•J
-~J -mS^m*+**/**—
j
J
\
v\ \
\j_ !X
^i
/ L
-/
J^.
J
LüL Wim Hoppers Buku Serial Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan terbitan UNESCO (United Nation Educati* Scientific, and i
PENGEMBANGAN ORIENTASI PENDIDIKAN DASAR
Hof
3(
Wim Hoppers
PENGEMBANGAN ORIENTASI PENDIDIKAN DASAR
IIEP
DOCUMENTATION
U-3S-Í
J
007971000009
lifo. WACANAILMU DAN PEMIKIRAN
t~r\i\ I.I.E.P. - I.I.P.F. 9,furt.DclucfoiK 7S016 i'ARIS
¡2 3. JUIN 2006 i CENT^E^'DTE ÌDOCUME-NTATÌON}
PENGEMBANGAN ORIENTASI PENDIDIKAN DASAR Wim Hoppers
Penerjemah • Moh. Asrar Yusuf Penyunting • Abas Al-Jauhari Hak Cipta pada • Pengarang Hak Penerbitan pada • PT. Logos Wacana Ilmu Cover/Layout • Muis Cetakan Pertama • Maret 2004 M Diterbitkan oleh • PT. Logos Wacana Ilmu Jl. IT. H. Djuanda No. 50BlokD-30, Ciputat 75412 Telp. (OZI) 7418816, 7418817, Fax. (021) 7418817 e-mail:
[email protected] Judul Asli: Searching for relevance: the Development of work orientation in basic education Buku Asli Diterbitkan tahun 1996 oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization 7 place de Fontenoy, F 75352 Paris 07 SP Fundamentals of Educational Planning (Dasar-dasar Perencanaan Pendidikan)
Hoppers, Wim Pengembangan Orientasi Pendidikan Dasar/ Wim Hoppers; penerjemah, Moh. Asrar Yusuf; penyunting, Abas alJauhari,-Jakarta : Logos, 2004 xxvi + 150 ; 14,5x21 cm Judul asli: Searching for relevance • the Development of work orientation in basic education ISBN 979-626-146-4 1. Manajemen dan organisasi sekolah I. Judul II. al-Jauhari, Abas 371.2
Dasar-Dasar Perencanaan Pendldikan
B
eberapa buklet dalam seri ini utamanya ditulis untuk dua kelompok pembaca, yaitu: mereka yang terlibat dalam administrasi dan perencanaan bidang pendidikan, baik di negara berkembang m a u p u n negara maju; dan kelompok lain, khususnya, para pejabat tinggi pemerintah dan pembuat kebijakan yang mencari suatu pemahaman tentang perencanaan bidang pendidikan dan hubungannya dengan pembangunan nasional secara kesuluruhan. Buklet ini diharapkan dapat berguna baik untuk keperluan studi pribadi maupun programprogram pelatihan formal. Sejak seri ini diluncurkan pada 1967, praktek dan konsep perencanaan bidang pendidikan sudah mengalami perubahan substansial. Banyak asumsi yang mendasari usaha-usaha ke arah rasionalisasi proses pengembangan bidang pendidikan, telah diluitisi atau diabaikan. Sekalipun perencanaan terpusat {centralized planning yang kaku secara nyata terbukti tidak sesuai sekarang ini, tidak berarti bahwa semua format perencanaan tidak diperlukan. Sebaliknya, kebutuhan untuk mengumpulkan data, mengevaluasi efisiensi program yang ada, mengambil cakupan studi yang luas, menyelidiki pengembangan masa
v
depan dan memperluas perdebatan untuk memandu pengambilan kebijakan bidang pendidikan, menjadi lebih penting lagi dibanding sebelumnya. Lingkup perencanaan bidang pendidikan telah diperluas. Sebagai tambahan terhadap sistem pendidikan formal, perencanaan pendidikan sekarang ini berlaku untuk semua usaha bidang pendidikan penting dalam setting non-formal lainnya. Perhatian pada pertumbuhan dan perluasan sistem pendidikan semakin lengkap, dan kadang-kadang digantikan oleh munculnya perhatian terhadap mutu keseluruhan proses pendidikan dan kontrol terhadap hasilnya. Akhirnya, para perencana dan administrator menjadi semakin sadar akan pentingnya strategi implementasi dan peran mekanisme pengaturan yang berbeda: pilihan metode pembiayaan, prosedur pengujian dan sertifikasi, atau berbagai peraturan dan struktur perangsang lainnya. Perhatian p e r e n c a n a menjadi dua kali lipat, yakni: untuk menjangkau suatu pemahaman yang lebih baik mengenai kebenaran pendidikan dalam dimensinya yang empirik dan terobservasi, dan untuk membantu mendefinisikan strategi yang cocok bagi perubahan. Buklet ini antara lain bertujuan untuk monitoring evolusi dan perubahan di bidang kebijakan pendidikan dan efeknya terhadap kebutuhan perencanaan bidang pendidikan; isu terbaru utama m e n g e n a i p e r e n c a n a a n b i d a n g pendidikan dan menganalisanya dalam konteks setting sosial dan historisnya; dan menjelaskan metodologi perencanaan yang dapat diterapkan baik di negara maju maupun berkembang. Untuk membantu Institut mengidentifikasi isu terbaru yang riil dalam perencanaan bidang pendidikan dan pengambilan kebijakan di berbagai negara seluruh dunia, ditunjuklah Dewan Editor, yang terdiri atas dua editor umum dan beberapa editor madya dari wilayah yang berbeda-beda. Semuanya profesional,
vi
dan menyandang reputasi yang baik di bidangnya masingmasing. Pada pertemuan pertama Dewan Editor di bulanJanuari 1990, para anggotanya mengidentifikasi topik-topik kunci untuk dimuat dalam isu-isu berikut: 1. Pendidikan dan Pengembangan 2. Pertimbangan Kesetaraan 3. Mutu pendidikan 4. Struktur, Administrasi dan manajemen pendidikan 5. Kurikulum 6. Biaya dan pendanaan pendidikan 7. Teknik Perencanaan dan pendekatan 8. Sistem informasi, monitoring dan evaluasi Masing-masing tema dipegang oleh satu atau dua editor madya. Seri-seri ini telah direncanakan secara hati-hati, tetapi tidak ada usaha yang dilakukan untuk menghindari perbedaan atau bahkan pertentangan pandangan yang dinyatakan oleh para penulis. Institut sendiri tidak ingin memaksakan doktrin resmi apapun. Karena itu, setiap pendapat merupakan tanggung jawab penulis itu sendiri dan tidak selalu mencerminkan UNESCO atau IIEP, sehingga seri-seri ini benar-benar membutuhkan perhatian di dalam forum ide internasional. Tentu saja, salah satu tujuan seri-seri ini adalah untuk m e n c e r m i n k a n keanekaragaman pengalaman dan pendapat, dengan memasukkan penulis yang berbeda-beda latar belakang dan disiplinnya, dan kesempatan menyatakan pandangan mereka tentang teori dan praktek perencanaan bidang pendidikan yang bisa berubahubah. Isu saat ini adalah mengenai 'pengembangan orientasi kerja pada pendidikan dasar'. Dalam pengakuan banyak orang, ini
Vil
adaiah isu yang sangat kontroversial: perlukah program orientasi kerja (work-orientation) diberikan pada tingkat pendidikan dasar atau pada tingkat berikutnya? Di dalam atau luar sekolah? Setelah beberapa tahun penekanan pada ''back to basii (kembali ke dasar), kebutuhan untuk memberikan perhatian lebih kepada relevansi isi program dan menyediakan beberapa macam orientasi kerja di sekolah, bagaimanapun, kembali kepada agenda para perencana dan policy-maker bidang pendidikan dari banyak negara; negara maju maupun sedang berkembang. Perkembangan seperti itu berkenaan dengan konteks pengangguran saat ini. Inijuga dibenarkan oleh adanya kebutuhan untuk menemukan metode baru belajar-mengajar agar para murid' tertarik terhadap pelajaran mereka. Pertanyaan penting selanjutnya adaiah apakah orientasi kerja sedemikian rupa tidak perlu diperkenalkan, tapi bagaimana seharusnya diperkenalkan, dan sejauhmana? Haruskah ia ditempatkan sebagai materi terpisah atau haruskah menjadi suatu orientasi yang menyebar ke seluruh bagian kurikulum? Perlukah melibatkan beberapa pengalaman kerja, dan pada umur berapa, atau perlukah aktivitas praktisnya diberi hak istimewa? Pelajaran apa yang dapat kita ambii dari pengalaman beberapa negara? Program mana yang sepertinya paling berhasil? Dapatkah program itu benar-benar berperan untuk memudahkan transisi dari sekolah ke bekerja, atau meningkatkan kualitas sekolah? Kondisi-kondisi seperti apa yang mendukung untuk implementasi rencana atau program seperti itu secara efektif? Menyadari akan pentingnya tema ini, Dewan Editor meminta Wim Hoppers, mantan anggota Pusat untuk Studi Pendidikan di Negara-negara sedang Berkembang (CESO), sekarang ini penasehat regional pada pendidikan dan pelatihan 'the Royal Netherlands Embassy di Zimbabwe', untuk menulis suatu buklet pada topik ini. Buklet ini akan meninjau ulang beberapa pendekatan yang berbeda yang diadopsi oleh berbagai negara, sebelum menjelaskan dari sudut pandang kebijakan dan
vin
perencanaan. Karenanya, bukletini akan menjadi bahan bacaan berharga untuk semua perencana dan policy-maker yang menyadari betapa pentingnya rencana atau program seperti itu. Institut sangat berterima kasih kepada Wim Hoppers atas kontribusinya yang sangat penting dan tepat waktunya bagi seri ini.
Jacques Hallak Asisten Direktur - Jenderal, UNESCO Direktur, HEP
IX
Komposisi Dewan Editor Ketua:
Jacques Hallack Asisten Direktur - Jenderal, UNESCO Direktur, HEP
Editor Umum:
Françoise Caillods HEP T. Neville Postlethwaite (Profesior Emiratus) University of Humburg Jerman
Associate Editors:
Arfah A. Aziz Kementerian Pendidikan Malaysia Jean-Claude Eicher Universitär Bourgogne Perancis Claudio de Moura Castro Inter-American Development Bank USA Kenneth N. Ross H E P / Deakin University Australia Richard Sack Konsultan Intemasional Perancis Douglas M. Windham State University of New York at Albany USA
Kata Pengaiitar
D
alam rangka mempersiapkan remaja memasuki dunia kerja dan memudahkan transisi mereka dari sekolah ke pekerjaan, para pengambil kebijakan {policy-makers) dan perencana bidang pendidikan di seluruh dunia selalu memberikan perhatiannya pada hai tersebut. Pada masa kekerasan ekonomi, ketika para lulusan sekolah [school leavers) hanya mempunyai satu kesempatan menemukan suatu pekerjaan di sektor modern, sementara pendidikan telah benar-benar meningkatkan harapanharapan, gagasan untuk memperkenalkan program berorientasi kerja ke dalam kurikulum menjadi menarik. Program ini bisa memudahkan transisi dari sekolah ke pekerjaan, mendorong ke arah perubahan dalam sikap dan membantu pengembangan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Banyak program telah dicoba di masa lalu, mulai dari program yang memperkenalkan masa kerja produktif ke dalam kurikulum sekolah, sampai yang menawarkan 'pre-vocational subjek' (materi pelajaran pra-kejuruan) untuk memudahkan orientasi awal di lingkungan dunia kerja, (juga self-employment, usaha mandili). Program seperti ini belum selalu sukses dan bahkan sering tidak memberikan keuntungan yang bisa dipertimbangkan oleh para penyelenggaranya. Alasan ketidaksuksesannya bervariasi. Banyak di antaranya berkaitan dengan tingkat
XI
kualifikasi guru yang rendah, yang tidak mampu mengaitkan teori dengan praktek, dan kenyataan bahwa sasaran ekonomidi mana produk-produk tertentu mendukung pembiayaan sekolah—mungkin menjadi lebih didahulukan keümbang sasaran yang bersifat pendidikan. Program seperti itu dianggap menjauhkan dari pelajaran konvensional, dengan begitu mengurangi (dan bukannya) meningkatkan mutunya. Maka benarlah, jika orang tua adalah orang pertama yang menolak. Memperkenalkan program orientasi kerja pada tingkat pendidikan dasar masih menjadi isu yang sangat kontorversial. Meskipun begitu, pengalaman-pengalaman seperti itu sedang menarik perhatian para policy-maker. Sejak Konferensi Dunia 'Pendidikan untuk Semua', banyak negara sedang berkembang sudah membuat kebijakan yang menjamin pendaftaran dari semua, (atau hampir semua), anak-anak usia dasar [primary-age) di sekolah. Umumnya anak-anak ini akan meninggalkan sekolah setelah enam atau sembilan tahun pendidikan dengan tidak mempunyai ketrampilan spesifik. Program-program yang mungkin memudahkan pengintegrasian mereka ke dalam format kerja atau self-employment manapun tampak cukup diminati. Minat ini tidaklah terbatas pada negara berkembang. Di negara maju pun, kebutuhan untuk memoüvasi anak muda dan untuk menyiapkan mereka untuk masuk ke dunia kerja modern, telah mendorong pengembangan rencana yang berbeda-beda, yang mengarah pada pemberian informasi kepada para murid tentang dunia pekerjaan. Itu berarti mengedepankan peran perusahaan dalam pendidikan dan menekankan cara baru pengajaran. Sasarannya adalah untuk membuat para murid lebih dapat menyesuaikan diri, dan memberikan mereka ketrampilan yang diharapkan oleh para pengguna, misalnya kreativitas, fleksibilitas dan kemampuan untuk memecahkan masalah. Sebagaimana dapat dilihat di buklet yang ditulis oleh Wim Hoppers ini, suatu cakupan yang luas dari program orientasi
Xll
kerja ditawarkan ke seluruh dunia. Program-program tersebut berbeda-beda sasaran dan pendekatannya. Beberapa di antaranya nyata-nyata menjurus ke kejuruan atau kecenderungan ekonomi, menekankan pada ketrampilan kerja dan memperluas kesadaran kejuruan. Sementara yang lain cenderung lebih menjurus kepada pendidikan, menekankan belajar sambil bekerja [learning by doing) dan menawarkan pelajaran ilmiah dan teknis pada situasi di kehidupan riil, seperti halnya dalam kerja. Penulis mengusulkan suatu tipologi menarik. Dengan meninjau ulang sejumlah studi kasus, ia menggambarkan bagaimana program pendidikan kerja [work-education) tertentu telah dipertimbangkan kembali, yang secara berangsur-angsur ditransformasikan atau diarahkan pada program lain yang integratif, menuju pendidikan umum. Buklet ini menyajikan apa yang bisa diharapkan dan apa yang tidak bisa diharapkan dari program orientasi kerja dalam konteks dan sistem pendidikan yang berbeda, dan dengan tingkat sumber daya yang berbeda. Memperkenalkan program orientasi kerja, misalnya, tanpa (pada waktu yang sama) meninjau ulang kurikulum inti dan isi materi, mungkin tidak akan berdampak seperti yang diharapkan. Banyak aspek lain juga harus dipertimbangkan dengan seksama, misalnya peluncuran program, keterlibatan berbagai mitra, organisasi layanan yang mendukung, persoalan penilaian, dan lain lain. Kontribusi yang sangat penting dari buklet ini adalah presentasi dan pembahasan mengenai berbagai perencanaan, dan isu implementasinya yang d i p e r t a r u h k a n saat ia diperkenalkan. Tentu saja dalam beberapa pengalaman yang gagal; tidak mungkin akibat programnya yang sangat buruk, tapi lebih akibat jeleknya manajemen yang diterapkan. Wim Hoppers bertahun-tahun mengamati dari dekat pendidikan yang berbeda-beda dengan program produksi, selama di Pusat untuk Studi Pendidikan di Negara Berkembang (CESO) atau di berbagai negara-negara Afrika Selatan, sehingga ia bisa
Xlll
lebih berkualitas dalam menyajikan isu kebijakan ini, perencanaan dan aspek organisatorisnya, dengan cara sedemikian seimbang.
Françoise Caillods Co-general editor
xiv
Daftarlsi Kata Pengantar Ucapan Terima Kasih Pendahuluan 1
II.
III.
xi xvii 1
Sifat Orientasi Kerja pada Pendidikan Dasar
7
Sifat Problematik Orientasi Kerja Pada Pendidikan Dasar Perkembangan Penafsiran tentang Orientasi Kerja 12 Pandangan Intemasional Terhadap Orientasi Kerja di Era 1990-an Pandangan Lembaga-Lembaga Intemasional
18 20
Jenis dan Pengalaman Program Orientasi Kerja
25
Jenis-Jenis Program dalam Orientasi Kerja Contoh-Contoh Pengalaman Program Pendidikan praktis: Ilmu pengetahuan lingkungan dan pertanian di Zimbabwe
25 32
Isu-isu Kebijakan di Seputar Orientasi Kerja
65
Meninjau Kembali Studi-Studi Kasus
65
XV
7
51
IV.
Relevansi Orientasi Keija di Sekolah Pembatasan Pendidikan Sekolah Letak Orientasi Keija di Dalam Struktur Kurikulum Strategi Pengembangan Orientasi Kerja Operasionalisasi Sasaran dan Prinsip-Prinsip Interaksi Dengan Lingkungan Sosial dan Ekonomi Membagi Tanggung-jawab
68 71 75 78 81 87 90
Perencanaan dan Implementasi Program Orientasi Kerja
95
Inisiasi dan Permulaan program Manajemen dan Organisasi Program Infrastruktur Untuk Layanan Pendukung Penilaian Orientasi Kerja
95 100 104 108
Apendiks I
115
ApendiksII
121
Indeks
131
xvi
Ucapan Terima Kasih
P
lenulis ingin menyampaikan penghargaan yang tulus kepada banyak orang yang secara langsung atau tidak langsung mendukung buklet ini. Pusat untuk Studi Pendidikan di Negara Berkembang (CESO), The Hague, Netherlands, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melakukan riset, dan para staff, khususnya Wim Biervliet, yang komentarkomentarnya banyak membantu, dan Han de Bruijn dengan 1 archival wortfnya.. Terima kasih juga kepada Kennem Raja, Keset Hultin, Kamala Peiris, Emily Mukarusagara, Yibing Wang, Ved Goel, M. Motselebane, M. Motselebane, Mark de Vries, Udo Bude, Herbert Bergmann, Oscar Corvalan, Zellyne Jennings, Hena Mukherjee, dan Sheldon Weeks, yang telah memberikan banyak materi dan sarannya. Terakhir, saya ingin berterima kasih kepada para praktisi di beberapa negara, yang dalam berbagai diskusi, membantu saya memahami secara mendalam (isu dan permasalahan) yang tidak ternilai dalam bidang ini. Meskipun begitu, versi terakhir tetap menjadi tanggungjawab penulis. "Sungguh mengagumkan, saya telah menjalani hai ini selama dua tahun, dan baru di tahun kedua saya mulai memahaminya. Sekarang, penekanannya adalah untuk mengarahkan
xvii
seorang anak agar mampu menggunakan tangannya untuk membantu dirinya sendiri, m a m p u m e m a h a m i mesin yang mengepung dia di dalam dunia ini. Pada awalnya kita salah berpikir dengan menekankan pada "penguasaan ketrampilan yang dapat dipekerjakan [employable skills)". Inspektur Kepala Sekolah Secondary, Nigeria (Lewin with Stuart, 1991, hai. 226)
XVUl
Pendahuluan
P
ersiapan untuk kerja telah menjadi suatu tujuan utama dari pengajaran terorganisir sepanjang sejarah manusia dan dalam kultur yang berbeda-beda. Namun, pada waktu yang sama, h u b u n g a n antara p e n d i d i k a n dan pekerjaan menjadi kontroversial. Ada beberapa penafsiran berbeda mengenai persiapan apa yang seharusnya dilakukan, b a g a i m a n a seharusnya ini diseimbangkan dengan tujuan pendidikan, dan bagaimana seharusnya dilembagakan. Ada pula argumentasi bahwa agen-agen sosialisasi- seperti sekolah, keluarga, tempat kerja- seharusnya membawa beban semakin besar untuk memperkenalkan angkatan muda ke dunia kerja. Sementara solusi yang ditentukan bervariasi sesuai dengan kelompok umur, kelas atau jenis kelamin, sudut pandang juga bergeser dengan mengubah hubungan kekuasaan dan ideologi yang mengontrol sekolah, dan dengan keuntungan ekonomi. Keinginan agar sekolah berkontribusi dalam menyiapkan angkatan muda masuk dunia kerja, sangat kuat hari ini. Ini terutama dipicu oleh permasalahan yang dihadapi para lulusan saat memasuki pasar tenaga kerja, juga oleh banyaknya perubahan di alam kerja dan teknologi produksi. Gagasan-gagasan baru sudah muncul mengenai bagaimana sekolah dapat berperan untuk mendayagunakan kaum muda secara efektif di lingkungan
1
pekerjaan. Banyak negara-negara OECD terlihat tampak kaku dalam kurikulum pendidikan umumnya dan menyimpulkan bahwa perhatian lebih besar kepada ilmu pengetahuan dan teknologi akan membantu secepatnya untuk meningka&an posisi kompetitif mereka di pasar dunia. Negara-negara miskin melihat diri mereka semakin ketinggalan dan menyadari relevansi pendidikan sebagai input kunci untuk melakukan pembangunan. Pusat-pusat studi intemasional berkisar pada isu tentang apa yang paling efektif diajarkan di sekolah, pada tingkat apa dan bagaimana, dalam konteks terbatasnya sumber daya dan tujuantujuan umum yang diharapkan dapat dicapai oleh sekolah. Buklet ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang peran sekolah, dan sebisa mungkin mengarahkan para muridnya ke dunia kerja. Ini semua dapat ditempuh dengan menyediakan suatu kebijakan umum dan tinjauan ulang atas praktik tentang bagaimana sekolah berhadapan dengan dunia kerja di dalam sistem pendidikan dan lingkungan budaya, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda. Buklet akan melihat beberapa bukti pengalaman dengan pendekatan orientasi kerja yang berbeda-beda, dan pelajaran berharga yang bisa dipelajari darinya. Buklet juga akan mengidentifikasi alternatif atau pilihan-pilihan komplementer untuk pendidikan, dalam kaitannya dengan dunia kerja. la akan mendiskusikan manfaatnya mereka, implikasi dan efek yang mungkin, dan memberikan petunjuk bagi pengembangan kebijakan, perencanaan dan implementasi program tersebut. Fokus buklet ini akan diarahkan pada pendidikan dasar formal. Ini meliputi pendidikan dasar, juga sebagian pada pendidikan menengah yang dapat diakses oleh sejumlah besar kaum muda dan dipertimbangkan sebagai sistem pendidikan dasar atau wajib. Dalam kaitan dengan lingkup dan isi, buklet ini sifatnya global dan menunjuk pada perkembangan di beberapa daerah yang berbeda di dunia. la akan memperhatikan tradisi dan ber-
2
bagai kemungkinan di negara liberal-demokratis Barat, sistem budaya Sosialis dulu, dan perkembangan penting di dalam lingkungan ekonomi dan budaya yang berbeda di negara-negara non-sosialis dan negara-negara kurang maju (less-industrialized countries). Beberapa contoh dari tradisi berbeda, yang merepresentasikan pendekatan alternatif untuk membangun unsur-unsur orientasi kerja ke dalam pendidikan umum, juga akan dielaborasi. Suatu hambatan utama dalam melakukan ini adalah kurangnya bukti empiris mengenai apa yang benar-benar terjadi di sekolah dan efek praktik sekolah terhadap masa depan para muridnya. Telah banyak diketahui filosofi mengenai apakah pendidikan itu perlu (atau tidak) dalam mengarahkan angkatan muda ke dunia kerja. Karena itu, sangat banyak resep mengenai pendidikan praktis, pendidikan dengan produksi, pendidikan perusahaan, pendidikan seumur hidup, dan sejenisnya. Tapi tidak begitu diketahui bagaimana resep itu diserap dalam kebijakan di berbagai negara, atau bagaimana kebijakan itu diterjemahkan ke dalam program nyata. Aneka pilihan yang ada dan argumentasinya cenderung mengabaikan pengamat luar. Kita tahu sedikit tentang implementasi praktis suatu kurikulum dalam aktivitas harían belajar-mengajar di sekolah: bagaimana kepala sekolah dan staff menginterpretasikan suatu kerangka kurikulum, berapa banyak silabus yang benar-benar diajarkan, dan apa yang dipelajari para murid tentang semua itu. Hasilnya, hanya mungkin membuat kesimpulan tentang sifat orientasi kerja di ruang kelas, laboratorium atau workshop. Buklet ini (pertama-tama) ditulis untuk para pengambil kebijakan [policy-makers), perencana, spesialis kurikulum, pendidik guru, dan para manajer program: semuanya secara langsung atau tidak berkaitan dengan pengembangan dan implementasi program terkait dengan kerja (work-relatedprogrammes). Buklet ini ditujukan tidak hanya kepada orang-orang di ling-
3
kungan kementerian pendidikan, tetapi juga sektor terkait ( tenaga kerja, angkatan muda, pelatihan, dan lainnya), otoritas lokal, para pegawai pemerintah, asosiasi masyarakat dan organisasi industri yang bersedia bekerjasama dengan sekolah. Tidak akan ada usaha yang mampu menjawab semua pertanyaan dengan tuntas.Tentu saja, buklet ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada jawaban tunggal atau resep umum yang bisa diterapkan secara universal. Masing-Masing negara, masingmasing sistem mempunyai sejarahnya sendiri, prinsip dan filosofi organisasi kurikulum serta praktek-nya sendiri, dan lingkungan budaya dan sosio-ekonomi-nya sendiri, di mana orientasi kerja itu dibangun. Di atas semuanya, para pelakunya mempunyai asosiasi dan persepsi mereka sendiri mengenai orientasi kerja seperti apa yang harus diterapkan. Buklet ini mungkin akan memberikan kontribusi bagi wacana seperti ini dengan meninjau ulang jenis-jenis pengalaman, mendiskusikan contoh, dan mengajukan pertanyaan tentang pilihan yang bisa diikuti. Dengan cara ini, mungkin dapat membantu memperkuat kemampuan nasional untuk mengembangkan kebijakan berarti dan strategi program yang dirumuskan dengan baik. Oleh karena pertimbangan di atas, buklet ini akan menekankan praktek-praktek beberapa pendekatan orientasi kerja yang berbeda-beda. Berbagai dimensi akan digarisbawahi dan dibahas (sebagai contoh, yang berhubungan dengan organisasi kurikulum, manajemen kelembagaan, dukungan profesional dan teknis, mobilisasi sumber daya, pertalian dengan masyarakat dan industri, pendidikan guru dan penilaian). Kebutuhan akan lebih banyak pengumpulan data dan riset mendalam tentang berbagai aspek orientasi kerja pada pendidikan umum, juga akan dibahas. Buklet ini dibagi menjadi empat b a b . Bab pertama mengupas sifat orientasi kerja dalam pendidikan, berbagai tradisi
4
dan perspektif yang sudah mempengaruhi artikulasinya. Pada bab kedua, dibahas masalah aktual tentang bagaimana konsep itu diterjemahkan ke dalam realitas kurikuler serta diberikan contoh mengenai latar belakang tipologi beberapa pendekatan. Bab keempat dan ketiga bersinggungan dengan berbagai isu dan pilihan yang muncul dari contoh-contoh itu, dan praktek umum dalam mengembangkan program orientasi kerja. Bab ketiga dikonsentrasikan pada isu kebijakannya, sementara bab keempat pada aspek kunci perencanaan dan implementasi.
5
1
Sifat Orientasi Kerja pada Pendidikan Dasar
B
ab ini akan mengeksplorasi sifat problematik orientasi kerja pada pendidikan dasar. Argumen-argumen yang sudah memandu implementasinya dalam sistem dan période sejarah yang berbeda-beda, variasi penafsiran atas konsep itu dan bagaimana ini biasanya digunakan, semuanya akan dijadikan bahan pertimbangan. Penafsiran akan dipertimbangkan dalam konteks tradisi filosofis, serta budaya dan sosio-ekonomi yang sudah terjadi. Akan diberikan pula suatu ikhtisar ringkas mengenai pemikiran internasional tentang orientasi kerja dalam pendidikan. Sementara peran lembaga internasional akan diberikan perhatian khusus. Sifat Problematik Orientasi Kerja Pada Pendidikan Dasar Orientasi kerja pada pendidikan dasar terkait dengan cara bagaimana sekolah membantu menyiapkan angkatan muda masuk dunia kerja. Orientasi kerja berhubungan dengan aspek kehidupan sekolah yang terdapat dalam satu jurusan atau lainnya terkait dengan pekerjaan, seperti mata pelajaran tertentu berorientasi kerja, aktivitas kerja produktif, topik dalam mata pelajaran 'akademis', dan berbagai ketrampilan dan sikap yang
7
(dengan sengaja atau tanpa disengaja) dikembangkan di sekolah, yang itu mungkin punya andil dalam membawa angkatan muda mengambil bagian di bidang ekonomi. Sekolah punya peran dalam orientasi kerja, walaupun tidak ada materi atau aktivitas yang terkait dengan kerja di dalam kurikulumnya. Pada dasarnya, ini karena pendidikan sekolah berfungsi sebagai mekanisme utama dalam pemenuhan kualifikasi untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Realitas kontekstual pendidikan sekolah ini betul-betul mempengaruhi persepsi relevansi para guru, murid, orang tua dan pemberi kerja. Persepsi seperti itu mempengaruhi motivasi untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas dan darma, yang ditunjukkan dalam tugastugas dan test. Pengaruh ini biasanya diwadahi oleh ujian kualifikasi formal. Keseluruhan sasaran orientasi kerja dapat dibagi sebagai berikut; (1) terutama yang melayani tujuan ekonomi, (2) melayani tujuan sosial dan budaya, dan (3) yang menunjukkan diri ke arah tujuan-tujuan politik. Adapun pokok-pokoknya dapat diringkas sebagai berikut: •
Tujuan ekonomi: untuk mengembangkan ketrampilan siap pakai; memudahkan masuk ke pasar tenaga kerja; untuk meningkatkan p e m a h a m a n tentang d u n i a kerja; menghasilkan pendapatan untuk institusi; Tujuan sosial dan budaya: untuk mengembangkan ketrampilan sosial (inisiatif, tanggungjawab) dan sikap self-reliance, kewirausahaan, mengurangi gap antara sekolah dan masyarakat dan antara pekerjaan manual dan intelektual, menghargai warisan budaya dan proses perubahan, dan untuk menerima pendekatan pribumi dalam pendidikan
*
Tujuan politik: untuk meningkatkan kesadaran akan pembangunan nasional; mengembangkan ideologi nasional
8
tentang tenaga kerja; membantu menciptakan 'manusia bara' dan membantu transformasi masyarakat (melalui suatu pendekatan baru dalam pendidikan). Dalam praktek, masing-masing sasaran ini tidak bisa dengan mudah dipisahkan satu sama lainnya. Masing-masing dapat dijumpai dalam semua p r o g r a m orientasi kerja dengan penekanan berbeda. Program seperti ini cenderung merupakan gabungan kognitif, afektif, dan psikomotorik Untuk memahami variasi antar program, perlu mempertimbangkan 'pendorong' dasarnya dan perbedaan antara yang berperspektif orientasi kerja lebih sempit dan yang berperspektif lebih luas. Dalam buklet ini, perspektif yang pertama disebut 'vocationalistperspective (perspektif vokasionalis, kejuruan), yang mengacu pada suatu penafsiran orientasi kerja yang sempit di mana sasaran ekonomi spesifik berlaku: sebagai unsur praktis dan/atau teoritis di dalam kurikulum, yang sebagian besar untuk membantu para murid agar mudah masuk ke pasar tenaga kerja. Di sini, pengetahuan dan ketrampilan cenderung diberikan terbatas pada apa yang bermanfaat dalam perspektif itu. Perspektif kedua disebut 'general education perspectiv? (perspektif pendidikan umum). la terkait dengan sasaran yang lebih luas, yang tidak hanya dalam lingkup ekonomi tetapi juga dalam wilayah sosial dan politik. Program dengan perspektif seperti ini mengembangkan dimensi kurikulum yang dapat membantu para murid memahami aspek kunci pekerjaan dan produksi, dan memperoleh suatu variasi sikap dan ketrampilan lebih luas, yang di antaranya hanya mempunyai suatu keterkaitan tidak langsung dengan kerja. Dalam perspektif ini, orientasi kerja dianggap sebagai bagian integral dari persiapan dasar untuk hidup. Kedua perspektif tersebut cenderung menghasilkan pendekatan berbeda dalam menerapkan gagasan orientasi kerja.
9
Sementara, dalam kasus pertama, pekerjaan sebagian besar dipahami sebagai suatu kegiatan ekonomi yang terkait dengan produksi barang dan jasa yang mempunyai nilai pasar, dalam dalam kasus kedua, pekerjaan cenderung mempunyai arti lebih lúas dan meliputi aktivitas yang mempunyai suatu nilai sosial dan budaya. Perspektif vokasionalis biasanya menghasilkan unsur-unsur kurikulum yang memusatkan (secara kognitif) pada berbagai pilihan kejuruan masa depan dan pada pekerjaan-pekerjaan di pasar tenaga kerja; (secara afektif) memperluas kesadaran kejuruan, mengurangi hambatan ke jenis pekerjaan tertentu, dan (secara motorik) terfokus pada ketrampilan pekerjaan praktis. Perspektif pendidikan umum cenderung mendorong ke arah memperluas minat, yang dalam rangkaian dimensi di atas, memusatkan perhatian pada pemahaman mengenai sifat perubahan ekonomi, dan teknologi. Juga pemahaman mengenai proses produksi dalam mengembangkan berbagai kemampuan sosial, dan keterlibatan secara praktis di dalam latihan pemecahan masalah serta manipulasi material dan alat. Pada umumnya, seseorang mengetahui 'pendorong' di atas telah digunakan dalam mendefinisikan program orientasi kerja. Meskipun begitu, dalam implementasi program secara praktis, pencampuran kadang-kadang terjadi dengan sedikit konsistensi dari intinya. Implementasi ini sering merupakan hasil dari kontradiksi antar para aktor b e r b e d a yang m e m p e n g a r u h i kurikulum, baik yang sudah diterapkan m a u p u n yang diharapkan. Policy-maker sering memfokuskan pada unsur-unsur tunggal dalam program orientasi kerja yang nampak sebagai perhatian utama mereka, misalnya harapan bahwa orientasi kerja dapat berperan untuk mengembangkan ideologi nasional sehingga tercipta perubahan masyarakat, atau harapan bahwa pembangunan nasional mendapat keuntungan dari kemampuan sekolah menanamkan sikap positif terhadap pekerjaan manual dan kesediaan angkatan muda untuk bekerja di wilayah pede10
saan. Para spesialis kurikulum, di sisi lain, cenderung punya minat lebih besar dalam mempromosikan suatu pemahaman yang lebih luas tentang kerja dan produksi dalam konteks ekonomi sekarang, dan penanaman kemampuan minimal tertentu para murid yang mengabaikan karir mereka. Para guru pada umumnya memperhatikan hasil belajar dengan menentukan seleksi ke tingkat yang lebih tinggi, dan, seperti umumnya orang tua, mereka akan menghargai hasil ini sebagai orientasi kerja terbaik yang harus diraih. Dengan demikian, pembelajaran (yang berlangsung di kelas atau tempat kerja) mungkin jauh berbeda dari yang diharapkan semula. Policy-maker biasanya lebih positif dibanding para ahli pendidikan maupun pemberi kerja dalam kaitan dengan pertanyaan 'apakah sekolah dapat mempelopori pembangunan ekonomi dan ketenaga-kerjaan. Sejak 1960an, mereka yang berada di negara berkembang telah menunjukkan keberanian. Dari data Statistik terungkap bahwa sebagian besar tingkat pertumbuhan ekonomi bisa dihubungkan dengan naiknya tingkat pendidikan angkatan kerja. Sepanjang 1980an, ketika ketertarikan akan pentingnya pendidikan dasar semakin bertambah, muncul gambaran baru, yaitu kembalinya investasi ekonomi dalam tingkat pendidikan yang lebih rendah ( Psacharopoulos, 1988). Buktibukti menunjukkan bahwa kontribusi pendidikan yang utama terhadap produktivitas, berkenaan dengan tingkat dasar {lower primary stage) (Colclough, 1980:7). Pendidikan dasar akan menyumbang secara langsung bagi peningkatan produktivitas petani, karena meningkatnya 'efisiensi alokasi', mengurangi fertilitas, meningkatnya nutrisi dan kesehatan dan pembaharuan sikap (Lockheed dan Verspoor, 1990). Masih ada suatu pertanyaan besar, 'apakah sekolah mempunyai efek ini, dengan mengabaikan apa yang dipelajari para murid; atau apakah ada unsur pengalaman belajar yang mempengaruhi efektivitas sekolah dalam kaitan dengan masuk ke dunia kerja? Di masa lalu, hipótesis yang terakhir dipegang lebih ketat. Dengan begitu
11
sejarah telah dikotori oleh usaha untuk menghubungkan secara eksplisit antara kurikulum dengan bekerja. Hasil dari usaha ini, pada tingkat memperkenalkan orientasi kerja ke dalam sekolah, masih menjadi diskusi publik dewasa ini. Perkembangan Penafsiran Tentang Orientasi Kerja
Persoalan orientasi kerja berasal dari sifat sekolah modern, dan akarnya bisa dilacak dalam tradisi liberal Eropa. Mula-mula, sekolah dimaksudkan untuk mengejar aktivitas tulis menulis dan budaya, dan sangat terpisah dari dunia pekerjaan ( Visalberghi, 1979). Kemudian pada abad ke sembilan belas, dengan berkembangnya demokratisasi pendidikan, pengenalan unsurunsur terkait-kerja menjadi suatu usaha untuk mengubah konsep sekolah yang elitis dan menghubungkannya dengan kebutuhan dan situasi kehidupan orang-orang pada umumnya, dan mempersiapkan generasi berikutnya untuk ikut serta secara penuh dalam derasnya arus perdagangan dan industri di masa datang. Dalam proses ini, baik materi akademik sekolah maupun organisasi kelembagaannya harus diperhatikan secara matang. Di masyarakat Eropa-Barat, mula-mula responnya adalah untuk mengembangkan sub-sistem pendidikan paralel. Di berbagai negara, sekolah menengah modern telah didirikan untuk memungkinkan anak muda kelas menengah mempunyai akses lebih besar ke pendidikan lebih tinggi, yang pada gihrannya menempati posisi manajemen. Pada waktu yang sama, suatu sistem pendidikan kejuruan di lembaga yang lebih rendah juga terbentuk. Bersama-sama dengan sekolah dasar tradisional, institusi-institusi lain ini membenruk suatu hirarki yang sesuai dengan pembagian kelas. Sejak bagian-bagian dari sistem pendidikan kejuruan dimaksudkan untuk anak-anak dengan tingkat kemampuan akademis dan latar belakang sosial yang rendah, orientasi kerja kemudian dihubungkan dengan upaya untuk menyiapkan anak-anak berstatus karir rendah, dan dengan suatu
12
jenis pendidikan yang hanya sesuai untuk strata masyarakat rendah. Sebaliknya, dalam pemikiran pendidikan baik di Amerika Serikat maupun di bekas negara-negara Blok Timur, meskipun adanya perbedaan sumber-sumber ideologis, berkembang pula pandangan yang lebih menganut paham egaliter. Di sini, perhatian lebih besar diberikan untuk memperluas fungsi kogniüf dari orientasi kerja dalam sistem pendidikan. Pandangan yang lebih luas ini terkait dengan ide bahwa sekolah perlu melakukan hai yang lebih dibanding masa lalu, sebagai warisan nasional dan memelihara struktur sosial-ekonomi yang ada. la juga dapat menjadi saranan untuk peningkatan, jika bukan perubahan total; masyarakat. Di dalam kedua sistem, pembedaan antara pendidikan praktis dan intelektual tidak dibuat dengan jelas seperti di Eropa. Ruang untuk orientasi kerja bisa diciptakan dalam kurikulum semua institusi pendidikan umum. Di Amerika Serikat, suatu pendekatan yang lebih pragmatis bagi kegunaan pendidikan menciptakan ruang untuk berbagai pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan sebagai persiapan efektif untuk kehidupan. Ketrampilan yang terkait dengan kerja harus disatukan ke dalam kurikulum sekolah, akibat meningkatnya pemisahan rumah dari tempat kerja, dan berkurangnya kesempatan bagi anak-anak untuk mengambil ketrampilan dasar melalui pengajaran eksperiensial di lingkungan kerja (Raggatt, 1977). Menurut perspektif vokasionalis ini, sekolah mempunyai perhatian, misalnya, pada keputusan anak muda mengenai pekerjaan mereka di masa depan, permasalahan mereka dalam mencari pekerjaan, dan bahkan kebutuhan skill praktis mereka (Lauglo dan Lillis, 1988). Perhatian ini menemukan bentuknya dengan dikenalkannya ilmu kajian sosial dan materi praktis dalam kurikulum seperti keahlian.
13
Pemikiran sosialis melampaui perhatian terhadap penyediaan kaum muda sesuai dengan kompetensinya untuk memasuki dunia kerja. Orientasi kerja dimaksudkan untuk membantu mereka memperoleh pengertian dasar yang m e n d a l a m mengenai hai yang teknis, aspek produksi organisatoris dan teknologi, juga pemahaman terhadap nilai pokok bekerja di masyarakat (Pfeiffer dan Wald, 1988). Dengan begitu, lingkup orientasi kerja menjadi lebih luas dan menyesuaikan diri dengan berbagai tujuan ekonomi, sosial dan politik. Dalam perencanaan kurikulum, orientasi kerja bergerak ke titik sentral dan, melalui prinsip 'pendidikan politeknik', menjadi suatu dimensi inti ilmu pengetahuan (sains), matematika dan kajian sosial. Dalam varían lain pendidikan sosialis, seperti dalam kelas tenaga kerja Cina, orientasi kerja sangat banyak menjadi bagian dari pendidikan politis: untuk mengembangkan sikap positif terhadap pekerjaan sebagai basis moralitas (Raggatt, 1977). Yang m a n a p u n penekanannya, orientasi terhadap kerja menjadi suatu unsur inti pengalaman belajar yang efektif dan seimbang. Pada awal abad ke duapuluh ketika format pendidikan ' y a n g sesuai' diperlukan untuk dikembangkan oleh negara-negara bekas jajahan di Afrika atau Asia, pandangan vokasionalis mengenai orientasi kerja yang mendominasi diskusi di dalam administrasi kolonial dan masyarakat misionaris sangat terbatas. Di Afrika, pendidikan berorientasi kerja dengan tipe yang telah direkomendasikan untuk anak-anak strata lebih miskin di Eropa dan untuk para budak hitam terdahulu di bagian selatan Amerika, menjadi dasar untuk menetapkan pendidikan yang terpisah, yang menyesuaikan diri dengan kondisi lokal. Secara konseptual, orientasi kerja ini bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan yang terkait dengan kebutuhan pembangunan masyarakat desa yang praktis dan pemeliharaan nilai-nilai budaya lokal. Kurikulumnya meliputi hai yang berhubungan dengan buruh kasar, dengan harapan ini akan membantu ke arah penyesuaian sikap terhadap tingkat aspirasi
14
'yang realistis'. Pendidikan kejuruan atau pendidikan praktis seperti itu juga melayani kebutuhan penguasa kolonial, karena digunakan untuk mengeksploitasi sumber daya ekonomi dan, disamping membawa sedikit perbaikan pada masyarakat pedesaan, juga menghalangi pembebasan masyarakat lokal (Bude, 1985). Sebagai akibat dari kebijakan ini, ide p e n d i d i k a n berorientasi keija menjadi agak dicurigai oleh masyarakat Afrika. Itu tampak nyata di mana pembagian kekuasaan dan kekayaan sedemikian rupa, dalam jangka panjang, hanya akses ke pendidikan akademis konvensional yang bisa membawa keuntungan ekonomi dan menentukan nasib politik sendiri (Bude, 1985). Secara khusus, pendidikan akademis menjadi penentu dalam masuk ke tenaga-kerja bayaran. Melalui pendidikan akademis, didapat pula keuntungan secara material dan sosial. Dalam jenis pendidikan kesusasteraan (literary type ofeducatiorij, hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada pekerjaan praktis, karena tidak punya relevansi dengan ujian akhir. Kecenderungan ke arah p e n d i d i k a n akademis tetap a d a setelah negara-negara memperoleh kemerdekaan, dan ini membuat Foster mengajukan tesisnya yang terkenal, 'kekeliruan sekolah kejuruan', yang menyatakan bahwa dengan diberikannya ikatan struktural antara sistem pendidikan yang diterima di sekolah dan pasar tenaga kerja, jalan akademis menggambarkan kemungkinan orientasi terbaik terhadap kerja (Foster, 1965). Dalam format awal orientasi kerja yang masih dibahas sampai sekarang, ada lima corak yang tampak menonjol, yaitu: 1.
Orientasi kerja telah lama menjadi unsur umum pendidikan dasar di negara-negara Utara yang menyajikan model peran untuk pengembangan sekolah di tempat lain di dunia.
15
2.
Secara ideologis, orientasi kerja sering menjadi bagian dari suatu visi mengenai pentingnya sekolah sebagai sarana untuk perubahan sosial, meskipun tidak perlu dalam suatu cara yang setara.
3.
Di banyak bagian di dunia, pendidikan berorientasi kerja telah diperkenalkan sebagai program pembelajaran yang dianggap tepat untuk anak-anak yang secara akademis maupun sosial kurang mendapat bantuan.
4.
Pada waktu yang sama, pendidikan berorientasi kerja cenderung menduduki tempat lebih rendah di dalam pertalian antara sekolah dan kerja, karena ia kurang dihargai baik di dalam akses ke pembelajaran lebih lanjut maupun masuk ke pasar tenaga kerja.
5.
Biasanya, orientasi kerja ditafsirkan secara sempit, menurut cara vokasionalis dan, dengan penekanannya pada kompetensi personal, juga mempunyai lingkup terbatas.
Sejak 1960an, orientasi kerja tetap menjadi upaya utama negara-negara di belahan dunia untuk meningkatkan relevansi pendidikan bagi pembangunan. Dalam arahan umum untuk mencapai modemisasi, sekolah dilihat sebagai kekuatan penting untuk perubahan. Resep internasional dalam memberi bentuk untuk orientasi kerja sudah menunjukkan beberapa pergeseran utama. Setelah ekspansi masif pendidikan akademis (segera setelah kemerdekaan), pesan untuk 'Dunia Ketiga' baru adalah bahwa investasi dalam pendidikan akademis itu tidak sesuai dengan realitas dunia pertanian, perdagangan dan industri, dan bahwa investasi itu akan menghambat daya kemampuan kerja (employabilitas) para lulusan sekolah. Muatan pendidikan (diharapkan) untuk disesuaikan, supaya menjadi lebih praktis dan relevan dengan dunia kerja. Ini mengandaikan bahwa penekanan pada kejuruan akan membantu negara-negara dalam memproduksi tenaga kerja trampil, meningkatkan keadilan
16
di dalam populasi, serta meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (Selvaratnam, 1988). Sepanjang 1960 dan 1970an, prioritasnya adalah untuk menganeka-ragamkan kebijakan bidang pendidikan dan memperkenalkan komponen praktis ke dalam kurikulum. Bahkan di negara-negara, di mana unsur-unsur seperti itu telati dihilangkan selama masa kemerdekaan, mereka diperkenalkan kembali sehubungan dengan adanya krisis lulusan sekolah. Dalam kasus seperti itu, di negara-negara industri Barat, perspektif vokasionalis berlaku ketika perhatian yang diberikan kepada orientasi kerja dihubungkan dengan naiknya pengangguran kaum muda. Di beberapa negara, nilai pendidikan umum dari orientasi kerja juga mendapat perhatian. Ini adalah kasus yang tidak hanya terjadi di dalam ekonomi sosialis terbuka, tetapi juga di negara-negara dengan sistem ekonomi campuran (mixedeconomy). Perhatian kepada skill praktis/kejuruan dan pengalaman kerja nyata di negara-negara seperti India, Tanzania, Zimbabwe dan Jamaica diilhami oleh percampuran sosialis dan sentimen 'populis'. Dalam tradisi terakhir, kerja praktis sangat ditekankan, karena mempunyai nilai moral dan sosial, serta merupakan sumber self-reliance personal maupun kolektif dan pembangunan karakter. Pengaruh/>o/>«/w telah diamati dalam sistem, seperti di negeri China dan Skandinavia (Lauglo dan Lillis, 1988). Sepanjang 1980an, perspektif pendidikan umum tentang orientasi kerja diterima dunia internasional secara lúas. Pendekatan yang dominan di negara-negara OECD adalah pendekatan 'pendidikan teknologi' atau 'pendidikan untuk kemampuan' (World Bank/British Council, 1989). Pendekatan ini dipromosikan sebagai cara lebih umum untuk memperkenalkan kaum muda ke perubahan di bidang ekonomi dan teknologi, dan membantu mereka mengembangkan kemampuan praktis yang relevan dalam aspek kehidupan sehari-hari. Karena bandul mengayun ke arah penafsiran pendidikan umum,
17
kebijakan bantuan mengenai orientasi kerja di negara belum terindustrialisasi juga berubah. Negara-negara miskin kini dianjurkan untuk "go back to the basics" (kembali ke dasar) dan berkonsentrasi pada pengajaran materi-materi dasar inti. Namun, pandangan vokasionalis yang lebih tradisional mengenai orientasi kerja masih sangat kuat. Suatu ikhtisar mengenai situasi di tahun 1980an mengungkapkan bahwa berkenaan dengan pendidikan dasar, mayoritas negara-negara berkembang menawarkan pengajaran dalam beberapa jenis materi praktis atau pre-vocational. Proporsinya yang paling tinggi di Afrika Sub-Sahara (89,7 persen) dan Asia paling rendah (55,6 persen). Selama kehadiran materi seperti ini tidak terkait dengan tingkat pendapatan per kapita, korelasinya menunjukkan bahwa kemungkinan besar ini terjadi di negara-negara dengan rata-rata pemasukan bruto utama yang lebih tinggi. Di banyak negara, perhatian kepada materi praktis tampaknya meningkat secara dramatis, kecuali di negara-negara dengan laju pertumbuhan négatif dan tingkatan pemasukan rendah (Benavot dan Kamens, 1989). Pandangan Internasional Terhadap Orientasi Kerja di Era 1990an
Tidak diragukan lagi, secara internasional ide orientasi kerja pada pendidikan umum telah banyak diperhatikan dan diteliti dengan cermat lagi kritis. Perhatian ini mungkin sebagai hasil dari pemusatan perhatian yang berbeda-beda, yang sama-sama menghimbau pengkajian ulang atas pendekatan yang ada. Salah satu yang menjadi perhatian, bahwa format orientasi kerja yang dimaksudkan untuk memudahkan kaum muda masuk ke dunia kerja belum membuahkan hasil yang diinginkan. Pengangguran tetap menjadi masalah besar yang pemah terjadi. Sebuah bukti yang terbatas menunjukkan bahwa, (setidaknya
18
untuk sementara waktu), sistem vokasionalis belum menghasilkan lulusan yang berhasil di pasar tenaga kerja atau di dalam self-employment (kerja mandiri). Karenanya, dapat disimpulkan bahwa investasi yang mahal ke dalam pendidikan seperti itu mungkin salah tempat (Psacharopoulos dan Loxley, 1985; Lauglo dan Narman, 1987; Haddad, 1987; World Bank, 1991). Debat tentang aneka pilihan terbaik untuk investasi pendidikan dipengaruhi oleh pertimbangan tidak hanya masalah kemampuan negara untuk membiayai sistem pendidikan, tetapi juga cara yang paling relevan bagaimana sekolah dapat berperan untuk pengembangan sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, semakin diakui bahwa fungsi yang efektif di lingkungan kerja, dan juga kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan ekonomi yang cepat, kurang bergantung pada kecakapan teknis fungsional dibanding kemampuan umum, sikap dan ketrampilan hubungan antar pribadi, suatu pengembangan yang harus dimulai sejak dini. (Loose, 1988). Demikian juga, masuk ke dunia self-employment dan entrepreneurship mungkin kurang bergantung pada penguasaan skill kejuruan, dibanding perilaku wirausaha kalangan muda dalam arti yang luas. Ini akan lebih mudah dan kurang mahal untuk membuat sekolah sanggup merangsang kemampuan yang lebih luas yang dapat menyerap seluruh kurikulum, dibanding mempertahankan pembiayaan yang komplek untuk memilih materi kejuruan. Perhatian utama lebih lanjut (berasal dari sesuatu yang tidak menyenangkan) tentang pembedaan tradisional antara pendidikan umum dan latihan kejuruan, dan antara pekerjaan manual dan intelektual. Sesuatu yang tidak menyenangkan ini sebagian ada pada dimensi ekonomi, dan sebagian pada dimensi sosial. Kedua-duanya nampak lebih menonjól di negara-negara OECD dibanding negara yang lebih miskin, negara-negara less-industrialized. Dari sudut pandang ekonomi, perubahan ekonomi dan teknologi yang cepat membuat pembedaan menjadi usang, dan
19
karena itu diperlukan penggabungan ketrampilan akademis dan teknis. Dari sudut pandang sosial, ada suatu perhatian baru tentang berkurangnya hubungan antara pendidikan dan stratifikasi sosial dengan menyediakan pendidikan komprehensif untuk semua, dan dengan menunda pemilihan kejuruan (Benavot, 1983). Persiapan kejuruan awal telah menunjukkan diskriminasi terhadap anak-anak dari latar belakang sosal ekonomi rendah, juga anak-anak perempuan. Seperti telah ditengarai sebelumnya di sejumlah negara, terutama di Afrika, isu ini mempunyai kaitan sejarah politik yang sangat kuat. Ketika perhatian atas diskriminasi telah mengurangi pembedaan tipe sekolah di Afrika, hai ini belum mencegah pengenalan ulang upaya ke arah vokasionalisasi pendidikan.Umumnya, penekanan pendidikan umura pada orientasi kerja adalah konsekwensi dari kebutuhan akan vokasionalisme baru, yang secara hati-hati melihat suatu cakupan luas pengetahuan dan ketrampilan dalam kurikulum, dan relevansinya sebagai landasan dasar untuk berpartisipasi secara penuh dan lebih demokratis dalam dunia kerja (Grubb, 1985). Pandangan Lembaga-Lembaga Internasional
Perhatian internasional terhadap isu efektivitas, kesetaraan dan demokrasi tidak menghasilkan rekomendasi yang seragam. Tanggung jawab sekolah yang lebih luas ditekankan. Sekolah tidak hanya membantu kaum muda untuk mendapatkan suatu pekerjaan, tapi juga harus mempromosikan apa yang disebut 'keikutsertaan bertanggungjawab' dalam hidup dan bekerja. Di pihak lain, sekolah didesak untuk berkonsentrasi pada ketiga Rs, dan tidak diharapkan untuk mencapainya lebih banyak. Penekanan terkini pada 'kualitas' membuat beberapa lembaga menekankan sasaran inti pendidikan dasar, dengan asumsi bahwa penekanan ini akan memberikan persiapan yang mungkin untuk kehidupan kerja berikutnya. Sementara lembaga yang
20
lain mengajukan suatu respon eksplisit kepada minat terhadap dan pengembangan lingkungan, sebagai manifestasi relevansi yang nyata. Konferensi Dunia tentang 'Pendidikan untuk Semua' di Jomtien tidak memberikan pesan apapun terkait dengan masalah relevansi itu. D o k u m e n latarbelakang m e m b e r i k a n perhatiannya pada 'relevansi di dunia pendidikan', dengan mengakui bahwa kurikulum harus mempromosikan "ketrampilan hidup yang penting bagi individu agar berfungsi secara efektif di masyarakat mereka" (WCFA, 1990:46). Tetapi tugas ini telah digolongkan di bawah 'tanggung-jawab lain' di mana sekolah perlu melakukannya jika itu "dilengkapi dengan sumber daya yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas ini secara efektif" ( WCEFA, 1990a: 46). Dan laporan ini, nampaknya konferensi mengaitkan mutu dengan meningkatnya pelepasan materi inti tradisional, dan kurang memberikan perhatian pada apa yang terus menjadi pertanyaan kunci bagi orang tua dan murid di seluruh dunia, misalnya, untuk apa kita mengirimkan anak-anak kita ke sekolah? Semakin banyak pertanyaan mengenai substansi pendidikan yang terus diajukan, terkait dengan permasalahan individu dan kelangsungan hidup kolektif, baik di bidang e k o n o m i , sosial, budaya, atau ekologi. Ini memperlihatkan pentingnya melanjutkan pencarían cara yang hemat biaya dan banyak manfaat dengan memasukkan unsurunsur orientasi kerja ke dalam pendidikan sekolah. Bank Dunia, dalam kebijakannya tahun 1990 tentang pendidikan dasar, menekankan pilihannya untuk "kembali ke dasar''. Menurutnya, ada suatu kebutuhan untuk berkonsentrasi pada melek huruf, ketrampilan dalam matematika dan memecahkan masalah. Ini tidak hanya lebih murah untuk diterapkan, tapi juga dianggap mampu menghubungkan pendidikan dasar secara positif dengan pembangunan ekonomi ( Bank Dunia, 1990; Lockheed and Verspoor, 1990).
21
Pada tingkat pendidikan m e n e n g a h , pesan Bank D u n i a adalah b a h w a ketrampilan kejuruan d a p a t mengurangi para murid dari pelajaran komunikasi u m u m , ilmu pengetahuan d a n m a t e m a t i k a . D a n k a r e n a s e m u a n y a tidak n a m p a k mempengaruhi pilihan kejuruan post-schoolpa.ra siswa, rnaka akan lebih baik untuk tidak m e m b o r o s k a n s u m b e r daya yang langka. Walaupun Bank Dunia telah menyatakan melawan terhadap diversifikasi pendidikan, nyatanya ketertarikannya pada teknologi pendidikan meningkat (Bank Dunia, 1991). U N E S C O telah m e m p e r l i h a t k a n ketertarikannya p a d a peran Pendidikan Kejuruan d a n Teknik (Technical and Vocational Education (TVE) sebagai bagian integral dari pendidikan u m u m . Dalam sesi ke delapan belas Konferensi U m u m (1974), T V E didefinisikan dalam pengertian yang sangat luas, yang mengacu p a d a semua format dan tingkat proses pendidikan, termasuk (sebagai t a m b a h a n terhadap pengetahuan u m u m ) , studi teknologi dan ilmu pengetahuan terkait, dan p e n a m b a h a n ketrampilan praktis, know-how, sikap dan p e m a h a m a n , berkenaan dengan pekerjaan di berbagai sektor ekonomi d a n kehidupan sosial (dikutip dalam U N E S C O , 1991). Definisi ini mencakup berbagai hasil belajar y a n g menjadi bagian dari pendidikan dasar. D a l a m pandangan U N E S C O , ini akan m e m p e r o l e h arti pentingnya dalam beberapa dekade belakangan, sebagai syarat mutlak untuk p e m b a n g u n a n ekonomi dan sosial. Dalam konteks Konferensi Jomtien, U N E S C O memperkuat p a n d a n g a n n y a mengenai relevansi T V E di masyarakat kontemporer. Di dalam pendidikan dasar, orientasi kerja dapat memberikan suatu pengenalan ke teknologi dan dunia kerja dalam rangka untuk " m e m a h a m i lebih baik aspek teknologi budaya modern, baik dari sudut pandang positif maupun negatiP dan untuk m e n g e m b a n g k a n "suatu penghargaan kerja yang men u n t u t ketrampilan praktis" (melek teknologi). Pengenalan seperti itu dapat juga menjadi sebuah "dasar ujian untuk me-
22
nentukan kemampuan dan kesesuaian bagi studi lebih lanjut dan pendidikan di bidang teknik". Yang terakhir, khususnya akan bermanfaat bagi kepentingan anak-anak perempuan (UNESCO, 1991).
23
II.
J e n i s dan Pengalaman Program Orientasi Kerja
B
ab ini akan memusatkan perhatian pada substansi orientasi kerja. Untuk tujuan ini, bab ini akan menyajikan tipologi heuristik varian-varian orientasi kerja dalam pendidikan dasar, dan mengelaborasi contoh-contoh dari beberapa program penting. Tipologi ini menunjukkan kategori-kategori program yang umumnya mempunyai feature dasar tertentu. Contoh-contoh ini sebanyak mungkin akan difokuskan pada disain dan implementasi programprogram itu. Jika mungkin, perhatian akan diberikan pada hasilnya. Isu-isu penting mengenai program tersebut dan pendekatan-pendekatannya, akan dibahas pada Bab III dan IV. Jenis-Jenis Program Dalam Orientasi Kerja
Suatu tinjauan mengenai sifat program orientasi kerja di luar ruang waktu dan geografìs mengungkapkan bahwa tidak hanya ada suatu variasi besar dalam tujuan dan lingkupnya, melainkan juga program-program tersebut mempunyai suatu kecenderungan untuk terus b e r u b a h sebagai hasil dari perkembangan sosio-ekonomi atau lingkungan politiknya. Untuk tujuan analisa dalam buklet ini, akan diketengahkan suatu rencana heuristik yang menunjukkan jenis-jenis pendekatan yang
25
mewakili kombinasi beberapa karakteristik. Karakteristik itu sendiri mengacu pada dimensi kunci orientasi kerja, misalnya, tujuan atau tempatnya di dalam kurikulum. Program-program orientasi kerja diklasifikasikan menurut karakteristik utama pendekatannya. Karakteristik yang digunakan dapat dibagi sebagai berikut: (1) yang berhubungan dengan hasil orientasi kerja yang diharapkan, yaitu: lingkup dan fokusnya (sebagamana dibahas di atas); dan (2) yang berhubungan dengan proses, yaitu: metode belajar dan metode organisasi kurikulum. Mengenai fokus-nya., variasinya adalah antara program yang mengadopsi perspektif vokasionalis dan yang mengadopsi perspektif pendidikan umum. Yang pertama biasanya meningkat pada tingkat pendidikan dasar yang lebih tinggi. Dalam kaitan dengan lingkup, adalah mungkin untuk membedakan program dengan penekanan dominan pada sikap dan ketrampilan praktis pada tingkat individu, (misalnya, ketrampilan kerja atau k e m a m p u a n sosial), dari yang menekankan kesadaran dan pemahaman mengenai dunia kerja yang lebih luas -misalnya, pemahaman mengenai struktur dan proses kerja, teknologinya, hubungannya dengan produksi, atau konteks ekonomi, politik dan budayanya). Dalam praktek, kita menemukan suatu hubungan tertentu antara dua karakteristik ini, dalam hai bahwa perspektif vokasionalis sering bertemu satu sama lainnya dengan suatu konsentrasi pada ketrampilan praktis. Metode belajar dapat dilihat sebagai karakteristik proses yang penting. Dalam konteks orientasi kerja, pertanyaannya adalah sejauhmana aktivitas kerja menjadi dasar bagi pembelajaran langsung. Pembelajaran berbasis kerja (workbased learning) dan juga berbasis ruang kelas telah digunakan untuk mendukung perspektif pendidikan umum dan vokasionalis dalam orientasi kerja. Karakteristik keempat berkenaan dengan pendekatan dalam organisasi kurikulum. Variasi yang utama berasal dari pengintegrasian penuh unsur orientasi kerja ke dalam kurikulum inti
26
institusi atau sistem, melalui pengadopsiannya sebagai materi terpisah, yang mungkin wajib atau pilihan, hingga pengorganisasiannya sebagai aktivitas ekstrakurikuler. Secara konseptual, pembedaan ini dapat ditunjukkan secara terpisah dari lokasi fisik aktivitas orientasi kerja: di dalam dasar pemikiran sekolah, apakah dalam suatu fasilitas yang dirancang secara khusus atau tidak, atau di luar, misalnya, di dalam kebun, pabrik-pabrik atau tempat kerja yang ada. Diagram 1. Skala Luncurdari Karakteristik Kunci
A. Hasil 1. Fokus Perspektif •« vokasionalis
2. Lingkup
Ketrampilan praktis -«
B. Proses__ Berbasis kerja . (Work-based)
»• Perspektif Pendidikan umum
3 Metod
-
,a Belajar
., . 4. Metode organisasi -) Aktivitas •< extra-kurikuler
• Pengetahuan dunia kerja i_
Berbasis ruang kelas (Classroom-based) , . ,, •• Integrasi dalam kurikulum inti
Dengan empat karakteristik kunci itu dimungkinkan untuk mengidentifikasi pendekatan-pendekatan dalam orientasi kerja yang penting di belahan dunia yang berbeda sepanjang 1980an, dan masih menjadi fokus perdebatan pendidikan dewasa ini (1993). Untuk mudahnya, program orientasi kerja di sini dikelompokkan ke dalam empat kategori umum. Masing-masing mencerminkan suatu kombinasi lokasi kunci di empat skala luncur (seperti ditunjukkan di atas), dan dapat dianggap sebagai suatu pendekatan khas dalam orientasi kerja di dunia sekarang. Kategori-kategori dimaksud adalah sebagai berikut: 27
Pendekatan pendidikan yang terdiversifikasi Di siní, pembelajaran berlangsung melalui materi prakejuruan wajib atau pilihan, biasanya dengan komponen praktis. Ini mungkin masuk ke dalam proyek atau aktivitas ekstra kurikuler. Perspektif vokasionalis berlaku, dengan suatu penekanan kuat pada pengembangan ketrampilan yang siap pakai, yang mungkin bersifat praktis umum atau teknis, dan pada pengetahuan praktis yang relevan untuk masuk ke pasar tenaga kerja atau self-employment. Di dalam siklus pendidikan dasar atau wajib, pendekatan ini sangat berorientasi pre-vocational, yang berarti bahwa persiapannya meliputi latihan dasar di suatu bidang kejuruan yang mengantisipasi latihan kejuruan berikutnya sebelum mencapai kompetensi penuh dalam suatu kejuruan. Misalnya seni industri, mode dan pabrik, serta perniagaan. Pada tingkat menengah atas, pendekatan ini mungkin berjalan satu langkah lebih jauh dalam menyediakan spesialisasi melalui bidang studi berorientasi kejuruan. Bidang studi ini bisa mendorong ke arah masuk kerja (job entry) langsung, atau latihan pengembangan teknis atau kejuruan. Pendekatan pendidikan kerja Karakteristik utama pendekatan ini adalah bahwa setidaknya dalam teori- banyak perhatian diberikan kepada pengalaman mengenai suatu situasi kerja yang menstimulir atau riil. Ini bisa diorganisasikan sebagai bagian dari kurikulum sekolah atau sebuah aktivitas ekstrakurikuler, dan bisa berlangsung di dalam atau di luar dasar pemikiran sekolah. Biasanya, aktivitas kerja berarti mempunyai suatu hubungan langsung dengan berbagai
28
bidang belajar, khususnya ilmu pengetahuan dan kajian sosial (seperti dalam 'pendidikan politeknik'). Adalah p e n t i n g b a h w a hai t e r s e b u t t i d a k l a h s e m a t a - m a t a m e r u p a k a n perluasan dari pembelajaran ruang kelas, melainkan juga merupakan pengalaman pembelajaran langsung bagi para siswa dengan terlibat dalam produksi suatu barang atau jasa yang sebenarnya secara menyeluruh. U n s u r kerja m u n g k i n h a n y a sedikit b e r k o n f r o n t a s i dengan dunia pekerjaan (seperti dalam proyek 'pengalaman-kerja') atau mungkin saja menjadi sisi integral dan berkelanjutan dari kurikulum di seluruh siklus pendidikan (seperti dalam 'pendidikan dengan produksi' atau 'pendidikan politeknik'). P e n d e k a t a n ini, sebagian digunakan u n t u k mengejar tujuan pendidikan u m u m , seperti kesadaran akan proses produksi, p e n e r a p a n prinsip-prinsip ilmiah atau menciptakan sikap positif terhadap tenaga kerja. Sebagiannya lagi dijalankan untuk tujuan orientasi kejuruan, sebagai d a s a r m a s u k ke p a s a r t e n a g a kerja. D a l a m k a s u s 'pendidikan dengan produksi' dan 'pendidikan politeknik', dimensi pekerjaan dianggap sebagai sarana utama untuk membuat pendidikan kurang elitis dan lebih peka terhadap kebutuhan pribadi serta p e n g e m b a n g a n sosio-ekonomi. \
Pendekatan pendidikan
praktis
Pendekatan ini menganut perspektif pendidikan u m u m , tetapi m e n c o b a untuk meningkatkan relevansinya dengan memberikan kecenderungan praktis yangjelas p a d a kurikulum melalui pengenalan 'materi pelajaran praktis' wajib atau p i l i h a n . I n i d a p a t m e l i p u t i , m u l a i d a r i p e r t a n i a n m e l a l u i b e r b a g a i keahlian y a n g b e r b e d a ,
29
sampai pada materi pelajaran gabungan, seperti 'ketrampilan hidup'. Yang terakhir cenderung menggabungkan berbagai pengetahuan nontradisional dan unsur-unsur ketrampilan. Varian modem lainnya adalah pendidikan informatika dan teknologi. Materi pelajaran ini dimaksudkan untuk memperluas cakupan ketrampilan dasar dalam kurikulum serta untuk membantu mengarahkan para murid ke sifat ekonomi lokal. Meskipun demikian, sering ada tekanan untuk membuatnya lebih pre-vocational, di mana kasus aspek teknis dari materi pelajarannya mendapatkan perhatian lebih besar dibanding aspek kognitif umum. Sementara kecenderungan praktis mungkin merambah ke kerja ekstrakurikuler, penekanan utamanya adalah pada apa yang bisa dilakukan dalam kurikulum itu. Lokasi sentral cenderung di ruang kelas, yang sering diperlengkapi secara khusus untuk tujuan itu. Bagi beberapa materi, seperti pertanian atau ilmu ekonomi keluarga, mungkin adaperluasan aktivitas ke kebun sekolah. Tidak seperti dalam program pendidikan kerja, penekanan pada pekerjaan praktis cenderung berada dalam aplikasi teori di ruang kelas dan kemahiran berbagai kompetensi pribadi secara terbatas. 4.
Pendekatan pendidikan umum Pendekatan ini mengikuti perspektif pendidikan umum tentang orientasi kerja dan tidak mengajukan materi pelajaran khusus. la memandang orientasi kerja sebagai sebuah dimensi penting dari pendidikan umum berbasis lúas yang mempersiapkan kehidupan, serta menganggap kurikulum inti yang ada sebagai landasan utama bagi persiapan tersebut. Intervensi difokuskan pada penye-
30
suaian isi atau metode belajar agar dapat meningkatkan relevansi dengan 'menerapkan' konsep dan ketrampilan ke situasi kerja, serta untuk menciptakan peluang-peluang bagi keterlibatan aktif para murid dalam proses belajar. Diharapkan bahwa hai ini akan meningkatkan kemahiran kompetensi pribadi, yang mempunyai nilai untuk kehidupan kerja berikutnya serta untuk memahami aspek dunia kerja lebih luas. Karena itu, perhatiannya melampaui peningkatan pemberian tiga R's, menuju ke arah reorganisasi bidang-bidang pembelajaran yang ada serta interaksi yang lebih efektif dengan lingkungan sosioekonomi. Belajar dalam pendekatan ini pada dasarnya adalah berbasis ruang kelas, tetapi bisa juga meluas ke 'proyekproyek' dan darmawisata di luar sekolah, untuk merangsang minat para murid. Poin yang perlu dicatat ialah bahwa sementara varían pendidikan terdiversifikasi dan pendidikan praktis biasanya berasumsi bahwa para guru spesialis akan dilatih untuk tujuan ini, dalam pendekatan pendidikan umum, dan juga pendidikan kerja, diasumsikan bahwa semua guru akan diunjukkan ke metode ini sebagai bagian dari latihan dasar mereka. Pendekatan-pendekatan di atas merupakan tipe ideal yang, dalam situasi sekolah yang sebenarnya, sering tidak bisa dibuat garis demarkasi dengan jelas. Pendekatan tersebut dapat dilihat sebagai titik-kritis sepanjang garis continuum, yang memberikan banyak kemungkinan posisi diantara dan tumpang-tindih. Akan tetapi, demarkasi heuristik boleh jadi memungkinkan para perencana untuk menempatkan usaha dan pemikiran mereka sendiri serta untuk meninjau esensi prakarsa yang berbeda di bidang orientasi kerja. 31
Pendekatan-pendekatan ini dapat disajikan dalam suatu pola seperti ditunjukkan dalam Tabel I. Pada masing-masing kategori, akan diberikan beberapa program umum orientasi kerja. Istilah 'program' dalam pendidikan di sini digunakan dalam pengertian umum dan berarti satuan pengajaran dan aktivitas pembelajaran yang didefinisikan dengan baik dan dapat diidentifikasi yang dimaksudkan untuk mencapai sasaran khusus serta mengikuti prinsip-prinsip yang sudah ditetapkan. Ini tanpa menghiraukan apakah dilaksanakan dalam satu institusi atau lintas sistem institusi. Institusi belajar mungkin mengejar program-program yang berbeda satu sama lain, yang mungkin secara eksplisit berhubungan satu sama lain atau tidak. Tabel 1. Jenis-Jenis Pendekatan yang ada dalam Program Orientasi Kerja I Pendidikan terdiversifikasi - Pilihan-pilihan prevokasional - Bidang kejuruan
II Pendidikan kerja Pendidikan dengan produksi - Pendidikan politeknik - Pendidikan pekerja - Proyek pengalaman kerja
III Pendidikan praktis • Ilmu ekonomi keluarga - Pertanian - Materi pelajaran perdagangan atau informatika - Ketrampilan hidup [living skill) - Pendidikan teknologi
IV Pendidikan umum - Meningkatkan belajar dalam materi in ti - Pendidikan wirausaha
Contoh-Contoh Pengalaman Program
Di akhir bab ini, akan disoroti contoh-contoh program orientasi kerja. Program-program ini dipilih sedemikian rupa yang diambil dari b e l a h a n dunia yang b e r b e d a serta merepresentasikan tipe-tipe sosio-ekonomi dan lingkungan budaya yang berbeda. Program tersebut juga mencerminkan pengalaman dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda sebagaimana digambarkan dalam Tabel I. Karena tujuan buklet dan ruang terbatas yang ada, masing-masing jenis program
32
dengan berbagai pendekatannya tidak bisa diurai secara lengkap dan utuh. Sebagai gantinya, dipilihlah contoh-contoh yang mendapat perhatian internasional, dan oleh karena itu mungkin menjadi perhatian sejumlah pembuat kebijakan dan perencana. Penuturannya mengikuti urutan yang sama, seperti telah digunakan sampai sekarang: dari program-program tradisional yang lebih vocationalized, sampai usaha-usaha lebih mutakhir untuk meningkatkan kurikulum inti. Pendidikan yang Terdiversifikasi (Kategori I): Pendidikan Prevocational di Rwanda1 * Negeri Rwanda yang kecil dan bergunung-gunung di wilayah Afrika Timur sangat lama bergulat dengan permasalahan, bagaimana cara mencapai suatu kebijakan bidang pendidikan untuk semua, yang menyandarkan landasan kokoh untuk pendidikan teknis dan akademis lebih lanjut untuk minoritas, sementara pada waktu yang sama, dapat menyediakan kebutuhan sosial dan ekonomi para pemudanya yang berusaha keras untuk masa depan mereka di ekonomi pedesaan. Usaha yang berhubungan dengan masalah ini menyisakan pertanyaan pada tingkat pendidikan dasar, keseimbangan antara kebijakan bidang pendidikan formal dan non formal yang berbeda, dan posisi 'materi praktis' dan pekerjaan produktif di dalam kurikulumnya. Di dalam perubahan konteks politik dan sosio-ekonomi Rwanda, jawabannya tampak berbeda-beda. Pada 1977, Rwanda memulai suatu proses reformasi bidang pendidikan dengan memperluas sistem, memberikan peluang yang sama bagi semua anak dalam mengakses pendidikan, dan meningkatkan mutu pendidikan. Perubahan juga menunjukkan relevansi pendidikan, mendasarkannya pada dasar pemikiran bahwa sistem perlu lebih merespon terhadap kebutuhankebutuhan ekonomi pedesaan seperti halnya tercermin di dalam bahasa dan kultur nasional (MINIPRISEC, 1989). 33
Reformasi yang terjadi diilhami oleh tingkat kemajuan dan partisipasi yang rendah, dan hubungan yang lemah antara kurikulum dengan pengembangan budaya dan ekonomi pribumi. Tingkat partisipasi ketika itu hanya sekitar 50 persen, di mana setelah enara tahun di sekolah dasar hanya 10 persen yang memproleh kesempatan meneruskan ke sekolah menengah yunior. Pendidikan dasar sebagian besar lebih bersifat akademis. Sedangkan tingkat menengah yunior tiga tahun [three-year junior secondary cycles) yang sangat terbatas, memasukkan bebérapa orientasi kejuruan melalui materi praktis untuk kerajinan tangán dan pertanian. Terpisah dari sistem formai, 'program latihan non formai tiga tahun' telah dimulai pada awal 1970-an dengan bantuan dari UNESCO. Program yang disebut "Centres d'Enseignement rural et artisanal integre" (CERAI) ini dipandang sebagai suatu cara untuk membantu sebagian dari sejumlah besar para lulusan sekolah untuk menjadi bagian dari kader pedesaan yang dilatih ketrampilan artisanal dasar dan pertanian, untuk dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan khusus negeri itu. Program ini, yang juga digalakkan oleh Kementerian Pendidikan, merupakan gabungan dari pendidikan akademis berkelanjutan dan latihan kejuruan berbasis produksi. Dalam hai isi, metode mengajar, organisasi dan tujuan, C E R A I dengan tegas membedakan diri mereka dari sekolah formai (Geronimi, 1971). Reformasi pada 1977 memperkenalkan suatu filosofi berbeda. Dibanding sistem ganda [dual system), reformasi itu mempertimbangkan suatu pendekatan yang menyatu dengan pendidikan dasar, yang dengan memperluas muatan dan lingkupnya secara drastis akan memenuhi berbagai kebutuhan lebih lúas dan untuk keseluruhan kelompok umur. Di dalam model baru ini, three-yearjunior secondary cycle (tingkat menengah tiga tahun) telah dikurangi menjadi dua tahun, dan ditambahkan ke 'tingkat dasar' [primary cycle), dengan tujuan agar pendi-
34
dikan praktis dapat diakses oleh semua kaum muda. Langkah ketiga ini ditandai oleh 'ruralized curriculum', berisi suatu campuran pendidikan umum dan orientasi kerja dengan melibatkan materi praktis yang berhubungan langsung dengan pekerjaan produktif (' travaux manuels). Tujuan nyata dari unsur praktis adalah untuk menyediakan suatu pengenalan ke dalam artisanship pedesaan, dan melalui ini ke dalam dunia pekerjaan, karena mayoritas murid tidak akan melanjutkan pendidikan mereka ( Mukarusagara, 1990). Suatu inisiasi dalam seni dan kerajinan tangán telah mulai diberikan pada tahun-tahun pertama di sekolah dasar yang mengajarkan aktivitas kreatif atau ' bricolage. Di tingkat kedua (tingkat 4 sampai 6), aktivitas difokuskan pada pengenalan ke kerajinan tangán yang utama, termasuk pengenalan kepada material dan alat-alat artisanal. Penekanan di dua tahun akhir ialah pada teori yang lebih mendalam dan praktek kerajinan tangán serta penguasaan ketrampilan dasar melalui pelatihan pertanian dan masa magang. Bidang pengembangan ketrampilan pada tingkatan ini meliputi bricklaying, pekerjaan kayu, dan teknik menggambar; berbagai aspek ilmu pengetahuan domestik (pekerjaan jahit menjahit, manajemen rumah, ilmu gizi, pendidikan keluarga), dan pertanian (meliputi tanaman panenan, temak kecil, dan produksi pohon jeruk/buah sitrus). Pekerjaan produktif telah menjadi suatu bagian utama dari semua pelatihan dan telah terintegrasi ke dalam kurikulum. Aktivitas produktif dan praktis bisa disesuaikan dengan keadaan sosio-ekonomi lokal. Semua program upper-primary (tingkat dasar atas), yang orientasinya sangat banyak pre-vocational, membutuhkan waktu sebanyak 40 persen dari jadwal. Semua program ini adalah bagian penting dari kurikulum inti dan diberikan penilaian internai di akhir semester, baik dalam hai teoritis maupun praktis. Dalam ujian akhir nasional, materi praktis dinilai pada tataran teori saja (Mukarusagara, 1990).
35
Program ini mendapatkan dukungan daña terhitung sejak 1984 melalui suatu proyek kerjasama dengan GTZ di bawah "Service mobile d'Encadrement pédagogique" ( SMEP). SMEP bertujuan meningkatkan mutu program melalui pelatihan para guru pada tingkat ketiga. Ini telah diperluas pada sensitisasi mereka yang terlibat dalam kebijakan mengenai dukungan profesional untuk sekolah. Peningkatan kompetensi difokuskan pada ketrampilan pedagogik dan teknis, dan telah dicapai melalui pelatihan para 'master-trainer', yang akan bekerja dengan para guru di beberapa pusat daerah. Materi pendidikan [didactical materiali) juga diproduksi. Idenya adalah bahwa peningkatan kompetensi dapat juga mendorong ke arah aktivitas produktif yang lebih efektif, termasuk rehabilitasi sekolah dan fasilitas tempat kerja. Dari tahun ke tahun, menjadi jelas bahwa reformasi tidak berjalan dengan baik. Tujuan menyediakan pendidikan dasar yang diperluas untuk semua, tidak bisa dipenuhi. Pada 1991, rata-rata net partisipasi kelompok umur 7-14 hanya 62 persen. Lebih lanjut, di luar mereka yang masuk kelas pertama, hanya 40 persen yang menyelesaikan siklus utama secara penuh. Peningkatan pendaftaran yang cepat juga menimbulkan masalah, seperti para guru yang tak qualified dan kekurangan material bidang pendidikan, perkakas dan peralatan dasar. Rendati demikian, kenyataannya seperempat anggaran nasional telah dialokasikan untuk pendidikan (Borjuis, 1991). Pengalaman ini menunjukkan bahwa dalam kaitan dengan akses dan partisipasi, tujuan reformasi belum tercapai. Perubahan struktur sekolah belum menghasilkan situasi di mana mayoritas dari semua umur 13-14 tahun akan mendapatkan manfaat dari program orientasi kerja. Lebih lanjut, dalam program ini, stereotipe gender belum dihapuskan (Mukarusagara, 1990). Masalah berikutnya yang muncul adalah antara tingkat ketiga sekolah dasar dan CERAI. Dalam praktek, pada dasar36
nya masing-masing program tidak berbeda satu sama lain, dan juga sama-sama menghadapi masalah dalam hai kompetensi guru, material dan peralatan. Kedua-duanya menghadapi masalah pengangguran bagi lulusan mereka, suatu situasi yang menghasilkan banyak diskusi tentang relevansi investasi. Bagi anak muda, latihan lanjutan pada CERAI tidak nampak sebagai usaha ekstra. Prospek yang tidak pasti telah membuat banyak orang tua, yang menyumbang secara signifìkan kepada biaya CERAI, memundurkan anak-anak mereka sendiri untuk mendukung sekolah menengah swasta (Gakuba, 1991). Suatu tinjauan atas hasil-hasil di atas, mendorong penyesuaian proses reformasi bidang pendidikan pada 1990. Yang paling krusial adalah kembali kepada struktur enam tahun pendidikan dasar, dan dengan begitu menurunkan tingkat prevocational. Sebagai gantinya, telah diputuskan u n t u k m e m p r o m o s i k a n p e n d i d i k a n pra-sekolah, untuk lebih mempersiapkan anak-anak masuk ke pendidikan dasar. Di tingkat menengah, unsur yang didiversifkasi juga lebih mendukung komponen pendidikan umum, yang pada akhirnya mengarahkan pilihan untuk masuk ke pusat latihan kejuruan formai. Berkenaan dengan CERAI, langkah-langkah dipelajari untuk meningkatkan interaksi mereka dengan tempat kerja artisanal dan meningkatkan peluang untuk masa magang berbasis usaha (Mukarusagara, 1990; Gakuba, 1991). Karena itu nampak bahwa, dalam konteks terbatasnya sumber daya dan meningkatnya kekhawatiran mengenai efektivitas persiapan untuk kerja berbasis sekolah, pemerintah memutuskan bahwa tujuan-tujuan reformasi lebih baik dicapai dengan mengurangi aktivitas pre-vocational yang semakin mahal dan memberi prioritas kepada peningkatan efisiensi dalam sistem, juga prioritas bagi mutu kebijakan pada tingkat dasar yang lebih rendah {lowerprimary level), di mana mayoritas anak-anak mengambil bagian.
37
Pendidikan Kerja (Kategori II): Pendidikan dengan produksi di India
Di India, bahkan sebelum kemerdekaan, konsep pekerjaan produktif pada pendidikan dasar telah mendapat banyak perhatian publik, sebagai hasil usaha Mahatma Gandhi memperkenalkan suatu format pendidikan berbasis keahlian (crafibased education). Dalam pendekatan ini, pekerjaan produktif dilihat sebagai dasar bagi pendidikan karakter (character-training), pengadopsian suatu pemahaman ilmiah tentang kerja, dan penguasaan ketrampilan kejuruan yang menjamin kemandirian di masa depan (Zachariah dan Hoffman, 1984). Tetapi dalam perlawanannya dengan model pendidikan asing, akademis, elitis, dan white-collar, 'pendidikan dasar Gandhian' juga berusaha menghubungkan sekolah dasar dengan format produksi tradisional dan model organisasi sosial dan ekonomi pedesaan. Sepanjang 1960-an, ketika India berupaya keras melakukan modernisasi, pendidikan diberi suatu peran penting dalam memajukan ilmu p e n g e t a h u a n d a n teknologi serta pengembangan pemikiran rasional. Dalam konteks ini, pengalaman-kerja --yang kemudian disebut juga 'pekerjaan produktif yang bermanfaat secara sosial' (SUPW)~ diidentifikasi sebagai unsur dasar pendidikan, di samping melek huruf, kemampuan dalam matematika dan layanan sosial (Chaudhuri, 1985). Dalam penafsirannya, pihak otoritas melangkah lebih jauh dari tradisi Gandhian, menghubungkan aktivitas baru dengan teknologi dan lingkungan kerja modem. Komisi Pendidikan 1964 merekomendasikan bahwa pengalaman kerja hams mempunyai manfaat pedagogik -menjadi sumber pemahaman tambahan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pengembangan sikap dan ketrampilan sosial- serta memberikan pendapatan untuk para murid. Lebih dari itu, pengalaman kerja harus diperkenalkan ke dalam semua tingkat pendidikan (Chaudhuri, 1985).
38
Dalam disainnya, program SUPW India sangat fleksibel, memungkinkan aktivitasnya untuk disesuaikan dengan minat dan kebutuhan para murid, usia dan tingkat pendidikan meraka, minat dan sumber daya masyarakat, serta program lokal untuk pembangunan. Karena itu, aktivitas program bisa meliputi kesehatan, budaya dan rekreasi, dan layanan sosialkemasyarakatan. Pada tingkat dasar (pendidikan wajib delapan tahun), tiga komponen telah dipertimbangkan, yaitu: (1) studi lingkungan, meliputi pengamatan atas situasi kerja dan proses produksi; ( 2) eksperimentasi dengan material, alat dan teknik, meliputi kerajinan tangán sederhana yang menggunakan material pribumi dan biaya rendah; dan ( 3) praktek kerja, meliputi produksi barang atau jasa selektif yang terbatas yang mendorong ke arah penggajian dengan uang tunai atau kebaikan hau (Dewan Nasional untuk Pelatihan dan Riset Bidang Pendidikan, 1987 dan 1988). Pada tingkat sekolah menengah ( kelas IX dan X), SUPW menjadi bagian dari program pilihan pre-vocational. Petunjuk kurikulum nasional merekomendasikan untuk menggunakan delapan période (dari 45 menit) pada tingkat dasar {lowerprimary) dan sedikitnya enam période setiap minggu pada tingkat dasar atas {upper primary) dan sekolah menengah pada SUPW. Ini terpisah dari jam di luar sekolah yang diberikan untuk praktek kerja nyata dan layanan masyarakat. Pada tingkat lower primary, ini akan berjumlah 20 persen dari total waktu kurikulum. Kebijakan Nasional tentang Pendidikan, yang dibuat pada 1986, menyediakan suatu dasar bagi partisipasi lokal dalam menjalankan detail-detail silabus di dalam suatu kerangka yang dikembangkan pusat (Kementerian Pengembangan Sumber Daya Manusia, 1986). Implementasinya akan ditangani oleh para guru umum, yang disiapkan melalui in-service training pada tingkat daerah dan meningkatkan pre-service training. Perencanaan untuk SUPW juga menyediakan petunjuk terperinci dan silabus model, mengadakan buku pegangan untuk para guru, dan m e m p e r s i a p k a n contoh instruksional untuk aktivitas
39
pengalaman-kerja terpilih ( Institut Nasional untuk Administrasi dan Perencanaan Bidang Pendidikan, 1990). Mengenai implementasi program SUPW, bidang perhatian penting tampaknya adalah manajemen proses secara keseluruhan. Dalam disain program, banyak pihak diberi tanggung-jawab. Mereka bervariasi, mulai dari Dewan Nasional untuk Pelatihan dan Riset Bidang Pendidikan (NCERT), yang bertanggung jawab atas keseluruhan disain dan koordinasi, melalui Kementerian Pendidikan, yang bertanggung jawab atas implementasi, hingga departemen pemerintah lainnya, institusi pendidikan guru dan organisasi masyarakat yang terlibat dalam menyediakan jasa penting. Berbagai usaha dibuat untuk meningkatkan 'kemitraan' ini dengan membangun unit-unit pendukung terpisah pada berbagai tingkatan di dalam hirarki, dan juga komite khusus di tingkat sekolah. Terlepas dari profesionalitas dan kompetensi teknis, motivasi bisa juga berada di bagian atas, mengingat diikutinya strategi top-down. Ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa cukup lambat dalam mewujudkan layanan-layanan pendukung profesional. Ini khususnya terkait dengan pengembangan silabus model, buku panduan dan paket instruksi. In-service training guru, juga sulit melibatkan sejumlah besar guru dan sekolah. Suatu dokumen seminar merekomendasikan untuk menugaskan sedikitnya satu guru 'terlatih secara tepat' untuk setiap sekolah (atas), agar dapat berkoordinasi dengan SUPW, membantu guru itu sendiri, serta menghubungkan dengan masyarakat (Dewan Nasional untuk Pelatihan dan Riset Bidang Pendidikan, 1991). Ada sedikit bukti mengenai berapa banyak pengalamankerja, setelah diupayakan selama 20 tahun, yang benar-benar berlangsung di sekolah. Tampaknya program ini telah diterapkan di beberapa negara dengan bermacam-macam tingkat kesuksesan. Bukan saja terdapat perhatian riil yang diberikan
40
padanya berbeda-beda, melainkan juga penafsirannya oleh otoritas negara, para guru dan ahli pendidikan lokal, yang kadang-kadang dengan perhatian diberikan lebih besar kepada pekerjaan praktis sebagai dasar bagi kompetensi pendidikan umum, serta pada saat yang lain kepada pengembangan kecakapan teknis atau hanya kepada keterlibatan para murid dalam kerja manual sebagai suatu penyimpangan dari kurikulum inti akademis. Dengan tiadanya pelatihan guru yang memadai, bimbingan yang tidak cukup, dan kelangkaan sumber daya secara umum, meskipun orientasi kerja dilakukan dengan serius, prestasi hasil pendidikan yang diharapkan kemungkinan sulit tercapai (Institut Nasional untuk Riset Bidang Pendidikan, 1986). Suatu dokumen Kementerian Nasional Pengembangan Sumber Daya Manusia menyesali dalam catatannya bahwa dengan meningkatnya beban kerja kurikuler dalam materi pelajaran skolastik, disertai dengan pengajaran berorientasi ujian dan berpusat pada buku yang terus-menerus, sekolah kurang memberikan perhatian pada pengalaman pembelajaran bersifat praktis dan kreatif, seperti pengalaman-kerja dan pendidikan kesenian (Kementerian Pengembangan Sumber Daya Manusia, 1991). Problem implementasi logistik dan organisasi yang berat hanya diperburuk oleh berbagai kesulitan dalam mengembangkan metode dan kriteria penilaian nasional yang bermanfaat, serta mengalokasikan hasil beberapa beban untuk masuk ke tingkat pendidikan lebih lanjut. Sebagai hasilnya, SUPW kemungkinan terus menjadi marjinal dalam aktivitas sekolah: dalam banyak komunitas masyarakat miskin karena tidak ada sumber daya dan dukungan profesional; serta dalam masyarakat lebih kaya karena tidak adanya minat lantaran orang tua atau guru tidak yakin akan relevansi pedagogiknya.
41
Pendidikan praktis (Kategori III): Pendidikan praktis: Kerajinan tangán (Slojd) di Swedia
Kerajinan tangán dalam pendidikan umum merupakan suatu tradisi bangsa Swedia yang sudah berjalan lama, dan secara lúas diakui sebagai bagian penting dari kurikulum dasar yang luas-seimbang {broad-balanced basic curriculum). la merupakan materi wajib di sekolah sembilan tahun, yang mengambil 16 période (dari 45 menit) per bulan, atau sekitar 17 persen dari total waktu kurikulum. Periode tersebut dibedakan sebagai berikut: dua période disebarkan pada tingkat yunior tiga tahun, sembilan période sepanjang tiga tahun intermediate, dan lima période disebarkan pada tingkat atas (Dewan Pendidikan Nasional Swedia, 1988). Sejak reformasi kurikulum 1962, materi yang disebut kerajinan tangán [slojd) ini, terdiri dari kerajinan tangán tekstil dan kerajinan tangán kayu atau logam. Baik anak laki-laki maupun perempuan dilibatkan pada setiap bagian, meskipun mereka mempunyai pilihan di antara keduanya pada kelas 7-9. Materi itu diajarkan oleh para guru spesialis: beberapa dilatih di bidang tekstil; beberapa di bidang kayu dan logam. Semua pekerjaan dilaksanakan pada jam-jam sekolah normal. Materi itu selalu dianggap sebagai format pendidikan estetik-praktis dengan tujuan menyediakan ketrampilan manual untuk berbagai kebutuhan dalam rumah, di waktu luang dan dalam pekerjaan. Di masa lalu, kadang-kadang nilai pekerjaan mendapat perhatian khusus, dan kadang-kadang tradisi kerajinan tangán di dalam lingkungan rumah lebih ditekankan (Eriksson et al, 1980). Meskipun demikian, materi itu terus-menerus dianggap sebagai suatu bagian penting dari pendidikan umum, yang merangsang berbagai ketrampilan praktis melalui pelibatan para murid dalam produksi barang dari material kerajinan tangán. Dari waktu ke waktu, metode instruksional telah bergeser. Sepanjang tahun 1960-an, masih dipertimbangkan bahwa para murid diperkenalkan berbagai teknik dan material, di mana
42
mereka harus maju secara sistematis melalui suatu rangkaian tugas praktis yang terns meningkat kesulitannya. Sementara pada 1980-an banyak nilai diberikan demi inisiatif murid sendiri, kreativitas, dan kemampuan memecahkan masalah (Dewan Pendidikan Nasional Swedia, 1986). Perubahan berikutnya, yang masih dipertahankan, telah mendorong pengurangan tekanan dari silabus, fleksibilitas dalam urutan dan lingkup tugas, serta memberi lebih banyak kesempatan bagi anak-anak untuk bereksperimen dengan beberapa disain dan teknik. Daripada kemampuan untuk meniru suatu model, kini minat berada dalam kemampuan kreatif dan memecahkan masalah. Petunjuk kurikulum menekankan pentingnya tiga langkah berikut dalam proses kerajinan tangán, yaitu: perencanaan dan persiapan (termasuk orientasi teoritis), produksi barang yang sesungguhnya, dan follow up dari suatu pekerjaan yang telah diselesaikan. Yang terakhir ini melibatkan para murid dalam menarik kesimpulan mengenai disain atau kegunaan, dan membuat perbandingan, misalnya, dalam masalah konsumen atau lingkungan. Follow-up bisa meliputi presentasi/demonstrasi, permainan peran atau laporan tertulis. Dalam kelompok atau sebagai individu, para murid mungkin dilibatkan dalam proyek seperti: membangun suatu model rumah pekarangan tradisional, celupan tekstil dan kayu yang menggunakan celupan sayuran, hidup di Abad Pertengahan, menciptakan teater boneka, konsep suatu lingkaran. Proyek seperti itu dapat dilaksanakan selama beberapa minggu, dengan melibatkan orang tua atau guru kelas (Eriksson et al, 1980). Baru-baru ini, para ahli pendidikan Swedia masih menganggap materi tersebut sebagai materi yang bernilai tinggi. Materi ini dilihat sebagai counter-balance terhadap sisi intelektual kurikulum yang mengandung beberapa warna, bentuk dan material yang menyediakan peluang, baik untuk pengalaman emosional maupun pengembangan intelektual. la menyediakan
43
peluang untuk mengintegrasikan pengetahuan, karena aktivitas praktis perlu bersandar pada konsep, prinsip, ketrampilan, dan teknik, yang dipelajari di bidang kurikulum terpisah. Materi kerajinan tangán juga diakui sebagai suatu kesempatan bagi anakanak untuk memperoleh akses kepada apa yang disebut 'pengetahuan intuitif, misalnya pengetahuan atau ketrampilan yang diperoleh dari pengalaman, yang mustahil dinyatakan sebagai suatu pernyataan atau dipelajari dari buku. Lagi pula, isu kesetaraan memainkan peran, karena materi itu memusatkan perhatiannya p a d a semua murid, tanpa menghiraukan kecerdasan akademis dan latar belakang sosio-ekonomi (Dewan Penasehat Nasional Industri Kerajinan Rumah, 1992). Harus dicatat bahwa kerajinan tangán dalam sistem Swedia selalu mempertahankan suatu hubungan yang erat dengan kultur nasional serta teknik dan material kerajinan tradisional. Hubungannya dengan situasi kerja modern tetap bersifat tidak langsung, walaupun ketrampilan praktis dianggap sebagai hai penting untuk masuk ke dunia kerja. Ketrampilan tersebut dimaksudkan untuk meletakkan dasar bagi bidang kejuruan pada sekolah menengah atas. Meskipun demikian, setelah pemerintah konservatif memerintah pada 1992, suatu debat muncul, apakah kerajinan tangán harus dikurangi menjadi materi pelajaran pilihan, dan apakah pendidikan teknologi, yang orientasinya lebih 'modern' dan 'internasional' (terutama di Eropa), perlu dijadikan materi pelajaran baru dan terpisah. Karena itu, kerajinan tangán dipaksa untuk membuktikan nilainya dan meredefinisi tempatnya, mengingat banyak kebutuhan yang harus ditampung dalam kurikulum di sekolah modern. Di Swedia, materi kerajinan tangán telah mengukuhkan dasar suatu perusahaan. Ada empat lembaga pelatihan negeri {state training colleges), sekarang dilekatkan pada universitas, yang melatih para guru spesialis dan terlibat dalam pengembangan
44
kurikulum dan disain material. Para guru sudah mengikuü latihan kejuruan sebelum program pendidikan pedagogik mereka. Mereka mengkhususkan satu cabang kerajinan tangán, yang mungkin (atau tidak) dikombinasikan dengan suatu materi akademis. Adalah menarik bahwa sementara para murid diunjukkan ke tekstil dan juga kerajinan kayu dan logam, di antara para guru masih ada bias gender: umumnya para guru kerajinan tangán tekstil adalah wanita, dan mereka yang di bagian kayu dan logam adalah pria (Eriksson et al, 1980). Indikasi ini, walaupun penghalang jenis kelamin dalam materi praktis telah rusak, belum mencegah prasangka budaya dari pilihan pekerjaan yang berpengaruh. Di samping berbagi materi yang sama, sasaran dan prinsip, serta layanan pendukung profesional, pelatihan guru untuk dua cabang kerajinan tangán juga tetap dipisahkan. Laporan-laporan mencatat munculnya antusiasme terhadap materi di antara para guru, murid dan orang tua. Di situ terdapat dukungan berbasis luas untuk kelanjutan kerajinan tangán sebagai materi wajib. Para guru spesialis dan guru kelas sering bekerja sama untuk mempersiapkan dan melaksanakan tugas praktis. Ini didukung oleh ketentuan dari suatu bidang integratif dalam kurikulum, yang disebut 'materi umum', yang memungkinkan ruang untuk aplikasi ilmu pengetahuan praktis, matematika dan ilmu sosial. Tergantung pada minat sekolah, unsur-unsur ilmu ekonomi keluarga, kerajinan tangán dan teknologi dapat menemukan tempatnya. Riset telah menunjukkan bahwa kerajinan tangán tidak secara otomatis dianggap sebagai materi lebih rendah. la mempunyai potensi besar untuk menjadi sarana menuju materi-materi berat, mendorong kreativitas, dan mengedepankan pencarían masalah, juga kemampuan memecahkan masalah. Yang jelas, hambatannya lebih sedikit berhubungan dengan sumber daya keuangan dibanding sikap dan kemampuan guru, termasuk kesediaannya bergabung dan mengijinkan keikutsertaan para murid dalam perencanaan dan pelaksanaan. Adalah sulit bagi mereka untuk sedikit mengan45
dalkan pada buku teks dan tugas model, serta lebih pada interaksi tidak langsung dengan para murid (Eriksson et al, 1980). Pendidikan praktis (Kategori III): Ketrampilan hidup {life skill) di Sri Lanka
Pengalaman Sri Lanka dengan ketrampilan hidup harus dilihat dalam konteks latar belakang sejarah panjang program pre-vocational sebagai bagian dari pendidikan umum formal. Pada 1979, keberadaan materi teknis pada tingkat menengah yunior ditinjau ulang sebagai bagian dari percobaan reformasi bidang pendidikan. Perhatian pejabat terhadap lemahnya implementasi materi ini juga meningkat, bersamaan dengan oposisi orangtua akibat pelajaran sekolah masih sangat akademis dan melulu mengacu pada buku (bookish). Dalam studi berikutnya, hasil yang rendah terutama sekali diakibatkan oleh ambisiusitas program pre-vocational dengan sumber daya terbatas dan lemahnya kapasitas implementasi. Hanya sedikit pilihan yang benar-benar diajarkan. Para guru disiapkan dengan sangat buruk, dan distribusi mereka tidak sesuai dengan ketersediaan fasilitas. Material tidak tersedia, begitu pula petunjuknya tidak cukup. Kenyataannya, pekerjaan praktis yang tidak diujikan, juga mempengaruhi motivasi untuk memperhatikan materi itu ( Jayasuriya, 1983). Berkaitan dengan usaha untuk menemukan format yang lebih sesuai dengan pendidikan praktis di tingkat menengah yunior (kelas 6 sampai 9, yang dapat diakses oleh 93 persen dari lulusan tingkat dasar), Laporan Resmi Pendidikan 1981 mengusulkan pengenalan materi baru yang disebut 'ketrampilan hidup'. Materi baru ini secara berangsur-angsur menggantikan materi teknis di semua sekolah. Materi baru ini dilihat sebagai suatu perluasan studi kreatif di tingkat dasar, dan sebagai persiapan untuk mempelajari materi teknis pada tingkat menengah atas dengan orientasi kejuruan lebih kuat (UNDP/UNESCO, 1984).
46
Tujuan-tujuan itu meliputi: a.
suatu pengenalan kepada dunia kerja;
b.
pengembangan ketrampilan domestik, meliputi beberapa kecakapan dalam penggunaan peralatan dan perkakas umum;
c.
pengembangan ketrampilan pre-vocational sederhana, yang relevan dengan bidang lapangan kerja;
d.
penetapan suatu maten berbasis aktivitas yang menawarkan pengajaran aktivitas, yang juga sangat bermanfaat bagi para murid yang diberi lebih sedikit maten akademis.
Dari sudut pandang kebijakan, penekanan banyak diberikan pada kebutuhan akan bekerja dengan satu tangán, keanekaragaman tawaran ke berbagai ketrampilan yang dapat dipindahkan {transferable skills), pencapaian output yang terukur (sebuah produk atau layanan), keterkaitan dengan situasi para murid, pengintegrasian gender, dan implementabilitas dalam kondisi-kondisi sekolah. Karena itu, terlepas dari dimensi orientasi kerja, materi tersebut memperoleh relevansi spesifik dalam menjaga keseimbangan kurikulum pendidikan umum (de Silva, 1987). Pada tahap disain program, ada diskusi menarik mengenai sejauhmana materi itu perlu melampaui batasan ketrampilan manual dan meliputi hasil pembelajaran lain seperti ketrampilan pengambilan keputusan, pemasaran dan manajemen, dan ketrampilan sosial. Walaupun, penekanan pada ketrampilan manual masih tetap dipertahankan, kompromi telah dibuat. Karena diakui bahwa pekerjaan tidak bisa dipisahkan dari situasi hidup yang lebih lúas, dan bahwa sejumlah ketrampilan sosial dan memecahkan masalah, yang relevan di rumah, juga berdampak pada efektifitas kerja di semua bidang pekerjaan (de
47
Silva, 1987). Pada tahap kedua, bagaimanapun, sebagian ketrampilan non-manual telah diberi perhatian yang lebih tegas. Karena status kelas 6 tetap tidak menentu, materi itu diperkenalkan pada pikt basis ài kelas 7 dan 8 saja: di 300 sekolah selama tahap pertama yang berakhir pada 1985, dan yang lain kira-kira 200 sekolah pada tahap kedua yang berakhir tahun 1987. Di manapun di seluruh negara, implementasi akan mengikuti tahapan-tahapan tingkat. Pada masing-masing tingkat, ketrampilan hidup pada awalnya dialokasikan selama tiga période dalam seminggu, kemudian diperpanjang menjadi empat, berjumlah 10 persen dari total waktu kurikulum. Material inti untuk materi tersebut terdiri dari rangkaian peristiwa pembelajaran ( LEs), yang dibuat dari rangkaian interaksi dan langkah-langkah tersusun, melibatkan guru, para murid dan masyarakat. Pada setiap tahun, sekolah memilih 10 sampai 12 dari total 100 LEs yang mungkin, yang disiapkan untuk implementasi nasional. Pemilihan didasarkan pada beberapa kriteria, dan hanya satu yang wajib: LEs menghadirkan masingmasing enam kelompok topik berbeda. Kelompok-kelompok tersebut adalah: tanam-menanam, listrik, kayu atau logam, keramik atau menenun, ilmu ekonomi keluarga, dan bermacammacam kelompok, yang meliputi pemeliharaan peralatan dan disain unsur-unsur dasar. Di dalam masing-masing kelompok ini, penekanannya adalah pada ketrampilan umum yang dapat dipindahkan [on generic and tranferable skill), yang untuk banyak topik dipilih dari materi teknis yang ada. Lebih lanjut, sekolah bisa berpedoman pada tingkat fasilitas dan sumber daya yang tersedia dan pada posisi LE di lingkup kurikulum kelas (tingkat) 7 dan 8 (UNDP/UNESCO, 1984). Dari waktu ke waktu, spesifikasi telah disiapkan untuk masing-masing kurikulum LE. Spesifikasi itu memperkenalkan material dalam bentuk proyek yang menguraikan sasaran
48
capaian, aktivitas guru dan murid, panduan penilaian dan follow up aktivitas (terdiri dari proyek luar sekolah atau perluasan kerja). Panduan ini agak terperinci, sehingga bahkan para guru yang kurang terlatih pun bisa mengatur pekerjaan itu tanpa banyak kesulitan. Pada permulaan, para guru yang terlibat proyek itu umumnya adalah para guru materi teknis. Pada tahap berikutnya, banyak guru non teknis yang dilibatkan. Mereka ini adalah baik yang tak terlatih maupun yang memiliki kualifikasi di bidang lain dan telah menerima ketrampilan hidup sebagai bagian dari jadwal mereka. Proyek U N D P / U N E S C O yang mendukung pengenalan materi tersebut juga mengurus in-service training. Ini diberikan melalui intensive in-service course yang berlangsung selama tiga sampai lima hari, dan menyediakan (melalui orientasi) materi dan pelatihan di dalam delapan LEs yang terpilih (de Silva, 1987). Aturan dibuatuntuk 'master-teachers' part-time, yang mengunjungi sekolah pada waktu tertentu dengan memberi bimbingan kepada para guru. Perhatian juga diberikan pada latihan manajemen untuk kepala sekolah percontohan. Diakui oleh manajemen proyek bahwa pelatihan para guru dan kepala sekolah adalah masalah terbesar yang harus dipecahkan (de Silva, 1987). Dalam ruang waktu yang singkat, beratus-ratus guru (sering tak terlatih) harus diperkenalkan pada materi baru. Materi baru itu lebih berbasis proses dibanding muatan, dan memerlukan pendekatan inovatif dalam kegiatan belajar-mengajarnya. Lebih dari itu, persepsi baru ini harus dijalankan dalam konteks kekurangan para guru, status materi teknis yang rendah dan dominasi ujian akhir yang teoritis dan kompetitif. Misi evaluasi 1984 telah mengamati suatu perbedaan an tara pengajaran pelajaran life-skill dan materi pelajaran lain yang mencakup materi teknis, bahkan ketika yang terakhir diajarkan oleh guru yang sama. Sementara itu, ketika in-service courses telah diperluas, upaya untuk memasukkan life skill dalam
49
kurikulum pendidikan guru pre-service belum berlangsung pada saat program telah menasional (UNDP/UNESCO, 1988). Suatu masalah muncul mengenai persediaan sumber daya material dan keuangan. Ketika disetujui bahwa lembaga donor akan menyediakan sarana dan peralatan, Kementerian akan mengeluarkan dana untuk material yang dapat dikonsumsi, di mana setelah penarikan dukungan, jumlahnya tetap dua kali per murid untuk materi-materi akademis. Lebih lanjut, sekolahsekolah tambahan akan diberikan sebagai implementasi nasional, hanya jika tersedia pembiayaan alat dan material yang dapat dikonsumsi (UNDP/UNESCO, 1988). Dari pengalaman sebelumnya dengan program pre-vocationaL, dapat disimpulkan bahwa biaya perbaikan - setidaknya pada tahap-tahap awal- tidaklah realistis. Produk tidaklah dibuat untuk pasar, meskipun selama pameran mereka bisa juga dijual kepada orang tua. Tidak ada banyak perangsang untuk melakukan hai seperti itu, karena p e n d a p a t a n harus lebih dulu kembali ke b e n d a h a r a . Ketersediaan dana segar, bagaimanapun, tak menentu, dan sekolah menjadi sering tergantung pada material yang dibawa anak-anak dari rumah. Masalah lain adalah mengenai lingkungan manajerial di sekolah dan struktur pendukung profesional yang lebih luas untuk para guru. Interaksi dengan materi lain juga tetap sulit dilakukan. Ketika muatan LE juga menggambarkan materimateri seperti sains, ilmu kesehatan dan matematika, unsurnya masih terbatas pada pengetahuan dasar dan ketrampilan manipulatif sederhana, tanpa petunjuk, seperti bagaimana ini dapat d i h u b u n g k a n d e n g a n bidang pelajaran lainnya. Penilaiannya meliputi proses dan evaluasi produk tentang pekerjaan praktis (oleh guru), yang dilampiri dengan tes pilihan [multiple-choice tests) di akhir tahun. Walaupun life skill belum menjadi materi pada level 'O', Kementerian tengah meninjau ulang pengajaran materi teknis di kelas 9 sampai 11, dan
50
memutuskan untuk menggantikan yang ada pada kelas 9 dengan kursus teknis terintegrasi, sebagai transisi dari model life skill ke garis teknis penuh pada sekolah menengah atas, yang bisa ditawarkan di level ' O' dan ' A'. Bagaimanapun, life iM/hanya diperkenalkan dalam 30 persen di sekolah. Untuk mewujudkan pengembangannya masih memerlukan banyak waktu. Pendidikan praktis: llmu pengetahuan lingkungan dan pertanian di Zimbabwe
Di Zimbabwe, (pemerintah dengan sosialismenya yang mengupayakan pengurangan kesenjangan yang diwariskan période kolonial), beberapa program orientasi kerja sudah muncul. Pada tingkat dasar, Kementerian Pendidikan memodifikasi kerja pre-independence masuk dalam materi praktis dalam kurikulum. Terlepas dari ini, suatu organisasi non-pemerintah (Yayasan Zimbabwe untuk Pendidikan dengan Produksi (ZIMFEP) diberi tugas untuk mengembangkan suatu pendekatan pendidikan kerja untuk anak-anak pengungsi, berdasarkan pengalaman sebelumnya di kamp pengungsi di Mozambique. Ini akan menjadi pendekatan percobaan yang secepatnya bisa diterapkan di seluruh sistem pendidikan, khususnya di tingkat sekolah menengah. Di akhir 1980an, Kementerian memulai suatu program percobaan untuk vokasionalisasi secara gradual sistem menengah yang berkembang dengan cepat. Program ini dimaksudkan untuk memberi pilihan kepada para murid di bidang ketrampilan teknis pre-vocational, dan (sesudah itu) menjadi peluang untuk mengambil spesialisasi satu bidang yang berorientasi vokasional (kejuruan). Walaupun ada minat dalam pekerjaan produktif (yakni kebijakan pemerintah), penekanannya adalah pada persiapan vokasional berbasis sekolah, dengan kemungkinan dapat masuk langsung ke pasar tenaga kerja (Mandizha, 1989).
51
Proyek lain terkait dengan ilmu pertanian pada pendidikan dasar. Setelah kemerdekaan, ilmu pertanian ini dimasukkan sebagai bagian integral dari pendidikan sains dasar. Filosofinya adalah, kurikulum tingkat dasar hams memberikan suatu materi dasar usaha dalam bentuk teori-teori dan ketrampilan praktis, dan suatu pemahaman mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi. la juga harus memberikan pesan mengenai bidang kesehatan, ilmu gizi, lingkungan, keluarga dan wacana sosial kemasyarakatan. Secara khusus, diakui bahwa sebagian besar ekonomi pertanian negara bergantung pada sikap hati-hati dan hemat lingkungan alam, dan karena itu semua murid perlu mempunyai pemahaman dasar mengenai ilmu pertanian dan sains, sebelum meninggalkan sekolah ( Lewin dan Bajah, 1991). Suatu silabus untuk Ilmu Pertanian dan Lingkungan (Environmental and Agricultural Sains [EAS] telah disiapkan dengan kerangka yang didasarkan pada tiga bidang: ketrampilan (termasuk berbagai teori dan ketrampilan ilmiah), konsep (terdiri dari bidang ekologis, geografis dan sains, serta bidang yang lebih abstrak y a n g b e r h u b u n g a n dengan lingkungan secara keseluruhan), dan p e r t a n i a n (pengetahuan dasar dan ketrampilan). Pendekatannya adalah, pengembangan ketiga bidang akan lebih menghubungkan dengan konteks topik yang akan diajarkan kembali di kelas lebih tinggi. Aktivitas pertanian praktis untuk masing-masing kelas akan meningkatkan kepercayaan diri sekaligus mendukung kelas yang lain. Tugas-tugasnya mulai dari identifìkasi binatang, tumbuhan, dan Iain-lain pada kelas lebih rendah [lower grades), melalui aktivitas praktis sederhana yang meliputi percobaan kecil-kecilan dengan tanaman panen sekali, hingga proyek berkebun dengan pencatatan dan analisa ilmiah pada kelas yang paling tinggi [the highest grades] (Kementeûan Pendidikan dan Kebudayaan, 1982). Penekanan hubungan ketrampilan praktis dengan dimensi fisik, biologi dan humanitas lingkungan lebih menunjukkan suatu 52
pendidikan umum dibanding pengkhususan materi kejuruan. Di sini, perencana lebih memilih pendekatan yang lebih berbasis sains ketimbang menekankan ketrampilan menanam, sebagaimana telah dipertimbangkan ketika gagasan itu diluncurkan sebelum kemerdekaan (Lewin dan Bajah, 1991). Kementerian Pendidikan juga melihat bahwa pendekatan terkait dengan sains seharusnya banyak berhubungan dengan praktek lokal dasar. Jika tidak, tentu saja jelas berbeda dari pendidikan praktis yang diberikan kepada masyarakat Afrika di sekolah kolonial. Tetapi, pada waktu yang sama, ini mungkin menciptakan berbagai kesulitan dalam implementasinya, khususnya masalah kemampuan manajemen sekolah dan kompetensi guru. Telah banyak dukungan eksternal yang diberikan kepada unit kurikulum kementerian untuk mengorganisasi workshop penulisan, produksi material percobaan, dan pelatihan untuk para guru (in-service training for teacher) untuk membantu implementasi silabus EAS. Pelatihan dianggap mempunyai kontribusi kunci untuk membantu para guru agar terbiasa dengan tugas dan material baru. Pelatihan dipandang penting mengingat kenyataannya hanya minoritas guru yang mempunyai ijazah pendidikan dan sebanyak 42 persen tidak terlatih; terutama di wilayah pedesaan (Lewin dan Bajah, 1991). Pada pertengahan 1980an, unit kurikulum memberikan buku panduan bagi para guru, sesuai dengan buku pegangan para murid, yang materinya detil dan memadai (Lewin dan Bajah). Evaluasi, yang diselenggarakan pada 1991, menunjukkan bahwa para guru masih mengalami banyak kesulitan dalam hai pekerjaan praktis yang dikaitkan dengan teori (Lewin dan Bajah). Pelajaran berbasis aktivitas, yang melibatkan percobaan dan pemeriksaan oleh para murid, tampaknya hanya dilaksanakan oleh minoritas guru. Baik murid maupun guru kelihatannya mempunyai masalah dengan tugas yang berhubungan dengan 'produksi pertanian'. Masalah ini harus dilihat dalam konteks
53
keterbatasan, misalnya akses yang tidak cukup ke dokumen silabus, buku panduan guru dan buku pegangan murid; ketiadaan sumber daya material; dan tekanan pekerjaan. Para guru tampaknya juga lemah pemahamannya tentang beberapa topik, dan mereka berpikir bahwa banyak tugas tidak bisa dijalankan. Ini barangkali perlu dihubungkan dengan penelitian lain mengenai lemahnya kebijakan atas dukungan teknis dan profesional. Sebagai konsekuensinya, dari survei sebanyak 39 persen guru menunjukkan bahwa para murid kebanyakan diposisikan sebagai pekerja, bukan pelajar, di kebun sekolah, dan 43 persen mengaku tidak mengarah ke sana (Lewin dan Bajah). Bukti lain menunjukkan bahwa Ilmu Lingkungan dan Pertanian tidak secara resmi ditempatkan dalam status yang tinggi oleh sekolah dan otoritas kementerian. Dari lima période yang dialokasikan dari kelas 3, hanya tiga yang biasanya diajarkan, dan umumnya pada waktu sore. Ini berkaitan dengan ujian nasional kelas 7, di mana EAS telah diikutkan, walaupun hanya sebagai bagian dari catatan umum bersama dengan ilmu sosial dan pendidikan agama. Jadi belum merupakan solusi untuk penilaian nasional atas pekerjaan praktis. Pelaksanaan evaluasi akhirnya mendorong pada suatu kesimpulan terkait dengan penyempurnaan silabus, khususnya pada saat presentasi, klarifikasi isi dan konsep kunci, dan interrelationship di antara sisi-sisi topik yang berbeda. Dengan cara ini, para guru diharapkan bisa menjadi lebih efektif dalam merangsang partisipasi siswa dan pencapaian sasaran kerja praktis ( Lewin, 1992). Pendidikan Praktis ( Kategori III): Pendidikan Teknologi (Techniek) di Belanda
Seperti di negara-negara lain di Eropa Barat, di Belanda sepanjang 1980an, diskusi tentang orientasi kerja p a d a
54
pendidikan dasar mulai terfokus pada ide tentang pendidikan teknologi. Ini menandai perpindahan minat dari penyesuaian kepada kurikulum, melalui pengenalan unsur-unsur pengalaman kerja dan/atau pendidikan karier sebagai persiapan untuk pasar tenaga kerja, yang tadinya mendominasi beberapa dekade. Di Belanda, diskusi ini dilakukan dalam konteks mempersiapkan apa yang dikenal dengan 'basisvorming' atau 'pendidikan dasar', maksudnya pendidikan dasar umum di sekolah formal. Istilah ini mengandaikan unsur-unsur pembelajaran dasar umum yang diperkenalkan selama tiga tahun awal pendidikan menengah. Pada dekade-dekade belakangan ini, pentingnya mengintegrasikan jenis-jenis sekolah yang berbeda tetap muncul pada tingkat yang telah membuat kemajuan. Lebih dari iru, ada suatu konsensus bahwa ide tentang program pembelajaran umum sebagai dasar untuk semua anak-anak, hendaknya diperluas ke tingkat kedua pendidikan (disediakan untuk kelompok umur 12-15 tahun). Pandangan ini sebagian atas pertimbangan demokratis, sebagiannya lagi akibat perubahan yang cepat di dalam masyarakat dan ekonomi. Prinsip yang mendasari dalam usaha persiapan adalah bahwa program umum harus menjamin kompetensi minimal dalam sejumlah ketrampilan dasar, dan menyediakan seperangkat tawaran sesuai dengan minat individu dan permintaan sosial. Ketrampilan perlu diseimbangkan di antara intelektual, emosional, ekspresif, sosial, dan teknis ('tangán, kepala, dan hati'). Program seperti itu akan memberi kesempatan maksimum bagi kaum muda untuk realisasi diri dan untuk secepatnya pindah ke jenis pelatihan atau pendidikan lanjutan sesuai dengan ambisi dan bakat mereka ( WWR, 1986). 'Kemasan' institusional atas pendidikan dasar ini adalah suatu maten yang bisa dinegosiasikan. Setelah masa percobaan dengan 'middleschool sepanjang 1970-an, perhatian bergeserpada perpanjangan dasar ke semua jenis sekolah menengah. Untuk
55
sementara waktu, harapannya adalah untuk mencapai sekolah menengah yunior integratif-komprehensif tiga tahun yang akan menggantikan arus hirarkis pada tingkat ini. Kementerian Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan hams lebih dulu menerima program 'pendidikan dasar' yang akan diwajibkan di semua jenis sekolah (kejuruan maupun umum) selama tiga tahun awal. Akan ada 14 maten inü secara bersamaan dan, ketika sekolah tetap bertanggung jawab atas program pengajaran mereka sendiri, Kementerian akan menetapkan target pencapaian agar bisa memastikan keikutsertaannya pada standar nasional. Konsensus nasional tentang 'pendidikan dasar' telah dicapai pada 1986 dan implementasi penuh secara nasional dimulai pada Agustus 1993. Salah satu dari 14 mated inti pada 'pendidikan dasar' adalah 'teknologi' (techniefy, rekomendasinya adalah 4.5 période dari total 90 selama période tiga tahun. Bersama-sama dengan materi yang lebih kecil 'informatika' ( 0,5 période), materi teknologi mempunyai tujuan yang tegas untuk mengarahkan para murid ke dunia kerja. Sejak 1986, banyak usaha telah dibuat untuk memberi bentuk pada materi baru itu. Usaha itu termasuk kerja komite pemerintah untuk mengembangkan profil teknologi dan mengusulkan target pencapaian; konsepnya mengenai contoh rencana pengajaran dan material kurikulum oleh Institut Pengembangan Kurikulum (SLO), eksperimennya dengan materi baru di lebih dari 200 sekolah menengah di seluruh negeri (sekitar 10 persen), dan dimulai dengan enam program pelatihan guru part-time. Di Belanda, materi teknologi awalnya dari pendidikan teknik post-primary lower sebagai materi pengenalan umum ke teknologi. Tapi karena ketiadaan kurikulum pusat, ia diajarkan di antara ketrampilan praktis yang telah mempunyai relevansi kejuruan lebih luas (de Vries, 1991).Di dalam panduan 'pendidikan dasar', materi ini diubah agar dapat memenuhi kebutuhan belajar semua murid dalam kelompok umur. Latar belakang
56
ini mengakibatkan ketegangan antara dua penafsiran materi tersebut. Salah satu penafsiran itu lebih statis dan kejuruan, dengan penekanan pada 'pembentukan ketrampilan', belajar tentang teknik dan bagaimana cara menggunakannya. Sementara tafsir lainnya sifatnya lebih dinamis dan umum, dengan penekanan pada disain, berpikir tentang kemungkinan pemecahan baru atas masalah-masalah teknologi dan pemahaman yang umum tentang prinsip dan konsep teknologi (de Vries, 1991). Walaupun kompromi berangsur-angsur tercapai, tapi ketegangan tetap berlanjut, dan praktek menjadi tergantung pada tradisi sekolah, pengalaman, latar belakang pelatihan dan persepsi para guru, dan pilihan materi pelajaran. Dalam diskusi profesional, posisi rancangan kurikulum masih menjadi isu kontroversial. Bagi Kementerian Pendidikan, titik anjaknya adalah bahwa teknologi menjadi suatu dimensi integrai dalam dunia pengalaman para murid. Pada tingkat ini, orientasi terhadap dunia kerja terkait berkelindan dengan peningkatan fungsi dalam pengembangan budaya teknik. Dengan begitu, kontribusi utama materi teknologi bagi keseluruhan ' p e n d i d i k a n dasar' digambarkan sebagai perkenalan dengan aspek teknologi yang penting bagi suatu pemahaman mengenai budaya, berfungsi secara efektif di masyarakat (yakni melalui pengetahuan dan ketrampilan dasar yang bermanfaat untuk sehari-hari), serta pengembangan pribadi lebih lanjut (yakni.kontribusi bagi realisasi diri dan pilihan kejuruan). Ini berarti bahwa baik pengetahuan dan ketrampilan praktis, maupun sikap dan nilainilai yang terkait dengan teknologi, adalah penting, misalnya sifat non-sexist pekerjaan teknis, sikap kritis t e r h a d a p pengembangan teknologi, dan komitmen pada kualitas kerja. Walaupun sikap seperti itu tidak menjadi target pencapaian ( Houben, 1989).
57
Kurikulum mempunyai tiga komponen utama: (1) teknologi dan masyarakat, dengan perhatian pada sejarah, proses produksi, teknologi dalam situasi pekerjaan yang berbeda, bahan kimia dan aspek teknologi lingkungan; (2) bekerja dengan produk teknologi. Topik ini tergambar dari hidup sehari-hari para raurid dan berkisar pada pekerjaan praktis dan aktivitas investigasi. Topik ini mencakup prinsip operasi, sistem teknis, otomasi, dan penggunaan alat dan produk; (3) teknologi produksi, menyediakan pengalaman dalam pelajaran berbasis kerja, dengan fokus pada proyek yang menggunakan kayu, plastik, tekstil dan baja, dan mengikuti urutan model 'berpikirmerancang- membuat- memeriksa'. Dalam model ini, digunakan komputer, dan dilakukan usaha untuk mengembangkan perangkat lunak. Pekerjaan praktis berbasis-sekolah harus didukung oleh program kunjungan ke industri dan diskusi dengan para ahli di bidang kerja tertentu (Houben, 1989). Implementasi di sekolah percobaan tengah dilakukan, tetapi mengalami beberapa hambatan. Banyak yang tergantung pada guru, yang dalam langkah-langkah awal sering diambii para guru yang mempunyai kecakapan dalam materi teknologi kuno atau materi kerajinan tangán terkait. Banyak sekolah harus lebih dulu bekerja dengan guru-guru yang tidak menguasai materi. Tugas pokok pelatihan guru baru, dengan demikian, adalah untuk melengkapi latar belakang pengetahuan para guru, baik bidang seni; disain, atau sains, dan mengembangkan metode pedagogik yang sesuai, terutama bagaimana cara memandu para muriti di dalam melakukan aktivitasproblem-solvingmeveka., sebagai basis bagi pelajaran baru (van Dijk, 1989; de Vries, 1991). Laporan inspektur mengungkapkan bahwa di banyak sekolah, hanya beberapa bagian kurikulum yang diterapkan. Pelajaran yang diamati lebih diarahkan pada pekerjaan praktis ketimbang memberikan pengertian yang mendalam mengenai aplikasi dan implikasi teknologi. Begitu pula, total waktu yang
58
disediakan juga tidak cukup, yang mencerminkan permasalahan mengenai distribusi waktu di antara materi-materi. Di sekolah pendidikan umum, terlalu banyak kompromi dibuat dalam hai materi non-akademis, khususnya teknologi, kerajinan tangán dan kepedulian pribadi, batasan-batasan materinya masih kabur, dan debat terus berlanjut di lingkungan Kementerian dan organisasi guru. Kesamaannya terletak pada interaksi dengan informatika dan sains (Van Dijk, 1989). Permasalahan lain adalah terkait dengan ketersediaan fasilitas yang memadai, seperti kelas khusus, peralatan (termasuk komputer) dan material. Ini dihubungkan dengan berbagai kesulitan sekolah untuk membatasi ukuran kelompok, sehingga mempengaruhi pengaturan pekerjaan praktis. Satu ruang kelas sering digunakan bersama dengan kelas kerajinan tangán. Akhimya, perlu dicatat bahwa penggunaan yang tidak cukup terbentuk dari dukungan profesional dari organisasi nasional untuk pengembangan kurikulum, panduan pedagogik dan pelatihan guru ( Dijkstra, 1992). Pendidikan umum (Kategori IV): Pendidikan untuk perusahaan di Lesotho
Di Afrika, Kerajaan Lesotho mempunyai recorvímemberikan banyak perhatian pada dimasukkannya unsur-unsur orientasi kerja dalam p e n d i d i k a n dasar formal. Dengan posisi strukturalnya, khususnya ketergantungan pada ekonomi Afrika Selatan, hai ini tidaklah mengejutkan. Sepanjang 1980-an muncul berbagai prakarsa baru. Prakarsa-prakarsa tersebut umumnya berasal dari pemerintah, tetapi beberapa di antaranya juga dari pimpinan sekolah atau organisasi non-pemerintah. Pedomanp e d o m a n diberikan oleh suatu dialog nasional tentang pendidikan yang diadakan pada 1978, yang menunjukkan perhatian besarnya pada relevansi pendidikan dasar dan interaksinya dengan lingkungan lokal. Ketertarikan ini terwujud dalam pendidikan 'untuk hidup' dengan memasukkan materi
59
ketrampilan praktis, ketrampilan pertanian, seni dan keahlian, bersama-sama dengan ilmu pengetahuan lingkungan yang lebih berorientasi masalah, bahasa, dan b u d a y a tradisional (Kementerian Pendidikan, 1978). Juga disetujui bahwa masingmasing sekolah perlu "terlibat dalam proyek yang direncanakan bersama-sama dengan orang tua, para guru dan pimpinan, misalnya proyek mengendalikan erosi lahan, pembesaran unggas, lembu, b a b i , kelinci, dan p r o d u k s i sayuran" (Kementerian Pendidikan, 1978). Dari tahun ke tahun, sejalan dengan sentimen di atas, kurikulum sekolah dasar 7 tahun diperluas. Materi-materi pertanian, seni dan keahlian, ilmu ekonomi keluarga dan pendidikan kesehatan diberikan tempat. Pilihan-pilihan pre-vocational (pra-kejuruan) diperkenalkan ke dalam sekolah menengah. Beberapa sekolah - lebih banyak sekolah menengah dibanding sekolah dasar- mulai mencoba proyek produksi kecil. Ini kadangkadang didukung oleh Yayasan Lesotho untuk Pendidikan dengan Produksi (LEFEP), di mana kemudian Raja Lesotho secara pribadi merasa tertarik. Di akhir 1980-an, terjadi dua pengembangan lebih lanjut: di bawah USAID yang mendukung proyek "Sistem Pendidikan Dasar dan Non Formal (BANFES)" unsur pendidikan bisnis diperkenalkan ke dalam sekolah, dan setidaknya di sekolah kota dan dataran rendah, suatu permulaan dibuat untuk melepaskan program pembiayaan sekolah di bawah Program Makanan Dunia (WFD), menggantinya dengan mendukung proyek mandiri sekolah (school self reliance project). Proyek ini diarahkan untuk menggantikan pendekatan kesejahteraan sosial dengan peningkatan makanan para murid, dengan lebih berorientasi pada pengembangan. Sekolah akan dibantu dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan dengan produksi, dan belajar untuk merencanakan dan melakukan aktivitas self-reliance yang terkait dengan bagian kebutuhan makanan murid. Peran utama diberikan kepada orang tua
60
dan masyarakat untuk mendukung aktivitas dan, pada waktu yang sama, meningkatkan kontribusi keuangan mereka terhadap pendidikan (Information: School Self-Reliance Project, Maseru). Berlawanan dengan self-reliance project, unsur pendidikan bisnis mempunyai tujuan pendidikan secara eksplisit. Ini merupakan bagian dari usaha Kementerian untuk mengikuti rekomendasi kebijakan awal dengan membangun suatu orientasi self-reliance ke dalam kurikulum inti. Dengan cara ini, diharapkan dapat merangsang kesadaran para murid akan lingkungan sosial dan ekonomi, dan meletakkan dasar bagi upaya berikutnya, lebih jelasnya, pelatihan untuk self-employment. Dalam setting Lesotho, ini adalah usaha baru untuk memfokuskan perhatian pada relevansi dan struktur inti materimateri kurikuler, seperti sains dan bahasa Inggris. Di masa lalu, jenis baru ketrampilan dan pengetahuan telah diserap sebagai diversifikasi di dalam materi yang ada. Sebagai contoh, ilmu pengetahuan di tingkat upper primary meliputi pendidikan kesehatan, ilmu kesejahteraan keluarga, seni dan keahlian, dan pertanian. Sekarang ini, ketika semakin banyak tekanan untuk memperluas komponen yang berbeda ini dan untuk menciptakan ruang lebih untuk implementasi, masing-masing bidang pelajaran ini mulai menjadi materi terpisah. Bagaimanapun, bagi para guru, perubahan ini hanya menambah permasalahan kurikulum yang sudah overloaded. Sejak materi praktis masih diujikan sebagai bagian pilihan di dalam ilmu pengetahuan gabungan, para guru memilih untuk meneruskan perhatiannya pada komponen akademis. Mengenai pendidikan self-reliance, khususnya pendidikan untuk komponen perusahaan, Kementerian Pendidikan tidak ingin memfragmentasi kurikulum atau menambah beban kerja para guru. Dengan memfokuskan pada tingkat upper primary, proyek BAN FES mengembangkan Direktori Sumber Daya,
61
yang berisi usui praktis untuk proyek terkait dengan berbagai materi yang ada; untuk peningkatan kesehatan, keselamatan dan nutrisi; untuk konservasi sumber daya alam; dan untuk pengembangan proyek-proyek usaha kecil. Juga menyajikan banyak sumber informasi lebih lanjut dan bantuan teknis (BANFES Consortium, n.d.). Sebagai tambahan, satu set buku "Small Business Studies Supplementary Readers''telah diterbitkan, dimaksudkan untuk disatukan dengan materi bahasa Inggris. Set buku tersebut meliputi cerita sederhana yang mempresentasikan konsep bisnis kecil dengan aktivitas dan latihan pemandu, yang menekankan aplikasi praktis bahasa dasar, matematika dan ilmu ketrampilan sosial (Pusat Pengembangan Kurikulum Nasional, 1990). Silabus dan material kurikulum telah disebarkan melalui infrastruktur nasional dengan melibatkan Pusat Pengembangan Kurikulum Nasional [National Curriculum Development Centre (NCDC) dan inspektoratnya. Para pegawai Kantor Pendidikan di tingkat daerah menghadiri seminar nasional dan kemudian mengadakan workshop untuk para pimpinan dan guru di daerah mereka masing-masing, dengan bantuan 'District Resource Teachers'. N C D C mengawasi keseluruhan proses, dan terkadang mengorganisir sendiri workshop untuk para guru. Dalam pendidikan untuk komponen perusahaan, tampaknya muncul beberapa permasalahan. Masalah yang krusial adalah berlanjutnya fragmentasi kurikulum dan tiadanya interaksi yang efektif di antara bidang kurikulum yang berbeda-beda. Kecenderungan ini mungkin dipengaruhi oleh peran dominan Pusat Kurikulum Nasional dalam membatasi fokus dan lingkup bidang pengajaran yang berbeda-beda. Ini akibat lemahnya posisi inspektorat, yang mengalami banyak kesulitan dalam memainkan peran sebagai mediator antara para guru dan kantor pusat nasional dalam masalah-masalah profesional. Melihat latar belakang ini, usaha pendidikan untuk perusahaan tidak nampak berpengaruh pada integrasi kurikuler. Kegagalan ini diperburuk
62
oleh adanya persepsi bahwa aktivitas itu lebih dipandang sebagai proyek bantuan (yang berakhir pada 1991) ketimbang sebagai kepemilikan yang diperoleh pribumi (Diskusi Kementerian Pendidikan, 1992). Suatu bukti menunjukkan bahwa material bisnis memperoleh popularitas lebih besar di luar sekolah dibanding di dalam sistem. Buklet-buklet percontohan ditolak oleh beberapa organisasi kaum muda dan pusat latihan keahlian yang sangat tidak butuh buklet tersebut di dalam usaha mereka untuk mempromosikan pelatihan self-employment. Para guru nampak acuh tak acuh pada material itu. Beberapa diskusi di sekolah mengungkapkan bahwa mereka merasa kebanyakan instruksi mengenai aktivitas ketrampilan praktis. Ada juga banyak keraguan mengenai tidak cukupnya dukungan dalam pelatihan, sumber daya dan bantuan teknis. Dalam prakteknya, secara umum tampak bahwa para guru dan pimpinan membuat keputusan sendiri mengenai ketrampilan praktis seperti apa yang bisa dilakukan, diminati, materialnya tersedia, mendapat dukungan lokal (misalnya lahan) dan sejenisnya. Ketika ujian sebagian besar masih terkait dengan prestasi bidang akademis, mereka berpendapat bahwa suatu pilihan hati-hati tidak perlu terlalu mempengaruhi kesempatan para murid.
63
m . Isu-isu Kebijakan di Seputar Orientasi Kerja
S
etelah menyajikan pengalaman-pengalaman mutakhir dengan orientasi terhadap kerja di beberapa situasi negara, berbagai isu kritis akan ditinjau ulang. Pembahasan akan dibagi menjadi dua bagian: pertama, terfokus pada isu-isu kebijakan lebih luas (Bab III), dan kedua, dikonsentrasikan pada aspekaspek lebih praktis mengenai perencanaan dan implementasi program (Bab IV). Di dalam kedua bab tersebut, akan diberikan analisa-analisa dengan sudut pandang alternatif dan pilihan yang telah dipertimbangkan oleh para policy-maker dan perencana, dalam keadaan tertentu. Pelajaran-pelajaran umum yang dipelajari akan diidentifikasi. Sedangkan acuannya adalah dari studi-studi kasus, m e s k i p u n juga masih m e m a s u k k a n pengalaman-pengalaman di tempat lain. Meninjau Kembaii Studi-Studi Kasus
Studi-studi kasus telah menggambarkan keanekaragaman format dan fokus yang ditemukan dalam program-program orientasi kerja di berbagai belahan dunia. Studi-studi itu menyatakan bahwa ide membangun unsur nyata orientasi kerja ke dalam pendidikan kaum muda, sebagai unsur pokok dalam
65
meningkatkan relevansi, telah tersebar luas dan sangat banyak yang hidup. Ini tidak hanya menjadi perhatian negara-negara kurang maju yang menghadapi masalah tingginya angka pengangguran, tapi juga di negara-negara yang lebih maju di Selatan dan Utara yang berusaha menyusun kembali sistem pendidikan mereka agar dapat mengatasi perubahan yang cepat di bidang ekonomi dan sosial masyarakat. Di tengah-tengah ajakan untuk 'kembali ke dasar', masih ada keyakinan umum bahwa sekolah, dengan semua kelemahannya, harus dilihat sebagai wadah yang memainkan peran penting dalam menyiapkan masa depan anak-anak dalam arti seluas-luasnya dan dalam memajukan perkembangan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Ini meliputi penerimaan yang luas terhadap tanggung jawab sekolah untuk pengembangan ketrampilan dan kompetensi terkait dengan pekerjaan. Arti tanggung jawab ini telah lama diketahui, sebagai sistem di mana dunia secara berangsur-angsur melihat suatu nilai di dalam pergerakan orientasi kerja, dari suatu kebijakan marginal menuju dimensi pokok pembelajaran untuk semua. Gambaran dari pengalaman-pengalaman negara tidaklah mewakili semua cara bagaimana orientasi kerja diterapkan di seluruh dunia. Pengalaman-pengalaman itu hanya merupakan suatu indikasi pemikiran dan aksi selama dekade terakhir mengenai jenis-jenis pendekatan tertentu. Perhatiannya diberikan kepada program kategori 'pendidikan praktis', sebab di sini banyak inovasi berlangsung. Baik di negara maju maupun kurang maju, semuanya merupakan contoh kompromi yang telah dicapai: antara memberi perhatian cukup terhadap pengetahuan terkait-kerja, ketrampilan dan sikap, dan mengakui keunggulan tujuan pendidikan umum yang lebih luas dan keterbatasan organisasi dan sumber daya. Penjelasan dalam studi kasus merupakan cara bagaimana negara-negara berhadapan dengan pengalaman mereka dalam
66
menerapkan program orientasi kerja dari waktu ke waktu. Dalam beberapa hai, beberapa pelajaran telah dipelajari, didasarkan pada permasalahan implementasi dan perhatian hasil. Setidaknya dalam beberapa negara yang dibahas, hai ini mendorong untuk menimbang ulang program pre-vocational dan dibuangnya program itu dari kurikulum pendidikan dasar. Hasilnya, lebih memberikan penekanan pada program non formal (misalnya Rwanda), atau dorongan pada pendekatan yang murah dan sederhana untuk program orientasi kerja (misalnya Sri Lanka). Mempertimbangkan ulang program dalam kategori I (pendidikan terdiversifikasi) dan II (pendidikan kerja) telah menjadi fenomena seluruh dunia, karena ini adalah program yang mahal dari segi sumber daya manusia dan keuangan yang dibutuhkan, atau sangat kompleksnya kebutuhan manajemen dan organisasinya. Hal ini menjadikannya sering digantikan oleh program-program kategori III (pendidikan praktis). Banyak di antara program kategori ini m e n i n g k a t k a n k o m p o n e n pendidikan umum. Pada waktunya, program ini mungkin akan menyediakan suatu dasar untuk babak baru menuju pendidikan kerja atau pendidikan terdiversifikasi. Di lain situasi, bagaimanapun, percobaan dengan berbagai program, sering diawali dari sisi-sisi sistem pendidikan yang berbeda, mendorong suatu gambaran yang lebih kompleks, di mana beberapa pendekatan orientasi kerja sudah ada secara berdampingan (misalnya Lesotho). Ada juga bukti suatu sinergi yang berangsurangsur, di mana berbagai tradisi datang bersama-sama dan menyusun suatu pendekatan baru. Perkembangan ini dapat dilihat melalui perubahan berangsur-angsur dalam pengalaman, latar belakang dan latihan personil pengajaran dan pertukaran yang intensif antara kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda (misalnya Belanda). Mempertimbangkan ulang dalam kerangka perlunya perubahan dan ketersediaan sumber daya adalah bagian yang tak terhindarkan dari proses perubahan bidang pendidikan. 67
Relevansi Orientasi Kerja di Sekolah Dibanding sebelumnya, sekarang ini para pengambil kebijakan lebih sering dihadapkan pada permasalahan bagaimana ukuran yang dapat dipakai untuk menciptakan suatu lingkungan yang tepat bagi panduan perubahan budaya dan sosio-ekonomi. Walaupun masing-masing negara berbeda dalam prioritas dan tingkat intervensinya dalam k e h i d u p a n publik, pendidikan formal dasar masih menjadi perhatian utama mereka. Peraturan yang mengatur input strategis ke dalam sistem pendidikan memperlihatkan bahwa pemerintah betul-betul mempengaruhi apa yang terjadi di sekolah. Orientasi kerja masih merupakan agenda, karena ia tetap menjadi instrumen kunci bagi negara dalam menghadapi masalah sosial dan ekonomi nasional. Karena itu, bagi umumnya Kementerian Pendidikan, pertanyaan utamanya bukan apakah, tetapi seberapa besar orientasi kerja harus dibangun ke dalam sistem sekolah, tidak hanya dilihat dari sudut p a n d a n g pedagogik terkini, tapi juga permintaan orangtua, kebutuhan ekonomi dan, di atas semuanya, sumber daya yang tersedia. Ada beberapa bidang dalam pendidikan di mana ada begitu banyak kontroversi, kebingungan dan perubahan pikiran. Keterlibatan banyak kelompok kepentingan, (di mana bagi kelompok itu sekolah menjadi instrumen yang menjanjikan untuk pencapaian tujuan-tujuan sosio-ekonomi dan politik), mendukung untuk memelihara pertalian pendidikan dengan pekerjaan p a d a agenda nasional. Kementerian mengalami kesulitan dalam mengarahkan debat, kaiena. feed back hasil dan dampak program cenderung menjadi rancu dan ambigu. Apakah orientasi kerja membuat suatu perbedaan bagi (self) employment, pembangunan ekonomi, kelangsungan hidup sosioekonomi kaum muda, kesempatan hidup anak-anak perempuan?
68
Apakah ia mengembangkan ketrampilan yang relevan; meningkatkan prestasi belajar? Bagaimana cara kita mengetahui jenis-jenis ketrampilan yang membuat perbedaan dalam mengakses ke pekerjaan atau dalam prestasi? Hanya sedikit jawaban yang ada, yang dapat menjadi bahan masukan dalam proses pengambilan kebijakan. Suatu masalah besar, terutama di negara-negara kurang maju, adalah bahwa reformasi pada orientasi kerja ini masih jauh untuk mendapatkan penilaian untuk dilakukan. Programprogram tersebut sering dimodifikasi atau bahkan ditinggalkan sebelum diimplementasikan secara penuh, akibat perubahan dalam pemerintahan, perubahan oposisi atau prioritas nasional pada masyarakatnya. Kementerian sering membiarkan diri mereka untuk dikendalikan oleh kepentingan organisasi fiinding eksternal, dari pada melihat dengan jemih kebutuhan lokal. Solusi atas masalah-masalah pendidikan jarang diberitahukan dengan penilaian mendalam atau opsi berdasarkan pengalaman nasional, yang selaras dengan lingkungan budaya dan sosioekonominya. Riset dan evaluasi di bidang orientasi kerja menunjukkan bahwa umumnya program menghadapi masalah-masalah yang, pada tingkat lebih sempit atau luas, berhubungan dengan hambatan-hambatan dalam implementasi, seperti buruknya manajemen, rendahnya kompetensi dan morii guru, ketiadaan material dan panduan, dan pertentangan antara tujuan suatu kebijakan dan ukuran administratif kementerian. Sebagai contoh, pada masa setelah kemerdekaan, di Afrika banyak usaha untuk meningkatkan relevansi pendidikan bagi pembangunan masyarakat desa dengan memasukkan materi pertanian sebagai materi sekolah dasar. Tapi semua ini umumnya belum mengakar, sebagian besar akibat masalah kelayakan dan p r o b l e m penerimaan (Bergmann, 1985). Kementerian merasa sangat sulit melihat hai ini, dihadapkan pada konsekuensi kebijakan nasional
69
dari sisi administratif, teknis dan keuangan. Studi-studi kasus juga mencatat masalah-masalah serupa yang tersebar luas. Evaluasi atas institusi-institusi itu sendiri menunjukkan bahwa variabel penting bagi kesuksesan implementasi adalah kepemimpinan yangbaik, pemahaman umum di antara manajemen, staff dan masyarakat tentang tujuan program; persetujuan mengenai penyediaan input, dan transparansi dalam pengambilan keputusan dan akuntansi. Riset mengenai hasil belajar dan dampaknya terhadap ketenagakerjaan atau pembangunan ekonomi masih sedikit dan agak ambigu. Kebanyakan asumsi tentang berbagai keuntungan dari aktivitas-terkait kerja di sekolah untuk pembelajaran dan pengembangan umum kaum muda, belum cukup teruji (misalnya, Hamilton dan Crouter, 1980). Di Afrika, materi ilmu pengetahuan dan pertanian dapat memberikan kontribusi langsung bagi pengembangan kapasitas untuk mengadopsi dan menggunakan teknologi produksi baru secara efektif. Pendidikan dapat m e m b a n t u p a r a petani u n t u k m e n g h a d i r k a n permasalahan pertanian dalam hidup sehari-hari, dalam suatu cara di mana mereka dapat melakukan intervensi. Dalam hai pertanian sebagai materi pelajaran, pendekatan berbasis sains dengan perhatian ke teknologi baru, dapat lebih efektif dibanding yang mengikuti pendekatan perluasan [extension approach), yang menekankan pemberian aturan-aturan praktek yang baik (Eisemon, 1989). Di Karibia, pendidikan dengan program produksi bisa mengembangkan sikap menyenangkan terhadap tempat kerja dan juga mengurangi biaya-biaya pendidikan. Sekolah kurang sukses mengubah sikap terhadap pekerjaan manual atau gender-stereotyping dalam aneka pilihan kejuruan: bidang di mana pesan sekolah bersaing dengan praktek sosial dan ekonomi (Jennings, 1987). Banyak riset tentang suatu dampak bersifat Statistik, yang menghubungkan gambaran aggregate tentang partisipasi dalam
70
pendidikan dengan indikator pembangunan ekonomi. Ketika riset ini mengindikasikan manfaat umum dari 'having gone to school', ia tidak mengindikasikan bagaimana pendidikan memberikan kontribusi bagi hasil ini dan seberapa besar pengaruh unsur-unsur orientasi kerja. Biasanya, yang sering diharapkan dari pendidikan adalah menghilangkan penyakit sosial dan ekonomi. Sekarang banyak literatur yang menekankan bahwa sekolah tidak perlu menghasilkan ketenaga-kerjaan maupun pembangunan ekonomi. Sekolah mungkin punya kontribusi penting untuk membuat, tetapi tidak bisa diharapkan untuk memecahkan permasalahan yang esensinya bukan pendidikan. Potensi nyata sekolah perlu lebih diperhatikan. Sebagai contoh, ketika studi pelacakan telah dilaksanakan, biasanya didapati bahwa materi praktis atau pra-kejuruan tidak meningkatkan kecenderungan para lulusan untuk masuk pelatihan teknis atau ketenaga-kerjaan setelah satu atau dua t a h u n (Psacharopoulos, 1988). Belum ada usaha untuk mengukur keuntungan-keuntungan yang lebih luas dari beberapa pendekatan berbeda. Meskipun begitu, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam kasus seperti ini investasi bukanlah usaha yang berharga. Pembatasan Pendidikan Sekolah Titik anjak yang bermanfaat bagi pembahasan kebijakan tentang orientasi kerja adalah isu bahwa beban sekolah diharapkan dapat diatasi. Sejauhmana sekolah sanggup mengadopsi perspektif vokasionalis dan beralih dari pendekatan pendidikan umum ke arah pendekatan yang lebih terdiversifikasi? Ini tidak hanya memunculkan pertanyaan logis mengenai ketersediaan sumber daya, tapi juga yang lebih pokok lagi mengenai identitas sosial dan budaya sekolah di dalam konfigurasi pengaturan untuk sosialisasi. Dikatakan bahwa nilai-nilai dan aspirasi yang diajar71
kan oleh sekolah dihubungkan dengan aktivitas intelektual dan suatu masa depan yang lepas dari kondisi kemiskinan. Di negaranegara kurang maju, sekolah mungkin menjadi bagian dari kehidupan masyarakat desa biasa (King, 1985) Tetapi, pada waktu yang sama, sekolah tetap menghadirkan suatu kultur yang asing bagi lingkungan lokal dan yang menunjuk ke gaya hidup kelas menengah, Barat. Sekolah-sekolah yang masih eksis sampai sekarang mengalami berbagai kesulitan dalam mengajarkan apa yang berlawanan dengan orientasi nilai masyarakat. Orientasi kejuruan atau praktis masih tetap tidak perlu, sepanjang gambaran sosial dan ketertarikan ekonomi dirasakan masih rendah (de Moura Castro et al, 1988). Ada b a n y a k debat mengenai seberapa j a u h aturan organisatoris dan pedagogik sekolah modern sesuai dengan pengembangan ketrampilan kejuruan yang efektif (dihadapkan dengan ketrampilan praktis). Ini mungkin tergantung pada jenis ketrampilan dan lingkungan budaya serta sosio-ekonominya, di mana mereka perlu digunakan. Eisemon menemukan, sebagai contoh, bahwa sekolah bukanlah suatu lingkungan yang cocok untuk pengembangan ketrampilan keahlian tradisional, karena pengajaran formal menyediakan sedikit peluang untuk kemahiran ketrampilan kognitif dan psikomotorik yang merupakan pusat untuk mewujudkan keahlian (Eisemon et al, 1988). Pengemasan ketrampilan seperti itu di sekolah modem (secara kultural, pedagogik dan organisasorial) merusak efektivitas pengajarannya. Di samping itu, penditi lain menyatakan bahwa ketrampilan modern tidak bisa dikembangkan di sekolah karena 'etos' di sekolah tidak dimaksudkan untuk persiapan kejuruan (de Moura Castro, 1988). Jika sekolah bukan tempat yang tepat untuk pengembangan k e t r a m p i l a n terkait dengan pekerjaan, p e m e r i n t a h mempunyai pilihan antara mempertahankan anak-anak dalam pendidikan umum tanpa latinan ketrampilan kejuruan {vocational
72
skilt) sdama dimungkinkan, atau memperkenalkan bidang kejuruan awal. Pemerintah biasanya menentang pilihan yang terakhir. Di negara-negara industri, spesialisasi kejuruan biasanya ditunda sampai tìngkat post-compulsory schooling, di mana siswa dapat masuk ke bidang [pre-) vocational yang berbeda-beda. Di negara-negara kurang maju, pilihan seperti itu menghadapi masalah, di mana penundaan latihan ketrampilan kejuruan akan membuatnya hanya dapat diakses oleh sekelompok kecil siswa, yang sudah punya prospek cerah dalam pendidikan akademis lanjutan. Pada sisi lain, bidang kejuruan awal tak populer akibat alasan kesetaraan. Akibatnya, pengenalan pendidikan pre-vocational sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dasar mendapatkan dukungan politik yang kuat, sekalipun diakui itu mahal. Konsekuensinya, sistem menjadi terbebani oleh programprogram pre-vocational yang diterapkan dengan buruk dan tidak cukup berpengaruh untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Masih menjadi debat yang hangat, seberapa besar varían pendidikan-kerja memberikan pilihan alternatif. Kasus India menunjukkan bagaimana pekerjaan produktif yang dapat menjadi alat pedagogik yang sangat bermanfaat, memberikan manfaat ekonomi. Pekerjaan produktif memainkan peran pedagogik terbatas dalam studi-studi kasus lain, seperti Sri Lanka, Zimbabwe dan Lesotho. Di tempat lain, dan terutama sekali di negara-negara amat miskin, harapannya adalah pekerjaan produktif itu bisa memberikan manfaat, tidak hanya sosial dan pendidikan, tapi juga manfaat ekonomi. Bukti terbatas menunjukkan bahwa di dalam pendidikan umum, pekerjaan produktif dapat -dalam kondisi-kondisi yang terbaik- dijadikan landasan berguna untuk pengembangan pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan pekerjaan dasar, khususnya mengenai perencanaan dan pelaksanaan kegiatan ekonomi kecil serta pemahaman m e n g e n a i teknologi dan proses p r o d u k s i . Hasilnya, bagaimanapun, adalah lebih banyak bersifat pre-vocational dan hanya mungkin dalam institusi dengan kepemimpinan yang baik 73
dan dukungan eksternal yang besar. Kenyataannya sangat sulit memberlakukan keadaan seperti itu dalam sistem secara keseluruhan. Kontribusi ekonomi dari pekerjaan produktif tetap rendah, bahkan ketika komitmen poliüs mendukung keterlibatan para murid dalam produksi komersil dalam jangka panjang (seperti Tanzania) (Gillespie dan Collins, 1987). Ditunjukkan pula, pada tingkat institutional, kontribusi seperti itu dapat menjadi krusial bagi peningkatan mutu pendidikan (Hoppers, 1994). Pengalaman-pengalaman di atas memaksa banyak negara untuk melihat lebih cermat tentang apakah sekolah mampu memberikan karakteristik sosial, budaya dan ekonomi terbaru mereka. Dari ketrampilan kejuruan, perhatian semakin bergeser ke ketrampilan praktis dasar, khususnya yang menjadi bagian dari pendidikan umum yang baik. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan baru: apa yang ada dalam pendidikan umum yang membuatnya (berpotensi) relevan untuk persiapan kerja? Seberapa besar perlu secara eksplisit menambahkan unsur-unsur praktis dan/atau unsur-unsur pre-vocational? Belakangan ini, perhatian internasional diberikan pada kontribusi pendidikan umum bagi persiapan kejuruan. Kontribusi pentingnya terletak pada: (1) 'portabilitas' ketrampilan yang diterima; dan (2) pengembangan 'kekuatan pembelajaran' (Bowman, 1988). Yang pertama mengacu pada kemampuan untuk membawa suatu komponen substansial ketrampilan seseorang dari satu situasi atau agency dan dari satu pekerjaan ke perkerjaan lain. Yang kedua mengacu pada kemampuan untuk memperdalam dan memperluas ketrampilan seseorang setelah lulus sekolah [post-schoolyears), apakah melalui pelatihan berkelanjutan atau pengalaman. Dalam lingkungan yang berubah cepat, sekolah bisa lebih menekankan pengembangan kemampuan umum dari pada ketrampilan kejuruan sebagai dasar untuk produktivitas masa depan, kemampuan beradaptasi dan untuk kesetaraan. Ini berarti, penekanan pada mutu dan perhatian pada
74
relevansi dapat digabungkan, karena tidak ada konflik antara pendidikan umum yang baik dan orientasi dasar ke dunia kerja. Dalam pandangan ini, sekolah perlu berkonsentrasi pada kemampuan dalam ketrampilan verbal dan matematik, pendidikan sains dasar, dan ketrampilan komersiil. Semua hasil ini mempunyai berbagai kegunaan dalam settingyang berbeda-beda. Orientasi kerja bukan tidak punya tempat dalam kurikulum yang demikian ini, hanya saja unsur-unsur kognitif dan praktisnya perlu diintegrasikan dengan ketrampilan dasar ini. Kasus beberapa negara menunjukkan bahwa pengalaman nasional dengan program yang berbeda sering merangsang berpikir dengan pemahaman di atas. Kini banyak Kementerian berusaha untuk berpikir secara hati-hati tentang unsur-unsur penting dalam kurikulum yang mempunyai relevansi umum dan berperan untuk orientasi kerja. Keinginan yang kuat untuk menggalakkan kreativitas murid, identifikasi masalah, mencoba solusi berbeda, ketrampilan manipulatif, keakraban dengan berbagai teknologi dan material, pengertian yang mendalam mengenai aplikasi prinsip dan konsep ilmiah, telah mendorong pengurangan kesenjangan antara sisi 'kejuruan' dan 'umum' dari pendidikan dasar. Sungguhpun kebijaksanaan telah sering membuat kementerian menolak konsentrasi pada pemikiran inovatif seperti itu dalam merancang bidang kurikulum untuk orientasi kerja ( Zimbabwe, India, Belanda), yang belakangan tetap dianggap sebagai tempat yang menguntungkan untuk 'konfrontasi' dengan bidang materi lain secara gradual. Letak Orientasi Kerja Dalam Struktur Kurikulum Seperti dicatat, banyak negara sering mengakhiri program dengan beberapa program orientasi kerja secara berdampingan. Ini terkadang memang sengaja didisain, tetapi lebih sering sebagai hasil prakarsa yang tak terkoordinasi dan lemahnya
75
kemampuan perencanaan dan implementasi. Bagaimanapun, karena masing-masing pendekatan seperti dibahas dalam Bab II mempunyai tujuan sendiri dan corak yang berbeda, sangat mungkin jika beberapa pendekatan itu akan menemukan tempatnya dalam kerangka kebijakan pendidikan. Letak orientasi kerja dapat dipertimbangkan dalam perspektif horisontal, yaitu sejauh mana pendekatan-pendekatan bisa co-exist pada tingkat yang sama dalam sistem pendidikan dasar, dan dalam perspektif vertikal, yaitu sejauhmana pendekatanpendektaan dapat menemukan tempatnya pada tingkat yang berbeda-beda. Kedua dimensi itu perlu dipertimbangkan dalam konteks usia para murid, lingkungan sosio-ekonomi sekolah dan para murid, serta struktur dan ukuran sistem pendidikan itu sendiri. Kebijakan harus mempertimbangkan kedewasaan anak secara umum, tingkat ekspose diri mereka ke dunia kerja dan ke situasi kelangsungan hidup sosial serta ekonomi. Apa yang seharusnya menjadi hubungan antara kemampuan dan sikap yang perlu dipromosikan oleh pendidikan dan yang benar-benar berkembang di lingkungan rumah? Pertanyaan lainnya, berapa usia anak-anak sebelum mereka diunjukkan ke perkakas-tangan atau mesin elektrik? Umur berapa anak-anak muda siap untuk memikirkan aneka pilihan kejuruan? Bagaimana hai ini bervariasi menurut lingkungan budaya atau sosio-ekonomi yang berbeda? Sebuah isu penting adalah bagaimana sekolah harus merespon jenis orientasi kerja yang sering ditemukan di lingkungan rumah? Pengalaman telah menunjukkan bahwa ketika anak-anak tingkat dasar bekerja part-time di rumah -di beberapa lapangan atau workshop artisanal- sekolah tidak mungkin meningkatkan kejuruan dan ketrampilan lain yang diperoleh. Pendidikan tidak memberikan pengembangan jika kerja praktis di sekolah,
76
(bahkan ketika hai itu meluas ke aktivitas produktif), berakhir dengan meniru pekerjaan manual di rumah yang menjemukan. Sekolah, khususnya tingkat dasar, perlu lebih rendah hati dalam memutuskan. Mereka mempunyai kesempatan yang baik untuk membuat berbeda dan untuk melengkapi apa yang dipelajari murid di tempat lain. Harapannya, dalam konteks ini sekolah bisa bertindak sebagai 'pusat pengembangan', yang terbukti dulu tidak realistis (Wandira, 1972). Realisasi seperti ini dapat mendorong ke arah pilihan untuk varian 'pendidikan umum' mengenai orientasi kerja (dengan p e n e k a n a n n y a p a d a ketrampilan sosial dan pribadi), tetapi melalui hubungan yang jelas dengan pengalaman hidup nil para murid. Pada sisi lain, sekolah juga mempunyai tugas memperluas horison para murid, membuka cakrawala baru dan perspektif yang menjangkau di luar lingkungan rumah. Sekolah diharapkan m a m p u mengimbangi 'orientasi kerja' murid yang diunjukkan di rumah, terkait dengan jenis perdagangan, hubungan produksi, gender stereotyping, atau pilihan teknologi. Ini bisa berarti ketetapan tentang pengaturan ketrampilan praktis yang lebih lúas di antara para murid yang mungkin memilihnya (seperti telah ditawarkan, sebagai contoh, dalam program ketrampilan hidup di Sri Lanka). Ada suatu kebutuhan besar untuk mengembangkan modul orientasi kerja dengan variasi yang luas dalam aktivitas-aktivitas kerja praktis, penggunaan material, teknologi, dan sebagainya, sehingga sekolah dapat memilih yang relevan dengan kurikulum mereka, minat para murid dan sumber daya yang tersedia dalam implementasinya. Modul ini harus menghindari tindakan melanggengkan pembelahan jenis kelamin, kesukuan atau kelas. Modul juga tidak memusatkan secara eksklusif pada ketrampilan tradisional dan mengedepankan kerja dengan material modem atau teknologi yang umum bagi kehidupan anak muda (misalnya plastik, komputer). Modul ini perlu dirancang
77
sedemikian rupa sehingga dapat membantu anak-anak muda mengembangkan pemahaman baru mengenai proses produksi atau teknologi alternatif, serta mengembangkan komunikasi, p e m e c a h a n masalah dan k e t r a m p i l a n p e r e n c a n a a n . Sebagaimana ditunjukkan Wandira, kurikulum berorientasi kerja berangkat dari harapan untuk membantu peningkatan mutu hidup dalam semua dimensinya. Kurikulum tersebut harus menunjukkan bahwa ia dapat berperan bagi kemajuan individu dan masyarakat. Dalam proses itu, suatu ketegangan dengan status quo menjadi tak terelakkan (Wandira, 1972). Struktur dan ukuran sistem menentukan luasnya lingkup pendidikan dasar dan seberapa besar kesempatan anak-anak muda untuk tetap tinggal dalam sistem itu. Semakin lama anak muda tinggal di sekolah, semakin banyak pilihan untuk menstrukturkan rangkaian unsur-unsur orientasi kerja dan membiarkan pendekatan-pendekatan yang berbeda melengkapi satu sama lain. Sebagai con toh, bagi Sri Lanka dan Belanda adalah mungkin untuk merencanakan program inovatif di tingkat menengah yunior, karena ini dapat berperan sebagai jembatan antara aktivitas kreatif jenis handicraft pada tingkat lebih renda dan program kejuruan yang terdiversifikasi pada tingkat menengah atas. Hal itu berbeda dengan ketetapan pendidikan dasar di Rwanda --dan banyak negara-negara kurang maju lainnya. Di sini, pendelegasian tanggung jawab untuk persiapan kejuruan yang lebih eksplisit ke ketetapan non-formal dan masa magang sektor informal memunculkan banyak pengertian, karena pemerintah harus lebih dulu memilih antara menanam modal dalam pendidikan pra-kejuruan bagi sekelompok orang dan meningkatkan mutu pendidikan umum bagi banyak orang. Strategi Pengembangan Orientasi Kerja
Secara umum, ada tiga strategi peningkatan orientasi kerja dalam pendidikan dasar, yaitu: (1) membuat penyesuaian dalam 78
kurikulum inti akademis; ( 2) mengembangkan materi praktis sesuai dengan tujuan pendidikan umum; dan ( 3) menjalankan suatu program pra-kejuruan (pre-vocational) yang mungkin. Strategi (2) dan (3) dapat menyertakan unsur-unsur pendidikan kerja. Yangjelas, banyak negara mengikuti strategi (2) dan (3) untuk mengatasi konsekuensi yang timbul akibat perubahan ekonomi. Beberapa keuntungan praktis pendekatan ini adalah bahwa ia dapat memperkecil konflik dengan kepentingan yang melindungi materi akademis dan membatasi kerusakan jika eksperimen gagal atau kekuatan yang berlawanan terlalu kuat. Lebih lanjut, ini membuat para lembaga donatur lebih tertarik memberikan dukungan mereka. Pada sisi lain, pilihan praktis dan pre-vocationalmempunyai kerugian-kerugian, relatif mahal dan menunjukkan hasil yang kurang bagus dalam mengatasi krisis pengangguran. Dari sudut pandang pedagogik, permasalahan kunci adalah beratnya beban kurikulum dan beban para guru. Lebih dari itu, tiadanya interaksi --belum lagi pengintegrasian- antara komponen 'praktis' dan 'teori' dalam kurikulum. Ketrampilan praktis cenderung terpisah dari ketrampilan berpikir, sains dan dimensi aktivitas sosioekonomi (King, 1985). Pekerjaan produktif juga kurang baik dalam semangat ini, khsususnya ketika diperkenalkan sebagai suatu aktivitas ekstrakurikuler. Ini sering memberikan kontribusi bagi nilai terbatas dari hasil pembelajaran dan gambaran yang buruk tentang aktivitas 'manual' dalam pandangan para guru dan murid. Hal di atas telah meningkatkan minat untuk memberi prioritas ke strategi (1), yaitu suatu perhatian lebih besar pada bidang belajar sentral, seperti bahasa, matematika dan sains, dan dalam terminologi lebih luas pada isu-isu berikut: Asumsi sosial dan budaya yang mendasari isi dan metodologi dalam hubungannya dengan lingkungan lokal dan
79
situasi hidup masa depan: dari anak-anak lelaki dan perempuan, anak-anak dari kelas yang berbeda, kasta, atau etnik; •
Penerapan ketrampilan inti ke permasalahan dunia nyata yang berhubungan dengan pengalaman para murid: ini berarti banyak memberikan perhatian secara eksplisit pada ketrampilan problem solving dan ketrampilan berfikir tertib lebih besar (Lockheed and Verspoor, 1992);
•
Pertalian ketrampilan inti, dan konsep serta prinsip ( dalam sains) dengan dunia kerja, apakah kerja teknologi, implikasi produk budaya atau lingkungan, menanam sayur-mayur, atau karakteristik suatu perusahaan kecil; K e b u t u h a n akan p e n d e k a t a n 'sekolah u t u h ' bagi pembelajaran dan hubungan langsung an tara teori dan praktek di dalam masing-masing maceri pelajaran dan di an tara tema-tema lintas materi; Tingkat yang sama dan sebangun antara praktek kelas dan pesan, dan karakteristik kunci sekolah sebagai suatu institusi, misalnya yang terkait dengan organisasi dan manajemen, tanggung-jawab murid lainnya dan aktivitas ekstra kurikuler.
Pesan dasar yang muncul adalah bahwa orientasi kerja yang utama bukanlah suatu komponen opsional atau marginal, yang tergantung pada kepentingan dan sumber daya yang ada. la bersentuhan dengan jantungnya sesuatu yang sedang diupayakan oleh sekolah. la identik dengan kualitas pendidikan dasar yang baik, di mana ide tentang 'kualitas' meliputi suatu dimensi relevansi bagi situasi hidup para murid saat ini dan masa depan. Hai ini banyak dicapai dengan peningkatan pemanfaatan sumber daya yang ada, dan bukannya dengan pengerahan hal-hal baru.
80
Karena itu, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa prioritas harus diberikan kepada strategi (1), dan sesudah itu, jika sumber daya tersedia, ditambahkan ke strategi (2). Yang belakangan menjadi lebih hemat biaya jika unsur-unsur pekerjaan produktif ditambahkan dalam materi praktis. Pilihan prevocational di tingkat atas dari strategi pendidikan dasar (3) hanya berguna jika sumber daya ekstra tersedia untuk melakukan ini dengan baik, dan jika jumlah kelompok umur relevan mampu untuk masuk dan menyelesaikan tingkatan pendidikan itu. Lagi, unsur-unsur pekerjaan produktif wajib atau pilihan dapat diperkenalkan, agar bisa meningkatkan relevansi dan efektifitas-biaya. Program pre-vocational tidak bisa menjadi pengganti bagi suatu revisi bidang kurikulum ini. Operasionalisasi Sasaran dan Prinsip Dilihat dan sudut kerangka kebijakan di atas, prinsip dan sasaran program orientasi kerja dapat ditetapkan. Seperti telah dicatat sebelumnya, orientasi kerja sangat menderita akibat ketidakjelasan peran yang dimainkannya dalam pendidikan umum dan prestasi yang dicapai. Hai ini hanya menyumbang bagi keanekaragaman penafsiran dan akhimya bagi disorientasi para guru, murid dan orang tua. Kejelasan sasaran dan prinsip memberikan suatu landasan untuk pengembangan material yang sesuai, meningkatkan kesadaran di antara kepala sekolah, staff dan komite sekolah, penyesuaian pendidikan guru, dan identifikasi strategi dalam penerapan program. Iajugamembuat mereka mungkin untuk mendisain instrumen dan prosedur penilaian yang lebih pantas dan kemudian untuk memahami hasil belajar dan manfaatnya bagi kehidupan angkatan muda. Idealnya, sekali jelas, mengapa pendekatan dan program tertentu dipilih, tujuan-tujuan umum suatu program harus diterjemahkan ke dalam b i d a n g k e t r a m p i l a n spesifik, pengetahuan dan pemahaman, serta sikap yang dapat dikem81
bangkan oleh program tersebut. Dalam pembahasan sebelumnya, telah ditunjukkan betapa kompleksnya tugas ini. Banyak hasil pelajaran yang dinginkan mempunyai keterkaitan langsung dengan kerja, seperti ketrampilan teknis dan pertanian dasar. Sementara yang lainnya, bagaimanapun, hanya mempunyai keterkaitan tidak langsung, seperti baca tulis dan perhitungan, komunikasi dan ketrampilan berfikir tingkat yang lebih tinggi. Ini jugauntuk ketrampilan manipulatif, ketrampilan problem-solving, ketrampilan pribadi seperti kreativitas, inisiatif, dan ketekunan. Yang paling tidak terkait langsung adalah kemampuan umum (ketrampilan yang 'dapat dipindahkan'), dimana ketertarikan kepadanya sangat meningkat. Banyak dari hai tersebut sebetulnya merupakan ketrampilan proses di mana hasilnya kurang penting dibanding cara murid melakukan berbagai hai, misalnya pendekatan ilmiah dalam sains, kemampuan untuk mengidentifikasi rmasalah dan mencari solusinya, atau untuk merencanakan dan melaksanakan suatu pekerjaan. Di banyak negara, kelemahan besar lembaga-lembaga pengembangan kurikulum adalah tidak mampu mencapai kesepakatan mengenai ketrampilan dan kompetensi non teknis yang 'dapat dipindahkan {transferable}, yaitu mendefinisikannya dalam hubungannya dengan bidang belajar yang berbeda, serta menerjemahkannya ke dalam rekomendasi untuk rencana kerja nyata di sekolah. Spesifikasi sasaran akan mengungkap bahwa banyak ketrampilan umum yang tidak hanya mempunyai relevansi dengan kerja, tetapi juga dapat disatukan ke dalam materi in ti itu. Kebutuhan utama bukan lagi sumber daya tetapi suatu perubahan mendasar dalam proses belajar-mengajar yang lebih praktis dan melibatkan keikutsertaan aktif para murid. Sebagai contoh, pembedahan sasaran yang diinginkan untuk 'pendidikan perusahaan' akan menunjukkan bahwa atribut dasar penting bagi kewiraswastaan adalah semua hai yang dapat dirangsang dalam materi yang ada, misalnya inisiatif, sikap mengambil resiko, kemandirian, ketekunan, mengidentifikasi
82
dan memecahkan masalah. Prioritas di sini bukanlah untuk memperkenalkan suatu materi terpisah mengenai topik bisnis dan perusahaan, tetapi lebih untuk membuat keseluruhan proses belajar-mengajar lebih bersifat usahawan. Langkah penting di dalam mendisain adalah mengidentifikasi cakupan hasil pengetahuan dan ketrampilan yang diinginkan, atas dasar konseptualisasi orientasi kerja yang lebih lúas. Kemudian, untuk mengoperasionalisasikan semuanya ke dalam situasi belajar murid perlu dilibatkan; dan hanya dengan m e m b a n d i n g k a n ini dengan kurikulum yang ada dan menentukan bagaimana semua ini bisa diselaraskan. Pendekatan ini berbeda dari pendekatan yang paling sering diikuti: pertama, memutuskan mempunyai suatu materi baru, dan kemudian, menetapkan apa yang harus diambil. Walaupun yang belakangan lebih menyenangkan (dan sukses diterapkan, seperti kasus di Sri Lanka dan Belanda), tampaknya meninggalkan kesempatan yang tidak digunakan untuk mengenali nilai 'orientasi kerja' yang potensial dari apa yang telah tercakup di dalam materi yang ada. Pengalaman juga menunjukkan bahwa banyak permasalahan dapat dihindari dengan berfikir secara hati-hati tentang prinsip yang mendasari implementasi. Salah satu isunya mengenai pendekatan dalam pengintegrasian kurikulum. Beberapa studi kasus menunjukkan bahwa isu ini cenderung menjadi wilayah perhatian yang besar. Tetapi studi tersebut juga mengungkapkan bahwa kesuksesan agaknya tidak tercapai. Penyebab utamanya adalah para guru tidak mendapatkan bimbingan cukup mengenai maksud pengintegrasian dan bagaimana cara mencapainya. Inkonsistensi dalam penempatan dan pelaksanaan tema-tema dalam kurikulum juga tidak membantu kesuksesan. Orientasi kerja dapat dilekatkan secara 'vertikal' atau 'horisontal' ke dalam kurikulum. Ini berarti dapat ditambahkan sebagai 'materi' terpisah atau dapat disisipkan sebagai dimensi 83
dalam keseluruhan kurikulum. Dalam kasus terdahulu, 'pengintegrasian' menjadi suatu problem dalam hai 'bagaimana cara menghubungkan pekerjaan praktis dalam satu materi (seperti pertanian) dengan teori dalam materi lain (seperti sains). Dalam kasus berikutnya, 'pengintegrasian' adalah suatu problem dalam hai ' b a g a i m a n a cara memastikan konsistensi dan komplementaritas aplikasi dalam kurikulum'. Pembagian vertikal bidang pengetahuan dan ketrampilan dalam bidang materi yang berbeda, masih merupakan praktek paling umum. Sudah banyak ditulis tentang bagaimana pembagian ini menimbulkan fragmentasi dan mengacaukan keingintahuan alami anak, dan bagaimana ini menjaga pemahaman holistik atas realitas, serta kemampuan efektif untuk saling berinteraksi dengan realitas. Dalam pendekatan ini, orientasi kerja cenderung dimasukkan sebagai satu atau lebih materi (praktis atau pre-vocationat) terpisah, sementara materi akademis inti biasanya tetap murni. Pekerjaan produktif mungkin juga ditambahkan sebagai aktivitas terpisah, apakah sebagai materi pada jadwal atau sebagai aktivitas ekstrakurikuler. Ahli pendidikan biasanya mengira bahwa pengintegrasian akan tetap berlangsung pada tingkatan hasil dalam pikiran para murid. Tetapi tampaknya memilih pengetahuan dan ketrampilan terkait dengan kerja secara eksplisit -meskipun sering menyenangkan dari segi pandangan organisatoris-, tidak mengedepankan pemahaman teori lebih luas atau sikap positif, terutama ketika lingkungan sosial tidak mendukung. Sebuah pertalian efektif dalam kurikulum hanya mungkin jika guru yang sama atau sekelompok guru membuat hubungan eksplisit dan langsung di antara dimensi-dimensi konsep atau tema yang sama, misalnya 'listrik', 'air', 'pemanfaatan tanah', atau jenis ' teknologi' modern atau tradisional, di mana dimensi ilmiah, sosial dan teknis dapat bersama-sama diselidiki (King, 1985). Proyek, seperti slojdái Swedia atau ketrampilan hidup di
84
Sri Lanka, menawarkan alat integratif yang potensial dalam kurikulum. Hasil yang baik juga dicapai Papua Nugini di mana, di bawah Proyek Perluasan Masyarakat Sekolah Menengah (SCCEP), ketrampilan praktis dan akademis dikombinasikan dalam 'proyek inti' kurikuler (Vulliamy, 1987). Dalam pendekatan horisontal dengan dimasukkannya orientasi kerja, para pengembang kurikulum pertama-tama harus mempertimbangkan bagaimana silabus yang ada dapat disesuaikan, dan bagaimana materi akademis dapat dibuat lebih praktis dan mudah diterapkan. Dalam pendekatan ini, yang sangat sulit, masing-masing materi akademis disuguhkan secara politeknis, yaitu dengan perhatian penuh pada berbagai aktivitas praktis (King, 1985). Dalam kasus ini, gagasan menggunakan materi praktis guna menyeimbangkan kurikulum berubah menjadi usaha untuk menyeimbangkan bidangpembelajaran khusus dan metode belajar dalam materi: misalnya, membangun materi pengetahuan dan ketrampilan usaha dalam berbagai materi yang ada. Pengintegrasian jenis ini pasti mempunyai daya tarik besar bagi para perencana, seperti usaha di bekas negara-negara sosialis dan di negara-negara OECD sekarang, untuk mengaitkan sains dengan teknologi, menekankan sisi disain kursus teknologi dan keahlian, dan di tempat lain ketertarikan untuk membawa sains ke dalam pertanian dan keahlian (Zimbabwe, Namibia, Kenya). Tetapi orientasi kerja dapat menjadi dimensi suatu silabus yang relevan dalam materi seni atau bahasa (seperti ditunjukkan di Lesotho). Meskipun p e n d e k a t a n ini tidak m e n g h a p u s permasalahan dalam hai fragmentasi kurikulum, ia bisa mendekatkan teori dan praktek serta meningkatkan mutu pembelajaran dalam materi pengetahuan dasar dan ketrampilan. Kompleksitas dalam melakukan cara ini, sebagai contoh, bagaimana mempertemukan struktur kurikulum yang kaku dengan permintaan kerja praktis yang berlangsung, masih memerlukan banyak penelitian (misalnya Mades, 1992).
85
Suatu isu terkait dengan melode belajar: seberapa jauh pembelajaran menjadi lebih eksperiensial dan berdasarkan pada aktivitas pekerjaan produktif nyata? Orientasi kerja perlu melibatkan suatu konfrontasi sadar dan langsung dengan format pekerjaan dan produksi di lingkungannya sendiri. Di banyak negara, argumen-argumen pedagogik atau ideologis sudah memberikan dasar untuk menginterpretasikan orientasi kerja sebagai kebutuhan untuk keterlibatan langsung dalam pekerjaan produktif. Di sini, para perencana harus bisa berperan untuk mendebat dengan menjelaskan konsep dan menguraikan berbagai pilihan konkret. Seperti dijelaskan pada Bab II, program pendidikan-kerja pada dasarnya melibatkan para murid dalam pengalaman produksi nyata, yang dimaksudkan untuk dihubungkan secara langsung dengan belajar kelas. Bergantung pada tujuan yang lebih luas, pengalaman ini dapat sangat terbatas (seperti dalam proyek pengalaman-kerja) atau lebih luas (seperti dalam p e n d i d i k a n politeknik). Semakin program seperti itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan vokasionalis atau ideologis, kemungkinan semakin luas pengalaman kerja: para murid mungkin menghabiskan beberapa jam perminggu dalam suatu perkebunan komersiil --seperti halnya kasus di China, Kuba dan, dalam tingkat yang lebih luas, di Tanzania, Zambia dan wilayah-wilayah Eropa Timur. Bagaimanapun, seperti ditunjukkan studi-studi kasus, aktivitas kerja produktif dapat juga menjadi dimensi program 'pendidikan praktis', yang dijalankan secara hati-hati dan terbatas, di mana penekanannya lebih pada hasil belajar dari pada output ekonomi. Dalam konteks ini, kebun sayuran, 'toko sekolah', aktivitas pelayanan masyarakat, atau 'mini-pabrik' menjadi perluasan aktivitas kelas strategis, yang merupakan tugas praktek belajar. Ketika prinsip sudah jelas, masih ada banyak pilihan dalam disain sebenarnya: terkait dengan scope,
86
panjangnya, lokasi, sumber daya yang diperlukan, manajemen dan organisasi (lihatjuga di bawah). Variasi dalam kompleksitas dan biaya adalah cukup besar bagi masing-masing kementerian pendidikan dan institusi itu sendiri dalam menyesuaikan konsep dengan kapasitas dan wawasannya sendiri. Interaksi Dengan Lingkungan Sosial dan Ekonomi
Isu lingkungan yang menarik perhatian adalah sikap orang tua dan para murid terhadap orientasi kerja di sekolah, dan pembagian tanggung jawab atas orientasi kerja antara sekolah, masyarakat, organisasi non pemerintah (NGO) dan industri. Dalam pendidikan, ada beberapa bidang di mana terdapat asumsi yang sangat kuat dan banyak digunakan untuk memback up posisi ideologis dan politis, seperti dalam bidang kejuruan. Khususnya, asumsi bahwa para orang tua m e n e n t a n g ketrampilan praktis dan pre-vocational di sekolah, sudah lama digunakan oleh para penditi internasional, konsultan dan lembaga funding dalam suatu tawaran untuk mengikuti negaranegara dalam hai apa yang dianggap sebagai defmisi yang tepat mengenai pendidikan. Di negara-negara berkembang, rujukan Foster untuk "kekeliruan sekolah kejuruan" secara terus-menerus menjadi dasar riset untuk posisi ini (Foster, 1965). Foster telah menyatakan dasar rasional pilihan-pilihan orangtua dan murid mengenai isi kurikuler. Mengingat sekolah seringkali dilihat sebagai sarana untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi, orang tua -pada awal masa setelah kemerdekaan di Afrika- sudah menyimpulkan bahwa pendidikan akademis mempunyai nilai paling tinggi dalam pasar tenaga kerja. Ketika minat terhadap pendidikan akademis tidak berubah, sebagai akibat meningkatnya krisis ekonomi modern, orang tua sudah mulai mengakui adanya nilai tambah dari pelatihan ketrampilan praktis. Ketrampilan praktis ini sekarang sering di-
87
anggap oleh orang tua sebagai suplemen bermanfaat, yang menyediakan modal berguna dalam pasar tenaga kerja atau (jika tidak) menyiapkan cara untuk self-employment yang benar. Di Eropa, apresiasi t e r h a d a p ketrampilan praktis sebagiannya dihubungkan dengan relevansi untuk mencari pekerjaan atau masuk dunia kerja, dan sebagiannya lagi dengan minat dalam memelihara tradisi budaya (misalnya Eriksson et al, 1980). Anak-anak muda secara khusus menyatakan kepuasan mereka dengan program pengalaman kerja, karena program itu telah menolong dalam membuat pilihan pekerjaan atau karier yang lebih baik. Sekalipun manfaat sebenarnya kadang-kadang masih mengecewakan, aktivitas-aktivitasnya bisa mendorong ke arah peningkatan keyakinan diri dan ketrampilan sosial (CERI, 1983). Hasil riset di beberapa tempat menunjukkan bahwa tidak ada oposisi intrinsik untuk mengejar ketrampilan seperti itu di sekolah, khususnya jika ada suatu keuntungan di pasar tenaga kerja (misalnya Kementerian Pendidikan, Lesotho, 1984; Lauglo dan Narman, 1987). Tetapi juga jelas bahwa para murid dan orang tua tidak buta terhadap kualitas yang rendah dari materi praktis yang diajarkan, dan tiadanya dukungan pemerintah yang efektif. Secara khusus, tampak banyak frustrasi akibat lemahnya kemampuan mengorganisir dan menangani pekerjaan praktis, dan akibat lemahnya manajemen dan tiadanya transparansi dalam pengambilan keputusan, misalnya, mengenai dana. Karena itu, aktivitas-aktivitas sering dilihat sekedar menghabiskan waktu dan sumber daya, dan sebagai konsekuensinya popularitasnya menjadi rendah. Orang tua dan masyarakat di negara-negara kurang maju sering marah terhadap praktek pengambilan keputusan pusat dalam bidang orientasi kerja. Sementara wakil organisasi sosial dan industri pada umumnya diijinkan untuk berperan dalam disain kurikulum nasional, penafsiran lokal tetap saja hanya diberi ruang sempit. Otoritas pendidikan lokal atau sekolah
88
jarang bekerja sama dengan organisasi masyarakat dalam memilih atau merinci ketrampilan praktis atau aktivitas tertentu yang harus diterapkan (dalam kaitan dengan disain, kasus India adalah suatu pengecualian). Masyarakat terus dimobilisasi untuk menyokong keuangan dan material untuk pengembangan sekolah, dan mungkin sering berkonsultasi tentang isu-isu yang mempengaruhi disiplin sekolah atau manajemen sumber daya. Ada pula banyak pembicaraan mengenai partisipasi dalam aspek implementasi kurikulum. Akan tetapi, keterlibatan aktif dalam mendisain kurikulum atau usaha 'pengayaan' kurikulum lokal, cenderung tidak diakui sebagai kemampuan masyarakat. Akibatnya, unsurunsur orientasi kerja sering tidak relevan dengan minat dan kebutuhan lingkungan lokal, di mana anak-anak muda akan m e n e m u k a n masa depan mereka, atau unsur-unsur itu merupakan representasi yang salah dari ketrampilan dan pengetahuan lokal. Bagaimanapun caranya, masyarakat tidak akan bertanggung jawab atas kebijaksanaan 'sekolah' seperti itu, dan tidak mungkin memberikan dukungan penuh. Dalam pendidikan dasar, apapun pendekatan dalam orientasi kerja perlu didasarkan pada interaksi langsung dan terorganisir dengan masyarakat lokal. Ini impératif bagi alasanalasan logistik, karena perencanaan dan implementasi pada umumnya memerlukan kontribusi masyarakat dalam kaitannya dengan sumber daya manusia, pembiayaan, dan informasi. Ada juga pertimbangan-pertimbangan pedagogik, karena relevansi dan efektivitas orientasi kerja betul-betul dihubungkan dengan minat, sikap, dan tindakan follow up masyarakat. Oleh karena itu, kementerian dihadapkan pada persoalan kebijakan mengenai seberapa jauh mereka menginginkan desentralisasi kurikulum dan mengijinkan masyarakat untuk mengambil bagian dalam mendefinisikan apa yang harus dipelajari anak-anak mereka di sekolah. Di banyak negara, permasalahan-permasalahan tersebut
89
sebagian bersifat administratif dan apolitik: seberapa besar desentralisasi diijinkan oleh pemerintah, yang banyak terkait dengan keutuhan nasional dan ekuivalensi ijazah di negara itu? Saluran apa yang dapat memungkinkan organisasi masyarakat atau otoritas lokal memberikan masukan bagi pengambilan keputusan kurikulum? Permasalahan-permasalahan ini juga bersifat konseptual. Desentralisasi sering dihambat oleh kemampuan yang tidak cukup dari pihak perencana dan spesialis dalam mengonseptualisasikan struktur dan substansi kurikulum yang dapat menyerap banyak partisipasi lokal, serta menangani interaksi dengan masyarakat dan kelompok kepentingan lokal lainnya (misalnya industri). Praktek, yang kini umum di negaranegara industri, bagi kementerian pendidikan untuk menata suaru kerangka kurikulum dengan target pencapaian yang menetapkan jenis pemahaman dan ketrampilan, dan bagi organisasi kurikulum yang sesuai untuk mengembangkan work plan model bagi institusi untuk digunkan sebagai acuan, adalah sulit diikuti oleh negara-negara miskin --misalnya perbedaan pendekatan antara Belanda dan Sri Lanka. Membagi Tanggung-jawab
Dimensi lain interaksi dengan lingkungan adalah pembagian kerja yang umum antara sekolah dan agen sosialisasi lain. Jika kementerian bisa mengakui keterbatasan dan hambatan sekolah -baik secara organisasi, pedagogik, budaya, dan keuangan- kementerian mungkin akan lebih mudah memberi prioritas kepada apa yang dapat dilakukan sekolah dengan baik dan menghilangkan ruang bagi lembaga-lembaga lain untuk membuat kontribusi mereka sendiri. Ini mungkin juga bisa diletakkan dalam terminologi berbeda, yakni pendidikan formal anak-anak hingga tingkat tertentu hanya memerlukan tanggungjawab langsung pemerintah nasional. Kepentingan 'nasional' ini dapat digambarkan (misalnya, dalam kaitan dengan
90
pengetahuan dan ketrampilan inti), instrumen dapat dirancan<j dan sumber daya diberikan kepada sekolah untuk implementasi. Bidang-bidang belajar lain dapat ditetapkan di tingkat lokal, melalui suatu interaksi langsung antara sekolah, masyarakat dan kelompok kepentingan lain seperti industri atau organisasi budaya, dan diimplementasikan dengan dukungan semua pihak yang terkait. Di sini, peran pemerintah nasional lebih bersifat tidak langsung, yaitu menyediakan bimbingan, koordinasi, jasa profesional dan pembiayaan pengganti. Selama masih ada tanggung jawab sentral untuk ketrampilan inti, seperti pengembangan apa yang Bacchus (1991) sebut sebagai ketrampilan dasar dalam bahasa dan matematika, dan pengetahuan dasar dalam sains dan kajian sosial, dimensi orientasi-kerja dapat meminta masukan langsung dari lembaga-lembaga lain, seperti masyarakat dan dunia bisnis lokal. Sifat dan bentuk kontribusi ini dapat bervariasi tergantung pada situasi budaya dan sosioekonomi masing-masing negara. Masyarakat sering berharap dan sanggup menerima suatu tanggung jawab lebih besar untuk aktivitas pekerjaan praktis, mulai dari menjalankan kebun sekolah atau tempat kerja kecil sampai mengorganisasi aktivitas-aktivitas pengalaman-kerja dalam perusahaan lokal. Ada bukti cukup dari berbagai negara untuk menunjukkan bahwa aktivitas seperti itu dapat menutup biaya dan dengan begitu menjadi netral terhadap anggaran publik. Kebijakan dapat menyisakan ruangbagijenis organisasi yang berbeda-beda, untuk mengimplementasikannya atas ñama komite komunitas sekolah. Di berbagai negara, organisasi nonpemerintah sudah berperan dalam melaksanakan program berbasis sekolah, seperti di Swedia dan Lesotho. Organisasi industri atau pemberi kerja semakin mengembangkan pertalian dengan sekolah dan mereka mendisain dan menerapkan aktivitas terkait dengan kerja bersama-sama dengan sekolah. Ini mungkin dilakukan di bawah rubrik pendidikan tek-
91
nologi (seperti di Belanda) atau pendidikan dengan produksi (seperti di India). Program-program seperti itu agak berbeda dari pendekatan politeknik di bekas negara-negara sosialis. Perbedaan itu tidak h a n y a dalam hai b a h w a m e r e k a kekurangan motivasi ideologis yang eksplisit, tetapi juga b a h w a mereka didasarkan pada kerjasama antara berbagai pusat kontrol. Terlepas dari bentuk interaksi yang lebih terlembagakan, ada banyak kesempatan di m a n a sekolah itu sendiri dapat mengatur bersama-sama dengan petani, montir, atau institusi jasa itu sendiri di tempat proyek orientasi-kerja. Aktivitas seperti ini lebih lazim dibiayai oleh agen-agen yang melaksanakan atau melalui kontribusi orangtua. Terkait dengan pembagian kerja, ada beberapa pertimbangan p e n t i n g u n t u k p e n g e m b a n g a n kebijakan, yaitu sebagai berikut: (a) apakah dalam suatu situasi yang ada, acquisition threshold ketrampilan itu terlalu tinggi u n t u k l i n g k u n g a n r u m a h m a m p u menghadapinya; (b) apakah ada organisasi p a d a tingkat yang b e r b e d a yang mempunyai kapasitas m i n i m u m dan berminat untuk berpartisipasi dalam aktivitas orientasi-kerja yang tidak bisa ditangani oleh sekolah atau rumah; (c) S e j a u h m a n a sekolah itu sendiri d a p a t m e n g a t u r u n t u k terlibat dalam orientasi kerja di luar apa yang dilekatkan p a d a reformasi kurikulum inti. Akhirnya, haruslah diakui b a h w a para p e m b u a t kebijakan bidang pendidikan mengarahkan dalam konteks ekonomi dan politik lebih luas. Pengalaman menunjukkan b a h w a berpikir secara hati-hati tentang orientasi kerja dalam kaitannya dengan terbatasnya sumber daya dan kebutuhan sosio-ekonomi, dapat
92
mendorong ke arah program yang mempunyai harapan sukses lebih besar. Efektivitas p e n g e m b a n g a n kebijakan dan implementasi juga dipengaruhi oleh suatu iklim politik yang mendukung. Ini sering menjadi sumber perhatian, sebagian karena perubahan prioritas untuk alokasi sumber daya, sebagiannya lagi karena program orientasi kerja akan terus menderita akibat hubungan négatif dengan pendidikan rendah, dan akibat kontradiktif struktural dalam ekonomi dan masyarakat (Lawless and Hogan, 1983). Konsensus yang didukung akan menjadi kondisi bagi pengamanan kebijakan dan modifikasi struktural, yang penting bagi kesuksesan program tersebut.
93
rV. Perencaiiaan dan Implementasi Program Orientasi-Kerj a
P
ada Bab III di atas telah dikupas isu-isu di tingkat kebijakan. Sementara itu, pada bab terakhir ini, akan dibahas mengenai aspek-aspek yang lebih praktis, yang berhubungan dengan beberapa pendekatan dalam program perencanaan dan implementasi. Perhatiannya akan diarahkan pada pilihan-pilihan yang mungkin dan seluruh proses pengambilan keputusan. Isunya diarahkan pada para profesional dan pengelola di lingkungan Kementerian Pendidikan. Juga pihak-pihak lain (di dalam atau di luar sistem) yang mempunyai minat yang kuat terhadap implementasi dan pengembangan pendidikan. Isu yang akan dibahas meliputi inisiasi program, manajemen dan organisasi aktivitas, infrastruktur untuk layanan yang mendukung, persoalan penilaian, monitoring dan riset. Inisiasi dan Permulaan program Gagasan baru dalam pendidikan jarang dipahami dan diperkenalkan sebagai bagian dari suatu proses analisa masalah secara sistematis, perencanaan dan tinjauan ulang. Gagasan ter-
95
sebut cenderung bermula dari pihak yang punya kekuatan dalam sistem pendidikan dan yang berharap bahwa melalui penyesuaian selektif, permasalahan kritis dapat diperbaiki. Suksestidaknya gagasan seperti itu tergantung pada kekuatan persuasi, aliansi yang dibangun dan sumber daya yang dikerahkan. Para perencana dan manajer di bidang pendidikan mempunyai peran penting di sini, karena mereka bertanggung jawab atas disain inovasi yang sesungguhnya, dan mempengaruhi bentuk inovasi yang akan diambil. Banyaknya harapan akan orientasi kerja dari masyarakat menjadikan para perencana sangat sulit memenuhinya, karena harapan itu berhubungan dengan domain aktivitas di mana sekolah cenderung kurang diperlengkapi untuk menghasilkan hasil-hasil terukur. Lebih dari itu, ini adalah suatu domain yang biasanya kurang memberikan prioritas pada alokasi perhatian administratif dan sumber daya yang sesungguhnya. Kader-kader profesional di lingkungan kementerian dan badan-badan terkait (pengembangan kurikulum, pengujian, bimbingan sekolah) akhimya menjadi sering menempati posisi untuk mencoba dan menyelaraskan permintaan yang berlawanan, serta melakukan strategi yang penuh arti, bisa menopang, dan mungkin dilakukan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa suatu langkah paling penting dalam tahap perencanaan adalah usaha untuk mencapai konsensus tentang jenis orientasi kerja seperti apa yang diperlukan dan tujuan apa yang dimaksudkan untuk dijalankan. Banyak permasalahan implementasi dan upaya mempertahankan dukungan yang luas untuk program yang dapat dihindari jika ada suatu pemahaman umum mengenai apa yang bisa dicapai (dan yang tidak) oleh orientasi kerja. Ini juga dapat mendorong ke arah kesebangunan antara kebijakan, praktek program yang sebenarnya, dan hasilnya. Ini secara otomatis menyiratkan perlunya memperluas konsultasi mengenai pro-
96
gram itu dan memberikan waktu bagi pihak-pihak yang berbeda untuk menuju suatu penafsiran umum mengenai suatu program secara keseluruhan. Beberapa studi kasus pada Bab //menunjukkan bahwa jenis 'negosiasi' seperti ini perlu melibatkan, khususnya, berbagai lembaga profesional dan badán sosial, yang mewakili tradisi berfikir berbeda tentang pendekatan dalam mated teknis, hubungan antara sekolah dan pasar tenaga kerja, atau keinginan melibatkan anak-anak dalam aktivitas pekerjaan manual. Materi praktis yang sangat sering keluar dari proses ini menunjukkan suatu kompromi, karena memuat suatu keanekaragaman komponen yang mencerminkan perhatian publik yang berbeda. Inilah alasannya mengapa, sebagai contoh, silabus Malaysia untuk 'Ketrampilan Hidup' pada tingkat menengah bawah meliputi kewiraswastaan dan 'kehidupan keluarga'. J u g a mengapa silabus pendidikan teknologi di Eropa meliputi unsurunsur keahlian, dan juga disain serta perlindungan lingkungan. 'Konsultasi' biasanya paling sulit diwujudkan jika berhubungan dengan kepentingan orangtua. Seperti ditunjukkan sebelumnya, Kementerian sering keberatan mengakui bahwa dalam prakteknya mereka tidak memonopoli kebijaksanaan di bidang pendidikan. Tetapi ini yang paling penting dalam hubungannya dengan orientasi kerja, di mana dukungan dari komunitas dan masyarakat lúas --secara moral maupun material- adalah syarat untuk sebuah kesuksesan. Hal yang sama juga untuk para guru. Jika mereka kurang terorganisir, maka akan sering sebagai p e n e r i m a pasif petunjuk-petunjuk kementerian. Proyek-proyek, terutama yang memaksakan beban ekstra pada kepala sekolah dan para guru, sering gagal sebab para guru tidak mengerti apa yang dimaskud dalam proyek, dan sebagian perhatian khusus mereka seperti beban kerja, training ulang atau peningkatan mutu, insentif untuk tanggung-jawab ekstra, tidak diberi perhatian cukup.
97
Ada berbagai metode untuk melaksanakan 'konsultasi' dengan sukses. Antara lain meliputi: (1) diskusi dengan wakil asosiasi orang tua dan guru, sebagai bagian dari tahap disain program; (2) penilaian secara saksama mengenai sudut pandang mereka, situasi sosio-ekonomi dan kontribusi sumber daya manusia melalui aktivitas riset strategis. Penilaian seperti itu tidak bisa dihindari, karena lewat suatu analisa kebutuhan, prioritas dan pengalaman masa lalu penting dalam mengonseptualisasikan format orientasi kerja yang dapat diterima di suatu negeri pada kondisi dan waktu tertentu. Keikutsertaan penditi dan 'praktisi' lokal sangat bernilai jika suatu usaha serius dilakukan untuk mempertanyakan konsep internasional tentang apa yang 'bekerja' dan tidak bekerja, dan untuk menyelidiki alternatif yang mempunyai keterkaitan lokal. Akhirnya, konsultasi yang genuine akan menunjukkan bahwa para guru dan masyarakat bukan sekadar dianggap sebagai 'input' yang akan digunakan dalam perencanaan , tetapi adalah mitra otonom dalam usaha pendidikan. Jika lembaga donor tertarik untuk mendukung program yang ada atau prakarsa baru, sifat kerja sama antara pihak nasional dan lembaga ini akan menentukan format dan hasil program berikutnya. Studi kasus sudah menunjukkan bagaimana di negara-negara kurang maju, lembaga donor mengambil bagian dalam program orientasi kerja. Kontribusi mereka bisa merupakan sesuatu yang penting, di mana lembaga donor eksternal secara langsung terlibat dalam unsur kunci program itu, termasuk dalam mendisain materi pelajaran, substansi, struktur dan metodologinya. Contohnya adalah kasus Lesotho dan Sri Lanka (sementara yang lain meliputi 'Proyek Materi Praktis' di Zambia dan 'Program Pendukung Pendidikan Politeknik' di Tanzania). Kontribusinya dapat juga lebih sedikit, di mana penekanannya adalah pada dukungan implementasi kebijakan dan pro-
98
gram yang sebagian besar sudah disiapkan di dalam negeri sendiri: misalnya bantuan teknis untuk in-service training para guru dan manajer, dan untuk menulis material (Zimbabwe dan Rwanda). Dalam kasus Rwanda, donor kurang berpengaruh pada filosofi dan pendekatan orientasi terhadap kerja. Variasi suatu keterlibatan yang lebih rendah adalah donor yang sebagian besar bertindak sebagai fasilitator yang memungkinkan berbagai mitra di dalam suatu negara mengembangkan p e n d e k a t a n dalam orientasi kerja yang b e r m a k n a dan m e n e r a p k a n strategi kongkritnya. Proses ini m u n g k i n menyertakan pengembangan struktur lokal untuk pertukaran dan kerjasama, review mendalam dan restrukturisasi program yang ada, serta reorganisasi struktur pendukung profesional nasional. Donor mungkin membantu pembiayaan riset dan kegiatan review kebijakan, kunjungan belajar dan perencanaan workshop, dengan bantuan teknis asing yang diperlukan. la mungkin juga mendukung unsur-unsur implementasi berikutnya. Sebagai contoh pendekatan ini, terkait dengan materi praktis dan pendidikan dengan produksi, adalah "Rencana Aksi Bantuan Mandiri untuk Pendidikan '(Self-Help Action Plan for Education, SHAPE) di Zambia, yang didukung SIDA sejak 1986. Pemberian kemudahan dapat juga secara efektif dilakukan di tingkat internasional, dengan dukungan kerjasama regional atau sub-regional, misalnya melalui pertukaran informasi, para spesialis, study-tour atau whorkshop, sebagaimana banyak didukung oleh UNESCO di masa lalu. Sementara keterlibatan donor biasanya dapat meyakinkan suksesnya peluncuran suatu pendekatan baru, pengintegrasian yang lemah dan ketahanan yang rapuh dapat mengancam kesuksesan itu. Perhatian administratif dan input sumberdaya yang tidak sebanding, serta 'pengawasan protektif prakarsa seperti ini (dalam banyak kasus) cukup membantru meningkatkan gam-
99
baran orientasi kerja, dan menyatakan bahwa dengan kepedulian yang cukup 'program ini bisa dijalankan'. Tetapi meskipun perubahan kebijakan nasional (atau donor!) tidak intervensi, tetap sulit untuk membawa suatu prakarsa dari percobaan ke skala nasional dan untuk memindahkan tanggung jawab secara efektif ke dalam mainstream kementerian. Hasil jangka panjang yang lebih baik sepertinya mungkin dicapai, jika diadopsi suatu p e n d e k a t a n yang tertata, y a n g lebih adaptif t e r h a d a p perencanaan, dan bila mana kontrol atas perencanaan dan implementasi tetap ada pada kementerian dan struktur nasional lain terkait. Lebih lanjut, disamping adanya penyimpangan dan resiko sebagai akibat dari perhatian eksklusif pada suatu paket materi, 'dukungan pragmatis untuk kebijakan kurikulum nasional yang lebih lúas dengan unsur-unsur orientasi kerja bisa lebih menguntungkan. Manajemen dan Organisasi Program Konsep-konsep orientasi kerja yang berbeda juga mempunyai konsekuensi bagi praktek manajemen dan organisasi. Masing-masing format orientasi kerja yang dipilih perlu dipertimbangkan ulang prakteknya di dalam institusi yang akan diterapkan. Perlu juga dibuatkan suatu acuan untuk peran dan tanggung-jawab kepala sekolah dan staff, serta organisasi aktivitas kerja. Dalam beberapa program orientasi kerja yang dikutip dalam buku ini (Zimbabwe, Rwanda, Sri Lanka) perhatian nyata diberikan kepada permasalahan spesifik kepala sekolah. Beberapa usaha untuk menyikapi masalah ini telah dilakukan melalui workshop dan seminar. Diakui bahwa program seperti itu dapat meningkatkan kompleksitas pengambilan keputusan di tingkat sekolah. Tergantung pada negara, program itu mungkin membutuhkan pimpinan untuk memikul keseluruhan tanggung jawab merinci program pembelajaran, pengawasan bermacam-
100
macam aktivitas sekolah, mengatur jenis fasilitas baru dan sumber daya pembelajaran, serta memelihara hubungan kerja lebih intensif dengan orang tua, masyarakat dan organisasi industri. Dalam berkali-kali inovasi di bidang pendidikan, terutama yang menyimpang dari praktek konvensional atau yang menjadi kontroversi nasional, telah diakui bahwa kontribusi para kepala sekolah adalah penting bagi keberhasilan inovasi tersebut. Karena itu, pengembangan kemampuan dan motivasi mereka perlu banyak diperhatikan. Hal di atas juga dapat diterapkan pada para guru. Mereka yang terlibat dalam program orientasi-kerja menemukan diri mereka berubah menjadi petani part-time, pekerja-kayu atau logam, tukang bangunan, supervisor pihak pekerja, pimpinan kantor, para petugas pengadaan, dan administrator keuangan. Sering tidak ada pelatihan terlebih dulu untuk peran ini, sementara pelatihan awal terbukti tidak cukup. Orientasi kerja boleh jadi juga melibatkan tugas-tugas ekstra selamajam di luar sekolah --berkenaan dengan persiapan, perbaikan atau pemeliharaan, aktivitas ekstrakurikuler, kunjungan industri atau layanan masyarakat. Aktivitas pengembangan profesional di luar sekolah ini tidaklah menghabiskan banyak waktu dan energi. Pilihan untuk mengorganisir staff sangat bermacam-macam. Sekolah dasar dengan guru kelas mempunyai berbagai kemungkinan yang berbeda dengan sekolah menengah, di mana guru spesialis mungkin tersedia. Sekolah dasar cenderung tergantung pada kepentingan personal dan sukarelawan staff untuk kerja tambahan. Pada tingkat menengah dan institusi pendidikan guru, memulai dan m e n g a d a k a n p e r c o b a a n dengan aktivitas pembelajaran baru sangat tergantung pada komitmen para guru yang memilih bekerja bersama lembaga-lembaga pemrakarsa. Jika para guru diberi tanggung-jawab khusus, ini harus secara resmi diakui, didukung dengan pelatihan dan diberikan insentif.
101
Telah ada riset sistematis untuk m e m b a n d i n g k a n berbagai pendekatan dalam p e m b a g i a n tanggung-jawab dalam konteks proyek inovatif di dalam pendidikan. Riset ini diterapkan p a d a p e m b a g i a n tugas vertikal a n t a r a headquarter d a n organisasiorganisasi nasional, dan tingkat otoritas lebih rendah dan sekolah. Ini juga diterapkan p a d a p e m b a g i a n tugas antara kepala sekolah dan staff, d a n antara sekolah, masyarakat d a n organisasi pelayanan. Biasanya, pengambilan keputusan yang lebih didesentralisasi dan bersifat partisipatoris serta pembagian tugas yang lebih besar antara pihak-pihak terkait, akan menimbulkan minat, motivasi d a n k o m i t m e n lebih besar. J i k a ini digabung dengan pelatihan, administratif, dan b i m b i n g a n ahli, m a k a akan ada kesempatan lebih baik untuk efektivitas berkelanjutan dan dukungan lokal (Little et al, 1993). Rondisi penting bagi berlangsungnya hai di atas adaiah peningkatan sistem informasi sebagai dasar perencanaan yang lebih efektif. Pilihan-pilihan lebih banyak untuk aktivitas sekolah dan keanekaragaman kebutuhan dalam kaitannya dengan susunan kepegawaian, material, perkakas, dan lainnya, m e m b u a t tuntutan lebih besar t e r h a d a p interaksi administratif d e n g a n sistem pendidikan dan lingkungan ekstemal. M e m p e r t e m u k a n p a r a guru dengan material d a n fasilitas khusus, serta d e n g a n kebutuhan lokal, adaiah pekerjaan yang kompleks, bahkan di dalam setting yang bersumber d a y a baik sekalipun. Suatu sistem yang sentralistik m e m p u n y a i berbagai kesulitan besar di dalam m e n a n g a n i s e m u a ini. S e p e r t i n y a lebih sukses d e n g a n pendekatan desentralisasi, dalam taraf bahwa perubahan lingkup d a n kompleksitas p r o g r a m orientasi kerja d a p a t diselaraskan dengan p e r k e m b a n g a n informasi, p e n g e m b a n g a n k e m a m p u a n dan ketersediaan sumber daya nasional dan lokal. Isu penting untuk perencanaan b e r h u b u n g a n dengan pengorganisasian aktivitas-aktivitas praktis dalam p r o g r a m orientasi kerja. Formatnya tergantung p a d a pendekatan yang dipilih, serta
102
tujuan dan strategi belajar yang telah diidentifikasi. Ini juga tergantung pada sumber daya yang tersedia. Dalam konteks pendekatan pendidikan u m u m , pendidikan praktis dan pendidikan terdiversifiksi dalam orientasi kerja, pekerjaan praktis cenderung menjadi komponen integral maten yang dipilih. Ini umumnya dilaksanakan di kelas, workshop, atau di unit pertanian eksperimental kecil yang dijalankan oleh bagian materi. Biasanya, para murid diberikan tugas-tugas spesifik, secara individual atau dalam kelompok, tergantung pada ruang atau sumber dayanya. Aktivitas tambahan boleh diberikan setelah jam sekolah di bawah pengawasan staff terpilih. Seperti diamati di atas, aktivitas pekerjaan produktif sering melebar ke luar jam sekolah akibat tugas-tugas berkelanjutan yang harus dilakukan. Khususnya jika sekolah terlibat dalam produksi (semi-) pertanian, pekerjaan sering dibagi per kelas dan, di dalam kelas ini, per kelompok murid. Perputaran jadwal dapat menjamin bahwa sepanjang tahun para murid akan mendapat berbagai aktivitas. Di beberapa negara, terutama pada tingkat menengah, pengalaman dengan logistik produksi dan dilema berkelanjutan antara ilmu pedagogik dan ekonomi mendorong ke arah pemisahan jenis-jenis aktivitas. Sebagai contoh, dengan membuat suatu pembedaan antara aktivitas produktif sebagai bagian integral (jika tidak sentral) dari materi tertentu --di m a n a penekanannya pada pengembangan ketrampilan- dan proyek produksi yang terpisah dari kurikulum meskipun masih menyediakan peluang untuk menerapkan apa yang dipelajari di kelas (misalnya sekolah di Zimbabwe yang didukung ZIMFEP). Penggambaran batasan-batasan organisasional dan penjelasan sasaran seperti itu telah mengurangi masalah intervensi. K a d a n g - k a d a n g , k e m e n t e r i a n p e n d i d i k a n menyimpulkan bahwa hanya aktivitas-aktivitas produktif terawasi dan terorganisir yang dapat dilakukan oleh semua murid
103
sebagai bagian dari kurikulum réguler, d a n bahwa keterlibatan lebih luas dalam pekerjaan tersebut perlu dilaksanakan atas dasar sukarela sebagai aktivitas ekstrakurikuler (misalnya di Togo dan Seychelles). Perhatian harus diberikan pada pertentangan-pertentangan y a n g terjadi antara sasaran kerja produktif atau praktis d a n organisasi pengalaman belajar. Banyak hasil belajar - t e r u t a m a n o n teknis-- gagal dicapai akibat tidak c u k u p n y a penelitian m e n g e n a i b a g a i m a n a p e r i l a k u atau sikap seperti itu d a p a t dipromosikan. Ketrampilan seperti mendisain dan memecahk a n m a s a l a h h a n y a d a p a t d i k e m b a n g k a n jika p a r a m u r i d m e m p u n y a i kesempatan secara langsung untuk dilibatkan dalam aktivitas seperti itu. D e n g a n keterbatasan sekolah, ini m e m berikan tantangan khusus bagi para p e r e n c a n a kurikulum dan guru. Pengabaiannya akan sangat m e m p e n g a r u h i kredibilitas program-program orientasi-kerja.
Infrastruktur Layanan Pendukung Dari contoh-contoh p r o g r a m yang disajikan dalam pembahasan di atas, jelaslah b a h w a program-program orientasi-kerja memerlukan suatu desain y a n g baik dan infrastruktur layanan p e n d u k u n g y a n g efektif. T i a d a n y a hai tersebut atau organisasi yang buruk menjadi alasan u t a m a kegagalan bagi suatu prakarsa. Kapasitas suatu negara untuk m e n g e m b a n g k a n dan memelihara layanan m i n i m a l untuk m e n d u k u n g implementasi p r o g r a m orientasi-kerja adalah penting, khususnya untuk memutuskan sifat dan lingkup program seperti itu. Beberapajenis p e n d u k u n g yang paling penting adalah pendidikan guru, p e n g e m b a n g a n kurikulum serta dukungan teknis dan profesional yang berkelanjutan. Pelatihan sejumlah guru untuk melaksanakan suatu program baru selalu menjadi tugas menakutkan. Bahkan di negara-ne-
104
gara industri, proses ini susah dijalankan, mahal dan memakan waktu beberapa tahun. Bagian logistik murni kurang penting dibanding lingkup kognitif, reorientasi teknis dan sikap, di mana para guru harus melewatinya sebelum mereka melaksanakan program baru bersama-sama para murid. Masalah lain di banyak negara kurang maju adalah bahwa program orientasi-kerja sering menyiratkan suatu perubahan mendasar dalam interaksi antara para guru dengan muridnya, misalnya mengadopsi filosofi belajar- mengajar yang berbeda, dan metode 'berbasis sumberdaya' serta 'belajar aktif. Masalah ini sering diperumit oleh fakta bahwa sebagian besar guru tidak memiliki latinan dasar yang cukup untuk pekerjaan mereka. Dengan atau tanpa bantuan donor, in-service training untuk kesuksesan para guru cenderung menjadi titik-pusat (focalpoini) di dalam program baru. Banyak negara mempunyai pengalaman di dalam menunjuk beberapa perguruan tinggi pendidikan guru menjadi poros kegiatan pelatihan semacam itu. Kegiatan ini sering diawali dengan suatu pelatihan nasional untuk para pelatih. Pendekatan ini mungkin berlanjut dalam hirarki yang lebih rendah, ketika perguruan tinggi melatih personil sumber daya yang bertanggung jawab untuk bekerjasama dengan para guru di dalam bidang spesifìk (misalnya Rwanda). Sementara pendekatan ini mempunyai keuntungan praktis dan berharga, itu bukanlah tanpa kelemahan. Pesan-pesannya sering dilemahkan pada saat pendekatan itu menjangkau sekolah, lingkup induksinya sangat terbatas, dan perangsang awal untuk berpartisipasi mungkin kurang menarik seiring berlalunya waktu. Penggunaan program-program berjangka (sebagai tambahan) juga mahal dan kurang sesuai untuk pelatihan praktis. Karena itu, b e b e r a p a program memberikan banyak penekanan pada produksi sederhana 'bagaimana cara' informasi teknis dan manual digunakan bersama-sama dalam unitnya
105
masing-masing, yang dapat digunakan sebagai material acuan di dalam praktek sehari-hari. Kelihatannya lebih sulit untuk mencapai penyatuan program pelatihan baru pada tingkat pre-service. Bahkan di Eropa sekalipun, dengan kompleksitas disain pelatihan, reorganisasi kelembagaan dan pembangunan kapasitas, regulasi kualifikasi pengajaran, akses dan pembiayaan cenderung memperpanjang proses ini dalam beberapa tahun. Untuk mengatasi anomali dalam hai tumpang-tindihnya dengan materi lain atau pengenalan pengalaman sebelumnyajuga cenderung memakan banyak waktu. Di negara-negara berkembang, lembaga-lembaga donor sering memberikan in-service training, tapi menghentikan dukungan massifnya ke perguruan tinggi pendidikan guru. Dengan begitu mempengaruhi keberlanjutan inovasi untuk jangka waktu yang lebih lama. Pada sisi lain, beberapa keragu-raguan kadang tidak dapat dimengerti. Pada kasus perguruan tinggi pendidikan guru, tidak ada kebijakan yang jelas mengenai perguruan tinggi mana yang akan melatih para guru untuk jenis pekerjaan praktis. Juga tidak ada kejelasan mengenai longer-term capacity. Sebagai tambahan, efisiensi apa yang dapat diperoleh dengan mempunyai para guru spesialis dalam materi praktis yang berbeda-beda, atau dengan melatih semua guru dalam beberapa ketrampilan praktis? Semakin orientasi kerja terintegrasi ke dalam kurikulum inti dan melayani tujuan pendidikan umum, semakin perlu untuk mengintegrasikan pelatihan. Seperti diuraikan pada Bab III, proses pengembangan kurikulum dalam bidang orientasi kerja sangat penting. Pekerjaan yang perlu dilaksanakan sangat kompleks dan memerlukan banyak masukan profesional dari luar organisasi yang terkait dengan pendidikan umum. Prosesnya juga penuh dengan berbagai kesulitan, karena organisasi kurikulum tampaknya mengikuti
106
prosedur yang mapan untuk pengembangan material kurikuler dan belajar. Ketika prosedur seperti itu sangat tersentralisasi, konflik dengan mudah akan muncul di an tara preskripsi nasional dan kapasitas implementasi sekolah (lihat kasus Lesotho). Seperti telah kita lihat, dalam orientasi kerja ada juga keperluan untuk memberikan banyak lingkup bagi variasi lokal dan 'pengayaan'. Tantangan bagi organisasi kurikulum adalah menyediakan sebanyak mungkin bimbingan kepada para guru, melalui buku pedoman, teks murid, petunjuk, model silabus untuk materi praktis, atau modul untuk unsur-unsur kerja di dalam materi inti, dengan membiarkan banyak lingkup untuk penyesuaian dan pilihan lokal. Lambat laun, dipelajari pelajaran mengenai pentingnya dukungan berkelanjutan untuk kepala sekolah dan para guru di tempat kerja mereka. Di negara-negara maju, pengenalan program orientasi-kerja baru memerlukan suatu penyesuaian layanan pedagogik yang ada. Di sini, tugas besarnya adalah mengembangkan pertalian yang efeküf dengan organisasi industri. Bimbingan dan kontribusi aktif yang terakhir penüng untuk menjamin relevansi dan efektivitas pendidikan teknologi, proyek pengalaman-kerja atau program-program pre-vocationaL Di negara-negara miskin, implementasi program orientasi kerja sering menyingkap defisiensi di dalam interaksi an tara para agen profesional dan sekolah. Pusat kurikulum dan inspektorat sangat dibatasi dalam bekerja secara langsung dengan para guru. Ketika pusat para guru atau pusat sumber daya ada, mereka sering diperlengkapi dengan kurang baik dan tergantung pada komitmen sukarela para guru yang memikul beban. Hubungan dengan departemen-departemen pemerintah lainnya, seperti dalam perluasan pertanian, atau dengan perusahaan industri, mungkin tidak ada atau sangat lemah. Mengingat pentingnya dukungan profesional dan teknis, serta kerjasama lokal untuk kesuksesan implementasi program 107
orientasi-kerja, infrastruktur di atas hams lebih diperhatikan. Seperti dipraktekkan di Sri Lanka, ukuran untuk menghasilkan replikasi program hanya pada tingkat layanari dasar itu dilakukan, mengakui poin ini. Satu unsur kunci yang dapat disatukan ke dalam program seperti ini adalah penciptaan mekanisme efektif untuk perencanaan dan implementasi lokal, yang melibatkan kepala sekolah, staff terpilih, wakil murid, dan wakil orang tua, perusahaan industri atau agen penasehat teknis lokal. Perencanaan dan peninjauan ulang bersama yang terusmenerus akan membantu menjaga strategi dan tujuan-tujuan yang realistis. la juga akan mengidentifikasi kontribusi lokal, apakah dalam keahlian, dana atau material. Unsur berikutnya adalah pengaturan kerjasama dan interaksi profesional secara réguler antara staff pengajar dan pengelola di tingkat sekolah, di satu sisi, dan para supervisor, inspektur, penasehat bidang pendidikan dan pendidik guru di tingkat regional atau distrik, di sisi lain. Interaksi ini dapat memberikan bimbingan minimal dan dorongan moral kepada para guru, serta mendorong ke arah aktivitas bersama dalam beberapa bidang seperti adaptasi kurikuler, peningkatan aktivitas organisatoris dan mendisain material belajar tambahan. Dalam hai ini, perlu juga untuk reorientasi gaya profesional: pindah dari suatu pendekatan top-down, preskriptif, ke arah pendekatan yang lebih mendukung dan kolaboratif. Unsur terakhir yang penting adalah peningkatan networking antar para guru, manajer dan ahli pendidikan yang terlibat dalam orientasi kerja. Belajar dari pengalaman orang lain dapat dilakukan di antara institusi, atau antar wilayah dan kabupaten, dan ini untuk membangkitkan semangat semua peserta. Penilaian Orientasi Kerja Beberapa komentar hams dibuat mengenai penilaian. Studi kasus sudah menunjukkan bahwa isu ini menghadapi banyak 108
permasalahan bagi kementerian terkait. Sebagian masalah adalah bagaimana orientasi kerja harus dinilai, khususnya bagaimana cara menilai hasil belajar yang lebih kompleks seperti ketrampilan berpikir, ketrampilan problem-solving dan kemampuan praktis. Ada juga masalah tentang sejauhmana programprogram seperti materi praktis, pekerjaan produktif atau studi pre-vocationalharus diujikan secara nasional dan berperan dalam seleksi masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Beberapa contoh menyatakan bahwa aktivitas ini tidak dapat diujikan dan tidak menjadi ukuran dalam seleksi masuk ke jenjang berikutnya. Bahkan pada suatu kasus, bagian praktis itu cenderung dikurangi. Negara-negara miskin pasti mempunyai masalah besar dalam menjalankan prosedur penilaian dan dalam memanfaatkan secara sistematis hasil untuk peningkatan pengajaran. Mengenai penyatuan unsur-unsur orientasi-kerja ke dalam ujian seleksi nasional, pendapat-pendapat yang ada terkesan ambivalen. Pada satu sisi, dimasukkannya unsur tersebut dianggap sebagai gerak efektif untuk membuat para murid dan orang tua mengambil materi itu 'secara serius', dan untuk meningkatkan status unsur tersebut sebagai bidang belajar yang bisa diterima. Pada sisi lain, diakui bahwa dimasukkannya unsur tersebut sering m e n g a r a h p a d a ' p e n g e m a s a n u l a n g ' pembelajaran tersebut untuk disesuaikan dengan kebutuhan ujian. Ini menimbulkan konsekuensi négatif bagi perhatian pada kemampuan yang lebih praktis. Lebih lanjut, kenyataannya di banyak negara, pilihanpilihan praktis atau pra-kejuruan, bahkan ketika hai itu diujikan, jarang muncul dalam persyaratan untuk masuk ke jenjang pelatihan atau pendidikan yang lebih tinggi. Ini sering terjadi pada pelatihan yang berhubungan dengan ketrampilan kejuruan yang sama. Sebagai contoh, lembaga pertanian atau teknis cenderung lebih tertarik pada prestasi di bidang sains atau bahasa daripada bidang keahlian atau pertanian. Sehingga, para murid, tanpa
109
tergantung pada pilihan pribadi, masih lebih memperhatikan materi 'akademis'. Hal tersebut, sekali lagi, memaksa para pengambil kebijakan untuk memperhatikan peran nyata bidang belajar praktis dalam kurikulum pada tingkat yang berbeda. Ketika orientasi kerja dianggap sebagai bagian penting dari pendidikan umum, fokusnya haras diletakkan pada ketrampilan generik, yang dalam prinsipnya bisa diakui sebagai bagian integral dari berbagai materi pelajaran. Dalam sistem p e n d i d i k a n yang terdiversifikasi, pilihan pra-kejuruan sangat banyak, dan ketrampilan yang akan dikembangkan cenderung menjadi sangat spesifik. Ini perlu dinilai apa adanya dan membentuk bagian dari suatu garis kejuruan, di mana kaum muda bisa mengejarnya tanpa perlu mengancam pilihan-pilihan ke depan lainnya, yang lebih akademi. Sebagian besar negara telah menarik kesimpulan bahwa dalam pendidikan wajib atau dasar, orientasi kerja tidak harus dihubungkan dengan suatu jalur terpisah. Mengingat sentralnya peran ujian dalam menentukan substansi dan metodologi pembelajaran di kelas, laboratorium atau workshop, kementerian pendidikan dapat menggunakan ujian sebagai instrumen untuk meningkatkan motivasi para murid untuk memperhatikan ketrampilan dan mempengaruhi didaktika unsur-unsur oreintasi kerja di dalam kurikulum sekolah. Revisi orientasi kerja di dalam pendidikan tidak akan lengkap kecuali penilaiannya diberikan perhatian penuh. Tantangannya adalah untuk menemukan suatu format penilaian orientasi kerja yang mencerminkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, mengakui pertaliannya dengan bidang belajar yang berbeda, memberikan variasi yang luas bagi manifestasinya di seluruh negara. Tantangan juga ada dalam kaitan dengan sistem ujian. Ini berarti pengembangan sistem nasional untuk menentukan dan menandai ujian praktis yang mempertimbangkan aneka pilihan lokal. Lebih lanjut, ini bisa juga berarti besarnya
110
peran format penilaian berbasis sekolah, seperti evaluasi sistematis berkelanjutan atas pekerjaan praktis siswa. Bagian penting, bagaimanapun, adalah untuk memastikan bahwa penilaian ketrampilan praktis mempunyai pengaruh nil pada seleksi. Pengalaman di beberapa negara menunjukkan, bahwa usaha seperti itu dapat digagalkan, baik dengan mengu b a h test ke dalam tradisi baca tulis atau d e n g a n meminggirkannya menjadi bagian yang tidak penting dari kurikulum (misalnya Papua Nugini dan Tanzania-Vulliamy, 1987). Sayangnya, orientasi kerja, sebagai dimensi penting di dalam kurikulum, diperdebadcan dengan tanpa hasil riset yang memadai. Ini barangkali membuat orientasi kerja menjadi berada di dalam pergeseran ideologis dan politis dalam pemikiran pemerintahan dan sejumlah agen. Defisiensi ini lebih mudah ditengarai pada kasus negara-negara kurang maju, di mana kapasitas riset yang berasal dari pribumi sangat lemah, dan analisa belajar-mengajar dalam konteks pendekatan orientasi kerja yang berbeda tidak begitu diagendakan oleh para penunjang riset. Pada Bab IH, telah diamati mengenai hasil riset yang tidak memadai atau ambigu. Hal yang paling penting tampaknya adalah kebutuhan akan pemahaman mendalam mengenai hasil belajar dan dampak sosio-ekonomi dari program tersebut. Kementerian pendidikan dan lembaga lain yang mengambil bagian dalam program orientasi kerja memerlukan umpan balik, untuk meningkatkan layanan profesional dan efektivitas administratif dalam konteks terbatasnya sumber daya, juga untuk memperkuat posisi mereka sendiri di dalam debat nasional yang lebih luas mengenai opsi kebijakan alternatif dan peran optimal pendidikan dasar. Pada saat yang genting ini, kurang berguna untuk mengetahui apa yang terjadi di tempat lain dibanding mengetahui pekerjaan apa yang bisa dilakukan di rumah.
Ill
Berikut ini menunjuk pada proses perubahan dan pengembangan sebagai domain penting yang lain untuk kerja riset. Buku ini telah merujuk pada dimensi-dimensi kunci dari proses yang memerlukan perhatian, yaitu meliputi: 1.
Dinamika aktual belajar-mengajar di kelas, workshop atau lapangan.
2.
Proses pengambilan keputusan dalam memilih pendekatan dalam orientasi kerja, pengembangan kurikulum, aktivitas perencanaan dan implementasi.
3.
Proses inisiasi, pelembagaan, dan perpindahan tanggungjawab.
4.
Interaksi antara lembaga-lembaga yang berbeda, yaitu secara horisontal antar administrasi negara, industri dan badán profesional, kerja sama antara pemerintah dan mitra nonpemerintah, dan secara vertikal antara semua itu dan para manajer kelembagaan, para guru dan orang tua.
5.
Sifat dan lingkup kontribusi masyarakat, sikap orangtua dan faktor penentu mereka, dan nilai potensial dari partisipasi lokal di dalam pengambilan keputusan kurikulum.
6.
Penyumberdayaan program orientasi kerja, termasuk potensi cost-recovery.
Dokumentasi mendalam dan analisa kasus (di mana berbagai hai kurang menyenangkan) adalah penting, sebagaimana pentingnya evaluasi kesuksesan. Riset yang berarti secara langsung dihubungkan dengan monitoring efektif. Informasi yang tersedia tentang program m e n y a t a k a n bahwa m o n i t o r i n g y a n g sistematis dan berkelanjutan, yang menjangkau informasi teknis tentang implementasi program, tidaklah umum. Hal ini, sebagian akibat
112
lemahnya kesadaran akan pentingnya pengumpulan data berkelanjutan oleh para pelaksana itu sendiri. Sebagiannya lagi, akibat sulitnya mendisain suatu sistem monitoring yang sederhana dan mungkin diterapkan, serta memberikan hasil yang dapat digunakan oleh para perencana. Monitoring efektif memerlukan suatu identifikasi kategori-kategori informasi yang relevan dan indikator-indikator perubahan, metode yang tepat bagi pengumpulan data yang efisien, dan format untuk analisa dan presentasi yang hasilnya dapat digunakan oleh para audien yang berbeda, baik para perencana, peneliti, maupun publik secara lúas. Dalam hai ini, orientasi kerja membutuhkan bidang. la juga memerlukan suatu variasi aktivitas sekolah yang lebih besar untuk secara sistematis direkam dan atau diamati, peran banyak pihak untuk diikuti, serta keanekaragaman hasil teori dan ketrampilan untuk dinilai, daripada sekadar kasus di bidang kurikulum yang lebih konvensional. Isu mengenai penilaian, yang membentuk bagian penting dari sistem monitoring, telah dibahas. Lebih lanjut, orientasi kerja tampaknya menyedot perhatian banyak orang -seperti para guru dan kolaborator lokal- yang, dengan kesanggupan menghadapi keadaan apa saja, membuat orientasi kerja mempunyai landasan, serta mempunyai peran sentrai dalam monitoring dan aktivitas riset berskala kecil. Orientasi kerja, dengan pendekatan apapun, hanya dapat berhasil manakala para guru termotivasi, disiapkan, dan juga didukung dalam usaha mereka untuk memberikan arti pada pendidikan dasar.
113
Appendiks I. Glossary
Pertanian (Agriculture)
Sebagai bidang belajar (learning area) pada pendidikan sekolah, pertanian berhubungan dengan kombinasi aspek teoritis dan praktis produksi panen, hortikultura, peternakan binatang kecil. Penekanannya mungkin pada aspek ilmu pengetahuan pertanian atau pada penanaman dasar atau ketrampilan manajemen. Pendidikan untuk perusahaan (Education for enterprise)
Upaya memperkenalkan pengetahuan dan unsur-unsur ketrampilan ke dalam kurikulum yang berhubungan dengan kewiraswastaan, usaha mandili (self-employmenlj dan pengembangan bisnis kecil. Fokusnya cenderung pada suatu pemahaman dasar mengenai praktek bisnis dan lingkungan ekonominya, tetapi mungkin meluas ke penanaman atribut-atribut usahawan. Pendidikan dengan produksi (Education with production)
Sebuah pendekatan dalam pendidikan, di mana produksi ny ata jasa atau barang menjadi bagian integral dari proses bela-
115
jar. Aktivitas-aktivitas produksi sering dihubungkan dengan bidang belajar akademis sekolah. Aktivitas-aktivitas itu mungkin berlangsung di sekolah, kebun atau pabrik-pabrik di luar kontrol sekolah. Kerajinan tangán (Handicraft)
Suatu maten praktis dalam kurikulum pendidikan dasar yang merangsang para murid untuk bekerja dengan bermacammacam material dan perkakas-tangan yang berbeda, dengan tujuan umum mengembangkan disain dasar dan ketrampilan manipulatif, serta sebuah penghargaan terhadap estetika dan tradisi budaya. Ilmu ekonomi keluarga [Home economics)
Suatu materi pelajaran yang memuat teori dan praktek yang berhubungan dengan pekerjaan di dalam dan sekitar rumah. Umumnya materi ini meliputi komponen-komponen seperti tanam-menanam, persiapan makanan dan nutrisi; pemeliharaan lingkungan rumah; pengetahuan barang tenun dan produksi pakaian sederhana; manajemen rumah dan keluarga. Ini mungkin juga meluas ke bidang pendidikan kesehatan dan keluarga berencana. Seni industri (Industrial arts)
Materi pelajaran ini untuk memberikan suatu pengenalan teori dan kecakapan teknis dasar yang berhubungan dengan ketrampilan industri, seperti bahan kayu, pabrik logam, bangunan, kulit. Materi ini sering dilengkapi dengan gambar teknis. Pekerjaan praktis mungkin (atau tidak mungkin) meluas ke pekerjaan produktif.
116
Informatila (Informatics) Suata pengenalan umum ke teknologí informasi serta sifat dan penggunaan komputer. Kelas tenaga kerja (Labour classes) Isaiah ini digunakan di bekas negara-negara sosialis, yang menyatakan suatu praktek pembentukan pekerjaan anak-anak sekolah di sampíng para petani atau pekerja dalam jangka wakta tertentu, untuk mengembangkan suatu pemahaman langsung mengenai kehídupan industri atau pedesaan dan sebuah apresiasi terhadap buruh kasar. Ketrampilan hidup (Life skills) Materi pelajaran yang cenderung menyertakan berbagai ketrampilan praktis ke dalam konteks teorítisnya, yang tidak ditekankan oleh materi lain. Ketrampilan praktis tersebut penting sebagai persiapan untuk mengatasi masalah hidup di lingkungan sosio-ekonomi yang berubah dengan cepaL Bidang ketrampilan ini terbentang mulai dan kemampuan dan kebiasaan pribadi umum, melalui kecakapan teknis dasar dan kewiraswastaan, hingga kesehatan pribadi dan kesehatan masyarakat Pendidikan politeknik (Polytechnic education) Sebuah pendekatan dalam pendidikan, di mana pembelajaran efektif dianggap sebagai sebuah hasil dan interaksi langsung antara teori (ilmiah) dan (pekerjaan) praktek. Pendekatan ini terkait dengan pemberían pemahaman yang mendalam mengenai aspek-aspek kerja ilmiah, organisatoris dan teknologi.
117
Pendidikan pra-kejuruan {Pre-vocational education)
Mengacu pada kurikulum berbasis lúas, di mana para muriti ditawarkan satu atau lebih materi yang memberikan pengenalan untuk pemilihan bidang kejuruan. Penekanannya cenderung pada orientasi kejuruan, dengan asumsi bahwa pendidikan pra-kejuruan ini dapat memberikan dasar bagi latihan kejuruan berikutnya. Pendidikan teknologi {Technology education)
Suatu materi pelajaran relatif baru yang bertujuan mengembangkan p e m a h a m a n tentang p e r u b a h a n teknologi dan bagaimana pengaruhnya terhadap pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Materi ini meliputi suatu dimensi praktis, yang memberikan perhatian pada disain dan problem- solving, serta pengembangan kemampuan praktis yang memungkinkan kaum muda bertindak secara efektif sesuai fisik mereka, serta lingkungan sosial dan ekonominya. Arus kejuruan {Vocational streaming)
Suatu metode diversifikasi pendidikan. Pada umumnya ada pada tingkat menengah atas {the upper secondary level), yang menawarkan kesempatan kepada para siswa untuk mulai mengkhususkan pada satu bidang kejuruan, dengan maksud untuk menyiapkan mereka agar siap masuk langsung ke pasar tenaga kerja atau masuk ke latihan kejuruan lebih tinggi. Vokasionalisasi ( Vocationalization)
Melakukan penyesuaian struktur pendidikan agar tercipta peluang bagi pilihan-pilihan pre-vocational atau arus kejuruan lebih luas. Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan kerja lulusan sekolah. 118
Proyek pengalaman kerja (Work-experience projects)
Aktivitas yang diprakarsai sekolah, pada umumnya dalam j a n g k a waktu relatif singkat. Tujuannya adalah u n t u k menghadapkan para siswa secara langsung dengan dunia kerja. Aktivitas-aktivitasnya mulai dari tugas untuk mengamati pekerjaan yang sedang dalam proses sampai ke penempatan sementara, yang memungkinkan para siswa memperoleh pengalaman langsung dari tugas-tugas pekerjaan yang dilakukan. Aktivitas ini umumnya untuk lebih memahami jenis-jenis pekerjaan dan memudahkan dalam memilih kejuruan.
119
Appendiks IL Referensi dan Bacaan lebih lanjut
A. Referensi Umum Bacchus, M. 1991. "Improving the quality of basic education through curriculum development and reform". Bacchus, M. Improving the quality of basic education: Volume I: Curriculum reform. London: Commonwealth Secretariat, pp. 1-24. Benavot, A. 1983. "The rise and decline of vocational education". Sociology of Education, Vol. 56, No. 2, pp. 63-76. Benavot, A.; Kamens, D. 1989. The curricular context of primary education in developing countries. Washington D.C.: The World Bank. Working Paper, Population and Human Resources Department. Bergmann, H. 1985. "Agriculture as a subject in primary school". International Review ofEducation, Vol. 31, pp. 155-174. Bowman, MJ. 1988. "Links between general and vocational education: does the one enhance the other?" International Review of Education, Vol. 34, No. 2, pp. 149-17 1. Bowyer, J. 1990. Scientific and technological literacy: education for change. A special study for the World Conference on Education for All. Paris: UNESCO. Bude, U. 1985. Primary schools, local community and development in Africa. BadenBaden: Nomos Verlagsgesellschaft.
121
CERI. 1983. Education and work: the views of the young. Paris: O E C D . Colclough, C. 1980. Primary schooling and economic development: a review of the evidence. Washington D.C.: The World Bank. Staff Working Paper No. 399. Eisemon, T.; Ong'esa, E.; Hart, L. 1988. "Schooling for selfemployment in Kenya: the acquisition of craft skills in and outside schools". International Journal ofEducational Development, Vol. 8, No. 4, pp. 271-278. Eisemon, T. 1989. "The impact of primary schooling on agricultural thinking and practices in Kenya and Burundi". Studies in Science Education, Vol. 17, pp. 5-28. Foster, PJ. 1965. "The vocational school fallacy in development planning". Anderson, C.A.; Bowman, M J. (eds.). Education and Economic Development. Chicago, Aldine, pp. 142-166. Gillespie, R.R.; Collins, C ; Welch, D. 1987. Productive work and the partial self funding ofschools. Paris: UNESCO. Reports, Studies; S.134. Grubb, W.N. 1985. "The convergence of educational systems and the role of vocationalism". Comparative Education Review, Vol. 29, No. 4, pp. 526548. Gustafsson, I. 1987. Schools and the transformation of work: a comparative study of four productive work programmes in Southern Africa. Stockholm: Institute of International Education, University of Stockholm. Haddad, W.D. 1987. Diversified secondary curriculum projects: a review of World Bank experience, 1963-1979. Washington D.C.: The World Bank. Discussion Paper, Education and Training Department. Hamilton, S.F.; Crouter, A.C. 1980. " Work and growth: a review of research on the impact of work experience on adolescent development". Journal of Youth and Adolescence, Vol. 9, No. 4, pp. 323-338. Hoppers, W. 1994. Education with production: vocational education and training. International Encyclopedia of Education, Supplementary Vol. Two. Oxford: Pergamon Press. Hoppers, W 1992. The promotion of self-employment in education and training institutions:perspectives in East- and Southern Africa. Technical Paper, Entrepreneurship and Management Development Programme. Geneva: International Labour Office. Jennings, Z. 1987. "Preparation of youth for the world of work: the effectiveness of programmes linking education with production in the Common-
122
wealth Caribbean". International Journal ofEducational Development, Vol. 7, No. 4, pp. 265-276. King, K. 1985. "The planning of technical and vocational education and training". HEP Occasional Papers, No. 72. Paris: International Institute for Educational Planning/UNESCO. Lauglo, J; Narman, A. 1987. "Diversified secondary education in Kenya: the status of practical subjects, and effects on attitudes and destinations after school". International Journal of Educational Development, Vol. 7, No. 4, pp. 227-242. Layton, D. 1989. "Reconceptualising science and technology education for tomorrow". World Bank/British Council, op. cit., pp. 9-30. Layton, D. (ed.). 1994. Innovations in science and technology education. Vol. V, Paris: UNESCO. Levin, H.M.; Rumberger, R.W. 1989. "Education, work and employment: present issues and future challenges in developed countries". Caillods, F. (ed.). The prospects for educational planning. Paris: International Institute for Educational Planning/UNESCO. Lillis, K.; Hogan, D. 1983. "Dilemmas of diversification: problems associated with vocational education in developing countries". Comparative Education, Vol. 19, No. 1, pp. 89-107. Little, A.; Hoppers, W ; Gardner, R. (eds.). 1994. Beyondjomtien; implementing primary education for all London: Macmillan. Lockheed, M.; Verspoor, A. 1989. Improving primary education in developing countries: a review of policy options. Washington D.C.: The World Bank. Loose, G. 1988. Vocational education in transition: a seven-country study of curricula for lifelong vocational learning. UIE Studies on Post-literacy and continuing education. Hamburg: U N E S C O Institute for Education/ UNESCO. Mades, G. (ed.) 1992. Primary school agriculture in Sub-Saharan Africa: workshop report and resource material. Bonn: GTZ; DSE. Moura Castro, C. de 1988. "The soul of vocational schools: training as a religious experience". International Review ofEducation, Vol. 34, No. 2, pp. 195-206. Moura Castro, C. de; Alfthan, T.; Oliveira, J.B. 1990. Technical change, skills and implicationsfor basic learning. Geneva: ILO, Training Policies Branch. Discussion Paper No. 49.
123
Orpwood, G.; Werdelin, I. 1987. Science and technology in the primary school of tomorrow. Studies and surveys in comparative education. Paris: UNESCO. Pfeiffer, R; Wald, R. 1987. Polytechnical education. Geneva: IBE. Information File, No. 8. Psacharopoulos, G. 1988. "Critical issues in education: a world agenda". International Journal ofEducational Development, Vol. 8, No.l, pp. 1-7. Raggatt, P. 1977. "School and work: some ideological considerations". Compare, Vol. 7, No. 2, pp. 83-91. Selvaratnam, V. 1988. "Limits to vocationally-oriented education in the Third World". International Journal of Educational Development, Vol. 8, No. 2, pp. 129-143. UNESCO. 1991. The role of technical and vocational education and its part in and contribution to the efforts undertaken towards basic education for all General Conference twenty-sixth session, Paris 1991. Item 14.2 of the Provisional Agenda. Paris: UNESCO. Visalberghi, A. 1979. "Education and the division of labour m the developed world". Morsy, Z. (ed.). Learning and working Prospects Report, pp. 31-50. Paris: UNESCO. Vulliam), G 1987. "Assessment and the 'vocational school fallacy' in Papua New Guinea". Internationaljournal ofEducational Development. Vol. 7, No. 1, pp. 49-58. Wandira, A. 1972. "Work-oriented curricula for rural areas: an overview of educational problems and issues" Suppliti, G ; Bude, U. (eds.). Workoriented education for Africa: Conference Report. Bonn: DSE, pp. 31-56. WCEFA. 1990a. Meeting basic learning needs: a vision for the 1990s. Background Document, World Conference on Education for All. 5-9 March 1990. jomtien, Thailand. New York: Interagency Commission. WCEFA. 1990b. Final Report. World Conference on Education for All: meeting basic learning needs. 5-9 March 1990. Jomtien, Thailand. New York: Inter-Agency Commission. World Bank/British Council. 1989. Educatingfor capability: the role of science and technology education. Volumes I and II. London: The British Council. The World Bank. 1990. Primary education: a World Bank Policy Paper. Washingten D.C.: The World Bank.
Ì24
The World Bank. 1991. Vocational training: a World Bank Policy Paper. Washington D.C.: The World Bank.
B. Referensi Studi Kasus
Rwanda Bourgeois, E.J. 1991. The reform of primary and, secondary education in Rwanda, 1977-1991. Paper prepared for the Oxford Conference on the Reform of Educational Systems, University College, Oxford, 3-7 September 1991. Gakuba, E. 1991. Les Centres d'Enseignement rural et artisanal integre (CERAI) au Rwanda: problèmes et perspectives. Monographie No. 2. Accroissement et amelioration de la qualité de l'éducation de base. Paris: Institut International de Planification de l'Education/UNESCO. Geronimi, C.M.E. 1971. Efforts to establish centres for rural and trade education in Rwanda. Paper presented at a Symposium on Educational innovations in Africa: policies and administration, Africa Hall, Addis Ababa, 1-10 September 1971. Ministère de l'Enseignement primaire et secondaire. 1989. Développement de l'éducation au Rwanda, 1986-1988. Kigali. Rapport National [pour la] Conference internationale de l'Education. Mukarusagara, E. 1990. Problématique de la formation-production a l'auto-emploi: experience dans les Centres d'Enseignement rural et artisanal integre au Rwanda. Memoire en vue de 1' obtention de diplome de recherche en etudes du développement. Geneve: IUED.
India Chaudhari, S.C. 1985. Socially useful productive work in secondary teacher education. New Delhi: National Council of Educational Research and Training. Ministry of Human Resource Development. 1986. National policy on education 1986: Programme ofAction. New Delhi. Ministry of Human Resource Development. 1991. Minimum levels oflearning at primary state. Report of the Committee set up by the Ministry of Human Resource Development (Department of Education), Government of India. New Delhi: National Council of Educational Research and training.
125
National Council of Educational Research and Training. 1987. Work experience in school education:guidelines. New Delhi: National Council of Educational Research and Training. National Council of Educational Research and Training. 1988. National curriculum for elementary and secondary education: a framework 1988. New Delhi, National Council of Educational Research and Training. Revised version. National Council of Educational Research and Training. 1991. Learning by doing. Report of the National Review Seminar on Work Experience, 5-7 March 1990. New Delhi: National Council of Educational Research and Training. National Institute for Educational Research. 1986. Elementary/primary school curriculum in Asia and the Pacific. Report of a joint study on some major developments in elementary school curriculum in Asian and Pacific Countries. Tokyo: National Institute for Educational Research. National Institute of Educational Planning and Administration. 1990. Development of Education in India, 1988-90. New Delhi National Institute of Educational Planning and Administration. National Report of India presented at 42nd Session of the International Conference on Education, Geneva: 1990. Zachariah, M.; Hoffman, A. 1984. Gandhi and Mao on manual labour in the school: a retrospective analysis. Paper presented at the Vth World Congress of Comparative Education, Paris, France, 2 to 6 July, 1984.
Sweden Eriksson, K.H. et al. 1980. Handcrafts and the school:final report: the project 'Laborative Handcraft'. Linköping: University of Linköping. Report No. 8. National Advisory Council on Home Crafts. 1992. What do researchers say about the teaching of handicraft in schools? Stockholm: Mimeo. Swedish National Board of Education. 1986. Introduction to Swedish crafts and craft education. Stockholm. Swedish National Board of Education. 1988. The Swedish school system. Stockholm.
126
Zimbabwe Lewin, K. 1992. Environment and agricultural science in primary schools in Zimbabwe: analysis, commentary and suggested revisions. Bonn: DSE; Zimbabwe, Joint Programme. Draft report. Lewin, K.; Bajah, ST. et al. 1991. Teaching and learning in environmental and agricultural science: meeting basic educational needs in Zimbabwe: an evaluation. Bonn: DSE. Mandizha, G.T. 1989. The experience of vocationali&tion ofsecondary and higher education in Zimbabwe. Paper prepared for the HEP, UNESCO/University of Botswana/BREDA, U N E S C O Regional Training Seminar on 'Education, employment and work', Gaborone, Botswana, 26 June to 17 July. Ministry of Education and Culture, Primary Education Development Unit. 1982. Environmental and agricultural Science: syllabus for primary schools. Harare: Ministry of Education and Culture.
The Netherlands Dijk, R. Van. 1989. Het vak techniek: (Wat) doen we (er) mee?[The subject technology: what shall we do with it?] Beeldaspecten: July/August, No. 7/8, pp. 2-5. Dijkstra, GJ. 1992. De inspectie op bezoek: techniek in het LBO, AVO en VWO. [The inspectorate on tour]. Director, 28January, No. 283, pp. 221-223. Houben, J. 1989. Advies over the voorlopige eindtermen basisvorming in het voortgezet onderwijs: No. 17: Techniek [Advice concerning provisional attainment targets in secondary education: No. 17: Technology]. Zoetermeer: Ministry of Education and Sciences. Vries.MJ.De. 1991. Technology as a school subject: the Netherlands as a caj«. Paper presented at an OECD/CERI Conference on Science, Mathematics and Technology (SMT) Education in O E C D Countries, held at the Chateau de la Muette, Paris, 5- 7 November 1991. Vries, M J. De. 1994. "Technology education in Western Europe". Layton, D. (ed.). Innovations in science and technology education, Vol. V. Paris: UNESCO. WWR/Wetenschappelijke Raad Voor Het Regeringsbeleid [Scientific Council for Government Policy]. 1986. Basisvorming in het onderwijs [Basic education in the education system]. The Hague: Government Printer.
127
Sri Lanka De Silva, E J . 1987. Introducing life skills into the school curriculum: an innovative experience in Sri Lanka. Colombo. Jayasuriya,J.E. 1983. The teaching of technical subjects in secondary schools in Sri Lanka: an evaluation. Colombo. UNDP/UNESCO. 1984. Evaluation report. Joint UNDP-UNESCO evaluation mission on project for quality improvement of general education (SRL/81/005). Sri Lanka. UNDP/UNESCO. 1988. Terminal report: quality improvement ofgeneral education: life skills education: project findings and recommendations. Paris: UNESCO.
Lesotho Background and information about school self-reliance project (SSRP), WFP/ LES 3853. 1991. Maseru: WFP. Mimeo. BANFES Consortium. Not dated. Resources directory for selfreliance and enterprise development in Lesotho. Maseru: Ministry of Education. Ministry of Education. 1984. Reportan the views and recommendations ofthe Basotho Nation regarding the future of education in Lesotho. Maseru: Ministry of Education. National Curriculum Development Centre. 1990. Small business studies: Books One, Two, and Three. Maseru: Epic Printers.
C. Bacaan yang Disarankan Lebih Lanjut Bude, U. (ed.). 1991. Culture and environment in primary education: the demands of the curriculum and the practice in schools in Sub-Saharan Africa. Bonn: DSE. Carton, M. 1984. Education and the world of work. Studies and surveys in comparative education. Paris: UNESCO. Chisman, D. 1987. Practical secondary education: planning for cost-effectiveness in less developed countries. London: Commonwealth Secretariat. Division of Science, Technical and Environmental Education. 1986. The place of science and technology in school curricula: a global survey. Paris: UNESCO. Droogleever Fortuijn, E.; Hoppers, W.; Morgan, M. (eds.). 1987. Paving path-
128
ways to work: comparative perspectives on the transition from school to work. The Hague: CESO. CESO Paperback, No. 2. Gallart, M. A. 1986. Educación y trabajo: un estado del arte de la investigación en America Latina. Ottawa: IDRC. Informes IDRCMR136s. Jennings, Z.D. 1987. Work experience programmes in Commonwealth secondary schools. London: Commonwealth Secretariat. Lauglo,J.; Lillis, K. (eds.). 1988. Vocationalizing education: an international perspective. Pergamon Comparative and International Education Series; Vol. 6. Oxford: Pergamon Press. Layton, D. (ed.). 1986, 1988, 1990. Innovations in science and technology education: Volumes I, II, III. Paris: UNESCO. Lewin, K.M.; Stuart, J.S. (eds.). 1991. Educational innovation in developing countries: case-studies of changemakers. London: Macmillan. Macleod, S.; Mills, G. 1986. The teaching of science and technology in an interdisciplinary context: approaches for the primary school Science and Technology Education Document Series, No. 19. Paris: UNESCO. Morsy, Z. (ed.). 1979. Learning and working. Prospects report. Paris: UNESCO. Psacharopoulos, G.; Loxley, W. 1985. Diversified secondary education and development: evidence from Colombia and Tanzania. Baltimore: John Hopkins University Press. Published for the World Bank.
129
Indeks
A
B
adaptasi kurikuler 108 administrasi; kolonial 14; kementerian 69 Afrika 14, 15, 20, 53, 59, 69, 70, 87; Selatan xiii, 59; SubSahara 18; Timur 33 aktivitas; ekstrakurikuler 27, 28, 79, 80, 84, 101, 104; kerja produktif 86, 103; pekerjaan praktis 91; pembelajaran 32; pengalaman-kerja terpilih 39; pertanian praktis 52; praktis 44, 52, 85; prevocational 37; produktif 103; self-reliance 60 Amerika Serikat 13 anak muda 13 anggaran nasional 36 angkatan; kerja 11; muda 1, 3, 7, 8, 10 Arus kejuruan (Vocational streaming) 118 Asia 14, 18 asosiasi masyarakat 4
Bacchus 91 ''back to basii (kembali ke dasar), viii BankDunia 21,22 Barat 17, 72 bekas negara-negara Blok Timur 13 'belajar; aktif'. 105; sambil bekerja (learning by doing) xiii Belanda 54-56, 67, 75, 78, 83, 90, 92 Bergmann xvii bidang (pre-) vocational 73 Biervliet xvii budaya; lokal 14;- Sosialis 3; tradisional 60 Bude xvii
c CERAI 34, 36, 37 China 14, 17, 86 Corvalan xvii
D de; Bruijn xvii; Vries xvii demokratisasi pendidikan 12
131
dimensi orientasi-kerja 91 diversifikasi pendidikan 22 dunia; bisnis lokal 91; kerja xi, 1-3,7,8, 11, 14, 18,20,22, 26, 44, 47, 56, 75, 76, 80, 88
I ideologi nasional 10 Ilmu; ekonomi keluarga (Home economics) 116; ketrampilan sosial 62; Lingkungan dan Pertanian 54; pengetahuan 2, 38 in-service; courses 49; training 39, 40, 49, 99, 105, 106 India 17, 38, 39, 73, 75, 92 Informatika (Informatics) 117 Institut Pengembangan Kurikulum (SLO), 56 investasi; ekonomi 11 ; pendidikan 19
E 'efisiensi; alokasi 11 ; program v Eisemon 72 ekonomi; keluarga 48; pedesaan 33; pertanian 52; pribumi 34; sosialis 17 Eropa 13, 14, 44, 88, 97, 106; Barat 54; Timur 86; -Barat 12
F fasilitas tempat kerja 36 forum ide internasional vii Foster 15,87
J Jamaica 17 Jennings xvii Jomtien 21,22
K
G
Karibia 70 kaum muda 14 kebijakan pendidikan vi kebutuhan lokal 69, 102 kecakapan teknis 41 kehidupan publik 68 kejuruan post-school 22 kelas; kerajinan tangán 59; menengah 12, 72; tenaga kerja (Labour classes) 117 kemahiran; ketrampilan kognitif 72; kompetensi pribadi 31 kemampuan nasional 4 kemampuan; praktis 17, 109; sosial 10,26 Kementerian Pendidikan 34, 40, 51,
Gandhi 38 gender 47; stereotyping 70, 77; stereotyping 70 general education perspective1 (perspektif pendidi 9 Goel xvii GTZ 36 guru non teknis 49
H Hallak ix handicraft 78 Hoppers viii, ix, xii, xiii Hultin xvii
132
53,57,61,68,95,90, 103, 110, 111 Kenya 85 kepala sekolah 81 Kerajaan Lesotho 59 kerajinan tangán 43, 44, 116 kerja; berbasis sekolah 37; ekstrakurikuler 30; kurikuler 41; modem xii; praktis 17, 76, 77; produktif 7, 104 ketenagakerjaan 70, 71 ketrampilan; akademis 20; artisanal 34; dasar 30, 55,75,91; generik 110; hidup 30,46,49,84, 117; keahlian tradisional 72; kejuruan 22, 38, 72, 74, 109; kejuruan yang efektif 72; kerja xiii, 26; komersiil 75; manajemen 115; manipulatif 75; manipulatif sederhana 50; manual 42, 47; modem 72; non-manual 48; pedagogik 36; pekerjaan praktis 10; perencanaan 78; pertanian 60; praktis 22, 26, 42, 52, 56, 57, 63, 74, 77, 85, 87, 89, 106, 111; prevocational 47; problemsolving 109; siap pakai 8; sosial 8, 38, 47, 77, 88; spesifik xii, 81; teknis 82; teknis pre-vocational 51 ; terkait dengan pekerjaan 72; tradisional 77 kewiraswastaan 97 kewirausahaan 8
komite sekolah 81 kompetensi; guru 37, 53; teknis 40; terkait dengan pekerjaan 66 komponen; akademis 61 ; pendidikan umum 67 Konferensi Dunia 'Pendidikan untuk Semua xii kualifikasi guru xii kualitas sekolah viii Kuba 86 kultur nasional 33, 44 kurikulum; dasar 42; inti xiii, 30, 33, 41, 61, 92, 106; inti institusi 26; kelas 48; pendidikan 2; pendidikan dasar 67, 73; pendidikan guru pre-service 50; pendidikan umum 47; réguler 104; sekolah xi, 13,28, 110
L latihan kejuruan berbasis produksi 34 Lauglo 88 layanan pedagogik 107 Lesotho 61, 67, 73, 85, 88, 91, 98, 107 liberal-demokratis Barat 3 life skill 49,50,51 lingkungan pekerjaan 1 lintas sistem institusi 32 lulusan sekolah [school leavers) xi, 16
M Malaysia 97 manajemen; kelembagaan 4; sekolah 53 masa; kerja produktif xi;
133
magang berbasis usaha 37 materi; akademis 45, 47, 84, 110; berbasis aktivitas 47; kejuruan 19, 53; kerajinan tangán 58; ketrampilan praktis 59; non-akademis 59; pertanian 69; prakejuruan wajib 28; praktis 18, 33, 35, 45, 51, 71, 85, 88, 99, 109; teknis 46, 49, 97; teknologi 56; umum', 45 metode; baru belajar-mengajar viii; belajar 26; 'berbasis sumberdaya' 105; organisasi kurikulum 26; pedagogik 58; pembiayaan vi; pembelajaran 110; perencanaan vi mobilisasi sumber daya 4 monitoring evolusi vi Motselebane xvii Mozambique 51 Mukarusagara xvii Mukherjee xvii mutu pendidikan 74; umum 79
N Namibia 85 Narman 88 negara-negara; kurang maju (lessindustriali&d country) 3; non-sosialis 3; sosialis 85 Netherlands xvii Nigeria xviii
O OECD 2, 17, 19, 85 oreintasi kerja 110 organisasi; budaya 91; funding ekstemal 69; industri 4, 101, 107; kurikulum 4; non-pemerintah 59, 87, 91; kerja 25 orientasi; kejuruan 29, 34, 72; kerja 7, 14, 15, 68, 83, 86, 101, 113; kerja viii, 3-5, 718, 20-22, 25-27, 30-32, 35, 41, 47, 54, 59, 66, 68, 69, 71, 75-78, 80, 83-89, 92, 96-100, 103, 106113; nilai masyarakat 72; self-reliance 61; kementerian 54 otoritas; lokal 90; negara 41; pendidikan lokal 88
pandangan vokasionalis 14, 18 Papua Nugini 85, 111 partisipasi; lokal 39, 90; siswa 54 pasar tenaga kerja 1, 8, 9, 15, 16, 19, 28, 29, 51, 55, 73, 87, 88, 97 Peiris xvii pekerjaan; manual 10, 19, 70, 97; praktis 15, 30, 53, 54, 58,59,84,88, 103, 106, 111; produktif produktif 38, 73, 74, 81, 84, 86, 109; teknis 57 Pelajaran; berbasis aktivitas 53; berbasis kerja 58; lifeskill 49 pelatihan; formal v; praktis 105; self-employment 63; teknis 71
134
pembangunan; ekonomi 21, 22, 70, 71; masyarakat desa 69 Pembelajaran berbasis kerja (workbased learning 26 pembelajaran; dasar umum 55; untuk semua 66 'pembentukan ketrampilan', 57 pendapatan per kapita 18 pendekatan; berbasis sains 70; desentralisasi 102; ilmiah 82; kesejahteraan sosial 60; orientasi kerja 2, 4, 67; orientasi terhadap kerja 99; pendidikan kerja 51; pendidikan umum 31,71, 103; percobaan 51; perluasan (extension approach), 70; politeknik 92; 'sekolah utuh' 80; top-down 108 pendidikan; agama 54; akademis 15, 16, 34, 73, 87; berbasis keahlian (craftbased educatio 38; dasar 7, 11, 18,20-22,25,26,33,34, 36, 37, 52, 55, 59, 75, 78, 81, 89, 111, 113; dasar formal 2; dengan Produksi 60; dengan produksi 3, 60, 92, 99; dengan produksi (Education with product 115 ; estetik-praktis 42; formal dasar 68; informatika 30; kejuruan 15; kerja 31, 67; kesenian 41; __kesusasteraan 15; menengah 2, 55; pedagogik 45; penisahaan 3, 82, politeknik 14,29,86; pra-kejuruan 79, 118;
praktis 3, 13, 15, 31, 46, 53, 66, 67, 103; pre-vocational 73; sekolah 21; selfreliance 61; seumurhidup 3; sosialis 14; teknis 33; teknologi 55, 91, 97, 107, 118; terdiversifikasi 31,67, 103; umum xiii, 3, 13, 1720, 22, 29, 35, 37, 41, 42, 53, 59,72,74,75,79,81, 106, 110; umum berbasis luas 30; 'untuk hidup' 59; untuk komponen penisahaan 62; untuk penisahaan 62; untuk Semua 21; wajib 110; kerja 73; terorganisir 1 pengalaman; belajar 14; kerja viii, 40, 41, 86, 88, 91 pengangguran viii pengembangan; ketrampilan 35; kurikulum 59,82, 104, 112; pengembangan; sosio-ekonomi 29; teknis 28 pengetahuan; dasar 50; intuitif 44; praktis 28; terkait-kerja 66 penilaian berbasis sekolah 111 perencanaan; bidang pendidikan vi; pendidikan vi; terpusat (centralised planning v persiapan vokasional berbasis sekolah 51 perspektif; pendidikan umum 17, 26, 29, 30; vokasionalis 10, 13, 17, 26, 28, 71 Pertanian (Agriculture) 115 penisahaan lokal 91 Pilihan; pre-vocational 81; pilihan pre-vocational 60
135
praktek; 80;
belajar 86; kelas kerajinan tangán 35; konvensional 101 'pre-vocational subjeK (materi pelajaran pra-keju xi prestasi; belajar 69; bidang akademis 63 'produksi pertanian'. 53 produktivitas petani 11 program; berbasis sekolah 91; berorientasi kerja xi; Makanan Dunia (WFD), 60; non formal 67; orientasi 75; orientasi kerja xii, xiii, 9, 10, 25, 26, 32, 36,51,67,81,93,98, 100-102, 104, 107, 111, 112; pembelajaran umum 55; pendidikan kerja 30, 86; 'pendidikan praktis 86; Pendukung Pendidikan Politeknik' 98; pilihan prevocational 39; prakejuruan (pre-vocational) 79; pre-vocational 46, 50, 67, 73, 81, 107; produksi xiii, 70; SUPW 39,40; orientasi kerja 65, 104 prosedur pengujian vi proses; belajar-mengajar 82; produksi 29,39,58,73 proyek; BANFES 61; Materi Praktis' 98; pengalaman kerja {Work-experienceprojects) 119; Perluasan Masyarakat Sekolah Menengah (SCCE 85 Pusat; Kurikulum Nasional 62; Pengembangan Kurikulum Nasional 62
R Raja xvii; Lesotho 60 relevansi isi program viii reorientasi teknis 105 Rwanda 33, 67, 78, 99, 100, 105
S satuan pengajaran 32 sekolah; formal 55; menengah 39,55,56, 101; informal 78 Selatan 66 self-; employment xii; reliance 17; -reliance project 61 Seni industri [Industrial arts) 116 Seychelles 104 SIDA 99 sikap self-reliance 8 siklus pendidikan 29 sistem; ekonomi campuran 17; ganda [dual system), 34; informasi 102; monitoring 113; nasional 110; pendidikan vi, xiii, 2, 13, 19, 51, 66, 76, 96, 102; pendidikan dasar 76; pendidikan kejuruan 12; sekolah 68; vokasionalis 19 Skandinavia 17 skill; kejuruan 19; praktis 13,17 slojd 84 SMEP 36 spesialis kurikulum 3 Sri Lanka 46, 67, 73, 77, 78, 83, 85, 90, 98, 100, 108 strategi top-down 40 stratifikasi sosia! 20
136
SUPW 39,40,41 Swedia 42, 43, 44, 84, 91
V ' vocationalist perspective ' (perspektif vokasional 9 Vokasionalisasi ( VocationalizfLtiori) 118; pendidikan 20; baru 20
T Tanzania 17, 74, 86, 98; Vulliamy 111 teknologi 2, 38; pendidikan 22; produksi 1 tempat kerja 1 tempat kerja artisanal 37 tenaga kerja 9, 29; trampil 16 Togo 104 tradisi; Gandhian 38; liberal Eropa 12; sekolah 57 tugas praktis 43, 45 tujuan pendidikan 1 TVE 22
u ujian nasional 54 UNESCO vii, 22, 23, 34, 99 USAID 60 Utara 66
w Wandira 78 Wang xvii warisan; budaya 8; 13 Weeks xvii
nasional
Y Yayasan Lesotho 60
z Zambia 86, 98, 99 Zimbabwe viii, 17, 51, 73, 75, 85, 99, 100, 103 ZIMFEP 103
137
Persíapan kerja selalu merupakan tujuan ulama dari pembelajaran terorganisir. Perhatian terhadap sumbangan sekolah dalam menyiapkan anak-anak muda bagi dunia kerja terutama didorong oleh masalah-rnasalah yang dihadapi para lulusan sekolah dalam memasuki pasar tenaga kerja. Buku ini bertujuan meningkatkan pemahaman mengenai peran yang dimainkan sekolah serta kemungkinan yang bisa dimainkan dalam mengarahkan para murid ke dunia kerja. la akan memperlihatkan buktí pengalaman dengan pendekatan-pendekatan berbeda dalam orientasi kerja serta sejumlah pelajaran yang bisa diambil dari pengalaman tersebut. Buku ini akan mendiskusikan manfaat, implika-si dan batasan-batasannya yang memungkinkan, serla memberikan beberapa pedoman bagi perencanaan dan pengembangan kebíjakan serta implementasi programprogram tersebut. Wim Hoppers, hingga saat" ini, adaiah peneliti senior pada Centre for the Study of Education in Developing Countries (CESO), The Hague, Belanda. la bekerja sebagai dosen dan koordinator program di Zambia, serta terlibat dalam banyak riset dan pengembangan proyek dalam bidang pendidikan kejuruan, pelauhan, dan program-program ketenagakerjaan bagi anak-anak tak bersekolah. Dari tahun ke tahun, ia telah menulis banyak tentang subyek-subyek ini. Sekarang, ia tinggal di Harare, Zimbabwe, sebagai penasehat regional tentang pendidikan dan pelatihan bagi Pemerintah Belanda. ISBN 979-626-146-4
11 • II L 0 /# 0 S III., i «ÁCANA ItMU DAN PEMÍKIRA
9l789796l2f