BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) 2.1.1 Definisi UKM Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha
Kecil Menengah (UKM), diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun 2008. Definisi UKM yang disampaikan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. 1. Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah). Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) s/d Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan. 2. Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s/d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s/d 99 orang.
11 Universitas Sumatera Utara
3. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
316/KMK.016/1994
tanggal 27 Juni 1994, Usaha Kecil didefinisikan sebagai perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) atau aset/aktiva setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (enam ratus juta rupiah) (di luar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari : (1) badan usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan (pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa). 4. Menurut UU No 20 Tahun 2008 ini, yang disebut dengan Usaha Kecil adalah entitas yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 2.500.000.000. Sementara itu, yang disebut dengan Usaha Menengah adalah entitas usaha yang memiliki kriteria sebagai berikut: (1) kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp 2.500.000.000 sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah). 5. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Usaha Kecil Menengah (UKM) adalah usaha perorangan atau badan usaha yang mempunyai kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah)
12 Universitas Sumatera Utara
tidak termasuk tanah dan tempat bangunan dengan jumlah tenaga kerja antara 199 orang. 2.1.2 Kriteria UKM Menurut Lembaga dan Negara Asing Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing didasarkan pada aspek-aspek sebagai berikut: (1) jumlah tenaga kerja, (2) pendapatan dan (3) jumlah aset. Berikut ini adalah kriteria-kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing: 1.
World Bank, membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu: a. Medium Enterprise, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan maksimal 300 orang 2. Pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta 3. Jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta
b. Small Enterprise, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan kurang dari 30 orang 2. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta 3. Jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta
c. Micro Enterprise, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan kurang dari 10 orang 2. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu 3. Jumlah aset tidak melebihi $ 100 ribu
2.
Singapura, menyatakan UKM sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
13 Universitas Sumatera Utara
3.
Jepang, membagi UKM sebagai berikut: a. Mining and manufacturing, dengan kriteria: 1. Jumah karyawan maksimal 300 orang 2. Jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta b. Wholesale, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan maksimal 100 orang 2. Jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu c. Retail, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan maksimal 54 orang 2. Jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu d. Service, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan maksimal 100 orang 2. Jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu
4.
Korea Selatan, menyatakan UKM sebagai usaha yang jumlah karyawan nya di bawah 300 orang dan jumlah assetnya kurang dari US$ 60 juta.
5.
European Commision, membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu: a. Medium-sized Enterprise, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan kurang dari 250 orang 2. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 50 juta 3. Jumlah aset tidak melebihi $ 50 juta b. Small-sized Enterprise, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan kurang dari 50 orang 2. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 10 juta
14 Universitas Sumatera Utara
3. Jumlah aset tidak melebihi $ 13 juta c. Micro-sized Enterprise, dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan kurang dari 10 orang 2. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 2 juta 3. Jumlah aset tidak melebihi $ 2 juta 6.
Malaysia, menetapkan UKM sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2,5 juta. Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu: a. Small Industry (SI), dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan 5–50 orang 2. Jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu b. Medium Industry (MI), dengan kriteria: 1. Jumlah karyawan 50–75 orang 2. Jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta 2.1.3 Komparasi Karakteristik Dasar UKM UKM di Indonesia masih kalah bersaing dengan UKM di Negara-negara
lain. Berikut adalah komparasi karakteristik dasar UKM antara negara Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filiphina, dan Indonesia: 1.
Karakteristik dasar UKM di Jepang adalah sebagai berikut: a. Sebagai subkontraktor yang efisien dan handal bagi perusahaan yang besar b. Hasil learning process sebagai subkontraktor diperoleh kemampuan teknis dalam proses produksi
15 Universitas Sumatera Utara
c. Mempunyai efisiensi dan daya saing ekspor d. Dikembangkan IKM yang sangat efisien dan berdaya saing tinggi 2.
Karakteristik dasar UKM di Korea Selatan adalah sebagai berikut: a. UKM dijadikan sebagai subkontraktor chaebol (konglomerat raksasa) sebagai kebijakan pemerintah b. Mempunyai orientasi ekspor c. Adanya persaingan internal
3.
Karakteristik dasar UKM di Taiwan adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan UKM disebabkan oleh kebijakan finansial melalui kredit yang disalurkan b. Mempunyai orientasi ekspor
4.
Karakteristik dasar UKM di Filipina adalah sebagai berikut: a. Mempunyai export zone b. Mempunyai orientasi ekspor c. Bahan baku lokal d. Perubahan pola subkontrak menjadi original equipment manufacturing (OEM). e. Menuju industi yang high technology
5.
Karakteristik dasar UKM di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia b. Masih lemahnya struktur kemitraan dengan Usaha Besar c. Lemahnya quality control terhadap produk
16 Universitas Sumatera Utara
d. Belum ada kejelasan standardisasi produk yang sesuai dengan keinginan konsumen e. Kesulitan dalam akses permodalan terutama dari sumber-sumber keuangan yang formal f. Pengetahuan tentang ekspor masih lemah g. Lemahnya akses pemasaran h. Keterbatasan teknologi, akibatnya produktivitas rendah dan rendahnya kualitas produk i. Keterbatasan bahan baku 2.1.4 Permasalahan dalam UKM Seperti halnya juga di Negara-negara lain, perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah. Masalah-masalah utama yang dihadapi dalam UKM adalah sebagai berikut: 1.
Kesulitan Pemasaran Pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi
perkembangan UKM. Hasil dari suatu studi lintas Negara yang dilakukan oleh James dan Akrasanee (1988) di sejumlah Negara ASEAN menunjukkan bahwa pemasaran adalah termasuk growth constraints yang dihadapi oleh banyak pengusaha kecil dan menengah (masalah ini dijumpai tidak terlalu serius di Singapura). Studi ini menyimpulkan bahwa jika UKM tidak melakukan perbaikan yang cukup di semua aspek-aspek yang terkait dengan pemasaran seperti kualitas produk dan kegiatan promosi maka sulit sekali bagi UKM untuk dapat turut berpartisipasi dalam era perdagangan bebas.
17 Universitas Sumatera Utara
Saat ini, di Negara-negara Asia yang terkena krisis keuangan seperti Indonesia, Filipina dan Korea Selatan, masalah pemasaran bisa menjadi lebih serius, karena sebagai salah satu efek dari krisis tersebut akses kredit ke bank menjadi sulit (kalau tidak dapat dikatakan tertutup sama sekali), ditambah lagi dengan mahalnya bahan baku yang pada umumnya diimpor, dan permintaan pasar dalam negeri yang menurun karena merosotnya tingkat pendapatan riil masyarakat per kapita. Akibatnya dapat diduga bahwa banyak UKM tidak memiliki sumberdaya produksi yang cukup untuk paling tidak mempertahankan volume produksi dan memperbaiki kualitas dari produk-produk mereka, dan ini berarti mereka semakin sulit untuk meningkatkan atau bahkan mempertahankan tingkat daya saing mereka di pasar domestic maupun pasar internasional. Kekurangan informasi membuat banyak pengusaha kecil dan menengah, khususnya mereka yang kekurangan modal dan SDM dan mereka yang berlokasi di daerah-daerah pedalaman yang relative terisolasi dari pusat-pusat informasi, komunikasi dan transportasi juga mengalami kesulitan untuk memenuhi standarstandar internasional yang terkait dengan produksi dan perdagangan. 2. Keterbatasan Finansial UKM, khusunya Usaha Kecil (UK) di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial: mobilisasi modal awal (star-up capital) dan akses ke modal kerja dan finansial jangka panjang untuk investasi yang sangat diperlukan demi pertumbuhan output jangka panjang. Walaupun pada umunya modal awal bersumber dari modal (tabungan) sendiri atau sumber-sumber informal, namun sumber-sumber permodalan ini sering tidak cukup untuk kegiatan produksi,
18 Universitas Sumatera Utara
apalagi untuk investasi. Sementara, mengharapkan sisa dari kebutuhan finansial sepenuhnya dibiayai oleh dana dari perbankan jauh lebih realistis. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika hingga saat ini walaupun begitu banyak skim-skim kredit dari perbankan dan dari bantuan BUMN, sumber-sumber pendanaan dari sektor informal masih tetap dominan dalam pembiayaan kegiatan UKM, terutama usaha mikro/rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh sejumlah alasan, diantaranya adalah: lokasi bank terlalu jauh bagi banyak pengusaha yang tinggal didaerah yang relatif terisolasi, persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu susah dan kurang informasi mengenai skim-skim perkreditan
yang ada dan prosedurnya
(Tambunan, 2002:74). 3.
Keterbatasan Teknologi Berbeda dengan Negara-negara maju, UKM di Indonesia umumnya masih
menggunakan teknologi lama/tradisional dalam bentuk mesin-mesin tua atau alatalat produksi yang sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya membuat rendahnya total factor productivity dan efisiensi didalam proses produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat. Keterbatasan teknologi khususnya usaha-usaha rumah tangga (mikro), disebabkan oleh banyak faktor diantaranya keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin-mesin baru atau untuk menyempurnakan proses produksi, Keterbatasan informasi mengenai perkembangan teknologi atau mesin-mesin dan alat-alat produksi baru, dan keterbatasan SDM yang dapat mengoperasikan mesin-mesin baru atau melakukan inovasi-inovasi dalam produk maupun proses produksi. Dalam perkataan lain, dua faktor keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia atau UKM pada khususnya
19 Universitas Sumatera Utara
selama ini, yaitu ketersediaan berbagai ragam bahan baku dalam jumlah yang berlimpah dan upah tenaga kerja yang murah akan semakin tidak penting di masa mendatang, diganti oleh dua faktor keunggulan kompetitif tersebut (teknologi dan SDM). 2.2
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Sumatera Utara Struktur perekonomian di Provinsi Sumatera Utara pada dasarnya
didominasi Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Peran strategis UKM dalam perekonomian Sumatera Utara dapat dilihat dari konstribusinya dalam pembentukan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Selain itu pada masa krisis UKM telah terbukti tangguh
sebagai
jaring
pengaman
perekonomian
Sumatera
Utara.
Berdasarkan hasil Sensus Ekonomi 1996 di Sumatera Utara tercatat ada sebanyak 1.816.130 usaha kecil dan Informal yang mencakup 662.159 usaha di luar usaha pertanian dan 1.153.971 usaha pertanian. Dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah UKM berkembang begitu pesat dari 317.656 unit usaha pada tahun 1986 meningkat tajam sekitar 108,45 % atau tumbuh rata-rata 10,8% setiap tahunnya. Setelah krisis melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 jumlah UKM pada tahun 1998 berkurang menjadi 598.031 usaha atau berkurang sebanyak 64.128 usaha. Sampai tahun 1999 keadaan tidak menguntungkan bagi dunia usaha termasuk UKM. Hal ini tercermin dari menurunnya jumlah UKM menjadi 580.227 usaha atau berkurang 17.804 unit usaha di banding tahun sebelumya. Jumlah UKM ini terus berkurang selama kurun waktu tahun 1999 hingga mencapai 4.416 unit usaha. Namun tahun 2000 dan tahun 2001 jumlah UKM
20 Universitas Sumatera Utara
mulai bertambah menjadi 593.615 unit usaha dan 618.670. Semenjak tahun 1996 pergeseran sektor-sektor pada UKM tidak terjadi sehingga sebaran unit usaha menurut sektor identik dari tahun ke tahun. Sektor perdagangan besar, eceran dan rumah makan dan akomodasi umumnya menjadi pilihan pengusaha kecil menengah untuk mencari nafkah. Kecenderungan masyarakat memilih usaha di sektor ini erat kaitannya dengan karakter usaha jenis ini yang relatif mudah karena dapat dilakukan oleh orang yang kurang skill dan modal yang dibutuhkan juga kecil. Berdasarkan hasil survey ekonomi yang dilakukan Badan Pusat Statistik tahun 2006 , Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang merupakan dua daerah yang mempunyai usaha non-pertanian yang terbesar di Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah UKM 88.675 dan 57.076 unit usaha. Pada peringkat ketiga ditempati oleh Kabupaten Langkat dengan jumlah UKM 44.311 unit usaha.
21 Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Banyaknya Usaha Kecil Menengah (UKM) menurut Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006 NO KABUPATEN/KOTA JUMLAH 1. Nias 18.193 2. Mandailing Natal 14.825 3. Tapanuli Selatan 23.511 4. Tapanuli Tengah 12.258 5. Tapanuli Utara 9.243 6. Toba Samosir 6.022 7. Labuhan Batu 40.962 8. Asahan 42.357 9. Simalungun 29.654 10. Dairi 9.582 11. Karo 11.310 12. Deli Serdang 57.076 13. Langkat 44.311 14. Nias Selatan 9.965 15. Humbang Hasundutan 6.202 16. Pakpak Barat 807 17. Samosir 3.809 18. Serdang Bedagai 23.591 19. Sibolga 4.881 20. Tanjung Balai 6.990 21. Pematang Siantar 12.059 22. Tebing Tinggi 6.106 23. Medan 88.675 24. Binjai 10.691 25. Padang Sidempuan 7.418 Sumatera Utara 500.498 Sumber: Badan Pusat Statistik
2.3
Pola Permintaan Terhadap Produk-produk UKM di Pedesaan Mengetahui bahwa sebagian besar dari UKM di NSB (terutama negara-
negara miskin) yang berlokasi dipedesaan, efek dari peningkatan pendapatan di pedesaan atau modernisasi perekonomian pedesaan pada permintaan local terhadap produk-produk buatan UKM pedesaan menjadi isu penting. Dalam pembangunan ekonomi di pedesaan dengan masuknya pengaruh kultur dan pola
22 Universitas Sumatera Utara
konsumsi dari perkotaan akibat antara lain perbaikan/pembangunan infrastruktur. Fasilitas transportasi dan komunikasi antara perkotaan dan pedesaan maupun pedesaan itu sendiri, dan biasanya diikuti dengan peningkatan pendapatan perkapita dari masyarakat pedesaan, selera atau preferensi dari banyak orang di pedesaan berubah dan menguntungkan barang-barang dengan kualitas lebih baik di produksi oleh perusahaan-perusahaan modern di perkotaan atau dari luar negeri (impor), akibatnya permintaan lokal terhadap produk-produk buatan pedesaan menurun (Gasper : 1989). Sekarang pertanyaannya adalah apakah permintaan dari masyarakat pedesaan yang bergeser ke barang-barang dari perkotaan dipicu sepenuhnya oleh peningkatan pendapatan di pedesaan atau terutama karena membaiknya infrastruktur dan fasilitas transportasi antara perkotaan dan pedesaan yang membuat biaya transportasi menjadi lebih murah yang akhirnya membuat barangbarang dari perkotaan menjadi lebih murah daripada sebelumnya (walaupun bisa saja tetap lebih mahal daripada harga-harga dari barang-barang serupa buatan pedesaan)? Pertanyaan ini penting dan bisa dijelaskan sebagai berikut. Di pedesaan di mana output pertanian meningkat yang selanjutnya membuat pendapatan pedesaan meningkat, sebagai suatu konsekuensi langsung, pasar-pasar baru bermunculan untuk barang-barang konsumen dan barang-barang modal seperti mesin-mesin dan alat-alat produksi untuk pertanian, tetapi tersebar, tidak terpusat di suatu atau beberapa lokasi khusus. Kalau kondisi infrastruktur sangat buruk dan pelayanan transportasi tidak terorganisasikan secara baik, hal ini membuat masyarakat sulit mencapai pasar-pasar baru tersebut yang tidak terpusat
23 Universitas Sumatera Utara
lokasinya, dan kenaikan permintaan karena kenaikan pendapatan di pedesaan menciptakan suatu pola produksi di pedesaan yang terfragmentasi. Dalam kondisi seperti itu, industri-industri pedesaan menikmati proteksi alami oleh pasar-pasar yang secara spasial sangat terfragmentasi (Staley dan Morse : 1965). Jadi integrasi ekonomi pedesaan-perkotaan tidak harus selalu berarti bahwa semua industri pedesaan akan mati karena persaingan dari industri-industri perkotaan. Itu semua tergantung terutama bagaimana pengusaha-pengusaha di pedesaan dapat cepat menyesuaikan diri terhadap satu situasi yang sedang berubah dan sebenarnya sedang menciptakan kesempatan-kesempatan pasar baru, misalnya, dengan mengubah atau melakukan diversifikasi produk, meningkatkan kualitas, dan mengubah startegi pemasaran mereka. Menurut Chuta dan Liedholm (1979) berdasarkan pada observasi-observasi mereka sendiri, industri-industri pedesaan yang layak ekonomi (yakni yang mempunyai kesempatan-kesempatan lebih baik untuk tumbuh dalam jangka panjang dan proses pembangunan ekonomi dan integrasi ekonomi antara pedesaan dan perkotaan) merefleksikan empat pola umum sebagai berikut: 1. Memakai pekerja-pekerja berkualitas baik yang digaji, jadi tidak memakai anggota-anggota keluarga seperti istri dan anak sebagai pekerja berkualitas rendah yang tidak dibayar. 2. Perusahaan berlokasi di wilayah luas yang banyak penduduknya, jadi tidak tersosialisasi. 3. Kegiatan produksi dilakukan di tempat kerja khusus atau pabrik, jadi tidak bersatu dengan rumah tinggal pengusaha atau pemilik usaha.
24 Universitas Sumatera Utara
4. Membuat produk-produk atau kegiatan usaha yang punya prospek pasar/ekonomi yang lebih baik, misalnya mebel, roti, pakaian jadi, bengkel atau reparasi mobil, atau barang-barang elektronik rumah tangga. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, peningkatan pendapatan pedesaan sebagian besar berasal dari peningkatan output dan juga pendapatan di sektor pertanian, yang selanjutnya meningkatkan permintaan untuk barang-barang nonpertanian. Ini artinya sumber permintaan terhadap produk-produk dari industriindustri pedesaan sebagian berhubungan dengan pertumbuhan pendapatan di sektor pertanian (Islam, 1987). Selanjutnya, peningkatan permintaan di pedesaan terhadap produk-produk non pertanian dapat dipenuhi oleh UKM lokal atau UKM perkotaan (Impor). Tergantung apakah produk-produk UKM pedesaan bisa bersaing dengan produk-produk dari perkotaan atau impor. 2.4
Fungsi dan Peranan Bank bagi UKM Aktivitas perekonomian akan berjalan baik jika diantara para pelaku
ekonomi tersebut terbentuk hubungan kerjasama yang terpadu. Misalnya, para pengusaha UKM akan dapat mengembangkan perusahaannya dengan mendirikan perusahaan baru atau membuka cabang baru jika pengusaha tersebut berhasil memperoleh dana yang memungkinkan untuk diinvestasikan. Dana investasi seperti ini sudah pasti berasal dari tabungan masyarakat sebagai unit surplus (Lenders). Dana ini akan dipinjam dan dipakai oleh pengusaha UKM dan kelompok masyarakat lain sebagai unit defisit (Borrowers) dalam jangka waktu tertentu. Kondisi dan hubungan seperti ini hanya mungkin terjadi melalui kerjasama dan dengan suatu pengorganisasian yang baik dan dalam hal ini
25 Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh bank. Bank dimaksudkan sebagai lembaga professional yang dpaat bertindak menghimpun (Funding) keseluruhan surplus dana masyarakat dan kemudian menyalurkan (Lending) kembali kepada masyarakat yang mengalami defisit dana. Rantaian fungsi dan peranan institusi bank ini dikenal dengan istilah financial intermediary. Aktivitas bank sebagai financial intermediary yang melibatkan kepentingan masyarakat luas ini tentunya didasarkan kepada kepercayaan dan keyakinan masyarakat. Dalam hal ini bank berfungsi sebagai Agent of Trust di tengah masyarakat. Masyarakat hanya akan menyimpan uang atau dananya jika mereka percaya dan yakin bahwa uang atau dana yang akan mereka simpan tidak disalah gunakan oleh pihak bank. Demikian pula sebaliknya, pihak bank hanya akan menyalurkan dan meminjamkan dana kepada masyarakat jika mereka percaya bahwa dana tersebut akan digunakan oleh peminjam untuk hal-hal yang baik. Pihak bank juga harus percaya bahwa dana tersebut layak dan sesuai diberikan dimana peminjam akan dapat mengembalikannya sesuai dengan tempo perjanjian. Pihak peminjam akan memperoleh keuntungan dengan penggunaan dana tersebut sementara pihak bank pula akan memperoleh pendapatan bunga/spread. Surplus dana yang dihimpun perbankan akan disalurkan kepada pengusaha dan masyarakat lainnya sehingga dana itu diinvestasikan di tengah masyarakat. Investasi ini akan menghasilkan berbagai barang dan jasa yang diperlukan disamping membuka peluang pekerjaan yang mendatangkan penghasilan. Pertambahan barang dan jasa pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional. Dalam hal ini eksistensi perbankan dilihat
26 Universitas Sumatera Utara
sebagai Agent of Development yang cukup signifikan membantu keberhasilan pembangunan
ekonomi dan mewujudkan kesejahteraan
sosial termasuk
dikalangan pengusaha UKM. Eksistensi dan aktivitas perbankan semakin mendapat sambutan dikalangan masyarakat. Berbagai produk dan jasa perbankan semakin banyak dan berkembang sehingga membantu dan memperlancar aktivitas kehidupan. Sebagian besar produk dan jasa-jasa perbankan ini dapat dinimati semua lapisan masyarakat seperti jasa transfer, simpan pinjam, Safe Deposit Box, L/C, Inkaso dan lain-lain. Dalam hal ini, perbankan dianggap berfungsi sebagai Agent of Services. 2.5
Kerangka Konseptual
Perkotaan
Pengusaha UKM Muslim
Prestasi Berdasarkan Aspek: 1.Tenaga Kerja 2.Omset 3.Zakat 4.Pengembangan Usaha
VS
Pedesaan
Prestasi Berdasarkan Aspek: 1.Tenaga Kerja 2.Omset 3.Zakat 4.Pengembangan Usaha
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
27 Universitas Sumatera Utara
2.6
Penelitian Terdahulu Berikut ini terdapat beberapa penelitian-penelitian terdahulu yang dijadikan
referensi dan pembanding oleh penulis dalam melakukan penelitian ini: 1. Muhammad Sholahudin (2013), dengan judul “Tantangan Perbankan Syariah Dalam Peranannya Mengembangkan UMKM”. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan data kualitatif. Hasil penelitian mengatakan bahwa secara kualitatif ternyata peran perbankan syariah terhadap UMKM masih belum memuaskan. Tantangan utama lembaga keuangan syariah adalah menyelesaikan permasalahan fundamental tersebut yang terdiri dari kerangka sistem yang berbasis pada bunga, ketidakstabilan standar mata uang dan pola piker permissive akibat lingkungan kehidupan kapitalistik. 2. Jaka Sriyana (2010), dengan judul “Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) : Studi Kasus di Kabupaten Bantul”. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa usaha kecil dan menengah (UKM) memiliki peranan penting dalam perkeonomian lokal daerah, khususnya dalam menggerakkan aktivitas ekonomi regional dan penyediaan lapangan kerja di Kabupaten Bantul.Namun demikian diperlukan berbagai kebijakan yang bersifat terobosan untuk memotong mata rantai masalah yang dihadapi UKM, khususnya untuk mengatasi beberapa hal yang menjadi hambatan dalam bidnag pengembangan produk dan pemasaran. 3. Zednita Azriani (2008), dengan judul “Peranan Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Kinerja Usaha Kecil di Sumatera Barat”. Temuan yang ada dalam penelitian ini adalah tidak ada perbedaan yang nyata dari karakteristik nasabah usaha kecil BPR non-binaan Bank Nagari dan nasabah usaha kecil BPR binaan
28 Universitas Sumatera Utara
Bank Nagari. Kredit yang diterima usaha kecil berpengaruh positif dan berbeda nyata terhadap nilai omset penjualan, tetapi tidak berpengaruh secara nyata terhadap penyerapan tenaga kerja usaha kecil. Kinerja usaha kecil nasabah BPR binaan Bank Nagari ternyata tidak berbeda nyata dengan kinerja usaha nasabah BPR non-binaan Bank Nagari.
29 Universitas Sumatera Utara