URGENSI PENGADILAN AGAMA SEBAGAI PENYELESAI SENGKETA EKONOMI SYARIAH Sufiarina1 Abstract his study examines the urgency/virtues as a religious court dispute settlement Islamic economics. Article 49 of Law No. 3 of 2006 provides authority to the expansion of the religious court to examine and decide disputes of Islamic economics. The expansion of the authority of the legal consequences District Court no longer authorized to receive, examine and decide disputes of Islamic economics. Diversion dispute settlement and expansion of the authority of Islamic economics is interesting to study the religious court of the urgency. Study of through legislation approach as normative legal research equipped with a study of the principles of Islamic economic law, the legal principle of dispute resolution, legal systematic, vertical and horizontal synchronization level, comparative law and legal history. The Supreme Court has contributed to foster religious court as Islamic economics of dispute settlement. Equipped existence of material and formal law specifically applies only in religious courts, officials and functional recruitment requires Islamic religious background. It is religion that was supposed to be the main court to decide disputes of Islamic economics. Urgency Religious Court as dispute settlement, especially Islamic economics to better meet the principles of sharia. Keywords: urgency, religious courts, disputes, Islamic economics Abstrak Penelitian ini mengkaji urgensi/keutamaan Pengadilan Agama sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 memberikan perluasan kewenangan pada Pengadilan Agama untuk memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah. Perluasan kewenangan membawa konsekuensi hukum Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah. Pengalihan penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan perluasan kewenangan pengadilan agama menarik untuk dikaji dari sisi urgensinya. Kajian melalui pendekatan perundang-undangan sebagai penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan penelitian terhadap asas-asas hukum ekonomi syariah, asas hukum penyelesaian sengketa, sistematik hukum, taraf singkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Mahkamah Agung telah ikut berkontribusi membina Pengadilan Agama sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah. Dilengkapi keberadaan hukum materil dan formil yang
1
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa, alamat korespondensi:
[email protected].
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
227
khusus hanya berlaku di lingkungan peradilan agama, perekrutan pejabat dan fungsional yang mensyaratkan latar belakang agama Islam. Memang seharusnya Pengadilan Agamalah yang lebih utama untuk memutus sengketa ekonomi syariah. Urgensi Pengadilan Agama sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah terutama untuk lebih memenuhi prinsip syariahnya. Kata kunci: urgensi, pengadilan agama, sengketa, ekonomi syariah I.
Pendahuluan
Saat ini ekonomi syariah menarik perhatian banyak kalangan, baik akademisi maupun para praktisi.2 Ekonomi syariah memiliki perbedaan dalam mengatasi persoalan ekonomi yang didasarkan pada ajaran Syariat Islam3. Ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Ajaran Islam juga berlaku untuk seluruh manusia, dimana pun mereka berada.4 Keuniversalan ajaran Islam membawa konsekuensi komprehensif kandungan ajarannya dalam menjawab permasalahan yang muncul dari waktu ke waktu. Setiap perbuatan dan aktifitas umat manusia, baik yang sudah, sedang, maupun yang akan terjadi telah tercover dalam kandungan ajaran Islam.5 Islam merupakan rahmatan lil alamin, rahmat bagi semua, bukan hanya sekedar retorika politik yang tidak terwujud dalam kenyataaannya. Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Asy Syakhsiyah al Islamiyah jilid III, menjelaskan seluruh syariat Islam yang datang merupakan rahmat bagi hamba-Nya (Allah Swt). Lebih lanjut beliau menjelaskan rahmat tersebut merupakan natiijah (hasil) dari penerapan syariah Islam.6 Masuknya lembaga-lembaga dan negara non-muslim ke dalam sektor industri keuangan syariah sebenarnya menjustifikasi konsep universalitas ajaran Islam yang rahmatan lil‟alamin dan shalih likulli zaman wa makan, yaitu bahwa Islam adalah ajaran yang sesuai untuk seluruh umat manusia di berbagai penjuru bumi, baik dulu, sekarang maupun akan datang.7 Bagi kegiatan ekonomi syariah dalam menjalankan aktifitasnya tidak hanya kegiatan usaha, atau produknya saja yang harus sesuai dengan prinsip syariah, namun juga meliputi hubungan hukum yang tercipta dan akibat hukum
2
Renny Supriyatni Bachro, “Sistem Bagi Hasil dengan Mekanisme Pembagian Untung dan Rugi”, (Bandung: Unpad Press, 2010), hal. 12. 3
Mochtar Naim, “Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan Hukum”, (Jakarta: Hasanah, 2001), hal. 327-344. 4
Perhatikan antara lain, QS. As-Saba‟ (34:28) dan al-Anbiya‟ (21:107).
5
Ma‟ruf Amin, “Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam”, (Jakarta: Elsas, 2011), hal. 3.
6
Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Asy Syakhsiyah al Islamiyah jilid III, hlm
7
Inilah.com. diakses tanggal 4 November 2012
365
228
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
yang ditimbulkannya. Termasuk jika terjadi sengketa antara pelaku ekonomi syariah, semua harus didasarkan dan diselesaikan sesuai dengan prinsip syariah.8 Dengan pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi syariah, maka peluang terjadinya sengketa, konflik (dispute) antara para pelaku ekonomi syariah juga semakin besar. Suatu sengketa bermula dari perselisihan paham yang kemudian berlarut-larut tidak terselesaikan antara para subjek hukum yang sebelumnya telah mengadakan hubungan hukum perjanjian, sehingga pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditimbulkannya berjalan tidak harmonis.9 Terganggunya hak salah satu pihak merupakan kepentingan hukum. Semakin banyak dan luas kegiatan bisnis maka frekuensi terjadinya sengketa juga semakin tinggi, dapat diartikan makin banyak pula sengketa yang harus diselesaikan. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat. Penyelesaian sengketa merupakan cara, prosedur ataupun mekanisme yang ditempuh oleh para pihak guna penyelesaian perselisihan atau konflik atas perbedaan kepentingan mereka. Penyelesaian sengketa ekonomi secara litigasi di pengadilan merupakan tindakan ultimum remedium melalui lingkungan peradilan yang berwenang. Ultimum remedium berupa tindakan terakhir yang dapat ditempuh apabila tidak diperoleh upaya penyelesaian secara kekeluargaan. Saat ini di Indonesia lingkungan peradilan yang mempunyai kewenangan dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi yaitu lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan agama. Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama. Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan sengketa perdata pada umumnya, berdasarkan Undang-Undang Peradilan Umum. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan disebut penyelesaian secara litigasi yang dimulai dengan gugatan dan diatur dalam lapangan hukum acara perdata (burgerlijk procesrecht, civil law of procedure). Dalam rangka penegakkan hukum perdata materil, fungsi hukum acara perdata sangat menentukan. Hukum perdata materil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan hukum acara perdata. Melalui hukum acara perdata ini diharapkan para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan. Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah
8
Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah”, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), hal. 5, senada dengan Muhammad Syafi‟i Antonio, sebagaimana telah digariskan baik BMI maupun BPRS harus menjalankan kegiatannya berdasarkan syariah. Dengan demikian, menurut hukum hubungan yang terjadi antara BMI dan BPRS pada satu pihak dan para nasabahnya masing-masing, atau pihak-pihak lain yang menggunakan jasa-jasa bank tersebut, harus didasarkan pada syariah Islam, lihat Muhammad Syafi‟i Antonio, “Bank Syariah dari Teori ke Praktek”, Cetakan Keduabelas, (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 213. 9
Suyud Margono, “ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hal. 12.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
229
Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkungan peradilan yaitu, lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Berkaitan dengan ekonomi syariah, penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi) telah menjadi kewenangan pengadilan agama berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut Undang-Undang Peradilan Agama). Penetapan Pengadilan Agama sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan kepada Pengadilan Agama. Dengan perluasan kewenangan Pengadilan Agama sebagai pemutus sengketa ekonomi syariah membawa konsekuensi hukum bahwa pengadilan negeri tidak lagi berwenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Artikel ini bertujuan mencari dan melakukan kajian mengenai urgensi Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Pengkajiannya dilakukan dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach),10 sehingga masuk dalam penelitian hukum normatif11. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan. Pendekatan perundangundangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, peradilan agama dan ekonomi syariah, melalui kajian terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. Kajian pada bahan hukum sekunder berupa penelitian terhadap asas-asas hukum ekonomi syariah, asas-asas hukum penyelesaian sengketa, penelitian sistematik hukum, penelitian terhadap taraf singkronisasi vertikal dan horizontal, melalui perbandingan hukum dan sejarah hukum. Pengertian urgensi sebagai kata benda menurut Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional mempunyai makna sebagai suatu keharusan yang mendesak, hal yang sangat penting, pentingnya sesuatu.12 Kata urgensi ini bersinonim dengan keunggulan, juga bersinonim dengan keutamaan. Keunggulan sebagai kata benda yang berasal dari kata dasar unggul, mempunyai makna sebagai keadaan (lebih) unggul; keutamaan; kepandaian (kecakapan, kebaikan, kekuatan) yang lebih dari yang lain.13 Keutamaan merupakan kata benda yang mempunyai arti sebagai keunggulan, keistimewaan, hal yg penting.14 Dalam artikel ini penulis
10
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007), hal. 92. 11
Ronnyi Hanitijo Soemitro, “Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 11. 12
Kamus Bahasa Indonesia, Diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, hal. 1789. 13
Ibid., hal. 1800.
14
Ibid., hal. 1812.
230
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
lebih cendrung memaknai kata urgensi dengan menyepadankannya sebagai keutamaan. II.
Pembahasan 1.
Ekonomi Syariah a. Sistem ekonomi syariah Sistem ekonomi syariah memiliki tiga karakterisitik yang merupakan pembeda utama dengan sistem ekonomi lainnya, yaitu: Pertama, ekonomi syariah terinspirasi dan petunjuknya bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah, Kedua: Ekonomi syariah memiliki perspektif dan pandangan ekonomi berdasarkan pertimbangan peradaban Islam sebagai sumber, dan ketiga; Ekonomi syariah bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai, dan etika ekomomi muslim seperti diterapkan pada periode awal keislaman. Dengan karakteristik tersebut, ekonomi syariah memiliki perbedaan fundamental dengan sistem ekonomi lainnnya. Perbedaan tersebut terutama sekali menyangkut landasan filosofi dan asumsiasumsi dasar tentang manusia. Adiwarman Karim mengemukakan ada empat landasan filosofis sistem ekonomi syariah yang menjadi pembeda utama dengan sistem ekonomi konvensional, yaitu:15 Pertama: Tauhid, dalam sistem ekonomi syariah tauhid merupakan landasan fundamental, dengan landasan ketauhidan ini segala sesuatu yang ada merupakan ciptaan Allah swt dan hanya Allah pula yang mengatur segala sesuatunya terhadap ciptaan-Nya tersebut, termasuk mekanisme hubungan pengaturan rezeki terhadap hamba-hamba-Nya, seperti pemilikannya, cara perolehannya dan pembelanjaannnya (tauhid rububiyyah). Untuk itu para pelaku ekonomi (manusia) harus mentaati segala kaidah yang telah ditetapkan oleh Allah secara kaffah, termasuk dalam bidang aktivitas perekonomian. Ketaatan tersebut bukan hanya dalam kehidupan sosial belaka, tetapi meliputi hal-hal yang bersifat etik dan moral (tauhid uluhiyyah). Kedua: Keadilan dan keseimbangan; Sistem ekonomi syariah memandang keadilan dan keseimbangan merupakan sesuatu hal yang mutlak untuk diamalkan olek pelaku ekonomi. Perlunya hal ini berulangkali ditegaskan dalam Al-Quran. Keadilan dan keseimbangan merupakan syarat mutlak untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Keadilan dan keseimbangan harus
15
Adiwarman Karim, “Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan”, (Jakarta: Rajagrafindo, 2004), tanpa halaman.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
231
teraplikasi sedemikian rupa antara anggota masyarakat yang melakukan hubungan ekonomi. Artinya keadilan dan keseimbangan tersebut bukan hanya pada tataran teoritis tetapi juga dalam tataran teknis, misalnya dua orang melakukan hubungan ekonomi (contohnya penjual-pembeli, pengusaha-pekerja) berada pada tempat yang sejajar dan berkeadilan. Allah menegaskan bahwa Ia sangat mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS, 60: 8). Ketiga: Kebebasan; dalam sistem ekonomi syariah, kebebasan merupakan hal pokok. Kebebasan dimaksudkan bahwa manusia bebas untuk melakukan aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada larangan dari Allah swt. Pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi syariah diberikan keleluasaan untuk berkreatifitas dan berinovasi dalam mengembangkan kegiatan ekonomi. Keempat: Pertanggungjawaban; dalam sistem ekonomi syariah manusia sebagai khalifah pemegang amanah Allah di muka bumi. Dalam melakukan aktivitas (termasuk aktivitas ekonomi) diberikan keleluasaan untuk memilih apa yang terbaik untuk dirinya. Sebagai hamba Allah akan dimintakan pertanggungjawaban atas segala yang telah dilakukan. Dengan empat landasan filosofis, menjadikan sistem ekonomi syariah memiliki keistimewaan dibanding sistem ekonomi konvensional. Sistem ekonomi syariah tidak memandang manusia sebagai makhluk ekonomi yang mendewakan materi, akan tetapi memandang manusia memiliki fitrah sebagai makhluk yang memiliki kasih sayang. Dengan adanya rasa kasih sayang akan melahirkan perbuatan tolong menolong antar sesama (taâwun dan takaful). Manusia memiliki sifat dasar senang memberi bantuan pada orang lain. Allah mengemukakan, orang yang berkasih sayang digolongkan kepada golongan kanan (QS, 90: 18). b. Transaksi yang dilarang dalam ekonomi syariah Beberapa faktor yang menyebabkan terlarangnya sebuah transaksi secara syariah, yaitu transaksi yang diharamkan, baik karena haram zatnya maupun selain zatnya, dan transaksi yang tidak sah atau tidak lengkap akadnya. Adiwarman Karim menjelaskannya sebagai berikut.16 (1). Haram zatnya (haram li-dzatihi) Yaitu transaksi yang dilarang karena objek yang ditransaksikan (barang dan/atau jasa) merupakan hal yang terlarang dari sudut pandang Islam, misalnya transaksi berkaitan dengan minuman keras, bangkai, daging babi dan sebagainya. (2). Haram selain zatnya (haram li ghairihi)
16
Ibid., hal. 27.
232
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
Yaitu transaksi yang melanggar prinsip “an taradin mingkum”, artinya adalah prinsip-prinsip kerelaan antara kedua belah pihak. Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu). Dalam bahasa fiqih hal ini disebut tadlis (penipuan). Tadlis dapat terjadi dalam 4 (empat) hal yaitu, kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan. Suatu transaksi juga dilarang apabila melanggar prinsip la tazlimuna wa la tuzhlamun, yaitu prinsip jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktik-praktik yang melanggar prinsip la tazlimuna wa tuzlamun adalah; tagrir/gharar, ihtikar, bai najasy, riba, maysir dan riswah. (3). Tidak sah (lengkap) akadnya Suatu transaksi yang tidak masuk dalam kategori haram li dzatihi ataupun haram li ghairihi, belum tentu serta merta menjadi halal. Masih ada kemungkinan transaksi tersebut menjadi haram bila aqad transaksi itu tidak sah atau tidak lengkap. Suatu transaksi dapat dikatakan tidak sah dan/atau tidak lengkap aqadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) faktor-faktor berikut; rukun dan syarat tidak terpenuhi, terjadi ta‟alluq, terjadi two in one”, yaitu suatu transaksi yang diwadahi dalam dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan atau berlaku. Two in one terjadi bila ketiga faktor yang ada, yaitu objek sama, pelaku sama dan jangka waktu yang sama terpenuhi secara kumulatif. Contohnya; lease and purchase (sewa beli), sell and lease pada leasing”. Dengan demikian sistem ekonomi syariah menghendaki terjadinya transaksi-transaksi yang bebas dari unsur riba (usury dan interest), gharar (uncertainty) dan maysir (spekulatif/judi), ryswah (suap-menyuap) atau kebatilan yang sering disebut al-magrib. c. Penerapan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Ekonomi Adanya keyakinan di kalangan umat Islam yang tidak lagi menghendaki pembungaan uang sebagai riba, yang telah diharamkan melalui fatwa MUI sejak tanggal 16 Desember 2003. Sejalan dengan keyakinan tersebut maka bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah seharusnya didasarkankan pula kepada syariah (hukum) Islam. Hukum dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan kecepatan perubahan masyarakat (yang mengharamkan pembungaan uang) agar dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memberi arah kepada perubahan, agar perubahan itu berjalan secara tertib. Perkembangan ekonomi syariah tentunya membawa implikasi terhadap aktifitas ekonomi di Indonesia, khususnya kesiapan
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
233
Indonesia dalam mengantisipasi perkembangan ekonomi syariah, salah satunya dengan melakukan reformasi hukum ke arah hukum ekonomi syariah. Hukum asal syariah terhadap ibadah dan muamalah mempunyai kedudukan yang berbeda. Dalam ibadah kaidah hukum yang berlaku adalah bahwa semua hal dilarang, kecuali yang ada ketentuannya berdasarkan Al-Qur‟an dan Al-Hadist, sedangkan dalam urusan muamalah, semuanya diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya.17 Berarti ketika suatu transaksi baru muncul dan belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima, kecuali terdapat implikasi dari dalil Al-qur‟an dan hadist melarangnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan demikian dalam bidang muamalah, semua transaksi dibolehkan kecuali yang diharamkan.18 Ekonomi syariah berada di bawah payung muamalah, ketentuan hukum dalam bidang muamalah bersifat kebolehan atau mubah, sehingga memungkinkan perkembangan kegiatan ekonomi syariah bertumbuh dan berkembang sepanjang tidak ada dalil dalam alQur‟an ataupun Al-Hadist yang melarangnya. Lahirnya kegiatan ekonomi yang berdasar prinsip syariah secara faktual diperlukan di Indonesia, mengingat jumlah penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Keberadaan lembaga keuangan dengan basis syariah pada gilirannya membuat umat Islam merasa tenang dan tenteram dalam aktifitas ekonomi atau bisnis. Pelaksanaan prinsip syariah sebagai sebuah paradigma spiritualis, bertujuan untuk membantu manusia tidak hanya memperoleh kebaikan di dunia dan yang lebih penting adalah untuk memperoleh kebaikan di akhirat. Penerapan prinsip syariah adalah penerapan ketentuan hukum Islam yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional perusahaan dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis. Penerapan prinsip syariah dalam kegiatan ekonomi didasarkan pada fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dan secara internal dalam setiap institusi Dewan Pengawas Syariah berperan dalam mengawasi pelaksanaannya. Lembaga Keuangan Syariah (LKS) merupakan lembaga keuangan yang melakukan kegiatan usahanya sesuai atau mendasarkan pada prinsip-prinsip syariah. Keberadaannya bertujuan untuk menghilangkan unsur-unsur yang dilarang dalam Islam dan menggantikannya dengan akad-akad Islam atau lazim disebut dengan Prinsip Syariah. Perlunya penegasan berdasarkan prinsip syariah merupakan upaya untuk menghilangkan unsur-unsur transaksi dalam 17
Ibid., hal. 29.
18
Ibid., hal. 30.
234
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
kegiatan ekonomi konvensional yang ditemukan larangannya dalam Islam, dan menggantikan dengan akad-akad Islam. Menurut Abdul Ghofur Anshori;19 keberadaan akad-akad Islam sudah ada sejak awal agama Islam, yakni akad jual beli, akad sewamenyewa, akad bagi hasil, akad pinjam-memimjam, dan akad-akad pelengkap. Akad-akad tradisional Islam dimaksud dapat diimplementasikan pada operasional LKS dengan mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI) berikut peraturan perundang-undangan terkait berupa undangundang, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Keputusan Ketua Bapepam-LK dan sebagainya. Pengertian prinsip syariah mengacu pada Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang menyebutkan bahwa: Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). 2.
Perluasan Kewenangan Pengadilan Agama
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berarti pengadilan agama adalah salah satu lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Undang-Undang Peradilan Agama yang menjadi hukum positif saat ini di Indonesia adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006 dan perubahan ke dua dengan Undang-Undang No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 19
Abdul Ghofur Anshori, “Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 13.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
235
Tingginya dinamisasi dalam undang-undang peradilan agama berkaitan dengan penyesuaian regulasi undang-undang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Kekuasaan kehakiman telah beberapa kali mengalami penyempurnaan dan penggantian dari Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan terakhir saat ini yang menjadi hukum positif adalah Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan Undang-Undang Peradilan Agama, perubahan utama merupakan perluasan ditemukan dalam Pasal 2 UU. No. 3 Tahun 2006 yang menyatakan; “Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Ketentuan Pasal 2 menjadi lebih luas bila dibandingkan dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 yang hanya membatasi mengenai perkara perdata tertentu.20 Berarti berdasarkan Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 kewenangan peradilan agama tidak lagi hanya sebatas perkara perdata saja namun kemungkinan dapat saja berkembang seperti perkara pidana umum berkaitan dengan perkara tertentu yang telah ditetapkan dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006. Tugas pokok pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.21 Dalam hal mengadili setiap pengadilan mempunyai kewenangan tertentu atau kompetensi absolut (attributie van rechtsmacht). Sifat kewenangan masing-masing lingkungan peradilan bersifat absolut. Apa yang telah ditentukan menjadi kekuasaan (yurisdiksi) suatu lingkungan peradilan, menjadi kewenangan “mutlak” baginya untuk memeriksa dan memutus perkara. Kewenangan mutlak ini disebut kompetensi absolut atau yurisdiksi absolut.22 Sebaliknya setiap perkara yang tidak termasuk bidang kewenangannya secara absolut tidak berwenang pula untuk mengadilinya. Kompetensi absolut antara masing-masing lingkungan peradilan, diumpamakan sebagai rel yang menertibkan jalur batas kewenangan (yurisdiksi) mengadili.23 20
Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989; “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. 21
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Edisi Keenam, (Yogyakarta: Penerbit Liberty 2002), hal. 75. 22
M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 102.
236
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989; Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. Wakaf dan shadaqah. Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dengan UndangUndang No. 3 Tahun 2006 antara lain berupa memberikan perluasan kewenangan Pengadilan Agama. Pasal 49 menyatakan; “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf ; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syariah.24 Membandingkan Pasal 49 dalam kedua undang-undang peradilan agama tersebut nampak bahwa penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebagai penambahan kewenangan Pengadilan Agama. Dengan adanya muatan ekonomi syariah dalam pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 maka penyelesaian sengketa ekonomi syariah merupakan kompetensi pengadilan agama dan pengadilan lain tidak lagi berwenang memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah. Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) menyatakan; yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan peradilan agama. Menurut penjelasan Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Peradilan Agama, bidang ekonomi syariah antara lain meliputi: a. Bank syariah; b. Lembaga keuangan mikro syariah; c.Asuransi syariah; d. Reasuransi syariah; e. Reksa dana syariah; f. Obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah; g. Sekuritas syariah; h. Pembiayaan 23
24
Ibid., hal.136.
Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
237
syariah; i. Pegadaian syariah; j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan Bisnis syariah. Dari keseluruhan kegiatan ekonomi syariah, perbankan syariah sudah mendapatkan payung hukum yang relatif lengkap dibandingkan dengan kegiatan ekonomi syariah lainnya. Perbankan syariah diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penjelasan Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah menyatakan Penyelesaian sengketa syariah haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kewenangan Pengadilan Agama sebagai penyelesai sengketa ekonomi syariah selain telah ditetapkan oleh Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama, juga diakui oleh Pasal 55 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 55 UU perbankan syariah.25 Sebelum adanya Undang-Undang No. 3 tahun 2006 penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara litigasi merupakan kewenangan dari lingkungan peradilan umum. Berdasarkan bahasan di atas terlihat adanya pengalihan kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syariah secara yuridis formal ke Pengadilan Agama. Dengan perluasan kompetensi tersebut, Pengadilan Agama tidak hanya menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah, tetapi juga berwenang menangani permohonan pengangkatan anak, sengketa zakat, infaq, serta sengketa hak milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim, serta ekonomi syariah. Ketentuan pasal 2 dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 tahun 2006 tersebut mengandung tiga makna sekaligus. (1) Pertama Peradilan Agama tidak lagi semata-mata hanya mengadili perkara-perkara perdata saja, tetapi memungkinkan untuk memeriksa perkara pidana sejauh diatur dalam peraturan perundang-undangan. (2) Kedua, kompetensi sebagaimana disebut dalam Pasal 49 ayat (1) lebih luas dengan dimasukkan ekonomi syariah sebagai salah satu kompetensinya. (3) Ketiga; Pasal 49 ayat (1) ini juga sekaligus menghapus hak opsi (pilihan hukum) dalam sengketa waris. Artinya, sengketa waris yang terjadi di antara orang-orang yang beragama Islam harus diselesaikan di Pengadilan Agama. Kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan, “bahwa para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan” dinyatakan dihapus. 25
Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah; “Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah”.
238
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
Pasal 50 Undang-Undang Peradilan Agama juga memberikan kewenangan pada Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan objek sengketa yang berhubungan dengan ketentuan Pasal 49, bilamana subjek sengketa antara orang-orang yang beragama Islam. Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek yang bersengketa di Pengadilan Agama, sengketa di Pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan yang diajukan ke pengadilan di lingkungan Peradilan Umum. Penangguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di Pengadilan Agama. Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait dimaksud. Kewenangan Pengadilan Agama sudah mengalami perluasan, semula hanya sekedar sengketa dalam lapangan hukum keluarga, sekarang telah meluas kepada ekonomi syariah termasuk memutus sengketa milik sepanjang sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang selama ini bukan sebagai kewenangan dari Pengadilan Agama, namun menjadi kewenangan dari Pengadilan Negeri. Pasal 49 UUPA, menegaskan secara eksplisit bahwa sengketa ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut peradilan agama, sehingga peradilan lain di luar peradilan agama tidak lagi mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa ekonomi syariah. 3.
Upaya Mahkamah Agung dalam Membina Peradilan Agama sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah
Mahkamah Agung dalam merealisasikan perluasan kewenangan peradilan agama tersebut telah menetapkan beberapa kebijakan antara lain: a. Memperbaiki sarana dan prasarana lembaga peradilan agama baik hal-hal yang menyangkut fisik gedung maupun hal-hal yang menyangkut peralatan. b. Meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia (SDM) peradilan agama dengan mengadakan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi untuk mendidik para aparat peradilan agama, terutama para hakim dalam bidang ekonomi syariah. c. Membentuk hukum formil dan materil agar menjadi pedoman bagi aparat peradilan agama dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara ekonomi syariah.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
239
d. Memenuhi sistem dan prosedur agar perkara yang menyangkut ekonomi syariah dapat dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.26 Dalam rangka peningkatan kinerja peradilan agama, Riawan Amin mengemukakan Mahkamah Agung telah banyak menginvestasikan pengembangan sumber daya dengan mengadakan pelatihan serta mengirimkan sejumlah hakim agama ke luar negeri guna mempelajari berbagai kasus yang menyangkut ekonomi syariah.27 Hal lainnya yang telah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung sebagai pembina lingkungan peradilan agama adalah pembentukan hukum materil Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2008 yang dijadikan pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam memeriksa, mengadili, memutuskan serta menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Dengan berlandaskan pada bahasan di atas mestinya Pengadilan Agama telah pula semakin kuat, kokoh dan mumpuni dalam kemampuan secara teknis yudisial bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah. 4.
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama
Artikel ini hanya konsisten pada penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Pengadilan Agama. Sengketa adalah timbulnya perbedaan kepentingan di antara para pihak berupa perbedaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata, yang diatur dalam hukum perdata materil,28 baik berupa wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum. Menurut Soerjono Soekanto; “Sengketa ialah ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar”.29 Berarti sengketa merupakan perbedaan kepentingan para pihak mengenai hakhak dan kewajiban yang belum dapat diselesaikan. Secara umum, penegakan hukum atas sengketa perdata dapat diselesaikan secara damai di luar pengadilan (nonlitigasi) dengan cara negosiasi, mediasi dan arbitrase, atau melalui pengadilan (litigasi)
26
Indonesia, “Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dalam Sejarah Singkat Penyusunan KHES”, (tanpa kota dan penerbit), hal x. 27
Riawan Amin, Seminar Nasional Penyelesaian Hukum Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, diselenggarakan HISSI bertempat di Universitas Islam Jakarta, 18 Juni 2010. 28
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek”, (Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2002), hal. 1. 29
Soerjono Soekanto, “Mengenal Antropologi Hukum”, (Bandung: Penerbit Alumni 1979), hal.26.
240
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
dengan cara mengajukan gugatan.30 Menurut Darwan Prints, gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan.31 Prof. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).32 Dengan demikian gugatan merupakan suatu permohonan yang disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam hal gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak penggugat atau para penggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para turut tergugat. Cara penyelesaian sengketa lewat pengadilan tersebut diatur dalam hukum acara perdata. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.33 Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa objek daripada ilmu hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan kekuasaan negara yang terjadi di pengadilan.34 Abdul Manan menyatakan bahwa hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya. 35 Melalui
30
Efa Laela Fakhriah, “Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata”, Edisi Pertama Cetakan ke ,1 (Bandung: Alumni, 2009), hal. 87. 31
Darwan Prinst, “Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata”, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hal. 1. 32
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 29.
33
Wirjono Prodjodikoro, “Hukum Acara Perdata di Indonesia”, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1970), hal. 12. 34
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 4.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
241
hukum acara perdata ini diharapkan para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan. Mekanisme penyelesaian sengketa ditempuh melalui cara-cara formal maupun informal. Proses penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi (adjudicative processes) yang terdiri dari proses penyelesaian melalui litigasi/pengadilan dan arbitrase.36 Proses penyelesaian konflik secara informal disebut proses konsensual (consensual processes) yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa di luar pengadilan (out of court).37 Pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman adalah hakim. Hakim yang bertugas di Pengadilan Agama disyaratkan antara lain beragama Islam, sarjana syariah dan/atau menguasai hukum Islam.38 Dengan persyaratan tersebut maka hakim di lingkungan pengadilan agama adalah yang menguasai hukum Islam. Undang-Undang Peradilan Agama menyatakan bahwa tidak saja bagi hakim yang memenuhi persyaratan beragama Islam, melainkan juga, hakim ad hoc, panitera, juru sita, sekretaris pengadilan agama antara lain keharusan beragama Islam.39 Persyaratan kewajiban beragama Islam tidak ditemukan pada undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan lainnya. Berkaitan dengan hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Saat ini hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang peradilan agama. UndangUndang Peradilan Agama berdasarkan Pasal 57 (1) menyatakan; “Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim diikuti dengan kalimat Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Dengan demikian kekhususan yang dimaksud adalah setiap keputusan atau penetapan di Pengadilan Agama selalu dimulai dengan menyebut nama Allah dengan kalimat Bismillahirrahmanirrahim, sebagai bentuk penerapan amar ma‟ruf nahi munkar. Amar ma‟ruf berupa perbuatan atau aktifitas untuk melakukan 35
Abdul Manan, “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama”, Cetakan ke enam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012), hal. 2. 36
Suyud Margono, Op.Cit., hal. 179.
37
Ibid.
38
Lihat Pasal 13 UU No. 3 Tahun 2006.
39
Lihat Pasal 13, 13b, 27, 39, dan Pasal 46 Undang-Undang Peradilan Agama.
242
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
yang baik dan nahi munkar berupa perbuatan negatif atau tidak berbuat berupa menjauhkan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang Allah swt. Bagi penyelesaian sengketa ekonomi syariah prinsip amar ma‟ruf nahi munkar ini sudah dapat dipenuhi melalui penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Agama dan bukan pada lingkungan peradilan lainnya. V.
Kesimpulan
Salah satu fungsi Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah untuk memutus sengketa syariah, sesuai dengan prinsip syariah. Kemampuan ini tidak diragukan dimiliki oleh hakim peradilan agama. Urgensi atau keutamaan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah untuk memutus sengketa ekonomi syariah agar sesuai pula dengan cara syariah. Keutamaan Pengadilan Agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah disebabkan antara lain: 1. Hukum materil yang digunakan pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah adalah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). 2. Hukum formil yang digunakan berdasarkan kepada hukum acara perdata kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang Peradilan Agama. Menurut Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama RI saat ini MARI sedang mempersiapkan hukum acara ekonomi syariah yang akan menjadi hukum formil di Pengadilan Agama nantinya. 3. Para hakim dan pejabat lainnya beragama Islam dan menguasai hukum syariah 4. Mahkamah Agung telah banyak melakukan investasi dalam memperkokoh kemampuan pengadilan agama dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah, Sufiarina
243
Daftar Pustaka Buku Al-Qur‟an dan Sunnah. Amin, Ma‟ruf. Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2011. an Nabhani, Syekh Taqiyuddin. dalam kitab Asy Syakhsiyah al Islamiyah jilid III. Anshori, Abdul Ghofur. Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008. Antonio, Muhammad Syafi‟i. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan Keduabelas, Jakarta: Gema Insani, 2008. Bachro, Renny Supriyatni. Sistem Bagi Hasil dengan Mekanisme Pembagian Untung dan Rugi, Bandung: Unpad Press, 2010. Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010. Fakhriah, Efa Laela. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, Edisi Pertama Cetakan ke 1, Bandung: Alumni, 2009. Harahap, M. Yahya Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. --------------------, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Edisi ke dua Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Indonesia, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, dalam Sejarah Singkat Penyusunan KHES. Kamus Bahasa Indonesia, Diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Karim, Adiwarman. Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Cetakan ke empat, Jakarta: Rajagrafindo, 2004. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cetakan ke enam, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012. Margono, Suyud. ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2007. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keenam, Yogyakarta: Penerbit Liberty 2002.
244
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-44 No.2 April-Juni 2014
Naim, Mochtar. “Kompendium Himpunan Ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan Hukum”, Jakarta: Hasanah, 2001. Prinst, Darwan. Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Acara Perdata di Indonesia, Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1970. Soekanto, Soerjono. Mengenal Antropologi Hukum, Bandung: Penerbit Alumni 1979. Soemitro, Ronnyi Hanitijo. Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Sutantio Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju, 2002. Artikel, Makalah yang Diseminarkan Amin, Riawan. dalam Seminar Nasional Penyelesaian Hukum Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, diselenggarakan HISSI bertempat di Universitas Islam Jakarta, 18 Juni 2010. Lubis, Suhrawadi K. diakses tanggal 4 Maret 2013. Inilah.com. diakses tanggal 4 November 2012 Peraturan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. PERMA No. 2 tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.