Jurnal Penelitian
Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015
DAFTAR ISI Catatan Redaksi iii Artikel • Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 Sri Nuryanti 1–15 • Koalisi Partai Islam di Indonesia Pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Esty Ekawati 17–31 • Pelembagaan Sistem Kepartaian di Bawah Sistem Demokrasi Indonesia (1998-Sekarang) Aisah Putri Budiatri 33–54 • The Dynamic of Indonesian Political Trust in the Beginning of Reform Era Andi Ahmad Yani 55–68 • Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) Australia Terhadap Hubungan Australia-Indonesia Kontemporer R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas 69–81 Resume Penelitian • Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan di Wilayah Perbatasan Darat Indonesia-Malaysia: Kasus Kalimantan Barat Nina Andriana 83–98 • ASEAN dan Isu Laut Cina Selatan: Transformasi Konflik Menuju Tata Kelola Keamanan Regional Asia Timur Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga 99–115 • Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih Pada Pemilu 2014 RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin 117–135 Review Buku • Menelaah Relasi Eksekutif-Legislatif Dalam Sistem Presidensial Multipartai di Indonesia Ridho Imawan Hanafi 137–145 Tentang Penulis 147–148 Indeks 149–150 Pedoman Penulisan 151–155
| i
ii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
CATATAN REDAKSI Indonesia terus bergerak demi mewujudkan konsolidasi demokrasi yang bermartabat. Berbagai hal terus dibenahi demi terwujudnya demokrasi yang berkeadilan sosial. Salah satu format bentuk perwujudan demokrasi adalah hadirnya pemilihan umum (pemilu). Pasca bergulirnya reformasi, Indonesia telah melewati empat kali Pemilu, pemilihan legislatif dan eksekutif. Skema pelaksanaan pemilu pada keempat pemilu tersebut, di mana pemilihan didahului dengan pemilu untuk memilih anggota DPR RI, DPD RI dan DPRD Prov/Kab/Kota, dirasakan oleh beberapa pengamat politik justru tidak mencerminkan sistem pemerintahan presidensial yang telah dipilih oleh Indonesia. Pemilihan Presiden yang dilaksanakan setelah Pemilihan Legislatif dianggap telah menyandera independensi seorang calon Presiden dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan tuntutan dari beberapa ahli hukum dan politik, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan kebijakan terbaru mengenai pelaksanaan Pemilu, yaitu dengan Pemilu Serentak pada tanggal 23 Januari 2014. Konsekuensi terkait dengan implementasi nilai-nilai demokrasi tentunya amat penting untuk dilihat sebagai dampak dari ketetapan Pemilu Serentak tersebut. Pemilu Serentak tidak hanya berbicara tentang teknis pelaksanaan Pemilu Legislatif bersamaan dengan Pemilu Eksekutif, tetapi tentunya prinsip-prinsip dasar berdemokrasi yang diperlihatkan oleh pemilih dan partai politik akan sangat menarik untuk dikaji. Pelaksanaan Pemilu Serentak tentunya juga dapat memberikan pengaruh pada pelembagaan partai politik. Skema pelembagaan partai politik tentunya akan sangat jauh berbeda dengan posisi partai politik yang tidak lagi sebagai penentu bagi seseorang untuk mencalonkan diri sebagai seorang presiden dan wakil presiden. Untuk itu Jurnal Penelitian Politik Vol.12, No. 1, 2015 mengangkat tema “Demokrasi, Pemilu Serentak, dan Pelembagaan Partai
Politik” untuk melihat lebih jauh keterkaitan dan perkembangan ketiga isu-isu tersebut dan isu lain yang berkaitan dengannya. Edisi kali ini menyajikan lima artikel, tiga resume hasil penelitian oleh peneliti di Pusat Penelitian Politik dan 1 artikel review buku. Artikel pertama ditulis oleh Sri Nuryanti dengan judul “Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019”. Tulisan ini menyajikan tentang tata kelola Pemilu Serentak yang dipertimbangkan sebelum pelaksanaan keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Januari 2014. Sri Nuryanti melihat perlunya beberapa aspek dalam kaitan realisasi pelaksanaan Pemilu Serentak tersebut, yaitu UU Pemilu Serentak, penyelenggara Pemilu Serentak, waktu penyelenggaraan, tahapan penyelenggaraan dan proses penyelenggaraan. Selanjutnya, artikel kedua dengan judul “Koalisi Partai Islam di Indonesia pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2014” ditulis oleh Esty Ekawati. Dalam artikel ini, penulis menyajikan persoalan koalisi partai politik yang berlangsung pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di tahun 2014, dengan secara khusus menyoroti koalisi Partai Islam. Tulisan ini memperlihatkan bahwa koalisi partai Islam sangat sulit untuk direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu pragmatisme politik dan ketiadaan figur-figur popular dalam partai Islam. Artikel selanjutnya adalah “Pelembagaan Sistem Kepartaian di Bawah Sistem Demokrasi Indonesia (1998-sekarang)”, oleh Aisah Putri Budiatri. Artikel ini menyajikan persoalan pelembagaan sistem kepartaian yang belum terwujud hingga saat ini di Indonesia sejak reformasi hadir. Kondisi pola kompetisi yang labil, hubungan partai politik dengan masyarakat yang tidak mengakar dan oligarki partai politik, disebut oleh penulis menyebabkan cita-cita pelembagaan partai politik di era reformasi masih belum terwujud. Tulisan ini menekankan bahwa Catatan Redaksi | iii
reformasi kepartaian harus dilakukan secara menyeluruh, tidak berhenti pada terwujudnya legitimasi partai politik semata. “The Dynamic of Indonesian Political Trust In The Beginning of Reform Era” merupakan artikel selanjutnya yang ditulis oleh Andi Ahmad Yani. Artikel ini mengulas tentang kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap sistem demokrasi yang saat ini berjalan di Indonesia. Tulisan ini menunjukkan tren kepercayaan masyarakat Indonesia yang cukup tinggi terhadap lembaga-lembaga demokrasi, namun tidak pada partai politik. Hasil studi di dalam tulisan ini mendukung asumsi bahwa tingkat kepercayaan politik Indonesia lebih ditentukan oleh prestasi kelembagaan, khususnya demokrasi dan kinerja pembangunan ekonomi. Artikel kelima ditulis oleh Rizka Fiani Prabaningtyas dengan judul “Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (Ima) Australia Terhadap Hubungan AustraliaIndonesia Kontemporer”. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai bagaimana Australia menjalankan kebijakan untuk menangani Illegal Maritime Arrivals IMA dewasa ini dan dampaknya bagi hubungan Australia-Indonesia. Penulis berargumen bahwa kebijakan IMA Australia cenderung lebih restriktif dan unilateral sehingga bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kemanusiaan dan prinsip good international citizenship. Kecenderungan Australia untuk bertindak lebih agresif dan sepihak dengan justifikasi keamanan nasional negaranya membiaskan komitmen penyelesaian kerangka kerja sama dengan Indonesia dan berdampak negatif terhadap perkembangan hubungan kedua negara. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa edisi kali ini menyajikan tiga artikel resume penelitian. Resume pertama merupakan kajian terkait isu nasionalisme, dengan judul “Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan di Wilayah Perbatasan Darat Indonesia-Malaysia: Kasus Kalimantan Barat”, yang ditulis oleh salah satu anggota tim penelitian ini, yaitu Nina Andriana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi rasa kebangsaan di wilayah perbatasan dapat dikatakan cukup rentan, mengingat identifikasi
ke Malaysia-an yang masih tinggi pada masyarakat Indonesia di kawasan perbatasan. Kegagalan dalam hal pemerataan pembangunan menyebabkan masyarakat perbatasan tidak merasakan kehadiran keindonesiaan. Peran pemerintah dalam pembangunan yang merata menjadi sangat penting untuk membuat masyarakat perbatasan merasakan perhatian negara pada kehidupan mereka. Resume penelitian kedua ditulis oleh Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga dengan tema “ASEAN dan Isu Laut Cina Selatan: Transformasi Konflik Menuju Tata Kelola Keamanan Regional Asia Timur”. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan transformasi konflik, maka urgensi CoC bagi Tiongkok dan negara-negara ASEAN semakin penting dan relevan, karena dinamika konflik di Laut Cina Selatan memiliki banyak peluang yang dapat dikelola menjadi kerjasmaa yang bermanfaat bagi negara-negara pihak, maupun negara-negara lain yang tidak terlibat dalam konflik Laut Cina Selatan. Resume penelitian yang terakhir ditulis oleh Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin dengan judul “Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih pada Pemilu 2014”. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memahami kecenderungan partisipasi politik dan perilaku pemilih masyarakat pemilih di Indonesia pada Pemilu tahun 2014. Hasil dari kajian tersebut menggarisbawahi beberapa hal. Diantaranya pengaruh latar belakang agama terhadap pilihan partai politik yang rendah, namun sangat tinggi pada pilihan calon legislatif. Janji seorang caleg memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada pemilih di wilayah pedesaan, berusia lanjut, berpendidikan rendah. Khusus pemilih pemula, dalam hasil penelitian ditemukan bahwa mereka mendapatkan pengaruh yang cukup besar dari lingkungan atas pilihannya. Terdapat beberapa temuan penting lainnya terkait perilaku memilih yang disajikan dalam resume penelitian ini. Artikel terakhir berjudul “Menelaah Relasi Eksekutif-Legislatif dalam Sistem Presidensial Multipartai di Indonesia”adalah book review yang ditulis oleh Ridho Imawan Hanafi. Penulis mengulas buku “Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya mencari
iv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia”. Ridho menyebutkan bahwa studi yang dihasilkan oleh penulis buku, Djayadi Hanan, menyatakan bahwa sistem presidensial multipartai di Indonesia dapat berjalan dengan relatif baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu adanya perpaduan institusi formal dan informal yang mengatur hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif berhasil mengurangi potensi kebuntuan dan membuat hubungan kedua lembaga tersebut berjalan baik. Hal lainnya adalah sosok presiden yang akomodatif dan mengedepankan koalisi, serta sikap elit partai politik yang cenderung memapu melakukan konsensus. Ridho mencatat bahwa buku ini dapat menjadi literatur penting terkait konsep integrasi eksekutif-legislatif dengan pendekatan koalisi sebagai pijakannya.
Tim Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis, mitra bestari dan pengelola jurnal atas kontribusinya dalam penerbitan kali ini Semoga artikel yang kami sajikan dapat bermanfaat dalam memperkaya wawasan kita mengenai isu yang menjadi tema. Terima kasih. Redaksi
Catatan Redaksi | v
vi | Jurnal Penelitian Politik | Volume 10 No. 1 Juni 2013
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015
DDC: 324.6 Sri Nuryanti MENYIAPKAN TATA KELOLA PEMILU SERENTAK 2019 Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 1-15 Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Januari 2014 telah mengakibatkan perubahan pola penyelenggaraan pemilu menjadi Pemilu Serentak yang akan diselenggarakan mulai tahun 2019. Meskipun demikian, keputusan tersebut sebenarnya agak janggal karena hanya mengumumkan penyelenggaraan pemilu secara serentak, tetapi tidak mempertimbangkan penerapan coattail effect (efek ekor jas) untuk tujuan mendasar yaitu memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Tulisan ini akan mempelajari tata kelola Pemilu Serentak yang harus dipertimbangkan sebelum pelaksanaan keputusan khusus Mahkamah Konstitusi di tahun 2014 tersebut. Kata Kunci: kepemiluan.
Pemilu
Serentak,
tata
kelola
Koalisi politik merupakan suatu keniscayaan bagi negara yang menggunakan sistem multipartai seperti Indonesia. Koalisi menjadi keharusan karena pemilihan umum tidak mampu menghasilkan suara mayoritas di parlemen. Beberapa faktor menentukan bagaimana sebuah koalisi bisa terbentuk dan dalam konteks ini ada faktor-faktor yang menentukan mengapa koalisi partai Islam sulit terwujud pada pemilihan presiden 2014. Faktor pertama yang memengaruhi yaitu pragmatisme politik yang membuat partai politik menjadi partai kartel dimana dalam hal ini partai menjadi agen negara dan memanfaatkan sumber daya negara untuk kelangsungan hidup partai. Faktor yang kedua adalah partai-partai Islam tidak memiliki figur populer yang mampu menyaingi popularitas Prabowo dan Jokowi. Kata Kunci: partai politik, pemilu, koalisi.
DDC: 324.2598 Aisah Putri Budiatri PELEMBAGAAN SISTEM KEPARTAIAN DI BAWAH SISTEM DEMOKRASI INDONESIA (1998 – SEKARANG)
DDC: 297.65 Esty Ekawati
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 33-54
KOALISI PARTAI ISLAM DI INDONESIA PADA PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014
Diterapkannya demokrasi di Indonesia setelah tahun 1998 telah membawa pembaharuan pada sistem kepartaian dan pemilu. Namun pertanyaannya kemudian adalah apakah sistem kepartaian setelah diterapkannya demokrasi di Indonesia telah mengarah pada sebuah sistem yang terlembaga. Hasil analisa yang didasarkan pada empat dimensi sistem kepartaian Mainwaring dan Scully menunjukan
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 17-31
Abstrak | vii
bahwa sistem kepartaian Indonesia di masa reformasi saat ini belum terlembaga. Hanya dimensi legitimasi partai politik yang menunjukan situasi perbaikan dalam sistem kepartaian Indonesia saat ini, namun tiga dimensi lainnya tidak. Indonesia hingga kini masih dihadapkan pada persoalan pola kompetisi yang tidak stabil, hubungan masyarakat dan partai yang lemah, serta partai dengan oligarki yang kuat. Kata Kunci: partai, demokrasi, sistem kepartaian, pelembagaan, Indonesia.
DDC: 321.8 Andi Ahmad Yani DINAMIKA KEPERCAYAAN POLITIK INDONESIA DI PARUH AWAL ORDE REFORMASI Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 55-68 Kepercayaan merupakan pondasi utama untuk membangun legitimasi politik dan keberlanjutan sistem demokrasi. Sebagai negara demokrasi yang sedang berkembang, Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk membangun kepercayaan politik pada masa transisi, khususnya pada dekade awal Orde Reformasi. Untuk mengidentifikasi bangunan kepercayaan politik masyarakat Indonesia pada periode tersebut, artikel ini menganalisis kepercayaan politik pada lembaga-lembaga yang mendukung proses demokratisasi pada masa-masa kritis ini. Artikel ini menawarkan dua argumen utama. Pertama, penelitian ini menunjukkan tren kepercayaan masyarakat Indonesia yang cukup tinggi pada lembaga-lembaga demokrasi. Meskipun demikian, sebagian besar responden justru tidak mempercayai partai politik. Kedua, studi ini menganalisis tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia dengan mengacu pada teori kepercayaan politik. Teori ini menyatakan bahwa tingkat kepercayaan politik dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, adalah faktor dan budaya dan kedua adalah faktor rasionalitas dengan mengacu pada kinerja kelembagaan. Hasilnya, studi ini mendukung asumsi bahwa tingkat kepercayaan politik Indonesia lebih ditentukan oleh prestasi kelembagaan, khususnya demokrasi dan kinerja pembangunan ekonomi.
DDC:327.598094 Rizka Fiani Prabaningtyas DAMPAK KEBIJAKAN ILLEGAL MARITIME ARRIVALS (IMA) AUSTRALIA TERHADAP HUBUNGAN AUSTRALIAINDONESIA KONTEMPORER Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 69-81 Hubungan Australia dan Indonesia selalu memiliki dinamika yang tinggi. Salah satu persoalan yang seringkali menjadi hambatan bagi kedua negara adalah isu pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia untuk menuju ke Australia melalui jalur laut atau Illegal Maritime Arrivals (IMA). Posisi Indonesia sebagai negara transit dan Australia sebagai negara tujuan mengharuskan keduanya bekerja sama agar isu IMA dapat ditangani dengan baik. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai bagaimana Australia menjalankan kebijakan untuk menangani IMA dewasa ini dan dampaknya bagi hubungan Australia-Indonesia. Untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya, Australia merasa perlu menjalin kerja sama dengan Indonesia yang dianggap sebagai negara buffer atau penyangga agar dapat menjustifikasi upaya-upaya menjaga keamanan nasionalnya. Namun, Australia saat ini kebijakan IMA Australia cenderung lebih restriktif dan unilateral sehingga bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kemanusiaan dan prinsip good international citizenship. Kecenderungan Australia untuk bertindak lebih agresif dan sepihak dengan justifikasi keamanan nasional negaranya membiaskan komitmen penyelesaian kerangka kerja sama dengan Indonesia. Perubahan kebijakan IMA Australia ke arah yang lebih restriktif dan mengedepankan tindakan unilateral akan berdampak negatif terhadap perkembangan hubungan kedua negara. Kata Kunci: Kebijakan Luar Negeri Australia, Illegal Maritime Arrival (IMA), kepentingan nasional Australia, Hubungan Australia-Indonesia.
Kata Kunci: kepercayaan politik, lembaga demokrasi, modal sosial, sistem politik Indonesia.
viii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
DDC: 320.54 Nina Andriana EKSISTENSI KEBANGSAAN DAN PERWUJUDAN KEINDONESIAAN DI WILAYAH PERBATASAN DARAT INDONESIA-MALAYSIA: KASUS KALIMANTAN BARAT Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 83-98 Kondisi wilayah perbatasan yang penuh dengan “keterbatasan” menunjukkan indikasi mudahnya masyarakat di wilayah tersebut untuk lebih berorientasi kepada negara tetangga, karena negara tetangga relatif lebih mampu mengatasi keterbatasan yang mereka alami. Anggapan bahwa rasa nasionalisme pada masyarakat perbatasan itu rapuh tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Banyak faktor yang menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat perbatasan menjadi kuat atau sebaliknya, rapuh. Negara memiliki peran penting dalam menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat diseluruh nusantara, khususnya di wilayah perbatasan. Tulisan ini menyajikan potret rasa kebangsaan dalam pemahaman dan keseharian masyarakat perbatasan. Pada akhirnya, tulisan ini ingin memberikan sebuah rekomendasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, bahwa pendekatan untuk menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat perbatasan haruslah lebih inovatif dan humanis serta beradab. Kata Kunci: Wilayah Perbatasan, Nasionalisme, Peran Pemerintah.
DDC: 658.405 Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga ASEAN DAN ISU LAUT CINA SELATAN: TRANSFORMASI KONFLIK MENUJU TATA KELOLA KEAMANAN REGIONAL ASIA TIMUR
Perebutan wilayah di Laut Cina Selatan antara negara pihak akan mengakibatkan ketidakstabilan keamanan di kawasan yang dapat berujung pada konflik terbuka. Untuk menghindari konflik terbuka atau unjuk kekuatan, beberapa usaha telah dilakukan namun sayangnya negara-negara pihak yang sekaligus anggota ASEAN masih enggan menggunakan mekanisme ASEAN. Selama ini pendekatan-pendekatan yang digunakan baik oleh akademisi maupun negara pihak masih sebatas penggunaan skema kerjasama untuk mengalihkan konflik. Penggunaan konsep transformasi konflik menuju tata kelola keamanan kawasan masih jarang dipakai. Tujuan dari tulisan ini untuk menganalisis perkembangan konflik LCS dalam kerangka ASEAN dan peran Indonesia dalam upaya mendorong terjadinya transformasi konflik yang fokus pada relasi antar pihak. Salah satu forum yang dapat dioptimalkan peranannya dalam mengelola dan mengubah potensi konflik di kawasan ini adalah ASEAN Maritime Forum (AMF). Peralihan dari DoC ke CoC merupakan bagian dari upaya transformasi konflik di Laut Cina Selatan, dimana intinya para pihak diarahkan untuk mematuhi kesepakatan dan saling menghargai setiap upaya yang dibuat untuk menyelesaikan konflik secara damai. Kata Kunci: Wilayah, Transformasi, Konflik, Tata Kelola.
DDC:323.04 RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin PARTISIPASI POLITIK DAN PERILAKU MEMILIH PADA PEMILU 2014 Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 117-135 Gagasan utama kajian ini adalah untuk memahami kecenderungan partisipasi politik dan perilaku memilih pada pemilu 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut ada tiga yaitu faktor sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional terhadap perilaku memilih pemilih Indonesia. Kajian ini juga memetakan faktor yang paling mempengaruhi partisipasi politik dan perilaku memilih dalam pemilu 2014 lalu.
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 99-115 Abstrak | ix
Kata Kunci: partisipasi politik, perilaku memilih, pemilu 2014, faktor sosiologis, faktor psikologis, faktor pilihan rasional
DDC: 321.8042 Ridho Imawan Hanafi MENELAAH RELASI EKSEKUTIFLEGISLATIF DALAM SISTEM PRESIDENSIAL MULTIPARTAI DI INDONESIA
perpaduan institusi formal dan informal yang mengatur hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif berhasil mengurangi potensi kebuntuan dan membuat hubungan kedua lembaga terebut berjalan baik. Selain itu, sosok presiden yang akomodatif dan mengedepankan koalisi, serta sikap elite politik yang cenderung menempuh konsensus turut andil dalam bekerjanya sistem presidensial multipartai di Indonesia. Kata kunci: sistem presidensial multipartai, lembaga eksekutif dan legislatif, institusi formal dan informal, koalisi
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, Juni 2015, Hlm. 137-145 Tulisan ini menelaah relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial multipartai di Indonesia. Menurut sejumlah studi, sistem presidensial yang dikombinasikan dengan multipartai cenderung akan berakhir dengan konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif dan menghadirkan ketidakstabilan demokrasi. Berbeda dari argumen tersebut, studi ini menyatakan bahwa sistem presidensial multipartai di Indonesia dapat berjalan dengan relatif baik. Adanya
x | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
Jurnal Penelitian
Politik Vol. 12, No. 2, Juni 2015
Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 17-31
DDC: 324.6 Sri Nuryanti PREPARING THE GOVERNABILITY OF CONCURRENT ELECTION 2019 Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 1-15 The decision made by Constitutional Court on the 23rd January 2014 has resulted at the changing pattern of implementing election into Concurrent Election that will be started to be implemented in 2019. However, the decision itself has vague meaning as it is simply enunciated the implementation of election at once, but it is not implicatively considering the coat tail effect as to whether this is the most aimed for strengthening the presidential system in Indonesia. This paper will study the concurrent electoral governance that should be taken into account prior to the implementation of the above particular Constitution Court decision in 2014. Keywords: governance.
Concurrent
Election,
electoral
Political coalition is a necessity for a state, like Indonesia, that using multiparty system. Coalition is a must since the election could not provide a majority in a parliament. Some factors have determined the parties’ political behavior in Indonesia and present two factors that would determine why were the coalition of Islamic political parties difficult to realize in the 2014 Presidential election. Firstly, political pragmatism has made Islamic polical party become cartel party in which party become agent of the state and employs the resources of the state to ensure the survival of the party. Secondly, Islamic political parties do not have popular figures against Prabowo and Jokowi. Keywords: political party, general election, coalition.
DDC: 324.2598 Aisah Putri Budiatri THE INSTITUTIONALIZATION OF POLITICAL PARTY SYSTEM UNDER DEMOCRATIC SYSTEM IN INDONESIA (1998-NOW) Jurnal Penelitian Politik
DDC: 297.65 Esty Ekawati ISLAMIC POLITICAL PARTY COALITION IN THE 2014 PRESIDENTIAL ELECTION Jurnal Penelitian Politik
Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 33-54 The establishment of democracy in Indonesia after 1998 has brought a reform of party and electoral systems. Nevertheles, it is interesting to ask whether the party system under the new democracy system has been institutionalized or not. The analyses on four dimensions of party system brought by Mainwaring and Scully do not show that the
Abstract | xi
Indonesia’s party system has been institutionalized. Only the variable of party legitimation has shown an improvement of today’s Indonesian party system, but not other variables. Nowadays, Indonesia still faces problems of unstable party competition, a weak relation between parties and the society, and oligarchy within the parties.
(IMA) TOWARDS CURRENT RELATION OF AUSTRALIA-INDONESIA
Keywords: party, democracy, political party system, institutionalization, Indonesia.
The relationship between Australia and Indonesia is always a high dynamics. One issue that becomes an obstacle for both countries is asylum seekers and refugees who enter Indonesia’s territory in order to seek asylum in Australia by sea or so-called Illegal Maritime Arrivals (IMA). Indonesia’s position as a transit country and Australia as a destination country require both countries to cooperate so that IMA issues can be well-handled. This paper will analyse more about how Australia has a policy to deal with IMA today. Pursuing its national interests, Australia is aware of the urgency to establish cooperation with Indonesia, which is perceived as buffer state, in order to justify efforts to safeguard national security. However, Australia currently is developing more restrictive and unilateral policies towards IMA, which are contradictive with human rights and humanitarian aspects, as well as the principle of good international citizenship. Australia’s tendency to act unilaterally and more aggressive towards IMA has refracted its commitment to settle IMA through cooperation framework with Indonesia in bilateral and multilateral level. Therefore, Australian policy on IMA would have a negative impact on relations between Indonesia and Australia.
DDC: 321.8 Andi Ahmad Yani THE DYNAMIC OF INDONESIAN POLITICAL TRUST IN THE BEGINNING OF REFORM ERA Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 55-68 Trust is a fundamental ingredient in legitimacy and sustainability of democratic system. As an emerging democratic country, Indonesia faces various challenges to redevelop political trust in transition period from the Soeharto’s military regime. Hence this article examines patterns of political trust in democratic institution in this critical period. It proposes two main arguments. The first, this study indicates a decent trend of Indonesian political trust where most Indonesian people have high confidence in most democratic institutions, except political parties. Second, this study employs theory of political trust which determined by cultural and institutional perspectives to examine Indonesian political trust in democratic institutions. The result then supports the assumption that Indonesian political trust is greatly determined by institutional achievement, particularly democratic and economic development performance. Keywords: political trust, democratic institutions, social capital, Indonesia’s political system.
DDC: 327.598094 Rizka Fiani Prabaningtyas THE IMPACT OF AUSTRALIAN POLICY ON ILLEGAL MARITIME ARRIVALS
Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 69-81
Keywords: Australian Foreign Policy, Illegal Maritime Arrival (IMA), Australia’s national interest, Australia-Indonesia Relations.
DDC: 320.54 Nina Andriana THE EXISTENCE AND MANIFESTATION OF INDONESIAN NATIONHOOD IN INDONESIAMALAYSIA BORDER AREA: CASE OF WEST KALIMANTAN Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 83-98 The conditions of the border area that is full of “limitedness”, indicate the people in that region
xii | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
are more oriented to the neighboring countries, because neighboring countries are better able to overcome the limitations that they have. The presumption that a sense of nationalism in border communities is fragile is not entirely wrong, but also not entirely correct. Many factors that cause a sense of nationalism border communities strong or otherwise, weak. The state has an important role in growing and maintaining a sense of nationality communities across the country, especially in border areas. This paper presents a portrait of a sense of nationhood in the comprehension and daily life of border communities. In the end, this paper aims to give a recommendation to the government and relevant stakeholders,that approach to cultivate and nurture a sense of national border communities must be more innovative and also civilized.
mutual respect every effort is made to resolve the conflict peacefully.
Keywords: Border Areas, Nationalism, Government Role.
Jurnal Penelitian Politik
Keywords: Territory, Transformation, Conflict, Regime.
DDC:323.04 RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin POLITICAL PARTICIPATION AND VOTING BEHAVIOR IN GENERAL ELECTION 2014
Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 117-135 DDC: 658.405 Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga ASEAN AND SOUTH CHINA SEA ISSUE: CONFLICT TRANSFORMATION TOWARD EAST ASIA SECURITY REGIME Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 99-115 Seizing territory in the South China Sea between the claimant states will lead to instability in the region that could lead to open conflict. To avoid open conflict or concert of power, several attempts have been made but unfortunately the claimant states as well as members of ASEAN are still reluctant to use the mechanism of ASEAN. So far, the approaches used by both the academics and states is still limited use of the cooperation scheme to divert the conflict. The use of the concept of conflict transformation towards regional security regime is still rarely used. The aim of this paper is to analyze the development of LCS conflict within the ASEAN’s framework and Indonesia’s role in efforts to encourage conflict transformation that focuses on the relationship between the claimants states. One of the forum can be optimized role in managing and change the potential for conflict in the region is the ASEAN Maritime Forum (AMF). The transition from DoC to CoC is part of the conflict transformation in the South China Sea, where the essence of the claimant states are directed to comply with the agreement and
The premise of this research is the idea that there was trend in political participation and voting behavior in general election 2014. In this research, it is believed that there are three factors influence those phenomenon such as sosiological factors, psychological factor, and rational choice factor. The research highlights the most influental factors on political participation and voting behavior during general election 2014. Keywords: political participation, voting behavior, general election 2014, sociological factor, psychological factor, rational choice factor.
DDC: 321.8042 Ridho Imawan Hanafi EXPLORING THE EXECUTIVELEGISLATIVE RELATIONS IN INDONESIA MULTIPARTY PRESIDENTIAL SYSTEM Jurnal Penelitian Politik Vol. 12, No. 1, June 2015, Page 137-145 This paper examines executive-legislative relations in Indonesia multiparty presidential system. According to several studies, the combination between multiparty system and a presidential system
Abstract | xiii
tends to result in the appearance of conflict between presidential and parliamentary institutions and eventually creates unstable democracy. Contrary to the theoritical predictions, this study states that multiparty presidential system in Indonesia is reasonably well. The combination of formal and informal institutions that structure the relationship between the president and the legislature reduces well the potential of deadlock and makes the relationship work. Moreover, the existence of a coalition-minded president, accomodative and consensual behavior of political elites also contributes to the work of multiparty presidential system in Indonesia work. Keywords: presidential-multiparty system, executive and legislative institutions, formal and informal institutions, coalition.
xiv | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
MENYIAPKAN TATA KELOLA PEMILU SERENTAK 20191 PREPARING THE GOVERNABILITY OF CONCURRENT ELECTION 2019 Sri Nuryanti Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 23 Maret 2015; direvisi: 27 Mei 2015; disetujui: 18 Juni 2015 Abstract The decision made by Constitutional Court on the 23rd January 2014 has resulted at the changing pattern of implementing election into Concurrent Election that will be started to be implemented in 2019. However, the decision itself has vague meaning as it is simply enunciated the implementation of election at once, but it is not implicatively considering the coat tail effect as to whether this is the most aimed for strengthening the presidential system in Indonesia. This paper will study the concurrent electoral governance that should be taken into account prior to the implementation of the above particular Constitution Court decision in 2014. Keywords: Concurrent Election, electoral governance. Abstrak Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 23 Januari 2014 telah mengakibatkan perubahan pola penyelenggaraan pemilu menjadi Pemilu Serentak yang akan diselenggarakan mulai tahun 2019. Meskipun demikian, keputusan tersebut sebenarnya agak janggal karena hanya mengumumkan penyelenggaraan pemilu secara serentak, tetapi tidak mempertimbangkan penerapan coattail effect (efek ekor jas) untuk tujuan mendasar yaitu memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Tulisan ini akan mempelajari tata kelola Pemilu Serentak yang harus dipertimbangkan sebelum pelaksanaan keputusan khusus Mahkamah Konstitusi di tahun 2014 tersebut. Kata Kunci: Pemilu Serentak, tata kelola kepemiluan.
Pendahuluan Pemilu Serentak sebagai pelaksanaan amar putusan Mahkamah Konstitusi pada 23 Januari 2014 dimana Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penyelenggaran pemilihan umum presiden dan wakil presiden, serta pemilihan umum legislatif dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019. Hal ini memunculkan berbagai
penafsiran akan sistem yang akan dibangun dengan keputusan MK tersebut karena dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi hanya menyebutkan soal penyelenggaraan serentak antara pemilu untuk anggota DPR, DPD dan DPRD dan pemilu Presiden-Wakil Presiden.
Tulisan ini adalah untuk merespons implementasi atas Putusan MK ini merupakan putusan perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 yaitu putusan uji publik atas Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 1
Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 | Sri Nuryanti | 1
Putusan Mahkamah Konstitusi itu secara lengkap berbunyi:2 Bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1 ) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 3) Amar putusan tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya; 4) Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.
Dari amar putusan Mahkamah Konstitusi itu, muncullah penafsiran bahwa Pemilu 2019 akan diselenggarakan dengan 5 kotak. Secara sederhana putusan itu banyak dimengerti sebagai sekedar perbedaan dalam penyelenggaraannya dimana Pemilu 2019 akan diselenggarakan secara bersamaan untuk memilih DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, patut menjadi perhatian bersama bahwa apapun yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pemilu Serentak itu, sebaiknya direspons secara akademik dan dilihat pengaturan teknis implementatif yang harus ada beserta pernik-perniknya. Tulisan ini bermaksud membahas penyiapan tata kelola Pemilu Serentak yang sesuai dengan amar putusan MK akan dilaksanakan mulai tahun 2019.3 Sebagaimana diketahui bahwa keputusan mengenai Pemilu Serentak adalah putusan MK tahun 2014 tentang uji publik Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.4 Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan ketentuan Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Pemilihan Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 uji materi UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2
Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan saya dalam salah satu bagian pembahasan dalam Naskah Akademik tentang Desain Pemilu Serentak yang disusun oleh Electoral Research Institute (ERI)-LIPI, 2015. 3
Putusan MK ini merupakan putusan perkara Nomor 14/PUUXI/2013 yaitu putusan uji publik atas Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. 4
umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Hal itu secara sederhana dapat dipahami bahwa Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa hanya ada satu pemilihan umum dalam kurun waktu lima (5) tahun. Hal ini sebenarnya kalau dilihat dari original intent pembuatan pada saat pembahasan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam pembahasannya disepakati perlunya penekanan bahwa pemilu diselenggarakan 5 tahun sekali.5 Dalam perkembangannya, keputusan itu bisa juga merujuk pada adanya pemikiran mengenai potensi kejenuhan bagi pemilih, yang dihadapkan pada beberapa kali pemilu. Penyelenggaraan pemilu yang beberapa kali ini akan mengakibatkan kejenuhan bagi pemilih yang pada akhirnya dikhawatirkan akan menghasilkan partisipasi pemilih yang biasa saja, dan bisa juga meskipun partisipasi masih menunjukkan prosentase baik, tapi rakyat malas memikirkan substansi mengapa harus pemilu atau mengapa mereka harus ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) atau mengapa mereka harus berpartisipasi dalam kegiatan pemilu6. Terlebih lagi, bila pemilu yang ada akhir-akhir ini adalah pemilu yang melibatkan kekerasan, atau pemilu yang pada akhirnya tidak menghasilkan wakil rakyat di legislatif dan pemimpin rakyat di jajaran eksekutif yang tidak mempunyai kinerja baik. Oleh sebab itu, Pemilu Serentak kemungkinan besar diformulasikan untuk menutup celah kejenuhan itu. Kemungkinan yang lain lagi, formulasi Pemilu Serentak adalah dalih untuk membuat penyelenggaraan pemilu efisien.7 Alasan-alasan inilah yang harus dilihat satu persatu. Lihat penjelasan F PDIP, I Dewa Gede Palguna yang dapat dilihat dari Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku 5 Pemilihan Umum, Edisi Revisi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi 2010, hal. 581 5
Mengenai alasan mengapa perlu berpartisipasi dalam pemilu, dapat dibaca dalam misalnya tulisan Jan W.Van Deth, Studying Political Participation: Towards a Theory of Everything, yang disampaikan dalam European Consortium for Political Research, Grenoble, 6-11 April 2001, Perancis 6
Menyangkut penyelenggaraan pemilu atau kebijakan negara yang efisien, dengan menganalisis konsekuensi ekonomu dalam perubahan konstitusi, banyak disinggung oleh Elster John and Rune Slagstad (Eds), Constitutionalism and Democracy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1988). 7
2 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
Ketika MK kemudian memutuskan untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak, putusan MK masih belum putusan operasional yang menjawab kerisauan–kerisauan atas banyaknya penyelenggaraan pemilu di atas. Mungkin alasan agar tidak jenuh, bisa terjawab oleh Pemilu Serentak ini, juga mungkin soal efisiensi dalam penyelenggaraan. Terlepas dari itu, penyelenggaraan Pemilu Serentak tahun 2019 sesuai putusan MK, masih belum mengatur operasionalisasi yang bisa memperkuat sistem presidensial, karena Pemilu Serentak putusan MK adalah pemilu yang lebih tepatnya diserentakkan, 5 kotak. Ini yang kemudian tidak mengakibatkan munculnya coattail effect. Coattail effect ini secara teori sebenarnya mengatur hubungan sequential dimana partai yang menjadi pemenang pada pemilu legislatif adalah partai dimana presiden dan wakil presiden terpilih berasal.8 Yang dikhawatirkan adalah bahwa Pemilu Serentak ini adalah pemilu yang diserentakkan penyelenggaraannya saja, tetapi tidak sampai menyentuh coattail effect itu tadi.
Permasalahan Permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah menyangkut hal-hal yang harus disiapkan dalam implementasi putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan penyelenggaraan Pemilu Serentak tahun 2014. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 khususnya untuk pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan (2), pasal 14 ayat (2) serta pasal 112 UU 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dimana pasal-pasal itu dinyatakan bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Meskipun sifat putusan MK ini dianggap sebagai negative legislator, maka dalam pelaksanaannya biasanya diperlukan penyesuaian undang-undang dan hal-hal lain sebagai konsekuensi putusan itu. Dalam salah satu tulisan dikatakan bahwa pola Coattail effect ini akan memperkuat evaluasi terhadap kinerja partai sekaligus memberi peluang kepada partai politik untuk bekerja lebih bagus lagi agar pemilih memilih calon yang berasal dari parti yang sama. Lihat misalnya tulisan Amuitz Garmendia Madariaga, H. Ege Ozen, “Looking for two-sided Coattail Effects, Intergrated parties and multilevel elections in the US”, Electoral studies 40 (2015): 66-75, www.elsevier.com/ locate/elecstud. 8
Dalam kacamata inilah, tulisan ini dibuat yaitu untuk menjawab hal-hal apa saja yang harus ada dalam implementasi putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2014 tentang Pemilu Serentak sebagai putusan atas perkara nomor 14/PUUXI/2013.
Kerangka Pemikiran Dalam studi tentang pentingnya penyelenggaraan Pemilu Serentak, dimulai dari studi tentang sistem pemilu yang bermuara pada adanya dua pilihan besar yaitu sistem distrik dan sistem proporsional. Untuk Indonesia, sejak lama yang diterapkan adalah dengan sistem campuran yaitu dengan menggunakan sistem proporsional dengan menggunakan formula suara terbanyak untuk pemilihan anggota DPR maupun DPRD, sementara DPD dipilih dengan memilih 4 calon yang mempunyai suara terbanyak di masingmasing provinsi. Sementara penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden selama ini diselenggarakan terpisah dari Pemilu Legislatif dan dilaksanakan dengan metode dua putaran (the two round model). Penerapan model ini membawa konsekuensi adanya calon pemenang presiden-wakil presiden yang bukan berasal dari partai pemenang sewaktu pemilu anggota DPR, DPD maupun DPRD. Dengan demikian, sistem yang diberlakukan di Indonesia dimana Pemilu Legislatif mendahului Pemilu Presiden, tidak memunculkan pola untuk memperkuat sistem presidensial di Indonesia. Pemilu di Indonesia selama ini tidak menghasilkan efek berantai atas pilihan masyarakat pada Pemilu Legislatif dan pilihan mereka untuk calon pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, perlu dimunculkan formula yang bisa memperkuat sistem presidensial. Berbeda dengan negara yang menerapkan Dual Simultaneous Vote (DSV) seperti Uruguay misalnya, dimana Uruguay menerapkan sistem yang kompleks yang menghubungkan sifat politik di Uruguay, yang kemudian dianggap sebagai pola untuk memperkuat pemerintahan yang ekesekutifnya kuat dan didukung oleh konsensus dan adanya pemerintahan yang merupakan aliansi antar partai.9 Dalam Dual Simultaneous Vote ini Lihat Charles Guy Gillespie, Negotiating Democracy: Politicians and Generals in Uruguay, (Cambridge: Cambridge 9
Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 | Sri Nuryanti | 3
mengatur sebuah kombinasi dimana presiden yang terpilih harus berasal dari partai pemenang pemilu. Dalam kerangka pemikiran untuk memperkuat sistem presidensial itulah, untuk konteks Indonesia perlu dipikirkan hal-hal lain yang berhubungan dengan implementasi putusan Mahkamah Konstitusi karena putusan Mahkamah Konstitusi tidak mengatur seperti apa model penyelenggaraannya bila Pemilu Serentak diterapkan di Indonesia dan hal-hal apa saja yang harus disiapkan menjalang pelaksanaanya.
Peluang dan Tantangan Pemilu Serentak Peluang dan tantangan Pemilu Serentak sebenarnya banyak sekali. Terdapat sejumlah hal yang memerlukan pemikiran khusus. Pertama, terkait dengan tujuan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 apakah sekedar pemilu yang diserentakkan ataukah pemilu serentak yang diformulasikan dengan tujuan utama memperkuat sistem presidensial?. Bila sekedar diserentakkan, mungkin hanya soal efisiensi penyelenggaraan. Tetapi dari sisi kandidat, belum tentu Pemilu Serentak adalah pemilu berbiaya politik lebih murah. Kajian mengenai alasan ini dapat dibaca misalnya pada bukunya James L. Regens dan Ronald Keith Gaddie, menyebutkan bahwa dalam reformasi konstitusi yang menyangkut perubahan-perubahan kebijakan politik, biasanya perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap pola ‘rent seeking’. Dengan demikian, belum tentu perubahan peraturan dan kebijakan itu akan berdampak pada penyelenggaraan pemilu yang lebih murah. 10 Kedua, terkait dengan waktu pelaksanaan Pemilu Serentak. Apakah norma Pemilu Serentak 2019 ini mengisyaratkan adanya Pemilu Serentak dengan basis nasional, atau Pemilu Serentak seperti apa?, basis keserentakkannya itu seperti apa?, apakah nasional lokal?, atau EksekutifLegislatif?, atau per gelombang?. Hal ini perlu mengingat masa akhir jabatan kepala daerah Latin American Studies, Cambridge University Press, 1991), hlm. 82. Lihat James L. Regens dan Ronald Keith Gaddie, The Economic Realities of Political Reform, Elections and the US Senate, (Cambridge: Cambridge University Press, 1995), hlm. 97. 10
yang tidak seragam. Kalau mau diserentakkan, bagaimana dengan penyesuaian waktu penyelenggaraan Pemilu Serentak nya?. Apakah tahun 2019 itu sudah bisa serentak semua? Masa akhir jabatan kepala daerah perlu dihitung. Dalam pada itu, untuk lebih memperjelas asumsi ini, perlu dilihat tulisan Tom Ginsburg and Albert H.Y. Chen, banyak mengungkapkan perlunya melihat suatu proses politik secara utuh, baik hal penyebab, konsekuensi dan batasannya sehingga proses politik sesuai yang diharapkan. 11 Ketiga, terkait dengan rekrutmen penyelenggara. Dalam undang-undang dikatakan bahwa pergantian penyelenggara diharapkan tidak mengganggu jalannya suatu tahapan pemilu. Padahal, masing-masing penyelenggara pemilu mempunyai masa tugas yang berbeda-beda pula. Dalam hal ini perlu dipikirkan mengenai masa rekrutmen penyelenggara pemilu yang tidak mengganggu penyelenggaraan pemilu itu sendiri. Hal ini perlu diperhitungkan khususnya ketika penyelenggaraan pemilu terjadi pada masyarakat yang terbelah. Dalam masyarakat yang terbelah, memerlukan electoral engineering (perekayasaan proses kepemiluan) dalam rangka manajemen konflik khususnya untuk penyelenggaraan demokrasi di masyarakat terbelah.12 Lalu keempat, terkait dengan jadwal, tahapan dan program penyelenggaraan Pemilu Serentak, perlu dilihat juga kapan waktu yang tepat dimulainya jadwal, tahapan dan program itu. Hal ini akan terkait dengan kesiapan penyelenggara khususnya dalam pembuatan kebijakan dan peraturan penyelenggaraan pemilu.13 Kelima, terkait dengan pengamanan Pemilu Serentak. Apabila Pemilu Serentak disetujui pemisahan Pemilu Serentak nasional dan lokal, maka dalam penyelenggaraannya perlu dihitung soal pengamanan. Khusus untuk penyelenggaraan Lihat Tom Ginsburg dan Albert H.Y. Chen, Administrative Law and Governance in Asia, Comparative Perspective, (London and New York: Routledge, 2009). 11.
Lihat Benjamin Reilly, Democracy in Divided Society, Electoral Engineering for Conflict Management, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004). 12
Lihat International IDEA, Electoral Management Design, an Overview of the International IDEA Handbook, (Swedia: International IDEA, 2006). 13
4 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
Pemilu Serentak lokal, hal ini sangat terkait dengan eskalasi politik di masing-masing daerah. Ada beberapa daerah yang di masa lalu ketika penyelenggaraan pemilukadanya diwarnai dengan kerusuhan, konflik dan kekerasan. Hal ini tentu membuat aparat keamanan untuk lebih waspada dan mewaspadai jangan sampai peristiwa di masa lalu terulang, atau terjadi di daerah lain. Penyelenggaraan pemilukada selama ini dianggap lebih krusial dari sisi pengamanan karena kadangkala ada konflik-konflik lokal atau sentimen lokal yang terbawa dalam dinamika pemilukada. Keenam, hal-hal pendukung lain, termasuk pembiayaan. Untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak nasional, pembiayaan biasanya sudah dicadangkan dalam pembiayaan yang akan ditanggung negara, sementara formulasi pembiayaan untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak lokal, anggarannya bila tidak ada perubahan pengaturan, maka masih harus disiapkan oleh daerah. Apabila formulasi anggaran pemilukada masih dibebankan kepada daerah, maka bagaimana dengan daerah yang masih belum mampu menyelenggarakan pemilukada pada saat pemilukada itu dilaksanakan?. Lain halnya jika anggaran pemilukada dibebankan kepada APBN, mungkin anggaran tidak menjadi soal. Cuma memang perlu perubahan undangundang mengenai hal ini, dan hal-hal lain yang terkait dengan keputusan penyelenggaraan Pemilu Serentak itu. Peluang Pemilu Serentak bagi akselerasi demokrasi memang ada. Hal itu harus dari awal disepakati apakah Pemilu Serentak ini juga ditujukan untuk memperkuat sistem presidensial atau sekedar diserentakkan penyelenggaraannya. Apabila memang Pemilu Serentak ditujukan untuk memperkuat sistem presidensial, maka peluang itu ada, dan harus dimulai dari sekarang. Formulasinya harus benar-benar menghitung teknis penyelenggaraan, dan konsekuensi atas penyelenggaraan yang ‘serentak’ itu. Peluang memperkuat sistem presidensial perlu dipikirkan secara komprehensif, termasuk ketika penguatan sistem presidensial itu juga dipakai logikanya untuk memperkuat tata kelola pemerintahan daerah.
Secara teknis, hambatan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 sebenarnya harus bisa menghitung dan menjawab persoalan yang penulis sebutkan sebelumnya, yang bermula dari norma pengaturan pemilu serentak itu, kemudian jadwal, tahapan dan program, termasuk pola rekrutmen penyelenggara yang tidak mengganggu berlangsungnya jadwal, tahapan dan program satu siklus pemilu utuh, sampai soal eksekusi di lapangan yang melibatkan pengamanan pemilunya (penyelenggara, logistik, proses pemilu, pengumuman hasil, pelantikan). Sepanjang semua hal teknisnya diperhitungkan dan pengaturan dasarnya dimuat dalam ketentuan undang-undang, pelaksanaan teknisnya tidak akan ada masalah yang berarti. Tentunya, perlu dukungan semua pihak. Kalau untuk meminimalisir Pemilu Serentak 2019, memang yang paling penting adalah adanya undang-undang Pemilu Serentak yang mengatur garis besar skenario Pemilu Serentak itu. Tidak perlu rigid karena ini yang akan dituangkan dalam peraturan KPU. Koordinasi dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan pemilu, tentu menjadi hal yang harus selalu dijalin bahkan sejak dini, sehingga tidak ada hal yang lepas kendali. Ya n g p e r l u d i p i k i r k a n a d a l a h perlunya memilahkan antara pemilu yang penyelenggaraannya sekedar diserentakkan dengan pemilu serentak yang memang ditujukan untuk memperkuat sistem presidensial. Electoral Research Institute (ERI) telah membuat pemilahan Pemilu Serentak antara Pemilu Serentak nasional dan Pemilu Serentak lokal. Pemilu Serentak nasional hanya akan memilih DPR, DPD, Presiden-Wakil Presiden, sementara Pemilu Serentak lokal akan memilih DPRD provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Kepala Daerah-Wakil kepala Daerah baik provinsi maupun kabupaten-kota. Basis penyelenggaraan Pemilu Serentak lokal adalah provinsi.14 Dalam menyiapkan tata kelola Pemilu Serentak baik lokal maupun nasional perlu diperhatikan tata kelola dan kebutuhankebutuhan penyelenggaraannya sebagaimana dalam penjelasan berikut ini. Lihat Electoral Research Institute, Naskah Akademik Desain Pemilu Serentak, (Jakarta: ERI-LIPI, 2015), hlm. 20. 14
Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 | Sri Nuryanti | 5
1. Terkait dengan tersedianya UU Pemilu Serentak
Merujuk pada tata kelola kepemiluan, maka diperlukan tersedianya undang-undang kepemiluan, penyelenggara pemilu, tahapan penyelenggaraan pemilu, dan penyelesaian sengketa pemilu. Untuk menyelenggarakan Pemilu Serentak, tak pelak lagi diperlukan undang-undang yang akan menjadi dasar setiap pelaksanaan tahapan Pemilu Serentak ini. Undang-undang pemilu yang sudah ada, baik pemilu untuk memilih DPR, DPD dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dapat menjadi modal dasar dibuatnya undangundang Pemilu Serentak. Mungkin yang perlu penyesuaian adalah dalam hal penyelenggaraan tahapannya. Kebutuhan akan adanya undang-undang pemilu ini seharusnya sedini mungkin dapat diatasi. Tidak seperti penyelenggaraan Pemilu 2009 di mana waktu disahkannya undang-undang dengan masa berlangsungnya tahapan sangat singkat sehingga penyelenggara tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan persiapan penyelenggaraan tahapan yaitu misalnya dalam hal penyiapan peraturan, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Penyelenggaraan Pemilu 2014 dari segi ketersediaan waktu antara disahkannya undang-undang dan penyelenggaraan tahapan cukup panjang sehingga penyelenggara pemilu dapat melakukan persiapan-persiapan sebelum pelaksanaan tahapan. UU Pemilu 2014 juga sudah mengadopsi beberapa perubahan yang mendasarkan pada pengalaman pada pemilu 2009. Dengan demikian, mengacu pada UU yang pernah ada, UU Pemilu Serentak harus segera disusun dan disahkan.
pada bulan Juni 2017. Dengan demikian, apabila undang-undang Pemilu Serentak ini sudah tersedia pada awal atau maksimal pertengahan tahun 2017, penyelenggara pemilu dapat mempunyai cukup waktu untuk persiapan penyelenggaraannya. Penyelenggara pemilu pada masa sebelum disahkannya undangundang pemilu yang baru yang mengatur tahapan, penyelenggara pemilu harus melakukan persiapan-persiapan mulai dari perencanaan keuangan, perekrutan penyelenggara di daerah provinsi dan kabupaten kota, konsolidasi internal dan persiapan-persiapan draft peraturan dan draf petunjuk pelaksanaan beserta draf petunjuk teknis. Dengan demikian, pada saat tahapan harus dilaksanakan, penyelenggara pemilu sudah mempunyai persiapan yang cukup memadai. 2. Terkait dengan Penyelenggara Pemilu Serentak Merujuk pada ketentuan Pasal 22E UUD 1945 maka pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Oleh sebab itu, masa kerja KPU adalah 5 tahun. Selama ini, masa kerja KPU RI, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota adalah 5 tahun. Bila dihubungkan dengan penyelenggaraan Pemilu Serentak, maka perlu dipikirkan soal pola rekrutmen anggota KPU yang ideal yaitu:
Dalam naskah ini, yang akan digunakan untuk bahan pijakan simulasi penyelenggaraan Pemilu Serentak adalah undang-undang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang terakhir yaitu undang-undang untuk penyelenggaraan Pemilu 2014.
a) Diseleksi oleh tim seleksi yang bersifat independen yang terdiri dari akademisi dan praktisi yang paham betul mengenai kepemiluan, bukan panitia seleksi (pansel) yang dicalonkan oleh kepala daerah dan DPRD sebagaimana dilakukan oleh pansel perekrutan KPU pada Pemilu 2009, tetapi seperti pansel pada perekrutan KPU pada Pemilu 2014. Pemberkasan pemenuhan syarat calon anggota KPU dilakukan secara online dan ujian tertulis dilakukan secara online meskipun lokasi test berada di masingmasing tingkatan.
Dengan mengambil asumsi bahwa penyelenggaraan Pemilu Serentak akan dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2019, maka disarankan agar UU Pemilu Serentak dapat disahkan minimal dua tahun sebelum penyelenggaran Pemilu Serentak yaitu maksimal
b) Rekrutmen untuk KPU dilaksanakan dua tahun setengah sebelum penyelenggaraan pemilu nasional. Bila merujuk pada usulan awal penyelenggaraan pemilu serentak secara ideal akan dilakukan bulan Mei atau Juni, maka rekrutmen anggota
6 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
KPU sudah harus menghasilkan anggota KPU terpilih pada bulan Januari 2017. Hal ini dilakukan dengan perhitungan bahwa pada dua tahun setelah yang bersangkutan menjadi anggota KPU, yang bersangkutan akan melalui seluruh proses dari awal pratahapan, tahapan dan pasca tahapan. Setelah pemilu nasional selesai, yang bersangkutan masih mempunyai masa tugas dua setengah tahun. Pada masa setelah pemilu nasional ini, apabila pemilu lokal diselenggarakan dengan jarak 2 hingga 2,5 tahun, maka yang bersangkutan akan melalui proses pratahapan, tahapan dan pascatahapan. Setengah tahun setelahnya, yang bersangkutan dapat mengakhiri masa tugasnya pada periode itu, disaat yang bersamaan sudah berlangsung rekrutmen baru calon pengganti atau yang terpilih kembali. Apabila siklus ini dapat dilalui maka sirkulasi keanggotaan KPU tidak mengganggu tahapan atau bahkan tidak mengganggu siklus suatu pemilu sama sekali. Selama ini, seringkali terjadi pergantian KPU di tengah tahapan, sehingga menyulitkan bagi yang terpilih untuk langsung menyesuaikan dengan tahapan yang sedang berjalan. Pergantian antarwaktu masih dapat diakomodir kecuali untuk kasus yang menimbulkan pemberhentian keseluruhan anggota KPU, maka disarankan agar hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan tahapan yang sedang berlangsung. Untuk itu, apabila Pemilu Serentak akan dilakukan pada bulan akhir Mei atau akhir Juni akhir, maka penggantian anggota KPU dilakukan pada bulan Januari dua setengah tahun sebelum penyelenggaraan pemilu. Apabila Pemilu Serentak nasional akan digelar bulan Juni 2019, maka bulan Januari 2017 sudah ada pergantian keanggotaan KPU. Keanggotaan KPU periode 2012-2017 yang seharusnya mengakhiri masa tugas pada tanggal 12 April 2017, dimajukan masa tugasnya menjadi Januari 2017. Karena konsekuensi ini, perlu diatur mengenai penggantian kompensasi bagi anggota KPU yang masa jabatannya dipersingkat 3 sampai 4 bulan tersebut.
Penyelenggara pemilu dengan model pemisahan Pemilu Serentak di tingkat nasional ini akan membawa konsekuensi pada beban penyelenggara yang lebih ringan dan tertata. Untuk Pemilu Serentak di level nasional misalnya, beban penyelenggara untuk menyediakan surat suara hanya 77 surat suara sesuai Dapil dan 34 surat suara untuk DPD. Baru nanti untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak di tingkat lokal, maka beban mereka hanya untuk menyediakan surat suara di wilayah provinsinya saja. Oleh sebab itu, masuk akal apabila untuk penyelenggaraan Pemilu Serentak nasional, beban pengadaan logistik yang berupa surat suara dan alat perlengkapan lain menjadi tanggung jawab penyelenggara tingkat pusat, sementara ketika penyelenggaraan Pemilu Serentak lokal menjadi tanggung jawab masing-masing provinsi di wilayahnya. 3. Terkait dengan Waktu Penyelenggaraan Apabila merujuk pada norma penyelenggaraan Pemilu Serentak sebagaimana dimunculkan dalam putusan MK, diketahui bahwa putusan MK merujuk pada Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Pasal ini tampaknya ditafsirkan MK sedemikian rupa sehingga seakan-akan konstitusi mengamanatkan hanya ada satu pemilihan umum dalam kurun waktu lima tahun. Selanjutnya Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 langsung diikuti oleh Ayat (2) –dalam satu tarikan nafas– yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Hal ini dipahami bahwa pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali dilaksanakan secara sekaligus (serentak) untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari ketentuan konstitusi ini, maka diputuskan bahwa waktu penyelenggaraan Pemilu Serentak adalah sekali dalam lima tahun. Namun demikian, argumentasi pelaksanaan
Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 | Sri Nuryanti | 7
Pemilu Serentak lima kotak dalam waktu yang bersamaan ini banyak menuai kritik mengingat beberapa hal: a. Coattail effect tidak tercipta. Apabila penyelenggaraan pemilu dilakukan secara serentak lima kotak, maka keinginan untuk memperkuat sistem presidensial di mana muncul pola hubungan yang saling mendukung antara eksekutif dan legislatif sehingga tercipta tata kelola pemerintahan yang kuat, tidak mudah tercipta. Hal itu disebabkan karena format surat suara yang sendiri-sendiri sehingga memungkinkan pemilih mempunyai pilihan yang tidak sejalur. Pemilih bisa jadi memilih partai A untuk legislatif, dan calon partai B untuk kandidat presiden. Oleh karena itu, apabila penyelenggaraan Pemilu Serentak 5 kotak seperti diputuskan MK, maka coattail effect tidak tercipta. b. Kemampuan pemilih menjadi pemilih rasional minim. Pengalaman bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilu selama ini menunjukkan bahwa perilaku pemilih masih banyak yang ditentukan oleh iming-iming material selama kampanye atau kedekatan afiliasi dengan calon, baik karena kesamaan etnis, performa fisik maupun hal lain yang bersifat instan. Oleh karena itu, perlu dibuat rekayasa pengelolaan pemilu dan pengetatan sanksi hukum bagi pelaku dan penerima money politics. Ketentuan di dalam UU pemilu yang melarang pemberian, menerima atau menjanjikan barang dan atau jasa selama pemilu, perlu penegasan sanksi hukumnya. Di samping itu, kemampuan pemilih untuk menjadi pemilih yang secara rasional mendasarkan pilihannya pada program partai, masih sangat minim. Partai gagal mensosialisasikan programnya kepada para calon pemilih, para calon juga tidak mempunyai performa kuat untuk mendorong kesuksesan program partai. Oleh sebab itu, perlu dicari formula secara manajemen untuk menangani permasalahan ini.
c. Faktor pengamanan. Terkait dengan penyelenggaraan Pemilu Serentak, seringkali yang perlu diperhitungkan adalah soal keamanan. Menurut pengalaman selama ini, faktor pengamanan penyelenggaraan Pemilu Legislatif yang digelar secara nasional bersamaan, dari sisi keamanan tidak terlalu riskan. Namun perlu dihitung bahwa kontestasi pada Pileg dan Pilpres berbeda eskalasinya. Seperti pengalaman penyelenggaraan Pemilu Presiden 2014 yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, mempunyai eskalasi dan friksi antarpendukung pasangan calon yang lebih tinggi, yang sedikit banyak mempengaruhi situasi keamanan masyarakat. Hal ini ditengarai disebabkan oleh potensi kemunculan friksi para pendukung pasangan calon presiden yang bercampur dengan kepentingan para pendukung partai peserta pemilu. d. Pengaturan logistik. Selama ini pengaturan logistik dilakukan secara terpusat dengan menggunakan aplikasi silogdis (sistem logistik dan distribusi) dengan melakukan zonasi (diberlakukan zona-zona yang diatur sedemikian rupa untuk mendekatkan pabrik pemenang tender dengan wilayah distribusi logistik pemilu). Dalam konteks Pemilu Serentak dengan distrik pemilu yang beragam, maka perlu dilihat kapabilitas penyelenggara pemilu (KPU), apakah KPU akan menerapkan sistem dan mekanisme yang sama dalam pembuatan dan distribusi logistik ataukah KPU harus mencari cara baru. Kompleksitas penyelenggaraan pemilu lima kotak membawa konsekuensi pada beban pekerjaan penyelenggara pemilu yang lebih rumit dan perlu ketelitian. Oleh karena itu, di dalam kertas posisi yang telah diformulasikan oleh Electoral Research Institute, diusulkan model Pemilu Nasional Serentak yang terpisah dari Pemilu Lokal Serentak sebagai pilihan yang lebih tepat bagi
8 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
bangsa Indonesia. Untuk menyelenggarakan keduany, maka yang perlu dipertimbangkan adalah: 1. Masa akhir jabatan Presiden, DPR, DPD untuk Pemilu Serentak Nasional 2. Masa akhir jabatan Gubernur, Bupati/ walikota, DPRD Prov, DPRD Kabupaten/ Kota untuk Pemilu Lokal Serentak Selama ini, Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilantik tanggal 20 Oktober, sementara DPR dan DPD dilantik tanggal 1 Oktober. Sementara itu, kalau kita melihat bahwa Pemilu Legislatif diselenggarakan tanggal 9 April, maka jarak antara Pemilu Legislatif sampai dengan pelantikan calon legislatif terpilih sekitar 5-6 bulan. Jarak waktu ini yang cukup lama ini berpotensi tidak produktif (malas-malasan) bagi anggota legislatif yang tidak terpilih kembali. Oleh sebab itu, apabila pemilu diselenggarakan serentak, maka sebaiknya jarak waktu antara penyelenggaraan pemilu dengan saat pelantikan diperpendek. Manajemen waktu ini juga harus mempertimbangkan tahapan rekapitulasi suara yang memakan waktu satu bulan dan periode tuntasnya gugatan hukum perselisihan pemilu di MK. Dengan mempertimbangkan soal itu, maka bulan Mei (2019) menjadi waktu yang pas untuk menyelenggarakan Pemilu Serentak Nasional karena itu jadwal tersebut tidak mengganggu masa lima tahun jabatan presiden. Dalam kaitannya dengan perencanaan penyelenggaraan Pemilu Lokal Serentak yang dijadwalkan 2,5 tahun (30) setelah Pemilu Nasional Serentak, maka waktu yang tepat untuk pemilu lokal serentak adalah bulan November (2021). Siklus pemilu nasional dan lokal serentak itu diharapkan berulang setiap 2,5 tahun, sehingga para pejabat publik terpilih dievaluasi kembali oleh pemilih dalam jeda waktu yang relatif pendek.
2015
2016
2017
2018
2019
2020
Gambar 1. Grafik Perkiraan Waktu Penyelenggaraan Pemilu Serentak Nasional Perekrutan KPU
Pemilu Serentak Nasional
(Januari) (Mei ) Tahapan Penyelenggaraan Pemilu
Gambar 1. Grafik Perkiraan Waktu Penyelenggaraan Pemilu Serentak Nasional
Tahapan Penyelenggaraan Pemilu Serentak Serentak Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan suatu pemilu, maka perlu dikutip siklus pemilu sebagaimana yang termuat dalam diagram di bawah ini:15
Sumber: Electoral Cycle pada ACE Project.org Gambar 2. Siklus Pemilu
Dari diagram di atas ada beberapa catatan penting yaitu: I. Pada Masa Sebelum Penyelenggaraan Pemilu a) Siklus 1: Ketersediaan landasan hukum yang memayungi seluruh institusi dan kegiatan. Dalam hal ini yang diperlukan adalah landasan hukum untuk penyelenggaraan pemilu, penyelenggara Lihat formulasi electoral cycle pada Ace Project.org, https:// aceproject.org/electoral-advice/electoral-assistance/electoralcycle di akses pada 4 Januari 2015. 15
Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 | Sri Nuryanti | 9
maupun code of conduct. Untuk menyelenggarakan Pemilu Nasional Serentak dan Pemilu Lokal Serentak, pengaturan mengenai penyelenggara Pemilu Serentak secara ideal mengatur juga pola perekrutan penyelenggara yang sedapat mungkin tidak mengganggu berjalannya tahapan. Oleh karena itu, jika Pemilu Serentak dilaksanakan pada 2019, maka perekrutan para penyelenggara semestinya sudah mulai dilakukan sejak awal 2017. b) Siklus 2: Perencanaan anggaran dan pembiayaan. Pada masa ini, perencanaan keuangan untuk mata anggaran yang bersifat rutin (Anggaran 76) dan tahapan (Anggaran 99) dilakukan setahun sebelum tahun APBN berjalan. Oleh karena itu, pada masa ini, penyelenggara biasanya sudah memunculkan besaran anggaran sesuai dengan MAK (Mata Anggaran Kegiatan). Oleh karena itu, pada saat perencanaan anggaran dan pembiayaan ini, pihak penyelenggara biasanya melakukan lobi-lobi ke DPR dan melakukan dengar pendapat dengan Panitia Anggaran untuk mendapatkan persetujuan penganggaran (fiatering). Untuk penyelenggaran pemilu serentak, penganggaran tahun pertama (2017) akan meliputi anggaran rutin, anggaran pratahapan dan anggaran tahapan apabila ada tahapan yang sudah akan berlangsung pada tahun 2017. c) Siklus 2: Perencanaan jadwal, tahapan dan program. Pada perencanaan jadwal, tahapan dan program ini biasanya penyelenggara pemilu akan menyiapkan draf jadwal, tahapan dan program pemilu yang akan dilaksanakan secara detail dengan perhitungan jumlah hari atau lamanya program dan atau kegiatan berlangsung. Rancangan jadwal, tahapan dan program akan dilampirkan dalam naskah ini. Draf jadwal, tahapan dan program ini nantinya akan disesuaikan sesuai dengan pengaturan dalam UU.
d) Siklus 2: Perencanaan logistik dan pengamanan. Pada masa ini, perencanaan logistik biasanya mempersiapkan perkiraan kuantitas, jenis maupun proses pengadaan logistik pemilu yang akan merujuk pada pengaturan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah, termasuk pengaturan spesifikasi teknis, material, sertifikasi halal apabila diperlukan khususnya untuk pembuatan tinta pemilu, pertimbangan mengenai warna, metode pelipatan, bentuk surat suara sampai soal distribusi logistik pemilu dan pengamanan logistik pemilu. e) Siklus 2: Perencanaan pengadaan barang dan jasa. Pada masa perencanaan barang dan jasa ini, pihak penyelenggara biasanya menggandeng pihak lain untuk turut mengawaki agar pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan perundangundangan. Sebagaimana yang dilakukan selama ini, penyelenggara menggandeng pihak kejaksaan, kepolisian, dan LKPP. Selain itu, pada masa perencanaan ini, dirancang tata caranya, dibahas spesifikasi kebutuhan logistik pemilu dengan profil perusahaan yang diperlukan untuk melaksanakan pengadaan logistik pemilu dan jasa distribusi, sehingga sudah tercipta peta kebutuhan, daftar perusahaan yang mungkin akan ikut pelelangan, mekanisme lelang, zonasi (pembuatan zona) atau paket-paket pelelangan. Apabila tidak ada perubahan signifikan, biasanya pada saat harus dilakukan pelelangan, penyelenggara pemilu tinggal melaksanakan pelelangan. f) Siklus 3: Rekrutmen penyelenggara dan pelaksana ad hoc. Pada masa ini, sebagaimana yang sudah disinggung di depan, rekrutmen penyelenggara pemilu nasional diselenggarakan sebelum tahapan berlangsung. Oleh karena itu, disarankan agar rekrutmen anggota KPU adalah dua setengah tahun sebelum pemungutan
10 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
suara, sedangkan KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota dilakukan 3 bulan setelahnya. Untuk rekrutmen pelaksana yang bersifar ad hoc, biasanya mengikuti ketentuan UU, termasuk masa kerja dan tugas fungsinya. g) Siklus 3: Pembuatan draf peraturan, juklak, juknis. Pada saat pembuatan draf peraturan, juklak dan juknis, biasanya disiapkan draf peraturan dari masing-masing tahapan yang diikuti dengan pembuatan juklak dan juknis. Hal ini dimaksudkan agar apabila nanti UU tentang Pemilu Serentak sudah disahkan, peraturan-peraturan itu tinggal disesuaikan beberapa hal, dan langsung bisa disahkan dan dimasukkan dalam lembaran negara. h) Siklus 3: Pelatihan (bimbingan teknis/ bimtek terhadap penyelenggara dan pelaksana). Bimtek atau bimbingan teknis pelaksanaan biasanya sangat erat dengan tugas dan fungsi. Untuk fungsi yang berbeda biasanya ada bimbingan teknis atau setidaknya tersedia buku panduan. Bimtek dan buku panduan inilah sebagai sarana untuk memahami tugas dan fungsi masing-masing petugas. i) Siklus 4: Penyebaran informasi kepada pemilih dan masyarakat. Pada saat ini, biasanya dipergunakan untuk menyampaikan informasi mengenai kepemiluan, dan sosialisasi mengenai tatacara penggunaan hak pilih, hal-hal yang dilarang dan diperbolehkan dalam prosesi kepemiluan, pembuatan iklan layanan masyarakat (public service advertisement), lomba jargon, maupun media lain seperti jalan sehat, dan “pemilu run”. j) Siklus 4: Akreditasi pemantau pemilu. Pada masa ini, para organisasi pemantau biasanya diwajibkan untuk mendaftarkan nama institusinya kepada KPU dan KPU melakukan proses akreditasi. Dalam proses akreditasi ini bagi institusi asing yang akan melakukan pemantauan pemilu
juga harus melakukan akreditasi di KPU setelah terlebih dahulu mendapatkan surat rekomendasi dari Kementerian Luar Negeri RI sebagai clearance house.
Proses Penyelenggaraan Pemilu Serentak Dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak, ada tahapan pemilu yang dapat dilakukan secara hampir bersamaan seperti misalnya pemutakhiran data pemilih, verifikasi partai politik, verifikasi calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara. a) Siklus 4: Penyusunan dan pemutakhiran data pemilih. Dalam penyusunan daftar pemilih, perlu diusulkan hal-hal sebagai berikut (beberapa di antaranya merupakan hal yang selama ini sudah diatur, tetapi perlu disempurnakan). 1. Data Kependudukan. Dalam hal pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan data kependudukan yang berupa data agregat kependudukan per kecamatan dan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4), perlu kiranya ada sinkronisasi data terlebih dahulu. DP4 juga seharusnya disediakan dalam format yang sama dan berisi data yang sama, sesuai dengan kebutuhan KPU 2. Data tersebut pada waktu penyerahan dilakukan pengecekan atas isi data, dengan menggunakan sistem yang dibangun bersama-sama dengan KPU, data dibandingkan, disandingkan dan dimutakhirkan oleh pemerintah dan KPU. Harus ada peluang untuk membandingkan data penduduk yang dimiliki oleh BPS, 3. Data penduduk di luar negeri disiapkan oleh Kementerian Luar Negeri RI dengan membandingkan data imigrasi dari direktorat jenderal keimigrasian. 4. Perlu membuat pola pemutakhiran data pemilih yang berkesinambungan atau setidaknya periodik, untuk mendapatkan data pemilih yang lebih akurat. 5. Pemutakhiran dilakukan dari rumah ke rumah, dengan diberikan tanda (stiker atau tanda lain) dan pemutakhiran
Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 | Sri Nuryanti | 11
dilakukan dengan berbagai cara dan waktu yang lama/periodik. 6. Basis pemutakhiran data pemilih adalah de facto dengan memperhatikan unsur domisili di wilayah rukun tetangga. 7. Masukan dan tanggapan masyarakat dibuka untuk waktu lama dan sesuai periode.
contreng misalnya, ada kemungkinan tanda contrengnya berada di luar kotak sehingga menyulitkan bagi KPPS untuk menentukan sah tidaknya surat suara tersebut. Masalah yang perlu diperhatikan untuk penyelenggaraan Pemilu Nasional Serentak dan Pemilu Lokal Serentak adalah soal logistik. Untuk itu ada alternatif pengaturan: 1. Untuk pemilu nasional, maka tanggung jawab ada di tingkat nasional. 2. Untuk pemilu lokal, logistik diurusi oleh provinsi, untuk logistik di wilayah provinsi yang bersangkutan. 3. Untuk menghindari tertukarnya surat suara, maka logistik dilakukan dengan pengaturan zona dan pengawasan yang ketat.
b) Siklus 4: Verifikasi Partai Politik
Verifikasi partai politik akan sangat terbantu apabila menggunakan sistem verifikasi yang andal. Sistem yang sudah ada di penyelenggara pemilu sekarang ini perlu dianalisis lagi berdasarkan hasil, kekurangan, masukan ataupun kinerja yang sudah ada, termasuk menjaga atau mengembangkan sistem verifikasi dengan menggunakan sistem dan dibarengi dengan pelaksanaan verifikasi faktual.
c) Siklus 4: Verifikasi caleg
Pada masa verifikasi calon, perlu dilaksanakan setelah ada pengumuman resmi KPU mengenai hasil verifikasi partai politik peserta pemilu. Partai politik peserta pemilu pada masa ini menyampaikan daftar nama calon anggota legislatif nasional, dan sekaligus calon presiden dan wakil presiden.
f) Siklus 7: Penghitungan Suara dan penetapan calon terpilih.
Dalam masa ini yang perlu dicermati adalah mekanisme yang tidak memungkinkan terjadinya kesalahan dan politisasi dari partai politik. Diperkirakan politisasi partai politik pada Pemilu Serentak Nasional ini akan meningkat karena pada saat itu, partai politik diperkirakan akan melakukan perjuangan yang total.
d) Siklus 5: Kampanye
g) Siklus 8: Evaluasi
Pada saat ini sebaiknya kampanye diatur secara lebih jeli, khususnya mengenai hal mana saja yang akan dikenai sanksi secara tegas. Termasuk di dalamnya yang mengatur mengenai sifat dari pelanggaran pada masa kampanye, apakah dihitung secara kumulatif atau tidak kumulatif.
e) Siklus 6: Pemungutan dan penghitungan suara.
Pada masa pemungutan dan penghitungan suara, yang memerlukan perhatian adalah soal pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suaranya. Yang harus diperhitungkan adalah tatacara yang lebih mudah dan tidak menyulitkan bagi KPPS ketika melakukan penghitungan. Pemungutan suara dengan melakukan
Pada masa ini, penyelenggara mempunyai waktu untuk melakukan evaluasi atas penyelenggaraan pemilu yang berjalan dan mencari formulasi perbaikan atas hal-hal yang dirasa kurang.
h) Siklus 8: Reformasi kebijakan dan undangundang. Pada tahapan ini, adalah saat di mana dimungkinkan masukan-masukan perbaikan atas undang-undang dan kebijakan. Dalam hal ini, termasuk yang perlu diusulkan adalah pengaturan mengenai partai politik peserta pemilu: 1) Partai politik harus mempunyai cabang partai di 100 persen jumlah provinsi dan 100 persen kabupaten kota.
12 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
2) Partai politik mengajukan calon anggota legislatif tingkat nasional bersamaan dengan calon presiden yang akan diusung partai. Alternatif pencalonan: a. Masing-masing partai diperbolehkan mengusung calon presiden. b. Sejak awal partai sudah memutuskan untuk melakukan koalisi dengan partai lain dalam pencalonan presiden. Partai memutuskan sendiri mengenai hal ini. c. Partai dari awal diatur untuk berkoalisi dengan ditentukan maksimal jumlah partai koalisinya. Pengaturan lain yang perlu diusulkan adalah adanya kepentingan untuk memperoleh calon anggota legislatif dan pasangan calon presiden/wapres yang kapabel, partai perlu diharuskan oleh ketentuan undangundang untuk melakukan seleksi internal, dan prosedur serta hasil seleksi internal yang meliputi penilaian terhadap kapasitas calon secara terbuka.
Konsekuensi Perubahan Tatakelola Pemilu Serentak Penyelenggaraan pemilu selama ini, di mana penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD yang terpisah dengan pemilu, berdampak pada besarnya beban KPU Pusat sementara KPU di daerah hanya menjadi pelaksana teknis saja. Sedangkan jika pemilu diselenggarakan serentak, namun terpisah antara nasional dan lokal, maka beban menjadi relatif lebih tertata dan merata. Untuk Pemilu Nasional Serentak, beban KPU Pusat hanya mengurusi surat suara pada level nasional. Sementara untuk Pemilu Lokal Serentak, KPU di tingkat provinsi menjadi penanggung jawab pengadaan surat suara di wilayahnya. Dengan model seperti ini, kemungkinan surat suara tertukar sangat minim karena pada Pemilu Nasional Serentak, KPU RI
hanya akan mengirimkan surat suara ke 77 Dapil untuk surat suara calon anggota DPR dan ke 34 provinsi. Sementara untuk penyelenggaraan Pemilu Lokal Serentak, KPU provinsi hanya bertanggung jawab untuk melakukan pengadaan surat suara dan distribusi logistik pemilu untuk provinsinya. Dari sisi pengaturan waktu, persiapan pemilu yang dimulai sejak dua tahun sebelum penyelenggaraan pemilu nasional serentak akan membuat persiapan pemilu lebih leluasa dan program-program sosialisasi dapat dilaksanakan lebih baik. Untuk penyelenggaraan pemilu lokal serentak yang dilaksanakan dua setengah tahun setelah pemilu nasional serentak juga akan memberi waktu yang cukup bagi penyelenggara untuk menyiapkannya.
Daftar Pustaka Buku Benjamin Reilly. 2004. Democracy in Divided Society, Electoral Engineering for Conflict Management. Cambridge: Cambrigde University Press. Electoral Research Institute (ERI)-LIPI. 2015. Desain Pemilu Serentak. Jakarta: ERI-LIPI. Elster J and R. Slagstad (Eds). 1988. Constitutionalism and Democracy. Cambridge: Cambridge University Press. International IDEA. 2006. Electoral Management Design, an Overview of the International IDEA Handbook. Swedia: International IDEA. James L. Regens dan Ronald Keith Gaddie. 1995. The Economic Realities of Political Reform, Elections and the US Senate. Cambridge: Cambridge University Press. Tom Ginsburg and Albert H.Y. Chen. 2009. Administrative Law and Governance in Asia, Comparative Perspective. London and New York: Routledge.
Jurnal Amuitz Garmendia Madariaga, H. Ege Ozen. 2015 “Looking for two-sided Coattail Effects, Intergrated parties and multilevel elections in the US”. Electoral studies 40: 66-75.
Menyiapkan Tata Kelola Pemilu Serentak 2019 | Sri Nuryanti | 13
Laporan dan Makalah
Surat Kabar dan Website
Mahkamah Konstitusi 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002”. Buku 5 Pemilihan Umum, Edisi Revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 uji materi UU No.42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ace Project.org, “Electoral Cycle”, https://aceproject.org/electoral-advice/electoral-assistance/ electoral-cycle
14 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
KOALISI PARTAI ISLAM DI INDONESIA PADA PEMILIHAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN TAHUN 2014 ISLAMIC POLITICAL PARTY COALITION IN THE 2014 PRESIDENTIAL ELECTION Esty Ekawati Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 17 Februari 2015; direvisi: 25 Mei 2015; disetujui: 23 Juni 2015 Abstract Political coalition is a necessity for a state, like Indonesia, that using multiparty system. Coalition is a must since the election could not provide a majority in a parliament. Some factors have determined the parties’ political behavior in Indonesia and present two factors that would determine why were the coalition of Islamic political parties difficult to realize in the 2014 Presidential election. Firstly, political pragmatism has made Islamic polical party become cartel party in which party become agent of the state and employs the resources of the state to ensure the survival of the party. Secondly, Islamic political parties do not have popular figures against Prabowo and Jokowi. Keywords: political party, general election, coalition. Abstrak Koalisi politik merupakan suatu keniscayaan bagi negara yang menggunakan sistem multipartai seperti Indonesia. Koalisi menjadi keharusan karena pemilihan umum tidak mampu menghasilkan suara mayoritas di parlemen. Beberapa faktor menentukan bagaimana sebuah koalisi bisa terbentuk dan dalam konteks ini ada faktorfaktor yang menentukan mengapa koalisi partai Islam sulit terwujud pada pemilihan presiden 2014. Faktor pertama yang memengaruhi yaitu pragmatisme politik yang membuat partai politik menjadi partai kartel dimana dalam hal ini partai menjadi agen negara dan memanfaatkan sumber daya negara untuk kelangsungan hidup partai. Faktor yang kedua adalah partai-partai Islam tidak memiliki figur populer yang mampu menyaingi popularitas Prabowo dan Jokowi. Kata Kunci: partai politik, pemilu, koalisi.
Pendahuluan Perkembangan kehidupan masyarakat dunia telah menuntut adanya keterbukaan dan partisipasi publik, baik dalam aspek sosial maupun politik tak terkecuali di Indonesia. Jika kita menengok kembali pemerintahan Orde Baru yang sentralistik, maka masyarakat dihadapkan
pada kondisi pengekangan terhadap partisipasi politik, tidak terkecuali posisi organisasi Islam. Di Indonesia, hubungan antara Islam dan politik pada era Presiden Soekarno dan Soeharto seolah mengalami jalan buntu. Kedua pemerintahan ini memandang partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 17
kekuasaan yang potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. 1 Selama pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, ada upaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam. Akibatnya, para pemimpin maupun aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai ideologi dan agama negara di tahun 1945, bahkan Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidakpercayaan dan dicurigai menentang ideologi Pancasila.2 Kondisi tersebut menjadikan partai politik Islam bertarung keras dengan partai-partai nasionalis dalam mempertahankan posisi bahkan asas Islamnya.
penggabungan partai politik kedalam dua partai dan satu Golongan Karya. Kedua partai tersebut yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti; dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, dan Partai Murba.6 Pada tahun 1983, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bentukan Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal sehingga semua partai politik dan organisasi massa harus berasaskan Pancasila.
Marjinalisasi kekuatan kelompok agama oleh pemerintah mencapai puncak pada masa Orde Baru yang dimulai tahun 1966, ketika Soeharto menolak keinginan tokoh-tokoh Partai Masyumi untuk menghidupkan kembali partai tersebut.3 Pada tahun 1968, sebuah partai penerus Masyumi disetujui dengan nama baru, Partai Muslimin Indonesia (Pamusi), akan tetapi tetap tidak disetujui untuk mengikutsertakan para pemimpin Masyumi lama yang dianggap pemerintah masih keras pendiriannya.4 Hal ini bisa dilihat bagaimana elit-elit Partai Masyumi tahun 1950-an yang cenderung bersikap kritis terhadap pemerintah.
Pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998 merupakan keruntuhan rezim otoritarianisme Orde Baru yang berkuasa lebih dari tiga puluh tahun lamanya. Terkungkungnya kehidupan masyarakat Indonesia selama pemerintahan Soeharto dalam hal politik terutama, telah menimbulkan suatu semangat untuk menciptakan negara yang lebih demokratis yang menghargai hak-hak politik dan partisipasi publik. Reformasi merupakan era dimana demokrasi mulai dikembangkan di Indonesia demi mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Pembangunan sistem demokrasi di Indonesia seperti yang kita alami pascareformasi diawali dengan penyusunan Undang-Undang paket politik yang di dalamnya mengatur tentang kebebasan masyarakat dalam membentuk partai politik.
Sebelum Pemilu tahun 1971, Presiden Soeharto melontarkan gagasan perlunya penyederhanaan partai. Sembilan partai politik dan satu golongan karya yang ada akan dikelompokkan, yang tujuannya adalah untuk mempermudah kampanye pemilihan umum, bukan untuk melenyapkan partai.5 Kebijakan yang mempengaruhi perkembangan partai politik selanjutnya terjadi pada tahun 1973, yang mana Orde Baru melakukan fusi atau Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1998), hlm. 2. 1
2
Ibid., hlm. 3.
Muhammad Sirozi,Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi, (Yogyakarta: AK Group, 2004), hlm. 24. 3
Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, 1990-2000,
4
(Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), hlm. 50. Pernyataan Daniel Dhakidae dalam Redaksi, “Nahdlatul Ulama Menjadi Partai Politik”, 23 Juni 2013, http://alfathimiyyah. net/?p=3666/23/06/2013, diakses pada tanggal 31 Januari 2015. 5
Euforia politik dapat dilihat menjelang Pemilu 1999 dimana terjadi ledakan partisipasi politik masyarakat melalui pembentukan partai politik terutama yang berlabel Islam. Dalam minggu kedua Desember 1998 setidaknya ada 123 partai politik yang terbentuk, dan ada 20 partai politik berlabel Islam dan ada sekitar 30 Golongan Karya telah terbentuk sejak 1957 bagi banyak orang yang tidak menyukai ideologi partai yang terkotak-kotak dan saling berperang. “Jika Partai dimulai dari ideologi, maka golongan karya dimulai dari pekerjaan mereka”. Golongan Karya ini terdiri dari berbagai organisasi yang hingga tahun 1967 jumlah anggotanya mencapai 262 organisasi. Dalam tahap pertama organisasi ini, 1957-1965, organisasi-organisasi Golkar berubah dari melawan semua partai menjadi rival politik bagi PKI. Pada tahap kedua, 1968-1998, organisasi Golkar digunakan untuk menjadi kendaraan elektoral bagi militer dan Orde Baru. Pada tahap ketiga, 1998 hingga sekarang, Golkar berubah menjadi partai dan diambil alih oleh para pengusaha. Lihat, David Reeve, Golkar Sejarah Yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. xiii dan 293-296. 6
18 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
partai politik yang dengan tegas menjadikan komunitas Muslim sebagai basis atau target massa mereka.7 Meskipun akhirnya hanya 48 partai politik yang bisa ikut dalam Pemilu 1999. Beberapa partai politik Islam pada pemilu 1999 memperoleh persentase suara akumulatif sekitar 32%. Untuk menghadang kekuatan Megawati dan BJ Habibie, maka Partai-Partai Islam tersebut melakukan koalisi yang kemudian dikenal dengan Poros Tengah. Koalisi ini mengajukan KH Abdurrahman Wahid sebagai calon Presiden dan berdasarkan hasil dari Sidang Istimewa MPR 1999 diputuskan bahwa KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Adapun proses pemilihan wakil presiden yang dilakukan terpisah memutuskan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil Presiden. Pada pemilu Presiden 2004 dan 2009, partai-partai Islam cenderung lebih memilih berkoalisi dengan partai pemerintah. Adapun pada Pilpres 2014 dimana konfigurasi hasil pemilu legislatif mengalami perubahan sebagai dampak dari munculnya fenomena figur yang cukup kuat yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto membawa perubahan perilaku koalisi politik Partai Islam seperti PKB, PKS, PAN dan PPP. Berdasarkan hasil perolehan suara pada pemilihan legislatif 2014, partai-partai Islam memperoleh suara yang cukup signifikan. Hal itulah yang kemudian memunculkan wacana untuk mempersatukan partai-partai Islam dalam sebuah koalisi atau Poros Tengah Jilid II. Upaya tersebut sempat ditindaklanjuti dengan pertemuan antar elite partai-partai Islam. Namun pada akhirnya, masing-masing parpol memiliki perilaku politik yang berbeda dalam menentukan rekan koalisinya. Sistem kepartaian di Indonesia era reformasi tergolong pada sistem pluralitas ekstrim dimana jumlah partainya sangat banyak dan memiliki rentang ideologi formal yang tajam serta cenderung bergerak secara sentrifugal yang berpotensi melahirkan perpecahan menjadi partai-partai baru. 8 Untuk situasi politik
multipartai, koalisi politik merupakan keharusan bagi parpol manapun karena: 1) Tidak ada kekuatan politik yang memperoleh suara mutlak bila dibandingkan dengan gabungan partai-partai lain, 2) Koalisi politik menekankan adanya satu persamaan tujuan atau persepsi, juga kedekatan ideologis, 3) Pemilu multipartai mengisyaratkan adanya pola politik posisi kontra oposisi sehingga koalisi politik tidak bisa dihindarkan.9 Pembahasan mengenai koalisi partai Islam pada pemilu presiden belum ada di Indonesia. Kajian koalisi lebih banyak fokus pada pembentukan koalisi parpol pada pemilihan Kepala Daerah. Salah satunya adalah penelitian Sri Budi Eko Wardani yang membahas mengenai Koalisi Parpol pada Pilkada Provinsi Banten tahun 2006.10 Tulisan ini berbeda dengan kajian koalisi parpol dalam Pilkada. Tulisan ini akan difokuskan pada koalisi partai Islam pada pemilu presiden. Jika membandingkan Pemilu 1999 dan 2014 maka dapat dilihat fenomena koalisi partai Islam yang terjadi. Pada Pemilu 1999, partai-partai Islam berhasil membangun koalisi yang dikenal dengan Poros Tengah dan mengusung Kyai Abdurrahman Wahid sebagai Calon Presiden. Sedangkan pada Pilpres 2014 koalisi Partai Islam tidaklah terbangun. Koalisi partai Islam pada Pilpres 2014 hanya sekedar wacana di awal karena pada akhirnya, masing-masing parpol Islam lebih memilih melakukan komunikasi politik/penjajakan koalisi secara sendiri-sendiri dengan partai politik lainnya. Disini penulis ingin mengkaji persoalan mengapa koalisi partai Islam sulit untuk diwujudkan pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014.
Kerangka Pemikiran Koalisi merupakan aktivitas politik yang kerap terjadi di negara dengan sistem multipartai, tak terkecuali di Indonesia pascaOrde Baru. Tulisan ini memahami perilaku koalisi partai politik sebagai bagian dalam membangun Deliar Noer et.al, Mengapa Partai Islam Kalah, Perjalanan Politik Islam dari Pra-Pemilu 1999 sampai Pemilihan Presiden, (Jakarta: ALVABET, 1999), hlm. 303. 9
Eep Saefullah Fattah, Zaman Kesempatan: Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 255. 7
Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 34. 8
Sri Budi Eko Wardani, Koalisi Parpol dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung Kasus Pilkada Provinsi Banten tahun 2006, (Jakarta: Tesis UI, 2007). 10
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 19
pemerintahan yang didasarkan pada motif-motif tertentu. Seperti yang diungkapkan para ahli bahwa partai politik merupakan wadah bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik jika rakyat ingin menjadi anggota legislatif maupun jabatan-jabatan politik lainnya. Neumann mendefinisikan partai politik sebagai organisasi artikulatif yang terdiri dari pelaku-pelaku politik yang aktif dalam masyarakat yaitu mereka yang memusatkan perhatiannya untuk menguasai kekuasaan pemerintah dan bersaing untuk memperoleh dukungan rakyat dengan beberapa kelompok lain yang mempunyai pandangan berbeda.11 Sedangkan menurut Giovanni Sartori, partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum tersebut partai politik dapat menempatkan calon-calonnya untuk mengisi jabatan-jabatan publik.12 Koalisi partai politik merupakan keniscayaan bagi negara dengan sistem multipartai, karena hasil pemilu kerap menunjukkan konfigurasi suara yang tidak mampu memenuhi suara mayoritas untuk bisa membentuk pemerintahan sendiri. Dampaknya perlu ada koalisi partai politik untuk membentuk pemerintahan dan juga koalisi di parlemen dalam hal pengambilan keputusan tertentu. Koalisi pemerintahan diperlukan selain untuk memenangkan pasangan capres dan cawapres tertentu juga untuk mengisi jabatan-jabatan kabinet. Salah satu pelopor teori koalisi politik adalah William Riker yang menjelaskan tentang koalisi partai melalui teorinya MinimalWinning Coalitions (MWC).13 Menurut Riker, pemerintahan seharusnya dibentuk dengan koalisi yang menjamin kemenangan minimum. Beberapa asumsi dasar dari MWC adalah sebagai berikut: 1) Partai politik berkepentingan untuk memaksimalkan kekuasaan mereka, baik dalam kabinet maupun parlemen, 2) Yang dimaksud dengan MWC adalah diperlukannya jumlah kursi tertentu untuk mencapai kemenangan
yang minimal (cukup 50%+1) di parlemen, 3) MWC cukup membutuhkan koalisi dua atau lebih partai yang dapat mengontrol kursi parlemen, tetapi minimal dalam arti mereka tidak memasukkan partai yang tidak perlu untuk mencapai kemenangan. Koalisi ini cukup menguasai mayoritas minimal kursi parlemen dengan mengeluarkan partai-partai yang memiliki kursi kecil. Adapun tujuan atau motif koalisi adalah bersifat office-seeking (memaksimalkan kekuasaan)14. Abraham De Swaan mengajukan teori koalisi yang berorientasi pada kebijakan yang menekankan betapa pentingnya ideologi partai dalam pembentukan koalisi15. Mendapatkan kekuasaan di pemerintahan bukanlah tujuan akhir dari politisi partai, namun merupakan sarana untuk menjalankan program ideologis dan menerapkan kebijakan yang didasarkan pada ideologi. Sehingga ini memungkinkan bagi partai-partai yang memiliki ideologi kurang lebih sama untuk melakukan koalisi.16 Teori ini berbeda dengan Katz dan Mair yang menyatakan bahwa semua partai besar memiliki kepentingan yang sama, yakni memelihara kelangsungan hidup kolektif mereka. Dan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan partai kartel dimana partai politik menjadi agen negara dan menggunakan sumber daya milik negara untuk memenuhi kepentingan kolektif partai17 dengan melepaskan berbagai perbedaan ideologis dan programatis mereka demi kepentingan tertentu.18 Teori-teori mengenai koalisi tersebut yang akan penulis gunakan untuk melihat kecenderungan partaipartai di Indonesia terutama partai Islam dalam melakukan koalisi. Perkembangan politik di Indonesia semakin berwarna dengan hadirnya partai politik dengan Kaare Strom, “A Behavioral Theory of Competitive Political Parties”, American Journal of Political Science, Vol. 34, 1990, hlm. 567. 14
15
Ibid.
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel ,(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009), hlm. 26-27. 16
Sigmund Neumann, “Modern Political Parties” dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2008), hlm. 404. 11
Giovanni Sartori, Parties and Party Systems: a Framework for Analysis, (UK: ECPR Press, 2005), hlm. 57. 12
13
Lihat Sri Budi Eko Wardani, op.cit., hlm. 13.
Lihat Richard S. Katz and Peter Mair, Changing Models of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party, (London: Sage Publication, 1995), Vol. 1, No.1, hlm. 5-28, http://ppq.sagepub.com/content/1/1/5. 17
18
Kuskridho Ambardi, op.cit., hlm. 19.
20 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
haluan Islam (selanjutnya akan disebut sebagai partai Islam). Berdasarkan definisi yang diajukan oleh sejumlah ahli, maka kecenderungan partai Islam di Indonesia dibagi kedalam beberapa tipe. Pertama, didasarkan pada orientasi pembentukan negara Islam. Kedua, menggunakan simbolsimbol Islam atau simbol-simbol yang dekat atau mengidentikan dengan Islam seperti bulan dan bintang, Ka’bah atau huruf Arab, meskipun fondasinya tidak didasarkan pada Islam tapi mengkombinasikan dengan paham “isme” seperti Nasionalisme (Pancasila) atau sosialisme sebagai ideologinya. Ketiga, partai dengan basis massa Islam, yang tidak menggunakan simbol Islam, mengkombinasikan Islam dengan ideologi lainnya sebagai fondasi atau orientasi politiknya dan tidak dapat dipisahkan dari komunitas Islam untuk bisa eksis di politik nasional terutama pada saat pemiliihan umum. Tipe partai Islam yang kedua dan ketiga ini mengakomodasi nilai dan substansi Islam sebagai tujuannya, namun tidak memasukkan syariat Islam dalam konstitusi.19 Definisi yang kedua dan ketiga yang dijadikan dasar penulis dalam mengelompokkan partaipartai seperti PPP, PKB, PAN dan PKS sebagai partai Islam.
Kiprah Partai Islam di Indonesia Reformasi 1998 menjadi salah satu momen penting dalam politik Indonesia karena telah membuka kesempatan bagi partisipasi politik rakyat dan juga kembalinya Islam sebagai kekuatan politik potensial. Perubahan iklim politik juga diikuti dengan bermunculannya organisasi-organisasi dan partai-partai politik yang dulu terkekang oleh kekuasaan Orde Baru, termasuk partai-partai Islam. Pemilu 1999 menjadi starting point bagi partai Islam untuk eksis di panggung politik nasional dimana PPP sebagai partai lama warisan Orde Baru harus berhadapan dengan beberapa partai Islam baru yang tidak kalah kuat dukungannya. Konfigurasi suara partai Islam dan partai nasionalis-sekuler pada Pemilu 1999 hingga 2014 menyajikan drama politik yang terjadi Firman Noor, Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008), Dissertation, (UK: University of Exeter, 2012), hlm. 21. 19
pada masa pemilihan calon Presiden dan wakil Presiden. Pada tahun 1999, di tengah kompetisi partai politik dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden muncul fenomena koalisi partai-partai Islam yang kemudian disebut Koalisi Poros Tengah. Pada saat itu, nama Amien Rais yang dikenal sebagai lokomotif reformasi begitu menguat untuk dicalonkan sebagai Presiden. Namun, kalkulasi politik Amien Rais yang tidak ingin maju dalam bursa capres justru memunculkan nama Abdurrahman Wahid (yang selanjutnya disebut Gus Dur) sebagai calon presiden untuk menghadang Megawati yang diusung oleh PDIP. Berdasarkan Sidang Istimewa MPR yang dilakukan secara tertutup, Abdurrahman Wahid memperoleh suara sebanyak 373, sedangkan Megawati Soekarnoputri mendapat dukungan 313 suara. Atas dasar perolehan suara tersebut maka diputuskan Gus Dur sebagai Presiden RI. Sejarah 1999 juga memperlihatkan drama pemilihan calon wakil presiden. Ketika Koalisi Poros Tengah mengajukan Gus Dur sebagai calon presiden dan akhirnya terwujud, pemilihan wakil presiden dilaksakan secara terpisah. Meskipun Poros Tengah didukung oleh partai Islam, namun kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Megawati yang notabene dari PDIP dan dikenal sebagai partai nasionalis-sekuler justru mampu mengalahkan Hamzah Haz (396 suara untuk Megawati dan 284 bagi Hamzah).20 Kekalahan Hamzah Haz tentunya bukan tak beralasan. Sebenarnya, Poros Tengah dan Golkar bisa memaksakan calon wakil presidennya bukan Megawati, melainkan Hamzah Haz, atau Susilo Bambang Yudoyono dari ABRI yang saat itu mencoba bersaing dalam memperebutkan kursi wapres.21 Kemenangan Gus Dur atas Megawati menimbulkan kegaduhan politik saat itu. Hal tersebut disebabkan Megawati yang notabene berasal dari PDI-P sebagai partai pemenang Pemilu Legislatif 1999, justru kalah dalam pemungutan suara di SI MPR. Demonstrasi, kerusuhan dan pembakaran terjadi di beberapa Abdul Bari Azed, “Pilpres di Era Transisi Tahun 1999”, 14 Oktober 2014, http://www.jambiekspresnews.com/berita18609-pilpres-di-era-transisi-tahun-1999.html, diakses pada tanggal 31 Januari 2015. 20
Saiful Mujani, William Liddle, dan Kuskridho Ambardhi, Kuasa Rakyat, (Jakarta: Mizan, 2011), hlm. 134. 21
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 21
daerah seperti di Bali, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Riau sebagai akibat dari kekecewaan dan kemarahan pendukung Megawati. Demi meredam kemarahan pendukung PDIP maka Sidang Istimewa MPR dengan agenda pemilihan wakil presiden dilakukan secara tertutup. Hasil voting menunjukkan dukungan mayoritas anggota MPR-RI diberikan kepada Megawati.22 Terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden dan Megawati sebagai wakilnya adalah fakta bahwa demokrasi bukannya sistem yang sempurna untuk memilih pemimpin, namun cara yang paling mungkin untuk menengahi pertarungan dan konflik elit politik yang terjadi saat itu.23 Terbentuknya koalisi Poros Tengah tidak lepas dari peran PAN dan Amien Rais dalam memberi dukungan kepada Gus Dur sebagai calon presiden. Namun dalam perjalananya, dukungan PAN terhadap Gus Dur sebagaimana tertuang dalam rekomendasi politik yang disahkan dalam Kongres I PAN di Yogyakarta bulan Februari 2000 tidak bertahan lama. Pada temu nasional legislatif PAN, partai ini memutuskan mencabut dukungan kepada Gus Dur. PAN menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi bangsa dan negara yang terpuruk hampir di segala bidang.24 Carut marut politik pasca Pemilu 1999 oleh sebagian kalangan dianggap tidak lepas dari tanggung jawab Amien Rais yang kerap bermanuver mulai dari penghadangan Megawati melalui Poros Tengah sampai pada pemakzulan Gus Dur melalui Sidang Istimewa MPR yang justru akhirnya digantikan oleh Megawati.25 Amien Rais yang mendapat dukungan besar untuk menjadi Presiden tahun 1999 justru tidak berupaya memperebutkan kursi Presiden sehingga menjadikan Gus Dur sebagai kuda hitam penghadang Megawati. Kondisi
sebaliknya, saat Pilpres 2004 dimana perolehan suara PAN mengalami penurunan dibanding 1999, justru Amien Rais tampil menjadi capres alternatif. Dengan modal suara partai yang tidak besar, Amien menoleh ke Muhammadiyah untuk mendapat dukungan politik. Setelah melalui kompromi, maka secara eksplisit Muhammadiyah mendukung Amien Rais. Dukungan tersebut diungkapkan oleh Haedar Nasir, bahwa Amien Rais adalah kader terbaik Muhammadiyah meskipun dukungan ini nyatanya menabrak tradisi Muhammadiyah yang tidak ingin masuk dalam politik praktis.26 Pemilu 2004 menggambarkan peta politik partai Islam yang tidak lagi satu suara dan cenderung memilih untuk berkoalisi dengan partai sekuler. Pilpres 2004 putaran pertama diikuti oleh lima pasang calon. Dari kalangan Islam ada Salahudin Wahid didukung oleh PKB, Hasyim Muzadi didukung oleh PDIP karena berpasangan dengan Megawati, Amien Rais mendapat dukungan dari PAN, PBR dan PKS, sedangkan Hamzah Haz mendapat dukungan dari PPP. Adapun PBB justru mendukung pasangan Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla. Hasil pemilu putaran pertama tidak mampu menghasilkan suara mayoritas sehingga pemilihan presiden dilanjutkan dengan putaran kedua yang akhirnya mengukuhkan kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla. Tabel 1. Peta Koalisi Partai Politik Pada Pilpres 2004 No Urut. 1 2 3 4
Abdul Bari Azed, “Pilpres di Era Transisi Tahun 1999”, 14 Oktober 2014, http://www.jambiekspres.co.id/berita-18609pilpres-di-era-transisi-tahun-1999.html, diakses pada tanggal 31 Januari 2015. 22
Saiful Mujani, Wiliam Liddle, dan Kuskrido Ambardi, op.cit., hlm. 134. 23
Tim Litbang Kompas, Partai-partai Politik di Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004). 24
Pusat Penelitian Politik Year Book 2004, Quo Vadis Politik Indonesia, (Jakarta: LIPI press, 2004), hlm. 32. 25
5
Putaran 1 Wiranto – Salahudin Wahid Megawati – Hasyim Muzadi Amien Rais – Siswono Yudo Husodo Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla Hamzah Haz – Agum Gumelar
Hasil (%) 22,19
Golkar, PKB
26,24
PDIP, PDS
14,94
PAN, PBR, PKS, PNBK, PSI Partai Demokrat, PBB, PKPI
33,58
3,05
Partai Pendukung
Putaran 2
Hasil (%)
Megawati – Hasyim Muzadi
39,38
Susilo Bambang Yudoyono – Jusuf Kalla
60,62
PPP
Sumber: Saiful Mujani, William Liddle, Kuskrido Ambardi, Kuasa Rakyat. (Jakarta: Mizan, 2011), hlm. 155.
Partai-partai Islam yang awalnya terfragmentasi saat pilpres putaran pertama, 26
Saiful Mujani, op.cit., hlm. 150.
22 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
justru mulai merapat di kedua kubu capres pada putaran kedua. PPP dan PKB merapat ke pasangan Megawati-Hasyim Muzadi, sedangkan PAN dan PKS merapat ke pasangan Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla. Pada pilpres 2009 partai Islam kembali berkoalisi mendukung Susilo Bambang Yudoyono yang kini berpasangan dengan Boediono. Hasilnya, Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II juga masih diwarnai dengan kabinet yang diisi oleh koalisi partai politik pendukung pemerintah. Koalisi turah (oversized coalition) yang terjadi dalam KIB jilid II tentu bukan tanpa alasan. Bagi partai pendukung pemerintah termasuk partai Islam, koalisi bertujuan untuk menjaga kelangsungan kolektif partai seperti yang diungkapkan oleh Katz dan Mair bahwa partai politik menjadi agen negara dan menggunakan sumber daya milik negara untuk memenuhi kepentingan kolektif partai.27 Partai membangun koalisi demi memaksimalkan kekuasaan atau yang disebut Riker sebagai office-seeking.28 Sedangkan bagi partai pemerintah dalam hal ini Partai Demokrat, oversized coalition menjadi kekuatan melawan oposisi di parlemen dalam hal pengambilan keputusan. Tabel 2. Peta Koalisi Partai Islam Pada Pilpres 2009 No. 1 2 3
Pasangan Megawati - Prabowo Susilo Bambang Yudoyono - Boediono Jusuf Kalla - Wiranto
Hasil (%) 26,79 60,80 12,41
Partai pendukung PDIP, Gerindra Demokrat, PPP, PKB, PKS, PAN Golkar, Hanura
Sumber: Saiful Mujani, William Liddle, Kuskrido Ambardi, Kuasa Rakyat. (Jakarta: Mizan, 2011), hlm. 157-162.
Drama koalisi partai politik berlanjut pada Pemilu 2014 dimana sebelum Pemilu Legislatif digelar pada 9 April 2014, partai-partai Islam diprediksi banyak kalangan tidak akan bersinar bahkan disinyalir akan tenggelam oleh partaipartai sekuler. Hal ini antara lain didasarkan pada hasil jejak pendapat (polling) yang dilakukan sejumlah lembaga survei di Indonesia menjelang pemilu legislatif. Menurut Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2013, misalnya, 27
Katz and Mair, op.cit., hlm. 5.
28
Lihat Kaare Strom, op.cit., hlm. 567.
perolehan suara partai-partai Islam semuanya berada di bawah angka 5% di mana PKB memperoleh 4,5%, PPP 4%, PAN 4% dan PKS hanya 3,7%.29 Namun ternyata perolehan suara hampir semua partai Islam pada Pemilu Legisltaif 2014 mampu mematahkan prediksi tersebut. Tabel 3. Prosentase Perolehan Suara Partai Islam (dalam persen) Partai PKB PKS
PAN PPP PBB PBR
Pemilu 1999 12,61 1,36 (mulanya bernama Partai Keadilan) 7,12 10,71 1,94 -
Pemilu 2004 10,61 7,20
Pemilu 2009 4,95 7,89
Pemilu 2014 9,04 6,79
6,41 8,16 2,62 2,60
6,03 5,33 -
7,57 6,53 -
Sumber: Data KPU. www.kpu.go.id, diakses pada 31 Januari 2015
Berdasarkan hasil perolehan suara pada Pemilu Legislatif 2014, partai-partai Islam memperoleh suara yang cukup signifikan, bahkan PKB justru menunjukkan peningkatan suara jika dibandingkan pemilu 2009. Begitu juga dengan PKS yang meskipun didera badai korupsi di tubuh pimpinan partai, namun loyalitas pemilih tidak serta merta menggerus perolehan suara partai tersebut. Hal itulah yang kemudian memunculkan wacana untuk mempersatukan partai-partai Islam, bahkan upaya tersebut ditindaklanjuti dengan pertemuan antar elit partai Islam. Memori 1999 di mana koalisi partai-partai Islam melalui “Poros Tengah” berhasil mengalahkan partai nasionalis-sekuler seolah ingin diulang kembali.30 Tetapi ternyata tidak semua partai Islam bersedia bergabung ke dalam poros tersebut. PKB yang notabene paling banyak mendapatkan suara pemilih justru yang paling kencang menolak rencana koalisi itu. Iding R. Hasan, “Islam dalam Pusaran Politik Pilpres 2014”, 9 Juni 2014, http://www.csrc.or.id/berita-278-islam-dalampusaran-politik-pilpres-2014.html, diakses pada tanggal 12 November 2014. 29
Pasca Pemilu 1999, menjelang pemilihan presiden di MPR tahun 1999 muncul koalisi poros tengah yaitu koalisi partaipartai Islam yang berhasil meperjuangkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Namun, dalam perjalannya yang menjatuhkan Gus Dur dari kursi Presiden adalah juga poros tengah. Lihat Mulya Nurbilkis, “Peneliti LIPI: Koalisi Partai Islam Sulit Menang Pilpres 2014”, 25 November 2013, http://news.detik. com/read/2013/11/25/123242/2422548/10/peneliti-lipi-koalisipartai-islam-sulit-menang-pilpres-2014?, diakses pada tanggal 4 Februari 2015. 30
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 23
Hasil pemilu menggambarkan tiga kekuatan besar yaitu PDIP sebagai pemenang pemilu, kemudian disusul oleh Golkar dan Gerindra. Dari ketiga partai tersebut nama Joko Widodo, Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto diunggulkan sebagai calon presiden. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika partai-partai lainnya menjajaki koalisi dengan ketiga poros besar tersebut, tak terkecuali Partai Islam. PKB menjalin komunikasi dengan PDIP. PPP dan PAN menjajaki koalisi dengan Gerindra, sementara PKS lebih mendekat ke Partai Golkar.31 Kehadiran tiga poros koalisi ini didasarkan pada suara partai-partai yang memiliki kekuatan tiga besar pada pemilu legislatif 2014. Sikap politik partai-partai Islam dalam menjalin koalisi dengan ketiga poros tersebut menimbulkan dua pandangan yang berbeda dalam masyarakat. Di satu sisi, masyarakat mengharapkan partai-partai Islam ini bisa bersatu dan tidak terpecah belah sehingga bisa membangun kekuatan tersendiri, namun disisi lain partai Islam memang sebaiknya melakukan koalisi dengan partai-partai nasionalis. Keniscayaan partai Islam membangun koalisi dengan partai nasionalis karena kenyataan saat itu menunjukkan tren pemilih merujuk pada dua kandidat besar yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Wacana pembentukan koalisi Poros Tengah jilid II kandas karena pada akhirnya hanya ada dua poros yang menjadi kontestan Pilpres 2014, yakni poros Gerindra dengan Pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajassa sebagai capres-cawapres dan Poros PDIP dengan Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Polarisasi tersebut membuat partai-partai Islam akhirnya terbelah ke dalam dua koalisi yang akhirnya terbentuk. PAN, PPP, PKS dan PBB merapat ke poros Gerindra sedangkan PKB tetap ke PDIP. Bahkan ormas-ormas Islam atau tokoh-tokoh Islam yang seharusnya menjadi mediator justru terjebak dalam pusaran pertentangan. Para petingginya pun terpecah-pecah. Tokoh PBNU Said Aqil Siradj memperlihatkan dukungannya kepada Prabowo sedangkan Hasyim Muzadi mengisyaratkan dukungan kepada Jokowi. 31
Iding R. Hasan, op.cit.
Demikian pula dengan para ulama dan kyai yang berada di setiap pasangan capres. Tabel 4. Peta Koalisi Partai Islam pada Pilpres 2014 No.
Pasangan
Hasil (%)
Partai Pendukung
1
Prabowo – Hatta
46,85
Gerindra, PPP, PKS, PAN, Golkar
2
Jokowi – JK
53,15
PDIP, PKB, Nasdem, Hanura
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Perilaku Koalisi Partai Politik Fenomena koalisi terekam sangat jelas dalam praktik politik Indonesia, baik di tingkat nasional maupun dinamika politik lokal. Partai yang memiliki jarak ideologi sangat jauh seperti PDIP, PPP dan PKS di beberapa tempat dalam pemilihan kepala daerah justru menjalin koalisi. Contoh kasus ini terjadi dalam pilkada Kota Yogyakarta tahun 2006, dimana PDIP sebagai partai nasionalis-sekuler menjalin koalisi dengan PPP dan PKS yang menjadikan Islam sebagai ideologi partai. Pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012, Golkar menjalin koalisi dengan PPP (partai Islam) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) yang secara formal adalah partai umat Nasrani. Demikian juga di tingkat Nasional, misalnya PPP juga menjalin koalisi dengan PDIP dalam mengusung Megawati sebagai calon presiden pada Pilpres 2004 putaran kedua. Hal ini menengaskan bahwa internalisasi ideologi parpol sangat lemah dan koalisi dominan sebagai ikatan koalisi pragmatis ketimbang atas dasar kedekatan ideologi formal.32 Kondisi inilah yang disebut Riker sebagai koalisi office-seeking, yang berupaya untuk memaksimalkan kekuasaan tanpa memperhatikan ideologi. Berkaca dari pengalaman 1999 dan 2014 dalam hal koalisi partai Islam di Indonesia maka koalisi harus dilakukan setidaknya karena dua sebab: pertama, Ada kedekatan ideologis yang sangat kuat untuk mempersatukan mereka dalam satu gugus politik. kedua, Ada persamaan kepentingan politik yang mesti diperjuangkan bersama-sama.33 Akan tetapi, ternyata kedua alasan tersebut diapliaksikan secara berbeda pada Pemilu 1999 dan 2014. Pada pemilihan 32
Hanta Yuda, op.cit., hlm.35.
33
Deliar Noer,op.cit, hlm.304.
24 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
Presiden 1999, koalisi Partai Islam terbentuk dengan alasan kedekatan ideologis, sama-sama partai berasas Islam ataupun basis massa Islam dan memiliki kepentingan yang sama yaitu menghadang kekuatan Megawati dan Habibie. Ini berbeda ketika Pilpres 2014 dimana koalisi partai Islam tidaklah terbentuk karena masing-masing partai memiliki kepentingan politik yang berbeda dalam membangun koalisi. Terkait dengan persoalan koalisi yang terjadi dari Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014 maka sistem pemilihan presiden yang berbeda tentu juga berpengaruh pada peta koalisinya. Sistem pemilihan presiden tahun 1999 dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR yang melibatkan sekitar 695 anggota, sehingga lebih memudahkan dalam proses pencalonan hingga pemungutan suaranya. Dinamika politik yang terjadi pun hanya berkisar di kalangan elit partai. Adapun Pilpres 2014 yang menyajikan pemilihan secara langsung oleh rakyat Indonesia tentu menjadi proses yang panjang. Selain harus melalui proses konvensi di internal partai dalam mengusung calon, juga perlu dilakukan koalisi antar partai politik jika suara tidak mencapai ambang batas untuk mengajukan calon sendiri. Oleh sebab itu, tawar-menawar politik menjadi suatu keniscayaan ketika koalisi antar partai politik terbentuk. Jabatan menteri di kabinet ataupun pimpinan di parlemen menjadi tujuan dari koalisi yang terbentuk. Kondisi inilah yang menjadikan pragmatisme politik sebagai salah satu faktor yang membuat sulitnya koalisi Partai Islam terbentuk pada Pilpres 2014 selain juga faktor ketokohan.
Faktor Pragmatisme Politik Setiap partai politik dibentuk dengan mendasarkan diri pada ideologi yang hendak diusungnya dan ini kemudian menjadi identitas partai. Ideologi yang dianut oleh partai bersangkutan dapat digunakan untuk membedakan antara partai yang satu dengan yang lain. Selain itu, ideologi juga merupakan basis perjuangan atau cita-cita yang ingin dicapai satu partai politik.34 Hal yang sama seperti diuraikan oleh De Swaan yang menekankan betapa pentingnya ideologi Lili Romli, “Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru”, Jurnal Penelitian Politik LIPI, Vol. 5, No. 1, Tahun 2008, (Jakarta: LIPI, 2008), hlm. 21-30. 34
partai dalam pembentukan koalisi. Akan tetapi, dalam konteks koalisi yang terbentuk pada Pilpres di Indonesia tahun 2004, 2009 dan 2014, pragmatisme politik-lah yang menjadi faktor terbentuknya koalisi. Sejak reformasi bergulir, partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel.35 Salah satu bukti nya adalah hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai. Hal inilah yang terjadi dalam koalisi partai-partai politik di Indonesia baik dalam Pilkada maupun Pemilihan Presiden. Kenapa kartelisasi ini bisa terbentuk dijawab oleh Ambardi dan Katz dan Mair bahwa semua itu adalah kepentingan partai-partai untuk menjaga kelangsungan hidup partai. Kelangsungan hidup ini berkaitan dengan sumber keuangan terutama yang berasal dari pemerintah. Sumber keuangan yang dimaksud bukanlah uang pemerintah yang khusus/resmi dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan partai melalui perburuan rente (rent seeking). Aktivitas ini dimungkinkan jika partai politik memiliki akses dalam jabatan pemerintahan dan parlemen. Lebih khusus lagi jabatan menteri maupun jabatan komisi di parlemen untuk memelihara sumber keuangan partai.36 Koalisi partai politik era pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono jilid I dan II menjadi contoh bagaimana partai memanfaatkan posisi kementerian sebagai sumber pendanaan bagi partai. Beberapa menteri terjerat kasus korupsi di beberapa kementerian seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik yang juga salah satu petinggi Partai Demokrat sebagai tersangka atas kasus pemerasan terhadap kementerian ESDM dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) juga menjerat Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat, Andi Mallarangeng saat menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga dalam kasus Kartelisasi didefinisikan sebagai situasi dimana partai-partai politik secara kolektif mengabaikan komitmen ideologis atau programatis mereka demi kelangsungan hidup mereka sebagai satu kelompok. Lihat Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, (Jakarta: KPG, 2009), hlm. 253. 35
Lihat Kuskridho Ambardi, op.cit.., hlm. 3 dan Richard S. Katz and Peter Mair, op.cit. 36
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 25
Hambalang. Suryadharma Ali yang merupakan Ketua Umum PPP juga terindikasi korupsi sewaktu menjabat sebagai Menteri Agama. Berdasarkan kajian dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM, menteri dari parpol memiliki beban untuk membantu keuangan parpol dan pendanaan tersebut biasanya digunakan untuk biaya operasional partai, terutama pada saat pemilihan umum karena pada saat itu, partai harus mengeluarkan anggaran besar untuk kampanye.37 Seperti yang dikatakan oleh Katz dan Mair bahwa ketergantungan partai politik pada dana yang berasal dari pemerintah telah mengubah watak utama partai politik. Partai politik semakin menjauhi masyarakat dan semakin dekat dengan pemerintah. Karena semua partai bergantung pada sumber dana yang sama, perlahan mereka berkembang menjadi satu kelompok dengan kepentingan yang sama; bagaimana mendapat dan menjaga sumber keuangan mereka.38 Gejala inilah yang mendera partai politik di Indonesia yang tentu membutuhkan dana besar bagi operasional partai serta kepentingan kampanye saat pemilu. Terkait dengan kursi kabinet adalah hal yang menarik untuk dicermati pada Pilpres 2014. Salah satu calon Presiden 2014, Joko Widodo selalu mengatakan bahwa koalisi yang akan dibentuknya bukanlah koalisi transaksional yang berdasarkan tawar-menawar posisi menteri. Namun pada kenyataanya, ketika berbicara mengenai politik, kita akan selalu ingat dengan pernyataan Harold Laswell bahwa “Politik adalah tentang siapa mendapat apa dan bagaimana”.39 Ini terbukti dari pernyataan wakil presiden terpilih Jusuf Kalla yang mengatakan bahwa ada 16 kursi yang sudah “dijatah” untuk diisi oleh partai koalisi pendukung PDIP di Pilpres 2014. Ini menunjukkan bahwa politik transaksional tetap terjadi sebagai dampak dari koalisi.40 Dani Prabowo, “Belajar dari Kasus Korupsi pada Era SBY, Jokowi Diminta Tak Pilih Menteri dari Parpol”, 4 September 2014, http://indonesiasatu.kompas.com/ read/2014/09/04/1442110/, diakses pada tanggal 31 Agustus 2015. 37
38
Kuskrido Ambardi ,op.cit., hlm. 287.
39
Harold Laswell dalam Miriam Budiardjo, op.cit, hlm. 22.
40
Ihsanudin, “JK Sudah Sediakan Posisi Menteri untuk Partai
PKB sebagai salah satu partai Islam yang sedari awal teguh untuk berkoalisi dengan PDIP juga memiliki kepentingan memperebutkan kursi kabinet. Sekretaris Dewan Syuro PKB, Andi M. Ramli menyatakan secara terbuka bahwa PKB mengharapkan tiga kursi menteri. Bahkan PKB sudah menyiapkan nama-nama calonnya yaitu Muhaimin Iskandar, Rusdi Kirana dan Imam Nachrowi. Politisi Ali Maschan Moesa juga menegaskan bahwa sudah ada pembicaraan antara Muhaimin Iskandar dan Megawati perihal kursi Menteri Agama. Bagi PKB, posisi menteri agama sudah pas jika diserahkan pada partainya.41 Akan tetapi, harapan memasukan Muhaimin Iskandar dan Rusdi Kirana dalam bursa calon menteri gagal karena Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa jika ingin menjadi menteri maka harus melepaskan jabatan struktural di partai. Dukungan Partai Islam seperti PKS, PPP dan PAN kepada kubu capres Prabowo atau yang dikenal dengan sebutan Koalisi Merah Putih juga bukan tanpa alasan. Selain figur Prabowo yang cukup kuat, dukungan PKS ke Gerindra menurut Ketua DPP Partai Gerindra, Desmon Mahesa bahwa ideologi PKS tidak sejalan dengan PDIP dan lebih sejalan dengan Gerindra. Selain itu, menurut Desmon, “Kekuatan Koalisi Merah Putih selama ini disokong Golkar dan PAN yang awalnya akan bergabung ke kubu Jokowi-JK, tetapi kemudian mengalihkan dukungan. Artinya, Koalisi Merah Putih sebenarnya hanya pilihan karena ditolak Jokowi-JK. Koalisi Merah Putih hanya dijadikan kendaraan oleh partai-partai tersebut untuk meningkatkan daya tawar mereka sehingga kembali dilirik Jokowi-JK.”42
Terkait dukungannya terhadap Partai Gerindra, PKS juga telah mengajukan draf Koalisi Merah Putih yang Ingin Bergabung”, 15 September 2014, http://nasional.kompas.com/read/2014/09/15/23151331/ JK.Sudah.Sediakan.Posisi.Menteri.untuk.Partai.Koalisi.Merah. Putih.yang.Ingin.Bergabung, diakses pada tanggal 11 Februari 2015. Intriknews, “PKB Ingatkan Janji Ibu Mega Tentang Jatah Menteri Agama”, Agustus 2014, http://www.intriknews. com/2014/08/pkb-ingatkan-janji-ibu-mega-tentang.html, diakses pada tanggal 12 Februari 2015. 41
Redaksi, “Koalisi Merah Putih Hanya Akan Tersisa Gerindra dan PKS”, https://www.selasar.com/politik/koalisi-merahputih-hanya-akan-tersisa-gerindra-dan-pks, diakses pada tanggal 8 Februari 2015. 42
26 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
proposal dan program ke Partai Gerindra untuk mewujudkan kesepakatan koalisi. Sekjen PKS, Taufik Ridho mengungkapkan bahwa pembagian kekuasaan dalam sebuah koalisi adalah suatu keniscayaan, termasuk siapa yang akan dicalonkan menjadi capres, cawapres dan menteri. Menurut Taufik, urusan kabinet itu adalah bagian dari tanggung jawab bersama dalam sebuah koalisi dan pembagian kekuasan itu adalah konsekuensi dalam sebuah koalisi.43 Karena koalisi adalah sebuah keniscayaan dalam negara dengan sistem multipartai maka koalisi yang terbentuk tidaklah gratis, tawar-menawar politik untuk menduduki jabatan publik adalah hal yang tidak bisa dihindari. Teori Minimum Winning Coalition menyatakan bahwa peserta koalisi akan membentuk koalisi seminimal mungkin asal menjamin kemenangan dalam persaingan dan tidak akan menambah peserta lagi, sehingga keuntungan politik yang didapat akan didistribusikan secara maksimal kepada peserta koalisi. Singkatnya, partai koalisi fokus pada upaya perolehan suara minimal (50%+1) untuk menang, dan ketika ambang batas sudah tercapai maka koalisi akan berhenti mencari mitra koalisi. Teori koalisi Riker ini bisa digunakan untuk melihat kecenderungan logika matematis mengapa partai Islam sulit berkoalisi. Berdasarkan hasil Pemilu 2014, partai Islam memiliki jumlah suara akumulatif mencapai lebih dari 29% (jika ditambah PBB maka mencapai 31%) dan ini memungkinkan bagi koalisi partai Islam untuk mengajukan calon Presiden dan wakil Presiden sendiri. Namun, jika melihat jumlah kursi di di DPR RI 2014, partai Islam (dalam konteks ini PPP, PAN, PKB dan PKS) hanya memiliki 175 kursi. Jumlah yang sangat kecil jika harus berhadapan dengan partai-partai lainnya dalam pengambilan kebijakan di parlemen. Menurut Yunarto Wijaya, Direktur Charta Politika, koalisi pemilihan presiden tak akan banyak mempertimbangkan kesamaan platform antarpartai. Koalisi hanya dipengaruhi oleh dua faktor utama: daya pikat calon presiden sebagai Muhammad Sholeh, “Merapat ke Gerindra, PKS Sebut Harus Ada Bagi-Bagi Kursi Menteri”, 8 Mei 2014, http:// www.merdeka.com/politik/merapat-ke-gerindrapks-sebutharus-ada-bagi-bagi-kursi-menteri.html, diakses pada tanggal 8 Februari 2015. 43
pemimpin koalisi dan kursi dalam kabinet untuk partai peserta koalisi.44 Selain itu, siapapun tokoh yang diajukan oleh koalisi ini sepertinya akan sulit untuk mengalahkan dua kandidat kuat yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Alasan inilah yang mungkin menjadi pertimbangan partai Islam untuk tidak berkoalisi seperti pada Pemilu 1999 dan lebih memilih untuk menjalin koalisi dengan partai nasionalis. Karena bagaimana pun, koalisi yang terbentuk bukan hanya koalisi pemerintahan yang kuat namun juga perlu memperhitungkan koalisi parlemen yang memadai meskipun dalam kenyataannya, di Indonesia koalisi yang terbentuk bukanlah koalisi minimal nya Riker namun justru yang terjadi adalah Oversized Coalition. Faktor kepentingan atau pragmatisme partai dalam mencari jabatan-jabatan politik (office-seeking) adalah lebih penting dilakukan demi menjaga kelangsungan hidup partai.
Faktor Figur/Ketokohan Pemilu merupakan agenda politik parpol dalam upaya menempatkan caleg-caleg nya di kursi parlemen. Perolehan suara pemilu juga berdampak pada kemungkinan parpol dalam mengajukan calon Presiden dan wakil Presiden. Ketokohan seseorang menjadi faktor yang harus diperhatikan karena ini berkaitan dengan hitunghitungan probabilitas kemenangan calon yang diajukan parpol. Hasil Pemilu Legislatif 2014 memunculkan konfigurasi politik yang cukup berbeda dari dua pemilu sebelumnya dimana PDI-Perjuangan memperoleh suara terbesar dan yang cukup menjadi perhatiannya sebenarnya adalah suara akumulatif partai Islam yang mencapai hampir 30%. Jika partai-partai Islam tersebut berkoalisi maka dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Meskipun pasca-Pemilu Legislatif muncul wacana koalisi namun kenyataan berbicara lain. Masing-masing parpol Islam memilih jalur komunikasi politik dengan partai nasionalis. Berbagai opini pun bermunculan di masyarakat yang menganggap bahwa sikap politik partai Lihat Khairul Anam, “Mengapa PDIP Lebih Condong ke NasDem dan PKB?”, 12 April 2014, http://pemilu.tempo. co/read/news/2014/04/12/269570036/Mengapa-PDIP-LebihCondong-ke-NasDem-dan-PKB, diakses pada tanggal 12 Februari 2015. 44
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 27
Islam yang urung berkoalisi disebabkan tidak adanya figur partai/tokoh yang memiliki elektabilitas yang tinggi jika dibandingkan dengan dua kandidat kuat seperti Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Berdasarkan survey nasional dari Lembaga Survey Nasional (LSN) pada Oktober 2013 di 34 Provinsi di Indonesia dengan melibatkan 1.240 responden dan melibatkan 5 surat kabar nasional serta 5 media online nasional, menanyakan secara terbuka siapa tokoh Islam yang berpotensi mempersatukan partai Islam pada Pilpres 2014 maka hasilnya yaitu Mahfud MD mendapat 16,4%, Rhoma Irama mendapat 9,6% dan Suryadharma Ali 9,1%. Survey LSN juga menyebutkan bahwa Mahfud MD difavoritkan sebagai calon yang diusung oleh PKB dengan nilai 31,4% mengalahkan dukungan terhadap Jusuf Kalla 20,7% dan Rhoma Irama yang mendapat dukungan 12,7%, bahkan Muhaimin Iskandar yang merupakan Ketua Umum PKB hanya mendapat dukungan suara 9,6% saja.45 Berdasarkan kalkulasi politik tersebut, Mahfud MD meskipun berpotensi sebagai pemersatu partai Islam namun belum mampu menyaingi popularitas Jokowi dan Prabowo. Berikut hasil survei beberapa lembaga terkait elektabilitas calon presiden yang dilakukan pada tahun 2013 dan 2014. Tabel 5. Hasil Survey Calon Presiden 201446 No.
Nama Calon
Survey CSIS (9-16 April 2013)
1 2 3 4 5 6
Joko Widodo Parbowo Subianto Aburizal Bakrie Megawati Jusuf Kalla Mahfud MD
28,6% 15,6% 7% 5,4% 3,7% 2,4%
Survey SMRC (19-29 Desember 2013) 20% 8% 5% 3% 2,1% -
Survey Indikator (Mei 2014) 31,8% 9,8% 7% 2% 0,6%
Sumber: indicator.co.id, article.wn.com, kompas. com, diakses pada tanggal 11 Februari 2015.
Menjelang Pilpres, Majelis Ulama Indonesia dan Forum Ukhuwah Islamiyah dalam pertemuannya mendesak partai politik peserta Pemilu 2014 yang berbasis massa Islam, Fabriana Firdaus, “Survey: Tokoh Islam Tak Mampu Saingi Jokowi”, 24 November 2013, www. tempo.co/read/ news/2013/11/24, diakses pada tanggal 11 Februari 2015. 45
CSIS adalah Centre for Strategic and International Studies. SMRC adalah Saiful Mujani Research and Consulting. 46
berkoalisi pada pemilihan Presiden namun ternyata koalisi tersebut tidak terjadi. Hal ini disebabkan hitung-hitungan politis dimana kecil kemungkinan munculnya koalisi dari partai-partai berbasis massa Islam karena tidak adanya faktor figur pemersatu dan tidak solidnya partai-partai Islam. Menurut Syamsuddin Haris, Peneliti senior di Pusat Penelitian Politik LIPI, hambatan utama koalisi parpol Islam dalam Pemilu 2014 adalah tidak punya tokoh. Hal yang sama diungkapkan oleh Dosen Ilmu Pemerintahan UGM, Ari Dwipayana, “Mengenai modal suara, jumlah modal suara yang bisa dikumpulkan memang mencukupi untuk membentuk poros koalisi. Tapi mereka kesulitan untuk menemukan figur pemersatu. Yang kedua, secara historis mereka mempunyai hubungan tidak harmonis antara satu partai dengan partai yang lain sehingga poros koalisi baru yang dibangun berdasarkan sentimen Islam ini sulit diwujudkan.”47 Sikap politik PKB yang sedari awal kukuh pada dukungannya terhadap PDIP menjadi modal yang cukup besar dalam menambah posisi tawar Jokowi yang memang dicalonkan oleh PDIP sebagai Capres. PPP, PAN, PKS akhirnya melabuhkan pilihan koalisi dengan Gerindra yang juga semakin menguatkan posisi Prabowo. Pengamat Politik UI, Arbi Sanit mengatakan bahwa partai-partai Islam sudah semestinya berkoalisi dengan partai nasionalis apabila ingin berperan di dalam politik kekuasaan. Hal ini dikarenakan partai-partai Islam sejauh ini tidak memiliki figur kuat yang mampu bersaing dengan calon presiden PDI Perjuangan Jokowi dan capres Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Kelemahan lainnya adalah sangat sulit menyatukan semua partai politik yang terdiri dari “sub ideologi yang berbeda-beda.”48 Menurut Burhanudin Muhtadi, Direktur Indikator Politik Indonesia, elektabilitas capres Redaksi, “MUI dan FUI Desak Partai Islam Berkoalisi untuk Munculkan Figur Capres Islam”, 21 April 2015, http://www. voaindonesia.com/content/mui-dan-fui-desak-partai-islamberkoalisi-untuk-munculkan-figur-capres-islam/1897579. html?, diakses pada tanggal 12 Mei 2014. 47
BBC, “Partai Gerindra berkoalisi dengan PPP”, 18 April 2014, http://www.bbc.com/indonesia/berita_ indonesia/2014/04/140418_koalisi_partai_islam, diakses pada 12 November 2014. 48
28 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
adalah instrumen utama bagi office-seeking party untuk meraih kekuasaan. Dukungan Nas Dem dan PKB yaitu politik tanpa syarat ke Jokowi bisa dibaca dalam konteks peluang keterpilihan Jokowi yang tinggi untuk menenangkan pilpres sehingga lebih membuka peluang bagi partai pendukung untuk terlibat dalam pemerintahan. Adapun PDI Perjuangan tidak mampu mengajukan capres sendiri tanpa berkoalisi dengan partai lain. Dilain pihak, dukungan PPP, PAN dan PKS kepada Prabowo sebagai capres juga dapat dibaca dalam konteks hanya Prabowo yang secara elektoral bisa mengalahkan Jokowi pada pilpres. Dukungan partai-partai kepada Jokowi dan Prabowo menjadi alat barter politik yang tegas untuk mendefinisikan siapa yang bakal “berada di dalam” (the ins) dan “yang di luar” (the outs).49 Kondisi perpecahan yang disebabkan perbedaan dukungan terhadap poros capres merupakan hal yang wajar di negara demokrasi. Akan tetapi, harapan masyarakat untuk bisa menyatukan partai-partai berbasis Islam supaya tidak terpecah juga hal yang baik untuk dipertimbangkan.
Penutup Koalisi merupakan suatu keniscayaan bagi negara dengan sistem multipartai seperti di Indonesia. Hal tersebut harus dilakukan karena berdasarkan hasil pemilu menunjukkan kecenderungan partai tidak mampu memenuhi suara mayoritas sehingga membutuhkan koalisi antar parpol dalam membangun pemerintahan. Pengalaman pemilu presiden 1999 dan 2014 memberikan gambaran perbedaan koalisi yang terbentuk antara partai Islam dan partai nasionalis. Pemilu 1999 berhasil membangun koalisi partai Islam dikarenakan ada kesamaan ideologi dan tujuan yang sama antar partai Islam tersebut. Namun, Pemilu 2014 menunjukkan kenyataan yang berbeda dimana koalisi Partai Islam tidaklah terbangun. Ideologi yang seharusnya menjadi salah satu alasan terbentuknya koalisi tampaknya dikalahkan oleh kepentingan politik praktis. Sistem pemilihan presiden yang berbeda juga
menjadi salah satu alasan bisa tidaknya koalisi Partai Islam terbangun baik pada pilpres. Terkait dengan persoalan koalisi yang terjadi dari Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014 maka sistem pemilihan presiden yang berbeda tentu juga berpengaruh pada peta koalisinya. Sistem pemilihan presiden tahun 1999 dilakukan melalui Sidang Istimewa MPR yang melibatkan sekitar 695 anggota, sehingga lebih memudahkan dalam proses pencalonan hingga pemungutan suaranya. Dinamika politik yang terjadi hanya berkisar di kalangan elit partai. Adapun Pilpres 2014 yang menyajikan pemilihan secara langsung oleh rakyat Indonesia tentu menjadi proses yang panjang. Selain harus melalui proses konvensi di internal partai dalam mengusung calon, juga perlu dilakukan koalisi antar partai politik jika suara tidak mencapai ambang batas untuk mengajukan calon sendiri. Oleh sebab itu, tawar-menawar politik menjadi suatu keniscayaan ketika koalisi antar partai politik terbentuk. Selain sistem pemilihan presiden, ada faktor lain yang lebih memungkinkan sulitnya koalisi partai Islam terbentuk yaitu pragmatisme politik. Kepentingan pragmatis partai dapat dilihat pada saat memperebutkan jabatan di kabinet maupun pimpinan di parlemen. Posisi tersebut sangat strategis bagi partai dalam memanfaatkan sumber dana negara demi membantu kelangsungan hidup partai. Faktor lainnya yang cukup berpengaruh dalam kegagalan koalisi partai Islam pada Pilpres 2014 adalah tidak adanya figur pemersatu suara Islam yang mampu mengalahkan dua kandidat yang memiliki elektabilitas kuat yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Daftar Pustaka Buku Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi revisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Effendy, Bahtiar. 1998. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Penerbit Paramadina.
Burhanudin Muhtadi, “Teater Koalisi”, 26 Mei 2014, http:// www.indikator.co.id/publikasi/opini/10/Teater-Koalisi#sthash. EZTZGiqX.dpuf, diakses pada tanggal 11 Mei 2015. 49
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 29
Fattah, Eep Saefullah. 2000. Zaman Kesempatan: Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru. Bandung: Mizan. Mujani, Saiful, William Liddle, dan Kuskridho Ambardhi. 2011. Kuasa Rakyat: Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia pasca Orde Baru. Jakarta: Mizan. Noer, Deliar et.al. 1999. Mengapa Partai Islam Kalah? Perjalanan Politik Islam dari PraPemilu 1999 sampai Pemilihan Presiden. Jakarta: ALVABET. Reeve, David. 2013. Golkar Sejarah Yang Hilang: Akar Pemikiran dan Dinamika. Jakarta: Komunitas Bambu. Sartori, Giovanni. 2005. Parties and Party Systems: a Framework for Analysis. UK: ECPR Press. Sirozi, Muhammad. 2004. Catatan Kritis Politik Islam Era Reformasi. Yogyakarta: AK Group. Tanthowi, Pramono U. 2005. Kebangkitan Politik Kaum Santri: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban. Yuda, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal Katz, Richard S. and Peter Mair. 1995. “Changing Models Of Party Organization and Party Democracy: The Emergence of the Cartel Party”. London: Sage Publication. Vol.1. No.1. Romli, Lili. 2008. “Masalah Kelembagaan Partai Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru”. Jurnal Penelitian Politik LIPI 5(1). Strom, Kaare. 1990. “A Behavioral Theory of Competitive Political Parties”. American Journal of Political Science. Vol. 34. “Quo Vadis Politik Indonesia”. 2004. Pusat Penelitian Politik Year Book 2004. Jakarta: LIPI Press.
Laporan dan Makalah Noor, Firman. 2012. Institutionalising Islamic Political Parties in Indonesia: A Study of Internal Fragmentation and Cohesion in the Post-Soeharto Era (1998-2008). Dissertation. UK: University of Exeter. Wardani, Sri Budi Eko. 2007. Koalisi Parpol dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung Kasus Pilkada Provinsi Banten tahun 2006. Jakarta: Tesis UI.
Surat Kabar dan Website Azed, Abdul Bari. 2014. “Pilpres di Era Transisi Tahun 1999”. http://www.jambiekspresnews. com/berita-18609-pilpres-di-era-transisitahun-1999.html. Hasan. Iding R. 2014. “Islam dalam Pusaran Politik Pilpres 2014”. http://www.csrc.or.id/berita278-islam-dalam-pusaran-politik-pilpres-2014. html. Nurbilkis, Mulya. 2013. “Peneliti LIPI: Koalisi Partai Islam Sulit Menang Pilpres 2014”. http:// news.detik.com/read/2013/11/25/123242/242 2548/10/peneliti-lipi-koalisi-partai-islam-sulitmenang-pilpres-2014?. Prabowo, Dani. 2014. “Belajar dari Kasus Korupsi pada Era SBY, Jokowi Diminta Tak Pilih Menteri dari Parpol”. http://indonesiasatu. kompas.com/read/2014/09/04/1442110/. Ihsanudin. 2015. “JK Sudah Sediakan Posisi Menteri untuk Partai Koalisi Merah Putih yang Ingin Bergabung”. http://nasional.kompas. com/read/2014/09/15/23151331/JK.Sudah. Sediakan.Posisi.Menteri.untuk.Partai.Koalisi. Merah.Putih.yang.Ingin.Bergabung. Intriknews. 2014. “PKB Ingatkan Janji Ibu Mega Tentang Jatah Menteri Agama”. http://www. intriknews.com/2014/08/pkb-ingatkan-janjiibu-mega-tentang.html. Selasar.com. (n.d) “Koalisi Merah Putih Hanya Akan Tersisa Gerindra dan PKS”. https://www. selasar.com/politik/koalisi-merah-putih-hanyaakan-tersisa-gerindra-dan-pks. Sholeh, Muhammad. 2014. “Merapat ke Gerindra, PKS Sebut Harus Ada Bagi-Bagi Kursi Menteri”. http://www.merdeka.com/politik/ merapat-ke-gerindrapks-sebut-harus-ada-bagibagi-kursi-menteri.html. Anam, Khairul. 2014. “Mengapa PDIP Lebih Condong ke NasDem dan PKB?” http://pemilu.tempo.co/ read/news/2014/04/12/269570036/MengapaPDIP-Lebih-Condong-ke-NasDem-dan-PKB. Firdaus, Fabriana. 2013. “Survey: Tokoh Islam Tak Mampu Saingi Jokowi” dalam www. tempo.co/ read/news/2013/11/24. VoaIndonesia. 2015. “MUI dan FUI Desak Partai Islam Berkoalisi untuk Munculkan Figur Capres Islam” http://www.voaindonesia.com/content/mui-danfui-desak-partai-islam-berkoalisi-untukmunculkan-figur-capres-islam/1897579.html?.
30 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
BBC.com. 2014. “Partai Gerindra berkoalisi dengan PPP” . http://www.bbc.com/indonesia/berita_ indonesia/2014/04/140418_koalisi_partai_ islam. Muhtadi, Burhanudin. 2014. “Teater Koalisi”. http:// www.indikator.co.id/publikasi/opini/10/TeaterKoalisi#sthash.EZTZGiqX.dpuf. www.indicator.co.id, article.wn.com. www.kpu.go.id.
Koalisi Partai Islam di Indonesia ...| Eky Ekawati | 31
32 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 17–31
PELEMBAGAAN SISTEM KEPARTAIAN DI BAWAH SISTEM DEMOKRASI INDONESIA (1998 – SEKARANG) THE INSTITUTIONALIZATION OF POLITICAL PARTY SYSTEM UNDER DEMOCRATIC SYSTEM IN INDONESIA (1998-NOW) Aisah Putri Budiatri Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 9 Maret 2015; direvisi: 23 Mei 2015; disetujui: 22 Juni 2015 Abstract The establishment of democracy in Indonesia after 1998 has brought a reform of party and electoral systems. Nevertheles, it is interesting to ask whether the party system under the new democracy system has been institutionalized or not. The analyses on four dimensions of party system brought by Mainwaring and Scully do not show that the Indonesia’s party system has been institutionalized. Only the variable of party legitimation has shown an improvement of today’s Indonesian party system, but not other variables. Nowadays, Indonesia still faces problems of unstable party competition, a weak relation between parties and the society, and oligarchy within the parties. Keywords: party, democracy, political party system, institutionalization, Indonesia. Abstrak Diterapkannya demokrasi di Indonesia setelah tahun 1998 telah membawa pembaharuan pada sistem kepartaian dan pemilu. Namun pertanyaannya kemudian adalah apakah sistem kepartaian setelah diterapkannya demokrasi di Indonesia telah mengarah pada sebuah sistem yang terlembaga. Hasil analisa yang didasarkan pada empat dimensi sistem kepartaian Mainwaring dan Scully menunjukan bahwa sistem kepartaian Indonesia di masa reformasi saat ini belum terlembaga. Hanya dimensi legitimasi partai politik yang menunjukan situasi perbaikan dalam sistem kepartaian Indonesia saat ini, namun tiga dimensi lainnya tidak. Indonesia hingga kini masih dihadapkan pada persoalan pola kompetisi yang tidak stabil, hubungan masyarakat dan partai yang lemah, serta partai dengan oligarki yang kuat. Kata Kunci: partai, demokrasi, sistem kepartaian, pelembagaan, Indonesia.
Pendahuluan Indonesia telah mengalami perubahan sistem politik yang signifikan sejak jatuhnya Presiden Suharto dari tampuk kekuasaannya di tahun 1998. Tumbangnya rezim Orde Baru saat itu menandakan juga runtuhnya sistem politik otoriter yang dibangun oleh Suharto selama 32 tahun. Demokrasi menjadi sistem baru yang diterapkan di Indonesia dan diharapkan dapat membawa warna perubahan politik negara
menjadi lebih baik.1 Salah satu harapan terhadap sistem demokrasi ini adalah terbukanya ruang yang lebih luas bagi warga negara untuk terlibat
Demokrasi menjadi sistem yang baru diterapkan di Indonesia setelah reformasi politik di tahun 1998. Namun demikian, di masa kepemimpinan Presiden Sukarno tahun 1945-1966, Indonesia telah menerapkan sistem demokrasi. Terdapat dua bentuk demokrasi yang diterapkan saat itu yakni demokrasi liberal (1945-1959) dan demokrasi terpimpin (1959-1966). 1
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 33
dalam kehidupan berpolitik, termasuk dengan mendirikan partai politik (parpol).
menyalurkan aspirasi publik dalam kebijakan negara.
Sejak Indonesia berdemokrasi di tahun 1998, banyak partai baru lahir sebagai tanda terbukanya saluran politik bagi warga negara yang hampir tertutup rapat selama Orde Baru. Situasi ini berbeda dengan masa Pemerintahan Suharto yang saat itu hanya memiliki Golongan Karya (Golkar), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Golkar sendiri bahkan tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai partai politik karena seperti dinyatakan oleh Ikrar Nusa Bhakti, bahwa Golkar secara formal bukan lah partai politik tetapi organisasi fungsional.2 Meskipun demikian, jika mengikuti definisi partai politik oleh Sartori, dimana partai diartikan sebagai kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum (pemilu) dan mencalonkan kandidatnya di dalam pemilu untuk menempati lembaga pemerintahan dan lembaga publik lainnya, maka Golkar dapat disebut sebagai parpol.3 Namun, di masa Orde Baru, Golkar justru ditempatkan oleh Suharto sebagai organisasi fungsional yang ditujukan untuk mendiskreditkan peran parpol di Indonesia.4 Meskipun demikian, Golkar lah yang memiliki posisi dekat dengan pemegang kekuasaan negara dan berpengaruh besar secara politis di masa Orde Baru. Sementara itu, PPP dan PDI yang terkategori sebagai partai politik formal tidak berperan kuat dalam politik Indonesia ketika itu. Pada era Orde Baru, parpol bisa dikatakan mati suri dalam menjalankan fungsinya untuk
Jumlah parpol di Indonesia pada masa reformasi politik meningkat sangat pesat. Di tahun 1999, Indonesia memiliki 48 parpol peserta pemilu. Jumlah ini pun menurun dalam pemilu selanjutnya, yakni 24 parpol peserta Pemilu 2004, 38 parpol pada Pemilu 2009, dan 12 parpol pada Pemilu 2014 lalu.5 Diberlakukannya sistem demokrasi di Era Reformasi ini telah mendorong dibukanya ruang politik yang lebih luas untuk meningkatkan partisipasi publik di dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks ini, penerapan demokrasi sangat berpengaruh pada sistem kepartaian Indonesia. Namun di sisi lain, penting untuk diingat bahwa, seperti dinyatakan oleh Allen Hicken, proses konsolidasi demokrasi juga amat dipengaruhi oleh sistem kepartaian yang diberlakukan di sebuah negara.6 Hicken, Kuhonta, Mainwaring, Torcal, Paul Webb, dan Stephen White menyatakan bahwa secara umum, demokrasi akan terkonsolidasi dan bertahan lebih lama apabila sistem kepartaiannya terlembagakan.7 Mengingat pentingnya peran sistem kepartaian terhadap proses konsolidasi demokrasi, maka tulisan ini akan melihat sejauh mana sistem kepartaian Indonesia di bawah penerapan demokrasi baru ini telah terlembaga.
Ikrar Nusa Bhakti, “The Transition to Democracy in Indonesia: Some Outstanding Problems,” dalam Jim Rolfe (Ed), The AsiaPacific: A Region in Transition, (Honolulu, HI: The Asia Pacific Center for Security Studies, 2004), hlm. 199.
Jumlah partai politik ini hanya untuk partai nasional peserta pemilu, sementara partai lokal yang berhak mengikuti pemilu untuk pemilihan anggota parlemen di tingkat kabupaten/kota dan propinsi tidak termasuk di dalamnya. 5
A. Hicken, “Stuck in the Mud: Parties and Party Systems in Democratic Southeast Asia,” Taiwan Journal of Democracy, Vol. 2, No. 2, 2006, hlm. 28. 6
2
Giovanni Sartori, Parties and Party Systems: A Framework for Analysis, (Cambridge: Cambridge University Press, 1976), hlm. 56. 3
Merunut pada sejarah, Golkar dibentuk sebagai organisasi fungsional. Organisasi fungsional ini adalah konsep yang diperkenalkan oleh Presiden Sukarno di akhir 1950-an untuk menggantikan partai politik dan sebagai sebuah bentuk yang representatif untuk mewakili kelompok-kelompok fungsional termasuk petani, buruh, ulama dan pelajar. Golkar kemudian digunakan oleh Suharto sebagai alat untuk mengakumulasi kekuatan politik, selain militer dan birokrasi. Dalam Reeve, Golkar of Indonesia: An Alternative to the Party System, (Singapore: Oxford University Press, 1985), hlm. 116-118; Ikrar Nusa Bhakti, op.cit., hlm. 199. 4
Secara umum, teoritisi politik menyatakan bahwa sistem kepartaian yang terlembaga akan mengkonsolidasikan sistem demokrasi, namun sebuah temuan penelitian Allen Hicken dan Erik M. Kuhonta atas negara-negara Asia memperlihatkan bahwa sistem kepartaian yang terinstitusionalisasi dapat berdampak pada demokrasi yang terkonsolidasi dan sekaligus berdampak pada sistem non-demokrasi yang menguat. A. Hicken and E. M. Kuhonta, “Introduction: Rethinking Party System Institutionalization in Asia,” dalam A. Hicken & E. M. Kuhonta (Eds.), Party System Institutionalization in Asia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), hlm. 12; Mainwaring & Torcal, “Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wafe of Democratization,” dalam Working Paper Kellogg Institute, No. 319, 2005, hlm. 2; Paul Webb dan Stephen White, “Political Parties in New Democracies: Trajectories of Development and Implications for Democracy,” dalam Paul Webb dan Stephen White, Party Politics in New Democracies, (Oxford: Oxford University Press, 2007), hlm. 369. 7
34 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
Untuk menjawab pertanyaan mengenai institutionalisasi sistem kepartaian di Indonesia saat ini, maka teori sistem kepartaian yang ditawarkan oleh Mainwaring dan Scully menjadi sangat relevan digunakan sebagai alat analisa. Empat dimensi yang dipaparkan keduanya, termasuk pola kompetisi partai, hubungan parpol dengan masyarakat, legitimasi oleh aktor politik utama, yakni masyarakat dan elit politik, terhadap parpol dan pemilu, dan kemapanan organisasi parpol menjadi kunci untuk secara komprehensif menilai apakah sistem kepartaian di Indonesia telah terlembaga atau belum.8 Dengan menggunakan empat dimensi Mainwaring dan Scully, analisa di dalam tulisan ini menemukan bahwa sistem kepartaian di Indonesia masih jauh dari kata ‘terlembaga’ meski demokrasi dan upaya pembaruan sistem kepartaian telah diupayakan selama lebih dari satu dekade. Artikel ini terbagi menjadi beberapa bagian tulisan. Setelah bab pendahuluan, tulisan ini mengeksplorasi lebih lengkap mengenai apa yang dimaksudkan dengan empat dimensi sistem kepartaian Mainwaring dan Scully. Hal ini diikuti dengan penjelasan singkat mengenai perkembangan partai politik di Indonesia pascareformasi politik di tahun 1998. Kemudian, tulisan ini memaparkan kondisi sistem kepartaian di Indonesia saat ini dari lensa teori yang ditawarkan oleh Mainwaring dan Scully, untuk selanjutnya di bagian akhir tulisan ditutup dengan analisa mengenai kondisi pelembagaan sistem kepartaian Indonesia di bawah sistem demokrasi baru saat ini. Pelembagaan Sistem Kepartaian Mainwaring dan Scully Munculnya banyak negara yang baru menerapkan sistem demokrasi menarik banyak perhatian peneliti dan akademisi politik di seluruh dunia. Perhatian mereka pun tertuju pada perkembangan negara demokrasi baru di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Dalam perkembangan studi tersebut, banyak diantaranya artikel yang terfokus pada hubungan antara partai politik, sistem kepartaian, dan demokrasi, yang kemudian memperlihatkan 8 S. Mainwaring & T. R. Scully, Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford, (CA: Stanford University Press, 1995), hlm. 4-6.
bahwa partai politik dan sistem kepartaian yang terlembaga memiliki peran yang penting untuk mendorong konsolidasi demokrasi. 9 Dengan membandingkan 39 negara yang terkategori negara demokrasi maju dan negara dalam proses transisi demokrasi, Mainwaring dan Torcal menyatakan bahwa sistem kepartaian yang belum atau tidak terlembaga akan berdampak buruk bagi demokrasi. Sistem partai tersebut mampu melahirkan pemimpin politik yang anti-partai, dan akhirnya akan menghambat demokrasi, misalnya Presiden Alberto Fujimori di Peru (1990-2000) dan Presiden Hugo Chavez di Venezuela (1998-2013). Selain itu, Mainwaring dan Torcal juga menekankan bahwa sistem kepartaian yang belum terinstitusionalisasi juga akan menghambat akuntabilitas dalam pemilu yang merupakan kunci dari demokrasi.10 Berdasarkan pada diskusi studi kepartaian dan demokrasi, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sistem kepartaian memiliki posisi sentral untuk memperkuat demokrasi. Namun, sebelum berbicara lebih jauh mengenai sistem kepartaian dan demokrasi, maka penulis perlu mendefinisikan terlebih dahulu makna sistem kepartaian yang digunakan di dalam artikel ini. Mainwaring dan Scully mendefinisikan sistem kepartaian sebagai satu set pola interaksi dalam sebuah kompetisi antar partai.11 Untuk memahami lebih baik makna sistem kepartaian, maka dapat juga dirujuk tiga karakteristik sistem kepartaian menurut Allen Hicken, meliputi: pertama, sistem kepartaian harus terdiri dari minimal dua partai, dan tidak mungkin hanya satu partai; kedua, terdapat keteraturan di dalam pola interaksi antar individu di dalam partai dan antar partai; ketiga, pola hubungan ini harus berkelanjutan secara terus menerus.12 Setiap negara yang memiliki setidaknya dua partai dan keduanya berkompetisi di dalam pemilu yang diadakan secara rutin, maka negara itu tentu saja memiliki sistem kepartaian. Namun, hal itu tidak berarti sistem kepartaian yang V. Randall & L. Svasand, 2002, “Party Institutionalization in New Democracies,” Party Politics, Vol. 8, No. 1, hlm. 5. 9
10
Mainwaring & Torcal, 2005, op.cit., hlm. 2.
11
Mainwaring & Scully, 1995, op.cit., hlm. 4.
12
A. Hicken, 2006, op.cit., hlm. 27.
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 35
ada telah terlembaga atau terinstitusionalisasi. Mainwaring dan Scully mendefinisikan kata ‘pelembagaan’ atau ‘institutionalisasi’ sebagai suatu kondisi di mana suatu organisasi menjadi mapan dan diterima oleh banyak pihak. 13 Mereka memperkenalkan empat dimensi untuk menilai apakah suatu sistem kepartaian dapat dikategorikan sebagai sistem yang terlembaga atau tidak. Empat pra-kondisi terlembaganya sebuah sistem kepartaian yang ditawarkan oleh Mainwaring dan Scully, yang akan digunakan sebagai alat analisa artikel ini, adalah: (1) pola kompetisi partai yang stabil, yakni terlihat dari pilihan pemilih pemilu yang konsisten dan rendahnya tendensi elit partai untuk mengubah parpol, (2) hubungan yang kuat antara masyarakat dengan parpol, (3) elit politik menerima dan melegitimasi parpol serta proses pemilu sebagai bagian penting dari demokrasi; namun demikian, elit politik bisa tetap bersifat kritis terhadap parpol dan bagaimana fungsinya dijalankan, (4) partai politik memiliki organisasi yang kuat dengan sumber daya yang terkelola baik, dan parpol tidak dikuasai oleh kepentingan individu elit tertentu.14 Keempat dimensi Mainwaring dan Scully telah menjadi alat ukur yang diterima dan digunakan oleh berbagai peneliti politik untuk menilai apakah satu sistem kepartaian telah atau belum terinstitutionalisasi. Artikel yang dituliskan oleh Allen Hicken dan P.J. Tan telah mengadopsi pendekatan Mainwaring dan Scully ini untuk melihat kasus Indonesia.15 Namun demikian, kedua artikel yang diterbitkan pada tahun 2006 tersebut melihat sistem kepartaian pada era reformasi secara spesifik, tanpa melihat sistem kepartaian di Indonesia sebelumnya. Dengan demikian, analisa keduanya tidak menggambarkan secara komprehensif perkembangan atau kemunduran yang terjadi di dalam sistem kepartaian ini. Oleh karena itu, di dalam tulisan ini, meskipun analisa tetap berfokus 13
pada sistem kepartaian era reformasi, namun mencoba menangkap perkembangan sistem kepartaian dari apa yang terjadi pada periode pemerintahan sebelumnya. Artikel ini juga akan menggunakan dimensi-dimensi Mainwaring dan Scully untuk menilai sejauh mana sistem kepartaian di Indonesia pasca reformasi sejak 1999 hingga saat ini telah terlembaga.
Pembaharuan Sistem Kepartaian Politik di Indonesia di Era Reformasi Sistem kepartaian politik di Indonesia berkembang sangat dinamis sejak pascakemerdekaan hingga kini. Di masa awal negara Indonesia terbentuk, terdapat wacana untuk menetapkan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai tunggal. Namun, gagasan ini kemudian ditolak karena dianggap bertentangan dengan sistem demokrasi yang ingin diberlakukan oleh Indonesia. Oleh karena itu, pemerintahan saat itu mengeluarkan Maklumat tertanggal 3 November 1945 yang memberikan ruang didirikannya partai-partai politik di Indonesia.16 Maklumat ini menandakan juga diterapkannya sistem multipartai, dimana lebih dari satu partai dapat berkompetisi di dalam pemilu.
Mainwaring & Scully, 1995, op.cit., hlm. 4.
Pemaparan mengenai keempat dimensi ini secara lebih lengkap akan dijelaskan di dalam bagian analisa pada makalah ini. Dalam, Ibid., hlm. 4-6. 14
P. J. Tan, “Indonesia Seven Years after Soeharto: Party System Institutionalization in New Democracy,” Contemporary Southeast Asia, Vol. 28, No. 1, 2006; A. Hicken, 2006, op.cit. 15
Osman Raliby, Sejarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perjuangan Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1953), hlm. 15, 74-75; Imam Pratignyo, Lahirnya Golkar, (Jakarta: Yayasan Bakti, 1983), hlm. 19. 16
36 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
Tabel 1. Partai Politik Peserta Pemilu di Indonesia (1955-2014)17
Periode Kepemimpinan Sukarno – Demokrasi Liberal 1945-1958 Pemilu 1955 Periode Pemerintahan Suharto (Orde Baru) Pemilu 1971 Pemilu 1977 Pemilu 1982 Pemilu 1987 Pemilu 1992 Pemilu 1997 Era Reformasi Pemilu 1999 Pemilu 2004 Pemilu 2009 Pemilu 2014
Jumlah Parpol Peserta Pemilu
Jumlah Parpol Anggota Parlemen
172
28
10 3 3 3 3 3
8 3 3 3 3 3
48 24 34 12
20 16 9 10
Sumber: Yudi Latif, Indonesian Muslim Intelligentsia and Power, (Singapore: ISEAS, 2008), hlm. 267; P. J. Tan, “Explaining Party System in Indonesia,” dalam A. Hicken & E. M. Kuhonta (Eds.), Party System Institutionalization in Asia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), hlm. 238; www.kpu.go.id yang diakses pada tanggal 27 Februari 2015.
Secara umum, pemerintahan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga periode, yakni: (1) periode kepemimpinan Sukarno, termasuk periode Demokrasi Parlementer pada tahun 1945-1958 dan periode Demokrasi Terpimpin pada tahun 1958-1965, (2) Orde Baru dengan Presiden Suharto sebagai pemimpinnya sejak 1966 sampai 1998, (3) Era Reformasi sejak 1998 hingga kini dimana pemimpinnya dipilih secara demokratis melalui pemilu langsung dan tidak
langsung.18 Dari Tabel 1, nampak jelas bahwa Indonesia berkomitmen untuk terus menerapkan sistem multipartai. Tidak hanya partai yang menjadi peserta pemilu, jumlah partai yang duduk di dalam parlemen pun berjumlah tidak sedikit. Terkecuali pada periode pemerintahan otoritarian Suharto, lebih dari sepuluh parpol menjadi peserta pemilu dan memiliki kursi di parlemen. Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno menerapkan dua bentuk sistem pemerintahan berbeda yang kemudian berdampak pada bentuk sistem kepartaian yang berbeda pula. Pada awal masa Pemerintahan Sukarno, antara 1945 hingga 1958, Indonesia menerapkan Demokrasi Parlementer. Pada periode ini, Indonesia menyelenggarakan pemilu untuk pertama kalinya dan memiliki empat partai politik. Keempat partai itu diantaranya: (1) Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran nasionalismesekuler, (2) Masyumi, partai Islam modernis, (3) Partai Nahdlatul Ulama (NU) sebagai partai nasionalisme Islam dengan basis pendukung berasal dari kelompok muslim tradisional, dan (4) Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berdasar pada aliran Marxist. Disamping keempat partai besar tersebut, masih terdapat banyak partai lain yang menjadi peserta pemilu; bahkan, terdapat 28 partai memiliki wakilnya di dalam parlemen.19 Jumlah partai yang tinggi di masa Demokrasi Parlementer memiliki dampak yang positif karena partai muncul sebagai representasi dari kelompok dengan kepentingan dan ideologi spesifik. Hal ini menjadikan hubungan antara partai dengan masyarakat pemilihnya pun terjalin dengan baik dan kuat. Namun demikian, jumlah partai yang sangat tinggi saat itu juga berdampak negatif bagi upaya untuk melembagakan sistem Sejak 1998 hingga saat ini, Indonesia memilih presiden dan wakil presidennya melalui dua metode berbeda. Pada pemilu pertama kali sejak reformasi politik, presiden dan wakil presiden dipilih oleh pemilu tidak langsung melalui wakil rakyat di DPR. Sementara itu, pada gelombang penyelenggaraan pemilu setelahnya, presiden dan wakil presiden terpilih melalui pemilu langsung, dimana rakyat berhak menentukan sendiri siapa yang menjadi pemimpin negaranya. Hingga saat ini, sudah tercatat tiga kali pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden langsung, yakni Pemilu 2004, Pemilu 2009, dan Pemilu 2014. 18
Data jumlah parpol pada Tabel ini hanya mencatat jumlah parpol nasional yang mengikuti pemilihan legislatif tingkat nasional. Dengan demikian, jumlah parpol anggota parlemen yang dimaksud adalah parpol yang berhasil mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selain itu, data Tabel ini tidak mengikut sertakan partai lokal yang menjadi peserta pemilu legislatif 1955, dan partai lokal yang menjadi peserta pemilu di Aceh pada tahun 2009 dan 2014. Dalam Yudi Latif, Indonesian Muslim Intelligentsia and Power, (Singapore: ISEAS, 2008), hlm. 267; P. J. Tan, “Explaining Party System in Indonesia,” dalam A. Hicken & E. M. Kuhonta (Eds.), Party System Institutionalization in Asia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), hlm. 238; www.kpu.go.id yang diakses pada tanggal 27 Februari 2015. 17
P. J. Tan, “Explaining Party System in Indonesia,” dalam A. Hicken & E. M. Kuhonta (Eds.), Party System Institutionalization in Asia, (Cambridge: Cambridge University Press, 2014), hlm. 238. 19
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 37
kepartaian. Kompetisi partai yang berbasis pada perbedaan kepentingan dan ideologi yang tajam telah menciptakan fragmentasi dan polarisasi di dalam sistem kepartaian, sehingga cenderung menciptakan kondisi politik yang tidak stabil. Fragmentasi dan polarisasi yang kuat itu diperlihatkan oleh Paige Johnson Tan dengan membandingkan kompetisi antara pemilu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante di tahun 1955.20 Namun, pelembagaan sistem kepartaian dalam periode ini sulit untuk dinilai karena hanya bisa membandingkan dua pemilu di tahun yang sama, dan sifatnya pun tidak setara. Pada saat itu Pemilu DPR bertujuan untuk memilih 257 anggota, sementara Pemilu Konstituante memilih 514 anggota. Dengan demikian, sulit untuk melihat konsistensi stabilitas kompetisi partai politik. Pergantian sistem politik pada tahun 1958 menjadi Demokrasi Terpimpin membawa perubahan juga kepada sistem kepartaian politik. Pada periode ini kekuatan politik diletakan pada PKI, militer dan Presiden Sukarno sebagai penyeimbang kedua kelompok tersebut. Selama delapan tahun, pemilu tidak diselenggarakan dan jumlah partai dikurangi, dimana hanya ada 10 partai berdiri pada saat itu. Peran politik partai pun dilemahkan dengan mengurangi porsinya menjadi hanya 46% kursi di parlemen. Sementara itu, Sukarno menempatkan Organisasi Fungsional, sebagai wakil kelompok buruh, kaum muda, dan perempuan, serta militer di parlemen. Dengan demikian, peran dan legitimasi partai politik pada era Demokrasi Terpimpin ini telah menjadi lemah, meski sesungguhnya partai masih memiliki hubungan yang kuat dengan masyarakat.21 Kondisi sistem kepartaian yang cenderung memburuk di penghujung kepemimpinan Sukarno semakin menjadi di bawah kepemimpinan Suharto. Pada era Orde Baru, Suharto menggunakan penyederhanaan jumlah partai menjadi tiga dan pengerucutan ideologi partai hanya berdasarkan Pancasila sebagai alat untuk memudahkan presiden mengontrol kekuatan politik di Indonesia. Berbeda dengan 20
Ibid., hlm. 240.
21
Ibid., hlm. 240-241.
era Demokrasi Parlementer dimana sistem kepartaian dengan perbedaan ideologinya yang tajam berhasil menciptakan ikatan kuat antara partai dengan konstituten, maka Suharto berupaya untuk menghapuskan ikatan ideologis itu. Partai Islam yang beragam digabungkan menjadi satu, disebut dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Komunis Indonesia dihapuskan; Partai-partai nasionalis dan partai Kristen digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Tidak hanya menyederhanakan sistem kepartaian, Pemerintahan Suharto juga mereduksi legitimasi partai politik dengan memberikan legitimasi baru kepada Golongan Karya, yang berbentuk organisasi massa untuk dapat mengikuti pemilu. 22 Golkar, bahkan, mendapatkan dukungan dan fasilitas yang besar dari pemerintah, termasuk pendirian infrastruktur organisasi hingga di tingkat desa dan diwajibkannya birokrat saat itu untuk memilih Golkar dalam pemilu. Alhasil, Golkar selalu mendapatkan suara tertinggi dalam pemilu, yakni di atas 50% suara, selama Orde Baru berkuasa. Kondisi ini menjadikan Golkar sebagai salah satu sumber kekuatan politik dan penyokong kekuasaan Suharto untuk duduk di kursi presiden selama 32 tahun.23 P. J. Tan menyatakan bahwa meskipun sistem kepartaian di bawah Pemerintahan Suharto nampak telah terlembaga karena pola kompetisi partai yang cenderung stabil melalui kemenangan Golkar yang konsisten, namun sesungguhnya pelembagaan ini masih jauh dari kenyataan.24 Dalam kenyataanya, pemilu tidak pernah dijalankan secara adil dan terbuka; dengan demikian, sesungguhnya tidak ada kompetisi Golongan Karya pada dasarnya merupakan organisasi gabungan yang mengkonsolidasikan kelompok-kelompok fungsional dan organisasi kekaryaan. Golongan Karya, yang awalnya dikenal sebagai Sekertariat Besar Golongan Karya (Sekber Golkar), dibentuk pada 20 Oktober 1964 oleh militer ditujukan untuk menandingi Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam Masuhara Ayako, The End of Personal Rule in Indonesia: Golkar and the Transformation of the Suharto Regime, Sakyoku, (Kyoto: Kyoto University Press, 2015), hlm. 78. 22
Selain Golkar, Suharto memiliki tentara dan birokrat sebagai sumber kekuasaan politiknya. Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 40. 23
24
P. J. Tan, 2014, op.cit., hlm. 243.
38 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
imbang dalam pemilu Orde Baru. Golkar mendapatkan keuntungan dari pemerintah, sementara PPP dan PDI mendapatkan tekanantekanan politik dari pemerintah. Sebagai contoh, PDI dan PPP tidak diperbolehkan untuk memiliki struktur organisasi di bawah tingkat kabupaten, sementara jaringan Golkar mampu masuk hingga ke tingkat desa dengan bantuan organisasi militer (tentara).25 Dengan kondisi hubungan partai dan masyarakat yang lemah, legitimasi partai yang semakin rendah, dan kompetisi pemilu yang tidak adil, maka sistem kepartaian di bawah Pemerintahan Suharto dapat dikatakan tidak lah terlembaga. Partai sebagai organisasi individu pun tidak mampu secara maksimal menjalankan fungsinya untuk merepresentasikan kepentingan rakyat di dalam pembuatan kebijakan politik. Dapat disimpulkan bahwa rezim saat itu telah berhasil mengkerdilkan peran dan fungsi partai politik di Indonesia. Bergulirnya reformasi politik dan dimulainya konsolidasi demokrasi di tahun 1998 telah membawa perubahan dalam berbagai hal, termasuk sistem kepartaian di Indonesia. Lemahnya peran dan fungsi parpol di masa Orde Baru ingin diubah dengan membuka peluang yang besar bagi parpol untuk terlibat di dalam proses politik, baik melalui pemilu maupun pembuatan kebijakan di parlemen. Hal ini disambut baik oleh elit politik saat itu, yakni ditandai dengan besarnya jumlah partai baru menjelang pelaksanaan pemilu 1999. Tercatat 148 partai terdaftar di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham), namun pada akhirnya hanya 48 partai saja yang lolos menjadi Militer memiliki peran yang sangat penting dalam pendirian Golkar. Meskipun elit militer tidak dapat menjadi pengurus Golkar, banyak purnawirawan tentara yang kemudian duduk di dalam kepengurusan partai golkar. Melalui jaringannya, pengurus Golkar yang merupakan purnawirawan tentara mempeluas pengaruh golkar sampai ke tingkat desa mengikuti jaringan militer di Indonesia. Jaringan militer di Indonesia sangat mengakar hingga ke tingkat terendah di masyarakat, terutama setelah program ABRI Masuk Desa (AMD) ditetapkan. Ibid, hlm. 243; Eddy S. Harisanto, The Dual Function of the Indonesian Armed Forces, Thesis, Naval Postgraduate School, 1993, Monterey, California, hlm. 74; I. N. Setiowati dan Sumarno, “Perkembangan ABRI Masuk Desa (AMD) Tahun 1980-1998,” dalam AVATARA, Vol. 3, No. 1, 2015, hlm. 104; Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik, (Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1992), hlm. 82. 25
peserta pemilu pertama pasca-Orde Baru. 26 Tingginya jumlah parpol yang mendaftar dan kemudian menjadi peserta pemilu di tahun-tahun berikutnya pun berulang. Lebih dari 40 partai politik telah mendaftarkan diri pada pemilu 2004, 2009 dan 2014, dan hanya sekitar separuhnya yang kemudian menjadi peserta pemilu.27 Jumlah partai peserta pemilu yang tinggi di era reformasi, mengingatkan kita pada pemilu di masa Demokrasi Parlementer. Hal yang membedakannya adalah polarisasi ideologi parpol di kedua masa periode tersebut. Seperti telah dijelaskan bahwa perbedaan ideologi partai politik di masa awal kepemimpinan Sukarno sangat tajam perbedaannya, dari partai komunis hingga partai agama. Sementara itu, pada era reformasi saat ini, perbedaan ideologi partai tidak mencolok. Dengan dilarangnya pendirian partai komunis, maka secara umum hanya ada dua ideologi partai yakni partai nasionalis dan partai agama.28 Situasi ini, sesungguhnya, menyerupai Orde Baru dimana ruang perbedaan ideologi menjadi begitu sempit. Tidak hanya membuka ruang politik yang lebih luas bagi partai politik, pembaharuan di era reformasi ini juga terlihat dalam proses pemilu. Tidak seperti pada masa Orde Baru dimana pemerintahan mengendalikan dan memanipulasi pemilu untuk memenangkan Golkar sebagai pendukung pemerintahan saat itu, pemilu pada era reformasi berjalan dengan terbuka dan adil. Penyelenggaraan pemilu Orde Baru yang menguntungkan Golkar mudah dilakukan oleh Pemerintahan Suharto karena badan penyelenggara saat itu Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, Hasyim Asy’ari, dan August Mellaz, Membangun Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat, (Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011), hlm. 11. 26
Pada pemilu 2004, 112 partai terdaftar oleh Depkumham dan 24 partai diantaranya menjadi peserta pemilu. Terdapat 79 partai terdaftar sebagai badan hukum pada pemilu 2009, sementara yang lolos menjadi peserta pemilu adalah 38 partai (enam diantaranya adalah partai lokal). Pada pemilu 2014, jumlah partai yang berbadan hukum tercatat sejumlah 73 partai dengan jumlah partai peserta pemilu adalah 12 partai. Dalam ibid; “Mendirikan Partai Baru Masih Pilihan Realistis,” dalam Koran Republika Online, diakses melalui www.republika.co.id pada 12 Mei 2015. 27
T. Ratnawati & S. Haris, “Political Parties in Indonesia from the 1950s to 2004: An Overview,” CRISE Working Paper, No. 61, 2008, hlm. 1. 28
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 39
melekat pada Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri). Bahkan, ketua Lembaga Pemilihan Umum saat itu adalah Menteri Dalam Negeri, yang juga anggota Golkar. Di bawah rezim Suharto, lembaga penyelenggara negara tidak independen.29 Untuk menghindarkan terjadinya kembali pemilihan umum yang manipulatif, pemerintahan era reformasi membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang secara khusus ditugaskan untuk menyelenggarakan pemilu. KPU dibentuk dan bekerja secara independen untuk menjaga pelaksanaan pemilu yang bersih dan lepas dari kepentingan siapa pun, termasuk pemerintah yang sedang berkuasa. Keberadaan KPU, yang umumnya diisi oleh akademisi, aktivis, dan profesional di bidang politik dan pemilu, membawa perubahan signifikan dalam kontestasi politik di Indonesia untuk menjadi lebih demokratis dan bersih. Dengan adanya pembaharuan dalam pelaksanaan pemilu di era reformasi dan meningkatnya jumlah parpol secara signifikan, maka kompetisi antar partai politik di dalam pemilu menjadi semakin ketat. Hal ini mendorong parpol untuk menjadi lebih serius memperluas dukungan konstituennya dan untuk selalu memperbaiki organisasi partainya. Upaya ini penting karena, idealnya, partai politik membutuhkan basis massa yang loyal dan organisasi partai yang baik untuk dapat memenangkan pemilu. Apabila partai politik dengan sungguh-sungguh menjalankan upaya tersebut, maka sistem kepartaian di Indonesia lambat laun akan menjadi terlembaga. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa sepuluh tahun reformasi politik saat ini seharusnya mampu menginstitusionalisasikan sistem kepartaian politik di Indonesia.
Sistem Kepartaian di Indonesia PascaReformasi Politik 1998 Perubahan politik yang membawa Indonesia menjadi negara demokrasi baru di Asia berdampak pada pembaharuan sistem kepartaian dan pemilu. Pilihan partai politik yang tidak lagi terbatas hanya pada tiga opsi seperti pada masa Orde Baru dan pemilu yang lebih adil, seperti telah Denny Indrayana, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), hlm. 145.
dijelaskan sebelumnya, mendorong persaingan ketat partai politik untuk memenangkan pemilu. Partai politik mau tidak mau harus beradaptasi dan memperbaiki organisasinya untuk dapat bertahan dalam sistem demokrasi ini, dan hal ini tentu saja akan berdampak baik untuk proses pelembagaan sistem kepartaian. Namun demikian, apakah asumsi bahwa ‘perubahan politik pasca-reformasi di tahun 1998 mendorong sistem kepartaian menjadi terlembaga’ ini tepat? Untuk mengetahui apakah sistem kepartaian di Indonesia telah terlembaga atau belum setelah 15 tahun demokratisasi Indonesia, maka kita perlu menganalisanya lebih jauh dengan menggunakan empat dimensi Mainwaring dan Scully. Dalam pembahasan selanjutnya, makalah ini akan fokus melihat bagaimana pola kompetisi partai dalam empat pemilu legislatif terakhir, yakni Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014, bagaimana hubungan parpol dengan masyarakat sejak 1998 hingga saat ini, apakah elit politik memberikan legitimasi yang kuat kepada parpol sebagai aktor penting dalam proses demokrasi, dan apakah partai politik saat ini telah terkelola dengan baik dan menjadi organisasi yang independen. Apabila kondisi Indonesia saat ini telah menunjukan adanya perubahan baik pada keempat aspek tersebut, maka sistem kepartaian politik baru dapat dikatakan telah terinsitusionalisasi. 1. Pola Kompetisi Partai Politik Mainwaring dan Scully menjelaskan di dalam teorinya, bahwa pola kompetisi antar partai politik merupakan satu dimensi yang dapat digunakan untuk melihat apakah suatu sistem kepartaian telah terlembaga atau tidak. Menurut keduanya, institusionalisasi sistem kepartaian tercapai apabila pola kompetisi parpolnya berjalan stabil, dimana preferensi konstituen terhadap partai politik cenderung tidak berubah dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Dalam kondisi yang stabil, pemilih partai memiliki kecenderungan untuk memilih satu partai yang sama dalam pemilu berbeda, jikapun ada perubahan kecenderungan, maka jumlah pemilih yang mengubah pilihannya tidak signfikan.30
29
30
Mainwaring & Scully, 1995, op.cit., hlm. 4-5.
40 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
Pasca-Reformasi 1998, jumlah partai politik peserta pemilu mengalami kenaikan yang cukup tajam dengan angka perolehan suara yang berbeda di setiap periode pemilu. Meskipun demikian, dari empat pelaksanaan pemilu setelah 1998 diketahui hanya ada sepuluh partai politik yang paling tidak mampu memperoleh suara signifikan di dalam pemilu legislatif, yakni di atas 3,5% suara, pada setiap pemilunya.31 Selebihnya adalah partai-partai kecil, atau biasa disebut sebagai partai gurem, yang hanya memperoleh kurang dari 3,5% hasil pemilu. Pada Tabel 2 dipaparkan beberapa nama partai yang mampu meraih perolehan suara lebih dari 3,5% pada Pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014.
3,5% sangatlah kecil. Terkecuali pada Pemilu 2014, hanya kurang dari sepertiga partai peserta pemilu yang mampu menembus perolehan suara minimal 3,5%. Namun demikian, jumlah partai politik yang mampu mendapatkan suara ini meningkat dari hanya lima partai, yakni PPP, PDIP, PAN, PKB, dan Golkar, menjadi sepuluh partai pada pemilu legislatif terakhir. Hal yang penting untuk dilihat lebih lanjut adalah tidak adanya partai politik yang memiliki suara dominan di dalam pemilu pasca-Reformasi 1998. Kondisi ini berbeda dengan pemillu di masa Orde Baru yang perolehan suaranya selalu didominasi oleh Golkar. Dari empat kali pemilu era reformasi, hanya ada tiga partai yang
Tabel 2. Partai Politik dengan Perolehan Suara Lebih dari 2,5% pada Pemilu Legislatif 1999, 2004, 2009, dan 2014 di Tingkat Nasional % Perolehan Suara Partai Politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Golongan Karya (Golkar) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Demokrat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
Pemilu 1999 10,71% 33,74% 7,12% 22,44% 12,61% -
Pemilu 2004 8,15% 18,53% 6,44% 21,58% 10,57% 7,45% 7,34% -
Pemilu 2009 5,32% 14,03% 6,01% 14,45% 4,94% 20,85% 7,88% 3,77% 4,46% -
Pemilu 2014 6,53% 18,95% 7,59% 14,75% 9,04 10,19% 6,79% 5,26% 11,81% 6,72%
*Jumlah kursi yang diperoleh partai setelah Mahkamah Konstitusi memberikan keputusan hukum atas sengketa hasil pemilu. Sumber: www.kpu.go.id yang diakses pada tanggal 29 Februari 2015
Seperti terlihat dari data pada Tabel 2, jika dibandingkan dengan jumlah parpol yang menjadi peserta pemilu, maka jumlah partai politik yang mampu mendapatkan suara minimal Perolehan lebih dari 3,5% suara menjadi penting karena angka ini adalah ambang batas bagi suatu partai untuk dapat diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di dalam parlemen sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2012 Pasal 208 mengenai parliamentary threshold. Angka ambang batas ini telah mengalami peningkatan dari angka 2,5% yang diterapkan pada pemilu 2009 sesuai UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 202. Ketentuan parliamentary threshold ini tidak berlaku pada pemilu 1999 dan 2004. 31
berhasil mendapatkan angka lebih dari 20%, yakni PDIP, Partai Golkar dan Partai Demokrat. Dari ketiga partai tersebut, hanya Partai Golkar yang berhasil untuk mendapatkan perolehan suara lebih dari 20% secara berturut-turut lebih dari satu kali pemilu. Tidak hanya tak memiliki perolehan suara yang signifikan di dalam pemilu, sistem kepartaian di Indonesia era reformasi juga diwarnai oleh hasil pemilu yang fluktuatif. Partai politik cenderung mengalami penurunan perolehan suara dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya, terutama
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 41
dalam rentang waktu 1999-2009. Partai besar di Pemilu 1999, umumnya mengalami perolehan suara yang signifikan turun pada Pemilu 2004 dan 2009, lalu meningkat sedikit di Pemilu 2014. Hal ini diantaranya dialami oleh PPP, PDIP, Partai Golkar, dan PKB. Partai Demokrat yang baru mengikuti pemilu di tahun 2004 mengalami kenaikan sangat tinggi pada Pemilu 2009, namun turun hampir separuhnya pada Pemilu 2014. Berbeda dengan partai-partai pendahulunya, Partai Hanura dan Gerindra mengalami kenaikan lebih dari 100% pada pemilu ke-dua mereka di tahun 2014. Hanya PAN dan PKS yang cenderung stabil mendapatkan dukungan sebesar 6-7% di setiap pemilu. Fluktuasi perolehan suara partai politik dalam pemilu legislatif 1999-2014 memberikan gambaran kecenderungan pola kompetisi partai politik yang belum stabil. Penilaian pola kompetisi ini secara lebih tepat dapat tergambarkan melalui pengukuran electoral volatility (EV), atau perubahan perolehan suara antar dua pemilihan umum yang secara berturutturut berlangsung. EV di dalam artikel ini dihitung dengan menambahkan selisih persentase perolehan suara antar partai peserta pemilu yang kemudian dibagi 2, atau secara singkat di dalam rumus adalah: (Σ |Vit – Vit+1|) / 2.32 Berikut pada Gambar 1. terlihat hasil perhitungan EV Indonesia selama masa reformasi. Volatilitas Pemilu di Indonesia 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25 24
32,91
32,53
27,53
Volatilitas Pemilu di Indonesia
1999-2004 2004-2009 2009-2014
Sumber: diolah dari rekapitulasi hasil pemilu oleh KPU yang diakses melalui www.kpu.go.id. Gambar 1. Nilai Volatilitas Pemilu di Indonesia Pasca-Reformasi Politik 1998 (Pemilu 1999-2014)
Nilai EV berada pada rentang nol sampai dengan 100, dimana semakin tinggi nilai EV maka semakin tidak stabil sistem kepartaian dan semakin tidak terlembagakan sistem kepartaian tersebut. Melihat nilai EV di Indonesia pada era reformasi, seperti diperlihatkan oleh grafik 1, maka nilainya berada di rentang 27-32, atau dengan nilai rerata adalah 30,99. Jika dibandingkan dengan nilai EV negara-negara demokrasi di dunia, maka nilai EV Indonesia terbilang tinggi. Dibandingkan dengan Amerika yang nilai EV-nya 3,4, Australia yang nilainya 7,3, dan United Kingdom (Inggris) yang nilainya 7,6, maka nilai EV Indonesia berada jauh di atasnya.33 Sementara itu, jika lebih spesifik dibandingkan dengan negara-negara demokrasi di Asia, maka nilai EV Indonesia berada jauh di bawah India (nilai EV: 19,2), namun masih jauh lebih baik dibandingkan Filipina (nilai EV: 38,3), Korea Selatan (nilai EV: 36,5), dan Thailand (nilai EV: 42).34 Hal ini memperlihatkan bahwa sebagai negara demokrasi baru di Asia, Indonesia telah berhasil mengungguli negara lainnya dalam menciptakan stabilitas pola kompetisi partai dalam pemilu. Namun demikian, hal ini tidak cukup untuk mengkategorikan Indonesia sebagai negara berpola kompetisi stabil. Tidak stabilnya pola kompetisi antar partai di Indonesia dalam pemilu-pemilu pascaReformasi politik 1998 sangat dipengaruhi oleh penerapan sistem multipartai Indonesia, dimana partai peserta pemilu selalu berjumlah lebih dari 10 partai politik. Sementara, Pedersen menyatakan bahwa ‘semakin banyak pilihan partai politik dalam pemilu bagi pemilih, maka semakin besar kemungkinan pemilih untuk mengubah pilihannya dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya’ Dengan mengikuti cara berpikir Pedersen itu saja, maka sudah dapat diprediksi Hasil perhitungan EV dinilai berdasarkan 32 pemilu terakhir di Amerika (hingga tahun 2010), 25 pemilu di Australia (hingga tahun 2010), dan 17 pemilu di Inggris (hingga tahun 2010). O. Concha, “Institutionalization of Party Systems: A CrossRegional Approach Using the Weighted Volatility Index,” Makalah disampaikan pada the Political Studies Association 64th Annual International Conference, Manchester, 14-16 April 2014, hlm. 16. 33
A. Hicken and E. M. Kuhonta, “Introduction: Rethinking Party System Institutionalization in Asia,” dalam A. Hicken & E. M. Kuhonta (Eds.), Party System Institutionalization in Asia, 2014, hlm. 12. 34
S. Bartolini & P. Mair, Identity, competition, and electoral availability: The stabilization of European electorates 18851985, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), hlm. 39. 32
42 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
bahwa sistem multipartai di Indonesia memiliki kecenderungan untuk menghasilkan pola kompetisi partai yang labil, karena pemilihnya berpeluang besar mengubah orientasi pilihannya dalam pemilu. Sistem multipartai yang diterapkan Indonesia diperburuk oleh tendensi yang kuat dari elit-elit politik untuk mendirikan partai politik menjelang pemilihan umum. Elit politik cenderung memilih untuk mendirikan partai baru dibandingkan dengan menggabungkan gagasan atau visi-misi perjuangan politik ke dalam partai politik yang sudah ada. Padahal jurang perbedaan ideologi partai politik di Indonesia era reformasi tidak kentara perbedaannya. Sebagai contoh, menjelang pemilu 2004, beberapa tokoh elit, termasuk A. Yani Wahid, Adhiyaksa Dault, Vence Rumangkang, Achmad Kurnia, Baharuddin Tonti dan Shirato Syafei, bersepakat mendirikan Partai Demokrat dengan tujuan untuk mengusung SBY pada Pemilu 2004 sebagai calon presiden (capres). Padahal, di masa-masa itu, SBY sempat dipinang oleh PDIP untuk juga menjadi calon wakil presiden. Beberapa partai lain juga dibentuk dengan salah satu tujuan pendiriannya adalah untuk mengusung capres, misalnya Partai Hanura untuk mengusung Wiranto dan Partai Gerindra untuk mengusung Prabowo pada Pemilu 2009. Hal yang menarik dari Partai Hanura dan Gerindra adalah fakta bahwa keduanya merupakan pecahan dari Partai Golkar. Elitelit Hanura dan Golkar tersebut memilih mendirikan partai baru dan pecah dari Golkar demi mencalonkan elit mereka sendiri. Didirikannya partai baru secara jelas berdampak pada pergeseran pilihan pemilih pemilu. Dalam Pemilu 2009 misalnya, ikut sertanya partai pecahan Golkar, yakni Hanura dan Gerindra, berhasil menggembosi perolehan suara Golkar yang sebelumnya stabil di angka 21-22% menjadi hanya 14,45%. Menurut Hasil penelitian Cirus, menurunnya suara Golkar dikarenakan lebih dari 4% pemilihnya memilih Gerindra dan lebih dari 2% lainnya memilih Hanura di Pemilu 2004. 35 Perubahan suara E. Y. Kristanti & E. Huda S., 10 April 2009, “Larinya Suara Golkar ke Demokrat Jauh Lebih Besar daripada ke Gerindra dan Hanura,” www.politik.news.viva.co.id, diakses pada tanggal 16 Februari 2015. 35
signifikan dalam peta hasil pemilu juga nampak terlihat saat Partai Demokrat mengikuti Pemilu 2004 untuk pertama kalinya. Meskipun tidak dapat disimpulkan secara langsung bahwa Partai Demokrat yang mengambil suara PDIP, namun jelas terlihat bahwa sekitar 15% suara PDIP menghilang dan Demokrat mendapat 7% lebih suara. Pengalaman pemilu tersebut menggambarkan bagaimana munculnya partai politik baru mengubah stabilitas pola kompetisi partai politik di dalam pemilu. Meningkatnya jumlah partai dalam pemilu pasca-Reformasi politik 1999 berdampak pada instabilitas pola kompetisi partai politik. Pemilih sering kali mengubah pilihannya karena banyaknya pilihan partai, terutama partai-partai baru, di setiap pemilu. Pola kompetisi partai yang tidak stabil dan pilihan pemilih pemilu yang kerap berubah tergambar pada nilai EV Indonesia yang tinggi sejak 1999 hingga 2014. Hal ini menunjukan bahwa sistem kepartaian di Indonesia, jika dilihat dari dimensi pola kompetisi partai, belum lah terlembaga. Apabila sistem kepartaian di Indonesia ingin terinstitutionalisasi dengan pola kompetisi partainya yang stabil, maka sistem ini harus mampu membatasi jumlah partai peserta pemilu. 2. Hubungan Partai Politik dan Masyarakat Dimensi lain yang perlu dilihat untuk mengukur apakah sistem kepartaian di Indonesia telah terlembaga atau tidak menurut Mainwaring dan Scully adalah hubungan partai politik dan masyarakat. Apabila partai politik memiliki akar hubungan yang kuat di masyarakat konstituennya, maka sistem kepartaian dinilai telah terinstitutionalisasi dengan baik. Dimensi ini pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan penjelasan pada dimensi sebelumnya mengenai pola kompetisi partai dalam pemilu. Pola kompetisi partai yang stabil memberikan gambaran bahwa hubungan partai politik yang terbentuk dengan masyarakat pemilihnya juga kuat karena loyalitas yang tinggi akan menciptakan hasil pemilu yang cenderung tak berubah.36 Sementara itu, loyalitas pemilih hanya 36
Mainwaring & Scully, 1995, op.cit., hlm. 4-5.
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 43
akan terbentuk apabila hubungan partai politik dengan konstituennya kuat. Jika kita merujuk kembali pada Gambar 1., nilai EV yang cukup tinggi mampu mengindikasikan hubungan partai politik dan masyarakat yang lemah sejak 1999 hingga saat ini. Tidak stabilnya pola kompetisi partai dan kecenderungan yang tinggi bagi pemilih dalam pemilu untuk mengubah pilihannya memperlihatkan bahwa hubungan yang mengakar antara partai dan konstituennya tidak terbentuk. Dengan kata lain, tidak terbangun loyalitas pemilih terhadap partai. Tentu saja pemilih loyalis partai tetap ada, namun banyak juga, bahkan mungkin lebih banyak, yang bukan loyalis partai. Banyak juga diantara pemilih saat ini merupakan loyalis terhadap elit partai atau tokoh politik tertentu; sehingga ketika elit tersebut mendirikan partai baru, para loyalisnya akan memilih partai baru tersebut. Oleh karena itu, sebagai contoh, tidak lah mengherankan ketika 4,62% pemilih Golkar beralih memilih Partai Gerindra dan 2,8% lainnya berpaling mencoblos Partai Hanura pada saat Pemilu 2004.37 Selain menilai hubungan partai politik dengan masyarakat melalui volatilitas pemilu, lama rata-rata usia partai politik juga dapat menjadi salah satu tolak ukur lainnya. Mainwaring dan Scully melihat bahwa kemampuan bertahan partai politik untuk tetap eksis dapat menjadi indikator bahwa partai tersebut memiliki hubungan kuat dengan masyarakat pemilihnya.38 Hal ini karena partai tidak akan bertahan apabila tidak ada konstituen yang mendukungnya di dalam pemilu. Untuk menghitung lama rata-rata usia partai politik ini, maka penulis menghitung rerata usia sepuluh partai besar berdasarkan hasil pemilu terakhir, Pemilu 2014 lalu. Tabel 3. Rata-Rata Usia Partai Politik di Indonesia Variabel Rata-rata Usia Partai
Jumlah Partai 10
Usia Terendah 4 tahun
Usia Terlama 51 tahun
Rata-rata 22 tahun
Keterangan: penghitungan usia disesuaikan dengan tahun didirikannya partai sesuai dengan keterangan yang tercantum di dalam AD/ART partai politik. 37
E. Y. Kristanti & E. Huda S., 10 April 2009, op.cit.
38
Mainwaring & Scully, 1995, op.cit., hlm. 14-16.
Sumber: Data diolah berdasarkan AD/ART 10 partai politik, meliputi: PDIP, Golkar, PPP, Partai Demokrat, PKS, PKB, PAN, Partai Gerindra, Partai Hanura, dan Partai Nasdem.
Seperti dijabarkan di dalam Tabel 3, maka terlihat bagaimana jarak usia antar partai termuda dan tertua sangat jauh berbeda. Partai termuda adalah Partai Nasdem yang baru saja berusia 4 tahun, sementara partai tertua adalah Golkar yang berumur 51 tahun pada 2015 ini. Selain Golkar, terdapat dua partai lain yang terkategori partai lama karena merupakan kelanjutan dari parpol di masa Orde Baru, yakni PPP dan PDIP, yang merupakan kelanjutan dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Baik PPP maupun PDIP, keduanya sama-sama berusia 42 tahun. Sementara partai besar lainnya yang lahir di Era Reformasi umumnya berusia jauh lebih muda, yakni di antara 4 hingga 17 tahun. Dari rerata lama usia ini, Golkar, PPP dan PDIP memperlihatkan kemampuannya untuk bertahan di dalam sistem partai di Indonesia. Ketiga partai tersebut mampu mempertahankan hubungan dengan konstituennya sampai saat ini sehingga mereka dapat bertahan lebih dari empat dekade. Namun, perlu diingat kembali, seperti tergambar dalam data Tabel 2, bahwa baik Golkar, PPP, dan PDIP maupun partai era reformasi, semuanya mengalami fluktuasi perolehan suara. Jika melihat partai yang mendapatkan lebih dari 10% suara dalam pemilu sejak 1999 sampai 2014, maka tidak semua partai adalah partai berusia tua. Banyak diantaranya adalah partai baru, misalnya PKB pada Pemilu 1999 dan 2004, Partai Demokrat pada Pemilu 2009 dan 2014, serta Partai Gerindra pada Pemilu 2014. Artinya, meskipun jika mengikuti teori Mainwaring dan Scully bahwa usia yang lebih panjang menandakan hubungan yang lebih baik antara partai dengan konstituennya, maka dalam konteks di Indonesia, partai lama dan partai baru sama-sama memiliki persoalan dalam menjaga hubungan tersebut. Indikator lain yang digunakan oleh Mainwaring dan Scully untuk menilai hubungan partai politik dengan masyarakat adalah perbedaan antara perolehan suara pemilu legislatif dan pemilu presiden (pilpres). Menurut keduanya, apabila partai hubungan partai kuat dengan
44 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
masyarakat, maka partai dapat membentuk preferensi politik pemilihnya. Dengan demikian, konstituen partai politik akan memilih kandidat presiden yang didukung oleh partai pilihannya; sehingga, perbedaan suara pemilu partai dan pemilu presiden tidak akan jauh berbeda.39 Dari pengalaman empat periode pemilu di Indonesia, hasil pemilu partai dengan pemilu presiden selalu jauh berbeda. Selama tiga periode pemilu presiden berlangsung (Pilpres 2004, 2009, dan 2014), selisih perbedaan suaranya mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta suara. Selisih yang terendah adalah suara Partai Golkar dalam Pemilu Legislatif 2004 dengan kandidat Wiranto-Salahuddin Wahid yang didukung Partai Golkar dalam Pilpres 2004 putaran I sebesar 633.592 suara. Sementara selisih yang terbesar adalah suara partai-partai pendukung kandidat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) dalam Pemilu Legislatif 2004 dengan suara kandidat SBY-JK dalam Pilpres 2004 putaran II sebesar 48.293.900 suara.40 Selisih yang besar dari setiap hasil pemilu legislatif dan pilpres memperlihatkan bahwa pilihan partai dalam kandidasi pilpres tidak membentuk preferensi politik konstituennya. Hal ini sekali lagi mengindikasikan bahwa hubungan partai dengan masyarakat lemah. Dari tiga indikator yang ada, seluruhnya memperlihatkan kecenderungan hubungan yang rapuh antara partai politik dengan masyarakat pemilihnya. Hasil survey yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pun memperkuat indikasi tersebut. Berdasarkan survey yang diselenggarakan pada tahun 2011 dan 2015, mayoritas masyarakat menyatakan tidak memiliki kedekatan dengan partai. Pada 2011, lebih dari 75% masyarakat menyatakan tidak merasa dekat dengan partai tertentu; angka ini meningkat pada tahun 2015, dimana 83% lebih pemilih di Indonesia tidak memiliki perasaan kedekatan dengan parpol.41 39
Mainwaring & Scully, 1995, op.cit., hlm. 9.
Data lengkap mengenai perbedaan antara hasil pemilu legislatif dengan pemilu presiden terlampir di dalam lampiran 1. 40
Medan Bisnis Daily, “LSI: Hubungan Partai-Pemilih Lemah,” 30 Mei 2011, www.medanbisnisdaily.com, diakses pada tanggal 1 Januari 2015; Ayu Citra Sukma Rahayu, “LSI: Keterikatan Masyarakat-Parpol Lemah,” 19 Februari 2015, www.antarajatim.com, diakses pada tanggal 1 Januari 2015. 41
Lemahnya hubungan antara masyarakat dengan partai politik berdampak pada tingkat loyalitas masyarakat yang rendah kepada partai. Dalam satu pemilu, pemilih bisa mencoblos partai A, sementara di pemilu selanjutnya, ia mengubah pilihannya dan mencoblos partai B.42 Oleh karena itu, pola kompetisi partai pasca-Reformasi politik 1998 menjadi tidak stabil, seperti telah dijelaskan sebelumnya, bukan lah hal yang terhindarkan. Hal ini, pada akhirnya, menjadi salah satu penyebab mengapa sistem kepartaian di Indonesia di masa demokrasi sekarang ini tidak dapat dikatakan telah terlembaga. 3. Legitimasi Partai Politik Dimensi ketiga yang disampaikan oleh Mainwaring dan Scully untuk menilai apakah sebuah sistem kepartaian telah terlegitimasi atau tidak adalah apakah partai politik dan proses pemilu telah diterima oleh elit-elit politik dan masyarakat sebagai elemen penting demokrasi atau tidak. Adanya pengakuan oleh elit politik bahwa parpol merupakan bagian esensial dari demokrasi akan mendorong terlembaganya suatu sistem kepartaian. Selain itu, diterimanya pemilihan umum sebagai proses politik yang sah untuk membentuk pemerintahan dan memilih anggota parlemen juga menjadi hal yang melembagakan sistem kepartaian.43 Perubahan sistem politik dari sistem autoritarian di masa Orde Baru menjadi sistem demokrasi di masa reformasi memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap legitimasi partai politik dan pemilu di Indonesia. Di masa Orde Baru, pemilu dan partai politik hadir sebagai bagian dari proses politik dalam menentukan anggota parlemen. Namun, pemilu dan partai hanya ditempatkan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasan Suharto, bukan sebagai alat demokrasi untuk merepresentasikan kepentingan publik. Kondisi ini lah yang ingin diubah setelah reformasi politik dilangsungkan pada tahun 1999. Penerapan sistem demokrasi menuntut keberadaan parpol dan pemilu yang fungsional, yakni sebagai media penyalur aspirasi dan kepentingan rakyat. 42
P. J. Tan, 2006, op,cit., hlm. 101-103.
43
Mainwaring & Scully, 1995, op.cit., hlm. 4-5, 14.
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 45
Di masa reformasi kini, legitimasi terhadap peran partai politik dan pemilu dalam proses politik di Indonesia menguat. Semua elit politik menyadari dan mengakui bahwa partai politik adalah satu-satunya kendaraan politik untuk mengusung anggota legislatif dan presiden beserta wakilnya. Hingga saat ini, peraturan undangundang pemilu yang disusun dan diamandemen oleh elit politik di DPR tidak memberikan peluang bagi calon independen untuk menjadi calon anggota parlemen dan calon presidenwakil presiden, hanya calon yang diusung oleh partai politik yang bisa mendapatkan peluang itu. Kondisi ini juga berbeda dibandingkan masa Orde Baru, dimana Golkar, yang saat itu berwujud organisasi fungsional dan bukan partai politik, dapat mencalonkan kandidat dan menjadi peserta pemilu.44 Golkar, bahkan, selalu mendominasi hasil perolehan suara pemilu pada saat itu. Situasi saat ini jika dibandingkan dengan periode Pemerintahan Suharto memperlihatkan adanya penguatan legitimasi partai sebagai aktor demokrasi. Pasca-1998, partai menjadi penentu bagi pembentukan parlemen dan juga pemerintahan di Indonesia, dan tidak lagi dibayang-bayangi organisasi nonparpol seperti di masa Orde Baru. Antusias yang tinggi dari elit-elit politik untuk mendirikan partai politik dan mendaftarkannya sebagai peserta pemilu juga menjadi tanda lain dari menguatnya legitimasi parpol dan pemilu di masa kini. Setiap kelompok masyarakat dan elit politik yang ingin terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, dan menilai dirinya merepresentasikan kepentingan basis massa tertentu, maka mereka cenderung akan membentuk partai politik baru. Sejak diterapkannya sistem demokrasi di Indonesia, tidak kurang dari 50 partai Seperti telah dijelaskan sebelumnya di dalam makalah ini bahwa Golkar sebelum era reformasi telah menjadi peserta pemilu, dan oleh karena itu memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai partai politik. Namun, Golkar pada Orde Baru secara formal tidak dapat dikategorikan sebagai partai politik. Golkar, bahkan, menyatakan bahwa selama masa Pemerintahan Suharto, bukan lah partai politik karena terminologi parpol mengandung pengutamaan politik dan mengesampingkan pembangunan dan karya. Golkar secara formal menjadi partai politik baru setelah rezim Orde Baru jatuh. Ikrar Nusa Bhakti, 2004, op.cit., hlm. 199; Reeve, 1985, op.cit., hlm. 116-118; “Sejarah Partai Golkar,” Golkar Jawa Tengah,www.golkarjateng.com, diakses pada tanggal 15 Februari 2015; “Sejarah Partai Golkar,” Republika Online,www. republika.co.id, diakses pada tanggal 15 Februari 2015. 44
mendaftarkan diri menjadi badan hukum menjelang dilaksanakannya pemilu mulai dari tahun 1999 sampai 2014.45 Tidak hanya itu, setiap warga negara yang ingin menjadi anggota parlemen atau ingin aktif di dalam dunia politik, maka mereka akan masuk menjadi anggota partai. Organisasi massa pun tidak jarang berafiliasi dengan partai politik baik untuk menjagokan kandidat calon dalam pemilu legislatif, maupun dalam pemilu kepala daerah dan presiden. Namun demikian, meningkatnya legitimasi partai politik sebagai aktor penting demokrasi tersebut bertolak belakang dengan kepercayaan publik terhadap parpol. Hal ini sesuai dengan hasil jajak pendapat LSI, Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dijalankan sejak 2004 dimana publik secara konsisten menilai negatif pada partai politik.46 Survei yang dijalankan LIPI pada tahun 2013 juga menunjukan hal yang sama, dimana 58% responden menyatakan tidak percaya kepada parpol.47 Elemen lain di luar partai yang perlu juga dianalisa adalah pemilu. Berbeda dengan partai, pemilu memiliki legitimasi yang kuat sekaligus dipercaya oleh publik.48 Pemilu telah menjadi satu-satunya cara untuk menjalankan penggantian posisi pimpinan di setiap lembaga eksekutif, serta anggota badan legislatif baik di pusat maupun di daerah. Situasi ini berbeda dengan masa Pemerintahan Suharto, dimana presiden menjadi sosok yang sangat menentukan dalam proses penggantian posisi kepala daerah, bahkan anggota parlemen. Setiap partai politik yang ingin menjadikan kadernya sebagai pemangku otoritas pemerintahan dan parlemen, maka wajib mendaftarkan diri, diverifikasi dan mengikuti seluruh tahapan pemilu. Apabila parpol merasa dicurangi di dalam proses pemilu ini, maka ia berhak mengajukan gugatan hukum. “Penyederhanaan Partai yang Belum Kunjung Sampai,” Kompas, 14 November 2003; “Mendirikan Partai Baru Masih Pilihan Realistis,” www.republika.co.id, diakses pada tanggal 12 Mei 2015. 45
Djayadi Hanan, 11 April 2015, “Parpol dan Persepsi Publik,” www.kompas.com, diakses pada tanggal 16 Mei 2015. 46
“LIPI: Tingkat Kepercayaan pada Parpol Masih Rendah,” 10 Oktober 2013, www.beritasatu.com, diakses pada tanggal 16 Mei 2015. 47
48
P. J. Tan, 2006, op,cit., hlm. 104.
46 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
Artinya, pemilu telah menjadi proses politik yang paling menentukan didalam membentuk lembaga-lembaga sistem demokrasi Indonesia. Masyarakat pun memberikan penilaian positif terhadap pemilu di era reformasi saat ini. Berdasar pada survey yang telah dirilis lembaga survey Internasional Foundation for Electoral System (IFES) dan LSI, masyarakat memberikan pandangan yang baik dari proses Pemilu terakhir tahun 2014. Hanya 12% responden yang menilai Pemilu 2014 diselenggarakan secara tidak baik. Bahkan, penilaian positif dari publik ini lebih dari penilaian yang juga positif pada Pemilu 2009. Itu berarti bahwa secara umum, masyarakat puas terhadap pelaksanaan pemilu.49 Setelah jatuhnya Orde Baru, secara umum, legitimasi partai politik dan pemilu di Indonesia menguat karena keduanya telah diterima sebagai elemen penting dalam proses demokrasi. Kondisi ini tentu akan berdampak baik bagi pelembagaan sistem kepartaian. Namun demikian, penerimaan publik terhadap partai dan pemilu menjadi aspek lain yang perlu diperhatikan. Hal ini, seperti juga disampaikan P. J. Tan, masih menunjukan tren yang kontradiksi. Kontradiksi karena publik telah puas dengan proses pemilu, sementara tidak puas dengan partai politik.50 Lemahnya kepercayaan publik pada partai tentu akan berdampak buruk pada legitimasi partai, dan tentu saja pada proses pelembagaan sistem kepartaian. 4. Pengelolaan Organisasi Partai Politik Pengelolaan organisasi partai politik merupakan dimensi terakhir yang akan dilihat untuk menilai sejauh mana sistem kepartaian di Indonesia di era reformasi telah terlembaga. Berdasarkan kajian-kajian sebelumnya, pengaruh elit partai terhadap parpol menjadi salah satu indikator untuk menilai hubungan antara organisasi partai dan pelembagaan sistem kepartaian.51 Apabila segelintir elit partai, atau bahkan seseorang petinggi partai, mampu secara mempengaruhi pembuatan kebijakan partai dan elektabilitas “Survei: Mayoritas Masyarakat Puas dengan Pemilu 2014,” 25 Juni 2014, www.jpnn.com, diakses pada tanggal 16 Mei 2015. 49
50
Jika merujuk pada pelaksanaan Pemilu tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014, maka tampak jelas bagaimana elit politik memiliki pengaruh besar terhadap partai politik, baik untuk menarik dukungan dari konstituen maupun untuk pengambilan kebijakan penting partai. Hampir seluruh partai politik besar di Indonesia memiliki paling tidak satu tokoh partai berpengaruh. Diantara partai-partai politik itu, PDIP dan Partai Demokrat adalah contoh dari partai yang konsisten dikuasai oleh hanya satu elit parpol. Megawati merupakan ketua umum PDIP sejak partai ini berdiri, bahkan jika dihitung dari pelaksanaan Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1999, ia sudah menjadi ketua partai selama lebih dari lima belas tahun. Posisinya sebagai ketua umum partai sangat menentukan dalam pembuatan keputusan-keputusan penting partai. Megawati merupakan penentu dalam proses pencalonan anggota atau kader partai dalam pemilu kepala daerah, anggota parlemen, bahkan presiden. Contohnya, dalam proses pencalonan presiden 2014 lalu, Dewan Pengurus Pusat (DPP) PDIP hanya memberikan bahan pertimbangan mengenai skenario pencalonan presiden, sementara Megawati yang menentukan hasil akhirnya.52 Serupa dengan peran Megawati di kepengurusan PDIP, SBY memiliki pengaruh yang juga besar terhadap Partai Demokrat. Sosok SBY merupakan alasan kuat yang mendasari terbentuknya Partai Demokrat. Beberapa elit politik sengaja membentuk Partai Demokrat agar mampu mengusung SBY sebagai calon presiden (capres) dalam Pemilu 2004.53 SBY, Lesthia Kertopati & Eka Permadi, “Tjahjo Kumolo: Mega Belum Restui Jokowi Jadi Capres,” 3 Maret 2014, politik.news. co.id, diakses pada tanggal 28 Februari 2015. 52
SBY merupakan capres kuat yang memiliki popularitas tinggi saat itu, terutama setelah hubungannya dengan Megawati memburuk menjelang Pemilu. SBY merupakan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan di bawah Pemerintah 53
P. J. Tan, 2006, op,cit., hlm. 104.
Lihat Mainwaring & Scully, 1995, op.cit.; A. Hicken, 2006, op.cit. 51
partai di dalam pemilu, maka hal ini menandakan sistem kepartaian yang belum terlembaga. Sebaliknya, partai dengan kondisi organisasi partai yang mapan dan independen dari pengaruh beberapa orang elit partai cenderung akan mendorong terinstitusionalisasinya sistem kepartaian.
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 47
kemudian, memegang posisi-posisi penting di dalam struktur partai, mulai dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat hingga Ketua Umum Partai. Seperti Megawati, SBY juga memiliki pengaruh yang penting menentukan siapa yang menjadi pengurus partai dan kandidat partai di dalam pemilu. Beberapa nama keluarga dekat SBY, bahkan, menjadi pengurus dan kandidat partai, diantaranya: Edhie B. Yudhoyono (anak SBY), Sartono Hutomo (sepupu SBY), Hartanto Edhi Wibowo (adik ipar SBY), Mexicana Leo Hartanto (keponakan SBY), dan beberapa nama lainnya.54 Selain menjadi sosok yang berpengaruh di dalam pembuatan kebijakan-kebijakan partai, Megawati dan SBY juga menjadi sosok yang menarik dukungan konstituen. Megawati dianggap penting untuk menarik dukungan konstituen, terutama karena ia merupakan anak dari Sukarno.55 Tidak hanya Megawati, SBY juga menjadi tokoh yang menarik suara pendukung dan loyalis partai. SBY, bahkan berhasil terpilih menjadi Presiden Indonesia dua periode berturutturut, meski Partai Demokrat bukan partai sebesar Partai Golkar ataupun PDIP. SBY juga diakui sebagai elemen penyebab naiknya perolehan suara Partai Demokrat secara signifikan dari 7,45% pada Pemilu 2004 menjadi 20,85% pada Megawati. Menjelang dilaksanakannya pemilihan presiden langsung yang pertama di Indonesia pada tahun 2004, Megawati sempat meminang SBY untuk menjadi calon wakil presidennya, namun tawarannya tersebut ditolak. SBY kemudian melakukan gerakan politik sendiri untuk menjadi calon presiden melalui Partai Demokrat. Hal ini yang menjadi titik awal memburuknya hubungan Megawati dengan SBY; hingga akhirnya, terjadi pengucilan SBY di dalam kabinet pemerintahan dan SBY mengundurkan diri dari Pemerintahan Megawati. Berdasarkan survey LSI pada tahun 2003 hingga 2004, SBY merupakan calon presiden paling popular, bahkan melebihi popularitas Megawati. Dany Permana, “Konvensi Demokrat, Kenapa Mulai Bulan Sembilan?”, 31 Agustus 2013, www.nasional.kompas. com , diakses pada tanggal 16 Februari 2015. Arfi Bambang Amri dan Syahrul Ansyari, “Demokrat: Ada 15 Orang yang Terhitung Keluarga dan Kerabat SBY,” 30 April 2013, www.politik.news.viva.co.id diakses pada tanggal 1 Maret 2015. 54
Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak konstituen PDIP merupakan loyalis Sukarno dan pemikirannya; sehingga Megawati sebagai anak Sukarno masih dinilai penting untuk menarik dukungan partai. Arfi Bambang Amri dan Anggi Kusumadewi, “Puan dan Prananda Penerus Megawati,” 24 Maret 2010, www.politik.news.viva.co.id diakses pada tanggal 16 Desember 2015.; Adam Prawira, “PDIP Masih Andalkan Megawati,” 22 September 2014, www.sindonews.com, diakses pada tanggal 16 Desember 2015. 55
Pemilu 2009. Namun begitu, menarik untuk melihat pengalaman Pemilu 2014 dimana SBY dan Megawati, meski keduanya masih menjadi petinggi partai, tetapi gagal meningkatkan perolehan suara partai secara signifikan.56 Berdasarkan penggambaran sosok Megawati di dalam PDIP dan SBY di dalam Partai Demokrat tersebut, maka jelas terlihat bagaimana partai dapat menjadi sangat personalistik. Pengaruh yang diberikan oleh satu orang elit tidak hanya pada tataran manajemen partai tetapi juga pada elektabilitas partai. Kecenderungan munculnya pengaruh yang sentralistik dari satu elit terhadap partai tidak hanya ada pada PDIP dan Partai Demokrat, tetapi juga pada beberapa partai lain seperti Partai Gerindra yang dipengaruhi oleh Prabowo, Partai Hanura oleh Wiranto, dan Partai Nasdem oleh Surya Paloh.57 Prabowo, Wiranto, dan Surya Paloh merupakan pendiri partai yang kemudian memiliki posisi sangat menentukan di dalam partai, sama halnya seperti pengaruh SBY dan Megawati. Berbeda dengan partai-partai yang dikuasai oleh satu elit politik seperti yang disebutkan sebelumnya, maka ada beberapa partai lain yang juga personalistik. Namun, hal yang membedakan mereka dengan PDIP dan Partai Demokrat adalah terjadinya proses regenerasi elit partai. Partai lain, meskipun masih sangat dipengaruhi oleh satu atau beberapa elit partai, namun nampak terjadi perubahan kepemimpinan. Artinya, parpol tidak dipimpin atau dikuasai oleh hanya satu orang elit selama masa berdirinya partai. Sebagai contoh, Partai Golkar memiliki beberapa tokoh yang menguasai partai secara bergantian mulai dari Akbar Tanjung di awal reformasi (1998-2004), Jusuf Kalla (2004-2009), dan Aburizal Bakrie (2009-saat ini); PKB yang memiliki Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai tokoh berpengaruh, tetapi juga memiliki sosok penting lainnya sebagai ketua umum partai Sesuai dengan data tabel 2, Partai Demokrat mengalami penurunan suara dari 20,85% pada Pemilu 2009 menjadi 10,19% pada pemilu 2014. Sementara itu, PDIP hanya mengalami peningkatan sebanyak 4%. Peningkatan ini pun tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh Megawati karena ada pengaruh Jokowi, Calon Presiden PDIP pada Pemilu 2014. Lihat “Jokowi Effect,” 11 April 2014, www.nasional.sindonews.com, diakses pada tanggal 16 Desember 2015. 56
57
P. J. Tan, 2015, op.cit., hlm. 254.
48 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
yakni Matori Abdul Djalil (1998-2001), Alwi Shihab (2001-2005), dan Muhaimin Iskandar (2005 sampai sekarang); PKS yang mengalami pergantian enam kali kepemimpinan mulai dari Nurmahmudi Ismail (1998-2000) hingga Sohibul Iman (saat ini); dan PAN yang masih dipengaruhi oleh Amien Rais, Ketua Umum pertama (1998-2005), hingga saat ini, namun di saat yang bersamaan memiliki Soetrisno Bachir (2005-2010), Hatta Rajasa (2010-2015), dan Zulkifli Hasan (2015-2020) sebagai ketua umum yang juga penting bagi partai. Di satu sisi, Partai Golkar, PAN, PKS dan PKB tentu memiliki kelebihan dibandingkan PDIP dan Partai Demokrat karena berhasil memperluas pemegang kekuasaan politik partai kepada tidak hanya satu orang saja. Hal ini menandakan bahwa partai politik setidaknya berhasil melakukan kaderisasi, khususnya pada tampuk pemegang kekuasaan tertinggi partai, ketua umum. Namun di sisi lain, seringkali pergantian kekuasaan itu diawali oleh adanya konflik atau perpecahan partai. Artinya, pergantian kekuasaan tidak semata-mata dilatarbelakangi oleh proses pergantian kepengurusan yang demokratis, tetapi karena perebutan kekuasaan antar faksi di dalam partai. Sebagai contoh, pergantian kepemimpinan Golkar pada tahun 2004 yang diawali oleh konflik internal partai antara kelompok pendukung dengan kelompok anti Akbar Tanjung; atau dualisme kepengurusan dalam tubuh PKB sebelum akhirnya Alwi Shihab mengganti Matori Abdul Djalil secara resmi di tahun 2002. Meskipun dari segi kepemimpinan partai dan pengaruh elit terhadap partai yang telah dijelaskan sebelumnya memperlihatkan setidaknya ada dua kelompok parpol di Indonesia, namun secara umum dapat diambil sebuah kesamaan bahwa oligarki masih melekat di dalam tubuh parpol. Secara spesifik, Jeffrey Winters mengkategorikan Indonesia sebagai oligarki sultanistik, yakni oligarki yang dibentuk oleh kepemimpinan tunggal seseorang yang duduk di puncak kekuasaan patronase dan memegang kontrol atas semua hal.58 Oligarki partai politik ini terbentuk tidak lain karena adanya ketergantungan finansial parpol terhadap para elitnya. Winters menyatakan
bahwa tidak adanya dana publik untuk menghidupi partai merupakan latar belakang lahirnya oligarki di dalam partai.59 Oleh karena itulah, parpol membutuhkan sumber dana nonpublik, diantaranya bersumber dari kekayaan elit-elit partainya. Misalnya, seperti dikutip dari hasil wawancara Marcus Mietzner dengan Sutrisno Bachir, bahwa Bachir menghabiskan lebih dari 18 juta dollar US untuk membiayai PAN selama dua tahun pertama kepengurusannya. Tidak hanya Bachir, Aburizal Bakrie juga tidak mengeluarkan uang yang sedikit untuk membesarkan Partai Golkar selama kepengurusannya.60 Namun, tentu saja semua itu tidak dilakukan oleh elit politik tanpa imbalan. Para elit politik itu mendapatkan imbalan berupa perlindungan politik terhadap bisnis-bisnisnya melalui kancah partainya baik di pemerintahan maupun parlemen. Sifat partai yang personalistik masih sangat kentara mendominasi sistem kepartaian di Indonesia. Hal ini tentu saja bertolak belakang dengan apa yang seharusnya ada pada sistem kepartaian yang terlembaga. Organisasi partai dijalankan bukan dengan cara yang independen dan demokratis karena masih didominasi oleh satu orang atau segelintir elit politik. Dengan demikian, partai juga tidak sepenuhnya menjadi representasi konstituen karena kepentingan sekelompok elit menjadi sangat menentukan bagi parpol. Dengan situasi ini, maka sulit rasanya pelembagaan sistem kepartaian ini dapat tercapai. Dari empat dimensi pelembagaan sistem kepartaian yang ditawarkan oleh Mainwaring dan Scully, hanya dimensi legitimasi partai politik yang menunjukan kecenderungan terbentuknya kelembagaan sistem kepartaian. Legitimasi terhadap partai politik dan pemilu di era reformasi yang menguat berdampak positif terhadap upaya menginstitusionalisasikan sistem kepartaian. Namun demikian, tiga indikator lainnya justru memperlihatkan kecenderungan yang bertolak belakang. Tidak stabilnya pola kompetisi partai, lemahnya hubungan partai dengan masyarakat, dan sifat partai yang sangat personal mengindikasikan kondisi sistem kepartaian yang 59
Ibid., hlm. 135-139.
Marcus Mietzner, Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia, (Singapore: National University of Singapore Press, 2013), hlm. 98. 60
Jeffrey A. Winters, Oligarchy, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hlm. 135-139. 58
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 49
belum terlembaga. Oleh karena itu, harapan akan terlegitimasinya sistem kepartaian di bawah sistem demokrasi baru Indonesia nampak masih jauh dari pencapaian. Meski sudah ada upaya memperbaiki sistem kepartaian pasca-runtuhnya Orde Baru, namun kondisi mengenai pelembagaan sistem kepartaian tidak tampak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Hal yang membedakan secara jelas hanya persoalan legitimasi partai politik, dimana legitimasi menjadi jauh lebih kuat saat ini dibandingkan dengan masa Pemerintahan Suharto. Hal lain mengenai penguasaan partai oleh elit dan lemahnya hubungan partai dengan massa pada dasarnya adalah masalah lama dari sistem kepartaian Indonesia. Sementara itu, pola kompetisi partai menjadi sulit dibandingkan mengingat pelaksanaan pemilu di masa Orde Baru dikontrol oleh rezim yang berkuasa dan berbeda dengan kondisi saat ini, dimana penyelenggaraan pemilu dijalankan oleh lembaga yang independen.
Catatan Penutup Indonesia telah dinyatakan sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Banyak akademisi politik juga melihat bahwa proses konsolidasi demokrasi negara ini menunjukan a r a h p o s itif y an g b a i k , t er u t a m a b ila dibandingkan dengan negara tetangganya di Asia. 61 Meskipun demokrasi di Indonesia semakin terkonsolidasi, namun hal ini tidak diikuti oleh semakin terlembaganya sistem kepartaian politik. Sebaliknya, sistem kepartaian di Indonesia masih terjebak pada kondisi yang memprihatinkan dengan pola kompetisi partai yang labil, hubungan partai politik dengan masyarakat yang tidak mengakar, dan oligarki partai politik. Dengan demikian, demokrasi yang semakin menguat di Indonesia ini ada tanpa disertai dengan pelembagaan sistem kepartaian. Dengan meneliti Indonesia, yakni sistem kepartaian di bawah demokrasi baru pascakeruntuhan otoritarian Orde Baru, maka A. Hicken dan E. M. Kuhonta (Eds.), 2014, Ibid.; D. Webber, 2005, A Consolidated Patrimonial Democracy? Democratization in Post-Suharto Indonesia, makalah dipresentasikan di dalam workshop “Post-Cold War Democratization in the Muslim World: Domestic, Regional, and Global Trends,” pada tanggal 14-19 April di Granada. 61
kita mampu menjawab sisi lain dari hubungan demokrasi dan partai politik yang jarang dibahas oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Teoriteori politik yang ada saat ini menyatakan bahwa pelembagaan sistem kepartaian berpengaruh positif untuk mengkonsolidasi demokrasi, namun jarang yang melihat pengaruh sebaliknya. 62 Apakah penerapan demokrasi mampu mendorong institutionalisasi sistem kepartaian?. Dari analisa di dalam tulisan ini, maka jawabannya adalah sistem demokrasi di Indonesia tidak, atau belum mampu menciptakan sistem kepartaian yang terlembaga. Penerapan demokrasi di Indonesia patut diakui berdampak baik terhadap sistem kepartaian, terutama untuk membuka keran partisipasi publik di dalam proses politik dan meningkatkan legitimasi partai politik dalam proses itu. Berbeda dengan kondisi di masa Demokrasi Terpimpin Sukarno dan Orde Baru, partai politik bebas didirikan dan berkompetisi di dalam pemilu. Artinya, ada upaya pembaruan sistem kepartaian politik. Namun hal ini belum cukup untuk mendorong terinstitusionalisasinya sistem kepartaian politik. Reformasi sistem kepartaian seharusnya dilanjutkan dengan upayaupaya lain yang lebih komprehensif, termasuk memperbaiki tata kelola dan manajemen partai, penyederhanaan jumlah partai, serta mendorong terciptanya partai politik yang fungsional dan representatif. Tanpa upaya reformasi sistem kepartaian yang menyeluruh maka pelembagaan sistem kepartaian niscaya sulit tercapai.
Daftar Pustaka Buku Ayako, Masuhara. 2015. The End of Personal Rule in Indonesia: Golkar and the Transformation of the Suharto Regime. Kyoto: Kyoto University Press. Bartolini, S., & P. Mair. 1990. Identity, Competition, and Electoral Availability: The Stabilization of European Electorates 1885-1985. Cambridge: Cambridge University Press. Evans, Kevin R. 2003. Sejarah Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT Arise Concultancies. 62
S. Mainwaring & T. R. Scully, 1995, Ibid.
50 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
Hicken, A., & E. M. Kuhonta (Eds.). 2014. Party System Institutionalization in Asia. Cambridge: Cambridge University Press. Indrayana, Denny. 2007. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung: Penerbit Mizan. Latif, Yudi. 2008. Indonesian Muslim Intelligentsia and Power. Singapore: ISEAS. Pratignyo, Imam. 1983. Lahirnya Golkar. Jakarta: Yayasan Bakti. Mainwaring, S., & T. R. Scully. 1995. Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America, Stanford, CA: Stanford University Press. Mietzner, Marcus. 2013. Money, Power, and Ideology: Political Parties in Post-Authoritarian Indonesia., Singapore: National University of Singapore Press. Raliby, Osman. 1953. Sejarah Dokumenter dari Pertumbuhan dan Perjuangan Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Reeve. 1985. Golkar of Indonesia: An Alternative to the Party System. Singapore: Oxford University Press. Rolfe, Jim (Ed). The Asia-Pacific: A Region in Transition. Honolulu, HI: The Asia Pacific Center for Security Studies. Sartori, Giovanni. 1976. Parties and Party Systems: A Framework for Analysis. Cambridge: Cambridge University Press. Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, Hasyim Asy’ari, dan August Mellaz. 2011. Membangun Sistem Kepartaian Pluralisme Moderat. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan. Suryadinata, Leo. 1992. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Suryadinata, Leo. 2002. Elections and Politics in Indonesia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS). Tandjung, Akbar. 2007. The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Tim Penelitian dan Pengembangan Kompas (Ed.). 1999. Partai-Partai Politik Indonesia. Jakarta: Kompas. Ufen, Andreas. 2006. Political Parties in PostSuharto Indonesia: Between Politik Aliran and ‘Philippinisation.’ Hamburg: German Institute of Global and Area Studies. Webb, Paul dan Stephen White. Party Politics in New Democracies. Oxford: Oxford University Press.
Winters, Jeffrey A. 2011. Oligarchy. Cambridge: Cambridge University Press.
Jurnal Hicken, A. 2006. “Stuck in the Mud: Parties and Party Systems in Democratic Southeast Asia,” Taiwan Journal of Democracy, Vol. 2, No. 2, hlm. 23-46. Ratnawati, T., & S. Haris. 2008. “Political Parties in Indonesia from the 1950s to 2004: An Overview,” CRISE Working Paper, No. 61. Randall & Svasand. 2002. “Party Institutionalization in New Democracies.” Party Politics 8(1): 5-29. Setiowati, I. N. dan Sumarno. 2015. “Perkembangan ABRI Masuk Desa (AMD) Tahun 1980-1998,” AVATARA 3(1): 101-114. Tan, P. J. 2006. “Indonesia Seven Years after Soeharto: Party System Institutionalization in New Democracy.” Contemporary Southeast Asia 28(1): 88-114.
Laporan dan Makalah Concha, O. 2014. Institutionalization of Party Systems: A Cross-Regional Approach Using the Weighted Volatility Index. Makalah dipresentasikan pada the Political Studies Association 64 th Annual International Conference. 14-16 April. Manchester. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi PDIP. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi Partai Golkar. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi PPP. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi Partai Demokrat. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi PKS. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi PKB. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi PAN. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi Partai Gerindra. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi Partai Hanura. Dokumen Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Visi-Misi, dan Strategi Partai Nasdem. Harisanto, Eddy S. 1993. The Dual Function of the Indonesian Armed Forces. Thesis. Naval Postgraduate School. Monterey, California.
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 51
Mainwaring, S., & M. Torcal. 2005. “Party System Institutionalization and Party System Theory After the Third Wave of Democratization.” Working Paper Kellogg Institute No. 319. Webber, D. 2005. A Consolidated Patrimonial Democracy? Democratization in Post-Suharto Indonesia. Makalah dipresentasikan di dalam workshop “Post-Cold War Democratization in the Muslim World: Domestic, Regional, and Global Trends.” 14-19 April. Granada.
Surat Kabar dan Website Amri, Arfi Bambang, dan Anggi Kusumadewi. 24 Maret 2010. “Puan dan Prananda Penerus Megawati.”. www.politik.news.viva.co.id. Amri, A. B., & Syahrul Ansyari. 30 April 2013. “Demokrat: Ada 15 Orang yang Terhitung Keluarga dan Kerabat SBY.”. www.politik.news. viva.co.id. Hanan, Djayadi. 11 April 2015. “Parpol dan Persepsi Publik.” www.kompas.com. Kertopati, Lesthia, & Eka Permadi. 3 Maret 2014. “Tjahjo Kumolo: Mega Belum Restui Jokowi Jadi Capres.”. politik.news.co.id. Kristanti, E. Y., & E. Huda S. 10 April 2009. “Larinya Suara Golkar ke Demokrat Jauh Lebih Besar daripada ke Gerindra dan Hanura.”. www. politik.news.viva.co.id. Prawira, Adam. 22 September 2014. “PDIP Masih Andalkan Megawati.” www.sindonews.com. Nurjaman, Asep. 2009. “Peta Baru Ideologi Partai Politik Indonesia.” Jurnal Bestari Vol. 42. umm. ac.id/index.php/bestari…/130_umm_scientific_journal.do. Permana, Dany. 31 Agustus 2013. “Konvensi Demokrat, Kenapa Mulai Bulan Sembilan?.” www.nasional.kompas.com. Rahayu, Ayu Citra Sukma. 19 Februari 2015. “LSI: Keterikatan Masyarakat-Parpol Lemah.” www. antarajatim.com.
“Jokowi Effect.” 11 April 2014. www.nasional.sindonews.com. “LSI: Hubungan Partai-Pemilih Lemah.” 30 Mei 2011. www.medanbisnisdaily.com. “Survei: Mayoritas Masyarakat Puas dengan Pemilu 2014.” 25 Juni 2014. www.jpnn.com. “LIPI: Tingkat Kepercayaan pada Parpol Masih Rendah.” 10 Oktober 2013. www.beritastu.com. “Penyederhanaan Partai yang Belum Kunjung Sampai.” 14 November 2003. Kompas. “70 Persen Pemilih Indonesia Tak Loyal.” www.nasional.kompas.com. “Mendirikan Partai Baru Masih Pilihan Realistis.” Republika Online. www.republika.co.id. “Sejarah Partai Golkar.” Golkar Jawa Tengah. www. golkarjateng.com. “Sejarah Partai Golkar.” Republika Online.www.republika.co.id. www.kpu.go.id.
52 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
Lampiran I. Tabel 5. Perbandingan Perolehan Suara Partai dan Kandidat Presiden/Wakil Presiden dalam Pemilu Era Reformasi Pemilu
Suara Partai
Pemilu 2004 Putaran I H. Wiranto, SH. Ir. H. Salahuddin Wahid
Suara Calon Presiden/Wakil Presiden
Selisih Suara Partai dan Kandidat Capres/Cawapres
24.461.104
23.827.512
633.592
20.710.006
28.186.780
7.476.774
7.255.331
16.042.105
8.786.774
12.822.993
36.070.622
23.247.629
9.226.444
3.276.001
5.950.443
63.067.792
44.990.704
18.077.088
20.972.450
69.266.350
48.293.900
Partai Golongan Karya Hj. Megawati Soekarnoputri H. Hasyim Muzadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Prof. Dr. HM. Amien Rais Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo Partai Amanat Nasional H. Susilo Bambang Yudhoyono Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Dr. H. Hamzah Haz H. Agum Gumelar, M.Sc. Partai Persatuan Pembangunan Pemilu 2004 Putaran II Hj. Megawati Soekarnoputri H. Hasyim Muzadi PDIP, PDS, PBR, Golkar, PPP, PNI Marhaenisme, PKPB H. Susilo Bambang Yudhoyono Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla Partai Demokrat, PBB, PKPI, PKS
Pelembagaan Sistem Kepartaian ... | Aisah Putri Budiatri | 53
Pemilu 2009 Megawati-Prabowo
20.991.584
32.548.105
11.556.521
60.171.247
73.874.562
13.703.315
20.484.626
15.081.814
5.402.812
73.866.659
62.576.444
11.290.215
51.105.832
70.997.833
19.892.001
PDIP, Gerindra, PNI Marhaenisme, Partai Karya Perjuangan, Partai Buruh, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia, Partai Sarikat Indonesia, Partai Merdeka, dan Partai Kedaulatan. SBY-Boediono Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PDS, PBR, PKPI, PKPB, PPRN, PDP, PPPI, Partai Republikan, Partai Patriot, PNBKI, PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, PPIB, dan PPDI JK-Wiranto Golkar, Hanura dan PKNU Pemilu 2014 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa Gerindra/Golkar/PPP/PKS/PAN/Demokrat/PBB Gerindra/Golkar/PPP/PKS/PAN/Demokrat/PBB Joko Widodo-Jusuf Kalla PDI–P/Hanura/NasDem/PKB/PKPI PDI–P/Hanura/NasDem/PKB/PKPI
54 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 33–54
THE DYNAMIC OF INDONESIAN POLITICAL TRUST IN THE BEGINNING OF REFORM ERA DINAMIKA KEPERCAYAAN POLITIK INDONESIA DI PARUH AWAL ORDE REFORMASI Andi Ahmad Yani Pengajar Universitas Hasanuddin/Leiden University Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10, Tamalanrea, Makassar, Indonesia E-mail:
[email protected]/
[email protected] Diterima: 9 Februari 2015; direvisi: 12 Mei 2015; disetujui: 8 Juni 2015 Abstrak Kepercayaan merupakan pondasi utama untuk membangun legitimasi politik dan keberlanjutan sistem demokrasi. Sebagai negara demokrasi yang sedang berkembang, Indonesia menghadapi berbagai tantangan untuk membangun kepercayaan politik pada masa transisi, khususnya pada dekade awal Orde Reformasi. Untuk mengidentifikasi bangunan kepercayaan politik masyarakat Indonesia pada periode tersebut, artikel ini menganalisis kepercayaan politik pada lembaga-lembaga yang mendukung proses demokratisasi pada masa-masa kritis ini. Artikel ini menawarkan dua argumen utama. Pertama, penelitian ini menunjukkan tren kepercayaan masyarakat Indonesia yang cukup tinggi pada lembaga-lembaga demokrasi. Meskipun demikian, sebagian besar responden justru tidak mempercayai partai politik. Kedua, studi ini menganalisis tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia dengan mengacu pada teori kepercayaan politik. Teori ini menyatakan bahwa tingkat kepercayaan politik dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, adalah faktor dan budaya dan kedua adalah faktor rasionalitas dengan mengacu pada kinerja kelembagaan. Hasilnya, studi ini mendukung asumsi bahwa tingkat kepercayaan politik Indonesia lebih ditentukan oleh prestasi kelembagaan, khususnya demokrasi dan kinerja pembangunan ekonomi. Kata Kunci: kepercayaan politik, lembaga demokrasi, modal sosial, sistem politik Indonesia. Abstract Trust is a fundamental ingredient in legitimacy and sustainability of democratic system. As an emerging democratic country, Indonesia faces various challenges to redevelop political trust in transition period from the Soeharto’s military regime. Hence this article examines patterns of political trust in democratic institution in this critical period. It proposes two main arguments. The first, this study indicates a decent trend of Indonesian political trust where most Indonesian people have high confidence in most democratic institutions, except political parties. Second, this study employs theory of political trust which determined by cultural and institutional perspectives to examine Indonesian political trust in democratic institutions. The result then supports the assumption that Indonesian political trust is greatly determined by institutional achievement, particularly democratic and economic development performance. Keywords: political trust, democratic institutions, social capital, Indonesia’s political system.
The Dynamic of Indoensian Political Trust ... | Andi Ahmad Yani | 55
Introduction A decade after the military government lost power, Indonesia is becoming more democratic during the Reform era. The United Nation for Development Program (UNDP)1 reports that Indonesia has been successfully changed from a highly centralized country into one of Asia’s most decentralized countries through adequate local and national elections in a period of five years. Moreover, The Asia Foundation (TAF)2 indicates that Indonesia has been transformed into a more democratic state since the freedom of the press has significantly increased. Government has made serious commitments to transform legal institutions and restructure political institutions to make government more accountable and democratic.3 Further, TAF cites the Freedom House report which stated that Indonesia was the most free and democratic country in Southeast Asia in 2007.4 However, as an emerging democratic country, Indonesia faces various challenges that may reduce the quality of democratization. The biggest challenge is the possibility of social conflict, which can occur for many reasons. As a country that has diverse ethnic and religious groups, Indonesia is prone to horizontal conflicts that may arise due to the government’s failure to break down conflicts completely. The military government had previously controlled conflicts with a power approach that did not resolve the root of problem but rather created a time bomb that would explode in the future. The bomb then exploded just right after Suharto stepped down in several areas in Indonesia. Ethno-religious conflicts occurred mainly in Poso, Province of Central Sulawesi, Maluku and North Maluku during 1999 through 2002. Other political conflicts, such as the rebellions in Aceh and Papua, have been occurred ongoing since United Nation Development Program. 2010. “Assessment of development results; Evaluation of UNDP contribution in Indonesia”. Executive summary, New York: UNDP Evaluation Office. Accessed on 15 April 2012. 1
The Asia Foundation (2007) “Elections and good governance in Indonesia” http://asiafoundation.org/resources/pdfs/ IDelectionseng.pdf. Accessed on 15 April 2012. 2
3
Ibid.
4
Ibid.
1960s but were not solved completely. These separatist conflicts significantly increased in the beginning of the Reform period. Although most social and political conflicts have stopped right now, that does not mean that such conflicts will not arise again. All the conflict groups are still in the process of reconciliation and there is a possibility of conflict being fueled by the certain evil interests aimed to undermine peaceful interests. In addition, the political institutions have a critical role in managing conflict since they tend to utilize ethnic and religious identities in political mobilizations and political bargaining in those conflict areas.5 Accordingly, political parties as one of the principal factors of democracy are expected to be actively involved in maintaining peace in the society. Based on above discussion, it shows that the Indonesian reform government might achieve a decent degree of democratic society in terms of basic elements of democracy, such as political rights and civil liberties. The reform regime, however, has not yet accomplished an adequate level of social capital, the other side of the coin of democracy. Social capital refers to relationships among individuals within groups or networks, reciprocal norms and trustworthiness that encourage positive emotions and mutually beneficial collective action.6 Social capital and democracy have an interconnected relationship in which social capital initially endorses democratic values while there is also positive feedback of democracy to generate social capital in a particular society.7 In sum, all Indonesian social and political institutions should be actively Wilson, C., Ethno-religious Violence in Indonesia; From soil to God, (New York: Routledge, 2008); Bertrand, J., Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia, (Cambdrige: Cambridge University Press, 2004). 5
Bourdieu, P., Forms of Capital, in Richardson, J. G. (Eds.). Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. (New York: Greenwood, 1983); Coleman, J. S.,“Social Capital in the Creation of Human Capital”. American Journal of Sociology, 1998, 94 (supp.), p. S95-S120; Putnam, R. D., Bowling Alone: the Collapse and Revival of American Community. (New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2000); Paxton, P., “Social Capital and Democracy: an Interdependent Relationship”, American Sociological Review, 2002, 67 (2), p. 254-277. 6
Paxton, P., “Social Capital and Democracy: an Interdependent Relationship”, American Sociological Review, 2002, 67 (2), p. 272. 7
56 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 55–68
involved in promoting social capital in line with improving the quality of democracy. Otherwise, the current democratic system will turn around and become an oligarchy or even revert back to an authoritarian system. Trust is one of the core social capital values which directly determine democratic attitudes and political interests.8 Moreover, public trust in democratic institutions implies principal condition to guarantee a democratic regime and to reduce resistance to the regime.9 In order to assess a pattern of political trust in the Reform era, this paper aims to examine determinants of Indonesian political trust in democratic institutions. Therefore, this paper proposes the following research question: “to what extent do Indonesian people trust in democratic institutions, and what is the core determinant – cultural or institutional factors – of their trustworthiness?”. The first section briefly explains more about the Indonesian democratization process in the Reform era. The second section explores theoretical framework of political trust and will be followed by methods of study sections. Further, result study will be examined in two main sections: first, the pattern of Indonesian political trust; and second, determinants of Indonesian political trust in cultural and institutional approaches. The last section assesses both two determinants of political trust.
Theoretical Framework of Political Trust Trust is a fundamental ingredient in legitimacy and sustainability of the democratic system. Trust becomes very critical especially in an emerging democratic country, as is the case of Indonesia. Fukuyama (1995) defines trust as “the expectation that arises within a community of regular, honest, cooperative behavior, based on communally shared norms, on the part of
other members of that community”.10 Fukuyama (1995) then observes trust as cultural value which is based on a “preexisting community of shared moral norms and values”.11 In addition, cultural trust is divided into two types: particularized trust and generalized trust. 12 Particularized trust commonly occurs in a distrust community where a person only trusts members of the same family, clan or group and it tends to jeopardize consolidation of democracy. The other type is generalized trust that a person extends trust to strangers, especially people who are different from his/herself. The last kind of trust is a key variable of social capital and demands effective social cohesion through a reciprocal social network. Another perspective of trust is rational choice that emphasizes adequate reason to trust somebody or to be trusted.13 The rational choice initially concerns interests and judgments that may generate or decrease the level of trust. In the field of psychology, this type of trust refers to cognitive trust, which is influenced by sufficient information and experience that drive one to trust someone or not.14 Another type of trust in psychology is known as affective trust, which arises from mutual understanding and shared value among truster and trusted. The affective trust correlates with cultural trust which was previously discussed. Both cognitive and affective trusts are interconnected; both
Fukuyama, F., Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity (New York: Free Press, 1995), p. 26. 10
11
Ibid., p. 336.
Warren, M. E. (Eds.). Democracy and Trust, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); Uslaner, E. M.“Trust and Corruption. Global Corruption Report Transparency International”. a paper presented at the Annual Meeting of the Society for the Advancement of Socio-Economics, What counts? Calculation, representation, Association, Budapest, Hungary, June 30-July 2, 2005. 12
Warren, M. E. (Eds.). Democracy and Trust, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), p. 329. 13
Bourne, P. A., “Modelling Political Trust in a Developing Country, Research Journal of Social Sciences, 2010, 2 (2), p. 84-98. 8
Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4), p. 417-437. 9
Warren, M.E. (Eds.). Democracy and Trust, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); Grimmelikhuijsen, S., Transparency and Trust; an Experimental Study of Online Disclosure and Trust in Government, a PhD Dissertation in Utrecht School of Governance, (Netherlands: Universiteit Utrecht, 2012). 14
The Dynamic of Indoensian Political Trust ... | Andi Ahmad Yani | 57
are shaped by the human’s way of feeling and thinking.15 These two basic concepts of trust have been assessed in the political trust approach which is the purpose of this paper. Political trust implies citizens’ expectation and evaluation in political institutions and political leadership to implement democratic values.16 Hence, the dynamic of Indonesians’ political trust is very crucial in the reform regime’s era because the level of citizens’ confidence on democratic institutions determines democratic consolidation, legitimacy, and stability of a political system. Generally, there are two theoretical approaches in examining the political trust concept, namely the cultural approach and the institutional approach.17 The cultural approach conceives of the relationship between trust and cultural norms and beliefs of people that have commonly been shared through socialization in early life.18 Social and culture identities Grimmelikhuijsen, S., Transparency and Trust; an Experimental Study of Online Disclosure and Trust in Government, a PhD Dissertation in Utrecht School of Governance, (Netherlands: Universiteit Utrecht, 2012). 15
Catterberg, G. and A. Moreno.“the Individual Bases of Political Trust; Trends in New and Established Democracies. International Journal of Public Opinion Research, 2005, 18 (1): 31 –48; Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Post-communist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 30-62; Blind, P. K. “Building Trust in Government in the Twenty-First Century; Review of Literature and Emerging Issues”. A paper presented in the 7th Global Forum on Reinventing Government and Building Trust in Government, Vienna, Austria, 26-29 June 2007; Wong, T. K., Wan P. and Hsiao, H. M., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 263–281; Grimmelikhuijsen, S., Transparency and Trust; an Experimental Study of Online Disclosure and Trust in Government, a PhD Dissertation in Utrecht School of Governance, (Netherlands: Universiteit Utrecht, 2012). 16
Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Postcommunist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 30-62; Mishler, W., “What are the Political Consequences of Trust?; a Test of Cultural and Institutional Theories in Russia”, Comparative Political Studies, 2005, 38 (9): 10501078; Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417–437; Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 263–281. 17
18
Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political
commonly shape cultural trust since people tend to be confident in interaction and cooperation with people who have a commonly shared identity, such as social class, religion, region, political and interest group and so on. Accordingly, this cultural norm affects peoples’ perception and expectation in a particular political leader and institutions that seems to reflect certain groups’ identities or values. 19 Moreover, a study of Christensen and Lægreid (2005) 20 supports this approach that indicates that political trust is determined by socio-demographic indicators like age, education and occupation. As result, culturalists demand that cultural trust can generate public support to democratic government, public acknowledgment of democratic values and level of public involvement in political spheres.21 Conversely, trust in institutional perspective is formed upon the concept of rational choice that perceives performance evaluation of political institutions as the principal determinant in level of trust.22 In other words, institutionalists regard political trust as the capability of political institutions to perform as well as citizens’ expectations, referring to democratic values as such. Some scholars indicate that a government’s performance refers to economic outcomes in general.23 Other studies observe political institutions’ achievement is measured by quality of democracy, civil services satisfaction, ensuring civil liberties, corruption eradication, and rule of Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Postcommunist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 31. Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 419. 19
Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 266. 20
Mishler, W., “What are the Political Consequences of Trust?; a Test of Cultural and Institutional Theories in Russia”, Comparative Political Studies, 2005, 38 (9): 1052-1053. 21
Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Postcommunist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 30-62; Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 263-281. 22
23
Ibid.
58 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 55–68
law improvement.24 Institutionalists believe that political trust that emanates from performance quality will effectively remain at a high level of public trust and strengthen democratic regimes25. There are some studies that explore these two facets of political trust in several Asian states. Wong et. al (2011)26 analyzed both trust approaches in six Asian countries: China, Hong Kong, Singapore, Taiwan, South Korea, and Japan. This study indicates that institutional performance mainly determines political trust rather than the cultural approach. However, the culturalists mainly occur in less globalized country with strong traditional norms due to a long history like China, South Korea, and Japan. On the contrary, the traditionalists are lacking in highly globalized city-states, such as Hong Kong and Singapore.27 Another study of the trust concept was conducted by Askvik et.al (2011)28 in Nepal, as another emerging democratic country. Similar with the previous study, this study also found that the performance-based (institutional) approach strongly shapes public trust in political institutions compared to identity-based (cultural) perspective. This result explains a great change of political development to Nepal as a new democratic state, since previously they had Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Postcommunist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 30-62; Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 263-281; Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417-437. 24
Mishler, W., “What are the Political Consequences of Trust?; a Test of Cultural and Institutional Theories in Russia”, Comparative Political Studies, 2005, 38 (9): 1054. 25
Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 263-281. 26
Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 276. 27
Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417-437. 28
political structures strongly dependent on ethnic and religion identities. Based on the above theoretical and researches discussions, it generally observes that the institutional approach and cultural approach essentially construct political trust in democratic institutions. Following previous studies in Asian and developing democracy states, this study then expects that Indonesian political trust is essentially influenced by the institutionalists rather than the culturalists as well.
The Method of Examining Political Trust This paper uses the second phase of the Asian Barometer Survey conducted in November 2006. The study covered 80 regencies based on population proportion in three major study areas: Western Indonesia, Central Indonesia, and Eastern Indonesia. The data used in this paper is part of the Asian Barometer second wave survey conducted during 2005-2008 in thirteen countries and regions in East Asia, namely the Philippines, Taiwan, Thailand, Mongolia, Singapore, Japan, South Korea, Vietnam, Malaysia, Hong Kong, Cambodia, China and Indonesia.29 In order to examine the dynamic of Indonesian political trust in the beginning of reform era, we select “political trust in democratic institutions” as dependent variable. This paper formulates democratic institutions as the following organizations: President; The Court; Political Parties; Parliament; National Government; Local Government; Non-Governmental Organizations; Newspaper; and Police. The degree of citizens’ confidence on these institutions is elaborated in the next section. In addition, this study has two independent variables based on two approaches of political trust as already discussed in previous sections, which are “cultural/self-identity approach” and “institution/performance based perspective”. Firstly, this study examines similar cultural perspective variables with previous researches conducted in developing democratic countries, Asian Barometer. 2006. The 2006 Asian barometer survey; Wave 2, Project home page, retrievable from: http://www. asianbarometer.org/. 29
The Dynamic of Indoensian Political Trust ... | Andi Ahmad Yani | 59
especially study of Askvik et.al (2011)30 in Nepal. The cultural perspective is mainly determined by three variables, namely: demography and education; religion and religiosity; and social status and region. The second independent variable refers to the institutional approach which is examined by three variables, namely public service performance; democratic development performance; and economic development performance.31
Discussion: Patterns of Political Trust in Indonesian Democratic Institutions Before we examine major determinants of Indonesia’ political trust – whether cultural or institutional factors -, let us start with exploring degree of citizens’ confidence on democratic institutions. It is widely known that Indonesia is the third largest democratic country in the world after India and the United States in terms of the number of voters. Major challenges exist to maintaining a decent level of political trust in the Indonesian democratic system as a new democratic regime. As noted before, Indonesian political development has increased significantly since the Reform era was started. Although there were uncertain political situations in the beginning of the Reform period, further in the second period, the political development has improved well. There are two great political changes in the Reform period compared to all previous Indonesian regimes. The first is the president and vice president were voted directly by the people of Indonesia in the 2004 Election. In the past, the presidents and the vice-presidents were elected by People’s Consultative Assembly (Majelis Permusyawaratan Rakyat) as the National Parliament. Although this was the Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417-437. 30
See Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Postcommunist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 30-62; Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 263-281; Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417-437. 31
first time conducted, the 2004 Presidential and Vice-President Election run was safe, fair and democratic.32 This positive change significantly influenced the level of people’s confidence in the presidency as seen in Table 1 where trust in the President is the highest level of trust compared to other institutions. In addition, seventy-six percent of Indonesian citizens also greatly confide in the National Government, which means the Susilo Bambang Yudoyono’s (SBY) administration gains great political support. The high level of public confidence in the national government has mainly been a result of the process by which the president selects state ministers from multiple groups. The ministers are not only politicians but are also selected from among professionals and scholars in a balanced number. Moreover, these ministers also represent different ethnic, believes and regions in Indonesia. In public administration perspective, this policy refers to the representative bureaucracy concept of Kingsley (1944) 33 and Krislov (1974) 34 that democratizes public bureaucracy through recruiting officials and pointing high public leaders based on social representation, such as ethnic, religion and gender.35
United Nation Development Program. 2010. “Assessment of development results; Evaluation of UNDP contribution in Indonesia”. Executive summary, New York: UNDP Evaluation Office. http://web.undp.org/evaluation/documents/ADR/ADR_ Reports/Indonesia/ExecSum-Indonesia-eng.pdf, accessed on 15 April 2012; The Asia Foundation (2007) “Elections and good governance in Indonesia”, http://asiafoundation.org/resources/ pdfs/IDelectionseng.pdf, accessed on 15 April 2012. 32
Kingsley, J. D. Representative Bureaucracy: An Interpretation of the British Civil Services,(Ohio: Antioch Press, 1944). 33
Krislov, S. Representative Bureaucracy, (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc., 1974). 34
Farazmand, A., Bureaucracy and Democracy: a Theoretical Analysis, Public Organization Review, 2010, 10, p. 256. 35
60 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 55–68
Table 1. Public Trust in Democracy Institutions (Percentage) Trust in
“Non Trust at all” and “Not Very Much Trust”
“Quite a Lot of Trust” and “A Great Deal of Trust”
President
23,9
76
National Government
31,8
68,1
Local government
24,7
75,2
Political Parties
55,7
44,2
Parliament
38,8
61,1
Police
35,3
64,6
Courts
43,6
56,3
NGOs
30,3
69,6
32
67,9
Newspapers
Source : The 2006 Asian Barometer Survey, Wave 236
This trend of public trust in local government levels also demonstrates a high degree of confidence (75,2%) as noted in Table 1. This fact reflects positive local political development of Indonesia throughout the archipelago. Hence this survey was conducted in 80 regions/districts which represent three different areas of Indonesia, namely western, central and eastern region, the result perhaps indicates a common pattern in local governments.37 This positive condition may be influenced by the second extensive political change in Indonesia which is direct election for local public leaders - governor and mayor – since 2004. The new members of the National House of Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat) amended the Law Number 22, 1999 regarding regional autonomy became the new Law number 32, 2004 regarding regional government which rules direct local election for the first time in the history of Indonesia. In sum, these circumstances, both at the direct national and local election level, support the concept that the level of political trust in the democratic systems is determined by political citizen engagement, particularly in electing their public leaders.38 N = 1389 (minimum) to 1563 (maximum). The question asked was: I am going to name a number of institutions. For each one, please tell me how much trust do you have in them? Is it a great deal of trust, quite a lot of trust, not very much trust, or none at all? “Do not understand the question”, “Can not choose” and “Decline to answer” are defined as missing and are excluded. 36
Asian Barometer. 2006. The 2006 Asian barometer survey; Wave 2, Project home page, retrievable from: http://www. asianbarometer.org/. Accessed on 10 April 2012. 37
38
Uslaner, E. M., “Democracy and Social Capital”, in M. E.
Conversely, Indonesian citizens have weak confidence in political parties. Table 1 presents that 55,7% respondents have a low level of trust in them. This data represents a global trend in the most democratic countries, not only in new democracies but also in developed democracies. 39 In the Indonesian case, this trend may be caused by the lack of capacity of political parties in managing their institutions and constituents. People have a high expectation in political parties, especially in new political parties, to transform old authoritarian political system to a more democratic system. In fact, unfortunately, most political parties in Indonesia are not well managed to strengthen their reciprocal relationship with society, in terms of identifying addressing the needs of the people in an appropriate way. In addition, political parties are hardly able in ensuring internal democracy since the role of party leadership tends to be more personal and likely acts as a central authority of parties. As a net result, party leaders tend to utilize political parties as personal or factional instruments to gain power. These conditions are reflections of weak political institutionalization which commonly occur in emerging democracies.40 Warren (eds) Democracy and Trust, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); Putnam, R. D., Bowling Alone: the Collapse and Revival of American Community, (New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2000); Mishler, W., “What are the Political Consequences of Trust?; a Test of Cultural and Institutional Theories in Russia”, Comparative Political Studies, 2005, 38 (9): 1050-1078. Putnam, R. D., Bowling Alone: the Collapse and Revival of American Community, (New York: Simon and Schuster Paperbacks, 2000); Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Post-communist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 30-62; Mishler, W., “What are the Political Consequences of Trust?; a Test of Cultural and Institutional Theories in Russia”, Comparative Political Studies, 2005, 38 (9): 1050-1078; Wong, T. K., et al., “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”, International Political Science Review, 2011, 32 (3): 263-281; Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417-437; Cariño, L. V., “Building trust in government in Southeast Asia”. A paper presented in the 7th Gglobal Forum on Rinventing Government and Building Trust in Government, Vienna, Austria, 26-29 June 2007. 39
Mainwaring, Scott. 1998. Rethinking Party Systems Theory in the Third Wave of Democratization; The importance of party system institutionalization. A working paper #260 - October 1998, The Hellen Kellogg Institute for International Studies. 40
The Dynamic of Indoensian Political Trust ... | Andi Ahmad Yani | 61
Interestingly, a low level of trust in political parties does not significantly influences the degree of public confidence in parliament. Table 1 shows that 61,1% of respondents trust in the legislative institutions. This data is surprising, but it may refer to two different explanations. First, trust in parliament in some instances is higher in new democracies, and even in authoritarian regimes. This does not mean that people truly confide the legislative institution but respondents merely expect a higher value on that institution for what it should do instead for what it was doing.41 Another reason is people may trust parliament in terms of institutional perspective. Since the parliament, especially the national parliament has made some policies to transform Indonesia’s political structure to be more democratic. In other words, respondents assess the parliament in general as a high institution rather than as an institution which consist of political parties that they tend to distrust. Following justice organizations, there have been many reformations in the police and the court institutions during the Reform era. In the military government, the police organization was part of military institutions. Since in the Reform era, the police institution has been transformed from militaristic system towards a civilian system and more concerns on its principal role as protector and community servant.42 The police organization has also become more independent, accountable and decentralized.43 In addition, the court institutions also have been changed significantly through establishing special bodies, like the Judicial Commission, the AntiCorruption Court, and the Human Rights Court,
to ensure the judicial reform program.44 The Indonesian court reforms also have been changed in strengthening the independence of the court, reducing corruption, collusion, and nepotism, and encouraging a mutual relationship between the courts and other democratic institutions, such as the media and civil society organizations.45 All of these reform programs in justice organizations may affect people’s slightly high degree of trust in both justice organizations as seen in Table 1. Lastly, the NGOs and the press (newspaper) are the non-state organizations that have a critical role in encouraging Indonesian reform movement since in 1998. Therefore, it is not surprising to see that respondents confide in these two organizations. The number of media outlets (newspaper, TV, radios, magazines) increases significantly during the Reform period because the new Regime does not control the media like what happened in the days of the military government. This condition also occurred in NGO policy where the military government had controlled the civil society organizations and arrested most NGO activists. Further, since the end of the military government, the numbers of international aids have increased to support civil society organizations to ensure democratic development in Indonesia. As result, Indonesian NGOs and media have been successfully encouraged democracy building through influencing public policies in protecting human rights and empowering citizens.46 In sum, this study argues that political transformation in the beginning of Reform era has greatly contributed to a strong political trust in Indonesian democratic institutions, except to political parties.
http://kellogg.nd.edu/publications/workingpapers/WPS/260. pdf accessed on 18 April 2012; Randall, V. and Svaasan, L., “Party Institutionalization in New Democracies, Party Politics, 2002, 8 (1): 5-29. Catterberg, G. and A. Moreno.“the Individual Bases of Political Trust; Trends in New and Established Democracies. International Journal of Public Opinion Research, 2005, 18 (1): 35 41
Rahmawati, A. and Najib, A., “Police Reform from Below: Examples from Indonesia’s Transition to Democracy, a chapter in Democracy, conflict and Human Security, (Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance, 2006): 61. 42
43
Ibid.
Assegaf, R. S., “Judicial reform in Indonesia; 1998-2006”, in Sakumoto N. and H. Juwana. (eds.). Reforming laws and institutions in Indonesia: an Assessment, (Ciba: Institute of Developing Economies/Japan External Trade Organization, 2007). 44
45
Ibid.
Ibrahim, R., A Long Journey to a Civil society; Civil Society Index Report for the Republic of Indonesia, (Jakarta: Indonesia Australia Partnership and Yappika/Indonesian Civil Society Alliance for Democracy, 2006), p. 8. 46
62 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 55–68
1. Determinant of Indonesian Political Trust Cultural Approach This section examines the level of political trust which is influenced by the similarity of identity in certain social groups. The Table 2 shows correlation between three different sources of self-identity based trust and Indonesian democracy institutions, which is examined by regression analysis method. The first model examines demography and education variables that show to what extent age, gender and educational attainment induce political trust in democratic institutions. As seen in Table 2, the model can only explain 2,3% of the variation in political trust. In terms of correlation in individual variables, only gender has positive significant impact and conversely the education variable has a negative relationship with political trust. It means that Indonesian female tends to believe in democracy institutions and on other hand, educational attainment does not affect political trust at all. The age variable also may influence trust but is not significant.
The variables of religion and religiosity are examined in the second model to explore the impact degree of religion (non-Muslim) and level of worship in political trust. Although the total explained variance in this group is limited (3%) but it slightly higher than the first group. This fact shows that religion variables play a more critical role than gender - even education variables in political trust. In addition, the data indicates people who claim to be more religious have a more significant impact in political trust rather than people who claim to be less religious. This data supports phenomena of political parties that represent religions or factions in certain religion. Yet, the correlation is very small. The third model tests the identity variable of region (rural) and social status that may affect political trust. The result appears that these two variables only explain 2% of the variation in trust. Table 2 also demonstrates that region (rural) has a significant correlation and, in contrary, social class does not affect level of trust at all. The region data explains that people who live in rural areas t en d t o h av e m o re co n fi d en ce i n
Table 2. Source of Political Trust in Cultural Approach Demography and education Age
Religion and religiosity
Social status and region
Combined model
.012 (.014)
.005 (.014)***
Gender (female)
.090 (.024)***
.094 (.025)***
Educational attainment
-.096 (.024)***
-.073 (.027)**
Religion (Non Muslim)
.094 (.038)*
Religiosity
.113 (.019)***
Social status
R²
.112 (.020)** -.025 (.023)
Region (rural) Constant
.108 (.042)***
.122 (.023)***
-.017 (.025) .94 (.025)***
2.726 (.052)
2.299 (.060)
2.628 (.039)
2.302 (.086)
.023
.030
.020
.067
1539
1468
1285
Notes: * p < .05, ** p < .01, *** p < .001 N 1417
Cell values are unstandardized coefficients with standard errors in the brackets.
The Dynamic of Indoensian Political Trust ... | Andi Ahmad Yani | 63
democratic institutions rather than those living in urban areas. This fact indicates social cohesion which is commonly high in rural areas and may contribute to level of trust in public institutions. All three of these models are analyzed in a combined model through one regression equation. However, the result shows that all seven variables of the cultural approach only explain 6,7% of variation in political trust. Table 2 demonstrates that most variables are statistically significant except for the social status variable. In demography and education groups, age and gender (female) variables become very significant in this combined model. This indicates that age become more important in political trust when it is combined with religion, religiosity, and region variables. In addition, significant level of religion increases in the combined model. Yet, education and social status do not influence a certain level of trust. In brief, this data indicates that the correlation of the cultural approach on political trust in democratic institutions is lower than 10 %. Although some variables do have impact, in general they are very low. Institutional Approach The next determinant of political trust analyzed in this paper is the performance-based perspective that consists of three main sources: public services, political development and economic improvement. Employing the regression method, this section examines those indicators as shown in Table 3. Public satisfaction in public services is a pivotal element in government performance that affects political trust.47 In this first model, as noted earlier, public service performance is explored in three sectors, namely education, health and securities. Unfortunately, this model only explains 3.8% of variance of political trust. Whereas police services and health services have a significant impact in quality of public trust, value of education services does not. As seen in Table 3, the securities service has a more significant affect than the health services. Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417-437. 47
The quick response of the Indonesian Police institution in tackling terrorist attacks at the time when this survey was conducted may affect the level of public trust in it at that time. However, this correlation lacks an impact in political trust. The next indicator of institutional perspective is political development that expects to greatly impact the degree of political trust. This model explores three variables of political improvement, satisfaction of democracy and democracy suitability. In Table 3, it appears that the model demonstrates a very high impact compared to other variables, explaining 19,9% of the variation in political trust. All individual variables have a statistically significant impact on political trust in democratic institutions. This data indicates Indonesian people are satisfied with political improvement during the Reform era and this condition influences high confidence in democratic institutions. The third model concerns people’s assessment in current economic condition and economic improvement during the Reform period. Both coefficient variables affirm significant statistic and they explain about 6.3% in the amount of political trust variance. The model also shows that it has slightly high correlation with political trust compared to the public service performance. The last model in Table 3 shows a regression equation result in all variables together. This combined model explains 21.3% of the variation in political trust in democratic organizations. In other words, the variance of trust slightly increases for an additional 1.4%. Although its value is quite higher than democratic development model, it has the highest value from all other models. In Table 3, it appears that most individual variables are statistically significant except education service, which shows no correlation at all. Furthermore, as shown in Table 3, three variables of democratic development have the highest values of significance. This implies that these three indicators have more pivotal impact in political trust in democratic development compared to other determinants. In general, the institutional approach within quality of public service, democracy development, and economic improvement variables indicates high correlation with political
64 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 55–68
Table 3. Source of Political Trust in Institutional Approach Public service performance Education service
Democracy development performance
Economic development performance
Combined model
.016 (.022)
-.029 (.022)
Health service
.066 (.025)**
.067 (.026)*
Police service
.088 (.020)***
.054 (.021)**
Political improvement
.166 (.015)***
.116 (0.18)***
Satisfaction with Democracy
.150 (.019)***
.139 (.023)***
Acceptability of democracy
.52 (.019)**
.052 (.018)**
Current economic condition
.079 (.011)***
.034 (.015)*
Economic improvement
.047 (.011)***
.044 (.013)**
Constant
2.195 (.078)
1.780 (.056)
2.300 (.038)
1.494 (.097)
R²
.038
.197
.063
.213
N
1203
1283
1592
994
Notes: * p < .05, ** p < .01, *** p < .001 Cell values are unstandardized coefficients with standard errors in the brackets.
trust in democratic institutions. The Table 3 also demonstrates that democracy development plays an essential role in the level of public trust rather than other determinants.
2. Determinants of Indonesian Political Trust (Cultural and Institutional Approaches) In this last section, all determinants in two approaches are combined and examined in one regression equation. The result shows that all variables explain 27% of Indonesian political trust variance which are higher at about 5% from the institutional perspective model.
Table 4. Combined Source of Cultural and Institutional Approaches in Political Trust Combined model Education service
-.034 (.023)
Health service
.045 (.027)
Police service
.084 (.022)***
Political improvement
.035 (.019)*
Satisfaction with Democracy
.128 (.023)***
Acceptability of democracy
.106 (.069)***
Current economic condition Economic improvement Age Gender (female)
.029 (.016)* .057 (.014)*** -.008 (.016) .108 (.027)***
Educational attainment
-.060 (.029)*
Religion (Non Muslim)
.101 (.043)*
Religiosity
.091 (022)***
Social status
-.047 (.028)*
Region (rural)
.075 (.028)**
Constant
1.275 (.128)
R²
.27
N
858
Notes: * p < .05, ** p < .01, *** p < .001 Cell values are unstandardized coefficients with standard errors in the brackets.
The Dynamic of Indoensian Political Trust ... | Andi Ahmad Yani | 65
There are ten individual variables that have statistical significance. Three of them are determined by all variables in three main groups, namely: democratic development, economic improvement, and religion and religiosity. The rest of them are some variables which represent other determinants, like police service, age, gender and region variables. This data indicates that Indonesian political trust is mainly influenced by democracy and economic performance and, more interestingly, religion and level of religiosity.
Conclusion Trust is a basic element of social capital that influences democratic development, especially in new democratic regimes, through remaining legitimacy and political stability.48 The Indonesia’s transformation process - from the authoritarian military regime towards a democratic system – was accompanied by various social conflicts that tend to jeopardize citizens’ trust in governance institutions. Hence, this study examines pattern and determinants of political trust in democratic organizations to understand a progress of political development process in the beginning of the Reform period. The data from the 2006 Asian Barometer survey indicates a decent trend of Indonesian political trust where most Indonesian people have high confidence in most democratic institutions, except in political parties. Although low trust in political parties commonly occurs both in developed and emerging countries, Bourne, P. A., “Modelling Political Trust in a Developing Country, Research Journal of Social Sciences, 2010, 2 (2): 84-98; Askvik, S. et al., “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”, International Political Science Review, 2011, 32 (4): 417-437; Warren, M. E. (eds.) Democracy and Trust, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); Uslaner, Eric. M. “Democracy and Social Capital”, in M. E. Warren (eds) Democracy and Trust, (Cambridge: Cambridge University Press, 1999); Catterberg, G. and A. Moreno.“the Individual Bases of Political Trust; Trends in New and Established Democracies. International Journal of Public Opinion Research, 2005, 18 (1): 35; Mishler, W. and Rose, R. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Post-communist Societies”, Comparative Political Studies, 2001, 34 (1): 30-62; Blind, Peride K. 2007. “Building Trust in Government in the Twenty-First Century; Review of Literature and Emerging Issues”. A paper presented in the 7th Global Forum on Reinventing Government and Building Trust in Government, Vienna, Austria, 26-29 June 2007. 48
however, the political party is a critical element of democracy and directly influences democratic consolidation in new regimes. Therefore, this study then strongly suggests internal reform in Indonesian political parties in order to strengthen political institutionalization, more specifically in recruitment and training programs. In the second step, this study employs the theory of political trust determined by cultural and institutional perspectives to examine Indonesian political trust in democratic institutions. The result then supports the assumption that Indonesian political trust is greatly determined by institutional achievement, particularly democratic and economic development performance. In the third step, when all determinants are combined, political and economic developments still have high impact in the level of trust. However, to some extent, religion and level of worship also tend to affect a level of political trust in democracy institutions. These data show that Indonesian people are likely to have political confidence based on rational (cognitive) trust rather than affective trust. Nevertheless, the religious factors still have an influence even on a very limited level. Possible influence of religious values, however, may change at the moment. The result of 2009 and 2014 Elections show that electoral votes of the religious parties have not increased significantly compared to the nationalist political parties. However, this phenomenon should be followed by more empirical studies. Accordingly, further studies of political trust issues in Indonesia as an emerging democracy have to be continually conducted. The further studies may examine trend changes of the level of Indonesian political trust in democracy systems in the two decades of the Reform period with a longitudinal study. Moreover, more empirical studies can also be conducted to explore causal patterns among social capital, political religion, and political institutionalization. Finally, this study has limitations as a desk research in using the 2006 data of the Asian Barometer survey, which may show different levels of political trust than those in more current conditions, due to changing national and local political dynamics and international influences. Moreover, trust is very subjective and mainly
66 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 55–68
influenced by information that respondents receive. Some bias may occur especially in subjective questions, such as economic improvement and political change. Lastly, this study employs the 2006 data of the Asian Barometer survey in order to explore early period of the Reform era as a base line data for Indonesian political trust study in the future. We believe that the pattern and degree of Indonesia’s political trust is different in the current condition. Therefore, study of Indonesia political trust based on more recent data is necessary to clearly understand the progress of Indonesia’s political development after more than a decade of the Reform regime.
Acknowledgement The author would like to appreciate comments and suggestions from anonymous reviewers. This article is the revised version from the previous version which was presented in the 4th Southeast Asia Update on 22 June 2012 in Radboud University Nijmegen, Nijmegen, Netherlands and the Special Seminar for Indonesian Young Scholars, “The 15th Years of Indonesian Reform” on 12 March 2013 in the Indonesian Institute of Science (LIPI), Jakarta, Indonesia. Data analyzed in this article were collected by the Asian Barometer Project (20052008), which was co-directed by Professors Fu Hu and Yun-han Chu and received major funding support from Taiwan’s Ministry of Education, Academia Sinica and National Taiwan University. The Asian Barometer Project Office (www.asianbarometer.org) is solely responsible for the data distribution. The author appreciates the assistance in providing data by the institutes and individuals aforementioned. The views expressed herein are the author’s own.
References Books Assegaf, Rifqi S. 2007. “Judicial reform in Indonesia; 1998-2006”, in Sakumoto N. and H. Juwana. (Eds.). Reforming laws and institutions in Indonesia: an Assessment. Ciba: Institute of Developing Economies (IDE) / Japan External Trade Organization (JETRO).
Bakti, Ikrar N. 2004. “The transition to Democracy in Indonesia; Some Outstanding Problems”, in J. Rolfe. (Eds.). The Asia-Pacific; a Region Transition. Hawai’i: Asia-Pacific Center of Securities Studies. Bertrand, Jacques. 2004. Nationalism and Ethnic Conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press. Bourdieu, Pierre. 1983. “Forms of Capital, in Richardson, J. G. (eds.). Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood. Diamond, Larry. 1997. “Introduction: In Search of Consolidation”, in Diamond L., Plattner, M. F., Chu, Y. and Tien. H. Consolidating the Third Wave Democracies; Regional Challenges. Maryland: The Johns Hopkins University Press. Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press. Ibrahim, Rustam. 2006. A Long Journey to a Civil society; Civil Society Index Report for the Republic of Indonesia. Jakarta: Indonesia Australia Partnership and Yappika (Indonesian Civil Society Alliance for Democracy). Putnam, Robert. D. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: Princeton University Press. Putnam, Robert D. 2000. Bowling Alone: the Collapse and Revival of American Community. New York: Simon and Schuster Paperbacks Uslaner, Eric. M. 1999. “Democracy and Social Capital”, in M. E. Warren (eds) Democracy and Trust. Cambridge: Cambridge University Press. Wilson, Chris. 2008. Ethno-religious Violence in Indonesia: From Soil to God. London: Routledge. Warren, Mark E. (eds.) 1999. Democracy and Trust. Cambridge: Cambridge University Press.
Journals Askvik, Steiner et al., 2011. “Citizens’ Trust in Public and Political Institutions in Nepal”. International Political Science Review. 32 (4): 417–437. Bourne, Paul A. 2010. “Modelling Political Trust in a Developing Country. Research Journal of Social Sciences. 2 (2): 84-98. Catterberg, G. and A. Moreno. 2005. “the Individual Bases of Political Trust; Trends in New and Established Democracies. International Journal of Public Opinion Research.18 (1): 31 –48. Coleman, James S. 1988. “Social Capital in the Creation of Human Capital”. American Journal of Sociology. 94 (supp.): S95-S120.
The Dynamic of Indoensian Political Trust ... | Andi Ahmad Yani | 67
Dalton, Russel J. 2005. “The Social Transformation of Trust in Government”. International Review of Sociology. 15 (1): 133-154. Farazmand, Ali. 2010. Bureaucracy and Democracy: a Theoretical Analysis. Public Organization Review. 10: 245–258. Mishler, William and Rose, R. 2001. “What are the Origins of Political Trust?; Testing Institutional and Cultural Theories in Post-communist Societies”. Comparative Political Studies. 34 (1): 30-62. Mishler, William. 2005. “What are the Political Consequences of Trust?; a Test of Cultural and Institutional Theories in Russia”. Comparative Political Studies. 38 (9): 1050-1078. Paxton, Pamela. 2002. Social Capital and Democracy: an Interdependent Relationship. American Sociological Review. 67 (2): 254-277. Randall, V. and Svaasan, L. 2002. “Party Institutionalization in New Democracies. Party Politics, 8 (1): 5–29. Wong, T. K., Wan P. and Hsiao, H. M. 2011. “The Bases of Political Trust in Six Sosian Societies: Institutional and Cultural Explanations Compared”. International Political Science Review. 32 (3): 263–281.
Papers/Dissertation
sure and Trust in Government. A PhD Dissertation in Utrecht School of Governance, Universiteit Utrecht, Netherlands.
Websites Asian Barometer. 2006. The 2006 Asian barometer survey; Wave 2, Project home page, retrievable from: http://www.asianbarometer.org/. Accessed on 10 April 2012 Mainwaring, Scott. 1998. Rethinking Party Systems Theory in the Third Wave of Democratization; The importance of party system institutionalization. A working paper #260 - October 1998, The Hellen Kellogg Institute for International Studies. http://kellogg.nd.edu/publications/ workingpapers/WPS/260.pdf . Accessed on 18 April 2012 The Asia Foundation (2007) “Elections and good governance in Indonesia”, http://asiafoundation.org/resources/pdfs/IDelectionseng.pdf. Accessed on 15 April 2012 United Nation Development Program. 2010. “Assessment of development results; Evaluation of UNDP contribution in Indonesia”. Executive summary, New York: UNDP Evaluation Office http://web.undp.org/evaluation/documents/ ADR/ADR_Reports/Indonesia/ExecSum-Indonesia-eng.pdf. Accessed on 15 April 2012
Blind, Peride K. 2007. “Building Trust in Government in the Twenty-First Century; Review of Literature and Emerging Issues”. A paper presented in the 7th Global Forum on Reinventing Government and Building Trust in Government, Vienna, Austria, 26-29 June 2007. Cariño, Ledivina V. 2007. “Building trust in government in Southeast Asia”. A paper presented in the 7th Global Forum on Reinventing Government and Building Trust in Government, Vienna, Austria, 26-29 June 2007. Rahmawati, Arifah and Najib, Azca. 2006. “Police Reform from Below: Examples from Indonesia’s Transition to Democracy, a chapter in Democracy, conflict and Human Security, International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm. Sweden. Uslaner, Eric. M. 2005. “Trust and Corruption. Global Corruption Report Transparency International”. A paper presented at the Annual Meeting of the Society for the Advancement of SocioEconomics, “What counts? Calculation, representation, Association,” Budapest, Hungary, June 30-July 2, 2005. Grimmelikhuijsen, Stephan. 2012. Transparency and Trust; an Experimental Study of Online Disclo-
68 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 55–68
DAMPAK KEBIJAKAN ILLEGAL MARITIME ARRIVALS (IMA) AUSTRALIA TERHADAP HUBUNGAN AUSTRALIA-INDONESIA KONTEMPORER THE IMPACT OF AUSTRALIAN POLICY ON ILLEGAL MARITIME ARRIVALS (IMA) TOWARDS CURRENT RELATION OF AUSTRALIA-INDONESIA R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 7 Maret 2015; direvisi: 20 Mei 2015; disetujui: 21 Juni 2015 Abstract The relationship between Australia and Indonesia is always a high dynamics. One issue that becomes an obstacle for both countries is asylum seekers and refugees who enter Indonesia’s territory in order to seek asylum in Australia by sea or so-called Illegal Maritime Arrivals (IMA). Indonesia’s position as a transit country and Australia as a destination country require both countries to cooperate so that IMA issues can be well-handled. This paper will analyse more about how Australia has a policy to deal with IMA today. Pursuing its national interests, Australia is aware of the urgency to establish cooperation with Indonesia, which is perceived as buffer state, in order to justify efforts to safeguard national security. However, Australia currently is developing more restrictive and unilateral policies towards IMA, which are contradictive with human rights and humanitarian aspects, as well as the principle of good international citizenship. Australia’s tendency to act unilaterally and more aggressive towards IMA has refracted its commitment to settle IMA through cooperation framework with Indonesia in bilateral and multilateral level. Therefore, Australian policy on IMA would have a negative impact on relations between Indonesia and Australia. Keywords: Australian Foreign Policy, Illegal Maritime Arrival (IMA), Australia’s national interest, AustraliaIndonesia Relations. Abstrak Hubungan Australia dan Indonesia selalu memiliki dinamika yang tinggi. Salah satu persoalan yang seringkali menjadi hambatan bagi kedua negara adalah isu pencari suaka dan pengungsi yang masuk ke wilayah Indonesia untuk menuju ke Australia melalui jalur laut atau Illegal Maritime Arrivals (IMA). Posisi Indonesia sebagai negara transit dan Australia sebagai negara tujuan mengharuskan keduanya bekerja sama agar isu IMA dapat ditangani dengan baik. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut mengenai bagaimana Australia menjalankan kebijakan untuk menangani IMA dewasa ini dan dampaknya bagi hubungan Australia-Indonesia. Untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya, Australia merasa perlu menjalin kerja sama dengan Indonesia yang dianggap sebagai negara buffer atau penyangga agar dapat menjustifikasi upaya-upaya menjaga keamanan nasionalnya. Namun, Australia saat ini kebijakan IMA Australia cenderung lebih restriktif dan unilateral sehingga bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan kemanusiaan dan prinsip good international citizenship. Kecenderungan Australia untuk bertindak lebih agresif dan sepihak dengan justifikasi keamanan nasional negaranya membiaskan komitmen penyelesaian kerangka kerja sama dengan Indonesia. Perubahan kebijakan IMA Australia ke arah yang lebih restriktif dan mengedepankan tindakan unilateral akan berdampak negatif terhadap perkembangan hubungan kedua negara. Kata Kunci: Kebijakan Luar Negeri Australia, Illegal Maritime Arrival (IMA), kepentingan nasional Australia, Hubungan Australia-Indonesia.
Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) ... | R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas | 69
Pendahuluan Hubungan bilateral Indonesia dan Australia pada beberapa tahun belakangan ini sedang diuji melalui berbagai macam isu yang memicu konflik jangka panjang. Salah satu isu penting yang menjadi perhatian bagi kedua negara adalah isu pencari suaka dan pengungsi, khususnya pencari suaka yang datang dengan moda transportasi jalur laut dan dianggap dalam kategori “ilegal”. Isu ini terlihat jelas mewarnai hubungan diplomatik kedua negara ketika Australia memulai kebijakan restriktif terhadap pencari suara pada tahun 2002. Kebijakan yang restriktif ini dipicu oleh Insiden Tampa di tahun 2001 yang berdampak pada terdamparnya para pencari suaka dan pengungsi tersebut di wilayah perairan Indonesia. Urgensi dan peningkatan perhatian dari kedua negara terhadap isu ini tidak terlepas dari munculnya potensi isu ini berkembang menjadi ancaman terhadap keamanan manusia (human security) dan keamanan nasional. Di satu sisi, Indonesia dan Australia sama-sama berkepentingan untuk mengamankan wilayah perbatasan negaranya dari upaya migrasi ilegal dari segala arah dan jenis kedatangan. Namun di sisi lain, pencari suaka yang biasa disebut dengan manusia perahu atau boat people menjadi fenomena kemanusiaan tersendiri karena kondisi keamanan internasional semakin mengancam hak individu untuk mendapatkan rasa aman tinggal di negaranya sendiri. Terjadi peningkatan jumlah yang signifikan pencari suaka yang transit di Indonesia maupun di Australia pada tahun 2011 – 2013. Per akhir Januari 2014, jumlah pencari suaka dan pengungsi di Indonesia meningkat sebanyak 21,9% dibandingkan pada tahun 2013, dengan jumlah klaim permohonan suaka yang masuk di tahun 2012 dan 2013 adalah 7.218 dan 8.332.1 Sedangkan di Australia, ada peningkatan jumlah pencari suaka sebanyak 54% yang klaimnya baru masuk di tahun 2013. Dari keseluruhan 24.300 klaim pencari suaka di tahun 2012 - 2013, jumlah pencari suaka yang masuk kategori IMA mencapai 18.119 klaim, yang mana berarti meningkat lebih dari 100% jika dibandingkan
dengan total jumlah periode tahun sebelumnya (7.373).2 Dalam skema arus pencari suaka, Australia dan Indonesia memiliki posisi yang berbeda. Australia berdasarkan kategorisasi dari UNHCR, termasuk salah satu dari 44 industrialized countries atau negara industri yang menjadi negara tujuan bagi para pencari suaka.3 Sedangkan Indonesia berada dalam posisi negara transit, yakni negara secara geografis terletak di jalur silang yang harus dilalui oleh para pencari suaka yang menempuh perjalanan laut. Perbedaan posisi ini memunculkan perbedaan respons dan tingkat kesadaran terhadap isu ini. Meskipun kedua negara pada dasarnya sama-sama meletakkan keamanan nasional sebagai bagian terpenting dalam kepentingan nasionalnya, baik Australia maupun Indonesia memiliki tingkat yang berbeda dalam memperhatikan aspek pemenuhan HAM bagi para pencari suaka khususnya Illegal Maritime Arrivals (IMA). Perbedaan tingkat perhatian ini tidak hanya disebabkan oleh perbedaan posisi masing-masing negara dalam skema arus pencari suaka, melainkan juga karena adanya perbedaan tuntutan tanggung jawab internasional yang berbeda. Australia, sebagai negara peratifikasi UN 1951 Convention Relating to the Status of Refugees, memiliki tanggung jawab internasional yang lebih besar dalam pemenuhan HAM dari para pencari suaka yang berupaya memperoleh status pengungsi dari Australia. Sedangkan hingga saat ini, Indonesia belum berkomitmen lebih jauh untuk turut serta meratifikasi konvensi tersebut. Isu Illegal Maritime Arrivals (IMA) sendiri telah menjadi bagian yang kontroversial dalam kompleksitas isu pencari suaka. Istilah IMA ini mengacu kepada istilah yang digunakan oleh Australia sejak tahun 2013 untuk menyebut manusia perahu (boat people), yakni pencari suaka yang berupaya menuju ke Australia Department of Immigration and Border Protection Australia. Asylum Trends Australia: 2012 – 2013 Annual Publication, (Canberra: Department of Immigration and Border Protection, 2013), hlm. 4. 2
United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR). UNHCR Asylum Trends 2013: Levels and Trends in Industrialized Countries, (Geneva: UNHCR, 2014), hlm. 5. 3
UNHCR, “Indonesia Fact Sheet,” http://www.unhcr. org/50001bda9.html, diakses pada tanggal 3 Januari 2015. 1
70 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 69–81
melalui jalur laut tanpa dilengkapi dengan dokumen yang jelas. Sebelum bulan Agustus 2013, Australia menggunakan istilah Irregular Maritime Arrivals. Australia cenderung memilih kebijakan yang semakin restriktif terhadap pencari suaka dengan justifikasi menjaga kepentingan nasionalnya yakni keamanan nasional. Kebijakan ini tidak hanya mengesampingkan aspek kemanusiaan dan hak asasi dari pencari suaka dan pengungsi saja, melainkan juga mengesampingkan posisi Indonesia sebagai negara partner yang krusial dalam keberlangsungan komitmen Australia untuk menjalankan kerangka kerja sama regional. Indonesia cenderung memberikan respon negatif terhadap kebijakan restriktif Australia, sehingga hal ini membuat dinamika hubungan politik keduanya berpotensi menghadapi tantangan yang lebih besar. Tulisan ini berupaya untuk menganalisis lebih lanjut bagaimana kebijakan Australia dalam menangani isu IMA, upaya untuk membangun kerja sama dengan Indonesia, serta dampak kebijakan tersebut terhadap hubungan bilateral Australia dan Indonesia.
Kebijakan Australia Dalam Menangani IMA Pada periode sebelum tahun 2013, istilah yang digunakan oleh Australia adalah Irregular Maritime Arrivals. Pelaku IMA didefinisikan sebagai para pencari suaka yang biasanya tidak disertai dokumen-dokumen resmi seperti visa, dan berupaya untuk memasuki wilayah Australia melalui jalur transportasi laut. 4 Amandemen terhadap the Migration Regulations 1994 pada Juni 2013 menyatakan bahwa segala bentuk kedatangan melalui jalur laut yang tidak beraturan (irregular) tidak akan mendapatkan status hukum yang berbeda dari orang yang berupaya memasuki wilayah Australia melalui excised offshore place (wilayah lepas pantai Australia yang dikeluarkan dari zona migrasi).5
Definisi yang diletakkan oleh Australia sebagai dasar perlakuan terhadap IMA menunjukkan bahwa pemerintah Australia tidak memberikan batas dan pembeda yang jelas mengenai IMA dan pelaku tindak kriminal (smuggling/trafficking). Berpijak pada aspek historis dari kebijakan IMA Australia, kedatangan gelombang migrasi sudah terjadi sejak tahun 1940an. 6 Namun, pada tahun 1999 kondisi perpolitikan Australia mulai dipengaruhi oleh gejolak isu IMA karena datangnya gelombang migrasi oleh pencari suaka yang berasal dari Timur Tengah. Insiden Tampa pada tahun 2001 menjadi titik balik pemberlakuan serangkaian kebijakan restriktif terhadap IMA pada masa pemerintahan John Howard. Permasalahan utama pada insiden ini adalah penolakan pemerintah Australia terhadap penempatan 433 pencari suaka (sebagian besar berasal dari Afghanistan) yang diselamatkan oleh kapal pengangkut Norwegia di laut lepas.7 Pemerintahan Howard menerapkan kebijakan Solusi Pasifik (Pacific Solution) yang mencakup penahanan perahu yang membawa pencari suaka sebelum mereka memasuki zona migrasi Australia dan resettlement bagi mereka yang telah dipastikan sebagai pengungsi. Kebijakan ini menjadi perintis dari adanya offshore processing centre, yaitu pusat penahanan pencari suaka di wilayah lepas pantai Australia maupun di wilayah negara lain demi mengamankan wilayah perbatasan Australia dari pencari suaka yang berdatangan. Kebijakan ini melengkapi pemberian visa sementara (Temporary Protection Visa – TPV) bagi pencari suaka yang kedatangannya tidak sah ke Australia namun kemudian ditetapkan sebagai pengungsi.8 www.immi.gov.au/legislation/amendments/2013/130601/ lc01062013-05.htm, diakses pada tanggal 3 Februari 2015. M. Crock., B. Saul & A. Dastyari, “Future Seekers 11 : Refugees and Irregular Migration in Australia” dalam Kathryn Simon, Asylum Seeker, Briefing Paper No 13/08, (New South Wales: NSW Parliamentary Library Research Service, 2008), hlm. 1. 6
Peter Mares, Borderline: Australia’s Response to Refugees and Asylum Seekers in The Wake of the Tampa, (Sydney: University of New South Wales Press Ltd, 2002), hlm. 8. 7
Department of Immigration and Border Protection Australia, “Illegal Maritime Arrivals,” http://www.immi.gov.au/About/ Pages/ima/info.aspx, diakses pada tanggal 3 Februari 2015. 4
Department of Immigration and Border Protection Australia, “Migration Amendment (Unauthorised Maritime Arrivals and Other Measures) Regulation 2013,” 1 Juni 2013, http:// 5
Jane McAdam and Kate Purcell, “Refugee Protection in the Howard Years: Obstructing the Right to Seek Asylum”, Australian Year Book of International Law Vol. 27, 2008, hlm. 87-113. 8
Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) ... | R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas | 71
Pada rentang waktu 2010-2014 terjadi dinamika transisi pemerintahan yang sangat berpengaruh terhadap kebijakan IMA. Pemerintahan Australia beralih dari masa kekuasaan partai Buruh yang dipimpin oleh Julia Gillard (Juni 2010- Juni 2013), Kevin Rudd (Januari 2010 – Juni 2010; Juni 2013-September 2013) hingga kepemimpinan di bawah Partai Liberal oleh Tony Abbot (September 2013-sekarang). Dalam rentang waktu tersebut, Pemerintah Australia menangani isu IMA dengan beberapa kebijakan yang sebenarnya bipartisan namun menggunakan pendekatan berbeda. Dari pendekatan yang digunakan, tersirat pula adanya pragmatisme pemerintahan yang berkaitan dengan upaya penyesuaian diri dengan gejolak politik domestik di tingkat masyarakat dan pemerintahan Australia. Pemerintahan Australia dihadapkan pada dua kepentingan utama yang harus dihadapi, yaitu mempertahankan akomodasi aturan HAM Inernasional bagi IMA sekaligus menghentikan arus pencari suaka. Pada tahun 2008-2009, Perdana Menteri Kevin Rudd sebenarnya telah berupaya mempertahankan pendekatan yang lebih mengedepankan aspek kemanusiaan, keadilan dan integritas sebagai platform kebijakan penanganan IMA. Bahkan, berbagai upaya implementasi pendekatan tesebut dilakukan dalam waktu relatif singkat. Beberapa upaya Kevin Rudd antara lain penghentian kebijakan Solusi Pasifik, penghapusan Temporary Protection Visa, dan revisi kebijakan penahanan Australia dengan memperkenalkan New Direction in Detention Policy. Selama pemerintahan Kevin Rudd juga dihindari penggunaan istilah “ilegal” secara eksplisit dalam menyebut para pencari suaka tanpa dokumen yang datang dari jalur laut. Pada awalnya Julia Gillard berupaya untuk tetap mengikuti platform kebijakan yang telah dilakukan oleh Kevin Rudd. Namun, terjadi peningkatan jumlah IMA yang mencapai 6555 orang di tahun 2010 (lebih dari 100% dibandingkan jumlah orang di tahun 2009).9 Belum lagi, memasuki tahun 2013 perdebatan Janet Phillips dan Harriet Spinks, “Boat arrivals in Australia since 1976”, Februari 2011, http://www.aph.gov.au/About_ Parliament/Parliamentary_Departments/Parliamentary_ Library/pubs/rp/rp1314/BoatArrivals, diakses pada tanggal 20 Januari 2015. 9
semakin sengit mengiringi persaingan Partai Buruh dan Partai Liberal pada pemilihan federal yang diselenggarakan pada pertengahan tahun tersebut. Hal ini memicu perdebatan politik yang tinggi baik di parlemen Australia maupun di level masyarakat. Tekanan kondisi domestik membuat pemerintahan partai Buruh di Australia menjadi tidak stabil dan berorientasi pada kepentingan politis semata. Kegagalan-kegagalan Julia Gillard dalam menangani isu IMA telah menurunkan citra dan kredibilitas beliau sebagai Perdana Menteri dan pemimpin Partai Buruh. Hal ini dikhawatirkan turut memperburuk performa pemerintahan partai Buruh dan berdampak pada perolehan suara partai Buruh pada pemilu federal di pertengahan 2013. Urgensi yang diutamakan oleh partai Buruh saat itu adalah menarik simpati publik Australia dengan mencitrakan bahwa pemerintahan partai Buruh juga berupaya untuk menghentikan arus IMA. Hal inilah yang mendasari Kevin Rudd untuk mengumumkan kebijakan yang lebih keras terhadap IMA ketika menggantikan Julia Gillard sebagai Perdana Menteri pada Juni 2013. Penggantian Julia Gillard sebagai Perdana Menteri ini menunjukkan bahwa isu IMA bahkan mempengaruhi konstelasi politik di dalam internal partai Buruh sendiri. Kevin Rudd diberi tanggung jawab oleh partai untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Partai Buruh. Hal inilah yang mendasari pragmatisme Australia dalam menerapkan pendekatan kebijakan yang jauh berbeda dengan pendekatannya terdahulu. Kebijakan IMA di bawah kepemimpinan Kevin Rudd semakin mengarah kepada kebijakan bipartisan yang justru sejalan dengan solusi yang ditawarkan Partai Liberal, yakni kebijakan yang lebih keras dan restriktif. Kebijakan tersebut antara lain mengirimkan semua IMA (tanpa seleksi) ke offshore processing centre untuk proses status dan penempatan, tidak menerima pengungsi untuk ditampung di Australia, bagi yang tidak terbukti sebagai pengungsi akan dikirim ke negara asal atau ditahan tanpa batas waktu di fasilitas penampungan transit, serta mengalokasikan dana $200,000 untuk informasi mengenai jaringan penyelundupan manusia.10 10
Janet Phillips, Research Paper Series: A Comparison of
72 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 69–81
Isu IMA telah menjadi bagian dari kepentingan politik domestik dalam kontestasi antara partai Buruh dan Liberal di Australia. Australia pernah mengalami masa-masa dimana aspek kemanusiaan dan HAM diakomodasi sedemikian rupa khususnya pada awal masa pemerintahan Kevin Rudd. Pasca menggantikan Kevin Rudd, Julia Gillard juga menyatakan bahwa mekanisme perlindungan di level regional (regional protection framework) adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi migrasi ireguler di kawasan regional pada umumnya dan di Australia pada khususnya.11 Meskipun demikian, kondisi ini tidak berlangsung lama setelah peningkatan jumlah IMA dan konflik politik domestik terjadi. Kemenangan pemimpin partai Koalisi, Tony Abbott, pada pemilu tahun 2013 semakin mengubah warna kebijakan IMA Australia menjadi semakin restriktif dan mengesampingkan terhadap aspek HAM dan kemanusiaan. Kemenangan ini juga disebabkan oleh kejenuhan publik Australia terhadap politisasi isu IMA dalam perdebatan politik Partai Buruh dan Partai Koalisi Liberal. Beberapa langkah awal yang terkesan simbolik namun berdampak besar adalah perubahan dalam istilah penyebutan Irregular Maritime Arrivals menjadi Illegal Maritime Arrivals, serta Department of Immigration and Citizenship menjadi Department of Immigration and Border Protection. Perubahan istilah ini dikemukakan awalnya oleh Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan, Scott Morrison, secara resmi disahkan melalui decision record yang diajukan dan disetujui oleh perdana Menteri Australia Tony Abbott. Perubahan ini sekaligus menjadi upaya simbolik yang menggambarkan rasa tidak aman Australia terhadap IMA yang rentan menjadi modus penyelundupan dan perdagangan manusia, menegaskan keinginan dalam mencegah masuknya IMA ke wilayah Coalition and Labor Government Asylum Policies in Australia since 2001. Department of Parliamentary Services, Parliament of Australia, (Canberra: Parliamentary Library, 2014), hlm. 5. The Australian. “Julia Gillard’s speech to the Lowy Institute on Labor’s new asylum-seeker policy for Australia”, 6 Juli 2010, http://www.theaustralian.com.au/archive/politics/juliagillards-speech-to-the-lowy-institute-on-labors-new-asylumseeker-policy-for-australia/story-e6frgczf-1225888445622, diakses pada tanggal 10 Februari 2015. ���
teritorial Australia, serta menyiratkan upaya kriminalisasi IMA oleh Australia. Dua istilah ini menunjukkan bagaimana Australia bias dalam memberikan batasan dan pendefinisian sejauh mana IMA harus dibedakan dengan praktik penyelundupan dan perdagangan manusia. Definisi “ilegal” memberikan stigma bahwa IMA boleh langsung disamakan dengan pelaku tindak kejahatan, tanpa melihat motif dan kondisi dari mereka. Australia menegaskan bahwa negaranya tidak akan menyediakan perlindungan permanen bagi IMA manapun yang mencoba mengajukan suaka ke Australia. Padahal, beberapa diantara mereka mengalami kerentanan situasi dari negaranya sehingga mereka terpaksa pergi untuk mencari perlindungan dari rasa takut dan ancaman terhadap hak-hak asasinya. Akibatnya, terjadi perubahan persepsi masyarakat Australia dalam memandang IMA menjadi sepenuhnya imigran ilegal dan bagian dari kejahatan. Persepsi ini tanpa melihat kemungkinan bahwa IMA tersebut berhak dipertimbangkan statusnya sebagai pengungsi. Berdasarkan survey dari UMR Research, 59% masyarakat Australia tidak percaya bahwa sebagian besar IMA adalah pengungsi asli.12 Padahal, berdasarkan laporan statistik jumlah pencari suaka dari Departemen Imigrasi Australia pada kuartal Maret 2013, jumlah IMA yang pada akhirnya dinyatakan sebagai pengungsi adalah lebih dari 90%.13 Kebijakan lain yang menyusul keputusankeputusan yang mengkriminalisasi IMA adalah Operation Sovereign Borders (OSB). Kebijakan ini selaras dengan kepentingan nasional yang sangat diprioritaskan dalam menghadapi isu IMA, yakni keamanan nasional melalui perlindungan perbatasan, bahkan dengan pendekatan militer. OSB menjadi salah satu perubahan yang paling signifikan di tahun 2013. OSB diterapkan karena pemerintahan koalisi menekankan bahwa Australia sedang dalam situasi national emergency karena krisis perlindungan perbatasan UMR Research, Australian Perspectives: Insight into asylum seekers & mining, (New South Wales: UMR Research, 2013). ���
Department of Imigration and Citizenship, “Asylum statistics Australia: Quarterly tables March Quarter 2013”, http://www. immi.gov.au/media/publications/statistics/asylum/_files/ asylum-stats-march-quarter-2013.pdf, diakses pada tanggal 10 Februari 2015. 13
Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) ... | R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas | 73
akibat IMA yang terus berdatangan. Dengan kata lain, saat ini IMA menjadi target operasi militer dan musuh Australia.14 Kebijakan ini mencakup pemberlakuan kembali kebijakan Temporary Protection Visa, penetapan regional offshore processing centre di Pulau Christmas dan di wilayah negara tetangga yaitu Nauru dan Pulau Manus sebagai mekanisme utama untuk pemrosesan IMA, serta implementasi “turn back boat” policy. Berbagai langkah kebijakan unilateral Australia ini mencederai orientasi politik luar negeri Australia sendiri, yakni pelaksanaan prinsip good international citizenship15 yang diadopsi Australia sejak tahun 1990an. Prinsip ini menekankan pada tanggung jawab Australia yang telah meratifikasi berbagai konvensi internasional terkait isu-isu internasional serta berperan aktif dalam menangani isu-isu global, termasuk di dalamnya berbagai konvensi mengenai perlindungan HAM dan Konvensi mengenai status Pengungsi. Secara spesifik, ada celah besar dalam Konvensi mengenai status Pengungsi, yakni tidak secara eksplisit menunjukkan status urgensi dari pencari suaka khususnya yang menempuh bahaya dalam upaya mencari perlindungan dari ancaman. Tidak ada pula definisi yang jelas dan menyeluruh mengenai seperti apa kondisi-kondisi tertentu yang membuat para pencari suaka berhak ditentukan statusnya sebagai pengungsi dan negara tidak boleh ditolak dengan mekanisme yang tidak manusiawi. Dengan adanya kebijakan unilateral yang sangat keras dan tidak memperhatikan kondisi IMA sebagai pencari suaka yang mencari perlindungan dari berbagai bentuk pelanggaran HAM, Australia jelas mengabaikan tanggung jawab internasional dan prinsip yang dijalankan selama ini. Hal ini menjadi sebuah kemunduran yang drastis dari Australia dari sudut pandang
ABC news, “Prime Minister Tony Abbott likens campaign against people smugglers to ‘war’”, 4 Februari 2014, http:// www.abc.net.au/news/2014-01-10/abbott-likens-campaignagainst-people-smugglers-to-war/5193546, diakses pada tanggal 10 Februari 2015.
kemanusiaan dan ketaatan terhadap aturan internasional yang telah diadopsinya sendiri.
Upaya Australia Membangun Kerja Sama Dengan Indonesia Australia tidak akan bisa menjalankan kebijakan IMA nya sendiri tanpa berupaya memetakan dan melihat pengaruh dari keberadaan negara-negara di sekitarnya. Australia berkepentingan untuk menjalin hubungan yang baik dengan negaranegara tetangga di Asia Pasifik yang menjadi transit bagi IMA supaya negara tersebut memiliki justifikasi untuk mengangkat urgensi isu IMA di level regional. Hal ini sebenarnya merupakan satu hal yang sangat penting bagi Australia untuk mewujudkan kepentingan keamanan Australia dalam hal penanganan IMA. Upaya permulaan yang dirintis oleh Australia untuk bekerja sama dengan Indonesia dalam penanganan IMA adalah the Bali Process on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Transnational Crime (Bali Process). Konteks politik domestik Australia pada saat menginisasi kebijakan ini adalah adanya kekhawatiran yang besar akibat peningkatan jumlah IMA yang berupaya menuju ke Australia. IMA ini dikhawatirkan dapat menjadi ancaman keamanan nasional Australia karena berpotensi membuka jalan bagi penyelundupan manusia dan masuknya terorisme.16 Bali Process menjadi jalan pertama Australia untuk mengangkat isu pencari suaka ke level regional, sekaligus memperkuat jaringan kerja sama dengan Indonesia. Hal ini dikarenakan, seperti yang diungkapkan oleh Joseph H. Douglas and Andreas Schloenhardt, ada kecenderungan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik tidak memiliki urgensi yang sama dengan Australia untuk melakukan tindakan memerangi penyelundupan manusia.17 Indonesia menjadi negara yang sangat krusial bagi Australia karena posisi geografis Indonesia sering dimanfaatkan
14
Gareth Evans and Bruce Grant, Australia’s Foreign Relations in the World of The 1990s (Melbourne: Melbourne University Press, 1991), hlm. 38-41. ���
Michael Humphrey, “Refugees: An endangered species?”, Journal of Sociology March 2003, Vol. 39, No. 1, 2003, hlm. 31-43. ��
Joseph H. Douglas and Andreas Schloenhardt, Combatting Migrant Smuggling with Regional Diplomacy: An Examination of The Bali Process. Migrant smuggling working group research report. (Queensland: The University of Queensland, 2012). ��
74 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 69–81
oleh pelaku IMA untuk transit sebelum mencapai Australia. Nampak bahwa sebenarnya memang dari awal Australia yang pada masa itu dipimpin oleh John Howard (partai Koalisi) membangun kerangka kerja sama regional dengan tujuan membantu negaranya dalam menyelesaikan persoalan IMA yang disejajarkan dan diidentikkan dengan ancaman keamanan berupa penyelundupan dan perdagangan manusia. Jelas sekali bahwa dasar pembentukan Bali Process adalah agar Australia bisa mencegah peningkatan IMA pada saat itu. Tidak heran, jika dimensi perlindungan dan pertimbangan kemanusiaan terhadap para pencari suaka yang datang dari jalur laut baru terlihat secara implisit dalam inisiasi Bali Process. Pada pidato kebijakan perdananya di bulan Juli 2010, Julia Gillard mengemukakan strategi regional sebagai upaya melakukan proses penentuan status pengungsi serta pemberian suaka. Strategi ini diungkapkan pemerintah sebagai upaya bersama yang telah didiskusikan dengan negara – negara tetangga seperti Papua Nugini, Indonesia, Selandia Baru, Malaysia, Timor Leste, serta stakeholder yang lain seperti UNHCR dan IOM untuk membuat Regional Protection Framework (RPF). RPF dikembangkan dalam kerangka Bali Process pada tahun 2011. Kerja sama regional ini akan diwujudkan melalui pembangunan regional processing centre untuk menerima pencari suaka yang datang ke wilayah regional serta memproses klaim suaka yang diajukan. RPF ini memberikan wadah bagi negara anggota Bali Process untuk membangun kesepakatan yang disusun dalam mekanisme praktis untuk meningkatkan respon regional terhadap migrasi ireguler melalui serangkaian proses klaim suaka yang konsisten, solusi jangka panjang perlindungan terhadap pengungsi, pemulangan yang berkelanjutan untuk pemulangan pencari suaka yang bukan pengungsi, serta memerangi bisnis penyelundupan manusia.18
The Bali Process, “Bali Process: Regional Cooperation Framework”, http://www.baliprocess.net/regional-cooperationframework, diakses pada tanggal 12 Februari 2015.
Upaya membangun kerja sama regional dilakukan oleh Julia Gillard dengan menekankan pada shared responsibility. Upaya ini tetap dilanjutkan oleh pemerintahan Tony Abbott namun dengan dimensi yang berbeda. Penekanan yang sangat kuat terhadap keinginan Australia untuk mengamankan wilayah nasionalnya membuat paradigma dalam memandang solusi regional bukan lagi untuk mengakomodasi kebutuhan perlindungan bagi pencari suaka yang akan diproses status pengungsinya, melainkan terfokus pada upaya pencegahan IMA masuk, diproses, ataupun tinggal di Australia. Itulah mengapa pemerintahan Koalisi merasa sangat perlu membuat Regional Deterrence Framework. Kerangka ini merupakan perwujudan pendekatan unilateral Australia demi kepentingan keamanan nasionalnya yang ingin dicapai dengan memanfaatkan negara-negara tetangganya. Dalam kerangka kerja sama bilateral, komitmen Australia dan Indonesia untuk mengatasi ancaman keamanan nontradisional semakin diperkuat dengan penandatanganan Perjanjian Lombok pada tahun 2006. Kerja sama keamanan ini secara spesifik menitikberatkan pada kebijakan pertahanan, kontraterorisme, kerja sama intelijen, keamanan maritim, keselamatan dan keamanan penerbangan, pencegahan senjata pemusnah massal, dan tanggap darurat bencana alam, dan peningkatan pemahaman antara masyarakat kedua negara.19 Perlu disadari perjanjian Lombok ini disepakati kedua negara dalam kondisi kedua negara yang tidak setara dari segi kesiapan dan kapabilitas militer. Bidang-bidang kerja sama yang disusun dalam perjanjian tersebut sangat selaras dengan kepentingan nasional Australia, yang dituangkan dalam dokumen The Defence 2000 White Paper dan Defence Update 2007. Dokumen pertahanan Australia ini secara jelas menunjukkan perspektif Australia terhadap lingkungan strategis yang dihadapinya, termasuk dalam mengidentifikasi potensi ancaman yang menjadi kekhawatiran utama Australia. Jika dikaitkan dengan isu pencari suaka, pada saat itu Australia tengah gencar mencegah masuknya
��
Anak Agung Banyu Perwita, PhD, “Signifikansi Perjanjian Lombok bagi Hubungan Indonesia dan Australia.”, Satria Studi Pertahanan, Vol. 4, No. 4, 2008, hlm. 42-47. ��
Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) ... | R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas | 75
para IMA yang dikhawatirkan akan membawa bibit-bibit terorisme, sehingga Australia sangat berkepentingan untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia yang menjadi transit point dari arus IMA menuju Australia. Namun sebaliknya, sistem pertahanan Indonesia masih jauh dari kesetaraan dengan sistem pertahanan Australia yang lebih terpadu dan maju. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kendala yang diungkapan oleh Teuku Rezasyah melalui tulisannya yang meninjau setahun pasca-Perjanjian Lombok.20 Beberapa kendala domestik seperti isu kelembagaan yang kurang koordinasi, belanja militer, maupun kurangnya strategi dalam perencanaan kerja sama semakin menyulitkan Indonesia dalam mencapai hasil maksimal yang mengedepankan kepentingan Indonesia dari perjanjian Lombok. Melalui kerangka perjanjian Lombok, Australia mampu mencapai kepentingan nasionalnya, yakni membangun aliansi dengan salah satu negara paling penting dalam skema arus IMA yang menuju ke Australia. Menurut Arnold Wolfer dan Snyder, aliansi berupa kesepakatan formal untuk saling memberikan mutual military assistance yang kemudian memperkuat alignment atau keberpihakan antara satu negara dengan negara lain yang diajak bekerja sama.21 Bentuk aliansi yang ingin dibangun oleh Australia ini juga dapat dilihat sebagai upaya Australia untuk melakukan external balancing untuk menghadapi IMA yang dianggap sebagai external threat. Strategi ini hanya bisa dicapai jika ada tingkat ketakutan atau rasa terancam yang sama dengan negara yang diajak bekerja sama. Tingkat rasa terancam inilah yang nampaknya menjadi agenda utama pemerintahan Australia ini dalam melanjutkan upaya regional yang dalam kerangka Bali Process maupun Regional Deterrence Framework. Selain itu, Australia juga memberikan dukungan dana yang disalurkan melalui International Organizations for Migration Teuku Rezasyah, “Setahun Perjanjian Lombok: Sekedar Kesepakatan atau Dokumen Strategis?”, http://pustaka.unpad. ac.id/wp-content/uploads/2009/05/setahun_perjanjian_lombok. pdf, diakses pada tanggal 10 Februari 2015. ��
Dr. Sangit Devita Dwivedi, “Alliances in International Relations Theory”, International Journal of Social Science & Interdisciplinary Research, Vol. 1 No. 8, 2012, hlm. 224-237. ��
(IOM). Dana ini diberikan dalam rangka menyokong pelaksanaan program Regional Cooperation Arrangement (2001) dan the Management and Care of Irregular Immigrants Project (2007).22 Tujuan utama dari program kebijakan ini adalah untuk mengurangi jumlah orang yang mencapai wilayah teritorial Australia. Pemberlakuan kebijakan ini memberikan konsekuensi bagi Indonesia, yakni keharusan untuk menangkap orang-orang yang dianggap secara ilegal berniat untuk melakukan perjalanan ke Australia kemudian merujuknya ke IOM Indonesia untuk diproses di Indonesia. Kerja sama dengan Indonesia pascakonflik akibat kasus IMA di tahun 2001 mampu meredam konflik pascakasus Tampa. Hal ini juga menunjukkan bahwa dalam strategi keamanan dan pertahanan Australia, Indonesia bukan hanya sekedar negara tetangga, melainkan strategic partner. Keberhasilan Australia untuk melakukan lobi dengan pemerintah Indonesia agar meningkatkan kewaspadaannya terhadap migrasi ireguler setidaknya berhasil terwujud melalui inisiatif Indonesia yang didukung oleh sebagian negara pengirim di tingkat multilateral melalui Deklarasi Jakarta dalam Special Conference on Irregular Movement of Persons di Jakarta pada 20 Agustus 2013.23 Jika dilihat dari perspektif Indonesia, Deklarasi ini menjadi satu langkah maju yang penting bagi penanganan pencari suaka karena berhasil merumuskan sejumlah kesepakatan bersama untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan terjadinya penyelundupan manusia dan perdagangan manusia. Jika ditindaklanjuti dengan cepat dan tepat, Deklarasi Jakarta ini dapat menjadi pijakan penting bagi peran leading Indonesia di kawasan dalam mengantisipasi semakin derasnya arus IMA di kemudian hari. Namun sangat penting untuk diperhatikan bahwa Deklarasi Jakarta ini sarat akan kepentingan Australia. Peningkatan urgensi Center for Migration Studies, “Immigration Control Beyond Australia’s Border”, 2014, http://cmsny.org/immigrationcontrol-beyond-australias-border/, diakses pada tanggal 3 Februari 2015. ��
Fathiyah Wardah, “Konferensi Pencari Suaka Hasilkan Deklarasi Jakarta” 21 Agustus 2013, http://m.voaindonesia. com/a/konferensi-pencari-suaka-hasilkan-deklarasijakarta/1733801.html, diakses pada tanggal 20 Februari 2015. ��
76 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 69–81
dan perhatian terhadap kasus penyelundupan manusia di kawasan tidak serta merta muncul karena problem yang disebabkan oleh IMA di Indonesia, melainkan atas kepentingan Australia untuk menjadikan Indonesia negara buffer. Sehingga meskipun seolah Australia dalam posisi mendukung Deklarasi yang diinisiasi oleh Indonesia, ada indikasi bahwa Deklarasi ini menunjukkan keberhasilan Australia menyisipkan agenda keamanan nasionalnya ke dalam kepentingan Indonesia yang kemudian diangkat ke tingkat regional.
Dampak Perubahan Kebijakan IMA Australia Terhadap Hubungan AustraliaIndonesia Dalam menganalisis dampak kebijakan Australia dalam kasus IMA terhadap hubungan kerja sama Indonesia-Australia, perlu dilihat terlebih dahulu posisi tawar dari kedua negara dalam rangka menjalin kerja sama, baik dalam kerangka bilateral maupun multilateral. Australia, sebagai negara tujuan IMA, merasa memiliki kepentingan yang lebih tinggi untuk menghentikan arus IMA. Inilah mengapa isu IMA selalu mewarnai perdebatan politik di dalam negeri dan mempengaruhi persepsi masyarakat Australia. Atas dasar urgensi permasalahan ini, Australia mengalokasikan dana cukup besar untuk melaksanakan berbagai operasionalisasi kebijakan khususnya untuk kebijakan pembangunan pusat proses IMA di beberapa negara.24 Sedangkan, Indonesia berada dalam posisi negara transit. Kepentingan Indonesia dalam isu IMA adalah manajemen penanganan IMA yang tertangkap di Indonesia sebelum mereka melanjutkan pelayarannya menuju Australia. Dalam hal ini, Indonesia bukan hanya berkepentingan untuk menangkap IMA tersebut, namun Indonesia berkewajiban untuk memastikan perlindungan dan keselamatan IMA dari bahaya di laut atas dasar hak asasi manusia yang dimilikinya. Tetapi jika melihat realitas kondisi saat ini, Indonesia memang terbatas Australian Government, “Report of the Expert Panel on Asylum Seekers”, Agustus 2012, http://electionwatch.edu. au/sites/default/files/docs/Houston%20Panel%20Report.pdf, diakses pada tanggal 21 Februari 2015. ��
dari segi sumber daya untuk bisa mengelola penanganan IMA secara mandiri tanpa bantuan dana asing. Hal ini membuat lokasi Indonesia, serta sistem perlindungan perbatasan Indonesia yang cenderung lemah, menjadi sangat strategis bagi IMA, dan di sisi lain menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Australia. Dalam merespons kasus pencari suaka sendiri, Indonesia belum memiliki perangkat kebijakan khusus mengenai prsoedur penanganan IMA. Sehingga, selama ini aktivitas Indonesia terkait isu pencari suaka khususnya IMA lebih bersifat reaktif terhadap fenomena dan arus IMA yang terjadi dengan bantuan UNHCR dan International Organizations for Migration (IOM). Dari posisi masing-masing negara, tampak bahwa Australia lebih merasa terancam karena kasus IMA dibandingkan dengan Indonesia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia cenderung dimanfaatkan sebagai negara buffer atau penyangga antara pencari suaka dengan Australia sebagai negara tujuan. Pemerintah Australia selama ini telah berupaya sedemikian rupa untuk berdiplomasi dengan pemerintah Indonesia melalui berbagai jalan, mulai dari Bali Process, kerja sama Regional Cooperation Arrangement, perjanjian Lombok, program the Management and Care of Irregular Immigrants Project di tahun 2007, hingga mencapai Deklarasi Jakarta 2013. Upaya ini memang jelas menunjukkan strategi Australia untuk memperluas jangkauan kekuasaannya di wilayah regional supaya lebih leluasa melakukan upaya pencegahan yang hampir mirip dengan preemptive strike, yakni menyerang “musuh” sebelum “musuh” tersebut dapat masuk atau menyerang ke negaranya. Kebijakan Australia yang semakin agresif terhadap IMA berdampak negatif bagi Indonesia dan bukan tidak mungkin akan berkontribusi pada memburuknya hubungan kerja sama kedua negara. Peningkatan jumlah IMA yang memasuki wilayah Indonesia juga disebabkan oleh berubah haluannya kapal-kapal yang ditolak oleh Australia dan dikembalikan ke wilayah laut Indonesia. Kebijakan sepihak Australia yang dikenal dengan istilah “turn-back-boat” policy ini memicu kemarahan pemerintah Indonesia yang disampaikan melalui Menteri Luar Negeri Indonesia pada waktu itu, Marty
Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) ... | R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas | 77
Natalegawa. Pascapenerapan kebijakan yang belum didiskusikan dengan pemerintah Indonesia ini, berbagai pemberitaan media di Indonesia mulai mewacanakan tindakan Australia ini telah menyimpang dari komitmen kerja sama keamanan kedua negara karena Australia secara sengaja melanggar batas kedaulatan Indonesia. Isu IMA juga menyiratkan upaya hegemoni Australia terhadap Indonesia. Kerangka kerja sama untuk menangani IMA yang dibangun dengan Indonesia tidak dapat dipungkiri turut memastikan mengalirnya sejumlah dana bantuan untuk pengelolaan IMA dalam penampungan sementara, maupun dana operasionalisasi untuk penangkapan perahu-perahu yang berupaya mencapai wilayah Australia. Kombinasi antara penyebaran pemahaman mengenai ancaman yang datang dari IMA, aliran dana bantuan yang cukup besar, serta kebijakan sepihak yang dilakukan oleh Australia ini semakin menegaskan bahwa Australia sedang menjalankan strategi untuk membangun hubungan kerja sama yang tidak seimbang (imbalance relations) dengan Indonesia. Meskipun pemerintahan Australia dan Indonesia seringkali menekankan bahwa ada saling ketergantungan antara kedua negara dalam berbagai aspek kerja sama, dalam kasus IMA pada faktanya pemerintah Indonesia memang belum memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dari Australia. Hal ini dikarenakan selama ini orientasi penyelesaian kasus IMA di Indonesia sebagai negara transit belum maksimal dan komprehensif akibat keterbatasan sumber daya serta belum ada payung hukum spesifik yang mengatur pengelolaannya kasus IMA tersebut. Akibatnya, organisasi internasional yang dibiayai oleh Australia seperti IOM memiliki celah dan akses yang besar (atas persetujuan pemerintah Indonesia, tentunya) untuk bergerak dan justru malah lebih berkontribusi dalam menangani kasus IMA di wilayah Indonesia sendiri. Mulai dari sinilah wacana ketergantungan Indonesia terhadap Australia menjadi lebih nyata. Kini, pascakebijakan unilateral Australia yang memaksa kapal-kapal IMA untuk menjauhi wilayah teritorial Australia dan mengirimnya memasuki wilayah Indonesia, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan respons, yakni menerima begitu saja
peningkatan IMA atau melakukan pendekatan yang tegas terhadap Australia. Seharusnya, tidak butuh waktu lama bagi Indonesia bahwa pendekatan kebijakan IMA Australia saat ini bukan lagi berorientasi pada shared responsibility dengan negara-negara lain yang terkena imbas dari kasus IMA. Saat ini Australia seolah lebih ingin berupaya untuk shifting responsibility kepada negara-negara transit dan negara-negara yang menjalin kerja sama pembentukan offshore processing centre. Perkembangan terakhir, Australia tidak hanya melakukan turn-back-boat policy, tetapi bahkan menolak resettlement bagi pengungsi yang statusnya sudah ditetapkan oleh UNHCR di berbagai offshore processing centre. Penolakan ini menjadi paradoks bagi Australia sendiri karena selama ini Australia memiliki reputasi yang lebih baik di dunia internasional dalam mengakomodasi orang-orang yang sudah terbukti sebagai pengungsi. Australia saat ini terlihat lebih berhasil dalam menghentikan IMA memasuki wilayah teritorialnya. Kondisi ini bisa jadi sudah merasa “aman” dengan kebijakan sepihaknya yang semakin restriktif. Ada kemungkinan bahwa isu IMA ini akan tergeser dengan prioritas agenda lain yang urgensinya dianggap lebih tinggi. Hal ini dikarenakan pendekatan regional yang telah dirintis sejak lama dengan melibatkan Indonesia sebagai co-partner mulai ditinggalkan karena dianggap tidak efektif atau bahkan sulit terealisasi secara nyata. Apabila isu IMA tidak lagi menjadi prioritas agenda hubungan diplomatik kedua negara, maka ini sama dengan membuka jalan bagi kemungkinan terjadinya tragedi kemanusiaan yang lebih besar, sekaligus membuka peluang terjadinya kejahatan transnasional. Situasi ini tidak menguntungkan bagi Indonesia, karena Australia sangat mungkin bertindak pragmatis dengan tidak lagi menganggap perlunya kerangka regional untuk menangani IMA dan memilih menggunakan pendekatan unilateral saja. Padahal, bagi Indonesia isu IMA ini masih menjadi persoalan besar. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya selama ini kerja sama yang dibangun dengan
78 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 69–81
Indonesia lebih untuk kepentingan politik dalam negeri dan keamanan nasional Australia. Tidak heran, apatisme terhadap perlindungan pencari suaka dan pengungsi yang semakin kuat dalam kebijakan Australia menimbulkan kecurigaan akan adanya upaya shifting responsibility. Upaya ini bisa jadi dilakukan oleh Australia karena melihat posisi Indonesia yang “tergantung” dengan bantuan-bantuan dari Australia. Hal ini tidak sepenuhnya benar, bahkan seorang Indonesianis dari Australia menyebutkan “Canberra needs Jakarta more than Jakarta needs Canberra” dalam Australia-Indonesia Dialogue di La Trobe’s Centre for Dialogue pada Juni 2013.25 Pandangan ini menjadi penting karena Australia seharusnya tidak bisa taking for granted dalam konteks hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Apalagi ketika Indonesia telah bersedia berkomitmen dan berbagi keprihatinan yang sama khususnya dalam isu migrasi ireguler, tindakan Australia yang sepihak dan abai terhadap posisi dan kepentingan nasional Indonesia dapat diterjemahkan sebagai upaya ofensif Australia yang tidak menghormati Indonesia sebagai negara tetangga sekaligus sebagai strategic partner. Tidak heran, ketika hubungan diplomatik Australia dan Indonesia memburuk pascakasus penyadapan di tahun 2014, salah satu kerja sama yang dihentikan adalah kerja sama penanganan IMA. Indonesia menunjukkan bahwa posisi tawar Indonesia tidak bisa diremehkan karena Australia pun juga membutuhkan Indonesia jika ingin membuat Operation Sovereign Bordernya lebih berhasil dan efektif. Hal ini membuktikan bahwa sentimen-sentimen semacam ini yang berkembang di kalangan pemerintah maupun masyarakat tidak berkontribusi positif bagi hubungan kerja sama kedua negara di tengah kerentanan hubungan diplomatik AustraliaIndonesia dewasa ini. Perkembangan terakhir saat ini membawa Australia pada kepemimpinan Perdana Menteri yang baru, walaupun masih berasal dari partai Liberal. Perubahan kepemimpinan ini diiringi dengan banyaknya seruan dari dunia internasional, bahkan dari Sekretaris Jenderal PBB, untuk Alberto Gomes, “Relations with Indonesia at Risk”, 4 Juli 2013, http://www.latrobe.edu.au/news/articles/2013/opinion/ relations-with-indonesia-at-risk, diakses pada tanggal 20 Februari 2015. ��
Australia mengkaji ulang pendekatan kebijakan turn-back-boat dan pusat penahanan pencari suaka yang berdampak pada perlakuan tidak manusiawi terhadap IMA.26 Hal ini nampaknya sulit terjadi, mengingat pendekatan yang keras terhadap IMA seperti menjadi ciri platform partai Liberal dalam mencegah masuknya pencari suaka yang beresiko menambah jumlah pengungsi yang harus ditangani oleh Australia. Di sisi lain, Indonesia juga memiliki Presiden baru yang belum terlihat perhatian khususnya terhadap penanganan pencari suaka dan pengungsi yang berada di wilayah Indonesia. Berdasarkan pada kondisi terbaru ini, kerja sama Indonesia-Australia di bawah pemerintahan Perdana Menteri Australia yang baru, Malcom Turnbull, dan Presiden Indonesia, Joko Widodo, dalam penanganan IMA akan tergantung pada pendekatan kedua pemimpin negara ini dalam melihat keberadaan IMA. Selama IMA hanya disorot dari perspektif ancaman keamanan yang kedatangannya berbahaya bagi keberlangsungan hidup masyarakat di suatu negara, maka baik Indonesia dan Australia mungkin akan bekerja sama bukan atas dasar urgensi krisis kemanusiaan. Alih-alih, sudut pandang terhadap IMA sebagai pelaku smuggling akan lebih lekat bagi kedua negara daripada melihat mereka sebagai bagian dari masyarakat internasional yang terancam hak hidupnya akibat berbagai konflik bersenjata yang tidak bisa diselesaikan oleh institusi negara.
Penutup Perubahan kebijakan luar negeri Australia saat ini memang tampak jelas berkembang ke arah yang lebih restriktif dan tegas terhadap IMA. Namun, ketegasan ini sayangnya telah menjadi blunder issue bagi Australia karena tidak mengabaikan aspek-aspek HAM dan kemanusiaan. Ketiadaan kerangka yang jelas untuk memastikan IMA diproses terlebih dahulu sebelum dihakimi sebagai pelaku smuggling atau trafficking membuat kebijakan-kebijakan Australia mengarah pada proses kriminalisasi yang tidak tepat sasaran. Daniel Hurst dan Ben Doherty, “Ban Ki-moon personally asks Malcolm Turnbull to review boat turnback policy”, http://www. theguardian.com/australia-news/ban-ki-moon-personally-asksmalcolm-turnbull-review-asylum-boat-turnback-policy, diakses pada tanggal 12 Februari 2015. ��
Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) ... | R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas | 79
Dalam konteks kerja sama yang dikembangkan Australia dengan Indonesia untuk mengatasi isu IMA, perlu disadari bahwa masing-masing negara memiliki posisi dan sudut pandangnya masing-masing dalam merespon isu ini. Meskipun Australia dan Indonesia memiliki kesepemahaman dalam memandang isu penyelundupan dan perdagangan manusia sebagai bagian dari ancaman keamanan nontradisional, Australia memiliki tingkat insecurity yang lebih tinggi terhadap isu IMA ini. Hal ini terkait dengan suksesi kepemimpinan di dalam politik domestik Australia. IMA tidak bisa dipandang hanya sebagai sebuah ancaman keamanan nasional yang dianggap berbahaya dan ilegal, tetapi ada dimensi krisis kemanusiaan yang tidak dapat diabaikan pula. Persinggungan isu antara IMA dengan kejahatan transnasional membuat IMA dipersepsikan sebagai bentuk praktik ilegal dan mengabaikan fakta bahwa pelaku IMA ini sebenarnya adalah orang-orang yang membutuhkan pertolongan dan perlindungan. Upaya menyeimbangkan kedua aspek ini memang tidak mudah dilaksanakan. Apalagi, isu keamanan nasional dan kedaulatan wilayah selalu menjadi isu klasik yang sensitif bagi Australia maupun Indonesia. Munculnya isu pencari suaka dan aksiaksi sepihak Australia memicu munculnya sentimen-sentimen yang memperburuk persepsi masing-masing negara satu sama lain. Di satu sisi, Indonesia merasa itikad baiknya untuk terus menginisasi forum dialog yang membahas upaya teknis untuk menangani isu IMA tidak dihargai. Di sisi yang lain, arogansi Australia membuat negara tersebut berasumsi bahwa justifikasi kebijakan unilateral Australia merupakan sesuatu hal yang dapat dimaklumi oleh Indonesia. Jika dilihat dari sudut pandang tersebut, jelas sekali Australia dan Indonesia harus benar-benar mengkaji ulang kode etik dalam kerangka kerja sama yang dibangun. Tidak menutup kemungkinan bahwa sentimen yang muncul karena IMA ini akan mempengaruhi aksi-reaksi antara kedua pemerintahan apabila terjadi ketegangan hubungan di kemudian hari.
Daftar Pustaka Buku Department of Immigration and Border Protection Australia. 2013. Asylum Trends Australia: 2012 – 2013 Annual Publication. Canberra: Department of Immigration and Border Protection Evans, Gareth and Bruce Grant. 1991. Australia’s Foreign Relations in the World of The 1990s Melbourne: Melbourne University Press. Mares, Peter. 2002. Borderline: Australia’s Response to Refugees and Asylum Seekers in The Wake of the Tampa. Sydney: University of New South Wales Press. United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR). 2014. UNHCR Asylum Trends 2013: Levels and Trends in Industrialized Countries. Geneva: UNHCR.
Jurnal Dwivedi, Dr. Sangit Devita. 2012. “Alliances in International Relations Theory”. International Journal of Social Science & Interdisciplinary Research, 1 (8): 224-237 Humphrey, Michael. 2003. “Refugees: An endangered species?”. Journal of Sociology March 2003, 39 (1): 31-43 McAdam, Jane dan Kate Purcell. 2008. “Refugee Protection in the Howard Years: Obstructing the Right to Seek Asylum”. Australian Year Book of International Law, 27: 87-113 Perwita, Anak Agung Banyu, PhD. 2008. “Signifikansi Perjanjian Lombok bagi Hubungan Indonesia dan Australia.”. Satria Studi Pertahanan, 4 (4): 42-47
Laporan dan Makalah Phillips, Janet. 2014. “A Comparison of Coalition and Labor Government Asylum Policies in Australia since 2001”. Research Paper Series. Department of Parliamentary Services, Parliament of Australia. UMR Research. 2013. “Australian Perspectives: Insight into asylum seekers & mining”. UMR Research Simon, Kathryn Simon, “Asylum Seeker”, Briefing Paper No 13/08. NSW Parliamentary Library Research Service. Douglas, Joseph H. and Andreas Schloenhardt, 2012. “Combatting Migrant Smuggling with Regional Diplomacy: An Examination of The Bali
80 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 69–81
Process.” Migrant smuggling working group research report. The University of Queensland, 2012.
Surat Kabar dan Website Australian Government. 2012. “Report of the Expert Panel on Asylum Seekers”. http:// electionwatch.edu.au/sites/default/files/docs/ Houston%20Panel%20Report.pdf. ABC news. 2014. “Prime Minister Tony Abbott likens campaign against people smugglers to ‘war’”. http://www.abc.net.au/news/2014-0110/abbott-likens-campaign-against-peoplesmugglers-to-war/5193546. Center for Migration Studies. 2014. “Immigration Control Beyond Australia’s Border”. http:// cmsny.org/immigration-control-beyondaustralias-border/. Department of Immigration and Border Protection Australia. “Illegal Maritime Arrivals”. http:// www.immi.gov.au/About/Pages/ima/info.aspx. Department of Immigration and Border Protection Australia. 2013. “Migration Amendment (Unauthorised MaritimeArrivals and Other Measures) Regulation 2013.” 1 Juni 2013. http://www.immi.gov.au/legislation/ amendments/2013/130601/lc01062013-05.htm. Department of Imigration and Citizenship.“Asylum statistics Australia: Quarterly tables March Quarter 2013”. http://www.immi.gov.au/media/ publications/statistics/asylum/_files/asylumstats-march-quarter-2013.pdf. Gomes, Alberto. 2013. “Relations with Indonesia at Risk”. http://www.latrobe.edu.au/news/ a r t i c l e s / 2 0 1 3 / o p i n i o n / re l a t i o n s - w i t h indonesia-at-risk. Hurst, Daniel dan Ben Doherty. 2015. “Ban Ki-moon personally asks Malcolm Turnbull to review boat turnback policy”. http://www.theguardian. com/australia-news/ban-ki-moon-personally-
asks-malcolm-turnbull-review-asylum-boatturnback-policy. Phillips, Janet dan Harriet Spinks. 2011. “Boat arrivals in Australia since 1976”. http://www. aph.gov.au/About_Parliament/Parliamentary_ Departments/Parliamentary_Library/pubs/rp/ rp1314/BoatArrivals. Rezasyah, Teuku. 2009. “Setahun Perjanjian Lombok: Sekedar Kesepakatan atau Dokumen Strategis?”. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/05/setahun_perjanjian_ lombok.pdf. The Australian. 2010. “Julia Gillard’s speech to the Lowy Institute on Labor’s new asylum-seeker policy for Australia”. http://www.theaustralian. com.au/archive/politics/julia-gillardsspeech-to-the-lowy-institute-on-labors-newasylum-seeker-policy-for-australia/storye6frgczf-1225888445622. The Bali Process. “Bali Process: Regional Cooperation Framework”. http://www.baliprocess.net/ regional-cooperation-framework. UNHCR. “Indonesia Fact Sheet”. http://www.unhcr. org/50001bda9.html. Wardah, Fathiyah. 2013. “Konferensi Pencari Suaka Hasilkan Deklarasi Jakarta”. http://m. voaindonesia.com/a/konferensi-pencari-suakahasilkan-deklarasi-jakarta/1733801.html.
Dampak Kebijakan Illegal Maritime Arrivals (IMA) ... | R.Aj Rizka Fiani Prabaningtyas | 81
82 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
EKSISTENSI KEBANGSAAN DAN PERWUJUDAN KEINDONESIAAN DI WILAYAH PERBATASAN DARAT INDONESIA-MALAYSIA: KASUS KALIMANTAN BARAT1 THE EXISTENCE AND MANIFESTATION OF INDONESIAN NATIONHOOD IN INDONESIA-MALAYSIA BORDER AREA: CASE OF WEST KALIMANTAN Nina Andriana Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 17 Februari 2015; direvisi: 10 Mei 2015; disetujui: 15 Juni 2015 Abstract The conditions of the border area that is full of “limitedness”, indicate the people in that region are more oriented to the neighboring countries, because neighboring countries are better able to overcome the limitations that they have. The presumption that a sense of nationalism in border communities is fragile is not entirely wrong, but also not entirely correct. Many factors that cause a sense of nationalism border communities strong or otherwise, weak. The state has an important role in growing and maintaining a sense of nationality communities across the country, especially in border areas. This paper presents a portrait of a sense of nationhood in the comprehension and daily life of border communities. In the end, this paper aims to give a recommendation to the government and relevant stakeholders, that approach to cultivate and nurture a sense of national border communities must be more innovative and also civilized. Keywords: Border Areas, Nationalism, Government Role. Abstrak Kondisi wilayah perbatasan yang penuh dengan “keterbatasan” menunjukkan indikasi mudahnya masyarakat di wilayah tersebut untuk lebih berorientasi kepada negara tetangga, karena negara tetangga relatif lebih mampu mengatasi keterbatasan yang mereka alami. Anggapan bahwa rasa nasionalisme pada masyarakat perbatasan itu rapuh tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Banyak faktor yang menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat perbatasan menjadi kuat atau sebaliknya, rapuh. Negara memiliki peran penting dalam menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat diseluruh nusantara, khususnya di wilayah perbatasan. Tulisan ini menyajikan potret rasa kebangsaan dalam pemahaman dan keseharian masyarakat perbatasan. Pada akhirnya, tulisan ini ingin memberikan sebuah rekomendasi kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait, bahwa pendekatan untuk menumbuhkan dan memelihara rasa kebangsaan masyarakat perbatasan haruslah lebih inovatif dan humanis serta beradab. Kata Kunci: Wilayah Perbatasan, Nasionalisme, Peran Pemerintah.
Tim peneliti terdiri atas Dr. Firman Noor (Koordinator), Dr. Asvi Warman Adam, Syafuan Rozi, S.IP, M.Si., Nina Andriana, S.IP, M.Si., Wasisto Raharjo Djati, S.IP. 1
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 83
Pendahuluan Persoalan kebangsaan di Indonesia tidak hadir baru-baru ini saja. Sejak zaman kemerdekaan hingga masa otoriter di era Orde Baru, persoalanpersoalan kebangsaan terus bermunculan. Pada era reformasi, kehadiran demokrasi yang bagi sebagian kalangan diyakini dapat menguatkan sentimen kebangsaan 2, nampak belum diperjuangkan secara maksimal dalam mengatasi problematika kebangsaan di beberapa wilayah di tanah air. Fenomena ketergerusan rasa kebangsaan justru tetap masih menggejala di banyak wilayah dan komunitas, dengan pelbagai ekspresi dan pengejawantahannya. Belakangan, tidak saja sentimen kelokalan dan primordial yang mencuat, namun hadir pula sikap dan pandangan yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kebangsaan dan eksistensi keindonesiaan. Kajian Tim Nasionalisme pada tahun-tahun sebelumnya (2007-2012) menunjukan bahwa selain separatisme, persoalan lain yang saat ini patut mendapat perhatian adalah munculnya sebuah fenomena keterasingan dan bahkan pengabaian akan nilai-nilai kebangsaan dan eksistensi negara atau keindonesiaan dalam kehidupan keseharian di sebagian masyarakat kita, yang pada gilirannya berpotensi memudarkan pemahaman dan penyikapan atas hakekat kebangsaan dan keindonesiaan itu sendiri. Meski sampai dengan beberapa tahun ke depan, bisa jadi separatisme secara fisik tidak terjadi di masyarakat tersebut, namun separatisme dalam makna keterasingan akan nilai-nilai kebangsaan di beberapa daerah berpotensi semakin mengkristal. Situasi ini bukan tidak mungkin akan dapat meninggalkan persoalan yang sama sulit dan besarnya dengan separatisme dalam konteks fisik di masa yang akan datang. Sikap abai atas rasa kebangsaan dan keindonesiaan ini tentu saja dapat terjadi dimana saja. Mulai dari wilayah perkotaan yang paling kosmopolitan dan modern, hingga wilayah pedalaman yang paling terasing dan tertinggal. Pada segenap wilayah potensi itu sejatinya ada. Salah satu wilayah yang memiliki potensi besar Ghia Nodia, “Nasionalisme dan Demokrasi,” dalam Larry Diamond & Marc F. Plattner (Eds.), Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi, (Bandung: ITB, 1998). 2
untuk situasi tersebut adalah wilayah perbatasan. Dalam konteks perbatasan, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia patut mendapat perhatian. Beberapa bagian wilayah perbatasan diyakini oleh beberapa kalangan berpotensi besar untuk mengalami ketergerusan atau erosi rasa kebangsaan yang cukup serius.3 Kenyataannya memang pada wilayah perbatasan yang meliputi tiga provinsi (Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat), delapan kabupaten dengan belasan kecamatan ini, memang memiliki tantangan tersendiri dalam soal pemantapan, pengelolaan dan pemeliharaan rasa kebangsaan. Hasil penelitian pada tahun 2013 di wilayah Kalimantan Utara, misalnya, memperlihatkan bahwa salah urus pemerintahan yang berdampak pada masih adanya ketertinggalan dalam berbagai bidang dan sikap negara jiran yang cukup memberikan asa menjadi semacam kekuatan sentrifugal yang dikhawatirkan bisa melunturkan rasa kebangsaan ketimbang memperkuatnya. Secara umum, ketidakhadiran nasion, yang tercermin dari rendahnya keadaban dan kepatutan hidup akibat salah urus negara, dan sikap negara jiran yang mengambil keuntungan dari pelbagai kesulitan hidup menjadi kombinasi yang cukup menyulitkan bangsa ini dalam mengembangkan dan memelihara rasa kebangsaan. Pada tahun 2013 penelitian dilaksanakan di dua Kabupaten yakni, Malinau dan Nunukan. Pada penelitian tahun 2014, pembahasan difokuskan pada wilayah Kalimantan Barat (Kalbar) yang secara administratif memiliki 98 desa, 14 kecamatan dan lima kabupaten yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak (Malaysia). Kelima kabupaten itu adalah Sambas, Bengkayang, Sintang, Sanggau, dan Kapuas Hulu. Kalbar berbatasan langsung dengan Sarawak dengan garis perbatasan yang membentang secara horizontal sepanjang 847,3 km. Amatan sekilas atas wilayah Kalimantan Barat cukup memperlihatkan relevansi kajian kebangsaan ini, mengingat beberapa kejadian atau kecenderungan yang menunjukkan terpinggirkannya rasa kebangsaan dan Maria Dominique, Ancaman di Batas Negeri Kostrad di Perbatasan Entikong (Indonesia-Malaysia), (Jakarta: ReneBook dan Mardom untuk Kostrad, 2012). 3
84 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
keindonesiaan. Penelitian yang dilakukan Ririh M. Safitri, dengan sampel masyarakat Badau, misalnya, memperlihatkan munculnya “identitas baru” yang cukup mengkhawatirkan bagi eksistensi keindonesiaan dan kebangsaan di sana. Peran negara yang lemah atau disfungsional dan ketergantungan masyarakat terhadap negara jiran yang tinggi telah menyebabkan munculnya norma-norma baru yang lebih “praktis” dan relevan dalam keseharian hidup mereka, yang sayangnya kerap berarti tereduksinya identitas mereka sebagai orang Indonesia. Dalam kesehariannya, menurut catatan Ririh, masyarakat Badau tidak saja cenderung meremehkan aturan main yang ditetapkan oleh negara, namun juga tidak terlalu mempedulikan kebangsaan mereka dan bahkan tidak menunjukan rasa bangga sebagai bagian dari Indonesia4. Beberapa kasus kontemporer lainnya yang terjadi di perbatasan Provinsi Kalbar dengan Sarawak seolah juga mengonfirmasi potensi ketergerusan rasa kebangsaan. Fenomena kepemilikan identitas ganda yang kerap berlanjut dengan perpindahan kewarganegaraan masih kerap terjadi. Keterdesakan untuk menyambung hidup biasanya menjadi awal ini semua. Begitu pula dengan keterasingan atas simbol-simbol kebangsaan juga menjadi sesuatu yang cukup menggejala, termasuk keterasingan terhadap lagu kebangsaan5 dan lambang negara. Dalam sebuah adegan film pemenang Festival Film Indonesia 2012 berjudul “Tanah Surga Katanya”, yang berangkat dari kisah nyata, diperlihatkan bagaimana bendera Merah Putih nampak tidak berarti dan tidak dimengerti oleh masyarakat di wilayah pedalaman Entikong. Bahkan dalam sebuah film dokumenter berjudul “Tapal Batas” diperlihatkan sosok warga perbatasan yang asing terhadap lambang Burung Garuda Pancasila. Dalam kehidupan keseharian, sebagian wilayah di Kalbar malah masih menggunakan
waktu yang berlaku di Malaysia. Menurut Kepala Dusun Seridan, Desa Laja Sandang, Kecamatan Empanang, Kapuas Hulu Hendri Bulan: “Dari dulu memang kita menggunakan jam Malaysia. Sekarang pun ada yang masih, terutama orang-orang tua. Makanya kalau orang-orang tua bilang jam 08.00, itu artinya jam 07.00 waktu Indonesia... Baru sekitar satu tahun ini mulai menggunakan waktu Indonesia. Itu pun hanya kalangan muda saja...”.6
Dalam dunia perdagangan, masyarakat di sana nampak terbiasa menggunakan mata uang Ringgit Malaysia. 7 Kebanyakan merekapun lebih berorientasi berdagang dan bekerja di Malaysia ketimbang di negeri sendiri.8 Tidak itu saja, mereka pun nampak lebih mempercayakan pendidikan dan masa depan anak cucunya kepada negara jiran itu. Terbukti masih banyaknya orang tua yang menyekolahkan anaknya di Malaysia, dengan harapan bahwa suatu saat mereka dapat bekerja dan tinggal dengan layak di sana. Alasan klasik terjadinya hal ini adalah karena pendidikan yang murah dan berkualitas dan harapan mendapatkan pekerjaan yang layak di kemudian hari.9 Sehubungan dengan situasi di atas, sebuah penelitian yang dapat memotret secara langsung dan objektif tentang kondisi kebangsaan, tanpa berpretensi untuk menghakimi seseorang atau sekelompok orang, perlu untuk dikembangkan. Penelitian ini juga sebagai media konfirmasi atas pemberitaan dan asumsi yang berkembang di wilayah perbatasan. Berdasarkan pengalaman pada tahun sebelumnya, ada sebagian pemberitaan dan asumsi yang memang tepat, namun ada pula yang merupakan mitos atau sesuatu yang dilebih-lebihkan. Penelitian ini pada akhirnya http://www.equator-news.com/kapuas-hulu/20121203/ masyarakat-perbatasan-masih-berpatokan-waktu-malaysia, diakses pada tanggal 7 Januari 2014. 6
Djibril Muhammad, “Warga RI di Perbatasan Lebih Mudah Bertransaksi dengan Ringgit,” 9 Desember 2011, http://www. republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/12/09/lvxkb7warga-ri-di-perbatasan-lebih-mudah-bertransaksi-denganringgit, diakses pada tanggal 7 Januari 2014. 7
Ririh M. Safitri, Disfungsi Negara di Wilayah Perbatasan: Studi tentang Melemahnya Nasionalisme di Badau, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, skirpsi, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 2013). 4
“Pemerintah Harusnya Malu, Warga di Perbatasan Ramerame Cari Kerja di Malaysia,” 30 April 2012. http://www. suarapembaruan.com/home/pemerintah-harusnya-malu-wargadi-perbatasan-rame-rame-cari-kerja-di-malaysia/19635, diakses pada tanggal 7 Januari 2014.
8
5
“Pemerintah Harusnya Malu…”, op.cit.
Nurul Hayat (Ed), “Warga Perbatasan Masih Sekolahkan Anak Di Malaysia,” 13 Oktober 2013. http://www.antarakalbar.com/ berita/317022/warga-perbatasan-masih-sekolahkan-anak-dimalaysia, diakses pada tanggal 7 Januari 2014. 9
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 85
diharapkan dapat membawa pemahaman atas situasi kebangsaan masyarakat di perbatasan era kontemporer secara obyektif. Kajian ini bertujuan menganalisa kondisi atau kualitas rasa kebangsaan masyarakat di wilayah perbatasan, melalui “ekspresi kebangsaan” dalam keseharian masyarakatnya lalu pemahaman atas kebangsaan itu sendiri. Pada akhirnya akan dihasilkan rekomendasi yang mampu melihat peluang dan kendala tumbuhnya rasa kebangsaan di wilayah perbatasan.
Kerangka Pemikiran Mengingat bahwa penelitian ini merupakan bagian dari penelitian serial yang telah berlangsung sejak tahun 2013, atau dengan kata lain merupakan kelanjutan atau bagian kedua dari penelitian yang sama namun dengan lokasi penelitian yang berbeda, maka kerangka konseptual yang digunakan pada penelitian ini secara umum tidak banyak berbeda. Konsep-konsep yang digunakan dalam hal ini adalah konsep kebangsaan, indikasi kebangsaan, nation dan upaya menghadirkannya serta makna perbatasan dalam konteks kebangsaan.
1. Konsep Kebangsaan Penelitian ini secara mendasar berupaya melihat pertumbuhan kebangsaan sebagai sesuatu yang dikembangkan oleh para intelegensia-pejuang yang kemudian disebut sebagai para bapak bangsa. Dalam kondisi ini, peran mereka dalam meramu pelbagai pendekatan dan argumentasi untuk menguatkan hakekat kebangsaan yang dikehendaki demikian kental dan dominan. Merekalah yang mengejawantahkan amanat penderitaan rakyat, yang secara umum masih belum banyak memahami secara persis situasi yang terjadi dan arah perkembangannya. Hal ini sejalan dengan pandangan kaum instrumentalis yang melihat rasa kebangsaan sebagai hasil kreatif elit politik untuk menumbuhkan sebuah identitas kolektif dengan mengaitkannya dengan berbagai hal termasuk mitologi, harga diri, kesejarahan, hingga kepentingan material. Hasil rekayasa inilah yang di kemudian hari menjadi pembenar atas terbentuknya batas antara “kami” dan “mereka”
sekaligus membentuk sebuah identitas baru untuk membenarkan keberadaan sebuah bangsa. Dengan kata lain, semangat pembentukan identitas atas dasar kesamaan masa lalu dan kepentingan ke depan yang memberi makna atas hakekat kebangsaan lebih kuat dibandingkan dengan pertimbangan-pertimbangan kesamaan kultural. Sejalan dengan itu, definisi nasionalisme atau rasa kebangsaan pada penelitian ini, yang juga digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya, adalah: “kemauan untuk rela bersatu atas dasar dialektika sejarah dan kesamaan visi serta kepentingan masa depan di mana semangat kemanusiaan menjadi landasannya. Secara lebih spesifik dalam makna keindonesiaan hal itu dikaitkan dengan nilai-nilai persamaan, keadilan, dan demokrasi yang didampingkan dengan nilainilai ketuhanan dan persatuan”.10 Akar dari konsep itu berangkat dari berbagai definisi mengenai kebangsaan yang dikemukakan oleh beberapa figur terkenal dalam kajian mengenai kebangsaan. Diantaranya adalah definisi yang dikembangkan oleh filsuf Perancis Ernest Renan. Dalam bukunya “Apakah Bangsa Itu?”, Renan menyimpulkan bahwa nasionalisme merupakan kesadaran untuk bersatu tanpa paksaan yang dituntun oleh obsesi mewujudkan sebuah kepentingan kolektif yang dianggap luhur11, yang pada akhirnya menciptakan sebuah identitas nasion atau identitas sebuah bangsa. Guibernau dan Rex sedikit banyak juga memiliki pandangan yang hampir sama, yaitu bahwa nasionalisme merupakan kesediaan bersatu secara sukarela dalam semangat persamaan dan kewarganegaraan (trans-etnis, pen) dengan dilandasi oleh semangat mengedepankan hak-hak warga di dalamnya12. Tokoh lain yang digunakan untuk melandasi konsep kebangsaan tim ini adalah Gellner, menekankan akan arti keterikatan budaya yang Firman Noor (Ed), Nasionalisme, Demokratisasi dan Sentimen Primordialisme, (Jakarta: P2P LIPI, 2007). 10
Ernest Renan, “Qu’est-ce qu’une nation” (What is nasion?), terjemahan oleh Martin Thom dalam H.K Bhabha ed, Nation and Nationalism, (London and New York: Routledge, 1990). 11
Montserrat Guibernau dan John Rex, (Eds.), The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations, (Cambridge: Polity Press, 1997), hlm. 8. 12
86 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
sama (shared culture) yang menyatukan sesama anak bangsa. Gellner mengatakan: “Nationalism is a political principle which maintains that similarity of culture is the basic social bond. Whatever principles of authority may exist between people depend for their legitimacy on the fact the members of the group concerned are of the same culture…only members of the appropriate culture may join the unit in question, and all of them must do so…”13.
Dalam kaitannya dengan peran nasion atau keindonesiaan, menurut pandangan Mochtar Pabottingi adalah terkait erat dengan upaya-upaya untuk menghadirkan hakekat keindonesiaan di seluruh penjuru negeri. Tujuan asasinya adalah tidak lain untuk menciptakan dan menyebarkan keadilan dan keadaban yang lebih konkret dan bermartabat di seluruh nusantara. Perwujudan nasion ini merupakan langkah selanjutnya setelah nasionalisme telah terbentuk.14
2. Indikasi kebangsaan Berbagai parameter telah dikembangkan untuk mengukur apa yang disebut kadar atau kualitas kebangsaan, yang darinya dapat disimpulkan kedudukan atau keberadaan kebangsaan di sebuah komunitas atau wilayah. Suatu hal yang patut dicermati dengan bijak bahwa parameter ini tidak bisa dilepaskan dari cara kita memahami hakekat kebangsaan itu sendiri. Dari berbagai definisi dan juga berdasarkan amatan atas perkembangan konsep kebangsaan, penelitian ini memiliki tiga indikator untuk menakar eksistensi rasa kebangsaan. Pertama, rasa kebangsaan senantiasa terkait dengan upaya menumbuhkan dan memelihara “identitas kolektif yang mengikat dan menumbuhkan rasa persaudaraan sebangsa”. Identitas ini dapat dilandasi oleh ikatan primordial (etnis dan agama), mitos, sejarah kebesaran masa Ernest Gellner, Nationalism, (London: Phoenix, 1997), Peter Faber, “Evolving Idea of Nationalism”, hlm. 4. www.isn.ethz. ch., diakses pada tanggal 14 Januari 2014. 13
Mengikuti pandangan Gellner, menurut Pabottingi nasionalisme sejatinya hadir dan diperjuangkan hanya selama nasion belum terwujud Lihat Ernest Gellner, Thought and Change, (Chicago: University of Chicago Press, 1965), hlm. 169. 14
lalu, atau nilai-nilai ideal, yang pada akhirnya menjelma sebagai pembentuk rasa persaudaraan yang kental. Secara internal identitas ini menyebabkan hadirnya rasa nyaman dan aman, dan secara eksternal menciptakan batasan antara sebuah komunitas kebangsaan dengan komunitas lainnya. Mereka yang tidak sepakat dengan identitas kolektif ini kerap dipandang sebagai pihak yang tidak cukup berkomitmen untuk membela eksistensi kebangsaan, sehingga layak disingkirkan atau diperangi. Kedua, rasa kebangsaan kerap berarti adanya sebuah “obsesi dan cita-cita bersama untuk membangun kebaikan dan kebanggaan kolektif”. Adanya obsesi menciptakan definisi tentang apa yang menjadi tujuan berbangsa? Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencapai obsesi tersebut? Siapa saja yang harus bersama mewujudkan? dan kepada siapa upaya itu diabdikan? Dalam bentuk konkretnya “obsesi” ini mewujud pada kesadaran kolektif yang dibimbing oleh ideologi dan konstitusi negara. Sementara itu, dalam soal “membangun kebanggaan kolektif” rasa kebangsaan berarti sebuah kesadaran untuk mendahulukan kepentingan dan mewartakan keunggulan bangsanya, termasuk keunggulan atas segenap karya cipta bangsa. Ketiga, eksistensi rasa kebangsaan umumnya terkait dengan “pemahaman dan penghargaan akan simbol-simbol kenegaraan beserta otoritas politik didalamnya”. Dalam level ini, rasa kebangsaan hadir dalam bentuknya yang simbolis. Penghargaan terhadap bendera, lagu kebangsaan, letak geografis, hingga pengetahuan akan pimpinan politik dan tokoh-tokoh serta pahlawan negara tercakup didalamnya. Bagi sebagian kalangan, level relevansi ketiga indikator itu tidak cukup dan mengandung banyak kontroversi serta terlalu menyederhanakan masalah. Namun demikian, ketiganya kerap hadir manakala rasa kebangsaan itu dibincangkan atau didebatkan. Atribut ideologis, sentimen atau rasa dan simbol kebangsaan, dengan demikian jelas tidak dapat dinafikan saat menakar eksistensi kebangsaan sebuah komunitas.
3. Nasion dan Upaya Menghadirkannya Menurut Gellner, sebuah nasion mewujud saat sebuah komunitas dengan budaya yang
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 87
sama –termasuk kesamaan dalam konteks sistem ide, simbol, perkumpulan dan cara bertingkah laku dan berkomunikasi—mengakui bahwa mereka terikat oleh rasa persaudaraan atas dasar kebangsaan.15 Dalam makna pengakuan sukarela itu, maka nasion atau bangsa adalah sebuah hasil dari kesepakatan luhur di antara mereka yang tinggal di dalamnya. Nasion bukanlah sekedar identitas, melainkan sebuah komitmen untuk hidup bersama dan obsesi untuk mewujudkan kepentingan yang sama. Dalam bahasa Pabottingi, nasion16 adalah “Kolektivitas politik egaliter-otosentris, yang kontermus dengan wilayah politiknya serta lahir dari-atau rujukan bersama pada rangkaian dialektika serta aksiden sejarah yang sarat makna dengan proyeksi eksistensial tanpa batasan waktu ke masa depan” 17 . Dengan demikian, inti dari nasion adalah kerelaan untuk hidup bersama. Menurut Pabottingi, nasion secara lebih spesifik, atau dalam makna yang lebih praksis, berarti sebuah penghargaan kolektif sekaligus pengakuan atas solidaritas, inklusivisme, keadaban, kesaling-percayaan, dan pluralitas. Kehadiran nasion merupakan kehadiran kelimanya yang dapat terjadi melalui sebuah kerja-kerja konkret. Kelima prinsip itu pada hakekatnya merupakan nilai-nilai dasar yang diturunkan dari satu generasi ke generasi lainnya.18 Untuk mewujudkan nasion dibutuhkan seperangkat sistem, institusi dan agensi. Dalam hal ini kita berarti berbicara mengenai institusiinstitusi yang relevan dan otoritatif baik dalam makna politik ataupun kapabilitas untuk bersamasama mewujudkannya. Melalui keberadaan berbagai institusi itu, kelima prinsip dasar tersebut harus diwujudkan, melalui program dan aksi yang konkret. Inilah yang disebut dalam penelitian ini sebagai “program-program 15
Ibid, hlm.7.
Nasion adalah sebutan yang digunakan oleh Mochtar Pabottingi untuk mendefisnisikan nasionalisme atau kebangsaan. 16
Mochtar Pabottingi, Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosintresitas dari Sisi Historis-Politik di Indonesia, Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan Kewilayahan-LIPI, (Jakarta: PPW-LIPI, 2000), hlm. 12 17
18
Ibid.
keindonesiaan”. Keberadaannya dapat dipandang sebagai bagian dari upaya “rekayasa” sosial dan politik yang menandai hadirnya keindonesiaan dalam sebuah wilayah. Terkait dengan daerah perbatasan Kalimantan Barat dan Malaysia, adanya kemiskinan yang berkelanjutan, lemahnya SDM yang terus menggejala, dan segenap bentuk keterbelakangan menjadi bukti dari absennya program-program keindonesiaan. Dalam kondisi sedemikian, tidak mengherankan bangun keindonesiaan itu kerap menjadi demikian ringkih.
4. Makna Perbatasan dalam Konteks Kebangsaan Pembentukan sebuah perbatasan pada dasarnya lebih merupakan hasil dari kerja-kerja legalpolitik dan sosial untuk membentuk apa yang disebut “kategori sosial”, ketimbang sebagai upaya pengukuhan sebuah kepentingan budaya atau primordial. 19 Dengan sudut pandang itu, batas negara hadir lebih sebagai sebuah kesepakatan legal-politis untuk membentuk komunitas baru dan imajiner yang cenderung pada akhirnya terbebas dari batasan-batasan kultural. Sebagai konsekuensinya keberadaan perbatasan atau border kerap bertabrakan dengan batas-batas primordial. Terbukti, misalnya, saat ini semakin banyak negara yang sifatnya lintas etnis dan semakin banyak pula perbatasan yang melintasi dan memisahkan komunitas yang secara primordial atau mitologi sama. Terlepas dari hubungan yang saling menguatkan atau melemahkan, persoalan nasionalisme atau rasa kebangsaan pada hakekatnya adalah persoalan pembentukan sebuah perbatasan. Dengan kata lain, kaitan antara perbatasan dan rasa kebangsaan adalah kuat. Pernyataan Conversi berikut ini menyimpulkan hubungan antara perbatasan dan nasionalisme, dimana dia mengatakan bahwa “nationalism is both a process of border maintenance and creation”20. Lihat misalnya, Fredrick Barth (Ed), Ethnic Groups and Boundaries: Social Organization of Cultural Difference, (London: Allen & Unwin, 1969). 19
Daniele Conversi, “Reassessing Current Theories Of Nationalism: Nationalism As Boundary Maintenance And Creation”, in Nationalism and Ethnic Politis, Vol.1, No. 1, 20
88 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
Dalam konteks perbatasan IndonesiaMalaysia, beberapa kajian menunjukan bahwa perbatasan yang terbentuk tidak dapat dilepaskan dari aspek historis yang dibentuk antara elite penguasa baik pribumi atau yang melibatkan kalangan asing dan kepentingan yang bersifat menjaga teritori, yang terutama terkait dengan kepemilikan sumber daya alam.21 Persaingan antara negara-negara kolonial dalam mengamankan wilayah jajahannya menjadi sebuah episode sejarah yang turut menentukan penciptaan garis demarkasi yang memisahkan kedua bangsa. Dalam perkembangannya, masing-masing negara berupaya semakin menguatkan makna perbatasan itu sebagai konsekuensi keberadaan nation-state yang memiliki seperangkat kepentingan yang berbeda.
Hasil Kajian (Pembahasan dan Analisa) Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh tim penelitian ini, ditemukan bahwa persoalan rasa kebangsaan pada masyarakat perbatasan seringkali dianggap sebagai sesuatu hal yang amat sensitif untuk diperbincangkan. Anggapan seperti ini cenderung disampaikan oleh para tokoh masyarakat dan khususnya aparat desa di Badau, Aruk dan Temajuk. Bagi mereka, tidak ada masalah dengan masyarakat perbatasan akan rasa keindonesiaannya. Sebaliknya, beberapa kalangan yang berasal dari tokoh pemuda di tiga wilayah tersebut secara langsung ataupu tidak, menyatakan bahwa keindonesiaan masyarakat perbatasan teramat rapuh. Anggapan terakhir ini lebih dilatarbelakangi oleh kondisi perbatasan (yang serba terbatas) yang amat cair dan mudah untuk dipengaruhi oleh pihak-pihak di luar Indonesia. Melalui kajian ini, tim menjawab berbagai anggapan kalangan di luar masyarakat perbatasan terkait rasa keindonesiaan yang rapuh dari masyarakat perbatasan darat IndonesiaMalaysia. Penelusuran data dan fakta yang telah dilakukan dapat menggambarkan kondisi terkini rasa keindonesiaan masyarakat perbatasan, yang dalam hal ini adalah masyarakat Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu (Kecamatan Spring 1995, hlm. 77. Lihat misalnya Noboru Ishikawa, Between Frontiers, Nation and Identity in a Southeast Asian Borderland, (Copenhagen: NIAS Press, 2010). 21
Badau) dan Kabupaten Sambas (Desa Aruk dan Desa temajuk). Kedua Kabupaten tersebut merupakan kabupaten-kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan wilayah Serawak, Malaysia. 1. Pemahaman atas Keindonesiaan Secara garis besar, pemahaman umum terhadap keindonesiaan yang ditemukan pada masyarakat perbatasan di Kecamatan Badau dengan Desa Aruk dan Desa Temajuk tidak lah jauh berbeda. Bagi masyarakat di wilayah-wilayah tersebut, keindonesiaan dipahami sebagai bentuk-bentuk22 kehadiran negara dalam kehidupan mereka. Aktualisasi rasa keindonesiaan bagi masyarakat perbatasan adalah suatu rasa yang akan muncul dari kepedulian negara/pemerintah terhadap kesejahteraan hidup mereka. Keindonesiaan yang hadir di masyarakat perbatasan tidak dapat lagi dianggap sebagai sesuatu yang dipaksakan kehadirannya, baik melalui doktrin militer atau pun doktrin kurikulum pendidikan. Imajinasiimajinasi tentang NKRI sebagai harga mati yang menjadi pendekatan keamanan dalam mengelola perbatasan selama ini, harus dibarengi dengan pendekatan humanis yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat perbatasan. Secara umum masyarakat di luar perbatasan amat memahami bahwa wilayah mereka adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pemahaman itu mereka pun amat mengerti dengan kewajiban mereka menjaga keutuhan dan kehormatan bangsanya. Sikap bela negara amat kentara dan tidak perlu sepertinya dipertanyakan lagi dari masyarakat Badau dan Aruk serta Temajuk. Beberapa kalangan yang ditemui di Badau misalnya, menyebut bahwa mereka akan sangat melindungi tumpah darah Indonesia. Tidak sejengkal tanah pun akan mereka biarkan dirampas dengan semena-mena oleh negara tetangga.23 Bentuk-bentuk kehadiran negara dalam hlm ini adalah berbagai fasilitas yang disediakan oleh negara dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat perbatasan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, infrastruktur trasnportasi dan lain sebagainya. 22
Pernyataan ini disampaikan oleh salah satu tokoh pemuda di Desa Badau, yaitu Rockling, tokoh Pemuda dari suku Dayak Iban. Pernyataan ini juga disetujui oleh pemuda lain yang hadir 23
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 89
Persoalan kepemilikan dan tapal batas negara ini mejadi sesuatu hal menarik dalam kasus yang ditemui di Badau. Suku atau etnis yang hidup di wilayah perbatasan Indonesia (Desa Badau)-Malaysia (Kota Lubok Antu) pada PPLB Badau ini adalah sama, yaitu suku Dayak Iban. Ketika garis batas negara telah ditetapkan antara Indonesia dan Malaysia, maka banyak sekali ditemukan bahwa garis batas negara tersebut sama sekali tidak sejalan dengan garis batas kepemilikan tanah masyarakat Dayak Iban sebelum Indonesia dan Malaysia hadir sebagai sebuah negara berdaulat. Banyak posisi tanah penduduk dengan satu nama kepemilikan akhirnya terbagi menjadi dua akibat tapal batas dua negara tersebut. Pada masa itu, masyarakat perbatasan tidak menganggap persoalan tidak sejalannya tapal batas negara dan tapal batas kepemilikan tanah masyarakat Dayak Iban sebagai sebuah masalah besar. Mereka tidak lantas menuntut negara tempat mereka berdiam karena telah membuat posisi tanah mereka menjadi terbelah. Saling bertukar posisi kepemilikan tanah dijadikan sebagai solusi masyarakat Dayak Iban di dua negara. Kesepakatan ini berlangsung dengan baik tak lain juga disebabkan adanya kesamaan suku dan hubungan kekerabatan dari masingmasing pemilik tanah yang berada di garis batas Indonesia-Malaysia. Hal yang menarik adalah, ketika terjadi persoalan adanya pencaplokan tanah dari negara tetangga, masyarakat Dayak Iban di Badau pun tidak tinggal diam, mereka akan mempertahankan kepemilikan tanah mereka tersebut. Karena bagi masyarakat Iban sendiri, tanah merupakan harga dari kehormatan keluarganya. Sehingga mereka akan sangat melindungi dan menjaga kehormatan itu.24 Jika ditelusuri lebih jauh, pembelaan masyarakat Dayak Iban di Badau atas persoalan kepemilikan tanah, sesungguhnya tidak berhubungan langsung dengan usaha bela negara. Dalam wawancara yang dilakukan tim
terhadap beberapa tokoh pemuda25 di Badau, mereka dengan jelas menyatakan bahwa ini adalah persoalan tanah leluhur dan kehormatan mereka sebagai seorang Dayak Iban, jadi tidak ada hubungannya dengan negara. Namun tentunya ini menjadi hal yang baik untuk dapat “dimanfaatkan” oleh pemerintah dalam persoalan penjagaan tapal batas. Tingginya nilai kehormatan atas kepemilikan tanah sedikit banyak membantu pemerintah menjaga garis batas yang ada di wilayah Badau dengan wilayah Malaysia. Kondisi kepemilikan tanah sebagai harga kehormatan masyarakat Dayak Iban dan dilindungi oleh hukum adatnya, sesungguhnya merupakan aset berharga dalam menjamin keberlangsungan keindonesiaan di perbatasan Badau, Indonesia dengan Lubok Antu, Malaysia dalam hal garis batas teritorial. Dalam hal ini, secara tidak langsung, nilai-nilai adat terhadap perlindungan atas hak tanah memberikan sumbangsih atas usaha menumbuhkan dan memelihara rasa bela negara. Meskipun pembelaaan atas hak tanah dianggap tidak berhubungan langsung atas usaha bela negara, namun para tokoh yang ditemui di Badau menyatakan tidak serta merta bahwa rasa bela negara itu menjadi tidak ada pada diri masyarakat Badau.26 Sejarah telah menunjukkan seberapa besar kecintaan masyarakat Badau pada Indonesia. Pengalaman pada masa perang paraku sekitar tahun 60-an bagi mereka adalah sebuah bukti bahwa mereka amat mencintai Indonesia. Pilihan yang tidak mudah kala itu adalah mereka harus memerangi masyarakat di Malaysia yang tak lain berasal dari etnis yang sama dengan mereka. Bahkan memiliki hubungan kerabat dengan beberapa masyarakat Dayak Iban di Badau. Pengorbanan yang telah diberikan oleh pendahulu mereka pada masa peperangan itu merupakan harga mahal yang tidak akan Pernyataan ini disampaikan oleh salah satu tokoh pemuda di Desa Badau, yaitu Rockling, tokoh Pemuda dari suku Dayak Iban. Pernyataan ini juga disetujui oleh pemuda lain yang hadir dalam wawancara ini yaitu Herolius dan Pilipus Piyan. Badau, 16 Agustus 2014. 25
Wawancara dengan Luther Anak Idig, Ketua Dewan Adat Badau, di Badau, 16 Agustus 2014; Rockling, Tokoh Pemuda Iban, di Badau 16 Agustus 2014; Herolius, warga masyarakat, di Badau, 16 Agustus 2014; Pilipus Piyan, tokoh politik, di Badau, 16 Agustus 2014; Alfianto Kepala Kesbangpol Pemda Putussibau, di Putussibau, 20 Agustus 2014. 26
dalam wawancara ini yaitu Herolius dan Pilipus Piyan. Badau, 16 Agustus 2014. Wawancara dengan Rockling, Tokoh Pemuda Suku Dayak Iban, Badau, 16 Agustus 2014. 24
90 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
pernah mereka khianati dengan bertoleransi terhadap berbagai sikap negara tetangga yang merendahkan bangsa Indonesia.
rombongan yang datang menggunakan helikopter dari Pontianak. Berikut ini penjelasan Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, saat itu:
Rasa keindonesiaan yang identik dengan semangat patriotisme ini pun ditemukan dalam rangkaian kajian ini di Desa Aruk dan Temajuk. Hal yang amat menarik adalah ketika adanya pemberitaan tentang pencaplokan sekitar 1000an ha wilayah sebuah dusun di Desa Temajuk bernama Camar Bulan oleh pemerintah Malaysia. Kemarahan yang amat sangat dirasakan tidak hanya oleh pihak pemerintah daerah dan pusat, tetapi juga dirasakan masyarakat Desa Temajuk. Bagi mereka, hal yang dilakukan oleh pihak Malaysia tersebut sangat melukai hati mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Isu perbatasan yang menyinggung kesadaran kebangsaan ini mencuat ketika Gubernur Kalbar Cornelis dikejutkan dengan laporan stafnya soal kabar di lapangan bahwa ada klaim masuknya wilayah di Dusun Camar Bulan seluas 1.499 hektare ke dalam wilayah administratif Pemerintah Diraja Malaysia, yaitu wilayah Sematan, Serawak. Permasalahan berpindahnya patok tapal batas Indonesia-Malaysia di Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Sambas 2011 yang lalu, justru menjadi penyemangat Pemerintah RI untuk membangun infrastruktur di wilayah tersebut.27 Suasana di Desa Temajuk, desa kecil di sudut utara Provinsi Kalimantan Barat itu mendadak lebih ramai dibanding hari-hari biasanya pada Jumat malam. Desa yang dihuni sekitar 1.432 jiwa itu telah kedatangan pejabat negara dari Jakarta, ibu kota Indonesia. Tamu-tamu penting tersebut adalah tiga menteri yakni Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat HR Agung Laksono, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufrie. Adanya kedatangan para menteri pemerintahan Presiden SBY yang lengkap dengan “unsur-unsur” pendukung seperti pejabat terkait di instansi masing-masing menjadi hal yang sangat penting bagi warga perbatasan. Gubernur Kalbar Cornelis dan Bupati Sambas Juliarti Djuhardi Alwi, telah bertindak sebagai tuan rumah dengan menyambut kedatangan Wawancara dengan narasumber AA, warga Temajuk, 15 Juli 2014. 27
“….Camar Bulan yang ada di desa Temajuk ini adalah wilayah Indonesia yang sah berdasarkan Traktat London tahun 1824. Sebagai seorang gubernur, tak sejengkal tanah pun akan saya serahkan kepada Pemerintah Malaysia. Traktat London, adalah perjanjian kesepakatan bersama antara Kerajaan Inggris dan Belanda terkait pembagian wilayah administrasi tanah jajahan kedua negara. Traktat London ditandatangani 17 Maret 1824 dengan tujuan utama mengatasi konflik yang bermunculan seiring perjanjian sebelumnya, Perjanjian Britania – Belanda pada tahun 1814. Selain itu, ada pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan Malaysia di Kinabalu, pada 1976, dan hasil pertemuan kedua negara di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1978 yang menyebut Camar Bulan masuk wilayah Malaysia segera dibatalkan karena bertentangan dengan Traktat London, Peta Belanda dan Peta Inggris. Tanah itu akan tetap saya pertahankan sebagai wilayah NKRI….”.28
Gubernur Kalbar, Cornelis mengatakan juga bahwa ia telah mendapat informasi bahwa, Badan Survei dan Pemetaan Nasional, Kerajaan Malaysia, sudah memasukkan Camar Bulan ke dalam wilayah Malaysia. Dengan tegas ia meminta supaya tidak ditandatangani karena sangat merugikan Indonesia, khususnya wilayah administrasi Kalbar. Hingga tulisan ini dibuat, wilayah Camar Bulan seluas 1.499 hektar masih dimasukkan oleh Malaysia sebagai bagian dari wilayah Sematan Serawak dan jalan keluar yang dipilih oleh Indonesia dan Malaysia dalam hal ini adalah dengan melakukan pengukuran kembali secara bersama. Status tanah di Dusun Camar Bulan hingga saat ini adalah Outstanding Boundary Problems(OBP).29 Pada satu sisi kasus Camar Bulan menciptakan kegaduhan di tingkat lokal dan nasional serta hubungan bilateral Indonesia dan Malaysia, pada sisi lainnya kasus Camar Bulan memberikan dampak yang positif Informasi ini disampaikan oleh salah satu staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat dalam sebuah wawancara dengan wartawan JPNN. Lihat. “Peta Camar Bulan Ditandatangani Militer Indonesia-Malaysia”, 11 Oktober 2011, http://www.jpnn.com/read/2011/10/11/105155/ Peta-Camar-Bulan-Ditandatangani-Militer-IndonesiaMalaysia-, diakses pada tanggal 15 Desember 2014. 28
29
Ibid.
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 91
bagi masyarakat di sana. Pembangunan yang sangat masif mulai berlangsung demi menjaga rasa keindonesiaan masyarakat diwilayah perbatasan tersebut. Kini kondisi Temajuk cenderung mulai maju pesat, baik kondisi infrastruktur jalan yang kian mulus, ada perpustakaan desa, pasar yang kian ramai, penerangan listrik yang mulai menyebar walaupun sering ada keluhan, maupun masuknya sarana informasi dan komunikasi lewat jaringan seluler. Pemahaman terhadap keindonesiaan juga beriringan dengan pengetahuan yang dimiliki seseorang terhadap Indonesia. Kecintaan seseorang terhadap sesuatu sangat dipengaruhi oleh sejauh mana ia mengenal dan memahami sesuatu tersebut. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di Kecamatan Badau, hampir sebagian besar masyarakat yang berasal dari generasi tua justru memiliki pengetahuan yang cukup tentang berbagai simbol dan atribut yang mencerminkan keindonesiaan. Seperti lambang negara, kepala negara, sejarah bangsa dan lain sebagainya. Namun hal ini cukup mengejutkan ketika ditemukan fakta sebaliknya pada kelompok usia sekolah. Pengetahuan tentang letak geografis Indonesia beserta pulau-pulau dan provinsinya hingga tulisan ini diturunkan, belum lah utuh. Meskipun mereka dapat menyebutkan beberapa simbol negara penting, namun tentang sejarah bangsa Indonesia sendiri masih belum dapat dijelaskan dengan baik oleh murid-murid pada tingkat Sekolah Menengah Atas. Pada level inilah sesungguhnya aktualisasi keindonesiaan memiliki persoalan dan pekerjaan rumah penting bagi pemerintah, baik lokal/daerah maupun pusat. Anak-anak usia sekolah ini adalah generasi penerus bangsa yang nantinya akan dititipkan cita-cita besar membangun Indonesia yang sejahtera dan berdaulat. Bagaimana kita bisa mengharapkan mereka untuk mencintai dan membangun bangsanya jika tidak didahului dengan penguasaan pengetahuan yang cukup dan utuh tentang sejarah bangsa, wilayah geografis dan simbol-simbol kenegaraan yang melekat pada nya. Seperti telah disampaikan pada bagian sebelumnya, kecintaan seseorang pada sesuatu berawal dari pengetahuan yang ia miliki terhadap sesuatu tersebut.
Hal menarik yang juga ditemukan dalam kajian ini adalah adanya persepsi berbanding terbalik dalam benak kelompok usia sekolah ketika mendeskripsikan Indonesia dan Malaysia. Indonesia lebih banyak dideskripsikan dalam konotasi yang negatif, seperti, tidak beraturan, tidak disiplin, semua serba mahal, pemerintahannya tidak mempedulikan masyarakat perbatasan. Sedangkan Malaysia dideskripsikan dengan amat positif. Dalam kacamata mereka, Malaysia adalah sebuah negara yang memiliki kondisi yang jauh lebih disiplin, tata ruang wilayah di Malaysia jauh lebih rapi, bersih dan modern. Kondisi ini tentunya cukup mengkhawatirkan dalam konteks menciptakan dan memelihara kecintaan pada Indonesia. Generasi muda di tiga wilayah penelitian saat ini selalu membandingkan kondisi di wilayahnya yang serba terbatas dengan kondisi yang penuh dengan kemudahan di wilayah tetangga. Sebuah hal yang lazim terjadi ketika seseorang melihat bahwa wilayah di sebelahnya lebih memberikan berbagai kemudahan, maka ia akan lebih berorientasi pada wilayah tersebut. Kondisi bagaimana keindonesiaan atau jiran kah yang lebih tampak dalam keseharian masyarakat perbatasan (Badau, Aruk dan Temajuk) akan dijabarkan di bawah ini. 2. Keindonesiaan dalam Keseharian Keseharian masyarakat perbatasan jika dilihat sepintas tidak jauh berbeda dengan masyarakat di daerah lain. Keindonesiaan dalam hal penggunaan simbol-simbol ataupun atribut yang melambangkan Indonesia tetap dapat ditemukan di sini. Sebagai contoh, komunikasi yang dilakukan tetap menggunakan bahasa Indonesia, meskipun juga ditemukan penggunaan bahasa penduduk asli, yaitu bahasa Dayak. Menurut Pabottingi, nasion secara lebih spesifik, atau dalam makna yang lebih praksis, berarti sebuah penghargaan kolektif sekaligus pengakuan atas solidaritas, inklusivitas, keadaban, kesaling-percayaan, dan pluralitas. Kehadiran nasion merupakan kehadiran kelimanya yang dapat terjadi melalui sebuah kerja-kerja konkrit. Kelima prinsip itu pada hakekatnya merupakan nilai-nilai dasar yang diturunkan dari satu generasi ke generasi
92 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
lainnya.30 Nilai-nilai solidaritas, inklusivitas dan sikap menghargai pluralitas dirasakan amat kental dalam keseharian masyarakat Badau, Aruk dan Temajuk. Masyarakat pada ketiga wilayah tersebut merupakan tipe masyarakat yang heterogen. Keberagaman suku yang ada di Indonesia dapat ditemukan di sini. Suku asli tidak terlihat mendominasi kehidupan masyarakat Badau, Aruk dan Temajuk. Kehidupan yang harmonis dan cair tampak dalam bentuk saling meleburnya seluruh unsur masyarakat dalam berbagai kegiatan. Baik kegiatan yang bersifat adat maupun keagamaan. Meskipun dalam wujud sikap dan pola kehidupan masyarakat perbatasan dalam kajian ini memperlihatkan warna keindonesiaan yang cukup kental, namun penggunaan berbagai produk penunjang kehidupan mereka masih didominasi produk-produk dari negeri jiran. Persoalan ketergantungan ini tidak hanya dikarenakan persoalan infrastruktur jalan yang lebih mudah ke wilayah tetangga, tetapi pada persoalan stigma yang tercipta pada kualitas produk-produk antara Indonesia dan Malaysia. Sebagai contoh, penggunaan gas untuk memasak dengan merek Petronas lebih dipercayai kualitasnya oleh masyarakat dibandingkan dengan gas merek Pertamina. Stigma ini tidak hanya beredar dalam pemahaman masyarakat biasa, bahkan pejabat kabupaten pun memiliki anggapan yang sama. Jika ditelusuri lebih jauh, kondisi ini disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama lebih bersifat internal, ketidakjujuran isi tabung gas seperti ini banyak sekali ditemukan, tidak hanya terjadi di wilayah perbatasan. Di sisi lain, faktor isi yang mendekati tepat dan harga yang lebih murah dari gas yang diproduksi oleh Malaysia, juga menjadi faktor kedua yang membuat masyarakat lebih memilih gas produksi negara jiran tersebut. Produk-produk yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat di Badau, Aruk dan Temajuk berupa bahan makanan, hampir sebagian besar berasal dari Malaysia. Baik itu telur, beras, gula dan minyak goreng, makanan ringan, air mineral dan lain sebagainya. Namun, yang cukup menarik adalah ketika penulis mencoba melihat toko-toko yang menjual kebutuhan sehari-hari di Badau, 30
Mochtar Pabottingi, op.cit, hlm. 12.
terdapat beberapa toko yang menjual produkproduk Indonesia. Di toko-toko tersebut hampir tidak ditemukan barang-barang yang merupakan produk dari jiran.31 Kondisi seperti ini tidak ditemukan di Aruk dan Temajuk, hampir sebagian besar toko ataupun warung yang ada diwilayah tersebut lebih banyak menjual produk-produk Malaysia. Perbedaan kondisi penyebaran barang-barang produk Indonesia dan Malaysia yang ada di Badau, Aruk dan Temajuk sangat dipengaruhi oleh baik dan buruknya akses jalan yang menghubungkan daerah-daerah tersebut dengan wilayah ibukota Kabupatennya. Hampir 60 persen jalan yang menghubungkan Putussibau (ibukota Kabupaten Kapuas Hulu) dengan Kecamatan Badau dapat dikatakan cukup layak, dalam artian waktu tempuh yang sebelumnya 12 jam, saat ini dapat ditempuh hanya dalam waktu 5 jam saja. Hal ini sangat berkebalikan dengan kondisi jalan yang menghubungkan dusun Aruk dan Temajuk dengan Sambas Selatan (ibukota Kabupaten Sambas), dimana hanya sekitar 40 persen yang dalam kondisi layak. Pemenuhan kebutuhan kehidupan seharihari masyarakat di perbatasan (Badau, Aruk dan Temajuk) yang hampir sebagian besar didominasi oleh produk-produk dari Jiran tidak serta merta menjadi ukuran utama bahwa keindonesiaan tidak hadir dalam kehidupan mereka. Tentu, kondisi tersebut amat dipengaruhi oleh kondisi perdagangan yang bebas masuk kewilayah Indonesia maupun Malaysia sebagai akibat fleksibilitas lalu lintas di PLB. Namun, hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah, keakraban yang terlalu berlebihan atas produk-produk jiran dikhawatirkan dapat menimbulkan sikap keterasingan terhadap produk-produk negeri nya sendiri. Ibarat pepatah “Tak Kenal Maka Tak Sayang”. Kondisi seperti di atas tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya indikator untuk melihat Saat dilakukan wawancara dengan pemilik toko, ia menyatakan bahwa tujuannya membuka toko dengan menjual hampir 80% produk Indonesia tak lain karena kerisauannya terhadap dominasi produk jiran dipusat-pusat perdagangan di Badau. Karena itulah ia bertekad untuk lebih banyak menjual produk-produk Indonesia meskipun dengan resiko membengkaknya biaya transportasi dalam mengangkut barang dagangan dari Pontianak. Wawancara dengan pemilik toko, Susanto, Badau, tanggal 18 Agustus 2014. 31
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 93
pemahaman masyarakat perbatasan terhadap keindonesiaan yang pada muaranya akan mampu menggambarkan rasa kebangsaan dihati dan pikiran mereka. Banyak faktor lain yang dapat menjadi gambaran pemahaman keindonesiaan masyarakat perbatasan, seperti pengetahuan tentang Indonesia yang telah dijelaskan sebelumnya. Kondisi ini bukanlah kesalahan masyarakat perbatasan di Badau, Aruk dan Temajuk ataupun wilayah perbatasan lainnya di Indonesia. Peran negara yang masih lemah dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan simbolsimbol keindonesiaan menjadi faktor utama yang menyebabkan tidak utuhnya keindonesiaan dalam pemahaman dan keseharian masyarakat perbatasan. 3. Upaya Membangun Keindonesiaan Membangun nilai kebangsaan di wilayah perbatasan selain merupakan tugas penting negara yang dalam hal ini adalah pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat di wilayah itu sendiri. Karena itulah, tim membagi upaya membangun keindonesiaan ini dengan melihat peran kedua aktor tersebut. Beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam upaya membangun keindonesiaan di perbatasan adalah sebagai berikut: Peran Pemerintah Pemahaman menyeluruh kepada seluruh unsur pemerintahan terkait paradigma memandang wilayah perbatasan sebagai beranda depan negeri ini harus terus digiatkan. Paradigma ini diharapkan akan mampu menumbuhkan rasa kepedulian dan semangat dalam membangun wilayah perbatasan, khususnya pada pemerintahan setingkat kecamatan dan desa. Karena kecamatan dan desa merupakan perangkat pemerintah terendah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Upaya menumbuhkan semangat membangun rasa kebangsaan masyarakat perbatasan sebaiknya juga diiringi dengan insentif yang mampu menumbuhkan sikap inovatif dan perilaku kreatif aparatur pemerintahan. Dengan demikian, perilaku negatif oknum-oknum pemerintah yang menyimpang dari aturan yang ada dapat diperbaiki. Disamping itu, perilaku aparatur pemerintahan yang cenderung bekerja
apa adanya setiap harinya (business as usual), juga mesti dibenahi. Membangun di wilayah perbatasan tidak dapat dipandang sebagai sebuah pembangunan yang normal. Perlu sebuah gerakan pembangunan yang menyeluruh dan dalam skala besarbesaran untuk mengejar ketertinggalan wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Beberapa aspek yang membutuhkan perhatian lebih adalah: - Pembangunan Insfrastruktur Jalan Akses jalan amat penting untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat dan mobilisasi sosial masyarakat perbatasan dengan warga dari wilayah lain di Indonesia. - Pembangunan Fasilitas Kesehatan Minimnya fasilitas kesehatan di wilayah Badau, Aruk dan Temajuk seringkali menjadi alasan warga dari wilayahwilayah tersebut untuk berobat ke negeri jiran. Mereka menyebut bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan layanan kesehatan di Malaysia jauh lebih murah dibandingkan dengan di Indonesia. Ukuran murahnya biaya ini diukur oleh warga dengan menggabungkan biaya transportasi, akomodasi dan pelayanan kesehatan. Jika mereka hendak mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dari pelayanan yang diberikan pada tingkat puskesmas, mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menuju ke ibukota kabupaten dan lebih besar lagi menuju ibukota provinsi. Hal ini sangat berbeda jika mereka melakukan pengobatan di salah satu kota di Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Jarak tempuh dari desa/dusun terluar Indonesia dengan kota perbatasan wilayah Malaysia hanya sekitar 30 menit hingga 1 jam saja, sehingga biaya transportasi tidak terlalu besar. Kemudian mereka pun memiliki sanak saudara berasal satu suku (Dayak dan Melayu) yang banyak di
94 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
wilayah seberang untuk dimintai bantuan menginap.
di wilayah perbatasan, haruslah mendapatkan porsi penghargaan yang selayaknya. Demikian pula dengan usaha yang terus menerus untuk meningkatkan jumlah pengajar disekolah-sekolah perbatasan. Perlakuan istimewa atas biaya hidup yang jauh berbeda antara kehidupan di wilayah perbatasan dan wilayah ibukota Kabupaten dan Provinsi selayaknya menjadi perhatian instansi terkait untuk melipatgandakan tunjangan hidup guru-guru yang mengabdi di wilayah perbatasan. Pengabdian yang hanya dihargai lewat kata-kata pada akhirnya tidak dapat dihindari akan menggerus keluruhan pengabdian itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa pengajar adalah manusia biasa yang juga memiliki tanggungan hidup atas keluarganya. Inilah yang mestinya diperhatikan dengan seksama. Jika seorang guru tak perlu lagi memikirkan kekurangan dan keterbatasan pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya, maka secara tidak langsung pengabdiannya dalam mendidik pun diharapkan akan menjadi lebih baik.
Pertimbangan selanjutnya adalah fasilitas kesehatan yang sudah sangat maju, dimana pada kota-kota di perbatasan Malaysia, level pelayanan kesehatannya hampir menyamai pelayanan kesehatan di tingkat provinsi untuk ukuran Indonesia. Pemerintah memiliki pekerjaan rumah amat besar dalam membenahi pelayanan kesehatan di perbatasan. Selain meningkatkan kualitas alat-alat kesehatan, penguatan kapasitas tenaga kesehatan juga patut mendapatkan perhatian lebih. Insentif berupa jaminan kesejahteraan hidup bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat menjadi salah satu pendorong menghasilkan tenaga kesehatan yang bekerja dengan loyal dan sepenuh hati memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat perbatasan. - Pembangunan Fasilitas Pendidikan dengan Diiringi Perbaikan Kualitas Hidup Para Pendidik Dunia pendidikan juga memiliki peranan penting dalam upaya menumbuhkan dan menguatkan rasa kebangsaan. Sekolah adalah lembaga formal yang langsung menyentuh rangkaian pembentukan karakter generasi penerus bangsa. Secara formal upaya ini dapat dimasukkan dalam beberapa mata pelajaran, seperti PPKN, Sejarah, Geografi dan Bahasa Indonesia. Dalam bentuk lain, nilai-nilai cinta tanah air juga dapat ditumbuhkan lewat kegiatan di luar pelajaran di kelas, seperti upacara ataupun pengayaan di dalam masyarakat. Kualitas kehidupan para pendidik juga seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Banyak sekolah-sekolah di wilayah perbatasan yang tenaga pendidiknya tidak berstatus sebagai guru tetap. Tanpa mengecilkan peran besar para guru honorer, tetapi justru melalui kajian ini diharapkan agar guru-guru honorer yang memiliki sumbangsih begitu besar atas pengabdiannya memajukan pendidikan
Peran Masyarakat Tokoh-tokoh adat dan agama memiliki peran yang amat penting dan strategis dalam upaya menumbuhkan rasa percaya dan kecintaan pada Indonesia. Tokoh-tokoh masyarakat ini dapat berperan sebagai jembatan antara pemerintah dan masyarakat dalam hal pelaksanaan sebuah program pembangunan. Demikian penting peran ketua adat maka pihak pemerintah selalu berupaya membangun komunikasi yang intens dengan kelompok ini. Pemerintah secara sadar memberikan porsi tertentu kepada tetua adat sebagai elite informal untuk memainkan peran sebagai bagian dari jajaran elite. Sebagaimana yang disampaikan oleh Camat Badau32 bahwa pemerintah tidak dapat mengabaikan para tetua adat dan sedapat mungkin membina hubungan baik dengan mereka. Hal ini tidak saja agar pelaksanaan Wawancara dengan Ahmad Salafudin Camat Badau, di Badau, Kapuas Hulu, 18 Agustus 2014. 32
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 95
program pemerintah menjadi lebih efektif dilakukan, namun juga tidak melenceng dengan aspirasi masyarakat dan memperoleh legitimasi kultural. Tentu saja dengan adanya legitimasi dari tetua adat atas bergeraknya roda pemerintahan dan pembangunan maka sebagai efek lanjutnya upaya-upaya menunjukan eksistensi pemerintah pada khususnya dan Indonesia pada umumnya dapat dilakukan. Pihak swasta dalam hal ini juga memiliki peran yang cukup penting. Mereka dapat mengambil posisi sebagai pihak yang membantu membentuk jaringan ekonomi di wilayah perbatasan. Pemenuhan kebutuhan ekonomi seperti lapangan pekerjaan telah membantu menurunkan angka mobilisasi masyarakat diperbatasan ke negeri jiran.
4. Tantangan Membangun Keindonesiaan Membangun rasa cinta tanah air dan kebanggaan terhadap apapun yang menjadi atribut dari keindonesiaan bagi masyarakat perbatasan tidaklah mudah. Berbagai tantangan akan kerap ditemukan dalam upaya ini. Berikut adalah beberapa tantangan yang ditemukan dalam kajian ini. 1. Persepsi bahwa Malaysia itu jauh lebih unggul dalam banyak hal tetap ada. Posisi Malaysia sebagai negara tetangga yang amat baik mengurus warganya di perbatasan memiliki efek tidak langsung terhadap upaya membangun keindonesiaan. Ketimpangan bagaimana Malaysia begitu unggul dalam mengurus warganya selalu menjadi ukuran bagaimana semestinya negara memperlakukan rakyatnya. Perasaan sebagai “anak tiri”, kerap terlontar dari hampir keseluruhan narasumber yang ditemui. 2. Realisasi pembangunan di wilayah perbatasan oleh pemerintah daerah dan pusat. Kesiapan pemerintah daerah dan pusat dalam merealisasikan berbagai prioritas pembangunan di wilayah perbatasan cukup menjadi faktor yang dapat mengganggu upaya membangun
keindonesiaan. Persoalan SDM yang memiliki pengetahuan dan skill yang terbatas, infrastruktur penunjang program pembangunan, hal-hal ini lah yang sepatutnya dikelola oleh negara agar kelancaran pembangunan perbatasan dapat berjalan dengan baik. Persoalan internal pada lembaga pemerintah lainnya yang kerap terjadi adalah lemahnya aturan main, tumpang tindih kewenangan, ego sektoral, sumber daya manusia, kepemimpinan, ataupun problematika koordinasi. Pemerintah pusat telah membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan yang dimaksudkan agar mampu mempercepat pembangunan perbatasan. Namun, BNPP sebagai lembaga yang khusus dibentuk oleh pemerintah untuk mensinkronkan dan melakukan percepatan pembangunan di wilayah perbatasan sejatinya tidak dapat berbuat terlalu banyak. Meskipun program prioritas telah ditempatkan dimasing-masing wilayah perbatasan, namun fungsi dari badan ini yang hanya sebagai lembaga koordinatif, membuat mereka tidak bisa melakukan intervensi terhadap implementasi program tersebut yang dijalankan oleh K/L teknis. 3. Tantangan menumbuhkan rasa keindonesiaan ini tidak hanya berasal dari faktor eksternal, namun juga faktor internal di wilayah perbatasan. Seperti kasus yang terjadi di Badau, peran hukum adat kerap melampaui hukum positif negara. Sebagaimana yang dikatakan oleh beberapa narasumber bahwa dalam banyak kasus, persoalan yang dihadapi oleh masyarakat diserahkan pada hukum adat terlebih dahulu untuk penyelesaiannya dan peran hukum positif hanya bersifat pelengkap saja, yang kerap tidak dibutuhkan. Pola pikir masyarakat perbatasan yang masih belum mendahulukan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya juga menjadi tantangan yang cukup berat. Meskipun pemerintah menyediakan
96 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
fasilitas pendidikan yang memadai, namun jika tidak diiringi kesadaran akan pentingnya pendidikan, maka upaya meningkatkan kualitas pendidikan diperbatasan tidak akan mungkin tercapai. Dengan demikian pendekatan tidak hanya dilakukan bagi anak-anak yang menjalani pendidikan tetapi juga pada orang tua yang memiliki anak-anak tersebut.
Penutup Tulisan ini secara substansi melengkapi penelitian lapangan di kecamatan Badau dan desa Aruk/ Temajuk. Meskipun dari segi pengetahuan tentang tokoh sejarah atau figur nasional tidak memadai dibandingkan dengan warga yang berada di pusat pendidikan yang lebih maju di kota, rasa nasionalisme penduduk Indonesia di perbatasan itu tidaklah kurang. Dibandingkan dengan warga Malaysia di daerah perbatasan, justru orang Indonesia lebih bersemangat. Kalau pun ada suara sumbang terhadap pemerintah, itu lebih banyak disebabkan pembangunan yang belum terwujud dengan baik di daerah itu. Upaya pemerintah untuk membangun telah ditunjukkan dengan pengucuran dana yang cukup besar untuk desa Temajuk misalnya. Sayangnya itu baru dilaksanakan setelah beberapa kasus sengketa perbatasan mencuat, ketakutan akan kehilangan daerah negara menyebabkan perhatian mulai diarahkan ke daerah terpencil di ujung barat pulau Kalimantan itu. Ironisnya sebagian dari proyek itu tidaklah bermanfaat langsung kepada rakyat setempat. Bila yang dibutuhkan rakyat di perbatasan yang bekerja sebagai petani adalah pupuk, maka kebutuhan atas gedung perpustakaan yang masih minim buku serta jarang pengunjung sebaiknya ditinjau kembali Para pejabat pemerintah harus lebih sering turun ke bawah mendengarkan apa sebetulnya yang diinginkan dan diperlukan masyarakat. Apabila ditanyakan tentang pendekatan mana yang lebih baik diambil untuk daerah perbatasan, pendekatan keamanan, ekonomi atau budaya, maka jawabannya jelas, semuanya diperlukan. Pendekatan keamanan dan hukum perlu bila terdapat kasus sengketa perbatasan. Pengamanan termasuk patroli militer di daerah perbatasan harus dilakukan. Namun pengalaman akhir-akhir ini menunjukkan pula bahwa
ketegasan pemerintah dalam hal ini Presiden juga penting dalam mengatasiperselisihan masalah perbatasan. Pendekatan ekonomi tentu jangan hanya menjadi akibat dari mencuatnya kasus sengketa patok tanah, tetapi memang disadari bahwa daerah perbatasan itu perlu dibangun agar kesejahteraan masyarakat di sana jangan sampai tertinggal secara mencolok dari negara tetangga. Pendekatan budaya telah dijalankan selama ini oleh masyarakat di daerah perbatasan. Dalam kesehariannya mereka selalu berinteraksi dan berhubungan satu sama lain. Upacara ritual dan gotong royong telah dipraktekkan penduduk antar negara. Selama ini mereka dengan bebas keluar masuk daerah kedua negara dengan hanya sekedar melapor pada pos polisi terdepan. Pembuatan pos lintas dengan pengisian dokumen resmi sebetulnya untuk mengingatkan bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang akan pergi ke negara lain. Jadi penumbuhan kesadaran kebangsaan sudah dimulai dari kebijakan ini. Dalam berinteraksi sosial antara warga Malaysia di Teluk Melano dengan penduduk Indonesia di Temajuk, hubungan itu timbal balik, demikian pula ketika mereka melakukan gotong royong. Namun dalam arus barang dan orang, maka arahnya umumnya satu, dari Indonesia ke Malaysia. Hal ini disebabkan tingkat perekonomian Malaysia yang lebih tinggi dari Indonesia dan berakibat pula mata uang Malaysia ringgit lebih kredibel dibanding rupiah. Bahkan mahar pernikahan umumnya lebih tinggi di Teluk Melano ketimbang di Temajuk. Jadi pemakaian ringgit itu bukanlah menunjukkan ekspresi kebangsaan warga Indonesia itu di perbatasan rendah, tetapi lebih karena persoalan praktis dan ekonomis. Ishikawa mengibaratkan hal ini sebagai tekanan osmosis pada negara bangsa, apabila bersinggungan, maka cairan yang konsentrasinya lebih encer akan menembus selaput tipis untuk bercampur dengan cairan yang konsentrasinya lebih padat.
Daftar Pustaka Buku Dominique, Maria. 2012. Ancaman di Batas Negeri Kostrad di Perbatasan Entikong (Indonesia-
Eksistensi Kebangsaan dan Perwujudan Keindonesiaan ... | Nina Andriana | 97
Malaysia). Jakarta: Rene-Book dan Mardom untuk Kostrad. Fredrick Barth (Ed). 1969. Ethnic Groups and Boundaries: Social Organization of Cultural Difference. London: Allen & Unwin. Gellner, Ernest. 1965. Thought and Change. Chicago: University of Chicago Press. Guibernau, Montserrat dan John Rex (Eds.). The Ethnicity Reader Nationalism, Multiculturalism and Migrations. Cambridge: Polity Press. Ishikawa, Noboru. 2010. Between Frontiers, Nation and Identity in a Southeast Asian Borderland. Copenhagen: NIAS Press. M. Safitri, Ririh. Disfungsi Negara di Wilayah Perbatasan: Studi tentang Melemahnya Nasionalisme di Badau, Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Nodia, Ghia. 1998. “Nasionalisme dan Demokrasi,” dalam Larry Diamond & Marc F. Plattner (Eds). Nasionalisme, Konflik Etnik, dan Demokrasi. Bandung : ITB. Noor, Firman (Ed). 2007. Nasionalisme, Demokratisasi dan Sentimen Primordialisme. Jakarta: P2P LIPI. Pabottingi, Mochtar. 2000. Lima Palang Demokrasi Satu Solusi: Rasionalitas dan Otosintresitas dari sisi Historis-Politik di Indonesia. Orasi Ilmiah Pengukuhan sebagai Ahli Peneliti Utama Puslitbang Politik dan Kewilayahan-LIPI. Jakarta: PPW-LIPI. Renan, Ernest. 1990. “Qu’est-ce qu’une nation” (What is nasion?). Terjemahan oleh Martin Thom dalam H.K Bhabha ed. Nation and Nationalism. London and New York: Routledge.
Jurnal Conversi, Daniele. 1995. “Reassessing current theories of nationalism: nationalism as boundary maintenance and creation”, Nationalism and Ethnic Politics 1(1).
Surat Kabar dan Website “Pemerintah Harusnya Malu, Warga di Perbatasan Rame-rame Cari Kerja di Malaysia.” 30 April 2012. http://www.suarapembaruan. com/home/pemerintah-harusnya-malu-wargadi-perbatasan-rame-rame-cari-kerja-dimalaysia/19635. Muhammad, Djibril. “Warga RI di Perbatasan Lebih Mudah Bertransaksi dengan Ringgit.” 9 Desember 2011. http://www.republika. co.id/berita/regional/nusantara/11/12/09/ lvxkb7-warga-ri-di-perbatasan-lebih-mudahbertransaksi-dengan-ringgit. Hayat, Nurul. “Warga Perbatasan Masih Sekolahkan Anak Di Malaysia.” 13 Oktober 2013. http://www.antarakalbar.com/berita/317022/ warga-perbatasan-masih-sekolahkan-anak-dimalaysia. “Peta Camar Bulan Ditandatangani Militer Indonesia-Malaysia.” 11 Oktober 2011, http://www. jpnn.com/read/2011/10/11/105155/Peta-Camar-Bulan-Ditandatangani-Militer-IndonesiaMalaysia-.
98 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 83–98
ASEAN DAN ISU LAUT CINA SELATAN: TRANSFORMASI KONFLIK MENUJU TATA KELOLA KEAMANAN REGIONAL ASIA TIMUR1 ASEAN AND SOUTH CHINA SEA ISSUE: CONFLICT TRANSFORMATION TOWARD EAST ASIA SECURITY REGIME Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga
Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima: 20 Februari 2015; direvisi: 22 Mei 2015; disetujui: 22 Juni 2015 Jika ingin berjalan cepat, pergilah sendiri. Jika ingin berjalan jauh, pergilah bersama-samaUnknown Wisdom. Abstract
Seizing territory in the South China Sea between the claimant states will lead to instability in the region that could lead to open conflict. To avoid open conflict or concert of power, several attempts have been made but unfortunately the claimant states as well as members of ASEAN are still reluctant to use the mechanism of ASEAN. So far, the approaches used by both the academics and states is still limited use of the cooperation scheme to divert the conflict. The use of the concept of conflict transformation towards regional security regime is still rarely used. The aim of this paper is to analyze the development of LCS conflict within the ASEAN’s framework and Indonesia’s role in efforts to encourage conflict transformation that focuses on the relationship between the claimants states. One of the forum can be optimized role in managing and change the potential for conflict in the region is the ASEAN Maritime Forum (AMF). The transition from DoC to CoC is part of the conflict transformation in the South China Sea, where the essence of the claimant states are directed to comply with the agreement and mutual respect every effort is made to resolve the conflict peacefully. Keywords: Territory, Transformation, Conflict, Regime. Abstrak Perebutan wilayah di Laut Cina Selatan antara negara pihak akan mengakibatkan ketidakstabilan keamanan di kawasan yang dapat berujung pada konflik terbuka. Untuk menghindari konflik terbuka atau unjuk kekuatan, beberapa usaha telah dilakukan namun sayangnya negara-negara pihak yang sekaligus anggota ASEAN masih enggan menggunakan mekanisme ASEAN. Selama ini pendekatan-pendekatan yang digunakan baik oleh akademisi maupun negara pihak masih sebatas penggunaan skema kerjasama untuk mengalihkan konflik. Penggunaan konsep transformasi konflik menuju tata kelola keamanan kawasan masih jarang dipakai. Tujuan dari tulisan ini untuk menganalisis perkembangan konflik LCS dalam kerangka ASEAN dan peran Indonesia dalam upaya mendorong terjadinya transformasi konflik yang fokus pada relasi antar pihak. Salah satu forum yang dapat dioptimalkan Tulisan ini berdasarkan penelitian tahun 2014 dari Tim ASEAN P2P-LIPI yang beranggotakan Tri Nuke Pudjiastuti, Adriana Elisabeth, Riefqi Muna, Pandu Prayoga, Faudzan Farhana, Ratna Shofi Inayati, CPF Luhulima. 1
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 99
peranannya dalam mengelola dan mengubah potensi konflik di kawasan ini adalah ASEAN Maritime Forum (AMF). Peralihan dari DoC ke CoC merupakan bagian dari upaya transformasi konflik di Laut Cina Selatan, dimana intinya para pihak diarahkan untuk mematuhi kesepakatan dan saling menghargai setiap upaya yang dibuat untuk menyelesaikan konflik secara damai. Kata Kunci: Wilayah, Transformasi, Konflik, Tata Kelola
Pendahuluan Permasalahan utama yang terjadi dalam konflik Laut Cina Selatan (LCS) adalah adanya klaim tumpang tindih yang melibatkan enam pihak yaitu: Tiongkok, Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Malaysia berdasarkan catatan sejarah maupun UNCLOS (United Nation on the Law of the Sea) 1982. Mayoritas negara di dunia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut yang ditetapkan oleh PBB yang dikenal dengan UNCLOS 1982 yang mengatur batas wilayah laut setiap negara. Negara-negara ASEAN pun merujuk Konvensi Hukum Laut ini dalam menentukan batas terluar wilayah laut negara. Bila tidak ditangani dengan baik klaim tumpang tindih ini akan menjurus pada terjadinya konflik terbuka di kawasan tersebut. Sementara itu, pihak yang bersengketa yang sebagian besar merupakan negara anggota ASEAN selama bertahun-tahun tidak bersedia memanfaatkan mekanisme ASEAN dalam memecahkan masalah dengan alasan kedaulatan nasional. Jika negara-negara yang terlibat di dalam konflik wilayah di LCS masih bersikukuh pada upaya perebutan wilayah atas dasar kedaulatan dan batas-batas yang diklaim di wilayah itu, maka dapat dipastikan bahwa mereka sebenarnya sedang membangun peta menuju jalan buntu (a roadmap to deadlock) dengan konsekuensi tidak terhindarkannya konflik militer di LCS. Pembicaraan isu LCS penting karena keamanan di Laut Cina selatan disadari oleh negara anggota sebagai indikator stabilitas keamanan di kawasan. Mengacu pada hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) XVIII ASEAN pada bulan Juni 2011, LCS masuk dalam daftar isu penting yang perlu dipertimbangkan oleh
ASEAN, khususnya untuk memproyeksikan arsitektur regional ASEAN.2 Bahkan telah ada landasan yang signifikan untuk mempromosikan perdamaian di LCS yaitu persetujuan Treaty of Amity and Cooperation (TAC), yang ditandatangani oleh Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Rusia bersama-sama dengan banyak negara eksternal lainnya, sebagai prasyarat untuk bergabung dengan East Asia Summit (EAS).
“Initiatives on South China Sea, Conflict Resolution and Peacekeeping Cooperation, People Engagement, Among Many Issues Noted in Comprehensive ASEAN Joint Communique Bali, Indonesia” http://www.asean. org/?static_post=initiatives-on-south-china-sea-conflictresolution-and-peacekeeping-cooperation-people-engagementamong-many-issues-noted-in-comprehensive-asean-jointcommunique-bali-indonesia-20-july-2011, diakses pada tanggal 28 Januari 2015. 2
100 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
Sumber: (1) http://www.spratlys.org/maps/1/hainan_ map1999.gif dan (2) http://www.chinesedefence. com/forums/vietnam-defence/5545-no-disputechinas-1948-nine-dash-line-map-plus-article-15unclos-clear.html, Gambar 1. Peta Klaim Teritorial di Laut Cina Selatan
Sebagai negara kepulauan, Indonesia dalam kerangka ASEAN berkepentingan atas stabilitas wilayah tersebut, maka sejak tahun 1992 Indonesia telah memprakarsai confident building measures di LCS dengan jalan diplomasi preventifnya. Melalui lokakarya3 yang dimulai dari tahun 19904 telah mencapai 23 kali, pertemuan tahunan itu telah mampu mewacanakan isu LCS dan tercapai Declaration of Conduct (DoC). Namun demikian, DoC ini bukan perjanjian yang mengikat bagi pihak yang menandatanganinya, sehingga membutuhkan tindak lanjut untuk merealisasikan kesepakatan tersebut dengan mengubah status DoC menjadi Code of Conduct (CoC) sebagai perjanjian yang bersifat mengikat. Segala bentuk pertentangan yang terjadi di kawasan LCS akan mengancam stabilitas kemanan kawasan Asia juga internasional.5 Disebabkan atas dasar kepentingan tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan menganalisis perkembangan konflik LCS dalam kerangka ASEAN dan peran Indonesia dalam upaya mendorong terjadinya transformasi konflik di LCS.
Pendekatan Transformasi Konflik LCS Kajian mengenai konflik di Laut Cina Selatan telah banyak membahas menggunakan pendekatan Politik Keamanan semisal Shicun Wu dan Keyuan Zou dengan menitikberatkan pada
mekanisme kerjasama.6 Perspektif RRT mengenai LCS disajikan oleh Wu Shicun7 yang menyatakan bahwa sikap Tiongkok tergantung pada apa yang dilakukan oleh negara-negara pihak lainnya. Mengambil pengalaman atas konflik Tiongkok dan Jepang di kepulauan Diaoyu, Wu Shicun8 dalam bukunya yang lain menwarkan konsep Joint Development (JD) untuk menuntaskan permasalahan di LCS. Dengan konsep JD, Wu melihat peluang untuk berbagi kepentingan strategis di perarairan ini. Sebagai negara yang besar, Lai To Lee9 mengungkapkan keuntungan diplomasi Tiongkok lebih luas dalam dialog bilateral ketimbang multilateral semisal dengan ASEAN. Semua konsep yang sudah ditawarkan di atas masih sekedar memetakan permasalahan yang terjadi di LCS dan belum menggunakan konsep transformasi konflik dan memetakan kepentingan Indonesia di kawasan tersebut. Salah satu persoalan yang dihadapi dalam kasus di LCS adalah memandang pihak lain berbeda sebagaimana yang dibahasakan Johan Galtung10 sebagai evil atau musuh yang harus dieliminasi. Pandangan dualisme inilah yang membelah aktor menjadi jahat atau baik sehingga konflik mendapatkan legitimasi untuk hadir. Tiongkok tidak menganggap pihak lain, begitu pun sebaliknya, sebagai pihak yang harus dihilangkan. Tiongkok dengan aktif menggandeng negara-negara tersebut untuk aktif terlibat dalam kerjasama ekonomi kawasan baik yang bersifat bilateral, trilateral, maupun multilateral dengan menciptakan confidence building measures.11 Dua Shicun Wu dan Keyuan Zou, “Securing the Safety of Navigation in East Asia: Seeking a Cooperative Mechanism” dalam Shicun Wu dan Keyuan Zou, Securing the Safety of Navigation in East Asia, (UK: Chandos Publishing. 2013), hlm. 3. 6
Wu Shicun, Solving Disputes for Regional Cooperation and Development in the South China Sea: Chinese Perspective, (UK: Chandos Publishing 2013), hlm. 2. 7
Lokakarya ini merupakan pertemuan non-formal dengan topik Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea yang melibatkan negara-negara di kawasan. Workshop ini tidak bertujuan menyelesaikan sengketa namun menurungkan level konflik dengan identifikasi peluang kerjasama. Lihat Abdul Rivai Ras, Rajab Ritonga. Konflik laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik: Sudut Pandang Indonesia. (Jakarta: TNI AL dan Penerbit APSINDO, 2001), hlm. 37. 3
William G. Stormont, “Managing Potential Conflicts in the South China Sea”, Marine Policy, July 1994, Vol. 18, Issue 4, hlm. 353-356.
Wu Shicun dan Nong Hong (Ed), Recent Development in the South China Sea Disputes: The Prospect of a Joint Development Regime, (New York: Routledge, 2014). 8
Lai To Lee, China and the South China Sea Dialogues, (Westport: Praeger Publishers, 1999), hlm. 139. 9
4
Nong Hong, UNCLOS and Ocean Dispute Settlement: Law and Politics in the South China Sea, (New York: Routledge. 2012), hlm. 1. 5
Johan Galtung. “Peace by Peaceful Conflict Transformation – the TRANSCEND Approach” dalam Charles Webel dan Johan Galtung (Eds), Handbook of Peace and Conflict Studies, (New York: Routledge, 2007), hlm. 27. 10
11
Kerangka kerjasama ini dapat dirujuk pada tulisan Ramses
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 101
permasalahan di LCS ialah penentuan wilayah dan perbatasan laut diantara negara-negara pihak. Penyelesaian konflik LCS dapat mengadopsi konsep transformasi konflik yang fokus pada relasi antar pihak. Menurut John Paul Lederach (Oktober 2003), pendekatan transformasi dimulai dengan dua landasan pro-aktif: (1) orientasi positif tentang konflik, (2) keinginan untuk terlibat dalam konflik sebagai upaya untuk menghasilkan perubahan atau pertumbuhan yang konstruktif. Kedua landasan ini mengacu pada inti dari transformasi sebagai suatu kemampuan untuk memahami dan menganalisis bahwa konflik memiliki potensi yang bersifat konstruktif bagi sebuah perubahan. Hal ini sangat berbeda dengan pendekatan yang meyakini bahwa konflik biasanya akan menghasilkan lingkaran sakit hati dan hal-hal yang destruktif bersifat jangka panjang.12 Pendekatan transformasi konflik tidak menganalisis konflik sebagai sesuatu yang terisolasi, melainkan mencari dan memahami bagian-bagian dari konflik yang terhubung dengan pola yang lebih luas dari hubungan dan interaksi antarmanusia. Kemudian, pendekatan transformasi konflik memandang konflik sebagai peluang yang berharga untuk bertumbuh dan meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri maupun orang lain. Melalui pendekatan ini konflik dapat dipahami sebagai penggerak perubahan yang menjaga hubungan dan struktur sosial yang dinamis sebagai respon dari kebutuhan manusia.13 Di dalam konteks LCS, pendekatan transformasi konflik menjadi lebih relevan karena: 1) Sudut pandang aktor yang berkonflik (claimant states): perbedaan dalam memahami akar masalah, sementara akar masalah mencakup kedaulatan politik (termasuk claim history), batas wilayah Amer, “Ongoing Efforts in Conflict Management” dalam Timo Kivimaki, War or Peace in the South China Sea, (Copenhagen: NIAS Press, 2002). John Paul Lederach. “Beyond Intractability”, versi singkat dari buku Ledercah yang berjudul The Little Book of Conflict Transformation. (Colorado: Good Books, 2003); bi@ beyondintractability.org, diakses pada tanggal 7 November 2014. 12
13
Ibid.,
negara/yurisdiksi, persoalan pengelolaan sumber daya alam, dan persoalan keamanan maritim. 2) Sudut pandang fasilitator (non-claimant state): Indonesia telah memfasilitasi 23 forum workshop/lokakarya untuk menjaga hubungan antarpara pihak yang berkonflik, dan untuk mencegah terjadinya konflik bersenjata di LCS. Manfaat dari forum ini salah satunya ialah memetakan formasi konflik yang terdiri dari aktor, tujuan, dan pertentangan dasar klaim wilayah.14 Forum yang diinisiasi oleh Indonesia ini berupaya menghubungkan permasalahan klaim wilayah LCS dengan tujuan maupun kepentingan masing-masing aktor. 3) Terdapat pilihan strategi untuk mencegah konflik terbuka di LCS dalam bentuk kerjasama yang tidak menimbulkan sensitivitas para pihak, terutama di bidang riset dan pengembangan, termasuk membangun keterhubungan yang dibutuhkan oleh setiap negara. 4) ASEAN sebagai organisasi regional tertua di Asia Tenggara memiliki kesempatan besar untuk menawarkan dan mengembangkan strategi penyelesaian konflik secara damai sesuai dengan cetak biru Komunitas Politik Keamanan ASEAN untuk menciptakan kawasan yang aman, damai dan stabil. Selain itu juga, untuk menjaga sentralitas ASEAN, pendekatan transformasi konflik di LCS dimaksudkan untuk mengubah potensi konflik menjadi kerjasama yang saling menguntungkan, dimana ASEAN dapat berperan untuk mendorong kerjasama semacam ini. Salah satu forum yang dapat dioptimalkan peranannya dalam mengelola dan mengubah potensi konflik di kawasan ini adalah ASEAN Maritime Forum (AMF). Berdasarkan hasil pertemuan AMF di Da Nang, Vietnam pada 2014, isu LCS menjadi salah satu agenda yang dibahas dalam pertemuan itu. 5) Peralihan dari DoC ke CoC merupakan bagian dari upaya transformasi konflik di Laut Cina Selatan, dimana intinya 14
Ibid, hlm. 27.
102 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
para pihak diarahkan untuk mematuhi kesepakatan dan saling menghargai setiap upaya yang dibuat untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Dari Deklarasi ke Asas Perilaku (DoC ke CoC) Pemikiran tentang CoC regional mula-mula dibahas secara intensif dalam track-2 Workshop Series tentang Pengelolaan Konflik Potensial di LCS yang dilaksanakan oleh Indonesia pada tahun 1991. Awalnya, rancangan CoC ini akan diajukan dalam Deklarasi ASEAN pada tahun 1992, tetapi baru secara resmi disahkan pada ASEAN Ministerial Meeting (AMM) ke-29 di Jakarta tahun 1996. Tujuan CoC adalah untuk menjadi dasar bagi stabilitas jangka panjang di LCS dan mendorong pengertian di antara negara-negara bersangkutan. Pada tahun 1999 negara-negara ASEAN mendekati Republik Rakyat Tiongkok untuk memulai perundingan mengenai CoC bagi LCS. Namun demikian, setelah berunding selama lima tahun tidak tercapai kesepahaman tentang CoC antara ASEAN dan Tiongkok di LCS, ASEAN dan Tiongkok hanya sampai pada suatu dokumen politik. Baru pada tanggal 2 November 2002 di Phnom Penh, ASEAN dan Tiongkok menandatangani Declaration on Conduct of Parties in the South China Sea (DoC). DoC ini mengungkapkan tiga tujuan: (1) mendorong pembangunan kepercayaan (confidence-building measures, CBM), (2) kerja sama di bidang kelautan, dan (3) mempersiapkan pembahasan dan penentuan suatu CoC yang formal dan mengikat. Kemudian dalam KTT ASEANTiongkok 8 Oktober 2003 di Bali, kedua belah pihak menandatangani Joint Declaration of the Heads of State/Government on Strategic Partnership for Peace and Prosperity. Pada hari yang sama, Tiongkok secara resmi menjadi negara non-ASEAN pertama yang menandatangani TAC dengan harapan mendorong negara itu untuk menyelesaikan sengketa di LCS secara damai dan menghindari pengancaman dan penggunaan kekerasan dalam menghadapi perselisihan antara kedua pihak. Namun upaya penyusunan CoC masih saja tidak mengalami kemajuan.
Pada Juli 2011, Pedoman Pelaksanaan DoC akhirnya disetujui setelah ASEAN meninggalkan sikapnya untuk mengonsolidasikan diri terlebih dahulu dan mencapai persetujuan di antara mereka sebelum menghadapi Tiongkok. Kemudian pada Januari 2012, Filipina mengedarkan suatu draf informal yang diberi judul “Philippines Draft Code of Conduct.” Tetapi, Tiongkok tetap bersikeras bahwa Pedoman DoC harus dilaksanakan terlebih dahulu. Tiongkok juga menyatakan bahwa ia akan membahas CoC dengan ASEAN “pada waktu yang tepat” atau apabila kondisi yang tepat bagi mereka (“appropriate conditions”) terpenuhi.15 Tanggal 27 September 2012, Indonesia mengajukan “Zero Draft A Regional Code of Conduct in the South China Sea” kepada para menteri luar negeri ASEAN pada Sidang Umum Tahunan PBB di New York. Zero Draft Indonesia ini didasarkan pada tiga sumber, yaitu DOC 2002, ASEAN’s Proposed Elements of a Regional Code of Conduct, dan ASEAN’s Six-point Principles on the South Cina Sea. Akan tetapi Pembahasan Zero Draft juga tidak mengalami kemajuan. CoC ini tidak akan terselesaikan selama Tiongkok tetap pada sikap dasarnya dalam pengelolaan menuju penyelesaian masalah LCS: penyelesaian harus dilakukan secara bilateral, bukan multilateral. Ketidaksepahaman internal ASEAN mengemuka dalam KTT di bulan November 2012. Contohnya ialah perumusan satu paragraf di dalam bagian komunike tentang LCS menjadi pertentangan antara Kamboja dan para perumus komunike sehingga pada akhir AMM ke-45 tidak dikeluarkan pernyataan bersama. Kamboja berargumentasi bahwa kegagalan AMM untuk mengeluarkan komunike bersama adalah karena sikap Filipina dan Vietnam dan tuntutan mereka untuk memasukkan masalah Scarborough Shoal dan ZEE ke dalam pernyataan akhir. Menurut Hor Nam Hong, tindakan Filipina dan Vietnam menghalangi pencapaian suatu konsensus dan Kamboja tidak ada pilihan lain kecuali membekukan pengeluaran komunike akhir itu. Setelah upaya melalui mekanisme ASEAN tidak kunjung memberikan sebuah kepastian, pada 22 Januari 2013 Filipina mengajukan suatu klaim Carlyle A. Thayer, “ASEAN’S Code of Conduct in the South Cina Sea: A Litmus Test for Community-Building?”, The AsiaPacific Journal Vol. 10, Issue 34. No. 4, 20 Agustus 2012. 15
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 103
legal formal kepada Perserikatan Bangsa-bangsa untuk membentuk suatu Arbitral Tribunal di bawah UNCLOS untuk memutuskan legalitas atas “nine dashed lines” Tiongkok. Klaim Filipina kembali diajukan pada akhir Maret 2014 kepada Permanent Court of Arbitration di Den Haag. Submisi Filipina ini terdiri dari 4000 halaman, disertai 40 peta dan disusun oleh suatu law firm di Washington D.C. Kemudian dalam AMM ke-47 tanggal 5-10 Agustus 2014 di Myanmar Filipina menawarkan “Triple Action Plan”. Dalam pernyataan Kementerian Luar Negeri Filipina disebutkan bahwa “Triple Action Plan (TAP)” mencakup tiga bentuk pendekatan yakni 1) immediate; 2) intermediate; 3) dan final dalam mengatasi aktivitas-aktivitas yang provokatif dan mengganggu kestabilan kawasan tanpa mengurangi atau mengubah klaim teritorial yang telah ada. Namun, kembali TAP ditolak oleh Tiongkok. Tantangan yang lebih memperumit situasi di LCS sampai saat ini adalah masing-masing negara pengklaim termasuk negara-negara anggota ASEAN sendiri masih terus aktif melakukan upaya-upaya penyelenggaraan kedaulatan di wilayah yang diklaimnya. Akibatnya potensi konflik akan selalu terbuka. Melihat perkembangan ini, sudah jelas bahwa cita-cita merumuskan sebuah Asas Perilaku yang mengikat bagi para pihak masih sulit untuk dibuat menjadi nyata. Tidak mungkin mengharapkan Tiongkok mau merumuskannya, bila di antara negara-negara ASEAN pengklaim sendiri terjadi perbedaan pendekatan. Seharusnya, sentralitas (ASEAN Centrality) di antara negaranegara ASEAN diterjemahkan sebagai kesamaan tujuan dan pendekatan sehingga suatu dokumen Asas Perilaku dapat segera diwujudkan.
Posisi Tiongkok dalam Konflik LCS Upaya transformasi konflik secara damai di LCS sesungguhnya sangat tergantung dari sikap dan upaya Tiongkok. Berdasarkan catatan sejarah, para ilmuwan Tiongkok meyakini bahwa Tiongkok adalah negara pertama yang menemukan dan memberi nama gugusan pulau di LCS, meskipun kapan waktu tepatnya ditemukan masih belum disepakati.16 Wu mencatat pengelolaan wilayah
administratif atas LCS secara efektif telah dimulai sejak dinasti Han Barat (206 BC-9 AD).17 Bagi Tiongkok, kedaulatannya atas Kepulauan Spratly telah ditegaskan dalam konvensikonvensi internasional, seperti Deklarasi Kairo, Deklarasi Postdam, dan Perjanjian Damai Jepang-Tiongkok; dan tidak ada negara pengklaim LCS lainnya yang mempunyai lebih banyak bukti untuk mendukung klaim kedaulatannya atas pulaupulau tersebut.18 Dalam perspektif Tiongkok, faktor historis sebagai negara yang pertama kali menemukan dan memberi nama, serta menggunakan secara terus menerus selama lebih dari 2000 tahun, mengesahkan kedaulatan dan hak berdaulatnya atas keempat gugus pulau dalam “U-shaped line” di LCS.19 “U-shaped
line” ini juga dikenal sebagai nine-dotted line atau nine-dash line karena rangkaian sembilan titik lepas pantai Tiongkok ini membentuk huruf U. Peta resmi pertama yang menampilkan klaim dotted line Tiongkok dimulai sejak tahun 1947 ketika Tiongkok mendeklarasikan kedaulatannya atas Kepulauan Paracel dan Spratly dengan mencetak The Location Map of the South China Sea Islands. Pada peta ini, Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Macclesfield Bank, dan Kepulauan Spratly masuk menjadi bagian dari Tiongkok dengan penggunaan 11-dotted line dan batas selatan pada 4º Lintang Utara.20 Pada tahun 1953, dengan persetujuan Perdana Menteri Zhou Enlai, dua dotted line di Teluk Tonkin dihapuskan tanpa penjelasan resmi. Peta Tiongkok yang dikeluarkan setelah tahun 1953 menjadi awal ditunjukkannya nine-dotted line di LCS. Setelah deklarasi nine-dotted line, tidak nampak adanya pertentangan dari komunitas internasional pada saat itu. Negara-negara yang berdekatan pun tidak ada yang mengajukan protes diplomatik kepada Tiongkok. Oleh karena
Chandos Publishing, 2013), hlm. 16. 17
Ibid., hlm. 50.
18
Ibid.
19
Ibid., hlm. 15.
Li Jinming dan Li dexia. “The Dotted Line on the Chinese Map of the South China Sea: A Note,” Ocean Development & International Law No. 34, 2003. hlm. 287-295. 20
Wu Shicun. Solving Disputes for Regional Cooperation and Development in South China Sea: A Chinese Perspective. (UK: 16
104 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
itu, dalam perspektif Tiongkok, nine-dotted line telah disetujui dan diakui.21 Pemerintah Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk melindungi kedaulatan dan hak berdaulatnya atas pulau-pulau di LCS dan laut di sekitarnya, seraya terus mengikuti perkembangan hukum laut internasional dengan meratifikasi UNCLOS. Ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Tiongkok, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.
berdaulatnya di LCS, sekaligus sebagai dasar hukum untuk negosiasi dengan pihak pengklaim lainnya jika perselisihan teritorial muncul, termasuk untuk pembangunan bersama (joint development) di LCS.22 Sikap dasar Tiongkok dalam penyelesaian masalah LCS jelas bahwa penyelesaian harus dilakukan secara bilateral, bukan multilateral. Namun demikian, Tiongkok nampaknya tidak dapat terus bertahan dengan pilihan penyelesaian konflik secara bilateral.
Tabel 1. Kebijakan Perlindungan Kedaulatan Tiongkok di LCS Kebijakan Pengeluaran the location map of the south China Sea islands Declaration on the Territorial Sea
Law on the Territorial Sea and Contiguous Zone Ratifikasi UNCLOS
Waktu 1947
September 1958
Februari 1992 Mei 1996
Pemerintah Tiongkok mengeluarkan empat deklarasi Declaration on Baselines of Territorial Sea Law on the Exclusive Economic Zone and the Continental Shelf
Juni 1998
Isi Peta resmi pertama yang menampilkan klaim dotted line Tiongkok Pemerintah Tiongkok menyatakan kedaulatannya atas Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Macclesfield Bank, dan Kepulauan Spratly, namun tidak menyebutkan tentang UShaped Line. Artikel 2 UU ini secara jelas menyebutkan bahwa kedaulatan pulau-pulau di LCS adalah milik Tiongkok Tiongkok siap menyelesaikan perselisihan maritim berdasarkan konvensi Satu diantaranya untuk menegaskan kembali artikel 2 Law on the Territorial Sea and Contiguous Zone: kedaulatan Tiongkok atas Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Macclesfield Bank, dan Kepulauan Spratly Pemerintah Tiongkok menyatakan garis dasar laut teritorial Kepulauan Paracel, dan bahwa garis dasar laut teritorial lainnya akan dideklarasikan kemudian Melaksanakan hak berdaulatnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen. “Historic rights” disebutkan tanpa definisi. Artikel 14 UU ini menyatakan bahwa kebijakan di bawah UU ini tidak mempengaruhi hak historis Tiongkok
Sumber: Wu Sichuan, op.cit, yang diolah kembali.
Dalam dekade 1990 mulai dari Law on the Territorial Sea and Contigous Zone, ratifikasi UNCLOS, hingga pelasanaan ZEE merupakan kali pertama bagi Tiongkok sepanjang 2.000 tahun menegaskan hak berdaulatnya atas LCS melalui instrumen legislasi. Bagi Tiongkok, legislasi maritim ini merupakan dasar hukum bagi pemerintah Tiongkok untuk melindungi hak 21
Ibid.
Sebagaimana Tiongkok melihat kawasan Asia Tenggara sebagai masa depan regionalisme mereka, dilihat dari sudut geopolitik dan geoekonomi, Tiongkok seharusnya mampu bersikap kompromistis untuk mencapai “winwin solution” demi penyelesaian konflik secara damai.
22
Wu Sichuan, op.cit., hlm. 53-54.
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 105
Negara-negara Pihak ASEAN dalam Isu LCS
maka peluang untuk membuat wilayah ini stabil menjadi sangat terbuka lebar.
Selain didasari oleh bukti sejarah serta didorong oleh perkembangan hukum laut internasional, faktor politik, strategis, dan ekonomi juga melatarbelakangi konflik LCS. Ekonomi penting bagi negara yang bersengketa karena wilayah LCS diyakini kaya akan minyak, gas bumi, dan perikanan. LCS memiliki nilai strategis tinggi karena menjadi jalur lalu lintas bagi pengapalan minyak mentah dan perdagangan dunia. Aspek politik permasalahan LCS menyangkut masalah klaim teritori. Kekalahan dalam mempertahankan daerahnya akan menimbulkan masalah domestik, sehingga dipandang perlu oleh negara-negara pihak untuk mempertahankannya sesuai dengan penafsiran dan pandangan masing-masing demi kedaulatan negara. Dari segi hukum internasional, khususnya United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang mencakup batas maritim dan pemberian hak atas kekayaan laut, maka ketiga aspek penting di atas menjadi sangat realistis
Untuk menghadapi tindakan asertif Tiongkok yang membangun pangkalan kapal selam di kawasan Hainan, langkah antisipasi yang dicanangkan Vietnam adalah dengan membeli kapal perang dari Rusia dan Filipina dari Korea Selatan. Selain itu untuk mendukung klaim Vietnam maka didirikan pos terdepan seperti Pulau Karang Barat Daya yang diduduki oleh Vietnam. Terumbu Karang Mariveles dan Bantaran Ardasler diduduki oleh Malaysia. Sedangkan Pulau Thitu oleh Filipina, Itu Aba diduduki oleh Taiwan. Kepulauan Spratly diduduki oleh Vietnam. Terumbu Karang Fiery Cross oleh Tiongkok. Langkah lebih panjang diambil oleh Tiongkok yaitu membangun kota Sasha di daerah yang disengketakan.
Negara-negara pihak untuk pulau Spratly adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Tiongkok. Taiwan dan Vietnam juga menuntut kepemilikan akan Paracel yang berada di bawah kontrol Tiongkok sejak tahun 1974. Semua kebijakan politik, ekonomi, dan militer claimant states di LCS merupakan hal penting untuk penyelesaian sengketa. Vietnam dan Taiwan masih tetap ingin mematahkan argumentasi sejarah dari Tiongkok. Sementara Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia menggunakan UNCLOS sebagai pedoman dalam penentuan batas terluar wilayah. Dalam perihal penyelesaian sengketa, Claimant states ASEAN berusaha membawa sengketa ini dalam ranah multilateral sekalipun Tiongkok menginginkan penyelesaian melalui kerjasama bilateral. Penentuan batas secara jelas untuk hak kedaulatan wilayah masih belum menemukan titik temu. Dalam mempertahankan klaim masing-masing, claimant states ASEAN memandang Tiongkok sangat agresif dan tindakannya dapat memicu instabilitas kawasan. Namun apabila hak dalam pemanfaatan segala perihal mengenai nilai strategis LCS dimanfaatkan untuk kerjasama
Mengetahui negara-negara pihak di LCS sedang membangun kekuatan militernya maka Perdana Menteri Tiongkok, Wen Jia-bao, menyatakan bahwa Tiongkok pada 5 Maret 2015 akan meningkatkan anggaran militer dengan tujuan untuk memenangkan “perang lokal” terkait dengan persengketaan wilayah khususnya di LCS dengan negara-negara tetangganya.23 Dengan peningkatan anggaran militer tersebut, Tiongkok berupaya membuktikan bahwa dirinya mampu mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di wilayah Asia Pasifik. Peningkatan kapasitas militer Tiongkok terlihat dari jenis-jenis peralatan militer di semua matra yang sudah semakin canggih dan lengkap. Filipina mengambil serangkaian kebijakan soal sengketa di LCS, termasuk membeli kapal perang Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Pemerintah Filipina telah menghabiskan 678 juta dolar untuk memodernisasi militer selama tiga tahun terakhir, termasuk untuk membeli dua kapal cutter bekas kelas Hamilton yang diperoleh dari pasukan penjaga pantai Amerika Serikat (US Coastguard). Selain itu Filipina juga mengizinkan kapal perang dan personel militer AS untuk berpangkal di Filipina, dan merencanakan latihan militer dengan AS dengan frekuensi yang lebih Austin Ramzy, “China Announces 11,2 % Increase in Military Spending”, http://world.time.com/2012/03/05/chinaannounces-11-2-increase-in-military-spending/, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 23
106 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
tinggi dan berencana memindahkan tangsi militer utama milik Angkatan Laut dan Angkatan Udara ke Teluk Subic, bekas pangkalan militer AS di Filipina. Tindakan itu ditujukan agar kekuatan militernya dapat sesegera mungkin dikerahkan ke kawasan LCS yang dipersengketakan dengan Tiongkok. Tindakan Filipina itu akan memperuncing konflik sehingga tidak akan menguntungkan bagi penyelesaian masalah dan perdamaian di kawasan Asia Pasifik. Bagi Vietnam, klaim Tiongkok atas LCS merupakan ancaman utama bagi kedaulatan wilayahnya. Sebagai salah satu negara pihak, Vietnam mendasarkan tuntutannya secara historis (discovery). Konflik Tiongkok-Vietnam dalam memperebutkan kepulauan Paracel mengalami pasang surut. Vietnam menyebut Spratly dengan nama Dao Truong Sa. Pada 1988 terjadi ketegangan di kepulauan Spratly antara Tiongkok dan Vietnam. Dua puluh kapal perang Tiongkok yang sedang berlayar di LCS menghadang Angkatan Laut Vietnam, sehingga terjadi bentrokan di Karang Johnson Selatan dan mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam.24 Tiongkok juga telah melakukan pemutusan kabel seismik eksplorasi minyak kapal Binh Minh 02 dan Viking II yang disewa Petro Vietnam masingmasing pada 26 Mei 2011 dan 9 Juni 2011, yang kemudian diprotes keras oleh Vietnam.25 Ketegangan terjadi lagi pada tahun 2014 setelah Tiongkok menempatkan anjungan pengeboran minyak lepas pantai Haiyang Shiyou 981 di lokasi yang diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Vietnam. Hal ini memicu demonstrasi besar-besaran antiTiongkok di Hanoi. Akhirnya China National Petroleum Corp menutup operasi anjungan itu dan memindahkannya ke dekat Kepulauan Hainan di selatan Tiongkok. Meskipun Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei mengatakan bahwa pemindahan tersebut Douglas M. Johnston, The History of Ocean-Boundary Making, (Kingston and Montreal: McGill- Queen’s University Press, 1988). Lihat juga Mark J. Valencia and Jon M. Van Dyke, “Vietnam’s National Interests and the Law of the Sea,” Ocean Development and International Law No.25, 1994, hlm. 217–250. 24
“Laut Cina Selatan Memanas, Cina-Vietnam Berisiko Perang,” http://news.liputan6.com/read/2050973/ laut-Cinaselatan-memanas-Cina-vietnam-berisiko-perang.
tidak terkait dengan unsur eksternal apapun, relokasi ini tentu berkontribusi untuk mengurangi ketegangan kedua negara di wilayah sengketa tersebut.26 Hubungan ekonomi antara Vietnam dan Tiongkok jauh lebih dekat ketimbang isu keamanan dan politik,, jadi hubungan kedua negara cenderung tidak stabil dan dapat dikatakan sebagai hubungan “love and hate”. Realitas ini cenderung menahan kedua negara menuju konflik terbuka. Vietnam merupakan mitra dagang Tiongkok baik hubungan bilateral maupun melalui CAFTA. Dalam industri wisata keindahan alam, Vietnam menjadi magnet tersendiri bagi turis asing berkewarganegaraan Tiongkok. Demikian pula hubungan Filipina-Tiongkok mengenai LCS mengalami pasang surut terutama di beberapa pulau di kepulauan Spratly. Pemerintah FilipinaTiongkok sepakat menjalin kerjasama guna mengurangi ketegangan antara kedua Negara dan mencapai kesepakatan lain. Contohnya seperti kerjasama latihan penyelamatan pantai pada tahun 2004 antara Departemen Keamanan Maritim Tiongkok dengan Penjaga Pesisir Filipina. Usaha tersebut ditindak lanjuti oleh Perusahaan minyak lepas Pantai Nasional Tiongkok dan Perusahaan Minyak Nasional Filipina dengan menandatangani “Agreement for Joint marine Seismic Undertaking on Certain Areas in the South China Sea” pada 1 September 2004. Tahun 2005, Vietnam ikut serta dalam kerjasama tiga serangkai dengan TiongkokFilipina. Perusahaan minyak dari tiga negara menandatangani “Agreement for Joint marine Seismic Undertaking on Certain Areas in the South China Sea” pada Maret 2005. Malaysia sebagai negara yang terbagi menjadi dua bagian yang salah satu perairan lautnya menyinggung nine dash line. Klaim Tiongkok ini mendapat reaksi keras dari pihak Malaysia. Namun kedua negara baik Malaysia maupun Tiongkok sama-sama masih dapat menahan diri untuk tidak menggunakan instrumen militer. Sedangkan Brunei Darussalam merupakan satu-satunya negara yang tidak mengklaim pulau atau daratan di wilayah Kepulauan Spratly dan tidak secara langsung
25
“Southeast Asia: South China Sea Grows More Complicated,” East Asian Strategic Review 2014. 26
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 107
bersinggungan dengan Tiongkok. Brunei ingin ketegasan mengenai masalah tapal batas kontinen perairan negaranya yang meliputi wilayah di sekitar perairan Kepulauan Spratly. Hal ini kemudian menimbulkan konflik dengan Malaysia, yaitu sengketa mengenai sebuah karang di sebelah selatan LCS yang sewaktu air pasang berada di bawah permukaan laut. Akan tetapi sengketa antara Brunei dan Malaysia mengenai klaim kedaulatan di sekitar Kepulauan Spartly relatif tenang, belum sampai menimbulkan konflik terbuka kearah peperangan antar kedua negara. Hubungan negara-negara pihak mengalami pasang surut tergantung penekanan aspeknya. Seperti dikatakan PM Tiongkok Li Keqiang “Tiongkok akan memberikan dukungan penuh kepada inisiatif yang memperkuat kerjasama maritim sementara juga menanggapi tegas provokasi yang merusak perdamaian dan stabilitas di LCS.” Pernyataan Li itu dibuktikan melalui bentuk program Asian Investment on Infrastructure Banking (AIIB). AIIB lahir dari kelompok BRICS terutama Tiongkok yang berperan sebagai pendukung pembangunan infrastruktur di kawasan Asia termasuk kepada negara-negara di Asia Tenggara. Tanggal 24 Oktober 2014 telah diikuti oleh 21 negara termasuk 9 negara anggota ASEAN kecuali Indonesia padahal AIIB disosialisasikan di parlemen Indonesia tahun 2013.27 Intesifitas hubungan anggota ASEAN dengan Tiongkok membuktikan bahwa pandangan terhadap Tiongkok tidak kaku. Pandangan negara-negara nonpihak di ASEAN secara menyeluruh mendukung upaya penyelesaian isu LCS. Alasan utama bagi Singapura sebagai negara hub misalnya, adalah kepastian keamanan di jalur LCS yang berpengaruh terhadap lalu lintas perdagangan.28 Laos mendorong seluruh claimant states untuk menciptakan perdamaian kawasan terutama di LCS.29 Kamboja menginginkan isu LCS tidak James Corbett, “China’s AIIB: What You Need to Know”, 25 Maret 2015. https://www.corbettreport.com/chinas-aiibwhat-you-need-to-know/, diakses pada tanggal 7 April 2016. 27
Singapore Urges China to Cralify South China Seas Claim, http://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-13838462, diakses pada tanggal 12 Februari 2015. 28
29
http://www.vientianetimes.org.la/FreeContent/freeCont_
sampai membawa pihak luar atau menjadi isu dunia internasional cukup hanya diantara Tiongkok, Taiwan, dan ASEAN. Kedekatan Kamboja dengan Tiongkok ditengarai menjadi sebab mengapa isu LCS di tingkat ASEAN mengalami deadlock.30 Myanmar mendaulat diri sebagai negara yang dekat dengan semua negara pengklaim dan tidak meyetujui keterlibatan militer yang dapat memperkeruh suasana. Terakhir,31 Thailand mendorong perubahan DoC menuju CoC guna tercapai keamanan kawasan.32
Isu LCS dan Perkembangan Tatanan Keamanan di Asia Timur Pembahasan mengenai LCS dalam perkembangannya tidak bisa dipisahkan dari dinamika kompleksitas keamanan regional di kawasan Asia Timur dan Indo-Pasifik secara lebih luas, yang di dalamnya melibatkan dan terkait dengan interaksi (interplay) antara berbagai kekuatan. Berbagai perilaku provokatif di LCS senantiasa menjadikan kawasan tersebut mudah untuk memanaskan kondisi yang beresiko kepada terjadinya konflik terbuka. Dengan demikian, dinamika konflik LCS sangat menentukan bagi hubungan internasional dan keamanan regional di Indo-Pasifik. Nuansa persaingan strategis di IndoPasifik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kepentingan baik ekspansi wilayah maupun penguasaan sumber alam dan jalur navigasi, telah menjadikan LCS beresiko bagi terjadinya konflik di masa depan. Berbagai manuver kekuatan yang selama ini terjadi menunjukkan secara terang Laos%20expresses.htm, diakses pada tanggal 12 November 2014. Kamboja sangat hati-hati mengambil tindakan yang dapat menganggu Tiongkok karena kedekatan dua negara tersebut. Lihat https://www.cambodiadaily.com/archives/south-Cinasea-dispute-off-asean-summit-agenda-609/ diakses pada tanggal 12 November 2014. 30
Taw, Nay Pyi, “Myanmar in good position to facilitate dialogue with Cina” as South Cina Sea issue dominates agenda of ASEAN Foreign Ministers’ Meeting”, http://www. president-office.gov.mm/en/?q=issues/asean/id-3708, diakses pada tanggal 12 November 2014. 31
Michaela Del Callar, “PHL Thailand Call for Peaceful Resolution of South Cina Sea Disputes,” http://www. gmanetwork.com/news/story/370954/news/nation/phl-thailandcall-for-peaceful-resolution-of-south-Cina-sea-disputes, diakses pada tanggal 12 November 2014. 32
108 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
bagaimana instrumen kekuatan (militer) terlibat dalam persaingan bagi negara-negara besar. Keterlibatan pihak luar atau non-resident country di kawasan LCS, menambah kerumitan bagi sebagian atau salah satu pihak yang bersengketa. Dan karenanya, persoalan keterlibatan pihak luar menjadi sangat sensitif dikarenakan kepentingan Tiongkok dalam isu LCS serta upaya untuk mempertahankan dominasi dan paritas strateginya di LCS. Keberadaan Tiongkok yang merupakan aktor terbesar dan terkuat dari berbagi aspek serta unsur kekuatan di antara negara yang bersengketa cenderung enggan melibatkan pihak luar terutama Amerika Serikat. Untuk mengantisipasinya Tiongkok memilih membicarakan persoalan LCS secara bilateral dengan pihak-pihak yang bersengketa. Secara resmi Menteri Luar Negeri AS, Hillary Clinton pada Juli 2010 telah menyatakan bahwa LCS merupakan bagian dari kepentingan nasionalnya.33 Dengan pernyataan Hillary ini menjadi pertanda Amerika Serikat untuk terlibat dalam isu LCS. Hal tersebut ditunjukkan oleh Amerika Serikat dengan meningkatkan kerjasama militer dengan negara-negara anggota ASEAN, termasuk kepada yang bersengketa yaitu Filipina, Vietnam, dan Thailand. Selain itu, peningkatan peran AS di kawasan Asia Timur juga digariskan dengan strategi rebalancing dengan rekomposisi kekuatan di Asia-Pasifik melalui kebijakan US pivot to Asia sebagai kebijakan Presiden Barack Obama. Dalam kondisi demikian, maka pihak-pihak yang bersengketa, pada satu sisi membangun hubungan baik dengan Tiongkok, namun pada sisi lain, ada kecenderungan untuk meningkatkan hubungan militer dengan Amerika Serikat. Uni Eropa (UE) juga menunjukkan minatnya untuk turut terlibat dalam pengelolaan LCS. Meski lokasi Eropa secara geografis jauh, namun Eropa memiliki kepentingan atas perdamaian dan stabilitas serta keamanan di LCS karena faktor strategis terkait dengan alur perdagangan dengan Asia Timur. Hubungan UE dengan Asia ditunjukkan dalam Asia Europe Meeting (ASEM) serta proses lain yang terkait dengan ASEAN. UE Leszek Buszynski dan Christopher B. Roberts, The South China Sea Maritime Dispute: Political, Legal and Regional Perspectives, (New York: Routledge, 2015), hlm. 175. 33
juga melihat bahwa perkembangan yang terjadi di Asia Timur terlalu penting untuk ditinggalkan dalam hubungan internasional. Pengalaman UE dalam resolusi konflik serta peran perdamaian di Asia, seperti posisi UE dalam proses perdamaian Aceh merupakan salah satu aset untuk berupaya menjadi penyeimbang di dalam LCS yang strategis itu. Memperhatikan kompleksitas persengketaan di LCS, dilihat dari kacamata resolusi konflik internasional, dapat dinyatakan bahwa peluang penyelesaian secara politik klaim kedaulatan akan sulit untuk dicapai, kalau bukan tidak memungkinkan. Oleh karena itu, hal yang paling memungkinkan adalah dengan melakukan kerjasama fungsional seperti keselamatan navigasi, search & rescue, kerjasama riset dan pengembangan ilmu pengetahuan, preservasi lingkungan laut dan sebagainya yang merupakan kepentingan bersama. Pemikiran demikian pada dasarnya merupakan pendekatan yang digunakan Indonesia dengan memfasilitas pertemuan eksploratif (lokakarya) atas tujuan manajemen konflik di LCS. Pendekatan diplomasi preventif, melalui pembentukan jalur diplomasi menjadikan cara yang elegan untuk membantu menghindarkan kawasan LCS dari resiko terjadinya konflik bersenjata di laut antara pihak-pihak negara pengklaim. Dengan kecenderungan peningkatan aktivitas masing-masing negara yang bersengketa di wilayah yang dipersengketaan, maka kemungkinan terjadinya military accident sangatlah memungkinkan. Hal ini akan terjadi terutama jika persoalan klaim tersebut menjadi menjadi komoditas politik domestik untuk membangun nasionalisme, diikuti dengan provokasi untuk penggunaaan cara-cara militer untuk melakukan pendudukan di LCS. Melihat kepada kondisi demikian, upaya untuk membangun diplomasi preventif untuk menghindari konflik terbuka di LCS atau di kawasan Asia Tenggara menjadi semakin diperlukan. Dalam konteks ini, ASEAN dengan cara-cara soft diplomacy mendorong untuk dibentuknya suatu international regime bagi penataan keamanan, bukan hanya di Asia Tenggara,
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 109
namun bagi Asia Timur secara lebih luas, melalui berbagai cara: 1. Upaya ASEAN untuk mengembangan security regime dengan upaya memastikan bahwa negara-negara besar di kawasan tidak menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan persoalan atau memperjuangkan kepentingannya. Inisiatif ASEAN ini dilakukan dengan mendorong kepada pihak di luar ASEAN untuk menerima TAC. 2. ASEAN mengembangkan pola kerjasama dengan mitra dialog dari ASEAN+1, ASEAN+3, dan ASEAN+6, di mana negara-negara bersengketa terlibat di LCS juga masuk di dalamnya. Forum dan kerjasama dengan formula ASEAN++ ini merupakan wadah untuk dialog dan perluas kerjasama yang memberikan iklim sejuk atas berbagai persoalan yang dihadapi oleh para pihak. 3. ASEAN Regional Forum (ARF). Sebagai forum tingkat menteri, ARF merupakan satu satunya mekanisme terluas untuk secara khusus membahas persoalan keamanan terutama di wilayah Asia Timur. 4. Perkembangan yang sangat menentukan bagi tatanan Asia Timur adalah perkembangan dari East Asia Summit (EAS) yang merupakan forum tingkat kepala negara yang melibatkan hampir semua negara di kawasan. 5. Selain perkembangan positif yang terjadi dengan menguatnya dialog pertahanan antar anggota ASEAN melalui ADMM serta perluasan dengan mitra dialog telah berkembang pula ADMM Plus. Proses yang selama ini berjalan dengan inisiatif ASEAN untuk membangun tatanan kerjasama di Asia Timur merupakan proses pembentukan norma-norma internasional dan mekanisme bagi kerjasama regional. ASEAN dengan demikian melakukan “regime-building” dalam pengertian international regime34 dalam Stephen D. Krasner (Ed), International Regimes, Ithaca, (New York: Cornell University Press, 1983). 34
hubungan internasional tidak kaku seperti organisasi regional. Peran rezim internasional di sini sangat krusial untuk secara bersama membangun norma-norma, tata hubungan dan pengelolaa atas persoalan-persoalan strategis terkait untuk memastikan bahwa persoalan tersebut dikelola untuk kebaikan bersama dan resiko inter-state-violent conflict dapat dicegah. Rejim keamanan internasional di Asia Timur di sini untuk menghindari konflik dan memaksimalkan kerjasama regional. Peran ASEAN di dalam membangun arsitektur Asia Timur dapat pula dicatat sebagai anomali di dalam hubungan internasional jika mengedepankan pendekatan klasik. Konsep tatanan arsitektur (keamanan) Asia Timur yang meletakan ASEAN sebagai centrum, driving force, dan sekaligus agenda setting merupakan perkembangan baru dalam hubungan internasional, yang tidak terjadi sebelumnya –kekuatan kecil mengatur kekuatan yang besar, bahkan superpower. Pandangan klasik, seperti teori hegemonic stability, mendefinisikan stabilitas suatu kawasan akan ditentukan atau dijamin oleh kekuatan besar yang memayungi secara hegemonik. Dengan kata lain, hanya negara berkekuatan besar lah yang dapat menjamin stabilitas suatu kawasan karena kapasitas proyeksi kekuatan ataupun pengaruh terhadap negara-negara yang lebih lemah. Di sinilah kedudukan payung keamanan dari major power atas superpower. Memperhatikan kepada dinamika isu LCS dan nilai strategis yang dimilikinya, maka keterlibatan pihak luar merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Keterlibatan pihak luar tersebut tidak selalu berarti negatif, sebab ia dapat bermakna untuk tujuan transformasi konflik. Selain itu, kepentingan pihak luar di dalam persoalan LCS memiliki implikasi yang luas terhadap dinamika keamanan regional, terutama ketika pihak luar tersebut adalah Amerika Serikat. Memang, kehadiran AS tidak bisa dikesampingkan begitu saja, karena secara defacto AS merupakan kekuatan militer besar di Asia-Pasifik. Lebih jauh, keterlibatan pihak luar akan sensitif, terutama karena faktor Tiongkok sebagai kekuatan terbesar di dalam sengketa LCS.
110 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
Tiongkok yang menjadi kekuatan ekonomi global menjadi semakin asertif perilaku militernya dan berusaha melakukan penolakan terhadap segala bentuk keterlibatan pihak lain, bukan hanya AS, tetapi juga aktor lain seperti UE. Bahkan, Tiongkok tidak begitu suka dengan keterlibatan ASEAN untuk melakukan upaya membangun CoC. Namun demikian, suatu upaya untuk membangun arsitektur di kawasan Asia Timur merupakan dinamika penting di kawasan. Memang, upaya untuk membangun rejim keamanan di Asia Timur secara makro turut memberikan kontribusi bagi iklim untuk membangun dialog bagi keamanan di Asia Timur dalam arti luas. Peran ASEAN sebagai pemandu kendali atas perkembangan EAS akan menentukan sejauhmana EAS akan berkembang ke depan. EAS didesain sebagai convenience basket bagi kepala negara-negara di Asia Timur yang mencakup kekuatan utama, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan Tiongkok.
Indonesia dalam Isu LCS Perairan Kepulauan Natuna secara geografis merupakan perairan yang menghubungkan Indonesia dengan kawasan Asia Timur dan Samudera Pasifik. Di wilayah itu, tepatnya antara Pulau Sekatung di Indonesia dengan Pulau Condore di Vietnam berbatasan dan hanya berjarak tidak lebih dari 245 mil, keduanya memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua. Meskipun sampai saat ini Indonesia masih terus melakukan perundingan persoalan perbatasan dengan Vietnam, wilayah itu menjadi semacam wilayah terbuka bagi tiga negara, termasuk Tiongkok. Bila melihat peta yang diklaim oleh para pihak, khususnya oleh Tiongkok, dan dilihat dari kepentingan kedaulatan nasional, nine dashed line Tiongkok “memotong” ZEE Indonesia di Laut Natuna. Namun demikian, sejak awal Indonesia telah menegaskan tidak perlu menjadi claimant state, karena akan lebih banyak kerugian yang dapat ditimbulkan. Meskipun nanti pada akhirnya, Indonesia akan memiliki persoalan perbatasan dengan negara yang mampu mengklaim atau menjadi pemilik Kepulauan Spratly. Disini tantangan Indonesia dalam upaya menegaskan perbatasannya.
Gambar 2. Indonesia
Kepulauan Natuna dan Perbatasan
Indonesia cenderung memosisikan diri mengambil jarak atau netral pada konflik LCS. Bagi Indonesia lebih baik mengedepankan pendekatan diplomasi. Indonesia mempunyai kepentingan stabilitas keamanan, untuk itu kebijakan yang dipilihnya adalah kebijakan preventive diplomacy. Hal itu ditandai dengan adanya inisiatif Indonesia untuk menyelenggarakan Workshop Pengelolaan Potensi Konflik di LCS (The Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea) pada tahun 1992, yang diikuti oleh pihak-pihak yang bersengketa. Tujuan dilakukannya Workshop tersebut lebih untuk mengalihkan potensi konflik dengan membangun sikap saling percaya (confidence building) diantara pihak-pihak yang bersengketa. Sejak awal workshop LCS tidak dimaksudkan untuk membicarakan dan menyelesaikan sengketa, tetapi untuk menurunkan tingkat potensi konflik menuju identifikasi dan usaha pemanfaatan peluang-peluang kerjasama.”35 Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNPAD, Prospek Joint Development and Joint Co-Operation di Laut Cina selatan sebagai Mekanisme Penghindaran Konflik di Kawasan: Suatu Perspektif Ekonomi Politik dan Pertahanan dari Indonesia (2001-2003), (Bandung: Badan Penelitian dan Pengembangan 35
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 111
Meskipun dalam KTT ASEAN yang lalu pembahasan LCS mengalami kebuntuan yaitu tidak ada kesepakatan penyelesaian konflik yang dicapai, peran aktif Indonesia dalam upaya memediasi konflik tersebut pada kenyataannya mendapat dukungan yang tinggi dari negara-negara ASEAN, Tiongkok, maupun AS. Mengingat memang tidak ada negara lain yang mengupayakan posisi itu. Untuk itu, ada dua kerangka diplomasi yang sepertinya ditempuh Indonesia, yaitu kerangka regional dan bilateral. Setidaknya politik luar negeri Indonesia, yang dipandang sebagai strategi Menteri Luar Negeri menekankan bahwa CoC memiliki formula 3+1, yaitu promote confidence, avoiding incidents, managing the incidents (if they still occur) dan plus creating condition conducive. Selain itu, diusulkan inisiatif kerjasama praktik (early harvest initiatives) inisiatif itu terdiri dari hot line of communication dan SAR of people & vessels in distress at sea. Hal itu terkait dengan terciptanya keamanan dan perdamaian di LCS merupakan kepentingan dari upaya membangun lingkungan regional yang aman dan diyakini akan terkait langsung dengan pembangunan nasional Indonesia. Setidaknya diidentifikasi kekayaan sumberdaya tambang dan laut yang melimpah menjadikan keamanan wilayah di perairan Kepulauan Natuna sebenarnya cukup sensitif, mengingat adanya penangkapan ikan kapal asing di perairan Indonesia bagian utara yang berbatasan langsung dengan perairan Tiongkok tersebut. Untuk kepentingan itu, Indonesia telah melakukan MoU on Maritime Cooperation dengan Tiongkok, yang kemudian ditindaklanjuti dengan the Maritime Cooperation Committee between China and Indonesia pada bulan Maret 2012 dan yang pertama kalinya dilakukan pertemuan di Beijing pada tanggal 6 Desember 2012.36 Dalam pertemuan itu kedua belah pihak setuju perlu Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri dengan Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadajaran), November 2000, hlm. 31. “The 1st Meeting of the Maritime Cooperation Committee between China and Indonesia Held in Beijing,” Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, 6 Agustus 2012, http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjdt_665385/ wshd_665389/t996747.shtml, diakses pada tanggal 20 September 2014.
adanya kerjasama maritim, kerangka kerjasama strategis, membangun komite kerjasama Maritim Tiongkok dengan Indonesia, serta pendanaan kerjasama maritim. Bahkan terakhir kali sudah semakin mengerucut tentang rencana kerja sama dengan Tiongkok dalam bidang penanaman modal asing Tiongkok di Pulau Natuna untuk proses pengalengan ikan.37 Namun demikian, terlihat cara pandang pemerintah Indonesia belum satu kesatuan, karena dari satu tahun terakhir ini terlihat adanya pertentangan internal yang berasal dari Kementerian Pertahanan dan DPR, yang melihat lebih dari perspektif kedaulatan teritori dan perbatasan Indonesia.
Penutup Isu Laut Cina Selatan merupakan bagian masa lalu yang belum selesai (unresolved problem). Isu ini hampir selalu menjadi topik pembahasan di berbagai forum pertemuan antarnegara, baik yang melibatkan pemerintah, parlemen maupun akademisi di tingkat nasional dan regional. Isu Laut Cina Selatan semakin relevan dengan keputusan Tiongkok untuk mempercepat pembangunan “Silk Road Economic dan Maritime Silk Road” dengan tema “One Belt and One Road Project”. Jalur sutra Ini merupakan strategi untuk meningkatkan ekonomi dan perdagangan internasional Tiongkok, dimana Laut Cina Selatan menjadi bagian dari jalur sutra maritim Tiongkok, kemudian Selat Malaka, Samudera Hindia, Afrika (Nairobi) dan Mediterania. Pendekatan transformasi konflik dalam kasus Laut Cina Selatan semakin relevan karena dua hal: pertama, dengan dasar klaim sejarah yang diajukan oleh Tiongkok, Filipina dan Vietnam, penyelesaian konflik di kawasan ini mengalami jalan buntu. Hal ini disebabkan negara pihak berkeras pada pendirian masingmasing atas klaim kedaulatan di wilayah itu. Sementara historical claim belum sepenuhnya dapat diputuskan keabsahannya, meskipun hukum internasional tidak dapat menerima klaim berdasarkan sejarah. Sementara Tiongkok
36
Penjelasan Menteri Luar Negeri Marti Natalegawa yang dikutip dalam “Menlu Bantah China Klaim Natuna,” Sindonews.com, 19 Maret 2014, http://nasional.sindonews.com/ read/845901/14/menlu-bantah-china-klaim-natuna, diakses pada tanggal 23 September 2014. 37
112 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
memiliki “tradisi mencatat” yang bersifat turun-temurun dan sulit ditandingi oleh bangsa mana pun di dunia, sehingga Tiongkok dapat memberikan bukti sejarah yang menjadikannya memiliki institutional memory yang kuat, termasuk di dalam konteks Laut Cina Selatan. Kedua, hampir semua laporan dan dokumen yang membahas mengenai isu Laut Cina Selatan cenderung hanya fokus pada pembahasan dan analisa mengenai konflik antarnegara pihak, baik yang berhubungan dengan klaim sejarah, kedaulatan politik, maupun batas wilayah atau yurisdiksi negara. Akibatnya, isu ini seolah-olah mengalami jalan buntu. Padahal, tidak sedikit upaya Indonesia untuk memfasilitasi forumforum pertemuan dan diskusi sebagai langkah preventif (preventive diplomacy) agar tidak terjadi konflik terbuka di kawasan itu, kalau memang tidak mungkin mengakhiri konflik di kawasan itu. Dengan pendekatan transformasi konflik, maka urgensi CoC bagi Tiongkok dan negaranegara ASEAN semakin penting dan relevan, karena dinamika konflik di Laut Cina Selatan memiliki banyak peluang yang dapat dikelola menjadi kerjasama yang bermanfaat bagi negara-negara pihak, maupun negara-negara lain yang tidak terlibat di dalam konflik Laut Cina Selatan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari transformasi konflik di Laut Cina Selatan, maka pandangan negara-negara ASEAN yang menjadi “non-claimant“ (selain Indonesia) di Laut Cina Selatan, perlu diperhatikan, karena secara langsung maupun tidak langsung, konflik di Laut Cina Selatan berdampak pada regional ASEAN. Namun juga, setiap negara anggota ASEAN yang tidak menjadi negara pihak di dalam konflik Laut Cina Selatan, dapat berperan sebagai fasilitator, mediator, bekerjasama membangun kawasan Laut Cina Selatan ataupun kerjasama penelitian dan pengembangan mengenai potensi sumber daya alam di kawasan itu. Kepentingan internasional (non-resident countries) terhadap LCS dalam hal SLOCs dan navigasi, seperti Amerika Serikat, perlu mendapat perhatian, karena kepentingan luar negeri Amerika Serikat bukan hanya dilandaskan pada aspek geografi atau kawasan tertentu, melainkan juga berbasis isu. Dengan demikian,
dalam perspektif keamanan regional di bidang maritim, maka AS memiliki kepentingan untuk “hadir” di kawasan Laut Cina Selatan. Secara fisik, kehadiran AS dapat diketahui dengan adanya kapal induk yang berpatroli atau kapal selam yang melalui wilayah perairan dan laut Asia Tenggara. Namun secara teknologi, AS memiliki teknologi pertahanan yang termaju di dunia dengan dukungan anggaran pertahanan yang sangat memadai, maka ketidakhadirannya secara fisik tidak menjadi hal yang relevan, karena teknologi komunikasi dan informasi untuk mendukung kepentingan pertahanan AS akan lebih mudah menjangkau kawasan Laut Cina Selatan. Dengan demikian, eksistensi isu Laut Cina Selatan bukan hanya akan mengundang kehadiran AS di kawasan ini, melainkan juga akan menjadi kendala bagi ASEAN untuk menjaga sentralitasnya. Namun, apabila peran AS dapat memperkuat rejim internasional untuk mengarahkan arsitektur keamanan di Asia Timur, maka kekuatan eksternal ini diharapkan dapat membantu menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan. Di dalam pandangan strategis negara-negara pihak di Laut Cina Selatan, wilayah ini memiliki nilai politis dan ekonomis. Namun selain inisiatif Indonesia untuk memfasilitasi forum pertemuan, pendekatan bilateral lebih dominan dijalankan antara Tiongkok dengan negara-negara pihak di dalam konflik di LCS, kecuali dengan Taiwan. Secara regional, empat negara ASEAN (Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam) yang terlibat di dalam konflik Laut Cina Selatan pun cenderung mengesampingkan mekanisme regional ASEAN di dalam penyelesaian konflik. Selain mekanisme ASEAN semakin tidak teruji kesahihannya, pendekatan bilateral di dalam konflik Laut Cina Selatan menunjukkan bahwa di antara sesama negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan kepentingan yang juga memperlihatkan rasa saling curiga atau tidak percaya antarnegara maupun atas kemampuan ASEAN untuk menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan sesuai dengan norma dan nilai ASEAN. Dengan pembentukan Komunitas ASEAN (khususnya Komunitas Politik Keamanan ASEAN) pada Desember 2015, ASEAN harus semakin berperan di dalam
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 113
menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan, termasuk juga berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas di Laut Cina Selatan.
Daftar Pustaka Buku Amer, Ramses. 2002. “Ongoing Efforts in Conflict Management” dalam Timo Kivimaki, War or Peace in the South China Sea. Copenhagen: NIAS Press. Buszynski, Leszek dan Christopher B. Roberts. 2015. The South China Sea Maritime Dispute: Political, Legal and Regional Perspectives. New York: Routledge. Galtung, Johan. 2007. “Peace by Peaceful Conflict Transformation – the TRANSCEND Approach” dalam Charles Webel dan Johan Galtung (Ed), Handbook of Peace and Conflict Studies, New York: Routledge. Hong, Nong. 2012. UNCLOS and Ocean Dispute Settlement: Law and Politics in the South China Sea. New York: Routledge. Johnston, Douglas M. 1988. The History of OceanBoundary Making. Kingston and Montreal: McGill-Queen’s University Press. Jurusan Hubungan Internasional FISIP UNPAD. 2000. Prospek Joint Development and Joint Co-Operation di Laut Cina selatan sebagai Mekanisme Penghindaran Konflik di Kawasan: Suatu Perspektif Ekonomi Politik dan Pertahanan dari Indonesia (2001-2003). Bandung: Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri Departemen Luar Negeri dengan Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Padjadajaran. Krasner, Stephen D. (Ed). 1983. International Regimes. Ithaca. New York: Cornell University Press. Lee, Lai To. 1999. China and the South China Sea Dialogues. Westport: Praeger Publishers. Ras, Abdul Rivai dan Rajab Ritonga. 2001. Konflik laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia pasifik: Sudut Pandang Indonesia. Jakarta: TNI AL dan Penerbit APSINDO. Wu, Shicun dan Keyuan Zou. 2013. Securing the Safety of Navigation in East Asia. Oxford: Chandos Publishing. Wu, Shicun dan Nong Hong (Ed). 2014. Recent Development in the South China Sea Disputes: The Prospect of a Joint Development Regime. New York: Routledge.
Wu, Shicun. 2013; Solving Disputes for Regional Cooperation and Development in the South China Sea: Chinese Perspective. UK: Chandos Publishing.
Jurnal Valencia, Mark J. and Jon M. Van Dyke. 1994. “Vietnam’s National Interests and the Law of the Sea.” Ocean Development and International Law No.25. Thayer, Carlyle A. Agustus 2012. “ASEAN’S Code of Conduct in the South Cina Sea: A Litmus Test for Community-Building?.” The Asia-Pacific Journal Vol 10, Issue 34, No. 4, 20. Jinming, Li dan Li dexia. 2003. “The Dotted Line on the Chinese Map of the South China Sea: A Note.” Ocean Development & International Law No. 34. ____2014. “Southeast Asia: South Cina Sea Grows More Complicated.” East Asian Strategic Review. Stormont, William G. July 1994. “Managing Potential Conflicts in the South China Sea.” Marine Policy 18(4): 353-356.
Surat Kabar dan Website “Initiatives on South China Sea, Conflict Resolution and Peacekeeping Cooperation, People Engagement, Among Many Issues Noted in Comprehensive ASEAN Joint Communique B a l i , I n d o n e s i a . ” h t t p : / / w w w. a s e a n . org/?static_post=initiatives-on-south-chinasea-conflict-resolution-and-peacekeepingcooperation-people-engagement-among-manyissues-noted-in-comprehensive-asean-jointcommunique-bali-indonesia-20-july-2011. “Laut Cina Selatan Memanas, Cina-Vietnam Berisiko Perang.” http://news.liputan6.com/ read/2050973/ laut-Cina-selatan-memanasCina-vietnam-berisiko-perang. “The 1st Meeting of the Maritime Cooperation Committee between China and Indonesia Held in Beijing.” Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China. 6 Agustus 2012. http://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/ wjdt_665385/wshd_665389/t996747.shtml. Ramzy, Austin. “China Announces 11,2 % Increase in Military Spending”, http://world.time. com/2012/03/05/china-announces-11-2increase-in-military-spending/. http://www.vientianetimes.org.la/FreeContent/ freeCont_Laos%20expresses.htm.
114 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 99–115
Corbett, James. 2015. “China’s AIIB: What You Need to Know”. 25 Maret 2015. https://www. corbettreport.com/chinas-aiib-what-you-needto-know/. Lederach, John Paul. 2003. “Beyond Intractability”, versi singkat dari buku Ledercah yang berjudul The Little Book of Conflict Transformation. (Colorado: Good Books, 2003). bi@ beyondintractability.org. https://www.cambodiadaily.com/archives/south-Cinasea-dispute-off-asean-summit-agenda-609/ . Callar, Michaela Del. “PHL Thailand Call for Peaceful Resolution of South Cina Sea Disputes.” http:// www.gmanetwork.com/news/story/370954/ news/nation/phl-thailand-call-for-peacefulresolution-of-south-Cina-sea-disputes.
Penjelasan Menteri Luar Negeri Marti Natalegawa yang dikutip dalam “Menlu Bantah China Klaim Natuna.” Sindonews.com. 19 Maret 2014. http:// nasional.sindonews.com/read/845901/14/ menlu-bantah-china-klaim-natuna. “Singapore Urges China to Cralify South China Seas Claim.” http://www.bbc.com/news/world-asiapacific-13838462. Taw, Nay Pyi. “Myanmar in good position to facilitate dialogue with Cina” as South Cina Sea issue dominates agenda of ASEAN Foreign Ministers’ Meeting”. http://www.presidentoffice.gov.mm/en/?q=issues/asean/id-3708.
ASEAN dan Laut Cina Selatan ... | Tri Nuke Pudjiastuti dan Pandu Prayoga | 115
116 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 1–14
PARTISIPASI POLITIK DAN PERILAKU MEMILIH PADA PEMILU 20141 POLITICAL PARTICIPATION AND VOTING BEHAVIOR IN GENERAL ELECTION 2014 RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected],
[email protected] Diterima: 27 Februari 2015; direvisi: 28 Mei 2015; disetujui: 25 Juni 2015
Abstract The premise of this research is the idea that there was trend in political participation and voting behavior in general election 2014. In this research, it is believed that there are three factors influence those phenomenon such as sosiological factors, psychological factor, and rational choice factor. The research highlights the most influental factors on political participation and voting behavior during general election 2014. Keywords: political participation, voting behavior, general election 2014, sociological factor, psychological factor, rational choice factor Abstrak Gagasan utama kajian ini adalah untuk memahami kecenderungan partisipasi politik dan perilaku memilih pada pemilu 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut ada tiga yaitu faktor sosiologis, psikologis, dan pilihan rasional terhadap perilaku memilih pemilih Indonesia. Kajian ini juga memetakan faktor yang paling mempengaruhi partisipasi politik dan perilaku memilih dalam pemilu 2014 lalu. Kata Kunci: partisipasi politik, perilaku memilih, pemilu 2014, faktor sosiologis, faktor psikologis, faktor pilihan rasional
Pendahuluan Pada 9 April 2014 yang lalu, pemilihan umum keempat di Era Reformasi untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat digelar. Sekitar 67,25% dari 185.826.024 pemilih menggunakan hak pilihnya dan menghasilkan 124.972.491 suara sah. Dalam pemilu legislatif tahun 2014
lalu, jumlah kursi DPRD propinsi bertambah dari 2.008 kursi pada pemilu 2009 menjadi 2.137 pada pemilu 2014, dimana terdapat penambahan 134 kursi DPRD propinsi secara nasional. Sementara itu, kursi DPRD kabupaten/kota bertambah dari 16.345 kursi pada pemilu 2009 menjadi 17.560 pada pemilu 2014, dimana terdapat penambahan
Tim peneliti terdiri dari Wawan Ichwanuddin (koordinator), RR Emilia Yustiningrum, Muhammad Fakhry Ghofur, Atika Nur Kusumaningtyas, Wasisto Raharjo Jati. 1
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 117
sebanyak 1.215 kursi DPRD kabupaten/kota di Indonesia.2 Dari hasil tersebut, ada beberapa hal yang diperdebatkan publik dan penting untuk dianalisis dalam konteks studi perilaku memilih. Pertama, secara umum distribusi perolehan suara cenderung menyebar dimana tidak ada satu partai pun yang memperoleh suara mayoritas. Bahkan, persentase perolehan suara pemenang pemilu (18,95%, PDIP) lebih rendah jika dibandingkan dengan pemenang pemilu sebelumnya (20,81%, Demokrat). Perolehan suara PDIP yang gagal mencapai angka 27%, sebagaimana ditargetkan oleh pengurus partai ini, memunculkan pertanyaan mengenai seberapa besar kontribusi Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden terhadap perolehan suara PDIP di pemilu legislatif. Sebelumnya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan P2P LIPI tahun 2013 lalu meyakini bahwa akan ada Jokowi effect yang akan membantu PDIP untuk mendongkrak perolehan suaranya dalam Pileg 2014. Beberapa diantaranya, memprediksi PDIP akan menang dengan perolehan suara seperti pada Pemilu 1999, atau paling tidak menembus angka 30%. Analisis terhadap pengaruh Jokowi atau figur lain dalam Pemilu 2014 ini dapat diperbandingkan dengan analisis pengaruh Susilo Bambang Yudhoyono terhadap perolehan suara Demokrat dalam Pemilu 2004 dan 2009. Sebagaimana dilaporkan oleh berbagai hasil survei sepanjang tahun 2013, tingkat keterpilihan atau elektabilitas Jokowi sebagai calon presiden memang terus menanjak. Elektabilitas Jokowi dalam survei P2P LIPI pada bulan Mei 2013, contohnya, mencapai 21% dan menjadi yang tertinggi diantara tokoh-tokoh lain. Jika Jokowi dihadapkan dengan beberapa tokoh lain dalam simulasi 3-4 capres, yang saat itu diprediksi sebagai jumlah yang paling mungkin terjadi dalam pilpres, elektabilitas Jokowi bahkan mencapai 38%. Dalam beberapa bulan berikutnya, elektabilitas Jokowi menunjukkan tren positif. Survei Kompas, contohnya, pada Desember 2013 menyebutkan angkanya sudah Arfi Bambani Amri dan Arief Hidayat, “Jumlah Kursi DPRD di Pemilu 2014 Bertambah”, 18 Januari 2013, http://politik. news.viva.co.id/news/read/383568-jumlah-kursi-dprd-dipemilu-2014-bertambah, diakses pada tanggal 28 September 2015. 2
di atas 43%. Bahkan, jauh sebelum Pilpres 2014 diselenggarakan, beberapa survei menyimpulkan bahwa jika Jokowi menjadi calon presiden, akan sulit bagi calon lain untuk mengalahkannya. Kedua, untuk kali keempat penyelenggaraan pemilu di Era Reformasi kembali menghasilkan pemenang pemilu yang berbeda. Fluktuasi perolehan suara partai politik, terutama partai dengan perolehan suara terbanyak, secara sederhana mengindikasikan cairnya pilihan pemilih kita. Secara sederhana kelompok pemilih ini digambarkan sebagai pemilih yang dapat menghukum partai politik yang gagal menunjukkan kinerja yang baik dan memuaskan publik, misalnya karena banyak kadernya yang tersangkut kasus korupsi, dengan tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Namun, apakah benar demikian?. Volatilitas suara yang cukup tinggi juga memunculkan pertanyaan mengenai seberapa jauh party identification atau partisanship pemilih kita dan apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Ketiga, berbeda dengan prediksi beberapa lembaga survei, perolehan suara partai-partai Islam atau partai-partai yang memiliki basis massa Muslim justru mengalami kenaikan. Bahkan, ada partai Islam yang perolehan suaranya diprediksi tidak akan melewati ambang batas parlemen 3,5% persen. Kenyataannya, ada empat dari lima partai Islam atau berbasis massa Muslim yang melenggang ke Senayan, yaitu PKB, PAN, PPP, dan PKS. Hanya PBB yang gagal melampaui ambang batas tersebut. Secara keseluruhan, perolehan suara partaipartai ini justru mengalami kenaikan sekitar 3% menjadi 31,41%. Hasil ini membuat pertanyaan mengenai pengaruh politik aliran atau, secara lebih sempit lagi, pengaruh agama terhadap pilihan pemilih menjadi tetap relevan untuk didiskusikan. Apakah faktor agama dan faktorfaktor lain yang terkait, seperti tingkat relijiusitas (kesalehan) atau afiliasi organisasi keagamaan masih berpengaruh terhadap keputusan yang diambil pemilih kita saat memberikan suaranya dalam Pileg 2014. Dalam konteks yang lebih luas, pertanyaan serupa juga penting diajukan terhadap faktor-faktor sosiologis lain, seperti domisili (perdesaan-perkotaan), gender, suku, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Apakah
118 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
faktor-faktor sosiologis tersebut berpengaruh bagi pemilih kita?
yaitu: status sosial-ekonomi, agama, dan daerah tempat tinggal.3
Dikombinasikan dengan berbagai hal lain beberapa pertanyaan di atas membawa kita pada pertanyaan besar mengenai perilaku memilih pemilih kita, terutama apa yang berubah dan apa yang tetap bertahan. Berangkat dari latar belakang di atas, penelitian ini akan menjawab pertanyaan berikut: (1) Bagaimana perilaku memilih pemilih pada Pemilu 2014? (2) Faktor apa saja yang memengaruhi pilihan pemilih terhadap partai politik pada Pemilu 2014?
Namun, ada juga yang menyertakan beberapa faktor lain yang dianggap penting untuk diuji. Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, contohnya, menyebutkan faktor kelas sosial, yang meliputi pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan; agama dan tingkat relijiusitas; ras, etnik, atau sentimen kedaerahan; domisili, yaitu antara perdesaan dan perkotaan; jenis kelamin; dan usia sebagai faktor-faktor sosiologis yang dianggap mempengaruhi pilihan pemilih dalam pemilu.4 Namun, berdasarkan perbandingan hasil beberapa survei yang mencakup pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden sejak tahun 1999 sampai dengan 2004, mereka menyimpulkan bahwa faktor-faktor sosiologis tidak begitu signifikan lagi terhadap perilaku memilih di Indonesia.5 Sebelumnya, William Liddle dan Saiful Mujani, dengan membandingkan empat survei opini publik yang dilakukan pada Pemilu 1999 dan 2004 serta Pilpres 2004 putaran pertama dan kedua juga menyimpulkan hal yang sama.6
Kerangka Analisis Secara garis besar, ada tiga model atau mazhab (school of thought) yang digunakan dalam studi perilaku memilih, yaitu model sosiologis, model psikologis, dan model pilihan rasional atau model ekonomi-politik. Model terakhir juga dikenal dengan nama model pilihan rasional. Berikut ini akan diuraikan masing-masing asumsi dan faktorfaktor yang ditawarkan ketiga model tersebut.
1. Model Sosiologis Penjelasan perilaku memilih dengan menggunakan analisis sosiologis pertama kali dikembangkan oleh sarjana Universitas Columbia sehingga pendekatan ini dikenal juga dengan sebutan Mazhab Columbia. Asumsi dasar dari pendekatan ini adalah bahwa setiap manusia terikat di dalam berbagai lingkaran sosial, seperti keluarga, tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, dan sebagainya. Setiap individu didorong untuk menyesuaikan diri sehingga perilakunya dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Konteks ini berlaku dalam soal pemberian suara dalam pemilu. Menurut pendekatan ini, memilih sebenarnya bukan sepenuhnya merupakan pengalaman pribadi, melainkan suatu pengalaman kelompok. Perilaku memilih seseorang cenderung mengikuti arah predisposisi politik lingkungan sosial dimana ia berada. Dari berbagai ikatan sosial yang ada di tengah masyarakat, banyak sarjana ilmu politik biasanya menunjuk tiga faktor utama sebagai indeks paling awal dari pendekatan ini,
Dwight King dan Anies Baswedan mempunyai kesimpulan berbeda dengan Liddle dan Mujani. Dengan membandingkan hasil dua pemilu yang berbeda, baik Dwight King maupun Anies Baswedan menyimpulkan bahwa faktor orientasi keagamaan atau lebih spesifik lagi politik aliran masih relevan dalam menentukan pilihan pemilih di Indonesia.7 Dwight King yang Dieter Roth, Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode, (Jakarta: Lembaga Survei Indonesia, 2009), hlm. 24-25. 3
Saiful Mujani, William R. Liddle, dan Kuskridho Ambardi, Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), hlm. 6-21. 4
5
Ibid., hlm. 454-461.
R. William Liddle dan Saiful Mujani, “Leadership, Party, and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia”, Comparative Political Studies, Vol. 40, No. 7, Juli 2007, hlm. 850-851. 6
Konsep politik aliran pertama kali dikenalkan oleh Clifford Geertz pada tahun 1960. Ia mengklasifikasikan orientasi keagamaan masyarakat Jawa menjadi empat kelompok, yaitu abangan, santri tradisional, santri modernis, dan abangan. Kelompok abangan yang cenderung animistik umumnya adalah warga desa biasa. Adapun kelompok santri dalam kehidupan sehari-harinya relatif taat menjalankan berbagai ritual dalam 7
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 119
membandingkan hasil Pemilu 1955 dan Pemilu 1999 menyimpulkan bahwa ada pembelahan yang kurang-lebih sama pada kedua pemilu tersebut antara partai-partai dengan aliran politik santri dan abangan dan pembelahan antara santri modernis dan tradisionalis. Sementara itu, berdasarkan perbandingan basis pemilih menurut kabupaten/kota pada Pemilu 1999 dan 2004, Anies Baswedan menyimpulkan adanya korelasi yang signifikan antara basis pemilih baik partai-partai Islam, nasionalis, maupun Kristen.8 Kajian mengenai perilaku memilih di Indonesia yang menggunakan pendekatan sosiologis dikenalkan pertama kali oleh Afan Gaffar. Dalam buku Javanese Voters, ia menunjukkan adanya kencenderung perilaku pemilih atau preferensi politik sosio relijius maupun sosio personal. Sosio relijius sendiri melihat bahwa partisipasi politik dan perilaku memilih lebih didasarkan pada konteks politik aliran sedangkan yang sosio personal menitikberatkan pada konteks bapakisme berdasarkan pada hubungan paternalistik.
2. Model Psikologis Ada tiga pusat perhatian dari pendekatan psikologis, yang pertama kali dikenalkan oleh sarjana Ilmu Politik dari Universitas Michigan, yaitu: (1) persepsi dan penilaian pribadi terhadap kandidat; (2) persepsi dan penilaian pribadi terhadap tema-tema yang diangkat; dan (3) identifikasi partai atau partisanship. Menurut pendekatan ini, yang berpengaruh langsung terhadap pilihan pemilih bukan struktur sosial, sebagaimana dianalisis oleh pendekatan sosiologis (Mazhab Columbia), melainkan faktor-faktor jangka pendek dan jangka panjang terhadap pemilih.9 ajaran agama Islam. Mereka umumnya bekerja sedang pedagang dan petani skala kecil. Kelompok ini kemudian dibagi lagi ke dalam dua varian, tradisionalis dan modernis. Terakhir, kelompok priyayi yang memperoleh pengaruh Hindu umumnya adalah pegawai pemerintahan. Klasifikasi Geertz yang sebenarnya menjelaskan masyarakat Jawa kemudian digunakan secara lebih luas untuk menjelaskan masyarakat Indonesia secara nasional. Empat besar partai politik pada Pemilu 1955, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI dianggap merepresentasikan empat kelompok tersebut. R. William Liddle dan Saiful Mujani, op.cit., hlm. 836. 8
Ibid.
9
Dieter Roth, op.cit., hlm. 37.
Orientasi terhadap isu atau tema merupakan konseptualisasi pengaruh jangka pendek yang diperkenalkan oleh pendekatan psikologis. Isuisu khusus hanya dapat mempengaruhi perilaku pemilih apabila memenuhi tiga persyaratan berikut ini: (1) isu tersebut dapat ditangkap oleh pemilih; (2) isu tersebut dianggap penting oleh pemilih; (3) pemilih dapat menggolongkan posisinya terhadap isu tersebut, baik positif maupun negatif.10 Sejak tahun 1970-an, isu dalam studi pemilu dibedakan menjadi dua, yaitu position issues dan valence isssues. Position issues merupakan isu dimana masing-masing kelompok atau partai mewakili posisi dan memiliki tujuan yang bukan hanya berbeda, tetapi juga bertentangan. Salah satu contoh isu seperti ini adalah soal aborsi, yaitu antara kelompok pro-life dan pro-choice. Sementara itu, valence issues tidak menyangkut perbedaan tujuan, melainkan hanya cara untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagai contoh, semua partai pasti sepakat untuk meningkatkan kesejahteraan semua warga, termasuk buruh, tetapi masing-masing partai akan memiliki pandangan yang berbeda mengenai bagaimana peningkatan kesejahteraan tersebut dicapai. Dalam konteks pemilu, position issues lebih mempengaruhi keputusan para pemilih. Meskipun demikian, biasanya position issues lebih jarang muncul, karena dihindari oleh partai politik, terutama karena isu semacam ini memiliki resiko menimbulkan polarisasi, bahkan di kalangan pengikutnya sendiri.11 Partisanship atau party identification (Party ID) dapat digambarkan sebagai ‘keanggotaan’ psikologis, dimana identifikasi terhadap sebuah partai tidak selalu bersamaan dengan keanggotaan resmi pemilih dengan partai tersebut. Party ID lebih sebagai orientasi afektif terhadap partai. PI merupakan orientasi individu terhadap partai tertentu yang bersifat permanen, yang bertahan dari pemilu ke pemilu. Party ID masih dapat mengalami perubahan, jika terjadi perubahan pribadi yang besar atau situasi politik yang luar biasa.12 10
Ibid., hlm. 40.
11
Ibid., hlm. 41.
12
Ibid., hlm. 38.
120 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
Liddle dan koleganya, Mujani dan Ambardi, termasuk yang berpendapat bahwa faktorfaktor psikologis, terutama kepemimpinan dan identifikasi partai, memiliki pengaruh yang signifikan dibanding faktor-faktor sosiologis, baik agama, suku bangsa, maupun kelas.13
3. Model Pilihan Rasional Menurunnya pengaruh kelas dan agama dalam politik telah mendorong para pengkaji perilaku memilih menemukan penjelasan selain pemisahan sosiologis, yang kemudian mendorong semakin mengemukanya faktor ekonomi, kepribadian, isu, dan media. Ada pergeseran dalam studi perilaku memilih ke model yang lebih menekankan individu warga negara sebagai aktor yang relatif mandiri dari partai dan struktur kolektif serta ikatan kesetiaan lainnya.14 Teori pilihan rasional (rational-choice) yang diperkenalkan pertama kali oleh Anthony Downs sebenarnya tidak hanya terbatas pada studi pemilu. Ia menulis bagaimana demokrasi “diukur” dengan menggunakan pendekatan dalam ilmu ekonomi. 15 Salah satu elemen kunci dalam teori ekonomi Downs dan para penerusnya tentang demokrasi adalah bahwa arena pemilihan umum itu seperti sebuah pasar, yang membutuhkan penawaran (partai) dan permintaan (pemilih). Dalam perspektif penawaran dan permintaan ala teori ekonomi, pemilih rasional hanya akan ada jika partai yang akan mereka pilih juga bertindak rasional. Seperti juga pemilih, partai mempunyai kebutuhan untuk memaksimalkan utilitas mereka, antara lain dari pendapatan pemerintah, kekuasaan, dan gengsi. Partai dan para politisi pada dasarnya adalah pencari kekuasaan, yang tujuannya mendapatkan dukungan suara setidaknya untuk ikut terlibat dalam pemerintahan. Partai yang sedang berkuasa akan memaksimalkan dukungan pemilih agar terpilih kembali, sedangkan partai oposisi bertujuan memaksimalkan dukungan untuk mengganti pemerintah yang ada. Bagi 13
William Liddle dan Saiful Mujani, op.cit., hlm. 839-850.
Ola Listhaug, “Retrospective Voting”, dalam Jacques Thomassen (Eds.), The European Voter: A Comparative Study of Modern Democracies, (New York: Oxford University Press, 2005), hlm. 214. 14
15
Dieter Roth, op.cit., hlm. 38.
partai dan para politisi, fungsi sosial, seperti mengelola pemerintahan dengan efektif atau meningkatkan standar hidup warga, adalah akibat atau hasil dari tindakan rasional mereka (by product) dan bukan menjadi tujuan mereka.16 Teori ini dibangun dari kombinasi teoriteori aksi sosial dan teori ekonomi tentang rasionalitas. Downs mendefinisikan rasionalitas sebagai usaha untuk mencapai tujuan dengan cara yang paling reasonable. Definisi ini “diturunkan” dari teori ekonomi dimana cara yang paling reasonable adalah cara dimana seseorang, berdasarkan pengetahuan terbaik yang dimilikinya, mewujudkan tujuannya dengan menggunakan input sumber daya yang paling sedikit. Dengan kata lain, seorang individu yang rasional tertarik terhadap cara yang biayanya paling efektif dalam memaksimalkan apa yang ia peroleh.17 Downs menyebutnya sebagai utility maximation.18 Dalam konteks pemilu, teori ini pada dasarnya menekankan pada motivasi individu untuk memilih atau tidak dan bagaimana memilih berdasarkan kalkulasi mengenai keuntungan yang diakibatkan dari keputusan yang dipilih. Teori yang menempatkan individu, dan bukan lingkungan yang ada di sekitar individu, sebagai pusat analisis ini menggunakan pendekatan deduktif. Downs menyusun lima kriteria rasionalitas yang harus dipenuhi agar sebuah keputusan dapat dikatakan sebagai pilihan rasional19 yaitu (a) Individu dapat membuat sebuah keputusan ketika dihadapkan pada serangkaian alternatif pilihan; (b) Individu dapat menyusun preferensi dirinya dengan pilihan-pilihan yang ada secara berurutan; (c) Susunan preferensi tersebut bersifat transitif, contoh individu lebih memilih alternatif 1 daripada alternatif 2, lebih memilih alternatif 2 daripada alternatif 3, dan seterusnya, dengan konsekuensi bahwa pilihan 1 lebih diutamakan dari pilihan-pilihan berikutnya; (d) Individu akan selalu memilih alternatif yang ia Jocelyn A.J. Evans, Voters and Voting, (London: Sage Publications, 2004), hlm. 72-73. 16
17
Ibid., hlm. 70-71.
18
Dieter Roth, op.cit., hlm. 49.
19
Jocelyn A.J. Evans, op.cit., hlm. 71.
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 121
merasakan paling dekat (utama); dan (e) Jika dihadapkan pada berbagai pilihan di waktu yang berbeda dalam lingkungan yang sama, individu akan membuat keputusan yang sama. Kriteria teori pilihan rasional mengasumsikan bahwa individu mempunyai pemahaman yang jelas tentang apa yang ia inginkan sebagai sebuah outcome, bagaimana pilihan-pilihan tersebut terkait dengan outcome, dan mempunyai seperangkat kriteria yang tetap untuk mengukur alternatif yang berbeda guna menjamin dipilihnya sebuah alternatif setiap waktu. Artinya, individu diasumsikan mempunyai informasi yang memungkinkannya membuat pilihan tersebut.20 Kebutuhan terhadap informasi yang lengkap inilah merupakan salah satu permasalahan dari teori ini. Jika informasi yang tersedia cukup lengkap, maka alternatif-alternatif pilihan lebih mudah dirumuskan dan ditimbang untuk dipilih. Dalam pemilu, informasi tersebut akan mengantarkan pemilih pada perbandingan keuntungan yang bisa diberikan oleh masingmasing partai atau kandidat jika mereka berkuasa. Namun, kenyataannya informasi yang lengkap jarang dimiliki oleh pemilih. Karena itu, pemilih umumnya harus mengambil keputusan di tengah “ketidaktahuan”.21 Jadi, saat melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintah sebelumnya, misalnya, pemilih bisa saja tidak mempunyai pengetahuan mengenai tindakan yang dilakukan pemerintah dan alternatif lain bagi tindakan tersebut. Ada beberapa cara yang mungkin dilakukan pemilih untuk membatasi ketidaktahuan ini. Pertama, ia hanya mengumpulkan informasi mengenai bidang-bidang yang menurutnya paling penting sehingga pengeluaran yang harus ia tanggung dapat dibatasi dan tidak melampaui kegunaan dari informasi tersebut. Kedua, ia menggunakan kerja dari pihak lain, seperti partai, media, kelompok kepentingan, dan sebagainya yang mengumpulkan, memilih, menganalisis, dan menyampaikan informasi. Dalam konteks ini, pemilih melimpahkan sebagian beban
pengeluaran untuk memperoleh informasi kepada pihak lain. 22 Berdasarkan informasi yang dimiliki pemilih, Downs membagi mereka menjadi beberapa kelompok, yaitu: (1) pemilih agitator, yang mempunyai informasi dan menggunakannnya untuk mempengaruhi pemilih lain untuk memilih dengan cara yang sama dengan dirinya; (2) pemilih pasif, yang menggunakan informasinya untuk dirinya sendiri; (3) pemilih yang belum jelas pilihannya, karena tidak mempunyai informasi yang memadai; (4) pemilih loyalis, yang menggunakan informasi pada pemilu sebelumnya untuk memilih. Pemilih loyalis tetap dengan pilihan lamanya selama utilitas yang ia peroleh tidak berubah menjadi lebih buruk.23 Tentang pemberian suara (voting), Downs memberikan batasan bahwa rational voting hanya menunjuk pada pilihan yang didasarkan pada motivasi ekonomi dan politik. Beberapa isu ekonomi yang paling penting, antara lain pertumbuhan, pengangguran, dan inflasi. Keputusan yang didorong oleh ketakutan, misalnya yang disebabkan oleh tekanan keluarga, dorongan untuk ikut-ikutan orang di sekitarnya, atau klientelisme tidak dapat dikategorikan sebagai rational voting. Hal paling penting yang harus dicatat dari teori rational voting adalah bahwa pemberian suara dalam pemilu (voting) memberikan kontribusi bagi outcome kolektif, daripada mempengaruhi pemilih semata-mata sebagai individu.24 Kajian ini akan menggunakan ketiga pendekatan untuk mengukur faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi partisipasi dan pilihan pemilih terhadap partai politik dam bakal calon presiden. Menurut Warrant E. Miller dan J. Merril Shanks, seperti dikutip Saiful Mujani dan kawan-kawan, ketiga model tersebut harus dipahami dalam suatu hierarki faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih. Faktor-faktor dalam model sosiologis dapat ditempatkan sebagai komponen yang paling dasar. Di atasnya, faktor-faktor dari model psikologis dan pilihan rasional menjadi penjelasan lanjutan. Dimulai 22
Ibid.
20
Ibid., hlm. 72.
23
Jocelyn A.J. Evans, op.cit., hlm. 76.
21
Dieter Roth, op.cit., hlm. 50.
24
Ibid., hlm. 4.
122 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
dari identitas partai (partisanship), predisposisi atas kebijakan-kebijakan pemerintah beserta persepsi tentang kondisi saat ini, evaluasi atas kinerja partai atau pejabat yang berkuasa, persepsi tentang citra personalitas calon, hingga prospek calon atau partai jika terpilih (berkuasa). Jadi, pilihan untuk berpartisipasi atau memilih partai atau kandidat tertentu merupakan kompleksitas dari berbagai faktor dalam ketiga model tersebut.25 Karena itu, analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini tidak lain merupakan upaya untuk menguji ketiga model perilaku memilih, yaitu model sosiologis, model pilihan rasional, dan model psikologis. Bagan 1 menunjukkan variabel-variabel yang akan diukur dalam survei ini. Psikologis
Sosiologis Gender, usia, etnik, agama, relijiusitas, domisili (perdesaanperkotaan), pendidikan, pekerjaan, pendapatan, organisasi sosial
Identitas partai, informasi politik, ketertarikan terhadap politik, diskusi politik, kualitas tokoh
Rasional Evaluasi atas kondisi ekonomi, evaluasi atas kinerja pemerintah
Pilihan parpol
Gambar 1. Bagan Kerangka Analisis Perilaku Memilih
Metodologi Kajian ini merupakan kajian kuantitatif. Pengumpulan data dalam kajian ini menggunakan metode survei karena metode ini dianggap paling tepat digunakan untuk menggambarkan karakteristik sebuah populasi yang besar.26 Selain itu, metode survei juga dianggap sangat tepat digunakan untuk kajian yang pertanyaannya mengenai self-reported beliefs or behaviors. Ada beberapa kategori yang dapat dijawab melalui kajian survei, antara lain kategori yang Saiful Mujani, William Liddle, dan Kuskridho Ambardi, op.cit., hlm. 34.
menyangkut perilaku, kepercayaan, opini, karakteristik, harapan, klasifikasi mandiri, dan pengetahuan. Kajian survei kuantitatif pada dasarnya mengikuti sebuah pendekatan deduktif, yaitu memulai dengan sebuah masalah yang bersifat teoritis dan mengakhirinya dengan pengukuran empiris dan analisis data.27 Kajian ini dilakukan secara nasional (nationwide), menjaring 790 responden yang tersebar di 79 desa/kelurahan di 30 provinsi di Indonesia. Responden sepenuhnya dipilih secara acak bertingkat (multi-stage random sampling), dengan memperhatikan proporsi pemilih di masing-masing provinsi, proporsi perdesaan dan perkotaan (46:54), dan proporsi laki-laki dan perempuan (50:50). Ambang kesalahan (margin of error) dari survei ini adalah ±3,49%, dengan tingkat kepercayaan 95%. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara tatap muka (face to face interview) terhadap masyarakat usia dewasa (17 tahun ke atas atau sudah menikah) pada saat survei dilaksanakan. Wawancara dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner (wawancara terstruktur). Untuk menjamin kualitas wawancara, dilakukan kontrol secara sistematis dengan melakukan cek ulang di lapangan (spot check) terhadap 27,2% responden. Pengumpulan data lapangan dilakukan melalui wawancara tatap muka. Sementara itu, pengolahan data akan dilakukan melalui rangkaian proses data coding, data entering, dan data cleaning. Data yang dihasilkan dari proses tersebut kemudian dianalisis.
Temuan Survei 1. Partisipasi Politik dalam Pemilu Survei yang dilakukan oleh P2P LIPI pascaPemilu Legislatif 2014, lalu mengambil berbagai bentuk partisipasi politik, dari bentuk prosedural dalam proses demokrasi sampai pada pemahaman responden tentang partisipasi politik yang lebih substansial dalam proses tersebut. Pertimbangan untuk mengikutsertakan berbagai bentuk partisipasi tersebut adalah untuk mendapatkan
25
Earl Babbie, The Practice of Social Research, (USA: Wadsworth/Thomson Learning, 2000), hlm. 268. 26
W. Lawrence Neuman, Sosial Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Third edition, (Boston: Allyn and Bacon, 2000), hlm. 228. 27
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 123
gambaran umum dari partisipasi masyarakat serta tingkatan partisipasi tersebut. Aspek pertama yang dibahas adalah tingkat pendidikan dan pilihan partai. Dalam pembahasan tentang partisipasi politik, tingkat pendidikan mempengaruhi partai politik yang dipilih dalam pemilu legislatif, yang dapat dilihat dalam Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 2. Tingkat Pendidikan dan Pilihan Partai
Gambar 2 memperlihatkan bahwa pemilih yang memiliki pendidikan setingkat perguruan tinggi mayoritas memilih partai Golongan Karya, PDI Perjuangan, dan PKS. Sementara itu pemilih yang tidak memiliki pendidikan setingkat perguruan tinggi mayoritas memilih PDI Perjuangan, Golkar, dan Gerindra.
Dalam Gambar 3 memperlihatkan bahwa pemilih yang memiliki pendidikan tinggi, tinggal di perkotaan, mayoritas masih memilih partai Golkar, PKS, dan PDI Perjuangan. Sementara pemilih yang juga tinggal di perkotaan dan tidak memiliki pendidikan setingkat perguruan tinggi mayoritas memilih PDI Perjuangan, Gerindra, dan Golkar. Sementara itu, untuk pemilih yang memiliki pendidikan setingkat perguruan tinggi namun tinggal di perdesaan mayoritas memilih partai Golkar, PDI Perjuangan, dan PKB. Untuk pemilih yang tidak memiliki pendidikan tinggi dan tinggal di perdesaan, mayoritas memberikan suara pada partai yang sama yaitu Golkar, PDI Perjuangan, dan PKB. Yang menarik adalah pemilih di perdesaan dimana baik pemilih yang memiliki pendidikan setingkat perguruan tinggi maupun tidak, ternyata memilih pilihan partai politik yang sama. Para pemilih dalam pemilu legislatif ini ternyata memiliki rentang usia yag berbeda. Adapun kaitan antara rentang usia dengan pilihan partai politik dapat dilihat dalam Gambar 4 di bawah ini.
Sementara itu, lokasi tempat tinggal baik itu di perkotaan dan perdesaan memiliki pengaruh dalam pemilihan partai politik dalam pemilu legislatif 2014 lalu. Kaitan antara tingkat pendidikan, lokasi tempat tinggal, dan pilihan partai politik dapat dilihat dalam Gambar 3 dibawah ini. Gambar 4. Kaitan antara Usia dengan Pilihan Partai Politik
Gambar 3. Kaitan antara Tingkat Pendidikan, Lokasi Tempat Tinggal, dan Pilihan Partai Politik
Gambar 4 memperlihatkan bahwa pemilih yang berusia <21 tahun mayoritas memberikan suara pada PDI Perjuangan, PAN, dan Gerindra. Sementara itu, pemilih yang berusia 22-56 tahun mayoritas memberikan suara pada PDI Perjuangan, Golkar, dan Gerindra. Kelompok usia >56 tahun mayoritas memberikan suara pada Golkar, PDI Perjuangan, dan PKB. Bisa dikatakan bahwa mayoritas pemilih PDI
124 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
Perjuangan adalah kalangan muda yang berusia dibawah 21 tahun, kelompok usia produktif yang berusia 22-56 tahun, dan kelompok lanjut usia diatas 56 tahun. Mata pencaharian para pemilih, baik pekerjaan formal maupun informal, juga mempengaruhi pilihan terhadap partai politik. Adapun kaitan antara mata pencaharian dengan pilihan terhadap partai politik dapat dilihat dalam Gambar 5 dibawah ini.
Sangat jurdil 14% Cukup jurdil 47% Kurang jurdil 15%
Tidak tahu 20% Sangat tidak jurdil 4%
Gambar 6. Pelaksanaan Pemilu Secara Jujur dan Adil
Gambar 5. Kaitan antara Pekerjaan dan Pilihan Partai Politik
Gambar 5 memperlihatkan bahwa pemilih yang memiliki latar belakang pekerjaan informal mayoritas memberikan suaranya pada PDI Perjuangan, disusul oleh partai Golkar, dan Gerindra. Sementara itu, pemilih yang memiliki latar belakang pekerjaan formal mayoritas memberikan suaranya pada partai PDI Perjuangan, partai Golkar, dan Gerindra. Yang menarik adalah baik pemilih yang memiliki latar belakang pendidikan formal dan informal sama-sama memberikan mayoritas suaranya pada PDI Perjuangan, Golkar, dan Gerindra. Secara sederhana hal-hal tersebut menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi partisipasi dalam pemilu legislatif lalu. Dalam memahami pelaksanaan pemilu legislatif 2014 lalu, para pemilih menyatakan bahwa pemilihan umum berlangsung jujur dan adil. Namun demikian pendapat para pemilih ini beragam antara yang menyatakan jujur dan adil, serta tidak jujur dan tidak adil, yang dapat dilihat dalam Gambar 6 di bawah ini.
Gambar 5 memperlihatkan bahwa mayoritas responden (47%) menyatakan bahwa pemilu legislatif berlangsung secara cukup jujur dan adil, yang disusul oleh 15% responden yang menyatakan kurang jujur dan adil, 14% responden yang menyatakan sangat jujur dan adil, dan hanya 4% responden yang menyatakan pemilu legislatif berjalan sangat tidak jujur dan adil. Dalam pemilu legislatif tahun 2014 akan menghasilkan anggota DPR dalam kurun waktu 2014-2019. Para pemilih yang diwakili melalui suara para responden ini menyampaikan harapan yang tinggi tentang kinerja anggora DPR pada periode yang akan datang, yang dapat dilihat dalam Gambar 7 dibawah ini. Sangat yakin 11% Cukup yakin 38% Kurang yakin 22%
Tidak tahu 24%
Sangat tidak yakin 5% Gambar 7. Kinerja DPR Lebih Baik Pasca-Pemilu Legislatif 2014
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 125
Gambar 7 ini memperlihatkan pengharapan para pemilih, yang diwakili oleh para responden survei, terhadap kinerja DPR dalam periode lima tahun yang akan datang. Sebanyak 38% responden cukup yakin dengan kinerja DPR akan menjadi lebih baik, yang disusul oleh 22% yang kurang yakin, 11% yang sangat yakin, dan 5% yang sangat tidak yakin. Sementara itu, partisipasi para pemilih yang diwakili oleh responden menunjukkan fenomena yang menarik, khususnya untuk menggali alasan memilih salah satu partai politik dengan tawaran materi. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 8 berikut ini.
Tidak mempeng aruhi pilihan 62%
Mempeng aruhi pilihan 21% Lupa/raha sia 17%
Gambar 9. Kaitan Imbalan Materi dengan Pengaruh dalam Pemilu Legislatif Tidak pernah 76% Ditawari dan menerima 13%
Ditawari tapi menolak Lupa/rahasia 7% 4%
Gambar 8. Tawaran Imbalan Materi dalam Pemilu Legislatif
Dalam Gambar 8 memperlihatkan bahwa sebanyak 76% mengaku tidak pernah ditawari imbalan materi dalam pemilu legislatif lalu, yang disusul oleh 13% responden yang mengaku ditawari dan menerima imbalan materi tersebut, 7% responden yang mengaku ditawari dan menolak imbalan materi, serta 4% responden yang mengaku lupa atau tidak mau membuka rahasia, bahwa pernah ditawari imbalan materi dalam pemilu legislatif lalu. Kalaupun ada yang pernah ditawari imbalan materi dalam pemilu legislatif 2014 lalu, menarik untuk menyimak bagaimana imbalan materi tersebut mempengaruhi atau tidak mempengaruhi pilihan responden terhadap partai politik. Hal ini dapat dilihat dalam Gambar 9 dibawah ini.
Gambar 9 memperlihatkan bahwa sebanyak 62% responden menyatakan imbalan materi yang diterima tidak mempengaruhi pilihan partai politik dalam pemilu legislatif lalu. Namun demikian, kondisi berbeda terjadi pada 21% responden yang menyatakan bahwa imbalan materi mempengaruhi pilihan dalam pemilu legislatif, dan terdapat 17% responden yang mengaku lupa, maupun tidak mau membuka rahasia, bahwa imbalan materi yang diterima mempengaruhi pilihan politiknya. 2. Faktor Sosiologis dalam Perilaku Memilih Kajian ini membahas mengenai hal-hal atau pertimbangan apa saja yang mempengaruhi pemilih dalam menentukan caleg atau partai politik yang dipilihnya, yang ditinjau dari faktor sosiologis seperti agama, pendidikan, tempat tinggal, usia, pekerjaan, jenis kelamin, dan besar pengeluaran finansial. Temuan survei menunjukkan bahwa faktor agama yang berupa latar belakang agama caleg, dan faktor pendidikan yang berupa latar belakang pendidikan caleg serta latar belakang pendidikan pemilih, mempengaruhi pilihan dalam pemilu legislatif lalu. Dalam Gambar 10 memperlihatkan bahwa sebanyak 88,61% responden survei mengaku beragama Islam. Para responden yang beragama Islam tersebut, sebanyak 78,31% mengaku menjalankan ibadah dengan cukup atau sangat
126 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
taat dan hanya 15,95% yang mengaku kurang atau tidak taat dalam menjalankan ibadah. Dalam Islam terdapat ibadah wajib dan juga ibadah sunah, ketaatan responden dalam beribadah terlihat pada seringnya responden mengerjakan ibadah wajib, yaitu shalat lima waktu dan puasa Ramadhan. Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang paling jarang ditinggalkan oleh sebagian besar responden sebanyak 86,95%, sedangkan ibadah shalat lima waktu sering dilakukan oleh sebanyak 66,24% responden. Fakta tersebut memperlihatkan bahwa kaum Muslim di Indonesia taat beribadah sehingga dapat juga dikatakan kaum Muslim di Indonesia secara homogen sangat religius.28 Pada saat agama mempengaruhi kehidupan seseorang, disaat yang sama corak pemikiran dan pemahaman keagamaan seseorang akan pula berimplikasi terhadap kehidupannya. Dengan demikian, adanya pluralitas agama dan corak pemikiran keagamaan dalam suatu agama dengan sendirinya dapat pula membentuk perilaku politik seseorang.29 Hal ini sejalan dengan hasil survei yang memperlihatkan bahwa faktor agama menjadi salah satu faktor yang menjadi dasar pertimbangan responden dalam memilih caleg. Bagi responden yang taat maupun yang tidak taat dalam menjalankan ibadah, cenderung memilih caleg yang menganut agama yang sama. Responden yang mengaku cukup atau sangat taat beribadah sebanyak 41,6%, menyatakan bahwa kesamaan agama yang dianut oleh caleg dengan dirinya menjadi salah satu pertimbangannya dalam memilih caleg. Sementara itu, dari responden yang mengaku kurang atau tidak taat beribadah sebanyak 31%, juga mempertimbangkan kesamaan agama yang Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007). Dari hasil survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani pada tahun 2001 dan 2002, sebanyak 88% responden Muslim menyatakan bahwa mereka selalu atau cukup sering menunaikan ibadah shalat lima waktu dan sebanyak 94% responden selalu atau cukup sering melaksanakan puasa Ramadhan. Berdasarkan persentase ini, kaum Muslim di Indonesia dapat dikatakan secara homogen sangat religius. 28
29 Adat Sudrajat, “Agama dan Perilaku Politik”, Jurnal Humanika, No. 1, Tahun 1, 2002, h. 6.
dianut caleg dengan dirinya dalam menentukan caleg yang dipilihnya. Secara keseluruhan, tanpa melihat ketaatan responden dalam beribadah dalam memilih caleg, terdapat 39% responden mempertimbangkan kesamaan agama yang dianut dirinya dengan caleg. Namun demikian, terdapat sebanyak 14,8% responden yang tidak menganggap agama yang dianut caleg sebagai suatu hal yang perlu dipertimbangkan, dan sebanyak 46,2% responden tidak memberikan jawaban saat ditanya mengenai hal ini. Dari responden yang tidak menganggap agama caleg sebagai hal yang perlu dipertimbangkan dan responden yang tidak memberikan jawaban terkait hal tersebut, merupakan responden yang tinggal di perkotaan.
86,95 66,24
Jarang 65,11 34,89
33,76 13,05
Sering 74,04 65,67 34,33
25,96
85,82 63,12 36,88 14,18
Gambar 10. Tingkat Relijiusitas Pemilih Muslim
Secara teori, tingkat pendidikan seseorang dapat memberikan pengaruh terhadap seseorang dalam menentukan pilihan politiknya. Perilaku memilih dari responden yang memiliki pendidikan tinggi cenderung berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasional.30 Pada survei perilaku pemilih yang dilakukan tahun 2014 ini, dari keseluruhan responden hanya sekitar 10,76% saja yang menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sedangkan sebanyak 89,24% lainnya hanya menyelesaikan pendidikan Pada penelitiannya, responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTP umumnya memilih kepala desa atas pertimbangan lebih mengenal figur kepala desa dan tidak mempertimbangkan kelayakan dari pengalaman dan lain sebagainya, sedangkan responden yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi (akademi dan perguruan tinggi) memilih kepala desa dengan pertimbangan yang lebih rasional seperti mempunyai pengetahuan dan pengalaman. Mulyawarman, “Perilaku Pemilih Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Desa: Kasus Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar”, http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JDOD/article/ download/1265/1256, diakses pada tanggal 16 Oktober 2014. 30
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 127
sampai jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) atau di bawahnya. Pada dasarnya, dalam menentukan caleg yang dipilihnya, hal-hal yang paling menjadi pertimbangan responden baik yang tidak menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi maupun responden yang menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi relatif sama, yaitu latar belakang yang baik misalnya dalam hal pendidikan atau pengalaman, kesamaan agama yang dianut, caleg tersebut merupakan pilihan orang-orang di sekitar responden seperti keluarga, teman kerja atau tetangga, serta partai yang mencalonkan caleg tersebut sekaligus merupakan partai yang dipilih oleh responden. Stephen Franzoi berpendapat bahwa apabila caleg mempunyai kredibilitas, terpercaya, dan berkompetensi maka pesan yang disampaikan pemilih dapat lebih diperhatikan, akan tetapi apabila caleg tidak mempunyai unsur-unsur tersebut, maka dapat menimbulkan sikap negatif pada pemilih.31 Potensi yang dimiliki sumber tersebut juga akan mempengaruhi pesan. Adanya pesan yang disampaikan dari pihak lain dapat mencapai tujuan atau mengalami kegagalan tergantung dari potensi yang dimiliki oleh sumber.32 Oleh karena itu, latar belakang menjadi hal yang penting diperhatikan dalam memilih caleg yang kelak akan duduk menjadi anggota dewan berikutnya. Hal tersebut sejalan dengan hasil survei yang disajikan dalam Gambar 11 bahwa informasi mengenai latar belakang caleg menjadi poin yang dipertimbangkan oleh 57,65% responden. Selain itu, faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan responden, yaitu kesamaan agama yang dianut (49,41%), partai yang mencalonkan caleg tersebut sekaligus merupakan partai yang dipilih oleh responden (38,82%), merupakan pilihan orang-orang di sekitar responden seperti keluarga, teman kerja atau tetangga (36,47%). Kondisi tersebut menjelaskan bahwa latar belakang caleg yang berupa agama yang dianut Stephen Franzoi, Psikologi Sosial, Penerjemah Rahmad, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003). 31
Diana, Adam Idris, dan Achmad Djumlani, “Sikap Pemilih Pemula terhadap Calon Legislatif Partai Politik Ditinjau dari Karakteristik Sosial (Studi Kasus Tingkat SMA di Samarinda)”, eJournal Administrative Reform, 2014, Vol. 2, No. 2, hlm. 1261. 32
caleg dan partai politik yang mencalonkan caleg, turut mempengaruhi perilaku memilih bagi responden dalam pemilu legislatif lalu. Memutuskan Saat di TPS
Banyak Atribut yang Dipasang
Satu-satunya satunya Caleg yang Diketahui Didukung Orang-Orang Orang Sekitar
Memberi Bantuan Materi kepada…
Memberi Imbalan Materi pada Responden
Dicalonkan Partai yang Diperkirakan… Dicalonkan Partai yang Didukung
Berasal dari Organisasi yang Sama
Berasal dari Daerah yang Sama Berasal dari Suku yang Sama Agama yang Sama
Punya Hubungan Kekerabatan
Incumbent Berkinerja Baik Latar Belakang Baik Mengenyam PT
0
20 Tidak Mengenyam PT
40
60
Gambar 11. Pertimbangan Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dalam Memilih Calon Legislatif
Sementara itu, pemberian imbalan materi, pemasangan berbagai atribut kampanye, memilih salah satu caleg hanya karena caleg tersebut satusatunya yang diketahui, dan baru memutuskan siapa caleg yang akan dipilih saat ada di TPS lebih sering terjadi pada responden yang tidak menempuh pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Meskipun hal-hal seperti pemberian janji bantuan materi, pemasangan berbagai atribut kampanye tidak terlalu memberikan dampak yang cukup berarti, namun bagi pemilih yang tinggal di daerah pedesaan terutama yang telah berusia lanjut dan tidak mengenyam pendidikan tinggi, hal-hal tersebut bisa menjadi pertimbangan yang berarti atau bahkan yang paling menentukan kepada caleg atau partai politik manakah suaranya akan diberikan. Bagi para pemilih yang berusia lanjut dan tinggal di pedesaan, hal yang terpenting bagi mereka adalah tercukupinya kebutuhan hidup dasar sehari-hari seperti kebutuhan pangan. Jadi, partai politik ataupun caleg yang bisa meyakinkan akan memperhatikan kesejahteraan hidup mereka, maka partai politik atau caleg itulah yang mereka pilih. Sementara itu, para pemilih pemula menjadi objek yang penting untuk dianalisis karena mereka mempunyai peran strategis pada pemilihan umum. Alasan-alasan yang mendasari
128 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
hal tersebut, yaitu pertama, pemilih pemula merupakan kelompok pemilih yang mempunyai jumlah secara kuantitatif relatif banyak dari setiap pemilihan umum. Kedua, pemilih pemula merupakan satu segmen pemilih yang mempunyai pola perilaku sendiri dan sulit untuk diatur atau diprediksi. Ketiga, kekhawatiran bahwa pemilih pemula akan lebih condong menjadi golput dikarenakan kebingungan karena banyaknya pilihan partai politik yang muncul yang akhirnya menjadikan mereka tidak memilih sama sekali. Keempat, masing-masing organisasi sosial politik mengklaim sebagai organisasi yang sangat cocok menjadi penyalur aspirasi bagi pemilih pemula yang akhirnya muncul strategi dari setiap partai politik untuk mempengaruhi pemilih pemula.33 Gabriel Almond dan Sidney Verba menyatakan bahwa orientasi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilih politiknya dikategorikan menjadi tiga yaitu, pertama, orientasi kognitif yaitu pengetahuan dan kepercayaan pada kandidat, kedua, orientasi politik afektif yaitu perasaan terhadap pemilu, pengaruh teman terhadap penentuan pilihan, dan ketiga, orientasi politik evaluatif yaitu keputusan dan pendapat pemilih pemula terhadap parpol/ kandidat pilihannya.34 Orientasi politik pemilih pemula selalu dinamis, mengikuti kondisi di sekitar yang mempengaruhinya. Sedangkan menurut hasil penelitian Karim, ada empat faktor yang mempengaruhi partisipasi politik anak muda dalam menentukan pilihan yaitu status sosial ekonomi orang tua, partisipasi orang tua, kegiatan sekolah menengah atas remaja, dan orientasi kemasyarakatan orang tua.35 Pengaruh orang tua dan lingkungan pergaulan dalam mempengaruhi perilaku politik para pemilih pemula ini juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Herkulanus Roni. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pemilih pemula cenderung tidak rasional dan cerdas. Ketidakrasionalan ini Setiajid, “Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Pemula dalam Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang Tahun 2010 (Studi Kasus Pemilih Pemula di Kota Semarang)”, Integralistik, No.1/Th.XXII/2011, JanuariJuni 2011, hlm. 20. 33
Gabriel Almond dan Sydney Verba, Budaya Politik, Tingkah Laku Politik, dan Demokrasi di Lima Negara, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990).
dipengaruhi dari orang tua, kerabat dekat, juga karena loyalitas terhadap etnis. Pandangan ini didasari selain oleh karena pemilih pemula tidak memperoleh informasi yang cukup, juga karena kuatnya pengaruh lingkungan dan kelompok sosial dari pemilih pemula tersebut36 yang dapat dilihat dalam Gambar 12 dibawah ini. Memutuskan Saat di TPS Banyak Atribut yang Dipasang Satu-satunya satunya Caleg yang Diketahui Didukung Orang--Orang Sekitar Memberi Bantuan Materi kepada… Memberi Imbalan Materi pada Responden Dicalonkan Partai yang Diperkirakan Menang Dicalonkan Partai yang Didukung Berasal dari Organisasi yang Sama Berasal dari Daerah yang Sama Berasal dari Suku yang Sama Agama yang Sama Punya Hubungan Kekerabatan Incumbent Berkinerja Baik Latar Belakang Baik
6,98
16,28
13,95 11,63 11,63 16,28 9,30 13,95 13,95
6,98
16,28
23,26 27,91
32,56 37,21
Gambar 12. Pertimbangan Pemilih Pemula dalam Memilih Calon Legislatif
Dalam memilih caleg yang akan mewakilinya di DPR, menurut hasil survei yang dilakukan, sebanyak 37,21% pemilih pemula ternyata melihat dari latar belakang caleg, apakah caleg yang akan dipilihnya memiliki latar belakang pendidikan atau pengalaman yang baik. Faktor kesamaan agama juga merupakan pertimbangan dari 32,56% pemilih pemula dalam menentukan caleg yang akan dipilihnya. Sebanyak 27,91% pemilih pemula memilih caleg karena ikutikutan orang di sekitarnya. Mereka memilih caleg yang didukung oleh keluarga, teman atau tetangga. Bahkan 23,26% pemilih pemula ada yang memilih seorang caleg hanya karena caleg tersebut merupakan satu-satunya caleg yang dia ketahui. Sedangkan, dalam memilih partai politik, bebas dari korupsi merupakan hal yang paling dianggap penting dan menjadi pertimbangan sebagian besar pemilih pemula (34,88%). Faktor tokoh pimpinan partai dan hal-hal baik yang telah dilakukan partai serta kader-kadernya menjadi pertimbangan 27,91% pemilih pemula. Sama
34
35
Diana, Adam Idris, dan Achmad Djumlani, op.cit., hlm. 1253.
Herkulanus Roni, ”Pola Perilaku Pemilih Pemula pada Pemilihan Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2012 (Studi di Kecamatan Bengkayang, Kabupaten Bengkayang)”, Aspirasi, Vol. 2, No. 2, Agustus 2013. 36
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 129
halnya dengan pertimbangan dalam memilih caleg, sebagian pemilih pemula (25,58%) ada yang memilih parpol karena pertimbangan bahwa parpol tersebut didukung oleh orang-orang di sekitarnya. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa pemilih pemula masih tidak terlalu rasional dalam menentukan pilihan sikap politiknya. Selain faktor latar belakang caleg dan parpol, halhal lain yang kemudian menjadi pertimbangan pemilih pemula dalam menentukan pilihan sikap politiknya cenderung hal-hal tidak rasional yang semata karena terpengaruh lingkungan di sekitarnya, seperti pada Gambar 13 dibawah ini.
Menentukan Pilihan Partai Saat di TPS
Partai Didukung Orang-Orang Orang Di Sekitar… Partai Memberi Janji Bantuan Materi
4,65
6,98
Partai Tidak Menggunakan Identitas Agama
Partai Beridentitas Agama
Partai Melakukan Hal-Hal Hal Baik Partai Bersih Korupsi
Kesamaan Sikap Partai dengan Pandangan… Responden Anggota Partai
Pemimpin partai tokoh yang saya suka
9,30
2,33
mengenai perkembangan politik terkini sehingga turut serta mempengaruhi pilihan dalam pemilu legislatif lalu. Namun demikian, rendahnya loyalitas terhadap partai politik serta tidak adanya identitas kepartaian pada seseorang, menjadikan mudahnya pemilih untuk pindah ke partai lainnya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya jarak ideologis antara pemilih dengan partai politik. Hal ini terlihat ketika sebanyak 33,5% responden menyatakan kurang tertarik terhadap masalah politik dan pemerintahan, yang dapat dilihat dalam Gambar 14 dibawah ini.
25,58 23,26 23,26
27,91
34,88
27,91
Gambar 13. Pertimbangan Pemilih Pemula dalam Memilih Partai Politik
3. Faktor Psikologis dalam Perilaku Memilih Pendekatan psikologis dalam perilaku memilih berkaitan dengan identifikasi terhadap suatu partai politik yang merupakan hasil sosialisasi politik yang sangat panjang dan sifatnya menetap. Identifikasi partai acapkali dipengaruhi oleh lingkungan keluarga seperti diskusi antara anggota keluarga dan pengaruh orang tua terhadap anggota keluarga lainnya. Dengan kata lain, identifikasi pilihan partai seseorang diperoleh melalui sosialisasi politik diantara anggota keluarga. Ketertarikan membicarakan isu-isu seputar politik pemerintahan menjadi faktor yang berpengaruh dalam menentukan pilihan khususnya dalam pemilu. Temuan hasil survei P2P menunjukkan bahwa diskusi mengenai politik dalam lingkungan terkecil khususnya keluarga turut mempengaruhi pilihan dalam pemilu. Media massa khususnya televisi memberikan informasi terbanyak
Gambar 14. Ketertarikan Terhadap Partai Politik
Gambar 14 di atas berbanding lurus dengan kuantitas pemilih dalam mendiskusikan masalah politik dengan anggota keluarga maupun tetangga atau orang lain. Sebanyak 79,11% responden menyatakan jarang membahas dan mendiskusikan topik-topik politik dengan anggota keluarganya. Berikut adalah Gambar 15 yang menunjukkan intensitas responden dalam membicarakan topik politik dengan keluarga.
Gambar 15. Kuantitas Mendiskusikan Masalah Politik
130 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
Gambar 15 di atas memperlihatkan sebanyak 79,11% responden jarang atau tidak pernah membicarakan politik pemerintahan maupun nilai-nilai partai dalam keluarga, sedangkan sisanya sebanyak 20,89% responden sering mendiskusikan dan mendapat sosialisasi politik dan nilai-nilai partai dalam keluarganya. Hal tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar pemilih yang berada di daerah pedesaan dengan tingkat pendidikan rendah dan sangat minim mendapatkan sosialisasi politik dalam mendiskusikan nilai-nilai partai baik melalui media televisi, radio, koran maupun internet. Jumlah ini menjadi penjelasan logis dari terbentuknya identifikasi partai politik pemilih pada Pemilu Legislatif 2014. Melalui sosialisasi tersebut yang dilakukan diantara anggota keluarga dapat membentuk identifikasi partai politik dan tingkat partisipasi dalam Pemilu. Sebagai contoh misalnya, PDIP merupakan partai yang memiliki basis yang sangat konsisten dan komitmen terhadap partainya. Hal tersebut tercermin dalam teori perilaku memilih, khususnya pendekatan psikologis yang mengatakan adanya hubungan antara partai pilihan dengan kandidat pilihan masyarakat. Selain ketertarikan terhadap politik (political interest), sosialisasi media massa seputar partai politik maupun kandidat menjadi salah satu bagian dari faktor psikologis yang juga turut berpengaruh dalam menentukan pilihan pemilih. Sosialisasi media merupakan cermin dari kepentingan publik yang menyajikan pemberitaan berdasarkan peristiwa yang terjadi di sekitar masyarakat. Media mempunyai hubungan yang erat antara berita yang disosialisasikan dengan isu publik yang memiliki arti penting. Melalui media inilah, berita-berita seputar politik, partai politik maupun kandidat dapat diketahui masyarakat, sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan. Sebagian besar pemilih membutuhkan informasi untuk memahami dan mengevaluasi dinamika politik. Dengan demikian pemilih dapat mengetahui dan memiliki ikatan emosional dengan partai maupun kandidat tertentu. Pada Pemilu 2014, peran media massa begitu signifikan hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan tentang berita
politik yang dipublikasikan oleh baik media cetak maupun online. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Indonesia Indikator, sebanyak 12,5% dari 272 media online di Indonesia menempati posisi teratas seputar topik politik dibanding topik lainnya.3736 Pemberitaan politik didominasi oleh kasus korupsi, sengketa pemilu, partai politik, anggota legislatif dan sebagainya. Bahkan menjelang dan pasca Pemilu 2014, partai politik, serta pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang bersaing dalam Pemilu berlomba untuk mendapatkan perhatian dan membangun citra positif mereka dengan melakukan banyak kegiatan yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat. Partai politik mempunyai peran yang cukup signifikan dalam mendukung capres dan cawapres yang diusungnya. Dari sini dapat dilihat bahwa peran media sangat dominan yang dapat mempengaruhi perilaku memilih dibandingkan dengan diskusi dengan keluarga. Hasil survei P2P LIPI mengenai peran media massa dalam Pemilu 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 62,66% responden setuju dengan peran media dalam mempengaruhi perilaku memilih, sedangkan sisanya 37,34% responden tidak setuju. Gambar 16 menunjukkan hasil analisa kepercayaan publik terhadap peran media massa.
Gambar 16. Peran Media Massa
Dalam kaitannya dengan Pemilu 2014, isu mengenai akses media, baik cetak maupun elektronik, sebagai sumber informasi politik dan pengaruhnya terhadap tingkat kepercayaan terhadap institusi politik menghasilkan beberapa Antaranews, “Survei: 253.718 Berita Politik Warnai Sepanjang 2013”, 30 Desember 2013, http://www.antaranews. com/berita/411766/survei-253718-berita-politik-warnaisepanjang-2013, diakses pada tanggal 26 Agustus 2015. 37
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 131
temuan menarik. Temuan hasil survei P2P LIPI menunjukkan bahwa sekitar 90% responden menggunakan media cetak seperti koran sebagai sumber informasi utama untuk mencari dan memahami dinamika politik yang terjadi di Indonesia khususnya berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu. Sedangkan selebihnya sebanyak 30% menggunakan sarana televisi sebagai sumber informasi politik. Sementara itu, sebanyak 90% responden sangat jarang mengakses internet untuk membaca berita seputar politik seperti pada Gambar 17 di bawah ini. 100,00
80,00 60,00
Jarang
40,00
Sering
20,00 0,00
TV
Media Cetak
Internet
Gambar 17. Persentase Menggunakan Media Massa
Hasil temuan pada Gambar 17 di atas menunjukkan bahwa ada hubungan antara penggunaan yang intensif terhadap akses media dengan kepedulian politik pemilih meskipun pada saat yang sama juga menaikkan tingkat apatisme pemilih terhadap isu politik. Demikian juga, televisi masih menjadi media utama untuk mengikuti perkembangan berita politik. Sebanyak 55% responden menggunakan televisi sebagai media untuk mencari info terkini seputar berita politik, sedangkan sebanyak 85% masih jarang menggunakan media cetak dan internet sebagai sumber informasi utama. Dengan demikian, di daerah pedesaan akses untuk mendapatkan informasi politik masih terbatas pada penggunaan televisi, sementara penggunaan internet sebagai media informasi politik masih rendah, seperti pada Gambar 18 di bawah ini.
100,00 90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
Jarang Sering
TV
Media Cetak
Internet
Gambar 18. Persentase Perkembangan Informasi Politik Melalui Media Massa
Tingginya penggunaan media televisi sebagai sumber informasi politik dipandang oleh sebagian kalangan sebagai fenomena telepolitics dengan munculnya dominasi media terutama televisi dalam mempengaruhi pemilih. Televisi mampu masuk ke ruang domestik keluarga dan menjadi perantara hubungan yang bersifat luas. Berbeda dengan diskusi politik dengan keluarga maupun kampanye yang menghadirkan caleg atau partai tertentu, akses informasi melalui media televisi lebih bersifat praktis dan dapat menunjang seluruh lapisan masyarakat terutama di pedesaan dimana akses internet masih terbatas. Sebagai media yang dapat diakses setiap golongan masyarakat tanpa terhalang oleh ruang dan waktu, televisi telah menjadi saluran kampanye yang efektif dan berpengaruh besar terhadap pembentukan opini publik yang juga sudah mendominasi ranah politik. Meningkatnya elektabilitas kandidat maupun partai tertentu tidak lepas dari peran media sebagai wahana untuk melampaui pesanpesannya, baik berupa program, sikap maupun kampanye politik kepada publik. Karenanya, banyak partai politik maupun calon yang akan berkompetisi dalam pemilu memanfaatkan media untuk menyampaikan visi dan misinya kepada publik. Banyak sedikitnya siaran yang berhubungan dengan transformasi ataupun sosialisasi politik akan sangat berpengaruh terhadap penilaian masyarakat terhadapnya.
132 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
4. Faktor Ekonomi/Rasional dalam Perilaku Pemilih Faktor ekonomi/rasional dalam perilaku pemilih berkaitan dengan evaluasi terhadap kondisi ekonomi dirinya, keluarga, dan juga kondisi ekonomi nasional, yang kemudian mempengaruhi pilihannya terhadap partai politik dan caleg yang diusungnya. Dalam survei yang dilakukan tahun 2014 lalu, memperlihatkan bahwa sebanyak 70% responden yang menyatakan bahwa kondisi perekonomian mereka berada dalam kondisi yang baik atau sangat baik. Sedangkan sisanya sebanyak 26% menyatakan bahwa kondisi perekonomian mereka dalam kondisi yang buruk atau sangat buruk, yang dapat dilihat dalam Gambar 19 dibawah ini. Mayoritas responden yang menyatakan bahwa perekonomian mereka dalam kondisi stabil memberikan indikasi bahwa proses pematangan demokrasi sudah mulai mendalam. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,8% dengan pendapatan per kapita yang mencapai 3.600 dollar AS memperlihatkan aktivitas politik yang ditopang oleh kelas menengah yang aktif dalam ekonomi. Oleh karena itu, kelas menengah yang melek secara ekonomi ini yang kemudian mendorong munculnya independensi dan nonpartisan terhadap politik, dalam artian kelompok menengah ini tidak memiliki kesetiaan tunggal terhadap salah satu partai politik maupun caleg yang diusungnya. Hasilnya terlihat dalam pemilu legislatif 2014 lalu bahwa partisipasi politik dan egalitarian muncul dalam pemilu yang mayoritas didukung oleh kelas menengah yang mengikuti pemilu.
Baik/S angat Baik 70%
Tidak Tahu 4% Buruk/ Sangat Buruk 26%
Gambar 19. Keadaan Ekonomi Keluarga Saat Ini
Sementara itu, sebanyak 44% responden menyatakan bahwa perekonomian Indonesia sendiri dalam kondisi yang buruk dan sangat buruk. Sedangkan 39% responden menyatakan bahwa perekonomian Indonesia berada dalam kondisi yang baik dan sangat baik seperti pada Gambar 20 dibawah ini. Adanya perbedaan dalam melihat perekonomian negara bermuara pada bagaimana diseminasi dan distribusi perekonomian nasional yang dilakukan oleh negara. Negara sendiri bertindak sebagai regulator.
Tidak Tahu 17% Baik/Sang at Baik 39%
Buruk/San gat Buruk 44%
Gambar 20. Keadaan Ekonomi Indonesia Saat Ini
Ketiga faktor yang mempengaruhi pilihan politik dalam pemilu yaitu faktor sosiologis, psikologis, dan rasional, muncul dalam kondisi yang khas melalui hasil survei yang dilakukan P2P LIPI tahun 2014 lalu. Faktor sosiologis memperlihatkan faktor agama yang berupa latar belakang agama caleg, dan faktor pendidikan yang berupa latar belakang pendidikan caleg serta latar belakang pendidikan pemilih, mempengaruhi pilihan dalam pemilu legislatif lalu. Faktor psikologis menunjukkan bahwa identifikasi partai acapkali dipengaruhi oleh lingkungan keluarga seperti diskusi antara anggota keluarga dan pengaruh orang tua terhadap anggota keluarga lainnya. Dengan kata lain, identifikasi pilihan partai seseorang diperoleh melalui sosialisasi politik diantara anggota keluarga. Ketertarikan membicarakan isu-isu seputar politik pemerintahan menjadi
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 133
faktor yang berpengaruh dalam menentukan pilihan khususnya dalam pemilu. Sementara itu, faktor rasional menunjukkan bahwa evaluasi terhadap kondisi ekonomi dirinya, keluarga, dan juga kondisi ekonomi nasional, yang kemudian mempengaruhi pilihannya terhadap partai politik dan caleg yang diusungnya dalam pemilu.
Penutup Kajian mengenai perilaku pemilih menghadapi pemilu legislatif, yang berkaitan dengan faktor sosiologis, memuat beberapa hal yang harus digarisbawahi. Pertama, dalam diri pemilih, ketaatan seseorang dalam menjalankan ibadah sesuai agamanya tidak selalu memberikan pengaruh pada pilihan partai poltiknya. Namun demikian, ketika pemilih dihadapkan pada pilihan calon legislatif dalam pemilu, latar belakang agama caleg memberi pengaruh terhadap pilihan calegnya, dimana pemilih cenderung memilih caleg yang menganut agama yang sama dengan dirinya. Kedua, dalam survei ini, adanya janji-janji pemberian bantuan materi memang tidak banyak mempengaruhi para pemilih dalam menentukan pilihannya. Namun demikian, bagi pemilih yang telah berusia lanjut, tinggal di pedesaan, dan berpendidikan rendah, maka janji-janji pemberian bantuan materi tersebut merupakan hal yang menjadi pertimbangan dalam memberikan suaranya dalam pemilu legislatif tersebut. Ketiga, dalam menentukan pilihan politiknya, para pemilih pemula sering terpengaruh oleh pilihan orang-orang di sekitarnya seperti keluarga dan teman sekelompoknya. Para pemilih pemula ini khususnya yang tinggal di pedesaan, mayoritas mengikuti sikap orang tuanya atau tokoh yang dihormati di lingkungannya. Dalam kaitannya dengan pilihan terhadap partai politik, kaum pemilih pemula ini cenderung meneruskan tradisi keluarga dengan memilih partai politik yang selama ini telah dipilih secara turun menurun oleh keluarganya dari generasi ke generasi. Sementara itu, dalam memilih calon legislatif, kaum pemilih pemula ini cenderung memilih figur yang terkenal meskipun mereka tahu lebih lanjut tentang latar belakang dan visi misi caleg tersebut.
Selanjutnya, kajian mengenai perilaku pemilih menghadapi pemilu legislatif, yang berkaitan dengan faktor psikologis memperlihatkan beberapa catatan penting. Pertama, diskusi mengenai politik dalam lingkungan terkecil khususnya keluarga turut mempengaruhi pilihan dalam pemilu. Media massa khususnya televisi memberikan informasi terbanyak mengenai perkembangan politik terkini sehingga turut serta mempengaruhi pilihan dalam pemilu legislatif lalu. Kedua, rendahnya loyalitas terhadap partai politik serta tidak adanya identitas kepartaian pada seseorang, menjadikan mudahnya pemilih untuk pindah ke partai lainnya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya jarak ideologis antara pemilih dengan partai politik. Sementara itu, kajian mengenai perilaku pemilih menghadapi pemilu legislatif, yang berkaitan dengan faktor rasional/ekonomi memperlihatkan bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan isu yang strategis bagi mayoritas pemilih. Pemenuhan kebutuhan ekonomi ini yang kemudian berkembang menjadi kompetisi antar kandidat anggota legislatif, maupun antar partai politik sendiri, untuk membangun kedekatan dengan pemilihnya. Tujuan utamanya adalah bagaimana bisa mendapatkan dukungan dari pemilih yang kemudian mampu memberikan kesejahteraan kepada para pemilihnya.
Daftar Pustaka Buku Almond, Gabriel, dan Sydney Verba. 1990. Budaya Politik, Tingkah Laku Politik, dan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara. Babbie, Earl. 2000. The Practice of Social Research. USA: Wadsworth/Thomson Learning. Evans, Jocelyn A.J. 2004. Voters and Voting. London: Sage Publications. Franzoi, Stephen. 2003. Psikologi Sosial. Penerjemah Rahmad. Jakarta: Pustaka Jaya. Listhaug, Ola. 2005. “Retrospective Voting”, dalam Jacques Thomassen (Ed.). The European Voter: A Comparative Study of Modern Democracies. New York: Oxford University Press. Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
134 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 117–135
Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mujani, Saiful, William R. Liddle, dan Kuskridho Ambardi. 2012. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Mizan Publika. Neuman, W. Lawrence. 2000. Sosial Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Third edition. Boston: Allyn and Bacon. Roth, Dieter. 2009. Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode. Jakarta: Lembaga Survei Indonesia.
Jurnal Diana, Adam Idris, dan Achmad Djumlani. 2014. “Sikap Pemilih Pemula terhadap Calon Legislatif Partai Politik Ditinjau dari Karakteristik Sosial (Studi Kasus Tingkat SMA di Samarinda)”. eJournal Administrative Reform 2(2). Liddle, R. William dan Saiful Mujani. 2007. “Leadership, Party, and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia”. Comparative Political Studies 40(7). Roni, Herkulanus. 2013. ”Pola Perilaku Pemilih Pemula pada Pemilihan Gubernur Kalimantan Barat Tahun 2012 (Studi di Kecamatan
Bengkayang, Kabupaten Bengkayang”. Aspirasi 2(2). Setiajid. 2011. “Orientasi Politik yang Mempengaruhi Pemilih Pemula dalam Menggunakan Hak Pilihnya pada Pemilihan Walikota Semarang Tahun 2010 (Studi Kasus Pemilih Pemula di Kota Semarang)”. Integralistik. No.1/ Th.XXII/2011. Januari-Juni. Sudrajat, Adat. 2002. “Agama dan Perilaku Politik”. Jurnal Humanika. No. 1. Tahun 1.
Surat Kabar dan Website Antaranews. “Survei: 253.718 Berita Politik Warnai Sepanjang 2013”. 30 Desember 2013. http:// www.antaranews.com/berita/411766/survei253718-berita-politik-warnai-sepanjang-2013. Mulyawarman. (n.d.). “Perilaku Pemilih Masyarakat dalam Pemilihan Kepala Desa: Kasus Kubang Jaya Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar”. http://ejournal.unri.ac.id/index.php/ JDOD/article/download/1265/1256.
Partisipasi Politik dan Perilaku ... | RR Emilia Yustiningrum dan Wawan Ichwanuddin | 135
136 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
MENELAAH RELASI EKSEKUTIF-LEGISLATIF DALAM SISTEM PRESIDENSIAL MULTIPARTAI DI INDONESIA EXPLORING THE EXECUTIVE-LEGISLATIVE RELATIONS IN INDONESIA MULTIPARTY PRESIDENTIAL SYSTEM Ridho Imawan Hanafi Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 10, Jakarta E-mail:
[email protected] Diterima: 24 Februari 2015; direvisi: 18 Mei 2015; disetujui: 16 Juni 2015 Judul Buku Pengarang Penerbit Tahun terbit Tebal
: Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia : Djayadi Hanan : Mizan : 2014 : 408 Halaman Abstract
This paper examines executive-legislative relations in Indonesia multiparty presidential system. According to several studies, the combination between multiparty system and a presidential system tends to result in the appearance of conflict between presidential and parliamentary institutions and eventually creates unstable democracy. Contrary to the theoritical predictions, this study states that multiparty presidential system in Indonesia is reasonably well. The combination of formal and informal institutions that structure the relationship between the president and the legislature reduces well the potential of deadlock and makes the relationship work. Moreover, the existence of a coalition-minded president, accomodative and consensual behavior of political elites also contributes to the work of multiparty presidential system in Indonesia work. Keywords: presidential-multiparty system, executive and legislative institutions, formal and informal institutions, coalition. Abstrak Tulisan ini menelaah relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial multipartai di Indonesia. Menurut sejumlah studi, sistem presidensial yang dikombinasikan dengan multipartai cenderung akan berakhir dengan konflik antara lembaga eksekutif dan legislatif dan menghadirkan ketidakstabilan demokrasi. Berbeda dari argumen tersebut, studi ini menyatakan bahwa sistem presidensial multipartai di Indonesia dapat berjalan dengan relatif baik. Adanya perpaduan institusi formal dan informal yang mengatur hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif berhasil mengurangi potensi kebuntuan dan membuat hubungan kedua lembaga terebut berjalan baik. Selain itu, sosok presiden yang akomodatif dan mengedepankan koalisi, serta sikap elite politik yang cenderung menempuh konsensus turut andil dalam bekerjanya sistem presidensial multipartai di Indonesia. Kata kunci: sistem presidensial multipartai, lembaga eksekutif dan legislatif, institusi formal dan informal, koalisi.
Menelaah Relasi Eksekutif-Legislatif ... | Ridho Imawan Hanafi | 137
Pendahuluan Buku ini mengkaji relasi antara eksekutif dan legislatif di Indonesia, khususnya dalam dua masa jabatan kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004-2014. Pada periode ini sistem presidensial multipartai mulai diterapkan. Sejauh ini, terdapat kecenderungan pandangan mengenai relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial multipartai yang dinilai rentan mengalami kebuntuan. Berbeda dengan pandangan tersebut, Djayadi Hanan, penulis buku ini, menempatkan studinya dalam posisi yang optimistis bahwa interaksi antara eksekutif-legislatif dalam presidensial multipartai di Indonesia berlangsung relatif baik dan efektif. Adanya perpaduan institusi formal dan informal yang mengatur hubungan antara eksekutif dan legislatif telah berhasil mengurangi potensi kebuntuan. Selain itu, keberadaan sosok presiden yang dinilai akomodatif dan sikap elite politik yang mengutamakan konsensus telah ikut menjadi faktor atas bekerjanya sistem tersebut di luar kekhawatiran munculnya instabilitas politik. Kenyataan bahwa presidensialisme multipartai di Indonesia dapat bekerja dengan relatif lebih baik menurut Hanan cukup mengejutkan jika diteropong dari pandangan umum tentang resiko sistem presidensialisme itu sendiri. Kekhawatiran bahwa sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan multipartai akan mengalami kebuntuan memang sudah dijelaskan oleh para ahli. Hanan dengan merujuk studi Mainwaring dan Shugart1, misalnya, menyatakan bahwa sistem tersebut masalahnya terletak pada fakta bahwa ketika presidensialisme dikombinasikan dengan sistem partai yang terfragmentasi atau sistem multipartai terdapat kecenderungan muncul presiden minoritas dengan dukungan legislatif yang lemah. Presiden dalam hal ini, akan berhadapan dengan lembaga legislatif yang antagonistik dan tidak mampu menggerakkan agenda pemerintahan dengan baik, sehingga menggiring pada kelumpuhan
Lihat Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart (Eds). Presidentialism and Democracy in Latin America, (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), dalam Djayadi Hanan, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia, (Bandung: Mizan, 2014), hlm. 23-24. 1
sistem pemerintahan.2 Pengalaman di beberapa negara Amerika Latin menunjukkan betapa perpaduan sistem presidensial dan multipartai mengalami kegagalan dan demokrasi pun berjalan tidak stabil. Secara teoritis, sistem multipartai sendiri dianggap lebih tepat untuk sistem parlementer. Sistem multipartai juga dipercaya tidak sefleksibel sistem dua partai dalam hal perpaduan dengan sistem pemerintahan. Amerika Serikat, misalnya, memadukan sistem dua partai dan sistem presidensial dan hasilnya pemerintahannya cenderung stabil. Pengalaman Inggris juga demikian, bahwa sistem dua partai yang dipadukan dengan sistem parlementer relatif menghasilan kestabilan. Di sini bisa dikatakan bahwa sistem dua partai baru terbukti berjalan dengan baik di negara yang memiliki komposisi masyarakat homogen (social homogenity). Sementara, Indonesia memiliki tingkat kemajemukan dan pluralitas masyarakatnya yang kompleks. Komposisi seperti itu sulit untuk menghindari terbentuknya sistem multipartai yang terfragmentasi.3
Potensi Kebuntuan Presidensialisme Multipartai di Indonesia Sejak 2004 Indonesia resmi menggeser sistem pemerintahannya dari kuasi- presidensialisme menjadi presidensialisme murni. Pergeseran ini sebelumnya dilalui dengan menjalani empat paket amandemen konstitusional (1999-2002). Pergeseran ke sistem presidensialisme murni ini ditandai dengan pelaksanaan pemilihan langsung presiden (pilpres) pertama kalinya pada tahun 2004. Pada pilpres tersebut pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden. Kendaraan utama pasangan tersebut adalah Partai Demokrat (PD), yang dalam Pemilu 2004 mendapatkan 7,45 persen suara. Perolehan tersebut memperlihatkan partai sang presiden suaranya kecil dibandingkan suara partai lain. Hal ini membuat SBY menjadi presiden dengan dukungan minoritas di parlemen. Sementara 2
Djayadi Hanan, Ibid.
Hanta Yuda, AR, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 6. 3
138 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 137–145
pada Pilpres 2009, PD memenangkan pemilu dengan memperoleh suara sebesar 20,85 persen. Kemudian pada Pilpres 2009 SBY terpilih kembali untuk memimpin pemerintahan bersama Boediono sebagai wakilnya.
yang belum sepenuhnya didukung desain institusi politik yang kokoh. Maka bisa dikatakan presidensialisme di era pemerintahan SBY-JK tereduksi atau berjalan dengan setengah hati (soft presidentialism-weak president).6
Di sisi lain, dengan memperoleh 55 dari 550 (10 persen) kursi DPR pada Pemilu 2004, dan pada Pemilu 2009 memperoleh 149 dari 560 kursi DPR (26,6 persen) turut melatarbelakangi SBY dalam membentuk kabinet koalisi. Kabinet SBY pada periode pertama (2004-2009) selain dari PD, mendapat dukungan Golkar (128 kursi), PPP (58), PAN (53), PKB (52), PKS (45), PBB (11), dan PKPI (1) dengan total 403 dari 550 kursi DPR (73,3 persen). Sementara pada periode kedua (2009-2014), koalisi terjalin dengan melibatkan PD (149), Golkar (106), PKS (57), PAN (46), PPP (37), dan PKB (28). Jumlah keseluruhan koalisi ini adalah 423 dari 560 kursi DPR (75,5 persen).4 Namun, menurut Syamsuddin Haris, meskipun koalisi tertopang oleh banyak kursi, alih-alih melembagakan pemerintahan yang efektif, koalisi politik pendukung presiden justru kerap menyulitkan presiden sendiri. Selama periode 2004-2009, misalnya, Presiden SBY harus melayani sekurangnya 14 usulan hak interpelasi dan 9 usulan hak angket yang diajukan DPR. Ironisnya, sebagian usulan tersebut dilakukan atas inisiatif partai-partai politik pendukung pemerintah di parlemen.5
Di sisi lain, saat ini DPR telah mengalami perubahan mendasar, dari yang awalnya sekadar sebagai lembaga legislatif pemberi stempel, kini menjadi institusi dengan kekuasaan legislasi dan penyeimbang yang jelas. Menurut konstitusi, kekuasaan legislasi kini berada di tangan DPR. Konstitusi juga memandatkan kekuasaankekuasaan lain kepada DPR, seperti pengawasan, amandemen anggaran, pengangkatan berbagai komisi negara, dan persetujuan bagi beragam jabatan eksekutif. Kuatnya kewenangan legislatif ini akan sangat terkait dengan pola relasinya dengan eksekutif.
Jika dilihat dari sisi hasil, Pemilu Legislatif 2004 dan 2009 telah menghasilkan presidensialisme multipartai. Rumusan presidensialisme lebih murni yang diamanatkan konstitusi tersebut akan mengalami kesulitan diimplementasikan ketika dikombinasikan dengan struktur multipartai. Koalisi yang tidak lazim dalam tradisi presidensialisme, misalnya, menjadi kebutuan mendasar dan sulit dihindari. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair, karena karakter partai-partai yang berkoalisi tidak disiplin dan pragmatis. Situasi ini menyebabkan presiden berada dalam posisi yang dilematis, berkompromi dengan parlemen atau berpegang teguh pada prinsip presidensialisme
Dengan cirinya seperti itu, sistem pemerintahan Indonesia dapat diasumsikan sebagai presidensialisme dengan sistem multipartai yang terfragmentasi kuat (a highly fragmented multiparty system). Untuk itu, Hanan mengatakan jika menggunakan prediksi Linz dalam The Perils of Presidentialism 7, tentang “bahaya presidensialisme” di mana presidensialisme hakikatnya lebih rentan terhadap instabilitas atau kehancuran demokrasi dibandingkan sistem parlementer, juga konsep Mainwaring tentang “kombinasi rumit antara presidensialisme dan multipartai” dalam Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination8, sistem pemerintahan Indonesia besar kemungkinan akan mengalami situasi kemandekan.9 Namun, beragam prediksi tersebut tidak menampakkan hasilnya di Indonesia. Yang terlihat, secara umum situasi kebuntuan tidak pernah terjadi karena selama penerapan presidensialisme, demokrasi di Indonesia justru semakin mengarah 6
Hanta Yuda, op. cit., hlm. xvi.
Juan J. Linz, The Perils of Presidentialism, Journal of Democracy, Vo.1, No. 1, Winter, 1990, hlm. 51-69, lihat dalam Djayadi Hanan, op, cit., hlm. 30. 7
Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination, Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, 1993, hlm. 198-228, dalam Djayadi Hanan, Ibid. 8
Syamsuddin Haris, Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2014), hlm. 104-105. 4
5
Ibid.
9
Djayadi Hanan, Ibid.
Menelaah Relasi Eksekutif-Legislatif ... | Ridho Imawan Hanafi | 139
pada proses konsolidasi. Di tengah fragmentasi dan transformasi partai yang sangat tinggi presidensialisme di Indonesia bisa dikatakan relatif stabil.
Tiga Indikator Bekerjanya Presidensial Multipartai Dalam studinya ini, Hanan menggunakan tiga indikator untuk mengukur bekerjanya sistem presidensial multipartai di Indonesia: stabilitas demokrasi, kebuntuan eksekutif-legislatif, dan kinerja pemerintah. Indikator stabilitas demokrasi memperlihatkan bahwa setelah melalui masa transisi demokrasi selama periode 1999-2002, stabilitas demokrasi di Indonesia relatif berjalan sesuai rel yang semestinya. Seperti halnya beberapa paket amandemen konstitusi yang selesai pada tahun 2002, menunjukkan berakhirnya proses transisi ke arah konsolidasi demokrasi. Selain itu, salah satu ancaman terhadap stabilitas demokrasi pasca-Orde Baru adalah kekuatan sentrifugal yang berasal dari daerah, namun sejauh ini ancaman tersebut berhasil diatasi melalui kebijakan desentralisasi.10 Tidak hanya itu, reformasi di tubuh militer juga relatif berjalan, serta banyak perubahan positif dalam budaya politik yang bebas dan terbuka, seperti kebebasan pers.11 Sementara pada indikator kebuntuan eksekutif-legislatif, relasi antara kedua lembaga di Indonesia sejak demokratisasi dan penerapan sistem presidensial multipartai tahun 2004 jauh lebih dinamis. Dalam beberapa hal, relasi eksekutif-legislatif memang memunculkan konflik tetapi sejauh ini tidak terlihat adanya kebuntuan yang berujung pada situasi instabilitas. Sedangkan untuk indikator kinerja pemerintah, yang bisa dilihat adalah sisi agenda legislatif dan ekonomi. Kondisi ekonomi Indonesia dilihat Hanan cukup kuat sejak 2004 khususnya dalam hal kinerja makro ekonomi. Untuk agenda legislatif, dalam konteks Indonesia, aspek ini berkaitan dengan agenda-legislatif pemerintah dan agenda-legislatif legislator. Sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang yang mengatur interaksi antara lembaga eksekutif dan 10
Ibid, hlm. 31.
11
Ibid, hlm. 33.
legislatif, agenda legislatif dapat disetujui oleh kedua lembaga setiap tahunnya. Untuk melihat mengapa sistem presidensial multipartai di Indonesia dapat bekerja dengan relatif baik, Hanan menggunakan rancang bangun konseptual yang lebih menyeluruh b er u p a me k a n i s me k elemb ag a an y an g menyusun hubungan eksekutif-legislatif seharihari, kekuasaan legislatif dan partisan yang dipunyai eksekutif, lembaga legislatif berikut kemampuan kelembagaannya, serta koalisi dan oposisi.12 Menurut argumentasinya, aspekaspek kelembagaan yang menopang hubungan eksekutif-legislatif di Indonesia bukan hanya berupa kekuasaan konstitusional dan legislatif yang dipunyai presiden, namun tidak kalah pentingnya juga pengorganisasian legislatif dan mekanisme kelembagaan yang menyusun hubungan itu sehari-hari khususnya dalam pengusulan agenda legislatif, baik dari sisi presiden maupun lembaga legislatif. Daya dukung mekanisme kelembagaan tersebut bagi keberlangsungan hubungan esksektif-legislatif diperkuat dengan keberadaan institusi-institusi informal. Menurut Hanan, sekalipun harus bergelut dengan kewenangan konstitusional dan batas-batas politiknya, kesediaan presiden membentuk dan memelihara koalisi turut berperan bagi keberlangsungan hubungan eksekutif-legislatif. Terlebih lagi, institusi-institusi formal dan informal yang ada dimanfaatkan presiden sebagai “kotak perkakas eksekutif” (executive toolbox), guna memperlancar hubungan tersebut. Kotak perkakas ini di antaranya berisi kekuasaan mengusulkan agenda, kekuasaan pengelolaan kabinet kabinet, kekuasaan anggaran, kekuasaan partisan, juga kekuasaan kelembagaan informal. Mengacu pada uraian itulah studi Hanan berbeda pandangan dari ahli politik lain yang khawatir akan terjadinya instabilitas ketika sistem preidensial dan multipartai di Indonesia dipadukan.
Institusi Formal dan Informal Dalam studi ini, institusi formal dan informal bersandar pada institusionalisme sebagai inti kerangka teorinya. Hanan merujuk konsep 12
Ibid, hlm. 58.
140 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 137–145
Weaver dan Rockman yang menggunakan kategorisasi institusi ke dalam tiga jenjang. Tiga jenjang institusi yang berguna dalam meneliti cara kerja relasi legislatif dan eksekutif dalam sistem presidensial tersebut adalah, jenjang pertama, perbedaan disain kelembagaan sistem presidensial atau parlementer. Jenjang kedua, model rezim atau model pemerintahan. Jenjang ketiga, variabel noninstitusional semacam koalisi seperti tujuan pembuat kebijakan.13 Menurut kerangka tersebut, Hanan menjelaskan bahwa hubungan eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial dan hasil-hasilnya bisa dipahami atau dijelaskan dengan secara lebih baik apabila perhatian tidak hanya diberikan pada perbedaan desain kelembagaan antara rezim parlementer dan presidensial, tetapi juga pada perbedaan di dalam rezim presidensial atau rezim parlementer itu sendiri. “Bahaya sistem presidensial” ala Linz, misalnya, menurut Hanan dapat dikategorisasikan hanya menggunakan jenjang pertama dalam analisisnya. Sehingga bila kita menggunakan jenjang analisis pertama ini untuk memahami fakta keberhasilan sistem presidensial di banyak negara selama dua dekade terakhir, tidak akan bisa menjelaskan apa-apa. Sementara tesis Mainwaring tentang muskilnya sistem presidensial bergabung dengan sistem multipartai karena terlalu memfokuskan analisisnya pada jejang kedua, dimana dalam pandangan Hanan hal tersebut yang membuat gagal, menjelaskan fakta bahwa koalisi bisa stabil dan bekerja dalam sistem presidensial multipartai. Jenjang ketiga dari kerangka Weaver dan Rockman mengarahkan untuk melihat secara lebih dekat penyusunan institusi dan praktik relasi eksekutif-legislatif dengan pendekatan yang lebih optimistis. Kerangka seperti ini tampak mengedepankan pentingnya variabel-variabel non-institusional semacam koalisi, tetapi jelas fokusnya masih tertuju pada institusi-institusi formal saja.14 Untuk memahami bagaimana bentuk dan praktik institusi-institusi formal dan informal di Indonesia, Hanan memberikan deskripsi yang dapat dilacak dari warisan institusional yang 13
Ibid, hlm. 60.
14
Ibid, hlm. 60-61.
berkaitan dengan relasi eksekutif-legislatif. Dalam jejak historis, relasi eksekutif-legislatif di Indonesia telah didominasi oleh pihak eksekutif sejak tahun 1959, ketika Presiden Sukarno memulai Demokrasi Terpimpin. Dominasi eksekutif terus berlanjut dan semakin kukuh selama rezim otoriter Suharto. Selama memimpin, Suharto telah memanfaatkan kekuasaan konstitusional formalnya untuk memperkuat dominasinya sebagai pemegang kekuasaan utama. Selama era tersebut, parlemen telah mengalami pelembagaan sampai ke tingkatan yang cukup bagi rezim Suharto untuk bisa dimanfaatkan sebagai legitimasi politik formal. Ciri utama proses pengambilan keputusan adalah penekanan yang kuat pada proses musyawarah-mufakat (konsensus) yang pada prinsipnya mengharuskan semua orang terlibat dalam proses pengambilan keputusan dan menyetujui hasilnya. Pada era itu, kaidah konsensus diartikan secara ketat sesuai dengan keinginan presiden, sebagai kesepakatan penuh dengan usulan pemerintah dalam isu apapun. Dilihat dari sisi kekuasaan konstitusional, pada saat ini kedudukan presiden maupun parlemen relatif kuat. Kekuasaan legislatif presiden meliputi kekuasaan menyusun anggaran, mengeluarkan dekrit, mengusulkan RUU, membentuk dan membubarkan kabinet, dan bebas dari mosi tidak percaya oleh lembaga legislatif. Sementara lembaga legislatif, selain memiliki kekuasaan legislasi, perubahan anggaran, dan pengawasan, juga memiliki kekuasaan untuk memberikan persetujuan/pengesahan atas usulan pembentukan komisi-komisi negara oleh presiden. Tidak kalah pentingnya, lembaga legislatif tidak dapat dibubarkan oleh presiden.15 Dengan kekuasaan konstitusional kedua lembaga tersebut, potensi terjadinya disfungsi relasi semestinya lebih tinggi. Untuk itu, keberadaan institusi-institusi formal dan informal sangat berperan. Institusi-institusi formal adalah terkait dengan kekuasaan-kekuasaan konstitusional yang melekat pada presiden maupun DPR. Sementara institusi informal, antara lain adalah lobi dan rapat konsultasi. Lobi adalah sebuah proses layaknya rapat-rapat kecil lainnya, hanya 15
Ibid, hlm. 122.
Menelaah Relasi Eksekutif-Legislatif ... | Ridho Imawan Hanafi | 141
saja dilakukan dalam suasana yang informal. Di semua tahapan proses pengambilan keputusan di DPR, apabila peserta merasa perlu menyelesaikan perkara yang tidak ingin mereka teruskan ke tahap berikutnya, demi mencapai konsensus mereka bisa menempuh ke lobi. Banyak persoalan bisa diselesaikan melalui proses lobi.16 Selain lobi, cara lain untuk melakukan kompromi adalah dengan rapat konsultasi. Rapat ini mirip dengan lobi hanya saja pesertanya lebih banyak. Hasil rapat konsultasi ini biasanya menjadi pegangan bagi para peserta ketika pertemuan ini dilanjutkan ke komisi atau panitia khusus. Rapat ini pertama kali dipraktikkan selama rezim Suharto.17
Integrasi Eksekutif-Legislatif Salah satu ciri interaksi eksekutif-legislatif di Indonesia, menurut Hanan, bisa dipahami dengan menggunakan konsep integrasi eksekutiflegislatif. Integrasi ini tidak hanya berlangsung secara informal di kalangan pegawai atau birokrasi, tetapi yang terpenting adalah juga berlangsung secara formal di kalangan anggota legislatif dan anggota kabinet (eksekutif). Kerangka ini membuat keduanya bisa melakukan negosiasi multijalur dalam keseluruhan proses dan isu yang terkait dengan agenda presiden maupun legislatif. Dengan kata lain, yang hendak disampaikan Hanan adalah presiden dan legislatif di Indonesia dipersatukan oleh proses musyawarah dan mekanisme persetujuan bersama. Keduanya harus sama-sama setuju mengenai pengajuan dan pengesahan legislasi sebagai UU. Dalam praktiknya, ketentuan ini ditafsirkan sebagai musyawarah bersama yakni pengusulan legislasi mulai dari awal pengajuan RUU sampai mengesahkannya menjadi UU. Untuk itu, Hanan melihat tidak seperti kebanyakan sistem presidensial lain, misalnya di Amerika Serikat atau beberapa kasus di Amerika Latin, dimana proses perundangundangannya tidak menjembatani langsung hubungan eksekutif-legislatif. Pola interaksi di negara-negara tersebut berlangsung satu arah karena presiden yang selalu melangkah terlebih dahulu, baru kemudian legislatif memberikan 16
Ibid, hlm. 169.
17
Ibid, hlm. 170.
reaksinya. Sementara di Indonesia, proses interaksi berlangsung dua arah. Dengan interaksi dua arah ini memungkinkan kedua pihak bisa saling mengantisipasi reaksi masing-masing mulai dari tahap awal. Tepat bila diduga bahwa kedua pihak akan mengajukan agenda-agenda yang peluangnya lebih besar untuk disetujui. Proses ini menjadi semacam mekanisme saling mengunci (interlocking mechanism) antara kedua lembaga.18 Inilah yang menjadi alasan mengapa presidensialisme di Indonesia tidak berakhir dengan kemacetan. Selain hal tersebut, dalam sistem presidensialisme multipartai dimana terjadi presiden mendapat dukungan minoritas di lembaga legislatif (kekuatan partisan yang rendah) bisa diatasi dengan keberadaan koalisi. Studi Hanan ini menemukan bahwa koalisi telah mampu menjadi alat redam atas potensi kebuntuan relasi eksekutif-legislatif. Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat koalisi bisa bekerja. Pertama, keberadaan sosok presiden yang akomodatif terhadap koalisi. Kedua, perilaku elite politik yang cenderung akomodatifpragmatis dan mementingkan konsensus. Ketiga, tersedianya banyak sarana atau kotak perkakas eksekutif yang dapat digunakan oleh presiden dalam memelihara koalisinya. Sikap akomodatif presiden seperti itu jelas mengundang kritik, mengingat sebenarnya presiden memiliki banyak kekuasaan konstitusional yang bisa digunakan ketika harus merangkul atau menghindari legislatif. Namun, langkah seperti itu tampaknya akan bisa memicu hubungan yang lebih tidak kondusif antara presiden dan parlemen. Suatu hal yang cukup sulit bagi kepemimpinan Presiden SBY. Dengan kata lain, bukan ciri gaya kepemimpinannya. Sehingga pembentukan dan pemeliharaan koalisi bagi presiden lebih merupakan sebuah pilihan.
Persoalan Politik Kartel Dibandingkan dengan beberapa studi yang menjelaskan tentang adanya kartelisasi dalam politik kepartaian di Indonesia sehingga sistem presidensial multipartai di Indonesia relatif bisa berjalan, posisi Hanan di sini cukup berbeda. 18
Ibid, hlm. 124.
142 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 137–145
Dalam kartelisasi, semua partai politik besar melakukan semacam kolusi untuk memperoleh banyak saham dalam politik dengan berbagai bentuknya, seperti jabatan pemerintahan, proyek, dan patronase lainnya. Dengan kata lain, tesis kartel menyatakan bahwa kerjasama dikalangan partai politik dan antara cabang legislatif dan eksekutif bisa terjadi karena adanya persekongkolan di antara partai politik. Terkait hal tersebut, jika merujuk Dan Slater dalam Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition19, Indonesia sedang mengalami apa yang disebut dengan jebakan akuntabilitas (accountability trap) yang lahir dari kegagalan partai politik menjalankan fungsi checks and balances-nya di pemerintahan. Setelah Pemilu 1999, alih-alih memelihara persaingan, partaipartai politik justru membentuk sebuah kartel untuk mencegah munculnya oposisi. Menurut Slater, jatuhnya rezim Orde Baru di Indonesia memang mengatur panggung pemilu yang lebih kompetitif, tetapi belum memunculkan elite yang kompetitif. Pemimpin partai dan militer telah menyambut transisi demokrasi itu dengan cara membagi kekuasaan daripada bersaing satu sama lain, terutama dengan memastikan bahwa semua kelompok politik utama menikmati posisi menguntungkan di kabinet.20 Kuatnya pembentukan kartel juga dijelaskan Kuskridho Ambardi dalam studinya Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi.21 Menurut Ambardi, kartelisasi diartikan sebagai situasi ketika partai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan sebagai kelompok. Sejak reformasi, partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ambardi menunjukkan beberapa ciri dari sistem kartel tersebut. Yaitu, hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai,
sikap permisif dalam pembentukan koalisi, tiadanya oposisi, hasil-hasil Pemilu hampirhampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik, dan yang terakhir adalah kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.22 Penyebab kartelisasi adalah bahwa kepentingan patai-partai untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif mengharuskan mereka membentuk kartel. Dengan demikian, kelangsungan hidup mereka ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Dalam pandangan Ambardi, yang dimaksud sumber keuangan partai yang dimaksud adalah bukan berasal dari uang pemerintah yang resmi untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente (rent-seeking). Sekali satu partai terlibat dalam perburuan rente, ia akan terikat dalam satu kelompok kartel.23 Bagi Hanan, tesis kartel belum bisa menjelaskan sepenuhnya mengenai stabilitas hubungan antara eksekutif-legislatif. Menurutnya, salah satu argumen yang mendukung tesis kartel ini adalah keleluasaan membangun koalisi. Namun koalisi yang besar tidak menjamin bekerjanya sebuah kartel. Karena koalisi sesungguhnya lebih sebagai kebutuhan presiden. Disini, sistem kartel mengingkari adanya peran kepemimpinan presiden. Selain hal tersebut, tesis kartel juga cenderung mereduksi dinamika internal DPR dan interaksi DPR dengan presiden sebagai sebatas dinamika di kalangan partai politik. Dengan demikian, jelas bahwa bila diterapkan di Indonesia, tesis kartel akan mengabaikan kemungkinan bahwa kerjasama erat di kalangan partai politik dalam sejumlah isu ada kaitannya dengan dinamika susunan institusi yang mengatur keseharian interaksi antara eksekutif dan legislatif dan cara pengambilan keputusan di DPR.24
Dan Slater, “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition”, Indonesia. Vol. 78, Oktober 2004, hlm. 61-92. 19
20
Ibid.
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2009). 21
22
Ibid, hlm. 3.
23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 82.
Menelaah Relasi Eksekutif-Legislatif ... | Ridho Imawan Hanafi | 143
Prospek ke Depan Meskipun studi ini menganalisis fenomena interaksi eksekutif-legislatif pada masa kepresidenan SBY, namun setelah era tersebut prospek relasi antara kedua lembaga dalam sistem presidensial multipartai di Indonesia masih menawarkan optimisme bahwa sistem ini akan bisa bekerja dengan relatif baik, meskipun di sini juga perlu disematkan sejumlah catatan. Pertama, meskipun perpaduan institusi formal dan informal yang mengatur relasi eksekutif-legislatif bisa mengurangi kebuntuan, namun tidak serta merta menjamin proses relasi akan berjalan linier. Relasi tersebut juga mensyaratkan hadirnya sosok kepemimpinan presiden yang harus bersikap akomodatif. Ketika sosok ini absen, proses relasi bisa menjadi timpang dan akan membuka kemungkinan ancaman terjadinya kebuntuan bagi relasi keduanya. Selain itu, siapapun presidennya akan menghadapi kenyataan untuk membentuk sebuah koalisi partai politik di mana koalisi ini terbangun kerapkali tanpa harus didasarkan suatu pertimbangan basis pijakan yang jelas. Akibatnya, presiden akan melewati sebuah politik kompromi untuk menghindari potensi kebuntuan. Kedua, koalisi politik dengan basis pijakan yang samar, tanpa sebuah komitmen ideologis yang tegas, tidak mudah untuk kemudian bisa menjamin bahwa bangunan koalisi tidak akan rapuh dan berorientasi jangka pendek. Tarikan kepentingan antar partai politik yang tergabung dalam koalisi bisa mengakibatkan soliditas koalisi terganggu. Keinginan untuk menghasilkan pemerintahan yang efektif dan stabil kerap berhadapan dengan manuvermanuver politik di antara mereka. Oleh karena itu, tantangan seorang presiden di sini terletak pada kemampuannya bagaimana membentuk koalisi dengan didasarkan pertimbangan kesamaan basis ideologi atau platform politik. Ketiga, sikap akomodatif seorang presiden dalam sistem presidensial multipartai di Indonesia tampaknya akan berhadapan dengan dilema: di satu sisi, dengan cara akomodatif seorang presiden bisa membangun relasi yang baik dengan legislatif, sehingga potensi gangguan dari legislatif bisa diminimalisir. Namun, di sisi lain, politik kompromi dan akomodatif yang dilakukan
oleh presiden dalam berhadapan dengan legislatif bisa melahirkan kecenderungan kepemimpinan presiden yang kompromistis, karena harapan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan untuk rakyat yang radikal harus sering berhadapan dengan sejumlah kompromi politik. Padahal, kekuatan politik yang dimiliki seorang presiden seperti tercermin dalam dukungan yang diberikan rakyat saat pilpres tidak kecil. Keempat, untuk menciptakan pola relasi antara eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial multipartai agar stabil dan efektif, diperlukan sebuah upaya-upaya perbaikan agar sistem ini minim gejolak dan kekhawatiran akan munculnya kebuntuan. Perbaikan tersebut di antaranya, bisa dilakukan dengan pencermatan kembali sejumlah otoritas legislatif yang melewati otoritas-otoritas eksekutif atau yang memangkas prerogatif presiden, memperjelas mekanisme pembentukan koalisi partai politik seperti dasar pertimbangan dan komitmen apa yang digunakan oleh sejumlah partai politik untuk membentuk mitra koalisi. Karena sejauh ini koalisi partai politik dalam sistem presidensial multipartai lebih terlihat didasari kepentingan jangka pendek berupa politik kekuasaan maupun transaksional.
Penutup Sebagai catatan akhir, dalam studinya ini, Hanan menyodorkan beberapa studi kasus yang terkait dengan fungsi utama DPR, yakni anggaran, legislasi, dan pengawasan. Kasus yang diajukan umumnya berkaitan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang telah menyedot perhatian publik, berpotensi menciptakan ketegangan bahkan kebuntuan antara eksekutif dan legislatif, dan berkaitan dengan fungsi pengawasan. Dalam fungsi anggaran, kasus yang dilihat adalah bagaimana kekuasaan presiden versus kekuasaan DPR dalam pembuatan anggaran, proses perumusan APBN, dan politik gentong babi (pork barrel politics). Sementara dalam fungsi legislasi, kasus yang dicermati adalah RUU Pemilu 2009, RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik, RUU Kementerian Negara, RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), RUU Penyelenggara Pemilu, dan RUU Badan Penyelenggara Jaminan
144 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 137–145
Sosial. Sedangkan dalam soal pengawasan, kasus yang dijadikan bahan analisis adalah kasus Bank Century, kasus kenaikan harga BBM, dan kasus mafia pajak. Akhirnya, buku yang juga merupakan disertasi Hanan di The Ohio State University, Amerika Serikat ini, bisa menjadi literatur yang berarti, terutama terkait dengan konsep integrasi eksekutif-legislatif serta pendekatan koalisi sebagai pijakannya.
Daftar Pustaka
Haris, Syamsuddin. 2014. Masalah-Masalah Demokrasi dan Kebangsaan Era Reformasi. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia. Yuda AR, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal Slater, Dan. 2004. “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition”. Indonesia. Vol. 78: 61-92.
Buku Ambardi, Kuskridho. 2009. Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Upaya Mencari Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis dalam Konteks Indonesia. Bandung: Mizan.
Menelaah Relasi Eksekutif-Legislatif ... | Ridho Imawan Hanafi | 145
146 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
TENTANG PENULIS
Aisah Putri Budiatri Peneliti dalam pusat penelitian politik. Ia mengenyam pendidikan ilmu politik di Universitas Indonesia dan State University of New York at Albany. Budiatri memiliki fokus kajian dalam isu demokrasi, partai politik, gender dan konflik Papua. Beberapa kontribusi tulisan yang pernah dibuatnya antara lain: “Pengawasan DPR 1999-2004: Mewakili Parpol, Mengabaikan Rakyat?” “Representasi Perempuan dalam Pusaran Politik Papua,” “Indonesia, Negara Demokrasi Berkualitas Rendah,” dan beberapa tulisan ilmiah lainnya. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Andi Ahmad Yani Penulis adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Saat ini menempuh studi Program Doktoral di Institute of Political Science, Leiden University, Belanda. Koresponden berkaitan dengan artikel ini melalui email:
[email protected] atau a.a.yani@fsw. leidenuniv.nl Esty Ekawati Lulus Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia pada 2013. Pernah mengajar di FISIP Universitas Bung Karno, Jakarta dan FISIP Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta. Minat kajian yang ditekuni saat ini adalah tentang perkembangan partai politik dan representasi perempuan dalam politik. Penulis bisa dihubungi melalui email:
[email protected]. Nina Andriana Peneliti Perkembangan Politik nasional Pusat Penelitian Politik (P2P), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini adalah alumnus S2 dari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Indonesia. Minat kajian adalah:
Pemikiran Politik, Komunikasi Politik dan Politik Kebijakan Tata Kelola Kebencanaan. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Pandu Prayoga Peneliti pada Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), dengan minat kajian Ilmu Hubungan Internasional, Ekonomi Politik Internasional,dan ASEAN. Gelar Sarjana HI diperoleh pada tahun 2011 dari Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis dapat dihubungi melalui email: panduprayoga.p2p@ gmail.com. Ridho Imawan Hanafi Penulis menyelesaikan pendidikan S1 Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Dr. Soetomo, Surabaya. Melanjutkan S2 di Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia. Pada 2008-2014 penulis sebagai peneliti di Soegeng Sarjadi Syndicate, Jakarta. Kajian yang diminati adalah partai politik dan demokrasi. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected]. Rizka Fiani Prabaningtyas Saat ini menjadi peneliti pertama di Pusat Penelitian Politik LIPI. Gelar sarjana diperoleh pada tahun 2012 dalam bidang Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada (UGM). Sempat menjadi project officer di Lembaga Penelitian departemen Hubungan Internasional FISIPOL UGM yakni Institute of International Studies. Fokus kajian yang sedang dikembangkan meliputi Politik Luar Negeri Indonesia, Studi Migrasi Internasional, politik luar negeri Australia, dan Indian Ocean Studies. Penulis dapat dihubungi melalui email: rizkaprabaningtyas@ yahoo.com.
Tentang Penulis | 147
RR. Emilia Yustiningrum
Tri Nuke Pudjiastuti
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Memperoleh gelar sarjana bidang hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2002 dan gelar Master of Arts (MA) bidang Humanitarian Action dari University of Groningen, Belanda, tahun 2009. Secara aktif menekuni kajian politik internasional, european studies, dan disaster management. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI, yang memperoleh gelar MA (Master of Arts) pada Geography and Environmental Studies, Faculty of Humanities and Social Sciences, University of Adelaide, Adelaide - South Australia di Universitas Adelaide–Australia Selatan dengan fokus migrasi internasional dan gelar Doktor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia dengan fokus pada penyelundupan migrant dari Indonesia ke Australia. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].
Sri Nuryanti Penulis adalah peneliti pada Puslit Politik LIPI, mantan anggota KPU RI tahun 2007-2012 yang menekuni studi demokrasi, pemilu, partai politik, dan isu minoritas. Selain kegiatan penelitian di bidang-bidang tersebut di atas, Sri Nuryanti yang menamatkan S2 dari Australian National University ini juga aktif dalam forumforum nasional maupun internasional, seperti mengikuti forum Global Electoral Organization (GEO) Conference, Asia Pacific Sociological Association (APSA), Salzburg Global Seminar, Asia Pacific Peace Research Association (APPRA), juga pernah menerima Australian Development Scholarship (ADS), Asian Public Intellectual Fellowship (API), dan Japan Society for Promotion of Sciences (JSPS). Penulis dapat dihubungi melalui e-mail:
[email protected]/
[email protected].
Wawan Ichwanuddin Penulis menyelesaikan studi S1 dan S2 di Departemen Ilmu Politik FISIP UI. Bergabung sebagai peneliti di Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI sejak akhir 2006. Mempunyai minat dan pengalaman penelitian yang terkait dengan masalah partai politik, pemilu, lembaga perwakilan, dan politik lokal. Penulis dapat dihubungi melalui email: wichwanuddin@ yahoo.com
148 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015 | 147–148
INDEKS
Indeks Kata Kunci Demokrasi a, i, iii, v, 18, 33, 34, 37, 38, 39, 44, 47, 50, 84, 88, 98, 127, 129, 134, 137, 138, 139, 141, 145, 147, 153 Australia i, iv, viii, xii, 42, 62, 67, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 147, 148 Illegal Maritime Arrival (IMA) viii, xii, 69 Indonesia vii, viii, ix, x, xi, xii, xiii, 17, 33, 55, 83, 137 Kebijakan Luar Negeri viii, 69 Kepentingan nasional viii, 69, 73, 75, 79 Kepercayaan Politik viii, 55 Koalisi vii, 17 Konflik a, iv, ix, x, 4, 5, 22, 49, 70, 73, 76, 79, 91, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 137, 140, 147 Modal sosial viii, 55 Nasionalisme ix, 21, 83, 84, 85, 86, 98 Partai vii, 17 Partai politik iii, iv, v, vii, viii, 3, 11, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 26, 28, 29, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 49, 50, 55, 118, 119, 120, 122, 124, 125, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 139, 143, 144, 147, 148 Partisipasi politik iv, ix, x, 17, 18, 21, 117, 120, 123, 124, 129, 133 Pelembagaan sistem kepartaian vii, 33 Pemilu iii, vii, ix, x, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 17, 19, 20, 22, 23, 24, 26, 27, 29, 30, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 72, 73, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 124, 125, 126, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 139, 143, 148, 152 Pemilu 2014 i, iv, 6, 23, 27, 28, 29, 34, 37, 41, 42, 44, 47, 48, 52, 118, 119, 131 Pemilu Serentak i, iii, vii, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13 Perilaku Memilih i, iv, 30, 119, 123, 126, 130, 135 Sistem politik Indonesia viii, 55 Sistem Presidensial Multipartai iv
Tata kelola iii, vii, ix, 1, 2, 5, 6, 8, 50, 99 Tata kelola kepemiluan vii, 1, 6 Transformasi i, iv, ix, 18, 29, 99, 100, 101 Wilayah perbatasan iv, ix, 70, 71, 83, 84, 85, 86, 90, 93, 94, 95, 96 Keywords Index Border Area xii, 83 Coalition xi, 17 Concurrent Election xi, 1 Conflict xiii, xiv, 56, 62, 68, 99, 100, 110, 114, 137, 155 Democracy xi, xii, xiv, 33, 56, 57, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 137 Election xi, xiii, 1, 17, 117 Electoral governance xi, 1 Foreign Policy xii, 69 General election xi, xiii, 17, 117 Governability xi, 1 Illegal Maritime Arrival (IMA) viii, xii, 69 Indonesia vii, viii, ix, x, xi, xii, xiii, 17, 33, 55, 83, 137 Indonesia’s political system xii, 55 National interest xii, 69 Nationalism xiii, 83, 88, 98 Political participation xiii, 117 Political party xi, 17, 33 Political trust xii, 55 Presidential-multiparty system xiv, 137 Social capital xii, 55, 56, 57, 66 Voting behavior xiii, 117
Pedoman Penulisan | 149
150 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
PEDOMAN PENULISAN 1. Tulisan yang dimuat harus merupakan kajian ilmiah atas isu dan peristiwa yang berkaitan dengan politik dalam negeri dan internasional, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 2. Tulisan merupakan karya sendiri, bukan saduran atau terjemahan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk dan bahasa apa pun. 3. Tulisan mengandung data atau pemikiran yang baru dan orisinal. 4. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. 5. Panjang naskah untuk artikel, 20–25 halaman A4, spasi 1,5; book review, 10–15 halaman A4, spasi 1,5. 6. Sistematika artikel hasil pemikiran/telaahan adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka. JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 7. Sistematika artikel review buku (book review) adalah judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); nama dan alamat institusi; alamat e-mail penulis; riwayat naskah; judul buku; pengarang; penerbit; cetakan; tebal; abstrak (maksimum 150 kata dalam bahasa Inggris dan 25 kata dalam bahasa Indonesia); kata kunci (4–5 kata kunci); pendahuluan; pembahasan (terbagi dalam beberapa subjudul); penutup; daftar pustaka.
Pedoman Penulisan | 151
JUDUL Penulis Nama Instansi Alamat lengkap instansi penulis Email penulis Riwayat naskah Judul buku Pengarang Penerbit Tahun Terbit Tebal Abstract: Abstract in English (max. 150 words) Keywords: 4–5 words/ phrase Abstrak: Abstrak dalam bahasan Indonesia (maks. 250 kata) Kata Kunci: 4–5 kata/ frasa Pendahuluan Pembahasan Penutup Daftar Pustaka 1. Tabel dan gambar, untuk tabel dan gambar (grafik) di dalam naskah harus diberi nomor urut. a. Tabel atau gambar harus disertai judul. Judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan judul gambar diletakkan di bawah gambar. b. Sumber acuan tabel atau gambar dicantumkan di bawah tabel atau gambar. c. Garis tabel yang dimunculkan hanya pada bagian header dan garis paling bawah tabel, sedangkan untuk garis vertikal pemisah kolom tidak dimunculkan. Contoh penyajian Tabel: Tabel 1. Agenda-agenda Besar Konsolidasi Domain Internal
Eksternal
Vertikal Pemantapan kepengurusan partai hingga level terendah Sosialisasi agenda politik
Horizontal Pemantapan soliditas elite partai pada level DPP Pemantapan agenda politik menyambut pemilu Pembangunan, pemeliharaan dan peman- Penjajagan koalisi dengan partai-partai tapan dukungan masyarakat lain dan kalangan institusi-institusi nonpolitik
152 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
Contoh penyajian Gambar/Grafik: 100 90
93.3 84.9 79.76
80
70.99
70
DPR Presiden
60 50 1999
2004
2009
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) Grafik 2. Tren Partisipasi dalam Pemilu
9. Perujukan sumber acuan menggunakan footnotes, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Format rujukan dari buku: nama penulis, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Denny J.A., Partai Politik Pun Berguguran, (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. v. b. Format rujukan dari buku (bunga rampai): nama penulis artikel, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik”, dalam, nama editor buku, judul buku (italic), kurung buka, kota penerbitan, titik dua, nama penerbit, tahun terbit, kurung tutup, nomor halaman, titik. Contoh: Leonardo Morlino, “Political Parties and Democratic Consolidation in Southern Europe,” dalam Richard Gunther, P. Nikiforos Diamandouros dan Hans Jurgen Puhle (eds.), The Politics of Democratic Consolidation: Southern Europe in Comparative Perspective, (Baltimore MD: Johns Hopkins University Press, 1995), hlm. 315−388. c. Format rujukan dari jurnal: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber artikel (italic), nomor atau edisi, tahun, h., nomor halaman, titik. Contoh: Lili Romli, “Peta Kekuatan Politik Setelah Reformasi dan Kecenderungan Koalisi Parpol,” Jurnal Demokrasi dan HAM, 2000, hlm. 124-125. d. Format rujukan dari makalah seminar/konferensi: nama penulis, “judul makalah ditulis tegak dalam dua tanda petik,” makalah, nama/tema seminar, tempat pelaksanaan seminar, waktu, nomor halaman, titik. Contoh: Andrea Ceron dan Alessandra Caterina Cremonesi, “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media,” makalah disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10-11 Mei 2013, hlm. 3.
Pedoman Penulisan | 153
e. Format rujukan dari media online: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” nama situs, tanggal akses situs. Contoh: Berita8, “Media Sosial bisa Perkuat Fungsi Partai Politik”, 18 April 2013, http://www.berita8. com/berita/2013/04/MediaSosial-bisa-perkuat-fungsi-partai-politik, diakses pada tanggal 18 Juni 2013. f. Format rujukan dari media massa: nama penulis, “judul artikel ditulis tegak dalam dua tanda petik,” sumber media (italic), tanggal terbit, nomor halaman, titik. Contoh: Degung Santikarma, “Monumen, Dokumen dan Kekerasan Massal,” Kompas, 1 Agustus 2003, hlm. 12. 10. Penulisan sumber Daftar Pustaka dibedakan menjadi: buku; jurnal; laporan dan makalah; surat kabar dan website. Daftar Pustaka dituliskan dengan urutan abjad nama belakang (family name). Format penulisan sebagai berikut: a. Format rujukan dari buku Buku dengan satu pengarang: nama penulis; tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Caplan, Bryan. 2007. The Myth of the Rational Voter: Why Democracies Choose Bad Policies. New Jersey: Princeton University Press.
Buku dengan dua pengarang: nama penulis (dua orang); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Aspinall, E. dan M. Mietzner. 2010. Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing. Buku dengan lebih dari dua pengarang: nama penulis (et al.); tahun terbit; judul buku; tempat terbit; nama penerbit. Contoh: Ananta, Aris et al. 2004. Indonesian Electoral Behaviour: A Statistical Perspective. Singapore: ISEAS Publishing. Artikel/tulisan dalam buku: nama penulis; tahun terbit; judul tulisan; dalam nama editor; judul buku; tahun terbit; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Qodari, M. 2010. “The Professionalisation of Politics: The Growing Role of Polling Organisation and Political Consultants”, dalam Aspinall, E. dan M. Mietzner (eds.). Problems of Democratisation in Indonesia: Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS Publishing.
b. Format rujukan dari jurnal: nama penulis; tahun; judul artikel; nama jurnal; volume jurnal; nomor jurnal; nomor halaman. Contoh: Ufen, A. 2008. “From Aliran to Dealignment: Political Parties in post-Suharto Indonesia”. South East Asia Research, 16 (1): 5–41. c. Format rujukan dari laporan dan makalah: Laporan penelitian: nama penulis; tahun terbit; judul laporan; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh:
154 | Jurnal Penelitian Politik | Volume 12 No. 1 Juni 2015
Mainwaring, Scott, 1998. “Rethinking Party Systems Theory in The Third Wave of Democratization: The Importance of Party System Institutionalization.” Working Paper #260 - October 1998, Kellogg Institute.
Makalah seminar: nama penulis; tahun terbit; judul makalah; nama kegiatan seminar; waktu pelaksanaan kegiatan seminar; tempat penerbit; nama penerbit. Contoh: Ceron, Andrea dan Alessandra Caterina Cremonesi. 2013. “Politicians Go Social: Estimating IntraParty Heterogeneity (and its Effect) through the Analysis of Social Media”. Paper disampaikan pada NYU La Pietra Dialogues on Social Media and Political Participation, Florence, 10–11 Mei 2013.
a. Format rujukan dari surat kabar dan website Artikel media massa: nama penulis; tahun terbit; judul artikel; nama media massa; tanggal terbit; nomor halaman. Contoh: Wahid, Sholahuddin. 1998. “Di Balik Berdirinya Partai-Partai di Kalangan NU”, Republika, 3 Oktober.
Artikel online: nama penulis/institusi; tahun terbit; judul artikel, alamat websites; waktu unduh. Contoh:
Aspinall, Edward, “The Taming of Ethnic Conflict in Indonesia”, http://www.eastasiaforum. org/2010/08/05/the-taming-of-ethnic-conflict. 11. Pengiriman Artikel: »» Naskah dikirim dalam bentuk printout sebanyak 2 eksemplar beserta softcopy ke alamat redaksi atau dapat dikirimkan melalui email redaksi (
[email protected]). »» Redaksi memberikan honorarium untuk setiap artikel yang dimuat. »» Artikel yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi berikutnya. 12. Alamat Jurnal Penelitian Politik: P2P-LIPI, Widya Graha LIPI, Lantai III & XI Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10 Jakarta Selatan 12710 Telp/Faks. (021) 520 7118 13. Langganan: Harga pengganti ongkos cetak Rp. 75.000,- per eksemplar sudah termasuk ongkos kirim biasa. Untuk berlangganan dan surat-menyurat langsung hubungi bagian sirkulasi Redaksi Jurnal Penelitian Politik.
Pedoman Penulisan | 155