VII. IMPLEMENTASI DAN KINERJA PEMERINTAH KABUPATEN DALAM DESENTRALISASI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG Desentralisasi tata kelola hutan telah diimplementasikan dengan berbagai cara yang berbeda dalam keragaman konteks
di seluruh dunia. Hasil dan
dampaknya pun beragam, baik terhadap hutan maupun terhadap kelompok yang mempunyai kepentingan atas sumberdaya hutan. Temuan dramatis yang muncul dari pengamatan implementasi desentralisasi pengelolaan hutan di beberapa negara adalah ketimpangan antara teori dan implementasi desentralisasi, namun demikian di bawah kondisi tertentu, desentralisasi dapat memeberikan hasil yang positif (Capistrano dan Colfer, 2006). Konsep yang terkandung dalam kebijakan desentralisasi memang sangat baik, namun implementasinya membutuhkan prakondisi untuk dapat berhasil, diantaranya harus didukung oleh perencanaan yang matang dan ditopang oleh kemampuan atau kapasitas daerah untuk menjalankannya (Larson, 2006).
Menurut Ribot (2006), pada kasus desentralisasi di hutan lindung, ketika menguntungkan secara ekonomi, para pembuat keputusan kemungkinan akan mengeksploitasi sumberdaya alam daripada melakukan konservasi terhadap sumberdaya tersebut, khususnya jika mereka tidak menanggung biaya-biaya tidak langsung, seperti banjir di bagian hilir dan pendangkalan bendungan karena rusaknya hutan di hulu. Ketika ada kebutuhan yang mendesak dan biaya lokal untuk ekspolitasi tidak langsung dirasakan, sumberdaya akan dieksploitasi. Pengelolaan hutan lindung terkait dengan tata air dalam cakupan DAS (Daerah Aliran Sungai). Di Swiss, tanggung-jawab pengelolaan DAS, harus dilaksanakan, namun juga didukung oleh dana. Konfederasi memberi kompensasi sebagai insentif penghutanan kembali hutan lindung. Ini adalah awal mula kerjasama federalism Swiss tentang ”kontribusi bersama”.
Konfederasi dan
canton menanggung bersama beban biaya proyek hutan lindung. Tata kelola hutan yang efektif tidak menggunakan aturan-aturan yang tidak dapat dijalankan, tapi menerapkan sistem insentif (Kuclhi, 2008).
132
Cina telah mengadopsi strategi baru pengelolaan hutan berdasarkan fungsi utamanya. Hutan-hutan di Cina secara umum dibagi menjadi dua, yaitu hutan produksi dan hutan publik. Hutan publik dikelola terutama untuk kepentingan fungsi ekologi (public benefit forest). Hutan produksi dikelola untuk produksi kayu, kayu bakar dan hasil hutan lainnya. Hutan publik sangat dilindungi, penebangan kayu dan pemungutan hasil hutan lainnya diatur sangat ketat. Hutanhutan yang ditanggung dananya oleh pemerintah pusat disebut hutan publik utama (key public benefit forest), sedangkan yang ditanggung biayanya pemerintah daerah disebut sebagai hutan publik lokal (local public benefit forest). Sebagian besar provinsi sedang dalam proses membuat tata batas hutan publik dan hutan produksi, serta telah mengalokasikan dana terbatas untuk mendanai hutan publik lokal. Sebagai hasilnya, banyak hutan masyarakat dan hutan keluarga sedang dalam proses untuk dijadikan hutan publik. Kompensasi dari pemerintah pusat hanya menutupi sebagian dari biaya pengelolaan hutan, seperti pemeliharaan dan patroli hutan, tidak seimbang dengan harga pasar jasa ekologis yang dihasilkan hutan publik. Keluarga petani menanggung mayoritas beban biaya. Tingginya kesempatan yang hilang (opportunity costs) menjadi disinsentif bagi pemilik untuk melakukan pengelolaan hutan yang lestari dan memperbaiki kehidupan mereka. Jasa ekologi yang dihasilkan hutan publik seharusnya dapat dipasarkan dan dibayar dengan kompensasi yang pantas, jika tujuan desentralisasi ingin tercapai (Dachang, 2008).
7.1. Implementasi, Kendala dan Inovasi Pengelolaan Hutan Lindung Oleh Pemerintah Kabupaten Di Indonesia pengelolaan hutan lindung didesentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten. Desentralisasi pengelolaan hutan lindung meliputi kegiatan:
inventarisasi hutan, rehabilitasi hutan dan perlindungan hutan,
pemberian perijinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk dalam appendix CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten. Kegiatan inventarisasi hutan sudah dilakukan oleh Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Solok Selatan, tetapi Kabupaten Sarolangun belum melakukan
133
inventarisasi. Kabupaten Tanjung Jabung Timur melakukan inventarisasi batas hutan, inventarisasi perambahan hutan dan inventarisasi flora dan fauna. Inventarisasi hutan lindung di kabupaten Tanjung Jabung Timur baru dilakukan di Hutan Lindung Sei Buluh, sedangkan hutan lindung Sungai Lodrang belum dilakukan inventarisasi, karena keterbatasan biaya. Di hutan lindung Sei Buluh banyak potensi jelutung yang siap disadap, tetapi nampaknya Pemerintah Kabupaten belum punya program untuk memanfaatkan getah tersebut. Kabupaten Solok Selatan melakukan inventarisasi perambah hutan dan pembinaan perambah dengan budidaya rotan manau melalui dana reboisasi. Data yang dipakai dalam perencanaan hutan selama ini hanya berdasarkan data lama hasil inventarisasi hutan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi, karena kabupaten tersebut tidak mempunyai data inventarisasi atau datanya kurang lengkap. Provinsi Jambi pernah melakukan kegiatan inventarisasi flora dan fauna, sedangkan di Provinsi Sumbar pernah melakukan inventarisasi Hasil Hutan Bukan Kayu (manau, rotan, getah, gambir) dan jasa lingkungan. Di Kabupaten Solok Selatan sudah dilakukan rekontruksi batas kawasan hutan, tetapi belum semua kawasan hutan di rekontruksi batas ulang, karena keterbatasan dana. Rekontruksi batas hutan lindung juga dilakukan Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada hutan lindung Sei Buluh yang letaknya relatif dekat dengan jalan raya. Kegiatan penanaman di dalam kawasan hutan lindung sudah dilakukan oleh semua kabupaten, karena Pemerintah Pusat sudah menyediakan skema pendanaan untuk kegiatan penanaman hutan dalam bentuk DBH DR maupun dana tugas pembantuan (GNRHL, OMOT58 dan sebagainya). Kegiatan penanaman di hutan lindung gambut persentase hidupnya rendah sekali, karena selalu tergenang air. Kegiatan penanaman di tanah mineral di Kabupaten Sarolangun dan Solok Selatan juga sering kali gagal karena kurangnya pemeliharaan. Hama babi menjadi hama utama kegiatan penanaman hutan di kawasan hutan lindung.
58
Omot (One Man One Tree) adalah gerakan penanaman pohon seluruh Indonesia minimal satu orang satu pohon untuk lebih meningkatkan kepedulian berbagai pihak akan pentingnya penanaman dan pemeliharaan pohon yang berkelanjutan dalam mengurangi pemanasan global dan untuk mencapai pembangunan Indonesia yang bersih (Permenhut P.20/MenhutII/2009 tentang Panduan Penanaman OMOT). GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan) adalah gerakan moral bangsa untuk menumbuhkan semangat RHL untuk percepatan pemulihan keberadaan dan fungsi hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Permenhut P.22/Menhut-V/2007 tentang Pedoman Teknis GNRHL).
134
Kegiatan perlindungan hutan sudah kabupaten, walaupun belum
dilakukan oleh oleh beberapa
optimal. Pemerintah Kabupaten terbatas dalam
penyediaan sapras dan SDM untuk melakukan pengamanan hutan dan pemadaman kebakaran. Masalah pendanaan menjadi alasan klasik belum optimalnya fungsi perlindungan hutan oleh Pemerintah Kabupaten. Berbeda dengan kegiatan penanaman, Pemerintah Pusat tidak menyediakan skema pendanaan untuk kegiatan perlindungan hutan. Keberadaan Dana DR saat ini dirasakan sangat kaku, karena hanya diperuntukkan untuk kegiatan penanaman, padahal masalah krusial yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten adalah perlindungan hutan. SDM yang ada untuk kegiatan perlindungan hutan juga sangat terbatas. Personil yang terlibat langsung dalam kegiatan pengamanan hutan adalah polisi hutan (polhut) dan Penyedik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Jumlah SDM yang bertugas untuk melakukan kegiatan pengamanan hutan sangat minim, tidak sesuai dengan luas hutan yang ada di kabupaten tersebut, seperti tampak pada Tabel 29.
Tabel 29 Jumlah polisi dan tenaga PPNS pada masing-masing kabupaten No
1. 2. 3.
Kabupaten
Polhut (orang)
PPNS (orang)
Jumlah (orang)
Luas Hutan (Ha)
Perbandingan (orang:luas hutan) 1:14.021 Ha 1:35.231 Ha 1:17.835 Ha
Sorolangun 13 5 18 252.377,81 Tanjabtim 5 1 6 211.384,80 Solok 13 13 231.860 Selatan Sumber :Dinas Kehutanan Provinsi Jambi dan Sumatera Barat, 2010
Bupati di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada tahun 2002, pernah melakukan penertiban perambahan dalam kawasan hutan oleh Bupati, Tripika dan tokoh masyarakat untuk membongkar rumah-rumah yang ada di dalam kawasan hutan. Program tersebut terbukti efektif, karena merupakan shock terapy agar masyarakat tidak masuk lagi merambah dalam kawasan hutan.
Kontinuitas
program tersebut perlu diperhatikan agar keamanan hutan benar-benar terjaga. Hutan gambut sangat rawan terhadap kebakaran hutan, oleh karena itu membutuhkan perhatian khusus untuk menjaga agar tidak terjadi kebakaran hutan.
135
Ijin pemanfaatan hutan dalam bentuk pemanfaatan kawasan hutan, ijin pemungutan HHBK yang tidak dilindungi dan bukan masuk daftar CITES serta ijin pemanfaatan jasa lingkungan belum dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten. Ijin pemanfaatan hutan terkendala oleh rendahnya kapabilitas kelompok tani untuk membuat peta dan rencana kerja tahunan pengelolaan hutan. Ijin pemungutan HHBK terkendala oleh tata usaha HHBK yang tidak berpihak pada rakyat kecil, sedangkan ijin pemanfaatan jasa lingkungan terkendala karena belum tersedianya aturan yang jelas dari pemerintah pusat. Hutan lindung dimasa mendatang memiliki potensi yang besar di era perdagangan karbon. Isu tersebut bisa menjadi insentif bagi pemerintah kabupaten untuk menjaga kelestarian hutan lindung di wilayahnya. Tabel 30 menyajikan implementasi pengelolaan hutan lindung di ketiga kabupaten penelitian.
136
No
Fungsi
Kabupaten Sarolangun
Tanjung Jabung Timur 1.
Pelaksanaan Inventarisasi hutan Rehabilitasi dan pemeliharaan rehabilitasi Reklamasi hutan pada areal bencana alam skala kabupaten Perlindungan dan pengamanan hutan
Inventarisasi batas hutan, perambahan, flora dan fauna Penanaman jelutung rawa, pulai, meranti
-
Inventarisasi perambah hutan
Penanaman mahoni, karet, jelutung darat
Penanaman karet, mahoni, durian
-
-
-
Rekontruksi batas kawasan, patroli, pemadaman kebakaran, penyuluhan
Patroli, pemadaman kebakaran, penyuluhan Sudah ada penetapan wilayah KPHP Unit VII Sarolangun60
Patroli, rekontruksi batas kawasan, pengangkatan polisi nagari, pemadaman kebakaran, penyuluhan Sudah ada penetapan KPHL Unit VI dan VII61
Belum memproses perijinan pemanfaatan kawasan Pernah ada ijin pemungutan rotan, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi
Belum memproses perijinan pemanfaaatan kawasan Pernah ada ijin pemungutan rotan, tetapi sekarang sudah tidak ada lagi
-
-
-
-
2.
Pertimbangan teknis penyusunan Sudah ada penetapan wilayah KPHP unit rancangan bangun, pengusulan dan XIV Tanjabtim59 perencanaan KPH 3. Pemberian ijin Belum memproses perijinan pemanfaaatan Pemberian perijinan kawasan pemanfaatan kawasan hutan Pemungutan HHBK yang tidak Pernah ada ijin pemungutan rotan, tetapi dilindungi dan bukan masuk sekarang sudah tidak ada lagi daftar CITES Pemanfaatan jasa lingkungan 4. Pemantauan Pemantauan pelaksanaan reklamasi Sebagai tim pemantau pelaksanaan hutan reklamasi PT Petro China Sumber : Data primer, 2010 Keterangan : - = kewenangan belum dijalankan
59
Berdasarkan SK .77/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010 Berdasarkan SK .77/Menhut-II/2010 tanggal 10 Februari 2010 61 Berdasarkan SK .798/Menhut-II/2010 tanggal 7 Desember 2009 60
Solok Selatan
136
Tabel 30 Implementasi Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung Berdasarkan PP No 38 Tahun 2007 di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Solok Selatan
137
Belum
dijalankannya
beberapa
kewenangan
yang diserahkan
ke
Pemerintah kabupaten, tidak terlepas dari kendala yang dihadapi Dinas kehutanan Kabupaten. Kendala yang dihadapi pemerintah kabupaten dalam melaksanakan pengelolaan hutan lindung terlihat pada Tabel 31. Tabel 31 Kendala yang dihadapi dan inovasi pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung No. 1.
2.
3.
Jenis kegiatan
Kendala yang Dihadapi
Inventarisasi hutan
Pelaksana rehabilitasi dan pemeliharaan rehabilitasi
Perlindungan dan pengamananan hutan
-
Persentase hidup tanaman rendah, karena : Spesifikasi bibit seragam untuk semua lokasi/tempat Kesulitan dalam pemeliharaan (hama,dana) Kesulitan penyediaan bibit jelutung darat Belum ditemukannya teknik menanam yang tepat di daerah gambut Hilang dan tidak jelasnya pal batas kawasan hutan yang dibuat Kementerian Kehutanan Keterbatasan SDM Keterbatasan pendanaan Keterbatasan sapras
4.
Pemberian perijinan pemanfaatan kawasan hutan
-
5.
Pemungutan HHBK yang tidak dilindungi dan bukan masuk daftar CITES Pemanfaatan jasa lingkungan
-
6.
Sumber : Data primer, 2010
Belum ada SDM yang capable Belum tersedia sapras Usulan pendanaan inventarisasi ditolak waktu pembahasan di DPRD
-
-
Rendahnya kapabilitas masyarakat sekitar hutan untuk memenuhi persyaratan pengusahaan ijin HKm, Hutan desa Sulitnya prosedur perijinan HHBK Lokasi BP2HP yang jauh Terbatasnya pejabat pembuat faktur Belum jelasnya aturan pelaksanaan ijin pemanfaatan jasa lingkungan
Inovasi Pemerintah Kabupaten -
-
-
-
-
-
Kegiatan tersebut di sub kontrakkan ke pihak ketiga (konsultan) Memakai data hasil inventarisasi yang dilakukan Dinas Kehutanan Provinsi, walaupun data lama dan jenis data tidak sesuai dengan kebutuhan Waktu penanaman daerah gambut diundur, menunggu musim kemarau tiba Spesifikasi ukuran bibit ditingkatkan Mencari teknik menanaman yang efektif di lahan gambut
Rekontruksi batas kawasan hutan dengan mengggunakan parit dan jalur hijau Pengangkatan satgas perlindungan dan pengamanan hutan berbasis nagari -
-
-
138
Desentralisasi memberikan kewenangan dan peluang yang sangat luas bagi daerah untuk melaksanakan program dan kegiatan sesuai dengan kebutuhan daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Setiap daerah dirangsang untuk memajukan daerahnya dengan memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia. Desentraliasi juga menuntut pemerintah daerah untuk selalu mengembangkan inovasi, strategi, dan ide-ide baru untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Inovasi yang dilakukan pemerintah kabupaten akan melahirkan sejumlah temuan di lapangan dan berdampak pada penilaian yang akhirnya bermuara pada pemberian penghargaan otonomi award. Selama hamper 10 tahun pelaksanaan desentralisasi, banyak hal yang telah berubah, meskipun masih dalam bahasan "sempit". Beberapa kemajuan yang tercermin dari best practices62 program inovasi. Inovasi menjadi pilihan tepat sebagai argumen atas kinerja Pemerintah kabupaten
yang kurang baik. Pemerintah Pusat (Kementerian Kehutanan),
seharusnya juga memberikan penghargaan (reward) bagi kabupaten yang mengelola hutan lindungnya dengan baik. Dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung, kita bisa belajar dari Kabupaten Jembrana. Kabupaten Jembrana telah menjadi ikon terkemuka dalam praktik desentralisasi dan kesejahteraan di Indonesia. Jembrana menjadi satu di antara sebagian kecil daerah yang mempromosikan kesejahteraan rakyat, meskipun mempunyai predikat kabupaten termiskin di Provinsi Bali. Sejak 2001 Jembrana menyediakan pelayanan publik yang terjangkau dan merata bagi rakyat, misalnya melalui skema “sekolah gratis” dan “kesehatan gratis”. Reformasi sosial juga berhasil menekan angka kemiskinan dari 19,4% (2001) menjadi 10,9% (2003); kematian bayi (per 1000 lahir hidup) dari 15,25 (2001) menjadi 8,39 (2003); dan tingkat drop out sekolah dasar dari 0,08% menjadi 0,02% pada tahun yang sama (Eko, 2007). Pengalaman Jembrana, bisa diangkat sebagai pembelajaran dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung, mengingat keduanya memiliki persamaan, yaitu sama-sama punya keterbatasan dalam
62
Best practice menurut Mendagri (2008) adalah tata kelola pemerintahan yang baik adalah sebuah praktek motivatifinovatif dan bersifat sustainable-transferable yang dikembangkan oleh Pemerintah Daerah dengan melibatkan stakeholder untuk menyelesaikan satu atau banyak masalah aktual sebagai terobosan baru yang belum pernah dilaksanakan sebelumnya dengan prioritas percepatan pencapaian kesejahteraan masyarakat.
139
pendanaan.
Inovasi
apa
dilakukan
oleh
Pemerintah
kabupaten
dalam
menyelesaikan kendala yang dihadapi dalam pengelolaan hutan lindung antara lain: a.
Rekontruksi Batas Kawasan Banyaknya permasalahan perambahan hutan, membuat
Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Kabupaten Tanjung Jabung Timur melakukan rekontruksi batas kawasan hutan. Semula rekontruksi mengikuti arahan dari Badan Planologi Kehutanan, dengan menggunakan beton, tetapi ternyata tidak efektif dan banyak pal batas yang hilang. Pemda Tanjung Jabung Timur membuat inovasi dengan membuat batas kawasan hutan menggunakan parit, dipinggir parit ditanami jalur hijau sebagai batas kawasan hutan. b.
Strategi penanaman di daerah gambut Persentase hidup penanaman di lahan gambut rendah, sehingga menuntut teknik penanaman dan spesifikasi bibit tertentu. Selama ini Kementerian Kehutanan memberikan standar bibit yang seragam untuk semua wilayah, padahal persyaratan teknis untuk tanah gambut berbeda dengan tanah mineral. Standar bibit untuk DAK DR yang ditetapkan di Kabupaten Tanjabtim adalah tinggi bibit > 50 cm, dengan argumen lebih baik mahal di pembibitan, daripada mahal di pemeliharaan. Selain itu waktu penanaman dimajukan saat musim kemarau, agar lahan tidak terlalu tergenang. Dinas Kehutanan Tanjabtim juga memilih jenis endemik setempat yang mampu hidup di daerah gambut, seperti jelutung rawa dan meranti. Dinas kehutanan setempat juga meminta informasi dari BPK (Balai Penelitian Kehutanan) Palembang tentang teknik penanaman pohon di lahan gambut.
c.
Pengangkatan satgas pengamanan dan perlindungan hutan berbasis nagari Kurangnya tenaga kehutanan untuk kegiatan pengamanan hutan mendorong Kabupaten Solok Selatan mengangkat satgas pengamanan hutan berbasis nagari. Jumlah satgas seluruhnya ada 75 orang, masing-masing nagari 2 orang. Satgas diangkat dari tokoh masyarakat, ninik mamak dan alim ulama. Satgas digaji dengan menggunakan APBD. Satgas bertugas membantu polhut dalam dalam mengamankan hutan.
140
Inovasi-inovasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan), sehingga inovasi tersebut tidak kontinyu dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Inovasi tersebut juga kurang memberikan terobosan yang signifikan dalam pengelolaan hutan karena terbentur dalam penganggaran.
7.2. Kinerja pemerintah kabupaten dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung Kinerja menjadi wacana utama dalam administrasi publik sejak reinventing government diperkenalkan oleh Osborn dan Gaebler (1993). Menurut Muhammad (2008), kinerja pemerintah daerah merupakan kinerja dari organisasi atau instansi pemerintah daerah, oleh karena itu definisi kinerja organisasi dapat digunakan sebagai dasar untuk merumuskan kinerja organisasi pemerintah. Kinerja organisasi diartikan sebagai kemampuan organisasi untuk meraih tujuannya melalui pemakaian sumberdaya secara efisien dan efektif. Kinerja organisasi menggambarkan sampai seberapa jauh suatu organisasi mencapai hasil setelah dibandingkan dengan kinerja terdahulu (previous performance), dengan organisasi lain (bench marking) dan sampai seberapa jauh meraih tujuan dan target yang telah ditetapkan. Parker (1996) menyebutkan lima manfaat pengukuran kinerja suatu entitas pemerintahan yaitu: 1) Meningkatkan mutu pengambilan keputusan, 2) Meningkatkan akuntabilitas internal, 3) Meningkatkan akuntabilitas publik, 4) Mendukung perencanaan strategi dan penetapan tujuan dan 5) Memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan sumber daya secara efektif. Kinerja Pemerintah kabupaten dalam penelitian ini diukur dari implementasi pengelolaan hutan di masing-masing kabupaten, dihubungkan dengan pemenuhan syarat desentralisasi. Dari hasil analisis skoring diperoleh angka yang menunjukkan kinerja pemerintah kabupaten, seperti terlihat pada Tabel 32.
141
Tabel 32. Kinerja pemerintah kabupaten dalam desentralisasi pengelolaan hutan lindung No
Kegiatan Pengelolaan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tanjung Jabung Timur Skor Kinerja 2.14 Buruk 3.19 Cukup 2,28 Buruk 1,53 Buruk 1,25 Buruk 1,17 Buruk
Inventarisasi hutan Rehabilitasi hutan Perlindungan hutan Ijin pemanfaatan kawasan Ijin jasa lingkungan Ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu Rata-rata 1,93 Sumber : Hasil analisis data primer, 2010 Keterangan : kinerja baik = 3,26 – 5,00 kinerja cukup = 2,25 – 3,25 kinerja buruk = 1,00 – 2,24
Buruk
Sarolangun Skor Kinerja 1,36 Buruk 3,28 Buruk 2,14 Buruk 1,72 Buruk 1,25 Buruk 1,17 Buruk
Solok Selatan Skor Kinerja 2,14 buruk 3,61 Baik 3,19 Cukup 1,72 buruk 1,33 buruk 1,25 buruk
1,82
2,21
Buruk
buruk
Rata-rata kinerja pengelolaan hutan lindung secara keseluruhan di ketiga kabupaten penelitian termasuk buruk, hal ini ditunjukkan dengan skor kinerja pada masing-masing kabupaten, yaitu: Kabupaten Tanjung Jabung Timur (1,93), Kabupaten Sarolangun (1,82) dan Kabupaten Solok Selatan (2,21). Kinerja ratarata kegiatan inventarisasi hutan, ijin pemanfaatan kawasan, ijin jasa lingkungan dan ijin pemungutan hasil hutan bukan kayu mempunyai skor buruk. Hanya kegiatan rehabilitasi yang kinerjanya mempunyai skor cukup (skor 3,19) dan sampai dengan baik (skor 3,28 dan 3,61), karena didukung oleh terpenuhinya beberapa persyaratan administratif dalam desentralisasi. Rehabilitasi mempunyai skor yang relatif agak tinggi dibanding kegiatan pengelolaan hutan yang lain karena pada kegiatan rehabilitasi sudah ada norma, standart, pedoman dan kriteria (NSPK) yang menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten, walupun dalam implementasinya juga masih ditemui banyak kendala, tetapi keberadaan NSPK tersebut memberikan panduan yang jelas bagi pemerintah kabupaten untuk menjalankan
kewenangannya.
Selain
itu
bimbingan
dan
fasilitasi
dari
Kementerian Kehutanan (BPDAS terkait) cukup intensif. Mekanisme alokasi pendanaan untuk kegiatan rehabilitasi (lewat DAK DR, GNRHL) juga relatif lebih jelas
dibanding kewenangan pengelolaan hutan yang lain. Semua kabupaten
sudah menjalankan kewenangan rehabilitasi karena adanya kejelasan NSPK, adanya
bimbingan dan fasilitasi serta tersedianya pendanaan, walaupun
persentase hidup tanaman rehabilitasi juga belum memuaskan.
142
Data pendukung yang menggambarkan kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung dianalisis dengan dengan membandingkan perubahan tutupan hutan lindung sebelum desentralisasi (tahun 1990),
awal penerapan
kebijakan desentralisasi (tahun 2000) dan setelah kebijakan desentralisasi (tahun 2009). Dari hasil analisis perubahan tutupan hutan lindung tahun 1990, 2000 dan 2009 diperoleh hasil seperti tampak pada Gambar berikut.
300,000
250,000 200,000 1990 150,000
2000 2009
100,000
50,000 Crop land
Forest land
Grass land
Other land
Settlements
Wet land
Sumber : Analisis peta perubahan tutupan hutan tahun 1990,2000 dan 2009
Gambar 22 Perubahan luas tutupan lahan hutan lindung di Kabupaten Tanjung Jabung Timur Di Kabupaten Tanjung Jabung Timur terjadi deforestasi yang cukup besar dalam kurun waktu tahun 1990 ke tahun 2000, sedangkan deforestasi tahun 2000 ke tahun 2009 juga terjadi tetapi tidak sebesar periode sebelumnya.
143
Tahun 1990
Tahun 2000
Tahun 2009
Gambar 23 Perubahan tutupan lahan hutan lindung di Kabupaten Tanjung Jabung Timur pada tahun 1990, 2000 dan 2009
Tahun 1990
Tahun 2000
143
Gambar 24 Perubahan tutupan lahan hutan lindung di Kabupaten Sarolangun pada tahun 1990, 2000 dan 2009
Tahun 2009
144
350000 300000 250000 1990
200000
2000
150000
2009 100000 50000 0 Crop land Forest land Grassland
Other land Settlements
Wetland
Sumber : Analisis peta perubahan tutupan hutan tahun 1990,2000 dan 2009
Gambar 25 Perubahan luas tutupan lahan hutan lindung di Kabupaten Sarolangun Deforestasi hutan lindung di Kabupaten Sarolangun terus terjadi dalam kurun waktu tahun 1990, 2000 dan 2009. Tutupan hutan lindung di Kabupaten Sarolangun sebagian berubah menjadi padang rumput.
300000 250000 200000 1990 150000
2000
100000
2009
50000 0 Crop land Forest land Grass land Other land Settlements
Sumber : Analisis peta perubahan tutupan hutan tahun 1990,2000 dan 2009
Gambar 26 Perubahan luas tutupan lahan hutan lindung di Kabupaten Solok Selatan
145
Deforestasi hutan lindung di Kabupaten Solok Selatan juga terus terjadi dalam kurun waktu tahun 1990, 2000 dan 2009, tetapi dengan laju deforestasi yang tidak terlalu besar. Tutupan hutan lindung di Kabupaten Solok Selatan sebagian berubah menjadi padang rumput.
146
146
Tahun 1990
Tahun 2000
Gambar 27 Perubahan tutupan lahan hutan lindung Kabupaten Solok Selatan pada tahun 1990, 2000 dan 2009
Tahun 2009
Perubahan tutupan hutan di ketiga kabupaten menunjukkan bahwa pada tahun 2000 terjadi deforestasi yang cukup signifikan, tahun tersebut adalah masa awal dari implementasi desentralisasi, setelah sekian lama masyarakat terbelenggu sistem yang sentralistis. Hal ini sama dengan pendapat Sayer et al (2006), pergeseran kewenangan pengelolaan dari pusat ke tingkat lokal kadang-kadang berakibat buruk bagi kawasan lindung. Dampak negatif ini seringkali terjadi ketika proses desentralisasi merupakan hasil adanya krisis, sehingga terburu-buru, tidak terencana dan anarkhis. Kawasan lindung di pedalaman Indonesia menunjukkan
bagaimana
berbahanya
ketika
pengelolaan
kawasan
yang
mempunyai nilai global didesentralisasikan tanpa adanya institusi lokal atau pendanaan untuk mengisi kekosongan pengelolaan. Taconi (2006) juga menulis hal yang sama, pada akhir tahun 1999-an dan awal
2000-an
Indonesia
memulai
menerapkan
sistem
desentralisasi.
Ketidakpastian yang timbul dari proses desentralisasi merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi deforestasi, disamping itu dipengaruhi juga oleh faktor lain. Periode di mana desentralisasi diperkenalkan juga bertepatan dengan kerusakan yang signifikan dari aturan hukum, sebuah tren yang telah dimulai pada tahun-tahun terakhir rezim Soeharto. Tidak ada alasan yang jelas untuk mengharapkan bahwa desentralisasi demokratis akan menyebabkan pengurangan penebangan hutan, karena dalam beberapa kasus deforestasi terjadi akibat dari permintaan masyarakat. Perubahan yang dibawa oleh desentralisasi mungkin memiliki dampak positif dan negatif terhadap hutan, oleh karena itu desentralisasi yang demokratis konservasi
hutan.
perlu dilengkapi dengan kebijakan lain untuk menjamin Desentralisasi
tidak
dapat
diharapkan
untuk
selalu
menyebabkan konservasi hutan. Kebijakan yang diperlukan untuk melengkapi model desentralisasi adalah insentif keuangan dan mekanisme monitoring dan evaluasi.
7.3. Hubungan modal sosial masyarakat sekitar hutan dengan kelestarian hutan Modal sosial didefinisikan sebagai institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks), norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kolaborasi sosial (koordinasi dan kooperasi) untuk
148
kepentingan bersama (Putnam, 1993). Menurut Bardhan (1995), modal sosial dipahami pula sebagai serangkaian norma, jaringan dan organisasi dimana masyarakat mendapat akses pada kekuasaan dan sumberdaya, serta dimana pembuatan keputusan dan kebijakan dilakukan. Menurut Hermawanti dan Rinandari (2003), komponen modal sosial ada tiga, yaitu : 1) nilai, kultur, persepsi (simpati dan kepercayaan), 2) institusi (ikatan yang terdapat dalam komunitas lokal, jaringan, asosiasi)
dan 3) mekanisme
(tingkah laku kerjasama, sinergi). Sedangkan Hasbullah (2006), menyatakan ada dua tipologi modal sosial, yaitu : bonding/exclusive (ide, relasi dan perhatian anggota kelompok lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dan bridging/inclusive (prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut didasarkan prinsip universal tentang persamaan, kebebasan, nilai-nilai kemajemukan, kemanusiaan, terbuka, mandiri dan memungkinkan untuk menjalin koneksi dan jaringan kerja yang saling menguntungkan dengan asosiasi atau kelompok di luar kelompoknya (outward looking). Salah satu isu sentral teori modal sosial adalah hubungan antara tingginya tingkat modal sosial dan efektivitas pemerintahan. Modal sosial yang tinggi akan membawa dampak pada tingginya partisipasi masyarakat, akibat positip yang ditimbulkan
adalah pemerintah akan memiliki akuntabilitas yang lebih kuat
Partisipasi, demokratisasi dan pemerintahan cenderung lebih efektif dan dinamis dalam masyarakat dengan tingkat modal sosial yang tinggi (Putnam, 2000). Sejak tahun 1990, konsep social capital mendapat perhatian dalam literatur tentang pengelolaan
common pool resources dan collective action,
khususnya dalam hubungannya dengan penggunaan
dan pembangunan
sumberdaya alam berkelanjutan. Konsep ini terkait dengan mekanisme insentif atau pengaturan kelembagaan untuk mencegah individual incentive to free riding terhadap penyediaan barang publik. Ada dua proses utama dimana modal sosial berkontribusi dalam menciptakan tindakan kolektif untuk mengelola lingkungan yang kompleks seperti barang publik: 1) penciptaan pengetahuan umum dan 2) difusi pengetahuan umum. Dalam konteks ini, pengetahuan umum didefinisikan sebagai
pemahaman
preferensi
orang
lain.
Pengetahuan
umum
yang
memungkinkan agen untuk bertindak bersama-sama dan untuk menanggung biaya
149
tindakan kolektif. Sebuah tindakan kolektif untuk menjadi sukses tidak cukup hanya menciptakan pengetahuan umum tapi harus berbagi bersama atau diinternalisasi di antara anggota masyarakat (Ishihara dan Pascual, 2008). Penguatan modal sosial dalam masyarakat dapat meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan berpengaruh pada kelestarian sumberdaya alam, termasuk diantaranya hutan. Modal sosial dalam penelitian ini dilihat dari dua perpektif yaitu : 1) actor perspective yang menekankan peran individual dalam memprediksi kemajuan individu dan tindakan kolektif (Bourdieu, 1986) dan 2) public perspective yang lebih mengembangkan ide asosiasi dan aktifitas masyarakat sipil sebagai basis bagi terciptanya integrasi sosial dan kesejahteraan (Putnam,1993). Tabel 33 Modal sosial masyarakat sekitar hutan lindung dari aspek actor perspective dan public perspective No
1.
Desa, Kecamatan, Kabupaten, Rantau Karya, Geragai, Tanjabtim
Actor/public perspective Indikator modal sosial o Diketemukan organisasi kemasyarakatan dalam bentuk o
2.
Pematang Rahim, Mendara Ulu, Tanjabtim
o o o
3.
Lubuk Bedorong, Limun, Sarolangun
o
o o o o
4.
Kasiro, Batang Asai, Sarolangun
5.
Padang Air Dingin, Sangir Jujuan, Solok Selatan
o o o o
5.
Lubuk Gadang, Sangir, Solok Selatan
o o o
kelompok tani, tetapi bersifat keproyekan/musiman Tidak diketemukan norma/kearifan lokal dalam pengelolaan hutan Diketemukan organisasi kemasyarakatan dalam bentuk kelompok tani, bersifat keproyekan/ musiman Tidak diketemukan norma/kearifan lokal dalam pengelolaan hutan Masyarakat tidak merusak hutan karena ada modal sosial (actor perspective). Bupati setempat menindak tegas pelanggaran (illegal logging, perambahan) Pernah dilakukan operasi gabungan tahun 2005 Hutan lindung masuk dalam Hutan Adat Marga Bukit Bulan ditemukan bentuk lembaga masyarakat adat “Bathin Jo Pengulu”, yang masih dipegang teguh. Diketemukan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam Ada Perdes Lubuk Bedorong Nomor 2 Tahun 2008 tentang pengelolaan hutan adat Ditemukan modal sosial (public perspective) Ada kelompok tani, tetapi kurang dinamis, ada pertemuan tiga bulan sekali, biasanya pada waktu mau menanam padi. Tidak ada kearifan lokal Ada kelembagaan masyarakat yang masih eksis (nagari) Masih diakuinya hak ulayat yang bersifat kolektif Ada norma adat yang masih diakui dan dipegang teguh masyarakat Ada kelembagaan masyarakat yang masih eksis (nagari) Masih diakuinya hak ulayat yang bersifat kolektif Ada norma adat yang masih diakui dan dipegang teguh masyarakat
Sumber : Analisis data primer, 2010 Keterangan : 1 = sangat buruk, 2 = buruk, 3 = sedang, 4 = baik dan 5 = sangat baik
2
Skoring Kelestarian hutan 1
3
3
3
3
2
2
4
4
4
4
skoring
150
Desa Rantau Karya merupakan daerah transmigrasi asal Jawa yang datang ke daerah itu sejak tahun 1986. Salah satu kelembagaan sosial dalam pengelolaan hutan yang teridentifikasi di Desa Rantau Karya di
sekitar Hutan Lindung
Geragai adalah Kelompok Tani Mugi Rahayu. Kelompok ini merupakan hasil bentukan dari kegiatan penanaman hutan yang dibentuk oleh Dinas Kehutanan setempat. Kelompok ini bersifat keproyekan, aktifitas kelompok mulai kelihatan jika ada proyek atau musim tanam padi. Norma, kepercayaan dan jaringan sosial kurang kelihatan di daerah ini. Kelompok Tani Pusaka merupakan salah satu kelompok tani yang ada di Desa Pematang Rahim. Kelompok ini dibentuk oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat untuk mendukung kegiatan penanaman di hutan lindung. Hal menarik yang ditemui di daerah ini adalah kepatuhan masyarakat atas hukum yang berlaku, sehingga kelestarian hutan lindung tetap terjaga. Hutan lindung Sei Buluh terletak di pinggir jalan raya, tetapi karena ketegasan Pemda setempat untuk memberi sangsi terhadap pelaku illegal logging dan perambahan, maka hutan tersebut terjaga keamanannya. Pada tahun 2005 pernah dilakukan operasi gabungan (Kepolisian, Dinas Kehutanan, TNI, Kejaksaan, Pengadilan, Satpol PP, tokoh masyarakat, DPR dan LSM) untuk menindak para perambah hutan dan penebangan liar. Komitmen Bupati setempat untuk menjaga keamanan hutan sangat tinggi. Beberapa upaya yang dilakukan dalam rangka pengamanan hutan lindung adalah : 1) Rekonsruksi batas kawasan hutan lindung gambut sepanjang 45 km dengan sumber dana dari APBD Kabupaten; 2)Pemasangan patok beton sebagai pengganti pal batas, dengan ukuran tinggi 1,5 m; 3)Pembuatan kanal batas antara hutan lindung pada areal yang berbatasan dengan kawasan lindung ; 4) Pembangunan POS Pengamaman Hutan ; 5) Penanaman pohon kehidupan pada batas kawasan hutan lindung; 6) Pembangunan turus jalan pada batas luar kawasan lindung dan 7) Kegiatan inventarisasi dan identifikasi kawasan hutan lindung. Kepatuhan masyarakat di sekitar hutan lindung ini terbentuk karena actor perspective, yaitu bupati setempat. Bupati setempat dikenal sebagai jawara, yang berani menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi di hutan lindung. Kabupaten Sarolangun mempunyai semboyan sepucuk adat, sarumpun pseko. Hukum adat masih mendapat tempat bagi masyarakat Sarolangun pada
151
umumnya dan masyarakat Desa Lubuk Bedorong pada khususnya. Desa Lubuk Bedorong termasuk salah satu dari lima desa yang termasuk dalam masyarakat adat Bukit Bulan. Adat istiadat itu masih hidup dan mengakar dalam kehidupan masyarakat di kelima desa tersebut. Beberapa kearifan lokal yang masih dipelihara masyarakat adalah : 1) kijang banyuik artinya tidak diperbolehkan menambah lahan menuruni tebing yang dibawahnya ada anak sungai atau sungai, 2) ulu aie dak bulih dibukak (hutan di hulu sungai tidak boleh habis), 3) topian dak bulih ditubo (sungai tidak boleh diracun), 4) kepayang dak bulih ditobang (batang kepayang tidak boleh ditebang), 5) potai dak bulih ditobang (petai tidak boleh ditebang). Masyarakat Marga Bukit Bulan memiliki rimbo adat dan rimbom larangan. Rimbo adat adalah hutan
yang dikelola bersama oleh masyarakat berdasarkan
aturan adat yang dimanfaatkan untuk diambil kayunya secara terbatas dan diambil hasil hutan bukan kayunya. Rimbo larangan merupakan hutan yang dipertahankan untuk fungsi hidrologis, tidak boleh diambil kayu maupun hasil hutan bukan kayu dari hutan tersebut. Keberadaan masyarakat adat lengkap dengan ikatan sosial dan norma yang ada dikukuhkan dalam peraturan Desa Lubuk Bedorong Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Adat. Lima desa di Hutan Marga Bukit Bulan saat ini dengan bimbingan FLEGT tengah berjuang untuk mendapatkan status hukum untuk mengelola hutan adatnya. Masyarakat ini masih memiliki sistem kekerabatan yang kuat, tercermin dari kepercayaan, norma dan jaringan sosial yang masih hidup dan tetap terpelihara. Kepercayaan, norma dan jaringan sosial tersebut merupakan modal sosial yang kuat untuk mengelola sumberdaya alam agar lestari. Salah satu institusi sosial yang ada di Desa Kasiro adalah Kelompok Tani Harapan. Kelompok ini sebenarnya kurang aktif, karena hanya ada kegiatan setiap tiga bulan sekali, khususnya pada saat musim bertanam padi. Kelembagaan adat kurang terpelihara dan kurang berkembang di daerah ini. Aksesibilitas yang sulit dan
jauh, menyebabkan hutan lindung ini sulit untuk kurang mendapat
pengawasan dari Dinas Kehutanan. Sebelumnya dilaporkan banyak sekali terjadi illegal logging di daerah ini. Sejak operasi illegal logging sering dilakukan, kegiatan illegal logging agak berkurang.
152
Penguasaan hutan oleh masyarakat Minangkabau tidak bisa dipisahkan dari konsepsi hak ulayat. Hak ulayat menunjukkan kepemilikan tertinggi masyarakat adat Minangkabau terhadap sumberdaya alamnya. Ulayat adalah hak dan kewenangan masyarakat adat secara turun temurun, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan garis keturunan matrilineal (garis ibu) dan bersifat komunal. Hukum ulayat sangat dijunjung tinggi di daerah ini. Desa-desa di Sumatera Barat dikembalikan pada konsep nagari, sejak kebijakan desentralisasi diberlakukan. Nagari adalah suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang tertinggi di Minangkabau, yang mempunyai batas-batas tertentu, harta kekayaan tertentu, mempunyai penguasa adat dan anggota masyarakat tertentu. Nagari terdiri dari beberapa jorong. Hutan nagari adalah hutan yang secara terpadu menjadi salah satu kesatuan ekosistem dengan nagari berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan, dimiliki dan dikuasai oleh persekutuan masyarakat nagari. Tanah ulayat dimiliki oleh ninik mamak (merupakan milik bersama), sehingga tidak bisa diperjual belikan, hanya hak pakai dan diwariskan secara turun temurun. Tanah ulayat boleh dijual hanya dalam keadaan mendesak (darurat), misalnya : pembangunan rumah adat dan satunan bagi yang membutuhkan. Ninik mamak diangkat dan dipilih berdasarkan musyawarah mufakat kelompok dan berperan menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi dalam kelompok tersebut. Masyarakat Nagari Lubuk Gadang dan Nagari Padang Air Dingin menyatakan bahwa batas hutan lindung tidak jelas, karena dahulu merupakan hutan ulayat, tetapi ditetapkan oleh negara sebagai hutan lindung. Tidak ada komunikasi antara pemuka ulayat dengan pemerintah, tetapi masyarakat taat pada aturan adat seperti taat pada aturan pemerintah. Ada 3 aturan yang dianut yang dikenal sebagai tiga sepilin tungku tiga sejalangan, yaitu menganut 3 hukum, yaitu aturan adat, aturan agama dan aturan pemerintah. Syarak mengatakan, adat memakai, undang memegang. Jaringan sosial, kepercayaan dan norma yang masih hidup di masyarakat di Kabupaten Solok Selatan merupakan modal sosial masyarakat untuk mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Modal sosial ini bisa dilihat dari public perspective, karena dilakukan secara komunal. Keberadaan modal sosial yang ada di masyarakat ini membuktikan bahwa sumberdaya hutan relatif lebih lestari
153
dibanding daerah lain. Semakin kuat modal sosial yang ada dalam masyarakat (baik public perspective atau actor perspective), ternyata berpengaruh positip dalam kelestarian hutan, seperti terlihat pada grafik berikut.
Sumber : Analisis data primer, 2010
Gambar 28 Kecenderungan hubungan antara modal sosial (public/actor perspective) dan kelestarian hutan 7.4. Manfaat ekonomis dan ekologis hutan terhadap masyarakat Interaksi masyarakat
terhadap hutan merupakan bentuk pengelolaan
masyarakat terhadap kawasan hutan. Bentuk pengelolaan tersebut terutama dilihat dari aspek pemanfaatan hutan oleh masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar hutan memanfaatkan hutan untuk kepentingan sosial ekonomi dan jasa lingkungan (ekologi). Pemanfaatan tersebut dalam bentuk : pemanfaatan kawasan, pemungutan kayu, pemungutan hasil hutan bukan kayu dan pemanfaatan jasa lingkungan.
154
Tabel 34 Manfaat ekonomis dan ekologis hutan bagi masyarakat serta kelestarian hutan lindung No
1.
2.
Desa. Kecamatan, Kabupaten, Rantau Karya, Geragai, Tanjabtim
Manfaat Ekonomis Jenis pemanfaatan Madu, berburu burung, kayu, perambahan kawasan untuk kebun
Skor ing 4
Manfaat Ekologis Jenis pemanfaatan Skor ing Belum ada 1
Kelestarian Hutan Kondisi hutan Skor ing Hutan lindung terus 1 terdegradasi, sebagian besar hutan terbuka, gundul Hutan lindung masih 3 cukup baik, ada suksesi alami dan membentuk hutan sekunder Hutan lindung cukup 3 baik, tetapi sebagian sudah mulai terbuka (± 20 %)
Pematang Rahim, Mendara Ulu, Tanjabtim Lubuk Bedorong, Limun, Sarolangun
Madu, berburu burung, berburu musang daun, penurunan serangan babi hutan, jelutung siap sadap Manau, madu, menanam padi dan karet, kayu untuk konsumsi terbatas (rumah tangga), menambang emas di sungai
2
Belum ada
1
4
Air rumah tangga, irigasi sawah
3
4.
Kasiro, Batang Asai, Sarolangun
Bertanam padi dan karet, mengambil kayu, damar, rotan, gaharu, jernang, burung (murrai batu, cicak rawa, tiung (beo)), menambang emas di sungai
5
Air minum, pengairan sawah, arung jeram tingkat nasional, air terjun, listrik mikro hidro, peningkatan frekwensi banjir
2
Hutan lindung sebagian mulai terbuka, air sungai tercemar oleh aktifitas penambangan emas
2
5.
Padang Air Dingin, Sangir Jujuan, Solok Selatan
Berladang karet, kopi, kayu manis dan coklat; mencari rotan, manau, jernang, gaharu, jelutung; kayu untuk konsumsi sendiri
4
Air minum rumah tangga, pengairan sawah, penahan banjir dan longsor
3
4
5.
Lubuk Gadang, Sangir, Solok Selatan
Berladang karet, kopi, kayu manis dan coklat; mencari rotan, manau, madu, kayu untuk konsumsi sendiri, mencari emas di sungai
4
Air minum rumah tangga, pengairan sawah, penahan longsor dan banjir
3
Hutan lindung masih bagus, pembukaan lahan untuk kebun dengan menanam tanaman kayu-kayuan secara agroforestry sehingga tidak merubah tutupan hutan Hutan lindung masih bagus, pembukaan lahan untuk kebun dengan menanam tanaman kayu-kayuan secara agroforestry sehingga tidak merubah tutupan hutan, air sungai tercemar oleh aktifitas penambangan emas
3.
Sumber : Analisis data primer, 2010 Keterangan : 1 = sangat buruk, 2 = buruk, 3 = sedang, 4 = baik dan 5 = sangat baik
Masyarakat Desa Rantau Karya berdekatan dengan lokasi hutan lindung Sungai Lodrang. Masyarakat tersebut memanfaatkan hutan lindung untuk mencari madu dan burung. Aksesibilitas menuju hutan lindung Sungai Lodrang sangat berat dan sulit, karena untuk menuju hutan lindung ini harus terlebih dahulu melewati hutan produksi Sungai Tenan. Hutan lindung Sungai Lodrang pernah terbakar 2 kali (tahun 1992 dan tahun 1997), sehingga kondisinya sekarang terbuka. Hutan lindung ini pernah dilakukan kegiatan reboisasi, tetapi kurang berhasil. Hutan lindung Sungai Lodrang merupakan hutan gambut yang relatif mudah terbakar pada waktu musim kemarau. Hutan lindung ini dilaporkan
4
155
beberapa kali kegiatan illegal logging oleh perkebunan sawit dengan menggunakan alat berat dan perambahan dari masyarakat dari luar kabupaten. Aksesibilitas yang jauh dan sulit menyebabkan keamanan hutan ini kurang terkontrol. Dari tabel terlihat bahwa manfaat ekonomis dan ekologis yang dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan sangat kurang. Kondisi hutan juga rusak berat karena kebakaran, illegal logging dan perambahan. Desa Mendara Ulu terletak di pinggir Hutan Lindung Sei Buluh. Hutan Lindung Sei Buluh terletak di pinggir jalan raya menuju ke PT Petro China, sehingga aksesibilitas menuju hutan ini sangat mudah. Masyarakat memanfaatkan hutan lindung untuk berburu burung muray kepala batu, musang daun dan madu. Keberadaan hutan lindung juga memberikan dampak penurunan serangan babi hutan di lahan pertanian. Tanaman jelutung di dalam hutan lindung ini sudah besar dan berpotensi untuk disadap, tetapi belum dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Sebenarnya banyak harapan dari masyarakat sekitar hutan pada hutan lindung ini, tetapi belum direspon oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan setempat. Ada kegamangan Dinas Kabupaten setempat untuk memproses ijin pemanfaatan hutan oleh masyarakat (HKm). Manfaat ekologis hutan belum dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Kondisi hutan ini relatif masih baik, walaupun manfaat ekonomis dan ekologis dari hutan kurang dirasakan oleh masyarakat sekitar hutan. Hal ini disebabkan karena law enforcement oleh Pemda setempat dan letak hutan yang relatif dekat dengan jalan, sehingga lebih mudah dalam pengamanannya. Masyarakat di Desa Lubuk Bedorong terletak di sekitar hutan lindung Bukit Tinjau Limau. Masyarakat desa ini termasuk dalam Marga Bukit Bulan, yang sejak dahulu sudah mempunyai konsep pengelolaan hutan rimbo adat dan rimbo larangan untuk memperoleh manfaat sosial, ekonomi dan lingkungan dari hutan. Masyarakat mempunyai kebiasaan membuka hutan untuk menanam padi dan karet. Mereka akan membuka lahan baru, jika lahan yang lama dirasakan sudah tidak memungkinkan untuk menanam padi ladang. Ukuran jauh tidaknya perambahan hutan adalah sebatas kemampuan masyarakat untuk berjalan kaki menuju hutan. Masyarakat juga memanfaatkan hutan lindung untuk mencari manau, madu dan menambang emas di sungai. Hasil hutan kayu diambil
156
masyarakat dari hutan untuk memperbaiki atau membangun rumah baru, membangun tempat ibadah atau membangun jembatan. Hutan juga memberikan manfaat ekologis berupa air untuk kebutuhan rumah tangga dan pengairan sawah. Masyarakat Desa Lubuk Bedorong merasakan manfaat ekonomis dan ekologi hutan lindung secara berimbang. Tekanan masyarakat terhadap hutan berupa perambahan kawasan menjadikan kawasan hutan ini mulai kelihatan terbuka. Desa Kasiro terletak di dekat hutan lindung Batang Asai. Masyarakat memanfaatkan hutan untuk mengambil kayu, damar, rotan, gaharu, jernang, burung (murrai batu, cicak rawa, tiung (beo)) dan menambang emas. Masyarakat juga melakukan perambahan untuk bertanam padi dan karet di hutan. Illegal logging banyak terjadi karena akses hutan yang jauh, sehingga sulit untuk dimonitor. Pemanfaatan ekologis hutan untuk air minum, pengairan sawah, arung jeram tingkat nasional, air terjun, listrik mikro hidro. Di desa ini akan dibuat PLTMH dengan kapasitas 1 unit (250 KK). Instalasi dan dam sudah dibangun, tetapi salurannya belum selesai dibangun. Manfaat ekologis hutan bagi masyarakat cukup besar, tetapi fungsi ekologi hutan untuk menahan banjir menurun. Degradasi dan deforestasi di hutan lindung ini terjadi akibat eksplotasi manfaat ekonomis hutan, sehingga menyebabkan peningkatan frekuensi banjir. Banjir besar biasanya terjadi setiap tahun sekali, tetapi lima bulan terakhir ada kejadian banjir tiga kali. Masyarakat di Desa Padang Air Dingin memanfaatkan hutan lindung untuk berladang (karet, kopi, kayu manis dan coklat), mencari rotan, manau, jernang, gaharu, jelutung. Menurut persepsi masyarakat, manfaat ekologis hutan lindung adalah menahan banjir dan longsor. Penebangan kayu dilakukan untuk pembuatan rumah sendiri, karena mereka beranggapan bahwa kawasan tersebut merupakan hutan ulayat, yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan lindung. Manfaat hutan lindung bagi masyarakat : berladang, mencari rotan manau, madu, dan mencari emas di sungai. Bentuk kerusakan/gangguan hutan lindung : penebangan kayu di hutan lindung tidak ada, kecuali pada wilayah hutan ulayat yang ditetapkan pemerintah menjadi hutan lindung. Pemberian ijin dari wali nagari untuk penebangan kayu hanya diberikan untuk hutan ulayat. Kayu rakyat sulit diperdagangkan karena sulit untuk mendapatkan surat ijin, harus membuktikan ES
157
dari BPN. Masyarakat sudah memahami manfaat hutan lindung sebagai fungsi hidrologis untuk kebutuhan air rumah tangga dan pengairan sawah. Kondisi hutan lindung di sekitar desa ini masih cukup baik. Masyarakat Lubuk Gadang mendapatkan manfaat ekonomi dari hutan lindung dalam bentuk :berladang karet, kopi, kayu manis dan coklat; mencari rotan, manau, madu; pemungutan kayu untuk konsumsi sendiri dan mencari emas di sungai. Manfaat ekologis hutan lindung bagi masyarakat adalah : pemanfaatan air untuk rumah tangga, pengairan sawah, penahan longsor dan banjir. Secara umum kondisi hutan lindung masih bagus, tetapi air sungai di hutan lindung ini tercemar oleh aktifitas penambangan emas. Ada korelasi negatif antara manfaat ekonomi dan kelestarian hutan. Semakin banyak manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat dari hutan, ternyata ada kecenderungan penurunan kelestarian hutan, seperti tampak pada grafik berikut.
Sumber : Analisis data primer, 2010
Gambar 29 Kecenderungan hubungan antara manfaat ekonomi dan kelestarian hutan Ada korelasi positif antara manfaat ekologi hutan dan kelestarian hutan, seperti tampak pada grafik berikut.
158
Sumber : Analisis data primer, 2010
Gambar 30 Kecenderungan hubungan antara manfaat ekologi dan kelestarian hutan Dari hasil analisis implementasi dan kinerja pemerintah kabupaten dalam pengelolaan hutan lindung dapat ditarik kesimpulan bahwa implementasi desentralisasi banyak menemui kendala, karena belum tercukupinya beberapa syarat dalam desentralisasi (seperti SDM, pendanaan, sapras, kurangnya pembinaan dan monev oleh pemerintah pusat serta belum terakomodasinya aspirasi lokal). Beberapa inovasi muncul untuk mengatasi kendala dalam implementasi beberapa kegiatan pengelolaan hutan (seperti pembuatan parit dan jalur hijau sebagai penanda batas kawasan hutan dan satgas perlindungan hutan berbasis nagari), walaupun hasilnya belum optimal. Ketidak cukupan syarat admnistratif untuk berjalannya desentralisasi mengakibatkan kinerja pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten belum sesuai harapan, sehingga deforestasi terus terjadi. Pengukuran kinerja pengelolaan hutan lindung di ketiga kabupaten termasuk buruk, hanya kegiatan rehabilitasi yang berkinerja cukup dan baik. Data perubahan tutupan hutan dari tahun 1990, tahun 2000 dan tahun 2009 menunjukkan kecenderungan terjadinya deforestasi, walaupun dengan laju deforestasi yang beragam antar kabupaten. Modal sosial yang ada di masyarakat terkait dengan efektivitas program-program pembangunan, termasuk diantaranya desentralisasi pengelolaan hutan lindung. Modal sosial dalam bentuk norma, kepercayaan dan jaringan sosial yang ada pada
159
masyarakat sekitar hutan baik dilihat dari actor perspective maupun public perspective berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan, sehingga modal sosial tersebut bisa lebih dikembangkan untuk mendukung kinerja desentralisasi pengelolaan hutan lindung. Salah satu tujuan dari implementasi desentralisasi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat sekitar hutan menerima manfaat ekonomis dan ekologis dari hutan. Manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat sekitar hutan korelasi negatif dengan kelestarian hutan, sedangkan manfaat ekologi berkorelasi positif terhadap kelestarian hutan.