnya.
Orang Rimba selalu berbagi lauk, termasuk Bepak Ternong.
Karena melihat ada orang Muslim dan cara penyembilahan hewannya
berbeda dengan cara Orang Rimba, Bepak Ternong pun meminta Eri untuk memotong rusanya.
“Au mika yang bunuh iyoi, kalau akeh nang bunuh, mika hopi biso
makonnye, kalau mika yang bunuhnye, kamia bulih makonye, dan bulih jugo kamu jual sisanye,”18 sebut Bepak Ternong.
Kamu yang menyembelih ya. Kalau aku yang menyembelih, kamu tidak bisa memakannya. Kalau kamu yang menyembelihnya, kami boleh memakannya dan sisanya juga bisa kamu jual. 18
102
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Jadilah Eri yang menyembelih rusa tersebut. Lauknya mereka
bagi-bagi. Satu paha diberikan kepada staf WARSI, sebagian lagi dibagikan kepada Orang Rimba kelompok Ternong, dan sisanya dijual ke desa. Hari itu mereka makan dengan lauk daging rusa yang dipanggang. Luar biasa enak.
Selang seminggu berikutnya, jerat Bepak Ternong kembali
mengena. Kali ini babi hutan besar yang masuk perangkap. Waktu itu
di Sungai Pengelaworon tinggal Yusak dan Tijok. Anggota tim lainnya sudah menyebar. Diki melanjutkan survei, sementara Eri pindah ke
daerah hilir. Hari itu Tijok tinggal di pondok pelajoron karena sudah kelelahan dan memilih untuk beristirahat.
Ketika Yusak tengah mengajar muridnya, Bepak Ternong datang
mengantarkan sebonggol paha babi hutan berbulu hitam. Murid-
murid langsung menghentikan aktivitas mereka. Tijok kemudian mendekat. Melihat paha itu, dia seperti melihat santapan babi guling
Obelix. Tijok mulai tak sabaran ingin segera memasak daging itu. Liur di mulutnya sudah tak tahan membayangkan bonggol paha babi hutan yang besar itu dibakar atau digoreng. Mereka bersepakat
bonggol besar akan digoreng dan sebagian dibakar. Bagi Tijok sendiri, mengonsumsi daging babi hutan lebih untuk mengikuti mitos. “Jika mau jadi antropolog yang baik, makanlah makanan masyarakat yang
engkau teliti,” kira-kira begitu mitos dalam antropologi. Sementara Yusak sudah terbiasa dibagi lauk babi oleh Orang Rimba.
Meski sangat berhasrat untuk mencoba daging itu, Tijok
berpesan kepada Yusak agar teflon yang mereka gunakan untuk menggoreng dicuci bersih setelah dipakai. Tijok waswas teflonnya Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
103
akan menyisakan bau khas babi hutan. Jika ketahuan orang-orang di Bangko, “reputasi”-nya akan rusak. Maklum Tijok satu-satunya Muslim yang makan babi di tim itu.
“Jangan khawatir, Jok. Aku sudah bawa pembersih rasa lemon,”
ujar Yusak
“Super mantap!” sambut Tijok senang.
Di sungai di belakang pondok, Yusak meminta Ternong mencuci
paha babi itu hingga bersih dan mengupas kulitnya hingga menyisakan daging kemerahan. Ternong segara membawa daging yang sudah
bersih itu ke pondok. Dengan sigap Yusak dan Tijok membagi dua, kemudian mengirisnya tipis-tipis supaya mudah digoreng. Ditaburi garam dan diolesi mentega, daging segar itu segera masuk perapian.
Tijok kemudian tampak sibuk menggoreng. Asap bau daging bakar menusuk kuat. Aromanya sangat khas, membangkitkan selera bagi penyukanya. Tak kalah baunya dengan bau daging rusa betina minggu sebelumnya.
Tijok yang penasaran dengan rasa daging itu tak sabar
menunggunya matang. Dia penasaran seperti apa rasanya sekaligus
ingin mengikuti mitos antropolog. Jawaban Yusak bahwa daging babi hutan sangat lezat, semakin menambah penasaran Tijok.
Jadilah malam itu mereka makan daging babi hutan. Tijok
mengakui bahwa daging itu enak dan gurih. Yusak tertawa saja melihat ekspresi Tijok yang sangat lahap menikmatinya. “Bagaimana tidak enak jika tiap hari ia latihan fitness terus. Lari ke mana-mana. Beda dengan babi peliharaan yang kerjanya hanya dikurung dan siap 104
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
dijagal,” kata Yusak melihat sahabatnya tersebut menikmati daging gurih dan sedikit alot itu.
“Pernah makan daging babi hutan sebelumnya, Jok?” “Belum, sih. Makan daging babi pun ini pertama.” “Gimana rasanya, Jok? Mantap?” “Mantap!”
Dan itu adalah pengalaman terakhir Tijok makan daging babi
hutan. Meski pernah mencoba jenis daging yang sama di tempat lain, Tijok merasa rasa babi hutan gorengan Yusak masih menempel lekat di rongga-rongga mulutnya. Seakan tak mau lepas.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
105
Menghindari Beruang Jarak yang jauh antar-rombong Orang Rimba menyulitkan Yusak
untuk menjangkau semuanya dalam waktu yang singkat. Belum lagi kala itu beruang masih banyak berkeliaran. Pada suatu kesempatan,
Yusak mendengar cerita Diki, yang pernah dikejar Beruang di Makekal
Hilir. Diki meminta Yusak agar hati-hati bila ada bunyi krosak dan
bunyi bedebuk kuat seperti suara benda jatuh jatuh dari atas pohon, bisa jadi itu adalah seekor beruang yang menjatuhkan diri dari atas
pohon. Biasanya di batang pohon tersebut terdapat bekas cakaran beruang. Selain itu biasanya bunyi lenguh dan nafas beruang cukup
kuat. “Hohoh hohoh hohoh”. Diki mencoba menirukan bunyi nafas
beruang. Bertemu Beruang di rimba tentu menakutkan, makhluk ini akan segera mencakar orang yang ditemuinya, mungkin disangkanya mangsa yang lezat.
106
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//pepohonan rimba dengan anak-anak yang memanjat
Makanya ciri dan tanda kehadiran beruang harus dipahamim,
sekaligus
mengetahui
teknik
menghindar
dari
sergapannya.
Berdasarkan pengalaman dan cerita Orang Rimba, bila dikejar beruang maka untuk menghindarinya maka kita harus lari menjauh secara
cepat dan zig zag, atau lari ke arah semak belukar atau ke kawasan hutan yang masih banyak pohon-pohon kecilnya seperti semak (rimba belolo). Karena menurutnya, beruang akan kecapaian sendiri bila
harus menyibak-nyibak semak belukar atau pohon-pohon kecil karena berusaha untuk mencakar dan merangkul.
Orang Dusun pernah menceritakan kalau di kejar beruang
bersuaralah mengembik seperti kambing, katanya beruang tidak suka dengan suara cempreng kambing. Tapi cara ini diragukan, belum teruji beruangnya lari mendengar ini, bagaimana kalau malah mendekat Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
107
dan mengira itu suara mangsanya. Beruang yang ganas dan sering mengejar orang adalah jenis beruang api yang moncongnya berwarna
kuning kecoklatan, sedangkan beruang yang moncongnya berwarna coklat gelap atau kehitaman adalah beruang madu yang tidak ganas.
Mendengar hal tersebut, Yusak menjadi takut, ia berharap
tidak bertemu dengan makhluk itu dan dia berusaha mengingat dan mengikuti saran Diki tersebut. Namun difikirannya, bagaimana kalau
ia panik dan jauh dari semak belukar. Yusak sudah menyiapkan ancarancar ketika ia harus menerima kenyataan dikejar beruang. Memanjat
pohon juga bukanlah pilihan bijak menghindari beruang, karena
hewan ini jago memanjat. Kalaupun pilihannya itu, sebaiknya pohon yang dipilih bukan yang besar, supaya tidak dinaiki beruang juga. Tapi
kalau pohonnya kekecilan malahan akan melengkung kalau dinaiki. Kesimpulannya yang teraman, bersembunyi di semak-semak. Meski
takut beruang, langkah Yusak untuk terus menapakkan kaki di rimba tidak surut.
108
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak dan Keakraban dengan Muridnya arena intensnya mengajar di rimba, Yusak sangat dipercaya
oleh Orang Rimba. Hal itu membuat para orangtua murid-muridnya
sangat percaya pada Yusak sehingga mengizinkan mereka dibawa ke
luar rimba dalam beberapa kesempatan. Ternong yang paling sering
diajak ke luar rimba oleh Yusak. Sering yang dimaksudkan di sini adalah sebulan atau dua bulan sekali ketika mengambil logistik atau ada keperluan lain di Bangko. Biasanya Yusak mengajak satu di antara para muridnya.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
109
Tujuan Yusak adalah mengenalkan bagaimana kehidupan di luar
komunitas Orang Rimba berlangsung, sekaligus memotivasi muridnya
untuk belajar lebih giat agar mereka tidak selalu menjadi korban pembodohan.
Sebelum berangkat ke Bangko, Ternong akan mengenakan
pakaian layaknya orang luar. Dengan sigap dia naik boncengan sepeda
motor begitu Yusak siap berangkat, seolah takut tertinggal. Mereka menelusuri jalan setapak di antara perkebunan karet yang ditumbuhi
paku resam dan lahan terbuka, sebelum sampai ke SP E Bukit Subur.
Dari sana mereka menuju Simpang Margoyoso dan terus ke Bangko.
Ketika dibawa ke Bangko, Ternong diperkenalkan dengan para
staf WARSI yang kebetulan ada di kantor. Ternong banyak belajar cara
kehidupan luar dan melihat luasnya pengetahuan, termasuk soal peta dan sebaran komunitas Orang Rimba.
Meski membawa mereka ke kota, Yusak tetap menghormati adat
dan kebiasaan Orang Rimba, termasuk soal makanan. “Kalu mikai golih
makon hayom, mikai bisa makon ikan. Kalu mikai golih makon hayom, akeh juga hopi makon hayom,”19 kata Yusak kepada muridnya, yang menandakan Yusak mengikuti selera makan muridnya.
Untuk tempat tinggal, Yusak akan berbagi dengan muridnya di
kamar mesnya di Bangko. Ternong tentu saja senang dengan ajakan gurunya itu. Apalagi sebelum kenal WARSI, Ternong pernah merantau dan tinggal di desa, sehingga tidak terlalu kaget dengan kondisi kota Bangko.
Kalau kamu tidak suka makan ayam, kamu bisa makan ikan. Kalau kamu tidak suka ayam, saya juga tidak makan ayam. 19
110
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Di Ujung Pengabdian Yusak sedang berada di puncak kebanggaannya atas murid-
muridnya yang semakin ramai dan lancar baca-tulis dan hitung.
Sejumlah kelompok yang awalnya menolak juga mulai menerima
pendidikan. Untuk itu Yusak mengusulkan adanya tambahan tenaga
pengajar dan pembangunan pondok belajar di masing-masing rombong agar program pendidikan bisa lebih fokus dan terarah.
Pada Februari 1999 mulai dilakukan proses seleksi calon guru dan pembangunan pondok belajar Orang Rimba.
Seleksi guru diawali dengan membuka lowongan yang ditujukan
kepada masyarakat desa sekitar Bukit Duabelas. Penyebaran pamflet
tentang lowongan kerja telah dilakukan pada 15 Februari. Pamflet itu segera mendapat tanggapan dari desa-desa yang ada di sekitar Makekal Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
111
//Yusak sedang mengajar
Hulu (SP G, SP E, SP D, dan SP A). Penyebaran pamflet juga didukung oleh Mas Hendro mantri atau tenaga kesehatan Puskesmas Pembantu
SP E Bukit Subur dan oleh Pak Slamet. Informasi lowongan kerja itu selanjutnya disebarkan melalui Radio SSB yang ada di Koperasi Unit
Desa (KUD) SP E Bukit Subur ke seluruh KUD yang ada di desa-desa interaksi.
Lowongan memang sengaja ditujukan untuk masyarakat sekitar
supaya akses dan interaksinya lebih mudah. Proses rekrutmen calon
guru pendamping Orang Rimba itu mendapatkan empat pelamar: dua dari Desa SP D Sungai Bulian dan dua lagi dari SP G Bungo Tanjung.
Namun pelamar dari SP G tak lama kemudian mengundurkan diri. Para tenaga pengajar baru itu rencananya akan segera diperbantukan untuk mendukung kerja Yusak di Makekal. 112
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Sayangnya, waktu itu pendidikan di Makekal kurang berjalan
lancar, karena ada beberapa murid Yusak yang terserang penyakit
demam salimo. Mereka urung belajar karena hampir semua orang
diisolasi dan tidak diperkenankan untuk bertemu dengan orang lain.
Yusak saat itu masih melanjutkan program pendidikan yang
dikelolanya, karena ada beberapa murid baru yang bergabung, yaitu
Sergi, Jujur, Kemetan, dan Yuyun. Yuyun bukan anak rimba, tetapi anak peladang yang dititipkan kepada Yusak untuk diajari baca-tulis.
Jadilah Yusak merangkap peran sebagai guru TK untuk anak peladang tersebut.
Pembangunan
pondok
pelajoron
juga
sudah
dimulai.
Pembangunannya bekerja sama dengan Orang Rimba. Sebagian
material berasal dari sumbangan Orang Rimba dan WARSI menanggung
biaya yang lain seperti upah. Ternong termasuk yang diberdayakan
untuk membantu pembangunan pondok dan mendapatkan upah dari Yusak.
Tak hanya pendidikan baca-tulis yang dirancang Yusak.
Pendidikan keterampilan dan pertanian menetap untuk Orang Rimba menjadi rencana Yusak berikutnya. Dalam kunjungannya ke Rimba
pada 8 Maret, Yusak kembali mengajar anak-anak Rimba. Namun hanya beberapa hari di dalam rimba sebelum kemudian keluar lagi karena ada urusan keluarga di Medan.
Sekembalinya dari Medan, Yusak segera kembali ke Rimba.
Sepeda motor GL Pro bernomor polisi BH 5034 LI mengantarnya ke rimba Makekal. Selain mengajar, ia juga ingin memantau pondok belajar yang bulan lalu dipesan untuk dibangun di masing-masing rombong. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
113
Yusak menelusuri jalanan Bangko menuju Bungo, berbeda
dari rute sebelumnya yang langsung masuk rimba melalui Simpang
Margoyoso. Dari Bungo, Yusak menyempatkan diri mampir ke wartel,
menelepon keluarganya di Jakarta. Dalam pembicaraan singkat dengan
sang ibunda itu, Yusak mengatakan akan pulang ke Jakarta pada 26 Maret 1999. Sebelum pembicaraan berakhir, ibundanya di ujung
tepon sempat mengingatkan Yusak untuk berhati-hati dan menjaga kesehatan.
Setelah itu Yusak kembali memacu sepeda motornya, kembali
ke Simpang Margoyoso, menelusuri jalan transmigrasi menuju rumah
Slamet di SP E. Dia beristirahat sejenak sebelum kemudian masuk ke dalam rimba menjumpai para muridnya yang sudah rindu. Dari sore
hingga malam mereka belajar membaca. Ternong dan Pengusai sudah lumayan lancar membaca. Demikian juga, dalam hal berhitung, mereka mulai mengerti penjumlahan dan pengurangan sederhana.
Malam itu Yusak merasakan badannya meriang. Dia pun memilih
tidur lebih awal, berharap besok pagi kondisi badannya lebih baik ketika bangun. Bukannya menurun, rupanya keseokan hari demamnya
semakin tinggi. Dia minta murid-muridnya untuk belajar sendiri dulu, membaca buku cerita yang dibawanya.
Yusak merasakan kondisinya tidak memungkinkan untuk terus
berdiam di rimba. Ia pun mengabarkan kepada Bepak Pengusai bahwa kondisinya tidak sehat dan berniat pulang ke Bangko. Bepak Pengusai masih ingat benar ketika sang guru itu menanyakan jalan ke SP G Bungo Tanjung. Bepak Pengusai merasa heran dengan pertanyaan itu. Bukankah Yusak sudah sangat sering melewati jalan itu? 114
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Khawatir dengan keadaan Yusak, Bepak Pengusai berniat
mengantarkannya hingga ke SP G Bungo Tanjung. Yusak menaiki sepeda motornya. Bepak Pengusai memilih berjalan di belakang. Dia tak berani naik kendaraan roda dua itu karena jalanan yang sangat licin.
Tak berapa lama berjalan, dia mendengar sang guru berteriak.
Rupanya ia salah jalan dan terjatuh. Bepak Pengusai segera berlari menyusul Yusak. Dengan susah payah Bepak Pengusai membantu
Yusak berdiri. Bepak Pengusai heran, kenapa Yusak salah memilih jalan. Bepak Pengusai menunjukkan jalan yang harus dilalui Yusak, setelah yakin Yusak bisa mengendarai sepeda motornya dengan baik.
Deru sepeda motor perlahan menghilang. Itulah terakhir kali
Bepak Pengusai melepas kepergian sang guru. Perasaan tak menentu menyelimuti hatinya yang tidak pernah ia ungkapkan pada siapa pun.
Yusak langsung ke SP G, tak lagi ke SP E, sebelum menuju Bangko.
Ia langsung ke mes untuk beristirahat. Penghuni mes di pengujung
Maret itu sudah mulai ramai. Yusak memarkir sepeda motornya,
istirahat sebentar, dan kemudian menyeduh kopi di dapur mes. Baru
beberapa seruput, kopi itu diletakkannya di atas meja di dapur, dan dia kembali ke kamar.
“Sudah pulang, Bang?” sapa Man, sopir WARSI yang juga
menghuni mes. Man sedang memanaskan mobil WARSI yang dititipkan di garasi mes putra itu. Kebetulan kamar Yusak berdekatan dengan garasi tersebut.
“Ah, biasalah, Ade Rai kambuh lagi,” ujarnya sambil mengisap
sebatang rokok.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
115
“Berobat dululah, Bang,” sambung Man sembari mendekati Yusak. “Nggak apa-apa, istirahat saja,” menyandarkan tubuh ke pintu kamar.
katanya
sembari
Mereka mengobrol biasa. Selang sepuluh menit kemudian, Man yang awalnya tidak memerhatikan tubuh Yusak, dibuat kaget karena pria bertubuh kekar itu tiba-tiba melorot ke lantai. Badannya kejang dari mulutnya keluar buih. Kemudian dia duduk, kasur yang ada di kamar itu dicengramnya, tergulung ke dalam pelukannya. Tubuh kekar itu terus bergerak seperti kerasukan. Man langsung berteriak minta tolong. Robert yang kebetulan sedang mencuci di kamar mandi bergegas ke depan.
“Lae, Lae. Ngapo, Lae?” Robert berusaha memenangkan Yusak yang semakin kuat mengcengkeram apa saja di depannya. Suasana sangat mencekam karena kamar itu juga dihuni Diki yang punya hobi mengoleksi berbagai bentuk senjata seperti pedang dan senjata tajam dari berbagai daerah yang dipajang di dinding.
Robert sekuat tenaga berusaha menangkap tubuh Yusak dan merangkulnya supaya tenang. Namun sia-sia. “Cepat panggil bidan sebelah! Minta bantuan teman-teman di kantor,” teriak Robert kepada Man.
Man bergegas ke rumah sebelah yang kebetulan dihuni seorang bidan, kemudian berlari kekantor yang hanya berjakar 500 meter. Tak lama kemudian, teman-teman berdatangan. Bidan pun sudah bersama mereka. 116
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
“Bawa sajalan teman kalian ke rumah sakit,” saran bidan.
Waktu itu gerakan Yusak melemah. Yusak digotong bersama-sama ke atas mobil yang tadi dipanaskan Man. Dengan sigap Man memacu kendaraannya ke rumah sakit yang hanya berjarak tak sampai 1 km itu.
Di atas mobil, Robert memeluk kepala Yusak di bangku tengah. Teman-teman lain duduk di bangku belakang. “Lae, Lae...,” Robert berusaha menepuk-nepuk pipi Yusak. Robert merasakan sahabatnya itu terkulai lemas.
Robert memegang pergelangan tangan Yusak, berusaha merasakan denyut nadinya. Berulang kali dia melakukannya, berharap dapat merasakan darah kehidupan mengalir di sana. Tapi semakin dia berusaha, perasaan hampa semakin menyergapnya. Entah sudah berapa kali dia mencoba, dan dia Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
117
tak merasakan apa-apa. Dipandangnya teman-temannya di bangku belakang. Perlahan Robert menggelengkan kepalanya. Tak ada yang berani bersuara. Semua mengerti gelengan Robert, tapi berusaha untuk tidak memercayainya. “Pasti Robert salah,” begitu harap mereka.
Mobil itu langsung melaju ke pelataran Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Kol. Abundjani Bangko. Dibantu petugas medis, tubuh Yusak segera didorong ke dalam. Dokter jaga segera memeriksa tubuh Yusak. Tak lama kemudian Dokter memberi tahu. “Teman kalian sudah tiada,” katanya pendek.
Semua orang terdiam. Ada yang mulai meraung. Yang lain menitikkan air mata.
Kebingungan melanda staf yang berada di rumah sakit itu. Tak percaya atas apa yang baru saja terjadi. Yusak yang beberapa menit lalu masih mengobrol dengan mereka, kini telah tiada. Mereka bingung. Bagaimana selanjutnya? Siapa yang akan memberi tahu keluarga Yusak di Jakarta? Bagaimana memberi tahukannya? Bagaimana membawa Yusak ke Jakarta? Pertanyaan-pertanyaan itu segera dibicarakan.
Awanya tak ada yang berani memberi tahu keluarganya. Tak ada yang punya cukup keberanian. Hingga akhirnya Erdi Taufik, yang secara usia juga paling tua di antara semua staf itu, sekaligus juru komunikasi WARSI kala itu, memberanikan diri. Dengan telepon kantor, Erdi mencoba menghubungi keluarga 118
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak di Jakarta.
“Hallo,” sahut Mark, adik Yusak, di ujung telepon.
“Ada Bapak? Ini dari WARSI di Bangko,” sebut Erdi dengan kaku.
“Bapak masih di kantor,” jawab Mark.
“Hmm... Nanti ditelepon lagi,” kata Erdi. Telepon lalu terputus.
Selang 30 menit berikutnya, Erdi menelepon lagi. Jawaban yang diterima masih sama. Rosni, ibunda Yusak, mulai gelisah dengan telepon itu, sehingga bertanya pada Mark. “Ada apa? Kenapa telepon dari Bangko, tapi bukan Yusak yang telepon?”
Mark juga tak bisa memberikan penjelasan. Hingga kali ketiga, Mark meminta Erdi menyebutkan saja keperluannya. Akhirnya Erdi menyampaikan berita duka itu. Mark tak percaya dan membentak Erdi untuk tidak bicara sembarangan. Di ujung telepon, suara Erdi terdengar serak. Dia nyaris menangis kala membenarkan kejadian duka itu. Mark langsung lemas. Sang ibunda yang sudah mulai curiga bertanya ada apa. Tak kuasa Mark menyampaikan berita itu kepadanya. Namun melihat gelagat anaknya, Rosni yakin sesuatu yang buruk telah terjadi. Dia pun meminta Mark menyampaikan yang sesungguhnya.
Ibu yang melahirkan Yusak itu seolah kehilangan tulang yang menyangga tubuhnya. Baru dua hari lalu dia mendengar suara putranya yang berjanji akan pulang, kini berita yang tak pernah diharapkan mampir dalam kehidupannya. Keteguhan hati sang ibunda tengah diuji. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
119
Di Bangko segera dilakukan rapat kilat untuk pemulangan jenazah Yusak ke Jakarta. Sebelumnya jenazah tentu tentu harus diselenggarakan terlebih dahulu sesuai dengan kepercayaannya. Selanjutnya adalah mengurus pemberangkatan. Jika diterbangkan melalui Jambi, hanya ada dua penerbangan ke Jakarta. Akhirnya Direktur WARSI Firdaus Jamal memutuskan membawa jenazah melewati Padang sebelum diterbangkan ke Jakarta. Firdaus mengurus segala sesuatu untuk penerbangan itu. Sore itu juga mereka langsung berangkat ke Padang, Diki dan Sidiq ikut naik mobil ambulance, sedangkan Firdaus, Rudi dan Erdi menggunakan membawa mobil WARSI yang dikendarai Man mengawal dari belakang Dengan pesawat Garuda Indonesia, pagi hari 26 Maret 1999, Yusak diterbangkan ke Jakarta. Suasana haru melepas kepergian sang sahabat yang tak akan pernah kembali lagi. Namun, perjuangan, ketegasan, dan pengabdiannya akan selalu abadi. Selamat jalan kawan. Semoga kerja kerasmu mengantarkan anak-anak Rimba bebas dari buta aksara dan menjadi ibadah yang akan mengantarmu ke tempat terbaik di sisi Tuhan Sang Pencipta.
120
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
“Empat Belas Tahun Kemudian”
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
121
Empat belas tahun berlalu. Sosok Yusak Adrian Hutapea
tak pernah pupus dari ingatan Orang Rimba. Dia adalah pahlawan yang menyuarakan pendidikan ke tengah belantara. Jasa dan sepak
terjangnya terpahat kokoh di sanubari murid-murid dan orangorang yang sempat berinteraksi dengannya ketika mengajar di Bukit Duabelas, Provinsi Jambi.
Perjuangan Yusak terus berlanjut. Generasi penerus melanjutkan
kerja Yusak dan rencana-rencana yang belum terealiasi. Rintisan yang sudah dibuka jangan sampai tertutup kembali. Pengenalan pendidikan dilanjutkan. Meski penentangan masih terus ada, pihak-pihak yang
menerima juga semakin beragam. Generasi muda yang interaksinya
semakin tinggi dengan peladang dan pendatang menjadi pintu masuk
untuk pendidikan. Hanya saja restu dari orangtua Orang Rimba tetap menjadi pegangan WARSI sebelum memulai program pendidikan.
Pendidikan yang baik harus direstui orangtua. Jangan sampai pendidikan malah menjadikan anak-anak Rimba menentang orangtua mereka atau menjadi sombong. Untuk itu dukungan orangtua menjadi sangat penting.
Para pendamping terus mencoba berbagai pendekatan untuk
program pendidikan rimba. Perlahan Orang Rimba mulai melihat
pendidikan, terutama menyangkut baca, tulis, dan hitung, sebagai sesuatu yang tidak membahayakan. Pencapaian itu tidak dicapai dengan mudah. Banyak resah dan duka menyertainya. Ketika pendidikan mulai
diterima, permasalahan tak lantas berkurang, tapi justru bertambah. Metode demi metode pembelajaran harus dicoba untuk menemukan
motode terbaik. Akhirnya metode yang memadukan unsur alam,
adat Orang Rimba, dan pendekatan-pendekatan alternatif yang lebih 122
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
memadukan unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik dirasakan bisa
menjadi tumpuan dalam proses belajar-mengajar itu. Pendidikan ala sekolah formal tak dijadikan acuan. Pendidikan alternatif yang jauh dari kesan formal terus dikembangkan.
Di mana pun, kapan pun, dan dengan alat apa pun, proses
belajar bisa dilakukan. Pinggir sungai, bawah pohon, atau naungan sesudungon bisa menjadi ruang bagi proses belajar-mengajar. Siang,
pagi, sore, atau tengah malam bisa menjadi waktu belajar. Sembari memeci, berenang, memancing, semua bisa menjadi medium belajar.
WARSI merekrut fasilitator pendidikan baru. Dari sekian
banyak pelamar, terpilihlah Saur Marlina Manurung, lebih dikenal
sebagai Butet Manurung. Kemudian juga masuk Oceu Apristawijaya, seorang sarjana pendidikan yang juga memiliki kemampuan melukis. Kehadiran Oceu memberi warna tersendiri dalam proses belajar-
mengajar Orang Rimba. Unsur seni menjadi salah satu instrumen dalam belajar. Kedua fasilitator pendidikan itu berbagi tugas untuk
menjalankan pendidikan alternatif di dalam rimba. Kelompok yang dijangkau juga semakin luas.
Selama rentang waktu 1998-2013, fasilitator pendidikan yang
mengabdikan diri di WARSI datang dan pergi silih berganti. Selain nama-nama di atas, tercatat sebelas fasilitator yang pernah bergabung
untuk mendedikasikan diri bagi pendidikan Orang Rimba. Mereka adalah Saripul Alamsyah Siregar, Agustina D. Siahaan, Ninuk Setya
Utami, Fery Apriadi, Galih Sekar Tyas Sandra, Abdul Rahman, Kartika
Sari, Priyo Uji Sukmawan (almarhum), Karlina, Nazariah, dan Huzer Apriansah.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
123
124
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
125
Akhirnya, setelah 15 tahun proses panjang tersebut, WARSI
masih tetap melalukan proses pendidikan tersebut. Tak kurang dari
400 orang telah memiliki kemampuan baca, tulis, dan hitung. Proses pendampingan pendidikan juga telah menyentuh berbagai aspek,
termasuk advokasi kebijakan pendidikan terhadap Orang Rimba.
WARSI juga mencoba mendorong negara untuk ikut terlibat aktif memberikan layanan pendidikan formal yang spesifik bagi Orang
Rimba. Itu dilakukan karena anak-anak Rimba juga ingin menggapai cita-cita mereka. Ada di antara mereka yang ingin menjadi guru,
dokter, wartawan, bahkan camat. Semua harus dijawab dengan sistem pendidikan formal yang berlaku. Ijazah menjadi penting sebagai
pengakuan dalam sistem pendidikan formal. Untuk itu, sejak 2005, pendidikan formal mulai dirintis. WARSI menjembatani anak-anak Rimba yang ingin melanjutkan sekolahnya. Advokasi ke berbagai
126
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
pihak menjadi tugas fasilitator pendidikan berikutnya, selain juga
terus mengembangkan pendidikan dasar baca-tulis dan hitung di dalam rimba.
Dalam prosesnya, program pendidikan bagi Orang Rimba
berhasil sampai pada beberapa capaian. Secara umum capaian itu tidak hanya bersifat kuantitatif, namun juga kualitatif. Adapun capaian
dimaksud adalah: 1. Penerimaan program pendidikan oleh Orang Rimba. Pencapaian yang sangat besar ini karena tim WARSI pada masa-masa awal terus-menerus melakukan pendekatan yang bersifat kultural dan emosional terhadap Orang Rimba, hingga Orang Rimba mulai menaruh percaya dan yakin bahwa pendidikan, terutama baca-tulis dan hitung, layak diterima dan tidak merusak adat, seperti yang semula mereka sangkakan. 2. Pendidikan yang diinisiasi WARSI juga berhasil menjadikan pengalaman-pengalaman pahit Orang Rimba dalam berinteraksi dengan dunia luar sebagai motivasi, seperti pengalaman ditipu toke, pengalaman dipermainkan saat belanja di pasar, pengalaman ditipu para pebalok yang menunjukkan selembar kertas dan mengatakan itu perintah raja. Semua menjadi pemicu bagi Orang Rimba untuk bersemangat menerima pendidikan.
3. Terus meluasnya jangkauan pendidikan yang semula hanya di Makekal Hulu, kemudian ke rombong di Makekal Hilir, Air Hitam, Kedundung Muda, Aik Behan, dan Kejasung Besar. Dalam lima tahun terakhir juga meluas ke Terab, Serengam, dan Kejasung Kecil. Bahkan juga sampai pada rombong Orang Rimba yang hidup di Jalan Lintas seperti di Pamenang. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
127
4. WARSI juga menjadi salah satu pendorong hadirnya sekolah dasar pertama khusus untuk Orang Rimba di Pematang Kabau. Sekolah tersebut memberi kemudahan bagi Orang Rimba untuk bersekolah. Saat ini sekolah tersebut dikenal sebagai “sekolah Orang Rimba” karena banyak Orang Rimba yang bersekolah di sana. Adopsi pola dan strategi pendidikan ala WARSI oleh negara merupakan capaian tersendiri dalam proses pendidikan Orang Rimba.
5. Setelah 15 tahun, berikut dimensi yang bersifat kuantitatif yang telah dicapai: Jumlah Orang Rimba yang ikut proses pendidikan yang diinisiasi Warsi, mulai dari awal hingga saat ini, meningkat. Tercatat 410 Orang Rimba bebas buta aksara, 53 duduk di bangku SD, 18 SMP, dan 1 perguruan tinggi. Meski angka itu masih rendah dibanding populasi Orang Rimba yang kini mencapai 3.800 jiwa, paling tidak model dan metode yang dikembangkan WARSI mampu memberikan pendidikan untuk Orang Rimba. Ini sekaligus mematahkan mitos bahwa Orang Rimba liar dan tidak bisa diatur, yang selalu dijadikan alasan untuk tidak melibatkan mereka dalam sistem pendidikan yang diberlakukan negara ini.
128
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak di Mata Orang Rimba Bepak Pengusai berusaha merajut kembali ingatannya yang
tersisa tentang Yusak Adrian Hutapea belasan tahun lalu. Mereka
memanggil mendihang Yusak dengan sebutan Bepak Guru. Sembari
mengenang, dia duduk bersila di atas tanah, hanya beralas sepotong kayu, dengan punggung disandarkan ke dinding pondok. Ingatan belasan tahun lalu itu kembali melintas. Bepak Pengusai ingat betul,
sebelum mengambil sikap menerima pendidikan bagi anak-anak
mereka, ia sempat menerima kunjungan beberapa staf WARSI pada 1998. Pada tahun yang sama, Yusak datang ke rimba menawarkan sekolah alternatif yang diprogramkan oleh WARSI di kelompok Orang Rimba yang bermukim di rimba Bukit Duabelas.
Anak-anak harus dibekali dengan pendidikan supaya bisa
menghitung dan membaca. Dengan bekal itu, ketika mereka melakukan
transaksi dengan orang luar, Orang Rimba tidak bisa lagi ditipu. Pada masa-masa sebelumnya, Orang Rimba sering menjadi korban tipuan oleh orang luar.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
129
Tawaran itu membuat Bepak Pengusai berpikir keras. Selama ini
dia merasa gundah melihat hutan di Bukit Duabelas yang terus habis dibabat oleh perusahaan. Selain ekspansi perusahaan yang merajalela,
aksi illegal logging juga semakin marak. Dia melihat ada secercah
harapan untuk menyelamatkan hutan mereka melalui pendidikan
yang ditawarkan Warsi. Meski melihat peluang itu, dia tak bisa
mengambil keputusan dengan gegabah. Dalam tradisi Orang Rimba saat itu, ikut pendidikan sama sekali tidak diperbolehkan. Jika Orang
Rimba mengikuti pendidikan, dianggap akan merubuh halom. Hal itu membuat Bepak Pengusai berpikir panjang. Namun, jika menolak tawaran itu, selamanya mereka tidak akan bisa melepaskan diri dari cengkeraman orang-orang luar yang sering mengibuli Orang Rimba.
Bepak Pengusai sangat risau antara menerima atau menolak tawaran tersebut. Padahal, melalui pendidikan, dia melihat celah untuk
menghindari anak cucu mereka dari tipuan dan kejahatan orang luar. Melihat pendidikan yang ditawarkan memiliki tujuan baik, akhirnya dia menyatakan menerima agar anak-anak mereka ikut program pendidikan yang di tawarkan WARSI.
Bepak Pengusai menilai ada benarnya pendapat yang
disampaikan kepadanya, sehingga dia berniat menerima pendidikan
itu. Padahal, di tempat lain, belum ada Orang Rimba yang mau menerimanya.
Sementara Bepak Ternong mengatakan, ketika Yusak datang
menawarkan pendidikan, tidak semua Orang Rimba menerimanya. Waktu itu masih banyak kelompok Orang Rimba yang curiga dengan pendidikan yang akan diajarkan kepada anak-anak mereka. Orang 130
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Rimba khawatir, pelajaran yang dikelola Yusak akan merusak anakanak mereka. Mereka tak ingin anak-anak tercerabut dari adat istiadat rimba akibat pelajaran yang mereka dapatkan dari orang luar. Mereka menyimpan prasangka negatif terhadap orang luar karena mereka sering diperlakukan tidak adil dalam banyak hal.
Meski kebanyakan Orang Rimba berpikiran negatif terhadap
pelajaran yang akan disampaikan Yusak, Bepak Ternong memiliki
pendirian lain. Dia berkeyakinan bahwa anak mereka tak akan berubah selama mereka tetap tinggal di dalam rimba, meskipun mempelajari apa yang selama ini dipelajari oleh orang luar. Keyakinanannya semakin
bertambah begitu mengetahui bahwa WARSI akan mendatangkan guru langsung ke dalam rimba. Ia pun setuju dan mengizinkan anaknya untuk ikut pendidikan. Waktu itu dia hanya memberi syarat,
jika anaknya harus keluar dari rimba dan bersekolah seperti anakanak dusun, dia tidak akan menerima. Sebaliknya, jika guru yang akan
datang mengajar ke dalam rimba, dia dengan senang hati melepas anaknya untuk ikut program pendidikan.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
131
“Kami nioma dengan Bepak Pengusai hendoklah. Kalu belajor tuliy baco didelom rimba yoya kami bonorko. Kalu anak kamia ditarik keluor dari kota ke kota yoy hopi ado kami bonorko.” ungkapnya,”20
ungkapnya.
Setelah melihat keseriusan guru yang akan mengajar hingga mau
tinggal di dalam rimba, rasa ragunya yang masih tersisa hilang. Kepada
Bepak Ternong, Yusak mengatakan bahwa dirinya akan mengajar di dalam rimba. Dia akan tinggal dan hidup bersama Orang Rimba.
Alasan Bepak Ternong melarang anak-anak Rimba dibawa keluar juga khawatir mereka bisa diserempet sepeda motor atau mobil. Selain itu, jika sewaktu-waktu ada anak yang sakit, kabar akan lama baru sampai ke dalam rimba. Waktu itu teknologi belum secanggih saat ini. Sinyal seluler belum menembus hingga Bukit Duabelas.
Karena Yusak datang langsung ke dalam rimba, mereka
beranggapan tidak salah jika mengizinkan anak-anak ikut pendidikan,
asalkan yang datang mengajar juga mengikuti adat-istiadat yang berlaku di dalam rimba. Selain itu, guru yang mengajar juga harus
mengikuti tata cara hidup Orang Rimba. Mereka tak boleh mengusik dan melanggar adat. “Kalu orang nang mengejar ke kito hopi ado apoapo. Kalu kito nang mengejar ke orang kita nang salah. Tapi orang nang mengejar turut apo sekato orang yang ditepat,”21 kata Bepak Ternong.
20 Kami dengan Bepak Pengusai mau. Kalau belajar tulis-baca di dalam rimba sini, kami izinkan. Tapi kalau anak kami dibawa ke luar, tidak kami perbolehkan. 21 Kalau orang yang datang ke kita, tidak apa-apa. Kalau kita yang harus datang ke orang, kita yang salah. Orang yang datang mesti mengikuti adat istiadat setempat.
132
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
133
Yusak di Mata Murid-muridnya Ternong berusia sekitar 18 tahun kala bersama Yusak di rimba.
Ternong termasuk murid yang paling dekat dengan Yusak. Ternong masih ingat dengan baik sang guru tidak membatasi ruang dan waktu dengan murid-muridnya. Bisa belajar di mana saja dan kapan saja. Tak
harus pagi. Tak harus siang. Malam pun mereka bisa belajar. Ternong ingat, Yusak sering memotivasi mereka dengan mengatakan bahwa jika mereka pintar tulis-baca, ketika menjual getah atau bahan apa
saja di transmigrasi tidak akan dikicuh orang. Kuncinya Orang Rimba harus mau dan rajin belajar. Perkataan itu seolah menjadi mantra
penyemangat. Mereka ingin pintar supaya tak dibohongi orang. Mereka ingin cepat bisa tulis dan baca seperti yang diajarkan oleh Guru Yusak.
“Kadang-kadang ado bemasok ado belajor. Kadang sudah
bemasok bemakon belajar lagi. Kalu peray samo peray. Kalu belajor samo belajor jugolah,”22 kenang Ternong.
Kadang masak, kadang belajar. Kadang sudah masak, makan, dan belajar lagi. Kalau libur sama-sama libur. Kalau belajar juga sama-sama belajar. 22
134
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Meski sudah belasan tahun berlalu, bagi Ternong, Yusak
selalu abadi dalam ingatannya. Yusak adalah bepak guru yang telah
mengajarinya banyak hal, namun selalu bersahaja dengan muridmuridnya. Itu jugalah yang kemudian membawa langkah Ternong
meninggalkan genah-nya di Puyang Titik pada bagi buta Jumat, 8 November 2013. Langkahnya cepat membelah rimba belantara
sepanjang jalan menuju Pengelaworon. Ia hanya mengenakan baju dan bercawot. Sebilah parang tersampir di pinggang bagian kanan. Kabar yang dibawa Beseling beberapa hari lalu memberinya semangat berlipat pada pagi itu. Ia ingin bertemu dengan ibu dari mendihang
gurunya. Dia mengira, kedatangan WARSI pagi itu disertai oleh ibunda
Yusak. Begitu kabar yang dia terima dari Beseling beberapa hari sebelumnya. Jarak yang cukup jauh itu ditempuhnya selama dua jam perjalanan.
Karena sangat akrab, selama di dalam rimba, Yusak selalu
bersama dengan Ternong. Sejak pertama kenal, mereka langsung
akrab. Ternong masih ingat ketika mereka pertama kali bertemu.
Waktu itu dia masih malu-malu ketika diajak bersalaman oleh Yusak. Awalnya, dia tak tahu siapa orang asing yang baru datang itu. Yang ia
ingat, Yusak datang menawarkan persahabatan. Dia murah senyum dan sangat ramah dengan anak-anak.
Ternong ingat, Yusak tidak memasang target kapan muridnya
bisa menguasai pelajaran. Dia hanya mengikuti kemauan mereka. Yang penting mereka sudah mau belajar. “Ujinye kalau kawana rajin belajor,
rajin sekolah kawana hopi ado dikicuh samo toke. Umpamanye menjual
bahan, jual getah dan segelo bahan nang dijual ke luar supaya mikai Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
135
hopi dikicuh urang. Jadi au lah, belajorlah kami. Belajor huruf nang pertamo, a-b-c,”23 ujarnya.
Meskipun demikian, karena tak terbiasa belajar, anak Rimba
gampang bosan. Jika hari ini mereka belajar, bisa jadi besok mereka
tidak datang. Tapi Yusak terus melakukan pendekatan agar mereka mau belajar lagi. “Misalnye belajar sehari nio besoknye peray. Apo bekerjo masang jorot, segelo nang bisa dicari. Besoknye lagi belajar lagi. Diajak lagi samo guru. Guru hopi ado marah,”24 tuturnya.
Ternong mengenang bahwa malaikat (sebutan untuk orang baik
yang sudah meninggal) Guru Yusak tak pernah marah kepada mereka.
Meskipun mereka suka usil ketika sedang belajar, Yusak tak ambil
peduli. Tak jarang, di tengah pelajaran, mereka tertawa begitu melihat teman mereka tak bisa mencontohkan apa yang diajarkan sang guru. Namun, ketika muridnya tidak bisa menangkap pelajaran, bukannya
marah, Yusak malah ikut-ikutan tertawa bersama anak-anak. “Nang akeh ingot, mendihang guru yoya hopi pernah marah. Kalau kami hopi depot nangkop pelajoron nye cuma tetawo bae. Diingot dalam utok guding, cuman itu nang nye sampaikan,”25 kenang Ternong.
Ternong masih ingat dengan baik pengalaman mereka belajar di
bawah temaram lilin dan damar hutan. Mereka berkumpul mengulang pelajaran yang diberikan Bepak Guru. Tak selamanya Yusak yang 23 Katanya kalau kawan rajin belajar, rajin sekolah, kawan tidak akan ditipu toke. Misalnya menjual bahan, jual karet, dan segala bahan yang bisa dijual ke luar, supaya kamu tidak ditipu orang. Jadi ya belajarlah kami, belajar huruf pertama, a-b-c.
24 Misalnya hari ini belajar, besok libur, bisa masang jerat, segala yang bisa dicari. Keesokan hari belajar lagi. Diajak sama guru. Guru tidak pernah marah. 25 Yang saya ingat, almarhum Yusak tidak pernah marah. Kalau kami tidak bisa menangkap pelajaran, dia hanya tertawa. ‘Coba diingat baik-baik, Kawan.’ Cuma itu yang dia katakan.
136
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
menjadi guru. Ketika malam, menjelang mata terpejam, tak jarang pula anak-anak Rimba yang mengajari Yusak tentang banyak hal terkait kehidupan Orang Rimba.
“Mendihang guru yoy selalu ikut apo nang kami lakukan. Kalu
malam-malam mumpanio, dio nang belajor podo kamia. Misalnye pogong-pogongon adat, bececerito kalu kito masong jorot sebolum kito menjorot iyoi. Isuk kito-a hendok masong jorot, malamnye kito bececerito dulu,”26 tuturnya. Ternong
mengaku
mendapatkan
banyak
manfaat
dari
kebersamaannya dengan Yusak. Ia menjadi paham tulis-baca. Sampai sekarang pelajaran itu masih membekas dalam ingatannya.
26 Almarhum Yusak itu selalu ikut yang kami kerjakan. Kalau malam-malam begini dia yang belajar dengan kami. Misalnya soal adat-istiadat, cerita-cerita kalau kita masang jerat sebelum esoknya masang jerat. Besok kita masang jerat, malam sebelumnya kita cerita-cerita dulu.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
137
//Pengusai dan anak-anaknya
Tak berbeda dengan Ternong, Pengusai juga mengatakan hingga
saat ini dia masih ingat apa yang diajarkan Yusak. “Hopi ado lupa. Mensihlah teringot,” 27 kata Pengusai.
Meskipun saat ini sudah bisa menerima pendidikan, Orang
Rimba tetap merasa waswas menatap masa depan. Saat ini rimba
semakin habis, sementara mereka butuh makan setiap saat. Mereka tak mungkin lagi mengandalkan hidup dari berburu dan meramu hasil
hutan. Jadi mereka harus mulai menata hidup dengan berkebun di tengah rimba.
“Harapan untuk masa depan Orang Rimba, kalu rajin menanom
para adolah harapon masa depan. Kalu malas menanam para habis rimba habislah maso depan,”28 ungkap Ternong.
Tidak lupa. Masihlah teringat Kalau rajin menanam karet ada harapan untuk masa depan. Kalau malas menanamnya, habis hutan habislah masa depan. 27 28
138
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak di Mata Sahabat
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
139
Tijok:
“Sahabat Satu Kampus” Aku dan Yusak ternyata berasal dari satu kampus, satu
fakultas, Fakultas Sastra, namun beda jurusan. Aku di Arkeologi, dia Antropologi. Dia dua tahun di atas aku. Waduh, angkatan tua nih, pikir aku. Maklum, sudah lazim di UGM, lulus di atas tujuh bahkan sepuluh tahun bukanlah hal yang aneh. Aku sendiri pun akhirnya sukses lulus
dengan 6,5 tahun dibandingkan teman-teman seangkatan. Alhasil IPku turun drastis.
Kami berkenalan ketika akan rapat bulanan di Bangko. Meskipun
kami satu kampus dan satu fakultas, kami tidak pernah bertemu
sebelumnya. Aku memang tidak aktif di kampus Sastra. Demikian pula dirinya. Ia katakan bahwa ia sibuk dengan kuliahnya satu lagi di
kampus yang lain, sehingga wajar kita tak pernah jumpa sebelumnya. Tak apalah. 140
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//hutan yang menjadi rumah orang rimba
Rupanya ia sudah datang di Bangko terlebih dahulu. Kami tinggal
di mes Bangko bersama yang lain. Kami masih malu-malu. Satu waktu
ia bercerita bahwa ia tidak disetujui oleh keluarganya untuk pergi dan bekerja di WARSI Jambi. Menurut keluarganya, ini adalah pekerjaan yang berbahaya. Tapi kenapa tidak dicoba dulu, katanya.
“Ya, Sak. Kalau aku masalahnya kena peraturan baru pemerintah.
Zero growth. Nggak ada bukaan pegawai baru untuk arkeologi,” kataku. Memang, masa-masa itu 1998 adalah masa yang sulit buat kami
sarjana yang baru lulus. Indonesia krisis moneter. Perusahaan banyak yang gulung tikar dan pemerintah pun ikut bangkrut. Lowongan
pekerjaan untuk kami para sarjana juga tergadai. Pekerjaan di WARSI adalah pekerjaan yang aku dapatkan setelah lebih dari
delapan
kali interview. Jadi mengapa tidak untuk dicoba. Toh, hobiku juga bertualang. Bekerja di rimba, saling bantu dan menikmati eksotisnya belantara dengan segala anugrah yang dimilikinya.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
141
Surdi:
“Dia Merangkul Anak Rimba Itu Tanpa Batas” Niat adalah hakikat nilai yang akan dikerjakan. Bagaimana tidak,
niat yang tulus akan membawa kebaikan dan pahala yang sempurna.
Begitu pula yang saya lihat dari diri Yusak. Selama mengantarkan Yusak ke lapangan, saya mengamati kedekatan Yusak dengan Orang Rimba.
Yusak sering membawa beberapa anak Rimba ke kantor. Anak Rimba
yang sering sekali diajaknya bernama Ternong. Yusak menganggap
mereka bagian dari keluarganya. Yusak tidak pernah merendahkan
mereka. Yusak selalu terlihat nyaman bersama mereka. Tak hanya anak Rimba, Yusak juga akrab dengan masyarakat desa yang berada di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas.
Saya melihat Yusak sebagai sosok yang serius dan fokus terhadap
apa yang dikerjakannya. Yusak sangat menghargai keberagaman. Sampai-sampai pemilik rumah tempat Yusak tinggal tidak tahu kalau dia beragama berbeda dengan mereka. 142
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Ternong merupakan salah satu murid yang selalu dibawanya ke
mana-mana. Kedekatannya dengan Ternong layaknya saudara sendiri. Kabar
duka
dari
laki-laki
berhati
tulus
yang
ramah
mengejutkanku. Saya tiba-tiba mendapati mes dipenuhi banyak orang, dan seorang kawan perjalanan ke lapangan telah terbujur kaku. Yusak meninggalkan banyak pelajaran untuk generasi guru rimba berikutnya. Mengajarkan ketulusan, keikhlasan, dan kegigihan untuk kita semua. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
143
Erinaldi:
“Yusak Sosok Tangguh yang Selalu Ingin Belajar” Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya
bagi orang lain dan berakhlak mulia. Menurut saya, Yusak menjadi bagian dari manusia yang baik tersebut. Saya mengenal Yusak dari
awal dia masuk Warsi. Dia kebetulan tandem bersama saya. Selama
kurang-lebih tiga bulan kami berdua bersama-sama. Sebagai orang yang pertama kali melihat Orang Rimba, sikap keingintahuannya terhadap adat-istiadat sangat kuat. Selama di lapangan, saya tidak
pernah mendengarkan keluhan darinya. Dia selalu menanyakan
banyak hal yang tidak diketahuinya. Meski dikenal sedikit bicara, Yusak merupakan kawan diskusi yang menyenangkan.
Sebagai perintis pendidikan, dia yang pertama kali mengawali
pendidikan dalam komunitas Orang Rimba tentu saja mendapatkan kesulitan. Banyak penentangan yang didapat, mulai dari penolakan hingga pengusiran dari beberapa komunitas Orang Rimba yang tidak menyetujui program pendidikan. Saya melihat dia cukup sabar
menghadapi itu semua. Hingga perjuangan itu membuahkan hasil 144
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
dengan mendaftarnya Ternong sebagai murid pertamanya bersama
beberapa temannya. Dimulai dengan belajar mencoret-coret dinding
rumah tempat beberapa peladang, hingga anak-anak Rimba itu harus sembunyi-sembunyi karena takut pada orangtua mereka. Yusak terus saja pantang menyerah menyodorkan menu pendidikan bagi Orang Rimba. Yang ada di dalam pemikirannya hanya bagaimana
cara melepaskan mereka dari rentetan eksploitasi dikarenakan ketidaktahuan mereka.
Setelah tahu manfaat pendidikan, banyak orangtua Rimba
yang berubah pikiran melihat kemampuan anak-anak mereka saat bertransaksi jual-beli hasil-hasil hutan. Mereka tidak bisa lagi dibodoh-bodohi. Mereka sudah mampu menghitung berapa jumlah
uang yang harus diterima dari penjualan. Kondisi itu mengubah stigma
pendidikan yang mereka takutkan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Perlahan banyak Orang Rimba yang memperbolehkan anak-anak mereka untuk belajar.
Yusak juga membangun hubungan baik dengan Orang Rimba.
Terlihat bagaimana ketika saya ajak dia keliling-keliling, banyak Orang
Rimba yang menyapanya dan mengenal namanya. Perjuangan yang dirintis itu harus terhenti setelah malaria menyerang tubuhnya.
Pertemuan terakhir saya ketika saya melihatnya dalam kondisi
sakit di mes. Dia sempat bilang, “Bang, kumat lagi malariaku,” ujarnya lemah. “Istirahat dululah,” kataku.
Rupanya itulah percakapan terakhirku dengannya. Malam
harinya Robert menjemputku dan mengajakku ke rumah sakit. Dia
memberitahukan bahwa pejuang pendidikan itu telah tiada.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
145
Oyvind Sandbukt:
“Saya Beruntung Sempat Mengenal Baik Yusak” Saya merasa beruntung sempat kenal baik dengan almarhum
Yusak. Dia adalah pelopor pendidikan untuk anak Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas Jambi. Dari laporan hasil kerja dan
penyampaiannya secara lisan dalam workshop bulanan staf WARSI,
saya juga dapat mengerti tantangan yang beliau hadapi dan bagaimana
kegigihan usahanya untuk mengatasi banyak persoalan di lapangan.
Kematian Yusak di lapangan saat bertugas sangat mengejutkan dan menyedihkan.
Kesedihan akhirnya terobati dengan adanya kesempatan bagi
saya untuk memberikan ucapan selamat jalan saat pemakaman
beliau di Jakarta serta ucapan turut berkabung kepada orangtua dan saudaranya. Dan kesedihan itu juga dapat terbayar melalui keberhasilan
WARSI kemudian merekrut sejumlah guru rimba pengganti yang telah
melanjutkan impian Yusak. Dan mimpi Yusak itu terus diperjuangkan sampai saat ini. 146
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Diki dan Yusak
Diki:
“Sosok Toleran yang Jago Gitar” Yusak Adrian Hutapea adalah orang pertama yang mengajari
Orang Rimba membaca, menulis, dan berhitung. Ia mulai menjadi guru rimba sejak 1998. Namun, upaya advokasi itu tidak langsung berjalan
mulus. Ketika itu Orang Rimba masih beranggapan bahwa pendidikan
hanya bagus untuk orang luar. Mereka memandang budaya luar tak
ada gunanya bagi Orang Rimba. Orang Rimba juga beranggapan, ikut mempelajari budaya luar akan menghancurkan budaya mereka sendiri.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
147
Asumsi Orang Rimba dengan adanya pengaruh dari pihak
luar akan membatasi ruang gerak mereka. Meski banyak penolakan, Yusak terus berusaha. Setelah melakukan evaluasi dan diskusi dengan rekan-rekan, kami kemudian mencoba pendekatan baru, yaitu dengan mendekati orangtua dan memberikan pemahaman terkait pentingnya pendidikan.
Kami juga mengikuti aktivitas sehari-hari Orang Rimba,
misalnya ikut berburu atau mencari ikan di sungai. Bahkan kami juga
sempat memakai cawot. Almarhum Yusak juga melakukan itu. Dan
setelah melakukan metode tersebut, hubungan dengan Orang Rimba bisa lebih cair.
Yusak mulai mengajar pertama kali di Pengelaworon pada 27
Juli 1998. Muridnya Ternong, Pengusai, Beseling, Nggrip, Mendawai,
dan Ngentepi. Agar tidak menimbulkan kecurigaan Orang Rimba, peralatan belajar yang digunakan juga diambil dari benda-benda yang
ada di sekitar mereka. Awalnya tidak ada alat tulis dan buku-buku. Yang jelas pada waktu itu jangan sampai atribut luar banyak masuk,
sehingga dalam mengajar almarhum Yusak menggunakan media tanah, arang, dan kapur. Kegiatan coret-coret bisa di papan pondok, sehingga papan itu dipenuhi gambar dan huruf-huruf.
Kegiatan belajar pun tak terkait ruang dan waktu, karena anak-
anak juga juga harus membantu orangtua mencari penghidupan. Kegiatan belajar dilakukan ketika ada waktu senggang. Mereka bisa
belajar di mana saja. Di pondok, di pingggir sungai, maupun di bawah pohon. Yang penting anak-anak mau belajar. 148
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Menurut saya, Yusak adalah pionir yang berhasil. Itu bisa kita
lihat dari bagaimana dia bisa menjalin keakraban dengan kelompok dan bagaimana dia memberi pemahaman kepada orangtua mereka.
Empat belas tahun sudah berlalu. Namun, kenangan yang
pernah dilalui tak mudah dilupakan. Apalagi waktu itu saya sekamar dengannya di mes Bangko. Jadi kesempatan untuk berdiskusi tentang
berbagai hal juga lebih banyak. Apalagi dia ternyata sangat jago main
gitar. Kadang-kadang diskusi juga tidak selalu yang serius-serius. Malah kadang hanya diskusi terkait gitar.
Selain jago main gitar, almarhum Yusak juga sangat toleran.
Dia sering membangunkan saya untuk salat Subuh. Meskipun kami
berbeda kepercayaan, dia tetap mau mengingatkan agar saya salat.
Seingat saya, Yusak juga sangat hebat mengontrol emosi. Meski sedang marah, dia bisa diam dan tidak menampakkannya. Tidak seperti kita yang kalau marah ya langsung dikeluarkan. Kalau dia bisa mengontrol emosi dengan baik.
Tapi dia bukanlah orang yang tertutup. Selama bersahabat
dengannya, dia banyak curhat tentang berbagai hal, termasuk tentang
pacar. Beberapa hari sebelum meninggal, dia bercerita akan bertemu dengan pacarnya pada 27 Maret 1999. Waktu itu dia rencananya
mau cuti dan pulang menemui pacarnya. Namun, pada tanggal 25 dia sudah meninggal. Dan kebetulan pula peti matinya sampai di rumah
tepat pada 27 Maret, seperti yang dia janjikan untuk bertemu dengan pacarnya. Apakah itu sebuah firasat atau hanya kebetulan saja, saya
tidak tahu. Yang jelas, selama bergaul, dia orangnya sangat baik dan sangat toleran pada perbedaan.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
149
//Rudi mengantar jenazah ke JKT/ dirumah duka
Rudi:
“Menjadi Teman Berdebat” Seingat saya Yusak cenderung pendiam, tenang, dan suka main gitar. Meski pendiam, dia suka diajak berdebat untuk isu-isu yang membangun. Kalau sudah berdebat dengan dia, bisa memakan waktu cukup lama, sehingga hilang sifat pendiamnya.
Dulu saya pernah berdebat panjang mengenai masa depan Orang Rimba. Waktu itu dia agak romantis melihat masa depan Orang Rimba. Dia beranggapan bahwa Orang Rimba akan bisa mempertahankan hidup dengan kondisi adat dan kebiasaan mereka saat itu, sehingga mereka sangat layak dibantu. Sementara saya berbeda sudut pandang melihatnya. Menurut saya, Orang Rimba akan lebih cepat berubah oleh pengaruh-pengaruh dari luar. Ketika saya bantah, dia tetap ngotot mempertahankan pendapatnya.
Jadi, semasa dia bekerja di WARSI, kami sering berdebat untuk isu-isu yang sifatnya membangun, karena dia orangnya suka mikir. Setelah dia pikirkan, lalu dilontarkan dalam sebuah perdebatan. Dia akan sanggup berdebat hingga berjam-jam untuk mempertahankan pendapatnya.
150
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Bang Daus di kantor bangko dan staf WARSI
Firdaus Jamal:
“Pak Guru Yusak Seorang Perintis” Yusak merupakan tipe orang yang tidak banyak bicara, komplain,
dan tidak mau usil dengan urusan orang lain. Diam-diam dia telah
membangun hubungan saling memahami dengan anak-anak Rimba.
Dalam satu kesempatan, Yusak menyampaikan gagasan dan keinginan
untuk belajar dari pengalaman Romo Y.B. Mangunwijaya di Kali Code, Yogyakarta, dalam mengembangkan sekolah untuk anak-anak jalanan
dan telantar. Gagasan itu disepakati untuk didukung. Diharapkan
metode dan pendekatan yang digunakan oleh Romo Mangun dapat diadaptasikan di Rimba Bukit Duabelas untuk anak-anak Rimba. Dengan dukungan “seadanya” dan pengalaman tinggal dan bersekolah
di Yogyakarta, proses magang dan belajar dari pengalaman di Kali Code dapat dijalani oleh Yusak.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
151
Sekembali dari Yogyakarta, Yusak mulai mengadaptasikan
model dan pendekatan yang dipelajari di sana. Sejak itu, waktu Yusak lebih banyak dihabiskan di lapangan di kawasan hidup Orang Rimba.
Waktu kami berinteraksi paling sering hanya sebulan sekali, saat rapat
tim bulanan dan penulisan laporan. Dari laporan yang disampaikan
dan komentar kawan-kawan tim yang lain, proses, adaptasi, serta rintisan metode dan pendekatan yang dilakukan Yusak sudah mulai
menunjukkan hasil. Beberapa orang anak rimba sudah menjadi murid Pak Guru Yusak.
Pondok untuk tempat berkumpul dan berinteraksi dibangun di
dalam rimba sesuai dengan gaya bangunan di rimba. Kelihatan dari foto-foto di lapangan, Yusak sedang memainkan gitar yang dibawanya
ke lapangan. Dia asyik belajar sambil bermain dengan anak-anak
rimba. Papan tulis sudah penuh dengan tulisan kata-kata yang bisa dipelajari oleh anak-anak rimba. Semua tim Warsi sangat senang, hasilnya sudah terlihat.
Sampai suatu sore yang tidak pernah akan kami lupakan, saya
dipanggil oleh kawan-kawan yang tinggal bersama Yusak di mes laki-
laki tim WARSI. Yusak pulang dari lapangan dalam keadaan sakit. Dengan cepat dokter dipanggil untuk memberikan pertolongan
pertama. Namun Tuhan berkehendak lain. Sahabat kami, Yusak, pada sore yang mengejutkan, telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Kami
terpaku, hampir tidak bisa bicara. Kawan-kawan yang lain cepat melakukan upaya-upaya menghubungi orangtua dan keluarga Yusak
di Jakarta serta memanggil perhimpunan yang seiman dengan Yusak, supaya jenazahnya diselenggarakan dengan semestinya, sebelum diberangkatkan ke Padang untuk diterbangkan ke Jakarta. 152
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
153
Damsir:
“Lae Yusak Adrian Hutapea, Catatan Emas Guru Anak Rimba” Perkenalan saya dengan almarhum Yusak, biasa dipanggil “Si Lae”,
memang tidak cukup lama. Kesempatan untuk berkumpul bersama pun sebenarnya tidak banyak. Yusak bekerja di Bukit Duabelas, sementara
saya untuk program Integrated Community Development Project (ICDP) TNKS. Kesempatan kami bertemu hanya saat kembali dari lapangan.
Sebelum mengenal lebih jauh Yusak, bayangan pertama yang
terlintas dalam pikiran saya adalah Yusak orang Batak yang punya
temperamen keras dan bicara ceplas-ceplos. Akan tetapi, setelah
mengenal Yusak lebih jauh, tutur katanya lemah lembut dan penuh kesopanan serta anggota jemaah yang taat beribadah. Bayangan dalam
pikiran saya berubah 180 derajat. Malah Yusak saya anggap sebagai orang ningrat atau keturunan berdarah biru dari orang keraton. Kami
sempat bercanda dengan menyebut Yusak keturunan ningrat dari tanah Batak, sementara Adi Prasetijo adalah keturunan Batak dari Solo.
Hari-hari selama berkumpul di kantor maupun di mes Warsi,
di Lorong Kampar, Bangko, bersama staf WARSI seperti Aska, Erdi,
Agus Budut, Sidik, Adi Prasetijo, Bintoro, Robert, Diki, Surdi, Hadi, dan
yang lainnya menjadi semakin berwarna. Kehadiran Yusak membuat
semua terasa berbeda. Sehabis jam kantor ataupun pada hari-hari 154
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
libur, biasanya Yusak akan melantunkan senandung bersama gitar
kesayangan anak mes di depan pintu kamar Robert yang menghadap ke jalan. Di lain waktu, Yusak akan mengangkat barbel atau mengajak
kawan-kawan yang lain untuk bermain pingpong. Kepandaiannya bermain pingpong sulit ditandingi penghuni mes lain.
Menjelang tidur, saat kawan-kawan yang lain sibuk dengan
kegiatan bermain kartu dan domino, Yusak lebih suka menonton TVRI sebagai hiburan atau berbagi pengalaman tentang bagaimana
menghadapi para tumenggung Orang Rimba yang menentang program
pendidikan yang dikembangkan WARSI bagi anak-anak Rimba. Tak hanya itu, Yusak juga bercerita bagaimana enaknya bersenda gurau kala
diajak anak-anak Rimba pergi mencari ikan, menangkap labi-labi, atau bagaimana suka-duka mengajar anak-anak Rimba pada malam hari hanya dengan menggunakan lilin atau senter sebagai alat penerangan.
Setiap pulang dari lapangan, dengan setia Yusak mulai bercerita kisahkisah heroiknya, walaupun dirinya sendiri masih capek atau kelelahan.
Dengan mengandalkan sepeda motor trail-nya, tidak jarang
Yusak jatuh-bangun dalam menempuh jalan-jalan tanah bekas logging
ataupun perkebunan kelapa sawit untuk mencapai lokasi genah kelompok-kelompok Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas.
Banyak cerita lapangan dari Yusak itu semakin menambah pemahaman
saya tentang lika-liku kehidupan Orang Rimba. Beberapa bulan sebelum kepergiannya, Si Lae sempat bercerita tentang rencananya untuk memindahkan pemakaman opung-nya ke Medan. Yusak bahkan sempat memperlihatkan sketsa lokasi pemakaman serta bentuk batu nisannya.
Pada hari-hari terakhir itu, Yusak juga pernah menceritakan bahwa dia
sedang mempersiapkan acara pertunangan dan rencananya menikahi pacarnya.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
155
Amilda:
“Yusak Guru Rimba yang Bekerja dalam Sunyi” Interaksiku dengan Yusak tidak terlalu banyak karena waktu
kita bertemu di WARSI sangat terbatas, hanya ketika seluruh tim kembali dari lapangan dan berkumpul kembali di Bangko untuk
membuat laporan bulanan. Setelah itu semua waktu dihabiskan
untuk workshop dari pagi hingga sore selama tiga hari berturut-turut. Ketika di lapangan, aku juga tidak pernah bertemu Yusak, walaupun
kita sebenarnya hanya dipisahkan oleh tali Bukit Duabelas. Waktu itu aku mengerjakan wilayah Air Hitam dan sekitarnya, sedangkan Yusak berada di Sungai Pengelaworon.
Kepergian Yusak merupakan bagian yang mengagetkanku dan
meninggalkan penyesalan hingga sekarang, mengapa aku tidak diberi kesempatan untuk mengantarkan kepergiannya. Kabar kepergian
Yusak aku terima dari Surdi ketika menjemputku yang baru keluar
dari Kejasung Besar. Malaria mungkin momok bagi kami semua, namun aku tidak pernah membayangkan bahwa malaria juga yang
tega merenggut teman kami. Setelahnya, kalau berkunjung ke mes putra, tidak ada lagi permainan gitar yang berasal dari kamar Yusak. 156
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Aku mengenal Yusak jauh sebelum kita sama-sama bekerja di
Warsi. Dia adalah kakak kelasku di Antropologi UGM. Di sana interaksi
kami tidak banyak terbangun. Pertama kali mengenal Yusak ketika kita sama-sama mengikuti kelas Prof. Hari Purwanto, Antropologi Pembangunan. Menurutku, aku adalah angkatan paling muda di kelas
itu, sedangkan Yusak adalah angkatan paling tua yang mengulang. Di kelas Prof. Hari, selalu saja yang paling muda dan yang paling tua
menjadi tumbal bagi kelas. Setiap ada pertanyaan, pasti pertama kali
ditujukan kepada anak ngarep dan anak bontot. Kalau kita nggak
baca, berarti nggak bisa jawab. Kalau nggak bisa jawab, berarti habis dienyek oleh sang profesor itu. Nah, Yusak kan nggak rajin datang ke
kampus. Kadang kala dia nggak kebagian fotokopi artikel yang harus dibaca. Rasa senasib tersebut menjadi awal perkenalan saya dengan
Yusak. Setiap Selasa siang, sebelum kuliah, dia akan muncul di bawah
pohon tempat favorit anak-anak Antropologi berkumpul sebelum kuliah dan menanyakan artikel yang harus dibaca hari itu. Sapaan
pertamanya selalu sama, “Pinjem artikel Pak Hari.” Setelah itu, dia pasti langsung pergi ke fotokopi dan kemudian membacanya. Aku pikir, apa mas ini sempat baca? Kuliahnya sebentar lagi. Di kelas, Yusak selalu
menempati posisi yang sama, di deret depan paling pojok sebelah kiri. Mungkin itu posisi favoritnya juga atau entahlah.
Hal lain yang mengingatkanku pada Yusak adalah dia punya
pacar yang cantik dan pacarnya itu sering kali diajak Yusak untuk
ikut kuliah Kewiraan. Kebiasaan itu sempat menjadi rasan-rasanan
di antara gangku, terutama oleh sohibku, Ndari. Ndari kenal Yusak, sehingga dia paling berani ngeledekin Yusak dengan guyonan, “Sing ra wani noleh neng aku ki meng Yusak, mergone ana pengawale.”29 Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
157
Mendengar ledekan itu, Yusak cuma tertawa. Dan aku merasa
senang ketika kami sudah sama-sama di Warsi. Yusak bercerita
akan menikah dengan pacarnya itu. Sayangnya, rencana indah Yusak tidak pernah terlaksana. Soal rencana pernikahan itu menjadi cerita
terakhirku dengan Yusak sebelum kami sama-sama pergi ke lapangan. Lapangan terakhirnya Yusak.
Kami cukup lama tidak bertemu di kampus hingga aku
menyelesaikan pendidikan sarjana. Aku sangat kaget ketika mengetahui bahwa yang menjadi fasilitator pendidikan di tim ini adalah Yusak A. Hutapea, kakak kelasku itu. Pertanyaan pertama yang
muncul di benakku, apa bisa? Sepengetahuanku, Yusak tidak memiliki background pendidikan. Dia itu sekolahnya di Fakultas Teknik Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN Veteran) Yogyakarta
dan Jurusan Antropologi UGM. Sepengetahuanku lagi, di Antropologi maupun di Teknik tidak diajarkan bagaimana teknik mengajar.
Seiring waktu, kesangsianku itu terjawab. Dia melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dia berhasil menyakinkan keraguan tersebut
melalui usahanya mengajak beberapa bujang lepay di daerah Pengelaworon untuk mulai belajar mengenal huruf dan angka. Walaupun murid pertamanya tidak banyak, hanya tiga-empat orang,
itu sudah merupakan pencapaian yang hebat di tengah penolakan adat Orang Rimba terhadap pendidikan. Dan Yusak berhasil melakukannya,
sehingga anggota tim percaya bahwa pendidikan dapat dijadikan sebagai salah satu program. 29
Aku merasakan keberhasilan Yusak sebagai seorang “pak guru”
Yang tidak berani menoleh ke arahku hanyalah Yusak, karena ada pengawalnya.
158
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
di wilayah Pengelaworon bukan hanya lip service semata setelah Yusak
pergi. Untuk pertama kali aku memasuki wilayah itu. Para murid-
muridnya bercerita tentang guru mereka. Cerita itu berisikan kesan
bahwa Yusak menempatkan diri sebagai teman dari para muridmuridnya. Untuk yang satu ini, aku mengakui bahwa dia telah berhasil melakukan tugas sebagai antropolog yang selalu diajarkan dalam
buku-buku bahwa kita harus menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Pengakuan atas pencapaian itu hanya dapat diketahui setelah kita tidak lagi bersama masyarakat tersebut, melalui kesan yang diberikan oleh masyarakat.
Sebagai seorang guru, Yusak merupakan sosok yang sederhana.
Tanpa perlu pengakuan dan publikasi di mana pun, dia menjadi sosok yang berarti bagi murid-muridnya. Sebuah karya yang sangat berharga
bagi murid-muridnya di rimba. Bagiku, Yusak adalah sosok seorang guru yang jujur dan tulus. Aku yakin, baginya, kerja dalam sunyi itu
lebih berharga daripada hiruk-pikuk apa pun yang ada di luar sana. Ia tidak membutuhkan pengakuan dari orang lain, karena bagi dia yang terpenting adalah meninggalkan kerja yang menghasilkan kemajuan
bagi murid-muridnya. Sebuah prinsip guru rimba yang sulit ditemukan
sekarang ini. Karyanya menginspirasi banyak orang untuk melakukan hal yang sama kepada anak-anak Rimba.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
159
Robert Aritonang:
“Kenangan Seorang Perintis Pendidikan Orang Rimba” Menjadi perintis pendidikan di komunitas Orang Rimba memiliki
tantangan yang sangat berat. Bagaimana tidak, bagi Orang Rimba,
pendidikan membuat mereka tercerabut dari adat dan kebudayaan mereka. Pendidikan juga menjadikan mereka sama seperti masyarakat
desa. Untuk itu, ketika disodorkan kata pendidikan, kelompok Orang
Rimba akan sepakat menyebut hopi, hopi, dan hopi.30 Namun Yusak telah membuktikan kerja kerasnya dengan mendapatkan beberapa
murid di wilayah Makekal Hulu, Pengelaworon, sebelah barat Bukit Duabelas.
Ketika berdiskusi dengan Yusak, saya melihat dia bercita-cita
pendidikan akan melepaskan Orang Rimba dari eksploitasi yang selama ini terjadi. Saat itu eksploitasi terhadap Orang Rimba sangat
tinggi, terutama dilakukan Bedul Kayo dan waris di hilir, di daerah Tanah Garo. Diskriminasi terlihat jelas dari pelarangan jalan Bedul
Kayo dilalui oleh Orang Rimba. Eksploitasi itu dilakukan dari segi
160
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
perdagangan hasil hutan hinggga tenaga Orang Rimba. Yusak melihat, satu-satunya yang bisa melepaskan Orang Rimba dari rantai panjang
eksploitasi adalah pendidikan. Pendidikan menjadi penting untuk
memberikan pengetahuan kepada Orang Rimba. Mambaca, menulis, dan berhitung adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki agar tidak dibodohi dalam interaksi dengan masyarakat luar.
Meski dikenal tak banyak bicara, ketika kita mengajaknya
berdiskusi, Yusak akan menjadi kawan diskusi yang seru. Setiap berdiskusi dengan Yusak, saya mendapatkan banyak pemikiran baru.
Yusak juga dikenal sebagai sosok yang tertutup. Dia tidak akan banyak bercerita kalau tak ditanya. Kita akan mendapatkan banyak kejutan
saat dia memperlihatkan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Misalnya saja, kami semua tidak banyak yang tahu kalau dia cukup
piawai bermain tenis meja. Itu baru diketahui ketika dia bermain tenis meja layaknya atlet. Saya melihat banyak lagi kelebihan Yusak yang belum kami ketahui, namun dia telah pergi.
Sosok laki-laki yang sederhana, jujur, dan taat beragama ini
akhirnya harus pergi dalam kedamaian. Saya kebetulan ketika itu bersamanya dan mendampingi saat-saat kritisnya. Dia yang semula
demam menjadi kejang-kejang hingga tak sadarkan diri. Itulah detikdetik terakhir kebersamaan saya dengannya. Semula saya sudah
sarankan kepadanya untuk opname, namun dia tetap bersikeras tidak mau berobat dan hanya ingin beristirahat. Begitulah Yusak. Dia selalu
teguh dengan prinsip-prinsipnya. Dia merasa bahwa penyakit malaria bisa dia lawan, namun Tuhan ternyata memilih rencana yang lain untuknya.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
161
Bintoro Juandaru:
“Pendidikan dengan Cara Pendampingan” Bersama teman-teman seperjuangan, kami mendedikasikan diri
untuk membantu Orang Rimba dari berbagai pihak yang mengancam wilayah penghidupan mereka. Kami memanggilnya Yusak. Kami sama-
sama kuliah di UGM, namun beda jurusan. Dia jebolan Antropologi, sementara saya dari Jurusan Geografi. Hubungan pertemanan kami menjadi lebih dekat karena sama-sama pernah kuliah di Yogyakarta.
Beliau adalah sosok sederhana, pemberani, dan memiliki
gagasan-gagasan maju dalam melihat kehidupan Orang Rimba.
Gagasan beliau yang paling cemerlang adalah memajukan pendidikan Orang Rimba dengan cara pendampingan. Pendampingan terutama
ditujukan untuk anak-anak Orang Rimba. Pendampingan pendidikan dilakukan secara informal dengan tempat dan waktu yang fleksibel.
Waktu itu, kegiatan pendampingan difokuskan pada Orang Rimba yang berlokasi di sekitar wilayah transmigrasi SP C dan SP G.
Yusak sering menemui Orang Rimba di daerah Pengelaworon,
Sungai Makekal. Dia kemudian bermalam bersama anak Orang Rimba. Pendampingan pendidikan dilakukan di sela anak-anak tersebut
bermain atau bekerja membantu orangtua mereka. Materi pelajaran
adalah membaca, menulis, dan berhitung. Proses pembelajaran dilakukan dengan cara bermain sambil belajar dan bersenda gurau. 162
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Suatu ketika Yusak melakukan pendampingan di wilayah Orang
Rimba dekat SP C. Kami sering menginap di rumah Mbah Slamet.
Beliau adalah “orang tua” yang dikenal dekat dan tahu banyak tentang Orang Rimba. Sebelum masuk ke hutan tempat Orang Rimba tinggal,
biasanya kami menyempatkan diri mampir ke rumah Mbah Slamet sambil berbincang-bincang untuk mengetahui kondisi Orang Rimba saat itu.
Yang perlu diketahui, Pengelaworon adalah daerah endemis
malaria. Hampir semua dari kami pernah merasakan ganasnya serangan malaria. Penyakit itulah yang diderita Yusak hingga mengakibatkannya meninggal. Walau beliau sudah tiada, jasa-jasanya
telah membantu perkembangan kehidupan Orang Rimba sampai saat ini. Semua itu akan selalu kita catat dan kita kenang.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
163
//Aska dan meja gambarnya
Aska:
“Kalau Saja Dia Masih Ada…” Kalau saja dia masih ada, mungkin kami akan selalu menjadi
teman baik hingga saat ini. Meski hanya sekitar empat bulan saya
mengenal almarhum Yusak Andrian Hutapea, kami berdua memiliki kesamaan hobi. Pada awalnya saya berpikir Yusak seorang laki-laki
yang menakutkan. Itu ditunjang oleh badannya yang tinggi besar dan ditambah kumis melintang di atas bibirnya. Namun siapa sangka laki-
laki berdarah Batak itu terkenal dengan sosoknya yang lembut serta ramah.
Setiap sore, ketika pulang ke mes, Yusak selalu berlatih angkat
barbel. Dia terobsesi dengan binaragawan Ade Rai. Dia banyak 164
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
menyimpan poster olahragawan idolanya itu. Biasanya, setelah latihan
angkat barbel, Yusak senantiasa memamerkan tonjolan otot-ototnya
kepada kawan-kawan. Saya sering memanggilnya dengan sebutan Ade Rai ketika sedang bercanda.
Dia juga sering menceritakan pengalamannya di lapangan, mulai
penolakan dari beberapa kelompok komunitas Orang Rimba, hingga harus menyampaikan pendidikan dengan cara menyamarkannya
melalui kegiatan lain. Dia juga sering membawa murid-muridnya berburu dan memancing sambil memberikan pelajaran.
Satu keunikan Yusak, dia tidak pernah makan daging sapi.
Agamanya mengajarkannya tidak memakan sapi.
Yusak juga dikenal sebagai laki-laki yang setia. Dia pernah
menunjukkan foto seorang wanita di dalam dompetnya. Meski sesekali
ada gangguan dalam hubungannya dengan wanita itu, Yusak sangat membanggakannya.
Ketika Yusak menghembuskan napas terakhirnya, saya merasa
menyesal tidak bisa melihatnya untuk yang terakhir kali. Saat itu
saya sedang berada di Jakarta, kebetulan sedang bertugas. Sementara ketika almarhum diterbangkan kembali ke Jakarta, saya buru-buru ke Bangko dengan harapan masih bisa berjumpa. Namun semuanya sudah
terlambat. Meski tak ada lagi kawan untuk angkat barbel bersama, tak
ada lagi laki-laki pendiam nan ramah itu, kenangannya masih terus menjadi bagian dari cerita manis yang akan selalu diingat.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
165
Andi Chaniago:
“Selama Mengenalnya, Aku Belum Pernah Melihatnya Marah” “Yusak, dari Jakarta,” katanya mengenalkan diri saat pertemuan
pertama kali.
Itulah awal pertemanan saya dengannya. Bagi saya, Yusak adalah
seorang pria yang amat baik. Sering kali kami melewatkan malam dengan menyusuri kota Bangko dan duduk di sebuah tenda makanan
ketika dia keluar dari hutan, hanya untuk menikmati sepiring nasi goreng dengan segelas teh telur. Tak banyak bercerita, itu ciri khas Yusak. Dia hanya tersenyum kecil jika saya meluncurkan gurauan. Yusak juga terkenal tidak pelit, acap kali dia mentraktir makan.
Hampir setiap malam, di bawah pancaran lampu di beranda mes
laki-laki, dengan 13 staf Warsi yang bermukim di sana, Yusak bersama
teman-teman menghibur diri dengan bermain gitar. Yusak dikenal
seorang gitaris yang andal. Hampir setiap lagu bisa diiringinya. Salah satu lagu yang sering kami nyanyikan adalah lagunya grup Java Jive.
Selain jago gitar, Yusak juga hobi memancing. Suatu ketika kami
pernah pergi memancing tanpa memeroleh ikan seekor pun. Kami hanya bisa menikmati bekal nasi bungkus yang kami bawa. 166
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Semua kehangatan itu berakhir pada 25 Maret 1999 ketika Yusak
dengan sepeda motor GL Pro bernomor polisi BH 5034 LI meluncur
dari lapangan ke mes dalam kondisi demam. Saya yang saat itu sempat
mampir ke mes melihat Yusak terlihat sakit dan kedinginan. Bersama teman lainnya, dia langsung dilarikan ke RSU Bangko. Meski demikian,
untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sesampainya di rumah sakit, Yusak harus menyerah pada malaria yang menyerangnya.
Saya tak akan pernah bisa bertemu laki-laki bertubuh besar yang biasa melempar sepotong senyuman itu lagi. Tak ada lagi suara lembut menggema di bilik-bilik ruang kantor yang beralamat di Jl. Teuku Umar No. 24, Pematang Kandis, Bangko, tersebut.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
167
Agus Budi Utomo:
“Kawanku Yusak Adrian Hutapea” Kami bersama beberapa kawan lain saat itu menjadi staf
Warsi. Pertama aku mengenalmu sebagai antropolog yang kemudian ditantang untuk memperkenalkan pendidikan baca-tulis-hitung
kepada anak-anak Orang Rimba. Aku masih ingat tempat yang pertama
engkau datangi adalah Sungai Makekal di utara Bukit Duabelas. Aku tahu yang akan engkau lakukan saat itu tidaklah mudah, karena memulai sesuatu yang tidak biasa bagi Orang Rimba. Bahkan kalau
tidak salah Bepak Tumenggung Makekal saat itu kurang setuju dengan program pendidikan bagi anak-anak Orang Rimba.
Tantangan itu sepertinya menarik untukmu karena kemudian
terbukti engkau jalani dengan suka-cita. Kesulitan yang engkau hadapi di lapangan selalu engkau ceritakan saat kita bertemu di Bangko bukan dengan nada keluh-kesah. Malah engkau ceritakan semua itu dengan bijak dan sambil tersenyum.
Kawan, usahamu telah terbukti tidak sia-sia! Orang Rimba di
Makekal akhirnya menerima kegiatan baca-tulis-hitung. Pintu yang
telah terbuka selanjutnya mempermudah upaya agar lebih banyak
Orang Rimba bersedia mengikuti kegiatan baca-tulis-hitung bagi anak-anak mereka.
168
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Bahkan tidak hanya anak-anak yang kemudian bersedia ikut.
Beberapa orang dewasa akhirnya juga ikut belajar baca-tulis-hitung di Makekal. Aku masih ingat, engkau bercerita bagaimana kerasnya
usaha beberapa Orang Rimba di Makekal untuk bisa mengeja huruf Latin hingga keringat mereka bercucuran.
Kawan, apa yang telah engkau lakukan adalah mulia! Engkau
memulai sesuatu yang sulit agar bisa diteruskan. Engkau telah menunjukkan bahwa yang sulit itu bisa dilakukan. Semoga apa yang
telah engkau mulai akan terus dilakukan dan diperluas oleh mereka yang meneruskan dengan suka-cita dan penuh semangat.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
169
Rakhmat:
“Yusak, Semangat yang Tak Pernah Usai” Mengenal Yusak merupakan kesempatan terbesar untuk
memahami kerendahan hati, ketulusan, dan arti persahabatan.
Walaupun hanya dua tahun bergaul bersama, baik di mes, kantor, maupun lapangan, banyak hal baik yang dapat diambil dari berbagai
kesempatan tersebut. Cerita yang selalu nyambung adalah cerita
zaman mahasiswa. Kebetulan saya dan Yusak sama-sama berasal dari Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Yusak dari Mapagama UGM dan saya dari Komma Fakultas Pertanian Universitas Andalas.
Berbagi pengalaman tentang pendakian puncak-puncak gunung, arung jeram, eksplorasi goa-goa alam, serta berbagai persoalan kerusakan lingkungan biasanya kami bagi menjelang tidurnya matahari, sambil
memetik senar gitar dan menikmati sebatang rokok. Atau sambil
sesekali saya mengangkat barbel buatannya yang terdiri atas kaleng susu serta biskuit yang diisi semen. Biasanya setelah magrib saya akan
kembali ke Mes Pancasila, karena Warsi punya dua mes, yaitu Mes Lorong Kampar dan Mes Pancasila. 170
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Mengenal Yusak sama seperti berteduh di bawah pohon-
pohon di rimba. Daunnya melindungi dari sengatan matahari, dengan keteduhan dan sepoi angin. Hampir tidak pernah saya melihat
Yusak marah, kendati jatah lauknya di mes habis. Biasanya dia cuma tersenyum sambil tetap makan malam dengan sayur atau ke warung
depan untuk membeli mi instan. Keteduhan dan kesabaran tersebut menjadi bekal dirinya sebagai pengajar. Itu saja belum cukup, tapi
harus ditambah dengan semangat, fisik yang prima, serta strategi agar bisa dekat dengan para calon muridnya. Apalagi Yusak harus mulai
mengenalkan sistem pengajaran kepada Orang Rimba, salah satu suku
asli yang kehidupannya masih seminomaden. Jangan dibayangkan
Guru Yusak akan duduk tenang menunggu muridnya datang. Tidak. Yusak harus berjalan kaki puluhan jam untuk bisa bertemu dengan para calon muridnya, meyakinkan para temenggung dan para orangtua muridnya.
Mengenal Yusak bagaikan meminum air laut. Selalu haus akan
ide-ide baru untuk memberikan pengajaran yang terbaik kepada
Orang Rimba. Untuk menambah kapasitas mengajarnya, Yusak meminta izin untuk dapat belajar dari para inisiator pendidikan alternatif di Yogyakarta. Selama sebulan pria yang sangat mengagumi
Ade Rai itu menimba pengetahuan dari pendidikan untuk masyarakat
miskin kota. Dengan segala kecerdasan dan ide kreatifnya, dia mulai menyusun metode pangajaran yang pas untuk Orang Rimba,
berdasarkan tipologi sosial, budaya, serta lingkungan mereka.
Pelajaran matematika, dimulai dengan berbilang buah-buah hutan, jumlah pohon, dan lainnya. Untuk huruf, dimulai dari nama-nama jenis burung, pohon, ikan, dan lainnya. Sistem pengajarannya menjadi tidak Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
171
menjemukan dan mudah diterima oleh Orang Rimba. Siapa pun yang menjadi fasilitator program pendidikan berikutnya, tinggal mengikuti jejak yang sudah dirintis dan diujicoba oleh Yusak.
Mengenal Yusak adalah mengenal semangat yang tidak pernah
usai. Dengan tubuhnya yang atletis, karena paling doyan olahraga, dan
pengalaman di dunia kepecintaalaman, menjadi modal untuk tetap
berjalan mengarungi semua sudut belantara Bukit Duabelas menemui semua calon yang kemudian menjadi murid-muridnya. Bersama dengan
anggota tim yang lain, Yusak bahu-membahu membangun sekolah rimba bagi masyarakat yang tak kunjung terlayani oleh pendidikan
negara. Tantangan tidak sedikit datang dari para tumenggung, karena pendidikan saat itu masih dianggap sebagai tabu. Tapi perlahan
namun pasti Yusak mampu meyakinkan para tumenggung akan pentingnya pendidikan bagi masa depan Orang Rimba. Dengan
semangat yang selalu bergelora, temuan-temuan lapangan, berupa
tantangan, kendala, serta peluang selalu disampaikan dalam workshop tim. Kendati banyak persoalan, dengan tekad yang kuat, Yusak tetap
yakin bahwa pendidikan adalah salah satu jalan bagi Orang Rimba untuk mampu mandiri serta dapat mengadvokasikan kepentingan mereka. Dan kemudian apa yang diyakininya telah terbukti benar. Saat
ini bukan hanya para orang tua Rimba yang menjadi murid Yusak, para anak mereka pun telah menjadi murid bagi para guru rimba yang meneruskan tongkat estafet Yusak.
Mengenal Yusak adalah suatu kebanggaan. Saat ini saya yakin,
di surga sana dia pasti tersenyum melihat jejak langkahnya telah berbuah. Sudah 400-an anak Rimba yang terbebas dari buta aksara.
172
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Dari murid-murid itu, juga tumbuh silih-berganti kader-kader Rimba yang membantu menyebarkan pendidikan untuk anak Rimba lainnya. Yang dilakukan Yusak adalah “babad alas”. Saya mengkhayalkan, sambil
tersenyum, Yusak tetap mendiskusikan tentang pendidikan bersama rekan-rekan guru penerusnya: Prio, Suhar, dan Yuzam. Keempatnya adalah guru-guru rimba yang kini telah tiada. Empat orang pahlawan
bagi kami di Warsi. Mereka semua tetap memegang kayakinan sampai di pengujung usia. Sahabat-sahabat Terbaik, yakinlah kami akan terus
dengan antusias untuk melanjutkan perjuangan kalian. Semoga Tuhan melindungi kita semua.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
173
Yusak di Mata Keluarga
174
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Kunjungan keluarga Yusak waktu in memoriam
Orang Tua Yusak (tengah) ketika berkunjung ke WARSI 2005 silam. Melakukan napak tilas perjalanan sang putra mengajar anak-anak rimba
Mark Hutapea:
“Sang Motivator yang Selalu Mengalah dan Sabar” Yusak Adrian Hutapea adalah abang saya dan dia tepat berada di
atas saya. Kami bersaudara ada delapan orang, dengan tujuh laki-laki
dan satu perempuan, dari keluarga almarhum Bapak W.P Hutapea dan Ibu R. Simatupang. Yusak nomor lima dan saya nomor enam. Selisih
usia kami tujuh tahun. Saya dan dia kebetulan tamat dari Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sama, yaitu SMA Negeri 3 Jakarta.
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
175
Kebetulan kelima abang dan kakak saya lahir di Palembang
sebagai generasi pertama. Sementara ketiga anak berikutnya, yaitu
saya, Julius, dan Michael, lahir di Jakarta sebagai generasi kedua. Ada lelucon yang membedakan kami yang lahir di Palembang dan di Jakarta
menurut orangtua kami, yaitu yang lima (almarhum Roy, Daniel, Eben, Wanda, dan almarhum Yusak adalah anak-anak “minyak”, karena waktu mereka lahir Papa masih aktif di Stanvac, perusahaan minyak bumi di Palembang yang kemudian dinasionalisasi menjadi Pertamina.
Sementara kami bertiga, yaitu saya, Julius, dan Michael, adalah anakanak “kardus”, karena saat itu Papa mulai aktif di perusahaan yang
bergerak di bidang packaging industry, PT. Guru Indonesia (Packaging).
Secara khusus saya sampaikan, abang saya almarhum Yusak
Adrian Panca Pangeran Hutapea, S.Sos. adalah motivator yang selalu mengalah dan sabar.
Kenapa saya katakan almarhum Yusak sebagai motivator? Saya
banyak berdiskusi dengannya menjelang penjurusan di SMA. Tepatnya
saat saya mau naik kelas 2 SMA. Saran dia termasuk ada benarnya karena saya disarankan untuk masuk IPA (zaman itu jurusan Fisika
dan Biologi) dibanding IPS (sosial). Walaupun saya sebenarnya lebih
memilih IPS, tapi akhirnya saya ikuti sarannya masuk IPA karena
bila mau mengikuti Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN),
pilihannya bisa lebih banyak dibanding yang di SMA-nya mengambil jurusan IPS. Akan tetapi, pada akhirnya saya sendiri tidak lulus UMPTN.
Saya termasuk mengidolakan dia saat itu, karena dia kuliah di
Yogyakarta dan termasuk orang yang bisa mandiri. Bisa dibayangkan, pada masa itu, kami ada delapan bersaudara, tetapi semuanya ingin
melanjutkan sekolah. Tidak dapat dibayangkan bagaimana orangtua kami berjuang untuk dapat menyekolahkan anak-anak mereka di 176
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
jenjang yang lebih tinggi.
Tadinya saya berkeinginan untuk mengikuti jejaknya berkuliah
di Yogyakarta. Tetapi karena satu dan lain hal, saya memutuskan
berkuliah di Bandung, di Universitas Advent Indonesia (UNAI). Papa
dan abang saya Daniel juga berkuliah di sana. Yusak-lah saat itu yang
memotivasi saya untuk berkuliah di sana karena, kata dia, kuliah di
sana juga bagus, tidak jelek, bahkan lebih bagus dari kampus-kampus yang lain. “Lihat saja Papa dan Bang Daniel, hidupnya survive, kok.” Itu kata-katanya yang membuat saya memutuskan untuk tidak mengikuti jejaknya ke Yogyakarta dan memilih berkuliah di Bandung.
Kenapa saya juga mengatakan almarhum Yusak sebagai sang
pengalah dan penyabar?
Sering kali bila Mama atau Papa membelikan baju atau celana
buat anak-anak laki-laki mereka, Yusak paling akhir dapat giliran. Yang lain sudah berebut mengambil lebih dulu bagiannya. Bisa dibilang
dia mendapat giliran yang terakhir. Tapi dia tidak pernah marah atau
tersinggung. Dia selalu mengalah, karena dia sendiri merasa itu sudah bagiannya.
Yusak juga bukan orang yang gampang tersulut emosi. Dia selalu
melihat semuanya dari kacamata positif. Tidak perlu emosi karena itu akhirnya merugikan. Itu yang selalu ada di benaknya.
Saya sedikit flashback ke zaman waktu kami masih anak-anak.
Kami berbeda umur tujuh tahun. Jadi dia jauh lebih dewasa dibanding saya. Saya termasuk orang yang tidak bisa mengalahkan dia dari segi yang positif seperti prestasi di sekolah dan kegiatan lainnya. Menurut
saya sendiri, dia termasuk orang yang kuat dari segi fisik dan termasuk orang yang punya prestasi (pintar). Begitu saya lahir, kata Mama, Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
177
Yusak begitu bangga punya adik, karena dia dulu lama menjadi anak
paling kecil sewaktu di Palembang. Dia selalu melindungi adik-adiknya
(saya, Julius, dan Michael). Bahkan bisa dikatakan, sampai saya mulai dewasa, dia selalu mengkhawatirkan kondisi saya, karena dulu waktu kecil saya termasuk anak yang sering sakit-sakitan.
Sewaktu dia remaja, saya masih TK. Saya lihat dia aktif di
Pramuka. Dia sudah masuk kategori pembina. Jadi dia termasuk orang yang lengkap. Selain pernah menjadi juara renang di DKI Jakarta, dia punya kemampuan yang tinggi dalam kegiatan Pramuka. Jadi saya tidak
heran, begitu masuk SMA 3 Jakarta, dia masuk kegiatan pencinta alam
sekolah kami, yaitu Sabhawana. Dia termasuk orang yang punya jiwa toleransi yang banyak terbukti sewaktu SMA. Banyak teman-temannya
yang datang bahkan menginap di rumah kami. Memang bisa dibilang dia juga mempunyai jiwa sosial yang tinggi kepada teman-temannya.
Dia juga pemain musik, yaitu piano dan gitar klasik, yang andal.
Saat liburan sekolah, saya dua kali mengunjunginya di Yogyakarta.
Pertama sewaktu SMP dan kedua saat SMA. Pada waktu liburan
menjelang tamat SMA, saya ke Yogyakarta karena punya keinginan
kuliah di sana. Di saat kesibukan kuliah dan kerja sambilan (Yusak bekerja sambil berkuliah), dia selalu tanya ketika tiba di indekosnya
pada malam hari, apakah saya sudah makan malam atau belum. Dia tahu saya termasuk orang yang suka makan. Begitulah, Yusak punya tanggung jawab yang besar terhadap saya, adiknya.
Mungkin hanya satu kebanggaan saya yang sangat saya syukuri,
karena pada akhirnya saya menjadi salah satu motivatornya untuk
menyelesaikan kuliahnya di Yogyakarta. Saya tamat kuliah dan diwisuda lebih dulu dari dia. Waktu itu akhirnya Papa memberitahukan 178
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
dia melalui surat dan menyisipkan foto-foto wisuda saya ke dia. Sepertinya itu yang menjadi motivasi dia menyelesaikan kuliah,
karena dia kuliahnya sudah lama sekali. Itulah satu-satunya “prestasi” saya atas dia dalam belajar, karena selama ini dari semua prestasi saya
selalu kalah sama dia. Saya tamat kuliah pada Mei 1997 dan diwisuda
pada Juni 1997, sementara Yusak tamat menjelang akhir 1997 dan diwisuda pada Agustus 1998.
Saat meninggalnya Yusak, Dewi, pacarnya, memberi tahu bahwa
Yusak sering membicarakan saya. Dia bangga pada saya karena dia
tidak pernah menyangka ternyata saya sudah dewasa. Salah satunya adalah saya bisa tamat kuliah dan diwisuda lebih cepat dari dia.
Yang selalu menjadi pertanyaan saya sampai saat ini adalah
terakhir saat dia mau pulang sebelum akhirnya meninggal (Senin/
Selasa), sayalah yang menerima telepon dari dia bahwa dia
mengabarkan mau pulang ke Jakarta pada 26 Maret 1999. Walaupun akhirnya dia bicara dengan Mama, tetapi itulah pembicaraan terakhir saya dengannya. Saat menerima berita meninggalnya (25 Maret
1999), yang terima telepon juga saya. Sebenarnya Erdi Taufik dari Warsi yang menyampaikan berita itu maunya bicara dengan Papa,
tanya nomor telepon kantor Papa sampai dua-tiga kali telepon. Begitu telepon terakhir, saya bilang titip saja pesannya ke saya, nanti saya
sampaikan. Tapi begitu diberitakan bahwa Yusak sudah tiada, saya sempat marah karena tidak percaya. Tapi berita itu benar adanya. Saya
sampaikan ke Mama, dan Mama minta saya beri tahu ke semua kakak-
adik kami, termasuk Papa. Seperti tidak disangka, salah satu dari kami mendahului kami dan diizinkan oleh Tuhan untuk beristirahat sementara dari jerih payahnya di dunia ini.
Puji Tuhan, saya ingat saat itu, semua acara berlangsung dengan Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
179
lancar. Almarhum meninggal Kamis, 25 Maret 1999, sore hari. Besok, 26 Maret 1999, pagi pukul 10 WIB, jenazahnya telah tiba di rumah
duka, diantar oleh rekan-rekan kerjanya di KKI Warsi, yaitu Rudi Syaf
dan Erdi Taufik. Almarhum dibawa via darat dari Jambi menuju Padang, dikarenakan saat itu penerbangan menuju Jambi sangat terbatas. Saya sempat sampaikan permintaan maaf saya kepada Erdi Taufik ketika
mengantarkan jenazah Yusak, karena saat mendapat kabar bahwa abang saya sudah tiada, saya sempat memarahinya.
Acara di rumah duka sampai acara gereja dan pemakaman di
Tanah Kusir pada hari Sabat atau Sabtu, 27 Maret 1999, berlangsung
dengan baik. Beberapa orang yang melihat ramainya pengunjung dan mobil yang diparkir mengira yang meninggal adalah seorang pejabat.
Padahal, yang berpulang adalah anak muda yang baru berusia 32 tahun.
Saya berandai-andai, jika Yusak masih hidup, bisa jadi dialah
yang akan mewakili KKI-Warsi untuk menjadi pembicara dalam
berbagai seminar atau lokakarya membahas kehidupan dan interaksi dengan Orang Rimba, termasuk mengajarkan membaca dan menulis.
Bisa jadi dia akan mendapatkan berbagai macam penghargaan. Tetapi Tuhan berkehendak lain. Yusak telah tiada. Dia benar-benar adalah pahlawan tanpa tanda jasa.
Penerus almarhum Yusak yang bekerja di Warsi, Butet Manurung,
pernah datang ke rumah bertemu Mama. Dia berkomunikasi dengan saya untuk dapat bertemu Mama, sampai akhirnya dia datang dan
meminjam beberapa catatan penting Yusak ketika berinteraksi dengan Orang Rimba. Akhirnya, seperti yang sudah diketahui, Butet bisa sukses dalam meneruskan perjuangan yang telah dirintis oleh abang saya itu. Bisa dikatakan, jalan yang telah dirintis oleh abang
180
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
saya almarhum Yusak sudah terbuka, sehingga Butet sendiri bisa meneruskan pekerjaan yang telah dirintis oleh abang saya.
Sekarang, 14 tahun telah berlalu. Tanpa terasa waktu terus
berjalan. Pada waktu Yusak bekerja di Warsi, saya pernah tanya ke dia, mengapa memilih kerja di lokasi yang jauh bahkan terpencil, mengapa tidak cari kerja di kota. Dia tidak menjawab, tapi dia tekun
dan serius dengan pekerjaannya. Akhirnya, begitu melihat hasil dari pekerjaannya sekarang, saya sendiri tidak menyangka bahwa apa yang telah diperbuatnya sudah mencapai hasil yang terbaik. Ternyata
memang tidak mudah dalam mendidik, mengajar, dan berinteraksi
dengan Orang Rimba sebagaimana yang dilakukan Yusak. Seandainya saya menjadi Yusak, belum tentu saya bisa seperti dia. Seperti yang saya sampaikan tadi di atas, abang saya Yusak mempunyai kemampuan
yang belum tentu dipunyai orang lain. Saya salut, ketekunan, kesabaran,
dan toleransi yang dia miliki saat ini telah membuahkan hasil. Saya berharap ke depan akan semakin banyak Yusak-Yusak yang lain yang berjuang untuk pendidikan bagi Orang Rimba.
Dalam kesempatan ini, saya berterima kasih kepada Tuhan
yang telah memberikan saya seorang abang yang baik, yang telah
mengajarkan motivasi yang baik, mempunyai jiwa toleransi yang
tinggi, dan punya sifat penyabar. Saya akan selalu mengenang
kebaikannya selama ini dan sampai kapan pun. Ketika Yusak sudah tiada, seperti ada yang hilang dari kami yang bersaudara kandung.
Tetapi kami yakin dan percaya, suatu saat nanti, kami akan bertemu
kembali dengan Yusak, Papa, dan almarhum Abang Roy di tempat yang
telah disediakan Tuhan.
Terima kasih saya sampaikan kepada KKI WARSI. Semoga tetap
memegang teguh komitmen terhadap Orang Rimba di Jambi. Tak lupa Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
181
//perjalanan orang tua yusak ke rimba 2005
Orang Tua Yusak ketika berkunjung ke Orang Rimba 2005 silam. Melakukan napak tilas perjalanan sang putra mengajar anak-anak rimba
saya sampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada murid-murid almarhum Yusak, yaitu Ternong, Pengusai,
Beseling, Omban, dan lain-lain, yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, serta kepada para tumenggung, yang saat ini telah merasakan
manfaat dari pendidikan yang telah dirintis oleh almarhum Yusak beserta kawan-kawannya dari WARSI. Saya akan selalu mendoakan
Warsi beserta semua kegiatannya berlangsung sukses, khususnya
yang menyangkut saudara-saudara kita Orang Rimba. Sampaikan salam hangat dari kami sekeluarga kepada saudara-saudara kita Orang Rimba.
Akhir kata, izinkan saya mengutip firman Tuhan yang terdapat
di dalam Galatia 6: 9: “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena
apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah.” 182
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
//Yusak kecil dan keluarganya
Daniel Hutapea:
“Yusak My Follower” Yusak kecil adalah “my follower” karena apa yang saya lakukan
akan dia ikuti. Saat saya mulai belajar musik, dia ikut belajar musik. Namun satu hal yang tidak saya sukai tapi dia cintai, yaitu pencinta alam. Saya tidak begitu suka naik-turun gunung dan keluar-masuk
hutan, tapi dia sangat mencintainya. Itulah sebabnya, saat dia
bergabung dengan Warsi, saya pikir itu adalah hal yang memang dia cita-citakan.
Saya sangat bangga kepadanya. Dia telah bisa menorehkan tinta
emas dalam sejarah pendidikan anak Rimba dan membuka wawasan anak Rimba terhadap dunia luar. Walaupun dia telah tiada, hasil Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
183
karyanya dalam mendidik anak Rimba adalah hal yang selalu kami
kenang. Kepergiannya juga menandakan dedikasi, integritas, dan
kecintaannya akan kemajuan pendidikan dan konservasi alam. Setiap
saat ada berita tentang anak Rimba, kami sebagai keluarga almarhum Yusak akan selalu mengenang adik kami itu.
Saya berterima kasih kepada Warsi yang telah meneruskan,
memelihara, dan mengembangkan apa saja yang telah dirintis oleh Yusak. Saya berharap Warsi bisa lebih baik lagi di masa yang akan datang dan akan lebih banyak membantu memajukan pendidikan bagi masyarakat terpencil lainnya di Indonesia.
karyanya dalam mendidik anak Rimba adalah hal yang selalu
kami kenang. Kepergiannya juga menandakan dedikasi, integritas, dan
kecintaannya akan kemajuan pendidikan dan konservasi alam. Setiap
saat ada berita tentang anak Rimba, kami sebagai keluarga almarhum Yusak akan selalu mengenang adik kami itu.
Saya berterima kasih kepada Warsi yang telah meneruskan,
memelihara, dan mengembangkan apa saja yang telah dirintis oleh Yusak. Saya berharap Warsi bisa lebih baik lagi di masa yang akan datang dan akan lebih banyak membantu memajukan pendidikan bagi masyarakat terpencil lainnya di Indonesia.
184
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Wanda Hutapea:
“Yusak is the Best” Yusak adalah salah satu adik saya yang selalu menemani saya.
Dia sahabat terbaik dan penasihat saya. Kebetulan jarak usia kami tidak terlalu jauh. Kebetulan pula saya anak perempuan satu-satunya di keluarga kami.
Sewaktu kecil, karena saya sering tidak boleh bermain di luar
rumah, Yusak yang menemani saya bermain di rumah.
Kami sangat bangga kepadanya. Dia telah menorehkan sejarah
pendidikan bagi anak Rimba dan membuka wawasan anak Rimba
terhadap dunia luar. Hasil karyanya itu akan selalu kami kenang. Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
185
Glosarium Bahasa Orang Rimba Anak dalam= Jabatan terendah dalam struktur kepemimpinan Orang Rimba yang bertugas untuk membantu pekerjaan menti Banuaron= Agroforest atau kebun buah yang terbentuk secara alami Bebalok= Mengambil kayu bulat di hutan
Becawot= Menggunakan kain penutup kelamin
Bededekir= Berdoa bersama dengan suara tinggi dan melengking untuk memanggil roh-roh nenek moyang memohon kesembuhan dan keselamatan. Kegiatan ini dilakukan ketika menghadapi posisi sulit dan mengkhawatirkan. Kalau belum parah biasanya Orang Rimba berdoa hanya dilakukan para dukun yang disebut dengan beramal Bepak= Bapak
Berdiom= Bermukim di luar rimba dan menggunakan adat dan kebiasaan seperti orang Melayu Beru= Bisa juga didengar dengan kata meru digunakan orang rimba untuk menyebut orang yang berasal dari luar komunitas mereka Besasalung= Saling bersahutan
Besasandingon= Memisahkan diri sementara dari kelompok agar tidak menularkan penyakit Besemendo= Laki-laki rimba menikahi perempuan dari kelompoknya dan tinggal di bersama keluarga perempuan Betetanom= Bercocok tanam 186
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
luar
Budak ebun= Bayi
Budak kecik= Anak kecil
Bujang= Remaja laki-laki
Bujang lapay= Remaja yang telat kawin
Cikai= Bisa juga disebut pohon lipai yang daunnya dimanfaatkan orang rimba untuk menjadi atap rumah Demam kuro= Deman disertai perut buncit seperti gejala hepatitis Demam slemo= Demam pilek
Dibunuh penyakit= Mati akibat terserang suatu penyakit Dikicuh= Ditipu Gejoh= Gajah
Genah= Tempat bermukiman Orang Rimba Halom= Alam Hopi= Tidak
Jenang= Orang Melayu yang dijadikan penghubung antara orang rimba dengan pihak luar. Jenang mempunyai kekuasaan untuk mengesahkan kepemimpinan Orang Rimba dan membantu memutuskan perkara yang terkait dengan pihak luar, juga membantu perdagangan hasil hutan Orang Rimba Jernang= Tumbuhan merambat yang diambil resinnya yang dikenal dengan nama darah naga (dragon blood) Kedulat= Kuwalat, tabu Orang Rimba yang terkait dengan tradisi Kuao= Burung kuao sejenis ayam merak
Malaikat= Orang baik yang sudah meninggal
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
187
Melangun= Tabu kematian dimana Orang Rimba meninggalkan pemukimannya ketika ada anggota kelompok yang meninggal dunia, yang bertujuan untuk menghilangkan kesedihan akibat ditinggal mati kerabatnya Memancah= Proses pembersihan semak belukar dalam pembukaan ladang Memotong para= Menyadap getah karet Mendihang= Almarhum
Menti= Jabatan untuk penghubung antara Orang Rimba dengan Orang Rimba untuk mengabarkan sidang adat dan berkomunikasi ke pihak keluar, bisa juga memutuskan perkara untuk perkara yang tidak terlalu rumit. Bisa juga berfungsi seperti humas Menumbang= Menebang pohon dalam proses pembukaan ladang
Ngapok ikan= Mencari ikan di sungai dengan menggunakan parang, ikan-ikan dipukul dengan badan parang
Pamono caranye hopi bulih nambah budak lagi= Bagaimana caranya supaya tidak bertambah anak lagi Pebalok= Pelaku pengambil kayu Pasekan= Kepala keluarga
Pondok palajoron= Pondok tempat belajar
Rajo godong= Pejabat pemerintah seperti bupati, gubernur, menteri, presiden. Kalau masih setingkat jabatan camat biasa disebut rajo saja Rerayo= Sebutan untuk orang yang sudah tua
Rimba belolo= Suksesi hutan dari belukar tua menuju rimba Rombong= Kelompok 188
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Sesap= Bekas ladang yang sudah ditumbuhi semak-semak dan pohonpohon kecil
Sesudongan= Pondok sederhana beratap terpal berlantai tanah dan bersifat sementara Sesulongan= Berbicara jarak jauh dengan sedikit berteriak
SP= Satuan pemukiman (istilah untuk penamaan pemukiman di kawasan transmigrasi)
Toke= Pedagang pengumpul tempat menampung hasil hutan, juga bisa sebagai tempat berhutang Orang Rimba, biasanya dalam hubungan ini Orang Rimba berada di posisi yang lebih lemah Tonuk= Tapir
Tuba hulot= Racun untuk membunuh ulat-ulat yang timbul akibat luka pada daging yang membusuk, berupa ramuan yang berasal dari tumbuhan obat-obat di dalam rimba Tumenggung= Sebutan untuk pejabat yang menjadi pemimpin tertinggi dalam kelompok Tungganai= Pemuka atau tetua adat, biasanya mantan Tumenggung
Waris= Orang Melayu yang berperan menjadi penghubung Orang Rimba dengan pihak lain. Biasanya lebih banyak untuk mengatur transaksi Orang Rimba dengan pihak luar
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
189
190
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
Yusak Pahlawan Pendidikan Orang Rimba
1