WHAT IF Allah SWT bukan Tuhan YAHWEH
WHAT IF ATHEIS ITU BENAR? Mereka tegas menolak adanya Allah. Bagaimana Anda dapat mengetahui bahwa Allah memang ada? Apakah mungkin manusia memiliki pengetahuan tentang Allah atau Tuhan? Atau lebih jauh lagi bagaimana kita mengetahui siapa Dia, dan apa kehendak dan rencanaNya bagi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari hasrat terdalam dari manusia yang sekaligus membuktikan bahwa manusia merindukan pengetahuan tentang Allah. Di bawah ini akan diterangkan sejumlah gejala dan fakta bahwa sekalipun Allah memang tidak terjangkau oleh pengertian manusia, namun Ia sungguh dapat dikenal. Secara naluriah seluruh umat manusia di muka bumi ini mempercayai adanya Penguasa Tertinggi yang berkuasa atas kehidupan manusia. Masing-masing suku bangsa dengan dialek bahasanya menyebut dengan nama atau istilah yang mereka pahami. Dan tentu saja dari perspektif native-language-nya tidak menjadi persoalan. Sebab itu hanya sebatas sebutan dialek bahasa ibu yang mereka miliki. Seperti misalnya kata Eloah (Aramik-Ibranik), Theos (Yunani), dan Ilah (Arab). Tetapi persoalan menjadi berbeda ketika kita berbicara dari perspektif substansiteologisnya dan spirit (ruh) yang mengisi sebutan Nama Penguasa Tertinggi sebagai wujud kebenaran yang ilahiah. Dalam konteks ini konsep ketuhanan yang absah perlu segera dirujukkan berdasarkan sumbernya, apakah itu bersumber dari pewahyuan murni, ataukah dari idea manusia yang membangun kesosokan Tuhan seperti yang dipersepsikan hanya oleh akal budinya.
Inilah yang mendasari keyakinan setiap agama beserta umatnya bahwa keberadaan Penguasa Tertinggi dapat dikenal dengan dua cara; lewat apa yang disebut “pewahyuan umum” dan “pewahyuan khusus”. Pewahyuan umum menyangkut manifestasi Allah, tanda-tanda adanya Allah yang dapat disaksikan melalui Fenomena alam semesta yang mendatangkan satu kesadaran yang mendasar: “Darimana atau siapakah yang menciptakan alam semesta?” Ia tak dapat datang dari kekosongan. Haruslah ada Sang Pencipta (Al-Kholiq), yaitu Yang Maha Kuasa yang tidak dicipta yang menciptakan dan memelihara alam semesta ini. Selain itu, pewahyuan umum juga ditanamkan Sang Pencipta kedalam hati nurani dan mental setiap manusia, sehingga secara universal mereka selalu terikat dalam kesamaan moral hakiki (seperti perasaan dosa, keadilan dll), merasa rindu mencari dan menyembah Dia yang dapat memberikan berkat dan pengharapan akan kehidupan kekal. Disamping wahyu umum, Allah juga turunkan wahyu khusus, bukan sekedar memperkenalkan kuasa, kemuliaan dan hikmat penciptaNya atas alam semesta, tetapi justru memperkenalkan pribadi, kehendak dan kasihNya yang mau menyelamatkan umat manusia sebagai puncak pewahyuan, seperti yang disampaikan dalam kitab-kitab suci seperti Alkitab dan Al-Qur‟an. Wahyu khusus inilah yang akan membawa wahyu umum kepada sumbernya yang sejati. 1. Mengetahui keberadaan Allah melalui karya ciptaan-Nya. Ciptaan membuktikan penciptanya. Voltaire berkata, “Bilamana sebuah jam dapat membuktikan keberadaan seorang pembuat jam, tetapi alam semesta tidak dapat membuktikan arsiteknya yang agung, maka saya bersedia disebut orang bodoh”. Semakin banyak orang masa kini ingin menyangkal otoritas Tuhan Allah. Itu sebabnya mereka terus mencoba untuk meyakinkan diri mereka (dan orang-orang lain) bahwa sains (ilmu pengetahuan) menolak keberadaan Tuhan dan ajaran penciptaanNya. Orang-orang hanya percaya bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab untuk dirinya dan tidak ada oknum-gaib didalam kosmos ini yang mengatur kehidupannya. Berbicara tentang sains penciptaan, kita harus masuk kedalam prinsip dasar dari Sebab dan Akibat. Yaitu yang disebut PRINSIP KAUSALITAS, “tidak ada Akibat yang dapat lebih besar dari Sebabnya”. Atau secara populer diartikan bahwa “Dari yang tidak ada, tak akan terjadi apa yang ada”. Oleh karena itu harus ada Sebab Pertama dari segala sesuatu yang hadir di alam raya ini yang telah diadakan olehNya. Jadi Sebab Pertama ini haruslah mempunyai kemampuan dan pengetahuan, semata-mata karena makhluk-makhluk didunia ini (dan alam raya itu sendiri) juga mempunyai kemampuan dan kepintaran. Ini adalah Akibat yang harus mempunyai Sebab yang cukup. Dan pada tingkat kemampuan/pengetahuan yang sedemikian tinggi, prinsip kausalitas akan merujuk kepada Sebab Pertama yang
disebut Sang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Alam raya tidak menciptakan dirinya disaat manapun. Dan tak ada alam raya yang tak tergantung kepada sesuatu yang lain. Jadi pastilah ia diciptakan dimasa dulu oleh Sebab Pertama yang mahahebat, yang disebut Tuhan Sang Pencipta. Dalam hal ini, baik Quran maupun Alkitab merujukkan bahwa ada sosok Pencipta Al Kholiq yang dimaksud: karena Sosok ini tidak dicipta, maka substansi diriNya adalah bukan dari unsurunsur semesta yang ada, melainkan dari Dzat yang samasekali berbeda. Dzat ini meninggalkan tandatanda ciptaanNya bagi orang yang berakal (Qs. Ali Imran 3:190; al-Ankabut 29:61), yang bisa dibandingkan dengan kitab Mazmur dari Daud (Zabur 14:1; 19:2-4), yaitu 1600 tahun sebelum Muhammad: *“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tandatanda bagi orang-orang yang berakal”. …“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. *”Orang bebal berkata dalam hatinya: „tidak ada Allah‟ …(tetapi)…“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan (penciptaan dan pemeliharaan) tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam… gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi” Jadi manusia menolak Allah bukan karena sains membuktikan hal tersebut, melainkan semata-mata karena mereka sendiri yang tidak mengingini Sang Pencipta seperti yang dikatakan dalam Kitab Roma 1:28: “…mereka tidak merasa perlu untuk mengakui Allah…” Isaac Newton, seorang ahli matematika dan fisika yang kondang, berkata: “Dalam kekosongan bukti apapun lainnya, maka jari jempol saja cukup meyakinkan saya tentang keberadaan Tuhan”. Orang banyak berdebat bahwa jika segala sesuatu ini harus berasal dari sesuatu Sebab, maka Allah juga harus berasal usul dari sebuah Sebab. Tetapi ini merupakan suatu kesalahan yang disebut kesalahan dimensional. Prinsip kausalitas tidak berkata bahwa segala sesuatu – termasuk Sebab Pertama-- memerlukan Penyebab, melainkan hanya sesuatu yang terbatas dan terukur (finite dan limited) itulah yang memerlukan Penyebab. Jadi sesuatu yang mempunyai awal haruslah mempunyai Penyebab. Sebagai misal “melihat” dan “merasa” adalah dua kategori yang berbeda dimensinya. Warna bisa dilihat, dan itu tidak ada hubungannya dengan rasa yang dirasai. Sebuah pertanyaan “Bagaimana sebuah warna hijau itu rasanya?” adalah pertanyaan yang tidak relevan, tidak ada kaitan karena berbeda dimensinya. Hal yang sama terjadi untuk pertanyaan “ Siapa yang menciptakan Allah?” Ini
mencampur adukkan dimensi yang terbatas/ terukur (finite) dengan dimensi yang tidak terbatas/terukur (infinite). Hanya sesuatu yang finite memerlukan sebuah Sebab; sesuatu yang finite ini mempunyai asal usul dan masuk ke dalam eksistensi (keberadaan). Sesuatu yang infinite seperti Allah tidak memerlukan dan tidak mempunyai awal mula. Ia selalu eksis (ada) dan karenanya tidak mempunyai Penyebab. Albert Einstein, ilmuwan abadi, melihat bahwa jagat raya itu dalah hasil rancangan dalam sistim yang teratur, dan karenanya lebih merupakan hasil karya yang bukan asal ada secara sembarangan. Ia berkata, “tata susunan jagat raya mengungkapkan suatu intelegensia yang superior yang melampaui semua inteligensia manusia”. 2. Mengetahui kehadiran Allah melalui batin dan akal budi manusia. Disamping merasakan kehadiran Allah lewat alam semesta, manusia juga diperlengkapi Allah untuk mengetahuinya lewat akal budi dan batin terdalam. Mengapa orang-orang diseluruh dunia semua menuntut dalam batinnya hak-hak azazi manusia? Siapa bilang bahwa semua manusia harus mendapatkan hak hak azazinya? Kenapa mereka mempunyai standar moral yang sangat mirip satu terhadap lainnya? Mengapa terjadi pengelompokan mendasar yang sama terhadap apa yang baik dan yang buruk? Apakah kerinduan dasar yang sama ini bukan suatu kesaksian dari diri kita tentang keberadaan dan kehendak Allah yang memang menanamkan moralitas demikian pada setiap manusia? Konsep keberadaan Allah selalu ada dalam setiap budaya dan daerah, sekalipun pada suku-suku terasing yang tak terjangkau. Kejadian-kejadian dalam dunia dimana dari saat kesaat selalu ada orang yang memuja suatu sosok Allah atau menampilkan sosok pengganti Allah, juga membuktikan bahwa konsep Allah itu ada dalam kehidupan. Walau demikian, sebagian manusia tetap tidak mau mengakuinya. Mereka menindas kebenaran! Kita ingat Bertrand Russell, seorang matematikawan kaliber dunia dan sekaligus seorang atheis-vokal, penulis buku yang terkenal, “Why I am not a Christian”. Menjelang kematiannya ia sempat mengirim sebuah surat kepada seorang temannya. Disitu ia menulis, “Dalam diri seseorang tampaknya ada sesuatu yang sangat melekat kepada Allah, yang menolak untuk masuk dalam ikatan duniawi …paling tidak itulah yang saya harus nyatakan jikalau saya berfikiran bahwa Allah itu memang ada. Ini hal yang aneh, bukan? Saya peduli akan dunia ini dan akan manusia yang ada didalamnya, tetapi …apakah semuanya itu? Pasti ada sesuatu yang lebih penting rasanya, walau saya tidak percaya akan hal itu.”
Atheis sekaliber Bertrand Russell terpaksa mengakui keberadaan Allah sekalipun ia berontak terhadapNya. Kebenaran sejati tentang keberadaan Allah diungkapkan oleh akal budi nurani kita sendiri yang merupakan gambar dan cermin Allah yang menyaksikan Penciptanya. Dalam bahasa Alkitab, ini dikatakan sebagai “ isi hukum Allah ada tertulis dalam hati manusia yang akan turut membenarkan atau mengutuk perilaku kita (Roma 2:14-15). 3. Keberadaaan dan pesan-pesan Allah diberitakan melalui wahyu khusus dalam Kitab-Nya. Telah disinggung diatas bahwa Wahyu Umum cenderung bersifat impersonal dan tidak memadai untuk mencapai keselamatan. Ia terlalu samar mengakomodasikan semua bentuk isme-isme yang bisa berakhir pada distorsi dan konfrontasi sesamanya, seperti mistisisme, panteisme, politeisme, deisme dll. Hakekat, hukum dan kehendak Allah tidak cukup ditulis hanya semusemu dalam batin manusia, melainkan justru harus dibukakan dalam penyaksian/ pendalilan dari KalamNya yang diujudkan dalam “Sang Wahyu”. Dalam Islam ini disebut sebagai pendalilan atau hujah naqli. Alasan yang paling utama bahwa kita tahu adanya Allah adalah karena Alah sendiri yang menyatakan diriNya kepada manusia. Wahyu Allah sendirilah sebagai syarat mutlak bagi manusia untuk dapat mengenal tentang Allah. Sebab satu-satunya yang mengetahui tentang Allah hanyalah Allah sendiri. Tidak akan ada pertolongan kepada kita dalam pencaharian Sang Pencipta apabila Allah itu sendiri diam dan bungkam saja. Namun kita bersyukur bahwa Allah tidak tinggal diam. Dia telah berkomunikasi tentang faktafakta keberadaan dan jati diriNya kepada kita. Ia telah menceritakan segala sesuatu tentang diriNya, apa-apa yang diinginkanNya dan apa rencanaNya untuk planet bumi kita ini. Dia telah mengungkapkan semuanya ini kepada manusia melalui Firman atau KalimatNya Jadi, setiap orang pada dasarnya telah memiliki pengetahuan alam dan batin dan pemberitaan khusus tentang Allah, karena Allah telah menyatakannya sendiri kepada manusia dalam batin, pikiran, karya dan wahyuNya sejak dunia diciptakan, sehingga tidak ada manusia yang sesungguhnya dapat berdalih lagi tentang keberadaan Allah (Kitab Roma 1:20). Dengan demikian Allah telah menyatakan bahwa “Apa yang kita tampak, menyaksikan apa yang tidak tampak”. Allah Dalam Pewahyuan Islam. Jikalau kita membaca Al-Qur‟an dengan seksama, tampak bahwa Allah berbicara dengan para nabiNya lewat pewahyuan tanpa bisa melihat diri Allah. Pembicaraan atau perintah Allah kepada nabi-nabi sebelum Muhammad semuanya terkesan bersifat langsung. Bahkan ditegaskan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung, muka dengan muka, sehingga dia disebut sebagai Kalimullah (surat 4:164). Namun dalam Islam, Muhammad tidak pernah berbicara langsung dengan Allahnya, demikian pula sebaliknya Allah tidak berwahyu kepadanya kecuali lewat
perantara malaikat yang disebut Jibril. Dengan demikian, keberadaan Allah SWT sesungguhnya tidak ter-konfirmasi oleh Allah, melainkan oleh klaim Muhammad sendiri, yang mengatasnamakan Jibril pula. Dengan kemutlakannya yang transendental, Allah SWT tidak terikat oleh relativitas tempat dan waktu. Ia berada diatasya, tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang atau lokasi. Ia adalah selamanya, disemuanya, Yang Awal dan Yang Akhir. Para Imam telah sepakat bahwa Rahmat Allah Subhanahu wa ta'alla berada di atas Arasy yang agung (surat 9:129), dan tidak ada seorang pun dari makhluk yang serupa dengan Dia. Mereka sepakat bahwa tahta ini mempunyai 8.000 pillar, dengan jarak yang satu dengan lainnya sejauh 3 juta mil. PadaNya ada 99 nama atau sifat Allah (Asmaaul Husna), sebagian (tidak semua) diambil dari nama-nama yang digunakan Al Qur'an untuk merujukkan kepada keberadaan Allah. Diantara namanama tersebut adalah : Al Aziz (Yang Unik dan Kuasa) Al Alim (Maha Tahu) Al Malikul Mulk (Raja diRaja, Maharaja) Al Hayy (Maha Hidup) Al Muhyii (Maha Memberi Kehidupan) Nama-nama Allah inilah yang pada umumnya dipakai Muslim untuk memahami sedikit-sedikit keberadaan (eksistensi) Allah SWT, bukan substansinya. Karena memang nama/ istilah saja tentu tidak akan memadai untuk menjelaskan kehakikian Allah yang tak terbatas. Apalagi istilah itu tidak diperlihatkan atau diikatkan pada contoh-contoh (incidences) konkrit dimana nama atau sifat Allah tersebut muncul, sehingga. makna dari nama/ sifat tsb hanyalah bersifat teoritis dan sloganis, mudah dikaurkan kemana-mana yang bukan menjadi maksudnya. Misalnya saja nama Al-Ghaffar/ Al-Ghaffur (Sang Pengampun) disebut-sebut Allah dalam Al-Qur‟anNya sebanyak 111 kali, namun tidak sekalipun Dia mendukungnya dengan berkata: “Dosamu Aku ampuni”! Ini berlainan dengan Tuhan Yahweh yang berfirman kepada Abraham: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka" (Kejadian 18:26). Dalam Kitab Yeremia, demikianlah firman TUHAN, “sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." (Jer 31:34). Dan Yesus Almasih, inkarnasi Firman Allah (KalimatNya) berkata kepada seorang yang lumpuh: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!" (Markus 2:5). Banyak pihak Muslim tidak tahu bahwa pemilihan nama-nama tersebut adalah acak, bukan seluruhnya terambil dari wahyu Allah, melainkan hanya 72 nama pilihan yang dipetik dari dalam Al-Qur‟an yang diulang sebanyak 1286 kali. Itupun entah kenapa, dengan meninggalkan sejumlah nama Allah yang lain, diantaranya nama yang justru Allah sendiri ingin perhadapkan diriNya secara frontal dan tegas kepada musuh-musuhnya yang tukang tipu, yaitu nama “Khairul Maakirrin” (Penipu-Daya Yang Agung, lihat surat 3:54).
Spesialis Islam, J.W. Redhouse menerbitkan penemuannya ditahun 1880 bahwa didalam Quran, terdapat total 552 nama yang bisa dikenakan kepada Allah. Muhammad Ibn al Nawawi menulis: “Sekte dari mazhab Sufi mengemukakan bahwa Allah bahkan mempunyai 1000 nama”. Sebaliknya terdapat sejumlah namanama diantaranya yang ternyata bisa saling bertolak belakang pemaknaannya, atau berkonotasi keangkuhan/ kejahatan, seperti Al-Khafid dengan Al-Rafi (Yang Merendahkan vs. Yang Meninggikan); atau Al-Mutakabbir (Sang Takabur), dan AlMumit (Sang Pembunuh) yang tentu mengerikan. Banyak teolog Islam sadar bahwa mereka sesungguhnya tidak mempunyai dasar yang shahih untuk “memahami” SIAPA Allah SWT yang sesungguhnya, jikalau hanya bertumpukan pada angka acak 99 Asmaaul Husna. Namun itu telah menjadi angka baku yang dipaterikan dalam 99 biji tasbih (3x33) yang tidak bisa diapa-apakan lagi. Menjadi pertanyaan besar, kenapa nama-nama dan gelar dari Allah SWT ini harus dicari-cari dengan berbelit-belit tanpa pewahyuan, sementara Injil cukup menggelarkan satu “nama sebutan” yang justru memberikan pemahaman yang paling komprehensif tentang eksistensi maupun substansi dari Tuhan Yahweh, yaitu BAPA! Dalam satu nama ini tercakup pemahaman yang paling mendalam tentang Sang Bapa, yaitu bahwa Father God is love, yang mengenal, menuntun, menolong, memelihara, dan mencintai kita anak-anak-Nya secara pribadi, disetiap tempat dan waktu. Dan Ia mau dan peduli menyelamatkan diri anakNya dari penghukuman dan dari api neraka! Nama atau sebutan ini telah disebutkan dalam Injil dan oleh Yesus sedikitnya sebanyak 160 kali (!), namun dikosongkan samasekali dalam Al-Qur‟an. Padahal Yahweh sendiri yang membuktikan bahwa Yesus memang betul mempunyai BapaNya disurga, dengan berkata langsung kepada para saksi mata: "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia." (Mat.17:5; juga 3:17). Ucapan ini memberi implikasi langsung akan hubungan khusus Sang BAPA dengan Sang Anak (Yesus), dan dengan kita manusia sebagai anak-anakNya (lihat Artikel tentang Yesus). ALLAH ISLAMI ADALAH TUHAN YAHWEH? Muhammad berkata, “Allahmu dan Allahku satu”. Namun kita mulai disadarkan bahwa sekalipun Allah Sang Pencipta hanya satu diseluruh jagad raya, dan walau disebut dengan sebutan nama yang sama bunyinya, namun Dia bukan Tuhan atau Dewa yang sama substansinya untuk setiap agama atau penyembah. Pepatah juga ikut berkata, “banyak jalan menuju ke Roma, namun Roma-nya selalu satu”. Tetapi, sekalipun Tuhan yang sejati hanya satu, tidaklah benar mengatakan bahwa “aneka” agama-agama sedunia berurusan dengan satu Tuhan yang sama. Sebab segala allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi YAHWEH lah yang menjadikan langit (1 Tawarikh 16:26). Kenapa Yahweh? Karena Dia-lah satu-satunya Tuhan yang memperkenalkan diriNya sendiri sebagai Yahweh, bukan di buat, diolah,
dianggap, disampaikan oleh atau digulirkan manusia menjadi “Yahweh”. Jadi, tidak menjadi soal bila disebutkan dalam klaim dan syahadah Islam, “Tiada Tuhan selain Allah”; tetapi adalah prinsip bilamana kredo tersebut tidak membuktikan bahwa Allah itu adalah Tuhan yang mencipta, tetapi dicipta, dengan tahta Arasy 8.000 pilar sejauh 24 miliar mil, yang mempunyai 99 nama termulia! Kini kita sorot hakekatNya. Pertama-tama, ada pertanyaan mendasar, dari mana munculnya nama “Allah”? Pembacaan dalam keseluruhan Al-Qur‟an menunjukkan kelainan bahwa nama “Allah” tidaklah diperkenalkan Muhammad kepada umatNya, melainkan digulirkan begitu saja masuk kedalam ayat-ayat AlQur‟an. Ini tidak mengherankan karena kepada Muhammad Allah memang tidak memperkenalkan namaNya sendiri. Bukankah diatas telah dikatakan bahwa Allah-lah yang harus menyatakan diri (termasuk nama tentunya) dan kehendakNya sendiri agar dikenal oleh umatNya? Dan Allah sangat tahu akan hal ini, ketika Ia menjanjikan untuk mengajarkan halhal yang belum diketahui oleh manusia, dan itu dilakukanNya dalam pewahyuanNya yang paling awal kepada Muhammad digua Hira (Qs.96): “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Jadi, kenapa dimasa awal Muhammad diutus sebagai NabiNya, dan juga diseluruh Quran, Dia tidak memperkenalkan nama pribadiNya sebagai “Allah”? Kenapa Allah sendiripun belum berani memunculkan namaNya dalam surat & wahyu-wahyu awalnya, sehingga Muhammad walau telah dinyatakan sebagai Rasul Allah -- selalu masih menyebut “Rabb” bagi Tuhannya? Lihat ada hampir 30 Surat diantara 50 surat-surat yang paling awal diturunkan kepada Muhammad itu tidak menyebut “Allah”, melainkan “Rabb” atau “Ar-Rahman”, atau tidak menyebut nama apapun bagi Tuhannya (a.l. Surat 54, 55, 56, 68, 75, 78, 83, 89, 92, 93, 94, 99, 100, 105, 106, 108, 113, 114 dst.) Nama “Allah” justru paling awal dimunculkan oleh Siti Khadijah, istri pertama Muhammad, ketika mana ia mencoba menenangkan suaminya yang bingung dan kacau menghadapi Ruh yang di gua Hira itu. Ini tentu tidak masuk keakal sehat, sebab ketika itu Muhammadpun belum mengumumkan siapa nama pribadi Tuhannya. Tetapi begitulah tradisi mengisahkan “kebenarannya” bahwa ketika itu Khadijah berseru demi meneguhkan hati suaminya, “Tidak! Demi Allah, Allah tidak akan memperhinakan engkau”. Bandingkan dengan apa yang Tuhan Yahweh lakukan kepada Musa pada awal kenabiannya: Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu." Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: "Beginilah kaukatakan kepada orang Israel: YAHWEH, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah
Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan itulah sebutan-Ku turun-temurun.” (Keluaran 3:14-15, terjemahan Alkitab Indonesia memakai TUHAN untuk nama Yahweh). Tuhan Yahweh menyingkapkan diriNya dan sekaligus relasi diriNya dengan umat Israel. Ia memperkenalkan nama dan posisi diriNya sebagai “AKU ADALAH AKU” (I AM THAT I AM) yang menunjukkan suatu keabsolutan yang kekal dan permanen (tidak berubah-ubah). Ketika Tuhan telah memperkenalkan namaNya yang kekal sebagai Yahweh, dan itu telah berjalan selama 23 abad sebelum Muhammad, maka darimana datangnya otoritas Muhammad (dan Jibril) yang tiba-tiba merasa perlu merubahi dan menggantikannya menjadi “Allah”? Nama baru yang ia sendiri tidak mengintroduksikannya kepada Muslim dalam seluruh pewahyuan, kecuali digulirkan begitu saja kedalam Al-Qur‟an? Yaitu dengan mengikuti nama al-Ilah (disingkat menjadi “Allah”) seperti yang sudah dikenal oleh kaum pagan Arab sebagai dewa mereka? Penggantian ini sungguh mustahil datang dari Tuhan sejati yang sama! Kedua, Ada dua macam Tuhan: Tuhan yang exist, dan yang di tuhankan dari yang belum terbukti exist. Ada banyak sekali karakter dan esensi yang unik berbeda diantara Tuhan orang Kristiani dibandingkan dengan Allah selebihnya. Salah satunya yang paling khas ialah bahwa Tuhan Alkitab itu HADIR, exist. Allah lain-lain belum pernah terbukti tampak kehadiranNya ditengah-tengah umatNya, ditengahtengah sejarah manusia. Tentu saja pernyataan ini seolah mengundang perdebatan. Namun faktanya adalah Tuhan Kristiani memang satu-satunya Tuhan yang berbicara langsung dengan manusia (disamping yang tidak langsung, lewat malaikat atau mimpi). Allah Alkitab berbicara langsung dengan Adam dan Hawa. Dia berbicara langsung dengan Nuh, dengan Abraham, dengan Ishak, Yakub, dll nabi Alkitab. Bahkan Allah berbicara langsung dengan Musa yang disaksikan seluruh bani Israel (Ulangan 4:33). Begitu pula Allah berbicara dengan Yesus, didengar dan disaksikan khalayak (Matius 3:17, Lukas 9:35). Sebaliknya, kenapa Allah Islami tidak pernah berbicara langsung dengan Muhammad, melainkan lewat perantara malaikat saja? Bahkan siapa pula yang pernah menyaksikan suara malaikat itu kepada sang Nabi? Kenapa bukti dan saksi pewahyuan kepada Muhammad – Nabi utusan terakhir -- diperlemah dan dikaburkan begitu rupa? Mendatangkan persoalan krusial, kapan Muhammad sejatinya tahu bahwa Allahnya adalah Tuhan yang exist, yang hidup, yang mencipta? Ketiga, sekalipun ada Tuhan diatas segala Tuhan, namun Ia tidak Mahakasih (atau bertali kasih khusus dengan makhlukNya), apa gunanya Tuhan demikian bagiku pribadi? Tidak seperti pada agama-agama lain, ketika Alkitab mengatakan bahwa Allah itu Kasih, itu tidak sekedar mengatakan bahwa Allah melakukan perbuatanperbuatan kasih. Melainkan mengatakan keseluruhan hakekatNya/ ZatNya adalah
kasih, begitu konsisten luar dan dalam, begitu dalam menyatu, begitu transendental sampai-sampai segala sikap, wujud, ucapan, perbuatan, rancangan dan ungkapan-ungkapan seluruhnya yang mengalir daripadaNya, tak bisa lain kecuali dinyatakan dalam kasih yang tidak terukur. Itu berarti bahwa kasih adalah esensi dan relevansi yang paling absah bagi seorang Tuhan terhadap mahkluk-Nya. Allah yang Mahakasih adalah Allah yang relational, berhubungan sangat intim dan peduli dengan setiap mahkluk-Nya. Mahakasih ini adalah sifat Allah yang paling penting bagi umat manusia, bukan MahakuasaNya, yang sesungguhnya sudah otomatis tercakup kedalam diri Allah, jikalau Dia Allah Pencipta Semesta (AlKholiq). “Tidak ada secuilpun gunanya bagi saya, seorang allah yang super mahakuasa, bilamana dia tidak ber-relasi dalam tali kasih dengan saya! Dia tetap menjadi seorang asing yang tak berguna bagi saya”. “Tidak juga dia berguna untuk saya ketika allah ini mengklaim bahwa dia maha-pengasih dan penyayang, tetapi tidak membuktikannya”. Jadi apakah Allah SWT sungguh Maha kasih? Dan apakah Dia sudah membuktikannya dengan saksi-saksi? Mengklaim kasih tidak sulit sama sekali. Malahan klaim itu bisa “dibuktikan” dengan “berpura-pura” kasih, dan itu tentunya lebih jahat. Yang sulit justru membuktikan ujud kasih-Nya yang hakiki dan tak terbantahkan, yang bisa ditampakkan kepada mahluk ciptaanNya. Agamaagama lain merujukkan (lagi-lagi klaim) kasih Allah hanya sampai sebatas pemberianNya kepada manusia, yaitu sejumlah unsur-unsur pendukung kehidupan seperti udara, air, embun, sinar matahari dll. Namun alasan ini jauh dari memadai! Itu bukan khas wujud MahaKasih Allah, melainkan khas wujud tanggung-jawab Allah (yang baik) atas apa yang sudah diciptakanNya, yang memang harus dipeliharaNya. Maha kasih harus dibuktikan dengan wujud pengorbanan Allah yang tidak seharusnya berkorban, dan bukan sekedar tanggung-jawab. Maka itulah yang perlu Anda jadikan kriteria kebenaran Allah, yaitu: “Allah manakah yang sudah membuktikan diriNya sebagai Tuhan yang berkorban?” Anda hanya mendapatinya pada Tuhan Alkitab yang sudah meng-kurbankan “AnakNya” (Firman yang “nuzul”/ diinkarnasikan menjadi Anak Manusia) Yesus Almasih diatas kayu salib, demi menebus umatNya dari perhambaan dosa? Semuanya disaksikan secara mutawatir oleh para saksi mata. Ya ibu Maryam dan pengikut-pengikut Yesus, maupun segenap musuhmusuh, orang-orang awam, serta para serdadu Roma yang mengeksekusinya! Ketiga pribadi dalam ke-esaan Allah ini dirujukkan dalam banyak ayatayat Alkitab, tetapi disini kami cuma mau menampilkan ayat-ayat yang hanya terdapat dalam Injil Yohanes, yang mana memperlihatkan penyataan DIRI Allah dalam DIRI Yesus dan Roh Kudus; atau dalam Islam disebut “Kalimat Allah yang disampaikan Allah kepada Maryam, dan Ruh Allah” (surat 4:171).Yaitu dalam Segala Perkataan-Nya (
Simak betul2 ayat 3:34; 7:16; 8:26,38,40; 14:10,24; 18:80), dan dalam Segala Perbuatan-Nya (Simak rincian 4:34; 5:17,19-27,30,36; 8:28; 14:10; 17:4,12)!!! Keempat, Allah dengan wahyu yang menuduh-nuduh tetapi ternyata salah tuduh, hanyalah menunjukkan bahwa Ia tidak MahaTahu seperti yang seharusnya bagi seorang Allah. Ini bisa menyangkut aspek dan dimensi apa saja. Tetapi disini baiklah kita soroti konsep doktinal yang dalam, yaitu tentang konsep ke-esaan Tuhan, yang sering ditanggapi dengan pemahaman yang sangat dangkal dan salah oleh pihak Islam. Sekalipun orang-orang Kristiani berkata berulang-ulang bahwa mereka percaya kepada satu Tuhan, namun sekian kali pula berulang-ulang mereka dituduh sebagai penyembah politeisme, menyembah tiga Tuhan Trinitas. Alkitab tidak memuat satu ayat pun yang menyebutkan bahwa ada tiga Allah berpartner. Tidak juga ada ayat yang mengatakan bahwa Allah memakai tiga topeng yang berbeda untuk bekerja kedalam drama sejarah. Apa yang Alkitab katakan adalah satu Allah yang mengungkap-an diriNya dalam tiga pribadi yang berbeda --Bapa, Anak, dan Roh Kudus, dan bukan tiga entitas Bapa Allah, Ibu Allah (Maryam), yang menghasilkan Anak Allah (Isa Al-Masih), seperti yang dituduhkan Islam secara keliru. Keliru oknumnya, keliru Zat-nya, dan keliru kejadiannya (dipahami secara biologis). Dimanapun, Alkitab tidak pernah mengajarkan lain dari pada satu Tuhan dalam satu-satunya Zat keilahian (lihat Kitab Bilangan 6:4, I Timotius 2:5, Yesaya 44:6 dll). Sedangkan istilah “Anak Allah” bukanlah anak-biologis, anak hasil kawinmawin (walad) seperti yang dipahami dalam kedangkalan persepsi Arabia abad ke7, melainkan “nuzul”nya Kalimat Allah menjadi “Sang Anak” (Sonship in Word incarnated). Dalam kekeliruan wahyu, Muhammad, maaf, Allah sampai bertanya: “Bagaimana Dia (Allah) mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri?”… “Mahasuci Allah dari mempunyai anak” (surat 6:101, 4:171). Bahwa Allah itu satu dalam sifat esensiNya dan kesenyawaanNya, namun juga adalah tiga pribadi, ini bukan rekayasa/ bikinan misionaris dan maunya antek-antek Kristen, melainkan memang itulah yang dinyatakan Allah lewat AlkitabNya berkali-kali; Alkitab yang telah di benarkan dan yang harus diimani oleh Muhammad dan Muslim berpuluh kali (a.l. Qs.10:94,73; 2:41,91; 3:3; 5:44, 46, 48, 68; 6:92; 29:46; 32:23; 5:31; 43:4; 46:30 dll ). Jadi inilah nasihat kita yang terbaik bagi orang-orang Kristiani, yaitu tatkala Anda berhadapan dengan tuduhan “Allahmu itu kok tiga Tuhan dalam Trinitas yang tak ada istilahnya dalam Alkitab?”, maka tolong sampaikan kepadanya tiga kemungkinan dibawah ini, serta mempertanyakan balik masalah Tauhid dan Shahadat mereka: (1) Bila itu merupakan tuduhan pribadi, maka sipenuduh pasti telah disesatkan oleh informasi yang dangkal dan keliru; dan (2) Bila itu dianggap merupakan tuduhan dari Kitab Suci agamanya, maka pasti Allah-nyalah yang telah keliru berwahyu! Bila
dipersoalkan istilah Trinitas itu tak dikenal oleh Yesus sendiri dan tak ada istilahnya di Alkitab, maka kita jawab dengan sederhana bahwa istilah ini hanyalah istilah teologis demi memudahkan rujukan awam kepada konsep keberadaan Allah yang unik agar tidak disesatkan oleh slogan pukul-rata: “Allahmu dan Allahku satu”. Trinitas adalah ke-Esa-an Allah dalam tiga pribadiNya. Konsepnya (dan bukan istilahnya) bertaburan dalam seluruh Alkitab! Dan tidakkah Muslim juga mengadopsi suatu doktrin Islam yang tertinggi, TAUHID, tetapi istilahnya justru tidak muncul dalam Al-Quran sendiri? Dan apakah Muslim juga sadar, bahwa Kalimat SHAHADAT yang dianggap begitu sakral itu, ternyata malah tidak terdapat dalam Quran dalam bentuk dua kalimat yang disatukan (artinya, aslinya tidak diturunkan oleh Allah untuk menjadi shahadat Islam seperti sekarang), melainkan dipilih dan dirangkaikan oleh Manusiapintar dari dua atau tiga surat yang berbeda, surat 37 dan 47 terhadap 48! Dengan perkataan lain, Quran surgawi yang tersimpan dalam Lauhul Mahfudz, tidak bisa ditemukan kalimat Shahadat seperti yang diikrarkan dalam dunia Islam sepanjang zaman. Itu bukan aslinya dari Sana, sebab ia kental berbau syrik! Kenapa? Karena Allah SWT tidak pernah berkenan membiarkan diriNya dipartner-kan dengan siapapun juga, tetapi umat Islam malah menggabungkan Kalimat shahadat pertama tentang diri Allah (“Tiada Tuhan selain Allah”) dengan gandengan “wa” (dan) untuk dijejerkan kepada diri RasulNya (dan “Muhammad adalah Rasul Allah”), sehingga menyodorkan sebuah bentuk persekutuan Allah dan Muhammad yang menyalahi azaz Tauhid. Bentuk persekutuan ini banyak dijumpai dalam tradisi yang diriwayatkan manusia. Namun Hudhayfa menyampaikan apa yang dikatakan Muhammad, “Jangan seorangpun diantara kamu yang berkata, „Apa yang dikehendaki Allah dan (wa) si Anu kehendaki.‟ Katakanlah, „Apa yang dikehendaki Allah.‟ Lalu berhenti dan lanjutkan dengan berkata, „Si Anu kehendaki.‟” Al-Khattabi juga berkata, “Nabi telah menuntun engkau memperbaiki perilaku dalam menempatkan kehendak Allah sebelum kehendak orang lain. Beliau memilih “lalu/maka” (thumma) yang menunjukkan urutan dan perbedaan ketimbang “dan” (wa) yang merujuk kepada persekutuan dengan Allah.” Kelima, Akankah kita percaya kepada Allah yang kurang lurus, melainkan berbelit-belit menipu-daya umatNya? Tentu kita menjawab “Tidak”. Hukum Taurat berkata: “Jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan bersaksi dusta, jangan mengingini istri sesamamu...”, dan ini dibenarkan oleh Al-Qur‟an secara umum. Tetapi nanti dulu, Allah lewat Al-Qur‟an dan Hadis juga menyisipkan kondisi-kondisi dimana semuanya itu halal bahkan perlu dilakukan. Dan inkonsistensi inilah yang paling merisaukan kemanusiaan kita. Di atas telah dikatakan bahwa salah satu nama Allah yang “dikeluarkan” dari Asmaaul Husna adalah “Khairul Maakiriin”: “Dan mereka itu membuat tipu daya, Allah membalas tipu daya mereka, dan Allah sebaik-baik tipu daya” (khairul maakiriin, surat 3:54). Ayat ini merujuk kepada penipuan sukses yang Allah
lakukan dalam kasus penyaliban Isa Al-Masih, dimana Allah dengan tipuan-nya yang tersembunyi menggantikan Isa dengan seorang “Isa-isa-an” palsu: “ ... tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan Isa bagi mereka” ...“tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat angkat Isa kepada Nya” Dua “tetapi” disini menyatakan bahwa bukan Isa yang (mau atau meminta) diriNya dipalsukan dan diangkat dari salib secara ghaib. Bukan Isa yang mau menyesatkan atau “menipu-daya” para pengikutNya (termasuk ibunya, Maryam) melainkan Allah sendiri, karena Isa sendiri bahkan tidak pernah “menipu” atau berdosa, melainkan suci dan selalu mengatakan perkataan yang benar (Lihat surat Maryam). Mengingat hal ini, timbul pertanyaan, apakah Isa Almasih yang tidak pernah menipu daya itu bisa 100% menyetujui dan menghormati Allah yang ketahuan menipu daya ibunya, saudara-saudaranya dan murid-muridnya, apalagi dengan mengatas-namakan wajah Isa-isaan? Sekalipun pembunuhan Isa itu (katakanlah) harus digagalkan oleh Allah SWT, tetapi kenapakah Allah harus memilih jalur Menipu Daya UmatNya sedangkan Allah dapat menyelamatkan Isa dengan terang-terangan mengangkatnya ke Surga, bahkan bisa sekaligus menghajar tua-tua Yahudi dan serdadu-serdadu Roma dengan sekali sapu? Bukankah Allah yang Maha Kuasa dahulu kala pernah sekaligus menaklukkan musuh-musuhNya dengan menjadikan mereka monyet-monyet, yaitu hukuman Allah bagi bani Israel yang tidak memelihara hari Sabtu (surat 7: 163-166), atau mengancam mengangkat gunung Thursina untuk ditimpakan ke atas kepala orang durhaka yang menolak Taurat (surat 7: 171)? Menipu daya hanyalah dilakukan oleh mahkluk yang licik dalam kekurangan sumber daya selainnya, dan mereka adalah antek-antek Setan, karena Setan sejak semula sudah digelar sebagai “bapak segala dusta” (Yohanes 8:44). Apa Allah kekurangan sumber daya dan mau menjadi BAPAKnya dari bapak segala dusta? Tentu tidak. Maka sarjana Islam buru-buru menafsirkan bahwa “maakir” (makara) disamping berarti melakukan tipu-daya (yang negatif), juga bisa berarti “mengatur siasat yang cerdik” yang positif. Tentu saja penipuan adalah bagian dari siasat, tetapi unsur penipuan tidak terlepas dari konteksnya yang sejati, yaitu seperti yang dikatakan oleh Al-Tabari (salah satu historian Islam paling terkenal yang paling awal) bahwa Allah menempatkan rupa wajah Isa (diam-diam) pada seseorang lain untuk disalibkan sebagai pengganti Isa. Ini dimaksudkan agar orang lain disesatkan dari fakta dan kebenaran aslinya! Dan itulah persaksian dan perbuatan dusta yang dilarang dalam Taurat Yahweh. Eh, kok, Allah SWT melakukannya sendiri? Dengan mengorbankan semua orang Israel dan dunia, termasuk Isa dan Maryam dan semua pengikutnya hingga Muhammad tiba? Kenapa para ulama mencoba memlintirkan istilah “makara” seolah Allah SWT tidak menipu daya? Mereka lupa bahwa Allah sendiri mengakui menipu bahkan menipu Muhammad dan umatNya sebelumnya. Ini tercermin dalam peristiwa perang Badar. Disitu, dalam usaha Allah untuk menaikkan moral perang para pejuang Muslim, lalu Allah memperlihatkan kepada Muhammad lewat mimpi bahwa musuh yang akan
dihadapinya hanyalah sejumlah kecil, padahal jumlah yang sebenarnya 3x jauh lebih besar yang kalau dikatakan terus terang oleh Allah SWT, akan menciutkan nyali para pejuang (surat 8: 42). Disini penipu-dayaan Allah telah ditujukan 100% kepada orang-orang beriman. Ayat-ayat dalam Al-Qur‟an maupun Hadis menegaskan izin untuk berdusta secara kondisional, bahkan mendorong Muslim untuk berbuat demikian. Itu yang disebut sebagai prinsip taqiyyah (pendustaan yang dikuduskan). Dasar dari taqiyyah terambil dari Quran sendiri, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka ...” (surat 3:28). Sumpah demi Allah yang sengaja dilanggar – sumpah dusta -- juga dinyatakan AlQuran sebagai bukan perbuatan dosa serius karena dapat ditebus (kaffarat) dengan pelbagai opsi material yang mudah, atau cukup berpuasa selama 3 hari: “…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu...” (surat 5:89) Namun dalam Hadis, Muhammad sendiri memperluasnya lebih jauh lagi ke ranah penggantian sumpah dan ranah perang. “Demi Allah, dan insya Allah, apabila saya mengangkat sumpah dan belakangan hari ternyata ada sesuatu yang lebih baik, maka saya laksanakan apa yang lebih baik itu dan menebus sumpahku” (Bukhari 7, vol. 67, no.427). “Nabi berkata, "Peperangan adalah penipuan." (Bukhari vol 4: 269). Semua pendustaan ini begitu simpang siur dan kehilangan essensi dan kesakralannya bagi perkataan maupun perbuatan Allah SWT, sampaisampai bertabrakan dengan apa yang sudah digariskanNya sebagai sumpah, yaitu “jangan melanggarnya” dan “jangan dijadikannya sebagai tipuan” (surat 16: 91, 94). Syukurlah bahwa Tuhan Yahweh menurunkan hukum-hukumNya kebumi menurut moral Tuhan yang sakral, tidak main-main dengan kata-kata dan sumpah. Sekalipun Yahweh mempunyai segala kedaulatan, namun ia juga mempunyai Moral tertinggi, dimana KedaulatanNya tidaklah mengingkari MoralNya. Dengan perkataan populer, sekalipun Tuhan mempunyai segala wewenang, namun tidak
menjadikanNya sewenang-wenang (arbitrary). Meminjam kata-kata dari Thomas Aquinas: “Sebuah akibat harus mewakili sebabnya, karena Anda tidak bisa memberi sesuatu yang tidak Anda punyai”. Maha Kuasa Tuhan selalu menyatu dengan Maha Benarnya diriNya, dan tidak menempatkannya sebagai alat teror bagi kekuasaanNya. “Dia tidak dapat menyangkal diriNya” (2 Tim.2:13). Kita was-was akan satu bahaya yang serius, bahwa sekali Allah bermain lempar batu-sembunyi tangan dan menipu-dayakan murid-murid Isa (yang disebut sebagai penolong-penolong Allah) dan juga Maryam dan Isa sendiri (yang disebut Ayatollah) persis di depan mata, maka Allah yang sama juga mungkin menipu daya siapa saja yang dikehendakiNya, termasuk Muhammad dan sahabat-sahabatnya yang sudah ditipuNya. Kita prihatin ada Allah yang suka-suka menyesatkan makhlukNya, menurut MoralNya sendiri yang tidak dielaborasi lagi: “Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki” (surat 14:4). Tetapi syukurlah semua prinsip, moral-etika, ucapan dan karya Tuhan Yahweh adalah sejalan. Tidak ada kesewenang-wenangan, plintir plintiran dan tipu-daya! Karena “Tuhan Yahweh tidak berdusta” (Titus 1-2) Dan “Yahweh tidak mungkin berdusta” (Ibrani 6:18) ______ Sungguh masih banyak sifat, kriteria dan tanda-tanda dimana Allah SWT tidak mungkin dipersandingkan, apalagi dianggap sama, satu dengan lainnya dengan Yahweh. Anda bisa menyimaknya lebih rinci lewat pandangan kedua. Selama ini kita terlalu sibuk, sehingga menerima begitu saja apa yang sudah dikenal, atau “apa kata mayoritas/ mainstream”. Namun demi hidup atau mati, beranilah seperti Musa yang meragu dan bertanya kepada Tuhan Yahweh-nya, WHAT IF? Sahut Musa: "Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku dan … Firman YAHWEH: "Lemparkanlah (tongkat) itu ke tanah." Dan ketika dilemparkannya ke tanah, maka tongkat itu menjadi ular… (Keluaran 4:1,3). Setidaknya beranilah berkritis dan bertanya apakah Dia yang kita sembah selama ini betul-betul membuktikan kwalifikasi diriNya, dan bahwa: *Allah eksis dan hidup? Tanyalah, siapa yang membuktikannya? *Apakah Allah memperkenalkan diriNya dan namaNya secara pantas dan berotoritas, atau hanya sebatas slogan-slogan teoritis yang disusun manusia tanpa bukti dan substansi? *Apakah rangkuman hakekatNya berpusatkan pada Kasih yang nyata dan berguna bagi Anda dan saya? *Apakah Allah perlu membenarkan diriNya dengan pewahyuan yang malah kacau dan keliru? Khususnya menuduh dangkal atas Trinitas yang tidak dipahamiNya? *Dan apakah Dia Allah yang lurus, terpercaya yang tidak menyesatkan umatNya, melainkan sungguh telah berkurban dalam kasihNya untuk menyelamatkan mereka? Itulah keberadaan sekaligus testing yang paling sederhana untuk mengenal Khalik kita yang Ada, MahaKasih, dan Benar. Selamatlah dalam taufik dan hidayatNya.