Tabel 2 : Perkembangan Wisatawan Tahun 2009-2012 URAIAN
2008
2009
2010
2011
2012
6,23
6,32
7,00
7,65
8.04
995,93
1.085,75
1.118,26
1.133,81
8,58
7,69
8,04
7,84
7,70
137,38
129,57
135,01
142,69
147,22
7,347,60
6.297,99
7.603,45
8.554,39
9.120,85
– Jumlah pergerakan (juta perjalanan)
225,04
229,73
234,38
236,75
105.95*
– Rata-rata pengeluran per perjalanan (ribu)
547,33
600,30
641,76
662,68
n.a.
– Total pengeluaran wisnus (Rp.Trilliun)
123,17
137,91
150,41
156,89
n.a
4,99
5,05
6,23
6,75
7,31
Wisatawan mancanegara – Jumlah (juta) – Rata-rata pengeluaran per kunjungan (USD)
1.178,54
– Rata-rata lama tinggal (hari) – Rata-rata pengeluaran per hari (USD) – Penerimaan devisa (Juta USD) Wisatawan nusantara
Efektifitas Dampak Penerapan Pendidikan Kebencanaan di Sekolah terhadap Kesiapsiagaan Siswa Menghadapi Bencana Tsunami di Aceh, Indonesia
Wisatawan Nasional -
Jumlah (juta orang)
-
Rata-rata lama tinggal (hari)
-
Total pengeluaran selam diluar negeri (juta USD)
**
10,62
8,81
8,20
7,67
7,67
5.245,02
4.939,01
6.090,00
6.308,26
7.173,24**
Sumber: Kemenparekraf dan BPS * Data Sementara; ** angka estimasi
II. TANTANGAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN KE DEPAN Pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang mempunyai peluang pasar dunia yang cukup tinggi. World Tourism Organisation (2007)5 memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah wisatawan akan mencapai jumlah lebih dari 1,56 miliar orang dengan kontribusi dari wilayah Asia Timur/Pasifik 5
UN-WTO, 2007, “Tourism Highlight 2007 Edition, Fact & Figure
Wignyo Adiyoso1 dan Hidehiko Kanegae2
Abstract
sekitar 397,17 juta orang (Tabel 3). Sebagai negara yang mempunyai potensi wisata yang besar dengan keunikan budaya dan keindahan alamnya diharapkan mampu memanfaatkan peluang pasar tersebut dan terus menerus berupaya meningkatkan pangsa pasar nya di dunia. Oleh karenanya, untuk merebut pasar dunia tersebut daya saing pariwisata dari sagala aspek termasuk aspek SDM harus ditingkatkan terus.
After 2004 tsunami efforts have been made to build school disaster resilience yet study of its effectiveness is limited. This study examines the effect of different disaster education programs on school children’s knowledge, risk perception, awareness and preparedness behaviour. Data gathered from 169 school children (Group 1=98 and Groups 2=71) in 3 elementary schools in Aceh. Using the MANOVA analysis revealed that there was significant difference of knowledge, risk perception, individual preparedness and school preparedness but not for critical awareness among school children. The important finding is that the effect of the implementation of the curriculum-based disaster issues in school can promote the school children’s preparedness behaviour although limited only visiting disaster education and emergency facilities. The common knowledge that god punishment is as the main cause of tsunami should be addressed 1 Staf, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas 2 Professor, Graduate School of Policy Science, Ritsumeikan University, Japan
32
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 32 of 44 - Pages(32, 57)
comprehensively—not limited in school. Teachers and students play the important role in raising public awareness, spreading correct knowledge about disaster and promoting behavioural preparedness on disaster in the wider community rather than limited in school. This study provides evidence that the curriculum-based disaster education program was effective.
1. Pendahuluan Tsunami pada Desember 2004, yang dipicu oleh gempa berkekuatan 9.0 SR di sebelah utara pulau Sumatera mengakibatkan kerugian yang sangat besar dari segi sosial, ekonomi, serta mata pencaharian masyarakatnya. Diantara negara-negara yang terletak di sepanjang kawasan Samudra Hindia yang terkena dampak tsunami, Aceh merupakan daerah paling parah dengan korban tewas sebanyak 123,000 jiwa, 113,000 orang hilang, dan 406,000 orang kehilangan tempat tinggal16). Lebih tingginya jumlah korban yang tewas disebabkan oleh tidak adanya sistem peringatan dini dan kurangnya kesiapsiagaan dari masyarakat7). Masyarakat terutama di Banda Aceh tidak memiliki pengalaman mengenai
Edisi 03/Tahun XIX/2013
57
31/12/2013 16:01:15
tsunami dibandingkan dengan masyarakat di Pulau Simeleu dimana korban tewas sebanyak 44 orang, karena masyarakat Simeleu mendengar cerita turunmenurun dari para leluhur mengenai tsunami3). Pemerintah, lembaga daerah, nasional dan internasional serta Organisasi Non Pemerintah (NGO) memberikan perhatian untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar bencana dan siaga ketika terjadi bencana. Karena anakanak merupakan salah satu kelompok yang rentan akan bencana, pemerintah melakukan upaya dengan memperkenalkan pendidikan bencana berbasis sekolah dengan memasukkan pengurangan resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah. Pengenalan pendidikan bencana berbasis kurikulum di sekolah diharapkan dapat membuat sekolah menjadi lebih sadar akan bencana alam2. Pada tahun 2009, pemerintah mulai mengembangkan sebuah proyek percontohan dari penggabungan pendidikan bencana ke dalam kurikulum sekolah atau Sekolah Siaga Bencana (SBB) atau Program Kesiapsiagaan Bencana berbasis Sekolah (PKBS). SSB difokuskan pada pembangunan struktur, infrastruktur, dan sistem sekolah. Struktural termasuk pembangunan gedung sekolah, sementara non structural mencakup peningkatan pengetahuan, keahlian, modul, sistem peringatan dini sekolah, perencanaan darurat sekolah, dan pengerahan kemampuan sumber daya sekolah selama bencana7).. Sementara terbatasnya sekolah yang memiliki kesempatan demikian, beberapa NGO mencoba untuk mengembangkan pendidikan bencana sekolah di sekolah lain yang tidak tercakup oleh PKBS. Didukung oleh pendanaan internasional yang disebut DRR-A, pada tahun 2011, Tsunami Disaster Management Researh Centre (TDMRC) mulai mereplikasi model SSB di sekolah yang berbeda-beda di Aceh. Sebagai ganti dalam menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum, TDMRC memulai proyek tersebut dengan pelatihan mengenai pelatihan bencana kepada para guru dan murid-murid sekolah secara terpisah dari mata pelajaran dan jam sekolah. Walaupun pendekatan yang berbeda diterapkan pada pendidikan bencana di sekolah, kedua program tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu: membangun pengetahuan, kesadaran, dan keahlian dalam mendukung sekolah agar mampu mempersiapkan, tanggap terhadap bencana dan pulih dari bencana7,28). Oleh karenanya, penting untuk mengevaluasi
58
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 31 of 44 - Pages(58, 31)
efektifitas kedua program tersebut dalam peningkatan pengetahuan sekolah, kesadaran, persepsi resiko, dan kesiapsiagaan bencana tsunami. Penelitian terhadap kesiapsiagaan bencana berbasis sekolah di Indonesia masih sedikit. Penelitian ini menguji efektifitas dari pendidikan bencana berbasis kurikulum dan sekolah berbasis non kurikulum terhadap pengetahuan siswa, persepsi resiko kesadaran dan perilaku kesiapsiagaan. Pendekatan yang berbeda terhadap pendidikan kebencanaan di sekolah juga akan didiskusikan.
2. Peran Penting Sekolah dalam Pengurangan Resiko Bencana Bencana tidak membeda-bedakan ras, jenis kelamin, umur, dan tempat2). Bahkan bencana hampir sering menimpa golongan yang rentan, seperti anak-anak, lansia, perempuan, dan orang-orang miskin. Terutama anak-anak, mereka adalah anggota masyarakat yang paling rentan terhadap bencana karena mereka memiliki kapasitas dan sumber daya yang terbatas dalam mengatasi bencana. Terdapat pengakuan secara luas bahwa pendidikan bencana yang efektif harus dimulai pada tingkat individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat20). Sekolah berperan penting dalam membangun kesadaran bencana dalam masyarakat, dengan demikian upaya yang dilakukan adalah bagaimana membangun sekolah yang siap siaga menghadapi bencana alam 27). Sekolah memiliki beberapa fungsi dalam pengurangan resiko bencana termasuk memfasilitasi dan bekerjasama dengan lingkungan sekitar, meningkatkan kacakapan masyarakat, pusat penampungan pengungsi ketika terjadi bencana, dan memberikan contoh model gedung sekolah tahan gempa kepada masyarakat23,24,13). Belajar dari kejadian di Jepang, sekitar 60% penampungan pengungsi adalah gedung sekolah selain fasilitas umum seperti kantor pemerintahan, kantor pemadam kebakaran, dan kantor polisi27). Dalam kaitannya dengan kesadaran umum, sekolah dapat bertindak sebagai perantara dalam masyarakat yang bertanggungjawab untuk menyebarluaskan informasi bencana kepada keluarga siswa dan anggota masyarakat1,29). Pendekatan umum yang sering digunakan untuk membangun sekolah tahan gempa adalah dengan memasukan mata pelajaran bencana ke dalam kurikulum sekolah. Definisi kurikulum mengacu “pada pendidikan sebagai tempat untuk menciptakan budaya keselamatan”27). Setelah gempa Kobe pada
perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; (iv) peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitf di kawasan Asia. Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran tersebut, kebijakan pembangunan kepariwisataan terutama diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteran rakyat, dengan tetap memperhatikan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipasi masyarakat, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan serta berpegang pada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam strategistrategi (a) pengembangan industri pariwisata dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan peluang usaha yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja; (b) pengembangan destinasi pariwisata dengan mendorong perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata, melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dan dalam negeri, terutama ke sepuluh tujuan pariwisata Indonesia, dan mengembangkan kawasan strategis dan daya tarik pariwisata berbasis wisata bahari, alam, dan budaya di luar Jawa dan Bali, termasuk industri kreatif, serta mengembangkan desa wisata melalui PNPM Mandiri; (c) pengembangan pemasaran dan promosi pariwisata dengan meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20 (dua puluh) persen secara bertahap dalam 5 (lima) tahun dan mempromosikan ke 10 (sepuluh) tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif, serta menguatkan strategi pemasaran dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; (d) pengembangan sumber daya pariwisata dengan strategi meningkatkan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan kepariwisataan.
Strategi tersebut diatas didukung oleh peningkatan koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (a) pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (b) keamanan dan ketertiban; (c) prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; (d) transportasi darat, laut, dan udara; dan (e) bidang promosi dan kerja sama luar negeri; serta koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Di dalam RPJMN Kedua (2010 – 2014), arah kebijakan pembangunan pariwisata dijabarkan ke dalam fokus prioritas dan kegiatan prioritas sebagai berikut: 1.
Fokus Prioritas Pengembangan Industri Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan Usaha, Industri, dan Investasi Pariwisata; dan (b) Pengembangan Standardisasi Pariwisata.
2.
Fokus Prioritas Pengembangan Tujuan Pariwisata yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan Daya Tarik Pariwisata; (b) Pemberdayaan Masyarakat di Tujuan Pariwisata; (c) Peningkatan PNPM Mandiri Bidang Pariwisata; dan (d) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Pengembangan Tujuan Pariwisata
3.
Fokus Prioritas Pengembangan Pemasaran dan Promosi Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Peningkatan Promosi Pariwisata Luar Negeri; (b) Peningkatan Promosi Pariwisata Dalam Negeri; (c) Pengembangan Informasi Pasar Pariwisata; (d) Peningkatan Publikasi Pariwisata; (e) Peningkatan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran (Meeting, Incentive Travel, Conference, and Exhibition/MICE); dan (f ) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Pemasaran
I.
Fokus Prioritas Pengembangan Sumber Daya Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan SDM Kebudayaan dan Pariwisata; (b) Penelitian dan Pengembangan Bidang Pariwisata; (c) Pengembangan Pendidikan Tinggi Bidang Pariwisata
Edisi 03/Tahun XIX/2013
31
31/12/2013 16:01:14
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025. Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 dan dalam rangka memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi dan Berdaya Saing Global pembangunan Kepariwisataan diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Amanah tersebut kemudian dijabarkan dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) RPJMN Pertama merupakan penjabaran lima tahun pertama dari kebijakan pembangunan keparwisataan yang diamanahkan oleh RPJPN 2005 – 2025. RPJMN ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam RPJMN pertama diarahkan untuk mendukung peningkatan daya saing pariwisata di tingkat global dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Nasional “Peningkatan Investasi dan peningkatan ekspor”. Arah kebijakan pengembangan kepariwisataan adalah adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara yang difokuskan pada upaya: (a). Peningkatan efektivitas kelembagaan promosi pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri; (b). Pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata, terutama pengembangan wisata bahari yang potensinya sangat besar dengan tetap memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan; (c) harmonisasi dan simplifikasi berbagai perangkat peraturan yang terkait di dalam mendukung pengembangan pariwisata, termasuk di dalamnya wisata bahari; dan (d) Optimalisasi dan sinkronisasi dalam pengelolaan jasa pelayanan pariwisata, terutama yang melibatkan lebih dari satu moda transportasi.
30
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 30 of 44 - Pages(30, 59)
Dalam RPJMN Pertama (2004 – 2009), kebijakan pembangunan kepariwisataan dilaksanakan dengan 3 (tiga) program pembangunan, yaitu: (1) Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata. Program ini ditujukan untuk menciptakan promosi pariwisata yang efektif dengan pendekatan profesional, kemitraan antara swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan. (2) Program Pengembangan Destinasi Pariwisata. Program ini ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan destinasi wisata dan asetaset warisan budaya menjadi obyek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan serta mendorong investasi. dan (3) Program Pengembangan Kemitraan. Program ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat jaringan kerjasama antara Pemerintah (pusatkabupaten/kota)-swasta-dan masyarakat dan pelaku industri budaya dan pariwisata di dalam maupun di luar negeri dalam bidang penelitian, sumber daya manusia, dan kelembagaan dan sekaligus mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya. RPJMN Kedua ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014. Dalam RPJMN Kedua, Presiden menetapkan 11 Prioritas Naional, yaitu: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konflik; (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Disamping itu, juga telah ditetapkan 3 Prioritas Lainnya Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Prioritas Lainnya Bidang Ekonomi, dan Prioritas Lainnya Bidang Kesejahteraan Rakyat. Pariwisata merupakan salah satu prioritas nasional yang diharapkan mampu mendukung pencapaian sasaran Prioritas Lainnya Bidang Kesejahteraan Rakyat. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam RPJMN Kedua difokuskan pada upaya mendukung pelaksanaan amanah presiden terpilih, yaitu: (i) peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20% secara bertahap dalam 5 tahun; (ii) promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif; (iii)
tahun 1995, sebagai contoh, guru dan pemerintah daerah mengembangkan penanggulangan bencana ke dalam mata pelajaran seperti geografi, sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan jasmani dan kesehatan, lingkungan 21,23). Pendekatan lainnya termasuk simulasi permainan, lokakarya, pembuatan peta, pelatihan rutin kuis danmenciptakan kompetensi2, 25). Pengarusutamaan pengurangan resiko bencana diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anggota masyarakat, tingkat kesadaran dan persepsi bencana, dan kesiapan dalam menanggapi bencana di masa mendatang. Kesadaran akan bahaya merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menanggulangi bencana14). Paton et al.,14) menyimpulkan bahwa kesadaran kritis menentukan kesiapsiagaan masyarakat dalam hal gempa dan bahaya kebakaran. Selain itu, adanya keterikatan yang erat antara kesadaran umum dan kesiapsiagaan bencana dikemukakan oleh Pusat Ancaman Alam, Universitas Colorado11). Bagaimana masyarakat mengartikan resiko sering dianggap sebagai sebuah penanda penting dari keputusan mereka untuk melakukan persiapan terhadap ancaman alam. persepsi resiko mengacu pada kemungkinan bahwa bahaya yang akan terjadi dan dampak yang parah bagi mereka11,18,19). Sementara semakin tingginya persepsi resiko dapat memotivasi masyarakat dalam mengambil tindakan untuk kesiapsiagaan, sebaliknya rendahnya persepsi mengurangi penyesuaian dalam mengadopsi bencana. Johnston et. Al.,6) mengidentifikasikan peran penting risk perception dan tingkat pengetahuan mengenai bahaya dalam mempengaruhi masyarakat untuk penanggulangan persitiwa bencana. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shaw22) menunjukan bahwa pendidikan sekolah mengenai bencana memberikan kontribusi untuk pengembangan pengetahuan dan persepsi dari bencana gempa namun terbatas pada kesiapsiagaan gempa. Penelitian bencana yang dilakukan di negara berkembang menemukan bahwa masyarakat mengartikan bahaya berdasarkan pada budaya dan kepercayaan agama daripada pengetahuan modern10). Di Indonesia, anggapan bahwa penyebab bencana merupakan hukuman Tuhan dikarenakan dosa oleh manusia masih berlaku17, 10). Aceh merupakan sebuah provinsi khusus di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, pengetahuan mengenai tsunami akan berguna
dalam meneliti persepsi siswa terhadap bencana tsunami. Beberapa ahli menyarankan bahwa tujuan dari pendidikan umum termasuk di sekolah tidak hanya terbatas pada meningkatkan kemampuan, persepsi resiko dan kesadaran tapi juga memiliki sikap kesiapsiagaan. Murata et.al12) memberikan perhatian mengenai pentingnya proses menafsirkan dari pengetahuan ke dalam tindakan dengan memberikan pengetahuan baik di sekolah dan masyarakat sehingga mereka akan siap dalam menghadapi tsunami. GeoHazard International4), Sugimoto et.al.,26) ICHARMUNESCO5), and Murata et.al.,12) memberikan pedoman bagaimana membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Murata et.al.,12) menyarankan bahwa untuk menekan dampak dari tsunami, masyarakat harus menciptakan sebuah “budaya bencana” melalui pembelajaran (menyiapkan diri dengan pengetahuan khusus mengenai tsunami), pelatihan rutin (berlatih secara teratur untuk menghindari kehilangan pengetahuan) dan latihan (kemahiran dibuktikan dengan latihan). GeoHazard International menyarankan bahwa membuat ancaman tsunami dan peta jalur evakuasi merupakan contoh bagus dalam memulai upaya kesiapsiagaan. Sugimoto et., al.,26) menyatakan bahwa membangun perangkat unik, tiang ketinggian tsunami dapat membuat masyarakat mengingat dampak tsunami dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, berlatih secara teratur dan mengenal jalur evakuasi sangat berguna ketika terjadi bencana4, 5, 12, 26), kepanikan sering terjadi. Mengenal baik jalur evakuasi akan membantu orang dalam menemukan tempat yang lebih aman ketika bencana tsunami terjadi. Oleh sebab itu, mengunjungi atau berlatih di jalur evakuasi tsunami menjadi salah satu sikap penting dalam kesiapsiagaan tsunami. Tingkat kesiapsiagaan siswa dapat terlihat dari intensitas mengunjungi museum tsunami, kapal terdampar, dan pemakaman massal sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah sebagai fasilitas pendidikan bencana tsunami dan fasilitas kedaruratan lainnya1,5). Objek utama dari penelitian ini adalah murid sekolah, dimana kesiapsiagaan individu ditekankan dengan kegiatan murid sekolah yang berkaitan dengan fasilitas bencana dan peringatan bencana, sementara persiapan “nyata” harus dilakukan oleh orang dewasa. Secara singkat, penelitian sebelumnya telah mengevaluasi faktor-faktor penting terkait dengan
Edisi 03/Tahun XIX/2013
59
31/12/2013 16:01:13
kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, risk perception, dan critical awareness. Sudut pandang secara teori dan praktek menegaskan bahwa pengetahuan bencana di sekolah tidak hanya ditujukan pada pengetahuan murid sekolah, kesadaran kritis ,dan persepsi resiko tapi juga perubahan sikap terhadap kesiapsiagaan.
3. Pembangunan Program Kesiapsiagaan Bencana berbasis Sekolah di Indonesia Tidak lama setelah tsunami yang menghancurkan pada tahun 2004, pemerintah Indonesia didesak untuk mengadopsi kurikulum bencana ke dalam sekolah. Dikarenakan peliknya birokasi pendidikan, pembahasan mengenai pengurangan resiko bencana ke dalam sekolah menimbulkan perdebatan apakah pendidikan resiko bencana seharusnya dijadikan mata pelajaran khusus atau digabungkan dengan mata pelajaran yang sudah ada. Kedua metode tersebut memiliki keuntungan dan kerugian. Menciptakan mata pelajaran dengan tema bencana kedalam kurikulum dapat menimbulkan kesulitan dan memakan waktu yang lama untuk menerapkannya. Karena hal tersebut terkait dengan kebutuhan untuk mengubah peraturan, mengembangkan kurikulum yang mencakup nasional, dan mengadopsi karakteristik local kedalam mata pelajaran bencana. Setelah memberlakukan Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana Nomor 24/2007, pemerintah mengembangkan kurikulum bencana dengan menerapkan proyek percontohan di beberapa sekolah baik untuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada tahun 2009, Pusat Pengembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan meluncurkan modul pengajaran tentang pengarusutamaan pengurangan risiko bencana berdasarkan jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, kebakaran, tanah longsor dan banjir15). Pada saat yang bersamaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan proyek percontohan untuk sekolah berbasis pendidikan bencana yang disebut Sekolah Siaga Bencana (SSB). SSB yang didukung oleh UNESCO, telah sukses diterapkan di tempat yang berbeda di Indonesia 7, 9, 28). Program mendasar dari SSB adalah mengembangkan kurikulum bencana melalui berbagai kegiatan termasuk pelatihan untuk pelatih yang ditujukan bagi para guru, lokakarya, pengembangan modul, pelatihan untuk warga 60
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 29 of 44 - Pages(60, 29)
sekolah, melengkapi dengan kegiatan percobaan yang berkaitan dengan subjek bencana. Kegiatan lainnya adalah memasang tanda dan pesan tentang pendidikan bencana, membagikan bahan-bahan yang berhubungan dengan informasi bencana dan penilaian bangunan sekolah tahan gempa7, 28). Kebijakan pengarusutamaan pendidikan bencana kedalam sekolah terutama ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Pendidikan (Kemendiknas) No 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Bencana ke Sekolah oleh Kementerian Pendidikan27). Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah harus dapat mengadopsi dan mengembangkan sekolah berbasis program pendidikan bencana berdasarkan kebutuhan dan karakteristik daerah namun tetap didasarkan pada pedoman umum dari kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanggulangan bencana. Pada tahun 2009, proyek percontohan SSB mulai diterapkan di Aceh yang didukung oleh LIPI, UNESCO dan TDMRC9). Terdapat satu sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Banda Aceh. Tema bencana telah digabungkan terutama ke dalam mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Sosial, Ilmu Pengetahuan dan Muatan Lokal. Modul tersebut dikembangkan oleh para pemangku kepentingan daerah seperti Dinas Pendidikan Kota, guru, TDMRC berdasarkan pedoman nasional untuk kurikulum bencana. Pada dasarnya mata pelajaran mengenai bencana diberikan kepada semua tingkatan kelas. Untuk satu mata pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, setidaknya ada lebih dari 3 kali (2 jam) pembahasan dengan tema bencana. Terutama dalam Ilmu Alam dan Sosial, permasalahan mengenai bencana dibahas secara lebih mendalam dan rinci. Awalnya, para guru diberi pelatihan bagaimana mengembangkan dan mengajarkan tema mengenai bencana kepada anak-anak sekolah. Mereka juga didorong untuk mengembangkan metode yang berbeda dalam mengajar siswa seperti mengembangkan percobaan sederhana yang berkaitan dengan mata pelajaran tersebut dan metode lainnya seperti kegiatan ekstrakurikuler dan mengadakan pengajaran umum dengan mengundang narasumber dari luar sekolah. Sekolah juga harus dapat mengembangkan pedoman sekolah tentang penanggulangan bencana, rencana darurat, memasang petunjuk-petunjuk darurat, pameran pendidikan umum, dan pelatihan rutin bencana.
lima tahun Pertama. Hal ini disebabkan terjadinya gejolak politik dan ekonomi pada tahun 1998 yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru dan melahirkan era Reformasi. Peristiwa tersebut mengakibatkan situasi dalam negeri yang kurang kondusif dan akhirnya berdampak pula pada menurunya jumlah kunjungan wisman pada tahun 1998 sebesar 12,11 persen dari tahun 1997. Empat tahun pertama masa Reformasi dikenal dengan masa transisi. Dalam masa tersebut kebijakan perencaaan pembangunan kepariwisataan mengacu pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun. Sesuai dengan amanah GBHN 1999 – 2004, arah kebijakan pembangunan nasional dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun (Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004. Propenas kemudian dirinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Di dalam GBHN disebutkan bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor yang mendukung pembangunan ekonomi -“Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat”. Dalam periode Propenas, kebijakan pengembangan Pariwisata diarahkan untuk mendukung kebijakan Peningkatan Daya Saing pariwisata dan diprioritaskan pada upaya pemulihan citra pariwisata yang sempat menurun sebagai akibat dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002 dan tahun 2005. Kedua peristiwa tersebut tentu saja berdampak pada menurunnya jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia (Grafik 2) mengingat Bali merupakan penyumbang terbesar jumlah wisman. Secara khusus pembangunan pariwisata diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional, yaitu “ Meningkatnya kesejahteraan rakyat, kualitas kehidupan beragama, dan meningkatnya ketahanan budaya” melalui pengembangan kepariwisataan dengan secara
terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan. Kebijakan pariwisata tersebut dilaksanakan melalui 1 (satu) program yaitu program pengembangan pariwisata. Program ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian, dan kebudayaan, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempatl; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatankegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain (i) merumuskan reformasi kebijakan pariwisata nasional berlandaskan pemberdayaan sumber daya lokal; (ii) merumuskan strategi pemasaran industri pariwisata dengan penekanan pada keterpaduan antara produk dan pemasaran pariwisata; (iii) mengembangkan sumber daya alam; (iv) mengembangkan serta pengkayaan kesenian dan kebudayaan tradisional sebagai produk wisata potensial; (v) meningkatkan profesionalisme SDM pariwisata; dan meningkatkan aksessbilitas ke tujuan-tujuan wisata potensial; (vi) meningkatkan kemampuan lembaga pelayanan publik; dan (vii) meningkatkan koordinasi Dalam rangka menata dan memperkuat perencanaan pembangunan nasional pada tahun 2007 dikeluarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undangundang tersebut mengamanahkan untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Dalam Pasal 19 ayat (1), Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden selama 5 (lima) tahun, ditempuh melalui Strategi Pokok yang dijabarkan dalam Agenda Pembangunan Nasional memuat sasaransasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, dan program-program pembangunan. Disamping itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional disusun dengan tetap mempertimbangkan amanah
Edisi 03/Tahun XIX/2013
29
31/12/2013 16:01:12
pembangunan objek dan daya tarik wisata, serta (h) meningkatkan usaha perintisan untuk menjangkau daerah dan masyarakat tertinggal sebagai salah satu upaya mengentaskan kemiskinan; (i) mendorong usaha pariwisata berskala besar dan menengah untuk membantu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja di kalangan usaha kecil, dan mengembangkan modul tingkat khusus untuk semua jenjang pekerjaan atau jabatan, terutama bagi usaha golongan menengah dan kecil; serta (j) membentuk unit pelatihan khusus untuk melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja di daerah yang lokasinya berjauhan dengan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Keenam dijabarkan ke dalam 2 (dua) program pokok dan 5 (lima) program penunjang. Kedua Porgram Pokok tersebut adalah (1) Program Pengembangan Pemasaran yang meliputi kegiatan-kegiatan pemasaran dalam negeri dan pemasaran luar negeri; (2) Program Pengembangan Produk Wisata yang meliputi kegiatankegiatan: penyusunan rencana induk pengembangan kepariwisataan nasional dan rencana pengembangan kawasan, obyek dan daya tarik wisata yang mempunyai potensi; pengembangan obyek dan daya tarik wisata bahari yang mencakup antara lain; pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam, agrowisata, peninggalan sejarah dan budaya; pengembangan obyek wisata dan daya tarik wisata minat khusus; pengembangan dan pengelolaan kawasan pariwisata Krakatau, kawasan Batam dan Bintan dalam kaitan dengan kawasan kawasan Sijori, kawasan Aceh dan Sumatera Utara dalam kaitan dengan kawasan segitiga Utara, kawasan Sulawesi Utara dalam kaitan dengan kawasan Utara Indoneisa, dan Kawasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur dalam kaitan dengan kawasan Selatan Indonesia; pembangunan Taman Rekreasi dan tempat hiburan; pengembangan wisata konvensi di Jakarta, Bali, Medan, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya; pendirian usaha perjalanan wisata sebanyak yang dibutuhkan; pengembangan dan penyusunan informasi pariwisata; peningkatan peran serta koperasi, usaha kecil dan menengah dalam usaha pengembangan produk wisata; dan pembangunan sarana akomodasi sekitar 100.000 kamar tersebar di seluruh Indonesia sejalan dengan pengembangan obyek dan daya tarik wisata Selanjutnya kelima Program Penunjang meliputi: (1) Program Pengemdalian Pencemaran Lingkungan Hidup; (2) Program Pendidikan, Pelatihan, dan
28
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 28 of 44 - Pages(28, 61)
Penyuluhan Pariwisata; (3) Program Penelitian dan Pengembangan Pariwisata; (4) Program Pembangunan Prasarana pariwisata; dan (5) Program Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian Kebijakan pembangunan kepariwisataan selama periode Orde Baru cukup menggembirakan. Hal ini ditandai bahwa pada masa tersebut jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia meningkat secara mencolok dari 86,1 ribu orang dengan devisa yang dihasilkan sebesar USD 10,8 juta pada tahun 1969 menjadi 2.569,9 ribu orang (30 kali lipat dari tahun 1969) dengan devisa yang dihasilkan sebesar USD 2.518,1 juta pada tahun 1991 4 (Gambar....). Gambar 5:
Grafik 6:
Sumber: Orde Baru Dalam Angka, Hasil-hasil Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Kedua yang seharusnya berlangsung sampai dengan tahun 2020, hanya dapat dilaksanakan Pembangunan 4 Sekretariat Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, “Orde Baru Dalam Angka, Hasil-hasil Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama”, Jakarta 1992, hal. 96-97
Meskipun surat Edaran Kementerian Pendidikan mendorong pemerintah daerah untuk mengadopsi Pendidikan Bencana berbasis Sekolah, namun di Aceh kebijakan tersebut secara resmi telah diterapkan meluas ke semua sekolah. Memiliki pengalaman mengembangkan SSB, didukung oleh pendanaan internasional yang disebut DRR - A, pada tahun 2011, TDMRC mulai meniru model SSB di 28 sekolah di tempat yang berbeda di Aceh . Sebagai ganti dari menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum, mereka memulai proyek dengan pelatihan mengenai isu-isu bencana langsung kepada guru dan anakanak sekolah yang terpisah dari mata pelajaran dan jam sekolah. Meskipun pada akhirnya, proyek ini akan menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum sekolah, program yang diajarkan lebih interaktif dengan menggunakan berbagai metode seperti permainan peran, diskusi dan metode lainnya. Setiap bulan TDMRC melibatkan pemerintah daerah, organisasi Palang Merah mengadakan kegiatan yang berbeda di sekolah sesuai jadwal. Meskipun terdapat kegiatan serupa yang berkaitan dengan pendidikan bencana yang diadakan di sekolah-sekolah, namun terdapat perbedaan yang signifikan terhadap cara yang berbeda dalam memasukan tema bencana berbasis kurikulum secara resmi dan waktu pelaksanaan. Secara singkat, perbedaan metode antara sekolah dengan pendidikan bencana berbasis kurikulum dan sekolah non kurikulum adalah, di sekolah dengan kurikulum: (1) difasilitasi dan dibiayai oleh pemerintah pusat dan daerah, sementara di sekolah nonkurikulum oleh NGO, (2) permasalahan bencana telah digabungkan ke dalam mata pelajaran sekolah (Bahasa, Ilmu Sosial, Ilmu Pengetahuan, Agama, dll) sementara di non-kurikulum belum digabungkan, (3) topik bencana diajarkan oleh guru yang bertanggung jawab untuk setiap mata pelajaran, sementara di non-kurikulum diajarkan oleh staf NGO. Melihat perbedaan tersebut, hipotesis penelitian adalah bahwa sekolah yang mengadopsi pendidikan bencana berbasis kurikulum lebih efektif dalam hal pengetahuan, kesadaran, risk reception, kesiapsiagaan bencana tsunami dibandingkan dengan sekolah yang mengadopsi non-kurikulum baik secara kelembagaan maupun individual. Pengaruh pendidikan bencana tidak hanya mempengaruhi pengetahuan, kesadaran kritis, dan persepsi risiko tetapi juga pada sikap kesiapsiagaan.
4. Metode Survei dengan metode pembagian kuesioner dilakukan di antara anak-anak sekolah pada tiga sekolah di Banda Aceh (25-26 November 2011) dan kabupaten Aceh Jaya (27-28 November 2011). Sekolah A yang mengadopsi tema bencana ke dalam kurikulum sekolah (n = 98) dikelompokkan ke dalam Kelompok Sekolah 1 dan sekolah B dan C dikelompokkan ke dalam pendidikan bencana berbasis non kurikulum (n = 71) atau Kelompok Sekolah 2. Wawancara mendalam dengan guru, pejabat pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah dilakukan untuk membahas aspek-aspek terkait pelaksanaan kurikulum pengurangan risiko bencana. Pembagian kuesioner dilakukan oleh peneliti dengan bantuan guru, staf pejabat pemerintah daerah dan LSM. Guru dan staf lokal diberi pengarahan dan dibekali dengan “penjelasan kuesioner” untuk memastikan siswa tepat dalam mengisi kuesioner. Awalnya 110 set kuesioner dibagikan dan dikembalikan 110 (100%) di Sekolah 1 tetapi hanya 98 (89%) yang dapat dianalisis. Hal tersebut dikarenakan tanggapan yang kurang lengkap. Sedangkan Sekolah 2, dari 80 kuesioner yang dikembalikan 75 (93%) namun hanya 71 (88%) dimasukkan dalam analisis, karena jawaban kurang lengkap. Kuesioner dibagi menjadi tiga bagian: karakteristik demografi, pengalaman dengan tsunami 2004, dan pengetahuan anak-anak sekolah, persepsi risiko, kesadaran kritis, pemahaman dan kesiapsiagaan individual. Pengetahuan mengenai tsunami berasal dari dua pertanyaan, seperti “apa yang dimaksud tsunami dan penyebab tsunami” dan “kapan tsunami berikutnya dapat terjadi”. Tanggapan hanya memiliki satu jawaban yang benar, berkisar dari 0 sampai 2 (respon yang benar total = 2). Persepsi risiko dievaluasi dengan 4 hal (Cronbach Alpha = 0,574) terdiri dari 1 hal mengenai “Bagaimana kemungkinan tsunami yang dapat terjadi selanjutnya” dan 3 hal mengenai “Apabila tsunami terjadi di daerah Anda, bagaimana kemungkinan anda berpikir hal tersebut dapat mempengaruhi /mengakibatkan bahaya bagi anda/keluarga anda (kerusakan properti dan mengganggu keluarga untuk mencari nafkah), (sangat tidak mungkin / sangat mungkin)”. Kesadaran kritis dinilai oleh 3 hal (Cronbach Alpha = 0,562) menggunakan karya dari Paton et. al .14) yang mana “saya berpikir tentang peristiwa tsunami dan dampak kami kehidupan kami”, “saya berbicara (membahas) tentang
Edisi 03/Tahun XIX/2013
61
31/12/2013 16:01:11
tsunami dengan anggota keluarga (ayah, ibu, nenek, nenek, kakak, adik, dll )”, “saya berbicara (membahas) tentang tsunami dengan teman-teman di sekolah saya/ desa” (tidak pernah / selalu). Terdapat 7 item (Cronbach Alpha = 0,738) dari kesiapsiagaan individu termasuk “dalam waktu enam bulan terakhir, seberapa sering Anda: (1) mengunjungi (mengindahkan) jalur evakuasi dan tempat penampungan, (2) mengunjungi menara sirene tsunami, (3) berpartisipasi dalam pelatihan rutin bencana tsunami/simulasi, (4) mengunjungi pemakaman massal, (5) mengunjungi museum tsunami, (6) tiang penanda tinggi tsunami, dan (7) mengunjungi kapal”. Jawabannya dievaluasi dengan memberikan nilai dengan skala 3 “tidak pernah, 1 kali, 2 kali dan 3 atau lebih dari 3 kali”. Kesiapsiagaan sekolah dikembangkan dari LIPI (2009) dan berbagai referensi lainnya terdiri dari 7 item (Cronbach Alpha = 0,781), dengan bertanya kepada siswa “perjanjian bahwa sekolah telah (1) mengajarkan tentang tsunami kepada siswa, (2) mengajarkan bagaimana tanggap tsunami, (3) mengembangkan rencana evakuasi dan menyiapkan perlengkapan darurat, (4) mengembangkan sistem peringatan dini atau komunikasi darurat, (5) memasang petunjukpetunjuk evakuasi, (6) memberikan informasi, (7) melakukan pelatihan rutin bencana “. Jawabannya dinilai dengan memberikan nilai dengan skala 5 “sangat tidak setuju, tidak setuju, tidak setuju atau setuju, setuju, dan sangat setuju”.
5. Temuan dan Pembahasan Sebagaimana dipaparkan dalam tabel 1, secara umum tidak terdapat karakteristik yang berbeda diantara anakanak sekolah dari dua sekolah. Tabel 2 menunjukkan informasi mengenai pengalaman tsunami tahun 2004, apakah mereka memiliki pengalaman secara langsung atau tidak, rumah mereka telah terpukul oleh tsunami dan anggota keluarga kehilangan atau tidak. Dalam hal pengetahuan, hasil deskriptif yang menunjukkan bahwa bagian jawaban yang benar tentang penyebab tsunami dan ketika tsunami akan terjadi adalah terhitung rendah sebanyak 38% di sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana terpadu dan hanya 6% di sekolah yang tidak mengadopsi ada kurikulum tersebut. Tabel 3 menunjukkan bahwa bencana tsunami yang disebabkan oleh hukuman Allah tetap sama tinggi di kedua sekolah dengan masing-masing perolehan 31% dan 40%.
62
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 27 of 44 - Pages(62, 27)
Tabel 1 Karakteristik subyek (siswa)
Kurikulum N(%) 97 (100%) 0 (0%) 54 (55%) 43 (44%)
NonKurikulum N(%) 71 (100%) 20 (28%) 26 (37%) 25 (35%)
Umur <10 thn 10 thn 11 thn 12 thn 13 thn
89 (100%) 9 (9%) 42 (43%) 38 (39%) 9 (9%) 0 (0%)
71 (100%) 14 (20%) 19 (27%) 30 (42%) 5 (7%) 3 (4%)
Jender Laki-laki Perempuan
98 (100%) 50 (51%) 48 (49%)
69 (100%) 37 (54%) 32 (46%)
Hidup bersama Kedua orang tua Ayah saja Ibu saja Kakek/nenek Saudara Lainnya
96 (100%) 89 (93%) 1 (1%) 1 (1%) 0 (0%) 3 (3%) 2 (2%)
71 (100%) 58 (82%) 5 (6%) 1 (2%) 1 (2%) 3 (4%) 3 (4%)
Lama tinggal di rumah ini Kurang dari 1 tahun 1- 3 tahun 3- 5 tahun Lebih dari 5 tahun
98 (100%) 11 (11%) 21 (22%) 12 (12%) 54 (55%)
70 (100%) 8 (11%) 11 (16%) 10 (14%) 41 (59%)
Jarak rumah ke pantai <500 m 0.5-1 km 1.1 – 2.0 km 2.1-3.0 km >3 km
95 (100%) 19 (20%) 18 (19%) 11 (12%) 7 (7%) 40 (42%)
68 (100%) 19 (28%) 12 (17%) 21 (31%) 10 (15%) 6 (9%)
Karakteristik Subyek (siswa) Kelas 4 5 6
Tabel 2 Pengalaman Siswa dalam tsunami 2004
Pengalaman Siswa dalam tsunami 2004 Mengalami Tsunami 2004 Ya,melihat dipantai Ya, melihat di daratan Diceritakan keuarga/media Rumah rusak Ya Tidak Tidak tahu Kehilangan keluarga Ya Tidak
Kurikulum
NonKurikulum N (%)
N (%) 97 (100%) 10 (6%)
69 (100%) 12 (17%)
36 (22%)
23 (33%)
51 (31%) 98 (100%) 65 (66%)
34 (50%0 70 (100%) 49 (70%)
20 (21%)
7 (10%)
13 (14%) 98 (100%) 55 (56%)
14 (20%) 69 (100%) 37 (54%)
43(44%)
32 (46%)
pemuda dan pelajar yang melakukan kegiatan berwisata. Dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan paket-paket rombongan studi ilmiah dan studi lingkungan, pengenalan kebudayaan nasional, kegiatan pesta olah raga, dan masa liburan. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kelima dijabarkan ke dalam 1 (satu) Program, yaitu Program Pengembangan Pariwisata yang akan diarahkan pada upaya untuk menarik jumlah wisatawan asing hingga mencapai lebih dari 2,5 juta orang pada tahun terakhir Repelita kelima. Dalam rangka mendorong pencapaian sasaran tersebut, Pemerintah memberikan izin bebas visa bagi wisatawan asing yang berasal dari negara pasaran wisata, pelonggaran lebih besar dalam kebijaksanaan pintu masuk, penyelesaian Rancangan Undang-undang Kepariwisataan Nasional (RUU Kepariwisataan Nasional), penyelesaian obyek Wisata (resort) di daerah tujuan wisata, pemberian insentif bagi calon investor dalam kepariwisataan (perpajakan, retribusi, pungutan) dan pemantapan promosi ke luar negeri, terutama dalam mencapai sasaran pasar wisata internasional. Selain itu pemerintah juga menambah jumlah negara yang mendapatkan bebas visa dari 26 negara menjadi 44 negara dan menambah pintu masuk wisman menjadi 13 Bandara Udara dan 16 pelabuhan laut, dari 9 bandar udara dan 7 pelabuhan laut. Selama Repelita Kelima berbagai kawasan pariwisata telah dibangun dan beroperasi, antara lain Bali Tourism Development Corporation (Bali TDC) di Provinsi Bali dan Manado TDC di Provinsi Manado; Belitung TDC; Baturaden TDC; Krakatau-Lampung TDC; Goa Makasar TDC; dan Biak - Irian TDC. Pada 1995 atau tahun terkahir Repelita kelima kenaikan jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia masih cukup tinggi (86,91persen) dibandingkan dengan tahun 1989. Pembangunan Jangka Panjang Kedua disusun dengan mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR) No. II/ MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagaimana ditetapkan dalam GBHN tahun 1993, pariwisata merupakan industri jasa yang mempunyai peran penting dalam mendorong upaya meningkatkan penerimaan devisa, pendapatan daerah dan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa, dengan memanfaatkan keindahan dan kekayaaan alam Indonesia yang beraneka ragam.
Repelita keenam (1993/94 – 1998/99) yang merupakan tahapan pertama Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua, ditetapkan dengan Ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993 – 1998. Sejalan dengan amanah GBHN 1993, secara umum kebijakan pembangunan kepariwisataan terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperkaya kebudayaan nasional dengan tetap mempertahankan kepribadian bangsa dan tetap terpeliharanya nilai-nilai agama, mempererat persahabatan antarbangsa, memupuk cinta tanah air, serta memperhatikan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk mendorong pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk nasional. Secara kebijakan pembangunan kepariwisataan rinci diarahkan pada upaya-upaya (a) meningkatkan peran pariwisata sebagai sektor andalan dalam pembangunan nasional melalui penyusunan konsep pengembangan pariwisata nasional yang kemudian dijabarkan ke dalam pengembangan pariwisata daerah; pengembangan obyek dan daya tarik wisata berikut sarana dan prasarana penunjangnya; (b) meningkatkan daya saing kepariwisataan Nasional melalui usaha pengembangan pemasaran dan promosi yang efisien dan efektif termasuk pengembangan wisata Meetings, Incentives, Congress, and Exhibitions (MICE); (c) mengembangkan pariwisata nusantara melalui pengembangan pola pembinaan agar aktivitas wisnus dapat saling mengisi dan saling menunjang dengan aktivitas wisman sehingga penggunaan fasilitas kepariwisataan yang ada dapat optimal; pengembangan pola penyebaran wisnus dalam rangka pemerataan pendapatan; serta pengembangan pariwisata nusantara agar dapat menjadi landasan yang mantap bagi kepariwisataan nasional; (d) mengembangkan SDM pariwisata melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan tingkat dasar dan menengah, pendidikan untuk tingkat penyelia dan manajemen; pengembangan kemitraan; serta pengembangan dan peningkatan fasilitas pendidikan dan pelatihan; (e) meningkatkan peran serta koperasi, swasta, dan masyarakat melalui usaha kepariwisataan, baik yang berskala kecil, menengah maupun besar; pengembangan keterkaitan berbagai usaha pariwisata dengan berbagai sektor yang lain agar kegiatan ekonomi masyarakat dapat lebih meningkat lagi; (f ) memberikan kemudahan dan insentif untuk kegiatan investasi dan usaha; (g) membuat percontohan dan perintisan
Edisi 03/Tahun XIX/2013
27
31/12/2013 16:01:10
para pramuwisata, para pengusaha yang bergerak dalam usaha jasa agar dapat meningkatkan mutu pelayanannya.
promosi yang efektif baik di dalam maupun di luar negeri, diantaranya yaitu dengan memantapkan kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) di luar negeri.
Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia, pada tahun 1983 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1983 Tentang Kebijakan Pengembangan Pariwisata. Kebijakan tersebut memuat kebijakan pemberian bebas visa kunjungan singkat (BVKS) selama 2 (dua) bulan untuk wisatawan dari 26 negara, kebijakan membuka 3 pelabuhan udara sebagai pintu gerbang masuknya wisatawan asing ke Indonesia yaitu Mokmer (Biak), Sam Ratulangi (Manado), dan Pattimura (Ambon); dan menetapkan pelabuhan laut Belawan, Batu Ampar, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Benoa, Padang Bai, Ambon dan Bitung sebagai pintu masuk kapal-kapal pesiar bagi wisatawan rombongan (cruise) dari luar negeri. Pada akhir Repelita ketiga pemerintah berhasil mendatangkan wisman sebesar 749,4 ribu orang atau meningkat sekitar 24,89 persen dari kunjungan wisman tahun 1980.
Sejalan dengan kebijakan pembangunan Nasional, mulai Repelita Keempat, kebijakan pembangunan kepariwisataan dilakukan melalui 1 (satu) Program, yaitu Program Pengembangan Pariwisata yang merupakan bagian dari Bidang Perhubungan dan Pariwisata. Program ini terutama diarahkan untuk menarik jumlah wisatawan asing hingga mencapai lebih dari 1(satu) juta orang melalui langkah-langkah antara lain : pemberian ijin bebas visa bagi wisatawan asing yang berasal dari 26 negara pasaran wisata, kebijaksanaan pintu masuk lebih diperlonggar, penyelesaian Rancangan Undangundang Kepariwisataan Nasional (RUU Kepariwisataan Nasional), penyelesaian obyek wisata (resort) di 10 daerah tujuan wisata, pemberian insentif bagi calon investor (perpajakan, retribusi, pungutan) dan pemantapan promosi ke luar negeri terutama dalam mencapai sasaran pasar wisata internasional. Kebijakan pemerintah tersebut telah mampu mendatangkan wisman sebesar 1.625,0 ribu orang pada akhir Repelita keempat atau meningkat cukup tinggi (116,91 persen) dibandingkan jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun pertama Repelita keempat.
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Keempat (1984/85 – 1988/89) diarahkan pada pengembangan beberapa kawasan wisata terutama untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk Tirta), kawasan pegunungan maupun resort di kawasan wisata budaya. Disamping itu juga akan dikembangkan Taman wisata dan hiburan yang potensial. Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, disamping memberikan kemudahan bagi wisman masuk ke Indonesia dengan kebijakan bebas visa, melalui Intrusksi Presiden (Inpres) No. 46 Tahun 1988 pemerintah juga menambah (1) empat Bandara Udara (Bandara), yaitu Bandara Frans Ksiepo (Biak), Supadio (Pontianak), El Tari (Kupang), Sepinggan (Balikpapan), dan Bandara Juanda (Surabaya); (2) tiga pelabuhan laut, yaitu Sekupang (Pulau Batam), Tanjung Mas, dan Tanjung Pinang, sebagai pintu masuk wisatawan dari luar negeri. Sementara itu, untuk mendorong tumbuhnya investasi di industri pariwisata, pemerintah memberikan insentif berupa keringanan perpajakan dan restribusi daerah bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut dibarengi dengan kebijakan di bidang penerbangan Internasional yaitu dengan membuka pintu masuk pariwisata dan perluasan jaringan penerbangan ke daerah tujuan wisata di Indonesia. Semua kebijakan tersebut tidak akan efektif untuk mendatangkan wisman tanpa dibarengi dengan upaya pemasaran dan
26
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 26 of 44 - Pages(26, 63)
Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kelima (1989/90 – 1994/95) diarahkan pada upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya, keindahan alam termasuk alam bahari, serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional di samping untuk mendorong peningkatan kegiatan perekonomian nasional. Untuk mendukung kebijakan tersebut diperlukan langkahlangkah antara lain melakukan diversifikasi produk dan atraksi wisata dengan pendekatan Wilayah Tujuan Wisata (WTW), yaitu suatu wilayah yang meliputi beberapa Provinsi atau daya tarik wisata (DTW) yang berdekatan, dirangkai menjadi suatu paket wisata yang terintegrasi dan saling mengisi. Selain itu, juga dikembangkan wisata konvensi mengingat adanya kecenderungan semakin meningkatnya kegiatan pertemuan internasional, konperensi, eksibisi dan pameran di Indonesia; dan wisata kapal pesiar melalui kerja sama dengan perusahaan wisata kapal pesiar internasional untuk dapat menjaring peningkatan kunjungan transit ke objek-objek wisata bahari dan taman laut, serta obyek wisata lainnya. Sementara itu untuk menarik wisatawan dalam negeri, pemerintah menerapkan insentif bagi wisatawan dalam negeri, terutama wisatawan remaja,
Table 3 Pemahaman Siswa terhadap Tsunami Pengetahuan
Kurikulum Non- Kurikulum N(%) N(%) 98 (100%0 70 (100%) 28 (40%) 30 (31%) 37 (38%) 4 (6%) 20 (22%) 25 (36%) 9 (9%) 11 (15%) 2 (2%) 2 (3%)
Peyebab tsunami Hukuman Tuhan Fenomena alam Perbuatan manusia Tidak tahu Lainnya Kemungkinan terjadi tsunami Kapan saja Tahun ini Tahun depan 25 tahun ke depan 50 tahun ke depan 100 tahun ke depan
97 (100%) 82 (84%) 4 (4%) 2 (2%) 2 (2%) 2 (2%) 5 (5%)
70(100%) 50 (71%) 3 (4%) 5 (9%) 2 (3%) 3 (4%) 6 (9%)
Table 4 Mean, Standard Error and MANOVA test: skor pengetahuan, persepsi resik, kesadaran kritis, kesiapasiaaan individual dan sekolah masing-masing kelompok sekolah Dependent Variables/School Groups Pengetahuan Kurikulum No- Kurikulum
(MinMax) Mean (0 - 2) 1.12 .596
Standard Error .081 .092
1 -
18.094 -
.000 -
.147
Persepsi resiko Kurikulum No- Kurikulum
(1 - 5) 3.788 3.463
.089 .101
1 -
5.810 -
.018 -
.052
Kesadaran Kritis Kurikulum No- Kurikulum
(1 - 5) 2.416 2.427
.110 .129
1 -
.578 -
.449 -
.005
Kesiapan Individu Kurikulum No- Kurikulum Kesiapan Sekolah Kurikulum No- Kurikulum
(1 - 5) 2.686 2.191 (1 - 5) 4.507 3.945
.097 .110 .065 .097
1 1 -
11.405 32.627 -
.001 .000 -
.098
df
F
Sig (p)
Partial Eta Squared
kecuali untuk kesadaran kritis. Nilai kesadaran kritis di kedua sekolah cukup rendah atau dibawah nilai tengah dengan skala 5 (2.5). Secara keseluruhan, nilai yang lebih rendah Analisis MANOVA menunjukkan bahwa Box M tidak memenuhi dugaan homogenitas varian (F (15, 39121) = 2,339, sig = 002). Hasil pengujian oleh Lavene menunjukkan bahwa hanya variabel persepsi (F (1, 105) = 4,626, sig = 0,034) dan kesiapsiagaan sekolah (F (1, 105) = 19,465, sig = .000) yang tidak terpenuhi dugaan homogenitas asumsi varian. Namun karena sampel berukuran hampir sama, prosedur MANOVA secara umum kuat 30). Hasil analisis mendukung adanya perbedaan pengaruh yang efektif dari program pendidikan bencana di sekolah. Terdapat pengaruh yang signifikan dukungan terhadap program pendidikan bencana berbasis kurikulum pada gabungan variabel tetap seperti pengetahuan anak sekolah, persepsi resiko, kesadaran kritis dan kesiapsiagaan sekolah. (F (5,101) =10.55, p=.000; Wilks’ Lambda= .66; Partial Eta Squared = .343). Seperti ditunjukkan pada tabel 4, analisis setiap variabel tetap menunjukkan bahwa penerapan pendekatan yang berbeda dari pendidikan bencana di sekolah kurang begitu mempengaruhi secara signifikan terhadap kesadaran kritis (F (1.105) = 0,578, p = 0,449). Di sisi lain, terdapat hasil dari penerapan topik bencana berbasis kurikulum pada pengetahuan anak-anak sekolah (F (1, 105) = 18,094, p = .000), persepsi risiko (F (1.105) = 5,810, p = 018), kesiapsiagaan individu (F (1.105) = 11,405, p = 011) dan kesiapsiagaan sekolah (F (1.105) = 32,627, p = 000).
.237
Nilai rata-rata dari pengetahuan anak-anak sekolah, persepsi resiko, kesadaran kritis, kesiapsiagaan sekolah dan individu dapat dilihat pada table 4. Secara umum, nilai rata-rata semua variable tersebut lebih tinggi di sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana dibandingkan dengan sekolah yang non kurikulum kecuali dalam hal kesadaran kritis. Dalam hal pengetahuan, 2 Kelompok Sekolah dapat dikategorikan sama rendah. Untuk sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana dengan Mean=1.1, sedikit lebih tinggi dibanding sekolah nonadopsi (Mean=6). Sementara dalam hal persepsi resiko, kesadaran kritis, kesiapsiagaan sekolah dan individu, Nilai rata-rata dari sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana lebih tinggi dibandingkan sekolah non adopsi
Jumlah jawaban yang lebih besar dari anak-anak sekolah di kedua sekolah terhadap penyebab tsunami menunjukkan bahwa peran agama dalam memahami fenomena alam sangat penting. Dalam mengembangkan materi terkait pengurangan risiko bencana di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, keyakinan bahwa bencana disebabkan karena hukuman Tuhan harus lebih diberikan perhatian. Biar bagaimanapun, keyakinan tersebut tidak akan secara signifikan mempengaruhi pengurangan risiko bencana yang efektif jika orang memiliki kemauan untuk membangun kesiapsiagaan yang tepat. Sangat penting untuk mengembangkan pengetahuan bencana berdasarkan perspektif keagamaan. Temuan ini menunjukkan bahwa pengaruh sekolah mengadopsi isu bencana berbasis kurikulum pada anak-
Edisi 03/Tahun XIX/2013
63
31/12/2013 16:01:09
anak sekolah dan sekolah terkait dengan pengurangan risiko bencana sebagian terbukti. Efek yang kurang signifikan terdapat pada kesadaran kritis karena pendekatan yang berbeda dari pendidikan bencana di sekolah yang mungkin disebabkan anak-anak sekolah di kedua sekolah merasa bahwa telah dilaksanakan pendidikan bencana di sekolah, sehingga tidak perlu untuk membahas masalah bencana tsunami di sekolah dan rumah. Temuan ini mirip dengan penelitian sebelumnya bahwa pendidikan bencana di sekolah tidak mempengaruhi tingkat kesadaran bencana daripada persepsi resiko23). Temuan penting lainnya adalah bahwa hasil dari penerapan isu bencana berbasis kurikulum di sekolah bisa menimbulkan sikap kesiapsiagaan anak-anak sekolah meskipun terbatas hanya dengan mengunjungi fasilitas pendidikan bencana (museum tsunami, kapal terdampar, pemakaman massal dan runtuhan bangunan). Temuan ini memenuhi harapan umum bahwa pendidikan bencana seharusnya tidak hanya berfokus pada memberikan pengetahuan tentang bencana tetapi juga bagaimana menjadi siap dan tanggap bencana23).
masyarakat secara keseluruhan. Mengunjungi jalur evakuasi, membangun penampungan, menara sirene, dan museum tsunami akan membuat orang terbiasa dengan fasilitas tersebut. Ketika tsunami terjadi mereka akan dengan mudah menemukan tempat-tempat yang aman ke tempat dan waktu yang tepat. Mengunjungi pemakaman massal, kapal terdampar dan tiang tinggi tsunami tiang juga dapat dikategorikan sebagai tindakan kesiapsiagaan karena akan menjaga kesadaran masyarakat pada bencana di masa mendatang. Penelitian ini yang hanya mencakup kesiapsiagaan tsunami pada anak-anak sekolah sebagai hasil dari penerapan pendidikan bencana berbasis kurikulum merupakan salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Kerbatasan lain dari penelitian ini adalah tidak menyertakan kelompok sekolah yang tidak pernah menerapkan pada program pendidikan bencana sebagai kelompok kontrol. Penelitian selanjutnya harus difokuskan pada hasil dari program pendidikan bencana di sekolah terhadap kesiapsiagaan bencana tsunami baik di rumah tangga atau masyarakat.
6. Kesimpulan
Memberikan pengetahuan mengenai bencana dalam program pendidikan bencana bukanlah tugas yang begitu berat. Tantangannya adalah bagaimana program pendidikan bencana dapat mendorong masyarakat untuk memperbarui informasi, meningkatkan tingkat persepsi risiko, menjaga kesadaran, serta melakukan dan memperbarui persiapan yang tepat terhadap bencana di masa mendatang. Sebagai tindak lanjut, perlu dikembangkan berbagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang akan mampu mencapai tujuan utama dari pengurangan risiko bencana: membuat orang memiliki budaya kesiapsiagaan bencana. Metode ceramah dalam pendekatan pembelajaran akan kurang efektif kecuali didukung oleh metode yang berbeda termasuk simulasi permainan, kunjungan lapangan, percobaan dan pelatihan rutin bencana. Seperti didukung oleh pernyataan Johnston dan Ronan17), melibatkan anak-anak dalam pendidikan bencana yang berbeda akan mendapatkan manfaat yang signifikan daripada program tunggal.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari sekolah yang mengadopsi isu bencana berbasis kurikulum terhadap anak-anak sekolah berkaitan dengan pengurangan risiko bencana adalah efektif dalam meningkatkan pengetahuan bencana, meningkatkan tingkat persepsi risiko, kesiapsiagaan individu dan sekolah. Temuan penting adalah bahwa hasil dari penerapan isu bencana berbasis kurikulum di sekolah dapat membangkitkan sikap kesiapsiagaan anak-anak sekolah meskipun terbatas hanya pada kunjungan ke fasilitas pendidikan dan fasilitas darurat. Pengertian umum bahwa hukuman Tuhan sebagai penyebab utama tsunami harus ditangani secara komprehensif - tidak terbatas di sekolah. Guru dan siswa memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, menyebarkan pengetahuan yang benar tentang bencana dan membangkitkan sikap kesiapsiagaan perilaku pada bencana lebih luas di masyarakat daripada terbatas di sekolah.
Standar kesiapsiagaan tsunami yang dikemukakan dalam penelitian ini, digambarkan sebagai seringnya kunjungan ke fasilitas pendidikan bencana dan fasilitas darurat yang mana akan berguna sebagai salah satu sikap perlindungan yang diperlukan untuk mengadopsi tidak hanya anak-anak sekolah tetapi juga bagi anggota
Acknowledgment: Penelitian ini didukung oleh Disaster Mitigation Urban and Cultural Heritage(DMUCH), Ritsumeikan Universiy Global Centre of Excellence (G-COE). Kami juga mengucapkan terima kepada para siswa, guru, pemerintah daerah, dan TDMRC Aceh, Indonesia untuk dukungan dalam penelitian ini.
64
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 25 of 44 - Pages(64, 25)
mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir 2 kali lipat dari kunjungan wisman tahun 1969 yaitu sekitar 245,64persen. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kedua (1974/75 – 1978/79) ditujukan untuk memperkenalkan kebudayaan, keindahan alam dan kepribadian Indonesia kepada masyarakat wisatawan, dan sekaligus membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka kesempatan bagi wisatawan dalam negeri untuk mengenal tanah airnya sendiri. Titik berat pembangunan kepariwisataan pada waktu itu adalah pada (1) pengembangan sarana dan prasarana obyek pariwisata, khususnya di Bali terutama di Nusa Dua, Kuta, Sanur, dan daerah tujuan pariwisata lainnya; dan (2) pembinaan kelembagaan dan organisasi unsurunsur penunjang pariwisata agar mampu mendukung pengembangan pariwisata, baik bagi wisatawan asing maupun wisatawan dalam negeri. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka langkahlangkah yang diambil antara lain: (a) menyusun pola pengembangan rencana induk pariwisata terutama pada daerah-daerah yang mempunyai potensi menarik wisatawan; (b) menyerasikan pola pengembangan pariwisata dari semua daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia menjadi satu rencana induk pembangunan pariwisata nasional; (c) melanjutkan peningkatan prasarana dan sarana kepariwisataan yang telah dimulai pada Repelita Pertama serta memulai perencanaan prasarana dan sarana baru di bidang pariwisata; (d) mengadakan konsolidasi dan peningkatan pembinaan tenaga kerja berikut fasilitasnya untuk menampung pelayanan wisata yang memenuhi persyaratan kepariwisataan internasional; (e) memantapkan kedudukan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata internasional; (f ) menyusun langkahlangkah pengembangan pariwisata dalam negeri; (g) meningkatan jumlah wisatawan terutama ditujukan pada segi peningkatan kualitas, sehingga penerimaan yang akan diperoleh negara menjadi lebih besar; (h) mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) pariwisata; (i) mengembangkan kelembagaan dan organisasi yang menunjang pengembangan pariwisata. Dalam upaya meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, pemerintah telah membuka Kantor-kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia di Frankfurt untuk kawasan Eropa Barat, San Francisco untuk kawasan Amerika Utara, Tokyo untuk kawasan Australia dan di Singapura untuk kawasan ASEAN serta melakukan kerjasama dengan beberapa media
masa luar negeri. Untuk perencanaan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, dalam Repelita kedua pemerintah mulai menyusun Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional yang mengacu pada pola pengembangan pariwisata induk daerah-daerah di Indonesia. Selama Repelita kedua, jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dan pada akhir Repelita kedua jumlah tersebut mencapai 501,4 ribu orang atau meningkat sekitar 68,48 persen dari tahun 1974 yang sebesar 297,6 ribu orang. Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Ketiga (1979/80 – 1983/84) ditujukan untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan memperkenalkan kebudayaan bangsa dengan tetap berupaya melestarikan keindahan alam dan keunikan budaya yang merupakan daya tarik wisata dan difokuskan pada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatankegiatan: (1) promosi pariwisata luar negeri yang akan lebih diintensifkan langsung ke negara-negara asal yang mempunyai potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata dalam negeri yang bertujuan untuk memperkecil mengalirnya devisa ke luar negeri, mendorong industri dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat; (3) Penataan dan peningkatan obyek wisata akan terus dilakukan sesuai dengan Rencana Induk Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan wisata melalui upaya pemberian kemudahan kepada wisatawan yang datang selama berada dan pada waktu meninggalkan Indonesia. Untuk itu akan dilakukan berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan, meliputi penyederhanaan dalam memperoleh visa, seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival); memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatkan pelayanan sarana angkutan (penerbangan, kereta api, bis dan lain-lain); meningkatkan pelayanan hotel dan biro perjalanan; meningkatkan kemampuan personal yang melayani wisata, seperti pramuwisata, juru penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan Penunjang Pariwisata yang meliputi upaya untuk (i) meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan pariwisata melalui pembangunan Institut Pariwisata Nasional dan pembinaan lembaga pendidikan pariwisata swasta; (ii) menyusun undangundang kepariwisataan nasional serta peraturanperaturan pelaksanaannya; (iii) Memberikan bimbingan dan penataran kepada para pengusaha biro perjalanan, pengusaha restoran, pengusaha hotel,
Edisi 03/Tahun XIX/2013
25
31/12/2013 16:01:08
masa itu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian pemerintah. Fokus pemerintah pada pada saat itu masih pada pembangunan dan pembenahan perekonomian nasional sehingga mampu berdiri sendiri. Pembangunan diprioritaskan pada bidang pertanian dan meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi terutama industri dasar dan industri berat. Memasuki era Orde Baru kondisi sosial, ekonomi dan politik secara bertahap mulai tertata. Pembangunan nasional pada masa itu mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN pada dasarnya memuat Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pembangunan Nasional untuk masa 25 tahun, yaitu selama terlaksananya Pembangunan Lima Tahun (PELITA) I sampai dengan V3. Di masa Orde Baru pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian pemerintah yang ditandai dengan dituangkannya kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun 1998/99. Pembangungan Jangka Panjang tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita Pertama – Repelita Keenam) Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Pertama (1969/70 – 1973/74) tidak dilakukan secara menyeluruh dan bersamaan melainkan melalui pentahapan dengan berbasis pada pengembangan wilayah. Tahap pertama difokuskan pada wilayah Indonesia bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali. Hal ini bukan berarti kegiatan pembangunan kepariwisataan di daerah lain tidak mendapat perhatian pemerintah. Pembangunan kepariwisataan tetap diarahkan untuk semua wilayah Indonesia, namun akan dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan pulau Bali sebagai titik tolak pengembangan kepariwisataan di pulaupulau lainnya di Indonesia, mengingat pulau Bali sudah terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi pariwisata yang menarik baik dari segi budaya maupun alamnya. Kemudian tahap kedua, difokuskan di Indonesia Bagian Barat dan berpusat di Medan. Dalam rangka meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, pemerintah Indonesia membuka kantor-kantor cabang kepariwisataan di 3
24
GBHN, Ginandjar Kartasasmita
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 24 of 44 - Pages(24, 65)
Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika Utara, disamping upaya menyelesaikan lapangan terbang Tuban/Bali untuk memungkinkan pendaratan penerbangan-penerbangan luar negeri secara langsung, dengan frekwensi penerbangan yang besar. Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada wisatawan, pada tahun 1969 dibentuk “Tourist Information Center” terutama di Bali dan Jakarta. Sementara untuk memudahkan wisatawan mancanegara asing masuk ke Indonesia dibentuk “National Facilitation Commitee” yang bertugas mempersiapkan peraturan-peraturan yang terkait dengan hambatan masuknya wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia, misalnya “special air agreement”. Dalam tahun 1972, usaha promosi berhasil memastikan akan dilangsungkannya Konperensi Pasific Area Travel Association di Indonesia tahun 1974. Hal ini membuka kesempatan yang sangat baik bagi promosi pariwisata Indonesia di dunia pariwisata Internasional umumnya dan daerah Pasifik khususnya. Dalam Repelita Pertama, peranan Pemerintah dalam mendukung pembangunan kepariwisataan dipusatkan pada pengembangan prasarana obyek pariwisata, dan pelayanan yang bersifat umum, selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor swasta. Atas dasar ini maka dalam Repelita Pertama telah dilaksanakan program rehabilitasi obyek-obyek pariwisata di daerah konsentrasi usaha pariwisata. Tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja profesional di bidang pariwisata. Oleh karenanya dalam rangka memenuhi pasar tenaga kerja tersebut telah didirikan berbagai pusat pendidikan pariwisata baik baik oleh pemerintah , seperti Pusat Pendidikan Pariwisata (Hotel and Training Institute) di Bandung maupun oleh swasta. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta tersebut bertugas membantu Menteri Perhubungan dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pariwisata. Kebijakan-kebijakan tersebut telah mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia cukup mencolok. Pada tahun 1974 jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia sekitar 297,6 ribu orang atau
Daftar Pustaka
Journal of Vulcanology and Geothermal Research, 172, 273-287.
ADPC. (2003, April-June). “Lest we forget”- Learning to Remember - Memorials, Mascots and Safety Days. Newsletter of the disaster management community in Asia and the Pacific, 9 (2). Retrieved from http:// www.adpc.net/irc06/2003/04-06.pdf
Morin, J.,N., Flohic, F., and Lavigne. (2008). Tsunamiresilient communities’ development in Indoensia thorugh educative actions. Disaster Prevention and Management, 13 (1), 39-49. doi: 10.1108/09653560810887338.
ASEAN Secretariat. (2011). Disaster resilience starts with the young: Mainstreaming disaster risk reduction in the school curriculum 2011. Jakarta: ASEAN Secretariat. Retrieved from http://www. preventionweb.net/files/submissions/18743_ disasterresilienceyounglowresfinal.pdf
Mulilis, J.P., Duval, T.S., & Bovalino, K. (2000).Tornado preparedness of students, nonstudents renters, and nonstudent owners: issue of PrE theory. Journal of Applied Social Psychology, 30( 6) 1310-1329.
Gaillard, JC., Clave, E., Vibert, O., Azhari, Dedi, Denain , J.C., Efendi, Y, Grancher, D., Liamzon,C.C., Sari, D., R., Setiawan, R. (2008). Ethnic groups’ response to the 26 December 2004 earthquake and tsunami in Aceh, Indonesia. Natural Hazards, 47, 17–38. doi: 10.1007/s11069-007-9193-3. GeoHazard International. (2007). Preparing your community from tsunamies. Retrieved from http:// www.geohaz.org/news/images/publications/ Preparing%20Your%20Community%20for%20 Tsunamis%20version%202%20low%20res.pdf ICHARM-UNESCO. (2010). Report on the international workshop on sustainable tsunami disaster management: developing awareness, hazard mapping and coastal forest implementation. ICHARM Publication no.19.Retrieved from http:// www.pacificdisaster.net/pdnadmin/data/original/ ICHARM_2010_tsunami_workshop.pdf Johnston, D.M., Bebington, M, S., Lain, C. D., Houghton, B.F., & Paton, D. (1999).Volcanic hazard perception: comparative shift in knowledge and risk. Disaster Prevention & Management, 8(2) 118-126. LIPI & UNESCO. (2010). Cerita dari Aceh: membangun kapasitas dan sekolah siaga bencana. Jakarta: LIPI & UNESCO. Kurita, T., Arakida, M., and Colombage, S.R.N. (2007). Regional characteristics of tsunami risk perception among the tsunami affected countries in the Indian ocean. Journal of Natural Disaster Science, 29(1), 29-38. doi: 10.1108/09653560654266. Lavigne, F., Coster, B.D., Juvin, N., Flohic, F., Gailard, J.C., Texier, P., Morin, J., and Sartohadi, J. (2008). People’s behaviour in the face of volcanoic hazards: perspective from Javanese communities, Indonesia.
Murata, S., Imamura, F., Katoh, K., Kawata, Y., Takahashi, S., and Takayama. (2010). Tsunami: to survive from tsunami. Singapore: World Scientific. Ozmen, Fatma. (2006). The level of preparedness of the schools for disasters from the aspect of the school principals. Disaster Prevention and Management, 15 (3), 383-395. doi: 10.1108/09653560610669873.\ Paton, D. (2003). Disaster preparedness: a socialcognitive perspective. Disaster Prevention and Management, 12, 3, 210. Kementerian Pendidikan Nasional-Pusat Kurikulum. (2009). Modul ajar pengintegrasian pengurangan resiko gempa bumi: bahan pengayaan bagi guru SMA/SMK/MA/MAK. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. Rachmalia, Hatthakit, U., and Chaowalit, A. (2011). Tsunami preparedness of people living in affected and non-affected areas: a comparative study in coastal area in Aceh, Indonesia. Australasian Emergency Nursing Journal, 14, 17-25. Ronan, K. R., and Johnston, D.M. (2010). Promoting community resilience in disaster: the role for schools, youth and families. New York: Springer Ronan, K. R., Crellin, K., and Johnston, D. (2009). Correlates of hazards education for youth: a replication study. Natural Hazards, 53, 503–526. doi: 10.1007/s11069009-9444-6 Ronan, K. R., and Johnston, D.,M. (2003). Hazards education for youth: a quasi-experimental investigation. Risk Analysys, Vo. 23 No. 5, 2003. Ronan, K. R., and Johnston, D.,M. (2001). Hazards education program for youth. Risk Analysys, 21(6). Shaw, R and Shiwaku, K., (2008). Proactive co-learning:
Edisi 03/Tahun XIX/2013
65
31/12/2013 16:01:07
a new paradigm in disaster education. Disaster Prevention and Management,17. 2. 183-198. Shaw, R., Shiwaku, K., Kobayashi, H., and Kobayashi, M. (2004). Linking experience, education, perception and earthquake prepredness. Disaster Prevention and Management, 13, 1. 39-49. Shiwaku, K. (2009). Essentials of school disaster education: example from Kobe, Japan. In Disaster Management: global challenges and local solutions, ed. Rajib Shaw and R.R. Krishnamurty. Hyderabad, India: Universities Press. Shiwaku, K., Shaw, R. Kandel, R.C., Shrestha S.N., and Dixit, A. M., (2007). Future perspective of school disaster education in Nepal. Disaster Prevention and Management, 16(4), 576-587. doi: 10.1108/09653560710817057. Simpson, D.M. (2002). Earthquake Drills and Simulations in Communitybased Training and Preparedness Programmes. Disasters, 26(1), 55–69. Sugimoto, M., Iemura, H., and Shaw, R., (2010). Tsunami height poles and disaster awareness. Disaster Prevention and Management, 19, 5. 527-540. doi: 10.1108/09653561011091869.
UNCRD. (2009). Mengurangi Kerentanan Anakanak Sekolah terhadap Bahaya Gempa Bumi. Jakarta: Proyek Inisiatif Keselamatan Sekolah Terhadap Gempa Bumi (SESI). Retrieved from http://www.hyogo.uncrd.or.jp/publication/pdf/ Report/SESI%20Outcome/SESI%20Outcome%20 Bahasa%20Indonesia%20final.pdf
Grafik 2: Pertumbuhan Wisatawan Mancanegara Periode Repelita I – Periode Propenas anegara
Grafik 4:
UN-ISDR - Thematic Platform on Knowledge and Education (TPKE). (2011). School safety baseline study. UN-ISDR, Thematic Platform on Knowledge and Education (TPKE). Retrieved from http://www. unisdr.org/files/23587_doc18766contenido.pdf UNICEF. (2011). Disaster risk reduction: integrating into school curriculum in Lesotho. Lesotho: UNICEF Lesotho. Retrieved from http://www. p re ve n t i o nwe b. n e t / e n g l i s h / p ro fe s s i o n a l / publications/v.php?id=23844 Widhiarso, W. (2010). Aplikasi Analisis Kovarian dalam Psikologi Eksperimen. Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Retrieved from http://wahyupsy.blog. ugm.ac.id/2011/02/20/aplikasi-analisis-kovariandalam-penelitian-eksperimen/
Sumber: Repelita Pariwisata sebagai suatu industri mempunyai peran sebagai multiplier effect dalam pembangunan ekonomi. Salah satu dampak penting dalam berkembangnya pariwisata adalah adanya perbaikan infrastruktur sosial di suatu destinasi pariwasata, seperti bandara udara, akses jalan, hotel, transportasi, dan energi, industri kerajinan, dan industri-industri lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan industri pariwisata (Backward maupun forward linkage) yang semuanya itu dibutuhkan untuk menjamin kenyamanan wisatawan menuju dan tinggal selama di destinasi pariwisata. Dampak lebih jauh, dengan berkembangnya industri pariwisata2 akan memperluas lapangan kerja dan pada akhirnya akan menurunkan angka penganngguran dan kemiskinan. Kontribusi pariwisata terhadap penyediaan lapangan kerja mengalami peningkatkan setiap tahunnya (Tabel 2). Grafik 3:
Tabel 2 :Dampak Ekonomi Mikro berdasarkan Neraca Satelit Pariwisata Nasional Tahun 2006-2011 Dampak terhadap Produksi /Output Tahun (Barang dan Jasa)
2006 2007 2008 2009 2010 2011
PDB
Lapangan kerja Gaji dan Upah
Pajak tidak Langsung
Rp triliun
Share Share Juta Share Rp Share Rp Share Rp triliun (%) (%) orang (%) triliun (%) triliun (%)
306,50 362,10 499,67 504,69 565,15 648,49
4,62 4,62 5,06 4,79 4,73 4,34
143,62 169,67 232,93 233,64 261,06 296,97
4,30 4,29 4,70 4,16 4,06 4,00
4,44 5,22 7,02 6,98 7,44 8,53
4,65 5,22 6,84 6,68 6,87 7,75
45,63 53,88 75,45 75,49 84,80 96,57
4,44 5,40 4,43 6,31 4,97 8,41 4,70 8,36 4,63 9,35 4,14 10,72
4,12 4,09 4,32 4,19 4,13 3,85
Sumber: Depbudpar, 2009, NESPARNAS Catatan: Angka dalam triliun rupiah, kecuali tenaga kerja dalam juta orang Sumber: Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Catatan: Angka dalam triliun rupiah, kecuali tenaga kerja dalam juta orang
2Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata
66
Edisi 03/Tahun XIX/2013
MAJALAH.indd Spread 23 of 44 - Pages(66, 23)
II.
PERJALANAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL
Pada masa setelah kemerdekaan yang juga dikenal dengan masa Orde Lama, pembangunan ekonomi berdasarkan pada Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun 1961 – 1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1061- 1969. Pada
Edisi 03/Tahun XIX/2013
23
31/12/2013 16:01:06