Volume 15 Nomor 2 Desember 2014
ISSN: 1411-8823
Perbandingan Karakteristik Scanner Vidar Dosimetrypro Advantage dan Epson Perfectio V700 Berbasis Dosimetri Film Radiochromic EBT2 A.S. Miharja, S.A. Pawiro Perbandingan Dosis Radiasi di Permukaan Kulit pada Pasien Thorax Terhadap Dosis Radiasi di Udara dengan Sumber Radiasi Pesawat Sinar-X D. Milvita, N.L. Gemi, H. Prasetio, D.D. Kusumawati, H. Yuliati, Suyati Karakterisasi Masker Termoplastik Sebelum dan Sesudah Radiasi Y. Nurhamiyah, Dr Ariadne L. Juwono Ph.D, Prof Dr. Djarwani S. Soejoko Karakterisasi Material Bahan Fiksasi A. Ramadhan, A.L. Juwono, D.S. Soejoko Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan K+p K. Trisnayadi Asimetri Isospin pada Materi Quark A.I. Qauli, A. Sulaksono Bound State Solution of Dirac Equation for Scarf Potential with New Tensor Coupling Potential for Spin and Pseudospin Symmetries Using Nikiforov-Uvarov Method U.A. Deta, A. Suparmi, C. Cari Tortuositas pada Model 3D Batuan Berpori Firmansyah, S. Feranie, F.D.E. Latief, P.F.L. Tobing Sifat Magnetik Sedimen Sungai sebagai Indikator Pencemaran (Studi Kasus: Sungai Citarum Kabupaten Karawang) K.H. Kirana, D. Fitriani, E. Supriyana, E. Agustine Karakterisasi Reservoar Batupasir pada Lapangan “SG” Menggunakan Inversi Acoustic Impedance (AI) dan Elastic Impedance (EI) F. Akbar, S. Rosid Penyesuaian Kurva Model Dinamis Landau-Khalatnikov Pada BZT M. Hikam, Septian Rahmat Adnan, Bambang Soegijono, Arief Sudarmaji, Ganis Sanhaji dan La Ode Husein ZT Fotoproduksi η-Meson Pada Nukleon Dengan Model Isobar Maya Puspitasari Izaak, Agus Salam
SPEKTRA
JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA Volume 15 Nomor 2 Desember 2014
ISSN: 1411 – 8823
____________________________________________________________________________________________________ 61 - 65
Perbandingan Karakteristik Scanner Vidar Dosimetrypro Advantage dan Epson Perfectio V700 Berbasis Dosimetri Film Radiochromic EBT2 A.S. Miharja, S.A. Pawiro 66 - 70
Perbandingan Dosis Radiasi di Permukaan Kulit pada Pasien Thorax Terhadap Dosis Radiasi di Udara dengan Sumber Radiasi Pesawat Sinar-X D. Milvita, N.L. Gemi, H. Prasetio, D.D. Kusumawati, H. Yuliati, Suyati 71 – 75
Karakterisasi Masker Termoplastik Sebelum dan Sesudah Radiasi Y. Nurhamiyah, Dr Ariadne L. Juwono Ph.D, Prof Dr. Djarwani S. Soejoko 76 - 79
Karakterisasi Material Bahan Fiksasi A. Ramadhan, A.L. Juwono, D.S. Soejoko 80 – 84
Verifikasi Perhitungan Partial Wave untuk Hamburan K+p K. Trisnayadi 85 - 88
Asimetri Isospin pada Materi Quark A.I. Qauli, A. Sulaksono 89 – 93
Bound State Solution of Dirac Equation for Scarf Potential with New Tensor Coupling Potential for Spin and Pseudospin Symmetries Using NikiforovUvarov Method U.A. Deta, A. Suparmi, C. Cari 94 - 98
Tortuositas pada Model 3D Batuan Berpori Firmansyah, S. Feranie, F.D.E. Latief, P.F.L. Tobing
99 - 101
Sifat Magnetik Sedimen Sungai sebagai Indikator Pencemaran (Studi Kasus: Sungai Citarum Kabupaten Karawang) K.H. Kirana, D. Fitriani, E. Supriyana, E. Agustine 102 – 107
Karakterisasi Reservoar Batupasir pada Lapangan “SG” Menggunakan Inversi Acoustic Impedance (AI) dan Elastic Impedance (EI) F. Akbar, S. Rosid 108 – 111
Penyesuaian Kurva Model Dinamis Landau-Khalatnikov Pada BZT M. Hikam, Septian Rahmat Adnan, Bambang Soegijono, Arief Sudarmaji, Ganis Sanhaji dan La Ode Husein ZT 112 - 118
Fotoproduksi η-Meson Pada Nukleon Dengan Model Isobar Maya Puspitasari Izaak, Agus Salam
Diterbitkan oleh:
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta
SPEKTRA JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA Volume 15 Nomor 2 Desember 2014
ISSN: 1411 – 8823
____________________________________________________________________________________________________ Penanggung jawab Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Jakarta
Dewan Redaksi Ketua Sekretaris Anggota
: Prof. Dr. Agus Setyo Budi, M.Sc : Teguh Budi Prayitno, M.Si : Hadi Nasbey, M.Si Drs. Anggoro Budi Susilo, M.Si Dr. I Made Astra, M.Si Dr. Sunaryo, M.Si
Penyunting ahli
: Dr. Erlan Rosyadi (BPPT) Dr. Artoto Arkundato (UNEJ) Dr. Yudiakto Pramudya (UAD) Dr. Supriyanto (UI) Dr. Yoga Divayana (NTU) Prof. Agus Setyo Budi, M.Sc (UNJ) Dr. Mangasi A. Marpaung, M.Si (UNJ) Dr. rer nat. Bambang Heru Iswanto, M.Si (UNJ) Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc (UNJ) Dr. Esmar Budi (UNJ) Dr. Erfan Handoko (UNJ)
Penyunting pelaksana
: Dr. Iwan Sugihartono, M.Si, Dipl.Sc Teguh Budi Prayitno, M.Si
Sekretariat
: Umiatin, M.Si
Pengantar redaksi Spektra merupakan jurnal Fisika dan aplikasinya terbit setahun dua kali dan dibuat untuk mewadahi dan mempublikasikan hasil riset dan review yang belum pernah dipublikasikan di terbitan lain.
Penerbit: Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Jakarta Kampus B Jl. Pemuda No. 10 Rawamangun Jakarta 13220 Telp. 021-29266285
PENGANTAR REDAKSI Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Volume 15 Nomor 2 Desember 2014
dapat diterbitkan. Spektra
diterbitkan dua kali dalam setahun dan berisi artikel-artikel ilmiah di bidang Fisika antara lain teori, material, medis, geofisika, optik, instrumentasi serta hasil-hasil penelitian lain yang berhubungan dengan fisika. Kehadiran Spektra merupakan wadah publikasi hasil penelitian di bidang ilmu fisika dan aplikasinya yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi perkembangan di bidang fisika. Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh penulis artikel sehingga Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Volume 15 Nomor 2 Desember 2014 dapat diterbitkan.
Dewan redaksi
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
PERBANDINGAN KARAKTERISTIK SCANNER VIDAR DOSIMETRYPRO ADVANTAGE DAN EPSON PERFECTIO V700 BERBASIS DOSIMETRI FILM RADIOCHROMIC EBT2 Ari Surya Miharja1*), Supriyanto Ardjo Pawiro 1 1
Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424 *) Email:
[email protected] Abstrak
Telah dilakukan penelitian untuk menentukan karakteristik dasar dari scanner yang digunakan untuk dosimetri film radiochromic EBT2.Dalam penelitian ini digunakan scanner Vidar DosimetryPro Advantage dan Epson Perfection V700. Pengujian yang dilakukan meliputi uji konsistensi scanner, uji variasi film to film, uji uniformitas scanner, uji efek orientasi film, uji suhu ruang penyimpanan film, uji fading film dan uji noise film/scanner. Scanner diuji menggunakan film EBT2 yang telah dipapar radiasi menggunakan Linac dengan modalitas foton 6 MV. Film mempunyai 8 buah lapangan berukuran 3 cm x 3 cm dengan dosis dari 31,31 – 250,48 cGy. Software yang digunakan untuk menganalisa hasil bacaan scanner adalah ImageJ dan FilmQA Pro. Dari hasil pengujian didapatkan konsistensi Vidar mode Logarithmic lebih baik dengan standar deviasi (SD) kurang dari 0,06%, sedangkan standar deviasi Epson mencapai 0,40%. Uniformitas Vidar juga lebih baik dengan SD kurang dari 0,76% dibandingkan Epson yang mencapai 1,16%. Orientasi film cukup berpengaruh terhadap hasil bacaan, terutama pada Epson, sehingga orientasi film harus konstan selama pemindaian.Performa Vidar secara keseluruhan lebih bagus daripada Epson terutama saat red channel saja yang dianalisa. Kata kunci dosimetri.
:
film radiochromic EBT2 , film scanner, Vidar DosimetryPro Advantage, Epson Perfection V700, film
1. Pendahuluan Film GafChromic EBT2 (GAF-EBT2: International Speciality Products, Wayne, NJ) sebagai film radiochromic sering digunakan untuk radioterapi dan memiliki rentang dosis serap mencapai 0,01 – 40 Gy. Film ini dapat diukur dengan densitometer transmisi, pemindai film, atau spektrofotometer. Ketika bagian komponen aktif film terpapar radiasi, maka akan terbentuk polimer berwarna biru dengan absorpsi maksimum sekitar 636 nm dan 585 nm. Akibatnya tanggapan dari film dosimetri ditingkatkan oleh pengukuran dengan sinar merah karena sinar warna merah memiliki panjang gelombang dengan jangkauan sekitar 630 – 760 nm. Tanggapan terbaik terhadap film akan didapatkan jika film dipindai dengan mode transmisi. Selain itu tanggapan spektral dari alat pindai harus cocok dengan absorbansi dari film [1]. Saat ini ada dua tipe alat pindai yang biasa digunakan untuk dosimetri film, scanner khusus film radiochromic dan flatbed document scanner. Salah satu contoh alat pindai khusus film radiochromic adalah Vidar DosimetryPro Advantage (RED) dengan sumber cahaya LED merah. Bila dibandingkan dengan alat pindai lain, salah satu kelebihannya yaitu LED pada alat ini memiliki emisi maksimum dengan panjang gelombang mendekati 630 nm sehingga sangat cocok dengan spectral maksimum film EBT2 (Lewis). Meskipun tidak dirancang secara khusus
untuk dosimetri film radiochromic, flatbed document scanner sebelumnya sudah sering digunakan untuk pengukuran di berbagai aplikasi dosimetri film. Salah satu jenis flatbed document scanner yang menangkap warna dengan rinci dan presisi yaitu scanner EPSON dengan tipe Perfection V700. Alat pindai ini menghasilkan akurasi dan reprodusibilitas yang bagus sehingga sangat direkomendasikan untuk digunakan [2].Hasil yang didapatkan dari kedua scanner tersebut dapat diolah dengan menggunakan beberapa software seperti Image processing and analysis in Java (ImageJ) dan FilmQA Pro.Kedua software tersebut dapat menampilkan pixel value yang dibutuhkan untuk menganalisa hasil pemindaian film yang dilakukan.
2. Metode Penelitian 2.1. Scanner Scanner yang diuji pada penelitian ini adalah Vidar DosimetryPro Advatage dan Epson Perfection V700 seperti terlihat pada Gambar 1. Meskipun tidak dirancang khusus untuk dosimetri film radiochromic seperti Vidar, menurut beberapa penelitian performa Epson untuk kebutuhan dosimetri cukup memuaskan sehingga dapat menggantikan fungsi dari scanner khusus film radiochromic seperti Vidar [2,3]. Vidar menggunakan detektor CCD linier dan sumber cahaya LED dengan emisi maksimum 627 nm. Sumber cahaya ini sangat cocok dengan absorpsi puncak dari film EBT 2 yakni 635 nm [1].
61
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 1.Scanner Vidar DosimetryPro Advantage (kiri) dan Epson Perfection V700. Scanner Vidar mampu memindai film dengan dimensi maksimum 35,6 cm x 43,2 cm. Film yang dipindai nantinya akan bergerak, sehingga film harus dipindahkan lagi secara manual untuk melakukan pemindaian ulang. Hal ini menyebabkan pemindaian ulang film pada posisi yang persis sama tidak bisa dilakukan.Vidar memiliki kemampuan untuk melakukan pemanasan secara otomatis dan rutin untuk memastikan bahwa sumber cahaya selalu siap dan stabil untuk setiap pemindaian. Epson V700 menggunakan sumber cahaya fluoresens dengan spektrum emisi broadband dan detektor CCD linier.Untuk dosimetri film, mode yang digunakan adalah mode transmisi.Epson V700 tidak memiliki kemampuan untuk melakukan kalibrasi secara otomatis seperti Vidar.Namun, sumber cahaya pada V700 diasumsikan telah stabil setelah dilakukan beberapa pemindaian awal tersebut [3]. 2.2. Film Uji Film GafChromic EBT2 yang telah disiapkan akan dipapar dengan mengadaptasi teknik kalibrasi film yang dilakukan oleh Childress et. al.. Lapangan yang dibentuk ada delapan buah kotak dengan ukuran masing – masing lapangan 3 cm x 3 cm dengan variasi dosis antara 30, 60, 90, 120, 150, 180, 210 dan 240 MU seperti terlihat pada Gambar 3.8. Penyinaran dilakukan menggunakan Varian CLINAC RapidArc dengan modalitas foton berenergi 6 MV.Film diletakkan tegak lurus dengan arah datangnya sinar pada jarak 100 cm source to axis distance (SAD) dan pada kedalaman 10 cm solid water seperti yang terlihat pada Gambar 3. Keluaran energi yang dikeluarkan oleh Linac tersebut pada foton 6 MV adalah 1,0 cGy/MU. Oleh karena itu, pada dosis yang diterima masing – masing lapangan bervariasi antara 31,31 – 250,48 cGy. Skema penyinaran yang lebih jelas terlihat pada Gambar 2. Penyinaran yang dilakukan adalah sama untuk tiap film. Penambahan 10 cm solid water lagi di bawah film bertujuan untuk menciptakan hamburan balik (backscatter). Penyinaran dilakukan dalam hari yang sama dan dengan selang waktu penyinaran tiap film tidak terlalu lama.
Gambar 2. Skema penyinaran film 2.3. Pemindaian Film Film yang diuji (lihat Gambar 3) berukuran 20,3 cm x 25,4 cm dan lebih kecil daripada ukuran maksimum film yang dapat dipindai oleh kedua scanner yang digunakan. Pada Vidar, posisi film yang dipindai diletakkan di pojok kiri agar didapatkan posisi film yang lebih stabil saat dilakukan pemindaian. Ada sedikit perbedaan sekitar kurang dari dua persen saat film dipindai di bagian pinggir dan di bagian tengah [1].Jika pada Vidar posisi film diletakkan di bagian pinggir, pada Epson V700 film yang dipindai diletakkan di bagian tengah bed scanner.Resolusi yang digunakan adalah 150 dpi untuk kedua scanner.Hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan ukuran piksel yang kecil dengan peningkatan waktu pemindaian dan keseluruhan ukuran dari citra yang dihasilkan [3]. Pada saat memindai dengan Epson V700, dilakukan sepuluh pemindaian awal tanpa film untuk setiap sesi pemindaian.Hal ini dilakukan untuk menstabilkan sumber cahaya pada scanner.Selain itu juga, semua fitur terkait peningkatan gambar pada Epson dimatikan agar didapatkan data yang sesuai. Keseluruhan orientasi film saat pemindaian adalah portrait dan akan dianalisa menggunakan dua buah software yaitu ImageJ dan FilmQA Pro.
Gambar 3.Contoh film yang diuji
62
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar yang diperoleh dari kedua scanner kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak ImageJ dan FilmQA Pro. Untuk setiap film yang telah dipapar akan diukur nilai piksel dengan area 5 mm x 5mm dari delapan lapangan radiasi yang ada. Area pengukuran tersebut sudah mampu memberikan statistik yang cukup bagus dan cukup kecil untuk menghindari efek penumbra yang ada di sekitar lapangan radiasi.Data yang sudah didapatkan kemudaian nantinya diolah untuk dicari nilai standar deviasi dari tiap pengukuran menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. 3. Pengujian
Scanner
3.1. Uji Konsistensi Dalam pengujian konsistensi untuk masing – masing scanner dilakukan pemindaian terhadap satu buah film yang telah dipapar dan satu buah film yang belum dipapar. Proses pengujian ini dilakukan sekali tiap harinya dan berlangsung selama ± 3 bulan. Selain itu, pada salah satu hari juga dilakukan pengukuran terhadap film yang telah dipapar tersebut sebanyak sepuluh kali secara berurutan. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi dari hasil pemindaian scanner pada film yang sama. Untuk setiap wilayah dosis akan diambil nilai rata – rata pikselnya. Pengujian ini juga akan melibatkan kesalahan yang dilakukan saat menentukan area ROI karena satu buah film yang sama digunakan untuk seluruh pemindaian sehingga standar deviasi yang didapatkan merupakan hasil dari pengukuran konsistensi scanner dan pemilihan lokasi dari ROI. 3.2. Uji Uniformitas Satu buah film EBT2 yang belum terpapar radiasi dipindai dengan orientasi portrait menggunakan kedua buah scanner.Profil horisontal dan vertikal diambil dari bagian tengah film dan rata – rata nilai piksel dihitung sepanjang profil tersebut.Tes ini mengasumsikan bahwa film yang belum dipapar memiliki densitas optik yang seragam pada seluruh bagian.Profil horisontal menggambarkan uniformitas dari kombinasi cahaya dan sistem detektor sepanjang daerah pemindaian.Profil vertikal dari film yang belum dipapar mengukur uniformitas dari tanggapan detektor dalam sebuah pemindaian dan stabilitas dari sumber cahaya berlawanan dengan bagian tertentu dari detektor. 3.3. Uji Efek Orientasi Film Densitas optik dari sebuah film EBT yang dipindai menggunaka scanner Vidar dan Epson mengalami perbedaan nilai ketika pemindaian dilakukan dengan orientasi film yang berbeda (Matney, 2010). Film EBT2 yang merupakan pengembangan dari film EBT pun perlu diperhatikan terkait efek orientasi film saat dipindai secara portraitmaupun landscape. Orientasi portrait
didefinisikan sebagai bagian panjang film yang tegak lurus dengan sumber cahaya dari scanner. Di sisi lain, orientasi landscape ditentukan sebagai bagian panjang dilm yang paralel dengan sumber cahaya scanner. Tanggapan film pada area yang dipapar dalam kedua orientasi tersebut dibandingkan dalam perbedaan persen.Orientasi portrait digunakan sebagai referensi karena seluruh pemindaian lainnya dilakukan dengan orientasi ini. 3.4. Uji Suhu Ruang Penyimpanan Film EBT2 yang sudah dipapar sebaiknya disimpan dalam ruangan yang sama seperti saat sebelum dipapar. Namun, dalam penelitian kali ini akan dilihat perbedaan tanggapan film yang disimpan dalam ruangan berbeda selama ± 1 bulan. Perbedaan suhu diamati pada suhu ruangan 22ºC dan 24ºC.Pemindaian ini melibatkan dua buah film yang disimpan pada suhu ruangan 22 ºC dan 24 ºC. 3.5. Uji Variasi Film to Film Variasi diantara film dalam batch yang sama diukur untuk mengevaluasi sensitivitas scanner terhadap variasi film. Lima film yang digunakan ini sebelumnya dipapar secara berurutan dalam satu sesi untuk mengurangi variasi dari output Linac yang digunakan. Oleh karena itu, tiap film akan menerima dosis yang sama dalam tiap area lapangan yang sudah ditentukan. Untuk delapan lapangan yang ada, dilakukan pengukuran rata – rata tanggapan film dan standar deviasi dari tanggapan film.Perbandingan bacaan terhadap kelima buah film tersebut yang dijadikan acuan pengujian ini. 3.6. Uji Fading Film Fading dalam bahasa indonesia diartikan sebagai pemudaran. Dalam penelitian ini, fading film dimaksudkan sebagai proses pengaburan warna dari film yang belum terpapar sebagai akibat dari pengaruh sumber cahaya yang dikeluarkan oleh scanner yang mengenail film tersebut. Dua buah film yang belum dipapar digunakan dengan masing – masing dipindai oleh Vidar dan Epson selama satu bulan. 3.7. Uji Noise Film/Scanner Lima buah film yang telah dipapar yang digunakan untuk menguji konsistensiscannerdan variasi film to film digunakan untuk pengukuran keseluruhan noise.Pengukuran noise ini menggabungkan variasi scanner, film dan penyinaran dan memberikan presisi dari pengukuran nilai piksel sebagai fungsi dosis.Pengukuran noise dari film/scanner diambil untuk menjadi standar deviasi dari seluruh piksesl yang ada di pusat wilayah ROI 5 mm x 5 mm.
63
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Dosis (MU) 30 60 90 120 150 180 210 240
Log
ImageJ Sqrt
Epson
Standar Deviasi (%)
Standar Deviasi (%)
Standar Deviasi (%)
0.05 0.05 0.04 0.06 0.06 0.06 0.04 0.05
0.21 0.15 0.24 0.20 0.26 0.19 0.21 0.21
0.27 0.30 0.28 0.29 0.38 0.40 0.37 0.29
4. Hasil dan Pembahasan 4.1. Uji Konsisten Hasil uji konsistensi dapat dilihat pada Tabel 1 menyatakan bahwa scanner Vidar dengan mode Logarithmic menghasilkan nilai standar deviasi yang lebih kecil yaitu sebesar 0,06% dibandingkan Vidar dengan mode SQRT dan Epson yang menghasilkan masing – masing nilai standar deviasi maksimum sebesar 0,38% dan 0,40%. Penurunan nilai piksel pada Vidar saat mode Logarithmic lebih sedikit dibandingkan dengan Vidar dengan mode SQRT dan Epson.Dapat disimpulkan bahwa antara Vidar SQRT dan Epson menghasilkan nilai bacaan yang mirip meskipun berbeda hasil bacaan nilai piksel. Pada Vidar, hal ini juga menandakan bahwa penggunaan mode yang berbeda menghasilkan pengaruh penurunan nilai piksel yang berbeda. Hal ini terjadi pada evaluasi terhadap film yang sudah dipapar dan film yang belum dipapar. 4.2. Uji Uniformitas Dari hasil analisa yang didapat menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro pada profil horisontal film terlihat ada artefak yang muncul terutama di bagian ujung kanan dan kiri film.Pada Vidar terlihat adanya non-uniformitas di bagian kiri film saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal ini terjadi karena proses pemindaian film yang dilakukan terhadap bagian sisi kiri Vidar. Rata – rata nilai pikselnya mencapai 40.243,25 dan 40.209,74 dengan menghasilkan standar deviasi sebesar 0,76 % dan 0,64 % saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal berbeda pada Epson terlihat adanya non-uniformitas di bagian kanan dan kiri film tetapi tidak di bagian tengah. Nilai rata – rata piksel yang didapatkan sebesar 37.939,89 dan 37.949,75 dengan standar deviasi sebesar 1,16 % dan 1,14 % saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Pada uji uniformitas ini, dengan mengabaikan uniformitas dari film yang digunakan, terdapat nonuniformitas yang dihasilkan oleh scanner yang digunakan.Dari hasil didapatkan bahwa daerah pemindaian yang terbaik adalah bagian tengan
Log
FilmQA Pro Sqrt
Epson
Standar Deviasi (%)
Standar Deviasi (%)
Standar Deviasi (%)
0.05 0.21 0.27 0.05 0.16 0.30 0.04 0.24 0.28 0.06 0.20 0.29 0.06 0.26 0.38 0.06 0.19 0.40 0.03 0.38 0.37 0.04 0.20 0.29 scanner. Non-uniformitas terbesar yang dihasilkan Vidar sebesar 0,76% sedangkan pada Epson sebesar 1,16%. Keduanya didapatkan dari profil horisontal.Hasil ini masih cukup baik karena menurut pabrik pembuatnya, film EBT2 memiliki variasi uniformitas sebesar ± 1%.Epson sebaiknya digunakan untuk memindai film dengan ukuran yang tidak terlalu besar sehingga dapat memaksimalkan bagian tengah dari bed scanner. 4.3. Uji Efek Orientasi Film Efek dari orientasi film ditunjukkan pada Tabel 2.Tabel tersebut menunjukkan persentase perbedaan bacaan yang didapatkan karena perbedaan orientasi film saat dipindai. Nilai terbesar terdapat pada Epson dengan nilai suseptibilitas mencapai 10,65% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Nilai suseptibilitas maksimum dari Vidar dengan mode Logarithmic dan SQRT mencapai 0,67% dan 3,02%. Nilai yang lebih besar pada Epson bisa terjadi karena proses analisa film hanya menyertakan red channel saja sehingga channel lain tidak dianalisa [3]. Pada pengujian efek orientasi film, Vidar memunculkan hasil yang jauh lebih bagus dibandingkan Epson, hal ini kemungkinan terjadi karena hanya dilakukan analisa terhadap red channel saja.Film hasil pemindaian menggunakan Epson menghasilkan gambar RGB yang berarti memiliki tiga buah channel yaitu red, green dan blue.Oleh karena itu, saat dilakukan single channel dosimetry, hasil yang maksimal tidak bisa didapatkan dari Epson. Dosis (MU) 30 60 90 120 150 180 210 240
Epson (%) 6.83 8.77 6.40 8.83 7.18 9.37 7.50 10.65
ImageJ Vidar Sqrt (%) -0.14 -0.37 -0.20 1.89 1.09 0.04 1.08 3.02
FilmQA Pro Epson Vidar Sqrt (%) (%) 6.83 0.62 8.77 0.78 6.40 1.43 8.83 2.70 7.18 0.83 9.37 0.59 7.50 1.77 10.65 3.48
4.4. Uji Suhu Ruang Penyimpanan
64
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Nilai penurunan terbesar pada film yang dipindai dengan Vidar pada suhu 22 ºC sebesar 881 dan 879 saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro, sedangkan pada Epson terjadi penurunan maksimum sebesar 955 dan 971. Lalu, pada suhu 24 ºC terjadi penurunan maksimum sebesar 1393 dan 1379 saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Hal lain terjadi pada Epson dimana penurunan maksimum yang didapatkan sebesar 1435 dan 1327. Secara keseluruhan, perbedaan yang terbesar dihasilkan saat menggunakan Vidar, yaitu terdapat perbedaan sebesar ± 514 nilai piksel, sedangkan pada Epson terdapat perbedaan ± 500 nilai piksel. Hal ini menandakan bahwa suhu ruang penyimpanan film cukup berpengaruh terhadap hasil pemindaian meskipun masih berada pada rentang suhu yang disarankan. 4.5. Uji Variasi Film to Film Pengujian ini mirip dengan pengujian terhadap konsistensi scanner, hanya saja kali ini dilakukan pemindaian yang berulang dengan lima buah film yang berbeda. Hasil yang didapatkan sedikit berbeda, kali ini standar deviasi yang dihasilkan Vidar mencapai 0,22% dan 0,20% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Di sisi lain, pada Epson mencapai 0,71% dan 0,73%. Hal ini menunjukkan bahwa bacaan terhadap tiap film pada batch yang sama juga memiliki perbedaan. Nilai ini akan berpengaruh terhadap penentuan kurva kalibrasi film yang berasal dari batch yang sama. 4.6. Uji Fading Film Pengujian fading film ini memunculkan nilai penurunan rata – rata piksel yang diakukan terhadap dua buah scanner.Penurunan nilai pada Epson mencapai 700 piksel sedangkan pada Vidar mencapai hampir 900 piksel.Hal ini menunjukkan bahwa Vidar Sqrt memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap film yang belum dipapar. Pada Vidar Sqrt didapatkan rata – rata penurunan nilai piksel sebesar 251,84 dan 312,46 nilai piksel per pekan saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro. Nilai yang lebih kecil dihasilkan Epson dengan penurunan sebesar 193,93 dan 205,28 nilai piksel per pekan. Penurunan yang terjadi per pekannya pun semakin lama semakin berkurang, sehingga waktu pemindaian film memang cukup berpengaruh terhadap hasil bacaan nilai piksel film. 4.7. Uji Noise Film/Scanner Vidar menghasilkan nilai standar deviasi maksimum mencapai 0,33% dan 0,28% saat dianalisa menggunakan ImageJ dan FilmQA Pro, sedangkan pada Epson hanya mencapai 0,09% dan 0,10%. Nilai yang didapat pada Epson cukup berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian sebelumnya yang juga menggunakan Epson V700, yaitu sebesar 0,30% [3]. Noise yang lebih besar pada Vidar kemungkinan besar disebabkan karana pada saat pemindaian film bergerak sehingga memungkinkan bergesernya posisi
film saat dipindai. Secara keseluruhan, noise yang didapatkan pada penelitian kali ini tentunya juga termasuk kepada kesalahan pada saat menentukan ROI sebesar 5 mm x 5 mm pada ImageJ dan FilmQA Pro. Penentuan area yang berbeda dapat menghasilkan bacaan nilai piksel yang berbeda sehingga akan menetukan nilai dosis yang ditentukan melalui kurva kalibrasi
5. Kesimpulan dan Saran Secara keseluruhan Vidar DosimetryPro Advantage unggul dalam pengujian ini.Hasil yang didapatkan terkait uji konsistensi, uji variasi film to film, uji uniformitas dan uji efek orientasi film pada Vidar lebih bagus dibandingkan Epson Perfection V700.Epson hanya unggul pada uji noise filmdengan menghasilkan noise dengan standar deviasi yang jauh lebih kecil. Pada uji fading film, Vidar DosimetryPro Advantage menghasilkan penurunan nilai piksel film sebesar 205,28 per pekan, sedangkan Epson V700 sebesar 193,93 nilai piksel per pekan. Hal ini diakibatkan pengaruh sumber cahaya yang dikeluarkan oleh scanner.Suhu ruang penyimpanan film juga cukup berpengaruh terhadap penurunan hasil bacaan nilai piksel film. Untuk selanjutnya diperlukan pengujian menggunakan film EBT3 yang memiliki komposisi lapisan yang seimbang agar tidak menimbulkan ketidakpastian orientasi film saat dipindai.Selain itu juga berikan rentang dosis yang lebih besar lagi dari 250 cGy, bila perlu sampai 10 Gy serta lakukan pengujian dengan dpi yang berbeda.Variasi suhu ruang penyimpanan juga perlu dilakukan untuk melihat perbedaan hasil bacaan.
Daftar Acuan [1]
[2]
[3]
Lewis, D. F. Performance of the Vidar ® Red LED Dosimetry Pro Advantage™: A scanner optimized for use with GAFCHROMIC ® EBT Dosimetry Film. (2007). International Speciality Products: Wayne, NJ. Alnawaf, H., Yu, P. K . N. & Butson, M. Comparison of Epson scanner quality for radiochromic film evaluation. Journal of Applied Clinical Medical Physics (2012), 13 (5), 314-321. Matney, J. E., et al. Evaluation of a commercial flatbed document scannerand radiographic film scanner for radiochromic EBT film dosimetry. Vol 11, No 2.Medical Physics (2010).
65
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
PERBANDINGAN DOSIS RADIASI DI PERMUKAAN KULIT PADA PASIEN THORAX TERHADAP DOSIS RADIASI DI UDARA DENGAN SUMBER RADIASI PESAWAT SINAR-X
1
Dian Milvita1*), Nola Leona Gemi1, Heru Prasetio2, Dyah Dwi Kusumawati2, Helfi Yuliati2, Suyati2 Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas, Kampus UNAND Limau manis, Padang dan 25163 2 PTKMR BATAN, Jakarta Selatan *)Email:
[email protected] Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil pengukuran dosis radiasi permukaan kulit yang diterima pasien thorax terhadap dosis radiasi di udara dari penyinaran pesawat sinar-X.Penelitian ini menggunakan TLD-100 sebagai alat ukur radiasi. Pengambilan data dilakukan di salah satu rumahsakit di Kota Padang dengan cara mengumpulkan 18 orang data pasien yang menjalani pemeriksaan thorax untuk pengukuran dosis radiasi di permukaan kulit dan styrofoam untuk pengukuran dosis radiasi di udara dengan menvariasikan tegangan mulai dari 40 kV sampai 70 kV, Hasil penelitian untuk pengukuran dosis radiasi di permukaan kulit (Entrance Surface Dose / ESD), minimum adalah 0,268 mGy dan maksimum adalah 0,736 mGy dengan ESD rata-rata adalah 0,497 mGy. Selanjutnya, untuk pengukuran dosis radiasi di udara untuk kondisi thorax, nilai minimum adalah sebesar 0,333 mGy dan nilai maksimum adalah sebesar 0,532 mGy dengan rata-rata 0,455 mGy.Dari perbandingan kedua dosis radasi ini, didapatkan nilai backscatter factor yang bervariasi, tetapi nilai ini tidak berbeda jauh dengan data TRS (Technical Reports Series) IAEA No. 457. Kata kunci :Backscatter factor, dosis radiasi di permukaan kulit, dosis radiasi di udara, Entrance Surface Dose.
1. Pendahuluan Sejak pesawat sinar-X ditemukan oleh W. C. Rontgen, telah banyak manfaat yang diterima manusia. Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan menggunakan pesawat sinar-X seperti pemeriksaan femur, skull, lungs, abdomen, cervic, pelvis dan thorax. Pemeriksaan menggunakan pesawat sinar-X tidak hanya memberikan efek positif tetapi juga efek negatif terhadap tubuh pasien. Jika pasien menerima paparan radiasi melebihi nilai batas dosis radiasi maka dikhawatirkan akan mengakibatkan kerusakan sel-sel tubuh. Oleh karena itu banyak penelitian yang berhubungan dengan pesawat sinar-X dilakukan, diantaranya: pengukuran keluaran pesawat sinar-X untuk estimasi dosis radiasi pada pemeriksaan thorax, abdomen dan skull [1], perbandingan karakterisasi keluaran pesawat sinar-X Toshiba model DRX-1824 B dan Toshiba model DRX-1603 B [2] dan perbandingan dosis radiasi di udara terhadap dosis radiasi di permukan fantom [3]. Perbandingan dosis radiasi di permukaan kulit pasien thorax terhadap dosis radiasi di udara juga perlu dilakukan, hal ini sebagai tujuan proteksi radiasi terhadap pasien.
merek Toshiba pada salah satu rumah sakit di kotaPadang. Pesawat sinar-X merek Toshiba Unit DRX-1824B ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pesawat sinar-X merek Toshiba Unit DRX-1824B. TLD-100 digunakan untuk mengukur dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-X untuk pemeriksaan thorax, baik dipermukaan kulit pasien maupun di udara.TLD-100 diitunjukkan pada Gambar 2.
2. Metode Penelitian Penelitian dilakukan pada pesawat sinar-X
66
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 3. TLD- Reader Gambar 2.TLD-100 TLD - reader digunakan untuk membaca TLD-100, ditunjukkan pada Gambar 3. Pada penelitian ini dilakukan dua pengukuran dosis radiasi, yaitu dipermukaan kulit pasien dan di udara. Persiapan serta pembacaan TLD100 dilaksanakan diPTKMR BATAN Jakarta.Skema
pengukuran dosis radiasi dipermukaan kulit pasien ditunjukkan pada Gambar.4. Skema pengukuran dosis radiasi di udara ditunjukkan pada Gambar 5.
TLD-100 Tabung sinar-X
Styrofoam
Gambar 4. Skema pengukuran dosis radiasi pada udara menggunakan TLD-100
Gambar 5. Skema pengukuran dosis radiasi di pasien menggunakan TLD-100
3. Hasil dan Pembahasan
Dosis radiasi di permukaan kulit (mGy)
Gambar 6 menunjukkan hubungan dosis radiasi di permukaan kulit pasien thorax terhadap tegangan tabung sinar-X. 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 0.0281x - 1.038 R² = 0.4782 dosis radiasi
0
20
40
60
80
tegangan (kv) Gambar 6. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit pasien terhadap tegangan tabung sinar-X
67
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 7 menunjukkan hubungan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-X. Gambar 8 menunjukkan hubungan radiasi dipermukaan kulit terhadap dosis radiasi di udara. Gambar 9
menunjukkan perbandingandosis radiasi di permukaan kulit pada pasien thorax dan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-X.
Dosis radiasi di udara (mGy)
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 0.0178x - 0.4915 R² = 0.9826 Dosis radias di udara
0
20
40
60
80
Tegangan (kV) Gambar 7. Hubungan dosis radiasi di udara terhadap tegangan tabung sinar-X
Dosis radiasi di permukaan kulit (mGy)
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 1.3187x - 0.1714 R² = 0.7482
0
0.2
0.4
dosis radiasi pada tegangan berbeda
0.6
Linear (dosis radiasi pada tegangan berbeda)
Dosis radiasi di udara (mGy)
Dosis radiasi (mGy)
Gambar 8. Hubungan dosis radiasi di permukaan kulit terhadap dosis radiasi di udara
0.6 0.4 Dosis radiasi di permukaan kulit
0.2 0
Dosis radiasi di udara
47
52
53 55 56 Tegangan (kV)
57
58
Gambar 9.Perbandingan nilai dosis radiasi di permukaan kulit pasien dan dosis radiasi di udara terhadap tegangan.
68
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 6 menunjukkan bahwa dosis radiasi yang diterima pasien bervariasi. Hal ini disebabkan oleh tegangan yang diberikan, massa dan tinggi pasien yang bervariasi, karena dengan bertambah tinggi badan dan massa badan maka tegangan akan semakin tinggi dan dosis yang diterima semakin besar. Pernyataan tersebut diperkuat oleh hubungan linier antara dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-X terhadap tegangan yang berikan sehingga membentuk persamaan garis lurus dengan y = 0,028x – 1,308 dan rasio R2 = 0,478. Nilai ratarata dari dosis radiasi yang terserap oleh TLD-100 adalah 0,497 mGy dengan dosis radiasi minimum 0,268 mGy dan dosis radiasi maksimum 0,736 mGy. Gambar 7 menunjukkan bahwa besarnya tegangan sangat berpengaruh terhadap dosis radiasi yang dipancarkan oleh pesawat sinar-x. Hal ini terlihat jelas dari persamaan garis lurus dari dosis radiasi di udara dan tegangan yang mendekati nilai 1, dimana y= 0,017x – 0,491 dan R2 = 0,982. Nilai rata-rata radiasi yang terserap TLD-100 adalah 0,47 mGy dengan dosis radiasi minimum adalah 0,345 mGy dan dosis radiasi maksimum adalah 0,537 mGy. Gambar 8 menunjukkan bahwa dosis radiasi di permukaan kulit pasien akan semakin besar seiring meningkatnya dosis radiasi di udara. Hal ini terjadi karena variasi tegangan pada pesawat sinar-X yang diberikan semakin meningkat.
Gambar 9 menunjukkan bahwa pada tegangan 47 kV hingga 53 kV nilai dosis radiasi pada pengukuran di udara lebih besar daripada nilai dosis radiasi pada pengukuran di permukaan kulit.Namun, pada tegangan 55 kV dan 57 kV nilai dosis radiasi pada pengukuran di permukaan kulit melebihi nilai dosis radiasi pada pengukuran di udara.Hal ini disebabkan karena pada saat pengukuran dengan tegangan tinggi, dosis radiasi semakin besar dan mengakibatkan terjadinya hamburan balik (backscatter factor).Radiasi yang terhambur tersebut kembali terserap oleh TLD.100. Nilai backscatter factor diperoleh dari perbandingan antara Entrance Surface Dose terhadap Incident Air Kerma. Dalam kajian ini nilai dosis radiasi di permukaan kulit merupakan nilai Entrance Surface DoseatauEntrance Surface Air Kermadan nilai dosis radiasi di udara merupakan Incident Air Kerma. Backscatter factor ditunjukkan pada persamaan (1) Nilai backscatter factor pada setiap tegangan ditunjukkan pada Tabel 1. 𝐾𝑒 = 𝐾𝑖 × 𝐵
(1)
dimana : Ke= Entrance Surface Air Kerma (ESAK) (Gy) Ki = Incident Air Kerma (INAK) (Gy) B =Backscatter factor
Tabel 1. Nilai backscatter factor pada setiap Tegangan
No.
Tegangan (kV)
Backscatter factor
1
47
0,804
2
53
0,914
3
55
1,126
4
56
0,967
5
57
1,049
6
58
0,934
Tabel 1 menunjukkan nilai backscatter factor hasil penelitian, dimana nilai tersebut berada dibawah nilai yang direkomendasikan TRS IAEA No. 457. Hal ini dapat dilihat pada tegangan (47, 53, 56, dan 58) kV, sedangkan pada tegangan 55 kV dan 57 kV nilai backscatter factormendekati TRS IAEA No. 457. Hal ini disebabkan pada tegangan 47 kV, 53 kV, 56 kV dan 58 kV nilai dosis radiasi pada pasien lebih kecil dari nilai dosis radiasi di udara sehingga nilai backscatter factor yang didapatkan bernilai kurang dari 1, sedangkan pada tegangan 55 kV dan 57 kV nilai dosis radiasi pada pasien lebih besar dari nilai dosis radiasi di udara, sehingga nilai
backscatter factor yang didapatkan lebih dari 1 dan mendekati nilai backscatter TRS IAEA No.457 [4].
4. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai backsatter factor (BSF) pada tegangan 47kV, 53 kV, 56 kV, dan 58 kV berada dibawah nilai BSF yang direkomendasikan oleh TRS IAEA No. 457 sedangkan pada tegangan 55kV dan 57kV, nilai backscatter factor mendekati nilai BSF TRS IAEA No.457.
69
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik.
Daftar Acuan [1]
D. Milvita, V. Edriani, H. Prasetio, N. Nuraini, H. Yuliati, D.D. Kusumawati, Suyati, Pengukuran keluaran pesawat sinar-X untuk estimasi dosis radiasi pada pemeriksaan thorax, abdomen dan skull, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2012, Palembang (2012), hal 88-94.
[2]
D. Milvita, A. Rahayu, H. Prasetio, N. Nuraini, H. Yuliati, Perbandingan karakterisasi keluaran pesawat sinar-X Toshiba model DRX-1824 B dan Toshiba model DRX-1603 B, Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas, Padang (2013), hal 60-70. Y.M. Zega, D. Milvita, N. Nuraini, Perbandingan dosis radiasi di udara terhadap dosis radiasi di permukan fantom pada pesawat sinar-X Konvensional, Prosiding Seminar Nasional Fisika Universitas Andalas, Padang (2011), hal 203-209. International Atomic Energy Agency. Dosimetry In Diaaagnostic Radiology: An International Code of Practice, Technical Reports Series No. 457, Vienna (2007), p 331.
[3]
[4]
70
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
KARAKTERISASI MASKER TERMOPLASTIK SEBELUM DAN SESUDAH RADIASI Yeyen Nurhamiyah*, Dr Ariadne L Juwono Ph.D dan Prof Dr. Djarwani S. Soejoko Departemen Fisika, FMIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok *) Email:
[email protected]
Abstrak Masker fiksasi dipakai pada radioterapi sebagai salah satu alat bantu agar pasien tidak bergerak selama proses radioterapi. Masker fiksasi ini biasanya diimpoor dari luar negeri tanpa tahu kandungan bahan di dalamnya.Oleh karena itu, pada penelitian ini, bahan masker fiksasi bekas pasien radioterapi dianalisa untuk diketahui jenis polimer penyusunnya. Dengan melakukan serangkaian pengujian yakni pengukuran massa jenis, X-Ray Diffraction (XRD), Differential Scanning Calorimetry (DSC), Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR), Energy Dispersive X-Ray Spectrometry (EDAX) diketahui bahwa bahan masker fiksasi adalah polimer termoplastik Polycaprolactone. Dari hasil pengujian XRD didapat jika masker fiksasi memiliki system Kristal ortorombik dengan parameter kisi yang sedikit berbeda pada bahan yang terkena radiasi dan yang tidak terkena radiasi. Selain itu dari hasil pengujian diketahui bahwa pemakaian terus-menerus pada masker fiksasi tidak begitu mempengaruhi sifat fisik material ini. Walaupun demikian pada pengujian FTIR menunjukkan jika pada bagian bahan yang mendapat radiasi secara terus menerus akan membuat gugus –CH3 menghilang dan membentuk gugus =CH2.
Kata Kunci : Fiksasi, Radioterapi, Polycaprolactone.
1. Pendahuluan Kebutuhan akan radioterapi sebagai salah satu metode penyembuhan kanker semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya penderita kanker di dunia. Radioterapi adalah salah satu teknik dalam penyembuhan kanker. Dalam proses radioterapi posisi pasien sangatlah penting. Oleh karena itu, keakuratan penyinaran radiasi bergantung dari posisi pasien saat terapi.Hal ini digunakan agar dosis radiasi yang mengenai jaringan tubuh yang sehat dibuat seminimal mungkin dan dosis radiasi yang mengenai sel kanker semaksimal mungkin. Ketika akan melakukan terapi pasien akan diposisikan menggunakan laser atau pena dan nantinya akan dibantu oleh sebuah alat bantu bernama fiksasi. Fiksasi adalah alat bantu untuk membantu pasien agar tidak bergerak saat akan dilakukan terapi karena jika pasien bergerak maka sel-sel tubuh yang sehat akan terpapar radiasi dan ini akan lebih membahayakan pasien lagi. Fiksasi sendiri beragam tergantung dari bagian tubuh mana yang akan mendapatkan radiasi. Namun, untuk penelitian kali ini fiksasi yang dipakai adalah fiksasi yang diperuntukkan bagi pasien kanker di daerah kepala. Fiksasi jenis ini adalah material termoplastik berbentuk lembaran dimana nanti akan dilenturkan air hangat dengan suhu ±40oC kemudian setelah melunak akan dipasangkan ke bagian tubuh pasien yang akan disinari oleh radiasi elektromagetik [1].
Fiksasi ini semakin lama akan semakin mengeras dan mengikuti bentuk tubuh pasien. Hal ini mengakibatkan tubuh pasien tidak bergerak dalam proses penyinaran. Pasien yang mendapatkan terapi radiasi akan memakai masker termoplastik untuk 30 kali pemakaian. Oleh karena itu material akan mengalami perubahan sifat fisik dan setelah beberapa kali pemakaian, fiksasi ini tidak dapat dipakai secara maksimal. Untuk itu pada penelitian ini penulis mencoba untuk mengetahui beberapa perubahan sifat pada material fiksasi setelah mengalami radiasi berkali-kali melalui serangkaian pengujian Rumah sakit yang menyediakan jasa pelayanan radioterapi biasanya akan mengimpor fiksasi dari Eropa ataupun Cina. Sebab di Indonesia belum ada perusahaan yang memproduksi massal fiksasi. Dengan mengetahui komposisi penyusun fiksasi diharapkan Indonesia mampu memproduksi sendiri fiksasi sehingga akan mengurangi beban keluarga pasien karena biaya untuk radioterapi akan berkurang. pasien. Untuk itu dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat diketahui komponen penyusun material fiksasi serta didapat perbedaan material fiksasi sebelum dan sesudah mendapatkan radiasi.Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi industri kesehatan dalam negeri untuk memproduksi fiksasi secara massal sehingga tidak perlu mengimpor dari luar negeri lagi.Hal ini
71
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
ditujukan untuk mengurangi beban keluarga pasien penderita kanker terutama untuk pasien dari kalangan menengah ke bawah.Selain itu, dengan adanya penelitian ini diharapkan menjadi awal pengembangan penelitian material medis di Departemen Fisika Universitas Indonesia.
2. Metode Penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan bahan fiksasi penderita kanker nasofaring dengan fokus penelitian pada bagian yang terkena radiasi dan bagian yang tidak terkena radiasi secara langsung.Bahan kemudian dipotong sesuai dengan kebutuhan masing-masing pengujian. Untuk menetukan jenis dan komposisi bahan dilakukan beberapa karakterisasi yakni pengukuran massa jenis bahan, FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy), XRD (X-Ray Diffraction), SEM (Scanning Electron Miscrocopy) + EDAX (Energy Dispersive X-Ray Spectrometry) dan DSC (Differential Scanning Calorimetry) .
3. Hasil dan Pembahasan Pengukuran Massa Jenis Bahan Berdasarkan pengukuran massa sampel dan perhitungan dengan rumus (3.1) didapatkan bahwa massa jenis bahan adalah 1.113 gr/cm3. Angka ini masih masuk dalam kisaran massa jenis Polycaprolactone yang berkisar antara 1.071-1.200 gr/cm3 [8] [10] [11]. Hasil pengukuran massa jenis bahan dapat dilihat pada tabel 1. Karakterisasi dengan DSC Karakterisasi dengan menggunakan DSC berfungsi untuk mengetahui suhu transisi masker fiksasi.Selain itu juga untuk mengetahui perubahan titik leleh pada sampel radiasi dan non-radiasi.Gambar 1 dan 2 adalah hasil pengujian DSC yang diperoleh dari kedua sampel.
Gambar 1 Grafik Suhu Transisi pada Sampel Radiasi Nilai suhu puncak leleh pada sampel radiasi adalah 56.27oC. Suhu transisi gelas (Tg) tidak terdapat dalam grafik dikarenakan nilainya kurang dari 0 oC. Sementara itu entalpi perubahan (ΔHf) pada sampel ini adalah 66.4515 J/g. ΔHf adalah selisih antara entalpi solid dan likuid atau panas yang dibutuhkan untuk mengubah sampel padat menjadi cair Suhu transisi dan entalpi perubahan (ΔHf) pada sampel non-radiasi tidak berbeda jauh dengan sampel radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 1. Nilai titik leleh puncak pada sampel non-radiasi adalah 56.11oC sementara untuk nilai entalpi perubahan (ΔHf) nilainya sebesar 66.3097 J/g. Nilai titik leleh pada sampel radiasi sedikit lebih besar bisa dikarenakan masih adanya panas yang terperangkap pada sampel akibat pemanasan saat radiasi. Walaupun pada pengujian DSC telah dilakukan pemansan yang berfungsi untuk menghilangkan perilaku panas yang telah dialami bahan sebelumnya. Hasil ini sama dengan yang ditunjukkan pada percobaan C. Pereira-Loch dkk dimana nilai Tm materal fiksasi sebelum dan sesudah mendapat radiasi tidak mengalami peubahan yang signifikan [2]. Nilai ini masih berada kisaran titik leleh yang berkisar antara 56-65oC. Karakterisasi dengan FTIR
Tabel 1.Hasil Pengukuran Massa Jenis Bahan Berat di Udara (g) 1.661
Berat di air (g)
Massa Jenis
0.231
1.16
1.071
0.117
1.12
Rata-rata
1.14
Gambar 3 Hasil Karakterisasi dengan FTIR pada Sampel Radiasi Karakterisasi dengan FTIR berfungsi untuk
72
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
mengetahui perubahan gugus fungsi pada masker fiksasi sebelum dan sesudah mendapatkan radiasi. Selain itu karakterisasi dengan FTIR juga berguna untuk mengidentifikasi material. Gambar 1 dan 2 masing masing menunujukkan grafik FTIR pada sampel radiasi dan non-radiasi. Pada sampel radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 1 terdapat beberapa serapan pada bilangan gelombang tertentu. Serapan pada bilangan gelombang 1721 cm-1 adalah milik ikatan rangkap C=O yang terdapat pada rantai karbon utama. Puncak-puncak yang berkisar diantara 1000 cm-1 1330 cm-1 adalah milik C-O-C. Sementara itu gugus CH2 terlihat pada bilangan gelombang 2942 cm-1 dan 2865 cm-1. Untuk sampel non-radiasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 ternyata memiliki pita serapan pada bilangan gelombang yang hampir sama dengan sampel radiasi. Hanya saja pada sampel non-radiasi terdapat gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang 1396.71 cm-1 namun tidak terlihat lagi pada sampel radiasi. Gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang 1396.71 cm-1 adalah CH3 dengan mode vibrasi bending. Ini artinya peristiwa pemberian radiasi secara terus menerus pada bahan membuat vibrasi bending CH3 hilang. Sebaliknya, pada bilangan gelombang 933.66 cm-1 terdapat gugus yang menyerap radiasi infra merah pada sampel radiasi, dapat terlihat pada Gambar 3 namun tidak menyerap radiasi infra merah pada sampel non radiasi. Gugus yang menyerap radiasi infra merah pada bilangan gelombang 933.66 cm-1 adalah =CH2 atau CH2 dengan ikatan rangkap yang mempunyai mode vibrasi bending. Ini berarti bahwa gugus fungsi pada CH3 pada bilangan gelombang 1396.71 cm-1 hilang telah membentuk =CH2 pada bilangan gelombang 933.66 cm-1.
Gambar 9 Hasil Karakterisasi dengan XRD pada Sampel Radiasi Hasil FTIR kedua sampel menunjukkan karakter suatu polimer yang bernama Polycaprolactone (PCL). Karakterisasi dengan XRD Hasil karakterisasi XRD dari masing-masing sampel ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6. Gambar 5 menunjukkan hasil XRD sampel radiasi sementara itu untuk sampel non-radiasi ditunjukkan oleh Gambar 6. Pada kedua gambar terlihat jika bahan masker fiksasi adalah material semi kristal yakni gabungan kristal murni dan amorf. Terdapat bagian melebar khas amorf pada grafik dan puncak-puncak tajam khas kristal. Selain itu pola difraksi sampel mirip dengan pola difraksi yang dimiliki oleh Polycaprolactone. Pada gambar 5 puncak-puncak utama difraksi sampel radiasi terdapat pada posisi 21.6o dan 23.8o namun pada sampel non-radiasi seperti yang ditunjukkan Gambar 6 puncak-puncak utama berada pada posisi 21.5o dan 23.8o. Dapat dikatakan jika sesudah mendapat radiasi puncak difraksi bertambah 0.1 o. Polycaprolactone (PCL) memiliki struktur kristal ortorombik dengan parameter kisi a = 7.496 Å, b = 4.974Å, c = 17.297Å [11]. Parameter kisi yang ditunjukkan kedua sampel tidak jauh berbeda dengan parameter kisi PCL. Dengan bantuan perangkat lunak MAUD diperoleh nilai parameter kisi masing-masing sampel. Perangkat lunak MAUD menghitung pergeseran parameter kisi sampel dengan data kristalografi Polycaprolactone.
Gambar 10 Hasil Karakterisasi dengan XRD pada Sampel Non-Radiasi Gambar 4 Hasil Karakterisasi dengan FTIR pada Sampel Non-Radiasi
Parameter kisi sampel radiasi sedikit lebih kecil dibandingkan dengan parameter kisi pada sampel non-radiasi. Sampel radiasi mempunyai parameter kisi a = 7.45 Å b = 4.94 Å c =16.62 Å dengan kesalahan a = 0.6% b = 0.4 % c = 4 %. Sementara itu
73
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
untuk parameter kisi sampel non-radiasi adalah a = 7.46 Å b = 4.96 Å c =16.82 Å dengan kesalahan a = 0.4 % b = 0.3 % c = 3.4 % Karakterisasi dengan SEM dan EDAX Gambar 7 memperlihatkan citra SEM pada sampel radiasi dan non-radiasi pada perbesaran 1000 kali. Citra SEM pada sampel non-radiasi relatif sama dengan citra SEM Polycaprolactone pada Gambar 2. Pada gambar terlihat perbedaan material fiksasi, sebelum dan sesudah mendapat radiasi. Sampel radiasi (a) permukaanya cenderung lebih rusak dibanding dengan sampel non-radiasi (b). Hal ini dapat terjadi akibat perlakuan yang diterima oleh sampel radiasi. Radiasi yang mengenai sampel secara berkala akan merusak morfologi bahan. Ditambah lagi, masker fiksasi akan dipakai secara terus menerus sampai kurang lebih 30 kali sehingga wajar jika ada perubahan secara morfologis pada masker fiksasi ini. Gambar 8 menunjukkan hasil EDAX sampel radiasi dan sampel non radiasi .Berdasarkan grafik, dapat dilihat bahwa karbon dan oksigen mendominasi daerah yang dibatasi garis merah. Pada sampel radiasi, karbon memiliki komposisi berat hingga 69.02 wt% sementara oksigen mencapai 29.53 wt%. Unsur lain yang dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit adalah silikon (0.8 wt%),dan magnesium (0.6 wt%). Sementara itu untuk sampel non radiasi komposisi karbon dan oksigen berbeda dengan sampel radiasi. Pada sampel non-radiasi jumlah karbon lebih sedikit yakni 63.71 wt% sementara jumlah oksigen lebih besar dibanding sampel radiasi yakni 33.13 wt%. Unsur lain yang dapat ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit adalah silikon (0.2 wt%),dan magnesium (0.1 wt%).
Gambar 7Hasil Karakterisasi dengan SEM pada (a) Sampel Radiasi (b) Sampel Non-Radiasi
Gambar 8Hasil Karakterisasi dengan EDAX pada (a) Sampel Radiasi (b) Sampel Non-Radiasi
4. Kesimpulan Setelah melalui pengujian untuk mengidentifikasi material penyusun masker fiksasi diperoleh kesimpulan jika material penyusun fiksasi adalah suatu polimer termoplastik yang bernama Polycaprolactone (PCL). Pengujian FTIR, XRD dan massa jenis menunjukkan „sidik jari‟ Polycaprolactone. Dari serangkaian pengujian yang berguna untuk membandingkan masker fiksasi sebelum dan sesudah radioterapi didapat kesimpulan jika material penyusun fiksasi adalah suatu material yang stabil. Ini berarti tidak ada perubahan yang signifikan ketika material ini mendapat paparan radiasi. Hanya saja pada pengujian FTIR terlihat jika peristiwa pemberian radiasi secara terus menerus pada bahan mengakibatkan hilangnya satu gugus yang kemudian membentuk gugus baru.
Daftar Referensi [1] Wawancara dengan Prof Djarwani S.Soedjoko. 2 Mei 2014. [2] Pereira-Loch C, dkk. 2012. Radiation and thermal effects on polymeric immobilization devices used in patients submitted to radiotherapy. Journal of Radiotherapy in Practice 11. p.101-106 [3] Elzubair, A., dkk. The physical characterization of a thermoplastic polymer for endodontic obturation. Journal of dentistry 34. 2006. p. 784 – 789 [4] Labet, M., Thielmans, W. Synthesis of Polycaprolactone : a review. Chemical Society Review. 2009. pp 3484-3504 [5] Chih-Chang Yeh, dkk. 2011. The Effect of Polymer Molecular Weight and UV Radiation on Physical Properties and Bioactivities. Cellular Polymers Vol 30. pp 227-242 [6] Bittiger, H dan Marchessault, R. H. 1970. Crystal Structure of Poly-ε-caprolactone. Acta Cryst. (1970). B26, pp 1923-1927 [7] Ahluwalia, V.K, Mishra,A. 2008. Polymer Science: A Textbook. Taylor & Francis. [8] K. Van de Velde and P. Kiekens. 2002.
74
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Biopolymers: overview of several properties and consequences on their applications Polymer Testing vol. 21. pp 433–442 [9] Y. Ikada and H. Tsuji. 2000. Biodegradable polyesters for medical and ecological applications Macromolecule Rapid Communicaton vol. 21. Pp 117–132. [10] R. A. Gross and B. Kalra. 2002. Biodegradable Polymers for the Environment. Science vol 297. pp 803–807. [11] J. O. Iroh. 1999. Polymer Data Handbook. New York: Oxford University Press.
75
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
KARAKTERISASI MATERIAL BAHAN FIKSASI Agie Ramadhan, Ariadne L. Juwono, Djarwani S. Soejoko Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia Kampus UI, Depok 16424 Indonesia
[email protected],
[email protected] Abstrak Alat fiksasi sebagai alat bantu radioterapi merupakan alat penentu posisi pasien pada saat pasien kanker mendapat terapi dengan penyinaran (radioterapi). Alat fiksasi ini berbahan dasar polimer dan merupakan salah satu alat yang di-import. Dengan bertambahnya jumlah penderita kanker di Indonesia dan penderita memerlukan radioterapi maka kebutuhan akan alat ini juga semakin bertambah. Telah dilakukan penelitian melalui serangkaian pengujian untuk mengetahui jenis material dari polimer pembentuk alat fiksasi.Dengan melakukan pengujian sifat fisik dan kimia dari bahan polimer alat fiksasi, dapat ditentukan bahwa bahan dasar alat fiksasi adalah polimer polycaprolactone (PCL).Dengan mengetahui jenis bahan polimer, sifat fisik, dan sifat kimia bahan fiksasi, diharapkan Indonesia dapat memiliki kebijakan untuk memproduksi alat fiksasi sehingga ketergantungan bahan import untuk keperluan radioterapi dapat dikurangi di masa mendatang. Kata kunci: polimer, alat fiksasi, polycaprolactone (PCL)
Abstract Fixation device as radiotherapy tools is a tool to determine the position of the patient when cancer’s patient has a therapy with radiation (radiotherapy). This fixation device is polymer-based and is one tool which imported.With the increasing number of cancer patients in Indonesia and cancer’s patients need radiotherapy sothe need for these tools is also increasing. Research has been conducted through a series of tests to determine the type of material from polymer of fixation device.By doing test the chemical and physical properties of polymer material fixation devices, it can be determined that the polymer polycaprolactone (PCL) is the basic ingredient fixation device.By knowing the type of polymeric materials, physical properties, and chemical properties from material fixation, Indonesia is expected to have a policy to produce fixation device so that the dependence of materials imported for radiotherapy can be reduced in the future. Keywords: polymers, fixation device, polycaprolactone (PCL)
1. Pendahuluan Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan yang mendapatkan perhatian di Indonesia.Kanker dapat menyerang bagian manapun dari anggota tubuh manusia. Selain itu, kemungkinan untuk terkena penyakit kanker tidak memandang usia. Apabila dibandingkan dengan penyakit-penyakit non-kanker yang mengakibatkan kematian, kanker menempati posisi ke-7.Data Riset Kesehatan Dasar Indonesia tahun 2007, menempatkan stroke, TBC, hipertensi, cedera, perinatal dan diabetes melitus di atas jumlah kematian akibat kanker. [1] Pengobatan kanker selalu menjadi kalimat yang sangat menakutkan bagi setiap orang yang mendengar maupun bagi mereka yang terpaksa menjalaninya.Pengobatan kanker secara medis yang selama ini dilakukan adalah melalui pembedahan (operasi), penyinaran (radiasi), dan terapi kimia (kemoterapi). Dalam proses radioterapi diperlukan alat fiksasi untuk melindungi bagian luar tubuh dari
pasien. Alat fiksasiberfungsi sebagai media penggambaran lokasi penyinaran dalam proses radioterapi. [2] Mengingat harga alat fiksasi yang sangat mahal dan harus di-impor dari luar Indonesia, material penyusun bahan fiksasitersebut akan diteliti, dengan harapan suatu saat alat fiksasi ini dapat diproduksi di dalam negeri dengan harga yang terjangkau. Pada proses radioterapi alat fiksasi memegang peranan penting untuk mengatur posisi pasien agar tidak berubah-ubah selama proses penyinaran. Hingga kini belum ada perusahaan di Indonesia yang memproduksi bahan dan alat ini sehingga kita masih harus mengimport dari Amerika, Jerman, Perancis ataupun Cina.Oleh karena itu, diperlukan penelitian awal untuk mengetahui material peyusun bahan fiksasi tersebut dengan harapan suatu saat nanti Indonesia dapat memproduksi sendiri alat fiksasi dengan biaya yang lebih ekonomis agar dapat dijangkau oleh semua kalangan. [3]
76
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
2. Metode Penelitian Bahan sampel adalah polimer termoplastik yang merupakan alat untuk fiksasi pada proses radioterapi. Untuk mengetahui jenis polimernya, dilakukan serangkaian pengujian yang meliputi pengukuran densitas, FTIR, DSC, SEM, XRD dan VST. Uji densitas dilakukan untuk menentukan massa jenis dari bahan fiksasi.Pada percobaan ini, penentuan massa jenis dari bahan fiksasi akan dilakukan dengan alat densitometer. Jenis alat yang digunakan adalah densitometerGDM.Cara kerja alat ini adalah dengan menghitung berat benda pada saat di udara dan berat benda pada saat di air. Massa jenis yang didapatkan nantinya adalah massa jenis rata-rata hasil dari perhitungan massa jenis pada 2 buah sampel. Pengujian FTIR dengan merk Bruker, dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong.Sampel yang digunakan untuk uji FTIR ini berbentuk serbuk.Sampel terlebih dahulu digerus sehingga dapat berupa serbuk.Dengan mengetahui panjang bilangan gelombang pada puncak dari grafik FTIR maka kita dapat mengetahui ikatan kimia yang terdapat pada sampel.Sampel diuji dengan FTIR menggunakan metode ATR (Attenuated Total Reflectance) dengan mengacu pada standar uji ASTM E 1252-07.Spektrometer dijalankan pada bilangan gelombang 4000-400 cm-1. Untuk analisa termal pengujian dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry, tipe Perkin Elmer Pyris 8000.Pengujian DSC ini dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong, mengacu pada ASTM D341808.Sampel yang digunakan berupa serbuk.Sampel kemudian dimasukkan ke dalam crucible. Analisa DSC dilakukan dengan program temperatur heatingcooling-heating dengan kecepatan -(-30)oC/min – 10oC/min. Purge gas yang digunakan yaitu gas nitrogen dengan kecepatan aliran 20 ml/min. Pengujian dengan menggunakan SEM dilakukan untuk melihat bagian samping dari alat fiksasi tersebut.Pengujian SEM yang dilengkapi dengan EDX, dilakukan di Fakultas Teknik UI.Alat yang digunakan yaitu FE-SEM FEI INSPECT F50 dan EDAX EDS Analyzer. Pengujian XRD dengan Merk Philips dilakukan di Laboratorium XRD PSTBM-BATAN PUSPITEK, Serpong.Sampel yang digunakan berupa serbuk. Sumber XRD adalah Cu (Kα1= 1.54060, Kα2=1.54443), dengan sudut pengamatan (2θ) = 5-70o dan suhu pengukuran 25oC. Analisa dilakukan dengan menggunakan alogaritma le-bail fit dengan software HSP 3.0 dari PANalytical yang dapat menentukan unit cell, space group, dan parameter kisi bahan fiksasi. Pada penelitian ini pengamatan XRD digunakan untuk menghitung kristalinitas bahan fiksasi. Pengujian Vicat Softening Temperature dilakukan untuk menentukan titik lunak dari bahan
fiksasi.Pengujian ini dilakukan di Sentra Teknologi Polimer (STP) Puspitek, Serpong dengan menggunakan HDT Vicat Apparatus.Sampel disiapkan dengan ukuran 1 x 1 cm lalu dikondisikan pada suhu 23oC dan relative humidity 50% selama 48 jam.Pengujian VST dilakukan dengan menggunakan beban 10 N dengan kecepatan pemanasan 120oC/jam.Pengujian ini mengacu pada standar uji ASTM D1525.
3. Hasil dan Pembahasan Tabel 1. Hasil Pengukuran Rapat Massa Sampel 1 2 Rata-Rata
Berat di Udara (gram) 2,15 3,17
Berat di Air (gram) 0,22 0,33
Densitas (gram/cm3) 1,11 1,12 1,12
Hasil yang didapatkan dari pengukuran densitas merupakan berat bahan fiksasi di udara dan berat bahan fiksasi di dalam air yang tercantum pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 diperoleh densitas bahan fiksasi adalah sebesar 1,12 gram/cm3.
Gambar 1.Grafik hasil pengujian FTIR Gambar 1 menunjukkan hasil pengujian FTIR bahan fiksasi. Terlihat adanya ikatan C=O yang merupakan puncak tajam dari grafik tersebut pada bilangan gelombang 1724 cm-1. Dari grafik penyerapan IR juga dapat dilihat adanya ikatan -CH2 pada bilangan gelombang 2867 dan 2947 cm-1. Terdapat puncak lain selain ikatan C=O, yaitu ikatan -CH2, memang puncak yang ditunjukkan oleh ikatan ini tidak setinggi pita serapan C=O pada bilangan gelombang 1724 cm-1 yang merupakan ciri khas pita serapan PCL, tetapi terlihat pada grafik yang kita peroleh. Dari semua data yang terlihat, maka ikatan pada bahan fiksasi, jelas terlihat adanya ikatan -CH2 dan ikatan C=O. Selain itu terdapat juga ikatan C-O dan C-C pada bilangan gelombang 1294 cm-1, ikatan CO-C terdapat pada bilangan gelombang 1241 dan 1170 cm-1, dan 1185 cm-1 yang pita serapannya terlihat agak lebar. Ikatan -CH terdapat padabilangan gelombang 841 cm-1.
77
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Dari hasil pengujian VST bahan fiksasi tidak mengalami pelunakan namun langsung pecah pada suhu 43,6oC yang dapat dilihat pada Gambar 4. Karena material dari bahan fiksasi tersebut bersifat getas, material tidak mengalami proses pelunakan secara bertahap tidak seperti material termoplastik secara umum. Hal tersebut dikarenakan material dari bahan fiksasi ini sudah terkena radiasi dan berubah sifat fisiknya dari bahan ulet menjadi getas.
Gambar 2.Grafik hasil pengujian DSC Gambar 2 menunjukan hasil pengujian dengan metode differential scanning calorimetry memperlihatkan titik leleh dari bahan fiksasi adalah 54,94 oC. Nilai referensi titik leleh polycaprolactone adalah pada suhu 59,5 oC dan hasil yang diperoleh dari pengujian DSC bahan fiksasi diperoleh titik leleh yaitu pada suhu 54,94 oC sehingga dapat disimpulkan bahwa material bahan fiksasi tersebut adalah polycaprolactone. Titik leleh material memang tidak akan sama persis dengan nilai referensi, hal ini dimungkinkan karena ada perbedaan proses pembuatan atau bahan fiksasi sudah dipakai. Gambar 5.Citra SEM bahan fiksasi Dari Gambar 5 dapat disebutkan bahwa citra SEM bahan fiksasi memilki pola “aliran sungai”. Terdapatnya pola “aliran sungai” merupakan salah satu karakteristik dari bahan getas.
4. Kesimpulan
Gambar 3.Grafik kristalinitas bahan fiksasi Gambar 3 menunjukan kristalinitas bahan fiksasi. Diperoleh kristalinitas dari bahan fiksasi yaitu sebesar 56,04%. Dengan mengetahui kristalinitas dari bahan fiksasi maka kita dapat mengetahui kandungan kristal dan amorf yang terdapat pada sampel. Fase amorf dari bahan fiksasi ditunjukan oleh panah yang memiliki puncak di sekitar sudut 20o.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa material penyusun bahan fiksasi adalah Polycaprolactone (PCL) yang merupakan polimer semikristalin. Bahan fiksasi tersebut memiliki titik leleh pada 54,94oC, densitasnya adalah sebesar 1,12 gram/cm3, dan memiliki titik lunak pada suhu 43,6 o C.
Ucapan Terimakasih Terimakasih kepada Dra. Ariadne L. Juwono, M.Eng, Ph.D, Prof. Djarwani S. Soejoko dan Dr. Maykel T.E Manawan yang telah membantu saya dalam diskusi.
Daftar Acuan [1]
[2] Gambar 4.Grafik hasil uji VST
Deherba. 2012. Statistik Penderita Kanker di Indonesia. http://www.deherba.com/statistikpenderita-kanker-di-indonesia.html.20 Agustus 2013. Rasjidi Imam, Nana Supriana, Kristanus Cahyono. Radiotrapi Pada Keganasan
78
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Ginekologi. Jakarta. Badan Penerbit FKUI 2011. vii-xi. [3] Orfit Industries. 2011. Radiation Oncology. http://www.orfit.com/en/radiotherapy-products/. 17 Agustus 2013. Buku [4] Bashford, David. Thermoplastics: Directory and databook. London: Chapman & Hall, 1997. [5] Hummel,D.O.1985. Infrared Spectra Polymer in The Medium and Long Wavelength Region. Jhon Willey and Sons : London Jurnal [6] Pereira-Loch, C., R. Benavides., M. Fogliato S. Lima & B.M. Huerta. (2012). Radiation and thermal effects on polymeric immobilization devices used in patients submitted to radiotherapy.Journal of Radiotherapy in Practice 11, pp. 101-106. [7]Elzubair, Amal., Carlos Nelson Elias., Joao Carlos Miguez Suarez., Helio Pereira Lopes & Marcia Valeria B. Vieira. (2006). The physical characterization of a thermoplastic polymer for endodontic obturation. Elsevier.
79
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
VERIFIKASI PERHITUNGAN PARTIAL WAVE UNTUK HAMBURAN K+p Khairi Trisnayadi Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat 16424 Email:
[email protected] Abstrak Perhitungan hamburan K+p dilakukan dengan menyelesaikan persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T dalam basis partial wave dalam ruang momentum. Sebagai input diambil model potensial pertukaran hadron orde dua untuk interaksi KN. Hasil yang diperoleh dibandingkan dengan hasil perhitungan yang menggunakan teknik tiga dimensi pada energi yang bervariasi. Kata kunci: hamburan K+p, partial wave, tiga dimensi, pertukaran hadron orde-dua
Abstract K+p scattering is calculated in partial wave technique in momentum space. The observables are produced by elements T-matrix of Lippmann-Schwinger equation. The second order of hadron exchange model potential for KN interaction is considered. The result will be compared with the data of similar reaction produced in three-dimensional technique at several energies. Keywords: K+p scattering,T-matrix, partial wave, three dimensional, second order of hadron exchange .
Elemen matriks-V dan matriks-T pada basis PW didefinisikan sebagai berikut,
1. Pendahuluan Perhitungan hamburan dua partikel secara umum dilakukan dengan menggunakan teknik partial wave(PW).[1] Teknik ini melibatkan penjumlahan keadaan momentum angular sistem. Akan tetapi, perhitungan menggunakan teknik PW menjadi tidak efisien untuk energi semakin tinggi, dikarenakan semakin bertambah pula keadaan momentum angular yang harus diikutsertakan. Pada teknik yang lain, perhitungan dilakukan dengan menggunakan teknik tiga dimensi (3D). [2] Pada teknik ini kontribusi seluruh momentum angular telah diikutsertakan. Pada perhitungan kali ini kami lakukan verifikasi perhitungan PW dengan menggunakan teknik 3D sebagai pembanding.
1
2
2
1
1
2
2
𝑇𝑙′ 𝑙 (𝑝′ , 𝑝) ≡ ⟨𝑝′ (𝑙′ )𝑗𝑚|𝑇|𝑝(𝑙 )𝑗𝑚⟩
𝑗
1
𝑇 ′2 (𝑝′ , 𝑝) = 𝑙𝑙 𝑗
1
𝑉 ′2 (𝑝′ , 𝑝) + 𝑙𝑙
𝑗
0
Perhitungan dilakukan dengan mencari elemen matriks dari persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T dengan basis PW dan basis 3D. Basis keadaan PW didefinisikan sebagai berikut,
(3)
Persamaan tersebut memenuhi persamaan LipmannSchwinger berikut,
2𝜇 lim𝜀→0 ∑𝑙′′ ∫ 𝑑𝑝′′ 𝑝′′2
2. Metode Penelitian
(2)
dan,
∞
|𝑝(𝑙𝑠)𝑗𝑚⟩
1
𝑉𝑙′ 𝑙 (𝑝′ , 𝑝) ≡ ⟨𝑝′ (𝑙′ )𝑗𝑚|𝑉|𝑝(𝑙 )𝑗𝑚⟩
1
𝑉 ′2′′ (𝑝′ ,𝑝′′ ) 𝑙𝑙 𝑝2 +𝑖𝜀−𝑝′′2
𝑗
1
𝑇 ′′2 (𝑝′′ , 𝑝) 𝑙 𝑙
(4)
Perumusan di atas telah menggunakan konservasi momentum angular total j. Kami terapkan kekekalan paritas |𝑙′ − 𝑙| = 0 atau 𝑙′ = 𝑙. Untuk menghitung observables kami gunakan relasi,
(1)
dengan momentum 𝑝, momentum angular 𝑙, spin 1 𝑠 = dan momentum angular total 𝑗. Sedangkan m 2 adalah proyeksi momentum angular 𝑗 pada sumbu-z.
80
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
′
𝑇𝜆′ 𝜆 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ ) =
2𝑙 + 1
∑√ 𝑗𝑙
4𝜋
𝑗
′
𝑇𝜆′ 𝜆 (𝐩′ , 𝑝𝐳̂) = 𝑒−𝑖(𝜆 −𝜆)𝜙 𝑇𝜆′ 𝜆 (𝑝′ , 𝑝, 𝜃′ )
1
𝑇𝑙 2 (𝑝, 𝑝)
Elemen matriks 𝑇(𝑝, 𝑝, 𝜃 ′ ), kami gunakan untuk menghitung observables
1 × 𝐶 (𝑙 𝑗; (𝜆 − 𝜆′ )𝜆′ ) 2 1 × 𝐶 (𝑙 𝑗; 0𝜆) 𝑌𝑙,𝜆−𝜆′ (𝜃′ , 0) 2
penampang lintang diferensial: 𝐼0 ≡
̅̅̅ 𝑑𝜍 𝑑𝐩 ̂
′
2
= (4𝜋2 𝜇)2 {|𝑇1,1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )| 22
2
(5)
+ |𝑇−1,1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )|
(13) polarisasi Py :
|𝐩𝜆⟩ ≡ |𝐩⟩|𝐳̂𝜆⟩ (6)
𝑃𝑦 =
dimana |𝐩⟩ adalah keadaan bebas momentum relatif 1 dan |̂𝐳𝜆⟩ adalah spin total 𝑠 = untuk sistem KN. 2 Elemen matriks-V dan matriks-T didefinisikan sebagai berikut, 𝑉𝜆′ 𝜆 (𝐩 , 𝐩) ≡ ⟨𝐩 𝜆 |𝑉|𝐩𝜆⟩ dan, ′ ′
2 𝐼0
2
∗
(4𝜋2 𝜇) 𝐼𝑚 {𝑇1 1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )𝑇−1,1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )} ,
𝑇𝜆′ 𝜆 (𝐩 , 𝐩) ≡ ⟨𝐩 𝜆 |𝑇|𝐩𝜆⟩ ′ ′
depolarisasi :
(7)
𝐷𝑥′ 𝑥 = 𝐷𝑧′ 𝑧 2 1 2 = (4𝜋2 𝜇) [{|𝑇1′1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )| 𝐼0 22
(8)
− |𝑇1′1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )| 22
∗
,
(15) 𝐷𝑧′ 𝑥 = −𝐷𝑥′ 𝑧 2 1 2 = (4𝜋2 𝜇) [{|𝑇1′1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )| 𝐼0 22
1 2
∑ ∫ 𝑑𝑝′′ 𝑉𝜆′ 𝜆′′ (𝐩′ , 𝐩′′ )𝐺+0 (𝐸𝑝 )𝑇𝜆′′ 𝜆 (𝐩, 𝐩′′ )
2
1
− |𝑇−1′1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )|
𝜆′′ =−
2
22
∗
,
22
𝐺0+ (𝐸𝑝 ) = lim𝜀→0 𝑝2 2𝜇
1
(10)
𝐸𝑝 +𝑖𝜀−𝐸 ′′ 𝑝
𝑉𝜆′ 𝜆 (𝐩 , 𝑝𝐳̂) = 𝑒
−𝑖(𝜆′ −𝜆)𝜙′
′
′
𝑉𝜆′ 𝜆 (𝑝 , 𝑝, 𝜃 )
Sifat (11), kami terapkan pada 𝑇𝜆′ 𝜆 (𝐩′ , 𝑝𝐳̂),
(11)
22
(16) 𝐷𝑦𝑦 = 1
. Untuk teknik 3D kami lakukan
formulasi yang sama seperti pada [4]. Untuk 𝐩 ̂ = 𝐳̂, kami manfaatkan sifat azimut ′ 𝑉𝜆′ 𝜆 (𝐩 , 𝐩) berikut,
} sin 𝜃𝑙𝑎𝑏
− 2𝑅𝑒 {𝑇1 1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )𝑇−1,1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )} cos 𝜃𝑙𝑎𝑏 ]
(9) Kami gunakan,
′
22
22
𝑇𝜆′ 𝜆 (𝐩′ , 𝐩) = 𝑉𝜆′ 𝜆 (𝐩′ , 𝐩)
dengan 𝐸𝑝 =
} cos 𝜃𝑙𝑎𝑏
+ 2𝑅𝑒 {𝑇1 1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )𝑇−1,1 (𝑝, 𝑝, 𝜃′ )} sin 𝜃𝑙𝑎𝑏 ]
Formulasi elemen matriks basis 3D memenuhi persamaan Lippmann-Schwinger untuk matriks-T berikut,
+
22
22
(14)
2
′
}
22
Dengan 𝐶(𝑗1 𝑗2 𝑗; 𝑚1 , 𝑚 − 𝑚1 ) adalah koefisien Clebsh-Gordan.[3] Basis 3D |𝐩𝜆⟩ didefiniskan sebagai berikut,
′
(12)
(17) dengan, tan 𝜃𝑙𝑎𝑏 =
.𝑚
𝑚2 ′ 1 sec 𝜃 +𝑚2
/ tan 𝜃′
(18)
Pada perhitungan ini kami gunakan potensial interaksi pertukaran hadron orde-dua untuk interaksi K+N.[5] Potensial interaksi tersebut melibatkan:
81
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
interaksi pertukaran skalar-meson : 𝑔 𝑔 𝐹𝑁𝑁𝜍 (𝑞2𝜍 )𝐹𝐾𝐾𝜍 (𝑞2𝜍 ) ⟨𝐩′ 𝜆′𝑁 |𝑉𝜍 |𝐩𝜆𝑁 ⟩ = 𝐾𝐾𝜍 𝑁𝑁𝜍 1 16𝜋3 (𝜔𝐾 𝜔′𝐾 )2 × 𝑚𝐾 𝑢 ̅(𝐩′ , 𝜆′𝑁 )𝑢(𝐩, 𝜆𝑁 ) 1 ×{ ′ 𝜔𝜍 (𝑧 − 𝐸𝑁 − 𝜔𝐾 − 𝜔𝜍 + 𝑖𝜀) 1 + } 𝜔𝜍 (𝑧 − 𝐸𝑁 − 𝜔′𝐾 − 𝜔𝜍 + 𝑖𝜀)
(22) dimana, 𝐪𝟐𝒓 (𝑟 = 𝜍, 𝜔, 𝜌) dan 𝑞𝜇𝑌 adalah momentum partikel yang dipertukarkan. 𝐪𝑟 = 𝐩′ − 𝐩,
(23)
𝜇
𝑞𝜇𝑌 = (𝑝′𝑁 − 𝑝𝐾 ) = (𝐸′𝑁 − 𝜔𝐾 , 𝐩′N − 𝐩K ) =
(𝐸′𝑁 − 𝜔𝐾 , 𝐩′ + 𝐩)
(24)
(19) interaksi pertukaran vektor-meson 𝜔 dan 𝜌: 𝑔 𝐹𝑁𝑁𝑣 (𝑞2𝑣 )𝐹𝐾𝐾𝑣 (𝑞2𝑣 ) ⟨𝐩′ 𝜆′𝑁 |𝑉𝑣 |𝐩𝜆𝑁 ⟩ = − 𝐾𝐾𝑣3 1 32𝜋 (𝜔𝐾 𝜔′𝐾 )2 × [(𝑔𝑁𝑁𝑣 + 𝑓𝑁𝑁𝑣 )(𝑝′𝐾 𝜇
+ 𝑝𝑘 ) 𝑢 ̅(𝐩′ , 𝜆′𝑁 )𝛾𝜇 𝑢(𝐩, 𝜆𝑁 ) 𝑓𝑁𝑁𝑣 − (𝑝 2𝑀𝑁 𝑁 + 𝑝′𝑁 ) (𝑝′𝐾
3. Hasil dan Pembahasan Kami lakukan perhitungan 3D dan PW dengan memvariasikan energi dari 50 MeV hingga 500 MeV, dengan interval 50 MeV. Untuk energi 50 MeV sampai 450 MeV perhintungan PW dan 3D saling sesuai dengan kontribusi lmax=2 dan jmax=3/2. Untuk energi 500 MeV, kesesuaian dapat diamati dengan kontribusi lmax=3 dan jmax=5/2. Kesesuaian juga terlihat pada efek polarisasi dan depolarisasi.
𝜇 𝜇
+ 𝑝𝑘 ) 𝑢 ̅(𝐩′ , 𝜆′𝑁 ) 𝑢(𝐩, 𝜆𝑁 )] 1 ×{ ′ 𝜔𝑣 (𝑧 − 𝐸𝑁 − 𝜔𝐾 − 𝜔𝑣 + 𝑖𝜀) +
1 } 𝜔𝑣 (𝑧 − 𝐸𝑁 − 𝜔𝐾′ − 𝜔𝑣 + 𝑖𝜀)
(20) interaksi pertukaran hyperon dan : 𝑔2 𝐹2𝑁𝑌𝐾 (𝑞2𝑌 ) ⟨𝐩′ 𝜆′𝑁 |𝑉𝑌 |𝐩𝜆𝑁 ⟩ = 𝑁𝑌𝐾3 ̅(𝐩′ , 𝜆′𝑁 )(𝛾𝜇 𝑞𝜇𝑌 1 × 𝑢 32𝜋 (𝜔𝐾 𝜔′𝐾 )2 − 𝑚𝑌 )𝑢(𝐩, 𝜆𝑁 ) 1 ×{ } 𝐸𝑌 (𝑧 − 𝜔′𝐾 − 𝜔𝐾 − 𝐸𝑌 + 𝑖𝜀)
Gambar 1. Penampang lintang diferensial Elab=50 MeV.
(21) Dengan tambahan faktor isospin 1 2 1 2
1 2 1
(1 + 𝜏1 ∙ 𝜏2 ) atau
(1 − 𝜏1 ∙ 𝜏2 ) untuk
, dan
(3 − 𝜏1 ∙ 𝜏2 ) untuk
. Tambahan faktor bentuk
2
(3 + 𝜏1 ∙ 𝜏2 ) atau
sebagai berikut: 𝐹𝛼 (𝐪𝟐𝒓 ) =
Λ2 −m2
𝑛𝛼
( Λ𝛼2 +𝐪𝟐𝑟 ) , 𝐹𝛽 (𝑞2𝑌 ) = ( 𝛼
𝒓
Λ4𝛽 −m2𝑟 Λ4𝛽 +(𝑞2𝑌 )
2
Gambar 2. Penampang lintang diferensial Elab=500 MeV.
)
82
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 6. Depolarisasi Dx’x pada Elab=500 MeV.
Gambar 3. Polarisasi Py pada Elab=50 MeV. Gambar 7. Depolarisasi Dz’x pada Elab=50 MeV.
Gambar 4. Polarisasi Py pada Elab=500 MeV.
Gambar 8. Depolarisasi Dz’x pada Elab=500 MeV.
Gambar 5. Depolarisasi Dx’x pada Elab=50 MeV.
83
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
4. Kesimpulan Dari hasil yang diperoleh kami simpulkan bahwa perhitungan PW untuk hamburan K+p pada energi sampai beberapa ratus MeV terverifikasi, dengan kata lain, hasilnya masih baik. Perhitungan dapat dilakukan tanpa harus mengikutsertakan kontribusi dari banyak keadaan momentum angular.
Ucapan Terimakasih Terimakasih kami sampaikan kepada Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia yang telah mendukung penelitian ini.
Daftar Acuan [1] AS. Davydov, D. T. Haar. Quantum Mechanics. 2nd ed. New York, Pergamon Press (1976), p.460-468 [2] I. Fachruddin, Ch. Elster, W. Glockle Nucleonnucleon scattering in a three-dimensional approach. Physical Review C 62, 044002 (2000) [3] M.E. Rose. Elementary Theory of Angular Momentum. New York, Wiley (1957), p.32-42 [4] I. Fachruddin, A. Salam Scattering of a spin-1/2 particle off a spin-0 target in a simple threedimensional basis. Few-Body System (2013) DOI 10.1007/s00601-012-0353-y [5] R. Buttgen, K. Holinde, A. Muller-Groeling, J. Speth, P. Wyborny A meson exchange model for the K+N interaction. Nuclear Physics A506 (1990) 586-614
84
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
ASIMETRI ISOSPIN PADA MATERI QUARK Ali Ikhsanul Qauli1*),Anto Sulaksono2**) 1,2
Departemen Fisika Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok 16424 *)
[email protected] **
[email protected] )
Abstrak Kami mengkaji sifat-sifat materi quark dengan menggunakan model asimetri isospin CIDDM (Confined Isospin Density Dependent Mass). Model ini cukup akurat dalam menjelaskan pulsar yang memiliki massa sekitar 2 kali massa matahari. Tetapi setelah kami bandingkan dengan hasil perhitungan persamaan keadaan pada pQCD (perturbative Quantum Chromo Dynamics) kami menemukan bahwa model asimetri isospin tidak bisa memprediksi secara akurat persamaan keadaan materi quark pada nilai densitas baryon yang besar dan temperatur rendah. Di sini kami memberikan beberapa plot dan perbandingan model CIDDM dan perhitungan pQCD.
Abstract We review quark matter properties using of isospin asymmetric in confined-dependent-mass (CIDDM) model. This model is well enough for describing large mass pulsar by a quark stars. But after comparing its equation of state with the result from perturbative QCD calculation then we find that CIDDM model cannot precisely predicts equation of state of quark matter at high baryon density and low temperature. Here we give several plots and comparison to the pQCD calculation. Keywords: Quark Matter, isospin, baryon density, bag, pQCD.
1. Pendahuluan Bintang neutron dipercaya sebagai hasil akhir dari ledakan supernova [1] dan merupakan bintang dengan densitas massa yang sangat besar. Namun ilmuan percaya bahwa bintang neutron bukanlah satu-satunya hasil akhir dari ledakan supernova, melainkan ada jenis bintang lain yang lebih besar denistas massanya yakni bintang quark. Bintang quark bisa terbentuk dikarenakan densitas massa yang sangat besar dapat memecah neutron menjadi quark-quark penyusunnya. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa materi quark, sebagai penyusun bintang quark, memiliki kestabilan yang lebih baik dibandingkan dengan materi nuklir [2], sehingga sangat dimungkinkan untuk terbentuk pada pulsar. Selanjutnya dengan model Bag MIT, ilmuwan mempelajari struktur dan dinamika bintang quark [3,4,5]. Selama beberapa waktu model Bag MIT mengalami banyak pengembangan sampai dikenal suatu model CDDM (Confined Density Dependent Model) yang mengikutsertakan densitas materi quark pada perumusan massa quark. Model ini digunakan pada materi quark yang hanya terdiri dari quark up dan down [6], namun kemudian juga digunakan untuk materi quark dengan quark up, down, dan strange. Dari semua model tersebut, terdapat suatu batasan, bahwa materi quark yang terdiri dari 2 quark (u dan d) harus memiliki energi minimum tiap baryon yang lebih besar dari 930 MeV,
sedangkan untuk 3 quark (u, d dan s) harus lebih rendah dari 930 MeV [2,3]. Pada model Bag MIT, quark diasumsikan bermassa tetap dan bergerak bebas dalam bag. Sedangkan pada model CDDM massa quark dengan densitas baryon𝑛𝐵 didefinisikan sebagai:
mq mq 0
D nzB
, (1.1)
Dengan suku 𝐷/𝑛𝐵𝑧 adalah suku interaksi quark dan bentuk ini adalah bentuk fenomenologis. Parameter 𝐷ditentukan dari argumen kestabilan materi quark, sedangkan parameter 𝑧merupakan parameter skala quark, yang telah dibuktikan pada referensi [7] bahwa nilainya adalah 𝑧 = 1/3. Dari defnisi massa quark, nantinya bisa dicari bagaimana persamaan keadaan bintang quark, untuk suhu nol, perumusan densitas energi materi quark adalah
i
gi k 2 m 2 k 2 dk B , 2 2 i
(1.2)
dengan 𝑖 = 𝑢, 𝑑, 𝑠 kemudian 𝐵 adalah konstanta bag dan gi adalah faktor degenerasi untuk quark yang bernilai 6. Kemudian dengan menggunakan relasi termodinamika [8] akan diperoleh
85
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
P ni i , ni i
(1.3)
dengan faktor 𝜕𝜖𝑖 /𝜕𝑛𝑖 yang dikenal sebagai potensial kimia. Pada penelitian lainnya, perhitungan pQCD juga memprediksi bagaimana persamaan keadaan dari materi quark pada nilai densitas baryon yang besar, dari referensi [9] perumusan tekanan materi quark pada kondisi tersebut adalah
PQCD B PSB B
d1 X 1 c1 B / GeV d 2 X 2
(1.4)
dengan nilai konstanta-konstanta di atas adalah 𝑐1 = 0.9008, 𝑑1 = 0.5034, 𝑑2 = 1.452, 𝜈1 = 0.3553, 𝜈2 = 0.9101 dan nilai 𝑋 bisa divariasikan dari 1 sampai 4. Terdapat besaran tekanan materi quark (3 quark) yang bebas dan tidak bermassa yang dirumuskan sebagai
3 PSB B 2 B , 4 3 4
Gambar 1. Prediksi tekanan pada materi quark, dari referensi [9].
2. Materi Quark dengan Model CIDDM 86 Model CIDDM menambahkan suku interaksi
isospin pada massa quark dari model CDDM, sehingga perumusan massa quark untuk model CIDDM bisa ditulis sebagai
mq mq 0
D q DI nB e nB , 1/ 3 nB (2.1)
dengan 𝐷𝐼 , 𝛼, dan 𝛽 adalah parameter yang menentukan kebergantungan pada isospin, 𝛿 adalah parameter asimetri isospin, 𝜏𝑞 adalah bilangan kuantum isospin quark, 𝜏𝑞 = 1 untuk quark up, 𝜏𝑞 = −1 untuk quark down, dan 𝜏 = 0 untuk quark strange. Densitas baryon didefinisikan sebagai
nB
nu nd ns , 3 (2.2)
(1.5)
yang mana number density untuk masing-masing quark didefinisikan sebagai
dengan
B u d s . (1.6) Kemudian jika persamaan perbandingan tekanan tersebut diplot, akan diperoleh grafik seperti pada Gambar 1. Pada penelitian ini, penulis menggunakan model lanjutan dari model CDDM yakni model CIDDM (Confined Isospin Density Dependent Mass) dengan batasan materi quark pada temperatur rendah dan densitas baryon rendah. Kemudian hasil dari model CIDDM akan dibandingkan dengan hasil dari perhitungan pQCD pada daerah nilai densitas baryon yang besar untuk mengetahui seberapa baik model CIDDM bisa memprediksi persamaan keadaan bintang quark.
i3 ni 2
, (2.3)
dimana 𝜈𝑖 adalah momentum Fermi untuk tiap quark (𝑖 = 𝑢, 𝑑, 𝑠). Kemudian faktor asimetri isospin didefinisikan sebagai
3
nd nu nd nu
, (2.4)
sehingga didapatkan
u 1 3
1/ 3
, (2.5)
d 1 3
1/ 3
. (2.6)
Persamaan keadaan materi quark pada model CIDDM dirumuskan sebagai berikut, dari referensi [10]
86
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
g i 2 k 2 m 2 k 2 dk , i 2 i P
n
i i u , d , s , e
i
(2.8) i
(2.7)
,
ni
, (2.9)
dimana 𝜖 adalah densitas energi quark, 𝑃 adalah tekanan dan 𝜇 adalah potensial kimia. Untuk potensial kimia elektron dirumuskan sebagai
e e2 me2 . (2.10) Kondisi keseimbangan potensial kimia adalah
Gambar 2. Persamaankeadaanmateri denganvariasi DIberdasarkan CIDDM.
quark model
u e d s , (2.11) dan untuk kondisi netralitas dirumuskan dalam bentuk
bintang
quark
2 1 1 nu nd ns ne . 3 3 3 (2.12)
3. Hasil dan Pembahasan Hasil perhitungan secara umum terbagi menjadi 2, yakni perhitungan persamaan keadaan materi quark dan perhitungan persamaan TOV untuk memperoleh relasi massa-radius bintang. Pada perhitungan persamaan keadaan bintang, kami menggunakan beberapa set parameter. Pada parameter 𝐷𝐼 − 0 kami menggunakan parameter 𝐷𝐼 = 0, 𝛼 = 0, 𝛽 = 0, 𝐷1/2 = 156 MeV, kemudian pada parameter 𝐷𝐼 − 300 digunakan 𝐷𝐼 = 300 MeVfm3α, 𝛼 = 1, 𝛽 = 0.1 fm3, 𝐷1/2 = 151 MeV dan terakhir untuk set parameter 𝐷𝐼 − 2500
digunakan 𝐷𝐼 = 2500 MeVfm3α, 𝛼 = 0.8, 𝛽 = 0.1 fm3, 𝐷1/2 = 144 MeV. Dari hasil plot persamaan keadaan bintang pada Gambar 2. terlihat bahwa energi minimum untuk materi quark yang terdiri dari 3 quark bernilai lebih kecil dari 930 MeV dan hal ini sesuai dengan prediksi referensi [3]. Nilai tekanan pada daerah nilai 𝑛𝐵 → 0 menunjukkan nilai negatif sedangkan pada plot energi menunjukkan nilai positif. Hal ini sesuai dengan kriteria model Bag MIT yang mengindikasikan hal yang sama [7]. Pada plot relasi massa dan radius bintang pada Gambar 3. terlihat bahwa persamaan keadaan yang kebergantungan pada isospin lebih besar memiliki massa maksimum yang lebih besar. Pada hasil pengamatan massa pulsar PSR J1614-2230 dengan massa 1.97 ± 0.04 massa matahari menunjukkan bahwa pada pulsar atau bintang yang memiliki massa mendekati 2 kali massa matahari interaksi isospin berdampak cukup signifikan.
Gambar 3. Relasi massa dan radius bintang. Namun ketika persamaan keadaan dari model CIDDM dibadingkan dengan hasil perhitungan pQCD pada daerah nilai densitas baryon yang besar, ternyata prediksi dari model CIDDM tidak sesuai dengan hasil perhitungan pQCD. Hasil perhitungan pQCD pada Gambar 1. menunjukkan nilai asimtotik perbandingan tekanannya adalah kurang dari 1, sedangkan dari model CIDDM pada Gambar 4. menunjukkan nilai asimtotik 1. Hasil prediksi CIDDM bisa ditelusuri secara analitik. Pada kondisi nilai 𝑛𝐵 yang besar, mengakibatkan 1. 2. 3. 4.
𝜈𝑢 = 𝜈𝑑 = 𝜈𝑠 = 𝜈 𝑛𝑢 = 𝑛𝑑 = 𝑛𝑠 = 𝑛𝐵 = 𝜈 3 /𝜋 2 𝑚𝑢 = 𝑚𝑑 = 𝑚 ≠ 𝑚𝑠 =konstan 𝜈 ≫ 𝑚, 𝑚𝑠
juga pada perumusan potensial kimia menjadi 1. 2. 3.
𝜇𝑢 = 𝜇𝑑 ≃ √𝜈 2 + 𝑚2 𝜇𝑠 ≃ √𝜈 2 + 𝑚𝑠2 𝜇𝑒 ≪ 𝜇𝑢 , 𝜇𝑑 , 𝜇𝑠
87
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
yang menyebabkan perbandingan tekanan bintang menjadi
2m 2 ms2 P / PSB 1 2 2 , 3 3
(3.1)
yang mana pada nilai momentum Fermi yang besar, nilai dari persamaan (3.1) akan bernilai 1.
C. B., Weisskopf, V. F., New Extended Model of Hadrons, Phys. Rev. D, 9, 3471(1974) [5] A. Chodos, R. L. Jaffe, K. Johnson, & C. B. Thorn., Baryon Structure in The Bag Theory, Phys. Rev. D 10, 2599 (1974) [6] Fowler, G. N., Raha, S., & Weiner, R. M., Z. Phys. C, 9, 271 (1981) [7] Peng, G. X., Chiang, H. C., Yang, J. J., Li, L., & Liu, B., Mass Formulas and Thermodynamics Treatment in The MassDensity-Dependent Model of Strange Quark Matter, Phys. Rev. C, 61, 015201 (1999) [8] Glendenning, N. K., Nuclear Physics, Particle Physics, and General Relativity (2nded). Springer (2000), p.83 [9] Fraga, E. S., Kurkela, A., Vourinen, A., Interacting Quark Matter Equation of State for Compact Stars, ArXiv:1311.5154v1 [nucl-th] (2013) [10] Chu, P. C., & Chen, L. W., Quark Matter Symmetry Energy and Quark Stars. ArXiv:1212.1388v1 [astro-ph.SR](201
Gambar 4. Tekanan sebagai fungsi potensial kimia baryon pada materi quark berdasarkan model CIDDM.
4. Kesimpulan Dari hasil perhitungan model CIDDM dan perbandingan dengan perhitungan p QCD, bisa disimpulkan bahwa 1. Model CIDDM sesuai dengan kirteria model Bag MIT pada nilai densitas baryon baryon yang rendah 2. Model CIDDM cukup akurat dalam menentukan relasi massa dan radius bintang, dilihat dariGambar 3. 3. Pada nilai densitas baryon yang besar, menurut model CIDDM quark cenderung bersifat bebas (free) sedangkan menurut perhitungan p QCD quark cenderung memiliki interaksi rata-rata yang bergantung dengan densitas baryon.
Ucapan Terimakasih Penulis mengucapkan terimakasih dukungan dari Universitas Indonesia.
atas
Daftar Acuan [1] [2] [3] [4]
Lattimer, J. M., Neutron Stars, SLAC Summer Institute on Particle Physics(2005) Weber, F., Strange Quark Matter and Compact Stars, ArXiv: astro-ph/0407155v2(2004) Farhi, E., Jaffe, R. L., Strange Matter, Phys. Rev. D, 30, 2379 (1984) Chodos, A., Jaffe, R. L., Johnson, K., Thorn,
88
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
BOUND STATE SOLUTION OF DIRAC EQUATION FOR SCARF POTENTIAL WITH NEW TENSOR COUPLING POTENTIAL FOR SPIN AND PSEUDOSPIN SYMMETRIES USING NIKIFOROV-UVAROV METHOD U.A. Deta1*), A. Suparmi2, and C. Cari2 1
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya Jl. Ketintang, Surabaya 60231 2
Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami No. 36A Kentingan, Surakarta 57126 *) Email:
[email protected]
Abstract Bound state solution of Dirac Equation for trigonometric Scarf potential with a new tensor coupling under spin and pseudospin symmetric limits are investigated using Nikiforov-Uvarov method. The new tensor potential proposed is inspired by superpotential form in SUSY quantum mechanics. The Dirac equation with trigonometric Scarf potential coupled by new tensor potential for the pseudospin and spin symmetric cases reduces to Schrodinger type equation with shape invariant potential since the proposed new potentials are similar to the superpotential of Scarf potential. The relativistic wave functions are exactly obtained eigenfunction of NU method in terms of Jacobi polynomials and the relativistic energy equation is exactly obtained by using eigenvalue of NU method in the approximation scheme of centrifugal term. The new tensor potential omits the energy degeneracy both for pseudospin and spin symmetric cases. Keywords: Scarf potential, new tensor coupling potential, spin and pseudospin symmetry, NikiforovUvarof methods.
1. Introduction The exact analytical solutions of Dirac equations play important roles in relativistic quantum mechanics since they provide all important information of the system investigated. To describe the motion of spin half particles, some authors have explored the Dirac equations whose have exact solution under approximation scheme of centrifugal term for various potentials with tensor potentials [110]. From the observation, the expression of the tensor coupling potentials under the approximation scheme of centrifugal term are similar to the expression of the component of the given potentials. Dirac equation for central/non-central potentials have been solved mostly by Nikiforov-Uvarof (NU) method [4, 9-13], factorization methods and SUSY QM [14-16], hypergeometric and confluent hypergeometric method [17-22], and asymptotic iteration method [23-24], Romanovski Polinomials [25-27], in the limit of spin and pseudospin
symmetries. However, there are only few potentials that are solved exactly such as coulomb and harmonics oscillator potentials with Coulomb–type tensor potential, but other potentials are solvable only for s-wave. For l-wave, the Dirac Equations for central potentials are only solved approximately due to the contribution of the centrifugal term. The approximation scheme of the centrifugal term was proposed by Greene and Aldrich [28] and this approximation works well for trigonometric, hyperbolic and exponential potentials. The new tensor potential is proposed due to the inspiration of the algebraic structure of SUSY quantum mechanics whose super partner potential is composed of square of the superpotential and its derivative [27]. The proposed new tensor potential is trigonometric cotangent plus cosecant potential which is similar to the superpotential form of trigonometric Scarf potential. We have solved this potential using Romanovski Polinomials [27]. In this paper, we will solve this new tensor potential using another method, that is, Nikiforov-Uvarov method. The new tensor coupling potential as a function of
89
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
trigonometric expression given as [27] (1) U (r ) aV2 cot ar V3 csc ar with V2 and V3 are the strength of the nucleon forces, and a is the parameter that control the range of the tensor potential. The negative trigonometric cotangent potential alone is similar with the combination of Coulomb potential with square well potential therefore it is expected that combination of trigonometric cotangent and cosecant potential is suitable to be a screening potential as Coulomb-type and Yukawa-type tensor potentials. These tensor potentials were originally used to model strong nuleon-nucleon interactions caused by the exchange in nuclear physics [28-30]. The motion of nucleon with mass M in a repulsive vector potential and an attractive scalar potential plus a tensor potential U(r) is described by Dirac equation given as [9,12,19, 23] . p (M VS (r )) i . rU (r ) (r) (2) E VV (r ) (r ) where E is the relativistic energy and p is the three dimensional momentum operator, i , I 0 0 , (3) 0 0 I with σ is three dimensional Pauli matrices, I is 2×2 identity matrix. By taking 1 , c =1 and writing the Dirac spinor in Eq.(2) as Fn (r ) l Y jm ( , ) r (4) r (r ) G ( r ) r l n i Y jm ( , ) r where Gn (r ) and Fn (r ) are the lower and upper components
Y jml ( , )
of
Dirac
spinors,
is spin spherical harmonics,
respectively,
Y jml ( , )
is
pseudospin spherical harmonics, l is orbital quantum number, l is pseudo orbital quantum number, and m is the projection of the angular momentum on the zaxis. By inserting Eqs. (3) and (4) into Eq. (2), we get d U (r ) Fn (r ) M En VV (r ) VS (r ) Gn (r ) dr r (5) and d (6) U (r ) Gn (r ) M En VV (r ) VS (r ) Fn (r ) dr r By manipulating Eqs. (5) and (6) we obtain Dirac equations for pseudospin and spin symmetries, respectively, given as d2 ( 1) 2 2 U ( r ) U ( r ) Gn ( r ) 2 r2 r dr dU (r ) M En (r ) Gn (r ) dr M En
M
En (r ) Gn (r )
(7) and d 2 ( 1) 2 U (r ) U 2 (r ) Fn (r ) 2 2 dr r r dU (r ) M En (r ) Fn (r ) dr
(8)
M En (r ) M En Fn (r )
where (r ) VV (r ) VS (r ) is the sum of scalar and vector potentials, and (r ) VV (r ) VS (r ) is the different between vector and scalar potentials. In the case of pseudospin symmetry, from Eq. (7) we have ( 1) l (l 1) that gives l ( j 12 ) l l 1 and j l 12 l 1 ( j 12 ) l l 1 and j l 12
(9) (10)
for 0 and for 0 , respectively, is spin orbit quantum number. For pseudospin symmetry the sum and the different between vector and scalar potentials are given as (11) (r ) C ps and (r ) V (r ) where Cps is constant. Eq. (7) is Schrodinger-type equation with the effective potential Veff ( 1) 2 dU Vef 2 U (r ) U 2 (r ) V (r ) M En C ps (12) r r dr 2 (r ) '(r ) V (r ) M En C ps is shape invariant since the effective potential in Eq. (12) is combination of two potentials, 2 VL (r ) ' (r ) and VR V (r ) M En C ps with (r ) U (r )
is similar to the superpotential of the r
trigonometric Scarf potential in the approximation scheme of centrifugal term. For spin symmetry we have ( 1) l (l 1) that leads to the values (l 1) ( j 12 ) j l 12 , for 0 (13) and
l ( j 12 ) j l 12 , for
0
(14)
The different and the sum of vector and scalar potentials for spin symmetry are (15) (r ) Cs and (r ) V (r ) Similar to the argumentation of the pseudospin symmetry, the Schrodinger-type equation in Eq. (8) has shape invariant potential with the effective potential Veff given as ( 1) 2 Vef U (r ) r2 r (16) dU 2 U (r ) V (r ) En M Cs dr 2 (r ) '(r ) V (r ) En M Cs Both Dirac equations for pseudospin and spin symmetries in Eqs. (7) and (8) are solved using Nikiforov-Uvarov Method. The NU method which was developed by Nikiforov-Uvarov [31]. This
90
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
method based on solving the second order linear differential equations by reducing it to a hypergeometric type equation by a suitable change of variable. By using the eigenvalue of this method, we have the energy of the system. The wave functions exactly obtained using the eigenfunction of NU method in terms of Jacobi polynomials.
(26) ( s) ( s) s The wave function of the system is therefore obtained from Eqs. (20), (25) and (26).
2. Methods of Analysis
3.1. Solution of Pseudospin Symmetry
The Dirac equation of any shape invariant potential can be reduced into hypergeometric type differential equation by suitable variable transformation [32-35]. The hypergeometric type differential equation, which is solved using NU method, is presented as: 2 ( s) ( s) ( s) ( s) (17) 2 ( s) 0 s 2 ( s) s where ( s) and ( s) are polynomials at most in the
The trigonometric Scarf potential that will be coupled with new tensor potential is given as V cos ar V (27) V (r ) a 2 20 1 2 sin ar sin ar where V0and V1a positive parameter which describe the depth of the potential, a is a positive parameter which control the range of the potential, and 0 r . By inserting Eqs. (1) and (27) into Eq. (7),and take approximaxion for centrifugal term, [28], we obtain 1 a2
second order, and ( s) is first order polynomial. Eq. (17) can be solved using separation of variable method which is expressed as: (18) ( s) y ( s) By inserting Eq. (18) into Eq. (17) we get hypergeometric type equation, that is: 2 y y (19) 2 y 0 s s ϕ (s) is a logarithmic derivative whose solution obtained from condition: ' (20)
while the function π (s) and the parameter λ are defined as: ' 2
' k 2 2
(21)
k '
(22) The value of k in Eq. (21) can be found from the condition that the expression under the square root of Eq. (21) must be square of polynomial which is mostly first degree polynomial and therefore the discriminate of the quadratic expression is zero. A new eigenvalue of Eq. (19) is: n n 1 (23) n n ' '' ; n = 0, 1, 2, … 2 where (24) 2 The new bound state energy is obtained using Eqs. (22) and (23). To generate the bound state energy and the corresponding eigenfunction, the condition that τ'< 0 is required. The solution of the second part of the wave function, yn (s), which is connected to Rodrigues relation [36], is given as: yn ( z )
Cn d n n ( z) ( z) ( z ) dz z
(25)
where Cn is normalization constant, and the weight function ρ(s) must satisfies the condition:
3. Result and Discussion
r2
sin
2
ar
d a ( 1) 2V3 V32 V22 V2 V0 ps 2 Gn (r ) dr sin 2 ar 2
2
a 2 (2V2 2V2V3 V3 V1 ps )cos ar 2
sin ar
(28)
Gn (r )
M En M En C ps a 2V22 Gn (r )
By setting
Aps ( 1) 2V3 V32 V22q V2q V0 ps
(29)
Bps (V3 2V2 2V2V3 V1 ps )
(30)
M En M En C ps E ' ps V22 2 a
(31)
ps M En C ps
(32)
in Eq. (28) we obtain one dimensional Schrodingertype equation given as 3
d 2 a 2 Aps a 2 B ps cos ar 2 ' 2 2 Gn (r ) a E psGn (r ) 2 dr sin ar sin ar (33) By setting cos ar s in Eq. (33) we get ' 2 d 2Gn (r ) s dGn (r ) Aps Bps s E ps 1 s Gn (r ) 0 2 ds 2 1 s2 ds 1 s2
(34) By comparing Eqs. (17), (34), and using eigenvalue of NU method in Eq. 23, we obtain the relativistic energy of Dirac Equation is: M En En M C ps 2 V 2 a2 (35)
1 2
A
ps
14 B ps 12
A
ps
14 B ps n 12
2
The relativistic energy spectra calculated from relativistic energy equation in Eq. (35) are presented
91
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
in Table 1. It shows that the degeneracy occurs for a pair of states (n, l, j+½) with (n, l+2, j-½). The degeneracy is removed by the presence of the trigonometric cotangent and cosecant tensor potential, as shown in the 5 th and 9th columns. For 0 , the presence of the tensor potential decreases the relativistic energy while for 0 the tensor potential increases the relativistic energy. Table 1. Energy spectra for trigonometric Scarf potential with/without new tensor potential forV0 = 4 fm-1; V1 = 3 fm-1; a = 0.05 fm-1; M = 3 fm-1; and Cps = -5 fm-1. En 0 En 0 En 0 En 0 (l, n, (l+2, l
n,
0 1 2 0 1 2
0, -1 0, -2 0, -3 1, -1 1, -2 1, -3
0
j = l + ½)
V2&V3 = 0
0s1/2 0p3/2 0d5/2 1s1/2 1p3/2 1d5/2
-1.98997 -1.97773 -1.96107 -1.97756 -1.96091 -1.94022
V2 = 0.6, V3 = 0.8 -1.99674 -1.98834 -1.97518 -1.98768 -1.97485 -1.95741
By using eigenfunction of NU method in Eqs. (20), (25), and (26), we obtain the lower component of Dirac spinor for pseudospin symmetry, that is, B ps B ps 12 p 14 Gn Bn 1 s 2 1 s 4 p 1 s 4 p (36)
Pn
,
s
wherePn(,) is Jacobi Polynomial, that is,
Pn , s n
d dz n
1 n
n
2 n!
1 s 1 s
p
,
(37)
2 n
(38)
c, (39) andBn is normalization constant. The ground state of lower component of Dirac spinor for any state from Eqs. (36) to (39) is
G0 (r ) 1 cos ar
1 1 Aps 1 B ps 4 2 4
1 cos ar
1 1 Aps 1 B ps 4 2 4
(40) The ground state wave function of upper component of Dirac spinor for pseudospin symmetry is obtained using Eqs. (6) and (40) in the approximation scheme of centrifugal term given as
A
a 1 2 F0 (r ) 1 a 2
1 cos ar
14 B ps 1 2V2 cos ar M En C ps 1 1 1 Aps 4 Bps 2 Aps 4 Bps ( V3 ) M En C ps ps
1 2
14 B ps
Aps 14 Bps 14
A
ps
1 cos ar
1 2
V2&V3 = 0
0, 2 0, 3 0, 4 1, 2 1, 3 1, 4
0d3/2 0f5/2 0g7/2 1d3/2 1f5/2 1g7/2
-1.98997 -1.97773 -1.96107 -1.97756 -1.96091 -1.94022
V2 = 0.6, V3 = 0.8 -1.98058 -1.96487 -1.94500 -1.96427 -1.94457 -1.92107
3.2. Sollution of Spin Symmetry The Dirac equation for spin symmetry is obtained by inserting Eqs. (1) and (27) into Eq. (8) given as d 2 ( 1) 2 2 2 2 2 a V2 cot ar V3 csc ar a V2 csc ar Fn (r ) r r dr
B ps , B p ps , 2p 2p
j = l - ½)
a 2 V2 cot ar V3 csc ar a 2V3 csc ar cot ar Fn (r )
1 s 1 s 1 s
0
Aps 14 Bps 14
(41)
For exact pseudospin symmetry which occurs when C ps 0 , the upper spinor in Eq. (41) exist if M En it means that there is no positive bound state energy for pseudospin symmetry.
2
(42)
V V cos ar a 2 20 1 2 M En Cs Fn (r ) sin ar sin ar M En M En Cs Fn (r )
Using the approximation of the centrifugal term, [28], into Eq. (42) we get
1 a2 r 2 sin 2 ar
2 a 2 ( 1) 2V3 V32 V22 V2 V0 s d 2 Fn (r ) sin 2 ar dr 2 (43) a (2V2 2V2V3 V3 V1 s ) cos ar Fn (r ) 2 sin ar M En M En Cs a 2V22 Fn (r )
By setting
As ( 1) 2V3 V32 V22 V2 V0 s
(44)
Bs (V3 2V2 2V2V3 V1 s )
(45)
M En M En Cs E 's V22 2 a
(46)
(47) s M En Cs in Eq. (43) then Eq. (43) reduces to one dimensional Schrodinger-type equation given as d2 a 2 As a 2 Bs cos ar (48) F (r ) a 2 E ' F (r ) 2 dr
sin 2 ar
sin 2 ar
n
s
n
Eq. (48) are basically similar with Eq (33). Therefore, the relativistic energy and the wave functions for spin symmetry, both for upper and lower component of Diracspinors, is similar to the pseudospin symmetry limit. The only different is the values of A, B, and C. The ground state wave
92
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
function of upper component of Dirac spinor for exact spin symmetry occurs when Cs 0, the lower spinor exist if M En therefore the system has no negative bound state relativistic energies.
4. Concluding Remark The Dirac equation for trigonometric Scarf potential with trigonometric cotangent and cosecant tensor potential in the approximation scheme of centrifugal term is exactly solved using NUmethod both for pseudospin and spin symmetric cases. It was found to agree with previous works [27]. The trigonometric cotangent and cosecant tensor potential removes the degeneracy energies both for pseudospin and spin symmetries. The lower and upper component of Dirac spinors are obtained exactly in the approximation scheme of centrifugal term both for pseudospin and spin symmetries.
Acknowledgement This research is partly supported by HibahPenelitiUtama (PUT) SebelasMaret University 2014 and DIKTI with contract number 165a/UN27.11/PN2013. The conference and publication fees supported by State University of Surabaya (Unesa).
References [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14]
Alberto P, Lisboa R, Malheiro M, De Castro A S 2005 Phys. Rev. C 71 034313-7 Zhang LH, Li XP and Jia CS 2008 Phys. Lett. A372 2201 Wei GF and Dong SH 2008 Phys. Lett. A373 49 Ikhdair SM and Hamzavi M 2013 Chin. Phys. B22 090305-1 Ikhdair SM and Sever R 2010 Appl. Math. Comput. 216 911 Hamzavi M, Rajabi AA and Hassanabadi H 2010 Phys. Lett. A374 4303 Wei GF and Dong SH 2008 Phys. Lett. A373 49 Xu Y, He S and Jia CS 2008 J. Phys. A: Math. andTheor.41 0255302-1 Hamzavi M and Rajabi AA 2013 Adv. High. En. Phys.2013 1 Ikhdair SM and Sever R 2010 arXiv: 1001. 4327v2 [math-ph] IkotAN 2013 Commun. Theor Phys.59 268 Aydogdu O, Maghsoodhi E and Hassanabadi H 2013 Chin. Phys. B22 010302-1 Zhou F, Wu Y and Guo JY 2009 Commun. Theor. Phys.52 813 Ping ZA and Chao W 2007 High En. Phys. and Nucl. Phys.31 1027
[15] Chen G 2004 Phys. Lett. A328 116-204 [16] Chen G, Chen ZD, Lou ZM 2004 Chin. Phys.13 3279 [17] Guo JY, Zhou F, Gou FL and Zhou JH 2007 Int. J. Mod. Phys. A22 4825 [18] Chen CH 2005 Phys. Lett. A339 283 [19] Aydogdu O and Sever R 2011 Phys. Lett. B.703 379 [20] Chen G 2004 Mod. Phys. Lett. A19 26 [21] Yan Z and Gou JY 2008 Chin. Phys. B17 0380 [22] Hu XQ, Luo G, Wu ZM, Niu LB and Ma Y 2010 Commun. Theor. Phys.53 242 [23] Soylu A, Bayrak O and Boztosun I 2007 J. Math. Phys. 48 082302 [24] Bahar MK and Yasuk F 2013 Chin. Phys. B22 010301-1 [25] Cari C, Suparmi A, Deta UA, and S W Intan 2014 MAKARA Journal of Science17 3 [26] Suparmi A and Cari C 2013 At. Ind. J 39 1 [27] Suparmi A, Cari C, and Deta UA 2014 Chin. Phys. B (in press) [28] Aydogdu O and Sever R 2010 Few-Body Syst.47 193 [29] Akcay H 2009 Phys. Lett.373 616 [30] Hamzavi M, Rajabi AA and Hassanabadi H 2010 Few-Body Sys.48 171 [31] Nikiforov A F and Uvarov V B 1988 Special Functions of Mathematical Physics, (BirkhauserVerlag Basel) p. 317-318 [32] Suparmi 2011 MekanikaKuantum II (Surakarta: Physics Department-Faculty of MIPASebelasMaret University) pp. 166-169 [33] Ikot AN, Akpabio LE, and Uwah EJ 2011 EJTP8/25 225-232 [34] Ikot AN, Antia AD, Akpabio LE, and Obu JA 2011 JVR6/2 65-76 [35] Inomata A, Suparmi A, and Kurth S 1991 Proceeding of 18th International Colloqium on Group Theoretical Methods in Physics V 399 [36] Yasuk F, Berkdemir C, and Berkdemir R 2005 J. Phys. A: Math. Gen38 65795.
93
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
TORTUOSITAS PADA MODEL 3D BATUAN BERPORI Firmansyah1*), Selly Feranie1, Fourier D.E. Latief2, Prana F. L. Tobing1 1
Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, Jl. Dr. Setiabudhi No. 229, Bandung 40154 2 Fisika Bumi dan Sistem Komplek FMIPA ITB, Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 *) Email:
[email protected] Abstrak Telah dilakukan perhitungan tortuositas dalam model 3D batuan berpori. Model 3D batuan berpori ini dibentuk oleh butiran bola yang didistribusikan secara acak, untuk melihat pengaruh distribusi tersebut terhadap nilai porositas (ϕ)dan tortuositas (τ). Perhitungan dibatasi pada model dengan porositas 10%, 15% dan 20% serta ukuran jari-jari butiran bola dalam rentang 5-10, 10-15, dan 15-20 (dalam ukuran pixel). Diperoleh hasil perhitungan untuk : 1) Porositas 10% dengan jari-jari butir seperti disebutkan sebelumnya, nilai tortuositas secara berurutan yaitu τ = 2,127±0,846, τ = 1,669±0,610 dan τ = 1,732±0,371; 2) Porositas 15%, nilai tortuositas secara berurutan yaitu τ = 1,542±0,266, τ = 1,477±0,231 dan τ = 1,359±0,232; 3) Porositas 20%, nilai tortuositas secara berurutan yaitu τ = 1,806±0,493, τ = 1,708±0,502 dan τ = 1,536±0,582. Terlihat bahwa untuk porositas yang sama dengan jari-jari butir yang berbeda akan menghasilkan nilai tortuositas yang berbeda. Hal tersebut bisa terjadi karena pengaruh distribusi acak butiran. Nilai tortuositas paling tinggi berdasarkan hasil diatas adalah τ = 2,12 sedangkan menurut asumsi dalam persamaan Kozeny-Carman untuk menghitung permeabilitas bernilai τ = 2,5 untuk semua nilai porositas. Sehingga nilai tortuositas yang dianggap konstan untuk semua nilai porositas perlu dipertimbangkan kembali penggunaannya jika dilihat dari hasil perhitungan tortuositas pada model 3D batuan berpori ini. Kata kunci : Jari-jari butiran, Tortuositas, Perumusan Kozeny-Carman, Model 3D batuan berpori Abstract Calculation of tortuosity (τ) in 3D porous rocks models have been done. The 3D porous rocks models were constructed of spherical grain which distributed randomly to observe the effect of the distribution to the porosity (ϕ)and tortuosity (τ). Calculation of tortuosity is limited for models with porosity of 10%, 15% and 20% as well as grain sizes in range of 5-10, 10-15 and 15-20 (in pixel unit). We obtained the result of investigation for: 1) Porosity 10% with the grain sizes as said before, the value of tortuosity is τ = 2,127±0,846, τ = 1,669±0,610 and τ = 1,732±0,371; 2) Porosity 15%, the value of tortuosity is τ = 1,542±0,266, τ = 1,477±0,231 and τ = 1,359±0,232; 3) Porosity 20%, the value of tortuosity is τ = 1,806±0,493, τ = 1,708±0,502 andτ = 1,536±0,582. It can be seen that the same porosity with different grain sizes produces models with different tortuosity. This can be caused by the effect of the randomized distribution of grain size. The highest value of tortuosity based on the results
94
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
above is τ = 2,12 while according to assumption in Kozeny-Carman’s equation for measuring permeability, the tortuosity is τ = 2,5. Hence from the result of this tortuosity analysis in this 3D porous rocks model, it is important to reconsider the uses of such assumption for all porosity value. Keywords: Grain size, Porosity, Tortuosity, Kozeny-Carman’s equation, 3D porous rocks model untuk model batuan dengan butiran PENDAHULUAN sferis/bola. Oleh karena itu, peneliti Persamaan Kozeny-Carman (Carman, membuat model 3D batuan berpori yang 1961) merepre-sentasikan hubungan antara dibentuk oleh butiran bola yang besaran permeabilitas sebagai fungsi dari didistribusikan secara acak. Hal ini besaran-besaran fisis lainnya. Persamaan dilakukan untuk melihat pengaruh ukuran tersebut sering direpresentasikan dalam butir terhadap nilai porositas (ϕ) dan bentuk grafik permeabilitas (k) sebagai tortuositas (τ). Penelitian sejenis telah fungsi porositas (ϕ), permeabilitas (k) dilakukan oleh Nurwidyanto dkk(2006) pada sebagai fungsi ukuran butir (r), dan kasus batupasir formasi Ngrayong. permeabilitas (k) sebagai fungsi tortuositas (τ). Persamaan tersebut telah banyak METODE PENELITIAN diterapkan pada berbagai kasus, baik untuk model medium berpori, misalnya batuan Dalam penelitian ini, model 3D batuan berpori, dalam ruang 2D maupun 3D. Model berpori dibuat dengan menggunakan butiran tersebut menggunakan asumsi bahwa poribulat sempurna/sferis/bola. Model ini akan pori batuan membentuk jalur aliran fluida digunakan menganalisis persamaan silinder yang berbentuk pipa. Persamaan matematis Kozeny-Carman untuk tersebut telah dikaji di antaranya oleh menginvestigasi tortuositas. Model ini Sumantri (2007) yang melakukan analisis diasumsikan memenuhi model fisis untuk perbandingan nilai permeabilitas yang persamaan Kozeny-Carman, yaitu poridiperoleh dengan menggunakan persamaan porinya berbentuk seperti yang ditunjukkan ini dengan hasil yang didapat dari pada Gambar 1. pendekatan fraktal, serta Dvorkin (2009) yang melakukan analisis tinjauan ulang persamaan Kozeny-Carman yang lebih komprehensif. Pada persamaan Kozeny-Carman, nilai tortuositas sering digunakan nilai τ = 2,5 untuk berbagai nilai porositas. Dalam kenyataannya, pengukuran tortuositas tidak mudah dilakukan. Sehingga tortuositas Gambar 1. Jalur aliran fluida yang dianggap konstan untuk mempermudah berbentuk pipa (Dvorkin, 2009) perhitungan dalam mencari nilai permeabilitas. Namun demikian, beberapa Berbagai penelitian telah menghasilkan penelitian misalnya Matyka dkk (2008) dan model-model batuan dengan bermacam Duda dkk (2011) nilai tortuositas tidak pendekatan dan karakteristik yang khas dari konstan untuk nilai porositas yang berbedamasing-masing model tersebut. Salah satu di beda. antaranya adalah model fraktal yang dibuat oleh Feranie (2010). Dalam penelitian ini, Penelitian ini mengkaji pengaruh ukuran model 3D batuan berpori dibentuk oleh butiran dan porositas pada nilai tortuositas butiran berbentuk bola yang didistribusikan
95
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
secara acak dengan ukuran 100×100×100. Ukuran butir dibuat berbeda dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh ukuran butir terhadap porositas dan tortuositas. Pengukuran model ini dibatasi hanya pada porositas 10%, 15% dan 20% serta ukuran jari-jari butiran bola dalam rentang 5-10, 1015, dan 15-20 (dalam ukuran pixel). Lalu dalam model tersebut diperoleh visualisasi jalur aliran fluida (tortuositas) yang diidentifikasi dengan warna yang berbeda dari warna butir. Butiran bola dideskripsikan dengan warna hitam untuk permukaan butir dan warna merah tua untuk didalamnya, sedangkan jalur aliran fluida yang dapat mengalir melalui porositas batuan yang saling terhubung dideskripsikan dengan warna merah seperti pada Gambar 2.
L' (0.3) L Dalam penelitian ini, tortuositas dihitung dengan menggunakan metode random walk yang dikembangkan oleh Fauzi dan Ariwibowo (2006). Metode ini menggunakan pendekatan pelacakan jejak ruang pori beradasarkan hubungan tetangga terdekat (nearest neighbor) dengan prioritas sumbu utama dan kemudian sumbu diagonal. Hasil penelusuran metode tersebut dapat divisualkan seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Jalur aliran fluida pada struktur dalam batuan HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2. Model 3D batuan berpori dengan ukuran kotak 100×100×100 tersusun oleh butiran bola. Persamaan Kozeny-Carman dituliskan dalam Persa-maan (1.1) berikut (Dvorkin, 2009):
1 3 (0.1) 2 s 2 2 dengan k adalah permeabilitas, ϕ adalah porositas total, s adalah luas permukaan spesifik dan τ adalah tortuositas. Porositas (ϕ) didefinisikan sebagai volume pori total dibagi dengan volume total batuan. Secara matematis ditulis sebagai sebagai berikut: Volume pori total 100% (0.2) Volumetotal batuan Kemudian, tortuositas (τ) didefinisikan sebagai pan-jang lintasan yang terbentuk oleh pori L’ dibagi terhadap panjang terdekatnyaL. Secara matematis ditulis sebagai berikut: k
Hasil konstruksi model 3D batuan berpori untuk porositas 10% dengan jari-jari butir yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 4. Pada model tersebut bagian tepian kubus model menunjukkan butiranbutiran yang terpotong. Hal ini dihasilkan dari metode pengambilan subsampel dari model keseluruhan untuk mengurangi efek ketidakseragaman distribusi pori secara statistik akibat geometri pada tepian matriks.
(a)
96
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
setiap ukuran butir yang diperlihatkan dalam Tabel 1.
(b)
(c) Gambar 4. Model 3D batuan berpori dengan porositas 10% dengan ukuran butir (a)5-10(b) 10-15(c) 15-20 Jalur pendeteksian keterhubungan pori yang dapat diinterpretasikan secara sederhana sebagai jalur aliran fluida dalam pori, dapat divisualkan terpisah dari geometri model batuan yang dihasilkan. Dua dari beberapa hasil metode random walk tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
berbeda
Tabel 1. Parameter pemodelan dan hasil perhitungan tortuositas rata-rata. Poros 10% 15% 20% itas Ukura Tortuosita Tortuosita Tortuosita n s s s Butir 5 – 10 2,127 0,8463 1,542 0,2658 1,806 0,4934 10 – 1,669 0,6096 1,477 0,2309 1,708 0,5020 15 15 – 1,732 0,3709 1,359 0,2324 1,536 0,5817 20 Terlihat bahwa untuk porositas yang sama dengan jari-jari butir yang berbeda akan menghasilkan nilai tortuositas yang berbeda. Hal tersebut bisa terjadi karena pengaruh distribusi acak butiran. Semakin kecil ukuran butir maka nilai tortuositas akan semakin besar, begitu juga sebaliknya. Tortuositas tinggi mengandung arti yaitu semakin rumit jalur aliran fluida didalam batuan. Nilai tortuositas paling tinggi berdasarkan hasil diatas adalahτ = 2,12 sedangkan menurut asumsi dalam persamaan Kozeny-Carman untuk menghitung permeabilitas bernilai τ = 2,5 untuk semua nilai porositas. KESIMPULAN
(a)
(b) Gambar 5. Visualisasi jalur aliran fluida (tortuositas) (a) Porositas 10% ukuran butir 10-15 (b) Porositas 15% ukuran butir 5-10 Parameter pemodelan dan hasil perbandingan tortuositas rata-rata untuk
Nilai tortuositas dari model-model yang dibuat bervariasi antara 1,359 sampai 2,127. Dalam model-model dengan nilai porositas yang sama, makin besar ukuran butiran, makin kecil nilai tortuositas yang dihasilkan, yang menunjukkan bahwa butiran kecil menghasilkan struktur pori yang lebih kompleks. Dengan kata lain, fluida akan melalui jalur yang lebih rumit sehingga akan dapat diprediksi menghasilkan permeabilitas yang lebih kecil. Sedangkan secara umum, semakin besar nilai porositas, maka nilai tortuositasnya makin kecil, yang menunjukkan makin sederhananya struktur pori atau jalur yang dilalui fluida, sehingga dapat diprediksi nilai permeabilitas semakin
97
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
besar. DAFTAR PUSTAKA [1] A. Duda, Z. Koza, dan M. Matyka, (2011): Hydraulic tortuosity in arbitrary porous media flow, Physical Review E 84, 036319. [2] J. Dvorkin (2009): Kozeny-Carman Equation Revisited. [3] M. I. Nurwidyanto, M. Yustiana, S. Widada (2006): Pengaruh Ukuran Butir Terhadap Porositas dan Permeabilitas Pada Batu Pasir (Studi Kasus: Formasi Ngrayong, Kerek, Ledok dan Selorejo), 97 Berkala Fisika Vol. 9, No. 4, hal 191195. [4] M. Matyka, A. Khalili, dan Z. Koza, (2008): Tortuosity-porosity relation in the porous media flow, Physical Review E 78, 026306. [5] P. C. Carman (1961): The flow of gas Through Porous Media, Biblio thé que des Scienceset Techniques Nucléaires. Paris:PressesUniversitaires de France. [6] S.Feranie (2010): Pemodelan Struktur Pori Dari Batuan Geologi Dengan Fraktal, Berkala Fisika Vol. 12, No. 3, hal 91-96. [7] U. Fauzi dan T. Ariwibowo, (2006): Tortuosity and Coordination Number of Highly Porous Artificial Rocks Created Using Random Number Generator, Proceedings of ICMNS 2006. [8] Y. Sumantri (2007): Perbandingan Antara Hasil Perkiraan Permeabilitas Menggunakan Persamaan KozenyCarman dan Persamaan Fraktal, Proceeding Simposium Nasional IATMI, UPN “Veteran” Yogyakarta.
98
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
SIFAT MAGNETIK SEDIMEN SUNGAI SEBAGAI INDIKATOR PENCEMARAN (STUDI KASUS : SUNGAI CITARUM KABUPATEN KARAWANG) Kartika H. Kirana*), DiniFitriani, Eddy Supriyana, EleonoraAgustine Program Studi Geofisika, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363 *)
[email protected] Abstrak Sungai Citarumsangatpentingbagikehidupansocialekonomimasyarakat yang tinggal di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Selain digunakan sebagai sumber air minumoleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), irigasi pertanian dan perikanan, pembangkit listrik tenaga air, DAS Citaum juga dijadikan sebagai daerah buangan limbah pabrik dan rumah tangga. yang berpotensi sebagai sumber pencemar. Menyadari bahwa keberadaan Sungai Citarum ini sangat penting, makadiperlukan monitoring dan evaluasi terhadap pencemaran air Sungai Citarum. Metode kemagnetan batuan sebagai suatu metode yang cepat dan mudah, dapat digunakan sebagai proxy indicator pencemaran air Sungai Citarum melalui pengukuran suseptitibilitas magnetik. Penggunaan metoda ini didasarkan pada kelimpahan mineral magnetik yang terkandung dalam setiap bahan di alam. Bahan yang akan digunakan sebagai sampel untuk menduga pencemaran air adalah sedimen DAS Citarum. Nilai suseptibilitas magnetik diukur dengan menggunakan alat Bartington MS2B yang beroperasi padaduafrekuensi, 470 Hz dan 4700 Hz. Hasil pengukuran menunjukkan urutan daerah yang memiliki suseptibilitas magnetik yang diukur pada 470 Hz(LF), dari yang terbesar hingga terkecil adalah Walahar, Waduk Jatiluhur, Curug Klari, Tunggakjati, Medangasem-Jayakerta, dan PDAM. Pengukuran suseptibilitas magnetik dilakukan pula pada frekuensi yang lebih tinggi (HF), yaitu 4700 Hz. Perbedaan relatif nilai suseptibilitas magnetik yang diukur pada dua frekuensi disebut sebagai suseptibilitas bergantung frekuensi (FD).Pengukuran suseptibilitas magnetik pada dua frekuensi tersebut menunjukkan bahwa sampel pada daerah kajian memiliki nilai FD (%) kurang dari 4 %.Nilai suseptibilitas bergantung frekuensi yang rendah (1-4%) sering ditemukan pada tanah yang terkontaminasi.Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa mineral magnetik di daerah kajian berasal dari sumber antropogenik.Dugaan bahwa sumber mineral magnetik merupakan sumber antropogenik didukung oleh analisa statistik yang menunjukkan korelasi negatif antaraLFdanFD.Adanya korelasi negatif antara LFdanFD mengindikasikan bahwa mineral magnetik berasal dari polusi industri. Kata kunci :suseptibilitasmagnetik, pencemaran, Sungai Citarum
99
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
1. Pendahuluan Sungai Citarum di Kabupaten Karawang selain dimanfaatkan sebagaisumber air minumoleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), irigasi pertanian dan perikanan, pembangkit listrik tenaga air, di sisi lain juga digunakan sebagai daerah buangan limbah pabrik dan rumahtangga sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran. Mengingat pentingnya peranan Sungai Citarum, maka monitoring danevaluasi diperlukan untuk mengontrol pencemaran yang terjadi di Sungai Citarum. Banyak metoda yang dapat digunakan untuk mendeteksi pencemaran yang terjadi di daerah Sungai Citarum, salah satu metoda yang cepat, mudah dan murah, serta dapat memberikan informasi sebagai proxy indikator pencemaran adalah dengan menggunakan metoda kemagnetan batuan. Metode kemagnetan batuan banyak digunakan dalam kajian tentang pencemar atau polutan lingkungan.Tujuan dari kajian seperti ini umumnya adalah untuk mengidentifikasi mineral magnetik yang dominan pada pencemar dan menghubungkannya dengan sumber atau mekanisme pencemaran [1] serta keberadaan suatu mineral magnetik dan kelimpahannya dapat mencerminkan keadaan atau kondisi lingkungan [2]. Sumber mineral magnetik dapat berasal dari aktivitas manusia (antropogenik) dan alami (pedogenik) [3]. Kelimpahan mineral magnetik pada suatu bahan dapat diketahui dengan mengukur nilai suseptibilitas magnetik.
2. Metode Penelitian Pengukuran suseptibilitas magnetik dilakukan terhadap sejumlah sampel sedimen Pengambilan sampel dilakukan di sepanjang DAS Citarum sekitar Kabupaten Karawang, yaitu Waduk Jatiluhur, Curug Klari, Walahar, PDAM, Tunggakjati, dan Medangasem-Jayakerta. Sampel diambil dengan cara coring sedimen di DAS untuk mengetahui variasi dugaan pencemaran secara vertikal. Diduga dalam sedimen sungai tersebut terdapat akumulasi penumpukan limbah yang terbawa aliran sungai. Sampel sedimen yang diambil selanjutnya dicuplik ke dalam holder bervolume 10 cm3 seperti pada Gambar1. Dari hasil pengambilan sampel didapatkan jumlah total coringadalah 16 buah dan terbagi menjadi 133 buah holder sampel.
Gambar 1.Proses pengambilan sampel sedimen Sungai Citarum. Setelah proses pencuplikan selesai, lalusampelsampel tersebut menjalani suseptibilitas magnetik dengan menggunakan Bartington MS2 Susceptibility Meter pada frekuensi rendah LF(470 Hz) dan frekuensi tinggi HF (4700 Hz).Perbedaan relatif nilai suseptibilitas yang diukur pada frekuensi rendah dan frekuensi tinggi disebut sebagai suseptibilitas bergantung frekuensi (frequency-dependent susceptibility, FD). FD dapat diungkapkan dalam persentasi dan diperoleh melalui persamaan (1):
FD (%)
LF HF LF
100% (1)
3. Hasil dan Pembahasan Nilai suseptibilitas magnetik frekuensi rendah bervariasi dari 14,4 x 10-8 m3/kg sampai 1741,7 x 10-8 m3/kg. Dari enam lokasi pengambilan sampel, sampel dari daerah Walahar memiliki nilai suseptibilitas magnetik yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya. Tingginya nilai suseptibilitas magnetik mengindikasikan adanya akumulasi mineral magnetik dengan konsentrasi/ jumlah yang cukup tinggi seperti yang terlihat pada Tabel 1. Tabel 1.Nilai suseptibilitas sampel. Daerah Jatiluhur Walahar
Rentang LF(x 10-8 m3/kg) 14,4330,1 125,47537,8
Rentang HF(x 108 3 m /kg) 14,2-327,7 120,67501
PDAM
29,5-97
27,4-95,2
Jayakerta
42,4191,1
41,1-189,5
TunggakJati
87,3-407
86,8-404,3
CurugKlari
71,3664,3
68,8-661,1
Rentang FD (%) 0,612,35 0,4611,07 0,247,43 0,173,18 0,042,52 0,483,51
Nilai suseptibilitas magnetik mengindikasikan
100
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
kelimpahan mineral magnetik. Keberadaan mineral magnetik tersebut dapat terjadi karena proses pembentukan tanah (pedogenik) atau dapat pula karena sumber lain, yaitu aktivitas manusia (antropogenik) yang dapat berupa aktivitas industri, kendaraan bermotor atau aktivitas rumah tangga, dimana sumber ini berperan sebagai kontaminan [3]. Dilihat dari data nilai suseptibilitas, daerah Walahar memiliki nilai suseptibilitas paling tinggi. Hal ini menarik karena pada daerah Walahar terdapat perlapisan pada tanah permukaan. Perlapisan tanah ini diduga karena daerah Walahar merupakan tanah vulkanik atau dapat juga karena dahulu daerah Walahar merupakan daerah penambangan pasir hitam. Pengukuran suseptibilitas magnetik pada dua frekuensi menunjukkan bahwa sampel pada daerah kajian memiliki nilai FD (%) kurang dari 4 %. Sebagaimana dikutip dari Bijaksana dan Huliselan [4], nilai suseptibilitas bergantung frekuensi yang rendah (1-4%) sering ditemukan pada tanah yang terkontaminasi, sementara kelimpahan mineral magnetik pada tanah yang berasal dari proses pedogenikmemilikinilai yang lebihtinggi (~10%).Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa mineral magnetik di daerah kajian merupakan sumber antropogenik. Dugaan bahwa sumber mineral magnetic merupakan sumber antropogenik didukung oleh analisa statistik yang menunjukkan korelasi negatif antara LF dan FD, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Lu dan Bai [5] menyatakan bahwa adanya korelasi negatif antara LF dan FD mengindikasikan bahwa mineral magnetik berasal dari polusi industri.
magnetik diperoleh urutan daerah yang diduga memiliki kelimpahan mineral magnetik dari nilai tertinggi hingga nilai terendah adalah daerah Bendung Walahar, Waduk Jatiluhur, Curug Klari, Tunggak Jati, Jayakerta, dan PDAM. Kelimpahan mineral magnetik yang tinggi ini diduga berasal dari sumber antropogenik (polusi industri).
Ucapan Terimakasih Terima kasih kepada Pemda Kabupaten Karawang yang telah mendanai penelitian ini. Penelitian ini terselenggara atas kerjasama Unpad dengan Unsika. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Puji Isyanto, MM. untuk bantuan selama pengambilan sampel.
Daftar Acuan [1] [2]
[3] [4]
[5]
E.K. Huliselan dan S. Bijaksana, Identifikasi mineral magnetik pada lindi, Jurnal Geofisika,2, (2007),p. 8-13. T.Yang, Q.Liu, L. Chan, dan Z. Liu, Magnetic signature of heavy metals pollution of sediments : case study from the East Lake in Wuhan, China,Environmental Geology,52, (2007),p. 1639-1650. S. Bijaksana, Analisa mineral magnetik dalam masalah lingkungan, Jurnal Geofisika, 1, (2002), p. 19-27. S. Bijaksana dan E. K. Huliselan, Magnetic properties and heavy metal content of sanitary leachate sludge in two landfill sites near Bandung, Indonesia, Environmental Earth Science, (2009), DOI 10.1007/s12665-0090184-4. S. G. Lu dan S. Q. Bai, Magnetic characterization and magnetic mineralogy of the Hangzhou urban soil and its environmental implications, Chinese Journal of Geophysics, 51 (3), (2008), p. 549-557.
Gambar2. Korelasi suseptibilitas magnetic dengan suseptibilitas bergantung frekuensi.
4. Kesimpulan Berdasarkan data hasil pengukuran suseptibilitas
101
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
KARAKTERISASI RESERVOAR BATUPASIR PADA LAPANGAN “SG” MENGGUNAKAN INVERSI ACOUSTIC IMPEDANCE (AI) DAN ELASTIC IMPEDANCE (EI) Fajri Akbar1*) dan Syamsu Rosid1) 1
Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 16424 *) Email:
[email protected] Abstrak
Telah dilakukan penelitian di lapangan “SG” pada Formasi Talang Akar Sub-Cekungan Jambidengan studi inversi Acoustic Impedance(AI) dan Elastic Impedance(EI) untuk mengkarakterisasi reservoar. Metode AI yang melibatkan kecepatan gelombang P (VP) dan densitas menjadi kurang sensitif untuk kehadiran fluida. Untuk itu dilakukan metode EI dengan melibatkan kecepatan gelombang P (VP), kecepatan gelombang S (VS), dan densitas sehingga lebih sensitif terhadap kehadiran fluida. Metode AI di lakukan pada data seismikpost stackyang diinversi menghasilkan Volume AI untuk mengetahui lithology sedangkan metode EI dilakukan pada data seismik pre-stack dalam bentuk gather yang di mulai dengan super gather, kemudian merubah domain offset menjadi sudut (angle gather) dan menghasilkan data seismik near angle stack dan far angle stackyang selanjutnya diinversi menghasilkan volumeEI near dan far untuk mengetahui sebaran fluida gas dengan pemilihan zona gas berdasarkancrossplot hasil inversi EI near dan far. Di dapatkan hasil pada penampang AI, zona sand berada pada nilai 20.500 ft/s*g/cc sampai dengan 29.000 ft/s*g/cc dan hasil crossplot inversi EI near dan far pada zona sand yang berpotensi mengandung gas didapatkan ketika nilai EI far lebih kecil dibandingkan nilai EI near. Sebaran reservoar yang berpotensi mengandung gas berada di sebelah barat daya sampai ke utara daerah penelitian ini.
Abstract Acoustic Impedance (AI) and Elastic Impedance (EI) inversion study had been done on “SG” field on Talang Akar Formation, Sub-Basin Jambi for reservoir characterization. AI method which involve P-wave velocity and density is insensitive to fluid. Thus, EI method which involve P-wave velocity, density and S-wave velocity implemented to made more sensitive to fluid presence. AI method had been done on seismic post stack data which inverted to AI volume to understand lithology of the field while EI method had been done on pre-stack seismic data gather which starts with super gather, then transform offset domain to angle domain and generate seismic near angle stack and far angle stack herein after inverted to generate EI volume near and far to perceive gas fluid distribution by gas zone selection based on crossplot inversion result of EI near and far. The result on AI section, sand zone is on 20,500 ft/s*g/cc up to 29,000 ft/s*g/cc and result of crossplot inversion EI near and far on sand zone, which potentially contain gas, obtained when EI far smaller than EI near. Reservoir distribution and potentially contain gas is on SouthWest to North of this area. Keywords: Acoustic Impedance, Elastic Impedance, S-wave.
1. Pendahuluan Eksplorasi hidrokarbon dalam industri minyak dan gas bumi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menemukan cadangan minyak dan gas bumi yang ekonomis untuk di eksploitasi.Seismik refleksi merupakan salah satu metoda utama dalam eksplorasi hidrokarbon. Metoda ini dapat menggambarkan keadaan geologi bawah permukaan dengan cukup baik, sehingga perangkap hidrokarbon dapat dikenali dengan baik. Namun dalam tahapan interpretasi, seringkali di perlukan analisa lebih lanjut untuk memperkirakan potensi hidrokarbon yang berada di lokasi tersebut. Untuk mengetahuinya, sangat perlu dilakukan karakterisasi
reservoar. Upaya ini dilakukan untuk mendeskripsikan sifat fisika dan litologi batuan beserta kandungan fluidanya dengan mengintegrasikan data geofisika dan data petrofisika. Salah satu metode yang pada umumnya digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik reservoar adalah metode inversi seismik.Inversi seismik adalah suatu teknik pembuatan model geologi bawah permukaan dengan menggunakan data sesismik sebagai input dan data sumur sebagai pengontrolnya [1]. Teknik inversi seismik pada awalnya menggunakan data stack zero-offset yaitu sudut datang gelombang 0o atau tegak lurus bidang pantul, untuk menghasilkan Acoustic Impedance (AI). Mengingat AI hanya melibatkan kecepatan
102
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
gelombang P (Vp) dan densitas batuan , ambiguitas antara efek lithologi dan fluida belum dapat terpisahkan. Hal ini merupakan kekurangan yang perlu di perbaiki. Connolly [2] memperkenalkan teknik inversi Elastic Impedance (EI) yang merupakan generalisasi dari AI untuk sudut datang tidak sama dengan nol. Teknik ini membutuhkan masukan data stack nonzero offset yaitu stack yang memiliki rentang sudut datang tertentu. Selain merupakan fungsi densitas dan kecepatan gelombang P, EI juga dipengaruhi oleh kecepatan gelombang S sehingga lebih sensitif terhadap kehadiran Hidrokarbon. Maka, jika AI dan EI di kombinasikan,diharapkan hal ini dapat memisahkan lithologi batuan reservoar dan jenis fluida yang terkandung di dalamnya.
Gambar 1. Diagram alir penelitian inversi Acoustic Impedance dan Elastic Impedance. Dalam prakteknya, Impedansi Akustik kurang sensitif terhadap pengaruh kandungan fluida dalam batuan.Kemudian dikembangkan inversi yang melibatkan inversi pada stack yang dibuat dengan sudut datang ( ) sebagai variable. Proses inversi yang melibatkan sudut datang ( ) tertentu, dan juga penggunaan shear velocity (Vs) disamping compressional velocity (Vp) disebut sebagai Elastic Impedance (EI).
2. Metode Penelitian Secara garis besar alir penelitian ini dapat dijelaskan melalui diagram alir penelitian seperti yang di tunjukkan pada Gambar 1. Studiuntuk inversi AIdimulai dengan pengumpulan data-data (data seismik, data log, dan data petrofisika), ekstraksi wavelet, well seismic tie, picking horizon, pembuatan model awal geologi, inversiAI, dan pembuatan map impedansi akustik. Sedangkan untuk inversi Elastic Impedance dimulai dengan pembuatan super gather, angle gather, near-far angle stack, create near-far EI log, pembuatan model awal geologi masing-masing sudut, inversi EI pada masing-masing sudut, dan crossplot hasil inversi EI near dan EI far untuk mengetahui persearan fluida gas pengisi reservoar. Impedansi akustik merupakan impedansi batuan ketika terkena gelombang pada arah normal. Secara sederhana, impedansi akustik dapat diartikan sebagai kekerasan batuan.Semakin besar impedansi akustik suatu batuan maka tingkat kekerasannya semakin tinggi. AI VP
(1)
Gambar 2.Model konversi gelombang P-S pada refleksi dengan sudut datang gelombang tidak nol[3]. Aki-Richard [4] menurunkan persamaan yang merupakan pendekatan linear dari persamaan Zoeipprits. Ia lakukan dengan membagi faktor-faktor yang mempengaruhi variasi amplitudo seismik terhadap sudut datang ke dalam zona-zona sudut datang gelombang saat menumbuk sebuah reflektor, antara lain pada sudut normal (suku pertama), sub kritis (suku ke dua) dan pendekatan pada sudut kritis (suku ke tiga). Persamaan ini menjelaskan bahwa amplitudo refleksi gelombang seismik pada sudut datang tidak nol dibentuk dari kombinasi linear perubahan fraksional kecepatan gelombang P (VP), kecepatan gelombang S (VS) dan densitas pada sebuah reflektor. R A B sin 2 C sin 2 tan 2
(2) dimana, A
1 Vp 2 Vp 2
2
Vs Vs Vs 1 Vp 4 2 2 Vp Vp Vs Vp 1 Vp C 2 Vp B
Connolly [2] memperkenalkan EI sebagai perluasan dari metode AI untuk non-normal incident angle. Sebuah fungsi f(t) yang merupakan analogi dari impedansi akustik dibutuhkan untuk menyatakan reflektifitas pada sudut tidak normal.
103
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
R
f t i f ti 1 f ti f t i 1
(3)
dimana,
R = Reflektifitas pada sudut tidak normal
f t = Analogi AI yang didefinisikan sebagai Impedansi Elastik (EI) Persamaan diatas dapat dinyatakan dalam bentuk:104
(4)
1 Vp 1 Vp Vp 1 AI R 00 A 2 AI 2 Vp 2 Vp
R
1 EI 1 ln EI 2 EI 2
Kemudian dengan menggunakan pendekatan linear dari persamaan Zoeipprits yang diturunkan oleh Aki-Ricahards [4] dengan persamaan Connoly [2] maka persamaan yang mengekspresikan EI dapat diturunkan dalam bentuk:
EI ( ) Vp (1tan )Vs ( 8 K sin ) (14 K sin ) (5) 2
dimana, EI
VP VS
2
2
= Elastic Impedance = Densitas = Kecepatan gelombang P = Kecepatan gelombang S = Sudut datang gelombang
Persamaan diatas merupakan sebuah ekspresi impedansi batuan pada sudut tidak normal dan merupakan fungsi dari VP, VSdan densitas yang bervariasi terhadap sudut . Dengan menggunakan impedansi elastik, data sumur dapat secara langsung di-tied dengan data stack pada sudut yang tidak nol [2]. Pada metode Elastic Impedance, data seismik dalam bentuk CDP gather terlebih dahulu dilakukan proses super gather. Super gather adalah penjumlahan beberapa CDP yang berdekatan sehingga dapat memberikan peningkatan signal to noise ratioyang memberikan resolusi semblance yang lebih baik karena sifat signal yang koheren dibandingkan dengan noise yang berubah secara waktu dan tempat. Penjumlahan akan menguatkan yang koheren dan melemahkan yang random. Langkah berikutnya adalah mengubah data seismik dalam kawasan offset ke dalam bentuk angle gather yang selanjutnya di stack dalam dua rentang sudut yaitu 00-150 untuk near angle stack dan 150-250 untuk far angle stack. Inversi Elastic Impedance dilakukan dengan dua rentang sudut yaitu near dan far angle stack.Untuk itu dibutuhkan dua log Elastic Impedance dengan dua sudut juga. Pemilihan sudut untuk membuat log Elastic Impedance diambil pada nilai tengah rentang sudut near dan far angle stack. Untuk inversi near Elastic Impedance dengan menggunakan data seismik near angle stack dengan sudut stack 00-150 maka di buat log Elastic Impedance dengan sudut 80. Sedangkan untuk inversi far Elastic Impedance
dengan menggunakan data seismic far angle stack dengan sudut stack 150-250 maka dibuat log Elastic Impedance dengan sudut 210. 3. Hasil dan Pembahasan Dalam proses pencarian reservoar hidrokarbon yang memiliki prospek mengandung gas maupun minyak, analisis fisika batuan dalam bentuk crossplot sangatlah penting. Dalam analisis crossplot digunakan data-data sumur yang memiliki resolusi vertikal yang sangat baik sehingga dapat terlihat litologi batuan yang terdapat dalam sumur.Dengan demikian dapat dianalisis serta diperkirakan pula jenis litologi dan tebal-tipisnya litologi tersebut. Dari crossplot data p-impedansi dan volume clay pada ketiga sumur didapatkan 5 zona, yaitu zona sand, shaly sand, shale,meta sedimendan basement. Zona sand ditandai oleh warna kuning, zona yang memiliki volume clay yang dominan rendah. Kemudian zona shale, zona yang memliki nilai volume clay yang dominan tinggi yang ditandai oleh warna hijau.Zona shaly sand memiliki nilai volume clay yang relative menengah yang ditandai oleh warna merah muda.Zona meta sedimenditandai dengan warna hijau toska dengan nilai impedansi yang lebih tinggi dari pada sand yang disebabkan oleh batuan yang lebih kompak dibanding sand. Dan zona yang ke lima adalah basement dengan warna biru yang ditandai dengan p-impedance sangat tinggi.
Gambar 3. Crossplot dan Crossection p-impedance dengan volume clay pada sumur FA-05
104
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 4. Crossplot dan Crossection p-impedance dengan volume clay pada sumur FA-10.
Gambar 6. Crossplot dan Crossection EI near dengan EI far pada sumur FA-05
Gambar 5. Crossplot dan Crossection p-impedance dengan volume clay pada sumur FA-2X. Berdasarkan hasil crossplotp-impedance dengan volume clay di atas, Dapat dilihat pada semua sumur memiliki nilai Acoustic Impedance (AI) yang tinggi pada sand jika di bandingkan dengan shale. Pada sumur FA-05 (Gambar 3), lapisan sand memiliki rentang nilai Acoustic Impedance antara 22.500 sampai dengan 25.500 (ft/s)*(g/cc). Pada sumur FA-10 (Gambar 4), lapisan sand memiliki rentang nilai Acoustic Impedance antara 23.000 sampai dengan 29.000 (ft/s)*(g/cc). Dan pada sumur FA-2X (Gambar 5), lapisan sand memiliki rentang nilai Acoustic Impedance antara 20.500 sampai dengan 27.500 (ft/s)*(g/cc). Berdasarkan ketiga sumur ini, dapat disimpulkan bahwa rentang nilai Acoustic Impedancesand pada lapangan “SG” berkisar antara 20.500 sampai dengan 29.000 (ft/s)*(g/cc). Pada lapangan “SG” ini juga terdapat batuan meta sedimen yang terdapat pada sumur FA05 dan sumur FA-2X yang berada di atas basement dengan nilai Acoustic Impedance pada sumur FA-05 berkisar dari 25.500 sampai dengan 27.500 (ft/s)*(g/cc) dan pada sumur FA-2X berkisar dari 27.500 sampai dengan 35.000 (ft/s)*(g/cc). Pada ketiga sumur ini, tidak semua sumur sampai pada batuan basement, hanya dua sumur yang sampai pada batuan basement yaitu sumur FA-05 dan sumur FA2X.
Gambar 7. Crossplot dan Crossection EI near dengan EI far pada sumur FA-10.
Gambar 8. Crossplot dan Crossection EI near dengan EI far pada sumur FA-2X. Crossplot log Elastic Impedance near (80) dan log Elastic Impedance far (210) pada sumur FA-05 (Gambar 6), sumur FA-10 (Gambar 7), dan sumur FA-2X (Gambar 8) bertujuan sebagai indikator dari perubahan litologi dan indikator keberadaan fluida gas pengisi pori dengan penurunan nilai log EIfar terhadap EInear yang ditandai dengan warna kuning pada batuan sand. Semakin besar sudut yang kita ambil maka pemisahan fluida pengisi pori akan semakin bagus karena ketika suatu formasi berisi gas
105
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
maka akan terjadi penurunan kecepatan gelombang P (Vp) dan semakin besar sudut yang di ambil maka akan semakin jelas penurunan kecepatan gelombang P (Vp) yang di bandingkan dengan kecepatan Gelombang S (Vs) yang tetap stabil jika batuan terisi gas ataupun bukan. Untuk melihat sebaran lapisan sand dan sebaran fluida gas pengisi pori pada lapangan “SG” maka di tampilkan dalam bentuk penampang time slice Acoustic Impedance dan penampang persebaran fluida gasmasing-masing horizon pada data seismik. Persebaran fluida gas di ambil berdasarkan zona dari hasil crossplot inversi EI near terhadap EI far pada horizon 6 yang telah terbukti mengandung gas dan di sebarkan ke semua lapisan (Gambar 9).
Gambar 11. Sebaran fluida gas pada horizon 6. Impedansi berhubungan dengan kekerasan dan porositas suatu batuan, semakin rendah nilai impedansi maka semakin rendah kekerasan batuannya, dan semakin tinggi porositasnya.Kualitas reservoar yang terbukti mengandung gas pada sumur FA-05 lebih bagus di banding sumur FA-10 berdasarkan nilai impedansinya.Dan pada sumur FA2X memiliki nilai impedansi yang lebih rendah dibanding sumur FA-05 yang kemungkinan pada sumur ini memiliki reservoar yang bagus juga di lapisan ini.
Gambar 9. Crossplot hasil inversi EI near dengan EI far pada horizon 6 yang telah terbukti mengandung fluida gas.
Gambar 12. Map Acoustic impedance (AI) 50ms dibawah horizon 4 . Gambar 10. Map Acoustic impedance (AI) pada horizon 6. Gambar 10 dan Gambar 11 merupakan penampang time slice Acoustic Impedance dan sebaran fluida gas pada horizon 6 yang ditandai dengan warna kuning. Pada lapisan ini, yang telah terbukti menghasilkan gas adalah pada sumur FA-05 dan sumur FA-10 yang merupakan jebakan hidrokaron struktur yang berbentuk tinggian di sekitar sumur. Gambar13. Sebaran fluida gas 50 ms dibawah horizon 4. Gambar 12 dan Gambar 13 merupakan penampang time slice Acoustic Impedance dan persebaran fluida gas 50 ms dibawah horizon 4. Jebakan hidrokarbon pada lapisan ini merupakan jebakan geologi stratigrafi dengan hilangnya lapisan
106
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
di sekitar sumur FA-05 yang ditandai dengan warna ungu pada Gambar 12 sehingga hidrokarbon terperangkap di sekitar sumur FA-2X dan FA-10 yang persebarannya dapat dilihat pada Gambar 13 dengan warna kuning.
4. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil pengolahan data dan analisis hasil pengolahan dapatdi simpulkan sebagai berikut: 1. Lapisan sand pada lapangan “SG” formasi Talang Akar memiliki nilai Acoustic Impedance yang lebih tinggi di banding shale yang berkisar antara 20.500-29.000 (ft/s)*(g/cc). 2. Pada Sumur FA-10 memiliki nilai impedansi sand yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumur FA-05 dan sumur FA-2X. 3. Metode Elastic Impedance berhasil memisahkan lapisan yang berpotensi mengandung gas dengan dilakukan crossplot hasil inversi EI near dan EI far yang di tampilkan dalam bentuk map potensi gas tiap lapisan pada volume seismik hasil inversi EI. 4. Penyebaran lapisan sand dan yang berpotensi mengandung gas berada di sebelah barat daya sampai ke utara.
Ucapan Terimakasih Teriman kasih kepada teman seperjuangan Dhanys, Dini , Indra, Gianita, dan Yadi atas segala bantuannya.
Daftar Acuan [1] [2] [3] [4]
Sukmono, S., 2002, Seismik Inversi Untuk Karakteristik Reservoar, Jurusan Teknik Geofisika – ITB Connoly, P., 1999, Elastic Impedance, The Leading Edge, 18, No. 4, 438 – 452 Mavko G., Mukerji T., and Dvorkin J., 1998, The Rock Physics Handbook Tools, Cambridge University Press. Aki, K., and P.G. Richards, 1980, Quantitative Seismology and Methods, 1st edition: W.H. Freeman and Company.
107
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
PENYESUAIAN KURVA MODEL DINAMIS LANDAU-KHALATNIKOV PADA BZT Muhammad Hikam*), Septian Rahmat Adnan**), Bambang Soegijono, Arief Sudarmaji, Ganis Sanhaji dan La Ode Husein ZT Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 16424 *) Email:
[email protected] ** Email:
[email protected] )
Abstrak Penyesuaian kurva dengan program Delphi 6 pada Windows dilakukan untuk mencocokan hasil model dinamis Landau Khalatnikov dan kurva histeresis eksperimen dari lapisan tipis Barium Zirkonium Titanat (BZT) dengan doping Lantanum dan Indium yang di uji menggunakan rangkaian Sawyer-Tower. Serupa pada metode Rietveld pada difraksi sinar x, faktor R-Weighted Pattern (Rwp) digunakan sebagai pembanding antara hasil model dan eksperimen. Dengan memberikan variasi pada beberapa parameter seperti frekuensi, amplitudo medan listrik dan faktor skala mengakibatkan adanya perubahan pada hasil model. Hasil akhir menunjukan bahwa model cukup sesuai dengan hasil eksperimen.
Abstract Curve fitting under Delphi 6 program runs on Windows platform is utilized to match between the dynamic Landau Khalatnikov model and the hysteresis experimental data of Barium Zirconium Titanate (BZT) thin films doped by Lanthanum and Indium which were measured by using SawyerTower circuit. Similar to Rietveld method in x-ray difraction, R-Weighted Pattern (Rwp) factor is utilized as the comparator between the model and the experiment. By varying the adjustable parameters such as frequency, electric field amplitude and scale factor to model was slowly modified. The results showed that the model is in a good agreement with the experimental data. Keywords: Landau Khalatnikov, BZT, Sawyer-Tower circuit, Rwp
1. Pendahuluan Sifat ferroelektrisitas banyak diteliti pada saat ini dikarenakan sifatnya yang dapat diaplikasikan pada divasi elektronik, seperti FeRAM, Solar Cell, dll [1-4]. Barium titanat merupakan salah satu material ferroelektrik yang telah banyak diteliti karena memiliki konstanta dielektrik tinggi serta arus bocor rendah [2]. Pada perkembanganya Barium Zirkonium Titanat (BZT) menjadi material yang banyak diteliti selain Barium Titanat dan Barium Strontium Titanat (BST) karena secara kimiawi ion Zr4+ lebih stabil dibandingkan ion Ti4+[2]. Teori Landau–Devonshire (LD) telah banyak digunakan karena cukup memuaskan untuk memprediksi sifat ferroelektrisitas dari material ferroelektrik [3,5,6] dan model Landau– Khalatnikov (LK) merupakan bentuk dinamis dari teori LD [3,5]. Pada penelitian ini dilakukan pengujian kurva histeresis dari BZT dengan dopan Lantanum dan Indium dengan menggunakan rangkaian Sawyer-Tower, serta model Landau-Khalatnikov digunakan untuk menggambarkan kurva histeresis dari BZT. Pada
tahap akhir, R-Weigthed Pattern (Rwp) dihitung untuk mengetahui kecocokan hasil eksperimen dan model.
2. Metode Penelitian Telah dilakukan pembuatan lapisan tipis Barium Zirkonium Titanat dengan dopan Lantanum dan Indium dilakukan pengujian polarisasi menggunakan rangkaian Sawyer-Tower [4]. Energi bebas (G) pada material ferroelektrik Barium Zirkonium Titanat dengan berbagai dopan dapat dijelaskan dengan menggunakan teori LandauDevonshire (LD) pada persamaan (1) [3,5,6,7,9,10].
G
A(T T0 ) 2 B 4 C 6 P 2 P 3 P EP 2 0 4 0 6 0
(1)
108
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Persamaan (1) dapat disederhanakan menjadi persamaan (2) dan dengan menyisipkan suatu konstanta tidak berdimensi (t) yang merupakan faktor kristalografi dari material BZT [8,9,10]. 1 1 1 G tP 2 P 4 P 6 EP 2 4 6 (2) Polarisasi (P) pada material BZT di jelaskan menggunakan persamaan Landau – Khalatnikov (LK) yang merupakan suatu pesamaan diferrensial parsial yang ditunjukan pada persamaan (3).
dP G dt P
(3) dengan merupakan kecepatan untuk pembalikan polarisasi pada material, sedangkan G merupakan energi bebas Gibbs, maka dengan menggunakan persamaan (2) dan (3) didapatkan persamaan (4).
dP (tP P3 P5 E ) dt
Gambar 1. Tampilan Delphi 6 Untuk Model Dinamis BZT Perbandingan hasil model dan eksperimen pada BZT dengan dopan 1% Lantanum ditunjukan pada gambar 2. Dari hasil perbandingan terlihat bahwa nilai saturasi hasil eksperimen dan hasil model hampir sama dan terlihat bahwa nilai medan koersif dan polarisasi remanen terdapat perbedaan, tetapi dari hasil perbandingan didapatkan nilai Rwp 4,49% yang menunjukan perbedaan atau error rendah, sehingga dapat dikatakan hasil model cukup baik.
(4) Dengan E E0 Sin t . Solusi persamaan (4) diselesaikan dengan menggunakan metode RungeKutta orde 4. Hasil model kemudian dibandingkan dengan hasil eksperimen, untuk mengetahui kecocokan dilakukan perhitungan nilai R Weighted Pattern (Rwp) dengan menggunakan persamaan (5), sebagaimana yang biasa digunakan pada analisis Rietveld [11]. 2 n Pexp Pmod el Rwp i 1 n 2 Pexp i 1
(5) dengan Pexp adalah polarisasi hasil eksperimen dan Pmodel adalah polarisasi hasil model. Beberapa parameter seperti frekuensi (f), amplitudo medan listrik (E0) dan faktor skala (Sf) disesuaian untuk mendapatkan nilai R-Weighted Pattern (Rwp) dibawah 10% yang secara statistik dapat dikatakan baik [11].
3. Hasil dan Pembahasan
Gambar 2. Kurva Perbandingan Hasil Model dan Eksperimen Lapisan Tipis BZT dengan Dopan La 1% dan Rwp 4,49%. Hasil eksperimen dan model BZT dengan dopan 2% Lantanum ditunjukan pada gambar 3. Polarisasi saturasi yang terjadi pada BZT dengan dopan 2% La mengalami penurunan setengah dibandingkan dengan BZT dengan dopan 1% La. Pada BZT dengan dopan 2% La dilakukan model dengan memasukan faktor skala 30%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh nilai kapasitor referensi yang digunakan pada pengukuran menyebabkan nilai polarisasi saturasi, remanen berkurang hingga 30% jika dibandingkan dengan BZT dengan dengan dopan 1% La dan hasil Rwp didapatkan nilai 7,2%.
Tampilan program pada Delphi 6 ditunjukan pada gambar 1. pada program ini parameter kisi dari BZT sebagai input untuk perhitungan konstanta tidak berdimensi t.
109
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 3. Kurva Perbandingan Hasil Model dan Eksperimen Lapisan Tipis BZT dengan Dopan La 2% dan Rwp 7,2%
Hasil serupa terlihat pada hasil perbandingan antara hasil eksperimen dan model untuk BZT dengan dopan 1% In pada gambar 4. Pada gambar terlihat bahwa nilai saturasi antara hasil eksperimen dan model mendekati sama
tetapi terlihat terjadi perbedaan pada nilai polarisasi remanen dan medan koersif tetapi dari hasil perbandingan diapatkan nilai Rwp 8,01% kurang dari 10% yang menunjukan hasil model cukup memuaskan secara statistik [11].
Gambar 4. Kurva Perbandingan Hasil Model dan Eksperimen Lapisan Tipis BZT dengan Dopan In 1% dan R wp 8,01% Dari hasil pemodelan BZT dengan variasi dopan dengan variasi komposisi menggunakan teori Landau – Devonshire menunjukan hasil cukup baik dengan nilai Rwp < 10% ditunjukan pada tabel 1. Tabel 1. Hasil Rwp Lapisan Tipis BZT dengan dopan La dan In No Bahan Rwp (%) 1. BLZT 1% 4.49 2. BLZT 2% 7,2 3. BIZT 1% 8,01 Pada penelitian lanjutan penulis akan melakukan perbaikan pada model yaitu pada perhitungan nilai Rwp dengan membuat program akan mencari secara otomatis nilai Rwp, karena untuk mencari nilai Rwp pada penelitian ini masih secara semi-manual. Ide
otomatisasi ini berasal dari metode Least-Square pada Rietveld refinement sebagaimana biasa dilakukan pada analisis data intensitas difraksi sinar-x seperti misalnya dengan program GSAS – General Structure Analysis System. [12,13,14]
110
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
4. Kesimpulan Model kurva histeresis Barium Zirkonium Titanat (BZT) dengan dopan La dan In dilakukan menggunakan model dinamis Landau-Khalatnikov, dari hasil perbandingan didapatkan didapatkan nilai Rwp antara hasil eksperimen dan model lebih kecil dari 10%, dengan nilai ini dapat dikatakan hasil model cukup baik dan model Landau-Khalatnikov secara baik dapat memprediksi sifat ferroelektrisitas dari material ferroelektrik.
[9]
[10]
[11] [12]
Ucapan Terimakasih Para penulis mengucapkan terimakasih kepada Kementrian Riset dan Teknologi serta Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Republik Indonesia, sebagian dana riset ini berasal dari SINas Research Grant 2014 dengan no. kontrak 17/SEK/INSINAS/PPK/I/2014 dan International Collaboration and Scientific Publication Research Grant 2014 dengan no. kontrak 2228/H2.R12/HKP.05.00/2014
[13] [14]
and Lanthanum. Advanced Materials Research. 896 (2014). pp. 347-350. M. Hikam and S. R. Adnan. Intrinsic Hysteresis Loops Calculation of BZT Thin Films. J. Phys.: Conf. Ser. 495 (2014). 012008. M. Hikam and S. R. Adnan. Intrinsic Ferroelectric Coercive Field Calculation for BZT Films Doped by Indium and Lanthanum. Advanced Materials Research. 911 (2014). pp. 256-259. A. G. Young (Ed.). The Rietveld Method. Oxford University Press (1993). B. H. Toby. R Factors in Rietveld analysis: How good is good enough?. International Centre for Diffraction Data (2006). C.A. Larson and R.B. Von Dreele, GSAS: General Structure Analysis System. LAUR (2004). 86-748. B. H. Toby. EXPGUI, a graphical user interface for GSAS, J. Appl. Cryst. 34 (2001). 210-213.
Daftar Acuan [1] [2]
[3] [4] [5]
[6]
[7] [8]
J. F. Scott. Prospects for Ferroelectrics: 2012– 2022. ISRN Materials Science. 2013 (2013), p 1. R. Rani, S. Singh, J. K. Juneja, K. K. Raina, C. Prakash. Dielectric properties of Zr substituted BST ceramics. Ceramics International 37 (2011). 3755-3758. A. F. Devonshire. Theory of Ferroelectrics. Advance in Physics. 3:10 (1954). 85-130. C. B. Sawyer, C. H. Tower. Rochelle Salt as A Dielectric. Physical Review. 35 (1930). T. K. Song. Landau-Khalatnikov Simulation for Ferroelectric Switching in Ferroelectric Random Access Memories Application. Journal of the Korean Physical Society. 46 (1) (2005). 5-9. S. Duchrame, V. M. Fridkin, , A. V. Bune, S. P. Palto, L. M. Blinov, N. N. Petukhova, S. G. Yudin. Intrinsic Ferroelectric Coercive Field. Phys. Rev. Lett. 84 (2000). 1. M. E. Lines and A. M. Glass. Principle and Applications of Ferroelectrics and Related Materials. Clarendon Press Oxford (1977). S. R. Adnan, M. Hikam, and E. Rizky, Crystallographic and Electrical Properties of Barium Zirconium Titanate doped by Indium
111
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
FOTOPRODUKSI η-MESON PADA NUKLEON DENGAN MODEL ISOBAR Maya Puspitasari Izaak1, Agus Salam1 1
Departemen Fisika, FMIPA-UI, Kampus UI Depok 16424
[email protected] ,
[email protected] Abstrak
Telah dipelajari dan dikembangkan sebuah model sederhana untuk reaksi fotoproduksi pada nukleon yaitu model isobar dengan menggunakan formalism amplitudo transversal pada kerangka pusat massa. Fotoproduksi dianalisis pada energi foton Lab. antara 0.8-1.2 GeV. Reaksi fotoproduksinya adalah N → N. Amplitudo yang ditinjau melibatkan kanal-s, kanal-t dan kanal-u pada suku Born dan resonan. Perhitungan observable yang ditinjau adalah penampang lintang differensial, penampang lintang total, dan polarisasi foton. Hasil penelitian ini menunjukkan seberapa besar kontribusi dari amplitudo transisi pada kanals dan kanal-u dari suku Born dan resonan pada proses perhitungan data observable. Abstract A simple model for photoproduction have been studied and developed in this research named isobaric model using transversal amplitudes formalism in the center of mass system. Photoproduction is analyzed in foton Lab. energy 0.8-1.2 GeV. The considered reaction is N → N. Amplitudes consist of s channel, t channel and u channel in Born term and resonance term. Observable that we consider are differential cross section, total cross section and photon polarization. The result of this research is to show how large the contribution of transition amplitudes in channel-s, channel-t and channel-u from Born term and resonance term in the calculation of the observable data. Keywords: Fotoproduksi η, isobaric model, transversal amplitudes.
1. PENDAHULUAN Para ilmuwan fisika telah dan masih melakukan eksperimen untuk meneliti inti dalam gambaran hadron-hadron yang berinteraksi menurut kerangka teori interaksi efektif. Salah satu bentuk eksperimen tersebut adalah eksperimen fotoproduksi yang dilakukan pada skala energi rendah dan menengah [Sumowidagdo 2001]. Fotoproduksi merupakan reaksi antara foton dengan suatu partikel yang menghasilkan partikel lain diakhir reaksi. Fotoproduksi adalah kasus khusus dari elektroproduksi dimana foton pada fotoproduksi merupakan foton real sedangkan pada elektroproduksi digunakan hamburan elektron yang dapat bertindak sebagai foon virtual. Meson η adalah salah satu anggota meson nonet fundamental, yang juga memberikan banyak motivasi dari ekstensifikasi fotoproduksi pion dalam beberapa dekade terakhir. Reaksi fotoproduksi η meson adalah salah satu contoh fotoproduksi untuk spektroskopi baryon dengan isospin 0. Reaksi ini menghasilkan sebuah ”isospin filter” pada spektrum resonan baryon. Filter isospin ini mengeliminasi banyak state sehingga
membuat tingkat eksitasi nukleon lebih sederhana untuk reaksi ini dibandingkan dengan reaksi πN. Salah satu hal yang membedakan fotoproduksi η dari fotoproduksi pion atau kaon adalah η adalah meson non strangeness tapi memiliki konten quark s. Perbedaan ini dapat membantu menentukan peran quark s dalam propertis model quark nukleon. Selanjutnya, selektifitas isospin dari η meson memberikan sebuah alat untuk menguraikan spektrum resonance nukleon untuk pemisahan resonansi nucleon N∗ yang lebih baik [M.Dugger.2001]. Penyelidikan fotoproduksi η memberikan kemungkinan pencarian resonansiresonansi yang hilang (missing resonaces), yang tidak dapat diobservasi dalam hamburan πN dan fotoproduksi η pada nukleon. Fotoproduksi η pada nucleon memberikan sebuah kesempatan unik untuk mempelajari properties dari resonan S11 (1535) karena resonan ini memiliki sebuah ratio cabang yang lebar ke dalam kanal πN, tidak seperti resonan yang lain walaupun dengan massa yang hampir sama seperti D13(1520), S11(1650), D15 (1675) dan F15 (1680) [I.G.Aznauryan.2003]. Sebuah laporan eksperimen pertama tentang baryon eksotik yang dikenal dengan dari LESP
112
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
collaboration, terdapat sebuah angka besar dari relasi antara kerja eksperimen dan kerja teoritis. Diantaranya, penemuan sebuah nucleon resonan baru seperti yang dilaporkan oleh GRAAL, yaitu N*(1675) dari fotoproduksi . Data mereka menunjukkan adanya puncak sempit dari suatu luasan yang meluruh di sekitar 40MeV. Luasan sempit ini adalah sebuah fitur khas dari baryon pentaquarkyang eksotik. Ditambah lagi, sebagian besar proses fotoproduksi N*(1675) bergantung pada tingkat isospin target nukleon. Barubaru ini, LNS Tohoku dan CBELSA melaporkan fotoproduksi η dari target deuteron menunjukkan perilaku yang sama. Meskipun η-MAID telah mengasumsikan JP = 1/2+ sebagaimana yang disarankan oleh 𝜒 QSM, data dari eksperimen sebelumnya telah menunjukkan bahwa JP = 1/2− sama-sama mungkin dalam perbandingan dengan data eksperimen [Kim 2008]. Meski demikian data fotoproduksi untuk meson ini masih sangat jarang. Fasilitas-fasilitas untuk menyediakan sumber informasi yang berharga masih belum memadai sehingga sangat relevan untuk mempelajari dan menelitinya.
Gambar 1: Diagram Feynman fotoproduksi η pada Nukleon
untuk
reaksi
Gambar 2: Kinematika Proses Fotoproduksi η pada kerangka Lab. dan kerangka P.M Variabel Mandelstam yang bersesuaian untuk penelitian ini bersesuaian dengan persamaan (1) adalah 𝑠 = (𝑘 + 𝑝1 )2 = (𝑞 + 𝑝2 )2 (4) 𝑡 = (𝑞 − 𝑘)2 = (𝑝1 − 𝑝2 ) (5) 𝑢 = (𝑘 − 𝑝2 )2 = (𝑝1 − 𝑞)2 (6) untuk kerangka P.M adalah sebagai berikut 𝑠 = (𝑘0 + 𝐸1 ) = 𝑊 2 (7) ⃑ |𝑐𝑜𝑠(𝛾, 𝜂) 𝑡 = 𝑘 2 + 𝑚𝜂2 − 2𝑞0 𝑘0 + 2|𝑞 ||𝑘 (8) 2 ⃑ |𝑐𝑜𝑠(𝛾, 𝜂) (9) 𝑢 = 𝑘 2 + 𝑚𝑁 − 2𝑘0 𝐸2 − 2|𝑞 ||𝑘 Dalam fisika partikel, energi ambang untuk produksi sebuah partikel adalah energy kinetic minimum pasangan partikel yang dimiliki ketika mereka bertumbukan. energy ambang foton pada kerangka P.M sebagai berikut 2 𝑡 ⃑ | = 𝑚𝜂 +2𝑚𝜂 𝑚𝑁 |𝑘 (10) 2(𝑚𝜂 +𝑚𝑁 )
2. METODE PENELITIAN Pada penelitian ini, kinematika relativistik digunakan dalam proses perhitungan pada reaksi fotoproduksi, karena energi yang digunakan jauh lebih besar dibandingkan dengan massa partikel yang saling berinteraksi (E ≫ m). Persamaan reaksi umum yang bersesuaian dengan penelitian pada tesis ini adalah 𝛾(𝑘) + 𝑁(𝑝1 ) → 𝜂(𝑞) + 𝑁(𝑝2 ) (1) Momentum-4 pada kerangka Lab. dapat ditulis sebagai berikut ⃑̃ / , 𝑝̃𝜇 = (𝑚 , 0), 𝑞 𝜇 = (𝑞̃ , 𝑞̃ ), 𝑝̃𝜇 = 𝑘𝜇 = .𝑘̃ , 𝑘 0
1
𝑁
0
2
⃑̃ − 𝑞̃ / .𝐸2 , 𝑘 (2) Sedangkan pada kerangka P.M sebagai berikut ⃑ ), 𝑝1𝜇 = (𝐸1 , −𝑘 ⃑ ), 𝑞𝜂𝜇 = (𝑞0 , 𝑞 ), 𝑝2𝜇 = 𝑘𝜇 = (𝑘0 , 𝑘 (𝐸2 , −𝑞 ) (3) Tanda tilde digunakan untuk membedakan momentum-4 di kerangka Lab. dengan momentum-4 di kerangka P.M.
Notasi penampang lintang differensial yang sesuai dengan persamaan (2.6) menurut [Aitchison-Hey. 1989] dapat dituliskan sebagai berikut 𝑑𝜍 = dimana
|𝑀|2
2 𝑚2 ]1/2 4[(𝑘.𝑝1 )2 −𝑚𝛾 𝑁
𝑑𝐿𝑖𝑝𝑠 =
1 (4𝜋)2
𝑑𝐿𝑖𝑝𝑠
(11)
𝛿 4 (𝑞 + 𝑝2 − 𝑘 − 𝑝1 )
(12)
𝑑 3 𝑞 𝑑 3 𝑝2 𝑞0
𝐸2
untuk kerangka P.M |𝑀|2
𝑑𝜍 =
1
4,(𝑘.𝑝1 )2 −𝑚𝛾 2 𝑚𝑁 2 -1/2 (4𝜋)2 |𝑀|2 |𝑞| 1
𝑑Ω
|𝑞| 𝑊
=
𝑑Ω
4|𝑘|(𝑘0 +𝐸1 ) (4𝜋)2 𝑊 |𝑀|2 |𝑞|
=
𝑑𝜍 𝑑Ω
=
64𝜋2 𝑠 |𝑘| |𝑀|2 |𝑞|
𝑑Ω (13)
64𝜋2 𝑠 |𝑘|
Penampang lintang total diperoleh dengan mengintegrasikan nilai penampang lintang differensial terhadap 𝑑Ω. 𝑑𝜍 𝑑𝜍 𝜍𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 = ∫ 𝑑Ω = ∫ sin 𝜃 𝑑𝜃𝑑𝜙 (14) 𝑑Ω
𝑑Ω
113
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Dalam teori medan kuantum, matriks- S menghubungkan keadaan awal dan keadaan akhir dari sebuah proses hamburan. Elemen matriks-S yang sesuai dengan proses pada persamaan (1) dapat ditulis sebagai berikut ⟨𝑓|𝒮|𝑖⟩
4𝑀𝑁
(15) dimana T adalah operator urutan waktu dari operator medan partikel. Matriks-S juga dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut 1 ⟨𝑓|𝒮|𝑖⟩ = 𝛿𝑓𝑖 − 𝑖2𝜋 4 𝛿 4 ((𝑝𝑓 − 𝑝𝑖 )ℳ𝑓𝑖 ∏𝑖=𝑖,𝑓 3 √(2𝜋) 2𝐸𝑖
(16) dengan ℳ𝑓𝑖 adalah amplitudo transisi yang invarian terhadap transformasi Lorentz. Matriks-S ini dapat diinterpretasikan sebagai matriks evolusi untuk nilai amplitudo dari keadaan awal ke keadaan akhir. Selain itu, ketika suku ke-2 dikuadratkan maka nilai yang diperoleh dapat diinterpretasikan sebagai probabilitas dari transisi yang muncul dari keadaan awal ke keadaan akhir. Fungsi delta pada suku ke-2 memastikan bahwa momentum-4 pada sistem yang ditinjau terkonservasi [Kumeri˘cki 2001, Salam 2002]. Dimana γ, N dan η masing-masing adalah foton, nukleon, dan η meson. Sedangkan e, 𝜅𝑁 dan 𝑀 adalah muatan, momen magnetik dan massa hadron. Konstanta kopling resonan yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan model potensial Nijmegen tersaji pada tabel dibawah ini Tabel 1. Konstanta Kopling Resonan 𝑡 𝑣 𝑔𝜌𝑁𝑁 𝑔𝜌𝑁𝑁 𝒈𝜼𝑵𝑵 𝒈𝒗𝝎𝑵𝑵 𝒈𝒕𝝎𝑵𝑵 𝒈𝝆𝜼𝜸
𝒈𝝎𝜼𝜸
0.47
0.192
0.89
Dari persamaan diatas diperoleh definisi faktor verteks yang dibutuhkan untuk menghitung amplitudo p transisi. Faktor verteks yang digunakan dalam n η penelitian ini adalah, ΓηNN = g ηNN γ5 ΓNNγ = −iQ N γμ εμ + μN σμν εμ k ν (17) Amplitudo transisi untuk masing-masing kanal yaitu ℳ𝑠 𝛾 𝜇 𝑘𝜇 + 𝛾 𝜇 𝑝1 𝜇 + 𝑚𝑁 = 𝑢̅𝑁 (𝑝2 )𝑔𝜂𝑁𝑁 𝛾 5 ( ) (−𝑖𝑄𝑁 𝛾 𝜇 𝜀𝜇 2 (𝑘 + 𝑝1 )2 − 𝑚𝑁 + 𝜇𝑁 𝜍 𝜇𝜈 𝜀𝜇 𝑘𝜈 )𝑢𝑁 (𝑝2 ) ℳ𝑢 = 𝑢̅𝑁 (𝑝2 )(−𝑖𝑄𝑁 𝛾 𝜇 𝜀𝜇 + 𝜇𝑁 𝜍 𝜇𝜈 𝜀𝜇 𝑘𝜈 ) 𝜇 𝜇 𝛾 𝑝2 𝜇 − 𝛾 𝑘𝜇 + +𝑚𝑁 ( ) 𝑔𝜂𝑁𝑁 𝛾 5 𝑢𝑁 (𝑝2 ) 2 (𝑝2 − 𝑘)2 − 𝑚𝑁
𝑀𝜂 (𝑡−𝑀𝑣2 )
𝜐 𝑢̅(𝑝2 )𝑘𝜇 𝜀 𝜈 (𝑘 − 𝑞)𝜍 *𝑔𝑣𝑁𝑁 𝛾𝜌 + 𝜇
[𝛾𝜇 𝑞 𝜇 𝛾 𝜌 − 𝛾 𝜌 (𝛾𝜇 𝑘𝜇 − 𝛾𝜇 𝑝1 )]+ 𝑢𝑁 (𝑝1 ) 𝑒𝜇𝛾𝑁𝑁∗ 𝑔𝜂𝑁𝑁∗ 𝐹𝑠𝑁∗
1/2
𝑀𝑠∗ = (𝑀 𝛾𝜇 𝑝1 +
(−𝑖)2 + ⟨𝑓| ∫ 𝑑 4 𝑥1 𝑑 4 𝑥2 𝑇*ℋ(𝑥1 )ℋ(𝑥2 )+ |𝑖⟩ + ⋯ 2!
12.52 10.36 4.20
𝑡 𝑔𝑣𝑁𝑁
−𝑖𝑒𝑔𝛾𝜂𝑣 𝐹𝑡𝑣 𝜀𝜇𝜈𝜎𝜌
𝜇
= 𝛿𝑓𝑖 − ⟨𝑓|𝑖 ∫ 𝑑 4 𝑥1 ℋ(𝑥1 ) |𝑖⟩
2.97
𝑀𝑡 =
1/2
2 𝑁 +𝑀𝑁∗ )[𝑠−𝑀𝑁∗ −𝑖𝑀𝑁∗ Γ𝑁∗ ] 𝑎 𝜇 𝑀𝑁∗ )Γ5 𝛾𝜇 𝜀 𝛾𝜇 𝑘𝜇 𝑢𝑁 (𝑝1 )
𝑢̅(𝑝2 )𝛾 5 Γ5𝑎 (𝛾𝜇 𝑘𝜇 +
𝑀𝑢∗
𝑒𝜇𝛾𝑁𝑁∗ 𝑔𝜂𝑁𝑁∗ 𝐹𝑢𝑁∗ 𝑢̅(𝑝2 )Γ5𝑎 𝛾𝜇 𝜀 𝜇 𝛾𝜇 𝑘𝜇 (𝛾𝜇 𝑞 𝜇 2 (𝑀𝑁 + 𝑀𝑁∗ ),𝑢 − 𝑀𝑁∗ − 𝑖𝑀𝑁∗ Γ𝑁∗ 𝜇 + 𝛾𝜇 𝑝1 + 𝑀𝑁∗ )γ5 Γ5𝑎 𝑢𝑁 (𝑝1 ) (18) ℳ𝑠 ℳ𝑢 , ℳ𝑡 , ℳ𝑠∗ , ℳ𝑢∗ dan masing-masing adalah amplitudo transisi untuk kanal-s, kanal-u, kanal-t, resonan N* untuk kanal-s spin ½ dan resonan N* untuk kanal-u spin ½ . Γ5𝑎 adalah matriks paritas resonan dengan nilai Paritas Positif: Γ5𝑎 = 𝐼4×4 Paritas Negatif : Γ5𝑎 = 𝛾 5 Sedangkan 𝑢̅𝑁 (𝑝2 ) dan 𝑢𝑁 (𝑝2 ) adalah spinor Dirac nukleon. =
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dimulai dengan menghitung nilai dari amplitudo transversal pada kerangka P.M pada masing-masing kanal-s, kanal-t dan kanal-u dari suku Born dan kanal-s dan kanal-u resonan secara analitik. Nilai amplitudo transversal yang diperoleh kemudian digunakan pada proses perhitungan numerik untuk memperoleh data dari beberapa observable yang bersesuaian dengan tujuan penelitian dalam hal ini adalah penampang lintang differensial dan penampang lintang total. Table 2. Properti dari partikel yang ditinjau pada penelitian ini. Q, κ, S, J, P, dan I masing-masing adalah bilangan dari muatan, momen magnetik, spin, spin total, paritas dan isospin Nama Partikel
Q 1 0 0
κ
S
2.79 0 -1.91 ½ 0
JP
I
½+ ½+ 0-
½ -½ 0
Massa (MeV) 938.272046 939.565379 547.853 Sumber:
Particle Data Group 2012 Tahap selanjutnya adalah pembuatan program numerik untuk memperoleh data yang dibutuhkan. Persamaan matematika yang digunakan untuk perhitungan numerik adalah pers.(13) untuk perhitungan penampang lintang differensial dan integrasi Gauss kuadratur untuk perhitungan penampang lintang total. Dengan pertimbangan energi ambang dari η yang nilainya adalah 707,59 MeV, maka energi foton yang
114
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
digunakan pada perhitungan numerik adalah 800 MeV, 1000 MeV, dan 1200 MeV. Hasil yang diperoleh pada perhitungan numerik ditampilkan pada lampiran. Seluruh hasil yang diperoleh didasarkan pada amplitude transisi dari suku Born dan resonan yang dihitung dengan memanfaatkan diagram Feynman tingkat tiga. Oleh karena Nukleon terdiri dari proton dan neutron, maka penulis membagi hasil penelitian ini menjadi dua, yaitu fotoproduksi eta pada proton dan fotoproduksi eta pada neutron. Pada grafik penampang lintang differensial, sumbu-x merepresentasikan besaran dari sudut hamburan dengan satuan deg (derajat) pada rentang nilai 0 ≤ 𝜽 ≤ 180, sedangkan sumbu-y merepresentasikan besaran dari penampang lintang diferensial dengan satuan μb/sr. Dari plot grafik yang diperoleh menunjukkan bahwa kontribusi kanal-s membuat besaran penampang lintang differensial memiliki puncak pada sudut arah depan (forward peaking). Hal ini dapat dilihat pada variasi tingkat energi pola grafiknya sama walaupun berbeda nilai dσ/dΩ nya. Pada saat energi diperbesar, nilai penampang lintang differensial pun semakin kecil. Pada saat energi diperbesar ternyata pola yang dihasilkan tetap memiliki trend yang sama, namun dengan besaran penampang lintang differensial yang semakin besar. Khusus untuk kanal-u, kontribusinya membuat besaran penampang lintang differensial menjadi besar pada sudut arah belakang (backward angle). Sedangkan untuk kanal-t kontribusinya sangat kecil sehingga tidakmembuat perubahan besaran yang berarti. Terlihat bahwa resonan memberikan kontribusi yang sangat besar untuk besaran dσ/dΩ. Pada grafik sebelumnya puncak besaran d d hanya berkisar di orde 10−3. Dengan ditambahkan suku resonan puncaknya memiliki orde 101. Pola pada grafik neutron memiliki puncak pada arah belakang. Pada tingkat energi 800 MeV di sudut nol derajat terlihat eta terhambur sebanyak hampir 0.00001 μb. Lebih banyak dari tingkat energi 1000 MeV yang hanya sebesar 0.000001 μb dan 1200 MeV yang hanya sebesar 0.0000003 μb. Terlihat pula bahwa semakin besar sudut hamburan semakin banyak pula eta yang terhambur. Dari grafik diatas, sekali lagi terlihat kontribusi terhadap penampang lintang diferensial yang didominasi oleh kanal-u. Seperti pada grafik proton, pada neutron pun kanal-u memberikan pengaruh yang signifikan. Dengan pola grafik yang hampir sama untuk tiap tingkat energi, terlihat bahwa semakin besar energi foton semakin besar pula besaran penampang lintang diferensialnya. Pada grafik diatas, sudut nol derajat eta terhambur lebih banyak pada energi foton 800 MeV dibandingkan dengan pada energi 1000 MeV dan 1200 MeV. Namun pada puncaknya di sudut 180 derajat eta justru terhambur lebih banyak pada tingkat energi 1200 MeV. Polarisasi pada proton memiliki puncak dengan nilai yang lebih rendah dari pada neutron pada tingkat
energi 800MeV. Dari grafik proton, polarisasi yang tegak lurus dengan bidang reaksi yang memiliki kontribusi yang sangat dominan. Data proton menunjukkan puncak yang positif di sekitar dan puncak yang negatif di sekitar Data neutron menunjukkan puncak yang positif disekitar yang mengindikasikan bahwa kopling foton elektrik yang mendominasi. Untuk tingkat energy yang berbeda, semakin tinggi energi puncak puncaknya semakin bergeser ke kiri ke arah sudut yang lebih kecil. Data numerik dari penelitian ini dibandingkan dengan data eksperimen dari The GRAAL collaboration. Untuk energi 800 MeV, data eksperimen menunjukkan kurva yang landai yang didominasi oleh kanal-s. Demikian pula dengan grafik pada energi 1000 MeV. Pada energi 1200 MeV, terlihat pola grafik dengan trend yang hampir sama antara data numerik dan data eksperimen. Data ekperimen dan data numerik memiliki pola yang berbeda secara keseluruhan. Data numerik menunjukan grafik memiliki puncak dan lembah sedangkan data eksperimen grafik hanya memiliki sebuah puncak saja. Terlihat pola grafiknya menunjukkan trend yang sama pada daerah disekitar 𝜽 = 90 - 𝜽 = 180 yaitu sama-sama memiliki puncak positif. Untuk penampang lintang total, sumbu-x merepresentasikan energi foton Lab. yang digunakan dengan satuan MeV pada rentang nilai 800-1200 MeV, sedangkan sumbu-y merepresentasikan besaran dari penampang lintang total dengan satuan μb. Dapat dilihat bahwa penampang lintang total dari proton adalah hampir dua kali lipat dari penampang lintang neutron. Seperti pada penampang lintang differensial, plot grafik penampang lintang total juga menunjukkan bahwa plot grafiknya memiliki trend yang mirip, namun dengan nilai penampang lintang total yang berbeda pada proton dan neutron. Puncak penampang lintang total berkisar di 15.38 μb untuk proton dan di 5.439 μb untuk neutron.
4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang diperoleh dari penampang lintang differensial adalah kontribusi kanal-s sangat kecil sedangkan untuk kanal-u terlihat dominan pada arah sudut belakang (backward angle). Hal ini dapat terlihat dengan adanya puncak pada arah sudut belakang (backward peaking) disaat amplitudo kanal u mulai diperhitungkan. Kanal-t kurang mendominasi dilihat dari trend grafik yang tidak berubah ketika kanal-t ikut diperhitungkan. Kontribusi resonan sangat mendominasi pola grafik yang dihasilkan sehingga menaikan besaran penampang lintang diferensialnya. Hasil ini kemudian mengimbas pada grafik penampang lintang total, terlihat bahwa kontribusi dari resonan lebih dominan dibandingkan dengan kanal-kanal born term sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa pada perhitungan penampang
115
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
lintang differensial dan penampang lintang total, resonan memiliki kontribusi yang lebih besar dibandingkan dengan kanal-kanal born term. Data proton menunjukkan puncak yang positif di sekitar 𝜽 = 120 dan puncak yang negatif di sekitar 𝜽 = 40. Dengan bentuk grafik yang mengarah ke bawah berarti nilai polarisasi yang sejajar adalah positif sedangkan nilai polarisari yang tegak lurus adalah negatif. Pada sudut 𝜽 = 0 dan 𝜽 = 180 memiliki nilai yang sama, ini sebut beam symmetry. Sedangkan pada sudut 𝜽 = 20- 𝜽 = 80 dan 𝜽 = 100- 𝜽 = 160 memiliki nilai yang tidak sama ini disebut beam asymmetry. Data neutron menunjukkan puncak yang positif disekitar yang mengindikasikan bahwa kopling foton elektrik yang mendominasi. Pada kenyataannya, data dari proton diproduksi tanpa kontribusi dari resonan baru, demikian pula dengan data neutron. Karena penelitian ini belum melibatkan spin yang lebih tinggi maka perlu dipertimbangkan untuk memasukkan nilai amplitude transisi dari perhitungan pada spin 3/2 dan 5/2 pada penelitian selanjutnya agar kondisi gauge invariance dapat terestorasi dan hasil yang diperoleh dapat lebih baik. Secara umum disimpulkan bahwa penelitian kali ini belum memperoleh nilai yang optimal, namun demikian hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi awal untuk penelitian selanjutnya. Model ini belum bisa mereproduksi data eksperimen untuk diferensial cross section tapi cukup baik untuk polarisasi pada energi 800 MeV. Kami menyarankan untuk mempelajari lebih lanjut penggunaan amplitudo transisi dari suku kontak dengan spin 3/2 dan 5/2 ke dalam proses perhitungan. Dengan adanya penambahan nilai amplitudo transisi tersebut diharapkan penelitian selanjutnya akan menghasilkan model yang lebih baik
[8] [9]
[10] [11] [12] [13] [14]
[15]
[16]
Dugger,M.2001.Eta(547) and Eta(958) Meson Photoproduction On The Proton. Dissertation.Arizona State University. Halzen, F., & Martin, A.D. 1984. Quarks and Leptons : an Introductory Course in Modern Particle Physics. New York: John Wiley & Sons. Choi,K.S., Nam,S. I. , Hosaka,A., and Kim,H. -Ch. Photoproduction and N* Resonance. Physical Review 2009. Kumericki, K. 2001. Feynman Diagram for Beginners. Notes. University of Zagreb. Split. Mart, T. 1996. Electromagnetic production of Kaons off the Nucleon and 3He. Dissertation. University of Mainz. Mainz, Germany. Particle Data Group. 2012. Review of Particle Physics. http://pdg.lbl.gov. Salam, A. 2002. Re-scattering Effect and Two Process in Kaon Photoproduction on the Deutron . Dissertation. University of Mainz. Mainz, Germany. Sumiwidagdo, S. 2001. Fotoproduksi Kaon pada Daerah Energi Tinggi. Tesis. Universitas Indonesia. Depok. Stocks,V.G.J. & Rijken,T.A. 1999. Phys. Rev. C 59,3009
DAFTAR ACUAN [1] [2] [3]
[4] [5] [6] [7]
Abramowitz, M., & Stegun, I.A. (1970). Handbook of Mathematical Functions. New York : Dover Publ.Inc. Aitchison-Hey. 1989. Gauge Theories in Particle Physics. London: Institute of Physics Publishing. Aznauryan,I.G. 2003. Resonance Contributions to Photoproduction on Photons Found Using Dispersion Relations and an Isobar Model. Phys.Rev Babacan, H., & Babacan, T.2003. Associative photoproduction of rop-er resonance and meson. Physical Review C67,055208. Bartalini,O. et al.[The GRAAL collaboration]. Eur. Phys. J.A.33, 169(2007). Bjorken, J.D. & Drell, S.D. 1964. Relativistic Quantum Mechanics. New York: McGraw-Hill Inc. Collin,P.2009.Beam Asymmetry in Eta(547) and Eta(958)Meson Photoproduction. Dissertation. Arizona University.
116
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
LAMPIRAN
Gambar 3. Penampang lintang differensial proton pada energi foton 800-1200 MeV
Gambar 4. Penampang lintang differensial Neutron pada energi foton 800-1200 MeV
Gambar 5. Perbandingan Polarisasi pada Proton dan Neutron
117
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
Gambar 6. Perbandingan Penampang Lintang Differensial Proton Data Numerik dengan Eksperimen
Gambar 7. Perbandingan Polarisasi Proton pada Data Numerik dan Data Eksperimen
Gambar 8. Penampang Lintang Total Proton dan Neutron pada energi foton 0,8-1,2 GeV
118
Spektra: Jurnal Fisika dan Aplikasinya, Vol. 15 No. 2 Des 2014
FORMAT PENULISAN ARTIKEL ILMIAH JURNAL “SPEKTRA”
SPEKTRA menerbitkan kajian ilmiah dan hasil penelitian dua kali dalam setahun dan berisi artikel-artikel ilmiah di bidang fisika yang meliputi : fisika teori, material, medis, geofisika, optik, instrumentasi serta hasilhasil penelitian lain yang berhubungan dengan fisika yang diharapkan mampu memberikan kontribusi pada pemahaman teori dan konsep keilmuannya, serta aplikasinya. Artikel harus asli, dalam arti belum pernah dipublikasikan atau dipertimbangkan dalam jurnal lain. Artikel yang pernah disajikan dalam suatu forum, misalnya seminar, harus disebutkan forumnya. Penulisan naskah menggunakan bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris secara baik dan benar. Panjang naskah antara 10-20 halaman, kertas ukuran A4, diketik satu setengah spasi dengan program Word dengan tipe hutuf Times New Roman, ukuran font 12, serta dengan menggunakan equation editor untuk menuliskan rumus.
Artikel ditulis dengan sistematika dan ketentuan sebagai berikut : a.
Judul : ditulis dengan singkat, padat, dan jelas, maksimal 15 kata, dan harus mencerminkan substansi fisika yang diuraikan pada batang tubuh artikel.
b.
Nama Penulis : ditulis tanpa gelar, letaknya di bawah judul. Penulis dapat individu atau tim dan semua penulis dicantumkan.
c.
Instansi Penulis : ditulis nama instansi tempat penulis berasal, letaknya dibawah nama penulis.
d.
Abstrak : ditulis dengan panjang berkisar 100-200 kata. Abstrak berisi permasalahan, pembahasan, dan hasil penelitian.
e.
Kata Kunci : diisi kata atau istilah yang mencerminkan esensi konsep dalam cakupan permasalahan dan dapat terdiri dari beberapa kata. Kata kunci diletakkan di bawah abstrak dan dicetak tebal-miring.
f.
Batang Tubuh Artikel : terdiri dari pendahuluan yang berisi permasalahan yang akan dibahas, teori dasar yang berisi konsep-konsep dasar yang berkenaan dengan masalah yang dibahas, hasil pembahasan yang berisi hasil-hasil yang diperoleh dengan menerapkan metode yang dipaparkan dalam teori dasar.
g.
Daftar Pustaka : dicantumkan hanya yang mengandung keterkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Artikel yang masuk ke meja redaksi diseleksi oleh tim penyunting. Artikel dapat diterima tanpa perbaikan, diterima dengan perbaikan, atau ditolak, dan artikel yang ditolak tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan penulis.