YAHWEH, Nama Tuhan yang Harus Diingat Kembali Oleh: Jahja Iskandar
YAHWEH, Nama Diri Tuhan, yang Otentik Alkitabiah Hanya sedikit orang Kristen mengetahui bahwa Nama Tuhannya (selain YESUS Kristus -Nama Tuhan ketika berinkarnasi jadi manusia) adalah YAHWEH (Tetragrammaton: hwhy). Mengapa? Karena hampir seluruh penerjemahan Alkitab masa kini telah menerjemahkan Nama Diri Tuhan yang otentik alkitabiah itu menjadi KURIOS (Yunani), DOMINI (Latin), LORD (Inggris), SEIGNEUR (Perancis), HERR (Jerman), SENOR (Spanyol), SENHOR (Portugis), HEER (Belanda), dan dalam bahasa Indonesia: TUHAN. Dalam keseluruhan kitab suci orang Kristen yang berbahasa asli (Perjanjian Lama), Nama YAHWEH (hwhy) tertulis sebanyak 6831 kali (hampir 7000 kali). Berbeda dengan sebutansebutan lainnya untuk menyapa Tuhan seperti: Elohim (~yhla) ) dan Adonai (ynda) )statistik menyebutkan rata-rata jumlahnya tidak mencapai sebanyak itu. Contoh: sebutan Elohim (dan semua turunan katanya, yang dalam TB-LAI diterjemahkan menjadi “Allah”) hanya tertulis lebih kurang 2775 kali; sebutan Adonai (dan semua turunan katanya, yang dalam TB-LAI diterjemahkan menjadi “Tuhan”) tertulis lebih kurang 860 kali. Statistik tersebut memberi gambaran kepada kita, bahwa Nama YAHWEH adalah Nama yang sangat penting, dan sangat mungkin Nama itu adalah Nama Diri tokoh sentral dari keseluruhan isi PL. Kita dapat membandingkannya dengan sebuah buku biografi seseorang, dalam buku itu sudah pasti termuat lebih banyak nama diri orang tersebut daripada gelar-gelar atau sebutan-sebutan lainnya. Demikian pula PL, buku tentang keberadaan, karya dan rencana Tuhan, Sang Maha Pencipta, tentulah isinya akan lebih banyak memuat Nama Diri Tuhan, Sang Maha Pencipta itu, daripada berbagai gelar-Nya atau sebutan lainnya. Kalau kita membuka berbagai literatur seperti: Ensiklopedi Alkitab, Kamus Alkitab, Tafsir Alkitab, dan buku-buku teologi lainnya, hampir semua literatur tersebut menyatakan bahwa YAHWEH adalah Nama Diri (proper name) Tuhan Semesta Alam, yang berbeda dengan Elohim atau Adonai, yang keduanya hanya merupakan sebutan umum (common appellation) belaka. Contohnya: 1. “Sesungguhnya, Yahweh adalah satu-satunya ‘nama’ Allah (Tuhan –red.). Dalam Kitab Kej. di mana saja perkataan sjem (‘nama’) dihubungkan dengan kata Allah (Tuhan – red.), nama tersebut adalah Yahweh. ….. Karena itu Yahweh –berbeda dengan Elohimadalah kata benda nama diri, nama diri Oknum, meskipun Oknum tersebut adalah Allah (Tuhan –red.).” [Douglas, J.D.; Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, jilid-1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF, 1994), hal.38.] 2. “Yahweh is the only truly personal name of God in Israel’s faith; the others are
titular or descriptive expressions. References to “the name” or “in the name” of God indicate this name.” [Bromiley, Geoffrey W., ed.; The International Standard Bible Encyclopedia, 2nd ed., vol.2 (Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1979), p.506.] 3. “Yahweh is the personal proper name par excellence of Israel’s God, … It is the personal name of God, as distinguished from such generic or essential names as El, Elohim, Shadday, etc.” [Orr, James, ed.; The International Standard Bible Encyclopedia, 1st ed., vol.4 (Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Co., 1974), p.1254, 1256.] Sekalipun YAHWEH adalah benar-benar Nama Diri, namun dalam proses penerjemahan kitab suci, para penerjemah telah terbiasa untuk menerjemahkannya (baca: menggantinya) dengan satu kata pilihan dalam bahasa sasaran, yang dianggap berasosiasi
makna dengan Nama tersebut. Padahal, nama diri seharusnya tidak dapat diterjemahkan apalagi diganti. Kenyataan seperti ini terungkap dalam kutipan di bawah ini: 1. “…the individual and personal name Yahweh, translated kyrios (Gk. ‘Lord’) in the LXX (Septuagint) and ‘the LORD’ by several English versions.” [Achtemeier, Paul J., ed.; Harper’s Bible Dictionary (San Francisco: Harper & Row, 1985), p.684.] “This name which is revealed to Moses still baffles, and it is no possible to translate it meaningfully into English, or into any language. In ancient Hebrew there are no vowels, but scholars have proposed that it might sound something like YAHWEH…. The name itself is so holy that to this day no Orthodox Jews will take it upon his lips. It was this name that fell upon the ears of Moses.” [Frank, Harry Thomas; Discovering The Biblical World (Maplewood, New Jersey: Hammond Incorporated, 1975), p.58.] Contoh yang paling jelas membuktikan perbedaan bahwa YAHWEH adalah Nama Diri (proper name) sedangkan Elohim atau Adonai adalah sebutan umum (common/generic name) ialah apabila kita membeli program Bible Works (sebuah program komputer mengenai alkitab), ketika kita pilih sebuah ayat yang mengandung kata YAHWEH ( hwhy ), Elohim (~yhla) atau Adonai (ynda), lalu kita klik kata YAHWEH ( hwhy ) tersebut, maka deskripsi yang muncul adalah: n.p. (noun proper). Sedangkan, bila kita klik kata Elohim (~yhla), atau kata Adonai (ynda), maka deskripsi yang kita dapati adalah: n.c. (noun common). Hal itu sangat jelas membuktikan, bahwa YAHWEH benar-benar proper name (Nama Diri), sedangkan Elohim atau Adonai adalah common appellation (sebutan umum). 2.
Kesulitan-Kesulitan dalam Penerjemahan Nama dan Sebutan-Sebutan Ilahi Para penerjemah kitab suci mengaku mengalami banyak kesulitan ketika harus menerjemahkan Nama atau sebutan-sebutan Ilahi. Dr. Daud H. Soesilo, seorang konsultan United Bible Societies, dalam makalahnya yang berjudul, “Terjemahan Nama-Nama Ilahi dalam Alkitab”, mengatakan, “Seringkali penerjemahan nama-nama Ilahi dalam Alkitab
merupakan suatu masalah yang rumit bagi banyak penerjemah. Semua penerjemah harus menghadapinya saat mereka mulai menerjemahkan dengan serius. Hal ini juga dapat menjadi masalah yang sulit dan dapat menyebabkan perpecahan bagi tim penerjemah.” Khusus untuk sebutan-sebutan Ilahi yang berkonotasi generic/common appellation (sebutan umum), rasanya para penerjemah tidak terlalu menghadapi banyak kesulitan ketika mereka harus menerjemahkannya. Sebab, mereka dapat dengan mudah menerjemahkan kata Elohim dan semua turunannya menjadi God (Inggris), juga kata Adonai dan semua turunannya menjadi Lord (Inggris). Akan tetapi ketika mereka berhadapan dengan kata YAHWEH, di sinilah mereka menghadapi masalah yang dilematis. Sebab, menurut aturan tata bahasa yang benar, mereka seharusnya mentransliterasi atau mengalihaksarakan Nama tersebut (transliterasi atau alih aksara ialah proses menuliskan fonem-fonem sebuah kata dari bahasa asal dengan aksara bahasa sasaran). Namun, tradisi yang biasa dilakukan oleh para penerjemah pendahulunya ialah justru menggantinya dengan sebuah kata pilihan dari bahasa sasaran, sebuah kata yang dianggap berasosiasi makna dengan Nama tersebut. Dan mereka, mau tidak mau, suka tidak suka, kemudian memilih tradisi yang telah terbiasa dilakukan itu. Sebagai pakar linguistik, mereka pasti sadar bahwa pilihan mereka salah. Tekanan psikologis inilah yang mungkin menjadi beban dan kesulitan mereka, seperti yang mereka ungkapkan di atas. Sebab, secara ilmu tata bahasa, penggantian semacam itu adalah tindakan yang keliru dan tidak berdasar. Dalam aturan tata bahasa Bahasa Indonesia, kita dapat merujuk pada Pedoman Umum Pembentukan Istilah dalam Bahasa Indonesia pada butir 6.3 mengenai Transliterasi dan butir 6.4 mengenai Ejaan Nama Diri yang menyebutkan,
“Pengejaan istilah dapat juga dilakukan menurut aturan transliterasi, yakni penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain, lepas dari bunyi lafal yang sebenarnya. Hal itu ditetapkan menurut anjuran International Organization for Standardization (ISO)….. Ejaan nama diri, termasuk merek dagang, yang di dalam bahasa aslinya ditulis dalam huruf Latin, tidak diubah. Nama diri yang bentuk aslinya ditulis dengan huruf lain, dieja menurut rekomendasi ISO dengan: ejaan Inggris yang lazim, atau ejaan Pinyin (Cina). Misalnya: Sokrates, Dmitri, Mao Zedong, Beijing, dll. Opsi dalam Menerjemahkan Nama Ilahi Soesilo, dalam makalah lainnya (“Menerjemahkan Nama-Nama Allah”) menulis, “Pada lokakarya Penerjemahan yang dilaksanakan setiap tiga tahun oleh Persekutuan LembagaLembaga Alkitab Sedunia (UBS), yang diadakan di Victoria Falls, Zimbabwe, bulan Mei 1991, suatu kelompok studi ‘Nama-nama Allah (Tuhan –red.)’ mengeluarkan sebuah pernyataan yang khusus membahas masalah-masalah dalam menerjemahkan nama YHWH dalam Perjanjian Lama. Teks pernyataan ini merupakan artikel pertama dari edisi Practical Papers yang terbit Oktober 1992. Dalam artikel kedua edisi itu, Kees de Blois menunjukkan dan membicarakan dengan panjang lebar pilihan-pilihan bagi para penerjemah mengenai nama YHWH dalam penerjemahan Alkitab mereka, termasuk: 1) Transliterasi ke dalam suatu bentuk seperti YAHWEH (sebagai contoh, Jerusalem Bible, New Jerusalem Bible, dan terjemahan-terjemahan akademis). 2) Diterjemahkan sebagai ‘TUHAN’. 3) Diterjemahkan dengan memberikan makna dari YHWH, ‘Yang Abadi’ atau “Yang Mahahadir’ (contoh: Buber dan Rosenzweig: ‘Ich bin da’ = ‘Aku Ada’; Moffat: ‘Yang Abadi’; Segond L’etern:‘Yang Abadi’).” Opsi atau pilihan yang ditawarkan oleh Kees de Blois di atas, menempatkan transliterasi (dari Tetragrammaton menjadi YAHWEH) sebagai opsi atau pilihan yang pertama. Yang mengherankan bagi kita ialah, para penerjemah dari Lembaga-lembaga Alkitab berbagai negara di dunia (mungkin juga termasuk utusan dari Lembaga Alkitab Indonesia) sudah berkumpul di Zimbabwe, mereka telah mendengarkan paparan Kees de Blois mengenai pilihan-pilihan untuk mentransliterasi atau menerjemahkan (mengganti) Tetragrammaton, dan mereka tahu bahwa yang menjadi pilihan pertama adalah transliterasi (menjadi YAHWEH), akan tetapi tetap saja mereka tidak memilih opsi pertama tersebut untuk dipakai dalam terbitan-terbitan kitab suci selanjutnya sesudah pertemuan tersebut. Penerjemahan Kitab Suci Mengikuti Pola Tradisi Yang Berurat Akar. Hambatan psikologis karena melanggar kaidah tata bahasa, khususnya mengenai penerjemahan nama diri, telah diabaikan. Juga opsi pertama dari Kees de Blois untuk memilih transliterasi nama diri, pun tidak dipilih. Yang dipilih justru mengikuti tradisi penerjemahan yang telah dimulai sejak zaman kuno, ketika PL secara lengkap telah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, kira-kira pada th.250 sM., dan hasilnya disebut Septuaginta (LXX), yang di dalamnya Nama YAHWEH diganti menjadi KURIOS. Penggantian semacam itu dilakukan oleh para penerjemah Septuaginta, sebenarnya karena mereka mengikuti tradisi Yahudi yang ada pada zaman itu, yaitu tradisi menghindari pengucapan Nama YAHWEH. Pada saat kembali dari pembuangan di Babel (kira-kira tahun 500 sM.), orang-orang Yahudi mulai diajar oleh imam-imam mereka untuk tidak menyebut Nama YAHWEH, dan menggantinya dengan kata ADONAI (yang berarti: Tuhan), atau hanya menyebutkan HA SYEM saja (yang berarti: Nama Itu). Sehingga sejak saat itu Nama YAHWEH mulai diasosiasikan maknanya dengan makna kata ADONAI (yang artinya: Tuhan). Pembiasaan semacam ini berlangsung bukan hanya dalam bahasa tutur/lisan, tetapi juga dalam tulisan-tulisan sehingga
menjadi tradisi yang berlangsung turun-temurun. Tradisi yang berlangsung turun-temurun di antara orang-orang Yahudi inilah yang kemudian diadopsi oleh para penerjemah Septuaginta, dan selanjutnya diadopsi pula oleh para penerjemah lainnya yang menerjemahkan kitab suci ke dalam berbagai bahasa sasaran, sehingga akhirnya menjadi pola tradisi penerjemahan yang berurat akar. (Catatan: Segala macam tradisi agamani yang dimulai sejak zaman kepulangan dari pembuangan di Babel, dan selanjutnya berkembang dan mendapat tempat yang sentral dalam ajaran Yudaisme, dalam Perjanjian Baru sering dikonfrontasi oleh Tuhan YESUS sebagai penyelewengan dari hakikat kebenaran Firman Tuhan. Misalnya, mengenai mengasihi/mengampuni sesama manusia, mengenai sabat, mengenai bagian yang harus diberikan seorang anak kepada orangtuanya, dll. Jika kita mengamati hal-hal ini, bukankah terpikir pula oleh kita bahwa tradisi penggantian Nama YAHWEH pun bisa jadi merupakan tradisi yang menyeleweng dari hakikat kebenaran Firman Tuhan, sebab di banyak bagian kitab suci dikatakan, bahwa Nama YAHWEH itu harus diingat, dipanggil dan dipuji-puji. Misalnya, dalam 1Taw 16:8 KS-ILT disebutkan: Bersyukurlah kepada YAHWEH, panggillah Nama-Nya, beritahukanlah perbuatan-perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa. Preface dari Good News Bible, Today’s English Version (United Bible Societies, London, 1978), mengakui secara terus-terang bahwa penerjemahan Nama Diri Tuhan dalam versi Good News Bible ini mengikuti tradisi kuno yang turun-temurun. “Following an ancient tradition, begun by the first translation of the Hebrew Scriptures (the Septuagint) and followed by the vast majority of English translations, the distinctive Hebrew name for God (usually transliterated Jehovah or Yahweh) is in this translation represented by ‘The LORD.’” Demikian pula yang terjadi di Indonesia, penerjemahan kitab suci benar-benar mengikuti pola tradisi yang telah berurat akar ini, sebagaimana diungkapkan oleh Soesilo, “Setelah melalui pembicaraan yang panjang dengan Komisi Penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia, diputuskan bahwa adalah penting dan lebih baik untuk mempertahankan penggunaan YHWH dalam Perjanjian Lama dan (dengan? –red.) tradisi penerjemahannya dalam Septuaginta (dijadikan KURIOS/TUHAN, –red.). Ini sudah menjadi tradisi yang diikuti oleh Gereja-gereja yang berbahasa Indonesia.” Kemudian, dia juga mengatakan, “….cara penerjemahan semacam itu (Tetragrammaton diganti TUHAN, --red.) telah berlangsung lama, mulai dari awal Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh A.C. Ruyl pada tahun 1612. Cara yang sama pula dilakukan oleh W.A. Bode, cs. pada tahun 1938, dan sampai sekarang penerjemahan dengan cara itu pun masih tetap berlangsung. Demikian pula halnya dengan literatur-literatur Kristen seperti: Kamus Alkitab, Ensiklopedi Alkitab, Konkordansi, buku-buku teks Teologi, jurnal-jurnal para ahli Teologi dan penerjemah Alkitab, serta buku-buku rohani Kristen lainnya, semuanya telah mengikuti keadaan sejarah ini (mengikuti tradisi ini, --red.).” Begitu kuat dan besarnya pengaruh tradisi penerjemahan Nama Diri dalam kitab suci kristiani. Hal itu telah merambak ke ranah publik lainnya, seperti misalnya penerbitan berbagai literatur kristiani. Sehingga untuk sebuah perubahan yang radikal, terlalu besar harga yang harus dikeluarkan. Implikasi dari Suatu Penerjemahan Fakta yang kita dapati sekarang adalah, Nama YAHWEH benar-benar kurang dikenal oleh orang-orang Kristen, padahal notabene Nama tersebut merupakan Nama Diri Tuhan, yang otentik alkitabiah. Belasan tahun yang lalu, orang-orang Kristen berbahasa Jawa masih sangat familiar dengan Nama tersebut, mereka melafalnya: YEHUWA. Juga orang-orang Batak dan Nias sangat mengenal Nama tersebut, mereka melafalnya: JAHOWA/JAHOBA/YAHOVA. Namun belakangan ini, kita melihat terjadinya kecenderungan yang menurun terhadap pengenalan Nama YAHWEH di kalangan orang-orang Kristen Jawa, Batak dan Nias.
Diperkirakan yang menjadi penyebabnya ialah, versi-versi kitab suci yang terbit dan dipakai oleh mereka belakangan ini sudah tidak lagi menggunakan terjemahan yang memakai Nama tersebut. Anwar Tjen, seorang tenaga ahli Lembaga Alkitab Indonesia, dalam makalahnya yang berjudul, “Satu Alkitab, Banyak Versi: Mengapa?” mengatakan, “Seperti kita ketahui bersama, mayoritas umat Kristen tidak dididik secara khusus untuk membaca Kitab Suci dalam bahasabahasa “asli”, yaitu Ibrani, Aram dan Yunani. Oleh sebab itu, untuk membaca dan menghayati firman Tuhan, kita pada umumnya bergantung pada terjemahan-terjemahan yang tersedia dalam berbagai bahasa. Kenyataan ini mempunyai implikasi yang penting dalam pemahaman umat akan firman Allah (Tuhan, --red.). Artinya, unsur-unsur makna yang terkandung dalam teks-teks sumber jelas telah melalui suatu “saringan” awal para penerjemah sebelum dituangkan ke dalam bahasa sasaran.” Dari pernyataan ini kita dapat menarik kesimpulan, bahwa penerjemahan kitab suci akan sangat berpengaruh pada pemahaman umat pengguna kitab suci tersebut. Jika penerjemahannya tidak tepat, jelas pemahaman umat pun akan tidak tepat. Jika penerjemahannya tidak mentransilterasi Nama YAHWEH, jelas umat pun akan tidak mengenal Nama YAHWEH. Melupakan Nama YAHWEH adalah kebiasaan buruk orang Israel. Dalam Yeh.36:21-23 disebutkan kegalauan hati Tuhan ketika umat-Nya menajiskan dan tidak menguduskan Nama-Nya yang besar: Namun Aku merasa sayang akan Nama kudus-Ku yang telah keluarga Israel najiskan di antara bangsa-bangsa tempat mereka pergi ke sana. Oleh karena itu katakanlah kepada keluarga Israel: Beginilah Tuhan YAHWEH berfirman: Aku tidak bertindak untuk engkau, hai keluarga Israel, tetapi hanya demi Nama kudus-Ku, yang telah engkau najiskan di antara bangsa-bangsa, tempat engkau pergi ke sana. Aku akan menguduskan Nama-Ku yang besar yang telah dicemarkan di antara bangsa-bangsa, yang telah engkau najiskan di tengah-tengah mereka. Dan bangsabangsa itu akan mengetahui bahwa Akulah YAHWEH, demikianlah firman Tuhan YAHWEH, ketika Aku dikuduskan di dalam engkau di depan mata mereka. (Yeh.36:21-23) Sejak zaman eksodus, Tuhan sudah memberi peringatan kepada umat Israel agar mereka tidak memanggil dan menyebut nama ilah lain: Dan dalam segala hal yang telah Kufirmankan kepadamu, haruslah kamu waspada, juga nama ilah-ilah lain jangan kamu sebut-sebut, itu jangan terdengar dari mulutmu.” (Kel.23:13) Tetapi umat Israel justru tidak mendengarkan firman-Nya: dan Aku telah berfirman kepadamu, Akulah YAHWEH, Elohimmu, janganlah menyembah ilah-ilah orang Amori yang negerinya kamu diami, tetapi kamu tidak mendengarkan firman-Ku itu.” (Hak.6:10) Mengapa dari zaman Israel diperintah oleh para Hakim hingga zaman Gereja Kristen saat ini begitu banyak umat Tuhan yang berhenti meninggikan Nama YAHWEH dan melupakan Nama-Nya? Mengapa ada begitu banyak keturunan orang percaya yang tidak mengetahui Nama Tuhan yang benar? Ternyata Kitab Suci memberi kesaksian bahwa dari sejak dahulu, tentang hal ini, umat Israel telah diperdaya oleh para nabi palsunya. Nabi Yeremia memberikan pernyataan mengenai para nabi yang telah bernubuat palsu tersebut. Mereka merancang membuat umat YAHWEH melupakan Nama YAHWEH, seperti yang tertulis dalam Yer.23:25-27:
“Aku telah mendengar apa yang diucapkan para nabi, mereka bernubuat palsu di dalam NamaKu, dengan mengatakan: Aku telah bermimpi, aku telah bermimpi. Sampai kapan hal ini ada di dalam hati para nabi yang menubuatkan dusta; ya, mereka dalam hatinya adalah para nabi pembohong. Yang berencana untuk membuat umat-Ku melupakan Nama-Ku dengan mimpimimpi mereka, yang mereka ceritakan seorang kepada sesamanya, sebagaimana yang leluhur mereka telah melupakan Nama-Ku karena Baal. (Yer.23:25-27)
Oleh karenanya, pemunculan kembali Nama YAHWEH dalam Kitab Suci merupakan suatu hal yang sangat penting dan urgen. Sebab hal ini, selain akan membuat umat Tuhan benarbenar mengenal siapa Nama Tuhan yang sebenarnya di samping Nama YESUS yang telah dikenal melalui inkarnasi Tuhan menjadi manusia, sekaligus juga dapat menjawab kerinduan hati Tuhan sendiri yang telah dinubuatkan dalam Za.14:6-9, sebagai berikut: Dan pada hari itu akan terjadi, bahwa terang tidak akan ada lagi, yang megah akan menyusut. Dan akan ada satu hari, hari itu diketahui oleh YAHWEH, bukan siang, bukan pula malam, tetapi akan ada terang pada waktu senja. Dan akan terjadi pada hari itu, air kehidupan akan mengalir dari Yerusalem, setengahnya ke laut sebelah timur, dan setengahnya ke laut sebelah barat, hal itu akan terjadi pada musim panas dan pada musim dingin. Dan pada hari itu YAHWEH akan menjadi Raja atas seluruh bumi, YAHWEH-lah satu-satunya, dan Nama-Nya pun satu.(Za.14:6-9)