WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG ( TRAFFICKING )
TESIS
Oleh
RAULI SIAHAAN 077005103/HK
S
C
N
PA
A
S
K O L A
H
E
A S A R JA
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG ( TRAFFICKING )
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
RAULI SIAHAAN 077005103/HK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Judul Tesis
Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi
: WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG ( TRAFFICKING ) : Rauli Siahaan : 077005103 : Ilmu Hukum
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua
(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota
Ketua Program Studi
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Direktur
(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
Tanggal lulus : 10 Agustus 2009
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Telah diuji pada Tanggal 10 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS
Anggota
: 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum 2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
ABSTRAK
Upaya yang diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan dalam melindungi warga Negaranya antara lain mencegah terjadinya peraktek-praktek Perdagangan Orang (trafficking in human, selanjutnya disingkat trafficking) dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Penguatan komitmen Bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakan hukum. Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana., termasuk pelaku perdagangan orang. Kinerja Polri dalam menangani kasus-kasus trafficking masih terbatas wilayah kerja mengingat hanya sebagai penyidik Polri, badan-badan pemerintahan juga wewenang untuk melaksanakan fungsi khusus yang berda dalam intansi tertentu seperti: Imigrasi, Bea Cukai, Kehutanan, Pengawasan Obat dan Makanan, paten dan hak cipta. Meskipunkewenangan Polri sebagai Penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan dalam kasusus perkara diantaranya trafficking. Tetapi pada tanggal 6 Juli2007 Kepala Kepolisian Republik Indonesia menetapkan peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Polri (selanjutnya disingkat UPPA). Bertugas menyelenggarakan perlindungan perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya, di laksanakan di Ruang Pelayanan khusus (RPK) dan penyelenggaraan pelayanan, penyelidikan, penyidikan dan kerja sama dan koordinasi dengan intansi terkait. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking yang terjadi di Medan khususnya di Polda Sumatara Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan permasalahan trafficking. Analisis data yang digunakan untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang di teliti terutama masalah wewenang penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking. Kewenangan Polri dalam menangani kasus-kasus trafficking masih terbatas wilayah kerja mengingat hanya sebagai penyidik Polri yang menerima laporan dan aduan dari korban ataupun masyarakat/lembaga aswadaya masyarkat dan keluarga korban, dari penanganan perkara yang dihadapi Polri dengan Pelayanan Polri kepada kepada korban trafficking dengan menyediakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum (Tipidum) Direktorat Reskrim Polda
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Sumut. Polri sebagai penyidik Polri untuk mencari bukti-bukti dan menemukan pelaku/Tracfficker. Dan juga kendala-kendala yang di hadapi Penyidik Polri untuk Menanggulangi Kejahatan trafficking di jajaran Polda Sumut, berupa: Pertama, Kurangnya alat-alat bukti (sesuai pasal 184 KUHAP) kedua, Belum tersosialisasikannya dengan baik terhadap : Pasal 53, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan, tetapi pada kenyataannya hal ini tidak semua terealisasi, sehingga orang tua yang tidak mampu menjual anak-anaknya pada calo-calo untuk di jual keluar negeri, Pasal 9, UU No.13 Tahun 2006 tentang ketenagakerjaan, diamana pemerintah kurang memberikan pengawasan kepada Pusat ketenagakerjaan atas tindakan dan perbuatan mereka, selama ini pemerintah hanya memberikan izin tempat pelatihan maupun untuk bekerja. Meskipun UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Perdagangan orang, telah diterapkan namun dalam perjalannya masih banyak kekurangannya khususnya dalam undang-undang pemberantasan perdagangan orang.
Kata Kunci : Wewenang Penyidik Polri Menanggulangi Kejahatan, Perdagangan Orang
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
ABSTRACT
Consistent and sustainable efforts to protect any citizen include to avoid trafficking in human which I hereinafter referred to as trafficking and other exploitation forms. The advocacy of commitment of Indonesian nation as realized in the Presiddential Decree No. 88 of 2002 regarding the National Action Plan of Eradicating Women and children Trafficking. The Function of police in the structure of society life include protector of society life and in law enforcement . The Police acts to make an investigation and examination of any criminal cases, including in trafficking in human. Performance of the Police in dealing with the trafficking cases is still limited of the working scope considering that as the investigating police , governmental institutions also have authority to conduct special functions such as immigration, Customs, Forestry, Drug and Food Administrations, Patent and Copyringht. Although the authority, of the police as an investigating institution to ideal with any crime related to trafficking. However, on 6 July 2007, The Chairman of National Police of the Indonesia determined a regulation No. 10 of 2007 regarding organization and working procedure of woman and Child Service (PPA Unit) in the Police dominan (wich is hereinafter referred to as UUPA). It acts to carry out protection of woman and child who always become victims of crime and law enforcement on the traffickers held in the Typical Service Unit (RPK) and implementation of service, investigation and a cooperation and even coordination with the related constitutions. The present study is a descriptive analisysis intended to describe or assess the problem of authority of the investigating police in law enforcement of avoiding trafficking and the juridical challenges faced by the investigating police to ideal with any trafficking crime in medan in particular and in North Sumatra in general. The study used a review and analysis approach of the authority af the police as an investigating institution in implementing law enforcement of dealing with trafficking and other statutory rules related to the trafficking. The data were analiyzed by responding the questions particularly related to the trafficking crime and the juridical challenges faced by the investigating police in dealing with the trafficking cases. The outhority of the police in dealing with the trafficking cases is still limited of the working scope considering that as the investigating institution, the Police only receives any report and complaint of the victims or community/self-funding institution and the family of any victim by hanlding any cases fased by the police based on the service delivered to the trafficking victims by making a Service Unit of Woman and Child (UUP), Unit-I of Public Criminal Act (Tipidum), Directorate of Criminal Detective of Provicial police of North Sumatra. The police as an investigation institution also to seek out proofs and find the traffickers. Whereas the challenges faced of the investigating Police to deal wicth the trafficking crime in the dominant of North Sumatra Police included the first, the lack of proof (according to the article
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
184 of KUHAP), the scond, the inadequate socialization of the article 53 of the Laws No. 23 of 2002 regarding Protection of Clidren in which the government assumes responsibility to provide fund of education. In fact, hawever, it is still not realized completely so that those poor parents sold their children to the agents to be then sold to abroad, the Article 9 of the Law No. 13 of 2006 regarding laborship on which the government still has less control related to their actions and conducts and even previously, the government only allows a license of training or of working. Although the Laws No. 21 of 2007 regarding the Eradication of Trafficking in human has been implemented , however, in the realization, the practice is still inadequate especially in the Laws of Eradicating Trafficking in human. Key words :
Authority of the Investigating Police in Avoidance of Trafficking in Human
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya berupa kemampuan, kesabaran, kesehatan, kekuatan dan kesempatan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Adapun topik penelitian yang penulis pilih yaitu: “ Wewenang
Penyidik
Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang (trafficking).” Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan terlaksana tanpa saran maupun petunjuk yang diberikan oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul, seminar proposal, seminar hasil penelitian sampai pada akhir penyusunan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatra Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk
menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S, Pembimbing Utama yang telah memberikan
bimbingan
sampai
akhirnya
penulis
dapat
menyelesaikan
perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara. 5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan petunjuk, masukan dan mengarahkan kepada penulis, untuk menyelesaikan tesis ini. 6. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, M.H, DFM, sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan petunjuk, saran dan masukan kepada penulis. 7. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai
penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran,
pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini. 8. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku penguji yang telah banyak memberikan arahan, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini. Kepada seluruh Guru Besar serta Dosen pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terimakasih atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti Studi di Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Utara
semoga
ilmu
yang
diberikan
bermanfaat
bagi
penulis
di
dalam
mengembangkan pelaksanaan tugas sehari-hari, Kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan jajaran, yang telah memberikan izin mengikuti studi pendidikan Sekolah Pascasarjana Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, izin Penelitian dan dukungan serta motivasi selama menjalankan studi dan dalam penyelesaian tesis ini. Kepada AKP Ferina Gultom, SH dan AKP. Fransisca Munthe, SH, yang telah membantu dalam diskusi maupun masukan dan juga memberikan dukungan untuk penyelesaian tesis ini. Kepada Ayah dan Ibu ku Emp. Siahaan dan R. Br. Marpaung dan mertua ku MB. Siagian dan T. Br. Nadeak, yang saya hormati, mengucapkan terima kasih atas dukungannya dan do’a penulis untuk mereka, semoga Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya dan memberikan umur yang panjang. Khusus kepada suamiku E. Siagian, dan anak-anakku tercinta dan tersayang Hizkia Siagian, Yemima Br. Siagian dan Enike Br. Siagian, yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan Studi ini. Kepada seluruh saudara, sahabat, kerabat yang telah mendukung penulis untuk cepat menyelesaikan tesis ini. Dan beserta seluruh staf Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara khususnya Ilmu Hukum yang telah membantu penulis dan tidak mungkin disebutkan satu persatu penulis banyak mengucapkan banyak terimakasih atas segala bantuan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
dan perhatiannya. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Hormat penulis
Rauli Siahaan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
RIWAYAT HIDUP Nama
: Rauli Siahaan.
Tempat/Tanggal Lahir
: Tanjung Balai/ 14 Desember 1962.
Jenis Kelamin
:
Agama
: Kristen Protestan.
Instansi
: Polda Sumatera Utara.
Perempuan.
Pendidikan Sekolah : - SD Katolik di Tanjung Balai Asahan Tahun 1975. - SMP Sisingamangaraja di Tanjung Balai Asahan Tahun 1979 - SMA Negeri I di Tanjung Balai Asahan Tahun 1982. - Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan Tahun 1988. Pendidikan Polri : - SEPA MILSUKWAN Angkatan VII Tahun 1989-1990. - Pendidikan Kejuruan Perwira Reserse Tahun 1991. Riwayat Jabatan : - Panit I Bag. Serse. Umum Polda Sumbar Tahun 1990-1992 - Paur Ren Sesdit Serse Polda Sumut Tahun 1993-2000. - Paur Binmin Sesdit Pers Polda Summut Tahun 2000-2002. - Kasubbag Polwan Dit Pers Polda Sumut Tahun 2002-2003. - Kasubbag Bin PNS Dit Pers Polda Sumut Tahun 2003-2006. - Kasubbag Sahlur Dit Pers Polda Sumut Tahun 2006-2007. - Kepala Sekretariat umum (Kasetum) Polda Sumut Tahun 2007 sampai Sekarang.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK .............................................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................................ iii KATA PENGANTAR ............................................................................................ v RIWAYAT HIDUP ................................................................................................ ix DAFTAR ISI ........................................................................................................... x DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 A. Latar Belakang ……………………………………………………… 1 B. Permasalahan ……………………………………………………….. 10 C. Tujuan Penelitian .………………………………………………..…. 10 D. Manfaat Penelitian .…………………………………………….…… 10 E. Keaslian Penelitian .……………………………………………….... 11 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ............................................................. 11 1.Kerangka Teori .………………………………………………..…. 11 2.Konsepsi ..………………………………………………………..... 23 G. Metode Penelitian .………………………………………………….. 24 BAB II WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING ............................................................. 29 A. Pengertian Polri .……………………………………………………. 29 B. Fungsi, Tugas dan wewenang Polri .………………………………… 34
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
C. Eksistensi Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan trafficking .......... 48 BAB III KENDALA-KENDALA YURIDIS YANG DIHADAPI PENYIDIK POLRI UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING ............................................................ 66 A. Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Trafficking ……………………... 66 B. Kendala Yuridis Yang Dihadapi Penyidik untuk Menanggulangi KejahatanTrafficking …………………………….… 74 C. Penanganan Perkara Kejahatan Trafficking yang dihadapi penyidik di jajaran Polda Sumut........................................................................ 78 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………... 98 A. Kesimpulan………………………………………………………..… 98 B. Saran………………………………………………………………… 99 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 100
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1
Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2005 ……….
89
2
Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2006 ……….
90
3
Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2007 ……….
91
4
Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2008 ……….
92
5
Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Secara Kumulatif Tahun 2005-2008 ……………………………………………………
93
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bangsa Indonesia terus meningkatkan komitmennya untuk mensejahterakan kehidupan Bangsa yang demokratis. Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia didalam lingkungan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui upaya-upaya yang diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan dalam melindungi warga negaranya antara lain dari praktek-praktek Perdagangan Orang (trafficking in human, selanjutnya disingkat trafficking) dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. 1 Penguatan komitmen Bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (selanjutnya disingkat RAN-P3A), yang ditegaskan dalam Pasal 2 : a. Menjamin peningkatan dan kemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban trafficking, khususnya terhadap perempuan dan anak. b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktekpraktek Perdagangan manusia selanjutnya disebut trafficking, khususnya terhadap perempuan dan anak.
1
www.id.wikisource.org, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2009.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakkan trafficking, khususnya terhadap perempuan dan anak. Pembentukan Gugus Tugas lintas sektoral untuk implementasinya, telah menggiatkan upaya memerangi perbudakan modern trafficking secara lebih terencana, terintegrasi dengan langkah-langkah untuk mengatasi akar masalahnya yakni: kemiskinan, kurangnya pendidikan dan keterampilan, kurangnya akses kesempatan dan informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang memarginalkan dan mensubordinasikan kaum perempuan. 2 Perkembangannya trafficking telah menjadi bisnis yang kuat dan lintas negara karena walaupun ilegal hasilnya sangat menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan obat-obatan terlarang, sehingga tidak mengherankan jika kejahatan
internasional
yang
terorganisir
kemudian
menjadikan
prostitusi
internasional dan jaringan trafficking sebagai fokus utama kegiatannya. Para traffiker tergiur dengan keuntungan bebas pajak dan tetap menerima income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil, sama halnya dengan bisnis narkoba yang beromzet besar dan sangat menguntungkan serta bebas pajak pula, perdagangan orang pada
2
www.hrw.org.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan mengenai Perdagangan Manusia [Bagian III], diakses pada tanggal 8 Maret 2009.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
dasarnya adalah bagian dari shadow economy berjalan dengan tak terlihat, amat menguntungkan tetapi juga merupakan perbuatan kriminal yang sangat jahat. 3 Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten serta melibatkan jaringan luas baik antar daerah didalam negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional. Sikap Pemerintah RI. Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, perbudakan dan penghambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van Strafrecht) untuk selanjutnya disingkat KUHP, yang mengatur: 1. Pasal 324: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2. Pasal 333 (1): Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun. 3. Pasal 333 (2): Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 3
www.id.wikisource.org, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2009.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
4. Pasal 333 (3): Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 5. Pasal 333 (4): Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan. Perbudakan dan penghambaan dalam bentuk perdagangan orang juga dikriminalisasi dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana termaktub dalam KUHP. 6.
Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Kerjasama antar negara juga dilakukan, serta lembaga internasional semakin
meluas dan menguat, dan akan terus dibina sehingga terwujud sumber daya yang lebih kuat untuk memerangi trafficking yang telah menjadi kejahatan transnasional yang terorganisir. Adanya perjanjian internasional yang telah ditandatangani seperti: International Convention For The Suppression Of The Financing Of The Terrorism atau konvensikonvensi internasional yang akan disahkan seperti International Convention On Trafficking Women and Children, Convention On Smugling Migrant, berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap peranan keimigrasian. 4 Kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam menganggap pentingnya mengatur Undang-undang
tentang
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Perdagangan
4
Jhon Saroja Saleh, Masalah Fungsi dan Peranan Imigrasi Dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 42.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Orang/trafficking dapat dikemukakan bahwa, penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas khususnya Perempuan dan Anak. Protokol Palermo yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada tanggal 12 Desember 2000. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children Suplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (TOC). 5 Protocol TOC sudah ditandatangani (signatory) oleh Pemerintah Indonesia, dan semestinya segera diratifikasi. Diluar batasan protocol itu, Pengertian trafficking dalam Protocol TOC adalah defenisi/batasan hokum, karenanya, batasan pengertian itu membawa dasar dan implikasi yuridis pula. Dalam pendekatan Hukum Pidana, batasan trafficking menurut Protocol TOC merupakan elemen dari suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan hukum (strafbaarfeit, unlawfull). 6 Jadi, untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana, menurut ilmu Hukum Pidana harus dituangkan dalam Undang-undang, sehingga kerapkali Hukum Pidana dikenal sebagai hukum undang-undang. Di dalam Undang-undang tersebut, dirumuskan perbuatan yang dilarang, ataupun merumuskan unsur-unsurnya. Tanpa rumusan perbuatan yang dilarang, maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana. Pendapat Enshcede yang dikutip oleh Schaffmeister “…, das Sr. enthalt weder 5
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Beberapa isu Hukum Kejahatan Perdagangan Orang,
6
Ibid.
hal. 1.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Befehle noch Normen, sonder nur Deliktsumschreibungen, bahwa hukum pidana hanyalah rumusan delik, yang menunjukkan fragmen-fragmen dari norma-norma yang dapat dipidana. 7 Unsur yang dikandung dalam kejahatan trafficking yaitu perbuatan yang dilarang sebagaimana dalam Pasal 1 Protocol TOC, maka agar dapat diterapkan dan mengikat subjek hukum, mesti dilegalisasi dalam rumusan delik dalam Undangundang, sesuai dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana. 8 Perhatian khususnya ditujukan untuk melindungi korban, tetapi dalam waktu yang bersamaan, melalui pembinaan aparat dan komunitas masyarakat, diupayakan penindakan hukum yang lebih keras kepada trafficker agar menimbulkan efek jera. Berbagai upaya penyuluhan, kampanye, dan peningkatan kepedulian masyarakat juga terus dilakukan untuk mencegah terjeratnya kelompok rentan dalam trafficking . 9 Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa: setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap
7
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), hal.3. 8 Komisi Nasional Perlindungan Anak, Op.Cit, hal. 2. 9 www.journalperempuan.com, Kendala Dana Selalu Dijadikan Alasan Polisi untuk Menangani Kasus Traffciking, diakses pada tanggal 7 Maret 2009.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
orang berhak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi. Hak untuk dapat hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun” 10 . Tidak seorang pun dapat diperbudak dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa yang dilarang. 11 Termasuk juga anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. 12 Pemerintah
wajib
dan
bertanggung
jawab
menghormati,
melindungi,
menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain” (Pasal 71 dan 72, UUHAM). Mengingat Fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakkan hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk 10
Pasal 4, UUHAM. Pasal 20, UUHAM. 12 Pasal 65, UUHAM. 11
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
tindakan terhadap kejahatan trafficking maupun bentuk pencegahan kejahatan Trafficking agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram. Sesuai dengan Pasal 2, Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dan
Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia UUPOLRI, bahwa Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk pelaku perdagangan orang. Kinerja Polri dalam menangani kasus-kasus trafficking masih terbatas wilayah kerja mengingat hanya sebagai penyidik Polri, badan-badan pemerintahan diberikan juga wewenang untuk melaksanakan fungsi khusus yang berada dalam instansi tertentu seperti : Imigrasi, Bea cukai, Kehutanan, Pengawasaan Obat dan Makanan, paten dan hak cipta. 13 Meskipun
kewenangan
Polri
dulunya
sebagai
Penyidik
menanggulangi kejahatan dalam kasus perkara diantara trafficking.
Polri
untuk
Tetapi pada
tanggal 6 Juli 2007 Kepala Polri menetapkan peraturan Kapolri Nomor: 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Polri (selanjutnya disingkat UPPA). Bertugas menyelenggarakan perlindungan perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan
13
Momo Kelana (selanjutnya disebut Momo Kelana I), Memahami Undang-undang Kepolisian PTIK “Press” (Jakarta, 2002), hal. 62.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
hukum terhadap pelakunya, dilaksanakan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan penyelenggaraan pelayanan, penyelidikan, penyidikan dan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait. Pada saat ini, Polri menerima kasus-kasus pengaduan korban traffickking, salah satu diantaranya pada bulan April tahun 2008: korban 'trafficking' yang dikirim ke Malaysia dan Singapura, mengadu ke Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Direktorat Reskrim Polda Sumut, Kepada polisi, N (16) penduduk Sidomukti, Kisaran menikah Februari 2008 dengan An (24). Sekitar 14 hari di Malaysia, An pulang ke Indonesia sedangkan istrinya tinggal. Kepulangan suaminya tak diketahui N. Ternyata An dan Nis sudah merencanakan akan mempekerjakan istrinya menjadi pekerja seks komersial (PSK). N dapat selamat dari rencana trafficking atas bantuan wanita asal Medan. Korban meminta bantuan KBRI pulang ke Medan dan Polri menindak lanjuti pada proses penyidikan dan perlindungan korban. 14 Polri dalam menjalankan kewenanganya tidak hanya untuk menangani perkara untuk proses penyidikan dalam kasus tindakan kejahatan, tetapi juga melakukan pendekatan secara psikologi dan sosiologi kepada para korban trafficking. Polri juga menyediakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, yang dikhususkan untuk para korban. Berdasarkan
uraian-uraian
diatas,
penulis
tertarik
untuk
membahas
”wewenangan Penyidik Polri dalam menyelesaikan kasus-kasus Kejahataan 14
Direktur Reskrim Poldasu Kombes. Pol. Drs Wawan Irawan melalui Kasat I/Tipidum AKBP Yustan Alfiani ketika dikonfirmasikan membenarkan pengaduan tersebut. untuk diselidiki dan akan segera menangkap An dan minta bantuan KBRI menangkap.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Trafficking dan kendala-kendala yang dihadapi dilapangan, sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul ”Kewenangan Penyidik POLRI Dalam Menanggulangi Kejahataan trafficking”. B. Permasalahan 1. Bagaimanakah wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking? 2. Kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking. 2. Untuk mengetahui Kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran dibidang Hukum Pidana mengenai wewenang Penyidik Polri dalam menanggulangi Kejahatan trafficking, serta kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking. 2. Secara praktis, penelitian ini harapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam pemahaman wewenang Penyidik Polri dalam menanggulangi Kejahatan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
trafficking, dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil
penelitian yang pernah dilakukan di lingkunan Universitas Sumatera
Utara, penelitian mengenai “Wewenang Penyidik POLRI Dalam Menanggulangi Kejahataan Trafficking”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitan ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Polri sebagai pemelihara keamanan dalam mewujudkan terciptanya ketertiban dan perasaan aman dalam masyarakat.
Sebagai aparat penegak hukum, Polri
memiliki tindakan upaya paksa menurut prosedur hukum yang ditetapkan dalam KUHAP, dan wewenang mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
dipertanggungjawabkan sebagai kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan perlu didaya gunakan oleh Polri, karena: 15 1.
Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.
2.
Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan
perundang-undangan
dengan perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak pastian. 3.
Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentukan Undang-undang.
4.
Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan khusus. Polri juga menerapkan dan melaksanakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab, karena Polri dihadapkan dengan meluasnya dan tidak fleksibelnya Undang-undang Pidana. Agar bisa diterapkan tergantung pada kualitas suasana dari interaksi Polri dengan masyarakat, malahan bahasa hukum begitu luas, sehingga meniadakan semua tindakan dengan tanda-tanda yang tidak jelas. Dengan demikian tugas dan wewenang untuk menerapkan kebijaksanaan yang luas dengan Undang-undang sudah tidak fleksibel pada kasus perseorangan, hanya dengan Polri. Jadi Polri dalam melakukan tindakan
tersebut tidak semua orang-orang yang
dicurigai yang ditangkap dan ditahan harus seluruhnya diperoses penyidikan sampai dilimpahkan kepada Jaksa, hanya mereka yang terdapat cukup bukti permulaan dan 15
Abdussalam, Penegakan hukum dilapangan oleh Polri Dalam mengadakan Tindakan Lain Menurut Hukum Yang Bertanggung Jawab Sebagai Kebijakan Penegakan Hukum Dalam Pencegahan Kejahatan, (Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997), hal. 9.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
terpenuhi unsur-unsur
pidana yang dituduhkan yang dilimpahkan, berupa unsur
kejahatan. 16 Menurut Zainal Abidin Farid, bahwa tindakan kejahatan yang dihukum secara pidana merupakan alat terakhir (ultimum remedium), tetapi hanya melukiskan tujuan itu sebagai berikut : 17 a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk. b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna. c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderita dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Hukum pidana berbeda dengan hukum lainnya karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa dan oleh karena itu harus tetap merupakan ultimum remedium. Usaha untuk mengurangi kejahatan yang terutama adalah tindakan pencegahan kejahatan yang harus diintegrasikan kedalam pembangunan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, karena sejarah telah membuktikan, bahwa jepang selain berhasil dalam pembangunan ekonomi, juga berhasil menekan pertambahan jumlah kejahatan dengan melaksanakan sistem pertahanan sosial (sosial defence), yang dikaitkan dengan pembangunan ekonominya. 18 Salah satu bagian dari kebijakan sosial adalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk didalamnya kebijakan legislatif (legislative policy), sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri 16
Ibid. hal. 3 Zainal Abidin farid, Hukum Pidana I, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hal. 14. 18 Ibid, hal. 15. 17
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus melihat cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum (Iegal system). Menurut Friedman, dikutip dalam buku Mahmud Mulyadi, sistem hukum memiliki cakupan yang lebih luas dari hukum itu sendiri. Kata ”hukum” sering mengacu hanya pada aturan dan peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri serta stuktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu, bekerjanya hukum didalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga unsur, yaitu stuktur hukum (Iegal structure), subtansi hukum (Iegal substance), dan budaya hukum (Iegal culture). 19 Stuktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang telah ditentukan secara keseluruhan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung didalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana. 20
19
Mahmud Mulyadi, Criminak Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasaan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 15. 20 Ibid. hal.15-16.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Sedangkan menurut Richard Quinney, Realitasnya Kejahatan dapat berbentuk perilaki criminal yang justru memperkuat stigma pada diri pelaku bahwa dia benarbenar jahat sehingga harus ditumpas oleh Penegak Hukum Polri, yakni: 21
1. Kejahatan adalah sebuah rumusan dari tingkah laku manusia yang diciptakan oleh agen-agen yang memiliki otoritas untuk melakukan hal itu dalam sebuah masyarakat yang terorganisir secara politis. Dengan demikian, kejahatan merupakan rumusan tingkah laku yang diterapkan pada diri beberapa orang-orang lain. Sementara para aparat penegak hukum (para pembuat undang-undang/hukum, polisi, jaksa penuntut umum dan hakim), yang mewakilli segmen-segmen dari sebuah masyarakat yang diorganisasikan secara politis, bertanggung jawab untuk memformulasikan dan melaksanakan hukum pidana. Ini berarti, orang-orang dan perbuatanperbuatan tertentu dipandang sebagai penjahat dan kejahatan, karena formulasi dan aplikasi dan rumusan-rumusan tentang kejahatan. 2. Rumusan tentang kejahatan mendeskripsikan tingkah laku yang bertentangan dengan kepentingan segmen-segmen di masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan public. Rumusan-rumusan kejahatan diformulasikan sesuai dengan kepentingan dari segmen-segmen masyarakat tersebut yang memiliki kekuasaan untuk menerjemahkan kepentingan-kepentingan mereka kedalam kebijakan public. Maka mereka yang mempunyai kemampuan untuk membuat kepentingan-kepentingannya terwakili dalam kebijakan public adalah mereka yang mengatur formulasi dari rumusan-rumusan kejahatan. Dengan memformulasikan hukum pidana, beberapa segmen masyarakat melindungi dan mengawetkan kepentingankepentingan mereka. 3. Pelaksanaan definisi-definisi kejahatan, definisi kejahatan dilaksanakan oleh kelas yang memperoleh kekuasaan untuk melaksanakan hukum pidana. Penegak hukum mewakili kepentingan kelas penguasa. Kepentingankepentingan kelas penguasa tercermin dalam penerapan rumusan kejahatan, dan dapat dikatakan konsekwensinya kejahatan adalah tingkah laku politik. Beberapa faktor yang mempengaruhi tidak sanggupnya agen penguasa untuk mewakili kepentingan penguasa seperti masyarakat tidak sadar hukum, kondisi masyarakat dilapangan dan sebagainya. 4. Perkembangan pola-pola perilaku dan hubungannya dengan definisi kejahatan, pola-pola perilaku dibangun dalam hubungannya dengan rumusan-rumusan kejahatan. Dalam konteks ini orang yang terlibat dalam perilaku yang relatif mempunyai kemungkinan dirumuskan sebagai 21
Abdusalam, Op.Cit, 289.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
kejahatan. Manusia dalam interaksi sosialnya tergantung dari tindakantindakan sosialnya dalam kesempatan terstruktur. 5. Pemebentukan konsep-konsep kejahatan, konsep-konsep tentang kejahatan dibentuk dan disebarluaskan melalui proses komunikasi dalam interaksi sosial. Bilamana manusia membangun dunia sosial sebagai kenyataan/ realitas sosial. Dunia sosial adalah suatu bentuk bangunan dimana orang dengan bantuan orang lain menciptakan dunia dimana kita tinggal ( interaksi sosial). Realitas sosial manusia dalam hubungannya dengan orang lain mengembangkan ilmu pengetahuan dan menunjukkan gagasan-gagasannya. 6. Pembentukan realitas sosial dari kejahatan. Realitas sosial dari kejahatan dibentuk oleh Formulasi dan aplikasi perumusan/definisi kejahatan, Perkembangan dari pola-pola perilaku dalam hubungannya dengan perumusannya dalam pembentukan konsep-konsep kejahatan. Para pelaku Trafficker merupakan tindakan kejahatan, hal ini sesuai dengan Pasal 1 huruf Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disingkat dengan UUPTPPO). Perdagangan orang atau trafficking adalah tindakan perekutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan,
penculikan,
penyekapan,
pemalsuan,
penipuan,
penyalahagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat atau sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi. 22
22
Pasal 1 huruf 7 UUPTPPO, Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan , penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateriil.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Pengertian perdagangan orang, menyatakan: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang, untuk tujuan mengekploitasi atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. 23 Memperhatikan Pasal 546 RUU KUHP Tahun 2006, jika dirinci terdiri dari 3 bagian yaitu: 1. Setiap orang yang melakukan: perekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang; 2. Dengan menggunakan: kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang; 3. Untuk tujuan: mengeksploitasi, atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut. 24 Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against
23
Pasal 546 RUU KUHP Tahun 2006. www.usembassyjakarta.go.html, Departemen Luar Perdagangan Manusia, diakses pada tanggal 9 Maret 2009. 24
Negeri
AS:
Laporan
Mengenai
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah: ... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs. (“rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”). 25
Berdasarkan pengertian Protocol TOC, maka kejahatan perdagangan orang mengandung anasir sebagai berikut: (1) Adanya perbuatan perlintasan terhadap orang, yakni: a. perekrutan (recruitment); b. pengangkutan (transportation); c. pemindahan (transfer); d. melabuhkan (harbouring); e. menerima (receipt). (2) Adanya modus perbuatan yang dilarang, yakni: a. penggunaan ancaman (use of force) atau; b. penggunaan bentuk tekanan lain (other forms of coercion); c. penculikan; d. penipuan; e. kecurangan; f. penyalahgunaan kekuasaan; 25
Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005), hal.2.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
g. kedudukan beresiko/rawan (a position of vulnerability); h. memberi/menerima pembayaran; (3) Adanya tujuan atau akibat dari perbuatan, yakni eksploitasi manusia, yakni: (a) Eksploitasi prostitusi, (b) Eksploitasi seksual; 26 Pengertian menurut Protocol TOC menjiwai definisi perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang RAN-P3A, yang menyatakan: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindah tanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan– perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”. Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari
26
www.id.wikisource.org, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2009.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara itu, kalau trafficking dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam trafficking . Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari trafficking, adalah: 1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima. 2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. 3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh. 27 Kejahatan trafficking dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam trafficking. Trafficking merupakan kejahatan yang melanggar ketentuan-ketentuan HAM, yang mengabaikan hak seseorang untuk 27
Harkristuti Harkrisnowo, Laporan Perdagangan Indonesia, (Jakarta: Sentra HAM UI,2003),
hal.2.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak dan lainnya. 28 Perempuan dan anak merupakan yang paling banyak menjadi korban bentuk keji trafficking, penempatan mereka pada posisi yang sangat beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spiritual dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS. Bentuk-bentuk keji trafficking seperti: perdagangan seks dimana tindakan seks komersial dilakukan dengan paksaan, penipuan atau kekerasan, atau dimana orang dipaksa melakukan tindakan demikian belum berusia 18 tahun; atau perekrutan, penampungan, pengangkutan, penyediaan atau mendapatkan seseorang untuk dijadikan tenaga kerja atau memberikan pelayanan, melalui paksaan, penipuan, atau kekerasan untuk tujuan perhambaan, penjeratan hutang (ijon) atau perbudakan. 29 Definisi istilah-istilah yang digunakan dalam Istilah “Bentuk-bentuk Keji Perdagangan manusia” adalah sebagaiberikut : a. Perdagangan
Seks
berarti
merekrut,
menampung,
mengangkut,
menyediakan atau mendapatkan seseorang untuk tujuan melakukan tindakan seks komersial.
28 29
Komisi Nasional Perlindungan Anak, Op.Cit, hal. 4. Ibid, hal. 3.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
b. Penghambaan meliputi suatu kondisi perbudakan yang ditimbulkan dengan cara yaitu :
1. Ancaman-ancaman yang membahayakan
atau penahanan fisik
terhadap seseorang; 2. Skema, rencana, atau pola apapun yang dimaksudkan untuk membuat orang percaya bahwa jika lalai menjalankan suatu tindakan akan mengakibatkan kerugian/luka yang serius atau penahanan fisik terhadap seseorang; 3. Perlakuan kasar atau ancaman perlakuan kasar dari proses hukum.
c. Penjeratan Hutang (Ijon)” berarti status atau kondisi seseorang yang berhutang yang timbul dari sebuah janji yang akan dilakukan orang yang berhutang tersebut berkenaan dengan layanan pribadinya atau layanan orang lain yang berada di bawah kendalinya sebagai jaminan untuk hutang, dimana. Nilai wajar dari layanan-layanan tersebut tidak diberlakukan untuk penghapusan hutang serta lama dan bentuk layanan tersebut tidak dibatasi atau ditetapkan. d. Kekerasan/paksaan” berarti 1. skema, rencana, atau pola apapun yang dimaksudkan untuk membuat seseorang percaya bahwa jika orang tersebut tidak memasuki atau
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
melanjutkan dalam kondisi yang demikian maka ia atau orang lain akan menderita kerugian yang serius atau penahanan fisik; atau 2. kekerasan atau ancaman kekerasan dari proses hukum. 30 2. Konsepsi Landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini antara lain : a. Polri adalah Pejabat Pegawai Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 31 b. Wewenang Polri untuk kepentingan penyelidikan adalah menerima pengaduan, memeriksa tanda pengenal, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, menangkap orang, menggeledah badan, menahan orang sementara, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa, mendatangkan ahli, menggeledahakan halaman, rumah, gudang dan alat-alat pengangkutan darat, laut dan udara dan juga membeslah barang untuk dijadikan barang bukti. 32 c. Trafficking adalah tindakan perekutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahagunaan 30
www.Usembassyjakarta.go.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai Perdagangan Manusia, diakses pada tanggal 9 Maret 2009. 31 Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang. 32 Momo Kelana, Op.Cit, hal.175.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat atau sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain tersebut, baik dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi. 33 d. Kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai sangsi. 34 e. Penanggulangan Kejahatan masalah trafficking di Indonesia melakukan upaya pemetaan baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri, peningkatan pendidikan masyarakat khususnya pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya, dan peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek-aspek yang terkait dengan upaya penghapusannya, yang dilakukan melalui berbagai media. 35
G. Metode Penelitian Kata metode berasal dari kata Yunani “methods” yang berarti “cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang 33
www.usembassyjakarta.go.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai Perdagangan Manusia, diakses pada tanggal 9 Maret 2009. 34 Topo Santoso dan Eva Achjani zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 14. 35 Komisi Nasional Perlindungan Anak, Op.cit. hal. 36.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
bersangkutan”. 36 Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti “cara sistematis dan terpikir secara baik untuk mencapai tujuan”. 37 Berikut ini akan dikemukakan metode penelitian yang digunakan pada penulisan tesis ini sebagai berikut : 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian adalah “usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya”. 38 Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian. Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat “deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang” 39 . Deskritif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking yang terjadi di Medan khususnya di Polisi 36
Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1977), hal. 16. Em Zul Fajri dan Ratu Aprialia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta : Difa Publisher), hal. 565. 38 Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 2. 39 Winarno Surakhmad, Dasar Dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978), hal. 132. 37
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Daerah Sumatera Utara. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan trafficking. Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan permasalahan trafficking. 2. Sumber Data Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenaranya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian
ini
bersumber dari sumber bahan hukum yang dapat di bagi dalam 3 kelompok, sebagai berikut: b. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mengikat, dengan fokus utama berupa : 1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana 3. Peraturan
perundang-undangan
yang
mengatur
mengenai
masalah
wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan trafficking, yang tercakup di dalam Undang-undang
No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 5.
Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
6. Undang-undang
No. 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan Terhadap Perempuan dan dan peraturan-peraturan lainnya. c. Bahan Hukum Sekunder, yaitu: bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan hukum primer mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasilhasil pemikiran lainnya dari kalangan hukum serta relevan dengan penulisan ini. d. Bahan tertier atau bahan penunjang, yakni yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa: 1. Kamus bahasa Indonesia. 2. Kamus bahasa asing berupa bahasa Inggris dan bahasa Belanda. 3. Majalah. 4. Internet. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang relevan atau sesuai dengan permasalahan yang diteliti, dilaksanakan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Setelah diinventarisir dilakukan penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan yang bersangkutan.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
4. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti terutama masalah wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking. Wewenang
Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan trafficking.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif “bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman)”. 40 Analisa data adalah “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar”. 41 sedangkan metode kualitatif merupakan “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis”. 42 Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan secara kompehensif.
40
Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53. 41 Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 103. 42 Ibid., hal. 3.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
BAB II WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING
A. Pengertian Polri Istilah Polri berbeda-beda dalam setiap negara, untuk memberikan istilah dalam bahasanya sendiri atau menurut kebiasaan-kebiasaannya sendiri. Misalnya di Inggris dikenal dengan Constable, 43 di Amerika Serikat dikenal istilah Sherrif yang sebenarnya berasal dari bangunan sosial Inggris, Polizei di Jerman 44 , polizia di Italia dan politie di Negeri Belanda dan istilah Polri dalam bahasa Indonesia merupakan hasil proses Indonesia dari istilah Belanda. 45 Dalam kamus Poerwadarminta dinyatakan bahwa istilah Polri berarti : a. Badan Pemerintahan yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban. b. Pegawai Negeri yang bertugas menjaga keamanan. 46 Polri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam menunaikan tugas pokoknya, Polri bukanlah kekuatan yang berdiri sendiri. Semangat, doktrin, organisasi dan program-program Polri adalah bagian dari 43
Sir John Molyan, Tn bahhe Police of Britain, ( Majalah Bhayangkara, No.1 Thn. IV, 1953),
hal. 4. 44
Momo Kelana (selanjutnya disebut Momo Kelana II), Konsep-konsep Hukum kepolisian Indonesia, (Jakarta: PTIK Pres, 2007), hal. 7. Polizei Recht mula-mula berkembang di Jerman lalu ke Negeri Belanda dan kemudian ke Inggris. Polizei Recht lebih mementingkan peraturan-perat yang memberi wewenang dan kewajiban Polri, yang menjadi dasar hukum bagi kekuasaan dan kewenangan Polri. Seperti diketahui Jerman dan Belanda dalam aliran hukum menganut aliran Eropa Kontinental yang mendasarkan pada Civil Law System. Di Jerman untuk “Polizei Recht”, pada pokoknya berupa peraturan-peraturan yang mengatur tugas Polri. Tugas Polri melaksanakan peraturan-peraturan Permerintah yang memuat acaman hukum. Akan tetapi apabila peraturan tak menentukan, padahal dianggap ada pelanggaran kesusilaan, sopan santun, atau pertentangan kecil, supaya masyarakat tetap tenang maka Polri diberikan wewenang untuk bertindak. 45 Ibid. 46 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hal. 549.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
ABRI yang dibangun sebagai salah satu bagian dari keseluruhan sistem nasional untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional. 47 Menurut UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Polri adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pengertian Polri erat kaitannya dengan status dan kedudukan dalam Undangundang No. 28 Tahun 1997 dapat disimpulkan : 48 a. Kepolisian Negara Republik Indonesia (sebagai organ) adalah unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri (Pasal 5 ayat (1)). b. Sebagai fungsi, Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbingan masyarakat (Pasal 3). c. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara R.I (Pasal 8 ayat (1)), dibantu oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan Panglima ABRI (Pasal 8 ayat (2). d. Selaku penyidik Polri dalam rangka Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Intergrated Criminal Justice System) (Pasal 14 ayat (1) huruf a). e. Koordinator dan Pengawas serta Pembina Teknis alat-alat Kepolisian Khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. 47
Momo Kelana II, Loc. Cit. Dalam tahun 1997, diundangkan Undang-undang No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian yang mengganti Undang-undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961. 48
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
f. National Central Bureau Interpol Indonesia mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional (Pasal 14 ayat (1) huruf K). g. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan bagian organik dari Departemen Hankam/Mabes ABRI. 49 Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1997, penjelasan Pasal 5 ayat (1) ditegaskan bahwa, walaupun merupakan unsur Angkatan Republik Indonesia, Polri bukan militer. Proses perubahan status Kepolisian terus bergulir dan berdasarkan Instruksi Presiden R.I. Nomor 2 Tahun 1999 pada tanggal 1 April 1999 dilakukan pemisahan Polri dari ABRI. Dalam rangka penegakan ketertiban umum dan keselamatan masyarakat, pemerintah telah melakukan langkah-langka mendasar antara lain berupa kebijakan pemisahan Polri dari ABRI. 50 Selanjutnya ditegaskan pula bahwa dengan berpisahnya Polri dari ABRI maka langkah awal yang ditempuh adalah menepatkan sistem penyelenggaraan pembinaan Polri pada Departemen Pertahanan dan Keamanan. 51 Status Kepolisian lainnya yang berkait dengan ketentuan perundang-undang masih tetap sepanjang belum ada perubahan Undang-undang antara lain: a. Sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara. b. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara R.I. c. Selaku penyidik Polri dalam rangka criminal justice system. 49
Momo Kelana I, Op.Cit, hal 20. Pidato Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie R.I, pada tanggal 16 Agustus 1999. 51 Ibid. 50
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
d. Koordinator dan pengawas serta Pembina teknis alat-alat kepolisian khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swarkarsa. e. National Central Bureau Interpol Indonesia. f. Selaku Pegawai Negeri sesuai UU No. 43 Tahun 1999. Pemisahan Polri dari ABRI berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 ditegaskan lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam Pasal 2 dinyatakan: Pasal 2, sebagaiberikut: Ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah presiden. Ayat (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanakan tugasnya bertanggung jawab langsung kapada presiden. Status Kepolisian berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undang lain yaitu: a. Sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara. b. Selaku penyidik Polri dalam rangka criminal jusrice system. c. Koordinator dan Pengawas dan Pembina Teknis atau alat Kepolisian Khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
d. National Central Bureau Interpol Indonesia. 52 Sedangkan status dan kedudukan Kepolisian Negara R.I. menurut ketetapan MPR-RI No VI/MPR/2000, ketetapan MPR-RI No. VII/MPR/2000 bahkan telah lebih ditegaskan Nomor 2 Tahun 2002 yaitu: a. Sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara. 53 b. Sebagai pengemban fungsi kepolisian. 54 c. Sebagai alat negara. 55 d. Kepolisian Nasional. 56 e. Polri berada dibawah presiden. 57 f. Selaku penyidik Polri dalam rangka Criminal Justice System. 58 g. National Central Bureau Interpol Indonesia. Sehingga dari status dan kedudukan, Hukum Polri merupakan hukum yang mengatur tentang tugas, organisasi, dan wewenang badan-badan Polri. serta bagaimana badan-badan Kepolisian tersebut melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam lingkungan kuasa waktu, tempat, orang dan soal-soal. Dengan demikian sebelum melaksanakan tugasnya Polri harus terlebih dahulu mengetahui dalam batas-batas manakah Polri dapat melakukan tugasnya itu.
52
Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 ditegaskan lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia 53 Lihat Pasal 3 UUPolri. 54 Lihat Pasal 3 UUPolri. 55 Lihat Pasal 5 UUPolri. 56 Lihat Pasal 5 UUPolri. 57 Lihat Pasal 8UUPolri. 58 Lihat KUHAP.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Sebagai salah satu contoh misalnya pasal 15 UU Polri yang berbunyi : Pasal 13 untuk kepentingan penyidikan, maka Polri Negara berwenang. a. Menerima pengaduan. b. Memeriksa tanda pengenalan. c. Mengambil sidik jari dan memotret sesorang. d. Menangkap orang. e. Menggelegah badan. f. Menahan orang sementara. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa. h. Mendatangkan ahli. i. Menggelegah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara. j. Memberikan barang untuk dijadikan bukti dan. k. Mengambil tindakan-tindakan lain.
B. Fungsi, Tugas dan Wewenang, Polri 1. Fungsi Polri Penegakan hukum yang umumnya diharapkan oleh masyarakat sebagai fungsi Polri adalah penegakan Hukum Pidana (enforcing the criminal law). Sebagai alat perlengkapan Negara
(aparat Negara) Polri bertanggungjawab melaksanakan
sebagian dari tugas pemerintah sehari-hari yaitu menimbulakan rasa aman pada warga masyarakat. Tugas pemerintah ini dilakukan Polri melalui penegakan hukum
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Pidana, khususnya melalui pencegahan kejahatan dan menyelesaikan kejahatan yang terjadi. 59 Polri sebagai aparat penegak hukum, berupaya menindak perbuatan kejahatan trafficking dalam upaya pencegahan dan menanggulangi. Pada kenyataanya fungsi Polri dalam melakukan tugas dan kewenangan, harus bertindak tidak berat sebelah. Karena Fungsi Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaaan,
keamanan
dan
ketertiban
masyarakat,
penegakkan
hukum,
perlindungan, pengayoaman dan pelayanan kepada masyarakat. 60 Dalam fungsinya sebagai pengayoman yang memelihara keteraturan, maka sering pula Polri melaksanakan peranan tambahan (addtional rule). Karena ada instansi lain yang juga membantu dan melayani masyarakat memelihara keteraturan. Untuk menciptakan lingkungan yang aman, seperti tugas Pamongpraja dari ketua RT sampai dikelurahan. 61 Fungsi tersebut dilaksanakan oleh suatu institusi Polri, tetapi tidak seluruh fungsi tersebut dijalankan oleh Polri. Fungsi tersebut juga dilaksanakan oleh satuansatuan pengaman di Industri, pertokoan, perkantoran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil. 62
59
Parasudi Suparlan, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian 2004), hal. 160. 60 Pasal 2 UUPolri. 61 Parsudi Suparlan, Op.Cit, hal. 162. 62 Ibid. hal. 153.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Pengembangan fungsi Polri Community Policing (pemolisian Komuniti) adalah Pemolisian untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan : 63 1. Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat. 2. Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangai rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas. 3. Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention). 4. Polisi senantiasa berupaya meningkatakan kualitas hidup masyarakat. Dan Community Policing sebagai wujud atau bentuk pemolisian yang demokratis. Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri khas Polri, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif dari pada Represif. Adapun perumusan dari fungsi utama tersebut adalah : 1. Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif). Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari community policing tersebut. Sistem kepolisian juga terkait dengan karakter sosial masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya Indonesia (Jawa) dengan melakukan sistem keamanan lingkungan dalam komunitas-komunitas desa dan kampung, secara bergantian masyarakat merasa bertangggung jawab atas keamanan wilayahnya masing-masing.
63
Ibid, hal. 110.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas yang setiap saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan khusus. 64 Polri menyediakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum (Tipidum) Direktorat Reskrim Polda Sumut, biasanya saling bekerja sama/berkoordinasi dengan Biro Pemberdayaan Perempuan, untuk menindak lanjuti tempat-tempat berpotensi kejahatan trafficking dengan upaya melakukan penyuluhan-penyuluhan, agar tidak tergoda dengan pekerjaan yang berpenghasilan tinggi. Kasus-kasus yang ditangani Polda sumut paling banyak adalah perdagangan Perempuan khususnya Pekerja Seks Komersial. Dengan Modus Operandi pekerjaan yang layak. 2. Tugas di bidang Preventif. Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional teknik tersendiri seperti patroli, penjagaan pengawalan dan pengaturan. 65 Pada kenyataanya Polri melakukan razia-razia kehotel-hotel atau tempat yang dianggap sangat rawan berpotensi terjadinya perdagangan perempuan dengan cara
64
www.armanpasaribu.wordpress.com, Pengalaman polisi di Indonesia, diakses tanggal 2
Juni 2009. 65
Ibid.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
memperkerjakan perempuan dibawah umur atau pun dewasa sebagai Pekerja Seks Komersial. 3. Tugas di bidang Represif. Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002, memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu wewenang ” diskresi kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus Trafficking. KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisiil dengan menggunakan azas legalitas bersama unsur Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. 66 Jadi pada hakekatnya kegiatan Polri berurusan dengan proses-proses didalam masyarakat yang melibatkan komponen masyarakat secara horizontal, baik itu perorangan maupun golongan atau organisasi. Polri juga berurusan dengan hubungan yang bersifar vertikal yaitu antara komponen masyarakat dengan kekuasaan publik. 67 Bila terjadi tindak pidana dalam trafficking, penyidik Polri melakukan kegiatan berupa: a. Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan Trafficker; b. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap trafficking ; 66 67
Ibid Parsudi Suparlan, Op.Cit, hal. 152.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
c. Mencari serta mengumpulkan bukti kejahatan trafficking ; d. Membuat terang tindak pidana kejahatan trafficking yang terjadi; e. Menemukan tersangka pelaku tindak pidana. 68
2. Tugas Polri Polri mempunyai tugas pokok khususnya memelihara dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, salah satunya dibidang tindak kejahatan trafficking. Mandat yang diberikan pada hakekatnya dibagi dalam dua kategori, yaitu: a. Untuk mencegah dan menyidik kejahatan
dimana akan tampil wajah Polri
sebagai alat Negara penegak hukum. b. Untuk memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat. 69 Pada hal ini, Polri menerima pengaduan dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat maupun dari keluarga korban, dari penanganan perkara yang dihadapi Polri dengan Pelayanan Polri kepada korban trafficking dengan menyediakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum (Tipidum) Direktorat Reskrim Polda Sumut. Polri menyelidiki aduan/laporan untuk mencari bukti-bukti dan menemukan korban trafficking . Dalam Undang-undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961 Polri Negara Republik Indonesia ialah alat Negara Penegak Hukum yang terutama bertugas memelihara
68
www.armanpasaribu.wordpress.com, Pengalaman polisi di Indonesia, diakses tanggal 2
Juni 2009. 69
Parsudi Suparlan, Op.Cit, hal. 160.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
keamanan di dalam negeri (Pasal 1 ayat (1)). Dalam melaksanakan ketentuanketentuan dalam Pasal 1, maka Polri Negara mempunyai tugas, sebagai berikut : a. b. c. d.
Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum. Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat. Memelihara keselamatan Negara terhadap gangguan dari dalam. Memelihara keselamatan orang, benda dan masyarakat termasuk memberi perlindungan dan pertolongan, dan e. Mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturanperaturan Negara. 70 Sehingga dalam UU Polri juga mempunyai tugas-tugas Pokok adalah : 71 1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. menegakkan hukum; dan 3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, UUPolri bertugas : a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan. b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
70 71
Pasal 2 Undang-undang Kepolisian No. 13 Tahun 1961. Pasal 13 UUPolri.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik Polri pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Wewenang Polri Kewenangan Polri dalam menindak kejahatan Trafficker, melakukan upaya pencarian dari pengaduan/laporan masyarakat, terhadap kasus Perdagangan manusia yang terjadi, dilakukan penahanan pelaku/tersangka oleh Penyidik Polri yang kemudian ditahan.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Kewewenang Polri dapat dikenali berdasarkan pengelompokan tugas-tugasnya yang bersumber dari kewajiban umum kepolisian, perundang-undang lainnya dan dalam proses pidana. Oleh karena itu dapat ditemukan pengelompokan wewenang Polri kedalam: Wewenang Kepolisian dapat dibagi menjadi 4 (empat) yakni : 1. Wewenang Kepolisian Secara Umum Dalam Pasal 15 UU No. 2 tahun 2002 disebutkan bahwa: Untuk kepentingan penyelidikan, maka Kepolisian Negara berwenang 72 sebagaiberikut: a. Menerima pengaduan. b. Memeriksa tanda pengenal. c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang. d. Menangkap orang sementara. e. Menggeledah badan. f. Menahan orang sementara. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa. h. Mendatangkan ahli. i. Menggeledah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat-darat dan udara. j. Memberikan barang untuk dijadikan bukti,dan 72
Dalam Undang-undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 pengelompokan wewenang kepolisian secara umum diatur dalam pasal 15 ayat (1) yang berbunyi: dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan 19, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang: Menerima laporan dan/atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
k. Mengambil tindakan-tindakan lain. 73 Dengan demikian dapat disimak bahwa kewenangan “menerima laporan dan pengaduan” mempunyai dua sumber yaitu: 1. Kewajiban umum Kepolisian, dan 2. Ketentuan KUHAP dalam rangka proses pidana. Peraturan kepolisian adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Polri berupa perintah yang atau larangan dalam lingkup tugas Polri yang ditunjukan kepada penduduk. 74 Jadi jelas bahwa “Peraturan Polri” tetap bersifat mengikat warga masyarakat karena peraturan tersebut dikeluarkan untuk kepentingan warga masyarakat dalam kaitannya dengan tugas kepolisian. 2. Wewenang Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undang. Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan tentang kewenangan kepolisian tersebar diberbagai Undang-undang dan Peraturan Perundang-undang dan kemudian dikelompokan dalam Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dalam Pasal 15 ayat (2) yang berbunyi : Polri sesuai dengan peraturan perundang undangan lainnya berwenang:
73
Pasal 15 ayat (1) menegaskan kewenangan umum Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menjamin ketertiban dan keamanan umum, khususnya dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan. Kewenangan umum untuk bantuan pengamanan juga dapat dimanfaatkan dalam kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat. Namun demikian penggunaan kewenangan ini hanya atas permintaan masyarakat. 74 Pasal 15 ayat (1) huruf e, diadopsi dari Pasal 15 ayat (1) huruf m Undang-undang Kepolisian No. 28 Tahun 1997 yang berbunyi:Mengeluarkan peraturan Kepolisian didalam lingkup kewenangan administratif Kepolisian yang mengikat warga masyarakat.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
a. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegitan masyarakat lainnya. 75 b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor. 76 c. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik. 77 d. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam. 78 e. Memberikan izin operasional dan melekukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan. 79
75
Rumusan kewenangan ini diadopsi dari substansi kewenangan yang diatur dalam Pasal 510 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 76 Rumusan kewenangan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b, merupakan penegasan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pendaftaran kendaraan bermotor untuk tertib administrasi, pengendalian kendaraan yang dioperasikan, mempermudah penyidikan pelanggaran atau kejahatan yang menyangkut kendaraan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undangundang No. 14 Tahun 1992, yang pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia No. 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi Pasal 180 yang berbunyi : Pendaftaran kendaraan bermotor sebagai bagian yang tidak terpisah dari lalu lintas dan angkutan jalan dilaksanakan oleh unit pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor satuan lalu lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintahan ini disebut pelaksana pendaftaran kendaraan bermotor. 77 Kewenangan tersebut mencakup pula kewenangan Polri dalam mengatur kegitan politik sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 1998 Tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum yang dapat berbentuk unjuk rasa, demontrasi, paai dan rapat umum serta pemaparan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) tersebut kemudian diganti Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengeluaarkan Pendapat di Muka Umum. 78 Rumusan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e, merupakan penegasan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12/Drt/1951, Lembaga Negara Tahun 1951 No. 78 Tentang Senjata Api, ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undangundang No. 12/Drt/1951, tidak ditemukan adanya istilah “senjata tajam”. Akhirnya disepakati untuk mencantumkan penjelasan istilah Pasal 15 ayat (2) huruf e yang pengertiannya menunjuk kepada Undang-undang No. 12/Drt/1951. 79 Perkembangan usaha mempengaruhi bidang jasa pengamanan yang menimbulkan urgensi pengawasan oleh Polri. Mengenai berbagai perusahan, badan usaha tidak saja menyediakan personil pengamanan terlatih untuk pengamanan berbagai kegiatan dan industri, tetapi juga menawarkan berbagai produk alat dan teknologi pengamanan pribadi. Operasional dari badan usaha tersebut memerlukan izin dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan selanjutnya dilakukan pengawasan agar tidak timbul ekses yang justru menimbulkan kerawanan keamanan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
f. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dn petugas pengamanan swakarsa dalam teknis kepolisian. g. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasioanal. 80 h. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi berkait. 81 i. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional. 82 j. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. 83
80
Pelaksanaan dari kewenangan ini memerlukan perjanjian antar negara secara khusus, baik bilateral maupun multilateral seperti halnya “Perjanjian timbal balik dalam masalah pidana (Mutual assistance in criminal matter) antara Indonesia dan Australia Tahun 1995 yang disahkan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1999, tentang pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan Australia mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana (Treaty Between The Republic of Indonesia and Australia on Mutual in Criminal Matters) 81 Pengawasan yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pengawasan fungsional yang terkait dengan kewajiban umum kepolisian dan tuuan kepolisian dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri. Pasal 15 ayat (2) huruf I memberikan dasar hukumbagi tugastugas dan kegiatan fungsi teknis Intelijen dan Pengamanan Kepolisian yang meliputi intelijen kriminal, pengamanan serta pengawasan serta orang asing. 82 Rumusan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf j memberikan dasar hukum bagi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional antara lain International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol). Fungsi National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sejak tahun 1954 berdasarkan Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 245/PM/1954 tanggal 15 Oktober 1954. 83 Rumusan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf k, dimaksud untuk menampung berbagai ketentuan tentang kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tersebar diberbagai undang-undang. Dengan semakin terjadinya spesialisasi pengaturan bidang-bidang teknis dalam bentuk undang-undang yang memuat kewenangan kepolisian, maka Pasal 15 ayat (2) huruf k inipun merupakan penegasan bahwa hal tersebut termasuk dalam kriteria “kewenangan lain”.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
3. Wewenang “Diskresi Kepolisian”. Diskresi berasal dari bahasa Inggris Discretion yang diartikan sebagai kebijaksanaan dan keleluasaan. Dapat didefinisikan sebagai wewenang yang diberikan hokum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri. 84 Diskresi merupakan wewenang dari pejabat publik, 85 demi kepentingan umum, untuk bertindak atau tidak bertindak dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya menurut penilaiannya sendiri. Demikian juga halnya dengan Pejabat kepolisian Negara, memiliki kewenangan “diskresi”. 86 Diskresi Kepolisian merupakan kewenangan 87
yang
bersumber
dari
asas
kewajiban
umum
kepolisian
(plichtmatigheidsbeginsel) yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memeliharah ketertiban dan menjamin keamanan
umum.
Kasahannya
didasarkan
pada
kelayakan
pertimbangan
keperluannya untuk tugas kewajiban. Sesorang petugas Polri yang bertugas di tengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila diperhatikan akan 84
Untung S. Rajab, Kedudukan Dan Fungsi Polisi Republik Indonesia Dalam Sistem Ketatanegaraan (berdasarkan UUD 1945), (Bandung: Utomo, 2003), hal. 210. 85 Momo Kelana. Op.Cit, hal.193. 86 Ibid, hal. 194. 87 kewenangan diskresi Polri dirumuskan dalam Pasal 18 ayat (1) yang berbunyi : Untuk kepentingan umum, Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenang dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
timbul bahaya bagi ketertiban dan keamana umum. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin bagiannya untuk meminta pengarahan terlebih dahulu dari atasannya sehingga dia harus memutuskan sendiri tindakannya. Terdapat kekhawatiran bahwa sipetugas tersebut akan bertindak sewenangwenang dan sangat tergantung kepada kemampuan subyektif dari sipetugas tersebut. Untuk itu, dalam hukum kepolisian dikenal berupa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang petugas Polri akan melakukan “diskresi” yaitu: 1. Tindakan harus benar-benar diperlukan (noodzakelijk, notwending) atau asas keperluan. 2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk, sachlich). 3. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai sasaran yaitu hilangnya sesuatu atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhwatirkan dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig). 4. Asas keseimbangan (evereding). 4. Wewenang Kepolisian di bidang Proses Pidana. Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Polri secara umum berwenang untuk: a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidik Polri.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik Polri dalam rangka penyidikan. d. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik Polri dalam rangka penyidikan. e. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat. g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi. h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara. i. Mengadakan penghentian penyidikan. j. Menyerahkan berkas perkara kepada pejabat imigrasi dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan cegah dan tangkal terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana. k. Memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik Polri pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik Polri pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum. l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
C. Eksistensi Polri dalam Menanggulangi Kejahatan Trafficking Kebijakan penangulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu : 1. Pendekatan Penal (penerapan hukum pidana). 2. Pendekatan Non Penal (pendekatan diluar hukun pidana).88 Integrasi dua pendekatan ini disyaratkan dan diusulkan dalam United Nations Congress on The Prevention of crime and the Treatment of offenders. Hal ini dilatarbelakangi bahwa kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Oleh karenanya upaya penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat mengandalkan penerapan hukum pidana, tetapi juga melihat akar lahirnya persoalan kejahatan dari persoalan sosial. 89 Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcemen policy) harus mampu menetapkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam penaggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangan penting karena menurut
G. Pieter Hoefnagels bahwa
kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat dari reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk
88 89
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal. 51. Ibid.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh Sebagai kebijakan ini termasuk (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime).
90
Pada kenyataan dilapangan penangan perkara dilakukan dengan pendekatan Penal, karena adanya pengaduan dari masyarakat ataupun dari keluarga korban terhadap tindak kejahatan trafficking . Penerapan pendekatan Non Penal secara Pre-emtif, pada kenyataanya juga diterapkan dengan cara memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat yang berpotensi wilayah/daerah yang dianggap adanya tindak kehajatan perdagangan manusia. Penanganan kasus-kasus trafficking di Polri dilakukan dengan Non Penal secara Pre-emtif menyediakan : a. Unit-unit Polri dan Penuntut Umum yang khusus. Polri membentuk unit-unit khusus untuk menangani kasus-kasus trafficking, misalnya unit Polri yang bekerja di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) untuk dapat menyidik korban. Jadi untuk kasus korban trafficking Polri membedakan proses penyidikan kepada korban, tidak seperti tindak kejahatan pidana lainnya. 91
90
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal 17 Pedoman Untuk Penyidik dan Penuntutan Tindak Pidana trafficking dan Perlindungan Terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, (Jakarta: International Organization for Migration Mission In Indonesia, 2005), hal. 30. 91
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
b. Pendampingan dan pelayanan korban. Pendektesian maupun investigasi (penyidikan) dan penuntutan tindak pidana trafficking
ialah kesedian pihak korban untuk membantu dan mendukung
penuntutan. Kesediaan informasi dan pelayanan, perlakuan yang secara umum diberikan oleh Polri dan risiko bagi korban untuk ditangkap, ditahan, dituntut kemuka pengadilan atau dideportasi berkenaan dengan pelanggaran hukum yang telah mereka lakukan. Risiko demikian muncul sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari posisi mereka sebagai korban kejahatan trafficking, yaitu mencakup pelanggaran ketentuan imigrasi (pendatang ilegal atau penetap tanpa surat-surat sah), keterlibatan dalam industri seks dan/atau penggunaan dokumen-dukomen palsu. Oleh karena itu, perlakuan pelayanan dan perlindungan yang diberikan kepada korban harus dipandang sebagai bagian penting yang menentukan efektifitas penanganan kasuskasus trafficking. Pencegahan kejahatan trafficking sebagai strategi biasanya dipersenjatai dan dilengkapi oleh data tentang analisa kejahatan trafficking. Data analisa ini dapat dimanfaatkan untuk mempertinggi nilai dari suatu pengambilan keputusan. Selanjutnya dapat pula menghemat alokasi sumberdaya yang digunakan, selektif dalam melakukan tindakan pencegahan dan tajam dalam mengembangkan latihan yang diperlukan. Namun yang paling penting untuk dipahami bahwa “pengambilan keputusan yang dibantu dengan analisa kejahatan lebih memastikan adanya obyektifitas dan efektifitas dalam pencapaian tujuan”. Selanjutnya dengan melakukan analisa terhadap kejahatan trafficking yang tajam akan lebih memungkinkan seorang
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
pimpinan Polri, untuk mengikuti perkembangan kejahatan trafficking yang dapat berubah dengan cepat. Yang pada akhirnya akan lebih memudahkan dalam menerapkan tindakan antisipasi dalam saat dan kesempatan yang tepat. Merupakan sesuatu yang lazim apabila dalam pelaksanaan tugasnya Polri dihadapkan pada permasalahan yang serba kompleks dan rumit. Meningkatnya angka kejahatan yang menyangkut kualitas maupun kuantitas tidak dapat direlakan. Sehingga dalam menghadapi kriminalitas yang terus meningkat diperlukan profesionalisme dan peningkatan kinerja Polri. Namun demikian keterbatasan sumber daya Polri tidak dapat dihindari dan hal ini merupakan permasalahan Polri yang terus membayangi prestasi kerja Polri. Walaupun dengan segala keterbatasan pada kasus tertentu kadang Polri juga dapat berhasil mengungkapnya. Meningkatnya angka kejahatan pada suatu daerah merupakan tantangan bagi Polri. Tindakan Polri dengan pencegahan, pembinaan dan penindakan mewarnai tugas Polri dilapangan. Apa yang dilakukan oleh Polri dalam menghadapi kejahatan trafficking sudah jelas dan rinci. Namun demikian keterlibatan masyarakat belum banyak membantu tugas Polri dalam menanggulangi meningkatnya angka kejahatan trafficking. Sehingga sebagian besar Polri merasa bahwa mereka kurang mendapatkan dukungan dari masyarakat, lembaga peradilan dan aparat lainnya. Hal ini sangat berdampak pada kemampuan mereka untuk melaksanakan tugas. Oleh sebab itu upaya mencegah kejahatan trafficking sebagai kebijakan criminal yang dilakukan oleh Polri harus dapat menimbulkan efek pencegahan terhadap muncul dan berkembanganya kejahatan trafficking selanjutnya. Sehingga upaya yang dilakukan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
harus sistemik baik yang bersifat preventif maupun represif. Hal ini perlu dipikirkan sebab secara konseptual masyarakat menuntut lebih besar terhadap kewenangan Polri. 92 Kasus-kasus trafficking yang ditangani di Polda Sumut, merupakan hasil-hasil kinerja Polri dalam menanggulangi dan mencegah trafficking, meskipun pada kenyataanya kejahatan
trafficking ini masih tetap berjalan. Upaya-upaya yang
dilakukan Polri dalam Penyampaian informasi yang berkaitan dengan pencegahan kejahatan trafficking dilakukan melalui televisi, radio, media cetak dan media masa lainnya. Selain itu Polri perlu membuat video dan mendistribusikan pamflet atau pesan-pesan kamtibmas yang relevan dengan pencegahan kejahatan trafficking yang menjadi fokus perhatian. 93 Dalam rangka pencegahan kejahatan trafficking perlu melibatkan peran serta masyarakat secara optimal. Tempat yang potensial menjadi sasaran kejahatan dapat ditawarkan untuk diajak kerjasama secara terorganisir dalam rangka pencegahan kejahatan
trafficking
Sehingga
lingkungan
masyarakat
tersebut
memiliki
pengetahuan, pemahaman dan kemampuan untuk ikut serta mengantisipasi melawan kejahatan yang timbul. Adapun pembentukan organisasi di lingkungan masyarakat dalam upaya melakukan pencegahan kejahatan trafficking dapat dilakukan pada tempat-tempat sebagai berikut : 94
92
http://www.isiindonesia.com/community-policing.html, tanggal 16 Juni 2009. 93 Ibid. 94 Ibid.
Community
Policing,
diakses
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
a. Fasilitas tempat hiburan dan peristirahatan. b. Hotel, motel dan fasilitas penginapan lainnya. c. Kompleks pertokoan, mall dan sejenisnya. d. Fasilitas transportasi yang terdiri dari terminal bus, kereta api, jalan tool, bandara dan sebagainya. e. Dealer kendaraan, bengkel dan reparasi mobil lainnya. f. Tempat penjualan barang-barang berbahaya. g. Proyek-proyek vital dan sebagainya.
Upaya pencegahan kejahatan trafficking memberikan kesempatan untuk meminimalkan tingkat kerawanan daerah dengan menggunakan pendekata Non Penal secara Pre-emtif. Biasanya sambutan yang paling hangat datang dari kalangan yang memiliki status sosial yang rendah atau berada di lingkungan menengah kebawah, yang dengan mudahnya dipengaruhi oleh Trafficker, untuk memberi pekerjaan dengan gaji tinggi, atau mereka yang hidup di lingkungan yang tingkat kejahatanya tinggi. Hal ini disebabkan karena golongan masyarakat tersebut justru paling mudah dijadikan sasaran kejahatan. Sehingga upaya pencegahan kejahatan trafficking tersebut perlu dilakukan penelitian, pengkajian dan di sosialisasikan dengan terencana. 95
95
Ibid.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Terdapat suatu pandangan kuat yang menyebutkan bahwa tanpa adanya peran serta dan kerja sama dari masyarakat maka Polri akan sangat mustahil dapat melaksanakan strategi penanggulangan kejahatan trafficking secara efektif. Berkaitan dengan hal ini Goldstein menyatakan sebagai berikut: Apapun yang Polri lakukan dalam usahanya mengedepankan kejahatan trafficking serius. Mereka harus mengakui bahwa usaha mereka sangat bergantung pada adanya kerjasama dan peran serta masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa Polri tidak akan mungkin membuahkan suatu kemampuan yang menyamai kemampuan kolektif yang dimiliki masyarakat dalam pencegahan kejahatan trafficking, dalam melaporkan adanya pelanggaran, mengidentifikasi pelaku dan membantu proses penuntutan. 96
Pendapat tersebut diatas juga diperkuat dengan pendapat Sir Robert Pell dinyatakan bahwa : “Polri haruslah bekerjasama dengan masyarakat, melindungi hakhak, melayani kepentingan, serta berusaha mendapatkan kepercayaan masyarakat dimana mereka melaksanakan tugas kepolisian”. Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka langkah utama yang harus dilakukan dalam mengimplementasikan gaya pemolisian model Community Policing adalah dengan menghimbau masyarakat untuk bersedia ikut terlibat dalam kegiatan Polri. Adapun peran serta masyarakat dalam membantu tugas Polri ditujukan dalam upaya : 97
96 97
Ibid. Ibid.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
1. Meningkatkan
kesadaran
masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
upaya
pencegahan kejahatan trafficking 2. Melatih dan mendidik masyarakat untuk mengambil langkah-langkah yang lebih efektif untuk tidak tergoda pekerjaan yang berpenghasilan tinggi diluar negeri. 3. Memotivasi masyarakat untuk segera melaporkan kepada polisi apabila melihat kejadian yang mencurigakan terhadap pelaku dan korban trafficking. 4. Meningkatkan hubungan yang harmonis antara Polri dan masyarakat dalam memelihara keamanan dan ketertiban. 5. Melalui pertemuan dan diskusi secara rutin antara Polri dan masyarakat diharapkan Polri dapat menawarkan kerjasama tentang upaya mencegah kejahatan trafficking yang dianggap sesuai dengan kebutuhan setiap kelompok masyarakat. Untuk selanjutnya mampu mengambil langkah yang tepat dalam mengembangkan cara bertindak sesuai dengan lingkungan masyarakatnya.
Oleh sebab itu diperlukan kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk memahami dan menguasai tentang strategi pencegahan kejahatan trafficking dengan cara pendekatan Non Penal secara Preventif. Adapun langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut : 98
a. Membentuk lembaga pencegahan kejahatan trafficking yang diorganisir mulai pada tingkat daerah, propinsi maupun nasional. Dengan dibentuknya lembaga 98
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
ini dilakukan kontak kegiatan dengan pemerintah daerah, sekolah-sekolah, lembaga swadaya masyarakat, pengamat Polri. Lembaga ini dibentuk dengan tujuan mencegah kejahatan trafficking yang telah menjadi perhatian masyarakat baik yang menyangkut segi kuantitas maupun kualitas. Sehingga lingkungan masyarakat terbebas dari unsur-unsur kejahatan dan pada akhirnya mampu mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat sebagaimana diharapkan bersama. b. Membuat pos anti kejahatan Kegiatan Polri dilakukan dengan memberikan bimbingan dan upaya memberdayakan pos pencegahan kejahatan serta menyusun strategi untuk menghadapi tipe-tipe kejahatan khusus yang sedang berkembang. Sebagai contoh adanya pos anti narkoba dan juga trafficking yang keberadaanya dapat memberikan bantuan informasi maupun bantuan lainnya.
Sehingga pencegahan kejahatan trafficking merupakan tindakan untuk memberikan perlindungan dan menghindari rasa takut masyarakat dari gangguan kejahatan. Selanjutnya pengamanan terhadap masyarakat tidak semata-mata terfokus pada para pelaku kejahatan, tetapi juga pada kecenderungan dalam mengendalikan kejahatan trafficking itu sendiri. Untuk mencegah dan memberikan perlindungan masyarakat terhadap gangguan kejahatan trafficking maka dilakukan tindakan kepolisian. Adapun tindakan Polri dimaksud adalah : Melakukan eliminasi terhadap
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
faktor-faktor kriminogen yang ada dalam masyarakat. Menggerakan potensi masyarakat dalam hal mencegah dan mengurangi kejahatan. 99
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa upaya memberikan perlindungan masyarakat dari rasa takut terhadap gangguan kejahatan trafficking harus dilakukan secara tegas. Namun demikian kebijakan yang bersifat pencegahan lebih diutamakan yaitu dengan melakukan eliminasi terhadap faktor korelatif kriminogen dengan menggerakan potensi dan partisipasi masyarakat. Termasuk melakukan kegiatan pencegahan pada daerah rawan dan kegiatan penindakan terhadap kejahatan yang muncul.
Menurut Robert. R. Friedman dalam bukunya “Community Policing Comparative Perspectives and Prospects “. Dijelaskan bahwa terdapat lima konsep hubungan Polri dan masyarakat. Selanjutnya konsep hubungan Polri dan masyarakat dapat dijelaskan sebagai berikut : 100
1. Polri dan masyarakat yang keduanya ekslusif. 2. Polri dan masyarakat tumpang-tindih atau duplikasi sepenuhnya. 3. Masyarakat merupakan bagian dari Polri 4. Polri merupakan bagian dari masyarakat. 5. Sebagian dari keduanya saling tumpang-tindih Polri.
99
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 100 Dikutip dalam buku Momo Kelana I, Op.Cit, hal. 23.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Dalam prakteknya dilapangan yang sering menjadi korban adalah perempuan dan anak, sehingga eksistensi Polri dalam mencegahan kejahatan trafficking di Sumut juga berdasarkan Peraturan Daerah Nomor
6 Tahun 2004 tentang penghapusan
perdagangan (trafficking) perempuan dan anak. Pada
Pasal 1 huruf
P adalah
memberi Perlindungan perempuan dan anak yang merupakan segala kegiatan untuk melindungi perempuan dan anak agar terjamin hak-haknya sehingga terhindar dari kekerasan dan diskriminasi.
Mengingat dalam eksistensi Polri juga menyediakan Unit Pelayan Perempuan dan Anak (UPPA) dalam proses Penyidikan Polri, untuk korban-korban trafficking . dimana bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hokum terhadap pelakunya. Dalam melaksanakan eksistensi Polri menyelenggarakan fungsi yaitu :
a. Penyelenggaraan pelayanan dan perlindungan hokum; b. Penyelenggaraan Penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana; c. Penyelenggaraan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait. 101
Menurut Ferina Gultom kasus-kasus trafficking, yang terjadi di sumut diantaranya : 102
101
Pasal 4 Peraturan Kapolri No.Pol.: 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit UPPA) dilingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. 102 Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
1. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum (Tipidum) Direktorat Reskrim Polda Sumut, Kamis, berhasil mengungkap kasus trafficking. Pelakunya, Masriani (20), warga Pasar VI Saentis, Kec. Percut Seituan, Deliserdang ini, ditangkap dari lantai VI Hotel Crystal Grown, Port Klang, Malaysia. Polisi juga berhasil menangkap Susilawati alias Susi (40), warga Jalan Negeri Lama Sungai Tampang, Kec. Negeri Lama, Rantauprapat, dari kawasan Pasar XII Bandar Setia Tembung. Terungkapnya kasus trafficking (perdagangan manusia) ini berkat koordinasi cepat kita dengan pihak SLO di Malaysia, sehingga mengamankan korban yang disekap di salah satu hotel di Malaysia.
Kasus ini berawal dari laporan ibu korban, Sutijah (40), warga Dusun IX Sidoharjo, Desa Pematang Johar, Kec. Labuhan Deli, Deliserdang 30 April lalu. Dalam laporannya, Sutijah mengaku anaknya telah dijual ke Malaysia pada 18 April 2009. Itu dibuktikan dari SMS yang dikirim korban pada Sutijah, mengatakan dirinya disekap di lantai VI hotel Crystal Grown Port Klang Malaysia. petugas perlindungan perempuan dan anak ini langsung berangkat ke negeri jiran itu. Hasilnya, petugas SLO dan UPPA menangkap Michael alias Ee Yong Heng (40) WN Malaysia, dari kamar hotel tersebut. Tersangka Michael berperan sebagai pembeli dari Tommy (DPO). Kini telah diproses penegak hukum di sana (Polisi Diraja Malaysia-PDRM). Sementara korban yang berhasil diselamatkan, akan dibawa pulang ke Medan. Dalam pemeriksaan sementara, korban mengatakan, usai dijual tersangka Susi kepada
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Tommy. Kemudian dirinya disekap di hotel tersebut dan dipaksa harus melayani 10 lelaki hidung belang dalam sehari, terang AKP Fransisca PS Munthe. Sementara, Susi yang ditemui Pos Metro Medan di ruang penyidik Polri UPPA membantah semua tuduhan itu. Menurutnya, korban sendiri yang mau diajak dengan tawaran pekerjaan sebagai pelayan cafe di Malaysia. Dia sendiri yang mau ikut, waktu itu kubilang pekerjaan yang ada di cafe shop dan dia pun mau, jadi tidak ada kupaksa-paksa, jawab ibu 4 anak ini sembari mengakui telah menerima uang sebesar 2500 ringgit dari Tommy. Itu uang ganti pengurusan pasport dan biaya tiket perjalanan, bukan uang penjualan anak itu, kilahnya. Akibat perbuatannya Susi dijerat Pasal 2, 4, 9, 10 UU NO. 21 Tahun 2007 tentang Trafficking jo Pasal 102, 103 UU RI No. 39 Tahun 2004 tentang penempatan TKI di luar negeri, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
2. Ernawati (21) semula ingin mengadu nasib menjadi TKI di Taiwan. Ibu satu anak ini justru dipaksa menjadi perempuan seks komersial (PSK). Ernawati pun melarikan diri dari cengkraman sang germo. Ernawati yang 10 hari bekerja di lokalisasi terbesar di Pekan Baru ini akan dikembalikan dari Pekan Baru ke Subang, Jawa Barat. Ernawati diselamatkan oleh perguruan pencak silat di Kelurahan Kulim, Pekan Baru. "Kini korban akan kita kembalikan ke kampung halamannya di Jawa Barat”. 3. Rina, misalnya, mengaku sudah empat bulan dipaksa menjadi budak seks di sarang pelacuran berkedok diskotek, Golden Million. Ia stres, sehingga wajahnya
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
yang segar berubah menjadi kuyu. "Tadinya saya dijanjikan kerja di salon di Batam. Tak tahunya, saya dipaksa melacur di Tanjung Balai," kata Rina, getir. Simak pula pengalaman pahit Rani (nama samaran), lulusan SMU berusia 18 tahun. Rani mengaku dua bulan dijadikan budak seks, juga di Diskotek Golden Million, milik Kioe Moi alias Merry, wanita berusia 42 tahun yang disebut-sebut sebagai germo paling beken di Tanjung Balai. "Saya tidak tahan, sudah lama ingin kabur, tapi tidak berani. Untunglah, Polri menyelamatkan kami
Pencegahan trafficking juga sebagai upaya agar tidak tersebar berkelanjutan penyakit HIV/AIDS, yang ditularkan oleh para Pekerja Seks Komersial.
Agar
penularan penyakit yang berbahaya tersebut tidak semakin meningkat secara nasional dan membahayakan masa depan bangsa dalam rangka penanggulangan HIV-AIDS, termasuk penyebaran melalui strategi nasional penanggulangan HIV-AIDS yang akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat. 103
Dari hal ini, menghadapi realita kejahatan trafficking yang terjadi saat ini, dibutuhkan kebijakan dalam pencegahan kejahatan trafficking yang konseptual dan konsisten. Sehingga upaya yang dilakukan oleh Polri lebih responsive, akomodatif dan antisipatif dengan pengelolaan informasi/data yang terintegrasi dengan baik
103
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
antara kepolisian dengan system peradilan pidana, dimana Polri berperan sebagai koordinator dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan trafficking. 104
Studi kajian mengenai pencegahan kejahatan trafficking yang terintegrasi tentunya mengandalkan pelibatan potensi yang ada dimasyarakat. Oleh sebab itu dalam penerapannya perlu mendapat dukungan dari legislatif dan eksekutif. Sehingga perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat dapat dengan mudah dicapai dan pelibatan peran serta masyarakat terus meningkat. Disamping itu peranan media elektronik maupun media cetak dapat dimanfaatkan maksimal terkait dengan upaya pencegahan kejahatan dimaksud. 105
Pencegahan kejahatan trafficking merupakan salah satu strategi dalam menerapkan gaya Community Policing. Orientasi penegakan hukum modern selalu menitik beratkan terhadap tindakan preventif daripada represif. 106 Sehingga dengan tugas dan wewenang diharapkan dapat lebih mengakomodir kegiatan pencegahan kejahatan trafficking yang didukung oleh system pelayanan terpadu yang lebih terintegrasi. Bahwa kegiatan kepolisian dalam gaya apapun selalu bersandar pada berbagai hubungan dengan pemerintah daerah, masyarakat dan kepentingan organisasi lainnya. Oleh sebab itu dalam menentukan kebijakan kepolisian
104
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 105 Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 106 Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal 138.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
seyogyanya dikoordinasikan terlebih dahulu. Apabila dalam pelaksanaanya menghadapi berbagai kendala maka dapat dengan mudah diminimalisir dan potensi yang ada dalam masyarakat dapat dimanfaatkan secara maksimal. 107
Sistem peradilan pidana (Criminal Justice Sistem) merupakan salah satu sistem dalam masyarakat yang digunakan dalam rangka menanggulangi kejahatan trafficking. Upaya menanggulangi kejahatan trafficking
mengandung pengertian
yang bermakna pencegahan dan penindakan atau pemberantasan. Mengingat bahwa kejahatan yang ada dalam masyarakat tidak mungkin dihilangkan sama sekali maka pengendalian berarti pula menjaga agar kejahatan itu selalu berada dalam batas toleransi.
Menjaga sampai batas toleransi mengharuskan Polri untuk dapat menganalisa dan menghitung secara kuantitatif yang didasarkan pada kriteria dan kesepakatan yang telah ditentukan. Hal ini menyebabkan Polri terkadang melupakan nilai-nilai yang berlingkup kualitatif. Sehingga dalam melakukan analisa terhadap kejahatan trafficking. 108
107
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 108 Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Kadang kurang efektif dan tidak obyektif. Namun demikian perlu dipahamai bersama bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah: 109
1. Mencegah agar masyarakat terhindar menjadi korban kejahatan trafficking. 2. Secepatnya menyelesaikan kejahatan trafficking yang terjadi agar masyarakat puas dan merasa aman, karena keadilan cepat ditegakan. 3. Mengusahakan agar para pelaku kejahatan trafficking tidak mengulangi kejahatan lagi.
Berdasarkan uraian diatas, maka kegiatan pencegahan kejahatan trafficking merupakan suatu tujuan yang hendak dicapai dalam mewujudkan tujuan dari sistem peradilan pidana. Sebagai pelaksananya adalah Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Idealnya ke-empat instansi ini dapat bekerjasama secara kompak dan pelaksanaan tugasnya mengalir dalam satu garis tak terputus dan saling berkesinambungan. Selanjutnya dengan kegiatan yang sinergi dapat mewujudkan tampilan tugas transparan, jujur dan dapat segera memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Kesatuan yang semacam ini dapat disebut sebagai Integrated Criminal Justice Sistem. 110
109
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 110
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas maka upaya pencegahan kejahatan trafficking sebenarnya bukan hanya tugas Polri sendiri. Tetapi seluruh aparat Criminal Justice Sistem 111 harus terpanggil untuk mendukung pencegahan kejahatan trafficking. Karena sistem yang berjalan kurang dapat mewujudkan rasa keadilan maka kepercayaan terhadap hukum terus menjadi berkurang. Kondisi ini mendorong pelaku
kejahatan
secara
berani
melakukan
kejahatan
trafficking
bahkan
mengulanginya karena hukuman atau vonis yang dikenakan tidak sebanding. Bahkan pada kasus tertentu pelaku kejahatan memiliki hubungan yang kuat terhadap pejabat Criminal Justice Sistem. Sehingga timbul sebutan seperti adanya orang-orang yang kebal hukum, orang kuat dan sebagainya. 112
kejahatan ini secara konseptual menginginkan kebijakan yang komprehensif. Kegiatan pencegahan primer diarahkan pada lingkungan masyarakat secara umum. Pencegahan kejahatan sekunder diarahkan terhadap pelaku kejahatan trafficking yang potensial. Sedangkan untuk kegiatan pencegahan tersier yang diarahkan pada mereka yang terlanjur menjadi pelaku tindak pidana. 113
Polri memiliki tanggung jawab dalam rangka melakukan pencegahan kejahatan trafficking baik yang bersifat primer, sekunder dan tersier. Namun demikian aparat Criminal Justice Sistem tidak dapat lepas dari tanggung jawabnya
111
Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal. 91. Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 113 Momo Kelana, Op.Cit, hal. 34. 112
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
untuk ikut serta membantu Polri dalam upaya melakukan pencegahan kejahatan secara professional dan proporsional. Walaupun pandangan masyarakat umum menghendaki bahwa pencegahan kejahatan trafficking menjadi tanggung jawab Polri. Namun demikian mengingat perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin demokratis maka Polri diharapkan lebih aspiratif terhadap harapan dan keinginan masyarakat yang berkembang dan responsive terhadap perubahan yang terjadi. 114
114
Ibid. 34-36.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
BAB III KENDALA-KENDALA YURIDIS YANG DIHADAPI PENYIDIK POLRI UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING
A. Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Trafficking Trafficking khususnya yang terjadi dalam perdagangan perempuan penyebabnya bukan saja terbatas pada prositusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk ekploitasi, kerja paksa dan peraktek seperti perbudakan dibeberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan. 115 Sebagian besar kasus di Indonesia adalah pola pandangan perempuan untuk prostitusi paksaan (enforced prostitution) atau perdagangan seks yang disertai kekerasan seksual. Ekonomi menjadi alasan utama dalam isu perdagangan perempuan karena alasan yang dinyatakan oleh sebagai besar korban sehingga terjerat dalam perdagangan manusia adalah dalam rangka mencari pekerjaan. 116 Menunjukkan dalam kasus trafficking, terdapat kemudahan-kemudahan dalam pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafiker/ calo, jelas ada keterlibatan aparatur Negara/ pemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, Kelurahan/ Desa, Kecamatan yang melibatkan perangkat/ aparat/ pejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTP/KK. Keterlibatan negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjadinya suatu tindak
115
Solidaritas perempuan (Lembaga Advodkasi Buruh Migran Indonesia). Ham dalam Praktik, Paduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, hal 5. 116 Harkristuti Harkriswono, hal 60
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
kejahatan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara pandang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadap perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual. Menurut Johana Debora Imelda 117 faktor yang melatar belakangi perdagangan manusia khususnya perempuan antara lain; kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah (sehingga mudah percaya pada orang lain dan tak mampu melawan akibat ketidak tahuan), Serata menikah di usia muda. Kebanyakan korban berasal dari desadesa miskin, terutama di daerah jawa, dan berimigrasi ke jakarta untuk memperoeh kehidupan yang lebih baik. 118 Adapun penyebab lain trafficking tersebut dapat dikarenakan adanya hal-hal sebagai berikut: 119 1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafficking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.
117
Dosen dan peneliti dari FISIF UI. www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf, Human trafficking (Perdagangan manusia), diakses ada tanggal 3 Juni 2009. 119 Ibid 118
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut. 3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, di yakini menjadi salah satu pemicu trafficking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua. 4. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas. 5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking. 6.
Urban life style-gaya hidup kota yang konsumtif.
7. Kebiasaan “merantau” untuk memperbaiki nasib; 8. Kebiasaan menganggap pelacuran sebagai hal yang lumrah. 9. Bisnis
buruh
migran
berkembang
menjadi
industri
yang
sangat
menguntungkan. 10. Pelaku yang terorganisir dan bekerjasama dengan aparatur negara. 120 Memberi kemudahan-kemudahan dalam pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafiker/calo, jelas ada keterlibatan aparatur Negara/ pemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, Kelurahan/ Desa, 120
Salah satu modus yang dikembangkan pelaku untuk mencari mangsa-mangsa baru adalah dengan menebar perangkat ke yakni, zone-zone publik seperti stasiun Kereta Api, terminal Bus, Pelabuhan.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Kecamatan yang melibatkan perangkat/ aparat/ pejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTP/ KK. Keterlibatan negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjadinya suatu tindak kejahatan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara pandang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadap perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual. Menurut Ferina Gultom, faktor-faktor penyebab tersangka melakukan perbuatan trafficking sebagaiberikut : 121 a. Perdagangan orang merupakan bisnis ilegal yang menguntungkan terbesar ketiga setelah perdagangan gelap senjata dan narkoba. b. Khususnya propinsi Sumatra Utara kejahatan trafficking sangat berkembang pesat dikarenakan merupakan daeran asal /pengirim sekaligus daerah transit dan daerah tujuan sesuai dengan posisi geografis daerah ini sehingga merupakan aksebilitas tinggi kejalur perhubungan dalam dan luar negeri.
121
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
c. Desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik. Ferina Gultom mengatakan : Perlindungan Hukum yang di Berikan Polri Dalam Kasus trafficking , berupa: 1. Perlindungan Terhadap “Privacy” Korban Segala upaya harus dilakukan untuk menjamin privasi dari korban, saksi-saksi, dan jika diperlukan, juga dari pasangan (suami/istri) dan anggota keluarga korban. Sejauh memungkinkan dan tanpa mengorbankan kepentingan pencarian kebenaran material dalam proses peradilan pidana, identitas korban haruslah dirahasiakan dan privasinya dilindungi. Sebaliknya, adalah juga penting melaksanakan perlindungan tersebut tanpa sekaligus mengorbankan hak-hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang bebas dan adil. Khususnya bagi korban yang mengalami trauma psikis berat atau mengalami ancaman karena posisinya sebagai saksi-korban, maka aparat penegak hukum dan peradilan sedapat mungkin harus merahasiakan atau tidak membuka informasi perihal nama atau alamat dari korban tindak pidana trafficking yang memungkinkan dikenalinya identitas korban, dan dengan demikian mengancam keselamatan dan/atau terganggunya privasi korban. Media massa tidak boleh mendapatkan (dan juga mempublikasikan) berita rinci yang dapat mengarah pada pembukaan identitas korban, tercakup kedalamnya informasi tentang nama, alamat, foto atau data medis. Sebelumnya, kepada korban harus disampaikan informasi berkenaan dengan kesulitan menutup identitas dan data personal lainnya, termasuk kedalamnya informasi mengenai pentingnya kehadiran didalam persidangan untuk memberikan dan mendengarkan kesaksian dari saksi-saksi lain, termasuk terdakwa, yakni demi kepentingan pemeriksaan silang serta ‘meyakinkan’ hakim akan bersalah-tidaknya terdakwa. Kepadanya juga tidak boleh diberikan informasi yang memunculkan harapan yang tidak realitis atau palsu berkenaan dengan kemampuan aparat penegak hukum maupun peradilan untuk menutup identitas dan data lainnya dari publik. 2. Perlindungan Keselamatan Korban Sebelum, selama dan sesudah proses peradilan pidana, segala upaya yang perlu dan mungkin perlu diambil untuk melindungi korban dari intimidasi, ancaman tindakan balasan atau tindakan balasan tersangka /terdakwa dan/atau teman-teman mereka, termasuk tindakan balas dendam (reprisal) dari pihak-pihak yang terakit dengan kejahatan yang sedang diperiksa dihadapan pengadilan. Jika di perlukan, perlindungan serupa sedapat mungkin juga disediakan bagi keluarga dan /atau teman dari korban. Aparat penegak hukum sedapat mungkin harus bertindak sangat hati-hati saat melakukan penyidikan (misalnya dikota atau lingkungan tempat asal dari korban, terhadap kenalan atau rekanan korban atau terhadap tersangka pelaku tindak pidna trafficking), yakni dalam rangka mencegah terbukanya identitas korban atau pengeculikan korban atau timbulnya ancaman terhadap keselamatan korban, keluarga
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
atau temannya. Kepentingan untuk melindungi keselamatan bagi korban, keluarga maupun teman korban haruslah turut dipertimbangkan, ketika aparat berwenang (Polri) memutuskan untuk menangkap, menahan dan menetapkan jangka waktu penahanan ataupun untuk melepas tersangka dari penahan, maka pihak korban harus diberitahu mengenai keputusan tersebut sebelum pelepasan tersebut dilakukan. Bekenaan dengan tindak pidana yan diatur dalam Undang-undang tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004), Pengadilan dapat menerbitkan Surat Perintah Perlindungan atas permohonan pihak korban kuasanya. Polisi juga berwenang untuk melakukan upaya perlindungan sementara (Pasal 10, 16, 17, 20, 28-34). Menurut ketentuan pasal 12 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pembantu rumah tangga yang tinggal di dalam rumah tercakup kedalam lingkup pengertian anggota rumah tangga. Ketentuan ini berarti bahwa UU PKRD dapat digunakan terhadap, misalnya, kasus-kasus trafficking terhadap pembantu rumah tangga yang tinggal (menetap) di dalam rumah majikan. 3. Pelayanan dan Pendampingan (assistence dan support) Polri diharapkan membuka diri bagi tawaran bantuan pihak-pihak lain, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga-lembaga lain, berkenaan dengan penyediaan dan pemberian layananan dan pendampingan bagi korban. Ini berarti bahwa polri seharusnya mendapatkan informasi dan memelihara hubungan baik dengan lembagalembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendampingan korban. Polri sebenarnya atau tepatnya bertanya kepada korban apakah korban di dalam lingkungan sosialnya telah mendapatkan pelayanan dan pendampingan yang cukup. Jika korban memang menginginkannya, Polri sebaiknya menghubungi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pendampingan korban. Rekomendasi umum berkenaan dengan hal ini ialah agar tiap Polri dan polresta memiliki prosedur tetap untuk memberikan pelayanan dan pendampingan termasuk perujukan korban kepada lembaga-lembaga pendampingan korban yang ada. Pihak korban, setiap saat, selama peroses penyidikan, pemeriksaan di kepolisian dan kejaksaan serta selama persidangan di pengadilan, harus berpeluang atau dapat menerima pelayanan atau dukungan dari lembaga sosial. Seorang penasehat, pekerja sosial atau pendamping yang dipilih sendiri oleh korban harus di perkenankan untuk hadir selama proses di atas berlangsung, yakni untuk memberikan pelayanan dan dukungan emosional kepada korban. Dalam hal tindak pidana yang diatur dalam UU PKDRT (No. 23/2004), Polri wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan (Pasal 18) dan juga wajib melakukan koordinasi terpadu dengan dinas atau lembaga sosial yang dibutuhkan korban (Pasal 22). Menurut ketentuan Pasal 23, Korban, selama proses penyidikan dan penuntutan , berhak untuk di dampingi oleh seorang relawan pendamping.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
B. Kendala Yuridis Yang Dihadapi Penyidik untuk Menanggulangi Kejahatan Trafficking Kendala-kendala yang di hadapi Penyidik Polri untuk Menanggulangi Kejahatan trafficking di Polda Sumut, dibagi menjadi 2, sebagai berikut: 122 1. Kendala Yuridis, adalah: a. Kurangnya pembuktian bukti 123 seperti misalnya: terutama tersangka yang sudah melarikan diri, ke luar negeri maupun pelakunya tidak berada di Indonesia, saksi-saksi yang tidak mau hadir, sehingga belum cukup unsur pasal yang dipersangkakan. b. Belum tersosialisasikannya dengan baik terhadap : 1. Pasal 53, 124 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan, tetapi pada kenyataannya hal ini tidak semuanya terealisasi, sehingga orang tua yang tidak mampu menjual anaknya pada calo-calo untuk dijual keluar negeri. 2. Pasal 9, 125 UU No. 13 Tahun 2006 tentang ketenagakerjaan, dimana pemerintah
kurang
memberikan
pengawasan
kepada
Pusat
122
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 123 Pasal 184 ayat (1) KUHAP : Alat bukti yang sah ialah: a.keterangan saksi; b.keterangan ahli; c.surat; d.petunjuk; e.keterangan terdakwa. 124 Pasal 53 ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. 125 Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
ketenagakerjaan atas tindakan dan perbuatan mereka, selama ini pemerintah hanya memberikan izin tempat pelatihan maupun untuk bekerja. 3. Meskipun UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Perdagangan orang, telah diterapkan namun dalam perjalanannya masih banyak kekurangaannya
khususnya dalam undang-undang pemberantasan
perdagangan orang. c. Masih belum adanya persamaan persepsi terhadap ketentuan yang diatur dalam UU yang berlaku. d. Identitas korban di palsukan sehingga sangat sulit untuk mencari data di Imigrasi untuk membenarkan keberangkatan korban ke luar negeri. e. Keterkaitan instansi /kepentingan-kepentingan lain sehingga menyulitkan penyelidikan (parawisata /Tenaga Kerja dan lain-lain). f. Korban berangkat secara perseorangan sehingga tidak tercatat menjadi calon TKI / TKI di BP3 TKI sehingga tidak diketahui keberadaannya. g. Keberadaan tersangka tidak diketahui sehingga proses penyidikan tidak dapat ditindak lanjuti. h. Penanganan yang tidak sama dengan pihak jaksa. Sehingga mengakibatkan berkas bolak balik (P19). 2. Kendala Non Yuridis, adalah: a. Korban tidak jujur untuk memberikan informasi guna mengungkap jaringan kasus trafficking karena merasa ketakutan /terancam.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
b. Sumber daya manusia para aparat penegak hukum belum semua mampu satu persepsi untuk menangani kasus-kasus trafficking , sehingga pelaku trafficking mendapatkan Vonis hukuman yang berat /efek jera. c. Dibutuhkan dana /biaya yang besar untuk mengungkap kasus trafficking. d. Diperlukan tempat-tempat penampungan, korban-korban trafficking selama proses penyidikan. e. Masih adanya aparat penegak hukum dan masyarakat yang belum responsif terhadap korban trafiking. f. Dibutuhkan Reintegrasi/pemulangan korban-korban trafficking
kedaerah
asal. g. Pembekalan kepada para korban trafficking sehingga sesampainya di daerah asal dapat berdaya guna, misalnya, siapa yang bertanggung jawab kepada hal tersebut. h. Korban dan keluarga yang mudah dipengaruhi oleh pelaku untuk tidak melanjutkan perkara. i. Korban merasa tabu untuk mengungkap/melapor karena dianggap masalah keluarga/domestik. j. Masih tingginya budaya patriarkhi di masyarakat dan menetapkan anak dan perempuan sebagai masyarakat kelas 2 dan tidak perlu dipertimbangkan pendapatnya. k. Masih banyaknya masyarakat yang belum mau menerima korban kembali ke komunitasnya. (cendrung membebankan kesalahan kepada korban).
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
l. Saksi koban masih berada di luar, atau tidak di ketahui keberadaannya, sehingga laporan pengaduan tidak dapat di tindak lanjuti/proses. m. Korban-korban trafficking, merasa trauma/ketakutan sehingga secara psikologis mental korban harus dipulihkan terlebih dahulu, baru kemudian korban dimintai keterangan oleh penyidik Polri. n. Korban tidak menghendaki kasusnya disidik. Ferina Gultom mengatakan faktor-faktor yang menghambat proses penyidikan yang dilakukan Polri dalam menanggulangi trafficking sehingga tidak lancar, sebagai berikut : 126 1. Adanya hambatan Internal, adalah: a Menyangkut vonis hukuman yang rendah yang disebabkan pembuktian yang sulit. b. Perangkat hukuman yang mengatur masih belum tegas. c. Keterkaitan kepentingan lain (Pariwisata, Tenaga Kerja dll). d. Biaya operasional yang tinggi (jemput korban diluar negeri). e. Masih adanya sikap pemerintah yang tidak tegas. f. Tip-prostitusi dianggap bukan sebagai kejahatan serius melainkan hanya tindak pidana ringan. g. Korban berangkat secara perseorangan sehingga tidak tercatat sebagai calon TKI/TKI di BP3 TKI.
126
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
h. Koordinasi dengan pihak kejaksaan. 2. Adanya hambatan Eksternal, adalah: a. Korban tidak menghendaki kasusnya disidik. b. Identitas korban dipalsukan sehingga sangat sulit untuk mencari data di Imigrasi, benarkan keberangkatan korban keluar negeri untuk mencari kerja. c. Korbannya segera pulang (dari luar daerah). d. Alamat korban tidak jelas sering berpindah-pindah. e. Korban masih tertutup karena traumanya, ancaman pelaku. f. Kesulitan atas biaya perawatan, biaya hidup dan kebutuhan akan pekerjaan (tidak ada anggaran).
C. Penanganan Perkara Kejahatan Trafficking yang dihadapi penyidik di jajaran Polda Sumut Secara menyeluruh kinerja penanganan kejahatan trafficking di Sumatra Utara dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat dan lembaga donor, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam suatu rangkaian program/kegiatan yang disusun secara terpadu dengan kebijakan secara Penal dan Non Penal. Menurut Ferina Gultom, kegiatan yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam 3 pilar yang saling berkaitan, yaitu Peningkatan kapasitas, penyadaran masyarakat dan penguatan jaringan kerja. Seluruh kegiatan diarahkan untuk upaya: pencegahan,
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
penanganan kasus /pelayanan korban (hukum, psikis dan medis), reintegrasi korban dan pasca kasus/masa depan korban, sebagai berikut : 1. Upaya-upaya yang dilakukan penyidik Polri untuk mengurangi kendala-kendala yang dihadapi dalam mengungkap kasus trafficking melalui kebijakan Penal dengan upaya, sebagaiberikut : a. Melakukan koordinasi dengan pihak SLO/LO apabila saksi korban berada di luar Negeri, sehingga korban dapat segera di antarkan di KBRI guna dimintai keterangan sehingga laporan dapat ditindak lanjuti /proses. b. Segera mengamankan barang bukti, saksi-saksi sehingga dapat membuat terang /mengungkap kasus tersebut. c. Menghubungi Lembaga Swadaya Masyarakat guna membantu penyidik Polri untuk mengamankan sementara korban selama masih dalam proses penyidikan. d. Koordinasi dengan Rumah Sakit Bhayangkara untuk melaksanakan visum dan membantu memulihkan kondisi kesehatan korban. Menyiapkan SDM Polri agar memahami dengan benar cara teknis, Etis dan Yuridis dalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang, dengan mengikuti kursus-kursus, seminar dan lain-lain sehingga menumbuhkan kesadaran arti pentingnya tindakan pencegahan dan dampak dari kejahatan trafficking . e. Koordinasi dengan pihak jaksa, sehingga kasus tindak pidana perdangangan orang dapat diteruskan sampai kepersidangan dan tersangka mendapatkan hukuman yang berat. f. Adanya dana penyidikan yang cukup untuk mengungkap kasus-kasus trafficking . g. Kerja sama dengan instansi terkait sehingga kasus-kasus perdangan orang dapat diminimalisir /diberantas. h. Memberikan pelatihan-pelatihan/kursus-kursus kepada korban-korban trafficking sehingga dapat memecahkan akar permasalahan yang diambil yang menjadi faktor penyebab terjadinya kasus perdagangan orang yakni faktor kemiskinan atau ekonomi. i. Hakim berani untuk memberikan vonis hukuman yang berat kepada pelaku / Trafficer untuk mengurangi tindak pidana perdagangan orang. j. Melakukan razia ketempat-tempat yang diduga rawan, terjadinya kasus trafficking . k. Melakukan operasi trafficking In Person sejajaran Polda Sumut. 127
127
Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
2. Upaya yang dilakukan dalam rangka pencegahan dengan kebijakan Non Penal secara Preventif, antara lain: a. Penerbitan Peraturan Daerah No. 5 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak. b. Penerbit Peraturan Daerah No. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking ) Perempuan dan Anak. c. Penerbit Peraturan Gubernur No. 24 tahun 2005 tentang rencana aksi penghapusan perdagangan (trafficking ) Perempuan dan anak d. Sosialisasi Peraturan Daerah tersebut dan Peraturan yang berkaitan seperti prosedur bekerja di luar negeri, dil kepada aparat dan masyarakat. e. Sosialisasi dan kampanye trafficking ke dan melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, orang Organisasi kemasyarakatan/LSM dan masyarakat luas secara langsung atau tatap muka. f. Penyebarluasan informasi melalui leaflet dan postersi. g. Dialog inter aktif baik langsung maupun melalui radio dan televisi. h. Publikasi di berbagai even dan media, baik langsung maupun mendorong insan pers untuk melakukannya melalui himbauan, pelibatan, pendekatan personal hingga perlombaan. i. Membuat pola koordinasi penanganan trafficking dan mengimplementasikannya. j. Membentuk dan mengoprasikan Tim pengarusutamaan Gander dan Tim Pengendalian Pemberangkatan dan pemulangan TKI. k. Melakukan rapat-rapat koordinasi antar stakehorlders/anggota Tim dalam rangka upaya pencegahan, termasuk dalam peningkatan pemeriksaan dan proses dokumen dan keberangkatan. l. Melakukan kerja sama kegiatan dan memperkuat sinergitas serta penyamaan persepsi dalam upaya pencegahan. m. Mendorong kabupaten/kota dan pihak berwenang dalam pembantuan aktivitas keluar masuk orang/barang baik pada jalur-jalur resmi maupun tidak resmi/tradicional, terutama pada sepanjang Pantai Selat Malaka. n. Memperluas jaringan kerja keluar daerah/negara untuk koordinasi, konsultasi dan kerja sama . o. Melakukan kegiatan penembangan keterampilan/pelatihan bagi anak/remaja putus sekolah p. Meningkatkan kegiatan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan usaha makro dan kecil serta upaya peningkatan angka partisipasi sekolah q. Upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan kasus/pelayanan korban antara lain: 3. Upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan kasus/pelayanan korban antara lain: a. Penegakan hukum (pemindahan pelaku; penyelamatan, perlindungan dan pedampingan korban). b. Pelayanan bantuan hukum, psikologis dan medis
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
c. Perlindungan dan pengampunan sementara. d. Pelatihan /simulasi penanganan korban bagi stakeholders/anggota Tim e. Sosialisasi, seminar, kampanye, konfrensi, dll, guna mengajak partisipasi masyarakat dan semua pihak untuk menanggulangi masalah trafficking (melaporkan, membantu aparat, membantu korban dll). f. Melakukan koordinasi antar stakeholdrs dalam dan luar daerah/negara dalam upaya penanganan kasus dan pelayanan korban. 4. Upaya yang dilakukan dalam rangka reintegrasi korban, antara lain: a. Penguatan terhadap korban . b. Sosialisais kepada masyarakat dalam rangka upaya penerimaan korban kembali ke masyarakat/keluarga. c. Pendekatan terhadap keluarga korban untuk kesiapan keluarga untuk menerima korban kembali. d. Melakukan pemulangan korban kedaerah asal/keluarga. e. Melakukan kerja sama antar stakehholders dalam upaya reintegrasi korban 5. Upaya yang dilakukan dalam rangka penataan masa depan korban, antara lain: a. Pelatihan keterampilan bagi korban. b. Bantuan modal usaha /peralatan. c. Melakukan koordinasi dan kerja sama dalam upaya membantu korban untuk menata kehidupannya. 128 Kegiatan-kegiatan tersebut diatas semuanya telah dilakukan, namun belum mampu menjangkau semua masyarakat dan semua korban, karena keterbatasanketerbatasan yang ada terjadi diberbagai bidang, baik SDM maupun dana, sarana dan prasarana. Oleh karena itu Propinsi Sumatra Utara terus berupaya mengembangkan jaringan lebih luas lagi agar dapat melakukan kegiatan penanganan trafficking dengan lebih luas pula. 129 Diantaranya kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcemen policy) harus mampu menetapkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif 128
Sabrina, Upaya Pemerintah Propinsi Sumatra Utara Dalam Pencegahan Dan Penanggulangan Trafficking in Person. (Medan: Biro Pemberdayaan Perempuan serta Propsu, 2007), hal 7-9 129 Ibid.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangan penting karena menurut
G. Pieter Hoefnagels bahwa
kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat dari reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh Sebagai kebijakan ini termasuk (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designating human behavior as crime)
130
Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa penggunaan hokum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and punishment mass media). 131 Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara Pertama, kebijakan Penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application”. 130
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non –Penal Policy dalam Penaggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan : Pustaka Bangsa Press 2008), hal 17 131 Ibid. hal 17
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass media)”. Pendekatan integral antara Penal dan Non Penal
dalam penanggulangan
kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum pidana semata mempunyai berbagai keterbatasan. Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum yakni: 132 a. Sisi hakikat berdimensi sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh berbagai factor yang kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Jadi, hukum pidana tidak akan mampu melihat secara mendalam tentang akar persoalan kejahatan ini bila tidak dibantu oleh disiplin lain. Untuk itulah hukum pidana harus terpadu dengan pendekatan sosial. b. Keterbatasan hukum pidana dapat dilihat dari hakikat
fungsinya hokum
pidana itu sendiri. Penggunaan hukum pidana hakikatnya hanya obat sesaatsebagai penanggulangan gejala semata (kurieren am symptom) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Dalam konteks ini, hokum pidana befungsi setelah kejahatan terjadi. Artinya hokum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan itu sendiri yang berdiam ditengah kehidupan masyarakat.
132
Ibid, hal 18
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Sanksi hukum pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk memberantas sumber penyakit (kejahatan), tapi hanya sekedar untuk mengatasi gejala atau akibat dari penyakit tersebut. Dengan kata lain, sanksi hukum pidana bukanlah suatu pengobatan yang kausatif, tetapi hanya sekedar pengobatan yang simptomatik. Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan kembali. Namun, tujuan ini terkadang mengalami kegagalan, sehingga terkadang pelaku justru menjadi resedivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu butuh pendekatan social di samping penerapan sanksi pidana. Keterbatasan
pendekatan Penal dalam upaya penanggulangan kejahatan
seperti dikemukakan di atas, harus di ikuti dengan pendekatan non Penal, yang dapat berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media). Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur Non Penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya suatu kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menanangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang setrategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan. 133 Penanganan kasus Perkara trafficking
di Polda Sumut, biasanya korban
trafficking setelah dilakukan Penyidikan 134 dan visum, di arahkan di Biro Pemberdayaan Perempuan SETDAPROVSU, dengan perlindungan yang diberikan : a. Pelayanan kepada korban, termasuk perlindungan identitas korban. b. Pelayanan pendamping dalam rangka mengungkapkan pandangan dan kepentingan korban agar dapat turut dipertimbangakan oleh pengadilan. c. Upaya pemulihan fisik, psikologi dan sosial korban, termasuk didalamnya penyediaan pelayanan kesehatan, konseling, psikologis dan materiil, pelatihan dan pendidikan, sesuai umur dan jenis kelamin korban. Terhadap anak-anak secara khusus dengan memperhatikan pemeliharaan dan pendidikan. 133
Ibid, hal 19 Pasal 7 KUHAP : (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 106 KUHAP : Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. 134
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
d. Upaya keselamatan fisik korban dan pemulangan korban ketempat wilayah domisili asalnya dengan mempertimbangkan status tuntutan hukum yang diajukan berkenaan dengan kondisinya sebagai korban trafficking. Hal ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Gubenur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak. Untuk pembiayaan penyuluhan dan biaya pemulangan korban dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 7 angka 1 dan 2). Dalam melaksanakan penanganan korban, adanya koordinasi 135 antara Biro Pemberdayaan Perempuan SETDAPROVSU dengan Polri sebagai Unit Pelayanan Perempuan yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan. 136 Dalam menyelenggarakan fungsinya Unit Pelayanan Perempuan memberikan perlindungan hukum, penyelidik dan penyidik Polri tindak pidana kejahatan trafficking, dengan lingkup kerjanya meliputi tindak pidana terhadap perempuan dan anak yaitu perdagangan orang, penyeludupan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, susila, perjudian dan prostitusi, adopsi ilegal, pornografi, porno aksi, masalah-masalah perlindungan anak, perlindungan korban, saksi, keluarga dan teman serta kasus-kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan anak. 135
Peraturan Kapolri Nomor “ 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya disingkat Peraturan Kapolri Unit PPA. Pasal 10 : dalam melaksanakan tugas, Kanit PPA wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik antar satuan organisasi lain yang terkait dengan tugasnya. 136 Pasal 3 Peraturan Kapolri Unit PPA.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Kasus trafficking
kkususnya perempuan dan anak-anak di Sumatera Utara
(Sumut) setiap tahun mengalami peningkatan karena kesadaran masyarakat akan bahaya trafficking masih rendah. Kasus trafficking tetap meningkat meskipun Sumut gencar melakukan advokasi dalam penanganan trafficking dan perangkat hukum yang disahkan untuk mencegah tindakan trafficking. Perangkat hukum yang telah ada antara lain UUPTPPO, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Sumut No 5 Tahun 2004 tentang larangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, Peraturan Daerah No 6 Tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak, serta pengesahan rencana aksi provinsi Sumut untuk penghapusan perdagangan perempuan dan anak (RAP.P3A) dengan peraturan gubernur No 24/2005. Pengesahan ini juga diikuti dengan pembentukan gugus tugas provinsi sebagai pelaksana rencana aksi, yang merupakan kolaborasi dari unsur pemerintah, Polri (aparat penegak hukum), akademisi dan lembaga swadaya masyarakat,”
semua
instansi terkait memegang komitmen yang kuat untuk melaksanakan RAP.P3A sesuai dengan tupoksi lembaganya masing masing, serta melakukan evaluasi terus menerus terhadap kinerja yang dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi korban trafficking dan meminimalkan jatuhnya korban. 137 Dari berbagai kasus trafficking yang diperkirakan sudah terjadi di Indonesia sejak tahun 1993 itu, umumnya para korban tergiur dengan beragam janji yang ditawarkan mulai janji pekerjaan dengan gaji lumayan besar sampai pada penculikan. 137
www.beritasore.com, Kasus Trafficking di Sumut meningkat, diakses tanggal 21 Mei 2009.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Umumnya para korban baru menyadari bahwa mereka ternyata adalah korban perdagangan manusia setelah mendapat perlakuan kasar dan diekploitasi sedemikian rupa. Para korban setelah berada dalam cengkeraman mafia umumnya dipaksa menjadi pelacur sehingga tak heran para korban trafficking menempuh berbagai cara untuk meloloskan diri, termasuk melakukan aksi nekad bunuh diri. Munculnya beragam kasus trafficking tidak terlepas dari kemiskinan serta keadaan ekonomi yang ditandai dengan sulitnya mencari lapangan kerja di tanah air. Apalagi sebagian besar korban trafficking itu adalah kaum perempuan yang umumnya berlatar belakang pendidikan rendah. Akibat sulitnya mencari kerja serta ketiadaan pekerjaan sehingga para korban sangat mudah tergiur dengan bujuk rayu dan iming-iming para calo. Selain itu para korban mudah terjebak karena kurangnya penerangan aparat terkait prihal kasus-kasus perdagangan manusia. Akibatnya para “pencari mangsa” dengan beragam tipu daya berhasil membujuk korban untuk dibawa ke berbagai tempat penampungan sebelum diserahkan kepada mafia penyalur, bukan saja berasal dari luar negeri termasuk pula mafia perdagangan manusia yang ada di dalam negeri sendiri. Mengingat berbagai kasus trafficking akan terus muncul, sehingga tidak ada salahnya pemerintah untuk kembali mengevaluasi sudah sampai sejauh mana peranan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) benar-benar melakukan tugasnya sebagai agen penyalur tenaga kerja, khususnya perempuan. Begitu pula pengiriman Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri, sudah perlu dievaluasi dan memperketat pelaksanaannya dari tenaga kerja kasar menjadi tenaga kerja terdidik melalui pengawasan ektra ketat
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
sampai para Tenaga Kerja Wanita benar-benar berada di tempatnya bekerja. Kurangnya pengawasan di kantor imigrasi maupun tempat perizinan pekerjaan, sehingga dapat mempermudah segala tindakan pelaku untuk dapat melaksanakan kejahatannya, hal ini dapat memunculkan kejahatan trafficking. Polri sebagai Aparat penegakan hukum dalam menanggapi hal ini selalu berupaya mementingkan perlindungan si Korban dan memproses tindakan kejahatan trafficking . Penanganan perkara yang di tindak lanjuti pada proses penyidikan terhadap pelaku dan korban trafficking, banyak ditangani Polri, tetapi pada kenyataannya Korban melarikan diri dari konseling atau pun perlindungan di Biro Pemberdayaan Perempuan, dikarenakan tidak ingin di ketahui jati dirinya. Korban juga untuk melaporkan tindak kejahatan trafficking masih malu atas kejadian yang menimpa dirinya. Berdasarkan data di jajaran Polda Sumut Penangan Perkara Kejahatan trafficking yang dihadapi penyidik Polri sebagaiberikut: Tabel 1 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2005
No.
Wilayah Kerja
Jumlah Kasus Trafficking
1
Dit. Reskrim
2
2
Polres Asahan
2
3
Polres Tanjung Balai
6
Jumlah
10
Sumber data : Sekunder
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Dari tabel di atas maka terdapat 10 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2005, yakni : 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim, 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 6 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Tanjung Balai. Tabel 2 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2006 No.
Wilayah Kerja
Jumlah kasus Trafficking 10
1
Dit. Reskrim
2
Poltabes
3
Jumlah
13
Sumber data : Sekunder Dari tabel di atas maka terdapat 13 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2006, yakni : 10 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim, 3 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Poltabes.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Tabel 3 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2007 No.
Wilayah Kerja
1
Jumlah Kasus Trafficking 11
Dit Reskim Polda Sumut 2
1 Polres Binjai
3
2 Polres Asahan
4
4 Polres Tanjung Balai
5
1 Polres Sibolga
6
1 Polres Tobasa
7
1 Polres Nias Jumlah
18
Sumber data : Sekunder Dari tabel di atas maka terdapat 18 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2007, yakni : 11 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim Polda, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Binjai, 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 4 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Tanjung Balai, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Sibolga, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Tobasa, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Nias.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Tabel 4 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2008 No.
Wilayah Kerja
Jumlah Kasus Trafficking 11
1
Dit Reskim Polda Sumut
2
Poltabes
4
3
Polres Deli Serdang
1
4
Polres Binjai
1
5
Polres Langkat
2
6
Polres Asahan
3
7
Polres Simalungun
2
8
Polres Tanjung Balai
1
Jumlah
25
Sumber data : Sekunder Dari tabel di atas maka terdapat 25 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2008, yakni : 11 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim Polda, 4 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Poltabes, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Deli Serdang, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Binjai, 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Langkat, 3 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 2 kasus trafficking
di daerah satuan wilayah Simalungun, 1 kasus
trafficking di daerah satuan wilayah Polres Tanjung Balai.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Tabel 5 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Secara Kumulatif Tahun 2005-2008 No.
Tahun
Kasus Trafficking
Persentase
1
2005
10
15,2
2
2006
13
19,8
3
2007
18
27,2
4
2008
25
37,8
Jumlah
66
100
Sumber data : Sekunder Dari tabel di atas jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun, Pada tahun 2005 terdapat 15,2 % trafficking , Pada tahun 2006 terdapat 19,8 % trafficking , Pada tahun 2007 terjadi peningkatan 27,2 % trafficking , Pada tahun 2008 terdapat 37,8 % trafficking . Pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 jumlah kasus trafficking terus meningkat di wilayah sumatera utara. Pada kenyataannya kasus perkara trafficking banyak terjadi, tetapi karena kurangnya bukti-bukti dan pelaku/Traficker yang sulit ditemukan. Sehingga penangan kasus trafficking di Polda Sumut sedikit. Korban yang tidak mau di ekspos dan tidak mau melaporkan kejadiannya yang dihadapinya. Meskipun demikian perlindungan hukum terhadap korban trafficking, yang diberikan Polri. Melalui tugas dan kewenangannya yaitu memberi pelayanan, ketertiban dan proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri, dengan juga Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
(Tipidum) Direktorat Reskrim Polda Sumut dan adanya saling koordinasi antara biro Pemberdayaan Perempuan. Untuk menindak lanjuti proses penyidikan terhadap korban trafficking dan upaya memberikan pelatihan, penyuluhan dan pemulangan korban trafficking . Kasus-kasus Kejahatan trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumut, pada umumnya terjadi dengan modus operandi yang berbeda-beda, adapun modus operandi tersebut dapat berupa: 1. Dengan janji-janji yang diberikan pelaku pada korban. Kisah korban penipuan ini di ceritakan oleh
Erna, 21 dan Dhea 25 dari
Purwokerto Jawa Tengah, dua gadis korban trafficking yang dipaksa menjadi budak di rumah mesum, tak kuat menceritakan kisah kelamnya. Keduanya baru saja terbebas dari dunia yang membelenggu mereka sejak empat tahun silam. Erna kemudian menceritakan bagaimana awalnya ia bisa terdampar di Medan. Layaknya remaja yang tumbuh di kota terbelakang, ia berharap mencari pekerjaan mapan di kota. Lalu datang tawaran dari seorang bernama Ahmad. Ia menawari Erna dan Dhea, bekerja di sebuah rumah makan di Sumatera. Sesampai di Medan, bukan pekerjaan, melainkan bencana yang menghampiri mereka. Mulyanto, bos Zaenal dan Ahmad tiba-tiba membebani Erna dan Dhea dengan utang besar. Dua gadis itu divonis berhutang sebesar Rp 3,5 juta dari uang kendaraan. Imbasnya, mereka harus bekerja
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
untuk Mulyanto di barak yang dijadikan tempat lokalisasi pelacuran. Kasus ini baru ketahuan setelah aparat kepolisian Medan menggerebek tempat pelacuran tersebut. 138 Modus operandi pemberian janji juga terlihat dalam kasus-kasus: 1. Anak-anak yang dibujuk dan dirayu dengan diberi makanan /pakaian serta diajak pesiar oleh orang asing . 139 2. Janji kepada orang tua bahwa anaknya akan disekolahkan dan di pelihara. 140 3. Dijanjikan bekerja sebagai TKW/TKI. 141 4. Menjanjikan pekerjaan tanpa harus melamar. 142 5. Dijanjikan akan memperoleh gaji dan fasilitas yang menarik. 143 6. Anak yatim piatu pengungsi dijanjikan untuk memperoleh pekerjaan. 144 7. Para korban dijanjikan menjadi duta misi kesenian. 145 8. Menipu istrinya dengan menawarkan pekerjaan. 146 Para korban mengungkapkan bahwa sebelum diberangkatkan pun mereka sudah mengalami kondisi yang buruk di tempat-tempat penampungan. Di tempat-tempat, mereka bukan diberi keterampilan, tetapi justru sebagian sudah diekploitasi untuk bekerja tanpa upah dengan kondisi hidup yang sama sekali tidak layak. 147
138
Kasusnya masih ditangani Polri bulan Maret 2009. Forum Keadilan, 4 November 1996. 140 Ibid 141 Solidaritas Perempuan, (lembaga advokasi Buruh Imigran Indonesia), HAM dan praktik, panduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak. 142 Ibid. 143 Ibid. 144 Ibid. 145 Republika, 7 Agustus 2000. 146 Pikiran Rakyat, 23 Juli 2002 147 Gatra 10 oktober 1998, Tenaga Kerja Wanita Bagai Romusha ke Malaysia; 139
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
Selain modus operandi diatas, penggunaan kekerasan/paksaan dalam rangka trafficking terlihat dalam kasus-kasus dibawah ini: 1. Istri yang dipaksa dan diancam suaminya untuk melacurkan diri demi memenuhi kebutuhan keluarga karena suaminya pengangguran dan tidak mau bekerja. 148 2. Dipaksa ayah untuk bekerja sebagai PSK. 149 3. Mencari remaja yang sedang belanja di pusat perbelanjaan. 4. Menghipnotis korban dan membawanya ke tempat pelacuran. 150 5. Membelinya dari orang tua atau pihak lain. 151 6. Sebagai alat pembayaran utang orang tua 152 7. Korban di culik. 153 Perlindungan hukum yang diberikan Polri kepada korban trafficking, dalam proses penanganan kasus sebagaiberikut: 154 1. Meliputi penanganan /penegakan hukum dan pencegahan, dimulai dari awal penerimaan laporan dari korban/keluarga korban, lalu memproses serta menindak lanjuti pengaduan tersebut sehingga tersangka mendapat vonis yang berat dari hakim.
148
Ibid, Salinan Putusan PN Jakarta Selatan (No. 378/Pid/s/1994/PN-Jak-Sel), Republika, 1 Mei
2000 149
Media Indonesia, Juli 2000 Media Indonesia, 7 Oktober 2000 151 Kompas 28 September 2002 152 Suara Pembaharuan, 2 Oktober 2002 153 Media Indonesia, 18 Oktober 2000 154 Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut. 150
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
2. Polri selama melakukan penyelidikan dan pembuktian kasus trafficking bekerja sama dengan LSM-LSM yang memiliki rumah aman /shelter guna menitipkan korban trafficking untuk sementara sambil menunggu proses penyelidikannya selesai.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN C. Kesimpulan 1. Kewenangan
Polri dalam menangani kasus-kasus trafficking masih terbatas
wilayah kerja mengingat hanya sebagai penyidik Polri yang menerima laporan dan aduan dari korban ataupun masyarakat/lembaga swadaya masyarakat dan keluarga korban, dari penangan perkara yang dihadapi Polri dengan Pelayanan Polri kepada korban trafficking dengan menyediakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum (Tipidum) Direktorat Reskrim Polda Sumut. Polri sebagai penyidik
Polri untuk mencari bukti-bukti dan
menemukan Pelaku/Trafficker. 2. Kendala-kendala yuridis dan Non yuridis yang di hadapi Penyidik Polri untuk Menanggulangi Kejahatan trafficking di jajaran Polda Sumut, berupa: Pertama, Kurangnya alat-alat bukti (sesuai pasal 184 KUHAP) seperti misalnya: Paspor, saksi-saksi yang tidak mau hadir, sehingga belum cukup unsus pasal yang dipersangkakan; kedua, Belum Belum tersosialisasikannya dengan baik terhadap: Pasal 53, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana pemerintah bertanggung
jawab
untuk
memberikan
biaya
pendidikan,
tetapi
pada
kenyataannya hal ini tidak semuanya terealisasi, sehingga orang tua yang tidak mampu menjual anaknya pada calo-calo untuk dijual keluar negeri, Pasal 9, UU No. 13 Tahun 2006 tentang ketenagakerjaan, dimana
pemerintah kurang
memberikan pengawasan kepada Pusat ketenagakerjaan atas tindakan dan
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
perbuatan mereka, selama ini pemerintah hanya memberikan izin tempat pelatihan maupun untuk bekerja. Meskipun UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Perdagangan orang, telah diterapkan namun dalam perjalanannya masih banyak kekurangaannya khususnya dalam undang-undang pemberantasan perdagangan orang. ketiga, Sulitnya alat bukti terutama bagi korban kekerasan seksual ataupun trafficking ke luar negeri, jika kasusnya akan diproses secara hukum; keempat, Masih adanya aparat penegak hukum dan masyarakat yang belum responsif terhadap korban trafficking, kelima, Masih belum adanya persamaan persepsi terhadap ketentuan yang diatur dalam UU yang berlaku. Kelima, Korban berangkat secara perseorangan sehingga tidak tercatat menjadi calon TKI / TKI di BP3 TKI sehingga tidak diketahui keberadaannya; Keenam, Penanganan yang tidak sama dengan pihak jaksa. Sehingga mengakibatkan berkas bolak balik (P19). D. Saran 1. Hendaknya Polri bekerjasama dengan polisi luar negeri untuk pengawasan para pelaku ketika membawa calon-calon Tenaga kerja Indonesia, agar dapat mengurangi penjualan perempuan dan penjualan anak, dan juga saling koordinasi antara Polri dan Pihak Imigrasi dalam proses pengawasan untuk pelaksanaan perizinan keimigrasian orang-orang asing maupu warga negara Indonesia. 2. Hendaknya dalam menangani kasus-kasus trafficking Polri dapat bertindak cepat, untuk menyidik Polri dan saling koordinasi dengan Jaksa, agar tidak terjadi berkas bolak-balik (P19)
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
DAFTAR PUSTAKA 1. Buku-buku Bungi, Burhan, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 53. Fajri, Em Zul dan Ratu Aprialia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta : Difa Publisher), hal. 565. Harkrisnowo, Harkristuti, Laporan Perdagangan Indonesia, (Jakarta: Sentra HAM UI,2003), hal.2. Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, ( Jakarta, 2005). Komisi Nasional Perlindungan Anak, Beberapa isu Hukum Kejahatan Perdagangan Orang. Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977). Mulyadi, Mahmud, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Polisy dan Non Penal Policy Dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasaan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008). Moleong, Lexy. J, Metode Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004). Sapardjaja Komariah Emong, , Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002). Santoso, Topo dan Eva Achjani zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001). Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, UI Press, 1981). Subagyo, Joko. P, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997). Surakhmad, Winarno, Dasar Dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978). Suparlan, Parasudi, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian 2004).
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
2. Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Undang-undang No. 9 tahun 1992 , Tentang Keimigrasian. Undang-undang No. 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang No. 2 Tahun 2002, Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-undang No. 181 Tahun 1998, Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Undang-undang No. 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. Undang-undang No. 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Perdagangan orang (trafficking) . Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk Terburuk Bagi Anak. Peraturan Gubenur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak. Peraturan Kapolri Nomor: 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Polri.
3. Internet www.hrw.org.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan mengenai Perdagangan Manusia (Bagian III), 8 Maret 2009. www.Usembassyjakarta.go.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai Perdagangan Manusia, diakses pada tanggal 9 Maret 2009. www.antaraInternasionaltelusuritraffickingdi Indonesia.go.htm, International telusuri Trafficking di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2009.
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009
www.journalperempuan.com, Kendala Dana Selalu Dijadikan Alasan Polisi untuk Menangani Kasus Trafiking, diakses pada tanggal 7 Maret 2009. www.id.wikisource.org, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, diakses pada tanggal 7 diakses pada tanggal Maret 2009. www.id.wikisource.org, Penghapusan Perdagangan Orang di Indonesia, diakses pada tanggal 7 Maret 2009. www.beritasore.com, Kasus Trafficking di Sumut meningkat, diakses tanggal 21 Mei 2009. www.isiindonesia.com/community-policing.html, tanggal 16 Juni 2009.
Community
Policing,
diakses
Rauli Siahaan : Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking ), 2009