Putri Erica dengan menggunakan jubah berkerudung hitamnya berlari menembus gelap dan lebatnya hutan. Hujan mulai rintik-rintik membasahi jubahnya. Dia berusaha mengatur nafas, sambil berjalan cepat. Dengan lentera ditangannya, dia berusaha menemukan sebuah rumah sang penyihir, yang sudah terkenal didaerahnya. Akhirnya setelah sampai dipertengahan hutan, ia berhenti- dan memandang sebuah gubuk tua yang remang-remang hanya diterangi oleh lentera kecil diatas jendelanya. Erica menaiki tangga lalu membuka kerudungnya, dan menyurutkan api yang ada dilenteranya. Diletakannya lentera itu dilantai, lalu dia mengetuk pintu gubuk tersebut. Sekali, dua kali- tidak ada yang membuka. Begitu yang ketiga, pintu dibukakan. Seorang nenek tua dengan pakaian gelapnya memandang datar wajah Erica yang terkejut. “ Selamat malam, Putri Erica—“ sapa penyihir itu sambil tersenyum sinis kearah Erica yang nampak ketakutan. Erica tidak menyahut apa-apa, dia mempersilahkan Erica masuk, lalu menutup pintu. Erica memandang sekeliling ruangan gelap tersebut. Penuh pernak-pernik jaman dahulu dan banyak sekali buku-buku. Penyihir itu duduk disofa besarnya sambil melipat tangan, seakan tahu Erica ingin bercerita apa dan apa yang dia lakukan disini. “ Well, kau tahu aku mau apa kesini..” kata Erica berdiri didepannya, tidak duduk dan tidak bergerak “ Yep- bahkan aku sudah mempersiapkan apa yang kau butuhkan..” penyihir itu bangkit berdiri lalu berjalan dengan cepat kedalam, lalu keluar lagi sambil membawa sebotol kecil cairan hijau ditangannya. Erica melihat botol yang disodorkan itu kepadanya, “ Kau mau aku minum itu?” tanya Erica dengan mimik jijik sambil menunjuk botol yang penyihir itu sodorkan kearahnya. “ Hanya ini caranya, sweetie—kau mau hidup bahagia dengan kekasihmu, bukan?” tanyanya. Erica menghela nafas. Ia berusaha menahan air mata mengingat kekasihnya yang sudah tewas itu. Cinta sejatinya. Erica mengepalkan kedua tangannya dengan sepenuh tenaga lalu mengambil botol kecil itu dari tangan si penyihir. Penyihir itu tampak puas sang putri percaya padanya. “ Minumlah, Erica—“ ujarnya melewati Erica yang masih ragu mencium-cium aroma dari cairan tersebut dan seperti ingin muntah, dia buru-buru menutup mulutnya. Penyihir itu duduk kembali di sofa-nya. “ Kau berjanji, aku dan dirinya akan bahagia selamanya? Dia akan hidup lagi?” tanya Erica “ Percayalah, Erica…” katanya berusaha meyakinkan sang putri. Erica akhirnya menutup mata dan hidungnya, lalu menenggak habis botol tersebut lalu dia batuk-batuk dan menutup mulutnya, menahan supaya tidak muntah. “ Bagus-“ ujar sang penyihir. Erica berusaha mengatur nafasnya lalu memandang sang penyihir tersebut. “ Duduklah, Erica- kau mau aku buatkan makanan?” Erica menghela nafas dan dia duduk disebelah sang penyihir. Erica menggeleng. “ Kau benar-benar yakin- aku bersumpah, jika ramuanmu ini tidak bisa membangkitkan Liam—“
“ Tenang saja, aku sudah berkali-kali membangkitkan orang mati—dan aku yakin, kekasihmu pasti akan kembali, dan kalian akan hidup bahagia, selamanya…” ujar sang penyihir, Erica mengangguk-angguk. “ Kue? Atau teh, Putri Erica?” tanya sang penyihir. Erica menghela nafas. “ Teh- aku merasa mual..” jawabnya sambil memegang tenggorokannya yang terasa gatal. “ Aku akan segera kembali—“ sang penyihir itu meninggalkan Erica sendirian diruangtamunya. Sang penyihir itu membuatkan teh dengan sedikit gula, begitu dia sampai diruang tamunya lagi, dia menemukan Erica sudah tertidur, dan penyihir itu tersenyum- tapi tidak sepenuhnya. Dia menaruh teh itu diatas mejanya lalu menyingkap rambut Erica, dia sudah tidak bernyawa. Penyihir itu menghela nafas. “ Maafkan aku, Erica—“ katanya sambil mengusap rambut Erica yang panjang sebahu. “ Tapi aku tidak bohong, kau akan bertemu lagi dengan kekasihmu…..“ ujarnya tersenyum. “ Di lain waktu—“ * “ Daaaaan, ini jadwal kelasmu semester ini—“ seorang bagian dari tata usaha memberikanku bertumpuk tumpuk kertas dan buku untuk hari pertamaku masuk sekolah disekolah baru. Aku mengucapkan terimakasih lalu memasukkan semua buku kedalam tasku lalu mengecek jadwal pertamaku hari ini. Geografi. Aku menghela nafas. “ Here we go—“ aku menggumam sendiri lalu mencari kelas bertuliskan 204. Rupanya digit pertama menunjukan lantai dan dua digit terakhir menunjukkan ruangan kelas. Begitu sampai dikelas tersebut, aku menghela nafas lagi. Oh no. sudah banyak orang disana. semuanya memperhatikanku masuk kedalam dan berjalan menuju kursi kosong dibelakang. Aku benci menjadi murid baru. Apalagi saat masa sma- senior. Ini gara-gara ayahku yang harus berpindah tempat kerja ditahun terakhir aku akan lulus. Menyebalkan harus beradaptasi dilingkungan baru. Aku duduk dipaling pojok belakang, jauh dari kerumumanan anak-anak yang asik bercerita dan berkumpul. Beberapa gadis berpakaian cheerleader, yang langsung bisa kutebak sebagai ‘penguasa’ sekolah ini terkikik sambil sesekali melihat kearahku. Aku membuang muka dan melihat kearah lain. Disisi lain aku melihat sekumpulan anak lelaki berbadan kekar. Bisa kutebak mereka anggota klub football. Mereka saling tertawa-tawa dan sesekali melihat kearah para gadis cheerleader. Tentu saja mereka sepaket. Diantara kumpulan anak football tersebut, ada yang menarik perhatianku. Sesosok laki-laki yang sedari tadi tidak banyak bicara, hanya mendengarkan saja dan terlihat sangat datar. Rambutnya yang coklat keemasan dan matanya yang hijau- mengingatkanku pada seseorang. Dan sepertinya, aku pernah melihatnya sebelumnya. Tapi dimana ya? Sadar karena aku perhatikan, lelaki itu menoleh kearahku- lalu dia tersenyum. Bibirnya yang berbentuk aneh tapi menarik meregang membentuk senyuman yang membuatku membalas senyumnya juga. Dan setelah itu, dia kembali mendengarkan temannya berbicara- dan aku, kembali memandang sisi lainsampai bel masuk berbunyi.
* Istirahat makan siang adalah yang paling buruk. Menjadi anak baru, sendirian dan tidak punya tempat duduk membuatku ingin pulang saja dan kembali kesekolahku yang lama. Aku mengambil tray makananku yang sudah diisi oleh makanan, puding dan minuman lalu bengong dipinggir ruangan, memantau apakah ada bangku yang bisa aku duduki- hanya untuk makan saja, tidak perlu berbicara dengan orang. Aku memandang kearah kiri, ada beberapa tempat disatu meja yang berisikan hanya 2 orang lelaki, dan satu perempuan. Mereka tidak berbicara- hanya makan. Mungkin mereka bisa menyisakan tempat untukku. “ Hai- ini kosong?” tanyaku sambil menunjuk salah satu bangku yang kosong. Mereka mengangguk. “ Boleh aku duduk disini?” mereka mengangguk lagi. Aku tersenyum lalu dengan hati-hati menaruh makananku dan duduk. “ Namaku Haley- kalau kalian ingin tahu—“ ujarku. Aku memandang mereka. Tidak ada jawaban, dan mereka tidak memandangku sama sekali. Aku lalu berdehem dan memutuskan untuk tidak bicara lagi, dan mulai memakan makananku. Kafetaria hari ini ramai, seperti kebanyakan kafetaria-kafetaria disekolah-sekolah kebanyakan. Dari cara melihat meja terisi dengan berbagai macam kelompok, bisa dilihat bahwa sekolah ini terdiri dari banyak kubu. Dan aku merasa takut kalau-kalau aku akan lulus disini tanpa teman dan kelompok sama sekali, aku memandang kearah teman-teman dimejaku. “ Umm, so- siapa namamu?” tanyaku sambil menyenggol perempuan berkacamata dengan baju paling aneh yang pernah aku lihat. Dia memandangku, kikuk- diam sebentar lalu menjawab. “Reina—“ aku mengangguk dan menunggu dia bicara lebih jauh, tapi tidak. Dia tidak bicara lagi. Aku menoleh kearah sebelah Reina, kedua lelaki yang kelihatannya kembar itu, yang satu memakai kacamata dan sangat kurus- satu lagi tidak memakai kacamata, tubuhnya lebih berisi. “ Kalian kembar?” aku bertanya polos dan mereka mengangguk. “ Namaku Jake—“ ujar yang berkacamata, “ Dan ini kakakku, Luke—“ katanya memperkenalkan saudaranya. Aku melambaikan tangan, dan Luke hanya mengangguk melihatku. Oke. Mereka benarbenar kelompok paling suram yang pernah aku temui. “ Hai- Umm, disekolah ini- kalian bergabung di grup apa?” tanyaku. “ Kau tidak lihat, kami duduk disini?” Kata Reina. Aku diam. “ Ini meja untuk anak-anak yang tidak mempunyai grup—kami terbuang—“ ujarnya membuatku prihatin. “ Kalian tidak terbuang—“ “ Oh, Haley- lihatlah sekelilingmu—“ kata Jake. Aku melihat sekeliling. “ Apa menurutmu kami tidak terbuang?” tanyanya lagi, aku tidak bisa bicara. “ Well, jangan seperti itu- kalian bertiga kan berteman, selama mempunyai teman- kalian bukan kelompok yang terbuang—“ kataku. “ Hei! Aku bisa ikut kelompok kalian! Kita jadi berempat!” aku bertepuk tangan senang sendiri. Mereka memandangiku dengan bingung. “ Boleh kan?” tanyaku saat melihat ekspresi mereka. “ Kau anak baru kan disini? Aku yakin, setelah kau beradaptasi nanti- kau akan meninggalkan kami dengan kelompok lain—“ ujar Reina
“ Tidak tidak- aku janji, aku tidak akan meninggalkan kalian. Aku sungguh takut disekolah ini sendirian…” aku terdengar seperti merengek. Mereka bertiga saling tatap-tatapan. “Pleaseeeee-“ tambahku lagi. “ Baiklah- kau boleh bersama kami, kami akan melindungimu—“ ujar Reina sambil tersenyum. Aku spontan memeluk Reina yang terkejut tapi balas memelukku. “ Yey! Oke oke, kalau begitu- sehabis ini kalian kelas apa?” tanyaku, sekarang sama sekali mengabaikan sekeliling dan makananku. Begitu juga dengan mereka. “ Matematika, 302..” kata Jake “ Geografi, 804..” kata Reina. Aku mulai mencari kertas jadwalku dan mencari jadwal selanjutnya. “ Musik- auditorium..” kata Luke. Aku bersama Luke sehabis ini. “ Sepertinya, kau jadi partnerku, Luke—“ aku berkedip kearahnya dan dia tersenyum “ Oke-“ katanya lalu menengguk minumannya “ Kau dari luar kota?” tanya Reina “ Yeap. Aku kemari, ayahku ditugasi untuk bekerja disini- jadi, disinilah aku sekarang. Kau bagaimana?” “ Stuck disini sampai mati—“ jawab Reina datar membuatku tidak berbicara banyak lagi “ Kami berdua tinggal dibelakang sekolah ini—“ kata Luke. “ Ayah kami adalah tukang bersih-bersih disekolah ini dan ibu kami—“ Luke menunjuk perempuan yang sedang berdiri dibelakang tempat makanan. Aku mengangguk-angguk. “ Kami beruntung sekolah berbaik hati memberikan kami tempat tinggal dan sekolah gratis—“ lanjut Luke. “ Mereka berdua jenius—“ tambah Reina, aku mengangguk-angguk. “ Kapan- kapan, kita main kerumah kalian ya!” kataku “ Sempit. Tidak bisa banyak-banyak orang—“ ujar Jake “ Tidak apa-apa, asalkan sama-sama semuanya jadi lebih baik—“ balasku sambil berusaha membuka tutup cup puddingku. “ Bisa kalian ceritakan padaku- hal menarik apa yang biasanya terjadi disekolah ini, atau dengan kelompok-kelompoknya?” tanyaku setelah aku berhasil melepas tutup cup puddingku. “ Hmm, disana—“ Reina menunjuk meja yang penuh dengan anak-anak yang berpakaian unik dan sangat berisik. “ Mereka sekumpulan seniman- ikut klub seni dan sebagainya, asik diajak bicara- tapi sangat tidak masuk akal jika kau lama-lama bicara dengan mereka—“ lanjutnya membuatku tersenyum. “ Oke- disana, Hale—“ Luke menunjuk arah belakangku, sekumpulan anak-anak yang terlihat pintar, mejanya sangat diam walaupun mereka semua berbicara, “ Anak-anak pintar, gila teknologi dan kutu buku— aku cerdas, tapi tidak bisa bicara dengan mereka. Tidak bisa diajak bercanda..” sambung Luke. “ Boleh kutebak yang ditengah itu?” tanyaku sambil melihat kearah meja tengah yang sangat ramai sedari tadi dengan tawa dan teriakan-teriakan mereka. “ Kelompok penguasa sekolah. Jahat, populer, tidak mau bergaul dengan yang lain—“ setiap kata-kataku ditanggapi dengan anggukan setuju mereka.
“ Cheerleader dan para pemain football- adalah kombinasi paling buruk sedunia untuk jaman SMA..” gumam Luke. “ Tapi tidak semua dari mereka kasar—“ tambahnya lagi. “ Benarkah? Siapa yang harus kuwaspadai kalau begitu..” aku hanya ingin tahu mana yang jahat supaya aku bisa lebih waspada dan tidak mencari gara-gara atau berdekatan dengan mereka. Luke menundukan wajahnya mendekati meja dan berbisik, tanpa sadar- aku, Reina dan Jake juga melakukan hal yang sama, tapi mata kami sesekali memandang kearah mereka. “ Lihat perempuan yang dikuncir itu?” aku mengangguk dan memperhatikan wanita bertubuh sangat kurus, dengan seragamnya yang ketat dan roknya yang pendek- sedang menyenderkan kepalanya dibahu lelaki yang tadi aku pandangi dikelas. “ Namanya Lucy- jangan pernah berurusan dengannya. Dia jahat, melebihi sang ratu dari Putri Salju…” katanya lagi membuatku terkikik. “ Hanya dia? Ceritakan padaku sejarah yang lainnya—“ ujarku “ Kebanyakan dari mereka tidak penting, Hale. Hanya beberapa yang menonjol. Nah, kekasihnya Lucyyang ada disebelahnya, namanya Austin—“ kata Reina. Lelaki yang kupandangi itu bernama Austin ternyata. “ Dia juga jahat?” tanyaku “ Oh tidak- dia baik. Sangat baik. Sebelum bertemu dengan Lucy, kau tidak akan percaya kalau aku pernah bermain bersamanya, setiap hari sepulang sekolah—“ kata Jake, diikuti anggukan Luke. “ Semua berubah ketika dia menjadi kapten team football, dia punya Lucy- dan semua ingin menjadi temannya..” aku mendengarkan masih dengan posisi rendah, seperti yang lainnya. “ Austin anak orang kaya- ayahnya yang membangun sekolah ini—“ kata Jake lagi. “ Jadi, bisa dibilang- dia dapat teman sebanyak itu, karena dia kapten, dan karena dia kaya?” “ Dan karena dia berpacaran dengan Lucy—“ tambah Reina. Aku mengangguk-angguk. Aku kembali memandang laki laki itu. Dia masih saja bersikap kalem, dan hanya sesekali tertawa- kebanyakan mendengar yang lain bercerita, sesekali menoleh kearah Lucy dan menciumnya sekilas. Ini terjadi lagi. Austin melihat kearahku dan mata kami bertemu. Aku tersenyum kearahnya, dan dia tersenyum balik. Lucy melihat kearah Austin tersenyum, dan dia melihatku. Aku buru-buru berbalik menghadap meja dan berusaha menghabiskan makananku, sementara Reina, Jake dan Luke sudah menyelesaikan makanannya dan terlihat mengantuk. * Putri Erica genap berusia 16 tahun hari ini. Kerajaan mengadakan pesta besar-besaran. Semua bangsawan dari seluruh penjuru dunia diundang untuk merayakan hari ulangtahunnya. Erica, yang kelelahan karena terlalu banyak berdansa dan menari, duduk dikursi yang ada dipinggir-pinggir ruangan sambil melepaskan sepatunya. Dia mendesah lega saat sepatu tinggi itu terlepas dari kakinya. Erica melihat sekeliling, semuanya masih ramai berdansa dan berjoget. Dia melihat saudara perempuannya, Ashley masih asik berdansa dengan beberapa pangeran dari negeri lain. Ashley setahun lebih muda daripada dirinya. Mereka berdua sangat akrab dan selalu tidur bersama-sama setiap malam karena Erica yang takut kalau tidur sendirian.
“ Erica!” ashley mengangkat gaunnya, berjalan tergopoh-gopoh kearah Erica yang masih bertelanjang kaki bersantai. Dia menarik kursi dan duduk didepan Erica. “ Kau tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi—“ “ Pangeran tampan mengajakmu makan malam?” dia memekik dan mengangguk-angguk. “ Wow, Ashley- siapa lagi kali ini?” ujar Erica sambil tertawa. “ Oh, kau berkata seakan aku sudah bersama dengan banyak pria—“ dia mencibirkan mulutnya “ Memang—“ balasku, tapi dia tidak mengabaikan kakaknya. “ Lihat, Pangeran Teddy disana?” Ashley menunjuk lelaki bertubuh tegap yang sedang meminum minumannya, “ Dia—“ ujar Ashley, lalu mengamit tangan Erica. “ Ooooh, Erica- ini bakalan sangat asyik! Dia sungguh tampan-“ Ashley memang seperti ini kalau soal lelaki. Selalu mendapat yang terbaik, karena dia sangat cantik dan dia pandai berias. Erica terkadang iri melihatnya, dibandingkan dengan dirinya yang berulang tahun ini saja- dia masih kalah cantik. Tidak ada yang mengajaknya kencan malam ini. “ Hope you’ll happy—“ Ashley tersenyum kearah kakakknya masih dengan pipi yang merona kesenangan. “ Bagaimana denganmu, hah? Ada lelaki yang membuatmu senang malam ini?” tanya Ashley “ Jangan mengejekku, Ash- tidak ada. Semuanya sama seperti hari-hari biasa—“ katanya datar “ Oh, maafkan aku. Aku yakin, Pangeranmu akan datang sebentar lagi—dan sambil menunggu pangeranmu datang, aku akan menemui Teddy—“ lalu Ashley mencium pipi kakaknya dan pergi menemui Teddy. Erica hanya menghela nafas. Dari kejauhan, Teddy dan Ashley kembali bercakap-cakap, dan kemudian menghilang, entah kemana. Ugh, Ashley pasti akan memakai kasurku kali in- pikir Erica dalam hati. * Erica tidak tidur semalaman. Teddy dan Ashley benar-benar memakai kasurnya, sampai pagi. Dia tidak tahu harus berbicara apa. Pagi-pagi sekali saat matahari baru terbit, sang putri memakai sepatu bootnya dan berjalan menuju kandang kuda- tempat dimana dia bersembunyi kalau dia merasa sendirian. Atau saat Ashley sedang ada tamu. Wangi jerami yang terkena embun pagi menyegarkan pikiran Erica. Dia menyentuh kuda-kuda yang ada didalam kandang. “ Hei- tidur nyenyak?” Erica berbicara dengan kuda. Seorang putri berbicara dengan kuda. Tidak heran kenapa tidak ada yang mau menjadi pacarku- pikirnya. Kuda itu mendengus dan Erica tertawa. Dia menyentuh kuda yang lain lalu saat Erica menuju ditempat kuda terakhir, yang kosong tempat aku biasanya duduk diam ‘bertapa’, sang putri memekik kaget. Seorang lelaki tertidur disana. dengan pakaian seadanya dan lusuh. Dia bangun dan buru-buru menutup mulut Erica. “ Ssssssh!” katanya menarik Erica agar dekat kepadanya. Erica membelalakan matanya dan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara. “ Aku bukan orang jahat—aku hanya menumpang tidur disini—“ katanya
“ Kau mau aku percaya kepadamu? Tidak izin seperti itu dan kau bukan orang jahat?” teriak Erica. Dia menutup mulut sang putri lagi. “ Kau tidak harus berteriak—“ “ Oh, aku punya hak untuk berteriak. Ada orang asing ditempatku, kerajaan ayahku- dan kau sekarang, menyuruhku untuk diam?” Erica mendesis kearahnya, sedikit menuruti kata-katanya untuk tidak berteriak. Dia melepaskan Erica lalu mundur. “ Maafkan aku, seharusnya aku minta izin terlebih dahulu..” “ Menurutmu?” katanya kesal. Dia mengerti lalu membereskan alas tidurnya. Lalu duduk. Erica membelalakan matanya tidak percaya dia tidak langsung pergi. “ Apa?” tanyanya melihat sang putri kebingungan. “ Kau baru saja ketahuan menyelinap disini, dan kau tidak mau pergi?” kata Erica “ Kemana aku harus pergi?” “ Umm sebentar—“ Erica terlihat seperti berpikir. “ Aku tidak peduli! Keluar cepat dari sini, atau aku panggil pengawal kerajaan- hukumannya akan lebih berat—“ Lelaki itu langsung bangkit berdiri dan menengkan sang putri. “ Miss, kumohon- aku tidak punya tempat tinggal disini- rumahku baru saja terkena musibah, dan seluruh keluarga meninggal—“ ujarnya dengan mata syahdu sambil memegang kedua lengan Erica. Erica menatap wajahnya. Ada raut kasihan saat sang putri melihat wajah lelaki ini. “ Izinkan aku tinggal, beberapa hari disini—kumohon—“ katanya lagi. Erica menghela nafasnya dan melihat lelaki itu dari atas sampai kebawah. “ Baiklah—“ ujarnya, membuat pemuda itu tersenyum lega, “ Tapi kau tidak bisa selamanya tinggal disini diam-diam, kecuali kau mau bekerja diistana ayahku—“ lanjutnya lagi. “ Kau mau mempekerjakanku?” “ Aku akan bilang pada ayahku—mungkin untuk mengurus kandang ini, sudah lama jarang ada yang mengurus kandang dan kuda-kuda ini…” Erica memandang sekeliling kandang yang memang sudah kotor. “ Apapun, akan aku lakukan- asal aku bisa tinggal disini, maksudku-“ “ Aku mengerti—“ potong Erica. Mereka berdua tersenyum. “ Sekarang lepaskan aku—dan ikut aku kedalam, bicara dengan ayahku—“ katanya, lalu pemuda itu melepaskan lengan Erica. Dia langsung mengikuti Erica keluar dari kandang. “ Kau yakin ayahmu mau mempekerjakanku?” “ Ayahku sangat baik- dia pasti mau menolongmu..” “ Sama seperti kau menolongku?” tanyanya. Erica berhenti untuk menatap wajah sang pemuda yang lusuh dan kelelahan. Dia tersenyum.
“ Aku menolongmu?” “ Yeah- kau tidak mengusirku, dan kau memberiku pekerjaan—itu menolong kan?” jawab si lelaki, diikuti oleh anggukan setuju dari Erica. Mereka meneruskan perjalanan mereka menuju pintu masuk dari dapur. “ Eh, ngomong-ngomong siapa namamu?” tanya si lelaki “ Erica—“ jawab Erica sambil menutup pintu dengan hati-hati lalu menghela nafas. “ Kau?” “ Liam—“ jawab si lelaki yang sedari masuk memperhatikan sekeliling, dan saat dia menyebut namanya, dia menatap Erica sambil tersenyum. Erica merasa pipinya merona, karena senyum lelaki ini, dia hanya berdehem. “ Senang bertemu denganmu, Liam- walau pertemuan kita aneh—“ katanya diikuti oleh Liam yang tertawa. “ Senang bertemu denganmu juga, Putri Erica—“ jawab Liam “ Erica saja cukup—“ kata Erica “ Oke—“ Liam berdiri didepan Erica lalu tersenyum. “ Erica—“ katanya