PROPOSAL PENELITIAN
I. Nama Peneliti
: Ifanemagasaro, Narulita A., Rifni A.F., Risky Saraswati., Tara Ken Wita K.
NIM/Semester
: G0010097, G0010135, G0010161, G0010167 G0010187/VI
II. Judul Penelitian
: Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Mengenai
Imunisasi Dasar Dengan Prevalensi Terjadinya Penyakit Infeksi Pada Bayi Di Surakarta.
III. Bidang Ilmu
: Ilmu Kesehatan Masyarakat
IV. Latar belakang Bayi dan anak perlu diberi imunisasi untuk terhindar dari beberapa jenis penyakit, imunisasi dapat melindungi bayi dari berbagai macam penyakit infeksi yang apabila tidak dicegah penyakitnya, maka akan menyebabkan komplikasi dengan risiko kematian. Selain itu penyakit-penyakit tersebut berpotensi menimbulkan kasus luar biasa (KLB) bahkan wabah yang berdampak besar bagi masyarakat di sekitarnya dan pastinya membutuhkan biaya sangat besar untuk pemberantasannya (Unicef, 2010). Cara kerja dari imunisasi yaitu dengan cara memberikan bahan antigenik berupa agen imunobiologis (vaksin atau toksoid) ke dalam tubuh untuk menginduksi imunitas. Dengan adanya imunisasi ini, maka bayi dan anak akan terlindungi dari beberapa penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke orang-orang disekitarnya, bahkan mengeradikasi beberapa penyakit seperti cacar. Imunisasi juga akan meningkatkan kekebalan tubuh pada bayi dan anak, sehingga mampu melawan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin tersebut (Soedjatmiko, 2009). 1
Imunisasi dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1956 dalam rangka mengeradikasi penyakit cacar. Indonesia dinyatakan bebas cacar air oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1956. Setelah eradikasi cacar air, pemerintah mulai menetapkan fase persiapan pengembangan imunisasi (PPI) pada tahun 1980. Program pengembangan imunisasi terus dikembangkan dengan pemberian antigen, yaitu Bacillus Celmette Guerin (BCG), Difteri Pertusis dan Tetanus (DPT), Polio, Hepatitis B, dan Campak. BCG, DPT, Polio, Hepatitis B, dan Campak merupakan imunisasi dasar yang disediakan pemerintah. Pemerintah juga membuat gerakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) secara berturut-turut di tanah air. Namun keadaan berubah ketika adanya outbreak atau Kejadian Luar Biasa (KLB) polio sebanyak 349 kasus dimulai di Jawa Barat. Setelah itu dilakukan tindakan-tindakan khusus untuk mencegah menjalarnya polio liar di Indonesia secara intensif dengan pengulangan PIN pada tahun 2005 (Ranuh, 2011 ; Depkes, 2008). Program imunisasi masih menjadi andalan dalam mengendalikan penyebaran berbagai penyakit infeksi yang banyak menjangkit bayi. Diperkirakan dua sampai tiga juta anak di Indonesia meninggal karena penyakit infeksi. Diantara penyakit infeksi yang menyebabkan kematian pada anak, dapat dicegah dengan imunisasi. Anak usia 0-5 tahun yang meninggal dikarenakan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisai berjumlah 8.8 juta pada tahun 2008 (WHO, 2012). Seperti yang sudah dipaparkan diatas, imunisasi sangat penting untuk mencegah berbagai macam penyakit infeksi seperti campak, hepatitis B, TBC, difteri, pertussis, tetanus, dan polio. Oleh karena itu, pemerintah membuat program gratis imunisasi dasar. Namun cakupan imunisasi belum memenuhi Universal Coverage Immunization (UCI) dengan cakupan minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010 (Proverawati & Andhini, 2010). Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu mengenai imunisasi dan penyakit 2
infeksi yang dapat dicegah oleh imunisasi, kurangnya kesadaran ibu ke posyandu, kurangnya ketakutan ibu mengenai terjadinya penyakit pada anaknya sehingga ibu merasa imunisasi tidak perlu, kurangnya info dari pelayanan kesehatan setempat mengenai pelayanan imunisasi, serta hal lainnya (Ranuh, 2011). Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi dengan prevalensi kejadian infeksi pada bayi di Surakarta.
V. Rumusan Masalah Adakah hubungan antara tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar terhadap prevalensi kejadian infeksi pada bayi di Surakarta?
VI.Tujuan Penelitian A. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi terhadap prevalensi kejadian infeksi pada bayi.
VII. Manfaat Penelitian A. Manfaat Teoritis 1. Memberikan
informasi
ilmiah
hubungan
antara
tingkat
pengetahuan ibu mengenai imunisasi terhadap prevalensi kejadian infeksi pada bayi B. Manfaat Praktis 1. Memberikan pemikiran kepada pemerintah kepada Dinas kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan ibu mengenai imunisasi
3
VIII. Tinjauan Pustaka A. KESADARAN
DAN
PENGETAHUAN
IBU
TENTANG
IMUNISASI Pengetahuan merupakan seluruh pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki seorang individu yang merupakan hasil dari tahu dan proses pembelajaran, serta terjadi setelah orang melakukan pengindraan (penglihatan, pendengaran, raba, rasa dan penciuman) terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu, termasuk praktek atau kemauan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibuktikan secara sistimatis Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk perilaku seseorang (Azwar, 1996; Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003; Notoadmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan salah satu faktor penting terutama dalam hubungannya dengan pelaksanaan imunisasi terhadap bayi oleh ibu. Pengetahuan ini dapat menimbulkan suatu kepercayaan antara individu dalam kehidupan masyarakat serta dapat mengarahkan seseorang menjadi lebih positif. Pengetahuan yang meningkat dapat mempengaruhi dan mengubah sikap, persepsi dan kebiasaan seseorang. Tindakan atau suatu perilaku yang dilakukan dengan menggunakan pengetahuan akan menjadi lebih baik atau lebih positif. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua : 1. Perilaku tertutup (convert behavior) Perilaku tertutup adalah respon seorang individu terhadap datangnya suatu pencetus atau stimulus yang masih terselubung atau tertutup dimana perilaku dari individu tersebut belum dapat terlihat dan dipahami secara jelas dari sudut pandang orang lain karena masih terbatas pada beberapa faktor, seperti perhatian, persepsi subjektif, pengetahuan, kesadaran (awareness), serta sikap individu penerima, 4
2. Perilaku terbuka (overt behavior) Merupakan respon seorang individu terhadap
datangnya suatu
pencetus atau stimulus dengan melakukan tindakan nyata atau terbuka yang dapat dilihat, diamati, serta dipahami dari sudut pandang orang lain. Suatu individu dengan perilaku terbuka akan lebih mudah memutuskan dan melakukan suatu tindakan baru daripada individu dengan perilaku yang tertutup (Notoadmodjo, 2003). Seperti yang telah dijabarkan sebelumnya bahwa seorang individu dalam perilakunya dipengaruhi oleh pengetahuan masing-masing individu tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang : 1. Faktor Internal Faktor dalam diri setiap individu (faktor individual) yang bersifat subjektif pada setiap pribadi, misalnya intelegensia, minat, kondisi fisik. 2. Faktor Eksternal Faktor pengaruh dari lingkungan luar individu, misalnya keluarga, masyarakat, sarana, adat istiadat daerah setempat, pergaulan. 3. Faktor pendekatan belajar Faktor upaya atau usaha untuk belajar dari masing-masih individu, misalnya strategi dan metode dalam pembelajaran. Dikatakan pula bahwa terdapat pembagian lain mengenai faktor yang mempengaruhi pengetahuan, diantaranya adalah faktor pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar, serta informasi yang diketahui oleh seorang individu (Mubarak, 2007; Notoadmodjo,2003 ).
5
Menurut Slamet (1999),
pengetahuan yang mencakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 (enam) tingkat yaitu: 1. Tahu (Know) Yaitu dapat mengingat kembali suatu materi atau bahan yang telah diberikan sebelumnya. 2. Memahami (Comprehension) Yaitu suatu proses yang lebih tinggi dari hanya tahu tetapi suatu individu
mampu
menjelaskan
serta
mengintepretasikan
atau
menggambarkan secara benar dan tepat suatu materi, bahan, atau objek yang telah dipelajari sebelumnya. 3. Aplikasi Terjadi saat seorang individu sudah mampu menggunakan atau merealisasikan atau menerpkan apa yang telah dipelajari sebelumnya dalam kehidupan. 4. Analisis Kemampuan seorang individu untuk menjabarkan atau menjelaskan suatu materi yang telah diberikan ke dalam bentuk bagian-bagian yang lebih kecil, tetapi masih tergolong dalam suatu organisasi dan memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. 5. Sintesa Adalah ketika sorang individu mampu membentuk sesuatu yang benar-benar baru dari bagian-bagian materi yang sebelumnya telah dianalisis. 6. Evaluasi Merupakan suatu kemampuan sorang individu untuk menilai suatu materi atau objek menurut suatu kriteria yang ditentukan sendiri menurut kriteria yang sebelumnya telah ada. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pengetahuan atau kognitif yang domain dari seorang ibu akan sangat berpengaruh dalam hubungannya dengan pelaksanaan imunisasi terhadap bayi, hal ini dapat 6
dimulai dengan tahap tahu dimana dapat diambil suatu contoh, seorang ibu dapat mengingat pengertian imunisasi, jadwal pelaksanaan imunisasi yang tepat kemudian dapat memahami tujuan dari pelaksanaan imunisasi serta mengaplikasikannya dengan mengimunisasikan bayinya setelah menganalisis dan mensintesa pengetahuan tersebut. Semakin tinggi pengetahuan seorang individu maka akan semakin mudah untuk menerima hal-hal baru dam menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru tersebut, selain itu pengalaman (dalam hal ini sangat terkait dengan faktor usia) juga akan mempengaruhi pengetahuan serta pengambilan keputusan dan tindakan setiap individu (Tarwoto, 2003). Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai pengetahuan ibu dalam hubungannya dengan imunisasi dasar balita di Jawa Tengah oleh Karina dan Warsito (2012),
didapatkan bahwa responden ibu yang
memiliki usia pertengahan (30-45 tahun) memiliki pengetahuan dasar mengenai imunisasi yang cukup baik, selain terkait dengan usia, pengetahuan ibu mengenai imuniasi juga berhubungan dengan tingkat pendidikan dimana semakin tinggi jenjang pendidikan maka pengetahuan seorang individu mengenai suatu hal atau materi akan menjadi lebih baik. Disebutkan juga dalam penelitian tersebut bahwa pengetahuan juga dipengaruhi oleh informasi yang akan sangat berkaitan dengan faktor ekonomi seseorang, semakin tinggi ekonomi suatu keluarga maka akses untuk mendapatkan pendidikan dan informasi semakin besar, sebaliknya pada keluarga dengan ekonomi rendah, seperti yang dinyatakan oleh Notoadmodjo (2003) “Pengetahuan yang dipengaruhi faktor sosial ekonomi, didasarkan pada lingkungan sosial yang mendukung tingginya pengetahuan seseorang dan ekonomi yang erat kaitannya dengan pendidikan.” Peningkatan cakupan imunisasi melalui pendidikan orang tua telah menjadi strategi populer di berbagai negara. Strategi ini berasumsi bahwa anak-anak tidak akan diimunisasi secara benar disebabkan orang 7
tua tidak mendapat penjelasan yang baik atau karena memiliki sikap yang buruk tentang imunisasi.Program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang-orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen yang tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu program intervensi preventif seperti imunisasi ingin dijalankan secara serius dalam menjawab perubahan pola penyakit dan persoalan pada anak, maka perbaikan dalam evaluasi perilaku kesehatan masyarakat
dan
peningkatan
pengetahuan
sangat
diperlukan
(Muhammad,2002).
B. FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
KEBERHASILAN IMUNISASI Dalam pelaksanaannya pada kehidupan, sebagian besar imunisasi berhasil diterapkan dengan baik, tetapi tidak pada sebagian kecil kejadian dimana terjadi ketidakberhasilan dari imunisasi tersebut. Sebenarnya, keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor antara lain: status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta kualitas dan kuantitas vaksin (Parslow, 2003; Supriyono, 2005). 1. Status Imun Host Adanya suatu antibodi spesifik tertentu pada host terhadap vaksin yang diberikan akan sangat mempengaruhi keberhasilan imunisasi oleh karena itu hendaknya pemberian imunisasi dilakukan ketika antibodi maternal spesifik pada bayi telah rendah, itulah mengapa imunisasi hendaknya dilakukan sesuati jadwal yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Misalnya fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus campak, apabila kemudian diberikan imunisasi campak ketika kadarnya masih tinggi maka hasilnya tidak akan begitu berpengaruh. Keberhasilan imunisasi memerlukan maturitas imunologik. Pada neonatus fungsi makrofag masih kurang tetapi fungsi dari sel Ts (T supresor) relatif lebih tinggi dan domininan jika dibandingkan pada bayi 8
atau anak karena pada masa intra uterin, fungsi imun akan lebih ditekankan pada toleransi, begitu pula pada bayi yang baru saja lahir, sehingga pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih sangat kurang, akibatnya imunisasi yang dilakukan pada bayi usia kurang dari dua bulan hasilnya kurang memuaskan dan disarankan untuk dilakukan imunisasi ulang (Grossman, 2003). Selain itu, status imun dan keadaan gizi sangat mempengaruhi hasil akhir imunisasi karena dengan status gizi buruk nantinya akan menurunkan fungsi sel sistem imun tertentu, sehingga keadaan ini menjadi kontraindikasi dilaksanakannya suatu imunisasi (Levinson, 2002). 2. Faktor Genetik Faktor genetik cukup mempengaruhi hasil imunisasi karena interaksi antar sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik dari masing-masing individu yang memiliki karakteritas masing-masing, dan nantinya akan dibedakan respon imun manusia berdasarkan faktor genetik, yaitu responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigenantigen tertentu (WHO, 2002). 3. Kualitas dan kuantitas vaksin Menurut WHO (2002), terdapat beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin yang dapat menentukan keberhasilan imunisasi, yaitu: a. Dosis Vaksin b. Frekuensi pemberian imunisasi c. Ajuvan d. Vaksin yang Mengandung Organisme Hidup e. Penanganan Vaksin Selain faktor diatas, dikatakan pula bahwa keberhasilan suatu imunisasi pada bayi juga dipengaruhi oleh faktor ibu dan keluarga. Adapun tanggung jawab keluarga teutama para ibu terhadap status imunisasi pada bayi sangat memegang peranan penting sehingga diperoleh
suatu
manfaat
terhadap 9
keberhasilan
imunisasi
serta
peningkatan
kesehatan
anak.
Pemanfaatan
pelayanan
kesehatan
dipengaruhi oleh komponen-komponen pendorong yang menggambarkan faktor individu secara tidak langsung berhubungan dengan berbagai faktor yaitu faktor pengetahuan ibu terhadap status lengkap imunisasi dasar pada bayi, komponen pendukung antar lain kemampun individu menggunakan pelayanan kesehatan yang diperkirakan berdasarkan pendidikan, pengetahuan, sumber pandapatan atau penghasilan (Depkes RI, 2000). Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Masalah pengertian dan keikutsertaan orang tua dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan kesehatan yang memadai tentang hal itu diberikan. Peran seorang ibu pada program imunisasi sangatlah penting. Karenanya suatu pemahaman tentang program ini amat diperlukan untuk kalangan tersebut (Muhammad,2002). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ayubi (2007) menyatakan bahwa dalam tingkat rumah tangga, terlaksana atau tidaknya suatu imunisasi sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu, pendidikan ibu, usia ibu, jumlah kunjungan antenatal, serta keadaan ekonomi rumah tangga. Dalam penelitian tersebut, bayi yang memiliki ibu dengan pengetahuan
mengenai
imunisasi
yang
baik
memiliki
peluang
mendapatkan imunisasi 2,21 lebih lengkap daripada ibu dengan pengetahuan mengenai imunisasi yang rendah.
10
C. IMUNISASI 1. Pengertian Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut (Alimul, 2008; Depkes, 2004). 2. Jenis-jenis imunisasi Imunisasi dibedakan menjadi dua jenis, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif: a.
Imunisasi aktif adalah usaha untuk merangsang sistem imun host membentuk antibodi sendiri dengan cara pemberian satu atau lebih antigen agen yang infeksius yang akan bertahan selama bertahuntahun (A.H Markum, 2002; Schwartz, 2005).
b.
Imunisasi pasif adalah pemberian antibodi yang telah dibentuk yang dihasilkan oleh host lain, sehingga host penerima tidak membentuk antibodi sendiri (Satgas IDAI, 2008; Schwartz, 2005).
D. IMUNISASI DASAR DI INDONESIA Imunisasi dasar adalah pemberian imunisasi awal pada bayi yang baru lahir sampai usia satu tahun untuk mencapai kadar kekebalan diatas ambang perlindungan. (Depkes RI, 2005). Imunisasi dasar di Indonesia meliputi vaksin Polio, vaksin Diteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT), vaksin Bacillus Celmette Guerin (BCG), vaksin Campak, vaksin Hepatitis B. 1. Vaksin Polio Imunisasi polio merupakan imunisasi untuk mencegah penyakit poliomyelitis. (Alimul, 2008). Terdapat dua jenis vaksin polio: Vaksin virus polio hidup yang diberikan peroral (OPV) dan vaksin virus polio inkatif (IPV) yang diberikan secara parenteral. OPV menstimulasi imunitas alami dengan memproduksi pertahanan intestinal dan antibodi. 11
Virus yang hidup diekresikan dalam feses dan dapat menginfeksi individu rentan yang terpajan. OPV tidak boleh diberikan pada pasien dengan imunodefisiensi, termasuk pasien yang menerima terapi imunosupresan atau
yang memiliki anggota keluarga penderita
imunodefisiensi. Pada keadaan ini harus diberikan IPV (Schwartz, 2005). Untuk kekebalan terhadap polio diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3. Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005). Pemberian vaksin polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin Hepatitis B dan DPT. Reaksi imunitas biasanya tidak ada, mungkin pada bayi akan berak– berak ringan. Imunisasi polio tidak ada efek samping, bila ada mungkin berupa kelumpuhan anggota gerak (Ranuh, 2011). 2. Vaksin Diteri, Pertusis, dan Tetanus (DPT) DPT adalah suatu suspensi sel Bordetella pertusis inaktif dikombinasikan dengan toksoid difteri dan tetanus. Dosis imunisasi ini adalah 0,5 ml yang diberikan secar intramuskular (Schwartz, 2005). Pemberian vaksin DPT dapat menimbulkan beberapa efek samping, seperti reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri di lokasi suntikan, reaksi alergi, dan demam yang dapat menimbulkan kejang demam (sekitar 0,06%) (Schwartz, 2005;Cahyono, 2010). Kolaps atau keadaan seperti syok jarang sekali terjadi. Acetaminofen, dengan dosis 15mg/kg berat badan sebaiknya diberikan sebagai profilaksis terhadap demam (Schwartz, 2005). 3. Vaksinasi Bacillus Celmette Guerin (BCG) Imunisasi BCG adalah prosedur memasukkan vaksin BCG yang bertujuan memberi kekebalan tubuh terhadap kuman mycobacterium tuberculosis dengan cara menghambat penyebaran kuman (Alimul, 2008).
12
Vaksinasi Bacillus Celmette Guerin (BCG) diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. (Depkes RI, 2005). 4. Vaksin Campak Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit menular (Alimul, 2008). Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freezeried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. (Depkes RI, 2005; Cahyono, 2010). Di negara berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi lebih awal terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu (maternal antibody), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak mulai diberikan pada anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005). Imunisasi Campak memberi efek samping seperti terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas(Alimul, 2008). 5. Vaksin Hepatitis B Hepatitis B disebabkan infeksi virus Hepatitis B. Imunisasi Hepatitis B dapat digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit Hepatitis B. Pemberian imunisasi dilakukan tiga kali dan penguatnya 13
diberikan pada umur 6 tahun. (Alimul,2008). Indonesia merupakan negara pertama yang dipilih oleh The International Task Force on Hepatitis B Immunization untuk mengembangkan model program imunisasi hepatitis B yang dimulai dari Pulau Lombok (NTB) (Muchlastriningsih, 2005).
Pemberian imunisasi hepatitis B jarang
menimbulkan efek samping yang serius. Efek samping vaksin tersebut umumnya ringan dan cepat hilang, misalnya rasa sakit di tempat suntikan, sedikit demam, dan rasa sakit pada tulang sendi (Cahyono, 2010).
E. KONTRAINDIKASI IMUNISASI Imunisasi sebaiknya tidak diberikan bila anak dalam keadaan sakit akut atau adanya riwayat reaksi yang berat pada imunisasi sebelumnya. Vaksin dari organisme hidup yang dilemahkan seperti polio, campak, mumps, campak jerman, dan BCG, sebaiknya tidak diberikan kepada anak dalam keadaan defisiensi imun, kelainan kongenital pada fungsi imun, termasuk anak-anak yang sedang mendapat obat-obat sitotoksik dan kortikosteroid dosis tinggi, karena adanya resiko terjadinya infeksi umum yang berat (Schwartz, 2005; Hull, 2008).
F. JADWAL IMUNISASI DI INDONESIA Jadwal imunisasi menurut Departemen Kesehatan RI tahun 2009 adalah sebagai berikut: 1. Bayi berumur 0-7 hari diberi vaksin Hepatitis B. 2. Bayi berumur 1 bulan diberi vaksin BCG dan vaksin Polio pertama. 3. Bayi berumur 2 bulan diberi vaksin combo DPT/HB pertama dan vaksin Polio kedua. 4. Bayi berumur 3 bulan diberi vaksin combo DPT/HB kedua dan vaksin Polio ketiga. 14
5.
Bayi berumur 4 bulan diberi vaksin combo DPT/HB ketiga dan vaksin Polio keempat.
G. PELAYANAN
IMUNISASI
YANG
DISEDIAKAN
PEMERINTAH ATAU KANTOR-KANTOR KESEHATAN Berdasarkan tempat pelayanan, imunisasi dibagi menjadi : 1.
Pelayanan
imunisasi
di
dalam
gedung
(komponen
statis)
dilaksanakan di Puskesmas, Puskesmas pembantu, rumah sakit, rumah bersalin dan polindes. 2.
Pelayanan imunisasi di luar gedung dilaksanakan di posyandu, kunjungan rumah dan sekolah
3.
Pelayanan imunisasi dapat juga diselenggarakan oleh swasta seperti: a. Rumah sakit swasta b. Dokter praktik c. Bidan praktik(Depkes, 2005)
H. PREVALENSI PENYAKIT INFEKSI Data dari World Health Statistic tahun 2009 menunjukkan besarnya perbedaan prevalensi tuberculosis per 100.000 penduduk dan kematian yang berhubungan dengan tuberculosis per 100.000 penduduk di negara-negara anggota ASEAN dan SEARO. Angka prevalensi tuberkulosis pada tahun 2007 di negara-negara anggota ASEAN berkisar antara 27 sampai 664 per 100.000 penduduk. Kamboja menduduki peringkat teratas untuk prevalensi tertinggi sedangkan yang terendah ada di Singapura. Sedangkan untuk negara-negara anggota SEARO, prevalensi terjadinya tuberkulosis berkisar antara 4 sampai 47 per 100.000 penduduk dengan peringkat tertinggi berada di Timor Leste dan terendah di Maladewa.
15
Diantara 18 negara di ASEAN dan SEARO, Indonesia dengan prevalensi 326 per 100.000 penduduk berada pada urutan ke enam (Depkes, 2008). Sedangkan untuk provinsi Jawa Tengah prevalensi penyakit tuberkulosis adalah 1,5 per 100 yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota (Riskesdas Jateng, 2007). Pada tahun 2005 dilaporkan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia untuk penyakit polio dengan kasus sebanyak 349. Namun angka ini menurun drastis setahun kemudian karena penyakit polio mulai dapat dikendalikan salah satunya melalui imunisasi sehingga pada tahun 2007 sudah tidak ditemukan lagi (Depkes, 2008). Pada tahun 2007 jumlah kasus tetanus di ASEAN dilaporkan tertinggi berada di Filiphina dan Indonesia dengan jumlah kasus 100 orang (Depkes, 2008). Menurut riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi Jawa Tengah angka prevalensi untuk kasus hepatitis adalah 0,5% dengan prevalensi di Kota Surakarta sebesar 0,4%. Sedangkan untuk kasus campak prevalensi di Jawa Tengah menunjukkan angka 1,1% (rentang 0,2%-2,9%) dan untuk
Kota Surakarta
prevalensinya
menunjukkan angka 0,7%
(Riskesdas Jateng, 2007).
I.
CAKUPAN IMUNISASI DASAR DI INDONESIA Menurut laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2010
seorang bayi dikatakan sudah mendapat imunisasi lengkap adalah bayi yang telah mendapatkan kelima imunisasi dasar yaitu satu kali BCG, tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak (Riskesdas, 2010). Dari data riskesdas didapatkan persentase imunisasi lengkap antar provinsi terdapat variasi yang besar. Terlihat dari data tersebut cakupan imunisasi lengkap tertinggi ada di provinsi D.I. Yogyakarta dengan persentase 91,1% dan terendah ada di provinsi Papua dengan persentase 16
28,2%. Sedangkan persentase tertinggi untuk bayi yang tidak mendapat imunisasi lengkap ada di provinsi Nusa Tenggara Timur dengan persentasi 53% dan terendah ada di provinsi D.I. Yogyakarta. Pada riskesdas juga dilaporkan persentasi bayi yang tidak mendapatkan imunisasi. Untuk persentasi tertinggi bayi yang tidak mendapat imunisasi ada di provinsi Papua dengan persentasi 35,3% dan terendah provinsi D.I. Yogyakarta dengan persentase 0%. (Riskesdas, 2010). Pada data riskesdas juga disebutkan persentase untuk Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar 69% pada bayi yang telah mendapat imunisasi lengkap, 27,3% pada bayi yang tidak mendapat imunisasi lengkap, dan 3,8% untuk bayi yang tidak mendapat imunisasi. (Riskesdas, 2010). Sedangkan menurut riskesdas Provinsi Jawa Tengah tahun 2007 untuk Kota Surakarta diperoleh persentase 63,2% pada bayi yang telah diberi imunisasi lengkap, 36,8% untuk bayi yang tidak diberi imunisasi lengkap, dan 0% untuk bayi yang tidak diberi imunisasi (Riskesdas Jateng, 2007).
J.
PENYAKIT YANG DAPAT DICEGAH DENGAN IMUNISASI Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
penyakit infeksi adalah melalui pemberian vaksin (vaksinasi). Begitu banyak vaksin yang telah ditemukan untuk mencegah berbagai macam penyakit namun hanya 7 yang diupayakan pencegahannya melalui program imunisasi yang selanjutnya disebut sebagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Diupayakannya ketujuh imunisasi ini didasarkan pada berbagai pertimbangan diantaranya besarnya masalah yang ditimbulkan, keganasan penyakit, efektifitas vaksin, dan yang terakhir adalah kemungkinan pengadaan vaksin (Ariebowo,2005). Tujuh penyakit yang termasuk PD3I ini adalah difteri, pertusis, tetanus, tuberkulosis, hepatitis B, campak, dan poliomielitis (Reza, 2006).
17
1. Difteri Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae tipe gravis, mitis, dan intermedios. Gejala yang timbul dapat berupa membran dalam rongga hidung sampai sangat berat dan menyebabkan kematian. Yang sering dijumpai adalah faucial diphteriae (tonsil) dengan pembengkakan kelenjar sekitar leher. Reservoirnya hanya manusia dan cara penularannya melalui partikel percikan ludah yang tercemar. Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara sub tropis, dan terutama menyerang anak-anak berumur dibawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Cara
pemberantasan
yang
paling
efektif
yaitu
dengan
memberikan imunisasi pada waktu bayi dengan vaksin yang mengandung diphteriae toxoid, tetanus toxoid, seperti DPT. (Ariebowo, 2005; Reza, 2006). 2. Pertusis Merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bordatella pertussis. Reservoir penyakit ini adalah manusia dan cara penularannya melalui kontak langsung dengan discharge selaput lendir saluran pernafasan dari orang yang terinfeksi lewat udara atau melalui percikan ludah. Pertusis merupakan salah satu penyakit endemis yang sering menyerang anak-anak di seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ,maupun letak geografis. Terjadi penurunan angka kesakitan akibat pertussis pada masyarakat dimana program imunisasi berjalan baik, pelayanan kesehatan baik dan status gizi yang baik pula (Ariebowo, 2005) Imunisasi merupakan satu-satunya cara pencegahan karena kekebalan dari ibu tidak bersifat protektif (Ariebowo, 2005). Pemberian imunisasi dilakukan saat berusia 2 bulan kemudian dilanjutkan sesuai dengan jadwal yang telah dianjurkan. (Reza, 2006). 18
Gejala yang ditimbulkan adalah akibat dari toksin yang dihasilkan oleh kuman. Toksin tersebut akan melumpuhkan bulu getar pada saluran pernafasan sehingga menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, dan berpotensi menyebabkan pneumonia. Dengan adanya gangguan ini maka akan terjadi penumpukan lendir dalam saluran pernafasan yang akan mengakibatkan terjadinya batuk paroksismal tanpa ispirasi yang diakhiri dengan bunyi whoop (IDAI, 2005). 3. Tetanus Penyebabnya adalah bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini akan menghasilkan eksotoksin yang hidup secara anaerobik pada luka. Gejala khasnya adalah adanya kontraksi otot disertai rasa sakit, terutama otototot leher, yang diikuti dengan otot-otot seluruh badan. Reservoir bakteri tetanus adalah usus kuda dan hewan lainnya, termasuk manusia dapat juga menjadi bagian di dalamnya. Penularan dapat terjadi melalui spora yang masuk ke dalam tubuh, biasanya melalui luka tusuk yang tercemar tanah, debu jalanan, atau tinja hewan dan manusia. Namun dapat juga melalui peralatan yang terkontaminasi. Tidak ada penularan langsung dari manusia ke manusia. Upaya pencegahannya dapat dilakukan melalui pemberian imunisasi dalam kombinasi vaksin DPT (Reza, 2006). 4. Tuberkulosis Penyebabnya
adalah
Mycobacterium
tuberculosis.
Proses
perjalanan penyakit berlangsung lama dan biasanya berlangsung dalam keluaraga sehingga menyebabkan resiko infeksi terbesar di dunia yang dapat menyebabkan cacat dan kematian. (Ariebowo, 2005; Reza, 2006). Cara penularannya melalui droplet yang mengandung bakteri penyebab terutama di daerah padat penduduk. Reservoirnya terutama adalah manusia, resiko terjadinya penyakit ini tinggi pada usia dibawah 3 tahun, remaja, serta dewasa muda. (Ariebowo, 2005).
19
Pemberian imunisasi terhadap mereka yang tidak terinfeksi tuberkulosis (tes tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif (Reza, 2006). 5. Hepatitis B Infeksi virus hepatitis B (VHB) menyebabkan sedikitnya satu juta kematian/tahun. Saat ini terdapat 350 juta pasien hepatiti B kronis dengan 4 juta kasus baru/tahun. Infeksi pada anak umumnya asimtomatis tetapi 80-95% akan menjadi kronis dan salam 10-20 tahun akan menjadi sirosis dan/atau karsinoma hepatoselular (KHS). Di negara endemis, 80% KHS disebabkan oleh VHB. Risiko KHS ini sangat tinggi bila infeksi terjadi pada usia dini. Di lain pihak, terapi antivirus belum memuaskan, terlebih pada pengidap yang terinfeksi secara vertikal atau pada usia dini. Di kawasan yang prevalens infeksi VHBnya tinggi, infeksi terjadi pada awal masa kanak-kanak baik secara vertikal maupun horisontal. Oleh karena itu, kebijakan utama tata laksana VHB adalah memotong jalur transmisi sedini mungkin. Vaksinasi universal bayi baru lahir merupakan upaya yang paling efektif dalam menurunkan prevalens VHB dan KHS. (IDAI, 2005). 6. Campak Penyakit ini disebabkan oleh virus campak, anggota genus morbilivirus dari famili paromyxoviridae yang merupakan virus akut yang sangat menular sehingga mudah timbul suatu wabah (Ariebowo, 2005; Reza, 2006). Gejala awalnya berupa demam, konjungtivitis, pilek, batuk, dan bintik-bintik kecil dengan bagian tengah berwarna putih atau putih kebiru-biruan dengan dasar kemerahan di daerah mukosa pipi (bercak koplik) (Reza, 2006). Reservoirnya adalah manusia. Penularan dapat terjadi pada hari pertama sebelum muncul gejala prodromal sampai 4 hari setelah timbul ruam. Penularan dapat melalui udara maupun kontak langsung melalui sekret hidung atau tenggorokkan dari orang yang terinfeksi. 20
Upaya pencegahannya dapat dilakukan melalui imunisasi campak menggunakan vaksin yang mengandung virus campak yang dilemahkan (Reza, 2006). Pemberian vaksin campak 1 kali dapat memberikan kekebalan sampai lebih dari 14 tahun. Untuk mengendalikan penyakit ini diperlukan cakupan imunisasi minimal 80-95% secara merata selama bertahun-tahun (Ariebowo, 2005) 7. Poliomielitis Penyebabnya adalah poliovirus (genus enterovirus) tipe 1,2 dan 3 dimana semua tipe ini dapat menyebabkan kelumpuhan. Reservoir satusatunya adalah manusia dan sumber penularan biasanya berasala dari penderita tanpa gejala terutama anak-anak (sitasi). Penularan dapat melalui fecal oral atau droplet sangat cepat terutama pada daerah padat dengan sanitasi kurang (Ariebowo, 2005). Sebelum usia 3 tahun seorang anak biasanya telah mempunyai antibodi terhadap polio secara alami. Antibodi yang didapat dari ibu ini hanya mampu melindungi anak dalam minggu-minggu pertama saat lahir (Ariebowo, 2005). Cara pencegahannya dapat dilakukan melalui pemberian imunisasi polio. Satu dosis akan memberikan kekebalan terhadap 3 tipe virus polio pda sekitar 50% penerima vaksin. Dengan 3 dosis, 95% penerima vaksin akan terlindungi dari ancaman poliomielitis, diperkirakan seumur hidup. Disamping itu, virus yang ada pada vaksin dapat mengimunisasi orang-orang disekitarnya dengan cara penyebaran sekunder. Hal ini dapat memutus rantai penularan penyakit polio (Reza, 2006).
21
VIII. Kerangka Pemikiran Pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar Pemberian Imunisasi
Pemberian imunisasi
dasar tidak lengkap
dasar secara lengkap
Berisiko terkena
Pembentukan sistem
penyakit infeksi
imun
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan imunisasi Penyakit infeksi menurun Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan: : yang diteliti : yang tidak diteliti
IX. Hipotesis Tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar berpengaruh terhadap penurunan prevalensi terjadinya penyakit infeksi pada bayi di Surakarta.
22
X. Metode Penelitian A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian jenis observasional analitik yaitu penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada situasi atau sekelompok kerja (Notoatmojo, 2005). Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah cross sectional yang merupakan rancangan dengan melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat bersamaan (sekali waktu) (Alimul H, 2003).
B. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di 5 puskesmas di Surakarta.
C. Subyek penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seorang ibu yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, sebagai berikut. 1. Kriteria inklusi: a. Usia 20 - 40 tahun. b. Memiliki bayi baru lahir sampai usia 24 bulan 0 – 24 bulan c. Bisa membaca dan menulis d. Bersedia menandatangani lembar persetujuan keikutsertaan dalam penelitian. e. Ibu dengan tingkat pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat.
23
2. Kriteria eksklusi: a. Bayi dengan kontraindikasi imunisasi. b. Tidak bersedia menjadi responden dalam penelitian. Dan ibu yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diatas sebanyak 100 ibu.
D. Besar Sampel Jumlah sampel yang digunakan dapat ditentukan dengan rumus sebgai berikut (Notoatmojo, 2005): n= N 1+N(
)
Keterangan: N
: besar populasi
n
: besar sampel
d
: tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan Karena populasi dalam penelitian ini sebanyak 100 ibu yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, maka sesuai dengan rumus tersebut dapat dihitung sebagai berikut: n=
100 1 + 100 (
)
= 80 Jadi, beradasarkan hasil perhitungan diatas didapatkan jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian sebanyak 80 ibu yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
24
E. Teknik Pengambilan Sampel Pengambilan
sampel
dilakukan
secara
simple
random
sampling dengan cara mengacak atau mengundi menggunakan tabel random. F. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas : tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar Indikator pengetahuan adalah: a. Baik (76-100%) b. Cukup (56-75%) c. Kurang (40-55%) d. Buruk (<40%) 2. Variabel terikat : penyakit infeksi Indikator penyakit infeksi adalah (dilihat dari data puskesmas): a. Tinggi b. Rendah
G. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel bebas: tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar a. Definisi: tinggi rendahnya pemahaman ibu mengenai imunisasi yang dilihat dari pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar, ketepatan ibu untuk memberikan imunisai kepada bayinya, dan kelengkapan imunisasi dasar pada bayinya b. Parameter: Ibu yang mengetahui pengertian, manfaat, tujuan dan jadwal pelaksanaan imunisasi dasar. c. Alat ukur: Kuesioner d. Hasil ukur: Baik (76-100%); Cukup (56-75%); Kurang (4055%); Buruk (40%) e. Skala pengukuran: ordinal
25
2. Variabel terikat: penyakit infeksi a. Definisi: penyakit infeksi (infectious disease), yang juga dikenal sebagai communicable disease atau transmissible disease adalah penyakit yang nyata secara klinik (yaitu, tanda-tanda dan/atau gejala-gejala medis karakteristik penyakit) yang terjadi akibat dari infeksi, keberadan dan pertumbuhan agen biologik patogenik pada organisme host individu. b. Parameter: Melakukan imunisasi dasar yang terdiri dari imunisasi BCG 1x, DPT 3x, polio 4x, campak dan hepatitis B 3x. c. Alat ukur: Data Puskesmas d. Hasil ukur: Tinggi dan rendah. e. Skala pengukuran: nominal 3. Variabel antara a. Dukungan keluarga Motivasi yang diberikan keluarga untuk memeriksakan bayinya setiap ada kegiatan posyandu. Cara pengendaliannya adalah dengan mengingatkan ibu untuk membawa bayinya ke posyandu. b. Tingkat pendidikan Suatu proses belajar yang ditempuh secara formal. Cara pengendaliannya seorang ibu yang minimal berpendidikan SD.
H. Instrumentasi Penelitian Pada penelitian ini peneliti menggunakan: 1) Lembar persetujuan keikutsertaan dalam penelitian; 2) Kartu menuju sehat (KMS); 3) Kuesioner tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi; dan 4) Software SPSS 17.0 for windows.
26
I. Cara Kerja 1. Meminta data penyakit infeksi di Dinas kesehatan Surakarta. Pengumpulan data mengenai prevalensi dan angka kejadian penyakit infeksi ini dilakukan melalui dinas kesehatan wilayah Surakarta. Pengumpulan data tersebut termasuk pengumpulan data secara sekunder dimana peneliti mendapatkan data melalui pihak lain, yaitu dinas kesehatan wilayah Surakarta. 2. Mendatangi puskesmas di wilayah Surakarta. Setelah pengumpulan data, dilanjutkan dengan mendatangi beberapa puskesmas di wilayah Surakarta yang telah dipilih secara acak sebelumnya. 3. Meminta ibu membawa dan mengumpulkan KMS. Langkah berikutnya adalah meminta ibu-ibu yang memiliki kriteria inklusi pada puskesmas-puskesmas yang telah dipilih sebelumnya untuk mengumpulkan Kartu Menuju Sehat (KMS) untuk dapat diamati kelengkapan dan ketertiban imunisasi pada masing-masing balita. 4. Melakukan pengamatan pada KMS. 5. Meminta ibu untuk mengisi kuesioner. Berikutnya,
dilakukan
pengumpulan
data
primer
dengan
menggunakan kuesioner, yaitu daftar pertanyaan yang tersusun rapi sehingga responden hanya perlu memberikan jawaban dengan tanda, terhadap ibu-ibu yang memiliki balita mengenai imunisasi dasar balita dan penyakit infeksi dengan menggunakan pertanyaan tertutup, dimana sebelumnya peneliti melakukan informconsent terlebih dahulu, setelah responden bersedia peneliti menjelaskan tentang cara pengisian kuesioner, kemudian peneliti meminta untuk mengisi pertanyaan yang telah disediakan.
27
6. Pengumpulan data didapat dari hasil pengisian kuesioner. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan program SPSS versi 17.0. Setelah didapatkan semua data dari hasil pengisian kuesioner, dilakukan pengolahan data dengan menggunakan teknik analisis data dan dengan program SPSS versi 17.0.
J. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kuantitatif dalam bentuk prosentase yang diubah dalam analisis kualitatif yang dikategorikan menjadi baik dan tidak baik serta dilakukan uji kontinuensi yang mengandung chi square yaitu alat penguji hipotesis dengan data nominal. Rumus: C √
= +
Keterangan: : Chi kuadrat C
: koefisiensi kontinuitas
N
: jumlah hasil
Dasar pengambilan keputusan berdasarkan kriteria penilaian sebagai berikut: 1. Ho ditolak jika p value <0,05 untuk taraf signifikan 5% Berarti ada hubungan tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar dengan prevalensi terjadinya penyakit infeksi pada bayi di Surakarta. 2. Ho diterima jika p value <0,05 untuk taraf signifikan 5% Berarti tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar dengan prevalensi terjadinya penyakit infeksi pada bayi di Surakarta.
28
Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan perhitungan manual dan bantuan komputerisasi program SPSS.
K. Rancangan Penelitian Populasi sumber Subjek
yang
kriteria
memenuhi
inklusi
dan
eksklusi. Simple random sampling sampel
Pengisian
kuesioner
mengenai Pengetahuan ibu mengenai imunisasi dasar.
Prevalensi terjadinya infeksi penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
Analisis data
Bagan 2. Rancangan Penelitian
29
XI. Jadwal Penelitian Macam Kegiatan 1
2
3
4
5
6
Minggu ke7 8 9 10
11
12
Pembuatan Proposal Konsultasi Proposal Ujian Proposal Penelitian Penulisan Skripsi Konsultasi Skripsi Ujian Skripsi
Bagan 3. Jadwal Penelitian
XII. Daftar Pustaka A.H Markum, 2002. Imunisasi, Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Penerbit FK UI, P: 26. Alimul A. Azis. 2008. Ilmu Kesehatan anak untuk Pendidikan Kebidanan. Salemba Medika, P: 54-56. Ariebowo. 2005. Analisis Faktor-Faktor Organisasi Yang Berhubungan Dengan Cakupan Imunisasi Puskesmas Di Kabupaten Batang. http://eprints.undip.ac.id/14706/1/2005MIKM4079.pdf diakses pada 29 Oktober 2012. Arvin Nelson., Behrman Kliegman. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Edisi 15. Jakarta: EGC, P:1248 Ayubi D. 2009. Konstribusi Pengetahuan Ibu Terhadap Status Imunisasi Anak di Tujuh Provinsi di Indonesia. Jurnal Pembangunan Manusia Vol 1:P: 7 http://balitbangnovda.sumselprov.go.id/data/download/20100 414130019.pdf diakses pada 30 Oktober.
30
13
14
Azis Alimul Hidayat, A. 2008 . Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Jakarta: EGC, P: 98 Azwar A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta. P: 5859 Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. http://www.dinkesjatengprov.go.id/download/mi/riskesdas_ja teng2007.pdf diakses pada 29 Oktober 2012. Buletin data surveilans PD3I & imunisasi. 2010. Penyakit dapt dicegah dengan imunisasi. Vol.6 No.1. Direktorat Surveilans, Imunisai, Karantina & Kesehatan Matra, Ditjen PP dan PL, DEPKES RI. Cahyono J.B. Suharjo B, Lusi R.A, Verawati, Sitorus R, Utami Rieke Cahya Budi, Dameria K. 2010. Vaksinasi. Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), P:59, 64, 60 Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. http://www.depkes.go.id/download/publikasi/Profil%20Kese hatan%20Indonesia%202008.pdf diakses pada 30 Oktober 2012. Departemen Kesehatan RI. 2000. Pedoman Operasional Pelayanan Imunisasi. Jakarta: Depkes RI http://www.depkes.go.id/download/publikasi/Pedoman%20O perasional%20Pelayanan%20Imunisasi%202000.pdf diakses pada 30 Oktober 2012.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Depkes RI http://www.depkes.go.id/download/publikasi/Pedoman%20P enyelenggaraan%20Imunisasi%202004.pdf diakses pada 30 Oktober 2012.
31
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pedoman Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Depkes RI http://www.depkes.go.id/download/publikasi/Pedoman%20P enyelenggaraan%20Imunisasi%202005.pdf diakses pada 30 Oktober 2012. Departemen Kesehatan Republik Indonesia . 2009. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (buku KIA), edisi tahun 2009. Jakarta : Depkes RI. P: 122
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia.Jakarta. P: 619 Grossman M, Terr,. 2003. Immunization in : Medical Immunology.10th Ed:P: 699. Mc.Graw Hill. ALange Medical Book. Hull David,. Johnson, Derek.I. 2008. Dasar-Dasar Pediatri, Edisi 3. Jakarta: EGC, P:105 Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2011. Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 tahun. Jakarta : IDAI. P: 10-11 Isfan, R. 2006. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Status Imunisasi Dasar Pada Anak Di Puskesmas Pauh Kota Padang Tahun 2006. http://eprints.lib.ui.ac.id/753/1/107561T%2019078a.pdf diakses pada 29 Oktober 2012. Karina A.N., Warsito BE. 2012 . Pengetahuan Ibu Mengenai Imunisasi Dasar Balita. Jurnal Nursing Studies Vol 1:P: 30 – 35. http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing diakses pada 21 Oktober 2012 Levinson W., 2002. Jawetz E. Medical Microbiology & Immunology. 7th ed:P: 361-362. Mc GrawHill. Mubarak W.I. 2007. Promosi Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu. P: 49-53 32
Muchlastriningsih Enny.2005. Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi di Indonesia .Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 148, 2005 Muhammad A. 2002. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Tentang Imunisasi. Medan. http://library.usu.ac.id/modules.php. op=modload diakses pada 29 Oktober 2012 Notoadmodjo S. 2003. Pendidikan & Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. P: 82-85 Parslow Tristram G. 2003. Immunogent, Antigens & Vaccine, in: Medical Immunology 10th Ed: P :70-75. Mc.Graw Hill. A Lange Medical Book. Ranuh, I.G.N, Suyitno, H. Hadinegoro, S.R.S. Kartasasmita CB. 2011. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. P: 1; 9; 250 – 254. Satuan Tugas Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Pedoman Imunisasi, Edisi Ketiga. Jakarta. P: 35-38 Schwartz M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC, P: 57 Slamet. 1999. Sosiologi Kesehatan. Universitas Gajah Mada Press: Yogyakarta. P: 119-122 Soedjatmiko. 2009. Imunisasi penting untuk mencegah penyakit berbahaya. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diakses 22 oktober 2012. http://www.idai.or.id/imunisasi/artikel.asp?q=201011310421 Supriyono. 2005 (unpublizer). Gambaran Suhu Vaksin di Dalam Vaccine Carrier. Universitas Diponegoro Semarang. P: 41-44 33
Tarwoto. 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika. P: 59-60 United Nation Children’s Fund . 2012. Young child survival and development. http://www.unicef.org/childsurvival/index.html Diakses pada 30 Oktober 2012. World Health Organization. 2002.Vaccines, Immunization And Biologicals. The Cold Chain. http://www.WHO.Int/Vaccines%Access/Vacman/Coldchain/ TheCold_Chain_.Htm, diakses tanggal 21 Oktober 2012 World Health Organization South East Asia Regional Office. 2012. Immunization and vaccine development south-east asia region. http://www.searo.who.int/en/Section1226/Section2715.htm Diakses pada 22 oktober 2012.
34